Rifcy Zulficar / 21793

advertisement
Rifcy Zulficar
Dalam tugas ini saya mengangkat Kekerasan berbasis Agama, pertama-tama kalau anda membaca tulisan Ini, hampir
seluruhnya adalah beberapa kekecewaan saya, yang menurut saya sendiri hal itu harus segera di ubah. Tulisan ini tidak
bermaksud untuk menjelekan Agama, hanya mencoba memaparkan apa yang menurut saya kurang berkenan di hati saya.
Agama saya sendiri adalah Islam, meski saya sendiri bukan seorang Muslim yang taat, tapi alhamdulilah saya
mendapatkan pelajaran mengenai agama islam dengan jelas dan disiplin dari keluarga saya. Yang ingin saya komentari pada
agama saya, khususnya pada bagian kekerasan yang berbasis agama, pertama adalah pada konteks arti Jihad yang sering di
salah gunakan dalam terorisme dan kedua adalah masalah seperti pada kaum Ahmadiyah.
Pertama pada konteks kata Jihad yang sering di gunakan oleh beberapa oknum yang sering mengatakan Jihad demi
melawan apaaa gitu? (sebenarnya agak kurang jelas apa yang mereka lawan) selama ini saya sering agak merasa risih dari
Jihad yang mereka kemukakan dan Jihad yang sering saya terima, pada Jihad yang sering saya terima, Jihad dilakukan apabila
ada suatu perang melawan agama, dan ancama perang itu jelas sekali, kedua Jihad sendiri biasanya di dahului dengan cara
Diplomasi, seperti mengirimkan utusan, surat, apapun yang harusnya menunjukkan iktikad baik terlebih dahulu, kemudian pada
saat Jihad, orang yang berjihad sendiri dari yang saya pelajari diharamkan membunuh wanita, anak-anak, merusak fasilitas
umum seperti bangunan, merusak walau 1 kuntum bunga saja, dan orang yang diperbolehkan untuk di buuh adalah musuh
yang benar benar dalam keadaan berperang, serta perang itu sendiri Frontal serta nyata di depannya. Bisa dilihat sendiri Jihad
yang dilakukan kelompok teroris tersebut, melanggar point tertentu yang telah di kemukakan. Seperti saya sendiri tidak melihat
adanya suatu ancaman secara frontal dan nyata, lalu hampir pelaku bom bunuh diri itu sendiri ataupun teror bom lainnya, selalu
dan selalu, merusak bagunan, fasilitas umum, membunuh wanita, membunuh anak-anak dan alam, dan saya sendiri hampir
selalu heran dengan pembelaan yang pernah mereka lontarkan, hampir kebanyakan mengawang tanpa dasar yang kuat.
Kedua maslaah perbedaan pendapat dalam agama dalam kasus ini ada suatu aliran pemahaman Islam yang bernama
Ahmadiyah, beberapa saat yang lalu berita-berita tentang pengerusakan terhadap kaum Ahmadiyah sendiri terpampang di
korang dan masuk dalam berita hotline televisi, yang saya sesalkan kenapa beberapa oknum menjudge kalau Ahmadiyah itu
sesat dan langsung saja melaksanakan pengerusakan beramai-ramai, bukankah harusnya lebih baik melakukan dialog
langsung saja lebih dulu? Daripada melakukan kegiatan membabi buta seperti itu.
Afiq Iskandar
Ku Klux Klan (KKK) adalah nama dari sebuah organisasi di Amerika Serikat yang rasis, dengan menganggap bahwa orang kulit
putih adalah golongan terbaik. KKK yang didirikan pada 1866 mempromosikan ide-ide white supremacy (supremasi kulit putih),
anti-semit, anti-Katolik, anti-Yahudi dan homophobia. Organisasi ini sering memakai terorisme, kekerasan, tindakan intimidasi,
seperti pembakaran salib dan penggantungan (lynching) untuk menekan terutama orang kulit hitam dan orang-orang kulit
berwarna lainnya.
Sebagai organisasi yang rasis, ideologi KKK adalah bisa dilihat dari pernyataan berikut: "kami akan membantai musuh-musuh
kami ketika perang untuk melindungi ras kulit putih dimulai." Ini merupakan pandangan bahwa ras kulit putih menduduki tempat
teratas pada garis evolusi, sedangkan ras lainnya diletakkan lebih rendah di bawah, yang menyebabkan mereka mendapatkan
perlakuan tidak manusiawi.
Meskipun telah dibubarkan oleh pemerintah AS, banyak gerakan-gerakan baru yang bermunculan di AS yang pada dasarnya
sama saja dengan KKK. Dibawah ini ada isi dari pidato salah satu pemimpin organisasi white supremacy di AS:
 Mengutarakan persamaan ras adalah penghinaan untuk ras kulit putih.
 Memandang hina dan membenci penyatuan, perkawinan antarras, dan membanjirnya kedatangan ras bukan kulit putih ke
Amerika.
 Perkawinan antarras adalah dosa terhadap masyarakat kulit putih.
 Gerakan Hak-Hak Sipil adalah keliru bagi kulit putih. Hal itu akan merugikan kepentingan kulit putih (merusak “kemurnian
kulit putih”).
 Ras kulit putih dalam hal kecerdasan lebih unggul dari semua ras lainnya.
 Saat kemenangan kulit putih tiba, saat kulit putih berkuasa di dunia ini seperti yang diinginkan, seperti yang akan kita (kulit
putih) alami, pastilah kita akan memberi pertolongan terbaik untuk ras kita, yang terpandai di antara ras kita untuk memiliki
keturunan terbanyak.
 Masa depan akan menjadi masa ketika kita memiliki tanah yang putih dan kita akan mengusir ras lainnya.
 Mereka (orang kulit berwarna) akan didorong dengan paksa ke dalam perahu pengungsi, dengan sah menurut hukum!
Itulah yang akan menjadi hukum.
 Ras bukan putih sama sekali tidak ada artinya. Jika mereka (orang kulit berwarna) tergeletak dalam kolam darah, itu pun
sama sekali tak ada artinya. Apa yang saya pedulikan adalah ras dari keluarga saya sendiri.
 Otak yang membuat ras berbeda. Tiap ras memiliki bentuk dan ukuran otak yang berbeda.
 Tentang mengapa kebanyakan pembunuh berantai berkulit putih: “Orang kulit putih merencanakan apa yang mereka
kerjakan. Orang kulit putih sungguh-sungguh berpikir. Kebanyakan kejahatan yang dilakukan orang kulit hitam merupakan
tindakan spontan. Orang kulit putih berpikir tentang kejahatan yang akan dilakukannya. Orang kulit putih terlibat jenis
kejahatan tersebut karena hal tersebut memerlukan banyak perencanaan.”
Kata-kata diatas dengan jelas mengungkapkan cara berpikir anggota organisasi rasis ini. Jenis mental seperti inilah yang
memungkinkan bahkan tindakan pembunuhan berantai pun menjadi sumber kebanggaan dan kebiadaban dibenarkan atas
nama keunggulan ras.
Ainur Rohmah
Ritual atau teks yang melestarikan kekerasan;
1. Ritual
 Foot Binding (chánzú) adalah budaya menekuk kaki yang dilakukan oleh wanita-wanita di China dan telah dipraktekkan
hampir 1000 tahun. Wanita muda menekuk telapak kaki mereka -dengan kain dan dibungkus sepatu kecil sebesar
bungkus rokok- sedemikian rupa untuk menghambat pertumbuhan kaki. Tujuan dari praktek chánzú ini adalah supaya
kakiperempuan menjadi kecil dan indah, juga berbentuk seperti bunga teratai. Biasanya selalu dilakukan sejak seorang
perempuan berumur 5-6 tahun. Metode ini tetap menyeramkan karena chánzú punya efek samping yaitu perempuan
bisa menjadi lumpuh dan tidak bisa berjalan secara maksimal. chánzú juga sebagai tanda status sosial, yaitu hanya
perempuan kayalah yang mampu ber-chánzú, karena mereka bisa hidup dilayani, menjadi unproductive dengan kaki
yang tidak maksimal. Menurut mereka kaki kecil dan mungil tersebut adalah simbol keseksian dan kecantikan wanita.
 Di daerah Bokondini (Papua), apabila ada orang meninggal jenazah dibaringkan di halaman depan rumah, dan para
kerabat datang membawa babi, ubi jalar dan makanan lain untuk disumbangkan. Kemudian mayat didudukkan pada
kursi darurat terbuat dari kayu dan diangkat ke tempat pembakaran. Sebelum dibakar famili terdekat memotong jari
dan telinga sebagai tanda berkabung, dan nanti dikumpulkan bersama-sama abu jenazah yang dibungkus dengan kulit
kayu, kemudian digantung.
2. Teks
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditempakan kepadamu. Tetapi
jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar”
-An Nahl 126-
Riyanto Lesmana
"Every religion contains, in varying degrees, elements that contribute to peace or war.
For the sake of world peace, dialogue within religions and among them must strengthen the peacemaking elements within
them."
(Johan Galtung, founding father of the International Peace Research Institute)
Laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, kelas atas vs kelas bawah, kulit putih vs kulit berwarna,
suku/bangsa/negaraku lebih baik dari suku/bangsa/negaramu, agamaku yang paling benar daripada agamamu. Siapa yang
memutuskan, apakah ajaran agama?
Pada dasarnya agama membiarkan kekerasan berlangsung secara terus menerus, baik berupa kekerasan langsung,
struktural, maupun budaya. Kekerasan langsung misalnya, jihad yang dilakukan oleh kaum muslimin yang seringkali berupa
pemboman bunuh diri sehingga orang-orang tak berdosa menjadi korban. Kemudian pada Perang Salib 1097 dimana umat
Kristen (ksatria suci) yang menganggap dirinya sebagai orang terpilih membunuh anak-anak dan perempuan setibanya di
Jerusalem. Agama Kristen yang disebarkan ke beberapa belahan dunia ini pun disebarkan dengan jalan tidak damai (baca:
pemaksaan) yang berujung pada perang, dll.
Sementara itu, kekerasan struktural bisa dikategorikan secara vertikal (represi secara politik dan ekonomi) dan horizontal
(pengasingan). Sebagai contoh di Timur Tengah dimana masih ada sebagian negara yang memilih wakil rakyatnya secara tidak
demokratis dengan anggapan bahwa penguasa bisa dipilih karena masih keturunan nabi (Yordania) dan keturunan raja (Arab
Saudi). Hal ini sangat bisa meruncing kepada kelangkaan legitimasi dan menyebabkan kelompok minoritas (Arab non-Islam dan
non-Arab Islam) merasakan adanya tirani di sistem pemerintahan. Sistem konsosasional di Libanon yang membagi porsi
pemerintahan berdasarkan agama pun menyebabkan ketimpangan dan konflik sangat mungkin terjadi. Agama Hindu dengan
sistem kasta yang sangat membatasi pemeluknya untuk berkehidupan dan tidak membuka ”kesempatan” sama sekali
pemeluknya untuk naik ”pangkat” kasta. Begitu pula dengan agama Kristen yang dulu sempat menjual surat penebusan dosa
(indulgensia) yang sangat bernuansa ekonomis.
Pada kekerasan budaya, agama Islam misalnya sangat membatasi peranan wanita (tidak boleh menjadi imam, kelaminnya
harus di sunat, dll yang sebenarnya tidak terdapat di Al Quran) dan melarang kawin antar agama. Agama hindu dengan tradisi
ritual persembahan korban (manusia) seperti menceburkan diri ke api dan laut. Agama Budha yang sering mubazir meletakkan
sesajen buah-buahan dan makanan ke patung Budha yang jelas-jelas patung tersebut tidak akan memakannya. Bukankah akan
lebih baik jika sesajen itu diberikan kepada saudara kita yang kelaparan?
Walaupun begitu, banyak ajaran-ajaran agama yang menganjurkan manusia untuk berperilaku baik. Namun ajaran tersebut
menjadi bias karena tergantung dari diri manusia itu sendiri untuk mentaatinya. Misalnya tradisi Ahimsa di India yang
mengusung prinsip anti kekerasan; tradisi Budha yang bernuansa cinta damai; ajaran Islam, Yahudi dan Kristen yang saling
menghormati (berdasarkan perjanjian Madinah), dan menyayangi orang jompo serta melindungi anak-anak dan wanita ketika
perang berlangsung; ajaran Katolik yang menghormati hari-hari tertentu agar aman dari perang, dll.
Lantas bagaimanakah caranya menghindari kekerasan berbasis agama? Menurut saya yang terpenting adalah bagaimana
peran para pemimpin agama mensosialisasikan pentingnya kebersaman dan perdamaian dunia dengan cara dialog inter dan
antar agama.
Cesty Nur Tribuana
Budaya Patriarki Sebagai Kekerasan Kultural
Dalam kehidupan sehari – hari, kita sering menemui banyak tindak kekerasan di sekitar kita. Namun, terkadang kita tidak
menyadari bentuk – bentuk kekerasan tersebut. Yang kita sadari hanya kekerasan secara langsung, yang menyangkut fisik.
Tetapi di sisi lain, kita kurang menyadari adanya kekerasan struktural maupun kekerasan kultural.
Contoh kekerasan kulutral antara lain adalah budaya patriarki. Dalam budaya tersebut, wanita seolah - olah menjadi warga
nomor dua di tengah – tengah komunitas masyarakat. Dalam hal ini, gender seseorang seolah menjadi semacam image bagi
kepribadian orang tersebut. Di antara pria dan wanita seolah terdapat jurang pemisah.
Budaya patriarki tidak hanya membawa kerugian bagi kaum wanita saja. Tanpa disadari, kaum pria juga menderita kerugian
yang tidak kalah besarnya dengan kaum wanita. Salah satu contohnya adalah pernyataan yang menyebutkan bahwa seorang
wanita hanya bertugas di rumah, mengurus anak dan suami, serta tidak boleh bekerja. Jika suami mampu untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangganya, maka hal itu tidak menjadi masalah. Namun jika suami tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah
tangganya, hal itu tentu akian menimbulkan masalah yang pelik, karena sang istri tidak boleh bekerja dan mengembangkan
karir.
Budaya patriarki mungkin memang memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk menjaga keseimbangan di dalam keluarga. Namun
di zaman seperti saat ini, budaya tersebut sudah tidak terlalu relevan lagi, di tengah tuntutan zaman yang semakin maju.
Sekarang ini memang masih diperlukan keseimbangan peranan di dalam masyarakat. Tetapi keseimbangan tersebut tidak
harus dalam hal pemisahan gender. Antara pria dan wanita memang tidak sama, tapi bukan berarti mereka tidak memiliki
kedudukan yang setara dalam suatu komunitas.
Aldila Armitalia
JIHAD, SISI BURAM KESALAHAN UMAT ISLAM
Sekarang ini, sering kita dengar kekerasan terjadi dimana-mana. Yang baru-baru ini menjadi tren adalah kekerasan dengan
menggunakan agama sebagai tameng. Dengan mengatasnamakan agama, banyak pihak melakukan tindak kekerasan
terhadap pihak lain. Salah satu contohnya adalah Jihad, yang sering dilakukan oleh umat muslim.
Jihad sendiri sesungguhnya didefinisikan dan diimplementasikan secara berbeda oleh umat islam sendiri. Ada yang
menggunakan jihad sebagai alat politik, sebagai sarana menegakkan syariat islam, dan sebagai sarana pengontrol penguasa
yang dispotik dan korup. Yang baru-baru ini sedang merebak adalah penggunaan jihad sebagai alat peperangan. Banyak pihak
mengatasnamakan jihad sebagai salah satu bentuk pembenaran terhadap perang yang dilakukannya. Salah satu contoh
nyatanya adalah tindakan terorisme yang dilakukan oleh kelompok Al Qaeda. Mereka tampak mengartikan jihad sebagai jalan
untuk membawa orang kafir agar mau memeluk islam. bahkan bila perlu sampai membunuh. Mereka menjadikan orang-orang
tersebut adalah musuh. Padahal musuh sesungguhnya bagi umat islam sekarang ini adalah masalah personal diri sendiri yang
banyak dilanda kemiskinan, kelaparan, serta keterbelakangan pendidikan.
