BBP4BKP

advertisement
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Rekomendasi Teknologi Kelautan Perikanan
DITERBITKAN OLEH
Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Tahun 2013
Rekomendasi Teknologi
Kelautan Perikanan 2013
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Rekomendasi Teknologi
Kelautan dan Perikanan
2013
i
JUDUL BUKU
Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan
KATALOG DALAM TERBITAN
ISBN 978-979-3692-49-4
KONSEP BUKU
Tim Komisi Litbang
EDITOR
Fatuchri Sukadi
Iin Siti Djunaidah
Subhat Nurkhakim
Ketut Sugama
Endang Sri Heruwati
Mulia Purba
Aryo Hanggono







KONTRIBUTOR
Direktorat Kesehatan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Balitbang KP
Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang KP
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP, Balitbang KP
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Balitbang KP
Balai Budidaya Air Payau, Ditjen Perikanan Budidaya
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Balitbang KP
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, Balitbang KP
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Balitbang KP
Balai Penelitian dan Pemuliaan Ikan, Balitbang KP
Balai Penelitian Observasi Laut, Balitbang KP
Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut, Balitbang KP
Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang KP













Hak Cipta buku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan
DITERBITKAN OLEH
Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Tahun 2013
ii
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
SAMBUTAN
Dengan memanjatkan Puji Syukur kepada Allah SWT, saya
menyambut dengan rasa senang dan mengucapkan selamat
atas
terbitnya
buku
tentang
“Rekomendasi
Teknologi
Kelautan dan Perikanan 2013”. Saya kira masyarakat dan
khususnya para penyuluhpun telah lama menunggu terbitnya
buku semacam ini. Para penyuluh membutuhkannya karena
telah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan.
Dalam persaingan global, masyarakat kelautan dan perikanan Indonesia sangat
haus akan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan inovasi yang mampu membantu
usahanya dalam peningkatan produksi dan produktivitas dengan efisiensi dan
efektifitas
yang
tinggi.
Harapannya
adalah
tersedia
teknologi
yang
telah
direkomendasikan dapat membantu dalam mewujudkan peningkatan pendapatan
da n kesejahteraan para pelaku usaha.
Selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang bertanggung jawab atas keberhasilan
program pembangunan kelautan dan perikanan, mengharapkan agar teknologi yang
direkomendasikan sebagaimana terangkum dalam buku ini dapat disebarluaskan
oleh
para
penyuluh
kepada
Masyarakat
Kelautan
dan
Perikanan
untuk
melaksanakan kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan dengan konsep
Bl ue Economy. Kebijakan tersebut tidak lain adalah untuk meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan, dengan pengembangan
berbagai
inovasi
yang
berorientasi
pada
pelestarian
sumber
daya
untuk
memberikan manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan.
Ke depan masyarakat Indonesia masih banyak membutuhkan ilmu pengetahuan dan
iii
teknologi terkini dan akan terus menunggu banyak lagi inovasi hasil karya bangsa
sendiri terutama untuk peningkatan daya saing produk di pasar nasional dan
internasional.
Besar harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan secara luas oleh seluruh
masyarakat.
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Syarif C. Sutardjo
iv
KATAPENGANTAR
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KELAUTAN DAN PERIKANAN
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, dengan rasa
senang dan bercampur bangga Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) mempersembahkan buku
“Rekomendasi Teknologi Kelautan Perikanan 2013”. Buku ini untuk
pertama kalinya disusun dan diterbitkan oleh Balitbang KP yang
didedikasikan untuk mendukung program pembangunan kelautan dan
perikanan yang berkelanjutan yang melalui Industrialisasi, dan
sekaligus menindaklanjuti amanat dalam UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Dalam Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, diharapkan teknologi dan inovasi yang ada dalam
buku ini memberikan dampak yang luas pada pengembangan dan pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan, baik keberlanjutannya maupun peningkatan nilai tambah dan daya saing,
yang pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan di
Indonesia. Kami menyadari, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan di sektor
kelautan dan perikanan, baik aspek pengolahan sumberdaya, kehidupan nelayan, pembudidaya,
pengolah dan pemasar produk perikanan, maupun sumbangan sektor kelautan dan perikanan
dalam pembangunan nasional yang masih perlu ditingkatkan. Untuk tujuan itulah, seluruh peneliti
dan perekayasa di bidang kelautan dan perikanan dipacu untuk terus berkarya menghasilkan
inovasi dan teknologi yang tepat guna dan adaptif lokasi, mengingat bahwa bervariasinya tingkat
pendidikan, sosial, ekonomi dan kemampuan dalam penyerapan teknologi di setiap wilayah
Indonesia.
UU Nomor 16 Tahun 2006 menyatakan secara tegas pada pasal 28 ayat (1), bahwa materi
penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan
pelaku usaha harus mendapatkan rekomendasi. Oleh karena itu, Balitbang KP mengambil inisiatif
untuk menjawab amanat tersebut melalui Komisi Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan yang anggotanya terdiri dari Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, Pejabat dari Unit
Kerja Eselon I lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perwakilan dari beberapa
kementerian/lembaga pemerintah, perguruan tinggi, pakar dan pelaku usaha. Disamping itu, juga
dimaksdukan sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam memperbaiki teknologi bahan
penyuluhan yang ada saat ini.
v
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Komisi dan Subkomisi Litbang, Para
Editor dan tentunya para kontributor materi yang telah dengan sabar mengikuti dan melewati
seleksi dan presentasi, khususnya para Peneliti dan Perekayasa dari Satker lingkup Balitbang KP,
serta Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) yaitu Balai Budidaya Air Payau – Takalar.
Penerbitan buku ini merupakan langkah permulaan yang tentunya akan dilanjutkan dengan
penerbitan teknologi baru lainnya di tahun-tahun berikutnya. Untuk pertama kalinya teknologi
yang masuk dalam buku ini merupakan hasil seleksi dari pengembangan teknologi yang dilakukan
hanya oleh Unit Kerja lingkup KKP. Itupun belum seluruhnya dapat diseleksi dan dimasukkan
dalam buku ini, oleh karena itu kedepan akan diterbitkan buku-buku lain untuk seri rekomendasi
teknologi kelautan dan perikanan. Bahkan dalam penerbitan berikutnya, diharapkan tidak hanya
berisi pengembangan/inovasi teknologi yang dihasilkan oleh unit kerja di lingkup KKP, tetapi juga
oleh para peneliti dan perekayasa diluar KKP yaitu; perguruan tinggi, masyarakat, swasta dan
lainnya.
Dengan diterbitkannya buku ini, diharapkan akan mendorong upaya memasyarakatkan inovasi
dan teknologi anak bangsa sendiri untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi-efektifitas usaha
masyarakat baik melalui penyuluhan, diseminasi maupun dengan cara lainnya, dan diharapkan
dapat meningkatkan kemudahan akses masyarakat terhadap hasil litbang Iptek maupun inovasi
yang dihasilkan dari dalam negeri.
Semoga bermanfaat.
Plt. Kepala Balitbang KP
DR. Achmad Poernomo, M.App.Sc
vi
KATAPENGANTAR
Komisi Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Komisi Litbang KP) telah
berusaha keras untuk menerbitkan buku rekomendasi teknologi yang berasal dari institusi Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) serta institusi lainnya di
lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan rasa syukur ke hadirat Illahi pada
akhirnya terkumpul 36 Rekomendasi Teknologi. Sangat disadari bahwa rekomendasi teknologi ini
dituntut oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan, sehingga buku ini diharapkan dapat berguna untuk dijadikan bahan
materi penyuluhan. Walaupun demikian, rekomendasi teknologi ini tidak semata-mata ditujukan
untuk materi penyuluhan karena ada teknologi yang sangat berguna bagi institusi pengelola
maupun litbang untuk digunakan lebih lanjut dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Rekomendasi teknologi perikanan budidaya terkumpul paling banyak dalam buku ini dan terdiri
dari teknologi yang sangat menunjang program industrialisasi perikanan seperti yang terkait
dengan budidaya udang, bandeng dan rumput laut. Teknologi penerapan vaksin dan probiotik
dalam budidaya adalah contoh yang sangat direkomendasikan pada pengembangan industri
budidaya. Selain itu, teknologi perbenihan komoditas prospektif seperti abalon diangkat untuk
disebarluaskan kepada masyarakat. Teknologi yang bertujuan untuk penghematan penggunaan
air diangkat seperti teknologi resirkulasi perbenihan dan teknologi akuafonik.
Perikanan berbasis akuakultur atau Culture based Fisheries (CBF) sangat dianjurkan untuk
diterapkan di perairan umum dengan didukung oleh penerapan co-management. Teknologi ini
diangkat untuk direkomendasikan dengan mengemukakan contoh keberhasilan penebaran ikan
patin di waduk Wonogiri.
Dalam bidang pasca panen, untuk menjamin keamanan produk perikanan yang dipasarkan,
diperlukan alat yang sederhana tetapi bisa secara tepat menentukan ada tidaknya kandungan
formalin atau boraks dalam produk perikanan. Untuk itu kit Antilin dan Antitrax direkomendasikan
untuk dikembangkan penggunaannya secara luas ke masyarakat terutama pengawas keamanan
pangan. Teknologi kelautan telah memberikan beberapa teknologi untuk pengumpulan data dan
vii
informasi serta teknologi untuk melindungi pantai dari abrasi dengan teknologi geotekstil,
demikian pula teknologi bioreeftek untuk rehabilitasi terumbu karang.
Semoga rekomendasi teknologi ini berguna bagi masyarakat terutama institusi yang menangani
penyuluhan dengan menjadikan rekomendasi ini sebagai materi penyuluhan.
Komisi Litbang KP mengucapkan terima kasih kepada para evaluator dan anggota sekretariat
Komisi Litbang KP atas dukungan dan kerja kerasnya, juga terima kasih kepada berbagai institusi
di KKP atas masukan bahan teknologi, semoga teknologi yang terbaik senantiasa dihasilkan bagi
penerbitan Rekomendasi Teknologi.
Jakarta, Agustus 2013
Redaksi,
viii
DAFTARISI
SAMBUTAN

Menteri Kelautan Republik Indonesia
iii
KATA PENGANTAR


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan
Redaksi
DAFTAR ISI
v
vii
ix
Perikanan Tangkap


Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis)
Culture Based Fisheries (CBF) Ikan Patin Siam
(Pangasianodon hypophthalmus)
2
11
Perikanan Budidaya









Teknologi Pendederan Ikan Patin Pasupati
Teknologi Produksi Massal Larva Ikan Patin Pasupati
Peningkatan Produksi Udang Windu di Tambak Tradisional
Plus dengan Aplikasi Probiotik RICA
Teknologi Sistem Resirkulasi Untuk Pemeliharaan IndukUdang
Vannamei ( litopenaeus Vannamei )
Perakitan Alat Radiasi UV untuk Menekan Bakteri Pathogen
dalam Perikanan Budidaya
Teknologi pembenihan ikan hias laut ikan klown ( Amphiprion
percula )
Pendederan Kerapu Tikus Sistem Resirkulasi Skala Rumah
Tangga
Polikultur Rumput Laut Lawi-lawi (Caulerpa, sp ) dengan
Rajungan ( Portunus pelagicus Linn) di Tambak
Teknologi Budidaya Sponge ( Haliclona sp dan Callispongia
sp ) pada Rakit Apung di Laut
ix
19
26
33
44
51
58
66
82
94









Pembenihan Rajungan ( Portunus pelagicus )
Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia ( Chromobotia
macracanthus bleeker) di Lingkungan Terkontrol
Teknologi Perbenihan Abalon ( Haliotis squamata )
Produksi Bibit Unggul Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Penggunaan Vaksin HydroVac dan StreptoVac untuk
Pencegahan Penyakit Potensial pada Ikan Air Tawar
Teknologi Budidaya Ikan Air Tawar Sistem Akuaponik
Budidaya Rumput Laut dengan Kantong Rumput Laut (KRL)
Berkarbon
Budidaya Rumput Laut Gracilaria verucossa Menggunakan Bibit
Hasil Kultur Jaringan
Budidaya Ikan Nila Srikandi di Tambak
106
131
151
160
176
188
200
206
214
Pasca Panen












Alginat sebagai Bahan Pasta Pengental pada Pencapan
Tekstil
Pengolahan Pindang Ikan Air Tawar
Cetyl-pyridinium Chloride (CPC) sebagai Alternatif Pengganti
Klorin untuk Antimikroba pada Penanganan Udang di Unit
Pengolah Ikan (UPI)
Bubuk Kalsium dari Tulang Ikan
Refined Carrageenan (RC) Kualitas Food Grade dari
Euchema cottonii
Semi Refined Carrageenan (SRC) dari Euchema cottonii
Penyamakan Kulit Ikan
Pengulitan dan Pengawetan Kulit Ikan
Test Kit Histakit untuk Menguji Kandungan Histamin pada
Produk Perikanan
Pengawetan Ikan menggunakan Biji Picung Beku
Test Kit Antirax untuk Menguji Residu Boraks pada Produk
Perikanan
Test Kit Antilin untuk Uji Residu Formalin pada Produk
Perikanan
224
228
233
239
246
252
265
275
283
289
294
298
Teknologi Kelautan




Teknologi BIOREEFTEK
Teknologi Wahana Observasi Bawah Air Mini ROV
Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Perlindungan Pantai dengan Pemecah Gelombang Karung
x
Geotekstil Memanjang (KGM)
304
312
322
334
rekomendasi
teknologi
perikanantangkap
1
1
P4KSI
Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis)
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan
Alamat
Gedung Balitbang KP
Jl. Pasir Putih, Ancol Timur
Jakarta Utara
Kategori Teknologi
Perikanan Tangkap
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2002-2013
Tim Penemu
Endi Setiadi Kartamihardja,
Ahmad S. Sarnita (Alm)
Kunto Purnomo
Kontak Person
Endi Setiadi Kartamihardja,
[email protected]
2
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) adalah jenis ikan endemik yang hanya terdapat
di Danau Singkarak, Sumatera Barat. Di Danau Singkarak, ikan ini menjadi andalan nelayan
sehingga usaha penangkapannya sangat intensif dengan menggunakan alat tangkap “alahan”
pada aliran sungai dengan target tangkapan induk ikan bilih yang akan memijah. Akibatnya hasil
tangkapan ikan bilih menurun tajam dan ukuran ikan yang tertangkap juga semakin kecil. Sebelum
tahun 2000, ikan bilih dari Danau Singkarak diekspor ke Negara tetangga seperti Malaysia dan
Singapura, akan tetapi dengan menurunnya hasil tangkapan, ekspor ikan bilih tidak bisa berlanjut.
Untuk menyelamatkan
populasi ikan bilih di Danau
Singkarak yang sudah
mulai menurun, telah
dilakukan introduksi ikan
bilih di Danau Toba dimana
hasil tangkapan ikan nya
masih rendah dibanding
potensi produksinya yang
cukup tinggi. . Disamping
itu, introduksi ikan bilih juga
dilakukan untuk
menggantikan keberadaan
ikan pora-pora (Puntius
binotatus) yang langka di
Danau Toba dan sejak
tahun 1995 jenis ikan
tersebut tidak pernah
tertangkap lagi.
Gambar 1. Peta Danau Toba, kawasan pemijahan ikan Bilih
Pengertian - Definisi
Introduksi ikan (fish introduction) adalah kegiatan penebaran ikan dari luar ke suatu badan air
dimana ikan yang ditebarkan tersebut bukan merupakan ikan asli di badan air yang bersangkutan.
3
Ikan yang ditebarkan
diharapkan dapat
memanfaatkan habitat dan
makanan alami yang tersedia
serta dapat memijah secara
alami di perairan tersebut.
Introduksi ikan harus
dilakukan dengan
pendekatan kehati-hatian
(precautionary approach) agar
ikan yang diintroduksikan
aman dan tidak berdampak
negatif terhadap populasi ikan
Gambar 2. Perbedaan Ikan Bilih, Wader dan Pora-pora
asli. Untuk menghindari
kerancuan dengan
Restocking, perdefinisi Restocking adalah penebaran ikan ke suatu badan air dimana ikan yang
ditebarkan telah ada sebelumnya (merupakan ikan asli) di perairan tersebut. Restocking biasanya
dilakukan untuk menambah populasi ikan asli yang menurun atau langka yang hidup di perairan
tersebut.
Rincian dan Aplikasi Teknis
1. Persaratan Teknis Penerapan Teknologi introduksi ikan bilih sebagai berikut:
(1) Badan air yang akan digunakan untuk penerapan teknologi introduksi ikan bilih harus
memiliki: kualitas air yang baik untuk kehidupan ikan bilih; air relatif jernih, suhu air rendah
(berkisar antara 26-28oC); terdapat sungai yang masuk danau dengan karakteristik
sebagai habitat pemijahan, yaitu: berair jernih, dasar berpasir atau kerikil, arus air antara
40-60 cm/detik, kedalaman air 20-40 cm, suhu air berkisar antara 26,0-28,0oC; sumber
daya makanan alami yang berupa plankton dan detritus tinggi dan belum optimal
dimanfaatkan oleh ikan asli.
(2) Ikan bilih yang akan ditebarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: bebas dari
hama dan penyakit; memiliki nilai ekonomis; disukai masyarakat sekitar; dapat
memanfaatkan sumber daya makanan alami yang tersedia; dapat
memijah/berreproduksi secara alami; dan tidak bersifat invasif (tidak berdampak negatif)
terhadap jenis ikan asli.
(3) Hasil tangkapan ikan di badan air yang akan ditebari masih rendah jauh di bawah potensi
produksi ikan lestarinya.
(4) Kelompok nelayan sebagai unsur pengelola perikanan utama sudah ada atau mudah
dibentuk; berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan perikanan.
2. Uraian lengkap dan rinci Prosedur Operasional Standar (POS), penerapan teknologi introduksi
ikan bilih adalah sebagai berikut:
(1) Identifikasi potensi badan air yang meliputi: kualitas air; jenis dan kelimpahan sumber
4
daya makanan alami; komposisi jenis ikan asli; estimasi potensi produksi ikan; terdapat
sungai yang bermuara ke danau yang sesuai sebagai kawasan pemijahan ikan bilih.
(2) Identifikasi sifat biologi ikan bilih yang meliputi: siklus hidup, reproduksi, makanan dan
kebiasaan makan dan distribusinya. Ikan bilih yang akan diintroduksi sebaiknya
ditangkap dari habitat aslinya, Danau Singkarak.
(3) Identifikasi kegiatan perikanan yang meliputi: jumlah nelayan; jenis dan jumlah alat
tangkap, jenis, komposisi dan jumlah hasil tangkapan ikan.
(4) Identifikasi masyarakat sekitar badan air: jumlah atau ketersediaan kelompok nelayan;
kelompok pengawas; kelompok usaha perikanan lainnya.
(5) Identifikasi biaya yang diperlukan untuk kegiatan introduksi ikan dan peluang
keberhasilannya.
(6) Pelaksanaan penebaran ikan bilih yang berukuran 5 – 12 cm termasuk transportasi hidup
benih.
(7) Monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dilakukan pada perencanaan, selama dan
setelah penerapan teknologi introduksi, dan dari hasil monitoring dilakukan evaluasi
untuk mengkaji keberhasilan ataupun kegagalan penerapan teknologinya.
3. Uraian dan jumlah kaji
terap yang sudah
dilakukan di beberapa
daerah
Teknologi introduksi ikan
bilih yang didasarkan atas
hasil penelitian dan
pengkajian belum pernah
diterapkan di badan air
lainnya. Namun
berdasarkan informasi dari
beberapa Dinas Perikanan,
Gambar 3. Siklus hidup ikan Bilih
introduksi ikan bilih secara
“trial and error” telah
dilakukan di beberapa
badan air dan tidak menunjukkan hasil. Introduksi ikan bilih ini gagal karena persyaratan badan air
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak sesuai. Hasil penelitian dan pengkajian introduksi ikan
bilih di Danau Toba yang dilakukan pada tahun 2002 – 2003 dijadikan dasar dalam implementasi
introduksi ikan bilih di Danau Toba. Hasil introduksi ikan bilih di Danau Toba telah memberi manfaat
ekonomi, sosial dan lingkungan yang besar bagi masyarakat sekitar Danau Toba dan masyarakat
Sumatera Barat yang melakukan usaha pemasaran dan pengolahan ikan bilih. Pada tahun 2010
IPTEKMAS introduksi ikan bilih di Danau Toba telah dilaksanakan sebagai langkah nyata
desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat yang membutuhkan.
5
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Uraian tentang teknologi yang baru
atau modifikasi
Teknologi introduksi ikan bilih ke Danau Toba
merupakan teknologi yang telah dimodifikasi
disesuaikan dengan karakteristik perairan
dan karakteristik biologi dari ikan bilih di
habitat aslinya Danau Singkarak.
Gambar 4. Prototipe Alat tangkap yang digunakan
untuk koleksi ikan Bilih hidup yang akan
diintroduksi ke Danau Toba
Keberhasilan teknologi introduksi
ikan bilih dengan teknologi yang
sudah ada
Teknologi introduksi ikan adalah teknologi yang telah lama diterapkan di perairan danau dan
waduk Indonesia. Sebagai contoh introduksi ikan mujair (Oreochromis mossambicus) di Danau
Toba telah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda. Introduksi ikan mujair di Danau Toba gagal
karena ikan mujair memerlukan daerah littoral untuk pemijahannya sedangkan Danau Toba
merupakan danau dalam (590 m), berpantai curam sehingga memiliki daerah littoral yang sempit.
Disamping itu, kelimpahan sumber daya makanan yang tersedia rendah. Ikan mujair malahan
disinyalir berdampak negatif terhadap punahnya populasi ihan batak (Neolissochillus
thienemanni) dengan cara memakan telurnya. Penerapan teknologi introduksi ikan bilih di Danau
Toba merupakan teknologi yang unggul dengan alasan sebagai berikut: (1) sangat efisien, karena
ikan bilih tumbuh hanya dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia dan sisa pakan yang
terbuang dari budidaya ikan dalam KJA, ikan bilih dapat mengisi daerah pelagis danau yang
selama ini belum terisi ikan, terdistribusi di seluruh perairan danau dan dapat berkembang biak
secara alami di sungai-sungai yang masuk danau; (2) ekonomis: pada kasus di Danau Toba
menunjukan produksi ikan bilih mencapai 45.000 ton pada tahun 2012 atau senilai 225 milyar
rupiah (bandingkan dengan produksi ikan lemuru di Selat Bali yang hanya mencapai 25.000
ton/tahun); produksi ikan bilih yang tinggi telah berdampak terhadap peningkatan pendapatan
nelayan; mudah dipasarkan karena pembeli (pedagang pengumpul terutama dari Sumatera Barat)
datang sendiri ke tempat produksi; dan ikan bilih menjadi komoditas unggulan masyarakat nelayan
setempat; (3) layak: teknologi introduksi ikan bilih layak untuk dikembangkan di perairan danau
dengan karakteristik yang sejenis.
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan
Teknologi introduksi ikan bilih sangat mudah diterapkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
danau karena sangat sederhana dan praktis. Masyarakat nelayan sebagai ujung tombak
pelaksana pengelolaan cukup diarahkan untuk memahami persyaratan teknis penerapan
teknologi introduksi ikan bilih dan bagaimana melakukan pengelolaan dan monitoring serta
evaluasinya. Keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan bilih akan berhasil jika masyarakat
nelayan sudah membentuk kelompok sehingga semua peraturan yang dibuat dapat dipatuhi dan
dilaksanakan.
6
Ramah lingkungan
Teknologi introduksi ikan bilih ke danau Toba sangat ramah lingkungan karena ikan bilih tumbuh
dengan memanfaatkan sumber daya makanan alami (plankton, mikrobenthos dan detritus) yang
tersedia dan ikan bilih juga memanfaatkan sisa makanan dan kotoran ikan yang berupa limbah dari
budidaya ikan dalam KJA yang jika tidak dimakan ikan bilih akan mencemari danau. Ikan bilih
sebagai ikan asing di Danau Toba tidak bersifat invasif terhadap ikan asli malahan menggantikan
peran ikan Pora-pora yang sejak tahun 1990-an sudah tidak tertangkap lagi.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Gambaran lokasi dan waktu penelitian, pengkajian, dan pengembangan
Penelitian dilaksanakan di Danau Toba yang merupakan danau terbesar di Indonesia dengan luas
112.000 ha dan kedalaman maksimum 590 m. Danau berlereng curam kecuali di pantai Samosir
bagian Timur sehingga sebagian besar danau berupa daerah pelagis dan hanya sebagian kecil
berupa daerah littoral. Sungai yang bermuara ke Danau Toba ada 149 buah dan sebanyak 79 buah
tidak pernah kering. Danau berair jenih dengan kecerahan air lebih dari 12 m dengan kandungan
oksigen terlarut yang tinggi dan suhu air antara 27-28oC. Sebelum tahun 1995, Danau Toba
termasuk perairan dengan tingkat kesuburan rendah (oligotrofik) dan kini kesuburannya
meningkat menjadi perairan dengan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik). Karakteristik
limnologis Danau Toba tersebut serupa dengan karakteristik limnologis Danau Singkarak sebagai
habitat asli ikan bilih. Malahan perairan Danau Toba mempunyai keunggulan tersendiri karena
jumlah sungai yang masuk danau hampir 30 kali lipat dari jumlah sungai yang masuk Danau
Singkarak. Sungai-sungai ini umumnya berair jernih, berdasar pasir dan atau kerikil sehingga
sangat sesuai sebagai daerah pemijahan ikan bilih. Populasi ikan asli umumnya sudah menurun
atau langka dan menuju kepunahan seperti ihan batak yang digunakan sebagai ikan adat dan
pora-pora. Ikan introduksi terdiri dari ikan mujair, betutu, nilem, sepat, dan nila, ikan-ikan introduksi
tersebut umumnya tidak berkembang dengan baik karena habitatnya tidak sesuai.
Kegiatan penelitian, pengkajian, dan penerapan teknologi introduksi ikan bilih dapat dibagi
menjadi beberapa periode sebagai berikut:
(1) Tahun 2000-2002, penelitian tentang karakteristik limnologis danau Toba dan danau
Singkarak, aspek biologi ikan bilih (siklus hidup, makanan dan kebiasaan makan, biologi
reproduksi dan pertumbuhan) di habitat aslinya danau Singkarak serta aspek perikanan tangkap
ikan bilih di danau Singkarak. Bersamaan dengan itu juga dipelajari aspek biologi komunitas ikan
di Danau Toba. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karakteristik limnologi Danau Singkarak
serupa dengan Danau Toba
(2) Tahun 2003-2005, perancangan cara penangkapan dan transportasi hidup benih ikan bilih,
pelaksanaan penebaran ikan bilih di Danau Toba, yang dilanjutkan dengan monitoring
perkembangan ikan bilih yang diintroduksikan dan aspek biologinya. Hasil pengkajian
menyimpulkan bahwa ikan bilih dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik, distribusinya
mengisi seluruh perairan danau dan kawasan pemijahannya tersebar di hampir semua sungai yang
masuk danauSejak tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mulai nampak dan berdasarkan hasil
pencatatan enumerator di beberapa tempat penangkapan nelayan tercatat sebesar 635,9 kg atau
senilai 3,89 milyar rupiah.
7
(3) Tahun 20010-2013, penerapan
IPTEK pengelolaan dan konservasi
ikan bilih melalui kegiatan
IPTEKMAS (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi untuk Masyarakat).
Kegiatan IPTEKMAS ini ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat
nelayan dalam rangka optimasi
pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya ikan bilih serta upaya
konservasinya. Melalui kegiatan
I PTE KMAS juga dilakukan
pemberdayaan masyarakat dalam
pengolahan produk dan pemasaran
ikan bilih. Pada tahun terakhir
(2013), sedang disusun “Naskah
A
k a d e m i k Pe n g e l o l a a n d a n
Gambar 5. Penjualan Hasil Tangkapan Ikan Bilih di salah satu
Pendaratan Ikan di Danau Toba
Konservasi Sumber Daya Ikan di
D a n a u To b a ” s e b a g a i b a h a n
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara yang akan disampaikan ke Gubernur
Sumatera Utara.
Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi introduksi
Pada prinsipnya, introduksi ikan ke suatu badan air harus dilakukan dengan pendekatan kehatihatian (precautionary approach) karena keberadaan ikan asing di suatu perairan dapat berdampak
negatif terhadap keanekaragaman ikan asli dan lingkungan. Oleh karena itu, sebelum introduksi
ikan dilakukan harus dilakukan kajian yang mendalam terlebih dahulu baik aspek biologi ikan
introduksi dan habitat aslinya maupun biologi komunitas ikan dan habitatnya di perairan yang akan
ditebari. Introduksi ikan bilih dapat dilakukan di beberapa perairan danau yang mempunyai
karakteristik serupa dengan danau Singkarak dan di danau tersebut tidak terdapat ikan asli yang
endemik atau langka yang akan bersaing dengan ikan bilih. Beberapa danau yang dapat
diintroduksi ikan bilih antara lain: Danau Dibawah dan Diatas (Sumatera Barat), Danau Ranau
(Sumatera Selatan dan Lampung), dan Danau Kerinci (Jambi).
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Penerapan teknologi introduksi ikan bilih dapat berdampak negatif terhadap penurunan
keanekaragaman ikan asli jika ikan bilih berkompetisi dan mendesak populasi ikan asli. Apalagi jika
di badan air yang bersangkutan terdapat jenis ikan endemik atau jenis ikan langka yang perlu
dilindungi dan dilestarikan.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Dengan mengambil kasus penebaran ikan bilih di Danau Toba, ikan bilih yang ditebarkan, pada
tanggal 3 Januari 2003 (hanya dilakukan satu kali) sebanyak 2.850 ekor dari 3.500 ekor yang
8
ditangkap dari Danau Singkarak dengan ukuran panjang total antara 5-6 cm dan berat antara 0,91,5 gram per ekor atau setara dengan 3,8 kg x 10.000 rupiah/kg = 38.000 rupiah. Biaya
transportasi dan fasilitas jaring penampung sebesar 3 juta rupiah, dan biaya tenaga kerja dan lainlain sehingga total biaya untuk introduksi ikan bilih sebesar 6 juta rupiah.
Hasil tangkapan nelayan mulai terlihat sejak tahun 2005 yang mencapai 653,6 ton atau 14,6%
dari total hasil tangkapan ikan pada tahun yang sama, yakni sebesar 4.462 ton dengan nilai
produksi sebesar 3,9 milyar rupiah. Hasil tangkapan ikan Bilih tersebut berada pada urutan ke tiga
setelah tangkapan ikan mujair dan nila. Pada tahun 2008, hasil tangkapan ikan bilih meningkat
mencapai 13.000 ton atau setara dengan nilai 65 milyar rupiah. Pada tahun 2012 mencapai
45.000 ton atau senilai 225 milyar rupiah. Secara umum, produksi ikan di Danau Toba meningkat
dari rata 15-20 kg/ha/th sebelum introduksi ikan bilih menjadi 350-400 kg/ha/th.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Ikan bilih adalah ikan endemik Danau Singkarak di Sumatera Barat. Demikian pula seluruh
komponen yang digunakan dalam penerapan teknologi introduksi ini adalah komponen dalam
negeri.
Gambar 6. Distribusi Ukuran Ikan Bilih yang Ditebar dan Makanannya
Gambar 7. Distribusi panjang Ikan
Bilih yang tertangkap di Danau
Toba dan Danau Singkarak
Gambar 9. Sungai yang masuk Danau Toba
sebagai Kawasan Suaka Ikan Bilih
Gambar 8. Perkembangan Produksi Tangkapan Ikan Bilih
9
Gambar 10. Bagan (Alat tangkap utama) ikan bilih
Gambar 11. Alat tangkap Gill Net
Gambar 12. Narasumber dalam Diseminasi IPTEK
Pengelolaan dan Konservasi Ikan Bilih
Gambar 13. Peserta Diseminasi IPTEK Pengelolaan
dan Konservasi Sumber Daya Ikan Bilih
10
P4KSI
Culture Based Fisheries (CBF)
Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus)
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan
Alamat
Gedung Balitbang KP
Jl. Pasir Putih, Ancol Timur
Jakarta Utara
Kategori Teknologi
Perikanan Tangkap
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
1999-2013
Tim Penemu
Endi Setiadi Kartamihardja
Kunto Purnomo
Chairulwan Umar
Sonny Koeshendrajana
Nurul Istiqomah
Kontak Person
Endi Setiadi Kartamihardja,
[email protected]
Nurul Istiqomah
[email protected]
11
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) adalah ikan ekonomis penting di perairan tawar
yang dapat dijadikan komoditas pangan baik untuk keperluan domestik maupun ekspor. Pulau
Jawa memiliki perairan waduk sekitar 90 persen dari luas total waduk di Indonesia. Populasi ikan
asli di perairan waduk yang berasal dari sungai yang dibendungnya pada umumnya akan
mengalami penurunan pada beberapa tahun setelah waduk terbentuk karena ikan asli sungai di
habitat mengalir tidak dapat beradaptasi dengan habitat baru yang berupa perairan tergenang
(waduk). Salah satu jenis ikan asli yang hilang dari Waduk Gajahmungkur adalah ikan patin jambal
(Pangasius djambal) karena jalur ruaya ikan ini ke habitat pemijahannya terputus oleh
pembendungan sungai Bengawan Solo. Oleh karena itu, peningkatan produksi ikan di waduk
dapat dilakukan melalui penerapan teknologi Culture Based Fisheries (CBF) yang tepat. Tujuan
penerapan teknologi CBF ikan patin siam ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
produksi ikan di suatu badan air dengan cara memanfaatkan sumber daya makanan alami dan
habitat (niche ecology)
yang masih kosong.
Peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi ikan ini
akan bermanfaat dalam
rangka meningkatkan
pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat
nelayan dan masyarakat
Gambar 1. Ikan Patin Siam
selingkar di badan air
tersebut.
Pengertian - Definisi
Culture Based Fisheries (CBF) atau Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya adalah kegiatan
perikanan tangkap dimana ikan hasil tangkapan berasal dari benih ikan hasil budidaya yang
ditebarkan ke dalam badan air, dan benih ikan yang ditebarkan akan tumbuh dengan
memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Penebaran benih ikan umumnya dilakukan secara
rutin karena ikan hanya tumbuh dan tidak diharapkan berkembang biak. Oleh karena itu,
ketersediaan benih ikan patin siam dari hasil pembenihan merupakan salah satu kunci
12
keberhasilan dalam pengembangan CBF. CBF ikan patin siam di Waduk Gajahmungkur
mempunyai karakteristik tersendiri karena ikan patin yang ditebarkan selain tumbuh pesat dengan
memanfaatkan makanan alami juga dapat berkembang biak di muara Sungai Keduwang dan
Tirtomoyo yang masuk waduk karena menggantikan peran ikan patin jambal yang hilang.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persaratan Teknis Penerapan Teknologi CBF
(1) Badan air yang akan digunakan untuk penerapan CBF ikan patin siam harus
memiliki: kualitas air yang baik untuk kehidupan ikan patin; sumber daya makanan
alami yang berupa plankton, benthos, detritus; potensi produksi ikan yang tinggi
(minimal 200 kg/ha/th); volume air tersedia sepanjang tahun, kedalaman air ratarata minimal 2 meter.
(2) Benih ikan patin siam yang akan ditebarkan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut: kualitas dan kuantitasnya memadai (karena ada pembenih yang
menghasilkan benih patin dengan pertumbuhan lambat, jumlahnya tersedia untuk
penebaran dengan kepadatan antara 100-200 ekor/ha tergantung pada
sumberdaya makanan alami yang tersedia); dapat memanfaatkan sumber daya
makanan alami yang tersedia; dan tidak bersifat invasif (tidak berdampak negatif)
terhadap jenis ikan asli.
(3) Pembenihan ikan patin siam tersedia dengan jarak tempuh yang relatif dekat dengan
badan air yang akan ditebari dan telah berproduksi secara reguler serta
menghasilkan benih dengan kualitas baik bebas dari hama dan penyakit. Jika
pembenihan ikan patin belum tersedia maka perlu dibangun di sekitar lokasi badan
air yang akan ditebari.
(4) Hasil tangkapan ikan di badan air yang akan ditebari masih rendah jauh di bawah
potensi produksi ikan lestarinya; alat tangkap yang digunakan (gill net) untuk
menangkap ikan patin ukuran konsumsi (>500 gram) berukuran mata jaring > 3,5
inci.
(5) Kelompok nelayan sebagai unsur pengelola perikanan utama sudah ada atau mudah
dibentuk; berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan perikanan.
Uraian lengkap dan rinci SOP
Tahapan yang harus dilakukan dalam penerapan teknologi CBF ikan Patin siam adalah sebagai
berikut:
(1) Identifikasi potensi kesesuaian badan air untuk perkembangan ikan patin yang
meliputi: luasan dan volume air serta kedalaman air; kualitas air; jenis dan
kelimpahan sumber daya makanan alami; komposisi jenis ikan asli; estimasi potensi
produksi ikan.
(2) Identifikasi Pembenihan Ikan Patin Siam yang meliputi: jumlah dan kualitas benih
yang dihasilkan; waktu produksi; jarak tempuh ke badan air yang akan ditebari; dan
sarana pendukung lainnya, seperti: alat dan cara pengemasan benih serta alat
transportasinya. Jika pembenihan ikan patin siam belum tersedia dan jarak tempuh
13
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
ke lokasi badan aiar yang akan ditebari sangat jauh maka perlu dibangun
pembenihan ikan patin di sekitar lokasi badan air tersebut.
Identifikasi kegiatan perikanan yang meliputi: jumlah nelayan; jenis dan jumlah alat
tangkap, jenis, komposisi dan jumlah hasil tangkapan ikan.
Identifikasi biaya yang diperlukan untuk kegiatan penebaran ikan patin dan peluang
keberhasilannya.
Identifikasi kelembagaan di mayarakat sekitar badan air: jumlah atau ketersediaan
kelompok nelayan; kelompok pengawas; kelompok usaha perikanan lainnya. Jika
kelompok belum terbentuk perlu diidentifikasi peluang keberhasilan
pembentukkannya.
Perencanaan pengembangan pengelolaan perikanan secara bersama (komanajemen). Pemerintah cq Dinas Perikanan setempat berperan sebagai fasilitator
dan regulator sedangkan kelompok nelayan berperan sebagai pelaksana
pengelolaan perikanan di badan air yang bersangkutan.
Monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dilakukan pada perencanaan, selama
dan setelah penerapan teknologi CBF ikan patin, dan dari hasil monitoring dilakukan
evaluasi untuk mengkaji keberhasilan ataupun kegagalan penerapan teknologinya.
Monitoring hasil tangkapan dilakukan oleh kelompok nelayan sedangkan
evaluasinya dilakukan bersama antara pemerintah dengan kelompok pengelola
perikanan, khususnya kelompok nelayan.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Teknologi CBF ikan patin siam adalah
teknologi yang baru diterapkan di beberapa
perairan waduk (Waduk Ir. H. Djuanda di Jawa
Barat, Waduk Gajahmungkur dan Malahayu
di Jawa Tengah) di Pulau Jawa dengan benar,
berdasarkan pada hasil kajian ilmiah yang
memadai sejak tahun 1999. Pada prinsipnya
penerapan CB F di waduk tersebut
didasarkan pada hasil penelitian mengenai
Gambar 2. Penebaran Benih Ikan Patin Siam
bio-ekologi sumberdaya ikan yang meliputi
relung makanan, kondisi habitat/lingkungan,
kesuburan perairan dan trophik level sumberdaya ikan serta aspek perikanan. Dari hasil penelitian
ini akan dihasilkan jenis ikan yang sesuai dan jumlah benih optimum yang harus ditebar serta ikan
tersebut tidak akan berdampak negatif terhadap jenis ikan asli. Jenis ikan yang sesuai untuk
diintroduksikan adalah ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus). Teknologi ini jika
diterapkan di badan air lain perlu dimodifikasi terlebih dahulu disesuaikan dengan persyaratan
teknis yang telah diuraikan pada bab terdahulu.
Kegiatan penebaran benih ikan di perairan waduk Indonesia telah lama dilakukan, pada umumnya
sama tuanya dengan selesainya pembangunan waduk tersebut. Namun hasil yang diperoleh dari
kegiatan tersebut umumnya masih sangat minim. Penerapan teknologi CBF ikan patin siam
14
merupakan teknologi yang unggul dengan
alasan sebagai berikut: (1) sangat efisien,
karena ikan patin tumbuh hanya dengan
memanfaatkan makanan alami yang tersedia
dan sisa pakan yang terbuang dari budidaya
ikan dalam KJA; (2) ekonomis: karena
pendapatan nelayan meningkat dengan
harga jual ikan patin lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jenis ikan lainnya;
mudah dipasarkan karena pembeli
(pedagang pengecer) datang sendiri ke
tempat pelelangan ikan; dan ikan patin
menjadi komoditas unggulan masyarakat
nelayan setempat; (3) layak: teknologi CBF
layak untuk dikembangkan di perairan waduk
dengan karakteristik yang sejenis.
Gambar 3. Tagging Benih Ikan Patin Siam
Mudah diterapkan dalam sistem
usaha kelautan dan perikanan
Teknologi CBF sangat mudah diterapkan
oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
waduk (badan air) karena sangat sederhana
dan praktis. Masyarakat nelayan sebagai
ujung tombak pelaksana pengelolaan cukup
diarahkan untuk memahami persyaratan
teknis pengembangan CBF dan bagaimana
melakukan pengelolaan dan monitoring serta
evaluasinya. Keberlanjutan pengelolaan
sumber daya ikan akan berhasil jika
masyarakat nelayan sudah membentuk
kelompok sehingga semua peraturan yang
dibuat dapat dipatuhi dan dilaksanakan.
Gambar 4. Pertumbuhan Ikan Patin Siam
Ramah lingkungan
Teknologi CBF sangat ramah lingkungan
karena ikan yang ditebarkan hanya tumbuh
dengan memanfaatkan kesuburan perairan,
tidak ada makanan tambahan dari luar yang
berpotensi menyuburkan perairan, ikan patin
tidak bersifat invasif terhadap ikan asli. Ikan
patin juga ikut beriur dalam memanfaatkan
sisa makanan dari budidaya KJA yang jika
tidak dimakan ikan patin berpotensi terhadap
penurunan kualitas air waduk.
Gambar 5. Jenis makanan Ikan Patin Siam
15
WA K T U DA N LO K A S I
PE N E LITIAN, DAE RAH YANG
DIREKOMENDASIKAN
Penelitian terhadap CBF ikan patin
siam telah dilaksanakan di Waduk Ir. H.
Djuanda (2000 – 2002), Gajah
Mungkur (1999 – 2003) dan Malahayu
(2009 – 2010). Pada ketiga waduk
tersebut ikan patin siam yang ditebar
menunjukkan pertumbuhan yang
positif serta memberikan peningkatan
pendapatan mata pencaharian nelayan
waduk. Keberhasilan lebih CBF ikan
patin siam terjadi di Waduk Gajah
Mungkur, dimana patin siam tersebut
dapat memijah dengan baik.
Gambar 6. Penjualan Hasil Tangkapan Patin Siam
Pada tahun 2010 dilaksanakan
IPTEKMAS CBF ikan patin siam di
Waduk Gajah Mungkur dan Malahayu
dengan tujuan memberikan
pendampingan sekaligus diseminasi
IPTEK pengelolaan dan konservasi
sumberdaya ikan, serta penguatan
kapasitas kelembagaan.
Pada prinsipnya, penerapan teknologi
CBF dapat dilakukan di perairan waduk
dan danau di Indonesia. Namun
demikian, agar resiko dampak negatif
dari ikan yang ditebarkan terhadap
jenis ikan asli tidak terjadi, maka
Gambar 7. Produksi Tangkapan Ikan Patin Siam
penerapan teknologi CBF
direkomendasikan untuk dilakukan di
perairan waduk terutama di Pulau Jawa dan perairan embung (waduk kecil) yang banyak tersebar
di Nusa Tenggara dan Sulawesi yang jumlahnya mencapai lebih dari 800 buah dan sampai saat ini
merupakan lahan sub optimal yang belum dimanfaatkan untuk perikanan. Teknologi CBF ini tidak
direkomendasikan diterapkan di perairan danau atau waduk yang mempunyai keanekaragaman
jenis ikan asli yang tinggi dan terdapat jenis ikan endemik dan atau ikan langka yang perlu
dilindungi.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Penerapan teknologi CBF ikan patin siam dapat berdampak negatif terhadap penurunan
keanekaragaman ikan asli jika ikan yang ditebarkan berkompetisi dengan ikan asli. Apalagi jika di
16
badan air yang bersangkutan terdapat jenis
ikan endemik atau jenis ikan langka yang
perlu dilindungi dan dilestarikan.
K E L AYA K A N F I N A N S I A L D A N
ANALISA USAHA
Contoh kelayakan financial dan analisis
usaha CBF ikan patin siam di Waduk
Gajahmungkur adalah sebagai berikut.
Jumlah benih ikan patin siam yang ditebarkan
sejak tahun 1999-2002 adalah 30.000 ekor.
Harga benih pada saat itu adalah 200 rupiah
per ekor, sehingga total biaya yang diperlukan
untuk pengadaan benih hanya 6.000.000
rupiah. Ikan patin tumbuh dengan
memanfaatkan makanan alami (plankton,
detritus, moluska) berkisar antara 8,7-13,1
gram per hari. Pada tahun 2004, hasil
tangkapan ikan patin siam mencapai
112.215 kg atau setara dengan 785,5 juta
rupiah. Hasil tangkapan ikan patin siam terus
meningkat dan pada tahun 2009 mencapai
191.210 kg atau senilai 2,1 milyar rupiah
(harga rata-rata patin 11.000 rupiah/kg)
dimana hasil tangkapan patin menempati
urutan ke dua dari total hasil tangkapan ikan
di perairan waduk tersebut.
Gambar 8 Peta Zonasi Perikanan di W. Gajahmungkur
Gambar 9 Suaka Induk Patin Siam di Kawasan KJA
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Ikan patin siam yang digunakan dalam penerapan teknologi ini semula didatangkan dari Thailand
pada tahun 1972 sebagai kandidat komoditas budidaya. Dewasa ini, pembenihan ikan patin siam
di Indonesia sudah berkembang baik sehingga benihnya mudah didapat dan benih patin siam yang
digunakan pada waktu penebaran di Waduk Gajahmungkur, Ir. H. Djuanda dan Malahayu
merupakan hasil pembenihan masyarakat di Sukamandi. Oleh karena itu, seluruh komponen yang
digunakan dalam penerapan teknologi CBF ini adalah komponen dalam negeri.
17
rekomendasi
teknologi
perikananbudidaya
2
18
BPPI
Teknologi Pendederan Ikan Patin Pasupati
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian Pemuliaan Ikan
Alamat
Jl. Raya 2 Sukamandi Pantura,
Patokbeusi, Subang, Jawa Barat
41263.Telepon (0260)520500
FAKSIMILI (0260) 520662, 520663
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2003-2012
Tim Penemu
Eir. Retna Utami, M.Sc.
Drs. Sularto, M.Si.
Ir. Evi Tahapari
R.R. Sri Pudji Sinarni Dewi, S.Pi., M.Si.
Didik Ariyanto, S.Pi.
Ir. Bambang Gunadi, M.Sc.
Wahyu Pamungkas, S.Pi.
Bambang Iswanto, S.Pi.
Kontak Person
Evi Tahapari
[email protected]
19
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Ikan patin pasupati merupakan ikan hasil persilangan antara betina patin siam (Pangasianodon
hypopthalmus) dengan jantan patin jambal (Pangasius jambal) hasil seleksi. Ikan patin ”Pasupati”
dirilis sebagai ikan budidaya unggul pada Agustus tahun 2006, salah satu ciri dari ikan ini adalah
berdaging putih (KEPMEN Kep.25/MEN/2006).
Tujuan penerapan teknologi pendederan adalah untuk menghasilkan dan menyediakan pasok
benih baik kualitas maupun kuantitas dan tahan terhadap perubahan lingkungan budidaya serta
untuk mempercepat peningkatan produksi dalam industrialisasi ikan patin
DEFINISI
Pasupati (Patin Super Harapan Pertiwi) merupakan ikan patin daging putih yang disukai
konsumen. Ikan pasopati merupakan hybrid patin siam (daging kuning) dan patin jambal (daging
putih).
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Benih sebar ikan patin pasupati merupakan hasil persilangan (hybrid) antara Induk Betina Patin
Siam dan Induk Jantan Patin Jambal dengan rangkaian penciptaan teknologi sebagai berikut:
1. Pemeliharaan Larva/benih ikan patin Pasupati indoor (Pendederan 1)
Wadah pemeliharaan larva dapat berupa akuarium atau bak-bak fiber yang dilengkapi dengan
aerasi untuk menjaga ketersediaan oksigen terlarut. Air yang digunakan dapat berasal dari air
tanah atau air sungai yang telah disaring. Penggunaan pemanas (heater) dapat dilakukan untuk
mempertahankan kestabilan suhu air pemeliharaan sehingga tidak terjadi fluktuasi suhu yang
tinggi. Penggunaan aerasi mutlak diperlukan pada pemeliharaan larva ikan patin sebagai
pensuplai oksigen terlarut dalam air. Aerasi dipasang pada setiap akuarium/bak pemeliharaan
larva.
Penebaran larva harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan stress dengan cara
memperhatikan kondisi air pemeliharaan. Penebaran yang optimal untuk larva patin pasupati
adalah 50 ekor/liter. Pakan awal larva Patin berupa naupli artemia yang diberikan setelah larva
berumur 30 - 36 jam dan diberikan selama 5 hari. Nauplii Artemia diberikan setiap 2 jam pada hari
20
pertama dan setiap 3 jam pada hari kedua sampai hari kelima. Pada hari kelima mulai dilatih makan
cacing sutera (Tubifek), Moina atau Daphnia. Pakan cacing sutera (Tubifek), Moina atau Daphnia
diberikan selama 5-7 hari. Dengan frekuensi pemberian pakan setiap 3 jam sekali. Saat larva
berumur 12 hari, pakan yang diberikan berupa pellet dengan kandungan protein kasar sekitar 3840%, ikan pada setiap diberi pakan hingga kenyang (ad satiation) . Frekuensi pemberian pakan
minimal 5 kali per hari. Masa pemeliharaan larva selama 3 -4 minggu sampai ukuran 1 inci.
Penyiponan dilakukan setiap hari untuk membersihkan dasar wadah pemeliharaan. Pergantian air
sebanyak 30-50% dilakukan pada hari ketiga dengan air yang sesuai dengan kebutuhan hidup
larva. Sebelum dilakukan pemanenan terlebih dahulu ikan dipuasakan untuk mengosongkan isi
perut, sehingga tidak banyak kotoran yang dikeluarkan pada saat pengangkutan. Lamanya
pemuasaan disesuaikan dengan lamanya waktu tempuh dalam transportasi. Untuk waktu tempuh
10 jam diperlukan pemuasaan minimal 24 jam. Pengangkutan benih dapat dilakukan dengan 2
cara:
a. Sistem terbuka
Menggunakan drum plastik berkapasitas 200 liter. Untuk mempertahankan kandungan
oksigen terlarut digunakan aerasi. Kapasitas angkut benih ikan patin adalah 100 g/ l air
dengan lama waktu tempuh 10 jam, apabila lebih dari 10 jam perlu dilakukan
penggantian air. Pengangkutan dengan sistem ini lebih cocok untuk benih ukuran relatif
besar ( ≥ 1 inchi).
b. Sistem tertutup
Menggunakan kantong plastik yang diberi tambahan oksigen. Perbandingan oksigen dan
air adalah 2 : 1. Kapasitas angkut 50 g/l air untuk waktu tempuh maksimum 10 jam.
Pengangkutan dengan sistem ini lebih cocok untuk benih ukuran kecil (maksimum 1
inchi).
Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara menerapkan biosecurity yang ketat dengan
menjaga kebersihan wadah pemeliharaan, menjaga stabilitas suhu agar tetap panas antara 28o 31oC, pakan terbebas dari parasit dan jamur, dan menjaga kondisi air agar tetap baik yang selalu
bersih dari sisa pakan.
Target produksi dari kegiatan pendederan 1 sebanyak 120.000 benih ekor per siklus, dimana
dalam 1 tahun produksi sebanyak 960.000 ekor ( 8 siklus pemijahan).
Kaji Terap
1. Pendederan l benih patin Pasupati secara indoor
Kegiatan kaji terap teknologi pendederan I telah dilakukan secara indoor di Balai Benih Ikan (BBI)
Tanjung Putus Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir selama 28 hari. Pemeliharaan
larva/benih dilakukan pada wadah akuarium volume 400 liter dan fiberglass bulat volume 750 liter.
Setelah 28 hari pemeliharaan benih dipanen dengan rata-rata panjang standar 3,44±0,37 cm,
panjang total 4,13±0,48 cm dan bobot 0,72±0,24 gram. Jumlah benih yang dipanen sebanyak
400.000 ekor (Tingkat kelangsungan hidup 78,84 %).
21
2. Pendederan II benih ikan patin Pasupati secara outdoor di kolam
Dalam kegiatan pendederan ll ikan patin pasupati, aspek persiapan kolam sebelum penebaran
benih ikan merupakan hal yang harus diperhatikan, karena dapat berpengaruh terhadap hasil yang
akan diperoleh pada saat panen. Persyaratan untuk kolam pendederan ll antara lain berada di
kawasan bebas banjir dan bahan pencemar, tanah dasar stabil, sumber air mencukupi, tidak
tercemar dan tersedia sepanjang tahun, konstruksi kolam tanah atau tembok dengan pematang
yang kuat, luas kolam 200-1000 m2 (sesuai kebutuhan), kedalaman air kolam 60 - 100 cm.
Persyaratan kualitas air kolam pemeliharaan yang dibutuhkan antara lain oksigen terlarut minimal 3
mg/l, pH berkisar antara 6,5 - 8,5, suhu berkisar antara 25-31oC, ammonia maksimal 0,02 mg/l,
dan nitrit maksimal 0,01 mg/l.
Persiapan kolam dilakukan sebelum penebaran benih, diawali dengan pengeringan, pembersihan
predator dan kompetitor dengan Saponin (20-40 ppm). Pengolahan kolam dan pengapuran (50100 g/m2), penebaran pupuk berupa kotoran ayam kering (250-500 g/m2) atau berupa kompos
(50-100 g/m2), urea (6 g/m2), TSP (3 g/m2) dengan cara ditebarkan di kolam. Pengisian air kolam
minimal kedalaman 80 cm.
Penebaran benih dilakukan pada hari ke-7 setelah pemupukan yang mana kelimpahan plankton
sudah relatif tinggi. Benih ditebar pada pagi atau sore hari dengan padat tebar 100 ekor/m2.
Sebelum benih ditebar dilakukan aklimatisasi dengan mencampur air sedikit demi sedikit, sampai
suhu air pada wadah packing dengan wadah pemeliharaan relatif sama. Atau benih ikan dalam
kantung plastik pengangkutan dibiarkan mengapung diatas air selama 5-10 menit, kemudian
mencampur air sedikit demi sedikit. Benih yang akan ditebar dibiarkan keluar sendiri dari kantong
plastik wadah pengangkutan .
Pakan yang diberikan berupa pakan buatan jenis tenggelam, terapung maupun kombinasi
keduanya. Ukuran pakan yang diberikan disesuaikan dengan ukuran bukaan mulut ikan. Misalnya;
untuk pakan tenggelam berbentuk crumbel ukuran ± 1mm. Kadar protein kasar pakan yang
diberikan mulai dari 32% - 40%, dengan teknik pemberian pakan sebagai berikut:
 10 hari pertama pemberian pakan dengan kadar protein kasar 40%, jumlah pakan yang
diberikan 15% per biomas ikan per hari.
 10 hari kedua pemberian pakan dengan kadar protein kasar 35-38% jumlah pakan yang
diberikan 12,5% per biomas ikan per hari
 10 hari selanjutnya sampai dengan ukuran ikan siap ditebar untuk dibesarkan dengan kadar
protein kasar 32%, jumlah pakan yang diberikan 10% per biomas ikan per hari. Frekuensi
pemberian pakan 3 kali sehari (pagi, siang dan sore hari)
Pada kegiatan pendederan ll, pemanenan dilakukan secara bertahap. Sebelum dilakukan
pemanenan terlebih dahulu ikan dipuasakan untuk mengosongkan isi perut. Pemanenan dilakukan
dengan cara menjaring sebagian benih dengan menggunakan jaring ered. Setelah dipanen, benih
dipisahkan berdasarkan ukuran menggunakan grader. Benih yang memiliki ukuran benih tebar (4 –
5 inchi) dipisahkan dan siap sebagai benih tebar untuk dibesarkan.
22
Segala hal yang menyangkut kegiatan dari mulai persiapan hingga distribusi hasil panen harus
selalu dilakukan dengan tertib. Hal-hal yang perlu dicatat misalnya; waktu penebaran, bobot benih
yang ditebar, jumlah penebaran, jumlah pakan, waktu panen, jumlah hasil panen, harga benih,
harga pakan dan harga produk akhir. Informasi ini berguna untuk pedomam perbaikan usaha
budidaya berikutnya.
Target produksi dari kegiatan pendederan ll sebanyak 90.000 benih ekor per siklus, dimana dalam
1 tahun produksi sebanyak 540.000 ekor ( 6 siklus pemijahan).
Lokasi Pemeliharaan
Parameter
BBI
Kolam A
BBI
Kolam B
Kolam
Pembudidaya 1
Kolam
Pembudidaya 2
Bobot awal (gram)
0,72±0,24
0,72±0,24
0,72±0,24
0,72±0,24
Bobot akhir (gram)
22,89±6,73
23,26±3,94
13,22±2,26
14,73±3,16
Panjang standar awal (cm)
3,44±0,37
3,44±0,37
3,44±0,37
3,44±0,37
Panjang standar akhir (cm)
11,18±1,08
11,60±0,75
9,23±0,53
10,20±0,61
Panjang total awal (cm)
4,13±0,48
4,13±0,48
4,13±0,48
4,13±0,48
Panjang total akhir (cm)
13,55±1,43
13,88±0,77
11,21±0,67
12,38±0,79
Jumlah tebar (ekor)
25.000
25.000
40.000
10.000
Jumlah panen (ekor)
20.525
24.353
38.171
9.900
82,10
97,41
95,43
99,00
Kelangsungan hidup (%)
Tabel 1. Keragaan pertumbuhan benih patin pasupati yang dipelihara selama 40 hari hasil pendederan II
Kegiatan kaji terap teknologi pendederan II dilakukan secara outdoor di BBI Tanjung Putus Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Ikan patin pasupati merupakan komoditas perikanan budidaya yang memiliki potensi pasar ekspor
yang dapat menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi kerakyatan. Teknologi pendederan
I secara indoor merupakan teknologi pendederan yang paling efektif karena kapasitas produksi
dapat dilakukan secara maksimal, pengawasan dan pemeliharaan dapat dilakukan secara lebih
intens, dan proses pemanenan lebih mudah. Teknologi pendederan II secara outdoor memiliki
keunggulan antara lain perawatan benih lebih mudah, biaya produksi lebih murah, penggunaan air
lebih efisien, penggunaan pakan buatan dapat dikurangi, konversi pakan cenderung lebih rendah
dan pertumbuhan benih dapat lebih cepat
LOKASI PENELITIAN DAN WILAYAH REKOMENDASI
Wilayah pengembangan usaha dalam rangka penerapan teknologi pendederan ikan patin
pasupati adalah lokasi yang memiliki kriteria sebagai berikut:
 Parameter kualitas air yang optimal untuk pemeliharaan antara lain: suhu 28 -30oC,
kandungan oksigen terlarut >5 ppm, pH 6,5 – 8,5, amoniak (NH3) <0,2 mg/l dan nitrit
(NO2) <0,01mg/l.
23
 Lokasi kegiatan pendederan relatif tidak jauh dengan kawasan kegiatan pembesaran.
Wilayah pengembangan /penerapan teknologi yang diusulkan antara lain : Sumatera
Selatan (Palembang, Ogan Ilir, Banyu Asin), Jawa Timur (Tulung Agung), Kalimantan
Selatan (Banjar Baru).

KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Ikan patin Pasupati ukuran benih tebar (4 – 5 inchi) mengeluarkan lendir relatif lebih banyak pada
saat pemanenan yang berakibat mudah stres sehingga diperlukan penanganan yang sangat hati –
hati dan tetap dalam kondisi basah.
KELAYAKAN FINANSIAL
Dengan tingkat komponen dalam negeri mencapai 90% (ekonomis), berikut dilampirkan analisa
usaha yang terkait kegiatan produksi benih ikan patin pasupati:
Analisa Usaha Pemeliharaan Larva/benih
ikan patin Pasupati secara indoor
Analisa Usaha Pendederan II benih
ikan patin Pasupati secara outdoor di kolam
24
Pemeliharaan Larva/benih ikan patin Pasupati secara indoor
Fasilitas pemeliharaan benih dalam bentuk bak fiber bulat dan akuarium
Pendederan II benih ikan patin Pasupati secara outdoor di kolam
Kolam pemeliharaan pendederan II - Benih ukuran ¾ - 1 inci
Kegiatan panen dan penghitungan
Benih siap tebar ukuran 4 – 5 inchi
25
BPPI
Teknologi Produksi Massal Larva Ikan Patin Pasupati
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian Pemuliaan Ikan
Alamat
Jl. Raya 2 Sukamandi Pantura,
Patokbeusi, Subang, Jawa Barat
41263.Telepon (0260)520500
FAKSIMILI (0260) 520662, 520663
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2003-2013
Tim Penemu
Ir. Retna Utami, M.Sc.
Drs. Sularto, M.Si.
Ir. Evi Tahapari
R.R. Sri Pudji Sinarni Dewi, S.Pi., M.Si.,
Didik Ariyanto, S.Pi.
Ir. Bambang Gunadi, M.Sc.
Wahyu Pamungkas, S.Pi.
Bambang Iswanto, S.Pi.
Kontak Person
Evi Tahapari
[email protected]
26
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Permintaan pasar ekspor ikan patin daging putih semakin meningkat dan perlu segera
dimanfaatkan untuk meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebuah
terobosan teknologi telah dilakukan oleh Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan
Air Tawar (sekarang Balai Penelitian Pemuliaan Ikan) dengan menghasilkan patin hibrida yang
diberi nama patin “Pasupati (Patin Super Harapan Pertiwi)”. Patin Pasupati merupakan persilangan
antara betina patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) dengan jantan patin jambal
(Pangasius djambal) hasil seleksi.
Kehadiran ikan patin Pasupati merupakan jawaban untuk memenuhi permintaan benih ikan patin
daging putih yang saat ini sangat dinantikan oleh para pembudidaya. Peluang ekspor patin daging
putih kini telah terbuka yang berdampak membuka lapangan kerja baru. Dengan adanya kegiatan
ekspor ikan patin daging putih ini selain menghasilkan produk utama berupa filet, juga akan
menghasilkan produk samping berupa kepala ikan, sebagai bahan soup di restoran, minyak ikan,
tepung tulang ikan dan kulitnya dapat digunakan bahan baku colagen sebagai obat kulit terbakar.
Selama ini permintaan ekspor ikan patin daging putih terus meningkat. Peningkatan ekspor ini
bermanfaat untuk meningkatkan devisa negara dan peningkatan kesejahteraan pembudidaya.
Tujuan dari penerapan teknologi adalah penyediaan larva ikan patin pasupati yang terjamin secara
kualitas, kuantitas dan kontinuitas untuk mendukung peningkatan produksi ikan patin skala
industri. Diharapkan dari peningkatan produksi ini dapat memberikan manfaat terhadap
peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya.
PENGERTIAN/DEFINISI
Pasupati
: Patin Super Harapan Pertiwi
Hibridisasi
: Suatu perkawinan silang antara berbagai jenis spesies ikan untuk
menghasilkan jenis ikan unggul sebagai benih sebar baik kualitas maupun
kuantitas
Kanulasi
: Cara sampling telur dalam gonad dengan pipa plastik halus bergaris tengah 1,2
mm (kateter)
Papilla
: Lubang kelamin berbentuk tonjolan kecil di bagian perut ikan sebagai tempat
pengeluaran telur atau sperma.
27
OSI
Fekunditas
HCG
: Ovi Somatic Index/ indeks yang menunjukkan perbandingan antara bobot telur
yang di ovulasikan dengan bobot tubuh induk betina.
: Jumlah telur yang diovulasikan per satuan bobot tubuh induk.
: Human Chorionic Gonadotropin/ hormon sejenis Glikoprotein yang dihasilkan
oleh plasenta ibu hamil digunakan untuk memacu ovulasi
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Pemeliharaan dan Seleksi Induk
Larva patin pasupati dihasilkan melalui teknologi hibridisasi antara Induk Betina Patin Siam dan
Induk Jantan Patin Jambal. Pengelolaan atau manajemen induk sangat diperlukan untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam usaha pembenihan serta menghasilkan benih
yang berkualitas baik. Larva yang sehat diperoleh dari induk yang dipelihara secara baik, yakni
mendapat pakan yang bermutu dan memenuhi syarat sebagai pakan induk dan dipelihara dalam
wadah dengan kualitas air yang baik.
Induk yang digunakan adalah induk jantan patin jambal dan induk betina patin siam. Induk betina
patin siam dapat dipijahkan setelah berumur minimal 2,5 tahun dengan bobot 2,5 – 3 kg/ekor.
Sedangkan induk jantan patin jambal dapat dipijahkan setelah berumur minimal 2 tahun dengan
bobot 2,0 – 2,5 kg/ekor.
Kisaran kualitas air yang disarankan adalah; pH air 6,5 – 8,5, suhu air 28 – 31oC, oksigen terlarut
diatas 3 mg/l, amoniak kurang dari 0,1 mg/l, nitrit kurang dari 1 mg/l. Ikan patin tidak
menghendaki air yang terlalu jernih, tingkat kecerahan yang ideal sekitar 30 cm. Beberapa wadah
pemeliharaan induk yang dapat digunakan antara lain:
a. Kolam (air tenang) dengan kontruksi tanah atau tembok, luas kolam 50 -200 m2,
kedalaman air 1,2 m, disarankan adanya pergantian air sebanyak 10%/hari. Kawasan
harus bebas banjir dan bebas dari pencemaran. Padat tebar 2 ekor/m2 untuk patin
siam dan 0,5 ekor/m2 untuk patin jambal.
b. Konstruksi Karamba, bahan yang digunakan dapat dari kayu, bambu atau besi. Ukuran
minimal 3 m x 2m x 1,5 m. Padat tebar 3 ekor/m3 untuk patin siam dan 1 ekor/m3 untuk
patin jambal
c. Karamba jaring apung, konstruksi terbuat dari kerangka bambu, kayu atau besi. Ukuran
minimal 4m x 4m x 4m, jaring terbuat dari polyethylene, PE 210 D9 sampai D18,
ukuran mata jaring minimal 1 inch. Padat tebar 3 ekor/m3 untuk patin siam dan 1
ekor/m2 untuk patin jambal.
Induk ikan patin perlu mendapatkan asupan pakan dengan jumlah yang cukup serta mutu yang
baik. Pakan untuk induk ikan patin sebaiknya memiliki kadar protein kasar 36 – 38 % dan
diberikan sebanyak 1 % dari biomassa/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari. Namun jika
disekitar kawasan budidaya tidak tersedia pakan induk dengan kadar protein kasar 36 – 38 %,
induk ikan patin dapat diberi pakan dengan kadar protein kasar minimal 28 % sebanyak 2% dari
bobot biomas/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari.
28
Keberhasilan pemijahan induk ditentukan oleh kejelian pemilihan induk yang matang gonad. Ciriciri induk betina ikan patin yang matang gonad ditunjukkan dengan organ papila membengkak dan
berwarna merah. Selain itu, ditunjukkan dengan perut membengkak ke arah belakang (ke arah
genital). Untuk mengetahui tingkat kematangan gonad induk betina secara akurat dapat dilakukan
melalui pemeriksaan oosit (sel telur) dengan cara mengambil sampel telur dengan alat kanulasi
(Kateter) Kanulasi dilakukan dengan memasukan alat kanulasi ke dalam ovari melalui lubang
papila sedalam 8 – 10 cm. Agar mendapatkan sampel telur dari semua bagian ovari secara merata,
batang penyedot yang ada dibagian tengah kateter ditarik keluar bersamaan dengan menarik
kateter dari ovari. Induk ikan patin siam yang siap dipijahkan memiliki ukuran sel telur yang
seragam dengan diameter ≥1 mm (sedangkan untuk patin jambal berdiameter ≥1,6 mm) dan
berwarna kuning gading serta mudah dipisahkan, tidak menempel satu sama lain.
Sedangkan untuk mengetahui induk patin jantan yang matang gonad relatif mudah. Ciri induk
jantan yang matang gonad adalah papila menonjol berwarna merah, bila dipijit keluar cairan putih
kental (sperma).
Induk yang terseleksi dan siap dipijahkan dipelihara di dalam wadah yang sempit sehingga induk
mudah untuk ditangkap dan mendapatkan kualitas air yang baik yakni oksigen yang cukup (≥3
ppm) serta suhu air relatif tinggi (≥28° C).
Pemijahan
Induk patin siam dan patin jambal yang dipelihara dalam wadah budidaya tidak dapat memijah
secara alami, sehingga pemijahannya dilakukan secara buatan melalui rangsangan hormonal.
Hormon yang digunakan adalah ekstrak kelenjar hipofisa, Gonadotropin, dan Ovaprim (campuran
LHRH-a dan domperidon). Penggunaan kelenjar hipofisa sudah jarang dilakukan karena kurang
praktis. Hormon yang umum digunakan adalah ovaprim (campuran LHRH dan domperidon) dan
HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Dosis penyuntikan yang biasa digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Penyuntikan dengan Ovaprim
Penyuntikan pertama sebanyak 0,3 ml/kg induk dan penyuntikan kedua sebanyak 0,6
ml/kg induk dengan selang waktu 12 jam
2. Penyuntikan dengan HCG dan Ovaprim
Penyuntikan pertama dengan HCG sebanyak 500 IU/kg induk dan penyuntikan kedua
dengan Ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg induk
Selang waktu dari penyuntikan kedua sampai ovulasi (waktu laten/latensi time pada patin siam)
berkisar 10 - 12 jam pada kondisi suhu air 28°C. Meskipun telah dilakukan rangsangan ovulasi
induk ikan patin siam maupun patin jambal di dalam wadah budidaya tidak bisa memijah secara
alami. Proses pembuahan (bercampurnya telur dan sperma) harus dilakukan secara buatan
(artificial). Pembuahan yang biasa dilakukan ada dua sistem:
29
Pembuahan Sistem
Kering
Dalam sistem kering ini
telur yang telah dikeluarkan
dan ditampung dalam
baskom dicampur dengan
sperma yang baru,
langsung dikeluarkan dari
induk jantan kemudian
Gambar 1. Proses pengeluaran sperma ikan patin jambal (kiri), Proses
pengeluaran telur ikan patin siam (kanan)
dicampur dengan bulu
ayam secara merata.
Kemudian untuk aktivasi ditambahkan air yang kaya oksigen sambil diaduk-aduk dengan bulu
ayam. Selanjutnya dibilas dan diberi larutan tanah untuk menghilangkan daya rekat telur
(Memisahkan telur yang biasanya melekat satu sama lain), kemudian dibilas lagi dengan air segar
beberapa kali, kemudian ditetaskan.
Pembuahan Sistem basah
Pada sistem basah ini, sperma induk jantan terlebih dahulu dikeluarkan dan ditampung dalam
wadah tabung atau gelas dan diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis (larutan infus NaCl).
Larutan tersebut selain berfungsi sebagai pengencer juga berfungsi sebagai pengawet.
Spermatozoa dapat tahan hidup dalam larutan tersebut selama 12 – 24 jam pada suhu 5 – 0°C.
Penetasan telur dilakukan pada corong penetasan. Telur dimasukan ke dalam corong penetasan
yang dialiri air pada bagian dasar corong sehingga telur bergerak/ berputar secara pelan. Larva
yang telah menetas dan sehat akan berenang ke atas mengikuti saluran pembuangan dan
ditampung dalam hapa, sedangkan telur yang tidak menetas serta larva yang abnormal akan tetap
berada di dasar corong. Resiko keracunan relatif rendah, karena kualitas air dapat mudah
diperbaiki dengan menambahkan air segar. Suhu air optimal untuk proses penetasan telur adalah
28 - 31oC dan akan menetas setelah 16 – 22 jam.
Larva yang tertampung dalam hapa harus segera dipanen agar tidak keracunan akibat
pembusukan sisa-sisa telur yang tidak menetas. Larva dipanen dengan menggunakan serokan
halus, kemudian dipindahkan ke dalam wadah bulat yang berisi air yang telah diaerasi agar
mendapatkan oksigen yang
cukup. Penghitungan maupun
pengepakan larva sebaiknya
dilakukan sebelum larva
berumur 5 jam. Karena pada
kondisi tersebut larva belum
aktif mengejar sinar sehingga
terdistribusi secara merata
p a d a s e m u a b a d a n a i r.
Gambar 2. Fertilisasi telur pembentuk patin pasupati (kiri),
Fasilitas corong penetasan telur (kanan)
30
Penghitungan larva pada umumnya dilakukan secara volumetri.
Pengangkutan larva dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik dengan
penambahan oksigen. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada suhu dingin. Kepadatan larva
dalam setiap kantong plastik harus mempertimbangkan lama waktu transportasi. Perbandingan
volume antara air dan gas oksigen adalah 1 : 2. Kepadatan larva maksimum dalam setiap kantong
plastik tertera pada Tabel berikut:
Waktu tempuh (jam)
Jumlah Larva(ekor/l)
≤6
6-9
9 - 12
8 000
6.000
4.000
Tabel 1. Kepadatan larva dan waktu tempuh dalam transportasi tertutup
Pengangkutan lebih dari 12 jam dapat dilakukan dengan syarat dilakukan penggantian oksigen.
TARGET PRODUKSI
Target produksi dari kegiatan pemijahan dalam setiap siklus produksi sebanyak 1.000.000 juta
ekor, dimana dalam 1 tahun sebanyak 8.000.000 ekor ( 8 siklus pemijahan).
Kaji Terap
Kegiatan kaji terap teknologi produksi larva ikan patin pasupati sudah dilakukan melalui kegiatan
diseminasi/iptekmas yang berlokasi di UPPU Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Palembang
pada tahun 2012 dan kegiatan Iptekmas yang berlokasi di BBI Tanjung Putus Dinas Peternakan
dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2013 dengan hasil sebagai berikut:
Parameter
Satuan
Nilai
Fekunditas tiap induk
butir/kg induk
60.000 - 120.000
OSI (Ovi Somatic Index)
%
5,0 - 10,0
Derajat fertilisasi
%
84,34 - 91,37
Derajat tetas telur
%
98,73 - 99,66
Tabel 2. Keragaan reproduksi pada produksi benih ikan patin pasupati
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Dari teknologi hybrid ini dihasilkan benih sebar Ikan patin pasupati yang bertumbuh cepat dan
berdaging putih. Bila membudidayakan patin siam, fekunditas cukup tinggi namun dagingnya
berwarna kining, sedangkan patin jambal fecunditas rendah dan beraging putih. Dengan
persilangan (hybrid) dihasilkan benih sebar berdaging putih dan bertumbuh lebih cepat. Daging
putih sangat diminati oleh konsumen dibandingkan daging berwarna kuning atau pink.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN/ DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Wilayah pengembangan usaha dalam rangka penerapan teknologi produksi larva ikan patin
pasupati adalah lokasi yang dekat dengan sentra pengembangan budidaya Patin dan memiliki
parameter kualitas air yang optimal untuk pemeliharaan adalah: suhu 28 -30oC, kandungan
oksigen terlarut 5 – 7 ppm, pH 6,5 – 8,5, amoniak (NH3) <0,2 mg/l dan nitrit (NO2) <0,01mg/l.
31
Wilayah pengembangan /penerapan teknologi yang diusulkan antara lain : Sumatera Selatan
(Palembang, Ogan Ilir, Banyu Asin), Jawa Timur (Tulung Agung), Kalimantan Selatan (Banjar Baru).
Sangat diharapkan dalam pengembangan industri ikan patin harus terintegrasi, dan suply
chainnya semua tersedia (benih, pakan, obat-obatan, pengolahan) sehingga nir limbah (Zero
waste).
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak ada dampak negatif dari usaha perbenihan, limbah yang dihasilkan relatif sangat kecil dan
dapat diatasi dengan memanfaatkan air limbah sebagai pupuk untuk menyiram tanaman sayuran
yang ditanam diatas diatas galengan kolam.
KELAYAKAN FINANSIAL
Berikut dilampirkan analisa usaha yang terkait kegiatan produksi benih ikan patin pasupati:
Target produksi 8.000.000 ekor pertahun
A
BIAYA INVESTASI
1
Bangunan berukuran 3 x 5 m
2
Corong penetasan
5 buah
550.000
3
Pompa air 200 watt
1 unit
750.000
750.000
4
Kerangka corong penetasan
1 unit
1.000.000
1.000.000
5
Bak filter air resirkulasi berukuran 1,5 m x 3 m x 0,7 m
1 unit
2.000.000
2.000.000
6
Bak Fiber glass penampung larVa berukuran 1,25 m x 1,25 m x 0,7 m
2 unit
1.750.000
3.500.000
7
Hiblow dan instalasi aerasi
1 unit
1.000.000
1.000.000
8
Genset 3000 watt
1 unit
3.000.000
3.000.000
9
Perlengkapan instalasi air
1 unit
1.250.000
1.250.000
1 unit
1.250.000
1.250.000
450.000
13.500.000
VOLUME
2
HARGA
JUMLAH
1 LS
10 Instalasi listrik
11 Induk Betina siam
30 ekor
12 Induk iantan jambal
2.750.000
10 ekor
200.000
2.000.000
13 Jaring tangkap
1 buah
2.500.000
2.500.000
14 Jarina berok induk
2 unit
750.000
1.500.000
15 Hapa penetasan
2 unit
200.000
400.000
16 Basket 5OOml
5 unit
5.000
25.000
17 Mangkok 2l
5 unit
10.000
50.000
18 Baskom 5l
5 unit
20.000
100.000
19 Handuk
3 unit
50.000
150.000
20 Sarung tangan
5 unit
20.000
100.000
21 Kateter
2 buah
250.000
500.000
22 Unit Pemanas air
1 set
750.000
TOTAL BIAYA INVESTASI
750.000
38.075.000
B
BIAYA OPERASIONAL
1
Pakan induk
12.500
4.050.000
2
Hermon
8 paket
800.000
6.400.000
3
NaCl Fisiologis
5 botol
20.000
100.000
4
Air mneral
2 galon
70.000
140.000
5
Spuit
10 unit
2.000
20.000
6
Tissu gulung
1 pak
25.000
25.000
7
Obat-obatan
1 paket
150.000
150.000
8
Biava pengepakan
1 paket
300.000
300.000
9
Upah Tenaga Kerja (1.000.000,-/ bln)
0 siklus
250.000
8 siklus
200.000
324 kg
10 Bahan bakar/BBM
TOTAL BIAYA OPERASIONAL
C
TOTAL
D
Biaya penyusutan (5 tahun) (8 siklus produksi per-tahun)
E
Produksi (1.000.000 Iarva x 8 siklus)
F
Keuntungan (prod-(opersnal+penystan)
G
Bunga Bank (1%/bln)
H
Keuntungan bersih
1.600.000
12.785.000
50.860.000
0.2
38.075.000
7.615.000
8000000
5
40.000.000
12
45.690.000
19.600.000
5.482.800
14.117.200
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
60 % (enam puluh persen)
32
BP2BAP
Peningkatan Produksi Udang Windu di Tambak Tradisional Plus
dengan Aplikasi Probiotik RICA
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau
Alamat
Jalan Makmur Daeng Sitakka 129,
Maros, Sulsel 90512.
Telp. (0411) 371544; Fax (0411)
371545
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2002-2012
Tim Penemu
Muharijadi Atmomarsono
Muliani
Nurbaya
Endang
Susianingsih
Nurhidayah
Rachman Syah
Kontak Person
Muharijadi Atmomarsono
[email protected]
33
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Teknologi aplikasi probiotik RICA ditujukan untuk pencegahan penyakit udang windu melalui
perbaikan kualitas air, sehingga diharapkan bermanfaat dalam peningkatan sintasan dan produksi
udang windu di tambak. Aplikasi probiotik RICA secara nasional diharapkan dapat mendukung
program peningkatan produksi udang windu secara ramah lingkungan sebesar 30% dari kondisi
sekarang.
Pengertian/definisi
Yang dimaksud dengan Probiotik RICA
(Gambar 1) adalah bakteri yang memiliki
peranan positif (bermanfaat) dalam
memperbaiki kualitas air, dihasilkan oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau, Maros (singkatan
bahasa Inggrisnya disebut RICA =
Research Institute for Coastal
Aquaculture), sehingga sintasan dan
produksi udang windu di tambak dapat
ditingkatkan. Selanjutnya bakteri
probiotik RICA tersebut diproduksi
massal oleh KPRI (Koperasi Pegawai
Republik Indonesia) Mina Lestari di
Maros.
Gambar 1. Bakteri probiotik RICA-1, RICA-2, dan
RICA-3 produksi BRPBAP
Rincian dan Aplikasi Teknis
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Mengingat bahwa teknologi aplikasi probiotik RICA hanya merupakan salah satu dari serangkaian
teknologi budidaya udang windu di tambak, maka keberhasilan penerapan teknologi ini sangat
tergantung pada segala aspek budidaya yang lainnya sejak pemilihan lokasi tambak, persiapan
tambak, pemberantasan hama, pengapuran (dasar tambak dan kapur susulan), pemupukan (dasar
dan susulan), pengisian air tambak, aklimatisasi benur, pemberian pakan (jika ada), pengelolaan
kualitas air, dan pemantauan pertumbuhan udang.
34
Uraian lengkap tentang SOP Aplikasi Probiotik RICA
a. Rincian Teknologi
Hingga kini masih banyak pembudidaya udang tradisional yang melakukan usahanya hanya
berdasarkan “feeling” saja. Persiapan tambak dan berbagai cara pengelolaan tambak hanya
dilakukan seadanya. Kalaupun mereka melakukan perubahan, maka mereka hanya mengikuti apa
yang dilakukan oleh pembudidaya udang di sekitarnya yang kondisi tambaknya belum tentu sama,
sehingga seringkali diperoleh hasil berbeda. Oleh karena itu teknologi budidaya udang windu perlu
diperbaiki sejak persiapan tambak, pengisian air tambak, penebaran benur, dan cara
pengelolaannya.
Selain itu, selama ini juga telah banyak produk bakteri probiotik komersial di pasaran, baik produk
lokal maupun import. Namun demikian masyarakat pembudidaya udang masih banyak yang
kurang memahami tentang cara penggunaannya, baik cara kulturnya, penyimpanannya maupun
cara aplikasinya. Bakteri probiotik merupakan organisme hidup yang jumlahnya akan mengalami
penurunan dengan semakin lamanya disimpan. Jadi suatu produk probiotik komersial yang cara
pemakaiannya tanpa dilakukan kultur terlebih dahulu, cenderung akan tidak efektif untuk
pencegahan penyakit udang. Hal ini karena pada awal pembuatan probiotik dalam bentuk cair
dapat mencapai kepadatan bakteri hingga 1011 – 1012 CFU/mL, sedangkan dalam bentuk
padat (serbuk) biasanya hanya mencapai kepadatan bakteri sekitar 109 CFU/g. Produk probiotik
komersial tersebut akan mengalami penurunan kepadatan bakteri hingga tinggal 103 – 106
CFU/mL (CFU/g) setelah disimpan lebih dari tiga bulan. Oleh karena itu penggunaan probiotik
RICA harus dikultur/difermentasi 3-4 hari terlebih dahulu agar kepadatannya meningkat hingga
1011 CFU/mL. Dengan demikian bakteri tersebut dapat berfungsi lebih baik dalam memperbaiki
kualitas air (menurunkan kandungan bahan-bahan beracun di tambak, seperti bahan organik total,
amoniak, nitrit, dan hidrogen sulfida), menekan perkembangbiakan organisme patogen terutama
bakteri Vibrio harveyi, sehingga dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di
tambak.
b. Cara Penerapan Teknologi
Pemilihan Lokasi Tambak
Kematian udang di sekitar caren tambak pada awal musim penghujan diduga disebabkan oleh
jenis tanah tambak yang tergolong tanah sulfat masam (TSM). Hal ini banyak terjadi di daerah
pertambakan yang dibangun dari bekas lahan mangrove (terutama nipah) seperti di Aceh,
Lampung Timur, Sulawesi Selatan bagian Timur, juga di wilayah Kalimantan. Pada pematang
tambak TSM biasanya dijumpai adanya bagian tanah yang berwarna kuning (jarosit). Bila tanah ini
tersiram air hujan, maka air yang turun ke tambak bersifat sangat masam, karena mengandung
H2SO4 (senyawa asam pekat yang digunakan untuk air aki). Senyawa inilah yang menyebabkan
sebagian kulit dan daging udang terkelupas dan akhirnya mati.
Tambak TSM sebaiknya direklamasi (pengeringan, perendaman, dan pembilasan tanah dasar
tambak) terlebih dahulu selama persiapan tambak dan bila memungkinkan pematang tambak
35
ditanami rumput yang bisa menahan peluruhan jarosit ke dalam tambak. Pengapuran dengan
dolomit di sekeliling pematang menjelang hujan deras terbukti cukup bermanfaat mengurangi
kematian udang di tambak.
Oleh karena itu, agar aplikasi probiotik RICA lebih efektif sebaiknya dilakukan di wilayah
pertambakan yang tidak tergolong tanah sulfat masam (TSM), yaitu di pertambakan dengan pH
tanah dasar tambak normal (6,5-7,0).
Persiapan Tambak Udang Windu
Persiapan tambak meliputi penambalan bocoran tambak, keduk teplok (pengangkatan lumpur
hitam dari dasar tambak ke atas pematang tambak), pemberantasan hama, pengeringan tambak,
pengapuran dan pemupukan dasar tambak, serta pengisian air tambak.
Penambalan bocoran tambak selain diperlukan untuk mencegah habisnya air dalam tambak, juga
mencegah masukya predator (pemangsa udang) dan kontaminan berbagai penyakit (vibriosis oleh
bakteri Vibrio harveyi dan bintik putih oleh white spot syndrome virus). Keduk teplok dimaksudkan
untuk membuang lumpur hitam yang berbau busuk (mengandung hidrogen sulfida) yang biasanya
dilakukan pada saat tambak masih berair sekitar 10 cm (macak-macak) untuk memudahkan
pengangkatan lumpur.
Pemberantasan hama dilakukan dengan menggunakan saponin 15-30 ppm (15-30 kg saponin
per hektar tambak dengan kedalaman air sekitar 10 cm) dan kaporit 2-3 ppm (2-3 kg kaporit per
hektar tambak dengan kedalaman air sekitar 10 cm). Pada salinitas tinggi (di atas 25 ppt)
penggunaan saponin cukup 15-20 ppm, namun pada salinitas air tambak di bawah 5 ppt
diperlukan saponin hingga 30 ppm. Pemberantasan hama dimaksudkan untuk membunuh ikanikan liar (mujahir, gabus, kepala timah, bocci-bocci dan lain-lain) dan krustase liar (udang, kepiting,
jembret, dan sejenisnya). Setelah empat hari, air dibuang, kemudian tanah dasar tambak dibajak
dan dikeringkan secara sempurna hingga retak-retak agar limbah organik di dasar tambak
teroksidasi sempurna. Apabila masih dijumpai adanya ikan-ikan liar di bagian cekungan air,
pemberantasan hama diulangi di bagian tersebut.
Kemudian pengapuran dilakukan dengan menggunakan kapur bakar (CaO, yaitu kapur yang bila
direndam air akan mengeluarkan gelembung panas seperti air mendidih). Jumlah kapur bakar yang
digunakan tergantung pada kondisi kemasaman tanah dasar tambak tersebut. Makin masam
tanah dasar tambak, maka diperlukan kapur bakar yang lebih banyak. Secara umum diperlukan
kapur bakar antara 1-5 ton per hektar tambak untuk mempercepat proses oksidasi bahan organik
dan peningkatan pH tanah dasar tambak. Setelah dilakukan pengapuran, sebaiknya dilakukan
pengecekan pH dan redoks potensial tanah dasar tersebut. Menurut Poernomo (2004), redoks
potensial tanah dasar tambak pada saat kering sebaiknya minimal +50 mv. Namun pada
kenyataannya hal ini seringkali sulit diperoleh di lapangan. Apabila pH tanah dan redoks
potensialnya masih rendah, maka, pengapuran perlu dilakukan kembali dengan kapur bakar
hingga pH tanah meningkat.
36
Setelah 1-2 minggu pengeringan dan tanah terlihat retak-retak, kemudian pemupukan tambak
sesuai kebutuhan. Untuk tambak tradisional plus, memerlukan pupuk organik, urea, dan SP-36
(super fosfat) tergantung kondisi tanah dan musim penebaran. Umumnya tambak udang
tradisional plus memerlukan pupuk organik 200-400 kg/ha, urea 50-100 kg/ha, dan SP-36 50100 kg/ha sebagai pupuk dasar. Namun pemakaian seminimal mungkin lebih disarankan. Pada
musim hujan penggunaan urea dapat dikurangi karena adanya masukan nitrogen dari air hujan.
Tambak yang relatif dekat dengan laut biasanya memerlukan urea lebih banyak dan SP-36 lebih
sedikit daripada tambak yang jauh dari laut. Pemupukan dasar dengan SP-36 tidak diperlukan di
tambak TSM yang merupakan tanah gambut, karena fosfatnya akan terikat oleh asam humus dari
tanah, sehingga sulit terlepas ke air. Pada tambak TSM pemupukan susulan yang sedikit demi
sedikit dilakukan (2-5 kg/minggu) lebih baik daripada penggunaannya sebagai pupuk dasar.
Secara umum, pada kondisi tanah normal (tanah mineral) diperlukan pupuk dasar urea sebanyak
20-50 kg/ha dan SP-36 sebanyak 20-50 kg/ha. Sedangkan pemupukan susulan sebaiknya
dilakukan sebulan setelah penebaran benur, yaitu sekitar 10% dari jumlah pupuk dasarnya
(masing-masing 2-5 kg/ha/mg), tergantung kondisi dan warna airnya.
Tambak kemudian diisi air bersih (air yang telah ditandon terlebih dahulu ataupun air saluran yang
relatif baru) langsung penuh (misal satu meter atau hingga ketinggian maksimal yang mampu
dicapai). Pada pengisian air tambak udang tidak boleh dilakukan secara bertahap 10 cm setiap
hari sebagaimana dilakukan di tambak ikan bandeng, karena bandeng perlu klekap sebagai
makanannya. Tumbuhnya klekap di tambak udang, merupakan masalah bagi udang yang
dipelihara. Klekap akan terapung dan akhirnya mati, membusuk di dasar tambak, sehingga
menjadi salah satu pemicu stres bagi udang windu. Secara umum tambak udang windu
memerlukan air yang lebih dalam dibanding tambak bandeng, karena udang lebih menyukai
plankton dari pada klekap.
Apabila memiliki petak tandon yang
d i l e n g k a p i d e n g a n b i o f i l t e r,
sebaiknya air baru dari saluran air (12 jam setelah air pasang) disimpan
di tandon terlebih dahulu sekitar 3-4
hari sebelum dimasukkan ke dalam
petakan tambak. Air yang ditandon
3-4 hari tersebut dapat menurunkan
jumlah bakteri patogen yang ada,
serta dapat mengurangi peluang
virus WSSV mendapatkan inangnya.
Dengan demikian air yang telah
ditandon ini relatif lebih aman dari
pada air langsung (tidak ditandon).
Kualitas air yang terbaik (optimum)
bagi udang windu di tambak
tradisional plus dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut.
Kisaran
Optimum
Keterangan
Suhu air (oC)
26 - 30
Fluktuasi harian < 3
pH
7,5 – 8,5
Fluktuasi harian < 0,5
Salinitas (ppt atau promil)
10 - 25
Fluktuasi harian < 5
Kualitas air tambak
Oksigen terlarut (mg/L)
Alkalinitas total
(mg CaCO3 equivalent/L)
Kedalaman air (cm)
Kecerahan air (persen)
Rasio C:N:P
Warna air
>4,0
Kondisi normal
>100
Penstabil pH dan pertumbuh
an normal fitoplankton
>80
Lebih dalam lebih baik
30 - 40
Jika lebih, berarti fitoplankton
kurang tumbuh (jernih)
106:16:1
Fitoplankton tumbuh normal
Hijau coklat
Fitoplankton baik, normal
Tabel 1. Kualitas air optimum bagi pertumbuhan udang windu
(Atmomarsono, 2004)
37
Aklimatisasi dan penebaran benur / tokolan
Tiga hingga empat hari sebelum benur windu diambil dari hatchery, pengambilan contoh benur
dilakukan dengan cara diawetkan dalam larutan alkohol 70% sebelum dicek dengan “Polymerase
Chain Reaction” (PCR) untuk pengujian WSSV di laboratorium. Sebelum benur windu ditebar di
tambak, terlebih dahulu ditokolkan atau dibantut (ditokolkan) selama 2-6 minggu di tempat yang
relatif bersih (tidak terkontaminasi oleh organisme patogen). Benur yang telah dibantut akan
memiliki vitalitas lebih tinggi, dan masa pemeliharaannya di tambak lebih singkat (2-3 bulan).
Tokolan udang windu sangat diperlukan khususnya di tambak TSM, karena tingginya kandungan
besi dan aluminium yang memungkinkan sebagai pemicu stres pada udang. Waktu pemeliharaan
udang di tambak TSM harus diusahakan lebih singkat agar terhindar dari serangan penyakit yang
biasanya terjadi pada umur antara 40-70 hari. Agar udang cepat mencapai ukuran konsumsi,
maka padat penebaran di tambak TSM juga harus disesuaikan dengan kondisi tanahnya, misalnya
hanya 0,5-1 ekor/m2. Sedangkan pada tambak tanah mineral (tidak masam) dapat ditebari
hingga 4 ekor/m2. Secara umum padat penebaran benur/tokolan udang windu di pertambakan
Sulsel hanya 1-2 ekor/m2, sedangkan di pantura Jawa bisa mencapai 2-4 ekor/m2 .
Benur ataupun tokolan udang windu sebelum ditebar harus diaklimatisasi terhadap suhu dan
salinitas air. Penebaran benur atau tokolan dapat dilakukan apabila air dalam petakan tambak
telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal ini diperlukan agar fitoplankton telah
tumbuh dengan stabil yang ditandai dengan warna air hijau kecoklatan dan kecerahan air sekitar
30-40 %. Apabila kedalaman air tambak adalah satu meter, maka sebaiknya kecerahan air 30-40
cm, jika kedalaman air sekitar 60 cm, maka kecerahan air 18-24 cm. Secara umum untuk
pemeliharaan udang, makin dalam airnya makin bagus, karena udang lebih menyukai plankton
yang banyak terdapat di kolom air dari pada klekap di dasar tambak.
Berbagai jenis pestisida (Thiodan, Trithion, Aquadyne, Brestan dan sebagainya) tidak boleh
(DILARANG) digunakan lagi untuk pemberantasan hama di tambak, karena menyebabkan air
terlalu jernih (nilai kecerahan hampir sama dengan kedalaman). Hal ini dimungkinkan karena
fitoplankton kurang mampu tumbuh sebagai akibat kurangnya unsur hara nitrogen (N) dan fosfor
(P) dalam kolom air yang sebagian besar terikat di tanah oleh pengaruh pestisida yang digunakan.
Pada kondisi demikian udang akan mudah mengalami stress, sehingga mudah terserang penyakit.
Pengelolaan Pakan
Pada dasarnya pakan buatan yang diberikan ke udang windu yang dipelihara pada sistem
budidaya udang tradisional plus (ekstensif plus) hanya bersifat tambahan saja, karena udang
diharapkan makan plankton yang ada di tambak (fitoplankton dan zooplankton). Di tambak
tersebut, pakan berupa pellet biasanya diberikan satu bulan menjelang udang dipanen. Namun di
tambak dengan sistem semi-intensif dan intensif, pakan buatan berupa pelet yang bermutu mutlak
diperlukan.
Mutu, ukuran, dan jumlah pakan harus disesuaikan dengan umur udang. Pada umur muda, udang
memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi. Jumlah pakan yang diberikan setiap
38
harinya harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan kondisi udang pada saat sampling. Apabila
pada saat sampling banyak didapat udang yang “molting” (ganti kulit), maka sebaiknya jumlah
pakannya dikurangi. Hal ini mengingat, bahwa udang yang molting akan istirahat makan sekitar
24-48 jam. Jadi kalau pakannya justru ditambah, maka kelebihannya menjadi limbah organik yang
dapat memicu perkembangbiakan bakteri V. harveyi dan WSSV yang dapat membahayakan udang
windu di tambak. Sebaiknya jangan menggunakan pakan segar dari kelompok krustase seperti
kepiting, kepala udang dan sebagainya, karena ini dapat menjadi “carrier” (pembawa) penyakit
WSSV. Pakan yang berupa pellet harus disimpan di tempat yang kering dan sejuk, serta dialas
papan agar tidak mudah berjamur.
Pemberian pakan (pellet) di tambak tradisional plus bisa dimulai pada minggu ke enam setelah
penebaran tokolan udang windu, yaitu sekitar 1 kg/hr yang ditebar merata ke sekeliling tambak.
Setelah 7 hari, jumlah pakan dinaikkan menjadi 1,2 kg/hr selama 7 hari, kemudian 1,5 kg/hr
selama 7 hari. Demikian seterusnya dilakukan sedikit penambahan pakan setiap minggunya.
Jumlah pemberian pakan sekitar 1-3% bobot biomass/hari. Diharapkan FCR (feed convertion
ratio = rasio konversi pakan) di tambak udang windu tradisional plus adalah kurang dari satu.
Pengelolaan Air
Satu hal perlu dicatat, bahwa sebaiknya hanya mengganti air tambak bila diperlukan saja, artinya
lakukan sesedikit mungkin, karena makin banyak dilakukan penggantian air memungkinkan
terjadinya udang stress. Perubahan warna air tambak sebaiknya diamati setiap saat. Warna air
yang berubah-ubah setiap saat, misal pagi kuning, siang hijau, dan sore menjadi biru, merupakan
indikator bahwa air tambak tersebut memiliki alkalinitas total yang rendah (di bawah 80 mg
CaCO3 equivalen/L) (Atmomarsono, 2004). Akibatnya dapat terjadi goncangan pH air harian
yang melebihi 0,5 (misal 7,5 hingga 9,5). Apabila hal ini terjadi, maka udang akan mudah
mengalami stress. Oleh karena itu harus dilakukan aplikasi kapur dolomit di tambak tersebut.
Warna air yang dianggap bagus untuk budidaya udang windu adalah hijau kecoklatan. Secara
umum kapur dolomit dapat diaplikasikan secara rutin 3-5 ppm per minggu (sekitar 30-50 kg/ha
tambak dengan kedalaman air satu meter) untuk mencegah terjadinya goncangan pH pada musim
penghujan. Hal ini sangat diperlukan terutama di areal pertambakan yang masih masam (tanah
TSM).
Untuk mempertahankan warna air tersebut dapat dilakukan dengan cara pemupukan susulan
urea dan SP-36 sekitar 0,1 – 1 ppm (tergantung warna airnya) serta aplikasi bakteri probiotik
tertentu. Untuk warna air tambak yang cenderung hijau muda kekuningan, diperlukan pupuk
susulan SP-36 lebih banyak dari pada ureanya. Sebaliknya apabila warna air cenderung coklat
kemerahan, maka diperlukan pupuk susulan urea lebih banyak dari pada SP-36.
Aplikasi Bakteri Probiotik RICA
Peralatan
 Aerator “double power” (AC/DC, tetap hidup walaupun mati listrik) satu unit yang
dilengkapi dengan slang aerasi, pengatur gas, dan batu aerasi.
39
 Ember besar bertutup untuk wadah kultur bakteri probiotik, volume ember tergantung
jumlah bakteri yang diperlukan, misal 20, 40, atau 50 L.
 Ember dengan volume 10-15 L untuk menebar bakteri probiotik ke tambak.
 Jerigen steril untuk membawa bakteri probiotik hasil kultur.
 Corong plastik untuk memasukkan bakteri probiotik ke dalam jerigen.
 Gayung air untuk memasukkan bakteri ke dalam jerigen plastik dan untuk menebar
bakteri ke tambak.
 Timbangan 1-5 kg, untuk menimbang dedak, tepung ikan, yeast (ragi roti), dan molase.
 Takaran atau literan, untuk menakar volume air tambak dan volume molase yang
diperlukan (molase ditimbang dan diukur volumenya pada awal pengukuran saja,
selanjutnya ditandai dengan supidol agar lain kali tidak perlu ditimbang lagi).
 Spidol permanen untuk penanda pada takaran yang digunakan.
 Kompor gas lengkap dengan tabung gas, slang, dan regulatornya.
 Panci stainless volume 50 L untuk memasak campuran bahan.
 Pengaduk dari kayu untuk mengaduk bahan-bahan yang dimasak.
 Beberapa ember dengan tutup dan stoples plastik untuk menyimpan tepung dan bahanbahan lainnya.
Bahan-bahan
 Bakteri probiotik RICA, yaitu isolat BT951, MY1112, dan BL542 dalam media Nutrient
Broth (200 mL per 20 L air tambak).
 Tepung ikan (400 g per 20 L air tambak)
 Dedak halus (1.000 g per 20 L air tambak)
 Ragi roti (yeast) (100 g per 20 L air tambak)
 Molase (tetes tebu) atau gula 500 g (sekitar 375 mL) per 20 L air tambak
 Air tambak sebanyak 20 L.
Cara kultur
 Masak 1.000 g dedak halus dan 400 g tepung ikan dengan menggunakan 20 L air
tambak dalam panci stainless sambil terus diaduk hingga mendidih selama 5-10 menit
(agar bakteri kontaminan dari tambak mati).
 Matikan api, kemudian masukkan ragi roti sebanyak 100 g, sambil terus diaduk merata.
 Kemudian masukkan molase 500 g, sambil terus diaduk merata.
 Dinginkan campuran tersebut dengan cara merendam panci ke air tambak atau
membaginya ke beberapa tempat agar lebih cepat dingin.
 Setelah dingin, dibagi ke dalam dua ember.
 Masukkan bakteri probiotik sebanyak 100-200 mL per ember.
 Diaerasi secara terus menerus dengan aerator AC/DC.
 Setelah dikultur 3-4 hari, aerasi dimatikan dan bakteri probiotik siap digunakan di tambak,
yaitu 0,2-1 ppm (2-10 L per hektar tambak tradisional plus dengan kedalaman air satu
meter); 1-5 ppm di tambak semi-intensif udang windu dengan padat penebaran hingga
40
10 ekor/m2; atau 5-10 ppm di tambak udang intensif dengan padat penebaran hingga 20
ekor/m2.
Cara aplikasi
 Bakteri probiotik RICA yang telah dikultur 3-4 hari memiliki kepadatan sekitar 1010 –
1012 CFU/mL, biasanya berbau tape dan siap ditebar ke tambak dengan dosis seperti
tersebut di atas.
 Bakteri probiotik tersebut dicampur/diencerkan dengan air tambak secukupnya,
kemudian ditebar merata ke permukaan air tambak.
 Pemberian bakteri probiotik dilakukan seminggu sekali untuk budidaya udang windu
tradisional plus dan semi-intensif. Sedangkan untuk teknologi sistem intensif diperlukan
penebaran 1-2 kali/minggu tergantung kondisi airnya.
 Aplikasi bakteri probiotik RICA yang terbaik dilakukan secara bergiliran, yaitu BT951
diberikan 3-4 kali sejak minggu 2-3 pemeliharaan, kemudian diganti dengan MY1112
diberikan 3-4 kali berturut-turut, kemudian diganti BL542 diberikan 3-4 kali berturutturut, dan diulang lagi dengan BT951 hingga panen.
 Bakteri probiotik RICA perlu dikultur selama 3-4 hari agar diperoleh konsentrasi hingga
1010-1012 CFU/mL, sehingga pada saat dipakai di tambak hanya memerlukan jumlah
sedikit (kurang dari 10 L/ha).
Jumlah Kaji Terap di Beberapa Daerah
 Kabupaten Barru (2 orang, tahun 2009), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran
2 ekor/m2, sintasan 30,9 % (261 % dari pada kontrol = petak tambak yang tidak
menggunakan probiotik), produksi 81,4 kg/ha (428 % dari pada kontrol) dengan masa
pemeliharaan 70 hari.
 Kabupaten Pinrang (6 orang tahun 2010, 36 orang tahun 2012), sistem ekstensif plus
dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 61,9 % (206 % dari pada sintasan udang
di petak tambak tanpa probiotik pada tahun 2011 yang sekitar 30%), produksi 240
kg/ha (205% dari pada produksi rata-rata pada tahun 2011) dengan masa pemeliharaan
70-90 hari.
 Kabupaten Pangkep (71 orang tahun 2011, 18 orang tahun 2012), sistem ekstensif plus
dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 49,24 % (246 % dari pada sintasan di
tambak masyarakat tanpa probiotik yang hanya sekitar 20%), produksi 267 kg/ha (178
% dari pada produksi udang di tambak masyarakat tanpa probiotik yang hanya sekitar
150 kg/ha) dengan masa pemeliharaan 70-100 hari.
 Pada tahun 2013 sedang berlangsung kaji terap di Kabupaten Indramayu (12
pembudidaya), di Kabupaten Brebes (16 orang), di Kabupaten Pangkep (20 orang).
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Teknologi Aplikasi Probiotik RICA ini lebih unggul karena dalam pemakaiannya bakteri dibutuhkan
jumlah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pemakaian probiotik lainnya yang memerlukan
volume besar. Sebagai akibatnya, biaya aplikasinya jauh lebih murah, kurang dari Rp 200.000,per musim tanam.
41
Berdasarkan hasil kaji terap di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan, menunjukkan, bahwa
aplikasi probiotik RICA mampu meningkatkan sintasan lebih dua kali lipatnya (30-61%)
dibandingkan kondisi awalnya (11-20 %), juga meningkatkan produksi udang windu hampir dua
kali lipatnya (81-267 kg/ha/MT) dibandingkan kondisi awalnya (11-150 kg/ha/MT). Secara
umum teknologi budidaya udang windu tradisional plus dengan aplikasi bakteri probiotik RICA
dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di atas 30 % daripada tanpa probiotik.
Teknologi Aplikasi Probiotik RICA mudah diterapkan di masyarakat dalam suatu kelompok
pembudidaya udang (dalam hamparan), agar lebih efisien dalam penggunaan peralatan kultur
bakteri probiotik. Secara praktis di masyarakat bisa menciptakan kelompok kerjasama sosial
dalam bentuk koperasi yang saling menguntungkan baik dalam hal teknis maupun ekologis.
Probiotik RICA merupakan tiga jenis bakteri yang diisolasi dari tambak (RICA-1 = isolat BT951,
Brevibacillus sp), dari mangrove (RICA-2 = MY1112, Serratia sp), dan dari laut (RICA-3 = BL542,
Pseudoalteromonas sp), yang merupakan hasil seleksi dari 3.976 isolat asli perairan Sulawesi
Selatan, yang telah diuji secara “in vitro” dan “in vivo” kemampuannya dalam memperbaiki kualitas
air (menurunkan kandungan bahan organik total, amoniak, nitrit, dan H2S) dan tidak patogen
terhadap udang, serta mampu menekan perkembangbiakan bakteri patogen V. harveyi. Oleh
karena itu ketiga isolat probiotik RICA tersebut tergolong bakteri yang ramah lingkungan.
WAKTU - LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Penelitian dasar yang meliputi skrining isolat dari alam, uji antagonis terhadap bakteri patogen
Vibrio harveyi, kemampuan terhadap masing-masing parameter kualitas air, uji patogenesitasnya
terhadap udang windu telah dilakukan antara 2002 – 2005 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan
Lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, dan Laboratorium
PAU Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Atmajaya (sequensing dengan 16S-rRNA).
Pengujian daya simpan isolat bakteri (suhu kamar dan suhu kulkas) juga telah dilakukan hingga
2008 di BPPBAP Maros. Selanjutnya pengkajian di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Maros
telah dilakukan sejak tahun 2006 hingga sekarang, juga Pengembangan di Instalasi Tambak
Percobaan Punaga, Takalar pada tahun 2009. Mulai tahun 2009 dirintis aplikasinya di tambak
rakyat di Kabupaten Barru, kemudian tahun 2010 di tambak rakyat Kabupaten Pinrang (hingga
2012), dan di tambak rakyat Kabupaten Pangkep pada tahun 2011-2013. Pada tahun 2011
seorang pembudidaya dari Samarinda Kaltim juga telah menguji coba di tambaknya. Pada tahun
2012 seorang pembudidaya dari Gresik, Jatim juga telah menguji coba di tambaknya. Pada tahun
2013 juga diaplikasi di 12 petak tambak udang windu di Kabupaten Indramayu, 16 petak tambak
di Kabupaten Brebes, dan 20 petak tambak di Kabupaten Pangkep.
Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi probiotik RICA sebaiknya di
wilayah dengan kondisi tanah mineral seperti di Jawa pada umumnya, pantai Barat Lampung, dan
sebagian pantai Barat Sulawesi Selatan. Di lokasi lain yang masih relatif masam tanahnya (TSM)
seperti di Aceh umumnya, Kalimantan umumnya, dan pantai Timur Sulawesi Selatan masih perlu
dilakukan tambahan aplikasi berupa penambahan kapur dolomit agar probiotik tersebut bisa lebih
efektif.
42
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Sangat kecil kemungkinan dampak negatif dari aplikasi probiotik RICA, karena ketiga isolat
berasal dari tambak, mangrove, dan laut di sekitar tambak. Bahkan dengan aplikasi ketiga jenis
probiotik tersebut dapat memperbaiki kualitas perairan di sekitarnya. Namun demikian cara
penyimpanan bakteri probiotik RICA secara “sembrono” (sembarangan) dapat memungkinkan
terjadinya kontaminasi dengan bakteri lain di sekitar tambak. Oleh karena itu probiotik RICA
sebaiknya dikultur di suatu tempat yang bersih dalam kelompok pembudidaya untuk sekitar 10 ha
tambak.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA
Kebutuhan
per ha
Uraian
Volume
Biaya Investasi (Untuk Dua
kali MT/tahun) (A1)
Biaya produksi per MT (A)
(B)
Laba operasional (B -A)
Jumlah (Rp)
MT
17.000.000
34.000.000
1
10
Unit
200.000
2.000.000
0,1
1
paket
2.000.000
2.000.000
1
10
ha
3.000.000
30.000.000
1
10
ha
1.000.000
10.000.000
20.000
1.000
6
50
500
200.000
10.000
60
500
5.000
ekor
kg
kg
kg
kg
40
1.000
30.000
8.000
1.600
8.000.000
10.000.000
1.800.000
4.000.000
8.000.000
200
100
100
200
1,2
5
2
2
0,4
2.000
1.000
1.000
2.000
12
50
20
20
4
kg
kg
kg
kg
L
kg
kg
kg
kg
1.000
2.000
2.500
15.000
75.000
2.000
20.000
10.000
50.000
2.000.000
2.000.000
2.500.000
30.000.000
900.000
100.000
400.000
200.000
200.000
(A2)
- Biaya pemeliharaan tambak
- Tokolan udang windu
- Kapur bakar
- Kaporit
- Saponin
- Kapur dolomit super polowijo
- Pupuk organik
- Pupuk urea
- Pupuk SP-36
- Pakan pellet
- Probiotik (12-16 kali/MT)
- Tepung dedak
- Tepung ikan
- Molase
- Ragi roti
Penerimaan
Harga
satuan (Rp)
2
- Saringan air (bilah bambu dan
waring hijau/hitam)
- Peralatan probiotik (aerator
AC/DC, kompor gas, tabung,
ember dll) per kelompok (10
ha)
- Sewa tambak per tahun
Biaya Operasional
Satuan
80.100.000
A1 + A2
240
17.000.000 + 80.100.000
2.400
kg
97.100.000
80.000
192.000.000 – 97.100.000
Laba Operasional dalam satu tahun (2 kali MT/tahun)
Rasio antara Penerimaan dan Biaya = R/C = 192.000.000/97.100.000
192.000.000
94.900.000
189.800.000
1,98
Tabel 2. Analisis usaha budidaya udang windu dengan Aplikasi probiotik RICA di lahan
tambak tradisional plus seluas 10 ha (contoh kasus di Kabupaten Pinrang, Sulsel 2012).
·R/C 1,98 > 1 Layak Usaha (Bisa dikembangkan di masyarakat)
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Semua (100 %) bahan dalam penerapan probiotik RICA merupakan produk dalam negeri, kecuali
untuk biakan isolat murni bakteri probiotik (TSA dan Nutrient Broth) yang masih diimpor. Di masa
yang akan datang, masih akan dicoba mengganti kedua jenis media tersebut dengan media lokal
(bila memungkinkan tentunya).
43
BBAP
Teknologi Sistem Resirkulasi Untuk Pemeliharaan Induk
Udang Vannamei (litopenaeus Vannamei)
Unit Eselon I
Direktorat Jendral Perikanan
Budidaya
Satuan Kerja
Balai Budidaya Air Payau Takalar
Alamat
Dusun Kawari, Desa Mappakalompo,
Kecamatan Galesong, Kabuapten
Takalar 92254, Telp: (0418) 232
6577, Fax: (0418) 232 6777
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2006
Tim Penemu
Sitti Faridah
Syamsir Syam
Haruna
Kontak Person
Sitti Faridah
[email protected]
44
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Tujuan untuk mengembangkan usaha pemeliharaan induk vannamei dan memperoleh sistem
pemeliharan yang sesuai untuk induk udang vannamei sehingga dapat meningkatkan
produktivitas induk. Manfaat kegiatan untuk memperoleh nauplius yang bermutu dari induk
vannamei .
PENGERTIAN/DEFINISI
Resirkulasi : Proses pergantian air yang dilakukan secara tertutup. Sistem perputaran air tertutup,
tidak ada penambahan air dari luas sistem, kalaupun ada hanya sedikit sebagai pengganti air yang
menguap
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Sistem resirkulasi pada pemeliharaan induk vannamei dilakukan sebagai upaya untuk
memperoleh air media pemeliharaan pada suhu 26-27oC karena udang ini berasal dari hal ini
disebabkan induk vannamei membutuhkan suhu 26-27oC untuk dapat melakukan pemijahan
karena suhu perairan di tempat asal induk vannamei yang beriklim Amerika yang bersuhu lebih
rendsh. Sistem resirkulasi dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh suhu air media
pemeliharan yang stabil (26-27oC). Untuk memperoleh kisaran suhu tersebut suhu 26-27oC
dilakukan modifikasi ruang pemeliharaan induk dengan memasangkan AC 1 PK sebanyak 2 buah
dan agar suhu lebih stabil maka dibuatkan plafon pada ruang pemeliharaan induk.
Detail SOP mencakup
a. Gambaran/uraian/rincian teknologi
Sistem resirkulasi yang digunakan pada pemeliharaan induk vannamei asal Amerika dilakukan
secara tiga tahap yaitu:
I. Air disaring pada saringa fisik dengan susunan arang dan pasir kuarsa,
II. Air disaing dengan filter fisik dengan system gravitasi dengan menggunakan zeolit,
pasir kuarsa, karbon aktif/arang, ijuk dan batu kali,
III. Air disaring menggunakan ultra violet.
Setelah itu air dimasukkan ke dalam bak pemeliharan induk.
b. Cara penerapan teknologi yang diurut mulai dari persiapan sampai aplikasi
Dalam perekayasaan ini air laut yang digunakan dialirkan melalui sistem filtrasi BBAP Takalar
yaitu air yang dipompa dari laut dialirkan dalan filter dengan material terdiri dari batu kali, pasir
kwarsa dan arang tempurung. Kemudian air dialirkan ke dalam bak tandon untuk diendapkan.
Dari bak tandon air dialirkan ke bak-bak pemeliharaan melalui presure filter dan ultraviolet.
Untuk mempertahankan kualitas`air di bak pemeliharaan maka dilakukan penyiponan dan proses
sirkulasi. Pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, DO dan PH dilakukan pada setiap hari,
sedangkan alkalinitas dan TOM dilakukan setiap 3 hari.
45
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Uraian tentang teknologi yang baru dan modifikasi
Pada pemeligharaan induk udang vanamei supaya peroduktif dan sehat diperlukan suhu air yang
lebih rendah (26-27oC) dibandingkan dengan suhu air rata-rata di Indonesia berkisar antara 27.829.7 oC. Untuk menurunkan suhu digunakan alat yang disebut Chiller, harganya cukup mahal
sekali, sekitar Rp 50.000.000 hingga Rp 70.000.000. Untuk mengatasi hal tersebut maka
diciptakan tempat dengan memodifikasi ruangan pemeliharaan induk induk dengan cara
membuat plafon dan memasang AC 1 PK sebanyak 2 buah dan membuat sistem resirkulasi.
Uraian tentang keberhasilan teknologi
 Lebih ekonomis karena tidak menggunakan pompa terus menerus dan chiller pendingin
sehingga hemat biaya listrik dan hemat air karena tidak perlu memompa air dari luar/laut
setiap hari, cukup mengganti sedikit saja.
 Teknologi ini sangat layak diterapkan untuk pemeliharaan induk vanamei, karena tidak
ada pergantian air dari luar sehingga kecil kemungkinan terkontaminasi dengan penyakit
dari alam. Kandungan bakteri pada air media setelah penyaringan fisik dan ultraviolet
lebih rendah dari pada air awal (inlet) dan outlet media pemeliharaan dimana kandungan
Vibrio sp pada outlet adalah 6,3.103 setalah tahap III adalah 5,0. 101, Aeromonas sp
adalah 9,7.102 setelah tahap III adalah 8,6 . 101 dan total bakteri adalah 1,6. 105 setelah
tahap III adalah 9,7 . 102. Jumlah telur pada pemeliharaan induk dengan sistem
resirkulasi yaitu 69. 320 butir telur dan hatching rate 49,88 % sedangkan tanpa
resirkulasi adalah 47.591 butir telur dan daya tetas telur 31,55 %. Persentase tingkat
kelangsungan hidup dengan sistem resirkulasi pada induk jantan adalah 52,09 % dan
betina 48,64 % sedangkan untuk pemeliharaan tanpa resirkulasi pada induk jantan
adalah 33,23% dan betina 27,56 %.
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautam dan perikanan
 Sistem resirkulasi ini mudah diterapkan dalam usaha perikanan budidaya
 Sisitem ini dapat diterima oleh pelaku usaha perbenihan udang vanamei.
 Dari segi ekonomi, sistem resirkalasi ini lebih menguntungkan baik untuk
penggunaannya/pengaplikasiannya maupun untuk pembuatannya.
 Dari segi teknis, sistem resirkulasi dapat berfungsi dengan baik dan dapat mereduksi
kandungan bakteri pada media air pemeliharaan. Selama pemeliharaan induk, dilakukan
pengukuran kandungan bakteri Vibrio sp, Aeromonas sp dan Total Bakteri, dan diperoleh
hasil sebagai berikut:
Perlakuan
Inlet
Outlet
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Bakteri cfu/ml
Vibrio sp
Aeromonas sp
Total Bakteri
2,6 . 102
1,3 . 102
5,2 . 103
6,3 .
103
9,7 .
102
1,6 . 105
3,9.
103
7,5 .
102
5,8 . 104
2,8 .
102
4,1 .
102
2,3 . 104
5,0 .
101
8,6 .
101
2,7 . 103
Tabel 1. Hasil Pengukuran Vibrio sp, Aeromonas sp, dan Total Bakteri pada
Air Pemeliharaan Induk Selama Proses Resirkulasi
46
Total bakteri dalam sumber air yang akan dugunakan untuk bak induk (inlet) 5,2. 103 cfu/ml akan
meningkat menjadi 1,6. 105 cfu/mlsetelah digunakan dalam bak induk., demikian juga pada
bakteri Vibrio sp dan Aeromonas sp. Kandungan bakteri pada air di outlet meningkat tetapi
perlahan menurun setelah melewati 3 tahapan penyaringan yang dilakukan dalam proses
resirkulasi. Kandungan bakteri pada air media setelah penyaringan fisik dan ultraviolet lebih
rendah dari pada air awal (inlet) dan outlet media pemeliharaan dimana kandungan Vibrio sp pada
outlet adalah 6,3.103 setalah tahap III adalah 5,0. 101, Aeromonas sp adalah 9,7.102 setelah
tahap III adalah 8,6 . 101 dan total bakteri adalah 1,6. 105 setelah tahap III adalah 9,7 . 102. Dari
hasil pengukuran bakteri pada air media pemelihaan induk dengan sistem resirkulasi dengan
menggunakan penyaringan fisik ganda dan ultraviolet, mampu mengurangi bakteri alam air media.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
100%
90%
80%
70%
Inlet
60%
Outlet
Tahap I
50%
Tahap II
40%
Tahap III
30%
20%
10%
0%
Vbr sp
Armns sp
Ttl Bktr
Gambar 1. Grafik Kandungan Bakteri pada Air Media Pemeliharaan Induk
Jumlah dan daya tetas telur pada pemeliharaan induk dengan menggunakan sistem resirkulasi
lebih besar dari pada pemeliharaan induk tanpa resirkulasi. Pada sistem resirkulasi jumlah telur 69.
320 butir dan menetas (hatching rate) 49,88 % sedangkan yang tanpa resirkulasi jumlah telur
47.591 menetas 31,55 %. Rendahnya jumlah telur yang dihasilkan dan juga daya tetasnya
utamanya disebabkan kualitas air tidak stabil terutama sering terjadi fluktuasi perubahan suhu
akibat dari pemasukan air dari luar sistem
Perlakuan


