3 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 3.1. Prinsip Umum Ekotoksikologi Bidang toksikologi lingkungan, khususnya yang terkait dengan area ekotoksikologi, merupakan salah satu disiplin ilmu lingkungan yang terus berkembang secara cepat. Ekotoksikologi terdefinisi dengan sangat baik sebagai bidang studi yang mencakup nasib akhir/deposisi dan dampak dari bahan kimia toksik pada ekosistem yang didasarkan pada hasil kajian ilmiah, baik dari hasil pengamatan di lapangan maupun dengan penerapan metode-metode uji toksisitas di laboratorium. Ekotoksikologi yang terkait erat dengan toksikologi lingkungan, jelas membutuhkan pemahaman terhadap prinsip dan teori ekologi seperti halnya dengan pengetahuan tentang cara-cara bahan kimia berdampak pada individu spesies, populasi, komunitas dan ekosistem. Pengukuran dampak biologis dapat dilakukan baik dengan melihat respon spesifik spesies terhadap toksikan, atau dampak toksikan pada tingkatan organisasi yang lebih tinggi seperti populasi, komunitas, dstnya. Ekotoksikologi dibangun berdasarkan prinsip keilmuan dan metode uji toksikologi, dengan penekanan pada tingkatan populasi, komunitas dan ekosistem. Kemampuan untuk mengukur transportasi dan deposisi bahan kimia dan pemaparan organisme dalam uji ekotoksikologi merupakan hal penting yang menentukan arah pengembangan teknik pendugaan resiko lingkungan (Suter, 1993; Maughan, 1993). Berbeda dengan uji toksikologi konvensional (standard) yang umumnya berupaya untuk menemukan hubungan sebab-akibat beberapa konsentrasi bahan kimia dengan respon organisme pada lokasi reseptor tertentu, uji ekotoksikologi berupaya untuk mengevaluasi hubungan sebab-akibat pada level organisasi, khususnya pada level populasi. 88 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Komponen terpenting dari uji ekotoksikologi adalah keterpaduan antara penelitian di laboratorium dan di lapangan. Uji toksisitas di laboratorium menjelaskan dampak toksikan pada individu organisme, termasuk respon biokimiawi dan fisiologisnya. Pengetahuan yang diperoleh di laboratorium selanjutnya diselaraskan dengan hal-hal yang terjadi pada kondisi lapangan, dan pemahaman tentang sejumlah parameter lingkungan yang harus dihadapi oleh organisme untuk tetap hidup dan berkembang dengan baik di bawah tekanan toksikan, menjadi aset berharga dan sangat penting. Oleh karena itu, keterpaduan penelitian laboratorium dan penelitian lapangan akan memberi jaminan bahwa suatu uji ekotoksikologi akan menghasilkan data yang relevan. Kebutuhan terhadap metodologi uji toksikologi yang mudah dilakukan dan sederhana proses penerapannya akan terus meningkat, sejalan dengan meningkatnya kepedulian terhadap rusaknya kondisi lingkungan dan peningkatan dampak bahan kimia pencemar di lingkungan perairan, yang terus berlanjut. 3.1.1. Pergerakan, Deposisi dan Pemaparan Bahan Kimia Untuk kepentingan karakterisasi tingkah laku bahan kimia, maka perlu untuk mengukur konsentrasi bahan kimia pada kompartemenkompartemen lingkungan yang berbeda (yaitu: udara, air, sedimen dan organisme), memahami pergerakan dan transportasi bahan kimia di dalam dan diantara kompartemen-kompartemen tersebut, serta terus mengikuti keberadaan bahan kimia hingga mengalami metabolisme, degradasi, disimpan dan terkonsentrasi dalam setiap kompartemen tersebut di atas. Beberapa hal berikut diketahui memiliki peranan besar dalam pergerakan, deposisi dan pemaparan bahan kimia. • Dinamika Bahan Kimia (Chemodynamics) Transportasi bahan kimia diketahui terjadi baik di dalam kompartemen lingkungan (intraphase) maupun diantara kompartemenkompartemen tersebut (interphase), dan menjadi poin penting dalam memahami dan menginterpretasi data toksikologi lingkungan. Skenario Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 89 yang paling mungkin dalam lepasnya suatu bahan kimia ke dalam lingkungan akan melibatkan proses-proses: pelepasan bahan kimia ke dalam suatu kompartemen, kemudian mengalami proses partisi ke dalam beberapa kompartemen lingkungan, kemudian melakukan gerakan dan reaksi dalam setiap kompartemen, lalu mengalami partisi dalam setiap kompartemen dan biota yang terdapat/hidup dalam kompartemen lingkungan tersebut, dan akhirnya sampai ke suatu lokasi aktif (reseptor) pada organisme dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi yang cukup lama untuk menimbulkan suatu dampak. Oleh karena itu, dinamika bahan kimia (chemodynamics) adalah studi tentang pelepasan bahan kimia, distribusi, degradasi dan deposisi-nya di dalam lingkungan. Transportasi bahan kimia pencemar di dalam lingkungan seringkali diprediksi menggunakan asumsi keseimbangan termodinamika. Meskipun seringkali asumsi tersebut tidak dapat dipegang, namun pendekatan ini relatif gamblang dan mudah untuk diaplikasi. Walaupun transportasi intraphase bahan kimia sangat mudah diprediksi menggunakan asumsi keseimbangan termodinamika, namun kemungkinan akurasi terbaik adalah dengan menggunakan model steady-state/dynamic equilibrium, seperti yang telah dijelaskan pada Bab 2. Reaksi-reaksi biotik dan abiotik yang terjadi dalam suatu kompartemen/phase, menghasilkan perubahan signifikan dalam sifat-sifat kimia dan fisik dari senyawa, seperti sifat-sifat oksidatif, lipofilisitas dan volatilitas. Kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas dapat memfasilitasi prediksi konsentrasi bahan kimia dalam lingkungan sekitar organisme tertentu. Chemodynamic juga dapat membantu dalam menjelaskan pergerakan dan penyerapan bahan kimia ke dalam organisme. Selanjutnya, mekanisme detoksifikasi seperti partisi senyawa ke dalam jaringan adiposa, metabolisme dan proses ekskresi yang dipercepat, dapat secara signifikan mengurangi, menghilangkan atau eliminasi, atau dalam beberapa kasus bahkan meningkatkan toksisitas suatu bahan kimia. Oleh karena itu, bantuan chemodynamics dalam memprediksi konsentrasi bahan kimia dalam suatu kompartemen serta 90 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis fungsinya dalam perancangan studi ekotoksikologi menggunakan konsentrasi dan bentuk sediaan bahan kimia yang akan dikaji, harus diapresiasi dan diberi perhatian. • Tingkah Laku Bahan Kimia Fase Tunggal (Single-phase Chemical Behavior) Sekali bahan kimia sintetis memasuki lingkungan, maka dia akan beraksi dan terutama dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan alam. Beberapa model telah digunakan untuk memprediksi dampak kekuatankekuatan alami terhadap pergerakan bahan kimia di lingkungan. Model ini membutuhkan penggabungan variabel-variabel abiotik, seperti: suhu, arah pergerakan dan kecepatan arus, radiasi sinar matahari, tekanan atmosfir, kelembaban dan konsentrasi bahan kimia dalam 4 matriks kompartemen, yaitu: atmosfir (udara), hidrosfir (air), litosfir (sedimen) dan biosfir (makhluk hidup). Pergerakan intraphase bahan kimia terdiri atas transfer biomas, difusi, atau dispersi dalam suatu fase, yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi (gradient) medium. Oleh karena itu, persistensi suatu bahan kimia pencemar merupakan fungsi dari stabilitas bahan kimia dan transportasinya dalam suatu fase. Sedangkan stabilitas merupakan fungsi dari sifat fisika-kimia dan laju degradasi dari suatu bahan kimia dalam suatu fase, yang variasinya sangat luas di dalam maupun diantara kelompok bahan kimia. Stabilitas bahan kimia sulit untuk diprediksi dan jauh lebih tepat lewat observasi dibanding dengan pemodelan (modeling). Sedang transportasi bahan kimia jauh lebih mudah diprediksi, melalui jalur-jalur berikut. a. Udara : jalur utama bahan kimia pencemar memasuki atmosfir adalah melalui evaporasi, emisi gas industri dan sumber-sumber lain. Transportasi kontaminan di udara jauh lebih cepat di udara dibandingkan dalam air, terutama disebabkan oleh rendahnya viskositas udara. Transportasi kontaminan di udara umumnya melalui proses difusi. Kecepatan difusi di udara sekitar 100 kali lebih cepat dibandingkan yang terjadi pada air, dan merupakan fungsi viskositas Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 