PERSPEKTIF PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KECUACAAN DAN KEIKLIMAN UNTUK MENDUKUNG LANGKAH KETAHANAN PANGAN DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Andi Eka Sakya 1 dan Ressa Mahardhika 2 ABSTRAKSI Perubahan yang diakibatkan oleh pemanasan global telah menjadi keniscayaan. Langkah-langkah memitigasi dampak pemanasan global dilakukan secara global untuk memperlambat laju konsentrasi karbon. Tetapi, di negara-negara berkembang – tidak terkecuali Indonesia – langkah yang justru dibutuhkan adalah adaptasi terhadap dampak perubahan iklim Langkah global sedang dilakukan dan secara global dipersiapkan melalui Global Framework for Climate Service. Langkah adaptasi tersebut ditengarai akan terkendala, antara lain, oleh perbedaan antar negara dalam hal: User Interface Platform; Pengamatan-Moritoring-Pengolahan Data; serta Pengembangan Kapasitas dan Penelitian. Di dalam makalah ini, perbedaan (gap) tersebut dipandang justru sebagai peluang untuk menumbuhkan peluang penelitian dan pengembangan di bidang cuaca/iklim di Indonesia. Terkait dengan peluang tersebut, di dalam makalah ini dikemukakan peluang penelitian dan pengembangan, antara lain: sejarah perubahan iklim di daerah tropis, prakiraan cuaca/iklim numerik dan skema asuransi cuaca/iklim. Pokok diskusi difokuskan pada peluang yang secara unik dapat dilakukan di Indonesia. Kata Kunci : Perubahan Iklim, Adaptasi, Ketahanan Pangan, Penelitian dan Pengembangan, GFCS, Asuransi Indeks Cuaca/Iklim (AICI) 1. PENDAHULUAN Posisi Indonesia, baik secara geologis maupun geografis, menyimpan potensi berbagai bentuk bencana, baik meteorologis, klimatologis maupun geofisis. Perubahan iklim yang diakibatkan oleh keniscayaan pemanasan global telah meningkatkan frekwensi kejadian bencana terutama meteorologis dan klimatologis, seperti: banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan longsor. Sebagai negara kepulauan dan terletak di wilayah tropika, dampak perubahan iklim tersebut akan semakin memperparah kondisi 1 Sekretaris Utama, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jl. A ngkasa I No. 2, Jakarta Pusat 10720, e-mail: [email protected] 2 Kasubag TU Sekretariat Utama, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jl. Angkasa I No. 2, Jak arta Pusat 10720, e-mail: [email protected]. 1 - 14 kesiapan dan kesigapan dalam menjalankan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan oleh dampak perubahan iklim yang secara langsung bersinggungan dengan berbagai sektor pembangunan, antara lain: pertanian, pengairan, energi, kesehatan, pengairan, kesehatan, pekerjaan umum, pariwisata dan perhubungan. Langkah-langkah mitigasi yang ditujukan untuk memperlambat laju pemanasan global telah banyak dibahas berbagai forum nasional maupun internasional. Konferensi Antar Pihak (Conference of Parties – COP) menjadi wahana tingkat tinggi para pemimpin dunia dalam menyepakati rencana aksi bersama untuk menurunkan laju konsentrasi karbon. Aksi mitigatif – yang lebih berbasis pada teknologi hijau (Green Technology) – tidak memberikan banyak peluang bagi Indonesia untuk berperan secara signifikan, kecuali dalam mengupayakan pengurangan emisi melalui perubahan penggunaan lahan (REDD+). Dalam hal perubahan iklim, tantangannya justru terletak pada langkah adaptasi yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan proses pembangunan. Langkah-langkah adaptasi ini belum banyak dibahas baik secara nasional maupun internasional. Salah satu gagasan internasional yang saat ini akan diajukan melalui COP-19 di Durban, Afrika Selatan adalah pembentukan kerjasama global dalam pelayanan iklim (Global Framework for Climate Services – GFCS). Walaupun Indonesia menjadi salah satu anggota Kelompok Kerja Tingkat Tinggi pada GFCS tersebut, implementasinya secara lokal (nasional) mensyaratkan penyesuaian yang cocok dan kerjasama berbagai pihak, baik unsur pemerintah, masyarakat maupun swasta. Makalah ini membahas perspektif kajian, penelitian dan pengembangan untuk menjawab tantangan adaptasi perubahan iklim. Setelah menjelaskan tentang tujuan dan metode, kemudian dibahas tentang pendekatan adaptasi secara global dalam pelayanan iklim dan berbagai kendala-kendalanya. Potensi kendala tersebut membuka peluang penelitian dan pengembangan di bidang cuaca/iklim. Hal tersebut didiskusikan dengan mengkaitkan eksistensi kekhususan posisi Indonesia dalam kaitan cuaca dan iklim. Contoh hasil dikemukakan untuk aktifitas yang sudah dilakukan di Indonesia. Sedangkan deskripsi detil diberikan khususnya untuk penelitain dan pengembangan yang belum pernah dilakukan, tetapi akan sangat menunjang dalam upaya penguatan dan peningkatan kapasitas petani di indonesia. 