Imperialisme AS dan SBY-JK Perusak Lingkungan dan Pelanggar

advertisement
B e r i t a
Kaum Tani
Tidak Ada Demokrasi Tanpa Land Reform
Edisi IV
Desember-Januari 2007
Aksi AGRA bersama Front Rakyat Anti
Imperialisme, di Jakarta, Senin, 10 Desember
2007. (Sumber: Dokumen AGRA)
Imperialisme AS dan SBY-JK
Perusak Lingkungan dan Pelanggar HAM
Ganti Ongkos Cetak Rp. 2.500,-
Dari Redaksi
Salam Sejahtera,
Pertama-tama dari redaksi ingin menyampaikan apresiasi yangs
setinggi-tingginya kepada seluruh kaum tani Indonesia dan juga rakyat
secara keseluruhan, yang telah secara gemilang dan sukses
menyelenggarakan perayaan Hari Hak Asasi Manusia se-Dunia (HAM)
pada tangal 10 Desember yang lalu. Perayaan yang meriah tersebut
sangat bermakna bagi upaya-paya rakyat selama ini dalam
menyuarakan kepentingan yang paling asasi atas seluruh hak-hak
sosial-ekonomi maupun hak-hak sipil demokratisnya. Karena hanya
melalui cara demikianlah, hak-hak rakyat yang selama ini diabaikan
akan secara bertahap dapat diwujudkan.
Selain itu, perayaan Hari HAM se-Dunia kali ini juga memberi arti
yang istimewa dan penting bagi bangsa Indonesia mengingta, perayaan
tersebut juga bertepatan dengan pelaksanaan agenda Konferensi antarPihak (Conference of Party) ke-13 Kerangka Kerja Konvensi tentang
Perubahan Iklim PBB —United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC), yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali
dari Tanggal 3-14 Desember 2007. Dengan demikian, berbagai dampak
buruk yang ditimbulkan oleh pemansan global dan perubahan iklim
dapat didesakkan secara tegas dan keras.
Dimana, negara-negara industri maju yang selama ini merupakan
penyumbang terbesar atas meningkatnya gas buang (emisi) karbon
ke atmosfir bumi dan yang telah menimbulkan berbagai kerusakan alam
dan lingkungan serta bencana bagi negara-negara agraris, dapat
didesak agar memiliki komitment yang jauh lebih kuat dalam
menghentikan eksploitasi sumber daya alam dan pemakaian bahan
bakar fosil yang berlebihan.
Oleh karenanya, dalam edisi ke-4 BKT kali ini, redaksi akan
menampilkan sejumlah tulisan dan
berita-berita dari anggota AGRA yang
kaitan secara langsung
B e r i t a memiliki
dengan tema-tema tersebut di atas,
Kaum
Tani seperti tentang HAM dan hak-hak
Tidak Ada Demokrasi Tanpa Land Reform
petani, tentang pemanasan global dan
perubahan iklim, serta berita-berita
kampanye massa hari HAM se-Dunia
dalam berbagai bentuknya.
Akhirnya,
dari
redaksi
menyampaikan selamat membaca
serta selamat Hari Raya Natal bagi
umat kristiani dan selamat tahun baru
bagi seluruh rakyat Indonesia,
semoga hari-hari mendatang kaum
tani di Indonesia semakin kuat dan
Imperialisme AS dan SBY-JK
teguh dalam memperjuangkan hakPerusak Lingkungan dan Pelanggar HAM
hak sosial-ekonomi maupun hak-hak
sipil demokratisnya. Terimakasih.
Daftar Isi
Dari Redaksi
Hal 2
Editorial
Keniscayaan Krisis Pangan di
Indonesia
Hal 3
Kabar Anggota
Peringatan hari HAM se-Dunia:
AGRA Desak Kedaulatan Rakyat
atas Sumber Daya Alam
Hal 5
Kajian Utama
Perusakan Hutan dan Perluasan
Perkebunan Besar Biang keladi
Perubahan Iklim
Hal 6
Kabar Anggota
Peringatan Hari HAM:
1500 anggota AGRA Moro-Moro
Longmarch!
Hal 11
Kajian Utama
Pemanasan Global dan
Perubahan Iklim Memperhebat
Pelanggaran Hak Kaum Tani
Hal 12
Desember-Januari 2007
Edisi IV
Ganti Ongkos Cetak Rp. 2.500,-
Laporan Khusus
Laporan Konferensi Perubahan
Iklim:
AGRA Usung Protokol Rakyat
Hal 15
Keterangan Foto Depan:
Aksi AGRA bersama Front Rakyat
Anti Imperialisme, di Jakarta,
Senin, 10 Desember 2007.
(Sumber: Dokumen AGRA)
Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Penanggung Jawab : Erpan F Pimpinan Redaksi :
Ragil Amarta Dewan Redaksi : Erpan F, Ragil Amarta, Yoyo Damanik, C. Rahman, Rahmat Ajiguna, Fajri NS Koresponden : Oki
(Lampung), Hasbi (Jambi), Alvianus (Sumatera Utara), Wowon (Jawa Barat), Boy (D.I Yogyakarta), Agus (Jawa Tengah), Yamini
(Jawa Timur), Anca (Sulawesi Selatan), Susi Kamil (Sulawesi Tenggara), Asdat (Sulawesi Tengah), Eki (Kalimantan Barat), Rinting
(Kalimantan Tengah), Syafwani (Kalimantan Selatan), Lay-Out : Rahmat Ajiguna. Alamat Redaksi Sementara : Jl.Mampang
Prapatan XIII, No.3-Jakarta Selatan Telp/Fax 021-7986468. Email : [email protected]
Redaksi menerima saran, kritik dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, foto jurnalistik maupun karya seni dan sastra
yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita AGRA. Kontribusi tulisan maupun foto jurnalistik dapat dikirim lewat Email Koran Berita
Kaum Tani.
2
Berita Kaum Tani
EDITORIAL
Keniscayaan Krisis Pangan di Indonesia
Erpan Faryadi
Sekretaris Jenderal AGRA
K
eadaan dan susunan ekonomi
negara secara umum akan
mempengaruhi
bagaimana
keadaan dan struktur agraria
terbentuk. Di masa Orde Baru, di
mana susunan ekonomi yang
berkembang adalah karena
dominasi
imperialisme
(kapitalisme monopoli), maka
struktur agraria yang terbentuk
adalah struktur agraria yang
timpang, yang ditujukan untuk
mengabdi pada kepentingan
imperialisme ini.
Perkembangan
keadaan
ekonomi yang ditandai dengan
pertumbuhan konglomerasi di
sektor pertanian secara luas dan
industri manufaktur yang
didukung oleh kebijakan negara
ini, telah menyumbang andil yang
banyak dalam menjerumuskan
Indonesia ke dalam jurang krisis
ekonomi pada tahun 1997/1998.
Jadi, kapitalisme rente masa Orde
Baru yang digerakkan oleh aliansi
strategis antara konglomerat/
borjuasi besar dan aparat birokrasi
negara, yang awalnya juga sangat
didukung oleh rezim kapitalisme
global (imperialisme), pada
gilirannya menyebabkan rakyat
Indonesia, terutama petani miskin,
kelas buruh, dan kaum perempuan
semakin jatuh dalam jurang
kemiskinan dan penderitaan.
Hal ini karena dalam sistem
ekonomi yang demikian,
pertumbuhan konglomerasi di
sektor pertanian secara luas dan
industri manufaktur membutuhkan
penyediaan tanah dalam skala
besar, maka perampasan tanah dan
sumber daya alam rakyat
merupakan hal yang tak
terelakkan. Perampasan tanah dan
sumber daya alam milik rakyat
petani yang terjadi pada masa
Orde Baru dan sesudahnya, pada
hakekatnya merupakan proses
yang semakin menjauhkan rakyat
petani dari aset-aset produktif
yang menghasilkan pangan.
Dalam bentuk lunak, wujud
dari perampasan atas tanah adalah
semakin meluasnya konversi
lahan-lahan pertanian menjadi
lahan non-pertanian, pemberian
konsesi-konsesi perkebunan,
kehutanan, dan pertambangan
kepada
kalangan
swasta
(konglomerat). Sementara dalam
bentuk yang lebih keras, dalam arti
yang sesungguhnya, perampasan
tanah berarti menggusur rakyat
dari tanah-tanahnya semula
dengan menggunakan aparat
kekerasan negara maupun premanpreman bayaran.
Sebagaimana telah diketahui
bersama, akses atas tanah yang
semakin sempit, merupakan akibat
dari dijalankannya kebijakankebijakan pemerintah yang kurang
memihak kepada kepentingan
petani Indonesia. Dalam kasus
Indonesia, meskipun telah ada
kebijakan pertanian yang
memihak petani, yakni program
redistribusi tanah (land reform)
yang diamanatkan dalam UUPA
(Undang-Undang Pokok Agraria)
sejak tahun 1960 dan kemudian
pada tahun 2001 diteguhkan
kembali dengan adanya Ketetapan
MPR No.IX/2001 tentang
Pembaruan
Agraria
dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam
(TAP MPR N0.IX/2001), namun
belum pernah dilaksanakan
dengan konsekuen. Tidak
tuntasnya pelaksanaan land reform
yang pernah dijalankan oleh
pemerintah Indonesia (rezim Orde
Lama) pada tahun 1962-1967,
telah mengakibatkan ketimpangan
struktur agraria saat ini semakin
meluas.
