II-1 BAB II TEORI DASAR 2.1 Fenomena Yang Mempengaruhi

advertisement
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Fenomena Yang Mempengaruhi Curah Hujan
Indonesia sebagai Negara beriklim tropis yang terletak membelah garis ekuator,
memiliki berbagai fenomena iklim dan cuaca yang mempengaruhi terjadinya
curah hujan, McBride (1992) membagi beberapa fenomena meteorologi yang ada
di Indonesia / wilayah kontinen maritim, seperti monsun, osilasi selatan, osilasi
40-50 hari, surge dari laut Cina selatan dan pantai barat Australia, monsun
Australia dan lain-lain.
Selain fenomena-fenomena itu pada umumnya ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi curah hujan, diantaranya adalah Sirkulasi Global, sirkulasi
regional (angin pasat), dan faktor lokal (sirkulasi angin darat, angin laut, efek
orografis, serta pemanasan lokal).
Sistem pertanian tadah hujan, pada umumnya dipengaruhi oleh fenomena yang
berhubungan langsung dengan kejadian hujan dan berpengaruh kepada musim
tanam, khususnya kemunculan monsun yang secara langsung memberikan
pengaruh kepada periode masa tanam bagi petani.
2.1.1 Monsun
Fenomena monsun, merupakan peristiwa yang terjadi karena adanya pembalikan
musiman arah angin, yang terbentuk akibat perbedaan pemanasan antara daratan
(benua) dan lautan yang bergantian secara musiman.
Ramage (1971) mendefinisikan daerah monsun menurut keadaan sirkulasi angin
permukaan pada bulan Januari dan Juli sebagai berikut :
II-1
1. Terjadi pergantian arah angin sekurang-kurangnya 120o antara bulan Januari
dan Juli.
2. Rata-rata frekuensi pembalikan arah angin pada bulan Januari dan Juli melebihi
40%.
3. Resultan angin utama pada salah satu bulan tersebut melebihi 3 m/detik.
4. Terjadi siklon dan antisiklon secara bergantian setiap dua tahun pada setiap
bulan tersebut, dalam kotak koordinat lintang 5o.
Pada musim dingin di belahan bumi utara terbentuk tekanan tinggi yang berpusat
di Siberia. Massa udara berhembus dari sel tekanan tinggi ke arah selatan dan
tenggara. Kemudian massa udara ini bertemu dengan angin timur laut dari
Samudera Pasifik yang menjadi angin monsun timur laut. Saat melintasi
katulistiwa angin ini dibelokkan, karena pengaruh rotasi bumi dan menjadi angin
baratan di Indonesia serta terus menuju pusat tekanan rendah di benua Australia.
Massa udara ini mengakibatkan musim hujan di atas wilayah Indonesia (Ramage.
1971 dalam Yusliza, Rosi. 2002).
Pada musim dingin di belahan bumi selatan berhembus angin monsun tenggara
yang berasal dari sel tekanan tinggi di benua Australia melewati Indonesia. Ketika
melintasi katulistiwa angin ini berbelok menjadi angin barat daya dan terus melaju
ke pusat tekanan rendah di benua Asia. Massa udara ini bersifat stabil dan kering,
yang mengakibatkan musim kemarau di atas wilayah Indonesia kecuali bagian
barat laut Indonesia (Ramage. 1971 dalam Yuzliza, Rosi. 2002).
Musim hujan di Indonesia terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari. Antara
musim penghujan dan kemarau disebut musim Transisi I yang terjadi pada bulan
Maret-April-Mei. Dan dari musim kemarau ke penghujan disebut musim Transisi
II yang terjadi pada bulan September-Oktober-November.
Dalam tipe hujan equatorial, bentuk distribusi bulanan curah hujan menunjukkan
maksima ganda (dua kali periode maksimal curah hujan). Jumlah curah hujan
maksimun terjadi ketika kedudukan matahari disekitar ekuator. Akibat revolusi
II-2
dan rotasi bumi, terjadi migrasi matahari tahunan bolak-balik dari tropics of
cancer (23,50 U) tanggal 22 Juni menuju ekuator tanggal 23 September, dan
tropics of capricorn (23,50 S), kemudian dari lintang ini kembali lagi menuju ke
ekuator tanggal 21 maret dan setelah itu menuju ke tropics of cancer untuk
selanjutnya mengulangi siklus yang sama.
2.1.2 Monsun pada Iklim dan Curah Hujan di Jawa timur
Khusus di Indonesia, sirkulasi umum memperlihatkan kesamaan dalam kelompok
bulan tertentu (3 bulanan) selama beberapa tahun berurutan (Schmidt, 1953).
