1 KESUBURAN TANAH DAN PENGELOLAANNYA (smno.tnh.fpub) Permasalahan kesuburan tanah khususnya dalam hubungannya dengan kesehatan dan kwalitas tanah di jabarkan dalam beberapa aspek antara lain tanah untuk kehidupan, pertumbuhan tanaman dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan tanah, Reaksi tanah dan pengapuran, Nitrogen unsur hara sangat mobil, Fosfor unsur hara yang mudah terfiksasi tanah, kalium unsur hara kwalitas, Unsur hara sekunder, unsur hara miko dan fungsinya, analisa tanah, tanaman dan kesuburan tanah, kwalitas tanah untuk pengelolahan tanah secara berkelanjutan. Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi, getah, eksudat, akar, trubus, batang, biomassa, naungan, penampilan dsb. Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung sejumlah faktor pembentuk tanah yang merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan induk, Iklim, Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah merupakan fokus utama dalam pembahasan ilmu kesuburan tanah, sedangkan kinerja tanaman merupakan indikator utama mutu kesuburan tanah. Tanah yang subur lebih disukai untuk usaha pertanian, karena menguntungkan. Sebaliknya terhadap tanah yang kurang subur dilakukan usaha untuk menyuburkan tanah tersebut sehingga keuntungan yang diperoleh meningkat. Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi, getah, eksudat, akar, trubus, batang, biomassa, naungan atau penampilan. Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung faktor pembentuk tanah yang merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan induk, Iklim, Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah merupakan fokus utama dalam pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman merupakan indikator utama mutu kesuburan tanah. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas atau ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah bagaimana memelihara atau meningkatkan status kesuburan tanahnya. Konsep pembangunan berkelanjutan terus digalakkan agar kegiatan pertanian senantiasa menguntungkan, aman, lestari dan ramah lingkungan. Perlu penyusunan rekomendasi pemupukan terpadu yang bersifat spesifik lokasi disesuaikan dengan komoditas yang diusahakan dan lahan tempat usahanya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan. Beberapa alasan kenapa harus memupuk: 2 1. Aplikasi pupuk terhadap hara yang diketahui menjadi faktor pembatas, akan meningkatkan hasil. 2. Pengusahaan tanaman dengan hasil tinggi (high yielding), membutuhkan tanah yang subur secara berkesinambungan. 3. Hara yang diserap oleh tanaman harus digantikan. 4. Penggunaan pupuk yang tepat akan meningkatkan keuntungan ekonomi. Hubungan antara kesuburan tanah dengan keadaan lingkungan dapat digambarkan sebagai berikut. Hara dapat bergerak menuju badan air permukaan atau air dalam tanah. Hal ini disebabkan bentang lahan saling berhubungan, lahan pertanian tidak terpisah dari lingkungan di sekitarnya. Pengelolaan hara yang buruk, misalnya pemupukan yang berlebihan, pengelolaan rabuk yang sembarangan, akan menimbulkan beaya lingkungan. 3 Komponen Kesuburan Tanah 1. Kedalaman efektif perakaran yang memadai [nama lain solum, merupakan daerah jelajah akar, perlu dikonservasi menghadapi ancamab erosi dan pencucian]. 2. Struktur tanah yang optimum [mengatur keseimbangan air-udara dan kemudahan ditembus akar]. 3. Reaksi tanah yang optimum [mencerminkan ketersediaan / kelarutan unsur hara dan dominansi mikrobia]. 4. Hara cukup dan seimbang [macam, jumlah dan nisbah]. 5. Penyimpanan dan penyediaan hara dan lengas yang optimum [berkaitan dengan Kapasitas Pertukaran Kation, buffering capacity, serta retensi lengas]. 6. Humus yang cukup [penyimpanan C-organik dalam tanah, berfungsi dalam khelasi, sebagai sumber materi dan energi bagi mikrobia]. 7. Mikrobia bermanfaat [melakukan sinergisme, pelaku aktif daur hara dan materi]. 8. Bebas bahan meracun [berupa senyawa toksin dan limbah]. Kemasaman Tanah dan Kesuburan Keasaman dalam larutan itu dinyatakan sebagai kadar ion hidrogen disingkat dengan [H+], atau sebgai pH yang artinya –log [H+]. Dengan kata lain pH merupakan ukuran kekuatan suatu asam. pH suatu larutan dapat ditera dengan beberapa cara antara lain dengan jalan menitrasi lerutan dengan asam dengan indikator atau yang lebih teliti lagi dengan pH meter. pH berkisar antara 10-1 sampai 10-12 mol/liter. Makin tinggi konsentrasi ion H, makin rendah –log [H+] atau pH tanah, dan makin asam reaksi tanah. Pada umumnya, keasaman tanah dibedakan atas asam, netral, dan basa. Ion H+ dihasilkan oleh kelompok organik yang dibedakan atas kelompok karboksil dan kelompok fenol.Tipe keasaman aktif atau keasaman actual disebabkan oleh adanya Ion H+ dalam larutan tanah. Keasaman ini diukur menggunakan suspensi tanah-air dengan nisbah 1 : 1; 1 : 2,5; dan 1 : 5. Keasaman ini ditulis dengan pH (H2O). Tipe keasaman potensial atau keasaman tertukarkan dihasilkan oleh ion H+ dan Al3+ tertukarkan yang diabsorbsi oleh koloid tanah. Potensial keasaman diukur dengan menggunakan larutan tanah-elektrolit, pada umumnya KCl atau CaCl2. Karena ion H dan Al yang diabsorbsi koloid tanah dalam keadaan seimbang (equilibrium) dengan ion H+ dalam larutan tanah maka terdapat hubungan yang dekat antara kejenuhan (H+Al) dan pH, demikian juga dengan persentase kejenuhan basa pada pH. Tanah yang ekstrim masam dengan (H+Al) mendekati 100% kurang lebih mempunyai pH sama dengan asetat pH 3,5. Keasaman (pH) tanah diukur dengan nisbah tanah : air 1 : 2,5 (10 g tanah dilarutkan dengan 25 ml air) dan ditulis dengan pH2,5(H2O). Di beberapa laboratorium, pengukuran pH tanah dilakukan dengan perbandingan tanah dan air 1 : 1 atau 1 : 5. Pengukuran pada nisbah ini agak berbeda dengan pengukuran pH2,5 karena pengaruh pengenceran terhadap konsentrasi ion H. 4 Untuk tujuan tertentu, misalnya pengukuran pH tanah basa, dilakukan terhadap pasta jenuh air. Hasil pengukuran selalu lebih rendah daripada pH2,5 karena lebih kental dan konsentrasi ion H+ lebih tinggi. Pengukuran pH tanah di lapangan dengan prinsip kolorimeter dengan menggunakan indikator (larutan, kertas pH) yang menunjukkan warna tertantu pada pH yang berbeda. Saat ini sudah banyak pH-meter jinjing (portable) yang dapat dibawa ke lapangan. Di samping itu, ada beberapa tipe pH-meter yang dilengkapi dengan elektroda yang secara langsung dapat digunakan untuk pH tanah, tetapi dengan syarat kandungan lengas saat pengukuran cukup tinggi (kandungan lengas maksimum atau mungkin kelewat jenuh). Kesalahan pengukuran dapat terjadi antara 0,1 – 0,5 unit pH atau bahkan lebih besar karena pengaruh pengenceran dan faktor – faktor lain. Untuk mengukur pH basa kuat di lapangan, indikator fenolptalin (2 g indikator fenolptalin dalam 200 ml alkohol 90%) yang tidak berwarna sangat bermanfaat karena akan berubah menjadi ungu sampai merah pada pH 8,3 – 10,0. Kondisi yang sama dalam pengukuran pH di lapangan pada kondisi luar biasa asam digunakan indikator Brom Cresol Green (0,1 g dilarutkan dalam 250 ml 0,006 N NaOH) yang berubah menjadi hijau sampai kuning pada pH 5,3 dan lebih rendah daripada 3,8. Untuk mengetahui pH tanah di lapangan, secara umum dapat digunakan indikator universal (campuran 0,02 g metil merah, 0,04 g bromotimol blue, 0,04 g timol blue, dan 0,02 g fenolptalin dalam 100 ml alkohol encer (70%)). Pada umumnya reaksi tanah baik tanah gambut maupun tanah mineral menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya sebanding dengan banyaknya H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-. Sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH 7. Bila tanah terlalu asam atau terlalu basa maka tanaman akan tumbuh kurang sempurna sekalipun masih bisa tumbuh dan menghasilkan buah. Memang ada beberapa tanaman tertentu yang senang di tanah asam ataupun basa. Ketersediaan unsur hara makro di dalam tanah ini sedikit sedangkan hara mikro seperti Besi dan Aluminium tinggi. Hal ini mengakibatkan tanaman kekurangan hara dan keracunan. Salah satu upaya yang ditempuh dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki lahan masam adalah dengan menurunkan keasaman dan meningkatkan kejenuhan basa yang diperoleh dengan pemberian kapur serta pemupukan. Dengan adanya peningkatan kejenuhan basa, maka pH tanah naik dan unsur hara relatif lebih mudah tersedia. Pengertian Reaksi Tanah Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan reaksi asam atau basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam 5 tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan biokimia tanah yang berlansung spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju dekomposisi mineral tanah dan bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan pertumbuhan tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan ketersediaan hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi tanaman. Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu berarti kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 - 1 atau 1/10 gmol/l. Tanah pada kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti kepekatan ion hidrogennya 10-14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini sangat basa. Tanah-tanah yang ada di Indonesia sangat bervariasi tingkat keasamannya. Ada tanah yang masam seperti Podsolik Merah Kuning, dan latosol Tanah yang alkalis seperti Mediteran Merah Kuning dan Grumosol. Bagi tanah - tanah yang bereaksi masam, seringkali tidak atau kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pada tanah-tanah demikian sering dilakukankan pengapuran (liming). bahan- bahan yang digunakan untuk menaikkan pH tanah yang bereaksi masam menjadi mendekati netral dengan harga pH sekitar 6,5. Faktor Yang Mempengaruhi Kemasaman Tanah Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari ion H+. Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida dengan cara sebagai berikut : Al3+ + 3H2O ----- Al(OH)2+ + H+ Al3+ + OH- ----- Al(OH)2+ dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah. Di daerah rawa-tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena mengandung, lapisan cat clay yang menjadi sangat masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida menjadi sulfat. Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan oktahedral dan menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan kemudian dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks lempung- 6 Al-H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan ion H+: Koloid liat-Al+++ + 3H2O ------ Al(OH)3 + Koloid liat - 3H+ Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah. Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan asam-asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran yang sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika gambut semakin tebal. Asam-asam organik yang tanah gambut terdiri dari atas asam humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu pada oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2 - 3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik. Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat-alat pertanian yang terbuat dari logam. Sifat Kemasaman Tanah Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kernasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan. Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam-asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang besar dari ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan Liat-H+ ========== H+ (larutan tanah) Ion-ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion-ion H+ bebas. Dcrajat ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman tanah. Ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion-ion H+ bebas menciptakan kemasaman aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. 7 Menentukan Kemasaman Tanah Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester. Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening, air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati-hati agar tidak keruh. Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut. Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah dilengkapi dengan angka pH masing-masing Warna. Angka pH tanah tersebut adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH-nya 6. Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut. Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk megukur nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1-2 ha. Walaupun demikian, alat ini masih bisa diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH berbentuk kotak dengan jarum penunjuk angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi logam elektroda. Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1-2 buah. Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya disisipkan kawat Ag-AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan (voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama-tama harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH-nya (misalnya konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk pH (pH meter). Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke dalam suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel-partikel padat terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika partikel-partikel padat dibiarkan mengendap, pH dapat diukur dalam cairan supernatant atau dalam endapan (sedimen). Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant biasanya memberikan bacaan pH yang lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen. Perbedaan dalam bacaan pH ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum 8 pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini memberikan bacaan yang tidak stabil. Pengapuran Kapur merupakan salah satu bahan mineral yang dihasilkan melalui proses pelapukan dan pelarutan dari batu-batuan yang terdapat dari dalam tanah. Mineral utama penyusun kapur adalah kalsit dan dolomit yang tergolong dalam mineral sekunder. Kapur menurut susunan kimia adalah CaO, tetapi istilah kapur adalah senyawa bentuk karbonat kapur dengan CaCO3 dan MgCO3 sebagai komponen utarna. Bentuk oksidanya yaitu CaO, dapat dihasilkan dengan memanaskan kalsium karbonat dan menghilangkan karbondioksidanya. Bentuk hidroksidanya dapat terbentuk dengan membasahi atau menambahkan air pada bentuk oksidanya. Tanah masam umumnya tidak produktif. Untuk meningkatkan produktifitas tanah tersebut, pemberian kapur adalah cara yang tepat. Beberapa keuntungan dari pengapuran adalah : 1) fosfat menjadi lebih tersedia, 2) kalium menjadi lebih efisien dalam unsur hara tanaman, 3) struktur tanahnya menjadi baik dan kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, 4) menambah Ca dan Mg bila yang digunakan adalah dolomin, dan 5) kelarutan zat-zat yang sifatnya meracun tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang. Selain tanah-tanah yang bereaksi masam, terdapat pula tanah yang, bereaksi alkalis (basa) dengan derajat pH lebih dari 8.0. Tanah-tanah demikian perlu diturunkan pH nya sampai mendekati netral agar permanfaatannya untuk berusaha tani lebih baik. Usaha untuk menurunkan pH pada tanah yang reaksinya alkalis dapat dilakukan dengan memberikan beberapa bahan, yaitu tepung belerang (S). Cara pengapuran dengan bahan pengapur untuk menaikkan pH tanah yang paling umum pada tanah-tanah pertanian yang menghendaki perbaikan derajat keasamannya adalah dengan cara disebar dan disemprotkan. Pada cara disebar, sebulan sebelum penanaman dilaksanakan, kapur bakar atau kapur mati diberikan dengan jalan disebar merata di permukaan tanah. Pada pengolahan tanah terakhir (menghaluskan dan meratakan), kapur diaduk dengan tanah agar butir-butir kapur masuk ke dalam lapisan tanah. Bila yang digunakan tepung batu kapur (kapur pertanian) hendaknya diberikan jauh lebih awal daripada kapur bakar maupun kapur mati. Cara pemberian dengan disebar biasa dilaksanakan pada penanaman kedelai, dengan menggunakan dosis 2 - 4 ton kapur mati per hektar. Pengapuran dengan cara disemprotkan biasa dilakukan pada tanaman kacang tanah. Pada tanaman ini pengapuran merupakan suatu pekerjaan yang baik untuk menyediakan unsur Ca bagi tanarnan kacang tanah. Hal ini disebabkan karena kebutuhan Ca pada kacang tanah adalah besar terutama untuk pembentukan polong. Cara pemberian tepung belerang adalah pada saat pengolahan tanah tepung belerang ditaburkan di atas permukaan tanah. Pada pengolahan selanjutnya tepung belerang akan diaduk atau teraduk ke dalam lapisan tanah. Sedangkan cara pernberian gypsum adalah tepung gypsum halus ditebarkan pada permukaan tanah kemudian diaduk dengan 9 tanah. Jumlah gypsum yang dibutuhkan untuk menurunkan pH dari derajat basa sampai mendekati netral adalah 6 ton per hektar, tergantung, pada alkalinitas asal dan jenis tanahnya. Setelah pemberian tepung gypsum dilaksanakan, lahan harus dialiri dengan air tawar. Bila ada kelebihan pemberian kapur, yaitu penambahan kapur melebihi pH tanah yang diperlukan oleh pertumbuhan optimum tanaman, biasanya tanaman akan memberikan tanggapan terhadap pengapuran akan sangat menderita, terutama pada tahun pertama pemberian kapur. Pemberian kapur dalam jumlah sedang pada tanah berat tidak akan memberikan pengaruh buruk. Tetapi, pada tanah berpasir atau berdebu dan bahan organik rendah jumlah pemberian kapur yang sama menyebabkan banyak tanaman menderita. Pengaruh buruk yang dapat terjadi adalah : 1 ) Kekurangan besi, mangan, tembaga dan seng, 2) Ketersediaan fosfor mungkin menurun karena pembentukan senyawa kompleks dan tidak larut, 3) Serapan fostor dan penggunaannya dalarn metabolisme tanaman dapat terganggu, 4) serapan boron dan penggunaannya dapat terganggu dan 5) perubahan pH yang meningkat cepat dapat berpengaruh buruk. Dengan begitu kerusakan akibat kelebihan kapur sukar diterangkan secara memuaskan, karena adanya hubungan biokoloidal yang kompleks dalam tanah. Untuk menentukan banyaknya kapur yang diperlukan untuk tiap-tiap hektar tanah diperlukan beberapa cara antara kain, yaitu : 1) Metode SMP (Schoemaker, McLean, dan Pratt). Metode ini dilanjutkan dengan mengukur jumlah H+ dan Al3+ yang dapat dipertukarkan dan larut dengan menggunakan larutan SMP buffer. Prosedurnya yaitu terlebih dahulu mengocok tanah dengan air destilat kemudian diukur pH-nya. Dengan kertas lakmus atau pH meter. Bila tanah tersebut tergolong masam, maka pengukuran dilanjutkan dengan menambah larutan SMP buffer lalu dikocok. Kemudian diukur lagi pH-nya. Berdasarkan metode ini maka kebutuhan kapur dapat diketahui melalui tabl kebutuhan kapur. 2) Metode berdasarkan kadar Al-dd tanah permukaan, yaitu kadar Al-dd yang diekstrak dengan larutan KCl 1 N. Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan dinyatakan sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen yang beredar di dalam tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen (H+ ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut asam Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali disebut basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari H+. Reaksi tanah dibedakan menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalarn larutan. 10 Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion AL3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Di daerah rawa-rawa atau tanah gambut, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Pengapuran merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang bereaksi asam atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan pH tanah sehingga karenanya unsur-unsur hara menjadi lebih tersedia, memperbaiki struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, dan menurunkan kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni tanaman dan unsur lain tidak banyak terbuang. Ketersediaan Hara dalam Tanah Tanah merupakan sumber kehidupan dari mahluk hidup di muka bumi, terutama manusia. Tanah sebagai media tumbuh alami menyediakan sejumlah besar unsur makanan (unsur hara) bagi kehidupan tumbuhan. Kesuburan tanah di luar pulau jawa ternyata sangat rendah yang ditandai oleh rendahnya hasil pertanian. Hal ini di sebabkan oleh tingkat kemasaman tanah di luar pulau jawa yang sangat tinggi. untuk menanggulangi hal ini hanya dapat di lakukan dengan pengapuran tanah secara terpadu. 11 Unsur hara mikro adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak (> 500 ppm). Kekurangan unsur hara makro dapat menimbulkan gejala defisiensi pada tanaman, tidak bisa digantikan oleh unsur hara makro lain. Unsur hara makro diperlukan tanaman > 10 mmol per berat kering tanaman, sedangkan unsur hara mikro kurang dari 10 mmol per berat kering tanaman. Macam-macam unsur hara makro diantaranya: 1. Hidrogen Unsur hara ini diserap tanaman melalui air dalam bentuk senyawa CO2yang berfungsi sebagai penyusun senyawa organik diantaranya pada protein, asam lemak ( jenuk atau tidak jenuh), DNA dan RNA. Mengel dan Kirkby (1987) menganggap bahwa air merupakan hara tanaman seperti CO2, NH4. air yang digunakan dalam proses foto sintesis sekitar 0,01% dari seluruh keperluan air yang digunakan oleh tanaman. Air selain terlibat dalam proses foto sintesis juga berefungsi sebagai pelarut senyawa organik, anorganik, gula, pengangkut hara tanaman, reaksi biokimia, dan hidrasi sel. 2. Karbon Karbon juga berfungsi dalam penyusunan senyawa organik, diserap tanaman melaui daun dalam bentuk ion H+ dan H2O. Tanaman mengmabil hara karbon dari udara bebas. Kegiatan ini dilakukan oleh tanaman yang punya klorofil, klorofil mampu menyerap cahaya menjadi energi kimia yangkemudia diubah menjadi CO2 dan karbohirat. 3. Oksigen Sebagai penyusun senyawa organik diserap tanaman dalam bentuk ion O2 melalui daun tanaman 4. Nitrogen Merupakan penyusun asam amino, protein , enzim, klorofil, auxsin, fitohormon dan alkoloid yang terdapat pada DNA, RNA dan asam nukleat. Diserap tanaman dalam bentuk ion NH4+ dan NO3- . nitrogen merupakan hara penting untuk pertumbuhan tanaman. Kadar rata-rata dalam tanaman 2-4% berat kering tanaman. Dalam tanah akandungan nitrogen sangat berfariasi tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut. Tanah lahan kering umumnya menyerap ion nitrat nitrogen lebih besar dibanding dengan ion NH4+. Sedangkan pada pH netral relatif sama. Pemupukan nirogen akan meningkatkan produksi tanaman, kadar protein, selulosa, tetapi menurunkan kadar sukrosa dan pati. Penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen berlebihan akan memanjangkan fase vegetatif tanaman, tetapi hal ini dapat dikurangi dengan Cholo Choline Chloride (CCC = cycocel). Pemupukan nitrogen dibawah optimal dapat menyebabkan naiknya asimilasi amonia dan kadar protein dalam daun, namun dapat menghambat pertumbuhan akar. Dan tanamn mudah rebah karena luas permukaan akar menjadi lebih sempit. Pemupukan nitrogen terlalu tinggi menyebabkan penurunan kualitas tanaman karena menurunkan kadar karbohidrat tanaman tersebut. Pupuk nitrogen juga berpengaruh pada kandungan kimia tanaman, kenaikan kadarnitrogen 12 akan menurunkan karbohidrat tanaman. Untuk menetahui status hara tanaman dapat dilakukan analisa tanaman berupa jaringan daun dan tangkai. Pengelolaan Nitrogen (N) Peran N dalam Tanaman Nitrogen adalah hara utama tanaman, merupakan komponen dari asam amino, asam nukleid, nudeotides, klorofil, enzim, dan hormon. N mendorong per tumbuhan tanaman yang cepat dan memperbaiki tingkat hasil dan kualitas gabah melalui peningkatan jumlah anakan, pengembangan luas daun, pembentukan gabah, pengisian gabah, dan sintesis protein. N sangat mobil di dalam tanaman dan tanah. Aplikasi Pupuk N pada Padi N merupakan elemen pembatas pada hampir semua jenis tanah. Oleh karenanya, pemberian pupuk N yang tepat sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya dalam system pertanian intensif. Kekurangan/atau pengelolaan N yang tidak sesuai akan berakibat buruk pada tanaman dan lingkungan. Strategi pengelolaan N yang optimal ditujukan pada keserasian pemberian pupuk N dengan kebutuhan aktual tanaman, sehingga serapan tanaman terhadap N maksimal dan mengurangi kehilangan N ke udara. Pengelolaan N Gejala defisiensi N. Tanaman tumbuh kerdil, daun menguning dan jumlah anakan sedikit; hasil rendah karena jumlah malai per unit area dan jumlah gabah per malai lebih sedikit. Terjadinya defisiensi N. Hampir semua jenis tanah kekurangan N; tanah masam dengan tekstur kasar (coarse) dan kandungan bahan organik rendah (kurang dari 0,5 % organik C); tanah masam, salin, drainase buruk, dan tanah kahat P dengan kapasitas mineralisasi N dan fiksasi biologis N rendah; kalkareous dan tanah salin dengan kadar bahan organik rendah serta berpotensi tinggi untuk terjadinya penguapan amonia. Dosis aplikasi N. Pupuk anorganik merupakan sumber yang biasa digunakan mensuplai N, dan lebih menguntungkan petani dibandingkan menggunakan pupuk N organik. Sumber pupuk organik N tersedia di lahan pertanian seperti pupuk kandang dan kompos bisa efektif dan menarik secara finansial guna memenuhi kebutuhan padi.akan N. Berikan pupuk N anorganik 40-50 kg/ha untuk setiap kenaikan satu ton hasil dari tanpa pemberian N. Pada level hara optimum, tanaman padi (jerami + biji) menyerap sekitar 16 kg N per ton hasil gabah ( 10 kg N dalam gabah + 6 kg N dalam jerami). Waktu aplikasi pupuk N. Warna daun dan penampilan tanaman menunjukkan status N dan membantu menentukan kebutuhan akan pemupukan N. Lihat; i) 13 Pengelolaan N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD=leaf color chart=LCC), dan ii) Split aplikasi N berdasarkan fase pertumbuhan dan BWD. Sumber Pupuk N Amonium sulfat (21 % N, 24 % S) Urea (46 % N) Diamonium fosfat atau DAP (18 % N; 44-46 % P2O5). Aplikasi pupuk secara Terpisah (split aqpplication) Efisiensi pemupukan N dapat ditingkatkan dengan memonitor warna daun pada selang waktu 7-10 hari dengan BWD dan N diberikan sesuai kebutuhan tanaman (lihat BWD). Alternatif aplikasi pemupukan N dengan pendekatan waktu pemberian disajikan berikut ini untuk kasus di mana petani tidak mungkin melakukan monitoring sawahnya dalam interval 7-10 hari. Pola Pendekatan Aplikasi N Terpisah Pola pendekatan terpisah memberikan anjuran total kebutuhan pupuk N (kg/ha) dan rencana pemecahan dan waktu aplikasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman, varietas yang digunakan dan metode penumbuhan tanaman. Bagan Warna Daun (BWD) digunakan untuk pemupukan susulan tersendiri. Perkirakan kebutuhan total pupuk N dan buat pola pemecahan aplikasinya. Gunakan BWD pada tahap pertumbuhan tanaman kritis untuk menyesuaikan dosis N yang ditentukan sebelumnya. Memperkirakan Kebutuhan Total Pupuk N Buat plot pemupukan (F) di lahan petani (lihat Petakan plot omisi). Bandingkan hasil dari plot -F yang mewakili hasil dengan pembatas N dengan target hasil di lokasi tersebut, berdasarkan pengetahuan yang dimiliki untuk hasil yang dapat dicapai dengan antisipasi pengelolaan tanaman dan pemupukan. Beda antara hasil target dan hasil –N menunjukkan antisipasi tanggap tanaman padi terhadap pemupukan N. Tetapkan kebutuhan total pupuk N berdasarkan keperluan 40-50 kg N/ha yang merupakan antisipasi tanggap tanaman terhadap N. Prinsip umum respon 40 kg N/ton N sudah memadai pada musim dengan hasil tinggi dan 50 kg N/ton respon memadai pada musim dengan hasil rendah. Kebutuhan N tinggi 60 kg N/ton dijumpai pada kondisi pengelolaan N sub-optimal atau bila target hasil mendekati potensi hasil pada tanggap N rendah (<2 t/ha). Penggunaan BWD Gunakan nilai BWD kritis untuk menyesuaikan dosis N terpisah berdasarkan kebutuhan dan status N tanaman. Sebagai contoh, bila 30±10 kg N/ha dianjurkan untuk fase pertumbuhan tertentu, Berikan 40 kg N/ha, bila warna daun di bawah nilai kritis Berikan dosis standar 30 kg N/ha bila warna daun sesuai nilai kritis Tangguhkan pemberian pupuk dan berikan dosis kurang dari 20 kg N/ha bila warna daun di atas nilai kritis. 14 5. Kalium (K) Perannya dalam tanaman untuk mengatur keluar masuknya zat, mengatur enzim respirasi, foto sintesis protein dan pati, glikolisis dan osmose sel tanaman. Diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Kalium termasuk unsur yang mobil dalam sel atau jaringan tanaman, xylem dan phloem. Kalium banyak terdapat pada sitoplasma, kloroplasm. Umumnya kalupenyerapan kalium terlalu tinggi maka penyerapan Ca, Na, Mg turun. Bila tanaman kekurangan kalium maka akan terjadi akumulasi karbohidrat, menurunkan kadar pai, dan akumulasi senyawa nitrogen dalam tanaman. Fungsi kalium adalah : a. Pengembangan sel dan pengatur tekanan osmose sel b. Membentuk dan mengangkut karbohidat c. Sebagai katalisator alam pembentukan protein d. Menetralkan reaksi dalam sel e. Mengatur pergerakan stomata f. Biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat g. Meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar gula, dan warna lebih menarik h. Lebih tahan terhadap hama penyait i. Perkembangan akar tanaman. Peran K dalam Tanaman Kalium adalah hara tanaman utama yang dibutuhkan untuk meningkatkan perkembangan akar dan vigor tanaman, ketahanan terhadap kerebahan dan hama/penyakit. K mobil dalam tanaman dan sangat mobil di dalam tanah. Aplikasi pupuk K pada Padi Kalium seringkali merupakan unsur pembatas untuk memperoleh hasil padi yang tinggi setelah nitrogen (N). Pupuk K perlu diberikan dalam jumlah mencukupi pada hampir semua lahan sawah irigasi. Hara lainnya perlu diberikan dalam jumlah seimbang untuk menjamin respon yang baik dari tanaman terhadap aplikasi K dan pencapaian pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif. Gejala defisiensi K. Tanaman hijau gelap dan kerdil dengan margin daun cokelat kekuningan dan/ atau dengan margin dan ujung daun tua nekrotik, gejala kahat K pada daun dapat menyerupai gejala penyakit tungro, namun tungro biasanya terjadi pada spot-spot yang tersebar (tidak menyeluruh) dan lebih nyata warna daun kuning dan oranye dan tanaman kerdil; gejala pada daun nampak pada fase pertumbuhan lanjut; akar tidak sehat dan menghitam; kerebahan dan kehampaan gabah tinggi; bobot gabah lebih ringan. Terjadinya defisiensi K. Kahat K terjadi di daerah pertanaman yang intensif yang mendapat pemupukan N dan P tinggi. K seringkali kurang pada tanah berpasir atau bertekstur kasar; tanah kering masam; lahan sawah terdegradasi; tanah sulfat masam; dan tanah organik. Catatan: 15 penambahan unsur K dari air irigasi cukup nyata pada daerah tertentu ( contoh: di Vietnam). Dosis aplikasi pupuk K. Pada hara tanaman optimum, tanaman padi (jerami+gabah) mengambil sekitar 19 kg K2O (16 K) untuk setiap ton hasil gabah (2,2 kg K2O pada gabah dan 16,8 kg K2O pada jerami). Rekomendasi pemupukan K berdasarkan target hasil dan status K tanah, seperti ditetapkan oleh hasil gabah dari K-petak omisi. Waktu aplikasi K. Kalau dosisnya rendah, pupuk K dapat dibenamkan dan diaduk ke dalam tanah pada saat pelumpuran terakhir sebelum tanam/pindah bibit padi, atau seluruh pupuk K disebar pada 10-15 hari setelah benih disebar langsung. Pada dosis > 30 K2O/ha, pupuk dapat diberikan 50% sebagai pupuk dasar dan 50% pada awal pembentukan malai. Pemisahan pemberian pupuk K paling tidak dua kali pada tanah berpasir dengan derajat pencucian tinggi. Pemberian K pada fase pembungaan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan kerebahan dengan kanopi rapat dan target hasil tinggi, namun belum tentu meningkatkan hasil. Sumber pupuk Kalium Pupuk kalium yang sudah banyak dikenal adalah kalium klorida (MOP-muriate of potash) yang mengandung 50% K atau 60% K2O dalam bentuk KCl (30 kg K2O setara dengan 50 kg MOP atau KCl). Jerami kaya akan K (14,0 kg K atau 16,8 kg K2O/ton jerami). Catatan: 1 kg K2O = 0,83 kg K dan 1 kg K = 12 kg K2O. Rekomendasi pemupukan K berdasarkan target hasil dan pembatas hasil K pada K-petak omisi (tanpa K) pada level pengembalian jerami medium (2-3 t/ha). Target hasil dalam t/ha Status K tanah Rendah Medium Tinggi 4 5 6 7 8 3 4 5 Rekomendasi pemupukan K2O dalam kg/ha 30 0 - 60 35 20* 90 65 50* 95 80* 110* 6 - - 35* 65* 95* 7 8 - - - 50* - 80* 65* Hasil tanpa (t/ha) plot K [ indikasi kemungkinan target hasil tidak realistik * Dosis K2O rendah sekitar 20-25 kg K2O/ha, bila 4-5 t/ha jerami dikembalikan ke tanah setelah panen, input dari endapan K tinggi, atau percobaan jangka panjang menunjukkan suplai K tanah tinggi. Tingkatkan dosis K dengan jumlah sama dengan yang diambil jerami (bila jerami tidak dikembalikan ke tanah) setelah panen. 