BAB II TEORI DASAR 2.1 Fenomena Yang Mempengaruhi Curah Hujan Indonesia sebagai Negara beriklim tropis yang terletak membelah garis ekuator, memiliki berbagai fenomena iklim dan cuaca yang mempengaruhi terjadinya curah hujan, McBride (1992) membagi beberapa fenomena meteorologi yang ada di Indonesia / wilayah kontinen maritim, seperti monsun, osilasi selatan, osilasi 40-50 hari, surge dari laut Cina selatan dan pantai barat Australia, monsun Australia dan lain-lain. Selain fenomena-fenomena itu pada umumnya ada sejumlah faktor yang mempengaruhi curah hujan, diantaranya adalah Sirkulasi Global, sirkulasi regional (angin pasat), dan faktor lokal (sirkulasi angin darat, angin laut, efek orografis, serta pemanasan lokal). Sistem pertanian tadah hujan, pada umumnya dipengaruhi oleh fenomena yang berhubungan langsung dengan kejadian hujan dan berpengaruh kepada musim tanam, khususnya kemunculan monsun yang secara langsung memberikan pengaruh kepada periode masa tanam bagi petani. 2.1.1 Monsun Fenomena monsun, merupakan peristiwa yang terjadi karena adanya pembalikan musiman arah angin, yang terbentuk akibat perbedaan pemanasan antara daratan (benua) dan lautan yang bergantian secara musiman. Ramage (1971) mendefinisikan daerah monsun menurut keadaan sirkulasi angin permukaan pada bulan Januari dan Juli sebagai berikut : II-1 1. Terjadi pergantian arah angin sekurang-kurangnya 120o antara bulan Januari dan Juli. 2. Rata-rata frekuensi pembalikan arah angin pada bulan Januari dan Juli melebihi 40%. 3. Resultan angin utama pada salah satu bulan tersebut melebihi 3 m/detik. 4. Terjadi siklon dan antisiklon secara bergantian setiap dua tahun pada setiap bulan tersebut, dalam kotak koordinat lintang 5o. Pada musim dingin di belahan bumi utara terbentuk tekanan tinggi yang berpusat di Siberia. Massa udara berhembus dari sel tekanan tinggi ke arah selatan dan tenggara. Kemudian massa udara ini bertemu dengan angin timur laut dari Samudera Pasifik yang menjadi angin monsun timur laut. Saat melintasi katulistiwa angin ini dibelokkan, karena pengaruh rotasi bumi dan menjadi angin baratan di Indonesia serta terus menuju pusat tekanan rendah di benua Australia. Massa udara ini mengakibatkan musim hujan di atas wilayah Indonesia (Ramage. 1971 dalam Yusliza, Rosi. 2002). Pada musim dingin di belahan bumi selatan berhembus angin monsun tenggara yang berasal dari sel tekanan tinggi di benua Australia melewati Indonesia. Ketika melintasi katulistiwa angin ini berbelok menjadi angin barat daya dan terus melaju ke pusat tekanan rendah di benua Asia. Massa udara ini bersifat stabil dan kering, yang mengakibatkan musim kemarau di atas wilayah Indonesia kecuali bagian barat laut Indonesia (Ramage. 1971 dalam Yuzliza, Rosi. 2002). Musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari. Antara musim penghujan dan kemarau disebut musim Transisi I yang terjadi pada bulan Maret-April-Mei. Dan dari musim kemarau ke penghujan disebut musim Transisi II yang terjadi pada bulan September-Oktober-November. Dalam tipe hujan equatorial, bentuk distribusi bulanan curah hujan menunjukkan maksima ganda (dua kali periode maksimal curah hujan). Jumlah curah hujan maksimun terjadi ketika kedudukan matahari disekitar ekuator. Akibat revolusi II-2 dan rotasi bumi, terjadi migrasi matahari tahunan bolak-balik dari tropics of cancer (23,50 U) tanggal 22 Juni menuju ekuator tanggal 23 September, dan tropics of capricorn (23,50 S), kemudian dari lintang ini kembali lagi menuju ke ekuator tanggal 21 maret dan setelah itu menuju ke tropics of cancer untuk selanjutnya mengulangi siklus yang sama. 2.1.2 Monsun