TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil. Kambing pertama kali dijinakkan pada zaman Neolitikum, di daerah Asia bagian Barat. Kambing memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan domba namun berbeda sifat biologisnya. Beberapa perbedaan besar antara spesies kambing dan domba, yaitu domba memiliki stockier bodies yang lebih besar daripada kambing. Kambing memiliki ekor yang lebih pendek daripada domba, namun memiliki tanduk yang lebih panjang dan ada yang tumbuh ke atas, ke belakang dan keluar, sedangkan domba melingkar dan berbentuk spiral. Kambing jantan dewasa memiliki janggut mengelurkan bau yang khas yang berasal dari kelenjar “bandot”, namun domba jantan tidak. Tengkorak domba mempunyai tulang air mata dan dekat kotak matanya terdapat kelenjar praeorbital. Kambing tidak memiliki kelenjar scent pada bagian muka dan kakinya, domba memiliki kelenjar tersebut (organ khusus yang menyekresikan substansi aroma (pheromone) untuk menarik betina). Biasanya kambing lebih aktif daripada domba dan memiliki sifat dan kebiasaan suka berkelahi dan menangkis, sehingga dalam hal ini kambing dapat dengan mudah kembali ke alam liar (Gillespie dan James, 1992). Kambing diklasifikasikan ke dalam: Kingdom Animalia; Phylum Chordata; Subphylum Vertebrata; Class Mammalia; Ordo Artiodactyla; Sub-ordo Ruminantia; Family Bovidae; Sub-family Caprinae; Genus Capra dan Species hircus (Mileski dan Myers, 2004). Kambing (Capra hircus) memiliki 60 kromosom yang terdiri atas 29 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (Gall, 1981). Penyebaran kambing sangat luas dan hampir tersebar di seluruh dunia, karena beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh kambing, yaitu daya adaptasi yang baik dan tahan hidup pada daerah dengan hijauan terbatas (Gall, 1981) serta mampu memanfaatkan hijauan pakan secara efisien (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Peranakan Etawah (PE) Jenis kambing perah yang dipelihara peternak di Indonesia pada umumnya adalah Peranakan Etawah (PE). Kambing PE jika ditinjau dari namanya merupakan keturunan kambing Etawah (Capra Entawa) atau kambing Jamnapari yang diimpor 3 dari India pada tahun 1920-an (French, 1970). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dari India dengan kambing Kacang dari Indonesia. Budidaya kambing PE berkembang sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, hasilnya berupa susu, kambing pedaging (jantan muda) dan kambing kurban (jantan tua) yang lazim pula disebut bandot. Kambing PE banyak diternakkan di Kabupaten Purworejo (Jateng) dan Kabupaten Sleman serta Kulonprogo (DIY). Kambing PE di daerah Jateng dan DIY biasa disebut dengan kambing Gibas, kambing Benggolo atau kambing Koploh. Disebut dengan kambing Gibas karena bulu di bagian bawah ekor tumbuh memanjang. Disebut kambing Benggolo karena oleh masyarakat dianggap berasal dari "tanah Benggolo" (Bengali=India). Koploh berarti ukuran telinganya yang sangat panjang dan menggelantung ke bawah. Kambing PE telah berkembang dengan baik dan diterima oleh masyarakat (Heriyadi, 2004). Pemeliharaan kambing PE di Indonesia ditujukan untuk penghasil daging dan susu (dual purpose). Pemeliharaan kambing PE sebagai ternak penghasil daging dan susu memiliki potensi yang cukup tinggi karena memiliki kemampuan adaptasi yang luas, yaitu dari daerah tropis hingga subtropis, sehingga mampu beradaptasi dengan baik terhadap iklim yang ada di Indonesia. Kambing PE mudah sekali dibedakan dari kambing Kacang (kambing lokal) dengan melihat ukuran, bobot tubuh serta penampilannya. Kambing Kacang berukuran kecil (bobot jantan 35 kg) sedangkan kambing PE jantan kualitas baik bisa