Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis

advertisement
3
Peranan Ekotoksikologi
Dalam Penilaian Dampak Ekologis
3.1.
Prinsip Umum Ekotoksikologi
Bidang toksikologi lingkungan, khususnya yang terkait dengan area
ekotoksikologi, merupakan salah satu disiplin ilmu lingkungan yang terus
berkembang secara cepat. Ekotoksikologi terdefinisi dengan sangat baik
sebagai bidang studi yang mencakup nasib akhir/deposisi dan dampak
dari bahan kimia toksik pada ekosistem yang didasarkan pada hasil kajian
ilmiah, baik dari hasil pengamatan di lapangan maupun dengan
penerapan metode-metode uji toksisitas di laboratorium. Ekotoksikologi
yang terkait erat dengan toksikologi lingkungan, jelas membutuhkan
pemahaman terhadap prinsip dan teori ekologi seperti halnya dengan
pengetahuan tentang cara-cara bahan kimia berdampak pada individu
spesies, populasi, komunitas dan ekosistem. Pengukuran dampak biologis
dapat dilakukan baik dengan melihat respon spesifik spesies terhadap
toksikan, atau dampak toksikan pada tingkatan organisasi yang lebih
tinggi seperti populasi, komunitas, dstnya. Ekotoksikologi dibangun
berdasarkan prinsip keilmuan dan metode uji toksikologi, dengan
penekanan
pada
tingkatan
populasi,
komunitas
dan
ekosistem.
Kemampuan untuk mengukur transportasi dan deposisi bahan kimia dan
pemaparan organisme dalam uji ekotoksikologi merupakan hal penting
yang menentukan arah pengembangan teknik pendugaan resiko
lingkungan (Suter, 1993; Maughan, 1993).
Berbeda dengan uji toksikologi konvensional (standard) yang
umumnya berupaya untuk menemukan hubungan sebab-akibat beberapa
konsentrasi bahan kimia dengan respon organisme pada lokasi reseptor
tertentu, uji ekotoksikologi berupaya untuk mengevaluasi hubungan
sebab-akibat pada level organisasi, khususnya pada level populasi.
88
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Komponen terpenting dari uji ekotoksikologi adalah keterpaduan antara
penelitian di laboratorium dan di lapangan. Uji toksisitas di laboratorium
menjelaskan dampak toksikan pada individu organisme, termasuk respon
biokimiawi
dan
fisiologisnya.
Pengetahuan
yang
diperoleh
di
laboratorium selanjutnya diselaraskan dengan hal-hal yang terjadi pada
kondisi lapangan, dan pemahaman tentang sejumlah parameter
lingkungan yang harus dihadapi oleh organisme untuk tetap hidup dan
berkembang dengan baik di bawah tekanan toksikan, menjadi aset
berharga dan sangat penting. Oleh karena itu, keterpaduan penelitian
laboratorium dan penelitian lapangan akan memberi jaminan bahwa
suatu uji ekotoksikologi akan menghasilkan data yang relevan. Kebutuhan
terhadap metodologi uji toksikologi yang mudah dilakukan dan sederhana
proses
penerapannya
akan
terus
meningkat,
sejalan
dengan
meningkatnya kepedulian terhadap rusaknya kondisi lingkungan dan
peningkatan dampak bahan kimia pencemar di lingkungan perairan, yang
terus berlanjut.
3.1.1. Pergerakan, Deposisi dan Pemaparan Bahan Kimia
Untuk kepentingan karakterisasi tingkah laku bahan kimia, maka
perlu untuk mengukur konsentrasi bahan kimia pada kompartemenkompartemen lingkungan yang berbeda (yaitu: udara, air, sedimen dan
organisme), memahami pergerakan dan transportasi bahan kimia di
dalam dan diantara kompartemen-kompartemen tersebut, serta terus
mengikuti keberadaan bahan kimia hingga mengalami metabolisme,
degradasi, disimpan dan terkonsentrasi dalam setiap kompartemen
tersebut di atas. Beberapa hal berikut diketahui memiliki peranan besar
dalam pergerakan, deposisi dan pemaparan bahan kimia.
• Dinamika Bahan Kimia (Chemodynamics)
Transportasi
bahan
kimia
diketahui
terjadi
baik
di
dalam
kompartemen lingkungan (intraphase) maupun diantara kompartemenkompartemen tersebut (interphase), dan menjadi poin penting dalam
memahami dan menginterpretasi data toksikologi lingkungan. Skenario
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
89
yang paling mungkin dalam lepasnya suatu bahan kimia ke dalam
lingkungan akan melibatkan proses-proses: pelepasan bahan kimia ke
dalam suatu kompartemen, kemudian mengalami proses partisi ke dalam
beberapa kompartemen lingkungan, kemudian melakukan gerakan dan
reaksi dalam setiap kompartemen, lalu mengalami partisi dalam setiap
kompartemen dan biota yang terdapat/hidup dalam kompartemen
lingkungan tersebut, dan akhirnya sampai ke suatu lokasi aktif (reseptor)
pada organisme dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi yang
cukup lama untuk menimbulkan suatu dampak. Oleh karena itu, dinamika
bahan kimia (chemodynamics) adalah studi tentang pelepasan bahan
kimia, distribusi, degradasi dan deposisi-nya di dalam lingkungan.
Transportasi bahan kimia pencemar di dalam lingkungan seringkali
diprediksi menggunakan asumsi keseimbangan termodinamika. Meskipun
seringkali asumsi tersebut tidak dapat dipegang, namun pendekatan ini
relatif gamblang dan mudah untuk diaplikasi. Walaupun transportasi
intraphase bahan kimia sangat mudah diprediksi menggunakan asumsi
keseimbangan termodinamika, namun kemungkinan akurasi terbaik
adalah dengan menggunakan model steady-state/dynamic equilibrium,
seperti yang telah dijelaskan pada Bab 2. Reaksi-reaksi biotik dan abiotik
yang terjadi dalam suatu kompartemen/phase, menghasilkan perubahan
signifikan dalam sifat-sifat kimia dan fisik dari senyawa, seperti sifat-sifat
oksidatif, lipofilisitas dan volatilitas.
Kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas dapat
memfasilitasi prediksi konsentrasi bahan kimia dalam lingkungan sekitar
organisme tertentu. Chemodynamic juga dapat membantu dalam
menjelaskan pergerakan dan penyerapan bahan kimia ke dalam
organisme. Selanjutnya, mekanisme detoksifikasi seperti partisi senyawa
ke dalam jaringan adiposa, metabolisme dan proses ekskresi yang
dipercepat, dapat secara signifikan mengurangi, menghilangkan atau
eliminasi, atau dalam beberapa kasus bahkan meningkatkan toksisitas
suatu bahan kimia. Oleh karena itu, bantuan chemodynamics dalam
memprediksi konsentrasi bahan kimia dalam suatu kompartemen serta
90
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
fungsinya dalam perancangan studi ekotoksikologi menggunakan
konsentrasi dan bentuk sediaan bahan kimia yang akan dikaji, harus
diapresiasi dan diberi perhatian.
• Tingkah Laku Bahan Kimia Fase Tunggal (Single-phase Chemical
Behavior)
Sekali bahan kimia sintetis memasuki lingkungan, maka dia akan
beraksi dan terutama dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan alam.
Beberapa model telah digunakan untuk memprediksi dampak kekuatankekuatan alami terhadap pergerakan bahan kimia di lingkungan. Model ini
membutuhkan penggabungan variabel-variabel abiotik, seperti: suhu,
arah pergerakan dan kecepatan arus, radiasi sinar matahari, tekanan
atmosfir, kelembaban dan konsentrasi bahan kimia dalam 4 matriks
kompartemen, yaitu: atmosfir (udara), hidrosfir (air), litosfir (sedimen)
dan biosfir (makhluk hidup). Pergerakan intraphase bahan kimia terdiri
atas transfer biomas, difusi, atau dispersi dalam suatu fase, yang
disebabkan oleh perbedaan konsentrasi (gradient) medium. Oleh karena
itu, persistensi suatu bahan kimia pencemar merupakan fungsi dari
stabilitas bahan kimia dan transportasinya dalam suatu fase. Sedangkan
stabilitas merupakan fungsi dari sifat fisika-kimia dan laju degradasi dari
suatu bahan kimia dalam suatu fase, yang variasinya sangat luas di dalam
maupun diantara kelompok bahan kimia. Stabilitas bahan kimia sulit
untuk diprediksi dan jauh lebih tepat lewat observasi dibanding dengan
pemodelan (modeling). Sedang transportasi bahan kimia jauh lebih mudah
diprediksi, melalui jalur-jalur berikut.
a. Udara : jalur utama bahan kimia pencemar memasuki atmosfir adalah
melalui evaporasi, emisi gas industri dan sumber-sumber lain.
