RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP PENGEMBANGAN

advertisement
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN
2005-2010
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Oleh:
RAGIL WIBISONO
NIM. 107083000094
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
LEMBAR PENGESAHAN
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI NUKLIR IRAN
2005-2010
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Oleh :
RAGIL WIBISONO
NIM. 107083000094
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing
Penasehat Akademik
Dina Afrianty, Ph.D.
NIP. 197304141999032002
Dina Afrianty, Ph.D.
NIP. 197304141999032002
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 September 2011
Ragil Wibisono
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr, Wb
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Respon Amerika Serikat Terhadap
Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010”. Judul tersebut merupakan
ketertarikan mendalam penulis terhadap Iran selaku negara Muslim yang terletak
di kawasan Timur Tengah yang berani menentang ketidakadilan dan dominasi AS
atas dunia Muslim dan negara berkembang. Penulis mengharapkan seluruh pihak
yang membaca dapat mengetahui lebih mendalam mengenai respon AS terhadap
pengembangan nuklir Iran dan memahami tujuan dari pengembangan teknologi
nuklir Iran.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada Mama Lilis dan Papa Muchdi selaku orang tua
penulis yang telah memberikan dorongan, doa restu, dan bantuan baik moral
maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan
jerih payah dan nasihat kalian. “Love you Mom, Dad”
Berikutnya, terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dina Afrianty, selaku
Ketua Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta, Dosen Pembimbing,
dan Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah memberikan ilmu, bimbingan,
saran, dan motivasi yang begitu bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Kemudian, Bapak Agus Nilmada Azmi selaku Sekretaris Jurusan
Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang juga telah memberikan
pelayanan yang baik kepada penulis dan semua mahasiswa HI UIN Jakarta.
Tidak lupa juga terimakasih kepada seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan
Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu
dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa.
iv
Kemudian, terimakasih untuk Mas Ferry, Mbak Dina, dan Mbak Anggy
selaku kakak kandung penulis, terimakasih atas motivasi, semangat dan dukungan
kalian yang dahulu juga pernah merasakan suka duka dalam penyusunan skripsi.
Tidak lupa juga terimakasih kepada Anne Normadiah yang telah
memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. “You are the best woman i
ever had”.
Terimakasih juga untuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI UIN Jakarta;
Faris, Rizkah, Majid, Mas Hudaf, Rara, Sekar, Enno, Zaka, Adjo, trio kwek-kwek
(Chezar, Sandy, Nada), Dinda, Dery, dan geng-gong (Antik, Siska, Monic, Nia).
Kalian semua telah memberikan dorongan semangat kepada penulis dalam
pembuatan skripsi ini. ”See you on the top guys...!!!
Selanjutnya, terimakasih kepada adik-adik semester penulis, Imam Pele,
Affan Abe, Uki Faruqi, Hary Ebbes, Fayat, Dian, Alul, Fahmi, Al, Azay, Kashfy,
Apriliong dan Edo, yang telah memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini,
sekaligus menguji ketajaman ilmu penulis sebagai mahasiswa HI. Pesan penulis,
kuliah yang rajin, semoga cepat lulus, amalkan ilmu yang kalian miliki.
Terimakasih kepada sahabat-sahabat penulis di HI UPN Yogyakarta Pinky
Mytha, Hary Bolang, Adryn, Faisal, dan Adi Mulia Pradana HI UGM yang telah
sama-sama berjuang dalam penyusunan skripsi dan sharing ilmu yang begitu
bermanfaat. Ketahuilah bahwa “friendship is not limit by distance, See you
guys...”
Terimakasih juga kepada seluruh sahabat-sahabat Mahasiswa/i Jurusan
Hubungan Internasional kelas B angkatan 2007, kalian telah banyak memberikan
warna dalam kehidupan penulis. Serta seluruh sahabat-sahabat Mahasiswa/i
Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007.
Tidak
lupa
terimakasih
kepada
teman-teman
BEM-J
Hubungan
Internasional dan KOMAHI UIN Jakarta 2007/2008, 2008/2009 yang telah
banyak mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi.
Selanjutnya teman-teman angkatan 2006, 2008, 2009, dan 2010 Jurusan
Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta. Pesan penulis berbanggalah menjadi
mahasiswa HI UIN Jakarta, terus berjuang tinggikan nama HI UIN Jakarta.
v
Kemudian yang terakhir, terimakasih kepada semua pihak yang telah turut
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini namun tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terimakasih.
Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat
imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikanperbaikan ke depan.
Wassalamualaikum Wr, Wb
Jakarta, 19 September 2011
Ragil Wibisono
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................................iii
KATA PENGANTAR................................................................................................iv
DAFTAR ISI..............................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................ix
ABSTRAK....................................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
Hlm.
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………....1
B. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………………7
C. Kerangka Pemikiran…………………………………………………………..7
D. Metode Penelitian……………………………………………………………15
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………….….16
BAB II POLITIK LUAR NEGERI AS (AMERIKA SERIKAT) TERHADAP
IRAN
A. Politik Global Amerika Serikat………………………………………….......18
B. Pengaruh Kelompok Neo-konservatif AS terhadap Formulasi Kebijakan Luar
Negeri AS………………………………………………………………..…..27
C. Kepentingan AS Terhadap Iran.......................................................................33
C.1.
Sebelum Revolusi Islam Iran 1979………………...........…...………33
C.2.
Pasca Revolusi Islam Iran 1979-2010……...........……………….….41
D. Embargo Ekonomi, Senjata Militer dan Pengisolasian Terhadap Iran…...….48
vii
BAB III KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN
A. Program Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010…………….…..54
B. Diplomasi Iran Dalam Mempertahankan Pengembangan Teknologi
Nuklir...............................................................................................................59
B.1.
Diplomasi Iran Melawan Tekanan AS dan Sekutunya………………59
B.2.
Diplomasi Iran Terhadap IAEA (International Atomic Energy
Agency)………………………………………………………………63
C. Posisi Iran Dalam Keanggotaan NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty)....67
D. Kebijakan Peningkatan Militer Iran………………………………….………70
BAB
IV
ANALISA
RESPON
AMERIKA
SERIKAT
TERHADAP
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN 2005-2010
A. Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran...............................76
A.1.
Kebijakan
AS
dan
Sekutu
Terhadap
Pengembangan
Nuklir
Iran…………………………………………………………………...76
A.2.
Penyelesaian Jalur Diplomasi Kepada Iran.........................................82
B. Masa Depan Hubungan Bilateral Iran-AS........................................................88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..93
Daftar Pustaka……………………………………………………………………...xi
Lampiran
A. Lembar Hasil Wawancara
viii
DAFTAR TABEL
3.A. Tabel Negara-negara yang memiliki senjata nuklir beserta dengan jumlah
hulu ledaknya………………………………………………………………66
3.B. Tabel jenis-jenis rudal balistik produksi Iran……………………………...73
3.C. Tabel peningkatan armada kapal perang Iran……………….……………..74
3.D. Tabel peningkatan armada pesawat tempur Iran…………………….…….74
ix
ABSTRAK
Pengembangan teknologi nuklir merupakan suatu langkah alternatif mengatasi
krisis sumber daya energi dan kebutuhan riset teknologi Iran. Iran selaku negara
berdaulat mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Akan tetapi,
pengembangan nuklir yang dilakukan Iran mendapat tekanan dari AS dan Sekutunya.
Tekanan tersebut diawali oleh kekhawatiran AS bahwa pengembangan
teknologi nuklir Iran dapat menuju pengembangan senjata nuklir dan berpengaruh
kepada stabilitas keamanan Timur Tengah. Sebagai bukti bahwa pengembangan
teknologi nuklirnya tidak menyimpang, maka Iran bersedia diawasi oleh IAEA
(International Atomic Energy Agency) dan bersedia menandatangani perjanjian NPT
(Nuclear Non-Proliferation Treaty).
Namun demikian, AS dan Sekutunya tetap berupaya untuk menghentikan
program pengembangan nuklir Iran. Benturan kebijakan luar negeri antara Iran-AS
dan adanya kepentingan AS di Timur Tengah merupakan sumber sengketa nuklir
Iran. Selain itu, adanya perlindungan AS terhadap Israel juga merupakan alasan AS
untuk merespon pengembangan nuklir Iran melalui berbagai tekanan. AS meyakini
bahwa nuklir Iran berpotensi mengancam kedaulatan Israel di Timur Tengah.
Penulis membahas isu tersebut dengan berdasar kepada pemikiran teori Neorealis beserta konsep turunannya yakni konsep kepentingan nasional, konsep
kebijakan luar negeri, dan konsep keamanan internasional. Dengan menggunakan
pencarian data kualitatif berupa sumber primer seperti wawancara dan sumber
sekunder berupa kepustakaan, maka penulis menyimpulkan bahwa pengembangan
teknologi nuklir Iran bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain
daripada itu, nuklir Iran juga berfungsi sebagai alat bargaining power kepada Israel
selaku negara yang memiliki senjata nuklir di Timur Tengah.
Adapun respon AS dalam pengembangan nuklir Iran adalah dengan
melakukan tekanan melalui kekuatan politiknya, yang kemudian karena berbagai
macam pertimbangan AS merubah responnya tersebut menjadi mengedepankan
solusi diplomasi kepada Iran.
x
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Republik Islam Iran merupakan negara yang tergolong muda dalam sejarah
terbentuknya kebangkitan suatu bangsa, yaitu terhitung sejak 31 tahun setelah
terjadinya Revolusi Iran pertama pada Januari 1979 yang digerakan oleh Imam
Ayatullah Khomeini. Revolusi Islam Iran terjadi akibat kedekatan hubungan bilateral
Iran-AS (Amerika Serikat) pada rezim Shah Reza Pahlevi. Pada masa Shah Reza,
Iran seperti kehilangan jati diri sebagai negara Muslim di Timur Tengah akibat
kediktatoran Pahlevi yang membiarkan AS untuk mengeksploitasi Iran, sekaligus
menjadikan Iran tempat singgahan AS untuk mengontrol negara-negara di kawasan
Timur Tengah.
Semenjak terjadinya Revolusi Islam Iran 1979 konstelasi politik dan
pertahanan keamanan Iran berubah drastis. Jatuhnya Shah Reza Pahlevi membuat AS
kehilangan langkah kemudahan untuk mengeksploitasi Iran. Terbukti Revolusi Islam
Iran telah memutus peluang AS mendapatkan kontrak pembelian senjata seperti yang
terjadi di era Shah Reza Pahlevi, sementara Inggris selaku sekutu AS tak punya lagi
akses ke ladang-ladang minyak di Kuzhistan, Barat Daya Iran (Kazhim dan Hamzah
2007, h. 35).
Revolusi Islam Iran juga menyebabkan ketidakharmonisan hubungan bilateral
Iran-AS. Pada mulanya ketika rezim Shah Reza Pahlevi, AS menyetujui pengayaan
uranium nuklir Iran dengan tujuan pengembangan energi. Namun, ketika Revolusi
1
2
Islam Iran terjadi, AS menentang kebijakan Iran tersebut bahkan menghentikan
pensuplaian bahan bakar uranium ke Iran dengan tujuan agar Iran menghentikan
pengayaan program nuklirnya. Oleh sebab itu, program pengayaan nuklir Iran yang
bertujuan damai tersebut terhenti. Dengan semangat perjuangan, Imam Khomeini
beserta rakyat Iran terus menyerukan anti AS dan Barat dan melandaskan perjuangan
yang suci dengan tujuan menegakkan keadilan dan menentang penindasan Timur dan
Barat atas dunia Muslim (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 41).
Nuklir Iran sempat dikembangkan kembali pada masa Presiden Rafsanjani
dan Presiden Khatami. Akan tetapi, pengembangan nuklir Iran tersebut mengalami
kevakuman. Pertama, Presiden Hashemi Rafsanjani yang menjadi presiden pada
periode tahun 1989-1993 dan 1993-1997 memiliki kebijakan perbaikan hubungan
rapprochement (kebijakan membuka hubungan kerjasama) dengan Barat. Menurut
Heriyanto (2006, h. 72) Kebijakan ini didasari pada tiga pertimbangan, pertama, Iran
tidak bisa mengubah peta politik kawasan. Kedua, Iran harus berusaha untuk
menyelaraskan pada keseimbangan kekuatan yang baru di kawasan. Ketiga, untuk
memulai hubungan dengan Arab Saudi karena negara ini merupakan negara utama di
dewan Kerjasama Teluk. Sasaran utama kebijakan Presiden Rafsanjani adalah
memulihkan kerugian besar yang terjadi selama 8 tahun perang Irak-Iran, dan untuk
menegaskan kembali pengaruh Iran di kawasan. Presiden Rafsanjani sempat
mengembangkan nuklir Iran pada 1996. Namun, pengembangan nuklir tersebut tidak
bertahan lama akibat adanya bencana kebocoran di salah satu instalasi nuklir bagian
Utara Iran (Rahman 2003, h. 164).
3
Berikutnya adalah pada masa Presiden Muhammad Khatami yang menjadi
Presiden Iran periode tahun 1997-2001 dan 2001-2005. Kebijakan dan politik luar
negeri Presiden Khatami melanjutkan yang telah diterapkan Presiden Rafsanjani.
Hanya saja Presiden Khatami lebih melakukan pendekatan yang terbuka dan bersifat
kerjasama kepada negara-negara di seluruh dunia terutama Barat dan bangsa Arab.
Kepada pejabat-pejabat Kementerian Luar Negeri Iran, Khatami menegaskan Iran
ingin mempunyai hubungan luar negeri dengan semua negara-negara, mencakup
negara-negara industri atas dasar rasa hormat dan kepentingan timbal balik. Presiden
Khatami juga pernah mengembangkan teknologi nuklir pada 2003 (Rahman 2003, h.
206). Namun, pengembangan nuklir yang dilakukan Presiden Khatami kembali
mengalami kevakuman akibat adanya tekanan AS dan Israel.
Kazhim dan Hamzah (2007, h. 35) mengatakan bahwa berbeda dengan
kepemimpinan dua presiden sebelumnya, Presiden Mahmoud Ahmadinejad teguh
mengemban amanah Imam besar Iran Ayatullah Khomeini untuk melanjutkan agenda
Revolusi Islam Iran. Presiden Ahmadinejad menyebut kepemimpinannya sebagai
Revolusi Iran ketiga karena menentang hegemoni AS dan Israel. Beliau adalah tokoh
konservatif Iran yang sangat loyal terhadap nilai-nilai Revolusi Islam Iran 1979. Pada
awal kepemimpinannya sebagai Presiden Iran yaitu pada 5 Agustus 2005, Presiden
Ahmadinejad langsung menyerukan program nuklir Iran sebagai tiket menuju
kemerdekaan sejati dan kemandirian dari hegemoni asing (Kazhim dan Hamzah
2007, h. 159). Hal ini dikarenakan program nuklir Iran memiliki keuntungan bagi
kepentingan nasional Iran. Pertama, pertarungan mendatang di tingkat regional dan
global berporos pada masalah sumber daya energi, negara atau aliansi pemenang
4
bidang ini akan menjadi kekuatan besar di dunia yang mungkin tak tertandingi. Bila
Iran mampu mengamankan sumber-sumber daya energinya maka kemandirian Iran
sebagai negara visi peradaban tidak lagi akan terganggu. Kedua, program nuklir
adalah konsensus seluruh rakyat Iran dari semua lapisan dan faksi (Kazhim dan
Hamzah 2007, h. 159).
Program nuklir Iran kini meluas menjadi kasus internasional. Tekanan dan
hambatan dari AS dan Sekutunya terus mengganggu laju perkembangan nuklir Iran.
Bahkan, AS dan Sekutunya menggunakan segala cara untuk menghentikan program
nuklir Iran. Di awal perjalanan pengembangan nuklir Iran, Presiden Ahmadinejad
menyatakan bahwa program nuklir Iran bertujuan damai dan tidak untuk
mengembangkan senjata pemusnah masal. Namun, AS tidak menghiraukan hal ini
dengan tidak mempercayai pernyataan Presiden Ahmadinejad tersebut. Berbagai cara
AS melakukan tekanan terhadap Iran, hingga membawa isu nuklir Iran ke DK-PBB
(Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan menjatuhkan beberapa sanksi
apabila Iran terus mengembangkan program nuklirnya (Desti 2007, h. 86). Tidak
hanya itu, ancaman akan menyerang Iran melalui jalur militer baik darat, laut,
maupun udara pun dikeluarkan AS. Ahmadinejad bukanlah Presiden yang mudah
gentar, Iran tidak terganggu dengan tekanan-tekanan tersebut. Seiring berjalannya
pengembangan nuklir, Presiden Ahmadinejad mensiasati perlunya peningkatan jalur
militer untuk menepis ancaman dan tekanan dari AS.
Sejak pertengahan 2005 Presiden George W. Bush telah beberapa kali
melakukan pembicaraan mengenai serangan militer ke Iran (Kazhim dan Hamzah
5
2007, h. 137). Misalnya, Presiden Bush bekerjasama dengan Israel dan NATO (North
Atlantic Treaty Organization) dalam bidang militer untuk merencanakan perang
nuklir terhadap Iran (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 140). Bila rencana ini terjadi
maka dampak yang terjadi akan semakin meluas hingga ke seluruh dunia.
Untuk melawan kemungkinan serangan militer AS dan Sekutunya, Iran
memperkuat basis militernya dengan menambah produksi tank, angkutan perang,
rudal kapal selam, dan pesawat tempur sejak tahun 1992 (Kazhim dan Hamzah 2007,
h. 165). Iran juga mengembangkan misil fajr-3, hoot kowsar, rudal fateh-110, syahab3 yang merupakan misil-misil balistik Iran yang dapat menjangkau pangkalanpangkalan militer AS di Teluk Persia dan negara-negara Arab (Kazhim dan Hamzah
2007, h. 141). Misil-misil tersebut mampu mendeteksi wilayah sejauh radius 5.000
km. Tidak hanya didukung oleh alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan), kekuatan
militer Iran juga didukung oleh struktur militer dan jenis angkatan bersenjatanya. Iran
memiliki dua jenis angkatan bersenjata, yaitu angkatan bersenjata regular dan
kesatuan Garda Revolusi Islam yang lebih dikenal dengan Sepah Pasdaran (Kazhim
dan Hamzah 2007, h. 166). Tahun 2007 total keseluruhan jumlah pasukan kedua jenis
angkatan bersenjata tersebut 545.000 personil (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 166).
Angkatan militer jenis Sepah Pasdaran ini memiliki milisi sukarelawan yang disebut
dengan Basij. Basij memiliki 90.000 anggota aktif, 300.000 anggota cadangan dan
11.000.000 personil yang siap dimobilisasi setiap waktu (Kazhim dan Hamzah 2007,
h. 166). Hal inilah yang menjadi dilema para petinggi gedung putih dan perwira
pentagon untuk melakukan serangan terhadap Iran.
6
Kazhim dan Hamzah (2007, h. 171) menyatakan bahwa serangan militer AS
terhadap Iran akan memukul banyak kepentingan AS sendiri. Selain itu, strategi
balasan militer Iran kepada AS juga sangat tersusun dengan bagus, baik dari serangan
gerilyawan darat, serangan udara dengan jet-jet tempur milik Iran, maupun melewati
jalur laut dengan kapal-kapal perang Iran yang memiliki teknologi pendeteksi jarak
jauh (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 171). Sejauh ini Iran tidak akan lebih dulu
menyerang AS. Namun, sebaliknya AS pun akan berfikir ulang untuk menyerang Iran
mengingat ketangguhan militer Iran yang sangat meningkat.
Peningkatan militer Iran tersebut sebagai modal keberanian Iran untuk terus
mengembangkan teknologi nuklir yang menjadi hak setiap bangsa untuk kepentingan
damai. Kemudian, strategi AS untuk menjadikan Israel sebagai kekuatan utama di
Timur Tengah belum berhasil, terbukti dengan kegagalan AS dan Israel dalam
menggempur pasukan Hizbullah dalam perang 33 hari di Lebanon, yaitu dengan
3.000 pasukan Hizbullah berhasil melawan dan memukul mundur 50.000 pasukan
Israel yang dibantu oleh pasukan militer AS (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 31).
Kemudian, dengan kegagalan AS dalam menggempur Iran di Teluk Persia ketika
terjadinya perang antara Iran-Irak tahun 1980-1988 (Sihbudi 1999, h. 115). AS
Memanfaatkan situasi dengan mengirimkan pasukan armada lautnya yang pernah
dikerahkan pada Perang Dunia ke II, akan tetapi Iran berhasil menggempur balik
pasukan AS dan Irak dengan menimbulkan beberapa kerusakan material dan fisik
(Sihbudi 1999, h. 117). Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik
untuk membahas lebih lanjut mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap
Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010.
7
B.
Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk menjawab beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Apa kepentingan nasional Iran terkait dengan pengembangan teknologi
nuklir?
2. Bagaimana respon AS terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran?
3. Mengapa AS terus menekan dan mengancam Iran walaupun telah terbukti
oleh IAEA bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran untuk tujuan
damai?
C.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pertanyaan penelitian mengenai Respon Amerika Serikat
Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010, maka penulis mengacu
pada pemahaman Neo-realis dengan tiga konsep turunannya yakni konsep
kepentingan nasional, konsep kebijakan luar negeri, dan konsep keamanan
internasional. Penulis akan merealisasikan pemahaman Neo-realis yang menganggap
bahwa tatanan sistem internasional berada dalam kondisi anarkis, sehingga negaranegara dominan akan muncul untuk terlibat dalam suatu sengketa internasional untuk
menunjukkan dan mendistribusikan kemampuan unit dalam sistem (Burchill dan
Linklater 2009, h. 117). Kemudian, dari tatanan sistem internasional yang anarkis,
muncul suatu dilema keamanan yang berdampak pada pencarian keamanan dengan
menambah kekuatan militer, sehingga semua negara akan mengikuti struktur hirarki
sistem internasional dengan mencari keamanan sebelum dapat menunjukkan fungsi
negara yang lainnya (Burchill dan Linklater 2009, h. 118).
8
Selanjutnya, masuk pada konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar
negeri. Kedua konsep tersebut merupakan konsep turunan dari pemahaman Neorealis. Dari konsep tersebut, penulis akan mendalami bagaimana suatu input dari
kepentingan nasional dan politik luar negeri yang akan terproses lalu membentuk
suatu output yang melahirkan kebijakan luar negeri. Hal ini dikarenakan setiap
kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu negara mengacu kepada
kepentingan nasional. Menurut Frankel (1988, h. 93) kebijakan luar negeri bertujuan
untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan nasional suatu negara. Oleh
sebab itu, kedua konsep ini memiliki peranan yang sangat penting bagi suatu negara
untuk mencapai suatu target dan tujuan yang diinginkan.
Berikutnya
konsep
keamanan
internasional.
Secara
tidak
langsung
peningkatan kekuatan militer merupakan tata cara melindungi negara dari ancaman
negara lain. Sebaliknya, peningkatan militer suatu negara juga dilakukan sebagai
upaya ancaman terhadap negara lain. Konsep ini merupakan konsep lama yang mulai
digunakan pada saat berlangsungnya Perang Dunia I dan II.
Isu nuklir Iran sangat berpengaruh bagi keamanan kawasan Timur Tengah.
Pasalnya, dengan adanya pengembangan nuklir Iran, maka negara-negara di kawasan
Timur Tengah berkeinginan untuk mengembangkan kekuatan militernya untuk
menghadapi ancaman terburuk jika Iran mengembangkan senjata nuklir. Seperti
contohnya Israel yang khawatir kedaulatan negaranya terancam akibat pengembangan
nuklir Iran, sehingga Israel mendesak AS untuk menghentikan pengembangan nuklir
Iran melalui jalur militer (Jamaan 2007, h. 31).
9
Keamanan internasional bersifat global dan dapat mempengaruhi kebijakan
luar negeri suatu negara atau aktor-aktor internasional (Amstutz 1995, dikutip dalam
Jemadu 2008, h. 138). Tentu kebijakan luar negeri yang disusun oleh pemerintah
merupakan wujud dari kepentingan nasional dalam upaya menjaga keamanan
nasional yang mengancam kedaulatan suatu negara. Frankel (1988, h. 93)
mengatakan bahwa “kepentingan nasional merupakan kunci utama dari konsep
kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai
nasionalitas suatu bangsa”. Selebihnya, kepentingan nasional dapat mendeskripsikan
suatu gambaran aspirasi dari rakyat yang dapat diwujudkan dalam suatu gerakan
operasional yang menghasilkan suatu aplikasi kepada perwujudan kebijakan dan
program yang dikeluarkan pemerintah (Frankel 1988, h. 93). Kemudian, menurut
Holsti (1992, h. 3) “kebijakan luar negeri merupakan akar dari politik luar negeri dan
politik luar negeri sendiri merupakan pola perilaku sebuah negara dan juga reaksi
ataupun respon dari negara lain terhadap perilaku tersebut”.
Kebijakan luar negeri yang disusun oleh AS tidak terlepas dari pemikiran
kelompok Neo-konservatif AS yang bekerjasama dengan kelompok Neo-liberalis AS
(Brenner dan Theodore 2002, dikutip dalam Glassman 2004, h. 1527-1528). Kedua
kelompok ini memiliki tujuan yang sama yakni menekan dan melakukan ekspansi
dengan cara baru lebih bersifat soft power yang disebut dengan new-imperialism dari
ekspansi AS sebelumnya pasca Perang Dunia II (Glassman 2004, h. 1527). Neokonservatif dan Neo-liberalis memiliki perbedaan ideologi dan cara penekanan. Bila
Neo-konservatif menekankan kebijakan yang bersifat hard power yaitu menggunakan
jalur militer dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri (Glassman 2004, h. 1528).