Demikian pula halnya dengan
kebijakan impor pangan yang
dijalankan Pemerintah Indonesia
secara konsekuen, merupakan
kebijakan pemerintah yang tidak
lepas dari kebijakan pangan global
(liberalisasi pertanian), yang telah
diatur dalam kesepakatan di WTO
(World Trade Organization) atau
Organisasi Perdagangan Dunia.
Kebijakan pertanian dan pangan
nasional
dalam
skema
imperialisme global ini, yang
semakin menjauhkan akses rakyat
atas pangan, juga dipengaruhi oleh
lembaga-lembaga
donor
multilateral (Bank Dunia dan
IMF) maupun perusahaanperusahaan
transnasional
(multinasional).
Konversi (pengubahan) lahanlahan pertanian menjadi lahan
non-pertanian, juga bukan
merupakan fenomena yang berdiri
sendiri. Karena semakin luasnya
konversi lahan-lahan pertanian,
akan semakin mengganggu
produksi
pangan
secara
keseluruhan.
Dengan
menggunakan alasan ini,
pemerintah
kemudian
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
3
EDITORIAL
menjalankan impor pangan. Oleh
karena itu, pesatnya konversi
lahan-lahan
pertanian
berhubungan erat dengan pesatnya
impor bahan pangan.
Secara keseluruhan, makin
sempitnya lahan pertanian akibat
tiadanya program redistribusi
tanah dan terus berlangsungnya
impor pangan akan menyebabkan
kehidupan kaum tani semakin
miskin. Sehingga dari sisi
kebijakan negara dan guna
mengurangi kemiskinan, akses
atas tanah yang lebih adil bagi
petani tanpa tanah (tuna kisma)
dan petani kecil merupakan suatu
keharusan nasional.
Dengan terjadinya redistribusi
tanah, produksi pangan secara
nasional akan jauh lebih terjamin.
Namun, perbaikan akses atas tanah
melalui program redistribusi
tanah, tidak akan berarti banyak
seandainya pelaksanaan politik
pertanian
dalam
bentuk
liberalisasi pertanian (impor
pangan), masih juga terus
dijalankan.
Kemandirian dalam hal
pangan misalnya, yang merupakan
salah satu tujuan dari program
revitalisasi pertanian yang
ditetapkan oleh pemerintah saat ini
di bawah Kabinet Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla (Kalla), sulit
akan dicapai, bila pemerintah
Indonesia dalam praktiknya terus
menerus menjalankan impor
pangan. Kebijakan impor pangan
yang direkomendasikan oleh hasil
studi Bank Dunia dan terus
didukung oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla, malah akan membuat
negara ini makin terjerumus dalam
krisis pangan.
Yakni satu situasi di mana
pemenuhan pangan bangsa makin
tergantung secara terus menerus
kepada bangsa lain, meskipun
bangsa Indonesia sendiri mampu
4
Berita Kaum Tani
memproduksinya
secara
berlimpah ruah. Jadi makna dari
krisis pangan di sini bukan sekedar
dilihat dari terjadinya fenomena
busung lapar saja, namun jauh
lebih luas, yakni ketergantungan
pangan bangsa kepada suplai
pangan yang diperdagangkan
secara internasional.
Umum diketahui bahwa
dampak sosial ekonomi dari
pelaksanaan politik agraria Orde
Baru bagi bangsa Indonesia
sangatlah merusak. Di bidang
ekonomi, dengan semakin kuatnya
cengkeraman
kaptalisme
monopoli asing, dan kemudian
dimanfaatkan secara optimal oleh
konglomerasi/borjuasi besar, tuan
tanah besar dan birokrat
kapitalisme, hanya menyisakan
hutan yang gundul, lingkungan
yang semakin rusak, makin
luasnya konversi lahan-lahan
pertanian,
dan
semakin
tergusurnya petani dari tanahtanahnya semula.
Kerusakan hutan Indonesia
yang merupakan hutan tropis
kedua terbesar (143 juta hektar) di
dunia setelah Brazil (300 juta
hektar), ikut memberikan
sumbangan terhadap pemanasan
global. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan Indonesia mendapat
“kehormatan” untuk menjadi tuan
rumah dalam Konferensi PBB
tentang Perubahan Iklim, yang
dilangsungkan di Bali, pada bulan
Desember tahun 2007.
Statistik
perkembangan
ekonomi Indonesia di era Orde
Baru, yang turut dikampanyekan
oleh Bank Dunia dan IMF
(International Monetary Fund)
sebagai keberhasilan, ternyata
hanya rekayasa statistik belaka
dan tidak berarti apa-apa bagi
perbaikan kehidupan rakyat
Indonesia. Bahkan pada saat krisis
moneter sedang berlangsung di
Indonesia pada tahun 1997/1998,
Bank Dunia dan IMF saat itu juga
ikut membesarkan hati Presiden
Soeharto bahwa krisis moneter
(krismon) tak bakal merembet ke
Indonesia, karena fundamental
ekonomi Indonesia amat kokoh
(menurut statistik mereka).
Rekayasa statistik pertumbuhan
ekonomi ini sangat menyumbang
pada ambruknya perekonomian
Indonesia.
Sungguh aneh tapi nyata, Orde
Baru (Orba) yang selama 32 tahun
menggemborkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 7 (tujuh) persen
sebagai prestasi, rontok hanya
dalam waktu enam bulan. Seperti
membangun rumah pasir! Dengan
kata lain, kebijakan ekonomi
Indonesia yang sangat dipengaruhi
oleh pandangan ekonomi pasar
bebas Bank Dunia dan IMF,
merupakan salah satu faktor yang
paling
penting
dalam
menjerumuskan Indonesia ke
dalam jurang krisis ekonomi.
Seperti diakui kemudian oleh
sejumlah mantan menteri dan
pejabat terkait bidang ekonomi
dan keuangan Indonesia, resep
yang ditawarkan IMF selama
krisis berlangsung adalah racun
bukan obat.
Biaya pemulihan ekonomi
Indonesia setelah dihantam krisis
1997/1998 adalah sebesar Rp 600
triliun. Ironisnya, biaya pemulihan
ekonomi ini harus ditanggung oleh
seluruh rakyat Indonesia.
Sementara yang menyebabkan
krisis tersebut adalah ulah para
konglomerat yang sekaligus
merupakan para pemilik bank
swasta nasional. Biaya tersebut
dikeluarkan negara untuk
menyelamatkan sistem perbankan
yang rontok. Karena sejak semula
bank-bank swasta nasional
tersebut banyak didirikan untuk
memberikan kredit kepada grup
usaha para konglomerat tadi. Dana
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
EDITORIAL
Kabar Anggota
Peringatan Hari HAM Se-Dunia
Indonesia) yang dikeluarkan oleh
negara melalui Bank Indonesia
untuk menyelamatkan para
konglomerat dengan biaya Rp 600
triliun ini, sungguh merusak akal
sehat.
Hal ini membuktikan dengan
nyata bahwa kebijakan ekonomi
Indonesia sangat tidak berpihak
kepada kaum miskin, tapi berpihak
kepada kaum konglomerat/
borjuasi besar, tuan tanah besar
dan birokrat kapitalisme. Para
konglomerat pengutang dana
BLBI antara lain adalah Sudono
Salim (Liem Sioe Liong),
Kaharuddin Ongko, Sjamsul
Nursalim, Usman Admadjaja,
Sudwikatmono, dan Bob Hasan.
Semuanya memiliki bank dan
banyak yang menguasai industri
pangan, industri perkayuan
(konsesi HPH dan kayu lapis),
perkebunan, dan agroindustri,
yang kemudian bermasalah.
Ringkasnya warisan yang
ditinggalkan sungguh dahsyat!
Utang sejumlah Rp 600 triliun
yang menjadi beban APBN
Indonesia untuk menolong
konglomerat hitam yang merusak
hutan, tambang, dan pertanian
kita; berlanjutnya krisis pangan
yang membuat para perajin tahu
dan tempe gulung tikar karena
harga kedelai impor semakin
mahal
dan
memutuskan
demonstrasi ke Presiden SBY
pada bulan Januari 2008, dan harta
mantan Presiden Soeharto
sejumlah Rp 149 triliun dan tanah
seluas 4,093 juta hektar! (Majalah
mingguan Tempo, edisi 23-29 Juli
2007, hal. 42-43 dan Bustanil
Arifin dan Didik J. Rachbini,
2001: 240). Mari jadikan negara
ini sebagai negara hukum, bukan
negara halalbilhalal, seperti
diungkapkan dengan baik oleh
seorang aktivis politik era tahun
1980-an (Kompas, 28 Januari
2008, hal. 4).***
AGRA Desak Kedaulatan Rakyat atas
Sumber Daya Alam
Jakarta 10/12/2007- Seribu
massa aksi dari Front Rakyat Anti
Imperialisme (FRAI) melakukan
aksi massa memperingati Hari
HAM
Internasional
dan
Penyikapan KTT PBB tentang
Perubahan Iklim. Aksi dipusatkan
di Kedubes Amerika Serikat (AS)
dan Istana Presiden. Dalam
aksinya, FRAI menilai bahwa
imperialisme AS adalah pihak
yang paling bertanggung jawab
atas pelanggaran HAM di dunia.
