RingkasanKajian OKTOBER 2012 UNICEF INDONESIA Perlindungan Anak Pendekatan berbasis sistem S istem perlindungan anak yang efektif melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran. Dalam tingkatan yang mendasar, penyebab berbagai persoalan seperti kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak saling berkaitan. Untuk mengetahui akar masalah-masalah tersebut dan untuk mengidentifikasi berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi anak diperlukan pendekatan berbasis sistem, bukan pendekatan berbasis isu yang sempit dan berfokus hanya pada kelompok anak tertentu. Sistem perlindungan anak yang efektif mensyarakatkan adanya komponen-komponen yang saling terkait. Komponen-komponen ini meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak-anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat. Selain itu, juga diperlukan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung serta sistem data dan informasi untuk perlindungan anak. Di tingkat masyarakat, berbagai komponen tersebut harus disatukan dalam rangkaian kesatuan pelayanan perlindungan anak yang mendorong kesejahteraan dan perlindungan anak dan meningkatkan kapasitas keluarga untuk memenuhi tanggung jawab mereka. Rangkaian pelayanan perlindungan anak di tingkat masyarakat dimulai dari layanan pencegahan primer dan sekunder sampai layanan penanganan tersier. Layanan pencegahan primer bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh dalam pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka. Layanan ini meliputi kegiatan-kegiatan yang mengubah sikap dan perilaku, memperkuat keterampilan orangtua, dan menyadarkan masyarakat tentang dampak yang unite for children tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak. Layanan pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini difokuskan pada keluarga dan anak-anak yang beresiko, dilakukan dengan mengubah keadaan sebelum perilaku kekerasan menimbulkan dampak buruk secara nyata terhadap anak-anak, misalnya melalui konseling dan mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Intervensi tersier menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai akibat kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran, atau tindakan-tindakan buruk lainnya. Oleh karena itu, intervensi ini bertujuan untuk membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika dianggap layak, melakukan pengawasan terstruktur dan memberikanlayanan dukungan. Mekanisme pencegahan dianggap lebih dibandingkan tepat dibandingkan intervensi tersier atau reaktif. Sistem perlindungan anak di Indonesia K erangka hukum dan kebijakan di Indonesia perlu diperkuat untuk mencegah dan menangani kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak. Kerangka hukum dan kebijakan yang ada saat ini kondusif untuk mempromosikan hak anak, tetapi masih terdapat beberapa kesenjangan. Kerangka hukum tersebut harus menunjuk lembaga pemerintah dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas terhadap penanganan dan penyediaan layanan perlindungan anak. Indonesia juga menghadapi tantangan untuk memastikan keselarasan peraturan daerah (Perda) dan kebijakan perlindungan anak di hampir 500 kabupaten, masing-masing dengan kewenangan untuk menetapkan peraturannya sendiri. Oleh karena itu, langkah terakhir yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mengembangkan pedoman Perda yang mengacu pada pendekatan berbasis sistem terhadap perlindungan anak merupakan sebuah langkah positif. ringkasan Kajian Undang-undang No. 11 / 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang baruditandatangani pada bulan Juli 2012, merupakan langkah maju yang penting. Undang-undang baru tersebut akan mulai berlaku dalam waktu dua tahun. Undang-undang ini menggunakan prinsip-prinsip keadilan restoratif untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan remaja, termasuk rehabilitasi, dan memperkenalkan mekanisme untuk lebih mengefektifkan diversi, yaitu penyelesaian di luar pengadilan. Akan tetapi, ada bagian-bagian dari undang-undang tersebut yang masih tidak sesuai dengan standar internasional. Misalnya, kepentingan terbaik anak tidak selalu menjadi pertimbangan utama dalam prosedur dan usia minimal pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Dalam banyak hal, pelaksanaan diversi tergantung pada persetujuan dari korban. Pengiriman anak ke institusi menjadi salah satu pilihan dalam diversi, di antara opsi-opsi lain, yang dapat menyebabkan penahanan administratif atau de facto tanpa jaminan hukum sepenuhnya. Di tingkat kabupaten, peraturan dan kebijakan tentang perlindungan anak cenderung berfokus pada permasalahan, terbatas pada rehabilitasi korban dan seringkali mengabaikan aspek-aspek pencegahan. Tidak adanya penetapan kewenangan yang jelas bagi pelayanan perlindungan anak di tingkat provinsi