BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
Bab II. Tinjuan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
Pada konstruksi jalan raya beban kendaraan dilimpahkan ke lapisan perkerasan melalui
roda – roda kendaraan untuk kemudian disalurkan ke lapisan – lapisan dibawahnya dan akhirnya
diterima oleh tanah dasar. Dengan demikian tingkat kerusakan konstruksi perkerasaan selama
masa pelayanan tidak saja ditentukan oleh kekuatan dari lapisan perkerasan tetapi juga oleh
tanah dasarnya.
Lapisan tanah dasar (subgrade) adalah lapisan terbawah suatu konstruksi perkerasan jalan
raya dimana diatasnya diletakkan lapisan pondasi bawah (subbase course), lapisan pondasi atas
(base course), dan lapisan permukaan (surface course). Lapisan tanah dasar dibedakan atas :
1. Lapisan tanah dasar, tanah galian.
2. Lapisan tanah dasar, tanah timbunan.
3. Lapisan tanah dasar, tanah asli.
Tanah dengan sifat yang kurang baik sangat tidak ekonomis dan mendukung apabila
dijadikan sebagai tanah dasar suatu konstruksi bangunan sipil. Oleh sebab itu perlu dilakukan
stabilisasi untuk memperbaiki tanah baik secara mekanis maupun kimiawi.
Daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar air,
kondisi drainase, dan lain-lain. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mengalami
perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air dan mempunyai daya dukung yang
lebih besar jka dibandingkan dengan tanah sejenis yang mempunyai nilai kepadatan rendah.
II - 1
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.2
Tanah dan Batuan
2.2.1 Siklus Batuan
Butiran – butiran mineral yang membentuk bagian padat dari tanah merupakan hasil dari
pelapukan batuan. Ukuran setiap butiran padat tersebut sangat bervariasi dan sifat – sifat fisik
dari tanah banyak tergantung dari faktor – faktor ukuran, bentuk, dan komposisi kimia dari
butiran.
Berdasarkan asal usulnya, batuan dapat dibagi menjadi tiga tipe dasar yaitu:
1. Batuan beku (igneous rocks)
2. Batuan sedimen (sedimentary rocks)
3. Batuan metamorf (metamorphic rocks)
Gambar 2.1 menunjukkan diagram siklus terjadinya beberapa tipe batuan beserta proses
pembentukannya.
Gambar 2.1 Siklus Batuan
II - 2
Bab II. Tinjuan Pustaka
1. Batuan Beku
Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak kepermukaan,
sesudah tersembul kepermukaan melewati rekahan – rekahan pada kulit bumi (fissure
eruption) atau melalui gunung berapi (vulcano eruption), sebagian dari magma tersebut
mendingin di permukaan bumi dan membatu. Kadang – kadang magma tersebut berhenti
bergerak sebelum sampai ke permukaan bumi dan mendingin di dalam kulit bumi dan
membentuk batuan beku dalam (plutonic rock). Beberapa jenis batuan beku antara lain :
granit, batu apung, dan scoria.
2. Batuan Sedimen
Deposit – deposit tanah dari krikil, pasir, lanau, dan lempung hasil pelapukan dapat
menjadi lebih padat karena adanya tekanan lapisan tanah diatasnya dan adanya proses
sementasi antar butiran oleh unsur – unsur sementasi seperti oksida besi, kalsit, dolomite
dan quartz. Unsur sementasi tersebut biasanya terbawa dalam larutan air tanah. Unsur –
unsur sementarsi tersebut mengisi ruang-ruang di antara butiran dan kemudian
membentuk batuan sedimen. Batuan yang terbentuk dengan cara ini disebut batuan
sedimen detrital. Tipe batuan sedimen detrital : serpih, batu pasir, konglomerat.
Batuan sedimen dapat terbentuk melalui proses kimia, dan batuan yang terjadi karena
cara ini diklasifikasikan oleh sebagai batuan sedimen kimia. Contoh batuan sedimen
kimia yaitu : batu kapur, batu gamping, dolomite, evaporit.
Batuan sedimen berasal dari proses biokimia dan organis terdiri dari : coquina, batu
gamping karang, kapur, karang, dan batubara.
3. Batuan Metamorf
Peristiwa metamorf adalah proses perubahan komposisi dan tekstur dari batuan akibat
panas dan tekanan tanpa pernah menjadi cair. Batu tulis ( sabak), sekis (shist), genes
(gneiss), kuarsit (quartzite), marmer (marble), dan antrasit.
II - 3
Bab II. Tinjuan Pustaka
Sedangkan tanah menurut Das,Braja M.(1995:1) merupakan himpunan material yang
terdiri dari agregat (butiran) mineral–mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia)
satu sama lainnya dan dari bahan–bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat)
disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang–ruang kosong di antara partikel–partikel
padat tersebut.
2.2.2 Tanah
Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral – mineral
padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan
organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang
mengisi ruang – ruang kosong diantara partikel – partikel padat tersebut (Das,Braja M,1995).
Dalam pandangan teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan
endapan-endapan yang relatif lepas (loose), dan terletak diatas batuan dasar (bedrock). Ikatan
antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zat organik, atau oksida-oksida
yang mengendap diantara partikel-partikel. Ukuran dari partikel tanah sangat beragam dengan
variasi yang cukup besar. Tanah pada umumnya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir
(sand), lanau (silt), atau lempung (clay), tergantung pada ukuran partikel yang paling dominan
pada tanah tersebut.Untuk menerangkan tentang tanah berdasarkan ukuran – ukuran partikelnya,
beberapa organisasi telah mengembangkan batasan – batasan ukuran golongan jenis tanah. Pada
tabel 2.1 ditunjukkan batasan – batasan ukuran tanah yang telah dikembangkan oleh
Massachussets Institute of Technology (MIT) , U.S Departement of Agriculture (USDA),
American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO) dan Unified
Soil Classification System (USCS).