Tentang
dampak
dari
pemanasan global, imperialisme
AS adalah negara yang menjadi
penyumbang terbesar dari bagi
buangan emisi gas karbon.
Keberadaan korporasi-korporasi
eksplorasi energi milik imperialis
AS di berbagai negeri juga telah
menambah daftar pelanggaran
HAM, mulai dari pencemaran
lingkungan, peminggiran terhadap
masyarakat lokal, perampasan
lahan, perdagangan manusia
hingga kekerasan negara terhadap
rakyat.
Sementara pemerintah SBYKalla dinilai FRAI belum mampu
memenuhi hak-hak dasar rakyat.
Seperti, buruh murah, perampasan
tanah, pengangguran, pendidikan
mahal, kekerasan suku bangsa
minoritas, dan kelompok
minoritas seperti LGBT.
Pemerintah SBY-Kalla terus
memberi kesempatan bagi
imperialisme mengeksplotasi
sumber
daya
energi,
menghancurkan hutan, perluasan
perkebunan besar hingga pasar
bagi produk otomotif imperialis
yang semakin menambah tingkat
pemanasan global.
FRAI menilai KTT PBB
tentang Perubahan Iklim di Bali
hanyalah sandiwara. Negaranegara imperialis terutama AS
tidak memiliki komitmen kuat
untuk mengurangi emisi gas.
Sebaliknya, negara-negara miskin
seperti Indonesia dipaksa
memenuhi kehendak mereka
untuk melakukan adaptasi dan
pengembangan teknologi dan
pemulihan lingkungan dengan
bantuan dana asing.
Itu sama halnya membuat
ketergantungan kembali akan
utang yang akan dibebankan
kepada rakyat. Berdasarkan hal
tersebut, FRAI menilai bahwa
“imperialisme AS dan Rejim SBYKalla Harus Bertanggung Jawab
terhadap Pelanggaran HAM dan
Kerusakan Lingkungan.
Aksi FRAI diikuti oleh
AGRA, GSBI, SBK-EJI, Forum
Buruh Cengkareng, FMN,
GMNK, Arus Pelangi dan GRI.
Medan
Peringatan hari HAM juga
digelar di Medan Sumatera Utara.
AGRA bersama dengan organisasi
mahasiswa, pemuda dan buruh
yang ada di Sumatera Utara yang
membangun aliansi dengan nama
Persatuan Rakyat Indonesia Anti
Imperialisme (PERISAI).
Aksi dipusatkan depan
Konsulat Jendral AS di Medan.
Seratus massa PERISAI,
mendesakkan sejumlah tuntutan
kaum tani dan rakyat di semua
sektor.
Tema umum aksi adalah
“Imperialisme AS dan Rejim
Boneka Amerika, SBY-Kalla:
Biang Kejahatan Kemanusiaan,
Kerusakan Lingkungan dan
Bencana Alam di Dunia dan
Indonesia”.***
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
5
Kajian Utama
Perusakan Hutan dan Perluasan Perkebunan
Besar Biang Keladi Perubahan Iklim
Erpan Faryadi
Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria
Selama 32 tahun Orde Baru
berkuasa (1966-1998) sektor
kehutanan menempati peran
penting dalam perekonomian
Indonesia. Sepanjang waktu itu,
hutan, seperti juga sumber daya
alam lainnya, dikuras habishabisan. Menurut Didik J.
Rachbini industri kehutanan masa
Orde Baru dibangun semata-mata
hanya demi mengejar nilai
ekonomis, mengabdi pada
orientasi ekspor, dan demi
memenuhi pembayaran utang luar
negeri (Latin, 1999:2-11).
Cara pemanfaatan hutan yang
melulu demi kepentingan ekonomi
tersebut tak pelak lagi
mengakibatkan kerusakan hutan
yang luar biasa dan sistematis.
Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO),
menyebut
laju
penghancuran hutan di Indonesia
sepanjang 2000-2005 sebagai
6
Berita Kaum Tani
yang tercepat di dunia. Setiap
tahun rata-rata 1,871 juta hektar
hutan hancur atau seluas 300
lapangan sepak bola setiap jam.
Kehancuran 2 persen dari luas
hutan yang tersisa itu jauh
melebihi Zimbabwe, Myanmar,
dan bahkan Brazil. Kerusakan ini
menyumbang secara signifikan
terhadap pemanasan global.
Data sebelumnya yang
dikeluarkan FAO menyebutkan
bahwa selama 1976 hingga 1980
tak kurang 550.000 hektar hutan
di Indonesia lenyap per tahunnya.
Jumlah tersebut terus meningkat
seiring
dengan
hasrat
mengeksploitasi hutan yang
dilakukan oleh para pemilik Hak
Pengusahaan Hutan (HPH),
terutama di wilayah Kalimantan,
Sumatra, dan Irian Jaya (sekarang
Papua Barat). Setelah 1980 laju
kerusakan hutan di Indonesia per
tahunnya mencapai 600.000
sampai 1.200.000 hektar (Hurst,
1990; 2). Akibatnya diperkirakan
saat ini sekurang-kurangnya
setengah dari 143 juta hektar
kawasan hutan Indonesia, telah
rusak. Lebih mengenaskan lagi,
sektor kehutanan telah dijadikan
“tawanan” oleh para cukong
pemegang Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) dan lembagalembaga internasional agar
pemerintah Indonesia dapat
melunasi utang-utangnya. Tabel 1
memperlihatkan
gambaran
nasional tentang komposisi
pemegang HPH terbesar di
Indonesia dan luas HPH-nya.
Terlihat bahwa Grup Barito
Pacific, yang dimiliki oleh
konglomerat Prajogo Pangestu,
merupakan pemegang HPH
terbesar di Indonesia. Bayangkan
saja Grup Barito Pacific bisa
Kajian Utama
memiliki konsesi HPH lebih dari
enam juta hektar! Penguasaan
lahan seluas itu sama dengan
menguasai wilayah seluas
gabungan Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Alasan konglomerat ini
diberikan begitu banyak konsesi
adalah sebagian disebabkan oleh
kesanggupan mereka untuk
memberikan saham dan posisiposisi penting di berbagai
perusahaan konsesi, kepada
anggota keluarga bekas Presiden
Soeharto.
Hal ini menjelaskan seberapa
besar rente dari hutan-hutan
Indonesia secara tidak resmi
dikumpulkan guna memenuhi
tujuan finansial dan pribadi
kerabat Soeharto, dibandingkan
dengan yang diperoleh oleh
pemerintah (Brown, 1999; 14-15).
Soal rente ekonomi dari hutan ini
juga menjelaskan, meskipun
eksploitasi
hutan
telah
Tabel I Penguasa Hutan Indonesia
Nama Group
Jumlah Unit
berlangsung sangat intensif,
kontribusinya
terhadap
perekonomian secara nasional dan
lapangan tenaga kerja sangat
minim.
Pemanfaatan Hutan Melalui
HPH
Pemanfaatan hutan Indonesia
secara intensif dengan tingkat
eksploitasi secara berlebihan
dimulai sejak tahun 1967, tepatnya
setelah satu tahun Orde Baru
berkuasa. Untuk mempercepat
derap pembangunan, Orde Baru
dengan gencar mengundang
masuknya modal asing ke
Indonesia. Semula para pemodal
asing lebih tertarik menanamkan
modalnya di sektor ekstraktif,
seperti pertambangan dan
kehutanan. Bisa dipahami
mengapa pada awalnya para
pemodal asing lebih tertarik pada
pertambangan minyak dan
Luas Areal (Ha) Pemilik
Barito Pacific
60
6.158.670 Prajogo Pangestu
Kayu Lapis Indonesia
Alas Kusuma
Djajanti
Kalimanis
Mutiara Timber
Karindo
Indo Plywood
Tanjung Raya
Hutrindo
Pakarti Yogya
Hanurata
Bumi Raya Utama
20
18
20
9
6
7
10
11
12
4
4
9
3.437.000
2.988.000
2.775.000
1.936.000
1.558.900
1.436.000
1.329.000
1.226.300
1.152.000
1.133.000
1.016.000
995
Budhi Dharma Bhakti
Satya Djaya Raya
Antang
Surya Dumai
Uni Selaya
Kayumas
Budhi Nusa
Sub-Total
Pemegang HPH lainnya
10
8
11
7
8
9
5
248
307
947
938
891
883
835
802
801
33.198.963
31.092.473
TOTAL
555
64.291.436
Andi Sutanto
PO Suwandi
Burhan Uray
Bob Hasan
In Yong Sun
H.A.Bakrie
Alex Karampis
Pintarso Adiyanto
Asbert Lyman
Martias
Tekman K
Burhan Uray
pengolahan hutan. Selain didorong
oleh kemungkinan memperoleh
laba yang besar, ketertarikan para
pemodal asing pada sektor-sektor
tersebut disebabkan oleh sikap
pemerintah
yang
sangat
akomodatif. Pada masa itu, karena
minim dalam hal dana,
penguasaan teknologi, dan
pengalaman, pemerintah maupun
pengusaha swasta dalam negeri
belum mampu mengelola sektorsektor tersebut. Maka jalan satusatunya untuk memperoleh
pendapatan dari pertambangan
minyak dan pengolahan hutan
adalah dengan membuka diri dan
mengajak pihak asing.
