skripsi iriana ngesti utami

advertisement
STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA
MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR
DI PERAIRAN SELAT LOMBOK
Oleh:
Iriana Ngesti Utami
C64102052
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya yang berjudul :
STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA
MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT
LOMBOK
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir
Skripsi ini.
Bogor, September 2006
IRIANA NGESTI UTAMI
C64102052
iii
RINGKASAN
IRIANA NGESTI UTAMI. Studi Karakteristik dan Aliran Massa Air pada
Musim Barat dan Musim Timur di Perairan Selat Lombok. Dibimbing oleh
MULIA PURBA dan YULI NAULITA.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2004 dan Juni 2005 yang
terdiri dari 9 stasiun. Lokasi pengamatan dibagi menjadi dua transek, yaitu pada
aliran masuk dan aliran keluar Selat lombok.
Data yang digunakan adalah data suhu, salinitas, sigma-t, kedalaman,
kecepatan arus, dan arah arus. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak Ocean Data View (ODV), surfer, dan Global Mapper untuk
memperoleh hasil berupa sebaran menegak dan melintang (suhu, salinitas dan s t ),
diagram T-S, kedalaman dinamik, arus geostropik, sebaran arus pada kedalaman
standar, dan kontur kedalaman.
Terdapat pola pelapisan untuk setiap parameter yang diamati. Pelapisan ini
mengalami perubahan kisaran nilai dan ketebalan pada dua musim yang diamati.
Pada pelapisan suhu, lapisan homogen yang terbentuk pada Musim Timur lebih
tebal daripada Musim Barat, namun lapisan termoklin yang terbentuk pada Musim
Timur lebih tipis daripada Musim Barat. Kisaran nilai suhu pada Musim Barat
lebih hangat daripada Musim Timur, yaitu mencapai 29,17 °C (bulan Januari) dan
28,74 °C (bulan Juni). Kisaran nilai salinitas pada Musim Timur lebih rendah
daripada Musim Barat, yaitu mencapai 34,54 psu (Musim Timur) dan 34,62 psu
(Musim Barat). Sebaran melintang salinitas menunjukkan adanya lapisan gumbar
dengan nilai salinitas 34,60 - 34,62 psu pada bulan Januari. Nilai sigma-t di
lapisan permukaan pada Musim Timur lebih rendah daripada Musim Barat, yaitu
mencapai 20,76 (Musim Timur) dan 21,19 (Musim Barat). Pola sebaran s t
cenderung menyerupai pola sebaran suhu. Melalui hasil analisis diagram T-S
ditemukan dua jenis massa air, yaitu massa air yang dicirikan oleh salinitas
maksimum Northern Subtropical Lower Water (NSLW) dan massa air yang
dicirikan oleh salinitas minimum North Pacific Intermediate Water (NPIW).
NSLW ditemukan pada Musim Barat dan NPIW lebih jelas terlihat pada Musim
Timur.
Melalui pengukuran dengan menggunakan metode geostropik dan
Accoustic Doppler Current Profiler (ADCP), diketahui bahwa arus di Selat
Lombok bergerak ke utara dan selatan. Pada kedalaman yang sama, nilai
kecepatan arus hasil perhitungan dengan menggunakan metode geostropik terlalu
tinggi (mencapai 5 m/det). Hal ini disebabkan oleh jarak stasiun yang terlalu dekat
(sekitar 8 km) dan perbedaan suhu yang terlalu tinggi (mencapai 3,76 °C pada
kedalaman 100 m). Kecepatan arus hasil pengukuran ADCP berkisar antara 0.21,3 m/det.
Transpor total massa air hasil pengukuran ADCP di daerah aliran masuk
(utara Selat Lombok) pada Musim Timur mencapai 3,01 Sv. Nilai volume
transpor pada lapisan permukaan sampai kedalaman 200 m lebih besar daripada
pada kedalaman lebih dari 200 m, yaitu mencapai 58,41 %. Hal ini menunjukkan
bahwa aliran massa air di perairan Selat Lombok sebagian besar terjadi pada
kedalaman di atas 200 m.
STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA
MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR
DI PERAIRAN SELAT LOMBOK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Iriana Ngesti Utami
C64102052
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judul
: STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA
AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR
DI PERAIRAN SELAT LOMBOK
: Iriana Ngesti Utami
: C64102052
Nama
NRP
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Mulia Purba. M.Sc
NIP : 130 367 096
Ir. Yuli Naulita. M.Si
NIP : 131 953 480
Mengetahui,
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi
NIP : 130 805 031
Tanggal Lulus: 16 agustus 2006
viii
KATA PENGANTAR
Karakteristik massa air merupakan salah satu hal yang penting untuk
dipelajari dan diteliti, karena karakteristik massa air merupakan hal yang
mendasar dalam kehidupan di perairan dan lingkungan disekitarnya.
Tiada keberhasilan dalam ilmu yang penulis geluti tanpa bimbingan dari
seorang guru dan hasil akal budinya. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini,
dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih dan hormat bakti
kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. sebagai pembimbing utama atas
bimbingan, bantuan dan arahanya selama penyusunan skripsi ini;
2. Ir. Yuli Naulita, M.Si. sebagai pembimbing anggota atas bimbingan,
bantuan dan arahanya dalam usaha memahami dan mendalami persoalan
penelitian hingga skripsi ini selesai;
3.
Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. sebagai Chief scientist INSTANT, yang
telah memberi kesempatan untuk mengikuti proyek INSTANT;
4. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati, BRKP-DKP
yang telah mengijinkan penggunaan data INSTANT bulan Januari 2004
dan Juni 2005 dalam Skripsi ini;
5. Mbak Tisiana sebagai pembimbing lapang atas bimbingan dan arahan
dalam penyelesaian skripsi;
6. Bapak, Ibu, De’ Adi dan Bambang yang selalu memberi motivasi, do’a,
kasih sayang;
7. Mas Priyadi, Mas Adit, Bang Mukti dan Bang Tri yang telah memberi
bantuan dalam pengolahan data;
8. Mas Urip atas bantuan sarana prasarana alat selama pengerjaan skripsi;
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan bagi penulis untuk
memperbaiki skripsi ini.
Bogor, Agustus 2006
Iriana Ngesti Utami
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
...............................................................................
ix
..........................................................................
x
......................................................................
xii
1. PENDAHULUAN ...........................................................................
1.1. Latar belakang .......................................................................
1.2. Tujuan ....................................................................................
1
1
2
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
2.1. Suhu .......................................................................................
2.2. Salinitas .................................................................................
2.3. Densitas .................................................................................
2.4. Kedalaman dinamik ...............................................................
2.5. Arus geostropik .....................................................................
2.6. Acoustic Doppler Curent Profiler (ADCP) ...........................
2.7. CTD (Conductivity, Temperature, Depth) ............................
2.8. Dia gram T-S ..........................................................................
2.9. Angin muson .........................................................................
2.10. Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
...........................................
2.11. Perairan Selat Lombok ..........................................................
3
3
4
6
8
10
12
15
15
17
19
21
3. BAHAN DAN METODE ...............................................................
3.1. Waktu dan tempat ..................................................................
3.2. Metode pengambilan data .....................................................
3.3. Analisis data ..........................................................................
3.3.1. Sebaran menegak ...............................................................
3.3.2. Sebaran melintang .............................................................
3.3.3. Perhitungan sigma-t (s t ), volume spesifik (a), anomali
volume spesifik (d) dan kedalaman dinamik .....................
3.3.3.1. Perhitungan sigma-t (s t ) .........................................
3.3.3.2. Perhitungan anomali volume spesifik (d) ..................
3.3.3.3. Perhitungan anomali kedalaman dinamik dan
penentuan papar acuan .............................................
3.3.3.4 Perhitungan geostropik dan volume transpor ...........
3.3.4. Diagram T-S ....................................................................
24
24
26
27
29
30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
4.1. Sebaran menegak dan melintang suhu
.................................
4.2. Sebaran menegak dan melintang salinitas ............................
4.3. Diagram T-S .........................................................................
36
36
40
45
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
30
31
31
33
34
34
x
4.4. Sebaran menegak dan melintang sigma-t (st) ......................
4.5. Kedalaman dinamik ..............................................................
4.6. Kecepatan arus dan volume transpor
...................................
48
52
55
5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
5.1. Kesimpulan ............................................................................
5.2. Saran ......................................................................................
63
63
64
DAFTAR PUSTAKA
.........................................................................
65
........................................................................................
68
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
............................................................................
89
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Massa air di barat laut Samudera Pasifik (Wyrtki, 1961)
............
21
2.
Waktu pengambilan data, jumlah transek dan nomor stasiun
pengamatan ...................................................................................
24
Alat pengambil data, perangkat lunak, dan hasil pengolahan data
yang digunakan dalam penelitian....................................................
28
4.
Variasi salinitas pada lapisan haloklin dan lapisan dalam
...........
43
5.
Kecepatan arus hasil pengukuran secara langsung (ADCP) dan
tidak langsung (metode geostropik)
.............................................
59
Nilai volume transpor hasil pengukuran ADCP
62
3.
6.
............................
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Pengaruh gaya tekanan terhadap permukaan isobarik relatif
terhadap permukaan acuan (Pond dan Pickard, 1983) ...................
11
2.
Alat ADCP (Accoutic Doppler Current Profiler)
..........................
14
3.
Alat CTD tipe SBE 911 plus
..........................................................
15
4.
Diagram T-S perairan Indonesia (Arlindo)
(Illahude dan Gordon, 1996) ..........................................................
17
Tekanan angin pada Musim Barat dan Musim Timur
(Hellerman dan Rosenstein,1983 in Miyama et al., 1996)
.............
19
Bagan aliran massa arlindo (angka hitam menunjukkan besarnya
transpor dalam Sverdrup (106 m3 /s) dan angka merah menunjukkan
total transpor berdasarkan nilai outflow dan inflow)
(Sprintall et al., 2004) ...................................................................
20
Kecepatan arus pada kedalaman 35 m hasil pengukuran dengan
menggunakan Mooring pada Januari 1985 sampai 1986 di Perairan
Selat Lombok (Murray dan Arief, 1988)
.......................................
23
Temperatur (kiri) dan salinitas (kanan) pada lapisan permukaan
dengan tekanan 10 db
(Murray et al., 1990 in Mitnik et al., 2006) ...................................
23
Peta lokasi pengambilan data pada bulan Januari 2004
(warna merah) dan bulan Juni 2005 (warna kuning) .....................
25
5.
6.
7.
8.
9.
10. Kondisi batimetri daerah ambang
..................................................
11. Sebaran menegak suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
25
....
36
12. Sebaran melintang suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ....
37
13. Sebaran menegak salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ....
41
14. Sebaran melintang salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ....
42
xiii
15. Diagram T-S pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk
selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ........................
47
16. Sebaran menegak sigma-t pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ....
49
17. Sebaran melintang sigma-t pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) ....
50
18. Grafik selisih anomali kedalaman dinamik terhadap kedalaman
pada aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat
(transek 2) .......................................................................................
53
19. Sebaran melintang anomali kedalaman dinamik pada aliran masuk
selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2) .......................
53
20. Grafik kecepatan arus geostrofik pada aliran masuk (transek 1)
dan aliran keluar (transek 2) pada Januari 2004 dan Juni 2005
....
55
21. Arah dan kecepatan arus hasil pengukuran secara langsung
pada Musim Timur (transek 1) .......................................................
58
22. Grafik volume transpor dari lapisan permukaan sampai
kedalaman 200 m
...........................................................................
60
23. Grafik volume transpor pada kedalaman lebih dari 200m
.............
61
..........................................................
61
24. Grafik volume transpor total
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Posisi lintang bujur stasiun, kedalaman pengukuran dan
kedalaman perairan hasil pengukuran INSTANT pada bulan
Januari 2004 dan Juni 2005 ............................................................
68
2.
Sistem akuisisi data pada CTD (Illahude, 1999)
.............................
69
3.
Diagram alir pengolahan parameter oseanografi pada perangkat
lunak ODV .....................................................................................
70
Diagram alir pengolahan parameter oseanografi pada perangkat
lunak surfer .....................................................................................
72
Diagram alir pengolahan arus hasil pengukuran ADCP pada
perangkat lunak surfer ....................................................................
74
Prinsip kerja (perhitungan) perangkat lunak ocean data view (ODV)
(Schlitzer, 2002) .............................................................................
75
Contoh perhitungan manual volume spesifik (δ) dan kedalaman
dinamik (∆D) dengan menggunakan tabel yang dirumuskan oleh
Sverdrup dan Bjerknes in Neumann dan Pierson (1966) pada
stasiun 4,5 dan 6 dengan kedalaman acuan 300 m .........................
81
Persamaan untuk menghitung nilai sigma-t
(Neumann dan Pierson, 1966) ........................................................
83
Persamaan untuk menghitung anomali kedalaman dinamik
(Neumann dan Pierson, 1966) .....................................................
84
10. Persamaan untuk menghitung kecepatan arus geostropik
(Pond dan Pickard, 1983) ...............................................................
85
11. Persamaan untuk menghitung volume transpor
(Unesco, 1991 in Rahmawati 2004) ...............................................
88
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Aliran massa air yang melalui Perairan Indonesia atau disebut Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) merupakan aliran yang menghubungkan dua massa air yang
memiliki karakteristik berbeda, yaitu massa air dari Samudera Pasifik Tropis
Barat (5° LU) ke Samudera Hindia (12° LS). Massa air dari Samudera Pasifik
memiliki suhu lebih hangat dan salinitas rendah. Sebaliknya massa air di
Samudera Hindia memiliki suhu lebih rendah dan salinitas tinggi. Sebagai
penghubung dari kedua samudera yang memiliki karakteristik berbeda tersebut,
Arlindo berperan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sirkulasi termohalin
dan fenomena iklim dunia. Hal ini disebabkan karena pergerakan massa air dari
Samudera Pasifik selain memindahkan suhu permukaan laut (SPL) yang
terhangat, juga menggeser daerah konveksi atmosfer yang berasosiasi dengan SPL
tersebut ke arah barat (Schneider, 1997).
Pentingnya peran Arlindo bagi dunia menyebabkan banyak dilakukan
penelitian – penelitian dikawasan jalur Arlindo. Salah satu kegiatan penelitian
yang sedang dilakukan adalah Ekspedisi INSTANT (International Nusantara
Stratification and Transpor). Pergerakan aliran massa air Arlindo secara lebih
rinci dapat diketahui dengan melakukan penelitian pada daerah-daerah yang
merupakan jalur utama pergerakan massa air untuk masuk atau keluar perairan
Indonesia. Jalur keluar Arlindo adalah sepanjang Kepulauan Sunda Kecil: Selat
Ombai, Selat Lombok dan Laut Timor. Melalui penelitian ini dapat diketahui
perbedaan karakteristik massa air sebelum memasuki Perairan Indonesia (daerah
asal) dengan massa air setelah memasuki Perairan Indonesia (INSTANT, 2004).
2
Selat Lombok merupakan jalur keluar Arlindo menuju Samudera Hindia
terbesar kedua setelah Laut Timor. Hal ini menyebabkan pentingnya dilakukan
suatu penelitian tentang aliran massa air Arlindo yang melaluinya serta
karakteristik dari massa air didalamnya (INSTANT, 2004).
Indonesia memiliki variasi musiman yang disebabkan karena bertiupnya
angin muson sebanyak dua kali dalam setahun yaitu, Angin Muson Tenggara dan
Angin Muson Barat Laut. Angin muson ini dapat mempengaruhi karakteristik
perairan di Indonesia termasuk Selat Lombok, sehingga untuk mengetahui lebih
rinci tentang karakteristik massa air di Selat Lombok perlu dilakukan pada kedua
musim tersebut. Hal ini dilakukan karena posisi selat tersebut memainkan peran
penting dari sirkulasi perubahan iklim global dan sistem cuaca (INSTANT, 2004).
1.2. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Mempelajari dan menganalisis karakteristik fisik massa air di perairan
Selat Lombok pada bulan Januari 2004 dan bulan Juni 2005.
2) Mempelajari aliran dan penyebaran massa air di Selat Lombok dengan
menggunakan metode geostropik dan pengukuran ADCP.
3) Menghitung besarnya transpor massa air yang mengalir melewati Selat
Lombok.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suhu
Penyebaran suhu di lapisan permukaan (surface layer) ditentukan oleh
berbagai faktor, yaitu jumlah bahang yang diterima dan pengaruh meteorologi
seperti angin, penguapan, hujan dan lain- lain. Menurut Stewart (2003),
penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk suatu zona berdasarkan letak
lintang. Semakin mendekati garis khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan
meningkat dan sebaliknya, suhu akan semakin menurun saat mendekati kutub
(lintang tinggi).
Secara vertikal suhu di lautan dibagi menjadi tiga zona (Richard dan
Davis, 1991) yaitu :
1. lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu ratarata tiap lintang
2. lapisan termoklin (thermocline layer)
3. lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air
tiap lintang.
Lapisan permukaan sering disebut sebagai lapisan homogen karena pada