Berdasarkan sirkulasi itu dan posisi Pulau Jawa yang berada di dekat garis
katulistiwa dan memotong arah gerak monsun, Braak menyatakan bahwa pulau
Jawa dipengaruhi oleh empat angin musiman yang sesuai dengan sirkulasi
monsun, (Yusliza, Rosi, dalam Triyanto, Helmi, 2004) di wilayah Sumatera,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai Irian, yaitu :
1. Angin Monsun Barat (West Monsoon) / Barat Laut yang dimulai dari Bulan
Desember-Januari-Februari. Posisi matahari berada di atas benua Australia,
maka benua Australia bertekanan udara rendah dan Benua Asia bertekanan
udara tinggi, sehingga angin bertiup dari Asia menuju Australia.
2. Musim Transisi I, yang terjadi pada bulan Maret-April-Mei. Dimana
merupakan massa transisi antara angin monsun Barat menjadi angin monsun
Timur. Pada kondisi ini arah angin berubah-ubah dan dikenal sebagai periode
transisi dari musim hujan ke musim kemarau, kecepatan angin pada periode ini
lebih lemah dari angin monsun barat.
3. Angin Monsun Timur (East Monsoon) / monsun tenggara yang terjadi dari
bulan Juni-Juli-Agustus. Posisi matahari berada di atas benua Asia, maka benua
Australia bertekanan udara tinggi, dan benua Asia bertekanan udara rendah.
Sehingga massa udara yang dibawa angin tersebut berasal dari daerah tekanan
tinggi Australia yang bersifat kering, yang hasilnya pada keadaan tersebut
pulau Jawa mengalami musim kemarau.
II-3
4. Musim transisi II antara angin musim Timur dan angin musim Barat yang
merupakan musim peralihan kedua, setiap periode peralihan kecepatan angin
selalu lebih rendah dibanding periode monsun.
2.1.3 Angin pasat pada Iklim dan Curah Hujan di Jawa timur
Hujan di daerah tropis diakibatkan oleh konvergensi angin pasat yang berasal dari
belahan bumi utara dan belahan bumi selatan, hujan ini terjadi di sepanjang
Intertropical Convergence Zone yang bergerak ke utara dan selatan katulistiwa
mengikuti posisi semu matahari terhadap bumi.
Pada bulan Desember-Januari-Februari pita ITCZ di daerah Indonesia sebagian
besar berada di bagian selatan katulistiwa, sedangkan bulan Juni-Juli-Agustus pita
ini berada di utara katulistiwa, kemunculan pita ITCZ dilihat dari konveksi aktif
awan Cumulus (Cu) dan Cumulonimbus (Cb) yang menjulang tinggi hingga
mendekati tropopause.
Posisi pulau Jawa khususnya Jawa timur yang berada di selatan katulistiwa
mungkin mendapat pengaruh oleh pita ITCZ saat berada di bagian selatan
katulistiwa pada periode bulan Desember-Januari-Februari.
2.1.4 Pengaruh Lokal pada Iklim dan Curah Hujan di Jawa timur
Sirkulasi lokal angin darat dan angin laut disebabkan oleh perbedaan sifat termal
antara permukaan daratan dan laut, serta memiliki skala yang jauh lebih kecil dari
sikulasi global dan interval yang lebih sedikit (harian).
Angin laut (sea breeze) terjadi di daerah pantai, bertiup pada siang hari dari lautan
menuju daratan karena pemanasan di atas daratan lebih cepat dibanding laut. Pada
siang hari tekanan rendah terjadi di atas daratan dan tekanan tinggi diatas lautan
sehingga terjadilah sirkulasi angin laut.
II-4
Angin darat (land breeze) terjadi pada malam hari menuju lautan, karena
pendinginan di atas daratan lebih cepat dibanding di lautan, sehingga pada malam
hari terjadi tekanan tinggi di atas daratan dan tekanan rendah diatas lautan
sehingga terjadilah sirkulasi angin darat.
Efek orografis, yaitu bentukan permukaan bumi yang tidak rata, mengakibatkan
arus udara terganggu, dan bentukan pegunungan sangat berpengaruh terhadap
curah hujan di wilayah tersebut yang melihat dari mana arah datangnya massa
udara. Bagian windward side yang mengarah ke suatu pegunungan / lereng, akan
memaksa udara untuk naik, sehingga mengalami penginginan lapsrate adiabatik
kering, maka suhu udara akan berkurang tiap 1o C / 100 m, dan bila terus naik
prosesnya menjadi lapsrate adiabatik jenuh sekitar 0,65o C / 100 m, sehingga
bagian ini terjadi kondensasi dan pembentukan awan hujan lebih sering terjadi.