16 6. Kalsium (Ca) Kalsium diserap akar tanaman dalam bentuk Ca++, peranannya adalah penyusun lamela tangah, penghubung antar sel, aktifator enzim pada selaput sel. Kalsium paling banyak terdapat pada dinding sel,, lamela tangah. Pada tanaman dikotil yang mempunyai KTK tinggi dan terutama pada kadar Ca++ rendah. Pada saat pertumbuhan daun mengkonsumsi kalsium dalam kadar tinggi atau saat intensitas cahaya matahari tinggi dan umumnya menjadi kalsium pekat. Kalsium berpengaruh pada kualitas buah, kekurangan kasium pada buah akan terjadi nekrotik bila berkembang lanjut akan terjadi alur kecil (bitter pit). Pada buah tomat khusunya akan terjadi benjolan tidak rata, untuk menghilangkan gejala tersebut maka pada saat berbunga kebutuhan kalsium supaya terpenuhi. 7. Magnesium (Mg) Unsur hara ini dapat diserap tanaman dalam bentuk ion Mg++, berfungsi sebgai penyusun klorofil, aktivator enzim pada ribosom, kloroplas dan fotosintesis. Magnesium termasuk unsur mobil. Kadar magnesium dalam tanaman sekitar 0,5%, relatif rendah jika dibandingkan dengan kadar kalium dan kalsium. Makin tinggi penyerapan kalium, maka penyerapan magnesium semakin rendah. Pada tanaman peranan magnesium sangat vital di antaranya mengaktifkan enzim yang berkaitan dengan metabolisme karbohidrat, enzim pernafasan, dan sebagai katalisator, kofaktor dan menyusun protein. Tanaman yang kekurangan magnesium akan terhenti penyusunan RNA, terhambatnya penyusunan protein dan molekul klorofil. Gejala defisiensi pada tanaman menunjukkan klorosis diantara tulang daun tua, jika berjalan terus maka tanaman akan kering dan mati. 8. Phorporus (P) Fosfor diserap tanaman dalam bentuk anion H2PO4- dan HPO4=. Perananya sebagai penyusun ATP, ADP, NADP, asam nukleat, pospolipid pada membran sel membentuk gula pospat. Pospor dalam tanah dibedakan menjadi fosfor organik dan anorganik. Fosfor organik berasal dari bahan organik yang mengalami dekomposisidan melepaskan fosfor kedalam larutan tanah. Sedangkan yang anorganik terdapat dengan beberapa ikatan seperti Al, Fe, Ca, dan Mn. Peranan unsur fosfor dapat mempercepat masaknya buah, mendorong pertumbuhan akar. Kekurangan unsur fosfor dapat menyebabkan volume jaringan tanaman kecil dan warna lebih gelap. Peran P dalam Tanaman P adalah hara utama tanaman yang penting untuk perkembangan akar, anakan, berbunga awal, dan pematangan. P mobil dalam tanaman, tetapi tidak mobil dalam tanah. Pengelolaan P Gejala defisiensi P. 17 Tanaman hijau gelap dan kerdil dengan daun tegak dan anakan kurang; batang kurus dan kecil; matang lambat (tidak terjadi pembungaan pada kahat P yang parah); gabah hampa tinggi. Terjadinya defisiensi P. P seringkali kurang pada tanah berpasir dengan kandungan bahan organik rendah; tanah kalkareous/ salin/alkalin; degradasi tanah sawah; tanah abu vulkan atau tanah kering masam dengan kapasitas fiksasi P tinggi; tanah gambut; dan tanah sulfat masam dengan kandungan besi dan aluminium tinggi. Waktu aplikasi pupuk P. Semua pupuk P dapat dibenamkan dan diaduk semua pupuk P ke dalam tanah sebelum pelumpuran terakhir dan tanam pindah atau sebar seluruh P pada 10-15 hari setelah benih disebar langsung. 9. Belerang = Sulfur (S) Belerang diserap akar tanaman dalam bentuk ion SO4=, peranannya dalam tanaman adalah penyusun asam amino (sistin dan sistein), protein, penyususan vitamin (tiamin dan biotin), penyusun koenzim. Mineral sulfur dalam tanah misalnya; NaSO4, MgSO4, FeS, ZnS dan H2S. Pemupukan sulfur terus-menerus menyebabkan reaksi dalam tanah menjadi lebih asam (pH rendah), sehingga menyebabkan Mn dan Al meningkat. Sulfur berperan dalam penyusunan CoA, vitamin, biotin, dan tiamin. Kekurangan sulfur pada tanaman menyebabkan tertimbunya asam amino pada jaringan tanaman, daun mengalami klorosis, pada tanaman legum kekurangan sulfur menyebabkan bintil akar berkurang, menghambat penyusunan protein, kadar asam amino berkurang, ujung tanaman menebal (crimping). Peran S dalam Tanaman Belerang atau Sulfur (S) adalah hara utama penting yang diperlukan untuk produksi khlorofil. S diperlukan untuk memproduksi asam amino (cystein, methionin, dan cystin) dalam tanaman yang berkaitan dengan nutrisi manusia. S sangat mobil dalam tanaman (walaupun lebih kurang mobil dibandingkan dengan N), namun hanya sebagian mobil dalam tanah. Aplikasi S pada tanaman padi Gejala defisiensi S. Tanaman hijau pucat; daun muda menguning pucat (kontras dengan daun tua yang menguning cepat dan mati pada tanaman kahat N). Analisis tanah dan/tanaman diperlukan untuk mengkonfirmasikan gejala kahat S. Terjadinya defisiensi S. Kahat S sesunggunhnya jarang dijumpai. S mungkin diperlukan pada tanah berpasir yang mudah tercuci; tanah 18 dengan kandungan bahan organik rendah; dan tanah dengan pelapukan tinggi kaya akan besi oksida. Dosis aplikasi S. Berikan 10 kg S/ha pada kahat S yang parah. Tanaman memerlukan sekitar 2 kg S/ha (jerami+gabah) untuk setiap ton hasil gabah. Waktu pemberian S. Bila dibutuhkan, berikan semua jenis pupuk S sesaat sebelum pelumpuran bersama dengan pupuk P dan K. Pengaruh pemberian S bertahan sampai 2 musim tanam. Sumber Pupuk S Sumber pupuk S yang biasa digunakan adalah amonium sulfat (24% S), single superfosfat (12% S), dan gypsum (17% S). 10. Zinc (Zn) Peran Zn dalam Tanaman Seng atau Zinc (Zn) adalah hara utama penting yang dibutuhkan tanaman untuk beberapa proses biokimia dalam tanaman padi, termasuk produksi klorofil dan integritas membran. Oleh karenanya kahat Zn mempengaruhi warna dan turgor tanaman. Zn hanya sedikit mobil dalam tanaman dan sangat mobil di dalam tanah. Aplikasi pupuk Zn pada tanaman Padi Zn membatasi pertumbuhan tanaman, suplai Zn tanah rendah atau kondisi tanah buruk (misalnya, selalu kebanjiran) menghalangi serapan Zn oleh tanaman. Pada kasus tertentu, Zn perlu diberikan sesuai kebutuhan. Hara lainnya perlu diberikan dalam jumlah seimbang untuk menjamin respon tanaman yang baik terhadap pupuk Zn dan pencapaian pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif. Pengelolaan Zn Gejala kahat Zn. Tanaman kerdil dan bercak coklat berdebu pada bagian atas daun; spot-spot tanaman yang tumbuh jelek; gejala terlihat 2-4 minggu setelah tanam pindah; kehampaan gabah tinggi; pematangan terlambat dan hasil rendah; gejala kahat Zn menyerupai kahat S dan Fe pada tanah alkalin dan keracunan Fe tanah organik berdrainase buruk. Terjadinya kahat Zn. Kahat Zn tidak sering dijumpai, namun dapat terjadi pada tanah kalkareous dan netral; pertanaman intensif; tanah sawah yang selalu kebanjiran atau berdrainase buruk; tanah salin dan sodik; tanah gambut, tanah dengan P dan silikat ( Si) tersedia tinggi; tanah berpasir; tanah dengan pelapukan tinggi, asam, dan bertekstur kasar; tanah yang terbentuk dari serpentin dan laterik; dan tercuci, tanah sulfat masam tua dengan konsentarsi K, Mg, dan Ca rendah. Aplikasi pupuk Zn. Apabila gejala defisiensi diberikan 10-25 kg ZnSO4.H2O permukaan tanah, atau celupkan sebelum transplanting (20-40 g Zn nampak di lapangan, maka dapat atau 20-40 ZnSO4.7H2O per ha pada akar bibit padi dalam 2-4% larutan ZnO ZnO/lt air). Tanaman dapat pulih dari 19 defisiensi ringan Zn apabila sawah didrainase – kondisi kering meningkatkan ketersediaan Zn. Tanaman hanya memerlukan sekitar 0,05 kg Zn/ha (jerami+gabah) per ton hasil gabah, namun lebih banyak pupuk Zn harus diberikan karena begitu diberikan Zn tidak selalu tersedia bagi tanaman. Waktu aplikasi pupuk Zn. Aplikasi pupuk Zn dapat dilakukan pada permukaan tanah setelah pelumpuran terakhir dan perataan lahan atau berikan Zn pada bedengan persemaian 7-8 hari sebelum bibit dicabut. Pengaruh pemberian Zn berlaku sampai 2-5 musim tanam pada semua jenis tanah kecuali tanah alkalin. Pada tanah alkalin, Zn perlu diberikan pada setiap musim tanam. Catatan: Aerasi tanah – membiarkan mengering – dapat mengurangi defisiensi Zn. Sumber Zn Sumber Zn yang biasa digunakan adalah zinc-sulfate terlarut (2336% Zn), zinc klorida terlarut (48-50% Zn), dan zinc oksida tidak larut (6080% Zn). 11. Besi (Fe) Peran Fe dalam Tanaman Fe adalah hara esensial yang dibutuhkan tanaman untuk mendukung transportasi elektron dalam proses fotosintesis. Fe merupakan akseptor elektron penting dalam reaksi redoks dan aktivator untuk beberapa enzim. Kekurangan Fe akan menghambat absorpsi K. Fe tidak mobil, baik dalam tanaman maupun tanah. Aplikasi Fe pada Tanaman Padi Setelah kahat unsur utama N, P, K, S, dan Zn, kahat Fe merupakan urutan penting berikutnya yang membatasi hasil tanaman padi. Aplikasinya harus berimbang agar terjamin pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif. Pengelolaan Fe Gejala kahat Fe. Antartulang daun menguning, daun yang muncul mengalami klorosis. Seluruh daun dan bagian tanaman menguning (khlorotik). Produksi bahan kering dan hasil menurun. Terjadinya defisiensi Fe. Defisiensi Fe tidak dijumpai pada sawah tergenang yang sedikit asam, namun banyak dijumpai pada sawah dengan tekstur tanah berpasir, kalkareous dan bereaksi alkalin. Defisiensi Fe sering dijumpai pada lahan kering dengan tanah bereaksi netral, kalkareous dan alkalin (basa). Dosis aplikasi. Defisiensi Fe sangat sulit diatasi dan mahal untuk dikoreksi. Pemberian pada tanah memerlukan 100-300 kg/ha fero sulfat (sulfat besi). 20 Pemberian melalui daun, 2-3 % larutan fero sulfat atau 100 l/ha Fe chelate 2-3 dalam selang waktu 2 minggu dimulai pada fase anakan. Tanaman memerlukan sekitar 0,5 kg/ha Fe (jerami dan biji/gabah) untuk setiap ton hasil gabah, namun setelah aplikasi Fe tidak tersedia bebas bagi tanaman. Waktu aplikasi. Pupuk berupa padatan ferosulfat (FeSO4) diaplikasikan di sebelah barisan tanaman padi dengan dosis 100 kg/ha. Dua sampai tiga aplikasi 23 % larutan FeSO4 melalui daun atau chelate besi pada selang waktu 2 minggu pada fase anakan. Sumber Fe Pupuk Fe yang biasa digunakan adalah larutan fero sulfat (20-30 % Fe), fero amonium sulfat (14 % Fe), dan chelate besi (5-14 %). 21 Mekanisme penyerapan hara oleh akar Kebanyakan unsur diserap akar tanaman dalam bentuk an organik. Setelah mencapai akar, ion hara diangkut sampai ke bagian daun melalui serangkaian tahapan, yaitu penyerapan pasif (passive root uptake), penyerapan aktif (active root uptake), alih tempat (translocation). Struktur akar Ion harus bergerak melewati atau mengelilingi sejumlah lapisan jaringan akar. ï‚· epidermis = lapisan terluar dari sel ï‚· korteks = sel besar ukuran tidak beraturan dengan ruang antara sel diantara mereka ï‚· endodermis = lapisan sel dengan suberin band, casparian strip, menjadi penghalang gerakan ion masuk ke stele. ï‚· stele = mengandung pembuluh xylem yang mengangkut air dan ion menuju batang. Pengangkutan secara pasif ï‚· Difusi dan pertukaran ion ï‚· epidermis –> menembus kortek –> ke endodermis ï‚· Apoplast (apparent free space) ï‚· ruang di antara sel (extracellular within and between cell walls) ï‚· KPK akar ada pada dinding sel Pengangkutan secara aktif ï‚· Harus menembus membran sel ï‚· Symplast: Intracellular interconnected cytoplasmic pathway between cells ï‚· pengangkutan aktif melewati membran ï‚· pengambilan unsur hara secara selektif Penyerapan ion secara aktif ï‚· diperlukan energi untuk melewati membran sel ï‚· konsentrasi di dalam sel lebih besar dibanding di luar sel ï‚· gerakan untuk mengatasi gradien elektrokimia ï‚· energi berasal dari metabolisme sel Pengangkut ion (Ion carriers) ï‚· pengangkutan melewati membran dijembatani oleh karier ï‚· karier berada di dalam membran ï‚· mengikat ion di bagian luar dari batas –> bergerak melewati membran –> melepas ion ke dalam sitoplasma ï‚· karier bersifat selektif, masing-masing ion punya karier tersendiri Pengangkutan aktif (active transport) Memungkinkan tanaman memilih hara yang masuk ke akar, menjaga netralitas muatan di dalam sel akar, akar melepas H+ and OH- . Pengambilan kation: melepas H+, pengambilan anion: melepas OH- . 