mencapai bobot 100 kg. Telinga kambing Kacang pendek dan tegak, sementara telinga kambing PE panjang dan menggantung. Tulang muka (dahi) kambing Kacang rata, kambing PE melengkung. Tanda yang paling mencolok pada kambing PE adalah adanya bulu yang panjang di bagian bawah ekornya dan tidak pernah terdapat pada kambing Kacang. Tingkat kemurnian (keaslian) kambing PE sangat dijaga oleh masyarakat Purworejo dan Kolonprogo dengan membentuk organisasi peternak dan menciptakan kriteria keaslian (standar mutu) kambing PE jantan maupun betina. Kambing PE memiliki karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan dan betina dapat mencapai 90 dan 60 kg (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Kambing PE dengan umur potong 10-12 bulan dapat menghasilkan bobot potong 65-70 kg. Ciri-ciri spesifik kambing PE antara lain 4 bentuk hidung benguk, panjang telinga 25-30 cm menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna rambut bervariasi, kuping, kaki dan rambut yang panjang, memiliki ambing yang besar, dan produksi susu tinggi (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Kambing PE dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan rataan jumlah sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak, 2001). Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal betina dan jantan sebesar 3,2 dan 3,7 kg (Setiadi dan Sutama, 1997). Masa laktasi kambing perah sekitar 6-7 bulan. Meskipun hasil susu kambing sering direkomendasikan bisa mencapai 2-2,5 liter per ekor per hari, namun dalam praktiknya, para peternak kambing hanya mampu menghasilkan susu kambing sebnyak 1,2 liter per ekor per hari (Balai Penelitian Ternak, 2001). Kambing PE di Indonesia mampu menghasilkan susu 2-3 liter per ekor per hari dengan masa laktasi lebih dari 150 hari (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Gambar 1. Kambing PE (Kusuma dan Irmansyah, 2009) Kambing Saanen Kambing Saanen berasal dari lembah Saane bagian baratdaya Switzerland. Bangsa kambing Saanen secara umum dikenal sebagai penghasil susu yang terbesar dan kambing Saanen dan persilangannya juga telah sangat populer sebagai kambing penghasil susu di Eropa, karena itu bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara (Devendra dan Burns, 1994). 5 Karakteristik kambing Saanen ditinjau dari ukuran tubuhnya adalah medium sampai besar dengan pertulangan yang tidak datar dan tingkah lakunya aktif. Kambing Saanen umumnya berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga dan ambing serta betina Saanen biasanya tidak memiliki tanduk (Greenwood, 1997). Rambut pada kambing Saanen pendek dan halus, telinganya tegak dan mengarah ke depan dan mukanya lurus (Ensminger, 1987). Kambing Saanen agak sulit berkembang di daerah tropis karena sensitif terhadap sinar matahari, oleh karena itu dalam pemeliharaannya perlu menggunakan naungan (Devendra dan McLeroy, 1982). Rataan berat badan kambing betina dan jantan adalah 65 dan 75 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi betina dan jantan sekitar 81 dan 94 cm. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 1,80 ekor (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu 216 kg dengan panjang laktasi 275 hari (Gall, 1981). Rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate prduksi susu dapat mencapai 5 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994) Gambar 2. Kambing Saanen (Harun, 2010) 6 Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) merupakan bangsa kambing hasil persilangan antara PE betina dan Saanen jantan. Rachman (2010) menyebut kambing ini dengan nama SAPE. Bangsa kambing ini memiliki karakteristik atau sifat di