pada Iklim dan Curah Hujan di Jawa timur Khusus di Indonesia, sirkulasi umum memperlihatkan kesamaan dalam kelompok bulan tertentu (3 bulanan) selama beberapa tahun berurutan (Schmidt, 1953). Berdasarkan sirkulasi itu dan posisi Pulau Jawa yang berada di dekat garis katulistiwa dan memotong arah gerak monsun, Braak menyatakan bahwa pulau Jawa dipengaruhi oleh empat angin musiman yang sesuai dengan sirkulasi monsun, (Yusliza, Rosi, dalam Triyanto, Helmi, 2004) di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai Irian, yaitu : 1. Angin Monsun Barat (West Monsoon) / Barat Laut yang dimulai dari Bulan Desember-Januari-Februari. Posisi matahari berada di atas benua Australia, maka benua Australia bertekanan udara rendah dan Benua Asia bertekanan udara tinggi, sehingga angin bertiup dari Asia menuju Australia. 2. Musim Transisi I, yang terjadi pada bulan Maret-April-Mei. Dimana merupakan massa transisi antara angin monsun Barat menjadi angin monsun Timur. Pada kondisi ini arah angin berubah-ubah dan dikenal sebagai periode transisi dari musim hujan ke musim kemarau, kecepatan angin pada periode ini lebih lemah dari angin monsun barat. 3. Angin Monsun Timur (East Monsoon) / monsun tenggara yang terjadi dari bulan Juni-Juli-Agustus. Posisi matahari berada di atas benua Asia, maka benua Australia bertekanan udara tinggi, dan benua Asia bertekanan udara rendah. Sehingga massa udara yang dibawa angin tersebut berasal dari daerah tekanan tinggi Australia yang bersifat kering, yang hasilnya pada keadaan tersebut pulau Jawa mengalami musim kemarau. II-3 4. Musim transisi II antara angin musim Timur dan angin musim Barat yang merupakan musim peralihan kedua, setiap periode peralihan kecepatan angin selalu lebih rendah dibanding periode monsun. 2.1.3 Angin pasat pada Iklim dan Curah Hujan di Jawa timur Hujan di daerah tropis diakibatkan oleh konvergensi angin pasat yang berasal dari belahan bumi utara dan belahan bumi selatan, hujan ini terjadi di sepanjang Intertropical Convergence Zone yang bergerak ke utara dan selatan katulistiwa mengikuti posisi semu matahari terhadap bumi. Pada bulan Desember-Januari-Februari pita ITCZ di daerah Indonesia sebagian besar berada di bagian selatan katulistiwa, sedangkan bulan Juni-Juli-Agustus pita ini berada di utara katulistiwa, kemunculan pita ITCZ dilihat dari konveksi aktif awan Cumulus (Cu) dan Cumulonimbus (Cb) yang menjulang tinggi hingga mendekati tropopause. Posisi pulau Jawa khususnya Jawa timur yang berada di selatan katulistiwa mungkin mendapat pengaruh oleh pita ITCZ saat berada di bagian selatan katulistiwa pada periode bulan Desember-Januari-Februari. 2.1.4 Pengaruh Lokal pada Iklim dan Curah Hujan di Jawa timur Sirkulasi lokal angin darat dan angin laut disebabkan oleh perbedaan sifat termal antara permukaan daratan dan laut, serta memiliki skala yang jauh lebih kecil dari sikulasi global dan interval yang lebih sedikit (harian). Angin laut (sea breeze) terjadi di daerah pantai, bertiup pada siang hari dari lautan menuju daratan karena pemanasan di atas daratan lebih cepat dibanding laut. Pada siang hari tekanan rendah terjadi di atas daratan dan tekanan tinggi diatas lautan sehingga terjadilah sirkulasi angin laut. II-4 Angin darat (land breeze) terjadi pada malam hari menuju lautan, karena pendinginan di atas daratan lebih cepat dibanding di lautan, sehingga pada malam hari terjadi tekanan tinggi di atas daratan dan tekanan rendah diatas lautan sehingga terjadilah sirkulasi angin darat. Efek orografis, yaitu bentukan permukaan bumi yang tidak rata, mengakibatkan arus udara terganggu, dan bentukan pegunungan