lapisan ini terjadi pengadukan massa air oleh angin, arus, dan pasang surut
sehingga dapat mencapai suhu yang seragam atau homogen. Pada daerah tropis
pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50 m sampai 100 m dengan suhu
berkisar 26 - 30 °C dan gradien tidak lebih dari 0,03 °C/m. Lapisan ini sangat
dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Lapisan homogen di Laut Cina
Selatan mencapai kedalaman 30 m sampai 40 m saat Musim Timur dan dapat
4
bertambah saat Musim Barat, yaitu mencapai 70 m sampai 90 m sehingga
mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan (Wyrtki, 1961; Gross, 1990).
Menurut Gross (1990), lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis
dapat mencapai ketebalan antara 100 m sampai 205 m dengan gradien suhu
mencapai 0,1 ºC/m. Namun menurut Illahude (1999), lapisan termoklin secara
lebih rinci dapat dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas (main
thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Pada termoklin atas
suhu menurun lebih cepat dibandingkan dengan termoklin bawah. Rata-rata
penurunan suhu di termoklin atas dapat mencapai 19 °C/200 m= 9,5 °C/100 m
dan rata-rata penurunan suhu di termoklin bawah dapat mencapai 1,3 °C/100 m
(Gross, 1990; Illahude, 1999).
Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan
penurunan suhu yang sangat lambat. Gradien suhu mencapai 0,05 °C/100 m.
Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan dalam adalah 2 °C sampai 4 °C
(Illahude, 1999).
Perairan di daerah tropis termasuk Indonesia memiliki kisaran suhu
permukaan yang hangat dengan variasi suhu harian relatif tinggi dan variasi suhu
tahunan rendah yaitu < 2 °C. Nilai suhu maksimum di Perairan Indonesia
dipengaruhi oleh proses pemanasan, kekuatan angin yang bertiup di permukaan
laut dan presipitasi.
2.2. Salinitas
Sebaran salinitas pada permukaan laut dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu evaporasi, presipitasi, pemasukan air tawar (run off) serta perubahan arus
karena pergantian musim. Nilai salinitas akan menurun dengan bertambahnya
5
pemasukan air tawar dan presipitasi, namun akan meningkat jika terjadi evaporasi.
Untuk daerah dengan evaporasi lebih tinggi dari presipitasi, misalnya di Laut
Mediterania Timur dan Laut Merah, maka salinitasnya dapat mencapai 39 ‰ dan
41 ‰ (Pickard dan Emery, 1990).
Pengaruh perubahan arus yang disebabkan pergantian musim terhadap
nilai salinitas dapat diketahui dari perbedaan letak isohalin. Misalnya di Perairan
Indonesia, pada Musim Barat isohalin- isohalin bergerak lebih ke timur dan
sebaliknya pada Musim Timur (Illahude, 1999).
Seperti halnya di lapisan permukaan laut, salinitas di bawah permukaan
laut juga bervariasi. Adapun sebaran salinitas di bawah permukaan laut lebih
dipengaruhi oleh proses percampuran (mixing) karena peredaran massa air dan
pembentukan massa air (formation of water masses) (Illahude, 1999).
Sebaran vertikal salinitas dalam suatu perairan dibagi dalam tiga lapisan,
yaitu lapisan homogen (homogeneous layer), lapisan haloklin dan lapisan dalam
yang relatif homogen. Ketebalan lapisan homogen berkisar antara 50-100 m atau
lebih tergantung pada kekuatan pengadukan. Lapisan berikutnya adalah lapisan
haloklin. Lapisan ini ditandai dengan meningkatnya salinitas secara drastis
dengan bertambahnya kedalaman. Lapisan haloklin terletak mulai batas bawah
lapisan homogen sampai kedalaman sekitar 600-1000 m. Lapisan ketiga terletak
mulai dari batas bawah lapisan haloklin sampai dasar perairan (Ross, 1970).
Nilai salinitas rata-rata tahunan di perairan Indonesia yang terendah sering
dijumpai di daerah bagian barat dan semakin meningkat ke daerah timur. Hal ini
disebabkan karena sebelum memasuki perairan bagian barat Indonesia, massa air
bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik masuk ke Laut Cina Selatan dan
6
mengalami penurunan nilai salinitas karena terjadi pengenceran dari daratan Asia
Tenggara sehingga ikut menurunkan nilai salinitas di perairan bagian barat
Indonesia. Sedangkan di perairan bagian timur Indonesia, massa air dari
Samudera Pasifik langsung masuk ke Perairan Indonesia melalui Laut Sulawesi,
Laut Maluku, dan Laut Halmahera tanpa mengalami pengenceran yang berarti.
Selain itu sedikitnya sungai-sungai besar di Indonesia bagian timur dibandingkan
di bagian barat ikut mempengaruhi besarnya nilai salinitas pada daerah tersebut
(Wyrtki, 1961; Illahude, 1999).
Lebih tingginya curah hujan dibanding evaporasi menyebabkan rata-rata
salinitas di daerah tropis kurang dari 34 ‰. Pada Musim Barat, nilai salinitas
lebih besar dari 34‰ dan pada Musim Timur nilai salinitas kurang dari 34‰
(Wyrtki, 1961).
2.3. Densitas (?)
Densitas (? ) didefinisikan sebagai massa per unit volume dengan unit
(kg/m3 ). Pada prakteknya, densitas tidak dapat diukur secara langsung melalui
alat pengukuran di laut. Densitas dihitung dengan menggunakan data suhu,
salinitas dan tekanan yang diukur secara langsung. Perhitungan ini memiliki
ketelitian sampai lima angka di belakang koma (Stewart, 2003).
Pada umumnya nilai densitas pada permukaan laut berkisar 1027 kg/m3 .
Agar lebih praktis dan karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua digit
terakhir, maka para ilmuwan menggunakan suatu kuantitas yang disebut sebagai
sigma yang tergantung nilai suhu, salinitas dan tekanan s (s,t,p) (Stewart, 2003) :
s (s,t,p) = ?(s,t,p) – 1000 kg/m3 …………………………………(1)
7
? s,t,p adalah densitas in situ yang merupakan fungsi dari salinitas, suhu dan
tekanan.
Knudsen (1901) in Neumann dan Pierson (1966) mengemukakan
hubungan antara densitas pada suhu 0°C dan salinitas (S) yang disimbolkan
dengan ? (S,0,0) . Jika nilai σ 0 = (ρ S , 0, 0 − 1)x10 3 , maka s 0 sebagai fungsi salinitas
dinyatakan sebagai berikut :
σ 0 = −0,093 + 0,8149S − 0,000482 S 2 + 0,0000068S 3 …… (2)
.
Forch (1902) in Neumann dan Pierson (1966) menghasilkan suatu fungsi
empiris untuk menghitung sigma-t (s t ) dari nilai sigma-nol (s 0 ) berdasarkan
perhitungan fungsi D, yaitu suatu fungsi yang menyatakan efek dari suhu pada s 0
yang berbeda. Hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan :
σ t = σ 0 − D ……………………………………………. (3)
Sigma-t (s t ) merupakan nilai densitas yang dihitung pada tekanan atmosfer
(p=0) dan suhu (t °C) yang dinyatakan dalam persamaan (Neumann dan Pierson,
1966) :
σ t = (ρ s,t , 0 − 1)x1000 ……………………………………
(4)
Kebalikan dari nilai densitas in situ adalah volume spesifik in situ yang
dinyatakan dengan :
α s, t, p =
1
ρ s,t , p
…………………………………………..
(5)
Volume spesifik dapat digunakan untuk menghitung distribusi tekanan di
lautan. Volume spesifik dapat dibagi menjadi dua bagian dengan menuliskan :
α s, t , p = α 35, 0, p + δ
..........................................................
(6)
8
Nilai α 35,0, P merupakan volume spesifik air laut standar pada salinitas 35 ‰, suhu
0 °C dan tekanan yang berbeda. d adalah anomali volume spesifik.
Seperti halnya lapisan termoklin pada pelapisan suhu dan lapisan haloklin
pada pelapisan salinitas maka densitas juga memiliki lapisan yang disebut dengan
lapisan piknoklin. Pada lapisan ini densitas meningkat dengan cepat sesuai
dengan meningkatnya kedalaman. Perairan bagian atas dari lapisan ini tidak
tercampur dengan lapisan air di bawahnya jika gradien s t sangat besar (Natih,
1998).
2.4. Kedalaman dinamik
Kedalaman dinamik (D) merupakan permukaan acuan (level surface) yang
berada di bawah permukaaan laut yang sebenarnya. Kedalama n ini digunakan
sebagai pengganti kedalaman geometrik untuk menentukan posisi suatu titik di
bawah permukaan laut. Kedalaman dinamik unitnya adalah dynamic meter (dyn
m) yang memiliki nilai sebagai berikut (Neumann dan Pierson, 1966) :
D [dynm] =
gh 2
m det − 2 ……………………............ (7)
10
h dalam meter dan g dalam m det-2 dan gh merupakan potensial gravitasi.
Kedalaman dinamik (D) pada kedalaman geometrik (z) memiliki nilai :
D=
gz
(dynm ) ………………….…...….. (8)
10
Besarnya tekanan (p) pada kedalaman dinamik (D) di bawah permukaan
laut diperoleh dari persamaan (Neuman dan Pierson, 1966) :
p=
D
∫ ρdD ………………...………..……
D0
(9)
9
D0 adalah kedalaman dinamik pada permukaan laut ya ng merupakan permukaan
isobar paling atas dan nilai tekanannya nol.
Jika kedalaman dinamik dihubungkan dengan volume spesifik (d), maka
didapatkan dua bagian persamaan, yaitu :
D = D 35, 0, p + ∆ D …….…………………………… (10)
Persamaan bagian pertama yaitu :
P
D35, 0, P = ∫ α 35,0, P dp ………………………………… (11)
P0
D35,0,p merupakan geopotensial baku (standard geopotential) pada lautan baku
dengan salinitas 35‰, suhu 0ºC, dan tekanan p. α 35,0, P merupakan volume spesifik
dari lautan baku pada salinitas 35‰, suhu 0ºC, dan pada tekanan laut standar.
Persamaan bagian kedua berupa anomali kedalaman dinamik pada dua
permukaan isobar yaitu p dan p0 yang dituliskan dengan persamaan sebagai
berikut (Neumann dan Pierson, 1966) :
p
∆D = ∫ δdp …………………………………………… (12)
p0
d merupakan anomali volume spesifik air laut. Persamaan (12) dapat digunakan
untuk memperoleh interval relatif geopotensial antara permukaan isobarik.
Persamaan volume spesifik in situ dapat juga dipisahkan menjadi volume
spesifik laut baku dan anomali volume spesifik (Neumann dan Pierson, 1966) :
α s ,t , p = α 35, 0, p + ∆ s ,t + δ s, p + δ t , p = α 35, 0, p + δ ..............
(13)
10
2.5. Arus geostropik
Menurut (Illahude, 1999), dari segi penyebabnya, arus-arus laut dibedakan
dalam tiga golongan, yaitu:
1. arus yang terjadi karena perbedaan tekanan air (pressure) di laut
2. arus yang terjadi karena angin
3. arus yang terjadi karena pengaruh dari pasang surut
Arus geostropik termasuk jenis air pada golongan pertama. Hal tersebut
dapat dijelaskan dengan diagram berikut (Gambar 1). Pergerakan massa air (arus)
dapat terjadi karena keseimbangan darai beberapa gaya yang berbeda. Pada
Gambar 1 ditunjukkan keseimbangan yang terjadi antara gaya Coriolis dengan
gradien tekanan yang disebut dengan keseimbangan geostropik dan arus yang
bersesuaian disebut dengan arus geostropik (Tomczak, 1994).
Jika permukaan isobarik membentuk suatu lereng terhadap permukaan
datar maka terdapat beberapa gaya yang bekerja pada partikel air, seperti yang
terlihat pada Gambar 1. Pada partikel A bekerja 2 gaya, yaitu gaya tekanan dan
gaya gravitasi. Gaya tekanan terhadap partikel A dari unit massa adalah α
∂p
.
∂n
Gaya tekanan ini dibagi menjadi dua komponen yaitu, komponen menegak
α
∂p
∂p
cos i yang mengimbangi g dan komponen mendatar α
sin i. Komponen
∂n
∂n
mendatar ini tidak ada yang mengimbangi sehingga menyebabkan gerak ke kiri
sebesar (Pond dan Pickard, 1983) :
α
∂p
 ∂p
 sin i
sin i = α
cos i 
= g tan i
∂n
 ∂n
 cos i
11
Pada Gambar 1b, terlihat bahwa untuk mengimbangi gerak ke arah kiri
maka diperlukan gaya ke arah kanan yang besarnya setara dengan g tan i yaitu
F
. Gaya ini adalah gaya Coriolis. Gerak air yang mula- mula bergerak dari
M
tekanan tinggi ke tekanan rendah (ke kiri) dibelokkan ke kiri di belahan bumi
selatan (keluar kertas) dengan kecepatan V1 . Gaya tersebut dapat ditulis
2Ω sin θ V1 . Sehingga secara matematis keseimbangan tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut (Pond dan Pickard, 1983) :
g tan i =
F
= 2Ω sin θ V1
M
Persamaan matematis ini disebut persamaan geostropik dan arus yang ditimbulkan
disebut arus geostropik.
Sumber : Pond dan Pickard, 1983
Gambar 1. Pengaruh gaya tekanan terhadap permukaan isobarik relatif
terhadap permukaan acuan.
12
Keterangan gambar :
i
= sudut yang dibentuk antara permukaan isobarik dengan papar acuan
a
= volume spesifik
n
= arah tegak lurus terhadap permukaan isobarik
g
= gravitasi
p
= tekanan
O
= kecepatan sudut putaran bumi
?
= lintang
Dalam perhitungan arus geostropik harus memperhatikan beberapa syarat,
yaitu (Stewart, 2003) :
1) Persamaan geostropik mengabaikan percepatan aliran massa air. Oleh
karena itu persamaan ini tidak berlaku untuk perairan yang memiliki
dimensi horizontal kurang dari 50 km dan waktu pengukuran lebih dari
beberapa hari.
2) Persamaan geostropik tidak berlaku untuk daerah di dekat ekuator karena
gaya Coriolisnya mendekati nol.
3) Persamaan geostropik mengabaikan pengaruh gaya gesekan.
2.6. Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP)
Pengukuran arus geostropik di atas merupakan metode pengukuran arus
secara tidak langsung dengan menggunakan data suhu dan salinitas menurut
metoda dinamik. Metode ini memiliki kelemahan karena hanya dapat digunakan
pada perairan tertentu sesuai syarat yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu,
diperlukan suatu metode pengukuran secara langsung untuk mengetahui
kecepatan dan arah arus pada perairan yang sempit dan letaknya dekat dengan
ekuator.
13
Salah satu alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran arus secara
langsung adalah ADCP. Alat ini bekerja berdasarkan azas Doppler tentang
perambatan bunyi. Azas Doppler adalah suatu perubahan kekuatan bunyi yang
diakibatkan oleh pergerakan relatif antara pengamat dan sumber bunyi. Alat ini
bekerja dengan mengirimkan satu berkas bunyi berfrekuensi tinggi kemudian
merekam hamburannya. Berkas bunyi tersebut dikirim oleh suatu alat pengirim
bunyi (tranduser) dan perekaman dilakukan dengan menggunakan pesawat
penerima (receiver) yang telah diatur sedemikian rupa sehingga hanya merekam
volume tempat bunyi merambat.
Bunyi hamburan yang direkam oleh receiver merupakan hasil dari
hamburan (scattering) partikel-partikel atau benda-benda renik yang bersifat
menghamburkan bunyi (sound scattering). Alat ini bekerja dengan asumsi bahwa
partikel-partikel kecil yang berada didalam air maupun yang mengapung bergerak
secara horizontal mengikuti arah arus (kecepatan gerak partikel sama dengan
kecepatan arus). Berkas bunyi yang dihamburkan oleh partikel yang sedang
bergerak akan mengalami perubahan frekuensi, sesuai azas Doppler. Besarnya
perubahan frekuensi akan sebanding dengan kecepatan gerak partikel, yang berarti
sesuai pula dengan kecepatan arus yang diamati. Besarnya perubahan itu
dikalibrasi menjadi ukuran arus oleh alat ADCP. Adapun persamaan azas
Doppler dapat dituliskan sebagai berikut (RD instrument, 1996; Illahude, 1999):
V 
Fd = Fsx 
C 
Keterangan : Fd = Pergeseran Frekuensi Doppler
Fs = Frekuensi suara pada kondisi tetap (tidak bergerak)
V = Kecepatan relatif antara sumber bunyi dan penerima
C = Kecepatan suara
14
Karena ADCP melakukan dua proses, yaitu mengirim bunyi dan menerima
hamburan bunyi, maka persamaan yang digunakan adalah :
V 
Fd = 2 xFsx 
C
ADCP menentukan kecepatan massa air dengan mengukur perubahan
waktu penerimaan sinyal dari ADCP ke partikel penghambur. Perubahan waktu
tersebut adalah hasil dari gerakan partikel penghambur. ADCP mengukur
frekuensi Doppler pada setiap lapisan kedalaman yang telah ditentukan, kemudian
menghitung kecepatan relatif massa air dari pengukuran frekuensi Doppler dengan
menggunakan persamaan (RD Instrument, 1995).
V A = Fd
C
x1000
2Fs
VA merupakan kecepatan massa air yang diukur dalam unit (mm/detik)
Sumber : RD Instrument, 1997.
Gambar 2. Alat ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler)
Metode ini telah digunakan di Selat Lombok pada tahun 1985. Dari
pengukuran tersebut diketahui bahwa kecepatan arus di daerah ambang bagian
selatan selat mencapai kecepatan 3,5 m/detik (Arief, 1997).
15
2.7. CTD (Conductivity, Temperature, Depth)
CTD (Gambar 3) digunakan untuk menentukan profil vertikal parameter
oseanografi yang meliputi suhu, salinitas dan tekanan. CTD dilengkapi dengan
sensor thermistor, digiquartz, dan conductivity yang digunakan untuk membantu
pengukuran. Sensor thermistor untuk melakukan pengukuran parameter suhu,
sensor digiquartz untuk mengukur tekanan dan sensor conductivity untuk
mengukur salinitas. Hasil pengukuran yang diperoleh masing- masing sensor
ditampilkan dalam desibar (db) untuk parameter tekanan, derajat celcius (°C)
untuk parameter suhu dan ratio konduktifitas untuk parameter salinitas (Sea-bird
Electronic, Inc, 1997).
Sumber : Sea-bird Electronic, Inc, 1997
Gambar 3. Alat CTD tipe SBE 911 Plus
2.8. Diagram T-S
Massa air dapat dikenali berdasarkan karakteristik kombinasi dari sifatsifat massa air tersebut. Nilai parameter oseanografi seperti suhu, salinitas dan
kandungan oksigen terlarut biasanya ditentukan oleh keadaan iklim lokal. Saat
massa air tenggelam maka massa air tersebut akan membawa sifat-sifat tersebut
bersamanya. Dalam lautan terbuka, beberapa massa air yang memiliki sifat yang
berbeda tersebut bercampur menjadi satu, namun ada beberapa bagian dari massa
16
air tersebut yang tetap mempertahankan karakternya terutama suhu dan salinitas.
Untuk mengklasifikasikan tipe-tipe massa air tersebut, maka Helland-Hansen,
(1916) in Pond dan Pickard, (1983) memperkenalkan diagram T-S. Diagram ini
digunakan untuk memplotkan nilai suhu dan salinitas sehingga didapatkan suatu
garis yang menunjukkan ciri khas dari masing- masing massa air sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasinya (Pickard, 1990).
Illahude dan Gordon, (1996) menggambarkan diagram T-S Arlindo pada
Musim Barat dan Musim Timur (Gambar 4), sehingga dapat diketahui asal- usul
massa air yang melalui perairan Indonesia pada musim- musim tersebut. Pada
Musim Timur, Arlindo dipengaruhi oleh massa air Selat Makasar, Air Subtropik
Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water), Laut Banda, Air Subtropik
Pasifik Selatan (South Pacific Subtropical Water), dan Air Uga hari Pasifik Utara
(North Pacific Intermediate Water). Adapun massa air yang mempengaruhi
Arlindo pada Musim Barat, yaitu Selat Makasar, Laut Timor, Air Subtropik
Pasifik Utara (NPSW), Laut Banda, Air Subtropik Pasifik Selatan (SPSW), Air
Ugahari Pasifik Utara (NPIW), dan Air Ugahari Antartika (AAIW).
Wüst, (1935) in Sverdrup et al., (1942) memperkenalkan metode lain
untuk mempelajari persebaran dan percampuran berbagai tipe massa air yang
disebut dengan metode kernschicht atau disebut juga dengan metode lapisan
gumbar. Metode ini digunakan untuk mengetahui bagian dari lapisan perairan
yang memiliki nilai salinitas yang ekstrem, misalnya di Samudera Atlantik, massa
air yang berasal dari Laut Mediterania memiliki salinitas yang tinggi
dibandingkan massa air yang berasal dari daerah lain.
17
Metode ini telah digunakan dalam berbagai penelitian di perairan
Indonesia. Dalam penelitiannya di Laut Sulawesi, Naulita (1998) menemukan
lapisan gumbar S- min (NPIW) pada isotherm 10 °C (s t = 26,50), dengan kisaran
salinitas 34,4 ‰ dan diisi oksigen 2,6 – 2,8 ml/l.
a. Musim Timur
b. Musim Barat
Sumber : Illahude dan Gordon, 1996
Gambar 4. Diagram T-S Perairan Indonesia (Arlindo)
2.9. Angin muson
Angin muson disebabkan karena perubahan tekanan udara sebagai akibat
perubahan posisi matahari terhadap garis ekuator. Saat matahari berada di
belahan bumi utara, Benua Asia memiliki suhu yang lebih tinggi dibanding Benua
Australia. Hal ini menyebabkan tekanan udara di Benua Asia menjadi lebih
rendah dan tekanan udara tinggi di Benua Australia, sehingga angin bertiup dari
Benua Australia menuju Benua Asia. Peristiwa ini terjadi pada Juni, Juli dan
18
Agustus. Saat itu disebut sebagai Musim Timur dan bertiup angin yang berasal
dari tenggara (Angin Muson Tenggara). Pada Desember, Januari dan Februari
terjadi peristiwa sebaliknya, saat itu posisi matahari di belahan bumi selatan