22 Pengambilan kation umumnya >> dibanding pengambilan anion sehingga pH risosfer turun. Transpor aktif ini memungkinkan tanaman menimbun hara esensial, tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam menimbun hara pada tanah yang memilik kadar hara yang rendah. Sifat genetik mempengaruhi pengambilan hara, alih tempat, pertumbuhan akar, metabolisme akar, lingkungan risosofer. Active transport is the movement of a substance against its concentration gradient (from low to high concentration). In all cells, this is usually concerned with accumulating high concentrations of molecules that the cell needs, such as ions, glucose, and amino acids. If the process uses chemical energy, such as from adenosine triphosphate (ATP), it is termed primary active transport. Secondary active transport involves the use of an electrochemical gradient. Active transport uses energy, unlike passive transport, which does not use any type of energy. Active transport is a good example of a process for which cells require energy. Examples of active transport include the uptake of glucose in the intestines in humans and the uptake of mineral ions into root hair cells of plants. The action of the sodium-potassium pump is an example of primary active transport. (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Active_transport; diunduh 10/6/2011) Osmotic theory of active water absorption : It was proposed by Atkins (1916) and Priestly (1922). According to them the water is absorbed due to difference in water potential of cells without the expenditure of energy. The root hairs are always in contact with soil water (capillary water). The first step in the absorption of water is its imbibition by the cell wall. Since the cell wall is permeable, it allows both solute and solvent (water) through that. The water then comes in contact with the selectively permeable plasma membrane. The vacuole of root hair is filled with cell sap, is now separated from soil water by the selectively permeable membrane. The osmotic potential (or osmotic pressure) of the soil water plays a very important role in the absorption of water. It has been demonstrated that osmotic potential of soil water remains less than one bar. The osmotic potential of cell sap is usualy 2-8 bars. Thus there exists a difference in osmotic potential on two sides of the semipermeable'membrane. In other words, there exists water potential gradient between the soil water and cell sap. The soil water has more of water and has greater 23 water potential. On the other hand the cell sap has more of solute and has more negative water potential. Under these gradients of water potential, soil water enters into the root hairs by osmosis. Water continues to enter the root hair and to a lesser extent into other epidermal cells as long as water potential of the root cell sap is more negative than that of the soil water. When water enters into the cell sap the root hairs become turgid. It results in stretching the cell wall until the elasticity of stretched cell wall is sufficient to balance the osmotic potential (solute potential) of solute. Sumber: http://www.tutornext.com/active-passive-absorptionwater/7494; diunduh 10/6/2011) 24 Rhizosphere (rhizo = akar) Wilayah tanah yang bersinggungan langsung dengan akar, jaraknya 1-4 mm. Tempat kegiatan mikrobia: eksudat organik dari akar merupakan cadangan makanan. Suasana pH risosfer dan aktivitas mikrobia mempengaruhi ketersediaan hara melalui proses pelarutan dan khelasi, pH lebih rendah dan adanya asam organik meningkatkan kelarutan. Akar dan mikrobia di risosfer dapat menghasilkan khelat, akar dan aktivitas mikrobia juga mampu menurunkan redoks potensial sehingga meningkatkan ketersediaan hara. Akar tanaman tidak terlihat karena tersembunyi dalam tanah dan sukar untuk diteliti, sehingga sering diabaikan. Sifatnya tidaklah pasif, tetapi aktif mengangkut hara dan mengambil secara selektif dengan mengubah suasana tanah di sekitarnya sehingga meningkatkan ketersediaan hara tersebut. Components that relate to Nutrient Availability in the Soil- Rhizosphere System. Fertility Management of the Soil-Rhizosphere System for Efficient Fertilizer Use in Vegetable Production. Chin-hua Ma and Manuel C. Palada. Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) — the World Vegetable Center. P.O. Box 42, Shanhua, Tainan, Taiwan 74199, 2008-01-16 25 Practices for Managing Soil Fertility in the Soil-Rhizosphere System (Fertility Management of the Soil-Rhizosphere System for Efficient Fertilizer Use in Vegetable Production. Chin-hua Ma and Manuel C. Palada. Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) — the World Vegetable Center. P.O. Box 42, Shanhua, Tainan, Taiwan 74199, 2008-01-16). --------------The rhizosphere is the narrow region of soil that is directly influenced by root secretions and associated soil microorganisms. Soil which is not part of the rhizosphere is known as bulk soil. The rhizosphere contains many bacteria that feed on sloughed-off plant cells, termed rhizodeposition, and the proteins and sugars released by roots. Protozoa and nematodes that graze on bacteria are also more abundant in the rhizosphere. Thus, much of the nutrient cycling and disease suppression needed by plants occurs immediately adjacent to roots. An illustration of the rhizosphere A=Amoeba consuming bacteria BL=Energy limited bacteria BU=Non-energy limited bacteria RC=Root derived carbon 26 SR=Sloughed root hair cells F=Fungal hyphae N=Nematode worm (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Rhizosphere ; diunduh 10/6/2011). Distribution of micro-organisms in the rhizosphere (Sumber: http://heartspring.net/compost_tea_disease_control.html; diunduh 10/6/2011) Rizosfir tanaman padi (Sumber: http://biology.kenyon.edu/fennessy/SrexMarx/finwate.htm; diunduh 10/6/2011) Some of the oxygen transported through the aerenchyma to plant root tips leaks out of pores in the root (pores result from aerenchyma formation) and into the surrounding soil. This can result in a small zone of oxygenated soil around individual roots, called the oxidized rhizosphere. Oxygen-depleted soils can 27 reach almost original oxygen concentrations around plant roots. This oxidized rhizosphere allows normal root metabolism to occur, even in flooded soils. The absorption of toxic manganese and sulfur compounds which build up in anaerobic sediments is partially blocked by the oxidized rhizosphere, which provides a zone around roots in which toxic compounds can be oxidized into less harmful forms. The oxidized rhizosphere also has a major effect on the two nutrients that most often limit hydrophyte growth, phosphorus (P) and nitrogen (N). Sumber: Soil ecology, Dr J Floor Anthoni (2000) www.seafriends.org.nz/enviro/soil/ecology.htm; diunduh 10/6/2011. Where masses of young roots are found, activity is high in the porosphere of the soil. Pores are necessary to hold water and to transport oxygen and carbon dioxide. Aggregates of soil are pierced by hair roots (yellow) and covered in hyphae of fungi (purple). By the transport channels from worms and other organisms, water, nitrates, phosphorus and dissolved organic carbon compounds leach from the top down. In the aggregatusphere, sand and clay particles form enclosed workshops for bacteria. Many chemical processes happen here, producing nitrates (NO3-), ammonia (NH4+), carbon dioxide (CO2), nitric oxides and more. Many compounds are transported by the fine hyphae to other places. The rhizosphere is the area directly around hair roots. This is a special place because hair roots bring food and oxygen, enabling the micro organisms to work faster than anywhere else. A continuous flow of water is caused, as water is absorbed by these roots, drawing with it dissolved substances. As these hair roots grow, they intrude into other aggregatuspheres, find nutrients, get eaten, and other fine roots take their place. The soil is in a continuous state of decomposition, provided moisture and oxygen are available. 28 29 PENILAIAN KESUBURAN TANAH Penilaian kesuburan tanah merupakan proses yg mendiagnosis permasalahan unsure hara dan menerapkan anjuran dlm hal pemupukan. Proses mendiagnosis msl unsur hara tnm dan menetapkan anjuran pupuk di wilayah tropika didasarkan pada pendekatan yg berbeda pada tahap kecanggihan yg berlainan. Program penilaian kesuburan tanah dpt dipilahkan menjadi: uji-tanah, analisis tanaman, omission element di rumah kaca, uji coba pupuk sederhana. 1. Berdasarkan pada uji-tanah - Salah satu pendekatan yg terpopuler - Dikembangkan oleh International Soil Fertility Evaluation and Improvement Program, ISFEIP. - Kesuburan tanah terutama bersangkut dg unsure hara tnm dan keadaan tanah - Penilaian menyangkut tingkat ketersediaan & kesetimbangan hara di dalam tanah, termasuk cara yg tepat untuk menaksir seluruh faktor tsb (uji- tanah, analisis tanaman, survey tanah, kead iklim) - Perbaikan meliputi penambahan pupuk buatan, gamping, pupuk alam, dan tambahan lain pada tanah dalam jumlah, waktu dan cara tertentu, sehingga dapat memberi lingkungan hara yang optimum utuk memperoleh hasil panen - Program penilaian dan perbaikan tanah adalah khas-tempat & khas keadaan. - Penggunaan informasi yg bijaksana mencakup pertimb thd beberapa faktor yang mempengaruhi produksi, tenaga kerja, ekonomi & ekologi - Hanya uji- tanah saja tidak dianggap sebagai cara pendekatan yang memuaskan - Nilai yang diperoleh dalam analisis tanah adalah angka empiris yang hanya berarti bila dikorelasikan dengan tanggapan hasil - Menurut Fitts (1974) melibatkan : a. Pengambilan contoh (tanah dan tanaman), CT hrs benar2 mewakili tapak, krn hanya diuji sepermilyarnya b. Analisis laboratorium (tanah dan tanaman), perlu metode yg sesuai dan benar c. Hubungan antara analisis dan tanggapan hasil, di rumah kaca & uji coba lapangan d. Penafsiran dan anjuran, berdasarkan hasil e. Memanfaatkan informasi f. Penelitian. 2. Berdasarkan analisis tanaman - Berkembang di daerah tanpa system uji-tanah efektif - Untuk tanaman tahunan dan jangka panjang - Keuntungannya: merangkumkan pengaruh peubah tanaman, iklim dan pengelolaan tanah, 30 - merupakan ukuran terakhir ketersediaan unsur hara - Kerugiannya: terlambat untuk memperbaiki kondisi hara tanpa menderita kerugian hasil - Tujuan: a. Untuk mengenali masalah keharaan dan menetapkan jumlah perbaikannya melalui penentuan tingkat gawat b. Menghitung nilai penyerapan unsur hara sebagai kunci untuk penggunaan pupuk c. Memantau unsur hara tanaman tahunan. 3. Berdasarkan pemantauan unsur hara yang hilang - Termasuk menanam tnm penunjuk di rumah kaca atau di lapangan pada tanah yang diberi pupuk secara omission element (Plus one-test atau Minus one-test) - Menurut Chaminade (1972), informasi yg diperoleh: a. unsur hara yang kahat b. kepentingan nisbi kekahatan itu c. tingkat yang tunjukkan oleh terkurasnya kesuburan akibat pemotongan / penebangan. 4. Uji coba pupuk secara sederhana di lahan petani - dikembangakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) - bertujuan untuk memperkenalkan pupuk sebagai sarana untuk menaikkan hasil panen tanaman - mengesampingkan keaneka ragaman tanah setempat - tidak dapat dibuat anjuran khas-tempat 5. Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah - Anjuran penggunaan pupuk adalah khas-tempat - Perbedaan sifat tanah merupakan salah satu penyebab utama untuk kekhasan menurut tempat - Program penilaian kesuburan tanah harus berhubungan erat dengan program penyigian dan penggolongan tanah. 31 Pengelolaan Kesuburan Tanah Tujuan pengelolaan kesuburan tanah adalah menciptakan kondisi kimiawi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman dan suplai hara esensial dalam jumlah dan waktu yang tepat bagi tanaman. Liming materials and plant nutrients may be added to the soil in many forms and can be done so in a way that maximizes the economic benefits of nutrients while minimizing any environmental impact. The ways in which crops respond to these applications often are different because some soils have inherent physical limitations to plant growth. Soil testing is the best guide to soil fertility. Plant tissue analysis also may be helpful when used in conjunction with soil testing. Some highlights of soil fertility management are presented in the following sections. Problematik Pertanian Problematik tanah-tanah pertanian mempunyai makna yang sangat beragam. Setiap tipe tanah merupakan formasi spesifik yang terbentuk oleh interaksi bahan induk tanah, iklim, organisme, topografi dan waktu. Sifat-sifat tanah yang dihasilkannya mempunyai konsekwensi bagi penggunaannya oleh manusia. The possible types of agricultural use of a given soil may vary considerably. Pasture, agroforestry and arable land use have different demands of favourable soil properties. Moreover, different crops may demand very differing soil characteristics for optimal production. This implies that the same soil may be considered for one production system as problematic and for another not. Therefore the term “problem soil” always has to be seen together with the envisaged or practised land use system and the classification of different problem soils will always depend on the envisaged or given land use. Thus, a “problem soil” is always related to a specific land use situation. However, there are soil types with specific common characteristics that dominate frequently agricultural land use. Pertanian Berkelanjutan “Sustainable agriculture” merupakan istilah yang multi-tafsir. Dalam situasi kehidupan dunia yang berubah dengan cepat, dapatkah sesuatu bersifat “sustainable”? Apa yang dimaksudkan dnegan “sustain”? Bagaimana kita mengimplementasikan sasaran tersebut? Apakah tidak terlambat? With the contradictions and questions have come a hard look at our present food production system and thoughtful evaluations of its future. If nothing else, the term “sustainable agriculture” has provided “talking points,” a sense of direction, and an urgency, that has sparked much excitement and innovative thinking in the agricultural world. Kata “sustain,” dari bahasa “sustinere” (sus-, “dari bawah” dan “tenere” berarti “to hold”), berarti memelihara eksistensi atau permanen. Dalam konteks pertanian, “sustainable” mencerminkan system usaha pertanian yang mampu memelihara produktivitasnya dan manfaatnya bagi masyarakat secara indefinite. Sistem pertanian seperti ini berarti harus 32 mengkonservasi sumberdaya, diterima secara sosial, berdaya saing komersial, dan ramah lingkungan.” Pupuk dan Pemupukan Pemupukan menurut pengertian khusus ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk menyediakan hara bagi tanaman. Umumnya pupuk diberikan dalam bentuk padat atau cair melalui tanah dan diserap oleh akar tanaman. Namun pupuk dapat juga diberikan lewat permukaan tanaman, terutama daun. Pemberian bahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki suasana tanah, baik fisik, kimia atau biologis disebut pembenahan tanah (amandement) yang berarti perbaikan (reparation) atau penggantian (restitution). Bahan-bahan tersebut termasuk mulsa (pengawet lengas tanah, penyangga temperatur), pembenah tanah (soil conditioner, untuk memperbaiki struktur tanah), kapur pertanian (untuk menaikkan pH tanah yang terlalu rendah, atau untuk mengatasi keracunan Al dan Fe), tepung belerang (untuk menurunkan pH tanah yang semula tinggi) dan gipsum (untuk menurunkan kegaraman tanah). Rabuk kandang dan hijauan legum diberikan ke dalam tanah dengan maksud sebagai pupuk maupun pembenah tanah. Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan tanah. Dengan mengandalkan sediaan hara dari tanah asli saja, tanpa penambahan hara, produk pertanian akan semakin merosot. Hal ini disebabkan ketimpangan antara pasokan hara dan kebutuhan tanaman. Hara dalam tanah secara berangsur-angsur akan berkurang karena terangkut bersama hasil panen, pelindian, air limpasan permukaan, erosi atau penguapan. Pengelolaan hara terpadu antara pemberian pupuk dan pembenah akan meningkatkan efektivitas penyediaan hara, serta menjaga mutu tanah agar tetap berfungsi secara lestari. Tujuan utama pemupukan adalah menjamin ketersediaan hara secara optimum untuk mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh peningkatan hasil panen. Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberikan pupuk bentuk dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, dengan cara yang tepat dan pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pertumbuhan tanaman tersebut. Tanaman dapat menggunakan pupuk hanya pada perakaran aktif, tetapi sukar menyerap hara dari lapisan tanah yang kering atau mampat. Efisiensi pemupukan dapat ditaksir berdasarkan kenaikan bobot kering atau serapan hara terhadap satuan hara yang ditambahkan dalam pupuk tersebut. Faktor yang berpengaruh terhadap pemupukan: 1. Tanah: kondisi fisik (kelerengan, jeluk mempan perakaran, retensi lengas dan aerasi), kondisi kimiawi (retensi hara tersedia, reaksi tanah, bahan organik tanah, sematan hara, status dan imbangan hara), kondisi biologis (pathogen, gulma). 