Bab II. Tinjuan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pada konstruksi jalan raya beban kendaraan dilimpahkan ke lapisan perkerasan melalui roda – roda kendaraan untuk kemudian disalurkan ke lapisan – lapisan dibawahnya dan akhirnya diterima oleh tanah dasar. Dengan demikian tingkat kerusakan konstruksi perkerasaan selama masa pelayanan tidak saja ditentukan oleh kekuatan dari lapisan perkerasan tetapi juga oleh tanah dasarnya. Lapisan tanah dasar (subgrade) adalah lapisan terbawah suatu konstruksi perkerasan jalan raya dimana diatasnya diletakkan lapisan pondasi bawah (subbase course), lapisan pondasi atas (base course), dan lapisan permukaan (surface course). Lapisan tanah dasar dibedakan atas : 1. Lapisan tanah dasar, tanah galian. 2. Lapisan tanah dasar, tanah timbunan. 3. Lapisan tanah dasar, tanah asli. Tanah dengan sifat yang kurang baik sangat tidak ekonomis dan mendukung apabila dijadikan sebagai tanah dasar suatu konstruksi bangunan sipil. Oleh sebab itu perlu dilakukan stabilisasi untuk memperbaiki tanah baik secara mekanis maupun kimiawi. Daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar air, kondisi drainase, dan lain-lain. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mengalami perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air dan mempunyai daya dukung yang lebih besar jka dibandingkan dengan tanah sejenis yang mempunyai nilai kepadatan rendah. II - 1 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.2 Tanah dan Batuan 2.2.1 Siklus Batuan Butiran – butiran mineral yang membentuk bagian padat dari tanah merupakan hasil dari pelapukan batuan. Ukuran setiap butiran padat tersebut sangat bervariasi dan sifat – sifat fisik dari tanah banyak tergantung dari faktor – faktor ukuran, bentuk, dan komposisi kimia dari butiran. Berdasarkan asal usulnya, batuan dapat dibagi menjadi tiga tipe dasar yaitu: 1. Batuan beku (igneous rocks) 2. Batuan sedimen (sedimentary rocks) 3. Batuan metamorf (metamorphic rocks) Gambar 2.1 menunjukkan diagram siklus terjadinya beberapa tipe batuan beserta proses pembentukannya. Gambar 2.1 Siklus Batuan II - 2 Bab II. Tinjuan Pustaka 1. Batuan Beku Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak kepermukaan, sesudah tersembul kepermukaan melewati rekahan – rekahan pada kulit bumi (fissure eruption) atau melalui gunung berapi (vulcano eruption), sebagian dari magma tersebut mendingin di permukaan bumi dan membatu. Kadang – kadang magma tersebut berhenti bergerak sebelum sampai ke permukaan bumi dan mendingin di dalam kulit bumi dan membentuk batuan beku dalam (plutonic rock). Beberapa jenis batuan beku antara lain : granit, batu apung, dan scoria. 2. Batuan Sedimen Deposit – deposit tanah dari krikil, pasir, lanau, dan lempung hasil pelapukan dapat menjadi lebih padat karena adanya tekanan lapisan tanah diatasnya dan adanya proses sementasi antar butiran oleh unsur – unsur sementasi seperti oksida besi, kalsit, dolomite dan quartz. Unsur sementasi tersebut biasanya terbawa dalam larutan air tanah. Unsur – unsur sementarsi tersebut mengisi ruang-ruang di antara butiran dan kemudian membentuk batuan sedimen. Batuan yang terbentuk dengan cara ini disebut batuan sedimen detrital. Tipe batuan sedimen detrital : serpih, batu pasir, konglomerat. Batuan sedimen dapat terbentuk melalui proses kimia, dan batuan yang terjadi karena cara ini diklasifikasikan oleh sebagai batuan sedimen kimia. Contoh batuan sedimen kimia yaitu : batu kapur, batu gamping, dolomite, evaporit. Batuan sedimen berasal dari proses biokimia dan organis terdiri dari : coquina, batu gamping karang, kapur, karang, dan batubara. 3. Batuan Metamorf Peristiwa metamorf adalah proses perubahan komposisi dan tekstur dari batuan akibat panas dan tekanan tanpa pernah menjadi cair. Batu tulis ( sabak), sekis (shist), genes (gneiss), kuarsit (quartzite), marmer (marble), dan antrasit. II - 3 Bab II. Tinjuan Pustaka Sedangkan tanah menurut Das,Braja M.(1995:1) merupakan himpunan material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral–mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lainnya dan dari bahan–bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang–ruang kosong di antara partikel–partikel padat tersebut. 2.2.2 Tanah Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral – mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang – ruang kosong diantara partikel – partikel padat tersebut (Das,Braja M,1995). Dalam pandangan teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang relatif lepas (loose), dan terletak diatas batuan dasar (bedrock). Ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zat organik, atau oksida-oksida yang mengendap diantara partikel-partikel. Ukuran dari partikel tanah sangat beragam dengan variasi yang cukup besar. Tanah pada umumnya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt), atau lempung (clay), tergantung pada ukuran partikel yang paling dominan pada tanah tersebut.Untuk menerangkan tentang tanah berdasarkan ukuran – ukuran partikelnya, beberapa organisasi telah mengembangkan batasan – batasan ukuran golongan jenis tanah. Pada tabel 2.1 ditunjukkan batasan – batasan ukuran tanah yang telah dikembangkan oleh Massachussets Institute of Technology (MIT) , U.S Departement of Agriculture (USDA), American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO) dan Unified Soil Classification System (USCS). II - 4 Bab II. Tinjuan Pustaka Tabel 2.1 Batasan - Batasan Ukuran Tanah Nama golongan Ukuran butiran (mm) Kerikil Pasir Lanau Lempung MIT >2 2 - 0,06 0,06 - 0,002 < 0,002 USDA >2 2 - 0,05 0,05 - 0,002 < 0,002 AASHTO 76,2 – 2 2 - 0,075 0,075 - 0,002 < 0,002 USCS 76,2 - 4,75 4,75 - 0,075 Halus ( lanau dan lempung) < 0,0075 Untuk menentukan butiran-butiran tanah dapat dilakukan dengan pengujian analisa gradasi yang dilakukan di laboratorium. Pengujian analisa gradasi meliputi: analisa saringan dan analisa hidrometer. 2.3 Sifat Fisis dan Mekanis Tanah Sifat fisis dan mekanis tanah merupakan masalah utama yang harus didahulukan dan diperhatikan dalam pembuatan jalan raya, karena tanah merupakan lapisan dasar yang akan mendukung konstruksi yang ada diatasnya. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan dan penyelidikan yang mendalam mengenai sifat-sifat tanah tersebut sebelum pembuatan jalan raya dilaksanakan. Pembahasan yang utama dalam masalah ini mengenai tanah yang distabilisasi dengan bahan campur kapur sebagai zat aditifnya. Dalam hal ini terlebih dahulu kita harus mengetahui mengenai apa yang disebut dengan tanah. Menurut Hardyatmo bahwa dalam pandangan teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organic, dan endapan – endapan yang relative lepas ( lose ) , yang terletak di atas batuan dasar ( Bed rock). Begitu juga dengan Wesley yang mengemukakan bahwa tanah terdiri dari tiga bagian yaitu : butiran tanah , air dan udara yang mengisi rongga antar masing – masing butiran tanah. II - 5 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.3.1 Sifat Fisis Tanah ( Index Properties Tanah) Sifat fisis tanah merupakan parameter-parameter tanah yang tidak berkaitan langsung dengan kekuatan tanah,tetapi hanya mengindikasikan jenis dan kondisi tanah. Pada umumnya, untuk tanah berbutir kasar sifat-sifat partikelnya dan derajat kepadatannya relative adalah sifatsifat yang paling penting. Sedangkan untuk tanah berbutir halus batas-batas konsistensi merupakan sifat-sifat yang paling berpengaruh. Adapun sifat-sifat fisis tanah dalam penilitian ini diantaranya : kadar Air, berat Jenis, analisa saringan, analisa hidrometer, batas-batas konsistensi.. 2.3.1.1 Pengujian Kadar Air Pengujian ini adalah untuk mengetahui kadar air suatu tanah. Kadar air tanah merupakan perbandingan antara berat air yang dikandung tanah dengan berat kering tanah. Adapun rumus untuk kadar air sebagai berikut : Keterangan : = Berat cawan = Berat cawan + tanah basah = Berat cawan + tanah kering 2.3.1.2 Pengujian Berat Jenis Tanah Pengujian ini adalah untuk mengetahui berat jenis suatu tanah yang lolos saringan nomor 4. Berat jenis tanah merupakan ratio perbandingan berat butir tanah dengan berat air destilasi diudara dengan volume yang sama dan pada temperature tertentu. Adapun Berat jenis untuk tiap jenis tanah berbeda-beda. Pada tabel 2.2 disajikan mengenai berat jenis tanah (Gs) berbagai jenis tanah. II - 6 Bab II. Tinjuan Pustaka Tabel 2.2 Berat Jenis untuk berbagai macam tanah Jenis Tanah Krikil (gravel) Pasir (sand) Pasir kwarsa (Quartz sand) Lanau (silt) Lempung (clay) Kapur (chalk) Gambut (peat) 2.3.1.3 Berat Jenis ( Gs) 2,65 - 2,68 2,65 - 2,68 2,64 - 2,66 2,66 - 2,7 2,68 - 2,8 2,60 - 2,75 1.3 - 1,9 Pengujian Analisa Saringan Pengujian ini adalah untuk mengetahui ukuran butir tanah dan susunan butir tanah (gradasi). Prosedur dalam pengujian ini dengan cara mengayak dan menggetarkan contoh tanah melalui satu set ayakan. Berikut adalah standard ukuran ayakan di Amerika Serikat: Tabel 2.3 – ukuran ayakan di Amerika Serikat Ukuran Ayakan No 4 6 8 10 16 20 30 40 50 60 80 100 170 200 Lubang ( mm ) 4.750 3.350 2.360 2.000 1.180 0.850 0.600 0.425 0.300 0.250 0.180 0.150 0.088 0.075 (sumber; Braja M.Das jilid 1) II - 7 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.3.1.4 Pengujian Analisa Hidrometer Pengujian ini adalah untuk menentukan distribusi tanah yang lolos saringan 200 ASTM ( 0.074 mm ) yang dilakukan dengan analisa pengendapan ( Hidrometer analisis ). Pada pelaksanaan pengujian ini digunakan 50 gram contoh tanah yang kering oven dan silinder pengendap yang mempunyai tinggi 18 inci (457,2 mm) dan diameter 2,5 inci (63,5 mm). silinder tersebut diberikan tanda yang menunjukkan volume sebesar 1000 ml. Campuran calgon (natrium hexametaphosphate) biasanya digunakan sebagai bahan pendispersi. Total volume dari larutan air + calgon + tanah yang terdispersi dibuat menjadi 1000 ml dengan menambahkan air suling. 