B e r i t a Kaum Tani Tidak Ada Demokrasi Tanpa Land Reform Edisi IV Desember-Januari 2007 Aksi AGRA bersama Front Rakyat Anti Imperialisme, di Jakarta, Senin, 10 Desember 2007. (Sumber: Dokumen AGRA) Imperialisme AS dan SBY-JK Perusak Lingkungan dan Pelanggar HAM Ganti Ongkos Cetak Rp. 2.500,- Dari Redaksi Salam Sejahtera, Pertama-tama dari redaksi ingin menyampaikan apresiasi yangs setinggi-tingginya kepada seluruh kaum tani Indonesia dan juga rakyat secara keseluruhan, yang telah secara gemilang dan sukses menyelenggarakan perayaan Hari Hak Asasi Manusia se-Dunia (HAM) pada tangal 10 Desember yang lalu. Perayaan yang meriah tersebut sangat bermakna bagi upaya-paya rakyat selama ini dalam menyuarakan kepentingan yang paling asasi atas seluruh hak-hak sosial-ekonomi maupun hak-hak sipil demokratisnya. Karena hanya melalui cara demikianlah, hak-hak rakyat yang selama ini diabaikan akan secara bertahap dapat diwujudkan. Selain itu, perayaan Hari HAM se-Dunia kali ini juga memberi arti yang istimewa dan penting bagi bangsa Indonesia mengingta, perayaan tersebut juga bertepatan dengan pelaksanaan agenda Konferensi antarPihak (Conference of Party) ke-13 Kerangka Kerja Konvensi tentang Perubahan Iklim PBB —United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali dari Tanggal 3-14 Desember 2007. Dengan demikian, berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh pemansan global dan perubahan iklim dapat didesakkan secara tegas dan keras. Dimana, negara-negara industri maju yang selama ini merupakan penyumbang terbesar atas meningkatnya gas buang (emisi) karbon ke atmosfir bumi dan yang telah menimbulkan berbagai kerusakan alam dan lingkungan serta bencana bagi negara-negara agraris, dapat didesak agar memiliki komitment yang jauh lebih kuat dalam menghentikan eksploitasi sumber daya alam dan pemakaian bahan bakar fosil yang berlebihan. Oleh karenanya, dalam edisi ke-4 BKT kali ini, redaksi akan menampilkan sejumlah tulisan dan berita-berita dari anggota AGRA yang kaitan secara langsung B e r i t a memiliki dengan tema-tema tersebut di atas, Kaum Tani seperti tentang HAM dan hak-hak Tidak Ada Demokrasi Tanpa Land Reform petani, tentang pemanasan global dan perubahan iklim, serta berita-berita kampanye massa hari HAM se-Dunia dalam berbagai bentuknya. Akhirnya, dari redaksi menyampaikan selamat membaca serta selamat Hari Raya Natal bagi umat kristiani dan selamat tahun baru bagi seluruh rakyat Indonesia, semoga hari-hari mendatang kaum tani di Indonesia semakin kuat dan Imperialisme AS dan SBY-JK teguh dalam memperjuangkan hakPerusak Lingkungan dan Pelanggar HAM hak sosial-ekonomi maupun hak-hak sipil demokratisnya. Terimakasih. Daftar Isi Dari Redaksi Hal 2 Editorial Keniscayaan Krisis Pangan di Indonesia Hal 3 Kabar Anggota Peringatan hari HAM se-Dunia: AGRA Desak Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam Hal 5 Kajian Utama Perusakan Hutan dan Perluasan Perkebunan Besar Biang keladi Perubahan Iklim Hal 6 Kabar Anggota Peringatan Hari HAM: 1500 anggota AGRA Moro-Moro Longmarch! Hal 11 Kajian Utama Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Memperhebat Pelanggaran Hak Kaum Tani Hal 12 Desember-Januari 2007 Edisi IV Ganti Ongkos Cetak Rp. 2.500,- Laporan Khusus Laporan Konferensi Perubahan Iklim: AGRA Usung Protokol Rakyat Hal 15 Keterangan Foto Depan: Aksi AGRA bersama Front Rakyat Anti Imperialisme, di Jakarta, Senin, 10 Desember 2007. (Sumber: Dokumen AGRA) Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Penanggung Jawab : Erpan F Pimpinan Redaksi : Ragil Amarta Dewan Redaksi : Erpan F, Ragil Amarta, Yoyo Damanik, C. Rahman, Rahmat Ajiguna, Fajri NS Koresponden : Oki (Lampung), Hasbi (Jambi), Alvianus (Sumatera Utara), Wowon (Jawa Barat), Boy (D.I Yogyakarta), Agus (Jawa Tengah), Yamini (Jawa Timur), Anca (Sulawesi Selatan), Susi Kamil (Sulawesi Tenggara), Asdat (Sulawesi Tengah), Eki (Kalimantan Barat), Rinting (Kalimantan Tengah), Syafwani (Kalimantan Selatan), Lay-Out : Rahmat Ajiguna. Alamat Redaksi Sementara : Jl.Mampang Prapatan XIII, No.3-Jakarta Selatan Telp/Fax 021-7986468. Email : [email protected] Redaksi menerima saran, kritik dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, foto jurnalistik maupun karya seni dan sastra yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita AGRA. Kontribusi tulisan maupun foto jurnalistik dapat dikirim lewat Email Koran Berita Kaum Tani. 2 Berita Kaum Tani EDITORIAL Keniscayaan Krisis Pangan di Indonesia Erpan Faryadi Sekretaris Jenderal AGRA K eadaan dan susunan ekonomi negara secara umum akan mempengaruhi bagaimana keadaan dan struktur agraria terbentuk. Di masa Orde Baru, di mana susunan ekonomi yang berkembang adalah karena dominasi imperialisme (kapitalisme monopoli), maka struktur agraria yang terbentuk adalah struktur agraria yang timpang, yang ditujukan untuk mengabdi pada kepentingan imperialisme ini. Perkembangan keadaan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan konglomerasi di sektor pertanian secara luas dan industri manufaktur yang didukung oleh kebijakan negara ini, telah menyumbang andil yang banyak dalam menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Jadi, kapitalisme rente masa Orde Baru yang digerakkan oleh aliansi strategis antara konglomerat/ borjuasi besar dan aparat birokrasi negara, yang awalnya juga sangat didukung oleh rezim kapitalisme global (imperialisme), pada gilirannya menyebabkan rakyat Indonesia, terutama petani miskin, kelas buruh, dan kaum perempuan semakin jatuh dalam jurang kemiskinan dan penderitaan. Hal ini karena dalam sistem ekonomi yang demikian, pertumbuhan konglomerasi di sektor pertanian secara luas dan industri manufaktur membutuhkan penyediaan tanah dalam skala besar, maka perampasan tanah dan sumber daya alam rakyat merupakan hal yang tak terelakkan. Perampasan tanah dan sumber daya alam milik rakyat petani yang terjadi pada masa Orde Baru dan sesudahnya, pada hakekatnya merupakan proses yang semakin menjauhkan rakyat petani dari aset-aset produktif yang menghasilkan pangan. Dalam bentuk lunak, wujud dari perampasan atas tanah adalah semakin meluasnya konversi lahan-lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, pemberian konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan kepada kalangan swasta (konglomerat). Sementara dalam bentuk yang lebih keras, dalam arti yang sesungguhnya, perampasan tanah berarti menggusur rakyat dari tanah-tanahnya semula dengan menggunakan aparat kekerasan negara maupun premanpreman bayaran. Sebagaimana telah diketahui bersama, akses atas tanah yang semakin sempit, merupakan akibat dari dijalankannya kebijakankebijakan pemerintah yang kurang memihak kepada kepentingan petani Indonesia. Dalam kasus Indonesia, meskipun telah ada kebijakan pertanian yang memihak petani, yakni program redistribusi tanah (land reform) yang diamanatkan dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sejak tahun 1960 dan kemudian pada tahun 2001 diteguhkan kembali dengan adanya Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR N0.IX/2001), namun belum pernah dilaksanakan dengan konsekuen. Tidak tuntasnya pelaksanaan land reform yang pernah dijalankan oleh pemerintah Indonesia (rezim Orde Lama) pada tahun 1962-1967, telah mengakibatkan ketimpangan struktur agraria saat ini semakin meluas. Demikian pula halnya dengan kebijakan impor pangan yang dijalankan Pemerintah Indonesia secara konsekuen, merupakan