2. Studi Perkembangan Saluran Pencernaan Larva

advertisement
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
AQUAWARMAN
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI AKUAKULTUR
Alamat : Jl. Gn. Tabur. Kampus Gn. Kelua. Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
Studi Perkembangan Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok
(Anabas testudineus)
Study on Digestive Tract Development of Climbing Perch (Anabas Testudineus)
larval
Syaiful Akram1), Adi Susanto2), Sumoharjo3)
1),
2), 3)
Mahasiswa Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman
e-mail : [email protected]
Abstract
Low survival rate of fish larva of climbing perch (Anabas testudineus) is a major obstacle in fish
hatchery operations due to the lack of precise handling in the larvae nursering. Improper
feeding the larvae mouth opening otherwise it delays provision and external feeding also be a
cause of premature death of larval climbing perch. The study aims to figure out the
development of the digestive tract of climbing perch larvae from hatching to death, so it can be
known when the larvae readiness to get food from outside. This research was conducted in two
stages where the spawning and nursery phase and histologycal analisys of its digestive track
development. The results of the study showed that the climbing perch larvae were ready to get
food from the outside on the third day, doe to its egg yolk were runing out on the third day. On
the fifth day showing a drastic decline in larvae digestive tract. This is because of the lack of
food supplies from outside taken into the body of larvae. Finally, on the eighth day occured of
mass mortality. Shown a focal necrosis in liver tissue, intestinal villi were low and is lifting
muscle fibers. Starved larvae will survive only in 8-10 days.
Keywords : digestive tract, fish larvae, egg yolks, climbing perch, histology.
I.
LATAR BELAKANG
Ikan betok merupakan jenis ikan rawa,
yaitu ikan yang memiliki ketahanan terhadap
tekanan lingkungan. Ikan betok merupakan
ikan asli Indonesia yang hidup pada habitat
perairan tawar dan payau (Akbar dan Nur,
2008). Di samping itu, ikan ini umumnya
ditemukan di rawa, sawah dan parit, juga
pada kolam yang mendapatkan air atau
berhubungan dengan saluran air terbuka
(Anonim, 2006).
Salah satu kendala dalam pemeliharaan
larva ikan betok adalah tingkat kelangsungan
hidup yang rendah. Hal ini disebabkan oleh
belum diketahuinya periode kritis larva di
mana larva siap beralih dari kuning telur
kepakan dari luar.
Periode kehidupan ikan betok dari
setelah menetas sampai pada masa peralihan
endogenous feeding ke exogenous feeding
7
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
merupakan periode kritis pada awal
kehidupan ikan. Masa peralihan ini berkaitan
erat dengan kemampuan larva dalam
menerima
makanan
yang
diberikan.
Kemampuan larva menerima makanan dari
luar sangat tergantung kepada bukaan mulut
dan perkembangan morfologi dan fisiologi
pencernaan larva, serta ketersediaan pakan
yang sesuai (Kamler, 1992 dalam Marlinda,
2001).
Satu di antara faktor kegagalan
pembudidayaan ikan betok pada pembenihan
disebabkan oleh pemeliharaan larva yang
kurang tepat, yaitu pemberian pakan yang
tidak sesuai dengan bukaan mulut larva.
Selain itu, mayoritas pembudidaya belum
mengetahui pasti kapan larva tersebut siap
untuk mengambil makanan dari luar
menyebabkan pemberian pakan alami untuk
larva relatif lambat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
peneliti berkeinginan untuk mengetahui
perkembangan saluran pencernaan larva ikan
betok, agar dapat memberikan informasi
tentang saat yang tepat dalam rangka
penyediaan pakan dari luar.
II. METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Toksikologi dan Laboratorium
pengembangan ikan lokal (fish house)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Mulawarman dari bulan Juli
sampai Agustus 2013.
B.
Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini, terdiri atas dua tahap
kegiatan yaitu:
1. Peralatan dan bahan untuk pemijahan ikan
betok: 4 akuarium, selang aerasi, batu
aerasi, pipa paralon, blower, jarum suntik
1 ml, timbangan analitik, induk betina ikan
betok sebanyak 1 ekor dengan bobot 52 g,
induk ikan jantan sebanyak 3 ekor dengan
bobot rata-rata 24 g, telur ikan betok,
larva ikan betok, natrium klorida 0,9%,
ovaprim.