Hal tersebut seharusnya ditanggapi dengan jihad yang membawa damai, bukan kekerasan atau perang. Jihad yang
memberikan kebahagiaan bagi semua pihak. Bukan jihad yang malah membuat cemas di kalangan umat. Sekarang ini lebih
dibutuhkan jihad yang membangun dan menghidupkan, dibandingkan jihad yang menghancurkan.
Oleh karena itu ada baiknya pihak-pihak yang bersangkutan dan berwenang mulai merekonstruksi ulang konsep jihad di
mata masyarakat islam sendiri. Jihad lebih baik menuntut semua pihak untuk mengerahkan segala intelektualitas serta sumber
daya yang dimiliki guna membangun kemanusiaan yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya kekerasan bukanlah wajah
agama, melainkan hanyalah gambaran 'sisi buram' kesalahan umat beragama dalam memahami ajarannya secara dangkal.
Akbar Hakim
Hukum Rajam dan Cambuk
Dalam Islam saya diperkenalkan mengenai hukum rajam bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran asusila (dalam Islam
disebut zina). Pada dasarnya hukuman ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat Muslim saja, namun pada kenyataannya pada
kitab perjanjian lama juga memuat dua konsep hukuman ini.
Hukum rajam dan cambuk adalah hukuman bagi seseorang yang melakukan perbuatan zina. Jika mereka yang belum
berkeluarga namun melakukan perbuatan zina, maka akan dikenakan hukuman cambuk. Hukuman ini berlaku untuk laki-laki
maupun perempuan, dan mereka mendapatkan seratus kali cambukan atas perbuatannya tersebut. Lain halnya ketika pelaku
perbuatan zina adalah orang yang sudah memiliki keluarga. Mereka yang sudah beristri atau bersuami namun melakukan
perbuatan tersebut akan mendapatkan hukum rajam, yaitu hukuman yang menempatkan seseorang di sebuah tanah lapang
untuk kemudian dilempari batu hingga tewas. Hukuman ini pernah berlaku di Ambon dalam sebuah kasus pemerkosaan yang
dilakukan oleh seorang anggota Laskar Jihad setempat, dia dilempari batu hingga meninggal dunia.
Dalam mererapkan sistem ini, diberlakukan hukum berlapis yang membuat hukum rajam maupun hukum cambuk dalam
Islam tidak diberlakukan dengan mudah. Setidaknya harus ada empat orang saksi yang dengan mata kepala mereka sendiri
menyaksikan berlangsungnya perbuatan zina tersebut. Atau jika ketentuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka jika pelaku
perbuatan tersebut memang mengakui adanya zina yang dia lakukan, barulah hukum rajam atau cambuk bisa dilaksanakan
setelah penggalian informasi yang mendalam dan berhari-hari.
Selain itu, pemberlakuan hukum rajam bagi wanita hamil tidaklah sama seperti wanita yang tidak mempunyai janin di dalam
perutnya. Wanita yang berbuat zina sehingga menghasilkan kandungan akan dibiarkan untuk memelihara kandungannya
hingga anaknya lahir, dibiarkan untuk menyusui anaknya hingga menyapihinya, dan dibiarkan membesarkan anaknya hingga
bisa makan sendiri. Barulah wanita tersebut dirajam atas perbuatannya.
Melalui wacana ini, hukum rajam maupun cambuk bukanlah merupakan hukum yang bisa dengan begitu saja diterapkan
tanpa ada bukti dan penggalian informasi yang mendalam mengenai kasus zina yang dilakukan oleh seseorang. Banyak syarat
yang berlaku dalam penerapan hukum ini, seperti di Iran. Hukum rajam dilakukan dengan batu yang besarnya sedang, tidak
terlalu besar atau tidak terlalu kecil, dan berbagai persyaratan lainnya yang merupakan sebuah sistem rumit untuk
melaksanakan hukum rajam maupun cambuk.
Bela Reza Tanjung
JIHAD dalam Islam
Saya mengambil tema ini , karena adanya kesalah konsep tentang JIHAD sekarang ini. Dan dalam hal ini Jihad selalu
diartikan dengan kekerasan, padahal hal yang utama dari Jihad itu sendiri merupakan jauh dari kekerasan, walaupun terjadinya
kekerasan akan muncul jika adanya suatu keadaan. Jihad di dalam Isalam merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk
menjalankan misi utama manusia yaitu menegakan (din) Agama Allah dan menjaga Din agar tetap tegak dengan garis
perjuangan para Rassul dan Al-Qur’an. Tujuannya merupakan agar manusia menjauhi kemusrikan dan kembali kpada Allah,
menyucikan hati, memberikan pengajaran kepada umat manusia.
Pelaksanaan jihad dapat dirumuskan sebagai berikut:
 Pada konteks diri peribadi - berusaha membersihkan fikiran dari pengaruh-pengaruh ajaran selain Allah dengan perjuangan
spiritual di dalam diri, mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
 Komuniti - Berusaha agar Din pada masyarakat sekitar mahupun keluarga tetap tegak dengan dakwah dan membersihkan
mereka dari kemusyrikan.
 Kedaulatan - Berusaha menjaga kedaulatan dari serangan luar, mahupun pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan
ketenangan beribadah pada rakyat di negara tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan Amar Ma'ruf Nahi
Munkar. Jihad ini hanya berlaku pada negara yang menggunakan Din Islam secara menyeluruh (Kaffah).
Dalam Surat yang terdapat di Al-Qur’an Menyatakan :
Dalam Alquran Surat Al-Hajj ayat 78 Allah berfirman, yang artinya: "Dan berjihadlah (berjuanglah) kamu sekalian pada jalan
Allah dengan perjuangan yang sesungguh-sungguhnya".
Dalam Surat AI-Hujurat ayat 10 disebutkan pula: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian tidak ragu-ragu lagi, dan berjuang dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, maka mereka itulah orang-orang mukmin
yang sesungguhnya".
Dalam Konteks Perang, Jihad dapat dilakukan hanya jika dengan keadaan terjadi fitnah yang membahayakan kewujudan
umat (contohnya serangan dari luar). Jihad tidak boleh dilaksanakan kepada orang-orang yang tunduk kepada aturan Allah atau
mengadakan perjanjian damai ataupun ketaatan. Dalam hal ini Jihad dengan perang tersebut munkin dapat dikategorikan
kekerasan langsung secara kultural. Akan Tetapi hal tersebut bagi umat Islam sangat di wajibkan bagi setiap Muslim untuk
menegakan Islam. Karena hal tersebut di kemukan dalam Kitab Al-ur’an.
Contoh yang dapat diambil adalah seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. yang mewakili Madinah
melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama adalah kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak
hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk merampas harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran). Dan
Mereka yang diserang berhak berjihad untuk mempertahankan diri dengan apa sekalipun.
Dalam hal ini Umat Muslim mungkin akan dikatakan memperlihatkan kekerasan, akan tetapi kekerasan dalam Jihad yakni
Perang terjadi dala konteks tertentu yang telah diuraikan diatas. Dabn dalam hal ini saya menulis hal ini dengan tidak ada
maksud untuk memojokan suatu kelompok, ras, budaya, agama. tulisan ini berdasarkan sumber-sumber yang saya dapat. dan
yang pasti dengan adanya tugas ini saya dapat membedakan kekerasaan dan mengapa kekerasaan tetap dipertahankan
karena adanya alasan tertentu, dalam suatu klan, Agama, Budaya, ras ataupun kelompok yang lainya.
Dwi Putro Utomo
RELEVANSI SYARIAH ISLAM DI MASA MODERN
Seperti yang kita ketahui, ada beberapa nilai yang mungkin akan bertentangan bila kita memperbandingkan kandungan
yang ada didalamnya. Hal seperti tidak dapat dipersalahkan ataupun diperdebatkan karena masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda. Seperti misalnya apabila kita mempertautkan antara beberapa hukum yang ada di dalam suatu
agama tertentu, Islam misalnya, dengan kaidah hukum modern yang mengagungkan nilai-nilai hak asasi manusia dan
kebebasan.
Sebagai agama yang dilahirkan dalam keadaan yang kacau dan serba tidak teratur, Islam memiliki hukum-hukum (syariah)
yang bila dilihat dari sudut pandang modern terkadang keras dan kejam. Hukuman untuk seorang pencuri misalnya, adalah
salah satu tangannya dipotong, zina dapat dirajam hingga tewas, dan seorang membunuh orang lain dapat dihukum oleh
keluarga korban atau membayar denda bila terjadi kesepakatan. Akan tetapi hal itu terkadang jauh lebih efektif dibandingkan
dengan hukum modern. Beberpa pendapat barat mengatakan bahwa hukum Islam atau syariah tidak sejalan dengan hukum
dalam suatu negara demokrasi. Akan tetapi, adilkah bila kita membandingkan dua benda yang berbeda kegunaannya dalam
suatu perbandingan? Syariah Islam tentu saja tidak dapat diperbandingkan langsung dengan hukum demokrasi ala Barat.
Karena Syariah Islam memiliki kaitan antara hukum yang mengatur kehidupan di dunia dan kehidupan setelahnya, berbeda
dengan hukum demokrasi ala barat yang lebih bersifat materialistis dan melihat suatu hal dari subjek manusianya.
Bila kita lihat di beberapa Negara dewasa ini, ada Negara yang menggabungkan beberapa prinsip dalam syariah Islam
dengan hukum demokrasi barat, terutama Negara-negara di Timur Tengah. Mereka memiliki system hukum yang bersifat
dualisme. Mereka memiliki sistem hukum sekuler dan sistem hukum syariah yang utamanya mengatur masalah pernikahan dan
agama. Penggabungan tersebut merupakan relevansi dari suatu keadaan yang menuntut suatu Negara untuk bertindak sesuai
dengan keinginan rakyatnya dan tanpa melupakan tradisi yang telah lama melembaga.
Assyifa Yolanda
“Tradisi Sifon oleh suku Meto di Nusa Tenggara Timur”
Tradisi ritual “sifon” masih dipraktekkan sampai sekarang ini di daerah Timur Barat terutama oleh suku Atoni Meto, Dawan
Timur Tengah Selatan, suku Malaka di Timur Tengah Utara, dan beberapa daerah di kabupaten Belu (beberapa daerah ini
termasuk Propinsi di NTT).
Tradisi sifon adalah tradisi sunatan untuk laki-laki dewasa yang sudah menikah dan punya anak. Dalam penyembuhannya,
ia harus melakukan hubungan seks dengan perempuan yang bukan istri ataupun kerabat. Perempuan tersebut dijadikan
sebagai tempat untuk membuang penyakit kelamin laki-laki yang akan disunat. Tradisi yang dilakukan pada musim panen ini
dimaksudkan untuk membersihkan diri dari penyakit, membersihkan diri dari dosa, menolak bala setan, dan secara biologis
untuk menambah keperkasaan.
Prosesi awalnya adalah dengan menyerahkan mahar berupa ayam, pernak-pernik, dan uang kepada Ahelet (dukun sunat).
Kemudian pasien dibawa ke sungai untuk melakukan Naketi (pengakuan dosa). Ketika proses Naketi, laki-laki yang akan
disunat harus mengakui dengan jujur berapa kali ia telah melakukan hubungan seks (sampai saat ia melakukan sifon). Menurut
Ahelet semakin banyak pengalaman seksnya semakin bagus. Selanjutnya, Ahelet melakukan sunat dengan menggunakan bilah
bambu atau pisau, kemudian dibawa kembali ke sungai untuk melakukan pembersihan dan penyembuhan yang merupakan inti
dari ritual sifon. Dalam keadaan luka yang belum sembuh, laki-laki tersebut harus melakukan hubungan seks dengan wanita
yang sudah dipersiapkan, dengan syarat ia tidak boleh melakukan hubungan seks lagi dengan wanita yang bersangkutan
setelah prosesi.
Perempuan yang disediakan, pada umumnya tidak menyadari (hipnotis) bahwa ia telah melayani laki-laki yang sedang
melakukan ritual sifon bahkan dengan tidak dibayar. Hal ini sangat merugikan perempuan karena mereka akan dikucilkan, tidak
bersuami, mengalami penderitaan fisik, mental dan psikologis bahkan menjadi gila. Perempuan yang menjadi korban, mata dan
kulitnya akan menjadi kuning, bersisik dan berbau. Perempuan tersebut terkadang melayani tiga orang pasien, bahkan
sebelumnya “dicoba” oleh asisten Ahelet.
Tradisi ini sulit dihapuskan karena terdapat mitos yang mengatakan bahwa jika laki-laki melakukan sunat pada masa anakanak akan menyebabkan mereka impoten. Masyarakat juga percaya bahwa perempuan yang dijadikan korban akan mendapat
berkah dari leluhur. Jika seorang pemuda Meto tidak melakukan sifon, maka ia akan dikucilkan dan disindir dalam upacara
adat.Tradisi ini merupakan ritual yang bersumber dari budaya yang terkristalisasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang
diwariskan secara turun-temurun.
Sheila Riezqia
Kembar Buncing/Manak-Salah
Dalam kebudayaan Bali, terdapat istilah Kembar Buncing atau Manak-Salah. Kembar Buncing adalah kondisi dimana
sepasang suami istri melahirkan anak kembar putera dan puteri. Disebut juga Manak Salah karena sebagian masyarakat Bali
menganggap hal ini sebagai kelahiran yang dilarang dan aib yang mencemari desa dan komunitasnya. Anggapan ini berasal
dari mitos bahwa setiap kembar buncing telah melakukan hubungan seksual di dalam kandungan ibunya.
Kebudayaan ini sedikit banyak melestarikan kekerasan fisik dan non-fisik karena terdapat beberapa ketentuan dan hukuman
adat yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia bagi keluarga yang mengalaminya.
Contohnya saja, bila keluarga yang mempunyai anak Kembar Buncing berasal dari rakyat biasa, pasutri dan kedua anaknya
harus diungsikan ke pinggir desa, dekat sungai, atau dekat kuburan di dalam pondok darurat selama tiga bulan (sekitar 68 hari)
tanpa diperbolehkan keluar. Hal ini dilakukan guna mengembalikan keseimbangan dan kesucian. Selama itu juga mereka hidup
di tempat yang tidak sehat, lingkungan yang lembab, dingin di waktu malam dan panas di waktu siang tanpa diperbolehkan
pergi berobat ke Puskesmas.
Hanya bayi yang memiliki ketahanan fisik yang tinggi sajalah yang dapat bertahan dari serangan radang paru-paru atau
penyakit infeksi lainnya dalam kondisi seperti itu. Kondisi mengenaskan ini memang sengaja diciptakan agar salah satu atau
kedua anak kembar itu mati karena dianggap membawa aib.
Sedangkan bila keluarga yang mempunyai anak Kembar Buncing berasal dari ”kalangan atas” dan lahir di Puri, kedua anak
mereka akan dijaga dengan cermat diharapkan mereka dapat menikah di kemudian hari. Hal ini berdasarkan kepercayaan
bahwa kedua anak kembar buncing ini telah membawa pasangan (sebagai suami-istri) sejak lahir ke dunia.
Menurut budayawan Ketut Sumarta dan tokoh masyarakat adat Buleleng, Made Rimbawa, tradisi perlakuan terhadap
Kembar Buncing tersebut sudah ada sejak Bali masih di bawah kerajaan masa silam. Ketika itu, para raja mengharuskan
pelaksanaan tradisi tersebut.
Meski dresta (tradisi adat yang berlaku sejak dulu) ini sudah dihapuskan oleh Pemerintah Bali (dengan Perda DPRD Bali
No. 10 Tahun 1951 tentang Penghapusan Sanksi Adat Manak Salah) dan tak lagi tercantum dalam awig-awig (peraturan dan
ketentuan) desa adat, sebagian masyakat Bali masih melestarikannya, seperti di Desa Padangbulia, Kabupaten Buleleng.
Mereka masih mempertahankan tradisi ini dengan dalih ”Pekayunan Ida Bhatara ring Pura Desa” (kehendak Tuhan sebagai
Brahma yang berstana di Pura Desa memang seperti itu, yakni si kembar buncing beserta kedua orang tuanya harus di hukum).
Mereka juga beranggapan jika hukuman adat ini tidak dilaksanakan, desa mereka akan mengalami kesialan yang beruntun.