sehingga Benua Australia memiliki tekanan yang lebih rendah daripada Benua
Asia. Hal ini menyebabkan angin berhembus dari Benua Asia menuju Benua
Australia. Peristiwa ini biasa disebut sebagai Musim Barat dan saat itu bertiup
angin yang berasal dari arah barat laut (Angin Muson Barat Laut). Selain Musim
Barat dan Musim Timur terdapat juga musim peralihan yang terjadi sekitar bulan
April – Mei (peralihan I) dan Oktober – November (peralihan II) (Wyrtki, 1961).
Letak Indonesia yang berada diantara Benua Asia dan Australia menyebabkan
daerah ini menjadi daerah yang ideal untuk dilalui oleh angin muson. Angin
muson menyebabkan keragaman musiman Arlindo di lapisan permukaan.
Kondisi ini menyebabkan sirkulasi lapisan permukaan perairan Indonesia
memiliki variasi tahunan yang kuat (Wyrtki, 1961).
Perubahan tekanan angin (wind stress) yang terjadi pada Musim Barat dan
Muism Timur (Gambar 5) dapat menyebabkan sirkulasi massa air di lapisan
permukaan berubah sehingga terjadi pertukaran antara massa air bersalinitas
tinggi dan rendah. Pertukaran ini menyebabkan nilai salinitas di lapisan
permukaan kurang dari 34‰ (Wyrtki, 1961; Hellerman dan Rosenstein (1983) in
Miyama et al., 1996).
Variabilitas musiman dalam pengangkutan massa air melalui Selat Lombok
sangat dipengaruhi oleh angin muson dan variasi tinggi permukaan laut. Transpor
maksimum pada Selat Lombok terjadi saat bertiupnya angin muson tenggara dan
minimum saat muson barat laut (Masumoto dan Yamagata, 1996).
19
Musim Timur
Lintang
Musim Barat
Bujur
Bujur
Sumber : Hellerman dan Rosenstein (1983) in Miyama et al., 1996
Gambar 5. Tekanan angin pada Musim Barat dan Musim Timur
2.10. Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
Dilihat dari karakternya, Arlindo dapat dipisahkan kedalam dua
komponen, yaitu arus permukaan yang dipengaruhi oleh angin muson dan arus
lintas antar samudera pada lapisan yang lebih dalam. Arus permukaan yang lebih
dipengaruhi oleh angin muson, biasanya terdapat pada kedalaman antara 0-50 m
dan sering disebut dengan arus muson Indonesia (Armundo). Adanya pengaruh
angin muson pada lapisan homogen tercampur (mixing layer) menyebabkan arah
aliran pada lapisan ini berubah menurut musim, namun resultan arahnya tetap dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Pada Gambar 6, disajikan lintasan
Arlindo yang membawa massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera
Hindia (Tomczak dan Godfrey, 1994; Naulita, 1998).
Gaya penggerak utama massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia adalah perbedaan tinggi permukaan laut (TPL) antara Samudera Pasifik
dengan Samudera Hindia. Menurut Wyrtki, (1987) in Fieux et al., (1996),
20
perbedaan TPL ini dapat mencapai maksimum, yaitu 33 cm pada Musim Timur
dan minimum 0 cm pada Musim Barat dengan asumsi tidak ada arus pada
kedalaman 500 m. Gradien tekanan ini sebagian besar disebabkan oleh angin
pasat yang menyebabkan penimbunan massa air di Samudera Pasifik.
110°E
120°E
Sumber : Gordon, (2001) in Sprintall et al., 2004
130°E
Gambar 6. Bagan aliran massa arlindo (angka hitam menunjukkan besarnya
transpor dalam Sverdrup (106 m3 /s) dan angka merah menunjukkan
total transpor berdasarkan nilai outflow dan inflow)
Massa air dari Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui 2
jalur, yaitu jalur barat dan timur. Jalur masuk barat yaitu melalui Laut Sulawesi di
selatan Mindanao kemudian mengalir masuk melalui Selat Makasar. Massa air
tersebut keluar menuju Samudera Hindia melalui cara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung, yaitu melalui Selat Lombok dengan kedalaman sekitar
350 m dan cara tidak langsung,yaitu melalui Laut Banda kemudian ke Laut
Timor. Jalur untuk memasuki Arlindo yang lain adalah jalur timur, yaitu melalui
Laut Halmahera, Laut Maluku, dan Laut Seram kemudian memasuki Laut Banda
21
yang selanjutnya keluar menuju Samudera Hindia melalui Laut Timor (Sprintall et
al., 2000).
Analisis massa air menunjukkan bahwa massa air termoklin ya ng berasal
dari Pasifik Utara (NPSW dan NPIW) merupakan sumber massa air Arlindo.
Karakter massa air di barat laut Samudera Pasifik yang merupakan sumber
Arlindo dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Massa air di barat laut Samudera Pasifik
Massa Air
Karakter
T(ºC)
S(‰)
O2
(ml/L)
Northen Subtropical Lower Water
Southern Subtropical Lower
Water
Northern Intermediate Water
S maksimum
S maksimum
20-24
19-27
34.8-35.2
35.0-35.6
3.7-4.6
3.2-3.5
S minimum
O2 minimum
S minimum
O2 minimum
Tp minimum
7-11
4-9
5-7
3.5-5
1.6
34.1-34.5
34.3-34.6
34.45-34.6
34.5-34.6
34.65-70
1.7-3.0
1.2-2.4
1.9-3.0
2.0-2.4
3.4
Southern Intermediate Water
Deep and Botton Water
Sumber : Wyrtki, 1961
2.11. Perairan Selat Lombok
Selat Lombok merupakan salah satu jalur keluar utama Arlindo menuju
Samudera Hindia. Selat Lombok sebagai pemisah antara Pulau Bali dan Pulau
Lombok memiliki kedalaman perairan sekitar 800 - 1000 m, kecuali di bagian
selatan yaitu di dekat Pulau Nusa Penida. Kedalaman pada perairan tersebut
hanya mencapai 350 m dengan kecepatan arus mencapai 3,5 m/det. Panjang Selat
Lombok sekitar 60 km dan lebarnya sekitar 30 km dibagian utara selat dan
menyempit menjadi sekitar 18 km di ujung selatan selat akibat adanya Pulau
Nusa Penida. Selat yang terbentuk antara Pulau Bali dan Pulau Nusa Penida
dikenal dengan nama Selat Badung yang memiliki kedalaman 60 m. Hal inilah
yang menyebabkan aliran massa air utama yang berasal dari Selat Bali terbagi,
22
seperempatnya melalui Selat Badung dan sisanya tetap mengikuti aliran yang
utama (Murray dan Arief, 1988; Arief, 1997).
Hasil analisis dari Subagyo (2005) menggunakan metode lapisan gumbar
menunjukkan bahwa di Selat Lombok terdapat 4 jenis massa air, yaitu massa air
permukaan (surface water) yang memiliki salinitas 32,5-33,7 psu, massa air
bersalinitas maksimum NSLW yang memiliki salinitas 34,6-34,65 psu, massa air
bersalinitas minimum Air Ugahari Pasifik Utara (NPIW) yang memiliki nilai
salinitas 34,5-34,52 psu dan massa air bersalinitas cukup tinggi yang diperkirakan
merupakan sisa-sisa massa air Laut Merah yang memiliki nilai salinitas 34,7 psu.
Kecepatan massa air yang melalui Selat Lombok cenderung berubah tiap
musim. Hasil penelitian Murray dan Arief (1985) (Gambar 7) menunjukkan
bahwa pada Musim Timur kecepatan arus lebih kuat dibandingkan pada Musim
Barat.
Arus di Selat Lombok menurut arah mengalirnya dapat dibagi menjadi 2
yaitu, arus menuju utara (arus utara) dan arus menuju selatan (arus selatan).
Namun persentase massa air yang melalui Selat Lombok pada tiap musim
cenderung didominasi oleh massa air dari Samudera Pasifik. Hal ini disebabkan
karena sepanjang tahun pergerakan massa air di Selat Lombok pada lapisan
permukaan sampai kedalaman 200 m tetap menuju selatan. Pergerakan arus
selatan yaitu masuknya massa air dari Samudera Pasifik ke Selat Lombok dapat
diketahui melalui distribusi lapisan termohalin dan lapisan isotermal (Gambar 8)
(Subagyo, 2005 ; Mitnik et al., 2006).
23
50 cm det -1
u
Kedalaman=35 m
hari
hari
Sumber : Murray dan Arief, 1988
Gambar 7. Kecepatan arus pada kedalaman 35 m hasil pengukuran dengan
menggunakan Mooring pada Januari 1985 sampai 1986 di Perairan
Selat Lombok
Sumber : Murray, et al., (1990) in Mitnik et al., 2006
Gambar 8. Suhu (kiri) dan salinitas (kanan) pada lapisan permukaan dengan
tekanan 10 db.
24
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan tempat
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari proyek INSTANT (International Nusantara Stratification and
Transpor) pada bulan Januari 2004 dan Juni 2005 di perairan Selat Lombok
(INSTANT, 2004). Pengolahan data dilakukan dari bulan September 2005
sampai Maret 2006 di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Data yang digunakan terdiri dari dua transek (Tabel 2). Transek pertama
terletak antara 8,37°-8,45° LS dan 115,75°-115,96° BT, yaitu pada bagian utara
Selat Lombok (daerah aliran masuk selat) dan transek kedua terletak antara 8,65°8,66 °LS dan 115,65°-115,80° BT yaitu pada bagian selatan Selat Lombok, antara
Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok (daerah aliran keluar selat).
Tabel 2. Waktu pengambilan data, jumlah transek dan nomor stasiun pengamatan
Transek
Posisi
1
Aliran Masuk Selat
(8,37°-8,45° LS dan
115,75°-115,96° BT)
2
Aliran Keluar Selat
(8,65°-8,66° LS dan
115,65°-115,80° BT)
Nomor Stasiun
Januari 2004
Juni 2005
(merah)
(kuning)
Stasiun 1
Stasiun 7
Stasiun 2
Stasiun 8
Stasiun 3
Stasiun 9
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
Sumber : Data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Posisi geografis stasiun pengamatan, parameter oseanografi, kedalaman
pengukuran, dan kedalaman perairan disajikan pada Lampiran 1. Lokasi
penelitian beserta letak stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 9.
25
Perairan Selat Lombok merupakan perairan dangkal terutama di daerah
ambang tempat pengambilan data stasiun 4, 5 dan 6. Hal ini dapat ditampilkan
secara lebih jelas melalui kondisi batimetri di daerah ambang (Gambar 10).
Skala : 1:1111200
Pengamatan Januari 2004 (stasiun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6)
Pengamatan Juni 2005 (stasiun 7, 8 dan 9)
Sumber: Global Mapper
Gambar 9. Peta stasiun di lokasi pengambilan data
Kedalaman
St. 6
St. 4
St. 5
Jarak
Dasar perairan stasiun 4, 5 dan 6
Sumber: Global Mapper
Gambar 10. Kondisi batimetri daerah ambang
26
3.2. Metode pengambilan data
Pengambilan data oseanografi yang mencakup suhu, salinitas, dan
kedalaman dilakukan dengan menggunakan CTD (Conductivity, Temperature and
Depth). Tipe CTD yang digunakan dalam penelitian ini adalah SBE 911 Plus
buatan Sea Bird Electronic, Inc (Gambar 3).
Sensor thermistor, Digiquartz dan conductivity yang terdapat pada CTD
secara kontinyu akan melakukan pengukuran. Data hasil pengukuran tersebut
dikirim ke Deck Unit saat CTD diangkat. Data masih berupa sinyal analog yang
kemudian diubah oleh Probe CTD menjadi sinyal digital. Probe CTD (under
water main unit) dihubungkan dengan komputer melalui kabel untuk melakukan
perekaman data. Kabel ini digunakan sebagai sebagai media transmisi data.
Secara lebih jelas, sistem akuisisi data CTD disajikan pada Lampiran 2 (Sea-Birds
Elektronics, Inc, 1997).
Posisi dari masing- masing stasiun pengamatan diperoleh dari GPS (Global
Positioning System). Cara kerja dari GPS adalah menghitung jarak dari tiga satelit
patokan terdekat. GPS mengirimkan sinyal ke satelit yang kemudian dikirimkan
kembali ke GPS. Posisi ditentukan dengan menghitung jeda (delay) waktu
perjalanan sinyal dari satelit yang menjadi patokan. Posisi yang ditampilkan pada
penelitian ini dalam bentuk derajat dan menit (GARMIN Internasional, Inc, 2000).
Pengukuran arus secara langsung dilakukan dengan menggunakan ADCP.
Perekaman data ADCP menggunakan perangkat lunak VMDAS (Vessel Mounted
Data Acquisition System). VMDAS ini memiliki rangkaian yang
mentransmisikan dan menerima gelombang suara, pemroses sinyal elektronik
utama dan interface ke bagian deck box yang semuanya terkemas dalam suatu
27
silinder tahan tekanan (Pressure case). ADCP terhubung ke deck box melalui
kabel penghubung yang biasa disebut kabel I/O. Deck box merupakan suatu
bagian yang berisi interface dari dan ke ujung ADCP, terminal komputer, gyro
kompas kapal dan sumber daya. Komputer diperlukan untuk menjalankan
perangkat lunak pemroses data secara real time sehingga data dapat dibaca
langsung saat itu juga maupun diputar ulang. Komputer ini terhubung dengan
deck box melalui kabel serial (RD Instrument, 1997).
3.3. Analisis data
Pengambilan data CTD yang dilakukan oleh operator menggunakan paket
program SEASAVE dan konversinya menggunakan program DATCNV serta
untuk merata-ratakan terhadap kedalaman menggunakan program BINAVG. Data
yang diperoleh, dikonversi ke dalam bentuk ASCII (American Standard Code for
Information Interchage). Perubahan format data ini dilakukan agar
memungkinkan kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan berbagai
perangkat lunak, misalnya dengan menggunakan microsoft excel sehingga
pengolahan dapat dilakukan lebih mudah (Sea-Birds Elektronics, Inc 1997).
ADCP digunakan untuk melakukan pengukuran arus secara langsung.
Hasil perekaman ADCP berupa file perataan singkat yaitu Short therm Average
(STA) dan file perataan panjang Long Therm Average (LTA). Untuk dapat
membaca file tersebut, maka operator menggunakan perangkat lunak WINADCP
yang akan menghasilkan file dalam format ASCII. Data yang dihasilkan berupa
kecepatan arus, arah arus dan kedalaman.
Data yang diolah dalam penelitian ini berupa data yang diperoleh dari
hasil pengukuran ADCP dan CTD yang sudah diproses dalam bentuk ASCII.
28
Data tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak ODV,
surfer dan microsoft excel. Hasil olahan dari masing- masing perangkat lunak
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat pengambil data, perangkat lunak, dan hasil pengolahan data yang
digunakan dalam penelitian
Alat
Data
CTD
Suhu (°C)
Salinitas (psu)
Sigma -t (kg/m3 )
Kedalaman (m)
Tekanan (dbar)
Perangkat
lunak
ODV
Surfer
ADCP
Kecepatan Arus (mm/det)
Arah Arus (derajat)
Kedalaman (m)
Microsoft
Excel
Surfer
Microsoft
Excel
Hasil
1.Sebaran menegak parameter suhu,
salinitas, dan sigma-t
2. Diagram T-S
3. Kedalaman dinamik (dyn.m)
4. Arus geostropik (m/detik)
1. Sebaran melintang suhu, salinitas,
sigma-t
2. Sebaran melintang anomali
kedalaman dinamik
3. Plot stasiun pengamatan
Volume transport (Sv)
Sebaran arus pada kedalaman
standar (25, 50, 75, 100, 150, 200,
250, 300, 400, 500 dan 600 m)
Volume transport (Sv)
Sumber : Data INSTANT pada Januari 2004 dan Juni 2005
Hasil pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak ODV berupa
tampilan sebaran menegak parameter suhu, salinitas, sigma-t dan diagram T-S.
Perangkat lunak ini juga dapat digunakan untuk menentukan aliran massa air yang
melalui stasiun pengamatan, yaitu mencakup kedalaman dinamik dan arus
geostropik. Diagram alir pengolahan dan prinsip kerja perangkat lunak ODV
disajikan pada Lampiran 3 dan 6.
Adapun hasil olahan data dengan menggunakan perangkat lunak surfer
berupa sebaran melintang parameter oseanografi (suhu, salinitas dan sigma-t).
Selain itu, perangkat lunak ini juga digunakan untuk menampilkan secara
melintang kemiringan permukaan isobar berdasarkan selisih kedala man dinamik
29
antara dua stasiun yang berdekatan sehingga dapat diketahui arah arus geostropik
yang melalui kedua stasiun tersebut. Data kedalaman dinamik yang digunakan
hanya pada kedalaman standar, yaitu 5, 50, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 600
dan 800 m. Diagram alir untuk pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 3.
Data hasil pengukuran arus dengan menggunakan ADCP di aliran masuk
perairan Selat Lombok pada Juni 2005, diolah dengan menggunakan perangkat
lunak microsoft excel dan surfer untuk menghitung besarnya volume transpor
serta mengetahui arah arus pada kedalaman standar. Adapun pengolahan dengan
menggunakan perangkat lunak surfer disajikan pada Lampiran 5 (RD instruments,
2001).
Peta dan kontur kedalaman diperoleh dari perangkat lunak Global Mapper.
Perangkat lunak ini dapat menampilkan file gambar (data raster), ketinggian dan
data vektor. Perangkat lunak ini juga dapat mengakses langsung data base dari
satelit USGS berupa peta topografi (www.globalmapper.com).
3.3.1. Sebaran menegak
Gambaran profil menegak dari suhu, salinitas dan sigma-t ditampilkan
secara tumpang tindih antar stasiun pengamatan. Gambar profil menegak yang
dihasilkan digunakan untuk mendukung analisis massa air serta melihat posisi
kedalaman salinitas maksimum dan salinitas minimum.
Profil menegak sebaran suhu digunakan untuk memperoleh informasi
tentang pola pelapisan di perairan berdasarkan suhu, yaitu ketebalan lapisan
homogen, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Tampilan menegak salinitas juga
digunakan untuk melihat pola pelapisan massa air berdasarkan salinitas, yaitu
30
ketebalan lapisan homogen, lapisan haloklin, dan lapisan dalam. Gambaran profil
menegak dari arus berupa stick plot yang diperoleh dengan menggunakan surfer.
3.3.2. Sebaran melintang
Data suhu dan salinitas juga ditampilkan dalam bentuk sebaran melintang.
Sebaran ini diperoleh dari keseluruhan stasiun pengamatan. Sebaran melintang
dari salinitas dapat digunakan untuk mengetahui adanya lapisan gumbar pada
kolom air. Lapisan gumbar didefinisikan sebagai posisi karakteristik air laut
mencapai salinitas maksimum dan minimum dengan sebaran berbentuk kurva
tertentu ataupun lidah massa air (Pickard dan Emery 1990).
Tujuan mengetahui lapisan gumbar adalah untuk melihat pergerakan
massa air dan asal-usul massa air tersebut karena pada lapisan ini didapatkan
informasi tentang karakteristik suatu massa air, khususnya nilai salinitas. Nilai
salinitas pada lapisan ini akan terlihat berbeda atau ekstrem diband ingkan dengan
massa air disekitarnya walaupun berada dalam suatu kolom air yang sama.
Metode ini dikenal dengan metode lapisan gumbar (Pickard dan Emery 1990).
Skala terkecil yang digunakan untuk membentuk sebaran melintang suhu
dan salinitas masing- masing adalah 1°C dan 0,1 psu. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui lebih teliti kisaran suhu yang terdapat pada lapisan homogen,
termoklin, haloklin, dan lapisan dalam.
3.3.3. Perhitungan sigma -t (s t ), volume spesifik (a), anomali volume spesifik
(d) dan kedalaman dinamik
Data berupa suhu, salinitas dan sigma-t (s t) air laut yang diperoleh dari
CTD selanjutnya digunakan untuk melakukan perhitungan dan analisis untuk
mencari volume spesifik, anomali volume spesifik, kedalaman dinamik dan arus
31
geostropik. Perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
ODV dengan memasukkan posisi pengambilan data, kedalaman, suhu, salinitas
dan sigma-t. Prinsip kerja ODV disajikan pada Lampiran 6.
Sebagai perbandingan dilakukan interpolasi linear (manual) dengan
menggunakan tabel yang dirumuskan oleh Sverdrup dan Bjerknes in Neumann
dan Pierson (1966) untuk mencari nilai ? s,t (fungsi s t) dalam Tabel I, ds,p (fungsi
salinitas dan tekanan) dalam Tabel II, serta dt,p (fungsi suhu dan tekanan) dalam
Tabel III. Dari hasil interpolasi dapat diperoleh nilai anomali volume spesifik (d)
dan kedalaman dinamik (? D). Contoh perhitungan dengan metode ini disajikan
pada Lampiran 7.
3.3.3.1. Perhitungan sigma-t ( s t )
Menurut Stewart (2003), sebaran sigma-t air laut berperan dalam
menggambarkan pergerakan massa air. Perbedaan sigma-t pada suatu perairan
memungkinkan terjadinya perpindahan massa air secara horisontal. Pada studi ini
data sigma-t diperoleh secara otomatis dari CTD. Adapun perhitungan secara
manual dapat dilihat pada Lampiran 8.
3.3.3.2. Perhitungan anomali volume spesifik
Volume spesifik dapat digunakan untuk menghitung distribusi medan
tekanan di lautan. Nilai volume spesifik merupakan kebalikan dari nilai densitas
yang dinyatakan dengan :
α s, t, p =
1
ρ s ,t , p
keterangan : a merupakan volume spesifik dan ? merupakan densitas.
32
Nilai volume spesifik (as,t,p) diperoleh dengan cara menghitung volume
spesifik pada tekanan atmosfer (as,t,0) terlebih dahulu. Nilai a dihitung dengan
menggunakan parameter s t dan s 0 yang telah dihitung sebelumnya. Persamaan
yang didapat adalah sebagai berikut :
α s, t, 0 =
1
1 + 10 −3 σ t
3
2
3