sangat berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah tersebut yang melihat dari mana arah datangnya massa udara. Bagian windward side yang mengarah ke suatu pegunungan / lereng, akan memaksa udara untuk naik, sehingga mengalami penginginan lapsrate adiabatik kering, maka suhu udara akan berkurang tiap 1o C / 100 m, dan bila terus naik prosesnya menjadi lapsrate adiabatik jenuh sekitar 0,65o C / 100 m, sehingga bagian ini terjadi kondensasi dan pembentukan awan hujan lebih sering terjadi. Sedangkan pada bagian leeward side yang keluar dari suatu pegunungan, udara mengalami pemanasan adiabatik kering sebesar 1o C / 100 m, sehingga massa udara yang telah terkondensasi dan kemungkinan besar menjadi hujan, akan mengalami kekeringan pada bagian ini dengan suhu yang lebih panas. Pengaruh lokal, yaitu pemanasan lokal di suatu daerah yang disebabkan oleh sifat kelembaban tanah, yang juga dipengaruhi oleh tutupan lahan di tanah itu. Hampir setiap hari kenaikan udara dan pembentukan awan dapat diamati di daerah pegunungan. Pada lereng-lereng gunung yang dipanasi oleh radiasi matahari lebih kuat dari pada atmosfer bebas pada paras (level) yang sama. Sehingga udara akan naik sepanjang lereng gunung (angin lembah / anabatik) pada siang hari (pukul 10.00 hingga sore). Fenomena ini terjadi terutama pada periode peralihan antara monsun timur dan monsun barat atau sebaliknya, karena angin yang lemah dan tidak mengganggu pemanasan lokal (Erwin, Jamal, dalam Triyanto Helmi, 2004) II-5 2.2 Metode Kluster 2.2.1 Analisa Kelompok Klasifikasi untuk menempatkan stasiun-stasiun / obyek-obyek pengamatan kedalam kelompok yang homogen sedemikian sehingga satu kelompok dengan kelompok lain sehingga dapat diketahui perbedaannya. Analisa kelompok merupakan nama yang diberikan dari berbagai macam teknik yang dibuat untuk mengklasifikasikan obyek-obyek penelitian menjadi kelompokkelompok yang homogen satu dengan lainnya. Secara umum metode klasifikasi dalam analisa kelompok, dibagi menjadi 4 metode, yaitu : 1. Metode Partisi (Partitioning Methods) Metode ini bekerja pada observasi multivariate itu sendiri atau pada proyeksi observasi tersebut dengan dimensi yang lebih rendah. Pada dasarnya, metode ini mengumpulkan dengan menemukan daerah yang didefinisikan oleh sebanyak m variabel yang berpopulasi jarang dan memisahkannya dari daerah berpopulasi padat. 2. Metode Titik Asal yang berubah-ubah (Arbitrary Origin Methods) Metode ini bekerja dengan kesamaan antara observasi-observasi dan titik awal yang berubah. Jika ada sebanyak n observasi yang akan diklasifikasikan ke dalam sebanyak k kelompok, maka dihitung matrik nxk yang tidak simetri dari kesamaan antara n observasi dan k titik awal yang berubah yang berfungsi sebagai pusat kelompok awal. Observasi yang sangat dekat atau sama dengan titik awal kemudian digabung dengan titik awal tersebut untuk membentuk kelompok, ini dilakukan secara iterasi. Kemudian titik pusatnya kembali dihitung untuk kelompok yang berubah (bertambah / berkurang) anggotanya. II-6 3. Metode Saling Sama (Mutual Similarity Methods) Metode ini mengelompokkan observasi yang mempunyai kesamaan dengan observasi lain. Pertama, menghitung matrik kesamaan antara semua pasangan observasi (nxn). Kemudian kesamaan antara kolom dari matrik tersebut secara iterasi dihitung. Kolom yang mewakili anggota dari kelompok beranggota tunggal akan cenderung mempunyai interkorelasi mendekati +1, sementara korelasi yang sangat rendah mewakili anggota yang tidak masuk ke dalam kelompok. 