Tanpa Resirkulasi
Resirkulasi
Jumlah Telur (btr)
47.591
69.320
Daya Tetas Telur (%)
31,56
49,88
Tabel 2. Hasil Pengukuran Jumlah dan Daya Tetas Telur
60
50
40
30
20
10
0
Tnp Resk.
Resk.
Jantan
Betina
Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Induk
Vannamei selama Pemeliharaan
47
Pada sistem resirkulasi sintasan induk jantan adalah 52,09 % dan betina 48,64 % sedangkan
untuk pemeliharaan tanpa resirkulasi sintasan pada induk jantan adalah 33,23% dan betina
27,56% . Tingkat kelangsungan hidup pada pemeliharaan induk dengan sistem resirkulasi lebih
tinggi dibandingkan tanpa resirkulasi baik pada induk jantan maupun betina. Sintasan induk betina
lebih rendah dari pada induk jantan baik pada sistem resirkulasi maupun sistem mengalir. Hal ini
akibat dari adanya perlakuan ablasi yang kurang sempurna pada induk betina sehingga berakibat
kematian.
Parameter kualitas air masih sangat layak untuk kehidupan induk udang vaname dan untuk
bereproduksi.
Perlakuan
Suhu
Sal.
pH
DO
Alk.
Amoniak
Nitrit
Nitrat
Inlet
Outlet
Tahap I
Tahap II
Tahap III
29-30
27-28
28-29
28-29
27-28
30-32
30-32
30-32
30-32
30-32
7-8,5
7-8,5
7-8,5
7-8,5
7-8,5
5,87
5,72
5,92
5,85
5,64
121
137,5
126,5
122,9
110,3
Ttd
0,0001
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Tabel 3. Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Induk (Litopenaeus vannamei) pada Sistem Resirkulasi.
Dari segi infrastruktur, sistem rsirkulasi ini memiliki bentuk dan desain yang lebih baik dan layak
dari sistem lainnya yang penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Ramah lingkungan
Dengan adanya sistem resirkulasi dalam pemeliharaan induk vannamei, lebih ramah lingkungan
karena :
1. Tidak perlu melakukan pergantian air setiap harinya sehingga buangan limbah sebagai
pencemar lingkungan dapat di kontrol
2. Dengan penggunaan penyaring dengan ultravioletpada sistem resirkulasi ini,
penggunaan bahan kimia dan obat-obatan dalam mereduksi bakteri dan
mikroorganisme yang mempengaruhi air media pemeliharaan ikan, dapat dikurangi.
LOKASI PENELITIAN/DAERAH REKOMENDASI
Unit rancang bangun dan unit pembenihan udang windu dan vannamei di Balai Budidaya Air Payau
Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Kegiatan pembuatan
dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember tahun 2006, namun pengkajian, pengembangan
dan penerapan dilakukan sampai saat ini/sekarang dengan menggunakan biota perikanan
lainnya.
Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi sistem resirkulasi dalam
pemeliharaan induk vannamei, pada dasarnya dapat digunakan pada semua kegiatan yang
menginginkan penghematan air dan memperoleh air yang bebas mikroorganisme dan bakteri
yang merugikan baik untuk kegiatan pemeliharaan ikan baik air laut maupun tawar.
48
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kandungan bakteri akan tinggi tetapi telah dipasangkan sistem penyaringan air menggunakan
ultraviolet.
KELAYAKAN FINANSIAL
No.
Nama Alat/Bahan
satuan
Jmlh
Harga Satuan
Jumlah Biaya
Pembuatan Plafon
1
Balok kayu
kubik
2
3.000.000
6.000.000
2
Internit
lembar
100
15.000
1.500.000
3
Paku
kg
5
20.000
100.000
4
Cat tembok
pail
1
320.000
320.000
5
Kuas Roll
buah
2
30.000
60.000
6
Ongkos tukang
paket
1
2.400.000
2.400.000
Total
10.380.000
Pemasangan AC
1
AC 1 PK
buah
2
3.800.000
7.600.000
Perakitan sistem resirkulasi
1
Balok kayu ulin
batang
7
130.000
910.000
2
Penyaring UV
paket
1
5.000.000
5.000.000
3
Pipa 2’
batang
10
100.000
1.000.000
4
Knee 2’
buah
12
10.000
120.000
5
Tee 2’
buah
10
10.000
100.000
6
Stopkran 2’
buah
6
50.000
300.000
7
Pipa 3’
batang
2
165.000
330.000
8
Knee 3’
buah
4
15.000
60.000
9
Waring hitam
m
10
35.000
350.000
10
Waring hujau
m
10
17.000
170.000
11
Arang
Karung
5
150.000
750.000
12
Zeolit
karung
5
230.000
1.150.000
13
Ongkos Kerja
paket
1
950.000
950.000
14
Lem pipa
kaleng
2
150.000
300.000
15
Gergaji
buah
1
50.000
50.000
Total
11.210.000
TOTAL KESELURUHAN
29.190.000
Tabel 3. Rincian Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan sistem resirkulasi.
49
 Untuk pembuatan plafon membutuhkan dana Rp 10.380.000,00.
 Pembelian AC 1 PK sebanyak 2 buah @ Rp 3.800.000,00 sebesar Rp 7.600.000,00
 Pembuatan sistem resirkulasi (pembuatan tower, pemasangan filter fisik, pembuatan
outlet, pembuatan instalasi pipa, pembuatan UV) membutuhkan dana Rp 11.210.000,00.
 Total dana yang dibutuhkan adalah Rp 29.190.000,00
 Pembelian Chiller buatan impor dipasaran 1 paket (harga minimal) adalah Rp
50.000.000,00
 Keuntungan yang diperoleh dengan penerapan sistem resirkulasi adalah:
= Rp 50.000.000,00 - 29.190.000,00
= Rp 20.810.000,00
Jadi total keuntungan yang diperoleh dengan perapan sistem resisrkulasi adalah:
Rp 20.810.000,00
Dari hasil yang diperloleh dalam Aplikasi Sistem Resirkulasi dalam Pemeliharaan Induk Vannamei
dari segi kelayakan finansial, dapat dikatakan memberikan hasil yang menguntungkan untuk
diterapkan karena dapat mengurangi pengguanaan air, baik dari segi pelestarian lingkungan
maupun hasil produksi.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan 90% produk dalam negeri dan
10 % dari luar negeri, dimana semua bahan dan peralatan yang dipakai dalam perekayasaan
tersedia setiap saat dibutuhkan.
50
BBAP
Perakitan Alat Radiasi UV untuk Menekan Bakteri Pathogen
dalam Perikanan Budidaya
Unit Eselon I
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
Satuan Kerja
Balai Budidaya Air Payau Takalar
Alamat
Dusun Kawari, Desa Mappakalompo,
Kecamatan Galesong, Kabuapten
Takalar 92254, Telp: (0418) 232
6577, Fax: (0418) 232 6777
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2006
Tim Penemu
Sitti Faridah
Arsyad, Thamrin
I.G.P. Agung
Zaldiyansah
Haruna
Idris
Syarufuddin, Syaichuddin
Nana S Putra
Kontak Person
Sitti Faridah
[email protected]
51
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan Penerapan Teknologi
Untuk menciptakan Alat Radiasi Ultraviolet (UV)
sederhana untuk menekan populasi bakteri
pathogen dalam air pemeliharaan ikan baik
dalam perbenihan maupun pembesaran ikan
indoor .
Manfaat kegiatan untuk menyediakan alat
radiator ultraviolet sederhana, efisien dan dapat
diterapkan dengan mudah oleh masyarakat
perbenihan dan pembudidaya ikan baik skala
besar maupun kecil.
Gambar 1. Penyaring dengan ultraviolet perdana
hasil rakitan sederhana versi baru berukuran 8”.
Pengertian
Filter
: Proses penyaringan air sehingga air lebih baik bersih dari
partikel/kotoran dari dibandingkan dengan air sebelum difilter.
Sinar ultraviolet (UV)
: Sinar radiasi yang berada pada kisaran panjang gelombang antara 40
– 400 nm
Patogen
: agen biologi yang penyebabkan munculnya penyakit atau infeksi
penyakit.
Bakteri patogen
: bersifat saprifit dan menyerang ikan ketika ikan dalam kondisi yang
tidak fit atau seimbang serta defisiensi nutrisi.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Air yang akan diradiasi dengan ultraviolet harus bersih dari partikel, dengan pengendapan dan
penyaringan terlebih dahulu:
 Efektifitas radiasi Ultraviolet akan lebih baik apabila air yang diradiasi bebas
kotoran/partikel
 Lampu UV tidak cepat buram cahayanya karena lampunya cepat kotor.
52
Cara penerapan teknologi
Pada tahap awal dilakukan uji coba dengan membuat radiator dengan lampu UV three in one,
dimana dalam 1 tabung yang berukuran 8” dipasang 3 buah lampu UV. Langkah – langkah yang
dilakukan dalam pembuatan radiator-UV hasil rakitan sederhana adalah :
1. Membuat piringan dari pipa paralon dengan Ø 8”, lalu membuat lubang tempat
pemasangan lampu UV, dimana pada masing piringan dibuat sebanyak 3 lubang.
2. Membuat cincin dengan Ø 8” dengan ketebalan ± 1,5 cm.
3. Setelah itu dilakukan pemasangan piringan dan cincin pada Tee Ø 8” dan dilakukan
pemasangan sambungan sohk drak (watermur) pada masing –masing lubang.
4. Setelah itu dilakukan pengeleman pada watermur dengan ketingian lem ± 1 cm,
kemudian Tee Ø 8” yang dilem didiamkan selam ± 24 jam dimana untuk 1 tabung
penyaring dengan ultraviolet membutuhkan 2 Tee Ø 8” yang dilem untuk dipasang pada sisi kiri
dan kanan lampu.
5. Setelah itu dilakukan penyambungan Tee kiri dengan tee kanan dengan menambahkan
pipa paralon Ø 8” ± 60 cm.
6. Lalu lampu dipasang pada masing – masing lubang dan disambung kabel dan panel
control.
7. Setelah semua terpasang dengan baik, lampu UV siap digunakan.
8. Penggunaan lampu UV dengan cara memasang pipa air pada pemasukan UV dan
memasang pipa pengeluaran di bagian outlet lampu UV.
Cincin 8 ‘ dgn
ketebalan 1,5 cm
Lubang t4 lampu
Plat 8 ‘ yg telah
dilubangi
Cincin 8’
Plat 8’
Tee 8’
Pemasukan
Lampu UV
Pipa paralon 8’
Pengeluaran
Plat 8’
Cincin 8’
Gambar 2. Alat Radiasi UV dengan menggunakan pipa 8" (3 balon)
53
Lampu UV Ф
1 “ 40 watt
Pipa tabung
UV
Pipa Input/output
Pipa Ф 2.5”
Jarak
transmisi
Gambar 5. Desain penampang melintang UV 1 lampu
Inlet
Outlet
Gambar 6. Disain Ultraviolet 1 lampu dalam 1 tabung
Inlet
Outlet
Gambar 7. Disain Dua Ultraviolet 1 lampu dipasang seri
APLIKASI PENYARING DENGAN ULTRAVIOLETSEDERHANA BUATAN BBAP TAKALAR
LINGKUP BBAP TAKALAR
LUAR LINGKUP BBAP TAKALAR
Pembenihan udang windu
Politani Kab. Pangkep
Pembenihan kerapu
Dinas Perikanan Sul-Teng
Pembenihan Beronang
Dinas Perikanan Banten
Pembenihan kepiting
BBL Ambon
Pembenihan abalon
SUPM Bone
Produksi plankton
HSRT Diamond Benur Mappakalompo
Pembenihan Bandeng
pihak dari Malaysia sementara pesan
Tabel 1. Aplikasi penggunaan radiasi UV yang telah diterapkan
54
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Pada perekayaan ini dilakukan dengan membandingkan antara UV hasil rakitan sebelumnya (yang
tidak dapat diganti lampu UV-nya sehingga hanya dapat digunakan hingga mati). Dengan
modifikasi di beberapa bagian, alat radiasi UV buatan BBAP Takalar lebih sederhana, mudah
diganti lampunya saja dan efektifitasnya dalam menekan populasi bakteri pathogen lebih baik
dibanding dengan UV radiasi buatan sebelumnya . memperoleh penyaring dengan ultraviolet hasil
rakitan sederhana versi baru pada BBAP Takalar.
Uraian tentang keberhasilan teknologi dibandingkan dengan yang sudah ada
 Alat radiasi UV sebelumnya kurang efisien karena tidak dapat diganti-ganti lampu UV-nya
dengan yang baru apabila lampu UV putus/mati sedangkan hasil rakitan versi baru, lampu
UV. dapat diganti dengan mudah setiap saat tanpa harus menganti/membuang seluruh
sistem alat, sehingga lebih efisien
 Alat radiasi UV sebelumnya kurang layak digunakan karena efektifitas membunuh
bakteri dan mikroorganisme kurang sempurna. Model lama lampu UV nya tidak dapat
dibersihkan dari kotoran yang menempel sedangkan model baru lampu UV nya dapat
dengan mudah dibersihkan setiap saat.
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautam dan perikanan
 Alat radiasi UV ini, mudah diterapkan dalam segala jenis usaha. Perikanan budidaya baik
untuk perbenihan maupun pembesaran dalam bak indoor, ikan tawar maupun ikan laut.
 Dari segi pemanfaatan alat radiasi UV rakitan BBAP Takalar dapat diterima dan
dimanfaatkan oleh pelaku usaha perikanan buidaya.
 Dari segi ekonomi, alat radiasi UV rakitan sederhana versi baru ini lebih efisien dan lebih
murah.
 Dari segi teknis, filter hasil rakitan tersebut dapat berfungsi dengan baik untuk menekan
populasi bakteri pada media air pemeliharaan.
 Alat radiasi UV yang baru ini, desain nya lebih baik dan enak dipandang mata
dibandingkan dengan yang sebelumnya, juga penggunaan lampu UV dapat diatur dan
disesuaikan dengan kebutuhan.
1
Total Bakteri (10 3)
9,80
Vibrio Sp (10 2)
5,90
Tidak terdeteksi
2
16,20
1,20
Tidak terdeteksi
3
19,00
0,31
Tidak terdeteksi
4
0,59
9,80
Tidak terdeteksi
5
1,10
5,70
Tidak terdeteksi
Pengujian
Keluaran UV
Tabel 2. Hasil pengukuran bakteri pada Air Media Pemeliharaan sebelum
di UV dan setelah di UV di BBAP Takalar
Ramah lingkungan
Dengan alat radiasi UV ini lebih ramah terhadap lingkungan karena: dapat dilakukan pergantian
lampu UV, lebih ramah lingkungan karena :
55
 Tidak perlu melakukan pergantian bahan dan alat secara keseluruhan jika lampu UV mati
 Dengan alat radiasi UV ini tidak perlu lagi menggunakan bahan kimia atau obat antibiotik
untuk membasmi bakteri atau microorganisme pathogen, sehingga tidak mencemari
lingkungan
LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH REKOMENDASI
Unit rancang bangun dan unit pembenihan udang windu dan vannamei di Balai Budidaya Air Payau
Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Kegiatan pembuatan
dilakukan pada bulan Mei tahun 2006, namun pengkajian, pengembangan dan penerapan terus
dan masih dilakukan sampai saat ini.
Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan alat radiasi ultraviolet adalah semua
wilayah yang mengoperasikan usaha perbenihan dan pembudidayaan ikan indoor, baik untuk ikan
laut maupun ikan tawar. Alat ini juga memungkinkan digunakan untuk memproduksi air bebas
bakteri di daerah yang sanitasinya kurang baik.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Dampak negatif adalah bila terkena radiasi sinar ultraviolet namun pengamanan sinar UV dapat
ditutup dengan baik, sehingga tidak berbahaya bagi kehidupan ikan maupun manusia.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Analisa Usaha
 Untuk pembuatan alat radiasi
No
Nama Alat/Bahan
UV lampu UV dengan 1 mata ,
1 Balon UV
1 paket pembuatan
2 Isolasi kabel
3 Kabel pVC
membutuhkan dana Rp
4 Kran PVC 3/4’
5 L PVC 3/4’
2.500.000
6 Lampu pilot
 Pembelian lampu UV impor
7 Lem epoxy
8 Lem pipa
dipasaran dengan 1 mata uv
9 MCB 2A
(harga minimal) adalah Rp
10 Oil seal
11 Over shock 2.5’ x 1’
7.500.000
12 Pipa 1/2’
 Keuntungan yang diperoleh
13 Pipa 3/4
14 Pipa lon Putih 2.5’
dengan membuat alat radiasi
15 Saklar 4 mata
16 Shock drak luar 1/2’
ultraviolet rakitan adalah Rp
17 Starter 40 Watt
5.000.000
18 T pvc 1/2’
19 T PVC 3/4’
 Keuntungan yang diperoleh
20 T shock 2.5’
akan lebih banyak lagi jika
21 Travo 40 Watt
22 Water mur 1’
jumlah lampu UV yang
23 Scun kabel PVC
24 Biaya lain-lain
digunakan lebih banyak.
TOTAL
Hasil dan dampak yang diperloleh
dalam dari alat Radiasi UV sederhana
Satuan
Jlh
bh
bh
Roll
bh
bh
bh
pasang
bh
bh
bh
bh
bh
bh
btg
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
1
1
1
24
12
4
1
5
1
10
2
1
7
1
1
8
12
8
25
8
4
8
1
Harga satuan
300,000
15,000
5,000
17,500
4,000
5,000
100000
65,000
7,000
7,500
7,500
14,000
18,000
75,000
65,000
4,000
3,000
4,000
4,000
3,500
5,000
6,000
8,000
Jumlah Biaya
300,000
15,000
5,000
420,000
48,000
20,000
100,000
325,000
7,000
75,000
15,000
14,000
126,000
75,000
65,000
32,000
36,000
32,000
100,000
28,000
20,000
48,000
8,000
86,000
2,500,000
Tabel 3. Rincian Biaya yang akan digunakan dalam pembuatan
56
ini adalah produksi benih akan meningkat
karena bakteri pathogen dapat di basmi
dengan tanpa penggunaan bahan kimia
atau obat-obatan yang lebih mahal. Alat ini
dapat dipesan dengan harga jauh lebih
murah daripada alat serupa yang di impor.
TINGKAT KOMPONEN DALAM
NEGERI
Tingkat komponen yang digunakan dalam
kegiatan perekayasaan ini adalah 90%
produk dalam negeri dan 10 % dari luar
negeri, hampir semua semua bahan dan
peralatan yang diperlukan tersedia di
pasaran lokal.
No.
Parameter
3
Spesifikasi
1
Debit air (m /jam)
33
2
Daya tahan lampu (jam)
8.000, efisiensi menurun 15%
setelah 5.000 jam pemakaian
3
Panjang gelombang (nm)
254
4
Dosis UV (µm/detik/cm2)
˃ 30.000 atau 15,3 W pada 1 m
5
Unit listrik
220 -240 volt
50-60 Hz
36 watt
6
Sistem peringatan
LED
7
Jumlah lampu (buah)
4
8
Dimensi (mm)
Ø 2,5” x 55”
9
Lampu UV
Philips - Holland
10
Tipe lampu
UV – C TUV 36 W; T8
11
Tipe cap/base
G 36
57
B2PPBL
Teknologi pembenihan ikan hias laut ikan klown (Amphiprion percula)
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut
Alamat
Banjar Dinas Gondol, Desa
Penyabangan, Kecamatan Gerokgak,
Kab. Buleleng Bali, Telepon
(0362)92278, fax 0362
92272/92271
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2005-2010
Tim Penemu
Ir. Ketut Maha Setiawati
Daniar Kusumawati, S.Pi
Ir. Jhon Harianto Hutapea, Msc
Ir. Des Rosa Boer
Dr. I Nyoman Adiasmara Giri, M.S.
Drs. Wardoyo
Kontak Person
Ir. Ketut Maha Setiawati
[email protected]
58
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan Dan Manfaat Penerapan Teknologi
 Memproduksi ikan hias laut klown hasil budidaya sehingga tekanan terhadap populasi
alam oleh penangkapan dapat ditekan.
 Menerapkan teknik produksi benih ikan hias clownfish di hatchery masyarakat.
 Menganekaragamkan usaha budidaya laut
 Menunjang ekspor ikan hias yang bersertifikat
PENGERTIAN-DEFINISI
Teknologi pembenihan adalah hasil serangkaian penelitian yang telah dilakukan dan kemudian
dikompilasi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk memproduksi benih Ikan Klown
adalah ikan hias laut dengan nama umum true clownfish, di Indonesia biasa disebut ikan klown,
nemo, giru dengan nama latin Amphiprion percula.
Hatchery adalah tempat pemeliharaan calon induk, induk dan pemeliharaan larva hingga benih.
Benih adalah larva ikan klown yang sudah bermetamorfosa menyerupai ikan dewasa dengan
ukuran panjang total 1,2-3,0 cm
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
 Tersedia fasilitas air laut, air tawar, listrik, filter pasir.
 Tersedia hatchery ikan laut
 Tersedia sarana transportasi yang memadai
 Tersedia pakan alami (Nannochloropsis, rotifer, kopepod)
Rincian Teknologi
Pembenihan ikan klown (A. ocellaris) telah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut sejak tahun 2005. Sedangkan pembenihan ikan klown biak (A.
percula) dilakukan pada tahun 2010. Induk dipelihara dengan diberi pakan buatan, cacing Nereis,
udang mysids (jembret) dan kopepoda untuk memperbaiki pemijahan induk. Induk jantan yang
produktif umumnya berukuran pada kisaran panjang total 4,6 – 6,2 cm. Induk ikan betina yang
memijah ukurannya berkisar pada panjang total 6,8 - 9,5 cm. Induk ikan klown yang produktif
59
biasanya memijah 3-4 kali/bulan. Jumlah telur yang dihasilkan sangat bervariasi dari 20 butir1.900 butir. Berbagai pengkayaan rotifer pada pemeliharaan larva dan benih ikan klown tidak
berpengaruh nyata terhadap sintasan dan pertumbuhannya. Begitu juga dengan warna benih
yang dihasilkan. Awal pergantian air dengan sistem air mengalir maupun dengan membuang air
lama dan diganti dengan air baru dapat dilakukan dari umur larva 5 hari. Pada pemeliharaan benih
ikan klown di KJA, penambahan shelter daun kelapa, rumput laut dan kontrol dapat mempercepat
perkembangan baik pola warna belang putih maupun warna hitam pada tepi sirip dorsal, pectoral,
anal dan caudal daripada dengan penambahan shelter anemone. Tetapi sintasan yang dihasilkan
pada perlakuan anemone memberikan sintasan yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya.
Pemeliharaan larva dan benih dapat dilakukan di lingkungan indoor dan outdoor. Pemeliharaan
larva dengan menggunakan kopepod dan rotifer sangat mendukung pertumbuhan larva dan
peningkatan kualitas warna benih yang dihasilkan.
Teknik produksi massal benih ikan klown
Proses alami membuat induk jantan dan betina berpasangan dilakukan berdasarkan ukuran
panjang tubuh. Ikan klown (A. ocellaris) berukuran lebih kecil dengan panjang total 4,6 - 6 cm
menjadi calon pejantan, sedangkan induk yang besar dengan panjang total > 6,6 cm menjadi
induk betina. Pada ikan klown biak (A. percula) induk jantannya memiliki kisaran panjang total 4,66,2 cm dan induk betina berukuran panjang total 6,8-9,5 cm.
Disamping panjang tubuh sebagai penentu jenis kelamin, secara morfologi jantan terlihat lebih
kurus dan umumnya ikan jantan berwarna lebih cerah. Ikan betina tampak lebih gemuk. Dalam
pemilihan warna induk hendaknya diperhatikan pola warna yang bagus. Dengan warna induk yang
bagus diharapkan warna benih yang dihasilkanpun akan bagus.
Induk dipelihara dalam akuarium 60x30x30 cm3 yang dilengkapi dengan pipa air masuk dan
keluar, aerasi dan tempat penempelan telur.
Beberapa teknik membuat induk berpasangan secara buatan :
1. Calon induk dipisahkan menurut ukuran lalu diaklimatisasi dengan perendaman air tawar
sekitar 3 menit dan dapat pula ditambahkan obat anti bakterial erubaju 5 ppm .
2. Induk jantan dimasukkan ke dalam akuarium terlebih dahulu kemudian diikuti induk betina.
3. Selama induk berpasangan harus diamati. Jika tampak induk ikan beriringan berarti kedua
ikan berjodoh tetapi jika terlihat adanya saling menyerang berarti tidak berjodoh dan harus
segera dipisahkan atau dicarikan calon induk betina atau jantan yang baru.
4. Sepasang induk ikan klown dapat memijah secara alami setelah 3-6 bulan masa
pemeliharaan dengan frekuensi 1-4 kali setiap bulannya (interval pemijahan 8-13
hari).Untuk mempercepat pemijahan dapat juga digunakan pasangan induk dari alam.
Dalam pemeliharaan induk diperlukan sistem air mengalir dengan persentasi penggantian air 200
%/hari. Pakan yang diberikan dapat berupa pakan buatan komersial atau pakan segar seperti:
kopepod, udang jembret, dan cacing laut. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari dan
penyiponan dilakukan minimal tiap minggu.
60
Pemijahan ikan klown dapat terjadi pada pagi, siang, sore maupun malam hari. Betina yang
memijah akan menempelkan telur pada sarang berupa bidang segitiga semen, pipa pvc, maupun
pada sudut akuarium dan pejantan akan mengikuti induk betina untuk kemudian segera
membuahi telur. Telur kemudian dijaga oleh induk jantan dan betina dengan cara mengibaskan
ekor dan sesekali membersihkan telur menggunakan mulutnya hingga telur menetas.
Masa inkubasi telur adalah 6 - 7 hari. Pemanenan dilakukan pada hari ke-enam, untuk
menghindarkan kanibalisme induk terhadap larva yang baru menetas. Pasangan induk yang
produktif mampu memijah hingga lebih dari 50 kali secara terus menerus dalam satu tahun.
Jumlah telur yang dipijahkan berkisar antara 137 hingga 1720 butir.
Pemeliharaan Larva
Setelah telur diinkubasi 6-7 hari, dilakukan pemanenan telur. Proses pemanenan telur dilakukan
dengan cara melepas telur dari substratnya menggunakan pisau bedah secara perlahan. Proses
pemanenan ini memerlukan ketrampilan khusus agar telur tidak rusak saat dilepas dari
substratnya. Kemudian telur ditebar dalam wadah pemeliharaan larva yaitu bak polycarbonate atau
fiberglass yang berbentuk bulat dengan kapasitas 200 l (diameter 64 cm dan tinggi bak 70 cm).
Ke dalam media pemeliharaan larva ditambahkan fitoplankton Nannochloropsis ± 100.000
sel/ml, rotifer 5-10 ind/ml, naupli kopepod 20 ind./l. Rotifer dan kopepod adalah pakan bagi larva
ikan klown, sedangkan Nannochloropsis berfungsi menurunkan kecerahan media dan menjadi
pakan bagi rotifer. Pemberian Nannochloropsis dan rotifer dilakukan mulai hari pertama menetas
hingga hari ke-15. Nannochloropsis ditambahkan setiap pagi, sedangkan pemberian rotifer dapat
dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari disesuaikan dengan jumlah rotifer yang tersisa pada
media pemeliharaan. Kepadatan rotifer pada media pemeliharaan dipertahankan minimal 5 ind/ml.
Naupli artemia diberikan mulai hari ke-7 hingga panen, sebanyak 5- 20 ind/ larva/hari, sesuai
dengan tingkat konsumsi dan pertambahan umur dan ukuran larva.
Pembersihan dasar bak pemeliharaan mulai dilakukan pada hari ke-5 dengan metode siphon.
Pembersihan berikutnya dilakukan dalam selang 5 hari sekali. Pergantian air mulai dilakukan pada
hari ke-5 sebanyak 30% dari volume media pemeliharaan. Pergantian air berikutnya dilakukan
setiap pagi minimal sebanyak 50%. Pergantian air dapat dilakukan dengan cara membuang air
lama terlebih dahulu baru mengganti dengan air baru, atau dengan sistem air mengalir (dengan
aliran yang sekitar 20ml/menit), atau kombinasi dari keduanya.
Pemeliharaan larva dilakukan selama 15 - 20 hari.
Pemeliharaan Benih I
Pemeliharaan benih berukuran 1,2 - 2,5 cm dilakukan dengan menggunakan berbagai wadah
seperti akuarium, box plastik, bak fiber, maupun bak beton dengan kepadatan 5 ekor/liter. Pakan
buatan yang diberikan sebaiknya telah diberi astaxanthin untuk meningkatkan kecerahan warna
ikan. Prosentase pakan buatan yang diberikan berkisar 3-5 % /berat tubuh. Frekuensi pemberian
61
pakan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Selain itu pada pemeliharaan benih dapat pula
ditambahkan pakan alami (kopepod) atau artemia dengan kepadatan 200-400 ind artemia/ekor
benih ikan. Pemeliharaan benih ini dilakukan selama 1-2 bulan.
Pemeliharaan Benih II
Setelah benih berukuran 2,5 cm, benih sebaiknya dipelihara di out door agar mendapat sinar
matahari penuh. Benih dipelihara dalam jaring berukuran 1x1x1 m3. Pakan yang diberikan yaitu
pakan buatan dan kopepod. Prosentase pakan buatan yang diberikan berkisar 3-5 % /berat tubuh.
Frekuensi pemberian pakan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Selain itu pada
pemeliharaan benih dapat pula ditambahkan pakan alami (kopepod) kepadatan 200-400
ind/ekor benih ikan.
Pemeliharaan di lingkungan outdoor dilakukan sekitar 3-4 bulan. Benih yang dipelihara di
lingkungan yang mendapat sinar matahari penuh memiliki warna jingga, hitam, putih yang cerah.
Kultur kopepod
Kultur kopepod dilakukan pada bak 2 ton berukuran pxlxt=2x1x1 m3. Kepadatan kopepod awal
20-100 ind/l. Pakan yang diberikan berupa plankton Nannochloropsis dan pakan buatan.
 Bak fiber 2 m3 diisi N. oculata sebanyak 25 % dari volume bak, kemudian ditambahkan air
laut yang sudah disaring sebanyak 25 % dari volume bak. Tambahkan pakan buatan 250
gram ke dalam bak, biarkan larut dalam air media selama 2 hari, kemudian masukkan
bibit copepoda yang sudah dihitung.
 Setelah tiga hari ditambahkan N. oculata 25 % dari volume bak bersama pakan ikan
buatan sebanyak 250 gram. Biarkan selama tiga hari dan ditambahkan air laut 25 % dari
volume bak dan ditambahkan pakan ikan buatan 250 gram
 Setelah kultur satu minggu copepoda dipanen.
Kegiatan diseminasi ikan klown biak (true clownfish) baru dilakukan pada tahun 2013. Sampai
saat ini induk sudah bertelur, pemeliharaan larva sedang berlangsung, pemeliharaan benih ukuran
2,5 cm dilakukan dibak reservoar (limpahan air dari bak induk)
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Teknologi Pembenihan Ikan Klown
 Tidak memerlukan modal yang besar
 Dapat dilakukan dalam skala rumah tangga
 Dapat dilakukan secara individu dan bahkan dapat dilakukan oleh nelayan penangkap
ikan hias
 Sumber calon induk mudah didapatkan
 Tingkat reproduksi yang cepat
 Sintasan benih dapat mencapai 50% sehingga dapat diproduksi benih ikan hias yang
tinggi untuk memenuhi permintaan pasar internasional yang cukup tinggi.
62
Keberhasilan teknologi
 Pemijahan induk dapat dilakukan dengan manipulasi pakan (pakan buatan + supplemen,
dan pakan alami (jembret, copepod, dan lain-lain).
 Ikan klown mempunyai pola warna yang bervariasi.
 Perbaikan kualitas warna dapat dilakukan dengan pemberian copepod dan pemeliharaan
di lingkungan outdoor.
 Larva dan benih dapat dipelihara pada salinitas 10-40 ppt.
 Benih dapat dipelihara dengan sistem resirkulasi
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan
 Secara ekologi keberhasilan pembenihan ikan hias ini akan berdampak positif terhadap
ekosistem terumbu karang
 Mendukung program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir
 Tidak membutuhkan sarana yang luas dan banyak biaya
 Keberhasilan perbenihan ikan ini akan meningkatkan devisa Negara melalui ekspor ikan
hias
LOKASI PENELITIAN DAN WILAYAH/DAERAH REKOMENDASI
Perbenihan ikan hias laut klown ini dapat dilakukan di lokasi yang mempunyai hatchery
bandeng/kerapu, atau ikan laut/payau, sehingga menghemat dalam penyediaan pakan alami
(Nannochloropsis, rotifer, copepod). Lokasi yang telah diuji coba pada tahun 2013 adalah di desa
Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Buleleng-Bali dalam program disseminasi hasil penelitian. Ke depan
teknologi ini dapat dikembangkan di lokasi penghasil ikan hias yang mempunyai fasilitas hatchery
ikan laut untuk diversifikasi budidaya laut. Selain lokasi yang sudah berjalan, kegiatan ini
merupakan kegiatan yang ramah lingkungan dan tidak ada dampak negatif.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan hatchery dan peralatannya, seluruhnya dapat
diperoleh di dalam negeri. Pakan alami yang digunakan dapat dikultur sendiri.
Gambar 1. Akuarium tempat pemeliharaan induk klown (kiri) dan sepasang Induk ikan klown (kanan)
63
ANALISA USAHA PEMBENIHAN SKALA KECIL
1. BIAYA INVESTASI
Perbaikan bak
Perbaikan kolam
Volume
4
1
Perbaikan peralatan produksi
Pengadaan peralatan
produksi
Pengadaan induk
1
Satuan
unit
uniit
unit
paket
Harga
250,000
1,000,000
100,000
2,000,000
Jumlah
1,000,000
1,000,000
0
2,000,000
1
80
paket
induk
15,000,000
150,000
15,000,000
12,000,000
Sub jumlah
31,000,000
2. BIAYA OPERASIONAL
Artemia
pakan induk
pakan larva
obat-obat dan vitamin
bahan kimia
Listrik
pakan alami
Panen
tenaga kerja
1
1
1
1
1
1
1
1
2
klg
kg
siklus
575,000
250,000
150,000
1,000,000
1,000,000
600,000
1,000,000
1,600,000
1,000,000
orang
Sub jumlah
575,000
250,000
150,000
1,000,000
1,000,000
600,000
1,000,000
1,600,000
2,000,000
8,175,000
3. BIAYA INVESTASI +
BIAYA OPERASIONAL
39,175,000
4. Hasil panen benih ikan
klown
5. Jumlah modal
(20%investasi + modal kerja)
6. Laba (keuntungan 4-5)
7. Laba keuntungan setahun
1,000
ekor
20,000
20,000,000
14,375,000
5,625,000
3
siklus
5,625,000
Gambar 2. Perkembangan embrio telur ikan klown
64
16,875,000
Gambar 3. Bak pemeliharaan larva dan bak pemeliharaan benih ikan klown I
Gambar 4. Jaring pemeliharaan benih ikan klown II di bak outdoor
Gambar 5. Pakan alami kopepod (kiri) dan bak kultur kopepod (kanan)
Gambar 6 . Tempat penetasan artemia (kiri), bak kultur rotifer (kanan)
65
BBAP
Pendederan Kerapu Tikus Sistem Resirkulasi
Skala Rumah Tangga
Unit Eselon I
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
Satuan Kerja
Balai Budidaya Air Payau Takalar
Alamat
Jl. Perikanan, Desa Mappakalompo,
Kecamatan Galesong, Kabupaten
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Telp. (0418) 2326577 Fax. (0418)
2326777
Kategori Teknologi
Teknologi Rekayasa
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2006-2012
Tim Penemu
Mohd. Syaichudin, S.IK, M.Si
Abdul Gafur, S.Pi
Hamka, S.Pi, M.Si
Mutmainnah, S.St.Pi
Suhardi A.B.S, S.Si
Andi Elman, S.Pi
Sitti Faridah, S.Pi, M.Si
Kontak Person
:Mohammad Syaichudin, S.IK, M.Si
[email protected]
66
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Kegiatan usaha perikanan perlu melibatkan peran serta masyarakat perikanan Indonesia untuk
mempercepat target produksi nasional, diantaranya pada segmen pendederan kerapu tikus.
Pengembangan sistem resirkulasi (Recirculation Aquaculture System / RAS) menjadi alternatif
untuk efisiensi usaha dan memberikan produkivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan sistem
konvensional. Untuk menunjang kegiatan budidaya kerapu tikus, maka diperlukan pengembangan
segmen pendederan kerapu sistem resirkulasi sederhana yang ramah lingkungan.
Teknologi ini bertujuan membuat sebuah prototipe pendederan kerapu tikus sistem resirkulasi
skala rumah tangga yang dapat dikembangkan secara massal.
Manfaat Teknologi
Pada sistem resirkulasi kualitas air dapat dipertahankan secara optimal karena penggunaan air
bersifat zero exchange sehingga penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti
berkurangnya air akibat penguapan, buangan limbah, serta apabila kondisi kualitas lingkungan
bersifat ekstrim. Pada sistem konvensional kualitas air sangat fluktuatif karena sering terjadi
pergantian air dan kondisi lingkungan sulit dikontrol, sehingga benih kerapu tikus mengalami
stress dan rendahnya pertumbuhan serta sintasan benih.
Pada sistem ini padat tebar benih kerapu tikus yang didederkan jauh lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan sistem konvensional. Pada pendederan konvensional padat tebar benih
sekitar 250-300 ekor/m3 sedangkan pada sistem resirkulasi bisa mencapai padat tebar 1.0002.000 ekor/m3. Penerapan biosekuriti dilakukan sangat ketat, air yang masuk terlebih dahulu
disterilisasi melalui ultra violet atau ozonisasi. Kegiatan grading tidak perlu sering dilakukan,
karena sistem resirkulasi dapat mereduksi kanibalisme pada jenis kerapu macan, sehingga juga
mereduksi tingkat stress ikan.
Kegunaan Teknologi
 Teknologi ini dapat diterapkan pada segmen usaha pendederan kerapu tikus skala rumah
tangga yang sederhana dan ramah lingkungan.
 Prototipe resirkulasi ini bersifat knockdown sehingga dapat dipindah-pindahkan dari satu
tempat ke tempat lain dan tidak membutuhkan ruang yang luas sekitar 4 x 7 m2.
67
 Penggunaan tenaga kerja lebih efektif dan efisien, cocok untuk skala rumah tangga
karena sistem ini juga dilengkapi waste trap sehingga tidak perlu dilakukan siponisasi.
Sisa pakan dan metabolisme ikan telah tertampung pada wadah khusus yang tiap pagi
dan sore dapat dibuang dengan hanya membuka panel kran.
PENGERTIAN-DEFINISI
RAS (Recirculation Aquaculture System) : sistem budidaya perikanan dengan sistem resirkulasi air
atau daur ulang air. Filtrasi biologi : merekayasa keadaan hidup berbagai mikroorganisme dengan
cara mendorong tumbuhnya bakteri nitrifikasi yang merombak amoniak, nitrit menjadi bahan yang
tidak beracun seperti nitrat. Filter fisika atau mekanik : saringan air yang berfungsi untuk menjaga
tingkat kejernihan dan kualitas air. Waste trap : wadah khusus untuk menampung sisa pakan dan
metabolisme ikan. Protein skimmer : alat untuk memisahkan bahan padat terlarut dalam air dengan
cara pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung udara yang ditiupkan ke dalam suatu
kolom air.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS TEKNOLOGI
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
 Penempatan teknologi sistem resirkulasi skala rumah tangga memerlukan areal
pelataran ruang indoor yang memiliki saluran air untuk pergantian air media
pemeliharaan.
 Sumber daya manusia yang terampil diperlukan untuk pemeliharaan dan pengoperasian
prototipe alat sehingga sistem dapat dioperasikan secara optimal.
 Pada dasarnya prototipe ini dapat dioperasionalkan pada berbagai segmentasi uaha
budidaya perikanan, baik untuk pengembangan pembenihan, pendederan maupun
penggelondongan ikan.
Uraian Lengkap Alat dan Prosedur Operasional Standar
a. Uraian atau Rincian Teknologi
 Sistem RAS sedikitnya memerlukan sejumlah komponen, seperti : tanki pemeliharaan,
tanki reservoar, tanki filter mekanik, tanki filter biologi, unit protein skimmer, ultra violet
dan waste trap (perangkap effluent).
 Pergerakan resirkulasi air diawali dari bak tanki pemeliharaan. Pada bak ini dilakukan
rekayasa untuk membentuk aliran memutar menuju central drain sehingga effluent dapat
dikurangi secara total. Sebagian effluent yang terdapat pada kolom air juga dapat keluar
melewati side drain.
 Melaui central drain aliran air effluent akan melewati waste trap I dan II. Pada fase ini sisa
pakan dan metabolisme akan terjebak dalam kolom (trap). Pengeluaran effluent
dilakukan dengan membuka kran pada pagi dan sore, sehingga sistem tidak memerlukan
penyiponan.
 Aliran air selanjutnya masuk ke protein skimmer, agar effluent berupa mucus atau
suspensi dirombak dalam foam reactor dan masuk ke dalam foam collector untuk
dibuang.
68
 Air yang telah melewati
protein skimmer
selanjutnya masuk ke
reservoir, tempat sistem
sedimentasi atau
pengendapan akhir.
Dengan bantuan pompa,
air dari reservoar
selanjutnya dialirkan ke
filter mekanik untuk
dibersihkan dari partikelpartikel halus dan
tersuspensi, sehingga yang
dialirkan menjadi jernih.
 Air yang sudah jernih, pada
dasarnya masih
mengandung sejumlah
materi kimia beracun,
seperti amonia dan nitrit.
Selanjutnya melalui gaya
gravitasi air dialirkan ke
filter biologi untuk
merombak materi kimia
yang bersifat toksik
(beracun) menjadi materi
non toksik seperti amonium
dan nitrat oleh bakteri
nitrifiying (Nitrosomonas
dan Nitrobacter sp).
 Untuk mencegah adanya
bakteri patogen masuk ke
tangki pemeliharaan, dan
setelah air melewati filter
biologi, air diradiasi dengan
Ultra Violet (UV).
 Pada pemeliharaan ikan di
bak atau fiber, sisa buangan
metabolisme ikan akan
menurunkan kualitas air
dan dapat bersifat toksik
(racun), oleh sebab itu
untuk menjaga tingkat
kejernihan dan kualitas air
Gambar 1. Tata Letak Sistem Pendederan Ikan Kerapu
dengan Sistem Resirkulasi (RAS) (atas)
dan Bentuk Peralatannya (Bawah)
No
Jenis Bahan
Fungsi
 sebagai penyaring partikel kotoran yang lebih
besar, untuk menjaga air agar air tetap alkalis
(basa)
 untuk menyaring partikel yang lebih kecil dan
menstabilkan pH air
 dapat mengikat gas-gas dalam air seperti
H2S,
 cocok sebagai media pertumbuhan sejenis
bakteri yang bermanfaat bagi proses siklus
nitrogen
1
Karbon Aktif
2
Serat Filter
3
Bioball (dapat diganti karang)
4
Pasir Kwarsa
5
Kerikil
6
Ijuk
 Menyerap kotoran yang lepas dari filter kerikil
7
Arang
 menyerap partikel yang halus dan zat yang
bersifat toksik
8
Batubata
 berfungsi seperti arang
 tempat hidup bakteri
 sebagai filter terhadap partikel fisik dan
kotoran lain
 menahan kotoran yang lolos dari filtrasi
sebelumnya
Tabel 1. Daftar bahan-bahan filtrasi dan fungsinya
69
perlu disediakan alat penyaring (filter) dengan berbagai bahan (Tabel 1)
 Secara sederhana, filter biologi mendorong tumbuhnya bakteri nitrifying yang merombak
atau memecah amoniak menjadi bahan yang tidak beracun seperti nitrat. Beberapa
biofilter yang dapat digunakan meliputi: filter kerikil, bio wheel, filter tetesan, saringan
teromol, fluidized filter, saringan spons/bunga-karang, dan batu / pasir hidup juga telah
populer digunakan dalam akuarium air laut.
 Untuk mempertahankan keseimbangan siklus nitrogen, perlu diterapkan sistem filtrasi
biologi (biofilter). Metode biofilter standar yang umum dipakai, adalah metode wet-dry
trickle filter dengan sejumlah kombinasi. Filter ini terdiri dari tiga bagian yang dilewati air.
Air yang mengalir dari bak yang mengandalkan gaya gravitasi akan melewati saringan
pertama (filter mekanis atau pre-filter) yang berupa lapisan busa. Selanjutnya air
meluncur ke bawah melewati tumpukan bioball sebagai tempat hidup bakteri aerob
(bioball dapat diganti dengan serpihan karang mati meski tidak seefektif bioball). Bioball
dirancang utuk memiliki permukaan yang banyak sebagai tempat hidup bakteri. Air yang
melewati filter ini selalu kaya oksigen. Sedangkan sebagian bioball lagi atau lapisan
ketiga terendam sepenuhnya dalam air. Setelah melalui lapisan ketiga, air yang sudah
terurai menjadi nitrat, selanjutnya air dipompa kembali ke bak. Setiap jam volume air yang
melalui wet dry trickle filter minimal dua kali volume air bak atau 200%. Oleh sebab itu
pompa / powerhead harus disesuaikan dengan besar bak atau volume air. Semakin
besar bak semakin besar kapasitas pompa yang dipakai.
 Produk akhir dari biofilter adalah nitrat, yang tidak bersifat toksik pada ikan.
 Fungsi utama dari sebuah protein skimmer adalah untuk memisahkan bahan padat
terlarut dalam air dengan cara pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung udara
yang ditiupkan kedalam suatu kolom air. Gelembung ini dapat mengikat limbah organik
(koloid dan partikel-partikel padatan) yang kemudian membawanya ke permukaan
tabung pembuangan dalam bentuk busa kering.
Cara Penerapan Teknologi
1. Persiapan
 Rangka besi baja dibuat untuk penempatan tangki pemeliharaan, filter mekanik dan filter
biologi, sehingga proses gravitasi dapat berjalan dengan baik. Untuk pengembangan
lebih lanjut sebaiknya menggunakaan tangki kerucut volume 1.000 liter yang telah
dilengkapi khaki.
 Pembuatan desain wadah tanki double drain pada fiber bulat standar, dengan membuat
central drain pada bagian bawah dan upper drain. Fiber bulat dengan kapasitas volume
1.000 liter dibuat lubang pada bagian bawah, dengan posisi tepat ditengah sehingga
diharapkan ada gaya sirkular yang membantu pembuangan kotoran dan sisa pakan di
media air pemeliharaan ke waste trap. Selain itu pada bagian samping fiber bagian atas
juga dibuatkan lubang saluran sehingga sistem double drain lebih efektif dalam
70
a. Rancang awal penopang tangki fiber
dan filter
b. Perakitan penopang fiber dan filter
Gambar 2. Rancangan Awal (a) dan
Perakitan (b) Penopang Tangki Fiber
dan Filter
a.Desain awal double drain sistem
b.Pembuatan double drain sistem
pada fiber
Gambar 3. Desain (a) dan
Pembuatan Tangki Sistem Daouble
Drain (b)
mengalirkan kotoran yang terletak di permukaan dan kolom air bagian atas menuju waste
trap. Dengan menggunakan bor dan pipa sambungan, dilakukan penyambungan dengan
lem pipa dan lem fiber sehingga posisi pipa mengikat kuat pada fiber.
 Pembuatan Protein Skimmer. Protein skimmer dibuat dari pipa PVC 12”, dengan tinggi
penampang 80 cm. Penampung busa pada bagian atas yang terbuat dari ember dengan
ketinggian sekitar 40 cm. Diameter pipa inlet dan outlet sekitar 3 inchi.
 Tanki reservoar dilengkapi dengan sepasang inlet dari protein skimmer dengan diameter
3 inchi, dan tangki untuk filter mekanik dengan merubah pipa outlet menjadi 3 inchi.
 Pembuatan waste trap dan penunjang instalasi pipa. Waste trap menggunakan pipa PVC
3 inchi, sedangkan instalasi pipa dengan pipa PVC 2 inchi.
 Pembuatan UV 3 lampu dengan pipa PVC 12 inchi, dan 3 balon UV dengan menempatkan
71
Gamabr 4. Desain Dasar Protein
Skimmer
Gambar 5. Protein skimmer yang telah
dirakit
Gambar 6. Tangki reservoar (kiri) dan
filter mekanik (kanan)
Gambar 7. Desain dasar waste trap
72
Gambar 8. Pembuatan waste trap dan
penunjang instalasi pipa
Gambar 9. Perakitan UV 3 lampu di
Bengkel Rancang Bangun
Pembuatan Desain
Desain prototipe dapat dilihat pada gambar berikut ini : tampak dari samping kiri dan kanan,
dari depan dan belakang.
Gambar 10 (atas). Prototipe sistem resirkulasi pendederan ikan (Tampak bagian belakang dan samping kanan)
Gambar 11 (bawah). Prototipe sistem resirkulasi pendederan ikan (Tampak bagian depan dan samping kiri)
73
Perakitan Desain Menjadi Prototipe
 Perakitan desain prototipe dilakukan secara hati-hati, sehingga tidak terjadi
kecelakaan kerja yang dapat merugikan bagi pemakai. Kegiatan diawali dengan
melakukan setting peralatan.
 Setelah semua alat terpasang, maka selanjutnya dilakukan pengisian material pada
filter mekanis yang terdiri dari kerikil kecil, zeolit, pasir kwarsa, karbon aktif atau arang,
serta serat fiber. Selain itu juga pengisian material filter biologi yang meliputi karang
mati jenis akropora dan sejumlah bioball.
Gambar 12. Pengecatan dan perakitan
desain prototipe RAS
Gamabr 13. Pemasangan flter UV,
protein skimmer dan waste trap
(a)
(b)
(c)
Gambar 14. Pengisian material filter mekanik (a) , seperti kerikil (b) dan zeolit ©
(a)
(b)
Gambar 14. Material pasir (a), karbon aktif (b) dan serat pada filter mekanik (c)
74
(c)
Pengujian Desain Prototipe
 Apabila semua sistem resirkulasi telah berjalan dengan baik maka introduksi hewan uji dapat
dilakukan.
 Wadah pemeliharaan dilengkapi waste trap untuk jebakan sisa pakan dan yang dibuang tiap pagi
dan sore, sehingga tidak lagi melakukan penyiponan seperti pada sistem konvensional.
Penggunaan waste trap untuk membantu mengurangi buangan langsung ke bak penampungan,
sehingga kerja filter mekanis lebih ringan.
 Untuk mempercepat dan mengawali pembentukan sistem yang seimbang, perlu dilakukan
introduksi bakteri nitrosomonas dan nitrobakter dalam filter biologis dengan kepadatan 104
CFU. Apabila sistem telah berjalan seimbang, maka hewan uji siap untuk ditebar.
 Periode pemeliharaan pendederan kerapu tergantung pada kebutuhan. Padat tebar ikan
disesuaikan dengan ukuran ikan.
Uraian dan Jumlah Kaji Terap yang sudah dilakukan
 Kaji terap prototipe dilakukan di unit pembenihan Balai Budidaya Air Payau Takalar, namun
pengguna prototipe sudah diujicoba oleh beberapa perguruan tinggi untuk penelitian
mahasiswa.
 Kaji terap prototipe dilakukan sejak tahun 2006, mulai dari penggunaan desain tanki
pemeliharaan yang bervolume 250 liter. Kemudian pada tahun 2009 pada tanki bervolume 500
liter, dan dilanjutkan pada tahun 2011-2012 pada tangki 1.000 liter.
 Prototipe generasi pertama tahun 2006, belum menggunakan waste trap, sehingga masih
melakukan siponisasi. Selain itu belum juga menggunakan sistem ultra violet, kecuali penerapan
filter mekanik dan biologi, serta protein skimmer.
 Pada prototipe generasi kedua tahun 2007 telah mengalami perbaikan dengan penempatan
waste trap pada bagian bawah fiber
kerucut pada tanki pemeliharaan.
 Pada tahun 2009, dibuat prototipe
generasi ketiga dengan wadah volume 500
liter, penyempurnaan sudah menggunakan
filter ultra violet, namun flow rate sistem
belum optimal.
 Pada tahun 2011-2012 dilakukan
pembuatan prototipe generasi keempat
dengan volume 1000 liter yang telah
disempurnakan, sehingga flow rate air bisa
mencapai 500% per-jam. Hal ini dilakukan
berdasarkan padat tebar pemeliharaan dan
kekuatan pompa.
 Filter biologi dapat mereduksi tingkat
amoniak dalam tangki
 Selanjutnya pengujian tingkat amonia
Gambar 15. Prototipe RAS generasi awal tahun 2006
75
Gambar 16. Prototipe RAS generasi kedua tahun 2007
7
RAS
Gambar 17
17. Prototipe RA
S generasi ketiga tahun 2009
1
Padat Tebar
(ekor/m3)
1.500 – 2.000
Ukuran
(cm)
2–3
2
1.000 – 1.500
5
85
3
750 – 1.000
7–8
85
4
500 – 750
10
90
5
300 – 400
12 – 15
90
No
SR (%)
80
Benih
Tabel 2. Padat T
Tabel
Tebar
ebar B
enih Glondongan pada Sistem
Resirkulasi
Gambar 18. Prototipe RAS generasi keempat tahun 2012
dilakukan kembali pada siklus berikutnya
dengan padat tebar lebih tinggi, pada
periode ini introduksi nitrosomonas dan
nitrobacter dilakukan untuk mempercepat
kesetimbangan sistem, sehingga nilai
amoniak yang diperoleh dalam tangki jauh
dibawah baku mutu air yang disyaratkan,
bahkan mencapai nilai nol (Gambar 20).
 Pada pengamatan total bahan organik
terlarut (TOM), pada awal pemeliharaan
Periode Pengamatan (Per-2 hr)
tingkat nilai bahan organik tertinggi pada
Gambar 19. Fluktuasi Amoniak pada Sistem Resirkulasi
bak pendederan dan bak setelah filter
tanpa introduksi introbacter
mekanik yaitu ± 97 mg/l, sedangkan pada
bak setelah melewati filter biologis dan protein skimmer nilai TOM berkisar antara 54 – 62 mg/l,
dan selanjutnya mulai hari ke-13 hingga hari ke-21 fluktuasi nilai TOM mulai stabil dengan
kisaran 78-88 mg/l.
 Berikut ini merupakan hasil pengamatan DO selama kegiatan (Gambar 22) Untuk meningkatkan
Konsentrasi Amoniak (mg/l)
Grafik Fluktuasi Amoniak Pada Sistem Resirkulasi
Bak Pendederan
After Filter Biologis
Standart Mutu Amoniak
76
DO pada penerapan densitas maksimal,
dapat juga dilakukan injeksi oksigen murni.
 Hasil pengamatan nitrat menunjukkan
setelah melawati protein skimmer
mengalami penurunan, apabila
dibandingkan dengan kondisi nitrat pada
bak pendederan dan bak filter biologis
(Gambar 23).
Gambar 20. Kandungan Amoniak dalam Pendederan
Kerapu dengan Sistem Resirkulasi setelah introduksi
introbacter
Gambar 23. Kandungan Nitrat pada Pendederan
Kerapu Densitas Tinggi setelah dipasang protein
skimmer
 Konsentrasi larutan oksigen dipengaruhi
oleh arus buatan (Gambar 24)
 Pertumbuhan panjang pendederan kerapu
tikus meningkat dari 8,29 cm menjadi 10,45
cm setelah 8 minggu periode pemeliharaan
(Gambar 25)
Gambar 21. Kandungan Amoniak pada Penderan Kerapu
Densitas Tinggi dengan Sistem Resikulasi
Gambar 24. Kandungan DO pada air
penggelondongan kerapu berdasarkan arus
Gambar 22. Nilai DO pada Pendederan Kerapu Densitas
Tinggi
77
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Secara umum prototipe ini, merupakan hasil
modifikasi dari sejumlah sarana dan prasarana
yang ada, kemudian dilakukan sejumlah
rekayasa sehingga penerapan RAS dapat
dilakukan secara sederhana dan praktis. Untuk
pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan
sejumlah desain yang lebih efektif dan
fungsional, serta murah dan ramah lingkungan.
Gambar 25. Pertumbuhan Panjang Kerapu Tikus
Produk desain prototipe RAS ini dapat
setelah 8 minggu Pemeliharaan dalam sistem
sirkulasi
meningkatkan produksi, karena pada sistem ini
padat tebar benih kerapu tikus yang didederkan
jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Pada sistem konvensional padat tebar sekitar 250 – 300
ekor/m3 sedangkan pada RAS bisa mencapai padat tebar 1.000 – 2.000 ekor/m3, dengan SR
sekitar 85%.
Penggunaan tenaga kerja lebih efektif dan efisien, cocok untuk skala rumah tangga karena sistem
ini juga dilengkapi waste trap tanpa sistem siponisasi. Sisa pakan dan metabolisme ikan telah
tertampung pada wadah khusus yang tiap pagi.
Prototipe ini sangat fleksibel dan bersifat knockdown sehingga dapat dipindah-pindahkan dari
satu tempat ke tempat lain dan tidak membutuhkan ruang yang luas sekitar 4 x 7 m2.
Pemanfaatan prototipe memiliki jangkauan cukup luas, karena dapat digunakan untuk berbagai
komoditas perikanan, baik pada perikanan laut maupun perikanan tawar.
Penggunaan air menjadi hemat, karena sifat sistem yaitu zero water exchange, dengan tanpa
membuang air. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang menguap dan yang
dikeluarkan untuk flushing waste trap. Teknologi ini meminimalisir kerusakan lingkungan, karena
buangan waste trap dari prototipe ini tidak dibuang secara langsung, akan tetapi dapat
dikumpulkan untuk dijadikan pupuk. Demikian halnya kumpulan nitrat yang tertampung pada foam
collector dari protein skimmer juga dapat diambil untuk dijadikan pupuk.
LOKASI PENGKAJIAN DAN DAERAH REKOMENDASI
Pengujian dan pembuatan prototipe dilakukan di Balai Budidaya Air Payau Takalar Desa
Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Propinsi Sul-Sel, dari tahun 2006-2012.
Penerapan teknologi ini secara khusus diperuntukkan bagi wilayah yang mengembangkan
budidaya perikanan yang bersifat ekonomis penting, akan tetapi secara umum yang digunakan
pada seluruh komoditas perikanan, baik pada budidaya air payau, laut maupun tawar.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif yang perlu diantisipasi yaitu sumber listrik dari PLN, apabila terjadi
pemadaman. Oleh sebab itu dapat dilakukan antisipasi dengan menyediakan genset kecil, karena
total sumber listrik yang digunakan untuk 2 pompa celup dan blower sekitar 280 watt.
78
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Secara ekonomi dapat dihitung analisa usaha dan kelayakan produksi, apabila setiap siklus per
tangki pemeliharaan ditebar 1.000 ekor/m3 dari 4 tangki pemeliharaan yang ada, serta estimasi
SR 85% dan selama setahun estimasi produksi 4 siklus. Bisa juga dilakukan lebih dari 4 siklus
pertahun (tergantung pada musim tanam kerapu di KJA). Selain itu dapat juga dinaikkan jumlah
padat tebarnya.
A. Biaya Investasi
Vol
Satuan
Harga Satuan
(Rp)
No
Peralatan
1
Blower 40 watt
1 unit
2.500.000
2
Serat fiber
7 Box
10
70
3
Bioball
2000 Biji
250
500
4
Karbon aktif
10 Kg
20
200
5
Pasir kuarsa
1 Karung
35
35
6
Karang mati (akropora)
2 Karung
150
300
2 Unit
350
700
7
Pompa
8
Kerikil sungai
9
Fiber volume 1000 liter
6 Unit
10
Fiber volume 500 liter
1 Unit
11
Instalasi pipa
12
13
1 Karung
Jumlah (Rp)
2.500.00
35
35
1.500.000
9.000.000
750
750
1 Paket
1.500.000
1.500.000
Filter UV (2 lampu)
1 Unit
2.500.000
2.500.000
Waste trap
4 Unit
150
600
14
Lampu UV (36 watt)
2 Unit
250
500
15
Skimmer
2 Unit
250
Jumlah Biaya Insvestasi
500
19.690.000
B. Biaya Tetap (FC)
No
Penyusutan Peralatan
Siklusl
Tahun
Jumlah siklus
Jumlah (Rp)
1
Blower 40 watt
4
5
20
125
2
Serat fiber
4
2
8
8.75
3
Bioball
4
15
60
8.333
4
Karbon aktif
4
2
8
25
5
Pasir kuarsa
4
4
16
2.188
6
Karang mati (akropora)
4
10
40
7.5
7
Pompa
4
1
4
175
8
Kerikil sungai
4
15
60
583
9
Fiber volume 1000 liter
4
15
60
150
10
Fiber volume 500 liter
4
15
60
12.5
11
Instalasi pipa
4
15
60
25
12
Filter UV (2 lampu)
4
10
40
62.5
13
Waste trap
4
15
60
10
14
Lampu UV (36 watt)
4
2
8
62.5
Skimmer
4
15
60
15
Jumlah Biaya Insvestasi
10
684.854
79
C. Biaya Tidak Tetap (VC)
No
Kegiatan
1
Benih kerapu (3.0 cm)
(4 unit x 1000 ekor)
2
Pakan Benih (3-5% BT)
3
Listrik
4
Tenaga kerja (2 bulan)
Jumlah Biaya Tidak Tetap
Volume
4.000
3
1
2
Satuan
Ekor
Karung
Siklus
Bulan
Harga (Rp)
4.500
Jumlah (Rp)
18.000.000
500.000
200.000
1.000.000
1.500.000
200.000
2.000.000
21.700.000
D. Bunga Modal
Perhitungan Bunga
1% X (B+C) X 2 Bulan
Bunga
0,01
(B+C)
20.374.854
Bulan
2
Jumlah (Rp)
407.497
E. Jumlah Total Biaya (B+C+D)
Perhitungan Bunga
(B+C+D)
B
684.854
C
21.700.000
D
407.497
Jumlah (Rp)
22.792.351
Harga
9.000
Jumlah (Rp)
30.600.000
F. Penerimaan
Produksi
Benih Kerapu (6 cm)
(4000 ekor, SR 85%)
G. Keuntungan
Perhitungan keungtungan
Penerimaan - Jumlah total
biaya
Volume
3400
Satuan
Ekor
Penerimaan (Rp)
30.600.000
Jumlah Total Biaya (Rp)
22.792.351
Keuntungan (Rp)
7.807.649
H. Rasio Biaya dan Pendapatan (R/C)
Perhitungan Rasio Biaya dan
Penerimaan
Jumlah Total Biaya (Rp)
Pendapatan
Penerimaan / Jumlah Total
30.600.000
22.792.351
Biaya
Jadi dari pengeluaran Rp. 1,- akan diperoleh keuntungan Rp.1,34,-
Rasio R/C
1,34
I. Break Event Point (BEP)
BEP
Perhitungan
Jumlah Total
Jumlah Produksi
BEP
Biaya (Rp)
Jumlah Total Biaya/ Jumlah Produksi
22.792.351
3.400
6.704
Jadi untuk mencapai titik impas (BEP) harga jual produksi benih minimal 2.532 ekor (SR 63,3)
BEP
Perhitungan
Jumlah Total
Harga Jual
BEP Unit
Biaya (Rp)
Jumlah Total Biaya/Harga jual
22.792.351
9.000
2.532
Jadi untuk mencapai titik impas (BEP) maka jumlah produksi benih minimal 2.532 ekor (SR 63,3)
J. Payback Period
Perhitungan
Jumlah Biaya
Investasi (Rp)
Jumlah Biaya Insvestasi/Keuntungan
22.792.351
Periode untuk pengembalian modal yaitu 2,92 tahun
Keuntungan
7.807.649
PP
2.92
Nampak penghitungan BEP lebih rendah dari harga jual dan layak diteruskan, serta waktu
pengembalian modal yaitu 2, 92 tahun.
Secara ekonomis penggunaan sistem ini dapat meningkatkan keyakinan dari investor atau
pengguna, karena tingkat keberhasilan produksi sangat tinggi. Selain itu masa pemakaian sistem
untuk sebagian besar komponen memiliki usia pakai cukup panjang, yaitu 7 – 15 tahun.
80
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Seluruh komponen yang digunakan bersifat umum dan mudah diperoleh pada toko bangunan,
toko akuarium dan toko listrik.
FOTO-FOTO
Gambar 26. Penempatan double drain sistem pada tanki.
Gambar 27. Penempatan catridge filter untuk mengurangi material koloid di air pada unit filtrasi.
Gambar 28. Pengujian sistem secara menyeluruh (kanan) dan secara khusus pada kondisi skimmer (kiri).
81
BBAP
Polikultur Rumput Laut Lawi-lawi (Caulerpa, sp)
dengan Rajungan (Portunus pelagicus. Linn) di Tambak
Unit Eselon I
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
Satuan Kerja
Balai Budidaya Air Payau Takalar
Alamat
Jl. Perikanan, Desa Mappakalompo,
Kecamatan Galesong, Kabupaten
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Telp. (0418) 2326577 Fax. (0418)
2326777
Kategori Teknologi
Teknologi Rekayasa
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2012
Tim Penemu
Dasep Hasbullah
Sugeng Raharjo
Jumriadi
Harnita Agusanty
Mike Rimmer
Kontak Person
Dasep Hasbullah
[email protected]
82
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk (a) mengembangkan komoditas alternatif yang prospektif
dan menguntungkan, (b) memperoleh model budidaya rajungan yang tepat, efisien dan ramah
lingkungan, (c) meningkatkan produktivitas tambak, (d) menambah nilai produksi dari lawi-lawi
sebagai bioshelter dan produk samping kegiatan budidaya rajungan, dan (e)meningkatkan
pendapatan pembudidaya dan memperluas lapangan kerja.
Manfaat lain dari kegiatan ini adalah tersedianya produk lawi-lawi sebagai pangan yang
mempunyai banyak manfaat bagi manusia. Manfaat lawi-lawi disamping sebagai bahan
panganatau makanan segar sebagai lalapan juga memiliki hasiat sebagai obat beberapa penyakit
tertentu dan masih banyak kegunaan/hasiatnya antara lain :
 Meningkatkan nafsu makan
 Sebagai obat kanker dan penyembuh luka
 Meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh
 Sumber nutrisi tubuh (Tabel 1)
 Melancarkan peredaran darah
 Meningkatkan percaya diri (awet muda)
 Meningkatkan vitalitas
 Anti alergi dan anti jamur
 Pencegahan rematik
 Pencegah terjadinya tumor
 Dapat digunakan sebagai obat bius yang aman untuk mobilisasi dan transportasi sistem
pengiriman ikan
PENGERTIAN
Lawi –lawi (Caulerpa, sp), diambil dari bahasa daerah Makassar Sulawesi Selatan. Masyarakat di
Sulawesi Selatan secara turun temurun telah mengkonsumsi rumput laut dari golongan makro
alga yang mirip anggur hijau ini. Beberapa sebutan lain untuk lawi-lawi antara lain : Latoh (Jawa),
Lato (Filipina), Umi Budo (Jepang), Latin, Caulerpa sp, Anggur laut (Indonesia) dan Sea grapes
(bahasa Inggris).
Rajungan (Portunus pelagicus. Linn), merupakan jenis kepiting yang memiliki habitat alami hanya
83
di laut. Jenis ini biasa ditemukan di areal pasang surut dari Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan
Timur Tengah sampai Mediterania. Rajungan dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan dengan
nilai ekonomis tinggi. Makanan rajungan di alam antara lain bivalvia, ikan dan beberapa jenis alga.
Rajungan memiliki sifat yang sangat berbeda dengan kepiting bakau (Scylla serrata), Rajungan
tidak dapat bertahan lama hidup di darat atau keluar dari lingkungan air.
Nutrient
E. cottonii
C. JentiUifera
S. Polycystum
Protein (%)
9.76±1.33a
I0.41±0.26a
5.40±0.07b
Lipid (%)
1.10±0.05a
1.11±0.05a
0.29±0.01b
Ash {%)
46.19±0.42a
37.15±0.64c
42.40±0.41b
Crude fiber (%)
5.91±1.21b
1.9l±Oc
8.47±1.21a
Carbohydrate (%)
26.49±3.01c
38.66±0.96a
33.49± 1.70b
Moisture content (%)
I0.55± 1.6Oa
10.16±0.80a
9.95±0.55 a
Soluble fiber (%)
18.25±0.93a
17.21±0.87a
5.57±0.28b
Insoluble fiber (%)
6.80±0.06c
15.78±1.20b
34.10±0.28a
Total dietary fiber {%)
25.05±0.99
32.99±2.07
39.67±0.56
Vitamin C (mg 100 g -1 WW)
35.3±0.01a
34.7±0.02a
34.5±0.01a
α-tocopherol (mg/ 100 g DW)
5.85±0.27c
8.41±0.12b
11.29±0.61a
Na (mg 100 g -1 DW)
1771.84±0.01b
8911.46±0.00a
1362.13±0.00c
K (mg. 100 g-1 DW)
13,155.19±1.14a
1142.68±0.00c
8371.23±0.01b
Ca (mg.I 00 g-1 DW)
329.69±0.33c
1874.74±0.20b
3792.06±0.51a
Mg (mg. 100 g-1 DW)
271.33±0.20c
I028.62±0.58a 4
87.81±0.24b
Fe (mg. 100 g-1 DW)
2.61±0.00c
21.37±0.00b
68.21±0.03a
Zn (mg/100 g mg 100 g-1 DW)
4.30±0.02a
3.51±0.00b
2.15±0.00c
Cu (mg 100 g-1 DW)
0.03±0.00b
O.II±O. 00a
0.03±0.00b
Se (mg 100 g-1 DW)
0.59±0.00c
1.07±0.00b
1.14±0.03a
I(μg g-1 DW)
9.42±0.12a
4.78±0.59c
7.66±0.10b
Na/K ratio
0.14
7.8
0.16
Total cations
15,535.58±1.70a
12,989.56±0.78c
14,084.76±0.82b
Values are expressed as mean±standard deviation,n =3
Values in the same row with different superscripts letters are significantly different (p<0.05)
Tabel 1. Komposisi Nutrient Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum
(% berat kering sample). Matajun et aI.(2009)
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Secara umum pemeliharaan lawi-lawi tidak rumit. Lawi-lawi pada umumnya hidup di perairan laut
dangkal namun bisa juga dibudidayakan di tambak baik secara monokultur maupun secara
polikultur dengan komoditas bandeng, udang atau rajungan. Lokasi yang dipilih untuk budidaya
lawi-lawi dan rajungan adalah yang memiliki karakteristik lingkungan sebagai berikut :
1. Lokasi tambak jauh dari pengaruh air tawar yang dapat menurunkan salinitas air
2. Lokasi tambak jauh dari sumber polutan
3. Lokasi tambak harus dengan sumber air laut. Air tambak bisa berganti secara rutin
mengikuti pasang surut air laut
4. Tambak dengan tanah dasar pasir berlumpur, karena lumpur menjadi substrat bagi lawilawi
5. pH tanah tambak harus normal (tidak asam dan tidak basa)
6. Salinitas tambak > 20 ppt.
84
Lawi-lawi yang telah ditanam harus
dikontrol secara rutin untuk mengetahui
kondisi perkembangannya. Begitu juga
kondisi salinitas air harus senantiasa
dimonitor terutama pada musim hujan
karena salinitas air sewaktu waktu bisa
menurun tajam hingga di bawah 25 ppt.
Salinitas yang optimum untuk budidaya
Lawi-lawi yaitu diatas 20 ppt (Tabel 2).
Untuk menjaga salinitas air tambak harus
dilakukan penggantian air secara rutin
(minimal satu minggu sekali).
NO
PARAMETER
KISARAN OPTIMAL
o
1
Suhu
25-33 C
2
Salinitas
20-30 ppt
3
Pertukaran air
Maksimal 1 7 hari sekali
4
Kedalaman air
50 – 120 cm
Tabel 2. Kondisi lingkungan optimal untuk budidaya
Lawi-lawi (Caulerpa,sp) dan Rajungan
(Portunus pelagicus, linn)
Uraian Prosedur Operasional Standar
a. Uraian teknologi
Teknologi yang diterapkan yaitu kegiatan budidaya polikultur (pemeliharaan beberapa komoditas)
secara bersamaan dalam satu ekosistem yang sama. Dalam kegiatan ini dilakukan pemeliharaan
dan produksi dua biota aquatik yang berbeda yaitu Lawi-lawi(Caulerpa. sp) sebagai flora aquatik
dan Rajungan (Portunuspelagicus. Linn)sebagai fauna aquatik yang berasal dari golongan
Crustacea.
b. CaraPenerapan teknologi
1. Tahap Persiapan Tambak
Pengeringan dasar tambak (Gambar 1) dilakukan untuk mempercepat proses pembusukan
bahan organik dan pembersihan gulma perairan yang bisa menjadi kompetitor dalam
penggunaan oksigen. Pemberantasan hama dilakukan dengan menggunakan saponin (4050g/m2) dan pengapuran dasar tambak dengan menggunakan CaO (25-30 g/m2) atau kapur
CaCO3dengan dosis (60-70 g/m2). Pemupukan tambak dilakukan untuk memperkaya
ketersediaan unsur hara yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan
lawi-lawi dan pakan alami yang
bermanfaat bagikehidupan
rajungan. Dosis pemberian pupuk
organik yaitu 20-40 g/m2atau
200-400 kg/Ha. Setelah
Gambar 1. Proses pengeringan tambak selama 3-4 hari
pemberian pupuk dan terjadi
sebelum pengapuran dan pemupukan
proses ionisasi atau mineralisasi
selanjutnya tambak diisi air secara
berangsur-angsur hingga dalam air 10-15 cm. Setelah kedalaman air tambak 15-25 cm,
dilakukan penanaman lawi-lawi dengan padat tanam 500 g/m2pada 10-15 % x luas areal
(Ha) atau 500-750 kg/Ha..
85
2. Penanaman bibit lawi-lawi
Penanaman lawi-lawi dilakukan lebih awal dari rajungan, yaitu 2 minggu sebelum penebaran
benih rajungan. Hal ini dimaksudkan agar pada saat benih rajungan ditebar lawi-lawi sudah
tertanam kuat di dasar tambak dan sudah bisa dimanfaatkan sebagai shelter rajungan. Lawi-lawi
ditanam di dasar tambak pada kondisi ketinggian air tambak antara 15-25 cm dengan padat
tanam 0,5 kg/m2 (masing-masing 5 rumpun lawi-lawi/m2 masing-masing 100 gram per rumpun)
dengan jarak tanam antar rumpun atara 50 – 100 cm tergantungpada kondisi lingkungan
tambak.
3. Pemberian Pupuk Susulan
Pemberian pupuk susulan dilakukan untuk membantu proses pertumbuhan dan peremajaan selsel pada tallus dan anggur pada lawi-lawi setelah dilakukan panen sebagian (parsial). Disamping
itu pemberian pupuk susulan juga sangat berguna bagi pengkayaan ketersediaan pakan alami
rajungan. Meningkatnya ikan-ikan pelagis yang masuk ke areal tambak meningkatkan
ketersediaan makanan tambahan rajungan di tambak. Bahan yang digunakan dalam pemberian
pupuk susulan ini bisa menggunakan pupuk organik kompos atau pupuk organik cair dengan
dosis sesuai kondisi dan kesesuaian lahan. Waktu pemupukan sebaiknya dilakukan pada pagi
hari setiap 6 minggu sekali setelah pergantian air.
4. Penebaran Rajungan
Penebaran benih rajungan dilakukan setelah dua minggu penanaman lawi-lawi. Benih rajungan
yang digunakan adalah benih unggul hasil pengembangbiakan di hatchery Balai Budidaya Air
Payau (BBAP) Takalar. Benih rajungan yang ditebar berukuran 1-2 cm dengan berat rataan 1,5 2 g/ekor. Sebelum ditebar di tambak benih rajungan terlebih dahulu diaklimatisasikan dengan
cara dipelihara dalam waring yang dipasang di tambak. Setelah 3 hari aklamatisasi, benih
rajungan dilepas ke dalam tambak. Budidaya rajungan di tambak dilakukan selama 4 bulan masa
pemeliharaan. Sistem budidaya yang dilakukan adalah sistem intensif dan tradisional. Pada
sistem intensif, benih rajungan ditebar dengan kepadatan 2 ekor/m2 sedangkan pada sistem
tradisional 1 ekor/m2.
5. Pemberian Pakan Rajungan
Pakan yang digunakan sebagai pakan tambahan untuk pembesaran rajungan adalah ikan rucah
yaitu jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah atau limbah olahan ikan. Ikan rucah dicincang
agar sesuai dengan ukuran
dan bukaan mulut rajungan.
Pemberian pakan tambahan
untuk rajungan pada
budidaya sistem semi
intensif dilakukan satu kali
perhari dengan dosis 2%
dari total biomassa (berat
total benih yang
Gambar 3. Ikan rucah dicincang (kiri) dan hasil cincangan (kanan) untuk
pakan tambahan pada kegiatan pembesaran rajungan di tambak
dibudidayakan). Waktu yang
86
tepat untuk pemberian pakan pada sistem semi intensif ini adalah pada jam 11-12 siang yaitu
pada kondisi nafsu makan rajungan sangat tinggi. Sedangkan pada sistem budidaya intensif
pemberian pakan pada rajungan yang dipelihara dilakukan sebanyak 3 kali perhari dengan dosis
2-3% dari total biomassa. Pemberian pakan yang tepat yaitu pada jam 08.00, jam 12.00 dan jam
15.00 dan dilakukan secara kontinyu setiap hari sampai masa rajungan siap panen.
6. Sampling Rajungan
Sampling adalah penimbangan dan pengukuran beberapa sampel rajungan yang dibudidayakan
secara acak untuk mengetahui bobot dan ukuran terkini baik pada rataan perindividu maupun
per populasi rajungan yang dibudidayakan. Sampling juga dimaksudkan untuk dapat
mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan (FCR), angka sintasan hidup (SR)dan tingkat
efisiensi pemberian
pakan, serta dapat
memperkirakan
kebutuhan pakan
lanjutan. Agar
rajungan tidak stress
sebaiknya sampling
dilakukan setiap dua
minggu sekali pada
pagi atau sore hari
Gambar 3. Kegiatan sampling yang dibudidayakan untuk mengukur laju
pertumbuhan (kiri) dan berat rataan rajungan (kanan)
ketika suhu air
rendah.
7. Metode Pemanenan Lawi-lawi dan Rajungan pada sistem polikultur
Lawi-lawi maupun rajungan dapat dipanen secara mudah kapan saja waktunya disaat
diinginkan sesuai kondisi pasar. Pemanenan bisa dilakukan secara berangsur-angsur sebagian
(parsial) atau dipanen seluruhnya (panen total)
 Panen Parsial (Panen sebagian)
Panen Parsial adalah proses pemanenan sebagian biota aquatik yang dibudidayakan
tanpa harus mengeringkan air di tambak dan tanpa mengganggu berlangsungnya
kegiatan budidaya atau pembesaran lanjutan. Pada sistem panen parsial, lawi-lawi atau
rajungan dipanen sesuai kebutuhan dengan waktu bersamaan ataupun pada waktu yang
berbeda. Pada sistem panen seperti ini yang dipanen terlebih dahulu adalah rajungan
dengan menggunakan alat tangkap (rakkang) yang diberi umpan ikan rucah (Gambar 4).
Rakkang di letakkan dekat saluran pemasukan air laut sehingga rajungan terjebak dalam
rakang tersebut. Selanjutnya rajungan ditampung dalam waring/hapa, untuk disortir
berdasarkan ukuran sesuai kebutuhan dan permintaan pasar. Setelah proses
penangkapan rajungan selesai pemanenan lawi-lawi dilakukan secara langsung dengan
gerak panen kearah inlet. Panen lawi-lawi dapat dilakukan secara berkala dimulai ketika
umur tanam lawi-lawi sudah lebih dari 3 minggu ke atas. Lawi-lawi yang sudah dipanen
87
dibilas air tambak yang bersih untuk membersihkannya dari kotoran lumpur. Lawi-lawi
ditampung dalam waring pemberokkan selama 3 hari dan dilakukan sortir secara
kuantitas dan kualitas untuk dikemas kedalam karung sebelum didistribusikan ke pasar.
 Panen Total (Panen Seluruhnya)
Proses panen total dilakukan dengan mengeluarkan air tambak secara perlahan-lahan
sampai tambak menjadi kering dengan menggunakan pompa dorong ataupun pompa
hisap. Seluruh biota yang dibudidayakan dipanen seluruhnya baik lawi-lawi maupun
rajungannya. Pengeringan dasar tambak dilakukan lagi untuk kegiatan selanjutnya. Pada
sistem panen total rajungan dilakukan setelah panen parsial, selanjutnya air tambak
disurutkan sambil terus dilakukan panen rajungan dengan menggunakan rakkang
sampai permukaan tambak terus menurun. Sebelum air tambak kering, dilakukan panen
lawi-lawi secara total, dibersihkankemudiandisortir di tambak atau saluran air laut yang
bersih di sekitar lokasi panen. Setelah lawi-lawinya habis dipanen dilakukan panen
rajungan sampai
habis, kemudian di
tampung dalam
waring/hapa. Setelah
lawi-lawi dan rajungan
selesai dipanen,
pematang tambak
diperbaiki dan
Gambar 4. Alat panen rajungan atau Rakkang (kiri) dan rajungan hasil
dikeringkan untuk
panen total (kanan)
fase penggunaan
tambakselanjutnya.
Uraian Kaji Terap yang
sudah dilakukan
Kajiterap (Gambar 5) terkait
teknologi budidaya polikultur
lawi-lawi dengan rajungan ini
dilakukan pada bulan Maret
sampai dengan Juli 2012 di
dua lokasi tambak milik
pembudidaya di Dusun
Gambar 5. Interaksi antara lawi-lawi (sebagai bioshelter) dengan
Rajungan (simbiosis mutualisme) pada polikultur lawi-lawi dan rajungan
Puntondodan Dusun
Turikalle Teluk Laikang
Kabupaten Takalar Sulawesi
Selatan.Bahan yang digunakan adalah bibit lawi-lawi kultivar bulaeng, benih rajungan, pakanrucah,
pupuk organik dan probiotik. Produksi lawi-lawi berbeda pada tambak semi intensif dan
tradisional (Tabel 3) yang luasnya 400 m2. Sedangkan produksi rajungan dari polikultur dengan
lawi-lawi pada tambak 10.000 m2 berkisar antara 18 – 221 kg (Tabel 4) dengan salinitas air
tambak berkisar antara 18,8 – 31,6‰ (Gambar 6).
88
Gambar 6. Grafik hasil Pengamatan kualitas
air selama kegiatan
No
Jumlah Tebar
(kg)
Padat Tebar
(kg/m 2)
Pertumbuhan/
produksi (kg)
Hasil (Kg)
Salinitas (ppt)
Sistem budidaya
Keterangan/
Lokasi
1
200
0,5
9.52
9.32
33-42
Semi Intensif
Laikang
2
200
0,5
6.4
6.2
33-42
Tradisional
Laikang
Tabel 3. Produksi lawi-lawi (Caulerpa sp)pada sistem polikultur dengan rajungan (Portunus pelagicus. Linn)
di tambak Laikang Kabupaten Takalar selama 4 bulan pemeliharaan
No
Jumlah Tebar
(ekor)
Padat Tebar
(ekor/m 2)
Kelangsungan
hidup (%)
Hasil (Kg)
Salinitas (ppt)
Sistem budidaya
Keterangan/
Lokasi
1
20
2
221
28,3 %
33-42
Semi Intensif
Laikang
2
10
1
164
22,6 %
33-42
Tradisional
Laikang
3
5
0.5
18
10,4 %
33-60
Tradisional/mon
okultur
Laikang
Tabel 4. Produksi dan kelangsungan hidup rajungan (Portunus pelagicus. Linn)hasil polikultur dengan lawi-lawi
(Caulerpa, sp) di tambak Laikang Kabupaten Takalar.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Kegiatan uji coba polikultur budidaya lawi-lawi dengan rajungan sistem intensif maupun
tradisional memberikan gambaran usahamenguntungkan walaupun dengan hasil produksi
rajungan yang masih rendah, tapi jauh lebih baik dibanding sistem budidaya monokultur yang
biasanya pembudidaya lakukan. Pada sistem polikultur dengan lawi-lawi dengan pemberian
pakan menghasilkan produksi rajungan sebanyak 221kg,Sedangkan untuk polikultur tanpa
diberi pakan diperoleh produksi akhir rajungan sebanyak164 kg dan untuk budidaya
monokultur rajungan secara tradisional (tanpa diberi pakan) hanya dihasilkan produksi
rajungan sebanyak 18 kg dengan kelangsungan hidup sangat rendah (SR = 10,4%).
Ukuran rajungan setelah 4 bulan masa pemeliharaan berkisar antara 5-12 ekor/kg
dengansintasan 28 %. Data tersebut memperlihatkan hasil yang lebih baik dari sistem
monokultur yang sintasannya berkisar antara 10% - 17%. Pada awalnya tingkat sintasan yang
ditargetkan adalah 30%. Kecilnya sintasan ini diduga karena kondisi tambak yang menyulitkan
pada saat panen. Kondisi tambak gambut (eks tambak idle) dan berlumpur membuat banyak
rajungan yang menyelinap di lumpur walaupun air bisa disurutkan. Didugamasih banyak
rajungan yang tersisa di dalam tambak terutama untuk ukuran yang lebih kecil sehingga
rajungan yang dibudidayakan tidak bisa di panen serentak dalam satu kali pemanenan.
89
WAKTU DAN LOKASI PENGKAJIAN, DAERAH REKOMENDASI
Data dari hasil uji coba di Dusun Puntondo dan Turikalle Desa Laikang Kabupaten Takalar yang
dilaksanakan pada bulan Maret s/d Juli 2012 menunjukkan bahwa budidaya lawi-lawi dan
rajungan pada sistem intensif memberikan dampak yang lebih baik terhadap kelangsungan hidup
(SR) rajungan sehingga produktivitasnya lebih baik dengan ukuran relatif seragam. Pada sitem
tradisional yang tidak diberi input pakan juga menunjukkan angka kelulushidupan yang cukup baik
dibanding sistem monokultur. Hal ini membuktikan adanya pengaruh yang cukup efektif
penggunaan lawi-lawi sebagai shelter/habitat rajungan yang ideal. Lain halnya dengan sistem
monokultur budidaya rajungan yang kelulushidupannya rendah dan ukuran kurang seragam, ini
sangat memungkinkan sebagai akibat dari tidak adanya shelter tempat rajungan berlindung dari
ancaman sifat kanibalisme sesamanya terutama pada saat pergantian kulit (molting) dan
kompetisi pada saat mengkonsumsi pakan.
Gambar 7. Kawasan pengembangan lawi-lawi dan rajungan (Teluk Laikang), Di Sulawesi Selatan
Wilayah Penerapan dan pengembangan lokasi teknologi Budidaya polikultur lawi-lawi dengan
rajungan adalah wilayah yang strategis dan memiliki kelayakan teknis sebagai habitat yang cocok
untuk budidaya lawi-lawi dan rajungan. Lokasi yang dipilih sebaiknya berdekatan langsung
dengan bibir pantai agar memudahkan penggantian air laut yang sangat dipengaruhi oleh pasang
surutnya air laut (Gambar 7). Daerah dengan latar belakang sektor pertanian yang kurang maju
adalah salah satu kawasan yang tepat untuk dijadikan pengembangan budidaya lawi-lawi dan
rajungan sehingga perekonomian masyarakat dapat ditingkatkan melalui pertanian aquatik
(budidaya lawi-lawi di tambak).
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kegiatan budidaya polikultur seperti ini
diantaranya produksi lawi-lawi yang melimpah jika tidak sesuai dengan permintaan pasar yang
90
c u k u p
a k a n
mengakibatkan
menurunnya harga jual
lawi-lawi dipasaran.
Sebagai antisipasi dari
k e m u n g k i n a n
terjadinya kondisi
tersebut dilakukan
Gambar 8. Proses panen sebagian (parsial)(kiri) dan penampunganlawi-lawi
berbagai cara
dalam hapa di tambak sebelum dipasarkan (kanan)
sosialisasi produk lawilawi dalam berbagai
kemasan untuk membuka akses pasar yang baru di masyarakat terutama di sekitar kawasan
pengembangan budidaya lawi-lawi. Selain itu perlu dicari peluang pasar agar lawi-lawi dapat
dipasarkan sebagai bahan baku produk olahan pangan dan obat-obatan dengan bekerja sama
dengan berbagai pihak untuk menjajaki peluang ekspor lawi-lawi ke manca negara. Dampak lain
yang kemungkinan dapat timbul karena sifat lawi-lawi yang menyerap substrat, jika lokasi
budidaya memiliki substrat yang banyak mengandung limbah dan amoniak dapat menurunkan
kualitas produksi dan lawi-lawi yang dihasilkan kurang higienis. Hal ini dapat diantisipasi dengan
pemilihan lokasi budidaya yang baik sebelum kegiatan budidaya dilaksanakan.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Kegiatan budidaya lawi-lawi secara polikultur dengan rajungan memberikan harapan baru bagi
pembudidaya/petambak. Rajungan bisa dibudidayakan di tambak secara bersamaan dengan lawilawi karena dua biota aquatik yang berbeda spesies ini satu sama lain mempunyai interaksi positif
yang saling menguntungkan (bersimbiosis mutualisme) dan dapat menyesuaikan diri pada
lingkungan yang sama. Lawi lawi sebagai tanaman perairan tambak sangat membantu berperan
dalam merangsang laju pertumbuhan rajungan dalam suplai oksigen pada siang hari dan tidak
berbahaya pada malam hari, bahkan menjadi tempat yang nyaman bagi rajungan pada saat fase
istirahat dan ganti kulit (molting). Pada sisi lain keberadaan rajungan juga tidak mengganggu
No
Sistem Budidaya
Intensif/
Total input
(pupuk, benih)
Lawi -lawi (kg)
Rajungan
(kg)
Harga (Rp)
Keuntungan
Bersih (Rp)
Harga (Rp)
9.400.000
1
Polikultur
OUTPUT
9.52
19.040.000
221
6.409.000
16.049.000
12.556.000
(ada pakan)
2
Tradisional/ Polikultur
5.000.000
8.4
12.800.000
164
4.756.000
3
Tradisional/monokultur
1.500.000
-
-
18
522
4
Tradisional/monokultur
550
7.55
15.100.000
-
-
-978.000 *
14.550.000
Tabel 5. Gambaran hasil produksi sistempolikultur lawi-lawi (Caulerpa, sp) dengan rajungan
(Portunus pelagicus. Linn) di tambak Laikang Kabupaten Takalar, selama satu siklus
(Masa pemeliharaan 3,5 bulan). *)Tambak porous, air dangkal bersuhu panas tanpa
lawi-lawi sehingga produksi rajungan rendah
91
)
NO
Volume
Bahan/Alat
Satuan
Harga Satuan
Jumlah harga (Rp)
(Rp)
A. Modal Usaha
1
2
3
4
5
6
7
Bibit Lawi lawi
Pupuk Organik
Benih Rajungan
Pakan Rajungan (ikan rucah)
Alat Tangkap Rajungan
Waring Penampungan Lawi lawi(ukuran 4x4 m)
Timbangan
JUMLAH
200
125
20.000
150
2
1
1
kg
kg
ekor
kg
unit
buah
buah
3.500
3.600
300
13.000
150.000
500.000
250.000
700.000
450.000
6.000.000
1.950.000
300.000
500.000
250.000
9.400.000
B. Produksi
1
2
Lawi-lawi
Rajungan
9.520 kg
221 kg
2.000
29.000
19.040.000
6.409.000
25.449.000
JUMLAH
16.049.000
C. Hasil Usaha persiklus (B-A)
Tabel 6. Hasil usaha per siklus
Gambar 9. Rajungan yang sudah dipanen
perkembangan dan pertumbuhan lawi-lawi, bahkan kotoran dan sisa pakan hasil metabolisme
rajungan secara tidak langsung menjadi masukan unsur hara yang berguna bagi pertumbuhan
lawi-lawi.
Berdasarkan analisa sederhana terhadap hasil kegiatan kaji terap teknologi polikultur lawi-lawi
dengan rajungan ini diperoleh kesimpulan ekonomis bahwa budidaya polikultur lawi-lawi dengan
rajungan sangat menguntungkan (Tabel 5 dan 6) dan bisa dikembangkan menjadi teknologi
alternatif dalam rangka menunjang program
industrialisasi perikanan. Pada sisi teknis
kegiatan ini dapat menghasilkan
kesimpulan teknis sebagai berikut :
 Lawi-lawi dapat dijadikan sumber
(a)
(b)
(c)
penghasilan harian bagi para
pembudidaya pada sistem
p o l i k u l t u r d e n g a n r a j u n g a n Gambar 10. Tiga kultivar lawi-lawi (Caulerpa, sp) yang
dikembangkan dalam kajian:
sebelum panen rajungan.
Kultivar Bu'ne(C. racemosa) (a), Bulaeng (C. lentillifera) (b)
dan lipan (C. Sertulariodes) (c)
92
 Po l i k u l t u r l a w i - l a w i d e n g a n r a j u n g a n m e m b e r i k a n h a r a p a n b a r u b a g i
pembudidaya/petambak
 Rajungan dapat dibudidayakan di tambak secara bersamaan dengan lawi-lawi karena dua
biota aquatik yang berbeda spesies ini satu sama lain mempunyai interaksi positif yang
saling menguntungkan (bersimbiosis mutualisme) dan dapat menyesuaikan diri pada
lingkungan yang sama
 Model/teknik budidaya seperti ini dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup
rajungan dan meningkatkan angka produksi/meningkatkan pendapatan masyarakat
pembudidaya tambak
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan ini 100% produk dalam negeri, dimana semua
bahan dan peralatan yang dipakai dalam kegiatan tersedia setiap saat dibutuhkan.
93
LP2BRL
BPPBAP
Teknologi Budidaya Sponge (Haliclona sp. dan Callispongia sp.)
pada Rakit Apung di Laut
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Loka Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Rumput Laut (LP2BRL),
Gorontalo dan Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau
(BPPBAP)
Alamat
Jln. Pelabuhan Etalase Perikanan,
Tabulo Selatan, Kecamatan
Mananggu (KP. 96265), Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
1998-2013
Tim Penemu
Petrus Rani Pong-Masak, S.Pi, M.Si
Prof. Dr. Rachmansyah
Dr. Rosmiati, S.Si, M.Sc
Ir. Muhammad Tjaronge
Dra. Emma Suryati, M.Sc
Kontak Person
Petrus Rani Pong-Masak
[email protected]
94
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan Dan Manfaat Penerapan Teknologi
Produksi sponge (Haliclona sp. dan Callispongia sp.) untuk mengantisipasi permintaan bahan
baku industry farmasi, serta pelestarian dan keberlanjutan pemaaatan sponge secara
berkelanjutan.
Manfaat dan kegunaan budidaya sponge :
 Penyediaan benih stek sponge untuk budidaya atau restoking ke alam.
 Untuk memproduksi sponge melalui budidaya dalam rangka mengantisipasi permintaan
bahan baku bagi industri pengolahan dan pemanfaatan sumber daya bahan aktif sponge.
 Kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya sponge.
PENGERTIAN/DEFINISI
Sponge
Merupakan biota avertebrata di laut yang berasosiasi dengan terumbu karang dan memiliki
potensi bioaktif yang mengandung biotoksin yang bersifat bakterisida.
Rakit apung
Wadah budidaya yang terbuat dari susunan balok kayu yang diberi pelampung dan dihubungkan
dengan jangkar di laut
Stek
Potongan sponge sebagai benih dengan panjang 3 cm yang siap dibudidayakan.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persaratan Teknis Penerapan Teknologi
Persyaratan teknis teknologi budidaya sponge pada rakit apung di laut, adalah :
 Perairan dengan kecerahan minimal 7 meter, tidak terjangkau oleh sedimentasi dan air
tawar dari daratan/sungai,
 Perairan yang tidak tercemar dengan limbah rumah tangga dan limbah pabrik
Persyaratan fisik lokasi perairan :
 Lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat, seperti
teluk dan selat.
95
 Kecepatan arus 25 – 40 cm/detik yang memungkinkan terjadinya sirkulasi untuk suplai
makanan, serta membilas dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) yang menutupi
permukaan sponge.
 Substrat dasar perairan agak keras yang dibentuk oleh pasir dan pecahan karang serta
bebas dari sedimen dan lumpur.
 Kedalaman perairan adalah 10 – 15 m sehingga sponge yang dibudidaya terhindar dari
pengadukan sedimen dasar perairan,
 Kecerahan perairan > 7 m, dan
 Suhu perairan antara 26 – 30 oC.
Persyaratan Kualitas Kimia Perairan
 Salinitas berkisar antara 30 – 36 ppt. dimana kisaran salinitas sebaiknya pada nilai
optimum 35 ppt dengan fluktuasi yang tidak besar dari 3 ppt.
 pH dengan kisaran 7,0 - 8,5 dimana nilai pH menjadi faktor pembatas terhadap kehidupan
dan keberadaan suatu hewan air.
Faktor non-Teknis :
 Keterjangkauan (accessible), antra lain keterjangkauan jalur transportasi dan
kemudahan memperoleh sarana prasarana budidaya.
 Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi yang memadai untuk memperlancar
akses pengangkutan.
 Lahan yang dipilih tidak menimbulkan konflik pemanfaatan dan penggunaan perairan
sebagai alur pelayaran.
1.1. Uraian secara lengkap dan detail SOP, mencakup:
a. Gambaran teknologi
Sponge merupakan biota laut yang berasosiasi dengan terumbu karang dan memiliki potensi
bioaktif yang mengandung biotoksin yang bersifat bakterisida, antara lain sponge jenis Haliclona
sp., Callyspongia sp., Callyspongia pseudoreticulata sp., dan Halichondria cartilagena yang
dapat menghambat perkembangan bakteri Vibrio sp., Pseudomonas sp., Aeromonas sp.,
Enterobacteriaceae dan Acinetobacter sp. Selain itu, bioaktif yang terkandung dalam sponge
Hyatella intestinalis, Algilus flabelliformiss, Hipospongia comunis, Spongia afficinalis, Ircinia
virabilis, Spongia gracilis, Dysidea avara, Erylis lendenfeldi, dan Dyctionella insica, telah
dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan.
Eksplorasi bioprospecting sumberdaya pesisir dan lautan, seperti sponge, merupakan suatu
alternatif bagi pengendalian hama dan penyakit pada usaha perikanan budidaya. Kandungan
bioaktif beberapa spesies sponge yang efektif sebagai antibiofouling terhadap teritip (Balanus
amphitrit) pada keramba jaring apung di laut antara lain Asterospus sp., Callyspongia sp.,
Clathria sp., Clathria reinwardi, Desmopasma sp., Dysidea sp., Halichondria sp., Haliclona sp.,
Jaspis sp. Selanjutnya dinyatakan bahwa ekstrak sponge dari spesies Auletta sp., Clathria spp.,
96
dan T. cylindrica dapat menghambat pertumbuhan jamur yang menyerang benur udang windu.
Studi toksisitas ekstrak sponge Auletta sp., Callyspongia sp., dan C. pseudoreticulata terhadap
nener bandeng (Chanos chanos) oleh Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau Maros menyimpulkan bahwa bioaktif sponge dapat dikembangkan menjadi bakterisida
selektif pada pemeliharaan udang dan ikan.
Prospek bioaktif sponge sebagai bakterisida, fungisida atau anti-virus untuk perikanan budidaya
maupun untuk penyediaan kebutuhan farmasi dalam memproduksi obat-obatan terhadap
manusia dan hewan, akan membutuhkan bahan baku yang tidak sedikit. Mengantisipasi
eksploitasi sumberdaya sponge alam yang berlebihan untuk kebutuhan perikanan, farmasi
maupun kebutuhan benih untuk pengembangan, maka perlu penelitian untuk mengetahui metode
budidaya yang praktis dan efisien menggunakan stek sebagai sumber benih.
Hampir semua sponge mampu meregenerasi yang dewasa dari fragment-fragment melalui
sebuah proses reorganisasi selluler sampai menjadi individu baru. Usulan teknologi budidaya
sponge ini diharapkan menjadi informasi dalam membudidayakan sponge untuk mengantisipasi
permintaan bahan baku industri bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya sponge secara
berkelanjutan.
b. Cara penerapan teknologi mulai persiapan sampai penerapan
Alat dan Bahan
 Populasi / koloni sponge Haliclona sp. dan Callispongia sp. sebagai indukan.
 Sarana yang digunakan untuk satu unit rakit apung ukuran 10 m x 10 m
 Gunting dan pisau yang tajam,
 Aerator,selang, batu dan pengatur aerasi
 Timbangan
 Peralatan tulis-menulis
 Bak penampungan / waskom volume isi 20 liter air,
 Peralatan pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, kecerahan, pH dan arus,
 Peralatan penunjang seperti perahu, baju pelampung, kacamata selam
Tahapan Kegiatan
Parents stock spesies sponge Haliclona sp. dan Callispongia sp. diperoleh dari koloni di alam
sekitar kawasan pengembangan budidaya atau diintroduksi dari tempat lain.
 Tehnik transportasi yaitu dengan memasukkan Koloni sponge Haliclona sp. atau
Callispongia sp. ke dalam kantong plastik transparan yang berisi air laut dan diberi
oksigen kemudian diangkut menggunakan perahu dan/atau kendaraan roda 4 ke lokasi
budidaya.
 Stok induk diadaptasikan sampai menjadi segarkembali setelah ditransportasi,
sedangkan bibit yang stress harus diadaptasikan sampai pulih menjadi sehat seperti
keadaan di alam.
 Kegiatan di lokasi budidaya diawali dengan persiapan substrat sebagai media tumbuh
97
biota uji, yakni substrat
jaring poliethylen dengan
ukuran mata jaring 0,5 inci
yang dibentangkan pada
rangka besi berbentuk
segiempat dengan ukuran
60 x 90 cm. Rangka besi
ebelum dibentuk,
dibungkus (diselubungi)
dengan selang plastik agar
tidak mengkarat (korosi).
 Pe r s i a p a n s e l a n j u t n y a
adalah pembuatan rakit Gambar 1. Koloni sponge Haliclona sp. dan Callispongia sp.
sebagai bahan indukan yang siap di stek sumber benih untuk
apung dengan luasan yang budidaya
disesuaikan dengan
kebutuhan.
 Koloni tersebut dipisahkan kemudian dipotong dengan ukuran panjang stek 3 cm.
 Pemotongan benih menggunakan gunting dan dilakukan dalam air dalam wadah yang
diaerasi.
 Benih yang sudah terpotong diikat satu per satu pada jaring poliethylen (substrat) dengan
menggunakan tali nilon ukuran 2 mm. Benih sponge dilekatkan secara horizontal dengan
jarak antar benih 10 cm sehingga setiap media substrat memuat 42 potong benih.
 Setelah semua benih terikat, maka substrat benih ditenggelamkan ke dalam laut sampai
mencapai kedalaman 5 meter.
 Posisi substrat dalam air adalah horizontal sehingga setiap benih yang dilekatkan pada
substrat juga dalam posisi horizontal.
 Setiap unit wadah pemeliharaan digantungkan secara acak pada sebuah unit rakit apung
yang sudah disiapkan.
 Pengamatan dan perawatan
dilakukan pada pagi hari untuk
menghindari degradasi dan
stress sponge pada saat diukur
atau perawatan. Substrat
diangkat dengan menarik tali
penggantung perlahan-lahan
kemudian dilakukan perawatan
dan pembersihan setiap
individu sponge yang dipelihara.
 Pengamatan pertumbuhan dan
mortalitas dilakukan secara
berkala dengan cara mengukur
Gambar 2. Bahan dan tahapan pembuatan media tumbuh
pertambahan panjang total
stek sponge pada jarring poliethylen dengan ukuran frame
90 x 60 cm
setiap benih yang hidup.
98
Pengukuran menggunakan
meteran plastik elastis
(skala ketelitian 0,1 cm)
sehingga dapat mengikuti
arah dan bentuk
pertumbuhan panjang
s p o n g e . Pe n g u k u r a n
dilakukan pada tempat yang
teduh untuk menghindari
degradasi dan stress
sponge pada saat diukur.
 Untuk mengetahui laju
Gambar 3. Cara pemotongan dan pemasangan stek bibit sponge
pada media substrat untuk budidaya.
pertumbuhan bobot maka
dilakukan penimbangan
bobot awal dan bobot akhir. Sebagai data pendukung dilakukan pengukuran kualitas
perairan, yaitu suhu air dan oksigen terlarut (DO meter), pH (pH-meter), salinitas (hand
refraktometer), dan kecerahan (secchi disc).
 Sponge dalam kondisi normal dan sehat setelah 75 hari pemeliharaan akan mengalami
pertambahan panjang 20 – 25 cm untuk spesies Haliclona sp. dan 15-20 cm untuk
spesies Callispongia sp.
Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan
Tahun 1998
Gambar 4. Media tumbuh stek sponge pada substrat
poliethylen yang tergantung pada rakit apung di laut.
Gambar 5. Media tumbuh stek sponge pada rakit
apung (tampak samping)
Mencari ukuran panjang stek yang optimal untuk pembudidayaan spesies Haliclona sp. dan
Callispongia sp. Hasinya panjang stek 3 cm memperlihatkan pertumbuhan terbaik dibanding
dengan panjang stek 1, dan 6 cm.
Tahun 2008
Rataan panjang sponge, Haliclona sp. Setelah 30 hari pemeliharaan ternyata kedalaman 4 m
bertumbuh tercepat (Tabel 1). Setelah 75 hari pemeliharaan pertumbuhan terbaik terlihat pada
99
kedalaman 9 m namun tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan pada kedalaman 3 dan 6 m
(Tabel 2). Hal ini memperlihatkan bahwa sinar matahari bukan menjadi faktor pembatas
kehidupan sponge, karena sponge merupakan golongan biota laut dari fylum Phorifera.
Pengukuran setelah : …
Kedalaman (m)
Awal
15 hari
30 hari
45 hari
60 hari
75 hari
1
3,0±0,0a
5,46±1,07a
6,06±1,11b
7,02±1,53b
9,42±1,93bc
11,81±0,46bc
2
3,0±0,0a
5,70±1,40a
6,46±1,29ab
7,47±1,18b
10,07±2,29ab
12,34±0,26ab
3
3,0±0,0a
5,92±1,19a
6,75±1,82ab
7,17±1,79b
9,61±1,97ab
12,38±0,42ab
4
3,0±0,0a
5,69±1,0a
7,28±0,0a
8,48±2,01a
10,85±2,30a
12,99±0,43a
Nilai P
(P=0,0)
(P=0,61)
(P=0,07)
(P=0,08)
(P=0,05)
(P=0,04)
Tabe1. Rataan panjang total sponge, Haliclona sp. selama 75 hari pemeliharaan pada
kedalaman berbeda dPP di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulsel.
Kedalaman (m)
Pengukuran setelah : …
Awal
15 hari
30 hari
45 hari
60 hari
75 hari
1
3,0±0,0a
4,53±0,92a
5,48±1,17a
5,49±1,20b
7,19±1,93b
8,57±1,02b
3
3,0±0,0a
4,61±0,73a
6,17±1,22a
6,21±1,33ab
8,66±2,41a
9,15±0,43ab
6
3,0±0,0a
4,78±1,09a
5,91±1,31a
6,13±1,33ab
8,52±2,02a
9,66±0,48ab
9
3,0±0,0a
4,91±0,99a
5,91±1,37a
6,54±2,10a
8,60±2,15a
10,04±0,62a
Nilai P
(P=0,0)
(P=0,87)
(P=0,45)
(P=0,13)
(P=0,06)
(P=0,12)
Tabel 2. Rataan pertumbuhan (pertambahan panjang) sponge, Callyspongia sp. selama
75 hari pemeliharaan pada kedalaman berbeda dPP di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulsel.
Gambar 6. Hasil budidaya sponge dan model pertumbuhan cabang spesies
Callyspongia sp. dan Haliclona sp. secara transplantasi pada substrat jaring poliethylen
Sintasan biota sponge selama pemeliharaan berkisar antara 81,67 % – 100 % (Tabel 3), dimana
sintasan terendah umumnya terjadi pada pemeliharaan 1 m dPP baik pada spesies Haliclona sp.
maupun spesies Callyspongia sp. Sintasan eksplan sponge yang rendah pada kedalaman 1 m
100
dPP dimungkinkan oleh fluktuasi kualitas perairan seperti perubahan suhu, arus dan salinitas
karena pengaruh cuaca. Beberapa hal lain yang menyebabkan terjadiya mortalitas adalah
kemampuan beradaptasi yang berbeda antara kedua spesies sponge yang dipelihara, dimana
spesies Callyspongia sp. lebih cepat stres dibanding dengan spesies Haliclona sp.. Selain itu,
terjadinya pemangsaan oleh ikan-ikan liar tertentu juga menjadi penyebab kematian dari biota
yang diuji. Sedangkan pada pemeliharaan 9 m dPP dimungkinkan oleh pengaruh dasar perairan
yang berlumpur sehingga partikel-partikel tersuspensi yang teraduk akan mudah menempel pada
permukaan tubuh sponge sehingga mengganggu aktifitas filtering untuk memperoleh makanan
dari lingkungannya.
Jenis sponge
Haliclona sp.
Callyspongia sp.
Awal
15 hari
30 hari
45 hari
60 hari
75 hari
100±0
100±0
90±0
88.33±2.89
85±0
83.33±2.89
100±0
96.67±2.89
90±0
88.33±2.89
88.33±2.89
88.33±2.89
100±0
100±0
96.67±2.89
95±5
93.33±2.89
93.33±2.89
100±0
100±0
88.33±10.4
85±8.66
85±0
85±0
100±0
100±0
90±0
85±0
81.67±2.89
81.67±2.89
100±0
100±0
100±0
100±0
93.33±2.89
98.33±2.89
100±0
98.33±2.89
93.33±7.64
93.33±7.64
93.33±7.63
93.33±7.64
100±0
100±0
95±5
90±0
85±5
83.67±2.89
Tabel 3. Sintasan sponge selama 75 hari pemeliharaan pada kedalaman berbeda dari permukaan
perairan di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulsel
Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan baru merupakan syarat bagi kelangsungan hidup
suatu biota perairan. Secara alami perkembangbiakan sponge terjadi ketika kondisi lingkungan
menguntungkan, micropyle terbuka dan archaeocytes pertama mulai mengalir keluar dan mereka
segera melewati gemmule diatas substrat kemudian mulailah membangun kerangka pinacoderm
dan choanoderm baru.
Kualitas Perairan
Nilai kisaran kualitas air selama percobaan berlangsung adalah suhu air antara 27.50-30.10
(0.89) C, oksigen terlarut antara 5.76 – 6.12 (0.15) mg/L, salinitas antara 34.00 – 35.00 (0.52)
ppt, pH antara 8.20 – 8.50 (0.15), kecerahan air antara 8.30 – 9.60 (0.54) m, dan kecepatan arus
antara 2.13 – 5.36 (1.28) cm/dtk. Kisaran parameter tersebut berada pada kisaran persyaratan
hidup dan tumbuh biota pada ekosistem terumbu karang, kecuali peubah kecepatan arus yang
rendah. Kecepatan arus yang rendah diduga sebagai salah satu penyebab lambatnya
pertumbuhan sponge yang dipelihara dibandingkan dengan hasil pemeliharaan yang dilakukan di
Teluk Labuange, Kabupaten Barru.
Parameter kualitas perairan yang diukur secara eksitu di laboratorium memperlihatkan kisaran
yang layak bagi pertumbuhan biota akuatik laut (Tabel 5.)
101
Waktu
pemeliharaan
(hari)
Suhu ( C)
DO (mg/L)
pH
Salinitas (ppt)
Kecerahan (m)
Awal
27.50 ±0.52
5.76±0.12
8.20±0.02
34.00±0.51
8.3±1.1
15
28.80±0.41
6.03±0.22
8.50±0.03
35.00±0.44
8.6±1.2
30
29.10±0.55
5.81±0.05
8.40±0.01
35.00±0.21
9.2±0.5
45
30.10±0.41
6.05±0.14
8.50±0.05
35.00±0.33
9.3±0.7
60
29.36±0.67
6.10±0.21
8.20±0.04
35.00±0.37
8.4±1.2
75
29.58±0.34
6.12±0.19
8.50±0.04
34.00±0.28
9.6±0.9
o
Tabel 4. Nilai kualitas perairan yang diukur secara insitu selama penelitian berlangsung
di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan
Waktu
pemeliharaan
(hari)
BOT (mg/L)
Awal
15
30
32.78±1.93
45
33.19±1.68
60
32.49±2.55
75
23.18±3.02
NO3-N (mg/L)
PO4-P (mg/L)
Fe (mg/L)
SO4 (mg/L)
38.03±1.59
0.068±0.04
0.3251±0.002
0.0006±0.0001
737.6±18.83
43.41±0.45
0.0234±0.0022
0.0011±0.001
0.0014±0.0008
681.78±110.52
0.0347±0.007
0.0027±0.0
0.0007±0.0003
549.38±20.74
0.0288±0.0038
0.0104±0.0017
0.0006±0.0001
581.65±41.02
0.1226±0.1807
0.0045±0.0017
0.0005±0.0
880.05±95.008
0.0235±0.0009
0.0235±0.0002
0.0006±0.0001
754.26±85.22
Tabel 5. Nilai kualitas perairan yang diukur secara exitu selama penelitian berlangsung
di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Uraian tentang teknologi modifikasi
 Teknologi pendukung sudah tersedia, yaitu rakit apung. Juga sarana dan prasarana
pendukung dengan mudah dapat diperoleh berupa jaring polyethylene, tali nilon, frame,
kayu, drum pelampung, serta parents stock sponge yang dapat diperoleh di laut.
 Cara konstruksi media budidaya relative mudah, penanganan benih, dan perawatan
selama budidaya relative mudah.
 Pemeliharaan sponge tidak membutuhkan pakan.
 Panen mudah dilakukan.
 Tidak mengeksploitasi sumber daya sponge di alam jika membutuhkan bahan baku yang
banyak.
 Harga yang cukup menggiurkan, yakni Rp. 5.000 per stek bibit yang sudah mulai tumbuh.
Uraian tentang keberhasillan teknologi
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan maka teknologi ini sangat mudah, juga sangat efisien,
dan layak untuk dilakukan. Selain itu kegiatan produksi sponge akan sangat menguntungkan
karena tidak akan mengganggu proses budidaya.
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan
Berdasarkan aspek ekologi, sosial budaya, ekonomi, teknis, infrastruktur, fiksal, hukum dan
kelembagaan, penerapan metode budidaya sponge mudah diterapkan oleh pembudidaya dan
pelaku usaha, baik secara personal maupun secara kelembagaan.
102
Ramah lingkungan
Teknologi budidaya sponge tidak mencemari lingkungan, tidak merusak, tetapi sebaliknya dengan
peran ekofisiologinya akan dapat mengurangi pencemaran dengan sifat absorbnya. Budidaya
sponge juga memperlihatkan bahwa banyak biota laut yang memanfaatkan sponge sebagai