dan kabupaten menyebabkan aksi-aksi terfragmentasi dan kurang terkoordinasi. Pemerintah daerah tidak mengalokasikan anggaran yang memadai untuk perlindungan anak, dan kapasitas untuk implementasi secara umum lemah. Layanan kesejahteraan sosial dan keluarga di banyak provinsi telah mengembangkan penanganan tersier dengan baik bagi anak-anak dalam krisis, tetapi tetap belum memadai dalam hal pencegahan. Unit-unit polisi khusus (PPA) dan pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit (PPT dan PKT)i memberikan pelayanan medis, dukungan psikososial, bantuan hukum dan prosedur investigasi yang sensitif anak bagi anak-anak yang menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan dan perdagangan anak yang serius. Akan tetapi, unit-unit pelayanan ini biasanya hanya menangani kasus-kasus yang paling berat. Unit-unit tersebut tidak memiliki mandat atau kapasitas untuk menilai pengasuhan dalam keluarga, atau untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang tepat setelah mereka meninggalkan pusat pelayanan tersebut. Respon tersier juga difokuskan pada pengembangan rumah perlindungan sosial anak (RPSA)ii, dimana korban anak-anak dapat berlindung. 2 OKTOBER 2012 Tanpa mekanisme identifikasi dini, sistem dan pelayanan cenderung hanya merespon ketika anak sudah berada dalam krisis. Jaringan pekerja sosial dan paraprofesional yang ada tidak dilengkapi dengan keterampilan untuk melibatkan masyarakat dan keluarga dan memberikan layanan primer dan sekunder yang melindungi anak-anak. Pekerja sosial tidak memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan atas nama negara. Program bantuan sosial inovatif memberikan bantuan kepada kelompok anak-anak yang paling rentan. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa perampasan ekonomi dapat meningkatkan kerentanan anak dan bahwa anak dalam kemiskinan ekstrim menghadapi resiko yang lebih tinggi terhadap penelantaran, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)iii memberikan bantuan tunai secara langsung kepada lima kelompok anak yang didefinisikan sebagai “anak terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak cacat dan anak yang memerlukan perlindungan khusus.” Pekerja sosial pemerintah atau berbasis LSM memantau pencairan dan penggunaan bantuan tunai tersebut. Bantuan tunai ini membantu anak memenuhi beberapa kebutuhan dasar, seperti pangan, pelayanan pendidikan dan kesehatan, dan mendorong pergeseran dari pelayanan berbasis institusi ke berbasis keluarga. Kerentanan P ada tahun 2010, 55 persen anak balita di Indonesia telah memiliki akta kelahiran, peningkatan sebesar 15 persen sejak tahun 2001. Anak-anak yang tidak tercatat dan tidak memiliki akta kelahiran menghadapi resiko yang lebih besar untuk diperdagangkan dan dieksploitasi secara seksual, dipaksa menikah sebagai anak dan dieksploitasi sebagai pekerja anak. Perhitungan dengan menggunakan data sensus menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta anak tidak terdaftar di seluruh Indonesia. Perbedaan angka antar provinsi sangat besar (Gambar 1). Biaya merupakan alasan yang paling umum disampaikan terhadap kegagalan untuk mendaftarkan kelahiran terlepas dari tempat tinggal dan status ekonomi. Mengakui pentingnya masalah ini, Pemerintah telah membebaskan pencatatan kelahiran dari biaya apapun. Akan tetapi, pembebasan biaya ini tidak sepenuhnya memecahkan persoalan di atas, karena biaya transportasi dan biaya tidak langsung (seperti waktu libur kerja) masih menjadi masalah, dan beberapa kabupaten terus memungut biaya. Alasan kedua yang paling banyak dikemukakan untuk tidak PA) dan ungan it (PPT gasi kungan bentuktigasi gbentukini ng n paling ini tgatau paling , atau at atau atkan a, atau patkan h ah ut. but. bangan mbangan ana mana dan dan ka tika ekerja pekerja ngkapi engkapi rakat arakat er dan mer dan asosial sosial rtangan tangan an kan gpaling paling wa wa miskinan skinan erhadap rhadap Anak nak angsung ngsung n nang ng anak nak erja erja tau au sebut. ebut. mbagaan bagaan esar 15 sar 15 : Pusat Pusat Indonesia. Angka tersebutsangat berbeda-beda di yang paling umum antara provinsi (Gambar 1). Biaya merupakan alasan disampaikanterhadapkegagalanuntuk mendaftarkan yang paling umum kelahiran terlepas dari tempat tinggalmendaftarkan dan status disampaikanterhadapkegagalanuntuk ekonomi. Mengakui pentingnya masalah ini, kelahiran terlepas dari tempat tinggal dan status OKTOBER 2012 Pemerintah telah membebaskan pencatatan ekonomi. Mengakui pentingnya masalah ini, kelahiran dari biaya apapun. Akan tetapi, Pemerintah telah membebaskan pencatatan pembebasan ini tidak Akan sepenuhnya kelahiran dari biaya biaya apapun. tetapi, ringkasan Kajian pembebasan biaya ini tidak sepenuhnya north sumatra East nusa north Tenggara sumatra West Tenggara East nusa Tenggara Papua West nusa