kebijakan pemerintah yang tidak lepas dari kebijakan pangan global (liberalisasi pertanian), yang telah diatur dalam kesepakatan di WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Kebijakan pertanian dan pangan nasional dalam skema imperialisme global ini, yang semakin menjauhkan akses rakyat atas pangan, juga dipengaruhi oleh lembaga-lembaga donor multilateral (Bank Dunia dan IMF) maupun perusahaanperusahaan transnasional (multinasional). Konversi (pengubahan) lahanlahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, juga bukan merupakan fenomena yang berdiri sendiri. Karena semakin luasnya konversi lahan-lahan pertanian, akan semakin mengganggu produksi pangan secara keseluruhan. Dengan menggunakan alasan ini, pemerintah kemudian Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 3 EDITORIAL menjalankan impor pangan. Oleh karena itu, pesatnya konversi lahan-lahan pertanian berhubungan erat dengan pesatnya impor bahan pangan. Secara keseluruhan, makin sempitnya lahan pertanian akibat tiadanya program redistribusi tanah dan terus berlangsungnya impor pangan akan menyebabkan kehidupan kaum tani semakin miskin. Sehingga dari sisi kebijakan negara dan guna mengurangi kemiskinan, akses atas tanah yang lebih adil bagi petani tanpa tanah (tuna kisma) dan petani kecil merupakan suatu keharusan nasional. Dengan terjadinya redistribusi tanah, produksi pangan secara nasional akan jauh lebih terjamin. Namun, perbaikan akses atas tanah melalui program redistribusi tanah, tidak akan berarti banyak seandainya pelaksanaan politik pertanian dalam bentuk liberalisasi pertanian (impor pangan), masih juga terus dijalankan. Kemandirian dalam hal pangan misalnya, yang merupakan salah satu tujuan dari program revitalisasi pertanian yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini di bawah Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Kalla), sulit akan dicapai, bila pemerintah Indonesia dalam praktiknya terus menerus menjalankan impor pangan. Kebijakan impor pangan yang direkomendasikan oleh hasil studi Bank Dunia dan terus didukung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, malah akan membuat negara ini makin terjerumus dalam krisis pangan. Yakni satu situasi di mana pemenuhan pangan bangsa makin tergantung secara terus menerus kepada bangsa lain, meskipun bangsa Indonesia sendiri mampu 4 Berita Kaum Tani memproduksinya secara berlimpah ruah. Jadi makna dari krisis pangan di sini bukan sekedar dilihat dari terjadinya fenomena busung lapar saja, namun jauh lebih luas, yakni ketergantungan pangan bangsa kepada suplai pangan yang diperdagangkan secara internasional. Umum diketahui bahwa dampak sosial ekonomi dari pelaksanaan politik agraria Orde Baru bagi bangsa Indonesia sangatlah merusak. Di bidang ekonomi, dengan semakin kuatnya cengkeraman kaptalisme monopoli asing, dan kemudian dimanfaatkan secara optimal oleh konglomerasi/borjuasi besar, tuan tanah besar dan birokrat kapitalisme, hanya menyisakan hutan yang gundul, lingkungan yang semakin rusak, makin luasnya konversi lahan-lahan pertanian, dan semakin tergusurnya petani dari tanahtanahnya semula. Kerusakan hutan Indonesia yang merupakan hutan tropis kedua terbesar (143 juta hektar) di dunia setelah Brazil (300 juta hektar), ikut memberikan sumbangan terhadap pemanasan global. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia mendapat “kehormatan” untuk menjadi tuan rumah dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim, yang dilangsungkan di Bali, pada bulan Desember tahun 2007. Statistik perkembangan ekonomi Indonesia di era Orde Baru, yang turut dikampanyekan oleh Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) sebagai keberhasilan, ternyata hanya rekayasa statistik belaka dan tidak berarti apa-apa bagi perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Bahkan pada saat krisis moneter sedang berlangsung di Indonesia pada tahun 1997/1998, Bank Dunia dan IMF saat itu juga ikut membesarkan hati Presiden Soeharto bahwa krisis moneter (krismon) tak bakal merembet ke Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia amat kokoh (menurut statistik mereka). Rekayasa statistik pertumbuhan ekonomi ini sangat menyumbang pada ambruknya perekonomian Indonesia. Sungguh aneh tapi nyata, Orde Baru (Orba) yang selama 32 tahun menggemborkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 (tujuh) persen sebagai prestasi, rontok hanya dalam waktu enam bulan. Seperti membangun rumah pasir! Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh pandangan ekonomi pasar bebas Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis ekonomi. Seperti diakui kemudian oleh sejumlah mantan menteri dan pejabat terkait bidang ekonomi dan keuangan Indonesia, resep yang ditawarkan IMF selama krisis berlangsung adalah racun bukan obat. Biaya pemulihan ekonomi Indonesia setelah dihantam krisis 1997/1998 adalah sebesar Rp 600 triliun. Ironisnya, biaya pemulihan ekonomi ini harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia. Sementara yang menyebabkan krisis tersebut adalah ulah para konglomerat yang sekaligus merupakan para pemilik bank swasta nasional. Biaya tersebut dikeluarkan negara untuk menyelamatkan sistem perbankan yang rontok. Karena sejak semula bank-bank swasta nasional tersebut banyak didirikan untuk memberikan kredit kepada grup usaha para konglomerat tadi. Dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank EDITORIAL Kabar Anggota Peringatan Hari HAM Se-Dunia Indonesia) yang dikeluarkan oleh negara melalui Bank Indonesia untuk menyelamatkan para konglomerat dengan biaya Rp 600 triliun ini, sungguh merusak akal sehat. Hal ini membuktikan dengan nyata bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sangat tidak berpihak kepada kaum miskin, tapi berpihak kepada kaum konglomerat/ borjuasi besar, tuan tanah besar dan birokrat kapitalisme. Para konglomerat pengutang dana BLBI antara lain adalah Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Kaharuddin Ongko, Sjamsul Nursalim, Usman Admadjaja, Sudwikatmono, dan Bob Hasan. Semuanya memiliki bank dan banyak yang menguasai industri pangan, industri perkayuan (konsesi HPH dan kayu lapis), perkebunan, dan agroindustri, yang kemudian bermasalah. Ringkasnya warisan yang ditinggalkan sungguh dahsyat! Utang sejumlah Rp 600 triliun yang menjadi beban APBN Indonesia untuk menolong konglomerat hitam yang merusak hutan, tambang, dan pertanian kita; berlanjutnya krisis pangan yang membuat para perajin tahu dan tempe gulung tikar karena harga kedelai impor semakin mahal dan memutuskan demonstrasi ke Presiden SBY pada bulan Januari 2008, dan harta mantan Presiden Soeharto sejumlah Rp 149 triliun dan tanah seluas 4,093 juta hektar! (Majalah mingguan Tempo, edisi 23-29 Juli 2007, hal. 42-43 dan Bustanil Arifin dan Didik J. Rachbini, 2001: 240). Mari jadikan negara ini sebagai negara hukum, bukan negara halalbilhalal, seperti diungkapkan dengan baik oleh seorang aktivis politik era tahun 1980-an (Kompas, 28 Januari 2008, hal. 4).