Transportasi kontaminan di udara jauh lebih cepat di udara
dibandingkan dalam air, terutama disebabkan oleh rendahnya
viskositas udara. Transportasi kontaminan di udara umumnya melalui
proses difusi. Kecepatan difusi di udara sekitar 100 kali lebih cepat
dibandingkan yang terjadi pada air, dan merupakan fungsi viskositas
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
91
fase dan keberadaan gradiasi konsentrasi. Daya difusi (diffusivity)
bahan pencemar di udara bergantung pada berat molekulnya
dibanding udara, suhu udara dan pemisahan molekul saat terjadi
benturan, enerji dari hasil interaksi molekul di udara. Transportasi
kontaminan udara sebagai akibat hembusan dan arus angin
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan proses difusi. Stabilitas
atmosfir, yang dipengaruhi oleh transfer enerji panas dari permukaan
bumi dan radiasi udara dingin dari lapisan awan, sangat berpengaruh
terhadap jumlah turbulensi dan pencampuran vertikal kontaminan di
udara. Pencampuran vertikal (vertical mixing) mencapai tingkat
maksimum ketika laju transfer panas lebih besar dari kondisi radiasi
udara dingin, dan sebaliknya. Pada saat pencampuran vertikal minim,
konsentrasi kontaminan yang tinggi terperangkap dekat permukaan
bumi.
b. Air : kontaminan memasuki hidrosfir melalui jalur-jalur : aplikasi
langsung, tumpahan, pembuangan limbah kering dan basah atau
pergerakan interphase. Pergerakan bahan kimia dalam hidrosfir terjadi
melalui difusi, dispersi atau terbawa oleh aliran massa air yang besar
(advection). Pada setiap aliran, terdapat suatu lapisan batas yang
bersifat stagnan pada setiap peralihan fase atau garis-batas buatan. Di
atas lapisan ini, terdapat sekat-sekat yang menyebabkan aliran air
berputar-melingkar, layaknya asap yang terhisap ke atas. Lapisan
akhir yang berada di bagian paling atas membuat cairan mengalir
dalam pengadukan keras (turbulensi). Sehingga jika air berada dalam
kondisi stagnan (diam), maka bahan kimia akan bergerak dalam
modus difusi molekul. Laju difusi ditentukan oleh sifat-sifat tetap
seperti berat molekul kontaminan (solute), berat molekul air (solvent),
suhu air, viskositas dan sifat-sifat dinamis dari bentangan gradasi
konsentrasi bahan kimia. Sifat-sifat tersebut juga dikenal sebagai daya
difusi (diffusivity) dari kompleks kontaminan-air. Proses difusi
kontaminan dalam air beberapa kali lipat lebih cepat daripada yang
terjadi di sedimen. Transportasi kontaminan dalam air didominasi
92
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
oleh turbulensi, sekalipun dalam keadaan yang nampak tenang air
senantiasa bergerak melingkar dalam bentuk kantong-kantong kecil
(eddies) baik ke arah vertikal maupun horizontal.
c. Sedimen: proses masuknya kontaminan ke litosfir, mirip dengan yang
terjadi pada air. Sedimen memiliki porositas yang beragam sesuai
persentase komposisi penyusunnya (seperti : pasir, lanau, lempung,
bahan organik), yang pori-porinya juga senantiasa diiisi oleh gas dan
larutan. Pergerakan bahan kimia di dalam sedimen terjadi melalui
proses difusi melalui larutan tersebut, atau bergerak melalui celahcelah diantara partikel sedimen. Partisi kontaminan yang terdapat
dalam cairan dengan fraksi padat sedimen terjadi melalui proses
seperti yang terjadi pada kromatografi: dimana kelarutan bahan kimia
pada air dalam pori tanah (pore waters), adsorpsi pada partikel
sedimen dan kecepatan arus pore-waters sangat mempengaruhi laju
transportasi.
Arah difusi selalu berasal dari konsentrasi tinggi ke daerah dengan
konsentrasi rendah. Sehingga difusi bahan kimia dalam sedimen
tergantung pada berat molekul, suhu sedimen, panjang aliran/bidang
difusi, dan besaran gradasi konsentrasi. Kontaminan meninggalkan
sedimen melalui transportasi interphase atau proses dekomposisi.
Transformasi kontaminan melalui proses degradasi mikroorganisme
sangat signifikan perbedaannya dengan yang terjadi baik pada air
maupun udara, disebabkan oleh perbedaan kerapatan dan keragaman
mikroorganisme yang sangat tinggi dalam sedimen.
Secara umum, pergerakan ke luar dari suatu bahan kimia
(meninggalkan suatu kompartemen/fase) merupakan hasil dari
sejumlah reaksi, dan reaksi yang terpenting adalah fotodegradasi
(pada fase air dan udara), hidrolisis (pada fase air) dan biodegradasi
(pada fase air dan sedimen). Laju pergerakan bahan kimia ke luar
(removal rate) dari salah fase dalam kondisi kesetimbangan dapat
dikalkulasi dengan persamaan :
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
93
Ri = Σ [ MiΣki ]
dimana: Mi : jumlah mole dalam kompartemen i dan Σki: konstanta
dari jumlah laju persebaran bahan kimia dalam kompartemen i.
Waktu menetap suatu senyawa kimia dalam suatu kompartemen dapat
diestimasi dari jumlah total mol dan nilai total laju pergerakan ke luar.
Konsentrasi bahan kimia dalam air dalam kondisi kesetimbangan
dapat diestimasi dengan persamaan berikut:
/
∑
Σ
dimana: Ki= partisi koefisien i dan Di= kerapatan/densitas i.
Jika Cw telah didapatkan, maka konsentrasi lainnya dapat diestimasi
menggunakan koefisien partisi yang sesuai. Nilai koefisien partisi
diperoleh sebagai nilai Z untuk setiap kompartemen. Bentuk advection
untuk aliran air dan udara dinyatakan dalam persamaan :
Aliran Masuk (inflow) Bahan Kimia Gi x Cbi = Gi x Zi x fbi
Aliran Keluar (outflow) Bahan Kimia Gi x Ci = Gi x Zi x fi
dimana: Ga = laju aliran masuk dan keluar udara adalah 5 x 107
m3/jam, maka nilai ini setara dengan waktu menetap di udara
selama 5 jam; Gw = laju aliran masuk dan keluar air adalah 2.9 x
103/jam, maka waktu, menetap di dalam air adalah 100 hari; Cbi =
konsentrasi aliran masuk awal (umumnya 0); dan fbi = nilai fugacity
awal (umumnya 0) yang terkait dengan tekanan parsial bahan kimia
dan besaran nilai kecenderungan melepaskan diri satu molekul dari
suatu fase.
94
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
O2
CO2
Pertukaran gas dengan Atmosfir
HNO3-
2HCO3- + h v
[CH2O] + O2(g) + CO32-
Fotosintesis
Oksidasi - Reduksi
-
NH4+
2[CH2O] + SO42CO32- + H2O
Ca2+ + CO32-
Mikroba
H2S(g) + H2O + CO2
HCO3- + OH-
Asam-Basa
Presipitasi
CaCO3(s)
Chelasi
Cd2+
Lepas
Asup
Air Tanah
Sedimen
Gambar-14. Proses-Proses Kimiawi Utama Dalam Ekosistem Perairan.
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
95
3.1.2. Transportasi Bahan Kimia antar Fase
Sesaat setelah dilepaskan, suatu bahan kimia dapat memasuki keempat matriks kompartemen, yaitu: atmosfir (melalui evaporasi), litosfir
(melalui adsorpsi), hidrosfir (melalui disolusi) dan biosfir (melalui
absorpsi atau ingesti, tergantung pada spesies organisme).
a. Fase Udara - Air: suatu bahan kimia dapat meninggalkan fase air
melalui proses volatilisasi, dan meninggalkan fase udara menuji fase
air melalui melalui proses absorpsi. Pada kondisi ekuilibrium, nilai
bersih volatilisasi dan absorpsi adalah sama dan jumlah total massa
kontaminan yang ditransfer nihil. Sedang pada kondisi tidak setimbang
(non-equilibrium), nilai bersih pergerakan bahan kimia dari suatu fase
ke fase lainnya sangat bergantung pada seberapa jauh kisaran dari
kondisi ekuilibrium dan besaran koefisien transfer total massa.
Sehingga, koefisien transfer massa bergantung pada sifat-sifat fisika
dari solute (seperti tekanan penguapan dan daya larut) dan besaran
massa aliran, baik di udara maupun di air. Contoh: laju proses
pelepasan ammonia terjadi lebih cepat dari bagian dasar dimana
terdapat arus kencang yang dibantu oleh hembusan angin. Demikian
juga lapisan antara/interface udara-air (lapisan mikro permukaan:
surface micro-layer) umumnya menjadi lokasi konsentrasi bahanbahan dan partikel, baik bahan alami maupun anthropogenic.
b. Fase Sedimen - Air: lepasnya kontaminan dari fase sedimen menuju
fase air terjadi melalui proses desorpsi, sedang proses pergerakan dari
fase air menuju fase sedimen melalui adsorpsi ke partikel sedimen.
Laju transfer massa, sekali lagi, bergantung pada koefisien transfer
total massa kontaminan, kecepatan aliran muatan dalam air melalui
lapisan antara sedimen-air, dan sifat-sifat fisika-kimia sedimen
(seperti: distribusi ukuran partikel dan kandungan bahan organik).
Proses partisi kontaminan dari fase air ke fase sedimen merupakan
salah satu proses kunci dalam mengendalikan pemaparan.
c. Fase Sedimen - Udara : kontaminan dapat melepaskan diri dari fase
sedimen dan ditransportasi ke dalam lapisan udara di atasnya melalui
96
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
proses volatilisasi, yang banyak bergantung pada tekanan penguapan
(vapour pressure) bahan kimia dan daya ikatnya (affinity) pada partikel
sedimen.