Tenggara sumatera Utara Papua Maluku Utara nusa sumatera Tenggar Timur Maluku southeast sulawesi nusa Tenggar Timur nusa Tenggar Barat southeast sulawesi north Maluku nusa Tenggar Barat Papua northsulawesi Maluku Central Papua Central sulawesi West Maluku sulawesi Maluku West sulawesi sulawesi Tenggara gorontalo sulawesi Tenggara gorontalo Maluku Utara West sumatra Maluku Utara West sumatra sulawesi Tengah aceh sulawesi Tengah aceh sulawesi Barat south sulawesi sulawesi Barat south sulawesi gorontalo riau gorontalo riau north sulawesi sumatera Barat north sulawesi sumatera Barat Westaceh Papua aceh West Papua Central kalimantan sulawesi selatan Central kalimantan sulawesi selatan West kalimantan West kalimantan riau riau Bali Bali sulawesi Utara sulawesi Utara south sumatra Papua Barat Papuasumatra Barat Lampung Lampung kalimantan Tengah kalimantan Tengah inDOnEsia inDOnEsia Bali Bali Banten Banten sumatera selatan sumatera selatan West West java java Lampung Lampung south kalimantan south kalimantan inDOnEsia inDOnEsia Bengkulu Bengkulu Banten Banten East java East java jawa Barat jawa Barat jambi jambi kalimantan selatan East kalimantan kalimantan selatan East Bengkulu kalimantan Central java Bengkulu Central java jawa Timur Bangka jawaBelitung Timur Bangka Belitung jambi Dki jakarta jambi DkiTimur jakarta kalimantan riau islands kalimantan Timur jawa Tengah islands Diriau Yogyakarta jawa Tengah Bangka Belitung Di Yogyakarta Bangka Belitung 0% Dki jakarta Dki jakarta kepulauan riau 0% Figure 1. Percentage of Gambar 1. 5 children under age Figure 1. Percentage of Prosentase who have been children under age 5anak registered, by province. who have been balita yang telah registered, gambarby 1.province. Prosentase terdaftar, menurut anak balita yang telah gambar 1. Prosentase menurut anakterdaftar, balita yang telah provinsi provinsi terdaftar, menurut provinsi Anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan perlindungan dari kekerasan dan pelanggaran. Studi 2006 yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa 96 persen kasus anak yang diajukan ke pengadilan mengakibatkan hukuman penahanan, 60 persen hukuman ini di atas satu tahun, dan ada sedikit atau tidak ada bantuan hukum. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memperkirakan bahwa kurang lebih 5.000 anak dipenjarakan, baik dalam waktu menunggu pengadilan atau sedang menjalani hukuman mereka. Banyak anak dipenjara karena kejahatan kecil dan pelanggaran-pelanggaran ringan, seperti pencurian, pergelandangan, pembolosan, atau penyalahgunaan obat. 55% 55% 20% 20% 40% 40% 60% 60% 80% 80% survei empat provinsi 2009, sebagian besar responden remaja di Aceh, Papua, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur melaporkan pengalaman kekerasan, termasuk kekerasan seksual (Gambar 2). Kekerasan terjadi di rumah atau dalam lingkungan keluarga. Kekerasan ini dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak. Kekerasan juga dilakukan oleh guru baik di sekolah negeri maupun pesantren. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menekankan masalah kebutuhan data, dan analisa tentang, kekerasan terhadap anak, resiko dan faktor-faktor penyebab. 100% 100% mendaftarkan kelahiran anak adalah kurangnya informasi: tidak tahu mengapa dan dimana mereka harus mendaftarkan kelahiran. Indonesia memiliki sekitar empat juta anak yang terlibat sebagai pekerja anak, termasuk dua juta yang bekerja dalam kondisi berbahaya (Gambar 3). Anakanak yang bekerja berjumlah kira-kira tujuh persen dari kelompok usia 5-17 tahun pada tahun 2009. Sebagian besar bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar di perkebunan dan pertanian. Mereka yang terpapar oleh kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk terburuk pekerja anak meliputi anak-anak yang bekerja di pertambangan, bangunan, penggalian dan anak-anak yang dipekerjakan di tempat-tempat seks komersial. Hampir dua pertiga anak yang tidak bersekolah terlibat dalam beberapa kegiatan produktif. Seperempat anak yang tidak bersekolah dalam kelompok usia 10-14 tahun memiliki kurang dari empat tahun pendidikan, yang berarti bahwa mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang buta huruf secara fungsional. Angka-angka ini menunjukkan pentingnya percepatan upaya-upaya dalam kesempatan pendidikan yang kedua dan dalam memberikan pelayanan-pelayanan lain yang meningkatkan pilihan hidup anak. Perbandingan survei tahun 2009 dan 2004 menunjukkan bahwa pekerja anak belum mengalami penurunan. Kekerasan terhadap anak di rumah, di jalan dan di sekolah perlu mendapatkan perhatian segera. Menurut Prevalensi pekerja anak di daerah perdesaan kira-kira tiga kali prevalensi di daerah perkotaan. Di antara kepulauan riau Di Yogyakarta Di Yogyakarta Figure 2. Percentage of children 10-18 years old reporting