BAB I - Universitas Sebelas Maret

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penjelajahan orang-orang Eropa ke seluruh penjuru dunia di mulai oleh
Portugis dan Spanyol yang kemudian di susul oleh bangsa-bangsa Eropa yang
lain. Di Indonesia yang berhasil menanamkan pengaruhnya dalam kurun waktu
yang lama adalah bangsa Belanda. Kedatangan mereka semula dengan motif
perdagangan dalam rangka mencari rempah-rempah. Belanda mendirikan VOC
pada tahun 1602 dengan tujuan antara lain untuk menghadapi Spanyol dan
Portugis, mendapatkan monopoli dan menghindari persaingan di antara orangorang Belanda sendiri (Ricklefs, 1992: 31-40).
Pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7
gulden. Kemunduran serta kebangkrutan VOC ini disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup,
hutang besar, dan juga perang antara Belanda dengan Inggris yang mengakibatkan
kerugian yang sangat besar, sehingga mempercepat kebangkrutan VOC. Oleh
karena itu, maka pada pergantian abad ke-18 secara resmi pemerintah Indonesia
berpindah dari tangan VOC ke tangan pemerintah Belanda (Marwati djoened
poesponegoro & Nugroho notosusanto, 1993: 1).
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, di Indonesia diterapkan
beberapa kali kebijakan politik seperti : (1) Politik Kolonial Konservatif (18001870), politik ini diberlakukan dari awal pemerintahan Hindia-Belanda sampai
dengan tanam paksa (Cultuurstelsel). Pada masa ini, pemerintah mengunakan cara
tradisional yaitu menempatkan penguasa pribumi untuk mengurusi administrasi
pemerintahan lokal dan perusahaan perkebunan sebagai pengawas; (2) Politik
Kolonial Liberal (1870-1900), pada masa ini kebebasan usaha dijamin pemerintah
dan kerja paksa dihapus serta digantikan kerja bebas ; (3) Politik Kolonial Etis
(1900-1942), politik ini berbeda dari politik sebelumnya. Politik ini berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia (Suhartono, 2001: 11-16).
1
2
Politik Etis yang mulai diberlakukan sejak awal abad ke-20 ini berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui Irigasi, Emigrasi (Transmigrasi) dan
Edukasi. Dalam Politik Etis dilakukan perbaikan irigasi untuk meningkatkan hasil
pertanian. Sedangkan untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa ditempuh
kebijakan Emigrasi. Dalam bidang pendidikan dilakukan perluasan pendidikan
baik dalam pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi, seperti
pendidikan pamong praja, kedokteran dan teknik bagi penduduk pribumi. Selain
itu, juga dibuka peluang melanjutkan studi di Belanda bagi pemuda yang
berprestasi (Ayub Ranoh, 1999: 9-10).
Dengan adanya perkembangan pendidikan akibat dari politik etis
tersebut, maka muncullah golongan-golongan terpelajar atau elit intelektual di
Indonesia. Golongan terpelajar inilah yang akhirnya menjadi pelopor dari
pergerakan nasional Indonesia. Mereka mulai sadar akan nasib bangsa Indonesia
dan berusaha untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada masa inilah
mulai tumbuh benih-benih nasionalisme pada diri bangsa Indonesia dalam
pengertian yang modern (Badri Yatim, 1999: 18).
Pergerakan nasional diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal
20 Mei 1908. Budi Utomo didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Stovia antara lain
adalah Sutomo, Gunawan, dan Suraji di Jakarta. Tujuan dari organisasi ini adalah
kemajuan yang harmonis untuk nusa dan bangsa, Jawa dan Madura. Pada awalnya
pembentukannya Budi Utomo belum bergerak dalam bidang politik, akan tetapi
masih bergerak dalam bidang sosial (Susanto Tirtoprodjo, 1986: 11).
Walaupun menjadi organisasi pertama yang tumbuh pada masa
pergerakan nasional, Budi Utomo kurang berpengaruh terhadap penduduk
pribumi. Oleh karena itu, maka timbullah gerakan-gerakan yang berdasarkan
agama dan kepentingan dagang, serta aliran kebangsaan Hindia, yaitu dengan
terbentuknya Sarekat Islam dan Indische Partij yang berdiri pada masa yang
bersamaan sekitar tahun 1912 (Suwidji Kartonagoro, 1980: 409).
Sarekat Islam pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam, yang
didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Tujuan semula dari Sarekat
Dagang Islam adalah memajukan perdagangan, melawan monopoli Tionghoa, dan
3
memajukan agama Islam. Kemudian atas desakan Omar Said Cokroaminoto, sifat
gerakan SDI lebih diperluas dan tidak dibatasi pada kaum pedagang saja. SDI
kemudian berubah menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912. Sarekat Islam
merupakan organisasi pertama yang bergerak dalam bidang politik (C.S.T Kasil &
Julianto, 1984: 25).
Hampir bersamaan dengan berdirinya Sarekat Islam, pada tahun yang
sama didirikanlah Indische Partij. Indische Partij (IP) didirikan oleh Douwes
Dekker (DD) di Bandung pada tanggal 6 September 1912. Indische Partij
merupakan organisasi campuran antara orang-orang Indo dengan Bumiputera.
Indische Partij didirikan di atas dasar nasionalisme yang luas menuju
kemerdekaan Indonesia, sehingga Indonesia dijadikan “national home” bagi
semua orang keturunan bumiputera, Belanda, Cina, Arab dan semua bangsa yang
mengakui Hindia Belanda sebagai tanah air dan bangsanya (Suwidji Kartonagoro,
1980: 413-414).
Tumbuhnya Sarekat Islam dan juga Indische Partij sebagai organisasi
politik, kemudian segera diikuti dengan munculnya organisasi-organisasi yang
lain yang juga mulai bersifat politik. Organisasi-organisasi politik yang muncul
antara lain adalah De Indische Social Democratische Vereeniging (I.S.D.V),
Nederlansch Indische Vrijzinninge Bond (N.I.V.B), Christelijke Ethische Partij
(C.E.P), Indische Katholike Partij (I.K.P), dan lain sebagainya (Pringgodigdo,
1964: 1-18).
Pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) telah membangkitkan kesadaran
di kalangan bangsa-bangsa penjajah tentang hak asasi manusia, hak kebebasan
dan kemerdekaan bangsa-bangsa, hak demokrasi, dan sebagainya. Sehubungan
dengan hal itu, mulai timbul gagasan-gagasan tentang pembentukan badan
perwakilan rakyat. Di Hindia Belanda sendiri pembentukan badan perwakilan
rakyat direalisasikan dengan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) yang resmi
dibuka dan disahkan oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum pada tahun 1918
(Sartono Kartodirdjo, 2000: 135).
Setelah Perang Dunia I, pelaksanaan Politik Etis mulai menampakkan
kegagalan. Kelaparan, kemiskinan dan kebodohan mulai muncul dimana-mana,
4
dan perbedaan antara golongan Eropa dan Pribumi terlihat sangat mencolok.
Perusahaan Belanda mengalami kemajuan pesat dan berlipat ganda. Sebaliknya
usaha untuk membantu rakyat hanya dijalankan oleh pengusaha-pengusaha di
daerah perkebunan masing-masing, dan semata-mata hanya untuk kepentingan
diri sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada waktu itu
kegelisahan sosial semakin meluas. Pemberontakan-pemberontakan seperti di
Jambi (1916), Pasarebo (1916), Cimareme (1918), Toli-toli (1920) merupakan
perwujudan yang jelas dari kegelisahan sosial tersebut. Bahkan organisasi
pergerakan juga telah dimanfaatkan sebagai media penyalur ketidakpuasan rakyat
(Cahyo Budi Utomo, 1995: 78).
Selain menghadapi suasana yang penuh kegelisahan tersebut, Van
Limburg Stirum (1916-1921) juga dikejutkan oleh sebuah telegram yang
diterimuanya dari Nederland yang menyatakan bahwa di Nederland telah terjadi
percobaan kudeta yang dilakukan oleh golongan sosialis di bawah Troelstra. Van
Limburg Stirum khawatir kalau-kalau keadaan yang kacau di Nederland akan di
manfaatkan oleh kaum pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di
Indonesia,
lebih-lebih
karena
hasutan
Cramer
seorang sosialis.
Untuk
menghindarkan kekhawatiran tersebut maka tanpa persetujuan dari Nederland,
Van Limburg Stirum menyatakan sebuah janji untuk mengadakan perubahan
kenegaraan secepatnya (Chr.L.M.Penders, 1977 :126).
Tindakan Van Limburg Stirum tersebut menimbulkan reaksi hebat di
negeri Belanda, yang dipandang sebagai konsesi yang tidak bertanggung jawab.
Indenburg selaku Menteri Jajahan, mendukung tindakan itu dan beranggapan
bahwa perubahan yang tepat adalah perubahan Dewan Rakyat yang perlu
dijadikan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab (Sartono
Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 80)
Salah satu usaha untuk merealisasikan janjinya tersebut, Van limburg
Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal sebagai anggota dalam Dewan Rakyat.
Tindakan itu bertujuan agar tertampung di dalamnya berbagai aliran sehingga sifat
demokratisnya dapat ditonjolkan. Di antara kaum radikal yang dianggkat ialah
5
Tjipto Mangunkusumo, Tjokroaminoto, Stokvis, dan Sneevliet (Sartono
Kartodirdjo, 1999: 131).
Selama pemerintahan Van Limburg Stirum perhatian dipusatkan pada
ekonomi dan aksi perburuhan. Sedangkan aksi pergerakan nasional berorientasi ke
fihak kiri dan sejak tahun 1921 menjadi lebih radikal, dikarenakan adanya krisis
ekonomi tahun 1921, krisis perusahaan gula dan pergantian kepemimpinan dari
Van Limburg Stirum ke tangan Gubernur Jendral Fock yang bersifat sangat
reaksioner. Fock memerintah sangat otokratis dengan mengabaikan rakyat yang
sedang berkembang. Pada masa pemerintahan Fock, tekanan pajak pada penduduk
Jawa dan Madura naik sebesar 40%. Di samping itu politik penghematan juga
dijalankan dengan ketat, sehingga menimbulkan penganguran di segala bidang
(Suwidji Kartonagoro, 1980: 376).
Akibat langsung dari politik Fock adalah terjadinya radikalisasi
pergerakan nasional sejak tahun 1922. Dalam Dewan Rakyat kemudian muncul
konsentrasi radikal dan gerakan non-kooperasi mulai meluas dikalangan kaum
terpelajar. Aliran terakhir ini sangat condong ke arah gerakan sosialistis yang
sejak tahun belasan sangat berpengaruh dalam pergerakan nasional (Sartono
Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 83)
Pergolakan di Hindia Belanda terus berjalan dan memuncak pada akhir
tahun 1926 dengan pecahnya pemberontakan di Banten, Sumatra Barat, dan
daerah-daerah lain di Jawa. Hal itu menyebabkan Gubernur Jendral De Graeff
(1926-1931) sebagai pengganti Fock, bertindak keras dan reaksinoner.
Menghadapi aktivitas pergerakan rakyat yang semakin radikal dan revolusioner
tersebut, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat
keras. Penahanan secara besar-besaran telah dilakukan, ribuan orang yang
dicurigai ditangkap dan dipenjarakan, banyak diantara mereka yang ditawan dan
dibuang. Hak mengadakan pertemuan dibatasi dan pers disensor dengan sangat
ketat. Pertemuan-pertemuan harus dihadiri oleh polisi yang diberi kekuasaan
untuk membubarkan, apabila aktifitas kaum pergerakan dianggap menggangu
ketentraman umum. Pada masa itu Hindia Belanda menyerupai Negara Polisi
(Cahyo Budi Utomo, 1995: 81)
6
Pada tahun 1931 De Graeff diganti
oleh De Jonge yang datang ke
Indonesia pada saat malaise masih melanda dunia. Sikapnya sangat reaksioner,
kejam dan tidak mengakui adanya pergerakan nasional. Politik De Jonge tidak
memberi kebebasan bagi orang untuk mengeluarkan pendapatnya. Banyak
diantara pemimpin yang dibuang atau dipenjara sehingga mereka tidak dapat
berhubungan dengan organisasinya. Hak sidang dibatasi, pembatasan bergerak
pers terus dilakukan dan hak exorbitante rechten (hak darurat istimewa atau
wewenang istimewa) Gubernur Jendral terus dijalankan. Dengan kata lain
pemerintah melakukan represi dengan ketat. Pemerintah berusaha melakukan
kontrol ketat dengan memperkuat Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Rahasia)
yang berusaha mengorek berita sedetail mungkin hingga memperoleh kepastian
bahwa seseorang dicurigai dan seterusnya dikenakan sangsi pembuangan
(Suhartono, 2001: 86-87).
Pemerintah De Jonge yang bertindak picik dan keras ini telah
mengakibatkan kelumpuhan pergerakan nasional. Politik keras ini dapat dikatakan
berhasil dalam arti bahwa partai kehilangan anggota dan kontaknya dengan
rakyat. Untuk menghindarkan dari kebinasaan maka diperlukan reorientasi dalam
strategi dan taktik perjuangan. Maka pada masa ini pergerakan nasional mulai
meninggalkan taktik nonkooperasi dan mulai bergerak secara parlementer, artinya
menerima dan duduk dalam dewan perwakilan (Volksraad). Reorientasi ini juga
mendorong ke arah
persatuan dan kerjasama yang erat antara organisasi-
organisasi pergerakan nasional. Perubahan taktik dalam menghadapi politik
pemerintah kolonial tersebut sama sekali tidak mengubah tujuan perjuangan yaitu
kesatuan nasional, persatuan organisasi-organisasi, dan kemerdekaan Indonesia
(Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993 :88).
Salah satu usaha reorientasi pada masa itu yang dilakukan melalui
Dewan Rakyat (Volksraad) antara lain dengan mengajukan Petisi Soetardjo pada
tanggal 15 Juli 1936. Petisi ini diusulkan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dengan
gagasan agar diadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan
Nederland untuk merencanakan perubahan-perubahan yang dalam waktu sepuluh
tahun dapat memberi status merdeka kepada Indonesia. Pada tahun 1938 Petisi
7
Soetardjo akhirnya ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dengan alasan
Indonesia belum matang (Sudiyo, 1997 :84).
Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo ditolak, tetapi penolakan tersebut
telah menimbulkan pengaruh antara lain adalah membangkitkan gerakan
nasionalis dari sikap mengalah yang apatis yang telah menimpanya sejak gerakan
non-koopersi dilumpuhkan menjadi lebih bersemangat untuk berjuang lebih keras
dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Semangat itu telah melahirkan gagasan
untuk membentuk federasi partai-partai politik kebangsaan dan mengambil
langkah untuk menggabungkan seluruh kekuatan politik yang ada. Kemudian
pada tanggal 21 Mei 1939 dibentuklah GAPI yang mempunyai tujuan
memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Tujuan
itu kemudian dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen” (Cahyo Budi
Utomo, 1995 : 164).
Masalah ini penting untuk diteliti, karena pada masa ini kaum pergerakan
mulai menggunakan Dewan Rakyat (Volksraad) untuk mewujudkan cita-cita
bangsa, yang sebelumnya hanya digunakan sebagai tempat untuk membicarakan
Anggaran Belanja Negara saja. Salah satu usaha kaum pergerakan yang ditempuh
melalui Volksraad yaitu dengan mengajukan sebuah petisi yang dikenal dengan
sebutan Petisi Soetardjo pada tanggal 15 Juli 1936. Walaupun pada akhirnya
ditolak, tetapi penolakan tersebut telah menimbulkan pengaruh yang antara lain
mengubah sikap apatis kaum pergerakan menjadi lebih agresif untuk
memperjuangkan
cita-cita
bangsa,
yang
kemudian
diwujudkan
dengan
pembentukan GAPI.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara lebih mendalam, serta
mengangkatnya kedalam skiripsi dengan mengambil Judul “PENGARUH
PETISI SOETARDJO 15 JULI 1936 TERHADAP PERGERAKAN
NASIONAL INDONESIA”.
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan dalam beberapa permasalahan yaitu:
1. Apa latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo?
2. Bagaimana proses perjuangan Petisi Soetardjo melalui Volksraad?
3. Bagaimana pengaruh Petisi Soetardjo terhadap pergerakan nasional Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab perumusan masalah di atas
yaitu untuk mengetahui :
1. Latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo.
2. Proses perjuangan Petisi Soetardjo melalui Volksraad.
3. Pengaruh Petisi Soetardjo terhadap Pergerakan Nasional Indonesia .
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1). Memberikan tambahan pengetahuan sejarah, khususnya yang berkaitan
dengan Petisi Soetardjo yang dicetuskan pada tanggal 15 Juli 1936.
2). Dengan penulisan ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
2. Manfaat praktis
Secara praktis maupun implikasi, penulisan ini dapat bermanfaat :
1) Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih Sarjana Pendidikan Program
Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2) Menambah bahan bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan
Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Kolonialisme
Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni. Kata koloni di
ambil dari bahasa latin colonia yang berarti tanah atau tanah pemukiman atau
jajahan. Dalam arti luas koloni berarti pemukiman warga suatu negara di wilayah
negara lain yang dinyatakan sebagai wilayahnya (Ensiklopedi Indonesia,
1982:1812).
Dalam sejarahnya kolonialisme tidak dapat dipisahkan dengan adanya
nasionalisme Eropa, khususnya nasionalisme yang lahir di Eropa Barat.
Nasionalisme yang timbul ini membuat pembatasan yang tajam di antara negaranegara di Eropa Barat. Akibat dari tumbuhnya nasionalisme ini, bangsa Eropa
menjadi sombong dengan bangsanya dan menganggap rendah bangsa yang lain.
Sehingga nasionalisme Eropa Barat telah melahirkan kolonialisme di Dunia Timur
(Suhartono, 2001: 6).
Menurut Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77), “Kolonialisme adalah nafsu
menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain”. Sedangkan
menurut Cahyo Budi Utomo (1995: 2), “Kolonialisme dapat dipandang sebagai
nafsu, sistem yang merajai atau mengendalikan ekonomi atas negeri bangsa lain”.
Nafsu itulah yang kemudian menjiwai bangsa Eropa untuk keluar dari negerinya,
berkelana mengarungi samudra yang luas untuk mencari daerah-daerah yang akan
dijadikan sasaran. Dalam hal ini Asia menjadi ladang yang sangat subur untuk
berbagai kepentingan mereka dan berkembangnya kolonialisme Eropa. Dengan
kata lain, kolonialisme adalah suatu rangkaian daya upaya suatu bangsa untuk
menaklukan bangsa lain dalam segala bidang. Hal ini selaras dengan pendapat C.
S. T Kansil dan Julianto yang mengatakan bahwa, “Kolonialisme adalah
rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang politik,
sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan : (a). dominasi politik, (b)
10
eksploitasi ekonomi dan , (c) penetrasi kebudayaan”. Sesuai dengan berbagai
pendapat tersebut, maka kolonialisme Belanda di Indonesia juga berusaha untuk
menguasai wilayah dan bangsa Indonesia di segala bidang dengan cara
melakukan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan.
Kolonialisme Belanda di Indonesia berusaha mendominasi penguasa
pribumi dan memperalatnya untuk keuntungan Belanda sendiri. Pemerintah
kolonial menjalankan Indirect rule yaitu pemerintahan tidak langsung, yang
menggunakan penguasa pribumi untuk memerintah rakyat. Masyarakat pribumi
hanya dijadikan sebagai bahan dasar industri Belanda dan sekaligus dijadikan
sebagai pasar bagi barang-barang industrinya tersebut. Kolonialisme Belanda
telah membuat masyarakat Indonesia mengalami banyak penderitaan dan
menjadikannya bertambah miskin dan bodoh (Suhartono, 2001: 7).
Kemiskinan,
kebodohan
dan
penderitaan
rakyat
itulah
yang
menyebabkan rakyat melakukan berbagai perlawanan-perlawanan terhadap
pemerintah kolonial. Perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia tersebut dapat
dibedakan menjadi dua periode, yaitu :
a. Sebelum Tahun 1900
Perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia sebelum tahun 1900
ini antara lain bersifat :
1. Perlawanan lokal (kedaerahan)
2. Perlawanan negatif :
a. Pindah tempat atau mengundurkan diri ke daerah yang tidak
atau belum terjangkau oleh kekuatan penjajah,
b. Mencari perlindungan kepada ilmu gaib (ilmu Klenik) atau
bertapa,
3. Perlawanan yang irasional, yang tergantung pada kekuatan seorang
pemimpin yang kharismatis (mempunyai kepribadian yang
magnetis), yang dianggap oleh pengikut-pengikutnya mempunyai
kesaktian yang dapat dipancarkan kepada mereka, perlawanan
macam ini selalu berakhir bila pemimpin itu tertawan atau terbunuh
4. Bagaimana tindak lanjut (follow-up) daripada pergerakan itu
sesudah susunan mayarakat yang ada ditumbangkan belum
difikirkan.
b. Sesudah Tahun 1900
Sifat perlawanan berubah menjadi :
1. Perlawanan bersifat nasional (meliputi seluruh Indonesia)
11
2. Perlawanan yang positif dengan senjata dan taktik yang modern
berupa diplomasi atau silat lidah, ide-ide yang diperoleh dari barat
digunakan untuk melawan penjajah Belanda (senjata makan tuan)
3. Perlawanan itu diorganisir secara labih teratur dan rasional, dengan
Anggaran Dasar (Anggaran Rumah Tangga), yang memungkinkan
pergerakan bisa tahan lebih lama. Kehilangan seorang pemimpin
tidak menjadi sebab utama kematian pergerakan, bahkan
bersemboyan “patah tumbuh, hilang berganti”, atau “esa hilang dua
terbilang”. Pergerakan modern mempunyai mass leadership and
mass support
4. Masa depan bangsa sesudah pergerakan bisa menumbangkan
susunan masyarakat lama dan mendirikan masyarakat baru,
bagaimana pemerintahan harus disusun, bagaimana ekonomi harus
diatur, bagaimana pendidikan harus diselenggarakan, dll.sudah
dipikirkan (G. Moedjanto, 1988 : 25).
Perlawanan-perlawanan yang terjadi sebelum tahun 1900 tersebut biasa
disebut juga sebagai gejala protonasionalisme. Sedangkan nasionalisme baru
bangkit setelah perlawanan-perlawanan tersebut mulai berubah lebih modern
dengan tumbuhnya berbagai organisasi-organisasi modern pada awal abad ke-20.
2. Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa
mempunyai dua pengertian , yaitu : dalam pengertian antropologis sosiologis, dan
dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis sosiologis, bangsa adalah
suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan-hidup yang berdiri sendiri
dan masing-masing anggota persekutuan-hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,
bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam
pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka
tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar
dan ke dalam (Badri Yatim, 1999: 57-58).
Sedangkan dalam pembentukan nation (bangsa) tersebut ada beberapa
teori yang menyebutkan antara lain : pertama, yaitu teori kebudayaan (cultuur)
yang menyebut suatu bangsa itu adalah sekelompok manusia dengan persamaan
kebudayaan ; kedua, teori negara (staat) yang menyatakan bahwa terbentuknya
suatu negara ditentukan oleh penduduk didalamnya yang disebut bangsa ; ketiga,
12
teori kemauan (wils), yang menyatakan bahwa terbentukanya suatu bangsa karena
adanya kemauan bersama dari sekelompok manusia untuk hidup bersama dalam
ikatan suatu bangsa, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama
(Suhartono, 2001: 7).
Di atas telah di terangkan bahwa bangsa dapat diartikan dalam pengertian
antopologis sosiologis dan juga politik. Dari pengertian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa nasionalisme juga dapat diartikan secara antropologis
sosiologis dan juga secara politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghia Nodia
yang dikutip oleh Larry Diamond dan March F. Plattner (1998: 18), yang
menyatakan bahwa “Nasionalisme adalah mata uang yang berisi dua : yang satu
aspek politik, yang lain aspek etnik”. Sedangkan menurut Lothrop Stoddard yang
dikutip Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 44), “Nasionalisme adalah keadaan rohani,
yakni suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah orang yang mempunyai suatu
rasa kebangsaan (nationality), suatu perasaan tergolong bersama-sama menjadi
bangsa”. Hal ini selaras dengan pendapat Ernest Renan yang dikutip oleh Cahyo
Budi Utomo (1995: 20), yang menyatakan bahwa “Nasionalisme adalah suatu
kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan hingga mereka
membentuk suatu bangsa”.
Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat.
Nasionalisme mula-mula dibenihkan oleh golongan menengah Inggris yang
tergabung dalam kelompok Puritan, kemudian lewat pemikiran-pemikiran John
Locke menyebrang ke Prancis dan Amerika Utara. Nasionalisme yang bangkit
dalam abad ke-18 itu merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi
kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara. Gerakan ini juga
dimaksudkan untuk membina masyarakat sipil yang liberal dan rasional.
Nasionalisme abad ke-18 itu telah melahirkan negara-negara kebangsaan (nationstate) di Eropa dengan menentukan batas-batasnya di satu pihak dan melahirkan
imperialisme di pihak lain. Nasionalisme yang semula berkembang di Eropa itu
juga berkembang di negara-negara di luar Eropa, tetapi dengan nuansa yang
berbeda (Cahyo Budi Utomo, 1995: 17-18).
13
Berbeda dengan latar belakang timbulnya paham nasionalisme dalam
abad ke-18 di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bertujuan membatasi
kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negaranya, maka
nasionalisme di Asia dan Afrika mulanya timbul sebagai gerakan kaum terpelajar.
Kaum terpelajar mensosialisasikan nasionalisme tersebut di tengah masyarakat,
dan membentuk organisasi politik yang berjiwa nasionalis (Ichlasul Amal &
Armaidy Armawi, 1998: 21-162).
Khusus untuk nasionalisme Asia pada hakekatnya merupakan hasil
perkenalan bangsa Asia dengan kolonialisme dan imperialisme, dan nasionalisme
itu muncul bukan sebagai imitasi (peniruan) dari nasionalisme Eropa.
Nasionalisme Asia pada dasarnya tumbuh sebagai reaksi atas kolonialisme bangsa
Eropa. Nasionalisme dalam perlawanannya terhadap kolonialisme tidak selalu
bersifat passif, dengan cara isolasi (menutup pintu), tetapi juga bersifat aktif
dengan cara mengoper cara-cara barat yang baik dan membuang cara-cara yang
buruk. Demikian pula dengan nasionalisme Indonesia (C. S.T Kansil dan Julianto,
1984: 15-16). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Abdulgani (th: 7),
bahwa “Nasionalisme Asia adalah aliran yang mencerminkan kebangunan bangsabangsa Asia sebagai reaksi terhadap kolonialisme dari bangsa-bangsa Eropa”.
Nasionalisme yang ada di Indonesia pada dasarnya sama dengan
nasionalisme di Asia. Tumbuhnya nasionalisme di Indonesia merupakan bentuk
dari reaksi atau antitesis
terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara
eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara
penjajah dan yang di jajah. Nasionalisme merupakan gejala histories yang tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa Barat. Dalam
konteks situasi kolonial, nasionalisme Indonesia adalah suatu jawaban terhadap
kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial (C.S.T
Kansil & Julianto, 1984: 16). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sartono
Kartodirdjo (1992: 182), bahwa “Nasionalisme di Indonesia pada umumnya tidak
terlepas pertumbuhannya dari kolonialisme. Kolonialisme tersebut dilakukan
dengan cara eksploitasi, diskriminasi ras, dominasi politik dengan otoritarianisme,
paternalisme, otokrasi, sentralisasi yang menimbulkan reaksi dalam berbagai
14
bentuk, mulai dari emansipasi, progresivisme, demokrasi, otonomi hingga
revolusionisme”.
Tumbuhnya nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan
kolonialisme Belanda di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme yang
merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan inilah yang menyebabkan
munculnya nasionalisme. Tujuan dari nasionalisme Indonesia ini antara lain
adalah melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajah dan mencapai Indonesia
merdeka. Tujuan dari nasionalisme ini juga merupakan tujuan dari pergerakan
nasional. Nasionalisme tersebut tumbuh seirama dengan perkembangan
pergerakan nasional. Oleh karena itu sifat dan corak nasionalisme Indonesia
sesuai dengan corak dan sifat organisasi pergerakan yang mewakilinya.
3. PERGERAKAN NASIONAL
a. Pengertian
Ditinjau dari istilah katanya “ Pergerakan” berasal dari kata dasar
“gerak” (mendapat awalan per dan akhiran an). Di dalam bahasa Inggris
pergerakan dapat diartikan “movement “.kemudian istilah pergerakan ini
digunakan dalam sejarah perjuangan bangsa, menjadi “pergerakan nasional”
yang identik dengan “kebangkitan nasional” (Sudiyo, 1997: 16).
Menurut Suhartono, kata “pergerakan” mencakup semua macam aksi
yang dilakukan dengan organisasi modern ke arah kemerdekaan. Sedangkan
menurut A.K Pringgodigdo (1964: 1), pergerakan mengandung arti semua
macam aksi yang dilakukan dengan organisasi secara modern ke arah
perbaikan hidup suatu bangsa. Agak sedikit berbeda dengan kedua pendapat di
atas, Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 32) menyatakan bahwa “pergerakan
setidak-tidaknya mengandung dua pengertian. Pengertian pertama yakni
mengacu pada perubahan menuju suatu keadaan tertentu yang di inginkan,
sedang pengertian lainnya yaitu menunjuk pada fakta atau fakta-fakta proses
perubahan tersebut”.
15
Sedangkan nasional, berasal dari kata dasar “nation” yang biasanya
diterjemahkan sebagai bangsa. Jadi nasional dapat diartikan sebagai
kebangsaan. Nasional dapat diartikan juga sebagai sekelompok manusia yang
mempunyai asal-usul yang sama atau sekelompok manusia dari keturunan atau
ras yang sama. Dalam hubungannya dengan pergerakan nasional Indonesia,
“nasional” di maksudkan sebagai sekelompok manusia yang bernegara
(Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 33-34).
Adapun pengertian pergerakan nasional, dapat ditinjau melalui
pendekatan “multidimensional”, yang berarti meliputi segala bidang, yaitu
bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Namun di antara bidang-bidang
tersebut yang paling menonjol adalah pergerakan nasional dalam bidang
politik, karena penjajah menggunakan politik dalam segala bidang (Sudiyo,
1997: 17).
Perjuangan dalam pergerakan nasional ditentukan oleh faktor-faktor
yang dimiliki oleh penjajah maupun bangsa yang dijajah yang bersifat obyektif
maupun yang bersifat subyektif. Ciri obyektif mencakup hal-hal yang bersifat
materiil yakni kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air daripada
bangsa penjajah maupun yang dijajah. Sedangkan ciri yang bersifat subyektif
mencakup semangat dan kepribadian daripada bangsa yang melancarkan
perjuangan pergerakan nasional ataupun yang dimiliki oleh penjajahnya.
Faktor obyektif dari bangsa yang dijajah sangat bergantung pada kekayaan
alam dari tanah airnya dan kemajuan peradaban dari bangsa yang
bersangkutan. Ciri daripada penjajah sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor
obyektif yang terdapat dinegerinya. Faktor subyektif terutama ditentukan oleh
pandangan hidup dari suatu bangsa itu sendiri. Faktor subyektif bangsa
penjajah yang kemudian terungkap dalam bentuk politik penjajahan yang
dilakukan terutama di tentukan oleh kebijaksanaan dari pemerintah negeri
induknya (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 82-85)
16
b. Latar Belakang Munculnya Pergerakan Nasional
Munculnya pergerakan nasional di Indonesia, disebabkan oleh 2 (dua)
faktor. Ada faktor dari dalam negeri (internal) dan faktor luar negeri (external).