4. Metode Pengelompokan Hirarki (Hierarchial Clustering) Metode ini menggabungkan observasi-observasi yang hampir sama, kemudian berturut-turut menggabungkan dengan observasi lainnya yang sama. Pertama, menghitung matrik kesamaan antara semua pasangan observasi (nxn). Pasangan yang mempunyai kesamaan tinggi kemudian digabungkan dan matriks kesamaan dihitung kembali yaitu dengan merata-ratakan kesamaan yang dipunyai gabungan observasi dengan observasi lain. Proses berulang dilakukan sehingga matrik kesamaan berkurang menjadi 2x2. Nilai kesamaan ketika observasi digabungkan digunakan untuk membuat dendogram. 2.2.2 Partisi Pengertian partisi. Partisi sebanyak n dari m objek merupakan koleksi himpunan dari himpunan bagian yang tak kosong, sehingga setiap objek terletak tepat pada satu kelompok dari koleksi himpunan tersebut. Suatu kelompok ke j dengan anggota dari 1 s/d m yang ditulis dengan simbol Cj1 yang merupakan himpunan tak kosong. Partisi sebanyak n dari m objek didefinisikan sebagai suatu himpunan : C = {C1,C2,C3,... , Cn} Dimana II-7 Cj ≠ 0 ; j = 1,2,..., n C1 ∪ C2 ∪ ... ∪ Cn = {1, 2, ... , m} Cj ∩ Ck = 0 ; j ≠ k ; j = 1, 2, ... , n ; k = 1, 2, ... , n Suatu partisi dengan sebanyak n dinyatakan dengan suatu vektor p dengan elemen sebanyak m, ditulis sebagai berikut : P = [ p1 , p2 , .... , pn ] Jika suatu objek ke i dikelompokan ke dalam kelompok ke j maka pi = j. Misalkan pengelompokan sebanyak 7 objek dengan kelompok yang diharapkan sebanyak 3, diperoleh partisi sebagai berikut : P = [ p1 , p2 , p3 , p4 , p5 , p6 ] =[3,2,3,1,2,1] Artinya kelompok 1 berisi anggota no. 4 dan 6, kelompok 2 berisi anggota no. 2 dan 5, sedangkan kelompok 3 berisi anggota no. 1 dan 3. Jumlah partisi yang mungkin Banyaknya partisi yang mungkin untuk sebanyak n kelompok dari sejumlah m objek dinyatakan dalam : S (m, n ) = n 1 n (− 1)n − j ⎛⎜⎜ ⎞⎟⎟ j m ∑ n! j =1 ⎝ j⎠ (Andenberg, 1973) Untuk kasus partisi 2 kelompok dari sejumlah m variabel, banyaknya partisi yang mungkin diperoleh : S (m, n) = 2m −1 − 1 Dalam hubungan rekursif, banyaknya partisi yang mungkin dituliskan sebagai : S ( m, n) = nS ( m − 1, n) + S ( m − 1, n − 1) II-8 Dengan S (1,1) = 1 dan S (1, n) = 0 ,untuk n ≠ 1 (Rubin, 1967) 2.2.3 Kriteria Kuadrat Jarak 2.2.3.1 Jumlah kuadrat jarak Tinjau matrik berukuran mxl ; X = (xij), dengan i = 1 , 2 , ... , m dan j = 1 , 2 , ... , l Ditulis : ⎡ X 11 ⎢X X = ⎢ 21 ⎢ . ⎢ ⎣ X m1 X 12 X 22 X m2 X 1l ⎤ ... X 2l ⎥⎥ ⎥ ⎥ ... X ml ⎦ ... Dan Xi adalah vektor kolom data objek ke I dari matrik X yaitu ⎡ X i1 ⎤ X = ⎢⎢ .. ⎥⎥ ⎢⎣ X il ⎥⎦ Ambil suatu kelompok C1 dengan banyaknya objek ditulis mj , dimana mj ≥ 2 , misalkan ada Ck suatu himpunan bagian tak kosong dari Cj atau Ck ≠ 0 , Ck ≠ Cj dan Ck ≠ Ck ⊂ Cj Objek dari Cj yang tidak termuat di kelompok Ck diletakkan di kelompok Cp dengan Cp ≠ 0 , atau Cp = Cj – Ck . Untuk kasus di atas pusat kelompok untuk masing-masing Cj , Ck , Cp dinyatakan dengan : ⎛ 1 ⎞ x = ⎜ ⎟ ∑ xi (q = j , k , p ) ⎜ m ⎟i∈C ⎝ q⎠ q Dan jumlah kuadrat jarak objek-objek terhadap pusat masing-masing kelompok dinyatakan sebagai : II-9 e1 = 2 ∑x − xq (q = j , k , p ) i i∈C q Dengan pengkuadratan dan memakai eq = ∑x i∈C q 2 i − mq x q ∑ (x i ) − x = 0 , eq dituliskan sebagai berikut 2 Pusat kelompok xp dan jumlah kuadrat jarak dapat ditulis sebagai fungsi xj , xk , ej , ek (Howard, 1966) yaitu xp = m j x j − mk x k m j − mk e p = e j − ek − m j mk m j − mk x j − xk 2 Untuk kasus khusus dimana Ck yang berisi satu anggota atau Ck = {k} , maka persamaan diatas menjadi : xp = m j x j − xk mj −1 ep = e j − mj mj −1 x j − xk 2 Bila Cp diperoleh dari penggabungan Cj , Ck , ditulis Cp = Cj ∪ Ck dan irisan kedua kelompok adalah kosong Cj ∩ Ck = 0 ; maka pusat kelompok dan jumlah