4,886E − 6 p
α s, t, p = α s, t, 0 1 −
+ ∑∑∑ Aijk p (σ 0 )t 
 1 + 1,83E − 5 p i=1 j= 0 k = 0

Keterangan :
t
p
=
=
as,t,p =
i,j,k =
suhu (0 C)
tekanan (db)
volume spesifik (cm3 gr-1 )
indeks dari A
A100
A101
A103
A110
A111
A112
A120
A121
-2,2072E-7
3,6730E-8
4,00E-12
1,725E-8
-328E-10
4,00E-12
-4,50E-11
1,00E-12
=
=
=
=
=
=
=
=
A200
A201
A210
A211
A212
A220
A221
A301
=
=
=
=
=
=
=
=
-6,68E-4
-1,24064E-12
-4,248E-13
1,206E-14
-2,000E-16
1,8E-15
-3,0E-17
1,5E-17
Anomali volume spesifik (d) dihitung dengan menggunakan nilai yang
didapat dari perhitungan volume spesifik. Perhitungan anomali volume spesifik
dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (Neumann dan Pierson 1966) :
10 5 (δ ) = 10 5 (α s,t , p − α 35, 0, p )
Konstanta 105 digunakan untuk mengkonversi satuan d dari (cm3 gr-1 ) ke
dalam (m3 kg-1 ). a 35,0,p adalah volume spesifik air laut baku pada suhu 0ºC,
salinitas 35‰ dan tekanan p.
Perhitungan a 35,0,p digunakan rumus yang dikembangkan oleh Fofonoff
dan Tabata (1958) in Atmadipoera (1991), yaitu:
33
3
α 35, 0, p =
Keterangan : P
C0
C1
C2
C3
=
=
=
=
=
∑C
n
p
n= 0
1 + 1,83E − 5 p
tekanan (dbar)
0.97264310
-1,326963E-5
-6,227603E-12
-1,885115E-16
3.3.3.3. Perhitungan anomali kedalaman dinamik dan penentuan papar
acuan
Pada studi ini nilai anomali kedalaman dinamik diperoleh dengan
menambahkan parameter kedalaman dinamik (Dynamic Height) melalui menu
derived variable pada ODV kemudian dipindah ke Microsoft excel. Secara
manual perhitungan anomali kedalaman dinamik dapat diperoleh melalui
persamaan yang disajikan pada Lampiran 8.
Papar acuan diperoleh dengan memplotkan selisih anomali kedalaman
dinamik antara dua stasiun yang berdekatan terhadap kedalaman. Hal ini
dilakukan dalam Microsoft Excel setelah mengimport data dari ODV. Selanjutnya
sebaran anomali kedalaman dinamik digambarkan secara melintang pada
permukaan isobar 5, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 300, 400, 500, 600, 700 dan 800
dbar relatif terhadap papar acuan dan disajikan dalam bentuk sebaran melintang
dengan menggunakan surfer.
Papar acuan ditentukan melalui grafik selisih anomali kedalaman dinamik.
Jika pada grafik diperoleh garis menegak maka diasumsikan pada kedalaman
tersebut tidak terdapat pergerakan. Kedalaman ini digunakan sebagai papar
acuan.
34
3.3.3.4. Perhitungan arus geostropik dan volume transpor
Pengukuran arus dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu
pengukuran secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran arus secara
langsung menggunakan ADCP dan secara tidak langsung dengan menggunakan
metode geostropik, yaitu dengan menghitungnya melalui parameter suhu, salinitas
dan sigma-t yang telah didapatkan sebelumnya melalui CTD.
Data hasil perhitungan kecepatan arus geostropik dengan menggunakan
metode geostropik disajikan dalam bentuk grafik kecepatan arus geostropik
terhadap kedalaman. Data kecepatan arus geostropik ini diperoleh dari
pengolahan dalam ODV, yaitu dengan menambahkan parameter Geostropic Flow
melalui menu utility kemudian di eksport ke Microsoft excel, data yang diperoleh
berupa kecepatan arus dan luas bidang. Secara manual perhitungan arus
geostropik disajikan pada Lampiran 10.
Data kecepatan arus dan luas bidang yang telah dieksport ke Microsoft
excel tersebut digunakan untuk melakukan perhitungan volume transpor. Secara
manual perhitungan volume transpor disajikan pada Lampiran 11.
Data hasil perhitungan transpor massa air disajikan dalam bentuk diagram
batang antara dua stasiun yang berdekatan untuk melihat besarnya volume
transpor pada masing- masing transek dan arah pergerakan massa air yang
dominan sehingga arus yang mengalir di wilayah studi dapat diidentifikasi.
3.3.4. Diagram suhu-salinitas (T-S)
Diagram T-S diperoleh dengan memplotkan data suhu potensial dan
salinitas pada masing- masing transek pengamatan. Sumbu x pada diagram ini
mewakili nilai salinitas dan sumbu y mewakili nilai suhu potensial. Diagram T-S
35
ini digunakan untuk mengidentifikasi massa air yang melalui area pengamatan,
karena dari informasi suhu dan salinitas dapat diketahui karakteristik suatu massa
air yang selanjutnya dapat diperkirakan asal- usulnya. Diagram T-S ini disajikan
dalam bentuk sebaran menegak dengan menggunakan ODV.
36
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sebaran menegak dan melintang suhu
Profil sebaran menegak suhu disajikan pada Gambar 11, dan profil sebaran
melintang disajikan pada Gambar 12. Profil menegak dan melintang suhu ini
merupakan hasil tumpang tindih dari semua stasiun pada masing- masing transek.
Transek 1
Transek 2
Musim Barat (Aliran Masuk Selat)
Musim Timur (Aliran Masuk Selat)
Musim Barat (Aliran Keluar Selat)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 11. Sebaran menegak suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran
masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
37
Musim Barat
Musim Timur
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 12. Sebaran melintang suhu pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Sebaran menegak suhu pada Gambar 11 memperlihatkan bahwa nilai suhu
makin menurun dengan semakin meningkatnya kedalaman dan terdapat pola
pelapisan massa air berdasarkan perubahan suhu yang dibagi menjadi tiga lapisan,
38
yaitu lapisan homogen, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Suhu pada lapisan
homogen hampir seragam sehingga pada Gambar 11 tampak garis berbentuk
menegak. Ketebalan lapisan homogen yang terbentuk pada masing- masing
stasiun berbeda. Pada Musim Timur (transek 1), lapisan ini terbentuk sampai
kisaran kedalaman antara 32-64 m dengan kisaran suhu mencapai 27,92-28,74°C
dan gradien suhu 0,01 °C/m. Pada Musim Barat (transek 1), lapisan ya ng
terbentuk hanya mencapai kedalaman 11-18 m dengan kisaran suhu mencapai
27,95-29,17°C dan gradien suhu 0.06 °C/m. Lapisan homogen yang terbentuk
pada Musim Barat (transek 2) hanya mencapai kedalaman 7-10 m dengan kisaran
suhu mencapai 27,79-28,16°C dan gradien suhu 0,07 °C/m.
Seperti halnya lapisan homogen, ketebalan lapisan termoklin pada
masing- masing stasiun berbeda. Lapisan termoklin ditandai dengan perubahan
suhu secara cepat yaitu dengan gradien suhu mencapai 0,1 °C/m sehingga pada
Gambar 11 tampak garis berbentuk miring. Pada Musim Timur (transek 1),
lapisan ini terbentuk mulai dari batas bawah lapisan homogen sampai kedalaman
sekitar 148-177 m dengan kisaran suhu antara 13,98-26,51 °C dan gradien suhu
mencapai 0,12 °C/m. Lapisan termoklin yang terbentuk pada Musim Barat
(transek 1) dimulai dari batas bawah lapisan homogen hingga mencapai
kedalaman 177-202 m dengan kisaran suhu antara 14,42-27,77 °C dan gradien
suhu 0,12 °C/m. Pada transek 2, lapisan ini terbentuk dari batas bawah lapisan
homogen sampai kedalaman 170-207 m dengan kisaran suhu antara 14,3527,16 °C dan gradien suhu mencapai 0,10 °C/m.
Lapisan dalam dimulai dari batas bawah lapisan termoklin. Lapisan ini
mengalami perubahan suhu yang sangat kecil bahkan hampir konstan sehingga
39
lapisan ini ditandai dengan bentuk garis hampir menegak yang terletak dibawah
lapisan termoklin (Gambar 11). Pada Musim Timur (transek 1) kisaran suhu pada
lapisan ini mencapai 6,98-13,02 °C dengan gradien suhu mencapai 0,01 °C/m.
Pada Musim Barat (transek 1) kisaran suhu pada lapisan ini adalah 6,28-13,80 °C
dengan gradien suhu 0,02 °C/m. Pada Musim Barat (transek 2), kisaran suhu pada
lapisan dalam adalah 9,86-13,35 °C dengan gradien suhu 0,02 °C/m.
Sebaran menegak suhu pada aliran keluar Selat Lombok (transek 2)
terlihat lebih bervariasi dibandingkan pada aliran masuk Selat (transek 1). Hal ini
disebabkan karena bentuk topografi daerah pengamatan transek 2 yang berada di
dekat ambang yang memiliki kedalaman sekitar 250 m. Massa air bergerak dari
kedalaman lebih dari 1000 m yang kemudian naik ke lapisan atasnya karena tidak
ada celah keluar lainnya menyebabkan proses percampuran secara menegak di
daerah ambang. Menurut Fffield dan Gordon (1992), kekuatan percampuran
vertikal pada suatu perairan dipengaruhi oleh bentuk topografi perairan tersebut.
Gambar sebaran menegak dan melintang suhu di atas dapat digunakan
untuk mengetahui perbedaan karakteristik suhu pada Musim Barat yang terjadi
pada Januari 2004 yang diwakili oleh stasiun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 serta Musim
Timur yang terjadi pada Juni 2005 yang diwakili oleh stasiun 7, 8 dan 9.
Pada sebaran menegak suhu (Gambar 11), terlihat suhu pada Musim
Timur lebih dingin dibanding Musim Barat. Perbedaan suhu antara kedua musim
ini mencapai 0,43 °C. Menurut Illahude dan Gordon (1996), penurunan suhu pada
Musim Timur ini diperkirakan akibat adanya percampuran vertikal, mengalirnya
massa air ke daerah yang sedikit pengaruh radiasi mataharinya, dan hilangnya
40
bahang akibat bertiupnya angin yang memiliki kelembaban rendah dari Benua
Australia.
Pada sebaran melintang suhu (Gambar 12) terlihat bahwa lapisan homogen
yang terbentuk pada Musim Timur lebih tebal daripada Musim Barat. Perbedaaan
ketebalan lapisan ini pada kedua musim mencapai 46 m. Hal ini menunjukkan
bahwa proses pengadukan pada Musim Timur lebih besar daripada Musim Barat
yang disebabkan karena kecepatan arus. Pada penelitian ini, dengan
menggunakan metode geostropik diperoleh hasil kecepatan rata-rata aliran massa
air di Selat Lombok pada bulan Juni 2005, sekitar 20 cm/det ke selatan lebih kuat
dibandingkan bulan Januari 2004 (Gambar 20). Makin cepat pergerakan arus
maka kekuatan pengadukan makin besar sehingga dapat mendorong lapisan
termoklin lebih kedalam (Wyrtki, 1961).
Pada Gambar 11 terlihat bahwa lapisan termoklin yang terbentuk pada
Musim Barat lebih tebal daripada Musim Timur bahkan mencapai permukaan.
Menurut Illahude dan Gordon (1996), hal ini juga terjadi pada berbagai perairan
yang lain di Indonesia, misalnya di Laut Flores, Selat Makasar dan Laut Banda.
Suhu pada lapisan permukaan sampai kedalaman tertentu pada Musim Barat
menjadi lebih hangat dibandingkan Musim Timur sehingga memperkuat
pembentukan lapisan termoklin. Pada penelitian ini, perbedaan ketebalan lapisan
termoklin pada kedua musim mencapai 71 m.
4.2. Sebaran menegak dan melintang salinitas
Profil menegak dan melintang salinitas yang digunakan untuk melihat pola
pelapisan massa air berdasarkan salinitas serta menunjukkan adanya salinitas
maksimum dan minimum disajikan pada Gambar 13 dan 14.
41
Transek 1
Transek 2
Musim Barat (Aliran Masuk Selat)
Musim Timur (Aliran Masuk Selat)
Musim Barat (Aliran Keluar Selat)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 13. Sebaran menegak salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
42
34.3
34.3
Musim Barat
Musim Timur
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 14. Sebaran melintang salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Melalui sebaran menegak salinitas (Gambar 13), terlihat pola pelapisan
massa air dari permukaan sampai lapisan dalam yang dibagi dalam tiga lapisan,
yaitu lapisan homogen, lapisan haloklin dan lapisan dalam. Lapisan homogen
43
ditandai dengan terbentuknya garis menegak di lapisan permukaan. Hal ini
menunjukkan nilai salinitas pada lapisan ini hampir seragam. Lapisan haloklin
ditandai dengan terbentuknya garis miring. Hal ini menunjukkan salinitas pada
lapisan ini mengalami perubahan yang cepat terhadap kedalaman. Lapisan dalam
membentuk garis hampir tegak di bawah lapisan haloklin.
Pada gambar sebaran menegak salinitas (Gambar 13), terlihat bahwa
hampir seluruh stasiun tidak terbentuk lapisan homogen. Lapisan ini hanya
terbentuk tipis pada stasiun 8 dan 9, yaitu sampai kedalaman 20 dan 31 m.
Kisaran salinitas pada lapisan ini adalah 33,35-33,36 psu dengan gradien salinitas
mencapai 0,0009 psu/m.
Lapisan haloklin yang terbentuk pada masing- masing stasiun pengamatan
memiliki ketebalan yang berbeda-beda. Lapisan ini terbentuk sampai kedalaman
antara 78-146 m dengan kisaran salinitas mencapai 32,22-34,62 psu dan gradien
salinitas sekitar 0,01-0,04 psu/m. Ketebalan lapisan haloklin dan lapisan dalam
pada masing- masing stasiun serta kisaran nilai salinitas yang terdapat pada lapisan
tersebut disajikan secara lebih jelas pada Tabel 4.
Tabel 4. Variasi salinitas pada lapisan haloklin dan lapisan dalam
Transek Stasiun
1
2
1
2
3
7
8
9
4
5
6
Lapisan
Haloklin
(m)
5 -93
5 -103
5 -114
5 -102
20 - 120
31 – 135
5 - 126
5 - 114
5 - 90
Kisaran
Salinitas (psu)
Lapisan Dalam
(m)
33,92 – 34,54
34,04 – 34,52
33,91 – 34,50
32,22 – 34,51
33,36 – 34,54
33,35 – 34,51
34,00 - 34,55
34,07 – 34,52
34,02 – 34,49
93 – 600
103 – 600
114 – 600
102 – 600
120 – 600
135 – 600
126 – 300
114 – 300
90 – 300
Kisaran
Salinitas
(psu)
34,62 - 34,55
34,61 - 34,55
34,61 - 34,54
34,54 - 34,53
34,55 - 34,53
34,52 - 34,53
34,54 - 34,50
34,49 - 34,48
34,40 - 34,49
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
44
Gradien salinitas pada lapisan dalam berkisar 0,0001-0,00002 psu/m. Hal
ini menunjukkan bahwa pada lapisan ini perubahan nilai salinitas sangat kecil
bahkan hampir konstan.
Melalui sebaran melintang yang disajikan pada Gambar 14 dapat diketahui
kondisi profil salinitas serta karakteristik massa air di Selat Lombok pada Musim
Barat dan Musim Timur. Lapisan permukaan pada Musim Timur mendapat
pasokan massa air bersalinitas rendah lebih banyak dari pada Musim Barat. Hal
ini dapat dilihat dari gradien perubahan warna pada sebaran melintang serta letak
garis isohalin 34,3 psu. Pada Musim Timur, garis isohalin ini terdesak sampai
kedalaman sekitar 54-80 m sedangkan pada Musim Barat (transek 1) isohalin
34,3 psu ditemukan pada kedalaman 29-35 m dan pada musim barat (transek 2)
isohalin ini ditemukan pada kedalaman sekitar 42-78 m. Menurut Arief (1997),
hal ini mengindikasikan masuknya massa air bersalinitas rendah yang berasal dari
pantai utara Bali pada Musim Timur. Hal ini sekaligus menunjukkan peran Selat
Lombok dalam mengalirkan air laut bersalinitas rendah dari bagian barat perairan
Indonesia ke Samudera Hindia.
Pada Musim Barat ditemukan salinitas maksimum yang memiliki nilai
34,60-34,62 psu (Gambar 13). Pada daerah aliran masuk (transek 1) salinitas
maksimum ini ditemukan pada kedalaman 135-164 m yang ditunjukkan oleh garis
isohalin dari bagian barat sampai timur selat, namun selama perjalanannya menuju
daerah ambang ambang (transek 2) massa air bersalinitas maksimum ini
mengalami proses percampuran yang intensif sehingga pada daerah aliran keluar
selat (transek 2) massa air bersalinitas maksimum ini hanya berbentuk kurva
tertutup dengan cakupan wilayah lebih kecil yang berada disekitar daerah
45
115.72°-115.73° BT. Menurut Arief (1997), massa air bersalinitas maksimum ini
masuk ke Selat Lombok melalui jalur bagian timur Selat.
Nilai salinitas pada Musim Timur lebih rendah daripada Musim Barat,