Tetapi faktor dari dalam negeri lebih menentukan dibanding dengan faktor
yang timbul dari luar negeri. Fungsi dan peranan faktor dari luar negeri hanya
bersifat mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional. Hal ini berarti
bahwa sebenarnya tanpa adanya faktor dari luar, pergerakan nasional juga akan
muncul, hanya waktunya agak lambat. Disamping itu, bisa juga dalam bentuk
lain (Sudiyo, 1997: 14).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Adapun faktor atau sebab-sebab dalam negeri (intern) ialah :
Penderitaan akibat penjajahan ; bangsa Indonesia merasa senasib
sepenanggungan, sama-sama dijajah Belanda. Jadi ini reaksi terhadap
penjajah.
Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica memberi jalan ke arah
kesatuan bangsa.
Pembangunan komunikasi antara pulau menyebabkan makin mudah
dan makin sering bertemunya rakyat dari berbagai kepulauan.
Pembatasan penggunaan atau penyebaran bahasa Belanda di kalangan
pribumi di satu pihak, dan penggunaan bahasa Melayu yang
dipopulerkan di lain pihak meyebabkan bahasa yang berasal dari
sekitar Selat Malaka ini menjadi bahasa Indonesia; bahasa ini
kemudian menjadi tali pengikat kesatuan bangsa yang ampuh.
Undang-undang desentralisasi 1903, yang diantaranya mengatur
pembentukan kotapraja (gemeente atau haminte) dan dewan-dewan
kotapraja memperkenalkan rakyat Indonesia akan tata cara demokrasi
yang modern.
Pergerakan kebangsaan di Indonesia dapat juga disebut sebagai reaksi
terhadap semangat kedaerahan, yang tidak menguntungkan bagi
perjuangan kemerdekaan (semangat kedaerahan membuat kita
terpecah belah dan lemah).
Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit (G Moedjanto, 1988: 26).
Faktor-faktor luar negeri yang dapat mempercepat timbulnya
pergerakan nasional itu, adalah sebagai berikut :
1. Adanya faham baru, yaitu liberalisme dan human rights,akibat perang
Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789);
2. Diterapkannya pendidikan sistem barat dalam pelaksaan Politik Etis
(1902), yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar
Indonesia, walaupun jumlahnya masih sangat sedikit;
17
3. Kemenangan perang Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang
membangkitkan rasa percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit
melawan bagsa penjajah (bangsa kulit putih);
4. Gerakan Turki Muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan
mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara
kabangsaan yang bulat, dengan ikatan suatu negara, satu bangsa, satu
bahasa, ialah Turki;
5. Gerakan pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaludin alAfgani bertujuan mematahkan dan melenyapkan Imperialisme Barat
untuk membentuk persatuan semua umat Islam di bawah satu
pemerintah Islam pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di
negara terjajah dan anti-imperialisme;
6. Dan lain-lain, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok dan
Philipina (Sudiyo, 1997: 15).
Perkembangan pergerakan nasional di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme Indonesia tumbuh
seirama dengan berkembangnya pergerakan nasional, oleh karena itu maka
sifat dan corak nasionalisme Indonesia sesuai dengan corak dan sifat organisasi
pergerakan yang mewakilinya. Walaupun terdapat perbedaan corak dan sifat
dari organisasi-organisasi pergerakan, tetapi tujuannya sama yaitu mencapai
kemerdekaan dan melenyapkan sistem kolonialisme. Dapat juga dikatakan
bahwa munculnya pergerakan nasional Indonesia dijiwai oleh nasionalisme
Indonesia. Oleh karena itu maka pergerakan nasional pada masa tahun 30-an
khususnya pada tahun 1936, saat Petisi Soetardjo dicetuskan lebih bersifat
moderat, karena pada waktu itu yang ada tinggal nasionalis moderat,
sedangkan nasionalis yang radikal telah disingkirkan.
c. Wadah Perjuangan Pergerakan Nasional
Pada umumnya kaum pergerakan nasional di Indonesia dalam hal
taktik, sikap dan cara mencapai tujuan bersama dapat dibagi menjadi dua
bagian yang berlawanan yaitu golongan revolusioner kontra evolusioner, atau
golongan radikal kontra dengan golongan moderat, atau golongan kooperasi
kontra golongan non kooperasi (Badri Yatim, 1999: 23-24).
.
18
Non kooperasi adalah taktik perjuangan atau cara mencapai tujuan
dalam pergerakan nasional dengan tidak mau bekerjasama dengan penjajah,
sedangkan kooperasi adalah taktik perjuangan atau cara mencapai tujuan
pergerakan nasional dengan bekerjasama dengan pemerintah kolonial
(Suhartoyo Hadjosatoto, 1985: 22).
Aliran kooperasi menganggap kemerdekaan ekonomi sangat penting
dan harus dicapai lebih dulu daripada kemerdekaan politik. Aliran ini tak
begitu bersifat keras, karena dapat bekerjasama dengan pemerintah jajahan.
Sebaliknya aliran non kooperasi menganggap tiap-tiap kerjasama dengan
pemerintah jajahan hanya akan memperkuat kedudukan penjajah. Oleh karena
itu, aliran non kooperasi menjalankan politik yang dinamakan politik prinsipil
yaitu menolak bekerjasama dengan pemerintah jajahan (C.S.T Kansil &
Julianto, 1984: 20).
Perjuangan dengan mengunakan taktik non kooperasi dapat dibagi
menjadi dua pengertian lagi yaitu 1). Non kooperasi dalam pengertian sempit
yang hanya tidak mau duduk sebagai anggota dalam badan-badan perwakilan
baik di pusat maupun di daerah yaitu baik di Volksraad, Gemeenteraad,
maupun Locale Raad; 2). Dan non kooperasi dalam pengertian yang lebih luas
yang disamping menolak untuk bekerjasama dalam Dewan Perwakilan juga
melarang anggotanya bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda
(Susanto Tirtoprodjo, 1986: 22).
Non kooperasi dalam arti yang sempit dapat di bagi menjadi dua
pengertian lagi yaitu 1). non kooperasi dengan cara tidak bersedia duduk
sebagai anggota Badan-badan Perwakilan, tetapi dalam hal bekerja sebagai
pegawai pemerintah kolonial diserahkan kepada kebijaksanaan masingmasing anggota organisasi yang bersangkutan; 2). Non kooperasi yang
menolak duduk dalam Badan-badan perwakilan tetapi menganjurkan para
anggotanya supaya berusaha menjadi pegawai pemerintah kolonial baik yang
sudah diduduki oleh penduduk Pribumi maupun yang belum, dengan maksud
agar anggotanya mempunyai pengalaman dalam bidang tugasnya masingmasing (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 105-106).
19
Pembagian taktik, sikap atau cara kaum pergerakan menjadi dua
golongan ini tidak menunjukkan bahwa kaum pergerakan kemudian menjadi
saling bertentangan atau saling bermusuhan, tetapi pembagian tersebut hanya
merupakan taktik yang kelihatannya memang sebagai dua hal yang
bertentangan, tapi dibalik itu taktik yang berbeda tersebut dapat saling
melengkapi, dan saling bekerjasama (Badri Yatim, 1999: 23-24).
Untuk mencapai tujuan bersama, kaum pergerakan berjuang melalui
wadah-wadah perjuangan nasional yang antara lain adalah:
1). Organisasi-organisasi Non Politik
Organisasi modern pertama yang didirikan pada awal pergerakan
nasional adalah budi utomo. Organisasi ini didirikan oleh sebagian pelajar
STOVIA di Weltevreden (Jakarta), pada tanggal 20 Mei 1908. Pada awalnya
organisasi ini bertujuan mengusahakan perbaikan pendidikan dan pengajaran,
dan belum bergerak dalam bidang politik. Akan tetapi dalam perkembanganya,
Budi Utomo kemudian berubah menjadi organisasi politik (C.S.T Kansil dan
Julianto, 1984: 22-24).
Organisasi berikutnya setelah Budi Utomo (BU) adalah Serikat Islam
(SI) yang didirikan pada tahun 1911. Pada awalnya Serikat Islam(SI) masih
bernama Serikat Dagang Islam (SDI) yang bertujuan memajukan perdagangan,
melawan monopoli Tionghoa dan memajukan agama Islam. Serikat Dagang
Islam (SDI) kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI) karena gerakan itu
tidak lagi membatasi diri hanya dalam bidang perdagangan melainkan telah
mencakup bidang-bidang lain seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, agama
dan bidang sosial. SI mulai bersifat politik setelah kepemimpinan dipegang
oleh H. Oemar Said Tjokroaminoto pada bulan Mei 1912 (S Silalahi, 2001: 23).
Kebangkitan BU dan SI, di ikuti dengan munculnya organisasiorganisasi kedaerahan di berbagai tempat. Organisasi-organisasi itu antara lain
Pasundan (1914), Sarekat Sumatra (1918), Ambonsch Studiefond (1909),
Mena Muria (1911), Rukun Minahasa (1912), Yong Minahasa (1919),dan lain
sebagainya yang mempunyai tujuan antara lain memperluas hak pemerintah
20
daerah. Sedangkan di Jawa bangkit gerakan-gerakan seperti Trikoro Dharmo
yang diubah namanya menjadi Yong Java (1918), dengan tujuan membangun
persatuan Jawa Raya (Kansil C.S.T & Julianto, 1984: 29-30).
Selain organisasi-organisasi kedaerahan, tumbuh juga organisasi yang
bersifat sosial keagamaan dan budaya, diantaranya adalah Muhamadiyah yang
didirikan pada tahun 1912 oleh K.H.Akhmad Dahlan. Muhamadiyah bergerak
di bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan dengan tujuan untuk memajukan
pengajaran agama, pengertian ilmu agama, dan hidup menurut peraturan
agama. Selain Muhamadiyah, organisasi keagamaan yang lain adalah Nahdatul
Ulama (NU). Nahdatul Ulama di dirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926
oleh K.H. Hasjim Asjari (Tebu Ireng Jombang), K.H.Dahlan, K.H Abdoel
Wahab Hasbullah, dan lain-lain, sebagai reaksi terhadap kebangkitan golongan
modernis. Tujuan NU adalah memajukan paham ortodoks menurut aliran
Sjafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali dengan jalan memelihara hubungan antara
ulama-ulama ke empat aliran tersebut. NU berusaha memajukan sekolahsekolah Islam dan memelihara masjid, langgar, surau, dan lain-lain sebagai
tempat ibadah Islam (S Silalahi, 2001: 4-8).
Pada
umumnyan
organisasi-organisasi
non
politik
diatas
menggunakan taktik, sikap atau cara kooperasi yang mau bekerja sama dengan
pemerintah kolonial.
2). Organisasi-organisasi Politik
Organisasi pergerakan yang pertama kali bersifat politik adalah
Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912, yang kemudian baru diikuti oleh
organisasi-organisasi lainya seperti Indinsche Partij (1912), de Indische Social
Democratische Vereeniging (1914), Indische Katholieke Partij (1918), Partai
Nasional Indonesia (1927), Parindra (1935), Gerindo (1937), dan masih
banyak lagi (Pringgodigdo, 1964: 1-140)
Diatas telah dijelaskan bahwa dalam hal taktik, kaum pergerakan
dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kooperasi dan non kooperasi. Di
21
mana non kooperasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian lagi. Dalam sejarah
pergerakan nasional Indonesia pembagian tersebut dapat ditunjukkkan contohcontohnya sebagai berikut : organisasi pergerakan nasional yang berhaluan
kooperasi adalah Budi Utomo. Sedangkan untuk organisasi pergerakan
nasional yang berhaluan non kooperasi dalam arti luas yakni yang sama sekali
tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial, dalam Badan
Perwakilan, maupun sebagai pegawai pemerintah dan bahkan mengajurkan
para anggotanya tidak bersedia bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial
adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berdiri pada 4 Juli 1927.
Organisasi pergerakan nasional yang berpendirian non kooperasi dalam
pengertian sempit yaitu yang hanya tidak mau duduk dalam Dewan
Perwakilan tetapi memperbolehkan anggotanya bekerja sebagai pegawai
pemerintah kolonial tanpa melarang atau menganjurkan adalah Partai Serikat
Islam. Contoh dari organisasi pergerakan nasional yang bersifat non kooperasi
tetapi menganjurkan pada anggotanya agar berusaha menduduki jabatanjabatan dalam pemerintah kolonial adalah Parindra (Susanto Tirtoprodjo,
1986: 22).
3). Dewan Rakyat (Volksraad)
Dalam rangka menunjukkan adanya kemauan baik dari pemerintah
Belanda di dalam mengatur kehidupan di wilayah jajahannya (Hindia Belanda),
maka pada tanggal 21 Mei 1918 pemerintah Belanda membentuk sebuah
Dewan Rakyat (Volksraad). Lembaga ini tidak menjadi dewan yang akan
mengontrol jalannya pemerintahan di Hindia Belanda, akan tetapi hanya
menjadi lembaga pemberi pertimbangan atau penasehat kepada Gubernur
Jendral saja (Anhar Gonggong, 1985: 255).
Struktur organisasi Volksraad pada awalnya terdiri dari seorang ketuaanggota (orang Belanda) yang diangkat oleh Ratu Belanda dan 46 orang
anggota yang terdiri dari 26 orang Belanda dan 20 orang yang diangkat dari
22
golongan pribumi (8 orang diangkat oleh Gubernur Jendral, dan 12 orang oleh
Dewan Daerah) (Ensiklopedia Indonesia, 1984: 3489).
Pada tanggal 16 November 1918, di dalam Volksraad di bentuk
sebuah Fraksi yang bersifat radikal yang dinamakan Radicale Consentratie.
Radicale Consentratie ini bertujuan mengajukan dan mempertahankan
keharusan adanya sebuah Majelis Nasional sebagai Parlemen Pendahuluan
untuk menetapkan hukum dasar sementara. Radicale Consentratie ini juga
mengajukan beberapa tuntutan antara lain : (1) Pembentukan Dewan Kerajaan ;
(2) Perombakan Volksraad menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sempurna
dengan hak atas dasar Undang-Undang ; (3) Perombakan Dewan Hindia (Raad
Van Indie) menjadi Dewan Negara ; (4) Penggantian Kepala Departemen
dengan Menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen ; (5) Penetapan
Anggaran Belanja Negara ke arah desentralisasi. Untuk memenuhi tuntutan
Radicale Consentratie ini, Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Desember 1918
melantik suatu komisi, yaitu Commissie tot Herziening van de Staatsinrichting
van Nederlands Indie (Panitia Pembaharuan Susunan Ketatanegaraan Hindia
Belanda). Akan tetapi komisi ini tidak dapat menjalankan tugasnya secara
optimal, sehingga sampai Volksraad dibubarkan, tuntutan dari Radicale
Consentratie ini tidak pernah terwujud (Ensiklopedia Nasional Indonesia,
1990: 23-24).
Jika sebelumnya Volksraad hanya di beri kekuasaan sebagai penasehat
saja, maka pada tahun 1925, posisi dan kekuasaan Volksraad sedikit demi
sedikit mulai diperluas. Volksraad kemudian menjadi badan kolegeslatif
dengan kekuasan untuk mengajukan petisi, dan mengubah Undang-Undang
(Sartono Kartodirdjo, 1999: 45). Pada tahun 1927 Volksraad di beri kekuasaan
membuat Undang-Undang bersama Gubernur Jendral yang ditunjuk oleh
pemerintah Belanda. Namun demikian, karena Gubernur Jendral mempunyai
hak Veto, maka kekuasaan ini tidak banyak manfaatnya (Kahin, 1995: 52).
Pada bulan Mei 1927, jumlah anggota Volksraad di tambah dari 46
orang menjadi 60 orang, yang terdiri dari 25 orang golongan pribumi (5 orang
diangkat oleh Gubernur Jendral dan 20 orang dari Dewan Daerah, yang terdiri
23
dari 12 daerah pemilihan), 30 orang golongan Belanda dan 5 orang golongan
Timur Asing. 20 orang dari Dewan Daerah yang terdiri dari 12 daerah
pemilihan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : daerah pemilihan Jawa Barat
3 orang, Jawa Timur 4 orang, Vorstenlanden (Solo dan Yogyakarta) 1 orang,
Sulawesi 2 orang, dan 7 daerah pemilihan lainnya masing-masing 1 orang.
Untuk Vorstenlanden di tentukan syarat pemilihan sendiri yaitu : penunjukan
atau pengangkatan dilakukan oleh panitia pemilihan yang terdiri dari Gubernur
(Belanda), yang tertua dari Solo dan Yogya, dan ke empat Raja yaitu Sunan,
Sultan, Mangkunegaran, dan Paku Alaman. Kemudian pada tahun1931,
komposisinya di ubah menjadi 30 orang pribumi (20 orang di pilih, 10 orang di
angkat), 25 orang golongan Belanda, dan 5 orang Timur asing (Ensiklopedia
Umum, 1990: 1158) .
Sebelum tahun 30-an, Volksraad tidak begitu berperan penting dalam
pergerakan nasional, karena mayoritas pemimpin nasionalis menolak bekerja
lewat dewan ini. Mereka menganggap bahwa dengan duduk dalam Volksraad
ini, tujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka tidak akan tercapai, sehingga
diperlukan cara-cara yang lebih radikal. Akan tetapi setidaknya Dewan Rakyat
ini menjadi sarana bagi kaum nasionalis Indonesia yang menjadi anggotanya
untuk mendidik masyarakat yang terpelajar tentang sasaran-sasaran yang lebih
moderat dari pergerakan kebangsaan (Kahin, 1995: 52).
Sejak tahun-tahun 1930-an, peranan Volksraad makin meningkat,
karena lembaga inilah yang menjadi satu-satunya alat yang dibenarkan
pemerintah kolonial untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan berbagai
golongan. Antara tahun 1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa
Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya
organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju
punya wakil dalam Volksraad saja yang dijamin mendapat sedikit kekebalan
dari pengawasan polisi Belanda. Volksraad menjadi satu-satunya forum yang
secara relatif bebas untuk menyatakan pendapat politik dan menjadi satusatunya cara bagi gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan dengan
24
cara mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda melalui dewan tersebut dan
tidak dengan mengatur dukungan massa (Cahyo Budi Utomo, 1995: 161).
4). Media Massa (Pers)
Media massa pada masa ini mempunyai peranan yang sangat penting.
Media massa Indonesia mampu menciptakan forum yang jauh melampaui
batas-batas arena politik yang hanya terbatas pada organisasi pergerakan saja.
Media massa menjadi forum yang cukup bebas untuk mengajukan pendapat,
pikiran, kritik sosial, dan lain sebagainya. Pada masa ini fungsi media massa
(pers) sangat membantu tumbuhnya massa kritikal dalam masyarakat,
kesadaran kolektif, dan solidaritas umum, sehingga berbagai pergerakan
sebagai wahana aksi kolektif mendapat dukungan kuat. Tidak mengherankan
bila kemudian berbagai aliran dan gerakan mempunyai persnya sendiri yang
berperan sebagai juru bicaranya. Sungguh tak ternilai sumbangan pers dalam
memperbesar
volume
informasi,
meningkatkan
intensitas
komunikasi,
mempercepat sirkulasi ide, serta membuka alam pikiran rakyat. Semua itu
secara komulatif mendukung mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi di dalam
gerakan emansipasi, gerakan kemajuan, dan akhirnya gerakan nasionalis dalam
berbagai warna dan aliran (Sartono Kartodirdjo, 1995: 112-117).
4.Petisi
Petisi berasal dari bahasa Latin Petitia yang berarti “permintaan”.
Dalam Kamus Pelajar Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (2003: 499), Petisi
diartikan sebagai permohonan resmi kepada pemerintah. Dalam Ensiklopedia
Indonesia (1984: 2700), Petisi diartikan sebagai pernyataan yang disampaikan
kepada pemerintah untuk meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap
suatu hal. Sedangkan dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila
(1991: 134), Petisi diartikan sebagai permohonan atau pengajuan keberatan yang
biasanya dilakukan kepada (salah satu instasi) pemerintah atau Dewan Perwakilan
Rakyat.
25
Dalam beberapa konstitusi dinyatakan bahwa pengajuan petisi menjadi
hak dari setiap warga negara. Namun selain pada warga negara, hak petisi juga
ada pada badan-badan pemerintah seperti Kotapraja, Kabupaten, Propinsi, dan
sebagainya, agar pemerintah pusat membela atau memperjuangkan kepentingan
daerahnya (Ensiklopedi Indonesia, 1984: 2700).
Dalam sejarah Indonesia, petisi yang pernah diajukan antara lain adalah
Petisi Soetardjo dalam Volksraad (1936) yang dibahas dalam skripsi ini dan
Petisi 50 yang muncul pada permulaan tahun 80-an. Dinamakan Petisi 50 karena
ditandatangani oleh 50 penandatangan. Petisi ini berisi tuntutan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat agar menanggapi Pidato Presiden Suharto di Pekanbaru (27-31980) dan di Cijantung (16-4-1980). Penandatangan Petisi 50 merasa
berkeberatan terhadap penggunaan Pancasila dan ABRI untuk kepentingan
golongan. Beberapa penandatangan yang terkenal diperiksa di Kejaksaan,
dikenakan larangan berkunjung keluar negeri dan mengalami kemunduran dalam
usaha-usaha bisnisnya. Setelah beberapa diantara mereka meminta maaf, maka
mereka diperbolehkan pergi ke luar negeri dan diajak bertemu dengan anggota
fraksi (Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, 1991: 134)
26
B. KERANGKA BERPIKIR
Kolonialisme Belanda
Penderitaan, kemiskinan
dan kebodohan
Nasionalisme
Petisi Soetardjo
Pergerakan Nasional
Volksraad
Ket:
Belanda datang pertama kali di Indonesia pada tahun 1596 di bawah
pimpinan Cornelis De Houtman yang mendarat di Banten. Sejak saat itu
kolonialisme Belanda mulai diterapkan di Indonesia. Dalam politik kolonialnya,
Belanda melakukan tindakan-tindakan yang meliputi bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Di bidang politik,
Belanda melakukan dominasi politik. Di bidang ekonomi, Belanda melakukan
eksploitasi ekonomi. Di bidang kebudayaan, Belanda melakukan penetrasi
kebudayaan. Dan di bidang social, Belanda telah menciptakan diskriminasi sosial
antara penjajah dengan yang di jajah. Akibat dari politik kolonial Belanda tersebut
telah menyebabkan penderitaan, kemiskinan dan kebodohan rakyat Indonesia.
Kemiskinan, kebodohan dan penderitaan rakyat inilah yang untuk
pertama kalinya menumbuhkan benih-benih nasionalisme pada diri bangsa
Indonesia. Dengan tumbuhnya nasionalisme Indonesia ini, maka di mulailah masa
27
pergerakan nasional Indonesia. Rasa nasionalisme tersebut kemudian diwujudkan
dengan cara melakukan perjuangan-perjuangan yang lebih bersifat modern
menuju Indonesia merdeka. Untuk mencapai Indonesia merdeka bangsa Indonesia
berjuang melalui dua jalan yaitu melalui parlemen (Volksraad) dan non parlemen
(organisasi politik).
Pada tahun-tahun sebelum tahun 30-an perjuangan pergerakan rakyat
Indonesia lebih banyak melalui jalan non parlemen dan bersifat non kooperasi
(radikal), tetapi pada tahun 30-an perjuangan pergerakan rakyat Indonesia lebih
bersifat kooperasi (moderat) dan melalui parlemen. Hal ini dikarenakan pada
tahun 30-an kekuatan fisik telah dilumpuhkan dan yang ada tinggal idealisme
untuk mewujudkan cita-cita bangsanya. Dalam situasi seperti itu , Soetardjo
Kartohadikusumo berusaha mencari jalan untuk membantu bangsa Indonesia
dalam mewujudkan cita-citanya yaitu dengan mengajukan sebuah petisi di depan
sidang Voksraad. Petisi ini dikenal dengan sebutan Petisi Soetardjo. Setelah
disetujui oleh sebagian besar anggota Volksraad, Petisi Soetardjo kemudian
menjadi petisi dari Volksraad dan segera di kirimkan ke pemerintah tertinggi
Belanda. Tetapi akhirnya pada tahun 1938, petisi ini ditolak oleh pemerintah
kolonial Belanda. Dengan penolakan ini telah menimbulkan pengaruh yang sangat
besar bagi pergerakan nasional Indonesia selanjutnya dalam mewujudkan
Indonesia merdeka.
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Petisi Soetardjo 15 Juli 1936
Terhadap Pergerakan Nasional” ini dilakukan dengan menggunakan teknik studi
pustaka, yaitu suatu cara mencari data dengan membaca sumber-sumber tertulis
baik di perpustakaan, instansi-instansi pemerintah maupun koleksi pribadi.
Adapun perpustakaan-perpustakaan yang akan dipergunakan penulis dalam
melakukan penelitian antara lain :
1. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
3. Perpustakaan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
4. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Perpustakaan Daerah Surakarta.
6. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan majalah)
Surakarta
7. Perpustakaan Hatta Yogyakarta
8. Perpustakaan Nasional Jakarta
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian merupakan jangka waktu penelitian yang peneliti gunakan
untuk keperluan penelitian. Dalam penelitian ini, jangka waktu yang digunakan
dimulai dari disetujuinya judul sampai penyusunan laporan hasil penelitian,
direncanakan selama sebelas bulan yaitu November 2005 – Oktober 2006.
29
B.
METODE PENELITIAN
Menurut Koentjaraningrat (1983: 7), kata metode berasal dari bahasa
Yunani, “methodos” yang artinya jalan atau cara. Sehubungan dengan upaya
ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2004: 42), metode adalah suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah
sistematis. Sedangkan Kartini Kartono (1976: 15) menyatakan bahwa metode
penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik
untuk mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian.
Dalam suatu penelitian, metode mempunyai peranan penting karena
berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam suatu penelitian tergantung
dari penggunaan metode yang tepat. Dalam penelitian ini, karena yang diteliti
dalam penelitian ini berupa peristiwa sejarah atau peristiwa yang telah terjadi pada
masa lampau, maka peneliti menggunakan metode penelitian sejarah atau metode
penelitian historis.
Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan
menggunakan
data masa lalu atau peninggalan-peninggalan, baik untuk
memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas
dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan
masa yang akan datang (Hadari Nawawi, 1998: 78-79). Sedangkan Louis
Gottschalk ( 1983: 32), mendefinisikan bahwa metode historis adalah proses
menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Sementara itu, menurut Winarno Surakhmad (1985: 132), metode
Historis adalah sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala,
peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk menemukan
generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan
sejarah, yang dapat digunakan juga untuk memahami situasi sekarang dan
meramalkan perkembangan yang akan datang.
30
Metode sejarah mempunyai beberapa langkah, seperti yang dikemukakan
oleh Daliman (1971: 71), bahwa metode sejarah mempunyai empat langkah, yaitu
(1) Heuristik, yakni kegiatan-kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa
lampau; (2) Kritik (sejarah), yakni menyelidiki apakah jejak-jejak itu sejati baik
bentuk maupun isinya; (3) Interpretasi, yakni menetapkan makna dan saling
hubungan daripada fakta-fakta yang diperoleh; (4) Penyajian atau Historiografi,
yakni menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk sesuatu kisah.
Dari beberapa pengertian tentang metode historis di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa metode penelitian historis atau penelitian sejarah adalah
kegiatan
mengumpulkan
sumber-sumber
sejarah
yang
relevan
dengan
permasalahan yang akan di kaji, kemudian mengadakan kritik terhadap data yang
telah diperoleh, selanjutnya menafsirkan makna yang saling berhubungan dengan
data-data yang dipeoleh untuk selanjutnya menyusun suatu cerita sejarah.
C.
SUMBER DATA
Sumber data atau sumber sejarah yaitu segala sesuatu yang dapat
digunakan sebagai bahan penulisan. Dalam penelitian yang dimaksud sumber data
adalah subyek dari mana data dapat diperoleh (Suharsimi Arikunto, 1986: 102).
Karena yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang kejadian yang terjadi
dimasa lampau maka yang digunakan adalah data sejarah.
Perkataan “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “datum”
(bahasa latin), yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo, 1995: 94). Menurut
Dudung Abdurahman (1999: 30), “Data sejarah adalah bahan sejarah yang
memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.
Sumber data dalam penelitian historis dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu : (1) Peninggalan material antara lain berupa candi, piramid, fosil,
monumen-monumen, senjata, perhiasan, bangunan-bangunan tempat tinggal,
peralatan atau perkakas kelengkapan kehidupan, benda-benda budaya, tempattempat keramat, dan lain-lain; (2) Peninggalan tertulis antara lain berupa prasasti,
relief, daun tertulis (misalnya daun lontar), kitab-kitab, naskah-naskah perjanjian,
arsip negara dan lain-lain; (3) Peninggalan tak tertulis atau budaya antara lain
31
berupa cerita rakyat atau dongeng, bahasa, adat istiadat atau hukum, kepercayaan
dan lain-lain (Hadari Nawawi, 1998: 79).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang tertulis.
Menurut Louis Gotschalk (1983: 35), sumber tertulis dapat dibagi menjadi dua
yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer
yaitu kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri, atau dengan panca
indera lain, atau dengan alat mekanik menyaksikan peristiwa yang diceritakan.
Sedangkan sumber tertulis sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan
merupakan saksi mata yaitu seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang
dikisahkannya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber tertulis primer
maupun sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer yang digunakan penulis
dalam penelitian ini antara lain surat kabar seperti Pemandangan, Soeara
Katholiek, dan Penyebar Semangat; dan dokumen seperti Indonesia Selected
Documents On Colonialism And Nationalisme 1830-1942. Sedangkan sumber
tertulis sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
Adapun buku-buku yang dipergunakan antara lain: a) “Soetardjo, Petisi Sutardjo
Dan
Perjuangannya”
karya
Setiadi
Kartohadikusumo,
b)
“Dr.
Sutarjo
Kartohadikusumo, Hasil Karya Dan Pengabdiannya” karya Sutrisno, c) “Sejarah
Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945” karya
Suhartono, d) “Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Dengan
Pengakuan Kedaulatan” karya Sudiyo.
D.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data dalam penelitian sejarah merupakan langkah
penting untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam metodologi sejarah tahap
ini dinamakan heuristik yang berarti suatu ketrampilan dalam menemukan ,
menangani, dan merinci bibliografi atau mengklasifikasikan catatan-catatan (surat
kabar, majalah, dan buku-buku). Pengumpulan data adalah prosedur yang
sistematis dan standart untuk memperoleh data (Mohammad Nasir, 1988: 211).
32
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta
sejarah , dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip,
surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan (Koentjaraningrat,
1983: 3). Sejalan dengan pendapat tersebut, Kartini Kartono (1976: 44)
mengungkapkan bahwa penelitian yang menggunkan studi kepustakaan adalah
penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang
terdapat di ruang perpustakaan, misalnya buku-buku, majalah, naskah, catatan
kisah sejarah dan dokumen.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui
beberapa langkah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku literatur,
majalah dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah yang ditelti yang
tersimpan di perpustakaan, arsip dan monumen. Teknik studi pustaka ini
dilakukan dengan sistem kartu atau katalog dan sistem komputerisasi. Sistem
kartu dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai
pengarang, judul buku, nama arsip dan subyek penelitian. Sementara sistem
komputerisasi dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai
pengarang, judul buku, subyek, kata kunci, nama penerbit dan tahun terbit.
2. Membaca, mencatat, meminjam, meringkas dan memfotokopi sumber primer
dan sekunder yang berupa buku-buku literatur yang relevan dengan tema
penelitian yang tersimpan di berbagai perpustakaan
3. Menfotokopi dan mencatat sumber primer dan sekunder yang tidak bisa
dipinjam seperti surat kabar dan majalah yang sesuai dengan masalah yang
diteliti.
E.
TEKNIK ANALISIS DATA
Berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
historis, maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data
historis. Teknik analisis data historis adalah suatu analisis data sejarah yang
33
mengutamakan ketajaman dalam memberikan makna atau melakukan interpretasi
terhadap fakta, sehingga diperoleh fakta sejarah atau sintesis sejarah. Menurut
Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah
bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumbersumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam
suatu interpretasi yang menyeluruh.