having experienced violence at home or in the community. Source: University of Figure 2. Percentage of children 10-18 years old reporting having (2010) Situation analysis of adolescents in Indonesia GambarIndonesia 2. Prosentase anak usia 10-18 tahun yang experienced violence at home or in the community. Source: University of Indonesia (2010)mengalami Situation analysis of adolescents Indonesia melaporkan telah kekerasan di inrumah gambar 1. Prosentase anak usia 10-18 tahun yang melaporkan telah atau dalam masyarakat. mengalami kekerasan di rumah atau dalam masyarakat. Sumber: Papua Sumber: Universitas Indonesia (2010), Analisis Situasi Remaja diIndonesia Indonesiatelah gambar 1. Prosentase anak usia 10-18 tahunRemaja yang melaporkan Universitas Indonesia (2010), Analisis Situasi di mengalami kekerasan di rumah atau dalam masyarakat. Sumber: Papua Universitas Indonesia (2010), Analisis Situasi Remaja di Indonesia East nusa Tenggara East nusa Tenggara nTT Central java nTT Central java jawa Tengah aceh jawa Tengah aceh 0% sexual abuse 0% sexual abuse 20% 40% 60% 80% Various forms of violence 20% (other)40% 60% 80% Various (other) forms of violence 100% 2 D 100% 2 D 3 ringkasan Kajian keluarga mereka selama beberapa tahun. Lembaga pengasuhan anak memperoleh manfaat dari program keluarga mereka selama beberapa tahun. Lembaga pengasuhan anak memperoleh manfaat dari program Figure 3. numbers and percentage of children in each age group of the total Gambar 3. Jumlah prosentaseanak setiap population engaged in childdan labour. Source: UCW (2012) baseduntuk on Indonesia Child Labour Survey, 2009. Since each age group has different population denominators, bars are kelompok usia dari jumlah penduduk yang terlibat. not proportional to percentages Figure 3. numbers and percentage ofrural children each age group of themale total Sumber: UCW berdasarkan suvei pekerja anak diin Indonesia 2009. urban female population engaged in child labour. Source: UCW (2012)yang based on Indonesia Child Karena setiap kelompok memiliki denominasi penduduk berbeda. Labour Survey, 2009. Since age group different denominators, gambar 3. jumlah dan each prosentase anakhas untuk setiappopulation kelompok usia dari jumlahbars are not proportional to percentages 8.2% penduduk yang terlibat dalam pekerja anak . Sumber: UCW berdasarkan Survei Pekerja Anak di rural urban female male 4.5% TOTaL:2009. age 5-17 years Indonesia, Karena setiap kelompok usia memiliki denominasi penduduk yang berbeda, maka bar tidak D D Total 6.9% proporsional dengan prosentase 6% in child labour gambar 3. jumlah dan prosentase anak untuk setiap kelompok usia dari jumlah 7.7% 8.2% penduduk yang terlibat dalam pekerja anak . Sumber: UCW berdasarkan Survei Pekerja Anak di 4.5% TOTaL:2009. age 5-17 years Indonesia, Karena setiap kelompok usia memiliki denominasi penduduk yang berbeda, maka bar tidak proporsional dengan prosentase in child labour age 15-17 years in hazardous employment age 15-17 years in hazardous employment age 13-14 years in regular (non-light) employment Total 6.9% 6% 16.3% 9.7% 10.5% 7.7% Total 13.4% 16.1% 16.3% 9.7% 10.2% 10.5% OKTOBER 2012 kesejahteraan dan perlindungan anak tidak dapat diberikan secara sangat efektif: kesejahteraan perlindungan anak tidak Legislasi dan kabupaten pada umumnya tidakdapat sesuai diberikan secara sangat efektif: dengan hukum nasional. Legislasi kabupaten pada agar umumnya tidak sesuai Koordinasi pada umumnya kurang memadai. kemiskinan dan keinginan orangtua anak mereka dengan hukum nasional. Misalnya, sektor peradilan jarang berhubungan memperoleh pendidikan. Ini berarti bahwa anak-anak Koordinasi pada umumnya kurang memadai. dengan mereka yang bertanggung jawab cenderung untuk tetap berada di lembaga pengasuhan Misalnya, sektor peradilan jarang berhubungan terhadappelayanan kesejahteraan sosial. anak panti selama siklus pendidikan. Beberapa lembaga yang bertanggung jawabtidak jelas, dengan Tugasmereka dan tanggung jawab seringkali ini dimiliki oleh organisasi keagamaan, dan sebagian terhadappelayanan kesejahteraan sosial. karena tidak adanya kewenangan yang jelas bagi besar adalah milik swasta. Perkiraan tentang jumlah Tugas dan tanggung jawab seringkali tidak jelas, pengelolaan dan pemberian pelayanan lembagakarena pengasuhan anak di Indonesia berbeda-beda tidak adanya yang dan jelas bagi perlindungan anakkewenangan di tingkat provinsi dari 5.250 hingga 8.610.dan pemberian pelayanan pengelolaan kabupaten. di tingkat provinsi dan perlindungan Kurangnya anak jumlah, kapasitas dan mandat pekerja Standarkabupaten. pelayanan di lembaga pengasuhan masih untuk sosial menghambat pemberiananak pelayanan 3.7% 16.1% kurang memadai, meskipun Menteri Sosial Total 7.6% 6.6% Kurangnya jumlah, kapasitas dan mandat pekerja melindungi anak.Keputusan Dengan kata lain, pelayanan 10.2% 8.6% pada 2011 telah menetapkan standar pelayanan di sosial menghambat pemberian pelayanan untukdari asuhan tersier saat ini belum menjadi bagian age 13-14 years in 3.7% regular (non-light) lembagamelindungi pengasuhan anak.Dengan Kebanyakan lembaga 4.9% Total 7.6% 6.6% anak. kata lain, pelayanan rangkaiankesatuan pelayanan yang menjangkau employment 1.7% age 5-12 years in 8.6% pengasuhan anaktersier tidak mematuhi norma-norma asuhan saatlingkungan ini belum menjadi bagian dari masyarakat dan keluarga. 