91 fase dan keberadaan gradiasi konsentrasi. Daya difusi (diffusivity) bahan pencemar di udara bergantung pada berat molekulnya dibanding udara, suhu udara dan pemisahan molekul saat terjadi benturan, enerji dari hasil interaksi molekul di udara. Transportasi kontaminan udara sebagai akibat hembusan dan arus angin berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan proses difusi. Stabilitas atmosfir, yang dipengaruhi oleh transfer enerji panas dari permukaan bumi dan radiasi udara dingin dari lapisan awan, sangat berpengaruh terhadap jumlah turbulensi dan pencampuran vertikal kontaminan di udara. Pencampuran vertikal (vertical mixing) mencapai tingkat maksimum ketika laju transfer panas lebih besar dari kondisi radiasi udara dingin, dan sebaliknya. Pada saat pencampuran vertikal minim, konsentrasi kontaminan yang tinggi terperangkap dekat permukaan bumi. b. Air : kontaminan memasuki hidrosfir melalui jalur-jalur : aplikasi langsung, tumpahan, pembuangan limbah kering dan basah atau pergerakan interphase. Pergerakan bahan kimia dalam hidrosfir terjadi melalui difusi, dispersi atau terbawa oleh aliran massa air yang besar (advection). Pada setiap aliran, terdapat suatu lapisan batas yang bersifat stagnan pada setiap peralihan fase atau garis-batas buatan. Di atas lapisan ini, terdapat sekat-sekat yang menyebabkan aliran air berputar-melingkar, layaknya asap yang terhisap ke atas. Lapisan akhir yang berada di bagian paling atas membuat cairan mengalir dalam pengadukan keras (turbulensi). Sehingga jika air berada dalam kondisi stagnan (diam), maka bahan kimia akan bergerak dalam modus difusi molekul. Laju difusi ditentukan oleh sifat-sifat tetap seperti berat molekul kontaminan (solute), berat molekul air (solvent), suhu air, viskositas dan sifat-sifat dinamis dari bentangan gradasi konsentrasi bahan kimia. Sifat-sifat tersebut juga dikenal sebagai daya difusi (diffusivity) dari kompleks kontaminan-air. Proses difusi kontaminan dalam air beberapa kali lipat lebih cepat daripada yang terjadi di sedimen. Transportasi kontaminan dalam air didominasi 92 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis oleh turbulensi, sekalipun dalam keadaan yang nampak tenang air senantiasa bergerak melingkar dalam bentuk kantong-kantong kecil (eddies) baik ke arah vertikal maupun horizontal. c. Sedimen: proses masuknya kontaminan ke litosfir, mirip dengan yang terjadi pada air. Sedimen memiliki porositas yang beragam sesuai persentase komposisi penyusunnya (seperti : pasir, lanau, lempung, bahan organik), yang pori-porinya juga senantiasa diiisi oleh gas dan larutan. Pergerakan bahan kimia di dalam sedimen terjadi melalui proses difusi melalui larutan tersebut, atau bergerak melalui celahcelah diantara partikel sedimen. Partisi kontaminan yang terdapat dalam cairan dengan fraksi padat sedimen terjadi melalui proses seperti yang terjadi pada kromatografi: dimana kelarutan bahan kimia pada air dalam pori tanah (pore waters), adsorpsi pada partikel sedimen dan kecepatan arus pore-waters sangat mempengaruhi laju transportasi. Arah difusi selalu berasal dari konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Sehingga difusi bahan kimia dalam sedimen tergantung pada berat molekul, suhu sedimen, panjang aliran/bidang difusi, dan besaran gradasi konsentrasi. Kontaminan meninggalkan sedimen melalui transportasi interphase atau proses dekomposisi. Transformasi kontaminan melalui proses degradasi mikroorganisme sangat signifikan perbedaannya dengan yang terjadi baik pada air maupun udara, disebabkan oleh perbedaan kerapatan dan keragaman mikroorganisme yang sangat tinggi dalam sedimen. Secara umum, pergerakan ke luar dari suatu bahan kimia (meninggalkan suatu kompartemen/fase) merupakan hasil dari sejumlah reaksi, dan reaksi yang terpenting adalah fotodegradasi (pada fase air dan udara), hidrolisis (pada fase air) dan biodegradasi (pada fase air dan sedimen). Laju pergerakan bahan kimia ke luar (removal rate) dari salah fase dalam kondisi kesetimbangan dapat dikalkulasi dengan persamaan : Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 93 Ri = Σ [ MiΣki ] dimana: Mi : jumlah mole dalam kompartemen i dan Σki: konstanta dari jumlah laju persebaran bahan kimia dalam kompartemen i. Waktu menetap suatu senyawa kimia dalam suatu kompartemen dapat diestimasi dari jumlah total mol dan nilai total laju pergerakan ke luar. Konsentrasi bahan kimia dalam air dalam kondisi kesetimbangan dapat diestimasi dengan persamaan berikut: / ∑ Σ dimana: Ki= partisi koefisien i dan Di= kerapatan/densitas i. Jika Cw telah didapatkan, maka konsentrasi lainnya dapat diestimasi menggunakan koefisien partisi yang sesuai. Nilai koefisien partisi diperoleh sebagai nilai Z untuk setiap kompartemen. Bentuk advection untuk aliran air dan udara dinyatakan dalam persamaan : Aliran Masuk (inflow) Bahan Kimia Gi x Cbi = Gi x Zi x fbi Aliran Keluar (outflow) Bahan Kimia Gi x Ci = Gi x Zi x fi dimana: Ga = laju aliran masuk dan keluar udara adalah 5 x 107 m3/jam, maka nilai ini setara dengan waktu menetap di udara selama 5 jam; Gw = laju aliran masuk dan keluar air adalah 2.9 x 103/jam, maka waktu, menetap di dalam air adalah 100 hari; Cbi = konsentrasi aliran masuk awal (umumnya 0); dan fbi = nilai fugacity awal (umumnya 0) yang terkait dengan tekanan parsial bahan kimia dan besaran nilai kecenderungan melepaskan diri satu molekul dari suatu fase. 94 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis O2 CO2 Pertukaran gas dengan Atmosfir HNO3- 2HCO3- + h v [CH2O] + O2(g) + CO32- Fotosintesis Oksidasi - Reduksi - NH4+ 2[CH2O] + SO42CO32- + H2O Ca2+ + CO32- Mikroba H2S(g) + H2O + CO2 HCO3- + OH- Asam-Basa Presipitasi CaCO3(s) Chelasi Cd2+ Lepas Asup Air Tanah Sedimen Gambar-14. Proses-Proses Kimiawi Utama Dalam Ekosistem Perairan. Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 95 3.1.2. Transportasi Bahan Kimia antar Fase Sesaat setelah dilepaskan, suatu bahan kimia dapat memasuki keempat matriks kompartemen, yaitu: atmosfir (melalui evaporasi), litosfir (melalui adsorpsi), hidrosfir (melalui disolusi) dan biosfir (melalui absorpsi atau ingesti, tergantung pada spesies organisme). a. Fase Udara - Air: suatu bahan kimia dapat meninggalkan fase air melalui proses volatilisasi, dan meninggalkan fase udara menuji fase air melalui melalui proses absorpsi. Pada kondisi ekuilibrium, nilai bersih volatilisasi dan absorpsi adalah sama dan jumlah total massa kontaminan yang ditransfer nihil. Sedang pada kondisi tidak setimbang (non-equilibrium), nilai bersih pergerakan bahan kimia dari suatu fase ke fase lainnya sangat bergantung pada seberapa jauh kisaran dari kondisi ekuilibrium dan besaran koefisien transfer total massa. Sehingga, koefisien transfer massa bergantung pada sifat-sifat fisika dari solute (seperti tekanan penguapan dan daya larut) dan besaran massa aliran, baik di udara maupun di air. Contoh: laju proses pelepasan ammonia terjadi lebih cepat dari bagian dasar dimana terdapat arus kencang yang dibantu oleh hembusan angin. Demikian juga lapisan antara/interface udara-air (lapisan mikro permukaan: surface micro-layer) umumnya menjadi lokasi konsentrasi bahanbahan dan partikel, baik bahan alami maupun anthropogenic. b. Fase Sedimen - Air: lepasnya kontaminan dari fase sedimen menuju fase air terjadi melalui proses desorpsi, sedang proses pergerakan dari fase air menuju fase sedimen melalui adsorpsi ke partikel sedimen. Laju transfer massa, sekali lagi, bergantung pada koefisien transfer total massa kontaminan, kecepatan aliran muatan dalam air melalui lapisan antara sedimen-air, dan sifat-sifat fisika-kimia sedimen (seperti: distribusi ukuran partikel dan kandungan bahan organik). Proses partisi kontaminan dari fase air ke fase sedimen merupakan salah satu proses kunci dalam mengendalikan pemaparan. c. Fase Sedimen - Udara : kontaminan dapat melepaskan diri dari fase sedimen dan ditransportasi ke dalam lapisan udara di atasnya melalui 96 