tempat perlindungan dan pembesaran larvanya.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
 Sponge telah teruji mengandung biotoksin yang bersifat bakterisida, antara lain sponge
jenis Haliclona sp., Callyspongia sp., Callyspongia pseudomonas sp., dan Halichondria
cartilagena yang dapat menghambat perkembangan bakteri Vibrio sp., Pseudomonas sp.,
Aeromonas sp., Enterobacteriaceae dan Acinetobacter sp.
 Bioaktif yang terkandung dalam sponge Hyatella intestinalis, Algilus flabelliformiss,
Hipospongia comunis, Spongia afficinalis, Ircinia virabilis, Spongia gracilis , Dysidea avara,
Erylus cendenfeldi, dan Dyctionella insica telah dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan
pengobatan penyakit pada manusia dan hewan.
 Kandungan bioaktif beberapa spesies sponge yang efektif sebagai antibiofouling
terhadap teritip (Balanus amphitrit) pada keramba jaring apung di laut antara lain
Asterospus sp., Callyspongia sp., Clathria sp., Clathria reinwardi, Desmopasma sp.,
Dysidea sp., Halichondria sp., Haliclona sp., Jaspis sp.
 Ekstrak sponge dari spesies Haliclona sp., Clathria spp., dan T. cylindrica dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang menyerang benur udang windu.
 Studi toksisitas ekstrak sponge Haliclona sp., Callyspongia sp., dan C. pseudoreticulata
terhadap nener bandeng (Chanos chanos) dan disiimpulkan bahwa bioaktif sponge dapat
dikembangkan menjadi bakterisida selektif pada pemeliharaan udang dan ikan.
 Studi budidaya sponge menunjukkan bahwa biota ini dapat dibudidayakan melalui
transplantasi dengan menggunakan substrat jaring poliethylen
Lokasi wilayah yang direkomendasikan
 Daerah teluk, selat, terlindung, dengan kecerahan perairan minimal 9 m, salinitas 33-36
ppt, kecepatan arus 30 – 50 cm / det.
 Wilayah pengembangan sangat bergantung kepada permintaan bahan baku oleh
industry terkait, atau untuk kegiatan restoking ke alam.
 Teknologi budidaya sponge dapat dilakukan di di Perairan Tabulo Selatan, Boalemo,
Gorontalo, Teluk Awerange, Barru, dan Teluk Labuange, Barru, Sulsel, dan perairan
lainnya dengan karakteristik yang relative sama dengan ketiga lokasi tersebut.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Belum ditemukan dampak negatif untuk aplikasi teknologi budidaya sponge. Dampak negatif
bisa muncul , antara lain :
 Kesalahan pemilihan lokasi, misalnya di atas kawasan karang, dan padang lamun dapat
merusak ekosistem tersebut.
 Budidaya yang terlalu luas dapat menyebabkan dominansi di suatu kawasan sehingga
bisa merusak keseimbangan ekosistem.
103
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
No
I
Uraian
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
-
Balok kayu ukuran 4/6-5 m
44
45.000
1.980.000
5
-
Drum pelampung
15
150.000
2.250.000
5
-
Tali nilo ukuran 4 mm
10
40.000
400.000
3
-
Tali nilon ukuran 5 mm
8
350.000
2.800.000
3
-
Baut stenlish
54
7500
405.000
3
-
Jangkar
10
50000
500.000
5
-
Perahu
1
1.500.000
1.500.000
5
-
Jaring poliethylen
25
75.000
1.875.000
5
-
Besi ukuran 8 mm
12
55.000
660.000
5
-
Selang plastik transparan
2
210.000
420.000
5
-
Pisau catter (bh)
10
20.000
200.000
1
-
gunting (bh)
10
30.000
300.000
1
-
wadah Baskom (bh)
5
45.000
225.000
2
-
Aerator Baterai
1
45.000
45.000
2
Koloni sponge
1
500.000
500.000
5
14.060.000
Biaya Operasional/Th
A.
Biaya Tetap
1. Biaya perawatan 5%
2. Penyusutan /thn
3. Bunga modal 15%
0,05
14.060.000
703.000
1
3.773 .667
3.773 .667
0.15
14.060.000
2.109.000
Jumlah II.A
B.
6.585.667
Biaya Tidak Tetap
1. Bibit sponge
1
500000
500.000
2. Tenaga kerja (OK)
1
500000
500.000
3. Biaya lain2 5% x (IIA+ B1+B2+B3)
III
0,05
7.585.667
379.283
Jumlah IIB
1.379.283
TOTAL II.A + II.B
7.964.950
Penerimaan per Tahun
- stek spong (42 x 32 wadah) x 4 kali panen / tahun
5,376
Total III
IV
Umur (thn)
Biaya Investasi
Total I
II
Nilai (Rp)
5.000
26.880.000
26 .880.000
Analisis Biaya Manfaat :
1
Penerimaan kotor (III-II)
2
Pajak 10% dari penerimaan kotor
18.915.050
3
Perputaran uang sebelum dipotong pajak (IV.1+II.A.2)
22.688.717
4
Laba operasional (III-II.B)
25.500.717
5
Pendapatan bersih (IV.3 -IV.2)
20.797 .212
6
Jangka waktu pengembalian (I + II.B / III) (tahun)
7
Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio) (III/II)
8
Cash Flow (IV.5+II.A.2)
9
Rentabilitas ekonomi [ (IV.4)/(total I + jumlah II.B) x (100%)]
10
BEP = jumlah IIA / (1-(jumlah II.B / Total III)
1.891.505
0.57
3.3748
24.570 .878
1.65
6.941.872
Tabel 6. Gambaran/uraian penerapan teknologi ditinjau dari aspek ekonomis;
biaya produksi dan keuntungan
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Penerapan teknologi seleksi varietas ini menggunakan material produksi dalam negeri sekitar
90%, dan 10% produksi luar negeri yakni alat-alat pengukur kualitas perairan.
104
Gambar 7. Benih stek sponge (Haliclona sp. dan Callispongia sp.) yang sudah diikatkan pada
substrat jarring polyethylene ukuran frame 60 x 90 cm
Gambar 8. Beberapa benih biota laut ditemukan dalam sponge, al. benih kepiting dan udang.
Gambar 9. Sponge (Haliclona sp.) berumur 60 hari setelah
penanaman
Gambar 10. Rakit apung di laut sebagai
tempat menggantungkan substrat budidaya
sponge.
Gambar 11. Pertumbuhan dan perkembangan koloni sponge (Haliclona sp.) baru
setelah 75 hari pemeliharaan dengan substrat jarring poliethylen pada rakit apung di laut.
105
BBAP
Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus)
Unit Eselon I
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
Satuan Kerja
Balai Budidaya Air Payau Takalar
Alamat
Jl. Perikanan, Desa Mappakalompo,
Kecamatan Galesong, Kabupaten
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Telp. (0418) 2326577 Fax. (0418)
2326777
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2005-2013
Tim Penemu
Sugeng Raharjo
Eddy Nurcahyono
Suciati Usman
Sabarudin Sujaka
Kasturi
Kontak Person
Sugeng Raharjo
[email protected]
Eddy Nurcahyono
[email protected]
106
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Rajungan (Portunus pelagicus) kini telah menjadi salah satu komoditas perikanan yang bernilai
ekonomis tinggi. Hasil olahan komoditas tersebut menjadi salah satu makanan kegemaran (luxury
food) di Amerika dan negara Eropa. Rasa yang lezat dan kandungan nutrisi cukup tinggi (healty
food) menyebabkan permintaan akan komoditas ini semakin meningkat.
Hasil olahan rajungan atau yang juga dikenal dengan nama Blue Swimming Crab banyak diekspor
ke pasaran Amerika, Australia, Jepang dan Uni Eropa. Pasokan daging olahan tersebut bahkan
memberikan kontribusi 80% terhadap market share Amerika. Data Kementerian Kelautan dan
Perikanan mencatat setiap tahunnya nilai ekspor rajungandan rajungan mengalami peningkatan.
Pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu sejumlah 21.510 ton
dengan nilai 170 juta dolar AS. Sedangkan untuk tahun 2011 nilai ekspor rajungandan rajungan
mencapai 250 juta dolar AS atau mengalami kenaikan 10 - 20 persen.
Hasil samping (by product) produksi rajungan berupa cangkang atau karapasnya rajungan juga
mempunyai nilai jual cukup tinggi. Berat cangkang berkisar 25 - 50% dari bobot tubuh. Cangkang
merupakan salah satu sumber chitin dan dapat diolah menjadi senyawa-senyawa polisakarida
seperti chitin [(C8H13NO5)n]. Chitin tersebut dapat diolah lebih lanjut menjadi chitosan
[(C6H11NO4)n] dan glucosamin (C6H13NO5). Produk chitin dan chitosan sangat dibutuhkan
dibanyak bidang, terutama kedokteran, farmasi, industri tekstil, pengolahan limbah, pertanian,
peternakan dan perikanan sehingga dapat mendukung dan mensukseskan program blue
economy Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hingga saat ini, bahan baku mentah rajungan masih mengandalkan hasil penangkapan dari alam.
Usaha budidaya di tambak atau karamba telah mulai dirintis, namun belum memberikan kontribusi
terhadap penambahan volume ekspor. Harga yang semakin meningkat dan permintaan pasar
yang semakin banyak mendorong terjadinya penangkapan rajungan secara besar-besaran.
Penangkapan rajungan pada beberapa daerah dirasakan semakin meningkat kemudian
cenderung stagnan. Sebagai contoh, hasil tangkapan rajungan di Sulawesi Selatan pada tahun
2003 telah mengalami penurunan menjadi 2.886,9 MT dari kisaran 3.335,3 MT pada tahun
sebelumnya. Penurunan stok populasi ini, apabila tidak diantisipasi, akan berpotensi menurunkan
kontribusi bagi pendapatan asli daerah dan menghilangkan kesempatan kerja khususnya di
daerah pesisir.
107
Melihat hal tersebut, maka upaya penyediaan bahan baku mentah rajungan secara periodik perlu
dilakukan. Salah satu upaya untuk dapat memenuhi bahan baku mentah adalah dengan
melakukan budidaya atau melakukan penebaran benih melalui kegiatan culture based fisheries
(CBF) pada habitat rajungan yang bertujuan untuk peningkatan stok populasi (stock
enhancement). Kedua kegiatan tersebut dapat berjalan sinergi yang bertujuan untuk ketersediaan
bahan baku rajungan.Selain itu kegiatan culture based fisheries (CBF) merupakan tuntutan
konsumen luar negeri untuk memastikan produk yang mereka gunakan merupakan sumberdaya
yang berkelanjutan (environment suistanable) yang tetap terjaga kelestariannya.
Kendala utama dalam melakukan budidaya atau culture based fisheries (CBF) adalah
ketersediaan benih. Selama ini, benih rajungan hanya diperoleh dari hasil tangkap di alam. Akan
tetapi, degradasi lingkungan dan over exploitation terhadap rajungan sangat berpengaruh
terhadap ketersediaan benih di alam. Dengan demikian, upaya perbenihan diharapkan menjadi
solusi bagi ketersediaan dan kontinyuitas benih.
Perkembangan teknologi pembenihan rajungan mempunyai manfaat yang signifikan antar lintas
sektor usaha selain berkembangnya segmentasi usaha baru budidaya perikanan sektor industri
perikanan tangkap mendapat manfaat yang cukup signifikan dari perkembangan teknologi
pembenihan rajungan. Dengan teknologi pembenihan rajungan kebutuhan benih untuk kegiatan
culture based fisheries (CBF) dapat tersedia dengan mutu terjamin baik kualitas maupun
kuantitasnya. Dengan kegiatan culture based fisheries (CBF) yang rutin dan kontinyu pendapatan
nelayan penangkapan rajungan meningkat dan kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan
terpenuhi.
PENGERTIAN / DEFINISI
a. Culture Based Fisheries (CBF) adalah Pengelolaan Perikanan Berbasis Budidaya
dalam rangka meningkatkan produktivitas perairan umum dengan menitikberatkan
pada penambahan atau mempertahankan organisme perairan, memperbaiki
lingkungan perairan, dan meningkatkan produksi perikanan.
b. Stock enhancement adalah kegiatan peningkatan stok yang meliputi seluruh kegiatan
yang bermuara pada penebaran benih rajungan untuk peningkatan stok di perairan
umum dan laut (habitatnya).
c. Over exploitation adalah pemanfaatan hasil sumberdaya rajungan yang berlebihan dan
tidak bertanggungjawab tanpa memperhatikan kelestariannya.
d. Substrat adalah tempat induk rajungan berlindung dan mengerami telurnya.
e. Pemilahan ukuran (grading) : Pemisahan ukuran benih rajungan berdasarkan ukuran
tertentu untuk keseragaman benih dan menghindari kematian akibat kanibalisme.
f. Shelter : Tempat berlindung benih/larva rajungan untuk menghindari kanibalisme
g. Sekat – sekat Pemeliharaan Induk adalah Tempat pemeliharaan induk dengan
pembatas yang terbuat dari bambu / kayu untuk menghindari kanibalisme.
h. Tingkat Kematangan Ovarium adalah Tingkatan perkembangan karakteristik seks
sekunder pada induk rajungan
108
I. Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) adalah cara mengembangbiakan ikan dengan
cara melakukan manajemen induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan
larva/benih dalam lingkungan yang terkontrol, melalui penerapan teknologi yang
memenuhi persyaratan biosecurity, mampu telusur (traceability) dan keamanan pangan
(food safety).
j. Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah Dokumen yang menjelaskan cara kerja
suatu proses produksi pembenihan rajungan.
k. Biosecurity adalah upaya pengamanan sistem pembenihan dari kontaminasi
organisme pathogen dari luar dan mencegah berkembangnya organisme pathogen ke
lingkungan pembenihan rajungan.
APLIKASI TEKNIS
Kegiatan Pra Produksi
Kegiatan pra produksi pembenihan rajungan meliputi kegiatan pengetahuan tentang pengenalan
biologi rajungan yang meliputi pengenalan spesies, morfologi, habitat, kebiasaan makan,
perkembangan dan pertumbuhan rajungan.
a. Sistematika
Rajungan merupakan biota laut dengan sistematika sebagai berikut :
Phylum
: Arthropoda
Sub phylum
: Mandibulata
Kelas
: Crustacea
Sub kelas
: Malacostraca
Super ordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Sub ordo
: Branchyura
Famili
: Portunidae
Genus
: Portunus
Spesies
: Portunus pelagicus, Linnaeus
b. Morfologi
Secara umum, rajungan mempunyai karapas yang lebar, berbentuk bulat pipih dengan warna yang
sangat menarik. Lebar kaparas dapat mencapai ukuran 2 1/3 ukuran panjang. Permukaan
karapas mempunyai granula halus dan rapat atau malah kasar dan jarang. Pada kiri dan kanan
karapas terdapat duri besar dengan jumlah sembilan buah dan empat buah antara kedua matanya
serta mempunyai lima pasang kaki jalan.
Kaki jalan pertama besar, disebut dengan capit yang berfungsi memegang mangsa. Kaki jalan ke2, ke-3 dan ke-4 tetap berfungsi sebagaimana biasa sedangkan kaki jalan terakhir mengalami
modifikasi pada dua ruas terakhir. Modifikasi berbentuk pipih dan ada bundar seperti sebuah
dayung, berfungsi sebagai alat renang. Dayung tersebut mempunyai keistimewaan dapat berputar
360º, sehingga memunyai kecepatan yang lebih dibanding rajungan jenis lain. Oleh karena itu,
rajungan juga sering juga disebut sebagai rajunganyang pandai berenang (swimming crab).
109
Jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dengan capit yang lebih panjang dari betina.
Warna dasar rajungan jantan adalah kebiru – biruan dengan bercak putih terang, sedang betina
berwarna kehijau – hijauan dengan warna agak kusam. Perbedaan warna ini nampak jelas pada
individu yang agak besar walaupun belum dewasa.
Jenis kelamin rajungan dapat dibedakan secara eksternal. Rajungan jantan organ kelaminnya
menempel pada bagian perut berbentuk segitiga dan agak meruncing. Betina bentuknya
cenderung membulat berbentuk huruf V atau U terbalik. Perbedaan jenis kelamin juga dapat
dilakukan dengan membandingkan berat capit terhadap berat tubuh. Pada perkembangan awal
saat lebar karapas antara 3 – 10 cm, berat capit mencapai kisaran 22 % dari berat tubuh. Setelah
ukuran karapasnya mencapai 10 – 15 cm, capit rajungan jantan menjadi lebih besar, berkisar 30 –
35 % dari berat tubuh, sementara capit betina sama 22 % dari berat tubuh.
2A
2C
2B
2D
Gambar 1. Tampak atas rajungan betina (2A), tampak bawah abdomen betina (2B). Tampak
atas rajungan jantan (2C) dan tampak bawah abdomen jantan (2D)
c. Habitat Rajungan
Penyebaran rajungan meliputi daerah Atlantik, Lautan teduh, Laut Merah, Jepang, Selandia Baru,
Pantai Timur Afrika dan Indonesia serta ditemukan pula di Singapura, Philipina, Australia, Jepang
dan China. Rajungan dapat hidup di berbagai ragam habitat, termasuk tambak- tambak ikan di
perairan pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman perairan tempat
rajungan ditemukan berkisar antara 0 – 60 m. Substrat dasar habitat sangat beragam mulai dari
pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun.
110
Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas
lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawainan akan bermigrasi
di daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, maka akan kembali ke laut untuk menetaskan
telurnya. Saat fase larva masih bersifat planktonik yang melayang – layang dilepas pantai,
sedangkan fase megalopa berada di dekat pantai dan kembali ke daerah eustaria setelah
mencapai rajungan muda.
d. Kebiasaan Makan
Saat masih larva, rajungan cenderung sebagai pemakan plankton (Plankton feeder). Semakin
besar ukuran tubuh, rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang
disukai saat masih larva antara udang – udangan seperti rotifera sedangkan saat dewasa telah
menjadi omnivora scavenger dan bersifat kanibal akan memakan segala seperti ikan rucah,
bangkai binatang, siput, kerang kerangan, tiram, moluska dan jenis crustacea lainnya terutama
udang-udang kecil, pemakan bahan tersuspensi di dataran lumpur dan bahan terdeposit.
Kebiasaan dalam mencari makan adalah membenamkan diri dalam pasir dan hanya menonjolkan
kedua matanya. Rajungan bersifat menunggu ikan atau invertebrata lainya yang mendekat untuk
diserang dan dimangsa.
e. Perkembangan dan Pertumbuhan Rajungan
Induk yang matang gomad saat ovulasi akan mengeluarkan telur. Sebelum dilepaskan keluar
tubuh, telur tersebut akan dan melalui spermateka, yaitu kantung sperma yang ada pada bagian
pleopod betina. Spertemateka umumnya telah berisi sperma jantan yang telah dititipkan saat
terjadi perkawinan atau kopulasi. Umumnya, telur yang melewati spermateka secara otomatis
akan terbuahi.
Telur yang keluar dari tubuh akan terkumpul dengan bantuan pleopod dan dierami pada bagian
bawah abdomen. Masa pengeraman atau inkubasi berkisar 9 – 10 hari. Saat telur pertama kali di
erami akan berwarna kuning muda. Proses embriogenesis menyebabkan warna berubah menjadi
oranye, kemudian coklat kehitaman. Warna coklat kehitaman menunjukkan bahwa bintik mata
(eye spot) telah terbentuk.
Gambar 2. Perkembangan warna pada masa inkubasi induk rajungan pasca melepaskan
telur (salin). Warna oranye menunjukkan masa inkubasi 3 – 4 hari (kiri), warna coklat
kehitaman berkisar 5 – 6 hari (kanan)
111
Bila saat menetas tiba, induk rajungan akan mengais kumpulan telur menggunakan kaki jalan.
Telur rajungan akan menetas menjadi pre zoea atau langsung menjadi zoea. Pre zoea akan menjadi
zoea setelah lebih kurang 30 menit menetas. Zorea yang sehat berwarna transparan cerah dan
berenang mendekati permukaan air. Zoea rajungan bersifat melayang dalam air (planktonis) dan
akan melalui empat sub stadia zoea selama 8 – 9 hari.
Pada zoea 1, nampak bahwa karapas mempunyai sepasang mata yang tak bertangkai, sepasang
spina lateralis si samping kiri dan kanan yang pendek dan tajam, sebuah spina dorsalis dibagian
punggung dan sebuah spina mirip rostrum yang lebih pendek dari spina dorsalis. Abdomen terdiri
dari 5 ruas dan di ujung abdomen terdapat telson yang terdiri dari 2 furca. Perkembangan pada sub
stadia ini akan dilalui selama 2 – 3 hari. Memasuki zoea 2, mata mulai bertangkai dan pada telson
terlihat tambahan sebuah rambut sederhana (simple setae) tepat dibagian tengah lengkungan
sebelah dalam. Pada bagian ventral cephalothorax, nampak tonjolan pada periopod 1 hingga ke-5.
Pada kondisi optimal, perkembangan pada sub stadia zoea 2 akan dilalui selama 2 hari. Saat
memasuki zoea 3, abdomen telah bertambah menjadi 6 ruas. Tonjolan pada periopod 1 nampak
berkembang lebih besar di banding yang lain. Selain itu, terlihat pula tonjolan pleopod pada bagian
abdomen. Perkembangan sub stadia zoea 3 akan berlangsung selama 2 hari. Pada zoea 4,
periopod 1 mulai membesar berbentuk capit sedangkan pleopod ke-2 hingga ke-5 akan
berkembang semakin panjang. Sub stadia zoea 4 akan di lalui selama 2 hari.
Selanjutnya larva melakukan metamorfosis menjadi megalopa. Metamorfosis zoea dilakukan
melalui perobekan lapisan kulit di bagian punggung yaitu antara cephalothorax dan abdomen.
Pada fase ini, bentuk sudah mulai mirip rajungan dewasa, tubuhnya makin melebar, kaki dan
sepitnya makin jelas wujudnya, sedangkan mata akan membesar. Karapas berbentuk segi empat
memanjang tanpa spina dorsalis dan lateralis. Panjang karapas rata-rata mencapai 1,40 mm,
diukur dari bagian frontal mata hingga posterior. Lebar karapas rata-rata mencapai 1,20 mm,
diukur pada bagian terlebar mulai tepi kanan hingga tepi kiri. Pada karapas masih terlihat rostrum
yang tajam dan menonjol ke depan dengan panjang berkisar setengah dari antena. Periopod 1
berbentuk capit sedangkan abdomen menjadi lebih pendek dan terlihat kaku. Salah satu ciri
bahwa megalopa telah melakukan metamorfosis adalah timbulnya kanibalisme. Pada fase
megolopa tidak terdapat sub stadia seperti pada zoea dan sudah bersifat menetap di dasar
substrat (benthik). Setelah 5 – 6 hari maka megalopa akan berubah menjadi crab atau rajungan
muda.
Crab 1 ditandai dengan panjang karapas yang lebih pendek dibanding lebarnya. Dua ruas terminal
yaitu propodus dan dactylus pada pasangan periopod ke-5 sudah sangat memipih dan berfungsi
untuk berenang. Abdomen sudah terlihat mengecil dan terlipat di bagian bawah cephalothorax.
Crab muda terlihat suka membenamkan diri dalam substrat pasir.
Selama proses tumbuh menjadi dewasa, rajungan akan mengalami beberapa kali pergantian kulit
atau moulting. Pergantian kulit terjadi karena rangka luar pembungkus tubuhnya tidak lagi dapat
membesar sehingga perlu dibuang dan diganti dengan yang lebih besar. Rajungan yang baru
112
berganti kulit, tubuhnya masih sangat lunak sehingga diperlukan beberapa waktu untuk dapat
membentuki kulit pelindung yang keras. Frekuensi ganti kulit akan berkurang apabila rajungan
telah bertelur. Umumnya hanya berlangsung sekali setahun atau bahkan mungkin hanya sekali
dalam beberapa tahun. Pada rajungan dewasa, aktivitas ganti kulit dihentikan dan akan
berlangsung aktivitas reproduksi atau pertumbuhan somatik.
Persyaratan Teknis
a. Sumber Air
Sumber air yang digunakan untuk operasional kegiatan adalah air laut. Air laut yang digunakan
harus bersih bebas dari bahan pencemar, jauh dari kegiatan industri (pabrik, pelabuhan dll),
sebaiknya dipilih lokasi pesisir pantai berkarang atau berpasir dan tidak berlumpur. Bila kondisi
perairan berlumpur diperlukan bak pengendapan untuk mendapat air yang sesuai kelayakan hidup
rajungan. Penggunaan system sand filter disrankan untuk mengurangi bakteri pathogen yang
merugikan. Perairan yang mengandung kadar besi tinggi tidak disarankan karena memrlukan
biaya operasional lebih untuk perlakuan awal. Air sebaiknya dialirkan dengan cara gravitasi namun
bila tidak memungkinkan sebaiknya dibuat sistem tandon/ penampungan air.
b. Lokasi
Lokasi pembenihan sebaiknya dekat dengan akses jalan raya, telepon, listrik (PLN) dan kawasan
budidaya perikanan untuk memudahkan pemasaran hasil pembenihannya. Untuk mengurangi
biaya operasioanal sebaiknya lokasi dipesisir pantai sehingga memudahkan dalam pemompaan
air laut yang merupakan kebutuhan utama operasioanal pembenihan rajungan.
c. Peralatan Perikanan
Peralatan yang dibutuhkan untuk kegiatan pembenihan meliputi pompa dan sistem aliran air, hiblow atau blower untuk sumber aerasi,peralatan sistem aerasi, baskom, ember, timbangan, tabung
oksigen dan regulator, thermometer, refraktometer, pH meter (optional), DO meter (optional), dan
mikroskop (optional).
d. Bahan Perikanan
Bahan perikanan yang digunakan untuk proses pembenihan rajungan meliputi : induk jantan dan
betina, pakan induk, artemia, alga (Nannochloropsis sp.) dan rotifer (Brachionus sp.), pakan buatan,
obat – obatan/probiotik dan formalin.
e. Wadah
Proses pengelolaan induk memerlukan wadah berupa bak beton ukuran 5 m X 2 m X 1 m yang
dilengkapi penyekat dan substrat pasir putih setinggi 30 cm. ataupun dapat mengguanakan bak
fiber persegi ukuran 5 m X 1 m X 1 m yang dilengkapi penyekat dan substrat pasir putih, proses
pemijahan/ penetasan induk dapat menggunakan fiber bulat kapasitas 500 Liter warna gelap.
Wadah pemeliharaan larva dapat berupa fiber glass konikal kapasitas 250 liter warna gelap atau
bak beton ukuran 5 m X 2 m X 1 m. corong penetasan artemia kapasitas 20 – 30 liter. Bak
plankton berupa bak beton ukuran 10 m x 4 m x 1,5 m sebanyak 4 buah dan bak kultur rotifer
113
ukuran 3 m X 1,5 m X 1 m sebanyak 6 – 8 buah. Sedangkan untuk hatchery skala rumah tangga
(HSRT/ backyard) umumnya bak pemeliharaan larva hanya ditutup dengan terpal.
NO.
JENIS/SPESIFIKASI
JUMLAH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Bak Pemeliharaan Induk
Bak Penetasan
Bak Pemeliharaan Larva stadia zoea
Bak pemeliharaan larva megalopa dan crablet
Bak kultur artemia
Bak kultur Nannochloropsis
Bak Kultur Brachionus(Rotifer)
1
1
20
4
3
4
8
KETERANGAN
Bak beton ukuran 5 m x 2 m x 1 m
Bak fiberglass volume 500 L
Bakfiberglass konikal volume 250 L
Bak beton ukuran 5 m x 2 m x 1 m
Bak fiberglass konikal volume 20-30 L
Bak beton ukuran 10m x 4 m x 1,5 m
Bak beton ukuran 3 m x 1,5 m x 1 m
Tabel 1. Spesifikasi Wadah / Bak Pembenihan Rajungan
Bak pemeliharaan larva stadia zoea sebaiknya menggunakan bak fiberglass konikal volume 250 L.
Bak konikal mempunyai beberapa keunggulan antara lain: lebih efektif dalam pengontrolan dan
pengeluaran kotoran, kepadatan larva dapat lebih tinggi, kebutuhan pakan alami terutama
Brachionus dapat dioptimalkan.
f. Panti Benih
Panti benih dapat berupa bangunan permanen atau semi permanen. Secara prinsip, bangunan
harus dapat memanfaatkan panas secara alami dan pemanasan buatan hanya digunakan bila
kondisi darurat. Pemanfaatan panas alami dapat dilakukan dengan pengaturan tinggi dan atap
bangunan. Tinggi bangunan cukup disesuaikan dengan kebutuhan lalu lintas pelaksana
pembenihan dan wadah pembenihan. Atap bangunan dapat menggunakan bahan fiberglass
tembus cahaya yang disesuaikan dengan kebutuhan kelayakan hidup benih rajungan.
Ruang indoor harus dapat mempertahankan suhu ruang agar cukup tinggi dengan kisaran 36 –
42oC (suhu air media pemeliharaan larva/benih berkisar antara 28-31oC). Suhu cukup
tinggi/optimal tersebut akan menunjang laju pertumbuhan lebih cepat, konversi pakan lebih kecil,
serta resiko terserang penyakit lebih rendah. Untuk bak-bak larva/benih pada hatchery skala
rumah tangga (HSRT/backyard) umumnya cukup menutupnya dengan terpal.
a
b
b
g
h
i
j
Keterangan :
a : bak pemeliharaan induk
b : bak penetasan
c : bak kultur artemia
d : bak fiberglass konikal 250
L (pemeliharaan zoea)
e : bak kultur Nannochloropsis
h : Blower
i : Filtersand
j : Tandon Air Laut
f : bak kultur Brachionus
g :Tower air laut
d
c
c
f
e
Gambar 3. Contoh skema layout pembenihan Rajungan
114
Prosedur Teknis / Standar Operasional Prosedur (SOP)
Teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus) merupakan rangkaian kegiatan yang
dimulai dari kegiatan persiapan sarana prasarana dan sterilisai air, pemilihan dan pemeliharaan
induk, penetasan larva, pemeliharaan larva, pengelolaan pakan, kultur dan pengkayaan pakan
alami, pemeliharaan megalopa dan crablet, pengelolaan kualitas air, pemilahan ukuran (grading)
dan panen. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan
penerapan teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus). Adapun penerapan masing –
masing rangkaian kegiatan tersebut sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) adalah
sebagai berikut :
a. Persiapan Sarana Prasarana dan Sterilisasi Air
Persiapan sarana, prasana dan sterilisasi air merupakan langkah awal pada proses pembenihan
untuk menunjang keberhasilan kegiatan yang akan dilaksanakan. Persiapan sarana prasarana
meliputi kegiatan persiapan pada bak tandon air, bak induk, bak penetasan dan bak pemeliharaan
larva. Persiapan dilakukan dengan mencuci dan menggosok dengan larutan kaporit 15 ppm atau
menggunakan deterjen. Selanjutnya dibilas dengan air streril.
Aerasi dan kelengkapannya serta semua peralatan yang akan digunakan pada proses produksi
direndam dalam larutan formalin 100 ppm selama 24 jam. Peralatan tersebut kemudian dibilas
dengan air steril hingga bersih. Peralatan tersebut kemudian dikeringkan minimal 24 jam sebelum
digunakan.
Air yang digunakan dalam proses produksi merupakan hasil dari proses filtrasi menggunakan
metode sand filter. Filter tersebut bertingkat mulai dari lapisan batu kali, arang, ijuk dan pasir
kwarsa, kemudian ditampung dalam bak penampungan. Air bersih sebelum masuk ke bak
pemeliharaan larva disterilkan menggunakan radiasi lampu ultraviolet. Penyinaran lampu
ultraviolet ini bertujuan untuk membunuh bakteri patogen yang mungkin masih ada dalam air.
b. Pemilihan dan Pemeliharaan Induk
Induk yang digunakan pada pemeliharaan rajungan adalah induk alam hasil tangkapan nelayan
yang diperoleh dari pengumpul. Induk – induk tersebut kemudian diseleksi dengan persyaratan :
organ tubuh lengkap, tidak cacat, gerakan lincah, berat induk antara 150 – 250 gram dengan
panjang karapas antara 5-8 cm dan lebar karapas 10-13 cm. Induk setidaknya telah mencapai
tingkat kematangan ovarium (TKO) II yang berwarna putih buram saat diamati dari sambungan
(joint) antara karapas dengan abdomen terakhir. Induk yang telah diseleksi kemudian dibawa ke
lokasi pembenihan.
Setelah sampai di lokasi pembenihan semua induk rajungan diadaptasikan dengan kondisi
lingkungan pembenihan. Sterilisasi dan pencegahan terhadap infeksi penyakit dan parasit
dilakukan dengan merendam induk dalam larutan formalin sebelum dimasukkan ke bak
pemeliharaan. Tiap induk dimasukkan dalam wadah/waskom yang diisi air laut 10 Liter dengan
kandungan 25 ppm larutan formalin. Perendaman dilakukan selama 15 – 30 menit, serta diaerasi
terus menerus. Induk kemudian dimasukkan kedalam bak pemeliharaan induk ukuran
115
1,5 m x 2 m x 1 m dengan kepadatan 1 - 2 individu /m2. Perbandingan antar induk jantan dan
betina adalah 1 : 1. Ketinggian air pemeliharaan induk berkisar 20 – 30 cm. Air yang digunakan
adalah air steril dengan salinitas 30 – 33 ppt. Kanibalisme antar induk dicegah dengan sekatsekat bambu yang berisi 1 individu induk dalam satu sekat. Sekat – sekat dibuat dengan ukuran 60
X 60 X 60 cm. Sekat diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam pengontrolan. Sekat
pemeliharaan induk dapat terbuat dari bambu atau kayu.
Dasar bak berisi hamparan substrat pasir koral setinggi kurang lebih 10 – 15 cm. Pada subtrat
diletakkan potongan pipa PVC dengan diameter berkisar 20 - 30 cm. Sebagai sumber oksigen di
dalam air, bak dilengkapi dengan aerasi. Batu aerasi dipasang setinggi 5 cm di atas permukaan
pasir agar tidak menyebabkan dasar pasir teraduk.
Pengamatan induk dilakukan setiap hari untuk mengetahui induk tersebut telah siap memijah atau
belum. Selama masa pemeliharaan induk diberi pakan cumi – cumi, kerang dan ikan rucah dengan
perbandingan 70 % : 30 %. Jumlah pakan antara 10 – 15 % dari bobot tubuh setiap hari. Pakan
diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari dengan perbandingan 30 % : 70 %. Pakan yang
tidak termakan disiphon keluar dari bak pemeliharaan. Pergantian air dilakukan setiap pagi hari
sebelum pemberian pakan sebanyak 100 – 200 % dengan sistem air mengalir. Pemberian pakan
tambahan berupa kerang, tiram dan cacing laut sangat dianjurkan dengan prosentase berkisar 5 –
10%.
c. Penetasan Larva
Induk yang telah memijah ditandai dengan keluarnya telur yang menempel pada lipatan abdomen.
Perkembangan telur selalu diamati setiap hari dan perubahan warna akan terlihat dari warna
kuning, oranye, coklat kemudian berwarna hitam. Induk yang telurnya telah berwarna hitam segera
dipindahkan ke bak penetasan larva volume 100 Liter. Kepadatan yang digunakan adalah satu
individu induk dalam tiap wadah penetasan. Pada keadaan normal, telur akan menetas pada
malam hari atau pagi hari satu hari setelah induk dipelihara dalam wadah penetasan.
Setelah semua telur menetas, aerasi dalam bak penetasan dimatikan. Larva yang sehat akan
berkumpul dekat permukaan air. Induk yang telah menetas diambil dan dikembalikan ke bak
pemeliharaan induk. Induk rajungan setelah menetaskan telurnya dapat digunakan lagi untuk
penetasan berikutnya. Melalui pemberian pakan yang berkualitas dan lingkungan pemeliharaan
yang optimal induk tersebut dapat menghasilkan bertelur hingga 2 - 3 kali. Induk rajungan dengan
berat 150 – 250 gram dapat menghasilkan sekitar 450.000 – 900.000 larva.
Cara menseleksi larva yang bermutu baik dilakukan dengan mengamati warna yang transparan
dan cerah, pergerakan yang aktif, respon terhadap cahaya, mengumpul pada bagian tertentu dan
tidak mengendap pada dasar bak penetasan. Larva yang kurang bagus umumnya akan
mengendap di dasar bak, gerakan kurang aktif dan kurang respon terhadap cahaya. Larva yang
sehat kemudian diambil secara perlahan - lahan dengan serok panen ukuran 200 µm. Larva layak
dipelihara sebaiknya jika yang mengendap kurang dari 20%. Larva yang telah diseleksi kemudian
ditampung dalam wadah volume 10 Liter dan diberi aerasi kemudian dihitung jumlahnya.
116
d. Pemeliharaan Larva
Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan larva rajungan dapat berupa bak plastik, fiber glass
ataupun bak beton. Ukuran bak pemeliharaan larva rajungan dapat bervariasi mulai dari 2.000 –
10.000 m3 ataupun fiber glass ukuran 300 – 1000 m3. Pada pemeliharaan zoea, sangat
dianjurkan untuk mempergunakan wadah berukuran antara 100 – 250 Liter untuk lebih
memudahkan penanganan dan pengawasan serta mencegah kontaminasi penyakit individu.
Bak pemeliharaan larva dilengkapi sistem aerasi yang berfungsi untuk meningkatkan kandungan
oksigen terlarut. Aerasi juga berfungsi menciptakan sirkulasi air pada media pemeliharaan serta
untuk mempercepat proses penguapan gas beracun hasil proses pembusukan sisa pakan dan
kotoran. Jumlah titik aerasi diatur sesuai dengan besaran bak pemeliharaan yang digunakan.
Kekuatan aerasi juga harus diatur sedemikian rupa sehingga tekanannya tidak terlalu kuat atau
lemah. Air media pemeliharaan yang digunakan adalah air laut dengan salinitas 30 – 32 ppt.
Zoea yang telah dipanen dari bak penetasan dipindahkan ke bak pemeliharaan untuk menghindari
stress akibat terlalu padat pada wadah penampungan. Sebelum ditebar, larva disterilisasi dengan
formalin 20 ppm selama 10 – 15 detik untuk menghindari kontaminasi patogen. Padat penebaran
larva sebaiknya antara 50 – 60 individu/Liter.
Sebelum larva ditebar, aklimatisasi sebaiknya dilakukan untuk menghindari stres pada larva akibat
perbedaan lingkungan pemeliharaan dan bak penetasan. Larva ditebar secara perlahan – lahan
dengan memasukkan air media pemeliharaan ke dalam wadah selama kurang lebih 5 – 15 menit.
Setelah mampu beradaptasi, maka larva dapat ditebar pada bak pemeliharaan.
e. Pengelolaan Pakan
Kebutuhan akan zooplankton adalah sesuatu yang mutlak sebagai sumber energi pada
pemeliharaan larva rajungan. Pakan yang diberikan sangat berpengaruh untuk menunjang
aktifitas pertumbuhan larva. Pakan alami yang diberikan selama stadia zoea adalah rotifer
(Brachionus plicatilis), Artemia dan pakan buatan. Pakan buatan diberikan sebagai penunjang
untuk melengkapi nutrisi yang dibutuhkan larva rajungan ataupun sebagai pengganti pakan alami.
Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan pakan buatan adalah disesuaikan dengan
kebutuhan nutrisi, bukaan mulut dan nafsu makan larva. Pakan buatan yang tidak termakan akan
berpotensi menurunkan kualitas lingkungan media pemeliharaan dan menyebabkan stres pada
larva.
Rotifer Brachionus plicatilis diberikan dengan kepadatan 10 – 15 individu/ml mulai stadia zoea 1.
Selain rotifer, pakan buatan ukuran 150 µm mulai diberikan dengan dosis 0,3 ppm. Memasuki
stadia zoea 2, naupli Artemia salina mulai diberikan dengan kepadatan 0,5 – 5 individu/ml dan
meningkat seiring pertumbuhan dan pergantian stadia pada larva.
Rotifer dan naupli artemia tidak mempunyai kandungan asam lemak EPA dan DHA yang cukup
tinggi untuk memenuhi kebutuhan larva. Upaya optimalisasi nutrisi perlu dilakukan untuk
117
pemenuhan kebutuhan nutrisi larva sehingga dilakukan pengkayaan pada pakan alami. Hasil
kajian yang dilakukan di BBAP Takalar menunjukkan bahwa pengkayaan pakan alami
menggunakan asam lemak dengan dosis 200 ppm memberikan hasil yang signifikan pada
pertumbuhan dan sintasan larva.
Pada stadia megalopa, pakan yang diberikan adalah naupli artemia yang telah diperkaya.
Pemberian rotifer (Brachionus plicatilis) dihentikan karena sudah tidak sesuai dengan ukuran
mulut megalopa. Artemia diberikan dengan kepadatan 3 – 5 individu/Liter, sedangkan pakan
buatan yang diberikan berukuran 200 – 300 µm dengan dosis pakan buatan yang diberikan
adalah 1 ppm. Dosis dan frekuensi pemberian pakan pada pemeliharaan larva rajungan dapat
dilihat pada tabel 2.
Stadia larva
Frekuensi
pemberian
(kali/hari)
Kepadatan Rot ifer
( individu/mL)
Kepadatan Artemia
(individu/mL)
Pakan buatan
(ppm)
Zoea 1
Zoea 2
Zoea 3
Zoea 4
Megalopa
4
4
4
4
4
10 – 15
10 – 15
10 – 15
10 – 15
-
0,5 – 3
0,5 – 3
3- 5
0,3
0,4
0,5
0,6
1
Tabel 2. Dosis pakan selama pemeliharaan larva rajungan
f. Kultur dan Pengkayaan Pakan Alami
1. Kultur pakan alami
Larva rajungan pada stadia awal membutuhkan pakan alami untuk tumbuh dan berkembang.
Pada habitatnya, pakan alami diperoleh dengan berburu zooplankton. Kebutuhan akan
zooplankton pada perkembangan larva merupakan sesuatu yang mutlak sebagai sumber
energi. Zooplankton yang sering digunakan pada pemeliharaan larva rajungan adalah rotifer,
dan artemia.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pakan alami sebagai makanan bagi larva rajungan adalah :
1. Mempunyai bentuk dan ukuran yang sesuai bukaan mulut larva
2. Mempunyai kandungan gizi tinggi dan bentuk morfologi mudah larva
3. Mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat
4. Mempunyai toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan
5. Tidak mengeluarkan bahan beracun saat dilakukan kultur massal
6. Pergerakan tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap oleh larva
Artemia sp mempunyai lapisan eksoskleton yang tipis sehingga mudah dicerna oleh larva,
mengandung asam lemak jenis 3 HUFA tinggi serta protein kasar yang dapat mencapai level
54,4 %. Akan tetapi, pada stadia nauplii artemia terjadi defisiensi asam amino terutama
histidine, methionine, phenylalanine,dan threonine sedangkan saat dewasa, defisiensi
tersebut sudah dapat dilengkapi. Penambahan komposisi asam amino tersebut diperoleh
dari pakan alami berupa phytoplankton yang terdapat habitat perairan, misalnya Chlorella
spatau Nannochloropsis sp.
118
Rotifer dan artemia merupakan organisme non selektif plankton feeder. Kandungan nutrisi
dalam tubuh tergantung dari nutrient dari lingkungan, baik dari plankton yang dikonsumsi
maupun dari pertukaran ion mineral dalam air. Peningkatan nutrisi dapat dilakukan dengan
kultur pada media chlorella tipe air laut (Nannochloropsis), pemberian pakan
microencapsulated yang mengandung 3 HUFA atau pemberian gabungan suplemen yang
terdiri dari vitamin, asam amino dan elektrolit. Hasil kajian yang dilakukan di BBAP Takalar
menunjukkan bahwa larva yang diberi pakan alami yang telah diperkaya mempunyai laju
pertumbuhan dan sintasan yang lebih baik.
2. Pengkayaan Rotifer dan Artemia
Saat ini, bahan-bahan pengkaya pakan alami telah dapat diperoleh secara bebas di pasaran.
Selain bahan - bahan tersebut, pengkayaan (enrichment) rotifer dan artemia juga dapat
dilakukan dengan metode perendaman dengan memberikan larutan emulsi minyak hati ikan
cod, cuttlefish atau material hewani lain yang mengandung 3 HUFA tinggi. Metode lain
adalah dengan melakukan perendaman kista artemia dengan 30% 3 HUFA dalam larutan
aseton selama 7 hari pada suhu 23-30°C. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan
kandungan 3 HUFA dari 3% menjadi 11%.
Kultur rotifer atau artemia dilakukan pada media berdasar kerucut, agar cangkang atau
kotoran dapat mengendap. Proses dekapsulasi sebaiknya dilakukan sebelum kultur artemia.
Dekapsulasi bertujuan mengikis lapisan chorion sehingga waktu kultur akan lebih singkat.
Proses tersebut dilakukan dengan mengaduk kista artemia dalam larutan kaporit atau soda
api selama lebih kurang 5 - 10 menit. Hal yang perlu diperhatikan adalah suhu larutan
sebaiknya berada di bawah 40ºC agar tidak mematikan kista. Jika suhu semakin meningkat
maka segera ditambahkan air ke dalam larutan dekapsulasi. Hasil dekapsulasi yang baik
adalah warna kista berubah dari coklat ke oranye, kista masih berbentuk butiran halus serta
mempunyai tekstur kenyal. Kista yang didekapsulasi akan menetas pada kisaran 15 – 16 jam
setelah dikultur, sedangkan bila tanpa dekapsulasi berkisar 24 – 28 jam.
Dosis pemberian bahan pengkaya umumnya berkisar antara 15 – 20 ppm. Kepadatan pakan
alami nauplii rotifer atau artemia yang akan diperkaya berkisar 400 – 600 individu/mL.
Setengah dari dosis tersebut dilarutkan dalam air tawar, diaduk kuat hingga larut. Larutan
yang telah homogen tersebut kemudian di tebar merata dalam wadah pengkayaan rotifer
atau artemia. Prosedur tersebut diulang kembali untuk dosis yang ke-2 agar proses
pengkayaan berjalan dengan optimal. Perendaman pada stadia nauplii dilakukan selama 6-8
jam. Selanjutnya, rotifer dan artemia yang telah diperkaya siap dipanen dan diberikan pada
larva.
Panen rotifer atau artemia dari wadah kultur sebaiknya dengan cara siphon atau
menggunakan saringan halus. Saringan halus rotifer berkisar 300 mikron. Saringan halus
untuk artemia umumnya menggunakan saringan 100 – 150 mikron. Penyaringan dapat
dilakukan 2 kali, menggunakan saringan yang lebih besar kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan saringan yang lebih kecil. Tujuan penyaringan tersebut adalah mendapatkan
ukuran pakan alami yang sesuai dengan bukaan mulut larva.
119
Pemanenan yang dilakukan dengan cara membuka kran pada bagian bawah wadah kultur
sangat tidak dianjurkan. Panen dengan cara demikian akan menyebabkan tekanan air
merusak organ tubuh dari pakan alami tersebut. Rusaknya organ tubuh akan menyebabkan
kandungan nutrisi terbuang dalam air (leaching), sehingga larva tidak mendapatkan nutrisi
yang cukup untuk tumbuh dan berkembang. Selanjutnya pakan alami diberikan sesuai
dosisnya.
g. Pemeliharaan Megalopa dan Crablet
Setelah larva mencapai stadia megalopa, pelindung (shelter) segera dipasang. Shelter dapat
berupa waring hitam yang dipasang pada dasar dan digantung pada kolom air (shelter dasar dan
gantung). Shelter dipotong – potong ukuran 1 m2 (1 x 1 m).Pemberian shelter ini sangat
berhubungan dengan sifat megalopa yang kanibal. Shelter diharapkan dapat memperluas
permukaan substrat dan menjadi tempat persembunyian dari pemangsaan megalopa lain,
terutama pada saat ganti kulit (moulting).
Megalopa yang telah berubah menjadi crablet dipindah ke bak pendederan. Sebelum dipindah
pada bak pendederan, seluruh crablet dihitung untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pemeliharaan. Shelter dasar dan gantung dipasang pada bak pendederan sebelum crablet ditebar.
Crablet dipelihara dengan kepadatan 0,5 individu/L dan dipelihara hingga crablet hari ke-30, atau
ukuran karapas berkisar 1- 1,5 cm. Pakan stadia crab dapat berupa biomass artemia, udang rebon,
jambret ataupun rebon. Pakan diberikan pagi dan sore hari disesuaikan dengan kebutuhan crablet.
h. Pengelolaan kualitas Air
Lingkungan yang optimal pada media pemeliharaan sangat diperlukan untuk menunjang proses
pemeliharaan larva. Sumber air yang digunakan pada produksi larva adalah air laut yang telah
disaring dengan sand filter dan disterilisasi menggunakan sinar ultraviolet. Probiotik diberikan
untuk menekan kepadatan bakteri yang merugikan dan peningkatan laju penguraian bahan
organik. Probiotik digunakan setiap 3 hari sekali dengan dosis 3 – 5 ppm. Prinsip
kehati-hatian
harus tetap diperhatikan dalam penggunaan antibiotik agar tidak menimbulkan strain bakteri yang
lebih resisten.
Pergantian air mulai dilakukan pada stadia zoea II sebanyak 10 – 20%/hari dan meningkat sampai
80%/hari pada stadia megalopa. Menjelang pergantian stadia menjadi crab, pergantian dapat
ditingkatkan menjadi 100%/hari. Pengamatan terhadap parameter kualitas air dilakukan
setidaknya setiap tiga hari untuk mengetahui perubahan salinitas, pH, alkalinitas, ammonia, nitrit
dan nitrat yang akan berpengaruh pada larva.
I. Pemilahan Ukuran (Grading)
Pemilahan ukuran (Grading) dilakukan pada stadia crablet. Grading bertujuan untuk keseragaman
ukuran benih dan menekan angka kanibalisme. Grading sebaiknya dilakukan setiap 2
kali/minggu. Bila grading tidak dilakukan, maka populasi akan menurun hingga 50% dalam waktu
7 hari.
120
j. Panen
Crablet yang telah mencapai ukuran lebar karapas (internal carapace width) mencapai 1,5 – 2 cm
dapat dipanen dan ditebar di tambak. Crablet sebaiknya dipuasakan dulu sebelum dipanen. Panen
dilakukan dengan menyurutkan air yang ada di bak. Crablet diambil dengan serok panen dan
ditampung dalam wadah yang diaerasi. Setelah panen selesai dilakukan penghitungan sesuai
dengan kebutuhan.
Sistem pengemasan pada transportasi jarak dekat dapat dilakukan dengan sistem terbuka dengan
cara memasukkan crablet dimasukkan dalam waskom yang diberi potongan-potongan shelter
kecil. Bila benih akan ditransportasikan lebih dari 8 jam, maka digunakan kantong plastik kapasitas
5 liter. Satu kantong diisi air 5 Liter dan diberi potongan shelter kecil dan diisi crablet dengan
kepadatan 200 – 250 individu/kantong. Setelah diberikan oksigen dan air laut dengan
perbandingan 2 : 1, maka kantong plastik diikat rapat dengan karet gelang kemudian dimasukkan
dalam styrofoam. Perubahan suhu yang ekstrem dihindari dengan memberikan es batu dalam
kantong plastik. Es batu tersebut dibungkus dengan kertas koran dan di atur dalam styrofoam
hingga suhu berkisar 20 ºC. Styroform kemudian ditutup dan diplester rapat, selanjutnya benih
siap ditransportasikan.
Uji Kaji Terap Teknologi
Uji kaji terap teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus) telah dilakasanakan di BBAP
Takalar dan beberapa hatchery skala rumah tangga (backyard) di wilayah sekitarnya. Hasil dari
penerapan teknologi pembenihan rajungan menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan
setiap tahunnya. Penerapan teknologi sudah berhasil memproduksi secara massal dengan
sintasan rata – rata mencapai 45 %. Adopsi penerapan teknologi telah dilakukan beberapa
institusi maupun perorangan dengan melakukan magang teknis teknologi pembenihan rajungan
antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jatim mengirimkan perwakilan 3 instansi Unit
Pelaksana Teknisnya (UPTD), Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Dinas Kelautan dan Perikanan
Tanjung Redep Kaltim, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten, Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi DKI Jakarta, BPPP Ambon, BPPP Aertembaga Sulut, The Philippines Bureau
of Fisheries and Aquatic Resources (BFAR) and The Philippine Association of Crab Processors,
Inc. (PACPI), Kementerian Perikanan Sri Lanka, dan perusahaan Swasta dari Malaysia,
Taiwan,Jepang dan USA.
Hasil dari teknologi pembenihan rajungan berupa benih (crablet rajungan) juga telah dimanfaatkan
oleh stakeholder melalui kegiatan restocking / culture based fisheries (CBF) antara lain
restocking / culture based fisheries (CBF) benih rajungan 100.000 ekor bersama Asosiasi
Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) di Teluk Laikang Takalar, restocking / culture based
fisheries (CBF) benih rajungan ke 1.000.000 ekor oleh Menteri Kelautan dan Perikanan di
Makassar, Kerjasama Pengembangan Budidaya Rajungan ditambak dengan ACIAR dan
Perusahaan Swasta Pengolahan Rajungan Kemilau Bintang Timur (KBT) Makassar.
121
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Keunggulan teknologi pembenihan rajungan hingga saat ini tingkat keberhasilan pembenihan
rajungan BBAP Takalar merupakan pembenihan dengan tingkat keberhasilan dengan sintasan
paling tinggi di dunia yaitu mencapi rata – rata 45 %. Hal tersebut terbukti dengan adanya institusi
atau perorangan magang teknis dari berbagai negara seperti Philipina, Jepang, Malaysia, Taiwan,
USA dan Srilanka serta beberapa instansi Dinas Kelautan dan Perikanan. Selain itu keunggulan
dari pengembangan teknologi pembenihan rajungan antara lain sebagai berikut :
a. Segmentasi usaha baru di bidang perikanan
b. Dapat dikembangkan dalam skala kecil/rumah tangga (backyard) dan skala besar
/industri (hatchery)
c. Tenaga kerja dapat dilakukan anggota keluarga
d. Lokasi dapat memanfaatkan halaman rumah (skala kecil/backyard) terutama pada
daerah pesisir/kampung nelayan/pembudidaya
e. Teknologi yang digunakan sederhana sehingga mudah diadopsi dan diaplikasikan
f. Siklus produksi relatif singkat hanya 25 -30 hari
Dalam aplikasi penerapan teknologi pembenihan rajungan cukup ramah lingkungan. Teknologi
pembenihan rajungan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya atau sintetis yang dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan. Bahan baku produksi sebagian besar merupakan bahan
lokal yang mudah diperoleh serta limbah hasil proses produksi dengan pengolahan / treatment
yang tepat terlebih dahulu sehingga tidak menyebabkan kerusakan / pencemaran lingkungan.
Selain itu penerapan biosecurity secara ketat dan konsisten dapat meminimalisir dampak negatif
kerusakan lingkungan sekitarnya.
LOKASI PENELITIAN /PENGKAJIAN
Pengembangan kegiatan pembenihan Rajungan telah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau
Takalar Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan mulai
tahun 2005 sampai dengan sekarang. Sedangkan pengembangan teknologi pembenihan ini
kedepannya dapat dilaksanakan di seluruh wilayah pesisir Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa,
Bali, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif teknologi pembenihan rajungan hampir tidak ada selama mengikuti
teknologi anjuran dengan penerapan cara pembenihan ikan yang baik (CPIB), penerapan standar
operasional prosedur (SOP) dan biosecurity secara baik dan benar. Kemungkinan dampak negatif
dari hasil pembenihan untuk kegiatan culture based fisheries (CBF) berupa stocking yang tidak
sehat atau penurunan kualitas genetis dapat dicegah dengan seleksi ketat dan benar mulai dari
pemilihan, pemeliharaan induk dan larva serta monitoring pertumbuhan secara periodik dan
terkontrol.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI :
Komponen material produksi yang digunakan merupakan sebagian besar bahan lokal / dalam
negeri sedang material impor/produksi luar negeri yang digunakan adalah pakan larva artemia.
122
Komponen material produksi seperti tersaji pada tabel 3 berikut.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
15.
17.
18.
Nama Bahan/Alat
Bahan Produksi
Aerator/blower high blow 220 watt
Mesin pompa alkon 3 “
Genset cadangan, 3 KVA
Thermometer
Baskom
Ember
Terpal plastic
Peralatan system aerasi
Pipa
Timbangan
Pipet
Saringan pakan
Gayung
Artemia
Pakan buatan
Pakan induk
Obat – obatan/probiotik
Selang
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Local / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Impor
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Lokal / dalam negeri
Tabel 3. Komponen material produksi teknologi pembenihan rajungan
KELAYAKAN FINANSIAL
Usaha pembenihan rajungan ini merupakan usaha kecil menengah yang dapat dilaksanakan oleh
masyarakat pembudidaya dan nelayan sebagai usaha skala rumah tangga/sampingan dengan
tenaga kerja dari anggota keluarga. Adapun biaya operasional kegiatan untuk skala rumah tangga
(backyard) untuk 1 unit usaha dibutuhkan biaya investasi Rp. 45.802.500 biaya operasional
pertahun dengan 4 siklus produksi sebesar Rp. 26. 570.000 per tahun. Dengan hasil produksi
diperkirakan sintasan 20 % akan menghasilkan 240.000 ekor benih dengan harga benih per ekor
Rp.300 diperoleh hasil persiklusnya Rp. 3.917.579 atau pendapatan pertahun mencapai Rp.
23.505.475 atau pendapatan bersih per bulan mencapai Rp. 1.598.790. dari segi kalayakan
finansial cukup layak dengan B/C ratio mencapai 1,48, rentabilitas ekonomi 88,47 % dengan pay
back period mencapai 3,19 tahun.
1. Komponen Fasilitas Pembenihan Rajungan skala Rumah Tangga (backyard) meliputi:
a. Bak pemeliharaan larva sebanyak 3 buah ukuran 5 X 2 X 1 m
b. Bak penampungan air kapasitas 20.000 liter
c. Bak kultur Nannochloropsis kapasitas 40.000 liter (bak ukuran 5 X 2 X 1 m sebanyak 2
buah)
d. Bak kultur Brachionus kapasitas 4000 liter (bak beton ukuran 2 X 2 X 1 m sebanyak 2
buah)
e. Bak kultur artemia kapasitas 20 liter sebanyak 4 buah.
f. Bak pemeliharaan larva menggunakan tutup terpal plastic
2. Penebaran awal larva sebanyak 300.000 ekor (kepadatan 50 ekor/liter dan volume bak 6000
L) ditebar pada satu bak pemeliharaan kemudian memasuki stadia megalopa dijarangkan
kepadatannya dengan membaginya dalam 3 bak pemeliharaan.
123
NO.
A.
B.
URAIAN
HARGA
SATUAN
(Rp)
TOTAL
(Rp.)
JUMLAH
SATUAN
3
1
2
2
1
4
unit
unit
unit
unit
unit
unit
4.500.000
4.500.000
4.500.000
2.500.000
1.500.000
60
13.500.000
4.500.000
9.000.000
5.000.000
1.500.000
240
1
1
1
1
5
3
1
1
1
1
2
4
unit
unit
unit
unit
unit
unit
paket
unit
unit
unit
unit
unit
3.000.000
2.500.000
3.500.000
10
20
250
300
100
2.5
150
25
25
3.000.000
2.500.000
3.500.000
10
100
750
300
100
2.5
150
50
100
45.802.500
12
12
6
6
6
6
6
1
1
1
OB
OB
ekor
unit
paket
paket
paket
paket
paket
paket
1.000.000
500
10
550
150
200
150
1.200.000
750
200
12.000.000
6.000.000
60
3.300.000
900
1.200.000
900
1.200.000
750
200
26.570.000
INVESTASI
1. Bak Larva 5 X 2 X 1 m
2. Bak Tandon 20.000 liter
3. Bak Nannochloropsis 5 X 2 X 1 m
4. Bak Brachionus 2 X 2 X 1 m
5. Bak Induk 2 X 2 X 1 m
6. Wadah penetasan artemia 20 L
7. Peralatan perbenihan
a. Aerator/blower high blow 220 watt
b. Mesin pompa alkon 3 “
c. Genset cadangan, 3 KVA
d. Thermometer
e. Baskom
f. Terpal plastik (4 x 6m, tali nylon)
g. Batu & kran aerasi, selang plastik,
h. Timbangan 500 gram
i. Pipet
j. Saringan pakan
k. Gayung
l. Ember
Sub Total
BIAYA OPERASIONAL
1. Tenaga Kerja
a. Teknisi
b. Tenaga pembantu
2. Induk rajungan
3. Artemia
4. Pakan buatan
5. Pakan induk
6. Obat -obatan
7. Biaya listrik
8. Biaya bensin dan eksploitasi pompa
9. Biaya kerusakan dan perbaikan
Sub Total
Panti Benih (Hatchery) Rajungan
Konstruksi Bak Sand Filter Air Laut
124
JUMLAH
SATUAN
HARGA
SATUAN
(Rp)
2. Bak Tandon 20.000 liter
20
%
13.500.000
2.700.000
3. Bak Nannochloropsis 5 X 2 X 1 m
4. Bak Brachionus 2 X 2 X 1 m
5. Bak Induk 2 X 2 X 1 m
6. Wadah penetasan artemia 20 L
7. Peralatan perbenihan
a. Aerator/blower high blow 220 watt
b. Mesin pompa alkon 3 “
c. Genset cadangan, 3 KVA
d. Thermometer
e. Baskom
f. Terpal plastik (4 x 6m, tali nylon)
g. Batu & kran aerasi, selang plastik,
h. Timbangan 500 gram
i.
Pipet
j.
Saringan pakan
k. Gayung
l.
Ember
20
20
20
20
20
%
%
%
%
%
4.500.000
9.000.000
5.000.000
1.500.000
240
900
1.800.000
1.000.000
600
60
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
50
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
3.000.000
2.500.000
3.500.000
10
100
750
300
100
2500
150
50
100
600
625
875
2.5
25
187
75
25
625
37.5
12.5
50
9.575.625
1. Bunga Investasi
20
%
45.802.500
9.160.500
2. Bunga Modal Kerja
12
%
26.570.000
3.188.400
NO.
URAIAN
TOTAL
(Rp.)
BIAYA PENYUSUTAN PERTAHUN
1. Bak Larva 5 X 2 X 1 m
C.
Sub Total
BUNGA PINJAMAN
D.
Sub Total
12.348.900
Bak kultur Alga(Nannochloropsis)
Bak Beton Ukuran 2 X 5 X 2 m
Bak kultur Rotifer (Brachionus) Bak
Beton ukuran 1,5 X 1,5 X1,2m
125
NO.
JUMLAH
SATUAN
HARGA
SATUAN
(Rp)
TOTAL
(Rp.)
b. Biaya Penyusutan
1
Tahun
26.570.000
26.570.000
c. Bunga Pinjaman
1
Tahun
9.575.625
9.575.625
1
Tahun
12.348.900
12.348.900
URAIAN
TOTAL BIAYA PRODUKSI PERTAHUN
a. Biaya Operasional
E.
F.
G.
H.
I.
J.
Sub Total
HASIL PENJUALAN
a. Sintasan
b. Produksi per tahun
c. Jumlah crab – 10 pertahun
d. Harga crab-10 rata - rata
HASIL PENJUALAN PERTAHUN
PENDAPATAN PERTAHUN
Hasil penjualan crab – biaya produksi
BIAYA PRODUKSI PER EKOR
Biaya produksi /jumlah crab
PENDAPATAN BERSIH PERSIKLUS
Pendapatan pertahun/Jumlah siklus per
tahun
K.
PENDAPATAN BERSIH PERBULAN
L.
M.
N.
RENTABILITAS
B/C RATIO
PAY BACK PERIODE
48.494.525
%
Siklus
Ekor
Rp.
Rp.
20
4
240
300
72.000.000
Rp.
23.505.475
Rp.
202,06
Rp.
3.917.579
Rp.
%
1.958.790
88,47
1,48
3,19
Tahun
Bak Pemeliharaan Induk Rajungan Ukuran 5
X 2 X1,2 M Dilengkapi Peralatan Aerasi,
Sekat Pemeliharaan dan Substrat Pasir Putih
Bak Pemeliharaan Larva(Fiberglass )
Kerucut Konical Volume 250 L
126
Bak Pemeliharaan Larva Rajungan Ukuran
5 X 2 X1,2 M Dilengkapi Peralatan Aerasi
Bak Penetasan Induk Rajungan Bak
Fiberglass volume 500 L
Bak Kultur Artemia
Kegiatan Pemeliharaan Induk
Pergantian Air Pemeliharaan Larva
Sampling Benih Rajungan(Crablet)
Benih Rajungan Hasil Pengembangan
Teknologi pembenihan
Benih rajungan pendederan hasil
pebenihan
127
Monitoring PertumbuhanBenih Rajungan
Hasil Pendederan
Pengguanaan Ultraviolet sederhana pada
proses pemasukan air pemeliharaan induk dan
larva rajungan
Panen Benih Rajungan
Kegiatan Panen Benih
Benih Rajungan
Benih Rajungan
Pemberian materi bagi peserta magang teknis
pembenihan rajungan dari philipina
Pemberian materi bagi peserta magang teknis
pembenihan rajungan dari Srilanka
128
129
130
BP2BIH
Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia
(Chromobotia macracanthus bleeker) di Lingkungan Terkontrol
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Ikan Hias
Alamat
Jl. Perikanan No. 13, Rt.01/02
Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat
16436. Telp. (021) 7520482, Fax
(021) 7520482
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Teknologi Baru
Masa Pembuatan
2005-2010
Tim Penemu
Agus Priyadi
Asep Permana
Rendy Ginanjar
Darty Satyani
Nurhidayat
I. Wayan Subamia
Kontak Person
Agus Priyadi
[email protected]
131
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Manfaat Teknologi
Teknologi pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) ditujukan untuk
produksi benih ukuran komersial (± 2 inchi) secara buatan melalui rangsangan hormonal di
lingkungan yang terkontrol, sehingga diharapkan bermanfaat dalam peningkatan produksi benih
ikan hias Botia hasil budidaya. Penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia secara nasional
diharapkan dapat mendukung program peningkatan produksi benih ikan hias Botia untuk
membuka lapangan kerja bagi pembudidaya skala rumah tangga (HSRT) sebagai bahan eksport
dan untuk konservasi ikan.
PENGERTIAN/DEFINISI
Yang dimaksud dengan pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) di
lingkungan terkontrol adalah serangkaian kegiatan pembenihan dimana segala aspek di dalamnya
seperti pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran
(stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva,
perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan adanya campur tangan manusia
yang dilakukan di lingkungan budidaya secara terkontrol serta dimonitor secara periodik. Kegiatan
ini dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok, untuk
mengembangkan teknologi pembenihan ikan hias Botia.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Mengingat bahwa teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol merupakan satu
rangkaian teknologi pembenihan, maka keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung
pada segala aspek yang ada di dalamnya seperti : pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang
gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi),
penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air.
Uraian lengkap SOP
Secara umum, masyarakat dalam hal ini pembudidaya telah mengetahui mengenai apa itu
kegiatan pembenihan ikan. Namun demikian untuk kegiatan pembenihan dari hasil budidaya
seperti ikan hias Botia, mereka masih belum mengetahuinya. Teknologi pembenihan ikan hias
Botia di lingkungan terkontrol, merupakan serangkaian kegiatan pembenihan dimana segala
132
aspek di dalamnya seperti pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan
hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi)
telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan adanya
campur tangan manusia yang dilakukan di lingkungan budidaya secara terkontrol serta
dimonitoring secara periodik. Adanya campur tangan manusia ini dikarenakan pembenihan ikan ini
belum bisa dilakukan secara alami dan masih menggunakan rangsangan hormonal. Sedangkan
lingkungan terkontrol dimaksudkan berupa lingkungan yang diatur untuk mengurangi pengaruh
dari lingkungan luar yang dapat mengganggu keberhasilan kegiatan pembenihan sehingga dapat
meningkatkan produksi dalam pembenihan ikan hias Botia dari hasil budidaya.
Cara Penerapan Teknologi
1. Pemilihan Lokasi Pembenihan
Lokasi pemeliharaan hendaknya dibangun di wilayah bebas banjir, cukup air (kualitas dan
kuantitas) dan kondisi tenang.
2. Persiapan wadah
Wadah induk ikan hias Botia di tempatkan dalam kondisi ruangan yang agak gelap hanya
menggunakan lampu penerangan 5 watt, warna kuning. Pemeliharaan induk ikan hias Botia
menggunakan sistem resirkulasi, satu set sistem pemeliharaan ini terdiri dari 4 komponen yaitu
wadah pemeliharaan induk, filter biologi dan filter fisik yang terdiri dari masing-masing satu filter
serta bak penampungan air. Wadah pemeliharaan induk Botia terdiri dari dua unit bak kanvas bulat,
masing-masing untuk memelihara induk Botia asal Sumatera dan Kalimantan.
Wadah pemeliharaan induk Botia di tempatkan pada ruangan berukuran 10 x 5 m2 yang terdiri dari
kanvas 1 berdiameter 3,70 m, tinggi 0,7 m dan kapasitas menampung air sebanyak 3.500 liter.
Kanvas 2 berdiameter 3,0 m, tinggi 0,7 m dan kapasitas menampung air sebanyak 1.600 liter. Bak
filter pertama berbentuk silinder dengan garis tengah 2 m, tinggi 2,30 m dan berkapasitas dapat
menampung air sebanyak 2.300 liter. Bak filter pertama hanya di isi dengan dakron. Bak filter
kedua mempunyai ukuran 2 × 1,2 × 1 m3 dengan kapasitas tampung air sebanyak 2.000 liter dan
hanya di isi dengan bioball dan kulit kerang. Selain itu dilengkapi dengan bak penampung air keluar
yang mempunyai ukuran 0,6 × 0,5 × 1 m3 dengan kapasitas tampung air sebanyak 300 liter.
Wadah pemeliharaan induk ikan Botia dengan sistem resirkulasi dapat dilihat pada Gambar 1.
3. Pengelolaan Induk
Adaptasi induk dari alam
Induk yang pertama kali ditangkap dari alam harus diadapatasikan atau dikarantinakan dengan
lingkungan budidaya terlebih dahulu selama 14 - 21 hari. Wadah yang digunakan adaptasi berupa
akuarium kaca berukuran 0,8 × 0,4 × 0,4 m3 dengan kepadatan sebanyak 5 – 8 ekor/akuarium
dengan sistem resirkulasi, dilengkapi aerasi, heater dan penutup akuarium serta di seluruh bagian
sisi akuarium ditutup plastik warna hitam. Hal ini bertujuan agar ikan tidak mudah stres akibat
gangguan dari lingkungan luar, suhu air tetap stabil dan menghindari ikan loncat keluar.
Selanjutnya dilakukan pencegahan (preventif) terhadap penyakit yang mungkin timbul akibat dari
133
Gambar 1. Wadah induk ikan botia dengan sistem resirkulasi
Wadah induk populasi Sumatera
Fiber silinderBak
Wadah induk populasi kalimantan
fiber resirkulasi
Dakron
Bak fiber tampungan air
Bioball
Kulit kerang
Gambar 2. Wadah akuarium untuk karantina
Akuarium akarantina
134
pasca transportasi. Pencegahan biasanya dilakukan dengan perendaman dalam larutan 10 ppm
formalin atau 20 ppm larutan anti biotik (Oxytetracyclin atau OTC). Perlakuan ini dilakukan tiga hari
sekali selama minggu pertama. Selain itu dilakukan pergantian air sebanyak 100% pada saat
pencegahan yang ke-2 kalinya. Wadah akuarium untuk karantina dapat dilihat pada Gambar 2 .
Penebaran induk
Penebaran induk dilakukan setelah ikan telah menjalani adaptasi atau karantina selama 14–21
hari dan sudah dipastikan sehat. Penebaran induk dilakukan dengan aklimatisasi terlebih dahulu
yaitu dengan menyesuaikan suhu air pada wadah baru, apabila suhu telah sama maka ikan akan
keluar dengan sendirinya. Induk ikan Botia yang dipelihara di Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Ikan Hias (BP2BIH) Depok berjumlah 125 ekor dengan rincian induk ikan Botia asal
Sumatera 66 ekor yang dipelihara di kanvas 1 dan 59 ekor induk ikan Botia asal Kalimantan yang
dipelihara di kanvas 2. Pemeliharaan induk jantan dan betina pada masing-masing asal daerah
tidak dipisahkan.
Pakan Induk
Pakan yang diberikan pada induk ikan Botia berupa cacing
tanah (Lumbricus sp.) dengan frekuensi pemberian pakan
satu kali per hari pada pukul 15.00-16.00 WIB hingga
kenyang (ad libitum). Foto pakan induk Botia berupa
cacing tanah dapat dilihat pada Gambar 3 .
Kematangan gonad
Pengamatan kematangan gonad dilakukan setiap bulan.
Gambar 3. Foto pakan induk botia
Melihat kematangan gonad bisa dilakukan dengan cara
visual yaitu dengan melihat ciri-ciri sekunder seperti bagian
perut induk ikan Botia. Induk betina yang telah matang
gonad perutnya membesar dan buncit serta apabila diraba
akan terasa lembek dan halus. Akan tetapi terkadang tidak
semua perut yang gendut berisi telur, adakalanya itu adalah
lemak. Untuk memastikannya dilanjutkan dengan metode
kanulasi atau kateterisasi yaitu dengan cara mengambil
sampel telur menggunakan kateter. Sampel telur yang
telah didapat dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah
Gambar 4. Induk matang
diisi dengan larutan fisiologis sebanyak 0,3
ml. Telur yang berada di cawan petri
kemudian diamati menggunakan mikrosop
binokuler dengan perbesaran 25 kali.
Diameter telur yang sudah dapat
dipijahkan berkisar 1,02 – 1,08 mm,
berwarna kuning ke abu-abuan atau hijau
keabu-abuan, tidak banyak cairan lemak,
Gambar 5. Motilitas sperma secara mikroskopis ; kiri : motil,
bentuk bulat dan seragam, dan tidak ada
kanan : tidak motil
135
yang atresia. Pengamatan terhadap kematangan gonad induk jantan dilakukan dengan cara
pengurutan (stripping) pada bagian perut ke arah genital dan mengeluartkan cairan putih susu
yang disebut sperma. Selanjutnya sperma disedot dengan syringe tanpa jarum yang telah berisi
larutan fisiologis sebanyak 0,4 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tube serta disimpan di
coolbox yang berisi batu es. Sperma yang telah diambil kemudian diamati secara visual dan
mikroskopis. Secara visual, sperma dikatakan sudah matang jika warnanya putih susu dan kental,
dan secara mikroskopis memiliki tingkat motilitas tinggi (>80%).
Pengelolaan Kualitas Air Pada Pemeliharaan Induk
Pengelolaan kualitas air pada kegiatan pemeliharaan induk menggunakan sistem resirkulasi yang
terpadu dimana terdiri atas filter biologis, fisik dan kimia. Filter biologis ini menggunakan bioball
dan kulit kerang yang berfungsi sebagai penempelan bakteri nitrifikasi seperti Nitrosomonas.
Selain itu, kulit kerang mengandung kitin yang mampu mengubah air yang bersifat asam menjadi
netral. Untuk monitoring kualitas air dilakukan pengukuran terhadap parameter fisika dan kimia
yang terdiri atas pengukuran suhu, pH, DO, amoniak dan nitrit. Metode pengukuran suhu dilakukan
sehari dua kali pada pukul 08.00 dan 16.00 WIB dengan menggunakan termometer digital dan
dilakukan pencatatan suhu pada kertas data. Sedangkan untuk pengukuran kualitas air berupa
parameter kimia dilakukan setiap satu minggu sekali, baik itu pengukuran DO, pH, amoniak dan
nitrit dengan alat pengukur. Penyiponan dilakukan setiap hari pada dasar bak kanvas untuk
membersihkan kotoran dan sisa pakan. Selang yang digunakan berdiameter 1,5 cm sepanjang 8
m yang ujungnya diberi paralon PVC berdiameter 1 inchi dengan panjang 1,5 m, dengan bagian
bawah diberi lubang untuk saluran penyerapan kotoran. Kemudian dilakukan pergantian air
sebanyak 5 – 10% perhari. Pada bak penampungan air keluar diberi lubang sesuai dengan tinggi
air yang diinginkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga volume dan tinggi air tetap stabil.
4. Pemijahan Dengan Rangsangan Hormonal
Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal dilakukan dengan menyuntikan hormon tertentu
ke tubuh ikan. Hormon tersebut masuk ke dalam sistem sirkulasi darah ikan dan ketika mencapai
organ target (gonad) akan langsung bekerja dan mempengaruhi organ tersebut. Dengan
demikian, perangsangan pemijahan secara hormonal ini merupakan by pass cara kerja hormon
dalam sistem reproduksi ikan. Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal ini sangat
bermanfaat antara lain; 1). Memijahkan ikan yang sistem saraf pusatnya sulit dipengaruhi oleh
sinyal lingkungan, 2). Memijahkan ikan diluar musim pemijahan (out season), terutama pada ikan
yang mengenal musim pemijahan tertentu. Ikan Botia merupakan salah satu contoh ikan yang
belum bisa memijah secara alami dalam lingkungan buatan dikarenakan belum diketahuinya sinyal
lingkungan apa yang bisa mempengaruhi saraf pusat. Sehingga keberhasilan pemijahannya masih
dengan pemijahan buatan dengan rangsangan hormonal.
Persiapan wadah pemijahan
Sebelum dilakukan pemijahan, induk hasil seleksi ditempatkan pada wadah akuarium
pemberokan dengan ukuran 100x30x40 cm3 dan akuarium tersebut disekat menjadi tiga bagian.
Akuarium pemberokan dirancang sistem resirkulasi dengan suhu media airnya 25-26oC. Untuk
menjaga ketenangan supaya ikan tidak stres, akuarium ini ditutup dengan plastik warna hitam.
136
Jenis hormon
Pemijahan ikan hias Botia di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BP2BIH)
Depok dilakukan dengan cara pemijahan buatan (induced breeding) menggunakan stimulasi
hormon berupa HCG (Human Chorionic Gonadotropin) dan hormon sintetik merk Ovaprim produk
dari Syndel Kanada yang berisikan gonadotropin dan antidopamin. HCG berfungsi untuk
menghomogenkan ukuran telur dan Ovaprim berfungsi untuk merangsang ovulasi serta spermiasi.
Dosis hormon
Dosis hormon yang digunakan dalam pemijahan ikan hias Botia untuk betina yaitu, HCG 500
IU/kg bobot induk dan Ovaprim 0,6 ml/kg bobot induk. Induk jantan hanya disuntik satu kali
dengan Ovaprim 0,6 ml/kg bobot induk.
Penyuntikan
Perbandingan ikan yang digunakan dalam pemijahan antara
induk betina dan jantan yang matang gonad adalah 1 : 2.
Stimulasi hormon yang diberikan pada induk betina dilakukan
dua kali penyuntikan. Penyuntikan pertama biasanya dilakukan
pada malam hari pukul 24.00 WIB dengan HCG dan
penyuntikan kedua dilakukan setelah interval 24 jam dari
Gambar 6. Penyuntikan dengan
penyuntikan pertama menggunakan Ovaprim secara
rangsangan hormonal
intramuscular. Sedangkan penyuntikan induk jantan dilakukan
satu kali menggunakan ovaprim dengan selang waktu 15 jam dari penyuntikan pertama pada
induk betina secara intramuskular.
Pengeluaran (stripping) telur dan sperma
 Waktu
Penentuan selang waktu antara penyuntikan hormon dan pengambilan sel telur
merupakan faktor kunci dalam keberhasilan teknik reproduksi yang melibatkan dorongan
hormonal untuk memicu ovulasi dan pembuahan buatan pada ikan. Pengambilan sel telur
yang tertunda atau telat setelah ovulasi akan membuat sel telur menjadi terlalu matang
yang bisa menyebabkan derajat pembuahan rendah, meningkatkan jumlah embrio yang
rusak serta menurunkan kelangsungan hidup embrio dan larva. Istilah selang waktu
sering disebut “waktu laten”. Waktu laten yaitu antara penyuntikan hormon terakhir dan
ovulasi berkorelasi negatif dengan suhu air. Pada ikan hias Botia dengan suhu media air
pada saat penyuntikan sekitar 25-26oC, waktu latennya berkisar 9-15 jam.
 Pemeriksaan GVBD (Germinal Vesicle Break Down)
Setelah penyuntikan Ovaprim, proses pematangan oocyt mencakup migrasi inti sel telur
ke ujung atau tepi oocyt dan pecahnya inti sel telur (Germinal Vesicle Break Down). Untuk
mengetahuinya dilakukan dengan menaruh sampel telur dari hasil kanulasi dalam larutan
serra. Komposisi larutan serra terdiri atas alkohol 70%, formalin 40% dan asam asetat
dengan perbandingan (6:3:1). Larutan serra mampu melisiskan lapisan chorion
(cangkang telur) sehingga inti telur dapat terlihat jelas di bawah mikroskop binokuler.
137
Pemeriksaan stadium inti telur harus cepat dan tidak lebih dari 5 menit. Hal ini
dikarenakan larutan serra yang digunakan dapat menyebabkan telur menjadi larut
setelah 10 menit sehingga inti telur tidak terlihat. Setelah GVBD, oocyt menjadi matang
dan siap untuk keluar dari folikel (ovulasi), kemudian oocyt tersebut menjadi sel telur
(ovum), siap untuk pembuahan. Biasanya pada ikan hias Botia setelah migrasi inti
mencapai posisi GVBD, maka waktu ovulasi dapat diprediksi sekitar 2 jam ke depan.
 Pengeluaran (stripping) sperma dan telur
Pengambilan sperma dilakukan dengan
cara pengurutan (stripping) dibagian
perut ikan. Pada saat diurut pelan-pelan,
yang pertama keluar biasanya urine yang
berupa cairan bening. Urine dikeluarkan
terlebih dahulu sampai habis dan lubang
genital di lap sampai kering. Hal ini
dilakukan agar sperma tidak tercampur
dengan urine yang akan dapat
mengurangi aktifitas sperma. Setelah
Gambar 7. Striping telur
sperma keluar, sperma disedot dengan
syringe tanpa jarum yang berisi larutan
fisiologis sebanyak 0,4 ml. Kemudian sperma dimasukkan ke dalam tube ukuran 10 ml
dan disimpan di coolbox. Cara pengeluaran telur dari induk betina sama dengan
pengeluaran sperma pada induk jantan, yaitu dengan cara pengurutan (stripping).
Apabila sudah waktunya ovulasi, pengurutan akan terasa mudah dan ringan. Sedangkan
bila terasa berat, berarti induk belum siap untuk ovulasi. Dalam pengurutan induk betina
juga harus dihindari masuknya air ke dalam telur sebelum telur dibuahi oleh sperma.
Karena bila telur tercampur dengan air, maka lubang mycropile pada telur akan segera
tertutup. Hal ini menyebabkan telur tidak dapat dibuahi. Sebelum dilakukan proses
pengeluaran telur, induk dianestesi menggunakan larutan phenoxy ethanol dengan dosis
0,3 ppm. Pengurutan dilakukan secara perlahan dan telur ditampung di cawan plastik.
Setelah telur keluar, kemudian ditimbang agar dapat mengetahui berat telur yang
terovulasi. Kisaran berat telur yang terovulasi untuk ikan Botia selama ini antara 22,2-37
g yang berasal dari induk dengan bobot 101-217,6 g. Sampel telur dengan berat tertentu
ditimbang dan dihitung jumlahnya untuk mengetahui berat telur per butir. Caranya yaitu
dengan membagi berat sampel dan jumlah sampel telur. Nilai berat telur ikan Botia per
butir berkisar antara 0,89-1,09 mg. Untuk mengetahui jumlah telur total yang dihasilkan
dilakukan pembagian antara berat telur total yang diperoleh dengan berat telur per butir.
Kisaran jumlah telur total yang terovulasi untuk ikan Botia selama ini antara 22.524 41.573 butir. Foto pengeluaran telur dapat dilihat pada Gambar 7.
Pembuahan (fertilisasi)
Pembuahan atau fertilisasi dilakukan secara buatan dengan mencampurkan sperma ke dalam
wadah yang berisi telur. Perbandingan jumlah sperma dengan telur kira-kira 1 ml sperma untuk 5
138
gram telur. Telur yang telah dicampur
dengan sperma digoyang-goyangkan
secara perlahan selama 1 menit hingga
tercampur merata, kemudian dimasukkan
air mineral agar sperma aktif untuk
membuahi telur. Goyang-goyang lagi
beberapa saat agar banyak telur yang
Gambar 8. Pembuahan telur dengan sperma (kiri)
Pembilasan dengan air mineral (kanan)
terbuahi, kemudian dicuci sebanyak 3 kali
dengan air mineral sampai bersih dari sisasisa sperma dan kotoran. Setelah dilakukan pembuahan, telur disampling untuk mengetahui
jumlah telur yang terbuahi (FR) dan jumlah telur yang menetas menjadi larva (HR). Langkah kerja
yang dilakukan yakni mengambil sampel telur kira-kira 100 butir dan dimasukkan ke dalam basket
plastik dan kemudian diletakkan di atas mesin goyang atau bioblock scientific. Nilai derajat
pembuahan (FR) selama ini berkisar antara 58,5 - 100%.
Penetasan (inkubasi) telur
 Penetasan (inkubasi) telur
Telur hasil fertilisasi kemudian
diinkubasi menggunakan corong
penetasan. Suhu di dalam ruang
inkubasi telur berkisar antara 2526oC. Corong penetasan terbuat
dari fibberglass dengan diameter
30 cm dan tinggi 45 cm yang
dimasukkan ke dalam hapa dari
kain trililin berukuran 100 × 50 ×
50 cm3 yang diletakkan di dalam
Gambar 9. Penebaran telur ke corong
bak beton berukuran 4,8 × 1,5 ×
0,9 m3 dengan sistem resirkulasi.
Hapa diikat di sebuah transek berbentuk persegi panjang yang terbuat dari pipa PVC
berdiametar 1 inchi. Untuk penyangga corong digunakan styrofoam sehingga corong
penetasan selalu ada di permukaan air. Kegiatan selanjutnya dilakukan penebaran telur.
Penebaran telur tiap corong penetasan sekitar 2-5 g. Dalam penebaran telur, aliran air
dalam corong dimatikan terlebih dulu yang berfungsi untuk mencegah telur keluar dari
corong inkubasi. Penebaran dilakukan secara hati-hati menggunakan sendok (centong
nasi) yang terbuat dari plastik. Setelah telur ditebar ke corong penetasan, air dialirkan
dengan debit diatur agar telur berputar secara perlahan dan halus. Telur yang dibuahi
akan terlihat berwarna bening transparan. Sedangkan telur yang tidak dibuahi akan
terlihat berwarna putih susu dan pudar. Telur yang telah dibuahi akan menetas setelah 14
- 19 jam pada suhu air 25-26oC. Setelah telur menetas, kemudian dihitung nilai derajat
penetasannya. Derajat penetasan adalah presentase jumlah telur yang menetas baik
secara normal maupun abnormal dibandingkan jumlah telur yang terbuahi. Perhitungan
derajat penetasan ini dilakukan setelah telur menetas secara keseluruhan. Nilai derajat
139
penetasan (HR) pada ikan hias Botia berkisar antara 51,78-92,20%. Larva yang baru
menetas memiliki panjang 5 – 6 mm dengan kuning telur berbentuk memanjang.
 Perkembangan Embrio
Pengamatan embriogenesis dilakukan agar diketahui perkembangan telur setelah
dibuahi hingga menetas. Perkembangan embriogenesis ikan Botia, setelah dibuahi
adalah sebagai berikut :
Fase Pembelahan
Waktu
2 sel
4 sel
8 sel
16 sel
32 sel
Morula
Blastula
gastrula awal
embrio awal
Menetas
41 menit
1 jam 10 menit
1 jam 12 menit
1 jam 15 menit
1 jam 32 menit
2 jam 48 menit
4 jam 58 menit
8 jam 3 menit
16 jam 8 menit
20 jam 24 menit
Panen Larva
Larva dipanen setelah berumur 7 hari dengan menggunakan seser dan dibantu dengan cahaya
senter sehingga mempermudah dalam pengambilan larva Botia. Saluran air masuk dan aerasi
dimatikan, lalu corong penetasan diangkat dari hapa sehingga larva terlihat jelas. Selanjutnya
dasar hapa diangkat perlahan-lahan ke atas untuk mempersempit ruang gerak larva dan
memudahkan dalam pemanenan. Larva diambil menggunakan seser dengan mata saringan
berukuran 1 mm dan dimasukkan ke dalam baskom plastik. Kemudian larva dihitung dan
dimasukkan ke basket plastik yang berukuran 300 ml. Setiap basket plastik menampung 100 ekor
larva. Larva yang telah dihitung ditebar ke dalam akuarium ukuran 80 × 40 × 40 cm3 dengan
sistem resirkulasi, dan terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi suhu selama 5 menit. Aklimatisasi
dilakukan dengan cara memasukkan wadah yang berisi larva ke dalam akuarium dan dibiarkan
larva keluar dengan sendirinya dengan apabila wadah dimiringkan.
Pemeliharaan Larva sampai Benih
Pemeliharaan larva dari umur 7-8 hari selama 1,5 bulan akan menghasilkan benih Botia dengan
ukuran 1,2-1,5 cm.
 Wadah pemeliharaan
Wadah yang digunakan berupa akuarium ukuran 80x40x40 cm3 dengan sistem
resirkulasi. Sebelum digunakan akuarium dibersihkan dan didesinfektan.
 Penebaran larva
Penebaran larva dilakukan setelah larva berumur 7-8 hari, larva ditebar dengan
kepadatan 5 ekor/L. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi atau penyesuaian suhu
yang biasanya sekitar 30 menit. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukan wadah
berisi larva ke dalam akuarium, setelah suhu air dalam wadah sama dengan suhu
akuarium kemudian wadah dimiringkan dan secara perlahan akan keluar larva dengan
sendirinya ke dalam akuarium. Suhu di dalam ruangan ini berkisar antara 28-30oC.
140
 Pemberian Pakan
Larva diberi pakan berupa nauplii Artemia setelah berumur 4-5 hari. Pemberian pakan
dilakukan sebanyak 5-7 kali sehari yaitu pada jam 08.00, 10.00, 12.00, 14.00 dan 16.00
WIB, kemampuan pakan benih Botia sekitar 30 ekor naupli artemia/hari (individu/hari).
Memasuki bulan kedua, pakan yang diberikan berupa kombinasi nauplii Artemia dengan
bloodworm (cacing darah) (larva Chironomus sp). Setelah satu atau dua minggu
pembesaran biasanya ukuran ikan menjadi tidak seragam. Pada saat inilah diperlukan
adanya sortase atau gradding ukuran.
 Grading dan Sampling Pertumbuhan
Kegiatan gradding dimaksudkan untuk menggelompokkan ikan berdasarkan ukuran.
Selain itu juga untuk mengetahui jumlah ikan dan kelangsungan hidup ikan selama
pemeliharaan. Waktu sampling dilakukan pada pagi atau sore hari, yang bertujuan untuk
menghindari adanya fluktuasi suhu yang membuat ikan stres. Benih ikan Botia diserok
menggunakan seser berukuran sedang secara hati-hati dan perlahan, kemudian
ditampung di atas bak plastik bundar yang telah dilapisi dengan kain trililin. Setelah itu
disediakan baskom plastik empat buah, diisi sedikit air dan dilakukan sortasi ke dalam 3
ukuran, yakni small (0,8-1,0 cm), medium (1,0-1,3 cm) dan large (> 1,3 cm). Persentase
ukuran S, M dan L dalam satu populasi biasanya 44,20%; 47,91% dan 7,89%. Sedangkan
tingkat kelangsungan hidup ikan pada pemeliharaan ini sekitar 74,71%. Benih ikan Botia
yang telah disortir dicatat ke dalam buku laporan sortir dan benih siap untuk ditebar ke
dalam akuarium baru. Kegiatan lain pada saat grading adalah sampling pertumbuhan
yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan larva baik itu dari segi panjang standar
dan bobot dari larva yang dipelihara. Sampel larva Botia yang diukur sebanyak 30 ekor
diambil secara acak.
Pemeliharaan Benih
Pemeliharaan benih lanjutan sampai ukuran benih siap jual. Keluaran dari kegiatan ini adalah
didapatkan benih ukuran jual yaitu 4,2-5,0 cm dengan lama pemeliharaan 5-6 bulan.
 Wadah pemeliharaan
 Wadah yang digunakan berupa bak beton yang dikeramik dengan ukuran 3x1,5x0,8 m3
dengan sistem resirkulasi dan dilengkapi aerasi. Air setelah diputar selama 14 hari
dengan merendamkan pakan pelet ke dalamnya yang berfungsi untuk merangsang
bakteri tumbuh pada bahan filter. Air tersebut dapat digunakan apabila kadar NH3 dan
NO2 tidak dapat terdeteksi dengan alat.
 Penebaran benih
 Benih yang ditebar terlebih dahulu diaklimatisasi dengan cara merendam baskom plastik
yang berisi benih ke dalam bak tersebut selama 10 menit. Kemudian baskom plastik
dimiringkan ke dalam air pemeliharaan secara perlahan dan benih dibiarkan keluar
dengan sendirinya. Tiap bak memiliki kapasitas tampung sebanyak 5000 ekor dengan
ukuran 2 inchi atau 5 cm.
141
 Pemberian Pakan
 Benih diberi pakan berupa bloodworm beku yang dilakukan 3 kali sehari yakni pada pukul
08.00, 12.00 dan 16.00 WIB. Pemberian pakan dengan bloodworm dilakukan secara ad
satiation atau sekenyangnya. Sebelum diberikan, bloodworm beku direndam dalam air
bersih selama ± 10 menit. Setelah mencair lalu dicuci dengan air bersih berulang-ulang,
ditiriskan baru diberikan ke benih ikan Botia.
Sortase Benih
Kegiatan penyortiran benih mempunyai fungsi yang sama dan tahapan kerja yang sama pula
dengan kegiatan penyortiran larva. Kegiatan penyortiran ini dilakukan karena ukuran ikan sudah
tidak seragam. Pada saat kegiatan penyortiran, dilakukan juga penghitungan tingkat
kelangsungan hidupnya. Sampai tahap pemeliharaan benih, tingkat kelangsungan hidupnya
mencapai 65%.
A
B
C
Gambar 10. Penghitungan larva (A) Aklimatisasi larva (B) Wadah pemeliharaan larva (C)
Panen benih
Ikan yang telah dipelihara selama 5-6
bulan rata-rata sudah mencapai ukuran
4,2-5,0 cm. Tingkat kelangsungan hidup
ikan sampai panen sekitar 50%. Ikan yang
akan dipanen terlebih dulu dipuasakan
untuk menghilangkan sisa metabolisme
Gambar 11. Panen dan penjualan
berupa urine dan feses agar tidak
terakumulasi di dalam air kemasan
packing yang menyebabkan amoniak serta karbondioksida meningkat. Pemanenan ikan dengan
cara penyerokkan menggunakan seser yang berukuran besar, kemudian ikan dimasukkan ke
dalam baskom plastik untuk dilakukan penyortiran. Sebelum ikan disortir, plastik packing terlebih
dahulu disiapkan (biasanya rangkap dua). Ujung plastik bagian bawah diikat dengan karet yang
bertujuan untuk menghilangkan sudut mati dan pergerakan ikan menjadi lebih luas. Ke dalam
plastik diisikan air sebanyak dua liter, lalu ikan yang telah diserok kemudian disortir berdasarkan
ukuran yakni 4,2-5,0 cm dan dimasukkan ke kantong plastik serta diberi oksigen murni (rasio air :
oksigen adalah 1:3). Yang perlu diperhatikan bahwa sebelum oksigen murni dimasukkan, udara
bebas yang berada di dalam plastik harus dikeluarkan. Jumlah ikan tiap kantong plastik sebanyak
65 ekor dan diberi label jumlah ikan per kantong.
142
Pengelolaan Kualitas Air Pada Pemeliharaan Larva dan Benih
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan penyiponan yang dilakukan dua kali sehari, yakni pada
pagi dan sore hari. Penggunaan selang sipon harus diganti untuk setiap resirkulasi yang berbeda.
Hal ini bertujuan untuk menghindari dan mencegah penyebaran penyakit apabila resirkulasi yang
satu terserang penyakit. Setelah melakukan penyiponan, diisi kembali dengan mengalirkan air
tandon melalui kran sebanyak 5 – 10% dari volume air akuarium. Air yang masuk ke dalam bak
keramik harus terlebih dahulu disterilisasi dengan sinar UV. Selain itu, pengukuran suhu dilakukan
setiap hari yakni pada pagi dan sore hari. Sedangkan pengukuran DO, pH, Amoniak dan nitrat
dilakukan 1 minggu sekali yang biasanya dilakukan pada hari Rabu.
Parameter
Tempat
NH3
(mg/L)
Terpal 1
0-0,001
Terpal 2
0-0,003
Terpal 3
0,0040,006
NO2 (mg/L)
pH
0,0030,007
0,0020,008
0,0040,082
7,498,0
7, 827,99
7, 247,79
Suhu (ºC)
DO
(mg/L)
Konduktivity
(μS)
29-30
6,95-7,2
245-309,4
29,5-30
6,86-7, 31
202,5-370
29,529,8
6-6,5
395,4-411,7
Tabel 2. Parameter air
Dilihat dari nilai kualitas air yang didapat, nilainya masih berada dalam kisaran toleransi untuk
kehidupan ikan hias Botia. Sebagaimana diketahui bahwa suhu di habitatnya berkisar 25-30°C,
pH berkisar 5-8 , DO berkisar 6-9, NH3 berkisar 0-0,2 mg/L dan NO2 berkisar 0-0,1 mg/L.
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
 Pencegahan Penyakit
 Dalam mengantisipasi datangnya penyakit dalam pemeliharaan ikan hias Botia, BP2BIH
Depok menerapkan system biosecurity yang diterapkan untuk pekerja dan peralatan
yang digunakan. Pada area pintu masuk disediakan semacam bak kecil berisi air
desinfektan untuk sterilisasi kaki, kemudian juga disediakan alkohol teknis untuk
sterilisasi tangan. Untuk peralatan yang digunakan, seperti selang sipon, serok, baskom
plastik dan centong harus disediakan pada masing-masing unit resirkulasi dan setelah
digunakan harus direndam kembali di larutan desinfektan. Untuk menjaga suhu tidak
fluktuatif, pada pemeliharaan larva dan benih digunakan alat pemanas ruangan. Treatmen
air menggunakan lampu UV pada masing-masing unit resirkulasi. Selain itu juga
dilakukan penyiponan air setiap pagi dan sore sebanyak 1 % dari volume air akuarium.
 Pengobatan Penyakit
 Jenis penyakit yang sering menyerang benih Botia adalah white spot yang berasal dari
parasit Ichtyopthirius multifilis. Parasit ini menyerang di bagian luar tubuh ikan seperti
kulit dan sirip serta ditandai dengan adanya bintik putih yang dapat dilihat secara kasat
mata. Apabila tidak ditindaklanjuti dengan serius dapat berakibat kematian. Sedangkan
untuk pengobatannya dengan perendaman menggunakan larutan Oksitetrasiklin 20
ppm dan formalin 10 ppm selama 3 hari sekali. Selama pengobatan ikan tidak diberika
makan.
143
Jumlah Kaji Terap di Beberapa Daerah
Tahun 2012
: Pendederan larva hingga benih ikan hias Botia di Musi Banyuasin Sumatera
Selatan dan Kasongan Kalimantan Tengah
Dalam kegiatan ini telah dilakukan transfer teknologi pendederan larva hingga benih ikan hias
Botia ke stakeholder di Musi Banyuasin dan Kasongan. Data keberhasilan kegiatan pendederan
ini dapat dilihat pada Tabel 3., dan Tabel 4.
Tanggal kirim
29 Nov 2011
27 Mei 2012
29 Juni 2012
25 Sept 2012
Jenis
transportasi
Darat
Darat
Udara
Udara
Jumlah larva
(ekor)
3.000
3.200
10.000
3.000
Sintasan
(%)
30
94
90
98
Uk.Ikan
(cm)
6,25-7,5
2,0-2,5
1,2-1,5
Larva
Keterangan
Benih
Benih
Benih
Umur 14 hari
Tabel 3. Data jumlah larva Botia yang dikirim ke Musi Banyuasin, Sintasan dan Ukuran
ikan padasaat pelaksanaan showcase (27 September 2012)
Tanggal kirim
23 April 2012
Jenis
transportasi
Udara
Jumlah larva
(ekor)
7.000
Sintasan
(%)
45
Uk.Ikan
(cm)
2,5-6,0
Keterangan
Benih
Tabel 4. Data jumlah larva Botia yang dikirim ke Kasongan, Sintasan dan Ukuran
ikan pada saat pelaksanaan showcase (13 November 2012)
Dalam kegiatan ini telah memperlihatkan hasil seperti :
A. Untuk Kasongan : Sudah dilakukan sampling induk dan ada yang matang gonad 2 ekor (TKG II
dan TKG III) dan 1 ekor (keluar sperma, tapi masih sedikit). Sudah dilakukan tagging induk,
pembuatan resirkulasi inkubasi, resirkulasi pemberokan induk dan perbaikan akuarium
resirkulasi perawatan larva hingga benih.
B. Untuk Musibanyuasin : Sudah dilakukan sampling induk dan ada yang matang gonad 2 ekor
(sudah keluar sperma dan yang lain masih kosong). Sudah dilakukan tagging induk, perbaikan
tandon inkubasi, dan resirkulasi induk.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Botia merupakan komoditas favorit untuk ekspor dan sebagai komoditas penghela dalam
setiap ekspor ikan jenis lain dari Indonesia.
 Dapat dilakukan pemijahan sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim seperti yang
terjadi di habitatnya aslinya.
 Menghasilkan produk berupa benih ikan Botia hasil budidaya, dimana kedepannya
produk hasil budidayalah yang direkomendasikan untuk memenuhi permintaan ekspor,
seiring menurunnya jumlah hasil tangkapan akibat kerusakan habitatnya dan adanya
tangkapan yang berlebih. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. 44/M-DAG/PER/7/2012 tentang Barang
144
Dilarang Ekspor. Barang dibidang perikanan dan kelautan yang dilarang ekspor itu yaitu ;
ex. 0301.11.10.00 : Benih ikan Botia hidup (Botia macracantha) ukuran panjang kurang
dari 2,5 cm; dan ex. 0301.11.99.10 : Ikan Botia hidup (Botia macracantha) ukuran
panjang di atas 15 cm.
 Teknologi pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) di
lingkungan terkontrol mempunyai keunggulan yaitu dapat mengatur supplai dan harga.
 Usaha pembenihan ikan Botia dapat dilakukan dalam skala rumah tangga dengan jumlah
benih yang dipelihara menurut kemampuan pengelolanya, dan dapat membuka lapangan
pekerjaan dan penghasilan.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Penelitian awal yang berupa upaya domestikasi sehingga dihasilkan induk Botia yang
terdomestikasi dengan kriteria yaitu; bisa hidup, tumbuh dan bisa berkembang biak di lingkungan
budidaya telah dilakukan antara tahun 2005 – 2008 di Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Ikan Hias, Depok dengan bekerja sama dengan Institut de recherché pour le
developpement (IRD) Perancis.
Penelitian dan pengembangan tahap produksi massal; dengan kegiatan berupa : uji produksi benih
skala massal, uji pemasaran benih hasil budidaya ke pasar internasional dan analisa ekonomi
dalam siklus produksi telah dilakukan antara tahun 2009-2011 di Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok dengan bekerja sama dengan Institut de recherché
pour le developpement (IRD) Perancis.
Penelitian dan pengembangan tahap produksi massal lanjutan berupa perbaikan teknologi
pembenihan ikan hias Botia supaya lebih efisien serta kegiatan transfer teknologi untuk
penerapan teknologi di masyarakat melalui kegiatan diseminasi telah dilakukan tahun 20122013 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok; di Dinas Perikanan
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan dan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Kasongan Kalimantan Tengah.
Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia
dengan lingkungan terkontrol adalah daerah asal ikan Botia seperti Sumatera dan Kalimantan.
Pemilihan lokasi di daerah asal ikan Botia diperkirakan kondisi lingkungan pemeliharaan sudah
sesuai untuk ikan Botia. Selain itu untuk aplikasi teknologi pendederan larva hingga benih dalam
sistem resirkulasi dapat dilakukan di berbagai daerah bahkan di daerah yang kurang akan sumber
daya air sekalipun, mengingat teknologi resirkulasi mempunyai kelebihan yaitu bisa hemat air.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Sangat kecil kemungkinan dampak negatif dari aplikasi teknologi pembenihan ikan hias Botia di
lingkungan terkontrol, karena hampir semua bahan yang digunakan relatif aman. Hanya saja untuk
penggunaan obat-obatan yang bersifat antibiotik seperti oksitetrasiklin harus ada perbaikan
manajemen dalam pembuangannya, dikarenakan jika dibuang begitu saja ke perairan bisa
membahayakan organisme yang ada.
145
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat awal membuka usaha dan memiliki umur
teknis lebih dari 1 tahun. Total biaya investasi budidaya ikan Botia berdasarkan analisa usaha yang
telah diperhitungkan sebesar Rp.1.561.963.000,-. Rincian biaya investasi dari pembenihan ikan
Botia dapat dilihat pada tabel berikut.
No.
Jenis Barang
A
Pengadaan induk
B
Tanah dan Pembangunan gedung
Total Biaya
5.400.000
1.160.850.000
C
Tandon air
6.000.000
D
Sarana dan prasarana produksi artemia
9.575.000
E
Sarana dan prasarana pemeliharaan induk
F
Sarana dan prasarana reproduksi. inkubasi. larva
G
Sarana dan prasarana pemeliharaan larva
100.500.000
H
Sarana dan prasarana pemeliharaan benih
100.438.000
I
Sarana dan prasarana listrik
16.250.000
J
Sarana dan prasarana keamanan
40.000.000
K
Sarana dan prasarana laboratorium
14.500.000
L
Sarana dan prasarana transportasi
2.000.000
M
Sarana dan prasarana kantor
65.100.000
39.350.000
2.000.000
Total
1.561.963.000
Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan merupakan alokasi dari biaya investasi setiap tahun berdasarkan umur teknis.
Total biaya penyusutan budidaya ikan Botia yaitu sebesar Rp. 114.320.010. Rincian biaya
penyusutan dari budidaya ikan Botia dapat dilihat pada tabel berikut.
No.
Jenis Barang
Total Biaya
900.000
A
Pengadaan induk
B
Tanah dan Pembangunan gedung
C
Tandon air
D
Sarana dan prasarana produksi artemia
E
Sarana dan prasarana pemeliharaan induk
61.017.500
433.333
782.500
8.433.333
3.935.000
F
Sarana dan prasarana reproduksi. inkubasi. larva
G
Sarana dan prasarana pemeliharaan larva
H
Sarana dan prasarana pemeliharaan benih
9.283.962
I
Sarana dan prasarana listrik
3.250.000
14.562.000
J
Sarana dan prasarana keamanan
4.000.000
K
Sarana dan prasarana laboratorium
1.600.000
L
Sarana dan prasarana transportasi
M
Sarana dan prasarana kantor
350.000
200.000
114.320.010
Total
146
Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan jika hanya ada kegiatan produksi. Rincian biaya
variabel dapat dilihat pada tabel berikut.
No.
Jumlah per
tahun
1,220,000
Uraian
1
Konsumsi pemijahan
2
Pakan larva
25,450,000
3
Pakan benih
31,679,567
4
Transportasi
1,100,000
5
Tenaga untuk ruang inkubasi
6,689,837
6
Tenaga untuk gedung pemeliharaan larva dan benih
14,348,837
Total Biaya Tetap
96,153,605
Diketahui data per siklus (6 bulan) sebagai berikut :
Keterangan
Persentase
Jumlah telur
Jumlah per
siklus
242,647
Fertilization rate (FR)
85%
206,250
Hachip Rate (HR)
80%
165,000
Survival Rate (sampai ukuran jual)
35%
57,800
Jika satu siklus diperlukan waktu 6 bulan, maka dalam satu tahun bisa dilakukan 2 siklus. Benih
hasil produksi bisa dijual ke pasar lokal dan pasar ekspor.
PASAR LOKAL
Produksi benih 1 tahun
Harga jual
Penerimaan
= 57.800 ekor x 2 siklus = 115.600 ekor
= Rp. 3.500
= Jumlah panen x Harga jual
= 115.600 ekor x Rp. 3.500
= Rp. 404.600.000,-
Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh dari satu siklus produksi (1 tahun) pembenihan ikan Botia dapat
dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:
Keuntungan
= Penerimaan – ( Biaya tetap + Biaya variabel )
= Rp. 404.600.000 – (Rp. 210.473.615+ Rp. 96.153.605)
= Rp. 97.972.780,Keuntungan yang diperoleh dari satu tahun produksi pembenihan adalah Rp. 97.972.780,-
147
Revenue Cost Ratio
R/C merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun
terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan produksi.
R/C ratio
=
Penerimaan
Biaya tetap + Biaya variabel
=
Rp. 404.600.000 ,Rp. 210.473.615 + Rp. 96.153.605
= 1,3
Efisiensi usaha (R/C Ratio) pembenihan Botia adalah biaya yang dikeluarkan Rp. 1 akan
memperoleh penerimaan sebesar Rp. 0,3.
Break Even Point (BEP)
BEP digunakan untuk mengetahui batas nilai volum produksi suatu usaha mencapai titik impas
(tidak untung, tidak rugi).
BEP ( Rp )