4% Total 3.9% employment 4.9% yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Anak-anak 3.8% pelayanan yang menjangkau rangkaiankesatuan Penentuan sasaran masih menjadi masalah bagi 1.7% age 5-12 years in rentan terhadap kekerasan dan seringkali diremehkan masyarakat dan lingkungan keluarga. program PKSA. Program tersebut juga perlu 0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 4% Total 3.9% employment 3.8% Penentuan masihpengasuhan menjadi masalah bagi oleh staff. Sebagian sasaran besar pemantauannya. lembaga anak meningkatkan program tersebutstaff juga perlu 0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 yang disurvei padaPKSA. tahun Program 2007 kekurangan dan bantuan pemerintah yang diberikan atas dasar per meningkatkan pemantauannya. anak-anak yang lebih tua, prevalensi tersebut lebih banyak Tidak adanya model pengasuhan alternatif anak, yang menciptakan insentif bagi lembaga untuk anak-anak melakukan pekerjaan sebagai pengganti merupakanhambatan utama untuk bergeser dari melibatkan anak laki-laki daripada anak perempuan staff tersebut. Banyak lembaga pengasuhan anak merekrut sejumlahyang besardiberikan anak. atas dasar per bantuan pemerintah Tidak adanya model pengasuhan alternatif pengasuhanlembaga. Anak-anak tanpa (Gambar 3). Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan tidak mendukung pertemuan tetap antara anak dan anak, yang menciptakan insentif bagi lembaga untuk merupakanhambatan utama untukatau bergeser dari pengasuhan orang besar tua dan anak-anak dari keluarga rumah tangga tentang apakah melibatkan anak-anak keluarganya, dan sebagian mencegah merekrut sejumlah besar anak. pengasuhanlembaga. Anak-anak tanpa miskin memerlukan pilihan-pilihan selain mereka dalam pekerjaan atau menyekolahkan mereka melarang hubungan tetap tersebut. Beberapalain anak-anak Hambatan pengasuhan orang tua dan anak-anak dari keluarga pelembagaan untuk tumbuh dalam lingkungan meliputi usia dan jenis kelamin anak, pendidikan kepala di lembaga-lembaga ini tidak bertemu dengan keluarga miskin memerlukan pilihan-pilihan lain selain protektif dan untuk melanjutkan pendidikan rumah tangga, rumah tangga, dan tempat mereka selama beberapa tahun. Lembaga pengasuhanmereka. Tradisi, sikappendapatan dan praktek tertentumenimbulkan Hambatan pelembagaan untuk tumbuh dalam lingkungan Opsi pengasuhan berbasis keluarga perlu tinggal. Kemungkinan anak yang bekerja meningkat anak memperoleh manfaat dari program bantuan dampak buruk terhadap anak-anak dan protektif dan diberikan untukdalam melanjutkan pendidikan mereka. dikembangkan sistem alternatif seiringsikap denganhak-hak perkembangan usia, yang disebabkan pemerintah yang atas dasar pengasuhan per anak, yang Tradisi, dan praktek tertentumenimbulkan melanggar mereka.Misalnya, banyak Opsi pengasuhan berbasis keluarga perlu yang didukung dan diatur oleh pemerintah. oleh meningkatnya biaya kesempatan pendidikan menciptakan insentif bagi lembaga untuk merekrut dampak buruk terhadap anak-anak dan danseiring masyarakatmenganggap hukuman fisik dikembangkan dalam sistem pengasuhan alternatif dengan pertumbuhan anak, atau kurangnya akses ke melanggar banyak kekerasanhak-hak terhadapmereka.Misalnya, anak sebagai norma. Kampanye sejumlah besar anak. yang didukung dan diatur oleh pemerintah. Program bantuan sosial untuk pendidikan harus pendidikanpada setelah lulus sekolah dasar. Perbandingan masyarakatmenganggap hukuman fisik dan advokasi umumnyabelum efektif dalam yang menjangkau anak-anak termiskin.Bantuan Siswa dilakukanterhadap dengan melihat pada faktor-faktor yang kekerasan anak sebagai norma.lain Kampanye mengubah perilaku tersebut. Kampanye tersebut Hambatan Program bantuan sosial untuk pendidikan harus Miskin (BSM) yang memberikan bantuan tunai advokasi padapada umumnyabelum efektif dalam samas, diketahui bahwa kemungkinan anak laki-laki untuk difokuskan pendistribusian poster dan bahanmenjangkau anak-anak termiskin.Bantuan Siswa kepada siswa miskin, dan Bantuan Operasional mengubah perilaku Kampanye tersebut bahan komunikasi lainnya, dananak memiliki jangkauan hanya bekerja lebih tersebut. besar daripada perempuan, dan radisi,(BSM) sikap dan praktek tertentu menimbulkan Miskin yang memberikan bantuan tunai Sekolah (BOS) untuk dana