2. Peralatan dan bahan untuk analisis
histologi: objek glass, cover glass 20x20
mm, pipet tetes, tissu, botol kaca, beaker
glass, jarum oase, spatula, kertas saring,
kertas filter, karton blok, oven,
microtome, dan mikroskop, kamera digital
dan triport, , larutan bouin, alkohol 30%,
alkohol 40%, alkohol 50%, alkohol 60%,
alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%,
alkohol 95%, alkohol absolut, larutan xylol,
parafin, larutan hematoxylin, larutan
eosin, kuning telur, dan akuades.
C. Pemeliharaan, Pemijahan
Penetasan Telur
Induk
dan
Induk ikan betok dipelihara di wadah bak
beton berukuran 1 x 2,5 m ketinggian air 60
cm dengan volume air 1,5 ton. Pemeliharaan
dilakukan selama 30 hari dengan frekuensi
pemberian pakan 2 kali sehari pada pagi dan
sore hari. Pakan yang diberikan adalah pelet
tenggelam produk CP Prima dengan
kandungan protein 25%, lemak 3-5%, serat
basah 4-6%, dan air 11-13%. Induk yang telah
matang gonad jantan dan betina diseleksi
dari bak induk pemeliharaan. Diperoleh satu
ekor induk betina dengan berat 52 g dan 3
ekor induk jantan dengan berat masingmasing berkisar 24 g. Pelaksanaan pemijahan
dilakukan dengan metode pijah rangsang
melalui penyuntikan hormon ovaprim. Induk
betina dan jantan disuntik hanya sekali pada
waktu yang bersamaan. Dosis ovaprim yang
digunakan 0,50 ml/kg berat badan ikan.
Setelah memijah, induk segera diangkat
dengan hati-hati dan dipindahkan ke
akuarium yang telah dipersiapkan. Telur yang
terbuahi akan berwarna transparan, dan telur
yang tidak terbuahi akan berwarna putih susu
dan harus segera dipisahkan. Telur akan
menetas menjadi larva setelah 12 jam
kemudian.
D. Pemeliharaan Larva
Larva yang telah menetas dipindahkan
ke akuarium yang telah disiapkan. Akuarium
berjumlah empat buah dengan ukuran
masing-masing akuarium berukuran 24 x 24 x
8
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
25 cm dengan volume air 10 L, larva yang
dipindahkan ke empat akuarium tersebut
hanya
sebagian kecil dari larva yang
menetas, ini bertujuan agar menghindari jika
terjadi kematian secara massal bertahap
maupun serentak di satu wadah. Larva yang
dipelihara baru diberi pakan setelah umur 3
hari. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 2
sampai 3 kali sehari, untuk aerasi diberikan
dalam kondisi sedang.
Bahan
Campuran Xylol
dan Parafin
Parafin 1
Parafin 2
Parafin 3
E.
Waktu
Selama 60 menit
Selama 60 menit
Selama 60 menit
Selama 60 menit
Pengambilan Sampel
Larva yang akan diamati perkembangan
saluran pencernaannya diambil sebanyak 15
sampai 20 ekor secara acak untuk preparasi
histologi melalui metode mikroteknik.
Pengambilan sampel dilakukan dari hari ke 1
hingga hari ke 8 menggunakan pipet tetes
agar lebih memudahkan.
F.
Pembuatan Preparat Histologi
1. Tahap Fiksasi
Sampel larva dimasukkan ke dalam botol
kecil yang berisi larutan fiksatif bouin dan
dibiarkan selama 3 sampai 5 jam.
1. Tahap Pencucian
Sampel larva kemudian masuk pada
tahap pencucian dengan menggunakan
alkohol 70% hingga warna kuning hilang.
Pencucian dilakukan dengan mengoyanggoyangkan botol penyimpanan, selanjutnya
dibiarkan selama 24 jam. kemudian akan
masuk ke tahapan selanjutnya yaitu tahap
Bahan
Waktu
Alkohol 70%
4 x 30 menit
Alkohol 80%
2 x 30 menit
Alkohol 90%
2 x 30 menit
Alkohol 95%
1 x 30 menit
Alkohol Absolut
1 x 30 menit
dehidrasi.
