Pengelolaan Kesuburan Tanah

advertisement
1
KESUBURAN TANAH DAN
PENGELOLAANNYA
(smno.tnh.fpub)
Permasalahan kesuburan tanah khususnya dalam hubungannya
dengan kesehatan dan kwalitas tanah di jabarkan dalam beberapa aspek
antara lain tanah untuk kehidupan, pertumbuhan tanaman dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesuburan tanah, Reaksi tanah dan pengapuran,
Nitrogen unsur hara sangat mobil, Fosfor unsur hara yang mudah terfiksasi
tanah, kalium unsur hara kwalitas, Unsur hara sekunder, unsur hara miko
dan fungsinya, analisa tanah, tanaman dan kesuburan tanah, kwalitas
tanah untuk pengelolahan tanah secara berkelanjutan.
Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk
menghasilkan produk tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat
tanah itu berada. Produk tanaman berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi,
getah, eksudat, akar, trubus, batang, biomassa, naungan, penampilan dsb.
Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung sejumlah
faktor pembentuk tanah yang merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan induk,
Iklim, Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah merupakan fokus utama
dalam pembahasan ilmu kesuburan tanah, sedangkan kinerja tanaman
merupakan indikator utama mutu kesuburan tanah.
Tanah yang subur lebih disukai untuk usaha pertanian, karena
menguntungkan. Sebaliknya terhadap tanah yang kurang subur dilakukan
usaha untuk menyuburkan tanah tersebut sehingga keuntungan yang
diperoleh meningkat.
Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk
menghasilkan produk tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat
tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat berupa: buah, biji, daun,
bunga, umbi, getah, eksudat, akar, trubus, batang, biomassa, naungan
atau penampilan.
Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung faktor
pembentuk tanah yang merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan induk, Iklim,
Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah merupakan fokus utama dalam
pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman merupakan indikator
utama mutu kesuburan tanah.
Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi untuk
meningkatkan produktivitas atau ekstensifikasi untuk mendapatkan lahan
baru. Kunci utama dari kedua hal tersebut adalah bagaimana memelihara
atau meningkatkan status kesuburan tanahnya.
Konsep pembangunan berkelanjutan terus digalakkan agar kegiatan
pertanian senantiasa menguntungkan, aman, lestari dan ramah lingkungan.
Perlu penyusunan rekomendasi pemupukan terpadu yang bersifat spesifik
lokasi disesuaikan dengan komoditas yang diusahakan dan lahan tempat
usahanya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan
mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan.
Beberapa alasan kenapa harus memupuk:
2
1. Aplikasi pupuk terhadap hara yang diketahui menjadi faktor
pembatas, akan meningkatkan hasil.
2. Pengusahaan tanaman dengan hasil tinggi (high yielding),
membutuhkan tanah yang subur secara berkesinambungan.
3. Hara yang diserap oleh tanaman harus digantikan.
4. Penggunaan pupuk yang tepat akan meningkatkan keuntungan
ekonomi.
Hubungan antara kesuburan tanah dengan keadaan lingkungan dapat
digambarkan sebagai berikut. Hara dapat bergerak menuju badan air
permukaan atau air dalam tanah. Hal ini disebabkan bentang lahan saling
berhubungan, lahan pertanian tidak terpisah dari lingkungan di sekitarnya.
Pengelolaan hara yang buruk, misalnya pemupukan yang berlebihan,
pengelolaan rabuk yang sembarangan, akan menimbulkan beaya
lingkungan.
3
Komponen Kesuburan Tanah
1. Kedalaman efektif perakaran yang memadai [nama lain solum,
merupakan daerah jelajah akar, perlu dikonservasi menghadapi
ancamab erosi dan pencucian].
2. Struktur tanah yang optimum [mengatur keseimbangan air-udara
dan kemudahan ditembus akar].
3. Reaksi tanah yang optimum [mencerminkan ketersediaan /
kelarutan unsur hara dan dominansi mikrobia].