II - 4
Bab II. Tinjuan Pustaka
Tabel 2.1 Batasan - Batasan Ukuran Tanah
Nama golongan
Ukuran butiran (mm)
Kerikil
Pasir
Lanau
Lempung
MIT
>2
2 - 0,06
0,06 - 0,002
< 0,002
USDA
>2
2 - 0,05
0,05 - 0,002
< 0,002
AASHTO
76,2 – 2
2 - 0,075
0,075 - 0,002
< 0,002
USCS
76,2 - 4,75
4,75 - 0,075
Halus ( lanau dan lempung)
< 0,0075
Untuk menentukan butiran-butiran tanah dapat dilakukan dengan pengujian analisa
gradasi yang dilakukan di laboratorium. Pengujian analisa gradasi meliputi: analisa saringan dan
analisa hidrometer.
2.3
Sifat Fisis dan Mekanis Tanah
Sifat fisis dan mekanis tanah merupakan masalah utama yang harus didahulukan dan
diperhatikan dalam pembuatan jalan raya, karena tanah merupakan lapisan dasar yang akan
mendukung konstruksi yang ada diatasnya. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan dan
penyelidikan yang mendalam mengenai sifat-sifat tanah tersebut sebelum pembuatan jalan raya
dilaksanakan.
Pembahasan yang utama dalam masalah ini mengenai tanah yang distabilisasi dengan
bahan campur kapur sebagai zat aditifnya. Dalam hal ini terlebih dahulu kita harus mengetahui
mengenai apa yang disebut dengan tanah. Menurut Hardyatmo bahwa dalam pandangan teknik
sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organic, dan endapan – endapan yang relative lepas
( lose ) , yang terletak di atas batuan dasar ( Bed rock). Begitu juga dengan Wesley yang
mengemukakan bahwa tanah terdiri dari tiga bagian yaitu : butiran tanah , air dan udara yang
mengisi rongga antar masing – masing butiran tanah.
II - 5
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.3.1
Sifat Fisis Tanah ( Index Properties Tanah)
Sifat fisis tanah merupakan parameter-parameter tanah yang tidak berkaitan langsung
dengan kekuatan tanah,tetapi hanya mengindikasikan jenis dan kondisi tanah. Pada umumnya,
untuk tanah berbutir kasar sifat-sifat partikelnya dan derajat kepadatannya relative adalah sifatsifat yang paling penting. Sedangkan
untuk tanah berbutir halus batas-batas konsistensi
merupakan sifat-sifat yang paling berpengaruh. Adapun sifat-sifat fisis tanah dalam penilitian ini
diantaranya : kadar Air, berat Jenis, analisa saringan, analisa hidrometer, batas-batas konsistensi..
2.3.1.1
Pengujian Kadar Air
Pengujian ini adalah untuk mengetahui kadar air suatu tanah. Kadar air tanah
merupakan perbandingan antara berat air yang dikandung tanah dengan berat kering tanah.
Adapun rumus untuk kadar air sebagai berikut :
Keterangan :
= Berat cawan
= Berat cawan + tanah basah
= Berat cawan + tanah kering
2.3.1.2
Pengujian Berat Jenis Tanah
Pengujian ini adalah untuk mengetahui berat jenis suatu tanah yang lolos saringan nomor
4. Berat jenis tanah merupakan ratio perbandingan berat butir tanah dengan berat air destilasi
diudara dengan volume yang sama dan pada temperature tertentu. Adapun Berat jenis untuk tiap
jenis tanah berbeda-beda. Pada tabel 2.2 disajikan mengenai berat jenis tanah (Gs) berbagai jenis
tanah.
II - 6
Bab II. Tinjuan Pustaka
Tabel 2.2 Berat Jenis untuk berbagai macam tanah
Jenis Tanah
Krikil (gravel)
Pasir (sand)
Pasir kwarsa (Quartz sand)
Lanau (silt)
Lempung (clay)
Kapur (chalk)
Gambut (peat)
2.3.1.3
Berat Jenis ( Gs)
2,65 - 2,68
2,65 - 2,68
2,64 - 2,66
2,66 - 2,7
2,68 - 2,8
2,60 - 2,75
1.3 - 1,9
Pengujian Analisa Saringan
Pengujian ini adalah untuk mengetahui ukuran butir tanah dan susunan butir tanah
(gradasi). Prosedur dalam pengujian ini dengan cara mengayak dan menggetarkan contoh tanah
melalui satu set ayakan. Berikut adalah standard ukuran ayakan di Amerika Serikat:
Tabel 2.3
– ukuran ayakan di
Amerika Serikat
Ukuran
Ayakan No
4
6
8
10
16
20
30
40
50
60
80
100
170
200
Lubang ( mm )
4.750
3.350
2.360
2.000
1.180
0.850
0.600
0.425
0.300
0.250
0.180
0.150
0.088
0.075
(sumber; Braja M.Das jilid 1)
II - 7
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.3.1.4
Pengujian Analisa Hidrometer
Pengujian ini adalah untuk menentukan distribusi tanah yang lolos saringan 200 ASTM
( 0.074 mm ) yang dilakukan dengan analisa pengendapan ( Hidrometer analisis ). Pada
pelaksanaan pengujian ini digunakan 50 gram contoh tanah yang kering oven dan silinder
pengendap yang mempunyai tinggi 18 inci (457,2 mm) dan diameter 2,5 inci (63,5 mm). silinder
tersebut diberikan tanda yang menunjukkan volume sebesar 1000 ml. Campuran calgon (natrium
hexametaphosphate) biasanya digunakan sebagai bahan pendispersi. Total volume dari larutan
air + calgon + tanah yang terdispersi dibuat menjadi 1000 ml dengan menambahkan air suling.