2.3.1.5 Batas – Batas Konsistensi Pada awal tahun 1900, seorang ilmuwan dari swedia bernama atterberg mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus pada kadar air yang bervariasi. Bilamana kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, atas dasar air yang dikandung tanah, tanah dapat dipisahkan kedalam empat keadaan dasar , yaitu: padat, semipadat , plastis, dan cair, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.2 Padat/ solid Semi padat/semi solid Plastis Cair Kadar air bertambah Batas Susut (SL) Batas Plastis (PL) Batas Cair (LL) Gambar 2.2 1. Batas Cair (Liquit limit) Batas cair adalah kadar air tanah pada keadaan batas peralihan antatra keadaan cair dan keadaan plastis. II - 8 Bab II. Tinjuan Pustaka 2. Batas Plastis (Plastic Limit) Batas plastis adalah kadar air minimum tanah dalam keadaan plastis atau kadar air pada batas bawah daerah plastis. 3. Indeks Plastis (Plasticity index) Indeks plastisitas atau Plasticity index (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis. Ip = - Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis. Karena itu indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisan dari suatu jenis tanah. Batasan mengenai indeks plastisitas, sifat, macam tanah dan kohesinya dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Nilai Indeks Tanah dan Macam Tanah PI 0 Sifat Macam Tanah Kohesif Non Plastis Pasir Non kohesif <7 Plastisitas rendah Lanau Kohesif sebagian 7 - 17 Plastisitas sedang Lempung berlanau Kohesif > 17 Plastisitas tinggi Lempung Kohesif (Sumber: Hardiyatmo,H.C,1995,Mekanika Tanah 1,Hal 34) Satu hal yang penting untuk tanah berbutir halus adalah sifat plastisitas. Sifat plastisitas adalah kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk pada volume yang konstan tanpa retak – retak. II - 9 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.3.2 Definisi Dasar dan Hubungan Volume - Berat Gambar 2.2 Diagram fase tanah (Sumber: Hardiyatmo,H.C, 2002,Teknik Pondasi I, Hal 3) Pada Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa tanah itu terdiri dari : 1) Pori atau ruang kosong (void), yang merupakan ruang – ruang terbuka antara butir – butir tanah dengan berbagai ukuran. 2) Butir – butir tanah, baik yang berukuran makroskopik atau mikroskopik. Makroskopik adalah partikel – partikel tanah yang dapat di lihat dengan mata, sedangkan mikroskopik hanya dapat dilihat dengan bantuaan mikroskop atau alat pembesar lainnya. 3) Kelembaban tanah yang akan menyebabkan tanah terlihat basah, lembab ataupun kering. Air didalam pori atau ruang kosong disebut air pori. Pori – pori tanah yang tidak berisi tanah sudah tentu akan penuh dengan udara atau uap air. Tetapi apabila semua ruangan kosong terisi oleh air maka berat yang dihasilkan adalah berat satuan jenuh (saturated) γsat dari tanah. Apabila tanah diletakkan dalam oven dan kemudian dikeringkan sampai ke suatu berat konstan, berat yang dihasilkan adalah berat satuan kering (dry) γd dari tanah. II - 10 Bab II. Tinjuan Pustaka Berat satuan tanah adalah berat per satuan volume. Jadi, : …………………………………………………………………………..…(2-1) Atau …………………………………………………………………………………………(2-2) Kadang berat satuan tanah atau berat volume dinyatakan dalam berat butiran padat, kadar air dan volume total. ………………………………………………..(2-3) Keterangan : Ws = Berat butiran tanah Ww = Berat air γ = Berat volume Berat volume (unit weigth) yang didefinisikan dengan persamaan (2-2) disebut juga berat volume basah (moist unit weigth). Berat satuan kering atau berat volume kering (dry unit weigth) adalah berat kering per satuan volume. ………………………………………………………………………………..…….(2-4) Dari persamaan (2-3) dan (2-4) hubungan antara berat volume, berat volume kiring, dan kadar air dapat ditulis sebagai berikut : II - 11 Bab II. Tinjuan Pustaka ………………………………………………………………………………….….(2-5) Keterangan: = Berat volume kering. W = Kadar air Hubungan volume dan berat pada suatu tanah adalah: 1. Angka pori (void ratio) e didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori dan volume butiran padat. Dapat ditunjukkan pada persamaan (2-8) ……………………………………………………………………………….(2-8) 2. Porositas (porosity), n didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori dan volume tanah total. ……………………………………………………………………………….(2-9) 3. Derajat kejenuhan (degree of saturation), S didefinisikan sebagai perbandingan antara volume air dengan volume pori. ……………………………………………………………………………...(2-10) 4. Kadar air (water content), w didefinisikan sebagai perbandingan antara berat air dengan berat butiran padat dari volume tanah yang diselidiki. …………………………………………………………………….(2-11) 5. Berat jenis (spesific gravity), Gs didefinisikan sebagai perbandingan antara berat isi butirbutir tanah dengan berat air pada volume yang sama dan diukur pada suhu tertentu. ………………………………………………(2-12) Atau II - 12 Bab II. Tinjuan Pustaka …………………………………………………………………..(2-13) 2.3.3 Sifat Mekanis Tanah ( Engineering Properties Tanah) Sifat mekanis tanah merupakan parameter-parameter tanah yang berkaitan langsung dengan kekuatan tanah. Adapun sifat-sifat mekanis tanah dalam penilitian ini diantaranya : pemadatan standard ( standard Proctor tes) dan California Bearing Ratio (CBR). 