2. TUJUAN Penulisan makalah ini bertujuan untuk: 1) mengantisipasi perkembangan pemanasan global – khususnya di Indonesia, dalam aspek langkah-langkah mitigasi dan adaptasi; 2) mengkaji berbagai peluang penelitian dan pengembangan terutama dalam menunjang langkah-langkah adasptasi perubahan iklim; 2 - 14 3) mengkaji kemungkinan penerapan dan pengembangan langka h adaptasi perubahan iklim - utamanya dalam mendukung upaya ketahanan pangan dari sisi penguatan kapasitas petani. 3. METODA Perubahan Iklim (PI) sebagai akibat dari Pemanasan Global merupakan keniscayaan yang telah, sedang dan akan terjadi. Salah satu dampak yang sangat nyata adalah pengaruhnya terhadap Ketahanan Pangan di Indonesia, yang notabene merupakan negara kepulauan dan agraris. Pola cuaca dan iklim di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh posisi geografis sebagai negara kepulauan, terletak tepat di khatulistiwa, serta diapit oleh dua samudera dan dua benua. Panjangnya jarak ujung timur dan barat, menjadikan Indonesia terpengaruh pula oleh berbagai bentuk ekstrimitas iklim. Letaknya yang tepat di khatulistiwa menjadikan pola cuaca yang tidak mudah terprakirakan. Oleh karenanya, penelitian dan pengembangan di bidang cuaca dan iklim sesungguhnya akan sangat membantu bagi proses pembuatan keputusan kebijakan dalam rangka mendorong upaya ketahanan-pangan. Mempertimbangkan luasnya cakupan penelitian dan pengembangan di bidang cuaca dan iklim, maka makalah ini akan ditulis dalam bentuk deskriptif dengan fokus pada upaya mendukung proses adaptasi an ketahanan pangan. Kajian peluang penelitian diberikan dalam bentuk normatif. 4. PEMBAHASAN 4.1 Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Keniscayaan pemanasan global tidak terbantahkan. Dampaknya pada perubahan iklim – yang semula diterima secara ambivalen – semakin dirasakan keterjadiannya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah mengeluarkan laporannya yang ke-4 (RA-4) pada Pebruari 2007 tentang gejala pemanasan global yang ditengarai disebabkan oleh aktifitas manusia dan menegaskan bahwa dampak pemanasan global merambah ke berbagai sektor. Di sisi lain, dunia disadarkan pula akan potensi bencana yang timbul jika pemanasan global tidak “dihentikan”. Hasil pengamatan global menunjukkan bahwa suhu daratan dan lautan relatif seimbang hingga tahun 1980-an. Perbedaan suhu rata-rata permukaan daratan dan lautan mulai menunjukkan kecenderungan membesar semenjak itu. Data pengamatan global perbedaan suhu rata-rata permukaan laut dan daratan yang semakin besar ini mempengaruhi interaksi parameter-parameter dinamis cuaca dan iklim dan memicu terjadinya fenomena pergeseran iklim. Kajian terhadap luas wilayah pola curah hujan dari perioda 1931–1960 ke 1961–1990 memang memhnunjukkan adanya pergeseran tersebut (Kadarsah, 2007). Variasi curah hujan tahunan wilayah Sumatera, misalnya, yang semula berfluktuasi di wilayah barat pada periode tahun 1961 – 1960, 3 - 14 telah bergeser dan semakin mengelompok dengan curah hujan tahunan yang terpola pada tahun 1961–1990 . Pergeseran seperti itu terjadi pula di berbagai daerah di seluruh wilayah kepulauan di Indonesia. Perubahan Iklim (PI) sebagai akibat dari pemanasan Global merupakan keniscayaan yang telah, sedang dan akan terjadi. Dampaknya terasakan dalam berbagai bencana yang mewujud dalam bentuk kehilangan nyawa maupun kerugian material. Dampak tersebut sangat mempengaruhi Ketahanan Pangan Indonesia, yang notabene merupakan negara kepulauan dan agraris. Sebagai negara kepulauan yang terletak tepat di garis katulistiwa, Indonesia dipengaruhi oleh berbagai ekstrimitas cuaca/iklim. Variasi cuaca/iklim sangat mempengaruhi prakiraan musim tanam dan panen, sistem distribusi pasokan benih dan hasil panen. Pada gilirannya menggerus sistem Ketahanan Pangan