Interpretasi dapat dilakukan .dengan cara membandingkan data, guna
menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang terjadi dalam waktu yang sama
(Dudung Abdurahman, 1999: 65).
Interpretasi data sejarah dilaksanakan dengan cara melaksanakan
pengumpulan terhadap berbagai materi atau data yang sesuai dengan tema
penelitian ini. Dari data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan kritik
sumber. Kritik tersebut bisa berupa kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik
intern adalah memberikan penilaian terhadap isi sumber apakah sumber tersebut
dapat dipercaya atau tidak, seperti : identifikasi penulis sumber, cara berpikir
penulis apakah mengarah pada perhatian hanya ke satu jurusan tertentu atau lebih
luas daripada itu, latar belakang dokumen tersebut dibuat (verifikasi pembuat
pernyataan karangan), dan unsur subyektifitas pengarang. Sedangkan kritik
ekstern adalah memberikan penilaian terhadap keaslian atau otentisitas sumber
dengan melihat isi luarnya, seperti : kertas yang dipakai, tinta yang digunakan,
gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya,ungkapanya, kata-katanya dan lain-lain.
F.
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap penelitian dari awal sampai
dengan penulisan laporan penelitian, karena penelitian ini termasuk jenis
penelitian historis maka metode penelitian yang digunakan adalah metode historis.
Berdasarkan metode historis langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Heuristik
34
Pada tahap ini peneliti berusaha untuk menemukan sumber-sumber bagi
penelitian yang hendak diteliti dengan mengadakan klasifikasi atau penggolongan
terhadap sumber-sumber yang banyak jumlahnya. Tahap ini merupakan tahap
pertama pengumpulan data-data, karena peneliti menggunakan teknik studi
pustaka, maka dalam pengumpulan data, peneliti melakukan kunjungan ke
berbagai perpustakaan. Adapun perpustakaan yang banyak ditemukan sumber
oleh peneliti antara lain adalah : Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret,
Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS, Perpustakaan
Program Sejarah UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Arsip dan
Surat Kabar Monumen Pers, Perpustakaan Hatta Yogyakarta, dan Perpustakaan
Nasional Jakarta.
Setelah sumber atau data tersebut terkumpul, kemudian peneliti berusaha
membaca, mencatat sumber-sumber tertulis tersebut berdasarkan periode waktu
atau secara kronologis, serta memfotokopi literatur-literatur perpustakaan yang
dianggap penting dan relevan dengan masalah penelitian.
2. Kritik
Setelah sumber sejarah dalam berbagai klasifikasi sudah terkumpul,
langkah selanjutnya ialah melakukan kritik sejarah. Kritik sumber dilakukan
untuk menyelidiki apakah sumber-sumber itu mempunyai otentisitas dan
kredibilitas yang tinggi sehingga diperoleh keabsahan sumber. Dalam penelitian
ini, kritik sumber dilakukan dengan melakukan kritik ekstern dan kritik intern.
Kritik ekstern dilakukan dengan pengujian atas asli dan tidaknya sumber,
yang berarti menyelidiki segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Bila sumber
itu merupakan dokumen tertulis, maka harus diteliti kertasnya, tintanya, gaya
tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, dan hurufnya.
Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan sumber (kredibilitas).
Dalam kritik intern, hal yang dilakukan adalah melihat dan menyelidiki isi dari
sumber sejarah. Kritik ini digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang
diberikan oleh sumber dapat dipercaya atau tidak. Hal ini bisa dibuktikan apabila
35
pemberi kesaksian memberi prinsip positivisme yang mengandung pengertian
bahwa saksi primer mampu dan berkeinginan menceritakan kebenaran atau
dengan akurat melaporkan secara terperinci mengenai hal yang diteliti untuk
mendapatkan pendukung terhadap suatu fakta (Louis Gootschalk, 1983: 102).
Kritik intern digunakan untuk menilai dan menguji kredibilitas suatu sumber dari
segi isi fakta dan ceritanya. Dalam penelitian ini, kritik intern dilakukan dengan
cara melihat isi dari sumber, apakah sesuai dengan tema yang diteliti atau tidak.
Jika sesuai dengan tema maka sumber tersebut dapat digunakan.
3. Interpretasi
Interpretasi merupakan kegiatan menaksirkan data atau sumber yang
telah diteliti keasliannya. Setelah melakukan kritik sumber akan didapatkan
informasi mengenai suatu periode sejarah yang sedang dipelajari. Berdasarkan
informasi tersebut dapat di susun fakta-fakta sejarah yang dapat dibuktikan
kebenarnnya. Susunan fakta-fakta sejarah tersebut belum merupakan kisah
sejarah.
Fakta sejarah yang diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu
dengan yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras. Peristiwa yang
satu harus dimasukkan kedalam konteks peristiwa lain yang berhubungan. Proses
penaksirannya menjadi suatu kisah sejarah yang integral, menyangkut proses
seleksi sejarah. Untuk keperluan tersebut harus menggunkan fakta-fakta yang
relevan juga.
Dalam hal ini penulis menaksirkan dari data-data yang diperoleh untuk
dianalisa dan dihubungkan antara data yang satu dengan data yang lainnya,
sehingga mendapatkan gambaran penelitian yang utuh dan menyeluruh tentang
peristiwa masa lampau yang akan diteliti berupa fakta sejarah.
4. Historiografi
36
Historiografi merupakan langkah terakhir yang merupakan langkah
menulis fakta-fakta sejarah yang telah dikumpulkan, dianalisa, ditafsirkan
sehingga tersusunlah sebuah karya sejarah. Data yang utama di peroleh dari
sumber primer yang didukung dengan sumber-sumber sekunder yang diperoleh
dari proses penelitian tersebut. Setelah terkumpul semua bahan-bahannya
kemudian disusun dalam sebuah karya ilmiah yang berujud skripsi tentang
Pengaruh Petisi Soetardjo 15 Juli 1936 Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia.
Dari uraian diatas dapat dibuat bagan prosedur penelitian sebagai berikut :
Heuristik
Jejak
Sejarah
Kritik Sumber
Interpretasi
Fakta Sejarah
Historiografi
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Dicetuskannya Petisi Soetardjo
1. Terjadinya Krisis Malaise
Dasawarsa ketiga abad ke-20, ditandai oleh suatu perkembangan yang
pesat dalam bidang perusahaan, khususnya perusahan perkebunan. Hasil-hasil
perkebunan meningkat sekali sehingga mampu mendorong ekspor serta menarik
modal dari berbagai negara, yang antara lain dari Amerika dan Jepang. Akibatnya
Indonesia terbuka lebar bagi lalulintas dunia. Selain itu, perkembangan ini juga
membawa berbagai akibat dalam bidang politik dan sosial (Riyanta, 1997: 46).
Dalam lapangan sosial, timbul usaha untuk mengatur perburuhan dan
melindungi hak-hak kaum buruh, serta menetapkan upah yang pantas. Perhatian
Internasional terhadap masalah perburuhan di Indonesia memaksa penguasa
kolonial memenuhi dasar-dasar kemanusiaan dalam menciptakan peraturanperaturan bagi kaum buruh (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1993: 84).
Berbagai segi kehidupan yang masih terbelakang seperti pendidikan dan
kesehatan rakyat ditingkatkan. Berbagai kegiatan berjalan sejajar dengan
kemajuan dalam perusahaan dan perdagangan yang menciptakan suatu derajat
kemakmuran, meskipun keadaan seperti itu hanya dapat dinikmati oleh lapisan
atas dari masyarakat kolonial saja. Hal ini pada satu fihak menimbulkan
kepercayaan pada penguasa kolonial di Hindia Belanda bahwa Indonesia dapat
melaksanakan sendiri pemerintahan serta pembangunannya, dan di fihak lain
menimbulkan ketegangan antara fihak majikan serta penguasa dengan fihak kaum
buruh serta rakyat kecil pada umumnya. Terjadinya pemogokan-pemogokan dan
agitasi-agitasi yang memuncak pada pemberontakan dalam tahun 1926 dan 1927
merupakan tanda yang jelas bahwa perkembangan sosial ekonomi Hindia Belanda
membawa akibat meruncingnya hubungan yang tidak seimbang atau selaras dari
penguasa dengan yang dikuasai (Riyanta, 1997: 46).
38
Perkembangan proses produksi yang sangat cepat dengan hasil yang
bertambah besar serta upah yang sangat rendah, memerlukan penyesuaian tidak
hanya terhadap evaluasi dari dunia luar, tetapi juga terhadap hak-hak asasi dari
penduduk pribumi. Pemerintah kolonial terlalu mendasarkan pada kekuasaan yang
dimilikinya dan kurang memperhatikan kepemimpinannya. Kepentingan rakyat
terlalu diabaikan, politik terlalu ditentukan oleh pemerintah kolonial saja, serta
terlalu terarah kepada kepentingan kolonial dan mengacu pada ukuran barat
(Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 85).
Sementara itu, kepentingan kaum perkebunan dijadikan dasar politik
ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut disebabkan karena perkebunan
dijadikan tulang punggung dari pemerintah kolonial. Selain itu, pemerintah
kolonial Belanda juga meninggikan harga-harga bahan-bahan eksport yang
berasal dari Indonesia di pasaran dunia. Dalam keadaan seperti itu, Golongan
kepentingan seperti Vaderlansce Club (VC) menjadi sangat berpengaruh (Sartono
Kartodirdjo, 1993: 179).
Pada masa ini pemerintah kolonial Belanda menjadi pemilik perusahaan
dan kaum pribumi yang menjadi pekerja upahan. Jarak perkembangan antara
kedua belah fihak semakin besar. Dengan perkembangan yang sangat pesat dari
perusahan-perusahaan, maka lebih banyak orang Belanda yang datang ke
Indonesia dan berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari
Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya. Keadaan yang seperti digambarkan
di atas secara mendadak berubah karena Hindia Belanda terseret ke dalam krisis
ekonomi yang merjalela di seluruh dunia pada tahun 1929 (Riyanta, 1997: 47-48).
Pada tahun 1929, perekonomian Eropa dan Amerika Serikat mengalami
depresi hebat yang menjalar ke negara-negara lain di seluruh dunia. Hal inilah
yang menyebabkan lembaga-lembaga perekonomian ambruk, bank-bank tutup,
serta pabrik dan perusahaan perkebunan di seluruh dunia menjadi bangkrut. Masa
ini sering disebut dengan zaman “meleset” yaitu suatu istilah untuk menyebut
terjadinya malaise atau depresi ekonomi yang melanda negara-negara industri dan
non industri pada tahun 1929 (Suhartono, 2001 : 85).
39
Bagi rakyat Indonesia, zaman meleset (dari malaise) berarti pengurangan
kesempatan kerja, pemotongan gaji, turunnya harga-harga hasil pertanian, dan
rendahnya upah. Akibat adanya depresi ekonomi, ekspor Indonesia mengalami
penurunan, dari 1.483 (1929) menjadi menjadi 447 (1935). Upah turun dari f 18
(sebelumkrisis) menjadi f 7.50 (1935), untuk upah mandor; upah kuli bangunan,
turun dari 40 a 45 sen (sebelum krisis) menjadi 10 a 14 sen (1935); dan upah kuli
harian di pabrik perhari, sebelum krisis sebesar 25 a 35 sen, menjadi 10 sen.
Sedangkan penurunan harga-harga produk rakyat dapat dirinci sebagai berikut: a)
harga padi bulu, tahun 1929 sebesar f 4,90, turun menjadi f 1,83 (1935); b) harga
kelapa dari f 6 (1929) turun menjadi f 1 (1935); c) harga singkong, dari f 1,45
(1929) turun menjadi f 0,70 (1935) (Sumitro Djojohadikusumo, 1989: 28-35).
Di Sumatra dan Kalimantan, petani karet menderita pukulan depresi
karena tindakan pemerintah yang membatasi produksi karet. Pembatasan ini
dilakukan dengan mengenakan pajak yang sangat tinggi. Kerusuhan meningkat
akibat kelaparan yang terjadi di mana-mana. Jumlah perusahaan barat mengalami
penyusutan dari 178 pabrik gula menjadi 50 buah saja. Areal tebu menyusut dari
200.000 ha menjadi 34.200 ha, dan produksinya menurun dari 2. 923.550 ton
menjadi 636.104 ton. Demikian pula terjadi penyusutan pegawai dan buruh
musiman dari 129.249 menjadi 28.632. Kesulitan rakyat makin kompleks di
perkebunan tebu, karena berkurangnya sewa tanah dan merosotnya harga barang
kebutuhan (Suhartono, 2001 : 85-86)
Kesemuanya itu merupakan akibat dari politik ekonomi yang pada suatu
pihak menjalankan penghematan secara besar-besaran dan di pihak lain hendak
mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil
perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau tidak mau mengurangi
daya beli negara-negara pengimpor. Untuk mempertahankan tingkat keuntungan
maka penurunan upah dijalankan. Di samping itu pengurangan volume produksi
terpaksa dilakukan, maka dilaksanakan pemecatan kepada kaum buruh. Dalam
ekonomi dualistik pihak ekonomi pertanian taradisionallah yang memperoleh
tekanan paling berat. Akan tetapi, ekonomi pertanian tradisionallah yang dapat
berfungsi sebagai wadah pengaman bagi sebagian besar tenaga kerja untuk
40
kembali mencari nafkahnya pada waktu mulai tumbuh banyak perkebunan rakyat,
khususnya perkebunan karet (Sartono Kartodirdjo, 1993: 179).
Semua tindakan Belanda tersebut diselaraskan kepada tuntutan untuk
mempertahankan
standar
emas.
Sehingga
semua
tindakannya
tidak
memperhatikan kepentingan penduduk. Kondisi itu semakin mempertajam garis
pemisah menurut warna kulit, antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia.
Kemewahan golongan bangsa Belanda dan sikapnya yang semakin tertutup,
semakin menjauhkan pemerintah dari rakyat (Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 87).
Depresi ekonomi telah menimbulkan suatu perubahan radikal, dalam arti
yang paling buruk. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa di banyak daerah,
petani harus memikul beban hutang yang sangat banyak. Pada masa depresi
berbagai panghasilan telah berkurang secara drastis, namun berbagai pengeluaran
yang penting bagi kelangsungan
kehidupan sosial di desa (pajak, tanah,
pengeluaran menurut adat, pengeluaran untuk pakaian, angkutan, dan barangbarang impor) tetap tidak berubah.(Sumitro Djojohadikusumo, 1989: 253).
Dengan latar belakang ini, maka mulai dilontarkan permasalahanpermasalahan tentang hubungan-hubungan antara kedua bangsa, dalam hal
susunan pemerintahan, kedudukan politik masing-masing, dan nilai-nilai budaya
yang menjadi pegangan dari kedua bangsa dalam hidup bermasyarakat. Kaum
pergerakan politik mulai memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia dalam
suatu negara yang merdeka. Dalam mencapai tujuan bangsa, kaum pergerakan
mempunyai perbedaan sikap dan pendirian. Ada yang berjuang dengan jalan non
kooperasi, dan ada yang berjuang dengan kooperasi. Salah satu perjuangan yang
ditempuh dengan jalan kooperasi adalah dengan mencetuskan Petisi Soetardjo
(Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 89).
2.
Kebijakan Politik Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Pada masa pergerakan nasional, kaum pergerakan nasional menempuh 2
cara atau taktik dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dua cara
41
yang ditempuh yaitu dengan cara kooperasi dan non kooperasi. Taktik non
kooperasi mulai di terapkan oleh organisasi pergerakan sejak tahun 1924, dan
berperan paling efektif saat PNI lahir. Namun, karena terjadinya Krisis ekonomi
dunia yang terjadi pada tahun 1929 yang juga melanda Indonesia dan
mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda, maka partai-partai yang non kooperasi
tersebut mulai ditindak oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan pemerintah
kolonial Belanda merasa khawatir, kalau keadaan ekonomis yang buruk akan
membuat rakyat peka serta mudah dipengaruhi oleh para pemimpin pergerakan,
yang mungkin sekali akan mempergunakan kesempatan untuk menghasut
(Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 90).
Dalam rangka mencegah, membatasi, ataupun menindak pergerakan
nasional, pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan beberapa peraturan
pemerintah, yang antara lain adalah :
a). Pasal-pasal “Karet” Dalam KUHP
Beberapa pasal dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada
masa pemerintahan Kolonial Belanda, ada yang dikenal sebagai pasal “karet” .
Dinamakan Pasal karet, karena segi konotasi arti dari perkataan-perkataan yang
dipergunakan dalam pasal tersebut tidak mengandung makna pasti tetapi bersifat
elastis sehingga dapat diterapkan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh
para penguasa guna mengatasi berbagai kasus yang merugikan atau mengancam
sistem kolonial (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 108).
Menurut Susanto Tirtoprodjo (1986: 52-53), pasal-pasal karet yang
dimaksud antara lain adalah :
1). Pasal 153 bis
“ Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan
pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran
untuk menggangu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah
Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum
6 tahun atau denda maksimun Rp 300,00”.
Perkataan-perkataan yang bersifat karet yaitu “menyindir”, “samarsamar” dan “menggangu keamanaan umum”, sehingga segala bentuk
42
pembicaraan dalam rapat maupun penulisan di media massa harus sangat
berhati-hati,
karena
bisa
dianggap
menyindir,
samar-samar,
maupun
menggangu keamanan umum.
2). Pasal 153 ter
“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau memempelkan
tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis
dapat di hukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”.
Pasal ini sifat karetnya sama dengan isi pasal 153 bis, tetapi pasal ini
khusus ditujukan pada para penanggungjawab media massa (termasuk
redaktur) yang tidak menyebutkan nama penulis atau menggunakan nama
samaran bagi nama penulisnya, jika ternyata tulisan tersebut dianggap
melanggar pasal 153 bis.
3). Pasal 161 bis
“Barang siapa menimbulkan atau memperluas pemogokan sedang ia
tahu kalau dapat mengira-irakan bahwa pemogokan itu akan mengakibatkan
gangguan keamanan atau kegoncangan dari kehidupan ekonomi dalam
masyarakat, dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum
Rp 1.000, 00”.
Perkataan-perkataan yang bersifat “karet” dalam pasal ini yaitu “dapat
mengira-irakan”, “ganguan keamanan umum, dan kegoncangan dari kehidupan
ekonomi dalam masyarakat “. Pasal yang mengandung ketentuan bahwa
pemimpin (buruh) yang menganjurkan, menimbulkan atau memperluas
pemogokan dianggap melanggar hukum dan dapat di penjarakan atau di denda.
4). Pasal 171 bis
“Barang siapa dengan sengaja karena menyiarkan kabar bohong
menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat dapat di hukum penjara
maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”.
Pasal ini biasanya dipergunakan untuk menindak para pemimpin
pergerakan nasional.
Selain pasal-pasal diatas masih ada pasal 169 KUHP yang isinya “
barang siapa turut serta menjadi anggota suatu perkumpulan yang bertujuan
menjalankan kejahatan-kejahatan akan di hukum”.
43
Pasal ini digunakan untuk membuat sebuah partai dinyatakan sebagai
partai terlarang (Ali Sastroamidjojo, 1974: 106).
b). Exorbitante Rechten
Exorbitante Rechten adalah hak darurat istimewa atau wewenang istimewa
yang dipunyai oleh Gubernur Jendral. Exorbitante Rechten mencakup kekuasaan
untuk Externing, Interning, dan Verbanning. Externing merupakan hak dari
Gubernur Jendral untuk mengusir orang dari seluruh wilayah Hindia Belanda.
Interning adalah hak dari Gubernur Jendral untuk menunjuk suatu tempat yang
tertentu bagi seseorang dan tidak boleh meninggalkan tempat itu. sedangkan
Verbanning adalah hak Gubernur Jendral untuk melarang seseorang bertempat
tinggal di daerah-daerah lainnya ( Nyoman Dekker, 1993: 73-74 ).
c). Penindasan hak berserikat
Pada awalnya Undang-Undang utama yang berlaku di Hindia Belanda yang
melarang sama sekali perkumpulan yang bersifat politik adalah pasal III
Regerings-Reglement. Sejak 1 September 1919 pasal III Regerings-Reglement
kemudian diubah dalam arti hak berserikat diakui penuh, tetapi dalam
penggunaannya hak tersebut masih dibatasi. Pembatasan tersebut dimuat dalam
keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 17 Desember 1918 dan mulai berlaku
sejak 1 September 1919, yang dalam pasal 3 melarang perkumpulan-perkumpulan
yang:
(a)
Keberadaannya atau tujuannya dirahasiakan
(b)
Oleh Gubernur Jendral dinyatakan bertentangan dengan keamanan
umum (Susanto Tirtoprodjo, 1986: 55)
d). Muilkorf Circulaire (sikuler-pemberangusan)
Muilkorf Circulaire merupakan surat edaran Gubernur Jendral tertanggal 27
September 1919, yang berisi larangan bagi pegawai pemerintahan untuk
mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang dapat merongrong
kekuasaan pemerintah. Pasal ini dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan para
44
pegawai pemerintah dalam pergerakan nasional dengan berbagai sanksi antara lain
di pindah ke tempat lain, diturunkan pangkatnya dan bahkan dipecat (Suhartoyo
Hardjosatoto, 1989: 112).
e). Alat-alat yang lain
Di dalam prakteknya, untuk menekan dan menghalangi semua aktivitas
pergerakan kebangsaan, pemerintah menciptakan PID (Politiek Inlichtingen
Dienst). Dinas rahasia ini sesuai dengan namanya bertugas mengikuti dan
mencium gerak-gerik serta kegiatan politik yang dilakukan oleh orang-orang
Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga mempunyai Sarekat Hidjo, yang
bertugas melaksanakan intimidasi kepada rakyat yang berani menentang
pemerintah. Khusus untuk mengatasi masalah agama, pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Kantor Van Godsdienst Zaken, dengan politik yang tertentu. Kantor
Van Godsdienst Zaken bertugas mengusahakan agar jangan sampai gerakan atau
partai-partai agama ikut campur urusan pemerintah, khususnya pemerintah Hindia
Belanda. Untuk menentukan prosentase pajak yang dapat dibebankan kepada
rakyat, pemerintah kolonial membentuk komisi-komisi untuk menyelidiki
kemiskinan. Komisi-komisi tersebut antara lain adalah Mindere Welvaart
Comissie dan Budget Onderzoek (Nyoman Dekker, 1993: 67-77).
Dengan berbagai alat-alat pemerintah yang telah dijelaskan diatas,
banyak organisasi politik yang terkena pembatasan dan pengawasan yang ketat
dari pemerintah. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tanggal 4
Juli 1927 dengan diketuai oleh Soekarno juga mengalami pembetasan dan
pengawasan dari pemerintah. Dibawah pimpinan Soekarno, PNI berkembang
sangat pesat dan menjadi partai terbesar saat itu. Pemerintah Belanda merasa
khawatir dengan perkembangan PNI, dan oleh karena itu pemerintah kolonial
Belanda mendirikan Vaderlandsche Club pada tahun 1929 untuk mengimbangi
kekuatan PNI. Vaderlandsche Club kemudian mendesak pemerintah agar segera
mengambil tindakan tegas terhadap PNI. Begitu juga dengan surat kabar-surat
45
kabar Belanda yang selalu mengadakan kampanye untuk melawan PNI (Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 210-215).
Pada tanggal 25 Desember 1929, Soekarno dan kawan-kawannya di
tangkap oleh polisi di Yogyakarta untuk di bawa ke Bandung. Selain penangkapan
Soekarno dan kawan-kawannya, juga diadakan penggeledahan dan penangkapan
kepada kaum pergerakan di berbagai daerah. Penangkapan dan penggeledahan
tersebut antara lain terjadi di Jakarta dengan penangkapan sebanyak 50 orang, di
Bandung 41 orang, di Cirebon 24 orang, di Pekalongan 42 orang, di Sukabumi
dan Cianjur 31 orang, di Surakarta 11 orang, di Medan 25 orang, di Ujung
Pandang 18 orang, di Padang 2 orang, di Semarang 30 orang dan di tempat-tempat
lain sehingga semuanya berjumlah lebih dari 400 orang. Penangkapanpenangkapan yang dilakukan kepada kaum pergerakan nasional
tersebut sangat
ditentang oleh seluruh kaum pergerakan (Suwidji Kartonagoro, 1980: 438).
Adapun alasan-alasan yang melandasi penangkapan Soekarno beserta
kawan-kawannya adalah keputusan dari Landraad, yang menyatakan bahwa
Soekarno dan kawan-kawannya telah melanggar pasal-pasal 153 bis dan 169
KUHP Hindia Belanda. Pada pemeriksaan di dalam sidang pengadilan Landraad,
pelanggaran yang dilakukan oleh Soekarno dan kawan-kawan lebih dititik
beratkan pada pelanggaran pasal 169, sedangkan pelanggaran 153 bis dianggap
tidak begitu penting. Pasal 169 menentukan bahwa barang siapa turut serta
menjadi anggota suatu perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatankejahatan akan dihukum. Dengan demikian PNI di anggap sebagai perkumpulan
yang dilarang oleh pasal 169 KUHP. Keputusan Landraad yang dijatuhkan pada
PNI tersebut, dimaksudkan untuk mematikan PNI tanpa harus melakukan
tindakan administratif. Dengan keputusan Landraad tersebut, pemerintah Hindia
Belanda mendapat senjata hukum formil untuk melumpuhkan kegiatan PNI (Ali
Sastroamidjojo, 1974: 106).
Pada tanggal 18 Agustus 1930 sampai dengan 29 September 1930, empat
orang tokoh PNI yaitu Soekarno (Ketua PNI), R. Gatot Mangkoepraja (Sekretaris
II PB. PNI), Markoen Soemadiredja (Sekretaris II Pengurus PNI Cabang
Bandung), dan Soepria Dinata (anggota PNI cabang Bandung) di ajukan ke depan
46
pengadilan di Bandung. Pada tanggal 22 Desember 1930, sidang Landraad
menjatuhi hukuman penjara selama empat tahun pada Soekarno dan kawankawannya. Soekarno dan kawan-kawannya dipenjarakan di penjara Sukamiskin,
Bandung. Penangkapan atas pemimpin-pemimpin PNI, terutama Soekarno yang
merupakan jiwa penggerak PNI, ternyata merupakan pukulan yang sangat keras
terhadap PNI. Oleh karena itu, maka pada kongres Luar Biasa Ke II di Jakarta,
tanggal 25 April 1931,diambillah keputusan untuk membubarkan PNI (Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1980: 216).
PNI memutuskan untuk membubarkan diri dengan alasan bahwa
keputusan Landraad tersebut pada hakekatnya bermaksud mematikan dan setidaktidaknya melumpuhkan PNI. Oleh sebab itu, lebih baik bagi PNI untuk
membunuh diri dari pada mati konyol. Keputusan Konferensi Luar Biasa PNI
tersebut dihadiri oleh mayoritas dari wakil-wakil dewan-dewan daerah.
Pernyataan tentang pembubaran PNI ditandatangani pada hari Sabtu tanggal 25
April 1931 di Gedung Permufakatan Nasional, Gang Kenari Jakarta. Adapun
pemimpin-pemimpin yang ikut menandatangani pembubaran PNI antara lain
adalah : Mr. Sartono, S. Angronsudirdjo, Ir. Anwari, Suwirjo, Soekemi, Munadi,
Sungeb
(Surakarta),
Soekarta
(Jakarta),
Soebrata
(Jakarta),
Kr.
Lawi
(Pekalongan), M. Yahya Ns (Pekalongan), Noengtjik (Palembang), Mr. Sujudi
(Yogyakarta), Soetardjo (Bandung), Moh. Thaib (Bandung), Wijono (Magelang),
Soedarmo (Malang), Atmadji (Surabaya), Pranoto (Surabaya), Dwijopranoto
(Semarang), Atmosantoso (Semarang), Mr. Ali Sastroamidjojo (Madiun),
Soedjadi (Jakarta) (Ali Sastroamidjojo, 1974: 106-107).
Pembubaran PNI telah mengakibatkan perpecahan di kalangan
pendukung-pendukung PNI. Masing-masing fihak kemudian mendirikan partaipartai baru yang antara lain mendirikan Partai Indonesia (Partindo) pada tanggal
26 April 1931 dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) pada bulan
Desember 1933. Partindo di pimpin oleh Mr. Sartono CS, sedangkan PNI-Baru di
pimpin oleh Moh Hatta dan St. Syahrir CS. Perbedaan keduanya adalah apabila
PNI-Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial, maka Partindo
percaya bahwa organisasi massa dengan aksi massa adalah senjata yang tepat
47
untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun terdapat perbedaan, tetapi Partindo
maupun PNI-Baru setuju bahwa kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan
yang utama yang harus di capai dengan taktik non-kooperasi (Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993: 216-217).
Selain PNI, PBI yang memusatkan perjuangannya pada masalah-masalah
sosial dan ekonomi, sebagai akibat dari depresi ekonomi juga di awasi oleh
pemerintah. Kegiatan PBI yang mengatasnamakan kepentingan petani kecil secara
tidak langsung mempunyai akibat politik yang kuat. PBI berkembang pesat
selama tahun-tahun depresi ekonomi, yang terbukti dengan terdaftarnya puluhan
ribu petani kecil ke dalam organisasi yang bertujuan memperbaiki taraf hidup
tersebut. Oleh karena itu, maka aktifitas PBI diawasi secara ketat oleh pemerintah
karena dianggap dapat berpotensi menggangu ketenangan dan ketertiban
masyarakat (John Ingleson, 1983: 140-141).
Pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno dibebaskan dari penjara
Sukamiskin. Soekarno berada di penjara Sukamiskin selama 2 tahun, padahal
seharusnya ia menjalani hukuman selama 4 tahun. Tanpa di minta, Soekarno
mendapat Grasi dari Gubernur Jendral sehingga hukumannya di kurangi menjadi
2 tahun. Setelah keluar dari penjara Soekarno kemudian masuk menjadi anggota
Partindo (Ali Sastroamidjojo, 1974: 108).
Pada tahun yang sama dengan pembebasan Soekarno tepatnya pada bulan
September 1931, di dalam pemerintahan Hindia Belanda telah terjadi pergantian
Gubernur Jendral yaitu dari Gubernur Jendral De Graeff ke Gubernur Jendral
yang baru bernama De Jonge. Dalam bidang politik penjajahan, nama De Jonge
tidak begitu dikenal. De Jonge adalah bekas menteri pertahanan Belanda dalam
Kabinet Cort Van Der Linden, yang kemudian untuk beberapa waktu menjabat
Direktur Royal Dutch. Sudah sejak pidato pengukuhannya pada tanggal 12
September 1931, De Jonge telah membayangkan bagaimana sikapnya terhadap
pergerakan nasional (Slamet Mulyono, 1986: 43).
De Jonge adalah sahabat baik dari Perdana Menteri Colijn. Pengetahuan
De Jonge tentang Indonesia sangat kurang. De Jonge adalah Gubernur Jendral
yang buta atas adanya dan artinya pergerakan kebangsaan Indonesia serta tidak
48
mau memahami dasar pergerakan nasional. Oleh karena itu , De Jonge tidak
memiliki pengertian yang wajar tentang pergerakan nasional di negara jajahan
yang dipimpinnya (Pusara, 1981: 481).