Hal ini menyebabkan
terjadinya lonjakan investasi di
sektor kehutanan. Hingga akhir
Desember 1968 modal asing yang
ditanamkan pada sektor kehutanan
sebesar USD 106,65 juta,
sedangkan modal dalam negeri
berjumlah Rp 57 juta. Besarnya
modal yang ditanam di sektor
kehutanan itu terjadi setelah UU
No.5 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan
ditetapkan pada tahun 1967.
Dengan diberlakukannya UU itu
dimulailah sistem baru dalam
pemanfaatan hutan, yaitu melalui
Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Sejak UU Pokok Kehutanan
1967 berlaku, permintaan untuk
mendapatkan izin konsesi
penebangan baik dari pemodal
asing, dalam negeri, maupun
campuran, banyak mengalir.
Hingga menjelang 1970 jumlah
pemegang
HPH
tercatat
berjumlah 64 perusahaan dan
meliputi luas hutan 8 juta hektar.
Antara tahun 1967 hingga 1980,
519 perusahaan diberi HPH yang
mencakup luas 53 juta hektar
(Jhamtani, 2001; 119-120).
Sampai dengan Juni 1998 terdapat
651 HPH dengan alokasi hutan
seluas 69,4 juta hektar (Barr,
1998; Kartodihardjo dan
Supriono, 1999). Industri kayu
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
7
Kajian Utama
dan hasil hutan menghasilkan
USD 9 miliar pada tahun 1994,
USD 5,5 miliar di antaranya dari
ekspor (NRI, 1996, dikutip dari
Barber, 1997).
Hutan tropis Indonesia adalah
kedua terluas di dunia setelah
Brazil yang mempunyai hutan
tropis seluas 300 juta hektar.
Dengan klasifikasi kawasan hutan
negara seluas 112,3 juta hektar,
yang terdiri dari hutan lindung
29,3 juta hektar, hutan konservasi
seluas 19 juta hektar, dan hutan
produksi seluas 64 juta hektar.
Selama 10 tahun terakhir
sumbangan devisa dari industri
perkayuan terhadap perolehan
devisa rata-rata 20 persen. Pada
tahun 1998/1999 jumlah target
devisa dari industri perkayuan
sebesar USD 8,5 miliar (Suara
Pembaruan, 13/3/1999).
Kawasan hutan negara
menjelaskan statusnya secara
hukum bahwa hutan tersebut hutan
milik negara. Kawasan hutan
negara tidak selalu berhutan,
sehingga peningkatan kawasan
hutan dapat berarti secara hukum
kawasan hutan negara naik
jumlahnya, tetapi luas yang
berhutan dapat menurun. Pada
tahun 1984, kawasan hutan negara
ditetapkan berdasarkan TGHK
(Tata Guna Hutan Kesepakatan).
Sedangkan pada tahun 1997
kawasan hutan negara berubah
setelah dilakukan paduserasi
antara TGHK dengan RTRWP.
(Kartodihardjo, 1999; 1).
Meskipun
subsektor
kehutanan memberikan kontribusi
yang sangat besar terhadap
perolehan devisa, kontribusinya
terhadap perekonomian secara
keseluruhan sangat rendah. Pada
tingkat harga konstan (1983),
kontribusi subsektor kehutanan
hanya berkisar 4 persen terhadap
sektor pertanian, dan berkisar 1
persen terhadap PDB (Produk
Domestik Bruto). Demikian pula
kontribusi subsektor kehutanan
8
Berita Kaum Tani
terhadap penyerapan tenaga kerja
juga sangat rendah. Subsektor
kehutanan hanya mampu
memberikan kontribusi sebesar
0,3 persen terhadap daya serap
tenaga kerja secara keseluruhan
dan 0,5 persen terhadap daya serap
sektor pertanian (Suhendar dan
Winarni, 1998; 111-112).
Menurut Philip Hurst sejak
jaman kolonial hingga awal 1960,
89 persen kayu berasal dari Jawa,
dan hanya 10 persen di antaranya
yang
digunakan
untuk
kepentingan ekspor. Menjelang
1971 terjadi perubahan drastis.
Saat itu 65 persen kayu berasal
dari Kalimantan, sebagian besar
dari Kalimantan Timur, dan 75
persen di antaranya untuk ekspor.
Menjelang
1974
hutan
Kalimantan yang dikuasai oleh
para pemegang HPH telah
mencapai 11 juta hektar. Sebagian
besar perusahaan pemegang HPH
itu adalah pemodal asing seperti
Wayerhauser dan Georgia Pacific
(AS), Mitsui, Itoh, Sumitomo, dan
Mitsubishi (Jepang).
Untuk
mengantisipasi
lonjakan modal swasta, baik asing
maupun nasional, dalam sektor
kehutanan, pada tanggal 23 Mei
1970 ditetapkan Peraturan
Pemerintah No.21 tentang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Hak Pemungutan Hasil Hutan
(HPHH). Dengan masuknya
modal swasta dalam HPH,
pengusahaan hutan meliputi
wilayah yang sangat luas dan
dikerjakan secara modern. Agar
pengusahaan hutan tersebut
berjalan lancar, pemerintah
mengupayakan
perbaikan
prasarana berupa perbaikan
perhubungan
sungai
dan
resettlement (penggunaan tanah
oleh penduduk). Demi tujuan itu,
pada tanggal 29 September 1971
ditetapkan Keputusan Presiden
No.66 menyangkut peningkatan
prasarana pengusahaan hutan.
Mengingat anggaran negara yang
terbatas, dalam keputusan itu juga
disebutkan bahwa sebagian biaya
perbaikan sarana itu dibebankan
kepada para pemilik HPH yang
dikumpulkan melalui Iuran Hasil
Hutan Tambahan.
Sejak UU Pokok Kehutanan
1967 dan PP No.21/1970 berlaku,
pengusahaan hutan sepenuhnya
menjadi hak investor swasta
pemilik konsesi HPH. Masyarakat
yang hidup secara turun temurun
di kawasan hutan tidak berhak lagi
menebang kayu di hutan yang
termasuk areal HPH. Bahkan
menebang kayu untuk keperluan
sendiri pun harus meminta ijin dari
pemilik konsesi. Tak heran bila
sering terjadi konflik antara
masyarakat setempat dengan para
pengelola HPH.
Laju
dan
Penyebab
Kerusakan Hutan
Seperti juga terjadi di Brazil
dan Zaire, di Indonesia kerusakan
hutan yang terjadi sangatlah parah.
Diduga ada tiga penyebab utama
terjadinya kerusakan hutan selama
Orde Baru, yaitu pengambilan
kayu
gelondongan
oleh
perusahaan-perusahaan HPH,
pembukaan lahan oleh ladang
berpindah, dan kebakaran hutan.
Amat sulit memperoleh angka
yang pasti berapa sumbangan
masing-masing penyebab itu pada
jumlah total kerusakan hutan.
Beberapa kalangan menduga
bahwa penyebab utama dari
kerusakan hutan adalah ulah
serakah para pemilik HPH,
sementara kalangan lain menunjuk
peladang berpindah atau sering
disebut perambah hutanlah aktor
utamanya.
Laju kerusakan hutan dalam
35 tahun, yaitu antara 1950 hingga
1985 diperkirakan 914.000 hektar
per tahun, atau 33 juta hektar
seluruhnya, yang setara dengan
luas negara Vietnam (Barber,
1997). Hal ini tercermin dari data
tentang luas kawasan berhutan
Kajian Utama
yang mencapai 152 juta hektar
pada tahun 1950 (GOI/IIED,
1985), sementara pada tahun 1985
diperkirakan tinggal 119 juta
hektar (RePPProt, 1989). Angka
mengenai luas hutan serta laju
kerusakannya berbeda karena
tidak adanya inventarisasi yang
akurat dan berkala, serta
perbedaan pemahaman tentang
kawasan hutan serta definisi
deforestasi atau penggundulan
hutan. Walaupun demikian,
perkembangan luas hutan serta
kerusakannya dapat digambarkan
selama beberapa tahun belakangan
ini.
Pada tahun 1984, Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK)
menyebutkan luas kawasan hutan
Indonesia mencapai 144,5 juta
hektar yang diklasifikasikan
menjadi hutan produksi tetap,
hutan produksi terbatas, hutan
lindung, suaka alam dan hutan
wisata serta hutan konversi.
Selanjutnya, studi FAO/GOI
Forestry Project pada tahun 1990
dilakukan oleh Kartodihardjo dan
Supriono (1999). Mereka
membandingkan data luas
kawasan hutan negara pada tahun
1984
dan
1997.
Dari
perbandingan, secara nasional
kawasan hutan lindung bertambah
luasnya dari 29,3 juta hektar
menjadi 34,6 juta hektar; kawasan
hutan konservasi tetap luasnya.
Sedangkan kawasan hutan
produksi menurun luasnya dari 64
juta hektar menjadi 58,6 juta
hektar. Sementara itu hutan
konversi yang digunakan untuk
berbagai
kepentingan
pembangunan
perkebunan,
transmigrasi, dan lain-lain terus
mengalami penurunan dari seluas
30 juta hektar pada tahun 1984
menjadi 8,4 juta hektar pada tahun
1997.