10
Sebaliknya Neo-liberal cenderung memilih jalur ekonomi dengan menerapkan
ekonomi global, deregulasi mata uang (Harvey 2003, dikutip dalam Glassman 2004,
h. 1528), dan penyebaran industri global seperti MNC/TNC Multi/Trans National
Corporation di negara-negara maju dan berkembang (Brenner dan Theodore 2002,
dikutip dalam Glassman 2004, h. 1528). Namun, keduanya memiliki tujuan yang
sama yakni melanjutkan imperialisme AS dengan cara baru atau disebut dengan Neoimperialisme. Hubungan antara kedua kelompok ini sangat erat dan sama-sama
melihat kondisi melalui fenomena sosial yang terjadi (Glassman 2004, h. 1527).
Selama pola perencanaan kebijakan masih berada dalam lingkup domestik
maka belum dapat dikategorikan sebagai kebijakan luar negeri. Namun, apabila
kebijakan telah terolah dari input yang terkait kemudian dikembangkan, maka
kebijakan tersebut akan terproses dengan melibatkan berbagai macam pihak yang
terkait baik pemerintah maupun NGO Non-Governmental Organization. Sehingga
pihak pemerintah akan menjadikan kebijakan tersebut sebagai kebijakan luar negeri
untuk melawan ataupun bertahan dari unit politik internasional.
Hal ini sepadan dengan yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani (2007, h.
49) yang menyatakan bahwa “kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara
lain atau unit politik internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan
nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional”.
Selain keamanan internasional, keamanan energi juga dapat menjadi faktor
pertimbangan dalam penentuan kebijakan luar negeri suatu negara (Jemadu, 2008, h.
145). Konflik sering kali timbul karena sumber energi yang terbatas dan karena
11
pemakaian yang eksploitatif oleh suatu negara baik di kawasan maupun secara global.
Oleh sebab itu, tiap negara mulai merencanakan pengembangan energi yang efektif
untuk mengantisipasi adanya krisis energi yang kemungkinan akan terjadi. Adanya
pengalihan krisis energi melalui solusi pengembangan teknologi nuklir merupakan
suatu fenomena yang krusial dan kontroversial. Belakangan ini pengembangan
teknologi nuklir Iran membuat keamanan global menjadi isu penting yang
mengundang perhatian banyak pihak. Namun, langkah tepat yang dilakukan Iran
mengembangkan nuklir untuk mengantisipasi krisis energi yang akan melanda Timur
Tengah justru menjadi ancaman bagi negara lain. Oleh karena itu, pengembangan ini
dianggap akan menimbulkan isu keamanan internasional baru yang tidak hanya
melibatkan negara di kawasan Timur Tengah, namun juga melibatkan negara di
seluruh kawasan.
Sarkesian 1989 yang dikutip dalam Jemadu (2008, h. 139-140) mendefinisikan
bahwa :
the confidence held by the great majority of the nation’s people that the
nation has the military capability and effective policy to prevent its
adversaries from effectively using force in preventing the nation’s
pursuit of its international interest. Keyakinan dimiliki oleh mayoritas
masyarakat suatu negara dengan menggunakan kapabilitas militer dan
kebijakan yang efektif dalam mencegah musuh untuk menggunakan
kekuatan militer untuk mengacaukan kepentingan internasional.
(Terjemahan Penulis).
Pada dasarnya keamanan internasional merupakan state of mind (Jemadu
2008, h. 140) yang terikat dalam suatu entitas politik yang bernama negara. State of
mind tersebut tidak datang dengan sendirinya melainkan didasarkan pada basis
material kapabilitas nasional yaitu kekuatan militer yang di dukung oleh unsur-unsur
12
kepentingan, dan kekuatan nasional lainnya (Jemadu 2008, h. 140). Dalam hal ini,
Iran telah memiliki state of mind dengan didukung beberapa kepercayaan diri tidak
hanya dalam kemampuan mengembangkan teknologi nuklir, namun juga dalam
bidang militer baik strategi maupun sistem persenjataan, politik luar negeri, dan
semangat nasionalis Revolusi Islam Iran yang dinamakan oleh Presiden Ahmadinejad
merupakan revolusi ke-3 yaitu melawan hegemoni AS dan Israel.
Penggunaan kekuatan militer oleh negara tidak semata-mata hanya terbatas
pada masa perang saja. Sekurang-kurangnya ada empat fungsi kekuatan militer dalam
politik internasional (Jemadu 2008, h. 146-147). Pertama, kekuatan militer
diproyeksikan sebagai prestige power di mana suatu negara menunjukkan
keunggulan militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan daya penghancur
yang dapat menggentarkan musuh. Hal ini biasanya ditunjukkan ketika suatu negara
baru menyelesaikan proyek alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan) baru, atau
biasanya ditunjukkan ketika perayaan kemerdekaan, dan perayaan hari Angkatan
Bersenjata untuk menunjukkan dan mengirim sinyal tanda kepada musuh tentang
peningkatan kekuatan militer suatu negara. Kedua, kekuatan militer digunakan
sebagai deterrence power atau kekuatan penangkal. Yakni lebih jelasnya suatu negara
meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila benar melakukan
tindakan militer yang tidak dikehendaki, kredibilitas tersebut tentu mempengaruhi
efektivitas dari ancaman militer lawan dan bahkan dapat memberikan tekanan balik
kepada lawan. Ketiga, kekuatan militer dibangun sebagai kekuatan defensif untuk
melindungi diri dari kekuataan musuh. Defensive power dapat berupa peningkatan
anggaran belanja militer, dan uji coba alutsista baru yang bertujuan untuk melindungi
13
diri dari serangan musuh. Keempat, kekuatan militer juga dapat digunakan sebagai
alat pemaksa atau coercive diplomacy guna menekan suatu negara agar mengikuti
keinginan dari negara yang menekan atau minimal melakukan suatu tindakan tertentu,
dalam konteks ini kekuatan militer berfungsi sebagai compellent power (Amstutz
1995, dikutip dalam Jemadu 2008, h. 147), misalnya seperti pelatihan gabungan
militer AS dengan militer negara-negara Arab di Timur Tengah bertujuan agar Iran
menghentikan pengayaan uranium nuklirnya. Namun, justru sebaliknya dengan
ancaman dan tekanan AS dan Sekutu membuat Iran semakin percaya diri dan mandiri
dalam mengembangkan militernya untuk melawan kemungkinan serangan-serangan
militer AS dan sekutu ke instalasi nuklir, dan kota-kota besar Iran.
Penggunaan kekuatan militer tidak terlepas dari kebijakan suatu negara dalam
menyikapi isu keamanan internasional yang mengancam negaranya. Tentunya negara
yang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kekuatan militernya telah siap untuk
menghadapi lawan dengan segala resiko yang akan terjadi. Apabila suatu negara
berhasil mengalahkan suatu lawan melewati jalur peperangan maka tingkat
kepercayaan diri suatu negara tersebut semakin meningkat baik di kawasan maupun
di dunia. Selain itu, negara-negara lain juga akan menganggap prestige dalam
percaturan politik internasional. Peningkatan militer tersebut dapat ditinjau kepada
tujuan awal suatu negara yang bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional dari
ancaman negara lain. Oleh sebab itu, dirumuskanlah kebijakan luar negeri untuk
mewujudkan kepentingan nasional tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Mas’oed (1990, h. 184) yaitu “kebijakan luar
negeri yang dirumuskan oleh suatu negara memang bertujuan untuk mencapai
14
kepentingan masyarakat suatu negara meskipun kepentingan nasional suatu bangsa
pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu”. Dapat diketahui
bahwa kepentingan nasional tidak memandang siapakah pemimpin negaranya dan
pada waktu kapankah memimpin suatu negara. Kepentingan nasional adalah hal yang
mutlak menjadi perhitungan setiap pemerintahan suatu negara. Selebihnya,
kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan
internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun
menganjurkan perilaku internasional (Mas’oed 1990, h. 162). Karena kepentingan
nasional merupakan konsep abstrak yang meliputi berbagai kategori dan keinginan
dari suatu negara yang berdaulat (Mas’oed 1990, h. 162).
Dari kepentingan nasional beranjak kepada perumusan formulasi kebijakan
luar negeri. Perumusan ini harus memperhatikan situasi yang mencangkup faktor
eksternal, domestik, dan kondisi kontemporer historis yang dianggap pembuat
kebijakan luar negeri relevan dengan setiap masalah politik tertentu (Holsti 1992, h.
469). Adapun formulasi kebijakan luar negeri harus meliputi kejadian-kejadian
penting, kebutuhan-kebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan
imperatif ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman,
kesempatan yang dirasakan dalam suatu situasi, konsekuensi yang telah diduga, biaya
untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan situasi
tertentu (Holsti 1992, h. 469).
Dengan demikian, ketiga konsep yang merupakan turunan dari pemahaman
Neo-realis yakni konsep kebijakan luar negeri, konsep kepentingan nasional, dan
konsep keamanan internasional yang saling berkesinambungan kiranya relevan untuk
15
membahas lebih lanjut mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan
Teknologi Nuklir Iran 2005-2010.
D.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penulis memperhatikan bahwa
data kualiatif dapat dianalisis dalam berbagai format, termasuk di antaranya kajian
peluang yang ditawarkan oleh format riset observasi (termasuk observasi partisian),
wawancara, riset sumber dokumen, dan riset media (Harison 2007, h. 85). Dengan
kajian format riset observasi tersebut maka penelitian kualitatif memberikan
kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar (Harison 2007, h. 86).
Metode kualitatif ini juga didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati (Moleong 2002, h. 3). Selain itu, pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif ini meliputi tiga tipe, yaitu observasi, interview, dan
dokumen yang masing-masing mempunyai fungsi dan keterbatasan (Creswell 1994,
h. 149). Berdasarkan kepada tipe-tipe tersebut penulis lebih menggunakan data-data
yang bersifat primer yakni data-data yang penulis dapatkan dari hasil wawancara
dengan Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Politik Timur Tengah P2P
LIPI (Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta.
Kemudian data-data sekunder yang penulis dapatkan melalui sumber kepustakaan
seperti buku, jurnal, laporan kerja, tesis dan berita online.
Dengan sumber data primer dan sekunder tersebut diharapkan membantu
penulis untuk menggambarkan dan memaparkan lebih dalam mengenai Respon
16
Amerika Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010. Selain
itu juga diharapkan data-data kepustakaan dan tipe-tipe pengumpulan data kualitatif
ini bisa mengidentifikasikan motif-motif dibalik tekanan AS terhadap pengembangan
teknologi nuklir Iran.
E.
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Kerangka Pemikiran
D.
Metode Penelitian
E.
Sistematika Penulisan
BAB II
Politik Luar Negeri AS Terhadap Iran
A.
Politik Global Amerika Serikat
B.
Pengaruh Kelompok Neo-Konservatif AS Terhadap Formulasi
Kebijakan Luar Negeri AS
C.
D.
BAB III
A.
Kepentingan AS Terhadap Iran
C.1.
Sebelum Revolusi Islam Iran 1979
C.2.
Pasca Revolusi Islam Iran 1979-2010
Embargo Ekonomi, Senjata Militer dan Pengisolasian Terhadap Iran
Kebijakan Pengembangan Teknologi Nuklir Iran
Program Pengembangan Teknologi Nuklir Iran Tahun 2005-2010
17
B.
Diplomasi Iran Dalam Mempertahankan Pengembangan Teknologi
Nuklir
B.1.
Diplomasi Iran Melawan Tekanan AS dan Sekutunya
B.2.
Diplomasi Iran Terhadap IAEA (International Atomic Energy
Agency)
C.
Posisi Iran Dalam Keanggotaan NPT (Nuclear Non-Proliferation
Treaty)
D.
BAB IV
Kebijakan Peningkatan Kekuatan Militer Iran
Analisa Respon Amerika Serikat Terhadap Pengembangan
Teknologi Nuklir Iran Tahun 2005-2010
A.
Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran
A.1.
Kebijakan AS dan Sekutu Terhadap Pengembangan Nuklir
Iran
A.2.
B.
BAB V
A.
Solusi Diplomasi Kepada Iran
Masa Depan Hubungan Bilateral Iran-AS
Penutup
Kesimpulan
BAB II
POLITIK LUAR NEGERI AS TERHADAP IRAN
Dalam Bab II ini penulis mencoba memaparkan aspek-aspek mengenai pola
pemikiran politik global AS yang digunakan sebagai bahan formulasi penyusunan
kebijakan luar negeri AS. Penulis akan melihat peran kelompok Neo-konservatif AS
dalam merumuskan dan menentukan arah kebijakan luar negeri AS. Selain itu,
penulis mencoba mengeksplorasi berbagai macam kepentingan-kepentingan AS di
Iran sebelum terjadinya Revolusi Islam Iran 1979 hingga pasca Revolusi Islam Iran
1979. Pembahasan mengenai kepentingan AS terhadap Iran akan juga memperhatikan
struktur sistem internasional pada saat itu. Pada bagian akhir di Bab II ini, penulis
membahas mengenai sikap AS dalam mendorong Sekutu-sekutunya termasuk IAEA
International Atomic Energy Agency dan DK-PBB untuk menekan Iran terkait
pengembangan teknologi nuklir Iran yang dituding AS menuju pengembangan
senjata nuklir.
A.
Politik Global Amerika Serikat
Pada awal kemerdekaan AS yang dideklarasikan pada tanggal 4 Juli 1776
politik luar negeri AS yang bersifat ekspansionis belum terlihat nyata. Hal ini
dikarenakan masih banyak urusan dalam negeri AS yang harus dibenahi dan
dikonsolidasikan. Misalnya, semua negara bagian AS masih memerlukan
perlindungan dan pembenahan pasca memperoleh kemerdekaan dari Inggris Raya
(Hendrajit et al. 2010, h. 99). Sejak merdeka, AS menerapkan pemerintahan federal
18
19
yang didasarkan pada konstitusi yang menyatakan bahwa dalam rangka awal
kemerdekaan pemerintah federal ini harus dapat melindungi seluruh negara bagian
AS dari ancaman dan serangan luar dan ancaman kekerasan dalam negeri (Alamudi
1989, h. 33-34). Misalnya, pemerintah federal AS harus dapat membendung
serangan-serangan militer Inggris Raya pasca pelepasan wilayah jajahannya. Hal ini
dikarenakan keadaan AS yang baru merdeka masih sangat rentan mengalami konflik
internal karena keadaan infrastruktur AS yang belum tersusun dengan baik (Alamudi
1989, h. 33).
Presiden pertama AS yaitu George Washington yang menjadi Presiden AS
pada 1776 memiliki kebijakan luar negeri yang bersikap netral dan melakukan
kerjasama dengan negara-negara Eropa (Hendrajit et al. 2010, h. 100). Kerjasama ini
dibangun atas dasar mutualisme yakni kerjasama yang saling menguntungkan antara
pihak AS dengan negara-negara Eropa. Alamudi (1989, h. 33-34) mengatakan bahwa
menurut Presiden George Washington, setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris
Raya, AS membutuhkan kerjasama dengan negara-negara kaya Eropa untuk
membangun sektor internal. Oleh sebab itu, AS meyakinkan keadaan dalam negeri
yang aman kepada negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman dan
Spanyol dengan tujuan negara-negara tersebut mau mengadakan kerjasama ekonomi
dengan AS (Alamudi 1989, h. 34).
Menurut Hendrajit et al. (2010, h. 100) politik luar negeri AS yang
ekspansionis mulai terlihat ketika AS dipimpin oleh Presiden James Monroe yang
menjadi Presiden AS pada tahun 1823. Walaupun Presiden Monroe masih
menerapkan prinsip netral, namun keinginan untuk menjadi negara kuat, mapan dan
20
mandiri mulai terlihat. Presiden Monroe menginginkan agar AS dikatakan sebagai
negara yang patut diperhitungkan oleh negara-negara lainnya. Oleh sebab itu,
ekspansi pertama AS dilancarkan pada masa kepemimpinan Presiden Monroe dengan
megincar wilayah Amerika Latin (Hendrajit et al. 2010, h. 100). Smith (1996 dikutip
dalam Hendrajit et al. 2010, h. 100-101) memaparkan terdapat dua alasan yang
menjadikan Amerika Latin sebagai target pertama ekspansi politik luar negeri AS,
pertama, AS ingin menunjukkan ketangguhannya untuk menjaga dan mengatur dunia
dimulai dari kawasan terdekatnya yakni Amerika Latin. Kedua, pelebaran sayap
kapitalis AS untuk membuka akses pasar di Amerika Latin.
Pada era sebelum meletusnya Perang Dunia I yakni pada 1916, AS
memperlunak politik luar negerinya yang bersifat ekspansionis. Bahkan ketika Perang
Dunia I meletus AS menyatakan tidak ingin terlibat. Akan tetapi, secara perlahan
ketika supremasi militer angkatan laut AS diganggu oleh Jerman, perilaku agresor
militer AS mulai terlihat kembali. Setelah kapal-kapal dagang milik AS
ditenggelamkan oleh Jerman pada 1917, AS menyatakan perang terbuka terhadap
Jerman pada Perang Dunia I (Hendrajit et al. 2010, h. 106). Pasca Perang Dunia I, AS
muncul sebagai negara pemenang dan mulai terlibat dalam upaya-upaya perdamaian
dunia. Misalnya, AS dibawah Presiden Woodrow Wilson mempelopori terbentuknya
LBB (Liga Bangsa-Bangsa) pada tanggal 10 Januari 1920 dengan tujuan terwujudnya
perdamaian dunia dan rekonstruksi kesejahteraan global pasca Perang Dunia I
(Hendrajit et al. 2010, h. 106). Akan tetapi, keberadaan LBB ini tidak bertahan lama,
dikarenakan dasar politik luar negeri AS yang ekspansionis dan sistem internasional
yang anarkis sehingga menyebabkan meletusnya kemelut Perang Dunia II pada 1939.
21
Memasuki Perang Dunia II, AS semakin menjadi negara yang diperhitungkan
di dunia. Hendrajit et al. (2010, h. 106) menambahkan bahwa AS yang terlibat
langsung dalam Perang Dunia II menganggap bahwa keterlibatannya adalah karena
AS sebagai polisi dunia berhak untuk turut serta menjaga dan membantu Sekutusekutunya yakni Inggris, Polandia dan Perancis dari serangan-serangan militer
Jerman dan Italia. Terlebih pelabuhan militer AS Pearl Harbor pun ikut diserang
oleh pasukan Jepang. Keadaan ini semakin memperkeruh kondisi internasional pada
waktu berlangsungnya Perang Dunia II. Kemudian, kelompok sekutu yang keluar
sebagai pemenang Perang Dunia II yang dipimpin oleh AS semakin melebarkan
sayapnya untuk melanjutkan kiprahnya di dunia. AS bersama negara-negara sekutu
lainnya yakni Inggris, Perancis dan Polandia kembali membawa dunia ke tatanan
perdamaian.
Pasca berakhirnya Perang Dunia II, AS melakukan pembangunan di wilayah
Eropa Barat yang mengalami kehancuran akibat perang melalui kucuran dana yang
disebut dengan Marshall Plan (Anwar 2003, h. 9). Dengan itulah secara mudah
Eropa Barat menjadi sekutu AS dan berada diorbit genggaman AS. Selain itu, AS
juga mulai memperlunak kebijakan luar negeri ekspansionisnya. Justru sebaliknya AS
mulai membangun dunia lebih ke arah perdamaian dan kerjasama multilateral.
Faktanya, AS merupakan negara pelopor atas terbentuknya PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) pada tanggal 24 Oktober 1945, yang sebelumnya AS juga
merupakan pelopor terbentuknya LBB (Liga Bangsa-Bangsa) pada 10 Januari 1920,
juga disusul dengan berdirinya IMF International Monetary Fund pada 27 Desember
1945, dan World Bank bersamaan dengan dibentuknya IMF (Anwar 2003, h. 10).
22
Berdirinya badan-badan internasional tersebut tidak terlepas dari dorongan AS yang
menginginkan tatanan dunia yang damai dan kooperatif. Pada lembaga IMF dan
World Bank, AS merupakan penyandang dana terbesar dengan tujuan membantu
perekonomian negara-negara lain yang sedang berkembang (Anwar 2003, h. 10).
Terbentuknya PBB juga merupakan wujud dari keinginan AS untuk
menjadikan tatanan dunia menuju arah perdamaian dan kesejahteraan. Akan tetapi
idealisme tentang tatanan dunia baru yang damai yang sepenuhnya diatur oleh PBB
dan hukum internasional tidak berlangsung lama. Munculnya perang dingin Cold
War antara blok Barat kapitalis yang dipimpin oleh AS melawan blok Timur komunis
yang dipimpin oleh Uni Soviet (Sekarang Rusia) mengikis supremasi kedaulatan PBB
sebagai badan internasional tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan selama Perang
Dingin terjadi, sistem internasional lebih dikontrol oleh perimbangan kekuatan
Balance of Power antara kedua blok ketimbang diatur oleh PBB (Anwar 2003, h. 10).
Selain itu, selama Perang Dingin berlangsung antara AS dan Uni Soviet tidak
melakukan serangan-serangan langsung terbuka oleh kedua negara. AS dan Uni
Soviet lebih mengincar pengaruh global dengan membentuk blok pertahanan masingmasing yang bertujuan menarik negara-negara netral untuk tidak berpihak pada blok
lawan (Anwar 2003, h. 12).
Pada saat berlangsungnya Perang Dingin, AS menerapkan kebijakan
mengenai proliferasi senjata nuklir. Salah satu bentuknya adalah dengan
mempelopori terbentuknya perjanjian NPT pada 1968 (Nuclear-Non Proliferation
Treaty) (Jamaan 2007, h. 38). Perjanjian NPT dimaksudkan untuk membatasi jumlah
pemilik senjata nuklir hanya kepada negara anggota tetap DK-PBB yakni AS, Rusia,
23
Cina, Perancis, dan Inggris. Adanya persaingan antara AS dan Uni Soviet (Sekarang
Rusia) menyebabkan kedua negara tersebut saling berlomba-lomba mengembangkan
senjata nuklir sebagai upaya deterrence power (Karyono 2005, h. 30). Selain itu,
Winingsih (2009, h. 28) menambahkan bahwa AS berupaya agar negara-negara yang
tidak sejalan dengan kepentingannya tidak dapat mengembangkan senjata nuklir. Hal
ini
dikarenakan
AS
khawatir
kepentingannya
terganggu
dengan
adanya
pengembangan nuklir negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan AS.
Untuk megatasi hal tersebut, maka AS menerapkan kebijakan standar ganda
mengenai nuklir. Standar ganda tersebut dengan membantu pengembangan senjata
nuklir milik India, Pakistan, dan Israel yang pada dasarnya tidak terdaftar dalam
perjanjian NPT dan badan IAEA (Winingsih 2009, h. 27-28). Hal ini dikarenakan
negara-negara tersebut merupakan sekutu AS, terutama Israel yang begitu penting
bagi AS untuk dapat melawan pengembangan nuklir Iran di kawasan Timur Tengah
(Rahman 2003, h. 206). Hingga perang dingin berakhir pada 1991 yang dimenangkan
oleh AS, kebijakan standar ganda nuklir yang diterapkan AS tersebut terus
diberlakukan. Hal ini semakin menunjukkan sikap ketidakadilan AS terhadap negaranegara yang mengembangkan nuklir dan telah tunduk dibawah aturan NPT dan IAEA
(Jamaan 2007, h. 45).
Kemudian, Anwar (2003, h. 16) mengatakan bahwa pasca Perang Dingin di
bawah kepemimpinan Presiden Bill Clinton periode 1992-1996 dan 1996-2000,
kebijakan luar negeri AS berubah dari unilateralis menjadi multilateralis. Presiden
Clinton lebih mengedepankan multilateralisme (kerjasama dengan berbagai negara)
ketimbang unilateralisme (sikap melakukan tindakan sepihak tanpa memperdulikan
24
kedaulatan negara lain) dengan mengedepankan kerjasama dan diplomasi dalam
menyelesaikan sengketa internasional (Jafar 1996, h. 113). Hal ini sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai Partai Demokrat sebagai Partai Presiden Clinton. Anwar (2003, h. 16)
menambahkan bahwa Partai Demokrat sangat mengedepankan pada proses
multilateral dan kerjasama internasional. Selain itu, Partai Demokrat sering disebut
dengan kelompok Dove karena lebih mengutamakan penggunaan diplomasi daripada
jalur militer dalam menyelesaikan konflik. Para anggota Partai Demokrat lebih
mengedepankan pelebaran pengaruh AS ke seluruh dunia dengan menempuh nilainilai soft power (Anwar 2003, h. 16). Kemudian, Nye (2002, h. 138) mengatakan
bahwa bentuk soft power AS tersebut misalnya dengan mempromosikan nilai
demokrasi, menjunjung Hak Asasi Manusia, menyebarkan konsep ekonomi liberal
dan memberikan bantuan finansial bagi negara yang membutuhkan pinjaman ataupun
pemberian dana akibat krisis yang melanda suatu negara. Tidak hanya itu, Nye juga
menilai bahwa soft power sangat berperan dalam menumbuhkan pengaruh AS di
dunia. Menurut Nye (2002, h. 140) hal tersebut salah satunya berakibat kepada
semakin banyak para pelajar di seluruh dunia yang menginginkan untuk melanjutkan
studinya di AS.
Di bawah kepemimpinan Presiden George W. Bush periode 2000-2004 dan
2004-2008, kebijakan luar negeri AS kembali menjadi unilateralis. Kebijakan luar
negeri Presiden Bush yang demikian dipengaruhi oleh nilai-nilai Partai Republik
yang merupakan Partai Presiden Bush. Anwar (2003, h. 16) mengatakan bahwa Partai
Republik menganggap politik internasional didominasi oleh persaingan militer antar
negara untuk menentukan negara mana yang paling dominan. Oleh sebab itu, Partai
25
Republik sering disebut sebagai kelompok Hawkish yang dikuasai oleh orang-orang
Neo-konservatif AS (Yuliantoro 2005, h. 96), hal ini dikarenakan Partai Republik
lebih mengedepankan cara hard power yakni lebih mengutamakan jalur ekspansif dan
militeristik dalam penyusunan kebijakan dan strategi luar negerinya (Hendrajit et al.
