Perlindungan Anak

advertisement
RingkasanKajian
OKTOBER 2012
UNICEF INDONESIA
Perlindungan Anak
Pendekatan berbasis sistem
S
istem perlindungan anak yang efektif melindungi
anak dari segala bentuk kekerasan, perlakuan
salah, eksploitasi dan penelantaran. Dalam
tingkatan yang mendasar, penyebab berbagai persoalan
seperti kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi
dan penelantaran anak saling berkaitan. Untuk
mengetahui akar masalah-masalah tersebut dan untuk
mengidentifikasi berbagai tindakan yang harus dilakukan
untuk melindungi anak diperlukan pendekatan berbasis
sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan
berfokus hanya pada kelompok anak tertentu.
Sistem perlindungan anak yang efektif
mensyarakatkan adanya komponen-komponen yang
saling terkait. Komponen-komponen ini meliputi
sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan
keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar
internasional, dan mekanisme untuk mendorong
perilaku yang tepat dalam masyarakat. Selain itu,
juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan
yang mendukung serta sistem data dan informasi
untuk perlindungan anak. Di tingkat masyarakat,
berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam
rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan anak yang
mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak dan
meningkatkan kapasitas keluarga untuk memenuhi
tanggung jawab mereka.
Rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat
masyarakat dimulai dari layanan pencegahan primer
dan sekunder sampai layanan penanganan tersier.
Layanan pencegahan primer bertujuan untuk memperkuat
kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam
pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka.
Layanan ini meliputi kegiatan-kegiatan yang mengubah
sikap dan perilaku, memperkuat keterampilan orangtua,
dan menyadarkan masyarakat tentang dampak yang
unite for children
tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak. Layanan
pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini
difokuskan pada keluarga dan anak-anak yang beresiko,
dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum perilaku
kekerasan menimbulkan dampak buruk secara nyata
terhadap anak-anak, misalnya melalui konseling dan
mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Intervensi
tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam
keadaan krisis sebagai akibat kekerasan, perlakuan salah,
eksploitasi, penelantaran, atau tindakan-tindakan buruk
lainnya. Oleh karena itu, intervensi ini bertujuan untuk
membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika
dianggap layak, melakukan pengawasan terstruktur dan
memberikanlayanan dukungan. Mekanisme pencegahan
dianggap lebih dibandingkan tepat dibandingkan
intervensi tersier atau reaktif.
Sistem perlindungan anak
di Indonesia
K
erangka hukum dan kebijakan di Indonesia
perlu diperkuat untuk mencegah dan menangani
kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan
penelantaran anak. Kerangka hukum dan kebijakan yang
ada saat ini kondusif untuk mempromosikan hak anak,
tetapi masih terdapat beberapa kesenjangan. Kerangka
hukum tersebut harus menunjuk lembaga pemerintah
dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang
jelas terhadap penanganan dan penyediaan layanan
perlindungan anak. Indonesia juga menghadapi tantangan
untuk memastikan keselarasan peraturan daerah
(Perda) dan kebijakan perlindungan anak di hampir 500
kabupaten, masing-masing dengan kewenangan untuk
menetapkan peraturannya sendiri. Oleh karena itu,
langkah terakhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat
untuk mengembangkan pedoman Perda yang mengacu
pada pendekatan berbasis sistem terhadap perlindungan
anak merupakan sebuah langkah positif.
ringkasan Kajian
Undang-undang No. 11 / 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, yang baruditandatangani pada bulan
Juli 2012, merupakan langkah maju yang penting.
Undang-undang baru tersebut akan mulai berlaku dalam
waktu dua tahun. Undang-undang ini menggunakan
prinsip-prinsip keadilan restoratif untuk menangani
kasus-kasus yang melibatkan remaja, termasuk
rehabilitasi, dan memperkenalkan mekanisme untuk
lebih mengefektifkan diversi, yaitu penyelesaian di
luar pengadilan. Akan tetapi, ada bagian-bagian dari
undang-undang tersebut yang masih tidak sesuai
dengan standar internasional. Misalnya, kepentingan
terbaik anak tidak selalu menjadi pertimbangan utama
dalam prosedur dan usia minimal pertanggungjawaban
pidana adalah 12 tahun. Dalam banyak hal, pelaksanaan
diversi tergantung pada persetujuan dari korban.
Pengiriman anak ke institusi menjadi salah satu pilihan
dalam diversi, di antara opsi-opsi lain, yang dapat
menyebabkan penahanan administratif atau de facto
tanpa jaminan hukum sepenuhnya.
Di tingkat kabupaten, peraturan dan kebijakan
tentang perlindungan anak cenderung berfokus pada
permasalahan, terbatas pada rehabilitasi korban dan
seringkali mengabaikan aspek-aspek pencegahan.
Tidak adanya penetapan kewenangan yang jelas bagi
pelayanan perlindungan anak di tingkat provinsi dan
kabupaten menyebabkan aksi-aksi terfragmentasi
dan kurang terkoordinasi. Pemerintah daerah tidak
mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
perlindungan anak, dan kapasitas untuk implementasi
secara umum lemah.
Layanan kesejahteraan sosial dan keluarga di banyak
provinsi telah mengembangkan penanganan tersier
dengan baik bagi anak-anak dalam krisis, tetapi tetap
belum memadai dalam hal pencegahan. Unit-unit polisi
khusus (PPA) dan pusat pelayanan terpadu berbasis
rumah sakit (PPT dan PKT)i memberikan pelayanan
medis, dukungan psikososial, bantuan hukum dan
prosedur investigasi yang sensitif anak bagi anak-anak
yang menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan
dan perdagangan anak yang serius. Akan tetapi, unit-unit
pelayanan ini biasanya hanya menangani kasus-kasus
yang paling berat. Unit-unit tersebut tidak memiliki
mandat atau kapasitas untuk menilai pengasuhan dalam
keluarga, atau untuk memastikan bahwa anak-anak
mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang tepat
setelah mereka meninggalkan pusat pelayanan tersebut.