Dalam kawasan hutan
produksi tersebut, sampai Juni
1998, luas hutan yang rusak di
dalam kawasan HPH sekitar 16,57
juta hektar. Jika rata-rata masa
kerja HPH 20 tahun, maka hutan
Tabel II Laju Kerusakan Hutan Indonesia
Areal Berhutan
Luas Tanah (ha) (ha) 1982
Wilayah
Sumatra
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Irian Jaya
TOTAL
47.361.000
53.946.000
18.922.000
7.451.000
42.198.000
169.878.000
23.320.000
39.620.000
11.270.000
6.350.000
34.960.000
115.520.000
memperkirakan luas kawasan
yang ditutupi hutan tinggal 109
juta hektar atau 57 persen dari luas
daratan Indonesia. Pada akhir
Pelita VI, luas kawasan berhutan
diperkirakan tinggal 91,7 juta
hektar (Konsep Kehutanan
Repelita VII).
Sementara itu, diperkirakan
laju kerusakan hutan Indonesia
berkisar antara 600.000 hektar
hingga 1,3 juta hektar per tahun
(GOI dan ADB, 1994).
Perhitungan yang lebih kini
Areal Berhutan
(ha) 1990
20.380.000
34.730.000
10.330.000
6.030.000
33.650.000
105.120.000
Catatan ini belum ditambah
kerusakan hutan di kawasan
lindung 2 dan konservasi yang
dirambah baik oleh perusahaan
maupun masyarakat setempat serta
kerusakan akibat kebakaran hutan
yang pada tahun 1997/1998 yang
berkisar antara beberapa ratus ribu
hektar hingga 5 juta hektar
(Bappenas, 1999).
Laju kerusakan hutan berbeda
di beberapa kawasan seperti yang
terlibat dalam Tabel 2 di bawah
ini. Sumatra dan Kalimantan
merupakan wilayah yang
mengalami degradasi hutan
terbesar, karena memang kedua
kawasan ini merupakan produsen
kayu terbesar, serta mengalami
perkembangan
perkebunan
tercepat dalam 20 tahun terakhir
ini.
Ada dugaan, pemilik HPH
dengan sengaja melakukan
pembakaran hutan untuk
kepentingan pembukaan lahan
ataupun untuk dikonversi menjadi
perkebunan besar, seperti
Kerusakan hutan Laju kerusakan hutan
(ha)
(persen)
1982-1990
1982-1990
2.940.000
12,6
4.890.000
12,3
940
8,3
320
5,0
1.310.000
3,7
10.400.000
8,38
rusak dalam kawasan HPH ratarata 828.500 hektar per tahun.
Luas hutan konversi pada tahun
1984 adalah 30,5 juta hektar dan
pada tahun 1997 tinggal 8,4 juta
hektar, yang artinya berkurang
22,1 juta dalam 13 tahun atau 1,7
juta
hektar
per
tahun
(Kartodihardjo dan Supriono,
1999). Artinya laju kerusakan
hutan yang dapat dicatat antara
tahun 1984 dan 1997 adalah
2.528.500 hektar per tahun.
perkebunan kelapa sawit. Masalah
kebakaran hutan di Indonesia
memang bukan peristiwa baru.
Tahun 1982/83 kebakaran pun
pernah terjadi. Diperkirakan tak
kurang dari 3,5 juta hektar hutan
Kalimantan Timur habis terbakar,
dan tidak kurang dari 20 juta kubik
kayu dari hutan primer dan 35 juta
kubik kayu dari hutan sekunder
rusak untuk seluruh Kalimantan.
Sementara itu, sejak April
1997, dunia lingkungan hidup di
Indonesia mengalami musibah
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
9
Kajian Utama
dengan terjadinya kebakaran Bisnis Indonesia, 18 Oktober sekitar 20 persen (60.000 hektar)
hutan di daerah Kalimantan dan 1997). Pembakaran besar-besaran dari 300.000 hektar areal HTI
Sumatra. Tak cuma kebakaran untuk dikonversi ke dalam (Hutan Tanaman Industri) yang
yang menimbulkan kerusakan tanaman sawit sebelumnya belum dikelolanya. Tabel 3 memberi
hutan untuk wilayah yang pernah terjadi.
gambaran peningkatan luas lahan
Sebelum kelapa sawit menjadi yang dikonversi ke perkebunan
demikian luas tapi juga dampak
lain dari kebakaran tersebut, yaitu primadona, karet, kelapa, lada, dan sawit. Tampaknya hal ini sangat
asap yang menjalar ke banyak kakao menjadi hasil perkebunan terkait erat dengan ambisi
wilayah di Indonesia. Bahkan tiga unggulan. Itu terjadi pada dekade Indonesia untuk menjadi produsen
negara di ASEAN pun ikut terkena 1980-an. Namun ketika masuk ke dan eksportir CPO terbesar di
getahnya. Akibat kebakaran hutan 1990-an, kelapa sawit menggeser dunia. Sehingga terjadi ekspansi
pada tahun 1997-1998, hutan yang produk perkebunan lainnya dan perkebunan kelapa sawit, dengan
musnah mencapai 55 juta hektar harganya pun mulai melambung. memanfaatkan hutan produksi
dengan besar kerugian Rp 9 Perkembangan ini segera yang tersedia.
disambut di Indonesia. Sebagai
triliun.
Produksi CPO dalam negeri
Kebakaran hutan yang terjadi contoh, pada Januari 1995 saja, dari tahun ke tahun terus
sejak medio 1997 hingga awal Kanwil Kehutanan Kalimantan meningkat seiring dengan
1998 dengan krisis ekonomi yang Timur telah menyiapkan lahan 1,4 peningkatan produktivitas tandan
dihadapi Indonesia persis dimulai juta hektar untuk perkebunan, buah segar (TBS) per hektar, di
pada periode yang sama, adalah 990.000 hektar di antaranya samping
perluasan
areal
hal yang sesungguhnya sangat erat dipersiapkan untuk sawit.
perkebunan. Pada tahun 1996
Bahkan dengan jelas, PT misalnya, menurut Ditjen
kaitannya. Sumber daya alam telah
lama menjadi fondasi utama Inhutani III – yang sebenarnya Perkebunan, produksi CPO
devisa negara dengan ideologi merupakan BUMN (Badan Usaha tercatat 4,9 juta ton dan meningkat
eksplorasi dan eksploitasinya, Milik Negara) yang bergerak di menjadi 5,4 juta ton. Produksi
sehingga ketika sumber daya alam bidang perkayuan – berhasrat sebanyak itu dihasilkan oleh 76
mengalami kerusakan besar, sama untuk investasi dalam perkebunan pengusaha swasta sebesar 3,9 juta
artinya fondasi ekonomi tadi pun kelapa sawit. Dirut PT Inhutani III ton dan sisanya oleh Ditjen
Suyoto
Wongsoredjo Perkebunan. Kendati produksi
ikut runtuh.
Selain kebakaran hutan yang menyebutkan alasan ekspansinya kelapa sawit melimpah, harga
banyak terjadi dalam kawasan tersebut, “Diversifikasi usaha minyak goreng tetap saja mahal,
HPH yang menyebabkan perkebunan sawit saat ini sangat bahkan sempat menghilang dari
kerusakan hutan, pertumbuhan tepat. Prospek bisnisnya cukup pasaran. Bukan hanya itu, dengan
tanaman sawit merupakan faktor bagus, dan lebih cepat perkebunan kelapa sawit yang
baru dalam kebakaran hutan pada menghasilkan dibandingkan demikian luas, petani kelapa sawit
tahun 1997-1998. Perluasan menanam kayu.”
justeru tidak bernasib baik.
Dalam penyediaan lahan, PT
perkebunan kelapa sawit
Sementara itu, eksplorasi
Inhutani
akan
mengambil
lahan
merupakan salah satu penyebab
hutan yang sedemikian besar
terjadinya kebakaran
hutan
terbesar Tabel III Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Besar
sepanjang
sejarah Provinsi
Aplikasi
Disetujui
Perubahan status
kehutanan Indonesia
Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha)
ini. Hal ini disebabkan Sumatra
6
49.3
26
160.313
15
74.07
karena pembukaan Sumut
Sumbar
6
110.315
12
51.176
22
121.14
lahan dilakukan dengan
18
176.5
51
593.431
102 1.205.668
cara tebang, tebas, dan Riau
Jambi
9
70.29
11
47.181
36
309.393
bakar. Pada tahun 1997,
Sumsel
14
289.8
16
94.173
8
42.503
tercatat sebanyak 133
2
163
4
61.275
5
28.051
dari 176 perusahaan Lampung
Kalimantan
yang diindikasikan
Kalbar
22
372.7
18
127.674
8
89.4
melakukan pembakaran
Kalteng
34
516.25
27 1.860.619
32
349.556
lahan
adalah Kalsel
2
10.55
6
64.13
18
189.676
perusahaan perkebunan Kaltim
33
634.2
32
444.112
39
269.081
kelapa sawit (harian TOTAL
150 2.274.610
209 3.504.084
295 2.721.428
10
Berita Kaum Tani
ternyata tidak diimbangi dengan
pemasukan negara yang besar
pula. Rente ekonomi yang
diperoleh dari hasil hutan
sangatlah kecil. Menurut
perhitungan Tim Walhi, sejak
1968 hingga 1992 rente ekonomi
dari hutan hanya berkisar 13
persen dari total omset. Sebagian
besar
keuntungan
justru
didapatkan oleh para pengusaha,
baik pemilik HPH maupun para
pengusaha industri perkayuan.
