BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelajahan orang-orang Eropa ke seluruh penjuru dunia di mulai oleh Portugis dan Spanyol yang kemudian di susul oleh bangsa-bangsa Eropa yang lain. Di Indonesia yang berhasil menanamkan pengaruhnya dalam kurun waktu yang lama adalah bangsa Belanda. Kedatangan mereka semula dengan motif perdagangan dalam rangka mencari rempah-rempah. Belanda mendirikan VOC pada tahun 1602 dengan tujuan antara lain untuk menghadapi Spanyol dan Portugis, mendapatkan monopoli dan menghindari persaingan di antara orangorang Belanda sendiri (Ricklefs, 1992: 31-40). Pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 gulden. Kemunduran serta kebangkrutan VOC ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan juga perang antara Belanda dengan Inggris yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar, sehingga mempercepat kebangkrutan VOC. Oleh karena itu, maka pada pergantian abad ke-18 secara resmi pemerintah Indonesia berpindah dari tangan VOC ke tangan pemerintah Belanda (Marwati djoened poesponegoro & Nugroho notosusanto, 1993: 1). Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, di Indonesia diterapkan beberapa kali kebijakan politik seperti : (1) Politik Kolonial Konservatif (18001870), politik ini diberlakukan dari awal pemerintahan Hindia-Belanda sampai dengan tanam paksa (Cultuurstelsel). Pada masa ini, pemerintah mengunakan cara tradisional yaitu menempatkan penguasa pribumi untuk mengurusi administrasi pemerintahan lokal dan perusahaan perkebunan sebagai pengawas; (2) Politik Kolonial Liberal (1870-1900), pada masa ini kebebasan usaha dijamin pemerintah dan kerja paksa dihapus serta digantikan kerja bebas ; (3) Politik Kolonial Etis (1900-1942), politik ini berbeda dari politik sebelumnya. Politik ini berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia (Suhartono, 2001: 11-16). 1 2 Politik Etis yang mulai diberlakukan sejak awal abad ke-20 ini berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui Irigasi, Emigrasi (Transmigrasi) dan Edukasi. Dalam Politik Etis dilakukan perbaikan irigasi untuk meningkatkan hasil pertanian. Sedangkan untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa ditempuh kebijakan Emigrasi. Dalam bidang pendidikan dilakukan perluasan pendidikan baik dalam pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi, seperti pendidikan pamong praja, kedokteran dan teknik bagi penduduk pribumi. Selain itu, juga dibuka peluang melanjutkan studi di Belanda bagi pemuda yang berprestasi (Ayub Ranoh, 1999: 9-10). Dengan adanya perkembangan pendidikan akibat dari politik etis tersebut, maka muncullah golongan-golongan terpelajar atau elit intelektual di Indonesia. Golongan terpelajar inilah yang akhirnya menjadi pelopor dari pergerakan nasional Indonesia. Mereka mulai sadar akan nasib bangsa Indonesia dan berusaha untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada masa inilah mulai tumbuh benih-benih nasionalisme pada diri bangsa Indonesia dalam pengertian yang modern (Badri Yatim, 1999: 18). Pergerakan nasional diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Stovia antara lain adalah Sutomo, Gunawan, dan Suraji di Jakarta. Tujuan dari organisasi ini adalah kemajuan yang harmonis untuk nusa dan bangsa, Jawa dan Madura. Pada awalnya pembentukannya Budi Utomo belum bergerak dalam bidang politik, akan tetapi masih bergerak dalam bidang sosial (Susanto Tirtoprodjo, 1986: 11). Walaupun menjadi organisasi pertama yang tumbuh pada masa pergerakan nasional, Budi Utomo kurang berpengaruh terhadap penduduk pribumi. Oleh karena itu, maka timbullah gerakan-gerakan yang berdasarkan agama dan kepentingan dagang, serta aliran kebangsaan Hindia, yaitu dengan terbentuknya Sarekat Islam dan Indische Partij yang berdiri pada masa yang bersamaan sekitar tahun 1912 (Suwidji Kartonagoro, 1980: 409). Sarekat Islam pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam, yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Tujuan semula dari Sarekat Dagang Islam adalah memajukan perdagangan, melawan monopoli Tionghoa, dan 3 memajukan agama Islam. Kemudian atas desakan Omar Said Cokroaminoto, sifat gerakan SDI lebih diperluas dan tidak dibatasi pada kaum pedagang saja. SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912. Sarekat Islam merupakan organisasi pertama yang bergerak dalam bidang politik (C.S.T Kasil & Julianto, 1984: 25). Hampir bersamaan dengan berdirinya Sarekat Islam, pada tahun yang sama didirikanlah Indische Partij. Indische Partij (IP) didirikan oleh Douwes Dekker (DD) di Bandung pada tanggal 6 September 1912. Indische Partij merupakan organisasi campuran antara orang-orang Indo dengan Bumiputera. Indische Partij didirikan di atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia, sehingga Indonesia dijadikan “national home” bagi semua orang keturunan bumiputera, Belanda, Cina, Arab dan semua bangsa yang mengakui Hindia Belanda sebagai tanah air dan bangsanya (Suwidji Kartonagoro, 1980: 413-414). Tumbuhnya Sarekat Islam dan juga Indische Partij sebagai organisasi politik, kemudian segera diikuti dengan munculnya organisasi-organisasi yang lain yang juga mulai bersifat politik. Organisasi-organisasi politik yang muncul antara lain adalah De Indische Social Democratische Vereeniging (I.S.D.V), Nederlansch Indische Vrijzinninge Bond (N.I.V.B), Christelijke Ethische Partij (C.E.P), Indische Katholike Partij (I.K.P), dan lain sebagainya (Pringgodigdo, 1964: 1-18). Pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) telah membangkitkan kesadaran di kalangan bangsa-bangsa penjajah tentang hak asasi manusia, hak kebebasan dan kemerdekaan bangsa-bangsa, hak demokrasi, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal itu, mulai timbul gagasan-gagasan tentang pembentukan badan perwakilan rakyat. Di Hindia Belanda sendiri pembentukan badan perwakilan rakyat direalisasikan dengan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) yang resmi dibuka dan disahkan oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum pada tahun 1918 (Sartono Kartodirdjo, 2000: 135). Setelah Perang Dunia I, pelaksanaan Politik Etis mulai menampakkan kegagalan. Kelaparan, kemiskinan dan kebodohan mulai muncul dimana-mana, 4 dan perbedaan antara golongan Eropa dan Pribumi terlihat sangat mencolok. Perusahaan Belanda mengalami kemajuan pesat dan berlipat ganda. Sebaliknya usaha untuk membantu rakyat hanya dijalankan oleh pengusaha-pengusaha di daerah perkebunan masing-masing, dan semata-mata hanya untuk kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada waktu itu kegelisahan sosial semakin meluas. Pemberontakan-pemberontakan seperti di Jambi (1916), Pasarebo (1916), Cimareme (1918), Toli-toli (1920) merupakan perwujudan yang jelas dari kegelisahan sosial tersebut. Bahkan organisasi pergerakan juga telah dimanfaatkan sebagai media penyalur ketidakpuasan rakyat (Cahyo Budi Utomo, 1995: 78). Selain menghadapi suasana yang penuh kegelisahan tersebut, Van Limburg Stirum (1916-1921) juga dikejutkan oleh sebuah telegram yang diterimuanya dari Nederland yang menyatakan bahwa di Nederland telah terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh golongan sosialis di bawah Troelstra. Van Limburg Stirum khawatir kalau-kalau keadaan yang kacau di Nederland akan di manfaatkan oleh kaum pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di Indonesia, lebih-lebih karena hasutan Cramer seorang sosialis. Untuk menghindarkan kekhawatiran tersebut maka tanpa persetujuan dari Nederland, Van Limburg Stirum menyatakan sebuah janji untuk mengadakan perubahan kenegaraan secepatnya (Chr.L.M.Penders, 1977 :126). Tindakan Van Limburg Stirum tersebut menimbulkan reaksi hebat di negeri Belanda, yang dipandang sebagai konsesi yang tidak bertanggung jawab. Indenburg selaku Menteri Jajahan, mendukung tindakan itu dan beranggapan bahwa perubahan yang tepat adalah perubahan Dewan Rakyat yang perlu dijadikan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 80) Salah satu usaha untuk merealisasikan janjinya tersebut, Van limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal sebagai anggota dalam Dewan Rakyat. Tindakan itu bertujuan agar tertampung di dalamnya berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Di antara kaum radikal yang dianggkat ialah 5 Tjipto Mangunkusumo, Tjokroaminoto, Stokvis, dan Sneevliet (Sartono Kartodirdjo, 1999: 131). Selama pemerintahan Van Limburg Stirum perhatian dipusatkan pada ekonomi dan aksi perburuhan. Sedangkan aksi pergerakan nasional berorientasi ke fihak kiri dan sejak tahun 1921 menjadi lebih radikal, dikarenakan adanya krisis ekonomi tahun 1921, krisis perusahaan gula dan pergantian kepemimpinan dari Van Limburg Stirum ke tangan Gubernur Jendral Fock yang bersifat sangat reaksioner. Fock memerintah sangat otokratis dengan mengabaikan rakyat yang sedang berkembang. Pada masa pemerintahan Fock, tekanan pajak pada penduduk Jawa dan Madura naik sebesar 40%. Di samping itu politik penghematan juga dijalankan dengan ketat, sehingga menimbulkan penganguran di segala bidang (Suwidji Kartonagoro, 1980: 376). Akibat langsung dari politik Fock adalah terjadinya radikalisasi pergerakan nasional sejak tahun 1922. Dalam Dewan Rakyat kemudian muncul konsentrasi radikal dan gerakan non-kooperasi mulai meluas dikalangan kaum terpelajar. Aliran terakhir ini sangat condong ke arah gerakan sosialistis yang sejak tahun belasan sangat berpengaruh dalam pergerakan nasional (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 83) Pergolakan di Hindia Belanda terus berjalan dan memuncak pada akhir tahun 1926 dengan pecahnya pemberontakan di Banten, Sumatra Barat, dan daerah-daerah lain di Jawa. Hal itu menyebabkan Gubernur Jendral De Graeff (1926-1931) sebagai pengganti Fock, bertindak keras dan reaksinoner. Menghadapi aktivitas pergerakan rakyat yang semakin radikal dan revolusioner tersebut, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat keras. Penahanan secara besar-besaran telah dilakukan, ribuan orang yang dicurigai ditangkap dan dipenjarakan, banyak diantara mereka yang ditawan dan dibuang. Hak mengadakan pertemuan dibatasi dan pers disensor dengan sangat ketat. Pertemuan-pertemuan harus dihadiri oleh polisi yang diberi kekuasaan untuk membubarkan, apabila aktifitas kaum pergerakan dianggap menggangu ketentraman umum. Pada masa itu Hindia Belanda menyerupai Negara Polisi (Cahyo Budi Utomo, 1995: 81) 6 Pada tahun 1931 De Graeff diganti oleh De Jonge yang datang ke Indonesia pada saat malaise masih melanda dunia. Sikapnya sangat reaksioner, kejam dan tidak mengakui adanya pergerakan nasional. Politik De Jonge tidak memberi kebebasan bagi orang untuk mengeluarkan pendapatnya. Banyak diantara pemimpin yang dibuang atau dipenjara sehingga mereka tidak dapat berhubungan dengan organisasinya. Hak sidang dibatasi, pembatasan bergerak pers terus dilakukan dan hak exorbitante rechten (hak darurat istimewa atau wewenang istimewa) Gubernur Jendral terus dijalankan. Dengan kata lain pemerintah melakukan represi dengan ketat. Pemerintah berusaha melakukan kontrol ketat dengan memperkuat Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Rahasia) yang berusaha mengorek berita sedetail mungkin hingga memperoleh kepastian bahwa seseorang dicurigai dan seterusnya dikenakan sangsi pembuangan (Suhartono, 2001: 86-87). Pemerintah De Jonge yang bertindak picik dan keras ini telah mengakibatkan kelumpuhan pergerakan nasional. Politik keras ini dapat dikatakan berhasil dalam arti bahwa partai kehilangan anggota dan kontaknya dengan rakyat. Untuk menghindarkan dari kebinasaan maka diperlukan reorientasi dalam strategi dan taktik perjuangan. Maka pada masa ini pergerakan nasional mulai meninggalkan taktik nonkooperasi dan mulai bergerak secara parlementer, artinya menerima dan duduk dalam dewan perwakilan (Volksraad). Reorientasi ini juga mendorong ke arah persatuan dan kerjasama yang erat antara organisasi- organisasi pergerakan nasional. Perubahan taktik dalam menghadapi politik pemerintah kolonial tersebut sama sekali tidak mengubah tujuan perjuangan yaitu kesatuan nasional, persatuan organisasi-organisasi, dan kemerdekaan Indonesia (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993 :88). Salah satu usaha reorientasi pada masa itu yang dilakukan melalui Dewan Rakyat (Volksraad) antara lain dengan mengajukan Petisi Soetardjo pada tanggal 15 Juli 1936. Petisi ini diusulkan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dengan gagasan agar diadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Nederland untuk merencanakan perubahan-perubahan yang dalam waktu sepuluh tahun dapat memberi status merdeka kepada Indonesia. Pada tahun 1938 Petisi 7 Soetardjo akhirnya ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dengan alasan Indonesia belum matang (Sudiyo, 1997 :84). Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo ditolak, tetapi penolakan tersebut telah menimbulkan pengaruh antara lain adalah membangkitkan gerakan nasionalis dari sikap mengalah yang apatis yang telah menimpanya sejak gerakan non-koopersi dilumpuhkan menjadi lebih bersemangat untuk berjuang lebih keras dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Semangat itu telah melahirkan gagasan untuk membentuk federasi partai-partai politik kebangsaan dan mengambil langkah untuk menggabungkan seluruh kekuatan politik yang ada. Kemudian pada tanggal 21 Mei 1939 dibentuklah GAPI yang mempunyai tujuan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Tujuan itu kemudian dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen” (Cahyo Budi Utomo, 1995 : 164). Masalah ini penting untuk diteliti, karena pada masa ini kaum pergerakan mulai menggunakan Dewan Rakyat (Volksraad) untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yang sebelumnya hanya digunakan sebagai tempat untuk membicarakan Anggaran Belanja Negara saja. Salah satu usaha kaum pergerakan yang ditempuh melalui Volksraad yaitu dengan mengajukan sebuah petisi yang dikenal dengan sebutan Petisi Soetardjo pada tanggal 15 Juli 1936. Walaupun pada akhirnya ditolak, tetapi penolakan tersebut telah menimbulkan pengaruh yang antara lain mengubah sikap apatis kaum pergerakan menjadi lebih agresif untuk memperjuangkan cita-cita bangsa, yang kemudian diwujudkan dengan pembentukan GAPI. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara lebih mendalam, serta mengangkatnya kedalam skiripsi dengan mengambil Judul “PENGARUH PETISI SOETARDJO 15 JULI 1936 TERHADAP PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA”. 8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dalam beberapa permasalahan yaitu: 1. Apa latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo? 2. Bagaimana proses perjuangan Petisi Soetardjo melalui Volksraad? 3. Bagaimana pengaruh Petisi Soetardjo terhadap pergerakan nasional Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab perumusan masalah di atas yaitu untuk mengetahui : 1. Latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo. 2. Proses perjuangan Petisi Soetardjo melalui Volksraad. 3. Pengaruh Petisi Soetardjo terhadap Pergerakan Nasional Indonesia . D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1). Memberikan tambahan pengetahuan sejarah, khususnya yang berkaitan dengan Petisi Soetardjo yang dicetuskan pada tanggal 15 Juli 1936. 2). Dengan penulisan ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. 2. Manfaat praktis Secara praktis maupun implikasi, penulisan ini dapat bermanfaat : 1) Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih Sarjana Pendidikan Program Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2) Menambah bahan bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 9 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Kolonialisme Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni. Kata koloni di ambil dari bahasa latin colonia yang berarti tanah atau tanah pemukiman atau jajahan. Dalam arti luas koloni berarti pemukiman warga suatu negara di wilayah negara lain yang dinyatakan sebagai wilayahnya (Ensiklopedi Indonesia, 1982:1812). Dalam sejarahnya kolonialisme tidak dapat dipisahkan dengan adanya nasionalisme Eropa, khususnya nasionalisme yang lahir di Eropa Barat. Nasionalisme yang timbul ini membuat pembatasan yang tajam di antara negaranegara di Eropa Barat. Akibat dari tumbuhnya nasionalisme ini, bangsa Eropa menjadi sombong dengan bangsanya dan menganggap rendah bangsa yang lain. Sehingga nasionalisme Eropa Barat telah melahirkan kolonialisme di Dunia Timur (Suhartono, 2001: 6). Menurut Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77), “Kolonialisme adalah nafsu menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain”. Sedangkan menurut Cahyo Budi Utomo (1995: 2), “Kolonialisme dapat dipandang sebagai nafsu, sistem yang merajai atau mengendalikan ekonomi atas negeri bangsa lain”. Nafsu itulah yang kemudian menjiwai bangsa Eropa untuk keluar dari negerinya, berkelana mengarungi samudra yang luas untuk mencari daerah-daerah yang akan dijadikan sasaran. Dalam hal ini Asia menjadi ladang yang sangat subur untuk berbagai kepentingan mereka dan berkembangnya kolonialisme Eropa. Dengan kata lain, kolonialisme adalah suatu rangkaian daya upaya suatu bangsa untuk menaklukan bangsa lain dalam segala bidang. Hal ini selaras dengan pendapat C. S. T Kansil dan Julianto yang mengatakan bahwa, “Kolonialisme adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan : (a). dominasi politik, (b) 10 eksploitasi ekonomi dan , (c) penetrasi kebudayaan”. Sesuai dengan berbagai pendapat tersebut, maka kolonialisme Belanda di Indonesia juga berusaha untuk menguasai wilayah dan bangsa Indonesia di segala bidang dengan cara melakukan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan. Kolonialisme Belanda di Indonesia berusaha mendominasi penguasa pribumi dan memperalatnya untuk keuntungan Belanda sendiri. Pemerintah kolonial menjalankan Indirect rule yaitu pemerintahan tidak langsung, yang menggunakan penguasa pribumi untuk memerintah rakyat. Masyarakat pribumi hanya dijadikan sebagai bahan dasar industri Belanda dan sekaligus dijadikan sebagai pasar bagi barang-barang industrinya tersebut. Kolonialisme Belanda telah membuat masyarakat Indonesia mengalami banyak penderitaan dan menjadikannya bertambah miskin dan bodoh (Suhartono, 2001: 7). Kemiskinan, kebodohan dan penderitaan rakyat itulah yang menyebabkan rakyat melakukan berbagai perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia tersebut dapat dibedakan menjadi dua periode, yaitu : a. Sebelum Tahun 1900 Perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia sebelum tahun 1900 ini antara lain bersifat : 1. Perlawanan lokal (kedaerahan) 2. Perlawanan negatif : a. Pindah tempat atau mengundurkan diri ke daerah yang tidak atau belum terjangkau oleh kekuatan penjajah, b. Mencari perlindungan kepada ilmu gaib (ilmu Klenik) atau bertapa, 3. Perlawanan yang irasional, yang tergantung pada kekuatan seorang pemimpin yang kharismatis (mempunyai kepribadian yang magnetis), yang dianggap oleh pengikut-pengikutnya mempunyai kesaktian yang dapat dipancarkan kepada mereka, perlawanan macam ini selalu berakhir bila pemimpin itu tertawan atau terbunuh 4. Bagaimana tindak lanjut (follow-up) daripada pergerakan itu sesudah susunan mayarakat yang ada ditumbangkan belum difikirkan. b. Sesudah Tahun 1900 Sifat perlawanan berubah menjadi : 1. Perlawanan bersifat nasional (meliputi seluruh Indonesia) 11 2. Perlawanan yang positif dengan senjata dan taktik yang modern berupa diplomasi atau silat lidah, ide-ide yang diperoleh dari barat digunakan untuk melawan penjajah Belanda (senjata makan tuan) 3. Perlawanan itu diorganisir secara labih teratur dan rasional, dengan Anggaran Dasar (Anggaran Rumah Tangga), yang memungkinkan pergerakan bisa tahan lebih lama. Kehilangan seorang pemimpin tidak menjadi sebab utama kematian pergerakan, bahkan bersemboyan “patah tumbuh, hilang berganti”, atau “esa hilang dua terbilang”. Pergerakan modern mempunyai mass leadership and mass support 4. Masa depan bangsa sesudah pergerakan bisa menumbangkan susunan masyarakat lama dan mendirikan masyarakat baru, bagaimana pemerintahan harus disusun, bagaimana ekonomi harus diatur, bagaimana pendidikan harus diselenggarakan, dll.sudah dipikirkan (G. Moedjanto, 1988 : 25). Perlawanan-perlawanan yang terjadi sebelum tahun 1900 tersebut biasa disebut juga sebagai gejala protonasionalisme. Sedangkan nasionalisme baru bangkit setelah perlawanan-perlawanan tersebut mulai berubah lebih modern dengan tumbuhnya berbagai organisasi-organisasi modern pada awal abad ke-20. 2. Nasionalisme Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian , yaitu : dalam pengertian antropologis sosiologis, dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan-hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58). Sedangkan dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa teori yang menyebutkan antara lain : pertama, yaitu teori kebudayaan (cultuur) yang menyebut suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan ; kedua, teori negara (staat) yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamnya yang disebut bangsa ; ketiga, 12 teori kemauan (wils), yang menyatakan bahwa terbentukanya suatu bangsa karena adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama (Suhartono, 2001: 7). Di atas telah di terangkan bahwa bangsa dapat diartikan dalam pengertian antopologis sosiologis dan juga politik. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme juga dapat diartikan secara antropologis sosiologis dan juga secara politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghia Nodia yang dikutip oleh Larry Diamond dan March F. Plattner (1998: 18), yang menyatakan bahwa “Nasionalisme adalah mata uang yang berisi dua : yang satu aspek politik, yang lain aspek etnik”. Sedangkan menurut Lothrop Stoddard yang dikutip Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 44), “Nasionalisme adalah keadaan rohani, yakni suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah orang yang mempunyai suatu rasa kebangsaan (nationality), suatu perasaan tergolong bersama-sama menjadi bangsa”. Hal ini selaras dengan pendapat Ernest Renan yang dikutip oleh Cahyo Budi Utomo (1995: 20), yang menyatakan bahwa “Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan hingga mereka membentuk suatu bangsa”. Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat. Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang tergabung dalam kelompok Puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John Locke menyebrang ke Prancis dan Amerika Utara. Nasionalisme yang bangkit dalam abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga dimaksudkan untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional. Nasionalisme abad ke-18 itu telah melahirkan negara-negara kebangsaan (nationstate) di Eropa dengan menentukan batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan imperialisme di pihak lain. Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu juga berkembang di negara-negara di luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995: 17-18). 13 Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam abad ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka nasionalisme di Asia dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar. Kaum terpelajar mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat, dan membentuk organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal & Armaidy Armawi, 1998: 21-162). Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa. Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu bersifat passif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif dengan cara mengoper cara-cara barat yang baik dan membuang cara-cara yang buruk. Demikian pula dengan nasionalisme Indonesia (C. S.T Kansil dan Julianto, 1984: 15-16). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Abdulgani (th: 7), bahwa “Nasionalisme Asia adalah aliran yang mencerminkan kebangunan bangsabangsa Asia sebagai reaksi terhadap kolonialisme dari bangsa-bangsa Eropa”. Nasionalisme yang ada di Indonesia pada dasarnya sama dengan nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk dari reaksi atau antitesis terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang di jajah. Nasionalisme merupakan gejala histories yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T Kansil & Julianto, 1984: 16). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sartono Kartodirdjo (1992: 182), bahwa “Nasionalisme di Indonesia pada umumnya tidak terlepas pertumbuhannya dari kolonialisme. Kolonialisme tersebut dilakukan dengan cara eksploitasi, diskriminasi ras, dominasi politik dengan otoritarianisme, paternalisme, otokrasi, sentralisasi yang menimbulkan reaksi dalam berbagai 14 bentuk, mulai dari emansipasi, progresivisme, demokrasi, otonomi hingga revolusionisme”. Tumbuhnya nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan inilah yang menyebabkan munculnya nasionalisme. Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain adalah melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Tujuan dari nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan nasional. Nasionalisme tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan pergerakan nasional. Oleh karena itu sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan corak dan sifat organisasi pergerakan yang mewakilinya. 3. PERGERAKAN NASIONAL a. Pengertian Ditinjau dari istilah katanya “ Pergerakan” berasal dari kata dasar “gerak” (mendapat awalan per dan akhiran an). Di dalam bahasa Inggris pergerakan dapat diartikan “movement “.kemudian istilah pergerakan ini digunakan dalam sejarah perjuangan bangsa, menjadi “pergerakan nasional” yang identik dengan “kebangkitan nasional” (Sudiyo, 1997: 16). Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi modern ke arah kemerdekaan. Sedangkan menurut A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi secara modern ke arah perbaikan hidup suatu bangsa. Agak sedikit berbeda dengan kedua pendapat di atas, Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 32) menyatakan bahwa “pergerakan setidak-tidaknya mengandung dua pengertian. Pengertian pertama yakni mengacu pada perubahan menuju suatu keadaan tertentu yang di inginkan, sedang pengertian lainnya yaitu menunjuk pada fakta atau fakta-fakta proses perubahan tersebut”. 15 Sedangkan nasional, berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai kebangsaan. Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang mempunyai asal-usul yang sama atau sekelompok manusia dari keturunan atau ras yang sama. Dalam hubungannya dengan pergerakan nasional Indonesia, “nasional” di maksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 33-34). Adapun pengertian pergerakan nasional, dapat ditinjau melalui pendekatan “multidimensional”, yang berarti meliputi segala bidang, yaitu bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Namun di antara bidang-bidang tersebut yang paling menonjol adalah pergerakan nasional dalam bidang politik, karena penjajah menggunakan politik dalam segala bidang (Sudiyo, 1997: 17). Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yang dijajah yang bersifat obyektif maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya. Faktor obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan alam dari tanah airnya dan kemajuan peradaban dari bangsa yang bersangkutan. Ciri daripada penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor obyektif yang terdapat dinegerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh pandangan hidup dari suatu bangsa itu sendiri. Faktor subyektif bangsa penjajah yang kemudian terungkap dalam bentuk politik penjajahan yang dilakukan terutama di tentukan oleh kebijaksanaan dari pemerintah negeri induknya (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85) 16 b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (external). Tetapi faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor yang timbul dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor dari luar negeri hanya bersifat mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti bahwa sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan muncul, hanya waktunya agak lambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk lain (Sudiyo, 1997: 14). 