Nasional. Pada perspektif ini, informasi cuaca/iklim yang cepat, tepat, tersebar luas dan terpahami dipercayai mampu untuk dapat meminimalisasi jumlah kerugian yang terjadi. Langkah-langkah mitigasi yang ditujukan untuk memperlambat laju pemanasan global telah banyak dibahas berbagai forum nasional maupun internasional. Secara internasional Konferensi Antar Pihak (Conference of Parties – COP) menjadi wahana tingkat tinggi para pemimpin dunia dalam rangka menyepakati rencana aksi bersama untuk menurunkan laju konsentrasi karbon. Aksi mitigatif – yang lebih berbasis pada teknologi hijau (Green Technology) – tidak memberikan banyak peluang bagi Indonesia untuk berperan secara signifikan, kecuali dalam mengupayakan pengurangan emisi melalui perubahan penggunaan lahan (REDD+). Gambar 1 Komponen kerangka global untuk GFCS (WMO, 2011) Dalam hal perubahan iklim, tantangan bagi Indonesia justru terletak pada langkah adaptasi, yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan proses pembangunan. Langkah-langkah adaptasi sebagai gerakan global belum banyak dibahas baik secara nasional maupun internasional. 4 - 14 Salah satu gagasan internasional yang saat ini akan diajukan melalui COP-19 yang akan diselenggarakan pada bulan Nopember/Desember 2011, di Durban, Afrika Selatan, adalah pembentukan kerjasama global dalam pelayanan iklim (Global Framework for Climate Services – GFCS). Indonesia menjadi salah satu anggota Kelompok Kerja Tingkat Tinggi pada GFCS tersebut. Tantangan utama implementasi GFCS secara lokal (nasional) mensyaratkan penyesuaian yang cocok dan kerjasama berbagai pihak, baik unsur pemerintah, masyarakat maupun swasta. Sejalan dengan rencana implementasi gagasan kerangka global pelayanan iklim tersebut, laporan Kelompok Kerja Tingkat Tinggi – yang baru saja diterbitkan pada bulan Juni 2011 yang lalu – menunjukka n gap yang ditengarai akan menjadi kendala implementasi GFCS (WMO, 2011). Gap tersebut terkait dengan: a. User Interface Platform (UIP); Upaya pengurangan resiko dampak perubahan iklim mensyaratkan keputusan kebijakan berdasarkan informasi yang terpercaya dan tepat tentang data iklim masa lalu dan saat kini, serta prakiraannya di masa mendatang. Persoalannya terletak pada tidak seragamnya informasi yang diperlukan untuk masing-masing sektor terkait. Informasi iklim untuk keperluan pertanian, berbeda dengan untuk sektor turisme dan kesehatan. Demikian pula informasi iklim untuk pengurangan resiko bencana berbeda dengan informasi iklim yang diperlukan untuk sektor energi dan pengairan Hal ini juga menggambarkan diperlukannya intermediasi bagi masing-masing sektor, terutama untuk memfasilitasi proses interpretasi data iklim menjadi bahan yang dapat “dipahami” oleh masing-masing pengguna akhir di lapangan. b. Sistem Pengamatan, Monitoring dan Pengolahan Variabilitas dan perubahan iklim sangat bergantung dari hasil pengamatan data atmosfir, permukaan dan lautan. Data ini diperlukan untuk pengolahan informasi kecenderungan dan prakiraan mendatang serta peringatan dini. Oleh karenanya, sistem pengamatan yang digunakan untuk pengumpulan data cuaca/iklim menjadi sangat esensial dalam rangka mempersiapkan pelayanan iklim yang tepat, teliti dan terpahami. Di dalam masalah pengamatan dan monitoring, negara-negara berkembang pada umumnya mempunyai persoalan pencatatan data historis. Data historis parameter cuaca/iklim tersebut sering tidak dipunyai, baik dalam kondisi siap untuk diolah, maupun dalam kondisi yang tidak berkesinambungan. Indonesia tidak terkecuali. Upaya data recovery dan dijitasinya sedang dilakukan agar periodisasi data iklim data untuk 100 tahun yang lalu dan masa kini. Proses ini akan selesai pada tahun 2011 ini. Selain itu, Indonesia menghadapi persoalan luasnya area pengamatan yang harus dicakup, baik di daratan, dan terlebih lagi pengamatan di laut. Proses integrasi dari berbagai peralatan dan basis 5 - 14 data, merupakan persoalan yang lain, terkait dengan pengamatan dan monitoring data iklim di Indonesia. Kemajuan teknologi telah memungkinkan penggunaan perangkat pengamatan yang semakin canggih, otomatis dan teliti. Namun demikian, justru persoalannya terletak pada perbedaan antara satu negara dengan negara yang lain. Variabilitas dan