Sedangkan pada bagian leeward side yang keluar dari suatu pegunungan, udara
mengalami pemanasan adiabatik kering sebesar 1o C / 100 m, sehingga massa
udara yang telah terkondensasi dan kemungkinan besar menjadi hujan, akan
mengalami kekeringan pada bagian ini dengan suhu yang lebih panas.
Pengaruh lokal, yaitu pemanasan lokal di suatu daerah yang disebabkan oleh sifat
kelembaban tanah, yang juga dipengaruhi oleh tutupan lahan di tanah itu. Hampir
setiap hari kenaikan udara dan pembentukan awan dapat diamati di daerah
pegunungan. Pada lereng-lereng gunung yang dipanasi oleh radiasi matahari lebih
kuat dari pada atmosfer bebas pada paras (level) yang sama. Sehingga udara akan
naik sepanjang lereng gunung (angin lembah / anabatik) pada siang hari (pukul
10.00 hingga sore). Fenomena ini terjadi terutama pada periode peralihan antara
monsun timur dan monsun barat atau sebaliknya, karena angin yang lemah dan
tidak mengganggu pemanasan lokal (Erwin, Jamal, dalam Triyanto Helmi, 2004)
II-5
2.2 Metode Kluster
2.2.1 Analisa Kelompok
Klasifikasi untuk menempatkan stasiun-stasiun / obyek-obyek pengamatan
kedalam kelompok yang homogen sedemikian sehingga satu kelompok dengan
kelompok lain sehingga dapat diketahui perbedaannya.
Analisa kelompok merupakan nama yang diberikan dari berbagai macam teknik
yang dibuat untuk mengklasifikasikan obyek-obyek penelitian menjadi kelompokkelompok yang homogen satu dengan lainnya.
Secara umum metode klasifikasi dalam analisa kelompok, dibagi menjadi 4
metode, yaitu :
1. Metode Partisi (Partitioning Methods)
Metode ini bekerja pada observasi multivariate itu sendiri atau pada proyeksi
observasi tersebut dengan dimensi yang lebih rendah. Pada dasarnya, metode
ini mengumpulkan dengan menemukan daerah yang didefinisikan oleh
sebanyak m variabel yang berpopulasi jarang dan memisahkannya dari daerah
berpopulasi padat.
2. Metode Titik Asal yang berubah-ubah (Arbitrary Origin Methods)
Metode ini bekerja dengan kesamaan antara observasi-observasi dan titik awal
yang berubah.
Jika ada sebanyak n observasi yang akan diklasifikasikan ke dalam sebanyak k
kelompok, maka dihitung matrik nxk yang tidak simetri dari kesamaan antara n
observasi dan k titik awal yang berubah yang berfungsi sebagai pusat kelompok
awal. Observasi yang sangat dekat atau sama dengan titik awal kemudian
digabung dengan titik awal tersebut untuk membentuk kelompok, ini dilakukan
secara iterasi. Kemudian titik pusatnya kembali dihitung untuk kelompok yang
berubah (bertambah / berkurang) anggotanya.
II-6
3. Metode Saling Sama (Mutual Similarity Methods)
Metode ini mengelompokkan observasi yang mempunyai kesamaan dengan
observasi lain.
Pertama, menghitung matrik kesamaan antara semua pasangan observasi (nxn).
Kemudian kesamaan antara kolom dari matrik tersebut secara iterasi dihitung.
Kolom yang mewakili anggota dari kelompok beranggota tunggal akan
cenderung mempunyai interkorelasi mendekati +1, sementara korelasi yang
sangat rendah mewakili anggota yang tidak masuk ke dalam kelompok.
4. Metode Pengelompokan Hirarki (Hierarchial Clustering)
Metode ini menggabungkan observasi-observasi yang hampir sama, kemudian
berturut-turut menggabungkan dengan observasi lainnya yang sama.
Pertama, menghitung matrik kesamaan antara semua pasangan observasi (nxn).
Pasangan yang mempunyai kesamaan tinggi kemudian digabungkan dan
matriks kesamaan dihitung kembali yaitu dengan merata-ratakan kesamaan
yang dipunyai gabungan observasi dengan observasi lain.
Proses berulang dilakukan sehingga matrik kesamaan berkurang menjadi 2x2.
Nilai kesamaan ketika observasi digabungkan digunakan untuk membuat
dendogram.
2.2.2 Partisi
Pengertian partisi. Partisi sebanyak n dari m objek merupakan koleksi himpunan
dari himpunan bagian yang tak kosong, sehingga setiap objek terletak tepat pada
satu kelompok dari koleksi himpunan tersebut. Suatu kelompok ke j dengan
anggota dari 1 s/d m yang ditulis dengan simbol Cj1 yang merupakan himpunan
tak kosong.
