BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Darah Darah

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Darah
Darah merupakan suatu komponen tubuh yang sangat penting guna kelangsungan hidup
manusia. Darah memiliki fungsi antara lain sebagai pembawa oksigen. Hematopoiesis
merupakan proses pembentukan komponen sel darah merah, dimana terjadi proliferasi,
maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan
peningkatan atau pelipatgandaan jumlah sel dari satu sel hematopoietik pluripotent
menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah,
sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat
khusus yang berbeda-beda (Lubis, 2006; Christensen, 2016) .
Sistem hematopoetik memiliki karakteristik berupa pergantian sel yang konstan untuk
mempertahankan populasi leukosit, trombosit dan eritrosit. Sistem hematopoetik dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Stem sel (progenitor awal ) untuk menyokong hematopoesis
2. Colony Forming Unit (CFU) selanjutnya berkembang dan berdiferensiasi dalam
memproduksi sel
3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung teratur.
Sel stem merupakan satu sel induk yang mempunyai kemampuan berdeferensiasi
menjadi beberapa turunan, membelah diri dan memperbaharui populasi sel stem itu sendiri
dibawah pengaruh faktor pertumbuhan hematopoetik. Hematopoetik membutuhkan
perangsang untuk memicu pertumbuhan koloni granulosit dan makrofag yang disebut
Colony Stimulating Factor (CSF) yang merupakan glikoprotein. Dalam proses selanjutnya
diketahui regulasi hematopoesis sangat kompleks dan banyak faktor pertumbuhan yang
berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat yang memproduksi faktor- faktor tersebut
termasuk organ hematopoetik. Dikenal sejumlah sitokin yang mempunyai peranan dalam
meningkatkan aktifitas hematopoetik diantaranya IL-3 (interleukin), IL-4, GM-CSF
(Granulosit Macrophage Colony Stimulating Factor) (Lubis, 2006).
Gambar 2.1. Sistem Hematopoesis (Haggstrom, 2011).
Hematopoiesis pada manusia terdiri atas beberapa periode :
1. Mesoblastik
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-mula
terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem vaskuler dan
hematopoesis. Proses ini diidentifikasi terjadi di dalam yolk sac. Pada masa gestasi 8
minggu blood island mengalami regresi.
2. Hepatik
Dimulai sejak embrio umur 9 minggu dan terjadi di hati, sedangkan pada limpa terjadi
pada umur 12 minggu dengan produksi yang lebih sedikit dari hati. Hematopoesis dalam
hati terutama adalah eritropoesis walaupun masih ditemukan sirkulasi granulosit dan
trombosit
3. Mieloid
Dimulai pada usia kehamilan 20 minggu dan terjadi di dalam sumsum tulang, kelenjar
limfonodi, dan timus. Di sumsum tulang, hematopoiesis berlangsung seumur hidup dan
terutama menghasilkan HbA, granulosit, dan trombosit. Pada kelenjar limfonodi
terutama dihasilkan sel-sel limfosit, sedangkan pada timus yaitu limfosit, terutama
limfosit T (Djajadiman, 2002).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sel darah di antaranya adalah
asam amino, vitamin, mineral, hormon, ketersediaan oksigen, transfusi darah, dan faktorfaktor perangsang hematopoietik.
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan
sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem kardiovaskular dan tersusun
dari :
1. Komponen korpuskuler atau seluler
Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik
yang terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit yang kesemuanya
dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel
darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar
fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu tertentu ketiga
butiran darah tersebut akan diganti serta diperbaharui dengan sel sejenis yang baru.
2. Komponen cairan.
Komponen cair yang juga disebut plasma menempati lebih dari 50 % volume organ
darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air dan bagian kecilnya terdiri
dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah
albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk faktor pembekuan dan untuk
fibrinolisis.
Sel darah merah merupakan cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7.5 mikron,
tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikron atau kurang. Sel darah merah
tersusun atas membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah untuk difusi oksigen
serta karbon dioksida . Eritrosit dapat mencapai umur 120 hari.
Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin, terdiri dari
heme (gabungan protoporfirin dengan besi) dan globin yang merupakan bagian dari
protein yang tersusun dari 2 rantai alfa dan 2 rantai beta serta enzim seperti Glucosa 6phosphate dehydrogenase (G6PD). Hemoglobin mengandung kira-kira 95% besi dan
berfungsi membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin
dan diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme.
2. Transfusi darah merah pada anak dengan penyakit kritis
2.a. Penyakit kritis
Penyakit kritis merupakan penyakit yang membutuhkan pertolongan secepatnya karena
dapat menyebabkan risiko kematian ataupun kecacatan. Menurut Permenkes Nomor
416/Menkes/Per/2011 yang termasuk penyakit kritis atau kriteria gawat darurat adalah
sebagai berikut:
a. Anemia sedang/berat
b. Apnea/ gasping
c. Bayi ikterus/anak ikterus
d. Bayi kecil/ prematur
e. Cardiac arrest/ Payah jantung
f. Diare profus (lebih dari 10 kali perhari) disertai dehidrasi
g. Difteri
h. Ditemukan bising jantung, aritmia
i. Edema/ bengkak seluruh badan
j. Epistaksis, tanda perdarahan lainnya disertai febris
k. Gagal ginjal akut
l. Gangguan kesadaran
m. Hematuria
n. Hipertensi berat
o. Hipotensi/ syok
p. Intoksikasi dengan keadaan umum masih baik ataupun intoksikasi disertai gangguan
fungsi vital
q. Kejang disertai penurunan kesadaran
r. Muntah profus (lebih dari 6 hari) disertai dehidrasi ataupun tidak
s. Panas tinggi lebih dari 40 ° C
t. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis ada retraksi hebat (penggunaan
otot pernafasan sekunder)
u. Sesak tapi kesadaran dan keadaan umum masih baik
v. Syok berat : nadi tidak teraba tekanan darah terukur termasuk Dengue Shock
Syndrome
w. Tetanus
x. Tidak kencing lebih dari 8 jam
y. Tifus abdominalis dengan komplikasi ( HIA , 2003; LIA, 2003).