2010, h. 116). Namun demikian, Nye (2002, h. 141) mengatakan bahwa antara hard
power dan soft power sama-sama penting dan sangat dibutuhkan bagi kelangsungan
kebijakan luar negeri AS.
Waltz (2000, dikutip dalam Anwar 2003, h. 13-14) mengatakan bahwa
terdapat tiga faktor yang mendorong munculnya sikap arogansi dan unilateralisme
AS. Pertama, runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin sehingga AS
merupakan satu-satunya negara adidaya yang tersisa. Dengan sendirinya tidak ada
negara lain yang berani menghalangi keinginan AS untuk mengambil tindakan demi
menjaga kepentingan nasionalnya. Kedua, kekuatan ekonomi AS yang sangat
dominan melebihi Uni Eropa dan Jepang. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan
AS pada perdagangan internasional relatif rendah mengingat 90 persen dari
produksinya untuk konsumsi dalam negeri dan pasar AS merupakan tujuan ekspor
utama bagi negara-negara lain. Ketiga, kenyataan bahwa kemampuan militer AS
merupakan terbesar di dunia cenderung meningkat. Walaupun Perang Dingin telah
berakhir, AS tetap meningkatkan anggaran belanja militernya untuk melindungi
kepentingan nasionalnya dan meningkatkan kemampuan militer Sekutu-sekutunya
yang tergabung dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization) (Anwar 2003, h.
14).
26
Sikap unilateralisme AS semakin terlihat pasca tragedi 9/11. Tragedi ini
sekaligus memalukan AS yang dalam sejarahnya tidak pernah terkena dampak buruk
oleh serangan-serangan dari luar. Pasca tragedi ini, AS di bawah kepemimpinan
Presiden Bush semakin menunjukkan kapabilitasnya sebagai negara adidaya. Jinsa
Online (4 Juni 2002, dikutip dalam Anwar 2003, h. 21-22) melaporkan bahwa
Presiden Bush mengeluarkan doktrinya yang dikenal dengan sebutan “Doktrin Bush”
yang pertama kali dikeluarkan pada 1 Juni 2002 dihadapan wisudawan Akademi
militer AS West Point. Isi doktrin tersebut adalah:
We cannot defend America and our friends by hoping for the best. We
cannot put our faiths in the word of tyrants who solemnly sign nonproliferation treaties and then systematically break them. If we wait
for threats to fully materialize we will have waited too long. Kita tidak
dapat mempertahankan Amerika dan sekutu kita untuk berharap yang
terbaik. Kita tidak dapat menaruh kepercayaan kepada negara
pembangkang yang menandatangani perjanjian pelarangan penyebaran
senjata nuklir yang kemudian mereka melanggarnya. Jika kita
menunggu ancaman sampai terjadi maka kita akan menunggu terlalu
lama. (Terjemahan Penulis)
Selain itu, Jinsa Online (4 Juni 2002, dikutip dalam Anwar 2003, h. 21-22)
juga menambahkan Doktrin perkataan Bush selebihnya yaitu:
the war on terror will not be won on the defensive. We must take the
battle to the enemy, disrupt his plans and confront the worst threats
before they emerge. A military that must be ready to strike at a
moment’s notice in any dark corner of the world. Perang melawan
terorisme tidak akan menang dengan cara bertahan. Kita harus
mengambil langkah perang, mengganggu rencana mereka dan
mengkonfrontasi hingga ancaman terburuk sebelum mereka
mengancam. Militer harus siap untuk menyerang sekalipun di ujung
dunia. (Terjemahan Penulis)
Pandangan inilah yang merupakan kelanjutan dari Doktrin Pre-emptive
strike (melakukan penyerangan terhadap musuh sebelum musuh melakukan ancaman
27
dan mengambil tindakan lebih) (Hasibuan 2003, dikutip dalam Anwar 2003, h. 18).
Doktrin Pre-emptive strike tersebut merupakan doktrin yang diusung oleh Presiden
Bush beserta tokoh-tokoh Neo-konservatif AS yang berpandangan unilateralisme
(Anwar 2003, h. 20). Tokoh-tokoh tersebut di antaranya Wakil Presiden Dick
Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Richard Perle sebagai Kepala Dewan
Kebijakan Pertahanan, dan Paul Wolfowitz sebagai Wakil Menteri Pertahanan
(Kazhim dan Hamzah 2007, h. 126). Oleh sebab itu, bentuk formulasi kebijakan luar
negeri AS tidak terlepas dari peran tokoh Neo-konservatif AS tersebut yang disebut
dengan invisible government (Hendrajit 2010, h. 83). Sekalipun AS dipimpin oleh
Presiden yang berhaluan multilateral, kelompok Neo-konservatif tetap menjadi
penyusun utama kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS (Hendrajit 2010, h.
83). Untuk lebih jelas, pada bagian berikut penulis akan membahas bagaimana
kelompok Neo-konservatif AS mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.
B.
Pengaruh
Kelompok
Neo-Konservatif
AS
Terhadap
Formulasi
Kebijakan Luar Negeri AS
Anwar (2003, h. 20) menjelaskan bahwa formulasi kebijakan luar negeri AS
tidak terlepas dari peranan pemikiran kelompok Neo-konservatif AS. Kebijakan luar
negeri yang unilateralis dengan mengutamakan dominasi militer merupakan ciri khas
dari kelompok Neo-konservatif AS (Anwar 2003, h. 16-17).
Kelompok Neo-konservatif mulai berkembang pada 1917, dipelopori oleh
para pemikir alumni Universitas Yale yang kini disebut dengan Skull and Bones
28
(Hendrajit et al. 2010, h. 82). Jaringan yang sudah tersusun sejak 1917 ini sulit untuk
dikalahkan. Sejak awal perkembangannya, tercatat beberapa nama-nama tokoh Neokonservatif AS yang sangat berpengaruh terhadap formulasi kebijakan luar negeri
AS. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Percy Rockefeller, Avrill Harriman, dan
McGeorge. Ketiga tokoh tersebut sangat diperhitungkan keberadaannya. Hal ini
dikarenakan tokoh-tokoh tersebut merupakan penguasa perusahaan-perusahaan besar
AS seperti Standart Oil, Brown Brothers, Harriman Banking, Halliburton, dan
Manhattan.
Yuliantoro (2005, h. 97) mengatakan bahwa tujuan dari kelompok Neokonservatif AS adalah untuk mempertahankan dominasi AS diseluruh dunia dengan
segala cara. Selain itu, Wolfowitz (2000, dikutip dalam Anwar 2003, h. 17) juga
menambahkan bahwa visi utama kelompok Neo-konservatif AS pasca Perang Dingin
adalah menjaga ketertiban dunia dengan mempertahankan hegemoni AS terutama
keunggulan militernya serta mencegah negara lain untuk membangun kemampuan
yang dapat menyaingi hegemoni AS, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti
Eropa Barat, Asia Timur, wilayah bekas Uni Soviet dan Asia Barat Daya. Hal ini
yang menyebabkan para tokoh Neo-konservatif memilih untuk bertindak secara
unilateralisme dalam mengeluarkan kebijakan luar negerinya.
Kelompok Neo-konservatif AS merupakan tokoh-tokoh kunci AS yang
berpahaman realist (pemikiran bahwa politik internasional didominasi oleh
persaingan militer antar negara) (Anwar 2003, h. 17). Pasca Perang Dingin peran
kaum Neo-konservatif sangat terlihat. Runtuhnya Uni Soviet menjadikan para tokoh
Neo-konservatif semakin percaya diri tampil mendunia. Dengan pemahaman
29
realisnya, tokoh-tokoh Neo-konservatif AS secara umum menilai bahwa AS
merupakan negara yang tepat untuk menjadi hegemoni dunia. Ikenberry (1989,
dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 94-95) mengatakan bahwa kelompok Neokonservatif yakin bahwa AS dapat menjadi pemeran utama yang mengatur sistem
politik dan ekonomi internasional dengan memberikan penekanan bahwa AS
memiliki kemampuan materi seperti kekuatan militer dan ekonomi untuk
mempertahankan hegemoni. Hal ini bertentangan dengan pemahaman para aliran
materialis sejarah yang memandang bahwa kekuatan sosial, nilai, teori, norma,
ideologi sama pentingnya dengan kekuatan militer dan ekonomi bagi sebuah negara
untuk mendapatkan dan menjalankan hegemoni (Yuliantoro 2005, h. 95).
Pasca berlalunya Perang Dingin hingga terjadinya peristiwa 9/11 pada 2001,
kelompok Neo-konservatif AS mencapai puncak kejayaannya sekaligus memperkuat
pembenarannya sebagai negara hegemoni yang mendominasi geopolitik, ekonomi,
dan militer dunia (Yuliantoro 2005, h. 96). Hal ini dikarenakan AS yang dikuasai
oleh kelompok Neo-konservatif semakin yakin bahwa peran hegemoni AS sangat
dioptimalkan untuk mencegah bangkitnya kekuatan utama tandingan dan
mempertahankan dominasi AS dalam politik dan ekonomi internasional (Yuliantoro
2005, h. 96).
Hirsh (2002, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97) mengatakan bahwa
kelompok Neo-konservatif semakin menunjukkan kekuatannya setelah mengeluarkan
pernyataan politik luar negeri yang disebut go it alone (menentukan dan menjalankan
politik dan kebijakan luar negeri tanpa mempertimbangkan kedaulatan negara lain).
Pernyataan tersebut merupakan strategi yang dikembangkan oleh jaringan-jaringan
30
Neo-konservatif AS yang juga disebut sebagai Neo-imperialis (Hirsh 2002, dikutip
dalam Yuliantoro 2005, h. 97). Kelompok Neo-konservatif tersebut mencoba
mempertahankan hegemoni AS dalam regulasi sistem internasional. Bahkan, Foster
(2003, dikutip dalam Yuliantoro 2005, h. 97) mengatakan Neo-konservatif
memberanikan diri dengan menginginkan terbentuknya sebuah imperium AS dengan
didukung oleh kekuatan militer yang tak tertandingi.
Peran kelompok Neo-konservatif semakin terbuka ketika AS dipimpin oleh
Presiden George W. Bush. Dalam kepemimpinannya periode 2000-2004 dan 20042008, Presiden Bush menjadikan tokoh-tokoh Neo-konservatif masuk ke dalam
penentu kebijakan luar negeri AS. Hal ini dikarenakan, seperti yang sudah penulis
jelaskan di atas, Presiden Bush berasal dari Partai Republik yakni Partai yang
dikuasai oleh kelompok Neo-konservatif AS. Oleh sebab itu, segala kebijakan yang
akan dikeluarkan oleh Presiden Bush harus melalui perundingan antara Presiden Bush
dengan tokoh-tokoh Neo-konservatif AS. Adapun tokoh Neo-konservatif di sekeliling
Presiden Bush yang sangat berpengaruh adalah Max Boot yang merupakan mantan
editor Wall Street Journal yang pada masa pemerintahan Presiden Bush bergabung
dengan The Council on Foreign Relations (Boot 2001, dikutip dalam Yuliantoro
2005, h. 99). Hingga saat ini Boot merupakan salah satu tokoh Neo-konservatif yang
sangat berpengaruh di Washington (Yuliantoro 2005, h. 99). Selain itu, beberapa
tokoh Neo-konservatif AS lainnya seperti Paul Wolfowitz mantan Wakil Menteri
Pertahanan AS yang sekarang menjadi Presiden Direktur Bank Dunia, ketua Dewan
Kebijakan Pertahanan Richard Pelre, penerbit Weekly Standart yaitu William Kristol,
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, John Bolton
31
Asisten Menlu Bidang Kontrol Senjata, dan Lewis Libby Kepala Staf Kantor Wakil
Presiden (Time 10 September 2001, h. 32-33). Semua tokoh-tokoh tersebut
merupakan tokoh-tokoh pemikir Neo-konservatif di sekeliling Presiden Bush yang
mengembangkan pemikiran imperialis menuju Imperium AS sejak bergabung dalam
pemerintahan Presiden Bush Senior (Time 10 September 2001, h. 33).
Anwar (2003, h. 17) mengatakan bahwa dalam pandangan kelompok Neokonservatif yang menggunakan pemahaman realis, prioritas garis keras yang diambil
pada kebijakan luar negeri AS adalah melindungi kepentingan nasional AS, terutama
keamanan
nasional,
tanpa
perlu
mempertimbangkan
komitmen-komitmen
internasional yang selama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, AS
harus berani bertindak secara unilateral demi menjaga kepentingan nasionalnya.
Selama Neo-konservatif berkuasa, AS tidak akan segan-segan untuk menggunakan
kekuatan militernya demi menjaga keamanan nasionalnya, karena militer dianggap
sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional (Anwar 2003, h. 17). Bagi
kelompok Neo-konservatif kritikan dan kecaman dari negara-negara lain tidak
menjadi pertimbangan atas tindakan unilateralisme AS. Hal yang terpenting adalah
menjaga kepentingan nasionalnya termasuk di antaranya melindungi warga negara
AS baik yang berada di dalam AS maupun di luar AS, dan melindungi keamanan
nasionalnya (Jafar 1996, h. 117).
Jafar (1996, h. 117) menjelaskan tujuh aspek kepentingan nasional AS yang di
utarakan oleh Anthony Lake selaku Mantan National Security Advisor AS pada masa
Presiden Bill Clinton yang kemudian diteruskan hingga kepemimpinan Presiden
George W. Bush. Pertama, kepentingan nasional AS untuk mempertahankan AS,
32
warga negaranya yang berada di dalam maupun luar negeri, dan para sekutu AS dari
berbagai bentuk serangan langsung. Kedua, untuk mencegah timbulnya agresi yang
dapat mengganggu perdamaian internasional. Ketiga, untuk mempertahankan
kepentingan ekonomi AS. Keempat, untuk mempertahankan dan menyebarluaskan
nilai-nilai demokrasi. Kelima, untuk mencegah proliferasi senjata nuklir. Keenam,
untuk menjaga rasa percaya dunia internasional terhadap AS, untuk itu AS harus
selalu mempertahankan komitmen-komitmen internasionalnya. Ketujuh, memerangi
kemiskinan, kelaparan serta pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Pada masa kepemimpinannya, Presiden Bush menunjuk seorang menteri luar
negeri yang berhaluan multilateralis yaitu Jenderal Collin Power. Akan tetapi, hal ini
tidak dapat merubah jalan kebijakan luar negeri AS yang unilateralis. Hal ini
dikarenakan kuatnya pengaruh kelompok Neo-konservatif di sekeliling Presiden
Bush. Seperti yang dituliskan majalah Time 10 September (2001, h. 31) yaitu
“Powell is a multilateralist, other Bush advisers are unilateralist. He’s
internationalist, they are America first”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui
bagaimana sulitnya Powell untuk menerapkan kebijakan multilateralisme karena di
sekeliling Bush adalah kelompok Neo-konservatif yang berhaluan unilateralisme.
Sejak bergabung dengan pemerintahan Presiden Bush, Powell menjadi tokoh Neokonservatif yang peduli terhadap pihak lain atau disebut dengan compassionate Neoconservatism (Time 10 September 2001, h. 31). Sedangkan kelompok Neokonservatif lainnya yang berada disekeliling Bush sama sekali tidak peduli terhadap
hal-hal di luar kepentingan AS (Anwar 2003, h. 17).
33
Peran kelompok Neo-konservatif AS selalu diperhitungkan sekalipun AS
dipimpin oleh Presiden Barack Obama yang menjadi Presiden AS pada periode 20082012 (Sidik, Antaranews, 6 Februari 2008). Kebijakan luar negeri Presiden Obama
lebih kepada jalur perdamaian, kerjasama dan diplomasi (Sidik, Antaranews, 6
Februari 2008). Akan tetapi, kebijakan luar negeri Presiden Obama tidak menjadikan
eksistensi kelompok Neo-konservatif AS menurun. Tercatat kelompok Neokonservatif AS semakin mencetak generasi baru untuk meneruskan peran kelompok
Neo-konservatif AS sewaktu masa Presiden George W. Bush. Tokoh tersebut seperti
Samantha Power yang kini menjabat sebagai Penasihat Khusus Presiden Obama di
Dewan Keamanan Nasional AS bidang Hak Asasi Manusia (Permatasari, Media
Indonesia Online, 1 April 2011). Samantha Power juga merupakan tokoh Neokonservatif AS yang berasal dari lulusan Universitas Yale (Permatasari, Media
Indonesia Online, 1 April 2011).
C.
Kepentingan Amerika Serikat Terhadap Iran
C. 1.
Sebelum Revolusi Islam Iran 1979
Sebelum Revolusi Islam terjadi di Iran, pada 1940 politik luar negeri AS di
Timur Tengah belum begitu terlihat (Ansari 2008, h. 35). Berbeda dengan Inggris
selaku sekutu AS lebih dulu melancarkan politik luar negerinya kepada Iran pada
tahun 1941 (Puar 1989, h. 22). Masuknya Inggris ke Iran diiringi suasana dunia yang
sedang bergejolak akibat Perang Dunia II. Ketika itu Iran masih dipimpin oleh Shah
Reza Khan Pahlevi (1925-1941) yang merupakan Ayahanda dari Mohammad Shah
Reza Pahlevi (1941-1979). Di bawah kepemimpinan Reza Khan, secara terbuka Iran
34
menyatakan dukungannya terhadap Jerman pada Perang Dunia II. Hal ini
dikarenakan antara Iran-Jerman memiliki beberapa keuntungan mutualisme, yakni
Iran memberikan supply minyak ke Jerman dan sebaliknya Jerman pun memberikan
pengajaran kemajuan angkatan militer dan teknologi industri kepada Iran (Puar 1980,
h. 22). Karena kedekatannya dengan Jerman, maka Inggris dan Uni Soviet (sekarang
Rusia) memaksa mundur Reza Khan dari tahta kepemimpinan parlemen Iran. Dengan
mudah Reza Khan turun dari kepemimpinannya dan digantikan oleh anaknya yang
bernama Muhammad Shah Reza Pahlevi.
Semenjak Iran berada dipenguasaan Reza Pahlevi, akses Inggris dan Uni
Soviet semakin mudah untuk melakukan ekspansi ke Iran. Inggris dan Uni Soviet
semakin gencar mengirimkan angkatan-angkatan perangnya. Akan tetapi, angkatan
perang tersebut tetap menjamin kemerdekaan Iran yang dikukuhkan dalam perjanjian
Perdamaian Tiga Serangkai Tripattie Treaty antara Inggris, Uni Soviet dan Iran pada
1942 (Puar 1980, h. 22). Inti dari perjanjian tersebut adalah mencegah pengaruh
Jerman di Iran dan segera mendirikan benteng pertahanan di wilayah Jerman Barat
untuk membendung kekuatan militer Jerman. Kemudian, perjanjian tersebut
dikukuhkan kembali dalam konferensi Yalta pada Februari 1945 antara ketiga negara
tersebut.
Pasca berakhirnya Perang Dunia II, Uni Soviet menolak menarik pasukan
militernya dari Iran. Uni Soviet justru menebarkan pengaruh komunisnya di Iran.
Terbukti Uni Soviet berhasil membentuk pemerintahan komunis otonom di
Azerbaijan, Provinsi otonom di Barat Laut Iran pada 1945-1946 (Puar 1980, h. 23).
Hal ini menjadi krisis internasional dan segera dibawa ke PBB (Perserikatan Bangsa-
35
Bangsa). Hasilnya Uni Soviet akan menarik pasukan militernya setelah dibentuk
suatu perusahaan bersama antara Uni Soviet dan Iran yang bernama Sovyet-Iran
untuk melakukan penambangan minyak di propinsi-propinsi sebelah Utara (Puar
1980, h. 23).
Ketika Uni Soviet mundur dari Iran pada 1946, Inggris semakin menguatkan
posisinya di Iran. Inggris melakukan eksploitasi terhadap ladang-ladang minyak
Kuzhistan sebelah Barat Daya Iran (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 35). Mundurnya
Uni Soviet menjadikan Inggris satu-satunya negara asing yang memiliki kekuatan
penuh di Iran. Akan tetapi, gerakan pengaruh komunisme Uni Soviet tidak hilang
begitu saja. Uni Soviet terus melancarkan gerakan komunis bawah tanah terhadap
Iran. Hingga terjadi percobaan pembunuhan terhadap Shah Reza Pahlevi yang
dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang berhaluan kiri (Puar 1980, h. 24). Hal
inilah yang menjadi salah satu alasan AS untuk segera mengambil tindakan politik
terhadap Iran.
Melihat pengaruh Inggris yang begitu kuat di Iran, AS berusaha
menghilangkan pengaruh Inggris tersebut. Ansari (2008, h. 51) mengatakan bahwa
konsolidasi pertama AS di Iran dimulai pada tahun 1953. Kedatangan AS merupakan
malapetaka bagi Inggris yang pada waktu itu merupakan kekuatan asing terbesar di
Iran tanpa tandingan. Inggris menganggap bahwa AS merupakan ancaman yang harus
diwaspadai karena dapat mengakibatkan putusnya monopoli Inggris atas minyak Iran
(Ansari 2008, h. 55). Masuknya AS ke Iran tidak terlihat seperti Inggris dan Uni
Soviet yang secara terbuka melakukan eksploitasi minyak Iran dan mengumbar
pengaruh komunisme seperti yang dilakukan oleh Uni Soviet. Sebaliknya,
36
kedatangan AS ke Iran lebih mengusung arus kerjasama dan menganggap Iran
sebagai rekan kerjasama yang baik. Kerjasama yang diusung AS adalah
pengembangan angkatan bersenjata dengan tujuan mempertahankan dinasti
kekuasaan Shah Reza Pahlevi, yang kemudian dijadikan teropong perlindungan
kawasan Timur Tengah dari ancaman pengaruh komunisme (Puar 1980, h. 25).
Perlahan hubungan Iran-AS semakin menguat, terlebih setelah AS
memberikan aliran dana dan penasehat militer ke Iran. Prioritas yang dikedepankan
AS adalah memajukan angkatan bersenjata Iran guna menjadi pelindung terdepan
dalam upaya melawan pengaruh komunisme di Iran dan Timur Tengah (Puar 1980, h.
25). Hal ini dimanfaatkan oleh kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang menuntut AS
untuk terus memberikan bantuan dana dan berinvestasi di Iran. Tercatat dalam
laporan majalah times mengenai bantuan yang diberikan AS kepada Iran sejak 1952,
bantuan tersebut mencapai US$ 1.135 juta (Times 1961, dikutip dalam Ansari 2008,
h. 56). Dari jumlah tersebut sekitar US$ 631 juta digunakan untuk bantuan ekonomi
dan US$ 504 juta untuk bantuan militer (Times 1961, dikutip dalam Ansari 2008, h.
56). Semua bantuan dana militer dan sebagian dari bantuan ekonomi merupakan
hibah untuk Iran, sehingga yang merupakan hutang Iran hanya sekitar US$ 255 juta
(Times 1961, dikutip dalam Ansari 2008, h. 56).
Dari data tersebut terlihat betapa tingginya bantuan dan investasi AS kepada
Iran untuk mencegah pengaruh komunisme Uni Soviet di Iran dan Timur Tengah.
Apalagi dengan adanya doktrin Eisenhower selaku Presiden AS pada 1957 yang
menyatakan bahwa “dengan sungguh bahwa AS akan memberi bantuan terhadap
negara-negara di setiap wilayah untuk mempertahankan integritas dan kemerdekaan
37
negaranya dari ancaman komunisme dan subversi dalam negeri” (Puar 1980, h. 25).
Menurut Mutual Security Act (program bantuan keamanan yang diberikan oleh AS
kepada negara-negara yang sejalan dengan kepentingannya) pada 1951 dan 1953
bantuan tersebut dapat berupa bantuan militer, ekonomi, dan teknik yang dapat
diberikan kepada negara-negara sahabat AS (Puar 1980, h. 26).
Pasca pemberian bantuan dan investasi finansial ke Iran, AS menjadikan Iran
sebagai sekutu dekat di Timur Tengah. AS juga terlihat melakukan campur tangan ke
dalam urusan internal pemerintahan Shah Reza. Misalnya, keikutsertaan AS dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai sistem agraria (Ansari 2008, h.
62). Dalam ekspansinya, AS mendesak Shah Reza Pahlevi untuk segera melakukan
reformasi agraria, dengan mengganti struktur feodal lama dengan sistem kepemilikan
tanah yang bebas. Petani yang memiliki lahan tanah akan menggarap tanah mereka
sendiri dan memetik manfaat dari hasil kerja keras mereka sendiri.
Kebijakan tersebut merubah drastis struktur ekonomi Iran yang di antaranya
menumbuhkan deregenerasi ekonomi dan semangat nasionalisme. Namun, hal ini
merupakan cara AS untuk memecah politik para tuan tanah di Iran yang sebelumnya
dikuasai oleh orang-orang Inggris dan Ulama-Ulama senior Iran (Puar 1980, h. 38).
Pada kenyataannya, rakyat yang menuai imbas buruknya. AS memanfaatkan tenaga
rakyat untuk menggarap tanah-tanahnya yang keuntungannya lebih banyak diterima
AS (Ansari 2008, h. 63). Hal ini dilakukan AS mengingat ketiadaan keahlian
manajerial ekonomi pertanahan di pemerintahan Shah Reza Pahlevi (Ansari 2008, h.
63).
38
Perlakuan AS di Iran semakin merugikan rakyat. Ansari (2008, h. 56-64)
mengatakan bahwa ada beberapa bukti tindakan AS yang merugikan Iran. Pertama,
memfasilitasi kudeta atas mantan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadeq yang
berjuang untuk menasionalisasikan perusahaan minyak Iran dari eksploitasi asing.