Contohnya, di tahun 2004, masyarakat desa ini mengucilkan sepasang bayi kembar buncing bersama kedua orang tua
mereka, Nengah Tarsa dan Ni Ketut Susun ke sebuah pekuburan, sekitar 10 kilometer selatan Singaraja, kota Kabupaten
Buleleng. Bertempat di sebuah pondok sederhana, keluarga tersebut tidak diperkenankan beraktifitas dan mencari nafkah
selama 68 hari hingga 17 Juli 2004. Hingga kini, pemerintah dan para budayawan terus melakukan sosialisasi tentang
penghapusan tradisi pengucilan Kembar Buncing di desa-desa adat. Diharapkan, di kemudian hari, tradisi ini tidak akan
dilaksanakan lagi dan masyarakat akan mempunyai anggapan bahwa setiap kelahiran adalah berkah.
Septyanto Galan Prakoso
Hakikat Jihad
Kekerasan dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural.
Di antara ketiga bentuk kekerasan tersebut, kekerasan kulturallah yang merupakan bentuk kekerasan yang harus lebih
diwaspadai. Hal ini tidak lain berkaitan dengan salah satu ciri kekerasan ini, yaitu: diperbolehkan (dijustifikasi) oleh agama. Ciri
tersebut selain sensitif, juga tergolong berbahaya. Karena jika sesuatu telah mendapat justifikasi dari suatu agama, maka halal
hukumnya jika umat dari agama tersebut melakukannya, tidak terkecuali kekerasan.
Dalam hal ini, saya mengambil kasus tentang penyalahgunaan pelaksanaan kata jihad oleh sekelompok umat Islam yang
melakukan berbagai macam aksi kekerasan, yang oleh publik lebih digolongkan sebagai terorisme. Mengapa saya sebut hal
tersebut sebagai ”penyalahgunaan”? Hal ini tidak lain karena dalam arti yang sejelasnya, jihad adalah *usaha dengan segala
daya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta, benda, jiwa, dan
raga. Jika dianalisa dengan lebih dalam, berarti: usaha dengan tujuan kebaikan yang dilakukan umat Islam sebagai pembelaan
diri atas sesuatu yang mengancam keberadaan agama Islam. Sama sekali tidak ada kata kekerasan atau apapun yang
menjurus kepada hal tesebut yang tertulis. Namun, mengapa ada ledakan bom di cafe-cafe? Mengapa ada penyerangan
terhadap gereja-gereja di berbagai wilayah? Hal ini tidak lain karena kurangnya pemahaman pelaku tidak kekerasan tadi
terhadap hakikat jihad itu sendiri. Bukankah masih ada cara lain selain kekerasan? Jihad tidak harus selalu berperang, jihad
harta juga dapat dilakukan, selain itu masih banyak cara lainnya. Akan tetapi, adanya justifikasi agama terhadap kekerasan
dalam hal ini juga bisa dibenarkan. Karena, jika para pelaku tersebut tidak merasa ada pembenaran terhadap aksi-aksinya,
maka mereka tidak akan melakukannya. Lalu, siapa yang membenarkannya? Para pemuka agama yang menjadi panutan para
pelaku tersebut bisa jadi salah satunya, selain itu, para pelaku dari berbagai macam tindakan kekerasan yang
mengatasnamakan jihad tadi juga dimungkinka hanya meniru berbagai bentuk aksi kekerasan di Timur Tengah yang notabene
adalah daerah rawan konflik yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pada intinya dari perspektif apapun, hal tersebut
tidak bisa dibenarkan. Karena selain sangat berlawanan denga prinsip perdamaian, hal tersebut hanya akan menimbulkan
kerugian.
Aldilla Dhika Velarasi
Sebuah artikel yang dimuat di website resmi Slemania <www.slemania.or.id> pada 7 April 2006 dan juga pernah dimuat di
Harian Kompas Jawah Tengah, 4 April 2006 berjudul “Budaya Jawa dan Kekerasan Sepakbola” sempat membuat saya
bertanya, “Apakah memang keduanya saling berhubungan?”
Ternyata dalam artikel itu, Bambang Haryanto, yang juga seorang suporter sekaligus kolumnis ini membahas tulisan Freek
Colombijn, antropolog lulusan Leiden yang juga mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda tentang tindak kekerasan
suporter sepakbola Indonesia. Menurutnya Indonesia yang mayoritas suku Jawa mempunyai pandangan betapa pentingnya
keselarasan sehingga mereka cenderung untuk menghindari konflik. Namun ketika dihadapkan pada sebuah pertandingan
sepakbola dengan konflik eksplisit dimana orang mudah merasa dihina, orang Jawa akan cenderung meledak kemarahannya
karena ini merupakan reaksi tipikal ketika merasa dipermalukan di depan umum.
Sangat disayangkan karena sulit bagi saya mendapatkan artikel aslinya sehingga otomatis pandangan saya terbentuk hanya
dari petikan artikel dari saudara Bambang. Namun dengan keterbatasan itu, saya berusaha objektif untuk menyampaikan
bahwa kekerasan sepakbola di Indonesia ini tidak semata-mata karena dipengaruhi budaya Jawa dan ada beberapa alasan
yang akan saya sampaikan untuk menguatkannya.
Keselarasan dalam budaya Jawa sebenarnya mempunyai maksud keselarasan jasmani dan rohani dengan menahan segala
nafsu jasmani hingga membawa pada keheningan pikiran dan membuatnya memahami hakekat hidup.1 Maka dari itu ketika
seseorang benar-benar memahami keselarasan justru kemarahan tidak akan mudah muncul hanya karena menonton
pertandingan sepakbola yang menjunjung sprotivitas.
Jika diperhatikan kembali, sebenarnya kekerasan yang banyak terjadi di persepakbolaan Indonesia dilakukan oleh suporter dari
berbagai latar belakang etnis sehingga bukan hal yang bijaksana ketika melihatnya dari faktor keselarasan yang diajarkan oleh
budaya Jawa. Ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam kasus sepakbola di Indonesia yaitu kepemilikan klub oleh daerah
sehingga klub-klub sepakbola yang bertanding membawa beban lebih berat berupa nama kota serta pemerintah daerah dan
banyaknya APBD yang digunakan, sehingga ada identitas lain yang lebih mampu menaungi dibandingkan etnis. Belum lagi jika
dilihat dari tingkatan kehidupan sosial masyarakat yang banyak datang ke arena pertandingan adalah mereka yang berada
pada kelas menengah ke bawah, dimana telah banyak masalah hidup yang menghimpit sehingga secara psikologis pun akan
membuat mereka mudah terpancing secara emosi dan ketika ada alasan untuk melegalkan aksi anarki maka meledaklah
kekerasan tersebut.
Sebagai etnis Jawa sekaligus rakyat Indonesia, saya sangat menyayangkan tulisan Freek Colombijn yang tampaknya tidak
melihat segala aspek tersebut, sehingga seolah-olah keselarasan dalam falsafah Jawa tersebut telah membentuk pola
kekerasan bahkan dalam dunia sepakbola. Di sinilah saya merasa bahwa budaya Jawa telah digunakan untuk menjustifikasi
bahwa kekerasan itu memang dapat dilakukan dan terjadi karena ada aspek yang membuatnya ada yaitu budaya. Dengan kata
lain artikel itu sama dengan mengatakan bahwa, kekerasan langsung dalam pertandingan sepakbola di Indonesia ada karena
adanya penanaman kekerasan dalam budaya Jawa.
Furthermore, sport is transcultural; therefore projects based around it are less open to charges of cultural imperialism. Sport
actively rather than passively involves participants. It provides a rule-governed, neutral and fun platform for Others to work
together to break down barriers and build up trust and mutual respect. It also provides a framework for teaching participants
conflict resolution.
Diwya Anindyacitta
RITUAL BERDARAH DI HARI ASYURA
Peringatan Hari Asyura pasti tidak asing didengar di telinga pemeluk agama Islam. Hari ini diperingati sebagai hari kematian
cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali, dan juga dikenal karena banyak peristiwa-peristiwa penting lainnya terjadi pada hari
ini. Hari ini jatuh pada tanggal 10 Muharram sesuai penanggalan Hijriah. Di Indonesia, kaum muslim biasa memperingati hari itu
dengan melakukan ibadah puasa. Hanya di beberapa daerah tertentu saja, seperti di Pariaman-Sumatra Barat, hari ini
diperingati secara besar-besaran, yaitu dengan membuat tabuik, semacam patung persembahan yang kemudian dilarung ke
laut.
Berbeda dengan yang ada di Indonesia, Hari Asyura diperingati oleh kaum muslim Syiah di India, Afghanistan, Pakistan,
Libanon, Irak dan Iran dengan ritual yang ekstrem. Mereka merayakan hari itu dengan cara melukai diri mereka sendiri, dan tak
jarang menjadi pertumpahan darah. Di negara-negara itu, Hari Asyura dianggap sebagai hari untuk berduka, mengingat pada
hari itu Tragedi Karbala terjadi. Tragedi di mana cucu Nabi dan puluhan pengikutnya dibantai oleh tentara Yazid bin Muawiyah
yang berjumlah ribuan orang.
Tragedi Karbala itu kemudian setiap tahunnya diperingati oleh para lelaki muda Syiah dengan memukuli dada mereka
sendiri dengan batu, mencambuk punggung mereka dengan rantai, dan yang paling ekstrem melukai kepala mereka dengan
pisau hingga berdarah--tergantung pada tradisi masing-masing negara. Di Libanon, setelah kepala mereka 'dikuliti', mereka
memukul-mukul kepala mereka agar darah yang keluar bertambah banyak. Ritual ini dilakukan sembari berkeliling di jalanan
lingkungan mereka. Sementara itu para wanitanya membaca Al-Quran dan mendoakan Husein bin Ali. Parahnya ritual
semacam ini tak jarang mengikutsertakan anak-anak kecil. Para ekstremis ini mengaku bahwa ritual ini mereka lakukan secara
sukarela demi cinta terhadap agama dan untuk menunjukkan pengabdian mereka pada cucu Nabi yang mereka yakini sebagai
pemimpin mereka. Para pelaku ritual ini mengaku tidak merasakan sakit saat melakukan prosesi itu--satu hal yang sangat sulit
dipercaya melihat begitu banyak darah mengalir di wajah dan tubuh mereka.
Ritual ini memang sangat kontroversial. Banyak kecaman muncul dari pihak-pihak lain, termasuk dari pemeluk agama Islam
sendiri. Bahkan dalam kalangan Syiah sendiri ritual ini menjadi perdebatan, tetapi hal tersebut tak dapat mengendurkan
'semangat' para pemuda Syiah untuk melakukan kekerasan semacam ini. Di Afghanistan ritual ini sempat dilarang, namun
pemeluk aliran Syiah tetap melakukannya di ruangan tertutup, dan lama kelamaan ritual ini kembali muncul ke permukaan.
Dari sini jelas dapat kita lihat betapa ritual yang dilakukan kaum Syiah ini sangat sarat dengan kekerasan. Ritual yang
hingga sekarang tetap dilakukan setiap tahun ini jelas melestarikan kekerasan. Hal ini sungguh ironis karena agama Islam
dikenal sebagai agama perdamaian dan menolak tindak kekerasan. Kenyataan ini diperparah karena ritual ini dianggap sebagai
bagian dari tradisi turun temurun yang dilakukan kaum Syiah sehingga sangat sulit untuk dihapuskan. Dapat dikatakan ritual ini
sebagai ritual yang melenceng yang mengatasnamakan agama dan kepercayaan karena nyatanya tidak semua pemeluk agama
Islam melakukan ritual ini.
Maria Yeni Wulandari
LAST SUPPER YESUS “YANG SAKRAL” versus LAST SUPPER SUHARTO “YANG KORUP”
Cover Tempo 4-10 Februari 2008 menampilkan gambar Suharto yang diapit oleh keenam anaknya yang diparodikan dengan
gambar Yesus bersama 12 muridNya sebelum penyaliban. Hal ini dianggap sangat melukai hati umat Kristiani karena dibalik
gambar tersebut ada makna Alkitab. Ormas-ormas Kristiani pun mendatangi kantor Tempo dan minta klarifikasi hal tersebut.
Berita Suharto “yang korup” apakah sebanding dengan gambar dari Perjamuan Akhir Yesus “yang
sakral”? inilah yang dianggap kasus pelecehannya. Tempo pun akhirnya minta maaf dan menjelaskan bahwa mereka hanya
meminjam sebagian komposisi the last supper. Tempo mlihat bahwa lukisan Leonardo da Vinci ini telah membumi dan muncul
dalam berbagai parodi sehingga Tempo merasa mantap untuk menampilkan gambar tersebut, tanpa berpikir akan menuai
protes.
Kita tahu bahwa Indonesia adalah masyarakat yang plural. Agama menjadi isu sensitif di tanah air ini, sehingga agama
sangat berpotensi menjadi sumber konflik. Kasus ini bisa juga menimbulkan kekerasan. Karena banyak pihak di Sulawesi Utara,
NTT, dan Papua, merasa tidak puas dengan Tempo dan bisa saja mereka bertindak anarkis, apalagi sebagai kaum minoritas,
sudah sering dipinggirkan dan sekarang malah dilecehkan dengan gambar tersebut yang menyamakan kepergian Yesus
dengan Suharto. Ingat ketika kartun Nabi Muhammad dengan bom di kepala untuk menyentil kaum Islam yang saat itu sedang
banyak melakukan aksi bom bunuh diri. Begitu pula dengan sayembara orang terkenal di dunia yang meletakkan Suharto lebih
tinggi dari Nabi Muhammad. Pasti ada sesuatu dibalik pembuatan hal-hal seperti itu. Segala hal yang menyentil sentimen
agama sangat berpotensi menjadi sumber konflik dan kekerasan. Kalau dibiarkan terus menerus, hal itu akan menjadi sebuah
budaya ketika agama dipakai sebagai target pelesetan. Tapi pelesetan gambar Yesus tersebut kurang cerdas karena di sana
ada beberapa event yang penuh makna.
Menanggapi masalah pemuatan parodi gambar Yesus, saya sendiri tidak setuju dengan pelaporan ke polisi tentang
masalah gambar tersebut, cukuplah dengan berdialog dengan pihak bersangkutan, meski pelesetan itu memang tidak cerdas,
tapi menurut saya itu bukan suatu simbol yang terlalu disucikan oleh umat Kristiani. Umat tidak perlu terlalu membesarbesarkannya, apalagi pihak Tempo sudah meminta maaf. Sebagai umat Kristiani haruslah tetap menanamkan sikap damai yang
penuh cinta kasih ketika menghadapi permasalahan seperti itu, karena itulah akar iman Kristiani. Kemudian, jika memang pers
ingin membuat parodi-parodi yang lain, perlu dipahami bahwa cara pandang orang timur itu masih kuat, mereka masih
memandang makna religiusitasnya, antara yang ilahi dan yang profan, jangan disamakan dengan orang-orang barat yang neoliberal [adanya parodi last supper versi KFC, McD, Madonna, dll]. Jadi jangan sampai kebebasan pers itu melampaui batasbatas kesakralan sebuah agama. Masalah agama sangat rentan terhadap konflik dan kekerasan yang anarkis di Indonesia.
?
Agama dan Kekerasan
Tanpa disadari agama telah menjadi salah satu instrumen yang melestarikan kekerasan. Padahal pada dasarnya inti dari
setiap agama yang ada di dunia ini adalah sama, yaitu mengajarkan kasih sayang; saling mencintai, menghormati, dan
mengasihi. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk berbuat kekerasan, menyakiti sesama makhluk hidup, ataupun
melakukan perusakan di muka bumi. Sayangnya pada kehidupan sehari-hari saat ini, umat beragama banyak yang justru saling
membenci, saling menyakiti, bahkan melakukan tindakan anarki terhadap umat agama lain.
'Membela agama dan bangsa dari kesesatan' menjadi salah satu alasan yang paling sering digunakan oleh para pelaku
tindakan anarki berbasis agama, yang mayoritas adalah pemeluk suatu agama yang sangat mencintai agamanya. Kekhawatiran
mereka sebenarnya bisa diterima, yaitu takut agama mereka dinodai dan takut bangsa mereka terjerumus dalam kesesatan.
Tetapi mereka terlalu berlebihan sampai-sampai menggunakan cara kekerasan. Akhirnya mereka justru terlihat sebagai orangorang yang tidak bisa menerima perbedaan, menganggap kepercayaan lain salah, dan hanya mau mengakui kepercayaan
mereka.