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis proses volatilisasi, yang banyak bergantung pada tekanan penguapan (vapour pressure) bahan kimia dan daya ikatnya (affinity) pada partikel sedimen. Proses-proses (mempengaruhi lingkungan ketebalan batas seperti: kecepatan sedimen-udara) dan angin tingkat kelembaban sedimen (mempengaruhi sorpsi kontaminan), yang keduanya mempengaruhi pergerakan kontaminan dari sedimen ke udara. Contoh: akan lebih banyak kontaminan yang dilepas dari sedimen tercemar pada saat kecepatan angin tinggi, atau lebih banyak kontaminan yang dilepaskan ke udara pada sedimen yang lembab/basah dibanding pada sedimen kering. d. Tingkah Laku dan Ketersediaan Bahan Kimia (Fase Biosfer) : perhatian terhadap bagaimana sifat-sifat fisika-kimia mempengaruhi tingkah laku kontaminan sangat diperlukan, terutama untuk mengantisipasi spesiasi dan konsentrasi bahan kimia dalam kompartemen-kompartemen lingkungan yang berbeda. Perhatian pada faktor-faktor tersebut akan sangat bermanfaat dalam pengembangan sifat-sifat dan karakteristik pemaparan dari suatu bahan kimia/kontaminan yang akan diteliti. Karena pada akhirnya hal ini akan sangat penting artinya (terutama dalam upaya dan dana yang akan dikeluarkan) dalam kegiatan penelitian pendugaan: potensi biokonsentrasi (asupan kontaminan dari lingkungan luar), bioakumulasi (asupan kontaminan dari lingkungan dan bahan makanan yang dikonsumsi), dan biomagnifikasi (peningkatan konsentrasi kontaminan pada level trofik yang lebih tinggi) pada organisme. Hanya sebagian kecil dari jumlah total bahan kimia yang berada di lingkungan yang memiliki potensi untuk diasup oleh organisme. Konsep ini dikenal luas sebagai ketersediaan biologis (bioavailability) dari suatu bahan kimia. Ketersediaan biologis bahan kimia dalam berbagai kompartemen lingkungan yang akan menentukan tingkat toksisitas, sehingga sangat penting untuk menentukan sifat-sifat pemaparan berdasarkan lokasinya (site Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis specific). 97 O2 Lapisan Bahan Organik di Permukaan Partikel Padat terlarut (erosi, dll) Koloida Proses Biologis Asup Lepas Sedimen Gambar-15. Proses kimiawi perairan pada ruang peralihan antara air, udara/gas, bahan padatan, organisme dan larutan lainnya. 98 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Tingkah laku dan ketersediaan biologis kontaminan dalam air menunjukkan hubungan langsung dengan daya larutnya dalam air. Namun keberadaan bahan penyusun tertentu dalam air dapat secara nyata mempengaruhi daya larut bahan kimia toksik dalam air. Contoh: daya larut insektisida Organochlorin Chlordane meningkat hampir 500% dalam air tanah yang mengandung 34 ppm total karbon organik terlarut (DOC: dissolved carbon organic). Akan tetapi peningkatan daya larut ini bukan merupakan indikasi dari peningkatan bioavailability pestisida tersebut, karena DOC selain meningkatkan mobilitas dan transportasi bahan pencemar organik dalam air juga mengurangi ketersediaan biologisnya. Tingkah laku dan bioavailability bahan kimia toksik yang berasosiasi dengan sedimen merupakan fenomena kompleks. Pemahaman bahwa kebanyakan bahan pencemar perairan akhirnya menetap di sedimen menjadi pendorong bagi diadakannya berbagai studi tentang bahan pencemar logam dan bahan organik dalam upaya karakterisasi nasib/deposisi-nya dalam kompleks matriks sedimen. Sedangkan deposisi merupakan kombinasi proses-proses yang mengubah bentuk bahan kimia toksik. Kebanyakan logam mengalami reduksi baik secara biotik maupun abiotik seiring dengan proses penggabungannya ke dalam sedimen, seperti halnya merkuri yang mengalami methilasi melalui reaksi-reaksi yang terjadi dalam sedimen. Sehingga methilmerkuri umumnya lebih tinggi ketersediaan biologisnya dan lebih toksik dibanding merkuri anorganik. Karakterisasi proses-proses yang mengendalikan ketersediaan biologis logam dalam sedimen akan memfasilitasi pengembangan model untuk memprediksi konsentrasi toksik threshold logam pada sedimensedimen yang berbeda. Temuan dari studi logam yang tergabung dalam sedimen yang memberi penekanan pada kation divalen dalam kondisi anaerobik, dimana pada kondisi ini, asam sulfida volatil (AVS) secara jelas lebih menyukai terikat pada kation divalen. Hal ini ditunjukkan oleh logam Cd yang dapat bereaksi dengan fase-padat AVS untuk Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 99 menggantikan posisi Fe dan membentuk endapan kadmium sulfida, seperti ditunjukkan dalam reaksi berikut : Cd2+ + FeS(s) ↔ CdS(s) + Fe2+ Jika jumlah AVS dalam sedimen melampaui jumlah Cd yang ditambahkan, maka konsentrasi Cd dalam air interstitial (perbatasan sedimen dan kolom air) tidak terdeteksi dan oleh karenanya tidak bersifat toksik. Proses ini dapat dilanjutkan dengan kation-kation lain seperti: Ni, Zn, Pb, Cu, Hg, Cr, As dan Ag. Oleh karena itu fraksi logam yang tersedia untuk organisme dalam sedimen dapat diprediksi melalui pengukuran AVS. Selain itu, faktor-faktor lain sedimen seperti lapisan oksida dan hidroksida juga memiliki peran besar dalam ketersediaan biologis logam berat dalam sedimen. Demikian pula dengan organisme yang hidup pada (di atas ataupun menimbun diri) sedimen memiliki kemampuan untuk mengoksidasi lingkungan sekitarnya, yang secara langsung memutus ikatan metal-sulfida. Bahan kimia organik yang terdapat dalam sedimen mengalami berbagai jenis transformasi biotik dan abiotik. Bagi bahan-bahan organik non-ionik, non-polar dan tidak dapat dimetabolisme (non-metabolized), teori partisi ekuilibrium telah diusulkan sebagai dasar untuk pengembangan kriteria kualitas sedimen. Teori ini mengemukakan bahwa di dalam matriks sedimen terjadi partisi bahan kimia tertentu diantara air interstitial dan fraksi karbon organik dari padatan sedimen. Pada kondisi ekuilibrium, partisi ini dapat diprediksi menggunakan koefisien partisi yang dihasilkan dari laboratorium (misal: Koc). Salah satu asumsi dari teori ini adalah pemaparan terhadap organisme yang berada pada sedimen (sediment-dwelling) terjadi hanya pada air interstitial, dan bahan kimia yang berpartisi pada padatan sedimen tidak tersedia bagi organisme. Di dalam tanah/sedimen proses sorpsi mengendalikan ketersediaan biologis kontaminan. Beberapa hasil penelitian yang 100 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis menggunakan metode pemaparan spesifik lokasi menunjukkan bahwa beberapa bentuk Pb di lingkungan tidak dapat diserap dengan baik oleh saluran pencernaan (gastrointestin), yang meruntuhkan asumsi umum yang berlaku bahwa seluruh bentuk Pb yang menjadi bahan pencemar pada permukaan tanah/sedimen memiliki ancaman dalam bentuk sifat toksik yang sama terhadap organisme. 3.2. Biomarker Tantangan mendasar dalam toksikologi lingkungan adalah menghubungkan kehadiran suatu bahan kimia di lingkungan dengan ancaman bahaya pada reseptor biologis potensial, menggunakan teknik prediksi yang valid. Efek perubahan kesehatan dalam reseptor biologis dimulai dengan pemaparan terhadap suatu bahan kimia kontaminan dan dapat berlanjut pada rusaknya atau berubahnya fungsi dari suatu organel, sel atau jaringan. Pemaparan organisme di alam melalui kontak dengan media lingkungan yang terkontaminasi dikenal sebagai konsentrasi eksternal (external concentration), dimana proses internalisasi media yang terkontaminasi melalui ingesti atau absorpsi epitel/kulit menghasilkan sautu konsentrasi internal (internal concentration). Jumlah atau besaran konsentrasi internal yang dibutuhkan untuk menimbulkan respon atau efek bagi kesehatan selanjutnya dinamakan konsentrasi efektif biologis (biologically effective concentration). Pada awalnya resiko lingkungan dinilai melalui penentuan residu bahan kimia dalam sampel media lingkungan yang dibandingkan dengan hasil pengukuran toksisitas dalam suatu spesies yang dipapar dengan media. Akan tetapi, selain kompleksitas dalam penentuan residu bahan kimia di lingkungan, bioavailability bahan kimia di lingkungan terhadap reseptor biologis tidak dapat dikuantifikasi dengan teknik pendekatan