BEP ( Rp)

BiayaTetap
BiayaVaria bel
1
Penerimaan
Rp. 210.473.61 5
Rp. 96.153.605
1
Rp. 404.600.000
= Rp. 276.067.176,BEP(ekor ) 
BEP(ekor ) 
BiayaTetap
BiayaVaria bel
harga 
Jumlahproduksi
Rp. 210.473.615
Rp. 96.153.605
3.500 
115.600
= 78.882 ekor
Berdasarkan nilai diatas usaha pembenihan Botia akan mengalami titik impas jika nilai penjualan
sudah mencapai Rp. 276.067.176,- dan saat penjualan sebanyak 78.882 ekor.
Pay Back Periode (PP)
Digunakan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada
suatu usaha.
PP =
Investasi awal
x 1 thn
Keuntungan
PP =
1.561.963.000
x 1 thn
97.972.780
PP = 15,94 tahun
Maka waktu pengembalian modal usaha pembenihan Botia adalah selama 15,94 tahun.
148
Harga Pokok Penjualan (HPP)
Harga pokok penjualan merupakan dasar dalam menentukan harga jual benih. Harga pokok
penjualan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
HPP
=
Total biaya produksi : Kapasitas produksi
HPP
=
Rp. 306.627.220 : 115.600 ekor
HPP
=
Rp. 2.652,PASAR EKSPOR
SR benih 1 tahun
Harga jual
Penerimaan
= 57.800 ekor x 2 siklus = 115.600 ekor
= Rp. 8.000
= Jumlah panen x Harga jual
= 115.600 ekor x Rp. 8.000
= Rp. 924.800.000
Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh dari dua siklus produksi (1 tahun) pembenihan ikan Botia dapat
dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:
Keuntungan
= Penerimaan – ( Biaya tetap + Biaya variabel )
= Rp. 924.800.000 – (Rp. 210.473.615+ Rp. 96.153.605)
= Rp. 618.172.780
Keuntungan yang diperoleh dari satu tahun produksi pembenihan adalah Rp. 618.172.780,Revenue Cost Ratio
R/C merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun
terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan produksi.
R/C ratio
=
Penerimaan
Biaya tetap + Biaya variabel
=
Rp. 924.800.000 ,Rp. 210.473.615 + Rp. 96.153.605
= 3,01
Efisiensi usaha (R/C Ratio) pembenihan Botia adalah biaya yang dikeluarkan Rp. 1 akan
memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,01.
149
Break Even Point (BEP)
BEP digunakan untuk mengetahui batas nilai volum produksi suatu usaha mencapai tittik impas
(tidak untung, tidak rugi).
BiayaTetap
BEP ( Rp ) 
BiayaVaria bel
1
Penerimaan
BEP ( Rp)