2. Tanaman: jenis, umur dan hasil panen yang diharapkan. 3. Pupuk: sifat, mutu, ketersediaan dan harga. 4. Iklim: temperatur, curah hujan, panjang penyinaran dan angin. 33 Pemupukan lewat tanah (akar tanaman) 1. Penyebaran (broadcasting) Dengan cara ini pupuk ditebarkan pada permukaan tanah, misalnya pada lahan sawah. Pemupukan dilakukan sebelum tanam (waktu pembajakan/ penggaruan/ pengolahan tanah) sebagai pupuk dasar, atau sesudah tanam sebagai pupuk susulan, kemudian diinjak-injak agar pupuk terbenam ke dalam tanah. Pemupukan dengan cara ini dapat dibedakan: 1. Top dressing: pupuk ditebarkan merata ke seluruh permukaan tanah atau menurut alur yang tersedia. Untuk lahan yang sudah ditanami, jika permukaan tanaman basah atau lembab cara ini harus ditunda, karena dapat menyebabkan plasmolisis daun. Kerusakan akan meningkat pada dosis yang lebih besar, terutama pupuk N dan K. 2. Side dressing: pupuk ditebarkan di samping alur benih atau tanaman. Metoda broadcasting cocok dilakukan untuk lahan sawah atau tanaman dengan jarak tanam yang rapat, perakaran merata pada tanah bagian atas (top soil) dan pupuk diberikan dalam jumlah yang besar. cara ini mudah dilakukan, hemat beaya dan tenaga, pemberian pupuk agak berlebih tidak berdampak buruk bagi tanaman. Namun kerugian yang harus ditanggung adalah kontak pupuk dengan tanah besar, sehingga penyematan hara khususnya P oleh tanah akan lebih besar, pada tanah alkalis dan kering sebagian N akan hilang menguap dalam bentuk ammonia (NH3), juga pertumbuhan gulma akan ikut terpacu. 2. Penempatan pupuk (placement) Dengan cara ini pupuk ditempatkan secara khusus ke dalam lubang atau alur yang sudah dipersiapkan lebih dahulu. Pupuk dapat diberikan pada saat penyiapan atau saat penanaman, terutama untuk tanaman semusim. Pupuk diberikan dengan cara plow sole placement (bersamaan dengan pengolahan tanah, pupuk dijatuhkan melalui lubang di belakang mata bajak), row placement (pupuk dibenamkan ke dalam tanah menurut alur bekas bajakan kemudian akan tertutup oleh pembalikan tanah pada alur berikutnya) atau combine drilling (pupuk dibenamkan bersama benih ke dalam alur yang sudah dibuat sebelumnya, posisi pupuk dapat di bawah benih disamping, atau keduanya). Untuk lahan yang sudah ditanami dipergunakan cara side band placement (pupuk ditempatkan pada alur disamping barisan tanaman), spot/ point placement (pupuk ditempatkan pada suatu titik atau lubang di kanan atau kiri tanaman), atau circular band / ring placement (pupuk dibenamkan ke dalam alir melingkar di sekeliing tanaman sejauh tajuk daun terluar). Untuk tanaman tahunan pupuk dapat diberikan ke dasar lubang tanam, dapat pula dicampur terlebih dahulu dengan tanah bagian atas yang akan digunakan untuk menimbun lubang. Metode placement cocok digunakan untuk tanah yang kurang subur, lahan kering, jarak tanam renggang, perakaran sedikit, tanaman 34 tahunan, jumlah pupuk sedikit, pupuk tablet, dan terutama pupuk P dan K. Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini adalah kontak pupuk dengan tanah dapat dikurangi, sehingga penyematan hara dapat ditekan, pengambilan hara oleh tanaman lebih mudah, terutama bagi tanaman yang perakarannya terbatas, residual effect dari pupuk lebih besar, serta kehilangan hara dapat dikurangi. 3. Fertigation (fertilizing-irrigation) Dengan cara ini kita melakukan pengairan sekaligus memupuk tanaman. Pengairan dapat secara sederhana yakni air saluran yang dimasukkan ke lahan, atau irigasi modern menggunakan tangki bertekanan. Pupuk yang digunakan dapat berupa cairan atau pupuk padat yang dilarutkan dalam air. pupuk yang sering digunakan adalah ammonia, asam fosfat dan KCl. Cara ini biasanya diterapkan untuk usaha yang komersial terutama di wilayah padang pasir atau perbukitan. 4. Injection Pupuk ammonia (gas) bertekanan disuntikkan pada jeluk 10-20 dibawah permukaan tanah, pupuk tanpa tekanan disuntikkan dekat dengan permukan tanah. Umumnya diterapkan pada skala usaha yang besar dan hamparan yang luas. Serapan Hara Serapan hara adalah jumlah hara yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman. SERAPAN = kadar hara (%) x bobot kering (g) Misalnya padi sawah memiliki kandungan K dalam jerami 1% dari bobot kering panen sejumlah: 2 ton/ha. Maka besarnya pengangkutan K dalam jerami = 0,01 x 2.000 kg/ha = 20 kg K/ha. Manfaat dari angka serapan hara antara lain : 1. Mengetahui efisiensi pemupukan 2. Mengetahui agihan hara dalam tubuh tanaman 3. Mengetahui pengangkutan hara dalam tanaman 4. Mengetahui neraca hara di suatu lahan. 5. Pertimbangan dalam membuat rekomendasi pemupukan. Efisiensi Pemupukan Efisiensi merupakan nisbah antara hara yang dapat diserap tanaman dengan hara yang diberikan. Makin banyak hara yang dapat diserap dari pupuk yang diberikan tersebut, maka nilai efisiensi penyerapan semakin tinggi. Eh = (Sp-Sk).100/Hp 35 Eh = efisiensi serapan hara Sp = serapan hara pada tanaman yang dipupuk Sk = serapan hara pada tanaman yang tidak dipupuk Hp = kadar hara dalam pupuk yang diberikan Nilai efisiensi serapan hara secara umum adalah untuk N = 40-60% , P = 15-20% dan K = 40-60%. Hara yang tidak dapat diserap oleh tanaman dapat disebabkan hilang karena terlindi, menguap, terbawa air limpasan dan erosi, tersemat, diambil oleh mikrobia, atau mengendap di dalam tanah. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan antara lain: pupuk diberikan secara tepat (dosis, bentuk, waktu, cara). Penggunaan pupuk anorganik bersama-sama dengan pupuk organik dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi serapan hara. Pupuk yang dibuat lepas terkendali (controlled released fertilizer) atau lepas lambat (slow released fertilizer) dimaksudkan untuk melepas hara sesuai dengan kebutuhan tanaman. Hara Berimbang Ketidak-berimbangan hara (nutrient imbalances) dapat muncul sebagai akibat dari pola tanam monokultur dan pemupukan yang tidak berimbang secara terus-menerus. Sebagian besar lahan padi sawah hanya diberi Urea dan TSP (sekarang yang tersedia SP36, atau SP27). Ada sebagian yang memberikan N dalam bentuk Urea dan ZA ([NH4]2SO4). Kondisi demikian telah menyebabkan pengambilan hara selain N, P, Ca dan S (karena ada dalam bahan pupuk yang diberikan petani) menjadi jauh lebih besar dibandingkan yang dapat disediakan oleh tanah. Ini dikenal dengan istilah penambangan hara (nutrient mining) di lahan sawah. Berdasarkan hukum Liebig, hara yang terbatas jumlahnya akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan hasil panen yang akan diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh produktivitas padi sawah (hasil dalam ton per hektar) yang terus menurun terutama di Jawa pada dekade terakhir ini. Pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk berimbang dengan meningkatan produksi pupuk NPK. Jadi petani tidak hanya memberikan hara N dan P, tetapi juga sekaligus K. Di masa depan yang diperlukan adalah pupuk spesifik atau tematik. Artinya pupuk yang lengkap kandungan haranya (hara makro dan hara mikro) yang telah disesuaikan dengan jenis tanaman dan lokasi usaha taninya. Untuk membuat pupuk yang tematik sifatnya, diperlukan database yang cukup tentang kadar dan serapan hara oleh setiap jenis tanaman yang diusahakan, sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi cadangan dan efisiensi penyerapan hara. Penggunaan pupuk organik, bentuk padat atau cair, telah dilaporkan mampu meningkatkan hasil panen per hektar. Hal ini disebabkan di dalam pupuk organik tersebut terkandung hara yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam lahan tersebut. Pupuk organik telah menjadi kebutuhan mutlak bagi pengusaha hortikultura. Sejumlah pengusaha yang menyewa lahan untuk tanaman mereka akan diuntungkan 36 jika mendapatkan lahan yang masih cukup tinggi kandungan bahan organiknya. Kebutuhan pupuk Berikut ini diberikan beberapa contoh perhitungan untuk menentukan kebutuhan pupuk. Suatu lahan padi sawah membutuhkan 35 kg P2O5 / hektar, sedangkan dari uji tanah didapatkan kadar P tersedia 20 P2O5 /hektar. Jika efisiensi serapan fosfat dari pupuk TSP (45% P2O5) yang diberikan sebesar 25%, maka jumlah pupuk yang diperlukan adalah: Kebutuhan P2O5 = (25-20).100/25 = 60 kg P2O5 kg/ha Kebutuhan TSP = 100.60/45 = 133 kg TSP/ha Jika dosis pupuk Urea sebesar 250 kg/ha untuk tanaman jagung dalam satu musim dengan jarak antar baris 70 cm dan dalam barisan 20 cm. Hitung berapa berat Urea yang harus diberikan untuk setiap tanaman ? Perhitungan berdasarkan populasi tanaman Untuk luas 1 hektar, dosis pupuk = 250 kg = 250.000 g Untuk luas 1 m2, dosis pupuk = 250.000 g / 10.000 m2 = 25 g/m2 Luas 1 tanaman = 0,7 x 0,2 m2 = 0,14 m2 –> Populasi = 1/ 0,14 tanaman/m2 Dosis untuk 1 tanaman = 25 g / (1 /0,14 tanaman/m2) = 3,5 g/ tanaman. Suatu percobaan di rumah kaca menggunakan 10 L tanah untuk setiap pot. Dosis pupuk KCl untuk jagung adalah 100 kg KCl/ha dalam satu musim tanam. hitung berapa berat pupuk yang harus ditimbang untuk setiap pot ? Perhitungan berdasarkan volume tanah: Untuk 1 hektar, dosis = 100 kg = 100.000 g Volume 1 hektar = 10.000 m2 x 0,2 m = 2.000 m3 Volume 1 pot = 10 L = 0,01 m3 Dosis per pot = (0,01 m3 /2.000 m3 ) x 100.000 g = 0,5 g / pot Rekomendasi Pemupukan Langkah yang ditempuh dalam menetapkan rekomendasi pemupukan adalah: 1. Menghitung kebutuhan hara untuk suatu target hasil panen, 2. Menghitung penyediaan hara dari tanah, 3. Menghitung efisiensi serapan hara, 4. Menghitung takaran hara, 37 5. Menentukan waktu aplikasi. Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan, umumnya dibuat paket pemupukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Contoh pembuatan rekomendasi untuk tanah sawah: Tingkat kesuburan tanah sawah Karakter Tekstur Kategori kesuburan tidak subur subur Berpasir, Lempung pasir berliat, liat berlempung, lempung berpasir <1 1-1,5 < 10 10-20 <5 5-10 <0.15 0.15–0.30 <6.5 6,5-7 ya nihil C-organik (% C) KTK (cmolc kg-1) P-Olsen (ppm) K tertukar (cmolc kg-1) pH setelah tergenang Kekahatan/keracunan hara mikro Hasil (GY0) (t ha-1) 2.5 INS (sediaan asli N) (kg N 30 ha-1) IPS (sediaan asli P) (kg P 10 ha-1) IKS (sediaan asli K) (kg K 50 ha-1) sangat subur Lempung berliat, Liat 1,5 – 2,5 > 20 > 10 > 0,3 6,5 – 7 nihil 4,0 50 5,0 70 15 20 75 100 Rekomendasi pemupukan untuk sawah dengan irigasi Tanah / Musim Kemarau Musim Hujan Target hasil (Ymax ~ 10 t ha-1) (Ymax ~ 7.5 t ha-1) N P K N P (t ha-1) (kg ha-1) (kg ha-1) Tanah tidak subur 4 60–80 8–12 20–40 60–80 8–12 5 90–110 15–25 50–60 90–120 15–25 6 120–150 25–40 80–100 7 150–200 35–60 110–140 Tanah subur 4 0 8–12 10–40 0 8–12 5 50–70 10–15 15–50 50–70 10–15 6 90–110 12–18 30–60 100–120 12–18 7 120–150 15–30 60–80 8 160–200 35–50 110–130 Tanah sangat K 20–25 50–60 10–40 15–50 40–60 - 38 subur 4 0 8–12 10–40 0 5 0 10–15 15–50 20–30 6 50–60 12–18 20–60 60–80 7 80–100 14–21 20–70 8 120–150 15–25 60–80 Sumber: Dobermann & Fairhurst (2000). Peranan Bahan Organik Tanah (BOT) 8–12 10–15 12–18 - 10–40 15–50 20–60 - Kesuburan tanah dapat dideskripsikan sebagai kapabilitas suatu tanah untuk mensuplai unsur hara kepada tanaman dalam jumlah dan proporsi yang dibutuhkan tanaman. Konsep ini merupakan kesuburan tanah secara kimiawi. Dalam makna yang lebih luas, kesuburan tanah juga mencakup kesuburan tanah secara fisika, yang merupakan kapabilitas suatu tanah untuk mensuplai air kepada tanaman, mensuplai udara kepada akar tanaman dan menyediakan tempat untuk “pegangan” akar tanaman. Kadangkala kesuburan kimia dan fisika tanah dikombinasikan menjadi konsep “produktivitas tanah”. Peranan BOT dalam kesuburan kimiawi tanah adalah sebagai penyangga penyediaan N, P dan S, serta sebagai penjerap Ca, Mg, K dan Na. Sedangkan peranan BOT dalam kesuburan fisika adalah meningkatkan kemampuan tanah menahan air (WHC) dan memperbaiki stabilitas struktur tanah. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah. Bahan organik di samping berpengaruh terhadap suplai hara juga tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya. Syarat tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat fisik tanah meliputi : struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan yang tidak kalah penting adalah peningkatan ketahanan terhadap erosi. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Fisik Tanah Bahan organic tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). 39 Pada tanah berpasir bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat. Mekanisme pembentukan egregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian – bagian negative dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organik berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organic berantai panjang (polimer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah. Kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat memperbaiki kondisi tanah agar tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan dalam pengolahan tanah. Berkaitan dengan pengolahan tanah, penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuannya untuk diolah pada lengas yang rendah. Di samping itu, penambahan bahan organik akan memperluas kisaran kadar lengas untuk dapat diolah dengan alat-alat dengan baik, tanpa banyak mengeluarkan energi akibat perubahan kelekatan tanah terhadap alat. Pada tanah yang bertekstur halus (lempungan), pada saat basah mempunyai kelekatan dan keliatan yang tinggi, sehingga sukar diolah (tanah berat), dengan tambahan bahan organik dapat meringankan pengolahan tanah. Pada tanah ini sering terjadi retak-retak yang berbahaya bagi perkembangan akar, maka dengan tambahan bahan organik kemudahan retak akan berkurang. Pada tanah berpasir yang semula tidak lekat, tidak liat, pada saat basah, dan gembur pada saat lembab dan kering, dengan tambahan bahan organik dapat menjadi agak lekat dan liat serta sedikit teguh, sehingga mudah diolah. Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh udara dan air. Pori pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori 40 meso dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori makro sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata air yang baik. Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir), akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro. Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan menahan air (Stevenson, 1982). Hasil penelitian menunjukkan, penambahan bahan humat 1 persen pada latosol mampu meningkatkan 35,75 % pori air tersedia dari 6,07 % menjadi 8,24 % volume (Herudjito, 1999). Pada tanah halus lempungan, pemberian bahan organik akan meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro. Dengan demikian akan meningkatkan pori yang dapat terisi udara dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat. Terbukti penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah dan akan menurunkan berat volume tanah (Wiskandar, 2002). Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2 dalam tanah. Dengan demikian aerasi tanah akan mempengaruhi populasi mikrobia dalam tanah. Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status kadar air dalam tanah. Penambahan bahan organic akan meningkatkan kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang . Penambahan bahan organik di tanah berpasir akan meningkatkan kadar air pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994). Terbukti penambahan pupuk kandang di Andisol mampu meningkatkan pori memegang air sebesar 4,73% (dari 69,8% menjadi 73,1%) (Tejasuwarna, 1999). Pada tanah berlempung dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori-meso tanah dan menurunnya pori mikro. Peran bahan organik yang lain, yang mempunyai arti praktis penting terutama pada lahan kering berlereng, adalah dampaknya terhadap penurunan laju erosi tanah. Hal ini dapat terjadi karena akibat dari perbaikan struktur tanah yaitu dengan semakin mantapnya agregat tanah, sehingga menyebabkan ketahanan tanah terhadap pukulan air hujan meningkat. Di samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air akan berdampak pada aliran permukaan dapat diperkecil. sehingga erosi dapat berkurang (Stevenson, 1982). Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Kimia Tanah 41 Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga (buffer) tanah dan terhadap ketersediaan hara tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negative sehingga akan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Bahan organic memberikan konstribusi yang nyata terhadap KTK tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1982). Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber muatan negative tanah, sehingga humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (COOH-) dan fenolik (-OH) nya (Brady, 1990). Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 t ha–1 pada Ultisol mampu meningkatkan 15,18 % KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol (+) kg–1 (Cahyani, 1996). Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan terikat kuat pada gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi bermuatan positip (-COOH2+ dan –OH2+), sehingga koloid koloid yang bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH-, akibatnya terjadi pelepasan H+ dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan negative (-COO-, dan –O-), sehingga KPK meningkat (Parfit, 1980). Dilaporkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan pengapuran (Sufardi et al., 1999). Bahan organik tanah dapat menurunkan kandungan pestisida secara non-biologis, yaitu dengan cara menjerap molekul pestisida yang ada dalam tanah. Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organic tanah dapat melalui: pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan reaksi penjerapan pestisida dengan bahan organik : (1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus), (2) sifat pestisidanya, dan (3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan organik, kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya, lengas, dan temperatur tanahnya (Stevenson, 1982). Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan 42 penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penamhan bahan organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al-tukar tanah (Suntoro, 2001. Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa. Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Hara N, P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan tanaman. Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertamatama akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi, yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai menjadi amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah. Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham, 1994). Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melalui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan ketersediaan P di dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi seperti tersebut di bawah ini: (1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral (PO43-); (2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang tidak larut menjadi bentuk terlarut: Al (Fe)(H2O)3 (OH)2 H2PO4 + Khelat ===> PO42- (larut) + Kompleks AL-Fe- Khelat (Stevenson, 1982). 43 (3). Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs pertukaran; (4). Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan organik asli tanah; (5). Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan organik secara lemah. Untuk tanah berkapur (agak alkalin) yang banyak mengandung Ca dan Mg fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari pelepasan CO2 dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan kelarutan P menjadi lebih meningkat, dengan reaksi sebagai berikut : CO2 + H2O ====== > H2CO3 H2CO3 + Ca3(PO4)2 ====== > CaCO3 + H2PO4– Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan organik juga dapat berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Hasil proses penguraian dan mineralisasi bahan organik, di samping akan melepaskan fosfor anorganik (PO4≡) juga akan melepaskan senyawa-senyawa P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan diduga senyawa P-organik ini, tanaman dapat memanfaatkannya. Proses mineralisasi bahan organik akan berlangsung jika kandungan P bahan organik tinggi, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika kandungan P bahan tinggi, atau nisbah C/P rendah kurang dari 200, akan terjadi mineralisasi atau pelepasan P ke dalam tanah, namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari 300 justru akan terjadi imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson, 1982). Bahan organik di samping berperan terhadap ketersediaan N dan P, juga berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida, S-protein, merupakan cadangan S terbesar untuk keperluan tanaman. Mineralisasi bahan organik akan menghasilkan sulfida yang berasal dari senyawa protein tanaman. Di dalam tanaman, senyawa sestein dan metionin merupakan asam amino penting yang mengandung sulfur penyusun protein (Mengel dan Kirkby, 1987). Protein tanaman mudah sekali dirombak oleh jasad mikro. Belerang (S) hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N, sebagian S diubah menjadi mantap selama pembentukan humus. Di dalam bentuk mantap ini, S akan dapat terlindung dari pembebasan cepat (Brady, 1990). Seperti halnya pada N dan P, proses mineralisasi atau imobilisasi S ditentukan oleh nisbah C/S bahan organiknya. Jika nisbah C/S bahan tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka akan terjadi mineralisasi atau pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah C/S bahan tinggi yaitu lebih dari 400, maka justru akan terjadi imobilisasi atau kehilangan S (Stevenson, 1982). 44 Peranan Bahan Organik Terhadap Biologi Tanah Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikrofauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organic adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam dekomposi bahan organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda, Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian, G. 1997). Mikro flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik memberikan karbon sebagai sumber energi. Pengaruh positip yang lain dari penambahan bahan organik adalah pengaruhnya pada pertumbuhan tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh (auxin), dan vitamin (Stevenson, 1982). Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan berat molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat, ciannamat, fumarat) hasil dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh positip terhadap pertumbuhan tanaman. 45 Karakterisasi BOT dan Mineralisasi Bahan organik tanah hampir seluruhnya berasal dari residu tanaman. Dengan demikian diharapkan BOT ini mengandung unsur-unsur hara yang sama dengan yang ada dalam tanaman, dan proporsinya relatif sama dengan yang ada dalam tubuh tanaman. Namun pada kenyataannya komposisi BOT berbeda dengan komposisi tubuh tanaman. Segera setelah material tanaman yang mati jatuh ke tanah, ia segera mengalami perubahan. Komponen-komponen yang mudah larut segera tercuci ke luar. Sebagai sumber cadangan unsur hara, BOT sangat penting , utamanya dalam hal unsur hara N, P, dan S yang terikat secara organik. Unsur-unsur ini dapat menjadi tersedia bagi tanaman melalui proses mineralisasi, yaitu konversi senyawa organik menjadi an-organik dengan melibatkan mikro-organisme tanah. Seringkali dilakukan pembedaan antara bahan organik yang stabil dan yang tidak stabil. Bahan organik yang tidak stabil juga disebut “nutritive, labil, aktif, atau humus-muda”, merupakan bahan organik yang masih baru terbentuk dari biomasa tanaman yang masuk ke tanah (yaitu selama 10-20 tahun terakhir). Bahan organik yang stabil, pasif atau humus tua, merupakan bahan organik yang telah berada dalam tanah selama waktu yang panjang. Perbedaan di antara keduanya tidak tajam, karena humus-labil secara bertahap berubah menjadi humus-stabil. Bahan organik stabil mempunyaim komposisi yang kompleks. Komponen yang sangat penting ialah humin, asam humat, dan asam fulvat; ada juga hasil polimerisasi dari senyawa fenolik dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sebagian besar BOT tanah secara intensif berhubungan dengan mineral liat dan ini menjadi salah satu alasan mengapa dekomposisi humus berlangsung sangat lambat. Senyawa seperti polisakarida, protein, asam amino, yang mudah terdekomposisi, akan “lenyap “ selama proses konversi bahan organik labil. Unsur C, N, P dan S dalam bahan organik stabil lazimnya adalah 100:10:1:1, tetapi seringkali terjadi penyimpangan dari proporsi ini. Sifat vegetasi, ilkim, landuse, umur bahan organik dan faktor lainnya sangat berpengaruh. Demikian juga dalam sel-sel mikro-organisme, unsur C, N, P, dan S mempunyai proporsi 100:10:1:1. Banyak organisme tanah bersifat C-heterotrofik, mereka tidak mampu mengasimilasi CO2 dari udara. Mereka menggunakan senyawa karbon yang ada dalam bahan organik tanah. Demikian juga untuk respirasinya mereka menggunakan senyawa karbon dalam bahan organik tanah. Secara rata-rata fungi menggunakan 2/3 bagian bahan organik untuk mendapatkan energi dan 1/3 bagian untuk membangun jaringan tubuhnya. Dengan kata lain, bahan organik digunakan oleh fungi secara disimilasi (2/3 bagian) dan secara asimilasi (1/3 bagian). 6 0 0 bahan organik 3 0 0 C 46 3 0 3 3 N P S Dissimilasi 1/3 asimilasi 1 0 1 1 S 0 0 1 Respirasi C N P 2 0 0 Mineralisasi C 2 0 2 2 N P S Gambar 1. Bagan distribusi C, N, P dan S untuk asimilasi dan disimilasi, dalam konversi 600 unit masa bahan organik. CO2 dan H20 terbentuk melalui proses respirasi, misalnya: C6H12O6 + 6O2 -------- 6 CO2 + 6 H2O + energi Senyawa organik N, P dan S berubah menjadi bentuk anorganik NH4+, NO3-, H2PO4- dan SO4=, yang tersedia bagi tanaman. Proses perubahan seperti ini disebut mineralisasi. Laju mineralisasi tergantung pada faktor-faktor seperti suhu, pH, aerasi tanah, kelengasan tanah, kesuburan tanah dan sifat vegetasi serta sistem pertanian yang berlaku. Suatu indikasi laju mineralisasi dapat diperoleh dengan jalan mengukur jumlah CO2 atau nitrogen anorganik yang dihasilkan per unit tanah per unit waktu. Kemungkinan lainnya ialah dengan jalan mengukur kandungan bahan organik atau nitrogen organik, fosfor dan belerang organik dari waktu ke waktu. Periode waktu ini harus cukup panjang (beberapa tahun), karena laju mineralisasi relatif tidak tinggi, sekitar 2% setahun di daerah temperate dan sekitar 8% di daerah dataran rendah tropis. Hasil penelitian Jenkinson dan Aynabe (1977) , Ladd dan Amato (1985) membuktikan pentingnya pengaruh suhu terhadap laju mineralisasi bahan organik tanah. Laju mineralisasi relatif meningkat dua kali setiap kenaikkan suhu 9oC, yaitu 2% pada 9oC, 4% pada 18oC, dan 8% pada 27oC. Di atas 30oC dan di bawah 6oC ketentuan ini tidak berlaku. Kalau C/N rasio bahan organik sama dengan 10; maka konversi 300 unit masa karbon, atau disimilasi 200 unit masa karbon , melibatkan konversi 30 unit masa N. Dari jumlah ini 10 unit diikat dalam sel mikroorganisme dan 20 unit dilepaskan ke dalam larutan tanah. Dalam kaitan ini kita mengukur mengukur lenyapnya C atau disimilasi. Per 10 kg C yang telah lenyap dibarengi dengan 1 kg N yang mengalami mineralisasi. Dengan demikian di daerah yang laju dekomposisi relatif BOT 2% setahun 47 , pelepasan N per % bahan organik per tahun per 20 cm topsoil (1 ha, 20 cm = 2.5 x 106 kg) sama dengan: 1/10 x N=1/10 C 50/100 x 10-2 x C/BOT 2.5x106 x 2x10-2 = 25 kg N 1% BOT masa tnh laju dec. reltf Dengan anggapan bahwa fraksi massa P dan S adalah 1/10 dari massa N, maka jumlah P dan S yang dilepaskan adalah: 2.5 kg per tahun per ha per 20 cm topsoil per % bahan organik. Pada umumnya tanaman tidak dapat menggunakan jumlah hara ini secara keseluruhan. Sebagian n dan S tercuci dalam bentuk NO3- dan SO4=, atau menguap sebagai NH3, N2, H2S; sedangkan fosfat diikat oleh partikel tanah dalam bentuk H2OP4- atau PO4=. Kalau C/N rasio lebih tinggi dari 10, maka lebih sedikit nitrogen yang dilepaskan ke dalam larutan tanah. Kalau C/N rasio lebih dari 30, biasanya tidak cukup N untuk proses asimilasi oleh mikroba. Nitrogen diambil dari larutan tanah dan tidak tersedia lagi bagi tanaman, proses seperti ini disebut imobilisasi nitrogen. Seringkali immobilisasi hanya bersifat sementara, karena kemudian bangkai sel-sel mikroba mengalami proses mineralisasi. Kapasitas menahan kation BOT dapat menahan kation karena ia mengandung gugusan karboksilat dan fenolat yang dapat mengalami disosiasi sbb: R – COOH ======= RCOO- + H+ R – OH ====== RO- + H+ (hanya pada pH > 7) Muatan negatif pada gugusan karboksilat dan fenolat ini dapat mengikat kation. Proses disosiasi tersebut tergantung pH, sehingga kemampuan BOT mengikat kation juga tergantung pH. Kation juga dapat diikat oleh bahan organik ke dalam struktur cincin membentuk “khelate” dengan ligand organik. Stabilitas bentuk kompleks ini tergantung pada tipe kation (Tabel 1). Tabel 1. Kapasitas retensi kation dari beberapa bahan organik tanah, dengan larutan pencucian yang berbeda Sumber bahan organik Kation yang ditahan dengan larutan pencucian (me per 100 g) BaCuBaK-asetat hidrokasetat asetat pH 5 sida pH 5 pH 5 48 Tanah hutan pinus 533 410 Lempung debu Honeoye 295 306 Lempung debu Ontario 309 278 Lempung debu Yates 301 278 Lempung liat berdebu 275 270 Dunkirk Tanah hutan Sequoia 286 181 Sumber: Broadbent, 1955, dalam Allison, 1973. 155 146 125 124 135 139 60 54 43 64 118 42 49 O OH O C OH C O O C – O- + Cu++ O + H+ OH Cu O O OH O C O Cu C O C O C + Cu++ O + H+ O Gambar 1. Pembentukan khelate antara Cu dan gugusan karboksil / fenolat; dan antara Cu dengan dua gugusan karboksilat (Schnitzer dan Kahn, 1972), Aspek Fisika BOT mampu menahan 3 g air per satu gram bahan organik, berarti tambahan 1% bahan organik dalam topsoil 0-25 cm akan meningkatkan WHC sebesar 3% volume. Bahan organik tanah mampu memperbaiki stabilitas agregat tanah melalui cara-cara berikut: 1. Partikel-partikel tanah diikat bersama-sama oleh hifa jamur dan actinomycetes 2. Mikroba menghasilkan produk metabolik, terutama karbohidrat yang menjadi perekat yang mengikat bersama partikel tanah 3. Di antara lempengan liat dengan asam humat dapat terbentuk semacam “jembatan kimiawi” 4. Melalui stimulasi pertumbuhan akar tanaman, stabilitas struktur tanah diperbaiki karena akar dapat berfungsi sebagai “tali” di seputar partikel tanah, dan karena mikroba dalam rizosfer menghasilkan material perekat 5. Bahan organik menjadi makanan cacing tanah dan cacing ini mampu memperbaiki stabilitas agregat tanah dan porositas tanah. 