2.3.3.1 Pemadatan Standard Pada pembuatan timbunan tanah untuk jalan raya, tanah yang lepas haruslah dipadatkan untuk meningkatkan berat volumenya. Pemadatan tersebut berfungsi untuk meningkatkan kekuatan tanah, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan daya dukung pondasi diatasnya. Pemadatan juga dapat mengurangi besarnya penurunan tanah yang tidak diinginkan dan meningkatkan lereng timbunan (embankments). Tingkat pemadatan tanah diukur dari berat volume kering tanah yang dipadatkan. Bila air ditambahkan kepada suatu tanah yang sedang dipadatkan, air tersebut akan berfungsi sebagai unsure pembasah (pelumas) pada partikel-partikel tanah. Karena adanya air, partikel-partikel tanah tersebut akan lebih mudah bergerak dan bergeseran satu sama lain sehingga membentuk kedudukan yang lebih rapat/padat. Tujuan pemadatan tanah adalah memadatkan tanah pada kadar air optimum dan memperbaiki karakteristik mekanisme tanah, yang akan memberikan keuntungan yaitu : a. Memperkecil pengaruh air terhadap tanah. II - 13 Bab II. Tinjuan Pustaka b. Bertambahnya kekuatan tanah. c. Memperkecilkan pemampatannya dan daya rembes airnya. d. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air (Hardiyatmo, H.C., 1992, hal 53). Pemadatan tanah dapat dilaksanakan di lapangan maupun di laboratorium. Dilapangan biasanya tanah akan digilas dengan mesin penggilas yang didalamnya terdapat alat penggetar, getaran akan menggetarkan tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan dilaboratorium menggunakan pengujian standar yang disebut dengan uji proktor, dengan cara suatu palu dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah mold. Dengan dilakukannya pengujian pemadatan tanah ini, maka akan terdapat hubungan antara kadar air dengan berat volume. Gambar 2.3 Hubungan Antara Kadar Air dan Berat Volume Tanah II - 14 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.3.3.2 California Bearing Ratio ( CBR) California Bearing Ratio adalah kelanjutan dari uji pemadatan tanah sehingga pengujian dilakukan dengan menggunakan sampel tanah yang telah dipadatkan dengan pemadatan proctor. Pengujian ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui nilai CBR pada kepadatan dan kadar air tertentu. Dengan kata lain, harga CBR akan menentukan sejauh mana tanah dapat menahan beban struktur di atasnya. Pengujian CBR terbagi menjadi 2 yaitu, CBR soaked (terendam) dan CBR unsoaked (tidak terendam). Perbedaan pengujian CBR ini hanya terletak pada kondisi tanah yang akan diujikan. Untuk pengujian CBR soaked, tanah berada dalam keadaan terendam air selama 4 hari agar dapat diukur pengembangannya setiap hari. Sedangkan untuk pengujian CBR unsoaked, tanah dibuat dalam keadaan tidak terendam. Klasifikasi tanah dasar berdasarkan nilai CBR dapat dilihat pada table 2.5. Tabel 2.5 Klasifikasi Tanah Dasar Berdasarkan CBR Nilai Tingkatannya CBR (Kategori) 0–3 Sangat Buruk 3–7 Buruk sampai Penggunaan Klasifikasi Klasifikasi USCS AASHTO Sub grade OH,CH,MH,OL A5, A6, A7 Sub grade OH,CH,MH,OL A4, A5, A6, A7 sedang 7 – 20 Sedang Sub grade OL, CL, ML A2, A4, A5, A7 20-50 Baik Base, Sub grade Gravel A1, A2 – 5, A2 – 6 Base Gravel A1, A2, A3 >50 2.4 Sangat baik Klasifikasi Tanah Sistem Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda – beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok – kelompok dan sub II - 15 Bab II. Tinjuan Pustaka kelompok berdasarkan pemakaiannya. Klasifikasi tanah dibedakan berdasarkan tekstur dan pemakaiannya. Penjelasan lebih lanjut dapat di lihat pada uraian dibawah ini : 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur Tekstur tanah adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan. Tekstur tanah dipengaruhi oleh ukuran tiap – tiap butir yang ada dalam tanah. Sistem klasifikasi berdasarkan tekstur tanah dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika ( USDA ). Berdasarkan system ini tanah dibagi menjadi tiga, yaitu : a) Pasir : butiran dengan diameter 2,0 sampai dengan 0,05 mm. b) Lanau : butiran dengan diameter 0,05 sampai dengan 0,002 mm. c) Lempung : butiran dengan diameter lebih kecil dari 0,002 mm. 2. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Pemakaiannya Sistem klasifikasi tanah berdasarkan tekstur terlalu sederhana karena hanya berdasarkan pada distribusi ukuran butirannya saja. Padahal dalam kenyataannya di lapangan jumlah dan jenis dari material lempung yang dikandung oleh tanah sangat mempengaruhi sfat fisis tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu harus memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebabkan kandungan mineral lempung untuk menafsirkan ciri – ciri suatu tanah. Sistem klasifikasi tanah yang digunakan saat ini memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas – batas Atterberg. Sistem klasifikasi tanah tersebut adalah : 1) Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO Sistem klasifikasi AASHTO pada umumnya dipakai oleh