Kedua, menerapkan reformasi agraria yang merugikan tanah-tanah rakyat dan tuan
tanah yang banyak dimiliki oleh Ulama-Ulama besar Iran. Ketiga, putusan untuk
meratifikasi UU (Undang-Undang) Kekebalan yang menjamin kekebalan hukum
terhadap seluruh personil AS di Iran. Ketika UU Kekebalan terhadap seluruh personil
AS berlaku di Iran, kedaulatan Iran semakin terkikis. Martabat warga negara Iran
semakin rendah di mata warga negara AS yang berada di Iran. Pasalnya, ketika
terdapat koki AS yang membunuh seorang Marja (Ulama yang fatwanya sangat
diikuti) polisi Iran tidak berhak menangkapnya, pengadilan Iran pun tidak berhak
mengadilinya, dan pelaku harus dikembalikan ke AS untuk diputuskan apa yang
harus dilakukan terhadap si pelaku (Ansari 2008, h. 69). Sebaliknya, jika terdapat
orang Iran yang menabrak atau membuhuh binatang peliharaan milik warga negara
AS dia akan dibawa ke pengadilan dan mengikuti proses hukum (Ansari 2008, h. 69).
Pada 1965-1975 merupakan masa keemasan kepemimpinan Shah Reza
Pahlevi (Ansari 2008, h. 73). Karena pada periode tahun tersebut perekonomian Iran
meningkat akibat tingginya hasil produksi penjualan minyak Iran. Keberhasilan
pompa minyak Iran ini terus dibayang-bayangi oleh AS yang turut serta menikmati
hasil produksi minyak Iran. Kedekatan hubungan bilateral Iran-AS sangat
dimanfaatkan oleh kedua negara. Bagi AS, ini merupakan suatu keuntungan karena
AS dapat menikmati keuntungan hasil penjualan minyak Iran. Sebaliknya, kondisi ini
39
dimanfaatkan oleh Shah Reza untuk mengembangkan teknologi nuklir. AS
mendukung pengembangan teknologi nuklir Iran pada masa Shah Reza Pahlevi
(Ansari 2008, h. 81). Pada 1974 tercatat telah terjadi kesepakatan bahwa untuk 10
tahun kedepan AS akan memberikan bantuan listrik dan uranium yang telah
diperkaya untuk membantu pengembangan teknologi nuklir Iran (Ansari 2008, h. 81).
Dibalik kesepakatan tersebut, AS menekan Iran agar memasok lebih banyak
minyak Iran ke AS dengan tujuan untuk dijual ke luar negeri. Sebenarnya, Shah Reza
menyadari bahwa menjadikan minyak sebagai senjata bukanlah hal yang tepat.
Karena jika minyak Iran secara terus menerus di pompa kemungkinan yang terjadi
Iran akan mengalami krisis energi. Namun apa daya, minyaklah yang berpotensi
untuk dijadikan senjata Shah Reza untuk melanggengkan kekuasaannya di bawah
kendali AS tanpa memikirkan nasib rakyat atas ketidakadilan yang diterapkan Shah
dalam kepemimpinannya.
Tanpa disadari oleh Shah Reza, Rakyat beserta Ulama besar telah
mengkonsolidasikan kekuatan untuk memprotes kepemimpinan Shah yang membuka
jalan bagi AS untuk mengeksploitasi Iran. Sebagian besar proyek yang dilakukan
Shah Reza dengan AS hanya menguntungkan segelintir kelompok di sekeliling
pemerintahan saja. Semenjak 1978 Iran terus bergejolak. Rakyat, Mahasiswa yang
digerakkan oleh Ulama-Ulama besar Iran turun ke jalan untuk memprotes segala
ketidakadilan yang dilakukan Shah Reza terhadap rakyat Iran. Puar (1980, h. 47)
mengatakan bahwa terdapat tiga alasan yang menimbulkan perlawanan Rakyat Iran
terhadap Shah Reza Pahlevi. Pertama, cara pemerintahan Shah Reza Pahlevi yang
secara
sistematis
menggunakan
penindasan
yang sangat
kejam,
termasuk
40
penganiayaan terhadap anak-anak dan keluarga. Kedua, tingkat korupsi yang
dilakukan oleh keluarga dan orang-orang sekitar Shah Reza Pahlevi. Ini merupakan
hal yang sangat miris bagi rakyat miskin Iran, negara memiliki eksport minyak yang
besar akan tetapi rakyat tidak pernah merasakan keuntungannya. Ketiga, gaya
pemerintahan dan penentuan prioritas yang terlalu westernisasi model Barat terutama
pengaruh AS yang begitu besar.
Adanya pengaruh model kepemimpinan dan budaya Barat di Iran semakin
mencemaskan masyarakat Iran. Pasalnya, Iran dan AS memiliki sejarah peradaban
yang berbeda. Puar (1980, h. 27) mengatakan bahwa pada awal terbentuknya, Iran
merupakan negara yang berbentuk monarki konstitusional yang sudah berusia ±25
abad hingga meletusnya Revolusi Islam Iran 1979. Pada 1118 Iran memperoleh
kemerdekaan dari raja-raja Seljuk kesultanan Turki (Puar 1980, h. 32). Pada masa
tersebut Iran dipimpin oleh raja-raja Islam yang sangat menunjukkan identitas
keislaman selama kepemimpinannya (Puar 1980, h. 32). Identitas tersebut dapat
dilihat dari Masjid, Mihrab, Madrasah, menara Masjid, Kubah, dan hiasan lukis Ayat
Al-Qur’an hingga tata cara kepemimpinan raja yang menerapkan nilai-nilai
keislaman (Puar 1980, h. 32). Raja-raja tersebut juga menerapkan toleransi
keagamaan dan kesukubangsaan. Bahkan, juga menghormati keberadaan para
kelompok Ulama-Ulama (Mullah) Iran yang memiliki pengaruh cukup besar bagi
kemajuan sosial dan politik di Iran (Cipto 2004, h. 9).
Akan tetapi, konsep Monarki Konstitusional yang telah lama menjadi model
pemerintahan Iran ini dengan mudah dikikis oleh Shah Reza Pahlevi yang memimpin
Iran pada 1941-1979. Hal ini dikarenakan budaya westernisasi yang diterapkan Shah
41
Reza Pahlevi yang tidak memikirkan pola-pola tradisi asli kehidupan masyarakat Iran
(Puar 1980, h. 31). Misalnya, kebudayaan Islam yang sudah menjadi dasar sejak awal
diterapkannya monarki tidak mendapat perhatian. Bahkan terjadinya penentangan
terhadap agama dengan cara menyalahgunakan media radio, televisi dan surat kabar
yang ditujukan kepada kelompok Mullah Iran (Kedutaan Besar RII 1989, h. 9). Selain
itu, perubahan model westernisasi yang diusung AS tidak merata ke seluruh rakyat
Iran (Ansari 2008, h. 60). Misalnya, Shah Reza bersama AS membangun pabrik
pembotolan modern untuk Pepsi Cola dan Coke. Sementara rakyat di sudut-sudut
kotor kota masih minum dari selokan aliran air terbuka yang berada di sisi jalan dan
berisi segala macam sampah (Ansari 2008, h. 60). Tidak hanya itu, hotel Hilton
mewah buatan AS pun dibangun. Sementara ratusan rakyat Iran tidak memiliki rumah
dan tidur di jalanan (Ansari 2008, h. 60). Kemudian, kerajaan Shah Reza juga
dikuasai oleh para penasihat dari AS, proyek-proyek pembangunan standar AS terus
dibangun, merubah prosedur kantor pemerintahan dengan prosedur birokrasi AS
(Ansari 2008, h. 60). Kesemuanya ini benar-benar mengikis tata cara kehidupan
tradisional masyarakat Iran dan bertentangan dengan sejarah budaya Iran (Puar 1980,
h. 31).
C. 2.
Pasca Revolusi Islam Iran 1979
Akibat dari ketidakpuasan rakyat Iran dengan kepemimpinan Shah Reza,
rakyat Iran bersatu bersama kelompok Mullah menggalang kekuatan untuk
menjatuhkan Shah Reza dari puncak kekuasaannya. Tidak hanya itu, budaya
westernisasi yang mengikis nilai-nilai tradisional budaya Iran dan penyiksaan serta
42
pembunuhan bagi masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah juga menjadi
alasan bagi rakyat dan Mullah untuk menjatuhkan Shah Reza (Kedutaan Besar RII
1989, h. 9). Terbukti pada 10 Februari 1979 rezim Shah Reza Pahlevi beserta
tentaranya yang lengkap dengan persenjataan terpaksa menyerah dihadapan kesatuan
rakyat dan kelompok Mullah Iran yang dipimpin oleh Imam Ayatullah Khomeini
yang kemudian disebut sebagai Revolusi Islam Iran (Puar 1980, h. 44). Keberhasilan
Revolusi Islam Iran tidak hanya menurunkan Shah Reza Pahlevi dari puncak
kekuasaannya, namun juga berdampak signifikan bagi AS yang semakin sulit untuk
menjalin kedekatan hubungan dengan Iran. Bagaimana tidak, salah satu alasan
terjadinya Revolusi Islam Iran karena bentuk kedekatan Shah Reza Pahlevi dengan
AS yang terlalu membuka akses luas bagi AS untuk mengeksploitasi Iran.
Rahman (2003, h. xviii) mengatakan bahwa pasca Revolusi Islam Iran, AS
semakin sulit untuk mengendalikan Iran. Bahkan salah seorang pejabat Dewan
Keamanan Nasional AS Karen Brooks mengatakan bahwa Pemerintah Washington
sangat menghormati Iran. Cara pendekatan Washington kepada Iran tidak bisa seperti
umumnya dilakukan kepada negara-negara di Timur Tengah lainnya. Karena Iran
bukanlah negara yang tertinggal, bangsa Iran merupakan bangsa yang maju, cerdas
pemikirannya dan tinggi pendidikannya. Atas dasar itulah tidaklah mudah bagi
pejabat Washington untuk mempengaruhi bangsa Iran. Apalagi pasca Revolusi Islam
bangsa Iran sudah memiliki tradisi demokrasinya sendiri sehingga tidak ada alasan
Washington untuk ikut campur dalam upaya penegakan demokrasi (Rahman 2003, h.
xix).
43
Nampaknya pernyataan Karen Brooks tersebut terbukti benar. Pasalnya, Iran
merupakan negara yang diperhitungkan kekuatannya di Timur Tengah oleh AS
(Gogary 2007, h. 267). Misalnya, terhitung kisaran waktu seperempat abad setelah
terjadinya Revolusi Islam, AS belum berani kembali melancarkan politik luar negeri
ekspansionisnya ke Iran. Bahkan, pemikiran AS bahwa kekuasaan dan kepemimpinan
para Mullah Iran tidak akan mampu bertahan lama ternyata salah, buktinya para
Mullah masih terus bertahan bahkan semakin kuat pengaruhnya bagi kehidupan sosial
dan politik Iran (Rahman 2003, h. xviii).
Akan tetapi, pada 1981, Revolusi Islam Iran mengalami sedikit gangguan
akibat adanya skandal Iran Gate (Marshall et al. 1987, h. 172). Skandal yang
melibatkan pemimpin tertinggi Imam Ayatullah Khomeini dan mantan Presiden
Rafsanjani (1989-1997) tersebut terungkap dikalangan pemerintah Iran pada 1981
oleh mantan Presiden Iran Abu Hassan Bani Sadr (1980-1981) (Adiguna, Tempo
Interaktif, 6 Juni 1987). Skandal Iran Gate merupakan skandal penjualan senjata
militer milik AS yang dijual oleh Israel ke Iran dengan persetujuan konselor AS
Robert McFarlane dan David Kimche Dirjen Kementerian Luar Negeri Israel, yang
ditukar dengan pembebasan dua sandera AS ketika terjadinya Revolusi Islam 1979
(Marshall et al. 1987, h. 172). Namun, skandal tersebut cepat diselesaikan oleh Imam
Khomeini sehingga tidak menjadi suatu kasus yang berdampak signifikan bagi sosok
pribadi Imam Khomeini dan Revolusi Islam 1979 (Adiguna, Tempo Interaktif, 6 Juni
1987).
Pasca Revolusi 1979 dan skandal Iran gate 1981, segala bentuk kerjasama
yang pernah terjalin antara Shah Reza Pahlevi dengan AS dibatalkan begitu saja oleh
44
AS (Gogary 2007, h. 313). Tidak hanya itu, AS juga membekukan beberapa aset
kekayaan Iran yang berada di bank-bank milik AS (Gogary 2007, h. 313). Akan
tetapi, keadaan seperti ini semakin menumbuhkan semangat nasionalisme Iran untuk
membangun Iran yang maju pasca Revolusi Islam. Terutama keadaan ekonomi Iran
yang hancur pasca Revolusi Islam dan pasca Perang Irak-Iran pada 1980-1988 yang
kemudian dibangun kembali oleh Presiden Hashemi Rafsanjani yang berasal dari
kubu konservatif Iran (Cipto 2004, h. 41). Presiden Rafsanjani memimpin Iran pada
periode 1989-1993 dan 1993-1997. Selama Presiden Rafsanjani memimpin, AS
belum berani mengambil langkah untuk membuka kembali kerjasama dengan Iran.
Hal ini dikarenakan dilema AS terhadap kelompok konservatif Iran yang merupakan
penggerak terwujudnya Revolusi Islam. Kemudian, Cipto (2004, h. 112)
menambahkan bahwa menurut AS selama Iran dipimpin oleh kelompok konservatif
maka AS akan semakin sulit untuk mengendalikan dan mencampuri urusan dalam
negeri Iran.
Cipto (2004, h. 91) menyatakan bahwa menurut Presiden Rafsanjani jika AS
ingin menormalkan kembali hubungan kerjasama dengan Iran, maka AS harus
menunjukan niat baiknya terlebih dahulu. Hingga kepemimpinannya berakhir pada
1997, Presiden Rafsanjani tetap tidak membuka akses bagi AS untuk bekerjasama
dengan Iran. Bahkan kebijakan open door policy diberlakukan untuk seluruh negara
di dunia kecuali AS dan Israel (Cipto 2004, h. 44). Kemajuan ekonomi yang pesat
pada masa kepemimpinannya menyebabkan Presiden tersebut dijuluki “Bapak
Pembangunan Iran” (Cipto 2004, h. 41).
45
Pengaruh AS di Iran mulai terlihat ketika Iran dipimpin oleh Presiden
Muhammad Khatami pada periode 1997-2001 dan 2001-2005. Presiden yang berasal
dari golongan reformis ini memutar drastis arah kebijakan politik Iran yang telah
disusun dan diperjuangkan kelompok Ulama-Ulama pada Revolusi Islam. Melihat
sosok Presiden Khatami yang begitu reformis dan terbuka, AS yang ketika itu
dipimpin oleh Presiden Bill Clinton segera melakukan pendekatan kepada Iran. AS
tidak dapat menyembunyikan simpatinya terhadap Presiden Khatami, bahkan AS
menjadikan ini sebagai peluang yang tepat untuk menjadikan Iran sejalan dengan
kepentingan AS (Rahman 2003, h. xxiii). AS di bawah kepemimpinan Presiden
Clinton memiliki misi untuk menciptakan sistem multi partai, liberalisasi dalam
bidang ekonomi, sosial dan budaya di Iran (Rahman 2003, h. 23). Demokrasi menjadi
seruan utama AS untuk memulai kembali memasuki ranah politik domestik Iran. Misi
yang diinginkan AS ini sepadan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Presiden
Khatami selama menjadi Presiden Iran yakni “toleransi, modernisme dan
keterbukaan” (Rahman 2003, h. 17).
Pengaruh AS di Iran pada masa kepemimpinan Presiden Khatami semakin
meluas. Apalagi setelah Presiden Khatami membuka “dialog peradaban” kepada AS
(Cipto 2004, h. 96), dialog ini disambut dengan meriah oleh Presiden Bill Clinton.
Dialog ini sama-sama menguntungkan kedua pihak. Di satu sisi Iran meyakinkan AS
untuk kembali membuka hubungan kerjasama dengan Iran, dan di sisi lain AS mulai
dapat membuka pengaruhnya di Iran melalui reformasi modernisasi dengan
mengusung terbentuknya demokrasi di Iran yang bersahabat dan bersekutu dengan
AS (Rahman 2003, h. xviii). Walaupun Presiden Khatami membuka lebar akses
46
kerjasama dengan AS, hubungan Iran-AS semata-mata tidak mengalami perubahan
signifikan ke arah perdamaian. Secara total misi AS untuk menguasai Iran dengan
menyebarkan pengaruh demokrasinya yang sejalan dengan kebijakan Presiden
Khatami belum berhasil. Hal ini dikarenakan peran dan pengaruh para Mullah Iran
masih mendominasi dan merupakan lembaga tertinggi dalam suatu urutan kelompok
yang berpengaruh di Iran (Rahman 2003, h. 87). Segala kebijakan Presiden Iran yang
menyimpang dari tujuan awal Revolusi Islam Iran akan ditentang oleh para kelompok
Mullah Iran. Karena menurut Ulama-Ulama Iran kebijakan membuka jalan kerjasama
kepada AS itu sama saja menentang Revolusi Islam 1979, agama dan negara (Cipto
2004, h. 93).
Memasuki tahun 2004 menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden
Khatami, AS semakin bersikap tegas terhadap Iran. Sulitnya AS melancarkan
agresinya ke Iran menyebabkan AS untuk memilih jalan keras untuk menundukkan
Iran. Ternyata naiknya Khatami menjadi Presiden Iran tidak dapat mengubah struktur
alamiah masyarakat Iran menuju reformasi ke arah yang lebih liberal. Hal ini yang
menyebabkan AS memutar arah dengan melakukan tekanan terhadap Iran. Rahman
(2003, h. xvi) mengatakan bahwa media internasional seperti newsweek dan time
mencoba memprediksi situasi dengan mengatakan bahwa target AS selanjutnya
setelah invasinya ke Irak kemungkinan adalah Iran. Prediksi tersebut tampaknya
kurang akurat. Kenyataannya pasca Presiden Mahmoud Ahmadinejad terpilih
menjadi Presiden Iran periode 2005-2009 dan 2009-2013, AS hanya melakukan
tekanan dan ancaman secara terbuka kepada Iran.
47
Rahman (2003, h. xvii) mengatakan bahwa Presiden George W. Bush
menuduh Iran di bawah Presiden Ahmadinejad tengah mengembangkan senjata
pemusnah masal (senjata nuklir). Berbagai strategi dikerahkan oleh AS, mulai dari
melakukan pengintaian melalui CIA (Central Intelligence Agency) AS yang berada di
Iran sampai mendanai kelompok-kelompok pembangkang seperti suku Kurdi di Iran
untuk bekerjasama dengan AS (Gogary 2007, h. 317). Melalui CIA, AS mendapatkan
instalasi nuklir Iran yang bernama Natanz yang menurut AS telah dijadikan tempat
pengembangan heavy water yang digunakan sebagai pembiak cepat fast breeder
reaktor yang menghasilkan plotunium yang penting untuk pembuatan senjata nuklir
(Rahman 2003, h. xvii).
Pemerintah Iran membantah tuduhan tersebut, akan tetapi pemerintah Iran
mengakui bahwa Iran sedang mengembangkan teknologi nuklir, namun untuk tujuan
damai yakni sebagai energi listrik bukan sebagai senjata nuklir. Badan atom
internasional IAEA (International Atomic Energy Agency) yang memiliki otoritas
untuk memeriksa pengembangan nuklir dunia pun menyatakan bahwa pengembangan
nuklir Iran tidak terindikasi menuju pengembangan senjata nuklir (Jamaan 2007, h.
48).
Selebihnya,
Presiden
Ahmadinejad
menyatakan
bahwa
Iran
akan
mengembangkan sekitar 20 pusat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan
Iran akan menyalurkan tenaga listrik nuklir tersebut untuk kebutuhan domestik
negaranya (Rahman 2003, h. xvii).
48
D.
Embargo Ekonomi, Senjata Militer dan Pengisolasian Terhadap Iran
Pengembangan teknologi nuklir Iran terus mengalami kemajuan pesat.
Melihat kondisi seperti ini, AS kembali menekan dengan mengambil langkah represif
melalui Sekutu-sekutu dekatnya. AS tidak dapat mengelakkan bahwa para ilmuwanilmuwan Iran telah berhasil menguasai teknologi nuklir yang menyebabkan Iran tidak
sepenuhnya bergantung pada negara lain untuk mengembangkan teknologi nuklirnya
(Labib et al. 2006, h. 189). Pengembangan teknologi nuklir tersebut dikhawatirkan
akan berakhir pada pengembangan senjata nuklir (Jamaan 2007, h. 44). Oleh sebab
itu, AS menganggap pengembangan nuklir Iran harus dihentikan karena berdampak
negatif bagi stabilitas keamanan kawasan Timur Tengah.
Strategi untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran terus diterapkan oleh
AS. Mulai dari kebijakan luar negeri AS yang menentang dan mengancam akan
menyerang Iran jika Iran tidak menghentikan pengembangan nuklirnya, hingga
pelebaran sayap pengaruh AS dengan menguatkan barisan Sekutu-sekutunya di
berbagai belahan kawasan untuk bersama-sama melakukan sikap menolak terhadap
pengembangan teknologi nuklir Iran. Misalnya, di Eropa, AS mendorong sekutunya
yakni Inggris, Perancis dan Jerman untuk melakukan negosiasi agar Iran mau
menghentikan pengembangan nuklirnya dengan menukar teknologi nuklir dengan
teknologi Light Water Reactor (LWR) (Gogary 2007, h. 283-284). Kemudian,
menurut laporan mingguan BPPK Kemenlu RI (2010), di kawasan Asia, AS
mendorong Jepang untuk tidak memberikan bantuan yang berhubungan dengan
pensuplaian bahan-bahan pengembangan teknologi nuklir. Tidak hanya itu, Kazhim
dan Hamzah (2007) menambahkan bahwa di kawasan Timur Tengah, AS berhasil
49
mempengaruhi negara-negara pan Arabisme seperti Uni Arab Emirates (UAE), Arab
Saudi, Kuwait, Irak, dan Oman untuk melakukan penekanan terhadap Iran atas
tuduhan pengembangan senjata nuklir.
Dalam usaha menghentikan pengembangan teknologi nuklir Iran, AS giat
melakukan penggalangan dukungan ke negara-negara di berbagai belahan dunia.
Tidak cukup menggalang dukungan hanya dengan Sekutu-sekutunya, AS pun
mencoba mengendalikan IAEA selaku badan otoritas tertinggi yang berhak
melakukan pemeriksaan terhadap suatu negara yang mengembangkan teknologi
nuklir (Jamaan 2007, h. 31). Terbukti sejak 2003 AS telah melakukan penekanan
terhadap IAEA agar melakukan monitoring terhadap industri energi atom Iran dengan
mengubah skema menjadi senjata pemusnah masal (Jamaan 2007, h. 31). Akan tetapi,
menurut Gogary (2007, h. 314) IAEA tidak mendapatkan bukti bahwa Iran sedang
mengembangkan senjata nuklir untuk keperluan militer. Oleh sebab itu, IAEA
menggantungkan kasus nuklir Iran ini. Pada Maret 2006, AS menekan IAEA untuk
memaksa kasus nuklir Iran ini agar dilanjutkan ke DK-PBB (Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa) (Jamaan 2007, h. 31).
Kasus nuklir Iran telah mencapai tingkat DK-PBB. BPPK Kemenlu RI (2010)
melaporkan bahwa dengan pengendalian AS beserta Sekutunya, AS berhasil
mendorong DK-PBB untuk mengeluarkan beberapa Resolusi kepada Iran, berikut
Resolusi-resolusi DK-PBB terhadap Iran beserta isinya:
Resolusi DK-PBB No. 1696 Tahun 2006
Memutuskan bahwa DK-PBB memperingatkan kepada Iran mengenai
ancaman program pengayaan nuklirnya. DK-PBB meminta Iran untuk
memberhentikan pengayaan nuklirnya dan memberikan penangguhan
sampai 31 Agustus 2006. Jika Iran tidak memenuhinya, maka sanksi
50
berikut yang lebih berat akan diberikan kepada Iran. (Anggreni 2009,
h. 38-39).
Resolusi DK-PBB No. 1737 Tahun 2006
Decides further that all states shall prevent the provision to Iran by
their nationals or from or through their territories of technical
training, financial resources or service, advice, other services or
assistance related to the suplly, sale, transfer, provision, manufacture,
maintenance or use such arms and related material, and in this context
call upon all states to exercise vigilance and restraint over the supply
sale, transfer, provision, manufacture and use of all other arms and
related material. Memutuskan bahwa seluruh negara di dunia untuk
mencegah pengiriman teknik pelatihan, pelayanan dan sumber
keuangan, nasihat, dan lainnya yang berbentuk pengiriman, penjualan,
transfer, ketetapan, dan kewaspadaan serta penahanan terhadap semua
material dan bantuan kepada Iran. (Terjemahan Penulis) (BPPK
Kemenlu RI 2010).
Resolusi DK-PBB No. 1747 Tahun 2007
Memutuskan bahwa DK-PBB melarang ekspor senjata dari Iran ke
negara lain dan impor senjata dari negara lain ke Iran. Membekukan
aset 28 pejabat tinggi Iran dan membekukan aset-aset perekonomian
organisasi-organisasi ataupun negara-negara yang membantu
pengembangan nuklir Iran. Kemudian, embargo ekonomi terhadap
Iran dengan meminta semua lembaga keuangan dan negara-negara
agar tidak membuat komitmen baru dalam rangka hibah, bantuan
keuangan dan pinjaman lunak kepada pemerintah Iran. (Anggreni
2009, h. 40).
Resolusi DK-PBB No. 1803 Tahun 2008
Menetapkan dan memutuskan larangan perjalanan terhadap lima
pejabat tinggi Iran, membekukan aset 13 perusahaan Iran dan 13 aset
pejabat Iran di luar negeri, pelarangan penjualan barang-barang yang
dapat berfungsi ganda (untuk tujuan damai dan untuk tujuan militer)
ke Iran, pemeriksaan kapal-kapal barang dari dan menuju Iran,
memonitor aktifitas dua bank Iran, mendorong para pemerintah untuk
menarik dukungan pendanaan terhadap perusahaan-perusahaan yang
melakukan perdagangan dengan Iran. (Anggreni 2009, h. 41).