Rp. 210.473.61 5
Rp. 96.153.605
1
Rp. 924.800.00 0
= Rp. 234.877.374,BEP(ekor ) 
BEP(ekor ) 
BiayaTetap
BiayaVaria bel
harga 
Jumlahproduksi
Rp. 210.473.615
Rp. 96.153.605
8.000 
115.600
= 29.363 ekor
Berdasarkan nilai diatas usaha pembenihan Botia akan mengalami titik impas pada jika nilai
penjualan sudah mencapai Rp. 234.877.374,- dan saat penjualan sebanyak 29.362 ekor.
Pay Back Periode (PP)
Digunakan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada
suatu usaha.
PP =
Investasi awal
x 1 thn
Keuntungan
PP =
1.561.963.000
x 1 thn
618.172.780
PP = 2,52 tahun
Maka waktu pengembalian modal usaha pembenihan Botia adalah selama 2,52 tahun.
Harga Pokok Penjualan (HPP)
Harga pokok penjualan merupakan dasar dalam menentukan harga jual benih. Harga pokok
penjualan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
HPP
=
Total biaya produksi : Kapasitas produksi
HPP
=
Rp. 302.692.220 : 115.600 ekor
HPP
=
Rp. 2.618,44
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Hampir semua bahan dalam penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan
terkontrol merupakan produk dalam negeri, kecuali untuk hormon (HCG dan Ovaprim) masih
impor.
150
BBPPBL
Teknologi Perbenihan Abalon (Haliotis squamata)
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut
Alamat
Banjar Dinas Gondol, Desa
Penyabangan, Kecamatan Gerokgak,
Kab. Buleleng, Bali
Tel: 0362-92278; Fax: 0362-92272
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Teknologi Baru
Masa Pembuatan
2008-2012
Tim Penemu
Ir. Ibnu Rusdi, M.P.
Ir. Bambang Susanto, M.Si.
I Gusti Ngurah Permana, S.Pi, M.Si.
Dr. I Nyoman Adiasmara Giri, M.S.
Kontak Person
Ir. Ibnu Rusdi, M.P.
[email protected]
151
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Manfaat Teknologi
Tujuannya adalah untuk mendukung produksi benih abalon di hatcheri skala rumah tangga (HSRT)
secara berkesinambungan; membuka lapangan usaha baru dan mata pencaharian alternatif atau
sampingan tanpa harus alih profesi dari HSRT ikan laut yang sudah ada; mengurangi eksploitasi
abalon di alam.
Teknologi ini bermanfaat untuk mendukung pengembangan budidaya abalon skala masal secara
berkesinambungan, meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya yang bermukim di
wilayah pesisir, mendukung peningkatan kegiatan ekonomi secara riil di bidang perikanan
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
 Lokasi bangunan (hatchery) terletak dekat pantai berpasir dan jauh dari pengaruh air
sungai yang dapat menurunkan salinitas air dan berpotensi terjadinya pencemaran
limbah; tersedia sumber air tawar untuk mencuci peralatan dan pembersihan wadah
pemeliharaan dan makroalga (rumput laut); tersedia sumber energi listrik untuk
menghidupkan blower dan pompa air; tersedia sarana alat transportasi untuk
pengambilan rumput laut dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk operasional.
 Kisaran kualitas air yang baik dalam mendukung perbenihan abalon, yaitu: suhu 28–30
°C, salinitas 32-35 ppt, pH air 8,0–8,5, oksigen terlarut 4,5-5,5 mg/L dan intensitas
cahaya 1500 -3500 lux.
Uraian teknologi dan cara penerapan teknologi
Produksi benih abalon akan berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh sarana yang lengkap,
yaitu tersedia bak pemeliharaan induk, bak larva, ruang pemijahan, ruang dan bak kultur pakan
alami, bak pendederan, sarana aerasi dan fasilitas penunjang lainnya, sehingga dihasilkan benih
abalon siap tebar di laut. Kegiatan produksi benih abalon akan lebih efisien apabila dilakukan
secara terpadu dengan produksi benih ikan laut di hatchery skala rumah tangga (HSRT).
Rancang Bangun Wadah Pembenihan
Wadah untuk pembenihan abalon tidak memerlukan bentuk yang spesifik, namun untuk
memudahkan dalam pengelolaan sebaiknya berbentuk persegi panjang. Untuk bak pemeliharaan
152
induk dan larva sebaiknya mempunyai ketinggian maksimal 0,7 m dengan kemiringan dasar bak
<10° yang terbuat dari beton atau fiberglass.
Seleksi dan Transportasi Induk
Cara mendapatkan abalon yang baik untuk dijadikan induk, harus dilakukan seleksi induk pada
saat penangkapan ataupun pada saat diperoleh dari pengumpul. Ciri–ciri induk abalon yang baik
adalah sebagai berikut: Bagian tubuh utuh (cangkang dan daging tidak ada yang rusak), bila
diangkat gerakannya lincah, langsung membalikkan tubuhnya apabila diletakkan secara terbalik,
menempel kuat pada substrat, ukuran panjang cangkang minimum 5 cm. Pada pengangkutan
abalon hidup perlu diperhatikan cara pengemasan yang benar agar abalon dapat ditransportasi
dengan baik dan menghasilkan sintasan tinggi.
Pemeliharaan Induk
Abalon
Wadah yang digunakan
dalam pemeliharaan
induk abalon adalah bak
beton maupun bak
fiberglass ukuran 200 x
80 x 50 cm3 yang di
dalamnya ditempatkan
4 buah keranjang
Gambar 1. Induk (kiri) dan wadah pemeliharaan (kanan) induk abalon H.
plastik berlubang /bak
dengan ukuran 40 x 60
x 40 cm3 dan ditambahkan potongan pipa PVC sebagai shelter atau substrat (Gambar 1). Setiap
keranjang diisi abalon sebanyak 15 ekor. Pakan yang digunakan untuk induk abalon adalah
rumput laut jenis Gracillaria sp. dan Ulva sp. Pakan diberikan dengan dosis 1015%/biomassa/hari dan diberikan setiap 2 hari sekali (Gambar 2). Penyiponan untuk
membersihkan kotoran dan sisa pakan dilakukan sebelum penggantian dan pemberian pakan
berikutnya. Pergantian air menggunakan sistem air mengalir dengan debit air 5 – 6 liter/menit.
Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melihat pada bagian samping posterior
menggunakan alat
bantu spatula. Gonad
yang sudah matang
akan ter l i hat
menggelembung dan
tumpul pada ujung
hepatopankreas
( G a m b a r 3 ) .
Pemeliharaan induk dan
sanitasi lingkungan
Gambar 2. Pakan yang digunakan dalam pemeliharaan abalon (kiri) Ulva sp.
abalon dilakukan dalam
dan (kanan) Gracillaria sp.
153
beberapa tahapan,
yaitu:
a).
Pembersihan
abalon dengan cara
memindahkan
keranjang yang
berisi induk abalon
ke bak lain yang
telah diisi air,
Gambar 3. Induk abalon yang sudah matang gonad (kiri) Jantan (kanan) Betina
k e m u d i a n
disemprot dengan
air laut agar kotoran yang menempel pada tubuh abalon dan keranjang dapat terlepas; b).
Pembersihan bak pemeliharaan yang dilakukan setiap minggu menggunakan sikat atau spon dan
disemprot dengan air tawar.
Pemijahan Alami dan Buatan
Abalon jenis H. squamata dapat memijah secara alami atau dipijahkan secara buatan (induced
spawning). Pemijahan abalon secara alami dilakukan setelah melalui proses seleksi induk jantan
maupun betina yang telah matang gonad dengan rasio jantan dan betina 1 : 2. Induk abalon
kemudian ditaruh dalam keranjang plastik berlubang ukuran 40x60x40 cm3 dan ditambahkan
potongan pipa PVC sebagai shelter atau substrat. Abalon jantan dan betina ditempatkan secara
terpisah. Setiap keranjang diisi sebanyak 10-15 ekor induk abalon. Selanjutnya keranjang yang
telah berisi induk abalon ditempatkan dalam wadah bak fiberglass ukuran 200 x 80 x 50 cm3 dan
dialiri air secara perlahan setelah sebelumnya dilakukan proses pengeringan induk (dry up) sekitar
1 jam dengan cara mengangkat keranjang yang telah berisi induk matang gonad dari dalam bak
dan dibiarkan dalam kondisi tanpa air. Selanjutnya, keranjang tersebut dimasukkan kembali ke
dalam bak induk dan dilakukan pengamatan pada keesokan harinya pada kolektor telur untuk
memastikan terjadinya pemijahan. Pengamatan untuk mengetahui terjadinya pemijahan dilakukan
dengan memeriksa kolektor telur/larva yang sudah disiapkan. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa abalon dapat memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim pemijahan sekitar bulan
Agustus sampai September. Untuk proses pemijahan abalon secara buatan, dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu: melakukan proses seleksi induk matang gonad baik jantan maupun
betina, melakukan dry up selama 1-2 jam dengan cara menempatkan induk abalon pada wadah
yang dilapisi kain handuk basah. Selanjutnya memasukkan induk abalon jantan dan betina masingmasing 5-10 ekor dalam bak volume 30 liter secara terpisah (gunakan air laut yang telah difiltrasi
dengan sand filter) lalu tempatkan dalam ruangan kondisi gelap. Tahapan selanjutnya melakukan
rangsangan pemijahan dengan penambahan oksigen murni melalui aerasi selama 3 jam dalam bak
pemijahan, dilanjutkan dengan penambahan aerasi biasa sampai terjadi pemijahan. Setelah
pemijahan dilanjutkan dengan melakukan pembuahan (fertilisasi) telur, penyiphonan dan
pencucian telur sampai bersih. Setelah itu, massa telur abalon ditempatkan dalam bak inkubasi.
Dengan adanya teknologi pemijahan buatan tersebut, maka permasalahan larva di luar musim
pemijahan dapat diatasi.
154
Penanganan Telur dan Larva Abalon
Telur abalon mempunyai ukuran rata-rata diameter sebesar 185 ± 9,3 µm. Sebelum menetas
menjadi larva (trokopor), telur mengalami masa embriogenesis selama 6 – 7 jam pada kondisi suhu
28,0° - 29,5°C. Trokopor yang sehat mempunyai gerakan yang lincah, berenang dan respon cepat
pada cahaya dan memiliki cangkang normal. Pemanenan larva dilakukan dengan cara mengambil
secara perlahan menggunakan gayung. Larva ditampung pada wadah volume 30-50 l, lalu diberi
aerasi dan dilakukan penghitungan secara sampling.
Penumbuhan Diatom (pakan alami)
Diatom merupakan pakan awal yang dimanfaatkan oleh larva. Kultur diatom dilakukan dalam
rangka penyediaan pakan dalam jumlah yang memadai untuk larva. Diatom yang dikultur biasanya
dari jenis Nitzschia spp. dan Navicula spp. Pakan yang digunakan untuk larva abalon dari jenis
diatom ini bersifat bentik atau menempel. Syarat yang dibutuhkan untuk kultur diatom adalah
salinitas 32 – 35 ppt, suhu 28° - 31°C dan intensitas cahaya 700 – 2.500 lux. Pupuk yang
digunakan untuk menumbuhkan diatom yaitu KNO3 : 50 g/m3, Na2HPO4.12 H2O : 4 g/m3,
Clewat-32 : 5 g/m3, FeCl3 : 2,5 g/m3, Na2EDTA : 5 g/ m3, dan NaSiO3 : 50 g/ m3. Kultur diatom
dilakukan pada bak fiber volume 30 l. dengan dengan kepadatan awal 800.000 – 1.200.000
sel/ml selama 3 – 4 hari. Diatom
yang telah siap panen kemudian
dimasukkan ke dalam bak
pemeliharaan larva dan
selanjutnya setiap minggu
diberikan pupuk susulan setengah
dari dosis awal. Selama
penumbuhan diatom pada bak
pemeliharaan diterapkan sistem
air mengalir dengan debit 1 – 2
l/menit. Namun pada saat
pemberian pupuk, sistem air
mengalir dihentikan sementara
selama 3 – 4 jam. Persiapan awal
dan penumbuhan diatom pada
rearing plate dilakukan 2 minggu Gambar 4. Bak pemeliharaan larva abalon H. squamata dengan
”rearing plate”-nya
sebelum penebaran larva.
Produksi Benih Abalon
 Pemeliharaan larva abalon H. squamata dapat dilakukan dalam bak beton yang berukuran
3 x 2 x 0,7 m3. Persiapan awal pada bak pemeliharaan larva yaitu dengan menambahkan
substrat penempelan larva (rearing plate) dari bahan plastik gelombang berukuran 58 x
60 cm2 yang telah ditumbuhi diatom sebagai pakan larva (Gambar 4). Sebelum penebaran
larva, terlebih dahulu dilakukan pembersihan kembali bak dan rearing plate untuk
menghilangkan organisme pengganggu seperti kopepoda, siput dan udang. Bak
pemeliharaan larva dilengkapi dengan sistem aerasi. Penebaran veliger dengan
155
kepadatan 25–50 ekor/l. Kisaran kualitas air yang baik dan mendukung dalam
pemeliharaan larva yaitu suhu 28°– 30°C, salinitas 32 – 35 ppt, pH air 7,9 – 8,5, Oksigen
terlarut 4,5- 5,5 mg/l, intensitas cahaya 1.500 – 3.500 lux. Sistem air mengalir dengan
debit air 0,5 – 1,0 l/menit mulai diterapkan pada saat memasuki hari ke-7 pemeliharaan
larva. Sampling pertumbuhan dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara mengukur
panjang dan lebar cangkang. Sampling kepadatan larva abalon dilakukan pada umur 1
bulan pemeliharaan dengan cara menghitung jumlah spat yang menempel pada tiap
platenya. Selama pemeliharaan larva, perlu dilakukan penambahan pakan alami diatom 23 kali seminggu untuk menjaga ketersediaan pakan. Penyiponan dilakukan setiap dua
hari sekali setelah diterapkan sistem air mengalir untuk menjaga kondisi lingkungan yang
bersih selama pemeliharaan.
 Setelah pemeliharaan larva mencapai umur satu bulan, biasanya telah diperoleh juvenil
yang mencapai ukuran panjang cangkang 0,6-0,8 mm. Juvenil pada ukuran tersebut telah
siap mengkonsumsi pakan makroalga dari jenis Ulva sp.. Oleh karena itu sebaiknya
dilakukan pemanenan selektif secara manual menggunakan spatula berukuran kecil dan
pipih untuk dilakukan pendederan.
Gambar 5. Panen spat/juvenil abalon H. squamata secara manual dengan spatula plastik dan
pendederan abalon menggunakan keranjang
 Wadah yang digunakan untuk pendederan juvenil yakni keranjang plastik berlubang
berbentuk persegi panjang dengan ukuran 35 x 25 x 8 cm3. dengan diameter ukuran
lubang berkisar 2-3 mm. Keranjang disusun berhadapan dan dijepit dengan
menggunakan potongan pipa pralon (Gambar 5). Wadah tersebut kemudian ditempatkan
ke dalam bak beton berukuran 3 x 2 x 1 m3. Apabila juvenil telah mencapai ukuran minimal
panjang cangkang 1 cm, pakan makroalga dapat dikombinasi dengan jenis Gracillaria sp.
yang memiliki ukuran diameter thallus lebih kecil. Biasanya jenis makroalga ini mudah
diperoleh pada daerah pertambakan tradisional ataupun sengaja dibudidayakan di daerah
tambak/air payau. Setelah dua bulan pemeliharaan benih abalon, dilakukan penjarangan
benih dalam keranjang sebesar 50% agar pertumbuhan benih lebih optimal. Pemberian
pakan dilakukan dengan dosis sekitar 25 – 35 % dari berat biomas per hari. Penyiponan
sebaiknya rutin dilakukan setiap hari dan dilakukan penerapan sistem air mengalir untuk
o
menjaga kualitas air. Suhu air untuk pendederan benih abalon berkisar 28,5 – 30,5 C,
salinitas 32 – 35 ppt dan kandungan oksigen terlarut (DO) 5,0 – 5,3 ppm. Kepadatan
optimal untuk pendederan benih abalon ukuran panjang cangkang (PC) 0,8-1,2 cm
156
Gambar 6. Benih abalone H. squamata (panjang cangkang 2 – 2,5 cm) sudah siap dibesarkan di laut
berkisar 400-500 ek/keranjang; Ukuran PC antara 1-2 cm berkisar 250 ek/keranjang.
Pemeliharaan dilakukan hingga benih abalon mencapai ukuran PC 2 - 2,5 cm untuk
selanjutnya dibesarkan di laut (Gambar 6).
Pengkajian dan penerapan teknologi
Ujicoba teknologi produksi benih abalon telah dilakukan sejak tahun 2011 di beberapa HSRT milik
masyarakat di Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng dan pada satu hatchery kerang milik swasta di
Tanjung Putus, Lampung Selatan. Selama dua bulan periode pemeliharaan, dapat dihasilkan benih
abalon ukuran panjang cangkang 0,8 – 1,1 cm dengan sintasan berkisar 7-10%. Pada
pemeliharaan lanjutan (pendederan) benih abalon dalam keranjang tertutup dengan sistim
terapung selama 2-2,5 bulan, dapat diperoleh benih abalon dengan ukuran panjang cangkang 2,0
– 2,5 cm dengan sintasan mencapai 95 – 99%.
3. KEUNGGULAN TEKNOLOGI :
 Teknologi perbenihan abalon sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh masyarakat
pembudidaya dan dapat dilakukan sepanjang tahun.
 Produksi benih abalon tergolong efisien, ekonomis dan layak dikembangkan karena
dapat diterapkan secara terintegrasi di Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) Ikan Laut
sebagai alternatif usaha tambahan tanpa harus beralih profesi, sehingga dapat
menambah pendapatan pembudidaya di HSRT.
 Sangat ramah lingkungan karena teknologi tersebut tidak menggunakan bahan
kimia/disinfektan dan hanya menggunakan mikroalga dan makroalga (Gracillaria sp. dan
Ulva sp.) sebagai pakan pada proses produksi benih sehingga tidak mencemari
lingkungan.
 Cangkang abalon dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat perhiasan.
LOKASI PENGEMBANGAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASI
 Tahun 2010: Pengembangan teknologi produksi benih abalon di HSRT ikan laut di Bali
Utara (Kabupaten Buleleng).
 Tahun 2011: Pendampingan teknologi pada stakeholder Hatchery Abalon di Pulau
Tanjung Putus, Prov. Lampung.
157
 Tahun 2010-2012: Kerjasama pengembangan teknologi pembenihan abalon di
BBPPBL Gondol dengan PT. Sarana Hatchery Abadi, Provinsi Sulawesi Selatan.
 Tahun 2012: Pendampingan teknologi Produksi Benih abalon (H. squamata) di Hatchery
UNHAS Pulau Barrang Lompo, Makassar, Prov.Sulawesi Selatan dengan LSM.
 Tahun 2011: Pengembangan teknologi pembesaran abalon asal pembenihan pada
keramba apung di Kabupaten Takalar, Prov. Sulawesi Selatan
 Tahun 2012: Pengembangan teknologi pembesaran benih abalon asal pembenihan pada
keramba apung di Kabupaten Situbondo, Prov. Jawa Timur
Wilayah rekomendasi pengembangan sebaiknya tidak jauh dari daerah sentra produksi rumput
laut agar dapat sejalan dengan pengembangan budidaya pembesaran abalon, seperti di wilayah
Kab. Buleleng dan pulau Nusa Penida (Bali); Kabupaten Situbondo (Jawa Timur); Kab. Takalar dan
Kab. Barru (Sulawesi Selatan); Kab. Marowali dan Kab. Parigi (Sulawesi Tengah); pulau Tanjung
Putus (Lampung Selatan), Prov.Gorontalo dan wilayah Kawasan Timur Indonesia pada umumnya.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan sangat kecil bagi lingkungan karena teknologi
tersebut tidak menggunakan bahan kimia/disinfektan.
Penggunaan mikroalga dan makroalga (Gracillaria sp. dan Ulva sp.) sebagai pakan pada proses
produksi benih hingga ukuran konsumsi sehingga tidak mencemari lingkungan.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Untuk produksi benih abalon di HSRT dengan menggunakan 4 buah bak larva dan 2 buah bak
pendederan yang dipelihara selama 4 bulan dengan sintasan benih 10% mendapatkan
keuntungan :Rp. 7.108.333,-.; B/C ratio = 1,73. Biaya produksi = Rp. 651,- per ekor.
A.
Biaya investasi
No.
Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Vol.
Bak larva uk. 2,5x2x0,7 m
Bak filter air uk.1x1x1 m
Bak juvenil uk. 2.5x2x0.7 m
Blower
Pompa air laut
Pompa air tawar
Generator 1 unit
Sistim Pemipaan
Perlengkapan sistem aerasi, dll.
Rearing plate
4
1
2
1
1
1
1
1
1
300
Satuan
Harga satuan
bh
bh
bh
unit
unit
unit
unit
set
set
lbr
4.000.000
1.000.000
4.000.000
3.000.000
2.500.000
750.000
3.000.000
5.000.000
5.000.000
25.000
JUMLAH
B.
C.
No.
1
16.000.000
1.000.000
8.000.000
3.000.000
2.500.000
750.000
3.000.000
5.000.000
5.000.000
7.500.000
Umur
ekonomis
(siklus)
30
30
30
15
9
9
15
30
9
15
51.750.000
Penyusutan
(Rp)
533.333
33.333
266.667
200.000
277.778
83.333
200.000
166.667
555.556
500.000
2.816.667
Biaya variabel BV)
No
1
2
3
4
5
Jumlah (Rp)
Uraian
Larva (veliger)
Rumput laut
Listrik (PLN)
Pupuk (ZA, TSP, Urea, EDTA, FeCl3, Silikat)
Biaya panen
JUMLAH
Vol.
Satuan
150000
100
4
1
1
btr
kg
bln
pkt
pkt
Harga Satuan
Jumlah (Rp)
3
1.500
400.000
500.000
250.000
450.000
150.000
1.600.000
500.000
250.000
2.950.000
Harga Satuan
500.000
Jumlah (Rp)
4.000.000
4.000.000
Tenaga Kerja
Uraian
Tenaga kerja (2 Orang) X 4 bulan
JUMLAH
Vol.
8
158
Satu an
bln
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
Biaya Tetap
Upah Tenaga Kerja+Biaya Penyusutan
6.816.667
Biaya Total
Biaya Tetap + Biaya Variabel
9.766.667
Penerimaan
Asumsi panen SR 10 % (benih uk.1,5 cm)
Hasil panen benih (ekor)
Harga Jual (Rp./ekor)
Jumlah Penerimaan
15.000
1.125
16.875.000
Analisa Laba/Rugi
Keuntungan=Penerimaan-Biaya Total
7.108.333
B/C Ratio
Penerimaan : Biaya Total
1.73
PENGEMBALIAN MODAL (Siklus)
Biaya Total : Keuntungan
1.37
BIAYA PRODUKSI (Rp/ekor)
Biaya total : produksi
651
BREAK EVEN POINT
Biaya Total
Biaya Tetap
Biaya Variabel BV)
Hasil Panen (Ekor)
Penerimaan
BV : Penerimaan
1 - (BV:Penerimaan)
BEP (Rp)
9.766.667
6.816.667
2.950.000
15.000
16.875.000
0.17
0.83
8.260.772
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Penggunaan komponen dalam negeri hampir mencapai 100 %, karena bahan dan alat yang
digunakan sebagian besar berasal dan diproduksi di dalam negeri kecuali blower, pompa dan
generator.
159
LP2BRL
BPPBAP
Produksi Bibit Unggul Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Loka Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Rumput Laut (LP2BRL),
Gorontalo dan Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau
(BPPBAP)
Alamat
Jln. Pelabuhan Etalase Perikanan,
Tabulo Selatan, Kecamatan
Mananggu (KP. 96265), Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi Baru
Masa Pembuatan
2010-2013
Tim Penemu
Petrus Rani Pong-Masak
Andi Parenrengi
Muhammad Tjaronge
Kontak Person
Petrus Rani Pong-Masak
[email protected]
160
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
 Tujuan : mendapatkan varietas bibit unggul rumput laut kotoni (Kappaphycus alvarezii)
dengan performansi cepat tumbuh.
 Manfaat : menyediakan bibit unggul dengan kuantitas dan kontinuitas; mendukung target
peningkatan produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii di Indonesia.
 Kegunaan : menyediakan bibit berkualitas unggul bagi masyarakat dari kebun bibit di
setiap sentra budidaya rumput laut di Indonesia.
PENGERTIAN/DEFINISI
 Bibit : potongan thalus muda berumur 30 hari yang diperlukan untuk penanaman rumput
laut secara vegetatif.
 Kebun bibit : area produksi untuk menghasilkan bibit unggul.
 Metode longline : cara membudidayakan bibit rumput laut di kolom air (eupotik) dekat
permukaan perairan dengan menggunakan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik
yang lain dengan panjang berkisar 35 m, dalam bentuk lajur lepas atau terangkai
berbentuk segi empat dengan bantuan tali induk, pelampung dan jangkar.
 Siklus produksi : rangkaian kegiatan untuk memproduksi bibit rumput laut mulai dari
penanaman sampai dengan panen (seleksi)
 Panen bibit : kegiatan pengambilan hasil pembibitan setelah berumur 30 hari.
 Cottoni : nama latin Kappaphycus alvarezii untuk rumput laut yang termasuk dalam kelas
alga merah (Rhodophyceae), sebagai sumber keraginan.
 Thallus : badan rumput laut yang mewakili akar, batang, dan daun yang berfungsi untuk
menyerap nutrisi di perairan.
 Tali ris bentang : Tali atau media yang digunakan sebagai tempat mengikat tali titik dan
rumput laut
 Tali cincin : tali yang berfungsi untuk mengikat bibit rumput laut yang diselipkan pada tali
ris bentang
 Pelampung ris bentang : bahan apung yang dipasang pada setiap tali ris yang telah ada
bibit untuk mempertahankan posisi tanaman pada kedalaman yang dikehendaki.
 Pelampung Utama : bahan apung yang dipasang pada setiap penjuru konstruksi sebelum
tali jangkar untuk menahan konstruksi agar tidak tenggelam pada saat ada arus kencang
sekaligus sebagai tanda batas.
161
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
Persyaratan teknis yang harus dimiliki oleh seseorang/kelompok/pengusaha yang akan
melakukan kegiatan produksi bibit unggul rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan metode
seleksi varietas, adalah sebagai berikut :
 Mahir membuat konstruksi wadah budidaya rumput laut metode long line;
 Dapat menilai dan memilih lokasi yang cocok bagi pengembangan kebun bibit rumput
laut;
 Mahir membuat sarana tali bentangan, tali cincin, Jangkar dan tali jangkar;
 Mampu memilih populasi bibit awal untuk diseleksi;
 Mampu menangani pengangkutan bibit supaya tidak stres sebelum ditanam;
 Mahir mengikat bibit dengan baik pada tali bentangan;
 Mahir merawat bibit yang sudah ditanam;
 Memahami tanda-tanda munculnya kerusakan thallus dan mampu mengatasinya;
 Mahir memecah bibit dengan bobot rataan awal yang sama setiap rumpun;
Persyaratan lokasi seleksi varietas bibit unggul kotoni (Kappaphycus alvarezii)
1. Parameter Fisika :
Keterlindungan
Lokasi seleksi bibit harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat, seperti teluk, selat,
atau lokasi perairan yang terdapat karang penghalang (barrier reef) atau karang tepi (fringing reef)
Kecepatan arus 20 – 40 cm/dtk
Merupakan faktor ekologi yang primer untuk memungkinkan terjadinya aerasi, suplai unsur hara
secara tetap, terhindar dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) dan epiphyt serta
menyebabkan fluktuasi salinitas dan suhu yang kecil.
Substrat
Dasar perairan agak keras yang dibentuk oleh pasir dan pecahan karang serta bebas dari sedimen
dan lumpur.
Kedalaman perairan (saat surut terendah minimal 0.5 m)
Lokasi kebun bibit merupakan perairan sub-tidal, sehingga tanaman bibit akan selalu terendam
dalam air dan mendapat peluang penyerapan makanan secara terus menerus serta menghindari
kerusakan thalus dari sengatan matahari.
Kecerahan perairan ( > 5 m – 100%)
Kecerahan perairan harus mendukung proses fotosintesis tanaman bibit dengan baik
Suhu (26o – 29 oC)
Fluktuasi suhu yang sangat tinggi akan membuat tanaman bibit menjadi stress sehingga
mempengaruhi laju pertumbuhan. Kenaikan temperatur yang tinggi juga akan mengakibatkan
thalus rumput laut menjadi pucat, menjadi layu dan mudah terserang penyakit.
162
2. Parameter Kimia :
Salinitas (32 – 34 ppt)
Kisaran salinitas yang dipilih sabaiknya pada nilai optimum yakni 33 ppt dengan fluktuasi yang
tidak besar. Fluktuasi salinitas diluar kisaran akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan dan
cepatnya proses penuaan (¬aging process).
pH (optimum 7,8 - 8,2)
pH menjadi faktor pembatas terhadap kehidupan dan keberadaan suatu tumbuhan. Walaupun air
laut memiliki nilai pH yang relatif stabil tetapi dapat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, suhu,
serta buangan industri dan rumah tangga.
Nutrien
Perairan harus mengandung nutrient yang cukup untuk pertumbuhan dan mutu rumput laut, baik
makro nutrient (N, P, K, Ca, S, Mg) maupun mikro nutrient (Mn, Fe, Cl, Zn, Vn, Cu, B, Si, Mo, Co).
Pencemaran
Lahan perairan yang bebas dari bahan pencemar, baik dari kegiatan pertanian, pemukiman,
maupun industri. Limbah pestisida dan logam berat pada konsentrasi tinggi akan berbahaya bagi
pertumbuhan bibit rumput laut.
3. Parameter Biologi :
Indikator biologi
Keberadaan komunitas makroalga secara alamiah pada suatu lokasi perairan merupakan isyarat /
indikator bahwa lokasi tersebut cocok sebagai lokasi kebun bibit. Bioindikator tersebut, antara lain
: eucheuma, sargassum, turbinaria, dan padina, caulerpa, ulva, dan lain-lain jenis makroalga.
Herbivora
Lokasi kebun bibit sebaiknya bebas dari ikan dan hewan air yang bersifat herbivor, dimana dalam
jumlah yang banyak dapat memangsa bibit rumput laut yang dipelihara, antara lain : penyu, ikan
baronang, dan bulu babi.
4. Faktor Teknis :
Keterjangkauan (Accessibility)
Faktor ini merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha pembibitan, antara lain kemudahan
dalam keterjangkauan jalur transportasi, kemudahan memperoleh sarana dan prasarana
pembibitan.
Ketersediaan Tenaga kerja
Ketersediaan tenaga yang ulet, tertarik,dan tekun untuk melakukan konstruksi lokasi, pengikatan
bibit, pemeliharaan, dan keuletan dalam melaksanakan seleksi
163
Sarana dan Prasarana
Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi yang memadai untuk memperlancar akses
pengangkutan selama operasional produksi bibit
Aspek Legal
Lahan yang dipilih tidak menimbulkan konflik pemanfaatan dan penggunaan perairan.
Uraian Prosedur Operasional Standar
Uraian teknologi
Keberhasilan budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Karena itu,
kegiatan seleksi harus memperhatikan faktor lingkungan perairan. Variasi kondisi lingkungan
perairan Indonesia yang relatif besar, sehingga program seleksi sangat dianjurkan untuk dilakukan
di setiap sentra produksi rumput laut.
Bibit awal yang digunakan adalah
rumput laut yang sudah biasa
dibudidayakan di wilayah tersebut.
Bibit awal diupayakan berasal dari
rumpun-rumpun rumput laut yang
memenuhi kriteria bibit yang baik
dalam jumlah yang cukup. Program
seleksi harus dilaksanakan di lokasi
yang memenuhi kriteria kelayakan
lokasi budidaya rumput laut dengan
sarana yang memenuhi standar
budidaya. Pelaksanaan program
seleksi harus didukung oleh
sumberdaya manusia yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang
memadai serta dukungan dana yang
cukup. Selanjutnya distribusi dan
teknik transportasi bibit unggul harus
mendapat perhatian yang baik.
Pemanfaatan rumput laut secara luas
oleh masyarakat pembudidaya
memerlukan upaya-upaya
percontohan atau penyuluhan.
Kedepan, operasionalisasi kebun
bibit untuk menghasilkan bibit unggul
rumput laut dan pemasaran hasilnya
dianjurkan agar dikelola oleh
kelompok pembudidaya.
Gambar 1. Tahapan proses produksi bibit unggul rumput laut,
Kapaphycus alvarezii cepat tumbuh melalui metode seleksi varietas
(G = generasi, P = Perbanyakan, LPH = Laju Pertumbuhan Harian).
164
Cara penerapan teknologi mulai persiapan sampai aplikasi
a. Seleksi Bibit Rumput Laut Kotonii
Protokol seleksi menitikberatkan pada hasil seleksi pertumbuhan thalus yang cepat. Garis besar
tahapan seleksi dan penjelasan singkat setiap tahapan untuk memproduksi bibit unggul rumput
laut kotoni, masing-masing ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Populasi Bibit Awal ( PS = G-0)
(35 m tali bentangan; 230 titik rumpun; 50 gr/rumpun bobot awal bibit; 15 cm jarak antar rumpun; 1 m
jarak antar bentangan; 30 cm dari permukaan perairan; jarak pelampung 3 m)
30 hari pemeliharaan (G-1)
Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan PS sebagai varietas G -1 (per bentangan).
Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode) + Kontrol (internal. dan
eksternal.)
30 hari pemeliharaan (G-2)
Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan G -1 sebagai varietas G-2 (per bentangan).
Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode ) + Kontrol (internal. dan
eksternal.)
30 hari pemeliharaan (G-3)
Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan G -2 sebagai varietas G-3 (per bentangan).
Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode) + Kontro l (internal. dan
eksternal.)
30 hari pemeliharaan (G-4)
Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan G -3 sebagai varietas G-4 (per bentangan).
Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode) + Kontrol (internal. dan
eksternal.)
LPH varietas hasil seleksi stabil
Varietas unggul
PERBANYAKAN I (P -1)
Ambil 80% - 90% rumpun terbaik dari varietas unggul (G4) setelah 30 hari pemeliharaan
PERBANYAKAN II (P -2)
Ambil 80% - 90% rumpun terbaik dari varietas unggul (P1) setelah 30 hari pemeliharaan
DISTRIBUSI BI BIT
Bibit dipanen untuk didistribusi atau dijual ke pembudidaya;
setelah 30 hari pemeliharaan
Gambar 2. Prosedur kerja produksi bibit unggul rumput laut, K. alvarezii cepat tumbuh
melalui metode seleksi varietas
Catatan:
1. Setiap siklus pemeliharaan harus ada kontrol internal (Ki) (sumber bibit dari buangan/afkiran rumpun
yang diseleksi) dan kontrol eksternal (Ke) (sumber bibit dari masyarakat pembudi-daya lokal
2. Pemilihan lokasi kegiatan seleksi harus selektif, yakni lokasi yang memungkinkan peme-liharaan bibit
sepanjang tahun, baik dengan menetap pada satu site atau dengan melakukan rotasi bentangan.
165
 Alat dan bahan
- Populasi stok bibit rumput laut yang akan diseleksi minimal 230 titik.
- Sarana yang digunakan untuk satu unit longline ukuran 50 x 35 m.
- Bola pelampung utama 6 buah, dan pelampung bentangan 650 buah.
- Timbangan duduk.
- Peralatan tulis 1 paket.
- Bak penampungan bibit dan air laut sebanyak 1 buah.
- Peralatan pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, kecerahan, pH dan arus: 1
paket.
- Peralatan penunjang seperti perahu, terpal, baju pelampung, kacamata selam: 1 paket.
 Tahapan kegiatan
Untuk memperoleh hasil yang optimal dan berkelanjutan dalam rangka pencapaian tujuan dan
target produksi bibit, maka perencanaan dan tahapan kegiatan harus ditetapkan sehingga dapat
diaplikasikan oleh pelaksana seleksi di setiap kebun bibit rumput laut. Produksi bibit unggul
rumput laut melalui metode seleksi varietas memerlukan beberapa tahap kegiatan yaitu :
 Pemilihan Lokasi
 Kegiatan seleksi harus mempertimbangkan kondisi cuaca/musim tanam di lokasi terpilih
untuk melakukan rotasi/pemindahan bentangan. Selain itu, pemilihan lokasi perairan
harus memiliki kriteria yang layak, sehingga dapat mendukung kegiatan seleksi secara
berkesinambungan. Parameter penting yang harus diperhatikan yaitu parameter fisika,
kimia, biologi dan teknis.
 Persiapan sarana
 Lokasi seleksi bibit berukuran luas 50x40 m yang dapat memuat 50 tali bentangan dan
panjang bentangan 40 m. Luasan lokasi tersebut dijaga dan ditangani oleh seorang
pembudidaya. Setiap tali bentangan dibuat dengan jarak rumpun 20 cm, sehingga setiap
tali bentangan memuat 200 titik rumpun bibit untuk diseleksi. Jarak antar tali rumpun
harus sama sehingga ruang untuk pertumbuhan bibit memiliki kesempatan yang sama,
termasuk dalam memperoleh suplai nutrien dari perairan. Demikian juga pada saat akan
ditanam/dibentangkan di laut pada tali induk, barisan tali bentangan harus diatur dengan
jarak 1,5 m antar bentangan.
 Penyediaan Stok Bibit Awal
 Penyediaan populasi stok bibit awal didatangkan dari beberapa lokasi berbeda, sehingga
bibit yang diseleksi memiliki keragaman yang tinggi dan tumbuh baik pada spesifik lokasi.
Sumber bibit bisa diperoleh melalui pengambilan bibit langsung dari alam atau dari hasil
budidaya. Penyediaan bibit awal harus memperhatikan beberapa kriteria berikut:
 Varietas memiliki thalus bercabang banyak, rimbun, dan runcing
 Thalus rumput laut secara morfologi sehat, bersih, segar dan berwarna cerah
 Bibit awal berumur antara 25-30 hari,
 Thalus tidak berlendir, tidak rusak, tidak patah-patah, tidak berbau busuk pada saat
akan dilakukan penanaman awal,
 Thalus rumput laut bebas dari penyakit (bercak-bercak putih dan terkelupas) dan
biofouling,
166
 Pangkal thalus sebaiknya tidak
dijadikan bibit untuk diseleksi.
 Pemotongan thalus sebaiknya
menggunakan pisau yang tajam
agar struktur thalus tidak rusak.
 Bentuk thalus proporsional antara
besar thalus dan panjangnya
Gambar 3. Contoh rumpun rumput laut yang baik
 Pengikatan dan penanaman bibit
digunakan sebagai sumber populasi awal bibit untuk
 Pengikatan bibit dilakukan pada kegiatan seleksi varietas
tempat yang teduh di pinggir pantai
sehingga memudahkan untuk
menyiram/membasahi bibit selama
proses pengikatan. Pengikatan
bibit dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
 Bibit ditimbang dengan bobot
awal 50 g/rumpun dan bobot awal
masing-masing rumpun harus
sama.
Gambar 4. Pengikatan bibit rumput laut dengan bobot
 Setiap rumpun bibit diikat dengan awal 50 g dengan jarak 15 cm antar rumpun bibit.
baik pada percabangan thalus
sehingga tidak mudah terlepas saat pemeliharaan.
 Melakukan pencatatan bobot, kondisi, dan urutan nomor setiap rumpun bibit dalam
setiap bentangan sebagai data awal.
 Setelah pengikatan bibit pada setiap bentangan, bibit sesegera mungkin ditanam agar
tidak mengalami kekeringan dan layu.
 Penanaman bibit dilakukan pada kedalaman maksimal 30 cm dari permukaan perairan
agar tidak terekspos langsung oleh sinar matahari.
 Pemeliharaan, Perawatan dan Pemantauan Kualitas Perairan
Perawatan bibit rumput laut pada saat arus air lemah dilakukan dengan menggoyang
bentangan bibit
s e h i n g g a
partikel/lumpur
yang menempel
dapat lepas dari
t h a l u s .
Perawatan juga
d i l a k u k a n
terhadap tali
bentangan yang
Gambar 5. Pemeliharaan rumput laut dan pemantauan kualitas perairan pada
lokasi kebun bibit.
saling melilit
167
akibat pengaruh
ombak. Pengamatan
terhadap hewan
pemangsa juga harus
dipantau sehingga
tidak mengganggu
dan memakan
rumpun-rumpun yang
sedang dalam proses
seleksi.
Gambar 6. Perawatan rumput laut berupa pengontrolan biofouling dan
pembersihan bahan tersuspensi pada thalus dengan cara menggoyang
bentangan bibit secara periodik.
 Teknis Seleksi Bibit Unggul per Generasi
 Populasi bibit awal rumput laut diperoleh dari alam atau hasil budidaya dipelihara selama
30 hari untuk dijadikan bibit awal program seleksi (G-0). Selanjutnya dilakukan seleksi
untuk membuat generasi pertama (G-1), sebagai berikut:
 Rumput laut G-0 yang telah dipelihara selama 30 hari, masing-masing rumpun
ditimbang kemudian ditentukan laju pertumbuhan hariannya (LPH). Rumpun-rumpun
bibit yang memiliki LPH tertinggi (LPHt) dikumpul sampai dengan batas 10% untuk
dijadikan sebagai bibit G-1 untuk generasi berikutnya (G-n). Rumpun-rumpun yang
mencapai LPH rata-rata dijadikan sebagai kontrol internal.
 Seleksi dilanjutkan sampai mendapatkan generasi dengan LPH stabil/seragam,
pertumbuhan cepat dan tingkat keseragaman minimal 90%, dengan mengikuti
protokol di atas.
 Peralatan kegiatan seleksi yang telah dibersihkan dan disterilkan disiapkan terlebih
dahulu seperti timbangan, wadah, dan pisau cutter, serta tali.
 Bentangan tali berisi bibit dilepas dari tali induk kemudian dibawa ke tempat pengikatan
bibit/seleksi bibit menggunakan perahu,
 Setiap rumpun bibit dilepas dari ikatannya, kemudian dilakukan penimbangan setiap
rumpun bibit secara berurutan dalam setiap bentangan.
 Setelah semua rumpun bibit dalam satu bentangan ditimbang, maka bibit yang memiliki
LPHt sampai dengan 10% terbaik dipisahkan dari populasi bentangan.
 Setiap rumpun bibit yang terpilih masing-masing menjadi varietas yang akan
dipisahkan/dipotong menjadi rumpun baru yang diikat dan dipelihara selanjutnya
selama 30 hari.
 Setiap siklus pemeliharan terdapat kontrol internal dan eksternal, dimana kontrol
internal diperoleh dari nilai rataan bobot bibit dalam setiap bentangan, sedangkan
kontrol eksternal adalah bibit yang diperoleh dari masyarakat pembudidaya lokal.
 Seleksi ke-2 dan seterusnya untuk mendapat varietas G-1 sampai dengan G-4
dilakukan dengan proses yang sama dengan siklus sebelumnya dimana LPH telah
memperlihatkan nilai yang stabil.
 Varietas-varietas rumpun bibit dengan LPH yang stabil, selanjutnya dilakukan uji
performasi.
168
 Apabila hasil pengujian performasi menunjukkan bahwa pertumbuhan varietas hasil
seleksi lebih baik, maka varietas tersebut diklaim sebagai “Varietas Unggul” sebagai
kandidat bibit yang akan diperbanyak dan disebarkan ke pembudidaya atau kebun bibit.
Melalui teknik produksi bibit unggul rumput laut tersebut di atas, maka konsep
pengembangan kebun bibit sebaiknya menerapkan pola dan proses metode seleksi
varietas.
Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan
Protokol seleksi varietas ini diinisiasi melalui penelitian pada tahun 2010 – 2012 di BPPBAP dan
dilanjutkan oleh LP2BRL Gorontalo pada tahun 2013 serta riset pengembangan pada Tahun
2014. Diharapkan protokol seleksi varietas produksi bibit unggul rumput laut Kappaphycus
alvarezii ini bisa diterapkan di seluruh sentra pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia.
Kajian Seleksi Varietas
Hasil penelitian tahun 2010, menunjukkan bahwa bibit hasil seleksi memperlihatkan respon laju
pertumbuhan harian yang lebih baik, dimana dapat meningkatkan produksi bibit sebesar 15 – 25%
dibandingkan dengan kontrol internal (rataan bobot dari masing-masing strain) dan kontrol
eksternal (bibit yang berasal dari masyarakat pembudidaya lokal). Demikian juga terlihat indikasi
bahwa bibit hasil seleksi memiliki kandungan keraginan yang lebih baik, yakni dengan peningkatan
sebesar 6,07 – 12,72 % dibandingkan dengan kontrol internal dan eksternal. Dengan demikian,
metode seleksi varietas dapat mempercepat produksi bibit yang berkualitas untuk mendukung
peningkatan produksi rumput laut di Indonesia.
Pada tahun 2011 telah dilakukan seleksi terhadap beberapa varietas rumput laut Kappaphycus
alvarezii di berbagai daerah di Indonesia (Kendari-Sultra, Kupang-NTT, Bone-Sulsel, TakalarSulsel, dan Gorontalo). Hasilnya menunjukkan bahwa bibit yang teradaptasi di lokasi penelitian
(Teluk Laikang, Kabupaten Takalar, Sulsel) memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi
lingkungan ekstrim dibanding dengan bibit yang baru lainnya (diintroduksi). Dengan demikian
untuk mendapatkan bibit unggul cepat tumbuh melalui metode seleksi varietas, sebaiknya
populasi bibit rumput laut terbaik yang ada di setiap sentra bersangkutan lebih diutamakan untuk
dijadikan bahan bibit unggul.
Setelah dipelihara selama satu bulan, rumput laut siap untuk dipilih yang baik dan tidak baik. Teknik
yang dilakukan sebagai berikut : a) Menyiapkan timbangan, wadah, dan pisau/gunting untuk
penimbangan bobot bibit serta tali bentangan untuk pemisahan dan pengikatan rumpun bibit dari
varietas yang terbaik (pertumbuhan yang tertinggi); b) Setiap bentangan bibit dilepas dari tali
utama kemudian dibawa ke lokasi pembibitan dengan menggunakan perahu; c) Bentangan
diletakkan di atas terpal agar terhindar dari pasir dan kotoran; d) Setiap rumpun bibit ditimbang
secara berurutan, dan diambil bibit yang memiliki laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi dan
dipisahkan dari populasi bentangan; e) Setiap rumpun bibit yang terpilih, masing-masing menjadi
169
rumpun baru yang diikat dan dipelihara selanjutnya selama 30 hari; f) Setiap siklus pemeliharaan
harus ada kontrol internal dan kontrol eksternal, dimana kontrol internal diperoleh dari nilai rataan
bobot bibit rumput laut dalam setiap bentangan, sedangkan kontrol eksternal itu adalah bibit yang
diperoleh dari masyarakat pembudidaya lokal; g) Setelah pemeliharaan selama 30 hari, dilakukan
seleksi ke-2 dan seterusnya untuk mendapat G1 – Gn yang dilakukan dengan proses yang sama
dengan siklus sebelumnya sampai laju petumbuhan harian telah memperlihatkan nilai yang stabil.
Tingkat prosentase cut off seleksi sebesar 10% dari populasi bibit terbaik dalam setiap tali
bentangan akan memberikan peningkatan produksi sebesar 25 – 32% dibandingkan dengan
kontrol ataupun bibit hasil budidaya oleh masyarakat lokal.
Uji Terap Bibit Bibit Unggul Rumput laut Seleksi Varietas
Penelitian, sosialisasi, diseminasi, dan penerapan untuk memperkenalkan protokol seleksi ini telah
dilakukan di beberapa institusi terkait, LSM RL (SeaPlant; USAID), pembudidaya, antara lain :
Anggota Jejaring rumput Laut, Dir.perbenihan (DJPB), Pemda Kabupaten/Kota/Provinsi,
UKM/BI, pengusaha/investor dan kegiatan pengembangan lewat program IPTEKMAS (Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi untuk Masyarakat) di beberapa daerah/lokasi (Gambar 7)
Gambar 7. Lokasi kaji terap dan sosialisasi protokol seleksi varietas produksi bibit unggul rumput laut di Indonesia.
Hasil penerapan melalui kegiatan IPTEKMAS di Kabupaten Pohuwato tahun 2012
memperlihatkan bahwa kelompok pembudidaya dapat mengadopsi dan menerapkan metode ini.
Hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana produksi bibit hasil seleksi
lebih baik dibandingkan dengan kontrol (bibit biasa = bukan hasil seleksi varietas) (Gambar 8).
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Teknologi ini merupakan proses untuk mendapatkan varietas bibit unggul rumput laut. Metode
seleksi varietas dengan hasil bibit unggul tumbuh cepat telah terbukti meningkatkan produksi
sebesar 32-40% dibandingkan dengan kontrolnya, baik kontrol internal maupun kontrol eksternal.
Jika beberapa tahun terakhir telah terjadi pemahaman bahwa kebun bibit hanya sebagai media
perbanyakan, maka dengan penerapan metode seleksi varietas telah memperbaharui cara yang
170
lama melalui rangkaian proses
seleksi untuk mendapatkan klonklon bibit yang unggul (cepat
tumbuh), tidak semata-mata
perbanyakan.
Dibandingkan dengan teknologi yang
umum dilakukan oleh masyarakat,
maka metode seleksi varietas lebih
memberikan keberhasilan budidaya
rumput laut melalui penggunaan bibit
yang berkualitas. Kegiatan produksi
bibit unggul dengan seleksi varietas
Gambar 8. Hasil produksi (atas) dan pengamatan bibit hasil seleksi
sangat menguntungkan karena tidak varietas (bawah) di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo
akan mengganggu proses budidaya
dan produksi yang sudah dilakukan
oleh pembudidaya. Kegiatan seleksi varietas dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan
budidaya.
Keuntungan ganda akan diperoleh pembudidaya, dimana selain produksi bibit maka juga tetap
memperoleh produksi kering dari sisa hasil seleksi.Berdasarkan hasil analisis usaha, maka usaha
kebun bibit dengan penerapan seleksi varietas sangat layak sebagai suatu usaha mandiri (R/C
ratio = 3,12).
Berdasarkan aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan metode seleksi varietas bibit unggul
mudah diterapkan oleh pembudidaya dan pelaku usaha, baik secara personal maupun secara
kelembagaan.
Teknologi seleksi varietas tidak mencemari lingkungan, tidak merusak, tetapi sebaliknya dengan
peran ekofisiologi rumput laut akan dapat menyerap kelebihan loading limbah N dan P, atau bahan
lainnya dalam lingkungan perairan untuk meminimasi pencemaran dengan sifat absorbnya.
WAKTU DAN LOKASI PENGKAJIAN, DAN DAERAH REKOMENDASI
Penelitian dimulai sejak tahun 2010 di teluk Laikang, Kabupaten takalar, SulSel untuk mengetahui
respon pertumbuhan rumput laut hasil seleksi varietas terhadap kontrolnya. Pada Lokasi yang
sama, pada tahun 2011 dilakukan pengujian respon pertumbuhan hasil seleksi varietas dengan
sumber varietas bibit dari daerah berbeda. Pada tahun 2012 dilakukan penentuan cut off sebagai
acuan batas pengambilan bibit yang berkualitas baik/unggul. Pengujian kualitas bibit dilakukan di
Gorontalo tahun 2013 (Gambar 9)
Secara umum, lokasi penerapan teknologi ini yaitu seluruh sentra-sentra pengembangan budidaya
rumput laut di Indonesia. Secara khusus, penerapan teknologi produksi bibit unggul ini akan lebih
171
baik apabila lokasi kebun bibit berada di
daerah yang bisa digunakan untuk
pertumbuhan rumput laut sepanjang
musim/tahunan, atau pada lokasi dimana
memungkinkan untuk melakukan rotasi
berdasarkan pola musim tanam.
Dalam jangka waktu pendek lokasi
penerapan yang direkomendasikan adalah,
Gorontalo, Sulut, Sulteng, Sulbar, Sulsel,
Sultra, Maluku, Malut, Papua Barat, Bali
(Nusa Penida), NTT, NTB, Jatim, Jateng,
Jabar, Lampung, Babel, Kepri, Kalsel, dan
Kaltim (Bontang, tarakan, Nunukan, malinau).
Gambar 9. Pengujian kualitas bibit hasil seleksi terhadap
kontrolnya di 2 lokasi di Gorontalo (2013)
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak ditemukan dampak negatif untuk aplikasi teknologi produksi bibit unggul rumput laut.
Dampak negatif bisa muncul apabila tidak mematuhi protokol ini, antara lain :
 Kesalahan pemilihan lokasi, misalnya memilih kawasan karang, dan padang lamun
sehingga merusak ekosistem tersebut.
 Kesalahan pemilihan lokasi dan kurang rutin merawat bibit yang ditanam akan
memunculkan kegagalan panen.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Penerapan teknologi seleksi varietas ini menggunakan material produksi dalam negeri sekitar
90%, dan 10% produksi luar negeri yakni alat-alat pengukur kualitas perairan. Bahan dan alat
yang digunakan dalam teknologi yang diusulkan ini, antara lain : Populasi stok bibit rumput laut
yang akan diseleksi minimal 230 titik.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA
Dapat dilihat pada halaman 173
172
No
I
II
Uraian
Jumlah
Bahan Bantu :
- Tali utama (pondasi) uk. 10 mm "united" = 2 roll @ 14,7 kg +
10% lokasi
- Tali bentangan uk. 4 mm (100 Tali bentang @ 35 meter);
"united" 1 rol = 2,2 kg + 10%
- Tali cincin uk. 1.5 mm "united" (3 pack / 2 rol tali)
Harga
Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
29.4
45.000
1.323.000
110
45.000
4.950.000
37.5
65.000
2.437.500
-
Tali jangkar/pemberat/penarik uk. 10 mm "united" (2 rol x
14,7 kg)
29.4
45.000
1.323.000
-
Pelampung Utama (sterofoam drum)
2
350.000
700.000
-
Pelampung Pembantu (Botol sakura vol. 10 ltr)
8
15000
120.000
-
Pelampung kecil (aqua) 1 bentang = 11 botol
1100
750
825.000
-
Pemberat (Jangkar beton)
12
50.000
600.000
-
Pemberat/jangkar pembantu (karung pasir)
40
5.000
200.000
-
Bambu (para-para)
20
25.000
500.000
-
Waring hitam sebagai alas penjemuran
2
850.000
1.700.000
-
Karung plastik untuk hasil panen kering
25
5.000
125.000
-
Terpal plastik
2
275.000
550.000
-
Timbangan duduk kap. 1000 gr
1
350.000
350.000
-
Timbangan gantung Kap. 100 kg
1
500.000
500.000
-
Pisau cutter (bh)
5
20.000
100.000
-
gunting (bh)
5
30.000
150.000
-
wadah Baskom (bh)
5
45.000
225.000
-
Tali pengikat pelampung utama (kg)
2
45.000
90.000
-
Plastik pembungkus pelampung utama (m)
18
15.000
270.000
600
4.000
2.400.000
2400
4.000
Rp.
9.600.000
29.038.500
Bahan Utama :
- Bibit Rumput Laut tanam awal = 50 tali bentangan x 230
rumpun @ 50 g
- Bibit Rumput Laut 4 siklus tanam @ 600 kg
Total biaya / paket
Tabel 1. Analisis Usaha 1 paket kebun bibit skala pembudidaya atau kelompok
dengan penerapan metode seleksi varietas.
Gambar 10. Konstruksi unit long line sebagai wadah pemeliharan
bibit untuk proses seleksi varietas.
173
Tabel 2. Analisis Usaha 1 paket kebun bibit skala industri dengan penerapan metode seleksi varietas
174
Gambar 10. Konstruksi unit long line sebagai wadah pemeliharan
bibit untuk proses seleksi varietas
Gambar 11. Rataan Bobot awal (@ 50 g) per rumpun sebagai parents stock
untuk proses seleksi varietas.
175
BP2BAT
Penggunaan Vaksin HydroVac dan StreptoVac untuk
Pencegahan Penyakit Potensial pada Ikan Air Tawar
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Tawar
Alamat
Jl. Sempur no. 1 Bogor 16154
Tlp. 0251-8313200
Fax. 0251-8327890
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
HydroVac : 2001-2011
StreptoVac : 2009-2013
Tim Penemu
Taukhid,
Angela Mariana Lusiastuti,
Desy Sugiani
Tuti Sumiati
Uni Purwaningsih
Kontak Person
Taukhid, 082260846000
[email protected]
Angela, 08179818701
[email protected]
176
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Manfaat Teknologi
 Aplikasi vaksin HydroVac merupakan upaya pemberian kekebalan spesifik (antibodi) secara
dini pada ikan budidaya untuk mencegah infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, bakteri
patogen penyebab penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS).
 Aplikasi vaksin StreptoVac merupakan upaya pemberian kekebalan spesifik (antibodi)
secara dini pada ikan budidaya (khusunya ikan nila) untuk mencegah infeksi bakteri
Streptococcus agalactiae, bakteri patogen penyebab penyakit streptococciosis.
 Aplikasi vaksin HydroVac dan StreptoVac pada perikanan budidaya air tawar dapat menekan
tingkat mortalitas yang diakibatkan oleh penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS)
pada semua jenis ikan air tawar, dan penyakit streptococcosis pada ikan nila.
 Program vaksinasi akan meningkatkan produksi (food security) dan menjamin mutu produk
perikanan (food safety), serta menjamin keberlanjutan budidaya ikan (sustainable
aquaculture) air tawar yang ramah lingkungan.
 Vaksinasi merupakan salah satu upaya pengendalian penyakit bakterial pada ikan yang
ramah terhadap ikan, lingkungan perairan dan konsumen.
 Penggunaan vaksin dapat mencegah timbulnya resistensi bakteri patogen pada ikan dan
lingkungan perairan akibat penggunaan bahan kimia/ antibiotika yang kurang bijaksana
dalam pengelolaan kesehatan ikan.
 Secara ekonomi, aplikasi vaksin HydroVac dan StreptoVac pada perikanan budidaya air tawar
akan menambah biaya produksi 1 – 2 rupiah/ekor ikan; namun keuntungan yang diperoleh
akan sangat nyata.
PENGERTIAN/DEFINISI
Vaksin : Vaksin adalah suatu produk biologi yang terbuat dari mikroorganisme, komponen
mikroorganisme yang telah dilemahkan, dimatikan atau rekayasa genetika dan berguna untuk
merangsang kekebalan tubuh secara aktif (antibodi) sehingga dapat mencegah atau mengurangi
pengaruh infeksi suatu jenis mikroorganisme patogen.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Persyaratan yang perlu diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi pada ikan:
 Ikan telah berumur lebih dari 2 minggu.
177
 Kesehatan ikan harus dalam kondisi prima, hindari pemberian vaksin pada ikan yang
sedang sakit.
 Suhu air relatif hangat (di atas 25 oC) dan stabil.
SOP teknologi
HydroVac dan StreptoVac dapat diberikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu perendaman, pakan dan
suntik.
(1) Perendaman dalam larutan vaksin selama 15–30 menit. Teknik ini sangat ideal u n t u k
ikan ukuran benih. Perendaman dapat dilakukan dalam bak beton/fiber glass/ akuarium
atau ember plastik. Dosis yang digunakan adalah 100 ml vaksin untuk 1.000 liter air atau
1 ml vaksin untuk setiap 10 liter air. Air bekas rendaman pertama, masih dapat segera
(tidak lebih dari 2 jam) digunakan sekali lagi untuk tujuan yang sama.
(2) Melalui pakan ikan (pellet). Teknik ini cocok untuk ikan yang sudah dipelihara di
kolam/jaring atau sebagai vaksinasi ulang (booster). Vaksin diencerkan terlebih dahulu
dengan air bersih, kemudian dimasukkan ke dalam alat semprot. Semprotkan larutan
vaksin tersebut ke pakan secara merata, dikeringanginkan dan selanjutnya segera
diberikan kepada ikan. Dosis yang diberikan adalah 2 - 3 ml/kg bobot tubuh ikan.
Pemberian vaksin dilakukan selama 5 – 7 hari berturut-turut.
(3) Melalui penyuntikan. Teknik ini terutama diaplikasikan untuk ikan yang berukuran lebih
dari 5 gram/ekor atau calon induk. Dosis vaksin yang diberikan adalah 0,1 ml/ekor.
Penyuntikan dapat dilakukan melalui rongga perut (intra peritoneal) atau dimasukkan ke
otot/daging (intra muscular) dengan sudut kemiringan jarum suntik 30 derajat.
Kaji Terap yang Sudah Dilakukan
Laporan aplikasi vaksin Hydrovac tahun 2009 ke beberapa dinas dan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), Kementrian Kelautan dan Perikanan;
serta Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan
Kabupaten/Kota diperoleh data-data sebagai berikut:
 Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, aplikasi vaksin Hydrovac
memberikan hasil yang menggembirakan bagi para pembudidaya ikan lele, gurame, nila,
patin dan ikan mas dengan rataan tingkat kelangsungan hidup ikan berkisar antara 89% 90%.
 Dinas Pertanian Kota Metro Lampung, aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan lele dan ikan
patin dengan ukuran 5 sampai 7 cm melalui route perendaman; diperoleh rataan tingkat
kelangsungan hidup ikan berkisar antara 90% - 95%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan lele
dan ikan patin diperoleh tingkat kelangsungan hidup rata-rata di atas 85%. Sedangkan
aplikasi vaksin tersebut pada budidaya ikan gurame ukuran 1–3 cm, 5-8 cm, 8-12 cm
hingga gurame indukan diperoleh tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 70% 100%.
178
 Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi melaporkan
penggunaan vaksin Hydrovac pada ikan lele dan ikan mas yang diaplikasikan melalui
route perendaman dan melalui pakan, secara ringkas hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Jenis Ikan
Ukuran Ikan (cm)
Berat Ikan
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Lele
4-5
-
82 -86
Lele
-
100 – 125 g
97 – 99
Lele
-
200 – 250 g
97
Lele
-
20 g
95
Mas
-
1,8 – 2,5 kg
100
Tabel 1. Ringkasan hasil penggunaan vaksin Hydrovac pada ikan lele dan mas di wilayah binaan Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat mengaplikasikan vaksin
Hydrovac pada ikan nila dan mas umur 1 - 2 bulan dan melaporkan sangat baik responnya
dengan tingkat kelangsungan hidup 60 sampai 80%.
 Balai Budidaya Perikanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi Daerah DKI Jakarta
tidak melaporkan tingkat kelangsungan hidup ikan, akan tetapi Balai tersebut melaporkan
bahwa dua hari pasca pemberian vaksin Hydrovac, ikan mas dan koi berumur 14 – 45 hari
cenderung senang berenang ke permukaan dan kurang nafsu makan. Perilaku ikan
kembali normal setelah hari ke lima pasca vaksinnasi.
 Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat melakukan aplikasi vaksin
Hydrovac pada ikan lele dumbo, gurame, mas dan nila dengan kisaran umur 3 minggu - 3
bulan. Dari aplikasi vaksin tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: pemberikan vaksin
terbukti meningkatkan nafsu makan ikan sehingga pertumbuhannya meningkat sampai
Jenis Ikan
Umur Ikan
(hari)
Ukuran Ikan
(inci)
Kondisi ikan setelah divaksin
Tingkat
Kelangsungan
Hidup (%)
Gurame
15
0,5
Ikan normal
>80
Gurame
20
0,5
Ikan sehat
>80
Gurame
30
1
Gerakan kurang lincah, warna
sedikit pucat tapi tidak pudar
.>80
Gurame
50
1,5
Tidak terjadi gripis pada ekor dan
sirip, performa lebih baik
>80
Gurame
60
2
Ikan lebih cepat tumbuh dan lebih
sehat
>80
Tabel 2. Aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan gurame dari Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
179
50%, dan tingkat kelangsungan hidup ikan mencapai 75% - 99%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung melaporkan bahwa aplikasi
vaksin Hydrovac meningkatkan respon ikan lele dumbo dan nila terhadap pakan yang
diberikan; dengan rataan tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 75% - 90%.
 Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung (Jawa Barat) melaporkan bahwa
tingkat kelangsungan hidup ikan yang divaksin dengan vaksin Hydrovac umumnya
mencapai 100%.
 Balai Benih Ikan (BBI) Punten, Kota Batu – Malang melaporkan bahwa tingkat
kelangsungan hidup ikan yang divaksin dengan vaksin Hydrovac umumnya mencapai
100%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Agam, Sumatera Barat melaporkan bahwa aplikasi vaksin
Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian.
 Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bangli Bali, melaporkan bahwa aplikasi
vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, melaporkan bahwa
aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian.
 Balai Benih Ikan (BBI) Kepanjen Malang Jawa Timur, melaporkan bahwa aplikasi vaksin
Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Jawa Barat melaporkan bahwa
aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu menyatakan bahwa penggunaan vaksin
Hydrovac mempunyai efek positif, antara lain ikan yang menderita mata menonjol dapat
mengalami penyembuhan dan secara umum terjadi kenaikan berat ikan.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat dan Timur, melaporkan bahwa
vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya
ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup
rata-rata di atas 80%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac
sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar.
Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas
80%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta, melaporkan bahwa vaksin
Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan
air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup ratarata di atas 80%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat
baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi
jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas 80%.
 Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Karawang, melaporkan bahwa vaksin
Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan
air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup ratarata di atas 80%.
180
 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac
sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar.
Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas
80%.
 Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee Aceh, melaporkan bahwa vaksin Hydrova
sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar.
Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas
80%.
 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
menjelaskan secara detail aplikasi vaksin pada ikan gurame umur 15 - 60 hari dan ukuran
berkisar antara 0,5 - 2 inci yang divaksin Hydrovac melalui route perendaman.
Selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
 Berdasarkan hasil uji multi lokasi, dapat disarikan bahwa vaksin Hydrovac sangat efektif
diaplikasikan dalam pembudidayaan ikan mas (Cyprinus carpio) di beberapa lokasi
seperti Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Efektivitas vaksin dihitung dari nilai
mortalitas kumulatif, kelangsungan hidup dan biomasa. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kelompok ikan mas yang divaksin mempunyai nilai mortalitas
kumulatif relatif lebih rendah, tingkat kelangsungan hidup dan produksi lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok ikan yang tidak divaksin di semua lokasi penelitian di
Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Vaksin Hydrovac juga dapat memberikan proteksi
berdasarkan uji multi lokasi terhadap kemungkinan infeksi dari A. hydrophila strain yang
lain.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Teknologi Baru
Motile Aeromonas Septicemia (MAS) atau “penyakit merah”, disebabkan oleh infeksi bakteri
Aeromonas hydrophila; merupakan penyakit bakterial yang bersifat akut, menginfeksi semua
umur & semua jenis ikan air tawar, dapat mengakibatkan kematian hingga 100%, dan sering
menimbulkan kerugian yang sangat signifikan. Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan Nasional
pada 2006 telah menetapkan jenis penyakit ini sebagai salah satu penyakit ikan utama di
Indonesia.
Streptococcosis merupakan penyakit infeksius yang semakin sering terjadi pada budidaya ikan
nila. Kasus streptococcosis pada ikan nila di Jawa Barat dan Jawa Tengah disebabkan oleh infeksi
bakteri S. agalactiae (85%) dan S. iniae (15%). Secara laboratoris, infeksi S. agalactiae pada ikan
nila bersifat akut; sedangkan infeksi S. iniae lebih bersifat kronis. Fakta tersebut mengindikasikan
bahwa bakteri S. agalactiae berpotensi sebagai penyebab streptococcosis yang lebih serius pada
budidaya ikan nila.
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar – Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya telah mengembangkan vaksin anti-Aeromonas hydrophila dengan nama
”HydroVac” dan vaksin anti-Streptococcus agalactiae dengan nama “StreptoVac” sebagai produk
181
biologi bagi upaya peningkatan produksi perikanan budidaya air tawar nasional. Hasil kajian
laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “HydroVac” dapat menekan tingkat kematian ikan akibat
penyakit MAS berkisar 30-40% dibandingkan dengan tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 6070%. Sedangkan hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “StreptoVac” dapat menekan
tingkat kematian ikan nila akibat penyakit streptococcosis berkisar 20-30% dibandingkan dengan
tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 50-60%.
Salah satu diantara beberapa keunggulan yang dimiliki oleh kedua jenis vaksin tersebut adalah
kemampuannya untuk menginduksi respon kebal spesifik yang dapat bereaksi silang (cross
reactivity) terhadap beberapa strain bakteri A. hydrophila (untuk vaksin Hydrovac) dan bakteri S.
agalactiae (untuk Streptovac) patogen yang terdapat di beberapa wilayah pengembangan
budidaya ikan air tawar. Keunggulan ini memberi harapan bahwa produk vaksin ini dapat
digunakan oleh seluruh pembudidaya ikan di seluruh wilayah sentra produksi ikan air tawar.
Vaksinasi ikan adalah memberi bekal kekebalan (immunity) pada tubuh ikan secara dini. Teknik ini
merupakan salah satu alternatif pengendalian penyakit yang perlu terus dikembangkan, karena
lebih ramah terhadap lingkungan, tidak berdampak negatif terhadap ikan itu sendiri maupun
terhadap manusia. Vaksinasi pada perikanan budidaya diyakini akan dapat memberi kontribusi
yang sangat signifikan terhadap peningkatan produksi perikanan budidaya. Keberhasilan program
vaksinasi akan berdampak langsung terhadap, antara lain: (1) menurunnya tingkat mortalitas ikan
budidaya akibat infeksi patogen potensial, (2) menurunnya penggunaan antibiotik pada budidaya
ikan, dan (3) menurunnya daya resistensi beberapa jenis patogen terhadap antibiotik.
Keberhasilan Teknologi
Penyakit yang menyerang ikan secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit infeksius
dan non infeksius. Jenis penyakit non-infeksius disebabkan oleh lingkungan, makanan, dan
genetik. Sedangkan jenis penyakit infeksius terdiri dari penyakit yang disebabkan oleh parasit,
jamur, bakteri, dan virus. Bakteri yang bersifat patogen pada ikan adalah Aeromonas hydrophila,
penyebab penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS), dan infeksi bakteri Streptococcus
banyak ditemukan pada ikan nila dan menyebabkan penyakit yang disebut streptococcosis.
Streptococcosis akibat infeksi Streptococcus merupakan penyakit pada tilapia yang biasa
dihadapi petani ikan dalam usaha budidaya dan dapat menyebabkan kematian ikan yang tinggi.
Vaksin ”HydroVac” dan “StreptoVac” sebagai produk biologi untuk pencegahan penyakit bakteri
potensial diharapkan mampu berkontribusi dalam peningkatan produksi perikanan budidaya air
tawar nasional. Hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “HydroVac” dapat menekan
tingkat kematian ikan akibat penyakit MAS berkisar 30-40% dibandingkan dengan tanpa aplikasi
vaksin yang mencapai 60-70%. Sedangkan hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin
“StreptoVac” dapat menekan tingkat kematian ikan nila akibat penyakit streptococcosis berkisar
20-30% dibandingkan dengan tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 50-60%.
Penggunaan vaksin sebagai upaya pencegahan penyakit ini merupakan teknologi pengendalian
penyakit ikan yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan merupakan satu-satunya alternatif yang
182
harus dikembangkan untuk mendukung program peningkatan produksi perikanan budidaya.
Vaksinasi pada perikanan budidaya diyakini akan dapat memberi kontribusi yang sangat signifikan
terhadap peningkatan produksi perikanan budidaya. Vaksinasi juga merupakan salah satu upaya
183
pengendalian penyakit bakterial pada ikan yang ramah terhadap ikan, lingkungan perairan dan
konsumen. Program vaksinasi akan meningkatkan produksi (food security) dan menjamin mutu
produk perikanan (food safety), serta menjamin keberlanjutan budidaya ikan (sustainable
aquaculture) air tawar yang ramah lingkungan.
PENERAPAN DALAM SISTEM USAHA KELAUTAN DAN PERIKANAN
a. Telah lulus uji mutu dari BBPMSOH dengan sertifikat pengujian Vaksin HydroVac No.
T N . 7 2 0 / 3 0 8 / s t f k / F 5 . I / V / 2 0 1 2 d a n Va k s i n S t r e p t o Va c N o .
TN.720/097/stfk/F.12/II/2013.
b. Telah memiliki nomor register dari KKP, Vaksin HydroVac (KKP RI NO. D 1206203
BKC) dan Vaksin StreptoVac (KKP RI NO. D 1305224 BKC).
c. Vaksin HydroVac telah dikerjasamakan dengan PT. CAPR I FAR M I N DO
L A B O R ATO R I E S t a n g g a l 2 5 O k t o b e r 2 0 1 1 N o .
25.01/BalitbangKP.2/KL.210/X/2011 No. 017/X/11/GM/EKS/CAP-VET dengan
nama Vaksin CapriVac-Aero.
d. Vaksin HydroVac dan StreptoVac mampu menginduksi respon kebal spesifik (antibodi)
pada ikan. Antibodi tersebut mulai bekerja 1 – 2 minggu pasca vaksinasi, dan proteksi
berlangsung selama 3 - 4 bulan. Untuk meningkatkan kadar antibodi serta periode
proteksi hingga lebih dari 4 bulan, perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) yang
diberikan 1 - 2 bulan dari saat vaksinasi pertama.
RAMAH LINGKUNGAN
Hydrovac dan Streptovac merupakan vaksin in-aktif bakteri Aeromonas hydrophila AHL0905-2
dan Streptococcus agalactiae N14G. Kedua jensi bakteri tersebut merupakan isolat lokal
(indigenous species) yang telah diseleksi secara laboratories. Kedua sediaan vaksin tersebut
mengandung bakteri sel utuh sebanyak 1011 cfu/ml dengan pelarut berupa larutan phosphate
buffered saline (PBS) 0,845%. Botol kemasan berupa plastic PVC volume 100 ml dengan dua
penutup yang kedap air dan tersegel.
Produk akhir dari kedua jenis vaksin tersebut telah lulus dari hasil uji mutu yang dilakukan oleh
lembaga yang sangat kompeten untuk pengujian mutu vaksin, dan lembaga tersebut (Balai Besar
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan/BBPMSOH) telah 2 kali memperoleh akreditasi
regional (ASEAN). Berdasarkan hasil uji terhadap persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh
suatu produk vaksin, maka vaksin Hydrovac dan Streptovac dinyatakan LULUS. Sertifikat tersebut
mengisyaratkan bahwa kedua jenis vaksin tersebut adalah murni, steril, in-aktif dan aman untuk
digunakan untuk ikan, tidak menghasilkan residu yang mengkontaminasi lingkungan budidaya;
serta aman untuk konsumen.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Lihat gambar peta distribusi vaksin pada halaman sebelumnya
184
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
 Jika umur ikan kurang dari 2 minggu maka vaksinasi tidak efektif karena organ yang
berperan dalam pembentukan ketahanan tubuh belum berkembang sempurna.
 Vaksinasi tidak efektif jika kondisi kesehatan ikan tidak prima atau ikan sakit dan suhu air
di bawah 25 oC atau suhu tidak stabil.
 Efektifitas vaksin akan menurun jika cara penyimpanan vaksin tidak dalam kondisi dingin
atau pada refrigerator.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Kedua jenis vaksin sangat ekonomis karena dosis pemakaiannya adalah 100 ml vaksin untuk
1000 liter air rendaman yang dapat digunakan untuk 50.000 benih ikan. Kisaran harga vaksin per
kemasan isi 100 ml adalah sekitar Rp 60.000 – 75.000,- sehingga harga vaksin hanya Rp. 1,/benih tetapi dapat meningkatkan kelulusan hidup ikan dan menekan mortalitasnya.
No
I
Uraian
Volume
Satuan
Harga Satuan
Sewa Lahan 500 m per thn
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
1.000.000
Jumlah
1.000.000
1.000.000
500
500
1.500.000
1.500.000
6.000.000
BIAYA VARIABEL
Benih (7-8 cm)
ekor
150
6.000.000
Pakan (vaksinasi)
147
40
Bal/30kg
211
31.017.000
-
Pakan (tanpa vaksinasi)
110
Bal/30kg
211
-
23.210.000
1.800.000
Tenaga kerja (2 orang)
3
OB
300
1.800.000
Vaksin
3
botol
60
180
Jumlah
III
Jumlah
(Tanpa Vaksinasi)
INVESTASI
2
II
Jumlah
(Vaksinasi)
38.997.000
31.010.000
BIAYA TETAP
Penyusutan
Sewa lahan
3
bulan
350
Peralatan perikanan
1
set
165
165
1.214.910
975.3
Bunga Bank (12% per thn)
(JmlI+jmlIIx12%/12x3)
Jumlah
1.729.910
1.490.300
40.726.910
32.500.300
12
48.000.000
-
12
-
36.000.000
Jumlah Biaya II+III
IV
PENDAPATAN
Ikan konsumsi (vaksinasi)
Ikan konsumsi (tanpa vaksinasi)
V
350
4
32
3
kg
ekor
kg
24
ekor
Periode
1
siklus
7.273.090
3.499.700
Tahun
3
siklus
21.819.270
10.499.100
KEUNTUNGAN
Tabel 4. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Lele dengan dan tanpa Aplikasi Vaksin HydroVac
Tabel 5. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Gurame dengan dan tanpa Aplikasi Vaksin Hydrovac
Tabel 6. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Nila di Kolam dengan dan tanpa Menggunakan Vaksin StreptoVac
185
No
I
Uraian
Volume
Satuan
Harga Satuan
1.000.000
Sewa Lahan 500 m per thn
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
Jumlah
1.000.000
1.000.000
500
500
1.500.000
1.500.000
16.875.000
BIAYA VARIABEL
Benih (silet)
ekor
2.25
16.875.000
Pakan (vaksinasi)
173
7.5
Bal/30kg
211
36.503.000
-
Pakan (tanpa vaksinasi)
125
Bal/30kg
211
-
26.375.000
Tenaga kerja (2 orang)
8
OB
300
4.800.000
4.800.000
Vaksin
1
botol
60
60
-
Vaksin Booster
2
botol
60
120
-
58.358.000
48.050.000
1.000.000
1.000.000
165
165
Jumlah
III
Jumlah
(Tanpa Vaksinasi)
INVESTASI
2
II
Jumlah
(Vaksinasi)
BIAYA TETAP
Penyusutan
Sewa lahan
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
Bunga Bank (12% per thn)
7.182.960
5.946.000
8.347.960
7.111.000
66.705.960
55.161.000
30
84.390.000
-
30
-
61.890.000
(JmlI+jmlIIx12%)
Jumlah
Jumlah Biaya II+III
IV
PENDAPATAN
Ikan konsumsi (vaksinasi)
Ikan konsumsi (tanpa vaksinasi)
V
2.813
kg
5.625
ekor
2.063
kg
4.125
ekor
KEUNTUNGAN
Periode
1
siklus
17.684.040
6.729.000
Tabel 5. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Gurame dengan dan tanpa Aplikasi Vaksin Hydrovac
No
I
Uraian
Volume
Satuan
Harga Satuan
1.000.000
Sewa Lahan 500 m per thn
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
Jumlah
1.000.000
1.000.000
500
500
1.500.000
1.500.000
1.125.000
BIAYA VARIABEL
Benih (sangkal)
7.5
ekor
150
1.125.000
Pakan (vaksinasi)
63
Bal/30kg
211
13.293.000
-
Pakan (tanpa vaksinasi)
51
Bal/30kg
211
-
10.761.000
Tenaga kerja (2 orang)
3
OB
300
1.800.000
1.800.000
Vaksin
1
botol
75
Jumlah
III
Jumlah
(Tanpa Vaksinasi)
INVESTASI
2
II
Jumlah
(Vaksinasi)
75
-
16.293.000
13.686.000
BIAYA TETAP
Penyusutan
Sewa lahan
3
bulan
350
350
Peralatan perikanan
1
set
165
165
Bunga Bank (12% per thn)
533.79
455.58
1.048.790
970.58
17.341.790
14.656.580
13.5
21.519.000
-
13.5
-
(JmlI+jmlIIx12%/12x3)
Jumlah
Jumlah Biaya II+III
IV
PENDAPATAN
Ikan konsumsi (vaksinasi)
Ikan konsumsi (tanpa vaksinasi)
1.594
kg
6.375
ekor
1.312
kg
5.25
V
17.712.000
ekor
KEUNTUNGAN
Periode
1
siklus
4.177.210
3.055.420
Tahun
3
siklus
12.531.630
9.166.260
Tabel 6. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Nila di Kolam dengan dan tanpa Menggunakan Vaksin StreptoVac
186
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Isolat lokal asli Indonesia (indigenous spesies) dan masing-masing master seed vaksin telah
dilengkapi dengan data sequencing-DNA
Indikasi : HydroVac merupakan vaksin inaktif bakteri Aeromonas hydrophilaAHL0905-2 untuk pencegahan penyakit Motile Aeromonas Septicemia pada
ikan air tawar
Komposisi : HydroVac mengandung 1011 cfu/ml sel utuh (whole cell) bakteri
Aeromonas hydrophila-AHL0905-2 yang merupakan isolat lokal terseleksi, dan
Phosphate Buffered Saline (PBS) sebagai pelarut
Indikasi : StreptoVac merupakan vaksin inaktif bakteri Streptococcus
agalactiae-N14G untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila.
Komposisi : StreptoVac mengandung 1011 cfu/ml sel utuh (whole cell) bakteri
S. agalactiae-N14G yang merupakan isolat lokal terseleksi dan Phosphate
Buffered Saline (PBS) sebagai pelarut.
187
BPPBAT
Teknologi Budidaya Ikan Air Tawar Sistem Akuaponik
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Tawar
Alamat
Instalasi Riset Lingkungan Perikanan
Budidaya & Toksikologi
Cibalagung, Bogor
Tel/Fax: 0251-832164
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2004-2012
Tim Penemu
Sutrisno
Ahmad Taufik
Imam Taufik
Yohan R. Widyastuti
Lies Setijaningsih
Nuryadi
Eri Setiadi.
Kontak Person
Eri Setiadi
[email protected]
188
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
 Teknologi budidaya ikan air tawar dengan sistem akuaponik adalah mengoptimalkan
produktivitas pada keterbatasan lahan maupun sumber air.
 Manfaat dari teknologi akuaponik adalah meningkatkan produksivitas kolam pada lahan
sempit dan keterbatasan sumber air.
 Kegunaan teknologi akuaponik, yaitu meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan
pendapatan pembudidaaya, ketahanan pangan dan ramah lingkungan (ekonomi biru).
PENGERTIAN/DEFINISI
Teknologi akuaponik adalah perpaduan teknik budidaya ikan dimana limbah dari hasil aktivitas
budidaya seperti sisa pakan yang tidak termakan, feses dan urin yang banyak mengandung unsur
nitrogen (N) dan Fosfor (P) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran, sehingga
air yang telah melalui tanaman sayuran dapat dimanfaatkan kembali sebagai media budidaya ikan
dengan kualitas yang layak.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persaratan Teknis Penerapan Teknologi
 Bila lahan sempit dan sumber air terbatas maka dapat diaplikasikan teknologi akuaponik
dengan sistem tertutup (resirkulasi) dengan wadah akuaponik dari ember plastik ataupun
bak yang terbuat dari papan yang di bagian dalamnya dilapisi dengan plastik terpal.
Luasan volume wadahakuaponik 25% dari luasan kolam
 Pada kolam sistem stagnan (tidak ada air masuk dan keluar), maka dapat diaplikasikan
sistem akuaponik rakit.Luasan rakit 25% dari luasan kolam
 Bila lahan luas dan sumber air berlimpah dengan profil lahan (teras sering), tetapi kualitas
air kurang layak untuk budidaya, maka teknologi akuaponik dapat diaplikasikan dengan
sistem terbuka (sirkulasi).
Detail Prosedur Operasional Standar
Budidaya ikan umumnya terfokus pada masalah ikan baik dari aspek jenis atau komoditas yang
memiliki nilai ekonomi dan teknologi budidaya ikannya saja. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, budidaya ikan saja kurang begitu menguntungkan secara ekonomi bagi
pembudidaya ikan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
189
pembudidaya ikan, yaitu budidaya ikan dan ternak. Teknolgi budidaya tersebut dikenal dengan
istilah “longnak/longyam”, maksudnya balong dan ternak (ayam ataupun kambing). Teknologi
longnak ini menuntut konstruksi kolam ikan di atasnya dibuat kandang untuk ternak (ayam
ataupun kambing) agar hemat lahan. Disini, kolam ikan tidak perlu menggunakan pupuk, karena
pupuk akan diperoleh dari kotoran ayam maupun kambing yang jatuh ke kolam ikan, sehingga
kolam ikan akan subur dan banyak tumbuh pakan alami (plankton) yang dibutuhkan sebagai
pakan ikan. Namun pada kenyataannya, teknologi longnak ini tidak bertahan lama, karena tingkat
kesuburan air kolam sukar dikontrol, bahkan kondisi kualitas air menjadi tidak layak untuk
budidaya ikan yang diakibatkan tingginya konsentrasi amoniak yang berasal dari kotorn ternak
dan kematian plankton.
Gambar 1. Tanaman Tomat (kiri) dan Cabe (kanan) yang ditanam dengan wadah ember plastik
Teknolgi akuaponik adalah perpaduan budidaya ikan dan sayuran. Teknologi ini mulai dirintis pada
tahun 2005 dan terus dikembangkan hingga sekarang. Keuntungan dan kelebihan dari teknologi
akuaponik dibandingkan dengan teknologi budidaya ikan saja dan teknologi longnak/longyam
adalah kualitas air tetap terjaga, pertumbuhan dan produksi ikan tinggi dan pendapatan tambahan
dari tanaman sayuran. Kualitas air tetap terjaga selama pemeliharaan ikan karena limbah dari
aktivitas budidaya ikan seperti feses, sisa pakan yang tidak termakan dan urin yag terakumulasi di
kolam ikan akan dimanfaatkan oleh tanaman sebagai pupuk dengan cara mengalirkan air kolam
ke wadah tanaman akuaponik, sehingga kualitas air yang keluar dari wadah akuaponik dan masuk
lagi ke kolam ikan kualitasnya tetap terjaga.
Teknolgi akuaponik yang sudah dikembangkan dan diaplikasikan di masyarakat diberbagai
daerah, yaitu: (1) teknolgi akuaponik dengan wadah ember plastik pada sayuran tomat dan cabe
( G a m b a r 1 )
teknologi akuaponik
ini diaplikasikan
pada lahan dan
sumber air yang
terbatas; (2)
teknologi akauponik
dengan wadah bak
terbuat dari papan
Gambar 2. Tanaman Kangkung yang ditanam dengan wadah bak papan (kiri) dan
(Gambar 2),
sistem rakit (kanan)
190
teknologi akuaponik ini dapat diaplikasikan pada kondisi lahan dan sumber air terbatas maupun
pada kondisi terasiring; (3) teknolgoi akuaponik dengan wadah sistem rakit (Gambar 2, kanan),
teknologi akuaponik ini diaplikasikan pada lahan dengan sumber air terbatas. Ketiga teknologi
tersebut yang umum diaplikasikan adalah teknologi akauponik dengan wadah ember dan bak
yang terbuat dari papan. Hal ini dikaranakan bahan baku lebih mudah diperoleh dan jenis mapun
komoditas tanaman sayuran yang ditanam lebih beragam.
Cara penerapan teknologi yang diurut mulai persiapan sampai aplikasi
1. Teknologi akuaponik dengan wadah ember plastik
Alat dan Bahan:
 Ember kapasitas 5 atau 10 L yang dilengkapi saluran outlet
 Pipa PVC berdiameter 0,5 inchi
 Keranjang plastik berlubang (volume 1 L)
 Solder untuk melubangi pipa PVC1/2” sebagai saluran inlet (aliran air dari kolam ikan ke
wadah akuaponik ember). Lubangnya diposisikan dekat dengan pangkal tanaman.
 Bor/pisau untuk melubangi ember sebagai saluran outlet dari wadah akuaponik ke kolam
ikan
 Pompa air dengan kapasitas debit 1000-3000 L/jam
 Batu apung
 Arang
 Sabut kelapa
 Bibit tanaman sayuran yang akan ditanaman (tomat, terong, cabei mapun slada)
Tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan ember plastik
 Siapkan ember plastik, bor dan pisau
 Ember dilubangi (diamter ½”) dengan bor atau pisau. Pastikan posisi lubang 1 cm dari bawah
(dasar ember)
 Potong pipa PVC ½” sepanjang 5 cm, kemudia masukan ke dalam lubang ember
 Pipa PVC ½ { di bagian dalamditutupi oleh keranjang plastik berlubang (volume 1 L)
 Cuci media tanam dengan air bersih mengalir
 Tiriskan selama satu hari ditempat yang terjemur dengan sinar matahari
 Masukan media tanam (arang, batu apung ataupun sabut kelapa) hingga penuh ke dalam
wadah akuaponik ember plastik
 Tanam bibit tanaman sayuran (berasal dari penyemaian) yang sudah layak untuk ditanam
pada wadah akuaponik (umur 14 hari setelah tanam atau tinggi tanaman telah mencapai 10
cm).
 Letakkan ember tersebu di pematang dinding kolam
 Masukan pompa air (debit 1500-3000 L/jam dan daya lontar 2 m) yang sudah dipasang
dengan pipa PVC ½” ke dalam kolam ikan.
 Pasang pipa PVC ½” di atas wadah akuaponik sesuai dengan alur dinding bak (bulat atau
persegi)
 Lubangi pipa PVC berada di atas wadah akuaponik tepat pada pangkal tanaman.
191
 Nyalakan pompa dan pastikan aliran air lancar mengalir pada masing-masing wadah
akuaponik.
 Pastikan saluran air tidak ada yang tersumbat, baik dari saluran inlet (yang mengalir ke wadah
akuaponik tepat dekat pangkal tanaman) maupun air yang ke luar (outlet) dari wadah
akuaponik
Untuk lebih jelasnya, mengenai proses tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan ember
plastik dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini:
Gambar 4. Proses tahapan pembuatan wadah akuaponik dari ember plastik
2. Teknologi akuaponik dengan bak dari papan yang dilapisi plastik terpal sebagai wadah
akuaponik
Alat dan bahan:
 Papan
 Plastik terpal
 Pipa PVC ½”
 Pipa PVC 1”
 Sok derat PVC 1” luar dalam
192
 Pompa air dengan debit 1000-3000 L/jam
 Media tanam (sabut kelapa, arang, batu apung, kerikil atau batu split)
 Ukuran bak dari papan adalah ( 1.8 x 0.80 x 0.20 m) dan dilengkapi saluran inlet dan
outlet
 Bor atau solder
 Pisau, gergaji kayu, gergaji besi
 Lem pipa PVC
 Selang plastik 1/2“
 Pahat
 Sabut kelapa, arang, kerikil ataupun batu apung
Tahapan pembuatan wadah akuaponik
dengan bak papan yang dibagian dalamnya
dilapisi plastik terpal
 Siapkan gergaj kayui, gergaji besi,
pisau, meteran, palu, paku, lem pipa
PVC, Pipa PVC 1/2” dan 1”, selang
1/2”, solder, bor, pahat, papan dan
plastik terpal
 Potong lembaran papan sesuai
Gambar 5. Tanaman terong pada budidaya ikan nila
ukuran bak wadah dengan bentuk
persegi panjang (1,8 x 0,80 x 0,20 m).
 Gunakan kayu kaso (3 x 5 sm) untuk lis pada bagian tepi dan dibagian tengah bak papan
 Lubangi bagian tengah bak papan dengan diameter 1” dengan jarak 2 cm dari dasar bak
papan yang berfungsi sebagai saluran outlet
 Pasang pipa PVC 1” pada lubang tersebut sebagai saluran outlet yang sudah dipasang
sok derat PVC 1” luar dalam
 Dibagian bak papan wadah akuaponik dalam tepat di saluran outlet diletakkan kawat
(diameter 0,5 cm) berbentuk persegi empat dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm (fungsi agar
saluran outlet tidak tersumbat kotoran)
 Masukan medai tanam (sabut kelapa, arang atau batu apung) ke dalam bak wadah
akuaponik dengan ketinggian 15 cm
 Tanam bibit jenis tanaman akuaponik
 Jarak tanam sesuai dengan jenis tanaman
 Pasang pipa PVC ½” (berbentuk persegi panjang) sepanjang alur tanaman akuaponik
dan lubangi dengan menggunakan bor atau solder dengan jarak 10 cm (sebagai saluran
inlet). Fungsinya untuk menyiram tanaman akuaponik.
 Sambungkan pipa PVC ½” tersebut dengan saluran selang ½” dari pompa.
 Letakan pompa di dasar kolam ikan dengan posisi berlawanan atau berjauhan dengan
saluran air inlet
 Nyalakan pompa, pastikan aliran air mengalir dan keluar pada setiap lubang dengan
lancar (tidak tersumbat).
 Pastikan tidak ada kebocoran pada wadah akuaponik
193
Gambar 6. Proses tahapan pembuatan wadah/bak akuaponik dari papan
3. Teknologi akuaponik sistem rakit
Alat dan bahan
 Pipa PVC diameter 3 inchi
 L diamater 3 inchi
 T diamater 3 inchi
 Lem pipa PVC
 Gergaji besi
 Keranjang plastik berlubang (volume 5 L)
 Media tanam ( batu apung atau arang)
Tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan bak papan yang dibagian dalamnya dilapisi plastik
terpal
 Potong pipa PVC diameter 3 inchi sepanjang 2 m sebayak 3 batang
 Potong pipa PVC diameter 3 inchi sepanjang 20 cm sebanyak 2 batang
 Sambungkan potongan pipa tersebut dan lem membentuk persegi panjang
 Lem setiap sambungan dengan rapat, hindari kebocoran pada setiap sambungan
 Letakkan Pipa PVC yang sudah terambung tersebut di kolam ikan, pastikan tidak ada
yang bocor dan pipa PVC tersebut mengapung di permukaan air
 Isi keranjang plastik berlubang dengan media tanam (batu apung atau arang yang sudah
dicuci) hingga penuh.
 Tanam bibit tanaman sayuran
 Simpan keranjang plastik tersebut di atas celah antara pipa PVC yang sudah
disambungkan tersebut di permukaan air kolam.
194
Gambar 7. Proses tahapan pembuatan wadah akuaponik sistem rakit
Persiapan penyemaian bibit tanaman:
 Siapkan bibit tanaman sayuran yang akan disemai
 Siapkan lahan untuk penyemaian
 Tebarkan bibit tanaman sayuran pada lahan untuk penyemaian
 Siram dengan air secukupnya (1 kali per hari) dan hindari kondisi lahan penyemaian
terlalu basah
 Benih tanaman tumbuh, setelah 10-14 hari tinggi benih tanaman telah mencapai 10 cm.
 Pindahkan benih tanaman tersebut ke wadah akuaponik (ember ataupun bak yang
terbuat dari papan) yang sudah diisi dengan media tanaman (batu apung, arang, sabut
kelapa, kerikil ataupun batu split).
 Wadah akuaponik sudah dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet
Kaji terap yang sudah dilakukan dibeberapa daerah beserta hasilnya
Teknologi akuaponik telah diaplikasikan di Jawa Barat tepatnya di dataran tinggi (di daerah
Cipanas Puncak), yaitu di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi (Cisolok). Dinas BBI Cibening, Bogor,
serta di Parung, Bogor. Di Jawa Tengah (Purwokerto), di Jogja (Pandansimo) dan di Jawa Timur
(Pacitan).
Hasil kajian penerapan akuaponik berdasarkan perbedaan ketinggian, yaitu dataran tinggi (1000
m dpl), dataran sedang (250 m dpl) dan dataran rendah (7 m dpl) di Jawa Barat diperoleh
produktivitas ikan nila dan sayaruan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Produktivitas ikan nila tidak
berbeda nyata padalahan dengan dataran yang berbeda ketinggian. Dengan kata lain
produktivitas ikan nila tidak dipengaruhi secara nyata oleh perbedan ketinggian daratan (DPL)
195
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Teknolgi akuaponik dapat dilakukan di areal perkotaan, desa, dataran tinggi maupun
dataran rendah, di kawasan budidaya yang memiliki kualitas air kuarang layak (tercemar).
 Teknolpgi akuaponik meningkatkan produksi ikan dan sayuran
 Teknolgi akuaponik dapat menjaga kualitas air selama operasi dan tidak mencemari
lingkungan
Keberhasillan teknologi akuaponik
 Dari aspek penggunaan air dan limbah yag dihalkan cukup efisien (zero waste water
discharge) karena yang diaplikasikan adalah sistem resirkulasi
 Aspek lingungan tidak mencemari lingkungan (ramah lingkungan)
 Aspek ekonomis diperoleh keuntungan ganda yaitu selain dapat memproduksi ikan juga
sayuran organik
 Aspek kelayakan dapat diterma oleh berbagai kalangan pembudidaya UKM mapun skala
industri.
Mudah diterapkan dalam sistem usaha perikanan
 Mudah diterapkan diberbagai kondisi lingkungan, penggunaan bahan baku yang
digunakan relatif murah dan mudah diperoleh
 Aplikasi teknologi akuaponik tidak tergantung oleh faktor lingkungan (cuaca, ketinggian,
lahan tidak subur, dan kualitas air yang kurang layak) dan musim
 Dapat diterima dari aspek hukum dan kelembagaan baik UKM maupun skala industri,
LSM dan khususnya masyarakat pembudidaya
Ramah lingkungan
Teknologi akuaponik tidak menghasilkan limbah (zero waste) yang sekarang ini dikenal dengan
istilah ekonomi biru (blue economic) karena limbah dari aktivitas budidaya ikan dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Teknolgi akuaponik mulai diteliti di tahun 2005 di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya
& Toksikologi Bogor. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Bogor. Pertama di uji
coba adalah pada pemeliharaan ikan patin (Pangasius hypothalamus) denga sistem resirkulasi
(closed system). Tanama sayuran yang digunakan adalah tanaman kangkung (Ipomoea aquatica)
dan pakcoi. Hasil produksi ikan ternyata lebih tingg i(sintasan 125% dan pertumbuhan 115%)
dibandingkan dengan ikan patin yang dipelihara dengan sistem teknologi budidaya biasa. Selian
itu diperoleh hasil panen sayuran sebagai pendapatan tambahan.
Tahun 2006-2008 telah dikembangkan penelitian teknologi akuaponik dikembangkan berbagai
komoditas ikan dan berbagai jenis tanaman sayuran (tomat, cabei, terong, slada, pakcoi, ceisin,
kailan). Disaian kontruksi yang digunakan adalah wadah akuaponik dari ember plastik dan bak
terbuat dari papan. Tahun 2009-2012, penelitian akuaponik telah diaplikasikan di beberapa
196
daerah, seperti di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Penerimaan
masyarakat pembudidaya
sangat berantusias
dengan adanya teknologi
akuaponik, bahkan ada
masyarakat pembudidaya
lele di Jawa Tengah,
menjual hasil sayuran
akuaponik kangkung
sebagai sayuran organik.
Gambar 8. Tanaman Genjer pada budidaya polikultur ikan nila dan ikan mas
Hal tersebut karena
harga sayuran organik
lebih tinggi 300-400% dari harga sayuran biasa.Selain itu, telah dikembangkan tanaman bunga
potong. Tahun 2014. Akan diterapkan di Kalimantan Barat atas dasar permintaan dari Dinas
Perikanan KALBAR dan pemerintah daerah.
Penerapan teknologi akuaponik dapat diimplementasikan dan dikembangkan diberbagai wilayah,
sepajang wilayah tersebut memiliki sumber air tawar. Karena ikan dan jenis tanaman yang akan
ditanaman membutuhklan air tawar, maka keberadaan air tawar merupakan hal yang utama.
Diutamakan penerapan teknologi akuaponik ini pada daerah atau wilayah tanahnya kurang subur
(tandus) dan krisis air, sehingga produktivitas yang dihasilkan sangat berarti bagi masyarakat yang
menempati walayah dengan kondisi lingkungan tersebut.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kebocoran kabel pompa dapat menimbulkan sengatan listrik terhadap ikan maupun manusia,
selain itu pompa air yang tersumbat kotoran berpotensi mengakibatkan terjadinya korsleting dan
meledak.
KE LAYAKAN FI NAN S IAL DAN
ANALISA USAHA
Biaya operasinal yang dibutuhkan dan
keuntungan teknologi budidaya ikan
sistem akuaponik cukup layak untuk
diaplikasikan pada berbagai skala
usaha (UKM) maupun skala besar
(industri). Dari perhitungan analisis
ekonomi hanya difokuskan pada disain
kontruksi wadah akuaponik dari ember,
karena dibadingkan dengan disain
kontruksi wadah akuaponik dari papan
dan sistem rakit, ternyata wadah dari
Gambar 9. Tanaman kangkung pada pendederan ikan nila
197
ember menunjukkan kelayakan usaha yag lebih tinggi. Untuk itu, yang ditampilkan disini adalah
kelayakan usaha teknologi budidaya akuaponik dengan wadah ember plastik pada pendederan II
(5 – 7 cm) ikan nila. Untuk lebih jelasnya, biaya operasional, keuntungan berbagai jenis tanaman
sayuran selama pemeliharaan ikan, dan analisis kelayakan usaha disajikan pada Tabel 3- 5
dibawah ini.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Material yang digunakan merupakan bahan baku lokal
No.
A
1
2
3
4
4
8
9
10
11
Struktur
Biaya
Satuan
Biaya Variabel
Pellet
Benih Ikan
Pupuk:
NPK
TSP
Bibit
Sayuran
Pompa
Pipa PVC 1/2"
Knee 1/2"
Ember 10 L
Batu apung
Jumlah
B Biaya Tetap
1 Listrik
2 tenaga Kerja
Jumlah
Jumlah Total
Jumlah
Fisik
Biaya
per satuan (Rp)
Jumlah Biaya
1 Bulan (Rp)
Jumlah Biaya
1 Tahun (Rp)
Kg
Ekor
31.5
900
8.000
125
252.000
112.500
Kg
Kg
0,5
0,5
6.500
6.500
3.250
3.250
252.000
112.500
3.250
3.250
Kg
Unit
Batang
Buah
Buah
Kg
0.02
1
6
5
28
42
3.000
95.000
12.000
7.500
7.000
9.000
60
95.000
72.000
37.500
196.000
378.000
1.149.560
180
95.000
72.000
37.500
196.000
378.000
1.149.680
Watt
Orang
30
1
1
500.000
22
500.000
500.022
1.649.582
260
6.000.000
6.000.260
7.149.940
Tabel 3. Biaya Operasional pendederan II ikan nila sistem akuaponik dengan luas kolam ikan 9m2 per satu siklus
No
Kriteria
Nilai
1 NPV (Rp)
2,550,000.00
2 IRR (%)
87.56
3 Net B/C ratio
1.74
4 Pay Back Period
2.5 Bulan
Kelayakan Usaha
Justifikasi
Kelayakan
>0
> 14
>1
< 4 Bulan
Layak
Tabel 4. Analisis kelayakan usaha teknologi budidaya ikan nila
pendederan II dengan sistem akuaponik
198
No
1
Uraian
Total (Rp)
Pemeliharaan kangkung :
-
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih kangkung 10 unit x Rp5.000,-
50.000
Total
Panen :
125.000
4 bln x 2 musim x 10 unit x 2kg x Rp.2.000,320.000
Keuntungan selama periode tanam 4 bulan:
Selisih
2
205.000
Pemeliharaan cabei :
-
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih cabei 10 unit x Rp5.000,-
50.000
Total
Panen :
125.000
2 bln x 2 musim x 10 unit x 1kg x Rp.10.000,400.000
Keuntungan selama periode tanam 4 bulan :
Selisih
3
275.000
Pemeliharaan tomat :
-
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih tomat 10 unit x Rp5.000,-
50.000
Total
Panen :
125.000
2 bln x 2 musim x 10 unit x 1kg x Rp.10.000,400.000
Keuntungan selama periode tanam 4 bulan :
Selisih
4
275.000
Pemeliharaan terong sayur :
-
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih cabai 10 unit x Rp5.000,-
50.000
Total
Panen :
125.000
2 bln x 2 musim x 10 unit x 1kg x Rp.9.000,360.000
Keuntungan selama periode tanam 5 bulan :
Selisih
225.000
Tabel 5. Keuntungan berbagai jenis tanaman sayuran (kangkung, cabei, tomat dan terong)
per unit per kolam pemeliharaan ikan
199
LPTK
Budidaya Rumput Laut dengan
Kantong Rumput Laut (KRL) Berkarbon
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Loka Perekayasaan Teknologi
Kelautan
Alamat
Jl. Soekarno Km.2 Wangi-Wangi Kab.
Wakatobi 93791 Sulawesi Tenggara
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2009-2013
Tim Penemu
Agus Cahyadi, S.Pi, M.Si
Kontak Person
Agus Cahyadi, S.Pi, M.Si
200
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Pada umumnya kegiatan budidaya rumput laut dilakukan 4 – 5 siklus dalam satu tahun, dengan
masa pemeliharaan selama 40 hari. Harapan pembudidaya adalah mendapatkan produksi dan
kualitas rumput laut yang semakin meningkat. Salah satu indikator kualitas rumput laut dicirikan
dengan kualitas karagenan. Pada kenyataannya untuk mempertahankan karagenan secara
optimal terdapat beberapa kendala atas perlakukan di lingkungan petani rumput laut, diantaranya
sebagai berikut :
1. memutuskan talus yang terikat pada tali secara paksa (menturus) menyebabkan
keluarnya karagenan rumput laut secara sporadis ;
2. faktor oseaonografi secara ekstrim seperti ombak, gelombang atau arus dapat
menyebabkan putusnya talus hingga sejumlah rumput laut terbawa ke daerah lain;
3. menempelnya kotoran berupa sampah laut pada rumput laut menjadi inang bagi gulma
hingga akhirnya banyak talus yang terputus saat proses sortasi dan pembersihan; dan
4. serangan ikan dan penyu pemangsa rumput laut mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan bibit rumput laut dan merusak pertumbuhan talus muda.
Kantong rumput laut berkarbon merupakan solusi bagi para petani untuk menjaga karagenan
tidak terputus dan terhindar dari pemangsaan oleh organisme air sehingga berimplikasi terhadap
peningkatan produktivitas rumput laut dan harga jual di pasaran. Bahan jaring berbalut karbon
dengan ukuran mata jaring yang tidak memungkinkan ikan pemangsa dan sampah masuk ke
dalam kantong berisi bibit rumput laut secara mandiri merupakan metode baru teknik budidaya
rumput laut. Bibit rumput laut tidak lagi diikat pada tali yang umumnya dilakukan pada
pembudidaya rumput laut, melainkan disimpan dengan cara dibiarkan tanpa pengikatan di dalam
kantong. Dengan demikian bibit mampu berkembang dengan baik menyerap sari makanan dari
suatu perairan.
PENGERTIAN/DEFINISI
Kantong rumput laut berkarbon disingkat KRL karbon adalah wadah yang memfasilitasi rumput
laut atau vegetasi lainnya untuk dibudidayakan melalui metode rawai terapung, rawai dasar
maupun metode vertikal. Penggunaan KRL dalam budidaya rumput laut mampu mengatasi dari
ikan pemakan talus rumput laut, mempertahankan pemutusan talus rumput laut secara tiba-tiba
(fragmentasi) oleh penyebab oseanografi ektrim dan volume produksi rumput laut terkontrol
201
dengan baik. Berbeda dengan sebelumnya bahwa hilangnya sejumlah rumput laut oleh penyebab
tertentu misalnya aksi vandalisme maupun fragmentasi tidak diperhitungkan dalam mengestimasi
stok yang dihitung berdasarkan volume rumput laut per satuan luas. Namun dengan
menggunakan KRL ini, estimasi stok rumput laut bisa lebih akurat berdasarkan perhitungan
volume KRL per satuan luas setiap siklus budidaya rumput laut.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Penerapan kantong rumput laut berdasarkan teknis di lapangan sebagai berikut :
1. Subyek yang menggunakan kantong rumput laut adalah petani rumput laut yang
menggunakan kantong rumput laut (KRL) baik dilakukan secara perorangan maupun
kelompok.
2. Penyetelan kantong rumput laut didasarkan atas volume bibit rumput laut dan luasan yang
disesuaikan dengan volume KRL dan panjang tali
utama. Penempatan KRL ini didasarkan pada
kedalaman perairan minimal 1 (satu) meter.
3. Penyetelan KRL dengan mempunyai 3 (tiga)
cara, yaitu ;
1. Membentangkan tali terlebih dahulu
dilakukan di laut, setelah itu
dipasangkan KRL yang telah terisi oleh
bibit rumput laut. Perlakuan ini
dilakukan untuk budidaya rumput laut
Gambar 1. KRL metode rawai
d e n g a n m e t o d e d a s a r. U n t u k
penanaman dengan metode dasar,
posisi bibit dalam kantong berada di
dasar kantong tanpa pengikatan.
2. Mengikatkan KRL secara melintang
pada tali secara bersamaan di darat dan
membentangkannya di dalam laut.
Selanjutnya memasukan bibit rumput
laut ke dalam kantong dengan perahu
secara terpisah. Perlakuan ini dilakukan
Gambar 2. KRL metode dasar
untuk budidaya rumput laut dengan
metode rawai (longline). Untuk
penanaman dengan metode rawai
(longline), posisi bibit dalam kantong
berada pada badan kantong tanpa
pengikatan.
3. Mengikatkan KRL secara membujur
pada tali secara bersamaan di darat dan
menjulurkannya ke dalam laut.
Selanjutnya memasukan bibit rumput
Gambar 3. KRL metode vertikal
202
laut ke dalam kantong dengan perahu secara terpisah. Perlakuan ini dilakukan
untuk budidaya rumput laut dengan metode vertikal. Untuk penanaman dengan
metode vertikal, posisi bibit dalam kantong berada pada dasar kantong tanpa
pengikatan.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Meningkatkan kualitas dan produktivitas rumput laut menjadi 3 (tiga) kali lipat :
 Terhindar dari predator pemangsa rumput laut dan pemutusan tunas oleh faktor
oseanografi ektrim, seperti gelombang, arus dan ombakInovasi yang sederhana,
sehingga mudah diaplikasikan di lapangan oleh pembudidaya rumput laut
 Meningkatkan pengontrolan stok rumput laut sehingga kasus vandalisme dapat
diminimalkan
Keberhasillan teknologi
Teknologi Kantong Rumput Laut (KRL) berkarbon yang diterapkan dalam satu hektar
membutuhkan 1.000 KRL dengan masing-masing KRL diisi 100 gram bibit. Setalah 40 hari masa
pemeliharaan, dihasilkan rumput laut sebanyak 3 kg per KRL. Total produksi untuk satu hektar
adalah 3.000 kg (3 ton), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tanpa KRL yakni 1,5
ton/ha. Peningkatan produktivitas rumput laut ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
 Penggunaan KRL mampu mempertahankan pemutusan tunas sehingga penyusutan
karagenan tidak terjadi.
 Penggunaan KRL mempu memperbaiki performa rumput laut sehingga penampakan
rumput laut terlihat bersih dan terbebas dari penempelan gulma dan sampah.
 Penggunaan KRL mampu meminimalkan pemangsaan bibit rumput laut sehingga
pertumbuhan kerdil rumput laut dapat dihindari.
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan
 Penggunaan KRL mudah diterapkan dan mudah dalam pemeliharaan oleh para
pembudidaya rumput laut. Sistem usaha pembuatan KRL mampu menyerap tenaga kerja
dengan melibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan mendayagunakan bahan
baku lokal yang dapat di peroleh wilayah NKRI.
 Penggunaan bahan baku karbon yang merupakan kebaharuan pada KRL mampu
menghambat pertumbuhan gulma. Pembuatan karbon aktif yang dibuat dengan cara
melakukan karbonisasi (pirolisis) dari bahan biomassa di dalam furnace dengan suhu
600oC selam 3 jam. Kemudian karbon yang terbentuk diaktifkan dengan cara direndam
dalam larutan aktivator NaOH. Semua ini dilakukan secara industri yang membutuhkan
kapasitas biomassa seperti tempurung kelapa, tongkol jagung, sekam padi maupun kulit
singkong dengan kelimpahannnya yang besar di wilayah NKRI ini. Semua biomassa ini
dibuat karbon aktif dengan mengacu Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-88).
203
Ramah lingkungan
Penggunaan KRL tidak menimbulkan polusi udara, air maupun tanah dan penggunaan KRL dapat
mewadahi organisme lain. Untuk mendukung ekonomi biru (blue economy) dimana salah satu
paramaternya adalah zero waste, maka penggunaan KRL menjadi sarana alternatif untuk
mewadahi organisme pengganggu rumput laut seperti ulva sebagai pakan abalon yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
LOKASI PENELITIAN, PENGKAJIAN, DAERAH REKOMENDASI
 Nusa penida, Bali
 Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Nusa Penida, Bali menggunakan jenis
KRL yang mempunyai spesifikasi perlindungan terhadap dasar perairan. Hal ini
dikarenakan petani rumput laut di Nusa Penida melaksanakan budidaya rumput laut
menggunakan metoda dasar.
 Takalar, Sulawesi Selatan
 Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Takalar, Sulawesi Selatan menggunakan
jenis KRL yang mempunyai spesifikasi di permukaan air. Hal ini dikarenakan petani
rumput laut di Takalar melaksanakan budidaya rumput laut menggunakan metoda rawai
permukaan air.
 Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara
 Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara
menggunakan jenis KRL yang mempunyai spesifikasi di permukaan air. Hal ini
dikarenakan petani rumput laut di Konawe Selatan melaksanakan budidaya rumput laut
menggunakan metoda rawai permukaan air.
 Wakatobi, Sulawesi Tenggara
 Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara
menggunakan jenis KRL yang mempunyai spesifikasi di permukaan air. Hal ini
dikarenakan petani rumput laut di Wakatobi melaksanakan budidaya rumput laut
menggunakan metoda rawai permukaan air.
No
1
2
3
4
Uraian
Model
Warna
Berat
Dimensi
5
Bahan
6
7
8
9
10
Mata jaring
Bentuk
Penyetelan
Pelapis
Penutup
Spesifikasi
KRL-02
Hitam
200 gram
Diameter : 20 cm,
Tinggi : 30 cm
Kantong utama : Polietilen
Dasar kantong : karbon
Kerangka : karet
3 milimeter
Silinder
Dasar perairan
Serat fiber
Talis ris lingkar
204
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Persentase kandungan material kantong rumput laut (KRL) adalah 100% diproduksi di dalam
negeri dengan melibatkan kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM).
KELAYAKAN FINANSIAL
Budidaya KRL Rumput laut
Siklus budidaya :
Bobot basah :
Bobot kering :
Harga rata-rata rumput laut (Rp.)
5 siklus
3000 kg
700 kg
12.000
Pendapatan
Penjualan rumput laut kering (5 siklus)
Nilai (Rp)
42.000.000
Pengeluaran (1000 bibit)
Investasi 1000 KRL
Investasi Tali
Investasi Pelampung
Investasi bibit (5 siklus)
Gaji (1 org pegawai)/siklus
Perawatan KRL
Depresiasi (2 tahun)
15.000.000
2.500.000
1.200.000
1.500.000
1.700.000
450.000
2.500.000
24.850.000
17.150.000
1.715.000
15.435.000
Laba kotor
Pajak
Laba bersih
205
BP2BAP
Budidaya Rumput Laut Gracilaria verucossa
Menggunakan Bibit Hasil Kultur Jaringan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian Dan Pengembangan
Budidaya Air Payau
Alamat
Jl. Makmur Dg Sitakka No 129 Maros
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2009-2011
Tim Penemu
Emma Suryati
Sri Rejeki H.M
Andi Parenrengi
Kontak Person
Emma Suryati
08124232358
[email protected]
206
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Tujuan dari budidaya rumput laut Gracilaria verucossa menggunakan bibit hasil kultur jaringan
adalah dalam rangka perbanyakan bibit rumput laut yang unggul, tahan terhadap penyakit serta
tidak tergantung pada musim. Manfaatnya antara lain dapat membantu pembudidaya untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas rumput laut yang dibudidayakan serta meningkatkan
pendapatan petani/nelayan.
PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI
Aklimatisasi merupakan suatu tahapan penyesuaian kondisi lingkungan, biasanya dari kondisi
lingkungan laboratorium disesuaikan dengan kondisi lapangan.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan teknis
Pada budidaya rumput laut Gracilaria verucossa menggunakan bibit hasil kultur jaringan,
diperlukan persyaratan teknis antara lain: Pemilihan dan persiapan Lokasi, penyediaan dan seleksi
eksplan rumput laut hasil kultur jaringan, pengangkutan eksplan rumput laut hasil kultur jaringan,
penyediaan hapa untuk pemeliharaan anakan rumput laut, Pengikatan anakan rumput laut dengan
metode long line, pemeliharaan serta pemantauan kualitas perairan, perawatan bibit, serta
perbanyakan bibit unggul
Uraian Kegiatan
a. Gambaran umum
Penyediaan bibit yang baik merupakan salah satu kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan
usaha budidaya rumput laut. Kegiatan tersebut meliputi seleksi, penampungan serta pemotongan
thalus yang nantinya akan dijadikan bibit. Pada umumnya bibit dapat diperoleh dari alam, budidaya
atau melalui perbenihan baik vegetatif maupun secara generatif. Perbanyakan secara generatif
pada rumput laut biasanya melalui kultur spora, sedangkan perbanyakan melalui vegetatif dapat
dilakukan dengan menanam potongan tallusnya atau stek batang, dan yang paling terakhir yaitu
dengan cara kultur jaringan.
Perbanyakan rumput laut secara generatif tidak selalu menghasilkan tanaman yang berbeda
dengan induknya, namun kadangkala menghasilkan tanaman yang lebih baik atau lebih buruk dari
207
tanaman induknya. Kita tidak dapat menduga hasil yang dapat diperoleh dari perbanyakan macam
ini, dan kelemahan yang menonjol dari cara ini adalah masa produksinya lebih lama dibandingkan
dengan perbanyakan secara vegetatif.
Penerapan bioteknologi dalam propagasi benih merupakan alternatif lain dalam penyediaan benih
yang memiliki kualitas yang lebih baik melalui peningkatan potensi genetiknya. Pada lokasi yang
memiliki sumberdaya benih alam yang baik, budidaya dapat dilakukan menggunakan bibit
tersebut, akan tetapi pada lokasi yang sulit untuk mendapatkan benih alam maka dapat
menggunakan bibit hasil budidaya, namun pada kenyataannya bibit yang digunakan secara
berulang dapat mengakibatkan penurunan kualitas antara lain menjadi kerdil, penurunan
rendamen serta mudah terserang oleh penyakit, sehingga dapat dicari alternatif lain yaitu
penyediaan bibit melalui kultur jaringan menggunakan eksplan yang berasal dari induk yang
unggul misalnya hasil seleksi varietas yang diperbanyak secara aseptis, diharapkan dapat
menghasilkan bibit yang memiliki keunggulan antara lain pertumbuhannya, kandungan agar, serta
tahan terhadap serangan penyakit.
Teknik budidaya rumput laut menggunakan bibit hasil kultur jaringan merupakan salah satu upaya
penyediaan bibit yang berkualitas untuk meningkatkan produksi rumput laut secara keseluruhan.
b. Cara penerapan teknologi
Aklimatisasi bibit rumput laut hasil kultur jaringan
Aklimatisasi rumput laut hasil kultur jaringan dapat dilakukan pada bak resirkulasi, KJA atau
tambak yang sudah dipersiapkan untuk aklimatisasi selama kurang lebih 8 minggu. Aklimatisasi
pada bak resirkulasi, bertujuan agar eksplan dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan in vivo.
Rumput laut hasil kultur jaringan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi air laut dengan
salinitas 25 ppt, kemudian diadaptasi pada bak resirkulasi. Bak resirkulasi yang digunakan berupa
akuarium berukuran 50x100x50 cm. Adaptasi dilakukan kurang lebih 1 jam hingga suhu air di
dalam plastik dan akuarium sama. Eksplan selanjutnya dikeluarkan dari kantong dan diadaptasi
selama 1-2 minggu.
Pemantauan terhadap salinitas air laut pada bak resirkulasi dilakukan setiap hari, hal ini dilakukan
untuk menghindari
perubahan kondisi
lingkungan yang
tidak diinginkan
m i s a l n y a
peningkatan
salinitas yang
terlalu tinggi, atau
kondisi nutria yang
A
B
semakin menurun
y a n g d a p a t
Gambar 1. Proses aklimatisasi pada bak resirkulasi (A) dan eksplan dalam akuarium (B)
mengakibatkan
208
kematian pada eksplan rumput laut yang dipelihara. Salinitas yang yang baik untuk pertumbuhan
rumput laut Gracilaria verrucosa pada kisaran 25-30 ppt.
Aklimatisasi rumput laut hasil kultur jaringan juga dapat dilakukan di KJA di laut setelah
aklimatisasi pada bak resirkulasi. Eksplan rumput laut yang dihasilkan dari kultur jaringan
dipelihara dalam kurungan kerucut berukuran 30 x 30 x 30 cm, empat persegi panjang dengan
ukuran 50 x 50 x 50 cm atau silinder dengan diameter 25 cm dan tinggi 50 cm. Pada setiap
kurungan diikatkan 20 eksplan rumput laut dengan bantuan 4 tali ris yang direntangkan pada
dasar kurungan. Kurungan diletakkan pada kedalaman 50 cm dari permukaan air dengan
penetrasi cahaya tidak kurang dari 75% (Amini et al. 1995). Aklimatisasi dilakukan kurang lebih 8
minggu pemeliharaan.
Perbanyakan benih rumput laut di tambak
Pemilihan lokasi tambak
Kesuksesan budidaya Gracilaria verrucosa sangat tergantung dari pemilihan lokasi. Pemilihan
lokasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Akses sumber air tawar dan air laut. Gracilaria verrucosa dapat tumbuh pada kisaran
salinitas 20-30 ppt, dan optimum salinitas 25 pp.
 Lokasi tambak harus terlindung dari hempasan angin dan ombak.