yaitu hanya mencapai sekitar 34,53-34,54 psu. Pada Musim Timur banyak
ditemukan massa air dengan salinitas kurang dari 34,5 psu. Ketebalan massa air
ini mencapai 303 m sedangkan ketebalan massa air ini pada musim barat hanya
253 m. Menurut Arief (1997) penurunan nilai salinitas pada Musim Timur ini
disebabkan karena terjadinya percampuran massa air yang intensif antara massa
air bersalinitas tinggi yang lemah dengan massa air bersalinitas rendah yang
dominan pada kedalaman antara 150-462 m.
4.3. Diagram T-S
Diagram T-S perairan Selat Lombok disajikan pada Gambar 14.
Penggunaan parameter suhu potensial bertujuan untuk mengurangi pengaruh
tekanan air laut.
Melalui Gambar 15 dapat diketahui lebih jelas perbedaan karakteristik
massa air yang melalui Selat Lombok pada Musim Barat dan Musim Timur,
selain itu juga dapat mempermudah dalam melakukan identifikasi jenis massa air.
Terlihat bahwa massa air di lapisan permukaan perairan Selat Lombok memiliki
karakteristik suhu 25 – 29 °C dan salinitas 32,5-33,7 psu.
Pada Gambar 15 terlihat adanya massa air bersalinitas maksimum yang
memiliki karakteristik salinitas mencapai 34,6-34,62 psu, suhu 16-18 °C dan
sigma-t (s t) 24,8-25,4 (kotak hitam). Menurut Arief (1997), massa air ini
merupakan sisa-sisa massa air NSLW. Massa air bersalinitas maksimum ini
terbentuk di daerah 25 °LU antara 165 °BT dan 195 °BT (Samudera Pasifik
46
bagian barat) dengan perubahan nilai musiman sebesar 0,2 psu. Kisaran
perubahan tersebut sama dengan kisaran di Selat Lombok. Pada daerah asalnya
massa air ini memiliki salinitas mencapai 34,8-35,2‰ dan terdapat pada sigma-t
24,0 kg/m3 kemudian tenggelam pada sigma-t 25 kg/m3 di Selat lombok (Wyrtki,
1961).
Massa air bersalinitas minimum yang memiliki karakteristik salinitas
34,50-34,52 psu, suhu 7,5-12,9 °C dan sigma-t (s t) 26,0-26,9 (kotak merah)
merupakan NPIW. Massa air ini ditemukan pada Musim Barat dan Musim Timur
(Gambar 15). Penentuan kedua jenis massa air pada penelitian ini, tidak dapat
dilakukan secara tegas karena tidak disertai dengan analisis kandungan oksigen.
Pada Gambar 15 terlihat bahwa NSLW ditemukan pada saat bertiup angin
muson barat laut (Musim Barat), sedangkan pada Musim Timur merupakan
kondisi minimum masuknya NSLW. Hal ini disebabkan karena terjadi
percampuran yang intensif akibat arus. Kecepatan arus pada sigma-t (s t ) 24,825,4 pada Musim Timur lebih cepat daripada Musim Barat. Selisih kecepatan
arus mencapai 0,61 m/det lebih cepat pada Musim Timur. Pada Musim Timur
(transek 1) kecepatan arus mencapai mencapai 1,06 m/det, pada Musim Barat
(transek1) mencapai 0,45 m/det dan pada Musim Barat (transek 2) mencapai
0,86 m/det.
Melalui nilai rekaman data (tidak ditampilkan), diketahui bahwa NSLW
ditemukan disekitar isohalin 34,6 psu. Pada Musim barat di daerah aliran masuk
selat massa ir ini ditemukan pada kedalama n sekitar 133-156 m dan pada daerah
aliran keluar massa air ini ditemukan pada kedalaman 156-182 m.
47
Transek 1
Transek 2
NSLW
NSLW
NPIW
NPIW
Musim Barat (Aliran Masuk Selat)
Musim Timur (Aliran Masuk Selat)
Musim Barat (Aliran Keluar Selat)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 15. Diagram T-S pada Musim Barat dan Musim Timur di aliran masuk
selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Pada Gambar 13, NPIW tidak terlihat jelas, tapi diperkirakan berada di
sekitar isohalin 34,50 psu yang menyebar di kedalaman 150-462 m pada Musim
timur (transek 1), 219-472 m pada Mus im Barat (transek 1) dan 269-404 m pada
Musim Barat (transek 2). Dengan demikian dapat diperkirakan, bahwa pada
Musim Timur saat bertiup angin muson tenggara NPIW mengisi kolom air yang
lebih tebal dibanding Musim Barat.
48
Berdasarkan nilai rekaman data (tidak ditampilkan), pada Musim Timur
(transek 1) NPIW ditemukan pada kedalaman 151-540 m, pada Musim Barat
(transek 1) massa air ini ditemukan pada kedalaman 218 - 486 m dan pada Musim
Barat (transek 2) NPIW ditemukan pada kedalaman 174-300 m.
Massa air bersalinitas maksimum (NSLW) dan massa air bersalinitas
minimum (NPIW) yang masuk ke perairan Selat Lombok mengalami perubahan
nilai salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur. Menurut Illahude dan
Gordon (1996), perubahan musiman nilai salinitas NSLW di Selat Lombok adalah
sebesar 0,2 psu. Pada Bulan Juni nilai salinitas NSLW lebih rendah dibanding
pada Bulan Januari. Kondisi tersebut mengikuti kondisi sebaran salintas
maksimum di perairan Laut Flores (Arief, 1997).
4.4. Sebaran menegak dan melintang sigma-t (s t)
Distribusi sigma-t secara menegak dan melintang di Selat Lombok pada
bulan Januari dan Juni disajikan pada Gambar 16 dan 17. Pada profil sebaran
menegak sigma-t (Gambar 16) diketahui bahwa nilai densitas makin bertambah
dengan meningkatnya kedalaman.
Melalui Gambar 16 dapat diketahui pola pelapisan massa air berdasarkan
sigma-t. Lapisan paling atas adalah lapisan homogen yaitu suatu lapisan yang
memiliki nilai sigma-t yang homogen akibat pengaruh pengadukan. lapisan ini
ditunjukkan dengan garis menegak dekat dengan permukaan. Di bawah lapisan
homogen terdapat lapisan yang dikenal dengan lapisan piknoklin. Pada lapisan ini
nilai sigma-t berubah secara drastis terhadap kedalaman yang ditujukkan dengan
garis miring. Lapisan paling bawah adalah lapisan dalam. Pada lapisan ini nilai
sigma-t hampir konstan yang ditunjukkan dengan garis yang hampir tegak.
49
Transek 1
Transek 1
Musim Barat (Aliran Masuk Selat)
Musim Timur (Aliran Masuk Selat)
Musim Barat (Aliran Keluar Selat)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 16. Sebaran Menegak sigma-t pada Musim Barat dan Musim Timur di
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
50
Musim Barat
Musim Timur
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 17. Sebaran melintang sigma-t pada aliran masuk selat (trans ek 1) dan
aliran keluar selat (transek 2)
51
Pada Gambar 16 terlihat bahwa lapisan homogen terbentuk lebih tebal
pada bulan Juni 2005 (Musim Timur). Pada Musim Timur (transek 1), lapisan ini
terbentuk sampai kedalaman sekitar 39-65 m dengan kisaran sigma-t (s t) antara
20,77-21,49. Pada Musim Barat, lapisan homogen yang terbentuk tipis, yaitu
mencapai kedalaman 6-8 m dengan kisaran sigma-t 21,35-21,48. Pada transek 1
dan mencapai 8-14 m dengan kisaran sigma-t 21,46-21,78. Gradien sigma-t pada
lapisan ini mencapai 0,008 tiap penurunan kedalaman 1 m.
Lapisan piknokin terbentuk pada Musim Barat maupun Musim Timur
(Gambar 15). Lapisan ini terbentuk hingga mencapai kedalaman sekitar 143-146m
dengan kisaran sigma-t 24,25-25,30 pada Musim Barat (transek 1), 147-159 m
dengan kisaran sigma-t 25,42-25,98 pada Musim Timur (transek 1) dan 150-175m
dengan kisaran sigma-t 25,31-25,33 pada Musim Barat (transek 2). Gradien
sigma-t pada lapisan ini berkisar antara 0,024-0,027 tiap penurunan 1 m.
Lapisan yang terletak di bawah lapisan piknoklin adalah lapisan dalam.
Lapisan ini terbentuk mulai dari batas bawah lapisan pinoklin. Kisaran sigma-t
pada lapisan ini adalah 25,00-27,16 dengan gradien sigma-t mencapai 0,002 tiap
penurunan kedalaman 1 m.
Nilai sigma-t di lapisan permukaan pada Musim Timur hanya mencapai
20,76. Nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai sigma-t pada Musim Barat yang
mencapai 21,19. Hal ini diduga disebabkan karena pengaruh massa air yang
berasal dari perairan pantai utara Bali yang menurunkan nilai sigma-t massa air
pada lapisan permukaan pada bulan Juni (Arief, 1997).
Nilai sigma-t pada lapisan permukaan pada kedua musim memiliki nilai
kurang dari 22,00. Hal ini merupakan ciri khas massa air permukaan di daerah
52
tropis karena tingginya curah hujan yang melebihi jumlah penguapan (Wyrtki,
1961).
Melalui profil sebaran melintang (Gambar 17) terlihat bahwa sebaran
melintang sigma-t cenderung menyerupai pola sebaran melintang suhu. Terlihat
bahwa penurunan suhu diikuti oleh kenaikan nilai sigma-t. Hal ini menunjukkan
bahwa parameter sigma-t lebih dipengaruhi oleh parameter suhu.
4.5. Kedalaman dinamik
Pada Gambar 18 disajikan grafik hasil plot selisih anomali kedalaman
dinamik pada dua stasiun yang berdekatan, sumbu X mewakili besarnya selisih
anomali kedalaman dinamik yang berdekatan dan sumbu Y mewakili kedalaman.
Grafik tersebut digunakan untuk menentukan papar acuan (reference level) yang
merupakan (level of no motion), yaitu suatu kedalaman dimana pada kedalaman
tersebut tidak terdapat gerakan massa air relatif antara dua stasiun. Tujuan
penentuan papar acuan ini adalah untuk menentukan kedalaman dinamik, metode
ini mengikuti Defant (1941) in Neumann dan Pierson (1966).
Level of no motion ditunjukkan dengan terbentuknya garis menegak pada
sumbu Y. Pada Gambar 18 dan 19 terlihat bahwa level of no motion yang pada
daerah aliran masuk adalah 800 dbar dan di daerah aliran keluar hanya mencapai
300 dbar. Pada daerah aliran keluar, papar acuan yang terbentuk lebih dangkal
daripada daerah aliran masuk. Hal ini disebabkan karena letaknya mendekati
daerah ambang yang memiliki kedalaman perairan sekitar 450 m.
53
Selisih Anomali Kedalaman Dinamik
Musim Barat (Transek 1)
Selisih Anomali Kedalaman Dinamik
Musim Timur (Transek 1)
0
-0.1
-0.05
Kedalaman (m)
-0.15
dh 7-8
Selisih Anomali Kedalaman Dinamik
Musim Barat (Transek 2)
0
0
0.05
-0.12
-0.1 -0.08 -0.06 -0.04 -0.02
0
0.02
0
-0.05
0
-100
-100
-100
-200
-200
-200
-300
-300
-300
-400
-400
-400
-500
-500
-500
-600
-600
-600
-700
-700
-700
-800
-800
-800
-900
-900
-900
dh 8-9
dh1-2
dh2-3
0.05
0.1
dh 4-5
0.15
0.2
dh 5-6
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 18. Grafik selisih anomali kedalaman dinamik terhadap kedalaman pada
aliran masuk selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 19. Sebaran melintang anomali kedalaman dinamik pada aliran masuk
selat (transek 1) dan aliran keluar selat (transek 2)
54
Pada Gambar 19 terlihat bahwa permukaan isobar membentuk lereng
terhadap permukaan acuan. Menurut Tomzack (1994), hal ini disebabkan karena
perbedaan distribusi densitas pada suatu perairan. Massa air dengan densitas yang
lebih besar akan bergerak menuju massa air dengan densitas kecil. Massa air ini
akan dibelokkan ke kiri pada belahan bumi selatan karena pengaruh gaya Coriolis.
Tanda
pada Gambar 19 masing- masing menyatakan massa air
bergerak ke selatan, utara dan tidak mengalir. Massa air di perairan Selat Lombok
bergerak ke selatan jika pada dua stasiun yang berdekatan, nilai anomali
kedalaman dinamik stasiun yang terletak di sebelah timur lebih besar daripada
sebelah barat, sehingga selisih anomali kedalaman dinamik bernilai negatif.
Dalam hal ini dua stasiun yang berdekatan tersebut terletak pada satu transek
pengamatan. Sebaliknya jika nilai anomali kedalaman dinamik pada stasiun
sebelah barat lebih besar daripada sebelah timur maka arus akan bergerak ke
utara. Massa air tidak bergerak jika selisih anomali kedalaman dinamik antara
dua stasiun yang berdekatan bernilai nol, hal ini terjadi jika permukaan isobar
tidak membentuk lereng terhadap permukaan acuan.
Variasi anomali kedalaman dinamik pada Mus im Timur (transek1), stasiun
7-8 adalah (-0,119)-0,009 dyn.m dan pada stasiun 8-9 adalah (-0,03)-0,004 dyn.m.
Pada transek ini massa air bergerak ke selatan sampai kedalaman 151-164 m
kemudian berbalik ke utara. Pada Musim Barat (transek 1) anomali kedalaman
dinamik bervariasi antara (-0,012)-0,014 dyn.m pada stasiun 1-2 dan (0,08)-0,00
pada stasiun 2-3. Berbeda dengan arah arus antara stasiun 1-2, arah arus pada
stasiun 2-3 seluruhnya bergerak ke selatan sedangkan pada stasiun 1-2 arus
bergerak ke selatan hanya sampai kedalaman sekitar 54 m kemudian berbalik ke
55
utara. Hal ini menunjukkan bahwa pada Musim Barat maupun Musim Timur arah
arus di lapisan permukaan perairan Selat Lombok bergerak menuju ke selatan.
Menurut Mitnik et al., (2006), arus di Selat Lombok bergerak ke selatan dan utara,
namun pada kedalaman di atas 200 m arah arus selalu bergerak ke selatan
sepanjang tahun.
4.6. Kecepatan arus dan volume transpor
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengukuran arus dilakukan
dengan 2 cara, ya itu pengukuran dengan menggunakan alat ADCP dan
perhitungan dengan metode geostropik. Berikut disajikan grafik hasil perhitungan
kecepatan arus geostropik menggunakan metode geostropik (Gambar 20).
Musim Barat (Transek 1)
Kecepatan Arus Geostropik (m/s)
Musim Timur (Transek 1)
Kecepatan Arus Geostropik (m/s)
-4
Kedalaman (m)
-6
st 7-8
-2
0
0
0
-8
Musim Barat (Transek 2)
Kecepatan Arus Geostropik (m/s)
0
2
-8
-6
-4
-2
0
2
-2
0
-100
-100
-100
-200
-200
-200
-300
-300
-300
-400
-400
-400
-500
-500
-500
-600
-600
-600
-700
-700
-700
-800
-800
-800
-900
-900
-900
st 8-9
st 1-2
st 2-3
2
4
st 4-5
6
8
10
st 5-6
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 20. Grafik kecepatan arus geostropik pada aliran masuk (transek 1) dan
aliran keluar (transek 2) pada januari 2004 dan juni 2005
56
Arah gerak arus pada Gambar 20 sesuai dengan grafik selisih anomali
kedalaman dinamik yang disajikan pada Gambar 18. Pada stasiun 7-8 (Musim
Timur), arus bergerak ke selatan sampai kedalaman 156 m dengan kecepatan arus
mencapai 5 m/det kemudian bergerak ke utara dengan kecepatan arus mencapai
0,23 m/det. Seperti halnya stasiun 7-8, pada stasiun 8-9 arus pada lapisan
permukaan sampai kedalaman 133 m bergerak ke selatan dengan kecepatan
mencapai 1,35 m/det kemudian bergerak ke utara dengan kecepatan arus
mencapai 0,65 m/det.
Pada stasiun 1-2 (Musim Barat, transek 1) arus bergerak ke selatan dari
lapisan permukaan hingga kedalaman 50 m dengan kecepatan arus mencapai
0,65 m/det kemudian bergerak ke utara dengan kecepatan arus 0,52 m/det.
Berbeda dengan stasiun sebelumnya, arus pada stasiun 2-3 seluruhnya bergerak ke
selatan dengan kecepatan berkisar 5,7 m/det pada lapisan permukaan hingga 0,1
m/det pada lapisan dalam.
Berbeda dengan transek 1, pada transek 2 arus permukaan bergerak ke
utara. Pada stasiun 4-5 arus bergerak ke utara dengan kecepatan 1,2 m/det
kemudian pada kedalaman 92 m arus bergerak ke utara dengan kecepatan arus
mencapai 0,3 m/det. Pada stasiun 5-6 arus bergerak ke utara pada seluruh
kedalaman dengan kecepatan berkisar 0,1 sampai 9 m/det. Arus yang bergerak
dengan kecepatan tinggi demikian menyebabkan transpor massa air bergerak ke
kiri (menjauhi pantai) sehingga paras laut di dekat Pantai Lombok (stasiun 6) dan
menaik ke arah lepas pantai (stasiun 4). Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari
keseimbangan gaya arah tegak lurus pantai. Semakin kuat arus ke utara harus
diimbangi oleh gradien tekanan tegak lurus pantai yang mengakibatkan muka laut
57
lebih rendah di pantai (Pedlosky, 1979; Gill, 1982). Hukum kontinuitas
mengharuskan upwelling untuk mengisi kekosongan massa air di Pantai Lombok