seperti ini. Hal ini disebabkan oleh karena bioavailability suatu bahan kimia sangat tergantung pada jenis bahan kimia itu sendiri, fase lingkungan (matriks) dan spesies organisme, yang kesemuanya dapat membuat bahan kimia tersebut tersedia dengan kisaran yang sangat luas (0,001 - 100%). Selain itu, kinetik-toksik dan dinamika-toksik dari suatu Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 101 bahan kimia dalam spesies tertentu akan sangat menentukan mampu tidaknya suatu pemaparan bahan kimia untuk menghasilkan respon atau efek buruk yang membahayakan. Pendekatan berbasis marka biologis (biological marker) sangat membantu dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, melalui pengukuran langsung dari efek toksik pada spesies yang terkena dampak. Biological marker (biomarker) atau marka biologis didefinisikan sebagai perubahan dalam komponen, proses, struktur dan fungsi seluler atau biokimiawi yang ditimbulkan oleh bahan kimia asing (xenobiotics) yang dapat diukur dalam suatu sistem atau sampel biologis (CBMNat.Acad.Science, 1987). Biomarker secara umum dapat digolongkan sebagai pemarka dari pemaparan, dampak atau kerentanan. Pemilihan jenis-jenis biomarker yang tepat untuk digunakan dalam evaluasi ancaman bahaya (hazard) dilakukan berdasarkan pada mekanisme dari suatu kondisi penyakit yang disebabkan oleh suatu bahan kimia. Telah cukup lama berselang timbul kesadaran tentang kemungkinan penggunaan organisme alami/liar sebagai biomarker non-lethal dari penyakit-penyakit yang ada di lingkungan, yang kemudian dihubungkan dengan efek buruk yang bersesuaian pada manusia. Pemberian suatu toksikan dalam konsentrasi yang memadai dapat menghasilkan suatu respon berlanjut, yang diawali dengan pemaparan dan kemungkinan akan menghasilkan perkembangan suatu penyakit. Peristiwa ini bermula dengan pemaparan eksternal, lalu diikuti dengan pemantapan konsentrasi internal yang berujung pada sampainya kontaminan pada suatu titik rawan. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan-perubahan buruk pada titik rawan tersebut, baik perubahan yang dapat balik (reversible) maupun yang tidak dapat balik (irreversible), dan perkembangan kondisi penyakit yang dapat dengan mudah dikenali. Pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi penyakit yang ditimbulkan oleh bahan kimia meningkatkan jumlah biomarker spesifik dan bermanfaat dalam ekstrapolasi pada spesies lainnya. Adalah suatu kenyataan bahwa semakin cepat kita mengetahui efek pada suatu titik 102 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis rawan, maka prediksi terhadap ancaman bahaya atau penyakit akan lebih sensitif. Namun dalam banyak kasus, mekanisme pasti tentang bagaimana suatu toksikan menimbulkan kerusakan sel, jaringan atau organ belum begitu diketahui, sehingga indikator-indikator non-spesifik harus dipakai dalam penggunaan biomarker. 3.2.1. Biomarker Pemaparan (Biomarkers of Exposure). Kehadiran suatu bahan asing (xenobiotics) atau metabolitnya atau produk hasil interaksi antara suatu xenobiotics dengan molekul target atau sel yang diukur dalam suatu fase, untuk suatu organisme dikelompokkan sebagai suatu biormarker pemaparan (ATSDR, 1994). Biomarker pemaparan umumnya digunakan untuk memprediksi dosis atau konsentrasi yang diterima oleh individu, yang selanjutnya dapat dikaitkan dengan perubahan yang timbul dalam suatu kondisi penyakit. Dalam banyak hal, biomarker pemaparan merupakan hal yang cukup mudah untuk diketahui, karena kebanyakan kontaminan atau metabolitnya dapat dikuantifikasi dari sampel tanpa membunuh organismenya, seperti: darah, urin, faeces atau jaringan-jaringan yang dapat diperoleh melalui biopsi atau nekropsi. Salah satu biomarker pemaparan yang stabil dan sangat bermanfaat adalah biomarker kanker yang melibatkan deteksi terhadap kemampuan bahan-bahan kimia karsinogen dalam membentuk simpul dengan makromolekul seluler seperti DNA atau protein. Hal ini dimungkinkan terjadi karena hampir seluruh bahan kimia karsinogen merupakan bahanbahan yang mampu mengikat elektron dengan kuatnya atau dikonversi menjadi bahan-bahan eletrofilik aktif melalui proses aktifasi metabolik. Karsinogen-karsinogen ini bereaksi dengan nukleofilik biomakromolekul dalam membentuk simpul. Jika biomakromolekul cukup stabil, maka simpul yang terbentuk dapat dideteksi dengan beberapa cara seperti hidrolysis protein menjadi asam amino (histidin, lysin atau sistein), dan digunakan untuk menentukan profil pemaparan. Salah satu keutamaan dari metode penentuan resiko kanker ini adalah sampel darah dapat Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 103 dengan mudah diperoleh sehingga sejumlah besar sampel dapat diperoleh untuk penentuan pola pemaparan. 3.2.2. Biomarker Dampak (Biomarkers of Effects) Biomarker dampak adalah perubahan-perubahan biokimiawi, fisiologis, tingkah laku dan lainnya yang dapat diukur, dalam suatu organisme yang bergantung pada besarannya, dapat dikenali sebagai manisfestasi atau potensi gangguan kesehatan atau penyakit (ASTDR, 1994). Idealnya, suatu biomarker dampak harus dapat berdiri sendiri yang tidak memerlukan analisis kimia atau uji biologis tambahan untuk mengkonfirmasinya. Penggunaan biomarker dampak dalam jenis-jenis uji tersebut sangat tinggi spesifitasnya untuk setiap jenis bahan kimia sehingga penggunaannya sangat terbatas. Contoh dari biomarker dampak termasuk: uji daya hambat enzim cholinesterase otak oleh insektisida Karbamat, induksi asam delta aminolevulinic synthetase dan inhibisi asam aminolevulinic dehydratase oleh Pb dan logam-logam berat tertentu lainnya. Beberapa jenis biomarker dengan spesifitas lebih rendah juga telah dikembangkan dan digunakan secara luas, namun memiliki kecenderungan respon yang luas terhadap beberapa jenis bahan kimia. Beberapa jenis biomarker tersebut antara lain: induksi mixedfunction oxidase (MFO), formasi simpul DNA dan beberapa perubahan DNA seperti pertukaran kromatid kembar dan pemutusan untaian/strand, imunosupresi dan hipersensitifitas. Uji-uji tersebut di atas membutuhkan studi biomarker tambahan atau analisis residu bahan kimia untuk dapat menghubungkan agen penyebab dengan efek yang ditimbulkan. Hal ini bisa dilihat, misalnya, pada induksi enzim cytochrome P4501A1 (CYP1A1) di dalam hati ikan umumnya dikenal sebagai biomarker dari pemaparan ikan terhadap kontaminan, namun hasilnya tidak spesifik senyawa (compound specific) karena reaksi ini juga dapat diinduksi oleh berbagai jenis senyawa polynuclear hydrocarbon maupun halogenated hydrocarbon, dan juga oleh kondisi hypoxia (HIF response element). 104 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 3.2.3. Biomarker Kerentanan Biomarker kerentanan (biomarkers of susceptibility) adalah titik/hasil akhir yang merupakan indikasi dari suatu perubahan kondisi fisiologi dan biokimiawi yang menjadikan individu spesies terkena dampak, baik yang berupa faktor kimia, fisik atau pathogen. Biomarker ini terutama bermanfaat dalam memprediksi kondisi penyakit pada manusia menggunakan hewan sebagai acuannnya. Pemaparan hewan pada konsentrasi rendah TCDD akan menyebabkan meningkatnya aktifitas enzim cytochrome P4501A1 atau P4501A2 pada hewan, tanpa dampak buruk. Sedangkan peningkatan aktifitas enzim tersebut pada manusia diketahui terkait dengan tingginya resiko terserang kanker akibat aktifasi sejumlah prokarsinogen. Demikian juga dengan beberapa senyawa xenobiotics yang menghambat aktifitas sistem kekebalan tubuh yang dapat menyebabkan meningkatnya kerentanan organisme terhadap organisme pathogen dan kanker. Diakui bahwa perbedaan antara biomarker dampak dan biomarker kerentanan agak kabur. Namun perbedaan tersebut dapat dilihat pada akibat yang ditimbulkan oleh xenobiotics, yaitu: apakah akibatnya secara langsung mempengaruhi aspek-aspek fisiologi dan biokimiawi yang merupakan indikasi langsung dari kondisi penyakit, atau akibatnya hanya pada penurunan ketahanan terhadap faktor-faktor biologis, kimiawi atau fisis lainnya. 