operasional sekolah, difokuskan pada pendistribusian poster dan bahanyang terbatas. kemungkinan anak laki-laki hanya bersekolah cenderung dampak buruk terhadap anak-anak dan melanggar kepada siswa miskin, dan Bantuan Operasional keduanya berbasis sekolah dan belum secara efektif bahan lainnya, dan memilikiKemungkinan jangkauan lebihkomunikasi kecil dibandingkan anak perempuan. hak-hak(BOS) mereka. Misalnya, banyak masyarakat Sekolah untuk dana operasional sekolah, menjangkau anak-anak termiskin yang tidak yang terbatas. Kerangka hukum dan kebijakan nasional harus orang tua yang lebih berpendidikan untuk mempekerjakan menganggap hukuman fisik dan kekerasan anak efektif keduanya berbasis sekolah dan terhadap belum secara bersekolah. menangani kesenjangan yang anak mereka secara penuh waktu lebihmelemahkan kecil.Kemungkinan sebagai norma. Kampanye advokasi pada umumnya belum menjangkau anak-anak termiskin yang tidak Kerangka hukum dan kebijakan nasional harus perlindungan anak. Kebijakan belum anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sepenuhnya untuk efektif dalam mengubah perilaku tersebut. Kampanye tersebutuntuk bersekolah. Data perlindungan anak harus digunakan menangani kesenjangan yang melemahkan sesuai dengan standar internasional. Kerangka berpartisipasi dalam pekerjaan lebih besar daripada mereka difokuskan pada pendistribusian poster dan bahan-bahan perencanaan dan penyusunan kebijakan secara perlindungan anak. Kebijakan belum sepenuhnya hukum masih memuat ketentuan-ketentuan yang yang berasal dari rumah tangga sejahtera. Kemungkinan komunikasi lainnya, memiliki yang terbatas. Data perlindungan anakjangkauan harus digunakan lebih tepat.dan Data tentang fenomena sepertiuntuk sesuai dengan internasional. Kerangka bertentangan, misalnya, definisi anak danlebih usiakecil anak-anak daristandar daerah perkotaan untuk bekerja perencanaan danperdagangan penyusunananak kebijakan kekerasan dan kurangsecara dipahami, hukum masih memuat ketentuan-ketentuan yang minimaltanggung jawab pidana.lebih besar daripada dan kemungkinan untuk bersekolah Kerangka hukum dan kebijakan nasional harus lebih tepat. Data fenomena seperti sedangkan datatentang lain, seperti tentang pekerja anak bertentangan, misalnya, definisi anak dan usia mereka yang berasal dari daerah perdesaan. menangani kesenjangan yangdikumpulkan melemahkan perlindungan kekerasan dan perdagangan anak kurang dipahami, dan pernikahan dini, melalui survei minimaltanggung jawab pidana. anak meliputi Hambatan dalam peradilan sedangkan data lain, seperti tentang pekerja anak anak. Kebijakan belum sepenuhnya sesuai dengan standar tetap. kurangnya staff khusus, tidak adanya prosedur Sembilan puluh persen anak yang ditempatkan di dan pernikahan dini, dikumpulkan melalui survei internasional. Kerangka hukum masih memuat ketentuanHambatan dalam peradilanpenegak anak meliputi yang jelas bagipetugas hukum dan lembaga pengasuhan anak biasanya memiliki minimal tetap. yang bertentangan, misalnya, definisi anak dan kurangnya staff khusus, tidak adanya prosedur kurangnya sumber daya, khususnya terbatasnya ketentuan satu orang tua yang hidup. Pada tahun 2007, lebih dari usia minimal tanggung jawabuntuk pidana. aksi kesempatan yang jelasanggaran bagipetugas penegak hukum dan masa alokasi untuk petugas pengawas 56 persen anak di lembaga pengasuhan anak memiliki kurangnya sumber daya,officer). khususnya terbatasnya percobaan(probation Terbatasnya jumlah keduaanggaran orang tua yang masih hidup. Kurang dari 6 persen Undang-undang peradilan anak yang baru Hambatan dalam peradilan anak meliputi kurangnya kesempatan untuk aksi alokasi untuk petugas pengawas masa fasilitas penahanan anak berarti bahwa anak-anak anak di lembaga pengasuhan anak telah kehilangan memberikan beberapa kesempatan. petugas khusus, tidak adanya prosedur yang jelasUndangbagi percobaan(probation officer). Terbatasnya jumlah masih dapat ditempatkan dalam tahanan dengan Undang-undang peradilan anak yang baru undang inihukum melakukan pengalihan wajib, keduapenahanan orang dewasa. tua mereka. Alasan untuk menempatkan penegak dan kurangnya sumber daya, fasilitas anak anak-anak narapidana Diberarti tingkatbahwa masyarakat, dimana petugas memberikan beberapa kesempatan. Undangmengharuskan penegakan hukum untuk menunjuk anak di lembaga pengasuhan anak (panti) adalah khususnya terbatasnya alokasi anggaran untuk petugas masih dapat ditempatkan dalam tahanan dengan praktek-praktek peradilan tradisional dan informal Total 13.4% T narapidana dewasa. Ditidak tingkat masyarakat, dimana masih diberlakukan, ada prosedur yang jelas praktek-praktek peradilan tradisional dan informal mengenai anak-anak dan tidk adaa kesepakatan 4 masih diberlakukan, tidakmekanisme ada prosedur yang jelas dengan polisi tentang tersebut. mengenai anak-anak