Proses-proses
(mempengaruhi
lingkungan
ketebalan
batas
seperti:
kecepatan
sedimen-udara)
dan
angin
tingkat
kelembaban sedimen (mempengaruhi sorpsi kontaminan), yang
keduanya mempengaruhi pergerakan kontaminan dari sedimen ke
udara. Contoh: akan lebih banyak kontaminan yang dilepas dari
sedimen tercemar pada saat kecepatan angin tinggi, atau lebih banyak
kontaminan
yang
dilepaskan
ke
udara
pada
sedimen
yang
lembab/basah dibanding pada sedimen kering.
d. Tingkah Laku dan Ketersediaan Bahan Kimia (Fase Biosfer) :
perhatian terhadap bagaimana sifat-sifat fisika-kimia mempengaruhi
tingkah laku kontaminan sangat diperlukan, terutama untuk
mengantisipasi spesiasi
dan
konsentrasi bahan kimia dalam
kompartemen-kompartemen lingkungan yang berbeda. Perhatian
pada
faktor-faktor
tersebut
akan
sangat
bermanfaat
dalam
pengembangan sifat-sifat dan karakteristik pemaparan dari suatu
bahan kimia/kontaminan yang akan diteliti.
Karena pada akhirnya hal ini akan sangat penting artinya (terutama
dalam upaya dan dana yang akan dikeluarkan) dalam kegiatan
penelitian pendugaan: potensi biokonsentrasi (asupan kontaminan
dari lingkungan luar), bioakumulasi (asupan kontaminan dari
lingkungan dan bahan makanan yang dikonsumsi), dan biomagnifikasi
(peningkatan konsentrasi kontaminan pada level trofik yang lebih
tinggi) pada organisme.
Hanya sebagian kecil dari jumlah total bahan kimia yang berada di
lingkungan yang memiliki potensi untuk diasup oleh organisme.
Konsep ini dikenal luas sebagai ketersediaan biologis (bioavailability)
dari suatu bahan kimia. Ketersediaan biologis bahan kimia dalam
berbagai kompartemen lingkungan yang akan menentukan tingkat
toksisitas, sehingga sangat penting untuk menentukan sifat-sifat
pemaparan
berdasarkan
lokasinya
(site
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
specific).
97
O2
Lapisan Bahan Organik di
Permukaan
Partikel Padat terlarut
(erosi, dll)
Koloida
Proses
Biologis
Asup
Lepas
Sedimen
Gambar-15. Proses kimiawi perairan pada ruang peralihan antara air, udara/gas,
bahan padatan, organisme dan larutan lainnya.
98
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Tingkah laku dan ketersediaan biologis kontaminan dalam air
menunjukkan hubungan langsung dengan daya larutnya dalam air. Namun
keberadaan bahan penyusun tertentu dalam air dapat secara nyata
mempengaruhi daya larut bahan kimia toksik dalam air. Contoh: daya
larut insektisida Organochlorin Chlordane meningkat hampir 500% dalam
air tanah yang mengandung 34 ppm total karbon organik terlarut (DOC:
dissolved carbon organic). Akan tetapi peningkatan daya larut ini bukan
merupakan indikasi dari peningkatan bioavailability pestisida tersebut,
karena DOC selain meningkatkan mobilitas dan transportasi bahan
pencemar organik dalam air juga mengurangi ketersediaan biologisnya.
Tingkah laku dan bioavailability bahan kimia toksik yang
berasosiasi dengan sedimen merupakan fenomena kompleks. Pemahaman
bahwa kebanyakan bahan pencemar perairan akhirnya menetap di
sedimen menjadi pendorong bagi diadakannya berbagai studi tentang
bahan pencemar logam dan bahan organik dalam upaya karakterisasi
nasib/deposisi-nya dalam kompleks matriks sedimen. Sedangkan deposisi
merupakan kombinasi proses-proses yang mengubah bentuk bahan kimia
toksik. Kebanyakan logam mengalami reduksi baik secara biotik maupun
abiotik seiring dengan proses penggabungannya ke dalam sedimen,
seperti halnya merkuri yang mengalami methilasi melalui reaksi-reaksi
yang terjadi dalam sedimen. Sehingga methilmerkuri umumnya lebih
tinggi ketersediaan biologisnya dan lebih toksik dibanding merkuri
anorganik.
Karakterisasi proses-proses yang mengendalikan ketersediaan
biologis logam dalam sedimen akan memfasilitasi pengembangan model
untuk memprediksi konsentrasi toksik threshold logam pada sedimensedimen yang berbeda. Temuan dari studi logam yang tergabung dalam
sedimen yang memberi penekanan pada kation divalen dalam kondisi
anaerobik, dimana pada kondisi ini, asam sulfida volatil (AVS) secara jelas
lebih menyukai terikat pada kation divalen. Hal ini ditunjukkan oleh
logam
Cd yang
dapat bereaksi dengan fase-padat
AVS untuk
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
99
menggantikan posisi Fe dan membentuk endapan kadmium sulfida,
seperti ditunjukkan dalam reaksi berikut :
Cd2+ + FeS(s) ↔ CdS(s) + Fe2+
Jika jumlah AVS dalam sedimen melampaui jumlah Cd yang
ditambahkan, maka konsentrasi Cd dalam air interstitial (perbatasan
sedimen dan kolom air) tidak terdeteksi dan oleh karenanya tidak bersifat
toksik. Proses ini dapat dilanjutkan dengan kation-kation lain seperti: Ni,
Zn, Pb, Cu, Hg, Cr, As dan Ag. Oleh karena itu fraksi logam yang tersedia
untuk organisme dalam sedimen dapat diprediksi melalui pengukuran
AVS. Selain itu, faktor-faktor lain sedimen seperti lapisan oksida dan
hidroksida juga memiliki peran besar dalam ketersediaan biologis logam
berat dalam sedimen. Demikian pula dengan organisme yang hidup pada
(di atas ataupun menimbun diri) sedimen memiliki kemampuan untuk
mengoksidasi lingkungan sekitarnya, yang secara langsung memutus
ikatan metal-sulfida.
Bahan kimia organik yang terdapat dalam sedimen mengalami
berbagai jenis transformasi biotik dan abiotik. Bagi bahan-bahan organik
non-ionik, non-polar dan tidak dapat dimetabolisme (non-metabolized),
teori
partisi
ekuilibrium
telah
diusulkan
sebagai
dasar
untuk
pengembangan kriteria kualitas sedimen. Teori ini mengemukakan bahwa
di dalam matriks sedimen terjadi partisi bahan kimia tertentu diantara air
interstitial dan fraksi karbon organik dari padatan sedimen. Pada kondisi
ekuilibrium, partisi ini dapat diprediksi menggunakan koefisien partisi
yang dihasilkan dari laboratorium (misal: Koc). Salah satu asumsi dari
teori ini adalah pemaparan terhadap organisme yang berada pada
sedimen (sediment-dwelling) terjadi hanya pada air interstitial, dan bahan
kimia yang berpartisi pada padatan sedimen tidak tersedia bagi
organisme.
Di
dalam
tanah/sedimen
proses
sorpsi
mengendalikan
ketersediaan biologis kontaminan. Beberapa hasil penelitian yang
100
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
menggunakan metode pemaparan spesifik lokasi menunjukkan bahwa
beberapa bentuk Pb di lingkungan tidak dapat diserap dengan baik oleh
saluran pencernaan (gastrointestin), yang meruntuhkan asumsi umum
yang berlaku bahwa seluruh bentuk Pb yang menjadi bahan pencemar
pada permukaan tanah/sedimen memiliki ancaman dalam bentuk sifat
toksik yang sama terhadap organisme.
3.2. Biomarker
Tantangan
mendasar
dalam
toksikologi
lingkungan
adalah
menghubungkan kehadiran suatu bahan kimia di lingkungan dengan
ancaman bahaya pada reseptor biologis potensial, menggunakan teknik
prediksi yang valid. Efek perubahan kesehatan dalam reseptor biologis
dimulai dengan pemaparan terhadap suatu bahan kimia kontaminan dan
dapat berlanjut pada rusaknya atau berubahnya fungsi dari suatu organel,
sel atau jaringan. Pemaparan organisme di alam melalui kontak dengan
media lingkungan yang terkontaminasi dikenal sebagai konsentrasi
eksternal (external concentration), dimana proses internalisasi media
yang
terkontaminasi
melalui
ingesti
atau
absorpsi
epitel/kulit
menghasilkan sautu konsentrasi internal (internal concentration). Jumlah
atau besaran konsentrasi internal yang dibutuhkan untuk menimbulkan
respon atau efek bagi kesehatan selanjutnya dinamakan konsentrasi
efektif biologis (biologically effective concentration).