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) ialah : Penderitaan akibat penjajahan ; bangsa Indonesia merasa senasib sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap penjajah. Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah kesatuan bangsa. Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah dan makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan. Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda di kalangan pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang dipopulerkan di lain pihak meyebabkan bahasa yang berasal dari sekitar Selat Malaka ini menjadi bahasa Indonesia; bahasa ini kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa yang ampuh. Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi yang modern. Pergerakan kebangsaan di Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi perjuangan kemerdekaan (semangat kedaerahan membuat kita terpecah belah dan lemah). Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit (G Moedjanto, 1988: 26). Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya pergerakan nasional itu, adalah sebagai berikut : 1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights,akibat perang Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789); 2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksaan Politik Etis (1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia, walaupun jumlahnya masih sangat sedikit; 17 3. Kemenangan perang Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bagsa penjajah (bangsa kulit putih); 4. Gerakan Turki Muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara kabangsaan yang bulat, dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu bahasa, ialah Turki; 5. Gerakan pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin alAfgani bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat untuk membentuk persatuan semua umat Islam di bawah satu pemerintah Islam pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di negara terjajah dan anti-imperialisme; 6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok dan Philipina (Sudiyo, 1997: 15). Perkembangan pergerakan nasional di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme Indonesia tumbuh seirama dengan berkembangnya pergerakan nasional, oleh karena itu maka sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan corak dan sifat organisasi pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan corak dan sifat dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu mencapai kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme. Dapat juga dikatakan bahwa munculnya pergerakan nasional Indonesia dijiwai oleh nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu maka pergerakan nasional pada masa tahun 30-an khususnya pada tahun 1936, saat Petisi Soetardjo dicetuskan lebih bersifat moderat, karena pada waktu itu yang ada tinggal nasionalis moderat, sedangkan nasionalis yang radikal telah disingkirkan. c. Wadah Perjuangan Pergerakan Nasional Pada umumnya kaum pergerakan nasional di Indonesia dalam hal taktik, sikap dan cara mencapai tujuan bersama dapat dibagi menjadi dua bagian yang berlawanan yaitu golongan revolusioner kontra evolusioner, atau golongan radikal kontra dengan golongan moderat, atau golongan kooperasi kontra golongan non kooperasi (Badri Yatim, 1999: 23-24). . 18 Non kooperasi adalah taktik perjuangan atau cara mencapai tujuan dalam pergerakan nasional dengan tidak mau bekerjasama dengan penjajah, sedangkan kooperasi adalah taktik perjuangan atau cara mencapai tujuan pergerakan nasional dengan bekerjasama dengan pemerintah kolonial (Suhartoyo Hadjosatoto, 1985: 22). Aliran kooperasi menganggap kemerdekaan ekonomi sangat penting dan harus dicapai lebih dulu daripada kemerdekaan politik. Aliran ini tak begitu bersifat keras, karena dapat bekerjasama dengan pemerintah jajahan. Sebaliknya aliran non kooperasi menganggap tiap-tiap kerjasama dengan pemerintah jajahan hanya akan memperkuat kedudukan penjajah. Oleh karena itu, aliran non kooperasi menjalankan politik yang dinamakan politik prinsipil yaitu menolak bekerjasama dengan pemerintah jajahan (C.S.T Kansil & Julianto, 1984: 20). Perjuangan dengan mengunakan taktik non kooperasi dapat dibagi menjadi dua pengertian lagi yaitu 1). Non kooperasi dalam pengertian sempit yang hanya tidak mau duduk sebagai anggota dalam badan-badan perwakilan baik di pusat maupun di daerah yaitu baik di Volksraad, Gemeenteraad, maupun Locale Raad; 2). Dan non kooperasi dalam pengertian yang lebih luas yang disamping menolak untuk bekerjasama dalam Dewan Perwakilan juga melarang anggotanya bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda (Susanto Tirtoprodjo, 1986: 22). Non kooperasi dalam arti yang sempit dapat di bagi menjadi dua pengertian lagi yaitu 1). non kooperasi dengan cara tidak bersedia duduk sebagai anggota Badan-badan Perwakilan, tetapi dalam hal bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial diserahkan kepada kebijaksanaan masingmasing anggota organisasi yang bersangkutan; 2). Non kooperasi yang menolak duduk dalam Badan-badan perwakilan tetapi menganjurkan para anggotanya supaya berusaha menjadi pegawai pemerintah kolonial baik yang sudah diduduki oleh penduduk Pribumi maupun yang belum, dengan maksud agar anggotanya mempunyai pengalaman dalam bidang tugasnya masingmasing (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 105-106). 19 Pembagian taktik, sikap atau cara kaum pergerakan menjadi dua golongan ini tidak menunjukkan bahwa kaum pergerakan kemudian menjadi saling bertentangan atau saling bermusuhan, tetapi pembagian tersebut hanya merupakan taktik yang kelihatannya memang sebagai dua hal yang bertentangan, tapi dibalik itu taktik yang berbeda tersebut dapat saling melengkapi, dan saling bekerjasama (Badri Yatim, 1999: 23-24). Untuk mencapai tujuan bersama, kaum pergerakan berjuang melalui wadah-wadah perjuangan nasional yang antara lain adalah: 1). Organisasi-organisasi Non Politik Organisasi modern pertama yang didirikan pada awal pergerakan nasional adalah budi utomo. Organisasi ini didirikan oleh sebagian pelajar STOVIA di Weltevreden (Jakarta), pada tanggal 20 Mei 1908. Pada awalnya organisasi ini bertujuan mengusahakan perbaikan pendidikan dan pengajaran, dan belum bergerak dalam bidang politik. Akan tetapi dalam perkembanganya, Budi Utomo kemudian berubah menjadi organisasi politik (C.S.T Kansil dan Julianto, 1984: 22-24). Organisasi berikutnya setelah Budi Utomo (BU) adalah Serikat Islam (SI) yang didirikan pada tahun 1911. Pada awalnya Serikat Islam(SI) masih bernama Serikat Dagang Islam (SDI) yang bertujuan memajukan perdagangan, melawan monopoli Tionghoa dan memajukan agama Islam. Serikat Dagang Islam (SDI) kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI) karena gerakan itu tidak lagi membatasi diri hanya dalam bidang perdagangan melainkan telah mencakup bidang-bidang lain seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, agama dan bidang sosial. SI mulai bersifat politik setelah kepemimpinan dipegang oleh H. Oemar Said Tjokroaminoto pada bulan Mei 1912 (S Silalahi, 2001: 23). Kebangkitan BU dan SI, di ikuti dengan munculnya organisasiorganisasi kedaerahan di berbagai tempat. Organisasi-organisasi itu antara lain Pasundan (1914), Sarekat Sumatra (1918), Ambonsch Studiefond (1909), Mena Muria (1911), Rukun Minahasa (1912), Yong Minahasa (1919),dan lain sebagainya yang mempunyai tujuan antara lain memperluas hak pemerintah 20 daerah. Sedangkan di Jawa bangkit gerakan-gerakan seperti Trikoro Dharmo yang diubah namanya menjadi Yong Java (1918), dengan tujuan membangun persatuan Jawa Raya (Kansil C.S.T & Julianto, 1984: 29-30). Selain organisasi-organisasi kedaerahan, tumbuh juga organisasi yang bersifat sosial keagamaan dan budaya, diantaranya adalah Muhamadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh K.H.Akhmad Dahlan. Muhamadiyah bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan dengan tujuan untuk memajukan pengajaran agama, pengertian ilmu agama, dan hidup menurut peraturan agama. Selain Muhamadiyah, organisasi keagamaan yang lain adalah Nahdatul Ulama (NU). Nahdatul Ulama di dirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasjim Asjari (Tebu Ireng Jombang), K.H.Dahlan, K.H Abdoel Wahab Hasbullah, dan lain-lain, sebagai reaksi terhadap kebangkitan golongan modernis. Tujuan NU adalah memajukan paham ortodoks menurut aliran Sjafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali dengan jalan memelihara hubungan antara ulama-ulama ke empat aliran tersebut. NU berusaha memajukan sekolahsekolah Islam dan memelihara masjid, langgar, surau, dan lain-lain sebagai tempat ibadah Islam (S Silalahi, 2001: 4-8). Pada umumnyan organisasi-organisasi non politik diatas menggunakan taktik, sikap atau cara kooperasi yang mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. 2). Organisasi-organisasi Politik Organisasi pergerakan yang pertama kali bersifat politik adalah Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912, yang kemudian baru diikuti oleh organisasi-organisasi lainya seperti Indinsche Partij (1912), de Indische Social Democratische Vereeniging (1914), Indische Katholieke Partij (1918), Partai Nasional Indonesia (1927), Parindra (1935), Gerindo (1937), dan masih banyak lagi (Pringgodigdo, 1964: 1-140) Diatas telah dijelaskan bahwa dalam hal taktik, kaum pergerakan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kooperasi dan non kooperasi. Di 21 mana non kooperasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian lagi. Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia pembagian tersebut dapat ditunjukkkan contohcontohnya sebagai berikut : organisasi pergerakan nasional yang berhaluan kooperasi adalah Budi Utomo. Sedangkan untuk organisasi pergerakan nasional yang berhaluan non kooperasi dalam arti luas yakni yang sama sekali tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial, dalam Badan Perwakilan, maupun sebagai pegawai pemerintah dan bahkan mengajurkan para anggotanya tidak bersedia bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berdiri pada 4 Juli 1927. Organisasi pergerakan nasional yang berpendirian non kooperasi dalam pengertian sempit yaitu yang hanya tidak mau duduk dalam Dewan Perwakilan tetapi memperbolehkan anggotanya bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial tanpa melarang atau menganjurkan adalah Partai Serikat Islam. Contoh dari organisasi pergerakan nasional yang bersifat non kooperasi tetapi menganjurkan pada anggotanya agar berusaha menduduki jabatanjabatan dalam pemerintah kolonial adalah Parindra (Susanto Tirtoprodjo, 1986: 22). 3). Dewan Rakyat (Volksraad) Dalam rangka menunjukkan adanya kemauan baik dari pemerintah Belanda di dalam mengatur kehidupan di wilayah jajahannya (Hindia Belanda), maka pada tanggal 21 Mei 1918 pemerintah Belanda membentuk sebuah Dewan Rakyat (Volksraad). Lembaga ini tidak menjadi dewan yang akan mengontrol jalannya pemerintahan di Hindia Belanda, akan tetapi hanya menjadi lembaga pemberi pertimbangan atau penasehat kepada Gubernur Jendral saja (Anhar Gonggong, 1985: 255). Struktur organisasi Volksraad pada awalnya terdiri dari seorang ketuaanggota (orang Belanda) yang diangkat oleh Ratu Belanda dan 46 orang anggota yang terdiri dari 26 orang Belanda dan 20 orang yang diangkat dari 22 golongan pribumi (8 orang diangkat oleh Gubernur Jendral, dan 12 orang oleh Dewan Daerah) (Ensiklopedia Indonesia, 1984: 3489). Pada tanggal 16 November 1918, di dalam Volksraad di bentuk sebuah Fraksi yang bersifat radikal yang dinamakan Radicale Consentratie. Radicale Consentratie ini bertujuan mengajukan dan mempertahankan keharusan adanya sebuah Majelis Nasional sebagai Parlemen Pendahuluan untuk menetapkan hukum dasar sementara. Radicale Consentratie ini juga mengajukan beberapa tuntutan antara lain : (1) Pembentukan Dewan Kerajaan ; (2) Perombakan Volksraad menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sempurna dengan hak atas dasar Undang-Undang ; (3) Perombakan Dewan Hindia (Raad Van Indie) menjadi Dewan Negara ; (4) Penggantian Kepala Departemen dengan Menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen ; (5) Penetapan Anggaran Belanja Negara ke arah desentralisasi. Untuk memenuhi tuntutan Radicale Consentratie ini, Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Desember 1918 melantik suatu komisi, yaitu Commissie tot Herziening van de Staatsinrichting van Nederlands Indie (Panitia Pembaharuan Susunan Ketatanegaraan Hindia Belanda). Akan tetapi komisi ini tidak dapat menjalankan tugasnya secara optimal, sehingga sampai Volksraad dibubarkan, tuntutan dari Radicale Consentratie ini tidak pernah terwujud (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1990: 23-24). Jika sebelumnya Volksraad hanya di beri kekuasaan sebagai penasehat saja, maka pada tahun 1925, posisi dan kekuasaan Volksraad sedikit demi sedikit mulai diperluas. Volksraad kemudian menjadi badan kolegeslatif dengan kekuasan untuk mengajukan petisi, dan mengubah Undang-Undang (Sartono Kartodirdjo, 1999: 45). Pada tahun 1927 Volksraad di beri kekuasaan membuat Undang-Undang bersama Gubernur Jendral yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda. Namun demikian, karena Gubernur Jendral mempunyai hak Veto, maka kekuasaan ini tidak banyak manfaatnya (Kahin, 1995: 52). Pada bulan Mei 1927, jumlah anggota Volksraad di tambah dari 46 orang menjadi 60 orang, yang terdiri dari 25 orang golongan pribumi (5 orang diangkat oleh Gubernur Jendral dan 20 orang dari Dewan Daerah, yang terdiri 23 dari 12 daerah pemilihan), 30 orang golongan Belanda dan 5 orang golongan Timur Asing. 20 orang dari Dewan Daerah yang terdiri dari 12 daerah pemilihan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : daerah pemilihan Jawa Barat 3 orang, Jawa Timur 4 orang, Vorstenlanden (Solo dan Yogyakarta) 1 orang, Sulawesi 2 orang, dan 7 daerah pemilihan lainnya masing-masing 1 orang. Untuk Vorstenlanden di tentukan syarat pemilihan sendiri yaitu : penunjukan atau pengangkatan dilakukan oleh panitia pemilihan yang terdiri dari Gubernur (Belanda), yang tertua dari Solo dan Yogya, dan ke empat Raja yaitu Sunan, Sultan, Mangkunegaran, dan Paku Alaman. Kemudian pada tahun1931, komposisinya di ubah menjadi 30 orang pribumi (20 orang di pilih, 10 orang di angkat), 25 orang golongan Belanda, dan 5 orang Timur asing (Ensiklopedia Umum, 1990: 1158) . Sebelum tahun 30-an, Volksraad tidak begitu berperan penting dalam pergerakan nasional, karena mayoritas pemimpin nasionalis menolak bekerja lewat dewan ini. Mereka menganggap bahwa dengan duduk dalam Volksraad ini, tujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka tidak akan tercapai, sehingga diperlukan cara-cara yang lebih radikal. Akan tetapi setidaknya Dewan Rakyat ini menjadi sarana bagi kaum nasionalis Indonesia yang menjadi anggotanya untuk mendidik masyarakat yang terpelajar tentang sasaran-sasaran yang lebih moderat dari pergerakan kebangsaan (Kahin, 1995: 52). Sejak tahun-tahun 1930-an, peranan Volksraad makin meningkat, karena lembaga inilah yang menjadi satu-satunya alat yang dibenarkan pemerintah kolonial untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan berbagai golongan. Antara tahun 1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju punya wakil dalam Volksraad saja yang dijamin mendapat sedikit kekebalan dari pengawasan polisi Belanda. Volksraad menjadi satu-satunya forum yang secara relatif bebas untuk menyatakan pendapat politik dan menjadi satusatunya cara bagi gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan dengan 24 cara mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda melalui dewan tersebut dan tidak dengan mengatur dukungan massa (Cahyo Budi Utomo, 1995: 161). 4). Media Massa (Pers) Media massa pada masa ini mempunyai peranan yang sangat penting. Media massa Indonesia mampu menciptakan forum yang jauh melampaui batas-batas arena politik yang hanya terbatas pada organisasi pergerakan saja. Media massa menjadi forum yang cukup bebas untuk mengajukan pendapat, pikiran, kritik sosial, dan lain sebagainya. Pada masa ini fungsi media massa (pers) sangat membantu tumbuhnya massa kritikal dalam masyarakat, kesadaran kolektif, dan solidaritas umum, sehingga berbagai pergerakan sebagai wahana aksi kolektif mendapat dukungan kuat. Tidak mengherankan bila kemudian berbagai aliran dan gerakan mempunyai persnya sendiri yang berperan sebagai juru bicaranya. Sungguh tak ternilai sumbangan pers dalam memperbesar volume informasi, meningkatkan intensitas komunikasi, mempercepat sirkulasi ide, serta membuka alam pikiran rakyat. Semua itu secara komulatif mendukung mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi di dalam gerakan emansipasi, gerakan kemajuan, dan akhirnya gerakan nasionalis dalam berbagai warna dan aliran (Sartono Kartodirdjo, 1995: 112-117). 4.Petisi Petisi berasal dari bahasa Latin Petitia yang berarti “permintaan”. Dalam Kamus Pelajar Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (2003: 499), Petisi diartikan sebagai permohonan resmi kepada pemerintah. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1984: 2700), Petisi diartikan sebagai pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal. Sedangkan dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila (1991: 134), Petisi diartikan sebagai permohonan atau pengajuan keberatan yang biasanya dilakukan kepada (salah satu instasi) pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat. 25 Dalam beberapa konstitusi dinyatakan bahwa pengajuan petisi menjadi hak dari setiap warga negara. Namun selain pada warga negara, hak petisi juga ada pada badan-badan pemerintah seperti Kotapraja, Kabupaten, Propinsi, dan sebagainya, agar pemerintah pusat membela atau memperjuangkan kepentingan daerahnya (Ensiklopedi Indonesia, 1984: 2700). Dalam sejarah Indonesia, petisi yang pernah diajukan antara lain adalah Petisi Soetardjo dalam Volksraad (1936) yang dibahas dalam skripsi ini dan Petisi 50 yang muncul pada permulaan tahun 80-an. Dinamakan Petisi 50 karena ditandatangani oleh 50 penandatangan. Petisi ini berisi tuntutan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar menanggapi Pidato Presiden Suharto di Pekanbaru (27-31980) dan di Cijantung (16-4-1980). Penandatangan Petisi 50 merasa berkeberatan terhadap penggunaan Pancasila dan ABRI untuk kepentingan golongan. Beberapa penandatangan yang terkenal diperiksa di Kejaksaan, dikenakan larangan berkunjung keluar negeri dan mengalami kemunduran dalam usaha-usaha bisnisnya. Setelah beberapa diantara mereka meminta maaf, maka mereka diperbolehkan pergi ke luar negeri dan diajak bertemu dengan anggota fraksi (Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, 1991: 134) 26 B. KERANGKA BERPIKIR Kolonialisme Belanda Penderitaan, kemiskinan dan kebodohan Nasionalisme Petisi Soetardjo Pergerakan Nasional Volksraad Ket: Belanda datang pertama kali di Indonesia pada tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis De Houtman yang mendarat di Banten. Sejak saat itu kolonialisme Belanda mulai diterapkan di Indonesia. Dalam politik kolonialnya, Belanda melakukan tindakan-tindakan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Di bidang politik, Belanda melakukan dominasi politik. Di bidang ekonomi, Belanda melakukan eksploitasi ekonomi. Di bidang kebudayaan, Belanda melakukan penetrasi kebudayaan. Dan di bidang social, Belanda telah menciptakan diskriminasi sosial antara penjajah dengan yang di jajah. Akibat dari politik kolonial Belanda tersebut telah menyebabkan penderitaan, kemiskinan dan kebodohan rakyat Indonesia. Kemiskinan, kebodohan dan penderitaan rakyat inilah yang untuk pertama kalinya menumbuhkan benih-benih nasionalisme pada diri bangsa Indonesia. Dengan tumbuhnya nasionalisme Indonesia ini, maka di mulailah masa 27 pergerakan nasional Indonesia. Rasa nasionalisme tersebut kemudian diwujudkan dengan cara melakukan perjuangan-perjuangan yang lebih bersifat modern menuju Indonesia merdeka. Untuk mencapai Indonesia merdeka bangsa Indonesia berjuang melalui dua jalan yaitu melalui parlemen (Volksraad) dan non parlemen (organisasi politik). Pada tahun-tahun sebelum tahun 30-an perjuangan pergerakan rakyat Indonesia lebih banyak melalui jalan non parlemen dan bersifat non kooperasi (radikal), tetapi pada tahun 30-an perjuangan pergerakan rakyat Indonesia lebih bersifat kooperasi (moderat) dan melalui parlemen. Hal ini dikarenakan pada tahun 30-an kekuatan fisik telah dilumpuhkan dan yang ada tinggal idealisme untuk mewujudkan cita-cita bangsanya. Dalam situasi seperti itu , Soetardjo Kartohadikusumo berusaha mencari jalan untuk membantu bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya yaitu dengan mengajukan sebuah petisi di depan sidang Voksraad. Petisi ini dikenal dengan sebutan Petisi Soetardjo. Setelah disetujui oleh sebagian besar anggota Volksraad, Petisi Soetardjo kemudian menjadi petisi dari Volksraad dan segera di kirimkan ke pemerintah tertinggi Belanda. Tetapi akhirnya pada tahun 1938, petisi ini ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan penolakan ini telah menimbulkan pengaruh yang sangat besar bagi pergerakan nasional Indonesia selanjutnya dalam mewujudkan Indonesia merdeka. 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul “Pengaruh Petisi Soetardjo 15 Juli 1936 Terhadap Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan teknik studi pustaka, yaitu suatu cara mencari data dengan membaca sumber-sumber tertulis baik di perpustakaan, instansi-instansi pemerintah maupun koleksi pribadi. Adapun perpustakaan-perpustakaan yang akan dipergunakan penulis dalam melakukan penelitian antara lain : 1. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Perpustakaan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Perpustakaan Daerah Surakarta. 6. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan majalah) Surakarta 7. Perpustakaan Hatta Yogyakarta 8. Perpustakaan Nasional Jakarta 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian merupakan jangka waktu penelitian yang peneliti gunakan untuk keperluan penelitian. Dalam penelitian ini, jangka waktu yang digunakan dimulai dari disetujuinya judul sampai penyusunan laporan hasil penelitian, direncanakan selama sebelas bulan yaitu November 2005 – Oktober 2006. 29 B. METODE PENELITIAN Menurut Koentjaraningrat (1983: 7), kata metode berasal dari bahasa Yunani, “methodos” yang artinya jalan atau cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2004: 42), metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan Kartini Kartono (1976: 15) menyatakan bahwa metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian. Dalam suatu penelitian, metode mempunyai peranan penting karena berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam suatu penelitian tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Dalam penelitian ini, karena yang diteliti dalam penelitian ini berupa peristiwa sejarah atau peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau, maka peneliti menggunakan metode penelitian sejarah atau metode penelitian historis. Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan, baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa yang akan datang (Hadari Nawawi, 1998: 78-79). Sedangkan Louis Gottschalk ( 1983: 32), mendefinisikan bahwa metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Sementara itu, menurut Winarno Surakhmad (1985: 132), metode Historis adalah sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah, yang dapat digunakan juga untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang. 30 Metode sejarah mempunyai beberapa langkah, seperti yang dikemukakan oleh Daliman (1971: 71), bahwa metode sejarah mempunyai empat langkah, yaitu (1) Heuristik, yakni kegiatan-kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa lampau; (2) Kritik (sejarah), yakni menyelidiki apakah jejak-jejak itu sejati baik bentuk maupun isinya; (3) Interpretasi, yakni menetapkan makna dan saling hubungan daripada fakta-fakta yang diperoleh; (4) Penyajian atau Historiografi, yakni menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk sesuatu kisah. Dari beberapa pengertian tentang metode historis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian historis atau penelitian sejarah adalah kegiatan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan di kaji, kemudian mengadakan kritik terhadap data yang telah diperoleh, selanjutnya menafsirkan makna yang saling berhubungan dengan data-data yang dipeoleh untuk selanjutnya menyusun suatu cerita sejarah. C. SUMBER DATA Sumber data atau sumber sejarah yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai bahan penulisan. Dalam penelitian yang dimaksud sumber data adalah subyek dari mana data dapat diperoleh (Suharsimi Arikunto, 1986: 102). Karena yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang kejadian yang terjadi dimasa lampau maka yang digunakan adalah data sejarah. Perkataan “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “datum” (bahasa latin), yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94). Menurut Dudung Abdurahman (1999: 30), “Data sejarah adalah bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Sumber data dalam penelitian historis dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : (1) Peninggalan material antara lain berupa candi, piramid, fosil, monumen-monumen, senjata, perhiasan, bangunan-bangunan tempat tinggal, peralatan atau perkakas kelengkapan kehidupan, benda-benda budaya, tempattempat keramat, dan lain-lain; (2) Peninggalan tertulis antara lain berupa prasasti, relief, daun tertulis (misalnya daun lontar), kitab-kitab, naskah-naskah perjanjian, arsip negara dan lain-lain; (3) Peninggalan tak tertulis atau budaya antara lain 31 berupa cerita rakyat atau dongeng, bahasa, adat istiadat atau hukum, kepercayaan dan lain-lain (Hadari Nawawi, 1998: 79). Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang tertulis. Menurut Louis Gotschalk (1983: 35), sumber tertulis dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer yaitu kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri, atau dengan panca indera lain, atau dengan alat mekanik menyaksikan peristiwa yang diceritakan. Sedangkan sumber tertulis sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata yaitu seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber tertulis primer maupun sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain surat kabar seperti Pemandangan, Soeara Katholiek, dan Penyebar Semangat; dan dokumen seperti Indonesia Selected Documents On Colonialism And Nationalisme 1830-1942. Sedangkan sumber tertulis sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Adapun buku-buku yang dipergunakan antara lain: a) “Soetardjo, Petisi Sutardjo Dan Perjuangannya” karya Setiadi Kartohadikusumo, b) “Dr. Sutarjo Kartohadikusumo, Hasil Karya Dan Pengabdiannya” karya Sutrisno, c) “Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945” karya Suhartono, d) “Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Dengan Pengakuan Kedaulatan” karya Sudiyo. D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data dalam penelitian sejarah merupakan langkah penting untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam metodologi sejarah tahap ini dinamakan heuristik yang berarti suatu ketrampilan dalam menemukan , menangani, dan merinci bibliografi atau mengklasifikasikan catatan-catatan (surat kabar, majalah, dan buku-buku). Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standart untuk memperoleh data (Mohammad Nasir, 1988: 211). 32 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah , dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan (Koentjaraningrat, 1983: 3). Sejalan dengan pendapat tersebut, Kartini Kartono (1976: 44) mengungkapkan bahwa penelitian yang menggunkan studi kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya buku-buku, majalah, naskah, catatan kisah sejarah dan dokumen. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku literatur, majalah dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah yang ditelti yang tersimpan di perpustakaan, arsip dan monumen. Teknik studi pustaka ini dilakukan dengan sistem kartu atau katalog dan sistem komputerisasi. Sistem kartu dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai pengarang, judul buku, nama arsip dan subyek penelitian. Sementara sistem komputerisasi dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai pengarang, judul buku, subyek, kata kunci, nama penerbit dan tahun terbit. 2. Membaca, mencatat, meminjam, meringkas dan memfotokopi sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku literatur yang relevan dengan tema penelitian yang tersimpan di berbagai perpustakaan 3. Menfotokopi dan mencatat sumber primer dan sekunder yang tidak bisa dipinjam seperti surat kabar dan majalah yang sesuai dengan masalah yang diteliti. E. TEKNIK ANALISIS DATA Berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data historis. Teknik analisis data historis adalah suatu analisis data sejarah yang 33 mengutamakan ketajaman dalam memberikan makna atau melakukan interpretasi terhadap fakta, sehingga diperoleh fakta sejarah atau sintesis sejarah. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumbersumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Interpretasi dapat dilakukan .dengan cara membandingkan data, guna menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang terjadi dalam waktu yang sama (Dudung Abdurahman, 1999: 65). Interpretasi data sejarah dilaksanakan dengan cara melaksanakan pengumpulan terhadap berbagai materi atau data yang sesuai dengan tema penelitian ini. Dari data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan kritik sumber. Kritik tersebut bisa berupa kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik intern adalah memberikan penilaian terhadap isi sumber apakah sumber tersebut dapat dipercaya atau tidak, seperti : identifikasi penulis sumber, cara berpikir penulis apakah mengarah pada perhatian hanya ke satu jurusan tertentu atau lebih luas daripada itu, latar belakang dokumen tersebut dibuat (verifikasi pembuat pernyataan karangan), dan unsur subyektifitas pengarang. Sedangkan kritik ekstern adalah memberikan penilaian terhadap keaslian atau otentisitas sumber dengan melihat isi luarnya, seperti : kertas yang dipakai, tinta yang digunakan, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya,ungkapanya, kata-katanya dan lain-lain. F. PROSEDUR PENELITIAN Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap penelitian dari awal sampai dengan penulisan laporan penelitian, karena penelitian ini termasuk jenis penelitian historis maka metode penelitian yang digunakan adalah metode historis. Berdasarkan metode historis langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Heuristik 34 Pada tahap ini peneliti berusaha untuk menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti dengan mengadakan klasifikasi atau penggolongan terhadap sumber-sumber yang banyak jumlahnya. Tahap ini merupakan tahap pertama pengumpulan data-data, karena peneliti menggunakan teknik studi pustaka, maka dalam pengumpulan data, peneliti melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan. Adapun perpustakaan yang banyak ditemukan sumber oleh peneliti antara lain adalah : Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS, Perpustakaan Program Sejarah UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Arsip dan Surat Kabar Monumen Pers, Perpustakaan Hatta Yogyakarta, dan Perpustakaan Nasional Jakarta. Setelah sumber atau data tersebut terkumpul, kemudian peneliti berusaha membaca, mencatat sumber-sumber tertulis tersebut berdasarkan periode waktu atau secara kronologis, serta memfotokopi literatur-literatur perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah penelitian. 2. Kritik Setelah sumber sejarah dalam berbagai klasifikasi sudah terkumpul, langkah selanjutnya ialah melakukan kritik sejarah. Kritik sumber dilakukan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber itu mempunyai otentisitas dan kredibilitas yang tinggi sehingga diperoleh keabsahan sumber. Dalam penelitian ini, kritik sumber dilakukan dengan melakukan kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern dilakukan dengan pengujian atas asli dan tidaknya sumber, yang berarti menyelidiki segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Bila sumber itu merupakan dokumen tertulis, maka harus diteliti kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, dan hurufnya. Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan sumber (kredibilitas). Dalam kritik intern, hal yang dilakukan adalah melihat dan menyelidiki isi dari sumber sejarah. Kritik ini digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh sumber dapat dipercaya atau tidak. Hal ini bisa dibuktikan apabila 35 pemberi kesaksian memberi prinsip positivisme yang mengandung pengertian bahwa saksi primer mampu dan berkeinginan menceritakan kebenaran atau dengan akurat melaporkan secara terperinci mengenai hal yang diteliti untuk mendapatkan pendukung terhadap suatu fakta (Louis Gootschalk, 1983: 102). Kritik intern digunakan untuk menilai dan menguji kredibilitas suatu sumber dari segi isi fakta dan ceritanya. Dalam penelitian ini, kritik intern dilakukan dengan cara melihat isi dari sumber, apakah sesuai dengan tema yang diteliti atau tidak. Jika sesuai dengan tema maka sumber tersebut dapat digunakan. 3. Interpretasi Interpretasi merupakan kegiatan menaksirkan data atau sumber yang telah diteliti keasliannya. Setelah melakukan kritik sumber akan didapatkan informasi mengenai suatu periode sejarah yang sedang dipelajari. Berdasarkan informasi tersebut dapat di susun fakta-fakta sejarah yang dapat dibuktikan kebenarnnya. Susunan fakta-fakta sejarah tersebut belum merupakan kisah sejarah. Fakta sejarah yang diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras. Peristiwa yang satu harus dimasukkan kedalam konteks peristiwa lain yang berhubungan. Proses penaksirannya menjadi suatu kisah sejarah yang integral, menyangkut proses seleksi sejarah. Untuk keperluan tersebut harus menggunkan fakta-fakta yang relevan juga. Dalam hal ini penulis menaksirkan dari data-data yang diperoleh untuk dianalisa dan dihubungkan antara data yang satu dengan data yang lainnya, sehingga mendapatkan gambaran penelitian yang utuh dan menyeluruh tentang peristiwa masa lampau yang akan diteliti berupa fakta sejarah. 4. Historiografi 36 Historiografi merupakan langkah terakhir yang merupakan langkah menulis fakta-fakta sejarah yang telah dikumpulkan, dianalisa, ditafsirkan sehingga tersusunlah sebuah karya sejarah. Data yang utama di peroleh dari sumber primer yang didukung dengan sumber-sumber sekunder yang diperoleh dari proses penelitian tersebut. Setelah terkumpul semua bahan-bahannya kemudian disusun dalam sebuah karya ilmiah yang berujud skripsi tentang Pengaruh Petisi Soetardjo 15 Juli 1936 Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia. Dari uraian diatas dapat dibuat bagan prosedur penelitian sebagai berikut : Heuristik Jejak Sejarah Kritik Sumber Interpretasi Fakta Sejarah Historiografi 37 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Latar Belakang Dicetuskannya Petisi Soetardjo 1. Terjadinya Krisis Malaise Dasawarsa ketiga abad ke-20, ditandai oleh suatu perkembangan yang pesat dalam bidang perusahaan, khususnya perusahan perkebunan. Hasil-hasil perkebunan meningkat sekali sehingga mampu mendorong ekspor serta menarik modal dari berbagai negara, yang antara lain dari Amerika dan Jepang. Akibatnya Indonesia terbuka lebar bagi lalulintas dunia. Selain itu, perkembangan ini juga membawa berbagai akibat dalam bidang politik dan sosial (Riyanta, 1997: 46). Dalam lapangan sosial, timbul usaha untuk mengatur perburuhan dan melindungi hak-hak kaum buruh, serta menetapkan upah yang pantas. Perhatian Internasional terhadap masalah perburuhan di Indonesia memaksa penguasa kolonial memenuhi dasar-dasar kemanusiaan dalam menciptakan peraturanperaturan bagi kaum buruh (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 84). Berbagai segi kehidupan yang masih terbelakang seperti pendidikan dan kesehatan rakyat ditingkatkan. Berbagai kegiatan berjalan sejajar dengan kemajuan dalam perusahaan dan perdagangan yang menciptakan suatu derajat kemakmuran, meskipun keadaan seperti itu hanya dapat dinikmati oleh lapisan atas dari masyarakat kolonial saja. Hal ini pada satu fihak menimbulkan kepercayaan pada penguasa kolonial di Hindia Belanda bahwa Indonesia dapat melaksanakan sendiri pemerintahan serta pembangunannya, dan di fihak lain menimbulkan ketegangan antara fihak majikan serta penguasa dengan fihak kaum buruh serta rakyat kecil pada umumnya. Terjadinya pemogokan-pemogokan dan agitasi-agitasi yang memuncak pada pemberontakan dalam tahun 1926 dan 1927 merupakan tanda yang jelas bahwa perkembangan sosial ekonomi Hindia Belanda membawa akibat meruncingnya hubungan yang tidak seimbang atau selaras dari penguasa dengan yang dikuasai (Riyanta, 1997: 46). 38 Perkembangan proses produksi yang sangat cepat dengan hasil yang bertambah besar serta upah yang sangat rendah, memerlukan penyesuaian tidak hanya terhadap evaluasi dari dunia luar, tetapi juga terhadap hak-hak asasi dari penduduk pribumi. Pemerintah kolonial terlalu mendasarkan pada kekuasaan yang dimilikinya dan kurang memperhatikan kepemimpinannya. Kepentingan rakyat terlalu diabaikan, politik terlalu ditentukan oleh pemerintah kolonial saja, serta terlalu terarah kepada kepentingan kolonial dan mengacu pada ukuran barat (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 85). Sementara itu, kepentingan kaum perkebunan dijadikan dasar politik ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut disebabkan karena perkebunan dijadikan tulang punggung dari pemerintah kolonial. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga meninggikan harga-harga bahan-bahan eksport yang berasal dari Indonesia di pasaran dunia. Dalam keadaan seperti itu, Golongan kepentingan seperti Vaderlansce Club (VC) menjadi sangat berpengaruh (Sartono Kartodirdjo, 1993: 179). Pada masa ini pemerintah kolonial Belanda menjadi pemilik perusahaan dan kaum pribumi yang menjadi pekerja upahan. Jarak perkembangan antara kedua belah fihak semakin besar. Dengan perkembangan yang sangat pesat dari perusahan-perusahaan, maka lebih banyak orang Belanda yang datang ke Indonesia dan berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya. Keadaan yang seperti digambarkan di atas secara mendadak berubah karena Hindia Belanda terseret ke dalam krisis ekonomi yang merjalela di seluruh dunia pada tahun 1929 (Riyanta, 1997: 47-48). Pada tahun 1929, perekonomian Eropa dan Amerika Serikat mengalami depresi hebat yang menjalar ke negara-negara lain di seluruh dunia. Hal inilah yang menyebabkan lembaga-lembaga perekonomian ambruk, bank-bank tutup, serta pabrik dan perusahaan perkebunan di seluruh dunia menjadi bangkrut. Masa ini sering disebut dengan zaman “meleset” yaitu suatu istilah untuk menyebut terjadinya malaise atau depresi ekonomi yang melanda negara-negara industri dan non industri pada tahun 1929 (Suhartono, 2001 : 85). 39 Bagi rakyat Indonesia, zaman meleset (dari malaise) berarti pengurangan kesempatan kerja, pemotongan gaji, turunnya harga-harga hasil pertanian, dan rendahnya upah. Akibat adanya depresi ekonomi, ekspor Indonesia mengalami penurunan, dari 1.483 (1929) menjadi menjadi 447 (1935). Upah turun dari f 18 (sebelumkrisis) menjadi f 7.50 (1935), untuk upah mandor; upah kuli bangunan, turun dari 40 a 45 sen (sebelum krisis) menjadi 10 a 14 sen (1935); dan upah kuli harian di pabrik perhari, sebelum krisis sebesar 25 a 35 sen, menjadi 10 sen. Sedangkan penurunan harga-harga produk rakyat dapat dirinci sebagai berikut: a) harga padi bulu, tahun 1929 sebesar f 4,90, turun menjadi f 1,83 (1935); b) harga kelapa dari f 6 (1929) turun menjadi f 1 (1935); c) harga singkong, dari f 1,45 (1929) turun menjadi f 0,70 (1935) (Sumitro Djojohadikusumo, 1989: 28-35). Di Sumatra dan Kalimantan, petani karet menderita pukulan depresi karena tindakan pemerintah yang membatasi produksi karet. Pembatasan ini dilakukan dengan mengenakan pajak yang sangat tinggi. Kerusuhan meningkat akibat kelaparan yang terjadi di mana-mana. Jumlah perusahaan barat mengalami penyusutan dari 178 pabrik gula menjadi 50 buah saja. Areal tebu menyusut dari 200.000 ha menjadi 34.200 ha, dan produksinya menurun dari 2. 923.550 ton menjadi 636.104 ton. Demikian pula terjadi penyusutan pegawai dan buruh musiman dari 129.249 menjadi 28.632. Kesulitan rakyat makin kompleks di perkebunan tebu, karena berkurangnya sewa tanah dan merosotnya harga barang kebutuhan (Suhartono, 2001 : 85-86) Kesemuanya itu merupakan akibat dari politik ekonomi yang pada suatu pihak menjalankan penghematan secara besar-besaran dan di pihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau tidak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor. Untuk mempertahankan tingkat keuntungan maka penurunan upah dijalankan. Di samping itu pengurangan volume produksi terpaksa dilakukan, maka dilaksanakan pemecatan kepada kaum buruh. Dalam ekonomi dualistik pihak ekonomi pertanian taradisionallah yang memperoleh tekanan paling berat. Akan tetapi, ekonomi pertanian tradisionallah yang dapat berfungsi sebagai wadah pengaman bagi sebagian besar tenaga kerja untuk 40 kembali mencari nafkahnya pada waktu mulai tumbuh banyak perkebunan rakyat, khususnya perkebunan karet (Sartono Kartodirdjo, 1993: 179). Semua tindakan Belanda tersebut diselaraskan kepada tuntutan untuk mempertahankan standar emas. Sehingga semua tindakannya tidak memperhatikan kepentingan penduduk. Kondisi itu semakin mempertajam garis pemisah menurut warna kulit, antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia. Kemewahan golongan bangsa Belanda dan sikapnya yang semakin tertutup, semakin menjauhkan pemerintah dari rakyat (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 87). Depresi ekonomi telah menimbulkan suatu perubahan radikal, dalam arti yang paling buruk. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa di banyak daerah, petani harus memikul beban hutang yang sangat banyak. Pada masa depresi berbagai panghasilan telah berkurang secara drastis, namun berbagai pengeluaran yang penting bagi kelangsungan kehidupan sosial di desa (pajak, tanah, pengeluaran menurut adat, pengeluaran untuk pakaian, angkutan, dan barangbarang impor) tetap tidak berubah.(Sumitro Djojohadikusumo, 1989: 253). Dengan latar belakang ini, maka mulai dilontarkan permasalahanpermasalahan tentang hubungan-hubungan antara kedua bangsa, dalam hal susunan pemerintahan, kedudukan politik masing-masing, dan nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan dari kedua bangsa dalam hidup bermasyarakat. Kaum pergerakan politik mulai memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia dalam suatu negara yang merdeka. Dalam mencapai tujuan bangsa, kaum pergerakan mempunyai perbedaan sikap dan pendirian. Ada yang berjuang dengan jalan non kooperasi, dan ada yang berjuang dengan kooperasi. Salah satu perjuangan yang ditempuh dengan jalan kooperasi adalah dengan mencetuskan Petisi Soetardjo (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 89). 2. Kebijakan Politik Pemerintah Kolonial Hindia Belanda Pada masa pergerakan nasional, kaum pergerakan nasional menempuh 2 cara atau taktik dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dua cara 41 yang ditempuh yaitu dengan cara kooperasi dan non kooperasi. Taktik non kooperasi mulai di terapkan oleh organisasi pergerakan sejak tahun 1924, dan berperan paling efektif saat PNI lahir. Namun, karena terjadinya Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1929 yang juga melanda Indonesia dan mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda, maka partai-partai yang non kooperasi tersebut mulai ditindak oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir, kalau keadaan ekonomis yang buruk akan membuat rakyat peka serta mudah dipengaruhi oleh para pemimpin pergerakan, yang mungkin sekali akan mempergunakan kesempatan untuk menghasut (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 90). Dalam rangka mencegah, membatasi, ataupun menindak pergerakan nasional, pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan beberapa peraturan pemerintah, yang antara lain adalah : a). Pasal-pasal “Karet” Dalam KUHP Beberapa pasal dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, ada yang dikenal sebagai pasal “karet” . Dinamakan Pasal karet, karena segi konotasi arti dari perkataan-perkataan yang dipergunakan dalam pasal tersebut tidak mengandung makna pasti tetapi bersifat elastis sehingga dapat diterapkan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh para penguasa guna mengatasi berbagai kasus yang merugikan atau mengancam sistem kolonial (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 108). Menurut Susanto Tirtoprodjo (1986: 52-53), pasal-pasal karet yang dimaksud antara lain adalah : 1). Pasal 153 bis “ Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk menggangu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimun Rp 300,00”. Perkataan-perkataan yang bersifat karet yaitu “menyindir”, “samarsamar” dan “menggangu keamanaan umum”, sehingga segala bentuk 42 pembicaraan dalam rapat maupun penulisan di media massa harus sangat berhati-hati, karena bisa dianggap menyindir, samar-samar, maupun menggangu keamanan umum. 2). Pasal 153 ter “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau memempelkan tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis dapat di hukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Pasal ini sifat karetnya sama dengan isi pasal 153 bis, tetapi pasal ini khusus ditujukan pada para penanggungjawab media massa (termasuk redaktur) yang tidak menyebutkan nama penulis atau menggunakan nama samaran bagi nama penulisnya, jika ternyata tulisan tersebut dianggap melanggar pasal 153 bis. 3). Pasal 161 bis “Barang siapa menimbulkan atau memperluas pemogokan sedang ia tahu kalau dapat mengira-irakan bahwa pemogokan itu akan mengakibatkan gangguan keamanan atau kegoncangan dari kehidupan ekonomi dalam masyarakat, dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 1.000, 00”. Perkataan-perkataan yang bersifat “karet” dalam pasal ini yaitu “dapat mengira-irakan”, “ganguan keamanan umum, dan kegoncangan dari kehidupan ekonomi dalam masyarakat “. Pasal yang mengandung ketentuan bahwa pemimpin (buruh) yang menganjurkan, menimbulkan atau memperluas pemogokan dianggap melanggar hukum dan dapat di penjarakan atau di denda. 4). Pasal 171 bis “Barang siapa dengan sengaja karena menyiarkan kabar bohong menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat dapat di hukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Pasal ini biasanya dipergunakan untuk menindak para pemimpin pergerakan nasional. Selain pasal-pasal diatas masih ada pasal 169 KUHP yang isinya “ barang siapa turut serta menjadi anggota suatu perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatan-kejahatan akan di hukum”. 43 Pasal ini digunakan untuk membuat sebuah partai dinyatakan sebagai partai terlarang (Ali Sastroamidjojo, 1974: 106). b). Exorbitante Rechten Exorbitante Rechten adalah hak darurat istimewa atau wewenang istimewa yang dipunyai oleh Gubernur Jendral. Exorbitante Rechten mencakup kekuasaan untuk Externing, Interning, dan Verbanning. Externing merupakan hak dari Gubernur Jendral untuk mengusir orang dari seluruh wilayah Hindia Belanda. Interning adalah hak dari Gubernur Jendral untuk menunjuk suatu tempat yang tertentu bagi seseorang dan tidak boleh meninggalkan tempat itu. sedangkan Verbanning adalah hak Gubernur Jendral untuk melarang seseorang bertempat tinggal di daerah-daerah lainnya ( Nyoman Dekker, 1993: 73-74 ). c). Penindasan hak berserikat Pada awalnya Undang-Undang utama yang berlaku di Hindia Belanda yang melarang sama sekali perkumpulan yang bersifat politik adalah pasal III Regerings-Reglement. Sejak 1 September 1919 pasal III Regerings-Reglement kemudian diubah dalam arti hak berserikat diakui penuh, tetapi dalam penggunaannya hak tersebut masih dibatasi. Pembatasan tersebut dimuat dalam keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 17 Desember 1918 dan mulai berlaku sejak 1 September 1919, yang dalam pasal 3 melarang perkumpulan-perkumpulan yang: (a) Keberadaannya atau tujuannya dirahasiakan (b) Oleh Gubernur Jendral dinyatakan bertentangan dengan keamanan umum (Susanto Tirtoprodjo, 1986: 55) d). Muilkorf Circulaire (sikuler-pemberangusan) Muilkorf Circulaire merupakan surat edaran Gubernur Jendral tertanggal 27 September 1919, yang berisi larangan bagi pegawai pemerintahan untuk mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang dapat merongrong kekuasaan pemerintah. Pasal ini dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan para 44 pegawai pemerintah dalam pergerakan nasional dengan berbagai sanksi antara lain di pindah ke tempat lain, diturunkan pangkatnya dan bahkan dipecat (Suhartoyo Hardjosatoto, 1989: 112). e). Alat-alat yang lain Di dalam prakteknya, untuk menekan dan menghalangi semua aktivitas pergerakan kebangsaan, pemerintah menciptakan PID (Politiek Inlichtingen Dienst). Dinas rahasia ini sesuai dengan namanya bertugas mengikuti dan mencium gerak-gerik serta kegiatan politik yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga mempunyai Sarekat Hidjo, yang bertugas melaksanakan intimidasi kepada rakyat yang berani menentang pemerintah. Khusus untuk mengatasi masalah agama, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kantor Van Godsdienst Zaken, dengan politik yang tertentu. Kantor Van Godsdienst Zaken bertugas mengusahakan agar jangan sampai gerakan atau partai-partai agama ikut campur urusan pemerintah, khususnya pemerintah Hindia Belanda. Untuk menentukan prosentase pajak yang dapat dibebankan kepada rakyat, pemerintah kolonial membentuk komisi-komisi untuk menyelidiki kemiskinan. Komisi-komisi tersebut antara lain adalah Mindere Welvaart Comissie dan Budget Onderzoek (Nyoman Dekker, 1993: 67-77). Dengan berbagai alat-alat pemerintah yang telah dijelaskan diatas, banyak organisasi politik yang terkena pembatasan dan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927 dengan diketuai oleh Soekarno juga mengalami pembetasan dan pengawasan dari pemerintah. Dibawah pimpinan Soekarno, PNI berkembang sangat pesat dan menjadi partai terbesar saat itu. Pemerintah Belanda merasa khawatir dengan perkembangan PNI, dan oleh karena itu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Vaderlandsche Club pada tahun 1929 untuk mengimbangi kekuatan PNI. Vaderlandsche Club kemudian mendesak pemerintah agar segera mengambil tindakan tegas terhadap PNI. Begitu juga dengan surat kabar-surat 45 kabar Belanda yang selalu mengadakan kampanye untuk melawan PNI (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 210-215). Pada tanggal 25 Desember 1929, Soekarno dan kawan-kawannya di tangkap oleh polisi di Yogyakarta untuk di bawa ke Bandung. Selain penangkapan Soekarno dan kawan-kawannya, juga diadakan penggeledahan dan penangkapan kepada kaum pergerakan di berbagai daerah. Penangkapan dan penggeledahan tersebut antara lain terjadi di Jakarta dengan penangkapan sebanyak 50 orang, di Bandung 41 orang, di Cirebon 24 orang, di Pekalongan 42 orang, di Sukabumi dan Cianjur 31 orang, di Surakarta 11 orang, di Medan 25 orang, di Ujung Pandang 18 orang, di Padang 2 orang, di Semarang 30 orang dan di tempat-tempat lain sehingga semuanya berjumlah lebih dari 400 orang. Penangkapanpenangkapan yang dilakukan kepada kaum pergerakan nasional tersebut sangat ditentang oleh seluruh kaum pergerakan (Suwidji Kartonagoro, 1980: 438). Adapun alasan-alasan yang melandasi penangkapan Soekarno beserta kawan-kawannya adalah keputusan dari Landraad, yang menyatakan bahwa Soekarno dan kawan-kawannya telah melanggar pasal-pasal 153 bis dan 169 KUHP Hindia Belanda. Pada pemeriksaan di dalam sidang pengadilan Landraad, pelanggaran yang dilakukan oleh Soekarno dan kawan-kawan lebih dititik beratkan pada pelanggaran pasal 169, sedangkan pelanggaran 153 bis dianggap tidak begitu penting. Pasal 169 menentukan bahwa barang siapa turut serta menjadi anggota suatu perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatankejahatan akan dihukum. Dengan demikian PNI di anggap sebagai perkumpulan yang dilarang oleh pasal 169 KUHP. Keputusan Landraad yang dijatuhkan pada PNI tersebut, dimaksudkan untuk mematikan PNI tanpa harus melakukan tindakan administratif. Dengan keputusan Landraad tersebut, pemerintah Hindia Belanda mendapat senjata hukum formil untuk melumpuhkan kegiatan PNI (Ali Sastroamidjojo, 1974: 106). Pada tanggal 18 Agustus 1930 sampai dengan 29 September 1930, empat orang tokoh PNI yaitu Soekarno (Ketua PNI), R. Gatot Mangkoepraja (Sekretaris II PB. PNI), Markoen Soemadiredja (Sekretaris II Pengurus PNI Cabang Bandung), dan Soepria Dinata (anggota PNI cabang Bandung) di ajukan ke depan 46 pengadilan di Bandung. Pada tanggal 22 Desember 1930, sidang Landraad menjatuhi hukuman penjara selama empat tahun pada Soekarno dan kawankawannya. Soekarno dan kawan-kawannya dipenjarakan di penjara Sukamiskin, Bandung. Penangkapan atas pemimpin-pemimpin PNI, terutama Soekarno yang merupakan jiwa penggerak PNI, ternyata merupakan pukulan yang sangat keras terhadap PNI. Oleh karena itu, maka pada kongres Luar Biasa Ke II di Jakarta, tanggal 25 April 1931,diambillah keputusan untuk membubarkan PNI (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1980: 216). PNI memutuskan untuk membubarkan diri dengan alasan bahwa keputusan Landraad tersebut pada hakekatnya bermaksud mematikan dan setidaktidaknya melumpuhkan PNI. Oleh sebab itu, lebih baik bagi PNI untuk membunuh diri dari pada mati konyol. Keputusan Konferensi Luar Biasa PNI tersebut dihadiri oleh mayoritas dari wakil-wakil dewan-dewan daerah. Pernyataan tentang pembubaran PNI ditandatangani pada hari Sabtu tanggal 25 April 1931 di Gedung Permufakatan Nasional, Gang Kenari Jakarta. Adapun pemimpin-pemimpin yang ikut menandatangani pembubaran PNI antara lain adalah : Mr. Sartono, S. Angronsudirdjo, Ir. Anwari, Suwirjo, Soekemi, Munadi, Sungeb (Surakarta), Soekarta (Jakarta), Soebrata (Jakarta), Kr. Lawi (Pekalongan), M. Yahya Ns (Pekalongan), Noengtjik (Palembang), Mr. Sujudi (Yogyakarta), Soetardjo (Bandung), Moh. Thaib (Bandung), Wijono (Magelang), Soedarmo (Malang), Atmadji (Surabaya), Pranoto (Surabaya), Dwijopranoto (Semarang), Atmosantoso (Semarang), Mr. Ali Sastroamidjojo (Madiun), Soedjadi (Jakarta) (Ali Sastroamidjojo, 1974: 106-107). Pembubaran PNI telah mengakibatkan perpecahan di kalangan pendukung-pendukung PNI. Masing-masing fihak kemudian mendirikan partaipartai baru yang antara lain mendirikan Partai Indonesia (Partindo) pada tanggal 26 April 1931 dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) pada bulan Desember 1933. Partindo di pimpin oleh Mr. Sartono CS, sedangkan PNI-Baru di pimpin oleh Moh Hatta dan St. Syahrir CS. Perbedaan keduanya adalah apabila PNI-Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial, maka Partindo percaya bahwa organisasi massa dengan aksi massa adalah senjata yang tepat 47 untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun terdapat perbedaan, tetapi Partindo maupun PNI-Baru setuju bahwa kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan yang utama yang harus di capai dengan taktik non-kooperasi (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 216-217). Selain PNI, PBI yang memusatkan perjuangannya pada masalah-masalah sosial dan ekonomi, sebagai akibat dari depresi ekonomi juga di awasi oleh pemerintah. Kegiatan PBI yang mengatasnamakan kepentingan petani kecil secara tidak langsung mempunyai akibat politik yang kuat. PBI berkembang pesat selama tahun-tahun depresi ekonomi, yang terbukti dengan terdaftarnya puluhan ribu petani kecil ke dalam