 Elevasi dasar tambak di atas surut rata-rata sehingga memudahkan pergantian air.
 Kisaran pH air di tambak 7-9, optimum 8.
 Aksessibilitas terjangkau, sehingga memudahkan persiapan, pengangkutan, penanaman,
dan pengawasan.
Pengeringan tanah dasar
Pengeringan dasar tambak dilakukan dengan mengeluarkan air sampai kering. Hal ini dilakukan
agar tambak terbebas dari hama dan penyakit yang dikandung oleh air sisa kegiatan budi daya
sebelumnya.
Pembersihan dasar tambak
Kegiatan ini dilakukan dengan pengangkatan lumpur dasar tambak yang membusuk, terutama
dapat menurunkan derajat kemasaman tambak dan berpotensi menggangu pertumbuhan rumput
laut. Selain dasar tambak, kondisi pintu air juga perlu diperhatikan sebagai saluran masuk dan
keluarnya air tambak.
Perbaikan pematang tambak
Perbaikan pematang tambak meliputi penambalan pematang untuk menghindari kebocoran dan
rembesan air, sehingga volume air dapat dipertahankan. Tinggi pematang ditentukan oleh tinggi
rendahnya pasang surut.
Pengapuran tanah dasar
Pengapuran dilakukan untuk menormalkan pH tanah sehingga kondisi sesuai yang diperlukan
209
tanaman rumput laut Gracilaria verrucosa. Kapur ditebar secara merata ke permukaan tambak dan
pematang. Dosis ditentukan oleh pH dan tekstur tanah dasar tambak.
Penebaran benih rumput laut hasil kultur jaringan di tambak
Kegiatan ini diawali dengan pemindahan benih rumput laut dari bak resirkulasi ke tambak. Benih
dari bak resirkulasi dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi air salinitas 25 ppt, kemudian
pada pagi hari atau sore hari dibawa ke tambak yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Perbanyakan menggunakan hapa
Perbanyakan benih bibit rumput laut Gracilaria verucossa
di tambak dilakukan dengan memelihara eksplan dalam
hapa waring hijau berukuran 50x50x50 cm3. Hal ini
dilakukan untuk menghindari rumput laut keluar dari
waring dan melindungi eksplan dari hama. Setelah
pemeliharaan 30 hari benih rumput laut dipindahkan ke
dalam hapa waring hitam yang memiliki ukuran mata
(mess size) lebih besar. Pemindahan ke waring hitam
dilakukan agar sirkulasi air lebih baik, sehingga
Gambar 2. Perbanyakan benih rumput laut
kebutuhan nutriea dapat terpenuhi. Waring diikat pada
di tambak menggunakan waring
tiang pancang dan diberi besi pemberat supaya tidak
mudah terangkat pada saat air pasang). Setiap 15 hari
dilakukan monitoring terhadap kualitas air dan pertumbuhan rumput laut serta penggantian
waring. Kepadatan yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut adalah 500 eksplan dalam
setiap waring.
Perbanyakan dengan metode long line
Perbanyakan dengan metode long line dilakukan untuk rumput laut yang berumur 60 hari. Hal ini
bertujuan agar pertumbuhan rumput laut lebih baik. Supaya rumput laut tidak mudah terlepas dari
ikatan, sebelum diikat dengan tali nilon terlebih dahulu diikat dengan tali rafia. Selanjutnya rumput
laut diikat pada tali nilon dengan berat masing-masing ikatan (rumpun) sebesar 5 gram. Setiap
bentangan tali nilon memiliki 30 rumpun dengan jarak masing-masing rumpun berkisar 15–20 cm.
A
B
C
Gambar 3. Pengikatan bibit rumput laut pada tali simpul (A), pemeliharaan bibit rumput laut di dalam hapa waring
hitam (B), budidaya rumput laut metode long line (C)
210
Hapa ukuran 4 x 5 m digunakan untuk menadah rumput laut yang lepas dari ikatan, tali nilon
dibentangkan diatas hapa tersebut dan diberi pelampung, dengan jarak antara bentangan adalah
50 cm.
Perawatan
Untuk menghindari lumut yang menempel pada rumput laut, setiap hari bentangan digoyang
secara perlahan-lahan dan dibersihkan setiap 15 hari. Selama perawatan dilakukan pengukuran
pertumbuhan dan pengamatan kualitas air. Kepadatan setiap rumpun dijaga dengan membagi
rumpun yang padat pada bentangan yang baru.
Uji multi lokasi
Uji multi lokasi perbanyakan
bibit rumput laut hasil kultur
jaringan telah dilakukan di
beberapa daerah sentra
budidaya antara lain di Kab.
Bone, dan Pangkep
(Sulawesi Selatan), serta di
Kabupaten Brebes (Jawa
Tengah).
7
6.3
6.1
6
5.5
5
4.3
4.2
3.8
4
3
Keterangan:
KJ : bibit hasil
kultur jaringan
SK : bibit hasil
seleksi klon
Lokal: bibit dari
lokal budidaya
2
1
0
KJ
SK
Bone
Lokal
Pangkep
Total produk biologi yang Gambar 4. Laju pertumbuhan harian dari masing-masing lokasi budidaya
rumput laut
diperoleh dari budidaya
menggunakan bibit hasil
kultur jaringan diperoleh 1.200 kg selama pemeliharaan 5 siklus khususnya untuk perbanyakan
bibit. Selanjutnya bibit yang diperoleh dapat digunakan untuk budidaya dengan metode long line
atau lepas dasar sesuai dengan SOP yang sudah ditetapkan, dengan lama pemeliharaan 45 hari.
WAKTU LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Lokasi penelitian budidaya rumput laut menggunakan bibit hasil kultur jaringan antara lain daerah
Kab. Maros, dan Kab. Takalar, selanjutnya untuk uji multi lokasi dilakukan di Kab. Pangkep, dan Kab.
Bone di Sulawesi Selatan dan daerah Brebes di Jawa tengah.
Untuk pengembangan selanjutnya, direkomendasikan untuk penerapan teknologi di daerah Luwu,
Madura, dan Kalimantan sehingga diperoleh pengembangan yang lebih baik
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Pada budidaya rumput laut Gracilaria verucossa menggunakan bibit hasil kultur jaringan
kemungkinan memiliki dampak negatif antara lain ketergantungan pada ketersediaan bibit hasil
kultur jaringan pada instansi penyedia, sehingga perlu adanya instansi atau lembaga yang khusus
menyediakan bibit in vitro untuk diperbanyak dan dibudidayakan oleh masyarakat luas.
211
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
NO.
I
Uraian
Jumlah
Harga Satuan (Rp.)
Jumlah (Rp.)
Biaya Investasi
1. Tali nilon Ø 4 mm (kg)
50
2. Tali pengikat rafia (rol)
35
30
15
450
1000
2.5
2.500.000
4. Patok bambu (batang)
20
15
300
5. Terpal plastik ukr. 4 x 5 m (lembar)
1
160
160
6. Timbangan (buah)
1
180
180
3. Pelampung (biji)
TOTAL
II
5.340.000
Biaya Operasional/Tahun
0
A. Biaya Tetap
1.735.500
1. Biaya perawatan 5%
0,05
5.340.000
267
667.5
667.5
0,15
5.340.000
801
1. Bibit rumput laut basah (kg)
300
3
900
2. Tenaga kerja (OK)
300
2
600
3. Pupuk urea (sak)
1
100
100
4. Pupuk TSP (sak)
1
110
110
5. Saponin (kg)
20
8
160
3.605.500
180.275
2. Penyusutan/tahun
1
3. Bunga modal 15%
B. Biaya Tidak Tetap
1.870.000
6. Biaya lain-lain 5% x (IIA+IIB)
0,05
TOTAL (IIA+IIB)
III
1.750.000
3.605.500
Penerimaan/Tahun
Rumput laut (kg) 8 siklus (7 kg/bentangan)
2.1
TOTAL
7
14.700.000
14.700.000
IV Analisis Biaya Manfaat
1. Penerimaan kotor (III-II)
11.094.500
2. Pajak 10%
1.109.450
3. Perputaran uang sebelum pajak (IV1+IIA2)
11.762.000
4. Laba operasional (III-IIB)
12.830.000
5. Pendapatan bersih (IV3-IV2)
10.652.550
6. Jangka waktu pengembalian (I+IIB/III) (tahun)
0,49
7. Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio) (III/II)
4,08
8. Cash flow (IV5+IIA2)
11.320.050
9. Rentabilitas ekonomi [(IV1/(I + IIB)] x 100%
1,54
10. BEP = IIA/(1-(IIB/III)
1.988.453
212
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Material yang digunakan dalam teknologi ini merupakan bahan-bahan yang semuanya dapat
diperoleh di dalam negeri
FOTO DAN SPESIFIKASI
Gambar 5. Aklimatisasi (A) dan Perbanyakan (B) rumput laut hasil kultur jaringan
A
C
Gambar 6. Perbanyakan menggunakan metode long line (A) dan
penimbangan setelah pemeliharaan 30 hari (B) panen bibit untuk
perbanyakan (C)
B
213
BPPI
Budidaya Ikan Nila Srikandi di Tambak
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian Pemuliaan Ikan
Alamat
Jalan Raya 2, Sukamandi-Pantura,
Patokbeusi Subang, Jawa Barat
41263. Telp (0260) 520500, Fax
(0260) 520662, 520663
Kategori Teknologi
Perikanan Budidaya
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2007-2011
Tim Penemu
Dr. Imron, S.Pi. M.Si.
Dr. Rr. Sri Pudji Sinarni D., S.Pi. M.Si.
Priadi Setyawan, S.Pi., M.Si.
Adam Robisalmi, S.Pi.
Nunuk Listiyowati, S.Pi.
Bisri Mustofa, A.Md.
Pudji Suwargono
Didi
Oman Iskandar
Astri Suryani
Kontak Person
Priadi Setyawan, S.Pi., M.Si.
08121578861
[email protected]
214
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi ikan nila nasional dengan pengembangan
usaha produktif melalui optimalisasi lahan sub-optimal di kawasan pesisir. lahan yang digunakan
berupa tambak-tambak idle bekas budidaya udang serta lahan di sepanjang pesisir pantai.
Optimalisasi pemanfaatan lahan dilakukan dengan memanfaatkan produk unggul berupa ikan nila
toleran salinitas tinggi (nila Srikandi, KEP.09/MEN/2012) yang dapat dibudidayakan pada lahan
payau. Kegiatan ini bermanfaat dalam pengembangan kawasan pesisir khususnya di lahan
marginal sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan baru, mengurangi angka pengangguran
serta meningkatkan pendapatan masyarakat di sepanjang pesisir pantai. Hasil pengujian
menunjukkan ikan nila hasil budidaya di lahan payau lebih disukai oleh masyarakat karena cita rasa
yang lebih enak dibandingkan ikan nila yang dibudidayakan di air tawar. Penerapan teknologi
secara luas akan merangsang peningkatan konsumsi ikan serta menyumbang peningkatan
produksi ikan nila nasional.
PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI
Ikan nila Srikandi merupakan strain ikan nila unggul toleran salinitas tinggi hingga ±30 ppt yang
diproduksi oleh Balai Penelitian Pemulian Ikan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan
Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Ikan nila Srikandi dirakit
dengan tujuan untuk mendapatkan strain ikan nila yang mampu tumbuh cepat di perairan payau
sehingga dapat dibudidayakan pada kawasan pesisir.
Ikan nila Srikandi merupakan hasil perkawinan silang antara ikan nila hitam (Oreochromis
niloticus) betina dengan ikan nila biru (Oreochromis aureus) jantan. Ikan nila hitam yang digunakan
merupakan strain ikan nila unggul hasil seleksi yang mempunyai keunggulan dapat tumbuh cepat
pada perairan tawar. Ikan nila biru (Oreochromis aureus) merupakan ikan yang berasal dari Afrika
Utara danTimur Tengah. Ikan nila biru mempunyai keunggulan berupa daya toleransi yang tinggi di
perairan payau. Perkawinan silang antara kedua spesies ikan tersebut menghasilkan ikan nila
Srikandi yang mempunyai karakter tumbuh cepat di perairan payau (salinitas 10-30 ppt). Performa
ikan nila Srikandi lebih unggul dibandingkan strain ikan nila lainnya pada saat pengujian multilokasi
di beberapa lokasi tambak dengan salinitas 10-30 ppt.
Hasil pengujian ikan nila Srikandi pada beberapa tambak di pantai utara (Karawang, Pekalongan,
215
Tegal, Indramayu, Subang dan Brebes) serta pantai selatan di Yogyakarta menunjukkan ikan nila
Srikandi mempunyai performa yang baik pada pembesaran di tambak. Ikan nila Srikandi memiliki
nilai heterosis 13,44 pada karakter bobot dan 20,33 pada karakter sintasan. Hasil pengujian
menunjukkan ikan nila Srikandi memiliki karakter pertumbuhan dan sintasan yang lebih baik
dibandingkan persilangan murni ikan nila hitam dan ikan nila biru.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Aplikasi teknis
Kegiatan pembesaran ikan nila Srikandi di tambak meliputi tahap persiapan, penebaran,
pembesaran dan pemanenan. Ikan nila Srikandi dapat dibesarkan pada tambak secara semi
intensif dengan padat tebar 3-5 ekor/m2 dengan pemberian pakan tambahan. Pembesaran
secara polikultur dengan udang dapat dilakukan dengan padat tebar rendah 1-2 ekor/m2.
Alat dan bahan
Peralatan yang digunakan meliputi :
a. Peralatan pengukur kualitas air yang terdiri atas: termometer, hand-refraktometer, pHmeter, DO-meter, test kit amoniak serta peralatan pengukuran lainnya
b. Peralatan lapangan yang terdiri atas: pompa air, cangkul, timbangan, jaring, blong pakan,
ember, alat panen serta peralatan lain yang dibutuhkan
Bahan yang digunakan meliputi:
a. Pakan pembesaran dengan komposisi lengkap dengan kandungan protein > 25 %
b. Kapur tohor (CaO) dengan dosis 100 Kg/Ha- 300 Kg/Ha atau kapur pertanian
(CaCO3) dengan dosis 500 Kg/Ha– 1.000 Kg/Ha
c. Pupuk sumber nitrogen dan sumber posfat berupa pupuk organik dan pupuk anorganik
d. Obat dan vitamin ikan, bahan kimia dan biologi yang terdaftar dan aman digunakan
Persiapan tambak:
Proses persiapan tambak menjadi salah satu kunci keberhasilan pembesaran ikan nila Srikandi di
tambak. Persiapan tambak yang baik akan menekan kematian benih pasca penebaran. Persiapan
tambak pembesaran meliputi :
a. Pengeringan tambak dan pengangkatan lumpur
b. Penjemuran dasar tambak hingga kering selama 3-7 hari hingga retak-retak
c. Pengapuran tanah apabila pH tanah kurang dari 6
d. Perbaikan pematang, saluran air serta pemasangan saringan dengan mesh-size 1 mm
dan 2,5 mm pada pintu pemasukan dan pengeluaran air
e. Pemasukan air secara bertahap dengan ketinggian awal + 10 cm
f. Pemberantasan hama dengan menggunakan saponin sebanyak 10 – 20 mg/l dan
dibiarkan selama 3 – 4 hari
g. Penumbuhan pakan alami dengan pupuk organik atau anorganik sebagai sumber
nitrogen dan phosphat dengan perbandingan 4 : 1 dan dibiarkan selama 4-6 hari
h. Pengisian air hingga ketinggian minimal 80 cm dan dibiarkan 3 – 5 hari.
216
Penebaran benih
Benih yang digunakan berukuran minimal 3-5 cm dengan kualitas yang baik. Benih yang
digunakan harus sudah diaklimatisasi atau dilakukan proses penyesuaian salinitas agar sesuai
dengan salitas tambak pembesaran. Benih ikan nila Srikandi diproduksi di kolam air tawar
sehingga harus ada proses aklimatisasi dengan menempatkan benih dalam kolam khusus
bersalinitas 10 ppt. Selanjutnya salinitas kolam ditingkatkan sebanyak 5 ppt per hari hingga
salinitas kolam penampungan sesuai dengan salinitas tambak. Setelah salinitas sama dengan
salinitas tambak maka benih dibiarkan selama 24 jam tanpa diberi pakan agar siap dilakukan
pengemasan.
Penebaran benih dilakukan secara hati-hati pada pagi atau sore hari untuk menghindari stress
sehingga kematian benih pasca peneberan dapat ditekan. Penebaran dilakukan dengan
menempatkan benih beserta kantong packing selama 10 – 20 menit agar suhu air dalam kantong
dan suhu air tambak relatif sama. Selanjutnya kantong dibuka perlahan dan dimiringkan sehingga
benih dapat berenang keluar kantong. Penebaran benih harus memperhatikan padat tebar yang
digunakan.
Pembesaran ikan
Pembesaran ikan dilakukan selama 3 – 4 bulan sesuai dengan ukuran ikan yang diinginkan.
Pembesaran selama 3 bulan dengan pemberian pakan yang cukup akan menghasilkan rerata
bobot ±200 g. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan siang hari menjelang sore sebanyak 2 –
3 % biomassa per hari. Pakan yang diberikan mengandung protein > 25 % dengan ukuran sesuai
dengan bukaan mulut ikan. Jumlah pakan harian dihitung dengan memperkirakan rerata bobot
ikan dikalikan dengan perkiraan jumlah ikan serta prosentasi pakan yang digunakan. Pemberian
pakan harian dapat ditambah atau dikurangi dengan melihat kondisi ikan, nafsu makan serta
kondisi lingkungan. Pada saat cuaca mendung atau hujan biasanya nafsu makan ikan sangat
rendah sehingga pemberian pakan sebanyak 2 % biomassa akan banyak tersisa.
Selama pemeliharaan dilakukan pemantuan kesehatan ikan serta kualitas air pemeliharaan.
Monitoring kualitas air dilakukan secara periodik agar sesuai dengan persyaratan sebagai berikut :
No
1
2
3
4
5
6
Parameter
Suhu
Kandungan oksigen terlarut
pH
Nitrit
Amoniak
Salinitas maksimal
Satuan
0
C
mg/l
mg/l
mg/l
g/l
Nilai
26 – 32
>3
6,5-9
< 0,5
< 0,1
30
Monitoring kesehatan ikan dan lingkungan dilakukan secara periodik. Hal ini untuk mengantisipasi
adanya perubahan yang mendadak yang dapat mengakibatkan kematian ikan. Adanya fluktuasi
salinitas secara mendadak lebih dari 10 ppt akan mengakibatkan kematian ikan. Apabila salinitas
217
mulai berubah harus segera dilakukan penanganan dengan memasukkan air baru sehingga
salinitas tetap terjaga. Pada umumnya salinitas tambak akan menurun secara drastis apabila curah
hujan tinggi selama beberapa hari. Hal ini harus diantisipasi dengan melakukan pemasukan air
payau secara rutin. Monitoring kesehatan ikan dan lingkungan sesuai tabel berikut :
No
1
2
3
4
5
Parameter
Kualitas air
- pH
- Salinitas
- DO
Pertumbuhan Pakan Alami
(melihat kepadatan klekap dan kecerahan)
Respon pakan
Pertumbuhan ikan
Kesehatan ikan secara visual
Frekuensi (minimal)
Setiap minggu
Sesuai kebutuhan *)
Sesuai kebutuhan *)
Setiap hari
Setiap pemberian pakan
Setiap dua minggu
Setiap hari
*) apabila terjadi perubahan cuaca secara mendadak.
Data hasil monitoring dianalisis untuk digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan kualitas air,
kesehatan, dan pemberian pakan serta untuk perencanaan dalam pemeliharaan selanjutnya.
Seluruh data hasil monitoring dicatat atau direkam sehingga terdapat dokumentasi yang lengkap
dan dapat ditelusuri.
Pemanenan
Pemanenan ikan dilakukan dengan menurunkan ketinggian air sehingga ikan berkumpul di
daerah paling dalam atau di dalam caren. Selanjutnya dilakukan penangkapan ikan menggunakan
jaring. Panen dapat dilakukan secara total atau bertahap dengan menyeleksi ikan yang ukurannya
sudah sesuai. Pemeliharaan selama 3-4 bulan sesuai petunjuk di atas akan menghasilkan rerata
bobot antara 200-250 gram/ekor dengan sintasan > 80 %.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Ikan nila Srikandi dapat dimanfaatkan sebagai komoditas unggulan pada pembesaran di kawasan
pesisir dengan salinitas sedang hingga tinggi. Pada pembesaran di tambak, ikan nila Srikandi
tumbuh lebih baik dibandingkan ikan nila air tawar pada umumnya. Ketahanan hidup pada kondisi
salinitas sedang hingga tinggi kemungkinan diperoleh dari persilangan ikan nila Biru
(Oreochromis aureus) yang didatangkan dari Israel dan dikenal mempunyai toleransi salinitas yang
baik. Sedangkan performa pertumbuhannya diwarisi dari ikan nila hitam unggul hasil program
seleksi famili. Ikan nila Srikandi mempunyai karakter hibrid vigour dengan performa yang lebih baik
dari rerata tetuanya pada karakter pertumbuhan dan sintasan. Penggunaan ikan nila Srikandi pada
kawasan pesisir akan meningkatkan produktivitas lahan dengan meningkatnya hasil panen
dibandingkan strain lainnya.
Ikan nila Srikandi yang dibesarkan pada tambak di Pantai Utara Jawa menunjukkan performa yang
baik dan dapat mencapai ukuran 250 gram dalam waktu 4 bulan pemeliharaan. Pada akhir
218
pemeliharaan diperoleh rerata sintasan > 80 % dan biomassa panen sebesar 5-8 ton/Ha
tergantung sistem pemeliharaan yang digunakan. Produksi ikan nila Srikandi tersebut jauh lebih
tinggi dibandingkan ikan nila lokal pada umumnya yang menghasilkan panen kurang dari 3
ton/Ha. Rendahnya hasil panen nila lokal terjadi apabila salinitas tambak meningkat diatas 15 ppt
yang mengakibatkan sebagian besar ikan mengalami kematian.
Pemeliharaan secara ekstensif yang biasa dilakukan oleh masyarakat pembudidaya di kawasan
pesisir Pantai Utara Jawa bersifat ramah lingkungan. Hal ini karena padat tebar yang digunakan
sangat rendah berkisar 2-5 ekor/m dan pakan buatan yang diberikan sangat sedikit sehingga
beban limbah yang dibuang ke lingkungan sangat sedikit.
Pembesaran ikan nila Srikandi di tambak memberikan keunggulan dibandingkan pada
pembesaran di kolam air tawar. Beberapa keunggulan ikan nila Srikandi hasil pembesaran di
tambak adalah :
1. Toleran salinitas tinggi hingga 30 ppt
Benih ikan nila Srikandi yang sudah diaklimatisasi sesuai salinitas tambak dapat hidup
dengan baik pada salinitas tinggi hingga 30 ppt dengan nilai sintasan > 80 %. Hal ini
berbeda dengan ikan nila pada umumnya yang mengalami tingkat kematian tinggi
hingga > 50 % pada salinitas diatas 15 ppt.
2. Pertumbuhan cepat, dapat mencapai ukuran 200 gram dalam waktu 3 bulan.
Ikan nila pada umumnya dapat mencapai ukuran 200 gram dalam waktu 3 bulan pada
pemeliharaan di kolam air tawar. Namun pada pemeliharaan di tambak bersalinitas
tinggi akan mengalami hambatan pertumbuhan akibat stress pada kondisi
hipersalinitas. Akibatnya sebagian energi yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan dialokasikan untuk proses osmoregulasi serta metabolisme dalam
rangka menanggapi tekanan lingkunan berupa kondisi hiperosmotik. Ikan nila Srikandi
mampu menghadapi tekanan salinitas tinggi sehingga pertumbuhan ikan tidak banyak
terganggu.
3. Kandungan protein tinggi
Hasil pengujian kualitas daging menunjukkan kandungan protein yang lebih tinggi
pada pemeliharaan di tambak bersalinitas tinggi sehingga baik dikonsumsi sebagai
bahan pangan sumber protein hewani.
4. Kandungan asam lemak omega 3 dan 6 tinggi
Hasil analisa kualitas daging menunjukkan kandungan asam lemak omega 3 dan 6
yang tinggi pada pemeliharaan di tambak. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya sumber
pakan alami yang mengandung omega 3 dan 6 pada lingkungan pemeliharaannya.
Kandungan asam lemak omega 3 dapat mencapai > 105 mg/100g daging,
sedangkan kandungan asam lemak omega 6 mencapai > 230 mg/100g daging.
Sementara pada ikan nila yang dibesarkan pada kolam air tawar mempunyai
kandungan omega 3 dan 6 yang lebih rendah. Konsumsi bahan pangan yang
mengandung asam lemak omega 3 dan 6 baik bagi kecerdasan, fungsi otak dan
kesehatan.
219
5. Cita rasa daging lebih enak
Ikan nila Srikandi yang dibesarkan di tambak lebih disukai karena mempunyai cita rasa
daging yang enak, gurih serta mempunyai tekstur daging yang kenyal. Hal ini
menyebabkan hasil tambak ikan nila Srikandi lebih banyak dicari konsumen
dibandingkan ikan nila hasil pembesaran di kolam air tawar.
6. Dapat dibesarkan secara polikultur dengan udang
Ikan nila Srikandi dapat dibesarkan dengan teknik polikultur dengan udang. Hasil
ujicoba pada tambak di Serang, Banten menunjukkan ikan nila dan udang vanamei
menghasilkan peningkatan hasil panen yang signifikan. Adanya ikan nila di tambak
udang mampu menjaga kestabilan tambak pemeliharaan yang cocok untuk udang
vanamei sehingga produksi udang meningkat.
WAKTU LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Wilayah pengembangan yang cocok untuk ikan nila Srikandi adalah kawasan pesisir pantai
dengan salinitas antara 10-30 ppt dengan pH 6,5-8,5. Kondisi ini banyak dijumpai di sepanjang
Pantai Utara dan Selatan Jawa. Ikan nila Srikandi juga dapat dikembangkan di wilayah lainnya
dengan karakteristik daerah pesisir yang relatif sama dengan salinitas antara 10-30 ppt. Ikan nila
Srikandi telah berhasil dikembangan dan diterapkan di beberapa daerah dari tahun 2011 terutama
di Kabupaten Brebes, Karawang, Banten, Subang, Indramayu, Pekalongan, Tegal, dan Kulon Progo
Yogyakarta. Dilihat dari potensi sumberdaya alam yang ada di Indonesia maka potensi
pengembangan ikan nila Srikandi di Indonesia masih sangat besar. Indonesia memiliki garis pantai
terpanjang keempat di dunia atau sepanjang kurang lebih 95.000 km dengan wilayah pesisir yang
luas.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah permasalahan kualitas air yang
menurun apabila penerapan teknologi dilakukan secara intensif di kawasan yang luas. Penurunan
kualitas air akan berdampak pada menurunnya produksi ikan pada masa berikutnya. Untuk
meminimalisir dampak negatif tersebut disarankan untuk melakukan pengembangan berbasis
kawasan dengan membagi pengembangan ikan nila secara intensif, semi intensif dan ekstensif
yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan setempat. Pada kenyataan di lapangan, lahan
sub optimal kurang mendukung untuk budidaya secara intensif sehingga masyarakat
pembudidaya lebih banyak menerapkan teknologi ekstensif dengan pemberian pakan minimal
dan padat tebar rendah. Hal ini dapat menghilangkan dampak negatif yang kemungkinan dapat
ditimbulkan pada budidaya sistem intensif.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA
Penerapan teknologi budidaya ikan nila Srikandi layak secara ekonomis. Penerapan tenologi ini
tidak memerlukan biaya besar namun dapat memberikan keuntungan yang optimal. Berdasarkan
data yang ada apabila dilakukan secara ekstensif hanya memerlukan sedikit biaya untuk pakan
buatan karena kondisi di tambak pada umumnya kaya pakan alami yang beragam jumlah dan
220
jenisnya. Ikan nila bersifat omnivora dan dapat memanfaatkan semua jenis makanan yang ada di
perairan. Budidaya ikan nila secara ekstensif saat ini paling banyak diterapkan oleh pembudidaya
di kawasan pesisir.
Parameter
Satuan
Luas lahan
Jumlah tebar
Jumlah akhir
Rerata bobot
Biomassa panen*
Produktivitas*
Harga jual (10.000/kg)
m
ekor
ekor
gram
Kg
ton/Ha
Juta
Padat tebar
2
3 (ekor/m )
2
2
5 (ekor/m )
10
30
24
200
4.8
4,8
48
10
50
40
200
8
8
80
* Kondisi tambak optimal dengan waktu pemeliharaan 3-4 bulan dan SR 80 %
Analisis usaha pembesaran ikan nila Srikandi:
Analisa usaha pembesaran dihitung dalam waktu 4 bulan dengan menggunakan lahan tambak
seluas 1 Ha. Pembesaran dilakukan dengan menerapkan prosedur pembesaran sehingga dapat
menghasilkan ikan nila konsumsi berukuran 200 gram dalam waktu 4 bulan dengan sintasan 80
%. Pakan komersil yang digunakan mengandung protein >25 % dan dengan penumbuhan pakan
alami di tambak yang cukup maka FCR pakan buatan dapat ditekan hingga < 1 .
Modal Sarana Pembesaran :
Komponen
Sewa tambak (per Ha/4 bulan)
Benih ikan
Alat-alat perikanan (cangkul, seser, dll)
Total
Jumlah
1
30
1
Satuan
petak
ekor
set
Harga (Rp.)
2.000.000
3.000.000
500
5.500.000
Jumlah
3
1
1
Satuan
kg
orang
paket
Harga (Rp.)
22.500.000
2.000.000
1.000.000
25.500.000
Biaya Operasional :
Komponen
Pakan buatan ( protein > 25%)
Tenaga kerja
Obat-obatan dan lain-lain
Total
Penerimaan dan Pendapatan :
Penerimaan hasil panen
Hasil penjualan (80% x 30.000 x 0,2kg x Rp. 10.000)
Total biaya produksi
Pendapatan (hasil penjualan-biaya produksi)
221
Nilai (Rp.)
48.000.000
31.000.000
17.000.000
Keuntungan Rp. 17.000.000 tersebut diperoleh selama empat bulan proses pembesaran ikan nila
Srikandi. Pada umumnya keuntungan yang diperoleh petambak lebih tinggi karena tambak yang
digunakan adalah tambak sendiri sehingga tidak memerlukan biaya sewa. Pemberian pakan
buatan yang biasa dilakukan petambak di Pantai Utara Jawa pada umumnya sangat sedikit
meskipun dengan resiko hasil panen dengan sintasan yang lebih rendah serta ukuran panen yang
tidak seragam.
Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai B/C ratio sebesar 1,54. B/C ratio yang
merupakan perbandingan antara hasil penjualan dan total biaya yang diperlukan menggambarkan
seberapa besar rasio keuntungannya. Hal ini berarti dengan menggunakan modal Rp 1 akan
mendapatkan hasil Rp. 1.54.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Persentasi kandungan material produksi dalam negeri yang digunakan dalam teknologi yang
diusulkan sebesar >95 %.
Deskripsi
Spesifikasi
Nama latin
: Oreochromis aureus x niloticus
Nama Indonesia
: Ikan nila
Keunggulan
: Cepat tumbuh pada salinitas 10-30 ppt
Karakter reproduksi
:
Karakter fisiologi
Produksi benih
:
1. Umur mencapai awal reproduksi (bulan)
4,5
2. Rasio benih jantan (%)
43 – 57 %
1. Pertumbuhan harian di tambak (g/hari)
1,30 – 2,45
2. Sintasan di tambak (%)
72,20 – 91,20
3. Daya tahan penyakit
sedang
4. FCR
0,72 – 1,34
: Sintasan benih pada pendederan (%)
90,71
Heterosis rerata tetua pada karakter :
Genetik
Toleransi Lingkungan
Kualitas daging
: 1. Bobot (%)
13,44
2. SR (%)
20,33
: Salinitas (ppt)
0 – 40
:
Protein (%)
21,47±1,39
Lemak (%)
1,79±0,50
Omega 3 (mg/100 g)
105,69±37,82
Omega 6 (mg/100 g)
233,76±57,74
222
rekomendasi
teknologi
pascapanen
3
223
BBP4BKP
Alginat Sebagai Bahan Pasta Pengental
Pada Pencapan Tekstil
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Modifikasi pada penggunaan
natrium alginat sebagai pengental dan
pengikat warna pada pencapan
(printing) tekstil/batik
Masa Pembuatan
2006-2008
Tim Penemu
Ellya Sinurat Msi
Prof.Dr.Rosmawaty Peranginangin
Murdinah, Msi
Dina Fransiska, MSi
Kontak Person
Ellya Sinurat Msi
[email protected]
Prof.Dr.Rosmawaty Peranginangin
[email protected]
224
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Teknologi ini menggunakan alginat sebagai bahan pasta pengental pada pencapan tekstil atau
batik (textile printing). Penggunaan alginat sebagai bahan pengental sangat efisien karena
dengan konsentrasi 1,5% sudah mencukupi untuk masuk ke dalam serat tekstil, selain itu juga
hasil pencapan sangat memuaskan karena membuat warna dan gambar lebih tajam atau lebih
cemerlang Hal ini terjadi karena struktur kimia alginat memungkinkan untuk mengikat zat
pewarna, dan mudah melepaskannya pada bahan tekstil.
Tujuan teknologi ini adalah untuk menggunakan alginat yang diekstrak dari rumput laut
Sargassum spp. pada proses pencapan tekstil. Alginat yang digunakan untuk pencapan tekstil
adalah yang mempunyai viskositas dengan kisaran 1000-2000 cPs.
Manfaat teknologi ini adalah mengurangi biaya pencapan tekstil karena harga alginat lebih murah
dibandingkan dengan bahan pengental komersial yang umum digunakan yaitu manutex, yang
masih diimpor.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan teknis agar alginat dapat digunakan sebagai pengental pada proses pencapan tekstil
yaitu:
a. Tersedianya alginat yang memenuhi standar seperti kadar air maksimum 15% dan
viskositas 1000-2000 cPs
b. Tersedianya peralatan proses batik printing: sendok, timbangan, ember, alat pengaduk,
dan membran pencapan.
Pembuatan pasta pengental diawali dengan menambahkan sebanyak 1,5% (dari jumlah air)
tepung alginat sedikit demi sedikit ke dalam air dingin, sambil diaduk sehingga menjadi massa
yang rata, dan dihomogenkan dengan mixer selama 30 menit. Setelah pengadukan biasanya suhu
agak meningkat sehingga perlu dibiarkan dingin sebelum zat warna ditambahkan dan diaduk
kembali menggunakan alat pengaduk hingga homogen dan pasta pengental siap digunakan
dalam pencapan tekstil.
Pelekatan pasta pengental pada tekstil dapat dilakukan dengan alat membran pencapan.
Membran pencapan diletakkan di atas tekstil, kemudian pasta pencapan dimasukkan di membran
225
pencapan dan didorong
dengan kayu pendorong
berulang-ulang (minimal 3
kali). Setelah itu dilakukan
pengeringan dengan
menggunakan mesin
pengering atau dianginanginkan, dan diuapi
menggunakan mesin penguap
pada suhu 1050-1100 o C
selama 1 jam. Berikutnya
dilakukan fiksasi
menggunakan air panas dan
pencucian dengan air yang
mengandung sabun/deterjen
dengan alkali (natrium
karbonat).
Gambar 1. Proses pembuatan pasta pengental pada pencapan tekstil
menggunakan alginat
Gambar 2. Proses pembuatan batik printing
KEUNGGULAN TEKNOLOGI :
Keunggulan pasta pengental pencapan tekstil yang dibuat dari alginat adalah:
 Alginat merupakan bahan organik sehingga tidak mencemari lingkungan,
 Pengental dari alginat mempunyai sifat tidak bereaksi dengan zat warna sehingga tidak
mengubah warna,
 Penetrasi zat warna ke dalam serat cepat dan mudah,
 Tidak berwarna sehingga tidak mengubah warna yang diinginkan,
 Mudah disiapkan dan larut dalam air dingin, dan mudah dilepaskan kembali dari tekstil
dengan cara perendaman,
 Bila dibandingkan dengan manutex (bahan pengental yang umum digunakan), alginat
mempunyai ketajaman motif lebih tinggi,
 Tahan terhadap panas dalam pengeringan dan fiksasi serta mempunyai homogenitas
yang baik pada saat proses pencapan, sehingga menghasilkan pencapan yang baik,
 Mampu membawa zat warna sehingga memiliki ketajaman warna/motif yang tinggi.
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Teknologi ini dirakit melalui penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta yang dilakukan sejak tahun 2006, diikuti
dengan pengkajian dan pengembangan teknologi hingga tahun 2008 yang dilakukan di salah satu
pengrajin batik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Teknologi ini dapat direkomendasikan di sentrasentra pembuatan tekstil dan batik seperti Pekalongan, Cirebon, atau Yogyakarta.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak ada dampak negatif yang mungkin timbul dari penggunaan alginat sebagai pasta pengental
pada proses pencapan tekstil. Adapun limbah cair yang dihasilkan dari proses pencapan dengan
alginat sama dengan limbah cair yang dihasilkan pada proses pencapan dengan manutex dalam
226
hal residu zat pewarna, namun dalam hal residu bahan pengental, alginat lebih aman karena
merupakan bahan organik yang mudah terdegradasi.
KELAYAKAN FINANSIAL
Biaya produksi pada penggunaan pencapan batik adalah pembelian alginat dan bahan pewarna.
Alginat yang digunakan pada proses ini menggantikan pemakaian manutex. Harga manutex
berkisar Rp. 80.000,-/kg sedangkan perkiraan harga alginat dengan grade sesuai untuk
pencapan tekstil adalah Rp. 50.000,-/kg. Pada pencapan batik, untuk mencapai viskositas yang
dibutuhkan dalam proses pencapan (1300 cPs) dibutuhkan pemakaian manutex sebesar 4 % dari
total larutan, sedangkan alginat membutuhkan konsentrasi 1,5% dari total larutan, sehingga biaya
yang digunakan apabila menggunakan alginat menjadi lebih murah. Dengan menggunakan
manutex, dalam 1 L pasta pencapan akan
membutuhkan 40 g bahan pengental dengan
harga Rp. 3.200, sedangkan bila menggunakan
alginat hanya akan membutuhkan 15 g bahan
pengental dengan harga Rp. 2.250.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Bahan baku alginat yaitu rumput laut
Sargassum banyak diperoleh di Indonesia,
khususnya Banten, Kepulauan Riau (Batam),
Kupang. Di Lampung bahkan sudah mulai
dibudidayakan, sehingga ada jaminan
ketersediaan bahan baku.
Gambar 3. Pengrajin sedang menggunakan pasta
pencapan pada kain dengan membran pencapan
Gambar 4. Kain hasil pencapan menggunakan
pasta pencapan yang mengandung alginat
227
BBP4BKP
Pengolahan Pindang Ikan Air Tawar
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: perbaikan teknologi
pemindangan tradisional
Masa Pembuatan
2012
Tim Penemu
Dra. Theresia Dwi Suryaningrum MS
Syamdidi MAppSc
Ijah Muljanah MS
Kontak Person
Dra Theresia Dwi Suryaningrum, MS
[email protected]
Syamdidi SPi, MAppSc
[email protected]
228
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Di Indonesia terdapat 65.000 usaha
pengolahan pindang ikan laut yang
tersebar di berbagai daerah. Industri
pengolahan tersebut masih mengalami
kekurangan bahan baku sebesar 81.404
ton/bulan, atau sebesar 51,5% dari total
kebutuhan bahan baku ikan pindang.
Kelangkaan pindang ikan laut sudah
saatnya disubstitusi dengan pindang ikan
air tawar. Selain itu, pengolahan ikan air
Gambar 1. Pindang ikan mas dalam kemasan
tawar menjadi produk pindang dapat
menyerap hasil produksi budidaya ikan
air tawar, yang selama ini masih dijual dalam keadaan segar. Pengolahan pindang ikan air tawar
telah dilakukan di Jawa Barat, namun cara pengolahan masih dilakukan sangat sederhana
sehingga tekstur ikan pindang sangat lembek dengan daya awet yang rendah, yaitu sekitar 1-2
hari. Hal ini disebabkan karena ikan air tawar hidup dalam lingkungan yang berkadar garam
rendah, sehingga kadar air ikan air tawar cukup tinggi yaitu mencapai 75 -82 %.
Untuk menurunkan kadar air serta memperbaiki tekstur, pada pengolahan pindang air tawar perlu
dilakukan perendaman dalam garam kimia (tawas) atau asam cuka. Tawas ( AL2(SO3) 14H2O)
adalah garam kimia yang dalam bahan pangan dianggap aman oleh Food and Drug Administration
bila digunakan menurut prosedur yang disarankan. Selain itu, hasil penelitian penggunaan 4-10%
tawas selama 30-150 menit pada ikan tongkol sebelum diasap menunjukkan residu tawas yang
aman bagi kesehatan. Perendaman dalam garam kimia atau asam cuka selain untuk menurunkan
kadar air dan memperbaiki tekstur, juga berfungsi sebagai pemucat serta mereduksi lender,
khususnya untuk ikan yang tidak bersisik sepeti lele atau patin. Pengolahan pindang ikan air tawar
dilakukan dengan menggunakan bumbu, sejenis bumbu pepes sehingga produk yang dihasilkan
berbeda dengan produk pindang ikan laut. Penggunaan bumbu ini selain digunakan untuk
menutupi adanya rasa lumpur yang sering terdapat pada ikan air tawar, juga dapat meningkatkan
cita rasa serta kenampakan pindang ikan yang diolah, serta mencegah terjadinya kelengketan
antar produk pada ikan yang tidak bersisik (lele atau patin). Pindang ikan air tawar dapat dijadikan
sumber gizi protein bagi masyarakat karena mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi.
229
Sebagai contoh, pindang ikan mas mengandung protein sebanyak 21,3%, lemak 10,7%,
abu/mineral 4,1% dan kadar air 63,9%; sedangkan pindang ikan lele mempunyai kadar protein
20,8%, lemak 9,1% abu/mineral 3,7% dan kadar air 64,9%.
Manfaat penerapan teknologi ini adalah meningkatkan nilai tambah ikan air tawar menjadi produk
olahan ikan siap saji, sekaligus memanfaatkan hasil produksi ikan air tawar, yang saat ini
budidayanya sedang digalakkan.
PENGERTIAN
a. Pindang ikan air tawar: Hasil olahan ikan air tawar yang dimasak dengan cara dikukus atau
direbus dalam air garam atau dengan penambahan bumbu dengan bentuk dan kenampakan
menyerupai ikan segar serta dapat langsung dimakan dengan rasa dan aroma sesuai dengan
citarasa masyarakat Indonesia.
b. Tawas : garam kimia (KAl(SO4)2·12H2O) yang banyak digunakan untuk menjernihkan air dan
dalam industri pangan digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tekstur asinan atau acar
buah-buahan.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan teknis
 Pengolah harus mengetahui bahwa seperti halnya
ikan laut, ikan air tawar merupakan produk yang
mudah busuk sehingga dalam pengolahannya
perlu penerapan rantai dingin dan penanganan
yang cepat, saniter, dan higienis.
 Pengolah harus memiliki seperangkat alat untuk
pemindangan berupa dandang perebus serta
oven untuk mengurangi kadar air.
Pindang ikan air tawar dapat diolah dari ikan mas
(Cyprinus carpio), ikan nila (Oreochromis niloticus),
ikan mujair (Oreochromis mosambicus), ikan tawes
(Puntius javanicus) dan ikan nilem (Osteochilus
hasselti), lele (Clarias grapiennes) dan Ikan patin
(Pangasius hypopthalmus) yang biasanya diperoleh
dalam keadaan hidup. Sebelum diolah ikan dimatikan
dengan cara cold shock dengan menggunakan air
pada suhu rendah (4oC) selama 15 menit. Ikan
selanjutnya disiangi dengan membelah bagian
perutnya dengan menggunakan pisau yang tajam
kemudian dikeluarkan isi perutnya. Ikan kemudian
dicuci sehingga darah dan kotoran lainnya hilang. Ikan
yang sudah disiangi dan dicuci kemudian direndam
230
Ikan air tawar
Penyiangan
Pencucian
Perendaman tawas 0,5% atau asam
cuka 1% 30 menit
Perendaman dengan pasta bumbu 30
menit
Pengukusan selama 4 - 5 jam
o
Pengovenan pada suhu 80-90 C 1 jam
Pengemasan
Pindang ikan air tawar
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan
pindang ika air tawar
dalam larutan tawas 0, 5% atau asam cuka 1%
selama 30 menit. Ikan kemudian direndam
kembali dalam pasta bumbu yang terdiri dari
bawang putih 1,2%, lengkuas 1%, kunyit 1 %,
jahe 0,2%, daun salam 1 %, sereh 1 %, garam 5%
dan gula 5% selama 30 menit. Pasta bumbu
dibuat dengan cara menghancurkan bumbu
dengan air 1 : 1 dengan menggunakan blender.
Penambahan bumbu diharapkan dapat menutupi
adanya bau lumpur yang sering timbul pada ikan
air tawar.
Ikan yang sudah dibumbui kemudian dialasi
dengan daun bambu dan disusun satu persatu
dalam dandang pengukus. Ikan kemudian
dikukus selama 4 – 5 jam dengan menggunakan
api sedang sehingga durinya menjadi lunak.
Pindang ikan mas yang diperoleh kemudian
didinginkan pada suhu kamar, selanjutnta dioven
pada suhu 80 o -90 o C selama 1 jam untuk
menurunkan kadar air serta aw pindang.
Pemanasan kembali dalam oven tersebut dapat
Gambar 1. Pindang ikan mas sebelum dioven
Gambar 2. Ikan mas setelah direndam
menurunkan kadar air pindang dari 72- 76%
dalam bumbu
menjadi sekitar 60o-62oC , seperti kadar air
pindang ikan laut. Pindang akan lebih awet
apabila dikemas dengan kemasan plastik polietilen dengan ukuran lebar 10 cm panjang 20 cm
dengan ketebalan 0,8 mm. Agar kemasan menarik, ikan pindang diberi diberi alas karton putih dan
kemasan diberi label sesuai dengan ketentuan pelabelan. Bila disimpan pada suhu dingin (2o-4oC)
pindang yang sudah dikemas dengan kemasan plastik tersebut dapat bertahan hingga 25 hari.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Pindang diolah dari ikan air tawar yang bahan bakunya tersedia sepanjang tahun tanpa
dipengaruhi oleh musim
 Tekstur pindang ikan air tawar yang dihasilkan hampir sama dengan pindang ikan air laut,
bahkan dari segi rasa memiliki keunggulan karena adanya penambahan bumbu.
 Teknologi pengolahan pindang ikan air tawar sederhana sehingga mudah diterapkan oleh
masyarakat.
 Limbah yang dihasilkan dari pengolahan pindang berupa isi perut dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak. Sedangkan limbah air perebusan dapat diolah menjadi bumbu perisa.
 Pindang ikan air tawar diolah dari ikan hidup, yang tingkat kesegarannya masih prima,
sehingga akan diperoleh produk pindang dengan kenampakan yang cemerlang dan rasa yang
enak.
231
 Pindang ikan air tawar yang dikemas mempunyai daya tarik visual yang tidak kalah menarik
dengan pindang bandeng sehingga cocok untuk dikembangkan pada usaha skala kecil dan
menengah.
LOKASI REKOMENDASI
Berdasarkan ketersediaan bahan baku ikan air tawar dan potensi pasar ikan pindang, maka
wilayah yang paling cocok untuk pengembangan pengolahan pindang ikan air tawar adalah Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan DKI Jakarta.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak ada dampak negatif yang dihasilkan dari teknologi pengolahan pindang air tawar.
K E L AYA K A N
FINANSIAL
Pengolahan pindang
ikan air tawar cukup
prospektif. Selain
adanya jaminan
ketersediaan bahan
baku (karena diperoleh
dari hasil budidaya), nilai
jual pindang ikan air
tawar cukup tinggi
sehingga dapat
m e m b e r i k a n
keuntungan yang cukup
tinggi pula (Tabel 1).
Jenis Bahan
Ikan mas ukuran
5 ekor/kg
Bumbu
Gas
Kemasan
Tenaga kerja
Total modal
Penjualan
Jumlah satuan Harga (Rp)/satuan
40 kg
1
1
200
2
pkt
pkt
bh
org
17.000
Total (Rp)
920.000
10.000
5.000
1.000
30.000
200 ekor
10.000
5.000
200.000
60.000
955.000
6.000 1.200.000
Keuntungan = Penjualan-Modal
245.000
Tabel 1. Analisis usaha pengolahan pindang ikan mas
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Komponen atau peralatan yang digunakan dalam pengolahan pindang air tawar semuanya berasal
dari dalam negeri.
SPESIFIKASI
Komposisi gizi pindang ikan mas adalah sebagai berikut:
 kadar protein 21,3%,
 kadar lemak 10, 7%,
 kadar abu/mineral 4,1%
 kadar air 63,9%.
232
BBP4BKP
Cetyl-pyridinium Chloride (CPC) Sebagai Alternatif Pengganti Klorin
untuk Antimikroba Pada Penanganan Udang di Unit Pengolah Ikan (UPI)
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Kajian Penggunaan Bahan
Alternatif CPC dan Penelitian
Produksi Bakteriosin Skala
Laboratorium Untuk Mencegah
Kerusakan Pada Udang
Masa Pembuatan
2011-2012
Tim Penemu
Radestya Triwibowo., S.Pi
Dra. Ninoek Indriati., M.KM
Prof. Dr. Endang Sri Heruwati
Dr. Achmad Poernomo M.App.Sc
Arifah Kusmarwati, MSc
Irma Hermana S.St.Pi
Fairdiana Andayani., S.St.Pi
Kontak Person
Radestya Triwibowo
[email protected]
233
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Sejauh ini, klorin merupakan bahan kimia yang murah dan cukup efektif sebagai antimikroba
dalam proses penanganan udang. Penggunaan klorin sebagai antimikroba dalam proses
pencucian udang telah dilarang, terutama oleh negara-negara Uni Eropa. Cetyl-pyridinium
Chloride (CPC) memiliki potensi sebagai bahan antimikroba dalam proses pencucian udang beku
di Unit Pengolah Ikan (UPI) dan termasuk bahan kimia yang aman penggunaannya sehingga
diharapakan mampu menjadi bahan alternatif pengganti klorin. Penggunaan CPC diharapkan
mampu memperkecil kasus penolakan akibat kontaminasi mikroba patogen serta residu klorin
terutama untuk produk udang beku yang dipasarkan ke kawasan Uni Eropa.
PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI
CPC (Cetyl-pyridinium Chloride) lebih dikenal dengan nama cecure merupakan surfaktan yang
bersifat garam dengan cetyl-pyridinium sebagai gugus kationik dan chloride sebagai gugus.
CPC merupakan bahan kimia yang dapat digunakan dalam poses pengolahan makanan dan
tergolong dalam kategori GRAS (Generally Recognized As Safe) sehingga penggunaannya
aman dalam batas yang telah ditentukan. Food and Drugs Administration (FDA) pada tahun
2004 telah memperbolehkan penggunaan CPC untuk mencuci bahan baku dan produk sebelum
dilakukan chilling atau freezing pada produk unggas. Mulai tahun 2012, European Commission
(EC) sebagai “competent authority” Uni Eropa telah memperbolehkan penggunaan CPC dalam
proses pengolahan produk unggas. Penggunaan CPC diperbolehkan dalam proses pengolahan
sebagai bahan antimikroba melalui teknik pencelupan dengan konsentrasi 0,8-1,0 %. Kajian
toksikologi CPC yang dilakukan oleh European Food Safety Authority (EFSA) pada tahun 2012
menunjukkan bahwa CPC sampai dengan dosis 18 mg/kg berat badan/hari tidak menunjukan
adanya gangguan kesehatan yang dapat diamati atau No Observable Adverse Effect Level
(NOAEL). Penggunaan CPC (dalam bentuk merk dagang Cecure®) telah banyak digunakan di
negara Amerika Serikat, Kanada, Mexico, Panama, Kosta Rika, Kolombia, Rusia, Afrika Selatan,
Arab Saudi dan Yordania. Sementara itu di Indonesia, bahan kimia ini belum terdaftar di Badan
POM sebagai bahan yang boleh digunakan sebagai antimikroba/disinfektan pada proses
pengolahan pangan karena kajian penggunaan CPC untuk industri makanan, terutama produk
perikanan masih sangat terbatas.
234
1. Menyiapkan 3 buah bak penampung,
yaitu 2 bak pencelupan (untuk proses
pencelupan awal dan pencelupan
akhir) dan bak penirisan (untuk proses
penirisan yang terbuat dari stainless
steel .
2. Pembuatan larutan CPC yang terdiri
dari 0,8% CPC teknis ditambah
Perlakuan
Tahapan
Analisis
Ulangan
1
Bahan
baku
1.
CPC
0,8 % +
Gliserol
1%
Pencucian
CPC
Pencucian
Aquades/
Produk
Akhir
Bahan
baku
2.
Klorin
Pencucian
150 ppm
Pencucian
5 pm/
Produk
akhir
Analisis dengan metode PCR
V.
Salmonella
parahaemolyticus
sp
+
-
E. coli
+
2
+
-
-
3
+
-
+
1
-
-
+
2
-
-
-
3
-
-
-
1
-
-
-
2
-
-
-
3
-
-
-
1
+
-
-
2
+
-
-
3
+
-
+
1
-
+
-
2
-
-
-
3
-
-
-
1
-
-
+
2
+
-
-
3
+
-
-
Tabel 1. Hasil Analisa Mikroba Patogen pada
Udang yang diberi perlakuan CPC dan Klorin
Uji Hedonik Udang (Mentah)
6,20
6,10
6,00
5,90
nilai
Adapun tahapan-tahapan Prosedur
Operasional Standar (POS) penggunaan
CPC dalam proses penanganan udang
pada UPI adalah sebagai berikut:
No
5,80
5,70
5,60
5,50
5,40
5,30
CPC + Gliserol
kode sampel
Klorin
Uji Hedonik Udang (Matang)
6,20
6,10
6,00
nilai
RINCIAN DAN APLIKASI
TEKNIS/PERSYARATAN TEKNIS
Hasil penelitian yang telah dilakukan di
BBP4BKP menunjukkan bahwa CPC
mempunyai efektifitas antimikroba yang
sama dengan klorin (Tabel 1) dan secara
uji organoleptik penggunaan CPC lebih
baik dibandingkan klorin (Gambar 1).
Kajian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa penggunaan CPC
dengan konsentrasi 0,8% ditambah
dengan gliserol dengan konsentrasi 1 %
efektif mengurangi kontaminasi dengan
metode pencelupan (Tabel 2).
5,90
5,80
5,70
5,60
Tabel 2 (bawah). Aktifitas penghambatan CPC
terhadap bakteri patogen
Keterangan: huruf yang berbeda pada nilai zona
hambat di kolom yang sama menunjukkan
berbeda secara nyata (p<0,05)
No
Larutan
Pengendapan
CPC
5,50
CPC + Gliserol
kode sampel
Klorin
Gambar 1. Grafik Uji Organoleptik Antara Penggunaan
CPC dan Klorin pada Udang
Zona hambat antibakteri (mm)
Salmonella
V.
E. coli
sp
parahaemolyticus
1
CPC 0,8%
1 kali
pencelupan
5,67±0,47a
3,33±0,47a
6,33±0,47a
2
CPC 0,8%+
Gliserol 0,5%
3 kali
pencelupan
6,33±0,23b
3,67±0,47ab
6,33±1,18a
3
CPC 0,8% +
Gliserol 1 %
10 kali
pencelupan
6,33±0,47b
4,0±0,71b
6,67±0,94a
235
dengan 1% gliserol dilarutkan dalam ± 100 l akuades dingin. Penggunaan volume sebanyak
100 l disesuaikan dengan metode perendaman klorin yang umum dilakukan di UPI.
3. Pencelupan awal dilakukan setelah udang selesai dikupas dan menggunakan bak penampung
berisi larutan CPC 0,8% +gliserol 1%, udang harus terendam semua bagiannya selama 10
menit
4. Udang yang telah selesai dicelup, selanjutnya ditiriskan pada bak penirisan. Larutan hasil
penirisan dapat digunakan lagi untuk bak pencelupan awal. Larutan CPC+gliserol dapat
digunakan untuk mencuci (merendam) udang berkali-kali (hingga 10 batch yang berbeda).
Udang yang telah ditiriskan selanjutnya dicelup pada bak pencelupan akhir yang berisi aquadest
steril yang diberi aerasi selama 5 menit bertujuan untuk menurunkan kandungan CPC dan gliserol
pada udang. Umumnya tahap pencelupan akhir ini dilakukan apabila udang siap untuk di freezing
(pada udang beku) atau cooking (pada udang olahan).
Log CFU/gram
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 CPC tidak mempengaruhi tekstur, bau dan rasa pada produk udang, sehingga penerimaan
organoleptiknya lebih baik dibandingkan klorin
 CPC merupakan zat yang tergolong dalam GRAS (Generally Recognized As Safe) sehingga
penggunaannya aman dan tidak dilarang sebaliknya dibandingkan dengan klorin
 CPC tidak bersifat korosif sehingga tidak merusak peralatan kerja, sedangkan klorin bersifat
korosif
 CPC aman bagi pekerja pada UPI
Pertumbuhan E. coli selama 24 jam pengamatan pada
karena tidak meneyebabkan
suhu ruang
8
gangguan pernafasan, sebaliknya
7,5
dibaningkan dengan klorin
7
 CPC mempunyai efektifitas yang
6,5
sama dengan klorin dalam
6
menghambat pertumbuhan mikroba
Kontrol
5,5
0,4%
patogen yang mengkontaminasi
5
0,8%
4,5
produk
1,2%
4
0
6
12
Jam ke-
18
24
Pertumbuhan E. coli selama 9 hari pengamatan pada suhu 4oC
8,5
8
7,5
Log CFU/gram
LOKASI PENELITIAN PENGKAJIAN
DAN DAERAH REKOMENDASI
Teknologi penggunaan CPC sebagai
bahan alternatif pengganti klorin dapat
dimanfaatkan oleh para pengolah dan
dapat menjadi materi penyuluhan untuk
perbaikan sistem HACCP pada UPI
pengolah udang. CPC digunakan untuk
dekontaminasi bakteri patogen pada
produk melalui proses pencucian dengan
metode perendaman/pencelupan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa udang
setelah perlakuan pencucian/
7
6,5
6
Kontrol
5,5
0,4%
5
0,8%
4,5
1,2%
4
0
3
6
9
Hari ke-
Gambar 2. Pertumbuhan bakteri pada produk yang diberi
perlakuan CPC pada suhu ruang dan suhu dingin
236
perendaman kemudian disimpan dalam kondisi dingin, maka perlakuan penggunaan CPC akan
lebih efektif menghambat bakteri patogen sehingga teknologi ini akan sesuai bila diterapkan pada
UPI yang melakukan pengolahan udang beku (Gambar 2 di halaman sebelumnya).
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Penggunaan CPC yang berlebihan oleh UPI (diatas 18 mg/kg berat kadar/hari) mengakibatkan
tingginya residu CPC dalam produk dan berakibat pada penolakan produk tersebut, sehingga
perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian melalui institusi yang berwenang.
KELAYAKAN FINANSIAL
Biaya produksi yang dikeluarkan dalam penerapan penggunaan CPC sebagai pengganti klorin
dalam proses pencucian ditentukan oleh banyaknya jumlah penggunaan CPC dan klorin dalam
setiap proses produksi/pengolahan bahan baku udang. Berdasarkan hasil pengamatan di UPI
terkait yang menggunakan klorin, untuk pengolahan 100 kg bahan baku udang diperlukan larutan
sebanyak 100 liter klorin konsentrasi 150 ppm.
Bahan
No
Kimia
1
Jumlah
Udang
(Kg)
Jumlah
Larutan
(Liter)
Jumlah
Bahan
Kimia
(gram)
Harga
Bahan
Kimia
(Rupiah)
Biaya
bahan
per kg
udang
(Rupiah)
Klorin
100
100
15
75.000
11,25
CPC
100
10
80
500.000
400
Gliserol
100
10
100
150.000
150
Total
Biaya
per kg
bahan
Rp 11,25
2
Rp 550
Keterangan
Perlakuan pencelupan
menggunakan perbandingan
volume pelarut dan bahan
baku sebesar 1:1 (b/v),
larutan digunakan satu kali
pakai
Perlakuan pencelupan
menggunakan perbandingan
volume pelarut dan bahan
baku sebesar 1:1 (b/v),
larutan digunakan untuk 10
kali pakai
Tabel 2. Perbandingan analisis biaya produksi penggunaan CPC dan Klorin pada proses penanganan udang
Berdasarkan analisis biaya produksi tersebut, penggunaan CPC + gliserol pada proses pencucian
dengan metode perendaman skala massal/UPI memang masih memiliki biaya yang lebih tinggi
dibandingkan pencucian dengan klorin dengan selisih sekitar Rp 500,- per kilogram bahan baku
udang yang diproses. Namun demikian, apabila produsen/UPI ingin produknya dapat diterima
dipasar Uni Eropa, maka selisih biaya mengganti klorin dengan CPC tidak terlalu memberatkan
bila dibandingkan dengan pemasukan yang akan diperoleh. Analisis ini dapat digunakan UPI
sebagai bahan pertimbangan untuk memperkirakan untung atau ruginya bila produk udang
nantinya dipasarkan ke Uni Eropa dan sekitarnya.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Sampai saat ini, di Indonesia belum ada UPI yang menggunakan CPC sebagai bahan antimikroba
karena belum mendapatkan informasi tentang kegunaannya sebagai antimikroba. Akibat dari
rendahnya tingkat penggunaannya maka bahan baku CPC relatif sulit diperoleh di dalam negeri
237
dalam bentuk eceran. Namun, CPC dalam bentuk merek dagang Cecure® telah tersedia di
pasaran dan diimpor dari Amerika Serikat.
SPESIFIKASI
Penggunaan larutan CPC digunakan untuk mereduksi/menghambat bakteri patogen pada proses
pengolahan udang pada tahap pencucian/soaking. Larutan CPC terdiri dari CPC 0,8% ditambah
Gliserol 1,0% yang dilarutkan dalam aquadest dingin dan ditampung dalam wadah stainless steel.
Perlakuan perendaman udang dengan aquadest pada tahap selanjutnya bertujuan untuk
mengurangi residu CPC dan gliserol.
Gambar 3. Proses analisis CPC sebagai antimikroba skala laboratorium
238
BBP4BKP
Bubuk Kalsium dari Tulang Ikan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi
Masa Pembuatan
2010-2012
Tim Penemu
Ir. Murniyati
Fera Roswita Dewi, SStPi, MSi
Nurhayati, SSi
Drs. Tazwir
Prof.Dr. Rosmawaty Peranginangin
Kontak Person
Ir. Murniyati
[email protected]
Fera Roswita Dewi
[email protected]
239
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan penerapan teknologi ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah hasil
perikanan khususnya tulang ikan yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Manfaat dari penerapan teknologi ini adalah untuk memanfaatkan tulang ikan yang masih sering
dianggap sebagai limbah, dengan demikian dapat mengurangi dampak lingkungan dari limbah
hasil perikanan. Hal ini sangat mendukung konsep zero waste dan blue economy, selain juga dapat
menjadi peluang kerja baru bagi masyarakat kelautan dan perikanan Indonesia.
Bubuk kalsium tulang ikan dapat ditambahkan pada produk kering seperti kerupuk, mi, tik-tik ikan,
biskuit dan berbagai produk kering lainnya. Di samping itu dapat digunakan juga pada produk
basah seperti nuget, kaki naga, burger, bakso, brownis dan lainnya. Bubuk kalsium tulang ikan
dapat juga dapat digunakan sebagai sumber kalsium pada pakan ternak dan pakan ikan.
Pembuatan tepung tulang ikan sudah dilakukan secara tradisional dengan menggiling tulang ikan
yang sudah dikeringkan, tanpa melalui proses ekstraksi. Inovasi dari teknologi ini adalah
dilakukannya proses ekstraksi menggunakan NaOH an HCl sehingga dapat diperoleh bubuk
kalsium tulang ikan yang lebih murni dengan ukuran yang lebih halus, bahkan dapat mencapai
ukuran nano, sehingga mudah diserap oleh tubuh bila dikonsumsi.
PENGERTIAN
Kalsium: Logam putih, menyerupai kristal; unsur dengan nomor atom 20, berlambang Ca, dan
bobot atom 40,08
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
Pembuatan bubuk kalsium dari tulang ikan memerlukan peralatan sebagai berikut :
1. Panci perebus
2. Kompor
3. Waterbath (dapat dimodifikasi dari drum bekas, minimal mampu digunakan untuk merendam
pada suhu 100oC)
4. Kertas saring Whatman ukuran 41 atau 42 dan kertas pH yang dapat diperoleh di toko bahan
kimia
240
5. Grinder, dishmill atau hammer mill untuk menggiling tulang menjadi partikel ukuran
kecil/bubuk
6. Oven/alat pengering mekanis yang minimal mampu mencapai suhu 50oC
7. Saringan bertingkat dengan ukuran 100 mesh, 200 mesh, dan 500 mesh
Di samping itu diperlukan bahan-bahan sebagai berikut:
1. Tulang ikan (dapat berasal dari semua jenis ikan, merupakan limbah dari pengolahan fillet atau
pengolahan ikan lain)
2. NaOH (teknis)
3. HCl (teknis)
Rincian teknologi
1. Pembersihan tulang ikan dari kotoran atau sisa daging yang melekat dilakukan dengan
pencucian dan penyiangan. Tulang pada bagian kepala dan ekor ikan dibuang.
2. Tulang ikan kemudian direbus dalam wadah perebusan atau panci aluminium selama 30 menit
pada suhu sekitar 1000 o C. Proses pemasakan atau perebusan dilakukan untuk
mempermudah pembersihan tulang dari daging, lemak dan darah yang menempel ada tulang.
Untuk mendapatkan tulang ikan yang bersih dan hasil akhir dengan nilai derajat putih yang
tinggi, perebusan dapat dilakukan berulang-ulang.
3. Tulang ikan yang telah direbus ditiriskan di para-para atau tampah kemudian didinginkan.
Untuk mempercepat proses pendinginan dapat digunakan kipas angin atau diangin-anginkan
di udara luar.
4. Sisa daging yang masih menempel dibersihkan menggunakan sikat dan dicuci kembali hingga
bersih.
5. Setelah bersih, tulang dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering (sekitar 1 hari)
menggunakan para-para atau tampah sebagai wadah tulang ikan.
6. Tulang ikan yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan alat penepung,
dishmill atau hammer mill.
7. Tahapan selanjutnya adalah proses ekstraksi tepung tulang ikan yang dilakukan pada suhu
100oC dalam waterbath menggunakan larutan NaOH (konsentrasi 4%) selama 1 jam
dengan perbandingan antara tepung dan larutan NaOH 1 : 2.
8. Untuk memisahkan filtrat dan residunya, dilakukan 2 kali penyaringan. Penyaringan pertama
dilakukan menggunakan kain blacu dan penyaringan kedua dilakukan dengan menggunakan
kertas saring whatman. Tujuan dari penyaringan 2 tahap ini adalah untuk mendapatkan residu
yang lebih banyak sekaligus meminimalkan biaya. Jika menggunakan kertas saring whatman
saja untuk penyaringan makan biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak dibanding
penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain blacu, tetapi bila hanya menggunakan
kain blacu saja, hasilnya tidak sebagus jika penyaringan dilakukan dengan menggunakan
kertas saring whatman karena pori-pori kain blacu lebih besar dari pori-pori kertas saring
whatman.
9. Pencucian ulang kemudian dilakukan dengan akuades agar residu mempunyai pH yang
mendekati netral (pH 7). Pengecekan pH dapat menggunakan kertas pH.
241
10. Residu yang sudah netral kemudian dihidrolisis dengan cara merendamnya dalam HCl 3,6%
dengan perbandingan 1 : 3 selama 24 jam, selanjutnya residu berikut HCl tersebut
dimasukkan ke dalam waterbath untuk dipanaskan pada suhu 100oC selama 1 jam.
11. Setelah diekstraksi, dilakukan penyaringan dengan cara yang sama dengan penyaringan
sebelum pencucian pada proses ekstraksi pertama.
12. Pencucian ulang hingga pH netral dilakukan menggunakan akudes seperti pada penetralan
sebelumnya.
13. Pengeringan residu dilakukan menggunakan oven pada suhu 50oC selama 24 jam atau
hingga kadar air residu maksimal 3%.
14. Residu yang telah kering digiling kembali untuk menyeragamkan ukuran. Penggilingan
dilakukan dengan menggunakan alat penepung/hammer mill/dishmill.
15. Tepung yang dihasilkan kemudian disaring menggunakan saringan bertingkat 100 mesh, 200
mesh dan 500 mesh. Penyaringan bertingkat ini dimaksudkan untuk mendapatkan bubuk
kalsium dengan ukuran yang berbeda-beda. Pembedaan kelompok ini berguna untuk
menentukan segmen pasar karena setiap segmen mempunyai harga yang berbeda. Kalsium
dengan ukuran yang lebih kecil dapat dijual untuk segmen pasar yang dengan nilai jual lebih
tinggi dibandingkan kalsium dengan ukuran lebih besar.
16. Pengemasan dilakukan untuk mencegah kalsium ditumbuhi jamur akibat kelembaban (RH)
yang tinggi di udara sekitar. Pengemasan dapat menggunakan plastik atau botol. Ukuran
kemasan dan bobot kalsium pada kemasan ditentukan oleh pengusaha berdasarkan segmen
dan permintaan pasar. Pasar potensial adalah industri makanan kecil dan pakan ternak/ikan.
17. Kalsium dapat digunakan pada makanan kecil/snack kering dengan takaran tidak lebih dari
2% dari total adonan. Penambahan kalsium dari tulang ikan ini dapat dilakukan pada proses
pencapuran bahan makanan (pengadonan).
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Selain meningkatkan nilai tambah, teknologi ini dapat mengurangi masalah pencemaran
lingkungan oleh limbah perikanan.
 Bubuk kalsium tulang ikan mengandung kalsium yang lebih murni dan ukuran bubuk yang
lebih kecil dibandingkan tepung ikan yang dibuat secara tradisional, karena menggunakan
proses ekstraksi dengan NaOH dan HCl. Dengan demikian diharapkan kalsium akan dapat
diserap dengan lebih baik oleh tubuh.
 Mudah disubtitusikan pada produk makanan olahan karena berbentuk tepung dan tidak
berbau amis.
 Mempunyai pangsa pasar pada industri pakan sebagai sumber mineral dalam formulasi
pakan.
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) Jakarta pada tahun 2010 – 2012, diteruskan
dengan kaji terap penggunaan bubuk kalsium tulang ikan pada berbagai jenis makanan misalnya
tik-tik, kerupuk, kue, roti, brownis dan lain-lain makanan camilan. Kaji terap dilakukan di
242
Tulungagung, Kupang (Nusa tenggara Timur), Tegal, Samarinda, Pemangkat dan Kayong Utara
(Kalimantan Barat.
Teknologi ini direkomendasikan untuk daerah yang banyak terdapat unit pengolah ikan baik skala
UKM maupun industri yang pada proses produksinya menghasilkan hasil samping tulang ikan.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Teknologi ini tidak akan berdampak negatif pada lingkungan bila dilengkapi dengan instalasi
pengolahan limbah (IPA)L, karena menggunakan bahan kimia pada prosesnya.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Komponen yang digunakan dalam teknologi ini seluruhnya menggunakan material produksi dalam
negeri.
No
Satuan
Jumlah
Tulang ikan
(ekstraksi setiap 3
hari sekali)
Kg
50
2
NaOH (teknis)
Kg
5
3
4
5
HCl (teknis)
Gas
Pengemas
JUMLAH
liter
tabung
Kg
Orang
Paket
Paket
1
1
2
3
Uraian
Biaya tetap
Tenaga Kerja
Listrik
Air
JUMLAH
Modal Usaha
Tetap
Biaya Investasi
Biaya Operasional
Biaya Tetap
Harga
satuan
Jumlah
Jumlah/ bulan
1.000
50.000
500.000
2
0,3
10
15.000
15.000
15.000
15.000
75.000
30.000
4.500
150.000
309.500
300.000
45.000
1.500.000
3.095 .000
4
1
1
25.000
150.000
100.000
100.000
150.000
100.000
350.000
2.500.000
150.000
100.000
2.750.000
750.000
= Biaya Investasi + Biaya Opresional + Biaya
96.530.000
3.095.000
2.750.000
102.375.000
0
Tabel 1. Rincian Biaya operasional Ekstraksi tulang ikan
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA
Diasumsikan bahwa modal usaha Rp 50.000.000 merupakan pinjaman Bank yang diberikan
melalui KUMK dengan Bunga 12% per tahun, maka pinjaman yang diajukan ke bank maka
perhitungannya dapat dilihat pada tabel di halaman berikut:
243
Modal
Pinjaman
(R P)
97.0 39.500
50.000.000
Bunga Bank Pertahun
12 %
Pinjaman
50.000.000
Bunga 12%/tahun
Bunga perbulan
Pengeluaran
Penyusutan
6.000.000
500.000
Pertimbangan Usaha
Pertimbangan usaha dihitung berdasarkan
BEP = Biaya tetap/1-Biaya tidak tetap/hasil penjualan
Biaya tetap
Variable Cost
Hasil Penjualan
Biaya operasional/Hasil
Penjualan
Penyebut
BEP
2.750.000
3.095.000
10.000.000
0, 309
0,691
3.982.621,29
583.83
Biaya operasional
3.095.000
Biaya tetap
2.750.000
Bunga Bank
500.000
6.928.833
Proyeksi Laba Rugi
Usaha
Pendapatan
Penjualan tepung
tulang
Rendemen
(KG )
satuan
40
kg
harga per kg
(R P)
25.000
Total
Pendapatan/bulan
10.000.000
Pengeluaran
Biaya Produksi
Penyusutan
Biaya Tetap
Bunga Bank
Perbulan
Total Pengeluaran
Laba Setelah Pajak
3.095.000
583.833
2.750.000
500.000
6.928.8 33
3.071.167
244
Jumlah
(R P)
1.000.000
jumlah/bulan
(R P)
10.000.000
Gambar 1. Tulang ikan setelah dibersihkan dari kotoran, lemak dan daging yang melekat
Gambar 2. Tulang ikan setelah pengeringan
Gambar 3. Tulang ikan yang
telah selesai proses
perendaman dalam NaOH
Gambar 4. Penepungan
tulang ikan
Gambar 5. Produk tepung
tulang ikan
Spesifikasi
Bubuk kalsium tulang ikan mempunyai kadar kalsium 22,6%, rasio kalsium dengan fosfor sebesar
1,87. Mempunyai kadar air 2,33%, kadar abu 92,74%, kadar protein 0,61%, ukuran 145 nm - 2 µm
dan derajat putih 93,72%.
245
BBP4BKP
Refined Carrageenan (RC) Kualitas Food Grade
dari Euchema cottonii
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi pengolahan karaginan murni
dengan metode pengendapan
menggunakan KCl, menggantikan
metode menggunakan IPA
Masa Pembuatan
2008-2012
Tim Penemu
Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin;
M.Darmawan, MT
Kontak Person
Prof. Dr. Rosmawaty P.
[email protected]
246
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Teknologi ini ditujukan untuk memperoleh karaginan murni yang memenuhi persyaratan kualitas
sebagai bahan pangan (food grade). Penggunaan karaginan murni (RC) adalah khusus untuk
produk makanan, baik sebagai bahan baku atau bahan tambahan, atau sebagai bahan fungsional
seperti pada produk jelly transparan (sebagai pembentuk gel), minuman (sebagai penjernih),
permen jelly (sebagai pembentuk gel), es krim (sebagai pelembut dan penstabil), sirup (sebagai
pengental).
Refined carrageenan (RC) dapat diproduksi menggunakan bahan baku rumput laut maupun
menggunakan produk setengah jadi, yaitu ATC atau SRC.
Teknologi ini sudah dikaji terap dan diberikan dalam beberapa kali pelatihan. Hasil ekstraksi
refined karaginan yang diperoleh sudah memenuhi kualitas yang dipersyaratkan oleh konsumen
atau pemasok bahan aditif produk pangan. Karaginan murni yang dihasilkan teknologi ini
mempunyai kekuatan gel di atas 1200 g/cm2, kadar air maksimal 12%, rendemen minimal 27%
dari rumput laut kering, viskositas 20 – 150 cP, pH 6 -7, dengan tepung karaginan yang tidak
berwarna dan larutan transparan, yang tidak berbau bila dilarutkan.
PENGERTIAN
Produk refined carrageenan (RC) adalah produk karaginan murni yang sudah memenuhi standar
food grade, yang dibuat dari rumput laut Eucheuma cottonii, melaui proses pencucian, ekstraksi
menggunakan alkali, netralisasi, penyaringan,dan pengendapan, sehingga menjadi bubuk
karaginan.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
Untuk menerapkan teknologi ini diperlukan rumput laut Eucheuma cottonii, atau bahan setengah
jadi berupa ATC atau SRC; dan bahan-bahan kimia seperti KOH, celit dan KCl teknis yang dapat
diperoleh di toko kimia.
Selain itu juga dibutuhkan peralatan seperti alat ekstraktor, filter press, KCl food grade dan alat
penepung dengan spesifikasi tertentu.
247
Spesifikasi filter press :
- Tipe manual Chamber plates filter press
- Model : UN-M114-H057
- S/No: 0110720/12
- Hydraulic Ram Model : S5-53
- Hydraulic pump model : P1-B
- Filter plate (chamber) : 11 pcs; 470 mm x 470 mm
- Overall dimension : 2050 (L) x 1190 (H) x 980 (W) (in mm)
- Empty weight : 775 kg
- Kapasitas : 57 L
- Ketebalan : 32 mm
- Tekanan filtrasi : sampai 15 kg/cm2
- Filter plate : Lenser Germany, polipropilen homo- polimer; terdiri dari 9 buah chamber plat;
1 buah chamber head dan 1 buah chamber end plat
2
2
- bahan saringan : polipropilen, berat 340 g/m air permeability 10 L/dm /menit
Spesifikasi double jacket :
- Kapasitas alat ekstraktor 1000 L
- Burner merk RIELLO; Daya 0,33 kW; type 482 Ti
- Pompa sirkulasi : daya 0,37 kW, Type CR5-2A-FGJ-A-E-HUBE; model A
96448706P20321; merk Grundfos
- Bahan stainless steel
- Dilengkapi pengaduk : 1: 30 gear box; motor daya 1,1 kW; 3 phase
Rincian teknologi
Persiapan bahan baku
Bila diproses dari bahan baku rumput laut, rumput laut tersebut harus dipisahkan menurut
jenisnya, dan membuang jenis yang bukan E. cottonii. Benda-benda asing seperti koral, kerang, tali
rafia, plastik, potongan kayu dan lain-lainnya juga harus dibuang. Pencucian dilakukan
menggunakan drum washer dengan kapasitas 50 Kg. Prinsip kerja alat ini adalah mencuci rumput
laut dengan air mengalir. Untuk membersihkan rumput laut dari kotoran berupa pasir, garam dan
sisa-sisa tali, dibutuhkan waktu selama 30 menit. Dengan debit air 2 Liter/menit, kebutuhan air
untuk pencucian tersebut adalah 60 liter.
Ekstraksi karaginan
Rumput laut yang sudah bersih diproses menggunakan KOH 8% dengan perbandingan rumput
laut dan larutan KOH (1:6) pada suhu 60-70oC selama 2 jam, lalu di netralisasi menggunakan air
tawar kemudian diekstrak kembali dengan air pada suhu 90 oC selama 2 jam dengan rasio rumput
laut dan air (1:20). Hasil ekstraksi dipisahkan dengan filter press, filtrat yang diperoleh didinginkan
sampai suhu 35oC lalu diendapkan dengan penambahan KCl 1% dengan rasio filtrat dan larutan
KCl (1:2). Apabila bahan baku yang digunakan adalah produk setengah jadi, maka bahan tersebut
248
tinggal diekstraksi dengan air pada suhu 90oC selama 2 jam, diteruskan dengan proses berikutnya
seperti pada proses menggunakan bahan baku rumput laut.
Pengeringan
Endapan yang diperoleh kemudian dikeringkan secara alami yaitu dengan sinar matahari.
Pengeringan membutuhkan waktu 2-3 hari sampai kadar air berkisar 12-14%. Peralatan yang
dibutuhkan dalam proses pengeringan adalah nampan-nampan berukuran 1x1 meter.
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca,
namun mutu pengeringan yang dihasilkan relatif baik, biaya murah serta tidak memerlukan
peralatan yang banyak dan mahal. Sebaliknya pengeringan mekanis (mesin pengering) lebih
mahal namun memberikan keuntungan berupa tidak adanya pengaruh cuaca, kapasitas
pengeringan dapat dipilih sesuai kebutuhan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi
pengeringan dapat dikontrol.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
- Meskipun teknologi ini menggunakan peralatan yang dapat dibuat di Indonesia dan cara
prosesnya sederhana, namun dari pertimbangan ekonomis lebih tepat diterapkan pada
skala industri
- Bahan baku mudah diperoleh, karena Indonesia merupakan penghasil rumput laut
Eucheuma cottonii tertinggi di dunia
- Biaya produksi lebih murah dibandingkan dengan produksi RC menggunakan teknologi
yang saat ini dikembangkan secara komersial, yaitu menggunakan alkohol (IPA)
- Limbah dari ekstraksi refined karaginan ini adalah selulosa dan tanah diatomae yang
aman terhadap lingkungan dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan filler pada kertas dan
papan partikel. Teknologi pemanfaatan limbah RC ini sudah tersedia.
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Penelitian sudah dimulai sejak tahun 2008 pada skala laboratorium, yang dilanjutkan ke skala
yang lebih besar. Tahap Pengembangan dilakukan pada tahun 2010 dengan melakukan
beberapa kali pengolahan. Tahun 2011 dan 2012 sudah dilakukan pelatihan kepada pengguna.
Wilayah pengembangan usaha produksi SRC yang direkomendasikan adalah tempat penghasil
rumput laut Eucheuma cottonii seperti Bali, Sulawesi Selatan, NTT, Sulawesi Utara dan wilayah
tersebut harus memiliki sumber air tawar.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif dari teknologi ini hampir tidak ada, kalaupun ada yaitu hasil
pencucian alkali yang bisa mengganggu ekosistem lingkungan. Namun hal ini bisa diatasi dengan
netralisasi terlebih dahulu sebelum dibuang. Caranya dengan membuat bak-bak penampungan
terhadap limbah lalu ditambah asam lemah, setelah pH netral lalu dialirkan ke pembuangan
limbah. Sedangkan bila menggunakan iso propil alkohol (IPA), limbah IPA dapat mencemari
ligkungan.
249
KELAYAKAN FINANSIAL
Analisis ekonomi dilakukan untuk produksi dengan kapasitas 80 kg rumput laut kering per hari,
jumlah hari kerja 25 hari per bulan , volume produksi 27% dari total bahan baku yang digunakan,
jumlah produk yang dihasilkan 467 kemasan per tahun, dengan berat per kemasan 25 kg.
Penjualan pada tahun pertama diasumsikan sebesar 80% atau sebanyak 374 kemasan, dan
meningkat pada tahun kedua dan seterusnya menjadi 90 % atau sebanyak 420 kemasan. Harga
pokok per kemasan dihitung dari total biaya produksi pada tahun pertama dibagi dengan jumlah
produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yaitu 11.675 kg. Harga jual produk adalah Rp
230.000.-,/kemasan, dengan margin keuntungan adalah sekitar 50%.
Biaya produksi dan investasi yang meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya operasional
pabrik, dan biaya operasional kantor yang diperlukan pada tahun pertama adalah Rp
1.438.599.594, dengan biaya operasional per tahun : Rp 434.900.000.- yang meliputi biaya
produksi, tenaga kerja, pemeliharaan, utilitas kantor dan penyusutan. Biaya operasional
diasumsikan sama dari tahun pertama sampai tahun kelima.
Break Even Point atau titik impas pada tahun pertama adalah Rp 322.336.869,- dengan jumlah
karaginan murni terjual minimal 9.331,2 kg. Pada tahun berikutnya, nilai BEP adalah Rp
375.170.331 atau minimal 10.498 kg produk terjual. Dari proyeksi penjualan, jumlah unit terjual
sudah di atas BEP sehingga perusahaan telah mendapat untung. Waktu yang dibutuhkan untuk
kembali modal, saat penerimaan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan, adalah sekitar
1 tahun 11 bulan.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Komponen atau material dalam proses produksi RC semuanya berasal dari dalam negeri.
Bahan–bahan yang dibutuhkan tersebut adalah rumput laut Eucheuma cottonii, KOH, celit
sebagai absorben selulosa dan air tawar, sedangkan peralatan untuk ekstraksi adalah buatan
dalam negeri, seperti alat ekstraktor double jacket berbahan stainless steel, filter press, bak
penampung berkapasitas 250 liter untuk menampung filtrat.
FOTO DAN SPESIFIKASI
Rumput laut setelah alkali treatment
Proses filtrasi
250
Proses presipitasi dengan KCl
Serat karaginan setelah disaring
Refined carrageenan (RC)
Serat karaginan setelah kering
SPESIFIKASI
Refined karaginan hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan teknologi yang
direkomendasikan adalah seperti pada Tabel berikut :
Parameter
RC
Standar FAO
32.977 ± 6.804
-
Kadar Air(%)
8.25 ± 0.070
maks 12
Kadar Abu (%) wb
27.33 ± 0.71
15-40
Kd. Abu tak larut asam (%) wb
0.27 ± 0.08
maks 1
17.688 ± 0.253
15-40
310.0 ± 2.12
-
1 616.43 ± 35.85
-
Rendemen (%)
kd. Sulfat (%)
Viskositas (cPs)
Kekuatan gel (gr)
251
BBP4BKP
Semi Refined Carrageenan (SRC) dari Euchema cottonii
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi pengolahan karaginan murni
dengan metode pengendapan
menggunakan KCl, menggantikan
metode menggunakan IPA
Masa Pembuatan
2009-2012
Tim Penemu
Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin
Ir. Arif Rahman Hakim
Ellya Sinurat, Msi
M.Darmawan, MT
Dr. Singgih Wibowo
Kontak Person
Prof. Dr. Rosmawaty P.
[email protected]
252
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Teknologi ini ditujukan untuk mendapatkan semi refined karaginan (SRC) yang dapat diterapkan
pada usaha kecil menengah (UKM), sedangkan SRC dapat digunakan sebagai bahan makanan
tambahan pada produk pangan maupun non pangan seperti jelly (sebagai pembentuk gel),
permen jelly (sebagai pembentuk gel), es krim (sebagai pelembut dan penstabil), sirup (sebagai
pengental), atau sebagai bahan pengisi pada pembuatan shampoo, sabun, pasta gigi, body lotion,
sabun, dll.
Semi-refined carrageenan (SRC) merupakan salah satu produk karaginan dengan tingkat
kemurnian lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung selulosa
yang ikut mengendap bersama karaginan. Semi-refined carrageenan (SRC) secara komersial
diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii melalui proses menggunakan larutan alkali
(Kalium hidroksida/KOH).
Semi refined karaginan yang dihasilkan menggunakan teknologi ini dapat mencapai rendemen
33-39% dengan kekuatan gel sebesar 1.159 g/cm2. Nilai rendemen yang dihasilkan ini sudah
memenuhi standar minimum rendemen SRC yang telah ditetapkan yaitu minimal 28%.
PENGERTIAN
Rumput laut E. cottonii yang telah di proses dengan alkali (KOH), diekstrak pada suhu 65-70oC
dan dinetralisasi dengan air tawar, kemudian dipotong 2-3 cm atau tanpa dipotong lalu
dikeringkan biasa disebut alkali treated cottonii (ATC). ATC yang digiling menjadi tepung disebut
semi refined carrageenan (SRC).
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
Rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku harus dari jenis Eucheuma cottonii, dan
memenuhi persyaratan rumput laut kering menurut SNI No.2690.1:2009. Adapun peralatan yang
harus disediakan adalah tangki double jacket, gas elpiji, alat pemotong, KOH teknis, nampan
pengering serta alat penepung, alat pengemas, dan alat pengering mekanis lain yang diperlukan.
253
Rincian teknologi
Sortasi dan Pencucian
Rumput laut dipisahkan menurut jenisnya, dan membuang jenis yang bukan E. cottonii. Bendabenda asing seperti koral, kerang, tali rafia, plastik, potongan kayu dan lain-lainnya juga harus
dibuang. Pencucian dilakukan menggunakan drum washer dengan kapasitas 50 Kg. Prinsip kerja
alat ini adalah mencuci rumput laut dengan air mengalir. Untuk membersihkan rumput laut dari
kotoran berupa pasir, garam dan sisa-sisa tali, dibutuhkan waktu selama 30 menit. Dengan debit
air 2 Liter/menit, kebutuhan air untuk pencucian tersebut adalah 60 liter.
Gambar 1. Alat pencucian rumput laut kering
Perebusan dalam Alkali
Perebusan (alkalinisasi) dilakukan menggunakan larutan
KOH 8% dengan perbandingan rumput laut dan larutan
KOH 1:6. Alkalinisasi dilakukan selama 2 jam pada suhu
65-700oC. Larutan KOH dapat digunakan berulang-ulang,
tetapi konsentrasi KOH harus diukur dan disesuaikan lagi
sebelum dipakai kembali.
Alkalinisasi rumput laut dalam larutan KOH menggunakan
alat dengan sistem double jacket dengan media pemanas
oli atau air. Alat ini dilengkapi dengan termometer, filter dan
katup pengaman. Bahan terbuat dari plat baja tahan karat.
Alat ini mempunyai ukuran diameter 76 cm dan tinggi 120
cm, mampu menampung air sebanyak 450 liter.
Gambar 2. Tangki perebus double jacket
Pencucian Kedua
Pencucian kedua dilakukan setelah rumput laut direbus dalam larutan KOH. Pencucian bertujuan
untuk menurunkan pH rumput laut. Dalam proses pencucian diberikan aerasi untuk mempercepat
penurunan pH. Pencucian dilakukan sebanyak 4 kali atau sampai pH mencapai 8-9 dengan
volume air tawar 6 kali rumput laut atau sebanyak 300 liter setiap kali pencucian. Tangki pencucian
berkapasitas 735 Liter yang dilengkapi pipa saluran udara sebagai aerasi.
254
Pemotongan dan pengeringan
Pemotongan bertujuan untuk memperkecil ukuran
ATC m e n j a d i s e k i t a r 2 - 3 c m s e h i n g g a
mempermudah proses pengeringan. Alat
pemotong yang digunakan bertenaga listrik
dengan kebutuhan daya sebesar 320 watt, alat ini
mempunyai kapasitas mencacah 120 Kg/jam.
Pemotongan dapat dilakukan sebelum atau
sesudah pengeringan.
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari
sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, namun
mutu pengeringan yang dihasilkan relatif baik,
biaya murah serta tidak memerlukan peralatan
yang banyak dan mahal. Sebaliknya pengeringan
mekanis (mesin pengering) lebih mahal namun
memberikan keuntungan berupa tidak adanya
pengaruh cuaca, kapasitas pengeringan dapat
dipilih sesuai kebutuhan, tidak memerlukan tempat
yang luas, serta kondisi pengeringan dapat
dikontrol. Perbedaan cara pemotongan (sebelum
atau sesudah pengeringan) atau cara pengeringan
(sinar matahari atau mesin pengering) akan
berdampak pada rendemen dan kualitas SRC yang
kemudian akan berdampak pada keuntungan yang
diperoleh.
Bila pengeringan dilakukan dengan menggunakan
sinar matahari, dibutuhkan waktu 2-3 hari sampai
kadar air berkisar 12-14%. Rendemen yang
dihasilkan adalah rata-rata 30,79 %. Peralatan
yang dibutuhkan dalam proses pengeringan adalah
nampan-nampan berukuran 1x1 meter. Untuk
mengeringkan 120-130 Kg ATC basah dibutuhkan
15-17 buah nampan. Sedangkan dengan mesin
pengering, dibutuhkan waktu 4-5 jam pada suhu
45-50oC.
Sortasi dan Pemisahan logam
Sortasi dilakukan untuk menjaga keseragaman
ukuran dan membuang kotoran berupa pasir atau
logam dengan menuangkannya melewati magnit
tester sehingga kotoran berupa pasir dan logam
255
Rumput Laut Kering E.cottonii
Sortasi untuk menghilangkan kotoran seperti:
garam, rumput laut selain E.cottonii, kerikil,
pecahan karang, tali rafia dan lainnya
Pencucian dengan air bersih
Proses Alkalinisasi KOH 8% : air tawar: 1:6, suhu
65-70oC dan waktu 2 jam
Netralisasi pH dengan pencucian menggunakan
air bersih
Pemotongan 2-3 cm/tanpa pemotongan
Pengeringan
Alkali treated cottonii (ATC)
Penepungan dan penyaringan dengan ukuran 80
mesh
Semi Refined Carrageenan (SRC)
Pengemasan
Gambar 3. Diagram alir proses produksi SRC
akan melekat pada magnit tersebut. ATC yang telah bersih dari logam dan kotoran kemudian
ditepungkan dengan mesin penepung sehingga diperoleh SRC lalu diayak dengan saringan
berukuran 80 mesh untuk seterusnya dikemas dalam kantong polietilen dan diberi label.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Teknologi ini mudah diterapkan dalam skala UKM maupun industri karena menggunakan
peralatan yang dapat dibuat di Indonesia dan cara proses yang sederhana,
 Bahan baku mudah diperoleh, karena Indonesia merupakan penghasil rumput laut
Eucheuma cottonii tertinggi di dunia
 Bahan kimia berupa larutan KOH dapat digunakan secara berulang hingga 20 kali
dengan sedikit penambahan KOH untuk mencapai konsentrasi 8% sehingga
pemakaiannya efisien. Limbah larutan KOH dapat dinetralisasi sehingga aman terhadap
lingkungan.
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Penelitian sudah dimulai sejak tahun 2009 pada skala laboratorium, yang dilanjutkan ke skala
yang lebih besar. Tahap Pengembangan dilakukan pada tahun 2010 dengan melakukan 20 kali
pengolahan untuk melakukan analisis usaha. Tahun 2011 dan 2012 sudah 2 kali dilakukan
pelatihan kepada pengguna.
Wilayah pengembangan usaha produksi SRC yang direkomendasikan adalah tempat penghasil
rumput laut Eucheuma cottonii seperti Bali, Sulawesi Selatan, NTT, Sulawesi Utara dan wilayah
tersebut harus memiliki sumber air tawar.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif dari teknologi ini hampir tidak ada, kalaupun ada yaitu hasil
pencucian alkali yang bisa mengganggu ekosistem lingkungan. Namun hal ini bisa diatasi dengan
netralisasi terlebih dahulu sebelum dibuang. Caranya dengan membuat bak-bak penampungan
terhadap limbah lalu ditambah asam lemah, setelah pH netral lalu dialirkan ke pembuangan limbah.
KELAYAKAN FINANSIAL
Teknologi produksi SRC ini berpotensi untuk dikembangkan di masyarakat pengolah SRC skala
UKM. Analisis ekonomi yang dilakukan dengan asumsi harga rumput laut kering berkisar Rp.
8.000,-/kg. Menghasilkan harga jual SRC berkisar antara Rp. 51.568 - Rp. 60.365 per kg. Harga
tersebut masih bisa bersaing dipasaran dimana haga SRC dipasar adalah $6.3/kg atau Rp.
53.550 (asumsi $1 = Rp. 8.500) dengan kualitas kekuatan gel 400-600 gr/cm2. Namun harga
SRC sangat berfluktuasi dan bisa mencapai Rp. 70.000/kg. Asumsi lain adalah jumlah bahan baku
rumput laut kering yang digunakan per hari sebanyak 200 Kg, dengan hari operasi selama 24 hari
per bulan atau 288 hari per tahun. Selain itu unit usaha ini diasumsikan dikerjakan oleh 1 orang
kepala sekaligus pemilik, 3 orang pekerja dan 1 orang tenaga pembantu. Dalam hal ini bangunan
dan tanah tidak dimasukkan sebagai investasi karena diasumsikan sewa.
256
Biaya investasi dihitung untuk semua pengeluaran meliputi biaya produksi per bulan, pinjaman
bank dengan suku bunya 10% per tahun untuk 3 tahun, termasuk aset untuk proses pengeringan
dengan sinar matahari. Berdasarkan hasil perhitungan, investasi untuk pengeringan SRC
menggunakan sinar matahari adalah Rp. 86.898.735 (Lampiran)
Biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Kapasitas produksi per hari adalah 200
Kg rumput laut kering atau sebanyak 57.600 Kg per tahun dengan asumsi operasi produksi
dilakukan selama 24 hari per bulan atau 288 hari per tahun. Produk yang dihasilkan (rendemen)
tergantung pada masing-masing perlakuan yang diberikan. Tabel 1 menunjukkan produksi SRC
pertahun pada masing-masing perlakuan, dengan rendemen SRC tertinggi diperoleh pada
perlakuan pemotongan dalam keadaan kering, sehingga mempunyai potensi keuntungan lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya, meskipun harga masih lebih rendah dari perlakuan
pemotongan dalam keadaan basah diikuti pengeringan, karena kualitas produk lebih rendah.
Perlakuan I
Bahan Baku
(kg/tahun)
% rendemen
SRC (kg/tahun)
Perlakuan II
Perlakuan III
Perlakuan IV
57.600
57.600
57.600
57.600
31,00
19.008
32,30
20.966
34,10
18.778
36,10
21.197
Tabel 1. Jumlah Produksi SRC per tahun
*) Keterangan :
Perlakuan I = dipotong basah, diikuti pengeringan sinar matahari
Perlakuan II = dipotong basah, diikuti pengeringan sinar matahari dan mekanik
Perlakuan III = didipotong setelah pengeringan sinar matahari
Perlakuan IV = potong setelah pengeringan sinar matahari dan mekanik
Total biaya yang dibutuhkan (Lampiran) per tahun digunakan untuk menghitung harga jual produk.
Berdasarkan hasil analisis, mark up biaya produksi untuk perlakuan pemotongan dalam keadaan
basah diikuti dengan pengeringan adalah 18%, namun pada perlakuan pemotongan dalam
keadaan kering, mark up tidak bisa lebih dari 15% sehingga tidak bisa bersaing di pasar.
Rangkuman analisa ekonomis bisa dilihat pada Lampiran.
Hasil analisis ekonomis (Lampiran) menunjukkan bahwa harga jual SRC berkisar antara
Rp.51.568 - Rp. 60.365 per kg. Harga tersebut masih bisa bersaing di pasar karena haga SRC d
ipasar adalah $6.3/ kg atau Rp 53.550 (asumsi $1 = Rp.8.500) untuk kualitas kekuatan gel 900 1.090 gr/cm2. Namun harga SRC sangat berfluktuasi dan bisa mencapai Rp.70.000/kg.
Perlakuan pemotongan dalam keadaan basah diikuti dengan pengeringan mempunyai mutu
(kekuatan gel, viskositas, dan Aw) yang lebih baik sehingga harga bisa lebih tinggi.
Berdasarkan perhitungan laba rugi, diperoleh hasil bahwa keuntungan bersih tertinggi diperoleh
pada perlakuan pemotongan basah dalam keadaan diikuti pengeringan dan yang terendah pada
perlakuan pemotongan dalam keadaan kering (Tabel2). Analisis ekonomis untuk perlakuan
pemotongan dalam keadaan basah diikuti pengeringan yaitu harga jual Rp. 60.365/kg, total
produksi 19.008kg/tahun, ROS 8,62%, keuntungan bersih Rp.74.162.080/tahun, BEP capacity
8.270 kg, ROI 41,20%. Dan pengembalian investasi dalam waktu 2,43 tahun.
257
Kelompok I
Item
Perlakuan I
Kelompok II
Perlakuan III
Perlakuan II
Perlakuan IV
Pendapatan (Rp)
1.147.432.202
1.147.455.827
1.092.669.494
1.093.068.662
Biaya Produksi (Rp)
1.048.540.429
1.048.568.077
1.076.008.789
1.076.371.669
Keuntungan Kotor (Rp)
98.882.772
98.887.750
16.660.706
16.696.994
Pajak (25%) (Rp)
24.720.693
24.721.937
4.165.176
4.174.248
Laba bersih (Rp/tahun)
74.162.080
74.165.812
12.495.529
12.522.745
6.180.173
6.180.484
1.041.294
1.043.562
Laba / bulan (Rp)
Tabel 2. Hasil Perhitungan Laba Rugi
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Komponen atau material yang digunakan dalam proses produksi SRC adalah semuanya berasal
dari dalam negeri, yaitu berupa: rumput laut Eucheuma cottonii, KOH, dan air bersih, serta
peralatan yang juga buatan dalam negeri, seperti double jacket berbahan stainless steel, alat
pemotong, alat pengering, alat penepung, alat pengemas.
E.cottonii
Pencucian
Perebusan
Pemotongan
Tangki Double Jacket
Pencucian
Pengeringan
258
Tepung SRC
SPESIFIKASI
Semi Refined karaginan hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii adalahseperti pada Tabel
berikut :
SRC hasil
laboratorium
SRC hasil UKM
skala 20 kg
Rendemen (%)
38,5
38,5
-
Kadar Air(%)
5,5
5,5
maks 12
Kadar Abu (%) wb
0,2
19,3
15-40
Kd. Abu tak larut asam (%) wb
0,27
0,2
maks 1
17, 69
18,25
15-40
250
215
-
1 009
1 065
-
Parameter
kd. Sulfat (%)
Viskositas (cPs)
Kekuatan gel (gr)
Investasi
Jumlah
Unit
Harga (Rp)
Standar FAO
Harga Total (Rp)
Total (Rp)
1.Mesin prosesing
Mesin pencucian
1
Unit
26.000.000
28.600.000
Alat ekstraksi
1
Unit
25.000.000
27.500.000
Pompa
1
Unit
2.000.000
2.200.000
Blower resund GF
2
Unit
1.230.000
2.583.000
Alat pemotong
1
Unit
5.000.000
5.500.000
66.383.000
2.Peralatan pendukung
Peralatan kebersihan
1
Unit
1.000.000
1.000.000
Lemari bahan kimia
1
Unit
500.000
500.000
Bak plastik besar
5
Unit
150.000
750.000
Tan gki air
2
Unit
1.000.000
2.000.000
Tan gki pencucian
2
Unit
1.170.000
2.340.000
Chain hoist
1
Unit
857.700
857.700
Terpal 5x6 m
7
Unit
540.000
3.780.000
Timbangan 50kg
1
Unit
700.00
700.000
Trol i
1
Unit
750.000
750.000
Tangga Besi
1
Unit
600.000
600.000
13.277.700
3.Peralatan kantor
Meja
2
Unit
400,000
800,000
Kursi
4
Unit
200.000
800.000
Bangku
2
Unit
250.000
500.000
Lemari
2
Unit
500.000
1.000.000
3.100.000
4. Biaya tak terduga
5
%
82.760.700
Total Biaya Investasi
4.138.035
82.760.700
86.898.735
Tabel 3. Investasi pada Perlakuan Pemotongan sebelum Pengeringan
259
Investasi
Jumlah
Unit
Harga per unit
(Rp)
Harga Total (Rp)
Total (Rp)
1.Mesin Prosesing
Mesin pencuci
1
Unit
26.000.000
28.600.000
Alat ekstraksi
1
Unit
25.000.000
27.500.000
Pompa
1
Unit
2.000.000
2.200.000
Blower resund GF
2
Unit
1.230.000
2.583.000
Alat Penepung
2
Unit
22.000.000
46.200.000
Alat pemotong
1
Unit
5.000.000
5.500.000
112.583.000
2.Peralatan pendukung
Peralatan kebersihan
1
Unit
1.000.000
1.000.000
Lemari bahan kimia
1
Unit
500.000
500.000
Bak plastik besar
5
Unit
150.000
750.000
Tan gki air
2
Unit
1.000.000
2.000.000
Tan gki pencucian
2
Unit
1.170.000
2.340.000
Chain hoist
1
Unit
857.700
857.700
Terpal ukuran 5x6 m
4
Unit
540.000
2.160.000
Timbangan 50kg
1
Unit
700.00
700.000
Troli
1
Unit
750.000
750.000
Tangga besi
1
Unit
600.000
600.000
11.657.700
3.Peralatan Kantor
Meja
2
Unit
400.000
800.000
Kursi
4
Unit
200.000
800.000
Bangku
2
Unit
250.000
500.000
Lemari
2
Unit
500.000
1.000.000
3.100.000
4.Biaya tak terduga
5
%
127.340.700
Total Biaya Investasi
6.367.035
133.707 .735
Tabel 4. Investasi pada Perlakuan Pemotongan setelah dikeringkan
260
Kelompok I
Treatment I and Treatment III
Kelompok II
Treatment II and Treatment IV
Umur
Ekonomis
Penyusutan
Mesin/Peralatan
Mesin pencucian
10
2.600.000
Mesin pencucian
10
2.600.000
Alat ekstraksi
10
2.500.000
Alat ekstraksi
10
2.500.000
Pompa
5
400.000
Pompa
5
400.000
Blower resund GF
5
492.000
Mechanical dyer
5
492.000
Alat pemotong
5
1.000.000
Blower resund GF
10
4.400.000
Peralatan kebersihan
2
1.000.000
Alat pemotong
5
1.000.000
5
100.000
Peralatan
kebersihan
2
500.000
2
375.000
Lemari bahan
kimia
5
100.000
Tan gki air
5
400.000
Bak plastic besar
2
375.000
Tan gki pencucian
5
468.000
Tanki air
5
400.000
Chain hoist
10
85.770
Tanki pencucian
5
468.000
Terpal 5x6 m
5
756.000
Chain hoist
10
85.770
Timbangan 50kg
5
140.000
terpal 5x6 m
5
432.000
Meja
5
160.000
Timbangan 50kg
5
140.000
Kursi
5
160.000
Meja
5
160.000
Bangku
5
100.000
Kursi
5
160.000
Lemari
5
200,000
Bangku
5
100,000
Lemari
5
200,000
Mesin/Peralatan
Lemari bahan kimia
Bak plastik besar
Total
11.381.370
Umur
Ekonomis
Total
Tabel 5. Investasi pada Perlakuan Pemotongan setelah dikeringkan
261
Penyusutan
16.552.370
Biaya Produksi
per tahun
Perlakuan
pemotongan sebelum pengeringan matahari
Harga
Total Harga
Jumlah
Satuan(Rp)
(Rp)
Perlakuan
Pemotongan setelah pengeringan matahari
Harga satuan
Jumlah
Toal harga (Rp)
(Rp)
1 orang
23.040.000
1 orang
Biaya Tetap
1. Supervisor
80.000/hari
80.000/hari
23.040.000
2.Sewa Bangunan
dan Tanah
Bangunan
150m
2
70.000/m
2
10.500.000
150m
2
70.000/m
2
10.500.000
Tanah
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
3.Biaya
Perawatan
Mesin dan alat
5%
76.837.700
3.841.885
5%
76.837.700
3.841.885
Bangunan
5%
10.500.000
525.000
5%
10.500.000
525.000
11.581.770
11.581.770
11.581.770
11.581.770
-
15.563.480
4. Penyusutan
Mesin dan alat
5.Bunga Bank
10%
Tot. Biaya Tetap
10%
15.563.480
76.147.885
76.147.885
Biaya Variabel
1.Bahan Baku
Rumput laut
kering
200kg/hari
8.000
460.800.000
200kg/hari
8.000
460.800.000
KOH
28 kg/hari
43.000
346.752.000
28 kg/hari
43.000
346.752.000
2. Listrik
Listrik untuk
tandon air
Listrik untuk
pencucian tank
Listrik untuk
blower
Listrik untuk
mesin ekstraksi
Listrik untuk alat
pemotong
Blower resund
0.44 Kw
5 jam/hari
3 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
10 jam/hari
0.66 kwh
4 jam/hari
250 Watt
5 jam/hari
700/Kwh
443.520
700/Kwh
3.628.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
532.224
700/Kwh
252.000
0.44 Kw
5 jam/hari
3 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
10 jam/hari
0.66 kwh
4 jam/hari
250 Watt
5 jam/hari
700/Kwh
443.520
700/Kwh
3.628.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
532.224
700/Kwh
252.000
3. Bahan bakar
Bahan bakar
minyak
40 L/hari
8.500/Liter
97.920.000
40 L/hari
Tabel 6. Biaya Produksi per Tahun untuk Kelompok I
262
8.500/Liter
97.920.000
Biaya Produksi
per tahun
Perlakuan
pemotongan sebelum pengeringan matahari
Harga Satuan
Total Harga
Jumlah
(Rp)
(Rp)
Perlakuan
Pemotongan setelah pengeringan matahari
Harga satuan
Jumlah
Toal harga (Rp)
(Rp)
1 orang
23.040.000
1 orang
Biaya Tetap
1. Supervisor
80.000/hari
80.000/hari
23.040.000
2.Sewa Bangunan
dan Tanah
Bangunan
150m
2
70,000/m
2
10.500.000
150m
2
70.000/m
2
10.500.000
Tanah
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
3.Biaya
Perawatan
Mesin dan alat
Bangunan
5%
5%
119.217.700
5.960.885
10.500.000
525.000
5%
5%
119.217.700
5.960.885
10.500.000
525.000
4. Penyusutan
Mesin dan alat
5.Bunga Bank
15.657.770
10%
-
Total Biaya Tetap
15.563.480
15.657.770
10%
-
82.672.885
15.563.480
82.672.885
Biaya Variabel
1.Bahan Baku
Rumput laut
kering
200kg/hari
8.000
460.800.000
200kg/hari
8.000
460.800.000
KOH
28kg/hari
43.000
346.752.000
28kg/hari
43.000
346.752.000
700/Kwh
443.520
0.44 Kw
5 jam/hari
700/Kwh
443.520
700/Kwh
3.628.800
3 kwh
6 jam/hari
700/Kwh
3.628.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
532.224
700/Kwh
532.224
700/Kwh
288.000
700/Kwh
252.000
700/Kwh
241.920
700/Kwh
241.920
2. Listrik
Listrik untuk
tandon air
Listrik untuk
pencucian tank
Listrik untuk
blower
Listrik untuk
mesin ekstraksi
Listrik untuk alat
pemotong
Blower resund
Listrik untuk
pengering
0.44 Kw
5 jam/hari
3 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
10 jam/hari
0.66 kwh
4 jam/hari
250 Watt
5 jam/hari
150 watt
8 jam/hari
0.5 kwh
6 jam/hari
0.5 kwh
10 jam/hari
0.66 kwh
4 jam/hari
250 Watt
5 jam/hari
150 watt
8 jam/hari
3. Bahan bakar
Tabel 7. Biaya Produksi per Tahun Kelompok II
263
Kelompok I
Kelompok II
Item
Perlakuan I
Biaya Tetap (Rp)/tahun
Perlakuan III
Perlakuan II
Perlakuan IV
76.147.885
76.147.885
82.672.885
82.672.885
972 .392.544
972 .420.192
993.335.904
993.698.784
Production/year (kg)
19.008
20.966
18.778
21.197
Biaya Tetap /kg (Rp)
4.006
3.632
4.403
3.900
51.157
46.389
52.900
46.880
9.208
8.348
5.290
4.688
60.365
54.728
58.190
51.568
Gross net profit/kg(Rp)
9.208
8.8348
5.290
4.688
Net profit (Rp)/kg
5.202
4.716
887
788
ROS (%)
8.62%
8.62%
1.52%
1.53%
BiayaVariabel (Rp)/tahun
Biaya variabel/kg
mark up (Rp)
Harga jual (Rp/kg)
Tabel 8. Rangkuman Hasil Analisis Ekonomi
Produksi ATC
Struktur Pembiayaan
Investment (Rp)
Biaya Produksi/tahun
Kelompok I
Perlakuan I
Kelompok II
Perlakuan III
Perlakuan II
Perlakuan IV
180.000.000
180.000.000
180.000.000
180.000.000
1.048.540.429
1.033.004.597
1.076 .008.789
1.076 .371.669
200
200
200
200
Proses Produksi
Kapasitas proses (kg/hari)
Kapasitas Produksi (kg/hari)
66
73
65
74
Bahan baku (kg/tahun)
57600
57600
57600
57600
Produk(kg/tahun)
19.008
20.966
18.778
21.197
8.270
9.121
15.628
17.635
499.191.688
499.191.688
909.401.731
909.401.731
BEP and Return of Investment
BEP Capacity (kg)
BEP (Rp)
R/C (%)
109
109
102
102
ROI (%)
41.20
41.20
6.94
6.96
2.43
2.43
14.41
14.37
ROI Time (tahun)
Tabel 9. Ringkasan Analisis Ekonomi Produksi SRC
264
BBP4BKP
Penyamakan Kulit Ikan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Pengembangan dari teknologi
penyamakan kulit hewan darat dan
reptil
Masa Pembuatan
1984-2012
Tim Penemu
Nurul Hak
Rinta Kusumawati
Murniyati
Yunizal
Kontak Person
Nurul Hak
[email protected]
265
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Teknologi ini dimaksudkan untuk menghasilkan kulit ikan tersamak yang nantinya dapat
dipergunakan sebagai bahan baku untuk kerajinan kulit. Pengembangan produksi penyamakan
kulit ikan sangat potensial membuka lapangan kerja baru karena memanfaatkan kulit mentah
menjadi kulit tersamak yang bermotif, corak, dan tekstur yang unik dan khas ikan, yang
selanjutynya dapat digunakan untuk dijadikan produk-produk industri kulit seperti dompet, tas,
sepatu, sandal dan sebagainya.
Manfaat dari pengembangan teknologi ini adalah mendayagunakan limbah hasil perikanan berupa
kulit ikan untuk mendapatkan nilai tambah karena selama ini limbah kulit ikan belum dimanfaatkan
secara optimal. Beberapa pengolah tradisional mengolah kulit ikan untuk dijadikan kerupuk ikan,
namun hanya untuk jenis tertentu yang sesuai untuk kerupuk dan nilai jualnya pun sangat rendah.
Dengan teknologi ini, kulit dari hampir semua jenis ikan, termasuk yang berukuran relatif kecil
seperti katak, dapat disamak dan dijadikan produk industri kreatif yang eksklusif dan bernilai jual
tinggi, bahkan sangat potensial untuk diekspor.
Teknologi ini dirakit dari serangkaian penelitian yang sudah dimulai dari tahun 1984 karena pada
saat itu masih merupakan teknologi yang baru. Inventarisasi kulit dari berbagai jenis ikan,
pengembangan teknologi, dan kaji terap telah dilakukan di berbagai daerah antara lain Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI, DIY, Maluku, NTT, Sulawesi Selatan, dan Lampung bersama
dengan Dinas-dinas kelautan dan perikanan setempat. Berbagai jenis ikan mempunyai ciri
karakter fisik, kimia, dan biologi yang berbeda-beda, yang memerlukan teknik penyamakan yang
berbeda pula. Namun pada akhirnya dapat dirakit teknologi yang tepat yang dapat diterapkan
untuk banyak jenis kulit ikan.
Dengan adanya teknologi penyamakan kulit, masyarakat sudah mulai menyadari nilai jual kulit ikan
sehingga para nelayan (terutama untuk ikan hiu) memisahkan dulu kulit ikan untuk dijual ke
pengumpul kulit ikan, baru kemudian menjual daging ikannya secara terpisah. Sentra-sentra
pengumpul kulit ikan pari juga telah berkembang misalnya di Muara Angke, Jakarta, Labuhan
Maringgai Lampung, Cilacap, Jepara, Gresik, Balikpapan. Untuk industri penyamakan kulit ikan
dan kerajinannya yang mulai berkembang ada di Dadap Tangerang, Yogyakarta, Boyolali Jawa
tengah, Medan, Lampung.
266
Penyamakan kulit dapat dilakukan menggunakan bahan baku kulit yang masih segar ataupun
yang sudah diawetkan. Pada prakteknya, menyamak kulit menggunakan kulit segar tidak praktis
karena suplai bahan baku tidak teratur, oleh karena itu diperlukan teknologi pengulitan dan
pengawetan kulit untuk melengkapinya. Teknologi pengulitan dan pengawetan kulit dapat
diterapkan pada skala rumah tangga, UKM atau industri kecil, yang akan memasok hasil
produksinya kepada industri yang menerapkan teknologi penyamakan kulit (Gambar 1.).
Teknologi penyamakan kulit lebih sesuai dikembangkan pada skala industri, karena memerlukan
peralatan dan bahan kimia tertentu, serta memerlukan instalasi pengolahan limbah (IPAL).
TEKNOLOGI YANG DIPAKAI
RANTAI KEGIATAN
PENGEMBANGAN USAHA
TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN
TEKNOLOGI BUDIDAYA
MEMILIH IKAN YANG DAPAT
DIMANFAATKAN KULITNYA
( HIU, PARI, KAKAP, TUNA, NILA, DLL)
USAHA PENANGKAPAN
USAHA BUDIDAYA IKAN
TEKNOLOGI PENGULITAN IKAN
TEKNOLOGI PENGAWETAN KULIT IKAN
PENGULITAN IKAN
PENGAWETAN KULIT IKAN (KULIT AWET)
USAHA FILET IKAN & PENGUMPUL
KULIT IKAN
TEKNOLOGI PENYAMAKAN KULIT IKAN
PENYAMAKAN KULIT IKAN (KULIT
TERSAMAK)
USAHA PENYAMAKAN KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMBUATAN BARANG JADI
PEMBUATAN BARANG JADI (TAS,
DOMPET, SEPATU, SANDAL, DSB)
USAHA KERAJINAN PRODUK KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMASARAN
PEMASARAN (DISTRIBUTOR, AGEN,
MLM, INTERNET)
USAHA PERTOKOAN/SHOW ROOM
Gambar 1. Skema pengembangan usaha penyamakan kulit ikan
PENGERTIAN
Penyamakan adalah suatu proses untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) menjadi kulit
tersamak (leather) melalui suatu tahapan proses dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan
penyamak (tanning agent) sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh kimiawi, fisik dan
biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu. Industri penyamakan kulit pada umumnya
menggunakan bahan mentah yang berasal dari kulit hewan darat seperti sapi, kambing, domba
dan reptil.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
 Teknologi ini sesuai untuk bahan baku kulit ikan kakap, tuna, lemadang, nila, patin, atau
ikan yang sejenis yang berukuran sekitar 1-4 kg per ekor.
 Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam penerapan teknologi ini adalah
tersedianya kulit ikan yang utuh dan sangat segar. Kulit yang tidak utuh atau yang tidak
segar akan sangat mudah robek dan setelah disamak akan sulit untuk dijadikan bahan
baku industri.
 Penyamakan kulit memerlukan peralatan berupa drum penyamak (tanning drum), alat
pengampelas (buffing), bak plastik, papan pementang kulit, paku, martil, tang, gunting,
267
alat peregang kulit (staking), alat
pengkilap/penggosok kulit (glazing)
dan spray gun.
 Bahan kimia yang diperlukan antara
lain tepung kapur/Ca (OH)2, natrium
sulfida/Na2S, amonium
sulfat/(NH4)2SO4, asam
formiat/(HCOOH), enzim oropon,
asam sulfat/H2SO4, garam dapur,
bahan penyamak krom, natrium
karbonat, natrium bikarbonat, zat
penyamak sintetis (basyntan DLX),
Gambar 2. Kulit Pari Tersamak
minyak sulfonasi (lipoderm, sandolix
wwl) dan pengkilap (LE 217).
 Sebaiknya industri penyamakan kulit dilakukan di daerah yang agak jauh dari rumah
pemukiman padat, karena bau yang ditimbulkan pada saat proses pengapuran dapat
mengganggu lingkungan sekitarnya.
Rincian teknologi
 Penimbangan Berat Kulit Segar
Kulit segar atau kulit awetan ditimbang sebagai pedoman untuk menghitung persentase
bahan-bahan yang digunakan pada tahapan proses selanjutnya.
 Pengapuran (liming)
Kulit direndam dalam bak atau ember plastik yang berisi larutan kapur terdiri atas 300500% Air, 3 % tepung kapur dan 3 % natrium sulfida selama 2-3 malam. Untuk kulit ikan
yang lebih tebal seperti ikan pari dan dari ikan yang besar seperti hiu, tuna, persentase
kapur dan waktu pengapuran dapat ditambah.
 Pembuangan Kapur dan Pemberian Enzim (deliming and bating)
Setelah kulit dicuci bersih, kulit diputar dalam drum dengan 300-500% air dan 0,5 %
amonium sulfat selama 30 menit. Setelah ditambahkan 0,5 % asam formiat kemudian
kulit diputar terus selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 1-2 % enzim Oropon (atau
enzim sejenis) lalu kulit diputar terus dalam drum selama 1-2 jam.
 Pengasaman (pickling)
Setelah kulit dicuci bersih, kulit diputar dalam drum dengan larutan 200-300 % air, 2030% garam dapur dan 2-3 % asam formiat (dapat dikombinasikan dengan jenis asam
lainnya) selama 1-2 jam sampai larutan mencapai pH 3.
 Penyamakan khrom (chrome tanning)
Kulit diputar dalam larutan asam tersebut setelah ditambahkan 8-10% zat penyamak
khrom (umumnya menggunakan chromosal B) selama 2 x 1 jam. Kemudian ditambahkan
ke dalam drum yang berputar 2% Na2CO3 dan drum terus diputar selama 3 x 2 jam.
Setelah itu kulilt dikeluarkan dari drum dan dibentangkan di atas kuda-kuda selama satu
malam. Untuk kulit pari umumnya disamak dengan bahan penyamak formalin.
268
 Penetralan (neutralizing)
Kulit diputar dalam drum selama 1 - 2 jam dengan larutan yang terdiri atas 200-300 % air
hangat dan 2% Na2CO3. Setelah itu kulit dibilas dengan air bersih.
 Penyamakan ulang (retanning).
Kulit diputar dalam drum selama 1-2 jam dengan larutan yang terdiri atas 200-300% air
hangat dan 10% zat penyamak sintetis yang disebut syntan (synthetic tanning) seperti
Basyntan, Sandotan, atau Lowatan.
 Pewarnaan dan peminyakan (dyeing and fat liquoring).
Kulit diputar dalam drum selama 1 jam dengan larutan yang terdiri atas : 200-300% air
hangat dan 2% zat warna. Setelah itu tambahkan ke dalam drum 8% minyak yang sudah
disulfonasi (sulfonated oil) seperti Lipoderm, Sandolix WWL atau Lowanol dan kulit
diputar lagi selama 1jam. Tambahkan lagi ke dalam drum 1% HCOOH dan kulit diputar
lagi selama 30 menit.
 Finishing (penyelesaiaan)
Kulit dipentang pada papan pementang dengan dipaku pada bagian tepinya dan
dikeringkan. Setelah itu kulit yang sudah kering diambil dari papan pementang dirapikan
dengan menggunting pada bagian tepinya (trimming) serta bekas lubang paku, setelah
itu diampelas pada bagian bawahnya. Sedangkan pada bagian atasnya digosok dengan
mesin atau secara manual digosok dengan cangkang keong laut sampai kulit mengkilap.
 Pembuatan Produk
Kulit ikan tersamak siap dikirim ke industri kerajinan atau pengrajin untuk dibuat menjadi
aneka produk kulit berupa tas, dompet, sandal, sepatu dan sebagainya.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI :
Kulit tersamak dari setiap jenis ikan mempunyai motif, corak permukaan kulit, dan tekstur yang
unik dan berbeda hewan darat seperti kulit sapi, kambing dan reptil.
Mutu kulit ikan tersamak yang dihasilkan kuat, lemas dan elastis , dan telah memenuhi persyaratan
Standar Nasional Indonesia (SNI 06-6121-1999 tentang Kulit Ikan Pari untuk Barang Jadi dan
SNI 06-4263-1996 tentang Kulit Motif Fancy dari Kulit Sapi untuk Barang Jadi).
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Penelitian dilakukan mulai dari tahun 1984 hingga 2013 dengan mempergunakan fasilitas Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Limbah cair dari proses penyamakan kulit dapat mencemari lingkungan, bila tidak dikelola
sebelum dibuang ke saluran pembuangan publik. Oleh karena itu industri penyamakan kulit
hendaknya membangun IPAL yang memadai. Di samping itu penggunaan bahan-bahan
penyamak yang tepat dan optimal akan mengurangi kemungkinan dampak negatif tersebut, juga
saat ini sudah tersedia bahan penyamak yang diformulasikan ramah lingkungan yang dapat
terserap atau berikatan dengan kulit dengan baik sehingga mengurangi resiko pencemaran.
269
KELAYAKAN FINANSIAL
Bahan mentah kulit ikan sangat potensial tersedia mengingat negara Indonesia sebagian besar
wilayahnya adalah laut yang menghasilkan banyak jenis ikan. Bahan-bahan dan peralatan
penyamakan kulit juga tersedia mengingat sudah berkembangnya industri penyamakan kulit
hewan darat dan reptil, yang menggunakan bahan dan peralatan yang tidak jauh berbeda.
Analisis usaha dapat dihitung berdasakan Tabel 1 berikut, dengan rincian seperti pada Tabel-tabel
dalam lampiran.
Tabel 1. Rekapitulasi Biaya Penyamakan Kulit per Tahun
No
Jenis Pengeluaran/Pemasukkan
Jumlah
1 Produksi kulit ikan tersamak, lembar
93.600
Harga Satuan
(Rp.)
100.000
Total Biaya
(Rp.)
9.360.000.000
2 Biaya Produksi
Biaya Investasi
1.012.055.000
Biaya tetap
297.675.000
Biaya Tidak Tetap
4.757.000.000
3 Keuntungan Kotor (1 – 2)
3.293.270.000
4 Pajak 17%
559.855.900
5 Keuntungan Bersih (3 – 4)
2.733.414.100
Berdasarkan penghitungan Break Event Point (BEP), agar tidak rugi kulit tersamak harus
diproduksi sebanyak 67.000 lembar per tahun dengan harga jual Rp. 71.000,- per lembar.
Sedangkan kemampuan keuntungan untuk mengembalikan modal atau Return on Investment
(ROI), adalah 5 bulan.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Komponen yang digunakan dalam teknologi ini sebagian besar (70%) menggunakan material
produksi dalam negeri, sebagian lain masih menggunakan bahan impor, terutama untuk bahan
kimia.
a
b
c
d
270
Gambar:
a. Kulit Kakap Tersamak
b. Kulit Pari Duri Tersamak
c. Kulit Nila Tersamak
d. Kulit Lemadang Mentah
Aneka Dompet Kulit Pari
Aneka Dompet Kulit Kakap
Sepatu sandal kulit kerapu
Tas Kulit Kakap
Dompet Kulit Pari
Dompet dari kulit patin
Tas Kulit Kakap
Tas dari kulit lemadang
Sepatu sandal kulit kerapu
Kulit Tersamak dari Jenis Ikan
KekuatanTarik
(kg/cm2)
Kemuluran
(%)
Kekuatan Jahit
(kg/cm)
Suhu Kerut
(oC)
Kulit Hiu Tersamak
Kulit Pari Tersamak
Kulit Tuna Tersamak
Kulit Kakap Tersamak
Kulit NilaTersamak
Kulit PatinTersamak
Kulit Lemadang Tersamak
285
230 -289
128 – 273
222 - 286
199 – 255
2.012 – 2.229
2.546 - 3.650
46
34 - 36
66 - 92
55 - 66
67 - 92
40 - 50
43 - 62
138 - 247
91 - 119
965 - 998
1.656 - 2.498
70 - 82
87 - 99
82 – 88
82-86
89 – 94
80 – 86
SNI. 06-6121-1999 (Kulit pari
tersamak)
Minimum 2000
N/cm2 (196,12
kg/cm2)
Tidak ada
Minimum 1000
N/cm (98,06
kg/cm)
Minimum 70
SNI. 06-4263-1996 (Kulit sapi
tersamak)
Minimum 1500
N/cm2 (152,95
kg/cm2)
Maksimum
70%
Minimum 900
N/cm (91,77
kg/cm)
Tidak ada
Catatan : 1 kg/cm2 = 9,8066 N/cm2
Tabel 2. Hasil uji fisik kulit ikan tersamak dari beberapa jenis ikan
271
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Rincian
Pengadaan Tanah
Pembangunan pabrik
pengolahan
Pembuatan peralatan
penjemuran
Pengadaan alat dan
Peralatan
Timbangan 50 kg digital
Alat pengaduk kulit (mollen)
Alat spray (pengecat kulit)
Alat pengamplas
Seterika
Timbangan analitik
Bak plastik 0,5 m3
Sikat plastik keras
Papan perentang kulit
Meja pembersih kulit
Pissau
Keranjang plastik
Ember plastik
Kompor gas
Lemari penyimpan alat
Meja dan peralatan kantor
Penggalian sumur bor dan
instalasi pipa
Pemasangan listrik
Tabel
m2
Harga satuan
(Rp.)
300.000
Biaya ( Rp.)
90.000.000
1
bh
500.000.000
500.000.000
1
bh
100.000.000