Respon tersier juga difokuskan pada pengembangan
rumah perlindungan sosial anak (RPSA)ii, dimana korban
anak-anak dapat berlindung.
2
OKTOBER 2012
Tanpa mekanisme identifikasi dini, sistem dan pelayanan
cenderung hanya merespon ketika anak sudah berada
dalam krisis. Jaringan pekerja sosial dan paraprofesional
yang ada tidak dilengkapi dengan keterampilan untuk
melibatkan masyarakat dan keluarga dan memberikan
layanan primer dan sekunder yang melindungi anak-anak.
Pekerja sosial tidak memiliki kewenangan untuk ikut
campur tangan atas nama negara.
Program bantuan sosial inovatif memberikan bantuan kepada kelompok anak-anak yang paling
rentan. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa
perampasan ekonomi dapat meningkatkan kerentanan
anak dan bahwa anak dalam kemiskinan ekstrim
menghadapi resiko yang lebih tinggi terhadap
penelantaran, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)iii
memberikan bantuan tunai secara langsung kepada
lima kelompok anak yang didefinisikan sebagai
“anak terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak cacat dan anak yang memerlukan
perlindungan khusus.” Pekerja sosial pemerintah atau
berbasis LSM memantau pencairan dan penggunaan
bantuan tunai tersebut. Bantuan tunai ini membantu
anak memenuhi beberapa kebutuhan dasar, seperti
pangan, pelayanan pendidikan dan kesehatan, dan
mendorong pergeseran dari pelayanan berbasis
institusi ke berbasis keluarga.
Kerentanan
P
ada tahun 2010, 55 persen anak balita di Indonesia
telah memiliki akta kelahiran, peningkatan sebesar
15 persen sejak tahun 2001. Anak-anak yang tidak
tercatat dan tidak memiliki akta kelahiran menghadapi
resiko yang lebih besar untuk diperdagangkan dan
dieksploitasi secara seksual, dipaksa menikah sebagai
anak dan dieksploitasi sebagai pekerja anak. Perhitungan
dengan menggunakan data sensus menunjukkan
bahwa lebih dari 10 juta anak tidak terdaftar di seluruh
Indonesia. Perbedaan angka antar provinsi sangat besar
(Gambar 1). Biaya merupakan alasan yang paling umum
disampaikan terhadap kegagalan untuk mendaftarkan
kelahiran terlepas dari tempat tinggal dan status
ekonomi. Mengakui pentingnya masalah ini, Pemerintah
telah membebaskan pencatatan kelahiran dari biaya
apapun. Akan tetapi, pembebasan biaya ini tidak
sepenuhnya memecahkan persoalan di atas, karena
biaya transportasi dan biaya tidak langsung (seperti
waktu libur kerja) masih menjadi masalah, dan beberapa
kabupaten terus memungut biaya. Alasan kedua
yang paling banyak dikemukakan untuk tidak
PA) dan
ungan
it (PPT
gasi
kungan
bentuktigasi
gbentukini
ng
n paling
ini
tgatau
paling
, atau
at
atau
atkan
a, atau
patkan
h
ah
ut.
but.
bangan
mbangan
ana
mana
dan
dan
ka
tika
ekerja
pekerja
ngkapi
engkapi
rakat
arakat
er dan
mer
dan
asosial
sosial
rtangan
tangan
an
kan
gpaling
paling
wa
wa
miskinan
skinan
erhadap
rhadap
Anak
nak
angsung
ngsung
n
nang
ng
anak
nak
erja
erja
tau
au
sebut.
ebut.
mbagaan
bagaan
esar 15
sar 15
: Pusat
Pusat
Indonesia. Angka tersebutsangat berbeda-beda di
yang
paling umum
antara provinsi (Gambar 1). Biaya merupakan alasan
disampaikanterhadapkegagalanuntuk mendaftarkan
yang paling umum
kelahiran
terlepas dari tempat tinggalmendaftarkan
dan status
disampaikanterhadapkegagalanuntuk
ekonomi.
Mengakui
pentingnya
masalah
ini,
kelahiran terlepas dari tempat tinggal dan status
OKTOBER
2012
Pemerintah
telah membebaskan
pencatatan
ekonomi. Mengakui
pentingnya masalah
ini,
kelahiran
dari
biaya
apapun. Akan
tetapi,
Pemerintah
telah
membebaskan
pencatatan
pembebasan
ini tidak Akan
sepenuhnya
kelahiran dari biaya
biaya apapun.