4. Hara cukup dan seimbang [macam, jumlah dan nisbah].
5. Penyimpanan dan penyediaan hara dan lengas yang optimum
[berkaitan dengan Kapasitas Pertukaran Kation, buffering capacity,
serta retensi lengas].
6. Humus yang cukup [penyimpanan C-organik dalam tanah, berfungsi
dalam khelasi, sebagai sumber materi dan energi bagi mikrobia].
7. Mikrobia bermanfaat [melakukan sinergisme, pelaku aktif daur hara
dan materi].
8. Bebas bahan meracun [berupa senyawa toksin dan limbah].
Kemasaman Tanah dan Kesuburan
Keasaman dalam larutan itu dinyatakan sebagai kadar ion hidrogen
disingkat dengan [H+], atau sebgai pH yang artinya –log [H+]. Dengan kata
lain pH merupakan ukuran kekuatan suatu asam. pH suatu larutan dapat
ditera dengan beberapa cara antara lain dengan jalan menitrasi lerutan
dengan asam dengan indikator atau yang lebih teliti lagi dengan pH meter.
pH berkisar antara 10-1 sampai 10-12 mol/liter. Makin tinggi
konsentrasi ion H, makin rendah –log [H+] atau pH tanah, dan makin asam
reaksi tanah. Pada umumnya, keasaman tanah dibedakan atas asam,
netral, dan basa. Ion H+ dihasilkan oleh kelompok organik yang dibedakan
atas kelompok karboksil dan kelompok fenol.Tipe keasaman aktif atau
keasaman actual disebabkan oleh adanya Ion H+ dalam larutan tanah.
Keasaman ini diukur menggunakan suspensi tanah-air dengan nisbah 1 : 1;
1 : 2,5; dan 1 : 5. Keasaman ini ditulis dengan pH (H2O).
Tipe keasaman potensial atau keasaman tertukarkan dihasilkan
oleh ion H+ dan Al3+ tertukarkan yang diabsorbsi oleh koloid tanah.
Potensial keasaman diukur dengan menggunakan larutan tanah-elektrolit,
pada umumnya KCl atau CaCl2.
Karena ion H dan Al yang diabsorbsi koloid tanah dalam keadaan
seimbang (equilibrium) dengan ion H+ dalam larutan tanah maka terdapat
hubungan yang dekat antara kejenuhan (H+Al) dan pH, demikian juga
dengan persentase kejenuhan basa pada pH. Tanah yang ekstrim masam
dengan (H+Al) mendekati 100% kurang lebih mempunyai pH sama dengan
asetat pH 3,5. Keasaman (pH) tanah diukur dengan nisbah tanah : air 1 :
2,5 (10 g tanah dilarutkan dengan 25 ml air) dan ditulis dengan
pH2,5(H2O). Di beberapa laboratorium, pengukuran pH tanah dilakukan
dengan perbandingan tanah dan air 1 : 1 atau 1 : 5. Pengukuran pada
nisbah ini agak berbeda dengan pengukuran pH2,5 karena pengaruh
pengenceran terhadap konsentrasi ion H.
4
Untuk tujuan tertentu, misalnya pengukuran pH tanah basa, dilakukan
terhadap pasta jenuh air. Hasil pengukuran selalu lebih rendah daripada
pH2,5 karena lebih kental dan konsentrasi ion H+ lebih tinggi.
Pengukuran pH tanah di lapangan dengan prinsip kolorimeter dengan
menggunakan indikator (larutan, kertas pH) yang menunjukkan warna
tertantu pada pH yang berbeda. Saat ini sudah banyak pH-meter jinjing
(portable) yang dapat dibawa ke lapangan. Di samping itu, ada beberapa
tipe pH-meter yang dilengkapi dengan elektroda yang secara langsung
dapat digunakan untuk pH tanah, tetapi dengan syarat kandungan lengas
saat pengukuran cukup tinggi (kandungan lengas maksimum atau mungkin
kelewat jenuh). Kesalahan pengukuran dapat terjadi antara 0,1 – 0,5 unit
pH atau bahkan lebih besar karena pengaruh pengenceran dan faktor –
faktor lain.