Pada awalnya resiko lingkungan dinilai melalui penentuan residu
bahan kimia dalam sampel media lingkungan yang dibandingkan dengan
hasil pengukuran toksisitas dalam suatu spesies yang dipapar dengan
media. Akan tetapi, selain kompleksitas dalam penentuan residu bahan
kimia di lingkungan, bioavailability bahan kimia di lingkungan terhadap
reseptor biologis tidak dapat dikuantifikasi dengan teknik pendekatan
seperti ini. Hal ini disebabkan oleh karena bioavailability suatu bahan
kimia sangat tergantung pada jenis bahan kimia itu sendiri, fase
lingkungan (matriks) dan spesies organisme, yang kesemuanya dapat
membuat bahan kimia tersebut tersedia dengan kisaran yang sangat luas
(0,001 - 100%). Selain itu, kinetik-toksik dan dinamika-toksik dari suatu
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
101
bahan kimia dalam spesies tertentu akan sangat menentukan mampu
tidaknya suatu pemaparan bahan kimia untuk menghasilkan respon atau
efek buruk yang membahayakan.
Pendekatan berbasis marka biologis (biological marker) sangat
membantu dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, melalui
pengukuran langsung dari efek toksik pada spesies yang terkena dampak.
Biological marker (biomarker) atau marka biologis didefinisikan sebagai
perubahan dalam komponen, proses, struktur dan fungsi seluler atau
biokimiawi yang ditimbulkan oleh bahan kimia asing (xenobiotics) yang
dapat diukur dalam suatu sistem atau sampel biologis (CBMNat.Acad.Science, 1987). Biomarker secara umum dapat digolongkan
sebagai pemarka dari pemaparan, dampak atau kerentanan. Pemilihan
jenis-jenis biomarker yang tepat untuk digunakan dalam evaluasi
ancaman bahaya (hazard) dilakukan berdasarkan pada mekanisme dari
suatu kondisi penyakit yang disebabkan oleh suatu bahan kimia. Telah
cukup
lama
berselang
timbul
kesadaran
tentang
kemungkinan
penggunaan organisme alami/liar sebagai biomarker non-lethal dari
penyakit-penyakit yang ada di lingkungan, yang kemudian dihubungkan
dengan efek buruk yang bersesuaian pada manusia.
Pemberian suatu toksikan dalam konsentrasi yang memadai dapat
menghasilkan suatu respon berlanjut, yang diawali dengan pemaparan
dan kemungkinan akan menghasilkan perkembangan suatu penyakit.
Peristiwa ini bermula dengan pemaparan eksternal, lalu diikuti dengan
pemantapan konsentrasi internal yang berujung pada sampainya
kontaminan pada suatu titik rawan. Hal ini kemudian diikuti oleh
perubahan-perubahan buruk pada titik rawan tersebut, baik perubahan
yang dapat balik (reversible) maupun yang tidak dapat balik (irreversible),
dan perkembangan kondisi penyakit yang dapat dengan mudah dikenali.
Pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi penyakit yang ditimbulkan
oleh bahan kimia meningkatkan jumlah biomarker spesifik dan
bermanfaat dalam ekstrapolasi pada spesies lainnya. Adalah suatu
kenyataan bahwa semakin cepat kita mengetahui efek pada suatu titik
102
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
rawan, maka prediksi terhadap ancaman bahaya atau penyakit akan lebih
sensitif. Namun dalam banyak kasus, mekanisme pasti tentang bagaimana
suatu toksikan menimbulkan kerusakan sel, jaringan atau organ belum
begitu diketahui, sehingga indikator-indikator non-spesifik harus dipakai
dalam penggunaan biomarker.
3.2.1. Biomarker Pemaparan (Biomarkers of Exposure).
Kehadiran suatu bahan asing (xenobiotics) atau metabolitnya atau
produk hasil interaksi antara suatu xenobiotics dengan molekul target
atau sel yang diukur dalam suatu fase, untuk suatu organisme
dikelompokkan sebagai suatu biormarker pemaparan (ATSDR, 1994).
Biomarker pemaparan umumnya digunakan untuk memprediksi
dosis atau konsentrasi yang diterima oleh individu, yang selanjutnya
dapat dikaitkan dengan perubahan yang timbul dalam suatu kondisi
penyakit. Dalam banyak hal, biomarker pemaparan merupakan hal yang
cukup mudah untuk diketahui, karena kebanyakan kontaminan atau
metabolitnya dapat dikuantifikasi dari sampel tanpa membunuh
organismenya, seperti: darah, urin, faeces atau jaringan-jaringan yang
dapat diperoleh melalui biopsi atau nekropsi.
Salah satu biomarker pemaparan yang stabil dan sangat bermanfaat
adalah biomarker kanker yang melibatkan deteksi terhadap kemampuan
bahan-bahan kimia karsinogen dalam membentuk simpul dengan
makromolekul seluler seperti DNA atau protein. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena hampir seluruh bahan kimia karsinogen merupakan bahanbahan yang mampu mengikat elektron dengan kuatnya atau dikonversi
menjadi bahan-bahan eletrofilik aktif melalui proses aktifasi metabolik.
Karsinogen-karsinogen ini bereaksi dengan nukleofilik biomakromolekul
dalam membentuk simpul. Jika biomakromolekul cukup stabil, maka
simpul yang terbentuk dapat dideteksi dengan beberapa cara seperti
hidrolysis protein menjadi asam amino (histidin, lysin atau sistein), dan
digunakan untuk menentukan profil pemaparan. Salah satu keutamaan
dari metode penentuan resiko kanker ini adalah sampel darah dapat
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
103
dengan mudah diperoleh sehingga sejumlah besar sampel dapat diperoleh
untuk penentuan pola pemaparan.
3.2.2. Biomarker Dampak (Biomarkers of Effects)
Biomarker dampak adalah perubahan-perubahan biokimiawi,
fisiologis, tingkah laku dan lainnya yang dapat diukur, dalam suatu
organisme yang bergantung pada besarannya, dapat dikenali sebagai
manisfestasi atau potensi gangguan kesehatan atau penyakit (ASTDR,
1994). Idealnya, suatu biomarker dampak harus dapat berdiri sendiri yang
tidak memerlukan analisis kimia atau uji biologis tambahan untuk
mengkonfirmasinya. Penggunaan biomarker dampak dalam jenis-jenis uji
tersebut sangat tinggi spesifitasnya untuk setiap jenis bahan kimia
sehingga penggunaannya sangat terbatas. Contoh dari biomarker dampak
termasuk: uji daya hambat enzim cholinesterase otak oleh insektisida
Karbamat, induksi asam delta aminolevulinic synthetase dan inhibisi asam
aminolevulinic dehydratase oleh Pb dan logam-logam berat tertentu
lainnya.
Beberapa jenis biomarker dengan spesifitas lebih rendah juga telah
dikembangkan
dan
digunakan
secara
luas,
namun
memiliki
kecenderungan respon yang luas terhadap beberapa jenis bahan kimia.
Beberapa jenis biomarker tersebut antara lain: induksi mixedfunction
oxidase (MFO), formasi simpul DNA dan beberapa perubahan DNA seperti
pertukaran
kromatid
kembar
dan
pemutusan
untaian/strand,
imunosupresi dan hipersensitifitas. Uji-uji tersebut di atas membutuhkan
studi biomarker tambahan atau analisis residu bahan kimia untuk dapat
menghubungkan agen penyebab dengan efek yang ditimbulkan. Hal ini
bisa dilihat, misalnya, pada induksi enzim cytochrome P4501A1 (CYP1A1)
di dalam hati ikan umumnya dikenal sebagai biomarker dari pemaparan
ikan terhadap kontaminan, namun hasilnya tidak spesifik senyawa
(compound specific) karena reaksi ini juga dapat diinduksi oleh berbagai
jenis
senyawa
polynuclear
hydrocarbon
maupun
halogenated
hydrocarbon, dan juga oleh kondisi hypoxia (HIF response element).
104
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
3.2.3. Biomarker Kerentanan
Biomarker kerentanan (biomarkers of susceptibility) adalah
titik/hasil akhir yang merupakan indikasi dari suatu perubahan kondisi
fisiologi dan biokimiawi yang menjadikan individu spesies terkena
dampak, baik yang berupa faktor kimia, fisik atau pathogen. Biomarker ini
terutama bermanfaat dalam memprediksi kondisi penyakit pada manusia
menggunakan hewan sebagai acuannnya. Pemaparan hewan pada
konsentrasi rendah TCDD akan menyebabkan meningkatnya aktifitas
enzim cytochrome P4501A1 atau P4501A2 pada hewan, tanpa dampak
buruk. Sedangkan peningkatan aktifitas enzim tersebut pada manusia
diketahui terkait dengan tingginya resiko terserang kanker akibat aktifasi
sejumlah prokarsinogen. Demikian juga dengan beberapa senyawa
xenobiotics yang menghambat aktifitas sistem kekebalan tubuh yang
dapat menyebabkan meningkatnya kerentanan organisme terhadap
organisme pathogen dan kanker.
Diakui bahwa perbedaan antara biomarker dampak dan biomarker
kerentanan agak kabur. Namun perbedaan tersebut dapat dilihat pada
akibat yang ditimbulkan oleh xenobiotics, yaitu: apakah akibatnya secara
langsung mempengaruhi aspek-aspek fisiologi dan biokimiawi yang
merupakan indikasi langsung dari kondisi penyakit, atau akibatnya hanya
pada penurunan ketahanan terhadap faktor-faktor biologis, kimiawi atau
fisis lainnya.