organisasi yang bertujuan memperbaiki taraf hidup tersebut. Oleh karena itu, maka aktifitas PBI diawasi secara ketat oleh pemerintah karena dianggap dapat berpotensi menggangu ketenangan dan ketertiban masyarakat (John Ingleson, 1983: 140-141). Pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno dibebaskan dari penjara Sukamiskin. Soekarno berada di penjara Sukamiskin selama 2 tahun, padahal seharusnya ia menjalani hukuman selama 4 tahun. Tanpa di minta, Soekarno mendapat Grasi dari Gubernur Jendral sehingga hukumannya di kurangi menjadi 2 tahun. Setelah keluar dari penjara Soekarno kemudian masuk menjadi anggota Partindo (Ali Sastroamidjojo, 1974: 108). Pada tahun yang sama dengan pembebasan Soekarno tepatnya pada bulan September 1931, di dalam pemerintahan Hindia Belanda telah terjadi pergantian Gubernur Jendral yaitu dari Gubernur Jendral De Graeff ke Gubernur Jendral yang baru bernama De Jonge. Dalam bidang politik penjajahan, nama De Jonge tidak begitu dikenal. De Jonge adalah bekas menteri pertahanan Belanda dalam Kabinet Cort Van Der Linden, yang kemudian untuk beberapa waktu menjabat Direktur Royal Dutch. Sudah sejak pidato pengukuhannya pada tanggal 12 September 1931, De Jonge telah membayangkan bagaimana sikapnya terhadap pergerakan nasional (Slamet Mulyono, 1986: 43). De Jonge adalah sahabat baik dari Perdana Menteri Colijn. Pengetahuan De Jonge tentang Indonesia sangat kurang. De Jonge adalah Gubernur Jendral yang buta atas adanya dan artinya pergerakan kebangsaan Indonesia serta tidak 48 mau memahami dasar pergerakan nasional. Oleh karena itu , De Jonge tidak memiliki pengertian yang wajar tentang pergerakan nasional di negara jajahan yang dipimpinnya (Pusara, 1981: 481). Dengan sendirinya tidak ada rasa simpati sedikitpun terhadap gerakan nasional. Akibatnya adalah tindakan tegas terhadap pergerakan nasional yang dianggapnya berbahaya sebagai satu-satunya usaha untuk menyelamatkan pemerintah kolonial. Pergerakan nasional baginya bukan soal yang harus diselesaikan pada tingkat politik, tetapi adalah persoalan polisi. Demikianlah sikap De Jonge yang sangat diktatorial ( Slamet Mulyono, 1986: 43) Selain itu, Gubernur Jendral De Jonge juga di anggap sangat reaksioner dan kejam. Hal tersebut dikarenakan De Jonge tidak mau memberikan kebebasan kepada rakyat untuk mengeluarkan pendapatnya. Banyak diantara pemimpin pergerakan yang di buang dan di penjara sehingga mereka tidak dapat berhubungan dengan organisasinya. Hak bersidang di batasi, pemberangusan pers dijalankan, begitu juga dengan hak Exorbitante Rechten Gubernur Jendral yang terus dijalankan. Dengan kata lain pemerintah melakukan represi dengan ketat kepada para nasionalis. Pemerintah beruaha melakukan kontrol ketat dengan memperkuat Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Rahasia yang berusaha mengorek berita sedetail mungkin hingga memperoleh kepastian bahwa seseorang di curigai dan seterusnya dikenakan sangsi pembuangan (Suhartono, 2001: 8687). Periode antara awal tahun 1932 sampai dengan pertengahan tahun 1933 ditandai tidak hanya oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan Soekarno. Di sini di jumpai kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik sehingga gerakan nasionalis sebagai totalitas menjadi produktif, dan dalam kondisi ekonomis serta situasi politik yang buruk terjadi perbenturan kekuatan nasionalis dengan kekuasaan kolonial. Akselerasi aktivitas politik yang terjadi, pada satu pihak hanya memancing politik serta tindakan yang semakin reaksioner kepada pihak yang lain. Lebih-lebih dalam hal ini pemerintah Gubernur Jendral De Jonge 49 tidak tanggung-tanggung secara konsekuen menjalankan politik purifikasi atau pemurnian artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua pergerakan dalam bentuk non-kooperasi (Sartono Kartodirdjo, 1999: 176). Pada bulan September 1932, pemerintah mengumumkan suatu peraturan sekolah-sekolah liar ( Wilde Scholen Ordonatie) yang mengharuskan adanya izin dari pihak penguasa sebelum sebuah sekolah swasta yang mendapat subsidi pemerintah (yang menempatkan suatu sekolah di bawah pengawasan pemerintah dapat didirikan (Ricklefs, 1992: 286). Selain itu pada 1 Oktober 1932, politik De Jonge juga menciptakan peraturan Toezicht Ordonnantie (Ordonasi Pengawasan) yang dapat menolak ijin untuk menyelenggarakan pengajaran apabila di pandang membahayakan ketertiban masyarakat. Kedua peraturan itu sudah barang tentu mendapat pertentangan hebat, karena pemerintah Hindia Belanda dirasakan sangat kurang memberi kesempatan bagi pribumi untuk menuntut pengajaran, bahkan usaha pribumi sendiri yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara juga di halanghalangi. Meskipun pemerintah kolonial Belanda sangat hati-hati dalam menjalankan peraturan tersebut, akan tetapi kebebasan pengajaran tetap terancam (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 90). Oleh karena itu, maka Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa bersamasama dengan kelompok Islam, memimpin suatu kampanye untuk melawan peraturan tersebut. Kampanye tersebut mendapat dukungan dari Budi Utomo dan anggota-anggota Volksraad dengan mengecam peraturan tersebut dan menolak anggaran belanja pendidikan pemerintah. Akhirnya peraturan tersebut dicabut oleh Gubernur Jendral De Jonge pada bulan Februari 1933 (Ricklefs, 1992: 286). Pada tanggal 5 februari 1933, para pelaut Belanda dan Indonesia yang berada di atas kapal angkatan laut Belanda De Zeven Provincien melakukan pemberontakan ketika kapal tersebut berada di lepas pantai Sumatra. Sebab pemberontakan ini adalah penurunan gaji semua pegawai pemerintah sebanyak 17 persen yang diumumkan pada tanggal 1 Januari. Penurunan ini merupakan bagian dari usaha-usaha pemerintah untuk memperkecil perbedaan antara pendapatan dan 50 pengeluaran ketika depresi ekonomi membuat pendapatan pemerintah menurun secara drastis (John Ingleson, 1983: 231). Sebenarnya peristiwa tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masalah politik, namun hal tersebut mampu membuat fihak Belanda merasa takut dan panik. Oleh karena itu, dengan menggunakan PID nya, Gubernur Jendral melarang setiap rapat membicarakan atau menyinggung peristiwa kapal perang De Zeven Provicien tersebut. Kalau larangan tersebut dilanggar maka rapat akan di bubarkan (Ali Sastroamidjojo, 1974: 114). Pada awal tahun 1933 rapat-rapat yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh radikal pergerakan nasional, yang dipandang sebagai forum penghasut untuk melakukan pemberontakan, dibubarkan oleh polisi. Pembubaran rapat-rapat terjadi di Surabaya, Purworejo, Probolinggo, Cilacap, Kebumen, dan sebagainya. Bagi Partindo, sebagai partai yang radikal, pembubaran rapat-rapat itu sangat menguntungkan, karena dapat menjadi bahan propaganda untuk lebih radikal lagi sifat dan tindakannya. Sebenarnya ribuan rapat telah diorganisasikan oleh partaipartai non-kooperasi antara bulan oktober 1932 sampai dengan Februari 1933. Kegiatan tersebut meliputi seluruh daerah Jawa dan Madura. Rapat-rapat tersebut umumnya memprotes politik penindasan De Jonge, seperti protes terhadap dikeluarkannya ordonasi sekolah liar yang ditetapkan tahun 1932. Ordonasi ini merupakan usaha politik kolonial untuk mengawasi sekolah-sekolah swasta. Protes-protes kaum pergerakan itu telah menciptakan suatu tingkat kerjasama antara organisasi politik dengan organisasi non politik. Protes-protes tersebut sangat dikhawatirkan oleh pemerintah Belanda akan mengancam kedudukannya (Cahyo Budi Utomo, 1995: 151-152). Dalam suasana yang semakin panas, De Jonge juga mengadakan pemberangusan terhadap Surat Kabar Fikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli 1933 yang memuat sebuah cartoon. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1933, semua rapat Partindo dan PNI Baru dilarang serta menahan Sukarno. Tanggal 27 Juni 1933, dikeluarkan keputusan Gubernemen yang melarang setiap pegawai negeri menjadi anggota PNI Baru dan Partindo (Sartono kartodirdjo, 1999:177). 51 Langkah selanjutnya dari politik tangan besi De Jonge adalah dengan menangkapi pemimpin-pemimpin pergerakan yang tidak begitu radikal, pada tanggal 25 Februari 1934. Pemimpin-pemimpin pergerakan yang ditangkap antara lain adalah Mohammad Hatta, Sutan sjahrir, Maskun, Burhanuddin, dan lain-lain. Tindakan semacam ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat Indonesia. Untuk menumpas kegiatan politik, dalam tahun 1934 diadakan penggeledahan di mana-mana. Anggota PNI-Baru dan Partindo yang berkumpul lebih dari dua orang di tangkap. Rapat-rapat pemuda dan wanita dibubarkan tanpa adanya Undang-Undang yang melarangnya. Sedangkan pemimpin-pemimpin pergerakan yang ditangkap kemudian dipindahkan ketempat lain. Pemimpinpemimpin tersebut antara lain Soekarno, ditangkap dan di buang ke Flores kemudian dipindahkan ke Bengkulu, Drs. Moh Hatta dan Sutan Sjahrir dibuang ke Banda. Pada tanggal 16 November 1934 beberapa pemimpin PNI-Baru diasingkan ke Digul, dan kegiatan partainya dihentikan sama sekali (Sutrisno, 1982/1983: 35-36). Sedangkan Partindo, walaupun pada tahun 1935 sudah berusaha mengubah anggaran dasarnya, dan menghilangkan pasal-pasal yang tidak disukai pemerintah, serta mengubah asas non kooperasi menjadi kooperasi, tetap saja masih mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya pada tanggal 18 November 1936, akhirnya Partindo membubarkan diri (Slamet Mulyono,1986: 48). Sementara itu, tokoh-tokoh pergerakan yang luput dari tindakan pengasingan dan pemenjaraan setelah tahun 1935, melanjutkan perjuangan lewat Dewan Rakyat. Banyak dari tokoh-tokoh tersebut yang tanpa henti memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka diantaranya adalah M. Husni Thamrin, Soetardjo Kartohadikusumo, I.J. Kasimo, Ratulangi, dan kawan-kawan. Mereka berjuang tanpa henti di Dewan Rakyat atau Volksraad. Sedangkan De Jonge dengan politiknya terus saja melakukan penyerbuan dan penggeledahan terhadap pertemuan-pertemuan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Bahkan setelah membaiknya kembali keadaan ekonomi Hindia Belanda pada tahun 1935, pemerintah kolonial Belanda ternyata masih saja tidak bersedia memulihkan hak- 52 hak politik rakyat. Para tokoh yang dipenjarakan dan diasingkan tetap tidak dibebaskan oleh pemerintah kolonial. Ketidaksediaan pemerintah kolonial untuk memulihkan hak-hak politik itu disebabkan bukan saja oleh sifat konservatif Belanda, melainkan juga karena adanya pengaruh dari luar negeri seperti gejala akan pecahnya Perang Dunia II dan bahaya kuning atau kekhawatiran terhadap ekspansi Jepang (Purnama Suwardi, 2000: 33-34). Selain itu, tindakan pemerintah tersebut memang telah sesuai dengan politik Colijn dan De Jonge yang hendak menghancurkan partai-partai radikal. Politik keras De Jonge memang dapat dikatakan berhasil, dalam arti bahwa partaipartai politik dapat kehilangan anggotanya dan kontaknya dengan rakyat. Sehingga menyebabkan rakyat menjadi apatis. Berbagai usaha dilakukan oleh kaum pergerakan untuk mencegah sikap apatis ini. Salah satu usaha kaum pergerakan tersebut dilakukan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dengan mengajak Sukarjo Wiryopranoto mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pembesar pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda dan di luar Volksraad, misalnya dengan mengadakan pertemuan dengan Mr. WG. Pekeema. Akan tetapi pertemuan dengan Mr. WG.Pekeema tersebut ternyata tidak membawa hasil. Selanjutnya Soetardjo mengajukan tuntutan terhadap Volksraad minta bantuan f. 25.000.000 (dua puluh lima juta Gulden) dari Nederland, yang akan digunakan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat, tetapi usaha ini juga tidak banyak membawa perubahan. Malahan setelah mematahkan pergerakan politik yang ekstrim, Belanda mencari sasaran baru, mengurangi kekuasaan Swapraja Yogyakarta dan Surakarta, dengan cara memberlakukan peraturan yang antara lain: tentara kerajaan yang hanya satu batalyon, upacara kraton, upacara adat kraton, dan lain-lain, mau dihapuskan. Menghadapi sikap Belanda yang makin sewenang-wenang, maka dalam sidang Volksraad, Soetardjo mengecam keras, sehingga sebagian besar niat sewenang-wenang ini gagal. Dengan demikian selamatlah kekuasaan kedua Swapraja itu (Sutrisno, 1982/1983: 36). Pada masa pemerintahan De Jonge, perjuangan nasional yang menggunakan taktik non kooperasi benar-benar dilumpuhkan. Tidak ada satupun organisasi politik non kooperasi yang mampu bergerak pada masa itu. Oleh 53 karena itu, maka diperlukan reorientasi dalam strategi dan taktik perjuangan dari kaum pergerakan untuk menghindari kebinasaan. Reorientasi ini akan mendorong ke arah persatuan dan kerjasama yang erat antara organisasi-organisasi pergerakan nasional. Salah satu reorientasi yang dilakukan oleh kaum pergerakan adalah dengan mengubah taktik perjuangan nasional dari non koperasi menjadi kooperasi. Namun perubahan taktik dalam menghadapi politik pemerintah tersebut sama sekali tidak mengubah tujuan perjuangan yaitu kesatuan nasional, persatuan organisasi-organisasi dan kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini perjuangan bangsa Indonesia lebih banyak dilakukan di dalam Dewan Rakyat (Volksraad) (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 91). 3. Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden Alasan lain yang melatar belakangi Soetardjo Kartohadikoesoemo mencetuskan Petisi Soetardjo adalah adanya Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden. Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden adalah bagian pertama (Hoofdstuk) dari Undang-Undang Belanda. Dimana dalam pasal I Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden tahun 1928 berbunyi “Het Koninkrijk Der Nederland Omvat Het Grondgebied Van Nederland, Nederlandsch-Indie, Suriname, en Curacao” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri atas wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao) (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 119). Sedangkan pasal 2 menjelaskan bahwa kesatuan hukum yang pertama disebut bagian negara yang ada di Eropa (Het Rijk In Eropa), yang merupakan suatu negara (Staat). Dengan demikian kalau ada rijk di Eropa, maka pasti ada rijk (negara bagian) Belanda yang ada di luar Eropa yang antara lain adalah Nederlandsch Indie di Asia, Suriname, dan Curacao di Amerika. Oleh karena itu, jika koninkrijk der Nederlanden (kesatuan hukum kerajaan Nederland) yang berada di Eropa adalah suatu negara, maka bagian-bagian yang lain yang berada 54 di Asia dan Amerika, bukanlah kesatuan hukum yang berkedudukan administratif (propinsi), tetapi merupakan sebuah negara seperti yang ada di Eropa (Sutrisno, 1982/1983: 37). Selain dalam Grondwet tahun 1928 tersebut, di dalam Grondwet tahun 1887 dan 1917 pasal 1 berbunyi “Het Kononkrijk Der Nederlandenomvat Het Grondgebied in Europe, Benevens De Kolonien En Bezittingen In Andere Werelddelen” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri atas wilayah di Eropa beserta jajahannya dan tanah miliknya di benua-benua yang lain). Dapat dilihat bahwa isi pasal 1 dalam kedua Grondwet lama tersebut telah berubah. Sedangkan dalam Grondwet 1922, jelas dikatakan bahwa Belanda hendak bermaksud mengubah kedudukan Staatkundig Nederlandsche Indie, Suriname, Curacao dari koloni menjadi negara yang berdiri sendiri. Oleh karena itu keempat negara itu kedudukannya dan derajatnya adalah sama. Jadi Nederland tidak lebih tinggi dari Nederlandsch Indie, tidak lebih tinggi dari Suriname dan tidak lebih tinggi dari Curacao. Tetapi ke empat negara itu bersama-sama di bawah, menjadi bagian, di koordinir di dalam dan oleh Het Koninkrijk Der nederlanden. Terhadap negara inilah ke empat negara yang menjadi bagiannya, mempunyai kedudukan yang lebih rendah (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 120). Dalam pasal 2 Grondwet tersebut juga disebutkan bahwa pasal-pasal berikutnya hanya berlaku buat negara bagian (Rijk) yang letaknya di benua Eropa, sedangkan untuk bagian-bagian yang lain berlaku peraturan-peraturan lain. Menurut pasal 62, bagian yang lain seperti Nederland Indie dikepalai oleh gubernur Jendral. Sedangkan Suriname dan Curacao masing-masing dikepalai oleh Gubernur, tetapi semuanya atas nama Raja Nederland. Sedangkan menurut pasal 63 Grondwet, Staatsinrichting (tata negara) buat Nederland Indie, Suriname, dan Curacao ditetapkan dengan Wet (Undang-Undang biasa) dari negara bagian yang terletak di Eropa bukan Undang-Undang dalam Het Koninkrijk Der Nederlanden (Undang-Undang Negara Bagian) (Sutrisno, 1982/1983: 37). Dalam pasal 63 ayat 2 ditetapkan bahwa peraturan-peraturan lain mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan dalam negeri boleh di atur oleh alat-alat kelengkapan negara-negara yang bersangkutan sendiri. Akan 55 tetapi peraturan-peraturan itu menurut pasal 64 dapat dibatalkan dengan UndangUndang Nederland yaitu Het Rijk In Europe. Sedangkan Undang-Undang Nederland dapat menetapkan bahwa hal-hal yang dianggap perlu pengaturannya dapat diserahkan kapada Raja ( Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 121) 4. Keadaan Dunia Internasional Selain faktor-faktor di atas, latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo adalah adanya konstelasi dunia internasional pada waktu itu. Pada dasawarsa ke tiga puluhan telah muncul Nazisme atau Fazisme di Eropa Tengah yang dalam ekspansinya mendesak kedudukan negara-negara demokrasi di satu fihak, dan negara komunis di fihak lain. Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang. Apalagi Jepang dengan pemerintahan militernya juga menjalankan ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi Fazisme tidak ada alternatif lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu, perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersifat anti, tetapi lebih bersifat kebersamaan yang mampu mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial dalam mempertahankan demokrasi terhadap bahaya Fazisme (Sartono, 1999: 180-181). B. Proses Perjuangan Petisi Soetardjo Melalui Volksraad 1. Proses Pembuatan Petisi Soetardjo Guna menghadapi tekanan yang berat dari pemerintah Belanda terhadap kaum pergerakan, serta menghadapi keadaan politik internasional yang semakin buruk, Soetardjo berusaha mencari jalan keluar. Direnungkan, difikirkan, dan dibacanya berbagai lektur untuk mendapatkan jalan keluar yang di inginkan. Selama berbulan-bulan membaca lektur, Soetardjo belum mendapat petunjuk untuk mendapatkan jalan keluar, tetapi tiba-tiba saat Soetardjo sedang berada 56 dikamar kerjanya di rumahnya yang beralamat di Jalan Raden Saleh 18, Soetardjo mendapat ilham bahwa bagi seorang Pangreh Praja setiap aksi yang dibenarkan oleh umum adalah kalau aksi tersebut dilakukan berdasarkan atas hukum (Sutrisno, 1982/1983: 37). Saat itu juga Soetardjo segera memegang buku Himpunan UndangUndang, yang diterbitkan oleh seorang bekas Lid Raad Van Nederlandsch Indie, Mr. WA Engelbrecht cetakan tahun 1928. Kemudian Soetardjo membuka bab pertama dari Undang-Undang tersebut yang berjudul Grondwet Voor Het Koninkrijk der Nederlanden yang memuat aturan-aturan tentang Van het Rijk en Zijne Inwoners. Dalam pasal 1 grondwet tersebut berbunyi “Het koninkrijkdder Nederlanden omvet het grond gebied van Nederland, Nederlandsch Indie, Suriname en Curacao” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri atas wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao) (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 119). Setelah membaca buku Himpunan Undang-Undang tersebut, Soetardjo kemudian menganalisanya. Menurut Soetardjo, yang di maksud dengan istilah Koninkrijk dalam pasal 1 diatas bukan merupakan kesatuan sosial tetapi maksudnya adalah persatuan politik yang didalamnya tersusun dari empat bagian kesatuan hukum. Menurut pasal 2, kesatuan hukum yang pertama disebut bagian negara yang ada di Eropa (Het Rijk In Eropa), yang merupakan suatu negara (Staat). Dengan demikian kalau ada rijk in Eropa berarti ada rijk (negara bagian) di luar Eropa yang dimiliki oleh Belanda yang antara lain adalah Nederlandsch Indie di Asia, Suriname, dan Curacao di amerika. Oleh karena itu jika koninkrijk der Nederlanden (kesatuan hukum kerajaan Nederland) yang berada di Eropa adalah suatu negara, maka bagian-bagian yang lain yang berada di Asia dan Amerika, bukanlah kesatuan hukum yang berkedudukan administratif (propinsi), tetapi merupakan sebuah negara seperti yang ada di Eropa (Sutrisno, 1982/1983: 37). Selain dalam Grondwet tahun 1928 tersebut, soetardjo juga mengigatkan bahwa di dalam Grondwet tahun 1887 dan 1917 pasal 1 berbunyi “Het Koninkrijk Der Nederlandenomvat Het Grondgebied in Europe, Benevens De Kolonien En 57 Bezittingen In Andere Werelddelen” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri atas wilayah di Eropa beserta jajahannya dan tanah miliknya di benua-benua yang lain (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 120). Dapat dilihat bahwa isi pasal 1 dalam kedua Grondwet lama tersebut telah berubah. Sedangkan dalam Grondwet 1922, jelas terlihat bahwa Belanda hendak bermaksud mengubah kedudukan Staatkundig Nederlandsche Indie, Suriname, Curacao dari koloni menjadi negara yang berdiri sendiri. Oleh karena itu ke empat negara itu kedudukannya dan derajatnya adalah sama. Jadi Nederland tidak lebih tinggi dari Nederlandsch Indie, tidak lebih tinggi dari Suriname dan tidak lebih tinggi dari Curacao. Tetapi ke empat negara itu bersama-sama di bawah, menjadi bagian, dikoordinir, di dalam dan oleh Het Koninkrijk Der Nederlanden. Terhadap negara inilah ke empat negara yang menjadi bagiannya, mempunyai kedudukan yang lebih rendah (Sutrisno, 1982/1983: 37-38). Dengan semua Grondwet (Undang-Undang Dasar) tersebut dan menurut hukum ketatanegaraan, Nederland telah membuat kesalahan yang prinsipil terhadap negara-negara bagian yang ada di Eropa. Kesalahan ini harus dikoreksi, kalau tidak Koninkrijk Der Nederlanden akan berantakan. Keadaan politik internasional sudah berkembang yang tidak memungkinkan Nederland yang ada di benua lain bersikap sewenang-wenang. Sebab Indonesia, Suriname dan Curacao mempunyai hak hidup atas bakat dan kekuatannya sendiri-sendiri (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 121). Setelah memperoleh kesimpulan demikian, Soetardjo bersama keluarga pergi ke tempat peristirahatannya (pondok) di Cimelati Sukabumi. Dibawanya serta buku bacaan yang diperlukan. Pada saat itu keluarga Dr. Sam Ratulangie telah disana. Pondoknya berhadapan dengan pondok Soetardjo. Setelah beberapa hari mempelajari buku-buku yang diperlukan, maka pada suatu malam disusunlah konsep usul petisi untuk dibawa ke ruang Sidang Volksraad. Pada pukul 05.00 pagi, konsep itu sudah selesai diketik. Tak lama kemudian datanglah nyonya Ratulangie yang kemudian segera memangggil suaminya Ratulangie, setelah melihat Soetardjo asyik bekerja di ruang kerjanya. Setelah Ratulangie datang, kemudian disodorkan konsep petisi kepadanya. Setelah membaca petisi serta buku 58 Grondwet Nederland, atas permintaan Soetardjo dan tanpa ragu-ragu, Ratulangie membubuhkan tanda tangannya dibawah tanda tangan Soetardjo. Segera Soetardjo kembali ke Jakarta, mengadakan pertemuan dirumahnya dengan teman-teman sesama anggota Volksraad. Atas permintaan Soetardjo mereka bersedia manandatangani usul petisi tersebut. Anggota-anggota volksraad yang ikut menandatangani petisi antara lain adalah Kasimo dari PPKI (Perkumpulan Politik Katolik Indonesia), Lanjumin Gelar Datuk Tumenggung (Sekretaris PPBB, berasal dari Minangkabau), Mr. Ko Kwat Tiong dan SA Alatas dari front Fraksi PPBB (Sutrisno, 1982/1983: 38). 2. Pengajuan Petisi Soetardjo Dalam Persidangan Umum Volksraad Mulai bulan Juni 1936 Volksraad mengadakan sidang untuk membicarakan masalah anggaran belanja dan pendapatan tahun 1937. Tanggal 9 Juli 1936 Soetardjo memperoleh giliran mengucapkan pidato dalam sidang Pemandangan Umum. Isi pidato Soetardjo tersebut antara lain adalah sebagai berikut : a) Soetardjo menyatakan bahwa selama beberapa tahun Volksraad berdiri, volksraad memang belum bisa menghasilkan apa-apa. Akan tetapi kaum pergerakan tidak boleh berputus asa atas apa yang terjadi. Dari pada berputus asa , lebih baik berjuang lebih keras lagi, agar keadaan tidak mematikan kaum pergerakan. Tiap pemuka bangsa yang tidak melalaikan kepentingan Indonesia harus berdaya upaya, agar tidak menjadi permainan keadaan. Bagaimanapun juga kesedihan karena hasil pekerjaan di dalam volksraad selama beberapa tahun, wajib diteruskan dengan sekuat-kuatnya. Tiap-tiap tahun kita berusaha dan meminta agar kedudukan Indonesia diperbaiki, akan tetapi dengan menyesal, kita harus menyatakan bahwa dalam keadaan ekonomi, sosial, dan politik Indonesia malah merosot sekali. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sudah tidak berdaya lagi. Apalagi setelah gaji kaum buruh Indonesia diturunkan. Keadaan tersebut semakin menjatuhkan rakyat Indonesia ke dalam jurang kesusahan dan kemelaratan. Mereka yang dulunya tidak punya gaji yang cukup, dengan peraturan itu kemudian terpaksa 59 berhutang lebih banyak lagi. Terhadap segala peraturan pemerintah tentang ekonomi dan pajak, Indonesia tidak berdaya lagi. Suara dan protes sudah diperdengarkan, akan tetapi sia-sia belaka. Pemerintah tetap berjalan terus dalam tindakannya, yang berarti memikulkan beban yang lebih banyak kepada penduduk guna kepentingan Nederland dan negeri luar. Kemunduran dalam perekonomian sudah tentu mempengaruhi soal pendidikan anak-anak. Tidak sedikit anak-anak yang tidak bersekolah dan tidak sedikit pula anak yang putus sekolah. Di tambah lagi, pemerintah juga mengadakan penghematan-penghematan. Secara kwalitatif, jumlah sekolah untuk Indonesialah yang paling banyak diadakan penghematan. Dalam bidang politik banyak dikatakan bahwa sayap kiri dari pergerakan yang dulunya sudah dilemahkan, pada masa sekarang diberhentikan. Dengan sengaja pergerakan sayap kiri dilemahkan, sedangkan pergerakan sayap kanan yang ekstrim sampai sekarang tidak mendapat ganguan apa-apa dan malah mendapat perhatian dari fihak Eropa dan Indonesia. Gerakan kanan itu mendapat pengikut banyak dari kalangan pejabat Eropa, dan opsir-opsir. Sikap pemerintah yang tidak mengadakan tindakan terhadap golongan sayap kanan sangat Soetardjo sayangkan. Karena orang akan menyangka, bahwa perbedaan sikap pemerintah itu disebabkan karena gerakan kanan ekstrim memusuhi kemajuan penduduk Indonesia terutama dalam urusan politik. Soetardjo meminta agar pemerintah memperlakukan gerakan ekstrim baik kiri maupun kanan dengan perlakuan yang sama. Tidak adil dan membahayakan jika gerakan ekstrim kanan dibiarkan saja, sedangkan gerakan ekstrim kiri dimusuhinya. Tidak hanya terhadap gerakan ekstrim kiri, tetapi pergerakan yang loyal juga mengalami rintangan. Pemerintah menyangkalnya , tapi Soetardjo mengatakan akan membuktikannya dengan contoh. Soetardjo mengkhawatirkan kepercayaan rakyat akan berkurang kepada pemerintah, jika pemerintah terus memadamkan gerakan paling kiri. Dengan tindakan yang seperti itu kaum yang loyal kepada pemerintah juga akan mengalami gangguan dan bahaya. Peraturan penghematan dilakukan, penghematan yang dilakukan sangat merugikan corps B.B Indonesia dalam arti luas. Maka dari 60 itu, orang jangan heran, jika di kalangan corps B.B timbul perasaan tidak senang dan sedih yang tak terhingga kepada pemerintah (Pemandangan, 10 Juli 1936: 1) b) Soetardjo mengatakan bahwa bangsa Belanda sedikit sekali memberikan perhatiannya terhadap perasaan dan keinginan fihak Indonesia. Pemerintah Belanda terus berusaha mempertahankan pemerintahannya dengan jalan terus mendesak kebelakang kaum yang lemah, terutama penduduk Indonesia. Hal demikian menimbulkan semangat anti Inlander, anti Indonesia. Dengan jelas dapat dibuktikan, bahwa fihak Indonesia dengan sengaja tidak diperkenankan ikut memutar roda mesin pemerintahan negeri. Menurut Soetardjo, kewajiban Nederland terhadap negeri jajahannya adalah memberi pimpinan dan didikan kepada rakyat Indonesia menuju kedudukan yang begitu kuat dan teguh dalam politik dan peradaban sampai bangsa Indonesia tidak dijadikan permaianan oleh bangsa Belanda lagi. Pemerintah telah mematahkan sayap kiri dari pergerakan, maka sudah waktunya untuk bekerjasama dengan kaum yang loyal dalam mengurus kedudukan politik dalam negeri ini dengan jalan yang praktis dan loyal. Pemerintah jangan menunggu lama-lama, tidak sehari dan tidak satu jam. Tentang pembagian tambang-tambang yang tidak adil, banyak negeri yang iri hati, karena Nederland mempunyai negeri jajahan yang molek dan kaya. Jika negeri lain diberi kesempatan untuk merampasnya, tentu negeri lain tidak akan segan untuk melakukan perampasan. Nederland tidak bisa hanya mengharapkan pertolongan sepenuhnya dari negara-negara besar yang lain, karena kejadian belakangan ini memberi pelajaran, bahwa jika waktunya telah datang, maka Nederland akan berdiri sendirian. Satu faktor yang dapat melemahkan atau menguatkan Nederland sebagai negeri yang mempunyai jajahan adalah keinginan dari penduduk jajahan itu sendiri. Sebagian dari golongan terpelajar makin lama, makin berkeyakinan bahwa jika kedudukan Indonesia dalam politik oleh Nederland ditempatkan selalu lebih rendah, maka bagi mereka lebih baik menerima pemerintah pertuannan asing lain dari pada pemerintah Belanda. Perlu secepatnya Indonesia dimajukan dalam segala bidang. Secepatnya pemerintah harus menjalankan 61 politik dimana pemerintah Indonesia merdeka, berdiri sendiri. Dalam perjuangan antara kaum muda dan tua, janganlah pemerintah memihak pada kaum yang kolot. Kepada kaum terpelajar bangsa Indonesia harus diberikan kesempatan yang lebih luas untuk ikut memutar roda mesin pemerintahan negeri dalam bagian puncak pimpinan dari pemerintah pusat. Dan dalam kantor-kantor pemerintahan harus dipekerjakan tenaga Indonesia yang cukup, yang diambil baik dari golongan terpelajar yang keluaran akademi, maupun dari tenaga-tenaga yang memang cakap. Maksudnya, supaya mereka mendapat pengalaman guna menduduki jabatan-jabatan yang penting. Dalam tahun yang sudah-sudah kita tidak melihat usaha pemerintah kearah itu. kepada pemerintah Indonesia memang diberikan kedudukan yang dalam tempo tidak lama lagi dapat berdiri sendiri. Akan tetapi disamping itu, orang menempatkan penjaga Eropa disisi bupati. Satu tanda bahwa pemerintah tidak percaya. Tempat yang dulunya memang diduduki putra Indonesia belakangan diganti dengan tenaga lain. Pangkat patih diganti dengan bangsa Eropa. Semua itu mungkin dimaksudkan agar jumlah tenaga Indonesia dalam pemerintahan tidak bertambah, karena bangsa Indonesia yang duduk dalam jabatan yang rendah saja, di singkirkan (Pemandangan, 11 Juli 1936: 1) c) Soetardjo meminta agar secepatnya dalam tiap-tiap departemen dan kantor pusat yang lain dipekerjakan tenaga Indonesia yang cukup. Dimana tenaga itu dikelak kemudian hari dapat digunakan untuk mengisi jabatan-jabatan yang tinggi seperti kepala departemen. Secepatnya politik pemerintah harus diubah. Gaji yang rendah yang diberikan pada bangsa Indonesia mengandung anggapan bahwa bangsa Indonesia kurang berharga. Aturan itu sangat merugikan golongan yang sudah lemah. Jika pemerintah tidak sudi memperhatikan keinginan kita yang adil dan masuk akal itu, maka kita akan megupas politik uang-uangan pemerintah. Soetardjo juga meminta perhatian pemerintah atas mosi yang telah diambil pada tahun 1932 oleh kombinasi antara PPBB dan perkumpulan lainya. Dalam mosi tersebut diminta supaya politik pemerintah diubah. Selain itu juga meminta perhatian pemerintah atas putusan yang telah diambil dalam rapat tahuan dari Federatie Van 62 Indonesischt Organisities Overheidsdienaren (F.I.O.O) di Bandung pada tanggal 5 Januari 1935. Putusan dari rapat tersebut meminta pemerintah agar : 1). supaya diadakan peraturan yang tetap, agar Leidende Overheidsfuncties diduduki oleh tenaga Indonesia. Yang dimaksudkan dengan tenaga Indonesia yaitu mereka yang berhubungan dengan kelahirannya, asal usulnya, dan penglihatannya tetang kedudukan Indonesia di masa yang akan datang tergolong dalam sebutan Nederlandsch Indie; 2). Jika tenaga yang dibutuhkan itu tidak didapatkan dari Indonesia, maka boleh mendatangkan dari luar, akan tetapi diusahakan agar pangkat itu secepatnya dapat dipegang oleh mereka yang dimaksudkan dalam ayat 1; 3). diadakan peraturan gaji menurut ukuran Indonesia (Indisch Normen) sedang mereka seperti disebutkan dalam ayat 2 digaji menurut peraturan yang sengaja disediakan buat mereka sebagai tenaga cadangan. Putusan F.I.O.O itu sudah disetujui oleh kaum pergerakan, maka dari itu secepatnya pemerintah mengambil tindakan yang cocok dengan pendapat dan anjuran kita. Hanya dengan cara demikian dapat diberikan uang yang banyak guna kepentingan lahir dan batin dari rakyat Indonesia. Sedangkan untuk pemberian Nederland sebesar f 25 juta, bangsa Indonesia sangat berterima kasih. Akan tetapi bukan hadiah semacam itu yang diharapkan dan maksudkan. Lagi pula dana sebesar itu tidak cukup untuk memperbaiki kemakmuran rakyat yang sudah tidak berdaya lagi. Jumlah itu hanya cukup untuk memindahkan beberapa penduduk dari Jawa ke Sumatra, membiayai beberapa usaha dan mendirikan gedung-gedung yang besar saja. Sekarang sudah waktunya bagi Nederland untuk membuktikan manfaat hubungan antara Indonesia dengan Nederland. Dari fihak Indonesia telah berulang kali dibuktikan manfaat hubungan antar kedua belah fihak. Sekarang giliran Nederland untuk membuktikan. Tidak hanya dengan suara saja tetapi juga dengan perbuatan. Untuk itu, kerjasama antara Indonesia dengan Nederland dalam bidang politik harus diperkuat. Tujuan ini akan didukung oleh bangsa Indonesia asal kerjasama itu dijalankan sedemikian rupa, sampai kerjasama tersebut memuaskan kedua belah fihak. Dalam bidang ekonomi, bantuan pemerintah Belanda tidak boleh kurang dari f 30 juta per tahun. 63 Karena pada tahun 1830 dan 1877 telah masuk dikas Belanda, uang sebesar f 800 juta yang diperoleh dengan peraturan tanam paksa, dimana telah membuat rakyat miskin, sengsara dan ribuan lainnya mati. Untuk itu uang itu harus dikembalikan kepada rakyat. Diharapkan supaya secepatnya diadakan peraturan yang lebih baik tentang pekerjaan bersama dalam ekonomi antara Nederland dan Indonesia. Jika Nederland tidak memperdulikan tuntutan tentang perhubungan ekonomi antara Nederland dengan Indonesia itu, maka bangsa Indonesia wajib merubah haluan dan tidak memberikan lagi suara kita pada peraturan-peraturan yang dibuat Belanda pada masa yang akan datang. Kepentingan rakyat yang melarat, tidak bisa lagi untuk ditawar (Pemandangan, 13 Juli 1936: 1). d) Soetardjo meminta supaya pemerintah melakukan usaha untuk memajukan rakyat yang besar, dengan perantara wakil pemerintah dalam kabinet perekonomian. Rencana yang besar harus dikerjakan buat seluruh rakyat Indonesia dan dalam usaha yang demikian itu semua instansi harus beramairamai ikut memperhatikannya. Jangan tiap-tiap instansi bekerja sendirisendiri. Hanya dengan cara demikian, pemerintah dapat mewujudkan kemakmuran rakyat yang jutaan orang dengan sebaik-baiknya. Pendapat ini cocok dengan dasar partai anti revolusi di Nederland. Pendapat tersebut dikemukan oleh Dr. Colijn pada tahun 1934. Jika pendapat Colijn tersebut bukan omongan belaka, maka sepantasnya pemerintah mewujudkan pendapat minister president itu. Dimana pada waktu itu Colijn mengatakan bahwa kemajuan otonomi bagi penduduk dan kemajuan desentralisasi, buat seluruh rakyat Indonesia, bukan lagi keuntungan yang harus dikejar oleh Belanda terhadap negeri jajahannya, tetapi yang dikejar haruslah kemajuan penduduk negeri jajahan. Namun pada kenyataannya, tidak demikian. Banyak peraturan-peraturan yang dipaksakan antara lain peraturan kepada penduduk yang sudah miskin dan melarat untuk membeli barang-barang buatan Belanda dengan harga yang lebih mahal. Selain itu dibuat peraturan untuk memberhentikan perusahaan-perusahaan anak negeri yang tidak sedikit jumlahnya, membuat banyak penganguran dan menambah kesengsaraan 64 rakyat. Sungguh terlihat bahwa peraturan itu dibuat semata-mata hanya untuk kepentingan Nederland sendiri. Untuk itu sebaiknya Indonesia diberi kesempatan untuk berdiri sendiri sesuai dengan makna dalam Art. 1 Grondwet. Akan tetapi tidak harus sekarang, misalnya 10 tahun lagi. Mungkin memang pendapat demikian tidak disetujui oleh golongan Eropa bagian sayap kanan (NSB) dan tidak disetujui oleh golongan sayap kiri dari pergerakan nasional yaitu PI dan PNI. Akan tetapi kaum yang loyal, Parindra dan Corps Bupati akan menyetujui. Usul itu tidak untuk memutuskan pertalian hubungan antara Nederland dan Indonesia sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Art. 1 Grondwet, tetapi sebaliknya dapat memperkuat hubungan antara kedua belah fihak. Maksud dari permintaan ini bukan supaya tali hubungan antara Nederland dan Indonesia putus, akan tetapi hanya meminta agar Nederland memberi kesempatan dan hak untuk mengejar kedudukan yang mulia buat Indonesia dalam tempo yang secepet-cepatnya. Memang Dr. Colijn berpendapat bahwa untuk berdiri sendiri menjadi sebuah negeri, Indonesia harus melewati tiga masa yaitu : Pertama, penduduk Indonesia harus mengalami kemajuan ekonomi; Kedua, penduduk harus mengambil bagian aktif dalam desentralisasi; Ketiga, penduduk harus memberikan bantuan kepada pemerintah daerah, dan juga pada pemerintah pusat. Ketiga masa itu harus dijalani sebelum tahun 1916, maka baru dapat diberikan hak berdiri sendiri kepada Indonesia. Akan tetapi, jika tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, itu bukan salah bangsa Indonesia. Karena selama ini Belanda telah menidurkan bangsa Indonesia, sehingga pada permulaan abad 20 baru timbul gerakan dari banga Indonesia. Waktu 10 tahun tidak begitu pendek untuk membuat rakyat Indonesia berdiri sendiri. Waktu 10 tahun itu dapat dipakai untuk melalui masa yang pertama dan menyempurnakan perjalanan dalam masa kedua dan ketiga. Indonesia sudah terlau lama menunggu, sekarang Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama lagi (Pemandangan, 14 Juli 1936: 1). e) Soetardjo mengatakan bahwa Jawa harus dijadikan satu pemerintahan dan mendapat dasar-Raden. Sifat dualisme dalam Binnenlandsch Bestuur harus 65 dihapuskan. Volksraad harus dijadikan parlemen yang tulen. Direktur dari departemen-departemen mempunyai tanggungjawab. Gubernur Jendral yang diangkat oleh koning (Raja) ada onschendbaar (hak kekebalan). Badan pemerintahan yang tertinggi yaitu Raad Van Indie ditetapkan dan terdiri atas anggota biasa yang diangkat oleh koning (raja). Seorang wakil presiden juga diangkat oleh koning. Voorzitter (Ketua) dan onder voorzitters (wakil ketua) dari volksraad sebagai badan yang mempunyai suara. Sebagai badan perwakilan yang tertinggi sekali antara Nederland dan Indonesia diadakan sebuah Rijksraad terdiri atas wakil dari kedua daerah itu dan dibawah pimpinan seorang yang memang sengaja diangkat untuk keperluan itu, jadi bukan salah seorang dari menteri atau direktur dari departemen atau salah seorang dari voorzitter (ketua) dari kedua parlemen itu. Hak sebagai penduduk dari Indonesia yang berdiri sendiri terdiri atas mereka yang mempunyai hubungan kelahiran, asal usul dan cita-cita menuju masa yang akan datang, dan tergolong anak Indonesia. Pilihan yang cermat diantara bangsa-bangsa asing yang dilahirkan disini perlu diadakan. Berhubung dengan ini dikemukanan bahwa diantara kaum Indo Eropa, Tionghoa, dan Indo Arab di dapati aliran yang makin lama makin kuat untuk menggabungkan diri dengan Indonesia. Dua golongan Tionghoa dan Indo Arab di volksraad diwakili oleh Mr. Ko Kwat Tiong dan Alatas, keduanya masuk dalam anggota pembuat usul. Orang Belanda akan mendapat tempat kehormatan ditengah-tengah, dan hal ini tidak mengecilkan kewajiban yang dipikulkan kepada putra Indonesia, bahwa putra Indonesia makin lama makin wajib mempunyai perasaan tanggungjawab terhadap keadaan bangsa Indonesia. Inilah lukisan pendapat Soetardjo Kartohadikoesoemo tentang Indonesia berdiri sendiri. Sudah tentu Soetardjo akan mengalah jika ada pendapat yang lebih sempurna dari pendapatnya tersebut. Dan usul keinginan Soetardjo itu diwujudkan menjadi petitie-voorstel. Dari itu sudilah kiranya pemerintah berusaha untuk dapat mengerti dan menghargai usul tersebut. Keadaan diluar dan didalam negeri tidak sebagaimana kita inginkan. Sekecilkecilnya kejadian bisa juga mendatangkan bahaya. Dari itu marilah kita 66 bersatu bekerja bersama-sama dengan Nederland untuk mempertahankan diri terhadap serangan dari luar dan agar dapat memberikan kedudukan yang kokoh kepada Indonesia disisi negeri-negeri lain yang sudah berdiri (Pemandangan, 15 Juli 1936: 1). Dalam pidato Soetardjo tanggal 9 Juli 1936 tersebut, Soetardjo sekaligus mengajukan sebuah petisi yang terkenal dengan nama Petisi Soetardjo. Adapun isi dari Petisi Soetardjo tersebut seperti dikutip dalam Setiadi Kartohadikusumo (1990: 128) adalah sebagai berikut : VOLKSRAAD ZITTINGSJAAR 1936-1937 ONDERWERP 26 – STUKKEN 1-5 -------------Verzoek tot bijeenroeping van een conferentie ter opstelling van een plan teneinde aan Ned-Indie den staat van zelfstandingheid binnen de grenzen van artikel 1 der Grondwet te geven. --------------VOORSTEL ONTWERP-ADRESSEN MEMORIE VAN TOELICHTING -----------------Stuk 1. Voorstel van de heeren Soetardjo, Ratu Langie, Kasimo, Datoe’ Toemenggoeng, Ko Kwat Tiong en Alatas. Ingediend 15 Juli 1936. Ondergeteekenden hebben de eer voor te stellen, dat de Volksraad, met gebruikmaking van de bevoegheid aan den Raad toegekend bij artikel 68 der Indische Staatsregeling, zich wende tot het Opperbestuur en de Staten-Generaal met het verzoek te willen bevorderen, dat een conferentie van vertegenwoordigers van Nederland en NederlandschIndie worde bijeengeroepen, welke conferentie op den voet van gilijkgerechtigdheid een plan zal hebben op te stellen, teneide aan Nederlandsch-Indie langs den weg van geleidelijke hervorming binnen tien jaar, althans binnen een zoodanigen tijd als de conferentie voor de uitvoering van de gedachte mogelijk zal achten, den staat van zelfstandingheid toe te kennen binnen de grenzen van artikel 1 der Grondwet. 67 SOETARDJO. RATU LANGIE. KASIMO. DATOE’ TOEMENGGOENG. KO KWAT TIONG. ALATAS. Yang terjemahannya adalah sebagai berikut: VOLKSRAAD TAHUN 1936-1937 POKOK BAHASAN 26 - BAGIAN 1-5 -----------------Permohonan supaya diadakan sebuah koferensi untuk menyusun suatu rencana tentang pembentukan Nederland Indie berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Grondwet. ------------------RENCANA PETISI MEMORIE VAN TOELICHTING ------------------Bagian 1. Petisi oleh tuan Soetardjo, Ratu Langie, Kasimo, Datoe’ Toemenggoeng, Ko Kwat Tiong, dan Alatas. Tertanggal 15 Juli 1936. Kami yang bertanda tangan dibawah ini dengan hormat mengajukan usul supaya volksraad dengan mengunakan hak yang diberikannya kepada majelis itu dalam pasal 68 daripada UndangUndang Indische Staadregering, mengajukan permohonan kepada pemerintah tinggi dari Staten General supaya sukalah menolong daya upaya akan supaya diadakan satu sidang permusyawaratan dari wakilwakil Nederland dan wakil-wakil Hindia Belanda, yang sidang permusyawaratan itu dengan memakai aturan hak bersamaan dengan anggota-anggotanya akan mengatur suatu rencana bagi memberikan kepada Hindia Nederland dengan jalan berangsur-angsur di dalam sepuluh tahun, ataupun di dalam yang oleh sidang permusyawaratan itu akan dianggap dapat melaksanakannya, kedudukan berdiri sendiri di dalam batas pasal 1 dari pada Grondwet. Soetardjo Ratu Langie Kasimo Datoe Toemenggoeng Ko Kwat Tiong Alatas 68 Petisi Soetardjo yang didukung oleh kawan-kawannya yaitu Ratu Langie, Kasimo, Datuk Tumenggung, Ko Kwat Tiong, dan Alatas tersebut, ditambah dengan keterangan (Memorie Van Toelichting), yang antara lain adalah sebagai berikut: a) De historie van eeuwen heeft de matericele en idecele belangen van nederland en Nederlandsch-Indie dusdaning met zonder nadeelige gevolgen an rijk (jalannya waktu dalam beberapa abad itu sudah menjadikan amat dekatnya keperluan Nederland dan Hindia Belanda, sehingga berpisahnya kedua bangsa akan berakibat buruk buat dua-duanya). b) In het belang van den opbouw van belde gebledsdeelen is een innige en hartelijke samenwerking nood zakelijk (untuk kemajuan dua tanah itu perlulah keduanya untuk bekerja bersama-sama). c) In de laatste jaren heeft zich even wet van een groelend aan tal van het denkend deel der in heemsche samenleving en in het rijs nder van de Indonesische intellectueele wereid een gevoel van ongenoegen politieke matheid en ofver ichthgheid meester gemaakt, welk enclke berieling verlamt (sejak beberapa tahun yang lalu tambah besarlah golongan kaum bumiputera terpelajar yang merasa kurang senang, merasa lemah dalam hal kepolitikan dan merasa tidak perlu memperdulikan apa-apa, perasaan yang lambat laun menjalar juga kepada rakyat yang berjuta-juta dan melemahkan semua kekuatan). d) Befieling is volsrekt noodig voor den opbouw van Nederlandch Indie omdat immers voor dien opbouw alle arochten van het Indonesische volk in beweging gebracht moeten worden coo wet op seetaal economisch en staatkundig gebeid (semangat untuk bangkit sangat diperlukan sekali untuk dapat memajukan Hindia Belanda, sebab untuk kemajuan itu haruslah semua kekuatan bangsa Indonesia dipergunakan pada bidang apa saja, baik bidang sosial, ekonomi, maupun bidang pemerintahan). e) Bezieling kan allen gewekt worden, als doel bewust en volgens een vooref up gezet plan aan gestuuid wordt op een verhouding tusschen Nederlandsch Indie en het moederland die aan de nationale cultureele en economische 69 behoeften van dat deel van beide volken dat de door de historie gehoden samenwerking an vaardt akaan voldoel (semangat untuk terus berjuang yang berkobar-kobar hanya akan dapat dibangkitkan, jika dibuat dengan sengaja dan menurut rencana yang sudah dibuatnya, perhubungan antara Hindia Belanda dengan Nederland itu harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memuaskan keinginan kedua bangsa pada bidang apa saja) (Soeara Katholiek, 24 Juli 1936: 1). Inti dari Petisi Soetardjo tersebut, adalah meminta supaya diadakan conferensi antara utusan-utusan Indonesia dan utusan-utusan Nederland untuk membicarakan pemberian Zelfstandigheid (dengan jalan Geleidelijk atau lambat laun) kepada Indonesia, hingga Indonesia mendapat kedudukan tanah dominion. Seperti juga Canada dan Australia (dominion dan bekas tanah jajahan Inggris) yang lambat laun tambah kemerdekaannya dalam hal pemerintahan. Namun walaupun dalam Petisi Soetardjo meminta status dominion, bukan berarti Indonesia meminta langsung diberi kekuasaan seperti Canada dan Australia. Jika Indonesia diberi status seperti tanah dominion dalam waktu 10 tahun, maka tidak akan bertentangan dengan maksud Petisi Soetardjo dan kedudukan seperti itu sudah mengandung kemerdekaan atau Zelfstandigheid (otonomi) yang lebih besar dari pada keadaan sebelumnya. Petisi Soetardjo hanya bermaksud supaya Indonesia di dalam pemerintahan diberi kedudukan yang lebih merdeka (Soeara Katholiek, 14 Agustus 1936: 1) Soetardjo juga menekankan perlunya meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dengan negeri Belanda yang semata-mata hanya untuk kepentingan kedua belah fihak Lebih-lebih karena adanya bayang-bayang bahaya pecahnya perang di pasifik. Hubungan itu akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia). Adapun perubahan-perubahan yang diajukan oleh Soetardjo, garis besarnya adalah sebagai berikut : a) Pulau Jawa dijadikan satu provinsi. Sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah (Groeps gemeenschappen) yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi. 70 b) Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah (Binnenlands Bestuur) di hapuskan. c) Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya. d) Direktur dari departemen-departemen mempunyai tanggungjawab. e) Gubernur Jendral diangkat koning (Raja) dan mempunyai hak kekebalan (Onschendbaar). f) Raad Van Indie, ditetapkan dan terdiri atas anggota biasa yang diangkat oleh Raja, disamping itu ketua (Voorzitter) dan wakil ketua (Onder-Voorzitter) Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara. g) Dibentuk Dewan Kerajan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, dimana pimpinan itu bukan salah seorang dari Menteri atau direktur atau salah seorang dari Ketua Parlemen. h) Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan di Indonesia diadakan seleksi yang ketat ( Pemandangan, 15 Juli 1936: 1). 3. Berbagai Tanggapan Terhadap Petisi Soetardjo Setelah Petisi Soetardjo diajukan, ketua sidang Mr. W.H.Van Helsdingen menyatakan bahwa petisi Soetardjo akan dibicarakan pada lain waktu. Pada bulan Agustus 1936, Petisi Soetardjo mulai dibicarakan dalam rapat-rapat kecil anggota Volksraad. Ada sebagian anggota mendukung, dan ada yang menolak. Dari pembicaraan mengenai Petisi Soetardjo, kemudian diterbitkan afdelingsverslag dan atas verslag itu para pengusul memasukkan memori jawaban (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 128). Menghadapi Petisi Soetardjo, baik dari kalangan bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda timbul reaksi yang berbeda-beda. Ada yang menyenangkan tapi ada juga yang tidak. Dari fihak Belanda reaksi yang kurang 71 menyenangkan terhadap Petisi Soetardjo, keluar dari pers Belanda yang antara lain dari Preanger Bode, Java Bode, dan Het Bataviasch Niewsblad. Pers Belanda tersebut menyatakan bahwa petisi sebagai permainan yang berbahaya, revolusioner, belum waktunya (Prematur), dan tidak sesuai dengan keadaan (inopportun). Selain pers Belanda, ada juga golongan reaksioner Belanda seperti Vaderlandsche Club (VC), yang menyatakan bahwa Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. Orang dan pers Belanda mengatakan bahwa yang lebih penting dilakukan dari pada petisi tersebut adalah : a). Mempererat kerjasama antara Belanda dan Indonesia dengan tidak mengubah sedikitpun struktur pemerintahan di Hindia Belanda; b). Menambah kekuatan bala tentara di Hindia Belanda (Soeara Katholiek, 24 Juli 1936: 1). Sedangkan fihak Belanda yang menyetujui petisi adalah dari kalangan pemerintah Hindia Belanda yang menyampaikan persetujuannya dengan cara mengirimkan surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya (Suwidji Kartonagoro, 1980: 444). Dari fihak Indonesia baik dari dalam maupun dari luar Volksraad, reaksi terhadap Petisi Soetardjo juga bermacam-macam. Ada beberapa anggota Volksraad yang berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, majalah Soeara Katholiek menyatakan dukungannya terhadap petisi. Dengan dukungan dari pers Indonesia Petisi Soetardjo dengan cepat dapat tersebar luas dikalangan rakyat. Bahkan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus tentang Petisi Soetardjo, kebanyaklan pers Indonesia sudah mendukung usul petisi tersebut. Menurut harian Pemandangan, Petisi Soetardjo diajukan di saat yang tepat yaitu saat akan digantikannya Gubernur Jendral De Jonge oleh Gubernur Jendral Tjarda yang mempunyai faham liberal ( Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 228). 72 Akhirnya tanpa pemilihan suara dalam sidang volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus. Sidang khusus untuk membicarakan Petisi Soetardjo dilaksanakan dari tanggal 17 September 1936 sampai dengan 29 September 1936. Pada tanggal 17 September 1936, sidang pleno untuk membahas Petisi Soetardjo dibuka. Perhatian dari fihak Volksraad dan fihak masyarakat memuaskan, akan tetapi dari fihak pemerintah Belanda nihil. Tidak ada seorang wakil pemerintah Belanda yang hadir dalam persidangan. Suatu bukti bahwa pemerintah Belanda sendiri memang bersikap meremehkan Volksraad. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak didirikan Volksraad hanya menjalankan fungsi sebagai klachtenbureau (tempat pengaduan) buat menjalankan pekerjaan rutin saja menurut program yang dibuat oleh pemerintah dan ketua dewan. Soal-soal dalam format yang besar dan luas belum pernah menjadi bahan pemikiran dan pembicaraan dalam Volksraad. Maka dari itu, ketika Petisi Soetardjo dibicarakan, pemerintah merasa tidak memikul kewajiban seperti saat menghadiri sidang pleno untuk membicarakan hal-hal rutin. Atas ketidakhadiran wakil pemerintah Belanda dalam sidang istimewa tersebut, Van Helsdingen sebagai ketua mencoba membela. Van Helsdingen memberikan alasan bahwa menurut hukum tidak ada satu pasalpun yang mengharuskan pemerintah mengirimkan wakilnya dalam sidang tersebut. Padahal waktu itu Volksraad sedang membicarakan masalah yang sangat penting buat Nederland maupun buat Hindia Belanda. Sidang pelno tersebut dibuka oleh Ratulangie dan diakhiri dengan pidato dari Soetardjo Kartohadikusumo. Untuk menjelaskan isi dari Petisi Soetardjo, maka di antara anggota-anggota yang turut menandatangani petisi diadakan pembagian tugas. Tugas-tugas dari para penandatangan petisi antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, Dr. Ratulangie mendapat tugas untuk memberi penjelasan umum tentang tujuan petisi; Kedua, Kasimo mendapatkan tugas untuk memberi uraian dalam bidang ekonomi yang bersangkutan dengan petisi Soetardjo; Ketiga, Datuk Tumenggung mendapatkan tugas untuk memberikan penjelasan dalam bidang politik, sosial dan budaya; Keempat, Mr. Ko Kwat Tiong, medapatkan tugas untuk menjelaskan tentang kedudukan golongan Indo (Belanda, Cina, Arab, dan lain-lain); Kelima, Alatas mendapatkan tugas untuk 73 menjelaskan hal tentang hubungan berbagai golongan beragama; Keenam, Soetardjo Kartohadikusumo bertugas sebagai pembela umum (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 128-130). Dalam sidang tanggal 17-29 September 1936 tersebut, terjadi perdebatanperdebatan diantara sesama anggota Volksraad. Dari perdebatan yang dilakukan di dalam sidang volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri yang terdiri dari Soetardjo Kartohadikusumo, I.J.Kasimo, Ratulangie, Datoek Toemenggoeng, dan Ko Kwat Tiong, masih terdapat tiga kelompok lain yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri juga terdapat perbedaan pendapat. Adapun kelompok-kelompok yang dimaksud antara lain adalah : a). Kelompok Van Helsdingen – Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil: 1). Christelijke Staatkundige Partij (CSP), dipimpin oleh Mr.C.C.Van Helsdingen, bekas guru Bestuur School menyatakan persetujuannya untuk memberi kedudukan sendiri sebagai negara kepada Hindia Belanda, tapi untuk saat itu memang belum waktunya. Van Helsdingen mengusulkan supaya di bentuk suatu komisi (staats comissie) yang terdiri dari wakilwakil Indonesia dan Belanda yang ahli dalam soal-soal jajahan dengan tugas mengontrol tindakan Menteri Jajahan. Van Helsdingen juga membantah adanya persatuan antara suku bangsa di Indonesia (seperti yang diakui oleh Soetardjo dan kawan-kawannya) yang menurut pendapatnya hanya ada bila diikat oleh Pax Nederlandica (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 228). 2). Vaderlandsche Club (VC) dan golongan pengusaha kapitalis Belanda, menyatakan bahwa rakyat Indonesia (Inlanders) belum matang dan selamanya tidak akan matang untuk menguasai negara sendiri. Indonesia harus terus dikuasai oleh Nederland. 3). Indische Katholieke Partij, di bawah pimpinan Piet Kerstens, dan Idem Dito, menolak usul petisi (Setiadi Katohadikusumo, 1990: 130) 74 b). Kelompok Sukardjo Wirjopranoto, yang terdiri dari beberapa anggota Fraksi Nasional, dengan tegas menolak usul petisi karena menganggap bahwa Petisi Soetardjo yang diajukan tidak ada gunanya. Soekardjo Wirjopranoto juga berpendapat bahwa Petisi Soetardjo dapat melemahkan bahkan dapat mematikan cita-cita Indonesia merdeka. Dengan keras Soekardjo Wirjopranoto menuduh Soetardjo Kartohadikusumo menjalankan politik oportunis (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 228). Bahkan Sukardjo Wirjopranoto bekerjasama dengan Prof. Mr. Huart (seorang sarjana hukum Belanda yang Berhaluan kanan) berusaha menunjukkan bahwa interpretasi Soetardjo terhadap isi pasal 1 Grondwet adalah salah (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 131). c). Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil : 1). Fraksi Nasional (Nationale Fraksi), yang diketuai oleh Mohammad Husni Thamrin menghadapi Petisi Soetardjo pecah menjadi dua yaitu Ir. Moh. Noor, Suroso, Sukarjo, tidak menyetujui petisi, dan M. H. Thamrin, Kusumo Utoyo, Soongkupan, Abd. Rasjid, Iskandardinata, Bustan, Jahya, mendukung petisi. Ir. Moh. Noor menyatakan kalau tidak setuju dengan cara Soetardjo untuk mencapai kedudukan sendiri buat Hindia Belanda yaitu dengan cara Handjes Ophouden (meminta-minta kepada pemerintah Nederland). 2). Politieke Economische Bond (PEB), di bawah pimpinan Roep dapat menyetujui Petisi Soetardjo. 3). Indo Europeesch Verbond (IEV) di bawah pimpinan Dick De Hoog dapat mendukung petisi asal diadakan Rijkraad (Dewan Legislatif) untuk seluruh Koninkrijk (Kerajaan) yang terdiri dari empat negara bagian yaitu Belanda, Indonesia, Suriname, Curacao (Setiadi Kartohadikususmo, 1990: 130-131). Kelompok Suroso yang setuju terhadap Petisi Soetardjo berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 229). 75 Pada tanggal 29 September 1936, di dalam sidang volksraad diadakan pemungutan suara. Anggota yang hadir waktu itu adalah 46 orang dari seluruh anggota volksraad yang berjumlah 60 orang. Hasil pemungutan suara adalah 26 orang menyetujui Petisi Soetardjo dan 20 orang lainnya menolak. Suara-suara yang setuju dengan Petisi Soetardjo dapat dirinci sebagai berikut : a) Orgnisasi PPBB : Sutardjo Kartohadikoesoemo, Datuk Tumenggung, Prawoto, Kusumo Utoyo, Bustan, Gandasubrata. b) Organisasi IEV (Indo Eropeesche Verbond) : De Hoog, Doeve, Leonissen, White, Beets, Van Ardenne, Vermuth. c) Golongan Nasionalis : Ratu Langie, Soongkupon, Otto Iskandardinata, Yahya, Abdul Rasyid. d) Golongan timur Asing (arab) : Alatas. e) Organisasi PEB (Politiek Economische Bond) : Mapuji, Sukawati, Roep. f) Partai Tionghoa Indonesia : Ko Kwat Tiong. g) Organisasi Perkumpulan Politik Katolik di Indonesia : Kasimo. h) Tidak berpartai : Kartowisastro. i) Fraksi Nasional : diwakili MH Thamrin. j) Luar volksraad : 1) Persatuan para Bupati (Regenten Bond) Sedio Mulio diwakili oleh RAA Herman Kartowisastro. 2) Kalangan mahasiswa ialah mahasiswa Indonesia di Nederland dan RM Notosuroto bangsawan dari keluarga Paku Alaman yang sedang Belajar di Nederland (terkenal sebagai pengarang dan penulis di surat kabar Belanda) Sedangkan suara-suara yang menolak Petisi Soetardjo ada beberapa kelompok antara lain adalah : a) Partai CSP (Christelijk Staat Partij) : Van Lhoukhuyzen, Notosutarso, Mr. CC Van Helsdingen. b) Organisasi Vaderlandsche Club (VC) : Eekhout, Jansen, Verboom. c) Organisasi PEB (Politiek Economische Bond) : Kruyne. d) Golongan Nasionalis : Ir. Moh. Noor, Wiwoho, Suroso. 76 e) Economische Group : Sandkujl, Weyer. f) Militair Deskundige : Van Kestern. g) Tidak berpartai (perorangan) : Sasrohadikusumo. h) Ketua volksraad : Mr. W.N Van Helsdingen. i) Organisasi IEV (Indo Europeesche Verbond) : Ny. Kozause Schultz. j) Indische Katolieke Partij : Piet Kersten, Heldebran. k) Middenstand : Van Balen. l) Fraksi Nasional : Sukarjo Wiryopranoto CS. m) Luar volksraad : 1) Directur Algemene Zaken : Mr. Peekema. 2) Directur Onderwijs en Eredienst. 3) Anggota-anggota Raad Van Indie. Gubernur Jendral : Jonkh Van Starckenborg Stachhouwer. n) Dari masyarakat Nederland : 1) Minister Van Kolonien : Welter. 2) Minister President : Dr. Colijn. 3) Staten General (kecuali beberapa anggota) (Sutrisno, 1982: 39-40) Setelah didapatkan hasil 26 setuju dan 20 menolak, berarti Petisi Soetardjo telah disetujui oleh Volksraad dan menjadi Petisi Volksraad. Setelah disetujui Volksraad, maka Petisi Soetardjo akan segera diajukan kepada Seri Ratoe dan kepada Staten General di Nederland untuk mendapatkan pengesahan (Soeara Katholiek, 30 Oktober 1936: 1). Sejak berlangsungnya sidang Istimewa dari tanggal 17-29 September 1936, telah dibuka lembaran baru bagi sejarah Volksraad dan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Melalui anggota-anggota Volksraad yang dipilih dengan perantaraan Kiesmannen dan anggota-anggota Regentschapsraad dan Gemeente Raad, rakyat Indonesia telah merebut kembali haknya untuk mengambil inisiatif mempertimbangkan, memperbincangkan dan memutuskan persoalan mengenai kedudukan negeri dan bangsanya, yang lebih besar formatnya dari pada pekerjaan rutin sehari-hari tentang begroting (belanja) negara, pajak, penduduk, 77 pengangkatan pegawai, pembelian benang tenun, menambah banyak sekolah rakyat dan sebagainya. Dalam tempo 12 hari tersebut, telah diperjuangkan hari kemudian negeri jajahan Hindia Belanda sebagai negara yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan, nasib, dan masa depannya sendiri, sejajar dengan Nederland yang merdeka (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 133). Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1936, Petisi Soetardjo yang telah disetujui menjadi Petisi Volksraad, dikirimkan kepada Ratu, Staten General dan Menteri jajahan di negeri Belanda. Sementara itu reaksi terhadap Petisi Soetardjo di dalam masyarakat terus berlangsung. Dr. J.M. Somer berpendapat bahwa menurut keadaan dan interpretasi sejarah, pasal 1 UUD Kerajaan Belanda yang menjadi landasan petisi, adanya hanyalah karena terpaksa sebab kerajaan Belanda tidak pernah terdiri dari empat wilayah seperti yang dijelaskan. J. W. Mayer Ranneft (bekas vice President Raad Indie) berpendapat bahwa kerjasama antara golongan di Indonesia akan berkembang dengan baik apabila ada kepastian bahwa Indonesia akan berdiri sendiri. Dan sudah waktunya diadakan perubahanperubahan ke arah kemajuan pemerintahan di Indonesia. Pendapat yang hampir sama juga diberikan oleh W.G Peekema dalam laporannnya kepada pemerintah, yang meminta supaya diadakan suatu komisi kenegaraan untuk menyelidikinya. Kemudian sewaktu anggaran belanja Indonesia (Indische Begrooting) tahun 1937 yang juga dibicarakan di dalam Staten General pada bulan Februari 1937, Petisi Soetardjo juga dibicarakan. Akan tetapi keputusan apakah petisi akan diterima atau ditolak masih menunggu saran-saran dari Gubernur Jendral di Indonesia (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 229-230). 4. Perjuangan Dalam Rangka Mensukseskan Petisi Soetardjo Sambil menunggu disetujui atau ditolaknya Petisi Soetardjo, maka diadakan perjuangan untuk mensukseskan Petisi Soetardjo. Di Indonesia sendiri diadakan penerangan dan kampanye secara besar-besaran. Gerakan ini di pelopori 78 oleh Tabrani, menjabat sebagai Kepala Redaktur (hoofdredaktur) harian Pemandangan yang terbit di Jakarta, dengan menulis sebuah karangan untuk meminta perhatian pembaca terhadap Petisi Soetardjo yang telah diajukan di Volksraad dan telah di syahkan oleh Dewan Rakyat dengan mengupas secara singkat isi dari Petisi Soetardjo. Sejak saat itu surat-surat kabar berbahasa Indonesia dan surat-surat kabar berbahasa Belanda di seluruh negeri dan di Nederland menulis karangan-karangan tentang Petisi Soetardjo (Sutrisno, 1982/1983: 41). Setelah pembicaran tentang isi Petisi Soetardjo bertambah hangat, maka dari kalangan masyarakat, yang sekali lagi dipelopori oleh saudara Tabrani dalam harian Pemandangan, menganjurkan agar dibentuk sebuah Panitia Petisi Soetardjo yang diberi tugas untuk menyebarluaskan isi Petisi Soetardjo di kalangan masyarakat Indonesia dan agar penerangan dapat dilakukan secara intensif dan terorganisir. Sedangkan Haji Agus Salim yang menyetujui Petisi Soetardjo, juga menyarankan kepada Soetardjo agar menunjukkkan bahwa Petisi Soetardjo tidak bersifat meminta-minta, maka perlu dibentuk suatu organisasi yang berusaha mendapatkan dukungan dari masyarakat agar Indonesia dapat berdiri sendiri (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 134). Atas usulan beberapa orang yang menyetujui petisi, maka pada bulan Mei 1937, di Jakarta dibentuklah Comite Petisi Soetardjo (CPS) yang akan memperjuangkan Petisi. Selanjutnya pada tanggal 8 Juni 1937 di Bogor didirikan Sub Comite Petisi Soetardjo, yang pengurusnya terdiri dari : Amir Soeradiningrat (Rechtskundige); Mr. Koestomo (adv dan Procureur); Soejitno Mengoenkoesoemo (Jur Student); dan Pramono (Jur Student). Sub Comite Petisi Soetardjo ini beralamat di G. Pebatan 16, Bultenzorg (rumah dari Mr. Koestomo) (Pemandangan, 9 Oktober 1937: 2). Untuk memperkuat dan memperjelas maksud dari Petisi Soetardjo, maka pada persidangan Volksraad pada bulan Juli 1937, Soetardjo kembali mengajukan sebuah rencana, tentang apa yang sebaiknya dijalankan pemerintah Hindia Belanda dalam usaha menuju Indonesia berdiri sendiri. Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul Soetardjo, wakil 79 pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan di Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten Generaal (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 230). Di Jakarta (Betawi), pada tanggal 4 Oktober 1937, dibentuklah Central Comite Petisi Soetardjo (CCPS). Anggota dari Central Comite Petisi Soetardjo (CCPS) antara lain adalah : Ketua (voorzitter : Soetardjo Kartohadikusumo (Lid cool. V. Gedelegeerden) Sekretaris : Mr. Hindromartono Sekretaris II : Atik Soeardi Penningmeester : Alatas (volksraadslid) Anggota-anggota : Sartono, Koo Kwat Tiong, Datoek Toemenggong, Haji Agus Salim, Kasimo (Lid O, V.G), O. Iskandar Dinata (volksraadslid), E.I.K. Sinsoe. Maksud didirikannya Central Comite Petisi Soetardjo adalah mengatur propaganda dan memungut suara dari mereka yang menyetujui petisi Soetardjo. Program kerja (werkprogram) akan ditentukan di belakang hari. Anggota yang duduk dalam CCPS, tidak boleh duduk sebagai wakil partai. Sekretariat Central Comite Petisi Soetardjo beralamat di Raden Salehlaan 18 Pevilioen, Batavia Centrum (Pemandangan, 6 Oktober 193: 2). Setelah Central Comite Petisi Soetardjo terbentuk, maka pada tanggal 5 Oktober 1937, diadakan rapat untuk membicarakan rencana kerja selanjutnya. Rapat dilaksanakan di Gedung Permufakatan Indonesia di Gang Kenari Jakarta. Orang-orang yang mendukung Petisi Soetardjo sangat bersemangat menghadiri rapat tersebut. Hal itu terbukti dari jumlah peserta rapat yang memenuhi Gedung Permufakatan Indonesia, sampai-sampai ada yang harus berdiri di luar dan pulang kembali karena sama sekali tidak bisa masuk. Pada pukul 9.10, Soetardjo sebagai ketua rapat membuka persidangan. Mula-mula rapat berjalan tersendat-sendat, tapi akhirnya rapat berjalan dengan lancar dan berkobar-kobar. Soetardjo berbicara selama satu jam dalam rapat tersebut. Dalam pidatonya , Soetardjo 80 menerangkan sejarah perjalanan Petisi Soetardjo. Soetardjo juga menyarankan agar gerakan rakyat dan politik tidak bermusuhan dan saling mencari kesalahan. Pergerakan harus melalui jalan yang telah di tentukan, begitu juga dengan petisi. Kedua-duanya tidak boleh bertindak di luar batas. Soetardjo menyatakan bahwa rakyat yang tidak bergerak adalah rakyat yang mati. Soetardjo juga menambahkan bahwa Petisi Soetardjo memberikan dua pedoman dan bukti yaitu Pertama, rakyat Indonesia bukan rakyat yang mati; Kedua, gerakan Petisi Soetardjo adalah gerakan yang legal dan tidak bertentangn dengan Undang-Undang Negara. Soetardjo mengajukan sebuah petisi hanya karena memenuhi kewajibannya sebagai Amtenar BB (jabatan yang dianggap sebagai jembatan antara pemerintah Belanda dengan rakyat Indonesia). Dalam pidatonya Soetardjo menyatakan penolakannya terhadap celaan, bahwa Petisi Soetardjo itu kosong dan tidak berisi. Setelah Soetardjo selesai menyampaikan pidatonya, maka Mr. Hendromartono kemudian mendapatkan giliran. Mr. Hendromartono mendapatkan tugas untuk menerangkan inti sari dari Petisi Soetardjo yang berkenaan dengan Art 1 dari Grondwet Nederland. Hendromartono menyatakan bahwa apa yang diminta dalam Petisi Soetardjo bukanlah dengan perubahan Artikel 1 dari Wet yang asli pada tahun 1922. Jadi gerakan Petisi Soetardjo tidak lain adalah gerakan yang mengajukan gugatan dan tuntutan, supaya Nederland memenuhi janjinya. (Pemandangan, 29 November 1937: 2). Sedangkan wakil dari Gerindo dalam rapat tersebut menyatakan sikapnya seperti di bawah ini : a) Pengurus besar Gerindo memutuskan mendukung Petisi Soetardjo yang akan mengadakan Conference Imperiaal, dimana utusan-utusan Indonesia mempunyai hak yang sama, untuk memusyawarahkan kedudukan Indonesia di kemudian hari dan cara serta waktunya mewujudkan tuntutan di dalam Petisi Soetardjo. b) Pengurus besar Gerindo berkeyakinan bahwa aksi menggelar Conference Imperial hanya akan lebih berhasil jika comite-comite itu terdiri dari wakilwakil dari perkumpulan-perkumpulan Indonesia. Melihat keadaan comite Petisi Soetarjo yang terdiri dari anggota-anggotanya yang tidak duduk sebagai 81 wakil dari perkumpulan, maka pengurus besar Gerindo tidak memperkenankan anggota Gerindo duduk dalam Comite Petisi Soetardjo. c) Pengurus Besar Gerindo memberi kesempatan seluas-luasnya kepada wakil-wakil tersebut untuk berbicara tentang Petisi Soetardjo. Isi pembicaraan di tanggung comite itu sendiri dalam segala rapat-rapat umum dan rapat-rapat anggota Gerindo (Pemandangan, 5 Oktober 1937: 2). Di negeri Belanda, Petisi juga dipropagandakan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dengan menerbitkan brosur-brosur mengenai Petisi Soetardjo. Tindakan yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia tersebut, mendapat reaksi dari Majalah Toejoean Rakyat (di Jakarta) yang menuduh Perhimpunan Indonesia telah menyalahi anggaran dasarnya. Atas tuduhan itu, maka Perhimpunan Indonesia menyatakan bahwa dukungan Perhimpunan Indonesia terhadap petisi adalah semata-mata untuk mengahadapi ancaman fasisme terhadap negeri Belanda dan Indonesia. Oleh karena itu, maka dipandang perlu untuk memperbaiki hubungan yang telah ada antara kedua belah fihak. Perbaikan hubungan antara kedua belah fihak bisa tercapai jika pemerintah Belanda memenuhi maksud yang terkandung dalam Petisi Soetardjo yaitu mengadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda. Selain Perhimpuanan Indonesia, Roekoen Pelajar Indonesia (Roepi) di negeri Belanda juga berusaha memperkenalkan Petisi Soetardjo kepada orang-orang Belanda (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 230-231). Sejak Petisi Soetardjo menjadi pembicaraan di dalam Volksraad, surat kabar Pemandangan sudah mengirimkan wakilnya di Nederlanad. Adapun tujuan dari surat kabar Pemandangan adalah agar setiap saat surat kabar Pemandangan mempunyai sumber guna memberitakan hal-hal yang berhubungan dengan Petisi Soetardjo. Menurut surat kabar Pemandangan kewajiban dari surat kabar kebangsaan umum tidak hanya menyajikan berita saja, akan tetapi juga memberikan dorongan penunjuk jalan, injeksi guna kemajuan bangsa dan tanah air Indonesia, menuju perbaikan nasib bersama. Pemandangan telah memberikan 82 sumbangan yang besar antara lain saat dibentuknya Central Comite Petisi Soetardjo. Selain di Indonesia, di Nederland juga telah dibentuk Central Comite Petisi Soetardjo dibawah pimpinan H. Koesoemo Oetoyo. Usaha-usaha Central Comite Petisi Soetardjo di Nederland antara lain adalah memberikan penerangan (berupa penerbitan brosur dan rapat-rapat), mendatangi orang-orang ternama dan terkemuka guna mengumpulkan tanda tangan dan untuk mengetahui pendapat mereka terhadap Petisi Soetardjo. Berita Pemandangan menyatakan bahwa K. Vorrink (ketua S.D.A.P) telah menyatakan persetujuannya terhadap Petisi Soetardjo. Dan Ir. CH.C.Cramer (S.D.A.P) yang sedang ada di Indonesia juga menyatakan “mijn naam moogt in Indonesia ook daartoe brengen (nama saya boleh dicantumkan sebagai anggota dari Comite yang akan didirikan juga di Indonesia barang kali saja dapat mengajak teman-teman lain untuk mau bergabung). Surat Ir. Cramer itu dikirimkan dari Bloemendaal dengan memakai tanggal 31 Agustus 1937. Maksud Ir. Cramer ke Indonesia antara lain adalah untuk mengadakan penyelidikan dan untuk lebih mengenal keadaan Indonesia, sesudah 14 th meninggalkan Indonesia. Jelaslah bahwa persetujuan Ir. Cramer penting sekali untuk gerakan Petisi Soetardjo, apalagi ketua S.D.A.P sendiri juga telah memberikan tanda tangannya pada Comite Petisi Soetardjo di Nederland. Sebagaimana diketahui, S.D.A.P adalah partai paling besar di Nederland sesudah Partai Katholiek. Jadi, kalau K. Vorrink dan Ir. Cramer betul-betul mau bekerja sama, tentu Petisi Soetardjo mempunyai harapan baik untuk di terima oleh Nederland. Selain itu. Roestam Effendi dan D. J. Wijnkoop (komunis) juga sudah memberikan persetujuannya. Jika S.D.A.P dan partai komunis betul-betul berdiri di belakang Petisi Soetardjo, maka paling sedikit akan didapatkan 3 aliran di Nederland yang berdiri di belakang Petisi Soetardjo yaitu S.D.A.P, Partai Komunis, dan Virjzinning Democratische Bond (Partai Joekes). Dalam Tweede Kamer yang anggota seluruhnya berjumlah 100 orang, S.D.A.P mempunyai wakil sebanyak 24 orang, Partai Komunis 3 orang, dan V.O 6 orang. Jadi total tiga golongan itu mempunyai wakil sebanyak 33 orang dalam Tweede Kemer. Dengan suara dari ketiga golongan tersebut, bisa digunakan oleh CCPS untuk menarik suara-suara lainnya. Dengan kata lain gerakan Petisi Soetardjo mempunyai 83 harapan dalam memperbaiki nasib Indonesia dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan jalan yang syah (parlementer) (Pemandangan, 7 Oktober 1937: 1). Di Nederland, Petisi Soetardjo makin lama makin mendapat perhatian, baik dari kalangan Belanda, Tionghoa, maupun Indonesia. Pendukung petisi yang berasal dari bangsa Belanda juga bertambah. Diantara nama-nama Belanda yang mendukung petisi antara lain adalah Prof. Dr. J. B. B De Josselin De Jong, Dorpsstraat 31, Oegstgeest; Ds. J. B. Th Hugenholts, Hervormd Predikant di Ammerstol; Rh. Feith, Oegstgeest; RA. Kern, Witte Singel 35, Leiden Dr. A. Gans Rappenburg 81 Leiden; Dr. S. Broekhuizen, Delft; Mr. HWL Vrind (Advocaat & Procureur, redacteur orgaan Jongeren Vredes- Actie), Almelo; E. Coops Broose Van Groenon, Den Haag; Joh. E Post, Overveen; J. O. L. Le Febvre, Laren; WC. Bosch, Zetten, Jan De Rempt, Journalist, Rotterdam; Ds. W. Banning, Bentveld. Daan Van Der Zee, Den Haag; C Verhaen, Delft. Surat-surat dari orang-orang Belanda yang telah disebutkan diatas, kepada Comite di Nederland menjelaskan bahwa perhatian terhadap Petisi Soetardjo makin lama makin mandalam. Di ketahui bahwa di Tweede Kamer ada tiga aliran yang menaruh simpati pada Petisi Soetardjo. Dengan begitu dari 100 suara di Tweede Kamer, Petisi Soetardjo mendapat pendukung 33 orang. Akan tetapi Partai Joekes (VD) kemudian diketahui tidak menyetujui Petisi Soetardjo. Oleh karena itu, maka pendukung Petisi Soetardjo hanya tingal 27 suara saja yaitu dari SDAP (24 suara) dan Partai Komunis (3 suara). Sedangkan Partai Katholiek (di bawah pimpinan D. Kerstens) di Nederland menyatakan tidak mendukung Petisi Soetardjo. Padahal Partai Katholiek mempunyai 21 suara di Tweede Kamer. Jika Partai Katholiek mendukung Petisi Soetardjo, maka Petisi Soetardjo pasti akan menang, karena jumlah suara di Tweede Kamer yang mendukung Petisi Soetardjo akan menjadi 58 suara (31 dari Partai Katholiek, 27 dari SDAP dan 21 dari Partai Komunis) (Pemandangan, 8 Oktober 1937: 1). Setelah Central Comite Petisi Soetardjo (CCPS) didirikan baik di Indonesia maupun di Nederland, maka baik di Jawa maupun di luar Jawa segera dibentuk panitia-panitia daerah. Panitia-panitia daerah tersebut mengadakan kampanye-kampanye di Surabaya, Madura, Jakarta, Palembang, Sumatra Selatan 84 dan lain-lain. Tidak lama kemudian panitia-panitia itu mengadakan rapat-rapat umum di daerahnya masing-masing dengan mengundang wakil-wakil panitia pusat untuk memberi penerangan tentang isi petisi. Di mana-mana, rapat yang diadakan selalu mendapat perhatian besar dari masyarakat. Dengan begitu terbuktilah, bahwa rakyat memberi perhatian besar kepada tuntutan dalam Petisi Soetardjo. Dalam keadaan yang demikian pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir. Oleh karena itu, maka pergerakan politik oleh pemerintah Belanda dikenakan larangan berrapat. Namun rakyat yang haus akan penerangan tentang Petisi Soetardjo tidak dapat dikendaliakan lagi. Tanpa menghiraukan larangan pemerintah, rakyat berbondong-bondong pergi mengunjungi rapat-rapat yang diadakan oleh para pemimpin pergerakan. Pengunjung sampai meluap di luar-luar gedung. Alat-alat penguasa pemerintah Belanda, tidak berdaya menghadapi keadaan seperti itu (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 134-135). Pada waktu mengunjungi rapat yang diadakan di Gedung boiskop Surabaya, yang juga dihadiri H. Agus Salim dan Sartono sebagai anggota panitia pusat, Soetardjo mendapat peringatan dari Gubernur Ch. O. Van Der Plas, karena dianggap melampaui batas. Soetardjo diperiksa oleh alat keamanan negara untuk mendapat peringatan dan ancaman diasingkan atau tindakan administratif. Tetapi berkat keunggulan Soetardjo berdiplomasi, maka Soetardjo dapat lolos dari ancaman tersebut dan dapat melanjutkan perjuangannya untuk meluluskan Petisi Soetardjo (Sutrisno, 1982/1983: 41). Sementara itu terdengar kabar bahwa Raad Van Indie akan mengajukan hasil laporan yang berisi pemandangan Mejelis Tinggi tentang isi dari Petisi Soetardjo. Tentunya hasil laporan tersebut akan dijadikan sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk dikirimkan kepada Pemerintah Tinggi di Nederland (Soeara Katholiek, 22 November 1937: 2). Setelah mengadakan rapat-rapat di berbagai daerah, maka pada tanggal 21 November 1937 di Gedung Pertemuan Indonesia, Kramat 158, Jakarta, diadakan pertemuan Central Comite Petisi Soetardjo dengan wakil-wakil perkumpulan politik untuk membicarakan pergerakan Central Comite Petisi Soetardjo. Wakil-wakil perkumpulan politik yang hadir antara lain adalah : 85 a) Persatuan Arab Indonesia (A. Bajasut, A. Assagaf, H. Algadri, H. M. A. Hosein Alatas). b) Parindra (MH Thamrin, Mr. Soedjono Soewandi). c) Pasoendan (L. Djajadiningrat, Ir. Djuanda, I. Wiraatmadja). d) Persatuan Minahasa (dr. Tumbelaka). e) Perkumpulan Politik Katholiek Indonesia (Kasimo). f) Sedangkan dari fihak Central Comite yang hadir antara lain adalah Soetardjo, Sartono, Kasimo, Alatas, Atik Soeardi, H. A. Salim, E.L. K Sinsoe, Datuk Tumenggung, dan Mr. Hendromartono (Pemandangan, 22 November 1937: 2). Pertemuan tanggal 21 November 1937 tersebut membuahkan hasil antara lain adalah wakil-wakil Pasoendan, P.A.I Persatuan Minahasa dan PPKI, menyatakan persetujuannya dengan Petisi Soetardjo. Wakil Parindra belum dapat menentukan sikap karena menunggu keputusan Conferensi partai yang akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1937. Gerindo menyatakan hanya dapat setuju dengan bagian petisi yang bermaksud meminta supaya diadakan musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Nederland untuk membicarakan hal yang sifatnya pemerintah yang harus diberikan kepada Indonesia(Soeara Katholiek, 22 November 1937: 2). Sedangkan PSII tidak ikut dalam gerakan Petisi Soetardjo, jadi tidak mengirimkan wakilnya. PRI (Partai Rakyat Indonesia) sudah menerima undangan, tapi ditolak, karena sebagai organisasi PRI sudah tidak ada. Walaupun begitu, bekas anggota PRI tetap mendukung Petisi Soetardjo. Oleh karena itu, bekas anggota PRI tidak menyatakan diri dalam Parindra karena sebagaimana diputuskan bahwa Parindra melarang anggotanya ikut campur tangan dalam Petisi Soetardjo. Jadi sebagai grup yang mempunyai haluan politik tertentu, bekas kaum PRI tetap bersatu. Tetapi secara organisasi sudah tidak ada, dari itu tidak dapat mengirimkan wakil dalam pertemuan tersebut (Pemandangan, 22 November 1937: 1). 86 Selanjutnya pada tanggal 28 November 1937 suatu rapat umum kembali diadakan di Jakarta. Dalam rapat itu Amir Syarifuddin, salah seorang pemimpin Gerindo menyatakan bahwa Petisi Soetardjo sudah salah jalan yaitu dari atas (Volksraad), turun ke bawah (rakyat) bukan seperti biasa dari rakyat ke Volksraad. PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) menuduh gerakan yang sedang dijalankan oleh CCPS sebagai suatu gerakan yang naif, gerakan anak kecil yang menuntut perubahan politik tanpa mempunyai sandaran dan sendi organisasi massanya untuk masuk dalam CCPS. Parindra agak berbeda keputusannya dengan PSII. Keputusan rapat Parindra di Solo tanggal 12 Desember 1937 berpendapat bahwa walaupun Parindra menolak petisi, karena maksud petisi berlawanan dengan tujuan yang dicita-citakan Parindra, tetapi maksud untuk mengadakan suatu konfernsi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda didukung oleh Parindra. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), menolak dan melarang anggota-anggotanya membantu petisi dengan jalan apapun, karena tujuan PNIBaru adalah Indonesia merdeka, jadi bukan berdiri sendiri di bawah Kerajaan Nederland (Pemandangan, 28 Desember 1937: 6). Walaupun petisi tidak disetujui oleh empat partai yang pada waktu itu mempunyai pengaruh cukup besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, tetapi Petisi Soetardjo juga di dukung oleh banyak organisasi-organisasi yang antara lain adalah PBBB, Chung Hua Hui, Groep IEV, PEB, Panyedar, Pasoendan, PPKI, PAI, dan Perserikatan Indonesia serta beberapa nasionalis seperti H Agus Salim dan Sartono. Selain itu Sarekat Ambon dan Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia juga menyetujui petisi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 231-232). Pada tanggal 19 Desember 1937, diadakan pertemuan Central Comite Petisi Soetardjo untuk kedua kali. Pertemuan itu bertempat di Gedung Pertemuan Indonesia, Kramat 158, Jakarta, pada pukul 8 malam. Agenda pertemuan itu adalah untuk menentukan cara memperkuat Petisi Soetardjo (Pemandangan, 22 November 1937: ). Pada pertemuan Central Comite Petisi Soetardjo kedua kali tersebut, Central Comite Petisi Soetardjo mengumumkan pada semua partai-partai atau 87 oraganisasi-organisasi agar pengurus-pengurus cabangnya dapat bekerjasama dengan pendukung-pendukung petisi untuk membentuk Sub Comite Petisi Soetardjo di daerah-daerah. Atas anjuran Kasimo , cabang-cabang PPKI dengan aktif telah mendirikan Sub-sub Comite tersebut, dan selama tahun 1938, CCPS dan Sub Comite telah melakukan sejumlah rapat-rapat umum untuk mendukung petisi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 232-233). 