dan tidk adaa kesepakatan dengan polisi normatif tentang mekanisme tersebut. di tingkat Hambatan dan kelembagaan kabupaten menyebabkan pelayanan undang ini melakukan pengalihan wajib, staffyang bersertifikasi, dan memperkuat peran mengharuskan penegakan untukdan menunjuk masahukum percobaan pekerja petugas pengawas staffyang bersertifikasi, dan memperkuat peran sosial. Untuk mengimplementasikan undang-undang pengawas masa percobaan dan pekerjadan petugas baru tersebut, diperlukankepastian kapasitas sosial. Untuk mengimplementasikan sumber daya yang memadai untukundang-undang memperkuat baru tersebut, diperlukankepastian kapasitas dan peran dan prosedur. OKTOBER 2012 pengawas bagi anak yang menjalani masa percobaan. Terbatasnya jumlah fasilitas tahanan anak berarti bahwa anak-anak ditempatkan dalam tahanan dengan narapidana dewasa. Di tingkat masyarakat, dimana praktek-praktek peradilan tradisional dan informal masih diberlakukan, tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan anak dan tidak ada kesepakatan dengan polisi dalam pelaksanaan mekanisme tersebut. Hambatan normatif dan kelembagaan di tingkat kabupaten menyebabkan pelayanan kesejahteraan dan perlindungan anak tidak dapat diberikan secara efektif: Peraturan dan kebijakan di tingkat kabupaten pada umumnya tidak sejalan dengan hukum nasional. Koordinasi pada umumnya kurang memadai. Misalnya, sektor peradilan jarang berhubungan dengan mereka yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesejahteraan sosial. Tugas dan tanggung jawab seringkali tidak jelas, karena tidak adanya kewenangan yang jelas bagi pengelolaan dan pemberian pelayanan perlindungan anak di tingkat provinsi dan kabupaten. Kurangnya jumlah, kapasitas dan mandat pekerja sosial menghambat pemberian pelayanan untuk melindungi anak. Dengan kata lain, pelayanan asuhan tersier saat ini belum menjadi bagian dari rangkaian kesatuan pelayanan yang menjangkau masyarakat dan lingkungan keluarga. Penentuan sasaran masih menjadi masalah bagi program PKSA. Program tersebut juga perlu meningkatkan pemantauannya. Tidak adanya model pengasuhan alternatif merupakan hambatan utama untuk mengubah paradigma dari fokus pada pengasuhan di institusi. Anak-anak tanpa pengasuhan orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin memerlukan pilihan-pilihan lain selain tinggal di lembaga pengasuhan anak untuk dapat tumbuh dalam lingkungan yang melindungi dan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Opsi pengasuhan berbasis keluarga perlu dikembangkan dalam sistem pengasuhan alternatif yang didukung dan diatur oleh pemerintah. Program bantuan sosial untuk pendidikan harus menjangkau anak-anak termiskin. Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang memberikan bantuan tunai kepada siswa miskin, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk ringkasan Kajian dana operasional sekolah, keduanya berbasis sekolah dan belum secara efektif menjangkau anak-anak termiskin yang tidak bersekolah. Data perlindungan anak harus digunakan untuk perencanaan dan penyusunan kebijakan secara lebih tepat. Data tentang fenomena seperti kekerasan dan perdagangan anak kurang dipahami, sedangkan data lain, seperti tentang pekerja anak dan pernikahan dini, dikumpulkan melalui survei yang dilakukan secara periodik. Peluang untuk melakukan tindakan U ndang-undang peradilan anak yang baru memberikan beberapa kesempatan. Undangundang ini menjadikan diversi sebagai pilihan pertama dalam penanganan, , mewajibkan penegakan hukum untuk menunjuk petugas yang bersertifikasi, dan memperkuat peran petugas pengawasmasa percobaan dan pekerja sosial. Untuk mengimplementasikan undangundang baru tersebut, harus dipastikan adanya kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk menjalankan peran dan prosedur yang sudah diperkuat ini. Sistem kesejahteraan dan perlindungan anak harus bergeser dari pendekatan reaktif dan berbasis institusi. Selain itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif bagi pemberian pelayanan kesejahteraan anak dan keluarga, yang menghubungkan pelayanan tersier dengan pelayanan primer dan sekunder dalam sebuah rangkaian kesatuan perlindungan bagi anak-anak. Pendekatan ini melibatkan aksi-aksi dalam beberapa bidang: Kerangka hukum dan peraturan perlu ditingkatkan. Kerangka hukum yang menyeluruh dan mengikat diperlukan di tingkat pusat. Kerangka hukum dan peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten harus sejalan dengan kerangka nasional. Penguatan dan pemberian pelayanan kesejahteraan dan perlindungan anak memerlukan gambaran yang jelas tentang tugas, tanggung jawab dan proses kelembagaan di setiap tingkat. Proses dan kriteria pelaporan, penilaian, dan perencanaan intervensi dan penanganan kasus perlu dipetakan, dilakukan standarisasi dan disosialisasikan di semua tingkat. Kapasitas pekerja sosial provinsi, kabupaten, dan masyarakat perlu diperkuat. Tugas dan tanggung jawab yang baru ditetapkan dan akuntabilitas harus menentukan kapasitas yang diperlukan di setiap tingkat. 