50 Kalau agregat tanah tidak stabil dan bercerai-berai, maka bagianbagian yang kecil akan mengisi pori tanah sehingga akan merusak aerasi/porositas tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efek utama bahan organik terhadap struktur tanah adalah melalui perbaikan aerasi tanah untuk tanah-tanah berat dan perbaikan WHC untuk tanah-tanah berpasir. BOT dan Hasil Tanaman Pengaruh BOT terhadap hasil tanaman terutama melalui suplai unsur hara kepada tanaman. Dalam tanah-tanah berpasir juga peningkatan WHC dapat meningkatkan hasil tanaman, terutama selama musim kering. Pada tanah liat berat, penggemburan tanah sangat penting, terutama bagi akar dan umbi-umbian. Dalam banyak kasus untuk tanaman seperti ini peningkatan hasil dapat mencapai 5% atau lebih. Pengelolaan bahan organik dalam tanah Sepanjang tahun, sebagian bahan organik dalam tanah mengalami dekomposisi. Laju relatif proses dekomposisi ini biasanya diberi simbol k; nilainya sekitar 2% di daerah iklim dengan rataan suhu tahunan 9oC dan akan meningkat dua kali setiap kenaikan suhu 9oC; sebagai teladan nilai k = 0.08 untuk tanah berpasir di Malang selatan. Untuk mengimbangi kehilangan ini, harus ditambahklan bahan organik baru. Bahan organik segar seperti jerami, dedaunan, pupuk kandang mempunyai laju dekomposisi yang cukup tinggi daripada BOT. Dalam waktu 3-4 bulan bahan organik segar ini sudah berubah menjadi seperti BOT. Rasio antara jumlah bahan organik yang tertinggal (masih ada) setelah periode waktu tersebut dengan jumlah bahan organik pada saat awal ditambahkan ke tanah disebut koefisien humifikasi. Bahan organik yang masih tertinggal tersebut dinamakan “bahan organik efektif”. Kalau penambahan bahan organik efektif sama dengan dekomposisi bahan organik yang telah ada dalam tanah, maka kondisi setimbang telah tercapai, dimana: h.X = k.Y h = koefisien humifikasi, X = jumlah bahan organik segar yang ditambahkan, k = laju dekomposisi relatif, Y = jumlah bahan organik dalam tanah. Dengan demikian dapat dihitung jumlah bahan organik yang diperlukan untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah pada tingkat tertentu. Tabel 2. Estimasi kandungan bahan organik tanah yang diperlukan dalam % (A) dan dalam kg/ha (B), laju dekomposisi relatif (k) yang dinyatakan dalam per tahun (C), Kolom D adalah jumlah bahan organik yang terdekomposisi setiap tahun (kg/ha); E adalah pupuk 51 hijau yang diperlukan dengan h.c = 0.25 dalam ton/ha; dan F adalah pupuk kandang yang diperlukan dengan h.c = 0.6. Tekstur tanah Pasir Lempung Liat Liat berat A B C D E F 1.5 2.5 3.5 >5.0 37500 62500 87500 >12500 0.08 0.07 0.06 0.05 3000 4370 5250 >6250 12 17.5 21 >25 5 7.3 8.75 10.4 Kualitas Pupuk Organik Klasifikasi, sifat dan efek pupuk organik Salah satu klasifikasi pupuk organik adalah: a. Limbah manusia dan pupuk kandang b. Sampah pemukiman, sudah atau belum dikomposkan c. Material bumi, seperti lumpur gambut, lumpur selokan/parit, dll d. Residu tumbuhan, bahan segar seperti pupuk hijau, limbah sayuran, buah-buahan dan garden; bahan tua seperti kulit kakao, polong kacangtanah, gambut dll. Bahan mulsa dapat berupa material tumbuhan muda, tua, kering, tidak dibenamkan ke dalam tanah. Pada umumnya penggunaan pupuk organik mempunyai dua tujuan pokok, yaitu (1) suplai unsur hara, dan (2) meningkatkan kandungan BOT. Pentingnya pupuk organik sebagai sumber hara ditentukan oleh kandungan hara dan laju pelepasan hara tersebut. Laju pelepasan hara ini tergantung pada resistensi bahan organik terhadap mikroba. Bahan tumbuhan yang masih hijau banyak mengandung sakarida dan protein, yang mudah didekomposisikan oleh mikroba. Bagian tanaman yang berkayu banyak mengandung selulose, hemi-selulose dan lignin, yang sukar didekomposisi. Faktor lain yang mempengaruhi laju mineralisasi bahan organik adalah kandungan nitrogennya. Peningkatan kandungan BOT juga tergantung pada daya dekomposisi pupuk organik. Semakin mudah pupuk organik mengalami dekomposisi, maka yang tertinggal dalam tanah semakin sedikit. Dengan kata lain, dua macam tujuan utama penggunaan ppuk organik seperti tersebut di atas tidak mungkin dapat dicapai pada waktu yang bersamaan. Peningkatan kandungan BOT akan berpengaruh terhadap: a. Peningkatan KTK, sehingga menurunkan laju pencucian kation b. Perbaikan struktur tanah. Individu agregat tanah menjadi lebih stabil dan kohesi di antara partikel fraksi tanah menjadi lebih kuat. Sehingga kepekaan tanah terhadap erosi menjadi rendah, aerasi tanah menjadi lebih baik, dan akhirnya akar tanaman dapat menyerap ion lebih mudah. c. Peningkatan WHC tanah. Ketersediaan air tanah menjadi lebih bagus, mobilitas hara lebih tinggi dan kadangkala lebih sedikit 52 pencucian, karena tanah mampu menampung lebih banyak air sebelum terjadi perkolasi ke dalam subsoil. d. Perbaikan kondisi pertumbuhan bagi mikroba tanah. e. Pengembangan cadangan hara, terutama N, P dan S. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa pupuk organik alami juga mengandung “senyawa aktif fisiologis” yang mampu merangsang pertumbuhan. 53 PENGELOALAN HARA TERPADU INTEGRATED PLANT NUTRIENT MANAGEMENT SYSTEM (IPNMS) Pengertian Integrated plant nutrient management system (IPNMS) pertains to the combined use of organic and inorganic fertilizers in proper proportion accompanied by sound cultural management practices in crop production. Such cultural practices include the use of appropriate varieties, good water management, pest control (including weeds) and crop rotation (Rice Production Manual, 1991). According to Singh (1994), the basic concept of IPNMS is to limit the unfavorable exploitation of soil fertility and plant nutrients. The maintenance and improvement of soil fertility and plant nutrition at an optimum level to sustain the desired crop productivity through optimization of the benefits from all possible sources of plant nutrients in an integrated manner is the main concern of IPNMS. The combination of organic and inorganic fertilizer seem to be more practical than the use of organic fertilizer alone. The importance of IPNMS is recognized mainly because of the growing consumption of inorganic fertilizers and the unavailability of nutrients at low cost. Another reason is that, many researches revealed that neither inorganic fertilizers nor organic sources alone can achieve a sustainable productivity of soils as well as crops under highly intensive cropping systems (Singh, et. al., 1994). There are many factors that should be considered in the adoption of IPNMS and should include the farmer’s socio-economic and cultural conditions. There are varying approaches in the utilization of organic materials in different localities. In Central Luzon, one common practice of the farmer is the dumping and burning of rice hull in the field prior to planting. This burned rice hull is the farmer’s way of controlling pest especially weeds and diseases (Aganon, et. al, 1999). IPNMS also considers the water resource in the area. In upland farming where water is usually limiting, the application of organic matter is encouraged to increase the soil water holding capacity and provide more available water to the plants. Sejarah In the mid-1960s, when projections of global starvation were common, no one questioned the role of mineral fertilizer in increasing food production, particularly in the food-deficit countries. On the contrary, fertilizer use was an integral part of the “Green Revolution” technological package of improved varieties of rice and wheat, irrigation, and fertilizer that helped many densely populated countries to achieve food selfsufficiency in the short span of 20 to 25 years. In the early 1990s, however, fertilizer became the target of criticism, mainly because of heavy use in the developed countries, where it was suspected of having an adverse impact on the environment through nitrate leaching, eutrophication, greenhouse gas emissions and heavy metal uptakes by plants. Consequently, fertilizer use per se was mistakenly identified as harmful to the environment. But, if for any reason fertilizer use 54 were discontinued today, world food output would drop by an estimated 40 per cent with all its disastrous consequences. While fertilizer misuse can contribute to environmental contamination, it is often an indispensable source of the nutrients required for plant growth and food production. Unless all the soil nutrients removed with the harvested crops are replaced in proper amounts from both organic and inorganic sources, crop production cannot be sustained: soil fertility will decline. If in the past, the emphasis was on increased use of fertilizer; the current approach should focus on educating farmers to optimize use of organic, inorganic, and biological fertilizer in an integrated way. Plant nutrition in future will require the judicious and integrated management of all sources of nutrients for sustainable agriculture. Perlunya Perubahan To promote this integrated approach in a more systematic and scientific manner, FAO pioneered the development of new technologies such as Integrated Pest Management (IPM) and IPNS. The basic concept underlying IPNS is the maintenance and possible increase of soil fertility for sustaining increased crop productivity through the optimization of all possible sources, organic and inorganic, of plant nutrients required for crop growth and quality in an integrated manner appropriate to each cropping system and farming situation within the given ecological, social and economic boundaries. Integrated nutrient management differs from conventional nutrient management in that it more explicitly considers nutrients from different sources, notably organic materials, nutrients carried over from previous cropping seasons, the dynamics and transformation of nutrients in soil, interaction between nutrients, and the availability of nutrients in space (the rooting zone) and time (the growing season), in relation to the nutrient demand by the crop. In addition, it integrates the objectives of production with ecology and environment, that is, optimum crop nutrition, optimum functioning of the biosphere (soil health), and minimum nutrient losses or other adverse effects on the environment. Integrated Nutrient Management (INM) has to be considered an integral part of any sustainable agricultural system. Attempts made in several countries of South and South-East Asia to complement the use of mineral with organic sources of plant nutrients have generated useful, though limited, information on the complementary and synergistic effects of these materials on the yield of crops. Because organic sources of nitrogen are also improving soil structure and soil bioactivity which are not directly improved by mineral sources of N, the productivity of the crop for each kg of N may be better with organic sources of N than with only mineral sources of N. If the objective of IPNS is the balanced and effective use of various sources of plant nutrients than the strategy should be the mobilization of all available, accessible and affordable plant nutrient sources in order to optimize the environmentally benign productivity of the whole cropping system and to increase the monetary return to the farmer. Thus, there is need for more information on (i) integrated nutrient recommendations for cropping systems as a whole taking into account the complementary and the synergistic effects of combined use of both mineral 55 and organic/ biological sources for sustained crop production, (ii) recommendations for different agro-ecological situations taking into account available organic/ biological resources, (iii) and finally, transfer of this technology for the benefit of small farmers through the national agricultural extension services. Komponen dan Teknologi IPNS Sumber Tanah Soils supply all the 16 essential plant nutrients. Nutrients are mostly found in organic and/or fixed mineral form. Plants can meet much of their nutritional requirement from this source, if managed properly, mainly through mineralization of soil organic matter. But due to continuous and intensive cultivation, the nutrient supplying capacity of soils has decreased considerably. Therefore, under any intensive agriculture system, special emphasis should be given to raising Soil Organic Matter (SOM) to maintain soil nutrient and to reduce soil degradation. To enhance soil nutrient supply it is necessary to adopt appropriate soil management practices, such as improvement of soil physical conditions and addition of appropriate quantities of nutrients including micronutrients through mineral fertilizer, organic and biological sources. Pupuk Mineral Various types and grades of fertilizer are available throughout Asia supplying major nutrients such as N, P and K. The fertilizer use levels differ widely between various countries and nutrient use is mostly imbalanced, favouring lopsided use of nitrogen. Balanced fertilization is known to improve fertilizer use efficiency (FUE) and at the same time profitability for the farmer. Using ever higher rates of nitrogen (urea mostly) alone with improved better varieties, the resulting higher yields also remove ever larger amounts of soil nutrients if not replenished and the FUE declines further resulting in stagnating and even declining yields. This leads to the paradox situation where statistics report the continuing increase in fertilizer use but the expected crop production increases are not taking place. Apart from N, P and K, sulphur (S) and micronutrients such as zinc (Zn), iron (Fe) manganese (Mn) and boron (B) have also gained in importance in recent years. The secondary nutrient sulphur (S) has become deficient over wide areas especially since the intensive use of high analysis fertilizer, urea, instead of sulphate of ammonia and TSP or DAP instead of single superphosphate or NPK compounds. The major effect of these and several other factors is the gradual decline in crop yields and fertilizer use efficiency. Sumber Pupuk Organik The sustainability of highly intensive cropping systems and the associated heavy mineral fertilizer use without organic manures is widely questioned. This has brought the almost forgotten farmyard manures (FYM) and composts back to the forefront. Regular applications of such organic manures not only supply all the various secondary and micronutrients, 56 though in small quantities, but also improve the physical and biological properties of the soil. Furthermore, return to the farm is the best way to take care of the large amounts of animal waste produced in the commercial dairy, pig and poultry farms, instead of dumping and degrading the environment. Pupuk Kandang-pekarangan (Farmyard manure, FYM) Farmyard manure (FYM) traditionally does not receive the attention it deserves, as most farmers store their most valuable asset, their cattle/ buffalo