(stasiun 6). Pada Gambar 12 terlihat lapisan isotherm naik dari stasiun 5 ke 6, hal
ini merupakan indikasi terjadinya upwelling di daerah dekat Pantai Lombok.
Kecepatan arus hasil pengukuran dengan menggunakan metode geostropik
diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan nilai suhu dan salinitas yang
diukur oleh CTD. Sehingga nilai kedua parameter tersebut sangat berpengaruh
pada hasil pengukuran kecepatan arus yang diperoleh. Pada transek 2, selisih nilai
suhu antara dua stasiun yang berdekatan mencapai mencapai 2 °C pada stasiun 4
dan 5 dan 3,76 °C pada stasiun 5 dan 6 di kedalaman yang sama, yaitu kedalaman
100 m. Jarak antara stasiun 4 dan 5 adalah 8285 m dan jarak antara stasiun 5 dan
adalah 8252 m. Perbedaan suhu yang sangat mencolok pada dua stasiun yang
berdekatan menyebabkan perbedaan tekanan yang sangat tinggi antara kedua
stasiun tersebut, sehingga nilai kecepatan arus geostropik yang terukur diantara
kedua stasiun menjadi terlalu tinggi. Kecepatan arus antara stasiun 4 dan 5
mencapai 1,2 m/det dan arus antara stasiun 5 dan 6 mencapai 8 m/det. Hal yang
sama terjadi pada pengukuran di transek 1. Kecepatan arus yang terukur pada
kedua stasiun yang berdekatan di transek 1 dapat mencapai 5 m/det.
Hasil pengukuran arah dan kecepatan arus secara langsung dengan
menggunakan ADCP disajikan pada Gambar 21. Melalui Gambar 21 diketahui
bahwa arah arus permukaan (kedalaman kurang dari 200 m) di perairan Selat
Lombok didominasi ke arah selatan.
58
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Juni 2005
Gambar 21. Arah dan kecepatan arus hasil pengukuran secara langsung pada
Musim Timur (transek 1)
59
Arah arus hasil pengukuran secara langsung ini bersesuaian dengan hasil
pengukuran dengan metode geostropik. Namun kecepatan arus yang terukur oleh
ADCP lebih kecil. Sebagai perbandingan, berikut ini disajikan kecepatan arus
hasil perhitungan secara langsung dan tidak langsung pada kedalaman standar
(Tabel 5).
Tabel 5. Kecepatan arus hasil pengukuran secara langsung (ADCP) dan tidak
langsung (metode geostropik)
KEDALAMAN
(meter)
LANGSUNG (ADCP)
(m/det)
25
0,478-1,668
TIDAK LANGSUNG
(Metode Geostropik)
(m/det)
1,307-5,617
50
0,446-1,298
1,092-5,072
75
0,310-1,226
0,975-3,082
100
0,183-1,018
1,366-0,413
150
0,141-0,557
0,301-0,287
200
0,018-0,437
0,631-0,130
250
0,044-0,489
0,630-0,239
300
0,031-0,519
0,642-0,177
400
0,021-0,721
0,615-0,069
500
0,017-1,162
0,606-0,302
600
0,031-2,575
0,421-0,148
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Dari Tabel 5 diketahui bahwa pada kedalaman yang sama, kecepatan arus
hasil perhitungan kecepatan arus dengan menggunakan metode geostropik lebih
besar daripada hasil pengukuran secara langsung. Hal ini disebabkan karena Selat
Lombok merupakan perairan yang sempit sehingga tidak memenuhi syarat untuk
dilakukan pengukuran arus secara tidak langsung dengan menggunakan metode
geostropik. Menurut Stewart (2003), suatu perairan bisa dilakukan pengukuran
60
secara tidak langsung jika memiliki jarak lebih dari 50 km. Perairan yang sempit
serta terjadinya pasang surut yang kuat menyebabkan hasil perhitungan arus
secara tidak langsung melalui nilai densitas tidak akurat karena variasi nilai
densitas yang sangat besar pada stasiun yang berdekatan. Lebar Selat Lombok
hanya mencapai 30 km di bagian utara Selat dan menyempit menjadi 18 km di
ujung selatan Selat (Arief, 1997).
Hasil pengukuran volume transpor secara langsung dengan menggunakan
ADCP dibagi menjadi tiga pengukuran, yaitu pengukuran pada lapisan permukaan
sampai kedalaman 200 m (Gambar 22), pengukuran pada kedalaman lebih dari
200 m (Gambar 23) dan pengukuran total seluruh kedalaman (Gambar 24).
Tujuan dari pemisahan ini untuk melihat besarnya volume transpor yang melalui
lapisan permukaan dan lapisan dalam. Untuk mengetahui secara lebih jelas, maka
nilai volume transport disajikan pada Tabel 6.
Stasiun 7-8 (ADCP)
Stasiun 8-9 (ADCP)
Selatan
Arah Arus
Arah Arus
Selatan
Utara
-1.5
-1
-0.5
Volume Transpor (Sv)
Utara
0
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
Volume Transpor (Sv)
Sumber : Diolah dari data ADCP INSTANT bulan Juni 2005
Gambar 22. Grafik volume transpor dari lapisan permukaan sampai kedalaman
200 m
61
Stasiun 7-8 (ADCP)
Stasiun 8-9 (ADCP)
Selatan
Arah Arus
Arah Arus
selatan
utara
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
Utara
0
0.2
-0.1
0
Volume Transpor (Sv)
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Volume Transpor (Sv)
Sumber : Diolah dari data ADCP INSTANT bulan Juni 2005
Gambar 23. Grafik volume transpor pada kedalaman lebih dari 200 m
Stasiun 7-8 (ADCP)
Stasiun 8-9 (ADCP)
Selatan
Arah Arus
Arah Arus
selatan
utara
-1.5
-1
-0.5
Utara
0
0.5
Volume Transpor (Sv)
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
Volume Transpor (Sv)
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Gambar 24. Grafik volume transpor total
0.4
0.6
62
Tabel 6. Nilai volume transpor hasil pengukuran ADCP
.
Kedalaman
(m)
Pengukuran Langsung (ADCP)
m/s
Stasiun 7-8
Stasiun 8-9
Utara (Sv)
Selatan (Sv)
Utara (Sv)
Selatan (Sv)
<200
0
1,25
0
0,56
>200
0,115
0,715
0,404
0,06
Total
0,115
1,96
0,404
0,62
Sumber : Diolah dari data INSTANT bulan Januari 2004 dan Juni 2005
Melalui Tabel 6, diketahui bahwa besarnya volume transpor pada bulan
Juni 2005 (Musim Timur) di daerah aliran masuk selat mencapai 3,01 Sv dengan
total transpor massa air yang bergerak ke utara sebesar 16,74 % dan bergerak ke
selatan sebesar 83,26 %. Nilai volume transpor pada lapisan permukaan sampai
kedalaman 200 m lebih besar daripada nilai volume transpor pada kedalaman
lebih dari 200 m.
Volume transpor di lapisan permukaan sampai kedalaman 200 m mencapai
58,41 % dari total transpor massa air yang melalui transek pengamatan. Hal ini
menunjukkan bahwa debit air yang melalui lapisan permukaan sampai kedalaman
kurang dari 200 m lebih besar daripada kedalaman lebih dari 200 m. Menurut
Murray dan Arief (1988) in Arief (1997), 80 % aliran air di Selat Lombok terjadi
di kedalaman di atas 200 m.
63
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Karakteristik massa air
1.
Melalui Sebaran menegak dan melintang suhu, diketahui pola pelapisan
berdasarkan suhu, yaitu lapisan homogen, termoklin dan lapisan dalam.
Lapisan homogen yang terbentuk pada Musim Timur lebih tebal daripada
Musim Barat. Perbedaan ketebalan antara kedua musim mencapai 46 m.
Suhu permukaan laut pada musim barat lebih hangat daripada Musim
Timur, perbedaan suhu antara kedua musim mencapai 0,43 °C.
2.
Nilai salinitas pada Musim Timur lebih rendah daripada Musim Barat,
yaitu mencapai 34,54 psu pada Musim Timur dan 34,62 pada Musim
Barat. Pada Musim Timur di lapisan permukaan perairan Selat Lombok
mendapat pasokan massa air bersalinitas rendah lebih banyak dari pada
Musim Barat. Pada Musim Barat terdapat massa air bersalinitas
maksimum yang memiliki nilai 34,60-34,62 psu yang ditunjukkan dengan
terbentuknya lapisan gumbar.
3.
Nilai sigma-t di lapisan permukaan pada Musim Timur mencapai 20,76.
Nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai sigma-t pada Musim Barat yang
mencapai 21,19. Pola sebaran sigma-t cenderung menyerupai pola sebaran
melintang suhu.
4.
Ditemukan dua jenis massa air, yaitu massa air bersalinitas maksimum
(NSLW) dan massa air bersalinitas minimum (NPIW). Pada Musim Timur
nilai salinitas NSLW lebih rendah dibanding Musim Barat.
64
5.1.2. Arus
1.
Arah arus di selat Lombok bergerak menuju ke utara dan selatan. Namun
arah arus di lapisan permukaan perairan Selat Lombok bergerak menuju ke
selatan pada Musim Barat maupun Musim Timur.
2.
Hasil pengukuran arus dengan menggunakan metode geostropik
menghasilkan nilai kecepatan arus yang lebih besar daripada pengukuran
dengan menggunakan ADCP. Namun arah arus yang diperoleh kedua
metode bersesuaian.
3.
Transpor total massa air hasil pengukuran dengan ADCP yang melalui
daerah aliran masuk (utara Selat Lombok) pada bulan Juni 2005 sebesar
3,01 Sv dengan total transpor massa air yang bergerak ke utara sebesar
16,74 % dan bergerak ke selatan sebesar 83,26 %.
5.2. Saran
1. Untuk menentukan jenis massa air sebaiknya dilakukan juga analisis
hubungan suhu terhadap kandungan oksigen.
2. Untuk membandingkan karakteristik massa air pada dua musim sebaiknya
stasiun pengamatan pada kedua musim berada pada posisi yang sama.
3. Untuk menganalisis karakteristik massa air secara lebih sempurna
sebaiknya dilakukan penambahan jumlah stasiun pengamatan, misal
daerah aliran masuk selat, keluar selat, badan selat, bagian barat selat dan
bagian timur selat.
65
DAFTAR PUSTAKA
Arief, D. 1997. Perubahan Musiman Karakteristik Massa Air Selat Lombok. J.
Oseano dan Limno. Res. 30: 13-31.
Atmadipoera, S. A. 1991. Suatu Studi tentang Topografi Dinamik di Perairan
Selatan Jawa-Sumatera pada Bulan Maret-April. Skripsi (tidak
dipublikasikan) Fakultas Perikanan IPB, Bogor.
Ffield, A., dan A. L. 1992. Vertical Mixing in the Indonesian Thermocline. J.
Phys. Oceanogr. Res. 22(2) : 184-195.
Fieux, M., R. Molcard, dan A. G. Illahude. 1996. Geostrophic Transpor of The
Pacific-Hindian Oceans Throughflow. J. Geophys. Res. 101(C5):12,42112,432.
Garmin Internasional, Inc. 2000. GPS Guide For Beginners. GARMIN
Corporation. Kansas.
Gill, A. E. 1982. Atmospheric-Ocean Dynamics. Academic Press, New York.
Gross, M. G. 1990. Oceanography a View of Earth. Prentice hall. Englewood
Cliffs, New Jersey.
Illahude, A. G. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Indonesia.
Illahude, A. G, dan A. L. Gordon. 1996. Thermocline Stratification Within The
Indonesian Seas. J. Geophys. Res. 101(C5):12,401-12,409.
International Nusantara Stratification and Transpor (INSTANT). 2004. Laporan
Kegiatan ekspedisi INSTANT Leg 1 dan 2. Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Nonhayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Masumoto, Y, dan T. Yamagata. 1996. Seasonal Variations of The Indonesian
Throughflow in a General Ocean Circulation Model. J. Geophys. Res.
101(C5):12,287-12,293.
Mitnik, L., W. Alpers, dan L. Hock. 2006. Thermal Plumes and Internal Solitary
Waves Generated in The Lombok Strait Studied By ERS SAR.
http://www.citeseer.1st .psu.edu/548671.html
66
Miyama, T., T. Awaji, K. Akitomo, dan N. Imasato. 1996. A Lagrangian
Approach To The Indonesian Seas. J. Geophys. Res. 101(C5):12,26512,285.
Murray, S. P dan D. Arief. 1988. Throughflow into The India n Ocean Through
The Lombok Strait, January 1985-January 1986. Nature, 333, 444-447.
Natih, N. M. N. 1998. Fenomena dan Angkutan Massa Air di Perairan Barat
Sumatera Pada Bulan Juli 1990 dan Maret 1991. Tesis (tidak dipublikasikan)
Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Naulita, Y. 1998. Karakteristik Massa Air pada Perairan Lintasan Arlido. Tesis
(tidak dipublikasikan) Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Neumann, G dan J. R. Pierson. 1996. Principle of Oceanography. Prentice Hall,
Inc. Engglewood Cliff.
Pedlosky, J. 1979. Geophysical Fluids Dynamics. Springer-Verlag, New York.
Pickard, G. L. dan W. J. Emery. 1990. Deskriptive Physical Oceanography.
Pergamon Press. New York.
Pond, S. dan G. L. Pickard. 1983. Introduction Dynamical Oceanography.
Pergamon Press. New York.
Rahmawati, H. 2004. Studi Karakteristik Massa Air dan Arus Geostropik di
Perairan Selatan Jawa Barat pada Bulan Desember 2001. Skripsi (tidak
dipublikasikan) Fakultas Perikanan, IPB. Bogor.
RD Instrument. 1996. Accoustic Doppler Current Profiler: Priciples of operation a
practical primer. 9855 Businesspark Ave. Sandiego, California..
RD Instrument. 1997. Vessel mount acoustic Doppler current profiler technical
manual. 9855 Businesspark Ave. Sandiego, California..
RD Instrument. 2001. VmDas User’s guide. 9855 Businesspark Ave. Sandiego,
California.
Ross, A. D. 1970. Introduction to Oceanography. Meredith Corporation. New
York.
Richard, A. dan J. R. Davis. 1991. Oceanography an Introduction to The Marine
Environment. WMC Brown Publishers. USA.
Scheneider, N. 1997. The Indonesian Throughflow and The Global Climate
System. J. Climate Res. 11 (4): 676-689.
67
Schlitzer R. 2002. User Guide for Ocean Data View.
http://www.awi-bremerhaven.de /GEO/ODV
Sea – Bird Electronic Inc. 1997. Operating Manual : CTD Data Acquisition
Software SEASOFT Ver.4.224. Sea Bird Elektronik Inc. Washington.
Sprintall, J., A. Gordon, R. Molcard, G. Illahude, N. Bray, M. Fieux, S. Hautala, J.
Potemra, D. Susanto, S. Wijffels. 2000. The Indonesian Throughflow; Past,
Present And Future Monitoring.
http://www.marine .CSIRO.au/conf/socio/papers/Sprintall final. pdf
Sprintall, J., A. L. Gordon, S. Wuffels, A. Ffield, dan R.Molcard. 2004.
INSTANT : A New International Array to Measure The Indonesian
Throughflow. EOS 85(39):369-376.
Stewart, R. H. 2003. Introduction to Phisycal Oceanography. Departement of
Oceanography. Texas A & M University.
Subagio, W. P. F. 2005. Analisis Karakteristik Massa Air di Selat Lombok.
Skripsi ITB. Bandung.
Sverdrup, H. U., M. W. Johnson dan R. H. Fleming. 1942. The Ocean, Their
Physics. Chemistry and General Biology. Prentice Hall. New York.
Tomczack, M, dan J. S. Godfrey. 1994. Regional Oceanography : An
Introduction. Pergamon Press. Australia.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southeast Asian Water. Naga Report
Vol 2. Scrips Inst. Oceanography. The University of California. La Jolla.
California.
LAMPIRAN
68
Lampiran 1. Posisi lintang bujur stasiun, kedalaman pengukuran dan kedalaman
perairan hasil pengukuran INSTANT pada bulan Januari 2004 dan
Juni 2005
Stasiun
Waktu
Kedalaman
Kedalaman
pengambilan
pengukuran
perairan
data
(m)
(m)
Bujur
-8.41782
115.8226
1191
1272
Stasiun 2
-8.37723
115.8952
1062
1153
Stasiun 3
-8.37147
115.9628
1091
1132
Stasiun 4
-8.65642
115.6568
453
505
Stasiun 5
-8.657
115.7323
577
633
Stasiun 6
-8.6645
115.8075
306
475
-8.45105
115.7531
806
894
Stasiun 8
-8.40085
115.8378
1143
1199
Stasiun 9
-8.38493
115.9161
1091
1177
Stasiun 1
Stasiun 7
Januari 2004
Lintang
Juni 2005
69
Lampiran 2. Sistem akuisisi data pada CTD
Sumber : Illahude, 1999
70
Lampiran 3. Diagram alir pengolahan parameter oseanografi pada perangkat lunak
ODV.
Data CTD
Text File
Station Mode
Section Mode
Output :
Sebaran Menegak
Configuration
Derived Variable :
Sigma-t
Dyn. Height
Derived Variable :
Potential Temperature
Utilitas
Diagram T-S
Geostropic Flow
Output :
Microsoft Excel
Volume Transport
Geostropic Velocity
71
Lampiran 3. Lanjutan
Keterangan grafik :
1. Station Mode
: Menu yang berfungsi untuk memplotkan data X
dan Y, dalam hal ini sumbu X adalah kedalaman
dan sumbu Y adalah parameter oseanografi.
2. Section Mode
: Menu yang digunakan untuk memplotkan data
X,Y dan Z sehingga dihasilkan suatu penampang
melintang yang menghubungkan antar stasiun,