Anak dengan penyakit kritis di ruangan pediatric intensive care unit umumnya
terindikasi untuk mendapatkan transfusi darah dengan berbagai alasan. Para dokter
seharusnya memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai produk darah, indikasi,
dan kontraindikasi serta efek samping yang mungkin ditimbulkan karena transfusi darah
tersebut mengingat anak sangat jauh berbeda dengan keadaan orang dewasa saat masa
pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum indikasi dilakukannya transfusi darah
yakni:
a. Menjaga kadar hemoglobin guna meningkatkan transportasi oksigen dalam tubuh.
b. Menjaga keseimbangan fungsi jantung
c. Menjaga mekanisme hemostasis tubuh (Istaphonous, 2011).
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan pedoman dalam transfusi pada anak
dengan penyakit kritis ( Nahum ,2002) .
2.b. Transfusi sel darah merah
Transfusi sel darah merah merupakan trasnfusi yang tersering digunakan pada anak dengan
penyakit kritis di ruang Pediatric Intensive Care Unit. Hampir 50% pasien yang dirawat
pada ruangan tersebut mendapatkan transfusi sel darah merah. Batas dari transfusi sel darah
merah masih merupakan hal yang kontroversial pada dunia penelitian kedokteran.
Pemberian transfusi sel darah merah tidaklah terbatas hanya menurut kadar hemoglobin
namun ada beberapa unsur yang harus dipertimbangkan yakni :
a. Kadar Hemoglobin yang rendah antara 7-9 g/dl
b. Nilai saturasi yang rendah
c. Nilai PaO2 yang rendah
d. Rendahnya cardiac output
e. Tingkat keparahan dari suatu penyakit
f. Perdarahan yang aktif
g. Tindakan operasi yang bersifat emergensi (Lacroix, 2007; Rieles, 2007; Lacroix,
2014).
Sementara menurut beberapa kepustakaan terdapat beberapa Patofisiologi anemia pada
penyakit kritis , diantaranya : (Didomenico, 2004; Walsh, 2006).
a. Perdarahan
Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. Angka kejadiannya
sekitar 40% dari penderita yang dirawat di ruang intensif dan 33% dari jumlah tersebut
mendapatkan transfusi sel darah. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan pemberian
profilaksis dan pemberian asupan makanan dini guna mencegah terjadinya stress ulcer
yang sering terjadi.
b. Phlebotomi
Kejadian anemia yang tidak diharapkan dari pasien yang mendapatkan perawatan
diruang intensif adalah yang disebabkan phlebotomi. Hal ini dibuktikan dari hasil
penelitian yang menunjukan pasien yang mendapatkan perawatan di ruangan intensif
berpotensi 3 kali lebih sering dilakukan pengambilan darah dibandingkan yang
mendapatkan perawatan di bangsal biasa. Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang
dirawat di ruang intensif kehilangan darah 41-70 cc/hari dari tindakan phlebotomi setiap
harinya, dimana hal ini berkorelasi positif dengan lamanya hari tinggal diruang intensif
dan meningkatnya kebutuhan transfusi.
c. Inflamasi
Sekitar 50% anemia pada pasien yang menderita penyakit kritis bukanlah dari suatu
proses yang dikarenakan kehilangan darah yang akut melainkan karena adanya suatu
proses inflamasi yang mendasarinya yakni proses inflamasi yang menggiring ke arah
sepsis. Hal ini dipicu karena adanya pelepasan mediator inflamasi oleh sitokin yang juga
akan memyebabkan penurunan dari sintesis heme dan peningkatan pengahancuran heme.
d.
Produksi eritropoetin yang tidak sesuai
Eritropoetin (EPO) merupakan suatu hormon glikoprotein yang merupakan regulator
utama dalam proses eritropoesis yang memproduksi sel darah merah. Ketika terjadi suatu
proses hipoksia, terjadi penurunan Delivery Oxygen ataupun penurunan kadar
hemoglobin yang akan menyebabkan produksi EPO meningkat dan menstimuli
pembentukan sel darah merah. Hormon EPO ini terutama diproduksi di sel intersisial
peritubuler korteks ginjal dan juga pada sel hepatosit hepar. Eritropoetin berikatan
dengan reseptor EPO pada sel progenitor eritroid. Sel progenitor ini akan berdiferensiasi
menjadi colony forming unit yang kemudian menjadi proeritroblast lalu eritroblast,
retikulosit dan menjadi eritrosit.
Zat besi digunakan oleh eritroid saat eritropoesis dan EPO pun dipercaya memegang
peranan penting pada metabolisme zat besi. Zat besi yang diperoleh dari nutrisi diserap
di usus halus dan berikatan dengan transferin (protein yang digunakan untuk transportasi
besi). Transferin berikatan dengan transferin reseptor (TfR) pada sel eritroid yang
menyebabkan sel tersebut dapat mengambil zat besi pada transferin. Metabolisme zat
besi diregulasi oleh iron regulatory protein (IRP)-1 dan -2. Protein ini mengatur
penyimpanan, penggunanan dan up take besi. Namun yang terjadi pada pasien yang
kritis adalah konsentrsi EPO lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak menderita
penyakit kritis . Hal lain yang menyebabkan EPO dapat menurun adalah karena pada
penyakit kritis terjadi pelepasan sitokin-sitokin yang menghasilkan IL1β dan tumor
nekrosis-α yang menekan produksi EPO.
Selain itu pada anak dengan penyakit kritis, sitokin inflamasi lainnya juga
mengganggu metabolisme besi. Interleukin 1β, tumor nekrosis-α, IL-6 akan
menyebabkan meningkatnya produksi feritin, yang menyebabkan penurunan cadangan
besi. Pengaruh sitokin ini pula dapat menurunkan absorpsi besi di usus halus. Hal-hal
tersebut diatas menyebabkan menurunnya kemampuan IRP-1 dan IRP-2 dalam
berikatan. Transferin reseptor yang memegang peranan penting dalam metabolisme besi
juga mengalami disfungsi dikarenakan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan
yang berakibat menurunnya up take oleh sel eritroid yang terjadi pada anak dengan
penyakit kritis. Hal tersebut menyebabkan penyimpanan besi yang berbentuk feritin
meningkat, serum besi menurun dan eritropoesis terganggu.
Nitrit oxide juga berperan dalam menyebabkan anemia pada anak dengan penyakit
kritis, dimana proses inflamasi akan meningkatkan produksi nitrit oxide yang akan
menghambat asam klavulanat, menurunkan konsumsi besi, dan menurunkan aktifitas
ferrochelatase yang akan menghambat proses akhir eritropoesis. Banyaknya mediator
inflamasi yang dilepaskan seperti tumor nekrosis-α dan IL 1β akan menurunkan masa
hidup dari sel darah merah yang seharusnya mencapai 120 hari.
e. Hemodilusi
Pada penyakit kritis dapat terjadi hipovolemia intravaskular yang disebabkan karena
keadaan pasien yang mengharuskan dilakukannya resusitasi cairan baik menggunakan
cairan koloid maupun kristaloid.