Resolusi DK-PBB No. 1929 Tahun 2010
Decides that all states shall prevent the direct or indirect supply, sale
or transfer to Iran, from or through their territories or by their
nationals or individual subject to their jurisdiction, or using their flag
vessels or aircraft, and whether or not originating in their terriotories,
of any battle tanks, armoured combat vehicles, large calibre altillery
systems, combat aircraft, attack helicopters, warships, missiles or
missile systems as defined for the purposeof the United Nations
51
register in conventional arms, or related material, including spare
parts, or item as determined by the security council of the committee
esthablished pursuant to Resolution 1737 (2006). Memutuskan bahwa
seluruh negara tidak dibenarkan untuk mensuplai senjata baik secara
langsung atau tidak langsung, menjual, dan mentransfer senjata ke
Iran, melalui wilayah perbatasan atau dari dalam negara ataupun
individu kepada yurisdiksi tiap negara. Tidak dibenarkan juga
menggunakan kapal, pesawat terbang yang terdapat bendera negara
atau melalui garis wilayah negara lain. Negara-negara di seluruh dunia
tidak dibenarkan mengirimkan perlengkapan perang seperti tank
perang, kendaraan tempur lapis baja, sistem altileri kaliber besar,
pesawat tempur, helikopter tempur, kapal perang, rudal atau sistem
rudal mencangkup suku cadang yang telah ditegaskan dalam rapat
DK-PBB dan dikukuhkan dalam Resolusi sebelumnya yakni Resolusi
No. 1737 (2006). (Terjemahan Penulis) (BPPK Kemenlu RI 2010).
Jamaan (2007, h. 46-47) mengatakan bahwa adanya Resolusi DK-PBB
tersebut merupakan suatu bentuk bukti keberhasilan AS membawa kasus nuklir Iran
ke tingkat DK-PBB dan bukti keberhasilan AS memanfaatkan lembaga DK-PBB
sebagai instrumen penekan Iran. Dalam penguatan opininya, Presiden Ahmadinejad
merespon kebijakan luar negeri AS yang cenderung menekan Iran. Presiden
Ahmadinejad menegaskan bahwa Iran menolak setiap pemberian Resolusi dan sanksi
kepada Iran (Jamaan 2007, h. 54). Bahkan, Presiden Ahmadinejad mengancam setiap
intervensi DK-PBB akan berpengaruh negatif bagi kerjasama Iran dengan IAEA yang
pada mulanya Iran telah bersedia diinspeksi oleh IAEA, maka kemungkinan Iran
akan melakukan konfrontasi dengan tidak lagi menyetujui inspeksi langsung dari
IAEA (Jamaan, 2007, h. 54). Selanjutnya, menurut Gogary (2007, h. 314), Presiden
Ahmadinejad dalam rapat akbar di kota Meibot mengatakan bahwa “musuh-musuh
rakyat Iran berupaya menggunakan DK-PBB untuk mencegah kemajuan dan
pengembangan teknologi nuklir Iran. Namun, DK-PBB tidak memiliki legitimasi atas
rakyat dunia”. Kemudian, pernyataan ini dikuatkan dengan pernyataan Ali Akbar
52
Velayati selaku penasihat urusan luar negeri Iran yang mengatakan bahwa “segala
resolusi yang ditujukan kepada Iran akan dianggap illegal” (Gogary 2007, h. 314).
Sikap AS yang merespon pengembangan teknologi nuklir Iran dengan
tekanan dan ancaman merupakan suatu bentuk kekhawatiran AS atas stabilitas
keamanan kawasan Timur Tengah (Gogary 2007, h. 255). Selebihnya, Jamaan (2007,
h. 44) mengatakan bahwa tekanan dan ancaman AS tersebut untuk melindungi sekutu
dekatnya yakni Israel dari ancaman kekuatan Iran, maka AS tidak segan-segan
mengangkat kasus nuklir Iran ke tingkat DK-PBB. Lebih jauhnya AS berharap
Resolusi dan sanksi yang dijatuhkan DK-PBB kepada Iran akan memaksa Iran untuk
menghentikan pengembangan teknologi nuklirnya. Pada faktanya, Resolusi dan
sanksi DK-PBB tidak memberikan dampak yang signifikan kepada Iran (Gogary
2007, h. 314). Sebaliknya, Iran menyambut dengan penuh tantangan segala macam
bentuk tekanan dan ancaman bagi kelangsungan pengembangan teknologi nuklirnya.
Jamaan (2007, h. 51) mengatakan bahwa sejauh ini Iran berhasil meyakinkan
China, Rusia selaku anggota DK-PBB dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukan
Iran bukanlah sebuah pelanggaran terhadap hukum ketetapan NPT (Nuclear NonProliferation Treaty). NPT merupakan jaminan hukum bagi negara-negara pemilik
teknologi nuklir dengan mematuhi aturan yang berlaku dalam ketetapan NPT (Jamaan
2007, h. 45). Salah satu aturan NPT adalah negara-negara anggota dilarang
mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan senjata militer (Jamaan 2007, h.
37-38). Kemudian, pasal IV NPT menyatakan setiap negara yang tergabung berhak
mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan damai (Jamaan 2007, h. 48-49).
Iran merupakan salah satu negara anggota NPT yang pengembangan teknologi
53
nuklirnya berada dalam pengawasan dan ketetapan hukum NPT (Gogary 2007, h.
314; Jamaan 2007, h. 43). Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari
pengembangan teknologi nuklir Iran yang bertujuan untuk keperluan sipil.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai program pengembangan teknologi
nuklir Iran, maka penulis membahas secara terperinci pada Bab selanjutnya. Berikut
penulis juga akan memaparkan upaya-upaya pemerintah Iran dalam rangka negosiasi
meyakinkan AS dan Sekutunya, IAEA serta masyarakat internasional bahwa
pengembangan nuklirnya aman dan bertujuan untuk keperluan sipil.
BAB III
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI NUKLIR IRAN
Dalam Bab III ini, penulis mencoba membahas mengenai program pengembangan
nuklir Iran yang menimbulkan respon pro dan kontra di dunia internasional.
Kemudian, penulis juga akan membahas bagaimana Iran mempertahankan kemajuan
riset teknologi nuklirnya, melalui diplomasi kepada AS yang menentang
pengembangan teknologi nuklir Iran, juga diplomasi kepada badan atom internasional
(IAEA). Selanjutnya penulis akan mencoba memaparkan peran status keanggotaan
Iran dalam NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty) yang pada dasarnya Iran telah
membangun teknologi nuklirnya di bawah hukum yang ditetapkan NPT dan IAEA.
Pembahasan terakhir pada Bab III ini adalah mengenai peningkatan kekuatan militer
Iran. Penulis mencoba memaparkan kemajuan-kemajuan militer Iran dari segi
alutsistanya (Alat Utama Sistem Persenjataan) jenis rudal, pesawat tempur dan kapal
perang yang dimiliki Iran.
A.
Program Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010
Pada dasarnya, pengembangan teknologi nuklir Iran memiliki beberapa tujuan
penting bagi peran strategis Iran dalam persaingan di kawasan dan dunia. Labib et al.
(2006, h. 187-188) memaparkan bahwa alasan dan tujuan Iran mengembangkan
teknologi nuklirnya adalah, pertama, untuk menguatkan basis perekonomian Iran
yang selama ini hanya mengandalkan eksport minyak dan gas. Dengan adanya
54
55
alternatif pengalihan sumber energi listrik dari minyak ke teknologi nuklir, maka
cadangan minyak Iran akan aman dan biaya produksi listrik melalui teknologi nuklir
jauh lebih murah ketimbang mengkonversi minyak menjadi tenaga listrik. Kedua,
teknologi nuklir sebagai bargaining power Iran di kawasan Timur Tengah terhadap
Israel selaku sekutu dekat AS yang menentang pengembangan teknologi nuklir Iran.
Ketiga, pengembangan teknologi nuklir sebagai momen untuk menunjukkan bahwa
Iran merupakan negara yang patut diperhitungkan kekuatannya baik di kawasan
maupun di dunia.
Pengembangan teknologi nuklir Iran telah dilakukan sejak Iran dipimpin oleh
Presiden Muhammad Shah Reza Pahlevi pada tahun 1960 (Ansari 2008, h. 80).
Ketika itu hubungan bilateral antara Iran-AS terjalin dengan baik. AS memanfaatkan
penguasaan terhadap minyak Iran untuk dijual kembali di pasar internasional, dan
Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza memanfaatkan AS demi kelanggengan
kekuasaannya (Ansari 2008, h. 74). Akan tetapi, pasca Revolusi Islam 1979
kerjasama bilateral Iran-AS baik yang menyangkut kerjasama riset pengembangan
teknologi nuklir diputuskan secara sepihak oleh AS (Rahman 2003, h. 204). Hal ini
terjadi karena pasca Revolusi Islam Iran, politik luar negeri Iran dengan AS berbeda
haluan. Pemerintah Iran dipimpin oleh kelompok Wilayat El-Faqih selaku lembaga
tertinggi di pemerintahan Iran di atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif
(KBRI Teheran 2009) dengan pemimpin utamanya Imam Ayatullah Khomeini yang
sangat bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS (Rahman 2003, h. xx).
Pasca Revolusi Islam Iran 1979, pengembangan teknologi nuklir Iran
mengalami kevakuman selama kurang lebih 17 tahun dan kembali dikembangkan
56
pada 1996 di bawah kepemimpinan Presiden Hashemi Rafsanjani yang mengadakan
kerjasama nuklir dengan Cina dan Rusia (Rahman 2003, h. 205). Akan tetapi,
pengembangan teknologi nuklir ini mengalami bencana kebocoran serpihan radiasi
dari salah satu reaktor nuklir di bagian Utara Iran, sehingga mengharuskan Presiden
Rafsanjani memvakumkan riset teknologi nuklirnya tersebut (Rahman 2003, h. 164).
Kemudian, isu nuklir Iran kembali muncul pada akhir Mei 2003 masa kepemimpinan
presiden Muhammad Khatami yang langsung mendapat kritik dari AS dan
mengatakan bahwa Iran dapat saja mengembangkan senjata nuklir (Rahman 2003, h.
205). Akibat ikut campurnya AS dalam riset pengembangan teknologi nuklir Iran,
maka proses pengembangan nuklir Iran terancam keberadaannya. AS dengan segala
dalihnya menentang pengembangan nuklir Iran dan pada akhirnya nuklir Iran kembali
mengalami kevakuman sejak 2003.
Pengembangan teknologi nuklir Iran kembali dilakukan pada masa
kepemimpinan Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang menjadi presiden Iran pada
2005. Dalam pidato kenegaraannya yakni pada 9 April 2006, Presiden Ahmadinejad
mengatakan bahwa “program pengembangan nuklir Iran kembali diaktifkan semenjak
vakum dari masa pemerintahan Presiden Khatami (Kazhim dan Hamzah 2007, h.
159). Presiden Ahmadinejad mengatakan bahwa “program pengembangan nuklir Iran
memiliki banyak manfaat pada semua bidang kehidupan, termasuk untuk riset
kedokteran, pertanian dan teknologi” (Labib et al. 2006, h. 190).
Labib et al. (2006, h. 187) mengatakan bahwa ada beberapa alasan logis yang
mengharuskan Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir. Pertama, teknologi
nuklir adalah hak legal bangsa Iran yang sudah menjadi tuntutan semua lapisan
57
masyarakat dan politisi Iran. Kedua, teknologi nuklir merupakan teknologi paling
maju, sehingga pengembangan teknologi ini akan memberikan suatu dilematis kepada
AS dan negara-negara Barat yang selalu menghalangi kemajuan riset teknologi
negara-negara Muslim di dunia. Ketiga, teknologi nuklir dengan mudah akan
menempatkan Iran ke dalam kategori negara maju secara cepat. Hal ini dikarenakan
nuklir Iran bertujuan damai untuk kebutuhan energi listrik, riset kedokteran, dan riset
teknologi. Oleh sebab itu, Iran akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar
baik dari hasil Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang jauh lebih murah
ketimbang alternatif lainnya, maupun dari hasil penjualan ekspor minyak mentah dan
gas ke semua negara di seluruh dunia. Keempat, pencapaian keberhasilan
pengembangan teknologi nuklir Iran ini akan menjadi semangat besar bagi rakyat Iran
yang telah merasakan pahitnya tekanan, embargo, dan kekangan AS beserta
Sekutunya setelah Revolusi Islam Iran 1979.
Rahman (2003, h. 166) mengatakan bahwa setelah diadakannya kerjasama
antara Iran dengan Rusia pada Januari 1996 mengenai pengembangan teknologi
nuklir, Iran meneruskan pembangunan empat reaktor nuklir aktif yang digunakan
untuk pengembangan uranium dan plutonium, dan tiga reaktor nuklir khusus untuk
riset teknologi nuklir. Empat reaktor nuklir yang digunakan untuk pengembangan
bahan plutonium dan uranium diantaranya adalah reaktor Bushehr, Natanz, Arak, dan
Asfahan, sedangkan reaktor nuklir yang khusus untuk meriset teknologi nuklir
diantaranya adalah reaktor nuklir yang dibangun di kota Teheran, Yazd, dan Kharaj
(Rahman 2003, h. 166-167).
58
Pembangunan reaktor-reaktor nuklir tersebut tidak terlepas dari bantuan
kerjasama Iran dengan beberapa negara maju lainnya dibidang teknologi seperti
Rusia, Cina dan Jerman. Kerjasama antara Iran-Rusia dibangun pada Januari 1996,
kerjasama antara Iran-Cina pada bidang energi nuklir belum lama disepakati pada
Oktober 2004, dan kerjasama teknologi nuklir Iran-Jerman mulanya telah dibangun
pada masa Shah Reza Pahlevi pada 1974. Akan tetapi, mengalami pemutusan hingga
Jerman kembali menghidupkan kerjasamanya pada 1996 (Gogary 2007, h. 157;
Rahman 2003, h. 164-166). Salah satu bentuk kerjasama yang diberikan Jerman
kepada Iran adalah pengiriman 50 teknisi nuklir Jerman untuk mengoperasikan
instalasi nuklir dan mentransfer ilmu teknologi nuklir kepada ilmuwan-ilmuwan Iran,
dengan tujuan Iran dapat mengembangkan teknologi nuklir dengan kemampuan
dalam negerinya (Rahman 2003, h. 164). Ini merupakan suatu bentuk realita bahwa
Jerman walaupun sekutu AS tetap melanjutkan kerjasama nuklir dengan Iran. Hal ini
dikarenakan Jerman negara Barat pertama yang telah lama menjalin kerjasama nuklir
dengan Iran sejak 1974 dan juga telah menanamkan investasi besar pada proyek
pengembangan teknologi nuklir Iran (Shoelhi 2007, h. 181; Jamaan 2007, h. 41).
Shoelhi (2007, h. 170) mengatakan bahwa untuk lebih meyakinkan
pengembangan teknologi nuklirnya untuk tujuan damai, maka Iran bersedia tunduk di
bawah aturan dan inspeksi IAEA untuk melakukan pemeriksaan terhadap fasilitas
nuklirnya. Selebihnya, Iran juga tunduk di bawah aturan dan pasal-pasal yang berlaku
pada hukum ketetapan NPT. Aturan tersebut mengenai negara-negara di dunia berhak
untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan damai dan mencegah
transfer senjata nuklir kepada negara lain (Gogary 2007, h. 304). Akan tetapi,
59
pengembangan nuklir Iran mendapat kritik dan tekanan dari AS dan Sekutunya,
walaupun pengembangan teknologi nuklir Iran telah sepenuhnya tunduk dan berada
di bawah pengawasan IAEA dan NPT. Menurut Gogary (2007, h. 315) AS dan
Sekutunya curiga terhadap argumen Iran yang menyatakan bahwa program nuklirnya
untuk keperluan damai hanyalah kedok semata untuk menyembunyikan maksud yang
sebenarnya yakni mengembangkan senjata nuklir. Dengan berbagai cara, Presiden
Ahmadinejad meyakinkan kepada dunia internasional bahwa Iran memang benarbenar membutuhkan penambahan kapasitas listrik yang setiap tahunnya meningkat
(Gogary 2007, h. 315). Jika hanya mengandalkan dari pompa minyak dan gas maka
dalam jangka panjang Iran akan mengalami krisis energi ditengah lonjakan harga
minyak dunia yang terus meningkat. (Labib et al. 2006, h. 181; Gogary 2007, h. 315).
B.
Diplomasi Iran Dalam Mempertahankan Pengembangan Teknologi
Nuklir
B.1.
Diplomasi Iran Melawan Tekanan AS dan Sekutunya
Pengembangan teknologi nuklir Iran kian berlanjut walaupun terus mendapat
tekanan dari AS dan Sekutunya. Tekanan yang dilancarkan AS sesuai dengan
Resolusi-Resolusi yang dijatuhkan DK-PBB, sejauh ini masih sebatas pada sanksi
embargo ekonomi, sanksi pelarangan ekspor impor peralatan perang dan
pengisolasian Iran di kancah internasional (Gogary 2007, h. 313). Namun, pada
kenyataannya Iran tetap sanggup hidup mandiri tanpa mengandalkan bantuan
ekonomi dari negara lain (Kazhim dan Hamzah 2007, h. 36-37). Melihat kondisi Iran
yang tetap stabil maka muncul keinginan AS untuk menghentikan pengembangan
60
teknologi nuklir Iran melalui jalur militer (Shoelhi 2007, h. 181). Gogary (2007, h.
258) mengatakan bahwa seperti yang dikatakan Neil Fergusson seorang profesor
sejarah dari Universitas Harvard yang mengatakan bahwa kasus nuklir Iran semakin
memanas hingga pada akhirnya AS akan membawa sengketa ini kepada pengakuan
Kongres AS atas Undang-Undang pembebasan Iran dari bahaya senjata nuklir.
Keinginan AS untuk menyerang Iran melalui jalur militer pun terbukti. Pada
17 April 2006 tercatat bahwa AS telah menulis rancangan serangan untuk
menghancurkan situs nuklir Iran dan juga menumbangkan Presiden Ahmadinejad
(Hersh 2006, dikutip dalam Shoelhi 2007, h. 177). Rancangan serangan yang akan
dilakukan AS ini memiliki kesamaan ketika AS menginvasi Irak, yakni nuklir
hanyalah titik tolak belaka, namun tujuan dari penyerangan tersebut sesungguhnya
untuk mengamankan kebutuhan minyak dan energi AS terutama setelah beberapa
negara kawasan Timur Tengah mengurangi pasokan minyak ke AS (Shoelhi 2007, h.
177). Akan tetapi, keinginan AS untuk menyerang Iran hanya berujung sebatas
pembicaraan. Hal ini dikarenakan AS tidak memiliki alasan-alasan yang cukup untuk
melakukan serangan militer terhadap Iran dan AS perlu mempertimbangkan posisi
Cina dan Rusia yang berada dibalik pengembangan nuklir Iran (Gogary 2007, h.
306).
Gogary (2007, h. 314) menegaskan bahwa Presiden Ahmadinejad dalam rapat
akbar di kota Meibot berkata “segala ancaman dan tekanan kepada Iran tidak akan
berdampak sedikit pun bagi kemauan rakyat Iran untuk terus mengembangkan
teknologi nuklirnya”. Kemudian ditambahkan oleh perkataan Ali Akbar Velayati
selaku penasihat urusan luar negeri Iran yang mengatakan bahwa “segala macam
61
bentuk resolusi terhadap Iran akan dianggap illegal”. Hal ini dikarenakan sejak awal
dikembangkannya kembali proyek nuklir Iran pada 2005, Iran menyadari bahwa
upaya mengaktifkan reaktor nuklir untuk tujuan sipil adalah legal dan mendapat
jaminan hukum internasional NPT dan IAEA (Jamaan 2007, h. 45). Iran menyadari
permasalahan yang akan melanda Timur Tengah adalah krisis energi yang
multidimensional (Jamaan 2007, h. 45). Kazhim dan Hamzah (2007, h. 162)
mengatakan bahwa jika negara-negara di kawasan Timur Tengah hanya
mengandalkan minyak dan gas sebagai sumber devisa, maka kawasan Timur Tengah
akan terancam krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Iran terus melancarkan diplomasinya demi kelangsungan pengembangan
teknologi nuklirnya. Iran pun bersedia untuk melakukan diplomasi secara damai
kepada AS dan Sekutunya untuk meyakinkan bahwa pengembangan nuklirnya tidak
patut untuk dicurigai (Jamaan 2007, h. 46). Bahkan, Iran juga mengajak AS dan
Sekutunya untuk mengecek langsung ke lokasi instalasi nuklir Iran dengan tujuan AS
dan Sekutu benar-benar mempercayai bahwa tidak ada penyelewengan terhadap
pengembangan teknologi nuklir Iran (Shoelhi 2007, h. 171). Keterbukaan Iran atas
teknologi nuklirnya ini tidak sebatas hanya kepada AS, Sekutu, IAEA dan NPT.
Shoelhi (2007, h. 171) menambahkan bahwa Iran juga terbuka kepada masyarakat
internasional dengan memperbolehkan wisatawan luar negeri untuk mengunjungi
instalasi nuklir Iran. Kebijakan tersebut diberlakukan karena telah terbukti
berdasarkan inspeksi IAEA bahwa Iran tidak terindikasi sedang mengembangkan
senjata nuklir (Jamaan 2007, h. 48).
62
Perjuangan jalur diplomatik Iran terus berlanjut. Labib et al. (2006, h. 183)
mengatakan bahwa pada September 2005 telah terjadi sebuah perundingan di Markas
Besar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York antara Iran dengan AS
beserta Sekutunya yakni Inggris, Perancis dan Jerman. Dalam perundingan tersebut
Iran didesak untuk menghentikan program pengembangan teknologi nuklirnya, jika
tidak maka Iran akan mengalami embargo disetiap bidang (Shoelhi 2007, h. 172).
Akan tetapi, Presiden Ahmadinejad menyangkalnya dengan mengatakan “jangan
berani-berani mengancam kami dengan segala rupa sanksi atau kalian akan
menyesalinya” (Labib et al. 2006, h. 184). Selain itu, melalui sikap diplomasinya
yang tegas dan berprinsip Presiden Ahmadinejad menanyakan pada AS dan
Sekutunya bahwa “bila nuklir itu berbahaya, mengapa ada negara yang dibiarkan
menggunakannya? Dan bila nuklir itu berguna, mengapa ada pihak yang tidak
diperbolehkan menggunakannya?” (Labib et al. 2006, h. 185). Para diplomat AS dan
Sekutu terdiam menanggapi perkataan Presiden Ahmadinejad tersebut, apalagi
setelah Presiden Ahmadinejad mengatakan bahwa “memperoleh teknologi nuklir
untuk tujuan damai adalah tuntutan untuk seluruh rakyat Iran dan pejabat sebagai
wakil rakyat harus berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikan tuntutan tersebut”
(Labib et al. 2006, h. 185).
Labib et al. (2006, h. 188-189) juga mengatakan bahwa dalam berbagai
perundingan yang dilakukan dengan negara-negara yang menentang pengembangan
teknologi nuklir Iran, Presiden Ahmadinejad menyimpulkan bahwa AS dan Barat
tidak begitu mengkhawatirkan pengembangan teknologi nuklir Iran ke arah
pengembangan senjata nuklir, namun yang ditakutkan AS dan Barat adalah
63
kemandirian, pengetahuan, dan kemajuan pemuda-pemudi Iran dibidang teknologi
nuklir. Selebihnya, AS dan Barat mencoba mencegah pengembangan riset teknologi
negara-negara Muslim di Timur Tengah yang tidak sejalan dengan kepentingan
nasional AS (Shoelhi 2007, h. 169). Hal ini sangat bertentangan dengan pasal IV NPT
yang menyatakan bahwa “semua negara di dunia berhak memanfaatkan tenaga nuklir
secara damai dan wajib melaporkan semua kegiatan yang terkait program nuklirnya
kepada IAEA (Jamaan 2007, h. 48-49). Presiden Ahmadinejad sempat menggunakan
strategi diplomasi yang mengancam bahwa Iran akan keluar dari keanggotaan NPT
apabila Iran terus mendapatkan sanksi dan tekanan dari pihak AS dan Sekutu,
kemudian ancaman ini berdampak pada mengecilnya tekanan-tekanan dari AS dan
Sekutu (Jamaan 2007, h. 50).
B.2.
Diplomasi Iran Terhadap IAEA (International Atomic Energy
Agency)
IAEA (International Atomic Energy Agency) merupakan badan atom
internasional yang khusus menangani negara-negara di dunia yang mengembangkan
teknologi nuklir. IAEA dibentuk pada 1957 dan merupakan lembaga pemerintah yang
berada di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). IAEA berkontribusi
untuk menggalakan perdamaian dunia, menjaga keamanan dunia, mencegah
penyebaran senjata nuklir, dan mendukung serta membantu pengembangan teknologi
nuklir untuk keperluan damai dan keperluan sipil (Karyono 2005, h. 25).
Dalam peranannya, IAEA memiliki hak dan kewajiban untuk mengontrol
negara-negara yang memiliki nuklir. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar
64
pengembangan teknologi nuklir tersebut aman dan tidak menuju pada pengembangan
senjata nuklir. Salah satu contohnya adalah Iran, IAEA berhak memeriksa
pengembangan teknologi nuklir yang dilakukan Iran. Hal ini sesuai dengan tiga pilar
kerangka kerja IAEA dan juga perjanjian kesepakatan antara IAEA dengan
pemerintah Iran. Karyono (2005, h. 25) mengatakan tiga pilar kerangka kerja IAEA
tersebut adalah:
1. Melakukan usaha perlidungan dan verifikasi dengan cara melakukan inspeksi
langsung ke instalasi nuklir sutu negara di bawah perjanjian legal antara IAEA
dengan negara yang diawasinya untuk memastikan aktivitas pengembangan
nuklir yang damai.