tetapi,
ringkasan Kajian
pembebasan biaya ini tidak sepenuhnya
north sumatra
East nusa
north Tenggara
sumatra
West
Tenggara
East nusa Tenggara
Papua
West nusa Tenggara
sumatera Utara
Papua
Maluku
Utara
nusa sumatera
Tenggar Timur
Maluku
southeast
sulawesi
nusa Tenggar
Timur
nusa
Tenggar
Barat
southeast
sulawesi
north
Maluku
nusa Tenggar
Barat
Papua
northsulawesi
Maluku
Central
Papua
Central
sulawesi
West Maluku
sulawesi
Maluku
West
sulawesi
sulawesi
Tenggara
gorontalo
sulawesi Tenggara
gorontalo
Maluku
Utara
West sumatra
Maluku
Utara
West sumatra
sulawesi Tengah
aceh
sulawesi Tengah
aceh
sulawesi
Barat
south sulawesi
sulawesi
Barat
south sulawesi
gorontalo
riau
gorontalo
riau
north
sulawesi
sumatera
Barat
north sulawesi
sumatera
Barat
Westaceh
Papua
aceh
West
Papua
Central
kalimantan
sulawesi
selatan
Central
kalimantan
sulawesi
selatan
West
kalimantan
West kalimantan
riau
riau
Bali
Bali
sulawesi
Utara
sulawesi Utara
south
sumatra
Papua
Barat
Papuasumatra
Barat
Lampung
Lampung
kalimantan Tengah
kalimantan
Tengah
inDOnEsia
inDOnEsia
Bali
Bali
Banten
Banten
sumatera selatan
sumatera
selatan
West
West java
java
Lampung
Lampung
south kalimantan
south
kalimantan
inDOnEsia
inDOnEsia
Bengkulu
Bengkulu
Banten
Banten
East
java
East
java
jawa
Barat
jawa Barat
jambi
jambi
kalimantan selatan
East kalimantan
kalimantan
selatan
East Bengkulu
kalimantan
Central
java
Bengkulu
Central
java
jawa
Timur
Bangka
jawaBelitung
Timur
Bangka Belitung
jambi
Dki jakarta
jambi
DkiTimur
jakarta
kalimantan
riau
islands
kalimantan
Timur
jawa
Tengah
islands
Diriau
Yogyakarta
jawa
Tengah
Bangka
Belitung
Di Yogyakarta
Bangka Belitung 0%
Dki jakarta
Dki jakarta
kepulauan
riau
0%
Figure 1. Percentage of
Gambar
1. 5
children
under age
Figure
1. Percentage
of
Prosentase
who have
been
children
under
age 5anak
registered,
by province.
who
have been
balita
yang
telah
registered,
gambarby
1.province.
Prosentase
terdaftar,
menurut
anak balita
yang
telah
gambar
1. Prosentase
menurut
anakterdaftar,
balita
yang
telah
provinsi
provinsi
terdaftar,
menurut
provinsi
Anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan
perlindungan dari kekerasan dan pelanggaran. Studi
2006 yang dilakukan oleh Universitas Indonesia
menunjukkan bahwa 96 persen kasus anak yang diajukan
ke pengadilan mengakibatkan hukuman penahanan, 60
persen hukuman ini di atas satu tahun, dan ada sedikit
atau tidak ada bantuan hukum. Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan memperkirakan bahwa kurang lebih
5.000 anak dipenjarakan, baik dalam waktu menunggu
pengadilan atau sedang menjalani hukuman mereka.
Banyak anak dipenjara karena kejahatan kecil dan
pelanggaran-pelanggaran ringan, seperti pencurian,
pergelandangan, pembolosan, atau penyalahgunaan obat.
55%
55%
20%
20%
40%
40%
60%
60%
80%
80%
survei empat provinsi 2009, sebagian besar responden
remaja di Aceh, Papua, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara
Timur melaporkan pengalaman kekerasan, termasuk
kekerasan seksual (Gambar 2). Kekerasan terjadi di
rumah atau dalam lingkungan keluarga. Kekerasan
ini dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya
bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak.
Kekerasan juga dilakukan oleh guru baik di sekolah
negeri maupun pesantren. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menekankan
masalah kebutuhan data, dan analisa tentang, kekerasan
terhadap anak, resiko dan faktor-faktor penyebab.
100%
100%
mendaftarkan kelahiran anak adalah kurangnya
informasi: tidak tahu mengapa dan dimana mereka harus
mendaftarkan kelahiran.
Indonesia memiliki sekitar empat juta anak yang
terlibat sebagai pekerja anak, termasuk dua juta yang
bekerja dalam kondisi berbahaya (Gambar 3). Anakanak yang bekerja berjumlah kira-kira tujuh persen dari
kelompok usia 5-17 tahun pada tahun 2009. Sebagian
besar bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar
di perkebunan dan pertanian. Mereka yang terpapar oleh
kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk terburuk pekerja
anak meliputi anak-anak yang bekerja di pertambangan,
bangunan, penggalian dan anak-anak yang dipekerjakan
di tempat-tempat seks komersial. Hampir dua pertiga anak
yang tidak bersekolah terlibat dalam beberapa kegiatan
produktif. Seperempat anak yang tidak bersekolah dalam
kelompok usia 10-14 tahun memiliki kurang dari empat
tahun pendidikan, yang berarti bahwa mereka akan
tumbuh menjadi orang dewasa yang buta huruf secara
fungsional. Angka-angka ini menunjukkan pentingnya
percepatan upaya-upaya dalam kesempatan pendidikan
yang kedua dan dalam memberikan pelayanan-pelayanan
lain yang meningkatkan pilihan hidup anak. Perbandingan
survei tahun 2009 dan 2004 menunjukkan bahwa pekerja
anak belum mengalami penurunan.
Kekerasan terhadap anak di rumah, di jalan dan di
sekolah perlu mendapatkan perhatian segera. Menurut
Prevalensi pekerja anak di daerah perdesaan kira-kira
tiga kali prevalensi di daerah perkotaan. Di antara
kepulauan
riau
Di Yogyakarta
Di Yogyakarta
Figure 2. Percentage of children 10-18 years old reporting having
experienced violence at home or in the community. Source: University of
Figure 2. Percentage of children 10-18 years old reporting having
(2010) Situation
analysis
of adolescents
in Indonesia
GambarIndonesia
2. Prosentase
anak
usia
10-18 tahun
yang
experienced violence at home or in the community. Source: University of
Indonesia
(2010)mengalami
Situation analysis
of adolescents
Indonesia
melaporkan
telah
kekerasan
di inrumah
gambar 1. Prosentase anak usia 10-18 tahun yang melaporkan telah
atau
dalam
masyarakat.