100.000.000
1
1
1
1
1
1
5
10
120
1
10
10
10
1
1
1
bh
unit
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
bh
unit
bh
set
25.000.000
40.000.000
10.000.000
100.000.000
500.000
10.000.000
1.000.000
10.000
50.000
5.000.000
150.000
25.000
35.000
1.000.000
350.000
10.000.000
25.000.000
40.000.000
10.000.000
100.000.000
500.000
10.000.000
5.000.000
100.000
6.000.000
5.000.000
1.500.000
250.000
350.000
1.000.000
350.000
10.000.000
1
set
10.000.000
10.000.000
1
unit
5.000.000
5.000.000
Sub jumlah
Lain-lain (10%)
Total biaya
920.050.000
92.005.000
1.012.055.000
Jumlah
300
3 . Perhitungan Biaya Investasi
272
1
Pengadaan Tanah
10
%
Harga satuan
(Rp.)
90.000.000
2
Pembangunan pabrik pengolahan
10
%
500.000.000
50.000.000
3
Pembuatan peralatan penjemuran
10
%
100.000.000
10.000.000
4
Pengadaan alat dan Peralatan
Timbangan 50 kg digital
10
%
25.000.000
2.500.000
Alat pengaduk kulit (mollen)
10
%
40.000.000
4.000.000
Alat spray (pengecat kulit)
10
%
10.000.000
1.000.000
Alat pengamplas
10
%
100.000.000
10.000.000
Seterika
10
%
500.000
50.000
Timbangan analitik
10
%
10.000.000
1.000.000
Bak plastik 0,5 m3
20
%
5.000.000
1.000.000
Sikat plastik keras
20
%
100.000
20.000
Papan perentang kulit
20
%
6.000.000
1.200.000
Meja pembersih kulit
20
%
5.000.000
1.000.000
Pissau
10
%
1.500.000
150.000
Keranjang plastik
20
%
250.000
50.000
Ember plastik
20
%
350.000
70.000
Kompor gas
10
%
1.000.000
100.000
5
Lemari penyimpan alat
10
%
350.000
35.000
6
Meja dan peralatan kantor
10
%
10.000.000
1.000.000
7
Penggalian sumur bor dan instalasi pipa
10
%
10.000.000
1.000.000
8
Pemasangan listrik
10
%
5.000.000
500.000
9
Gaji Manajer Pabrik
12
OB
3.000.000
36.000.000
10
Gaji pegawai, penjaga (4 orang)
Gaji pegawai keuangan, pemasaran (3
orang)
48
OB
2.000.000
96.000.000
36
OB
2.000.000
72.000.000
Sub jumlah
297.675.000
Total biaya
297.675.000
No
11
Rincian
Jumlah
Penyusutan (Rp.)
9.000.000
Tabel 4 . Biaya Produksi Tetap per tahun usaha
No
Rincian
Jumlah
Harga satuan (Rp.)
Biaya (Rp.)
1
Wetting agent, kg
20
100.000
2.000.000
2
Bactericide, kg
5
250.000
1.250.000
3
Natrium bikarbonat, kg
5
15.000
75.000
4
Ammonium sulfat, kg
10
15.000
150.000
5
Tepung kapur, kg
25
15.000
375.000
6
Natrium sulfida,kg
25
20.000
500.000
7
Enzim Oropon, kg
25
50.000
1.250.000
8
Hidrogen peroksida (H2O2)
20
20.000
400.000
9
Degresing agent, ltr
10
50.000
500.000
10
Kertas pH, pack
5
75.000
375.000
11
Asam formiat, ltr
10
20.000
200.000
12
Asam sulfat, ltr
10
20.000
200.000
13
Garam dapur, kg
15
15.000
225.000
14
Zat penyamak chrome, kg
50
50.000
2.500.000
15
Sodium format, kg
10
40.000
400.000
16
Sintetic tannin, kg
25
70.000
1.750.000
17
Sulfonated oil, kg
25
70.000
1.750.000
18
Dyestove, kg
15
200.000
3.000.000
19
Lack, kg
10
100.000
1.000.000
20
Binder, kg
15
80.000
1.200.000
21
Pigmen, kg
15
200.000
3.000.000
22
Tiner, ltr
20
25.000
500.000
23
Formalin, ltr
40
10.000
400.000
24
Sodium metabisulfit, kg
30
15.000
450.000
25
Kalium permanganate, kg
10
75.000
750.000
26
Asam chloride, ltr
10
25.000
250.000
27
Enzym , kg
11
50.000
550.000
Jumlah
25.000.000
Tabel 5 . Bahan kimia yang dibutuhkan dalam penyamakan kulit
273
No
1
Jenis Pengeluaran
Jumlah
Harga Satuan
Total Biaya
(Rp.)
(Rp.)
Bahan Baku
Kulit ikan, lembar
93.600
50.000
4.680.000.000
2
Bahan Kimia
25.000.000
3
Pemakaian listrik
50.000.000
4
Bahan Pengemas
Total Biaya Tidak Tetap
2.000.000
4.757.00 0.000
Tabel 6. Biaya Produksi Tidak Tetap per Tahun Usaha
Perhitungan BEP dan ROI
Break Event Point (BEP) dihitung sebagai berikut:
Batas Laba Rugi/BEP =( Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Hasil Produksi
= (Rp. 9.360.000.000,- - Rp. 2.733.414.100,-) = Rp. 6.626.58.900,-,/93.600 lbr = Rp.70.796,dibulatkan Rp.71.000,Atau:
(Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Harga kulit tersamak per lembar
= (Rp. 9.360.000.000,- - Rp. 2.733.414.100,-)/Rp.100.000,= 66.265 lembar, dibulatkan menjadi 67.000 lembar.
Return on Investment (ROI), adalah Laba bersih/Total investasi
= Rp.2.733.414.000,-/Rp.1.012.005.000,-= 2.700
Waktu balik modal = 1/2700 tahun = 0,3703 atau 4,4 bulan, dibulatkan menjadi 5 bulan.
274
BBP4BKP
Pengulitan dan Pengawetan Kulit Ikan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Pengembangan
Masa Pembuatan
1984-2012
Tim Penemu
Nurul Hak
Murniyati
Kontak Person
Nurul Hak
[email protected]
275
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dari teknologi ini adalah memanfaatkan hasil samping produk perikanan yaitu kulit ikan
yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan utama untuk membuat produk kulit tersamak yang
merupakan bahan baku bagi industri kerajinan. Kulit ikan yang dihasilkan dari industri fillet atau
pengolahan ikan lain belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan potensial mengganggu
kebersihan dan kenyamanan lingkungan bila tidak dikelola dengan baik.
Untuk mendapatkan kulit ikan sebagai bahan baku kulit tersamak, diperlukan teknologi pengulitan
yang tepat, agar diperoleh kulit yang utuh dan memenuhi persyaratan sebagai bahan baku kulit
tersamak.
Kulit ikan juga harus dikumpulkan terlebih dahulu dalam jumlah yang memadai untuk diproses di
industri penyamakan, oleh karena itu diperlukan teknologi pengawetan kulit agar kulit tidak
membusuk sebelum sampai di industri penyamakan. Seperti halnya daging, kulit ikan banyak
mengandung senyawa protein dan lemak yang sangat mudah busuk. Bila kulit ikan sudah
menurun mutunya, penyamakan akan menghasilkan kulit yang mudah robek.
Penyamakan kulit dapat dilakukan menggunakan bahan baku kulit yang masih segar ataupun
yang sudah diawetkan. Pada prakteknya, menyamak kulit menggunakan kulit segar tidak praktis
karena suplai bahan baku tidak teratur, oleh karena itu diperlukan teknologi pengulitan dan
TEKNOLOGI YANG DIPAKAI
RANTAI KEGIATAN
PENGEMBANGAN USAHA
TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN
TEKNOLOGI BUDIDAYA
MEMILIH IKAN YANG DAPAT
DIMANFAATKAN KULITNYA
( HIU, PARI, KAKAP, TUNA, NILA, DLL)
USAHA PENANGKAPAN
USAHA BUDIDAYA IKAN
TEKNOLOGI PENGULITAN IKAN
TEKNOLOGI PENGAWETAN KULIT IKAN
PENGULITAN IKAN
PENGAWETAN KULIT IKAN (KULIT AWET)
USAHA FILET IKAN & PENGUMPUL
KULIT IKAN
TEKNOLOGI PENYAMAKAN KULIT IKAN
PENYAMAKAN KULIT IKAN (KULIT
TERSAMAK)
USAHA PENYAMAKAN KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMBUATAN BARANG JADI
PEMBUATAN BARANG JADI (TAS,
DOMPET, SEPATU, SANDAL, DSB)
USAHA KERAJINAN PRODUK KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMASARAN
PEMASARAN (DISTRIBUTOR, AGEN,
MLM, INTERNET)
USAHA PERTOKOAN/SHOW ROOM
Gambar 1. Skema pengembangan usaha penyamakan kulit ikan
276
pengawetan kulit untuk melengkapinya. Teknologi pengulitan dan pengawetan kulit dapat
diterapkan pada skala rumah tangga, UKM atau industri kecil, yang akan memasok hasil
produksinya kepada industri yang menerapkan teknologi penyamakan kulit (Gambar 1).
PENGERTIAN
Pengulitan adalah suatu proses mengambil kulit ikan dari tubuhnya secara utuh tanpa ada cacat
dengan cara memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh ikan tanpa merusak dagingnya.
Industri fillet ikan adalah industri yang mengolah produk fillet menggunakan bahan baku ikan
segar dengan perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit,
perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar atau
beku. Industri ini menghasilkan limbah berupa kulit ikan.
Pengawetan adalah upaya untuk mempertahankan kesegaran suatu bahan dan memperpanjang
umur simpan suatu bahan.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
 Teknologi ini sesuai untuk berbagai jenis ikan yang kulitnya dapat disamak seperti ikan
kakap, tuna, lemadang, nila, patin, atau ikan yang sejenis yang berukuran sekitar 1-4 kg
per ekor.
 Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam penerapan teknologi ini adalah
tersedianya ikan yang masih segar segar dan tidak mengalami luka fisik. Ikan yang
mempunyai luka fisik kulitnya tidak utuh lagi sehingga tidak layak untuk disamak.
Demikian pula ikan yang tidak segar akan menghasilkan kulit yang mudah robek
sehingga sulit disamak.
Rincian Teknologi
Teknologi Pengulitan Ikan Hiu
Untuk mendapatkan kulit ikan hiu yang baik perlu adanya teknik pemotongan dan pengulitan
secara tepat dan benar. Adapun cara-cara pemotongan dan pengulitan ikan hiu adalah sebagai
berikut : Ikan hiu utuh dicuci dengan air bersih di atas meja pengolahan atau lantai yang bersih dan
datar, kemudian dipotong bagian-bagiannya secara berurutan. Bagian pertama yang harus di
potong adalah sirip, kemudian ekor dan kepala. Ikan yang telah terpotong kemudian didiamkan
hingga darah mengalir keluar sampai habis. Setelah itu, ikan tanpa kepala, sirip dan ekor dicuci
dengan air sampai bersih. Selanjutnya tubuh ikan ditoreh sepanjang garis punggung sedalam 2
sampai 4 cm. Kemudian kulit dilepaskan secara hati-hati dengan menggunakan pisau tajam yang
ujungnya tidak runcing. Perlu diperhatikan bahwa kulit harus diupayakan tidak tersayat atau
terluka, atau robek, bila perlu sedikit bagian daging boleh tertinggal pada kulit untuk kemudian
dibersihkan, dari pada berusaha menghilangkan semua bagian daging tapi melukai bagian kulit.
Teknologi Pengulitan Ikan Pari
Cara pengulitan ikan pari diawali dengan mencuci ikan dan meletakkan di meja pengolahan atau
lantai yang bersih dan datar. Ekor ikan kemudian dipotong. Selajutnya dibuat torehan melingkar
277
dengan pisau tajam mengikuti garis
sisik yang terdapat pada
permukaan kulit pari bagian
punggungnya. Torehan pisau
diupayakan sedalam 1 sampai 2 cm,
sedangkan jarak torehan pisau dari
tepi sisik kira-kira 0,5 sampai 1 cm.
Ta h a p s e l a n j u t n y a a d a l a h
pelepasan kulit dari daging.
Pelepasan kulit harus dilakukan
secara hati-hati dengan menyayat
daging di bawah kulit sambil
menarik kulit dari badan ikan, bila
perlu tinggalkan daging seperlunya
untuk dibersihkan kemudian.
Teknologi Pengulitan Ikan Kakap
(atau ikan kecil lain sejenis)
Setelah dicuci, ikan kakap utuh
dibersihkan dan dibuang sisiknya
atau boleh juga tanpa dibuang
sisiknya, lalu dicuci dengan air
bersih dan diletakkan di atas meja
pengolahan. Ikan kemudian
dipotong dalam bentuk filet pada
sisi kiri dan sisi kanan. Kulit yang
menempel pada setiap fillet
kemudian dilepaskan dengan
menyayat secara hati-hati bagian
daging yang menempel.
Gambar 2. Kulit Ikan Kakap Mentah
Gambar 3. Kulit Ikan Lemadang Mentah
Pengawetan Kulit Ikan
Prinsip pengawetan kulit ikan adalah mengurangi kadar air kulit ikan sedemikian rupa sehingga
dapat mencegah tumbuhnya mikroorganisme. Sebelum dilakukan proses pengawetan, kulit harus
dicuci untuk membersihkan dari kotoran-kotoran misalnya darah, tanah dan sebagainya, karena
kotoran ini dapat menyebabkan kulit awetan yang kurang baik bahkan dapat mempercepat
pembusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pencucian ini harus segera dilakukan
setelah pengulitan selesai, sedangkan proses pengawetan harus dilakukan paling lama 5 jam
sejak ikan dikuliti.
Ada 2 cara pengawetan kulit ikan yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara pengeringan dan cara
penggaraman
278
Pengawetan Kulit Ikan dengan Cara
Pengeringan
Pe n g a w e t a n d i a w a l i d e n g a n
membersihkan sisa-sisa daging yang
masih melekat atau tertinggal pada
kulit, dengan cara menyayatnya secara
hati-hati menggunakan pisau khusus
yang tajam. Kulit yang telah bersih dari
sisa-sisa daging kemudian dicuci
kembali untuk menghilangkan kotoran
atau sisa daging yang sudah terlepas
tapi masih menempel di kulit. Kulit
yang sudah bersih kemudian ditambah
Gambar 4. Kulit Ikan Nila Diawet Kering
dengan antiseptik. Beberapa jenis
antiseptik dapat digunakan, misalnya
Cortimol dengan kadar 1 – 2 per mil melalui perendaman selama 5 menit atau Antimould 1 – 2
g/liter dengan perendaman selama 15 menit. Setelah itu kulit ikan dipentang pada papan
pementang dengan cara dipaku pada sisi-sisi kulitnya, dengan bagian sisi dalam kulit menghadap
ke luar. Harus diusahakan agar kulit tidak terlipat. Kulit ikan kemudian dijemur dan cara
meletakkan pentangan kulit dengan kemiringan kira-kira 60o dari tanah, menghadap ke Utara atau
Selatan. Lamanya penjemuran tergantung dari tebal tipisnya kulit serta panasnya terik matahari.
Pada kondisi udara cerah penjemuran dapat berlangsung selama 2 sampai 3 hari. Pada musim
kemarau, penjemuran dapat dimulai sekitar jam 08.00 sampai jam 11.00, kemudian kulit diangkat
dan diletakkan pada tempat yang teduh atau diangin-anginkan saja. Apabila matahari tidak
bersinar cerah, lebih efektif apabila pementang kulit dihadapkan ke Timur, tetapi bila matahari terik,
sinarnya tidak boleh jatuh tegak lurus pada kulit. Kulit yang sudah kering dapat dilepas dari papan
pementang dan ditumpuk satu dengan lainnya, selanjutnya dapat disimpan pada tempat yang
kering dan tidak lembab di dalam gudang.
Pengawetan Kulit Ikan dengan Cara
Penggaraman
Pengawetan kulit diawali dengan
pembersihan sisa daging dan
pencucian kembali seperti yang telah
diuraikan di atas. Kulit ikan yang sudah
bersih dari sisa-sisa kemudian
direndam dalam larutan garam jenuh
selama 1 malam. Larutan garam jenuh
dibuat dengan melarutkan 3 kg garam
dapur ke dalam 7 liter air. Setelah itu
kulit diangkat dan ditiriskan. Kulit ikan
dihamparkan di atas lantai atau meja
Gambar 5. Kulit Ikan Kakap yang Diawet Garam
279
yang kedap air (dapat dilapis dengan plastik tebal) dengan posisi miring (5o sampai 10o) yang
telah di taburi kristal garam dengan bagian dalam kulit menghadap ke luar. Pada permukaan kulit
bagian dalam ini juga ditaburi kristal garam sampai merata. Kemudian kulit yang lain dihamparkan
di atasnya dengan bagian dalam kulit menghadap ke luar. Kristal garam ditaburkan lagi di atas kulit
kedua ini. Pekerjaan dilanjutkan sedemikian rupa sampai tertumpuk kulit setinggi 1 meter. Pada
tumpukan kulit teratas ditaburkan lagi kristal garam hingga seluruh permukaan kulit tertutup
kristal garam.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Teknik pengulitan yang benar akan menghasilkan kulit yang utuh dan tidak cacat,
sehingga mempunyai keunggulan ekonomis
 Pengawetan secara pengeringan dapat mengawetkan kulit hingga 1 tahun sedangkan
pengawetan dengan cara penggaraman dapat mengawetkan kulit hingga 3 bulan. Hal ini
sangat menguntungkan karena para pengolah kecil atau pengumpul kulit ikan
mempunyai waktu yang cukup untuk menyimpan dulu hasil kulit awetan yang diproduksi
sedikit demi sedikit secara bertahap, sebelum mengirimkannya ke industri penyamakan.
Cara ini akan sangat menghemat biaya dan waktu pengangkutan.
LOKASI REKOMENDASI
Teknologi ini direkomendasikan untuk daerah yang terdapat industri fillet ikan atau industri
pengolahan lain yang menghasilkan limbah berupa kulit ikan.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Teknologi ini tidak mempunyai dampak negatif baik bagi masyarakat dan lingkungan sekitar
karena tidak menggunakan cara dan bahan yang berbahaya.
KELAYAKAN FINANSIAL
Analisis usaha pengawetan kulit ikan adalah seperti Tabel 1 berikut, dengan rincian seperti pada
Tabel-tabel dalam Lampiran.
Perhitungan BEP dan ROI
Break Event Point (BEP) dihitung sebagai berikut:
Batas Laba Rugi/BEP =( Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Hasil Produksi
=( Rp. 1.260.000.000 - Rp. 208.946.690) = Rp. 1.051.053.310/210.000 lbr = Rp5.005,02,dibulatkan Rp.5.000,Atau: (Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Harga kulit tersamak per lembar
= ( Rp. 1.260.000.000 - Rp. 208.946.690) = Rp. 1.051.053.310/Rp. 6.000,= 175.175,55 lembar, dibulatkan menjadi 175 lembar.
Dari perhitungan di atas, agar supaya tidak rugi, untuk pengawetan kulit harus diproduksi
sebanyak 175 lembar per tahun dengan harga jual per lembar adalah Rp. 5.000,-
280
Sedangkan kemampuan keuntungan untuk mengembalikan modal atau Return on Investment
(ROI), adalah Laba bersih/Total investasi
= Rp. 208.946.690,-/Rp.1.012.005.000,-= 6,37 tahun
Waktu balik modal = 1/6,37 tahun = 0,1571 tahun atau 1,88 bulan, dibulatkan = 2 bulan
Tabel 1. Perhitungan Biaya Investasi
1
Sewa Tanah/tahun
200
m2
Harga satuan
(Rp.)
50.000
2
Pembangunan tempat pengolahan
1
bh
35.000
35.000
3
Pembuatan peralatan penjemuran
1
bh
3.000.000
3.000.000
4
Pengadaan alat dan Peralatan
Timbangan 50 kg
1
bh
1.000.000
1.000.000
Bak plastik 0,5 m3
5
bh
250.000
1.250.000
Sikat plastik keras
10
bh
10.000
100.000
Papan perentang kulit
120
bh
25.000
3.000.000
Meja pembersih kulit
1
bh
1.000.000
1.000.000
Pissau
10
bh
150.000
1.500.000
Keranjang plastik
10
bh
25.000
250.000
Ember plastik
10
bh
35.000
350.000
Kompor gas
1
unit
1.000.000
1.000.000
5
Lemari penyimpan alat
1
bh
350.000
350.000
6
Meja dan peralatan kantor
1
set
3.000.000
3.000.000
7
Penggalian sumur bor dan instalasi pipa
1
set
2.500.000
2.500.000
8
Pemasangan listrik
1
unit
1.500.000
1.500.000
Sub jumlah
29.835.000
No
Rincian
Jumlah
lain-lain (10%)
Total biaya
Biaya (Rp.)
10.000.000
2.983.500
32.818 .500
Tabel 1. Perhitungan Biaya Investasi
No
Rincian
Jumlah
Biaya (Rp.)
1
Sewa Tanah/tahun
10
%
2
Pembangunan tempat pengolahan
10
%
35.000
3.500
3
Pembuatan peralatan penjemuran
10
%
3.000.000
300.000
4
Pengadaan alat dan Peralatan
Timbangan 50 kg digital
10
%
1.000.000
100.000
Bak plastik 0,5 m3
10
%
1.250.000
125.000
Sikat plastik keras
10
%
100.000
10.000
Papan perentang kulit
10
%
3.000.000
300.000
Meja pembersih kulit
10
%
1.000.000
100.000
Pissau
10
%
1.500.000
150.000
Keranjang plastik
20
%
250.000
50.000
Ember plastik
20
%
350.000
70.000
Kompor gas
20
%
1.000.000
200.000
Lemari penyimpan alat
20
%
350.000
70.000
Meja dan peralatan kantor
10
%
3.000.000
300.000
Tabel 2. Biaya Produksi Tetap per tahun usaha
281
10.000.000
Penyusutan
(Rp.)
1.000.000
No
Rincian
1
Garam dapur, kg
2
Cortimol, kg
Jumlah
Harga satuan (Rp.)
Biaya (Rp.)
720
3.000
2.160.000
10
100.000
1.000.000
Jumlah
3.160.000
Tabel 3. Bahan kimia yang dibutuhkan dalam pengawetan
No
1
Jenis Pengeluaran
Jumlah
Harga Satuan
Total Biaya
(Rp.)
(Rp.)
Bahan Baku
Kulit ikan, lembar
2
Bahan Kimia
3
Pemakaian listrik
4
Bahan Pengemas
150.000
1.000
150.000.000
3.160.000
600.000
2.000.000
Total Biaya Tidak Tetap
Pajak 17%
155.760.000
42.796.310
Keuntungan Bersih (3 – 4)
208.946.690
Tabel 4. Biaya Produksi Tidak Tetap per Tahun Usaha
282
BBP4BKP
Test Kit Histakit untuk Menguji Kandungan Histamin
pada Produk Perikanan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Modifikasi dari Metode AOAC
dan Metode Patange,
telah didaftarkan paten ke Ditjen
HaKI dengan nomor pendaftaran
'S00201200115'
Masa Pembuatan
2006-2008
Tim Penemu
Rudi Riyanto., M.Sc
Dwiyitno., M.Sc
Dra. Jovita Tri Murtini., M.S
Ir. Farida Ariyani.,M.Sc
Nandang Priyanto., S.Si
Prof. Dr. Endang Sri Heruwati
Kontak Person
Rudi Riyanto., M.Sc
[email protected]
283
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Pada beberapa jenis ikan, khususnya dari famili skombroidae yang memiliki daging merah,
kerusakan oleh aktivitas bakteri maupun enzim dapat menghasilkan racun yang disebut
skombrotoksin. Skombrotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh aktifitas bakteri terutama pada
ikan-ikan famili skombroidae seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin, mackerel dan sejenisnya.
Senyawa yang bersifat racun tersebut adalah histamin atau 2-(1H-imidazol-4-yl)ethanamine,
yang merupakan suatu senyawa hasil perombakan asam amino bebas histidin.
 Kandungan histamin pada ikan yang masih segar umumnya di bawah 10 mg/100 g,
pada kadar histamin antara 50 – 100 mg/100 g, ikan umumnya sudah dianggap
berbahaya dan dapat mengakibatkan keracunan pada orang yang peka. Bila histamin
telah terbentuk dalam pangan sewaktu proses penanganan, maka histamin tidak dapat
hilang atau berkurang walaupun bahan pangan telah diproses lebih lanjut atau dimasak
pada suhu tinggi, sehingga potensial membahayakan kesehatan manusia. Beberapa
negara telah menetapkan batasan kandungan histamin pada produk-produk
perikanannya, misalnya Amerika Serikat, Swedia dan Chekoslovakia menetapkan
kandungan histamin maksimal 50 mg/100 g sedangkan Uni Eropa (UE) menetapkan
batas maksimal kandungan histamin pada bahan makanan sebesar 20 mg/100 g.
 Test Kit Uji Kandungan Histamin didesain sebagai peralatan uji sederhana dan mudah
yang dapat dapat digunakan mendeteksi keberadaan histamin pada bahan makanan,
termasuk produk perikanan, baik bentuk padat atau cair sehingga dapat dengan mudah
digunakan para personil badan pengawasan mutu untuk pengawasan mutu (kandungan
histamin), khususnya ikan yang berdaging merah.
 Test Kit Uji Kandungan Histamin dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
histamin pada bahan uji dengan minimal deteksi 20 ppm sehingga dapat
direkomendasikan sebagai alat uji cepat kandungan histamin karena level deteksinya
memenuhi standar bahan makanan (khususnya ikan atau sefood) menurut standar Uni
Eropa.
 Dengan metode pewarnaan yang digunakan dalam alat ini maka tidak diperlukan
instrumentasi dan keahlian khusus dalam menggunakan Test Kit Uji Kandungan
Histamin.
 Dengan Test Kit Uji Kandungan Histamin maka bea analisis histamin dapat ditekan
karena Test Kit Histamin ini dapat diproduksi dengan harga yang lebih murah dari produk
serupa (50% dari harga test kit serupa). Harga test kit histamine dari luar negeri berkisar
284
4-5 juta rupiah untuk 100 kali uji sedangkan harga Test Kit Uji Kandungan Histamin
(HistakitTM) hanya 1 juta rupiah untuk 50 kali uji.
PENGERTIAN
- Test Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM)
Satu set test kit untuk mendeteksi kandungan histamin pada produk makanan berbentuk padat
atau cairan yang berupa kemasan berisi tiga botol reagen; Reagen A Reagen B, dan Reagen C;
satu pak bebuahrisi 5 kolom silica SampliQ Si-SCX; satu buah botol kaca bening untuk pengujian
dan dilengkapi dengan satu syringe dengan volume 5-10 ml untuk mengambil larutan uji dalam
jumlah yang diinginkan.
- Reagen
Cairan larutan kimia yang disediakan dalam satu kemasan tertentu pada Test Kit Uji Kandungan
Histamin.
- ppm
Satuan konsentrasi yang menunjukkan jumlah 1 bagian ukuran bahan tersebut per 1.000.000
bagian ukuran bahan uji.
- Histamin
Senyawa yang bersifat racun yang dalam bahasa inggris disebut histamin atau 2-(1H-imidazol-4yl)ethanamine, yang merupakan suatu senyawa hasil perombakan asam amino bebas histidin yang
biasanya ada pada kelompok ikan skombroid seperti tuna, cakalang, marlin, dan sardin, maupun
yang termasuk dalam kelompok nonskombroid seperti mahi-mahi (Coryphaena hippurus) dan
dolpin. Histidin diubah menjadi histamin oleh enzim histidine decarboxylase yang dihasilkan oleh
bakteri-bakteri pembentuk histamin.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Rincian pengujian kandungan histamin mengunakan histakit
Persiapan reagen uji (untuk 5 kali pengujian)
 Sebanyak 10 tetes (±0,5 ml) Reagen A dan 10 tetes (±0,5 ml) Reagen B dimasukkan ke
dalam tabung reaksi lalu dikocok sebentar dan dibiarkan 5 menit dalam wadah yang berisi
es curah untuk mendinginkan.
 Selanjutnya ditambahkan 1,2 ml Reagen B dan setelah 5 menit lalu ditambahkan
aquades (air aqua) dingin sampai volume 10 ml dan dibiarkan dalam wadah berisi es
selama 15 menit sebelum digunakan. Reagen ini disebut Reagen uji.
 Reagen harus disimpan dalam almari es jika tidak langsung digunakan (pada suhu rendah
dapat bertahan selama 12 jam).
Ekstraksi histamin dari bahan uji
Ekstraksi histamin dari bahan ikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan Tri Khloro
Acetic Acid (TCA) atau dengan metanol.
285
Ekstraksi menggunakan TCA
1. Daging ikan (bahan uji) ditimbang sebanyak 10 gram dandi tambah dengan 100 ml
TCA 2,5% kemudian diblender sampai homogen
2. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman No.1
3. Filtrat dinetralkan dengan KOH 1N sampai pH 7 menggunakan kertas pH
4. Sebanyak 5 ml filtrat dimasukkan ke dalam cartridge SampliQ dan dibiarkan terelusi
(tidak ditampung)
5. Bilas cartridge dengan 4 ml buffer asetat (tidak ditampung)
6. Cartridge dielusi dengan 3 ml HCl 0,2N, hasil elusi ditampung (elusi dilakukan 3 kali,
selanjutnya hasil tampungan ini disebut EKSTRAK SAMPEL)
Ekstraksi menggunakan Metanol
1. Daging ikan (bahan uji) ditimbang sebanyak 10 gram dan ditambah dengan 100 ml
Metanol dan diblender sampai homogen
2. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman No.1
3. Filtrat dinetralkan dengan KOH 1N sampai pH 7 (cek dengan kertas pH)
4. Selama 5 ml ekstrak hasil saringan ke dalam cartridge SampliQ dan dibiarkan terelusi
(tidak ditampung)
5. Cartridge dibilas dengan 4 ml buffer asetat (tidak ditampung)
6. Cartridge dielusi dengan 3 ml HCl 0,2N, hasil elusi ditampung (elusi dilakukan
sebanyak 3 kali, selanjutnya hasil tampungan ini disebut EKSTRAK SAMPEL)
Pengujian adanya histamin
1. Sebanyak 5 ml Reagen C dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan
2 ml Reagent uji secara perlahan
2. Diambahkan 1 ml EKSTRAK SAMPEL kemudian dikocok perlahan dan diiarkan
selama 15 menit pada suhu ruang sambil diamati perubahan warna yang terjadi.
Warna merah muda sampai merah bata yang terbentuk merupakan indikasi
keberadaan histamin pada bahan yang diuji. Prediksi konsentrasi histamin dalam
bahan uji dapat dilakukan dengan membandingkan intensitas warna yang terjadi
dengan warna yang diperoleh jika menggunakan larutan standar histamine. Prediksi
kasar juga dapat dilakukan dengan membandingkan warna yang terbentuk dengan
tabel warna dari beberapa konsentrasi yang disertakan dalam paket test kit histamin.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
1. Test Kit Histamin ini dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah dari produk
serupa.
2. Dapat digunakan dengan mudah dan uji semikuantitatif kandungan histamin dapat
dilakukan lebih cepat (butuh waktu sekitar 1 jam).
3. Dapat mendeteksi sampai level kandungan histamin 20 ppm sehingga dapat
direkomendasikan sebagai alat uji cepat kandungan histamin karena level deteksinya
memenuhi standar bahan makanan (khususnya ikan atau seafood) menurut standar
286
Uni Eropa.
4. Dapat menguji semi kuantitatif kandungan histamin lebih cepat (butuh waktu sekitar 1
jam).
5. Dengan aplikasi silica SampliQ Si-SCX saat preparasi maka analisis histamin akan
lebih akurat.
6. Tidak memerlukan investasi peralatan uji seperti GC/LC, spektrofotometri atau
fluorometri yang memerlukan keahlian khusus dan bea perawatan alat yang sangat
mahal
LOKASI REKOMENDASI
Teknologi ini direkomendasikan digunakan di daerah sentra produksi ikan pelagis besar,
khususnya tuna, untuk menjaga kualitas ikan yang didaratkan. Pada industri-industri pengolahan
ikan yang berbahan baku ikan pelagis besar, test kit ini dapat digunakan sebagai skrining awal
pada bahan baku yang akan diuji secara kuantitatif di laboratorium, karena uji tes kit ini bersifat
semi kuantitatif.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak ada dampak negatif karena pengujian tidak merusak produk yang diuji, dan test kit tidak
membahayakan penguji.
KELAYAKAN FINANSIAL
 Biaya pengujian kualitatif / semi kuantitatif histamin pada laboratorium uji berkisar
Rp.100.000,00 – Rp.200.000,00 dan cukup besar jika bahan yang akan diuji jumlahnya
banyak. Dengan menggunakan Tes Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) dengan
harga Rp.1.000.000,00 untuk 50 sampel maka bea analisis histamin yang diperlukan
hanya Rp.20.000,00 per sampel.
 Test Kit Histamin ini dapat diproduksi dengan harga yang lebih murah dari produk serupa.
Harga test kit histamin dari luar negeri berkisar 4-5 juta untuk 100 kali uji sedangkan
harga Test Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) hanya 1 juta untuk 50 kali uji.
Komponen termahal adalah kolom SampliQ Si-SCX yang masih harus diimpor.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Sekitar 50% bahan yang digunakan untuk pembuatan Test Kit Uji Kandungan Histamin
(HistakitTM) dapat diproduksi di Indonesia sehingga 50% produk ini dapat menggunakan
komponen dalam negeri.
SPESIFIKASI
Test kit uji ini berupa satu set test kit untuk mendeteksi residu histamin pada makanan dalam
bentuk padat atau cairan, yang terdiri atas tiga botol reagen; Reagen A dengan botol volume 5-7
ml yang berisi larutan sulfanilic acid 0,9% dalam HCl 4% (w/v), Reagen B dengan botol volume
10-12 ml yang berisi larutan sodium nitrite 5% (w/v), Reagen C dengan botol volume 100-110 ml
yang berisi larutan sodium karbonat 1,1% (w/v); satu pak kolom silica SampliQ Si-SCX (5 pcs); 1
287
buah botol kaca
bening untuk
pengujian dan
dilengkapi dengan
satu syringdengan
volume 5-10 ml
untuk mengambil
larutan uji dalam
jumlah tertentu serta
1 lembar petunjuk
cara pengujian,
sehingga dapat
digunakan untuk
pengujian histamin di
laboratorium tanpa
harus didukung
ketersediaan
Gambar 1. Tes kit uji histamin
p e r a l a t a n
spektrofotometer, spektrofluorometer atau GC atau pun HPLC. Test kit ini dapat digunakan untuk
menganalisis 50 sampel.
Satu set test kit untuk mendeteksi kandungan histamin pada produk makanan berbentuk padat
atau cairan yang terdiri atas tiga botol reagen; Reagen A dengan botol volume 5-7 ml yang berisi
larutan sulfanilic acid 0,9% dalam HCl 4% (w/v), Reagen B dengan botol volume 10-12 ml yang
berisi larutan sodium nitrite 5% (w/v), Reagen C dengan botol volume 100-110 ml yang berisi
larutan sodium karbonat 1,1% (w/v); satu pak kolom silica SampliQ Si-SCX (5 pcs); 1 buah botol
kaca bening untuk pengujian dan dilengkapi dengan satu syring dengan volume 5-10 ml untuk
mengambil larutan uji dalam jumlah tertentu.
(-)/0
10
20
40
50
(+) ppm
Gambar 2. Hasil pewarnaan reagen uji HistakitTM
288
BBP4BKP
Pengawetan Ikan Menggunakan Biji Picung Beku
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi (Perbaikan dari teknologi yang
sudah diterapkan oleh masyarakat)
Masa Pembuatan
2010-2012
Tim Penemu
Prof. Dr. Endang Sri Heruwati
Novalia Rachmawati, MSc
Irma Hermana, SStPi
Kontak Person
Novalia Rachmawati
[email protected]
289
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Biji picung (Pangium edule Reinw.) telah lama digunakan sebagai pengawet ikan oleh nelayan di
daerah Banten, Jawa Barat, Sulawesi Utara, serta daerah lain yang sulit mendapatkan pasokan es.
Dalam pemanfaatannya, nelayan biasa mencampurkan picung yang telah dicacah yang dicampur
dengan garam, kemudian melumurkannya ke seluruh permukaan dan bagian rongga perut ikan.
Dalam praktek, penggunaan picung ini dapat mengawetkan ikan selama beberapa hari.
Gambar 1. Pohon, biji dan buah picung (Pangium edule)
Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa penggunaan 3 – 4 % picung yang dicampur
dengan 2 – 3 % garam, dapat mempertahankan kesegaran ikan hingga 4 hari pada suhu ruang.
Selain itu, secara in vitro ekstrak picung terbukti mampu mengambat pertumbuhan baik bakteri
Gram positif maupun Gram negatif seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens,
Salmonella thypimurium, Enterobacter aerogenes dan Micrococcus lactis.
Hasil penelitian di laboratorium dan penggunaan secara tradisional di lapangan menunjukkan
bahwa potensi pemanfaatan biji picung untuk menghambat proses ikan sangat terbuka luas.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa kendala teknis dalam penggunaannya di lapangan.
Di antaranya adalah waktu panen picung yang hanya sekali dalam setahun sehingga
ketersediaannya terbatas pada musim tertentu; proses penyiapannya kurang praktis karena biji
picung harus dipisahkan dulu dari cangkangnya lalu dicacah setiap akan digunakan. Selain itu, biji
yang telah dipisahkan dari cangkangnya mudah berubah warna menjadi kecoklatan. Pencoklatan
yang diakibatkan oleh aktivitas enzim fenol oksidasi di dalam biji picung ini menyebabkan
penurunan daya pengawetan biji picung terhadap ikan segar, selain tentu saja akan
mempengaruhi warna ikan yang diawetkan.
290
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi yang dapat menjamin ketersediaan biji picung
sepanjang tahun dalam bentuk yang praktis, mudah digunakan sekaligus memiliki daya
pengawetan ikan yang tinggi. Pengawetan biji picung dengan cara pengeringan telah dicoba
dilakukan, namun hasilnya tidak memuaskan karena biji picung menjadi coklat dan daya
pengawetan terhadap ikan pun sangat berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembekuan biji picung dapat menghambat kerja enzim yang
berperan dalam proses oksidasi biji picung yang menyebabkan biji picung berwarna coklat.
Kemampuan biji picung untuk mengawetkan ikan masih dapat dipertahankan meskipun disimpan
dalam kondisi beku. Penggunaan biji picung beku pada ikan nila dapat memperpanjang daya
simpan ikan hingga 3-4 kali lebih lama jika dibandingkan dengan ikan nila tanpa pengawetan. Ikan
yang disimpan pada suhu ruang tanpa pengawetan hanya bisa bertahan selama 8-12 jam saja.
Selain itu biji picung beku mempunyai daya anti bakteri khususnya E. coli dan S. aureus.
PENGERTIAN
Picung (Pangium edule Reinw) adalah tumbuhan yang tergolong Spermatophyta. Biji buah picung
dalam bentuk terfermentasi lebih dikenal sebagai keluwak adalah tanaman liar yang banyak
ditemui di hutan pada ketinggian hingga 1000 m. Biji picung banyak mengandung asam sianida
dan tanin, yang diyakini berfungsi sebagai bahan pengawet. Asam sianida bersifat antimikroba,
tetapi dalam jumlah banyak dapat menyebabkan keracunan pada manusia. Meskipun demikian,
penggunaan biji picung sebagai pengawet ikan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan
konsumen karena asam sianida diketahui mudah menguap dalam suhu ruang.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
Selama proses pengupasan dan pencincangan biji picung harus diusahakan agar proses
pencoklatan dihindarkan dengan selalu menggunakan suhu rendah, mengurangi cahaya, dan
bekerja cepat.
Selama disimpan, biji picung beku diusahakan tetap dalam keadaan beku. Kemudian pada tahap
pelelehan dan aplikasi, biji picung beku sebaiknya tidak terpapar langsung dengan sinar matahari.
Konsentrasi biji picung beku yang digunakan untuk pengawetan ikan harus tidak melebihi
konsentrasi yang dianjurkan.
Rincian teknologi
Teknologi penyiapan biji picung beku:
1. Penyiapan biji picung cincang (sebaiknya dilakukan padaruang tertutup bersuhu rendah) :
 Buah picung dikupas kulitnya dan diambil bijinya
 Biji picung dibersihkan lalu dibuka dengan memecahkan kulitnya
 Bagian dalam biji picung dicungkil, dikumpulkan dan dicincang
2. Pengemasan biji picung cacah
 Biji picung cincang dikemas dalam kantong plastik berukuran ± 1 kg
291
3. Pembekuan: biji picung dalam kemasan plastik dibekukan pada suhu -10 s/d - 18°C selama
beberapa jam, selanjutnya disimpan dalam keadaan beku
4. Aplikasi pada ikan
 Biji picung beku dilelehkan pada suhu ruang sebelum digunakan
 Konsentrasi yang disarankan sebanyak 4% dari bobot ikan segar, penggunaannya dapat
dikombinasikan dengan garam sebanyak 1-2% dari bobot ikan
 Biji picung dilumurkan ke seluruh permukaan ikan dan dimasukkan ke rongga perut ikan
yang telah disiangi isi perutnya.
Perlu diperhatikan bahwa sejak pemanenan, biji picung harus dilindungi dari cahaya matahari,
udara (oksigen) dan suhu tinggi. Proses produksi biji picung beku ini sebaiknya dilakukan secara
bertahap, tanpa menunggu bahan baku terkumpul dalam jumlah banyak. Karena biji picung yang
tidak segera dibekukan akan menjadi coklat dan daya awetnya menurun. Pada saat
pendistribusian, biji picung beku harus dijaga dalam kondisi beku dan tidak terpapar sinar matahari.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Biji picung beku sangat praktis karena tidak perlu memecahkan, mencungkil dan
mencincang biji picung setiap akan mengawetkan ikan,
 Dalam keadaan beku dapat tersedia dengan daya pengawetan yang sama sepanjang
tahun tanpa terkendala musim,
 Biji picung beku memang tidak lebih unggul dibandingkan pengawetan dengan suhu
rendah/es yang hingga saat ini masih tidak tergantikan. Akan tetapi teknologi ini
memberikan solusi untuk daerah-daerah di mana refrigerasi/es tidak tersedia, seperti di
daerah terpencil, yang masyarakatnya lebih banyak mengenal ikan asin daripada ikan
segar.
 Teknologi ini dapat mencegah penyalah-gunaan bahan pengawet berbahaya seperti
formalin untuk mengawetkan ikan.
 Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan secara berkelanjutan
seseuai dengan daerah pengembangan (ekologi, sosial budaya, ekonomi, teknis,
infrastruktur, fiksal, hukum dan kelembagaan)
 Teknologi pengawetan biji picung dapat mendorong berkembangnya industri bahan
pengawet alami yaitu biji picung beku, yang aman dan mudah digunakan di pusat-pusat
penjualan ikan segar yang terpencil atau yang tidak terjangkau oleh pasokan es.
Teknologi pembekuan ini dapat dintroduksikan kepada UKM atau koperasi nelayan yang
berada di wilayah terpencil.
 Industri biji picung beku bahkan dapat mendorong pembudidayaan pohon picung,
terutama di lahan kering atau lahan terlantar, sehingga produksi dapat ditingkatkan,
karena saat ini ketersediaan biji picung masih terbatas karena masih mengandalkan
tanaman yang ada di hutan/kebun dan tidak tersebar merata di seluruh Indonesia.
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Aplikasi biji picung beku untuk pengawet ikan masih dilakukan pada skala laboratorium, karena
belum ada investor yang tertarik untuk membuat biji picung beku.
292
Teknologi ini layak diterapkan di tempat
pendaratan ikan yang terpencil dan susah
mendapatkan pasokan es sebagai pengawet.
Sasaran pengguna teknologi (pembuat biji
picung beku dan pengguna biji picung beku
dalam pengawetan ikan) adalah UKM atau
koperasi nelayan terutama yang memiliki
fasilitas mesin penyimpan dingin (beku.)
Gambar 2. Biji picung (kiri). Biji setelah dicacah (kanan)
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tanaman picung mengandung asam sianida yang cukup besar jumlahnya baik pada batang, daun
dan buahnya. Namun demikian, asam sianida bersifat mudah menguap bahkan pada suhu kamar
sehingga akan hilang pada saat ikan dimasak, sehingga tidak beresiko terhadap kesehatan dan
keselamatan konsumen.
KELAYAKAN FINANSIAL
Biaya pengawetan ikan menggunakan es memerlukan biaya sekitar 1000-3000 rupiah/kg ikan
(tergantung lama penyimpanan), bila es ditambahkan terus menerus dapat mengawetkan ikan
hingga 10-12 hari. Pengawetan dengan biji picung beku memerlukan sekitar 500 rupiah/kg ikan
dengan daya awet 2-3 hari. Tanpa pengawetan, ikan akan busuk dalam waktu 8 jam. Biaya
pengangkutan biji picung beku ke pusat pendaratan ikan jauh lebih mudah, lebih praktis dan lebih
murah dibandingkan dengan pengangkutan es, atau pengangkutan biji picung segar yang masih
bercangkang.
T I N G K AT K O M P O N E N D A L A M
NEGERI
Bahan baku yang diperlukan, yaitu buah
picung (Pangium edule Reinw.) merupakan
tanaman asli Indonesia, banyak tersebar di
hutan daerah dataran tinggi di beberapa
wilayah Indonesia.
Gambar 3. Perlakuan pelumuran ikan dengan kombinasi
picung dan garam
293
BBP4BKP
Test Kit Antirax untuk Menguji Residu Boraks
pada Produk Perikanan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Modifikasi dari Metode AOAC
Telah didaftarkan paten ke Ditjen HaKI
dengan nomor pendaftaran
'S00201103216'
Masa Pembuatan
2009-2011
Tim Penemu
Dra. Jovita Tri Murtini., M.S
Prof. Dr. Endang Sri Heruwati
Rudi Riyanto., M.Sc
Nandang Priyanto., S.Si
Tuti Hartati Siregar., M.Biomed.Sc
Kontak Person
Tuti Hartati Siregar
[email protected]
294
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) dirancang sebagai peralatan uji sederhana dan mudah yang
dapat digunakan mendeteksi keberadaan boraks pada bahan makanan (padat atau cair),
sehingga dapat dengan mudah digunakan para personil pengawasan mutu untuk skrining awal
keberadaan borak pada produk pangan.
Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) dapat mendeteksi keberadaan boraks pada bahan uji cair
dengan minimal deteksi 50 ppm sedangkan untuk bahan uji makanan padat limit deteksinya
adalah 100 ppm.
Dengan metode pewarnaan yang digunakan dalam alat ini maka tidak diperlukan instrumentasi
dan keahlian khusus dalam menguji residu boraks.
Bersarkan hasil uji penyimpanan diketahui bahwa kertas turmeric yang merupakan komponen
utama penguji dalam test kit dapat tahan dismpan selama 4 bulan.
PENGERTIAN
 Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax)
Set test kit untuk mendeteksi adanya boraks pada produk makanan berbentuk padat atau
cairan berupa kemasan yang berisi dua botol reagen masing-masing yaitu Reagen A,
Reagen B, satu pak kertas turmeric berisi 20 lembar, dan satu syringe dengan volume 10
ml untuk mengambil cairan dalam jumlah tertentu.
 Kertas Turmeric
Kertas saring yang dipotong-potong dengan ukuran 1 x 5 cm yang telah direndam dalam
larutan curcumin.
 Boraks
Suatu senyawa garam natrium (Na2B4O7.10H2O) yang larut air dan banyak digunakan
untuk memperbaiki tekstur produk-produk perikanan, seperti bakso ikan, kerupuk, siomay
dll. Di samping itu, boraks juga banyak digunakan sebagai pengawet kayu, antiseptik kayu
dan pengontrol kecoa. Masyarakat Jawa sering menyebut senyawa ini sebagai 'Bleng'.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Rincian cara pengujian borax menggunakan test kit Antirax adalah sebagai berikut :
1. Bahan (sampel) yang akan diuji harus dihaluskan terlebih dahulu atau diblender (dapat
ditambahkan sedikit air jika diperlukan)
295
2. Bahan uji yang sudah diblender lalu diambil ±10 gram (satu sendok makan) kemudian
ditambahkan air (± 50 ml, sekitar 10 sendok makan), kemudian dipanaskan sekitar 5
menit.
3. Sampel yang telah dingin kemudian ditambah dengan reagen A sebanyak 3 ml dan
dikocok sekitar 1-2 menit. Selanjutnya kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan dan
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.
4. Jika warna kertas turmeric yang tercelup berubah menjadi kemerahan atau merah bata
berarti bahan uji terindikasi mengandung boraks. Untuk memastikan hasil uji, kertas
turmeric yang tercelup dan berubah warna tadi lalu ditetesi Reagen B dan jika terjadi
perubahan warna dari merah menjadi hijau-kebiruan berarti boraks dinyatakan positif
ditemukan dalam bahan yang diuji.
(Cara pengujian ini disertakan dalam kemasan Test Kit)
Keterangan Tambahan:
Untuk pengujian produk berbentuk cairan, tidak perlu dilakukan preparasi bahan uji. Untuk
pengujian bahan uji diambil sebanyak 50 ml dan prosedur pengujian langsung dimulai dari nomor
3 sampai selesai.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
1. Tingkat akurasi uji yang cukup tinggi (mendeteksi sampai 50 ppm) dan spesifik
untuk menguji boraks
2. Praktis dalam penggunaan sehingga dapat digunakan oleh setiap orang
3. Waktu analisis singkat (10 – 15 menit)
4. Tidak memerlukan instrumentasi dalam analisisnya
5. Membantu dan memudahkan proses pengujian kandungan boraks pada bahan
pangan (padat atau cair) dalam rangka pengendalian dan pengawasan
penyalahgunaan boraks di industri pangan
6. Menekan biaya analisis boraks yang harus dikeluarkan (biaya pengujian kualitatif
boraks berkisar Rp.30.000,00 – Rp.60.000,00) menjadi hanya Rp.7.500,00 per
sampel.
LOKASI REKOMENDASI
Antirax mudah dan praktis digunakan bahkan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan analisis
laboratorium sehingga mudah digunakan oleh siapa saja di lapangan. Sebagai salah satu alat
(tool) untuk mengawasi terjadinya penyimpangan penggunaan bahan berbahaya boraks pada
produk perikanan, Antirax dapat digunakan oleh para praktisi pengawas mutu produk perikanan
atau para penyuluh serta masyarakat pengolahan produk perikanan dalam membantu
membrantas praktek penyalah-gunaan boraks pada produk perikanan. Tempat-tempat yang
penting dimonitor menggunakan test kit ini adalah daerah sentra pengolahan ikan berupa produk
yang diharapkan mempunyai tekstur yang kenyal seperti bakso ikan, sosis ikan, nuget ikan, dan
sebagainya.
296
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak ada karena pengujian tidak merusak produk yang diuji, dan test kit tidak membahayakan
penguji
KELAYAKAN FINANSIAL
Biaya pengujian kualitatif boraks pada laboratorium uji berkisar Rp. 30.000 – Rp. 60.000 per
contoh. Sedangkan dengan menggunakan Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) adalah Rp.
150.000 untuk 20 sampel maka biaya analisis boraks yang diperlukan hanya Rp. 7.500 per
sampel.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Produk ini dibuat seluruhnya menggunakan komponen dalam negeri.
Spesifikasi
Formula test kit boraks terdiri dari asam klorida dengan air sebagai pelarut, ammonium hidroksida
dan kertas turmeric (kertas kuning). Kertas turmeric berasal dari kertas saring Whatman No 1
yang dipotong-potong dengan ukuran 1 x 5 cm kemudian direndam dalam larutan 1% curcumin
dalam etanol 80% selama 1 jam, kemudian dikeringkan dalam oven 50oC sampai kering dan
selanjutnya disimpan dalam wadah tertutup bebas sinar matahari. Tes kit ini dapat digunakan
untuk 20 kali pengujian sampel.
Gambar 1. Test Kit Uji Residu Boraks
Gambar 2. Hasil pengujian dengan AntiraxTM
297
BBP4BKP
Test Kit Antilin Untuk Uji Residu Formalin
pada Produk Perikanan
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
Alamat
Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi
Jakarta
Kategori Teknologi
Pengolahan
Sifat Teknologi
Inovasi: Modifikasi dari Metode Schiff,
telah diterbitkan paten dengan nomor
no ID S00001087 pada tahun 2011
Masa Pembuatan
2005-2010
Tim Penemu
Prof. Dr. Endang Sri Heruwati
Dra. Jovita Tri Murtini., M.S
Ir. Farida Ariyani., M.Sc
Drs. Ikna Suyatna Djalip., M.S
Dra. Ninoek Indriati., M.KM
Rudi Riyanto., M.Sc
Kontak Person
Rudi Riyanto., M.Sc
[email protected]
298
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Test Kit Uji Residu Formalin adalah seperangkat alat untuk pengujian cepat kandungan formalin
pada bahan uji makanan atau minuman, termasuk produk perikanan. Formalin merupakan salah
satu bahan berbahaya yang sering disalahgunakan sebagai pengawet makanan, seperti mie, tahu,
ikan dan bakso. Residu formalin pada produk pangan sulit dideteksi secara inderawi (visual).
Test Kit Uji Residu Formalin ini berupa alat penguji (test kit) kualitatif yang praktis menggunakan
larutan campuran pararosanilin dengan sulfit jenuh pada suasana asam. Alat penguji ini sama
sensitifnya dengan reagen penguji komersial dan dapat mendeteksi adanya formalin pada
makanan dalam bentuk padat atau cair dengan batas deteksi minimal 2 ppm.
Perakitan teknologi dimulai dengan penelitian awal untuk mencari teknologi analisis yang paling
tepat dan paling mudah diaplikasikan di masyarakat untuk keperluan pengujian cepat kandungan
formalin pada sampel ikan. Dari penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa metode Schiff yang
dapat digunakan sebagai metode dasar tes kit uji residu formalin. Untuk dikemas menjadi sebuah
test kit, larutan HCl yang digunakan dimodifikasi dengan menggunakan larutan HCl 25% (v/v)
tidak menggunakan larutan HCl pro analisis (pekat) karena mempertimbangkan faktor
keselamatan pada penggunaannya nanti.
Pada tahap berikutnya dilakukan uji lapang penggunaan test kit dan uji kestabilan atau umur
simpan produk Test Kit Uji Residu Formalin yang dibuat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
Reagent Schiff yang digunakan mampu bertahan selama 8 bulan.
Pada tahun 2008 dilakukan juga penelitian monitoring penggunaan formalin pada produk
perikanan dengan menggunakan Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) sebagai alat ujinya.
Penelitian ini sudah dilakukan secara berkala dan konsinten tiap tahun sejak tahun 2005 sampai
tahun 2010.
Pada tahun 2007 invensi diusulkan ke Ditjen HaKI untuk mendapatkan paten dan pada tahun
2011 telah diterbitkan surat paten Test Kit Residu Formalin Pada Makanan dengan nomor paten
ID S00001087.
Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) telah digunakan secara komersial bekerjasama dengan
Koperasi Artha Mina dan telah digunakan oleh beberapa instansi pemerintah (beberapa dinas
299
perikanan, seperti Dinas Perikanan Pekalongan, Dinas Perikanan Bangka Belitung, Dinas
Perikanan Aceh, Dinas Perikanan Cirebon, dll) untuk pengawasan penyalahgunaan formalin sejak
tahun 2007. Pada tahun 2007 Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) juga dipesan oleh Ditjen
P2HP sebanyak 500 pak untuk dibagikan ke dinas-dinas perikanan daerah untuk pengawasan
mutu produk perikanan.
Dengan Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) maka biaya analisis formalin dapat ditekan karena
biaya analisis pengujian formalin kualitatif di laboratorium uji berkisar antara Rp. 20.000 – Rp.
50.000 per sampel, sedangkan dengan menggunakan test kit ini biaya pengujian formalin hanya
Rp. 4.000 per sampel. Test Kit ini juga lebih murah dari produk serupa (25-50%) kartena harga test
kit serupa (test kit formalin dari luar negeri) adalah Rp. 1.200.000 untuk 100 kali pengujian.
PENGERTIAN
Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM)
Suatu alat penguji cepat dalam kemasan yang berisi 2 botol larutan penguji, yaitu Larutan A dan
Larutan B, 2 botol kaca kosong untuk pengujian sampel, dan satu syringe untuk mengambil larutan
sampel.
Reagen
Cairan larutan kimia yang disediakan dalam satu kemasan tertentu pada Test Kit Uji Residu
Formalin (AntilinTM).
ppm
Satuan konsentrasi yang menunjukkan jumlah 1 bagian ukuran bahan tersebut per 1.000.000
bagian ukuran bahan uji.
Formalin
Cairan beracun dan berbahaya yang merupakan campuran formaldehid (HCHO) yang terlarut
dalam air dengan konsentrasi 37-40%. Bahan ini biasanya digunakan sebagai antiseptic,
germisida, dan pengawet. Formalin diketahui sering digunakan dan efektif dalam pengobatan
penyakit akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir..
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan teknis
Test kit sebaiknya disimpan pada suhu rendah (5-10oC) agar masa aktifnya dapat lebih lama. Pada
suhu tersebut test kit dapat digunakan sampai masa penyimpanan 3 bulan.
Rincian pengujian residu formalin menggunaan Test Kit
1. Ikan yang akan diuji (sampel) terlebih dahulu diiris kecil-kecil (dicacah) atau diblender
(dihaluskan)
2. Sekitar ±10 gram (satu sendok makan) sampel diambil lalu ditambah dengan air
panas ± 20 ml (4 sendok makan) dan diaduk selama 1 menit,
3. Setelah campuran mengendap, diambil 10 ml cairan menggunakan syringe yang
disediakan dan dimasukkan ke dalam botol kaca kosong yang telah tersedia dalam
kemasan tes kit uji.
300
4. Larutan sampel dalam botol tersebut selanjutnya ditambahkan 4 tetes Larutan A dan 4
tetes Larutan B. Selanjutnya dilakukan pengocokan dan dibiarkan hingga sekitar 10
menit dan kemudian diamati perubahan warna yang terjadi. Air suling (akuades) dapat
digunakan sebagai kontrol negatif dengan meneteskan Llarutan A dan B dengan cara
yang sama.
5. Terbentuknya warna ungu pada botol berisi sampel yang bersamaan dengan tidak
terbentuknya warna serupa pada botol berisi air suling menunjukkan bahwa ikan
(produk perikanan) yang diuji positif mengandung formalin.
Keterangan: Untuk pengujian produk berbentuk cairan, tidak perlu dilakukan preparasi sampel,
langsung ditambahkan Larutan A dan B masing-masing sebanyak 4 tetes dan dikocok sampai
homogen kemudian diamati perubahan warnanya.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Dalam hal kepraktisan dan efektivitas, inovasi ini sama dengan yang tersedia di pasaran,
tapi harganya lebih murah.
 Test Kit Uji Residu Formalin sangat dibutuhkan karena kasus malpraktek pengawetan
makanan, terutama ikan semakin marak, sementara deteksi visual tidak mungkin
dilakukan.
 Test Kit sangat memudahkan pengawas dalam membuktikan adanya malpraktek, bila
digunakan bagi pengawasan rutin di pusat-pusat produksi makanan, dapat
menghentikan penyalahgunaan formalin pada makanan.
 Di bidang perikanan, test kit ini dapat digunakan di TPI sebagai gerbang pendaratan ikan
sehingga ada jaminan keamanan atas ikan yang didaratkan.
 Test Kit ini dapat digunakan tidak terbatas pada ikan, tapi untuk semua jenis makanan
padat maupun cair.
 Test Kit ini akan sangat membantu para retailer (misal: super market atau pasar) untuk
memastikan bahwa produk yang dikirim suplier terbukti aman.
 Test Kit cocok digunakan untuk ini karena praktis, mudah digunakan, hasilnya cepat
didapat, batas deteksi minimal rendah, dan sangat murah sehingga biaya pengujian tidak
akan membebani harga produk yang dijual.
 Telah diproduksi dan dijual secara komersial bekerjasama dengan Koperasi Artha Mina
dan telah digunakan oleh beberapa instansi pemerintah (beberapa dinas perikanan)
untuk pengawasan penyalahgunaan formalin sejak Tahun 2007.
LOKASI REKOMENDASI
AntilinTM mudah dan praktis digunakan bahkan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan analisis
laboratorium sehingga mudah digunakan oleh siapa saja di lapangan. Sebagai salah satu alat
(tool) untuk mengawasi terjadinya penyimpangan penggunaan bahan berbahaya formalin pada
produk perikanan, AntilinTM dapat digunakan oleh para praktisi pengawas mutu produk perikanan
atau para penyuluh serta masyarakat pengolahan produk perikanan dalam membantu
membrantas praktek keliru penyalah-gunaan formalin pada produk perikanan. Tempat-tempat
yang penting dimonitor menggunakan test kit ini adalah daerah yang mengalami kelangkaan es
sebagai pengawet ikan, di pintu-pintu pemasukan ikan seperti TPI atau Pasar Ikan, atau di tokotoko pengecer ikan.
301
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Dampak negatif tidak ada karena pengujian
tidak merusak produk yang diuji, dan test kit
tidak membahayakan penguji. Karena Larutan B
secara terpisah akan memberikan pewarnaan
pink pada kulit (walaupun tidak membahayakan)
maka disarankan menggunakan sarung tangan
pada saat pengujian atau membasuh tangan
yang terkena tetesan tersebut dengan detergen
setelah proses pengujian.
Gambar 1. Tes kit uji formalin
KELAYAKAN FINANSIAL
Biaya pengujian kualitatif formalin pada
laboratorium uji berkisar Rp.20.000,00 –
Rp.50.000,00 per sampel dan cukup besar jika
bahan yang akan diuji jumlahnya banyak.
Dengan menggunakan Tes Kit Uji Residu
Fo r m a l i n ( A n t i l i n T M ) d e n g a n h a r g a
Rp.200.000,00 untuk 50 sampel maka biaya
analisis formalin yang diperlukan hanya
Rp.4.000,00 per sampel.
Gambar 2. Hasil pengujian menggunakan
AntilinTM pada sampel yang mengandung
formalin 1 ppm
Dari sisi harga, Test Kit Uji Residu Formalin
(AntilinTM) juga lebih murah dari produk serupa (25-50%) kartena dari informasi harga test kit
serupa (test kit formalin dari luar negeri) hraga produk tersebut sekitar Rp.1.200.000,00 untuk
100 kali pengujian.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Sekitar 80% bahan yang digunakan untuk pembuatan Tes Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM)
dapat diproduksi di Indonesia sehingga 80% produk ini dapat menggunakan komponen dalam
negeri.
Spesifikasi
Tes kit uji residu formalin ini untuk mendeteksi adanya residu formalin pada makanan berbentuk
padat atau cairan. Set set test kit terdiri dari; Reagen A dengan botol volume 10-15 ml yang berisi
campuran larutan pewarna pararosanilin pada konsentrasi 0,05-0,2% dengan larutan natrium
metabisulfit 0,5-5%, Reagen B dengan botol volume 10-15 ml yang berisi larutan Hydrochloric
Acid 25% (w/v), dan dilengkapi dengan dua botol kosong dengan ukuran 10-30 ml sebagai botol
reaksi masing-masing untuk sampel dan untuk blanko serta satu syring volume 5-10 ml untuk
mengambil sampel dalam jumlah tertentu Tes kit ini dapat digunakan untuk 50 kali pengujian
sampel.
302
rekomendasi
teknologi
teknologikelautan
4
303
BPOL
Teknologi BIOREEFTEK
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Balai Penelitian dan Observasi Laut
(BPOL)
Alamat
Jalan Baru Perancak, Jembrana
Bali, 82251
Kategori Teknologi
Kelautan
Sifat Teknologi
Teknologi baru
Masa Pembuatan
2008-2013
Tim Penemu
Eghbert Elvan Ampou, M. Sc
Kontak Person
Rochma Widia Lestari, S. Kom
[email protected]
304
TUJUAN DAN MANFAAT PENERAPAN TEKNOLOGI
Tujuan penerapan teknologi BIOREEFTEK ini adalah untuk menciptakan dan memberikan
alternatif teknologi konservasi dan rehabilitasi terumbu karang yang terbuat dari bahan alami
dengan biaya pembuatan yang relatif murah.
Penerapan teknologi BIOREEFTEK ini diharapkan dapat menunjang kegiatan konservasi dan
rehabilitasi ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir Indonesia.
PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI
Secara etimologi, BIOREEFTEK terdiri dari tiga kata, yaitu BIO yang berarti hidup/hayat; REEF
berarti terumbu/batu; dan TEK adalah Teknologi.
Secara terminologi, BIOREEFTEK dapat diartikan sebagai suatu teknologi hijau yang
memanfaatkan bahan alami (tempurung kelapa) sebagai media untuk penempelan larva planula
karang sampai menjadi koloni individu baru (terumbu).
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Aplikasi teknis BIOREEFTEK terdiri dari 6 tahapan, yaitu (a) persiapan pembuatan, (b) peletakan
(deployment), (c) monitoring penempelan larva planula karang, dan (d) relokasi BIOREEFTEK.
a. Persiapan dan langkah-langkah pembuatan
Hal yang pertama dilakukan untuk membuat BIOREEFTEK adalah mempersiapkan bahan-bahan
yang diperlukan, yaitu tempurung kelapa, pipa aluminium, rangka besi, kawat, kayu, tripleks, pasir,
batu, serta kabel pengikat. Alat yang digunakan adalah gerinda, gergaji, ampelas, dan juga sekop.
Setelah semua bahan dan alat telah siap, maka dapat dilakukan pembuatan BIOREEFTEK
dengan mengikuti langkah-langkah berikut
305
1. Potong tempurung kelapa menjadi dua bagian secara rata (Gambar 1-a), kemudian beri lubang
di bagian tengahnya menggunakan gerinda (Gambar 1-b).
Gambar 1. Pemotongan (a) dan pembuatan lubang (b) pada tempurung kelapa dengan menggunakan gurinda
2. Siapkan cetakan media (Gambar 2-a) dan rangka dasar media atau rangka besi (Gambar 2-b)
Gambar 2. Cetakan media (a) dan rangka dasar media (rangka besi) BIOREEFTEK (b)
3. Letakan rangka besi pada cetakan media dan tuangkan campuran semen, pasir dan batu ke
dalam cetakan tersebut, kemudian pasang tiang alumunium untuk penyangga media tempurung
kelapa, dan keringkan (Gambar 3-a). Setelah kering, lepaskan cetakan kayu dari media, dan lapisi
seluruh permukaan media dengan cairan semen (Gambar 3-b).
Gambar 3. Penyetakan media BIOREEFTEK dan pemasangan tiang alumuniun (a); serta pelapisan seluruh
permukaan media dengan cairan semen(b)
306
4. Posisikan tempurung kelapa secara terbalik, bubuhkan semen (Gambar 4-a) dan letakkan di
bawah paparan sinar matahari, biarkan sampai mengering (Gambar 4-b). Jika sudah kering, susun
substrat tersebut satu per satu pada tiang aluminium, kemudian sematkan kabel pengikat pada
ujung tiang untuk mencegah substrat terlepas (Gambar 4-c).
Gambar 4. Pembuatan substrat tempurung kelapa (a), pengeringan (b) dan penyusunannya pada tiang alumunium
(c)
5. BIOREEFTEK yang sudah siap untuk ditaruh di lokasi yang sudah ditentukan terlebih dulu
(Gambar 5).
Gambar 5. BIOREEFTEK yang sudah siap ditaruh di lakasi
b. Peletakan (deployment)
Peletakan BIOREEFTEK di perairan dapat mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Letakan beberapa BIOREEFTEK yang akan ditaruh di atas perahu. Bawa ke lokasi peletakan
yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Ikatkan salah satu ujung tali pada BIOREEFTEK dan ujung tali lainnya dikatkan pada perahu.Tali
tersebut sebagai alat bantu untuk mempermudah penyelam dalam menurunkan BIOREEFTEK.
Jumlah penyelam yang diperlukan pada saat peletakan ini adalah 2 orang. Salah satu sebagai
peletak BIOREEFTEK dan lainnya bertugas untuk mendokumentasikan proses peletakan.
3. Turunkan BIOREEFTEK dan letakan di dasar perairan yang memiliki kondisi ekosistem terumbu
karang relatif baik. Sebaiknya letakan di lokasi yang datar/rata agar BIOREEFTEK dapat berdiri
dengan kokoh.
307
4. Lepaskan tali yang diikatkan pada
BIOREEFTEK dan gulung. BIOREEFTEK
sudah selesai ditaruh dan lakukan
pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan individu baru karang
secara periodik.
b. Pemantauan
Pemantauan BIOREEFTEK dilakukan dengan
melakukan pengamatan secara periodik,
setiap 4 bulan atau 6 bulan sekali. Metode
yang diaplikasikan adalah dengan foto dan
video (Gambar 6) untuk mendokumentasikan
pertumbuhan dan perkembangan larva planula
yang menempel pada substrat BIOREEFTEK.
Gambar 6. Pemantauan BIOREEFTEK dengan
pengambilan foto dan video
Gambar 7.Hasil Pemantauan
BIOREEFTEK di Beberapa Lokasi
Penelitian
308
d. Relokasi
Relokasi BIOREEFTEK adalah pemindahan BIOREEFTEK yang sudah ditumbuhi karang ke
lokasi lain yang memiliki kondisi karang kurang baik. Kegiatan tersebut dilakukan jika seluruh
bagian substrat telah ditumbuhi karang. Relokasi dilakukan ke tempat yang memiliki kondisi
karang kurang baik atau memiliki biodiversitas karang yang rendah. Tahapan teknis relokasi dapat
dilihat pada Gambar 8, berikut.
Gambar 8. Tahapan Relokasi BIOREEFTEK
Keterangan Gambar:
1 Menyelam ke lokasi BIOREEFTEK yang akan dipindahkan (relokasi) dengan membawa pelampung “sosis” dan
tali yang akan digunakan untuk mengikat BIOREEFTEK. Tali dan pelampung tersebut digunakan sebagai alat bantu
untuk mengangkat BIOREEFTEK ke atas perahu. Salah satu jung tali dipegang oleh salah seorang yang ada di
atas perahu, yang membantu menggulung tali tersebut.
2 BIOREEFTEK perlahan diangkat ke permukaan air, ke atas perahu.
3 BIOREEFTEK yang sudah berhasil diangkat, kemudian diletakan di dalam sebuah tempat penampungan yang
rata dan cukup untuk menampung BIOREEFTEK secara utuh, dalam posisi seperti pada saat masih di dalam air.
4 Membawa BIOREEFTEK ke lokasi yang telah ditentukan sebelumnya, yang memiliki kriteria kondisi karang
kurang baik, dengan menggunakan perahu.
5 Menurunkan BIOREEFTEK ke dasar perairan dengan bantuan tali, seperti pada saat pengangkatan
BIOREEFTEK ke permukaan air. Letakan BIOREEFTEK di lokasi yang relatif datar/rata. Lakukan pemantauan
secara periodik (setiap 4 bulan atau 6 bulan).
309
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Teknologi Modifikasi
BIOREEFTEK adalah metode rehabilitasi dan konservasi terumbu karang yang tidak destruktif,
terbuat dari bahan alami dan mudah diperoleh, mudah diaplikasikan atau diadopsi oleh masyarakat
lokal sekalipun, serta biaya pembuatannya yang relatif murah (efisien). Dengan demikian
tergolong modifikasi
BIOREEFTEK ini telah banyak diadopsi dan diaplikasikan baik oleh pemerintah daerah maupun
masyarakat lokal. Hasil monitoring di lokasi deployment, individu karang baru sudah dapat tumbuh
dalam waktu ± 4 – 6 bulan. Keberhasilan BIOREEFTEK menjadi media tumbuh larva planula
karang sudah terbukti dari beberapa hasil pemantaun yang telah dilakukan (Gambar 7).
jika dibandingkan dengan artificial reef lain yang telah berkembang selama ini, proses deployment
BIOREEFTEK ini sangat mudah dan efisien karena tidak membutuhkan wahana dan peralatan
yang mahal dan rumit. Selain itu material yang digunakan dalam pembuatan BIOREEFTEK adalah
materi alami sehingga ramah lingkungan
LOKASI PENELITIAN - DAERAH REKOMENDASI
BIOREEFTEK telah dikaji, dikembangkan, diterapkan, dan diadopsi oleh berbagai pihak untuk
kegiatan rehabilitasi dan konservasi terumbu karangdi Indonesia, diantaranya Gambar 9):
1. Di Perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali (2008 - sekarang),
2. Di Perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali (2008 - sekarang),
3. Di Perairan Gili Lawang dan Gili Sulat, Kabupaten Lombok Timur (2008),
4. Diadopsi oleh SMK Negeri 1 ALAS, Kabupaten Alas, Sumbawa (2011)
5. Di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan kerjasama DKP-Tanah Bumbu dan BPSPL
serta BPOL (2010)
6. Di Tablolong Nusa Tenggara Timur dan Waingapu, Sumba Timur – Pantai Londa Lima pada
kegiatan IPTEKMAS (2009)
7. Telah dibuat secara swakelola oleh Balai Taman Nasional Bunaken dan Dinas Provinsi Sulawesi
Utara (2010)
8. Presentasi, sosialisasi dan aplikasi Bioreeftek di Pulau Mandangin-Madura “Marine Care”.
Himika Fak. Pertanian Universitas Trunojoyo & Ditjen KP3K-KKP. Desember 2012.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Dampak negatif yang ditimbulkan dari aplikasi BIOREEFTEK sangat minim, hampir tidak ada. Hal
ini material untuk membuatnya adalah bahan organik alami (tempurung kelapa), semen dan
aluminium. Setelah terumbu karang tumbuh, bahan-han ini sudah ditumbuhi organisme baru. Saat
dilokasi ketempat yang barus pada umumnya tidak ada dampak negatif.
KELAYAKAN FINANSIAL
Biaya yang diperlukan untuk membuat satu rangkaian BIOREEFTEK adalah± Rp. 100.000 – Rp.
200.000. Sangat efisien jika dibandingkan dengan teknologi lain yang sudah lebih dulu diterapkan
310
untuk kegiatan rehabilitasi dan
konservasi terumbu karang, seperti
rangka semen (terbuat dari rangka
semen), Hexadome (terbuat dari
rangka besi dan semen), Biorock
(terbuat dari rangka besi yang dialiri
listrik searah untuk merangsang
pertumbuhan karang), serta pecahan
karang mati (pecahan karang mati
yang dikumpulkan dalam jaring
sebagai media pertumbuhan karang).
Gambar 10. Sketsa Kerangka dan Spesifikasi Ukuran BIOREEFTEK
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Persentasi kandungan material yang digunakan untuk membuat BIOREEFTEK ini adalah 100%
buatan dalam negeri. Bahan yang diperlukan adalah tempurung kelapa, pipa alumunium, rangka
besi, kawat, kayu, tripleks, pasir – batu, cable ties
311
P3TKP
Teknologi Wahana Observasi Bawah Air Mini ROV
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Pusat Pengkajian dan Perekayasaan
Teknologi Kelautan dan Perikanan
Alamat
Gedung Balitbang KP Lantai 4
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta
Tel. 021-64711583 Fax. 02164711501
Kategori Teknologi
Kelautan
Sifat Teknologi
Teknologi baru
Masa Pembuatan
2009-2013
Tim Penemu
Budhi Gunadharma G.
Sapto Adi Nugroho
Nico Prayogo
Kontak Person
Budhi Gunadharma G.
[email protected]
312
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Kebutuhan manusia untuk mengeksplorasi lingkungan bawah laut semakin meningkat. Namun
kondisi bawah laut yang berbahaya bagi keselamatan manusia mendorong perlunya teknologi
observasi bawah air nir awak. Tujuan wahana benam bawah air mini ROV ini adalah untuk
membantu manusia dalam melakukan kegiatan observasi bawah air di lingkungan laut dengan
aman. Hasil observasi yang diperoleh sangat komprehensif karena menghasilkan data dalam
bentuk visual (video) dengan kualitas tinggi (High Definition) dan data lingkungan fisik seperti
Oksigen Terlarut (DO/dissolved oxygen), Konduktivitas (Conductivity), Suhu (Temperature), dan
Kekeruhan (Turbidity). Selain itu wahana benam ini dilengkapi dengan alat untuk mengambil
contoh sedimen dasar perairan sehingga kondisi dapat dianalisa lebih lanjut.
Pengertian
ROV adalah singkatan dari Remotely Operated Vehicle (ROV) yaitu sebuah wahana benam bawah
air yang dikendalikan dari permukaan oleh seorang operator. Secara umum ROV terdiri dari tiga
komponen utama yaitu wahana bawah air, kontrol permukaan, dan kabel. Wahana benam dan
kontrol permukaan dihubungkan melalui kabel yang berfungsi untuk jalur komunikasi data dan
perintah serta pengiriman daya. Pada sistem kontrol permukaan terdapat layar monitor dan sistem
kendali. Pada layar monitor tersebut operator dapat melihat secara langsung kondisi bawah air
lengkap dengan data pendukung navigasi dan operasional seperti data kedalaman, kecepatan,
kondisi baterai, arah, dan data lingkungan fisik. Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi
Kelautan dan Perikanan telah membuat wahana benam bawah air untuk observasi kelautan yang
diberi nama Mini ROV.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persaratan Teknis Penerapan Teknologi
Untuk menerapkan teknologi wahana benam observasi Mini ROV ini diperlukan tiga komponen
utama yaitu:
 Wahana benam observasi Mini ROV
Wahana benam observasi Mini ROV terdiri dari tiga komponen utama yaitu wahana
benam, sistem kontrol dan sistem kabel. Semua ini telah disediakan dalam satu paket
yang dikemas dalam paket yang mudah ditangani sehingga memudahkan dalam
mobilisasi alat.
313
 Operator yang telah dilatih untuk mengoperasikan
Operator merupakan sebuah tim yang idealnya minimal terdiri dari dua orang yaitu
seorang sebagai pilot yang mengendalikan, bertanggung jawab dan menentukan
jalannya misi observasi serta seorang teknisi yang membantu dalam teknis operasional di
lapangan.
 Sarana bantu operasi di lapangan seperti kapal
Mini ROV didesain untuk dioperasikan dengan mudah dilapangan sekalipun dengan
keterbatasan sarana. Mini ROV dirancang dengan konsep mudah diturunkan ke laut
sehingga dapat dioperasikan dengan kapal kecil, misalnya dengan kapal nelayan
tradisional. Dalam beberapa uji coba lapangan, Mini ROV dapat dioperasikan dalam kapal
nelayan dengan mesin tempel dan tanpa sumber listrik genset karena Mini ROV telah
dilengkapi dengan sistem daya yang mudah dipindahkan (portable).
Uraian secara lengkap dan
detail SOP
a. Gambaran rincian
teknologi
MINI ROV adalah sebuah
ROV (Remotely Operated
Underwater Vehicle) kelas
mini observation yang
memiliki keunggulan berupa
ukuran dan beratnya yang
kompak. Dengan berat di
bawah 15 kg, ROV ini adalah
pengganti yang tepat untuk
melaksanakan tugas
seorang penyelam. Dengan
Gambar 1. Mini ROV dan bagian-bagiannya
kedalaman operasi sampai
1 0 0 m , R OV i n i d a p a t
melakukan observasi dengan mudah. Dua orang personel dapat mengoperasikan sistem ROV
lengkap dengan hanya menggunakan perahu kecil, sejak proses deployment hingga penyelesaian
pekerjaan tanpa bantuan pihak luar.
Mini ROV dapat beroperasi pada lingkungan dengan batasan lingkungan operasi sebagai berikut:
Media
: Air tawar atau air laut
Temperatur Operasi
: 0-50oC
MINI ROV dilengkapi dengan kamera video, dua buah lampu bawah air, dua buah thruster
horizontal dan satu buah thruster vertikal. Untuk peralatan pilihan, MINI ROV dapat dilengkapi
dengan manipulator, sampler, sistem sonar dan sensor tambahan lain.
314
b. Cara penerapan teknologi yang diurut mulai persiapan sampai aplikasi
1. Persiapan Penyelaman
1.1 Kondisi Penyelaman
Kondisi Penyelaman yang optimal untuk MINI ROV ini adalah sebagai berikut:
 Cuaca baik dan kecepatan angin rendah
 Kondisi air jernih
 Kondisi arus lemah
 Tidak ada gangguan di atas dan di bawah permukaan
Namun demikianMINI ROV dapat dioperasikan pada kondisi lingkungan yang kurang ideal bahkan
di lingkungan perairan yang cukup ekstrim untuk penggunaan dengan pilot yang berpengalaman.
1.2 Persiapan Wahana ROV
Untuk mempersiapkan pengoperasian MINI ROV, berikut adalah prosedur yang harus dilakukan:
1) Periksa kondisi surface station, pastikan kondisi main power switch dalam kondisi
"Óff"
2) Keluarkan MINI ROV dan umbilical cable dari dalam kotak penyimpan.
3) Hubungkan surface station dan MINI ROV melalui umbilical cable.
4) Sambungkan surface station ke sumber daya AC menggunakan kabel yang telah
tersedia.
5) Pengaturan ballast mungkin diperlukan, bergantung pada kondisi penyelaman dan
operasi yang akan dilakukan.
6) Setelah sistem terhubung sempurna lakukan inspeksi sebelum penyelaman (pre-dive
inspection).
1.3 Inspeksi Sebelum Penyelaman
Sebelum penyelaman perlu dilakukan pre-dive inspection sebagai berikut:
1) Periksa wahana secara visual, pastikan tidak ada tanda-tanda cacat yang dapat
menyebabkan malfungsi wahana.
2) Periksa thruster jika ada kotoran yang dapat mengganggu berputarnya propeler
3) Periksa tether untuk cacat atau kerusakan yang terlihat
4) Pastikan semua baut dikencangkan sesuai standar dan kondisi ballast sudah
terpasang dengan baik
5) Pastikan konektor tether, konektor thruster, konektor lampu dan konektor main switch
dalam keadaan baik dan dikencangkan sesuai standar menggunakan torquemeter
yang disediakan
6) Nyalakan power pada surface station dan MINI ROV, periksa sinyal suara. Pastikan
tidak ada malfungsi pada sistem.
7) Gerakkan joystick untuk mengetes operasi semua thruster horizontal. Jangan nyalakan
thruster lebih dari 20 detik di luar air karena diperlukan lubrikasi air untuk underwater
bearing pada thruster.
8) Gerakkan roda pengatur kedalaman (depth control) untuk mengetes operasi thruster
vertikal
315
9) Periksa kondisi underwater lamp, geser roda pengatur lampu ke arah terang dan
redup. Jangan operasikan lampu lebih dari 20 detik ketika MINI ROV di luar air
kareana akan mengakibatkan overheating.
10) Periksa kondisi tilt kamera dan fokus kamera. Periksa transmisi video di layar monitor
surface station dan kondisi perekam video.
11) Periksa peralatan tambahan dan lakukan pengecekan menurut prosedur yang
tersedia untuk masing-masing peralatan
12) Matikan semua power hingga siap dilakukan penyelaman.
1.4 Peluncuran MINI ROV
1) Nyalakan power MINI ROV
2) Kondisi tether harus dalam kondisi tergulung dan siap untuk diturunkan kedalam air.
Kondisi kabel harus bebas dari kusut, tekukan dan gangguan lain
3) Berikan informasi kepada perenang, operator kapal, penyelam di sekitar lokasi bahwa
MINI ROV akan diluncurkan dan akan ada kabel di sekitar perairan
4) Hindari menjatuhkan atau melempar MINI ROV ke dalam air. Gunakan strap
pengangkat yang telah disediakan atau gunakan tether untuk menurunkan MINI
ROV ke permukaan air. Metode ini akan mencegah kemungkinan MINI ROV
bertabrakan dengan dinding dermaga atau kapal ketika dilemparkan.
1.5 Operasi Manuver MINI ROV
MINI ROV sangat mudah untuk dioperasikan. Operator baru disarankan untuk mencoba
pengontrolan MINI ROV selama beberapa menit dengan kondisi MINI ROV terlihat di permukaan
air untuk mengenalkan dengan reaksi MINI ROV terhadap perintan pengontrolan.
Mengoperasikan MINI ROV di laut terbuka tidak sulit dan dapat dengan mudah dikuasai. Untuk
operasi di sekitar penghalang seperti kapal, struktur bawah air dan jalur jangkar membutuhkan
pengalaman lebih. Untuk kondisi yang belum pasti, operasikan MINI ROV dengan pelan dan
pertimbangkan efek yang mungkin terjadi dari manuver yang akan dilakukan.
1) Operasi dari MINI ROV sangat intuitif dan mudah. Joystick utama mengontrol
kecepatan variabel untuk gerakan maju dan mundur. Dorong joystick ke depan untuk
menggerakkan MINI ROV ke depan, tarik joystick ke belakang untuk gerakan
mundur.
2) Untuk manuver belok dicapai dengan menggerakkan joystick ke kiri dan ke kanan.
Joystick juga dilengkapi dengan axis putar untuk gerakan berputar di tempat (pivot).
3) Roda pengatur kedalaman (depth control wheel) di sebelah kiri surface station
mengontrol gerakan thruster vertikal. Posisi awal roda berada pada kondisi netral,
pergerakan dari posisi ini akan menentukan kecepatan menyelam atau surfacing.
Memutar roda ke arah "down" akan menambah kedalaman dan ke arah sebaliknya
untuk bergerak ke arah permukaan. Kondisi ballast MINI ROV harus sedikit positif
sehingga MINI ROV akan punya kecenderungan untuk terus bergerak ke
permukaan, maka untuk mempertahankan kedalaman perlu terus diberikan thrust ke
bawah. Untuk mempertahankan kedalaman secara otomatis dapat digunakan fitur
316
Auto Depth di mana kedalaman akan dipertahankan secara otomatis oleh kontroler.
4) Kamera depan dapat digerakkan ke atas dan ke bawah dengan memutar roda
pengatur "tilt cam", putar ke arah up/down untuk mengatur arah kamera.
5) Intensitas terang gelapnya lampu diatur menggunakan roda pemutar "dimmer", ke arah
"dim" unutk meredupkan dan ke arah "bright" untuk menambah intensitas
penerangan.
1.6 Pengangkatan MINI ROV
1) Pastikan tether bebas dari halangan agar kemungkinan kabel tersangkut atau kusut
dapat dihindari
2) Arahkan MINI ROV ke tempat pengangkatan di mana permukaan air bebas dari
penghalang
3) Matikan power utama surface station
4) Angkat MINI ROV dari air dengan menarik tether untuk mendekatkan posisinya. dan
memasang strap pengangkat pada MINI ROV untuk pengangkatannya.
5) Gulung tether dengan baik untuk menghindari kabel kusut.
6) Matikan power utama MINI ROV
7) Lakukan pemeriksaan setelah penyelaman (post-dive inspection)
1.7 Pemeriksaan setelah penyelaman (Post-Dive Inspection)
1) Pastikan MINI ROV sudah dalam posisi yang stabil di kapal/pelabuhan
2) Pastikan semua power dalam kondisi mati
3) Lepaskan koneksi antara MINI ROV dan surface station
4) Periksa MINI ROV secara visual untuk memastikan tidak adanya kerusakan mekanik
5) Periksa secara visual melalui acrylic dome untuk memastikan tidak adanya air yang
memasuki ROV
6) Periksa thruster untuk memastikan tidak adanya kotoran, tali atau benda asing yang
tersangkut di propeler
7) Jika MINI ROV digunakan di air laut, bilas ROV secara menyeluruh menggunakan air
tawar sebelum disimpan.
8) Periksa tether unutk melihat tanda-tanda cacat, goresan atau tekukan.
9) Simpan semua komponen dengan aman di dalam kontainer yang telah disediakan.
Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan dibeberapa daerah
Mini ROV telah diuji operasional lapangan di lokasi sebagai berikut:
1. Kabupaten Wakatobi
Dalam uji operasional di Wakatobi pada tahun 2011 , Mini ROV digunakan dalam observasi
terumbu karang. Dengan koordinasi Pemda Wakatobi, Mini ROV digunakan dalam observasi
terumbu karang yang dikelola dalam program COREMAP di daerah Waha. Pada tahun 2013,
bekerjasama dengan LPTK Wakatobi , Mini ROV akan digunakan untuk mendukung perikanan
budidaya laut yaitu dalam Keramba Jaring Apung Budidaya Tuna.
317
2. Kepulauan Seribu
Dalam uji operasional di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang dilakukan pada tahun 2012, Mini
ROV digunakan dalam beberapa misi sebagai berikut:
 Observasi struktur laut seperti dermaga dan kapal
 Observasi terumbu karang (transplantasi terumbu karang)
 Observasi perikanan budidaya (keramba jaring apung)
 Observasi kapal tenggelam
 Observasi perikanan laut
Pemda Kepulauan Seribu sangat menyambut baik teknologi ini karena dapat membantu
mengobservasi hingga kedalaman yang dirasakan tidak mungkin dilakukan oleh penyelam. Pada
uji operasional ini juga dilakukan uji coba kemampuan menyelam pada malam hari mengingat Mini
ROV juga dilengkapi dengan sistem pencahayaan dan hasilnya gambar video yang dihasilkan
sangat baik.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Uraian tentang teknologi yang baru atau modifikasi
Teknologi wahana benam sebenarnya adalah teknologi yang sudah mapan di dunia mengingat
teknologi ini sudah dikembangkan sejak perang dunia kedua dimana ROV digunakan untuk
mencari torpedo yang jatuh kedalam laut. Teknologi ROV terus berkembang pesat karena
kebutuhan akan aktivitas observasi bawah laut yang semakin meningkat. Demikian pula dengan
kebutuhan teknologi ini di Indonesia semakin meningkat namun ketergantungan dengan pihak
luar sangat besar karena belum ada yang menguasai teknologi ini di dalam negeri. Ketergantungan
ini berdampak pada mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli teknologi ini secara
sistem keseluruhan yang mencakup wahana benam, pelatihan personel, biaya suku cadang dan
perawatan, dll. P3TKP berinisiatif mengembangkan riset dan perekayasaan teknologi wahana
benam agar dapat menghasilkan sebuah teknologi observasi bawah air yang mudah dalam
penggunaanya (easy to deploy) dan murah dalam biaya dan perawatannya (easy to maintain).
Teknologi ini dirancang agar mudah dalam pengoperasiannya sehingga ketika dipakai dilapangan
hanya menggunakan kapal nelayan sederhana sekalipun dapat beroperasi dengan baik.
Uraian tentang keberhasilan teknologi
Dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini teknologi Mini ROV buatan P3TKP sangat bisa
bersaing. Dengan spesifikasi dan kelas yang sama Mini ROV dapat berkompetisi dengan produk
teknologi luar negeri. Mini ROV dengan spesifikasi dan kelas yang sama buatan luar negeri dapat
mencapai harga US $ 59.000,- (contoh: ROV Mini Benthic Tipe LBV150BE buatan SeaBotix, Inc)
yang belum termasuk biaya pelatihan personel. Kemudahan lain yaitu kecepatan dan biaya yang
lebih ekonomis dalam perawatan dan ketersediaan suku cadang karena seluruh komponen Mini
ROV telah dibuat sendiri sehingga tidak ada waktu tunggu yang lama ketika ada kebutuhan suku
cadang. Berbeda dengan teknologi luar negeri untuk perawatan harus minimal dilakukan di
Singapura dan pemesanan suku cadang yang membutuhkan waktu karena harus dipesan
dinegara produsennya. Dengan teknologi Mini ROV buatan dalam negeri yang harganya hanya US
$ 20.000,- tentu sangat kompetitif dan layak untuk bersaing. Mini ROV dirancang dengan sistem
318
modular yang memberikan kemudahan dalam perawatan dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan konsumen. Dengan memberikan dukungan prioritas kepada teknologi ROV dalam
negeri akan meningkatkan tumbuhnya teknologi observasi bawah laut buatan Indonesia yang lain
seperti AUV (autonomus under water vehicle, glider, drifter, dll).
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan
Mini ROV telah dirancang agar dapat dioperasikan di seluruh wilayah Indonesia dengan
keterbatasan sarana karena Mini ROV dapat dioperasikan dengan menggunakan kapal nelayan
dan cukup dengan dua orang personel saja. Selain itu Mini ROV dikemas dalam kemasan yang
gampang ditangani (easy handling) sehingga dapat dibawa dengan mudah baik dengan pesawat
komersial maupun dengan kapal penumpang ataupun mobil. Mini ROV juga dilengkapi dengan
sistem daya yang dapat disesuaikan yaitu bisa dengan arus bolak balik atau juga dengan arus
searah karena Mini ROV dilengkapi dengan baterai yang dapat diisi ulang. Sistem Mini ROV
dibangun dengan sistem modular sehingga mudah dalam perawatan dan penggantian suku
cadang.
Ramah lingkungan
Mini ROV sangat membantu manusia karena dapat melakukan observasi hingga kedalaman yang
tidak dapat dicapai oleh seorang penyelam profesional sekalipun. Mini ROV dapat membantu
manusia memahami fenoma alam yang terjadi di bawah air dan membantu melakukan pekerjaan
observasi bawah air dengan aman. Mini ROV sangat ramah lingkungan karena tidak ada unsur
yang dapat merusak lingkungan baik dari sisi pembuatan hingga operasionalnya.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Pada tahun 2009 dilakukan kajian awal yang bertujuan memetakan kebutuhan dan ketersediaan
teknologi wahana benam di Indonesia dan di dunia. Dari kajian awal ini dirumuskan state of the art
teknologi yang akan dibuat. Pada tahun 2010 mulai dilakukan proses pengembangan dan
perekayasaan teknologi dimana dihasilkannya prototipe tahap awal yang dapat beroperasi hingga
kedalaman 30 meter. Pada tahap awal pengembangan ini difokuskan pada penguasaan teknologi
yang paling penting yaitu teknologi pendorong (thruster). Dilanjutkan pada tahun 2011 dihasilkan
teknologi Mini ROV tahap kedua yang telah disempurnakan sistem kendalinya yang kemudian diuji
coba untuk misi observasi terumbu karang di Wakatobi. Pada tahun 2012, Mini ROV dilengkapi
dengan kamera High Definition, sistem pencahayaan, sistem pengambil sedimen dasar perairan
dan sistem manajemen kabel. Mini ROV digunakan dalam uji operasional dalam berbagai misi
kelautan dan perikanan dengan lokasi di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Pada tahun 2013,
sistem observasi semakin lengkap dengan ditambahkannya sensor lingkungan laut yang terdiri
dari sensor CTD (konduktivitas, temperatur, dan kedalaman), sensor turbiditas (mengukur tingkat
kekeruhan), dan sensor DO (mengukur kadar oksigen dalam air) sehingga diharapkan hasil
observasi Mini ROV sangat komprehensif karena selain gambar dan video juga menghasilkan data
untuk tiap kedalaman observasi. Rencananya pada tahun 2013 Mini ROV akan digunakan dalam
misi observasi di Keramba Jaring Apung Budidaya Tuna di Wakatobi.
319
Mini ROV dapat diterapkan diseluruh wilayah Indonesia baik di lautan, waduk, danau ataupun
sungai dan dapat digunakan untuk misi observasi kelautan dan perikanan sebagai berikut:
 Observasi terumbu karang
 Observasi barang muatan kapal tenggelam
 Observasi budidaya perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat seperti di
danau ataupun waduk
 Observasi lingkungan fisik untuk mengambil sampel dasar perairan maupun mengukur
data ditiap kedalaman
 Observasi perikanan laut
 Observasi struktur air seperti dermaga, breakwater, bendungan, kapal, anjungan lepas
pantai, dll.
 Sebagai penunjang wisata alam karena dapat membantu mengambil gambar dan video
keindahan bawah laut
 Sebagai pembantu penjaga keselamatan penyelam
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Tidak terdapat kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari aplikasi teknologi ini.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Untuk produk buatan luar negeri yang sekelas dengan Mini ROV ini harga yang mereka tawarkan
adalah sekitar US$ 59.000 belum termasuk biaya kirim dan pajak. Harga ini diluar biaya pelatihan
dan perawatan. Sedangkan untuk Mini ROV buatan Pusat Pengkajian dan Perekayasaan
Teknologi Kelautan dan Perikanan ini jauh lebih murah dibandingkan dengan produk dengan
spesifikasi yang sama untuk teknologi buatan luar negeri tersebut. Harga yang ditawarkan adalah
US$ 20.000 dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan konsumen mengingat sistem Mini ROV
telah didesain dengan sistem modular. Dengan penguasaan teknologi maka ketergantungan suku
cadang dan perawatan dengan luar negeri dapat dihilangkan. Kemudahan suku cadang dan
dukungan teknis yang cepat membuat keunggulan Mini ROV buatan dalam negeri. Dengan begitu
besarnya pangsa pasar kebutuhan observasi bawah air baik air laut maupun air tawar (danau,
waduk, sungai, dll) maka teknologi ini sangat layak untuk dikembangkan. Mini ROV dapat
digunakan untuk beberapa misi dilingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai berikut:
1. Observasi terumbu karang (mendukung program COREMAP)
2. Observasi perikanan budidaya (Keramba Jaring Apung baik di Laut ataupun di
Waduk/Danau)
3. Observasi Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT)
4. Pemantauan Water Quality (Laut, Sungai, Waduk/Danau)
5. Pemeriksaan struktur (dermaga, breakwater, bendungan, hull kapal)
6. Diving assisstant
7. Search and Rescue (SAR)
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Penguasaan teknologi wahana benam ini telah dimulai dengan penguasaan komponen utama
yaitu teknologi penggerak (thruster) dimana komponen ini telah diriset dan direkayasa dengan
320
kemampuan dalam negeri. Seluruh komponen dari Mini ROV ini telah dapat diperoleh dengan
sumber dalam negeri sehingga Tingkat Komponen Dalam Negeri mencapai 100%.
FOTO DAN SPESIFIKASI
Dimensi
Berat di Udara
Kedalaman Operasi
Kecepatan
Power
Sistem Kendali
Permukaan
Camera
Pendorong
Pencahayaan
Panjang: 576 mm
Lebar: 460 mm
Tinggi: 420 mm
12 kilogram
100 meter
3 knots
1000 watts
LCD Display
Joystick dengan 3 axis
Video Recording
HD Camera
Kendali Depan: CCD Kamera 570 line dengan
kemampuan tilting
Kendali Belakang: CCD Kamera 420 line
3 unit dengan kekuatan dorong @ 7 kgf
2 unit lampu halogen @ 50 watt
321
P3TKP
Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Pusat Pengkajian dan Perekayasaan
Teknologi Kelautan dan Perikanan
Alamat
Gedung Balitbang KP Lantai 4
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta
Tel. 021-64711583 Fax. 02164711501
Kategori Teknologi
Kelautan
Sifat Teknologi
Inovasi pemanfaatan teknologi sel
photovoltaic (sel pv) / sebagai energi
motor listrik penggerak kapal
Masa Pembuatan
2011
Tim Penemu
Donal Daniel
Handy Chandra
Oo Abdul Rosyid
Indra Pratama
Agus Sufyan
Kontak Person
Donal Daniel
[email protected]
[email protected]
322
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Tujuan dari pembuatan kapal katamaran tenaga matahari adalah untuk menciptakan sarana
transportasi air multiguna yang memanfaatkan energi alternatif tanpa BBM yang berasal dari sinar
matahari. Dua teknologi yang diusung dalam inovasi ini adalah teknologi rancangan katamaran
dan teknologi rancangan energi penggerak kapal yang berasal dari sinar matahari. Di dalam
menghadapi permasalahan BBM di Indonesia, energi matahari dipandang sangat relevan bagi
solusi kapal-kapal nelayan saat ini sebagai pengganti BBM. Teknologi sel fotovoltaik (sel PV) kini
sudah berkembang pesat dan sudah dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai
kebutuhan/aplikasi seperti lampu penerang, pemanas air, pompa-pompa, pendingin, transportasi
darat dan laut, dan lain-lain.
Kegunaan dari kapal katamaran tenaga matahari adalah dapat dipakai untuk banyak aktifitas,
seperti muatan peralatan riset untuk aktifitas riset seperti tabung selam, wahana ROV (remotely
operated vehicles), muatan karung (bulk) untuk aktifitas pembersihan pantai, muatan keranjang
untuk aktifitas panen ikan, muatan bak-bak berisi ikan hidup, rumput laut dan lain-lain. Selain itu
kapal ini juga dapat dipakai sebagai pleasure boat untuk mancing, penyelaman, wisata air di danau
dan sungai sebagai pendukung sektor pariwisata.
Pengertian
Kapal Katamaran Tenaga Matahari adalah wahana
terapung dengan lambung ganda (twin hull) memiliki
tenaga penggerak motor listrik DC yang memperoleh
energi listriknya dari sinar matahari. Teknologi
lambung ganda (katamaran) digunakan agar
diperoleh luasan geladak yang lebih luas
dibandingkan lambung tunggal (monohull) sehingga
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
(multiguna). Energi penggerak kapal ini berasal dari
sinar matahari (tenaga matahari). Kapal ini ramah
lingkungan karena tidak memerlukan BBM dan oli
sama sekali.
Gambar 1. BCR Box
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Prinsip kerja adalah sistem tenaga matahari terus-menerus mengisi baterai (aki) selama ada
cahaya matahari, pengisiannya diatur oleh sebuah boks kontrol pengisian (BCR box) dengan alat
323
pemutus otomatis apabila baterai terisi penuh dan sebaliknya apabila baterai kurang pengisiannya,
dengan demikian baterai aman dari kerusakan jangka pendek. Dengan jumlah 6 (enam) buah,
baterai yang dipakai dapat melayani energi yang dibutuhkan motor listrik selama 3 jam walaupun
dalam keadaan cuaca mendung (kurang cahaya matahari).
Spesifikasi teknis:
Tipe
Panjang keseluruhan (LOA)
Lebar keseluruhan (BOA)
Tinggi
Penggerak
Daya motor listrik DC (input)
Jumlah modul PV
Bank baterai
:
:
:
:
:
:
:
:
Katamaran (lambung ganda)
4,3 meter
2,5 meter
0,8 meter
1 x 5 HP motor DC tempel (electric outboard)
2000 Watt 24 Volt
8 x 80 Watt peak (Wp) Polikristalin
6 x 100 Amper jam (Ah) tipe dry cell
(Dengan ini, kapal mampu beroperasi selama 3 (jam) pada
kecepatan 6 knot (engine full throttle).
: Perikanan, pariwisata, pemantau kualitas danau, sungai,
waduk maupun sekitar pantai berair tenang (calm water).
: Kedalaman minimal 1 m, gelombang 0,50 m. Tidak
disarankan untuk perairan bergelombang (rough water)
: 6 (enam) orang sebagai kapal wisata air, atau 2 (dua) orang
dan 400 kilogram sampah padat sebagai kapal pembersih
pantai dan pelabuhan (pemantau perairan).
Manfaat
Wilayah operasi
Kapasitas angkut
Detail SOP
Rincian teknologi yang ada pada Katamaran Multiguna Tenaga Matahari dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut.
Lampu DC @ 24 V
Solar Panel 8 x @ 80 Wp Seri
Motor listrik 2000
Watt, 24 Volt
Baterai 6 x @100 Ah, 12 V Seri
BCR
Gambar 2. Rincian teknologi pada Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Katamaran Multiguna Tenaga Matahari terdiri dari badan/lambung kapal tipe katamaran
(lambung ganda) beserta atap dan geladak. Beban listrik di atas kapal terdiri dari motor listrik
2000 watt arus DC dan lampu penerangan DC, sedangkan sistem listrik terdiri dari 8 buah modul
surya @ 80 watt peak, 6 buah baterai kering @ 100 Amper.jam (Ah).
a. Cara penerapan teknologi mulai persiapan sampai aplikasi
324
Berikut ini dijelaskan rincian teknologi kapal katamaran tenaga matahari melalui gambar berikut
ini:
1. Tahap perencanaan
Yaitu tahap untuk menentukan kebutuhan ukuran kapal berdasarkan fungsi, muatan dan
kecepatan kapal. Pada t ahap ini dilakukan diskusi antara perancang kapal dan pemilik kapal
2. Tahap perancangan
Yakni tahap membuat gambar rancangan dan diskusi antara pihak galangan dan pemilik kapal
(owner ship). Gambar rancangan terdiri dari gambar lines plan, general arrangement, electrical
system layout. Selain itu dilakukan juga perancangan sistem kelistrikan kapal.
3. Tahap pembangunan
Ya kni tahap pembangunan badan kapal secara keseluruhan, terdiri dari lambung kapal ( hull),
geladak (deck), ruang-ruang, tutup-tutup dan atap kapal sebagai alas panel surya.
325
Penyatuan geladak dan lambung
Pelapisan permukaan dan penghalusan
Pengecatan warna dasar
Pemasangan atap/landasan solar panel
Pengecatan/finishing
Pemasangan perlengkapan kapal
326
4.
Pemasangan Battery Control Regulator (BCR) dan Koneksi motor listrik ke BCR
Setelah semua sistem terhubung dilanjutkan dengan uji motor di atas air ( dry test motor)
Pemasangan Power Box (BCR)
Dry Test motor
5. Peluncuran kapal dan uji layar (sea trial)
Peluncuran kapal disertai uji layar untuk memerhatikan stabilitas kapal dan kemampuan motor listrik.
Peluncuran kapal
Sea Trial
Sea Trial
Sea Trial
327
Hasil kaji terap yang sudah dilakukan
Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari yang sudah diujicobakan dimanfaatkan di kawasan
wisata ecopark Taman rekreasi Ancol (Gambar 3)
Gambar 3. Katamaran dimanfaatkan di kawasan rekreasi ecopark Ancol.
Di kawasan ecopark ini, katamaran dimanfaatkan sebagai sarana transportasi pengunjung
mengelilingi kawasan ecopark, sarana informasi bagi anak-anak tentang energi ramah
lingkungan, dan sebagai studi siswa/mahasiswa.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Uraian tentang Teknologi Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Keunggulan teknologi yang diusulkan adalah rancangan lambung ganda (katamaran) dan
rancangan energi matahari nya. Keduanya merupakan teknologi modifikasi dari teknologi yang
sudah ada yang memiliki keunggulan
a. Mesin penggerak memanfaatkan motor listrik energi matahari tanpa BBM.
b. Ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar minyak dan oli.
c. Motor listrik dapat dipakai untuk berbagai tipe lambung dan ukuran kapal.
d. Lambung ganda yang digunakan menghasilkan stabilitas kapal yang tinggi
Dimensi lambung ganda (catamaran) dan jumlah sel photovoltaic (pv) dapat disesuaikan dengan
fungsi, jarak dan waktu tempuh kapal. Komposisi antara battery dan sel pv baik jumlah maupun
kapasitasnya berbeda untuk tiap ukuran kapal. Semakin besar ukuran maka semakin banyak
jumlah battery maupun sel pv nya. Hal ini berkaitan dengan beban-beban listrik yang bekerja di
atas kapal. Multiguna artinya kapal ini dapat dipakai untuk berbagai aktifitas.
Keberhasilan teknologi Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Meskipun belum banyak diaplikasikan namun pengalaman di beberapa negara yang sudah
mengaplikasikannya, membuktikan energi sinar matahari mampu menggantikan energi minyak
yang selama ini dipakai pada kapal. Sedangkan kapal katamaran mampu menjawab beberapa
kekurangan yang terdapat pada kapal lambung tunggal (monohull) seperti misalnya kestabilan di
air yang lebih mantap yang memberikan kenyamanan lebih.
328
Keberhasilan membuat kapal katamaran ini adalah
a. Waktu pembangunan yang lebih cepat dibandingkan cara tradisional menggunakan
kayu. Teknik pencetakan fibreglass mampu mengurangi waktu pengerjaan kapal dari 3
bulan menjadi hanya 1 bulan dibandingkan kayu.
b. Mampu mengurangi biaya operasional kapal. Dengan teknologi tenaga matahari biaya
beli BBM dapat dihilangkan.
c. Daya angkut lebih banyak. Dengan teknologi bahan fiberglass reinforced plastic (FRP)
yang lebih ringan daripada kayu. Selain itu, terbukti dengan panjang yang sama (tipe
monohull), menghasilkan ruang yang lebih besar.
d. Teknologi motor listrik mampu menggantikan motor BBM yang selama ini dipakai. Hal
ini telah dibuktikan dari hasil uji layar. Dari hasil pengujian lapangan (uji layar)
menunjukkan kapal mampu
mencapai kecepatan 5 knot
dengan 6 (enam) buah baterai
dan jarak tempuh hingga 33,7
kilometer (Gambar 4). Kondisi ini
sesuai spesifikasi motor yang di
rancang untuk mendorong kapal
dengan bobot total hingga 3 ton.
Pengambilan energi atau arus
listrik motor diperoleh langsung
dari baterai yang besar kecil arus
Gambar 4. Peta rute uji layar (sea trial)
yang disedot tergantung
kecepatan (rpm) motor.
Setelah melakukan uji layar, dapat disimpulkan selama 1 jam perjalanan kapal, baterai mengalami
laju pengurangan tegangan karena beban motor listrik sebesar 10 persen, artinya masih terdapat
cukup waktu untuk melakukan perjalanan lebih daripada 3 jam. Hasil ini melebihi manfaat yang
dikeluarkan motor BBM kapal pulang hari sekitar 10 – 15 liter solar. Namun, laju pengurangan
baterai dapat semakin cepat pada hambatan kapal yang semakin besar pula seperti pada saat uji
layar seperti dapat dilihat pada grafik Gambar 5 dibawah ini.
Keuntungan dari sistem pengisian
yang dirancang adalah baterai
dapat terus-menerus diisi selama
kapal beroperasi dengan adanya
sistem solar panel sehingga tidak
perlu ada kekuatiran kehabisan
pasokan energi dari baterai, akan
Gambar 5. Grafik laju penurunan kapasitas
batere
329
tetapi perlu mengatur kecepatan kapal. Semakin tinggi putaran motor, maka arus yang disedot
motor juga semakin besar dan waktu tempuh semakin cepat, begitupun sebaliknya.
Teknologi ini sangat dimungkinkan untuk diterapkan. Isu yang dapat diangkat adalah kenaikan
harga BBM dan upaya melestarikan lingkungan perairan dimana nelayan melakukan kegiatan
ekonomi. Dengan motor penggerak tanpa BBM nelayan akan terlepas dari biaya operasional
khususnya dari komponen membeli BBM. Tahap awal untuk memperkenalkan teknologi ini adalah
pada nelayan pulang hari (one day fishing), petani rumput laut dan pembudidaya ikan.
Penerapannya sangat mudah dengan perlakuan yang sederhana, tidak membutuhkan keahlian
khusus. Contoh, dengan hanya menyambungkan kutub (+) dan (-) motor listrik pada kutub baterai
yang tersedia tanpa kuatir aliran listrik karena arus yang dipakai adalah arus DC. Pembuatan kapal
dapat dilakukan di daerah pengembangan karena teknologi pencetakan fibreglass sudah banyak
dikuasai galangan rakyat. Perawatan motor listriknya sendiri adalah sederhana dapat dilakukan
oleh pengguna. Perbaikan dan penggantian suku cadang dapat dilakukan oleh tenaga ahli bidang
listrik setingkat sekolah kejuruan yang banyak tersedia di daerah. Dengan demikian akan muncul
bidang-bidang usaha jasa baru di daerah pengembangan misalnya komponen kelistrikan,
permintaan akan solar sel dan baterai.
Ramah lingkungan
Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari memanfaatkan penggerak motor listrik DC
menyebabkan suara mesin halus tidak berisik sehingga nyaman dipakai pada berbagai aktifitas
(multiguna). Kapal ini tidak memerlukan BBM maupun oli yang buangannya dapat mencemari
lingkungan perairan sehingga dikatakan wahana ramah lingkungan. Lambung ganda yang selama
ini dari kayu, digantikan dengan fibreglass (FRP) menghilangkan kekuatiran pasokan kayu yang
semakin sulit dan dilarang.
LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Lokasi wilayah yang direkomendasikan
Sesuai dengan kelebihannya, kapal katamaran dapat dipakai untuk banyak aktifitas, terutama di
wilayah perairan tenang (calm water) dan dangkal dengan ketinggian gelombang hingga 1 meter
dan kedalaman hingga 1 meter seperti aktifitas riset dengan muatan tabung selam, wahana ROV
(remotely operated vehicles), muatan karung (bulk) untuk aktifitas pembersihan pantai dan sungai
(pemantau perairan), panen rumput laut; aktifitas di danau dan sungai untuk aktifitas panen ikan,
muatan keranjang, muatan bak-bak berisi ikan hidup, pembersih perairan dan lain-lain. Selain itu
kapal ini juga dapat dipakai sebagai pleasure boat untuk mancing, penyelaman, wisata air di danau
dan sungai sebagai pendukung sektor pariwisata.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari sangat ramah lingkungan. Tidak ada pemakaian
BBM maupun oli yang buangannya dapat mencemari lingkungan perairan. Motor penggerak dari
motor listrik DC menyebabkan suara mesin halus tidak berisik sehingga sangat nyaman untuk
dipakai pada berbagai aktifitas.
330
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA
Secara ekonomi kapal ini memerlukan investasi awal sekitar 105 juta rupiah. Jika dibandingkan
kapal sejenis tipe katamaran dengan motor penggerak BBM (bahan bakar minyak) yang
disetarakan power nya, maka investasi kapal dengan motor listrik lebih besar daripada motor BBM,
namun untuk kebutuhan jangka panjang (10 tahun) kapal ini tidak memerlukan biaya operasional
untuk pembelian BBM sama sekali, serta biaya perawatan yang kecil (Tabel 1), hanya diperlukan
pembersihan berkala pada permukaan kaca solar panel agar cahaya matahari dapat diserap
semaksimal mungkin dan baterainya pun menggunakan tipe maintenance free (MF) yang hampir
tidak memerlukan biaya perawatan dan tidak memerlukan penggantian hingga 10 tahun,
sedangkan perawatan lambung kapal yang lebih sederhana karena permukaannya yang licin
mudah dibersihkan.
Analisis operasional kapal katamaran
Tahun analisis : 10 tahun
Motor penggerak
Rincian
Operasional kapal
Katamaran tenaga matahari
Banyak
Satuan
Katamaran BBM
Nilai (Rp)
160 trip/thn
BIAYA TOTAL
1 Investasi
Banyak
Satuan
Nilai (Rp)
160 Trip/thn
179,862,800
219,800,000
a. Lambung Fiberglass
1 unit
31,500,000
1 unit
31,500,000
b. Motor listrik 5 HP
1 unit
31,050,000
1 unit
13,000,000
c. LEC 1200 Solar Module
8 unit
16,412,800
8 unit
d. Peralatan dan
Perlengkapan Kapal
e. Alat sistem baterai
1 set
13,300,000
1 set
1 set
Total Investasi
13,000,000
13,300,000
-
105,262,800
57,800,000
2 Biaya Variabel
a. Solar
0 liter/thn
-
1600 liter/thn
b. Oli
0 liter
-
20 liter/thn
c. Ransum ABK
2 org/trip
Total Biaya Variabel
48,000,000
2 org
48,000,000
72,000,000
5,400,000
48,000,000
125,400,000
3 Biaya Tetap
a. Biaya pemeliharaan
10 thn
5,000,000
10 thn
b. Tambat labuh
12 bln
21,600,000
12 bln
Total Biaya Tetap
26,600,000
15,000,000
21,600,000
36,600,000
Tabel 1. Analisis usaha kapal katamaran
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
a. Komponen pembuatan kapal dan perangkat sistem tenaga listrik yang dipakai pada
kapal ini 100% nya sudah dapat diperoleh di dalam negeri (Tabel 2).
b. Proses pengerjaan kapal lebih cepat karena sistem cetakan (moulding) yang
diterapkan., dan bisa dikerjakan oleh galangan kapal rakyat.
c. Badan kapal terbuat dari bahan fiberglass reinforced plastic (FRP) di desain sesuai
pemakaian untuk air laut. Teknik pencampuran bahan-bahan tersebut telah dikuasai
331
dan diaplikasikan pada kapal katamaran tenaga matahari yang dibuat dengan biaya
yang murah serta tidak kalah dengan kayu yang saat ini mahal harganya dan sulit
ditemukan.
SPESIFIKASI
Teknologi Katamaran Multiguna Tenaga Matahari terdiri dari:
1.
Kapal katamaran
DATA RANCANGAN
Kapal katamaran tenaga matahari memiliki
ukuran utama sebagai berikut:
Panjang keseluruhan (LOA)
: 4.30 m
Panjang garis air (LWL)
: 3.80 m
Lebar lambung
: 1.00 m
Breadth
: 2.50 m
Depth
: 0.80 m
Draught
: 0.30 m
Displacement
: 1390 kg
Peralatan, jumlah penumpang dan Mesin:
Baterai : 6FM100D (6 unit), @ 32 kg = 192
kg
Modul surya : LEC -1200 (8 unit), @ 10, 5 kg
= 84 kg
Penumpang : 6 orang, @80 kg = 480 kg
Mesin : Motor listrik Cruise 2.0 Long Shaft 5
HP (1 unit), 19 kg
2.
Motor Listrik arus DC 2000 Watt
Daya listrik inputan (Watt): 2000
Daya pendorong (Watt) : 1120
Efisiensi Maks. Keseluruhan (%) : 56
Thrust statis (lbs) : 115
Tegangan pakai (Volt) : 24
Bobot Total (kg) : 17,2
Panjang poros (cm) : 17,5
Standard propeller (v=Kec dlm km/j @
p=daya dlm watt) : V19/p4000
Put propeller maks (rpm) : 1300
(1 unit)
332
3.
Modul surya (modul photovoltaic)
(8 unit)
4.
Modul photovoltaic yang dibutuhkan
sebanyak 8 (delapan) unit, dengan
spesifikasi sebagai berikut
Spesifikasi umum
Nama produk : Modul Photovoltaic (PV
Module)
Tipe
: LEC-1200
Deskripsi : High Efficiency Multi Crystalline
untuk penerapan di pemukiman
(solar home system applications)
Spesifikasi listrik
Kapasitas listrik : 1296 kJoule/hari @ 4,5
jam dengan sinar matahari
Energi maksimum (Vmax)
: 80 Wp
Toleransi
: +/- 12%
Efisiensi sel
: +/- 15%
Tegangan maksimum (Vmp) : 17.81 Volt
Arus maksimum (Imp) : 5.18 Amper
Tegangan open circuit (Voc) : 22.27 Volt
Arus short circuit (Isc) : 5.65 Amper
Tegangan sistem maksimum : 600 Volt
Baterai kering (dry cell)
Arus listrik output 100 Amper. jam
1 unit
Tegangan n ominal 12V
Daya listrik output 1200 Watt
Jumlah sel 6
Tipe dry cell heavy duty
5
Life jacket
Lampu geladak
Perlengkapan kapal katamaran terdiri dari
1. Life jacket : 6 buah
2. Dampra Poliform fender F2 : 4 buah
3. Bolder
stainless steel : 4 buah
4. Tali tambat nylon dia. 12 mm @ 20
meter : 2 set
5. Fender kapal : 1 set
6. Lampu geladak DC 12 V / 10 W : 2 set
Dampra Poliform fender Tali tambat
333
P3TKP
Perlindungan Pantai dengan Pemecah Gelombang
Karung Geotekstil Memanjang (KGM)
Unit Eselon I
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan
Satuan Kerja
Pusat Pengkajian dan Perekayasaan
Teknologi Kelautan dan Perikanan
Alamat
Gedung Balitbang KP Lantai 4
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta
Tel. 021-64711583 Fax. 021-64711501
Kategori Teknologi
Kelautan
Sifat Teknologi
Rekayasa
Masa Pembuatan
2010-2011
Tim Penemu
Vivi YovitaI ndriasari, M.T
Anwar Rizal, S.T.
Dwiyoga Nugroho,ST.MT
Ariani Andayani, S.Si, M.Sc
Cecep Ahmad Hatori, M.Eng
Permana Ari Soejarwo, S.Kel
Agus Sufyan, S.T.
Luh Putu Ayu Savitri Chitra Kusuma, M.Si
Kontak Person
Vivi Yovita Indriasari, M.T
[email protected]
334
DESKRIPSI TEKNOLOGI
Karung Geotekstile Memanjang (KGM) merupakan salah satu bentuk aplikasi dari material
geotekstil yang berbentuk seperti sebuah silinder panjang dengan berbagai ukuran panjang, lebar
dan tinggi sesuai kebutuhan dan kondisi di lapangan. KGM dapat diisi dengan material pengisi
seperti pasir, kerikil dan mortar serta dapat diaplikasikan sebagai groin, pemecah gelombang lepas
pantai, dan perkuatan tebing pantai.
TUJUAN DAN MANFAAT PENERAPAN TEKNOLOGI
Tujuan penerapan teknologi ini adalah untuk mengurangi terjadinya abrasi pantai. Manfaatnya
adalah tersedianya teknologi perlindungan pantai ramah lingkungan
APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Pengamanan pantai dengan menggunakan bangunan pelindung pantai, memerlukan rancangan
yang tepat dan efektif agar diperoleh kegunaannya secara optimal. Parameter-parameter penting
dalam desain dan perencanaan suatu bangunan pengaman pantai seperti tinggi gelombang
rencana, keadaan topografis batimetri perairan, fungsi dan tujuan pengamanan, dan lain-lain
digunakan untuk desain detail, sehingga pemahaman dan aplikasi yang tepat akan sangat
mendukung untuk tercapainya desain yang optimal, baik secara teknis maupun ekonomis.
Pada usulan teknologi ini KGM diaplikasikan sebagai pemecah gelombang jenis tenggelam
(submerged breakwater) yang diletakkan sejajar garis pantai. Parameter yang diperlukan dalam
perhitungan desain breakwater diantaranya:
 Arah angin. Angin merupakan salah satu unsur pembentuk gelombang, sehingga data
perilaku angin dapat menggambarkan perilaku gelombang secara umum.
 Level pasang surut. Keadaan pasang surut termasuk menentukan tinggi dari breakwater,
pola sirkulasi air pada daerah sekitar breakwater dll.
 Gelombang laut. Arah gelombang laut menentukan layout gelombang. Gelombang
sendiri memberikan gaya pada breakwater.
 Kedalaman dan Jarak Breakwater dari garis pantai. Kedalaman perairan menentukan
jenis breakwater yang efektif dan ekonomis untuk dibangun, dan jarak breakwater dari
garis pantai hendaknya cukup jauh agar pengaruh gelombang di posisi garis pantai
menjadi semakin kecil.
335
 Kondisi Geoteknis. Parameter ini akan menentukan daya dukung tanah terhadap
breakwater yang pada akhirnya akan mempengaruhi kestabilan breakwater.
Secara umum proses perancangan penampang breakwater adalah sebagai berikut:
1) Persiapan data-data kondisi perancangan.
2) Penentuan penampang breakwater:
- Penentuan elevasi vertikal breakwater.
- Penentuan dimensi horizontal breakwater (dimensi awal).
3) Analisa stabilitas terhadap gaya-gaya eksternal yang bekerja (dimensi akhir):
- Stabilitas suprastruktur & komponen pendukung.
- Stabilitas pondasi.
4) Desain komponen pelindung:
Foot Protection.
Perencanaan Layout Submerged Breakwater
Penentuan gelombang pecah (hbr)
Letak breakwater ditentukan berdasarkan kedalaman perairan dimana gelombang pecah (hbr)
dimana
hbr = kedalaman breaker line
He = tinggi gelombang dengan kejadian 12 jam dalam 1 tahun
s = massa jenis sediment
w = massa jenis air laut
Te = periode gelombang
g = percepatan gravitasi
Penentuan Letak Breakwater
YB > 1 → tidak akan terbentuk salient atau tombolo
Ybr < 1 → berpotensi terbentuk salient atau tombolo
YB
≤ 0,55 → dapat terbentuk salient/tombolo sempurna
Ybr
YB
≤ 0,39 → dapat terbentuk double tombolo
Ybr
Penentuan Panjang Breakwater
Panjang Breakwater ditentukan dengan menggunakan bilangan Iribaren (I) yaitu :
Ie 