perubahan iklim sangat terkait dengan perubahan dan kondisi lingkungan secara global, regional dan lokal. Persoalan pengamatan dan hasil monitoring data iklim yang tepat dan baku, mensyaratkan integrasi, konformitas dan pengolahan data yang perlu disesuaikan dengan masing-masing pengguna. c. Pengembangan Kapasitas dan Penelitian Informasi yang komprehensif dan terpercaya tentang variabilitas dan perubahan iklim yang dapat mendukung pelayanan informasi iklim yang handal memerlukan upaya penelitian dan pengembangan. Dapat dilihat bahwa lahan penelitian dan pengembangan tersebut tidak hanya terbatas pada masalah kekinian, tetapi juga masa lampau dan prakiraan masa mendatang. Komprehensivitas penelitian dan pengembangan di bidang cuaca 3/iklim tidak saja menyangkut persoalan teknis seperti perolehan data dan pengolahan saja, tetapi juga masalah sosio-ekonomi. Keterkaitan secara menyeluruh komponen GFCS digambarkan secara diagramatik pada Gambar-1 (WMO, 2011). Secara menyeluruh diperlukan pengembangan kapasitas, baik dalam rangka menyempurnakan fasilitasi dengan penggunan (UIP); pengamatan, monitoring dan pengolahan informasi cuaca dan iklim; maupun penelitian dan pengembangan. 4.2 Perspektif Penelitian dan Pengembangan Cuaca dan Iklim Tujuan utama dilakukannya berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang cuaca dan iklim adalah untuk memperoleh pijakan dasar konsepsi dan teoritis yang kuat dalam rangka mendukung dihasilkannya informasi cuaca dan iklim yang bermanfaat bagi pengguna. Pencermatan yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Tingkat Tinggi GFCS mengidentifikasi jurang perbedaan yang besar dari sisi perolehan data, metode pengolahan dan penyajian informasi untuk memenuhi permintaan pengguna. Pada sisi data dan informasi, terlepas dari kualitas perolehannya 4, persoalaan mendasar yang muncul, khususnya di Indonesia, antara lain: data historis, penyimpanan dan pengolahan. Perkembangan teknologi informatika dan komputasi sangat mempengaruhi metode pengolahan pelayanan cuaca/iklim modern. Perkembangan metode prakiraan yang 3 Penggunaan terminologi “cuaca” dalam konteks ini merujuk pada periodisasi kondisi “iklim” yang singkat dan kini; 4 Hal ini sangat bergantung pada kualitas perangkat data akusisi dan mensyaratkan proses kalibrasi yang berkelanjutan untuk setiap alat yang digunakan. 6 - 14 secara klasik menggunakan metoda ensemble linier, dikarenakan kebutuhan sistem peringatan dini dan antisipasi ekstrimitas iklim, memerlukan peningkatan akurasi baik secara spasial dan temporal. Dalam dua dekade terakhir, prakiraan cuaca/iklim telah dikombinasikan dengan prakiraan numerik pendekatan dinamis (spasial, temporal). Pelayanan cuaca/iklim di Indonesia juga telah menggunakannya. Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, program numerik untuk prakiraan cuaca/iklim yang digunakan merupakan package program dari negara-negara maju. Sementara di sisi hilir, keperluan masing-masing sektor mensyaratkan format informasi yang berbeda. Dari berbagai kajian yang berbeda menunjukkan bahwa kebutuhan pengguna – selain masalah informasi untuk pembuatan keputusan – juga skema dukungan pada saat terjadi bencana. Berikut dikemukakan beberapa peluang kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menjawab permasalahan di atas. Pertama, akan dilaporkan tentang kegiatan paleoklimatologi yang terkait dengan upaya menjembatani pemahaman proses kesejarahan iklim tropis dan kecenderungan perubahannya di masa yang akan datang. Kedua, peluang unik bagi Ijndonesia untuk melakukan penelitian dan pengembangan di bidang prakiraan cuaca dan iklim numerik. Dan, ketiga tentang skema asuransi untuk mendukung upaya penguatan petani Indonesia yang prosesnya awalnya sudah dilakukan, tetapi belum diimplementasikan. a. Sejarah Perkembangan Perubahan Iklim BMKG, pada tahun 2010 – bekerja sama dengan Byrd Polar Reserach Center melakuka n penelitian paleoklimatologi melalui pengamatan gletser di Puncak Jaya Wijaya, Papua. Pengambilan sampel dilakukan di tiga titik gletser yang masih ada di Papua, yaitu gletser Cartensz, E Nortwall Firn, dan W Northwall Firn yang hampir habis atau hilang. Penelitian ini akan menyempurnakan informasi proses perubahan iklim di wilayah