2. Menjaga keamanan dan keselamatan dengan menerapkan standar keamanan,
kode, panduan, dan asisten kepada negara yang mengembangkan teknologi
nuklir.
3. Membantu pengembangan teknologi nuklir, untuk tujuan riset teknologi dan
ilmu pengetahuan seperti nuklir yang bertujuan untuk kesehatan, pertanian,
energi, lingkungan dan keperluan sipil lainnya.
Atas dasar tiga pilar inilah IAEA memiliki hak dan kewajiban untuk
memeriksa dan melakukan pemantauan terhadap negara-negara yang memiliki nuklir.
Akan tetapi, IAEA hanya berhak memeriksa suatu negara hanya kepada negaranegara yang telah melakukan perjanjian kesepakatan dengan IAEA. Diluar negara
yang tidak melakukan perjanjian kesepakatan, IAEA tidak memiliki hak untuk
memeriksa pengembangan nuklir negara tersebut (Karyono 2005, h. 27). Misalnya,
Israel terbukti mengembangkan senjata nuklir yang instalasinya bernama Dimona
65
yang letaknya berada di puncak gurun Negev (Gogary 2007, h. 280). Akan tetapi,
Israel tidak pernah mengungkapkan pengembangan senjata nuklirnya tersebut kepada
dunia internasional dan tidak bersedia diinspeksi langsung oleh IAEA (Karyono
2005, h. 51-52). Selain itu, Rahman (2003, h. 206) menambahkan bahwa
perlindungan yang diberikan AS untuk melindungi sekutunya Israel di Timur Tengah,
menambah kesulitan IAEA untuk melakukan pemeriksaan terhadap instalasi nuklir
Israel. Pasalnya, AS mendesak IAEA untuk tidak melakukan pengawasan terhadap
nuklir Israel dengan mengalihkan perhatian kepada pengembangan nuklir yang
dilakukan Iran (Rahman 2003, h. 206).
Perlindungan AS terhadap Israel terungkap setelah AS melakukan berbagai
macam cara untuk mendesak Iran agar menghentikan pengembangan teknologi
nuklirnya. Terbukti, AS telah mendorong IAEA untuk melakukan scaning monitoring
dengan melakukan perubahan skema terhadap instalasi nuklir Iran menjadi
pengembangan senjata nuklir (Jamaan 2007, h. 31). Akan tetapi, IAEA tidak
menemukan bukti bahwa Iran sedang melakukan pengembangan senjata pemusnah
masal (Gogary 2007, h. 314). Hal ini semakin menurunkan kepercayaan IAEA
terhadap AS yang bertindak hanya mementingkan kepentingan negaranya dan
Sekutunya tanpa menghormati kedaulatan negara lain yang telah melakukan
kesepakatan kerjasama dengan IAEA.
Jamaan (2007, h. 45) mengatakan bahwa sejak awal pengumuman
pengembangan teknologi nuklirnya pada 2005, Iran telah menyatakan bahwa
pengembangan teknologi nuklirnya adalah legal dan damai untuk keperluan sipil serta
mendapat jaminan hukum dari ketetapan IAEA dan NPT. Namun, permasalahan yang
66
muncul justru dari pihak IAEA yang tidak dapat bersikap tegas kepada AS dan
Sekutunya. Pasalnya, AS membantu pengembangan senjata nuklir India dan Israel
yang jelas-jelas bukan anggota NPT dan tidak melakukan kesepakatan dengan IAEA
(Jamaan 2007, h. 45). IAEA juga tidak dapat menerapkan standar keadilan terhadap
negara-negara yang telah mengadakan perjanjian dengannya. Pasalnya, IAEA terus
melakukan pengawasan dan pengecekan terhadap instalasi nuklir Iran yang sudah
jelas melalui pernyataan ElBaradei selaku mantan ketua IAEA yang menyatakan
bahwa tidak terindikasi Iran sedang melakukan pengembangan senjata nuklir (Gogary
2007, h. 314). Namun dilain hal, IAEA melupakan negara-negara yang jelas
mengembangkan senjata nuklir seperti Israel, Pakistan, India dan Korea Utara.
Negara-negara tersebut luput dari pengawasan IAEA dan tidak bersedia melakukan
kerjasama dengan IAEA untuk dilakukan pengawasan dan pengecekan terhadap
instalasi nuklirnya (Jamaan 2007, h. 45).
Berikut adalah daftar tabel negara-negara yang memiliki senjata nuklir beserta
dengan jumlah hulu ledaknya:
No.
Negara
Jumlah Hulu Ledak
Status
1.
AS (Amerika Serikat)
9.600
Aktif
2.
Rusia
9.600
Aktif
3.
Perancis
450
Aktif
4.
Cina
400
Aktif
5.
Israel
200
Aktif
6.
Inggris
185
Aktif
7.
India
60
Aktif
8.
Pakistan
30
Aktif
Tabel 3.A.
Sumber: Anggota grup nuklir, Adel El-Gogary, 2007, “Ahmadinejad “The Nuclear
Savior of Teheran”, Sang Nuklir Membidas Hegemoni AS dan Zionis”, hal. 279-281.
67
Dari data tabel tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa negara-negara
pemilik senjata nuklir tidak mementingkan keamanan kawasan dan dunia. Hal ini
dikarenakan hulu ledak nuklir yang dimiliki negara-negara tersebut sangat
mengancam keutuhan negara lain dan melanggar prinsip dan tujuan perdamaian yang
diusung oleh PBB (Jamaan 2007, h. 52). Kemudian, Iran selaku negara pemilik nuklir
yang bertujuan damai pun menyatakan keberatannya atas senjata nuklir yang dimiliki
negara-negara tersebut. Akan tetapi, IAEA selaku badan yang memiliki otoritas
tertinggi dalam hal nuklir tidak dapat memberikan ketegasan kepada negara-negara
tersebut (Jamaan 2007, h. 48). Di sinilah terlihat suatu fenomena ketidakadilan dunia.
Akan tetapi, Jamaan (2007, h. 49) mengatakan bahwa sejak menandatangani
kesepakatan dengan IAEA, pengembangan teknologi nuklir Iran selalu berada dalam
jalur ketetapan NPT dan IAEA. Selain itu, Pemerintah Iran juga menyatakan bahwa
pengembangan teknologi nuklir Iran untuk tujuan sipil bukan untuk pengembangan
senjata militer (Shoelhi 2007, h. 170).
C.
Posisi Iran Dalam Keanggotaan NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty)
NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty) dibentuk pada 1 Juli 1968 di New
York, Amerika Serikat (Jamaan 2007, h. 36). Pembentukan NPT ini diusulkan oleh
Irlandia dan negara yang pertama menandatangani adalah Finlandia (Jamaan 2007, h.
36). NPT mulai aktif sejak 5 Maret 1970 setelah diratifikasi oleh Inggris, Uni Soviet
(sekarang Rusia), AS, dan 40 negara lainnya (Jamaan 2007, h. 36). Selanjutnya pada
11 Mei 1995 lebih dari 170 negara bergabung bersama NPT dan melanjutkan
perjanjian tanpa batas waktu dan syarat (Jamaan 2007, h. 37). Karyono (2005, h. 30)
68
mengatakan bahwa tujuan utama dibentuknya NPT adalah untuk membatasi jumlah
negara pemilik senjata nuklir pada lima negara anggota DK-PBB. Negara-negara
tersebut diantaranya AS, Rusia, Inggris, Perancis dan Cina. Diluar negara-negara
tersebut, tidak ada negara lain yang diperbolehkan mengembangkan senjata nuklir.
Akan tetapi, Israel, India dan Pakistan tidak terikat dengan perjanjian NPT, hal ini
dikarenakan ketiga negara tersebut tidak bersedia menjadi anggota NPT dan tidak
menandatangani ratifikasi NPT (Gogary 2007, h. 277). Hal inilah yang menyebabkan
Israel, India dan Pakistan dengan mudah mengembangkan senjata nuklir tanpa
kontrol dari IAEA dan kerangka perjanjian NPT.
Berbeda dengan Iran yang pengembangan teknologi nuklirnya berada dalam
kerangka perjanjian NPT dan jaminan ketetapan hukum NPT (Jamaan 2007, h. 45).
Hal ini justru menjadi dilema AS dan Sekutunya karena menganggap bahwa Iran
akan mengembangkan senjata nuklir (Shoelhi 2007, h. 170). Padahal sudah terbukti
bahwa Iran tergabung dalam keanggotaan NPT dan berada dalam pengawasan IAEA.
Justru sebaliknya, Gogary (2007, h. 277) mengatakan bahwa Israel selaku sekutu AS
di Timur Tengah tidak tergabung dalam keanggotaan NPT dan tidak bersedia instalasi
nuklirnya untuk diperiksa oleh IAEA. Akan tetapi, AS melihat pengembangan
teknologi nuklir Iran sebagai ancaman bagi eksistensi Israel selaku sekutunya di
Timur Tengah. Oleh sebab itu, walaupun Iran telah terikat dengan NPT dan IAEA,
AS tetap mencoba menghalangi pengembangan teknologi nuklir Iran dengan
menerapkan standar ganda nuklir di kawasan Timur Tengah, dengan mendukung
kepemilikan senjata nuklir milik Israel guna melawan teknologi nuklir yang
dikembangkan Iran (Rahman 2003, h. 206). AS berspekulasi apabila Iran dapat
69
menguasai riset teknologi nuklir maka secara otomatis Iran dapat menyaingi bahkan
melebihi riset teknologi Israel. Menurut pemerintah Washington, ini akan
membahayakan posisi Israel di Timur Tengah, karena Iran menjadi negara yang
diperhitungkan di Timur Tengah baik dari segi militer, ekonomi maupun
pengembangan kemajuan teknologinya (Jamaan 2007, h. 55).
Pasal X dalam kerangka perjanjian NPT menegaskan bahwa “negara-negara
anggota NPT dapat mencabut keanggotaannya dari NPT apabila kepentingan
nasionalnya terancam” (Jamaan 2007, h. 50). Apabila AS dan Sekutunya terus
mencoba menghalangi pengembangan teknologi nuklir Iran, maka Iran dapat keluar
dari keanggotaan NPT. Labib et al. (2006, h. 190) mengatakan bahwa Iran
berkepentingan mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan sipil negaranya, yakni
untuk kebutuhan listrik domestik, riset kesehatan, lingkungan dan keperluan
pertanian. Oleh sebab itu, tekanan AS yang mencoba menghentikan pengembangan
nuklir Iran dianggap mengganggu kemajuan domestik Iran.
Jamaan (2007, h. 50) mengatakan bahwa dalam bargaining posisinya, Iran
pernah mengancam akan keluar dari keanggotaan NPT akibat tekanan AS terhadap
pengembangan nuklirnya yang tidak beralasan logis. Hal ini menyebabkan AS dan
Sekutunya bersedia melakukan negosiasi dengan Iran. Apabila AS tidak
mengendorkan sikapnya, maka Iran benar-benar mencabut keanggotaannya dari NPT.
Apabila ini benar-benar dilakukan Iran, maka secara teknis pengembangan nuklir Iran
akan sulit dikontrol. Seperti yang dikatakan pemerintah Inggris lebih baik
mengembangkan
nuklir
untuk
keperluan
damai
seperti
Iran,
daripada
70
mengembangkan nuklir untuk pengembangan senjata militer seperti Israel yang
diberikan perlidungan oleh AS (Jamaan 2007, h. 50).
Pasal IV dalam hukum ketetapan NPT menyatakan bahwa “negara anggota
NPT berhak mengembangkan nuklir untuk keperluan damai dan pengembangannya
dijamin oleh hukum internasional NPT” (Jamaan 2007, h. 48-49). Dari pasal tersebut
terlihat bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran merupakan pengembangan yang
legal sesuai dengan hukum ketetapan NPT. Bahkan, Menteri Luar Negeri Rusia
Sergei Lavrov mengatakan bahwa “tidak ada bukti Iran melanggar kesepakatan
perjanjian NPT, dengan demikian pengembangan nuklir untuk tujuan damai pun
mendapat jaminan hukum NPT” (Jamaan 2007, h. 47). Untuk lebih menunjukkan
keterbukaannya kepada dunia internasional, maka Iran menandatangani protokol
tambahan NPT yang memberi akses terbuka bagi IAEA untuk melakukan inspeksi
secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya ke instalasi nuklir Iran (Jamaan
2007, h. 47-48). Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa pengembangan teknologi
nuklir Iran sepenuhnya untuk keperluan sipil dan tidak mengarah kepada
pengembangan senjata pemusnah masal.
D.
Kebijakan Peningkatan Militer Iran
Shoelhi (2007, h. 157) mengatakan bahwa kebijakan mengenai peningkatan
militer Iran telah dilakukan pasca perang Irak-Iran yang terjadi pada 1980-1988.
Ketika perang tersebut, Iran belum memilik senjata militer yang memadai. Iran hanya
memiliki rudal-rudal jarak pendek yang dinamakan rudal Scud B dengan daya jelajah
300 km dan Scud C 600 km (Rahman 2003, h. 192). Sehingga Iran harus
71
menghentikan perang karena serbuan rudal-rudal taktis Irak yang mengguncang kotakota besar Iran seperti Teheran dan Asfahan secara intensif.
Pasca perang Irak-Iran, pemerintah Iran semakin menyadari arti pentingnya
keberadaan rudal-rudal taktis dalam sebuah peperangan baik untuk bertahan dari
serangan lawan ataupun menggempur lawan. Oleh sebab itu, pemerintah Iran
menyiapkan dana US$ 8 Juta untuk meningkatkan persenjataan militernya (Shoelhi
2007, h. 163). Kerjasama militer Iran ini tidak dilakukan hanya dengan Korea Utara
saja. Iran juga melakukan kerjasama dengan Cina dan Rusia yang sudah dimulai
pasca perang Irak-Iran. Rahman (2003, h. 194) mengatakan bahwa kerjasama Iran
dengan Cina menghasilkan produksi rudal balistik jarak menengah yakni 800 km
hingga 1000 km yang dinamakan rudal balistik Scud B dan Iqab. Kemudian
kerjasama dengan Korea Utara menghasilkan rudal balistik Scud B versi Korea Utara
dengan daya jelajah 300 km dan rudal balistik Shanian 1 dan Shanian 2 yang masingmasing memiliki daya jelajah 500-800 km (Rahman 2003, h. 194). Kerjasama Iran
dengan Rusia juga tidak kalah pentingnya, Rusia membantu Iran dalam produksi
rudal balistik yang dinamakan Shahab 1, Shahab 2, dan Shahab 3 (Gogary 2007, h.
271).
Rahman (2003, h. 195) mengatakan bahwa memasuki tahun 1998, Iran telah
memiliki teknologi rudal balistik yang bernama Shahab 1, Shahab 2 dan Shahab 3.
Dikembangkannya rudal Shahab ini merupakan bargaining position Iran terhadap
posisi Israel di Timur Tengah selaku sekutu dekat AS (Rahman 2003, h. 195).
Dengan tujuan, menandingi bahkan melebihi kekuatan militer Israel agar terciptanya
suatu Balance of Power militer di kawasan Timur Tengah (Rahman 2003, h. 198).
72
Rudal Shahab 1, 2 dan 3 merupakan rudal buatan dalam negeri Iran dengan
menerapkan teknologi dari Rusia. Dengan menerapkan ilmu alih teknologi dari Rusia,
maka pemuda-pemuda Iran berhasil mengembangkan rudal balistik yang lebih hebat
dari sebelumnya. Mengetahui peningkatan militer yang dilakukan Iran, maka segenap
pejabat militer Israel berkomentar mengenai rudal-rudal balistik yang dimiliki Iran.
Menteri Luar Negeri Israel Silvan Shalom, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan
Menteri Pertahanan Shaul Mofaz mengatakan pernyataan yang sama yakni “rudal
balistik Iran dapat menjangkau wilayah Israel dan ini merupakan ancaman sangat
berbahaya atas keamanan Israel dan Timur Tengah” (Rahman 2003, h. 192).
Iran telah berhasil melakukan uji coba rudal balistik terbarunya yakni rudal
Shahab 1, 2 dan 3 selama delapan kali pada 1998-2003 (Rahman 2003, h. 195). Rudal
balistik Shahab 1 memiliki daya jelajah sejauh 300 km dan Shahab 2 memiliki daya
jelajah sejauh 550 km (Gogary 2007, h. 270). Kemudian rudal Shahab 3 memiliki
daya jelajah sejauh 1.300 km yang mampu menjangkau wilayah Israel, kawasan teluk
(pangkalan militer AS di Oman, Yordania, Arab Saudi, dan Irak), Pakistan, India,
Turki, Asia Tengah dan sebagian kawasan Laut Merah (Rahman 2003, h. 196).
Menteri Pertahanan Iran Ahmad Vahidi mengatakan bahwa “serangkaian
pengembangan militer Iran bertujuan untuk pertahanan kedaulatan Iran dan
memperkuat posisi Iran di kawasan dan dunia” (BPPK Kemenlu RI 2010). Kemudian
tidak hanya itu, Gogary (2007, h. 270) mengatakan bahwa tujuan lain dari
pengembangan militer Iran untuk membangun kekuatan-kekuatan strategis yang
efektif dan sempurna yang memiliki kekuatan penangkal serangan kredibel dan
73
memberikan perlindungan dari serangan AS dan Sekutunya pada proyek instalasi
nuklir Iran dan proyek militer Iran.
Rahman (2003, h. 194) mengatkan bahwa pemerintah Iran memberitahukan
sejak tahun 2003 Iran telah memiliki ±100 instalasi yang khusus untuk memproduksi
senjata rudal balistik dalam berbagai ukuran. Instalasi tersebut memperkerjakan
ribuan karyawan dan teknisi dalam negeri Iran. Tidak hanya itu, Iran juga
membangun terowongan rahasia bawah tanah yang terletak di kawasan pantai Teluk
Persia untuk penyimpanan rudal balistik segala macam model (Rahman 2003, h.
198). Hal ini dilakukan Iran untuk menyulitkan kemungkinan operasi serangan AS
dan Israel ke tempat penyimpanan rudal-rudal Iran.
Adapun jenis-jenis rudal balistik yang telah diproduksi Iran sebagai berikut:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Rudal
Haseb
Shanin-1
Shanin-2
Arash-1
Arash-2
Oghab
Fadjr-3
Fadjr-5
Zelzal
Fateh 110
Shahab-1
Shahab-2
Shahab-3
Ghadr-1
Shahab-4
Shahab-5
Shahab-6
Supersonic
Daya Jelajah (km)
Keterangan
9 km
Aktif
13 km
Aktif
30 km
Aktif
18 km
Aktif
18 km
Aktif
45 km
Aktif
45 km
Aktif
75 km
Aktif
100 – 400 km
Aktif
200 km
Aktif
300 km
Aktif
550 km
Aktif
1.300 km
Aktif
1.800 km
Aktif
2.000 km
Dikembangkan
5.500 km
Dikembangkan
10.000 km
Dikembangkan
300 km (arah laut)
Aktif
Tabel 3.B.
Sumber: Kekuatan Militer Iran, Musthafa Abd. Rahman, 2003, “Iran Pasca Revolusi
‘Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif”, hlm. 191-198.
74
Tidak hanya pengembangan di sektor rudal, Iran juga mengembangkan perangkat
militer di sektor lainnya seperti Kapal Perang dan Pesawat Tempur buatan teknologi
dalam negeri Iran.
Berikut daftar tabel peningkatan armada Kapal Perang Iran
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama Kapal
Dzulfiqar
Seraj
Qaem
Ghadir
Frigate
Hovercraft SR.N6
Hovercraft BH7 MK5
Jenis
Selam
Selam
Selam
Selam
Non-selam
Selam, darat
Selam, darat
Tabel 3.C.
Keterangan
Tahap Produksi
Tahap Produksi
Beroperasi
Beroperasi
Beroperasi
Beroperasi
Beroperasi
Dan, berikut tabel peningkatan armada Pesawat Tempur Iran:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nama Pesawat
Azarakhsh
F4
F7
FT7
IL-76 AEW
MIG 29
Karrar
SU 24
Saaqeh F4D, F4E, RF4E
Jenis
Keterangan
Berawak
Beroperasi
Berawak
Beroperasi
Berawak
Beroperasi
Berawak
Beroperasi
Berawak
Beroperasi
Berawak
Beroperasi
Tanpa awak
Beroperasi
Berawak
Tahap Negosiasi
Berawak
Tahap Produksi
Tabel 3.D.
Sumber: Modernisasi Sistem Persenjataan Militer Iran, Mohammad Shoelhi, 2007,
“Di Ambang Keruntuhan Amerika”, hlm. 163-166.
Peningkatan kekuatan militer Iran tidak terlepas dari bantuan kerjasama
militer Iran dengan Rusia. Walaupun Iran juga melakukan kerjasama militer dengan
Cina dan Korea Utara, namun kerjasama militer yang paling menonjol adalah
kerjasama militer antara Iran dengan Rusia (Rahman 2003, h. 195). Hal ini diperkuat
oleh perkataan Perdana Menteri Rusia Vladmir Putin yang mengatakan bahwa “Rusia
75
akan terus melanjutkan kerjasama militer dengan Iran dan akan melanjutkan
pemberian senjata yang dibutuhkan Iran dengan tujuan untuk pertahanan kedaulatan
Iran” (Shoelhi 2007, h. 165). Bahkan, Perdana Menteri Putin menambahkan bahwa
“kami (Rusia) menginginkan hubungan kami menjadi elemen stabilitas di kawasan
Teluk dan dunia secara keseluruhan, AS dan Sekutu yang berspekulasi dan sengaja
menekan kerjasama antara Iran-Rusia adalah pihak yang hanya ingin mengaburkan
hubungan kerjasama antara Rusia dengan Iran” (Shoelhi 2007, h. 166).
Mengingat adanya dukungan Rusia dan Cina terhadap Iran, maka AS beserta
Sekutunya mengendorkan tekanannya kepada Iran. Hal ini dilakukan AS karena Cina
dan Rusia mengancam akan menggunakan hak vetonya terhadap keputusan yang
memberatkan Iran terutama keputusan untuk menggunakan opsi militer dalam
menyelesaikan sengketa nuklir Iran (Gogary 2007, h. 151). Oleh sebab itu, upaya
penyerangan AS dan Sekutu melalui jalur militer hanya sebatas rencana belaka yang
perlu dikalkulasikan sebelumnya (Gogary 2007, h. 253).
BAB IV
ANALISA RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI NUKLIR IRAN 2005-2010
Dalam Bab IV ini, penulis mencoba menjelaskan respon AS (Amerika Serikat)
terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran. Respon tersebut berupa kebijakan
yang diterapkan AS dan Sekutunya dalam upaya penyelesaian sengketa nuklir Iran.
Selain itu juga, solusi diplomasi kepada Iran bersama negara anggota tetap DK-PBB
(Dewan
Keamanan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa)
dan
Jerman.
Setelah
menggambarkan respon yang diambil AS, penulis selanjutnya mencoba melihat
bagaimana isu pengembangan nuklir Iran yang berpengaruh terhadap masa depan
hubungan bilateral antara Iran-AS setelah sekian lama mengalami pemutusan
hubungan diplomatik yaitu sejak terjadinya Revolusi Islam Iran 1979.
A.
Respon AS Terhadap Penyelesaian Sengketa Nuklir Iran
A.1.
Kebijakan AS dan Sekutu Terhadap Pengembangan Nuklir Iran
Pengembangan teknologi nuklir Iran tidak dapat dipandang sebelah mata. Iran
telah membangun program nuklirnya secara terstruktur dan terencana, bukan
pengembangan nuklir yang instan yang baru dikembangkan dua atau tiga tahun
belakangan ini. Melainkan pengembangan nuklir yang merupakan wujud dari
keinginan
semua lapisan dan
faksi
masyarakat
Iran.
Selain itu,
tujuan
pengembangannya pun jelas untuk memasok energi dan beberapa kebutuhan
76
77
domestik lainnya yang begitu penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Iran
seperti yang sudah penulis paparkan sebelumnya. Pengembangan nuklir Iran juga
diyakini sebagai alat bargaining power Iran terhadap Israel yang merupakan satusatunya negara yang memiliki bom nuklir di kawasan Timur Tengah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Labib et al. (2006, h. 87-88) yang mengatakan bahwa “alasan dan
tujuan Iran mengembangkan teknologi nuklirnya adalah sebagai alternatif pengalihan
sumber energi listrik dari pembakaran BBM, teknologi nuklir juga sebagai
bargaining power di kawasan Timur Tengah terhadap Israel selaku sekutu dekat AS
yang menentang pengembangan teknologi nuklir Iran”. Apabila AS dan Sekutunya
menginginkan penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur militer, maka langkah
tersebut tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah melainkan semakin
merumitkan permasalahan.
Perubahan kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran ditandai oleh
kesedian AS untuk mau mempertimbangkan penyelesaian melalui jalur diplomasi
terhadap sengketa nuklir Iran (IRI Broadcasting, 7 Desember 2010). Misalnya,
Shoelhi (2007, h. 171) mengatakan bahwa AS akan mempertimbangkan tawaran Iran
mengenai akan diadakannya suatu konsorsium penelitian nuklir Iran yang diketuai
oleh Perancis. Akan tetapi, pertimbangan AS ini dikritik oleh Israel selaku sekutu AS
di Timur Tengah. Menurut laporan Republika Online (14 Desember 2010) Israel
melalui Perdana Menterinya Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa “satu-satunya
cara untuk menghentikan nuklir Iran adalah dengan menyerang negara tersebut
melalui jalur militer bukan melalui perundingan damai”. Pernyataan Perdana Menteri
Israel ini secara langsung mendapat kecaman dari Rusia dan Cina. Menurut kedua
78
negara tersebut pernyataan semacam itu hanya memperkeruh sengketa nuklir Iran dan
hanya memperpanjang perang urat syaraf (psywar) antara Iran dengan AS (Gogary
2007, h. 253).
Kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran yang semula bersikap
menekan berubah menjadi mengedepankan solusi diplomasi. Perubahan kebijakan
tersebut dimulai pada Desember 2010 yang dibarengi dengan pertemuan pertama
antara Iran beserta negara 5+1 di Jenewa Swiss (IRI Broadcasting, 7 Desember
2010). Perubahan kebijakan tersebut juga dilakukan setelah tidak adanya dukungan
internasional untuk menghentikan pengembangan teknologi nuklir Iran melalui jalur
militer (IRI Broadcasting, 4 Mei 2006).
Antaranews (31 Maret 2010) melaporkan bahwa dalam sebuah pertemuan
dengan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, Presiden Obama mengatakan bahwa AS
tidak mendapat dukungan suara bulat dari negara-negara di dunia untuk menjatuhkan
hukuman dan serangan militer kepada Iran. Selain itu, menurut analisa penulis seperti
yang telah penulis paparkan pada Bab II beberapa sanksi yang dijatuhkan DK-PBB
(Lihat hlm. 49-51) terbukti tidak berpengaruh terhadap ambisi Iran untuk
mengembangkan teknologi nuklirnya (Gogary 2007, h. 314). Iran semakin
berkembang dengan teknologi nuklirnya. Hal ini dikarenakan para pemuda-pemudi
Iran telah menguasai teknologi nuklir (Labib et al. 2006, h. 189). Sehingga Iran tidak
perlu banyak bergantung kepada negara lain dalam pengembangan teknologi
nuklirnya (IRI Broadcasting, 11 September 2010).
Jafar (2006, h. 17) mengatakan bahwa hal tersebut dibuktikan dengan semakin
bertambahnya tempat instalasi pengembangan nuklir Iran yang semula hanya empat
79
instalasi menjadi sembilan instalasi. Instalasi tersebut di antaranya adalah Saghand,
Ardkan, Gehine, Asfahan, Natanz, Teheran, Bushehr, Arak dan Anarak. Sejak awal
2010 instalasi Bushehr telah beroperasi memproduksi listrik dalam jumlah sedang
yang dialirkan ke seluruh wilayah Iran (Sunariah, Tempo Interaktif, 10 Mei 2011).
Dalam waktu dekat instalasi nuklir Iran akan segera mengalirkan energi listrik ke
negara-negara kawasan Teluk (IRI Broadcasting, 11 September 2010).
Mengamati peningkatan teknologi nuklir Iran, maka AS merespon dengan
meminta Iran menyerahkan hasil produksi sisa uraniumnya kepada IAEA guna
mencegah sisa hasil uranium tersebut digunakan untuk memperoleh senjata nuklir
(Hileudnews, 29 Juli 2010). Gogary (2007, h. 282) mengatakan bahwa Iran telah
mampu memproduksi uranium sampai level 3,5 persen melalui 164 perangkat
sentrifugal. Level tersebut adalah level minimal yang harus dicapai untuk
memproduksi tenaga listrik nuklir. Sedangkan level produksi uranium untuk
mencapai senjata nuklir harus mencapai 92 persen dengan menggunakan uranium
jenis 235 bervolume tinggi (Gogary 2007, h. 277). Hal ini menunjukkan bahwa Iran
tidak memproduksi uranium yang berlebihan yang dapat mengembangkan suatu bom
nuklir.
Pada perkembangannya, Iran mengumumkan kepada IAEA bahwa Iran
berencana akan memproduksi uranium ke tingkat 20 persen (Hileudnews, 29 Juli
2010). Hal ini dilakukan Iran karena tingginya permintaan listrik domestik Iran yang
selama ini mengandalkan dari tenaga hidrolik dan pembakaran BBM. IAEA pun
sepakat, begitu juga dengan DK-PBB yang mengusulkan penambahan uranium ke
level 20 persen dilakukan di Perancis dan Rusia. Akan tetapi, usulan DK-PBB ini
80
ditolak Iran, karena Iran tetap menginginkan peningkatan level uraniumnya
diproduksi di dalam negeri. Iran telah memiliki ilmuwan-ilmuwan dalam negeri yang
telah menguasai bidang teknologi nuklir (Labib et al. 2006, h. 189). Sehingga,
menurut Ali Akbar Salehi selaku ketua badan energi nuklir Iran mengatakan bahwa
“produksi uranium tidak perlu dilakukan di negara lain, Iran mampu untuk
memproduksi sendiri bahan bakar penghasil energi nuklir” (IRI Broadcasting, 11
September 2010).
AS menyadari Iran merupakan kekuatan yang perlu dipertimbangkan bagi
kepentingan nasional AS di Timur Tengah (Gogary 2007, h. 255). Melalui
pengembangan teknologi nuklir, Iran telah menjadi negara maju di kawasan Timur
Tengah. Kemajuan Iran memaksa AS untuk memperlunak sikap kebijakan luar
negerinya. Pasalnya, pasca pengembangan teknologi nuklir, Iran berhasil mendapat
dukungan negara-negara di kawasan Teluk yang menjadi poros kekuatan Iran. Di
antaranya, Mesir pasca tumbangnya rezim Presiden Husni Mubarok, negara ini
berkoalisi dengan Iran untuk mewujudkan perdamaian di kawasan (IRI Broadcasting,
4 Juni 2011). Suriah yang mayoritas penduduknya bermazhab Shia (salah satu aliran
Mazhab dalam agama Islam) mendukung legalitas nuklir yang dikembangkan Iran
(IRI Broadcasting, 9 Mei 2010).
Berikutnya, Turki melalui Perdana Menteri Reccep Tayip Erdogan
mendukung secara penuh hak legal bangsa Iran mengembangkan nuklir untuk tujuan
damai dan mengecam senjata nuklir yang dimiliki Israel (IRI Broadcasting, 9 Mei
2010). Kelompok Muslim Shia Irak yang berjumlah 60 persen dari penduduk Muslim
di Irak siap membantu Iran dari ancaman serangan AS dan Israel (Gogary 2007, h.
81
318). Kemudian, Raja Abdullah dari Yordania bersedia menghadiri undangan
Presiden Mahmoud Ahmadinejad untuk membicarakan peran kedua negara di
kawasan Timur Tengah dan mendukung nuklir Iran untuk tujuan damai (IRI
Broadcasting, 25 Desember 2010). Berikutnya Hamas Palestina, dan Hizbullah
Lebanon mendukung penuh hak bangsa Iran dalam pengembangan nuklirnya, dan
bersedia membantu Iran dari ancaman serangan AS dan Israel (Kazhim dan Hamzah
2007, h. 154).
Hal di atas menyebabkan AS memperlunak kebijakan luar negerinya dalam
merespon pengembangan teknologi nuklir Iran. Tidak hanya itu, hal di atas juga
menyebabkan keberadaan Israel menjadi terancam. Menurut Riza Sihbudi selaku Ahli
Peneliti Utama dan Pakar Ahli Politik Timur Tengah P2P LIPI (Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta dalam wawancara pada 20 Juni
2011, mengatakan bahwa “negara-negara kawasan Timur Tengah telah mengetahui
Israel memiliki senjata nuklir yang berhulu ledak tinggi, sehingga memaksa negaranegara di kawasan Teluk membuat kesepakatan untuk membersihkan dan
membebaskan kawasan Timur Tengah dari ancaman senjata nuklir. Namun, hal ini
tidak dihiraukan oleh Israel walaupun telah mendapat kritik dan kecaman dari negaranegara kawasan Teluk”.
Kemudian, Riza Sihbudi menambahkan “Israel tidak akan melucuti senjata
nuklirnya, karena Israel merasa kuat dengan adanya dukungan penuh dari AS untuk
menjaga keberadaannya di Timur Tengah. Akan tetapi, usulan Israel yang mendesak
agar AS melakukan serangan terhadap Iran ditolak AS. Penolakan tersebut karena AS
tidak ingin membuka konflik baru di Timur Tengah setelah invasi militernya ke
82
Afganistan (2001) dan Irak (2003) yang belum terselesaikan hingga saat ini. Selain
itu, anggaran dalam negeri AS menipis akibat invasi tersebut yang menghabiskan
biaya ± US$ 3 triliun serta tidak adanya dukungan publik domestik AS”.
Pada perkembangannya, AS menerapkan kebijakan diplomatis kepada Iran
dalam merespon pengembangan teknologi nuklir Iran. Menurut analisa penulis, hal
ini dilakukan AS karena jika sengketa nuklir Iran diselesaikan dengan jalur militer
tentu akan berdampak signifikan bagi keamanan kawasan Timur Tengah. Seperti
yang telah penulis jelaskan di atas, AS menyadari keberadaan Iran beserta poros
kekuatannya. Oleh sebab itu, AS tidak ingin mengambil resiko besar akibat dari
serangan militer ke Iran yang akan mengancam kepentingan AS di Timur Tengah.
Untuk tetap menjaga posisi dan pengaruhnya di kawasan, AS menerapkan
kebijakan diplomasi terhadap Iran mengenai penyelesaian sengketa nuklir Iran. Hal
ini juga disebabkan karena negara perwakilan Uni Eropa yakni Inggris, Jerman dan
Perancis menyadari pendekatan diplomasi merupakan satu-satunya cara realistis
untuk menyelesaikan sengketa nuklir Iran yang harus diterima.
A.2.
Solusi Diplomasi Kepada Iran
Seperti yang telah penulis paparkan dalam Bab II dan III bahwa respon AS
terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran adalah dengan memberikan tekanan
politik, ekonomi, dan keamanan terhadap Iran. Tekanan tersebut bertujuan agar Iran
memberhentikan pengembangan nuklirnya. Namun, secara drastis AS merubah
kebijakannya tersebut dengan mengupayakan penyelesaian sengketa nuklir Iran
melalui jalur diplomasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama Riza Sihbudi
83
selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Timur Tengah P2P LIPI Jakarta pada 20
Juni 2011 yang mengatakan bahwa “AS dan negara-negara anggota DK-PBB lebih
mengedepankan solusi perundingan damai. Hal ini dikarenakan, sekutu kuat AS di
Eropa yaitu Inggris, Perancis dan Jerman memperhatikan permasalahan di Afganistan
dan Irak yang belum terselesaikan. Negara-negara tersebut mementingkan dampak
buruk yang akan terjadi dari serangan militer ke Iran. Kemudian, Cina dan Rusia juga
menyetujui penyelesaian melalui jalur diplomasi. Hal ini dikarenakan Cina dan Rusia
memiliki kedekatan hubungan bilateral dengan Iran. Selain itu, Cina dan Rusia turut
membantu pengembangan instalasi teknologi nuklir Iran. Oleh sebab itu, negaranegara maju tersebut lebih mengedepankan jalur diplomasi”.
Menurut analisa penulis, selain hal di atas, cara penekanan diplomasi yang
dilakukan negara-negara 5+1 (negara-negara yang tergabung dalam anggota tetap
DK-PBB ditambah Jerman) disebabkan karena tidak adanya dukungan menyeluruh
dari dunia internasional terhadap langkah represif AS dan Sekutu dalam merespon
pengembangan nuklir Iran. Buktinya mayoritas negara-negara yang tergabung dalam
Organisasi
Konferensi
Islam
(OKI)
menyatakan
dukungannya
terhadap
pengembangan teknologi nuklir Iran (Jamaan 2007, h. 52). Selanjutnya, Jamaan juga
menambahkan tidak hanya OKI, negara-negara yang tergabung dalam Gerakan NonBlok (GNB) juga menyatakan dukungan penuh terhadap hak Iran mengembangkan
teknologi nuklir selama bertujuan damai (Jamaan 2007, h. 52). Belum lagi aliansi
sayap kiri yang tergabung dalam negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela,
Bolivia, Kuba dan Nicaragua juga mendukung hak legal bangsa Iran untuk
mengembangkan teknologi nuklir (Gogary 2007, h. 143-147).
84
Negara-negara dan organisasi dunia di atas mendukung penyelesaian sengketa
nuklir Iran melalui diplomasi. Oleh sebab itu, AS memperlunak kebijakan luar
negerinya terhadap Iran. Holsti (1992, h. 469) mengatakan bahwa “perumusan
kebijakan luar negeri harus memperhatikan situasi yang mencangkup faktor eksternal,
domestik, dan kondisi kontemporer historis yang dianggap pembuat kebijakan luar
negeri relevan dengan setiap masalah politik tertentu”.
Menurut analisa penulis, pernyataan di atas relevan melihat situasi kondisi
yang sedang dihadapi AS. Pada faktor eksternal, mayoritas negara-negara di dunia
menentang penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur militer dan mendukung
hak legal bangsa Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir selama bertujuan
damai. Melihat keadaan seperti ini, AS merubah kebijakan luar negerinya yang
semula begitu represif menjadi membuka jalur diplomasi kepada Iran dalam
menyelesaikan sengketa nuklir. Ditinjau dari segi internal, apabila AS melancarkan
serangan ke Iran maka akan berdampak signifikan terhadap posisi dan kepentingan
AS di Timur Tengah. Jika itu terjadi, maka harga minyak akan menjadi tinggi dan AS
akan terancam mengalami krisis minyak yang berkepanjangan.
Tidak hanya itu, menurut analisa penulis, faktor internal lainnya adalah krisis
ekonomi global AS yang terjadi pada 2008. Krisis tersebut diakibatkan oleh invasi
AS ke Afganistan (2001) dan invasi ke Irak (2003). Invasi tersebut menghabiskan
biaya ± US$ 3 triliun yang sangat merugikan anggaran dalam negeri AS. Penyebab
lain dari krisis tersebut adalah adanya kredit macet oleh masyarakat AS yang
mengambil kredit rumah melalui jasa perbankan. Kemudian, di sektor politik, adanya
kejenuhan masyarakat AS terhadap Presiden George W. Bush yang berasal dari Partai
85
Republik atas kebijakan perang yang diterapkannya. Pasalnya, masyarakat AS jenuh
terhadap peperangan yang dilakukan AS. Masyarakat AS menginginkan situasi yang
damai tanpa adanya peperangan. Hal ini menyebabkan naiknya suara Presiden Barack
Obama dari golongan Partai Demokrat dan berhasil merebut kursi kepresidenan AS
pada pemilu tahun 2008. Masyarakat AS mendukung kebijakan Presiden Obama
yang mengedepankan kerjasama dan perundingan damai untuk menyelesaikan
sengketa internasional. Oleh sebab itu, AS mengabaikan keinginan Israel yang
mendesak untuk melakukan serangan militer terhadap Iran. Karena AS lebih
memperhitungkan konsekuensi yang akan ditanggung apabila melakukan serangan
militer ke Iran ketimbang menuruti keinginan Israel.
Tercatat telah terjadi dua kali pertemuan antara Iran dengan negara-negara
5+1 (AS, Inggris, Perancis, Cina, Rusia dan Jerman). Pertemuan pertama dilakukan
pada tanggal 6-7 Desember 2010 di Jenewa, Swiss (IRI Broadcasting, 7 Desember
2010). Pertemuan pertama tersebut menghasilkan sebuah harapan yang baik dan
konstruktif. Karena, menurut Antaranews (8 Desember 2010) dalam proses
pertemuan tersebut, Cathrene Ashtone selaku wakil diplomatik negara 5+1 mengakui
hak kedaulatan Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir. Akan tetapi
menurutnya, Iran harus memberikan jaminan kepada masyarakat internasional dan
tetap menjalankan lima sanksi DK-PBB yang telah diberlakukan kepada Iran.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa
jika para negosiator datang bertemu tetapi tidak untuk mencabut sanksi yang telah
mereka terapkan kepada Iran, maka sesungguhnya pertemuan tersebut tidak akan
membuahkan hasil dan kesamaan pandangan (Antaranews, 8 Desember 2010).
86
Pertemuan di Jenewa tersebut memang belum menghasilkan suatu pernyataan
dan keputusan. Akan tetapi, pertemuan tersebut menjadi langkah awal para negaranegara 5+1 dan Iran untuk melanjutkan pertemuan mengenai nuklir Iran pada bulan
berikutnya. Saeed Jalili selaku ketua tim runding Iran mengatakan bahwa “antara Iran
dan negara 5+1 akan memulai perundingan kembali di Istanbul Turki untuk
mendiskusikan kerjasama dan kesamaan pandangan” (Antaranews, 8 Desember
2010). Kemudian Saeed Jalili menambahkan bahwa “pertemuan ini merupakan
kepentingan masyarakat internasional yang menginginkan jaminan terhadap
pengembangan teknologi nuklir Iran. Iran membuktikannya dengan diadakannya
pertemuan tersebut untuk membahas secara rinci mengenai pengembangan nuklir
Iran” (Hileudnews, 6 Desember 2010).
Pertemuan kedua dilaksanakan di Istanbul, Turki pada 21-22 Januari 2011
(Metrotvnews, 11 Januari 2011). Pada pertemuan ini tidak menghasilkan suatu
kesepakatan antara pihak negara 5+1 dengan Iran. Tiap-tiap pihak bersikeras kepada
kemauan masing-masing. Pihak Iran menginginkan pencabutan sanksi terhadap Iran
dan diplomasi atas dasar akal sehat sesuai kerangka yang berlaku di NPT yakni setiap
negara berhak mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Sebaliknya, pihak negara
5+1 yang diwakili oleh Cathrene Ashtone menginginkan Iran menghentikan
pengayaan uraniumnya, jika tidak maka negara 5+1 akan menambahkan sanksi baru
kepada Iran (Antaranews, 22 Januari 2011). Namun, dari hasil pertemuan tersebut,
Hileudnews (29 Juli 2010) melaporkan Iran bersedia untuk mengurangi produksi
uraniumnya dari level 20 persen apabila negara-negara 5+1 bersedia mencabut sanksi
dan embargo yang diberlakukan terhadap Iran. Hal ini ditawarkan Iran untuk
87
mengurangi kecurigaan negara-negara 5+1 terhadap pengembangan nuklir Iran.
Namun belum ada respon dari negara-negara tersebut terkait penawaran tersebut.
Menurut analisa penulis, kekhawatiran dan kecurigaan negara-negara
penentang nuklir Iran sangat wajar. Karena dalam pemahaman Neo-realis keadaan
sistem internasional yang anarkis setiap negara yang memiliki kekuatan mencoba
untuk
terlibat
dan
mengikuti
sistem
tersebut
untuk
menunjukkan
dan
mendistribusikan kemampuan unit dalam sistem (Burchill dan Linklater 2007, h.
117). Dalam kasus nuklir Iran, negara-negara yang memiliki kekuatan dominan
mencoba untuk terlibat dalam kasus nuklir tersebut. Pada dasarnya pengembangan
teknologi nuklir Iran timbul karena sistem internasional yang anarkis. Pengembangan
teknologi nuklir Iran dimunculkan sebagai penyeimbang kekuataan negara-negara di
dunia dan kawasan. Namun, Iran memiliki tujuan utama yang spesifik berdasarkan
kepentingan nasional negaranya, yakni mengembangkan teknologi nuklir untuk
kemajuan riset teknologi dan keperluan sipil bukan untuk keperluan militer. Oleh
sebab itu, atas dasar kepentingan nasional bangsa Iran, pemerintah Iran terus
memperjuangkan pengembangan teknologi nuklir Iran walaupun mendapat tekanan
dari berbagai pihak.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Frankel (1988, h. 93) yang mengatakan
bahwa “kepentingan nasional merupakan kunci utama dari konsep kebijakan luar
negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu
bangsa”. Menurut analisa penulis, Iran terus berupaya mempertahankan kepentingan
nasionalnya. Upaya yang dilakukan pemerintah Iran adalah dengan menerapkan suatu
usaha diplomasi terhadap segala macam bentuk tekanan AS dan Sekutu.
88
B.
Masa Depan Hubungan Bilateral Iran-AS
Pasca perubahan kebijakan AS terhadap pengembangan nuklir Iran tidak
semata-mata memberikan peluang untuk terciptanya hubungan yang harmonis antara
Iran-AS. Pasalnya, ketegangan antara Iran-AS sudah terjadi kurang lebih 32 tahun
pasca terjadinya Revolusi Islam Iran 1979. Selain itu, Takdir (1998, h. 26-27)
menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor selain isu nuklir yang menyebabkan kedua
negara ini sulit untuk kembali normal. Adapun faktor tersebut adalah, pertama,
adanya upaya perlindungan AS terhadap sekutu dekatnya yakni Israel di kawasan
Timur Tengah. Kedua, adanya perbedaan jalan politik luar negeri Iran dan AS.
Menurut analisa penulis, Iran yang dipimpin oleh Wilayat El-Faqih suatu lembaga
tertinggi di pemerintah Iran di atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif (KBRI
Teheran 2009) memiliki prinsip untuk menentang hegemoni AS dan Israel sejak
meletusnya Revolusi Islam Iran 1979 (Cipto 2004, h. 112). Sedangkan AS di bawah
kelompok Neo-konservatif maupun kelompok Neo-liberalis memiliki kebijakan
pokok yang sama, yakni menentang Iran selama kebijakan luar negeri Iran
dikendalikan oleh kelompok konservatif Iran yang mayoritas berasal dari Wilayat ElFaqih (Rahman 2003, h. xviii). Ketiga, faktor kepentingan nasional AS di kawasan
Timur Tengah.
Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Timur Tengah P2P
LIPI Jakarta dalam wawancara pada 20 Juni 2011 mengatakan bahwa “semenjak
terjadinya Revolusi Islam Iran 1979, AS tidak dapat mengeksploitasi minyak Iran.
Bahkan, AS pun tidak pernah membuka jalur diplomatik kepada Iran pasca Revolusi
Islam 1979. Kemudian, dengan adanya peningkatan pengaruh Iran di kawasan Timur
89
Tengah, semakin membuat AS khawatir akan posisi Israel dan kepentingan AS
sendiri di kawasan. Pasalnya, Iran dapat menciptakan suatu keseimbangan kekuatan
di kawasan. Selain itu, pasca pengembangan teknologi nuklir dan kekuatan militer,
Iran dapat mengancam posisi Israel di kawasan Timur Tengah dan bahkan berpeluang
menjadi kekuatan dominan di kawasan”.
Menurut analisa penulis, Iran berhasil mengumpulkan poros kekuatannya di
Timur Tengah seperti kelompok Hizbullah Lebanon, Hamas Palestina, Kelompok
Shia Irak yang berjumlah 60 persen, Suriah selaku negara mayoritas penduduknya
beraliran mazhab Shia, Mesir pasca turunnya Husni Mubarok, Turki di bawah
Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan Yordania melalui Raja Abdullah. Hal
tersebut semakin menipiskan pengaruh AS di kawasan Timur Tengah. Apalagi
setelah negara-negara Timur Tengah menginginkan adanya penghapusan senjata
pemusnah masal (senjata nuklir) milik Israel yang berada di puncak gurun Negev
Dimona.
Sesuai pernyataan yang dikemukakan oleh Perwita dan Yani (2007, h. 49)
yakni “kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat
oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik
internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang
dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional”. Menurut analisa penulis,
kebijakan Iran mengembangkan teknologi nuklir merupakan suatu bentuk pencapaian
dari input kepentingan nasional bangsa Iran. Iran memiliki kepentingan untuk
menjadi negara maju di kawasan. Lebih jauhnya, Iran memiliki kepentingan untuk
melawan dominasi kekuatan Israel selaku sekutu AS di Timur Tengah.
90
Kepentingan tersebut misalnya, pertama energy interest, dengan adanya
pengalihan sumber energi alternatif nuklir, maka Iran tidak perlu khawatir akan
cadangan minyaknya. Pasalnya, konversi teknologi nuklir menjadi sumber listrik
lebih murah dan efisien ketimbang Iran harus mengkonversi minyak atau BBM
menjadi sumber energi listrik. Oleh sebab itu, Iran dapat menambah ekspor impor
energi listriknya dalam jumlah besar ke seluruh negara di kawasan Timur Tengah dan
dunia tanpa khawatir akan cadangan minyaknya. Kedua, military interest, dengan
peningkatan militer baik dari segi senjata dan jumlah pasukan, maka Iran menjadi
negara yang patut diperhitungkan oleh Israel. Pasalnya, militer Iran dapat
menciptakan suatu perimbangan kekuatan dan ancaman serius bagi Israel. Oleh sebab
itu, Iran terus mempertahankan pengembangan nuklirnya agar adanya perimbangan
kekuatan di kawasan. Terbukti pengembangan nuklir Iran membuat posisi Israel
terancam, sehingga Israel melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mendesak
AS untuk menghancurkan instalasi-instalasi nuklir Iran melalui jalur militer. Akan
tetapi, desakan ini ditolak AS dan sebaliknya AS merubah alur politiknya memilih
untuk menyelesaikan sengketa nuklir Iran melalui jalur diplomasi.
Dalam berbagai macam pertemuan resmi antara Iran-AS, AS sempat berkalikali menyisipkan lontaran syarat-syarat untuk normalisasi hubungan kedua negara.
Gogary (2007, h. 223-224) menambahkan bahwa dalam kesempatan tersebut AS
menawarkan empat syarat perdamaian kepada Iran, syarat-syarat tersebut di
antaranya, pertama, Iran tidak boleh menentang laju perdamaian di Timur Tengah dan
harus mengakui secara resmi rezim zionis Israel. Kedua, Iran harus menghentikan
dukungannya kepada kelompok pejuang Palestina seperti Jihad Islami dan Hamas.
91
Begitu juga kelompok Hizbullah di Lebanon. AS juga menuntut pemutusan hubungan
antara kelompok-kelompok pejuang Islam tersebut dengan Iran. Ketiga, Iran harus
menghentikan usaha apapun untuk memproduksi senjata pemusnah masal, sebab hal
ini dalam sudut pandang AS dapat mengganggu stabilitas keamanan Timur Tengah.