Front Pembela Islam (FPI) bisa diambil sebagai contoh tindak anarki berbasis agama. Kelompok ini merasa bertanggung
jawab atas 'kebersihan' agama islam dan negara Indonesia yang mayoritas islam. Belum hilang dari ingatan ketika FPI merusak
kantor sebuah majalah pria dewasa karena memuat foto model-model Indonesia yang setengah telanjang. Mereka melempari
kantor tersebut dengan batu dan beramai-ramai merusak kantor tersebut. Kejadian lainnya adalah ketika FPI menyerbu sebuah
kafe di Jakarta karena dianggap sebagai tempat perbuatan maksiat dan harus dibasmi.
Contoh lainnya adalah ketika sebuah rumah peribadatan Kong Hu Chu dirusak oleh sekelompok orang karena dituduh telah
meresahkan masyarakat. Padahal para penganut Kong Hu Chu tersebut hanya melakukan ibadah bersama dan memasang
beberapa atribut agama mereka. Selain itu kasus tindakan anarki juga terjadi di kantor/tempat ibadah Jamaah Ahmadiyah.
Tempat itu dirusak sekelompok orang yang tidak beranggung jawab. Padahal seperti yang sudah diketahui bersama, Jamaah
Ahmadiyah telah meminta maaf kepada masyarakat dan tetap diijinkan untuk beraktivitas seperti biasa oleh pemerintah.
Contoh-contoh diatas menunjukkan betapa mudahnya sekelompok orang melakukan tindakan kekerasan hanya karena
alasan-alasan sepele. Hanya karena dianggap sesat dan 'kotor', sekelompok orang diserang. Sebaiknya sebagai bangsa yang
memiliki slogan 'bhinneka tunggal ika', bangsa ini bisa lebih terbuka menghadapi perbedaan dan tidak menjadikan agama
sebagai alasan melakukan tindak kekerasan.
Andika Cahaya utama
Tradisi Mesabetan Api (Perang Api)
Tradisi mesabetan api atau perang api, merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh warga penganut Hindu di Bali sehari
sebelum nyepi. Tradisi ini dipercaya mampu mengikis amarah dan dendam sehingga warga lebih siap ketika menyambut Nyepi.
Tradisi mesabetan api ini diikuti ratusan pemuda dengan manggunakan daun kelapa kering yang dibakar di tangan yang
kemudian disabetkan ke lawan hingga membentuk percikan-percikan api yang betebaran. Ikatan daun kelapa itu diikat
menyerupai sapu yang diberi minyak tanah kemudian di bakar.
Tradisi ini diikuti oleh seluruh pemuda di banjar Nagi, Desa Petulu, Ubud. Perang api ini dibagi ke dalam dua kelompok yakni
kelompok utara dan selatan. Sebelum melakukan mesabetan api seluruh pemuda dipercikan air tirta atau air suci oleh pendeta
hindu setempat. Setelah itu tubuh mereka juga diolesi cairan dari kapur putih yang dipercaya dapat mencegah atau mengurangi
cedera akibat lemparan bara api.
Tradisi ini bila dilihat dari akibat yang dihasilkannya, misalnya kemungkinan cedera akibat bara api yang dipukulkan ke
permukaan kulit dapat dimasukan ke dalam kategori kekerasan karena menyakiti orang lain. Tak sedikit warga yang kulitnya
melepuh terkena bara api. Namun warga tidak marah karena bara api yang mengenai badan dianggap membantu melindungi
dari gangguan roh jahat.
Pani Zaristian Vaspintra
Kenapa Permpuan Harus Memakai Anting?
Bagi saya perempuan dan laki-laki itu sangat berbeda. Secara fisik, tentu perempuan memiliki struktur tubuh yang jelas
berbeda dengan laki-laki, anatominya sangat sesuai dengan kelebihannya untuk dapat mengandung seorang bayi, berbeda
dengan laki-laki yang yang tentu saja tidak memiliki kemampuan serupa. Secara psikologis, berdasarkan riset, perempuan
memiliki perasaan yang lebih halus daripada laki-laki pada umumnya. Karena itu, pada beberapa kasus, perempuan lebih
cenderung banyak memainkan perasaan saat menyelesaikan suatu masalah. Serta banyak lagi perbedaan yang dapat dengan
mudah kita identifikasi.
Berdasarkan perbedaan yang sudah sangat jelas itu lah, saya menjadi heran ketika mengamati suatu ritual kebiasaan yang
dilakukan di banyak daerah Indonesia atau bahkan dunia. Dimana seorang bayi apabila dia perempuan, maka pada umur
balitanya, ia akan dipasangkan secara paksa (tentu saja jika bayi dapat menolak mungkin ia akan berontak!) sebuah antinganting di bagian daun telinganya. Pada umunya perlakukan khusus semacam itu, bertujuan untuk membedaan jenis kelamin
bayi, laki-laki atau kah perempuan, juga untuk membedakan penampilannya saat ia dewasa. Ritual semacam ini masih terjadi,
dan terus diikuti oleh banyak masyarakat. Akan sangat aneh jika suatu keluarga tidak melakukan ritual semacam ini ditengahtengah masyarakat. Jika terjadi, cap aneh akan segera melekat pada keluarga tersebut. Justifikasi semacam ini lah yang saya
kira menjadikan ritual ini terus melekat dan dianggap bisa oleh masyarakat.
Pengamatan saya menunjukkan adanya tindakan yang bersifat memaksa ketika seorang bayi harus dibawa ke puskemas,
rumah sakit, atau tempat lainnya hingga kemudian dipaksa untuk mau dilubangi bagian daun telinganya agar dapat menjadi
tempat untuk memasang anting-anting. Tindakan semacam ini, menurut saya, termasuk dalam kategori kekerasan kultural.
Mengapa? Pertama, saya kira tidak ada alasan yang rasional untuk dapat menerima kegiatan ini sebagai ritual yang jelas
tujuannya. Jikalau ditujukan untuk membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, bukan kah bentuk dan anatomi tubuh
perempuan dan laki-laki telah sangat berbeda. Tanpa menggunakan anting-anting pun, perempuan akan sangat mudah dan
cepat diidentifikasi melalui penglihatan mata manusia. Kedua, tindakan semacam ini, dimana bayi dipaksa diam dan rela untuk
dilubangi daun telinganya, adalah tindakan yang sangat menyakitkan bayi. Keadaan bayi yang sangat lemah,
kebelumsempurnaan pertumbuhan fisiknya, hingga kemampuannya yang hanya bisa menangis menjadikan tindakan semacam
ini sama dengan penganiayaan yang dilakukan orang dewasa dengan anak kecil. Entah kapan ritual ini dimulai, akan tetapi
sepajang pengamatan saya, ritual semacam ini masih terus dilakukan oleh banyak masyarakat di berapa negara di dunia,
termasuk Indonesia.
Renatha Ayu R
PERANG OBOR
Perang Obor ini dilakukan oleh masyarakat di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah. Ritual ini secara
turun temurun dipercaya sebagai bentuk "sedekah bumi" atau ungkapan rasa syukur warga setempat kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa berkat limpahan rezeki hasil panen dan keselamatan. Sebelum perang obor dimulai dilaksanakan beberapa ritual
awal seperti penggantian sarung benda pusaka dengan mencucinya dengan air kembang setaman yang nantinya akan
digunakan untuk membasuh luka para peserta yang mengikuti perang obor dan penyembelihan kerbau.
Perang Obor selain melibatkan warga setempat yang memang berhak menjadi peserta asalkan memiliki keberanian
menghadapi risiko mengalami luka bakar. Sebagai permualaannya tiap peserta diberi obor yang menyala. Obor ini terbuat dari
gulungan pelepah dari daun kelapa kering yang di bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering dengan jumlah banyak.
Selanjutnya, obor diikatkan pada sebatang bambu. Lalu, para peserta saling memukul dengan menggunakan obor yang
membara ini. Ritual yang lebih mirip pertandingan bela diri ini baru berakhir bila seorang peserta tinggal sendirian atau tak lagi
memiliki lawan yang akan dihadapi Mereka percaya hal ini sebagai simbol memerangi kejahatan dan mengusir penyakit.
Dengan demikian, desa mereka bebas dari segala marabahaya.
Menurut saya ritual ini merupakan salah satu jenis kekerasan yang dijustifikasi oleh budaya. Alasannya adalah pertama, walau
korban luka bakar bisa disembuhkan atau rela-rela saja melakukannya namun hal ini merupakan tindak kekerasan. Kedua,
adanya dukungan kepercayaan. Mereka percaya bahwa jika hal ini tidak dilakukan maka akan terjadi marabahaya yang luar
biasa seperti gagal panen, wabah penyakit berbahaya, istri kepala desa meninggal (ini memang pernah terjadi dan langsung
dikaitkan dengan telatnya pengadaan perang obor) dan hal buruk lain. Ketiga, Sang pemenang tak akan mendapatkan hadiah
tertentu kecuali kebanggaan dan reputasi diri.Keempat, biaya untuk melakukan perang obor sangat besar sehingga seringkali
memberatkan warga (walaupun tidak ada protes yang muncul di permukaan).
Rahma Lillahi S.
ISLAM DAN LOGIKA KEKERASAN
Setiap individu memiliki keyakinan akan sesuatu dan hal itu akan selalu dianggap benar. Dia akan berusaha
membuktikan kalau memang hal yang diyakininya tersebut adalah sesuatu yang benar atau kebenaran baginya. Terlepas dari
fanatisme, bahkan beberapa orang berusaha menanamkan kebenaran itu kepada orang lain agar mereka memiliki pemikiran
yang sama, baik melalui kampanye, propaganda, bahkan doktrin, karena biasanya orang-orang seperti ini menganggap
keyakinannyalah yang paling benar. Sesuatu yang dianggap benar atau bahkan paling benar ini salah satunya adalah agama
karena agama mungkin menjadi salah satu hal yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Jika sudah berbicara
tentang agama, terkadang logika pun tidak sampai kesana. Apapun kandungan ajarannya dan doktrin di dalamnya seringkali
ditelan mentah-mentah, meski itu tidak bisa dikatakan berlaku secara general.
Begitu pula dalam Islam. Islam adalah agama yang halus dan selalu menekankan pada tindakan-tindakan yang
bersahaja, tetapi sebagai umat, kadangkala kita tidak menyadari ada bentuk-bentuk tindak kekerasan di dalamnya. Bahkan
dalam hal ini kekerasan yang dilakukan adalah kekerasan langsung. Seperti di dalam Al Quran Surat An Nisa’ ayat 34
“…Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya (meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka…” dan hadis perintah tentang shalat bagi anak yang mulai menginjak baligh.
Keduanya memang melegitimasi adanya kekerasan bahkan secara langsung. Tetapi jika kita mengkaji secara
mendalam tidak ada ketentuan yang tidak logis di dalam Al Quran. Seperti dalam Surat An Nisa’, istri yang dipukul adalah istri
yang melakukan perbuatan tercela terhadap suaminya. Sebelumnya, suami sudah memberikan nasehat dan peringatan, tetapi
jika istri tetap keras kepala maka suami berhak memukulnya. Kemudian di dalam salah satu hadis tentang shalat juga dijelaskan
bahwa ketika usia seorang anak menginjak 7 tahun, dia harus mulai dianjurkan melaksanakan shalat. Tetapi ketika berusia 10
tahun tetapi dia menolak maka dia wajib dipukul. Anak yang dipukul tersebut jika memang dia tidak mau melaksanakan
kewajiban shalat, padahal usianya dikatakan sebagai baligh, yang memang sudah wajib shalat.
Bagaimanapun, diperbolehkannya kekerasan dalam Islam tentu tidak menyalahi logika kita. Allah sudah merancang
Islam sedemikian rupa sebagai agama yang paling benar dan paling logis. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Al Quran
dan hadis sebagai pedoman umat Islam adalah benar.
Dian Damaita Tanduk
Religion: a Term of Violence
Kill a man, and you are an assassin. Kill millions of men, and you are a conqueror. Kill everyone, and you are a god. - Jean
Rostand
Pada tulisan kali ini, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan agama ataupun bersikap anti terhadapnya. Saya hanya ingin
mengajak pembaca untuk melihat institusi agama dari sudut pandang kekerasan. Sehingga kita mampu mempertanyakan
kembali fungsi dari keberadaan agama serta mampu berpikir dan bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran agama.
Dalam teori kekerasan, terdapat tiga macam kekerasan: langsung, struktural dan kultural. Kekerasan kultural di sini diartikan
sebagai segala macam aspek dalam budaya yang bisa digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam bentuk langsung
maupun struktural. Salah satu bentuk kekerasan kultural adalah agama.
Menurut saya, penggunaan kata agama atau keyakinan (belief) untuk menyebut sebuah konsep yang pantheis, merupakan
langkah yang tidak tepat. Pengunaan kata tersebut memancing timbulnya bentuk-bentuk kekerasan yang beragam, baik itu
indoktrinasi, diskriminasi, hingga vandalisme. Saya pribadi lebih memilih menggunakan kata ide/gagasan. Demi agama/belief,
kita rela mati, membunuh, berkorban, bahkan seumur hidup rela diperintah, dihukum, disiksa, oleh aturan-aturan di dalam
agama maupun oleh si pemimpin agama. Sedangkan ketika yang kita miliki adalah ide, kita bisa mengubahnya setiap kali kita
menginginkannya (Kevin Smith - Dogma). Toh itu hanya sebuah ide tentang ketuhanan. Kita bisa memperdebatkannya,
mengkritiknya setiap saat tanpa harus takut dihukum oleh aturan-aturan seperti dalam institusi agama.
Pada institusi agama formal-monotheis tidak kita jumpai persamaan status, hak, dan kewajiban antara perempuan dan pria.
Selantang apapun tiap-tiap agama itu menyerukan tentang persamaan derajat perempuan dan pria di dalam ajarannya, tetapi
struktur dan sistem yang ada di dalam institusi tersebut tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menduduki kursi
kepemimpinan. Dalam struktur agama Nasrani pemimpin misa (pastor atau pendeta) adalah pria, sedangkan perempuan
mendapat 'jatah' sebagai biarawati yang perannya hanya merupakan penunjang peran jabatan pria (second-class). Belum lagi
kitab suci agama Nasrani, perempuan digambarkan sebagai pihak yang lemah, mudah terbujuk oleh iblis, dan pada akhirnya
menjadi kaki tangan iblis (dilambangkan dengan ular), sehingga perempuan bersedia meracuni pikiran pria, sosok makhluk yang
lebih superior (Kejadian 3:1-6). Di dalam Alkitab juga disebutkan bahwa Israel adalah bangsa yang diberkati, yang dijanjikan
oleh Tuhan (Kejadian 35:10-12). Maka jangan heran apabila timbul rasisme, karena agama yang sifatnya--atau dianggap--suci
mengajarkan bahwa satu bangsa lebih unggul daripada bangsa yang lain. Diskriminasi semacam ini merupakan salah satu
bentuk--ataupun sekedar pemicu terjadinya--kekerasan. Pemangkasan hak--siapapun itu--merupakan bentuk kekerasan. Dan
perlu digarisbawahi bahwa kekerasan tersebut didukung oleh agama.
Menghadapi nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran, kita harus bisa bersikap kritis. Jika kita merasa bahwa ada di antara
ajaran agama yang dirasa menghambat upaya aktualisasi diri, atau menghambat pencapaian peace of mind, maka kita harus
mempertanyakan kembali nilai-nilai ajaran tersebut. Mencari tahu, memahami, dan memperbaiki dan bukannya diam saja
karena ajaran agama memang harus dipatuhi begitu saja, dan mempertanyakannya ulang atau berusaha mengabaikannya
merupakan dosa--sebuah konsep konyol yang belum saya temukan bukti-bukti eksistensinya.