katulistiwa jika digabungkan dengan informasi penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, yaitu di Puncak Quelcaja, Peru, Amerika Selatan dan di Puncak Kilimanjaro di Afrika. Hasil lengkap penelitian tersebut sedang dalam penyempurnaan (Donaldi Sukma, 2011). Informasi kandungan karbon – yang dapat mengungkap proses terjadinya perubahan iklim – dapat pula diteliti dari karts (Zaihua, Dreybrodt, and Huan, 2011). Penelitian karst untuk mengungkapkan pemahaman sejarah terjadinya perubahan iklim di Indonesia tampaknya jauh berpeluang di banding dengan penelitian dengan mengamati gletser yang hanya tersedia di Puncak Jaya Wijaya (Haryono, 2011). b. Prakiraan Cuaca dan Iklim Numerik; Sejalan dengan perkembangan teknologi komputasi dan pemahaman dinamika fisis atmosfir, pemanfaatan komputer untuk keperluan prakiraan cuaca/iklim semakin berkembang dan diperlukan. Saat ini, prakiraan cuaca dan iklim numerik telah dipakai untuk 7 - 14 keperluan operasional di berbagai negara. Indonesia, melalui BMKG, memanfaatkan 2 package program untuk peleriuan operaional pelayan cuac/iklim, yaitu CCAM (Csiro) dan Arpege (MF). Gambar 2 menyajikan perbandingan citra satelit MTSAT dengan hasil prakiraan numerik CCAM dan Arpege untuk tanggal 1 Nopember 2011 pada jam UTC 17:30, 20:30 dan 23:30. Gambar 2 Perbandingan citra satelit MTSAT2 EN1 dengan hasil simulasi numerik CCAM dan ARPA GE Secara singkat, kedua package program tersebut menggunakan persamaan dasar dinamika fluida atmosferik dan diselesaikan dengan time step untuk waktu ke depan yang diterapkan pada kekisi conformal. Interaksi mekanis bumi dan dinamis parameter laut dan permukaan dengan atmosfer diperikan pada sisi konvektif. Perbandingan kualitatif dengan citra MTSATS menunjukkan: (i) perbedaan keterjadian konvergensi tekanan dengan selisih sekitar 1 – 3o (= 15 – 45 km) dan (ii) pergeseran awan dalam waktu 6 jam (17:30 sd 23:30) terrepresentasikan dalam sebaran yang berbeda dengan citra satelit. Penggunaan prakiraan numerik sering terkendala oleh perangkat keras komputasi yang masih belum cukup berkemampuan. Terlepas dari masalah itu, secara metodologi komputasi, penggunaan package program – yang pada umumnya “dibeli” dari negara-negara lintang tinggi – mempunyai keterbatasan, seperti telah ditunjukkan pada Gambar 2, antara lain: (i) persamaan dasarnya terkendala oleh kenyaatan adanya perbedaan besarnya parameterisasi gaya corriolis yang harus “digunakan” untuk daerah katulistiwa (gaya corriolis ~ 0); (ii) package program tersebut biasanya merepresentasikan wilayah daratan dengan interaksi dinamika fisis atmosfir yang minimal, sementara Indonesia merupakan kepulauan dengan 2/3 air; dan (iii) relief berbagai wilayah berbeda satu sama lain yang dengan sendirinya mensyaratkan topografi kekisi (grid) dengan berbagai kerapatan yang berbeda. Kenyataan di atas membuka peluang perbaikan kegiatan penelitian untuk prakiraan cuaca numerik, antara lain: (i) perbaikan parameterisasi dalam merepresentasikan menghilangnya gaya corriolis tepat di wilayah katulistiwa; (ii) representasi interaksi dinamis lautan – atmosfir ke dalam persamaan dasar yang ternyata sangat dominan, baik dari segi metode komputasinya maupun dari segi “matching” data 8 - 14 awalnya; (iii) perbaikan conformal grid untuk merepresentasikan relief geometris permukaan bumi Indonesia yang mestinya tidak bisa digeneralisasi. Prakiraan iklim numerik – karena karakteristiknya – sudah jauh lebih berkembang. Sifat iklim yang periodisitasnya sangat panjang, memungkinkan pendekatan yang lebih sederhana. Sampai saat ini, metode statistik ensembel linear merupakan tool yang handal dan digunakan secara operasional. Prakiraan maju untuk beberapa bulan ke depan dilakukan dengan mengekstrpolasikan data parameter iklim masa lalu dan kini. Di Indnesia, untuk keperluan opersional digunakan package program statistika linier ANFIS, Wavelets, ARIMA. Pengembangan lanjut di BMKG menghasilkan HyBMG yang digunakan secara operasional. Untuk keperluan prakiraan umum, program-program tersebut cukup memadai. Namun demikian, pendekatan linier tidak mencukupi untuk memprakirakan terjadinya anomali atau ekstrimitas iklim. Dengan demikian, upaya pengembangan dengan pendekatan dinamis, sangat