Dengan sendirinya tidak ada rasa simpati sedikitpun terhadap gerakan
nasional. Akibatnya adalah tindakan tegas terhadap pergerakan nasional yang
dianggapnya berbahaya sebagai satu-satunya usaha untuk menyelamatkan
pemerintah kolonial. Pergerakan nasional baginya bukan soal yang harus
diselesaikan pada tingkat politik, tetapi adalah persoalan polisi. Demikianlah sikap
De Jonge yang sangat diktatorial ( Slamet Mulyono, 1986: 43)
Selain itu, Gubernur Jendral De Jonge juga di anggap sangat reaksioner
dan kejam. Hal tersebut dikarenakan De Jonge tidak mau memberikan kebebasan
kepada rakyat untuk mengeluarkan pendapatnya. Banyak diantara pemimpin
pergerakan yang di buang dan di penjara sehingga mereka tidak dapat
berhubungan dengan organisasinya. Hak bersidang di batasi, pemberangusan pers
dijalankan, begitu juga dengan hak Exorbitante Rechten Gubernur Jendral yang
terus dijalankan. Dengan kata lain pemerintah melakukan represi dengan ketat
kepada para nasionalis. Pemerintah beruaha melakukan kontrol ketat dengan
memperkuat Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Rahasia yang berusaha
mengorek berita sedetail mungkin hingga memperoleh kepastian bahwa seseorang
di curigai dan seterusnya dikenakan sangsi pembuangan (Suhartono, 2001: 8687).
Periode antara awal tahun 1932 sampai dengan pertengahan tahun 1933
ditandai tidak hanya oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha
pengintegrasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang
semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan
Soekarno. Di sini di jumpai kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik sehingga
gerakan nasionalis sebagai totalitas menjadi produktif, dan dalam kondisi
ekonomis serta situasi politik yang buruk terjadi perbenturan kekuatan nasionalis
dengan kekuasaan kolonial. Akselerasi aktivitas politik yang terjadi, pada satu
pihak hanya memancing politik serta tindakan yang semakin reaksioner kepada
pihak yang lain. Lebih-lebih dalam hal ini pemerintah Gubernur Jendral De Jonge
49
tidak tanggung-tanggung secara konsekuen menjalankan politik purifikasi atau
pemurnian artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan
agitasi massa dan semua pergerakan dalam bentuk non-kooperasi (Sartono
Kartodirdjo, 1999: 176).
Pada bulan September 1932, pemerintah mengumumkan suatu peraturan
sekolah-sekolah liar ( Wilde Scholen Ordonatie) yang mengharuskan adanya izin
dari pihak penguasa sebelum sebuah sekolah swasta yang mendapat subsidi
pemerintah (yang menempatkan suatu sekolah di bawah pengawasan pemerintah
dapat didirikan (Ricklefs, 1992: 286). Selain itu pada 1 Oktober 1932, politik De
Jonge juga menciptakan peraturan Toezicht Ordonnantie (Ordonasi Pengawasan)
yang dapat menolak ijin untuk menyelenggarakan pengajaran apabila di pandang
membahayakan ketertiban masyarakat. Kedua peraturan itu sudah barang tentu
mendapat pertentangan hebat, karena pemerintah Hindia Belanda dirasakan sangat
kurang memberi kesempatan bagi pribumi untuk menuntut pengajaran, bahkan
usaha pribumi sendiri yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara juga di halanghalangi. Meskipun pemerintah kolonial Belanda sangat hati-hati dalam
menjalankan peraturan tersebut, akan tetapi kebebasan pengajaran tetap terancam
(Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 90).
Oleh karena itu, maka Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa bersamasama dengan kelompok Islam, memimpin suatu kampanye untuk melawan
peraturan tersebut. Kampanye tersebut mendapat dukungan dari Budi Utomo dan
anggota-anggota Volksraad dengan mengecam peraturan tersebut dan menolak
anggaran belanja pendidikan pemerintah. Akhirnya peraturan tersebut dicabut
oleh Gubernur Jendral De Jonge pada bulan Februari 1933 (Ricklefs, 1992: 286).
Pada tanggal 5 februari 1933, para pelaut Belanda dan Indonesia yang
berada di atas kapal angkatan laut Belanda De Zeven Provincien melakukan
pemberontakan ketika kapal tersebut berada di lepas pantai Sumatra. Sebab
pemberontakan ini adalah penurunan gaji semua pegawai pemerintah sebanyak 17
persen yang diumumkan pada tanggal 1 Januari. Penurunan ini merupakan bagian
dari usaha-usaha pemerintah untuk memperkecil perbedaan antara pendapatan dan
50
pengeluaran ketika depresi ekonomi membuat pendapatan pemerintah menurun
secara drastis (John Ingleson, 1983: 231).
Sebenarnya peristiwa tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
politik, namun hal tersebut mampu membuat fihak Belanda merasa takut dan
panik. Oleh karena itu, dengan menggunakan PID nya, Gubernur Jendral
melarang setiap rapat membicarakan atau menyinggung peristiwa kapal perang De
Zeven Provicien tersebut. Kalau larangan tersebut dilanggar maka rapat akan di
bubarkan (Ali Sastroamidjojo, 1974: 114).
Pada awal tahun 1933 rapat-rapat yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh
radikal pergerakan nasional, yang dipandang sebagai forum penghasut untuk
melakukan pemberontakan, dibubarkan oleh polisi. Pembubaran rapat-rapat
terjadi di Surabaya, Purworejo, Probolinggo, Cilacap, Kebumen, dan sebagainya.
Bagi Partindo, sebagai partai yang radikal, pembubaran rapat-rapat itu sangat
menguntungkan, karena dapat menjadi bahan propaganda untuk lebih radikal lagi
sifat dan tindakannya. Sebenarnya ribuan rapat telah diorganisasikan oleh partaipartai non-kooperasi antara bulan oktober 1932 sampai dengan Februari 1933.
Kegiatan tersebut meliputi seluruh daerah Jawa dan Madura. Rapat-rapat tersebut
umumnya memprotes politik penindasan De Jonge, seperti protes terhadap
dikeluarkannya ordonasi sekolah liar yang ditetapkan tahun 1932. Ordonasi ini
merupakan usaha politik kolonial untuk mengawasi sekolah-sekolah swasta.
Protes-protes kaum pergerakan itu telah menciptakan suatu tingkat kerjasama
antara organisasi politik dengan organisasi non politik. Protes-protes tersebut
sangat dikhawatirkan oleh pemerintah Belanda akan mengancam kedudukannya
(Cahyo Budi Utomo, 1995: 151-152).
Dalam suasana yang semakin panas, De Jonge juga mengadakan
pemberangusan terhadap Surat Kabar Fikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli 1933
yang memuat sebuah cartoon. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1933, semua
rapat Partindo dan PNI Baru dilarang serta menahan Sukarno. Tanggal 27 Juni
1933, dikeluarkan keputusan Gubernemen yang melarang setiap pegawai negeri
menjadi anggota PNI Baru dan Partindo (Sartono kartodirdjo, 1999:177).
51
Langkah selanjutnya dari politik tangan besi De Jonge adalah dengan
menangkapi pemimpin-pemimpin pergerakan yang tidak begitu radikal, pada
tanggal 25 Februari 1934. Pemimpin-pemimpin pergerakan yang ditangkap antara
lain adalah Mohammad Hatta, Sutan sjahrir, Maskun, Burhanuddin, dan lain-lain.
Tindakan semacam ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat
Indonesia. Untuk menumpas kegiatan politik, dalam tahun 1934 diadakan
penggeledahan di mana-mana. Anggota PNI-Baru dan Partindo yang berkumpul
lebih dari dua orang di tangkap. Rapat-rapat pemuda dan wanita dibubarkan tanpa
adanya Undang-Undang yang melarangnya. Sedangkan pemimpin-pemimpin
pergerakan yang ditangkap kemudian dipindahkan ketempat lain. Pemimpinpemimpin tersebut antara lain Soekarno, ditangkap dan di buang ke Flores
kemudian dipindahkan ke Bengkulu, Drs. Moh Hatta dan Sutan Sjahrir dibuang
ke Banda. Pada tanggal 16 November 1934 beberapa pemimpin PNI-Baru
diasingkan ke Digul, dan kegiatan partainya dihentikan sama sekali (Sutrisno,
1982/1983: 35-36).
Sedangkan Partindo, walaupun pada tahun 1935 sudah berusaha
mengubah anggaran dasarnya, dan menghilangkan pasal-pasal yang tidak disukai
pemerintah, serta mengubah asas non kooperasi menjadi kooperasi, tetap saja
masih mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya pada
tanggal 18 November 1936, akhirnya Partindo membubarkan diri (Slamet
Mulyono,1986: 48).
Sementara itu, tokoh-tokoh pergerakan yang luput dari tindakan
pengasingan dan pemenjaraan setelah tahun 1935, melanjutkan perjuangan lewat
Dewan
Rakyat.
Banyak
dari
tokoh-tokoh
tersebut
yang
tanpa
henti
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka diantaranya adalah M. Husni
Thamrin, Soetardjo Kartohadikusumo, I.J. Kasimo, Ratulangi, dan kawan-kawan.
Mereka berjuang tanpa henti di Dewan Rakyat atau Volksraad. Sedangkan De
Jonge dengan politiknya terus saja melakukan penyerbuan dan penggeledahan
terhadap pertemuan-pertemuan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Bahkan
setelah membaiknya kembali keadaan ekonomi Hindia Belanda pada tahun 1935,
pemerintah kolonial Belanda ternyata masih saja tidak bersedia memulihkan hak-
52
hak politik rakyat. Para tokoh yang dipenjarakan dan diasingkan tetap tidak
dibebaskan oleh pemerintah kolonial. Ketidaksediaan pemerintah kolonial untuk
memulihkan hak-hak politik itu disebabkan bukan saja oleh sifat konservatif
Belanda, melainkan juga karena adanya pengaruh dari luar negeri seperti gejala
akan pecahnya Perang Dunia II dan bahaya kuning atau kekhawatiran terhadap
ekspansi Jepang (Purnama Suwardi, 2000: 33-34).
Selain itu, tindakan pemerintah tersebut memang telah sesuai dengan
politik Colijn dan De Jonge yang hendak menghancurkan partai-partai radikal.
Politik keras De Jonge memang dapat dikatakan berhasil, dalam arti bahwa partaipartai politik dapat kehilangan anggotanya dan kontaknya dengan rakyat.
Sehingga menyebabkan rakyat menjadi apatis. Berbagai usaha dilakukan oleh
kaum pergerakan untuk mencegah sikap apatis ini. Salah satu usaha kaum
pergerakan tersebut dilakukan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dengan mengajak
Sukarjo Wiryopranoto mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pembesar
pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda dan di luar Volksraad, misalnya
dengan mengadakan pertemuan dengan Mr. WG. Pekeema. Akan tetapi
pertemuan dengan Mr. WG.Pekeema tersebut ternyata tidak membawa hasil.
Selanjutnya Soetardjo mengajukan tuntutan terhadap Volksraad minta bantuan f.
25.000.000 (dua puluh lima juta Gulden) dari Nederland, yang akan digunakan
untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat, tetapi usaha ini juga tidak
banyak membawa perubahan. Malahan setelah mematahkan pergerakan politik
yang ekstrim, Belanda mencari sasaran baru, mengurangi kekuasaan Swapraja
Yogyakarta dan Surakarta, dengan cara memberlakukan peraturan yang antara
lain: tentara kerajaan yang hanya satu batalyon, upacara kraton, upacara adat
kraton, dan lain-lain, mau dihapuskan. Menghadapi sikap Belanda yang makin
sewenang-wenang, maka dalam sidang Volksraad, Soetardjo mengecam keras,
sehingga sebagian besar niat sewenang-wenang ini gagal. Dengan demikian
selamatlah kekuasaan kedua Swapraja itu (Sutrisno, 1982/1983: 36).
Pada masa pemerintahan De Jonge, perjuangan nasional yang
menggunakan taktik non kooperasi benar-benar dilumpuhkan. Tidak ada satupun
organisasi politik non kooperasi yang mampu bergerak pada masa itu. Oleh
53
karena itu, maka diperlukan reorientasi dalam strategi dan taktik perjuangan dari
kaum pergerakan untuk menghindari kebinasaan. Reorientasi ini akan mendorong
ke arah persatuan dan kerjasama yang erat antara organisasi-organisasi pergerakan
nasional. Salah satu reorientasi yang dilakukan oleh kaum pergerakan adalah
dengan mengubah taktik perjuangan nasional dari non koperasi menjadi
kooperasi. Namun perubahan taktik dalam menghadapi politik pemerintah
tersebut sama sekali tidak mengubah tujuan perjuangan yaitu kesatuan nasional,
persatuan organisasi-organisasi dan kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini
perjuangan bangsa Indonesia lebih banyak dilakukan di dalam Dewan Rakyat
(Volksraad) (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1975: 91).
3. Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden
Alasan lain yang melatar belakangi Soetardjo Kartohadikoesoemo
mencetuskan Petisi Soetardjo adalah adanya Grondwet Voor Het Koninkrijk Der
Nederlanden. Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden adalah bagian
pertama (Hoofdstuk) dari Undang-Undang Belanda. Dimana dalam pasal I
Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden tahun 1928 berbunyi “Het
Koninkrijk
Der
Nederland
Omvat
Het
Grondgebied
Van
Nederland,
Nederlandsch-Indie, Suriname, en Curacao” (Kerajaan Nederland mencakup atau
terdiri atas wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao) (Setiadi
Kartohadikusumo, 1990: 119).
Sedangkan pasal 2 menjelaskan bahwa kesatuan hukum yang pertama
disebut bagian negara yang ada di Eropa (Het Rijk In Eropa), yang merupakan
suatu negara (Staat). Dengan demikian kalau ada rijk di Eropa, maka pasti ada rijk
(negara bagian) Belanda yang ada di luar Eropa yang antara lain adalah
Nederlandsch Indie di Asia, Suriname, dan Curacao di Amerika. Oleh karena itu,
jika koninkrijk der Nederlanden (kesatuan hukum kerajaan Nederland) yang
berada di Eropa adalah suatu negara, maka bagian-bagian yang lain yang berada
54
di Asia dan Amerika, bukanlah kesatuan hukum yang berkedudukan administratif
(propinsi), tetapi merupakan sebuah negara seperti yang ada di Eropa (Sutrisno,
1982/1983: 37).
Selain dalam Grondwet tahun 1928 tersebut, di dalam Grondwet tahun
1887 dan 1917 pasal 1 berbunyi “Het Kononkrijk Der Nederlandenomvat Het
Grondgebied in Europe, Benevens De Kolonien En Bezittingen In Andere
Werelddelen” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri atas wilayah di Eropa
beserta jajahannya dan tanah miliknya di benua-benua yang lain). Dapat dilihat
bahwa isi pasal 1 dalam kedua Grondwet lama tersebut telah berubah. Sedangkan
dalam Grondwet 1922, jelas dikatakan bahwa Belanda hendak bermaksud
mengubah kedudukan Staatkundig Nederlandsche Indie, Suriname, Curacao dari
koloni menjadi negara yang berdiri sendiri. Oleh karena itu keempat negara itu
kedudukannya dan derajatnya adalah sama. Jadi Nederland tidak lebih tinggi dari
Nederlandsch Indie, tidak lebih tinggi dari Suriname dan tidak lebih tinggi dari
Curacao. Tetapi ke empat negara itu bersama-sama di bawah, menjadi bagian, di
koordinir di dalam dan oleh Het Koninkrijk Der nederlanden. Terhadap negara
inilah ke empat negara yang menjadi bagiannya, mempunyai kedudukan yang
lebih rendah (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 120).
Dalam pasal 2 Grondwet tersebut juga disebutkan bahwa pasal-pasal
berikutnya hanya berlaku buat negara bagian (Rijk) yang letaknya di benua Eropa,
sedangkan untuk bagian-bagian yang lain berlaku peraturan-peraturan lain.
Menurut pasal 62, bagian yang lain seperti Nederland Indie dikepalai oleh
gubernur Jendral. Sedangkan Suriname dan Curacao masing-masing dikepalai
oleh Gubernur, tetapi semuanya atas nama Raja Nederland. Sedangkan menurut
pasal 63 Grondwet, Staatsinrichting (tata negara) buat Nederland Indie, Suriname,
dan Curacao ditetapkan dengan Wet (Undang-Undang biasa) dari negara bagian
yang terletak di Eropa bukan Undang-Undang dalam Het Koninkrijk Der
Nederlanden (Undang-Undang Negara Bagian) (Sutrisno, 1982/1983: 37).
Dalam pasal 63 ayat 2 ditetapkan bahwa peraturan-peraturan lain
mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan dalam negeri boleh di
atur oleh alat-alat kelengkapan negara-negara yang bersangkutan sendiri. Akan
55
tetapi peraturan-peraturan itu menurut pasal 64 dapat dibatalkan dengan UndangUndang Nederland yaitu Het Rijk In Europe. Sedangkan Undang-Undang
Nederland dapat menetapkan bahwa hal-hal yang dianggap perlu pengaturannya
dapat diserahkan kapada Raja ( Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 121)
4. Keadaan Dunia Internasional
Selain faktor-faktor di atas, latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo
adalah adanya konstelasi dunia internasional pada waktu itu. Pada dasawarsa ke
tiga puluhan telah muncul Nazisme atau Fazisme di Eropa Tengah yang dalam
ekspansinya mendesak kedudukan negara-negara demokrasi di satu fihak, dan
negara komunis di fihak lain. Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang.
Apalagi
Jepang
dengan
pemerintahan
militernya
juga
menjalankan
ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia
kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi Fazisme tidak ada alternatif
lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu, perjuangan melawan
kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersifat anti,
tetapi lebih bersifat kebersamaan yang mampu mendekatkan kaum nasionalis
dengan penguasa kolonial dalam mempertahankan demokrasi terhadap bahaya
Fazisme (Sartono, 1999: 180-181).
B. Proses Perjuangan Petisi Soetardjo Melalui Volksraad
1. Proses Pembuatan Petisi Soetardjo
Guna menghadapi tekanan yang berat dari pemerintah Belanda terhadap
kaum pergerakan, serta menghadapi keadaan politik internasional yang semakin
buruk, Soetardjo berusaha mencari jalan keluar. Direnungkan, difikirkan, dan
dibacanya berbagai lektur untuk mendapatkan jalan keluar yang di inginkan.
Selama berbulan-bulan membaca lektur, Soetardjo belum mendapat petunjuk
untuk mendapatkan jalan keluar, tetapi tiba-tiba saat Soetardjo sedang berada
56
dikamar kerjanya di rumahnya yang beralamat di Jalan Raden Saleh 18, Soetardjo
mendapat ilham bahwa bagi seorang Pangreh Praja setiap aksi yang dibenarkan
oleh umum adalah kalau aksi tersebut dilakukan berdasarkan atas hukum
(Sutrisno, 1982/1983: 37).
Saat itu juga Soetardjo segera memegang buku Himpunan UndangUndang, yang diterbitkan oleh seorang bekas Lid Raad Van Nederlandsch Indie,
Mr. WA Engelbrecht cetakan tahun 1928. Kemudian Soetardjo membuka bab
pertama dari Undang-Undang tersebut yang berjudul Grondwet Voor Het
Koninkrijk der Nederlanden yang memuat aturan-aturan tentang Van het Rijk en
Zijne Inwoners. Dalam pasal 1 grondwet tersebut berbunyi “Het koninkrijkdder
Nederlanden omvet het grond gebied van Nederland, Nederlandsch Indie,
Suriname en Curacao” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri atas wilayah
Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao) (Setiadi Kartohadikusumo,
1990: 119).
Setelah membaca buku Himpunan Undang-Undang tersebut, Soetardjo
kemudian menganalisanya. Menurut Soetardjo, yang di maksud dengan istilah
Koninkrijk dalam pasal 1 diatas bukan merupakan kesatuan sosial tetapi
maksudnya adalah persatuan politik yang didalamnya tersusun dari empat bagian
kesatuan hukum. Menurut pasal 2, kesatuan hukum yang pertama disebut bagian
negara yang ada di Eropa (Het Rijk In Eropa), yang merupakan suatu negara
(Staat). Dengan demikian kalau ada rijk in Eropa berarti ada rijk (negara bagian)
di luar Eropa yang dimiliki oleh Belanda yang antara lain adalah Nederlandsch
Indie di Asia, Suriname, dan Curacao di amerika. Oleh karena itu jika koninkrijk
der Nederlanden (kesatuan hukum kerajaan Nederland) yang berada di Eropa
adalah suatu negara, maka bagian-bagian yang lain yang berada di Asia dan
Amerika, bukanlah kesatuan hukum yang berkedudukan administratif (propinsi),
tetapi merupakan sebuah negara seperti yang ada di Eropa (Sutrisno, 1982/1983:
37).
Selain dalam Grondwet tahun 1928 tersebut, soetardjo juga mengigatkan
bahwa di dalam Grondwet tahun 1887 dan 1917 pasal 1 berbunyi “Het Koninkrijk
Der Nederlandenomvat Het Grondgebied in Europe, Benevens De Kolonien En
57
Bezittingen In Andere Werelddelen” (Kerajaan Nederland mencakup atau terdiri
atas wilayah di Eropa beserta jajahannya dan tanah miliknya di benua-benua yang
lain (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 120).
Dapat dilihat bahwa isi pasal 1 dalam kedua Grondwet lama tersebut
telah berubah. Sedangkan dalam Grondwet 1922, jelas terlihat bahwa Belanda
hendak bermaksud mengubah kedudukan Staatkundig Nederlandsche Indie,
Suriname, Curacao dari koloni menjadi negara yang berdiri sendiri. Oleh karena
itu ke empat negara itu kedudukannya dan derajatnya adalah sama. Jadi Nederland
tidak lebih tinggi dari Nederlandsch Indie, tidak lebih tinggi dari Suriname dan
tidak lebih tinggi dari Curacao. Tetapi ke empat negara itu bersama-sama di
bawah, menjadi bagian, dikoordinir, di dalam dan oleh Het Koninkrijk Der
Nederlanden. Terhadap negara inilah ke empat negara yang menjadi bagiannya,
mempunyai kedudukan yang lebih rendah (Sutrisno, 1982/1983: 37-38).
Dengan semua Grondwet (Undang-Undang Dasar) tersebut dan menurut
hukum ketatanegaraan, Nederland telah membuat kesalahan yang prinsipil
terhadap negara-negara bagian yang ada di Eropa. Kesalahan ini harus dikoreksi,
kalau tidak Koninkrijk Der Nederlanden akan berantakan. Keadaan politik
internasional sudah berkembang yang tidak memungkinkan Nederland yang ada
di benua lain bersikap sewenang-wenang. Sebab Indonesia, Suriname dan
Curacao mempunyai hak hidup atas bakat dan kekuatannya sendiri-sendiri
(Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 121).
Setelah memperoleh kesimpulan demikian, Soetardjo bersama keluarga
pergi ke tempat peristirahatannya (pondok) di Cimelati Sukabumi. Dibawanya
serta buku bacaan yang diperlukan. Pada saat itu keluarga Dr. Sam Ratulangie
telah disana. Pondoknya berhadapan dengan pondok Soetardjo. Setelah beberapa
hari mempelajari buku-buku yang diperlukan, maka pada suatu malam disusunlah
konsep usul petisi untuk dibawa ke ruang Sidang Volksraad. Pada pukul 05.00
pagi, konsep itu sudah selesai diketik. Tak lama kemudian datanglah nyonya
Ratulangie yang kemudian segera memangggil suaminya Ratulangie, setelah
melihat Soetardjo asyik bekerja di ruang kerjanya. Setelah Ratulangie datang,
kemudian disodorkan konsep petisi kepadanya. Setelah membaca petisi serta buku
58
Grondwet Nederland, atas permintaan Soetardjo dan tanpa ragu-ragu, Ratulangie
membubuhkan tanda tangannya dibawah tanda tangan Soetardjo. Segera Soetardjo
kembali ke Jakarta, mengadakan pertemuan dirumahnya dengan teman-teman
sesama anggota Volksraad. Atas permintaan Soetardjo mereka bersedia
manandatangani usul petisi tersebut. Anggota-anggota volksraad yang ikut
menandatangani petisi antara lain adalah Kasimo dari PPKI (Perkumpulan Politik
Katolik Indonesia), Lanjumin Gelar Datuk Tumenggung (Sekretaris PPBB,
berasal dari Minangkabau), Mr. Ko Kwat Tiong dan SA Alatas dari front Fraksi
PPBB (Sutrisno, 1982/1983: 38).
2. Pengajuan Petisi Soetardjo Dalam Persidangan Umum Volksraad
Mulai
bulan
Juni
1936
Volksraad
mengadakan
sidang
untuk
membicarakan masalah anggaran belanja dan pendapatan tahun 1937. Tanggal 9
Juli 1936 Soetardjo memperoleh giliran mengucapkan pidato dalam sidang
Pemandangan Umum. Isi pidato Soetardjo tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :
a)
Soetardjo menyatakan bahwa selama beberapa tahun Volksraad berdiri,
volksraad memang belum bisa menghasilkan apa-apa. Akan tetapi kaum
pergerakan tidak boleh berputus asa atas apa yang terjadi. Dari pada berputus
asa , lebih baik berjuang lebih keras lagi, agar keadaan tidak mematikan kaum
pergerakan. Tiap pemuka bangsa yang tidak melalaikan kepentingan
Indonesia harus berdaya upaya, agar tidak menjadi permainan keadaan.
Bagaimanapun juga kesedihan karena hasil pekerjaan di dalam volksraad
selama beberapa tahun, wajib diteruskan dengan sekuat-kuatnya. Tiap-tiap
tahun kita berusaha dan meminta agar kedudukan Indonesia diperbaiki, akan
tetapi dengan menyesal, kita harus menyatakan bahwa dalam keadaan
ekonomi, sosial, dan politik Indonesia malah merosot sekali. Dalam bidang
ekonomi, Indonesia sudah tidak berdaya lagi. Apalagi setelah gaji kaum
buruh Indonesia diturunkan. Keadaan tersebut semakin menjatuhkan rakyat
Indonesia ke dalam jurang kesusahan dan kemelaratan. Mereka yang dulunya
tidak punya gaji yang cukup, dengan peraturan itu kemudian terpaksa
59
berhutang lebih banyak lagi. Terhadap segala peraturan pemerintah tentang
ekonomi dan pajak, Indonesia tidak berdaya lagi. Suara dan protes sudah
diperdengarkan, akan tetapi sia-sia belaka. Pemerintah tetap berjalan terus
dalam tindakannya, yang berarti memikulkan beban yang lebih banyak
kepada penduduk guna kepentingan Nederland dan negeri luar. Kemunduran
dalam perekonomian sudah tentu mempengaruhi soal pendidikan anak-anak.
Tidak sedikit anak-anak yang tidak bersekolah dan tidak sedikit pula anak
yang putus sekolah. Di tambah lagi, pemerintah juga mengadakan
penghematan-penghematan.
Secara
kwalitatif,
jumlah
sekolah
untuk
Indonesialah yang paling banyak diadakan penghematan. Dalam bidang
politik banyak dikatakan bahwa sayap kiri dari pergerakan yang dulunya
sudah dilemahkan, pada masa sekarang diberhentikan. Dengan sengaja
pergerakan sayap kiri dilemahkan, sedangkan pergerakan sayap kanan yang
ekstrim sampai sekarang tidak mendapat ganguan apa-apa dan malah
mendapat perhatian dari fihak Eropa dan Indonesia. Gerakan kanan itu
mendapat pengikut banyak dari kalangan pejabat Eropa, dan opsir-opsir.
Sikap pemerintah yang tidak mengadakan tindakan terhadap golongan sayap
kanan sangat Soetardjo sayangkan. Karena orang akan menyangka, bahwa
perbedaan sikap pemerintah itu disebabkan karena gerakan kanan ekstrim
memusuhi kemajuan penduduk Indonesia terutama dalam urusan politik.
Soetardjo meminta agar pemerintah memperlakukan gerakan ekstrim baik kiri
maupun kanan dengan perlakuan yang sama. Tidak adil dan membahayakan
jika gerakan ekstrim kanan dibiarkan saja, sedangkan gerakan ekstrim kiri
dimusuhinya. Tidak hanya terhadap gerakan ekstrim kiri, tetapi pergerakan
yang loyal juga mengalami rintangan. Pemerintah menyangkalnya , tapi
Soetardjo mengatakan akan membuktikannya dengan contoh. Soetardjo
mengkhawatirkan kepercayaan rakyat akan berkurang kepada pemerintah,
jika pemerintah terus memadamkan gerakan paling kiri. Dengan tindakan
yang seperti itu kaum yang loyal kepada pemerintah juga akan mengalami
gangguan dan bahaya. Peraturan penghematan dilakukan, penghematan yang
dilakukan sangat merugikan corps B.B Indonesia dalam arti luas. Maka dari
60
itu, orang jangan heran, jika di kalangan corps B.B timbul perasaan tidak
senang dan sedih yang tak terhingga kepada pemerintah (Pemandangan, 10
Juli 1936: 1)
b) Soetardjo mengatakan bahwa bangsa Belanda sedikit sekali memberikan
perhatiannya terhadap perasaan dan keinginan fihak Indonesia. Pemerintah
Belanda terus berusaha mempertahankan pemerintahannya dengan jalan terus
mendesak kebelakang kaum yang lemah, terutama penduduk Indonesia. Hal
demikian menimbulkan semangat anti Inlander, anti Indonesia. Dengan jelas
dapat dibuktikan, bahwa fihak Indonesia dengan sengaja tidak diperkenankan
ikut memutar roda mesin pemerintahan negeri. Menurut Soetardjo, kewajiban
Nederland terhadap negeri jajahannya adalah memberi pimpinan dan didikan
kepada rakyat Indonesia menuju kedudukan yang begitu kuat dan teguh
dalam politik dan peradaban sampai bangsa Indonesia tidak dijadikan
permaianan oleh bangsa Belanda lagi. Pemerintah telah mematahkan sayap
kiri dari pergerakan, maka sudah waktunya untuk bekerjasama dengan kaum
yang loyal dalam mengurus kedudukan politik dalam negeri ini dengan jalan
yang praktis dan loyal. Pemerintah jangan menunggu lama-lama, tidak sehari
dan tidak satu jam. Tentang pembagian tambang-tambang yang tidak adil,
banyak negeri yang iri hati, karena Nederland mempunyai negeri jajahan
yang molek dan kaya. Jika negeri lain diberi kesempatan untuk merampasnya,
tentu negeri lain tidak akan segan untuk melakukan perampasan. Nederland
tidak bisa hanya mengharapkan pertolongan sepenuhnya dari negara-negara
besar yang lain, karena kejadian belakangan ini memberi pelajaran, bahwa
jika waktunya telah datang, maka Nederland akan berdiri sendirian. Satu
faktor yang dapat melemahkan atau menguatkan Nederland sebagai negeri
yang mempunyai jajahan adalah keinginan dari penduduk jajahan itu sendiri.
Sebagian dari golongan terpelajar makin lama, makin berkeyakinan bahwa
jika kedudukan Indonesia dalam politik oleh Nederland ditempatkan selalu
lebih rendah, maka bagi mereka lebih baik menerima pemerintah pertuannan
asing lain dari pada pemerintah Belanda. Perlu secepatnya Indonesia
dimajukan dalam segala bidang. Secepatnya pemerintah harus menjalankan
61
politik dimana pemerintah Indonesia merdeka, berdiri sendiri. Dalam
perjuangan antara kaum muda dan tua, janganlah pemerintah memihak pada
kaum yang kolot. Kepada kaum terpelajar bangsa Indonesia harus diberikan
kesempatan yang lebih luas untuk ikut memutar roda mesin pemerintahan
negeri dalam bagian puncak pimpinan dari pemerintah pusat. Dan dalam
kantor-kantor pemerintahan harus dipekerjakan tenaga Indonesia yang cukup,
yang diambil baik dari golongan terpelajar yang keluaran akademi, maupun
dari tenaga-tenaga yang memang cakap. Maksudnya, supaya mereka
mendapat pengalaman guna menduduki jabatan-jabatan yang penting. Dalam
tahun yang sudah-sudah kita tidak melihat usaha pemerintah kearah itu.
kepada pemerintah Indonesia memang diberikan kedudukan yang dalam
tempo tidak lama lagi dapat berdiri sendiri. Akan tetapi disamping itu, orang
menempatkan penjaga Eropa disisi bupati. Satu tanda bahwa pemerintah tidak
percaya. Tempat yang dulunya memang diduduki putra Indonesia belakangan
diganti dengan tenaga lain. Pangkat patih diganti dengan bangsa Eropa.