Saya mempunyai gagasan tentang konsep ketuhanan yang sifatnya personal, meskipun saya sendiri tidak mempercayai
institusi semacam agama. Bagi saya pribadi, agama hanyalah instrumen politik yang diciptakan oleh kelompok penguasa,
dalam rangka mempertahankan rezimnya. Pemimpin agama merupakan kaki tangan pemerintah yang telah disetir untuk
mengajarkan pada rakyat apa-apa yang baik dan buruk untuk negara. Agama juga mengajarkan umatnya bahwa kesusahan
hidup merupakan cobaan dari Yang Di Atas, sehingga menghentikan kemampuan orang untuk mempertanyakan apakah sistem
negara yang berlaku menunjang kesejahteraan hidup mereka. Jadi bukannya melakukan suatu tindakan yang bisa
meningkatkan kualitas hidup mereka, orang justru hanya akan duduk dan berdoa memohon agar semua kesusahannya diakhiri
dan diberi ketabahan oleh Yang Mahakuasa. Jujur, bagi saya ini terdengar bodoh dan konyol, walaupun banyak orang
melakukannya. Nah, jika saya bisa me-redefine fungsi agama bagi diri saya, saya percaya teman-teman juga bisa melakukan
hal yang sama. Kita perlu berpikir ulang apakah kita memang sungguh beragama, or simply having an idea.
Sukmawani Bela Pertiwi
Kekerasan Berbasis Budaya
Kekerasan berbasis budaya dapat diartikan dua macam, yaitu kekerasan terhadap identitas budaya lain seperti rasisme dan
kekerasan yang muncul dalam praktik intern budaya itu sendiri.
Kekerasan terhadap identitas budaya lain biasanya muncul dalam suatu entitas wilayah (negara) yang multikultur, terlebih
jika muncul dominasi satu budaya terhadap budaya lain. Kekerasan yang muncul dalam praktik intern suatu budaya merupakan
jenis kekerasan yang paling sulit diidentifikasi, terlebih untuk ditangani. Hal ini disebabkan karena kekerasan tersebut telah
menjadi bagian legal atau bagian yang dapat diterima masyarakat dalam kurun waktu yang lama bahkan turun menurun
sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar. Menentang kekerasan jenis ini akan dianggap sebagai penentangan terhadap
nilai budaya yang dianut atau bahkan genosida budaya sehingga tak heran perubahan akan sulit dilakukan. Bahkan kadang
masyarakat lebih menjunjung tinggi nilai budayanya yang bertentangan dengan hukum nasional. Sebagai contoh, dalam budaya
patriaki, dominasi pria sangat menonjol terhadap perempuan sehingga sering terjadi kekerasan terhadap perempuan yang telah
dianggap hal yang wajar.
Dalam menangani kasus ini, suatu negara yang multietnis perlu menegaskan hukum nasional sebagai satu-satunya hukum
yang berlaku dalam semua aspek kehidupan warganya. Jadi sekalipun suatu kekerasan merupakan bagian dari suatu budaya
jika hal itu bertentangan dengan hukum nasional, harus dihukum. Pemerintah harus berupaya agar masyarakat meletakkan
loyalitasnya lebih pada negara daripada budaya daerahnya. Jangan sampai kekerasan dalam suatu budaya membuatnya
menjadi budaya kekerasan.
Tradisi Warokan Dalam Masyarakat Ponorogo
Dalam masyarakat ponorogo, seperti halnya etnis lain yang akrab dengan kisah-kisah heroik, dikenal ksatria yang biasa
disebut warokan. Warokan dalam tatanan sosial masyarakat Ponorogo tidak hanya dianggap sebagai pelindung tapi juga
sebagai sosok pemimpin yang layak diteladani. Tidak heran bahkan hingga kini, sebagian dari keturunan mereka telah
menduduki jabatan publik dalam pemerintahan lokal hingga menjadi anggota legislatif.
Bila ditelisik lebih dalam lagi, tradisi warokan ternyata menyimpan tradisi dan ritus yang tidak lazim. Setiap warokan
umumnya dibekali dengan kesaktian seperti kekebalan tubuh dan karisma pribadi namun sumber kesaktian itu diperoleh melalui
tindakan asusila sejenis. Para warokan biasanya memiliki peliharaan yang disebut gemblak. Gemblak adalah bocah laki-laki di
bawah umur yang dijadikan sebagai tumbal. Prakteknya gemblak tersebut digauli untuk menambah kesaktian dan keabadian.
Semakin banyak gemblak yang dipelihara, semakin kuat sosok warokan tersebut.
Sebagai bagian dari kebudayaan, tidak ada masyarakat yang menolak kekerasan ini bahkan banyak bocah lelaki yang
bangga bila dijadikan gemblak. Praktek warokan dalam masyarakat Ponorogo telah begitu membudaya hingga mulai berakhir
ketika pesantren-pesantren mulai marak dan modernisasi mulai menyentuh seantero Ponorogo. Kendatipun demikian, makam
para warok sampaai saat ini tetap dimuliakan layaknya makam seorang raja.
Tradisi warokan tersebut menunjukkan kekerasan kultural yang merupakan kekerasan yang paling sulit diidentifikasi, terlebih
untuk ditangani. Hal ini disebabkan karena kekerasan tersebut telah menjadi bagian legal atau bagian yang dapat diterima
masyarakat dalam kurun waktu yang lama bahkan turun menurun sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar. Menentang
kekerasan jenis ini akan dianggap sebagai penentangan terhadap nilai budaya yang dianut atau bahkan genosida budaya
sehingga tak heran perubahan akan sulit dilakukan. Bahkan kadang masyarakat lebih menjunjung tinggi nilai budayanya yang
bertentangan dengan hukum nasional.
Dalam menangani kasus ini, suatu negara yang multietnis perlu menegaskan hukum nasional sebagai satu-satunya hukum
yang berlaku dalam semua aspek kehidupan warganya. Jadi sekalipun suatu kekerasan merupakan bagian dari suatu budaya
jika hal itu bertentangan dengan hukum nasional, harus dihukum. Pemerintah harus berupaya agar masyarakat meletakkan
loyalitasnya lebih pada negara daripada budaya daerahnya. Jangan sampai kekerasan dalam suatu budaya membuatnya
menjadi budaya kekerasan.
Novitasari Dewi S.
Poligami : Sebuah Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Poligami berarti memiliki istri lebih dari 1 perempuan. Dalam ajaran Islam, poligami merupakan sebuah hal yang disunahkan.
Meski disunahkan, namun pelaksanaan poligami harus mendapatkan persetujuan dari istri pertama. Jika tidak mendapatkan
“lampu hijau” dari istri pertama, maka poligami itu dikatakan tidak sah.
Meski dinyatakan sebagai hal yang disunahkan dalam ajaran Islam, saya pribadi melihat poligami merupakan salah satu
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan paling mendasar yang dialami oleh perempuan yang dipoligami adalah
kekerasan psikologis. Meski sudah menyatakan memberi ijin pada suami untuk berpoligami, namun pada dasarnya tidak ada
perempuan yang mau dimadu. Tekanan batin pasti dialami oleh perempuan yang suaminya menikah lagi. Perasaan “bersalah”
pasti muncul karena sang istri merasa tidak mampu “melayani” suami dengan baik hingga suaminya menikah lagi.
Selain merupakan bentuk kekerasan, poligami juga dapat menjadi sumber munculnya kekerasan. Salah satu kekerasan yang
muncul dari poligami adalah ketika suami tidak dapat berlaku adil pada istri-istrinya. Bentuk kekerasan lain yang mungkin
muncul adalah kekerasan fisik.
Meski secara ajaran Islam merupakan suatu hal yang disunahkan, namun bagaimana pun, saya menganggap poligami
merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan. Kekerasan yang dialami pun cukup kompleks,
mulai dari kekerasan psikologis (kekerasan yang paling mendasar) hingga (mungkin) kekerasan fisik.
Pradita Tria Wirawan
Mencari Arti Sebuah Tangisan
Menangis bagi sebagian orang sering diidentifikasikan sebagai sebuah cerminan dari kelembutan hati dan wujud dari sisi
kelemahan seseorang dalam menghadapi sesuatu hal yang berat. Bagi sebagian orang yang lain, menangis adalah perwujudan
ekspresi perasaan secara fisik, baik disaat sedih, susah, senang, bahagia, dan gembira. Namun apakah itu berarti menangis
hanyalah milik kaum hawa semata, terlebih menangis didepan umum? Apakah pencitraan seorang kaum adam sebagai sosok
yang tegar dan kuat menjadi alasan yang dapat menghalangi laki-laki menangis didepan umum?
Permasalahan mengenai pandangan pantas atau tidaknya kaum adam menangis sebenarnya bukanlah sebuah
permasalahan yang patut dibesar-besarkan, karena secara lahiriah semua manusia baik itu laki-laki maupun perempuan
memiliki perasaan yang dapat disentuh. Menangis hanyalah salah satu elemen dari perwujudan ekspresi perasaan seseorang.
Namun menjadi sebuah masalah ketika timbul perasaan tidak nyaman dan tertekan ketika seorang laki-laki harus
mengungkapkan perasaannya dengan menangis didepan umum karena takut akan cap yang melekat dimata teman-teman atau
lingkungannya sebagai cowok lemah, cengeng, atau bahkan banci.
Pencitraan masyarakat luas bahwa laki-laki adalah sebagai sosok setegar karang dan sekuat baja sebenarnya secara tidak
langsung telah melestarikan sebuah proses terbentuknya kekerasan kultural. Saya menyebut hal tersebut dengan kekerasan
kultural dengan catatan jika pencitraan tersebut sama sekali menafikkan bahwa laki-laki adalah manusia biasa yang memiliki
emosi. Dengan melihat bahwa laki-laki adalah manusia yang juga memiliki emosi maka menangis dapat dianggap sesuatu yang
wajar dimata umum.
Proses penumbuhan karakter dan pencitraan seorang laki-laki yang dimulai dari kecil dapat menjadi awal dari kekerasan
kultural tersebut terjadi. Contohnya seorang anak laki-laki kecil yang terjatuh dan menangis keras, kemudian orangtuanya
menyuruh diam anaknya dengan alasan karena dia laki-laki dan laki-laki itu tidak boleh menangis karena harus kuat. Nilai-nilai
semacam itu yang ditanamkan sejak kecil hingga dewasa sehingga menyebabkan seorang laki-laki dewasa merasa tidak
nyaman jika harus menangis didepan umum walaupun alasan menangis tersebut sangatlah rasional dan dapat diterima oleh
umum, seperti saat momen haru atau kesedihan akibat duka mendalam. Stigma yang telah terpatri didalam masyarakat tersebut
pada akhirnya membentuk suatu generalisasi bahwa laki-laki adalah manusia yang anti untuk menangis demi menyelamatkan
citranya didepan umum, yakni sebagai pribadi yang tangguh, dewasa, jantan, dan macho (Walaupun saya sebenarnya sangsi
terhadap arti istilah-istilah diatas karena sangat bias makna).
Akhirnya, disini dapat saya simpulkan bahwa sebuah tangisan juga tidak hanya berarti lelehan air mata, namun jauh didalam
itu terdapat beribu makna yang dapat dijelaskan melalui sebuah tangisan. Selain itu, cara pandang yang mengkaitkan antara
menangis dan kekerasan kultural itu sangat tergantung dengan pribadi masing-masing individu. Tidak semua laki-laki merasa
malu untuk mengekspresikan dirinya dengan menangis dan tidak semua komunitas masyarakat memandang tangisan laki-laki
adalah hal yang aneh. Jadi saya menyebut tangisan laki-laki sebagai kekerasan kultural jika hanya laki-laki tersebut merasa
terkekang dengan stempel umum yang melekat pada tubuhnya sehingga membatasi dirinya untuk dapat mengeksperikan
dirinya didepan umum selama tidak mengganggu hak orang lain.
Rizka Pramadita
Ada dua contoh bentuk kegiatan atau pemahaman yang sering saya temui di lingkungan sekitar saya yang menurut saya
turut melestarikan kekerasan, baik secara fisik maupun non fisik.
Yang pertama adalah kebiasaan menyelenggarakan resepsi atau hajatan dengan menggunakan jalan umum, lalu sang
empunya hajatan menutup jalan dengan alasan ”ada kegiatan warga”. Menurut saya, itu sangat mengganggu kepentingan
umum, dan seharusnya juga melanggar hukum. Jalan, meskipun bukan jalan raya, merupakan akses publik yang sangat vital.
Bila ditutup, tak jarang saya terlambat masuk sekolah (dulu saat SMA) atau harus memutar jalan ke rute yang tidak saya kenali
atau jauh lebih tidak nyaman. Alangkah baiknya apabila kegiatan yang bersifat pribadi itu diadakan di gedung khusus untuk
mengadakan resepsi atau di pelataran rumah, di mana saja yang penting tidak menghalangi akses publik. Yang lebih
mengherankan adalah, kegiatan itu sudah berlangsung puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun lamanya, dan masyarakat
sekitar yang mengenal penyelenggara hajatan setuju-setuju saja dan semakin melanggengkan tradisi aneh ini.
Yang kedua adalah budaya (di sekitar lingkungan saya) pemahaman bahwa masalah keluarga adalah aib, sehingga tidak
pantas untuk diceritakan kepada orang lain sekalipun orang itu adalah dokter, psikolog, atau konsultan yang kemungkinan dapat
membantu memecahkan konflik yang ada. Sebagai contoh, banyak kekerasan domestik yang terjadi karena rasa tertekan,
merasa bahwa perceraian bukanlah suatu opsi tetapi konsultasi kepada konsultan perkawinan juga dianggap membocorkan
rahasia keluarga. Akibatnya terjadi KDRT. Contoh lain adalah pada saat saya kecil, saya masih menyaksikan pemasungan
anggota keluarga tetangga saya yang mengalami gangguan mental. Tetangga saya tersebut merasa malu membawa anaknya
berobat dan lebih memilih mengurungnya dengan jalan membelenggu tangan dan kakinya dengan gelondongan kayu dan rantai
di kamar.
Angga Kusumo
POLIGAMI ???
Terminologi poligami1 sudah lama dikenal dan digunakan dalam setiap agama. Poligami berarti pernikahan lebih dari satu
orang suami atau istri. Dalam hal ini, saya akan mencoba membahas permasalahan poligini khususnya, melalui sudut pandang
saya sebagai seorang Muslim.
Dalam Islam, praktek berpoligini sesungguhnya dibolehkan, dengan beberapa catatan. Pernyataan “berpoligini itu sunah”
mungkin didasari atas apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada zaman dahulu. Namun perlu diingat bahwa
praktek poligini yang dilakukan Rasulullah saat itu dilakukan pada keadaan darurat. Firman Allah SWT menjelaskan :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. 4:3)
Ayat di atas sesungguhnya menjelaskan bahwa poligami juga diatur. Artinya ketika kita yakin bahwa kita bisa berlaku adil,
baik dalam masalah cinta, harta, pangan, sandang, dan sebagainya, poligami dibolehkan. Tetapi, ada juga ayat yang
menjelaskan bahwa sangat sulit bagi seorang pria untuk berlaku adil. Terlebih lagi pada masa sekarang ini. Sehingga adanya
perbedaan ini menjadikan praktek poligami menjadi multitafsir.
Faktanya, kebanyakan orang yang berpoligami justru tidak bisa berlaku adil. Seperti halnya zaman kerajaan dahulu,
semakin banyaknya selir wanita berarti menunjukkan keperkasaan seorang pria. Hal ini sudah tak lagi relevan bagi kita dewasa
ini. Yang ada justru menimbulkan adanya kekerasan yang bersifat langsung dan jadi membudaya. Efek secara langsung berupa
dampak psikologis, tidak adilnya pembagian harta, dan perpecahan yang akan timbul kemudian. Menjadi membudaya karena
pembenaran yang mereka gunakan mengatasnamakan agama dan dianggap sah-sah saja. Sehingga alasan agama jangan
sepenuhnya menjadi latar belakang disahkannya poligami. Hal ini sudah seharusnya ditinjau kembali mengingat situasi pada
zaman Rasullulah dan situasi pada saat sekarang sudah sangat berbeda.
Bagaimanapun juga, meskipun disahkan adanya poligami, tapi kita sebagai manusia juga harus bertanya kembali pada diri
kita sendiri. Saya yakin bahwa sesungguhnya tidak ada istri yang rela dimadu begitu saja. Dari lubuk hati yang terdalam,
tentunya dia akan merasa tersiksa batinnya jika hal tersebut terjadi pada dirinya. Jika kita memiliki perasaan, apakah itu yang
kita inginkan? Nafsu biologis mengalahkan perasaan batin seorang wanita. Cinta bisa berubah menjadi benci meskipun tidak
terlihat secara eksplisit. Apakah agama mengajarkam hal itu? Saya pikir tidak.