Tahap Dehidrasi Untuk dehidrasi
langsung menggunakan alkohol bertingkat.
Langkah- langkah dan waktu yang digunakan
untuk dehidrasi dapat dilihat pada tabel 1.
3. Tahap Penjernihan
Untuk
menjernihkan,
spesimen
dimasukkan ke dalam larutan Xylol dan
dibiarkan selama 24 jam hingga terlihat
transparan.
4. Tahap Infiltrasi
Specimen dimasukkan ke dalam parafin
cair secara bertahap pada suhu 63 0C.
Adapun langkah-langkah, waktu dan bahan
yang digunakan dalam infiltrasi dapat dilihat
pada Tabel 2.
5. Tahap Penanaman
Penanaman
dengan
menggunakan
parafin 113 ppm yang dicetak pada blok
karton dan dibiarkan selama 24 jam sampai
parafin kembali menjadi padat.
6. Tahap Pemotongan
Preparat
ditempelkan
ke
holderMicrotome
kemudian
dilakukan
pemotongan dengan hati-hati dan perlahan
(merata),
ini
bertujuan
agar
hasil
pemotongan tidak terlalu tebal ataupun
terlipat, hingga sesuai dengan hasil irisan
yang diinginkan yaitu 4 mikron.
7. Tahap Afixxing
Hasil potongan spesimen diletakkan di
permukaan air hangat, ini bertujuan agar
parafin yang tergulung bisa menjadi lurus.
Selanjutnya potongan parafin ditempelkan
pada objek glass yang telah diberi albumin
telur + gliserol yang berguna sebagai perekat
agar organ atau larva tidak hilang atau
terlepas pada proses pewarnaan. Objek
glass diletakkan di atas hot plate dengan
suhu 63 0C guna mencairkan parafin.
2. Tahap Dehidrasi
9
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
8. Tahap pewarnaan
Tahap
pewarnaan
rnaan
menggunakan
Hematoxylin
dan
Eosin
(LEESON,
C.Roland,2009).
9.
Tahap Pemotretan
Preparat
reparat yang dianggap baik di
dokumentasikan
dengan
menggunakan
metode mikrofotografi untuk melihat
perkembangan saluran pencernaan ikan
betok (A. testudineus).
(A)
G.
Pengumpulan
ngumpulan dan Analisis data
Preparat histologi yang telah dibuat,
diamati di mikroskop dengan pembesaran
100x sampai 400x. gambar preparat yang
dianggap baik didokumentasikan kemudian
dianalisis
secara
deskriptif,
untuk
mengidentifikasi perkembangan saluran
pencernaan larva ikan betok. Selanjutnya di
lakukan perbandingan dengan jenis ikan lain
sesuai literatur yang ada.
(B)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis histologi menunjukkan
bahwa saluran pencernaan larva ikan betok
pada hari ke -1
1 masih sederhana, ginjal masih
berbentuk tabung lurus, lambung belum
berbentuk, dan usus belum berbentuk villi.
Kantung kuning telur berbentuk bulat besar,
dan
an larva masih mengambil sumber energi
dari kuning telur tersebut. Dari hasil
penelitian Usman dkk, 2003 pada larva ikan
kerapu bebek pada 24 jam pertama (1 hari)
setelah menetas larva belum aktif bergerak
dan organ-organ
organ tubuh lainnya belum
berkembang, sumber
mber nutrien dari kuning
telur lebih banyak digunakan untuk
pemeliharaan
araan dan pertumbuhan panjang
(Gambar 1 A).
Pada hari ke -2
2 saluran pencernaan mulai
berkembang, lekukan usus bagian
bag
dalam
mulai terbentuk villi.. Pada umur 2 hari ini
larva sudah mulai siap
p untukmendapatkan
untuk
makan dari luar, walaupun lambung belum
terlihat dan sumber energi masih ada.
Menurut Lauff dan Hofer (1984), struktur
morfologis saluran pencernaan yang masih
(C)
Gambar 1. Perkembangan saluran pencernaan larva
ikan betok (Anabas
Anabas testudineusi).
testudineusi Larva umur hari ke
1 (A) saluran pencernaan masih sederhana. G : ginjal.