Gambar 2.2. Komposisi plasma dan sel darah merah
f. Malnutrisi
Nutrisi yang adekuat sulit untuk dicapai pada anak dengan penyakit kritis akibat penyakit
yang dideritanya dan ini menyebabkan terjadinya defisiensi. Kurangnya akses enteral,
menurunnya fungsi gastrointestinal dan tidakan pembedahan merupakan hal yang sering
menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan penyakit kritis umumnya mengalami
gangguan fungsi gastrointestinal yang menyebabkan gangguan dalam penyerapan
vitamin dan mineral.
Gambar 2.3. Patofisiologi anemia pada penyakit kritis (Didomenico, 2004)
Anemia dapat bersifat akut ataupun kronik. Pada anemia akut terjadi penurunan nilai
hemoglobin (Hb) dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat yaitu lebih dari 30%40% volume darah, sehingga umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel
darah merah. Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi sel
darah merah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. Transfusi sel
darah merah juga diindikasikan pada anemia kronik yang tidak responsif terhadap
pengobatan farmakologik. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat)
dengan kadar Hb <10gr/dl perlu dipertimbangkan pemberian Transfusi sel darah merah
sebelum tindakan tersebut (Garry, 2002; Thayyil, 2006; Liumbruno, 2009).
Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar
hemoglobin adalah:
a. Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional pasien
b. Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat
c. Penyebab dan antisipasi anemia
d. Ada atau tidaknya terapi alternatif lain (Christensen, 2011).
Pedoman transfusi sel darah merah pada anak dan remaja tidak serupa dengan pada
dewasa. Dosis pemberian transfusi sel darah merah yang dipergunakan untuk menaikkan Hb
dapat menggunakan modifikasi rumus empiris. Bila yang digunakan sel darah merah pekat
(packed red cells), maka kebutuhannya menjadi. Pemberian jumlah transfusi sel darah merah
didasarkan atas makin anemisnya seorang resipien makin rendah kadar hemoglobin pasien
maka makin sedikit jumlah darah yang diberikan dalam suatu seri transfusi sel darah merah
dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan untuk menghindari komplikasi gagal
jantung. Rumus tersebut adalah :Berat Badan (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat)
(Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
Jika menggunakan packed red cells untuk transfusi darah, maka dosis PRC untuk
transfusinya dapat dilihat pada tabel 1. (Ramelan, 2005).
Tabel 2.1. Dosis transfusi sel darah merah
Hb penderita (g/dl) Jumlah PRC yg diberikan dlm 3-4 jam
7- 10
10 ml/ kgBB
5- 7
5 ml/ kgBB
<5
3 ml/ kgBB
Tujuan utama dari transfusi sel darah merah adalah untuk meningkatkan delivery oxygen
(DO2) dan meningkatkan penggunaan oksigen jaringan guna menjaga kestabilan organ
tubuh . Nilai DO2 tergantung pada tiga faktor :
a. hemoglobin (Hb)
b. cardiac output (CO)
c. proporsi relatif dari oksihemoglobin yaitu persen saturasi oksigen (SaO2) (Soemantri,
2009; Setiati, 2009) .
Oksigen diangkut dalam darah dan dikombinasikan dengan Hb, meskipun terdapat
sejumlah kecil yang secara bebas terlarut dalam fraksi plasma darah. Setiap gram Hb dapat
membawa sekitar 1,34 ml oksigen pada suhu tubuh normal. Oksigen terlarut plasma
berbanding lurus dengan PaO2 . Secara teori, dengan menaikkan kadar hemoglobin melalui
transfusi sel darah merah, maka dapat meningkatkan kapasitas pembawa oksigen darah, dan
memberikan cara yang efektif untuk meningkatan pengiriman oksigen kedalam sel-sel dan
menjadikan perbaikan klinis (Rao, 2002; Walsh, 2006).
Batas nilai hemoglobin agar dapat mentransportasikan oksigen pada anak dengan
penyakit kritis tidaklah dapat didefinisikan secara pasti, karena hal tersebut bergantung juga
pada keadaan tiap-tiap individu. Pada anak yang mengalami anemia mekanisme kompensasi
yang dilakukan tubuh adalah dengan meningkatan CO dan mengekstraksi oksigen untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dalam kadar hemoglobin yang sangat rendah.
Namun hal tersebut tidak terjadi pada pasien dengan perdarahan, dimana mekanisme
kompensasi tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Menurut penelitian Lackritz et al yang dilakukan secara retrospektif pada 2.400 anak di
rumah sakit Kenya, tercatat bahwa 29 % dari semua anak memiliki kadar hemoglobin < 5
g/dL. Sebagian besar anak-anak ini mengalami sakit malaria dan kasus anemia berat (Hb <
5 g/dL) dikaitkan dengan kematian yang meningkat secara signifikan 18 % pada anemia
berat sementara 8 % di kontrol dengan p = .0001 . Di sisi lain, Bojang dkk melakukan
penelitian prospektif 287 anak yang juga dengan malaria dan anemia berat, pada anak-anak
tersebut terdapat 173 anak dengan gangguan pernapasan atau hematokrit < 12% (n=173)
yang mendapat transfusi sel darah merah, dan sisanya 114 anak mendapat transfusi sel darah
merah atau pengobatan zat besi selama 28 hari secara acak. Dua puluh empat anak dalam
penelitian ini meninggal, dimana 23 anak memiliki hematokrit < 12 % . Dan kelompok yang
mendapat terapi besi, 1 anak meninggal dan 10 anak kemudian memerlukan transfusi sel
darah merah. Setelah 28 hari, kadar hemoglobin pada anak-anak yang mendapat terapi besi
meningkat secara signifikan pada dibandingkan dengan yang mendapat transfusi darah ( p =
.02 ). Meskipun anak-anak dalam studi ini mungkin akan sangat berbeda dari pasien anak di
negara-negara yang lebih maju, tetapi peneliti menggarisbawahi risiko besar dari kadar
hemoglobin sangat rendah sebagai suatu mekanisme fisiologis untuk mempertahankan DO2
dalam pengaturan anemia berat pada populasi anak (Lackritz, 1992; Bojang, 1997) .