3.2.4. Interpretasi Biomarker Ketelitian harus digunakan dalam melakukan interpretasi dan ekstrapolasi terhadap hasil yang diberikan oleh suatu biomarker, dari satu spesies ke spesies lainnya. Sebab bahan kimia yang sama dapat menginduksi protein yang berbeda dalam satu spesies dibanding spesies lainnya, dan enzim yang sama dapat memiliki spesifisitas bahan yang berbeda, bahkan dalam spesies yang kekerabatannya sangat dekat. Perbedaan dalam kelas cytochrome P450 yang diinduksi terlihat pada pemaparan spesies ikan yang sama (salah satunya adalah hasil budidaya Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 105 laboratorium) pada kontaminan TCDD. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dibutuhkan pemahaman menyeluruh dalam bidang fisiologi dan biokimia komparatif. Pentingnya aplikasi biomarker adalah karena kemampuannya untuk memadukan pemaparan beberapa bahan kimia di area tertentu dengan keragaman kontaminan yang dikandungnya, seperti yang banyak ditemui pada lokasi-lokasi pembuangan limbah cair kimia. Respon CYP1A1 terhadap sedimen yang dicemari oleh dioxin, PCBs atau PAHs dapat memberikan pemahaman mendalam tentang kondisi kontaminan pada lokasi, bioavailability-nya dan resiko menyeluruh yang dapat ditimbulkan. Demikian juga dengan perubahan profil porfirin, kandungan methallothionein dan fungsi immunologis dapat memberikan gambaran tentang efek kombinasi dari logam-logam yang terdapat pada perairan yang tercemar oleh limbah pertambangan. Oleh karena itu, esensi dari penggunaan biomarker adalah pengertian terhadap kekuatan dan keterbatasan teknik yang digunakan dan untuk lebih berhati-hati dalam melakukan ekstrapolasi hasil antar spesies. 3.3. Senyawa Penghambat Perkembangan dan Endokrin (Endocrine and Developmental Disruptors) Hambatan terhadap aksi kelenjar endokrin merupakan isu baru yang mencuat belakangan ini, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perumusan kebijakan publik di negara-negara maju. Hal ini diawali dengan penemuan sejumlah senyawa, baik alami atau hasil aktifitas manusia, yang menyebabkan perubahan dalam sistem endokrin (Colborn, 1996). Dampak nyata terhadap endokrin, baik pada level individu maupun populasi, telah didokumentasikan dari hasil pemaparan pada konsentrasi tinggi sejumlah senyawa. Contoh ECD beserta dampaknya disajikan dalam Tabel 7. 106 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Tabel-7. Beberapa Contoh Gangguan Pada Sistem Endokrin. Organisme Kontaminan Dampak Mendorong proses Molluska Tributylin, DDE metabolik maskulinisasi. Kematangan gonad tertunda, ukuran dan Ikan Catostomus commersoni Limbah Pabrik Kertas perkembangan menurun, gonad perubahan konsentrasi steroid. Tabel- 7 (lanjutan) Limbah Buangan Kota Ikan Trout (Salmo gairdneri) (mengandungalkylfenol dan estrogen) Katak (Xenopus laevis) Estrogen Feminisasi dan produksi vitellogenin pada ikan jantan. Imprinting jenis kelamin (100% betina). Perubahan jenis Buaya (Alligator missisipiensis) Pestisida dan Estrogen kelamin, malformasi gonad dan perubahan konsentrasi steroid. Paus Beluga (Delphinptenus leucas) Logam Berat dan Gangguan reproduksi, Organochlorin tumor dan imusupresi. Dari berbagai sumber. Diketahui bahwa senyawa pengganggu endokrin (EDC : endocrinedisrupting compound) mampu berinteraksi dengan beberapa target pada organisme, yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa EDC beraksi pada beberapa tahapan dalam sintesis, sekresi, lokasi aksi dan metabolisme hormone (Tabel-7). Beberapa contoh mekanisme EDC dijelaskan sebagai berikut. Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 107 3.3.1. Efek EDC Melalui Reseptor Suatu senyawa kimia asing (xenobiotics) dapat memberikan dampak pada tingkat reseptor melalui beberapa mekanisme di luar interaksi klasik antara reseptor dan ligand (spesies yang mengikat pada ion logam, misalnya: Nitriloacetate dan CN- dan membetuk kompleks ion). Hal ini termasuk dampak diferensial pada beberapa jenis reseptor atau sebagai dampak langsung pada pola signal intraseluler, yang akan secara langsung mempengaruhi aksi hormon pada jaringan target. Senyawa asing dapat beraksi pada sistem endokrin dengan jalan mempengaruhi transkripsi dan aliran signal, serta dapat pula beraksi baik melalui mekanisme yang dimediasi reseptor atau tanpa mediasi reseptor. Contohnya, Genistein yang merupakan reseptor lemah bagi estrogen, namu mampu memodulasi aktifitas Thyrosine kinase dan DNA topoisomerase (Makalela et al., 1995). 3.3.2. Efek EDC pada Sintesis Hormon dan Metabolisme. Suatu senyawa dapat merubah konsentrasi hormon endogenous penting melalui induksi atau hambatan terhadap aktifitas enzim-enzim biosintesis atau metabolisme. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa jenis fitoestrogen yang dapat berinteraksi dengan 17P-dehydrogenase yang meregulasi konsentrasi estradiol dan estron, menandakan bahwa mereka dapat memodulasi konsentrasi estogen secara keseluruhan selain berperan sebagai ligand bagi suatu reseptor estrogen. Seperti halnya dengan perklorat yang bersaing menghambat asupan iodin, yang sekaligus mengganggu sintesis hormon thyroid (Lamm et al., 1999). 3.3.3. Dampak EDC pada Sekresi dan Transport Hormon. Telah lama diketahui bahwa Cd2+ adalah suatu pemblokir Ca2+ non-selektif yang dapat menghentikan proses eksositosis Ca2+dependent dalam neuron hypothalamus neurosekretori dan sel-sel pituitari endokrin. Sebaliknya, EDC dapat mempengaruhi proses pengikatan hormon dengan protein dalam darah (missal: globulin 108 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis pengikat hormon seksual/SHBG, globulin pengikat kortikosteroid/ CBG), yang menghentikan transportasi hormon melalui peningkatan atau penurunan rasio pengikatan : pembebasan hormon dalam plasma (van der Kraak, 1998). 3.4. Makna Toksisitas Dalam Ekotoksikologi Bahan pencemar dapat memberikan dampak pada suatu sistem ekologis dengan kisaran area yang luas, termasuk ekosistem dan lansekap (landscape). Ekosistem tersusun atas seluruh jenis organisme yang secara bersama-sama berfungsi dan berinteraksi dengan lingkungan fisik, termasuk aliran enerji dan pendauran bahan-bahan diantara komponenkomponen biotik dan abiotik. Oleh karena itu ekosistem secara kolektif menyusun lansekap dengan masing-masing fungsi (aliran enerji dan nutrien) dan atribut strukturnya (relung dan alur). Pendauran dan aliran dari bahan-bahan menjaga keragaman tingkat keterhubungan dalam suatu sistem ekologis. Sehingga, secara umum sistem ekologis dapat dikatakan berada dalam suatu kondisi komunikasi yang konstan, yang berpotensi untuk memfasilitasi dampak pencemaran dalam skala besar. Indikator biologis dari pencemaran dapat melibatkan pengukuran indikator-indikator biokimiawi, fisiologis dan morfologis dari suatu individu, atau dapat saja melibatkan tingkatan yang lebih tinggi seperti populasi atau level-level di atasnya. Oleh karena itu, pencemaran dapat menghasilkan even-even berjenjang, dimulai dengan dampak pada kondisi homeostasis dalam suatu individu yang kemudian meluas hingga populasi, komunitas, ekosistem dan lansekap. Kompleksitas ini berpotensi untuk timbulnya suatu dampak skala besar yang meluas melalui ekosistem. Kematian merepresentasikan suatu hasil akhir yang tidak dapat pulih dalam ekotoksikologi. Akan tetapi sangat sulit untuk mendokumentasikan even ‘kematian’ di lapangan, karena seringkali hanya bangkai yang ditemukan. Kesulitan lain di lapangan adalah kebanyakan bahan pencemar ditemukan dalam konsentrasi rendah non-lethal atau relatif Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 109 tidak terdeteksi, sehingga kondisi akut yang mematikan sangat jarang ditemukan. Keberadaan efek sub-lethal pada organisme yang terpapar, oleh karenanya, telah digunakan sebagai kekuatan utama dalam strategi pemantauan dampak pencemaran. Beberapa indikator biokimiawi dan fisiologis telah dikembangkan dan diadopsi dari toksikologi manusia atau hewan darat, untuk kepentingan pemantauan dalam sistem akuatik. Daya hambat terhadap produksi enzim kolinesterase (ChE) dalam plasma telah terbukti sebagai biomarker yang handal, yang sangat sensitif dan dapat mendiagnosis dampak pemaparan organisme perairan terhadap insektisida carbamat dan organofosfat (Mineau, 1991). Induksi sistem enzim seperti mixedfunction oxygenase (MFO) juga merupakan biomarker sub-lethal yang sangat akurat bagi pemaparan organisme terhadap berbagai jenis bahan pencemar (Rattner et al., 1989). Demikian juga dengan sistem kekebalan tubuh pada ikan (Tahir et al., 1993; Tahir and Secombes, 1995; Tahir et al., 1997), atau genotoksisitas (McBee et al., 1987) dan efek reproduktif (Kendall et al., 1990). Walaupun dampakdampak sub-lethal tersebut tidak secara langsung menyebabkan kematian, namun dapat mempengaruhi fekunditas, keberhasilan reproduksi, ketahanan terhadap serangan penyakit dan laju pertumbuhan yang pada akhirnya akan berdampak pada struktur dan fungsi populasi. Penentuan dampak sub-lethal merupakan suatu komponen penting bagi penilaian resiko lingkungan, berdasarkan dua alasan. Pertama, respon-respon ini dapat memberikan informasi yang tidak didapatkan dari pengukuran konsentrasi pada jaringan organisme. Hal ini disebabkan oleh (1) tidak memungkinkan untuk mengukur konsentrasi dalam jaringan karena beberapa bahan kimia secara cepat mengalami metabolisme dan (2) efek toksik dari kebanyakan bahan kimia, terutama bila tersedia dalam bentuk campuran kompleks (seperti yang umum didapatkan di lapangan) tidak dapat diprediksi dari hanya kandungan bahan kimia tersebut di dalam jaringan tubuh organisme saja. Kedua, perubahan dalam fisiologi biokimia dan molekul sangat erat asosiasinya dengan fekunditas, pertumbuhan dan status bioenerjetik dari organisme 110 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis yang terkena dampak. Oleh karena itu, gangguan dalam fungsi sub-seluler dapat berdampak pada kebugaran dan kesehatan ikan ataun organisme akuatik lainnya, dan pada akhirnya dapat diterjemahkan sebagai dampak pada populasi dan komunitas. 3.5. Dampak bagi Populasi dan Komunitas Salah satu tujuan utama dari ekotoksikologi adalah deteksi dan pencegahan dampak pencemaran pada struktur dan fungsi populasi. Dampak bagi struktur dan fungsi populasi dapat ditentukan melalui pengumpulan data-data empiris atau dari hasil simulasi menggunakan model-model populasi (Albers et al., 2000). Untuk kasus data empirik, dilakukan sampel dari populasi alami untuk menentukan dampak bahan pencemar lingkungan terdapat kerapatan, kelimpahan atau biomassa organisme. Nilai-nilai yang diperoleh dari populasi yang terkontaminasi kemudian dibandingkan dengan populasi referensi (tanpa sejarah terkontaminasi), untuk menentukan dampak suatu pencemaran. Dampak tersebut dapat dimanifestasikan sebagai perubahan dalam struktur umur atau rasio seks yang dapat mempengaruhi potensi reproduksi dari suatu populasi. Struktur umur populasi (jumlah relatif individu untuk setiap kelas umur) dapat memberikan indikasi dari suatu dampak pencemaran, seperti kegagalan reproduksi atau gangguan dalam rekrutmen juvenil dalam suatu populasi (Hesthagen et al., 1996). Pola respon populasi terhadap bahan pencemar juga dapat memberikan informasi tentang mekanisme dampak pada populasi, misalnya dalam hal perubahan laju mortalitas pada individu dewasa, rekrutmen juvenil, ketersediaan bahan makanan, dsbnya. Sebaliknya, dampak bahan pencemar pada populasi dapat diprediksi atau disimulasi menggunakan model matematika. Model ini menggunakan data empirik seperti kelimpahan, sebaran umur, fekunditas dan mortalitas usia-tertentu untuk dapat memprediksi dampak pemaparan terhadap bahan pencemar pada kelimpahan individu dan perubahan populasi (berkembang atau menurun). Data empiris dikoleksi dari organisme yang dipelihara dalam laboratorium atau dari populasi alami, dan parameter Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 111 populasi dihitung menggunakan aljabar linier atau aljabar matriks. Model lainnya menggunakan hasil uji toksisitas laboratorium yang dikombinasikan dengan parameter populasi untuk dapat memprediksi dampak bahan pencemar pada populasi (Barnthouse et al., 1990). Juga terdapat model yang menggunakan parameter-parameter fisiologis dan tingkah laku dari individu spesies untuk memprediksi dampak bahan pencemar pada populasi (DeAngelis et al., 1990). Dampak pada beberapa populasi pada akhirnya dapat dimanifestasikan sebagai dampak pada komunitas, sebab sesuai definisinya, komunitas adalah kumpulan dari beberapa populasi yang saling berinteraksi. Bahan pencemar lingkungan dapat memberikan dampak pada struktur komunitas dan interaksi antar spesies penyusunnya. Contoh, diketahui bahwa pemaparan pada bahan kimia dapat menyebabkan penurunan keragaman komunitas (jumlah relatif spesies) dan perubahan dalam komposisi komunitas (Hartwell et al., 1997 ; Beltman et al., 1999). Demikian juga dengan struktur trofik pada komunitas ikan dan avertebrata juga dipengaruhi oleh pemaparan bahan kimia anthropogenik (Paller et al., 1997). Struktur trofik dari komunitas terkait erat dengan kelimpahan relatif dari spesies memakan berbagai jenis makanan (piscivora, omnivora, detrivora, insektivora, dsbnya). Perubahan-perubahan dalam komposisi spesies/trofik dapat terjadi melalui beberapa mekanisme langsung maupun tak langsung. Dampak langsung terjadi karena menghilangnya beberapa spesies sebagai akibat dari meningkatnya kematian atau gagalnya reproduksi akibat pencemaran. Dalam kondisi seperti ini, komunitasakan didominasi oleh spesies yang tidak terlalu dipengaruhi oleh pemaparan terhadap bahan pencemar. Hal ini merupakan fenomena dasar yang dikenal sebagai komunitas toleran terhadap pencemaran atau PICT (pollution-induced community tolerance) (Blanck and Wangberg, 1988), dimana komunitas alga menjadi lebih toleran terhadap pencemaran sejalan dengan menghilangnya spesies-spesies yang sensitif yang kemudian digantikan dengan spesies yang lebih toleran/resilient species (Allen and Otis, 1998). 112 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Sedang mekanisme tidak langsung yang berdampak pada struktur komunitas dapat dilihat dari contoh klasik dari suatu spesies yang dapat menghilang dari komunitas karena organisme makanannya punah akibat pemaparan terhadap bahan pencemar. Dampak tak langsung juga dapat dilihat dari perubahan dinamika interaksi antar spesies, misalnya pada pola hubungan mangsa-predator. Demikian juga, jika terdapat perbedaan dalam sensitifitas relatif terhadap suatu bahan pencemar antar spesies yang berkompetisi, maka bahan pencemar lingkungan akan memberikan peluang bagi salah satu spesies tersebut, yang pada gilirannya akan membuat punahnya spesies yang kurang toleran. Oleh karena itu, semakin sensitif suatu spesies akan membuatnya tidak mampu beradaptasi terhadap stressor dan akan mengalami kepunahan. Sedang spesies yang secara genetis lebih mampu beradaptasi terhadap berbagai jenis stressor akan menggantikan spesies sensitif. Beragam jenis gangguan pada struktur dan dinamika komunitas pada akhirnya akan menjadi penentu bagi stabilitas, keberlanjutan dan produktifitas dari ekosistem-ekosistem yang terkena dampak. 3.6. Interaksi Bahan Kimia dan Stressor Lingkungan Pokok bahasan disini adalah bagaimana memahami dampak interaktif dari pemaparan terhadap beragam jenis bahan pencemar (multiple contaminants) dan interaksi antara bahan pencemar dan stressor alamiah (mis. nutrisi, penyakit, predasi, iklim, kualitas air, dsbnya). Bisa jadi, stressor alamiah yang paling banyak dihadapi oleh organisme di alam bebas adalah terbatasnya bahan makanan/nutrisi. Karena telah banyak kasus ditemukan bahwa respon biomarker dan sebaran bahan pencemar pada jaringan tubuh ikan dipengaruhi oleh status nutrisi akibat kurang makan/kelaparan. Demikian juga dengan interaksi antara suhu perairan dan pemaparan pada bahan kimia: pada ikan dan avertebrata perairan yang bersifat poikilotherm, laju metabolismenya sangat tergantung pada kondisi suhu, sehingga toksisitas, akumulasi dan metabolisme bahan pencemar perairan dapat dipengaruhi oleh suhu perairan (van Wezel and Jonker, 1998). Variabel lingkungan Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 113 perairan lainnnya seperti salinitas dan pH juga diketahui mempengaruhi tingkat asupan dan toksisitas dari beberapa bahan kimia perairan (Norrgren et al., 1991; Hall and Anderson, 1995). 