*** AGRA Desak Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam Jakarta 10/12/2007- Seribu massa aksi dari Front Rakyat Anti Imperialisme (FRAI) melakukan aksi massa memperingati Hari HAM Internasional dan Penyikapan KTT PBB tentang Perubahan Iklim. Aksi dipusatkan di Kedubes Amerika Serikat (AS) dan Istana Presiden. Dalam aksinya, FRAI menilai bahwa imperialisme AS adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di dunia. Tentang dampak dari pemanasan global, imperialisme AS adalah negara yang menjadi penyumbang terbesar dari bagi buangan emisi gas karbon. Keberadaan korporasi-korporasi eksplorasi energi milik imperialis AS di berbagai negeri juga telah menambah daftar pelanggaran HAM, mulai dari pencemaran lingkungan, peminggiran terhadap masyarakat lokal, perampasan lahan, perdagangan manusia hingga kekerasan negara terhadap rakyat. Sementara pemerintah SBYKalla dinilai FRAI belum mampu memenuhi hak-hak dasar rakyat. Seperti, buruh murah, perampasan tanah, pengangguran, pendidikan mahal, kekerasan suku bangsa minoritas, dan kelompok minoritas seperti LGBT. Pemerintah SBY-Kalla terus memberi kesempatan bagi imperialisme mengeksplotasi sumber daya energi, menghancurkan hutan, perluasan perkebunan besar hingga pasar bagi produk otomotif imperialis yang semakin menambah tingkat pemanasan global. FRAI menilai KTT PBB tentang Perubahan Iklim di Bali hanyalah sandiwara. Negaranegara imperialis terutama AS tidak memiliki komitmen kuat untuk mengurangi emisi gas. Sebaliknya, negara-negara miskin seperti Indonesia dipaksa memenuhi kehendak mereka untuk melakukan adaptasi dan pengembangan teknologi dan pemulihan lingkungan dengan bantuan dana asing. Itu sama halnya membuat ketergantungan kembali akan utang yang akan dibebankan kepada rakyat. Berdasarkan hal tersebut, FRAI menilai bahwa “imperialisme AS dan Rejim SBYKalla Harus Bertanggung Jawab terhadap Pelanggaran HAM dan Kerusakan Lingkungan. Aksi FRAI diikuti oleh AGRA, GSBI, SBK-EJI, Forum Buruh Cengkareng, FMN, GMNK, Arus Pelangi dan GRI. Medan Peringatan hari HAM juga digelar di Medan Sumatera Utara. AGRA bersama dengan organisasi mahasiswa, pemuda dan buruh yang ada di Sumatera Utara yang membangun aliansi dengan nama Persatuan Rakyat Indonesia Anti Imperialisme (PERISAI). Aksi dipusatkan depan Konsulat Jendral AS di Medan. Seratus massa PERISAI, mendesakkan sejumlah tuntutan kaum tani dan rakyat di semua sektor. Tema umum aksi adalah “Imperialisme AS dan Rejim Boneka Amerika, SBY-Kalla: Biang Kejahatan Kemanusiaan, Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam di Dunia dan Indonesia”.*** Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 5 Kajian Utama Perusakan Hutan dan Perluasan Perkebunan Besar Biang Keladi Perubahan Iklim Erpan Faryadi Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa (1966-1998) sektor kehutanan menempati peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sepanjang waktu itu, hutan, seperti juga sumber daya alam lainnya, dikuras habishabisan. Menurut Didik J. Rachbini industri kehutanan masa Orde Baru dibangun semata-mata hanya demi mengejar nilai ekonomis, mengabdi pada orientasi ekspor, dan demi memenuhi pembayaran utang luar negeri (Latin, 1999:2-11). Cara pemanfaatan hutan yang melulu demi kepentingan ekonomi tersebut tak pelak lagi mengakibatkan kerusakan hutan yang luar biasa dan sistematis. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), menyebut laju penghancuran hutan di Indonesia sepanjang 2000-2005 sebagai 6 Berita Kaum Tani yang tercepat di dunia. Setiap tahun rata-rata 1,871 juta hektar hutan hancur atau seluas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Kehancuran 2 persen dari luas hutan yang tersisa itu jauh melebihi Zimbabwe, Myanmar, dan bahkan Brazil. Kerusakan ini menyumbang secara signifikan terhadap pemanasan global. Data sebelumnya yang dikeluarkan FAO menyebutkan bahwa selama 1976 hingga 1980 tak kurang 550.000 hektar hutan di Indonesia lenyap per tahunnya. Jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan hasrat mengeksploitasi hutan yang dilakukan oleh para pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), terutama di wilayah Kalimantan, Sumatra, dan Irian Jaya (sekarang Papua Barat). Setelah 1980 laju kerusakan hutan di Indonesia per tahunnya mencapai 600.000 sampai 1.200.000 hektar (Hurst, 1990; 2). Akibatnya diperkirakan saat ini sekurang-kurangnya setengah dari 143 juta hektar kawasan hutan Indonesia, telah rusak. Lebih mengenaskan lagi, sektor kehutanan telah dijadikan “tawanan” oleh para cukong pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan lembagalembaga internasional agar pemerintah Indonesia dapat melunasi utang-utangnya. Tabel 1 memperlihatkan gambaran nasional tentang komposisi pemegang HPH terbesar di Indonesia dan luas HPH-nya. Terlihat bahwa Grup Barito Pacific, yang dimiliki oleh konglomerat Prajogo Pangestu, merupakan pemegang HPH terbesar di Indonesia. Bayangkan saja Grup Barito Pacific bisa Kajian Utama memiliki konsesi HPH lebih dari enam juta hektar! Penguasaan lahan seluas itu sama dengan menguasai wilayah seluas gabungan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Alasan konglomerat ini diberikan begitu banyak konsesi adalah sebagian disebabkan oleh kesanggupan mereka untuk memberikan saham dan posisiposisi penting di berbagai perusahaan konsesi, kepada anggota keluarga bekas Presiden Soeharto. Hal ini menjelaskan seberapa besar rente dari hutan-hutan Indonesia secara tidak resmi dikumpulkan guna memenuhi tujuan finansial dan pribadi kerabat Soeharto, dibandingkan dengan yang diperoleh oleh pemerintah (Brown, 1999; 14-15). Soal rente ekonomi dari hutan ini juga menjelaskan, meskipun eksploitasi hutan telah Tabel I Penguasa Hutan Indonesia Nama Group Jumlah Unit berlangsung sangat intensif, kontribusinya terhadap perekonomian secara nasional dan lapangan tenaga kerja sangat minim. Pemanfaatan Hutan Melalui HPH Pemanfaatan hutan Indonesia secara intensif dengan tingkat eksploitasi secara berlebihan dimulai sejak tahun 1967, tepatnya setelah satu tahun Orde Baru berkuasa. Untuk mempercepat derap pembangunan, Orde Baru dengan gencar mengundang masuknya modal asing ke Indonesia. Semula para pemodal asing lebih tertarik menanamkan modalnya di sektor ekstraktif, seperti pertambangan dan kehutanan. Bisa dipahami mengapa pada awalnya para pemodal asing lebih tertarik pada pertambangan minyak dan Luas Areal (Ha) Pemilik Barito Pacific 60 6.158.670 Prajogo Pangestu Kayu Lapis Indonesia Alas Kusuma Djajanti Kalimanis Mutiara Timber Karindo Indo Plywood Tanjung Raya Hutrindo Pakarti Yogya Hanurata Bumi Raya Utama 20 18 20 9 6 7 10 11 12 4 4 9 3.437.000 2.988.000 2.775.000 1.936.000 1.558.900 1.436.000 1.329.000 1.226.300 1.152.000 1.133.000 1.016.000 995 Budhi Dharma Bhakti Satya Djaya Raya Antang Surya Dumai Uni Selaya Kayumas Budhi Nusa Sub-Total Pemegang HPH lainnya 10 8 11 7 8 9 5 248 307 947 938 891 883 835 802 801 33.198.963 31.092.473 TOTAL 555 64.291.436 Andi Sutanto PO Suwandi Burhan Uray Bob Hasan In Yong Sun H.A.Bakrie Alex Karampis Pintarso Adiyanto Asbert Lyman Martias Tekman K Burhan Uray pengolahan hutan. Selain didorong oleh kemungkinan memperoleh laba yang besar, ketertarikan para pemodal asing pada sektor-sektor tersebut disebabkan oleh sikap pemerintah yang sangat akomodatif. Pada masa itu, karena minim dalam hal dana, penguasaan teknologi, dan pengalaman, pemerintah maupun pengusaha swasta dalam negeri belum mampu mengelola sektorsektor tersebut. Maka jalan satusatunya untuk memperoleh pendapatan dari pertambangan minyak dan pengolahan hutan adalah dengan membuka diri dan mengajak pihak asing. Hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan investasi di sektor kehutanan. Hingga akhir Desember 1968 modal asing yang ditanamkan pada sektor kehutanan sebesar USD 106,65 juta, sedangkan modal dalam negeri berjumlah Rp 57 