5 ringkasan kajian OKTOBER 2012 Pekerja sosial di tingkat kabupaten dan masyarakat memerlukan alat praktis, pelatihan keterampilan, bimbingan dan pengawasan. Kabupaten harus mengambil peran dalam melaksanakan pelatihan dan akreditasi pekerja sosial. Pekerja sosial kini menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial, tetapi seiring dengan perkembangan jaringan, kabupaten harus mengambil alih sehingga pekerja sosial menjadi pegawai kabupaten yang terakreditasi. Petugas yang bekerja di panti asuhan dan lembaga pengasuhan anak harus mendapatkan pelatihan ulang dan diangkat kembali sebagai pekerja sosial masyarakat. Pelayanan penjangkauan untuk mengidentifikasi anak-anak beresiko perlu menghubungkan pekerja sosial dengan jaringan sistem kesehatan berbasis masyarakat. Jaringan sistem kesehatan, yang terdiri dari puskesmas, pos kesehatan dan Posyandu, memiliki jangkauan terbesar. Pekerja sosial harus ditempatkan di tingkat kecamatan untuk berhubungkan dengan jaringan kesehatan. Kapasitas pemantauan dan sistem data perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu mengembangkan seperangkat indikator yang disepakati, standar terkait dan pendekatan pengukuran. Dalam banyak hal, ketika fenomena tersebut tabu atau tidak sah, data keluaran tentang proses dan lembaga dapat menjadi pengganti yang berguna untuk mengukur situasi. Akan tetapi, data keluaran yang berguna pertama memerlukan penetapan norma-norma yang disepakati oleh pemerintah untuk proses dan lembaga. Sedapat mungkin, survei tetap seperti Susenas dan Sakernas harus dikembangkan. Indonesia juga harus mempertimbangkan penguatan fungsi pengawasan independen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Di tingkat kabupaten dan provinsi, lembaga perlindungan anak yang melakukan tugas pemantauan perlu melakukan penyesuaian dengan indikator dan metodologi yang disepakati secara nasional dalam kerangka nasional kesejahteraan dan perlindungan anak. Jika koordinasi tersebut tidak dilakukan, data perlindungan anak tidak dapat dibandingkan di seluruh provinsi dan kabupaten, dan tidak berguna bagi kebijakan dan perencanaan. Hironimus R. Sugi, Irma Nadjamudding, Naning Pudji Julianingsih, Pardina Pudiastuti, Retno Wulandari and Setiadi Agus (2005). Kekerasan Terhadap Anak di Mata Anak Indonesia: Hasil Konsultasi Anak regarding Kekerasan terhadap Anak di 18 Provinsi dan Nasional. Jakarta: Ministry of Women’s Empowerment. Bappenas and UNICEF (2012): Laporan Gabungan: Pemetaan Sistem Perlindungan Anak di 6 Provinsi di Indonesia: Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Bappenas (National Development Planning Agency) and UNICEF BPS - Statistics Indonesia and International Labour Organization (2010): Working Children in Indonesia 2009 (based on the National Labour Force Survey (SAKERNAS) and Indonesia Child Labour Survey, 2009). Jakarta: BPS and ILO BPS-Statistics Indonesia (2011): National Socio-Economic Survey (Susenas) 2010. Jakarta: BPS BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS. Child Frontiers (2010): Child and Family Welfare Services in Indonesia: An Assessment of the System for Prevention and Response to Abuse, Violence and Exploitation against Children Jakarta: Social Affairs Ministry and UNICEF Florence Martin and Tata Sudrajat (2007) ‘Someone That Matters: The Quality of Care in Childcare Institutions in Indonesia’. Jakarta: Save the Children UK, the Ministry of Social Affairs & UNICEF Kusumaningrum, S. (2012) ‘Building A Social Protection System for Children in Indonesia.’ Capacity building workshop on “Poverty and Social Protection,” Jakarta: UNICEF 9 May 2012 UCW, 2012: Understanding children’s work and youth employment outcomes in Indonesia. Understanding Children’s Work (UCW) Programme Country Report Series, June 2012, Rome: UCW – An Interagency Research Cooperation Project, ILO, UNICEF and World Bank. UNICEF (2002): ‘Birth Registration: Right from the Start.’ Innocenti Digest No. 9 UNICEF Innocenti Research Centre, March 2002 University of Indonesia (2010) Situation analysis of adolescents 2009, Jakarta: University of Indonesia PPA: Unit Pelayanan untuk Perempuan dan Anak; PPT: Pusat Pelayanan Terpadu; PKT: Pusat Krisis Terpadu ii RPSA: Rumah Perlindungan Sosial Anak iii PKSA: Program Kesejahteraan Sosial Anak iv Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu, biasanya di tingkat masyarakat/desa i Sumber Antarini Pratiwi Arna, Asteria Taruliasi Aritonang, Astrid G. Dionisio, Ayi Nurmalaila, Bora Siregar, Didik Istiana, 6 Ini adalah salah satu dari serangkaian Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id