3.7. Transfer Bahan Pencemar melalui Level Trofik Walaupun pemaparan terhadap bahan pencemar dapat terjadi melalui ingesti, kontak dengan kulit atau melalui aliran air ke dalam insang, pemaparan dapat secara signifikan terjadi melalui transport rantai makanan. Tergantung pada sifat-sifat khas suatu bahan kimia, bahan kimia pencemar dapat terakumulasi baik dalam jaringan lunak ataupun jaringan keras dari organisme mangsa. Suatu spesies dapat saja tidak terpapar pada kondisi perairan tercemar, namun dapat menjadi terpapar terhadap bahan kimia melalui ingesti organisme mangsa yang dimakannya, yang selanjutnya menyebabkan proses akumulasi atau magnifikasi dari suatu bahan pencemar ke level trofik yang lebih tinggi. Hal ini banyak ditemukan dalam konteks bahan pencemar organoklorin dan logam berat, yang kebanyakan sifatnya sangat merusak terutama pada spesies sensitif, dan organisme mangsa yang merupakan bahan makanan utamanya (Beyer and Cromartie, 1987). Sejalan dengan pergerakan bahan pencemar melalui rantai makanan, bahan-bahan pencemar tersebut dapat mengalami translokasi dari sumber masuknya. Individu-individu yang bermigrasi mampu mengangkut bahan-bahan pencemar hingga jarak yang sangat jauh (misal: HgCH3+ dalam ikan tuna), yang dapat menjadi potensi pemaparan bagi organisme lain (misalnya: manusia) yang tidak pernah berada atau bersentuhan dengan lingkungan yang tercemar oleh merkuri (Braestrup et al., 1984). 3.8. Penilaian Resiko Ekologis Resiko adalah kondisi paling mungkin untuk terwujudnya suatu ancaman bahaya. Resiko juga dapat digambarkan sebagai besaran bahaya yang diperkirakan/kemungkinan terjadi yang terkait dengan suatu aksi. Resiko dapat berupa atribut yang meningkat seiring dengan terjadinya suatu 114 pemaparan. Sedangkan resiko relatif digunakan Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis untuk menggambarkan rasio antara individu yang terpapar dengan individu yang tidak terpapar. Sejalan dengan perkembangan toksikologi lingkungan, maka kebutuhan untuk dapat secara tepat melakukan penilaian dan kuantifikasi terhadap dampak bahan kimia toksik pada organisme, populasi dan komunitasnya di dalam suatu ekosistem, semakin meningkat. Teknikteknik awal yang tersedia untuk melakukan penilaian resiko, menggunakan kriteria dan pendekatan kesehatan manusia, dirasakan tidak memadai untuk sistem ekologis. Untuk alasan ini Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US.EPA), mengeluarkan suatu kerangka dasar untuk kepentingan pelaksanaan suatu penilaian resiko lingkungan pada tahun 1992, yang kemudian dikembangkan dan dimodifikasi pada tahun 1998 (US.EPA, 1998), untuk lebih memungkinkan dilakukannya penilaian dampak dari bahan kimia toksik dan stressor lainnya dalam suatu sistem ekologis. Penilaian resiko berdasarkan US.EPA menggunakan proses yang terdiri dari tahap untuk kuantifikasi sistematis kemungkinan terdapatnya resiko lingkungan dan kesehatan manusia (Gambar-18). Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 115 Koleksi dan Evaluasi Data €Pengumpulan dan analisa data lapangan relevan. €Identifikasi Bahan Kimia berpotensi Toksik. Penilaian Toksisitas Penilaian Paparan (Exposure) € € € € € Analisa pelepasan bahan pencemar Identifikasi populasi yang terpapar Identifikasi potensi jalur pemaparan Estimasi konsentrasi pemaparan untuk setiap jalur. Estimasi asupan bahan pencemar untuk setiap jalur € Kumpulkan Data/ informasi Toksisitas Kualitatif dan Kuantitatif € Tentukan Nilai Toksisitasnya, masing-masing. Karakterisasi Resiko € Karakterisasi potensi terjadinya gangguan kesehatan (resiko kanker, non-kanker) sebagai ancaman yang dapat terjadi € Evaluasi segala ketidakpastian € Buat simpulan dari informasi resiko. Gambar-16. Prinsip Dasar dalam Penilaian Resiko (US.EPA, 1998). 116 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Koleksi dan evaluasi data terutama ditujukan untuk pemerolehan data yang dibutuhkan dari lingkungan guna mengidentifikasi bahan pencemar potensial (COPC : contaminants of potential concern) dan mendukung kalkulasi nilai konsentrasi pemaparan dalam penilaian pemaparan. Data dapat diperoleh dari hasil pengambilan contoh/sampel di lapangan, khususnya pada lokasi-lokasi yang dicurigai mengandung bahan kimia pencemar serta dari sampel acuan (reference samples) dengan latar belakang konsentrasi bahan kimia yang dianggap mewakili lokasi yang dicurigai tersebut. Dari hasil evaluasi ini simpulan sementara tentang jenis bahan kimia yang terdapat pada media sampel dan berapa konsentrasinya. Dalam penilaian pemaparan lingkungan, data lokasi dievaluasi untuk memperkirakan konsentrasi pada titik-titik pemaparan khususnya COPC dalam berbagai media dan lokasi sampling. Kombinasi dari jalur pemaparan dan reseptor dimana resiko dapat dikuantifikasi agar dijelaskan secara khusus. Hal ini karena jalur pemaparan akan menjelaskan hubungan antara sumber bahan kimia dan titik pemaparan. Asupan konsentrasi bahan kimia lalu dihitung sebagai fungsi dari konsentrasi bahan kimia di dalam lingkungan, karakteristik dan perilaku dari individu-individu organisme yang berpotensi untuk terpapar, dan kondisi atau jenis dampak yang seringkali berasosiasi/terkait dengan bahan kimia tertentu. Dalam melakukan penilaian pemaparan lingkungan hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain: siklus hidup bahan kimia (mulai saat diproduksi, digunakan, didaur ulang dan dibuang), kompartemen lingkungan yang menjadi target dan estimasi konsentrasi lingkungan dari bahan kimia pencemar. Namun kriteria terpenting dari suatu bahan kimia adalah maksud penggunaannya, misalnya untuk: bahan dasar cat, campuran pestisida, additif plastik, dsbnya. Kesemuanya akan memudahkan dalam mengidentifikasi kompartemen yang akan terkena dampak. Penilaian toksisitas dilakukan dengan menggunakan data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian baik menggunakan hewan dan/atau Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 117 manusia, terutama untuk mengidentifikasi dampak bagi kesehatan yang mungkin terjadi. Untuk kebanyakan bahan kimia, dampak berbahaya secara umum dikategorisasikan menjadi: dampak karsinogenik (memiliki hubungan dengan timbulnya masalah kanker) atau dampak nonkarsinogenik. Khusus untuk radionuklida, dampak buruk utama yang menjadi kekhawatiran utama adalah kanker. Oleh karena itu, dalam setiap penilaian resiko yang dilakukan oleh EPA, hasil dari uji toksisitas bahan kimia spesifik senantiasa dimasukkan ke dalam suatu bentuk penilaian resiko yang memiliki slop untuk kanker dan/atau konsentrasi bahan kimia referensinya. Adapun dalam karakterisasi resiko, hasil penilaian toksisitas yang mengidentifikasi level konsentrasi yang berhubungan dengan dampak buruk yang ditimbulkan, dipadukan dengan hasil penilaian pemaparan yang mengidentifikasi potensi konsentrasi untuk setiap jenis reseptor, untuk kegunaan kuantifikasi potensi resiko. Karakterisasi resiko akan memberi ketegasan tentang jenis COPC yang memiliki potensi resiko paling besar beserta jalur pemaparan utamanya. Salah satu aspek penting dari karakterisasi resiko adalah analisis ketidakpastian yang menggambarkan tingkat kepercayaan dalam hasil yang didapatkan dan penyimpangan-penyimpangan (bias) yang diketahui. Ketidakpastian yang terkait dengan koleksi dan evaluasi data dapat menghemat aktifitas pengumpulan sampel, persiapan dan analisis sampel di laboratorium, serta pengolahan dan analisis data. Demikian halnya dengan penilaian pemaparan, terdapat sejumlah potensi ketidakpastian, seperti: • Jalur pemaparan kronik hipotetik dalam kondisi pemanfaatan lingkungan saat ini dan masa mendatang, adalah sebenarnya terjadi. • Tingkat kepercayaan dalam pendugaan konsentrasi pemaparan rata-rata dalam berbagai media/matriks pemaparan. 