juta. Besarnya modal yang ditanam di sektor kehutanan itu terjadi setelah UU No.5 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan ditetapkan pada tahun 1967. Dengan diberlakukannya UU itu dimulailah sistem baru dalam pemanfaatan hutan, yaitu melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sejak UU Pokok Kehutanan 1967 berlaku, permintaan untuk mendapatkan izin konsesi penebangan baik dari pemodal asing, dalam negeri, maupun campuran, banyak mengalir. Hingga menjelang 1970 jumlah pemegang HPH tercatat berjumlah 64 perusahaan dan meliputi luas hutan 8 juta hektar. Antara tahun 1967 hingga 1980, 519 perusahaan diberi HPH yang mencakup luas 53 juta hektar (Jhamtani, 2001; 119-120). Sampai dengan Juni 1998 terdapat 651 HPH dengan alokasi hutan seluas 69,4 juta hektar (Barr, 1998; Kartodihardjo dan Supriono, 1999). Industri kayu Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 7 Kajian Utama dan hasil hutan menghasilkan USD 9 miliar pada tahun 1994, USD 5,5 miliar di antaranya dari ekspor (NRI, 1996, dikutip dari Barber, 1997). Hutan tropis Indonesia adalah kedua terluas di dunia setelah Brazil yang mempunyai hutan tropis seluas 300 juta hektar. Dengan klasifikasi kawasan hutan negara seluas 112,3 juta hektar, yang terdiri dari hutan lindung 29,3 juta hektar, hutan konservasi seluas 19 juta hektar, dan hutan produksi seluas 64 juta hektar. Selama 10 tahun terakhir sumbangan devisa dari industri perkayuan terhadap perolehan devisa rata-rata 20 persen. Pada tahun 1998/1999 jumlah target devisa dari industri perkayuan sebesar USD 8,5 miliar (Suara Pembaruan, 13/3/1999). Kawasan hutan negara menjelaskan statusnya secara hukum bahwa hutan tersebut hutan milik negara. Kawasan hutan negara tidak selalu berhutan, sehingga peningkatan kawasan hutan dapat berarti secara hukum kawasan hutan negara naik jumlahnya, tetapi luas yang berhutan dapat menurun. Pada tahun 1984, kawasan hutan negara ditetapkan berdasarkan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan). Sedangkan pada tahun 1997 kawasan hutan negara berubah setelah dilakukan paduserasi antara TGHK dengan RTRWP. (Kartodihardjo, 1999; 1). Meskipun subsektor kehutanan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perolehan devisa, kontribusinya terhadap perekonomian secara keseluruhan sangat rendah. Pada tingkat harga konstan (1983), kontribusi subsektor kehutanan hanya berkisar 4 persen terhadap sektor pertanian, dan berkisar 1 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Demikian pula kontribusi subsektor kehutanan 8 Berita Kaum Tani terhadap penyerapan tenaga kerja juga sangat rendah. Subsektor kehutanan hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0,3 persen terhadap daya serap tenaga kerja secara keseluruhan dan 0,5 persen terhadap daya serap sektor pertanian (Suhendar dan Winarni, 1998; 111-112). Menurut Philip Hurst sejak jaman kolonial hingga awal 1960, 89 persen kayu berasal dari Jawa, dan hanya 10 persen di antaranya yang digunakan untuk kepentingan ekspor. Menjelang 1971 terjadi perubahan drastis. Saat itu 65 persen kayu berasal dari Kalimantan, sebagian besar dari Kalimantan Timur, dan 75 persen di antaranya untuk ekspor. Menjelang 1974 hutan Kalimantan yang dikuasai oleh para pemegang HPH telah mencapai 11 juta hektar. Sebagian besar perusahaan pemegang HPH itu adalah pemodal asing seperti Wayerhauser dan Georgia Pacific (AS), Mitsui, Itoh, Sumitomo, dan Mitsubishi (Jepang). Untuk mengantisipasi lonjakan modal swasta, baik asing maupun nasional, dalam sektor kehutanan, pada tanggal 23 Mei 1970 ditetapkan Peraturan Pemerintah No.21 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Dengan masuknya modal swasta dalam HPH, pengusahaan hutan meliputi wilayah yang sangat luas dan dikerjakan secara modern. Agar pengusahaan hutan tersebut berjalan lancar, pemerintah mengupayakan perbaikan prasarana berupa perbaikan perhubungan sungai dan resettlement (penggunaan tanah oleh penduduk). Demi tujuan itu, pada tanggal 29 September 1971 ditetapkan Keputusan Presiden No.66 menyangkut peningkatan prasarana pengusahaan hutan. Mengingat anggaran negara yang terbatas, dalam keputusan itu juga disebutkan bahwa sebagian biaya perbaikan sarana itu dibebankan kepada para pemilik HPH yang dikumpulkan melalui Iuran Hasil Hutan Tambahan. Sejak UU Pokok Kehutanan 1967 dan PP No.21/1970 berlaku, pengusahaan hutan sepenuhnya menjadi hak investor swasta pemilik konsesi HPH. Masyarakat yang hidup secara turun temurun di kawasan hutan tidak berhak lagi menebang kayu di hutan yang termasuk areal HPH. Bahkan menebang kayu untuk keperluan sendiri pun harus meminta ijin dari pemilik konsesi. Tak heran bila sering terjadi konflik antara masyarakat setempat dengan para pengelola HPH. Laju dan Penyebab Kerusakan Hutan Seperti juga terjadi di Brazil dan Zaire, di Indonesia kerusakan hutan yang terjadi sangatlah parah. Diduga ada tiga penyebab utama terjadinya kerusakan hutan selama Orde Baru, yaitu pengambilan kayu gelondongan oleh perusahaan-perusahaan HPH, pembukaan lahan oleh ladang berpindah, dan kebakaran hutan. Amat sulit memperoleh angka yang pasti berapa sumbangan masing-masing penyebab itu pada jumlah total kerusakan hutan. Beberapa kalangan menduga bahwa penyebab utama dari kerusakan hutan adalah ulah serakah para pemilik HPH, sementara kalangan lain menunjuk peladang berpindah atau sering disebut perambah hutanlah aktor utamanya. Laju kerusakan hutan dalam 35 tahun, yaitu antara 1950 hingga 1985 diperkirakan 914.000 hektar per tahun, atau 33 juta hektar seluruhnya, yang setara dengan luas negara Vietnam (Barber, 1997). Hal ini tercermin dari data tentang luas kawasan berhutan Kajian Utama yang mencapai 152 juta hektar pada tahun 1950 (GOI/IIED, 1985), sementara pada tahun 1985 diperkirakan tinggal 119 juta hektar (RePPProt, 1989). Angka mengenai luas hutan serta laju kerusakannya berbeda karena tidak adanya inventarisasi yang akurat dan berkala, serta perbedaan pemahaman tentang kawasan hutan serta definisi deforestasi atau penggundulan hutan. Walaupun demikian, perkembangan luas hutan serta kerusakannya dapat digambarkan selama beberapa tahun belakangan ini. Pada tahun 1984, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia mencapai 144,5 juta hektar yang diklasifikasikan menjadi hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan lindung, suaka alam dan hutan wisata serta hutan konversi. Selanjutnya, studi FAO/GOI Forestry Project pada tahun 1990 dilakukan oleh Kartodihardjo dan Supriono (1999). Mereka membandingkan data luas kawasan hutan negara pada tahun 1984 dan 1997. Dari perbandingan, secara nasional kawasan hutan lindung bertambah luasnya dari 29,3 juta hektar menjadi 34,6 juta hektar; kawasan hutan konservasi tetap luasnya. Sedangkan kawasan hutan produksi menurun luasnya dari 64 juta hektar menjadi 58,6 juta hektar. Sementara itu hutan konversi yang digunakan untuk berbagai kepentingan pembangunan perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain terus mengalami penurunan dari seluas 30 juta hektar pada tahun 1984 menjadi 8,4 juta hektar pada tahun 1997. Dalam kawasan hutan produksi tersebut, sampai Juni 1998, luas hutan yang rusak di dalam kawasan HPH sekitar 16,57 juta hektar. Jika rata-rata masa kerja HPH 20 tahun, maka hutan Tabel II Laju Kerusakan Hutan Indonesia Areal Berhutan Luas Tanah (ha) (ha) 1982 Wilayah Sumatra Kalimantan Sulawesi Maluku Irian Jaya TOTAL 47.361.000 53.946.000 