departemen jalan raya di semua Negara bagian di America serikat. Sistem klasifikasi ini dikembangkan dalam tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini sudah mengalami beberapa perbaikan; versi yang saat ini berlaku adalah yang diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard no D-3282, AASHTO metode M145). Apabila sistem klasifikasi AASHTO dipakai II - 16 Bab II. Tinjuan Pustaka untuk mengklasifikasi tanah , maka data hasil uji dicocokkan dengan angka-angka yang diberikan dalam table 2.6 Tabel 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO (Braja,1990) Tanah Berbutir Klasifikasi umum klasifikasi kelompok ( 35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200) A–1 A-1-a A-2 A-3 A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7 Maks35 Maks35 Maks35 Maks35 Maks40 Min41 Maks40 Maks41 Analisis ayakan ( % lolos ) No. 10 Maks50 No. 40 Maks25 Maks50 Min51 No. 200 Sifat fraksi yang lolos Maks15 Maks25 Maks10 ayakan No. 40 Batas Cair (LL ) Indeks Plastisitas (PI ) Tipe material yang paling Dominan Penilaian sebagai bahan Maks 6 Batu pecah, krikil, dan pasir NP Maks10 Maks10 Min11 Min11 Pasir halus Krikil dan pasir yang berlanau atau lempung Baik sekali sampai baik tanah dasar II - 17 Bab II. Tinjuan Pustaka Klasifikasi umum klasifikasi kelompok Tanah Lanau – Lempung ( Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200) A–7 A-4 A-5 A -6 A-7-5* A-7-6* Analisis ayakan ( % lolos ) No. 10 No. 40 No. 200 Min 36 Min 36 Min 36 Min 36 Sifat fraksi yang lolos ayakan No. 40 Batas Cair (LL ) Maks 40 Min 41 Maks 40 Maks 41 Indeks Plastisitas (PI ) Maks 10 Maks 10 Min 11 Min 11 Tanah berlanau Tanah berlempung tipe material yang paling Dominan penilaian sebagai bahan Baik sekali sampai jelek tanah dasar * Untuk A-7-5, PI < LL - 30 * Untuk A-7-6, PI > LL - 30 2) Sistem Klasifikasi Tanah Unified Sistem klasifikasi tanah adalah suatu pengaturan beberapa jenis tanah yang berbedabeda tapi mempunyai sifat serupa ke dalam kelompok-kelompok dan subkelompok II - 18 Bab II. Tinjuan Pustaka berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat tanah yang bervariasi tanpa penjelasan yang rinci. Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti : ukuran butir dan plastisitas. Dengan mengetahui klasifikasi tanah, engineer telah mengetahui gambaran yang baik mengenai perilaku tanah tersebut dalam berbagai situasi, misalnya selama konstruksi, di bawah beban-beban struktural dan lain-lain. Sistem ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande pada tahun 1942 untuk dipergunakan pada pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps of Engineer selama perang dunia II. Dalam rangka kerja sama dengan United States Bureau of Reclamation tahun 1952, sistem ini disempurnakan. Sistem klasifikasi unified diberikan pada table 2.7. Sistem ini mengelompokkan tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu : 1. Tanah berbutir kasar ( coarse-grained-soil ), yaitu : tanah krikil dan pasir dimana kurang dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Symbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk Krikil (gravel) atau tanah berkrikil, dan S adalah untuk Pasir ( sand ) atau tanah berpasir. 2. Tanah berbutir halus ( Fine- grained soil ), yaitu tanah dimana lebih dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No.200. symbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau ( silt ) anorganik, C untuk lempung ( clay ) anorganik, dan O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut ( peat ), muck , dan tanah – tanah lain dengan kadar organik yang tinggi. Simbol- simbol lain yang dipergunakan untuk klasifikasi tanah USCS adalah : W = Well Graded ( tanah dengan gradasi baik ) P = Poorly graded (tanah dengan gradasi buruk ) L = Low plasticity ( Plastisias rendah ) (LL < 50) H = High plasticity ( palstisitas tinggi ) (LL > 50) II - 19 Bab II. Tinjuan Pustaka Tabel 2.7 Sistem klasifikasi Unified ( Braja, 1990 ) II - 20 Bab II. Tinjuan Pustaka II - 21 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.5 Tanah Lempung Ekspansife Lempung Expansive merupakan jenis tanah lempung yang diklasifikasikan ke dalam jenis tanah yang memiliki nilai pengembangan dan nilai penyusutan yang besar. sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada struktur yang ada di atasnya. Hal tersebut disebabkan karena besarnya nilai aktivitas (A) tanah lempung. Aktivitas tanah tersebut dipengaruhui oleh nilai indeks plastisitas tanah tersebut. Identifikasi tanah ekspansif pada awal penyelidikan tanah diperlukan untuk melakukan metode pengujian yang tepat di laboratorium. Biasanya tanah ekspansif terdapat pada kondisi: a) Karakteristik tanah 1. Mempunyai kadar lempung yang tinggi, biasanya termasuk tanah liat dengan plastisitas yang tinggi. 2. Pada kondisi kering, tanahnya retak-retak dengan retakan lebar dan dalam. 3. Kuat saat kering, kemudian menjadi bubur disaat basah. 4. Lengket dan susat dilewati kendaraan saat basah. 