diperlukan. c. Asuransi Indeks Cuaca dan Iklim; Perubahan pola curah hujan bervariasi bergantung pada lokasi. Para petani yang akan paling menderita adalah mereka yang tinggal di wilayah dataran tinggi yang dapat mengalami kehilangan lapisan tanah akibat erosi. Hasil tanaman pangan dataran tinggi seperti kedelai dan jagung bisa menurun 20 hingga 40 persen. Namun, nyaris seluruh petani akan merasakan dampaknya. Saat ini para petani kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk memulai musim tanam, atau telah mengalami gagal tanam karena hujan yang tidak menentu atau kemarau panjang. Sejauh ini, para petani di Jawa berhasil menanam padi dua kali dalam setahun, tetapi dengan perubahan iklim, panen kali kedua tampaknya akan menjadi lebih rentan. Berbagai beban ini memiliki implikasi besar pada ketahanan pangan nasional. Laboratorium Iklim di Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa selama kurun waktu 1981-1990, setiap kabupaten di Indonesia setiap tahunnya rata-rata mengalami penurunan produksi padi 100.000 ton; dan pada kurun waktu 1992-2000, jumlah penurunan ini meningkat menjadi 300.000 ton. Persoalan ini bisa direspon jika informasi cuaca/iklim dapat disebarkan dengan cepat, tepat dan teliti, serta dapat dipahami. Kualitas informasi yang baik dipercaya dapat meminimalisasi jumlah kerugian yang dialami, mengantisipasi tindakan evakuasi dan mendukung kesiapan pasca bencana. Penerimaan informasi iklim kepada para petani rasanya tidaklah cukup jika terdapat salah interpretasi dalam menerjemahkannya. Oleh karena itu, untuk menjembatani penyampaian informasi iklim ilmiah ke dalam bahasa petani yang lebih sederhana, dikembangkanlah proyek kerjasama antara Asian Disaster Preparedness Center dan Institut 9 - 14 Pertanian Bogor,Dinas Pertanian Indramayu, dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yaitu Sekolah Lapang Iklim. Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan. Namun, sebagian dari mereka akan lebih sulit melakukan adaptasi, entah itu karena tanah garapan mereka tidak subur, misalnya, atau karena pasokan air tidak memadai, atau karena mereka tidak memiliki modal. Selain itu,mereka juga mungkin menghadapi berbagai kendala kelembagaan atau kultural. Dalam berbagai kasus seperti ini, pemerintah dapat membantu melalui intervensi yang langsung dan terencana, dengan menyediakan pengetahuan baru atau peralatan baru atau mencarikan teknologi-teknologi baru. Gambar 3 Tahap Adaptasi dalam Ketahanan Pangan (Sumber: Country Report, 2007) Di beberapa negara, skema pertanggungan melalui Asuransi Indeks Cuaca/Iklim (AICI) telah diterapkan untuk mendukung kesiapan untuk “bangkit” bagi para petani pasca bencana. Skema asuransi ini memberikan ‘jaminan ganti rugi’ kepada petani jika perbedaan informas indeks cuaca/iklim dengan kenyataan. Pemberian jaminan ganti rugi ini akan dapat membantu petani untuk ‘bangkit’ dari keterpurukan saat terjadi ‘bencana’ akibat penyimpangan cuaca/iklim. Melalui skema AICI, keterbatasan para petani beradaptasi terhadap perubahan iklim difasilitasi melalui suatu sistem proteksi formal yang sistematik. AICI merupakan inovasi baru dalam bentuk manajemen resiko yang memberikan jaminan bagi petani yang dihantam oleh bencana – terutama disebabkan oleh cuaca/iklim – untuk segera mendapatkan ganti rugi yang sesuai, sehingga dapat sesegera mungkin memulai usahanya. Asuransi memberikan ganti rugi segera setelah diperoleh informasi bahwa curah hujan pada jangka waktu tertentu ternyata berbeda dengan curah hujan yang diprakirakan dan dijadikan dasar pembuatan keputusan untuk memulai masa tanam. Unsur kesegeraan dalam pembayaran ganti rugi bagi petani yang telah membayarkan premi tersebut menjadikan jenis asuransi ini sangat efektif untuk mediasi petani dalam menghadapi bencana perubahan 10 - 14 iklim. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh World Food Program (WFP) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD), AICI terbukti berperan dalam menjaga kelangsungan hidup dan keberlanjutan usaha petani dari kebangkrutan setelah terhantam oleh bencana cuaca atau iklim ekstrim (Hector, 2006 dan Hazell et al, 2010). Penerapan AICI dilakukan berdasarkan kontrak obyektif antara perusahaan asuransi, bisa juga koperasi yang melakukan usaha koperasi, dengan petani. Kontrak tersebut dibuat berdasarkan data obyektif, yaitu data curah hujan di suatu lokasi wilayah tanam pada jangka waktu tertentu. Kontrak tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga data yang digunakan didasarkan pada indeks yang menunjukkan korelasi antara curah hujan dengan jumlah kerugian yang timbul jika indeks tersebut tidak dipenuhi. Para petani yang telah ikut dalam skema asuransi tersebut mendapatkan ganti rugi berdasarkan pengukuran curah hujan yang diukur dengan menggunaka n alat pengukur hujan yang diletakkan di lokasi tersebut. Beberapa negara telah memulai menerapkan skema asuransi tersebut, antara lain: Mali dan Togo di Afrika Selatan merupakan dua negara pertama yang menerapkan skema asuransi yang dikembangkan oleh World Bank ini. Amerika, Canada, Mexico, Brazilia juga telah menerapkannya untuk tanaman gandum, demikian pula di Rusia. Beberapa negara Asia yang telah dan sedang dalam proses menjajagi pengembangan AICI, antara lain: India, Thailand, Filipina dan yang terakhir Tiongkok (China Daily, 2010). Di Filipina, pengembangan AICI dilakukan di wilayah gudang beras di Iloilo. Pengelolaan AICI dilakukan pada tingkat koperasi. Data curah hujan hasil pengamatan diperoleh berdasarkan hasil pengukuran Badan Meteorologi Filipina yang memang menempatkan alat ukur curah hujan di lokasi tersebut. Filipina merupakan wilayah yang secara rutin diterpa oleh Badai Tropis. Penerapan AICI di lokasi Iloilo diakui sangat membantu dan menjadi “damper” bagi para petani dalam menghadapi berbagai gunca ngan bencana yang disebabkan oleh cuaca/iklim ekstrim. Untuk mengembangkan skema AICI dibutuhkan: (1) jaringan pengamatan cuaca yang terpercaya, (2) data penguapan dalam waktu 20 – 40 tahun, (3) pola cuaca/iklim yang seragam di suatu lokasi tertentu, (4) Karakteristik air tanah yang mirip, (5) jumlah petani yang mencukupi, (6) eksistensi lembaga yang menjadi mediasi petani, (7) fasilitasi pembangunan kapasitas bagi para petani, (8) para petani yang bersedia untuk mengambil resiko menerima skema asuransi ini. Dari ke delapan syarat perlu bagi pengembangan sebuah AICI, setengahnya (1,2,3 dan 4) merupakan aktifitas yang terkait dengan penyelenggaraan meteorologi dan klimatologi (kecuacaan dan keikliman). Empat syarat pertama tersebut berkaitan dengan data cuaca dan iklim di suatu lokasi pada jangka waktu tertentu. Data inilah yang akan menjadi “indeks” dalam menentukan bentuk skema asuransi yang akan dikembangkan. 11 - 14 Jaringan pengamatan cuaca/iklim mencatat dalam data curah hujan, penguapan, kelembaban, tekanan udara, arah dan kecepatan angin serta suhu tanah serta udara. Sebaran seragam suhu tanah akan menunjukkan pola tanaman yang cocok dan petani lebih mengenal secara alamiah wilayah yang cocok dengan tanaman tertentu. Data hujan, yang dikaitkan erat dengan pola tumbuh tanaman di lokasi dan pada jangka tertentu, dikonversikan dalam indeks. Indeks ini menjadi dasar pokok skema pembayaran premi dan jaminan di dalam skema AICI. Setengah syarat yang lain terkait dengan kerangka utama keberhasilan pelaksanaan skema AICI. Jumlah petani akan terkait dengan perhitungan “break-even” bagi perusahaan asuransi. Di Filipina, pada saat awal uji coba AICI, jumlah petani ini tidak menjadi pertimbangan penting. Uji coba awal penerapan skema AICI yang dikembangkan melalui Koperasi Bak-bak di Iloilo, Filipina, lebih ditekankan pada mekanisme penumbuhan “budaya asuransi”. Dan, tampaknya hal ini berhasil. Koperasi merupakan salah satu wahana intermediasi strategis bagi petani. Hasil ini disebabkan oleh karena perusahaan asuransi besar justru sering terkendala pada “kedekatan” dan “komunikasi” dengan para petani. Kerelaan petani untuk memahami “perubahan iklim” yang saat ini terjadi mendorong para petani untuk bersedia mengambil resiko skema AICI. Proses tersebut dilakukan secara berkelanjutan melalui tahap pembangunan kapasitas di lokasi uji coba. Agar skema AICI ini bisa berjalan secara berkelanjutan, beberapa hal perlu dilakukan secara berkesinambungan, antara lain (Hazell et al, 2010): perbaikan infrastruktur dan kualitas pengamatan data cuaca/iklim. Berdasarkan UU No. 