5.Hasil Keputusan Pemerintah Nederlands Pada waktu pembicaraan mengenai rencana anggaran belanja Hindia Belanda dalam Tweede Kamer pada bulan Februari 1938, Petisi Soetardjo juga dibicarakan. Kebanyakan anggota Tweede Kamer tidak menyetujui petisi. Menteri Jajahan, Welter, sebagai wakil pemerintah Belanda dalam sidang itu menyatakan bahwa jalan yang terbaik untuk perubahan pemerintahan Hindia Belanda adalah dengan menjalankan desentralisasi yaitu dengan meletakkan dasar otonom pada tingkat bawah (pemerintah daerah), dan mengharapkan supaya Tweede Kamer tidak lagi mempersoalkan Petisi Soetardjo. Sesuai dengan laporan Menteri Jajahan pada Tweede Kamer, maka pada tahun 1938 telah mulai dijalankan beberapa perubahan dalam pemerintahan di Indonesia. Pada hakekatnya perubahanperubahan tersebut tidak sesuai dengan keinginan bangsa Indonesia. Pada persidangan Volksraad pada bulan Juli 1938, Gubernur Jendral Tjarda secara samar-samar sudah membayangkan bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur Jendral kepada Menteri Jajahan (berdasarkan laporan-laporan dari Raad Van Nederlands Indie, Adviseur Voor Inlandsce Zaken, Directeur Van Ondrwijs En Eredienst) telah menyarankan supaya petisi di tolak dengan alasan isi kurang terang, serta adanya ketidak pastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konferensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya Gubernur Jendral Tjarda menyarankan kalau petisi harus di tolak walau bagaimanapun 88 keadaaannya. Sehingga perubahan prinsipil bagi kedudukan Indonesia dan mengadakan konferensi seperti tuntutan Petisi Soetardjo tidak perlu dilakukan (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 233-234). Setelah lebih dari dua tahun lamanya menunggu keputusan pemerintah Belanda, akhirnya datanglah putusan yang diharap-harapkan. Pada tanggal 16 November 1938, datanglah Keputusan Kerajaan Nomor 40 dari pemerintah Belanda. Keputusan kerajaan Nomor 40 tersebut menyatakan bahwa petisi yang diajukan atas nama Volksraad di tolak oleh Ratu Belanda. Surat keputusan itu disampaikan kepada Sidang Volksraad pada tanggal 29 November 1938 (Sutrisno, 1982/1983: 42). Adapun alasan-alasan Seri Ratu menolak Petisi Soetardjo antara lain adalah : a) Berhubungan dengan pentingnya masalah yang diajukan, maksud dari petisi dianggap masih menggunakan perkataan-perkataan yang kurang jelas. b) Mengadakan koferensi sebagaimana tuntutan dalam Petisi Soetardjo diangggap bertentangan dengan aturan Belanda (strijdig met het geldend staat srecht). c) Dalam artikel 1 dari Grondwet tidak ada petunjuk tentang ukuran kemerdekaan yang harus diberikan kepada Hindia Belanda dalam lingkungan Kerajaan Nederland. d) Petunjuk semacam itu terdapat dalam artikel 62, 63, dan 64 dari Grondwet. e) Artikel-artikel ini oleh pemerintah yang membuatnya diterangkan sebagai berikut: pemerintah berpendapat bahwa urusan dalam (inwendig aangelegenheden) yang mengenai keadaan Hindia Belanda sendiri, sedapatnya harus diletakkan pada tangan badan-badan dan pembesarpembesar yang ada di negara Indonesia sendiri. Lagi pula harus dijaga supaya penduduk Indonesia mendapat pengaruh sebesar-besarnya dan ambil bagian dalam hal susunan badan-badan tersebut diatas. Tiap-tiap kali kalau melakukan langkah untuk menambah pengaruhnya, penduduk tadi haruslah diperingati bahwa yang lebih di butuhkan oleh Indonesia adalah adanya 89 pemerintahan yang setiap saat senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, jadi bersifat modern. f) Asas-asas tersebut di atas sebenarnya sudah sejak dahulu menjadi acuan bagi Nederland, dalam hal pemerintah Hindia Belanda dan terutama sejak tahun 1922, ketika Grondwet yang asli di ubah. g) Berdasarkan asas-asas itu dalam waktu pendek saja sudah ada permintaan di Hindia Belanda agar diadakan perubahan-perubahan penting, yang semuanya bermaksud supaya perkara-perkara yang mengenai Hindia Belanda sendiri di urus oleh badan-badan di Hindia Belanda sendiri dan supaya pengaruh penduduk pada urusan tadi dapat ditambah. h) Juga dalam batas yang di tetapkan oleh Grondwet dan hukum-hukum lainnya yang berlaku sekarang, aturan pemerintah Hindia Belanda masih dapat digunakan dan perkembangannya bisa disempurnakan untuk mencapai kedudukan yang lebih merdeka (autonomie) dengan bersandarkan pada asas demokrasi. i) Kemajuan Hindia Belanda (sebagai bagian Kerajaan Nederland) dalam lingkungan pemerintahan yang sehat, harus disertai dengan kemajuan hal-hal lainya pada bidang sosial, ekonomi dan pengetahuan. j) Kalau kemajuan Hindia Belanda tidak bersama-sama, maka kemerdekaan bagi kedudukan Hindia Belanda tidak akan menjadi kemerdekaannya penduduk yang sungguhnya. k) Apalagi kemerdekaan tidak bisa diperoleh seperti jatuhnya buah yang masak. Kemerdekaan tidak akan bisa didapat hanya dari kemajuan dan kekuatan masyarakat sendiri, tetapi datangnya ditetapkan untuk memenuhi keinginan pada bidang politik dan arti kemerdekaan bagi negeri dan penduduk Indonesia tentu tidak akan begitu besar l) Selain itu sejak timbulnya artikel 62, 63, dan 64 dari Grondwet tersebut diatas, sama sekali tidak terbukti bahwa artikel-artikel itu dan aturan-aturan lainnya yang bersandarkan artikel-artikel tadi menghalangi kemajuan tanah Hindia Belanda pada lingkungan pemerintahan menurut arah yang tidak di sangka-sangka. 90 m) Kejadian-kejadian dalam waktu krisis yang lalu malah membuktikan bahwa aturan-aturan yang berlaku sekarang dan hubungan antara bagianbagian Kerajaan seperti halnya sekarang jelas sekali untuk memperhatikan kepentingan seluruh kerajaan Nederland serta bagian-bagiannya masingmasing. n) Mengingat sebab-sebab tersebut di atas itu jadi jelas bahwa sudah tidak ada alasan yang cukup untuk mengadakan perubahan besar dalam aturan pemerintahn Hindia Belanda, dan jelas pula bahwa mempercepat kemajuan pada bidang pemerintahan sampai memutuskan hubungan kemajuan pada satu bidang dan bidang lainya itu tidak akan berakibat baik bagi Hindia Belanda (Soeara Katholiek, 9 Desember 1938, 1). Selain itu Pemerintah kolonial Belanda juga menyatakan hal-hal sebagai berikut : a) Reformasi administratif yang sedang diimplementasikan harus diteruskan dan didukung bersamaan dengan delegasi kekuatan otonom, pada unit administrasi dibawahnya. Hal ini menunjukkan peningkatan yang berarti dalam hal partisipasi orang pribumi dan kelompoknya dalam mengurusi urusannya sendiri, tapi partisipasi orang Belanda juga sangat di butuhkan. b) Dalam pasal 91 menyebutkan bahwa masalah mengenai hubungan internasional dan hukum internasional ditangani oleh Gubernur Jendral. Dalam prakteknya berarti Gubernur Jendral dapat campur tangan dalam masalah perdagangan, dan pembatasan produksi. Jadi pendapat dari Volksraad tidak perlu didengarkan. c) Pemerintah Hindia harus secepatnya menjelaskan di depan Volksraad tentang masalah ini, karena hanya dengan cara seperti ini akan tetap terjaga ikatan yang rasional antara kedua bangsa, dan peristiwa yang tidak mengenakkan ini tidak perlu terulang dimasa yang akan datang. Di sisi lain pemerintah Kolonial Belanda harus baik-baik mempertimbangkan masalahmasalah yang penting menyangkut (L.M.Penders,1977: 144-145) kepentingan Hindia Belanda 91 Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa selain diajukan kepada Seri Ratu, Petisi Soetardjo juga diajukan kepada Eerste Kamer dan Tweede Kamer dari Staten General. Dalam Tweede Kamer tampak ada keinginan membicarakan Petisi Soetadjo, dan waktu itu Minister Welter menerangkan tidak merasa keberatan kalau Petisi Soetardjo dibicarakan. Jadi Pemerintah Nederland juga sudah mendapat pertimbangan tentang masalah itu dari pemerintah Hindia Belanda. Sampai dengan jatuhnya keputusan dari Seri Ratu, Tweede Kamer belum memberikan keputusan. Keputusan penolakan Petisi Soetardjo tersebut ternyata tidak menunggu keputusan pembicaraan Petisi Soetardjo dalam Tweede Kamer serta Eerste Kamer selesai (Soeara Katholiek, 23 Desember 1938, 1). Penolakan yang diambil tanpa keputusan dari Staten General itu sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan Indonesia. Soetardjo menyatakan bahwa penolakan itu menunjukkkan sikap sombong dan ceroboh dari pemerintah Belanda. Di samping itu, sikap Belanda juga menunjukkkan sampai seberapa jauh sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Soetardjo mengingatkan bahwa sikap yang diambil pemerintah Belanda terhadap petisi adalah keliru (Sutrisno, 1982/1983: 42). Soetardjo juga menyatakan bahwa pemerintah Belanda sudah terkena onderdomsziekte (penyakit tua) karena sudah menjajah bangsa Indonesia selama lebih dari 300 tahun. Pikiran pemerintah Belanda sangat pendek, tidak bisa memandang lebih jauh, dan hanya bisa mengandalkan Angkatan Bersenjatanya saja. Pemerintah Kolonial Belanda takut kehilangan keuntungan yang selama ini didapat dari Indonesia yang sesuai dengan semboyan yang dipunyainya yaitu Indie Verloren, rampspoed geboren (hilangnya Indonesia akan mendatangkan bencana bagi negeri Belanda) (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 136). Kekecewaan terhadap penolakan Petisi Soetardjo kemudian di susul dengan masalah-masalah lain, diantaranya : (1) tetap adanya mayoritas non pribumi dalam Dewan Rakyat; (2) tidak di pilihnya orang Indonesia yaitu Djajadiningrat sebagai Ketua Dewan Rakyat (Volksraad). Dari kedua fakta tersebut, jelaslah bahwa staatkundige verhoudingen (hubungan dan kedudukan politik ketatanegaraan) antara Belanda dan Indonesia tetap tidak berubah. Jadi 92 Hindia Belanda sebagai daerah jajahan di pandang belum waktunya untuk diberi status politik yang lebih mengarah pada pergerseran kekuasaan berdasarkan selfdetermination, politik etis dan paternalisme masih benar-benar berpengaruh, yang tampak jelas dari tanggapan Belanda terhadap beberapa masalah di Indonesia (Sartono Kartodirdjo, 1999: 184-185). Golongan yang menolak petisi seperti PSII dan Parindra, berpendapat bahwa ditolaknya petisi memang sudah diduga sebelumnya. Hal tersebut karena petisi tidak didukung sepenuhnya oleh semua golongan pergerakan dan karena sikap pemerintah Belanda sendiri yang tidak begitu baik sejak petisi diajukan. Dikatakan bahwa penolakan tersebut sudah sesuai dengan ramalan kaum pergerakan yang menganggap isi dari Petisi Soetardjo hanya sebagai angin saja (Penyebar Semangat, 10 Desember 1938: 19). Sukardjo Wirjopranoto, salah seorang yang menolak petisi menyatakan bahwa sebagai anggota Volksraad, merasa kecewa atas penolakan petisi, tetapi hal ini tidaklah menjadi suatu pukulan keras bagi pergerakan kemerdekaan (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 234). Tindak lanjut dari Central Comite Petisi Soetardjo setelah petisi di tolak adalah dengan mengeluarkan Surat Terbuka yang ditujukan kepada Pengurus Besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa Indonesia. Isi surat tersebut disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi juga mengajak seluruh partai untuk menentukan sikap atas penolakan Petisi Soetardjo dengan mengadakan konferensi di Jakarta pada tanggal 27-29 Mei 1939. Adapun tujuan dari konferensi tersebut adalah untuk membicarakan tidak lanjut dari Central Comite Petisi Soetardjo setelah ditolaknya petisi (Penyebar Semangat, 31 Desember 1938: 19). Akan tetapi, maksud Central Comite Petisi Soetardjo untuk mengadakan suatu konferensi tersebut, tidak dapat dilaksanakan karena bersamaan dengan sidang di bentuknya GAPI (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 235). Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan Petisi Soetardjo sudah selesai. Oleh karena itu, dalam rapat Pengurus Panitia Pusat Petisi Soetardjo yang diadakan pada tanggal 11 Mei 1939, di Jakarta, di 93 putuskan untuk membubarkan Central Comite Petisi Soetardjo. Pembubaran tersebut karena adanya keinginan dari kaum pergerakan untuk membentuk Kosentrasi Nasional dan menjaga jangan sampai timbul kekecewaan dan salah paham dari masyarakat Indonesia (Sutrisno, 1982/1983: 42). C. Pengaruh Petisi Soetardjo Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia Keputusan penolakan Petisi Soetardjo sangat mengecewakan para pemimpin pergerakan nasional. Lebih-lebih kalau dilihat dari lamanya Petisi Soetardjo menggantung sampai dua tahun. Penolakan Petisi Soetardjo telah membuat melemahnya semangat kaum pergerakan nasional dan menyebabkan perbedaan pendapat diantara bangsa Indonesia sendiri. Sebagian mengatakan bahwa kegagalan Petisi Soetardjo karena kemauan yang kurang kuat dari bangsa Indonesia. Namun perlu dilihat mengapa kegagalan petisi Soetardjo tidak menimbukan reaksi di fihak pergerakan secara jelas. Memang perlu di ketahui bahwa saat itu kekuatan pemukul pergerakan sedang dalam keadaan terikat dan sudah tidak bebas lagi untuk bergerak. Kaum pergerakan bisa menerima kenyataan dan menerima keadaan mengenai kelemahan sendiri sambil mencari jalan keluar untuk mengatasinya, aksi secara besar-besaran menghadapi penolakan Petisi Soetardjo tidak tampak dan PPKI yang sudah ada ternyata tidak mampu menyusun kekuatan baru (Suhartono, 2001: 94). Walaupun penolakan petisi banyak menimbulkan kekecewaan dari kalangan pergerakan, namun kekecewaan itu tidak membuat perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan berhenti. Penolakan pemerintah Belanda terhadap Petisi Soetardjo, malah membuat kaum pergerakan semakin bersemangat untuk memperoleh kemerdekaan melalui jalan damai (kooperatif) (Slamet Mulyono, 1986: 63). Selain itu, penolakan Petisi Soetardjo juga telah memberi banyak pengaruh bagi perkembangan hubungan antara Nederland dengan Indonesia. Penolakan Petisi Soetardjo telah menimbulkan semakin melebarnya jurang 94 pemisah antara Nederland dan Indonesia, membuat kepercayaan rakyat kepada pemerintah menjadi semakin menipis, dan membantu membangkitkan semangat kaum nasionalis dari sikap mengalah yang apatis sejak gerakan non kooperasi di lumpuhkan. Gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri. Tanpa di sadari sikap konservatif Belanda dengan politik pembekuan perkembangan politik, mampu menumbuhkan kesadaran dan solidaritas nasional dari bangsa Indonesia yang semakin besar (Cahyo Budi Utomo, 1995 : 164-169). Salah satu jalan yang masih bisa di tempuh oleh kaum pergerakan setelah di tolaknya Petisi Soetardjo adalah dengan bekerja lebih giat lagi untuk tujuan yang sama dan mengalang kesatuan dalam barisan. Penggalangan kesatuan dalam barisan segera dijalankan. Central Comite Petisi Soetardjo kemudian dibubarkan pada tanggal 11 Mei 1939 demi kepentingan pembentukan badan politik baru oleh Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. H. Thamrin. Pembentukan badan politik baru tersebut adalah jawaban spontan dari kaum nasionalis Indonesia terhadap penolakan Petisi Soetardjo. Melalui badan politik baru, kaum nasionalis akan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menunjukkkan sikapnya yang lebih tegas kepada pemerintah di tengah-tengah situasi yang sangat gawat di tanah air (Slamet Mulyono, 1986: 63). Sejak matinya PPKI, usaha untuk mempersatukan partai-partai politik di dalam suatu organisasi sudah di coba. Atas prakarsa PSII dan Parindra, maka didirikanlah suatu federasi yang di beri nama Badan Perantaraan Partai Politik Indonesia (BAPEPPI). Bapeppi mempunyai maksud dan tujuan yang mirip dengan PPKI. Akan tetapi, badan persatuan ini tidak dapat hidup lebih lama, karena partai-partai nasionalis kiri yaitu Gerindo dan PNI Baru tidak mau masuk menjadi anggota di dalamnya (Ali Sastroamidjojo, 1974: 121). Dengan demikian berarti BAPEPPI telah gagal untuk di bentuk. Oleh karena itu, maka Thamrin (tokoh Parindra) memberikan usul untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Dimana tujuan dari konsentrasi nasional tersebut adalah untuk menyadarkan dan menggerakkan rakyat dalam memperoleh 95 suatu pemerintahan sendiri serta menggugah pemerintah Belanda untuk menyadari cita-cita bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahanperubahan dalam pemerintahn di Indonesia Alasan-alasan yang mendorong untuk segera membentuk konsentrasi nasional antara lain adalah kegagalan dari Petisi Soetardjo, sikap pemerintah yang kurang memperhatikan kepentingan- kepentingan bangsa Indonesia dan kegentingan internasional akibat timbulnya Fasisme (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 235-236). Pada waktu itu keadaan internasional semakin gawat. Fasisme Italia, Nasisme Jerman dan militerisme Jepang semakin menonjolkan peranannya di panggung politik nasional dan internasional. Fasisme Italia di bawah pimpinan Benito Mussolini, Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hilter dan militerisme Jepang di bawah pimpinan Jendral Tojo berhasil membentuk Pakta Anti Komintern (Komunis Internasional) yang keluar dari peperangan Dunia Pertama sebagai faktor kekuatan baru dan berkembang menjadi negara adi kuasa di bawah pimpinan Lenin dan Josef Stalin. Kaum Fasis menganggap Demokrasi Barat sudah sekarat dan yang akan di lawan adalah meluasnya demokrasi rakyat dari Uni Soviet dengan membagi dunia dalam daerah-daerah yang di kuasai oleh demokrasi Barat dengan pembagian sebagai berikut: Afrika untuk Fasis Italia; Eropa untuk Nazisme Jerman; dan Asia Timur Jauh untuk Militerisme Jepang. Bagi Indonesia, militerisme Jepanglah yang paling banyak di perhitungkan segisegi positif dan negatifnya. Ruang gerak pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan terletak dalam kemungkinan-kemungkinan yang diberikan pertentangan antara ketiga kelompok tersebut di atas yang memperlihatkan tanda-tanda akan berkembang menjadi peperangan Dunia Kedua (L.M. Sitorus, 1988:78-79). Gagasan pembentukan badan konsentrasi nasional itu mendapat sambutan baik dari berbagai fihak yang bersangkutan. Otto Iskandar Dinata selaku Ketua Paguyuban Pasundan menjelaskan bahwa Paguyuban Pasundan menyambut baik gagasan pembentukan badan konsentrasi nasional. Diharapkan agar prinsip saling menghargai di antar partai politik yang ikut duduk dalam badan tersebut tetap di bina sebaik-baiknya. Diharapkan pula agar badan tersebut mampu 96 mendesak Nederland untuk mengubah sikapnya terhadap Indonesia. Partai Islam Indonesia yang di pimpin oleh Sukiman mendukung gagasan sepenuhnya. Gerindo bersikap menunggu karena menerima undangan resmi. PSII menolak ajakan duduk dalam badan konsentrasi nasional, jika pembentukan badan tersebut di dasarkan atas situasi internasional yang menyeret bangsa Indonesia, karena masih banyak hal-hal dalam negeri yang lebih penting untuk mendapatkan perhatian sepenuhnya dari pada masalah itu. Sikap Gerindo dan PSII itu sebenarnya mengandung siasat. PSII ingin mengetahui apakah Pergerakan Penyedar yang di pimpin oleh Agus Salim juga di dekati oleh Parindra. Jika Pergerakan Penyedar ikut dalam badan konsentrasi nasional, maka PSII tidak akan bersedia. Demikian pula halnya dengan Gerindo terhadap tokoh Muh. Yamin. Meskipun Pergerakan Penyedar telah di dekati oleh Parindra, namun setelah mendengar pendirian R. Abikusno Tjokrosujoso selaku ketua PSII, maka Parindra menjatuhkan pilihannya pada PSII, dan Pergerakan Penyedar di tinggalkan. Di tetapkan pula bahwa konsentrasi nasional tidak akan mengizinkan masuknya partai yang dikeluarkan dengan tidak hormat oleh partai anggota, ke dalam konsentrasi nasional sebagai anggota (Slamet Mulyono, 1986: 64). Dua bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1939, untuk membahas pembentukan panitia persiapan penyelenggraan konsentrasi nasional, diadakan rapat umum di Gedung Permufakatan, Gang Kenari, Jakarta. Tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain adalah O. Bratakoesoemo, Soeradiredja, Atik Soeradi (dari Pasundan); Thamrin, Soekardjo Wiryopranoto (Parindra); Abi Koesno, Sjahboedin Latif (PSII); H. Mansoer dan Wiwoho (PII); Ratulangie, Sjarifoedin, Wilopo (Gerindo). Dalam rapat umum itu disetujui dan diresmikan pendirian GAPI (Sartono Kartodirdjo, 1999: 186). GAPI terbentuk dengan ketentuan bahwa masing-masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh dalam menjalankan program masing-masing, dan bila timbul perselisihan antar partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Pimpinan di pegang pertama kali oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syarifudin dan Abikusno Tjokrosujoso. Dalam Anggaran Dasarnya di terangkan bahwa GAPI berdasarkan pada : (a). Hak untuk menentukan diri sendiri; (b). Persatuan nasional 97 dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan mengenai faham politik, ekonomi, dan social; (c) Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia (Suwidji Kartonagoro, 1980: 448). Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dengan segera melancarkan sebuah kampenye bagi suatu parlemen Indonesia yang sepenuhnya di wakili dan secara politis berkuasa. Aksi GAPI di mulai pada konferensinya yang pertama pada tanggal 4 Juli 1939. Aksi-aksi GAPI selalu disertai dengan semboyannya yang lunak yaitu “Indonesia Berparlemen”. Dengan semboyan itu jelas bahwa GAPI tidak menuntut kemerdekaan secara penuh, tetapi menuntut suatu parlemen yang bersendikan pada asas-asas demokrasi. Selain itu, kaum nasionalis juga mengajukan mosi-mosi bagi perubahan yang berangsur-angsur dalam volksraad yang sebelumnya para anggota oposisi telah membatasi diri pada kecaman terhadap politik pemerintah (Cahyo Budi Utomo, 1995: 165). Adapun mosi-mosi yang diajukan antara lain: a). Mosi Thamrin, yang menuntut istilah Indonesie diganti Indonesia, Indonesier diganti bangsa Indonesia, dan Indonesische diganti ke Indonesiaan; b). Mosi Kewarganegaraan, yang mengajukan tuntutan untuk mengadakan Staat hukum baru yaitu kewarganegaraan Hindia (Indisch Burgerschap); c). Mosi Wiwoho, yang menuntut agar Dewan Rakyat dikembangkan menjadi lembaga demokratis yang bulat, pertanggungjawaban departemen-departemen kepada Dewan Rakyat, perlu dibentuk suatu Dewan Kerajaan, dan agar dibentuk suatu panitia yang mengadakan penelitian tentang situasi politik di Hindia Belanda (Sartono Kartodirdjo, 1999: 193). Sementara itu kegawatan politik di dunia makin memuncak dan akhirnya pada bulan September 1939, Perang Dunia Kedua meletus di Eropa. Kedudukan Negeri Belanda dalam PD II memang sebagai negara netral, tetapi menghadapi keganasan agresi militerisme Jepang-Hilter, sangat diragukan apakah negeri Belanda yang kecil dan lemah dapat mempertahankan netralitasnya. Itulah sebabnya banyak pemimpin pergerakan nasional Indonesia memperhitungkan bahwa negeri Belandapun segera akan di gilas oleh bala tentara Hilter. Kalau itu terjadi maka nasib bangsa Indonesia sebagai negeri jajahan Belanda menjadi tidak 98 tentu. Apabila Hilter menang dalam perang tersebut, maka kemungkinan besar Indonesia akan dijadikan jajahan Jerman. Hal inilah yang sangat di khawatirkan oleh pemimpin-pemimpin pergerakan Indonesia yang pada umunya berpendirian anti Fasisme. Oleh karena itu, maka timbul gagasan bekerjasama dengan Nederland untuk bersama-sama menghadapi bahaya Nasisme Jerman. Tentu saja politik bersimpati dengan nasib Belanda disertai motif politik yaitu untuk mendorong pemerintah Nederland agar secara timbal balik dapat menaruh simpati dan menunjukkan pengertian terhadap cita-cita bangsa Indonesia yaitu kemerdekaan (Ali Sastroamidjojo, 1974: 121-122). Menghadapi pecahnya PD II, GAPI segera mengadakan rapat pleno di Jakarta yang dilaksanakan pada hari Selasa siang, tanggal 19-20 September 1939. Rapat pleno tersebut di hadiri oleh perwakilan dari Gerindo, Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Persatuan Partai Katholiek Indonesia, Parindra, Pasoendan, dan PSII. Adapun latar belakang dari diadakannya rapat pleno tersebut adalah : a). Dalam pandangan internasional, ada usaha yang bisa mengancam keamanan pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Indonesia. b). Hal tersebut telah mempengaruhi kerjasama antara masyarakat Indonesia dan Belanda c). Kerjasama ini bisa dilakukan dengan jalan memperbolehkan orang Indonesia untuk mengurus negaranya sendiri. Rapat tersebut menghasilkan suatu keputusan yang dikenal dengan manifest GAPI. Adapun keputusan rapat pleno tanggal 19-20 September tersebut antara lain adalah : a). Anggota GAPI tidak akan ikut dalam usaha kemerdekaan, tetapi akan siap untuk bekerjasama dengan organisasi lain di bawah pengawasan GAPI. b). Pemerintahan sepatutnya membentuk sebuah dewan perwakilan yang angotaanggotanya di pilih oleh rakyat dan pemerintahan tersebut harus bertanggung jawab kepada parlemen. 99 c). Jika permintaan nomer 2 tersebut dipenuhi dalam waktu yang telah di tentukan, maka GAPI akan menganjurkan kepada rakyat agar mendukung Belanda dengan sekuat tenaga. d). Serta akan memberitahukan kepada segenap lapisan masyarakat dan kaum pergerakan agar mendukung Belanda (L. M. Penders, 1977: 334-335). Untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan, GAPI menyerukan agar perjuangan GAPI di dukung oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Semua itu disambut hangat oleh pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar mengenai GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya fasisme yang diuraikan secara khusus. Untuk mempropagandakan tujuan GAPI, GAPI sendiri mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai puncaknya pada tanggal 12 Desember 1939. Rapat-rapat umum tersebut dilaksanakan tidak kurang dari 100 tempat di Indonesia. Seperti juga Petisi Soetardjo, aksi GAPI juga mendapatkan rekasi pro dan kontra dari masyarakat. Fihak-fihak yang tidak setuju dengan aksi-aksi GAPI antara lain adalah Penyedar, PNI Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman yang telah lalu, aksi yang sifatnya meminta-minta kepada Belanda tidak ada gunanya. Sedangkan kebanyakan dari rakyat Indonesia, sangat bersemangat mendukung seruan Indonesia Berparlemen (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 237). Selanjutnya GAPI menrencanakan untuk mengadakan kongres yang disebut “Kongres Rakyat Indonesia” (KRI). Kongres yang direncanakan itu dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 23-25 Desember 1939. Kongres ini selain dihadiri oleh anggota-anggota GAPI juga dihadiri oleh perkumpulan-perkumpulan ekonomi, sosial, budaya serta serikat-serikat sekerja. Pokok pembicaraan utama dari kongres tersebut adalah untuk membicarakan diadakannya aksi Indonesia Berparlemen (L.M.Sitorus, 1988: 79). Kongres tanggal 23-25 Desember tersebut menghasilkan keputusan antara lain adalah sebagai berikut: 100 a). Sejak 24 Desember 1939, kongres orang Indonesia telah menjadi badan yang tetap. b). Tujuannya adalah meningkatkan kebahagiaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. c). Langkah pertama yang mendekati prestasi tersebut adalah membentuk atau mendirikan parlemen Indonesia. d). GAPI menjadi Lembaga Eksekutif dalam kongres tersebut. e). Keanggotaanya terbuka untuk organisasi-organisasi dan partai politik. f). Keputusan akan di ambil secara demokratis atau dengan mayoritas suara (voting). g). Rancangan program akan diwakilkan kepada komisi. h). Dana akan di buka dan dana yang terkumpul akan digunakan untuk membiayai kegiatan kongres. i). Kegiatan untuk parlemen Indonesia akan dilanjutkan dibawah direksi GAPI yang akan memberi instruksi umum sebagai tindakan yang akan diambil. j). Bendera Sang Merah Putih dijadikan sebagai simbol persatuan. k).Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Supratman menjadi lagu kebangsaan. l). Mengesahkan penggunaan bahasa Indonesia untuk mewakili keanekaragaman bangsa (L. M. Penders, 1977: 336). Menghadapi aksi Indonesia Berparlemen, pemerintah kolonial tetap mengawasi segala gerak gerik kaum Nasionalis Indonesia, demi keselamatan pemerintah jajahan. Sejak tanggal 1 Februari 1939, H. Marcella (Procereur General) telah memberikan instruksi rahasia kepada polisi PID untuk mengawasi gerak-gerik Gerindo. Pelaksanaan instruksi tersebut tidak hanya terbatas pada Gerindo saja. Partai-partai politik lainnya seperti PSII dan Parindra juga mengalami kesulitan dari pihak polisi PID. Selama tahun 1939, Parindra berkalikali mendapat peringatan dari fihak polisi PID berkenaan dengan rapat-rapat yang diselenggarakannya. Bahkan dalam bulan Desember 1939, rapat Parindra di Medan yang juga dihadiri oleh M.H Thamrin dibubarkan. Rapat Parindra dalam 101 bulan Januari di Bengkulu dan dalam bulan Februari di Cirebon mengalami kesulitan dari fihak polisi. Sedangkan penasehat dalam negeri G. F. Pijper mengenai Indonesia Berparlemen, mengemukakan pendapatnya kepada Gubernur Jendral, bahwa GAPI tidak perlu diperingatkan, karena para pemimpinnya cukup menyadari kegawatan situasi. Pijper tidak merasa perlu untuk menghalang-halangi aksi Indonesia Berparlemen (Slamet Mulyono, 1986: 72). Pada bulan Mei 1940, ketika tentara Jerman menyerbu negeri Belanda, kaum nasionalis merasa bahwa fihak Belanda seharusnya berusaha untuk bekerjasama dengan Indonesia dengan cara memberikan konsesi-konsesi politik (Cahyo Budi Utomo, 1995: 166). Dalam kaitannya dengan masalah itu, maka pada tanggal 9 Agustus 1940, GAPI kembali menyerukan tuntutan yang isinya antara lain adalah sebagai berikut: a). Di mulai dari asumsi. 1). Bahwa perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran rakyat hanya bisa dicapai dan di pertahankan dengan kekuatan politik, demokrasi, dan social demokrasi. 2).Dalam suasana dunia yang sedang mempertentangkan demokrasi dan totalitas fasis, dibutuhkan usaha untuk mempertahankan dan mengalang prinsip demokrasi dan untuk memperkenalkannya. b). Menimbang. 1). Fakta bahwa Belanda dan Indonesia juga berperan dalam perang dari sisi negara demokrasi. 2). Fakta ini menunjukkan bahwa kedua negara berperang untuk memenangkan prinsip kebebasan berdemokrasi atau dengan cara-cara fasis. 3).Penggalangan prinsip demokrasi, meskipun untuk beberapa saat hanya dalam hubungan untuk konstitusi Indonesia, akan meletakkan persahabatan diantara Belanda dan Indonesia dalam konteks yang sebenarnya, dan dalam keharmonisan berdasarkan obyektifitas perang. 