18.922.000 7.451.000 42.198.000 169.878.000 23.320.000 39.620.000 11.270.000 6.350.000 34.960.000 115.520.000 memperkirakan luas kawasan yang ditutupi hutan tinggal 109 juta hektar atau 57 persen dari luas daratan Indonesia. Pada akhir Pelita VI, luas kawasan berhutan diperkirakan tinggal 91,7 juta hektar (Konsep Kehutanan Repelita VII). Sementara itu, diperkirakan laju kerusakan hutan Indonesia berkisar antara 600.000 hektar hingga 1,3 juta hektar per tahun (GOI dan ADB, 1994). Perhitungan yang lebih kini Areal Berhutan (ha) 1990 20.380.000 34.730.000 10.330.000 6.030.000 33.650.000 105.120.000 Catatan ini belum ditambah kerusakan hutan di kawasan lindung 2 dan konservasi yang dirambah baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat serta kerusakan akibat kebakaran hutan yang pada tahun 1997/1998 yang berkisar antara beberapa ratus ribu hektar hingga 5 juta hektar (Bappenas, 1999). Laju kerusakan hutan berbeda di beberapa kawasan seperti yang terlibat dalam Tabel 2 di bawah ini. Sumatra dan Kalimantan merupakan wilayah yang mengalami degradasi hutan terbesar, karena memang kedua kawasan ini merupakan produsen kayu terbesar, serta mengalami perkembangan perkebunan tercepat dalam 20 tahun terakhir ini. Ada dugaan, pemilik HPH dengan sengaja melakukan pembakaran hutan untuk kepentingan pembukaan lahan ataupun untuk dikonversi menjadi perkebunan besar, seperti Kerusakan hutan Laju kerusakan hutan (ha) (persen) 1982-1990 1982-1990 2.940.000 12,6 4.890.000 12,3 940 8,3 320 5,0 1.310.000 3,7 10.400.000 8,38 rusak dalam kawasan HPH ratarata 828.500 hektar per tahun. Luas hutan konversi pada tahun 1984 adalah 30,5 juta hektar dan pada tahun 1997 tinggal 8,4 juta hektar, yang artinya berkurang 22,1 juta dalam 13 tahun atau 1,7 juta hektar per tahun (Kartodihardjo dan Supriono, 1999). Artinya laju kerusakan hutan yang dapat dicatat antara tahun 1984 dan 1997 adalah 2.528.500 hektar per tahun. perkebunan kelapa sawit. Masalah kebakaran hutan di Indonesia memang bukan peristiwa baru. Tahun 1982/83 kebakaran pun pernah terjadi. Diperkirakan tak kurang dari 3,5 juta hektar hutan Kalimantan Timur habis terbakar, dan tidak kurang dari 20 juta kubik kayu dari hutan primer dan 35 juta kubik kayu dari hutan sekunder rusak untuk seluruh Kalimantan. Sementara itu, sejak April 1997, dunia lingkungan hidup di Indonesia mengalami musibah Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 9 Kajian Utama dengan terjadinya kebakaran Bisnis Indonesia, 18 Oktober sekitar 20 persen (60.000 hektar) hutan di daerah Kalimantan dan 1997). Pembakaran besar-besaran dari 300.000 hektar areal HTI Sumatra. Tak cuma kebakaran untuk dikonversi ke dalam (Hutan Tanaman Industri) yang yang menimbulkan kerusakan tanaman sawit sebelumnya belum dikelolanya. Tabel 3 memberi hutan untuk wilayah yang pernah terjadi. gambaran peningkatan luas lahan Sebelum kelapa sawit menjadi yang dikonversi ke perkebunan demikian luas tapi juga dampak lain dari kebakaran tersebut, yaitu primadona, karet, kelapa, lada, dan sawit. Tampaknya hal ini sangat asap yang menjalar ke banyak kakao menjadi hasil perkebunan terkait erat dengan ambisi wilayah di Indonesia. Bahkan tiga unggulan. Itu terjadi pada dekade Indonesia untuk menjadi produsen negara di ASEAN pun ikut terkena 1980-an. Namun ketika masuk ke dan eksportir CPO terbesar di getahnya. Akibat kebakaran hutan 1990-an, kelapa sawit menggeser dunia. Sehingga terjadi ekspansi pada tahun 1997-1998, hutan yang produk perkebunan lainnya dan perkebunan kelapa sawit, dengan musnah mencapai 55 juta hektar harganya pun mulai melambung. memanfaatkan hutan produksi dengan besar kerugian Rp 9 Perkembangan ini segera yang tersedia. disambut di Indonesia. Sebagai triliun. Produksi CPO dalam negeri Kebakaran hutan yang terjadi contoh, pada Januari 1995 saja, dari tahun ke tahun terus sejak medio 1997 hingga awal Kanwil Kehutanan Kalimantan meningkat seiring dengan 1998 dengan krisis ekonomi yang Timur telah menyiapkan lahan 1,4 peningkatan produktivitas tandan dihadapi Indonesia persis dimulai juta hektar untuk perkebunan, buah segar (TBS) per hektar, di pada periode yang sama, adalah 990.000 hektar di antaranya samping perluasan areal hal yang sesungguhnya sangat erat dipersiapkan untuk sawit. perkebunan. Pada tahun 1996 Bahkan dengan jelas, PT misalnya, menurut Ditjen kaitannya. Sumber daya alam telah lama menjadi fondasi utama Inhutani III – yang sebenarnya Perkebunan, produksi CPO devisa negara dengan ideologi merupakan BUMN (Badan Usaha tercatat 4,9 juta ton dan meningkat eksplorasi dan eksploitasinya, Milik Negara) yang bergerak di menjadi 5,4 juta ton. Produksi sehingga ketika sumber daya alam bidang perkayuan – berhasrat sebanyak itu dihasilkan oleh 76 mengalami kerusakan besar, sama untuk investasi dalam perkebunan pengusaha swasta sebesar 3,9 juta artinya fondasi ekonomi tadi pun kelapa sawit. Dirut PT Inhutani III ton dan sisanya oleh Ditjen Suyoto Wongsoredjo Perkebunan. Kendati produksi ikut runtuh. Selain kebakaran hutan yang menyebutkan alasan ekspansinya kelapa sawit melimpah, harga banyak terjadi dalam kawasan tersebut, “Diversifikasi usaha minyak goreng tetap saja mahal, HPH yang menyebabkan perkebunan sawit saat ini sangat bahkan sempat menghilang dari kerusakan hutan, pertumbuhan tepat. Prospek bisnisnya cukup pasaran. Bukan hanya itu, dengan tanaman sawit merupakan faktor bagus, dan lebih cepat perkebunan kelapa sawit yang baru dalam kebakaran hutan pada menghasilkan dibandingkan demikian luas, petani kelapa sawit tahun 1997-1998. Perluasan menanam kayu.” justeru tidak bernasib baik. Dalam penyediaan lahan, PT perkebunan kelapa sawit Sementara itu, eksplorasi Inhutani akan mengambil lahan merupakan salah satu penyebab hutan yang sedemikian besar terjadinya kebakaran hutan terbesar Tabel III Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Besar sepanjang sejarah Provinsi Aplikasi Disetujui Perubahan status kehutanan Indonesia Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha) ini. Hal ini disebabkan Sumatra 6 49.3 26 160.313 15 74.07 karena pembukaan Sumut Sumbar 6 110.315 12 51.176 22 121.14 lahan dilakukan dengan 18 176.5 51 593.431 102 1.205.668 cara tebang, tebas, dan Riau Jambi 9 70.29 11 47.181 36 309.393 bakar. Pada tahun 1997, Sumsel 14 289.8 16 94.173 8 42.503 tercatat sebanyak 133 2 163 4 61.275 5 28.051 dari 176 perusahaan Lampung Kalimantan yang diindikasikan Kalbar 22 372.7 18 127.674 8 89.4 melakukan pembakaran Kalteng 34 516.25 27 1.860.619 32 349.556 lahan adalah Kalsel 2 10.55 6 64.13 18 189.676 perusahaan perkebunan Kaltim 33 634.2 32 444.112 39 269.081 kelapa sawit (harian TOTAL 150 2.274.610 209 3.504.084 295 2.721.428 10 Berita Kaum Tani ternyata tidak diimbangi dengan pemasukan negara yang besar pula. Rente ekonomi yang diperoleh dari hasil hutan sangatlah kecil. Menurut perhitungan Tim Walhi, sejak 1968 hingga 1992 rente ekonomi dari hutan hanya berkisar 13 persen dari total omset. Sebagian besar keuntungan justru didapatkan oleh para pengusaha, baik pemilik HPH maupun para pengusaha industri perkayuan. Keadaan ini jauh berbeda dengan perolehan negara dari sektor migas (minyak dan gas) yang jumlahnya mencapai 83 persen. Data yang diklaim pemerintah, rente ekonomi dari hutan tampak sangat besar dan memberikan devisa yang berarti bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (1991), data yang ditampilkan tersebut cuma kosmetik belaka. Sebab selama periode 1983-1989 sektor kehutanan ternyata hanya menyumbang 1 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto Indonesia. Sebagai bagian dari sektor pertanian, kehutanan hanya memberikan kontribusi 4 persen. Dalam hal tingkat pertumbuhan, penampilan sektor kehutanan sama sekali tidak mengesankan. Produksi sektor kehutanan hanya tumbuh 1,4 persen dalam periode 1983-1989. Sementara kerusakan hutan menurut Menteri Negara KLH dan IPB (1987), 40 persen tegakan tinggal rusak selama penebangan dan 35 persen volume kayu tinggal pada blok tebangan sebagai limbah. Ini menyebabkan kualitas kayu dalam negeri menjadi turun. Bagaimanapun komersialisasi hasil hutan telah menyebabkan kerusakan secara langsung. Bila mengacu pada hasil penelitian CIFOR, kontribusi terbesar kerusakan hutan adalah dari pemegang HPH.