5. Mengandung serpihan-serpihan dan permukaan yang licin. Klasifikasi tanah ekspansif banyak dikemukakan oleh para peneliti, diantaranya menurut Chen (1965 dan 1988) sebagaimana ditunjukkan pada table 2.8 dan Wiscman (1985) pada table 2.9. Tabel 2.8 Klasifikasi Tanah Ekspansif ( Chen,1988) Swelling Potensial/ Index Plastisitas Derajat Pengembangan Persentase Swelling Presure Liquid Limit (ksf) Rendah 0 – 15 < 30 1 Medium 10 – 35 34 – 40 3–5 Tinggi 20 – 55 40 – 60 5 – 20 Sangat Tinggi >35 > 60 > 20 II - 22 Bab II. Tinjuan Pustaka Tabel 2.9 Indentifikasi Masalah Tanah Ekspansif (Wiscman,1985) Jenis Pengujian Umumnya Tidak Ekspansif Ada Masalah Ekspansif Index Plastisitas (PI) < 20 >32 Batas Susut (SL) > 13 <10 Free Swell < 50 >100 Swelling Potensial atau kemampuan mengembang tanah dipengaruhi oleh nilai aktivitas tanah. Setiap tanah lempung memiliki nilai aktivitas yang berbeda-beda. Gambar 2.4 mengindentifikasikan tingkat aktivitas tanah dalam 4 kelompok, yaitu : Low/Rendah : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial ≤ 1,5 % Medium/Sedang : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial >1,5 % dan ≤ 5% High/Tinggi : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial >5 % dan ≤ 25% Very High : Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial >25 % Gambar 2.4 Hubungan Antara Persentasi Butiran Lempung dan Aktivitas. Sumber: Jhon D Nelson dan Deborah J Miller, 1991, Expansive Soil II - 23 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.6 Pemilihan Jenis Bahan Stabilisasi. Pemilihan jenis bahan stabilisasi ditentukan berdasarkan nilai indeks propertis dapat mengacu pada table 2.10 jika bahan stabilisasi tidak tersedia pada table 2.10, jenis bahan stabilisasi tersebut dapat diuji coba sesuai tahapan perencanaan stabilisasi di laboratorium. Tabel 2.10 Jenis Bahan Stabilisasi (Sumber: Departemen Pekerjaan Umum;Perencanaan Stabilisasi Tanah Dengan Bahan Serbuk Pengikat Untuk Konstruksi Jalan) Lebih besar dari 25% lolos saringan 0,075 mm Jenis bahan serbuk pengikat PI ≤ 10 10<PI<20 PI≥20 Lebih kecil atau sama dari 25% lolos saringan 0,075 mm PI ≤ 6 atau PI x% lolos 6< PI ≤ PI≥10 # 10 75μm ≤ 60 Semen dan ikatan yang dibentuk oleh t i Kapur Polimer Keterangan Dianjurkan Dipertimbangkan Tidak dianjurkan 2.7 Penentuan perkiraan persentase bahan pengikat 2.7.1 Memperkirakan kebutuhan bahan stabilisasi kapur Penentuan kebutuhan jenis bahan stabilisasi kapur ditentukan berdasarkan nilai indeks propertis, dapat mengacu pada gambar 2.4 : II - 24 Bab II. Tinjuan Pustaka Keterangan gambar: a) 1 2, , dan seterusnya adalah kadar kapur; b) grafik ini tidak diperbolehkan untuk material yang lolos saringan No.40 lebih kecil 10% dan pada material pasir (Indeks Plastisitasnya kurang dari 3%); c) grafik ini berlaku untuk kapur yang kandungan kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) ≥ 90% dan butiran yang lolos saringan No. 200 ≥ 85%. Gambar 2.5 Penentuan perkiraan persentase kapur yang dibutuhkan (Sumber: Departemen Pekerjaan Umum;Perencanaan Stabilisasi Tanah Dengan Bahan Serbuk Pengikat Untuk Konstruksi Jalan) Kebutuhan persentase kapur yang akan ditambahkan sebagai bahan stabilisasi dapat menggunakan variasi kadar kapur 2 % di atas dan 2 % di bawah nilai yang sudah didapat II - 25 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.8 Stabilisasi Tanah Stabilisasi tanah adalah upaya rekayasa untuk memperbaiki mutu tanah yang tidak baik menjadi baik agar mendapatkan hasil yang optimal. Tujuan dari stabilisasi tanah yaitu meningkatkan daya dukung tanah dalam menahan beban dan menjaga tingkat kestabilan tanahnya. Apabila tanah yang dihadapi bersifat sangat lepas , sangat mudah tertekan, mempunyai indeks konsistensi yang tidak sesuai, mempunyai permeabillitas yang tinggi, atau mempunyai sifat lain yang tidak diinginkan maka tanah tersebut harus distabilisasikan. Stabilisasi dapat terdiri dari salah satu tindakan berikut : 1. Menambahkan kerapatan tanah. 2. Menambahkan material baru untuk menyebabkan perubahan – perubahan kimiawi dan fisis dari material tanah lama. 3. Merendahkan muka air. 4. Mengganti tanah – tanah yang buruk. Adapun metode – metode stabilisasi tanah yang dikenal adalah sebagai berikut : 1. Stabilisasi Tanah Mekanis Stabilisasi tanah secara mekanis adalah penambahan kekuatan atau daya dukung tanah dengan cara mengatur gradasi tanahnya. Tujuan stabilisasi ini adalah untuk mendapatkan tanah yang berdaya dukung baik. Metode ini biasanya digunakan pada tanah berbutir kasar dimana mempunyai fraksi tanah (lolos saringan no.200) paling besar 25 %. Tanah yang telah berhasil distabilisasi secara mekanis ini akan memiliki kemampuan tertentu terhadap deformasi oleh muatan lalu lintas yang bekerja diatasnya. Hal ini disebabkan karena adanya kait mengkait dan geseran antar butiran tanah serta daya antar butiran tanah oleh bagian halus dan kestabilan akan tercapai setelah diberi usaha pemadatan yang cukup. II - 26 Bab II. Tinjuan Pustaka 2. Stabillisasi Kimiawi Stabilisasi tanah secara kimiawi merupakan usaha untuk mendapatkan tanah dasar yang lebih stabil dengan menggunakan bahan campur (stabilizing agent), metode stabilisasi ini biasanya digunakan pada tanah berbutir halus. stabilizing agent yang banyak dipergunakan di antaranya : 1. Kapur (Lime Stone) 2. Semen (Portland Cement) 3. Abu Terbang (Fly Ash) 1. ` Stabilisasi tanah dengan kapur Stabilisasi tanah dengan kapur sudah banyak digunakan pada proyek – proyek jalan di banyak negara. Untuk hasil yang optimum kapur yang digunakan biasanya antara 3 % sampai dengan 7 %. Thomson (1968) menemukan bahwa dengan kadar kapur 5 % sampai dengan 7 % akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari kadar kapur 3 %. 