YS : kantong kuning telur, NT : notochord, U : usus,
M : mata, J :jantung, H : hati, A : anus. Larva umur
hari ke 2 (B) Saluran pencernaan mulai berkembang
dibandingkan hari ke 1. PM : pigmen mata, YS :
kantung kuning telur dan butiran minyak, NT :
notochord, GR : gelembung renang, U : usus,
u
G :
ginjal, R :rektum, L: lumen, V : villi, SG : sel goblet.
Larva umur hari ke 3 (C) Saluran pencernaan telah
berkembang dengan sempurna. L : lambung, U :
usus, GR : gelembung renang, H: hati, SO: serat otot,
P: pylorus, ME: mucosal epithelium, V: vakuola,
va
NT:
notochord, G: ginjal, PT: pankreas, PK: pembuluh
kapiler.
10
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
sederhana berkolerasi dengan rendahnya
produksi enzim proteolitik, seperti yang
ya telah
diteliti pada ikan Coregonus sp. Ketiadaan
lambung dan rendahnya aktivitas proteolitik
merupakan dua faktor penyebab sulitnya
pemeliharaan dengan pemberian pakan
buatan (Gambar 1 B).
Pada hari ke-3
3 saluran pencernaan telah
berkembang secara sempurna, lambung,
usus, gelembung renang telah nampak jelas.
Organ pankreas dan sel hati telah
berkembang dengan baik dengan adanya
vakuola, dan kuning telur telah terserap
habis, dan mucosal epithelium
elium sudah nampak
jelas. Pada kondisi ini larva sudah harus
mendapatkan suplai makanan dari luar.
Tridjoko dkk, 1996 pada kerapu bebek
(Cromileptes altivelis)) turunan pertama dan
Anindiastuti dkk, 1999 pada kerapu macan (E.
(
fuscoguttatus).
). Membuktikan bahwa
bah
kuning
telur terserap habis pada umur 3 hari, ini
berkaitan erat dengan pertumbuhan
morfologi dan pencernaan makanannya.
Selain itu perkembangan saluran pencernaan
pada umur stadia 3 hari juga berkembang
pesat mulai dari mulut, kerongkongan, perut,
usus dan anus. Selain itu organ hati dan
pankreas mulai terbentuk sehingga proses
enzimatik dan penyimpanan energi sudah
dimulai pada tahap ini (Gambar
ambar 1 C).
Pada hari ke-4
4 terjadi pada larva ikan
betok untuk mendapatkan makan dari luar.
Ini dibuktikan dari sampel
mpel larva yang diambil
ada beberapa larva yang memiliki villi usus
dengan bentuk lekukan yang tinggi, dan ada
larva yang lain memiliki villi usus dengan
bentuk lekukan yang rendah. Namun dari
semua sampel larva yang diambil dari hari keke
4 pada hasil histologi
logi menunjukkan pada hati
tidak memiliki vakuola, ini disebabkan karena
tidak adanya atau hanya sedikit suplai
makanan dari luar yang didapat. Asumsi
tersebut juga diperkuat dari hasil penelitian
Marlinda (2001), bahwa larva pada hari ke-4
ke
dengan perlakuan
n tanpa pemberian pakan
organ hati tanpa adanya vakuola sedangkan
untuk larva dengan perlakuan pemberian
pakan alami menunjukkan adanya vakuola
yang besar, dan villi usus memperlihatkan
memperliha
(A)
(B)
(C)
Gambar 2. Perkembangan saluran pencernaan larva
ikan betok (anabas
anabas testudineus).
testudineus Larva umur hari ke 4
(A) [kiri] villi usus tinggi, organ hati tanpa vakuola
[kanan] villi usus rendah, organ hati tanpa vakuola. U:
usus, H: hati, SO: serat otot, NT: notochord, L:
lambung, R: rektum, GG: kelenjar asam. Larva
Lar umur
hari ke 5 (B) Terjadi penurunan bentuk villi usus yang
rendah dan serat otot yang mengkerut., dan hati tidak
memiliki vakuola. NT: notochord, U: usus, H: hati. Larva
umur hari ke 8 (C) jaringan hati mengerut, tanpa
vakuola dan memiliki nuklei yang gelap dengan segmen
hepatosit tidak jelas. Jaringan otot terlihat renggang
dan villi usus rendah. U: usus, H: hati, G: ginjal, L:
lambung, SO: serat otot, NT: notochord, JH: jaringan sel
hati, GR: gelembung renang.