Partisi sebanyak n dari m objek didefinisikan sebagai suatu himpunan :
C = {C1,C2,C3,... , Cn}
Dimana
II-7
Cj ≠ 0 ; j = 1,2,..., n
C1 ∪ C2 ∪ ... ∪ Cn = {1, 2, ... , m}
Cj ∩ Ck = 0 ; j ≠ k
; j = 1, 2, ... , n
; k = 1, 2, ... , n
Suatu partisi dengan sebanyak n dinyatakan dengan suatu vektor p dengan elemen
sebanyak m, ditulis sebagai berikut :
P = [ p1 , p2 , .... , pn ]
Jika suatu objek ke i dikelompokan ke dalam kelompok ke j maka pi = j.
Misalkan pengelompokan sebanyak 7 objek dengan kelompok yang diharapkan
sebanyak 3, diperoleh partisi sebagai berikut :
P = [ p1 , p2 , p3 , p4 , p5 , p6 ]
=[3,2,3,1,2,1]
Artinya kelompok 1 berisi anggota no. 4 dan 6, kelompok 2 berisi anggota no. 2
dan 5, sedangkan kelompok 3 berisi anggota no. 1 dan 3.
Jumlah partisi yang mungkin
Banyaknya partisi yang mungkin untuk sebanyak n kelompok dari sejumlah m
objek dinyatakan dalam :
S (m, n ) =
n
1 n
(− 1)n − j ⎛⎜⎜ ⎞⎟⎟ j m
∑
n! j =1
⎝ j⎠
(Andenberg, 1973)
Untuk kasus partisi 2 kelompok dari sejumlah m variabel, banyaknya partisi yang
mungkin diperoleh :
S (m, n) = 2m −1 − 1
Dalam hubungan rekursif, banyaknya partisi yang mungkin dituliskan sebagai :
S ( m, n) = nS ( m − 1, n) + S ( m − 1, n − 1)
II-8
Dengan
S (1,1) = 1 dan S (1, n) = 0 ,untuk n ≠ 1 (Rubin, 1967)
2.2.3 Kriteria Kuadrat Jarak
2.2.3.1 Jumlah kuadrat jarak
Tinjau matrik berukuran mxl ; X = (xij), dengan i = 1 , 2 , ... , m dan j = 1 , 2 , ... , l
Ditulis :
⎡ X 11
⎢X
X = ⎢ 21
⎢ .
⎢
⎣ X m1
X 12
X 22
X m2
X 1l ⎤
... X 2l ⎥⎥
⎥
⎥
... X ml ⎦
...
Dan Xi adalah vektor kolom data objek ke I dari matrik X yaitu
⎡ X i1 ⎤
X = ⎢⎢ .. ⎥⎥
⎢⎣ X il ⎥⎦
Ambil suatu kelompok C1 dengan banyaknya objek ditulis mj , dimana mj ≥ 2 ,
misalkan ada Ck suatu himpunan bagian tak kosong dari Cj atau Ck ≠ 0 , Ck ≠ Cj
dan Ck ≠ Ck ⊂ Cj Objek dari Cj yang tidak termuat di kelompok Ck diletakkan di
kelompok Cp dengan Cp ≠ 0 , atau Cp = Cj – Ck .