mengalami kekerasan di rumah atau dalam masyarakat. Sumber:
Papua
Sumber:
Universitas
Indonesia
(2010),
Analisis
Situasi
Remaja
diIndonesia
Indonesiatelah
gambar
1. Prosentase
anak
usia
10-18
tahunRemaja
yang melaporkan
Universitas
Indonesia
(2010),
Analisis
Situasi
di
mengalami
kekerasan di rumah atau dalam masyarakat. Sumber:
Papua
Universitas Indonesia (2010), Analisis Situasi Remaja di Indonesia
East nusa Tenggara
East nusa Tenggara
nTT
Central java
nTT
Central java
jawa Tengah
aceh
jawa Tengah
aceh
0%
sexual abuse 0%
sexual abuse
20%
40%
60%
80%
Various
forms of violence
20% (other)40%
60%
80%
Various (other) forms of violence
100%
2
D 100% 2
D
3
ringkasan
Kajian
keluarga
mereka selama
beberapa tahun. Lembaga
pengasuhan anak memperoleh manfaat dari program
keluarga mereka selama beberapa tahun. Lembaga
pengasuhan anak memperoleh manfaat dari program
Figure 3. numbers and percentage of children in each age group of the total
Gambar
3. Jumlah
prosentaseanak
setiap
population engaged
in childdan
labour.
Source: UCW (2012) baseduntuk
on Indonesia
Child
Labour Survey, 2009. Since each age group has different population denominators, bars are
kelompok
usia
dari
jumlah
penduduk
yang
terlibat.
not proportional to percentages
Figure
3. numbers
and percentage
ofrural
children
each age
group of themale
total
Sumber:
UCW berdasarkan
suvei pekerja
anak diin
Indonesia
2009.
urban
female
population
engaged
in child
labour.
Source: UCW
(2012)yang
based
on Indonesia Child
Karena setiap
kelompok
memiliki
denominasi
penduduk
berbeda.
Labour
Survey,
2009. Since
age group
different
denominators,
gambar
3. jumlah
dan each
prosentase
anakhas
untuk
setiappopulation
kelompok usia
dari jumlahbars are
not proportional to percentages
8.2%
penduduk yang terlibat dalam pekerja anak . Sumber: UCW berdasarkan Survei Pekerja Anak di
rural
urban
female
male
4.5%
TOTaL:2009.
age
5-17
years
Indonesia,
Karena
setiap
kelompok usia memiliki denominasi penduduk yang berbeda, maka bar tidak
D
D
Total 6.9%
proporsional dengan prosentase
6%
in child labour
gambar 3. jumlah dan prosentase anak untuk setiap kelompok usia dari jumlah
7.7% 8.2%
penduduk yang terlibat dalam pekerja anak . Sumber: UCW berdasarkan Survei Pekerja Anak di
4.5%
TOTaL:2009.
age
5-17
years
Indonesia,
Karena
setiap
kelompok usia memiliki denominasi penduduk yang berbeda, maka bar tidak
proporsional dengan prosentase
in child labour
age 15-17 years in
hazardous employment
age 15-17 years in
hazardous employment
age 13-14 years in
regular (non-light)
employment
Total 6.9%
6%
16.3%
9.7%
10.5%
7.7%
Total 13.4%
16.1%
16.3%
9.7%
10.2%
10.5%
OKTOBER
2012
kesejahteraan dan perlindungan
anak
tidak dapat
diberikan secara sangat efektif:
kesejahteraan
perlindungan
anak tidak
 Legislasi dan
kabupaten
pada umumnya
tidakdapat
sesuai
diberikan
secara
sangat
efektif:
dengan hukum nasional.
  Legislasi
kabupaten
pada agar
umumnya
tidak
sesuai
Koordinasi
pada
umumnya
kurang
memadai.
kemiskinan
dan keinginan
orangtua
anak mereka
dengan
hukum
nasional.
Misalnya,
sektor
peradilan
jarang
berhubungan
memperoleh pendidikan. Ini berarti bahwa anak-anak
 Koordinasi
pada umumnya
kurang memadai.
dengan mereka
yang bertanggung
jawab
cenderung untuk tetap berada di lembaga pengasuhan
Misalnya,
sektor
peradilan
jarang
berhubungan
terhadappelayanan kesejahteraan sosial.
anak panti selama siklus pendidikan. Beberapa lembaga
yang bertanggung
jawabtidak jelas,
 dengan
Tugasmereka
dan tanggung
jawab seringkali
ini dimiliki oleh organisasi keagamaan, dan sebagian
terhadappelayanan
kesejahteraan
sosial.
karena tidak adanya
kewenangan
yang jelas bagi
besar adalah milik swasta. Perkiraan tentang jumlah
 Tugas
dan tanggung
jawab seringkali
tidak jelas,
pengelolaan
dan pemberian
pelayanan
lembagakarena
pengasuhan
anak
di
Indonesia
berbeda-beda
tidak adanya
yang dan
jelas bagi
perlindungan
anakkewenangan
di tingkat provinsi
dari 5.250
hingga 8.610.dan pemberian pelayanan
pengelolaan
kabupaten.
di tingkat
provinsi
dan
 perlindungan
Kurangnya anak
jumlah,
kapasitas
dan mandat
pekerja
Standarkabupaten.
pelayanan
di lembaga pengasuhan
masih untuk
sosial menghambat
pemberiananak
pelayanan
3.7%
16.1%
kurang
memadai,
meskipun
Menteri
Sosial
Total 7.6%
6.6%
 Kurangnya
jumlah,
kapasitas
dan
mandat
pekerja
melindungi
anak.Keputusan
Dengan kata
lain,
pelayanan
10.2%
8.6%
pada
2011
telah
menetapkan
standar
pelayanan
di
sosial
menghambat
pemberian
pelayanan
untukdari
asuhan
tersier
saat
ini
belum
menjadi
bagian
age 13-14 years in
3.7%
regular (non-light)
lembagamelindungi
pengasuhan
anak.Dengan
Kebanyakan
lembaga
4.9%
Total 7.6%
6.6%
anak.
kata
lain,
pelayanan
rangkaiankesatuan
pelayanan
yang
menjangkau
employment
1.7%
age 5-12 years in
8.6%
pengasuhan
anaktersier
tidak mematuhi
norma-norma
asuhan
saatlingkungan
ini belum
menjadi
bagian dari
masyarakat
dan
keluarga.