Pada Symposium On PICU Protocols All India Institute of Medical Sciences dinyatakan
bahwa indikasi dilakukan transfusi sel darah merah pada penyakit kritis adalah sebagai
berikut:
a. Hemoglobin 4 gr/dl atau kurang dari angka tersebut (hematokrit 12%) walaupun
tidak sesuai keadaan klinis
b. Hemoglobin 4-6 g/dl (Hematokrit 13-18%) dengan klinis hipoksia atau asidosis yang
menyebabkan dispneu atau penurunan kesadaran
c. Hematokrit kurang dari 30% atau sedang menggunakan ventilator dengan FiO2 >
0.35
d. Hiperparasitemia pada malaria (> 20%)
e. Klinis decompensasi kordis karena anemia
f. Kondisi anak yang masih belum stabil setelah 2 kali bolus 20cc/kg cairan kristaloid
dan dicurigai adanya kehilangan darah lebih dari 30%.
Pertimbangan transfusi sel darah merah bergantung pada keadaan pasien itu sendiri.
Efek anemia haruslah dibedakan dari keadaan hipovolemia, meskipun keduanya dapat
menghambat pengiriman oksigen jaringan. Kehilangan darah yang lebih dari 30% volume
darah akan menyebabkan gejala klinis yang signifikan, namun resusitasi dengan kristaloid
dapat memberikan hasil yang baik untuk berhasil bahkan kehilangan darah lebih dari 40%
volume darah. Selain itu, anemia normovolemik akut dapat tmbul timbul setelah
mendapatkan resusitasi dengan penggantian volume cairan yang memadai. Oksigenasi
jaringan masih dapat dipertahankan bahkan dengan tingkat hemoglobin serendah 6-7g /dL
pada orang sehat (Uppal, 2010).
Terdapat berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi yang berbeda
mengenai kebijakan transfusi sel darah merah pada anak dengan penyakit kritis. Sebagai
contoh penelitian pada kelompok anak dengan penyakit kritis yang
stable
yang
membandingkan transfusi sel darah merah saat hemoglobin pasien 7 g / dL dengan
kelompok kontrol yang hemoglobin 9 g / dL dengan hasil mortalitas dan tingkat keparahan
penyakit lebih rendah pada kelompok yang mendapat transfusi sel darah merah setelah
hemoglobin 7g/ dl. Sementara kasus anak dengan penyakit jantung memang belum banyak
diteliti namun Jacques Lacroix, MD et al dalam Red Blood Cell Transfusion : Decision
Making in Pediatric Intensive Care Unit menyatakan bahwa batas aman untuk transfusi pada
kasus anak yang stable namun menderita penyakit jantung sianotik, batas kadar hemoglobin
untuk transfusi adalah kurang dari 9 g/dl, sementara pada anak dengan penyakit jantung
asianotik kadar hemoglobin lebih dari 7g/dl. Sedangkan pada anak dengan penyakit jantung
yang unstable tentunya dibutuhkan kadar hemoglobin lebih dari 9 g/dl. Dengan demikian,
transfusi sel darah merah pada penyakit kritis harus disesuaikan dengan kondisi pasien, dan
keputusan untuk transfusi harus dibuat atas dasar karakteristik individu masing-masing
pasien. Sayangnya, ketersediaan uji klinis tentang kebijakan ini belumlah banyak (Tavian,
2005; Lacroix, 2010; Uppal, 2010).
2.c. Komplikasi transfusi sel darah merah
Tidak semua reaksi transfusi sel darah merah dapat dicegah karenanya diperlukan
kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi sel darah merah yang
mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi sel darah merah dan gejalanya
bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih (Bennet,1999).
1. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan
golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi
karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan
diberikan.Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau
tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urin berkurang,
hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan
(shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan atau gagal ginjal akut yang dapat
berakibat kematian (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
2. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi
yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi sel darah merah dilakukan
karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk
meningkatkan
produksi
antibodi
tersebut.
Hemolisis
yang
ekstravaskuler (Buskard,1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
terjadi
biasanya
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada reaksi transfusi hemolitik lambat adalah
demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal
yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi
dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa
pengobatan (Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005; Buskard, 1987).
3. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik
a. Demam
Sembilan puluh persen reaksi transfusi adalah demam dan umumnya bersifat ringan
dan hilang dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi
dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya
sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang
sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi
demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). (Buskard, 1987;Djajadiman, 2002;
Ramelan, 2005).
b. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak
disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan
transfusi sel darah merah. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan
terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di
permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin
(Buskard, 1987; Djajadiman ,2002; Ramelan, 2005).
c. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien
dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer
tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi sel
darah merah dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran
napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah
angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan
renjatan (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
4. Efek samping lain dan resiko lain transfusi sel darah merah
a. Transfusion Acute Lung Injury (TRALI)
Transfusion acute lung injury merupakan komplikasi yang berpotensi fatal akibat
transfusi produk darah. TRALI dapat terjadi baik pada transfusi satu atau pun lebih
unit produk darah. Berbagai penelitian telah memperkirakan insiden terjadinya
TRALI antara 1 / 1.120 dan 1 / 5.000 unit transfusi (Kleinman, 2004; Toy, 2007;
Marik, 2008).
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan Canadian
Consensus Conference TRALI adalah cedera paru akut yang baru atau sindrom
gangguan pernapasan akut yang terjadi selama atau dalam waktu enam jam setelah
pemberian produk darah tanpa ada faktor resiko yang dapat menyebabkan cedera
paru. Faktor- faktor resiko ini yakni pneumonia, sepsis yang disebabkan akibat
penyakit paru, aspirasi, transfusi darah berulang , tenggelam, Disseminated
intravascular coagulation, patah tulang panjang atau pelvis, luka bakar, baypass
kardiopulmoner. Untuk menegakkan diagnosis dari TRALI penting untuk kita
ketahui definisi cedera paru akut atau acute lung injury (ALI) menurut the European
Society of Intensive Care Medicine:
-
Waktu onset akut: 7 hari
-
Rontgen dada gambaran radioopac yang bukan merupakan efusi, kolaps paru
ataupun nodul paru dan edema paru bukan berasal dari gagal jantung.