3.2.4. Interpretasi Biomarker
Ketelitian harus digunakan dalam melakukan interpretasi dan
ekstrapolasi terhadap hasil yang diberikan oleh suatu biomarker, dari satu
spesies ke spesies lainnya. Sebab bahan kimia yang sama dapat
menginduksi protein yang berbeda dalam satu spesies dibanding spesies
lainnya, dan enzim yang sama dapat memiliki spesifisitas bahan yang
berbeda, bahkan dalam spesies yang kekerabatannya sangat dekat.
Perbedaan dalam kelas cytochrome P450 yang diinduksi terlihat pada
pemaparan spesies ikan yang sama (salah satunya adalah hasil budidaya
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
105
laboratorium) pada kontaminan TCDD. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
dibutuhkan pemahaman menyeluruh dalam bidang fisiologi dan biokimia
komparatif.
Pentingnya aplikasi biomarker adalah karena kemampuannya
untuk memadukan pemaparan beberapa bahan kimia di area tertentu
dengan keragaman kontaminan yang dikandungnya, seperti yang banyak
ditemui pada lokasi-lokasi pembuangan limbah cair kimia. Respon
CYP1A1 terhadap sedimen yang dicemari oleh dioxin, PCBs atau PAHs
dapat memberikan pemahaman mendalam tentang kondisi kontaminan
pada lokasi, bioavailability-nya dan resiko menyeluruh yang dapat
ditimbulkan. Demikian juga dengan perubahan profil porfirin, kandungan
methallothionein dan fungsi immunologis dapat memberikan gambaran
tentang efek kombinasi dari logam-logam yang terdapat pada perairan
yang tercemar oleh limbah pertambangan. Oleh karena itu, esensi dari
penggunaan biomarker adalah pengertian terhadap kekuatan dan
keterbatasan teknik yang digunakan dan untuk lebih berhati-hati dalam
melakukan ekstrapolasi hasil antar spesies.
3.3. Senyawa Penghambat Perkembangan dan Endokrin (Endocrine
and Developmental Disruptors)
Hambatan terhadap aksi kelenjar endokrin merupakan isu baru
yang mencuat belakangan ini, terutama dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan perumusan kebijakan publik di
negara-negara maju. Hal ini diawali dengan penemuan sejumlah
senyawa, baik alami atau hasil aktifitas manusia, yang menyebabkan
perubahan dalam sistem endokrin (Colborn, 1996). Dampak nyata
terhadap endokrin, baik pada level individu maupun populasi, telah
didokumentasikan dari hasil pemaparan pada konsentrasi tinggi
sejumlah senyawa. Contoh ECD beserta dampaknya disajikan dalam
Tabel 7.
106
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Tabel-7. Beberapa Contoh Gangguan Pada Sistem Endokrin.
Organisme
Kontaminan
Dampak
Mendorong proses
Molluska
Tributylin, DDE
metabolik
maskulinisasi.
Kematangan
gonad
tertunda, ukuran dan
Ikan Catostomus commersoni
Limbah Pabrik Kertas
perkembangan
menurun,
gonad
perubahan
konsentrasi steroid.
Tabel- 7 (lanjutan)
Limbah Buangan Kota
Ikan Trout (Salmo gairdneri)
(mengandungalkylfenol
dan estrogen)
Katak (Xenopus laevis)
Estrogen
Feminisasi dan
produksi vitellogenin
pada ikan jantan.
Imprinting
jenis
kelamin (100% betina).
Perubahan jenis
Buaya (Alligator
missisipiensis)
Pestisida dan Estrogen
kelamin, malformasi
gonad dan perubahan
konsentrasi steroid.
Paus Beluga (Delphinptenus
leucas)
Logam Berat dan
Gangguan reproduksi,
Organochlorin
tumor dan imusupresi.
Dari berbagai sumber.
Diketahui bahwa senyawa pengganggu endokrin (EDC : endocrinedisrupting compound) mampu berinteraksi dengan beberapa target pada
organisme, yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa EDC beraksi pada beberapa tahapan dalam sintesis, sekresi, lokasi
aksi dan metabolisme hormone (Tabel-7). Beberapa contoh mekanisme
EDC dijelaskan sebagai berikut.
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
107
3.3.1. Efek EDC Melalui Reseptor
Suatu senyawa kimia asing (xenobiotics) dapat memberikan
dampak pada tingkat reseptor melalui beberapa mekanisme di luar
interaksi klasik antara reseptor dan ligand (spesies yang mengikat pada
ion logam, misalnya: Nitriloacetate dan CN- dan membetuk kompleks
ion). Hal ini termasuk dampak diferensial pada beberapa jenis reseptor
atau sebagai dampak langsung pada pola signal intraseluler, yang akan
secara langsung mempengaruhi aksi hormon pada jaringan target.
Senyawa asing dapat beraksi pada sistem endokrin dengan jalan
mempengaruhi transkripsi dan aliran signal, serta dapat pula beraksi baik
melalui mekanisme yang dimediasi reseptor atau tanpa mediasi reseptor.
Contohnya, Genistein yang merupakan reseptor lemah bagi estrogen,
namu mampu memodulasi aktifitas Thyrosine kinase dan DNA
topoisomerase (Makalela et al., 1995).
3.3.2. Efek EDC pada Sintesis Hormon dan Metabolisme.
Suatu senyawa dapat merubah konsentrasi hormon endogenous
penting melalui induksi atau hambatan terhadap aktifitas enzim-enzim
biosintesis atau metabolisme. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa jenis
fitoestrogen yang dapat berinteraksi dengan 17P-dehydrogenase yang
meregulasi konsentrasi estradiol dan estron, menandakan bahwa mereka
dapat memodulasi konsentrasi estogen secara keseluruhan selain
berperan sebagai ligand bagi suatu reseptor estrogen. Seperti halnya
dengan perklorat yang bersaing menghambat asupan iodin, yang
sekaligus mengganggu sintesis hormon thyroid (Lamm et al., 1999).
3.3.3. Dampak EDC pada Sekresi dan Transport Hormon.
Telah lama diketahui bahwa Cd2+ adalah suatu pemblokir Ca2+
non-selektif yang dapat menghentikan proses eksositosis Ca2+dependent dalam neuron hypothalamus neurosekretori dan sel-sel
pituitari endokrin. Sebaliknya, EDC dapat mempengaruhi proses
pengikatan hormon dengan protein dalam darah (missal: globulin
108
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
pengikat hormon seksual/SHBG, globulin pengikat kortikosteroid/
CBG), yang menghentikan transportasi hormon melalui peningkatan
atau penurunan rasio pengikatan : pembebasan hormon dalam plasma
(van der Kraak, 1998).
3.4. Makna Toksisitas Dalam Ekotoksikologi
Bahan pencemar dapat memberikan dampak pada suatu sistem
ekologis dengan kisaran area yang luas, termasuk ekosistem dan lansekap
(landscape). Ekosistem tersusun atas seluruh jenis organisme yang secara
bersama-sama berfungsi dan berinteraksi dengan lingkungan fisik,
termasuk aliran enerji dan pendauran bahan-bahan diantara komponenkomponen biotik dan abiotik. Oleh karena itu ekosistem secara kolektif
menyusun lansekap dengan masing-masing fungsi (aliran enerji dan
nutrien) dan atribut strukturnya (relung dan alur). Pendauran dan aliran
dari bahan-bahan menjaga keragaman tingkat keterhubungan dalam
suatu sistem ekologis. Sehingga, secara umum sistem ekologis dapat
dikatakan berada dalam suatu kondisi komunikasi yang konstan, yang
berpotensi untuk memfasilitasi dampak pencemaran dalam skala besar.
Indikator biologis dari pencemaran dapat melibatkan pengukuran
indikator-indikator biokimiawi, fisiologis dan morfologis dari suatu
individu, atau dapat saja melibatkan tingkatan yang lebih tinggi seperti
populasi atau level-level di atasnya. Oleh karena itu, pencemaran dapat
menghasilkan even-even berjenjang, dimulai dengan dampak pada
kondisi homeostasis dalam suatu individu yang kemudian meluas hingga
populasi, komunitas, ekosistem dan lansekap. Kompleksitas ini berpotensi
untuk timbulnya suatu dampak skala besar yang meluas melalui
ekosistem.
Kematian merepresentasikan suatu hasil akhir yang tidak dapat pulih
dalam ekotoksikologi. Akan tetapi sangat sulit untuk mendokumentasikan
even ‘kematian’ di lapangan, karena seringkali hanya bangkai yang
ditemukan. Kesulitan lain di lapangan adalah kebanyakan bahan
pencemar ditemukan dalam konsentrasi rendah non-lethal atau relatif
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
109
tidak terdeteksi, sehingga kondisi akut yang mematikan sangat jarang
ditemukan. Keberadaan efek sub-lethal pada organisme yang terpapar,
oleh karenanya, telah digunakan sebagai kekuatan utama dalam strategi
pemantauan dampak pencemaran. Beberapa indikator biokimiawi dan
fisiologis telah dikembangkan dan diadopsi dari toksikologi manusia atau
hewan darat, untuk kepentingan pemantauan dalam sistem akuatik. Daya
hambat terhadap produksi enzim kolinesterase (ChE) dalam plasma telah
terbukti sebagai biomarker yang handal, yang sangat sensitif dan dapat
mendiagnosis
dampak
pemaparan
organisme
perairan
terhadap
insektisida carbamat dan organofosfat (Mineau, 1991). Induksi sistem
enzim seperti mixedfunction oxygenase (MFO) juga merupakan biomarker
sub-lethal yang sangat akurat bagi pemaparan organisme terhadap
berbagai jenis bahan pencemar (Rattner et al., 1989). Demikian juga
dengan sistem kekebalan tubuh pada ikan (Tahir et al., 1993; Tahir and
Secombes, 1995; Tahir et al., 1997), atau genotoksisitas (McBee et al.,
1987) dan efek reproduktif (Kendall et al., 1990). Walaupun dampakdampak sub-lethal tersebut tidak secara langsung menyebabkan
kematian,
namun
dapat
mempengaruhi
fekunditas,
keberhasilan
reproduksi, ketahanan terhadap serangan penyakit dan laju pertumbuhan
yang pada akhirnya akan berdampak pada struktur dan fungsi populasi.