4%
Total 3.9%
employment
4.9%
yang ditetapkan
oleh
pemerintah
pusat.
Anak-anak
3.8%
pelayanan
yang menjangkau
 rangkaiankesatuan
Penentuan sasaran
masih menjadi
masalah bagi
1.7%
age 5-12 years in
rentan
terhadap
kekerasan
dan
seringkali
diremehkan
masyarakat
dan
lingkungan
keluarga.
program
PKSA.
Program
tersebut
juga
perlu
0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
4%
Total
3.9%
employment
3.8%
Penentuan
masihpengasuhan
menjadi masalah
bagi
oleh staff.
Sebagian sasaran
besar pemantauannya.
lembaga
anak
meningkatkan
program
tersebutstaff
juga
perlu
0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
yang disurvei
padaPKSA.
tahun Program
2007 kekurangan
dan
bantuan pemerintah yang diberikan atas dasar per
meningkatkan
pemantauannya.
anak-anak yang lebih tua, prevalensi tersebut lebih banyak
Tidak
adanya model
pengasuhan alternatif
anak, yang menciptakan insentif bagi lembaga untuk anak-anak melakukan pekerjaan sebagai pengganti
merupakanhambatan
utama
untuk
bergeser dari
melibatkan anak laki-laki daripada anak perempuan
staff
tersebut.
Banyak
lembaga
pengasuhan
anak
merekrut
sejumlahyang
besardiberikan
anak. atas dasar per
bantuan
pemerintah
Tidak
adanya
model
pengasuhan
alternatif
pengasuhanlembaga.
Anak-anak
tanpa
(Gambar
3).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keputusan
tidak mendukung pertemuan tetap antara anak dan
anak, yang menciptakan insentif bagi lembaga untuk
merupakanhambatan
utama
untukatau
bergeser
dari
pengasuhan
orang besar
tua
dan
anak-anak
dari keluarga
rumah
tangga
tentang
apakah
melibatkan
anak-anak
keluarganya,
dan sebagian
mencegah
merekrut sejumlah besar anak.
pengasuhanlembaga.
Anak-anak
tanpa
miskin
memerlukan
pilihan-pilihan
selain
mereka dalam pekerjaan atau menyekolahkan mereka
melarang
hubungan
tetap tersebut.
Beberapalain
anak-anak
Hambatan
pengasuhan
orang
tua
dan
anak-anak
dari
keluarga
pelembagaan
untuk
tumbuh
dalam
lingkungan
meliputi usia dan jenis kelamin anak, pendidikan kepala
di lembaga-lembaga ini tidak bertemu dengan keluarga
miskin
memerlukan
pilihan-pilihan
lain
selain
protektif
dan
untuk
melanjutkan
pendidikan
rumah tangga,
rumah
tangga, dan tempat
mereka selama beberapa tahun. Lembaga pengasuhanmereka.
Tradisi,
sikappendapatan
dan praktek
tertentumenimbulkan
Hambatan
pelembagaan
untuk tumbuh
dalam
lingkungan
Opsi pengasuhan
berbasis
keluarga
perlu
tinggal. Kemungkinan
anak yang
bekerja meningkat
anak
memperoleh
manfaat
dari program
bantuan
dampak
buruk terhadap
anak-anak
dan
protektif
dan diberikan
untukdalam
melanjutkan
pendidikan
mereka.
dikembangkan
sistem
alternatif
seiringsikap
denganhak-hak
perkembangan
usia, yang disebabkan
pemerintah
yang
atas
dasar pengasuhan
per
anak, yang
Tradisi,
dan
praktek
tertentumenimbulkan
melanggar
mereka.Misalnya,
banyak
Opsi
pengasuhan
berbasis
keluarga
perlu
yang
didukung
dan
diatur
oleh
pemerintah.
oleh meningkatnya
biaya kesempatan
pendidikan
menciptakan insentif bagi lembaga untuk merekrut
dampak
buruk terhadap
anak-anak
dan danseiring
masyarakatmenganggap
hukuman
fisik
dikembangkan dalam sistem pengasuhan alternatif
dengan
pertumbuhan
anak,
atau
kurangnya
akses
ke
melanggar
banyak
kekerasanhak-hak
terhadapmereka.Misalnya,
anak sebagai norma.
Kampanye sejumlah besar anak.
yang
didukung
dan diatur
oleh
pemerintah.
Program
bantuan
sosial
untuk
pendidikan harus
pendidikanpada
setelah
lulus sekolah
dasar.
Perbandingan
masyarakatmenganggap
hukuman
fisik
dan
advokasi
umumnyabelum
efektif
dalam yang
menjangkau anak-anak termiskin.Bantuan Siswa
dilakukanterhadap
dengan
melihat
pada
faktor-faktor
yang
kekerasan
anak
sebagai
norma.lain
Kampanye
mengubah
perilaku
tersebut.
Kampanye
tersebut
Hambatan
Program
bantuan
sosial
untuk pendidikan
harus
Miskin (BSM)
yang
memberikan
bantuan tunai
advokasi
padapada
umumnyabelum
efektif
dalam
samas, diketahui
bahwa
kemungkinan
anak
laki-laki
untuk
difokuskan
pendistribusian
poster
dan bahanmenjangkau
anak-anak
termiskin.Bantuan
Siswa
kepada siswa
miskin, dan
Bantuan Operasional
mengubah
perilaku
Kampanye
tersebut
bahan
komunikasi
lainnya,
dananak
memiliki
jangkauan
hanya bekerja
lebih tersebut.
besar
daripada
perempuan,
dan
radisi,(BSM)
sikap
dan
praktek
tertentu
menimbulkan
Miskin
yang
memberikan
bantuan tunai
Sekolah
(BOS)
untuk
dana operasional
sekolah,
difokuskan
pada
pendistribusian
poster dan
bahanyang
terbatas.
kemungkinan
anak
laki-laki hanya bersekolah
cenderung
dampak
buruk
terhadap
anak-anak
dan
melanggar
kepada
siswa
miskin,
dan
Bantuan
Operasional
keduanya berbasis sekolah dan belum secara efektif
bahan
lainnya,
dan
memilikiKemungkinan
jangkauan
lebihkomunikasi
kecil dibandingkan
anak
perempuan.
hak-hak(BOS)
mereka.