11
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
bentuk lekukan yang tinggi (Gambar 2 A).
Pada lima hari pertama kehidupan ikan
betok merupakan periode kritis karena terjadi
proses adaptasi pada masa transisi menuju
‘exogenous feeding’. Mortalitas sebesar
83,70% juga terjadi pada Acipenser
guldenstadti yang terjadi pada masa transisi
menuju aktivitas pengambilan makanan
(Vladimirov, 1975). Di hari ke-5 larva sama
sekali tidak mendapatkan suplai makanan
dari luar. Ini terlihat dari hasil histologi yang
menunjukan terjadinya penurunan bentuk
villi usus yang rendah dan serat otot yang
mengerut dan hati tidak memiliki vakuola.
Dari hasil tersebut larva hari ke-5 adalah awal
mula terjadinya degenerasi pada semua
organ hingga hari kematian (hari ke-8)
(Gambar 2 B).
Pada hari ke-8 terjadi kematian larva
secara serentak pada semua akuarium
pemeliharaan larva ikan betok. Dari hasil
histologi menunjukkan bahwa larva tidak mau
makan sehingga tidak adanya sumber nutrisi
yang mendukung berkembangan saluran
pencernaannya. Hal ini terlihat dari
penampakan jaringan hati yang mengerut,
tanpa vakuola dan memiliki nuklei yang gelap
dengan segmen hepatosit tidak jelas. Jaringan
otot juga terlihat renggang dan villi usus
rendah. Hasil penelitian Marlinda (2001) juga
memperlihatkan larva ikan betok yang
kelaparan mengalami degerenasi jaringan
hati seperti ditampilkan pada Gambar 2 C.
Larva yang mengalami keadaan lapar
hanya akan bertahan hidup 8 s/d 10 hari.
Penelitian
Marlinda
(2001),
juga
membuktikan larva betok dengan perlakuan
tanpa pemberian pakan hanya bertahan
dalam delapan hari, dengan perlakuan
pemberian pakan buatan larva bertahan
hidup dalam tiga belas hari, sedangkan untuk
perlakuan pemberian pakan alami larva dapat
bertahan hidup sampai lima belas hari. Teori
John Hjort yang dikenal dengan Critical Period
Hypothese telah terbukti bahwa larva hanya
dapat bertahan hidup dalam waktu yang
pendek tanpa adanya makanan sesaat
setelah suplai kuning telur dan gelembung
minyak (yolk and oil globules) habis
sedangkan kelimpahan makanan di alam
dapat berubah sesuai waktu dan ruang.
Larva yang mengalami keadaan lapar
yang berkepanjangan akan terjadi degenerasi
pada semua organ tubuh, pertumbuhan akan
terlihat stagnan. Untuk dapat bertahan
hidup
dari
terbatasnya
ketersediaan
makanan, ikan dapat memetabolisme
cadangan makanan dari dalam tubuh dalam
jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan
energinya tanpa gangguan permanen (Black
dan Love 1986 ; Wieser et al. 1992).
Stroband dan Dabrowski (1983), menjelaskan
bahwa pada larva yang kelaparan semua
jaringan menyusut secara volumetric, karena
cadangan energi dari jaringan digunakan
sebagai nutrient dan energi setelah kuning
telur habis, pada ikan yang kelaparan dalam
beberapa minggu tidak terjadi proses mitosis.
Hal ini disebabkan bahwa perkembangan
jaringan pada larva ikan betok yang kelaparan
terhambat atau terhenti sama sekali. Efek
dari kelaparan dapat mengganggu dinamika
pemanfaatan energi dari dalam tubuh larva
(endogeneus) yang berkontribusi penting
sebagai bahan bakar tubuh (Black dan Love
1986). Pulliainen dan Korhonen (1990) pada
ikan burbot mengungkapkan bahwa suhu
panas yang cukup tinggi berpengaruh pada
penyerapan makanan pada larva sehingga
menimbulkan pelaparan.