Penentuan dampak sub-lethal merupakan suatu komponen penting
bagi penilaian resiko lingkungan, berdasarkan dua alasan. Pertama,
respon-respon ini dapat memberikan informasi yang tidak didapatkan
dari pengukuran konsentrasi pada jaringan organisme. Hal ini disebabkan
oleh (1) tidak memungkinkan untuk mengukur konsentrasi dalam
jaringan karena beberapa bahan kimia secara cepat mengalami
metabolisme dan (2) efek toksik dari kebanyakan bahan kimia, terutama
bila tersedia dalam bentuk campuran kompleks (seperti yang umum
didapatkan di lapangan) tidak dapat diprediksi dari hanya kandungan
bahan kimia tersebut di dalam jaringan tubuh organisme saja. Kedua,
perubahan dalam fisiologi biokimia dan molekul sangat erat asosiasinya
dengan fekunditas, pertumbuhan dan status bioenerjetik dari organisme
110
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
yang terkena dampak. Oleh karena itu, gangguan dalam fungsi sub-seluler
dapat berdampak pada kebugaran dan kesehatan ikan ataun organisme
akuatik lainnya, dan pada akhirnya dapat diterjemahkan sebagai dampak
pada populasi dan komunitas.
3.5. Dampak bagi Populasi dan Komunitas
Salah satu tujuan utama dari ekotoksikologi adalah deteksi dan
pencegahan dampak pencemaran pada struktur dan fungsi populasi.
Dampak bagi struktur dan fungsi populasi dapat ditentukan melalui
pengumpulan data-data empiris atau dari hasil simulasi menggunakan
model-model populasi (Albers et al., 2000). Untuk kasus data empirik,
dilakukan sampel dari populasi alami untuk menentukan dampak bahan
pencemar lingkungan terdapat kerapatan, kelimpahan atau biomassa
organisme. Nilai-nilai yang diperoleh dari populasi yang terkontaminasi
kemudian dibandingkan dengan populasi referensi (tanpa sejarah
terkontaminasi), untuk menentukan dampak suatu pencemaran. Dampak
tersebut dapat dimanifestasikan sebagai perubahan dalam struktur umur
atau rasio seks yang dapat mempengaruhi potensi reproduksi dari suatu
populasi. Struktur umur populasi (jumlah relatif individu untuk setiap
kelas umur) dapat memberikan indikasi dari suatu dampak pencemaran,
seperti kegagalan reproduksi atau gangguan dalam rekrutmen juvenil
dalam suatu populasi (Hesthagen et al., 1996). Pola respon populasi
terhadap bahan pencemar juga dapat memberikan informasi tentang
mekanisme dampak pada populasi, misalnya dalam hal perubahan laju
mortalitas pada individu dewasa, rekrutmen juvenil, ketersediaan bahan
makanan, dsbnya.
Sebaliknya, dampak bahan pencemar pada populasi dapat diprediksi
atau disimulasi menggunakan model matematika. Model ini menggunakan
data empirik seperti kelimpahan, sebaran umur, fekunditas dan mortalitas
usia-tertentu untuk dapat memprediksi dampak pemaparan terhadap
bahan pencemar pada kelimpahan individu dan perubahan populasi
(berkembang atau menurun). Data empiris dikoleksi dari organisme yang
dipelihara dalam laboratorium atau dari populasi alami, dan parameter
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
111
populasi dihitung menggunakan aljabar linier atau aljabar matriks. Model
lainnya
menggunakan
hasil
uji
toksisitas
laboratorium
yang
dikombinasikan dengan parameter populasi untuk dapat memprediksi
dampak bahan pencemar pada populasi (Barnthouse et al., 1990). Juga
terdapat model yang menggunakan parameter-parameter fisiologis dan
tingkah laku dari individu spesies untuk memprediksi dampak bahan
pencemar pada populasi (DeAngelis et al., 1990).
Dampak
pada
beberapa
populasi
pada
akhirnya
dapat
dimanifestasikan sebagai dampak pada komunitas, sebab sesuai
definisinya, komunitas adalah kumpulan dari beberapa populasi yang
saling berinteraksi. Bahan pencemar lingkungan dapat memberikan
dampak
pada
struktur
komunitas
dan
interaksi
antar
spesies
penyusunnya. Contoh, diketahui bahwa pemaparan pada bahan kimia
dapat menyebabkan penurunan keragaman komunitas (jumlah relatif
spesies) dan perubahan dalam komposisi komunitas (Hartwell et al., 1997
; Beltman et al., 1999). Demikian juga dengan struktur trofik pada
komunitas ikan dan avertebrata juga dipengaruhi oleh pemaparan bahan
kimia anthropogenik (Paller et al., 1997). Struktur trofik dari komunitas
terkait erat dengan kelimpahan relatif dari spesies memakan berbagai
jenis makanan (piscivora, omnivora, detrivora, insektivora, dsbnya).
Perubahan-perubahan dalam komposisi spesies/trofik dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme langsung maupun tak langsung. Dampak
langsung terjadi karena menghilangnya beberapa spesies sebagai akibat
dari
meningkatnya
kematian
atau
gagalnya
reproduksi
akibat
pencemaran. Dalam kondisi seperti ini, komunitasakan didominasi oleh
spesies yang tidak terlalu dipengaruhi oleh pemaparan terhadap bahan
pencemar. Hal ini merupakan fenomena dasar yang dikenal sebagai
komunitas toleran terhadap pencemaran atau PICT (pollution-induced
community tolerance) (Blanck and Wangberg, 1988), dimana komunitas
alga menjadi lebih toleran terhadap pencemaran sejalan dengan
menghilangnya spesies-spesies yang sensitif yang kemudian digantikan
dengan spesies yang lebih toleran/resilient species (Allen and Otis, 1998).
112
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Sedang mekanisme tidak langsung yang berdampak pada struktur
komunitas dapat dilihat dari contoh klasik dari suatu spesies yang dapat
menghilang dari komunitas karena organisme makanannya punah akibat
pemaparan terhadap bahan pencemar. Dampak tak langsung juga dapat
dilihat dari perubahan dinamika interaksi antar spesies, misalnya pada
pola hubungan mangsa-predator. Demikian juga, jika terdapat perbedaan
dalam sensitifitas relatif terhadap suatu bahan pencemar antar spesies
yang berkompetisi, maka bahan pencemar lingkungan akan memberikan
peluang bagi salah satu spesies tersebut, yang pada gilirannya akan
membuat punahnya spesies yang kurang toleran. Oleh karena itu, semakin
sensitif suatu spesies akan membuatnya tidak mampu beradaptasi
terhadap stressor dan akan mengalami kepunahan. Sedang spesies yang
secara genetis lebih mampu beradaptasi terhadap berbagai jenis stressor
akan menggantikan spesies sensitif. Beragam jenis gangguan pada
struktur dan dinamika komunitas pada akhirnya akan menjadi penentu
bagi stabilitas, keberlanjutan dan produktifitas dari ekosistem-ekosistem
yang terkena dampak.
3.6. Interaksi Bahan Kimia dan Stressor Lingkungan
Pokok bahasan disini adalah bagaimana memahami dampak
interaktif dari pemaparan terhadap beragam jenis bahan pencemar
(multiple contaminants) dan interaksi antara bahan pencemar dan
stressor alamiah (mis. nutrisi, penyakit, predasi, iklim, kualitas air,
dsbnya). Bisa jadi, stressor alamiah yang paling banyak dihadapi oleh
organisme di alam bebas adalah terbatasnya bahan makanan/nutrisi.
Karena telah banyak kasus ditemukan bahwa respon biomarker dan
sebaran bahan pencemar pada jaringan tubuh ikan dipengaruhi oleh
status nutrisi akibat kurang makan/kelaparan. Demikian juga dengan
interaksi antara suhu perairan dan pemaparan pada bahan kimia: pada
ikan dan avertebrata perairan yang bersifat poikilotherm, laju
metabolismenya sangat tergantung pada kondisi suhu, sehingga toksisitas,
akumulasi dan metabolisme bahan pencemar perairan dapat dipengaruhi
oleh suhu perairan (van Wezel and Jonker, 1998). Variabel lingkungan
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
113
perairan lainnnya seperti salinitas dan pH juga diketahui mempengaruhi
tingkat asupan dan toksisitas dari beberapa bahan kimia perairan
(Norrgren et al., 1991; Hall and Anderson, 1995).