Untuk kasus di atas pusat kelompok untuk masing-masing Cj , Ck , Cp dinyatakan
dengan :
⎛ 1 ⎞
x = ⎜ ⎟ ∑ xi (q = j , k , p )
⎜ m ⎟i∈C
⎝ q⎠ q
Dan jumlah kuadrat jarak objek-objek terhadap pusat masing-masing kelompok
dinyatakan sebagai :
II-9
e1 =
2
∑x
− xq (q = j , k , p )
i
i∈C q
Dengan pengkuadratan dan memakai
eq =
∑x
i∈C q
2
i
− mq x q
∑ (x
i
)
− x = 0 , eq dituliskan sebagai berikut
2
Pusat kelompok xp dan jumlah kuadrat jarak dapat ditulis sebagai fungsi xj , xk , ej
, ek (Howard, 1966) yaitu
xp =
m j x j − mk x k
m j − mk
e p = e j − ek −
m j mk
m j − mk
x j − xk
2
Untuk kasus khusus dimana Ck yang berisi satu anggota atau Ck = {k} , maka
persamaan diatas menjadi :
xp =
m j x j − xk
mj −1
ep = e j −
mj
mj −1
x j − xk
2
Bila Cp diperoleh dari penggabungan Cj , Ck , ditulis Cp = Cj ∪ Ck dan irisan
kedua kelompok adalah kosong Cj ∩ Ck = 0 ; maka pusat kelompok dan jumlah
kuadrat jarak dinyatakan sebagai
xp =
m j x j + mk x k
m j + mk
e p = e j + ek +
m j mk
m j − mk
x j − xk
2
II-10
Untuk kasus khusus dimana Ck yang berisi satu anggota atau Ck = {k} , maka
persamaan diatas menjadi
xp =
m j x j + xk
mj +1
ep = e j +
mj
mj +1
x j − xk
2
2.2.3.2 Kriteria Jumlah kuadrat jarak
Kriteria yang digunakan pada pemilihan partisi yang optimal dari semua partisi
yang mungkin adalah dengan meminimalkan fungsi objektif yaitu :
n
n
n
∑ xi − x = ∑ ∑ xi − x j + ∑ m j x j − x
2
i =1
Karena
2
j =1 i∈C
n
∑x
i =1
i
2
j =1
2
− x konstan maka jika suatu fungsi objektif,
n
Z1 (C1 , C2 , Cn ) = ∑∑ xi − x j
2
j =1 i∈C
Diminimumkan maka akan cukup berarti dalam partisi. Fungsi objektif ini disebut
kriteria jumlah kuadrat jarak. Untuk pembagian yang optimal dengan Z1 , tiap
objek terdekat ke pusat kelompok akan dikelompokan dan yang terluar tidak akan
digabungkan (Bock, 1974).
2.2.3.3 Metode K-means
Metode ini digunakan untuk mengelompokan matrik data dari objek sebanyak m
dan variabel sebanyak l menjadi n kelompok sehingga objek yang berada dalam
satu kelompok mempunyai sifat yang hampir sama dan setiap kelompok
mempunyai sifat yang saling berbeda.
II-11
Pada metode ini, data awal dianggap sebagai satu kelompok C1 = (1, 2, ... , m) ,
sehingga pusat kelompok xp dan jumlah kuadrat jarak,
Untuk mendapatkan kelompok-kelompok yang diharapkan, metode k-means
melakukan pemindahan objek. Pemindahan ini terjadi apabila paling sedikit ada
satu kelompok Cj yang tidak sama dengan kelompok Cr , sehingga memenuhi
persamaan :
2
mj
mr
xr − xi ⟩
x j − xi
mr − 1
mj −1
2
Dengan pr = r , j ≠ r . Kemudian objek ke i dipindahkan ke kelompok Cv sehingga
suku kanan pertidaksamaan (1.20) menjadi diminimumkan. Ini berarti bahwa
jumlah kuadrat jarak er + ev menjadi
er −
mr
xr − xi
mr − 1
2
+ ev +
mv
xv − xi
mv − 1
2
Dalam pemindahan objek ini total jumlah kuadrat jarak d = ∑ e j diminimumkan.
Metode yang digunakan adalah metode IsoCluster yang ada dalam software
arcGIS, yang menerapkan metode pengelompokkan saling sama untuk
membentuk sebuah kelompok.
2.3 Metode Oldeman
Metode ini berhubungan dengan pertanian dalam penentuan masa tanam, yang
membagi daerah iklim kedalam urutan bulan basah dan bulan kering. Berdasarkan
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, daerah pesisir utara Jawa timur cenderung lebih
kering dengan zona iklim C dan D, sedangkan di pesisir selatan bervariasi dari B,
C, dan D. (T.H.K Bayong, 1999) Dalam penelitian ini berdasarkan metode
Oldeman daerah Jawa Timur termasuk zona D3 dan zona E sehingga daerah Jawa
Timur terutama di pesisir utara memiliki karakteristik iklim daerah kering.
II-12
Oldeman menyarankan untuk menggunakan akumulasi curah hujan sebesar 75
mm per bulan untuk tanaman Palawija, dan 200 mm per bulan untuk tanaman
Padi (P. Budi, 1995). Pengklasifikasian daerah iklim berdasarkan Klasifikasi
Oldeman dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Pembagian zona iklim berdasarkan klasifikasi oldeman (Sumber, T.H.K
Bayong. 1999)
Z
A
B1
B2
C1
D2
D3
D4
E1
E2
E3
E4
B >9 7-9 7-9 5-6 5-6 5-6 3-4 3-4
3-4
3-4
<3
<3
<3
<3
K <2 <2
5-6
>6
<2
2-4 5-6
>6
2-3 <2
C2
C3
D1
2-4 5-6 <2
2-4
Catatan :
Z = Zona,
B = Jumlah bulan basah berurutan (>200mm per bulan) dan
K = Jumlah bulan kering berurutan (<100mm per bulan).