antara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing ini memiliki produksi susu harian yang lebih baik dari pada kambing PE, namun lebih rendah daripada Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Utomo et al., 2005) karena mempunyai masa laktasi yang lebih pendek (Ruhimat, 2003). Noorcandratini (2004) melaporkan bahwa produksi harian kambing PESA di PT Fajar Taurus rata-rata sebesar 1,8 liter. Gambar 3. Kambing PESA (Rachman, 2010) Gen Growth Hormone (GH) Growth hormone (GH) merupakan hormon peptida dengan rantai polipeptida tunggal 190 atau 191 asam amino yang terdiri dari dua jembatan disulfida (Paladini et al., 1983) yang mengatur pertumbuhan, perkembangan dan beragam aktivitas metabolis (Sterle et al., 1995; Ran et al., 2004). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotropin pada lobus anterior kelenjar pituitary (Ayuk dan Sheppard, 2006). Gen GH pada semua mamalia memanjang sampai 2-3 kb dan terdiri dari lima exon yang dipisahkan oleh empat intron (MacLeod et al., 1992; Golos et al., 1993). Exon pada suatu gen diketahui mengkode suatu bagian tertentu (yang disebut domain) pada suatu protein, sedangkan intron merupakan bagian yang tidak mengkode urutan asam amino 7 (Yuwono, 2008). Sekuens gen GH kambing memiliki panjang 2544 pb (Kioka et al., 1989) dan masing-masing exon dan intron memiliki panjang sekuens nukleotida yang berbeda (Jakaria, 2008). Pengaruh gen GH pada pertumbuhan telah diteliti pada beberapa jaringan, termasuk tulang, otot dan jaringan adiposa. Banyak penelitian pada ruminansia menguatkan peranan gen GH dalam mengatur pertumbuhan kelenjar ambing. Gen GH dengan fungsi dan posisinya yang potensial telah banyak dipakai sebagai marker. Gen GH memiliki panjang exon dan intron yang berbeda-beda. Rekonstruksi struktur gen GH Capra hircus berdasarkan data yang terdapat di GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/D00476.1) dapat dilihat pada Gambar 4 dan sekuens gen GH kambing secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5. Intron 1 Exon 1 Intron 2 Exon 2 Intron 3 Exon 3 Intron 4 Exon 4 Exon 5 Flanking region 5’ Flanking region 3’ Keterangan: Lokus : D00476 Panjang : 2544 bp Gen : 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064 Exon 1 : 432-444 = 13 bp Intron 1 Exon 2 : 692-852 = 161 bp Intron 2 Exon 3 : 1080-1196 = 117 bp Intron 3 Exon 4 : 1426-1587 = 162 bp Intron 4 Exon 5 : 1864-2064 = 201 bp : 445-691 : 853-1079 : 1197-1425 : 1588-1863 = 247 bp = 227 bp = 229 bp = 276 bp Gambar 4. Rekonstruksi Struktur Gen GH pada Kambing Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan suatu reaksi untuk menggandakan jumlah molekul DNA target secara in vitro dengan berulang melalui perpanjangan dua primer pada suatu areal DNA tertentu. Reaksi ini menghasilkan produk amplikasi (amplikon) dengan jumlah yang meningkat secara eksponensial dari jumlah DNA awal. Reaksi ini bekerja dengan cara menyintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase dan dua oligonukleotida sebagai primer (primer forward dan primer reverse). 8 1 61 121 181 241 301 361 421 481 541 601 661 721 781 841 901 961 1021 1081 1141 1201 1261 1321 1381 1441 1501 1561 1621 1681 1741 1801 1861 1921 1981 2041 2101 2161 2221 2281 2341 2401 2461 2521 gggattttct ggctgagcca tggggtgggc aggggatgat gagaggaggt agagcacaca agagaccaat gctcaccaac aagggggtga ctgaatgcga ccctggaggg ctccgtcgcg ACCCTGCTCT GGCCTGTTTG TTCAAAGAGT gaatccgcac agtaaggatg aaggcagtga AGCGCACCTA GCTTCTCCGA gtggccacct ctctgcaccg ggaggatgat ctgccccgag CGCATCTCAC TTCACCAACA GAGGAAGGCA gggggccatg agatccctgc cccgttttga agcgggcagg cagGAGCTGG TTTGACACAA TTCCGGAAGG GGGGAGGCGA cctagaccct ttgcatcaca gcgagaggga tgctgaataa gtgacacacc agctcaggag