Keadaan ini jauh berbeda dengan
perolehan negara dari sektor migas
(minyak dan gas) yang jumlahnya
mencapai 83 persen.
Data yang diklaim pemerintah,
rente ekonomi dari hutan tampak
sangat besar dan memberikan
devisa yang berarti bagi
pembangunan ekonomi Indonesia.
Menurut Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (1991), data yang
ditampilkan tersebut cuma
kosmetik belaka. Sebab selama
periode 1983-1989 sektor
kehutanan ternyata hanya
menyumbang 1 persen dari total
Pendapatan Domestik Bruto
Indonesia. Sebagai bagian dari
sektor pertanian, kehutanan hanya
memberikan kontribusi 4 persen.
Dalam hal tingkat pertumbuhan,
penampilan sektor kehutanan
sama sekali tidak mengesankan.
Produksi sektor kehutanan hanya
tumbuh 1,4 persen dalam periode
1983-1989.
Sementara kerusakan hutan
menurut Menteri Negara KLH dan
IPB (1987), 40 persen tegakan
tinggal rusak selama penebangan
dan 35 persen volume kayu tinggal
pada blok tebangan sebagai
limbah. Ini menyebabkan kualitas
kayu dalam negeri menjadi turun.
Bagaimanapun komersialisasi
hasil hutan telah menyebabkan
kerusakan secara langsung. Bila
mengacu pada hasil penelitian
CIFOR, kontribusi terbesar
kerusakan hutan adalah dari
pemegang HPH.***
Kabar Anggota
Peringati Hari HAM
1500 Anggota AGRA Moro-Moro Longmarch!
Tulang Bawang 10/12/2007Peringatan
Hari
HAM
Internasional dimanfaatkan oleh
AGRA Ranting Moro-Moro untuk
mengkampanyekan berbagai
tuntutan perjuangan kaum tani
sesuai dengan hasil-hasil Rapat
Umum Anggota yang baru
diselenggarkan.
Sejak pukul 07.00 pagi 15 truk
dipakai untuk menggangkut
anggota dari setiap dusun yang
telah
berkumpul
secara
berkelompok menuju Simpang
Asahan tepat dimulainnya aksi.
Disana Ratusan anggota dari
Dusun Asahan dan Morodewe
juga telah menunggu sejak pagi
untuk kemudian bersama-sama
menggelar Long March.
Aksi longmarch 12 kilometer
ini diikuti 1.500 anggota AGRA
Ranting Moro-Moro. Aksi ini
memperingati hari HAM
Internasional sekaligus merupakan
penutup Konferensi Tani Desa
(RUA-red).
Aksi Solid damai dengan
teriakan yel-yel dan diikuti juga
oleh pawai 50 motor dimulai
sekitar pukul 09.00 tersebut
diawali dari Simpang Asahan dan
berakhir di Simpang D Register 45
tepat pukul 13.00.
AGRA Ranting Moro-Moro
kembali meminta PT Silva untuk
menghentikan
kegiatan
penanaman albasia di antara
Simpang Asahan dan Morodewe.
AGRA menganggap tanah
tersebut masih dalam sengketa dan
belum memiliki status yang jelas.
Sekjen Persatuan Petani
Moro-Moro
Wayserdang
(PPMWS)-AGRA Ranting MoroMoro, Syahrul (36) mengatakan,
aksi warga tersebut menuntut hakhak dasar kaum tani selaku
manusia yang merdeka. Massa
juga menagih janji Bupati dan
Pemkab Tuba yang akan
memberikan izin legal kepada
warga untuk menggarap lahan di
Register 45, memberikan status
kependudukan yang jelas, serta
menjadikan wilayah Moro-Moro
menjadi desa persiapan. Semua
yang dijanjikan pemerintah
tersebut belum ada yang terealisasi
sampai saat ini.
Dalam aksi massa tersebut,
Polres Tuba menurunkan satu
peleton pengendalian massa
(dalmas) yang terdiri dari 30
personel, ditambah anggota Polsek
Simpang Pematang dan anggota
Satlantas. Kapolsek Simpang
Pematang Iptu Iswan Syahri
menjelaskan bahwa pihaknya akan
bertindak sebagai mediator dan
akan memfasilitasi pertemuan
warga dan perusahaan. Polisi juga
mengaku
kagum
dengan
kekompakan warga Moro-Moro
dan aksi damai tersebut.
Secara khusus anggota
menggangap aksi ini menjadi
momentum konsolidasi organisasi.
Ditambah lagi isu penggusuran
yang kembali merebak paska
terpilihnya kembali bupati yang
lama yang notabene didukung
penuh oleh pihak perusahaan.
Dukungan
dari
kaum
perempuan yang tergabung dalam
SERUNI Morodewe dan juga
seluruh siswa SMPT Harapan
Rakyat semakin memeriahkan aksi
massa tersebut.
Di sepanjang jalan yang
dilewati tampak kaum perempuan
dan ibu-ibu menyediakan
makanan dan minuman dipinggirpinggir jalan. Mereka menunggu
dan memberikan semangat di
depan rumah-rumah yang dilewati
untuk kemudian ikut bergabung.
Aksi tersebut juga menjadi di
Headline di Harian Radar Tulang
Bawang.***
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
11
Kajian Utama
Perubahan Iklim menyebabkan meningkatnya kegagalan panen yang merugikan kaum tani.
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Memperhebat Pelanggaran Hak Kaum Tani
Selama hampir 200 tahun
belakangan ini, suhu bumi
mengalami peningkatan secara
dramatis dan signifikan. Berbagai
dampak akibat pemanasan bumi
tersebut, telah menimbulkan
berbagai bencana besar yang
bermacam-macam,
seperti
perubahan cuaca dan iklim yang
sangat mengganggu, banjir
bandang dan kekeringan, tanah
longsor, badai tropik, angin rebut,
nagin topan, badai salju serta
berbagai kerusakan lingkungan
lainnya.
Tentu saja situasi tersebut
semakin menambah beban dan
menjadikan rakyat, kaum tani, klas
buruh, golongan pekerja dan
golongan rakyat tertindas lainnya,
semakin menderita dan merosot
kualitas kehidupannya.
Pemanasan global akibat
meningkatnya suhu permukaan
12
Berita Kaum Tani
bumi pada awalnya memang
terjadi secara alamiah, namun
akibat intervensi dan aktivitas
manusia dalam produksi,
keseimbangan ekosistem dan daya
tampung atmosfir bumi dalam
menyerap gas buang (emisi)—dari
hasil pembakaran bahan bakar
fosil secara berlebihan dan
brutal—mengalami kemerosotan
dan jauh di atas ambang batas daya
tampungnya. Pembuangan gas
karbon dioksida (CO2), metan,
dan nitro oksida semakin
memenuhi atmosfir bumi dan
menyebabkan
kemampuan
atmosfir bumi menurun dalam
menahan
pengaruh
sinar
ultraviolet
dan
berbagai
gelombang radiasi lainnya yang
dikeluarkan oleh matahari.
Peningkatan kadar CO2 di
dalam atmosfir bumi ini, juga telah
menimbulkan efek rumah kaca
yang berdampak buruk bagi
kehidupan manusia. Demikian
juga, dalam hal pola cuaca yang
sangat mengganggu, mengalami
keadaan yang berubah-ubah
secara tidak menentu. Akibat
cuaca dan iklim yang demikian,
negara-negara di bagian selatan
khatulistiwa menjadi wilayah
yang paling menanggung beban
dan paling dirugikan akibat
pemanasan global dan perubahan
iklim tersebut.
Bahkan bagi Indonesia, yang
memang dikenal sebagai daerah
rawan
bencana,
dampak
pemanasan global tersebut
semakin terasa, dengan makin
seringnya terjadi bencana alam
yang tidak saja mengancam
kehidupan, terutama pada aktivitas
produksi, seperti gagalnya panen,
akan
tetapi
juga
telah
menimbulkan kerugian yang
Kajian Utama
sangat besar, baik material
maupun non material. Selama dua
tahun belakangan ini, bencana
alam dalam beragam bentuk,
seperti gempa bumi, tanah longsor,
banjir, pasang naik air laut, serta
gunung meletus, saling susul
menyusul. Sementara, bagi kaum
tani sendiri, sudah barang tentu,
akibat adanya bencana ini,
berbagai kesulitan semisal
produksi serta panen ,terancam
gagal. Baru-baru ini, yaitu dari
akhir Bulan Desember 2007
hingga awal tahun 2008, akibat
bencana banjir dan tanah longsor
di sejumlah tempat, telah
menyebabkan ribuan hektar
tanaman padi tergenang oleh
banjir, demikian juga dengan para
petani tebu di wilayah Kudus,
Demak dan Pati, diperkirakan
akan menanggung kerugian
sebesar 4,9 miliar rupiah. Hal itu
dikarenakan lahan tanaman tebu
seluas 1.850 Ha, di ketiga wilayah
tersebut terendam oleh banjir
(kompas, 4 Januari 2007).
Sementara, luas tanaman padi
yang kebanjiran sampai Desember
2007 sudah mencapai 83,8% atau
seluas 56.034 Ha dibandingkan
dengan total luas tanaman padi
yang kekeringan pada musim
tanam 2006/2007. sedangkan bila
dibandingkan dengan luas banjir
rata-rata lima tahunan seluas
69.300Ha sudah mencapai 80,9%.