Tabel 3. Kemungkinan Pertanaman Berdasarkan Zona Agroklimat Oldeman
(Sumber : Conbul, 1997 dalam Zulfakriza)
Wilayah iklim
Pertanian
A
B1
B2
C1
D1
D2
E
Kemungkinan Pertanaman
Sesuai untuk padi terus menerus, tetapi produksi kurang karena
pada umumnya intensitas matahari rendah sepanjang tahun
Sesuai untuk padi terus menerus, perlu perencanaan awal
tanam. Produksi tanaman tinggi bila panen pada musim kering
Dapat ditanam dua kali padi dalam setahun dengan varietas
umur pendek. Musim kering pendek tapi cukup untuk tanaman
palawija
Tanaman satu kali padi, dan dua kali palawija setahun
Dapat ditanam padi dengan varietas umur pendek, produksi
tinggi karena intensitas matahari tinggi, waktu penanaman
palawija tergantung dari irigasi
Hanya dapat ditanam satu kali padi atau satu kali palawija,
tergantung pada adanya persediaan irigasi
Daerah yang umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat
ditanami satu kali palawija
2.4 Ketersediaan Air Untuk Tanaman Pertanian
Tanaman pertanian khususnya tanaman padi (oriza sativa) yang dibahas pada
tugas akhir ini merupakan tanaman yang tidak terlalu tinggi, hidup pada kisaran
II-13
temperatur rata-rata 18o C, yang optimum pada suhu antara 24o C hingga 29o C.
Curah hujan optimum untuk padi gogo dan tadah hujan lebih dari 1600 mm/tahun.
Sedangkan untuk padi lahan basah (sawah irigasi, sawah lebak / rawa, dan pasang
surut) curah hujan tidak bermasalah. Dengan kelembaban yang cocok untuk
tanaman ini adalah 33% hingga 90%. Pada dataran rendah (<500 m dpl) tanaman
padi dapat di tanam baik pada iklim basah, dan juga pada dataran sedang sampai
tinggi (>= 500 m dpl) dapat tumbuh dengan baik pada iklim basah (D. Djaenudin,
dkk, 2003 dalam Zulfakriza, 2003).
2.4.1 Ketersediaan Air
Daerah pertanian khususnya tanaman padi membutuhkan air dalam jumlah yang
optimal, dalam arti tidak kurang (sehingga mengakibatkan kekeringan) dan tidak
lebih (sehingga mengakibatkan genangan air) yang berakibat kepada gagal panen.
Untuk mengetahui ketersediaan air suatu daerah dapat diamati berdasarkan tiga
parameter utama yaitu tanaman, tanah dan iklim, selain ke tiga parameter itu ada
parameter lainnya yaitu kondisi fisiologis, biologis, fisis, dan kimia yang
merupakan mekanisme alamiah.
2.4.1.1 Parameter Tanaman
Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman, biasanya ditentukan berdasarkan
koefisien tanaman kc, yang menggambarkan tingkat dan kondisi pertumbuhan
tanaman. Nilai kc untuk setiap spesies tanaman berbeda-beda, karena fase
fenologis tiap tanaman berbeda.
Besar nilai kc ditentukan oleh (FAO, 1975) :
1. Waktu tanam dan lama pertumbuhan
2. Karakteristik genetika tanaman
3. Kondisi tumbuh tanaman
4. Permukaan daun
5. Kondisi iklim setempat
II-14
Berdasarkan tingkat pertumbuhan tanaman (khususnya tanaman semusim),
dikenal empat fase pertumbuhan, (FAO, 1975) sebagai berikut :
K1 = perioda awal, mulai dari tanam sampai awal pembungaan (penutupan tanah
oleh tanaman sebesar 10%).
K2 = perioda perkembangan atau pembentukan bunga (penutupan tanah sekitar
80%)
K3 = perioda pembentukan buah dan biji
K4 = perioda pematangan sampai panen
Untuk tanaman padi nilai kc dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Nilai Koefisien Tanaman Kc Untuk tanaman Padi (Sumber,
Suriadikusumah. 1975)
Umur (Hari)
Padi (Kc)
10
0,68
20
0,68
30
0,82
40
0,97
50
1,12
60
1,30
70
1,40
80
1,40
90
1,40
100
1,30
110
1,21
120
1,21
2.4.1.2 Penentuan Masa Tanam
Penentuan masa tanam pada tugas akhir ini didasarkan pada, jumlah kebutuhan air
yang diperlukan tanaman pangan untuk memenuhi evapotranspirasi maksimalnya
(ET), keadaan ini didasari karena kebutuhan akar terhadap air yang tersedia,
apabila air yang tersedia kurang dari kebutuhan tanaman maka pertumbuhan
II-15
tanaman tidak akan berlangsung dengan baik, besar kebutuhan ini dapat terlihat
dari ketersediaan air suatu daerah.