kuadrat jarak dinyatakan sebagai xp = m j x j + mk x k m j + mk e p = e j + ek + m j mk m j − mk x j − xk 2 II-10 Untuk kasus khusus dimana Ck yang berisi satu anggota atau Ck = {k} , maka persamaan diatas menjadi xp = m j x j + xk mj +1 ep = e j + mj mj +1 x j − xk 2 2.2.3.2 Kriteria Jumlah kuadrat jarak Kriteria yang digunakan pada pemilihan partisi yang optimal dari semua partisi yang mungkin adalah dengan meminimalkan fungsi objektif yaitu : n n n ∑ xi − x = ∑ ∑ xi − x j + ∑ m j x j − x 2 i =1 Karena 2 j =1 i∈C n ∑x i =1 i 2 j =1 2 − x konstan maka jika suatu fungsi objektif, n Z1 (C1 , C2 , Cn ) = ∑∑ xi − x j 2 j =1 i∈C Diminimumkan maka akan cukup berarti dalam partisi. Fungsi objektif ini disebut kriteria jumlah kuadrat jarak. Untuk pembagian yang optimal dengan Z1 , tiap objek terdekat ke pusat kelompok akan dikelompokan dan yang terluar tidak akan digabungkan (Bock, 1974). 2.2.3.3 Metode K-means Metode ini digunakan untuk mengelompokan matrik data dari objek sebanyak m dan variabel sebanyak l menjadi n kelompok sehingga objek yang berada dalam satu kelompok mempunyai sifat yang hampir sama dan setiap kelompok mempunyai sifat yang saling berbeda. II-11 Pada metode ini, data awal dianggap sebagai satu kelompok C1 = (1, 2, ... , m) , sehingga pusat kelompok xp dan jumlah kuadrat jarak, Untuk mendapatkan kelompok-kelompok yang diharapkan, metode k-means melakukan pemindahan objek. Pemindahan ini terjadi apabila paling sedikit ada satu kelompok Cj yang tidak sama dengan kelompok Cr , sehingga memenuhi persamaan : 2 mj mr xr − xi 〉 x j − xi mr − 1 mj −1 2 Dengan pr = r , j ≠ r . Kemudian objek ke i dipindahkan ke kelompok Cv sehingga suku kanan pertidaksamaan (1.20) menjadi diminimumkan. Ini berarti bahwa jumlah kuadrat jarak er + ev menjadi er − mr xr − xi mr − 1 2 + ev + mv xv − xi mv − 1 2 Dalam pemindahan objek ini total jumlah kuadrat jarak d = ∑ e j diminimumkan. Metode yang digunakan adalah metode IsoCluster yang ada dalam software arcGIS, yang menerapkan metode pengelompokkan saling sama untuk membentuk sebuah kelompok. 2.3 Metode Oldeman Metode ini berhubungan dengan pertanian dalam penentuan masa tanam, yang membagi daerah iklim kedalam urutan bulan basah dan bulan kering. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, daerah pesisir utara Jawa timur cenderung lebih kering dengan zona iklim C dan D, sedangkan di pesisir selatan bervariasi dari B, C, dan D. (T.H.K Bayong, 1999) Dalam penelitian ini berdasarkan metode Oldeman daerah Jawa Timur termasuk zona D3 dan zona E sehingga daerah Jawa Timur terutama di pesisir utara memiliki karakteristik iklim daerah kering. II-12 Oldeman menyarankan untuk menggunakan akumulasi curah hujan sebesar 75 mm per bulan untuk tanaman Palawija, dan 200 mm per bulan untuk tanaman Padi (P. Budi, 1995). Pengklasifikasian daerah iklim berdasarkan Klasifikasi Oldeman dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Pembagian zona iklim berdasarkan klasifikasi oldeman (Sumber, T.H.K Bayong. 1999) Z A B1 B2 C1 D2 D3 D4 E1 E2 E3 E4 B >9 7-9 7-9 5-6 5-6 5-6 3-4 3-4 3-4 3-4 <3 <3 <3 <3 K <2 <2 5-6 >6 <2 2-4 5-6 >6 2-3 <2 C2 C3 D1 2-4 5-6 <2 2-4 Catatan : Z = Zona, B = Jumlah bulan basah berurutan (>200mm per bulan) dan K = Jumlah bulan kering berurutan (<100mm per bulan). Tabel 3. Kemungkinan Pertanaman Berdasarkan Zona Agroklimat Oldeman (Sumber : Conbul, 1997 dalam Zulfakriza) Wilayah iklim Pertanian A B1 B2 C1 D1 D2 E Kemungkinan Pertanaman Sesuai untuk padi terus menerus, tetapi produksi kurang karena pada umumnya intensitas matahari rendah sepanjang tahun Sesuai untuk padi terus menerus, perlu perencanaan awal