IV. KESIMPULAN
1. Sumber energi larva ikan betok berupa
kuning telur telah habis terserap pada hari
ke – 3.
2. Dari hasil analisis histologi kesiapan larva
untuk memperoleh makanan dari luar
berada pada hari ke-2 hingga puncaknya
pada umur hari ke -3.
3. Pada hari ke-5 terjadi penyusutan organ
saluran pencernaan, seperti vili usus yang
semakin rendah, dan jaringan otot yang
mengerut.
4. Larva yang mengalami keadaan lapar akan
mengalami
degenerasi
saluran
pencernaan. Dan larva hanya akan
bertahan hidup dalam waktu 8 s/d 10 hari
12
J. Aquawarman. Vol. 1 (1): 7-13. Oktober 2015
V. DAFTAR PUSTAKA
Akbar, J dan A. Nur., 2008. Optimalisasi
Perikanan Budidaya Rawa dengan Pakan
Buatan Alternatif Berbasis Bahan Baku
Lokal. Program I-MHERE B.1 Bacth II
UnlamAsmawi S. 1986. Pemeliharaan Ikan
dalam Karamba. Jakarta: PT Gramedia.
Anindiastuti, N. Rausin, Mustamin, and E.
Sutrisno. 1999. Paket usaha budidaya
kerapu macan, EpinepheIus fuscoguttatus.
Depar-temen Pertanian, Dirjen. Perikanan,
Balai Budidaya Laut Lampung. 35Hal.
Anonim., 2006. Pemeliharaan Beberapa Jenis
Ikan Lokal Air
Tawar. Departemen
Pertanian.
Balai Informasi Penelitian,
Banjarbaru.
Ansyari., 2007. Pentingnya labirin bagi ikan
rawa. Jurnal Bawal. Vol.1 No.5. Agustus
2007: 161-167.
Black, D. and Love, M. (1986). The sequential
mobilisation and restoration of energy
reserves in tissue of Atlantic cod during
starvation and refeeding. J. Comp. Physiol.
156, 469-479
Kamler, E. 1992. Early life history of fish, an
energetics approach. Chapman and Hall.
London. 267 pp.
Lauff, M. & R. Hofer. 1984. Proteolytic
enzymes in fish development and the
importance
of
dietary
enzymes.
Aquaculture, 37: 335-346.
Leeson,C.Roland.1996.Buku
Ajar
Histologi.Buku Kedokteran EGC.-ed.5.Jakarta : xi-622 hlm.
Marlinda. R., 2001. Kajian Fisiologi Saluran
Pencernaan Larva Ikan Betok (Anabas
testudineus).
Pulliainen, E. and K. Korhonen, 1990.
Seasonal changes in condition indices in
adult mature and non-maturing burbot,
Lota lota (L.), in the north-eastern
Bothnian Bay, northern Finland. J. Fish
Biol. 36(2):251-259.
Stroband HJW, Dabrowski KR. 1979.
Morphological and Physiological aspect of
the Digestive System and Feeding in
Freshwater Fish Larvae. CNERNA, Paris Hal
: 356 -376.
Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu dan K.
Sugama. 1996. Pengamatan pemijahan
dan perkembangan telur ikan kerapu
bebek, Cromileptes altivelis, pada bak
secara terkontrol. J. Penelitian Perikanan
Indonesia, 2(2):55-62.
Usman B, CR Saad, R Affandi, MS Kamarudin
dan AR Alimon. 2003. Perkembangan
Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes
oltivelis), Selam Proses Penyerapan kuning
telur.
Vladimirov, V. I. 1975. Critical periods in
development of fishes. Journal of
Ichtyology, 15(6): 851-963.
Walford, J. and T.J. Lam, 1993. Development
of digestive tract and proteolytic enzyme
activity in seabass (Lates calcarifer) larvae
and juveniles. Aquaculture 109:187-205.
Wieser, W., Krumschnabel, G. and OjwandOkwor, J. P. (1992). The energetics of
starvation and growth after refeeding in
juveniles of Three cyprinid species.
Environ. Biol. Fishes. 33, 63-71.
13
Download