Misalnya,
banyak
masyarakat
Sekolah
untuk
dana
operasional
sekolah,
menjangkau
anak-anak
termiskin
yang
tidak
yang
terbatas.
Kerangka
hukum
dan kebijakan
nasional
harus
orang
tua yang
lebih berpendidikan
untuk
mempekerjakan
menganggap
hukuman
fisik
dan
kekerasan
anak efektif
keduanya
berbasis sekolah dan terhadap
belum secara
bersekolah.
menangani
kesenjangan
yang
anak mereka secara
penuh waktu
lebihmelemahkan
kecil.Kemungkinan
sebagai
norma. Kampanye
advokasi
pada umumnya
belum
menjangkau
anak-anak
termiskin
yang tidak
Kerangka
hukum
dan
kebijakan
nasional
harus
perlindungan
anak.
Kebijakan
belum
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sepenuhnya
untuk
efektif
dalam
mengubah
perilaku
tersebut.
Kampanye
tersebutuntuk
bersekolah.
Data perlindungan anak harus digunakan
menangani
kesenjangan
yang
melemahkan
sesuai
dengan
standar
internasional.
Kerangka
berpartisipasi
dalam
pekerjaan
lebih
besar daripada
mereka difokuskan
pada
pendistribusian
poster
dan
bahan-bahan
perencanaan dan penyusunan kebijakan secara
perlindungan
anak.
Kebijakan
belum sepenuhnya
hukum
masih
memuat
ketentuan-ketentuan
yang
yang berasal
dari
rumah
tangga
sejahtera.
Kemungkinan
komunikasi
lainnya,
memiliki
yang terbatas.
Data
perlindungan
anakjangkauan
harus
digunakan
lebih
tepat.dan
Data
tentang
fenomena
sepertiuntuk
sesuai
dengan
internasional.
Kerangka
bertentangan,
misalnya,
definisi
anak
danlebih
usiakecil
anak-anak
daristandar
daerah
perkotaan
untuk
bekerja
perencanaan
danperdagangan
penyusunananak
kebijakan
kekerasan dan
kurangsecara
dipahami,
hukum
masih memuat
ketentuan-ketentuan
yang
minimaltanggung
jawab
pidana.lebih besar daripada
dan kemungkinan
untuk
bersekolah
Kerangka
hukum
dan
kebijakan
nasional
harus
lebih
tepat. Data
fenomena
seperti
sedangkan
datatentang
lain, seperti
tentang
pekerja anak
bertentangan,
misalnya, definisi anak dan usia
mereka yang berasal dari daerah perdesaan.
menangani
kesenjangan
yangdikumpulkan
melemahkan
perlindungan
kekerasan
dan perdagangan
anak kurang
dipahami,
dan pernikahan
dini,
melalui
survei
minimaltanggung
jawab
pidana. anak meliputi
Hambatan dalam
peradilan
sedangkan
data
lain,
seperti
tentang
pekerja
anak
anak.
Kebijakan
belum
sepenuhnya
sesuai
dengan
standar
tetap.
kurangnya staff khusus, tidak adanya prosedur
Sembilan puluh persen anak yang ditempatkan di
dan
pernikahan
dini,
dikumpulkan
melalui
survei
internasional. Kerangka hukum masih memuat ketentuanHambatan
dalam
peradilanpenegak
anak meliputi
yang jelas
bagipetugas
hukum dan
lembaga pengasuhan anak biasanya memiliki minimal
tetap. yang bertentangan, misalnya, definisi anak dan
kurangnya
staff
khusus,
tidak
adanya prosedur
kurangnya
sumber
daya,
khususnya
terbatasnya ketentuan
satu orang tua yang hidup. Pada tahun 2007, lebih dari
usia
minimal
tanggung jawabuntuk
pidana. aksi
kesempatan
yang
jelasanggaran
bagipetugas
penegak
hukum
dan masa
alokasi
untuk
petugas
pengawas
56
persen
anak
di
lembaga
pengasuhan
anak
memiliki
kurangnya
sumber daya,officer).
khususnya
terbatasnya
percobaan(probation
Terbatasnya
jumlah
keduaanggaran
orang
tua yang
masih
hidup. Kurang
dari
6 persen
Undang-undang
peradilan
anak
yang baru
Hambatan
dalam peradilan
anak meliputi
kurangnya
kesempatan
untuk
aksi
alokasi
untuk
petugas
pengawas
masa
fasilitas
penahanan
anak
berarti
bahwa
anak-anak
anak
di
lembaga
pengasuhan
anak
telah
kehilangan
memberikan
beberapa
kesempatan.
petugas
khusus,
tidak
adanya
prosedur
yang
jelasUndangbagi
percobaan(probation
officer).
Terbatasnya
jumlah
masih dapat ditempatkan
dalam
tahanan dengan
Undang-undang
peradilan
anak
yang
baru
undang
inihukum
melakukan
pengalihan
wajib,
keduapenahanan
orang dewasa.
tua mereka.
Alasan
untuk
menempatkan
penegak
dan kurangnya
sumber
daya,
fasilitas
anak
anak-anak
narapidana
Diberarti
tingkatbahwa
masyarakat,
dimana petugas
memberikan
beberapa
kesempatan.