tanam. Produksi tanaman tinggi bila panen pada musim kering Dapat ditanam dua kali padi dalam setahun dengan varietas umur pendek. Musim kering pendek tapi cukup untuk tanaman palawija Tanaman satu kali padi, dan dua kali palawija setahun Dapat ditanam padi dengan varietas umur pendek, produksi tinggi karena intensitas matahari tinggi, waktu penanaman palawija tergantung dari irigasi Hanya dapat ditanam satu kali padi atau satu kali palawija, tergantung pada adanya persediaan irigasi Daerah yang umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat ditanami satu kali palawija 2.4 Ketersediaan Air Untuk Tanaman Pertanian Tanaman pertanian khususnya tanaman padi (oriza sativa) yang dibahas pada tugas akhir ini merupakan tanaman yang tidak terlalu tinggi, hidup pada kisaran II-13 temperatur rata-rata 18o C, yang optimum pada suhu antara 24o C hingga 29o C. Curah hujan optimum untuk padi gogo dan tadah hujan lebih dari 1600 mm/tahun. Sedangkan untuk padi lahan basah (sawah irigasi, sawah lebak / rawa, dan pasang surut) curah hujan tidak bermasalah. Dengan kelembaban yang cocok untuk tanaman ini adalah 33% hingga 90%. Pada dataran rendah (<500 m dpl) tanaman padi dapat di tanam baik pada iklim basah, dan juga pada dataran sedang sampai tinggi (>= 500 m dpl) dapat tumbuh dengan baik pada iklim basah (D. Djaenudin, dkk, 2003 dalam Zulfakriza, 2003). 2.4.1 Ketersediaan Air Daerah pertanian khususnya tanaman padi membutuhkan air dalam jumlah yang optimal, dalam arti tidak kurang (sehingga mengakibatkan kekeringan) dan tidak lebih (sehingga mengakibatkan genangan air) yang berakibat kepada gagal panen. Untuk mengetahui ketersediaan air suatu daerah dapat diamati berdasarkan tiga parameter utama yaitu tanaman, tanah dan iklim, selain ke tiga parameter itu ada parameter lainnya yaitu kondisi fisiologis, biologis, fisis, dan kimia yang merupakan mekanisme alamiah. 2.4.1.1 Parameter Tanaman Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman, biasanya ditentukan berdasarkan koefisien tanaman kc, yang menggambarkan tingkat dan kondisi pertumbuhan tanaman. Nilai kc untuk setiap spesies tanaman berbeda-beda, karena fase fenologis tiap tanaman berbeda. Besar nilai kc ditentukan oleh (FAO, 1975) : 1. Waktu tanam dan lama pertumbuhan 2. Karakteristik genetika tanaman 3. Kondisi tumbuh tanaman 4. Permukaan daun 5. Kondisi iklim setempat II-14 Berdasarkan tingkat pertumbuhan tanaman (khususnya tanaman semusim), dikenal empat fase pertumbuhan, (FAO, 1975) sebagai berikut : K1 = perioda awal, mulai dari tanam sampai awal pembungaan (penutupan tanah oleh tanaman sebesar 10%). K2 = perioda perkembangan atau pembentukan bunga (penutupan tanah sekitar 80%) K3 = perioda pembentukan buah dan biji K4 = perioda pematangan sampai panen Untuk tanaman padi nilai kc dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Nilai Koefisien Tanaman Kc Untuk tanaman Padi (Sumber, Suriadikusumah. 1975) Umur (Hari) Padi (Kc) 10 0,68 20 0,68 30 0,82 40 0,97 50 1,12 60 1,30 70 1,40 80 1,40 90 1,40 100 1,30 110 1,21 120 1,21 2.4.1.2 Penentuan Masa Tanam Penentuan masa tanam pada tugas akhir ini didasarkan pada, jumlah kebutuhan air yang diperlukan tanaman pangan untuk memenuhi evapotranspirasi maksimalnya (ET), keadaan ini didasari karena kebutuhan akar terhadap air yang tersedia, apabila air yang tersedia kurang dari kebutuhan tanaman maka pertumbuhan II-15 tanaman tidak akan berlangsung dengan baik, besar kebutuhan ini dapat terlihat dari ketersediaan air suatu daerah. Adapun harga ET ditentukan dari persamaan berikut : ET = kc.ETo Dengan, ET = Evapotranspirasi maksimum tanaman Kc = Koefisien