Bagi saya, poligami bukanlah suatu jalan penyelesaian dalam permasalahan rumah tangga. Prinsipnya bukanlah harus
berpoligami atau tidak, tapi bagaimana kita bisa berlaku adil dan jangan sampai menyakiti perasaan istri. Jika terjadi, hal ini bisa
memiliki tendensi ke arah kekerasan. Lebih baik bermonogami dan hidup bahagia….
Davina Azalia Khan
- Terdapat beberapa ajaran Islam yang bis dikategorikan sebagai justifikasi terhadap kekerasan. Namun, semua itu
bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Antara lain:
1. Qishaash. Tertuang pada QS: Al-Baqarah ayat 178-179. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama (berkaitan
dengan hukuman terhadap mereka yang melakukan pembunuhan). Mereka yang membunuh akan dikenakan hukuman
tertentu. Pada perkembangan ilmu fiqih, qishaash terbagi beberapa hukuman. Salah satunya ialah hukum potong
tangan bagi para pencuri dan hokum balas dibunuh bagi para pembunuh. Hukum ini sering disalahartikan orang
sehingga main hakim sendiri, padahal hukum itu harus berdasarkan hakim dan ada beberapa aturan lain yang
mengatur jika keluarga korban memaafkan.
2. Perang dan membunuh. Islam menghalalkan perang di jalan Allah. Maksudnya perang demi membela agama dan
bangsa. Banyak ayat dan hadist berkaitan dengan ini. Salah satunya dalam QS: Al-Baqarah ayat 189-195. Mukmin
boleh berperang dan membunuh musuh dengan catatan mukmin berada pada posisi diserang/diperangi lebih dulu.
Namun, “posisi” ini sering disalahartikan orang sehingga dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan berlandaskan
agama (tanpa dasar).
3. Ayat-ayat yang menjelaskan mengenai orang fasiq, musyrik, munafiq, dan kafir bahwa mereka merupakan orang-orang
yang salah. Sebagian besar mereka yang melakukan kekerasan berlandaskan agama, mengklaim bahwa mereka yang
salah harus dimusuhi/bersikap tidak baik. Padahal Nabi Muhammad sendiri mengajarkan bagaimana seharusnya
bersikap terhadap sesame manusia baik itu yang seagama maupun tidak.
dan lain-lain
 Budaya masyarakat di Indonesia:
1. Beberapa suku di Irian Jaya mengharuskan seorang wanita (ibu) untuk memotong jemarinya setiap kali ada anggota
keluarganya (keluarga inti) yang meninggal. Meski itu merupakan suatu budaya, hal itu tetap saja suatu kekerasan.
dan lain-lain
Paradhika Galih Satria
Kekerasan berbasis budaya sering kali tidak terlalu diperhatikan orang sampai akhirnya meletus ke permukaan. Budaya
sering kali menjadi bara api yang tersimpan dan siap membakar saat dipanaskan. Kekerasan budaya sering kali tidak terasa
tetapi, seperti namanya, sudah membudaya dalam masyarakat. Seringkali kesulitan yang terjadi bukan meredakan kekerasan
yang timbul ke permukaan tetapi mengubah cara pandang masyarakat. Stereotip yang tercipta sering kali sulit untuk
dihilangkan. Pandangan seperti etnis Madura kasar, orang Papua “terbelakang” dan sebagainya.
Kekerasan berbasis budaya tidak hanya terjadi seketika. Kekerasan budaya dapat berjalan lambat dan tidak terasa.
Seringkali kekerasan budaya berjalan seiring dengan diskriminasi dan diperparah oleh kesenjangan. Kekerasan terhadap etnis
Cina saat Orde Baru menjadi contohnya. Saat orde baru etnis Cina mengalami diskriminasi sekaligus privilege sebagai etnis
pedagang. Akibatnya terjadi kesenjangan dan hal ini semakin mempertajam konflik antar budaya di masyarakat terutama saat
Orde Baru runtuh.
Menurut saya kekerasan yang terjadi antar budaya terjadi karena tidak saling mengenal. Kecurigaan yang timbul diperparah
dengan stereotip yang jarang sekali ada orang yang mau direkonstruksi. Sikap merasa budaya, etnis atau sukunya paling baik
sering kali menghasilkan loyalitas buta yang menjurus pada penggunaan kekerasan. Komunikasi dan dialog yang baik akan
sangat membantu dalam mengurangi konflik.
Selama pengalaman saya berpindah-pindah mengikuti orangtua, rata-rata orang sebenarnya mempunyai budaya yang
sama yaitu akan membalas perbuatan baik dengan perbuatan baik dan sebenarnya mereka bisa bertoleransi walaupun dengan
kadar yang berbeda-beda. Pengalaman ini saya dapatkan saat di Pontianak saat konflik etnis Dayak-Madura di Kalimantan
Barat. Keluarga tidak punya kesulitan untuk bergaul dengan dua jenis etnis yang sedang berseteru. Keluarga saya yang
beretnis Jawa menemukan bahwa sebenarnya orang-orang kedua etnis (Dayak dan Madura) baik hanya saja perbedaan
budaya yang tidak dikomunikasikan dan kesenjangan telah memicu konflik berlarut-larut.
Bintar Amar
Kekerasan dalam Agama
Dalam pemikiran saya seharusnya semua agama adalah benar dan baik, oleh karenanya semua dogma dan ajaran agama
seharusnya mengajarkan nirkekerasan dan toleransi. Namun pada kenyataannya banyak sekali penganut agama tertentu yang
justru melakukan tindak kekerasan pada pemeluk agama lainnya atas dasar ajaran agama mereka. Apakah tindakan sebagian
dari para pemeluk agama tersebut benar-benar didasarkan atas ajaran langsung dari Tuhan mereka?
Contoh nyata bahwa intoleransi dalam beragama sangat merasuk dalam jiwa para pemeluk agama di dunia antara lain ialah
Perang Salib antara kaum Nasrani Eropa dengan kaum Muslim Timur Tengah yang sangat klasik dan historik, Perang Agama
Eropa pada abad pertengahan antara kaum Katholik dengan kaum Protestan, Konflik berdarah kaum Hindu dengan kaum
Muslim di India pasca-kemerdekaan India, dan konflik Yahudi-Arab di Palestina. Sedangkan dalam skala nasional terdapat
konflik Ambon, konflik Poso, dan perlakuan kekerasan pada aliran Ahmadiyah.
Benarkah Tuhan mengajarkan pada anak Adam untuk saling berperang dan menumpahkan darah atas dasar keimanan
pada-Nya? Menurut pemahaman saya, kekerasan yang dilakukan oleh para pemeluk agama tertentu itu bukanlah dogma dan
ajaran yang dibawakan para Nabi dan Rasul pembawa ajaran agama tersebut melainkan pembelokan pada dogma dan ajaran
agama yang dilakukan oleh para ahli agama, pendeta, dan ulama yang memaksakan ajaran kekerasan fisikal yang mereka
dasarkan atas kitab suci mereka.
Salah satu bentuk pemaksaan ajaran kekerasan fisikal dalam agama yang saya ketahui adalah dogma jihad dalam ajaran
agama Islam. Meski jihad merupakan salah satu ibadah sunnah terpenting (dalam dogma Syiah, jihad adalah rukun Islam ke-6),
jihad tidak selalu berbentuk perang secara langsung terhadap para kafir dan hakikat lebih penting dari jihad ialah perang dalam
sanubari manusia sendiri melawan hawa nafsu dan amarah. Bahkan dogma jihad tidak dapat dilakukan bila kaum Muslim tidak
diserang terlebih dahulu oleh pihak penyerang dan lagi dalam ajaran Muhammad yang saya ketahui, kaum kafir bukanlah
musuh yang harus dilawan karena sebab yang basic (kenyataan bahwa mereka ingkar dari ajaran Islam).
Oleh karenanya dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam akan hakikat agama, apakah perang suci melawan kafir
adalah sesuatu yang diinginkan Tuhan? Selain itu toleransi dan keterbukaan akan agama yang berbeda harus diintensifkan dan
ditanamkan pada generasi muda mendatang agar salah paham dan kecurigaan tidak menjurus menjadi kekerasan antar-umat
beragama. Berbeda itu wajar dan fitrah bagi manusia namun perbedaan itu janganlah dijadikan sumber dari perselisihan antar
manusia sendiri.
Noor Laili Hikmah
Carok
Di sini saya akan membahas salah satu contoh kasus mengenai kekerasan berbasis budaya yang berbentuk kekerasan fisik.
Contoh yang saya ambil yaitu carok yang merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya
clurit). Tradisi ini berasal dari Madura dan masih dipegang teguh oleh beberapa suku Madura untuk mempertahankan harga diri
dan keluar dari masalah pelik.
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang artinya bertarung dengan kehormatan. Secara historis, carok sudah
dikenal sejak berabad-abad lalu. Biasanya digunakan sebagai jalan terakhir yang ditempuh suku Madura untuk menyelesaikan
suatu masalah. Carok biasa terjadi jika menyangkut masalah-masalah kehormatan atau harga diri bagi orang Madura (sebagian
besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat atau kehormatan keluarga).
Carok dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri terutama gangguan
terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Carok seolah menjadi satu-satunya opsi yang harus dilakukan. Para pelaku seolah
tak bisa mencari dan memilih opsi lain untuk mencari solusi sehingga dipilihlah carok karena dianggap oleh mereka memenuhi
rasa ‘keadilan’.Carok juga menunjukkan ketidakmampuan para pelaku untuk mengekspresikan budi bahasa karena lebih
menjunjung perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang yang dianggap musuh sehingga konflik yang berpangkal pada
pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Lagipula orang Madura memiliki prinsip yang sudah mengakar
yaitu lebih baik mati daripada hidup menanggung malu dilecehkan.
Terdapat pula ritual-ritual tertentu sebagai persiapan menjelang carok. Kedua pihak pelaku carok sebelumnya sama-sama
mendapat restu dari keluarga masing-masing. Sebelum hari H pertarungan bersenjata clurit, di rumahnya diselenggarakan
selamatan, pembekalan, pengajian, dan lainnya. Pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan oleh keluarganya untuk
terbunuh. Namun, carok tidak akan terjadi selama tidak ada pelecehan harga diri yang membuat orang Madura malu.
Timur Girindra Wardhana
Kekerasan Dalam Islam
Beberapa (kalau bukan sebagian besar) peperangan dan aksi kekerasan di dunia ini sering kali dimotori oleh semangat
keagamaan, terutama oleh agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena saya kurang begitu mengetahui tentang agama Yahudi
dan Kristen maka saya akan mencoba untuk mencari akar kekerasan dalam agama Islam.
Belakangan ini, agama Islam seringkali diidentikan dengan kekerasan oleh dunia Barat, dalam banyak hal pemikiran ini
memang dibentuk oleh media tetapi dalam Islam memang terdapat ajaran yang secara langsung maupun tak langsung memicu
kekerasan. Untuk melihat hal ini perlu dilihat dalam dua sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadist.
Dalam Qur'an surat at-Taubah ayat 97 disebutkan :” Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang
munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah naar Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.” Seruan serupa juga ditemukan di ayat 123 :” Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir
yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama
orang-orang yang bertaqwa.”, Al-Qur'an juga mendukung pemenggalan kepala sebagaimana disebutkan dalam al-Anfal ayat 12
:”(Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan kepada para malaikat,:"Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah
(pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka
penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.”
Sedangkan dari Shahih Bukhari disebutkan “Dikisahkan oleh Ibn 'Umar bahwa sang Nabi berkata,”Mata pencaharianku ada di
bawah bayangan tombakku, dan dia yang tidak menaati perintahku akan dihinakan dengan membayar Jizya.”, selain itu di
hadist lain yang juga diriwayatkan oleh Imam bukhari disebutkan :” Dikisahkan oleh Ibn 'Umar: Rasul Allah berkata, “Aku telah
diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi orang2 sampai mereka mengaku bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul Allah, dan melakukan sembahyang dengan sempurna dan membayar zakat, sehingga jika
mereka melakukan hal itu, maka selamatlah nyawa dan harta mereka dariku kecuali dari hukum2 Islam dan amal mereka akan
dihitung oleh Allah.”
Meskipun kata Islam sendiri berarti perdamaian tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Islam adalah sejarah peperangan,
diawali dari Mekkah, Madinah, Khaibar, Baghdad hingga Jerusalem sampai Delhi, Carthagena, sampai Andalusia. Selain
kekerasan fisik secara langsung, dalam al-Qur'an banyak sekali ayat yang memicu kecurigaan terutama kepada orang Yahudi
dan Nasrani banyak sekali ayat yang mengatakan ini salah satunya dalam al-baqarah ayat 120: “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Hal-hal diatas pada akhirnya akan menjadi pembenaran bagi ummat Islam untuk melakukan kekerasan, hal ini sulit untuk
ditangani karena al-Quran dan Hadist tidak boleh dirubah sehingga kita tidak akan pernah menemukan al-Qur'an yang lebih
damai, satu-satunya solusi adalah menonjolkan sisi-sisi lain dari Islam yang lebih damai.
Heru Yuda
Justifikasi kekerasan dalam Islam
1. Hukum Qisas (pembalasan)
Al Baqarah 178: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS.
2:178)
Al Maidah ayat 5: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. 5:45)
2. Kewajiban berperang (apabila diserang orang musyrik)
Al Baqarah ayat 190: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. 2:190)
Al Baqarah ayat 217: Mereka bertanya tentang berPERANG pada bulan Haram. Katakanlah: BerPERANG dalam bulan itu
adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada
membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu
(kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya. (QS. 2:217)
3. Beberapa ulama dari Al Qaeda mewajibkan jihad (berperang) terhadap bangsa Barat atas pendudukan Anerika di Tanah
Haram (Mekah, Medinah) dan tempat-tempat lain di seluruh dunia, seperti: Pakistan, Afghanistan, Irak, dan kekerasan IsraelPalestina
(untuk bahan ini, saya punya videonya Mba, tapi kayaknya terlalu besar kalau dikirim lewat email. Insya Allah hari Senin saya
bawa soft filenya.)
Justifikasi kekerasan kultural
1. Budaya di Papua (ditampilkan dalam fim Denias) bahwa seseorang yang ditinggalkan anggota keluarganya karena meninggal
harus melakukan "pengorbanan". Dalam contoh kasus di film tersebut, pengorbanan tersebut dilakukan dengan memotong jari
tangan si Bapak yang ditinggal mati istrinya.
2. Budaya Sati di India, dimana janda akan melakukan pengorbanan atas meninggalnya suami, bentuk yang paling ekstrem dari
Sati adalah membakar diri bersamaan dengan mayat suami.
Rise Prastika
Tradisi Sifon
Tradisi ritual Sifon dilakukan di daerah Timor Barat, terutama di Suku Atoni Meto dan Dawan Timur Tengah Selatan, suku
Malaka di Timur Tengah Utara, dan beberapa daerah di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Ritual Sifon bertujuan untuk
membersihkan diri dari berbagai macam penyakit dan dosa serta menolak pengaruh bala setan. Selain itu, secara biologis Sifon
dimaksudkan untuk menambah kejantanan seorang pria dewasa. Jika seorang pria dewasa tidak menjalankan ritual ini, ia akan
dikucilkan dalam pergaulan.
Ritual Sifon diawali dengan penyerahan mahar dari orang yang akan melakukan Sifon (pasien) kepada dukun sunat yang
disebut Ahelet. Pasien tersebut biasanya adalah orang yang sudah pernah melakukan hubungan intim dengan wanita, jika
belum pernah akan ditolak Ahelet. Pasien tersebut akan melakukan pengakuan dosa di sungai. Setelah itu, Ahelet akan
menyunat pasien, kemudian dikembalikan ke sungai untuk melakukan proses pembersihan dan penyembuhan. Hal ini dilakukan
dalam jangka waktu seminggu.
Dalam proses penyembuhan luka pasca khitan dilakukanlah Sifon. Dalam keadaan yang luka yang masih belum sembuh,
pasien tersebut harus berhubungan intim dengan seorang wanita tertentu yang telah disiapkan oleh Ahelet. Sifon bertujuan
untuk memberikan luka kepada wanita tersebut dan membuang bala si pasien. Wanita korban Sifon biasanya tidak tahu ia
sedang melayani pasien, karena biasanya wanita tersebut dihipnotis atau dalam keadaan tidak sadar. Wanita yang telah terpilih
tersebut biasanya akan beberapa kali melayani pasien Sifon yang berbeda.