2.3.1.5
Batas – Batas Konsistensi
Pada awal tahun 1900, seorang ilmuwan dari swedia bernama atterberg mengembangkan
suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus pada kadar air yang
bervariasi. Bilamana kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan menjadi sangat
lembek seperti cairan. Oleh karena itu, atas dasar air yang dikandung tanah, tanah dapat
dipisahkan kedalam empat keadaan dasar , yaitu: padat, semipadat , plastis, dan cair, seperti yang
ditunjukkan dalam gambar 2.2
Padat/ solid
Semi padat/semi solid
Plastis
Cair
Kadar air bertambah
Batas Susut (SL)
Batas Plastis (PL)
Batas Cair (LL)
Gambar 2.2
1.
Batas Cair (Liquit limit)
Batas cair adalah kadar air tanah pada keadaan batas peralihan antatra keadaan cair dan
keadaan plastis.
II - 8
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.
Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis adalah kadar air minimum tanah dalam keadaan plastis atau kadar air pada
batas bawah daerah plastis.
3.
Indeks Plastis (Plasticity index)
Indeks plastisitas atau Plasticity index (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas
plastis.
Ip =
-
Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis.
Karena itu indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisan dari suatu jenis tanah. Batasan
mengenai indeks plastisitas, sifat, macam tanah dan kohesinya dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Nilai Indeks Tanah dan Macam Tanah
PI
0
Sifat
Macam Tanah
Kohesif
Non Plastis
Pasir
Non kohesif
<7
Plastisitas rendah
Lanau
Kohesif sebagian
7 - 17
Plastisitas sedang
Lempung berlanau
Kohesif
> 17
Plastisitas tinggi
Lempung
Kohesif
(Sumber: Hardiyatmo,H.C,1995,Mekanika Tanah 1,Hal 34)
Satu hal yang penting untuk tanah berbutir halus adalah sifat plastisitas. Sifat plastisitas
adalah kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk pada volume yang konstan
tanpa retak – retak.
II - 9
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.3.2
Definisi Dasar dan Hubungan Volume - Berat
Gambar 2.2 Diagram fase tanah
(Sumber: Hardiyatmo,H.C, 2002,Teknik Pondasi I, Hal 3)
Pada Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa tanah itu terdiri dari :
1) Pori atau ruang kosong (void), yang merupakan ruang – ruang terbuka antara butir – butir
tanah dengan berbagai ukuran.
2) Butir – butir tanah, baik yang berukuran makroskopik atau mikroskopik. Makroskopik
adalah partikel – partikel tanah yang dapat di lihat dengan mata, sedangkan mikroskopik
hanya dapat dilihat dengan bantuaan mikroskop atau alat pembesar lainnya.
3) Kelembaban tanah yang akan menyebabkan tanah terlihat basah, lembab ataupun kering.
Air didalam pori atau ruang kosong disebut air pori.
Pori – pori tanah yang tidak berisi tanah sudah tentu akan penuh dengan udara atau uap air.
Tetapi apabila semua ruangan kosong terisi oleh air maka berat yang dihasilkan adalah berat
satuan jenuh (saturated) γsat dari tanah. Apabila tanah diletakkan dalam oven dan kemudian
dikeringkan sampai ke suatu berat konstan, berat yang dihasilkan adalah berat satuan kering
(dry) γd dari tanah.
II - 10
Bab II. Tinjuan Pustaka
Berat satuan tanah adalah berat per satuan volume. Jadi, :
…………………………………………………………………………..…(2-1)
Atau
…………………………………………………………………………………………(2-2)
Kadang berat satuan tanah atau berat volume dinyatakan dalam berat butiran padat, kadar air dan
volume total.
………………………………………………..(2-3)
Keterangan :
Ws
= Berat butiran tanah
Ww
= Berat air
γ
= Berat volume
Berat volume (unit weigth) yang didefinisikan dengan persamaan (2-2) disebut juga berat
volume basah (moist unit weigth).
Berat satuan kering atau berat volume kering (dry unit weigth) adalah berat kering per
satuan volume.
………………………………………………………………………………..…….(2-4)
Dari persamaan (2-3) dan (2-4) hubungan antara berat volume, berat volume kiring, dan
kadar air dapat ditulis sebagai berikut :
II - 11
Bab II. Tinjuan Pustaka
………………………………………………………………………………….….(2-5)
Keterangan:
= Berat volume kering.
W
= Kadar air
Hubungan volume dan berat pada suatu tanah adalah:
1. Angka pori (void ratio) e didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori dan
volume butiran padat. Dapat ditunjukkan pada persamaan (2-8)
……………………………………………………………………………….(2-8)
2. Porositas (porosity), n didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori dan
volume tanah total.
……………………………………………………………………………….(2-9)
3. Derajat kejenuhan (degree of saturation), S didefinisikan sebagai perbandingan antara
volume air dengan volume pori.
……………………………………………………………………………...(2-10)
4. Kadar air (water content), w didefinisikan sebagai perbandingan antara berat air dengan
berat butiran padat dari volume tanah yang diselidiki.
…………………………………………………………………….(2-11)
5. Berat jenis (spesific gravity), Gs didefinisikan sebagai perbandingan antara berat isi butirbutir tanah dengan berat air pada volume yang sama dan diukur pada suhu tertentu.
………………………………………………(2-12)
Atau
II - 12
Bab II. Tinjuan Pustaka
…………………………………………………………………..(2-13)
2.3.3
Sifat Mekanis Tanah ( Engineering Properties Tanah)
Sifat mekanis tanah merupakan parameter-parameter tanah yang berkaitan langsung
dengan kekuatan tanah. Adapun sifat-sifat mekanis tanah dalam penilitian ini diantaranya :
pemadatan standard ( standard Proctor tes) dan California Bearing Ratio (CBR).
2.3.3.1
Pemadatan Standard
Pada pembuatan timbunan tanah untuk jalan raya, tanah yang lepas haruslah dipadatkan
untuk meningkatkan berat volumenya. Pemadatan tersebut berfungsi untuk meningkatkan
kekuatan tanah, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan daya dukung pondasi diatasnya.