tanaman Eto = evapotranspirasi standard Untuk lebih lengkapnya nilai Eto didapatkan dari data kelembaban, panjang siang dan kecepatan angin, namun karena keterbatasan data, diasumsikan bahwa harga evapotranspirasi standard tanaman sama dengan evapotranspirasi potensial, asumsi persamaannya dapat dilihat sebagai berikut : Eto = PET Harga kc ditentukan berdasarkan harga kc rata-rata dari fase-fase pertumbuhan tanaman pangan dan diambil patokan untuk tanaman padi memiliki harga 1,40. Selanjutnya panjang masa tanam ditentukan berdasarkan panjang surplus untuk tiap tanaman, sedang penentuan awal masa tanam ditentukan saat harga curah hujan = 0,5PET (FAO, 1978). Jawa timur pada 39 stasiun pencatat data curah hujan, karakteristik curah hujannya memiliki rata-rata 113 mm per tahun untuk seluruh stasiun, dengan curah hujan minimum sebesar 0 mm dan maksimum sebesar 377 mm per tahun, untuk rata-rata pengamatan selama 24 tahun. 2.4.1.3 Parameter Tanah Faktor ini ditentukan dari ketersediaan air pada kompleks perakaran, baik mengenai jumlah tekanan maupun kondisi tekanan yang mengikatnya. Kedua hal ini sangat bergantung kepada porositas dan tekstur tanah. II-16 Faktor tanah dihitung berdasarkan kelembaban tanah volumik (dalam %), kapasitas lapang (pF 2.4) dan titik layu permanen (pF 4.52) pada kedalaman tanah tertentu yang semuanya dinyatakan dalam hubungan sebagai berikut (Suriadikusumah, A.1993) : Kt (mm) = (θkl-θtl) x h Dengan Kt = Jumlah maksimal air yang ditampung (θkl-θtl) = masing-masing adalah kelembaban tanah volumik (%) pada kondisi air kapasitas lapang (pF 2.4) dan titik layu permanen (pF 4.52) h = kedalaman lapisan tanah untuk tiap 10 cm (bila kedalaman 30 cm maka h = 3) Pengukuran jumlah maksimal air yang ditampung dilakukan menggunakan tensiometer dan radiasi neutron. 2.4.1.4 Parameter Iklim Ketersediaan air dihitung dari data presipitasi dan evaporasi, -Data presipitasi Perhitungan pada data ini dapat dilakukan untuk berbagai intensitas pengamatan (tahunan, bulanan, mingguan, dekade, dan harian) dalam berbagai besaran (ratarata, maksimum, dan minimum) untuk tugas akhir ini digunakan pengamatan bulanan. Berdasarkan jumlah hujan yang jatuh tiap bulannya, Oldeman (1979) mendefinisikan bulan basah dan bulan kering dengan kriteria sebagai berikut : Bulan basah : Curah hujan > 200 mm per bulan Bulan kering : Curah hujan < 100 mm per bulan Bulan Lembab : Curah hujan 100-200 mm per bulan II-17 -Data Evaporasi Evaporasi merupakan proses kehilangan air dari tanah yang diakibatkan karena penguapan langsung dari permukaan tanah dan dari penguapan permukaan batang maupun daun dari tumbuh-tumbuhan. Sedangkan evapotranspirasi adalah jumlah air yang hilang dalam bentuk uap air dari suatu permukaan dengan luasan tertentu (air bebas, tanah, tanaman). Pada kondisi air tanah melimpah laju evapotranspirasi berada pada keadaan potensialnya (evapotranspirasi potensial) yang berlangsung sesuai dengan kondisi cuaca / iklim saat itu, dalam arti kata lain evapotranspirasi potensial adalah penguapan dari suatu permukaan dimana pada setiap kompleks perubahan “airuap”, keadaannya jenuh akan uap air (kelembaban mencapai 100%); atau dikenal sebagai penguapan yang terjadi dari suatu permukaan air bebas. (Perrier, 1985) menyebutkan bahwa keadaan udara, albedo permukaan, karakter geometris, serta faktor tanaman (tipe, fase fenologis, dan kondisi tumbuh) adalah sangat menentukan besar ETP yang terjadi. Sedangkan saat kering evapotranspirasi aktual lebih kecil dibandingkan harga evapotranspirasi potensialnya. Perbedaan ketersediaan air disuatu daerah ditentukan berdasarkan banyaknya curah