Undangmengharuskan
penegakan
hukum
untuk
menunjuk
anak
di
lembaga
pengasuhan
anak
(panti)
adalah
khususnya
terbatasnya
alokasi
anggaran
untuk
petugas
masih
dapat ditempatkan
dalam
tahanan
dengan
praktek-praktek
peradilan
tradisional
dan
informal
Total 13.4%
T
narapidana
dewasa. Ditidak
tingkat
masyarakat,
dimana
masih diberlakukan,
ada
prosedur yang
jelas
praktek-praktek
peradilan
tradisional
dan
informal
mengenai
anak-anak
dan
tidk
adaa
kesepakatan
4
masih
diberlakukan,
tidakmekanisme
ada prosedur
yang jelas
dengan
polisi tentang
tersebut.
mengenai anak-anak dan tidk adaa kesepakatan
dengan
polisi normatif
tentang mekanisme
tersebut. di tingkat
Hambatan
dan kelembagaan
kabupaten menyebabkan pelayanan
undang
ini melakukan
pengalihan
wajib,
staffyang
bersertifikasi,
dan memperkuat
peran
mengharuskan
penegakan
untukdan
menunjuk
masahukum
percobaan
pekerja
petugas pengawas
staffyang
bersertifikasi,
dan
memperkuat
peran
sosial. Untuk mengimplementasikan undang-undang
pengawas
masa percobaan dan
pekerjadan
petugas
baru tersebut,
diperlukankepastian
kapasitas
sosial.
Untuk
mengimplementasikan
sumber
daya
yang memadai untukundang-undang
memperkuat
baru
tersebut,
diperlukankepastian kapasitas dan
peran
dan prosedur.
OKTOBER 2012
pengawas bagi anak yang menjalani masa percobaan.
Terbatasnya jumlah fasilitas tahanan anak berarti bahwa
anak-anak ditempatkan dalam tahanan dengan narapidana
dewasa. Di tingkat masyarakat, dimana praktek-praktek
peradilan tradisional dan informal masih diberlakukan,
tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan
anak dan tidak ada kesepakatan dengan polisi dalam
pelaksanaan mekanisme tersebut.
Hambatan normatif dan kelembagaan di tingkat
kabupaten menyebabkan pelayanan kesejahteraan dan
perlindungan anak tidak dapat diberikan secara efektif:
Peraturan dan kebijakan di tingkat kabupaten pada
umumnya tidak sejalan dengan hukum nasional.
Koordinasi pada umumnya kurang memadai.
Misalnya, sektor peradilan jarang berhubungan dengan
mereka yang bertanggung jawab terhadap pelayanan
kesejahteraan sosial.
Tugas dan tanggung jawab seringkali tidak jelas, karena
tidak adanya kewenangan yang jelas bagi pengelolaan
dan pemberian pelayanan perlindungan anak di tingkat
provinsi dan kabupaten.
Kurangnya jumlah, kapasitas dan mandat pekerja
sosial menghambat pemberian pelayanan untuk
melindungi anak. Dengan kata lain, pelayanan asuhan
tersier saat ini belum menjadi bagian dari rangkaian
kesatuan pelayanan yang menjangkau masyarakat dan
lingkungan keluarga.
Penentuan sasaran masih menjadi masalah bagi
program PKSA. Program tersebut juga perlu
meningkatkan pemantauannya.
Tidak adanya model pengasuhan alternatif merupakan
hambatan utama untuk mengubah paradigma dari
fokus pada pengasuhan di institusi. Anak-anak tanpa
pengasuhan orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin
memerlukan pilihan-pilihan lain selain tinggal di lembaga
pengasuhan anak untuk dapat tumbuh dalam lingkungan
yang melindungi dan untuk melanjutkan pendidikan
mereka. Opsi pengasuhan berbasis keluarga perlu
dikembangkan dalam sistem pengasuhan alternatif yang
didukung dan diatur oleh pemerintah.
Program bantuan sosial untuk pendidikan harus
menjangkau anak-anak termiskin. Bantuan Siswa Miskin
(BSM) yang memberikan bantuan tunai kepada siswa
miskin, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
ringkasan Kajian
dana operasional sekolah, keduanya berbasis sekolah dan
belum secara efektif menjangkau anak-anak termiskin
yang tidak bersekolah.
Data perlindungan anak harus digunakan untuk
perencanaan dan penyusunan kebijakan secara lebih
tepat. Data tentang fenomena seperti kekerasan dan
perdagangan anak kurang dipahami, sedangkan data
lain, seperti tentang pekerja anak dan pernikahan dini,
dikumpulkan melalui survei yang dilakukan secara periodik.
Peluang untuk
melakukan tindakan
U
ndang-undang peradilan anak yang baru
memberikan beberapa kesempatan. Undangundang ini menjadikan diversi sebagai pilihan
pertama dalam penanganan, , mewajibkan penegakan
hukum untuk menunjuk petugas yang bersertifikasi, dan
memperkuat peran petugas pengawasmasa percobaan
dan pekerja sosial. Untuk mengimplementasikan undangundang baru tersebut, harus dipastikan adanya kapasitas
dan sumber daya yang memadai untuk menjalankan peran
dan prosedur yang sudah diperkuat ini.
Sistem kesejahteraan dan perlindungan anak harus
bergeser dari pendekatan reaktif dan berbasis institusi.
Selain itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif
bagi pemberian pelayanan kesejahteraan anak dan
keluarga, yang menghubungkan pelayanan tersier dengan
pelayanan primer dan sekunder dalam sebuah rangkaian
kesatuan perlindungan bagi anak-anak. Pendekatan ini
melibatkan aksi-aksi dalam beberapa bidang:
Kerangka hukum dan peraturan perlu ditingkatkan.
Kerangka hukum yang menyeluruh dan mengikat
diperlukan di tingkat pusat. Kerangka hukum dan
peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten harus
sejalan dengan kerangka nasional.