Pemadatan juga dapat mengurangi besarnya penurunan tanah yang tidak diinginkan dan
meningkatkan lereng timbunan (embankments).
Tingkat pemadatan tanah diukur dari berat volume kering tanah yang dipadatkan. Bila air
ditambahkan kepada suatu tanah yang sedang dipadatkan, air tersebut akan berfungsi sebagai
unsure pembasah (pelumas) pada partikel-partikel tanah. Karena adanya air, partikel-partikel
tanah tersebut akan lebih mudah bergerak dan bergeseran satu sama lain sehingga membentuk
kedudukan yang lebih rapat/padat.
Tujuan pemadatan tanah adalah memadatkan tanah pada kadar air optimum dan
memperbaiki karakteristik mekanisme tanah, yang akan memberikan keuntungan yaitu :
a. Memperkecil pengaruh air terhadap tanah.
II - 13
Bab II. Tinjuan Pustaka
b. Bertambahnya kekuatan tanah.
c. Memperkecilkan pemampatannya dan daya rembes airnya.
d. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air
(Hardiyatmo, H.C., 1992, hal 53).
Pemadatan tanah dapat dilaksanakan di lapangan maupun di laboratorium. Dilapangan
biasanya tanah
akan digilas dengan
mesin
penggilas
yang
didalamnya
terdapat alat
penggetar, getaran akan menggetarkan tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan
dilaboratorium menggunakan pengujian standar yang disebut dengan uji proktor, dengan cara
suatu palu dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah mold.
Dengan dilakukannya pengujian pemadatan tanah ini, maka akan terdapat hubungan antara
kadar air dengan berat volume.
Gambar 2.3 Hubungan Antara Kadar Air dan Berat Volume Tanah
II - 14
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.3.3.2
California Bearing Ratio ( CBR)
California Bearing Ratio adalah kelanjutan dari uji pemadatan tanah sehingga pengujian
dilakukan dengan menggunakan sampel tanah yang telah dipadatkan dengan pemadatan proctor.
Pengujian ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui nilai CBR pada kepadatan dan kadar air
tertentu. Dengan kata lain, harga CBR akan menentukan sejauh mana tanah dapat menahan
beban struktur di atasnya.
Pengujian CBR terbagi menjadi 2 yaitu, CBR soaked (terendam) dan CBR unsoaked
(tidak terendam). Perbedaan pengujian CBR ini hanya terletak pada kondisi tanah yang akan
diujikan. Untuk pengujian CBR soaked, tanah berada dalam keadaan terendam air selama 4 hari
agar dapat diukur pengembangannya setiap hari. Sedangkan untuk pengujian CBR unsoaked,
tanah dibuat dalam keadaan tidak terendam. Klasifikasi tanah dasar berdasarkan nilai CBR dapat
dilihat pada table 2.5.
Tabel 2.5 Klasifikasi Tanah Dasar Berdasarkan CBR
Nilai
Tingkatannya
CBR
(Kategori)
0–3
Sangat Buruk
3–7
Buruk sampai
Penggunaan
Klasifikasi
Klasifikasi
USCS
AASHTO
Sub grade
OH,CH,MH,OL
A5, A6, A7
Sub grade
OH,CH,MH,OL
A4, A5, A6, A7
sedang
7 – 20
Sedang
Sub grade
OL, CL, ML
A2, A4, A5, A7
20-50
Baik
Base, Sub grade
Gravel
A1, A2 – 5, A2 – 6
Base
Gravel
A1, A2, A3
>50
2.4
Sangat baik
Klasifikasi Tanah
Sistem Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang
berbeda – beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok – kelompok dan sub
II - 15
Bab II. Tinjuan Pustaka
kelompok berdasarkan pemakaiannya. Klasifikasi tanah dibedakan berdasarkan tekstur dan
pemakaiannya. Penjelasan lebih lanjut dapat di lihat pada uraian dibawah ini :
1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur
Tekstur tanah adalah keadaan permukaan tanah yang bersangkutan. Tekstur tanah
dipengaruhi oleh ukuran tiap – tiap butir yang ada dalam tanah. Sistem klasifikasi
berdasarkan tekstur tanah dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika ( USDA ).
Berdasarkan system ini tanah dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Pasir
: butiran dengan diameter 2,0 sampai dengan 0,05 mm.
b) Lanau
: butiran dengan diameter 0,05 sampai dengan 0,002 mm.
c) Lempung
: butiran dengan diameter lebih kecil dari 0,002 mm.
2. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Pemakaiannya
Sistem klasifikasi tanah berdasarkan tekstur terlalu sederhana karena hanya berdasarkan
pada distribusi ukuran butirannya saja. Padahal dalam kenyataannya di lapangan jumlah
dan jenis dari material lempung yang dikandung oleh tanah sangat mempengaruhi sfat
fisis tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu harus memperhitungkan sifat plastisitas
tanah yang disebabkan kandungan mineral lempung untuk menafsirkan ciri – ciri suatu
tanah. Sistem klasifikasi tanah yang digunakan saat ini memperhitungkan distribusi
ukuran butir dan batas – batas Atterberg. Sistem klasifikasi tanah tersebut adalah :
1) Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO
Sistem klasifikasi AASHTO pada umumnya dipakai oleh departemen jalan raya di
semua Negara bagian di America serikat. Sistem klasifikasi ini dikembangkan dalam
tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini
sudah mengalami beberapa perbaikan; versi yang saat ini berlaku adalah yang
diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular
Type Road of the Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard no
D-3282, AASHTO metode M145). Apabila sistem klasifikasi AASHTO dipakai
II - 16
Bab II. Tinjuan Pustaka
untuk mengklasifikasi tanah , maka data hasil uji dicocokkan dengan angka-angka
yang diberikan dalam table 2.6
Tabel 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO (Braja,1990)
Tanah Berbutir
Klasifikasi umum
klasifikasi
kelompok
( 35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200)
A–1
A-1-a
A-2
A-3
A-1-b
A-2-4
A-2-5
A-2-6
A-2-7
Maks35
Maks35
Maks35
Maks35
Maks40
Min41
Maks40
Maks41
Analisis ayakan
( % lolos )
No. 10
Maks50
No. 40
Maks25
Maks50 Min51
No. 200
Sifat fraksi yang
lolos
Maks15
Maks25 Maks10
ayakan No. 40
Batas Cair (LL )
Indeks Plastisitas
(PI )
Tipe material yang
paling
Dominan
Penilaian sebagai
bahan
Maks 6
Batu pecah, krikil,
dan pasir
NP
Maks10 Maks10 Min11
Min11
Pasir halus
Krikil dan pasir yang berlanau atau
lempung
Baik sekali sampai baik
tanah dasar
II - 17
Bab II. Tinjuan Pustaka
Klasifikasi umum
klasifikasi kelompok
Tanah Lanau – Lempung
( Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No. 200)
A–7
A-4
A-5
A -6
A-7-5*
A-7-6*
Analisis ayakan
( % lolos )
No. 10
No. 40
No. 200
Min 36
Min 36
Min 36
Min 36
Sifat fraksi yang lolos
ayakan No. 40
Batas Cair (LL )
Maks 40
Min 41
Maks 40
Maks 41
Indeks Plastisitas (PI )
Maks 10
Maks 10
Min 11
Min 11
Tanah berlanau
Tanah berlempung
tipe material yang paling
Dominan
penilaian sebagai bahan
Baik sekali sampai jelek
tanah dasar
* Untuk A-7-5, PI < LL - 30
* Untuk A-7-6, PI > LL - 30
2) Sistem Klasifikasi Tanah Unified
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu pengaturan beberapa jenis tanah yang berbedabeda tapi mempunyai sifat serupa ke dalam kelompok-kelompok dan subkelompok
II - 18
Bab II. Tinjuan Pustaka
berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan bahasa yang mudah untuk
menjelaskan secara singkat sifat-sifat tanah yang bervariasi tanpa penjelasan yang
rinci. Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan untuk tujuan
rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti : ukuran
butir dan plastisitas. Dengan mengetahui klasifikasi tanah, engineer telah mengetahui
gambaran yang baik mengenai perilaku tanah tersebut dalam berbagai situasi,
misalnya selama konstruksi, di bawah beban-beban struktural dan lain-lain. Sistem ini
pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande pada tahun 1942 untuk dipergunakan
pada pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps
of Engineer selama perang dunia II. Dalam rangka kerja sama dengan United States
Bureau of Reclamation tahun 1952, sistem ini disempurnakan. Sistem klasifikasi
unified diberikan pada table 2.7. Sistem ini mengelompokkan tanah ke dalam dua
kelompok besar, yaitu :
1. Tanah berbutir kasar ( coarse-grained-soil ), yaitu : tanah krikil dan pasir dimana
kurang dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Symbol dari
kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk Krikil (gravel)
atau tanah berkrikil, dan S adalah untuk Pasir ( sand ) atau tanah berpasir.
2. Tanah berbutir halus ( Fine- grained soil ), yaitu tanah dimana lebih dari 50%
berat total contoh tanah lolos ayakan No.200. symbol dari kelompok ini dimulai
dengan huruf awal M untuk lanau ( silt ) anorganik, C untuk lempung ( clay )
anorganik, dan O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT
digunakan untuk tanah gambut ( peat ), muck , dan tanah – tanah lain dengan
kadar organik yang tinggi.
Simbol- simbol lain yang dipergunakan untuk klasifikasi tanah USCS adalah :
W
= Well Graded ( tanah dengan gradasi baik )
P
= Poorly graded (tanah dengan gradasi buruk )
L
= Low plasticity ( Plastisias rendah ) (LL < 50)
H
= High plasticity ( palstisitas tinggi ) (LL > 50)
II - 19
Bab II. Tinjuan Pustaka
Tabel 2.7 Sistem klasifikasi Unified ( Braja, 1990 )
II - 20
Bab II. Tinjuan Pustaka
II - 21
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.5
Tanah Lempung Ekspansife
Lempung Expansive merupakan jenis tanah lempung yang diklasifikasikan ke dalam jenis
tanah yang memiliki nilai pengembangan dan nilai penyusutan yang besar. sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada struktur yang ada di atasnya. Hal tersebut disebabkan karena
besarnya nilai aktivitas (A) tanah lempung. Aktivitas tanah tersebut dipengaruhui oleh nilai
indeks plastisitas tanah tersebut.
Identifikasi tanah ekspansif pada awal penyelidikan tanah diperlukan untuk melakukan
metode pengujian yang tepat di laboratorium. Biasanya tanah ekspansif terdapat pada kondisi:
a) Karakteristik tanah
1. Mempunyai kadar lempung yang tinggi, biasanya termasuk tanah liat dengan
plastisitas yang tinggi.
2. Pada kondisi kering, tanahnya retak-retak dengan retakan lebar dan dalam.
3. Kuat saat kering, kemudian menjadi bubur disaat basah.
4. Lengket dan susat dilewati kendaraan saat basah.
5. Mengandung serpihan-serpihan dan permukaan yang licin.
Klasifikasi tanah ekspansif banyak dikemukakan oleh para peneliti, diantaranya menurut
Chen (1965 dan 1988) sebagaimana ditunjukkan pada table 2.8 dan Wiscman (1985) pada table
2.9.