hujan yang terjadi di daerah itu terhadap potensial evaporasi yang berlangsung di daerah pengamatan, metode yang digunakan untuk ketersediaan air berasal dari metode FJ. Mock (1973) yaitu Ws = CH - El, Dengan Ws = Water Surplus, CH = Curah Hujan, El = Limited Evapotranspirasi Namun karena keterbatasan data, digunakan metode yang digunakan oleh Cocheme dan Franquin (1967) yang menghitung ketersediaan air hanya dengan data curah hujan dan evapotranspirasi potensial, dan sudah digunakan oleh Jackson (1979) dalam perencanaan pertanian di daerah kering Afrika Barat dan selama enam tahun penerapannya menghasilkan implementasi yang cukup baik. II-18 Cocheme dan Franquin (1967), membuat analisa ketersediaan air berdasarkan data Curah Hujan dan Evapotranspirasi, dan dari perpotongan kurva nilai rata-rata curah hujan dan evapotranspirasi potensial rata-rata (ETP), 0,5ETP dan 0,1 ETP dapat ditentukan panjang periode untuk persiapan lahan, periode peralihan, periode basah dan periode cadangan air tanah. Selanjutnya nilai ETP dicari menggunakan rumus : ETPi = 0,75 x (Ji)Eoi Dengan i = 1,2,3,...,12 (bulan) J = jumlah hari dalam bulan ke-i ETP = Evapotranspirasi potensial bulanan Eo = Evaporasi harian asumsi februari = 28 hari Untuk menentukan periode persiapan lahan, periode peralihan, periode basah dan periode cadangan air tanah langkah-langkah selanjutnya adalah sebagai berikut : 1. Nilai rata-rata data ETP, 0,5ETP, 0,1ETP dan CH diplot dalam satu grafik. 2. Memproyeksikan perpotongan kurva ETP, 0,5ETP, 0,1ETP dan CH pada sumbu horizontal grafik yang menyatakan bulan. 3. Titik potong antara kurva CH dan 0,1ETP sampai dengan CH dan 0,5ETP merupakan saat penyiapan lahan (PL), pada saat ini hujan sudah turun tapi belum cukup untuk menyediakan air dalam tanah karena nilai evaporasi masih cukup tinggi. 4. Titik potong antara CH dan 0,5ETP hingga ETP merupakan saat periode peralihan tahap pertama (PPT I). Pada periode ini, hujan sudah mulai turun lebih banyak sehigga dapat mengimbangi air yang hilang akibat evaporasi, dan akan meningkatkan kelembaban tanah. Saat ini sangat cocok untuk penyemaian bibit sehingga periode selanjutnya kebutuhan air sudah terpenuhi untuk pertumbuhan dan produksi. 5. Proyeksi perpotongan antara CH dan ETP pada tahap permulaan maupun pada tahap akhir merupakan periode basah (PB / humid period). Selama periode ini air cukup tersedia untuk kebutuhan tanaman. II-19 6. Periode masa tumbuh tersedia, merupakan periode yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang masih tersimpan dalam tanah pada akhir musim hujan setelah curah hujan sama dengan atau mendekati setengah evapotranspirasi potensial berdasarkan persamaan berikut GS = I1 + H + ( I 2 + S ) Dengan GS = Growth season (masa tumbuh tersedia) I1 = periode peralihan pertama I2 = periode peralihan kedua H = Periode basah (humid period) S = waktu yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang dianggap masih tersimpan dalam profil tanah setelah I2. 7. Periode Peralihan tahap kedua (PPT II) merupakan proyeksi titik perpotongan antara CH-ETP sampai dengan perpotongan CH-0,5ETP bulan selanjutnya. Selang waktu periode PPT I dan PPT II termasuk periode lembab (PLb / Moist Period) dan selama periode ini cukup tersedia air untuk pembungaan dan pembuahan tanaman. 8. Saat setelah perpotongan CH dan 0,5 ETP selanjutnya disebut dengan periode cadangan (PCd / reserve periode) dan pada periode ini meskipun curah hujan sudah berkurang namun cadangan air tanah masih bisa dimanfaatkan untuk pematangan buah. Gambar 5. Gambar Ketersediaan Air di Jawa Timur berdasarkan Cocheme dan Franquin (1967) II-20