3.7. Transfer Bahan Pencemar melalui Level Trofik
Walaupun pemaparan terhadap bahan pencemar dapat terjadi
melalui ingesti, kontak dengan kulit atau melalui aliran air ke dalam
insang, pemaparan dapat secara signifikan terjadi melalui transport rantai
makanan. Tergantung pada sifat-sifat khas suatu bahan kimia, bahan
kimia pencemar dapat terakumulasi baik dalam jaringan lunak ataupun
jaringan keras dari organisme mangsa. Suatu spesies dapat saja tidak
terpapar pada kondisi perairan tercemar, namun dapat menjadi terpapar
terhadap bahan kimia melalui ingesti organisme mangsa yang
dimakannya, yang selanjutnya menyebabkan proses akumulasi atau
magnifikasi dari suatu bahan pencemar ke level trofik yang lebih tinggi.
Hal ini banyak ditemukan dalam konteks bahan pencemar organoklorin
dan logam berat, yang kebanyakan sifatnya sangat merusak terutama
pada spesies sensitif, dan organisme mangsa yang merupakan bahan
makanan utamanya (Beyer and Cromartie, 1987). Sejalan dengan
pergerakan bahan pencemar melalui rantai makanan, bahan-bahan
pencemar tersebut dapat mengalami translokasi dari sumber masuknya.
Individu-individu yang bermigrasi mampu mengangkut bahan-bahan
pencemar hingga jarak yang sangat jauh (misal: HgCH3+ dalam ikan tuna),
yang dapat menjadi potensi pemaparan bagi organisme lain (misalnya:
manusia) yang tidak pernah berada atau bersentuhan dengan lingkungan
yang tercemar oleh merkuri (Braestrup et al., 1984).
3.8. Penilaian Resiko Ekologis
Resiko adalah kondisi paling mungkin untuk terwujudnya suatu
ancaman bahaya. Resiko juga dapat digambarkan sebagai besaran bahaya
yang diperkirakan/kemungkinan terjadi yang terkait dengan suatu aksi.
Resiko dapat berupa atribut yang meningkat seiring dengan terjadinya
suatu
114
pemaparan.
Sedangkan
resiko
relatif
digunakan
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
untuk
menggambarkan rasio antara individu yang terpapar dengan individu
yang tidak terpapar.
Sejalan dengan perkembangan toksikologi lingkungan, maka
kebutuhan untuk dapat secara tepat melakukan penilaian dan kuantifikasi
terhadap dampak bahan kimia toksik pada organisme, populasi dan
komunitasnya di dalam suatu ekosistem, semakin meningkat. Teknikteknik
awal
yang
tersedia
untuk
melakukan
penilaian
resiko,
menggunakan kriteria dan pendekatan kesehatan manusia, dirasakan
tidak memadai untuk sistem ekologis.
Untuk alasan ini Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US.EPA), mengeluarkan suatu
kerangka dasar untuk kepentingan pelaksanaan suatu penilaian resiko
lingkungan pada tahun 1992, yang kemudian dikembangkan dan
dimodifikasi pada tahun 1998 (US.EPA, 1998), untuk lebih memungkinkan
dilakukannya penilaian dampak dari bahan kimia toksik dan stressor
lainnya dalam suatu sistem ekologis. Penilaian resiko berdasarkan US.EPA
menggunakan proses yang terdiri dari tahap untuk kuantifikasi sistematis
kemungkinan terdapatnya resiko lingkungan dan kesehatan manusia
(Gambar-18).
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
115
Koleksi dan Evaluasi Data
€Pengumpulan dan analisa data lapangan relevan.
€Identifikasi Bahan Kimia berpotensi Toksik.
Penilaian Toksisitas
Penilaian Paparan (Exposure)
€
€
€
€
€
Analisa pelepasan bahan pencemar
Identifikasi populasi yang terpapar
Identifikasi potensi jalur pemaparan
Estimasi konsentrasi pemaparan untuk setiap jalur.
Estimasi asupan bahan pencemar untuk setiap jalur
€ Kumpulkan Data/ informasi Toksisitas Kualitatif
dan Kuantitatif
€ Tentukan Nilai Toksisitasnya, masing-masing.
Karakterisasi Resiko
€ Karakterisasi potensi terjadinya gangguan kesehatan (resiko
kanker, non-kanker) sebagai ancaman yang dapat terjadi
€ Evaluasi segala ketidakpastian
€ Buat simpulan dari informasi resiko.
Gambar-16. Prinsip Dasar dalam Penilaian Resiko (US.EPA, 1998).
116
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Koleksi dan evaluasi data terutama ditujukan untuk pemerolehan
data yang dibutuhkan dari lingkungan guna mengidentifikasi
bahan
pencemar potensial (COPC : contaminants of potential concern) dan
mendukung kalkulasi nilai konsentrasi pemaparan dalam penilaian
pemaparan. Data dapat diperoleh dari hasil pengambilan contoh/sampel
di lapangan, khususnya pada lokasi-lokasi yang dicurigai mengandung
bahan kimia pencemar serta dari sampel acuan (reference samples)
dengan latar belakang konsentrasi bahan kimia yang dianggap mewakili
lokasi yang dicurigai tersebut. Dari hasil evaluasi ini simpulan sementara
tentang jenis bahan kimia yang terdapat pada media sampel dan berapa
konsentrasinya.
Dalam penilaian pemaparan lingkungan, data lokasi dievaluasi
untuk memperkirakan konsentrasi pada titik-titik pemaparan khususnya
COPC dalam berbagai media dan lokasi sampling. Kombinasi dari jalur
pemaparan dan reseptor dimana resiko dapat dikuantifikasi agar
dijelaskan secara khusus. Hal ini karena jalur pemaparan akan
menjelaskan hubungan antara sumber bahan kimia dan titik pemaparan.
Asupan konsentrasi bahan kimia lalu dihitung sebagai fungsi dari
konsentrasi bahan kimia di dalam lingkungan, karakteristik dan perilaku
dari individu-individu organisme yang berpotensi untuk terpapar, dan
kondisi atau jenis dampak yang seringkali berasosiasi/terkait dengan
bahan kimia tertentu. Dalam melakukan penilaian pemaparan lingkungan
hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain: siklus hidup bahan kimia
(mulai saat diproduksi, digunakan, didaur ulang dan dibuang),
kompartemen lingkungan yang menjadi target dan estimasi konsentrasi
lingkungan dari bahan kimia pencemar. Namun kriteria terpenting dari
suatu bahan kimia adalah maksud penggunaannya, misalnya untuk: bahan
dasar cat, campuran pestisida, additif plastik, dsbnya. Kesemuanya akan
memudahkan dalam mengidentifikasi kompartemen yang akan terkena
dampak.
Penilaian toksisitas dilakukan dengan menggunakan data yang
dihasilkan dari penelitian-penelitian baik menggunakan hewan dan/atau
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
117
manusia, terutama untuk mengidentifikasi dampak bagi kesehatan yang
mungkin terjadi. Untuk kebanyakan bahan kimia, dampak berbahaya
secara umum dikategorisasikan menjadi: dampak karsinogenik (memiliki
hubungan dengan timbulnya masalah kanker) atau dampak nonkarsinogenik. Khusus untuk radionuklida, dampak buruk utama yang
menjadi kekhawatiran utama adalah kanker. Oleh karena itu, dalam setiap
penilaian resiko yang dilakukan oleh EPA, hasil dari uji toksisitas bahan
kimia spesifik senantiasa dimasukkan ke dalam suatu bentuk penilaian
resiko yang memiliki slop untuk kanker dan/atau konsentrasi bahan
kimia referensinya.
Adapun dalam karakterisasi resiko, hasil penilaian toksisitas yang
mengidentifikasi level konsentrasi yang berhubungan dengan dampak
buruk yang ditimbulkan, dipadukan dengan hasil penilaian pemaparan
yang mengidentifikasi potensi konsentrasi untuk setiap jenis reseptor,
untuk kegunaan kuantifikasi potensi resiko.
Karakterisasi resiko akan memberi ketegasan tentang jenis COPC
yang memiliki potensi resiko paling besar beserta jalur pemaparan
utamanya. Salah satu aspek penting dari karakterisasi resiko adalah
analisis ketidakpastian yang menggambarkan tingkat kepercayaan dalam
hasil yang didapatkan dan penyimpangan-penyimpangan (bias) yang
diketahui. Ketidakpastian yang terkait dengan koleksi dan evaluasi data
dapat menghemat aktifitas pengumpulan sampel, persiapan dan analisis
sampel di laboratorium, serta pengolahan dan analisis data. Demikian
halnya dengan penilaian pemaparan, terdapat sejumlah potensi
ketidakpastian, seperti:
• Jalur pemaparan kronik hipotetik dalam kondisi pemanfaatan
lingkungan saat ini dan masa mendatang, adalah sebenarnya
terjadi.
• Tingkat kepercayaan dalam pendugaan konsentrasi pemaparan
rata-rata dalam berbagai media/matriks pemaparan.