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, upaya ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tugas pemerintah dalam penyelenggaraan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Namun demikian, peran masyarakat pun menjadi sangat penting untuk menjaga, mendorong dan berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pengamatan data cuaca/iklim. Di India, misalnya, pengembangan alat ukur curah hujan pada tingkat akar-rumput (Grassroot Innovation), ternyata meningkatkan “kepemilikan” skema AICI di lokasi tertentu. Alat ukur curah hujan dibuat sendiri, tetapi dikalibrasi oleh Badan Meteorologi India. Upaya berikutnya adalah memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan AICI. Perhitungan aktuaria untuk skema ini merupakan hal yang baru, sangat bersifat lokal, tetapi mengandung misi sosial, dan sekaligus komersial. Di satu pihak, kesadaran petani untuk menjamin kegagalan panen melalui mekanisme skema asuransi masih belum menggejala. Di pihak lain, diperlukan penjaminan pelaksanaan pembayaran tanggungan terhadap tertanggung dapat berjalan dengan baik, se hingga pelaksanaan skema AICI dapat tumbuh menjadi skema penjaminan yang terpercaya. 12 - 14 5. KESIMPULAN Keniscayaan terjadinya pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim telah mendorong berbagai khalayak untuk melakukan upaya aksi mitigasi dan adaptasi. Aksi mitigasi ditujukan pada upaya untuk memperlambat proses pemanasan global melalui “perlambatan” laju konsentrasi emisi. Kegiatan ini lebih banyak mensyaratkan aksi terobosan teknologi hijau dan penerapannya di berbagai sektor pembangunan. Bagi Indonesia, kecuali melalui REDD, aksi mitigasi ini akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara itu, dampak perubahahan iklim tetap terjadi dan meningkatkan frekwensi keterjadian bencana. Oleh karenanya, langkahlangkah adaptasi sangat diperlukan. Langkah adaptasi ini membutuhkan informasi prakiraan cuaca dan iklim yang tepat, teliti serta dapat dipahami. Untuk menghasilkan tingkat informasi yang berkualitas tersebut, terdapat beberapa kendala: (i) user interface plaform, (ii) pengamatan, pengolahan dan monitoring dan (iii) pengembangan kapasitas dan penelitian. Mempertimbangkan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan terletak di katulistiwa, peluang penelitian dan pengembangan yang sangat unik untuk meningkatkan kualitas informas prakiraan cuaca dan iklim. Peluang tersebut antara lain: (i) paleoklimatologi, (ii) prakiraan cuaca/iklim numerik, serta (iii) skema asuransi indeks cuaca/iklim. DAFTAR PUSTAKA __________, (2011). Climate Knowledge for Action: A Global Framework for Climate Services – Empowering the Most Vulbnerable. The Report of the High Level Taskforce for the Flobal Framework for Climate Services. Jenewa: WMO – No. 1065. __________, http://youtube//: Philippines Storm Insurance – Satellite Based Scheme Protects Farmers. __________, (2007). Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. UNDP. China Daily, 10 July 2010. Donaldi Sukma, P. (2011). Climate, Precipitation Isotopic Composition and Tropical Ice Core Analysis of Papua, Indonesia, Thesis Program Master, Doc No.: OSU1313480990, Ohio: Ohio State University. Dapat dibaca pula pada: http://rave.ohiolink.edu/etdc/view?acc_num=osu1313480990. Haryono, E., Atmospheric Carbon Dioxide Seuestration Through Karst Denundation Porcesses: an Estimated from Indonesian Karts Region, Proceedings Asian Trans – Disciplinary Karts Conference 2011, Yogyakarta, Januari 7 – 10th, 2011, pp 214. Hazell, P., Anderson, J., Balzer, N, Clemmense n, A.H., Hess, U. and Rispoli. F., Rome (March, 2010). Potential for Scale and Sustainability in Weather 13 - 14 Index Insurance for Agriculture and Rural Livelihoods, Rome,International Fund for Agricultural Development and World Food Programme. Hector I. (2006). Weather Index Insurance: The New Technological Frontier in Natural Hazards Hedging Mechanisms, Philippines, Commodity Risk Management Group, World Bank. Kadarsah (2007). iklim-indonesia/; http://kadarsah.wordpress.com/2007/11/30/mengenal- Zaihua, L., Dreybrodt, W., and Huan, L., Atmospheric CO2 Sink: Silicate Weathering or Carbonate Weathering, Proceedings Asian Trans – Disciplinary Karts Conference 2011, Yogyakarta, Januari 7 – 10th, 2011, pp 214. 14 - 14