2. Stabilisasi tanah dengan semen Hasil yang didapat dari stabilisasi tanah dengan semen hampir sama dengan stabilisasi tanah dengan kapur. Menurut Chen (1988) dengan menambahkan semen pada tanah akan dapat meningkatkan shrinkage limit dan shear strength. 3. Stabilisasi tanah dengan fly ash Fly ash dapat juga dipergunakan sebagai stabilizing agent, karena apabila dicampurkan dengan tanah akan terjadi reaksi pozzolonic. Pada tanah lunak kapur yang akan dicampur fly ash dengan perbandingan satu banding dua terbukti dapat meningkatkan daya dukung tanah. Disamping pengunaan bahan stabilisasi yang disebutkan masih banyak bahan aditif lain yang dapat digunakan untuk menstabilisasikan tanah. II - 27 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.8.1 Stabilisasi Kapur 2.8.1.1 Kapur Istilah kapur mengandung tiga pengertian, yaitu kalsium karbonat (CaCO 3 ) untuk keperluan pertanian, kalsium hidroksida ( Ca(OH) 2 ) yang terhidrasi atau kapur mati (slake lime), dan kalsium oksida (CaO) yang disebut kapur hidup atau quick lime. Menurut ketentuan direktorat penyelidikan masalah tanah dan jalan Departemen Pekerjaan Umum, kapur yang disarankan untuk stabilisasi tanah adalah kapur kembang (CaO) atau kapur padam (Ca(OH)2). Dalam penelitian ini digunakan jenis kapur padam (hidrated high-calcium lime). Kapur padam adalah hasil pemadaman kapur tohor dengan air dan membentuk hidrat.Di bawah ini diberikan daftar perkiraan jumlah kebutuhan kapur untuk berbagai macam tanah sesuai dengan tabel dibawah ini : Tabel 2.11 Jumlah kandungan kapur untuk berbagai macam tanah Macam tanah (soil type) Kapur kembang (quicklime) Kapur padam (Hydrated lime) Clayed gravel ( GC, GM-GC) 2–3% 2–4% 3–8% 5 – 10 % 3 – 10 % 3–8% (A-26,A-2-7) Silty clays (CL) (A-6, A-7-6) Clays (CH) (A-6, A-7-6) Sebagai bahan stabilisasi biasanya digunakan kapur mati (slake lime) atau kalsium hidroksida ( Ca(OH) 2 ) dan kapur hidup atau kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida (CaO) lebih efektif pada kasus - kasus tertentu , kapur jenis ini mempunyai kelemahan – kelemahan pada pelaksanaannya, dapat membuat alat – alat mudah berkarat, mudah bertebarannya serbuk kapur dan menyebabkan terbakarnya kulit pekerja. Dari beberapa permasalahan stabilisasi maka kapur II - 28 Bab II. Tinjuan Pustaka mati (slake lime) sebagai bahan stabilisasi lebih sering digunakan. Sedangkan kalsium karbonat (CaCO 3 ) kurang efektif sebagai bahan stabilisasi kecuali sebagai bahan pengisi (filler). Proses stabilisasi tergantung dari keaktifan kimia dan tanah asli membentuk sementasi. Kapur diperoleh dari hasil pembakaran kalsium karbonat (batu kapur alami) sampai semua karbondioksida terbakar. Reaksi pembentukan kalsium oksida (quick lime) adalah sebagai berikut: CaCO 3 + 4300 cal CaO + CO 2…………………………………………………………………..… (2-15) Pada persamaan 2.11, merupakan reaksi proses pembakaran kapur menjadi kalsium oksida. Proses tersebut pada dasarnya emdometris, secara teoritis 4300 kalori panas diperlukan untuk mengurai 1 mol CaCO3 menjadi kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida dapat dihidrasi berdasarkan reaksi dibawah ini : CaO + H2 0 Ca (OH) 2 + 15,3 kkal……………………………………………(2-16) Proses tersebut sangat sulit jika menggunakan MgO dan terjadi di bawah tekanan. Pada keadaan normal terjadi reaksi sebagai berikut : CaO + Mg + H2 O Ca (OH) 2 + Mg………………………………………..….(2- 17) Yang diproduksi adalah kapur dolomit monohidrat dan senyawa Ca (OH)2 + Mg (OH)2 yang terbentuk dibawah tekanan. Dengan demikian kalsium hidroksida sekali lagi di transformasikan dan reaksinya adalah : Ca(OH) 2 + H2 CO 3 + 2 H 2 O…………………………..