*** Kabar Anggota Peringati Hari HAM 1500 Anggota AGRA Moro-Moro Longmarch! Tulang Bawang 10/12/2007Peringatan Hari HAM Internasional dimanfaatkan oleh AGRA Ranting Moro-Moro untuk mengkampanyekan berbagai tuntutan perjuangan kaum tani sesuai dengan hasil-hasil Rapat Umum Anggota yang baru diselenggarkan. Sejak pukul 07.00 pagi 15 truk dipakai untuk menggangkut anggota dari setiap dusun yang telah berkumpul secara berkelompok menuju Simpang Asahan tepat dimulainnya aksi. Disana Ratusan anggota dari Dusun Asahan dan Morodewe juga telah menunggu sejak pagi untuk kemudian bersama-sama menggelar Long March. Aksi longmarch 12 kilometer ini diikuti 1.500 anggota AGRA Ranting Moro-Moro. Aksi ini memperingati hari HAM Internasional sekaligus merupakan penutup Konferensi Tani Desa (RUA-red). Aksi Solid damai dengan teriakan yel-yel dan diikuti juga oleh pawai 50 motor dimulai sekitar pukul 09.00 tersebut diawali dari Simpang Asahan dan berakhir di Simpang D Register 45 tepat pukul 13.00. AGRA Ranting Moro-Moro kembali meminta PT Silva untuk menghentikan kegiatan penanaman albasia di antara Simpang Asahan dan Morodewe. AGRA menganggap tanah tersebut masih dalam sengketa dan belum memiliki status yang jelas. Sekjen Persatuan Petani Moro-Moro Wayserdang (PPMWS)-AGRA Ranting MoroMoro, Syahrul (36) mengatakan, aksi warga tersebut menuntut hakhak dasar kaum tani selaku manusia yang merdeka. Massa juga menagih janji Bupati dan Pemkab Tuba yang akan memberikan izin legal kepada warga untuk menggarap lahan di Register 45, memberikan status kependudukan yang jelas, serta menjadikan wilayah Moro-Moro menjadi desa persiapan. Semua yang dijanjikan pemerintah tersebut belum ada yang terealisasi sampai saat ini. Dalam aksi massa tersebut, Polres Tuba menurunkan satu peleton pengendalian massa (dalmas) yang terdiri dari 30 personel, ditambah anggota Polsek Simpang Pematang dan anggota Satlantas. Kapolsek Simpang Pematang Iptu Iswan Syahri menjelaskan bahwa pihaknya akan bertindak sebagai mediator dan akan memfasilitasi pertemuan warga dan perusahaan. Polisi juga mengaku kagum dengan kekompakan warga Moro-Moro dan aksi damai tersebut. Secara khusus anggota menggangap aksi ini menjadi momentum konsolidasi organisasi. Ditambah lagi isu penggusuran yang kembali merebak paska terpilihnya kembali bupati yang lama yang notabene didukung penuh oleh pihak perusahaan. Dukungan dari kaum perempuan yang tergabung dalam SERUNI Morodewe dan juga seluruh siswa SMPT Harapan Rakyat semakin memeriahkan aksi massa tersebut. Di sepanjang jalan yang dilewati tampak kaum perempuan dan ibu-ibu menyediakan makanan dan minuman dipinggirpinggir jalan. Mereka menunggu dan memberikan semangat di depan rumah-rumah yang dilewati untuk kemudian ikut bergabung. Aksi tersebut juga menjadi di Headline di Harian Radar Tulang Bawang.*** Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 11 Kajian Utama Perubahan Iklim menyebabkan meningkatnya kegagalan panen yang merugikan kaum tani. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Memperhebat Pelanggaran Hak Kaum Tani Selama hampir 200 tahun belakangan ini, suhu bumi mengalami peningkatan secara dramatis dan signifikan. Berbagai dampak akibat pemanasan bumi tersebut, telah menimbulkan berbagai bencana besar yang bermacam-macam, seperti perubahan cuaca dan iklim yang sangat mengganggu, banjir bandang dan kekeringan, tanah longsor, badai tropik, angin rebut, nagin topan, badai salju serta berbagai kerusakan lingkungan lainnya. Tentu saja situasi tersebut semakin menambah beban dan menjadikan rakyat, kaum tani, klas buruh, golongan pekerja dan golongan rakyat tertindas lainnya, semakin menderita dan merosot kualitas kehidupannya. Pemanasan global akibat meningkatnya suhu permukaan 12 Berita Kaum Tani bumi pada awalnya memang terjadi secara alamiah, namun akibat intervensi dan aktivitas manusia dalam produksi, keseimbangan ekosistem dan daya tampung atmosfir bumi dalam menyerap gas buang (emisi)—dari hasil pembakaran bahan bakar fosil secara berlebihan dan brutal—mengalami kemerosotan dan jauh di atas ambang batas daya tampungnya. Pembuangan gas karbon dioksida (CO2), metan, dan nitro oksida semakin memenuhi atmosfir bumi dan menyebabkan kemampuan atmosfir bumi menurun dalam menahan pengaruh sinar ultraviolet dan berbagai gelombang radiasi lainnya yang dikeluarkan oleh matahari. Peningkatan kadar CO2 di dalam atmosfir bumi ini, juga telah menimbulkan efek rumah kaca yang berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Demikian juga, dalam hal pola cuaca yang sangat mengganggu, mengalami keadaan yang berubah-ubah secara tidak menentu. Akibat cuaca dan iklim yang demikian, negara-negara di bagian selatan khatulistiwa menjadi wilayah yang paling menanggung beban dan paling dirugikan akibat pemanasan global dan perubahan iklim tersebut. Bahkan bagi Indonesia, yang memang dikenal sebagai daerah rawan bencana, dampak pemanasan global tersebut semakin terasa, dengan makin seringnya terjadi bencana alam yang tidak saja mengancam kehidupan, terutama pada aktivitas produksi, seperti gagalnya panen, akan tetapi juga telah menimbulkan kerugian yang Kajian Utama sangat besar, baik material maupun non material. Selama dua tahun belakangan ini, bencana alam dalam beragam bentuk, seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, pasang naik air laut, serta gunung meletus, saling susul menyusul. Sementara, bagi kaum tani sendiri, sudah barang tentu, akibat adanya bencana ini, berbagai kesulitan semisal produksi serta panen ,terancam gagal. Baru-baru ini, yaitu dari akhir Bulan Desember 2007 hingga awal tahun 2008, akibat bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah tempat, telah menyebabkan ribuan hektar tanaman padi tergenang oleh banjir, demikian juga dengan para petani tebu di wilayah Kudus, Demak dan Pati, diperkirakan akan menanggung kerugian sebesar 4,9 miliar rupiah. Hal itu dikarenakan lahan tanaman tebu seluas 1.850 Ha, di ketiga wilayah tersebut terendam oleh banjir (kompas, 4 Januari 2007). Sementara, luas tanaman padi yang kebanjiran sampai Desember 2007 sudah mencapai 83,8% atau seluas 56.034 Ha dibandingkan dengan total luas tanaman padi yang kekeringan pada musim tanam 2006/2007. sedangkan bila dibandingkan dengan luas banjir rata-rata lima tahunan seluas 69.300Ha sudah mencapai 80,9%. Tentu saja ancaman ini akan semakin meluas, jika ditambah dengan perkiraan bahwa ancaman banjir akan terus berlangsung, paling tidak sampai Bulan Maret 2008. mengingat, Indonesia merupakan daerah tropic dengan curah hujan tinggi. Dengan demikian, produksi gabah maupun beras nasional akan jauh