Keempat, Iran harus menghormati Hak Asasi Manusia dengan menghormati hak-hak
minoritas berdasarkan agama, sekte, dan ras serta hak-hak wanita.
Sebaliknya Iran juga mengajukan syarat-syarat untuk normalisasi hubungan
kedua negara. Syarat-syarat tersebut pertama, penghapusan segala bentuk embargo
yang dijatuhkan kepada Iran. Kedua, pencairan aset-aset Iran yang dibekukan di
bank-bank Eropa dan AS. Ketiga, penghapusan kebijakan-kebijakan unilateral yang
selama ini diterapkan pada Iran dalam kurun waktu yang cukup lama. Keempat, tidak
mencampuri urusan dalam negeri Iran dengan dalih apapun. Kelima, permintaan maaf
secara resmi atas kebijakan-kebijakan politik yang salah yang telah menimbulkan
penderitaan bagi rakyat Iran selama beberapa tahun lewat (Gogary 2007, h. 224).
Menurut analisa penulis, syarat-syarat perdamaian yang diajukan AS kepada
Iran cenderung ditujukan untuk melindungi eksistensi Israel di Timur Tengah. AS
khawatir akan keberadaan poros kekuatan Iran yang telah penulis paparkan di atas
dapat mengancam keberadaan Israel dan pengaruh AS sendiri di kawasan. Hal ini
sesuai yang dikatakan oleh Riza Sihbudi dalam wawancara pada 20 Juni 2011 di
gedung P2P LIPI Jakarta, yang mengatakan bahwa “terdapat dua pertimbangan AS di
kawasan Timur Tengah di antaranya, pertama, untuk melindungi keberadaan Israel
selaku sekutunya. Karena keberadaan Israel di Timur Tengah merupakan sumber
pengaruh dan kekuatan AS untuk menguasai Timur Tengah. Selain karena kedekatan
92
hubungan antara kedua negara, Israel pun sangat membantu AS untuk mendapatkan
data intelejen mengenai bahaya-bahaya yang ditimbulkan negara dan kelompok yang
tidak sejalan dengan kepentingan AS. Sehingga AS sangat mengupayakan agar Israel
terhindar dari bahaya pengembangan teknologi nuklir Iran.
Kedua, untuk menjaga pengaruh dan kepentingan AS sendiri di kawasan
Timur Tengah. Hal ini dikarenakan Timur Tengah merupakan kawasan yang
produktif bagi AS. Apabila AS kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah, maka akan
berdampak signifikan bagi kepentingan AS. Misalnya, AS akan mengalami krisis
dalam negeri akibat tidak mendapatkan ekspor minyak dari negara-negara Timur
Tengah selaku kawasan penghasil minyak terbesar. Tidak hanya itu, AS juga akan
kehilangan misinya untuk menyebarkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Timur
Tengah yang sebetulnya hanya sebagai dalih untuk menguasai sumber daya alam
kawasan Timur Tengah yang begitu melimpah khususnya minyak.
Demikianlah analisa penulis dari penelitian mengenai Respon Amerika
Serikat Terhadap Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010. Adapun data-data
dan informasi yang penulis sajikan merupakan hasil observasi yang penulis dapatkan
melalui sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, laporan kerja, berita online dan
wawancara dengan Riza Sihbudi selaku Ahli Peneliti Utama dan Pakar Ahli Timur
Tengah P2P ( Pusat Penelitian Politik) LIPI Jakarta.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Iran merupakan negara Timur Tengah yang terletak di wilayah Asia Barat
Daya. Memiliki letak geografis yang strategis berdekatan dengan wilayah Asia
Selatan, Asia Tengah, Teluk Persia, Teluk Oman dan Selat Hormuz yang merupakan
jalur strategis perdagangan internasional. Posisi Iran yang strategis ini memudahkan
Iran untuk menjalin hubungan dengan negara-negara di sekitarnya. Kekayaan alam
minyak dan gas yang berlimpah membuat Iran menjadi negara pengekspor minyak
terbesar ke-2 dunia setelah Arab Saudi. Banyak negara-negara di dunia yang
mengimpor minyak dari Iran. Tidak hanya negara-negara berkembang, negara-negara
maju pun mengandalkan impor minyak dari Iran. Akibat dari banyaknya negaranegara yang mengandalkan impor minyak dari Iran, maka Iran perlu mengamankan
cadangan minyaknya tersebut. Iran melihat pentingnya cadangan minyak bagi
pemeliharaan kebutuhan dalam negeri untuk generasi penerus bangsa Iran
selanjutnya. Oleh sebab itu, Iran mencanangkan energi nuklir sebagai alternatif untuk
menjaga cadangan minyaknya dan sebagai sumber energi listrik beserta kebutuhan
sipil lainnya.
Kekayaan alam minyak yang dimiliki Iran merupakan anugerah sekaligus
bencana bagi Iran. Dikatakan suatu anugerah karena dengan adanya minyak yang
melimpah Iran menjadi negara pengekspor ke-2 terbesar dunia sektor minyak dalam
jumlah besar ke negara-negara di seluruh dunia. Akan tetapi, dikatakan suatu bencana
93
94
karena kekayaan alam minyak yang melimpah menyebabkan negara-negara besar
seperti AS, Uni Soviet (Sekarang Rusia) dan Inggris datang untuk menguasai minyak
Iran. Rusia dan Inggris telah lama meninggalkan Iran tanpa menyimpan permusuhan
kepada Iran. Namun AS yang berdiri dibalik kekuasaan Shah Reza Pahlevi akhirnya
dapat ditumbangkan oleh Revolusi Islam Iran 1979 yang dipimpin oleh Imam
Ayatullah Khomeini. Sejak Revolusi 1979 hingga 2010, AS dan Iran belum
membuka hubungan diplomatik antara kedua negara.
Perseteruan Iran-AS semakin memuncak pasca pengembangan teknologi
nuklir yang dilakukan Iran pada 2005. AS menuduh Iran tengah berupaya
mengembangkan senjata nuklir. Namun hal ini dibantah oleh Iran yang mengatakan
bahwa pengembangan nuklir Iran bertujuan damai untuk kebutuhan sipil dan energi
Iran. Untuk meyakinkan bahwa pengembangan nuklirnya untuk tujuan damai, Iran
membuka segel nuklirnya dengan memberitahukan kepada dunia tentang aktivitas
nuklirnya. Bahkan Iran bersedia agar pengembangan teknologi nuklirnya diawasi
oleh badan IAEA (International Atomic Energy Agency). Tidak hanya itu, Iran pun
bersedia menandatangani perjanjian NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty)
mengenai pelarangan mengembangkan dan menyebarkan senjata nuklir. Namun, hal
ini tidak cukup untuk meyakinkan AS dan Sekutunya bahwa nuklir Iran bertujuan
damai.
AS dan Sekutunya terus menekan melalui kekuatan politiknya di berbagai
kawasan. Di Asia, AS mendorong Jepang untuk tidak mendukung pengembangan
teknologi nuklir Iran. Di Eropa, AS mendorong EU (Europe Union) untuk
menghentikan program nuklir Iran dengan menawarkan teknologi pengganti yakni
95
LWR (Light Water Reactor). Melalui badan internasional, AS mendesak DK-PBB
untuk memberikan sanksi kepada Iran akibat tidak mau menghentikan pengembangan
nuklirnya. Dan bahkan, AS mencoba mempengaruhi IAEA untuk melakukan
perubahan skema data yang menyatakan bahwa Iran sedang mengembangkan senjata
nuklir. Padahal dari hasil penelitian IAEA, dinyatakan bahwa Iran tidak terindikasi
sedang mengembangankan senjata nuklir.
Hal ini mengundang rasa simpati dunia internasional melihat adanya
perlakuan yang tidak adil dari AS. Pasalnya, dalam pasal IV kerangka NPT
menyatakan bahwa tiap-tiap negara di dunia berhak untuk mengembangkan teknologi
nuklir untuk tujuan damai. Kemudian, pasal V menyatakan bahwa negara-negara
yang tergabung dalam NPT wajib melaporkan pengembangan nuklirnya kepada
IAEA. Iran telah mematuhi aturan tersebut, akan tetapi AS dan Sekutunya tetap
menuduh Iran akan mengembangkan senjata nuklir. Melihat keadaan yang seperti ini,
timbulah dukungan dari negara-negara dan organisasi internasional untuk mendukung
pengembangan teknologi nuklir Iran selama bertujuan damai.
OKI (Organisasi Konferensi Islam), GNB (Gerakan Non-Blok) dan aliansi
negara-negara sayap kiri Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Nicaragua dan
Kuba mendukung sepenuhnya hak legal bangsa Iran untuk mengembangkan
teknologi nuklir. Tidak hanya itu, Rusia dan Cina pun mendukung pengembangan
nuklir Iran, walaupun tidak secara terbuka. Namun, sikap pembelaan Cina dan Rusia
kepada Iran dari sanksi yang diberikan DK-PBB mengindikasikan dukungan negara
besar tersebut kepada Iran. Bahkan, Rusia membantu pengembangan salah satu
instalasi nuklir Iran yang bernama Bushehr. Selebihnya, Cina dan Rusia beberapa kali
96
menolak draft sanksi yang dijatuhkan DK-PBB kepada Iran dalam rapat yang digelar
oleh DK-PBB di markas besar PBB, New York, AS.
Pengembangan teknologi nuklir Iran merupakan langkah tepat yang dijadikan
kesempatan bagi AS untuk memojokkan Iran dari konstelasi politik internasional.
Akan tetapi sebenarnya nuklir hanya sebagai titik tolak AS untuk menekan Iran.
Terdapat tiga alasan mendasar dari tekanan yang dilakukan AS beserta sekutunya.
Pertama, untuk melindungi eksistensi Israel di Timur Tengah yang posisinya semakin
terancam dengan kemajuan teknologi dan militer Iran. Kedua, untuk mempertahankan
pengaruh AS di Timur Tengah yang pada dasarnya AS menganggap bahwa Timur
Tengah merupakan kawasan produktif bagi AS terutama minyak dan gas alam yang
melimpah. Ketiga, AS tidak menyukai kemajuan teknologi yang dialami negaranegara Muslim terutama Iran yang tidak sejalan dengan kepentingannya.
Israel selaku sekutu dekat AS mendesak agar AS segera melakukan serangan
militer untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran. Akan tetapi, desakan ini tidak
mendapat respon positif dari AS. Hal ini dikarenakan, seperti yang penulis telah
jelaskan di Bab IV, AS menyadari bahwa Iran memiliki poros kekuatan yang patut
diperhitungan di Timur Tengah. Selain untuk menumbuhkan kembali citra AS di
dunia setelah invasinya ke Irak dan Afganistan, keberadaan poros kekuatan Iran
tersebut juga menyebabkan AS lebih memilih menyelesaikan sengketa nuklir Iran
melalui jalur perundingan damai.
Negara sekutu AS di Eropa seperti Perancis, Jerman dan Inggris mengatakan
bahwa diplomasi merupakan realitas terbaik untuk menyelesaikan sengketa nuklir
Iran yang harus diakui oleh AS. Oleh sebab itu, diadakan dua kali perundingan antara
97
negara-negara 5+1 yakni AS, Inggris, Perancis, Rusia, Cina dan Jerman dengan Iran
di Jenewa, Swiss pada 6-7 Desember 2010 dan di Istanbul, Turki pada tanggal 21-22
Januari 2011. Walaupun perundingan tersebut belum menghasilkan suatu
kesepakatan, akan tetapi perundingan tersebut membuka peluang agar sengketa Iran
dapat terselesaikan melalui jalur perundingan damai. Percayalah bahwa penyelesaian
melalui jalur militer bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan sengketa nuklir Iran,
melainkan akan semakin memperkeruh dan memperpanjang eskalasi konflik antara
Iran dengan AS dan Sekutunya.
Demikianlah penelitian skripsi mengenai Respon Amerika Serikat Terhadap
Pengembangan Teknologi Nuklir Iran 2005-2010. Semoga bermanfaat dan dapat
memberikan gambaran jelas dan juga sajian informasi yang aktual seputar respon AS
terhadap pengembangan teknologi nuklir Iran yang juga menyentuh aspek-aspek
kelangsungan politik di kawasan Timur Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, Sapta 1987, Suara Dinamis Dari Pengasingan, dilihat 7 Agustus 2011,
<http://www.majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1987/06/06/LN/mbm.1987
0606.LN31509.id.html>.
Alamudi, Abdullah 1989, Garis Besar Pemerintah Amerika Serikat, USIS, Jakarta.
Anggreni, Hosianna Rugun 2009, Sikap Kritis Iran Terhadap Resolusi DK-PBB,
Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ansari, Ali M 2008, Supremasi Iran “Poros Setan Atau Superpower Baru”, translate.
S Wardi, Zahra Publishing House, Jakarta.
Anwar, Dewi Fortuna 2003, „Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika
Serikat‟, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 3, No. 2, Mei-September 2003, h.
7-28.
Burchill, Scott & Andrew Linklater 2009, Teori-Teori Hubungan Internasional,
translate. M Sobirin, Nusa Media, Bandung.
Cipto, Bambang 2004, Dinamika Politik Iran “Puritanisme Ulama, Proses
Demokratisasi dan Fenomena Khatami”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Creswell, John W 1994, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches,
SAGE Publications, Inc, Thousand Oaks.
Djafar, Zainuddin 1996, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan
Tantangan Masa Depan, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
_______, ________ 2006, Iran’s Nuclear Case: Its Implication, US Stance and The
Policy of Indonesia, The Indonesian Quarterly, Vol. 34, No. 1, h. 10-16.
xi
El-Gogary, Adel 2007, Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Tehran “Sang Nuklir
Membidas Hegemoni AS dan Zionis”, translate. T Kuwais, Pustaka Iman,
Depok.
Frankel, Joseph 1988, International Relations in a Changing World Fourth Edition,
Oxford University Press, New York.
Glassman, Jim 2005, „The New Imperialism? On continuity and Change in US
Foreign Policy‟, Environment and Planning A, Department of Geography
University of British Coloumbia, Vancouver, Canada, Vol. 37, h. 1527-1544.
Hamzah, Alfian & Musa Kazhim 2007, Perang Dunia III di Pelupuk Mata Iran
Skenario Penghabisan, Cahaya Insan Suci, Jakarta.
Harison, Lisa 2007, Metodologi Penelitian Sosial, Kencana, Jakarta.
Hendrajit, dkk 2010, Tangan-Tangan Amerika “Operasi Siluman AS di Pelbagai
Belahan Dunia”, Global Future Institute, Jakarta.
Heriyanto, Yayak 2007, Politik Luar Negeri Iran Dalam Upaya Menjaga
Kepentingan Nasional. Studi Kasus: Pengembangan Teknologi Nuklir Iran
Dalam Memenuhi Kebutuhan Teknologi Iran, Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Holsti, K. J 1992. International Politics, A Framework for Analysis, 6th, Prentice
Hall, Inc, New Jersey.
______, ______ 1987, Politik Internasional: Kerangka Analisa, Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta.
xii
Jamaan, Ahmad 2007, „Politik Hukum Internasional Dalam Konflik Nuklir Iran-AS‟,
Jurnal Sosial Politika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Mulawarman, Vol. 14, No. 1 Juli, h. 30-57.
Jemadu, Aleksius 2008, Politik Global Dalam Teori dan Praktek, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Karyono, HS, dkk 2005, Indonesia and Nuclear Iran’s Issue, Indonesian Institute of
Sciences (LIPI), Jakarta.
Kedutaan Besar RI Teheran 2009, Profil Negara Republik Islam Iran, Kementerian
Luar Negeri RI,
<http://www.deplu.go.id/tehran/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=1&l=id>.
Kedutaan Besar RI Teheran 2010, Laporan Mingguan Periode 1-8 September 2010,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) P3K2 Aspasaf Timur
Tengah, Kementerian Luar Negeri RI.
______________________ 2010, Laporan Mingguan Periode 26 Agustus – 1
September 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK)
P3K2 Aspasaf Timur Tengah, Kementerian Luar Negeri RI.
Kedutaan Besar Republik Islam Iran 1989, Republik Islam Iran Selayang Pandang,
Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Jakarta.
Labib, Muhsin, dkk 2006, Ahmadinejad! David di Tengah Angkara Dalam Goliath
Dunia, Cet. Ke-4, Mizan Publika, Jakarta.
Marshall Johnathan, dkk 1987, The Iran Contra Connection, Secret Teams and
Covert Operation In The Reagan Era, South End Press, dilihat 7 Agustus
xiii
2011,<http://www.thirdworldtraveler.com/Ronald_Reagan/Irangate_Israel_TI
CC.html>.
Mas‟oed, Mohtar 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
LP3ES, Jakarta.
Metrotvnews.com 2011, Iran dan Enam Negara Sepakat Berunding 21-22 Januari,
dilihat pada 4 Juni 2011,
<http://metrotvnews.com/metromain/newscat/internasional/2011/01/11/39213
/Iran-dan-Enam-Negara-Sepakat-Berunding>.
Moleong, Lexy J 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Nye Jr, Joseph S 2002, The Paradox of American Power: Why The World’s Only
Superpower Can’t Go It Alone, Oxford University Press, New York.
Permatasari, Yulia 2011, Samantha Power, Kepercayaan Obama dibenci Konservatif,
dilihat pada 14 April 2011,
<http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/index.php/read/2011/04/0
1/5407/10/Samantha-Power-Kepercayaan-Obama-Dibenci-Konservatif>.
Perwita, A. A. Banyu & Yayan Mochamad Yani 2006, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Rosda Karya, Bandung.
Puar, Yusuf A 1980, Perjuangan Ayatullah Khomeini, Cet. Ke-2, Pustaka Antara,
Jakarta.
Rahman, Musthafa A 2003, Iran Pasca Revolusi “Fenomena Pertarungan Kubu
Reformis dan Konservatif”, Kompas, Jakarta.
xiv
Sakinah, Desti Nur 2006, Kepentingan Iran Mengembangkan Kembali Program
Nuklirnya, Pascasarjana Universitas Indonesia.
Shoelhi, M 2007, Di Ambang Keruntuhan Amerika, Grafindo Khazanah Ilmu,
Jakarta.
Sidik, Jafar M 2008, Maya Soetoro Senjata Rahasia Barack Obama, dilihat pada 10
Agustus 2011,
<http://www.antaranews.com/view/?i=1202286377&c=ART&s=>
Sihbudi, M Riza 1999, Islam, Dunia Arab, dan Iran: Barat Timur Tengah, Mizan,
Bandung.
Sunariah 2011, Pembangkit Nuklir Iran Mulai Beroperasi, dilihat pada 19 Juni 2011,
<http://www.tempointeraktif.com/hg/timteng/2011/05/10/brk,20110510333605,id.html>.
Surapto, R 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi, dan Perilaku, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Takdir, M 1998, „Menemukan Kembali Hubungan Iran-Amerika Serikat‟, Jurnal Luar
Negeri Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Luar Negeri RI,
No. 33, h. 25-31.
Winingsih, Sri 2009, Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap
Pengembangn Nuklir Iran, Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia.
Yuliantoro, Nur Rachmat 2005, „Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah
‘Imperium Amerika Baru’?‟, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP)
Universitas Gadjah Mada, Vol. 9, No. 1, Juli, h. 91-109.
xv
WEBSITE
http://www.antaranews.com, akses tanggal 28 Mei 2011, 14 & 21 Juni 2011.
http://www.hileudnews.com, akses tanggal 28 Mei, 4 Juni 2011.
http://www.indonesian.irib.com, IRI Broadcasting (Islamic Republic of Iran
Broadcasting) akses tanggal 28 Mei 2011, 14 & 19 Juni 2011.
http://www.republika.co.id, akses tanggal 15 April 2011, 9 & 12 Mei 2011.
xvi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran
DRAFT HASIL WAWANCARA
Narasumber
: M. Riza Sihbudi
Ahli/Fokus Kajian
: Ahli Peneliti Utama dan Pakar Politik Timur Tengah
Instansi
: LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta
Tempat
: Gedung P2P (Pusat Penelitian Politik) LIPI Jakarta
Hari/Tanggal
: Senin, 20 Juni 2011
Ruang
: 11.03
HASIL TANYA JAWAB
1. Apa kepentingan Iran mengembangkan teknologi nuklir?
Jawab:
Tentu kepentingan yang utama adalah untuk kebutuhan sipil dalam negerinya
seperti pembangkit listrik, riset kedokteran, dsb. Namun, ada kepentingan Iran
untuk memperkuat diri dari perlakuan tidak adil AS (Amerika Serikat) yang
membiarkan Israel memiliki senjata nuklir. Sikap Iran tersebut sah-sah saja
dilakukan, karena dalam kondisi tekanan atau ancaman setiap negara berhak
untuk memperkuat diri.
2. Mengapa AS terus menekan dan mengancam walaupun telah terbukti oleh
IAEA bahwa pengembangan teknologi nuklir Iran untuk tujuan damai?
Jawab:
AS khawatir akan posisi Israel yang terancam dengan adanya pengembangan
nuklir Iran. Selain itu, desakan dan pengaruh lobi Israel yang begitu kuat ke AS
untuk mendesak AS segera melakukan tekanan politik, ekonomi dan keamanan
kepada Iran. Bahkan, pihak Israel mendesak AS untuk melakukan serangan
militer kepada Iran. Namun untuk serangan ke Iran, AS belum menghiraukannya
karena berbagai macam pertimbangan.
3. Bagaimana pengaruh pengembangan teknologi nuklir Iran terhadap stabilitas
keamanan Timur Tengah?
Jawab:
Secara teoritis memicu negara-negara di kawasan untuk berlomba-lomba
mengembangkan nuklir. Namun negara-negara di Timur Tengah pada umumnya
dapat menerima teknologi nuklir yang dikembangkan oleh Iran, karena diplomasi
Iran yang sangat baik dengan negara-negara di kawasan. Hanya saja Israel dan
Arab Saudi yang bersebrangan dengan Iran, karena kedua negara tersebut
memiliki kepentingan tersendiri di kawasan.
4. Apa dampak pengembangan teknologi nuklir Iran bagi kepentingan AS di
Timur Tengah?
Jawab:
AS memiliki dua kepentingan besar di Timur Tengah yakni minyak dan Israel.
Pertama minyak, jika AS merespon nuklir Iran dengan suatu serangan militer
maka akan berdampak negatif bagi kepentingan AS atas minyak di kawasan
Timur Tengah. Negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah tentu akan
terkena imbasnya, oleh sebab itu kemungkinan yang terjadi harga minyak akan
melambung tinggi dan AS terancam tidak akan mendapatkan suplai minyak dari
negara-negara penghasil minyak. Kedua Israel, teknologi nuklir Iran membuat AS
khawatir akan posisi Israel di Timur Tengah. Adanya suatu desakan dari Israel
kepada AS mengenai serangan ke Iran membuat AS akan kehilangan pengaruh di
kawasan Timur Tengah jika menyetujuinya. Oleh sebab itu, hingga saat ini AS
masih mengesampingkan desakan Israel tersebut. Kemudian, Israel juga
merupakan sekutu yang membantu AS memberi informasi negara-negara di
kawasan Timur Tengah yang bersebrangan dengan kepentingan AS. Oleh sebab
itu, keberadaan Israel sangat dilindungi oleh AS. Akan tetapi dalam kasus nuklir
Iran, AS masih mempertimbangkan beberapa konsekuensi buruk apabila
menyetujui desakan Israel untuk menyerang Iran.
5. Apa langkah-langkah yang dilakukan AS dan negara perwakilan Uni Eropa
yakni Jerman, Perancis dan Inggris dalam upaya menyelesaikan sengketa
nuklir Iran?
Jawab:
Tentunya melihat dampak yang sangat merugikan kepentingan AS dan Sekutunya
di Timur Tengah, AS akan menyelesaikan sengketa ini dengan jalur perundingan
damai. Ketiga negara perwakilan Eropa tersebut juga tidak ingin membuka front
baru, karena masalah di Afganistan dan Irak hingga saat ini belum terselesaikan.
6. Bagaimana kelanjutan sikap Rusia dan Cina mengenai pengembangan
teknologi nuklir Iran?
Jawab:
Rusia dan Cina negara yang bersahabat dengan Iran. Tentu mereka tidak ingin
jika sengketa nuklir Iran diselesaikan melalui jalur militer. Kedua negara tersebut
memiliki kepentingan dan kerjasama strategis dengan Iran, oleh sebab itu Rusia
dan Cina terus mendukung penyelesaian sengketa nuklir Iran melalui jalur
perundingan damai.
7. Bagaimana peran lembaga IAEA (International Atomic Energy Agency) dan
NPT (Nuclear Non-Proliferation Treaty) dalam proses penyelesaian sengketa
nuklir Iran?
Jawab:
IAEA berupaya untuk besikap netral walaupun mendapat tekanan dari AS untuk
merubah fakta-fakta yang terjadi. Dalam penyelidikan, IAEA tidak menemukan
fakta-fakta bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir. Sejauh ini Iran
masih mematuhi peraturan yang berlaku di NPT, belum ada indikasi
penyimpangan dari pihak Iran.
8. Bagaimana dampak sengketa nuklir Iran bagi masa depan hubungan bilateral
Iran-AS?
Jawab:
Pertentangan AS terhadap nuklir Iran justru merugikan AS. Karena pada dasarnya
Iran bukanlah negara yang berbahaya, melainkan Iran dapat dijadikan mitra
kerjasama AS dalam bidang pertahanan, keamanan, ekonomi dan perlawanan
terhadap jaringan teroris Al-Qaeda. Karena Al-Qaeda merupakan musuh bersama
Iran dan AS. Semakin jauh Iran semakin mengalami perkembangan pesat, dan ini
harus dimanfaatkan oleh AS sebagai mitra bukan sebagai musuh. Lain hal jika AS
hanya mementingkan posisi Israel saja, tentu eskalasi konflik Iran-AS akan
semakin panjang dan sulit untuk ditemukan jalan keluarnya.
Download