Wanita korban Sifon sebenarnya mengalami kekerasan fisik, karena sebenarnya dia diperkosa dengan alasan agar
mendapatkan berkah. Wanita tersebut tidak hanya mengalami kekerasan fisik seperti diperkosa, tetapi juga mengalami
kekerasan kultural. Wanita korban Sifon akan terus melajang, karena tidak ada pria yang mau menikahinya. Wanita tersebut
dianggap menyimpan penyakit dan bala. Wanita tersebut juga akan dikucilkan dari pergaulan, karena banyak yang meyakini
bahwa wanita korban Sifon tubuhnya bersisik, berkulit Akibat tekanan tersebut, banyak wanita korban Sifon yang mengalami
gangguan kejiwaan. Banyak juga wanita korban Sifon yang tertular Hepatitis dan HIV/AIDS karena mengalami infeksi kelamin,
sehingga keadaan mereka makin parah.
Melati Dewi Ayuningtyas
Salah satu teks atau ritual yang digunakanuntuk menjustifikasi kekerasan adlah Jihad. Jihad dalam islam arti yang
sebenarnya adalah berjuang dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini berjuang dengan sungguh – sungguh dalam menegakkan
ajaran Allah atau menjaga ajaran itu tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul
adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada umat dan
mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.
Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai 'perang suci' (holy
war).Jihad dalam bentuk perang digunakannakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi umat (antara lain berupa
serangan-serangan dari luar). Jihad tidak bisa dilaksanakan kepada orang-orang yang tunduk kepada aturan Allah atau
mengadakan perjanjian damai maupun ketaatan.
Namun yang terjadi sekarang Jihad digunakan sebagai landasan seseorang melakukan kekerasan, bahkan digunakan untuk
membunuh orang lain. Seperti kasus bom bali, para pelaku pemboman dengan tega membunuh ratusan manusia, dan mereka
merasa apa yang telah mereka perbuat itu adalah benar, dan seharusnya seluruh umat Islam di dunia melakukan hal yang
sama seperti yang mereka lakukan. Padahal dalam setiap agama mengajarkan bahwa melakukan kekerasan apalagi
pembunuhan itu adalah perbuatan dosa dan dilarang oleh ajaran agama manapun.
Inta Arum
“Kekerasan Kultural : Pernikahan Dibawah Usia di Daerah-Daerah Kecil”
Di desa-desa atau daerah terpencil sering kali saya menemukan anak di bawah usia 17 tahun telah menikah. Ini terjadi
bukan hanya di daerah-daerah tertentu, melainkan sudah menjadi budaya yang meluas, yang secara tidak langsung memaksa “
wanita” pada khususnya untuk segera menikah jika sudah beranjak lulus SD. Saya mengamati “orang-orang yang pernah
bekerja dan membantu orang tua saya dirumah”, mereka biasanya berasal dari daerah jawa, yakni di daerah pedalaman
“Jampang kulon”. Di daerah tersebut, rata-rata umur 17 tahun ataupun kurang dari 17 tahun sudah pernah menikah, ataupun
sudah memiliki anak. Hal ini dianggap sebagai kekerasan karena adanya “pemaksaan” baik dari orang tua, maupun lingkungan
sekitar, agar cepat-cepat menikah dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tua, serta agar di dalam diri mereka tidak melekat
template sebagai “perawan tua” ataupun bahkan “tidak laku”. Salah satu alasan lain mengapa pernikahan dini di daerah-daerah
kecil itu dapat berlangsung, disamping adanya budaya setempat yang memaksa, yakni kondisi ekonomi keluarga yang tidak
memungkinkan sebuah keluarga untuk membiayai seorang anak untuk melanjutkan sekolahnya. Oleh karena itu anak tersebut
dinikahkan, dengan harapan dapat membantu kondisi ekonomi keluarga, dan terhindar dari template yang di berikan oleh
masyarakat dan lingkungan sekitar jika belum menikah diatas 17 tahun.
Selain itu banyak dari mereka yang belum sempat mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya seorang anak. Mereka
terpaksa menikah karena dorongan dari lingkungan, kalaupun mereka menikah, biasanya tidak akan bertahan lama, dan
biasanya pernnikahan tersebut bersifat perjodohan. Baik dengan pemuda dari kampung tersebut, ataupun menikah dengan
orang yang sudah memiliki istri. Keadaan tersebut diperburuk ketika wanita tersebut tidak merasakan kebahagian, dan hanya
dijadikan sebagai “pelampiasan” oleh orang yang dinikahinya serta tidak mendapatkan nafkah yang cukup bagi dirinya sendiri.
Dan kekerasan fisik pun bisa saja terjadi pada pernikahan yang dilakukan pada usia dini. akhir dari pernikahan diusia dini tidak
hanya kekerasan fisik, namun juga dapat menyebabkan perceraian dll.
Dea Kurniawan P.
ISLAM dan Kekerasan Terhadap Anak
Di alam Islam laki-laki merupakan pemimpin dalam keluarga, dan pemikiran ini pun bukan hanya dalam Islam saja, tetapi
dalam berbagai budaya lainnya pun pemikiran ini merupakan hal yang telah diterima oleh masyarakat. Berhubungan dengan
kepercayaan itulah seorang laki-laki harus bisa menjadi Imam atau pemimpin dan berkewajiban mendidik istri dan anaknya.
Sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. atTahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam
konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya
diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian; tidak baleh memukul
ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital
semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi
sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka
diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Tetapi dengan perkembangan saat ini banyak pemikiran yang berubah tentang cara mendidik anak, pemukulan dan
kekerasan merupakan jalan yang sangat terakhir dalam upaya mendidik anak. Menurut saya sebagai pemeluk Islam, aturan ini
sebenarnya dapat diterima. Dan dalam Islam sendiri di ajarkan bahwa anak merupakan titipan tuhan yang sangat berharga dan
orang tua berkewajiban memperlakukan mereka dengan baik dan memenuhi hak-hak mereka. Karena itulah dengan adanya
pemikiran seperti ini, Islam sebenarnya bukanlah agama yang melestarikan budaya kekerasan semata, tetapi lebih jauh dari itu
ada nilai-nilai yang berusaha untuk dijaga dan diseimbangkan. Terlepas dari Islam atau bukan, kekerasan terhadap anak
memang pada dasarnya telah membudaya.
M. Aditya Julianto
Kekerasan Berbasis Agama
Akhir-akhir ini dalam berita yang disiarkan di televisi, sering kita jumpai bahwa setiap pelaku bom yang menewaskan
banyak orang adalah perbuatan kelompok Al-Qaeda. Salah satu pelaku yang ditangkap pun berkata bahwa hal itu adalah jihad
yang harus dilakukan dalam memerangi kaum kafir. Mereka beralasan bahwa perbuatan mereka untuk membalas perlakuan
kaum kafir terhadap saudara-saudara mereka yang dianiaya di Palestina, Afghanistan, dan di sejumlah negara lain. Hal itulah
yang membuat mereka (para pelaku pemboman) rela mati untuk ber”jihad”.
Tindakan yang seperti itu jelas-jelas sangat merusak upaya perdamaian yang saat ini sedang dilaksanakan di Indonesia.
Ketika pemboman sejumlah tempat-tempat ibadah dan hiburan marak terjadi, hubungan antar-umat beragama pun menjadi
sangat tegang. Sangat disayangkan kalau hal itu justru dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam dan ingin
menjalankan perintah Allah.
Padahal dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal: 15 dan 55-56 dijelaskan bahwa kita hanya boleh menyerang orang kafir jika
mereka akan menyerang kita dan jika mereka melanggar kesepakatan yang telah disepakati. Penyerangan terhadap orang kafir
itu tak bisa kita lakukan oleh sembarangan orang kafir dan di sembarang tempat.
Dalam surat itu juga disebutkan bahwa jika kita harus berperang dengan mereka, maka persiapkanlah dengan kemampuan
yang kita miliki. Dalam hal ini ketika terjadi perang yang melibatkan kaum muslim di negara lain bukan berarti kita harus
memerangi warga negara asing dalam negara kita, kita bisa membantu dengan berdoa dan memberikan bantuan lain. Dan
dalam penutup ayat 61 disebutkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang tetap harus diupayakan.
Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas telah cukup menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, Islam
adalah agama yang Rahmatan lil ‘alamin. Orang-orang Islam yang melakukan tindakan teror bukanlah orang yang ingin
menegakkan Islam, tapi justru merobohkan fondasi Islam.
Ika Septihandayani
Poligami, Kekerasan bagi Perempuan Islam
Mungkin masih sangat jelas terekam dalam ingatan kita bagaimana reaksi masyarakat ketika seorang ulama terkenal
Indonesia, KH.Abdullah Gymnastiar atau lebih sering disapa Aa’ Gym, memutuskan untuk berpoligami. Banyak sekali pro dan
kontra bermunculan sehubungan dengan pernikahan kedua Aa’ Gym tersebut. Poligami pun menjadi buah bibir yang naik daun.
Kebanyakan orang percaya bahwa poligami adalah sesuatu yang dibolehkan dalam Islam. Sungguh suatu ironi, karena
agama yang dipercaya akan membawa kedamaian dan menjunjung tinggi derajat perempuan, ternyata menjustifikasi kekerasan
terhadap perempuan dengan membolehkan perempuan untuk diperlakukan sebagai objek yang sah untuk dimiliki berapapun
jumlahnya. Yah…meskipun beberapa sumber mengatakan jumlah maksimal istri adalah empat namun dalam kenyataannya
banyak laki-laki Islam yang punya belasan istri bahkan puluhan. Menurut mereka hal itu sah-sah saja, asalkan berada dalam
ikatan pernikahan. Menurut mereka agama membolehkan mereka berpoligami dan menyelamatkan mereka dari perbuatan zina.
Benarkah demikian?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan seorang perempuan yang suaminya, dengan alasan kasihan terhadap
nasib wanita lain atau dengan alasan untuk memenuhi kewajiban agama atau hanya karena keinginan nafsu belaka, ingin
menikahi wanita lain? Dalam tahap ini perempuan mengalami berbagai kekerasan, baik secara prikologis dengan adanya
tekanan dari suami maupun juga tekanan untuk memenuhi kewajiban ajaran agama itu sendiri dengan bersedia dipoligami.
Sebagian besar perempuan mungkin memilih untuk bercerai saja daripada dipoligami. Namun, bagaimana nasib wanita Islam
yang “terpaksa merelakan” dirinya untuk dipoligami? Benarkah mereka bahagia dan terbebas dari kekerasan bathin dalam
kehidupan poligami sang suami? Seandainya tidak ada aturan tertulis dalam Islam yang membolehkan poligami, seandainya
tidak ada kewajiban bersedia dipoligami bagi istri yang baik dalam Islam, mungkin Teh Ninih, istri Aa’ Gym dan istri-istri yang
lain tidak akan lagi bersedia merelakan dirinya dipoligami.
Menadion
Agama Sebagai Legitimasi Kekerasan: Tepatkah?
Tampaknya Perang Salib adalah salah satu konflik paling fundamental yang semangatnya masih terasa bahkan ribuan tahun
setelah ia usai. Bahkan beberapa kalangan masih menganggap perang ini belum sepenuhnya usai. Sentimen agama yang
mendasari konflik ini dirasa masih relevan dengan konteks kontemporer (konflik Tepi Barat). Bahkan Samuel P. Huntington
meramalkan bahwa semangat inilah yang nantinya akan memicu perang besar, atau lebih ekstremnya Perang Dunia III, yakni
antara peradaban Barat (Katholik) dengan Timur(Kristen Ortodoks&Islam). Pertanyaannya kemudian, apakah agama
merupakan faktor utama pendorong konflik kekerasan? Mungkin antara ya dan tidak.
Ya, karena secara praktis masing-masing pihak berkeyakinan bahwa segala ancaman terhadap eksistensi agama yang
dianutnya adalah sesuatu yang harus dilenyapkan. Dan konflik kekerasan adalah instrumennya. Merekapun rela mati atas nama
agama. Apakah konflik kekerasan adalah cara paling tepat?Sekaligus menjawab pertanyaann sebelumnya, maka bisa dibilang
tidak. Dari segi substansi, agama pada dasarnya mengajarkan perdamaian. Dalam Kristen misalnya, Yesus berfirman bahwa
manusia seharusnya mencintai musuh seperti mencintai diri sendiri. Islam pun demikian. Muhammad dalam Haditsnya kerap
mencontohkan perdamaian terhadap pemeluk agama lain.
Lalu kenapa masih ada kekerasan atas nama agama? Menururt Johny Indo (Da`i mantan napi), ini terjadi dikarenakan
beberapa kalangan fundamentalis yang hanya memahami firman-firman Tuhan secara parsial. Dari pembacaan yang tidak
holistik ini kemudian munculah kekerasan-kekerasan yang sebetulnya tidak perlu. Ini karena tiap agama pasti menawarkan
alternatif perdamaian. Sepakat, Bung!
Adri Arlan
Kekerasan dengan Dalih Budaya terhadap Perempuan
Perempuan merupakan sosok yang identik dengan kata mulia dan senantiasa menjunjung tinggi rasa kasih sayang sebagai
seorang Ibu,namun meskipun sudah banyak yang menganggap bahwa posisi wanita sederajat dengan pria,masih banyak
permasalahan yang timbul akibat dari bertahannya budaya yang menepikan peran perempuan didalam keluarga. Praktik-praktik
tradisional yang mengakar yang membatasi hak-hak perempuan serta sering mengakibatkan penderitaan mereka karena
adanya kekerasan dan bahkan kematian, tetap tersebar luas di seluruh kawasan, tetapi sering dipinggirkan dalam perdebatan
dan kebijakan publik. Perkosaan, kawin paksa, kejahatan membela “kehormatan” dan pelecehan terhadap perempuan serta
gadis-gadis di daerah konflik terus berlanjut. Di Papua Nugini misalnya, kekerasan seksual tetap merupakan pengalaman
sehari-hari bagi banyak perempuan, dan tuduhan menggunakan ilmu sihir mengakibatkan pembunuhan atau penculikan
terhadap perempuan. Walaupun begitu, pihak yang berwenang hampir tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan kejahatan
semacam itu. Di Afghanistan, kawin muda dan kawin paksa serta praktik-praktik tradisional seperti penukaran dengan anak
perempuan sebagai alat penghentian pertikaian tetap merupakan ancaman yang masih ada terhadap kesejahteraan perempuan
dan para gadis.Hal inilah yang senantiasa membatasi ruang gerak wanita dalam menentukan masa depannya. Akan tetapi,
pekerjaan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan di kawasan tersebut telah membuahkan sejumlah hasil. Di Pakistan,
kejahatan pemerkosaan dan kekerasan seksual diamendemen untuk menjamin bahwa pengaduan pemerkosaan tidak bisa lagi
diubah menjadi tuntutan perselingkuhan atau perzinahan. Di India akhirnya diperkenalkan undang-undang tentang kekerasan
terhadap perempuan. Hal ini bisa dikatakan sebagai sinyalemen positif bagi keseimbangan gender bagi perempuan agar dapat
lebih unjuk gigi dalam berkreasi dalam mengutarakan pendapat,apalagi bagi wanita di negara India dan Pakistan yang memiliki
budaya yang terkesan tidak menghargai perasaan perempuan. Tentunya akan terjadi suatu pemahaman tersendiri bagi
masing-masing pihak untuk dapat mengakomodasi kepentingannya masing-masing. Untuk itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
budaya tidak boleh dijadikan dasar alasan bagi seseorang untuk menindas hak maupun harga diri seseorang sebab pada
dasarnya manusia berkedudukan sama di depan penciptaNya.Hal inilah yang menjadikan landasan agar setiap pihak dapat
saling menghargai perannya masing-masing didalam kehidupan ini,baik dia adalah seorang laki-laki maupun perempuan.
Yohana M. Simamora
Kekerasan Berbasis Gender
Menurut saya, kekerasan berbasis gender merupakan kekerasan terhadap wanita. Kekerasan wanita adalah perwujudan
ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap
perempuan. Dalam sejarah peradaban Hindu, hingga abad ke-6 Masehi, perempuan dianggap sebagai sesajen bagi para dewa.