Adapun harga ET ditentukan dari persamaan berikut :
ET = kc.ETo
Dengan,
ET = Evapotranspirasi maksimum tanaman
Kc = Koefisien tanaman
Eto = evapotranspirasi standard
Untuk lebih lengkapnya nilai Eto didapatkan dari data kelembaban, panjang siang
dan kecepatan angin, namun karena keterbatasan data, diasumsikan bahwa harga
evapotranspirasi standard tanaman sama dengan evapotranspirasi potensial,
asumsi persamaannya dapat dilihat sebagai berikut :
Eto = PET
Harga kc ditentukan berdasarkan harga kc rata-rata dari fase-fase pertumbuhan
tanaman pangan dan diambil patokan untuk tanaman padi memiliki harga 1,40.
Selanjutnya panjang masa tanam ditentukan berdasarkan panjang surplus untuk
tiap tanaman, sedang penentuan awal masa tanam ditentukan saat harga curah
hujan = 0,5PET (FAO, 1978).
Jawa timur pada 39 stasiun pencatat data curah hujan, karakteristik curah
hujannya memiliki rata-rata 113 mm per tahun untuk seluruh stasiun, dengan
curah hujan minimum sebesar 0 mm dan maksimum sebesar 377 mm per tahun,
untuk rata-rata pengamatan selama 24 tahun.
2.4.1.3 Parameter Tanah
Faktor ini ditentukan dari ketersediaan air pada kompleks perakaran, baik
mengenai jumlah tekanan maupun kondisi tekanan yang mengikatnya. Kedua hal
ini sangat bergantung kepada porositas dan tekstur tanah.
II-16
Faktor tanah dihitung berdasarkan kelembaban tanah volumik (dalam %),
kapasitas lapang (pF 2.4) dan titik layu permanen (pF 4.52) pada kedalaman tanah
tertentu
yang
semuanya
dinyatakan
dalam
hubungan
sebagai
berikut
(Suriadikusumah, A.1993) :
Kt (mm) = (θkl-θtl) x h
Dengan
Kt
= Jumlah maksimal air yang ditampung
(θkl-θtl)
= masing-masing adalah kelembaban tanah volumik (%) pada kondisi
air kapasitas lapang (pF 2.4) dan titik layu permanen (pF 4.52)
h
= kedalaman lapisan tanah untuk tiap 10 cm (bila kedalaman 30 cm
maka h = 3)
Pengukuran jumlah maksimal air yang ditampung dilakukan menggunakan
tensiometer dan radiasi neutron.
2.4.1.4 Parameter Iklim
Ketersediaan air dihitung dari data presipitasi dan evaporasi,
-Data presipitasi
Perhitungan pada data ini dapat dilakukan untuk berbagai intensitas pengamatan
(tahunan, bulanan, mingguan, dekade, dan harian) dalam berbagai besaran (ratarata, maksimum, dan minimum) untuk tugas akhir ini digunakan pengamatan
bulanan. Berdasarkan jumlah hujan yang jatuh tiap bulannya, Oldeman (1979)
mendefinisikan bulan basah dan bulan kering dengan kriteria sebagai berikut :
Bulan basah : Curah hujan > 200 mm per bulan
Bulan kering : Curah hujan < 100 mm per bulan
Bulan Lembab : Curah hujan 100-200 mm per bulan
II-17
-Data Evaporasi
Evaporasi merupakan proses kehilangan air dari tanah yang diakibatkan karena
penguapan langsung dari permukaan tanah dan dari penguapan permukaan batang
maupun daun dari tumbuh-tumbuhan. Sedangkan evapotranspirasi adalah jumlah
air yang hilang dalam bentuk uap air dari suatu permukaan dengan luasan tertentu
(air bebas, tanah, tanaman).
Pada kondisi air tanah melimpah laju evapotranspirasi berada pada keadaan
potensialnya (evapotranspirasi potensial) yang berlangsung sesuai dengan kondisi
cuaca / iklim saat itu, dalam arti kata lain evapotranspirasi potensial adalah
penguapan dari suatu permukaan dimana pada setiap kompleks perubahan “airuap”, keadaannya jenuh akan uap air (kelembaban mencapai 100%); atau dikenal
sebagai penguapan yang terjadi dari suatu permukaan air bebas. (Perrier, 1985)
menyebutkan bahwa keadaan udara, albedo permukaan, karakter geometris, serta
faktor tanaman (tipe, fase fenologis, dan kondisi tumbuh) adalah sangat
menentukan besar ETP yang terjadi. Sedangkan saat kering evapotranspirasi
aktual lebih kecil dibandingkan harga evapotranspirasi potensialnya.