4).Bahwa untuk berperan dalam sisi demokrasi adalah dalam persetujuan kaum pergerakan Indonesia, dan akan segera diwujudkan seperti dalam manifesto yang tercantum di atas. 102 5).Kemudian demokrasi dalam organisasi konstitusional Indonesia akan membangun moral sebaik-baiknya, sebagai kekuatan untuk melawan totalitas fasisime. c). Mengumumkan Untuk bekerjasama dan membicarakan dengan pemerintah dan partai-partai politik dari semua kalangan atau kelompok di negara ini dan perintah untuk mencapai demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. d). Mendesak pemerintah Sebagai langkah pertama terhadap demokratisasi Gubernur dari negara menjadi demokratisasi pemerintah, menjadi kekuatan yang berbahaya mengikuti bentuk konstitusional 1). Sebagai tindak lanjutnya dengan memberikan parlemen yang penuh, Volksraad harus di ubah menjadi parlemen, anggotanya dipilih dari dan oleh pemilih dengan menggunakan sisitem pemilihan yang dijamin dengan perwakilan yang adil dari penduduk yang beraneka ragam. 2). Transformasi kepala departemen menjadi menteri juga dimungkinkan transformasi volksraad menjadi parlemen. e). Seruan untuk organisasi politik, social, dan budaya lain, untuk secepat mungkin memberikan persetujuan dengan resolusi ini. Sebagai pengusul Resolusi GAPI tanggal 9 Agustus 1940 tersebut adalah R. Abikoesno Tjokrosujoso, R Sukardjo Wirjoranoto dan Adnaan Kapau Gani. Resolusi tersebut di buat di sekretaris GAPI yang bertempat di Kwitang 12 Jakarta (L. M. Penders, 1977: 338-339). Tuntutan yang dilakukan dengan gigih tersebut dan atas usul dari beberapa anggota volksraad mengenai perubahan ketatanegaraan di Hindia Belanda, akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda berjanji akan membentuk suatu komisi yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan yang menjadi keinginan bangsa Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995: 166) Pada tanggal 14 September 1940, dibentuklah Comissie tot Bestudeering Van Staatscrehtelijke Hervormingen (komisi untuk menyelidiki dan mempelajari 103 perubahan-perubahan ketatanegaraan). Komisi ini dikenal dengan nama Komisi Visman. Dinamakan Komisi Visman karena diketuai oleh Dr. F. H. Visman. Pembentukan komisi ini tidak mendapat sambutan baik dari anggota-anggota volksraad. Begitu juga dari GAPI yang terang-terangan tidak menyetujui. Ketidaksetujuan dari kalangan pergerakan, umumnya berdasarkan pada pengalaman akan komisi yang sejenis pada tahun 1918, yang tidak menghasilkan apa-apa bagi perbaikan nasib rakyat Indonesia. Untuk mengindari ketidaksatuan pendapat dalam menghadapi Komisi Visman, GAPI mengumumkan bahwa anggota-anggota GAPI tidak dibenarkan memberikan pendapat secara sendirisendiri kepada Komisi. Kemudian GAPI mengambil sikap lunak setelah ada undangan resmi dari Komisi Visman. Sementara itu beberpa anggota volksraad mengajukan suatu mosi yang sifatnya lebih ringan yaitu keinginan untuk mengadakan kerjasama antara pemimpin-pemimpin Indonesia dengan fihak pemerintah Belanda (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 239). GAPI selanjutnya mengadakan konfernsi pada 10 Desember 1940. Dalam konferensi tersebut diambil keputusan untuk menjelaskan lebih jauh kepada masyarakat, keinginan-keinginan GAPI tentang hal Indonesia berparlemen dan agar dipropagandakan oleh semua komite Indonesia Berparlemen yang telah didirikan di seluruh Indonesia. Pekerjaan membuat rancangan penjelasan diserahkan pada sekretariat GAPI yang terdiri dari Abikusno Cokrosujoso dari PSII sebagai penulis umum; Dr. A. K. Gani dari Gerindo sebagai penulis kedua; Sukardjo Wiryopranoto dari Parindra sebagai bendahara dengan dibantu oleh Dr. Ratulangie dari Perserikatan Minahasa; Mr. Sartono dari Gerindo dan M. H. Thamrin dari Parindra. Konsep rancangan ini diserahkan pada saat konferensi GAPI tanggal 31 Januari 1941 (http//www.amanah,or,id/detail,php?id=617, 30 Juni 2006). Pada konferensi GAPI tanggal 31 Jnuari 1941 tersebut, ditetapkan bentuk pemerintahan Indonesia termasuk konsep parlemen Indonesia yang dinginkan. Adapun bentuk rancangan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 104 a). Bentuk dan susunan parlemen 1). Parlemen yang dimaksudkan oleh GAPI terdiri atas dua kamar yaitu kamar pertama dan kamar kedua. 2). Yang boleh menjadi anggota kamar adalah warga negara (Staats burger, laki-laki dan wanita). 3). Semua anggota dipilih : (a). Anggota kamar pertama dipilih menurut cara yang akan ditentukan kemudian, asal memberi perwakilan yang pantas dari semua golongan dan aliran dalam masyarakat. (b). Anggota kamar kedua dipilih oleh rakyat (warga negara). 4). Yang dimaksud dengan warga negara pada dasarnya meliputi apa yang dinamakan rakyat Raja Belanda. 5). Pemilihan anggota-nggota kamar kedua dilakukan atas dasar perbandingan jumlah suara dan berdaerah-daerah. 6). Hak memilih dilakukan secara umum dan langsung. 7). Hak memilih pada dasarnya adalah hak setiap warga negara. 8). Banyaknya anggota kamar pertama dan kamar kedua berturut-turut sekurang-kurangnya 100 dan 200 anggota. 9). Parlemen adalah badan tetinggi untuk membuat Undang-Undang di dalam negara. 10).Parlemen menetapkan segala peraturan yang mengenai kepentingan negara. b). Susunan lain berhubung dengan Indonesia Berparlemen 1). Indonesia adalah suatu negara dengan seorang pemimpin negara. 2). Pemimpin negara itu mempunyai hak Veto dan tidak dapat dituntut atas apa yang diperbuat oleh pemerintah. 3). Yang bertanggungjawab adalah menteri-menteri. 4). Kekuasaan untuk menjalankan Undang-Undang di tangan pimpinan negara. 5). Pimpinan negara mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri dengan persetujuan parlemen. 6). Pemimpin negara dibantu oleh Badan Penasehat (Majelis Negara) yang anggota-anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh pemimpin negara. 105 7). Indonesia dan Nederland merupakan suatu serikat negara-negara (Staten Bond). c). Daya upaya untuk mancapai Indonesia Berparlemen 1). Mengadakan perubahan-perubahan politik dengan maksud pembangunan politik. 2). Langkah-langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah (a). Pengangkatan seorang Indonesia menjadi Wakil Gubernur Jendral (Gubernur Jendral Raja Muda). (b). Pengangkatan seorang Indonesia menjadi Wakil Direktur pada tiap-tiap Departemen. (c). Pengangkatan lebih banyak lagi orang Indonesia yang duduk sebagai anggota Dewan Hindia (Raad Van Indie). (d). Mengadakan kamar rakyat disamping Dewan Rakyat yang ada. (e). Mengadakan pemilihan anggota-anggota kamar Rakyat melalui pemilihan yang bersifat umum dan langsung dengan cara perbandingan jumlah suara dan berdaerah-daerah. (f). Memberikan hak memilih dan dipilih untuk Kamar Rakyat kepada semua Rakyat Raja Belanda di Indonesia (laki-laki dan wanita). (g). Menunjuk pemilih-pemilih (laki-laki dan wanita) untuk mewakili orangorang yang buta huruf. 3). Dewan Rakyat dan Kamar Rakyat bersama-sama merupakan Badan Perwakilan Rakyat. 4). Pemerintah dalam Badan Perwakilan Rakyat bersama-sama menjadi Self Government Indonesia. 5). Self Government mengatur semua kepentingan negara. 6). Pemerintah Agung (di negara Belanda) dan Self Goverment Indonesia menetapkan: (a). Konstitusi, negara, pembangunan politik, pembangunan sosial, ekonomi berdasarkan asas Demokrasi. (b). Hubungan hukum antara Nederland dengan Indonesia dan negara lain. 106 7). Pembanguan politik itu hendaklah dilaksanakan dalam waktu lima tahun, jika perlu dengan mengunakan Staat Noodrecht (hukum negara Istimewa, tertinggi di waktu bencana) (S. Silalahi, 2001: 23-24). Semua keinginan atau tuntutan tersebut disampaikan pada tanggal 14 Februari 1941 kepada Komisi Visman sebagai Memorandum. Ketika menyerahkannya, Abikusno (sekretariat GAPI) menerangkan bahwa tuntutan tersebut didukung oleh lebih dari 21. 047 orang dan 246 perkumpulan dalam hal menuntut Indonesia berparlemen. Hal ini suatu bukti bahwa perjuangan GAPI merupakan perpanjangan tangan secara umum dari rakyat yang sangat mendambakan pemerintahan Indonesia berdiri sendiri (Selfstandigheid) dan sebagai jalan pertama untuk mewujudkannya adalah dengan menuntut Indonesia Berparlemen (http//www.amanah,or,id/detail,php?id=617, 30 Juni 2006). Untuk lebih mengefektifkan perjuangan GAPI, maka pada tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang sudah ada di ubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang dilaksanakan di Yogyakarta. Majelis Rakyat Indonesia yang telah terbentuk, dipimpin oleh suatu badan yang disebut Dewan Pimpinan yang terdiri dari wakil-wakil federasi yang besar seperti GAPI (Federasi Organisasi Politik) yang diwakili oleh Abikusno Cokrosujoso, Sukardjo Wirjopranoto, Oto Iskandar Dinata, Sartono, dan Kasimo; MIAI (Federasi Organisasi-organisasi Islam) yang diwakili oleh Wachid Hasyim, Wondomiseno, Dr. Sukiman, K.H. M. Mansur dan Umar Hubeish; P.V.P.N (Federasi Organisasi Serikat-serikat Sekerja dan Pegawai Negeri) yang di wakili oleh Suroso, Atik Soeardi, Mr. Hendromartono, Ruslan Wongsokusumo dan Dryowongso (L.M.Sitorus, 1988: 81). Pada tanggal 16 November 1941, diadakan pemilihan Pengurus Harian Majelis Rakyat Indonesia, di mana Mr. Sartono di pilih sebagai Ketua, Sukardjo Wiryopranoto sebagai Sekretaris dan Atik Suardi sebagai Bendahara. MRI dianggap badan perwakilan segenap rakyat Indonesia yang akan mencapai kesentosaan dan kemuliaan berdasarkan demokrasi. Kepentingan rakyatlah yang 107 harus didahulukan diatas kepentingan-kepentingan yang lain (S.Silalahi, 2001: 25). Tidak lama setelah pembentukan badan baru tersebut, pada tanggal 8 Desember 1941 terdengar berita bahwa Jepang telah mengadakan penyerangan terhadap Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour di Kepulauan Hawai. Dengan penyerangan ini dinyatakan bahwa Perang Pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II telah meletus. Dalam Perang Dunia II, fihak Belanda masuk dalam blok sekutu dan Jepang masuk dalam blok Fasisme (Nazi). Kemudian fihak rakyat Indonesia pada tanggal 13 Desember 1941 dianjurkan agar berdiri di belakang pemerintah untuk mempertahankan negara Indonesia. Anjuran itu datang dari pimpinan harian Majelis Rakyat Indonesia, yaitu MR. Sartono dan Sukardjo Wiryopranoto. Anjuran tersebut menimbulkan perselisihan pendapat diantara kaum peregerakan. Pimpinan PSII (Abikusno Tjokrosujoso) kemudian keluar dari MRI dan GAPI dengan alasan, Sartono dan Sukardjo Wiryopranoto telah bertindak sendiri tanpa sepengetahuan anggotaanggota lain. Namum perselisihan itu tertutup dengan keberhasilan Jepang dalam mengalahkan kekuatan pasukan-pasukan sekutu yang bertahan di Asia Tenggara. Jepang dapat merebut dengan cepat Malaka dan Singapura yang dipertahankan oleh Inggris. Indo Cina yang dipertahankan oleh Perancis sudah terlebih dahulu jatuh ke tangan Jepang. Kemudian Birma dan Thailand yang dipertahankan oleh pasukan Gabungan Sekutu (A-B-C-D), juga dapat direbut oleh Jepang. Adapun Filipina yang dipertahankan oleh pasukan Amerika di bawah pimpinan Jendral Mac Arthur hampir secara keseluruhan dapat direbut oleh Jepang. Dalam keadaan demikian, Hindia Belanda hanya menunggu waktu saja, kerana pemerintah kolonial Belanda tidak membangun pertahanan dan kekuatan militer yang modern. Oleh karena itu, begitu Jepang masuk ke Indonesia, Belanda tidak dapat berbuat banyak dan dalam waktu satu minggu saja, Jepang dapat menghancurkan pertahanan di Indonesia. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah kalah tanpa syarat kepada Jepang (Sudiyo, 1997: 90-91). Seminggu sebelum kedatangan Jepang tersebut, Komisi Visman dapat menghasilkan laporan tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan dari rakyat 108 Indonesia. Adapun hal-hal yang dapat dilaporkan oleh Komisi Visman adalah sebagai berikut: a). Kelompok yang menginginkan Statenbond antara Indonesia dan negeri Belanda dengan ketentuan: 1). Kepala pemerintahan Hindia Belanda terdiri dari dua orang, seorang Belanda dan seorang Indonesia. Kedua kepala Pemerintahan tersebut diangkat melalui pemilihan. 2). Menteri-Menteri bertanggungjawab kepada parlemen. 3). Raad Van Indie, semata-mata hanya sebagai badan penasehat. b). Kelompok-kelompok yang menginginkan Dominion Status model Inggris. c). Kelompok-kelompok yang menginginkan Dominion Status model lain. d). Kelompok yang menginginkan otonomi daerah. Komisi Visman tidak pernah menjelaskan kelompok yang mana dari masyarakat yang menginginkan berbagai status seperti yang dilaporkan tersebut. Hal ini sengaja dilakukan untuk memberi kesan bahwa bangsa Indonesia belum mempunyai pandangan yang sama tentang masa depan Indonesia. Namun karena laporan tersebut dilaporkan seminggu sebelum Jepang datang, maka laporan tersebut tidak ada gunanya dan tidak jelas nasibnya (S.Silalahi, 2001: 25-26). 109 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN A. 1. Kesimpulan Latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo antara lain adalah karena terjadinya krisis malaise yang melanda dunia yang terjadi pada awal tahun ke tiga puluhan. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda terpaksa melakukan penghematan secara besar-besaran dengan cara melakukan penurunan upah dan pemecatan kaum buruh. Keadaan ekonomi yang sangat buruk di Hindia Belanda sangat dikawatirkan pemerintah akan digunakan oleh pemimpin pergerakan untuk menghasut dan mempengaruhi rakyat melakukan berbagai pemberontakan. Untuk mencegah hal itu, pemerintah mulai menindak partai-partai yang non kooperatif dengan cara memberlakukan beberapa peraturan pemerintah yang antara lain Pasal-pasal Karet dalam KUHP (pasal 153 bis, pasal 153 ter, pasal 161 bis, pasal 171 bis, dan pasal 169), Exorbitante Rechten, Penindasan hak berserikat, Muilkorf-Circulaire (Sikuler Pemberangusan), PID (Politiek Inlichtingen Dienst) dan sebagainya. Penindasan-penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum pergerakan, sangat terasa ketika Indonesia berada di bawah pimpinan Gubernur Jendral De Jonge. Gubernur Jendral De Jonge memerintah dengan keras dan rekasioner, sehingga pergerakan nasional menjadi lumpuh. Keadaan seperti itu ditambah dengan keadaan konstelasi dunia yang sangat mengkhawatirkan, dimana muncul Fasisme Italia, Nazizme Jerman, dan Militerisme Jepang yang semakin menonjolkan peranannya dipanggung politik Nasional dan Internasional. Berdasarkan kondisi di atas, maka Soetardjo Kartohadikoesoemo berinisiatif untuk mengajukan sebuah usul kepada pemerintah kolonial yang didasarkan 109 110 pada artikel 1 dalam Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden yang dinamakan sebagai Petisi Soetardjo. 2. Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia agar tuntutan dalam Petisi Soetardjo dipenuhi pertama-tama adalah dengan mengajukan Petisi Soetardjo pada sidang Volksraad yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 1936. Tanpa pemilihan suara dalam Volksraad, Petisi Soetardjo akhirnya diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus. Sidang khusus untuk membicarakan Petisi Soetardjo dilaksanakan pada tanggal 17 sampai dengan 29 September 1936. Hasil dari sidang khusus tersebut adalah 26 orang anggota Volksraad menyetujui Petisi Soetardjo dan 20 orang lainnya menolak. Dengan begitu berarti Petisi Soetardjo telah menjadi Petisi Volksraad. Pada tanggal 1 Oktober 1936, Petisi Soetardjo kemudian dikirimkan pada Ratu, Staten General, dan Menteri Jajahan di negeri Belanda. Sambil menunggu keputusan disetujui atau ditolaknya Petisi Soetardjo, maka dibentuklah Central Comite Petisi Soetardjo baik di Indonesia maupun di Belanda. Sedangkan di daerah-daerah, dibentuk Subsub Comite Petisi Soetardjo. Dengan bantuan dari pers-pers nasional, Central Comite Petisi Soetardjo maupun Sub-sub Comite Petisi Soetardjo baik di Nederland maupun di Indonesia selalu melakukan kampanyekampenye atau propaganda-propaganda untuk mengumpulkan pendukung Petisi Soetardjo Akhirnya pada tanggal 16 November 1938 datanglah keputusan dari Kerajaan belanda Nomor 40 yang menyatakan bahwa Petisi Soetardjo di tolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakan adalah karena bangsa Indonesia dianggap belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah Indonesia sendiri. Surat keputusan pemerintah kerajaan Belanda tersebut disampaikan kepada sidang Volksraad pada tanggal 29 November 1938. 3. Penolakan pemerintah terhadap Petisi Soetardjo telah menimbulkan pengaruh terhadap pergerakan nasional Indonesia yang antara lain adalah semakin menumbuhkan rasa solidaritas dan rasa persatuan diantara kaum 111 pergerakan. Rasa persatuan yang semakin besar tersebut kemudian diwujudkan dengan pembentukan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) pada tanggal 21 Mei 1939. GAPI yang sudah terbentuk tersebut dipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin. Semua partai nasionalis Indonesia yang utama seperti Parindra, PSII, Gerindo, PII, dan Pasundan, bersatu dalam federasi politik tersebut. Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Tujuan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) kemudian dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen”. GAPI dengan segera melancarkan aksi-aksi yang menuntut agar diberikan suatu perlemen yang sesungguhnya kepada Indonesia. Untuk menanggapi tuntutan GAPI, maka pada tanggal 14 September 1940, pemerintah kolonial Belanda membentuk sebuah komisi yang bertugas menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan. Komisi tersebut dikenal dengan sebutan Komisi Visman. Pada tahun 1942, Komisi Visman akhirnya dapat menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan dari rakyat Indonesia, tetapi laporan tersebut diterbitkan beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia. Sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya. B. Implikasi 1. Implikasi Metodologis Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode sejarah. Teknik pengumpulan data peneliti menggunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka. Pada tahap pengumpulan data, peneliti mengalami kesulitan dalam menemukan sumber-sumber primer karena adanya keterbatasan dana. Penulis juga mengalami kesulitan karena sumber-sumber primer yang ditemukan kebanyakan masih menggunakan bahasa asing yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa 112 Indonesia. Sumber-sumber tersebut ada sebagian yang diterjemahkan oleh penulis sendiri, akan tetapi mengingat banyaknya sumber primer yang berbahasa asing, apalagi ada bahasa yang benar-benar tidak dimengerti oleh penulis yaitu bahasa belanda, maka penulis terpaksa meminta bantuan orang lain untuk menterjemahkannya,. Padahal sumber-sumber tersebut akan lebih baik bila diterjemahkan oleh penulis sendiri. 2. Implikasi Teoritis Praktek kolonialisme telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Akibat adanya kolonialisme maka mulai timbul rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia. Dengan tumbuhnya rasa nasionalisme tersebut, maka masa pergerakan nasional Indonesia di mulai. Rasa nasionalisme tersebut diwujudkan dengan melakukan perjuangan-perjuangan menuju Indonesia merdeka. Untuk mencapai Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berjuang melalui dua jalan yaitu kooperasi dan non kooperasi. Pada tahun 30-an, kaum pergerakan yang berjuang dengan non kooperasi dilumpuhkan. Oleh karena itu, maka kaum pergerakan yang berjuang dengan kooperasilah yang lebih berperan penting. Pada masa ini kaum pergerakan lebih banyak berjuang melalui Dewan Rakyat (Volksraad). Salah satu pejuangannya yaitu dengan mencetuskan Petisi Soetardjo. Penolakan Petisi Soetardjo telah mempertajam konflik di antara pemerintah dengan kaum pergerakan dan mempererat rasa persatuan di kalangan bangsa Indonesia sendiri. Hal itu sebenarnya sangat merugikan pemerintah kolonial Belanda, apalagi pada saat-saat perang dunia sedang berlangsung dengan sengit. Sikap pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau mengerti cita-cita (aspirasi) rakyat Indonesia sangat mengecewakan bangsa Indonesia. Kekecewaan itu telah membuat bangsa Indonesia merasa tidak perlu melakukan pembelaan terhadap Belanda bila ada 113 serbuan dari luar dan meyebabkan sebagian rakyat Indonesia menyambut baik kedatangan Jepang. 3. Implikasi Praktis Secara praktis, penelitian ini telah memunculkan suatu pengertian bahwa pada masa pergerakan nasional, sudah terbentuk sebuah badan yang berfungsi sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat yang dinamakan Volksraad (Dewan Rakyat). Namun, pada kenyataanya badan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya sumber yang menyatakan bahwa sejak terbentuknya Volksraad sampai diajukannya Petisi Soetardjo, Volksraad hanya digunakan untuk membahas Anggaran Belanja Negara saja. Walaupun begitu dapat diketahui bahwa kaum pergerakan baik yang duduk didalam Volksraad maupun di luar Volksraad, senantiasa berjuang hanya demi kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadinya masing-masing. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya sumber yang menyebutkan bahwa dalam hal cara maupun taktik perjuangan, bangsa Indonesia memang menempuh cara yang berbeda-beda, namun tujuanya tetap sama yaitu kemerdekaan Indonesia. Selain itu belum pernah ditemukan satu sumberpun yang menyatakan bahwa kaum pergerakan berjuang demi kepentingan diri sendiri lebih-lebih hanya demi mendapatkan uang atau pangkat yang lebih tinggi. Implikasi praktis dari hasil penelitian terhadap pendidikan adalah sebagai seorang pemimpin, agar dapat memberi pelajaran tentang seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang mengutamakan kepntingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongannya. C. 1. Saran-saran Bagi mahasiswa lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan tentang Petisi Soetardjo, supaya mencari sumber-sumber primer yang lebih banyak 114 lagi, disamping yang telah ditemukan oleh penulis. Dan apabila menemukan sumber-sumber yang masih berbahasa asing, sebaiknya diterjemahkan sendiri. 2. Bagi bangsa Indonesia khususnya wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan dapat menghargai dan mewarisi nilainilai perjuangan bangsa seperti nilai-nilai yang diwariskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dan kawan-kawannya yaitu dengan menjadi wakil rakyat yang baik yang lebih mementingkan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi maupun golongannya. 115 DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Ali Sastroamidojo. 1974. Tonggak-tonggak Di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta. Anhar Gonggong. 2001. Panduan Parlemen Indonesia (Parlemen Dalam Konteks Sejarah, 1918-1945: Pergumalan Mencari Bentuk Dan Pelaksanaan Demokrasi). Jakarta: Yayasan API. Ayub Ranoh. 1999. Kepemimpinan Kharismatis. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Badri Yatim. 1999. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press. Daliman. 1971. Norma-norma Dasar Penelitian Dan Penulisan Sejarah. Surakarta: FKIP Sebelas Maret. Diamond, Larry & Plattner, March F. 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik Dan Demokrasi. Bandung: ITB. Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana. Ensiklopedi Indonesia 5. 1984. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve Ensiklopedi Indonesia 7. 1984. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus 3. 1982. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Ensiklopedi Nasional Indonesia 13. 1990. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Ensiklopedi Nasional Indonesia 14. 1990. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Ensiklopedi Popoler Politik Pembangunan Pancasila. 1991. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Ensiklopedi Umum. 1990. Yogyakarta: Kanisius. Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. 116 Hadari Nawawi. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Ichlasul Amal & Aramaidy Armawi. 1998. Regionalisme, Nasionalisme, Dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ingleson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasional Tahun 19271934. Jakarta: LP3ES. Kahin G.M.T. 1995. Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia. Surakarta: UNS Press. Kansil, C.S.T & Julianto. 1984. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga. Kartini Kartono. 1976. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju. Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarata: Yayasan Benteng Budaya. Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke-20 I, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius. Mohammad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. Nyoman Dekker. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Diawali Kebangkitan Nasional Pada Permulaan Abad XX. Malang: IKIP Malang. Penders, Chr. L. M. 1977. Indonesia Selected Documents On Colonialism And Nationalism 1830-1842. Quensland: University Of Queensland Press. Pringgodigdo. 1964. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat. Purnama Suwardi. 2000. Sejarah Indonesia Modern Dalam Dialog. Jakarta: Cakrawala. 117 Ricklefs. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Riyanta. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional, Politik Kolonial Belanda Abad Ke 20. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Roesland Abdulgani. Nasionalisme Asia. Jakarta: Parpantja. Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Posponegoro & Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Depdikbud. Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. .1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama. .2000. 100 Tahun Nusantara (Perhimpunan Indonesia Dan Manifesto Politik). Jakarta: Kompas. Silalahi, S. 2001. Dasar-dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sitorus, L.M. 1988. Sejarah Pergerakan Dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Slamet Mulyono. 1986. Kasadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan 2. Jakarta: Idayu Press. Sudiyo. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dari Budi Utomo Sampai Dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: Depdikbud. Suharsimi Arikunto. 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara. Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suhartoyo Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Yogyakarta: Liberty. Sumitro Djojohadikusumo. 1989. Kredit Rakyat Di Masa Depresi. Jakarta: LP3ES. 118 Susanto Tirtoprodjo. 1986. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Pembangunan. Suwidji Kartonagoro. 1980. Belajar Membaca Sejarah Nasional Indonesia. Surakarta: Yayasan Pendidikan Surakarta Hadiningrat. Surat Kabar Dan Majalah: “Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 10. Pemandangan. 1 “Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 11. Pemandangan. 1 “Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 13. Pemandangan. 1 “Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 14. Pemandangan. 1 “Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 15. Pemandangan. 1 “Petitie-Voorstel Soetardjo CS, Indonesia Zelfstanding Dalam Kerajaan Nederland”. 1936. Juli 24. Soeara Katholiek.1 “Sekeliling Petitie Soetardjo Yang Perloe Dikerjakan”. 1936. Oktober 30. Soeara Katholiek. 1 “Gerindo Dan Petitie Soetardjo”. 1937. Oktober 5. Pemandangan. 2 “Central Comite Petitie Soetardjo”. 1937. Oktober 6. Pemandangan. 2 “Petitie Soetardjo, Makin Lama Makin Mendapat Perhatian”. 1937. Oktober 7. Pemandangan. 1 “Perhatian Terhadap Petitie Soetardjo Makin Mendalam”. 1937. Oktober 8. Pemandangan. 1 “Sub Comite-Petitie Soetardjo Di Bogor” 1937. Oktober 9. Pemandangan. 2 “Sekeliling Petisi Soetardjo”. 1937. November 22. Soeara Katholiek. 2 “Gerakan Petitie-Soetardjo”. 1937. November 22. Pemandangan. 1 “Rapat Ramai Gerakan Petitie Soetardjo Menarik Perhatian Dan Memuaskan”. 1937. November 29. Pemandangan. 2 “Petisi Soetardjo Dalam Sejarah Perdjoangan Kemerdekaan Indonesia II”. 1937. Desember 28. Pemandangan. 6 119 “Perdjoeangan Politiek Petitie Sotardjo, Ditolak Oleh Seri Ratoe” . 1938. Desember 9. Soeara Katholiek. 1 “Petitie Soetardjo”. 1938. Desember 10. Penyebar Semangat. 19 “Perdjoeangan Politiek, Penolakan Petitie Soetardjo”. 1938. Desember 23. Soeara Katholiek. 1 “Centraal Comite Petitie Soetardjo”. 1938. Desember 31. Penyebar Semangat. 19 Abdurrahman Suryomihardjo. 1981. Oktober. “Mohammad Hoesni Thamrin”. Pusara. 481. Internet: Amin Rahayu. http//www. Amanah. Or.id/detail. Php? Id=617, 30 Juni 2006.