Semua itu mungkin dimaksudkan agar jumlah tenaga Indonesia dalam
pemerintahan tidak bertambah, karena bangsa Indonesia yang duduk dalam
jabatan yang rendah saja, di singkirkan (Pemandangan, 11 Juli 1936: 1)
c)
Soetardjo meminta agar secepatnya dalam tiap-tiap departemen dan kantor
pusat yang lain dipekerjakan tenaga Indonesia yang cukup. Dimana tenaga itu
dikelak kemudian hari dapat digunakan untuk mengisi jabatan-jabatan yang
tinggi seperti kepala departemen. Secepatnya politik pemerintah harus
diubah. Gaji yang rendah yang diberikan pada bangsa Indonesia mengandung
anggapan bahwa bangsa Indonesia kurang berharga. Aturan itu sangat
merugikan golongan yang sudah lemah. Jika pemerintah tidak sudi
memperhatikan keinginan kita yang adil dan masuk akal itu, maka kita akan
megupas politik uang-uangan pemerintah. Soetardjo juga meminta perhatian
pemerintah atas mosi yang telah diambil pada tahun 1932 oleh kombinasi
antara PPBB dan perkumpulan lainya. Dalam mosi tersebut diminta supaya
politik pemerintah diubah. Selain itu juga meminta perhatian pemerintah atas
putusan yang telah diambil dalam rapat tahuan dari Federatie Van
62
Indonesischt Organisities Overheidsdienaren (F.I.O.O) di Bandung pada
tanggal 5 Januari 1935. Putusan dari rapat tersebut meminta pemerintah agar :
1). supaya diadakan peraturan yang tetap, agar Leidende Overheidsfuncties
diduduki oleh tenaga Indonesia. Yang dimaksudkan dengan tenaga Indonesia
yaitu mereka yang berhubungan dengan kelahirannya, asal usulnya, dan
penglihatannya tetang kedudukan Indonesia di masa yang akan datang
tergolong dalam sebutan Nederlandsch Indie; 2). Jika tenaga yang dibutuhkan
itu tidak didapatkan dari Indonesia, maka boleh mendatangkan dari luar, akan
tetapi diusahakan agar pangkat itu secepatnya dapat dipegang oleh mereka
yang dimaksudkan dalam ayat 1; 3). diadakan peraturan gaji menurut ukuran
Indonesia (Indisch Normen) sedang mereka seperti disebutkan dalam ayat 2
digaji menurut peraturan yang sengaja disediakan buat mereka sebagai tenaga
cadangan. Putusan F.I.O.O itu sudah disetujui oleh kaum pergerakan, maka
dari itu secepatnya pemerintah mengambil tindakan yang cocok dengan
pendapat dan anjuran kita. Hanya dengan cara demikian dapat diberikan uang
yang banyak guna kepentingan lahir dan batin dari rakyat Indonesia.
Sedangkan untuk pemberian Nederland sebesar f 25 juta, bangsa Indonesia
sangat berterima kasih. Akan tetapi bukan hadiah semacam itu yang
diharapkan dan maksudkan. Lagi pula dana sebesar itu tidak cukup untuk
memperbaiki kemakmuran rakyat yang sudah tidak berdaya lagi. Jumlah itu
hanya cukup untuk memindahkan beberapa penduduk dari Jawa ke Sumatra,
membiayai beberapa usaha dan mendirikan gedung-gedung yang besar saja.
Sekarang sudah waktunya bagi Nederland untuk membuktikan manfaat
hubungan antara Indonesia dengan Nederland. Dari fihak Indonesia telah
berulang kali dibuktikan manfaat hubungan antar kedua belah fihak. Sekarang
giliran Nederland untuk membuktikan. Tidak hanya dengan suara saja tetapi
juga dengan perbuatan. Untuk itu, kerjasama antara Indonesia dengan
Nederland dalam bidang politik harus diperkuat. Tujuan ini akan didukung
oleh bangsa Indonesia asal kerjasama itu dijalankan sedemikian rupa, sampai
kerjasama tersebut memuaskan kedua belah fihak. Dalam bidang ekonomi,
bantuan pemerintah Belanda tidak boleh kurang dari f 30 juta per tahun.
63
Karena pada tahun 1830 dan 1877 telah masuk dikas Belanda, uang sebesar f
800 juta yang diperoleh dengan peraturan tanam paksa, dimana telah
membuat rakyat miskin, sengsara dan ribuan lainnya mati. Untuk itu uang itu
harus dikembalikan kepada rakyat. Diharapkan supaya secepatnya diadakan
peraturan yang lebih baik tentang pekerjaan bersama dalam ekonomi antara
Nederland dan Indonesia. Jika Nederland tidak memperdulikan tuntutan
tentang perhubungan ekonomi antara Nederland dengan Indonesia itu, maka
bangsa Indonesia wajib merubah haluan dan tidak memberikan lagi suara kita
pada peraturan-peraturan yang dibuat Belanda pada masa yang akan datang.
Kepentingan
rakyat
yang
melarat,
tidak
bisa
lagi
untuk
ditawar
(Pemandangan, 13 Juli 1936: 1).
d) Soetardjo meminta supaya pemerintah melakukan usaha untuk memajukan
rakyat yang besar, dengan perantara wakil pemerintah dalam kabinet
perekonomian. Rencana yang besar harus dikerjakan buat seluruh rakyat
Indonesia dan dalam usaha yang demikian itu semua instansi harus beramairamai ikut memperhatikannya. Jangan tiap-tiap instansi bekerja sendirisendiri. Hanya dengan cara demikian, pemerintah dapat mewujudkan
kemakmuran rakyat yang jutaan orang dengan sebaik-baiknya. Pendapat ini
cocok dengan dasar partai anti revolusi di Nederland. Pendapat tersebut
dikemukan oleh Dr. Colijn pada tahun 1934. Jika pendapat Colijn tersebut
bukan omongan belaka, maka sepantasnya pemerintah mewujudkan pendapat
minister president itu. Dimana pada waktu itu Colijn mengatakan bahwa
kemajuan otonomi bagi penduduk dan kemajuan desentralisasi, buat seluruh
rakyat Indonesia, bukan lagi keuntungan yang harus dikejar oleh Belanda
terhadap negeri jajahannya, tetapi yang dikejar haruslah kemajuan penduduk
negeri jajahan. Namun pada kenyataannya, tidak demikian. Banyak
peraturan-peraturan yang dipaksakan antara lain peraturan kepada penduduk
yang sudah miskin dan melarat untuk membeli barang-barang buatan Belanda
dengan harga yang lebih mahal. Selain itu dibuat peraturan untuk
memberhentikan perusahaan-perusahaan anak negeri yang tidak sedikit
jumlahnya, membuat banyak penganguran dan menambah kesengsaraan
64
rakyat. Sungguh terlihat bahwa peraturan itu dibuat semata-mata hanya untuk
kepentingan Nederland sendiri. Untuk itu sebaiknya Indonesia diberi
kesempatan untuk berdiri sendiri sesuai dengan makna dalam Art. 1
Grondwet. Akan tetapi tidak harus sekarang, misalnya 10 tahun lagi.
Mungkin memang pendapat demikian tidak disetujui oleh golongan Eropa
bagian sayap kanan (NSB) dan tidak disetujui oleh golongan sayap kiri dari
pergerakan nasional yaitu PI dan PNI. Akan tetapi kaum yang loyal, Parindra
dan Corps Bupati akan menyetujui. Usul itu tidak untuk memutuskan
pertalian hubungan antara Nederland dan Indonesia sesuai dengan yang
dimaksudkan dalam Art. 1 Grondwet, tetapi sebaliknya dapat memperkuat
hubungan antara kedua belah fihak. Maksud dari permintaan ini bukan supaya
tali hubungan antara Nederland dan Indonesia putus, akan tetapi hanya
meminta agar Nederland memberi kesempatan dan hak untuk mengejar
kedudukan yang mulia buat Indonesia dalam tempo yang secepet-cepatnya.
Memang Dr. Colijn berpendapat bahwa untuk berdiri sendiri menjadi sebuah
negeri, Indonesia harus melewati tiga masa yaitu : Pertama, penduduk
Indonesia harus mengalami kemajuan ekonomi; Kedua, penduduk harus
mengambil bagian aktif dalam desentralisasi; Ketiga, penduduk harus
memberikan bantuan kepada pemerintah daerah, dan juga pada pemerintah
pusat. Ketiga masa itu harus dijalani sebelum tahun 1916, maka baru dapat
diberikan hak berdiri sendiri kepada Indonesia. Akan tetapi, jika tidak
berjalan sesuai dengan yang diharapkan, itu bukan salah bangsa Indonesia.
Karena selama ini Belanda telah menidurkan bangsa Indonesia, sehingga
pada permulaan abad 20 baru timbul gerakan dari banga Indonesia. Waktu 10
tahun tidak begitu pendek untuk membuat rakyat Indonesia berdiri sendiri.
Waktu 10 tahun itu dapat dipakai untuk melalui masa yang pertama dan
menyempurnakan perjalanan dalam masa kedua dan ketiga. Indonesia sudah
terlau lama menunggu, sekarang Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama
lagi (Pemandangan, 14 Juli 1936: 1).
e)
Soetardjo mengatakan bahwa Jawa harus dijadikan satu pemerintahan dan
mendapat dasar-Raden. Sifat dualisme dalam Binnenlandsch Bestuur harus
65
dihapuskan. Volksraad harus dijadikan parlemen yang tulen. Direktur dari
departemen-departemen mempunyai tanggungjawab. Gubernur Jendral yang
diangkat oleh koning (Raja) ada onschendbaar (hak kekebalan). Badan
pemerintahan yang tertinggi yaitu Raad Van Indie ditetapkan dan terdiri atas
anggota biasa yang diangkat oleh koning (raja). Seorang wakil presiden juga
diangkat oleh koning. Voorzitter (Ketua) dan onder voorzitters (wakil ketua)
dari volksraad sebagai badan yang mempunyai suara. Sebagai badan
perwakilan yang tertinggi sekali antara Nederland dan Indonesia diadakan
sebuah Rijksraad terdiri atas wakil dari kedua daerah itu dan dibawah
pimpinan seorang yang memang sengaja diangkat untuk keperluan itu, jadi
bukan salah seorang dari menteri atau direktur dari departemen atau salah
seorang dari voorzitter (ketua) dari kedua parlemen itu. Hak sebagai
penduduk dari Indonesia yang berdiri sendiri terdiri atas mereka yang
mempunyai hubungan kelahiran, asal usul dan cita-cita menuju masa yang
akan datang, dan tergolong anak Indonesia. Pilihan yang cermat diantara
bangsa-bangsa asing yang dilahirkan disini perlu diadakan. Berhubung
dengan ini dikemukanan bahwa diantara kaum Indo Eropa, Tionghoa, dan
Indo
Arab di dapati aliran yang makin lama makin kuat untuk
menggabungkan diri dengan Indonesia. Dua golongan Tionghoa dan Indo
Arab di volksraad diwakili oleh Mr. Ko Kwat Tiong dan Alatas, keduanya
masuk dalam anggota pembuat usul. Orang Belanda akan mendapat tempat
kehormatan ditengah-tengah, dan hal ini tidak mengecilkan kewajiban yang
dipikulkan kepada putra Indonesia, bahwa putra Indonesia makin lama makin
wajib mempunyai perasaan tanggungjawab terhadap keadaan bangsa
Indonesia. Inilah lukisan pendapat Soetardjo Kartohadikoesoemo tentang
Indonesia berdiri sendiri. Sudah tentu Soetardjo akan mengalah jika ada
pendapat yang lebih sempurna dari pendapatnya tersebut. Dan usul keinginan
Soetardjo itu diwujudkan menjadi petitie-voorstel. Dari itu sudilah kiranya
pemerintah berusaha untuk dapat mengerti dan menghargai usul tersebut.
Keadaan diluar dan didalam negeri tidak sebagaimana kita inginkan. Sekecilkecilnya kejadian bisa juga mendatangkan bahaya. Dari itu marilah kita
66
bersatu bekerja bersama-sama dengan Nederland untuk mempertahankan diri
terhadap serangan dari luar dan agar dapat memberikan kedudukan yang
kokoh kepada Indonesia disisi negeri-negeri lain yang sudah berdiri
(Pemandangan, 15 Juli 1936: 1).
Dalam pidato Soetardjo tanggal 9 Juli 1936 tersebut, Soetardjo sekaligus
mengajukan sebuah petisi yang terkenal dengan nama Petisi Soetardjo. Adapun isi
dari Petisi Soetardjo tersebut seperti dikutip dalam Setiadi Kartohadikusumo
(1990: 128) adalah sebagai berikut :
VOLKSRAAD
ZITTINGSJAAR 1936-1937
ONDERWERP 26 – STUKKEN 1-5
-------------Verzoek tot bijeenroeping van een conferentie ter opstelling van een plan teneinde aan Ned-Indie den staat van zelfstandingheid binnen de grenzen van artikel 1
der Grondwet te geven.
--------------VOORSTEL
ONTWERP-ADRESSEN
MEMORIE VAN TOELICHTING
-----------------Stuk 1.
Voorstel van de heeren Soetardjo, Ratu Langie, Kasimo,
Datoe’ Toemenggoeng, Ko Kwat Tiong en Alatas.
Ingediend 15 Juli 1936.
Ondergeteekenden hebben de eer voor te stellen, dat de Volksraad,
met gebruikmaking van de bevoegheid aan den Raad toegekend bij
artikel 68 der Indische Staatsregeling, zich wende tot het Opperbestuur
en de Staten-Generaal met het verzoek te willen bevorderen, dat een
conferentie van vertegenwoordigers van Nederland en NederlandschIndie worde bijeengeroepen, welke conferentie op den voet van
gilijkgerechtigdheid een plan zal hebben op te stellen, teneide aan
Nederlandsch-Indie langs den weg van geleidelijke hervorming binnen
tien jaar, althans binnen een zoodanigen tijd als de conferentie voor de
uitvoering van de gedachte mogelijk zal achten, den staat van
zelfstandingheid toe te kennen binnen de grenzen van artikel 1 der
Grondwet.
67
SOETARDJO.
RATU LANGIE.
KASIMO.
DATOE’ TOEMENGGOENG.
KO KWAT TIONG.
ALATAS.
Yang terjemahannya adalah sebagai berikut:
VOLKSRAAD
TAHUN 1936-1937
POKOK BAHASAN 26 - BAGIAN 1-5
-----------------Permohonan supaya diadakan sebuah
koferensi untuk menyusun suatu
rencana tentang pembentukan Nederland Indie berdiri sendiri dalam batas
pasal 1 Grondwet.
------------------RENCANA PETISI
MEMORIE VAN TOELICHTING
------------------Bagian 1.
Petisi oleh tuan Soetardjo, Ratu Langie, Kasimo, Datoe’
Toemenggoeng, Ko Kwat Tiong, dan Alatas.
Tertanggal 15 Juli 1936.
Kami yang bertanda tangan dibawah ini dengan hormat
mengajukan usul supaya volksraad dengan mengunakan hak yang
diberikannya kepada majelis itu dalam pasal 68 daripada UndangUndang Indische Staadregering, mengajukan permohonan kepada
pemerintah tinggi dari Staten General supaya sukalah menolong daya
upaya akan supaya diadakan satu sidang permusyawaratan dari wakilwakil Nederland dan wakil-wakil Hindia Belanda, yang sidang
permusyawaratan itu dengan memakai aturan hak bersamaan dengan
anggota-anggotanya akan mengatur suatu rencana bagi memberikan
kepada Hindia Nederland dengan jalan berangsur-angsur di dalam
sepuluh tahun, ataupun di dalam yang oleh sidang permusyawaratan itu
akan dianggap dapat melaksanakannya, kedudukan berdiri sendiri di
dalam batas pasal 1 dari pada Grondwet.
Soetardjo
Ratu Langie
Kasimo
Datoe Toemenggoeng
Ko Kwat Tiong
Alatas
68
Petisi Soetardjo yang didukung oleh kawan-kawannya yaitu Ratu Langie,
Kasimo, Datuk Tumenggung, Ko Kwat Tiong, dan Alatas tersebut, ditambah
dengan keterangan (Memorie Van Toelichting), yang antara lain adalah sebagai
berikut:
a)
De historie van eeuwen heeft de matericele en idecele belangen van
nederland en Nederlandsch-Indie dusdaning met zonder nadeelige gevolgen
an rijk (jalannya waktu dalam beberapa abad itu sudah menjadikan amat
dekatnya keperluan Nederland dan Hindia Belanda, sehingga berpisahnya
kedua bangsa akan berakibat buruk buat dua-duanya).
b)
In het belang van den opbouw van belde gebledsdeelen is een innige en
hartelijke samenwerking nood zakelijk (untuk kemajuan dua tanah itu
perlulah keduanya untuk bekerja bersama-sama).
c)
In de laatste jaren heeft zich even wet van een groelend aan tal van het
denkend deel der in heemsche samenleving en in het rijs nder van de
Indonesische intellectueele wereid een gevoel van ongenoegen politieke
matheid en ofver ichthgheid meester gemaakt, welk enclke berieling verlamt
(sejak beberapa tahun yang lalu tambah besarlah golongan kaum bumiputera
terpelajar yang merasa kurang senang, merasa lemah dalam hal kepolitikan
dan merasa tidak perlu memperdulikan apa-apa, perasaan yang lambat laun
menjalar juga kepada rakyat yang berjuta-juta dan melemahkan semua
kekuatan).
d)
Befieling is volsrekt noodig voor den opbouw van Nederlandch Indie
omdat immers voor dien opbouw alle arochten van het Indonesische volk in
beweging gebracht moeten worden coo wet op seetaal economisch en
staatkundig gebeid (semangat untuk bangkit sangat diperlukan sekali untuk
dapat memajukan Hindia Belanda, sebab untuk kemajuan itu haruslah semua
kekuatan bangsa Indonesia dipergunakan pada bidang apa saja, baik bidang
sosial, ekonomi, maupun bidang pemerintahan).
e)
Bezieling kan allen gewekt worden, als doel bewust en volgens een vooref
up gezet plan aan gestuuid wordt op een verhouding tusschen Nederlandsch
Indie en het moederland die aan de nationale cultureele en economische
69
behoeften van dat deel van beide volken dat de door de historie gehoden
samenwerking an vaardt akaan voldoel (semangat untuk terus berjuang yang
berkobar-kobar hanya akan dapat dibangkitkan, jika dibuat dengan sengaja
dan menurut rencana yang sudah dibuatnya, perhubungan antara Hindia
Belanda dengan Nederland itu harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat
memuaskan keinginan kedua bangsa pada bidang apa saja) (Soeara Katholiek,
24 Juli 1936: 1).
Inti dari Petisi Soetardjo tersebut, adalah meminta supaya diadakan
conferensi antara utusan-utusan Indonesia dan utusan-utusan Nederland untuk
membicarakan pemberian Zelfstandigheid (dengan jalan Geleidelijk atau lambat
laun) kepada Indonesia, hingga Indonesia mendapat kedudukan tanah dominion.
Seperti juga Canada dan Australia (dominion dan bekas tanah jajahan Inggris)
yang lambat laun tambah kemerdekaannya dalam hal pemerintahan. Namun
walaupun dalam Petisi Soetardjo meminta status dominion, bukan berarti
Indonesia meminta langsung diberi kekuasaan seperti Canada dan Australia. Jika
Indonesia diberi status seperti tanah dominion dalam waktu 10 tahun, maka tidak
akan bertentangan dengan maksud Petisi Soetardjo dan kedudukan seperti itu
sudah mengandung kemerdekaan atau Zelfstandigheid (otonomi) yang lebih besar
dari pada keadaan sebelumnya. Petisi Soetardjo hanya bermaksud supaya
Indonesia di dalam pemerintahan diberi kedudukan yang lebih merdeka (Soeara
Katholiek, 14 Agustus 1936: 1)
Soetardjo juga menekankan perlunya meningkatkan hubungan baik
antara Indonesia dengan negeri Belanda yang semata-mata hanya untuk
kepentingan kedua belah fihak Lebih-lebih karena adanya bayang-bayang bahaya
pecahnya perang di pasifik. Hubungan itu akan berhasil apabila diusahakan
perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda
(Indonesia). Adapun perubahan-perubahan yang diajukan oleh Soetardjo, garis
besarnya adalah sebagai berikut :
a)
Pulau Jawa dijadikan satu provinsi. Sedangkan daerah-daerah di luar pulau
Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah (Groeps gemeenschappen) yang
bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
70
b) Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah (Binnenlands Bestuur) di
hapuskan.
c)
Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya.
d) Direktur dari departemen-departemen mempunyai tanggungjawab.
e)
Gubernur Jendral diangkat koning (Raja) dan mempunyai hak kekebalan
(Onschendbaar).
f)
Raad Van Indie, ditetapkan dan terdiri atas anggota biasa yang diangkat oleh
Raja, disamping itu ketua (Voorzitter) dan wakil ketua (Onder-Voorzitter)
Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara.
g) Dibentuk Dewan Kerajan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara negeri
Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil
kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, dimana pimpinan itu
bukan salah seorang dari Menteri atau direktur atau salah seorang dari Ketua
Parlemen.
h) Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan
cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang
dilahirkan di Indonesia diadakan seleksi yang ketat ( Pemandangan, 15 Juli
1936: 1).
3. Berbagai Tanggapan Terhadap Petisi Soetardjo
Setelah Petisi Soetardjo diajukan, ketua sidang Mr. W.H.Van Helsdingen
menyatakan bahwa petisi Soetardjo akan dibicarakan pada lain waktu. Pada bulan
Agustus 1936, Petisi Soetardjo mulai dibicarakan dalam rapat-rapat kecil anggota
Volksraad. Ada sebagian anggota mendukung, dan ada yang menolak. Dari
pembicaraan mengenai Petisi Soetardjo, kemudian diterbitkan afdelingsverslag
dan atas verslag itu para pengusul memasukkan memori jawaban (Setiadi
Kartohadikusumo, 1990: 128).
Menghadapi Petisi Soetardjo, baik dari kalangan bangsa Indonesia
maupun bangsa Belanda timbul reaksi yang berbeda-beda. Ada yang
menyenangkan tapi ada juga yang tidak. Dari fihak Belanda reaksi yang kurang
71
menyenangkan terhadap Petisi Soetardjo, keluar dari pers Belanda yang antara
lain dari Preanger Bode, Java Bode, dan Het Bataviasch Niewsblad. Pers Belanda
tersebut menyatakan bahwa petisi sebagai permainan yang berbahaya,
revolusioner, belum waktunya (Prematur), dan tidak sesuai dengan keadaan (inopportun). Selain pers Belanda, ada juga golongan reaksioner Belanda seperti
Vaderlandsche Club (VC), yang menyatakan bahwa Indonesia belum matang
untuk berdiri sendiri. Orang dan pers Belanda mengatakan bahwa yang lebih
penting dilakukan dari pada petisi tersebut adalah : a). Mempererat kerjasama
antara Belanda dan Indonesia dengan tidak mengubah sedikitpun struktur
pemerintahan di Hindia Belanda; b). Menambah kekuatan bala tentara di Hindia
Belanda (Soeara Katholiek, 24 Juli 1936: 1).
Sedangkan fihak Belanda yang menyetujui petisi adalah dari kalangan
pemerintah Hindia Belanda yang menyampaikan persetujuannya dengan cara
mengirimkan surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri
menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu
meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat
Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya (Suwidji Kartonagoro,
1980: 444).
Dari fihak Indonesia baik dari dalam maupun dari luar Volksraad, reaksi
terhadap Petisi Soetardjo juga bermacam-macam. Ada beberapa anggota
Volksraad yang berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan
tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan,
Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, majalah Soeara Katholiek
menyatakan dukungannya terhadap petisi. Dengan dukungan dari pers Indonesia
Petisi Soetardjo dengan cepat dapat tersebar luas dikalangan rakyat. Bahkan
sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus tentang Petisi Soetardjo,
kebanyaklan pers Indonesia sudah mendukung usul petisi tersebut. Menurut
harian Pemandangan, Petisi Soetardjo diajukan di saat yang tepat yaitu saat akan
digantikannya Gubernur Jendral De Jonge oleh Gubernur Jendral Tjarda yang
mempunyai faham liberal ( Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro
& Nugroho Notosusanto, 1975: 228).
72
Akhirnya tanpa pemilihan suara dalam sidang volksraad, usul petisi
diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus. Sidang khusus untuk
membicarakan Petisi Soetardjo dilaksanakan dari tanggal 17 September 1936
sampai dengan 29 September 1936. Pada tanggal 17 September 1936, sidang
pleno untuk membahas Petisi Soetardjo dibuka. Perhatian dari fihak Volksraad
dan fihak masyarakat memuaskan, akan tetapi dari fihak pemerintah Belanda
nihil. Tidak ada seorang wakil pemerintah Belanda yang hadir dalam persidangan.
Suatu bukti bahwa pemerintah Belanda sendiri memang bersikap meremehkan
Volksraad. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak didirikan Volksraad hanya
menjalankan
fungsi
sebagai
klachtenbureau
(tempat
pengaduan)
buat
menjalankan pekerjaan rutin saja menurut program yang dibuat oleh pemerintah
dan ketua dewan. Soal-soal dalam format yang besar dan luas belum pernah
menjadi bahan pemikiran dan pembicaraan dalam Volksraad. Maka dari itu,
ketika Petisi Soetardjo dibicarakan, pemerintah merasa tidak memikul kewajiban
seperti saat menghadiri sidang pleno untuk membicarakan hal-hal rutin. Atas
ketidakhadiran wakil pemerintah Belanda dalam sidang istimewa tersebut, Van
Helsdingen sebagai ketua mencoba membela. Van Helsdingen memberikan alasan
bahwa menurut hukum tidak ada satu pasalpun yang mengharuskan pemerintah
mengirimkan wakilnya dalam sidang tersebut. Padahal waktu itu Volksraad
sedang membicarakan masalah yang sangat penting buat Nederland maupun buat
Hindia Belanda. Sidang pelno tersebut dibuka oleh Ratulangie dan diakhiri
dengan pidato dari Soetardjo Kartohadikusumo. Untuk menjelaskan isi dari Petisi
Soetardjo, maka di antara anggota-anggota yang turut menandatangani petisi
diadakan pembagian tugas. Tugas-tugas dari para penandatangan petisi antara lain
adalah sebagai berikut: Pertama, Dr. Ratulangie mendapat tugas untuk memberi
penjelasan umum tentang tujuan petisi; Kedua, Kasimo mendapatkan tugas untuk
memberi uraian dalam bidang ekonomi yang bersangkutan dengan petisi
Soetardjo; Ketiga, Datuk Tumenggung mendapatkan tugas untuk memberikan
penjelasan dalam bidang politik, sosial dan budaya; Keempat, Mr. Ko Kwat
Tiong, medapatkan tugas untuk menjelaskan tentang kedudukan golongan Indo
(Belanda, Cina, Arab, dan lain-lain); Kelima, Alatas mendapatkan tugas untuk
73
menjelaskan hal tentang hubungan berbagai golongan beragama; Keenam,
Soetardjo
Kartohadikusumo
bertugas
sebagai
pembela
umum
(Setiadi
Kartohadikusumo, 1990: 128-130).
Dalam sidang tanggal 17-29 September 1936 tersebut, terjadi perdebatanperdebatan diantara sesama anggota Volksraad. Dari perdebatan yang dilakukan
di dalam sidang volksraad, disamping kelompok pengusul sendiri yang terdiri dari
Soetardjo Kartohadikusumo, I.J.Kasimo, Ratulangie, Datoek Toemenggoeng, dan
Ko Kwat Tiong, masih terdapat tiga kelompok lain yang mempunyai pendapat
yang berbeda-beda. Bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri juga terdapat
perbedaan pendapat. Adapun kelompok-kelompok yang dimaksud antara lain
adalah :
a). Kelompok Van Helsdingen – Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil:
1). Christelijke Staatkundige Partij (CSP), dipimpin oleh Mr.C.C.Van
Helsdingen, bekas guru Bestuur School menyatakan persetujuannya untuk
memberi kedudukan sendiri sebagai negara kepada Hindia Belanda, tapi
untuk saat itu memang belum waktunya. Van Helsdingen mengusulkan
supaya di bentuk suatu komisi (staats comissie) yang terdiri dari wakilwakil Indonesia dan Belanda yang ahli dalam soal-soal jajahan dengan
tugas mengontrol tindakan Menteri Jajahan. Van Helsdingen juga
membantah adanya persatuan antara suku bangsa di Indonesia (seperti
yang diakui oleh Soetardjo dan kawan-kawannya) yang menurut
pendapatnya hanya ada bila diikat oleh Pax Nederlandica (Sartono
Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 228).
2). Vaderlandsche Club (VC) dan golongan pengusaha kapitalis Belanda,
menyatakan bahwa rakyat Indonesia (Inlanders) belum matang dan
selamanya tidak akan matang untuk menguasai negara sendiri. Indonesia
harus terus dikuasai oleh Nederland.
3). Indische Katholieke Partij, di bawah pimpinan Piet Kerstens, dan Idem
Dito, menolak usul petisi (Setiadi Katohadikusumo, 1990: 130)
74
b). Kelompok Sukardjo Wirjopranoto, yang terdiri dari beberapa anggota Fraksi
Nasional, dengan tegas menolak usul petisi karena menganggap bahwa Petisi
Soetardjo yang diajukan tidak ada gunanya. Soekardjo Wirjopranoto juga
berpendapat bahwa Petisi Soetardjo dapat melemahkan bahkan dapat
mematikan
cita-cita
Indonesia
merdeka.
Dengan
keras
Soekardjo
Wirjopranoto menuduh Soetardjo Kartohadikusumo menjalankan politik
oportunis (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1975: 228). Bahkan Sukardjo Wirjopranoto bekerjasama dengan
Prof. Mr. Huart (seorang sarjana hukum Belanda yang Berhaluan kanan)
berusaha menunjukkan bahwa interpretasi Soetardjo terhadap isi pasal 1
Grondwet adalah salah (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 131).
c). Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil :
1). Fraksi Nasional (Nationale Fraksi), yang diketuai oleh Mohammad Husni
Thamrin menghadapi Petisi Soetardjo pecah menjadi dua yaitu Ir. Moh.
Noor, Suroso, Sukarjo, tidak menyetujui petisi, dan M. H. Thamrin,
Kusumo Utoyo, Soongkupan, Abd. Rasjid, Iskandardinata, Bustan, Jahya,
mendukung petisi. Ir. Moh. Noor menyatakan kalau tidak setuju dengan cara
Soetardjo untuk mencapai kedudukan sendiri buat Hindia Belanda yaitu
dengan cara Handjes Ophouden (meminta-minta kepada pemerintah
Nederland).
2). Politieke Economische Bond (PEB), di bawah pimpinan Roep dapat
menyetujui Petisi Soetardjo.
3). Indo Europeesch Verbond (IEV) di bawah pimpinan Dick De Hoog dapat
mendukung petisi asal diadakan Rijkraad (Dewan Legislatif) untuk seluruh
Koninkrijk (Kerajaan) yang terdiri dari empat negara bagian yaitu Belanda,
Indonesia, Suriname, Curacao (Setiadi Kartohadikususmo, 1990: 130-131).
Kelompok Suroso yang setuju terhadap Petisi Soetardjo berpendapat bahwa
Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda
memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia (Sartono Kartodirdjo,
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 229).