-
Hipoksemia: Rasio PaO2 / FIO2 ≤ 300 mm Hg tanpa menggunakan paek end
expiratory pressure (PEEP) ataupun continous positive airway pressure (CPAP)
≥5 cmH2O (Kleinman, 2004 ;Toy, 2007; Marik, 2008).
b. Penularan penyakit Infeksi seperti infeksi virus hepatitis, AIDS (Acquired Immune
Deficiency syndrome),infeksi CMV, dan penyakit infeksi lain yang jarang. Selain itu
beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi sel darah
merah adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit
chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD (Creutzfeldt Jakob
Disease).
c. GVHD(Graft versus Host disease)
GVHD merupakan reaksi atau efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien
dengan imunosupresif atau pada bayi prematur. Hal ini terjadi oleh karena limfosit
donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen
penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen sel darah merah
yang diradiasi atau dengan leukosit rendah (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002;
Ramelan , 2005).
3. Anatomi paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru
dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut. Selanjutnya pada groove ini terbentuk
dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian
proksimal foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esophagus dan trakea. Pada
perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung
bud merupakan cikal bakal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah
embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan
jumlahnya terus meningkat hingga anak berusia 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar
sesuai dengan perkembangan dinding thoraks.
3.a. Saluran Pernafasan
Pernafasan atau respirasi adalah proses menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen
kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbon dioksida
sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Secara fungsional saluran pernafasan dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Zona konduksi
Zona ini berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara pernafasan, serta
membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu pernafasan dengan suhu tubuh.
Disamping itu zona konduksi juga berperan pada proses pembentukan suara. Zona ini
terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkiolus terminalis.
1) Hidung
Rambut, zat mukus serta silia yang bergerak kearah faring berperan sebagai sistem
pembersih hidung. Fungsi pembersih udara ini ditunjang oleh konka nasalis yang
menimbulkan turbulensi aliran udara sehingga dapat mengendapkan partikel-partikel
dari udara yang seterusnya akan diikat oleh zat mukus. Sistem turbulensi udara ini
dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari 4 mikron.
2) Faring
Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernafasan bagian atas.
Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta laringofaring.
3) Trakea
Trakea berarti pipa udara. Trakea juga dapat dijuluki sebagai eskalator mukosiliaris
karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat oleh zat mukus
kearah faring yang kemudian dapat dikeluarkan.
4) Bronkus
Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan dan kiri.
Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih horizontal bila
dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing
lebih mudah masuk ke paru kanan daripada kiri. Trakea dan bronkus terdiri dari
tulang rawan dan dilapisi oleh epitel bersilia yang mengandung mukus dan kelenjar
serosa. Bronkus kemudian akan bercabang menjadi bagian yang lebih kecil dan halus
yaitu bronkiolus. Bronkiolus dilapisi oleh epitel bersilia namun tidak mengandung
jaringan tulang rawan.
b. Zona respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli. Pertukaran udara dan darah terjadi dalam alveoli
melewati membran respiratorius (Budiono, 2008).
3.b. Membran respiratorius
Membran respiratorius atau membran paru atau membran alveolokapiler adalah jaringan
yang memisahkan kapiler darah dari alveoli. Pertukaran gas antara alveoli dan peredaran
darah paru terjadi melalui membran di seluruh bagian terminal paru, tidak hanya dalam
alveoli itu sendiri. Membran ini secara bersama-sama dikenal sebagai membran
respiratorius. Membran respiratorius secara ultra struktur, terdiri dari 6 lapisan. Lapisan
pertama adalah surfaktan paru dan cairan yang melapisi alveolar, lapisan kedua merupakan
sel epitel alveolar, lapisan ketiga adalah membrana basalis alveolar, lapisan keempat berupa
ruang interstitial tipis antara epitel dan sel endotel, lapisan kelima adalah membrana basalis
sel endotel kapiler, dan lapisan keenam adalah sel endotel kapiler (Guyton, 2006; Khurana,
2008).
Fungsi utama membran respiratorius adalah untuk pertukaran antara gas darah dan gas
alveolar. Pertukaran gas hanya melibatkan CO2 dan O2, tidak melibatkan nitrogen serta gas
inert lainnya. Pertukaran CO2 dan O2 melalui membran alveolar kapiler adalah dengan cara
difusi pasif dari daerah yang bertekanan gas tinggi ke tekanan gas rendah. Molekul gas di
paru harus berdifusi melewati membran kapiler-alveolar yang terdiri dari cairan yang
membatasi membran intra alveolar, sel epitel alveolus, membran basal alveolus, ruang
interstitium, membran basal endotel kapiler, endotel kapiler, plasma darah di kapiler,
membran eritrosit, dan cairan intraselular dalam eritrosit sampai bertemu dengan molekul
hemoglobin ( Martin, 1999; Jardins, 2002; Guazzi, 2003).
4. Alveolar-Arterial Oxygen Tension Difference (AaDO2)
Perbedaan tekanan parsial oksigen antara dua tingkat disebut sebagai gradien. Perbedaan
antara PAO2 dan PaO2 disebut dengan AaDO2. Selisih antara PAO2 dan PaO2 umumnya
disebut sebagai gradien A-a. Gradien merupakan istilah yang kurang tepat karena perbedaan
tidak terjadi akibat gradien difusi. Perbedaan biasanya terjadi akibat ketidaksesuaian V-Q
(ventilasi-perfusi) dan atau pirau darah dari kanan ke kiri melalui alveoli yang mengalami
ventilasi sehingga selisih O2 A-a merupakan istilah yang lebih tepat (Tisi, 1980; Martin,
2014).
4.a. Tekanan parsial oksigen arteri
Tekanan parsial oksigen arteri mencerminkan pertukaran gas di paru dan menentukan
keadaan oksigenasi darah arteri. Tekanan parsial oksigen arteri ditentukan oleh PiO2, PaCO2
dan arsitektur paru. Gangguan fisiologis arsitektur paru paling banyak adalah kelainan
ventilasi perfusi dan jarang oleh karena blok difusi dan pirau anatomis kanan ke kiri.
Tekanan parsial oksigen arteri biasanya menurun sesuai dengan usia karena penurunan
elastisitas
paru
pada
orang
tua
sehingga
menghasilkan
ketidaksesuaian
V/Q
(ventilasi/perfusi)yang lebih besar. Nilai PaO2 yang diharapkan saat bernapas dengan udara
di permukaan laut dapat dihitung dengan persamaan: PaO2 = 100 - (usia x 0,25) (Tisi,
1980;Verma, 2010).