118
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
• Akurasi dan/atau bias dalam setiap model deposisi dan
transportasi bahan kimia yang digunakan untuk mengestimasi
konsentrasi pemaparan pada media/matriks yang tidak disampel
atau pada waktu yang akan datang, dan
• Nilai dari parameter-parameter pemaparan yang digunakan untuk
mengkarakterisasi tingkah laku dan aktifitas reseptor.
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
119
Dampak Lingkungan
Signal / Biomarker Dampak
Bahan Berbahaya
dalam Lingkungan
Struktur dan Fisiologi Sel
Organisasi dan Fungsi Jaringan dan
Organ
Fungsi Organisme (Hewan)
Kerusakan Sel
Kondisi Patologis
Manifestasi Penyakit
dan Kematian
Konsekuensi pada Populasi,
Komunitas dan Ekosistem
Gambar-17. Biomarker Dampak Pemaparan Bahan Kimia Pencemar Berbahaya Pada Berbagai
Tingkatan Organisasi Makhluk Hidup (Hewan).
120
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Gambar-17
menunjukkan
bagaimana
suatu
bahan
kimia
berbahaya memasuki lingkungan dan menghasilkan dampak buruk dan
berbahaya, mulai dari level molekul dan sel, fungsi dan struktur jaringan
dan organ, hingga ke individu organisme untuk seterusnya mempengaruhi
populasi, komunitas dan ekosistem. Dampak pada level biokimiawi dan
seluler menjadi komponen penting dalam penelitian ekotoksikologi
dimana mekanisme aksi bahan toksik sebagai hasil interaksi awal bahan
kimia dan organisme terjadi pada permukaan atau di dalam sel. Apakah
perubahan dalam struktur dan fisiologi sel akan berkembang menjadi
dampak buruk toksisitas, bergantung pada banyak aspek, diantaranya
respon adaptif dari organisme (misal: pemompaan toksikan keluar tubuh
secara aktif, mekanisme detoksifikasi, perbaikan kerusakan sel/jaringan
atau penghindaran lokasi tercemar). Namun umumnya perubahan pada
level seluler akhirnya akan mempengaruhi parameter-parameter biologis
penting dalam populasi, seperti pertumbuhan, perkembangan, kesehatan
dan reproduksi. Toksikologi seluler memberikan konsep penting dalam
memahami proses-proses ekotoksikologi melalui elusidasi modus aksi
toksikan dan dampak toksiknya. Nilai toksisitas seluler akan semakin
bernilai tinggi jika dapat diintergrasikan dengan dampak-dampak
ekologis.
3.9. Evaluasi Ekotoksikologi dan Penilaian Resiko
Pendekatan yang paling sering dilakukan dalam mengevaluasi
dampak ekologis pada lokasi-lokasi pencemaran atau terkontaminasi
adalah dengan melakukan pemantauan lingkungan. Pada pemantauan di
lingkungan perairan, pengukuran terhadap struktur biota penghuni
umumnya meliputi kerapatan dan biomasa alga/tumbuhan air, demikian
pula makroinvertebrata benthos dan ikan. Sedang pengukuran aspek
fungsional meliputi laju asupan karbon pada alga, fotosintesis, laju
reproduksi dan pertumbuhan. Pemantauan juga dilengkapi dengan
penilaian toksisitas dari contoh air dan sedimen yang bertujuan untuk
mengestimasi
potensi
ekotoksikologi
dari
bahan
pencemar
dan
kemungkinan pola hubungan sebab-akibatnya. Uji toksisitas in situ
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
121
(menggunakan kurungan/cage) juga dapat dilakukan untuk mengukur
variasi dalam pemaparan dalam kondisi aktual lokasi yang mengalami
pencemaran.
Pemaparan Lingkungan
Dampak Toksik
Deposisi dan Penyebaran
dalam Lingkungan
Ekstrapolasi
Prediksi Konsentrasi
Tanpa Dampak (PNEC)
Prediksi Konsentrasi
Lingkungan (PEC)
PEC/PNEC
Gambar-18. Bagan Alir Pelaksanaan Penilaian Resiko Lingkungan :
Ekotoksisitas vs Pemaparan Lingkungan (Ecetoc, 1993).
Penilaian resiko lingkungan yang didasari oleh uji laboratorium,
umumnya karena alasan kemudahan dalam pelaksanaannya. Ekstrapolasi
dampak toksikan dari jumlah spesies yang terbatas ke level ekosistem
secara keseluruhan adalah hal yang sulit dilakukan, namun merupakan
bagian penting dari suatu penilaian resiko lingkungan (Koller et al., 2000).
Jika hasil uji toksisitas tersedia dari jumlah spesies sangat sedikit/kurang,
maka nilai toksisitas terkecil harus dibagi dengan nilai faktor aplikasi atau
faktor keamanan (nilainya berkisar 10 – 1000), tergantung pada jumlah
spesies yang diuji, dan apakah nilai akhir berdasarkan mortalitas atau
efek akut (LC50 atau EC50), atau konsentrasi kronik tanpa dampak yang
122
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
terobservasi (NOEC). Dari 248 hasil uji menggunakan 34 jenis bahan
kimia yang melibatkan model ekosistem dan uji kronik spesies tunggal,
diperoleh indikasi kuat bahwa nilai faktor aplikasi sekitar 10 akan sangat
tepat untuk digunakan dalam mengekstrapolasi nilai NOEC uji kronik
spesies tunggal terendah dalam suatu ekosistem model (Chemicals, 1997).
Sehingga konsep penilaian resiko (Gambar 18) yang menggunakan
rasio
antara
prediksi
konsentrasi
lingkungan
(PEC:
predicted
environmental concentration) dan prediksi konsentrasi tanpa dampak
(PNEC : predicted no-observed environmental concentration) digunakan
secara luas (Ecetoc, 1993), yang juga dikenal sebagai ratio quotient. Akan
tetapi,
penilaian
resiko
dan
potensi
bahaya
menggunakan
uji
ekotoksikologi dengan spesies laboratorium dapat memberikan tingkat
ketidakpastian yang tinggi karena beberapa hal seperti: variasi dalam
ketersediaan biologis (bioavailabilitas) toksikan, konsentrasi bahan
pencemar dan interaksi dalam komponen-komponen penyusun senyawa.
Disamping itu, bioakumulasi dalam rantai makanan tidak diperhitungkan,
sehingga dampak pada respon populasi dan komunitas dapat saja berbeda
dengan situasi di lapangan. Selanjutnya, adaptasi terhadap bahan
pencemar dapat terjadi pada lokasi-lokasi terkontaminasi setelah periode
pemaparan panjang, yang bisa menimbulkan suatu harga ekologis yang
mahal seperti konsumsi enerji yang dapat menurunkan tingkat kebugaran
organisme (Hansen et al., 1999).
PEC adalah konsentrasi dari suatu bahan kimia yang dapat
diprediksi akan terdapat pada titik-titik pembuangan limbah cair/bahan
pencemar atau pada lokasi-lokasi terjadinya pencemaran. Pertama-tama
dihitung
konsentrasi
awal
lingkungan
(IEC:
initial
environment
concentration), menggunakan rumus:
IEC =
E x 100-P
Vo x 100
dimana:
E
= laju emisi (mg/hari) untuk setiap titik pembuangan
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
123
P
Vo
= % yang hilang dari pengolahan limbah atau faktor pengenceran
di lokasi buangan.
= volume buangan setiap titik.
Dengan memperhitungkan faktor absorpsi, penguapan dan
biodegradasi serta menggunakan nilia Log Pow ( kisaran : 3 - 5 ) dan Log H
(kisaran : < 2-> 3 ), maka nilai PEC dapat diprediksi. Akan tetapi,
keberadaan nilai uji toksisitas tetap penting agar nilai PEC mendekati
konsentrasi sebenarnya.
Nilai PEC harus dibandingkan dengan nilai PNEC yang dapat
dihitung dari hasil penilaian dampak (uji toksisitas). PNEC dapat dihitung
dengan memasukkan nilai faktor aplikasi (≈ 10) ke dalam nilai terendah
LC50 atau EC50.
PNEC =
! "#50
$%& '(%)
Nilai tanpa dampak yang terobservasi (PNEC) bukan merupakan
nilai aman, hanya digunakan sebagai acuan bahwa di atas nilai PNEC
terdapat kemungkinan timbulnya dampak buruk bagi organisme yang
terpapar. Dalam penilaian awal dilakukan pembandingan antara nilai
pemaparan dan nilai dampak yang merupakan estimasi terhadap potensi
munculnya dampak buruk (Gambar-19).
Pemaparan (PEC) : Dampak (PNEC) > 1
Jika nilai pemaparan lebih besar dari nilai tanpa dampak, maka
bahan kimia dapat dikategorikan memiliki potensi untuk dapat
menyebabkan timbulnya dampak buruk. Sebaliknya jika nilai pemaparan
lebih kecil dari nilai tanpa dampak, maka bahan kimia dapat dianggap
tidak memiliki potensi bahaya yang dikhawatirkan.
124
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
Data Eksperimen
YA
PEC/PNEC < 1
Penetapan PNEC
STOP
TDK
Data Ekosistem
Data Set
YA
Data Uji Kronik
Data Set
PEC/PNEC < 1
Penilaian
Resiko
TDK
Data Uji Akut
Data Set
Gambar-19. Proses Penilaian Dampak Melalui Penetapan PNEC (Richardson, 1999).
Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis
125
Download