Tabel 2.8 Klasifikasi Tanah Ekspansif ( Chen,1988)
Swelling Potensial/
Index Plastisitas
Derajat Pengembangan
Persentase
Swelling Presure
Liquid Limit
(ksf)
Rendah
0 – 15
< 30
1
Medium
10 – 35
34 – 40
3–5
Tinggi
20 – 55
40 – 60
5 – 20
Sangat Tinggi
>35
> 60
> 20
II - 22
Bab II. Tinjuan Pustaka
Tabel 2.9 Indentifikasi Masalah Tanah Ekspansif (Wiscman,1985)
Jenis Pengujian
Umumnya Tidak Ekspansif
Ada Masalah Ekspansif
Index Plastisitas (PI)
< 20
>32
Batas Susut (SL)
> 13
<10
Free Swell
< 50
>100
Swelling Potensial atau kemampuan mengembang tanah dipengaruhi oleh nilai aktivitas
tanah. Setiap tanah lempung memiliki nilai aktivitas yang berbeda-beda. Gambar 2.4
mengindentifikasikan tingkat aktivitas tanah dalam 4 kelompok, yaitu :
Low/Rendah
: Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial ≤ 1,5 %
Medium/Sedang
: Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial >1,5 % dan ≤ 5%
High/Tinggi
: Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial >5 % dan ≤ 25%
Very High
: Tanah yang memiliki nilai Swelling Potensial >25 %
Gambar 2.4 Hubungan Antara Persentasi Butiran Lempung dan Aktivitas.
Sumber: Jhon D Nelson dan Deborah J Miller, 1991, Expansive Soil
II - 23
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.6
Pemilihan Jenis Bahan Stabilisasi.
Pemilihan jenis bahan stabilisasi ditentukan berdasarkan nilai indeks propertis dapat
mengacu pada table 2.10 jika bahan stabilisasi tidak tersedia pada table 2.10, jenis bahan
stabilisasi tersebut dapat diuji coba sesuai tahapan perencanaan stabilisasi di laboratorium.
Tabel 2.10 Jenis Bahan Stabilisasi
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum;Perencanaan Stabilisasi Tanah Dengan Bahan
Serbuk Pengikat Untuk Konstruksi Jalan)
Lebih besar dari 25% lolos
saringan 0,075 mm
Jenis bahan
serbuk pengikat
PI ≤ 10
10<PI<20
PI≥20
Lebih kecil atau sama dari 25% lolos
saringan 0,075 mm
PI ≤ 6 atau
PI x% lolos 6< PI ≤
PI≥10
#
10
75μm ≤ 60
Semen dan
ikatan yang
dibentuk oleh
t i
Kapur
Polimer
Keterangan
Dianjurkan
Dipertimbangkan
Tidak dianjurkan
2.7 Penentuan perkiraan persentase bahan pengikat
2.7.1 Memperkirakan kebutuhan bahan stabilisasi kapur
Penentuan kebutuhan jenis bahan stabilisasi kapur ditentukan berdasarkan nilai indeks
propertis, dapat mengacu pada gambar 2.4 :
II - 24
Bab II. Tinjuan Pustaka
Keterangan gambar:
a)
1
2, , dan seterusnya adalah kadar kapur;
b) grafik ini tidak diperbolehkan untuk material yang lolos saringan No.40 lebih kecil 10%
dan pada material pasir
(Indeks Plastisitasnya kurang dari 3%);
c) grafik ini berlaku untuk kapur yang kandungan kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) ≥ 90% dan butiran yang lolos
saringan No. 200 ≥ 85%.
Gambar 2.5 Penentuan perkiraan persentase kapur yang dibutuhkan
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum;Perencanaan Stabilisasi Tanah Dengan Bahan
Serbuk Pengikat Untuk Konstruksi Jalan)
Kebutuhan persentase kapur yang akan ditambahkan sebagai bahan stabilisasi dapat
menggunakan variasi kadar kapur 2 % di atas dan 2 % di bawah nilai yang sudah didapat
II - 25
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.8
Stabilisasi Tanah
Stabilisasi tanah adalah upaya rekayasa untuk memperbaiki mutu tanah yang tidak baik
menjadi baik agar mendapatkan hasil yang optimal. Tujuan dari stabilisasi tanah yaitu
meningkatkan daya dukung tanah dalam menahan beban dan menjaga tingkat kestabilan
tanahnya.
Apabila tanah yang dihadapi bersifat sangat lepas , sangat mudah tertekan, mempunyai
indeks konsistensi yang tidak sesuai, mempunyai permeabillitas yang tinggi, atau mempunyai
sifat lain yang tidak diinginkan maka tanah tersebut harus distabilisasikan. Stabilisasi dapat
terdiri dari salah satu tindakan berikut :
1. Menambahkan kerapatan tanah.
2. Menambahkan material baru untuk menyebabkan perubahan – perubahan kimiawi dan
fisis dari material tanah lama.
3. Merendahkan muka air.
4. Mengganti tanah – tanah yang buruk.
Adapun metode – metode stabilisasi tanah yang dikenal adalah sebagai berikut :
1. Stabilisasi Tanah Mekanis
Stabilisasi tanah secara mekanis adalah penambahan kekuatan atau daya dukung tanah
dengan cara mengatur gradasi tanahnya. Tujuan stabilisasi ini adalah untuk mendapatkan tanah
yang berdaya dukung baik. Metode ini biasanya digunakan pada tanah berbutir kasar dimana
mempunyai fraksi tanah (lolos saringan no.200) paling besar 25 %. Tanah yang telah berhasil
distabilisasi secara mekanis ini akan memiliki kemampuan tertentu terhadap deformasi oleh
muatan lalu lintas yang bekerja diatasnya. Hal ini disebabkan karena adanya kait mengkait dan
geseran antar butiran tanah serta daya antar butiran tanah oleh bagian halus dan kestabilan akan
tercapai setelah diberi usaha pemadatan yang cukup.
II - 26
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.
Stabillisasi Kimiawi
Stabilisasi tanah secara kimiawi merupakan usaha untuk mendapatkan tanah dasar
yang lebih stabil dengan menggunakan bahan campur (stabilizing agent), metode stabilisasi ini
biasanya digunakan pada tanah berbutir halus. stabilizing agent yang banyak dipergunakan di
antaranya :
1. Kapur (Lime Stone)
2. Semen (Portland Cement)
3. Abu Terbang (Fly Ash)
1.