LB 
 1,72  0,41 
Y

B 
336
Persamaan tersebut digunakan dengan terlebih dahulu menentukan YB.
Adapun hubungan nilai I dengan pola sedimentasinya adalah sebagai berikut.
LB
 3,205 terbentuk tombolo sempurna
YB
I=1
maka
I=2
maka
1,965
I=3
maka
1,14
I=4
maka
0,525
I=5
maka


LB
 3,205 terbentuk tombolo periodik
YB
LB
 1,965 terbentuk salient sempurna
YB

LB
 1,14 terbentuk subdued salient
YB
LB
 0,525 tidak ada sedimentasi
YB
Dengan menetapkan pola sedimentasi, dapat ditentukan kisaran
selanjutnya dengan diketahuinya YB, dapat dihitung LB.
LB
YB
Penentuan Jarak Antar Breakwater
Jarak antar breakwater ditentukan dengan metode Suh dan Dalrymple (Gambar 1):
LB . YB
2
LB 
 0,55 terbentuk salient /tombolo
Gambar 1 Tata letak penempatan breakwater
337
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan KGM sebagai submerged breakwater
adalah:
1. Pada daerah pantai terpencil yang terbatas infrastruktur dan sumber material
konstruksi seperti beton dan batu ukuran besar.
2. Ketersediaan material pengisi berupapasir di lokasi yang akand ilindungi
3. Tingkat kelandaian pantai tidak terlalu curam
4. Gelombang pecah tidak terlalu besar
Uraian secara lengkap detail SOP
Pesisir pantai merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak erosi tak terkecuali area tambak
yang banyak dimiliki oleh masyarakat pesisir. Berbagai material struktur dapat digunakan sebagai
bahan untuk bangunan pemecah gelombang. Biasanya material yang digunakan berupa
tumpukan batu dan beton. Pada lokasi yang terpencil dan dengan infrastruktur yang sulit,
pengadaan material batu dan beton menjadi tidak ekonomis. Salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan Karung Geotekstile Memanjang (KGM).
System karung geotekstile memanjang menggunakan vahan pengisi berupa pasir yang didapat
dari lokasi pembangunan. System ini merupakan soft structure yang flexible dan ramah
lingkungan.
Geotekstil merupakan material buatan hasil polimerisasi dari industri-industri kimia atau minyak
bumi yang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan terhadap berbagai kondisi alam seperti
gelombang, abrasi dan sinar matahari (Harris & Sample, 2009). Geotekstil telah banyak digunakan
untuk menanggulangi permasalahan geoteknik, baik di darat maupun di laut, seperti revetment,
groin dan seawall untuk menanggulangi erosi pantai (Das Neves, et al., 2004).
Prinsip dasar KGM dalam penanggulangan erosi adalah menahan butiran tanah yang terdapat di
dalamnya, namun pada saat yang bersamaan air dapat mengalir keluar tanpa menghanyutkan
butiran tanah. Sedimen yang terperangkap/tertahan di belakang bangunan pemecah gelombang,
lama kelamaan akan membentuk daratan baru (tombolo). Untuk mempertahankan tombolo yang
terbentuk tersebut, perlu adanya penanaman vegetasi di lokasi tersebut, sehingga bentuk pantai
yang baru dapat dipertahankan. KGM umumnya diisi dengan tanah yang bersifat non kohesif
seperti pasir atau lumpur.
Metode pelaksanaan pekerjaan ini adalah :
 Pekerjaan persiapan
 Dalam tahapan ini dilaksanakan beberapa tindakan berupa persiapan-persiapan seperti
pembersihan lokasi penempatan, pemasangan pasak kayu untuk pegangan geotekstil
dan pengukuran awal.
 Pekerjaan pemasangan struktur pelindung pantai
 Berupa pelaksanaan pemasangan struktur yang telah direncanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan masalak teknis pelaksanaannya di
lapangan. Dalam tahapan ini ada beberapa pekerjaan yang dilakukan, yaitu :
338
1. Pembuatan penahan Struktur Karung Geotekstil Memanjang. Umumnya
campuran air pasir yang diisi ke dalam KGM sangatlah cair, akibatnya KGM akan
mempunyai kecendrungan berbentuk lebar dan pipih . Tahapan ini dimaksudkan
untuk menjaga bentuk dari struktur. Untuk menjaga bentuk KGM, disampingnya
dapat diberi pasak kayu.
2. Penyiapan lapisan geotekstil bagian bawah untuk melindungi dasar KGM dan
memperkuat stabilitas tanah.
3. Penyiapan lapisan geotekstil untuk struktur utama KGM
4. Mengisi material dan proses pengisian
KGM yang umumnya diisi menggunakan pompa hydraulik berisi campuran pasir dan air. Pada
tahapan ini tekanan pompa harus diperhatikan, kelebihan tekanan pompa dari tekanan maksimum
material akan mengakibatkan robeknya material kulit KGM, sebaliknya tekanan pompa yang
rendah mengakibatkan sulitnya proses pengeluaran air di pori-pori material kulit sehingga sulit
untuk mendapatkan ketinggian yang direncanakan.
Uraian dan jumlah
kaji terap yang
sudah dilakukan di
beberapa daerah
beserta hasilnya
Pada tahun 2010
dan 2011, Pusat
Pe n g k a j i a n d a n
Perekayasaan
Teknologi Kelautan
d a n Pe r i k a n a n
( P 3 T K P )
melakukan uji coba
pemasangan
geotekstile tipe
Gambar 2. KGM di Pantai LombangIndramayu
KGM (Karung
Geotekstil Memanjang) untuk penanggulangan abrasi pantai. Uji coba di lakukan di 2 tempat,
yaitu di Pantai Lombang, Kabupaten Indramayu , Jawa Barat dan Pantai Muara Kamal, Jakarta
kelurahan Kamal Muara, KecamatanPenjaringan Jakarta Utara.
Di lokasi Pantai Lombang, Juntinyuat Kabupaten Indramayu, KGM yang dipasang sebanyak 3
buah (Gambar 2). Pantai ini menghadap ke timur laut, dengan garis pantai memanjang dari barat
laut ke tenggara. Pada penelitian ini, tiga buah KGM dengan ukuran 20 m x 2,5 m x 1,2 m yang
telah diisi pasir dipasang secara submerged sejajar garis pantai Lombang. Jarak antara KGM
dengan garis pantai ± 30 – 40 meter sedangkan jarak antar KGM ± 40 meter. Untuk mengetahui
perubahan garis pantai di daerah tersebut akibat pemasangan KGM, sehingga dapat diketahui
339
efektifitas pemasangan KGM dalam menanggulangi abrasi pantai dilakukan pemantauan profil
pantai dengan pengukuran garis pantai sebanyak 3 (tiga) kali yaitu satu kali sebelum pemasangan
KGM dan dua kali setelah pemasangan KGM, dengan rentang waktu setiap dua bulan dan
dianggap mewakili Musim Timur dan Musim Barat. Dari hasil pemantauan yang dilakukan setelah
pemasangan struktur KGM terlihat cukup bagus. Secara visual, pantai menjadi lebih landai dan
lebih maju dibandingkan sebelum pemasangan struktur KGM.
Pelindung pantai yang
diaplikasikan di Muara
Kamal adalah pemecah
gelombang tenggelam
(submerged breakwater)
sistem KGM (Gambar 3).
Dimensi KG M yang
diaplikasikan dengan
panjang 20 m, lebar 1.6 m
dan tinggi 1.4m. Di lokasi
ini pelindung pantai jenis
KGM di kombinasikan
dengan penanaman
Gambar 3. KGM di Pantai Muara Kamal
mangrove di belakang
struktur pelindung pantai.
Pohon bibit mangrove yang di tanam adalah jenis Avicennia marina (api-api) berumur 1 tahun. Bibit
berasal dari lokasi sekitar Pantai Kamal. Diharapkan mangrove ini dapat tumbuh subur dan
berkembang sehingga akar-akarnya dan batang yang nantinya makin besar mampu meredam
gelombang dan mempertahankan sedimentasi yang terbentuk di belakang struktur akibat
pemasangan pelindung pantai. Penanggulangan erosi di Pantai Muara Kamal dengan
menerapkan kombinasi antara pemecah gelombang tenggelam sistem Karung Geotekstil
Memanjang (KGM) dan penanaman mangrove cukup efektif. Terlihat dengan cepatnya bertambah
sedimen yang terperangkap di belakang struktur pemecah gelombang.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
Bentuknya yang dapat mengikuti bentuk permukaan tanah sehingga apabila terjadi penurunan
tanah di lokasi struktur tidak akan merobah bentuk struktur. Bila dibandingkan dengan pelindung
pantai konvensional (tumpukan batu dan beton) apabila terjadi penurunan tanah maka kondisi
struktur akan hancur dan rusak. Kemampuannya menahan partikel tanah namun pada saat yang
bersamaan air dapat terdisipasi. Pada pelindung pantai konvensioanal kondisi ini akan merusak
struktur. Seperti pada material tumpukan batu apabila pasir terlalu banyak melewati celah antar
tumpukan batu akan mengakibatkan lemahnya penguncian antar (inter locking) batutersebut.
Rrelatif murah dari segi harga, ringan sehingga biaya transportasi ke lokasi pembangunan murah,
dan mudah dalam pembangunan serta dapat menggunakan tenaga local sehingga tergolong
340
teknologi berbasis komunitas (community base technology). Dibandingkan dengan material
konvensional yang dalam pembangunannya menggunakan peralatan berat, dan tenaga kerja ahli
dan jumlah yang banyak serta mengangkut material juga membutuhkan biaya yang cukup mahal.
Selain itu KGM juga ramah lingkungan karena bisa di tumbuhi lumut dan terumbu karang. Adanya
lumut yang tumbuh di permukaan KGM dapat melindungi material dari paparan matahari.
WILAYAH PENGEMBANGAN
KGM dapat dipasang pada pantai berpasir dengan kelandaan pantai yang tidak terlalu curam dan
gelombang pecah tidak terlalu besar dan membutuhkan restorasi akibat erosi. KGM dapat
dibentuk dan dipasang di darat sebagai seawall, artificial sand dune dan breakwater, menjorok ke
laut berupa groin atau di lepas pantai berupa submerged breakwater .
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Perencanaan penempatan KGM yang tidak tepat akan mengakibatkan pantai yang akan
dilindungi menjadi tererosi. Tapi kalau perencananaan yang tepat dan teliti maka tidak ada dampak
negatif.
KELAYAKAN FINANSIAL
Pemakaian material KGM sangat efisien untuk melindungi daerah yang terkena abrasi, melindungi
daerah budidaya perikanan dan daerah pemukiman nelayan, jika dibandingkan dengan material
konvensional seperti batu dan beton. Sistem KGM ini unggul dalam bidang kecepatan
pemasangan, instalasi yang mudah, tidak memerlukan banyak peralatan berat dan biaya yang
murah. Jika ditinjau dari harga per meter KGM, biaya yang dibutuhkanhanya Rp 7 juta. Sedangkan
untuk membuat pelindung pantai menggunakan material konvensional, biayanya mencapai Rp 20
juta per meter.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Material geotekstil yang digunakan masih import, belum di produksi di dalam negeri.
Spesifikasi :
 Lebar
 Panjang
 Tinggi
 Jenis material
: 1,6 m
: 20 m
: 1,4 m
: geotextil non woven
341
Pekerjaan Persiapan
Pekerjaan Pemasangan untuk Pasak Kayu
Pemasangan Pasak Kayu untuk Pembatas
342
Penyiapan Material Geotekstil untuk Pelindung KGM Dari Gerusan
Penyiapan Material Geotekstil untuk Material Utama KGM
343
Pengisian Pasir Laut kedalam KGM
Penyelesaian Pengisian Pasir
KGM Terpasang
344
Download