75
Pada tanggal 29 September 1936, di dalam sidang volksraad diadakan
pemungutan suara. Anggota yang hadir waktu itu adalah 46 orang dari seluruh
anggota volksraad yang berjumlah 60 orang. Hasil pemungutan suara adalah 26
orang menyetujui Petisi Soetardjo dan 20 orang lainnya menolak. Suara-suara
yang setuju dengan Petisi Soetardjo dapat dirinci sebagai berikut :
a)
Orgnisasi PPBB : Sutardjo Kartohadikoesoemo, Datuk Tumenggung,
Prawoto, Kusumo Utoyo, Bustan, Gandasubrata.
b)
Organisasi IEV (Indo Eropeesche Verbond) : De Hoog, Doeve,
Leonissen, White, Beets, Van Ardenne, Vermuth.
c)
Golongan
Nasionalis
:
Ratu
Langie,
Soongkupon,
Otto
Iskandardinata, Yahya, Abdul Rasyid.
d)
Golongan timur Asing (arab) : Alatas.
e)
Organisasi PEB (Politiek Economische Bond) : Mapuji, Sukawati,
Roep.
f)
Partai Tionghoa Indonesia : Ko Kwat Tiong.
g)
Organisasi Perkumpulan Politik Katolik di Indonesia : Kasimo.
h)
Tidak berpartai : Kartowisastro.
i)
Fraksi Nasional : diwakili MH Thamrin.
j)
Luar volksraad :
1) Persatuan para Bupati (Regenten Bond) Sedio Mulio diwakili oleh RAA
Herman Kartowisastro.
2) Kalangan mahasiswa ialah mahasiswa Indonesia di Nederland dan RM
Notosuroto bangsawan dari keluarga Paku Alaman yang sedang Belajar di
Nederland (terkenal sebagai pengarang dan penulis di surat kabar Belanda)
Sedangkan suara-suara yang menolak Petisi Soetardjo ada beberapa
kelompok antara lain adalah :
a)
Partai CSP (Christelijk Staat Partij) : Van Lhoukhuyzen, Notosutarso, Mr.
CC Van Helsdingen.
b)
Organisasi Vaderlandsche Club (VC) : Eekhout, Jansen, Verboom.
c)
Organisasi PEB (Politiek Economische Bond) : Kruyne.
d)
Golongan Nasionalis : Ir. Moh. Noor, Wiwoho, Suroso.
76
e)
Economische Group : Sandkujl, Weyer.
f)
Militair Deskundige : Van Kestern.
g)
Tidak berpartai (perorangan) : Sasrohadikusumo.
h)
Ketua volksraad : Mr. W.N Van Helsdingen.
i)
Organisasi IEV (Indo Europeesche Verbond) : Ny. Kozause Schultz.
j)
Indische Katolieke Partij : Piet Kersten, Heldebran.
k)
Middenstand : Van Balen.
l)
Fraksi Nasional : Sukarjo Wiryopranoto CS.
m)
Luar volksraad :
1) Directur Algemene Zaken : Mr. Peekema.
2) Directur Onderwijs en Eredienst.
3) Anggota-anggota Raad Van Indie. Gubernur Jendral : Jonkh Van
Starckenborg Stachhouwer.
n)
Dari masyarakat Nederland :
1) Minister Van Kolonien : Welter.
2) Minister President
: Dr. Colijn.
3) Staten General (kecuali beberapa anggota) (Sutrisno, 1982: 39-40)
Setelah didapatkan hasil 26 setuju dan 20 menolak, berarti Petisi
Soetardjo telah disetujui oleh Volksraad dan menjadi Petisi Volksraad. Setelah
disetujui Volksraad, maka Petisi Soetardjo akan segera diajukan kepada Seri
Ratoe dan kepada Staten General di Nederland untuk mendapatkan pengesahan
(Soeara Katholiek, 30 Oktober 1936: 1).
Sejak berlangsungnya sidang Istimewa dari tanggal 17-29 September
1936, telah dibuka lembaran baru bagi sejarah Volksraad dan pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia. Melalui anggota-anggota Volksraad yang dipilih dengan
perantaraan Kiesmannen dan anggota-anggota Regentschapsraad dan Gemeente
Raad, rakyat Indonesia telah merebut kembali haknya untuk mengambil inisiatif
mempertimbangkan, memperbincangkan dan memutuskan persoalan mengenai
kedudukan negeri dan bangsanya, yang lebih besar formatnya dari pada pekerjaan
rutin
sehari-hari tentang begroting
(belanja) negara, pajak, penduduk,
77
pengangkatan pegawai, pembelian benang tenun, menambah banyak sekolah
rakyat dan sebagainya. Dalam tempo 12 hari tersebut, telah diperjuangkan hari
kemudian negeri jajahan Hindia Belanda sebagai negara yang berhak mengatur
dan mengurus kepentingan, nasib, dan masa depannya sendiri, sejajar dengan
Nederland yang merdeka (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 133).
Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1936, Petisi Soetardjo yang telah
disetujui menjadi Petisi Volksraad, dikirimkan kepada Ratu, Staten General dan
Menteri jajahan di negeri Belanda. Sementara itu reaksi terhadap Petisi Soetardjo
di dalam masyarakat terus berlangsung. Dr. J.M. Somer berpendapat bahwa
menurut keadaan dan interpretasi sejarah, pasal 1 UUD Kerajaan Belanda yang
menjadi landasan petisi, adanya hanyalah karena terpaksa sebab kerajaan Belanda
tidak pernah terdiri dari empat wilayah seperti yang dijelaskan. J. W. Mayer
Ranneft (bekas vice President Raad Indie) berpendapat bahwa kerjasama antara
golongan di Indonesia akan berkembang dengan baik apabila ada kepastian bahwa
Indonesia akan berdiri sendiri. Dan sudah waktunya diadakan perubahanperubahan ke arah kemajuan pemerintahan di Indonesia. Pendapat yang hampir
sama juga diberikan oleh W.G Peekema dalam laporannnya kepada pemerintah,
yang meminta supaya diadakan suatu komisi kenegaraan untuk menyelidikinya.
Kemudian sewaktu anggaran belanja Indonesia (Indische Begrooting) tahun 1937
yang juga dibicarakan di dalam Staten General pada bulan Februari 1937, Petisi
Soetardjo juga dibicarakan. Akan tetapi keputusan apakah petisi akan diterima
atau ditolak masih menunggu saran-saran dari Gubernur Jendral di Indonesia
(Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 229-230).
4. Perjuangan Dalam Rangka Mensukseskan Petisi Soetardjo
Sambil menunggu disetujui atau ditolaknya Petisi Soetardjo, maka
diadakan perjuangan untuk mensukseskan Petisi Soetardjo. Di Indonesia sendiri
diadakan penerangan dan kampanye secara besar-besaran. Gerakan ini di pelopori
78
oleh Tabrani, menjabat sebagai Kepala Redaktur (hoofdredaktur) harian
Pemandangan yang terbit di Jakarta, dengan menulis sebuah karangan untuk
meminta perhatian pembaca terhadap Petisi Soetardjo yang telah diajukan di
Volksraad dan telah di syahkan oleh Dewan Rakyat dengan mengupas secara
singkat isi dari Petisi Soetardjo. Sejak saat itu surat-surat kabar berbahasa
Indonesia dan surat-surat kabar berbahasa Belanda di seluruh negeri dan di
Nederland menulis karangan-karangan tentang Petisi Soetardjo (Sutrisno,
1982/1983: 41).
Setelah pembicaran tentang isi Petisi Soetardjo bertambah hangat, maka
dari kalangan masyarakat, yang sekali lagi dipelopori oleh saudara Tabrani dalam
harian Pemandangan, menganjurkan agar dibentuk sebuah Panitia Petisi Soetardjo
yang diberi tugas untuk menyebarluaskan isi Petisi Soetardjo di kalangan
masyarakat Indonesia dan agar penerangan dapat dilakukan secara intensif dan
terorganisir. Sedangkan Haji Agus Salim yang menyetujui Petisi Soetardjo, juga
menyarankan kepada Soetardjo agar menunjukkkan bahwa Petisi Soetardjo tidak
bersifat meminta-minta, maka perlu dibentuk suatu organisasi yang berusaha
mendapatkan dukungan dari masyarakat agar Indonesia dapat berdiri sendiri
(Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 134).
Atas usulan beberapa orang yang menyetujui petisi, maka pada bulan
Mei 1937, di Jakarta dibentuklah Comite Petisi Soetardjo (CPS) yang akan
memperjuangkan Petisi. Selanjutnya pada tanggal 8 Juni 1937 di Bogor didirikan
Sub Comite Petisi Soetardjo, yang pengurusnya terdiri dari : Amir Soeradiningrat
(Rechtskundige);
Mr.
Koestomo
(adv
dan
Procureur);
Soejitno
Mengoenkoesoemo (Jur Student); dan Pramono (Jur Student). Sub Comite Petisi
Soetardjo ini beralamat di G. Pebatan 16, Bultenzorg (rumah dari Mr. Koestomo)
(Pemandangan, 9 Oktober 1937: 2).
Untuk memperkuat dan memperjelas maksud dari Petisi Soetardjo, maka
pada persidangan Volksraad pada bulan Juli 1937, Soetardjo kembali mengajukan
sebuah rencana, tentang apa yang sebaiknya dijalankan pemerintah Hindia
Belanda dalam usaha menuju Indonesia berdiri sendiri. Rencana tersebut dibagi
dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul Soetardjo, wakil
79
pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah
juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan di Indonesia, tetapi
karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan
pemerintah di negeri Belanda dan Staten Generaal (Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 230).
Di Jakarta (Betawi), pada tanggal 4 Oktober 1937, dibentuklah Central
Comite Petisi Soetardjo (CCPS). Anggota dari Central Comite Petisi Soetardjo
(CCPS) antara lain adalah :
Ketua (voorzitter
: Soetardjo Kartohadikusumo (Lid cool. V. Gedelegeerden)
Sekretaris
: Mr. Hindromartono
Sekretaris II
: Atik Soeardi
Penningmeester
: Alatas (volksraadslid)
Anggota-anggota : Sartono, Koo Kwat Tiong, Datoek Toemenggong,
Haji
Agus Salim, Kasimo (Lid O, V.G), O. Iskandar Dinata
(volksraadslid), E.I.K. Sinsoe.
Maksud didirikannya Central Comite Petisi Soetardjo adalah mengatur
propaganda dan memungut suara dari mereka yang menyetujui petisi Soetardjo.
Program kerja (werkprogram) akan ditentukan di belakang hari. Anggota yang
duduk dalam CCPS, tidak boleh duduk sebagai wakil partai. Sekretariat Central
Comite Petisi Soetardjo beralamat di Raden Salehlaan 18 Pevilioen, Batavia
Centrum (Pemandangan, 6 Oktober 193: 2).
Setelah Central Comite Petisi Soetardjo terbentuk, maka pada tanggal 5
Oktober 1937, diadakan rapat untuk membicarakan rencana kerja selanjutnya.
Rapat dilaksanakan di Gedung Permufakatan Indonesia di Gang Kenari Jakarta.
Orang-orang yang mendukung Petisi Soetardjo sangat bersemangat menghadiri
rapat tersebut. Hal itu terbukti dari jumlah peserta rapat yang memenuhi Gedung
Permufakatan Indonesia, sampai-sampai ada yang harus berdiri di luar dan pulang
kembali karena sama sekali tidak bisa masuk. Pada pukul 9.10, Soetardjo sebagai
ketua rapat membuka persidangan. Mula-mula rapat berjalan tersendat-sendat,
tapi akhirnya rapat berjalan dengan lancar dan berkobar-kobar. Soetardjo
berbicara selama satu jam dalam rapat tersebut. Dalam pidatonya , Soetardjo
80
menerangkan sejarah perjalanan Petisi Soetardjo. Soetardjo juga menyarankan
agar gerakan rakyat dan politik tidak bermusuhan dan saling mencari kesalahan.
Pergerakan harus melalui jalan yang telah di tentukan, begitu juga dengan petisi.
Kedua-duanya tidak boleh bertindak di luar batas. Soetardjo menyatakan bahwa
rakyat yang tidak bergerak adalah rakyat yang mati. Soetardjo juga menambahkan
bahwa Petisi Soetardjo memberikan dua pedoman dan bukti yaitu Pertama, rakyat
Indonesia bukan rakyat yang mati; Kedua, gerakan Petisi Soetardjo adalah
gerakan yang legal dan tidak bertentangn dengan Undang-Undang Negara.
Soetardjo mengajukan sebuah petisi hanya karena memenuhi kewajibannya
sebagai Amtenar BB (jabatan yang dianggap sebagai jembatan antara pemerintah
Belanda dengan rakyat Indonesia). Dalam pidatonya Soetardjo menyatakan
penolakannya terhadap celaan, bahwa Petisi Soetardjo itu kosong dan tidak berisi.
Setelah Soetardjo selesai menyampaikan pidatonya, maka Mr. Hendromartono
kemudian mendapatkan giliran. Mr. Hendromartono mendapatkan tugas untuk
menerangkan inti sari dari Petisi Soetardjo yang berkenaan dengan Art 1 dari
Grondwet Nederland. Hendromartono menyatakan bahwa apa yang diminta dalam
Petisi Soetardjo bukanlah dengan perubahan Artikel 1 dari Wet yang asli pada
tahun 1922. Jadi gerakan Petisi Soetardjo tidak lain adalah gerakan yang
mengajukan gugatan dan tuntutan, supaya Nederland memenuhi janjinya.
(Pemandangan, 29 November 1937: 2).
Sedangkan wakil dari Gerindo dalam rapat tersebut menyatakan sikapnya
seperti di bawah ini :
a)
Pengurus besar Gerindo memutuskan mendukung Petisi Soetardjo yang
akan mengadakan Conference Imperiaal, dimana utusan-utusan Indonesia
mempunyai hak yang sama, untuk memusyawarahkan kedudukan Indonesia
di kemudian hari dan cara serta waktunya mewujudkan tuntutan di dalam
Petisi Soetardjo.
b)
Pengurus besar Gerindo berkeyakinan bahwa aksi menggelar Conference
Imperial hanya akan lebih berhasil jika comite-comite itu terdiri dari wakilwakil dari perkumpulan-perkumpulan Indonesia. Melihat keadaan comite
Petisi Soetarjo yang terdiri dari anggota-anggotanya yang tidak duduk sebagai
81
wakil
dari
perkumpulan,
maka
pengurus
besar
Gerindo
tidak
memperkenankan anggota Gerindo duduk dalam Comite Petisi Soetardjo.
c)
Pengurus Besar Gerindo memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
wakil-wakil tersebut untuk berbicara tentang Petisi Soetardjo. Isi pembicaraan
di tanggung comite itu sendiri dalam segala rapat-rapat umum dan rapat-rapat
anggota Gerindo (Pemandangan, 5 Oktober 1937: 2).
Di negeri Belanda, Petisi juga dipropagandakan antara lain oleh
Perhimpunan Indonesia dengan menerbitkan brosur-brosur mengenai Petisi
Soetardjo. Tindakan yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia tersebut,
mendapat reaksi dari Majalah Toejoean Rakyat (di Jakarta) yang menuduh
Perhimpunan Indonesia telah menyalahi anggaran dasarnya. Atas tuduhan itu,
maka Perhimpunan Indonesia menyatakan
bahwa dukungan Perhimpunan
Indonesia terhadap petisi adalah semata-mata untuk mengahadapi ancaman
fasisme terhadap negeri Belanda dan Indonesia. Oleh karena itu, maka dipandang
perlu untuk memperbaiki hubungan yang telah ada antara kedua belah fihak.
Perbaikan hubungan antara kedua belah fihak bisa tercapai jika pemerintah
Belanda memenuhi maksud yang terkandung dalam Petisi Soetardjo yaitu
mengadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda. Selain
Perhimpuanan Indonesia, Roekoen Pelajar Indonesia (Roepi) di negeri Belanda
juga berusaha memperkenalkan Petisi Soetardjo kepada orang-orang Belanda
(Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 230-231).
Sejak Petisi Soetardjo menjadi pembicaraan di dalam Volksraad, surat
kabar Pemandangan sudah mengirimkan wakilnya di Nederlanad. Adapun tujuan
dari surat kabar Pemandangan adalah agar setiap saat surat kabar Pemandangan
mempunyai sumber guna memberitakan hal-hal yang berhubungan dengan Petisi
Soetardjo. Menurut surat kabar Pemandangan kewajiban dari surat kabar
kebangsaan umum tidak hanya menyajikan berita saja, akan tetapi juga
memberikan dorongan penunjuk jalan, injeksi guna kemajuan bangsa dan tanah
air Indonesia, menuju perbaikan nasib bersama. Pemandangan telah memberikan
82
sumbangan yang besar antara lain saat dibentuknya Central Comite Petisi
Soetardjo. Selain di Indonesia, di Nederland juga telah dibentuk Central Comite
Petisi Soetardjo dibawah pimpinan H. Koesoemo Oetoyo. Usaha-usaha Central
Comite Petisi Soetardjo di Nederland antara lain adalah memberikan penerangan
(berupa penerbitan brosur dan rapat-rapat), mendatangi orang-orang ternama dan
terkemuka guna mengumpulkan tanda tangan dan untuk mengetahui pendapat
mereka terhadap Petisi Soetardjo. Berita Pemandangan menyatakan bahwa K.
Vorrink (ketua S.D.A.P) telah menyatakan persetujuannya terhadap Petisi
Soetardjo. Dan Ir. CH.C.Cramer (S.D.A.P) yang sedang ada di Indonesia juga
menyatakan “mijn naam moogt in Indonesia ook daartoe brengen (nama saya
boleh dicantumkan sebagai anggota dari Comite yang akan didirikan juga di
Indonesia barang kali saja dapat mengajak teman-teman lain untuk mau
bergabung). Surat Ir. Cramer itu dikirimkan dari Bloemendaal dengan memakai
tanggal 31 Agustus 1937. Maksud Ir. Cramer ke Indonesia antara lain adalah
untuk mengadakan penyelidikan dan untuk lebih mengenal keadaan Indonesia,
sesudah 14 th meninggalkan Indonesia. Jelaslah bahwa persetujuan Ir. Cramer
penting sekali untuk gerakan Petisi Soetardjo, apalagi ketua S.D.A.P sendiri juga
telah memberikan tanda tangannya pada Comite Petisi Soetardjo di Nederland.
Sebagaimana diketahui, S.D.A.P adalah partai paling besar di Nederland sesudah
Partai Katholiek. Jadi, kalau K. Vorrink dan Ir. Cramer betul-betul mau bekerja
sama, tentu Petisi Soetardjo mempunyai harapan baik untuk di terima oleh
Nederland. Selain itu. Roestam Effendi dan D. J. Wijnkoop (komunis) juga sudah
memberikan persetujuannya. Jika S.D.A.P dan partai komunis betul-betul berdiri
di belakang Petisi Soetardjo, maka paling sedikit akan didapatkan 3 aliran di
Nederland yang berdiri di belakang Petisi Soetardjo yaitu S.D.A.P, Partai
Komunis, dan Virjzinning Democratische Bond (Partai Joekes). Dalam Tweede
Kamer yang anggota seluruhnya berjumlah 100 orang, S.D.A.P mempunyai wakil
sebanyak 24 orang, Partai Komunis 3 orang, dan V.O 6 orang. Jadi total tiga
golongan itu mempunyai wakil sebanyak 33 orang dalam Tweede Kemer. Dengan
suara dari ketiga golongan tersebut, bisa digunakan oleh CCPS untuk menarik
suara-suara lainnya. Dengan kata lain gerakan Petisi Soetardjo mempunyai
83
harapan dalam memperbaiki nasib Indonesia dalam waktu yang secepat-cepatnya
dengan jalan yang syah (parlementer) (Pemandangan, 7 Oktober 1937: 1).
Di Nederland, Petisi Soetardjo makin lama makin mendapat perhatian,
baik dari kalangan Belanda, Tionghoa, maupun Indonesia. Pendukung petisi yang
berasal dari bangsa Belanda juga bertambah. Diantara nama-nama Belanda yang
mendukung petisi antara lain adalah Prof. Dr. J. B. B De Josselin De Jong,
Dorpsstraat 31, Oegstgeest; Ds. J. B. Th Hugenholts, Hervormd Predikant di
Ammerstol; Rh. Feith, Oegstgeest; RA. Kern, Witte Singel 35, Leiden Dr. A.
Gans Rappenburg 81 Leiden; Dr. S. Broekhuizen, Delft; Mr. HWL Vrind
(Advocaat & Procureur, redacteur orgaan Jongeren Vredes- Actie), Almelo; E.
Coops Broose Van Groenon, Den Haag; Joh. E Post, Overveen; J. O. L. Le
Febvre, Laren; WC. Bosch, Zetten, Jan De Rempt, Journalist, Rotterdam; Ds. W.
Banning, Bentveld. Daan Van Der Zee, Den Haag; C Verhaen, Delft. Surat-surat
dari orang-orang Belanda yang telah disebutkan diatas, kepada Comite di
Nederland menjelaskan bahwa perhatian terhadap Petisi Soetardjo makin lama
makin mandalam. Di ketahui bahwa di Tweede Kamer ada tiga aliran yang
menaruh simpati pada Petisi Soetardjo. Dengan begitu dari 100 suara di Tweede
Kamer, Petisi Soetardjo mendapat pendukung 33 orang. Akan tetapi Partai Joekes
(VD) kemudian diketahui tidak menyetujui Petisi Soetardjo. Oleh karena itu,
maka pendukung Petisi Soetardjo hanya tingal 27 suara saja yaitu dari SDAP (24
suara) dan Partai Komunis (3 suara). Sedangkan Partai Katholiek (di bawah
pimpinan D. Kerstens) di Nederland menyatakan tidak mendukung Petisi
Soetardjo. Padahal Partai Katholiek mempunyai 21 suara di Tweede Kamer. Jika
Partai Katholiek mendukung Petisi Soetardjo, maka Petisi Soetardjo pasti akan
menang, karena jumlah suara di Tweede Kamer yang mendukung Petisi Soetardjo
akan menjadi 58 suara (31 dari Partai Katholiek, 27 dari SDAP dan 21 dari Partai
Komunis) (Pemandangan, 8 Oktober 1937: 1).
Setelah Central Comite Petisi Soetardjo (CCPS) didirikan baik di
Indonesia maupun di Nederland, maka baik di Jawa maupun di luar Jawa segera
dibentuk panitia-panitia daerah. Panitia-panitia daerah tersebut mengadakan
kampanye-kampanye di Surabaya, Madura, Jakarta, Palembang, Sumatra Selatan
84
dan lain-lain. Tidak lama kemudian panitia-panitia itu mengadakan rapat-rapat
umum di daerahnya masing-masing dengan mengundang wakil-wakil panitia
pusat untuk memberi penerangan tentang isi petisi. Di mana-mana, rapat yang
diadakan selalu mendapat perhatian besar dari masyarakat. Dengan begitu
terbuktilah, bahwa rakyat memberi perhatian besar kepada tuntutan dalam Petisi
Soetardjo. Dalam keadaan yang demikian pemerintah kolonial Belanda merasa
khawatir. Oleh karena itu, maka pergerakan politik oleh pemerintah Belanda
dikenakan larangan berrapat. Namun rakyat yang haus akan penerangan tentang
Petisi Soetardjo tidak dapat dikendaliakan lagi. Tanpa menghiraukan larangan
pemerintah, rakyat berbondong-bondong pergi mengunjungi rapat-rapat yang
diadakan oleh para pemimpin pergerakan. Pengunjung sampai meluap di luar-luar
gedung. Alat-alat penguasa pemerintah Belanda, tidak berdaya menghadapi
keadaan seperti itu (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 134-135).
Pada waktu mengunjungi rapat yang diadakan di Gedung boiskop
Surabaya, yang juga dihadiri H. Agus Salim dan Sartono sebagai anggota panitia
pusat, Soetardjo mendapat peringatan dari Gubernur Ch. O. Van Der Plas, karena
dianggap melampaui batas. Soetardjo diperiksa oleh alat keamanan negara untuk
mendapat peringatan dan ancaman diasingkan atau tindakan administratif. Tetapi
berkat keunggulan Soetardjo berdiplomasi, maka Soetardjo dapat lolos dari
ancaman tersebut dan dapat melanjutkan perjuangannya untuk meluluskan Petisi
Soetardjo (Sutrisno, 1982/1983: 41).
Sementara itu terdengar kabar bahwa Raad Van Indie akan mengajukan
hasil laporan yang berisi pemandangan Mejelis Tinggi tentang isi dari Petisi
Soetardjo. Tentunya hasil laporan tersebut akan dijadikan sebagai pertimbangan
bagi pemerintah untuk dikirimkan kepada Pemerintah Tinggi di Nederland
(Soeara Katholiek, 22 November 1937: 2).
Setelah mengadakan rapat-rapat di berbagai daerah, maka pada tanggal
21 November 1937 di Gedung Pertemuan Indonesia, Kramat 158, Jakarta,
diadakan pertemuan Central Comite Petisi Soetardjo dengan wakil-wakil
perkumpulan politik untuk membicarakan pergerakan Central Comite Petisi
Soetardjo. Wakil-wakil perkumpulan politik yang hadir antara lain adalah :
85
a)
Persatuan Arab Indonesia (A. Bajasut, A. Assagaf, H. Algadri, H. M. A.
Hosein Alatas).
b)
Parindra (MH Thamrin, Mr. Soedjono Soewandi).
c)
Pasoendan (L. Djajadiningrat, Ir. Djuanda, I. Wiraatmadja).
d)
Persatuan Minahasa (dr. Tumbelaka).
e)
Perkumpulan Politik Katholiek Indonesia (Kasimo).
f)
Sedangkan dari fihak Central Comite yang hadir antara lain adalah
Soetardjo, Sartono, Kasimo, Alatas, Atik Soeardi, H. A. Salim, E.L. K
Sinsoe, Datuk Tumenggung, dan Mr. Hendromartono (Pemandangan, 22
November 1937: 2).
Pertemuan tanggal 21 November 1937 tersebut membuahkan hasil antara
lain adalah wakil-wakil Pasoendan, P.A.I Persatuan Minahasa dan PPKI,
menyatakan persetujuannya dengan Petisi Soetardjo. Wakil Parindra belum dapat
menentukan sikap karena menunggu keputusan Conferensi partai yang akan
dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1937. Gerindo menyatakan hanya dapat
setuju dengan bagian petisi yang bermaksud meminta supaya diadakan
musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Nederland untuk membicarakan
hal yang sifatnya pemerintah yang harus diberikan kepada Indonesia(Soeara
Katholiek, 22 November 1937: 2).
Sedangkan PSII tidak ikut dalam gerakan Petisi Soetardjo, jadi tidak
mengirimkan wakilnya. PRI (Partai Rakyat Indonesia) sudah menerima undangan,
tapi ditolak, karena sebagai organisasi PRI sudah tidak ada. Walaupun begitu,
bekas anggota PRI tetap mendukung Petisi Soetardjo. Oleh karena itu, bekas
anggota PRI tidak menyatakan diri dalam Parindra karena sebagaimana
diputuskan bahwa Parindra melarang anggotanya ikut campur tangan dalam Petisi
Soetardjo. Jadi sebagai grup yang mempunyai haluan politik tertentu, bekas kaum
PRI tetap bersatu. Tetapi secara organisasi sudah tidak ada, dari itu tidak dapat
mengirimkan wakil dalam pertemuan tersebut (Pemandangan, 22 November 1937:
1).
86
Selanjutnya pada tanggal 28 November 1937 suatu rapat umum kembali
diadakan di Jakarta. Dalam rapat itu Amir Syarifuddin, salah seorang pemimpin
Gerindo menyatakan bahwa Petisi Soetardjo sudah salah jalan yaitu dari atas
(Volksraad), turun ke bawah (rakyat) bukan seperti biasa dari rakyat ke
Volksraad. PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) menuduh gerakan yang sedang
dijalankan oleh CCPS sebagai suatu gerakan yang naif, gerakan anak kecil yang
menuntut perubahan politik tanpa mempunyai sandaran dan sendi organisasi
massanya untuk masuk dalam CCPS. Parindra agak berbeda keputusannya dengan
PSII. Keputusan rapat Parindra di Solo tanggal 12 Desember 1937 berpendapat
bahwa walaupun Parindra menolak petisi, karena maksud petisi berlawanan
dengan tujuan yang dicita-citakan Parindra, tetapi maksud untuk mengadakan
suatu konfernsi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda didukung oleh
Parindra. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), menolak dan melarang
anggota-anggotanya membantu petisi dengan jalan apapun, karena tujuan PNIBaru adalah Indonesia merdeka, jadi bukan berdiri sendiri di bawah Kerajaan
Nederland (Pemandangan, 28 Desember 1937: 6).
Walaupun petisi tidak disetujui oleh empat partai yang pada waktu itu
mempunyai pengaruh cukup besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia,
tetapi Petisi Soetardjo juga di dukung oleh banyak organisasi-organisasi yang
antara lain adalah PBBB, Chung Hua Hui, Groep IEV, PEB, Panyedar,
Pasoendan, PPKI, PAI, dan Perserikatan Indonesia serta beberapa nasionalis
seperti H Agus Salim dan Sartono. Selain itu Sarekat Ambon dan Persatuan
Pemuda Pelajar Indonesia juga menyetujui petisi (Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 231-232).
Pada tanggal 19 Desember 1937, diadakan pertemuan Central Comite
Petisi Soetardjo untuk kedua kali. Pertemuan itu bertempat di Gedung Pertemuan
Indonesia, Kramat 158, Jakarta, pada pukul 8 malam. Agenda pertemuan itu
adalah untuk menentukan cara memperkuat Petisi Soetardjo (Pemandangan, 22
November 1937: ).
Pada pertemuan Central Comite Petisi Soetardjo kedua kali tersebut,
Central Comite Petisi Soetardjo mengumumkan pada semua partai-partai atau
87
oraganisasi-organisasi agar pengurus-pengurus cabangnya dapat bekerjasama
dengan pendukung-pendukung petisi untuk membentuk Sub Comite Petisi
Soetardjo di daerah-daerah. Atas anjuran Kasimo , cabang-cabang PPKI dengan
aktif telah mendirikan Sub-sub Comite tersebut, dan selama tahun 1938, CCPS
dan Sub Comite telah melakukan sejumlah rapat-rapat umum untuk mendukung
petisi (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1975: 232-233).
5.Hasil Keputusan Pemerintah Nederlands
Pada waktu pembicaraan mengenai rencana anggaran belanja Hindia
Belanda dalam Tweede Kamer pada bulan Februari 1938, Petisi Soetardjo juga
dibicarakan. Kebanyakan anggota Tweede Kamer tidak menyetujui petisi. Menteri
Jajahan, Welter, sebagai wakil pemerintah Belanda dalam sidang itu menyatakan
bahwa jalan yang terbaik untuk perubahan pemerintahan Hindia Belanda adalah
dengan menjalankan desentralisasi yaitu dengan meletakkan dasar otonom pada
tingkat bawah (pemerintah daerah), dan mengharapkan supaya Tweede Kamer
tidak lagi mempersoalkan Petisi Soetardjo. Sesuai dengan laporan Menteri Jajahan
pada Tweede Kamer, maka pada tahun 1938 telah mulai dijalankan beberapa
perubahan dalam pemerintahan di Indonesia. Pada hakekatnya perubahanperubahan tersebut tidak sesuai dengan keinginan bangsa Indonesia. Pada
persidangan Volksraad pada bulan Juli 1938, Gubernur Jendral Tjarda secara
samar-samar sudah membayangkan bahwa petisi akan di tolak. Laporan Gubernur
Jendral kepada Menteri Jajahan (berdasarkan laporan-laporan dari Raad Van
Nederlands Indie, Adviseur Voor Inlandsce Zaken, Directeur Van Ondrwijs En
Eredienst) telah menyarankan supaya petisi di tolak dengan alasan isi kurang
terang, serta adanya ketidak pastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan
datang, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konferensi
untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya Gubernur Jendral
Tjarda menyarankan kalau petisi harus di tolak walau bagaimanapun
88
keadaaannya. Sehingga perubahan prinsipil bagi kedudukan Indonesia dan
mengadakan konferensi seperti tuntutan Petisi Soetardjo tidak perlu dilakukan
(Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
1975: 233-234).