`
Stabilisasi tanah dengan kapur
Stabilisasi tanah dengan kapur sudah banyak digunakan pada proyek – proyek jalan di
banyak negara. Untuk hasil yang optimum kapur yang digunakan biasanya antara 3 % sampai
dengan 7 %. Thomson (1968) menemukan bahwa dengan kadar kapur 5 % sampai dengan 7 %
akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari kadar kapur 3 %.
2.
Stabilisasi tanah dengan semen
Hasil yang didapat dari stabilisasi tanah dengan semen hampir sama dengan stabilisasi
tanah dengan kapur. Menurut Chen (1988) dengan menambahkan semen pada tanah akan dapat
meningkatkan shrinkage limit dan shear strength.
3.
Stabilisasi tanah dengan fly ash
Fly ash dapat juga dipergunakan sebagai stabilizing agent, karena apabila dicampurkan
dengan tanah akan terjadi reaksi pozzolonic. Pada tanah lunak kapur yang akan dicampur fly ash
dengan perbandingan satu banding dua terbukti dapat meningkatkan daya dukung tanah.
Disamping pengunaan bahan stabilisasi yang disebutkan masih banyak bahan aditif lain
yang dapat digunakan untuk menstabilisasikan tanah.
II - 27
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.8.1 Stabilisasi Kapur
2.8.1.1 Kapur
Istilah kapur mengandung tiga pengertian, yaitu kalsium karbonat (CaCO 3 ) untuk
keperluan pertanian, kalsium hidroksida ( Ca(OH) 2 ) yang terhidrasi atau kapur mati (slake lime),
dan kalsium oksida (CaO) yang disebut kapur hidup atau quick lime.
Menurut ketentuan direktorat penyelidikan masalah tanah dan jalan Departemen Pekerjaan
Umum, kapur yang disarankan untuk stabilisasi tanah adalah kapur kembang (CaO) atau kapur
padam (Ca(OH)2). Dalam penelitian ini digunakan jenis kapur padam (hidrated high-calcium
lime). Kapur padam adalah hasil pemadaman kapur tohor dengan air dan membentuk hidrat.Di
bawah ini diberikan daftar perkiraan jumlah kebutuhan kapur untuk berbagai macam tanah sesuai
dengan tabel dibawah ini :
Tabel 2.11 Jumlah kandungan kapur untuk berbagai macam tanah
Macam tanah (soil type)
Kapur kembang (quicklime)
Kapur padam (Hydrated lime)
Clayed gravel ( GC, GM-GC)
2–3%
2–4%
3–8%
5 – 10 %
3 – 10 %
3–8%
(A-26,A-2-7)
Silty clays (CL)
(A-6, A-7-6)
Clays (CH)
(A-6, A-7-6)
Sebagai bahan stabilisasi biasanya digunakan kapur mati (slake lime) atau kalsium
hidroksida ( Ca(OH) 2 ) dan kapur hidup atau kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida (CaO) lebih
efektif pada kasus - kasus tertentu , kapur jenis ini mempunyai kelemahan – kelemahan pada
pelaksanaannya, dapat membuat alat – alat mudah berkarat, mudah bertebarannya serbuk kapur
dan menyebabkan terbakarnya kulit pekerja. Dari beberapa permasalahan stabilisasi maka kapur
II - 28
Bab II. Tinjuan Pustaka
mati (slake lime) sebagai bahan stabilisasi lebih sering digunakan. Sedangkan kalsium karbonat
(CaCO 3 ) kurang efektif sebagai bahan stabilisasi kecuali sebagai bahan pengisi (filler). Proses
stabilisasi tergantung dari keaktifan kimia dan tanah asli membentuk sementasi.
Kapur diperoleh dari hasil pembakaran kalsium karbonat (batu kapur alami) sampai
semua karbondioksida terbakar. Reaksi pembentukan kalsium oksida (quick lime) adalah sebagai
berikut:
CaCO 3 + 4300 cal
CaO + CO 2…………………………………………………………………..… (2-15)
Pada persamaan 2.11, merupakan reaksi proses pembakaran kapur menjadi kalsium
oksida. Proses tersebut pada dasarnya emdometris, secara teoritis 4300 kalori panas diperlukan
untuk mengurai 1 mol CaCO3 menjadi kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida dapat dihidrasi
berdasarkan reaksi dibawah ini :
CaO + H2 0
Ca (OH) 2 + 15,3 kkal……………………………………………(2-16)
Proses tersebut sangat sulit jika menggunakan MgO dan terjadi di bawah tekanan. Pada keadaan
normal terjadi reaksi sebagai berikut :
CaO + Mg + H2 O
Ca (OH) 2 + Mg………………………………………..….(2-
17)
Yang diproduksi adalah kapur dolomit monohidrat dan senyawa Ca (OH)2 + Mg (OH)2 yang
terbentuk dibawah tekanan. Dengan demikian kalsium hidroksida sekali lagi di transformasikan
dan reaksinya adalah :
Ca(OH) 2 + H2 CO 3 + 2 H 2 O…………………………..………………………………(218)
Asam karbonat diproduksi dari kandungan karbon dioksida pada tanah dan air bebas.
Kalau tercampur dengan struktur tanah terjadi transformasi dan penggumpalan partikel – partikel
tanah, sehingga membentuk partikel dengan ukuran yang lebih besar. Akibat kejadian ini akan
mengubah batas – batas Atterberg dan sifat pemadatan ( lashari,2000).