Tentu saja ancaman ini akan
semakin meluas, jika ditambah
dengan perkiraan bahwa ancaman
banjir akan terus berlangsung,
paling tidak sampai Bulan Maret
2008. mengingat, Indonesia
merupakan daerah tropic dengan
curah hujan tinggi. Dengan
demikian, produksi gabah maupun
beras nasional akan jauh
berkurang dan tentu saja pihak
yang paling menderita atas
bencana ini adalah para petani
miskin, karena harus menanggung
biaya produksi akibat gagal panen.
Sementara di sisi lain, negaranegara
industri
maju
(imperialisme; AS, Eropa dan
Jepang, termasuk belakangan
adalah China), semakin membabi
buta dan serakah dalam
mengembangkan industrinya, baik
industri otomotif, elektronik,
militer dan persenjataan. Tidak
berhenti di situ saja, kaum
kapitalisme
monopoli
internasional ini, juga secara
gencar dan aktif melakukan
eksport kapitalnya ke negaranegara dunia ketiga. Mereka
semua berselubung dibalik
gagasan globalisasi-neoliberal
yang mengharuskan tiadanya
hambatan investasi dan pasar bagi
produk-produk mereka, terus
menanamkan modalnya dalam
banyak bidang industri rakitan
(teknologi rendah) dan usahausaha pertanian skala besar
(perkebunan). Kesemua ini,
merupakan faktor-faktor yang
memicu konsumsi (pemakaian)
bahan bakar fosil. Demikian
halnya dalam pemenuhan sarana
transportasi dan aktivitas
perdagangan,
juga
turut
menyumbang
peningkatan
konsumsi bahan bakar fosil pada
skala
yang
sangat
mengkhawatirkan.
Negara-negara Industri
Melempar Tanggungjawab!
Melalui operasi kapital
monopoli internasional pada
usaha-usaha baru dalam perluasan
dan pembangunan perkebunan
besar inilah, laju deforestasi
(kehancuran hutan akibat
penebangan) dan penurunan
(degradation) sumber daya alam
mengalami peningkatan secara
significant, yang tidak mampu
dibendung maupun dikontrol lagi.
Implikasi yang paling memilukan
adalah, selain menurunya
kemampuan
hutan
untuk
menyerap dan menyimpan emisi
gas karbon, juga semakin
tersudutnya kedudukan rakyat
serta masyarakat di sekitar hutan.
Banyak areal pertanian produktif
rakyat dirampas bagi keperluan
usaha perluasan perkebunan besar.
Demikian juga dalam hal akes
rakyat atas hutan, berbagai
kebijakan yang mengekang
maupun berbagai bentuk
pembatasan lainnya bagi
masyarakat di sekitar hutan terusmenerus diterbitkan. Banyak
kawasan hutan di Indonesia
dengan dalih penetapan sebagai
hutan lindung telah menyebabkan
hilangnya hak-hak rakyat atas
sumber daya alam maupun hutan.
Masyarakat di sekitar hutan tidak
dapat lagi mendapatkan hakhaknya, meski hanya sekedar hak
untuk memungut hasil hutan,
terlebih lagi hak untuk
memanfatkan lahan bagi
kepentingan
produksi
pertaniannya. Situasi yang
belakangan inilah yang merupakan
gejala umum dan luas di
Indonesia. Oleh karenanya,
konflik yang sengit dan luas
semakin menghebat antara
masyarakat di sekitar hutan
dengan pengusaha komprador,
birokrasi korup dan tuan tanah
besar. Di berbagai wilayah di
kawasan hutan, banyak kaum tani
dan suku bangsa minoritas
(masyarakat adat) dirampas dan
diusir secara paksa dari lahanlahan mereka.
Dari Tanggal 3-14 Desember
2007 yang lalu, bertempat di Nusa
Dua-Bali, telah berlangsung
Konferensi
antar-Pihak
(Conference of Party) ke-13
Kerangka Kerja Konvensi tentang
Perubahan Iklim PBB —United
Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC).
Dalam konferensi tersebut
dibicarakan berbagai mekanisme
tentang penanganan dampak
pemanasan global dan perubahan
iklim. Namun, seperti yang telah
diduga sebelumnya, negara-negara
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
13
Kajian Utama
industri maju, seperti AS, Jepang
dan Kanada berusaha menekan
Negara-negara dunia ketiga agar
melakukan adaptasi (penyesuaian)
dan mitigasi (pelonggaran)
berbagai
regulasi
dan
implementasi dalam mengurangi
dampak emisi karbon, pemanasan
global dan perubahan iklim.
Negara-negara di bagian selatan
khatulistiwa, yang sebenarnya
merupakan Negara agraris
tersebut dipaksa menanggung
beban atas dampak buruk yang
ditimbulkannya. Sementara,
Negara-negara industri maju,
berusaha tetap mengekploitasi
sumber bahan bakar fosil secara
brutal demi kepentingan profit
tanpa batas.
Protokol
Kyoto—yang
dihasilkan pada tahun 1992 dan
akan berakhir pada tahun 2012—
yang sesungguhnya menjadi
komitmen bagi semua Negara, tak
terkecuali bagi AS serta Negara
industri maju lainnya, pada
kenyataannya tidak mampu
memaksa AS untuk merealisasikan
mekanisme tersebut. Atas alasan
perlindungan kepentingan dalam
negerinya,
AS
menolak
penandatanganan Protokol Kyoto,
dimana isi dari protokol Kyoto ini,
mengharuskan Negara-negara
indsustri maju mengurangi secara
significant emisi gas karbon dan
efek rumah kaca.
Dengan demikian, seharusnya
Konferensi antar pihak ke-13 PBB
tentang perubahan iklim tersebut,
mampu memaksa perusahaanperusahaan transnasional baik
yang ada di negeri imperialisme
maupun yang beroperasi di
Negara-negara dunia ketiga
berkomitement lebih kuat dalam
penanganan dampak pemanasan
global dan perubahan iklim.
Agenda tersebut, seharusnya
bisa melangkah lebih jauh dan
dapat menghasilkan mekanisme
yang mampu memaksa negerinegeri industri maju mengurangi
14
Berita Kaum Tani
dampak emisi gas karbon, namun
berbagai kesepakatan yang
dihasilkannya, justru semakin
menempatkan Negara-negara
dunia ketiga menjadi pihak yang
harus bekerja lebih keras.
Disamping itu, konferensi
antar pihak ke-13 tersebut juga
tidak menjadikan kelemahankelamahan yang terdapat pada
protokol Kyoto sebagai dasar
untuk melakukan sejumlah
langkah
perbaikan yang
diperlukan.
Kita semua mengerti dengan
baik, bahwa protocol Kyoto masih
mengandung sejumlah kelemahan,
diantarnya, pertama kurang
memiliki target dan batas waktu
serta batasan-batasan yang tegas
terhadap
negeri-negeri
imperialisme dalam menangani
dampak pemanasan global dan
perubahan iklim. Sehingga
mengaburkan arah kedepan dalam
penanganan dampak yang
ditimbulkannya.
Kedua, kurang mendorong
partisipasi dan mengakomodasi
suara kepentingan masyarakat
sipil, khususnya masyarakat di
dunia ketiga dalam penanganan
dampak pemanasan global dan
perubahan ikilm.
Ketiga, protokol Kyoto justru
memperkuat finansialisasi isu
perubahan iklim dengan cara
menerapkan
mekanisme
perdagangan karbon dan semakin
memperkuat TNC-TNC di dunia
dalam mengkonsumsi bahan bakar
fosil.
Kegagalan dalam konferensi
antar pihak ke-13 tersebut,
berakibat pada satu sisi semakin
merosotnya kehidupan masyarakat
di dunia ketiga, sementara disisi
lain negeri-negeri industri maju
semakin diuntungkan dengan tetap
diberikan kelonggaran untuk
mengeksploitasi sumber daya
alam dan konsumsi bahan bakar
fosil bagi kepentingan industri
mereka.
Dengan demikian, secara
keseluruhan rakyat di dunia ketiga
semakin kehilangan kontrol atas
sumber daya alamnya maupun
dalam hal kedaulatan untuk
menentukan
strategi
pembangunan yang berkelanjutan
serta berbasis pada teknologi yang
ramah terhadap lingkungan.
Berbagai kesepakatan yang
dihasilkan dalam Konferensi antar
Pihak ke-13 PBB di Nusa DuaBali untuk mengurangi emisi gas
karbon dan efek rumah kaca
seperti Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi
(REDD) dan Mekanisme
Pembangunan Bersih (CDM)
maupun berbagai bentuk
kerjasama bilateral antar negara
justru semakin menyudutkan dan
membebani rakyat di dunia ketiga.
Mekanisme REDD yang
bertujuan untuk mengurangi emisi
dari perusakan hutan dan
degradasi
alam,
justru
diselewengkan untuk kepentingan
pengembangan bahan baku energi
alternatif (biofuel) yang semakin
menyingkirkan kontrol dan
kedaulatan
rakyat
atas
pengelolaan sumber daya alam.
Pengembangan perkebunan
sawit maupun komoditi-komiditi
bagi pemenuhan energi biofuel
sejauh ini, sebagai implikasi atas
mekanisme tersebut, justru telah
menyingkirkan rakyat di sekitar
hutan, kaum tani di pedesaan
maupun masyarakat adat dari
lahan-lahan mereka.