berkurang dan tentu saja pihak yang paling menderita atas bencana ini adalah para petani miskin, karena harus menanggung biaya produksi akibat gagal panen. Sementara di sisi lain, negaranegara industri maju (imperialisme; AS, Eropa dan Jepang, termasuk belakangan adalah China), semakin membabi buta dan serakah dalam mengembangkan industrinya, baik industri otomotif, elektronik, militer dan persenjataan. Tidak berhenti di situ saja, kaum kapitalisme monopoli internasional ini, juga secara gencar dan aktif melakukan eksport kapitalnya ke negaranegara dunia ketiga. Mereka semua berselubung dibalik gagasan globalisasi-neoliberal yang mengharuskan tiadanya hambatan investasi dan pasar bagi produk-produk mereka, terus menanamkan modalnya dalam banyak bidang industri rakitan (teknologi rendah) dan usahausaha pertanian skala besar (perkebunan). Kesemua ini, merupakan faktor-faktor yang memicu konsumsi (pemakaian) bahan bakar fosil. Demikian halnya dalam pemenuhan sarana transportasi dan aktivitas perdagangan, juga turut menyumbang peningkatan konsumsi bahan bakar fosil pada skala yang sangat mengkhawatirkan. Negara-negara Industri Melempar Tanggungjawab! Melalui operasi kapital monopoli internasional pada usaha-usaha baru dalam perluasan dan pembangunan perkebunan besar inilah, laju deforestasi (kehancuran hutan akibat penebangan) dan penurunan (degradation) sumber daya alam mengalami peningkatan secara significant, yang tidak mampu dibendung maupun dikontrol lagi. Implikasi yang paling memilukan adalah, selain menurunya kemampuan hutan untuk menyerap dan menyimpan emisi gas karbon, juga semakin tersudutnya kedudukan rakyat serta masyarakat di sekitar hutan. Banyak areal pertanian produktif rakyat dirampas bagi keperluan usaha perluasan perkebunan besar. Demikian juga dalam hal akes rakyat atas hutan, berbagai kebijakan yang mengekang maupun berbagai bentuk pembatasan lainnya bagi masyarakat di sekitar hutan terusmenerus diterbitkan. Banyak kawasan hutan di Indonesia dengan dalih penetapan sebagai hutan lindung telah menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat atas sumber daya alam maupun hutan. Masyarakat di sekitar hutan tidak dapat lagi mendapatkan hakhaknya, meski hanya sekedar hak untuk memungut hasil hutan, terlebih lagi hak untuk memanfatkan lahan bagi kepentingan produksi pertaniannya. Situasi yang belakangan inilah yang merupakan gejala umum dan luas di Indonesia. Oleh karenanya, konflik yang sengit dan luas semakin menghebat antara masyarakat di sekitar hutan dengan pengusaha komprador, birokrasi korup dan tuan tanah besar. Di berbagai wilayah di kawasan hutan, banyak kaum tani dan suku bangsa minoritas (masyarakat adat) dirampas dan diusir secara paksa dari lahanlahan mereka. Dari Tanggal 3-14 Desember 2007 yang lalu, bertempat di Nusa Dua-Bali, telah berlangsung Konferensi antar-Pihak (Conference of Party) ke-13 Kerangka Kerja Konvensi tentang Perubahan Iklim PBB —United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam konferensi tersebut dibicarakan berbagai mekanisme tentang penanganan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Namun, seperti yang telah diduga sebelumnya, negara-negara Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 13 Kajian Utama industri maju, seperti AS, Jepang dan Kanada berusaha menekan Negara-negara dunia ketiga agar melakukan adaptasi (penyesuaian) dan mitigasi (pelonggaran) berbagai regulasi dan implementasi dalam mengurangi dampak emisi karbon, pemanasan global dan perubahan iklim. Negara-negara di bagian selatan khatulistiwa, yang sebenarnya merupakan Negara agraris tersebut dipaksa menanggung beban atas dampak buruk yang ditimbulkannya. Sementara, Negara-negara industri maju, berusaha tetap mengekploitasi sumber bahan bakar fosil secara brutal demi kepentingan profit tanpa batas. Protokol Kyoto—yang dihasilkan pada tahun 1992 dan akan berakhir pada tahun 2012— yang sesungguhnya menjadi komitmen bagi semua Negara, tak terkecuali bagi AS serta Negara industri maju lainnya, pada kenyataannya tidak mampu memaksa AS untuk merealisasikan mekanisme tersebut. Atas alasan perlindungan kepentingan dalam negerinya, AS menolak penandatanganan Protokol Kyoto, dimana isi dari protokol Kyoto ini, mengharuskan Negara-negara indsustri maju mengurangi secara significant emisi gas karbon dan efek rumah kaca. Dengan demikian, seharusnya Konferensi antar pihak ke-13 PBB tentang perubahan iklim tersebut, mampu memaksa perusahaanperusahaan transnasional baik yang ada di negeri imperialisme maupun yang beroperasi di Negara-negara dunia ketiga berkomitement lebih kuat dalam penanganan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Agenda tersebut, seharusnya bisa melangkah lebih jauh dan dapat menghasilkan mekanisme yang mampu memaksa negerinegeri industri maju mengurangi 14 Berita Kaum Tani dampak emisi gas karbon, namun berbagai kesepakatan yang dihasilkannya, justru semakin menempatkan Negara-negara dunia ketiga menjadi pihak yang harus bekerja lebih keras. Disamping itu, konferensi antar pihak ke-13 tersebut juga tidak menjadikan kelemahankelamahan yang terdapat pada protokol Kyoto sebagai dasar untuk melakukan sejumlah langkah perbaikan yang diperlukan. Kita semua mengerti dengan baik, bahwa protocol Kyoto masih mengandung sejumlah kelemahan, diantarnya, pertama kurang memiliki target dan batas waktu serta batasan-batasan yang tegas terhadap negeri-negeri imperialisme dalam menangani dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Sehingga mengaburkan arah kedepan dalam penanganan dampak yang ditimbulkannya. Kedua, kurang mendorong partisipasi dan mengakomodasi suara kepentingan masyarakat sipil, khususnya masyarakat di dunia ketiga dalam penanganan dampak pemanasan global dan perubahan ikilm. Ketiga, protokol Kyoto justru memperkuat finansialisasi isu perubahan iklim dengan cara menerapkan mekanisme perdagangan karbon dan semakin memperkuat TNC-TNC di dunia dalam mengkonsumsi bahan bakar fosil. Kegagalan dalam konferensi antar pihak ke-13 tersebut, berakibat pada satu sisi semakin merosotnya kehidupan masyarakat di dunia ketiga, sementara disisi lain negeri-negeri industri maju semakin diuntungkan dengan tetap diberikan kelonggaran untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan konsumsi bahan bakar fosil bagi kepentingan industri mereka. Dengan demikian, secara keseluruhan rakyat di dunia ketiga semakin kehilangan kontrol atas sumber daya alamnya maupun dalam hal kedaulatan untuk menentukan strategi pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis pada teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Berbagai kesepakatan yang dihasilkan dalam Konferensi antar Pihak ke-13 PBB di Nusa DuaBali untuk mengurangi emisi gas karbon dan efek rumah kaca seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) maupun berbagai bentuk kerjasama bilateral antar negara justru semakin menyudutkan dan membebani rakyat di dunia ketiga. Mekanisme REDD yang bertujuan untuk mengurangi emisi dari perusakan hutan dan degradasi alam, justru diselewengkan untuk kepentingan pengembangan bahan baku energi alternatif (biofuel) yang semakin menyingkirkan kontrol dan kedaulatan rakyat atas pengelolaan sumber daya alam. Pengembangan perkebunan sawit maupun komoditi-komiditi bagi pemenuhan energi biofuel sejauh ini, sebagai implikasi atas mekanisme tersebut, justru telah menyingkirkan rakyat di sekitar hutan, kaum tani di pedesaan