Nilai PaO2 kurang dari yang diharapkan menunjukkan hipoksemia yang dapat
disebabkan oleh hipoventilasi atau ketidaksesuaian V/Q. Hipoksemia arterial terjadi apabila
PaO2 arterial berada di bawah rentang normal. Kadar PaO2 kurang dari 80 mmHg dianggap
abnormal (Cloutier, 2007; Verma, 2010).
Nilai PaO2 turun sebesar 3 mmHg pada setiap ketinggian 300 meter di atas permukaan
laut. Kenaikan atau penurunan suhu setiap satu derajat celcius, akan menyebabkan nilai
PaO2 meningkat atau menurun sebesar 5%. Tekanan parsial oksigen arteri juga akan
meningkat atau menurun sebesar 10% untuk setiap penurunan atau peningkatan pH sebesar
0,1 (Hore, 2009).
Tekanan parsial oksigen arteri merupakan penentu utama saturasi oksigen arteri (SaO2).
Hubugan antara PaO2 dan SaO2 ditunjukkan dengan kurva disosiasi oksigen yang berbentuk
sigmoid. Saturasi oksigen arteri adalah persentase ikatan hemoglobin dengan oksigen dalam
darah arteri. Kurva disosiasi O2 dipengaruhi oleh PaCO2, suhu tubuh, pH dan berbagai faktor
lain. Anemia tidak mempengaruhi SaO2 karena SaO2 tidak terpengaruh oleh kandungan
hemoglobin. Kurva disosiasi oksihemoglobin memperlihatkan ciri-ciri yang menarik dimana
kurva meninggi pada PaO2 sekitar 50 mmHg dan mendatar pada PaO2 sebesar 70 mmHg.
Pada tekanan parsial di bawah 60 mmHg,O2 siap berikatan dengan Hb sehingga PaO2
mengalami peningkatan. Saturasi 90% akan didapatkan pada PaO2 sebesar 60 mmHg.
Peningkatan PaO2 di atas nilai ini akan memberikan sedikit pengaruh terhadap saturasi Hb
dan peningkatan PaO2 dari 60-100 mmHg akan meningkatkan saturasi Hb sebesar 7% (Tisi,
1980; Cloutier, 2007).
4.b. Tekanan parsial oksigen alveolar (PAO2)
Oksigen yang berasal dari atmosfer masuk kedalam alveolar dan akan diedarkan melalui
pembuluh darah. Konsentrasi dari PO2 alveolar diatur oleh keseimbangan absorpsi ke dalam
darah dan proses ventilasi.
Tekanan parsial oksigen arterial yang diharapkan dapat ditentukan dengan menghitung
PAO2. Tekanan parsial oksigen alveolar lebih besar daripada tekanan oksigin arteri bahkan
pada orang normal dan selisih keduanya disebut AaDO2. Oksigen masuk ke dalam kapiler
paru dengan cara difusi sehingga PAO2 harus menjadi penentu utama dari PaO2 dan kapiler
paru. Tekanan parsial oksigen alveolar menentukan batas atas dari PaO2 sehingga nilai PaO2
tidak dapat lebih tinggi daripada PAO2.(Martin 1999,Weinberger 2008)
4.c. Kepentingan menilai AaDO2
Alveolar-arterial oxygen tension difference (AaDO2) adalah suatu cara sederhana untuk
mengukur perubahan antara alveolus dan pembuluh darah arteri. Pengukuran AaDO2
memiliki kegunaan tinggi untuk memprediksi mortalitas jangka pendek. Alveolar-arterial
oxygen tension difference juga sering digunakan dalam mengevaluasi penyakit paru. Hasil
pemeriksaan AaDO2 serial bermanfaat untuk menunjukkan progresifitas penyakit paru,
digunakan sebagai petunjuk untuk memberikan bantuan pernapasan dan memulai
penyapihan ventilator (Sinder, 1973;Casado, 2012; Hsu, 2006).
Gagal napas disebut sebagai tipe I apabila terdapat hipoksemia tanpa retensi CO2 dan
tipe II apabila terdapat hiperkapnea. Penghitungan AaDO2 pada gagal napas tipe II akan
membantu menentukan apakah pasien mempunyai penyakit paru atau karena berkurangnya
usaha pernapasan. Alveolar-arterial oxygen tension difference merupakan dasar untuk
memahami hipoksemia arterial (Williams, 1998; Martin, 2014).
Abnormalitas PaO2 dapat terjadi dengan atau tanpa disertai oleh AaDO2 abnormal.
Hubungan antara PaO2 dan AaDO2 bermanfaat untuk menentukan penyebab abnormalitas
PaO2 dan memperkirakan respons terhadap terapi terutama pemberian suplementasi oksigen.
Nilai AaDO2 harus diukur sebagai bagian dari setiap analisis gas darah. Informasi ini
selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan penyebab dari suatu abnormalitas O2 arterial
(Cloutier, 2007).
4.d. Nilai normal AaDO2
Perbedaan PAO2 dan PaO2 pada orang muda yang menghirup udara ruangan normalnya
adalah 5 sampai 15 mmHg. Nilai ini meningkat sekitar 3 mmHg setiap dekade sepanjang
hidup sehingga AaDO2 di bawah 25 mmHg dianggap sebagai batas atas dari nilai normal.
Nilai AaDO2 bervariasi menurut usia dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pertambahan usia
akan meningkatan AaDO2 dikarenakan PaO2 menurun secara progesif tanpa perubahan
PAO2. Pada usia 20-70 tahun AaDO2 meningkat sekitar 20 mm Hg (Levintzky, 1999;
Jardins, 2002; Cloutier, 2007; Marino, 2007).
Alveolar-arterial oxygen tension difference dapat ditemukan pada setiap individu karena
dua alasan. Alasan yang pertama yaitu terdapat hubungan anatomis yang menyebabkan
masuknya sejumlah kecil darah vena sistemik dari ventrikel kanan dan vena bronkialis ke
dalam darah vena pulmonal. Darah yang sudah terdesaturasi dari berbagai sumber ini akan
menurunkan tekanan O2 pada darah arteri. Alasan kedua karena gradien ventilasi-perfusi dari
atas sampai dasar paru akan menghasilkan darah yang kurang memperoleh oksigenasi pada
bagian basal paru dikombinasikan dengan darah yang memperoleh oksigenasi lebih baik
pada apek paru. Efek gravitasi pada sirkulasi pulmonal dengan tekanan rendah merupakan
salah satu mekanisme penting yang menyebabkan ketidaksesuaian V/Q (ventilasi/perfusi)
pada orang normal (Sinder, 1973; Weinberger, 2008).