Setelah lebih dari dua tahun lamanya menunggu keputusan pemerintah
Belanda, akhirnya datanglah putusan yang diharap-harapkan. Pada tanggal 16
November 1938, datanglah Keputusan Kerajaan Nomor 40 dari pemerintah
Belanda. Keputusan kerajaan Nomor 40 tersebut menyatakan bahwa petisi yang
diajukan atas nama Volksraad di tolak oleh Ratu Belanda. Surat keputusan itu
disampaikan kepada Sidang Volksraad pada tanggal 29 November 1938 (Sutrisno,
1982/1983: 42).
Adapun alasan-alasan Seri Ratu menolak Petisi Soetardjo antara lain
adalah :
a)
Berhubungan dengan pentingnya masalah yang diajukan, maksud dari
petisi dianggap masih menggunakan perkataan-perkataan yang kurang jelas.
b)
Mengadakan koferensi sebagaimana tuntutan dalam Petisi Soetardjo
diangggap bertentangan dengan aturan Belanda (strijdig met het geldend staat
srecht).
c)
Dalam artikel 1 dari Grondwet tidak ada petunjuk tentang ukuran
kemerdekaan yang harus diberikan kepada Hindia Belanda dalam lingkungan
Kerajaan Nederland.
d)
Petunjuk semacam itu terdapat dalam artikel 62, 63, dan 64 dari Grondwet.
e)
Artikel-artikel ini oleh pemerintah yang membuatnya diterangkan sebagai
berikut:
pemerintah
berpendapat
bahwa
urusan
dalam
(inwendig
aangelegenheden) yang mengenai keadaan Hindia Belanda sendiri,
sedapatnya harus diletakkan pada tangan badan-badan dan pembesarpembesar yang ada di negara Indonesia sendiri. Lagi pula harus dijaga supaya
penduduk Indonesia mendapat pengaruh sebesar-besarnya dan ambil bagian
dalam hal susunan badan-badan tersebut diatas. Tiap-tiap kali kalau
melakukan langkah untuk menambah pengaruhnya, penduduk tadi haruslah
diperingati bahwa yang lebih di butuhkan oleh Indonesia adalah adanya
89
pemerintahan yang setiap saat senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan zaman, jadi bersifat modern.
f)
Asas-asas tersebut di atas sebenarnya sudah sejak dahulu menjadi acuan
bagi Nederland, dalam hal pemerintah Hindia Belanda dan terutama sejak
tahun 1922, ketika Grondwet yang asli di ubah.
g)
Berdasarkan asas-asas itu dalam waktu pendek saja sudah ada permintaan
di Hindia Belanda agar diadakan perubahan-perubahan penting, yang
semuanya bermaksud supaya perkara-perkara yang mengenai Hindia Belanda
sendiri di urus oleh badan-badan di Hindia Belanda sendiri dan supaya
pengaruh penduduk pada urusan tadi dapat ditambah.
h)
Juga dalam batas yang di tetapkan oleh Grondwet dan hukum-hukum
lainnya yang berlaku sekarang, aturan pemerintah Hindia Belanda masih
dapat digunakan dan perkembangannya bisa disempurnakan untuk mencapai
kedudukan yang lebih merdeka (autonomie) dengan bersandarkan pada asas
demokrasi.
i)
Kemajuan Hindia Belanda (sebagai bagian Kerajaan Nederland) dalam
lingkungan pemerintahan yang sehat, harus disertai dengan kemajuan hal-hal
lainya pada bidang sosial, ekonomi dan pengetahuan.
j)
Kalau kemajuan Hindia Belanda tidak bersama-sama, maka kemerdekaan
bagi kedudukan Hindia Belanda tidak akan menjadi kemerdekaannya
penduduk yang sungguhnya.
k)
Apalagi kemerdekaan tidak bisa diperoleh seperti jatuhnya buah yang
masak. Kemerdekaan tidak akan bisa didapat hanya dari kemajuan dan
kekuatan masyarakat sendiri, tetapi datangnya ditetapkan untuk memenuhi
keinginan pada
bidang politik dan arti kemerdekaan bagi negeri dan
penduduk Indonesia tentu tidak akan begitu besar
l)
Selain itu sejak timbulnya artikel 62, 63, dan 64 dari Grondwet tersebut
diatas, sama sekali tidak terbukti bahwa artikel-artikel itu dan aturan-aturan
lainnya yang bersandarkan artikel-artikel tadi menghalangi kemajuan tanah
Hindia Belanda pada lingkungan pemerintahan menurut arah yang tidak di
sangka-sangka.
90
m)
Kejadian-kejadian dalam waktu krisis yang lalu malah membuktikan
bahwa aturan-aturan yang berlaku sekarang dan hubungan antara bagianbagian Kerajaan seperti halnya sekarang jelas sekali untuk memperhatikan
kepentingan seluruh kerajaan Nederland serta bagian-bagiannya masingmasing.
n)
Mengingat sebab-sebab tersebut di atas itu jadi jelas bahwa sudah tidak
ada alasan yang cukup untuk mengadakan perubahan besar dalam aturan
pemerintahn Hindia Belanda, dan jelas pula bahwa mempercepat kemajuan
pada bidang pemerintahan sampai memutuskan hubungan kemajuan pada
satu bidang dan bidang lainya itu tidak akan berakibat baik bagi Hindia
Belanda (Soeara Katholiek, 9 Desember 1938, 1).
Selain itu Pemerintah kolonial Belanda juga menyatakan hal-hal sebagai
berikut :
a)
Reformasi administratif yang sedang diimplementasikan harus diteruskan
dan didukung bersamaan dengan delegasi kekuatan otonom, pada unit
administrasi dibawahnya. Hal ini menunjukkan peningkatan yang berarti
dalam hal partisipasi orang pribumi dan kelompoknya dalam mengurusi
urusannya sendiri, tapi partisipasi orang Belanda juga sangat di butuhkan.
b)
Dalam pasal 91 menyebutkan bahwa masalah mengenai hubungan
internasional dan hukum internasional ditangani oleh Gubernur Jendral.
Dalam prakteknya berarti Gubernur Jendral dapat campur tangan dalam
masalah perdagangan, dan pembatasan produksi. Jadi pendapat dari
Volksraad tidak perlu didengarkan.
c)
Pemerintah Hindia harus secepatnya menjelaskan di depan Volksraad
tentang masalah ini, karena hanya dengan cara seperti ini akan tetap terjaga
ikatan yang rasional antara kedua bangsa, dan peristiwa yang tidak
mengenakkan ini tidak perlu terulang dimasa yang akan datang. Di sisi lain
pemerintah Kolonial Belanda harus baik-baik mempertimbangkan masalahmasalah
yang
penting
menyangkut
(L.M.Penders,1977: 144-145)
kepentingan
Hindia
Belanda
91
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa selain diajukan kepada Seri Ratu,
Petisi Soetardjo juga diajukan kepada Eerste Kamer dan Tweede Kamer dari
Staten General. Dalam Tweede Kamer tampak ada keinginan membicarakan
Petisi Soetadjo, dan waktu itu Minister Welter menerangkan tidak merasa
keberatan kalau Petisi Soetardjo dibicarakan. Jadi Pemerintah Nederland juga
sudah mendapat pertimbangan tentang masalah itu dari pemerintah Hindia
Belanda. Sampai dengan jatuhnya keputusan dari Seri Ratu, Tweede Kamer
belum memberikan keputusan. Keputusan penolakan Petisi Soetardjo tersebut
ternyata tidak menunggu keputusan pembicaraan Petisi Soetardjo dalam Tweede
Kamer serta Eerste Kamer selesai (Soeara Katholiek, 23 Desember 1938, 1).
Penolakan yang diambil tanpa keputusan dari Staten General itu sangat
mengecewakan para pemimpin pergerakan Indonesia. Soetardjo menyatakan
bahwa penolakan itu menunjukkkan sikap sombong dan ceroboh dari pemerintah
Belanda. Di samping itu, sikap Belanda juga menunjukkkan sampai seberapa jauh
sebenarnya kedudukan Volksraad dalam pemerintahan. Soetardjo mengingatkan
bahwa sikap yang diambil pemerintah Belanda terhadap petisi adalah keliru
(Sutrisno, 1982/1983: 42).
Soetardjo juga menyatakan bahwa pemerintah Belanda sudah terkena
onderdomsziekte (penyakit tua) karena sudah menjajah bangsa Indonesia selama
lebih dari 300 tahun. Pikiran pemerintah Belanda sangat pendek, tidak bisa
memandang lebih jauh, dan hanya bisa mengandalkan Angkatan Bersenjatanya
saja. Pemerintah Kolonial Belanda takut kehilangan keuntungan yang selama ini
didapat dari Indonesia yang sesuai dengan semboyan yang dipunyainya yaitu
Indie Verloren, rampspoed geboren (hilangnya Indonesia akan mendatangkan
bencana bagi negeri Belanda) (Setiadi Kartohadikusumo, 1990: 136).
Kekecewaan terhadap penolakan Petisi Soetardjo kemudian di susul
dengan masalah-masalah lain, diantaranya : (1) tetap adanya mayoritas non
pribumi dalam Dewan Rakyat; (2) tidak di pilihnya orang Indonesia yaitu
Djajadiningrat sebagai Ketua Dewan Rakyat (Volksraad). Dari kedua fakta
tersebut, jelaslah bahwa staatkundige verhoudingen (hubungan dan kedudukan
politik ketatanegaraan) antara Belanda dan Indonesia tetap tidak berubah. Jadi
92
Hindia Belanda sebagai daerah jajahan di pandang belum waktunya untuk diberi
status politik yang lebih mengarah pada pergerseran kekuasaan berdasarkan selfdetermination, politik etis dan paternalisme masih benar-benar berpengaruh, yang
tampak jelas dari tanggapan Belanda terhadap beberapa masalah di Indonesia
(Sartono Kartodirdjo, 1999: 184-185).
Golongan yang menolak petisi seperti PSII dan Parindra, berpendapat
bahwa ditolaknya petisi memang sudah diduga sebelumnya. Hal tersebut karena
petisi tidak didukung sepenuhnya oleh semua golongan pergerakan dan karena
sikap pemerintah Belanda sendiri yang tidak begitu baik sejak petisi diajukan.
Dikatakan bahwa penolakan tersebut sudah sesuai dengan ramalan kaum
pergerakan yang menganggap isi dari Petisi Soetardjo hanya sebagai angin saja
(Penyebar Semangat, 10 Desember 1938: 19). Sukardjo Wirjopranoto, salah
seorang yang menolak petisi menyatakan bahwa sebagai anggota Volksraad,
merasa kecewa atas penolakan petisi, tetapi hal ini tidaklah menjadi suatu pukulan
keras bagi pergerakan kemerdekaan (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 234).
Tindak lanjut dari Central Comite Petisi Soetardjo setelah petisi di tolak
adalah dengan mengeluarkan Surat Terbuka yang ditujukan kepada Pengurus
Besar semua partai politik dan perhimpunan-perhimpunan bangsa Indonesia. Isi
surat tersebut disamping menyesali cara-cara penolakan atas petisi juga mengajak
seluruh partai untuk menentukan sikap atas penolakan Petisi Soetardjo dengan
mengadakan konferensi di Jakarta pada tanggal 27-29 Mei 1939. Adapun tujuan
dari konferensi tersebut adalah untuk membicarakan tidak lanjut dari Central
Comite Petisi Soetardjo setelah ditolaknya petisi (Penyebar Semangat, 31
Desember 1938: 19). Akan tetapi, maksud Central Comite Petisi Soetardjo untuk
mengadakan suatu konferensi tersebut, tidak dapat dilaksanakan karena
bersamaan dengan sidang di bentuknya GAPI (Sartono Kartodirdjo, Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 235).
Soetardjo kemudian memutuskan bahwa tugas untuk memperjuangkan
Petisi Soetardjo sudah selesai. Oleh karena itu, dalam rapat Pengurus Panitia
Pusat Petisi Soetardjo yang diadakan pada tanggal 11 Mei 1939, di Jakarta, di
93
putuskan untuk membubarkan Central Comite Petisi Soetardjo. Pembubaran
tersebut karena adanya keinginan dari kaum pergerakan untuk membentuk
Kosentrasi Nasional dan menjaga jangan sampai timbul kekecewaan dan salah
paham dari masyarakat Indonesia (Sutrisno, 1982/1983: 42).
C. Pengaruh Petisi Soetardjo Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia
Keputusan penolakan Petisi Soetardjo sangat mengecewakan para
pemimpin pergerakan nasional. Lebih-lebih kalau dilihat dari lamanya Petisi
Soetardjo menggantung sampai dua tahun. Penolakan Petisi Soetardjo telah
membuat melemahnya semangat kaum pergerakan nasional dan menyebabkan
perbedaan pendapat diantara bangsa Indonesia sendiri. Sebagian mengatakan
bahwa kegagalan Petisi Soetardjo karena kemauan yang kurang kuat dari bangsa
Indonesia. Namun perlu dilihat mengapa kegagalan petisi Soetardjo tidak
menimbukan reaksi di fihak pergerakan secara jelas. Memang perlu di ketahui
bahwa saat itu kekuatan pemukul pergerakan sedang dalam keadaan terikat dan
sudah tidak bebas lagi untuk bergerak. Kaum pergerakan bisa menerima
kenyataan dan menerima keadaan mengenai kelemahan sendiri sambil mencari
jalan keluar untuk mengatasinya, aksi secara besar-besaran menghadapi penolakan
Petisi Soetardjo tidak tampak dan PPKI yang sudah ada ternyata tidak mampu
menyusun kekuatan baru (Suhartono, 2001: 94).
Walaupun penolakan petisi banyak menimbulkan kekecewaan dari
kalangan pergerakan, namun kekecewaan itu tidak membuat perjuangan dalam
memperoleh kemerdekaan berhenti. Penolakan pemerintah Belanda terhadap
Petisi Soetardjo, malah membuat kaum pergerakan semakin bersemangat untuk
memperoleh kemerdekaan melalui jalan damai (kooperatif) (Slamet Mulyono,
1986: 63).
Selain itu, penolakan Petisi Soetardjo juga telah memberi banyak
pengaruh bagi perkembangan hubungan antara Nederland dengan Indonesia.
Penolakan Petisi Soetardjo telah menimbulkan semakin melebarnya jurang
94
pemisah antara Nederland dan Indonesia, membuat kepercayaan rakyat kepada
pemerintah menjadi semakin menipis, dan membantu membangkitkan semangat
kaum nasionalis dari sikap mengalah yang apatis sejak gerakan non kooperasi di
lumpuhkan. Gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi
menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada
masyarakat sendiri. Tanpa di sadari sikap konservatif Belanda dengan politik
pembekuan perkembangan politik, mampu menumbuhkan kesadaran dan
solidaritas nasional dari bangsa Indonesia yang semakin besar (Cahyo Budi
Utomo, 1995 : 164-169).
Salah satu jalan yang masih bisa di tempuh oleh kaum pergerakan setelah
di tolaknya Petisi Soetardjo adalah dengan bekerja lebih giat lagi untuk tujuan
yang sama dan mengalang kesatuan dalam barisan. Penggalangan kesatuan dalam
barisan segera dijalankan. Central Comite Petisi Soetardjo kemudian dibubarkan
pada tanggal 11 Mei 1939 demi kepentingan pembentukan badan politik baru oleh
Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. H. Thamrin. Pembentukan badan politik
baru tersebut adalah jawaban spontan dari kaum nasionalis Indonesia terhadap
penolakan Petisi Soetardjo. Melalui badan politik baru, kaum nasionalis akan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menunjukkkan sikapnya yang lebih
tegas kepada pemerintah di tengah-tengah situasi yang sangat gawat di tanah air
(Slamet Mulyono, 1986: 63).
Sejak matinya PPKI, usaha untuk mempersatukan partai-partai politik di
dalam suatu organisasi sudah di coba. Atas prakarsa PSII dan Parindra, maka
didirikanlah suatu federasi yang di beri nama Badan Perantaraan Partai Politik
Indonesia (BAPEPPI). Bapeppi mempunyai maksud dan tujuan yang mirip
dengan PPKI. Akan tetapi, badan persatuan ini tidak dapat hidup lebih lama,
karena partai-partai nasionalis kiri yaitu Gerindo dan PNI Baru tidak mau masuk
menjadi anggota di dalamnya (Ali Sastroamidjojo, 1974: 121).
Dengan demikian berarti BAPEPPI telah gagal untuk di bentuk. Oleh
karena itu, maka Thamrin (tokoh Parindra) memberikan usul untuk membentuk
suatu badan konsentrasi nasional. Dimana tujuan dari konsentrasi nasional
tersebut adalah untuk menyadarkan dan menggerakkan rakyat dalam memperoleh
95
suatu pemerintahan sendiri serta menggugah pemerintah Belanda untuk
menyadari cita-cita bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahanperubahan dalam pemerintahn di Indonesia Alasan-alasan yang mendorong untuk
segera membentuk konsentrasi nasional antara lain adalah kegagalan dari Petisi
Soetardjo,
sikap
pemerintah
yang
kurang
memperhatikan
kepentingan-
kepentingan bangsa Indonesia dan kegentingan internasional akibat timbulnya
Fasisme (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1975: 235-236).
Pada waktu itu keadaan internasional semakin gawat. Fasisme Italia,
Nasisme Jerman dan militerisme Jepang semakin menonjolkan peranannya di
panggung politik nasional dan internasional. Fasisme Italia di bawah pimpinan
Benito Mussolini, Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hilter dan militerisme
Jepang di bawah pimpinan Jendral Tojo berhasil membentuk Pakta Anti
Komintern (Komunis Internasional) yang keluar dari peperangan Dunia Pertama
sebagai faktor kekuatan baru dan berkembang menjadi negara adi kuasa di bawah
pimpinan Lenin dan Josef Stalin. Kaum Fasis menganggap Demokrasi Barat
sudah sekarat dan yang akan di lawan adalah meluasnya demokrasi rakyat dari
Uni Soviet dengan membagi dunia dalam daerah-daerah yang di kuasai oleh
demokrasi Barat dengan pembagian sebagai berikut: Afrika untuk Fasis Italia;
Eropa untuk Nazisme Jerman; dan Asia Timur Jauh untuk Militerisme Jepang.
Bagi Indonesia, militerisme Jepanglah yang paling banyak di perhitungkan segisegi positif dan negatifnya. Ruang gerak pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan
terletak dalam kemungkinan-kemungkinan yang diberikan pertentangan antara
ketiga kelompok tersebut di atas yang
memperlihatkan tanda-tanda akan
berkembang menjadi peperangan Dunia Kedua (L.M. Sitorus, 1988:78-79).
Gagasan pembentukan badan konsentrasi nasional itu mendapat
sambutan baik dari berbagai fihak yang bersangkutan. Otto Iskandar Dinata selaku
Ketua Paguyuban Pasundan menjelaskan bahwa Paguyuban Pasundan menyambut
baik gagasan pembentukan badan konsentrasi nasional. Diharapkan agar prinsip
saling menghargai di antar partai politik yang ikut duduk dalam badan tersebut
tetap di bina sebaik-baiknya. Diharapkan pula agar badan tersebut mampu
96
mendesak Nederland untuk mengubah sikapnya terhadap Indonesia. Partai Islam
Indonesia yang di pimpin oleh Sukiman mendukung gagasan sepenuhnya.
Gerindo bersikap menunggu karena menerima undangan resmi. PSII menolak
ajakan duduk dalam badan konsentrasi nasional, jika pembentukan badan tersebut
di dasarkan atas situasi internasional yang menyeret bangsa Indonesia, karena
masih banyak hal-hal dalam negeri yang lebih penting untuk mendapatkan
perhatian sepenuhnya dari pada masalah itu. Sikap Gerindo dan PSII itu
sebenarnya mengandung siasat. PSII ingin mengetahui apakah Pergerakan
Penyedar yang di pimpin oleh Agus Salim juga di dekati oleh Parindra. Jika
Pergerakan Penyedar ikut dalam badan konsentrasi nasional, maka PSII tidak akan
bersedia. Demikian pula halnya dengan Gerindo terhadap tokoh Muh. Yamin.
Meskipun Pergerakan Penyedar telah di dekati oleh Parindra, namun setelah
mendengar pendirian R. Abikusno Tjokrosujoso selaku ketua PSII, maka Parindra
menjatuhkan pilihannya pada PSII, dan Pergerakan Penyedar di tinggalkan. Di
tetapkan pula bahwa konsentrasi nasional tidak akan mengizinkan masuknya
partai yang dikeluarkan dengan tidak hormat oleh partai anggota, ke dalam
konsentrasi nasional sebagai anggota (Slamet Mulyono, 1986: 64).
Dua bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1939, untuk
membahas pembentukan panitia persiapan penyelenggraan konsentrasi nasional,
diadakan rapat umum di Gedung Permufakatan, Gang Kenari, Jakarta. Tokoh
yang hadir pada waktu itu antara lain adalah O. Bratakoesoemo, Soeradiredja,
Atik Soeradi (dari Pasundan); Thamrin, Soekardjo Wiryopranoto (Parindra); Abi
Koesno, Sjahboedin Latif (PSII); H. Mansoer dan Wiwoho (PII); Ratulangie,
Sjarifoedin, Wilopo (Gerindo). Dalam rapat umum itu disetujui dan diresmikan
pendirian GAPI (Sartono Kartodirdjo, 1999: 186).
GAPI terbentuk dengan ketentuan bahwa masing-masing partai tetap
mempunyai kemerdekaan penuh dalam menjalankan program masing-masing, dan
bila timbul perselisihan antar partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Pimpinan
di pegang pertama kali oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syarifudin dan
Abikusno Tjokrosujoso. Dalam Anggaran Dasarnya di terangkan bahwa GAPI
berdasarkan pada : (a). Hak untuk menentukan diri sendiri; (b). Persatuan nasional
97
dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan mengenai faham
politik, ekonomi, dan social; (c) Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
(Suwidji Kartonagoro, 1980: 448).
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dengan segera melancarkan sebuah
kampenye bagi suatu parlemen Indonesia yang sepenuhnya di wakili dan secara
politis berkuasa. Aksi GAPI di mulai pada konferensinya yang pertama pada
tanggal 4 Juli 1939. Aksi-aksi GAPI selalu disertai dengan semboyannya yang
lunak yaitu “Indonesia Berparlemen”. Dengan semboyan itu jelas bahwa GAPI
tidak menuntut kemerdekaan secara penuh, tetapi menuntut suatu parlemen yang
bersendikan pada asas-asas demokrasi. Selain itu, kaum nasionalis juga
mengajukan mosi-mosi bagi perubahan yang berangsur-angsur dalam volksraad
yang sebelumnya para anggota oposisi telah membatasi diri pada kecaman
terhadap politik pemerintah (Cahyo Budi Utomo, 1995: 165).
Adapun mosi-mosi yang diajukan antara lain: a). Mosi Thamrin, yang
menuntut istilah Indonesie diganti Indonesia, Indonesier diganti bangsa Indonesia,
dan Indonesische diganti ke Indonesiaan; b). Mosi Kewarganegaraan, yang
mengajukan tuntutan untuk mengadakan Staat hukum baru yaitu kewarganegaraan
Hindia (Indisch Burgerschap); c). Mosi Wiwoho, yang menuntut agar Dewan
Rakyat
dikembangkan
menjadi
lembaga
demokratis
yang
bulat,
pertanggungjawaban departemen-departemen kepada Dewan Rakyat, perlu
dibentuk suatu Dewan Kerajaan, dan agar dibentuk suatu panitia yang
mengadakan penelitian tentang situasi politik di Hindia Belanda (Sartono
Kartodirdjo, 1999: 193).
Sementara itu kegawatan politik di dunia makin memuncak dan akhirnya
pada bulan September 1939, Perang Dunia Kedua meletus di Eropa. Kedudukan
Negeri Belanda dalam PD II memang sebagai negara netral, tetapi menghadapi
keganasan agresi militerisme Jepang-Hilter, sangat diragukan apakah negeri
Belanda yang kecil dan lemah dapat mempertahankan netralitasnya. Itulah
sebabnya banyak pemimpin pergerakan nasional Indonesia memperhitungkan
bahwa negeri Belandapun segera akan di gilas oleh bala tentara Hilter. Kalau itu
terjadi maka nasib bangsa Indonesia sebagai negeri jajahan Belanda menjadi tidak
98
tentu. Apabila Hilter menang dalam perang tersebut, maka kemungkinan besar
Indonesia akan dijadikan jajahan Jerman. Hal inilah yang sangat di khawatirkan
oleh pemimpin-pemimpin pergerakan Indonesia yang pada umunya berpendirian
anti Fasisme. Oleh karena itu, maka timbul gagasan bekerjasama dengan
Nederland untuk bersama-sama menghadapi bahaya Nasisme Jerman. Tentu saja
politik bersimpati dengan nasib Belanda disertai motif politik yaitu untuk
mendorong pemerintah Nederland agar secara timbal balik dapat menaruh simpati
dan menunjukkan pengertian terhadap cita-cita bangsa Indonesia yaitu
kemerdekaan (Ali Sastroamidjojo, 1974: 121-122).
Menghadapi pecahnya PD II, GAPI segera mengadakan rapat pleno di
Jakarta yang dilaksanakan pada hari Selasa siang, tanggal 19-20 September 1939.
Rapat pleno tersebut di hadiri oleh perwakilan dari Gerindo, Persatuan Minahasa,
Partai Islam Indonesia, Persatuan Partai Katholiek Indonesia, Parindra,
Pasoendan, dan PSII. Adapun latar belakang dari diadakannya rapat pleno tersebut
adalah :
a). Dalam pandangan internasional, ada usaha yang bisa mengancam keamanan
pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Indonesia.
b). Hal tersebut telah mempengaruhi kerjasama antara masyarakat Indonesia dan
Belanda
c). Kerjasama ini bisa dilakukan dengan jalan memperbolehkan orang Indonesia
untuk mengurus negaranya sendiri.
Rapat tersebut menghasilkan suatu keputusan yang dikenal dengan
manifest GAPI. Adapun keputusan rapat pleno tanggal 19-20 September tersebut
antara lain adalah :
a). Anggota GAPI tidak akan ikut dalam usaha kemerdekaan, tetapi akan siap
untuk bekerjasama dengan organisasi lain di bawah pengawasan GAPI.
b). Pemerintahan sepatutnya membentuk sebuah dewan perwakilan yang angotaanggotanya di pilih oleh rakyat dan pemerintahan tersebut harus bertanggung
jawab kepada parlemen.
99
c). Jika permintaan nomer 2 tersebut dipenuhi dalam waktu yang telah di
tentukan, maka GAPI akan menganjurkan kepada rakyat agar mendukung
Belanda dengan sekuat tenaga.
d). Serta akan memberitahukan kepada segenap lapisan masyarakat dan kaum
pergerakan agar mendukung Belanda (L. M. Penders, 1977: 334-335).
Untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan, GAPI menyerukan agar
perjuangan GAPI di dukung oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Semua itu
disambut hangat oleh pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar
mengenai GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya
fasisme yang diuraikan secara khusus. Untuk mempropagandakan tujuan GAPI,
GAPI sendiri mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai puncaknya pada
tanggal 12 Desember 1939. Rapat-rapat umum tersebut dilaksanakan tidak kurang
dari 100 tempat di Indonesia. Seperti juga Petisi Soetardjo, aksi GAPI juga
mendapatkan rekasi pro dan kontra dari masyarakat. Fihak-fihak yang tidak setuju
dengan aksi-aksi GAPI antara lain adalah Penyedar, PNI Baru, dan Perkumpulan
Kristen Indonesia. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman yang
telah lalu, aksi yang sifatnya meminta-minta kepada Belanda tidak ada gunanya.
Sedangkan kebanyakan dari rakyat Indonesia, sangat bersemangat mendukung
seruan
Indonesia
Berparlemen
(Sartono
Kartodirdjo,
Marwati
Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 237).
Selanjutnya GAPI menrencanakan untuk mengadakan kongres yang
disebut “Kongres Rakyat Indonesia” (KRI). Kongres yang direncanakan itu
dilangsungkan di Jakarta pada tanggal 23-25 Desember 1939. Kongres ini selain
dihadiri oleh anggota-anggota GAPI juga dihadiri oleh perkumpulan-perkumpulan
ekonomi, sosial, budaya serta serikat-serikat sekerja. Pokok pembicaraan utama
dari kongres tersebut adalah untuk membicarakan diadakannya aksi Indonesia
Berparlemen (L.M.Sitorus, 1988: 79).
Kongres tanggal 23-25 Desember tersebut menghasilkan keputusan
antara lain adalah sebagai berikut:
100
a). Sejak 24 Desember 1939, kongres orang Indonesia telah menjadi badan yang
tetap.
b). Tujuannya adalah meningkatkan kebahagiaan dan kemakmuran bangsa
Indonesia.
c). Langkah pertama yang mendekati prestasi tersebut adalah membentuk atau
mendirikan parlemen Indonesia.
d). GAPI menjadi Lembaga Eksekutif dalam kongres tersebut.
e). Keanggotaanya terbuka untuk organisasi-organisasi dan partai politik.
f). Keputusan akan di ambil secara demokratis atau dengan mayoritas suara
(voting).
g). Rancangan program akan diwakilkan kepada komisi.
h). Dana akan di buka dan dana yang terkumpul akan digunakan untuk membiayai
kegiatan kongres.
i). Kegiatan untuk parlemen Indonesia akan dilanjutkan dibawah direksi GAPI
yang akan memberi instruksi umum sebagai tindakan yang akan diambil.
j). Bendera Sang Merah Putih dijadikan sebagai simbol persatuan.
k).Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Supratman menjadi lagu
kebangsaan.
l). Mengesahkan penggunaan bahasa Indonesia untuk mewakili keanekaragaman
bangsa (L. M. Penders, 1977: 336).
Menghadapi aksi Indonesia Berparlemen, pemerintah kolonial tetap
mengawasi segala gerak gerik kaum Nasionalis Indonesia, demi keselamatan
pemerintah jajahan. Sejak tanggal 1 Februari 1939, H. Marcella (Procereur
General) telah memberikan instruksi rahasia kepada polisi PID untuk mengawasi
gerak-gerik Gerindo. Pelaksanaan instruksi tersebut tidak hanya terbatas pada
Gerindo saja. Partai-partai politik lainnya seperti PSII dan Parindra juga
mengalami kesulitan dari pihak polisi PID. Selama tahun 1939, Parindra berkalikali mendapat peringatan dari fihak polisi PID berkenaan dengan rapat-rapat yang
diselenggarakannya. Bahkan dalam bulan Desember 1939, rapat Parindra di
Medan yang juga dihadiri oleh M.H Thamrin dibubarkan. Rapat Parindra dalam
101
bulan Januari di Bengkulu dan dalam bulan Februari di Cirebon mengalami
kesulitan dari fihak polisi. Sedangkan penasehat dalam negeri G. F. Pijper
mengenai Indonesia Berparlemen, mengemukakan pendapatnya kepada Gubernur
Jendral, bahwa GAPI tidak perlu diperingatkan, karena para pemimpinnya cukup
menyadari kegawatan situasi. Pijper tidak merasa perlu untuk menghalang-halangi
aksi Indonesia Berparlemen (Slamet Mulyono, 1986: 72).
Pada bulan Mei 1940, ketika tentara Jerman menyerbu negeri Belanda,
kaum nasionalis merasa bahwa fihak Belanda seharusnya berusaha untuk
bekerjasama dengan Indonesia dengan cara memberikan konsesi-konsesi politik
(Cahyo Budi Utomo, 1995: 166). Dalam kaitannya dengan masalah itu, maka
pada tanggal 9 Agustus 1940, GAPI kembali menyerukan tuntutan yang isinya
antara lain adalah sebagai berikut:
a). Di mulai dari asumsi.
1). Bahwa perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran rakyat hanya bisa dicapai
dan di pertahankan dengan kekuatan politik, demokrasi, dan social
demokrasi.
2).Dalam suasana dunia yang sedang mempertentangkan demokrasi dan
totalitas fasis, dibutuhkan usaha untuk mempertahankan dan mengalang
prinsip demokrasi dan untuk memperkenalkannya.
b). Menimbang.