menu ini dapat digunakan untuk menghitung dan
menyelidiki percepatan arus geostropik.
3. Derived Variable
: Menu yang berfungsi untuk memperoleh data yang
tidak tersedia pada input data awal
72
Lampiran 4. Diagram alir pengolahan parameter oseanografi pada perangkat
lunak Surfer.
1. Data CTD (Longitude, Latitude, Kedalaman,
Suhu, Salinitas dan Sigma -t)
2. Hasil ODV (Kedalaman Dinamik)
Microsoft Excel
File .bln
Longitude, Latitude,
Salinitas, Suhu, dan Sigma-t
(.bln)
Grid
Anomali Kedalaman
Dinamik dan
Kedalaman
Anomali Kedalaman
Dinamik pada
Kedalaman Standar
Map
Map
Post Map
Base Map
File. grd
Map
Overlay Map
Contour Map
Sebaran Melintang
Sebaran Melintang Anomali
Kedalaman Dinamik Pada
Kedalaman Standar
73
Lampiran 4. Lanjutan
Keterangan grafik :
1. Grid
: suatu menu yang diperlukan untuk membentuk peta
berupa kontur dan relief. Sebelum menggunakan
menu ini, sebelumnya data harus dikonversi kedalam
file grid (.grd).
2.
Contour Map
: menu untuk membentuk peta kontur dari data File
grid (.grd). menu ini dapat menghasilkan gambar 2
dimensi dan 3 dimensi, diperlukan 2 parameter X dan
Y untuk menampilkan gambar 2 dimensi dan 3
parameter untuk gambaran 3 dimensi. Sub menu untuk
menghasilkan sebaran berupa kontur melintang yang
menghubungkan antara stasiun pengamatan.
3.
Post Map
:
menu untuk menentukan letak (posisi) data
4.
Overlay Map
:
menggabungkan dua peta yang terpisah
5.
Base Map
: membuat peta dasar sebagai batas dalam peletakkan
data
74
Lampiran 5. Diagram alir pengolahan arus hasil pengukuran ADCP pada
perangkat lunak Surfer.
Posisi stasiun (lintang dan bujur), Kecepatan Arus
(mm/s), Arah Arus (derajat)
Microsoft Excel
File. bln
Longitude, Latitude
Kecepatan Arus
Map
Arah Arus
Grid
Post Map
File. grd
Map
Vector Map
Angle Component Grid File
Overlay Maps
Arah dan Kecepatan Arus Pada
Kedalaman Standar
Length Component Grid File
75
Lampiran 6. Prinsip kerja (perhitungan) perangkat lunak ODV (Schlitzer, 2002)
1. angle -
SUBROUTINE ANGLE(ARC, IDEG, MIN, SEC)
Converts an latitude or longitude angle from arc seconds to
degrees, min
and sec. Negative angles are assumed to be west of Greenwich
or south of
equator.
input:
ARC [real]
output:
IDEG [int]
MIN [int]
SEC [real]
- angle to be converted (arc seconds)
- degrees
- minutes
- seconds
2. atg REAL FUNCTION ATG(S,T,P)
calculates the adiabatic suhue change (partial derivative of
suhue wrt pressure with no exchange) for a water parcel
at a given suhue, salinity and pressure.
(based on reference, Bryden,H.,1973, Deep-Sea Res., 20, 401408)
input:
S [real] T [real] P [real] output:
ATG [real]
salinity (PSU)
suhue (deg C)
pressure (decibars)
- partial deriv of T wrt P. deg. C per decibar
3. density SUBROUTINE DENSITY (PRESS,TEMP,DEWPT,DENS,N)
calculates air density from given values of suhue and
pressure.
effect of humidity are neglected as being small. This works on
an array of values. Missing input data must be given the
value 1.0e30.
input:
N
input arrays
PRESS
TEMP
DEWPT
[not used]
[integer]
- number of elements in the
[real array of size N ] - air pressure (millibars)
[real array of size N ] - air suhue (deg C)
[real array of size N ] - dew point suhue (deg C)
output:
DENS [real array of size N ] - air density (kg per cubic
meter)
4. depth REAL FUNCTION DEPTH(P,LAT)
calculates the depth for a given pressure and latitude using
the method of Saunders and Fofonoff, Deep-Sea Res., 1976, 23,
109-111.
uses the 1980 equation of state.
76
input:
P
[real] - pressure (decibars)
Lampiran 6. Lanjutan
LAT [real] - latitude (degrees)
output:
DEPTH [real] - depth (meters)
5. distance SUBROUTINE
DISTANCE(LAT1,LONG1,LAT2,LONG2,DIST)
calculates the distance between two points on the earth's
mean surface
specified by latitude and longitude.
C A SUBROUTINE TO CALCULATE DISTANCE BETWEEN
C TWO POINTS GIVEN THE LATITUDE AND LOGITUDE OF EACH
input:
LAT1
degrees)
LONG1
degrees)
LAT2
degrees)
LONG2
degrees)
[real] - latitude of the first point (decimal
[real] - longitude of the first point (decimal
[real] - latitude of the second point (decimal
[real] - longitude of the second point (decimal
output:
DIST [real] - distance along earth's surface (kilometers)
5. dva FUNCTION DVA(P,T,S)
calculates specific volume anomaly. Calls routine svan, so
see
documentation for that routine for details.
input:
P [real] - pressure (decibars)
T [real] - suhue (deg C)
S [real] - salinity (PSU)
output:
DVA [real] - specific volume anomaly (cubic meters per kg)
required routines:
SVAN
6. dvdp FUNCTION DVDP(P,T,S)
calculates the adiabatic change of specific volume for a
change in
pressure.
input:
P [real] - pressure (decibars)
T [real] - suhue (deg C)
S [real] - salinity (PSU)
output:
77
DVDP [real] - change in specific volume wrt pressure (cubic
meters per kg per decibar)
Lampiran 6. Lanjutan
required routines:
EOS80, ATG, DVDT
7. dvds FUNCTION DVDS(P,T,S)
calculates the adiabatic change of specific volume for a
change in
salinity.
input:
P [real] - pressure (decibars)
T [real] - suhue (deg C)
S [real] - salinity (PSU)
output:
DVDS [real] - change in specific volume wrt salinity (cubic
meters per
kg per PSU)
required routines:
EOS80
8. dvdt FUNCTION DVDT(P,T,S)
calculates the adiabatic change of specific volume for a
change in
suhue.
input:
P [real] - pressure (decibars)
T [real] - suhue (deg C)
S [real] - salinity (PSU)
output:
DVDT [real] - change in specific volume wrt suhue (cubic
meters per kg per deg C)
required routines:
EOS80
9. eos80 REAL FUNCTION EOS80(P1,T,S)
calculates the specific volume of sea water using the 1980
equation of
state (Millard, et al, 1980. Deep-Sea Res., 27A, 255-264.
input:
P1 [real] - pressure (decibars)
T [real] - suhue (deg C)
S [real] - salinity (PSU)
output:
EOS80 [real] - specific volume (cubic centimeters per gm)
10. pss78 REAL FUNCTION pss78 (c,t,p)
convert conductivity to Practical Salinity Scale using
the equations of Rathlev, 1982.
78
Note that c is conductivity, not conductivity ratio.
Lampiran 6. Lanjutan
input:
p [real] - pressure (decibars)
t [real] - suhue (deg C)
c [real] - conductivity (milli mhos)
output:
pss78 [real] - salinity (PSU)
11. sal FUNCTION SAL(P,T,D)
compute the salinity given the suhue, pressure and specific
volume anomaly.
input:
P [real] - pressure (decibars)
T [real] - suhue (deg C)
D [real] - specific volume anomaly (cubic meters per kg)
output:
SAL [real] - salinity (PSU)
required routines:
SVAN, DVDS
12. sal78 REAL FUNCTION SAL78(CND,T,P,M)
convert the conductivity ratio to salinity (practical
salinity scale)
or vice versa depending on the value of M. The salinity is
calculated from the conductivity ratio if M=0, and vice
versa if M=1.
input:
CND [real] P
T
M
M=0: conductivity ratio (no units)
M=1: salinity (PSU)
[real] - pressure (decibars)
[real] - suhue (deg C)
[integer] - flag to signify
M=0: that CND is conductivity ratio
M=1: that CND is salinity
output:
SAL78 [real] - M=0: salinity (PSU)
M=1: conductivity ratio (no units)
required routines:
SAL
13. sgo FUNCTION SGO(S)
calculates density of sea water at zero suhue and pressure.
uses sigma units for density. Uses Knudsen formulas.
input:
S [real] - salinity (PSU)
output:
SGO [real] - density (sigma units)
14. sgt FUNCTION SGT(T,S,SG)
calculates the density of seawater at zero pressure.
79
uses sigma units for density. Uses Knudsen formulas.
Lampiran 6. Lanjutan
input:
T
S
[real] - suhue (deg C)
[real] - salinity (PSU)
output:
SG [real] - density at zero suhue (sigma units)
SGT [real] - density at zero pressure (sigma units)
required routines:
SGO
15. svan REAL FUNCTION SVAN(S,T,P0,SIGMA)
calculate specific volume anomaly (steric anomaly) based
on 1980
equation of state for seawater and 1978 Practical Salinity
Scale.
References:
Millero, et al (1980) Deep-Sea Res.,27A,255-264
Millero and Poisson 1981, Deep-Sea Res.,28A,625-629
input:
S
[real] - salinity (PSU)
T
[real] - suhue (deg C)
P0 [real] - pressure (decibars)
output:
SIGMA [real] - density anomaly (kg per cubic meter)
SVAN [real] - specific volume anomaly (1.e-8 * cubic
meters per kg)
16. theta
REAL FUNCTION THETA(S,T0,P0,PR)
compute local potential suhue at PR using Bryden 1973
polynomial for adiabatic lapse rate and Runge-Kutta 4-th
order
integration algorithm.
Ref.: Bryden,H.,1973, Deep-Sea Res., 20, 401-408
Fofonoff,N.,1977, Deep-Sea Res., 24, 489-491
input:
S
[real] - salinity (PSU)
T0
[real] - in-situ suhue (deg C)
P0
[real] - in-situ pressure (decibars)
PR
[real] - reference pressure (decibars)
output:
THETA [real] - potential suhue (deg C)
required routines:
ATG
17. v350p REAL FUNCTION V350P(P1)
calculate the specific volume of water at salinity 35
and suhue 0 deg C at the given pressure.
input:
P1
[real] - in-situ pressure (decibars)
output:
80
V350P [real] - specific volume (cubic meters per kg)
Lampiran 6. Lanjutan
18. vke FUNCTION VKE(P,T,S)
calculate the specific volume using the formulas of
Knudsen and Ekman.
input:
S
[real] - salinity (PSU)
T
[real] - temperature (deg C)
P
[real] - pressure (decibars)
output:
VKE [real] - specific volume (cubic meters per kg ?)
required routines:
SGT
81
Lampiran 7. Contoh hasil perhitungan manual volume spesifik (d) dan kedalaman
dinamik (? D) dengan menggunakan tabel yang dirumuskan oleh
Sverdrup dan Bjerknes in Neumann dan Pierson (1966) pada stasiun
4, 5 dan 6 dengan kedalaman acuan 300 m.
Stasiun 4
Depth
(m)
2
t° C
28.66
S‰
34.01
st
21.43
?s,t(105 )
638
ds,p
0
dt,p
0
d
638
25
27.31
34.08
21.93
590
0
1
591
50
26.52
34.14
22.22
562
0
2
564
75
25.10
34.29
22.77
510
0
3
512
100
150
200
250
300
24.24
18.03
13.97
12.54
11.34
34.41
34.60
34.55
34.51
34.50
23.13
24.96
25.85
26.10
26.32
475
0
301
0
216
0
192
0
172
0
4
5
6
7
7
dratarata
?D(10-5 )
614
0.141
578
0.144
S?D
1.072
0.930
0.786
538
0.135
496
0.124
392
0.196
264
0.132
210
0.105
189
0.094
0.651
479
0.528
306
0.331
222
0.199
199
0.094
178
0
Stasiun 5
Depth
(m)
2
t° C
28.67
S‰
33.12
st
20.76
?s,t(10 )
702
ds,p
0
dt,p
0
d
702
25
26.66
34.16
22.19
565
0
1
566
5
50
25.64
34.33
22.64
522
0
2
524
75
24.90
34.34
22.87
500
0
3
503
100
150
200
250
300
22.94
19.78
14.56
12.88
10.71
34.44
34.59
34.57
34.52
34.48
23.53
24.50
25.73
26.05
26.42
437
345
228
197
162
0
0
0
0
-1
4
5
6
7
7
dratarata
?D(105
)
634
0.146
545
0.136
0.929
0.792
514
0.128
472
0.118
395
0.198
292
0.146
219
0.109
186
0.093
0.664
441
0.546
350
0.348
233
0.203
204
168
S?D
1.074
0.093
0
82
Lampiran 7. Lanjutan
Stasiun 6
Depth
(m)
2
t° C
28.24
S‰
33.51
st
21.20
?s,t(105 )
660
ds,p
0
dt,p
0
d
660
25
25.80
34.20
22.49
536
0
1
537
50
24.90
34.24
22.80
507
0
2
509
75
22.21
34.40
23.70
421
0
3
424
100
150
200
250
300
19.18
16.33
11.90
11.18
9.87
34.57
34.59
34.51
34.50
34.49
24.65
25.35
26.23
26.35
26.58
330
264
180
169
147
0
0
0
0
-1
3
5
5
6
7
dratarata
?D(10-5 )
599
0.138
523
0.131
0.777
0.647
466
0.117
379
0.095
301
0.150
227
0.113
180
0.090
164
0.082
0.530
334
0.435
268
0.285
185
0.172
174
153
S?D
0.915
0.082
0
83
Lampiran 8. Persamaan untuk menghitung nilai sigma-t (Neumann dan Pierson
1966)
Nilai sigma-t (s t ) diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu nilai
sigma-0 (s 0 ) dengan persamaan berikut :
3
σ ο = ∑ Bj S j
j= 0
keterangan :
B0
B1
B2
B3
S
=
=
=
=
=
-0,09344586324
0,814876576925
-4,824961403E-4
6,767861356E-6
salinitas (psu)
Nilai s 0 dari persamaan di atas akan digunakan untuk perhitungan s t
dengan persamaan sebagai berikut :
4
σt =
Keterangan :
:
T
A0
A1
A2
A3
A4
A10
i,j
=
=
=
=
=
=
=
=
∑a t
j= 0
i
1 + Ao
i
3
+∑
j= 0
2
∑ A (σ
i =1
ij
0
)i t j
suhu (0 C)
A11 = -4,786E-3
67,26
A12 = 9,8185E-5
4,53168426
A13 = -1,0843E-6
-0,545939111
A20 = 0
-1,9824839871E-3
A21 = 1,8030E-5
-1,43803061E-7
A22 = -8,164E-7
1.0
A23 = 1.667E-8
indeks dari suatu peubah a, A, B dan T
84
Lampiran 9. Persamaan untuk menghitung anomali kedalaman dinamik (Neumann
dan Pierson 1966)
Nilai anomali kedalaman dinamik (? D) dari permukaan laut relatif
terhadap tekanan pada kedalaman i (pi ) dicari dengan persamaan berikut
(Neumann dan Pierson 1966) :
pi
∆D = ∫ δ .dp
p0
Keterangan : p0 = tekanan pada kedalaman nol
pi = tekanan pada kedalaman i
i = 0,1,2,………………n
Dengan asumsi nilai densitas antara lapisan p0 dan pi homogen, maka
persamaan di atas dapat diselesaikan sebagai berikut :
n
∆D i = ∑ 12 (δ i + δ i −1 )( p i − pi −1 )
1
Keterangan : ? D0
di
di-1
pi
pi-1
= 0
= anomali volume spesifik pada kedalaman i.
= anomali volume spesifik pada kedalaman i-1
= tekanan pada kedalaman i
= tekanan pada kedalaman i-1
85
Lampiran 10. Persamaan untuk menghitung kecepatan arus geostropik (Pond dan
Pickard 1983)
Menurut Pond dan Pickard 1983, untuk memperoleh gambaran arus
geostropik yang terjadi di laut maka perlu dilakukan suatu pendekatan yaitu
pemisahan laut secara menegak menjadi dua lapisan berdasarkan densitas dan
bentuk piknoklinnya. Model laut dengan lapisan yang lebih ringan terletak di atas
dan lapisan yang berat berada di bawahnya ditunjukkan seperti pada gambar 25.
B
p0
V0
A
z1
z2
p1
B1
i1
V1
A1
z4
z3
C1
B2
V2
i2
C2
A2
?
1
p2
?
2
L
Gambar model laut dengan dua lapisan untuk menurunkan persamaan geostropik
(Sumber: Pond dan Pickard 1983)
Keterangan gambar :
A dan B
Garis A-B
Garis F 1 -F 2
i1 dan i2
p1 dan p2
L
= stasiun hidrologi
= garis yang membentuk lereng terhadap permukaan acuan
= permukaan acuan
= sudut yang dibentuk antara permukaan acuan dan
permukaan isobar
= garis isobar
= jarak antar stasiun
86
Lampiran 10. Lanjutan
Stasiun A dan B pada Gambar 25 diasumsikan memiliki nilai densitas (? )
dan nilai volume spesifik (a) yang telah diketahui sebelumnya di sepanjang garis
AA1 A2 dan BB1 B2 . Kedua permukaan acuan melalui A1 dan A2 pada stasiun A
serta melalui B1 dan B2 pada stasiun B. Tekanan di sepanjag garis p1 dan p2
adalah konstan.
Jika kecepatan gerak massa air pada p1 sebesar V1 (arah gerak massa air ke
luar kertas dibelahan bumi selatan) dan kecepatan pada garis isobar p2 sebesar V2 ,
maka persamaan geostropik untuk kedua kecepatan tersebut adalah sebagai
berikut :
2O sin ? V1 = g tan i1
..................................................(1)
2O sin ? V2 = g tan i2
..................................................(2)
Pengurangan persamaan (1) dan (2) menghasilkan :
2O sin ? (V1 - V2 ) = g (tan i1 – tan i2 )
.........................(3)
B C
BC 
2Ω sin θ (V1 − V2 ) = g  1 1 − 2 2 
 A1C1 A2 C2 
2Ω sin θ (V1 − V2 ) =
g
(B 1B2 − C1C 2 )
L
.........................(4)
karena :
A1 C1 = A2 C2 = L dan B1 C1 – B2 C2 = B1 B2 - C1 C2
sehingga
2 Ω sin θ (V1 − V2 ) =
karena :
C1 C2 = A1 A2
g
( B1 B2 − A1 A2 )
L
g
(( z 1 z 2 ) − ( z 2 z 4 ) )
L
2 Ω sin Φ (V1 − V2 ) =
dari persamaan hidrostatik, g = -a dp
maka,
B2
p2
B1
p1
........................(5)
....................(6)
..................................................(7)
∫ gdz = g ( z 3 − z1 ) = − ∫ α B dp …………………………….(8)
p2
 p2