manure not in a systematic, but in a rather haphazard way. Storage of FYM in rural households in the region is in heaps exposed to sun, wind and rain, which accounts for substantial nutrient losses. FYM preparation needs improvement, adhering to strict and prompt coverage for shading and prevention of drying out by hot wind or washing out of nutrients with heavy rains (pollution hazard). In the Indian subcontinent the widespread practice of using dried cattle and buffalo dung for burning (cooking) as firewood substitute should be discouraged and for the farmer affordable alternatives provided to the farmers e.g. use of biogas. Kompos Unlike FYM, compost is not a by-product of common farm activities, but has to be specially prepared for its own sake. The quality of the ripe compost after undergoing a heating process reaching at least 60oC to destroy harmful pathogens and weed seeds will depend on the raw material used and the attention given to proper composting by the farmer. The C:N ratio needs to be lowered to 20-15 and good quality compost should have no more than 30 per cent moisture, as no farmer wants to carry excess water to the field. Practically all 16 known plant nutrients are contained in compost, but unfortunately, only in very small quantities. Composting is a labour and time-consuming process, which takes 3-6 months. To speed up the process in several countries, rapid composting technologies have been developed. With the use of Trichoderma harzianium (Philippines), a fungal activator, decomposition of rice straw and other organic material with high C:N ratio, combined with animal manure is enhanced to 25 days. In Thailand, the Department of Land Development of the Ministry of Agriculture uses a mixture of bacterial and fungal microorganisms to inoculate raw rice straw compost for rapid decomposition. More than 100,000 packages of compost activator or inoculants are prepared per year for free distribution to farmers. Each package of 150 g is sufficient for rapid composting of one ton straw or other organic material together with 200 kg of animal manure plus 2 kg of urea. Commercially prepared composts marketed as organic fertilizer are available in most countries in the region and used mainly for high quality vegetable production and horticultural use. Sisa-sisa Tanaman Other freely available sources of organic matter that are available on-farm in large quantities are wheat and rice straws, maize stalks, and stovers of legumes and various pulses. Most of the crop residues are not collected for composting and nutrient recycling, but are used as animal feed (straws/stovers), burnt or left in the field for natural decomposition (fallen 57 leaves and stubble). Crop residues in the long run also increase the OM content in the soil. Mulching with fresh straw or leaves is another good agronomic practice for conserving moisture, reducing soil erosion and for recycling of nutrients, if the partly decomposed mulching material is ploughed under for the following crop. Direct seeding of maize or soybean into mulch cover would be another good agronomic practice. Burning of straw which is still widely practised by farmers as the fastest and least labour requiring method of disposal should be discouraged or, if possible, banned as in most developed countries, mainly because of its air polluting effect. Pupuk Hijau Green manure crops such as Sesbania aculeata ploughed into the soil after 45-60 days, as practiced by Indian, Nepali and Pakistani farmers may contribute about 30-40 kg per hectare nitrogen for the following crop. However, it seems to be increasingly difficult to find a niche in the traditional farming calendar and cropping system to successfully grow a green manure crop, which occupies the land for several months and needs water and fertilizer, except N- just to plough it back into the soil. Wherever possible and feasible the growing of grain legumes such as groundnuts, soybeans, chickpeas, cowpeas or mungbean as cash crops, which maintain soil fertility and provide farmers with extra income and fodder from crop residues should be encouraged. Leguminous green manures, when incorporated, certainly add the nutrients present in their biomass including the bulk of nitrogen they have captured (fixed) from the air, but other nutrients have to be absorbed from the soil. Green manuring apart from making net nitrogen addition, basically recycles other nutrients back in the soil. Furthermore, effective nitrogen fixation requires an adequate phosphorus status in soils which is usually lacking. It is a common misconception that using green manures to provide nitrogen would be less damaging to the environment than using mineral fertilizer, but far from it, the opposite is often the case. When the legume plants die at the end of the growing season or after harvest and there is no crop growth in the field to take up all the nitrate which is released from the rapidly decaying rhizobium nodules and plant residue, there is a great danger of nitrate leaching, especially under hot, humid and high rainfall climatic condition in the tropics. Lumpur Biogas Biogas plants in rural areas produce digested slurry as an end product, which could be applied directly in cultivated fields. Such slurry contains about 1.5-2.0 per cent nitrogen, 1.0 per cent phosphorus and a little over 1 per cent potassium. It is also a valuable source of micronutrients. Moreover, due to the heated digestion processes, biogas slurry is virtually free from weed seeds and pathogens. Limbah Industri Most industrial waste materials as are valuable resources and should be properly managed and utilized. The large number of sugar cane processing factories in the region produce substantial quantities of organic 58 by-products such as bagasse, pith and press-mud. Even though some of the bagasse and cane residues are used for cardboard production, most of them are burnt as fuel in the sugar industry. So far only a small portion is mixed with press-mud, composted and recycled as organic fertilizer. Agro-industries, such as fruit and vegetable processing, cotton ginneries, oil mills, breweries and distilleries, also produce large quantities of organic waste materials which need to be properly managed and utilized for nutrient recycling instead of dumping and polluting the environment. An excellent example for organic waste recycling is the practice of Malaysia’s oil palm industry to effectively utilize the vast quantities of palm oil milling effluent Sampah Kota Increasing population and even faster growth of urban population will consequently lead to increasing amounts of urban waste, which would create enormous disposal problems if not properly recycled as a source of crop nutrients. Processed, composted solid organic wastes and sewage sludge provide both organic matter and valuable plant nutrients to crops. The transport from urban composting plants to the farming areas constitutes a major part of the cost of processed organic wastes for farmers. Marketing studies and advertising campaigns, attractive comparative prices together with a subsidy scheme to encourage the largescale acceptance by farmers of urban compost should be considered. Subsidies, grants and credit should concentrate on transport and handling cost of such bulky products, which could nevertheless result in considerable savings in mineral fertilizer, for the farmers. As a rule of thumb the price per kg of nutrient in composted city refuse for the farmer should be at par or not considerably higher than the cost per kg nutrient in commonly used mineral fertilizer. The other not so easily quantifiable benefits of using organic fertilizer materials, such as increasing SOM, better water holding capacity, and better soil health, are to be accounted for by the cost of extra labour for spreading and incorporation in the field. Kompos Sampah Kota yang diperkaya City compost produced at mechanical composting plants throughout the Asia and the Pacific region (India, Nepal, Pakistan, Philippines, Indonesia, and Thailand) is generally low in plant nutrients and therefore its acceptability by farmers has been limited. To improve the quality and nutrient content of city compost, low-grade rock phosphate and phosphate solubilising azotobacter spp. and the nitrogen fixing bacteria, such as azotobactor spp. or pseudomonas spp., are being used as inoculants. Microbial inoculation and application of 1 to 5 per cent rock phosphate increased the nitrogen content of city compost by 24 to 30 per cent and more favourable C:N ratios have been obtained. Available P2O5 content of compost was increased by 60 to 114 per cent where rock phosphate was applied and inoculated with aspergillus awamori. Preparation of compost from enriched city garbage or otherwise is promising, provided that financial support from government is available. 59 However, heavy metals in sewage sludge when continuously applied in excessive quantities to farmland as organic manure could lead to problems. Monitoring for Cd, Zn, Pb, As, and Cu contents in compost is recommended. Pupuk Hayati Biofertilizers have an important role to play in rainfed areas in improving the nutrient content of crops. Although rhizobium is the most researched and well known among the biofertilizers, there are a number of microbial inoculants with potential practical application in IPNS. Such inoculates could contribute to increasing crop productivity through increased biological nitrogen fixation (BNF), increased availability or uptake of nutrients through phosphate solubilization, or increased absorption, stimulation of plant growth (hormones), or by rapid decomposition of organic residues (rapid composting technology). Inokulan Rhizobium The nitrogen fixed by rhizobia benefits legume crop production in two ways: (i) by meeting most of the legume crops nitrogen needs and (ii) by enriching the soil for the benefit of subsequent crops. Rhizobium inoculation should be considered in all legume green manure crops to gain maximum benefit from nitrogen fixation in the shortest possible time. Azospirillum, azotobacter and pseudomonas inoculations on upland grain crops are still in their infancy and field trial results are inconclusive, although good responses to azospirillum and azotobacter inoculation of wheat, rice and sugar cane have been recorded. Further research is needed to find agronomic practices that may help the inoculated bacteria to multiply profusely in the rhizosphere. Pupuk Hayati lahan sawah: Azolla dan BGA Most important biofertilizers for wetland rice are the water fern azolla and the blue green algae (BGA), also known as floating nitrogen fertilizer factories. Both can grow alongside paddy. Azolla can also be used for green manuring which could contribute from 20 to 60 kg per hectare N. Phosphorus is a key element and its deficiency results in poor growth and reduced N fixation (addition of 1 kg P results in fixation of 5 to 10 kg N). Azolla is considered an efficient scavenger for potassium and serves as a source of K for rice crops. Azolla biofertilizer technology is labour intensive. Irrigation water, phosphate fertilizer and pest control measures are necessary inputs. Nitrogen fixed by azolla or BGA becomes available to the rice crop only after its decomposition. Numerous field experiments indicated that only up to one third of the fixed N is absorbed by the following rice crop, while two-thirds remained in the soil as residual N or is lost to the atmosphere. Mikroba Pelarut Fosfat Sejumlah mikroba mampu A number of microorganisms known to have the ability to solubilize and transform inorganic P from normally insoluble sources through excretion of various organic acids have been isolated. These are bacteria of the bacillus and pseudomonas spp and 60 fungi, such as aspergillus, penicillium and trichoderma spp. In addition to Psolubilization these microorganisms can also mineralize locked up organic P into soluble, plant available forms. As these reactions take place in the rhizosphere and the microorganisms bring more P into solution than they can absorb for their own growth, the surplus is available for plants to absorb. The effectiveness of these microorganisms depends on the availability of sufficient energy source, carbon in the soil, P concentration, particle size of rock phosphate as well as temperature and moisture. Kendala Aplikasi Pupuk Hayati Hingga saat ini masih sulit diramalkan keragaan pupuk hayati, ternyata banyak factor yang berpengaruh, hanya beberapa factor saja yang dapat dikelola dalam konteks pertanian. Pada hakekatnya, tingkat perkembangan populasi strain introduksi harus diperbaiki. Ada beberapa kendala dalam aplikasi pupuk hayati. Misalnya, transportasi inoculum dan penyimpannya harus ideal. Biasanya akan terjadi penurunan jumlah bakteri kultur kalau diangkut dan disimpan pada suhu 45oC atau lebih. Daya hidup yang buruk juga berhubungan dengan suhu tinggi dalam tanah selama musim panas. Pertumbuhan dan kehidupan rhizobium dan bakteri fiksasi N lainnya yang hidup bebas juga dipengaruhi oleh kompetisi dan antagonis dengan organism lainnya, salinitas tanah, genangan air dan aplikasi pestisida. Sejauh ini penggunaan pupuk hayati masih belum optimal, masih diperlukan beragam upaya secara intensif untuk membangun kesadaran petani terhadap pentingnya dan manfaatnya pupuk hayati. 61 DAFTAR PUSTAKA Black, C.A. 1967. Soil Plant Relationship. John Wiley and Sons. vii + 618 h. Cooke, C.W. 1975. Fertilizing for Maximum Yield. The English Language Book Soc. And Crosby Lockwood Staples. London. xx + 297 h. Cosico, W.C. 1985. Organic Fertilizers: Their Nature, Properties & Use. College of Agriculture. University of Phillipines. Los Banos. 136 h. Engelstad, O.P. (ed.). 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk. Terjemahan DH. Goenadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. FAO. 2000. Fertilizer and Their Use. 70 h. Foth, H.D. & B.G. Ellis. 1988. Soil Fertility. John Wiley & Sons. New York. 212 h. IFDC. 1978. Fertilizer Manual. xix + 353 h. IRRI. 1984. Organic Matter and Rice. Los Banos. Jones, U.S. 1979. Fertilizer and Soil Fertility. Reston Pub. Co. Virginia. xii + 368 h. Miller, R.W. & R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant Growth. Prentice-Hall New Jersey. xiv + 768 h. Radjagukguk, B. & Joetono (Eds.). 1983. Prosiding Seminar Alternatif Pelaksanaan Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia. Bulletin No. 18. Fakultas Pertanian UGM. RAPA-FAO. 1991. Asian Experience in Integrated Plant Nutrition. Bangkok. Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Terjemahan H.M. Saleh. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Vii + 232 h. Roesmarkam, A. & NW. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. ISBN 979-21-0468-2. 224 hal. Russel, E.W. 1978. Soil Condition & Plant Growth. McGraw Hill. New York. 60 h. Sastrohoetomo, A. 1968. Pupuk Buatan dan Penggunaannya. Djambatan. Jakarta. x + 60 h. Thompson, L.M. & F.R. Troeh. 1978. Soils & Soil Fertility. McGraw-Hill Pub. xi + 516 h. Tisdale, S.L., W.L. Nelson & J.D. Beaton. 1986. Soil Fertility and Fertilizers. MacMillan Pub. New York. xiv + 754 h.