1). Fakta bahwa Belanda dan Indonesia juga berperan dalam perang dari sisi
negara demokrasi.
2). Fakta ini menunjukkan bahwa kedua negara berperang untuk memenangkan
prinsip kebebasan berdemokrasi atau dengan cara-cara fasis.
3).Penggalangan prinsip demokrasi, meskipun untuk beberapa saat hanya
dalam hubungan untuk konstitusi Indonesia, akan meletakkan persahabatan
diantara Belanda dan Indonesia dalam konteks yang sebenarnya, dan dalam
keharmonisan berdasarkan obyektifitas perang.
4).Bahwa untuk berperan dalam sisi demokrasi adalah dalam persetujuan kaum
pergerakan Indonesia, dan akan segera diwujudkan seperti dalam manifesto
yang tercantum di atas.
102
5).Kemudian demokrasi dalam organisasi konstitusional Indonesia akan
membangun moral sebaik-baiknya, sebagai kekuatan untuk melawan
totalitas fasisime.
c). Mengumumkan
Untuk bekerjasama dan membicarakan dengan pemerintah dan partai-partai
politik dari semua kalangan atau kelompok di negara ini dan perintah untuk
mencapai demokrasi Indonesia yang sesungguhnya.
d). Mendesak pemerintah
Sebagai langkah pertama terhadap demokratisasi Gubernur dari negara menjadi
demokratisasi pemerintah, menjadi kekuatan yang berbahaya mengikuti bentuk
konstitusional
1). Sebagai tindak lanjutnya dengan memberikan parlemen yang penuh,
Volksraad harus di ubah menjadi parlemen, anggotanya dipilih dari dan
oleh pemilih dengan menggunakan sisitem pemilihan yang dijamin dengan
perwakilan yang adil dari penduduk yang beraneka ragam.
2). Transformasi kepala departemen menjadi menteri juga dimungkinkan
transformasi volksraad menjadi parlemen.
e). Seruan
untuk organisasi politik, social, dan budaya lain, untuk secepat mungkin
memberikan persetujuan dengan resolusi ini.
Sebagai pengusul Resolusi GAPI tanggal 9 Agustus 1940 tersebut adalah
R. Abikoesno Tjokrosujoso, R Sukardjo Wirjoranoto dan Adnaan Kapau Gani.
Resolusi tersebut di buat di sekretaris GAPI yang bertempat di Kwitang 12 Jakarta
(L. M. Penders, 1977: 338-339).
Tuntutan yang dilakukan dengan gigih tersebut dan atas usul dari
beberapa anggota volksraad mengenai perubahan ketatanegaraan di Hindia
Belanda, akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda berjanji akan
membentuk suatu komisi yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan yang
menjadi keinginan bangsa Indonesia (Cahyo Budi Utomo, 1995: 166)
Pada tanggal 14 September 1940, dibentuklah Comissie tot Bestudeering
Van Staatscrehtelijke Hervormingen (komisi untuk menyelidiki dan mempelajari
103
perubahan-perubahan ketatanegaraan). Komisi ini dikenal dengan nama Komisi
Visman. Dinamakan Komisi Visman karena diketuai oleh Dr. F. H. Visman.
Pembentukan komisi ini tidak mendapat sambutan baik dari anggota-anggota
volksraad. Begitu juga dari GAPI yang terang-terangan tidak menyetujui.
Ketidaksetujuan dari kalangan pergerakan,
umumnya berdasarkan pada
pengalaman akan komisi yang sejenis pada tahun 1918, yang tidak menghasilkan
apa-apa bagi perbaikan nasib rakyat Indonesia. Untuk mengindari ketidaksatuan
pendapat dalam menghadapi Komisi Visman, GAPI mengumumkan bahwa
anggota-anggota GAPI tidak dibenarkan memberikan pendapat secara sendirisendiri kepada Komisi. Kemudian GAPI mengambil sikap lunak setelah ada
undangan resmi dari Komisi Visman. Sementara itu beberpa anggota volksraad
mengajukan suatu mosi yang sifatnya lebih ringan yaitu keinginan untuk
mengadakan kerjasama antara pemimpin-pemimpin Indonesia dengan fihak
pemerintah Belanda (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro &
Nugroho Notosusanto, 1975: 239).
GAPI selanjutnya mengadakan konfernsi pada 10 Desember 1940.
Dalam konferensi tersebut diambil keputusan untuk menjelaskan lebih jauh
kepada masyarakat, keinginan-keinginan GAPI tentang hal Indonesia berparlemen
dan agar dipropagandakan oleh semua komite Indonesia Berparlemen yang telah
didirikan di seluruh Indonesia. Pekerjaan membuat rancangan penjelasan
diserahkan pada sekretariat GAPI yang terdiri dari Abikusno Cokrosujoso dari
PSII sebagai penulis umum; Dr. A. K. Gani dari Gerindo sebagai penulis kedua;
Sukardjo Wiryopranoto dari Parindra sebagai bendahara dengan dibantu oleh Dr.
Ratulangie dari Perserikatan Minahasa; Mr. Sartono dari Gerindo dan M. H.
Thamrin dari Parindra. Konsep rancangan ini diserahkan pada saat konferensi
GAPI tanggal 31 Januari 1941 (http//www.amanah,or,id/detail,php?id=617, 30
Juni 2006).
Pada konferensi GAPI tanggal 31 Jnuari 1941 tersebut, ditetapkan bentuk
pemerintahan Indonesia termasuk konsep parlemen Indonesia yang dinginkan.
Adapun bentuk rancangan yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
104
a). Bentuk dan susunan parlemen
1). Parlemen yang dimaksudkan oleh GAPI terdiri atas dua kamar yaitu kamar
pertama dan kamar kedua.
2). Yang boleh menjadi anggota kamar adalah warga negara (Staats burger,
laki-laki dan wanita).
3). Semua anggota dipilih :
(a). Anggota kamar pertama dipilih menurut cara yang akan ditentukan
kemudian, asal memberi perwakilan yang pantas dari semua golongan
dan aliran dalam masyarakat.
(b). Anggota kamar kedua dipilih oleh rakyat (warga negara).
4). Yang dimaksud dengan warga negara pada dasarnya meliputi apa yang
dinamakan rakyat Raja Belanda.
5). Pemilihan anggota-nggota kamar kedua dilakukan atas dasar perbandingan
jumlah suara dan berdaerah-daerah.
6). Hak memilih dilakukan secara umum dan langsung.
7). Hak memilih pada dasarnya adalah hak setiap warga negara.
8). Banyaknya anggota kamar pertama dan kamar kedua berturut-turut
sekurang-kurangnya 100 dan 200 anggota.
9). Parlemen adalah badan tetinggi untuk membuat Undang-Undang di dalam
negara.
10).Parlemen menetapkan segala peraturan yang mengenai kepentingan negara.
b). Susunan lain berhubung dengan Indonesia Berparlemen
1). Indonesia adalah suatu negara dengan seorang pemimpin negara.
2). Pemimpin negara itu mempunyai hak Veto dan tidak dapat dituntut atas apa
yang diperbuat oleh pemerintah.
3). Yang bertanggungjawab adalah menteri-menteri.
4). Kekuasaan untuk menjalankan Undang-Undang di tangan pimpinan negara.
5). Pimpinan negara mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri dengan
persetujuan parlemen.
6). Pemimpin negara dibantu oleh Badan Penasehat (Majelis Negara) yang
anggota-anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh pemimpin negara.
105
7). Indonesia dan Nederland merupakan suatu serikat negara-negara (Staten
Bond).
c). Daya upaya untuk mancapai Indonesia Berparlemen
1). Mengadakan perubahan-perubahan politik dengan maksud pembangunan
politik.
2). Langkah-langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah
(a). Pengangkatan seorang Indonesia menjadi Wakil Gubernur Jendral
(Gubernur Jendral Raja Muda).
(b). Pengangkatan seorang Indonesia menjadi Wakil Direktur pada tiap-tiap
Departemen.
(c). Pengangkatan lebih banyak lagi orang Indonesia yang duduk sebagai
anggota Dewan Hindia (Raad Van Indie).
(d). Mengadakan kamar rakyat disamping Dewan Rakyat yang ada.
(e). Mengadakan pemilihan anggota-anggota kamar Rakyat melalui
pemilihan yang bersifat umum dan langsung dengan cara perbandingan
jumlah suara dan berdaerah-daerah.
(f). Memberikan hak memilih dan dipilih untuk Kamar Rakyat kepada
semua Rakyat Raja Belanda di Indonesia (laki-laki dan wanita).
(g). Menunjuk pemilih-pemilih (laki-laki dan wanita) untuk mewakili orangorang yang buta huruf.
3). Dewan Rakyat dan Kamar Rakyat bersama-sama merupakan Badan
Perwakilan Rakyat.
4). Pemerintah dalam Badan Perwakilan Rakyat bersama-sama menjadi Self
Government Indonesia.
5). Self Government mengatur semua kepentingan negara.
6). Pemerintah Agung (di negara Belanda) dan Self Goverment Indonesia
menetapkan:
(a). Konstitusi, negara, pembangunan politik, pembangunan sosial, ekonomi
berdasarkan asas Demokrasi.
(b). Hubungan hukum antara Nederland dengan Indonesia dan negara lain.
106
7). Pembanguan politik itu hendaklah dilaksanakan dalam waktu lima tahun,
jika perlu dengan mengunakan Staat Noodrecht (hukum negara Istimewa,
tertinggi di waktu bencana) (S. Silalahi, 2001: 23-24).
Semua keinginan atau tuntutan tersebut disampaikan pada tanggal 14
Februari
1941
kepada
Komisi
Visman
sebagai
Memorandum.
Ketika
menyerahkannya, Abikusno (sekretariat GAPI) menerangkan bahwa tuntutan
tersebut didukung oleh lebih dari 21. 047 orang dan 246 perkumpulan dalam hal
menuntut Indonesia berparlemen. Hal ini suatu bukti bahwa perjuangan GAPI
merupakan perpanjangan tangan secara umum dari rakyat yang sangat
mendambakan pemerintahan Indonesia berdiri sendiri (Selfstandigheid) dan
sebagai jalan pertama untuk mewujudkannya adalah dengan menuntut Indonesia
Berparlemen (http//www.amanah,or,id/detail,php?id=617, 30 Juni 2006).
Untuk lebih mengefektifkan perjuangan GAPI, maka pada tanggal 14
September 1941,
Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang sudah ada di ubah
menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang dilaksanakan di Yogyakarta.
Majelis Rakyat Indonesia yang telah terbentuk, dipimpin oleh suatu badan yang
disebut Dewan Pimpinan yang terdiri dari wakil-wakil federasi yang besar seperti
GAPI (Federasi Organisasi Politik) yang diwakili oleh Abikusno Cokrosujoso,
Sukardjo Wirjopranoto, Oto Iskandar Dinata, Sartono, dan Kasimo; MIAI
(Federasi Organisasi-organisasi Islam) yang diwakili oleh Wachid Hasyim,
Wondomiseno, Dr. Sukiman, K.H. M. Mansur dan Umar Hubeish; P.V.P.N
(Federasi Organisasi Serikat-serikat Sekerja dan Pegawai Negeri) yang di wakili
oleh Suroso, Atik Soeardi, Mr. Hendromartono, Ruslan Wongsokusumo dan
Dryowongso (L.M.Sitorus, 1988: 81).
Pada tanggal 16 November 1941, diadakan pemilihan Pengurus Harian
Majelis Rakyat Indonesia, di mana Mr. Sartono di pilih sebagai Ketua, Sukardjo
Wiryopranoto sebagai Sekretaris dan Atik Suardi sebagai Bendahara. MRI
dianggap badan perwakilan segenap rakyat Indonesia yang akan mencapai
kesentosaan dan kemuliaan berdasarkan demokrasi. Kepentingan rakyatlah yang
107
harus didahulukan diatas kepentingan-kepentingan yang lain (S.Silalahi, 2001:
25).
Tidak lama setelah pembentukan badan baru tersebut, pada tanggal 8
Desember 1941 terdengar berita bahwa Jepang telah mengadakan penyerangan
terhadap Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour di Kepulauan
Hawai. Dengan penyerangan ini dinyatakan bahwa Perang Pasifik yang
merupakan bagian dari Perang Dunia II telah meletus. Dalam Perang Dunia II,
fihak Belanda masuk dalam blok sekutu dan Jepang masuk dalam blok Fasisme
(Nazi). Kemudian fihak rakyat Indonesia pada tanggal 13 Desember 1941
dianjurkan agar berdiri di belakang pemerintah untuk mempertahankan negara
Indonesia. Anjuran itu datang dari pimpinan harian Majelis Rakyat Indonesia,
yaitu MR. Sartono dan Sukardjo Wiryopranoto. Anjuran tersebut menimbulkan
perselisihan pendapat diantara kaum peregerakan. Pimpinan PSII (Abikusno
Tjokrosujoso) kemudian keluar dari MRI dan GAPI dengan alasan, Sartono dan
Sukardjo Wiryopranoto telah bertindak sendiri tanpa sepengetahuan anggotaanggota lain. Namum perselisihan itu tertutup dengan keberhasilan Jepang dalam
mengalahkan kekuatan pasukan-pasukan sekutu yang bertahan di Asia Tenggara.
Jepang dapat merebut dengan cepat Malaka dan Singapura yang dipertahankan
oleh Inggris. Indo Cina yang dipertahankan oleh Perancis sudah terlebih dahulu
jatuh ke tangan Jepang. Kemudian Birma dan Thailand yang dipertahankan oleh
pasukan Gabungan Sekutu (A-B-C-D), juga dapat direbut oleh Jepang. Adapun
Filipina yang dipertahankan oleh pasukan Amerika di bawah pimpinan Jendral
Mac Arthur hampir secara keseluruhan dapat direbut oleh Jepang. Dalam keadaan
demikian, Hindia Belanda hanya menunggu waktu saja, kerana pemerintah
kolonial Belanda tidak membangun pertahanan dan kekuatan militer yang
modern. Oleh karena itu, begitu Jepang masuk ke Indonesia, Belanda tidak dapat
berbuat banyak dan dalam waktu satu minggu saja, Jepang dapat menghancurkan
pertahanan di Indonesia. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah
kalah tanpa syarat kepada Jepang (Sudiyo, 1997: 90-91).
Seminggu sebelum kedatangan Jepang tersebut, Komisi Visman dapat
menghasilkan laporan tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan dari rakyat
108
Indonesia. Adapun hal-hal yang dapat dilaporkan oleh Komisi Visman adalah
sebagai berikut:
a). Kelompok yang menginginkan Statenbond antara Indonesia dan negeri
Belanda dengan ketentuan:
1). Kepala pemerintahan Hindia Belanda terdiri dari dua orang, seorang
Belanda dan seorang Indonesia. Kedua kepala Pemerintahan tersebut
diangkat melalui pemilihan.
2). Menteri-Menteri bertanggungjawab kepada parlemen.
3). Raad Van Indie, semata-mata hanya sebagai badan penasehat.
b). Kelompok-kelompok yang menginginkan Dominion Status model Inggris.
c). Kelompok-kelompok yang menginginkan Dominion Status model lain.
d). Kelompok yang menginginkan otonomi daerah.
Komisi Visman tidak pernah menjelaskan kelompok yang mana dari masyarakat
yang menginginkan berbagai status seperti yang dilaporkan tersebut. Hal ini
sengaja dilakukan untuk memberi kesan bahwa bangsa Indonesia belum
mempunyai pandangan yang sama tentang masa depan Indonesia. Namun karena
laporan tersebut dilaporkan seminggu sebelum Jepang datang, maka laporan
tersebut tidak ada gunanya dan tidak jelas nasibnya (S.Silalahi, 2001: 25-26).
109
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A.
1.
Kesimpulan
Latar belakang dicetuskannya Petisi Soetardjo antara lain adalah karena
terjadinya krisis malaise yang melanda dunia yang terjadi pada awal tahun
ke tiga puluhan. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda terpaksa
melakukan penghematan secara besar-besaran dengan cara melakukan
penurunan upah dan pemecatan kaum buruh. Keadaan ekonomi yang sangat
buruk di Hindia Belanda sangat dikawatirkan pemerintah akan digunakan
oleh pemimpin pergerakan untuk menghasut dan mempengaruhi rakyat
melakukan berbagai pemberontakan. Untuk mencegah hal itu, pemerintah
mulai
menindak
partai-partai
yang
non
kooperatif
dengan
cara
memberlakukan beberapa peraturan pemerintah yang antara lain Pasal-pasal
Karet dalam KUHP (pasal 153 bis, pasal 153 ter, pasal 161 bis, pasal 171
bis, dan pasal 169), Exorbitante Rechten, Penindasan hak berserikat,
Muilkorf-Circulaire (Sikuler Pemberangusan), PID (Politiek Inlichtingen
Dienst) dan sebagainya. Penindasan-penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum pergerakan, sangat terasa ketika
Indonesia berada di bawah pimpinan Gubernur Jendral De Jonge. Gubernur
Jendral De Jonge memerintah dengan keras dan rekasioner, sehingga
pergerakan nasional menjadi lumpuh. Keadaan seperti itu ditambah dengan
keadaan konstelasi dunia yang sangat mengkhawatirkan, dimana muncul
Fasisme Italia, Nazizme Jerman, dan Militerisme Jepang yang semakin
menonjolkan peranannya dipanggung politik Nasional dan Internasional.
Berdasarkan kondisi di atas, maka Soetardjo Kartohadikoesoemo berinisiatif
untuk mengajukan sebuah usul kepada pemerintah kolonial yang didasarkan
109
110
pada artikel 1 dalam Grondwet Voor Het Koninkrijk Der Nederlanden yang
dinamakan sebagai Petisi Soetardjo.
2.
Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia agar tuntutan dalam Petisi
Soetardjo dipenuhi pertama-tama adalah dengan mengajukan Petisi
Soetardjo pada sidang Volksraad yang dilaksanakan pada tanggal 9 Juli
1936. Tanpa pemilihan suara dalam Volksraad, Petisi Soetardjo akhirnya
diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus. Sidang khusus untuk
membicarakan Petisi Soetardjo dilaksanakan pada tanggal 17 sampai dengan
29 September 1936. Hasil dari sidang khusus tersebut adalah 26 orang
anggota Volksraad menyetujui Petisi Soetardjo dan 20 orang lainnya
menolak. Dengan begitu berarti Petisi Soetardjo telah menjadi Petisi
Volksraad. Pada tanggal 1 Oktober 1936, Petisi Soetardjo kemudian
dikirimkan pada Ratu, Staten General, dan Menteri Jajahan di negeri
Belanda. Sambil menunggu keputusan disetujui atau ditolaknya Petisi
Soetardjo, maka dibentuklah Central Comite Petisi Soetardjo baik di
Indonesia maupun di Belanda. Sedangkan di daerah-daerah, dibentuk Subsub Comite Petisi Soetardjo. Dengan bantuan dari pers-pers nasional,
Central Comite Petisi Soetardjo maupun Sub-sub Comite Petisi Soetardjo
baik di Nederland maupun di Indonesia selalu melakukan kampanyekampenye atau propaganda-propaganda untuk mengumpulkan pendukung
Petisi Soetardjo Akhirnya pada tanggal 16 November 1938 datanglah
keputusan dari Kerajaan belanda Nomor 40 yang menyatakan bahwa Petisi
Soetardjo di tolak oleh Ratu Belanda. Alasan penolakan adalah karena
bangsa Indonesia dianggap belum matang untuk memikul tanggung jawab
memerintah Indonesia sendiri. Surat keputusan pemerintah kerajaan Belanda
tersebut disampaikan kepada sidang Volksraad pada tanggal 29 November
1938.
3.
Penolakan pemerintah terhadap Petisi Soetardjo telah menimbulkan
pengaruh terhadap pergerakan nasional Indonesia yang antara lain adalah
semakin menumbuhkan rasa solidaritas dan rasa persatuan diantara kaum
111
pergerakan. Rasa persatuan yang semakin besar tersebut kemudian
diwujudkan dengan pembentukan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) pada
tanggal 21 Mei 1939. GAPI yang sudah terbentuk tersebut dipimpin oleh
Mohammad Husni Thamrin. Semua partai nasionalis Indonesia yang utama
seperti Parindra, PSII, Gerindo, PII, dan Pasundan, bersatu dalam federasi
politik tersebut. Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan
nasib sendiri dan persatuan nasional. Tujuan GAPI (Gabungan Politik
Indonesia)
kemudian
dirumuskan
dalam
semboyan
“Indonesia
Berparlemen”. GAPI dengan segera melancarkan aksi-aksi yang menuntut
agar diberikan suatu perlemen yang sesungguhnya kepada Indonesia. Untuk
menanggapi tuntutan GAPI, maka pada tanggal 14 September 1940,
pemerintah kolonial Belanda membentuk sebuah komisi yang bertugas
menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan. Komisi
tersebut dikenal dengan sebutan Komisi Visman. Pada tahun 1942, Komisi
Visman akhirnya dapat menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang
berbagai tuntutan dan harapan dari rakyat Indonesia, tetapi laporan tersebut
diterbitkan beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke
Indonesia. Sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya.
B.
Implikasi
1. Implikasi Metodologis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode sejarah. Teknik
pengumpulan data peneliti menggunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka.
Pada tahap pengumpulan data, peneliti mengalami kesulitan dalam menemukan
sumber-sumber primer karena adanya keterbatasan dana. Penulis juga mengalami
kesulitan karena sumber-sumber primer yang ditemukan kebanyakan masih
menggunakan bahasa asing yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa
112
Indonesia. Sumber-sumber tersebut ada sebagian yang diterjemahkan oleh penulis
sendiri, akan tetapi mengingat banyaknya sumber primer yang berbahasa asing,
apalagi ada bahasa yang benar-benar tidak dimengerti oleh penulis yaitu bahasa
belanda,
maka
penulis
terpaksa
meminta
bantuan
orang
lain
untuk
menterjemahkannya,. Padahal sumber-sumber tersebut akan lebih baik bila
diterjemahkan oleh penulis sendiri.
2. Implikasi Teoritis
Praktek kolonialisme telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi
rakyat Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Akibat
adanya kolonialisme maka mulai timbul rasa nasionalisme pada diri bangsa
Indonesia. Dengan tumbuhnya rasa nasionalisme tersebut, maka masa pergerakan
nasional Indonesia di mulai. Rasa nasionalisme tersebut diwujudkan dengan
melakukan perjuangan-perjuangan menuju Indonesia merdeka. Untuk mencapai
Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berjuang melalui dua jalan yaitu kooperasi
dan non kooperasi.
Pada tahun 30-an, kaum pergerakan yang berjuang dengan non kooperasi
dilumpuhkan. Oleh karena itu, maka kaum pergerakan yang berjuang dengan
kooperasilah yang lebih berperan penting. Pada masa ini kaum pergerakan lebih
banyak berjuang melalui Dewan Rakyat (Volksraad). Salah satu pejuangannya
yaitu dengan mencetuskan Petisi Soetardjo. Penolakan Petisi Soetardjo telah
mempertajam konflik di antara pemerintah dengan kaum pergerakan dan
mempererat rasa persatuan di kalangan bangsa Indonesia sendiri. Hal itu
sebenarnya sangat merugikan pemerintah kolonial Belanda, apalagi pada saat-saat
perang dunia sedang berlangsung dengan sengit. Sikap pemerintah kolonial
Belanda yang tidak mau mengerti cita-cita (aspirasi) rakyat Indonesia sangat
mengecewakan bangsa Indonesia. Kekecewaan itu telah membuat bangsa
Indonesia merasa tidak perlu melakukan pembelaan terhadap Belanda bila ada
113
serbuan dari luar dan meyebabkan sebagian rakyat Indonesia menyambut baik
kedatangan Jepang.
3. Implikasi Praktis
Secara praktis, penelitian ini telah memunculkan suatu pengertian bahwa
pada masa pergerakan nasional, sudah terbentuk sebuah badan yang berfungsi
sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat yang dinamakan Volksraad (Dewan
Rakyat). Namun, pada kenyataanya badan tersebut tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya sumber yang
menyatakan bahwa sejak terbentuknya Volksraad sampai diajukannya Petisi
Soetardjo, Volksraad hanya digunakan untuk membahas Anggaran Belanja
Negara saja. Walaupun begitu dapat diketahui bahwa kaum pergerakan baik yang
duduk didalam Volksraad maupun di luar Volksraad, senantiasa berjuang hanya
demi kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadinya
masing-masing. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya sumber yang
menyebutkan bahwa dalam hal cara maupun taktik perjuangan, bangsa Indonesia
memang menempuh cara yang berbeda-beda, namun tujuanya tetap sama yaitu
kemerdekaan Indonesia. Selain itu belum pernah ditemukan satu sumberpun yang
menyatakan bahwa kaum pergerakan berjuang demi kepentingan diri sendiri
lebih-lebih hanya demi mendapatkan uang atau pangkat yang lebih tinggi.
Implikasi praktis dari hasil penelitian terhadap pendidikan adalah
sebagai seorang pemimpin, agar dapat memberi pelajaran tentang seorang
pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang mengutamakan
kepntingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongannya.
C.
1.
Saran-saran
Bagi mahasiswa lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan tentang
Petisi Soetardjo, supaya mencari sumber-sumber primer yang lebih banyak
114
lagi, disamping yang telah ditemukan oleh penulis. Dan apabila menemukan
sumber-sumber yang masih berbahasa asing, sebaiknya diterjemahkan
sendiri.
2.
Bagi bangsa Indonesia khususnya wakil-wakil rakyat yang duduk dalam
Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan dapat menghargai dan mewarisi nilainilai perjuangan bangsa seperti nilai-nilai yang diwariskan oleh Soetardjo
Kartohadikusumo dan kawan-kawannya yaitu dengan menjadi wakil rakyat
yang baik yang lebih mementingkan kepentingan rakyat dari pada
kepentingan pribadi maupun golongannya.
115
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Ali Sastroamidojo. 1974. Tonggak-tonggak Di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta.
Anhar Gonggong. 2001. Panduan Parlemen Indonesia (Parlemen Dalam Konteks
Sejarah, 1918-1945: Pergumalan Mencari Bentuk Dan Pelaksanaan
Demokrasi). Jakarta: Yayasan API.
Ayub Ranoh. 1999. Kepemimpinan Kharismatis. Jakarta: PT. BPK Gunung
Mulia.
Badri Yatim. 1999. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Daliman. 1971. Norma-norma Dasar Penelitian Dan Penulisan Sejarah.
Surakarta: FKIP Sebelas Maret.
Diamond, Larry & Plattner, March F. 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik Dan
Demokrasi. Bandung: ITB.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana.
Ensiklopedi Indonesia 5. 1984. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve
Ensiklopedi Indonesia 7. 1984. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus 3. 1982. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Ensiklopedi Nasional Indonesia 13. 1990. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Ensiklopedi Nasional Indonesia 14. 1990. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Ensiklopedi Popoler Politik Pembangunan Pancasila. 1991. Jakarta: Yayasan
Cipta Loka Caraka.
Ensiklopedi Umum. 1990. Yogyakarta: Kanisius.
Gottschalk, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
116
Hadari Nawawi. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. 2004. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ichlasul Amal & Aramaidy Armawi. 1998. Regionalisme, Nasionalisme, Dan
Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ingleson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasional Tahun 19271934. Jakarta: LP3ES.
Kahin G.M.T. 1995. Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia. Surakarta: UNS
Press.
Kansil, C.S.T & Julianto. 1984. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Kartini Kartono. 1976. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar
Maju.
Koentjaraningrat. 1983. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarata: Yayasan Benteng
Budaya.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke-20 I, Dari Kebangkitan Nasional Sampai
Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.
Mohammad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Nyoman Dekker. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Diawali
Kebangkitan Nasional Pada Permulaan Abad XX. Malang: IKIP
Malang.
Penders, Chr. L. M. 1977. Indonesia Selected Documents On Colonialism And
Nationalism 1830-1842. Quensland: University Of Queensland Press.
Pringgodigdo. 1964. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Pustaka
Rakyat.
Purnama Suwardi. 2000. Sejarah Indonesia Modern Dalam Dialog. Jakarta:
Cakrawala.
117
Ricklefs. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Riyanta. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional, Politik Kolonial Belanda Abad Ke
20. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Roesland Abdulgani. Nasionalisme Asia. Jakarta: Parpantja.
Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Posponegoro & Nugroho Notosusanto.
1975. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Depdikbud.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
.1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta:
PT Gramdia Pustaka Utama.
.2000. 100 Tahun Nusantara (Perhimpunan Indonesia Dan
Manifesto Politik). Jakarta: Kompas.
Silalahi, S. 2001. Dasar-dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sitorus, L.M. 1988. Sejarah Pergerakan Dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta:
Dian Rakyat.
Slamet Mulyono. 1986. Kasadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai
Kemerdekaan 2. Jakarta: Idayu Press.
Sudiyo. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dari Budi Utomo Sampai
Dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: Depdikbud.
Suharsimi Arikunto. 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai
Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhartoyo Hardjosatoto. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu
Analisa Ilmiah. Yogyakarta: Liberty.
Sumitro Djojohadikusumo. 1989. Kredit Rakyat Di Masa Depresi. Jakarta:
LP3ES.
118
Susanto Tirtoprodjo. 1986. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT.
Pembangunan.
Suwidji Kartonagoro. 1980. Belajar Membaca Sejarah Nasional Indonesia.
Surakarta: Yayasan Pendidikan Surakarta Hadiningrat.
Surat Kabar Dan Majalah:
“Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 10. Pemandangan. 1
“Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 11. Pemandangan. 1
“Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 13. Pemandangan. 1
“Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 14. Pemandangan. 1
“Pidato Toean Soetardjo”. 1936. Juli 15. Pemandangan. 1
“Petitie-Voorstel Soetardjo CS, Indonesia Zelfstanding Dalam Kerajaan
Nederland”. 1936. Juli 24. Soeara Katholiek.1
“Sekeliling Petitie Soetardjo Yang Perloe Dikerjakan”. 1936. Oktober 30. Soeara
Katholiek. 1
“Gerindo Dan Petitie Soetardjo”. 1937. Oktober 5. Pemandangan. 2
“Central Comite Petitie Soetardjo”. 1937. Oktober 6. Pemandangan. 2
“Petitie Soetardjo, Makin Lama Makin Mendapat Perhatian”. 1937. Oktober 7.
Pemandangan. 1
“Perhatian Terhadap Petitie Soetardjo Makin Mendalam”. 1937. Oktober 8.
Pemandangan. 1
“Sub Comite-Petitie Soetardjo Di Bogor” 1937. Oktober 9. Pemandangan. 2
“Sekeliling Petisi Soetardjo”. 1937. November 22. Soeara Katholiek. 2
“Gerakan Petitie-Soetardjo”. 1937. November 22. Pemandangan. 1
“Rapat Ramai Gerakan Petitie Soetardjo Menarik Perhatian Dan Memuaskan”.
1937. November 29. Pemandangan. 2
“Petisi Soetardjo Dalam Sejarah Perdjoangan Kemerdekaan Indonesia II”. 1937.
Desember 28. Pemandangan. 6
119
“Perdjoeangan Politiek Petitie Sotardjo, Ditolak Oleh Seri Ratoe” . 1938.
Desember 9. Soeara Katholiek. 1
“Petitie Soetardjo”. 1938. Desember 10. Penyebar Semangat. 19
“Perdjoeangan Politiek, Penolakan Petitie Soetardjo”. 1938. Desember 23.
Soeara Katholiek. 1
“Centraal Comite Petitie Soetardjo”. 1938. Desember 31. Penyebar Semangat. 19
Abdurrahman Suryomihardjo. 1981. Oktober. “Mohammad Hoesni Thamrin”.
Pusara. 481.
Internet:
Amin Rahayu. http//www. Amanah. Or.id/detail. Php? Id=617, 30 Juni 2006.
Download