= −  ∫ α 35, 0, p dp + ∫ δ B dp …………………………..(9)
 p1

p1
87
Lampiran 10. Lanjutan
semua nilai Z bernilai negatif dan g(Z3 -Z1 ) juga bernilai negatif,
g (Z3 -Z1 ) = g (Z4 -Z2 )
sehingga :
p2
p 2

g (z4 -z2 ) = −  ∫α 35,0 , pdp + ∫δ A dp ……………………….(10)
 p1

p1
Komponen disebelah kanan harus dikalikan (-1) untuk mendapatkan nilai
positif seperti persamaan (6). Selanjutnya persamaan (9) dikurangi oleh
persamaan (10) dan diperoleh :
p
p2

g
1 2
= [(z 1 − z 3 ) − ( z 2 − z 4 ) ] =  ∫ δ B dp − ∫ δ A dp 
L
L  p1

p1
kemudian dari persamaan (6) diperoleh :
(V1 − V2 ) =
1
L2Ω sin θ
p2
 p2

 ∫ δ B dp − ∫ δ Adp 
 p1

p1
=
1
[∆Φ B − ∆Φ A ]
L 2Ω sin θ
=
1
[∆DB − ∆D A ] ……………….…..(11)
L 2Ω sin θ
Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
(v1 − v2 ) =
10
[∆DB − ∆DA ]
L2Ω sin θ
p2
Diketahui
∆D = ∫ δdp
p1
Keterangan :
?D
L
dA
dB
dp
O
?
(V1 -V2 )
= anomali kedalaman dinamik
= jarak antar stasiun A dan B (m)
= anomali volume spesifik di stasiun A (m3 Kg-1 )
= anomali volume spesifik di stasiun B (m3 Kg-1 )
= perbedaan tekanan akibat perbedaan kedalaman (-Z x 10-4 Pa)
= kecepatan sudut putar rotasi bumi (7,29 x 10-5 rad/det)
= rata-rata lintang dari stasiun A dan B
= selisih antara kecepatan arus pada tekanan p1 dan arus pada p2,
88
kemudian diambil nilai rata-ratanya antara stasiun A dan B
(m/det)
Lampiran 11. Persamaan untuk menghitung volume transpor (Unesco, 1991 in
Rahmawati, 2004)
Secara manual volume transpor dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
B Z0
Z0
A Zn
Zn
T y = ∫ ∫ (V1 − V2 )dz = L ∫ (V1 − V2 )dz
Volume transpor tersebut relatif terhadap reference level (pr).
Penggabungan dengan persamaan (11) menghasilkan :
A
10 −4 0
10 Ty =
[ ∆DB − ∆DA ]dz |
∫
B
f Zn
Z
6
Z
=
10 6 Ty =
P
A
10 0 − 5 n
10 ∫ δ .dp.dz |
∫
B
f Zn
P0
10 − 4
f

 pn
 

d ∫ δ .dp  
 p
z
 
 Z nδ .dp B − 0Z  p 0
|A ∫ 
dz 
 p∫
dz
zn

 
 0

 


 
B
A
B
10 −4 n
( Z 0 − Z )δ .dp |
∫
A
f p0
p
=
Keterangan :
A dan b
zn dan z0
= batas (limit) horisontal
= batas vertikal dari integrasi dimana z0 adalah bagian atas
p0
Ty
= transpor volume tidak dipengaruhi oleh jarak antar
stasiun (L)
Unit satuan volume transpor adalah Sverdrups (1Sv=106 m3 /s)
89
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manokwari, 6 Agustus 1984
dari Ayahanda Paryanto, SH dan Ibunda Warsini. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 1999 – 2002 Penulis menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1
Ponorogo, Jawa Timur. Pada tahun yang sama (2002) penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di
Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan. penulis pernah magang di Dinas Kelautan
dan Perikanan Pacitan. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata
kuliah Biologi Laut pada tahun ajaran 2004/2005 dan Ikhtiologi pada tahun ajaran
2004/2005. Selain itu penulis menjadi anggota Unit Kerja Mahasiswa (UKM)
bola voli IPB (2002-2006) dan Staf Pengembangan Sumber Daya Manusia
(PSDM) di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA)
periode 2004-2005. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan
menulis skripsi yang berjudul ” Studi Karakteristik dan Aliran Massa Air
Pada Musim Barat dan Musim Timur di Perairan Selat Lombok ”.
90
Download