118 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis • Akurasi dan/atau bias dalam setiap model deposisi dan transportasi bahan kimia yang digunakan untuk mengestimasi konsentrasi pemaparan pada media/matriks yang tidak disampel atau pada waktu yang akan datang, dan • Nilai dari parameter-parameter pemaparan yang digunakan untuk mengkarakterisasi tingkah laku dan aktifitas reseptor. Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 119 Dampak Lingkungan Signal / Biomarker Dampak Bahan Berbahaya dalam Lingkungan Struktur dan Fisiologi Sel Organisasi dan Fungsi Jaringan dan Organ Fungsi Organisme (Hewan) Kerusakan Sel Kondisi Patologis Manifestasi Penyakit dan Kematian Konsekuensi pada Populasi, Komunitas dan Ekosistem Gambar-17. Biomarker Dampak Pemaparan Bahan Kimia Pencemar Berbahaya Pada Berbagai Tingkatan Organisasi Makhluk Hidup (Hewan). 120 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Gambar-17 menunjukkan bagaimana suatu bahan kimia berbahaya memasuki lingkungan dan menghasilkan dampak buruk dan berbahaya, mulai dari level molekul dan sel, fungsi dan struktur jaringan dan organ, hingga ke individu organisme untuk seterusnya mempengaruhi populasi, komunitas dan ekosistem. Dampak pada level biokimiawi dan seluler menjadi komponen penting dalam penelitian ekotoksikologi dimana mekanisme aksi bahan toksik sebagai hasil interaksi awal bahan kimia dan organisme terjadi pada permukaan atau di dalam sel. Apakah perubahan dalam struktur dan fisiologi sel akan berkembang menjadi dampak buruk toksisitas, bergantung pada banyak aspek, diantaranya respon adaptif dari organisme (misal: pemompaan toksikan keluar tubuh secara aktif, mekanisme detoksifikasi, perbaikan kerusakan sel/jaringan atau penghindaran lokasi tercemar). Namun umumnya perubahan pada level seluler akhirnya akan mempengaruhi parameter-parameter biologis penting dalam populasi, seperti pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan reproduksi. Toksikologi seluler memberikan konsep penting dalam memahami proses-proses ekotoksikologi melalui elusidasi modus aksi toksikan dan dampak toksiknya. Nilai toksisitas seluler akan semakin bernilai tinggi jika dapat diintergrasikan dengan dampak-dampak ekologis. 3.9. Evaluasi Ekotoksikologi dan Penilaian Resiko Pendekatan yang paling sering dilakukan dalam mengevaluasi dampak ekologis pada lokasi-lokasi pencemaran atau terkontaminasi adalah dengan melakukan pemantauan lingkungan. Pada pemantauan di lingkungan perairan, pengukuran terhadap struktur biota penghuni umumnya meliputi kerapatan dan biomasa alga/tumbuhan air, demikian pula makroinvertebrata benthos dan ikan. Sedang pengukuran aspek fungsional meliputi laju asupan karbon pada alga, fotosintesis, laju reproduksi dan pertumbuhan. Pemantauan juga dilengkapi dengan penilaian toksisitas dari contoh air dan sedimen yang bertujuan untuk mengestimasi potensi ekotoksikologi dari bahan pencemar dan kemungkinan pola hubungan sebab-akibatnya. Uji toksisitas in situ Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 121 (menggunakan kurungan/cage) juga dapat dilakukan untuk mengukur variasi dalam pemaparan dalam kondisi aktual lokasi yang mengalami pencemaran. Pemaparan Lingkungan Dampak Toksik Deposisi dan Penyebaran dalam Lingkungan Ekstrapolasi Prediksi Konsentrasi Tanpa Dampak (PNEC) Prediksi Konsentrasi Lingkungan (PEC) PEC/PNEC Gambar-18. Bagan Alir Pelaksanaan Penilaian Resiko Lingkungan : Ekotoksisitas vs Pemaparan Lingkungan (Ecetoc, 1993). Penilaian resiko lingkungan yang didasari oleh uji laboratorium, umumnya karena alasan kemudahan dalam pelaksanaannya. Ekstrapolasi dampak toksikan dari jumlah spesies yang terbatas ke level ekosistem secara keseluruhan adalah hal yang sulit dilakukan, namun merupakan bagian penting dari suatu penilaian resiko lingkungan (Koller et al., 2000). Jika hasil uji toksisitas tersedia dari jumlah spesies sangat sedikit/kurang, maka nilai toksisitas terkecil harus dibagi dengan nilai faktor aplikasi atau faktor keamanan (nilainya berkisar 10 – 1000), tergantung pada jumlah spesies yang diuji, dan apakah nilai akhir berdasarkan mortalitas atau efek akut (LC50 atau EC50), atau konsentrasi kronik tanpa dampak yang 122 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis terobservasi (NOEC). Dari 248 hasil uji menggunakan 34 jenis bahan kimia yang melibatkan model ekosistem dan uji kronik spesies tunggal, diperoleh indikasi kuat bahwa nilai faktor aplikasi sekitar 10 akan sangat tepat untuk digunakan dalam mengekstrapolasi nilai NOEC uji kronik spesies tunggal terendah dalam suatu ekosistem model (Chemicals, 1997). Sehingga konsep penilaian resiko (Gambar 18) yang menggunakan rasio antara prediksi konsentrasi lingkungan (PEC: predicted environmental concentration) dan prediksi konsentrasi tanpa dampak (PNEC : predicted no-observed environmental concentration) digunakan secara luas (Ecetoc, 1993), yang juga dikenal sebagai ratio quotient. Akan tetapi, penilaian resiko dan potensi bahaya menggunakan uji ekotoksikologi dengan spesies laboratorium dapat memberikan tingkat ketidakpastian yang tinggi karena beberapa hal seperti: variasi dalam ketersediaan biologis (bioavailabilitas) toksikan, konsentrasi bahan pencemar dan interaksi dalam komponen-komponen penyusun senyawa. Disamping itu, bioakumulasi dalam rantai makanan tidak diperhitungkan, sehingga dampak pada respon populasi dan komunitas dapat saja berbeda dengan situasi di lapangan. Selanjutnya, adaptasi terhadap bahan pencemar dapat terjadi pada lokasi-lokasi terkontaminasi setelah periode pemaparan panjang, yang bisa menimbulkan suatu harga ekologis yang mahal seperti konsumsi enerji yang dapat menurunkan tingkat kebugaran organisme (Hansen et al., 1999). PEC adalah konsentrasi dari suatu bahan kimia yang dapat diprediksi akan terdapat pada titik-titik pembuangan limbah cair/bahan pencemar atau pada lokasi-lokasi terjadinya pencemaran. Pertama-tama dihitung konsentrasi awal lingkungan (IEC: initial environment concentration), menggunakan rumus: IEC = E x 100-P Vo x 100 dimana: E = laju emisi (mg/hari) untuk setiap titik pembuangan Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 123 P Vo = % yang hilang dari pengolahan limbah atau faktor pengenceran di lokasi buangan. = volume buangan setiap titik. Dengan memperhitungkan faktor absorpsi, penguapan dan biodegradasi serta menggunakan nilia Log Pow ( kisaran : 3 - 5 ) dan Log H (kisaran : < 2-> 3 ), maka nilai PEC dapat diprediksi. Akan tetapi, keberadaan nilai uji toksisitas tetap penting agar nilai PEC mendekati konsentrasi sebenarnya. Nilai PEC harus dibandingkan dengan nilai PNEC yang dapat dihitung dari hasil penilaian dampak (uji toksisitas). PNEC dapat dihitung dengan memasukkan nilai faktor aplikasi (≈ 10) ke dalam nilai terendah LC50 atau EC50. PNEC = ! "#50 $%& '(%) Nilai tanpa dampak yang terobservasi (PNEC) bukan merupakan nilai aman, hanya digunakan sebagai acuan bahwa di atas nilai PNEC terdapat kemungkinan timbulnya dampak buruk bagi organisme yang terpapar. Dalam penilaian awal dilakukan pembandingan antara nilai pemaparan dan nilai dampak yang merupakan estimasi terhadap potensi munculnya dampak buruk (Gambar-19). Pemaparan (PEC) : Dampak (PNEC) > 1 Jika nilai pemaparan lebih besar dari nilai tanpa dampak, maka bahan kimia dapat dikategorikan memiliki potensi untuk dapat menyebabkan timbulnya dampak buruk. Sebaliknya jika nilai pemaparan lebih kecil dari nilai tanpa dampak, maka bahan kimia dapat dianggap tidak memiliki potensi bahaya yang dikhawatirkan. 124 Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis Data Eksperimen YA PEC/PNEC < 1 Penetapan PNEC STOP TDK Data Ekosistem Data Set YA Data Uji Kronik Data Set PEC/PNEC < 1 Penilaian Resiko TDK Data Uji Akut Data Set Gambar-19. Proses Penilaian Dampak Melalui Penetapan PNEC (Richardson, 1999). Peranan Ekotoksikologi Dalam Penilaian Dampak Ekologis 125