4.e. Penghitungan AaDO2
Penilaian efisiensi oksigenasi membutuhkan pengetahuan mengenai konsentrasi O2 yang
dihirup, PaO2 dan PaCO2 dalam darah arteri. Alveolar-arterial oxygen tension difference
dapat dihitung jika fraksi oksigen udara yang dihirup (FiO2), PB dan PH2O diketahui
(Verma, 2010).
Alveolar-arterial oxygen tension difference dapat dihitung dengan mengurangi antara
PAO2, namun untuk menghitung PAO2 diperlukan mengetahui nilai PaO2 dan PaCO2 dalam
gas darah arteri, menghitung PAO2 . Alveolar-arterial oxygen tension difference orang sehat
yang bernapas pada udara ruang setinggi permukaan laut,PB (tekanan barometrik)= 760 mm
Hg,sementara PH2O (tekanan hidrostatik)= 47 mmHg. Nilai AaDO2 dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Conham, 2011; Martin, 2014).:
AaDO2 = FiO2 ((PB - Pins) – PH2O)-1.2 (PaCO2)) – PaO2
Tanpa ventilator:
AaDO2 = (FiO2 (PB - PH2O) – 1.2 PaCO2)) – PaO2
5. Rasio PaO2 dan FiO2
Rasio PaO2/FiO2 merupakan perbandingan antara tekanan parsial oksigen arteri dengan
fraksi oksigen inspirasi. Rasio ini merupakan manifestasi efisiensi oksigenasi arterial dengan
kata lain rasio ini merupakan indikator terjadinya hipoksemia pada tubuh. Karenanya rasio
ini banyak digunakan terutama pada pasien dengan penyakit kritis. Rasio ini dapat digunakan
untuk mendefinisikan atau mengetahui adanya acute lung injury ataupun acute respiratory
distress syndrome yang disebabkan baik dari pulmonar ataupun ekstrapulmonar yang salah
satunya transfusi sel darah merah. Selain untuk mengetahui keadaan paru-paru rasio ini
digunakan untuk bahan pertimbangan untuk stategi pengaturan penggunanan alat bantu
pernafasan. Nilai normal dari rasio ini berkisar >300-500mmHg, dibawah dari nilai normal
tersebut menandakan paru mengalami cedera paru yang menyebabkan gangguan dalam
pengedaran oksigen keseluruh tubuh. Cedera paru berdasarkan definisi Berlin memiliki
kriteria (Ferguson et al, 2012; Fanelli, 2013; Broccard, 2013):
1. Waktu: terjadi perburukan selama 1 minggu
2. Radiologi: terdapat bilateral opasitas pada paru
3. Asal edema paru: murni berdasarkan dari paru bukan dari jantung
4. Oksigenasi :
Ringan : 200< PaO2/FiO2≤ 300mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O
Sedang : 100< PaO2/FiO2≤ 200mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O
Berat
: PaO2/FiO2≤ 100mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O.
Penyebab tersering yang dapat menyebabkan penurunan rasio PaO2/FiO2 :
1. Pulmonar (direk)
a. Pneumonia
b. Aspirasi
c. Aspirasi hidrokarbon
d. Cedera inhalasi
e. Kontusio paru
2. Ekstrapulmonar ( indirek)
a. Sepsis
b. Pankreatitis
c. Trauma
d. Transfusi
e. Nyaris tenggelam
6. Hubungan antara transfusi darah dengan AaDO2 dan Rasio PaO2/FiO2
Pada anak dengan penyakit kritis mengalami kehilangan darah yang bersifat iatrogenic dan
juga dikarenakan penyakit yang mendasarinya. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut maka
transfusi sel darah merah umum dilakukan dan dipercayai dapat memperbaiki status respirasi
pasien. Anak dengan penyakit kritis di ruangan pediatric intensive care unit umumnya
terindikasi untuk mendapatkan transfusi sel darah merah dengan berbagai alasan diantaranya
adalah untuk menjaga kadar hemoglobin guna meningkatkan transportasi oksigen dalam
tubuh. Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin. Hemoglobin
berfungsi membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin yang
akan diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolism (Istaphonous, 2011).
Menurut Martin dalam rules on oxygen theraphy anemia tidak mempengaruhi SaO2
karena
SaO2
tidak
terpengaruh
oleh
kandungan
hemoglobin. Kurva
disosiasi
oksihemoglobin, memperlihatkan ciri-ciri yang menarik, dimana Kurva meninggi pada PO2
sekitar 50 mmHg dan mendatar pada PO2 sebesar 70 mmHg, pada tekanan parsial di bawah
60 mmHg oksigen siap berikatan dengan Hb sehingga PO2 mengalami peningkatan (bagian
linear dari kurva). Hemoglobin tersaturasi 90% pada PO2 sebesar 60 mmHg, peningkatan
PO2 di atas nilai ini akan memberikan sedikit pengaruh terhadap saturasi Hb dan peningkatan
PO2 dari 60-100 mmHg akan meningkatkan saturasi Hb sebesar 7%. Pemeriksaan AaDO2
serial
bermanfaat
ddigunakan
sebagai
petunjuk
untuk
memberikan
bantuan
pernapasan,dimana terdapat perbedaan bermakna pada saat sebelum transfusi dan 24 jam
sesudah transfusi (Tisi, 1980; Kraner, 2000; Cloutier, 2007;).