maupun masyarakat adat dari lahan-lahan mereka. Demikian juga, pada penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), telah memaksa berbagai industri manufaktur di dunia ketiga gulung tikar dan menyebabkan jutaan buruh di PHK, karena indsutriindustri berteknologi rendah tersebut tidak mampu mengalihkan teknologinya ke teknologi yang ramah terhadap lingkungan, akibat tingginya biaya alih teknologi. Kajian Utama Sekali lagi, dengan demikian isu pemanasan global dan perubahan iklim hanyalah selubung bagi imperialisme untuk bisa lebih leluasa mengeruk keuntungan dan menguras kekayaan dari negeri-negeri dunia ketiga. Akibat situasi krisis iklim yang demikian, berbagai persoalan yang selama ini telah melingkupi kaum tani dan golongan rakyat miskin lainnya, semakin bertambah berat dari hari ke hari. Iklim dan cuaca yang tidak menentu, serta berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, perubahan pola cuaca, tanah longsor maupun gempa, senyatanya telah menjadi ancaman yang serius terhadap seluruh kegiatan produksi pertanian kecil di dunia ketiga. Hak-hak kaum tani, dan masyarakat miskin lainnya telah dilanggar tanpa ada perlindungan. Maka, agar masalah pemanasan global maupun perubahan iklim tidak menjadi isu iklim semata, berbagai usaha kearah penyelesaian secara komprehensif dengan mendasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat atas sumber daya alam merupakan jalan satusatunya yang harus ditempuh. Langkah tersebut mengisyaratkan, bahwa pertama, rakyat di dunia ketiga yang paling menanggung beban atas dampak pemanasan global meupun perubahan iklim, harus diberikan kesempatan yang lebih luas dan setara untuk menetapkan serangkaian strategi pada skala internasional dalam mengatasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Kedua, Negara-negara industri maju serta TNC maupun MNC yang selama ini telah beroperasi harus ditekan sedemikian keras untuk mengurangi secara signifikan emisi gas karbon dan efek rumah kaca. Ini berarti bahwa mekanisme pemberian kompensasi ke Negara-negara dunia ketiga—yang terbukti mampu menyerap dan menyimpan emisi gas karbon—yang selama ini berlaku, sudah tidak memadai lagi. Dengan kata lain, diperlukan sebuah inisiatif yang lahir dari rakyat sendiri untuk memecahkan masalah krisis iklim maupun dampak-dampak pemanasan global. Yaitu sebuah Protokol Rakyat. Sebuah prinsip tentang pembangunan yang disandarkan pada prinsip keseimbangan dengan alam, sesuai dengan budaya setempat maupun demi kelestarian alam. (bkt) Laporan Konferensi Perubahan Iklim AGRA Usung Protokol Rakyat Denpasar 10/12/2007-Sekitar 400 orang yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM (ARDHAM) menyelenggarakan aksi untuk menyambut Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia dan Konferensi antar-Pihak (COP) ke13 UNFCCC di Bali tentang Perubahan Iklim. Massa mulai bergerak Pukul 09.00 WIT dari kantor PBHI Bali menuju Kantor Gubernur-Bali dan akhiri di Konsulat Jenderal AS. Selama dalam perjalanan menuju dua sasaran aksi tersebut, massa tak henti-henti meneriakan yel-yel anti Imperilaisme AS sebagai teroris nomer satu, penyebab pelanggaran HAM yang paling hebat sekaligus penyebab kerusakan dan kehancuran lingkungan. Dimana, akibat pembangunana dan perkembangan industri yang menggunakan bahan bakar fosil sedemikian hebat, berdampak pada pembuangan gas karbon secara berlebihan. Sehingga daya tampung atmosfir bumi dalam mneyerap berbagai unsur-unsur yang merusak semakin berkurang. Efek rumah kaca, berkembangnya berbagai penyakit kulit serta meningkatnya pemanasan global secara ekstrim pada abad XX dan XXI telah mempengaruhi berbagai bencana alam, seperti banjir, longsor, tsunami serta perubahanperubahan iklim yang tidak menentu. Hal yang terakhir ini, sangat mempengaruhi proses produksi dari kaum tani, terutama di negara- negara selatan atau negara negara dunia ketiga yang masih menumpukan pembangunanya pada sektor agraria dan pertanian. Negara-negara agrais adalah negara yang paling dirugikan oleh pemanasan global dan perubahan iklim akibat operasi perusahaanperusahaan transnasional maupun multi nasional yang didirikan baik di negara imeprialisme maupun di negara-negara dunia ketiga. Namun atas ulah korporasi monopoli inetransional tersebut, negara-negara dunia ketiga tetap dipaksa untuk berpartisipasi serta menyusun berbagai mekanisme dalam kerangka mengatasi dampak-dampak pemansan global dan perubahan iklim. Slogan Imperialisme-hancurkan!!! f e o d a l i s m e — Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008 15 Pementasan Tari--Rangkaian kegiatan di Bali telah sukses dilaksanakan AGRA bersama ARDHAM musnahkan!!!kapitalisme— musuh rakyat bergema dan bergayung sambut dengan sloganslogan lain seperti SBY-JK Boneka Amerika!!! dan Stop Global Warming!!! Our Planet Need People’s Protocol!!! Selain mengutuk tindakan Imperialisme AS, massa aksi juga mengumandangkan yel-yel berisi kutukan terhadap kekuatankekuatan kaki tangan imperialisme AS di dalam negeri. Mereka ini dipandang oleh ARDHAM sebagai orang-orang Indonesia yang bergantung dan mengeruk keuntungan dengan cara menjadikan dirinya sebagai boneka Imperialisme AS. Secara khusus dalam berbagai orasi politik yang disampaikan oleh peserta aksi yang mewakili organisasi-organisasi massa yang tergabung dalam ARDHAM, sangat jelas menunjuk bahwa rezim SBY-JK turut bertanggung jawab atas segala bentuk pelanggaran HAM yang terjadi semakin intensif akhir-akhir ini. Aksi massa ARDHAM untuk menyambut Konferensi antarPihak (COP) ke-13 UNFCCC di 16 Berita Kaum Tani bali yang bertepatan dengan hari HAM se-dunia 10 Desember sendiri, sebenarnya merupakan aktivitas puncak dari seluruh kegiatan program kampanye massa ARDHAM. Sebelumnya, yaitu pada Tanggal 3 Desember bertepatan dengan agenda pembukaaan Konferensi antarPihak (COP) ke-13 UNFCCC, massa ARDHAM yang berjumlah sekitar 100 orang telah melakukan aksi long march keliling kota Denpasar mengkampanyekan tuntutan-tuntutan rakyat atas berbagai pelanggaran HAM dan dampak-dampak perubahan iklim. Kemudian, pada Tanggal 7 Desember bertempat di Hotel Inna Bali Denpasar, juga menyelenggarakan kegiatan Work Shop dengan tema “ menegakkan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam”. Selain tema itu, juga didiskusikan beberapa pandangan mengenai pentingnya “Protokol Rakyat” sebagai jalan rakyat untuk mengatasi berbagai dampak akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Protokol Rakyat yang dimaksud juga sebagai konsep alternatif sekaligus tandingan atas Protokol Kyoto dan hasil-hasil dalam Konferensi antar-Pihak (COP) ke-13 UNFCCC di Bali 314 Desember 2007. Protokol Kyoto maupun hasil-hasil COP ke13 UNFCCC di Bali sendiri, diyakini oleh ARDHAM dan rakyat luas tidak akan mampu mengatasi dampak-dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Selain, dalam penyusunannya mengabaikan peran serta rakyat dan mengabaikan asprirasi rakyat, negara-negara industri maju pada kenyataannya tidak memiliki keinginan kuat untuk mengurangi emisi gas karbon dan mengtasi seluruh akibat-akibat yang ditimbulkannya, akan tetapi justru membebankan hal tersebut pada dunia ketiga. Secara umum seluruh kegiatan yang diprakarsai oleh ARDHAM dapat dilaksanakan secara baik dan sekaligus meraih sukses. Tentu saja tradisi yang baik ini bisa menjadi sumber inspirasi di tempat-tempat lain untuk dapat juga menggelorakan perjuangan massa secara meriah dan militant. Selamat (bkt).