………………………………(218) Asam karbonat diproduksi dari kandungan karbon dioksida pada tanah dan air bebas. Kalau tercampur dengan struktur tanah terjadi transformasi dan penggumpalan partikel – partikel tanah, sehingga membentuk partikel dengan ukuran yang lebih besar. Akibat kejadian ini akan mengubah batas – batas Atterberg dan sifat pemadatan ( lashari,2000). II - 29 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.8.1.2 Interaksi dan Sifat – Sifat Campuran Tanah Kapur Mencampur tanah dengan kapur berarti merupakan suatu stabilisasi kimia dengan bahan tambahan dalam bentuk kalsium oksida atau kalsium hidroksida dengan suatu proses pemadatan dan kandungan air tertentu. Akibat ditambahkan kalsium maka akan mereduksi plastisitas tanah, meningkatkan daya dukung dan kekuatan tanah, mengurangi penyerapan air dan volume pengembangan (swelling potential) yang diakibatkan oleh air. Berdasarkan proses yang telah diuraikan, maka kapur akan mempengaruhi sifat – sifat fisis dan mekanik tanah. Pengaruh sifat mekanik tanah campur kapur sangat bervariasi tergantung pada : jenis tanah, jenis dan kadar kapur, masa tunggu perawatan (curring), dan faktor – faktor lain seperti variasi penggunaan air. Ingels dan Metchalf (1972) menunjukkan nilai indeks plastisitas yang menurun tajam dengan penambahan kapur. Hal tersebut menyebabkan peningkatan dari batas plastisnya. Pengaruh penambahan kapur pada tanah akan mempengaruhi berkurangnya perubahan volume serta spesifik pengembangannya. Salah satu yang penting akibat stabilisasi kapur adalah peningkatan kekuatan walaupun pengaruh ini juga tergantung hal – hal lain. Terutama kalsium, peningkatan kekuatan sebagai fungsi dari peningkatan kalsiumnya. Pengaruh ini cukup menarik dengan memperbandingkan masa perawatannya. Pada masa perawatan yang lama terjadi peningkatan kekuatan yang relative kecil pada konsentrasi kapur dibawah 2 % dan selama terjadinya proses hidrasi, kadar air dalam tanah campuran akan berkurang sekitar 32 % dari berat kering kapur. 2.8.2 Proses Kimia Pada Stabilisasi Tanah 2.8.2.1 Stabilisasi tanah dengan kapur Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan kapur adalah sebagai berikut: a) Absorbsi air, reaksi eksotermis dan reaksi ekspansif Bila kapur dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya, akan terjadi reaksi sebagai berikut: CaO + H2O Ca(OH)2 + panas Bereaksinya antara air dengan kapur akan menimbulkan panas dan pada saat II - 30 Bab II. Tinjuan Pustaka bersamaan, volume kapur menjadi lebih besar dari pada volume asalnya sehingga menyebabkan turunnya kandungan air di dalam tanah. b) Reaksi pertukaran ion Butiran lempung dalam kandungan tanah berbentuk halus dan bermuatan negatif. Ion positif seperti ion hidrogen (H+), ion sodium (Na+), ion kalsium (K+), serta air yang berpolarisasi, semuanya melekat pada permukaan butiran lempung. Jika kapur ditambahkan pada tanah dengan kondisi seperti di atas, maka pertukaran ion segera terjadi, dan ion sodium yang berasal dari larutan kapur diserap oleh permukaan butiran lempung. Jadi, permukaan butiran lempung tadi kehilangan kekuatan tolaknya (repulsion force), dan terjadilah kohesi pada butiran itu sehingga berakibat kenaikan kekuatan konsistensi tanah tersebut. c) Reaksi pozolan Reaksi antara silika (SiO2) dan alumina (AL2O3) halus yang terkandung dalam tanah lempun g dengan kandungan mineral reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan kapur dan air. Hasil reaksi adalah terbentuknya kalsium silikat hidrat seperti: tobermorit, kalsium aluminat hidrat 4CaO.Al2O3.12H2O dan gehlenit hidrat 2CaO.Al2O3.SiO2.6H2O yang tidak larut dalam air. Pembentukan senyawasenyawa ini berlangsung lambat dan menyebabkan tanah menjadi lebih keras, lebih padat dan lebih stabil. Proses kimia stabilisasi tanah dengan kapur sangat tergantung pada sifat reaktif mineral lempung yang dikandungnya. Tanah dengan kandungan mineral lempung, terutama yang sifat reaktifnya rendah (SNI 03-6796-2002), tidak dianjurkan menggunakan kapur sebagai bahan stabilisasi. II - 31 Bab II. Tinjuan Pustaka 2.9 Penelitian Yang Pernah Dilakukan Sebelumnya 2.9.1 Stabilisasi Tanah dengan Kapur 1. Ingles and metacalf (1972) meneliti tentang stabilitas kapur pada tanah lempung berlanau, dengan kapur hidrasi (Ca(OH) 2 ) pada temperature 25o C, menunjukkan bahwa peningkatan prosentase kapur seiring dengan peningkatan kekuatan tekan dengan alat UCS (Unconfined Compressive Strength) sampai kurang lebih pada campuran dengan prosentase kapur 7 %, selanjutnya pada campuran kapur > 7% peningkatan UCS relatif kecil. 2. Idrus (1991) meneliti stabilisasi tanah dengan kapur pada tanah Losari Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuat tekan meningkat dengan pertambahan prosentase kapur seiring dengan peningkatan masa perawatan. 3. Syahirman Suriadi (2000), meneliti stabilitas tanah lempung di Kabupaten Bantul Daerah Istimewah Yoyakarta dengan memakai kadar kapur 4% dan garam 0%,1%,2%,2,5% dan 3% dengan masa perawatan 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kadar garam dapat meningkatkan berat jenis, batas plastis, batas susut, serta menurunkan batas cair dan indeks plastisitas. 4. Lashari (2000), meneliti stabilisasi tanah lempung di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah dengan menggunakan kadar kapur 0%, 2,5%, 5%, dan 7% serta bubuk bata merah dengan prosentase 0%, 5%, 10%, dan 15%. Masa pemeraman 0 hari, 2 hari, 7 hari, dan 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan stabilisasi tanah lempung seiring dengan peningkatan prosentase kapur dan bubuk bata merah dapat memperaiki sifat fisik dan mekanik tanah serta menurunkan volume pengembangan setelah melewati masa pemeraman 2 hari. II - 32