Tidak semua reaksi transfusi sel darah merah dapat dicegah. Ada langkah-langkah
tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi sel darah merah,
walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap
reaksi transfusi sel darah merah yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi
dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Salah satu reaksi
transfusi sel darah merah yang memberikan dampak yang berbahaya bagi resipien adalah
transfusion-related acute lung injury (TRALI) yang mana menurut definisi Berlin TRALI
merupakan mild acute respiratory distress syndrome dengan kriteria rasio PaO2/FiO2 200300mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O . Menurut Food and Drug Administration, TRALI
merupakan penyebab kematian utama akibat transfusi sel darah merah berkisar 5-20% sejak
tahun 2005-2009. Menurut P.Toy, dkk dalam National Heart Lung and Blood Institute
Working Group on TRALI:definition and review, definisi dari TRALI yaitu bila terdapat
bukti radiologis terjadinya edema pulmo dan hipoksia pada pasien setelah mendapatkan
transfusi lebih dari 6 jam. Patofiologi terjadinya TRALI terbaru dikenal dengan “two hit
mechanism” atau dua mekanisme klinis independen, yang pertama adalah terkait dengan
kondisi klinis pasien (infeksi, pelepasan sitokin, operasi, atau penggunaan ventilator) yang
menyebabkan aktivasi endotel paru yang berujung pada edema alveolar. Kejadian kedua
adalah seiring masuknya darah dari donor terdapat pula pemasukan Human Leukosit
Antigen class 1 (HLA) dan Human Netrofil Antigen (HNA) antibodi ataupun bioactive
modifier (misalkan lipid) yang menyebabkan aktivasi neutrofil sehingga dapat merusak
pembuluh darah paru yang menyebabkan kerusakan endotel dan kebocoran kapiler. Namun
akhir-akhir ini ditemukan hipotesis ketiga menunjukkan bahwa terdapat kadar yang tinggi
dari vascular endothelial growth factors (VEGF) atau antibodi terhadap antigen HLA kelas
II yang berada di endotel vaskular paru akibat dari transfusi sel darah merah dapat langsung
menyebabkan perubahan bentuk endotel (Kaner, 2000; Triulzi, 2009; Weiskop, 2012;
Fanelli, 2013).
Pemberian tranfusi tidaklah selalu memberikan efek TRALI, namun pemeberian
transfusi darah dapat memberikan efek pengurangan fungsi paru yang tidak terlihat jelas dan
hal inilah yang sering luput dari pemantauan para klinisi dan belum diteliti. Transfusi darah
dapat memicu pelepasaan berbagai sitokin dalam tubuh, dan sitokin yang berpengaruh
terhadap pertukaran oksigen adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) yang akan
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan menyebabkan edema
intersisial serta alveolar (Kaner, 2000; Weiskop, 2012).
Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah protein yang diproduksi oleh sel yang
merangsang vaskulogenesis dan angiogenesis. VEGF umumnya diproduksi pada sel paru
dan dapat memberikan pasokan oksigen ke jaringan ketika sirkulasi darah tidak memadai.
Fungsi utama VEGF adalah untuk menciptakan pembuluh darah baru. Ketika VEGF
diekspresikan berlebihan maka dapat berkontribusi terhadap penyakit dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Efek tersebut baru terjadi lebih dari 6 jam setelah VEGF
diproduksi (Mura, 2010).
Peningkatan AaDO2 merupakan salah satu penanda pertukaran O2 yang abnormal.
AaDO2 merupakan parameter yang paling menggambarkan pertukaran oksigen pada alveolar
dan kapiler. Peningkatan AaDO2 saat sakit dapat disebabkan karena tiga faktor. Faktor pirau
anatomis akan menyebabkan beberapa darah yang sudah mengalami desaturasi akan
bercampur dengan darah bersaturasi penuh dan menurunkan PO2 pada darah arteri.
Penyebab umum pirau adalah sebagai berikut:
1. Lesi intrakardiak dengan adanya pirau dari kanan ke kiri di atrium atau ventrikel seperti
pada defek septum atrium atau ventrikel. Pirai kiri ke kanan dapat menghasilkan efek
jangka panjang pada jantung namun hal ini tidak mempengaruhi AaDO2 atau PO2
arteri karena efek dasarnya adalah mengolah kembali darah yang sudah mengalami
oksigenasi melalui pembuluh darah paru dan bukan mengencerkan
sudah mengalami
darah
yang
oksigenasi dengan darah yang sudah mengalami desaturasi.
2. Abnormalitas struktural pembuluh darah paru yang menyebabkan terjadinya hubungan
langsung
antara
sistem
arteri
dan
vena pulmonal seperti pada malformasi
arteriovenosa pulmonal.
3. Penyakit pulmonal yang menyebabkan ruang alveolar terisi cairan seperti pada edema
pulmonal atau kolaps alveolar total. Kedua proses ini dapat menyebabkan hilangnya
proses ventilasi di alveoli yang mengalami kelainan walaupun sejumlah proses perfusi
melalui kapiler di sekelilingnya mungkin masih berlanjut (Lee, 2004; Cloutier, 2007;
Weinberger, 2008).
Pertukaran CO2 dan O2 melalui membran alveolar kapiler berjalan dengan cara difusi
pasif dari daerah yang bertekanan gas tinggi ke tekanan gas rendah. Molekul gas di paru
harus berdifusi melewati membran kapiler-alveolar yang terdiri dari cairan yang membatasi
membran intra alveolar, sel epitel alveolus, membran basal alveolus, ruang interstitium,
membran basal endotel kapiler, endotel kapiler, plasma darah di kapiler, membran eritrosit,
dan cairan intraselular dalam eritrosit sampai bertemu dengan molekul hemoglobin.Bila
terjadi edema pulmonal yang disebabkan efek dari transfusi darah yang di induksi oleh
sitokin VEGF maka akan menyebabkan hambatan proses difusi aliran gas dalam paru
sehingga tekanan parsial alveolar lebih tinggi dibandingkan tekanan alveolar di kapiler dan
akan meningkatkan nilai AaDO2 (Martin, 1999; Jardins, 2002; Budiono, 2008).
B. Kerangka Berfikir
Keterangan :
Pada anak dengan penyakit kritis dapat terjadi anemia yang disebabkan karena hemodilusi,
iatrogenic anemia, pelepasan interleukin, perdarahan aktif, dan phlebotomi. Hal- hal tersebut
yang menyebabkan tindakan transfusi darah harus dilakukan, namun transfusi darah dapat
menyebabkan reaksi first hit, second hit dan produksi vascular endothelial growth factor
(VEGF) dimana VEGF ini akan memicu peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan peningkatan cairan ekstravaskuler kedalam paru sehingga menyebabkan
edema alveolar yang berujung pada hambatan pertukaran udara di paru yang dapat dilihat
dari nilai AaDO2 dan rasio PaO2/FiO2
C. Hipotesis
Terdapat pengaruh transfusi darah merah terhadap terhadap nilai Alveolar-arterial oxygen
tension Difference (AaDO2) pada anak dengan penyakit kritis.
Download