Perbedaan ketersediaan air disuatu daerah ditentukan berdasarkan banyaknya
curah hujan yang terjadi di daerah itu terhadap potensial evaporasi yang
berlangsung di daerah pengamatan, metode yang digunakan untuk ketersediaan air
berasal dari metode FJ. Mock (1973) yaitu
Ws = CH - El,
Dengan Ws = Water Surplus, CH = Curah Hujan, El = Limited Evapotranspirasi
Namun karena keterbatasan data, digunakan metode yang digunakan oleh
Cocheme dan Franquin (1967) yang menghitung ketersediaan air hanya dengan
data curah hujan dan evapotranspirasi potensial, dan sudah digunakan oleh
Jackson (1979) dalam perencanaan pertanian di daerah kering Afrika Barat dan
selama enam tahun penerapannya menghasilkan implementasi yang cukup baik.
II-18
Cocheme dan Franquin (1967), membuat analisa ketersediaan air berdasarkan data
Curah Hujan dan Evapotranspirasi, dan dari perpotongan kurva nilai rata-rata
curah hujan dan evapotranspirasi potensial rata-rata (ETP), 0,5ETP dan 0,1 ETP
dapat ditentukan panjang periode untuk persiapan lahan, periode peralihan,
periode basah dan periode cadangan air tanah.
Selanjutnya nilai ETP dicari menggunakan rumus : ETPi = 0,75 x (Ji)Eoi
Dengan
i = 1,2,3,...,12 (bulan)
J = jumlah hari dalam bulan ke-i
ETP = Evapotranspirasi potensial bulanan
Eo = Evaporasi harian
asumsi februari = 28 hari
Untuk menentukan periode persiapan lahan, periode peralihan, periode basah dan
periode cadangan air tanah langkah-langkah selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Nilai rata-rata data ETP, 0,5ETP, 0,1ETP dan CH diplot dalam satu grafik.
2. Memproyeksikan perpotongan kurva ETP, 0,5ETP, 0,1ETP dan CH pada
sumbu horizontal grafik yang menyatakan bulan.
3. Titik potong antara kurva CH dan 0,1ETP sampai dengan CH dan 0,5ETP
merupakan saat penyiapan lahan (PL), pada saat ini hujan sudah turun tapi
belum cukup untuk menyediakan air dalam tanah karena nilai evaporasi masih
cukup tinggi.
4. Titik potong antara CH dan 0,5ETP hingga ETP merupakan saat periode
peralihan tahap pertama (PPT I). Pada periode ini, hujan sudah mulai turun
lebih banyak sehigga dapat mengimbangi air yang hilang akibat evaporasi, dan
akan meningkatkan kelembaban tanah. Saat ini sangat cocok untuk penyemaian
bibit sehingga periode selanjutnya kebutuhan air sudah terpenuhi untuk
pertumbuhan dan produksi.
5. Proyeksi perpotongan antara CH dan ETP pada tahap permulaan maupun pada
tahap akhir merupakan periode basah (PB / humid period). Selama periode ini
air cukup tersedia untuk kebutuhan tanaman.
II-19
6. Periode masa tumbuh tersedia, merupakan periode yang dibutuhkan untuk
mengevapotranspirasikan 100 mm air yang masih tersimpan dalam tanah pada
akhir musim hujan setelah curah hujan sama dengan atau mendekati setengah
evapotranspirasi potensial berdasarkan persamaan berikut
GS = I1 + H + ( I 2 + S )
Dengan
GS = Growth season (masa tumbuh tersedia)
I1 = periode peralihan pertama
I2 = periode peralihan kedua
H = Periode basah (humid period)
S = waktu yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang
dianggap masih tersimpan dalam profil tanah setelah I2.
7. Periode Peralihan tahap kedua (PPT II) merupakan proyeksi titik perpotongan
antara CH-ETP sampai dengan perpotongan CH-0,5ETP bulan selanjutnya.
Selang waktu periode PPT I dan PPT II termasuk periode lembab (PLb / Moist
Period) dan selama periode ini cukup tersedia air untuk pembungaan dan
pembuahan tanaman.
8. Saat setelah perpotongan CH dan 0,5 ETP selanjutnya disebut dengan periode
cadangan (PCd / reserve periode) dan pada periode ini meskipun curah hujan
sudah berkurang namun cadangan air tanah masih bisa dimanfaatkan untuk
pematangan buah.
Gambar 5. Gambar Ketersediaan Air di Jawa Timur berdasarkan Cocheme dan
Franquin (1967)
II-20
Download