II - 29
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.8.1.2 Interaksi dan Sifat – Sifat Campuran Tanah Kapur
Mencampur tanah dengan kapur berarti merupakan suatu stabilisasi kimia dengan bahan
tambahan dalam bentuk kalsium oksida atau kalsium hidroksida dengan suatu proses pemadatan
dan kandungan air tertentu. Akibat ditambahkan kalsium maka akan mereduksi plastisitas tanah,
meningkatkan daya dukung dan kekuatan tanah, mengurangi penyerapan air dan volume
pengembangan (swelling potential) yang diakibatkan oleh air. Berdasarkan proses yang telah
diuraikan, maka kapur akan mempengaruhi sifat – sifat fisis dan mekanik tanah. Pengaruh sifat
mekanik tanah campur kapur sangat bervariasi tergantung pada : jenis tanah, jenis dan kadar
kapur, masa tunggu perawatan (curring), dan faktor – faktor lain seperti variasi penggunaan air.
Ingels dan Metchalf (1972) menunjukkan nilai indeks plastisitas yang menurun tajam dengan
penambahan kapur. Hal tersebut menyebabkan peningkatan dari batas plastisnya. Pengaruh
penambahan kapur pada tanah akan mempengaruhi berkurangnya perubahan volume serta
spesifik pengembangannya. Salah satu yang penting akibat stabilisasi kapur adalah peningkatan
kekuatan walaupun pengaruh ini juga tergantung hal – hal lain. Terutama kalsium, peningkatan
kekuatan sebagai fungsi dari peningkatan kalsiumnya. Pengaruh ini cukup menarik dengan
memperbandingkan masa perawatannya. Pada masa perawatan yang lama terjadi peningkatan
kekuatan yang relative kecil pada konsentrasi kapur dibawah 2 % dan selama terjadinya proses
hidrasi, kadar air dalam tanah campuran akan berkurang sekitar 32 % dari berat kering kapur.
2.8.2
Proses Kimia Pada Stabilisasi Tanah
2.8.2.1 Stabilisasi tanah dengan kapur
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan kapur adalah sebagai
berikut:
a) Absorbsi air, reaksi eksotermis dan reaksi ekspansif
Bila kapur dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya, akan terjadi reaksi
sebagai berikut:
CaO + H2O
Ca(OH)2 + panas
Bereaksinya antara air dengan kapur akan menimbulkan panas dan pada saat
II - 30
Bab II. Tinjuan Pustaka
bersamaan, volume kapur menjadi lebih besar dari pada volume asalnya sehingga
menyebabkan turunnya kandungan air di dalam tanah.
b) Reaksi pertukaran ion
Butiran lempung dalam kandungan tanah berbentuk halus dan bermuatan negatif.
Ion positif seperti ion hidrogen (H+), ion sodium (Na+), ion kalsium (K+),
serta air yang berpolarisasi, semuanya melekat pada permukaan butiran lempung.
Jika kapur ditambahkan pada tanah dengan kondisi seperti di atas, maka
pertukaran ion segera terjadi, dan ion sodium yang berasal dari larutan kapur
diserap oleh permukaan butiran lempung. Jadi, permukaan butiran lempung tadi
kehilangan kekuatan tolaknya (repulsion
force),
dan terjadilah kohesi pada
butiran itu sehingga berakibat kenaikan kekuatan konsistensi tanah tersebut.
c) Reaksi pozolan
Reaksi antara silika (SiO2) dan alumina (AL2O3) halus yang terkandung dalam
tanah lempun g dengan kandungan mineral reaktif, sehingga dapat bereaksi
dengan kapur dan air. Hasil reaksi adalah terbentuknya kalsium silikat hidrat
seperti: tobermorit, kalsium aluminat hidrat 4CaO.Al2O3.12H2O dan gehlenit
hidrat 2CaO.Al2O3.SiO2.6H2O yang tidak larut dalam air. Pembentukan senyawasenyawa ini berlangsung lambat dan menyebabkan tanah menjadi lebih keras, lebih
padat dan lebih stabil.
Proses kimia stabilisasi tanah dengan kapur sangat tergantung pada sifat reaktif
mineral lempung yang dikandungnya. Tanah dengan kandungan mineral lempung, terutama
yang sifat reaktifnya rendah (SNI 03-6796-2002), tidak dianjurkan menggunakan kapur
sebagai bahan stabilisasi.
II - 31
Bab II. Tinjuan Pustaka
2.9 Penelitian Yang Pernah Dilakukan Sebelumnya
2.9.1 Stabilisasi Tanah dengan Kapur
1. Ingles and metacalf (1972) meneliti tentang stabilitas kapur pada tanah lempung
berlanau, dengan kapur hidrasi (Ca(OH) 2 ) pada temperature 25o C, menunjukkan bahwa
peningkatan prosentase kapur seiring dengan peningkatan kekuatan tekan dengan alat
UCS (Unconfined Compressive Strength) sampai kurang lebih pada campuran dengan
prosentase kapur 7 %, selanjutnya pada campuran kapur > 7% peningkatan UCS relatif
kecil.
2. Idrus (1991) meneliti stabilisasi tanah dengan kapur pada tanah Losari Bandung. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kuat tekan meningkat dengan pertambahan prosentase
kapur seiring dengan peningkatan masa perawatan.
3. Syahirman Suriadi (2000), meneliti stabilitas tanah lempung di Kabupaten Bantul Daerah
Istimewah Yoyakarta dengan memakai kadar kapur 4% dan garam 0%,1%,2%,2,5% dan
3% dengan masa perawatan 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan
kadar garam dapat meningkatkan berat jenis, batas plastis, batas susut, serta menurunkan
batas cair dan indeks plastisitas.
4. Lashari (2000), meneliti stabilisasi tanah lempung di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah
dengan menggunakan kadar kapur 0%, 2,5%, 5%, dan 7% serta bubuk bata merah dengan
prosentase 0%, 5%, 10%, dan 15%. Masa pemeraman 0 hari, 2 hari, 7 hari, dan 14 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan stabilisasi tanah lempung seiring
dengan peningkatan prosentase kapur dan bubuk bata merah dapat memperaiki sifat fisik
dan mekanik tanah serta menurunkan volume pengembangan setelah melewati masa
pemeraman 2 hari.
II - 32
Download