Penguatan dan pemberian pelayanan kesejahteraan
dan perlindungan anak memerlukan gambaran yang
jelas tentang tugas, tanggung jawab dan proses
kelembagaan di setiap tingkat. Proses dan kriteria
pelaporan, penilaian, dan perencanaan intervensi
dan penanganan kasus perlu dipetakan, dilakukan
standarisasi dan disosialisasikan di semua tingkat.
Kapasitas pekerja sosial provinsi, kabupaten, dan
masyarakat perlu diperkuat. Tugas dan tanggung
jawab yang baru ditetapkan dan akuntabilitas harus
menentukan kapasitas yang diperlukan di setiap tingkat.
5
ringkasan kajian
OKTOBER 2012
Pekerja sosial di tingkat kabupaten dan masyarakat
memerlukan alat praktis, pelatihan keterampilan,
bimbingan dan pengawasan.
Kabupaten harus mengambil peran dalam
melaksanakan pelatihan dan akreditasi pekerja
sosial. Pekerja sosial kini menjadi tanggung
jawab Kementerian Sosial, tetapi seiring dengan
perkembangan jaringan, kabupaten harus mengambil
alih sehingga pekerja sosial menjadi pegawai
kabupaten yang terakreditasi. Petugas yang bekerja
di panti asuhan dan lembaga pengasuhan anak harus
mendapatkan pelatihan ulang dan diangkat kembali
sebagai pekerja sosial masyarakat.
Pelayanan penjangkauan untuk mengidentifikasi
anak-anak beresiko perlu menghubungkan pekerja
sosial dengan jaringan sistem kesehatan berbasis
masyarakat. Jaringan sistem kesehatan, yang terdiri
dari puskesmas, pos kesehatan dan Posyandu, memiliki
jangkauan terbesar. Pekerja sosial harus ditempatkan
di tingkat kecamatan untuk berhubungkan dengan
jaringan kesehatan.
Kapasitas pemantauan dan sistem data perlu
ditingkatkan. Pemerintah perlu mengembangkan
seperangkat indikator yang disepakati, standar terkait
dan pendekatan pengukuran. Dalam banyak hal, ketika
fenomena tersebut tabu atau tidak sah, data keluaran
tentang proses dan lembaga dapat menjadi pengganti
yang berguna untuk mengukur situasi. Akan tetapi, data
keluaran yang berguna pertama memerlukan penetapan
norma-norma yang disepakati oleh pemerintah untuk
proses dan lembaga. Sedapat mungkin, survei tetap seperti
Susenas dan Sakernas harus dikembangkan. Indonesia juga
harus mempertimbangkan penguatan fungsi pengawasan
independen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Di tingkat kabupaten dan provinsi, lembaga
perlindungan anak yang melakukan tugas pemantauan
perlu melakukan penyesuaian dengan indikator dan
metodologi yang disepakati secara nasional dalam
kerangka nasional kesejahteraan dan perlindungan
anak. Jika koordinasi tersebut tidak dilakukan, data
perlindungan anak tidak dapat dibandingkan di seluruh
provinsi dan kabupaten, dan tidak berguna bagi
kebijakan dan perencanaan.
Hironimus R. Sugi, Irma Nadjamudding, Naning Pudji
Julianingsih, Pardina Pudiastuti, Retno Wulandari and
Setiadi Agus (2005). Kekerasan Terhadap Anak di Mata
Anak Indonesia: Hasil Konsultasi Anak regarding Kekerasan
terhadap Anak di 18 Provinsi dan Nasional. Jakarta: Ministry
of Women’s Empowerment.
Bappenas and UNICEF (2012): Laporan Gabungan: Pemetaan
Sistem Perlindungan Anak di 6 Provinsi di Indonesia: Aceh,
Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
dan Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Bappenas (National
Development Planning Agency) and UNICEF
BPS - Statistics Indonesia and International Labour
Organization (2010): Working Children in Indonesia 2009
(based on the National Labour Force Survey (SAKERNAS) and
Indonesia Child Labour Survey, 2009). Jakarta: BPS and ILO
BPS-Statistics Indonesia (2011): National Socio-Economic
Survey (Susenas) 2010. Jakarta: BPS
BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008):
Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007).
Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta:
BPS.
Child Frontiers (2010): Child and Family Welfare Services in
Indonesia: An Assessment of the System for Prevention
and Response to Abuse, Violence and Exploitation against
Children Jakarta: Social Affairs Ministry and UNICEF
Florence Martin and Tata Sudrajat (2007) ‘Someone That
Matters: The Quality of Care in Childcare Institutions in
Indonesia’. Jakarta: Save the Children UK, the Ministry of
Social Affairs & UNICEF
Kusumaningrum, S. (2012) ‘Building A Social Protection
System for Children in Indonesia.’ Capacity building
workshop on “Poverty and Social Protection,” Jakarta:
UNICEF 9 May 2012
UCW, 2012: Understanding children’s work and youth
employment outcomes in Indonesia. Understanding
Children’s Work (UCW) Programme Country Report
Series, June 2012, Rome: UCW – An Interagency Research
Cooperation Project, ILO, UNICEF and World Bank.
UNICEF (2002): ‘Birth Registration: Right from the Start.’
Innocenti Digest No. 9 UNICEF Innocenti Research Centre,
March 2002
University of Indonesia (2010) Situation analysis of
adolescents 2009, Jakarta: University of Indonesia
PPA: Unit Pelayanan untuk Perempuan dan Anak; PPT: Pusat
Pelayanan Terpadu; PKT: Pusat Krisis Terpadu
ii
RPSA: Rumah Perlindungan Sosial Anak
iii
PKSA: Program Kesejahteraan Sosial Anak
iv
Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu, biasanya di tingkat masyarakat/desa
i
Sumber
Antarini Pratiwi Arna, Asteria Taruliasi Aritonang, Astrid
G. Dionisio, Ayi Nurmalaila, Bora Siregar, Didik Istiana,
6
Ini adalah salah satu dari serangkaian Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id
Download