Demikian
juga,
pada
penerapan
Mekanisme
Pembangunan Bersih (CDM),
telah memaksa berbagai industri
manufaktur di dunia ketiga gulung
tikar dan menyebabkan jutaan
buruh di PHK, karena indsutriindustri berteknologi rendah
tersebut
tidak
mampu
mengalihkan teknologinya ke
teknologi yang ramah terhadap
lingkungan, akibat tingginya biaya
alih teknologi.
Kajian Utama
Sekali lagi, dengan demikian
isu pemanasan global dan
perubahan iklim hanyalah
selubung bagi imperialisme untuk
bisa lebih leluasa mengeruk
keuntungan dan menguras
kekayaan dari negeri-negeri dunia
ketiga. Akibat situasi krisis iklim
yang demikian, berbagai persoalan
yang selama ini telah melingkupi
kaum tani dan golongan rakyat
miskin
lainnya,
semakin
bertambah berat dari hari ke hari.
Iklim dan cuaca yang tidak
menentu, serta berbagai bencana
alam seperti banjir, kekeringan,
perubahan pola cuaca, tanah
longsor
maupun
gempa,
senyatanya telah menjadi ancaman
yang serius terhadap seluruh
kegiatan produksi pertanian kecil
di dunia ketiga. Hak-hak kaum
tani, dan masyarakat miskin
lainnya telah dilanggar tanpa ada
perlindungan.
Maka,
agar
masalah
pemanasan global maupun
perubahan iklim tidak menjadi isu
iklim semata, berbagai usaha
kearah penyelesaian secara
komprehensif
dengan
mendasarkan pada prinsip
kedaulatan rakyat atas sumber
daya alam merupakan jalan satusatunya yang harus ditempuh.
Langkah
tersebut
mengisyaratkan, bahwa pertama,
rakyat di dunia ketiga yang paling
menanggung beban atas dampak
pemanasan global meupun
perubahan iklim, harus diberikan
kesempatan yang lebih luas dan
setara untuk menetapkan
serangkaian strategi pada skala
internasional dalam mengatasi
dampak pemanasan global dan
perubahan iklim.
Kedua, Negara-negara industri
maju serta TNC maupun MNC
yang selama ini telah beroperasi
harus ditekan sedemikian keras
untuk mengurangi secara
signifikan emisi gas karbon dan
efek rumah kaca. Ini berarti bahwa
mekanisme
pemberian
kompensasi ke Negara-negara
dunia ketiga—yang terbukti
mampu menyerap dan menyimpan
emisi gas karbon—yang selama
ini berlaku, sudah tidak memadai
lagi.
Dengan kata lain, diperlukan
sebuah inisiatif yang lahir dari
rakyat sendiri untuk memecahkan
masalah krisis iklim maupun
dampak-dampak pemanasan
global. Yaitu sebuah Protokol
Rakyat.
Sebuah prinsip tentang
pembangunan yang disandarkan
pada prinsip keseimbangan
dengan alam, sesuai dengan
budaya setempat maupun demi
kelestarian alam. (bkt)
Laporan Konferensi Perubahan Iklim
AGRA Usung Protokol Rakyat
Denpasar 10/12/2007-Sekitar
400 orang yang tergabung dalam
Aliansi Rakyat untuk Demokrasi
dan
HAM
(ARDHAM)
menyelenggarakan aksi untuk
menyambut Hari Hak Asasi
Manusia (HAM) se-Dunia dan
Konferensi antar-Pihak (COP) ke13 UNFCCC di Bali tentang
Perubahan Iklim.
Massa mulai bergerak Pukul
09.00 WIT dari kantor PBHI Bali
menuju Kantor Gubernur-Bali dan
akhiri di Konsulat Jenderal AS.
Selama dalam perjalanan menuju
dua sasaran aksi tersebut, massa
tak henti-henti meneriakan yel-yel
anti Imperilaisme AS sebagai
teroris nomer satu, penyebab
pelanggaran HAM yang paling
hebat sekaligus penyebab
kerusakan dan kehancuran
lingkungan. Dimana, akibat
pembangunana dan perkembangan
industri yang menggunakan bahan
bakar fosil sedemikian hebat,
berdampak pada pembuangan gas
karbon secara berlebihan.
Sehingga daya tampung
atmosfir bumi dalam mneyerap
berbagai unsur-unsur yang
merusak semakin berkurang. Efek
rumah kaca, berkembangnya
berbagai penyakit kulit serta
meningkatnya pemanasan global
secara ekstrim pada abad XX dan
XXI telah mempengaruhi berbagai
bencana alam, seperti banjir,
longsor, tsunami serta perubahanperubahan iklim yang tidak
menentu.
Hal yang terakhir ini, sangat
mempengaruhi proses produksi
dari kaum tani, terutama di negara-
negara selatan atau negara negara
dunia ketiga yang masih
menumpukan pembangunanya
pada sektor agraria dan pertanian.
Negara-negara agrais adalah
negara yang paling dirugikan oleh
pemanasan global dan perubahan
iklim akibat operasi perusahaanperusahaan transnasional maupun
multi nasional yang didirikan baik
di negara imeprialisme maupun di
negara-negara dunia ketiga.
Namun atas ulah korporasi
monopoli inetransional tersebut,
negara-negara dunia ketiga tetap
dipaksa untuk berpartisipasi serta
menyusun berbagai mekanisme
dalam kerangka mengatasi
dampak-dampak pemansan global
dan perubahan iklim. Slogan
Imperialisme-hancurkan!!!
f e o d a l i s m e —
Edisi IV - Desember 2007 Januari 2008
15
Pementasan Tari--Rangkaian kegiatan di Bali telah sukses dilaksanakan AGRA bersama ARDHAM
musnahkan!!!kapitalisme—
musuh rakyat bergema dan
bergayung sambut dengan sloganslogan lain seperti SBY-JK
Boneka Amerika!!! dan Stop
Global Warming!!! Our Planet
Need People’s Protocol!!!
Selain mengutuk tindakan
Imperialisme AS, massa aksi juga
mengumandangkan yel-yel berisi
kutukan terhadap kekuatankekuatan kaki tangan imperialisme
AS di dalam negeri. Mereka ini
dipandang oleh ARDHAM
sebagai orang-orang Indonesia
yang bergantung dan mengeruk
keuntungan
dengan
cara
menjadikan dirinya sebagai
boneka Imperialisme AS. Secara
khusus dalam berbagai orasi
politik yang disampaikan oleh
peserta aksi yang mewakili
organisasi-organisasi massa yang
tergabung dalam ARDHAM,
sangat jelas menunjuk bahwa
rezim SBY-JK turut bertanggung
jawab atas segala bentuk
pelanggaran HAM yang terjadi
semakin intensif akhir-akhir ini.
Aksi massa ARDHAM untuk
menyambut Konferensi antarPihak (COP) ke-13 UNFCCC di
16
Berita Kaum Tani
bali yang bertepatan dengan hari
HAM se-dunia 10 Desember
sendiri, sebenarnya merupakan
aktivitas puncak dari seluruh
kegiatan program kampanye
massa ARDHAM. Sebelumnya,
yaitu pada Tanggal 3 Desember
bertepatan dengan agenda
pembukaaan Konferensi antarPihak (COP) ke-13 UNFCCC,
massa ARDHAM yang berjumlah
sekitar 100 orang telah melakukan
aksi long march keliling kota
Denpasar mengkampanyekan
tuntutan-tuntutan rakyat atas
berbagai pelanggaran HAM dan
dampak-dampak perubahan iklim.
Kemudian, pada Tanggal 7
Desember bertempat di Hotel Inna
Bali
Denpasar,
juga
menyelenggarakan kegiatan Work
Shop dengan tema “ menegakkan
kedaulatan rakyat atas sumber
daya alam”. Selain tema itu, juga
didiskusikan beberapa pandangan
mengenai pentingnya “Protokol
Rakyat” sebagai jalan rakyat untuk
mengatasi berbagai dampak akibat
pemanasan global dan perubahan
iklim. Protokol Rakyat yang
dimaksud juga sebagai konsep
alternatif sekaligus tandingan atas
Protokol Kyoto dan hasil-hasil
dalam Konferensi antar-Pihak
(COP) ke-13 UNFCCC di Bali 314 Desember 2007. Protokol
Kyoto maupun hasil-hasil COP ke13 UNFCCC di Bali sendiri,
diyakini oleh ARDHAM dan
rakyat luas tidak akan mampu
mengatasi dampak-dampak
pemanasan global dan perubahan
iklim.
Selain,
dalam
penyusunannya mengabaikan
peran serta rakyat dan
mengabaikan asprirasi rakyat,
negara-negara industri maju pada
kenyataannya tidak memiliki
keinginan kuat untuk mengurangi
emisi gas karbon dan mengtasi
seluruh akibat-akibat yang
ditimbulkannya, akan tetapi justru
membebankan hal tersebut pada
dunia ketiga.
Secara umum seluruh kegiatan
yang diprakarsai oleh ARDHAM
dapat dilaksanakan secara baik
dan sekaligus meraih sukses.
Tentu saja tradisi yang baik ini
bisa menjadi sumber inspirasi di
tempat-tempat lain untuk dapat
juga menggelorakan perjuangan
massa secara meriah dan militant.
Selamat (bkt).
Download