Peradaban Yahudi, pra abad ke-6, perempuan dianggap sebagai sumber laknat dan malapetaka karena menyebabkan Adam
terusir dari surga. Hal yang sama juga terjadi dalam sejarah peradaban besar seperti Arab dan Cina yang mengganggap
perempuan sebagai makhluk tidak berguna, remeh dan berhak di bunuh. Ironisnya, kekerasan terhadap perempuan (baik
secara fisik, psikis, dan seksual) masih berlaku hingga di zaman modern.
Setidaknya ada dua penyebab utama mengapa kekerasan berbasis gender senantiasa eksis hingga saat ini, yakni :
Penafsiran agama yang salah dan budaya yang patriarki. Agama yang kita anut ternyata tanpa kita sadari berkemampuan untuk
menimbulkan kekerasan karena salah tafsir. Contoh konkritnya adalah tradisi yang sangat dijunjung tinggi Gereja Katolik karena
tradisi ini dibangun diatas basis budaya Yahudi, dimana ada pandangan bahwa ‘perempuan adalah setan penunggu gerbang
yang siap menggoda‘, perempuan juga tidak menggambarkan citra Allah, dan perilaku-perilaku diskriminasi lainnya yang
mengakibatkan penghayatan iman pun terpengaruh. Dalam Islam, mengakui bahwa kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan sehingga pemukulan terhadap istri dianggap sebagai hak suami sebab suami dianggap memiliki kedudukan yang
lebih tinggi. Sementara itu adanya dominasi nilai-nilai patriarki membentuk konstruk budaya masyarakat untuk memberikan
otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum
laki-laki. Saya mencontohkan keluarga saya. Saya lahir di keluarga yang patrilineal dengan menyandang nama keluarga
Simamora. Dalam tradisi Batak, anak laki-laki adalah harta (hamoraon) dan kehormatan (hagabeon) yang tak ternilai harganya.
Keluarga Batak tanpa anak laki-laki dianggap aib. Bahkan, seorang wanita akan dicemooh oleh keluarga pihak suami jika tidak
mampu memberikan anak laki-laki yang dianggap sebagai penerus keluarga. Hal ini masih berlangsung hingga sekarang.
Belum lagi pada kegiatan-kegiatan adat lainnya, dimana pihak laki-laki duduk di muka sementara wanita duduk di jauh
belakang. Pada awalnya saya merasa tidak adil, karena saya hanya dihargai dengan nama belakang keluarga saja yang suatu
saat akan hilang ketika saya dipersunting oleh pria Batak dengan nama keluarga lainnya. Ketika saya tanyakan hal ini kepada
orangtua saya, mengapa perempuan diperlakukan tidak adil? Ayah saya berkata bahwa memang sudah dari sono-nya seperti
itu.
Fauzia Ariani
KEKERASAN BERBASIS AGAMA
Saya beragama Islam. Islam menjadi semakin banyak dibicarakan orang seiring dengan isu terorisme yang merebak di berbagai
belahan dunia, khususnya pasca 9/11, ketika seorang muslim fundamentalis bernama Osama bin Laden dituduh sebagai biang
keladi penabrakan pesawat ke gedung kembar WTC. Khususnya sejak saat itu, yang disertai dengan jejak-jejak fundamentalis
muslim lainnya yang menjadi pengebom bunuh diri dan aktivis radikal anti-Amerika (contoh:kasus Van Gogh, Bom Bali), Islam
semakin dikaitkan dengan terorisme dan kekerasan. Yang terlintas di benak banyak orang sepertinya ISLAM = TERORISME =
AGAMA KEKERASAN. Namun demikiankah? Tentu saya tidak setuju. Dari sebuah film (Ayat Ayat Cinta), saya mengambil
sebuah pelajaran. Ketika di sebuah kereta di Mesir, yang notabene penumpangnya beragama mayoritas muslim, ada dua
penumpang Nasrani, dan tak seorang pun bersedia memberi mereka tempat duduk, lalu seorang muslimah memberikan tempat
duduknya. Kemudian seorang penumpang memprotes bahwa mereka kafir dan tidak boleh diberi tempat duduk. Seorang
muslim yang lain (sang tokoh utama) muncul dan mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda, “Bila kamu melukai orang asing,
maka kamu melukai diriku, dan bila kamu melukaiku, sama saja kamu melukai Allah SWT”. Dari adegan itu jelaslah bahwa
Islam tidak mengajarkan kekerasan, bahkan pada seorang asing sekalipun. Dari Al Qur'an serta tauladan muslim Nabi
Muhammad SAW juga banyak diajarkan bagaimana seorang muslim tidak diperkenankan menyakiti orang lain. Meski demikian,
melihat realitas dan merunut sejarah, saya tidak menampik adanya tindak berbau kekerasan, namun saya melihat alasan yang
cukup jelas bila hal tersebut harus terjadi. Misalnya, membela diri karena diserang terlebih dahulu, seperti perang di Palestina,
atau ketika seseorang sudah diingatkan berkali-kali namun tetap tak acuh. Saya yakin bahwa semua itu tidak dilakukan untuk
sengaja menyakiti, berbeda dengan oknum-oknum yang mengatasnamakan agama (Islam), kemudian menyakiti, membunuh
orang yang tidak berbuat apa-apa/tidak bersalah, hanya karena mereka bukan beragama Islam. Menurut saya, para
fundamentalis demikian karena mereka melahap mentah-mentah apa yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah, tidak
memahaminya secara kontekstual.
M. Noor Indrawan
Kekerasan Berbasis Islam
Islam, adalah agama yang banyak dikaitkan dengan isu terorisme yang terjadi karena pelakunya sendiri adalah para
anggota organisasi Islam fanatik, yang memicu Islamophobia di negara-negara barat setelah terjadinya kasus terorisme itu,
sebut saja peristiwa 11 September di Amerika Serikat yang paling banyak menelan korban jiwa. Ajaran untuk berjihad mungkin
telah disalahartikan sehingga menjadi sebuah pembenaran untuk membunuh. Islam dipandang sebagai agama yang sarat
dengan kekerasan. Orang juga menilai terhadap hukum Islam lain yang dikaitkan dengan kekerasan yakni hukum potong
tangan bagi pencuri serta hukum cambuk dan rajam untuk hukuman berzina. Sekali lagi Islam diasumsikan sebagai agama
kekerasan. Mengapa? Karena banyak orang yang tidak mengerti hakekat dari Islam itu sendiri. Padahal dalam kitab suci Islam,
Al-Qur'an, disebutkan bahwa Islam adalah agama yang membawa perdamaian dan rahmat bagi umat. Islam adalah agama
yang damai. Orang Islam yang benar-benar tahu ajaran agamanya tidak akan mau untuk menyakiti orang lain. Dakwah atau
penyebaran ajaran agama Islam pun harus disampaikan dengan cara-cara damai. Jihad juga mempunyai ketentuan-ketentuan
sendiri yang tidak mesti harus diwujudkan dengan perang atau kekerasan, sebagai contoh bekerja sungguh-sungguh adalah
jihad, bahkan bercinta dengan istri bisa menjadi jihad. Oknum yang menggunakan kekerasan mengatasnamakan Islam
sejatinya bukan orang Islam yang sejati, karena orang Islam adalah agama perdamaian untuk semua manusia.
Adhe Nuansa Wibisono
Seppuku : Cara Samurai Memandang Kehormatan
Kali ini saya akan mengangkat kisah tentang seppuku (tindakan membunuh diri) yang terdapat pada budaya samurai di Jepang
pada abad pertengahan (15-17). Seppuku adalah nama formal dari harakiri, bedanya seppuku dilakukan secara formal dan ada
aturan pelaksanaannya. Latar belakang budaya seppuku muncul dari pandangan hidup kelas samurai bahwa kematian lebih
terhormat daripada kekalahan dan kegagalan. Diduga pandangan ini muncul dari pengaruh agama Budha dalam memandang
kehidupan sebagai sesuatu yang fana dan kemuliaan dalam kematian. Biasanya seppuku dilakukan karena kekalahan dalam
peperangan, kegagalan dalam melaksanakan tugas, bentuk kekecewaan terhadap majikan, bentuk loyalitas apabila majikan
telah gugur dan sebagai pilihan daripada mati di tangan musuh. Seppuku dalam pandangan jalan samurai mencerminkan nilainilai seperti kehormatan, keberanian, loyalitas, rasa tanggung jawab dan pengorbanan.
Secara formal seppuku dilakukan dengan tata pelaksanaan sebagai berikut, sang pelaku akan menggunakan baju putih sebagai
tanda kesucian. Pelaku akan meminum dua cangkir sake dengan masing-masing dua tegukan maka akan terdapat empat
tegukan. Dalam bahasa jepang empat (shi) berarti juga kematian. Sebelum melakukan penusukan diri pelaku akan menggubah
satu syair yang secara alamiah memancarkan pandangan dan perasaan pelaku dalam memandang hidup. Pelaksanaan
seppuku tidak dilakukan sendiri, secara formal dilakukan dengan seorang kaishakunin yang akan memenggal kepala pelaku
seppuku, biasanya dilakukan oleh sahabat atau keluarga terdekat sang pelaku. Dalam beberapa situasi khusus pelaksanaan
formal seperti di atas tidak dapat dilakukan dan digantikan dengan cara menusuk diri sendiri dalam peperangan, menjatuhkan
diri dari atas benteng dan memenggal kepala sendiri.
Merujuk beberapa referensi dan novel samurai yang saya baca budaya seppuku ini berdampak dan berpengaruh besar dalam
cara pandang masyarakat Jepang. Secara umum para samurai mengaggap seppuku adalah sebuah tindakan menjunjung
kehormatan dan keberanian. Seperti yang dapat dilihat di dalam sejarah abad pertengahan Jepang, banyak dari samurai
terkemuka melakukan seppuku karena berbagai hal. Beberapa nama masyhur dalam epos Taiko karangan Eiji Yoshikawa
seperti Oda Nobunaga dan Shibata Katsuie memilih melakukan seppuku untuk mengakhiri hidupnya.
Yang dapat saya amati ternyata budaya seppuku tidak hanya berhenti pada zaman samurai tetapi juga terus berkembang pada
saat ini. Kasus terbaru yang dilakukan oleh elit politik Jepang, Toshikatsu Matsuoka sebagai menteri pertanian, kehutanan dan
perikanan Jepang pada masa Shinzo Abe membuktikan hal tersebut. Dia melakukan bunuh diri karena terlibat sakandal dana
politik dan merasa beratnggung jawab dengan melakukan seppuku. Tidak hanya di kalangan elit politik tetapi budaya seppuku
telah merasuk dalam pandangan hidup orang Jepang. Beberapa kasus bunuh diri diduga berdasarkan kegagalan dalam bisnis,
kehidupan asmara atau bahkan tidak lulus ujian akademis.
Melihat konteks seppuku saya menyimpulkan bahwa pandangan dan keyakinan ternyata sangat berperan penting dalam hidup
manusia. Seorang samurai akan melakukan seppuku dengan kesadaran dan keyakinan karena menganggap seppuku sebagai
suatu nilai kebenaran. Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana pandangan hidup dapat mempengaruhi demikian besar
dalam kehidupan manusia yang dapat menjadi pengarah bahkan tujuan kehidupan sekaligus. Timbul satu lintasan pikiran
terakhir, bagaimanakah kebenaran yang hakiki...?
Referensi
http://www.win.net/rastnest/archive21.htm, The Fine Art of Seppuku
http://fortunecity.com, Seppuku-Ritual Suicide
Wildan Mahendra Ramadhani
Berawal dari Kelamin
Sebenarnya saya tidak tahu persis dimana kebudayaan ini ada, namun yang saya sering dengar kejadian tersebut terjadi di
pedalaman pulau Kalimantan. Cerita ini berawal dari seorang tentara yang sedang ditugaskan di suatu daerah pedalaman pulau
Kalimantan. Seperti kita tahu masa tugas seorang prajurit tentara tidak hanya satu atau dua hari saja tetapi berminggu-minggu
bahkan bulanan. Dalam waktu yang cukup lama tersebut seorang prajurit yang notabene adalah manusia normal pasti
membutuhkan penyaluran hasrat seksual. Singkat cerita maka terjadilah hubungan antara si prajurit dengan seorang gadis dari
suku pedalaman Kalimantan tempat ia (prajurit tentara) bertugas.
Malapetaka terjadi ketika masa tugas dari tentara tersebut habis dan mau tidak mau harus meninggalkan daerah
pedalaman Kalimantan dimana ia bertugas. Tanpa tanggung jawab ia tinggalkan gadis yang telah ia renggut keperawanannya
tadi begitu saja. Alhasil ketika ia berada diatas kapal laut--dalam perjalanan pulang--si prajurit tersebut kena batunya. Ketika
sedang membuang air kecil ia mendapati alat kelaminnya sudah tidak ada (maaf). Sontak hal tersebut membuat shock si prajurit
tentara. Di tengah situasi itu ada seseorang yang menyarankan bahwa ia (prajurit tentara) harus kembali kepada keluarga gadis
yang ia renggut keperawanannya tadi untuk minta maaf dan bertanggung jawab.
Tanpa pikir panjang akhirnya prajurit tersebut kembali ke pedalaman Kalimantan tempat ia bertugas untuk
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sesampainya di rumah si gadis, ia melihat alat kelaminnya tadi sudah
tergantung di depan pintu. Setelah meminta maaf dan mengakui kesalahannya kepada keluarga si gadis tersebut--yang juga
merupakan syarat yang harus dipenuhi--kelamin si prajurit kembali seperti semula.
Kejadian di atas merupakan bukti bagaimana kebudayaan berparadigma ganda. Di satu sisi kebudayaan merupakan
identitas diri yang perlu dilestarikan, namun di sisi lain kebudayaan--dimaksud di sini adalah kepercayaan akan kekuatan
supranatural--merupakan media untuk menjustifikasi kekerasan. Tepatnya kekerasan dalam bentuk penekanan langsung.
Konsep atau ritual kebudayaan di atas tak jauh beda dengan santet di Banyuwangi, debus di banten, dsb.
Tomy Nanda Aditias
Kekerasan stuktural yang dijustifikasi beberapa diantaranya ialah kekerasan yang mengatasnamakan suatu budaya atau
ajaran suatu agama tertentu untuk membenarkan kekerasan yang dilakukannya. Penjustifikasian kekerasan struktural ini
tergantung dengan jenis kekerasan apa itu, mengapa dan siapa yang membenarknnya. Karena beberapa diantaranya
dibenarkan oleh golongan itu sendiri yang melakukan kekerasan tersebut kepada diri mereka sendiri juga. Contohnya seperti
kekerasan yang dilakukan oleh sebuah golongan muslim di Irak dengan mencambuki diri mereka untuk memperingati kematian
cucu Nabi Muhammad SAW, Hassan dan Hussein, yang pada masa Saddam Hussein berkuasa dilarang. Tradisi tahunan
tersebut dibenarkan oleh budaya mereka, terutama budaya golongan mereka sendiri. Meski orang lain yang menyaksikan hal
tersebut merasa hal tersebut adalah merupakan bentuk kekerasan struktural yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Contoh lainnya adalah pembagian raskin kepada masyarakat menengah ke bawah secara cuma-Cuma. Raskin adalah
singkatan dari bers miskin, maksudnya ialah beras yang hanya dibagikan atau diberikan kepada masyarakat miskin.
Permasalahannya ialah bahwa kualitas dari beras tersebut sangat jauh dari kualitas beras-beras standar yang dikonsumsi
kebanyakan masyarakat. Berasnya kotor, bau, dan banyak kotoran beras. Diskriminasi terhadap golongan masyarakat yang
kurang mampu ini adalah bentuk kekeraan struktural yang dibenarkan oleh sistem masyarakat di Indonesia. Raskin dibagikan
secara cuma-cuma hanya kepada beberapa anggota masyarakat yang dianggap kurang mampu, maka sudah sepantasnyalah
mereka mendapatkan jatah yang “seperti itu”. Hal tersebut di ataslah yang membuat diskrimasi pada lapisan masyarakat yang
dibenarkan oleh golongan masyarakat lainnya.
Download