ccctcatcag caggctatga Keterangan: gacccaggga cctgggaagc tctcaagctg gatgagcctg tctaaattat ggtgggggga tccaggatcc tATGATGGCT tgcgggagaa acataggtat aagggcaggc gccctcctgg GCCTGCCCTG CCAACGCTGT TTgtaagctc cccctccaca tggtcagggg ggggaaccac CATCCCGGAG AACCATCCCG aggaccgagg ggcctggggt ggttggtggt cccggggcac TGCTCCTTAT GCCTGGTGTT TCCTGGCGCT cccaccctct tctctctctc aacctccttc agggagccgc AAGATGTTAC ACATGCGGAG ACCTGCACAA GCTGCGCGTT ggaaggtgcc ttgtctgagt ggattgggaa ttgacccggt cggtcctcgc ggctctgcct cccaccaaac agtacagagg Warna biru Huruf kapital Huruf kecil Cetak tebal ttaaacctga ccattcgttt agaccctgtg ggggacatga ccattagcac aagggagaga caggacccag GCAGgtaagc ctgccgatgg ctgcacccag gggggctggc tctctcccta GACTCAGGTG GCTCCGGGCT cccagagatg caatgggagg agtagaaatg acaccagctt GGACAGAGAT GCCCCCACGG agcaggggac ggcgttctcc ggtggcagga ccaccaacca CCAGTCGTGG TGGCACCTCG GATGCGGgtg cctggcttag tctttctagc ctcgcccttc tcctgagggc CCCCCGGGCT TGACGACGCG GACGGAGACG CTAGttgcca actccagtgc aggtgtcatt gacaatagca tcttcctggg ccctggtcct tcagtcccac caaacctagc gaga gtctcctgca ctgctacctc tgtacagccc ccccagagaa aggctgccag gaagaagcca ttcaccagac tcacaaaaat atgtgtccac acatttggcc aggagatcag gGGCCCCGGA GTGGGCGCCT CAGCACCTGC tgtcctagag gaactgagga ggggtgtgtg agacccgggt ACTCCATCCA GCAAGAATGA ctccttcatc ctgaggtggc ggtcctcggg cccatctgcc CTTGGGCCCC GACCGTGTCT aggatggcgt ccaggagaac agcccagtct tccaagccta cttcggcctc GGGCAGATCC CTGCTGAAGA TACCTGAGGG gccatctgtt ccactgtcct ctattctagg gggatgctgt ccagaaggaa tagttccagc ccgctaaagt ctccaagagt tttgcagctc ccccttaaaa tcaggctggt ggaacgggaa tggtccttgc gggtataaaa gactcagggt cccctccatt agctttgggt aagtttgaaa gcatccagct CGTCCCTGCT TCCCAGCCAT ATCAACTGGC gtggggaggc cctcagtggt gggtggggag gggtgtgttc GAACACCCAG GGCCCAGCAG ttaagtaggc agagggtgtt cagaggccga agcagGACTT TGCAGTTCCT ATGAGAAGCT tgttgggtcc acacgtgggc tgacccagga taggggaggg tctgtctctc TCAAGCAGAC ACTACGGTCT TCATGAAGTG gttacccctc ttcctaataa gggtggggtc gggctctatg gcaggcacat cccactcata gcttggagcg gggaagaaat gattctttat agaaaaccta ggcagtggag caggatgagt ataaatgtat agggcccagc cctgctgaca agcgtgtcct tttagggctt tgttctcagt ctctgggccc CCTGGCTTTC GTCCTTGTCC TGCTGACACC aggaaggggt attttatcca ggttccgaat tccccccagG GTTGCCTTCT AAATCAgtga tgccccagct ggatggcagt ccttgcaggg GGAGCTGCTT CAGCAGAGTC GAAGGACCTG cttccatgct tgggggagag gaaacctctt tggaaaatgg cctcccttgg CTATGACAAA GCTCTCCTGC TCGCCGCTTC cccgtgcctt agcgaggaaa aggcaggata ggtacccagg ccccttctct ggacactcat gtttctcctt taaagcaaga = daerah open reading frame (ORF) = daerah exon = daerah intron = posisi primer gen GH exon 4 Gambar 5. Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011) Sintesis rangkaian DNA yang baru memerlukan dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP). Reaksi PCR berlangsung dalam lima tahap, yaitu denaturasi awal, denaturasi akhir, penempelan primer (annealing), pemanjangan (extension) dan inkubasi. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi disebut satu siklus dan proses ini biasanya berlangsung sebanyak 35-40 siklus (Muladno, 2002). Reaksi PCR dipengaruhi oleh reaksi campuran DNA template (yang mengandung sekuen yang 9 akan diamplifikasi), primer, campuran nukleotida dan berbagai senyawa biokimia lainnya dan enzim yang tahan terhadap panas yang disebut sebagai DNA polymerase. Semua campuran reaksi tersebut berada dalam satu plastic tube (Claverie dan Notredame, 2003). Efisiensi amplifikasi PCR dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran DNA target menjadi lebih kecil. DNA dapat dipotong secara fisik dengan meresuspensi atau mengocok DNA menggunakan ujung tips yang sempit atau secara kimia dengan menggunakan enzim restriksi. Pengecilan ukuran DNA target dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi denaturasi DNA target utas ganda menjadi DNA target utas tunggal (Gerhardt et al., 1994). Komponen PCR antara lain DNA target, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, DNA polymerase untuk PCR dan buffer. Produk amplifikasi harus spesifik dan menghasilkan produk amplifikasi yang besar (efisien), sehingga perlu optimasi kondisi PCR termasuk pemilihan kondisi DNA target, konsentrasi dan jenis DNA polymerase, dNTP, perancangan primer yang baik, penetapan siklus yang sesuai dan pemilihan mesin PCR yang baik (Gerhardt et al., 1994). Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism (PCR-SSCP) PCR adalah suatu metode in vitro untuk mensintesis sekuens DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan kedua oligonukleatida sebagai primer yang berhibridisasi secara berlawanan pada sisi target utas DNA yang diinginkan (Muladno, 2002). DNA dapat diperbanyak melalui reaksi berantai polymerase dari sehelai rambut, setetes darah, semen, kuku dan lain-lain. Bahan awal untuk PCR adalah DNA yang mengandung sekuens yang akan diamplifikasi. Jumlah DNA yang diperlukan untuk proses PCR sangat kecil, biasanya lebih kecil dari satu mikrogram. Inisiasi target DNA memerlukan dua oligonukleatida primer dan sebagai prekursor diperlukan campuran keempat deoksinukleotida trifosfat (dNTP) dan dibutuhkan juga enzim DNA polymerase. Konsentrasi Mg2+ pada buffer PCR yang cukup juga diperlukan. Proses PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi atau perubahan struktur DNA dari utas ganda menjadi utas tunggal, annealing atau penempelan primer pada sekuens DNA 10 komplementer yang akan diperbanyak dan extension atau pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002). SSCP adalah metode elektroforesis yang populer untuk mengidentifikasi mutasi sekuens. Metode ini dianggap populer dengan asumsi dasarnya adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis (Orita et al., 1989; Barroso et al,. 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al., 1999). Fragmen DNA untai tunggal yang mengalami perubahan pada susunan nukleotidanya akan membentuk suatu konformasi tiga dimensi yang kompleks dan berbeda dengan fragmen DNA yang tidak mengalami perubahan (normal). Konformasi yang berbeda akan mempengaruhi laju migrasi dalam gel poliakrilamida sehingga dapat diidentifikasi keragamannya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi sensitifitas SSCP, yaitu: (1) konsentrasi crosslinker; (2) konsentrasi DNA dan panjang fragmen DNA; (3) konsentrasi buffer, temperatur dan komposisi matriks gel (Beier, 1993); (4) komposisi produk PCR; (5) lama dan voltase elektroforesis dan (6) lokasi mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999). Metode SSCP sering digunakan untuk mendeteksi keragaman gen karena memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan SSCP dibandingkan dengan metode lain, yaitu: (1) sederhana dan dapat dikerjakan di laboratorium biasa (Bastos et al., 2001); (2) dapat mendeteksi adanya mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999) sehingga dapat dibedakan dengan yang normal dan (3) visualisasi tidak perlu menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al., 1999). Namun demikian terdapat juga beberapa kekurangan metode SSCP, yaitu: (1) fragmen DNA yang dapat dianalisis terbatas ukurannya (lebih efektif pada ukuran panjang 100-250 bp); (2) perlu kondisi yang beragam untuk mendeteksi beberapa kemungkinan mutasi (Beier, 1993); (3) tidak efisien untuk fragmen DNA yang tidak diketahui urutan nukloetidanya; (4) sulit untuk menginterpretasikan pita-pita yang dihasilkan dan (5) terbatas dalam menentukan jumlah alel (Prizenberg et al., 2005). 11