Untuk mengukur pH basa kuat di lapangan, indikator fenolptalin (2 g
indikator fenolptalin dalam 200 ml alkohol 90%) yang tidak berwarna
sangat bermanfaat karena akan berubah menjadi ungu sampai merah pada
pH 8,3 – 10,0. Kondisi yang sama dalam pengukuran pH di lapangan pada
kondisi luar biasa asam digunakan indikator Brom Cresol Green (0,1 g
dilarutkan dalam 250 ml 0,006 N NaOH) yang berubah menjadi hijau
sampai kuning pada pH 5,3 dan lebih rendah daripada 3,8.
Untuk mengetahui pH tanah di lapangan, secara umum dapat digunakan
indikator universal (campuran 0,02 g metil merah, 0,04 g bromotimol blue,
0,04 g timol blue, dan 0,02 g fenolptalin dalam 100 ml alkohol encer
(70%)).
Pada umumnya reaksi tanah baik tanah gambut maupun tanah
mineral menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi
ion Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam
tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan
ion-ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya sebanding dengan
banyaknya H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi
daripada OH-. Sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak
daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi
netral yaitu mempunyai pH 7.
Bila tanah terlalu asam atau terlalu basa maka tanaman akan
tumbuh kurang sempurna sekalipun masih bisa tumbuh dan menghasilkan
buah. Memang ada beberapa tanaman tertentu yang senang di tanah
asam ataupun basa. Ketersediaan unsur hara makro di dalam tanah ini
sedikit sedangkan hara mikro seperti Besi dan Aluminium tinggi. Hal ini
mengakibatkan tanaman kekurangan hara dan keracunan.
Salah satu upaya yang ditempuh dalam upaya meningkatkan dan
memperbaiki lahan masam adalah dengan menurunkan keasaman dan
meningkatkan kejenuhan basa yang diperoleh dengan pemberian kapur
serta pemupukan. Dengan adanya peningkatan kejenuhan basa, maka pH
tanah naik dan unsur hara relatif lebih mudah tersedia.
Pengertian Reaksi Tanah
Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menyatakan reaksi asam atau basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam
5
tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan biokimia tanah yang berlansung
spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju dekomposisi mineral tanah dan
bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan pertumbuhan
tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan ketersediaan
hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan
perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi
tanaman.
Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu
berarti kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 - 1 atau 1/10 gmol/l.
Tanah pada kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti
kepekatan ion hidrogennya 10-14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini
sangat basa.
Tanah-tanah yang ada di Indonesia sangat bervariasi tingkat
keasamannya. Ada tanah yang masam seperti Podsolik Merah Kuning, dan
latosol Tanah yang alkalis seperti Mediteran Merah Kuning dan Grumosol.
Bagi tanah - tanah yang bereaksi masam, seringkali tidak atau kurang
sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pada tanah-tanah
demikian sering dilakukankan pengapuran (liming). bahan- bahan yang
digunakan untuk menaikkan pH tanah yang bereaksi masam menjadi
mendekati netral dengan harga pH sekitar 6,5.
Faktor Yang Mempengaruhi Kemasaman Tanah
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion
hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam
tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila
kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa.
Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari ion H+.
Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan
H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion
Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat
menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai
kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida dengan cara
sebagai berikut :
Al3+ + 3H2O ----- Al(OH)2+ + H+
Al3+ + OH- ----- Al(OH)2+
dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah.
Di daerah rawa-tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh
kandungan asam sulfat yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah
sulfat masam karena mengandung, lapisan cat clay yang menjadi sangat
masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida menjadi sulfat. Kebanyakan
partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen
mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan
oktahedral dan menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan
kemudian dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks lempung-
6
Al-H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan
ion H+:
Koloid liat-Al+++ + 3H2O ------ Al(OH)3 + Koloid liat - 3H+
Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam
tanah.
Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan
keasaman pada tanah gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan
asam-asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran yang
sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika
gambut semakin tebal. Asam-asam organik yang tanah gambut terdiri dari
atas asam humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu pada
oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH
2 - 3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat
tumbuh baik. Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit
menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga mempercepat
kerusakan alat-alat pertanian yang terbuat dari logam.
Sifat Kemasaman Tanah
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kernasaman
(reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya
konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi
tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah
potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap
oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan.
Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang
asam atau basa. Asam-asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh
penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum
dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman
menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air
merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang
besar dari ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan
Liat-H+ ========== H+ (larutan tanah)
Ion-ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion-ion H+ bebas.
Dcrajat ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk
kemasaman tanah. Ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan
penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan.
Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi
tanah. Ion-ion H+ bebas menciptakan kemasaman aktif. Kemasaman aktif
diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
7
Menentukan Kemasaman Tanah
Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat
yang murah ialah kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas
kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal tetapi dapat
dipakai berulang kali dengan hasil pengukuran lebih terjamin adalah pH
tester dan soil tester.
Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu :
mengambil tanah lapisan dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest)
dalam wadah. Biarkan tanahnya terendam di dasar wadah sehingga airnya
menjadi bening kembali. Setelah bening, air tersebut dipindahkan ke
wadah lain secara hati-hati agar tidak keruh. Selanjutnya, ambil sedikit
kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut. Dalam beberapa saat
kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas lakmus
dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah
dilengkapi dengan angka pH masing-masing Warna. Angka pH tanah
tersebut adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan
warna kertas lakmus Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH-nya 6.
Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda
dengan kertas lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek.
Oleh karena berbentuk padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing
inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada batas yang dianjurkan.
Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum skala yang terletak
di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka yang ditunjukkan jarum
tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.
Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester
penggunaannya untuk megukur nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu
luas, sekitar 1-2 ha. Walaupun demikian, alat ini masih bisa diandalkan.
Bagian yang menunjukkan angka pH berbentuk kotak dengan jarum
penunjuk angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan dengan besi
sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi logam elektroda. Besi
inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1-2 buah.
Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca.
Elektroda ini terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di
dalamnya disisipkan kawat Ag-AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya
dengan tegangan (voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu
dicelupkan ke dalam suatu larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan
di dalam bola dan larutan tanah di luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH
dilakukan, kedua elektroda pertama-tama harus dimasukkan ke dalam
suatu larutan yang diketahui pH-nya (misalnya konsentrasi ion H+ = 1 g/L).
Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk pH (pH meter).
Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator
dicelupkan ke dalam suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas
partikel-partikel padat terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika
partikel-partikel padat dibiarkan mengendap, pH dapat diukur dalam cairan
supernatant atau dalam endapan (sedimen). Penempatan pasangan
elektroda dalam supernatant biasanya memberikan bacaan pH yang lebih
tinggi dari pada penempatan dalam sedimen. Perbedaan dalam bacaan pH
ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum
8
pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini
memberikan bacaan yang tidak stabil.
Pengapuran
Kapur merupakan salah satu bahan mineral yang dihasilkan melalui
proses pelapukan dan pelarutan dari batu-batuan yang terdapat dari dalam
tanah. Mineral utama penyusun kapur adalah kalsit dan dolomit yang
tergolong dalam mineral sekunder. Kapur menurut susunan kimia adalah
CaO, tetapi istilah kapur adalah senyawa bentuk karbonat kapur dengan
CaCO3 dan MgCO3 sebagai komponen utarna. Bentuk oksidanya yaitu
CaO, dapat dihasilkan dengan memanaskan kalsium karbonat dan
menghilangkan karbondioksidanya. Bentuk hidroksidanya dapat terbentuk
dengan membasahi atau menambahkan air pada bentuk oksidanya.
Tanah masam umumnya tidak produktif. Untuk meningkatkan
produktifitas tanah tersebut, pemberian kapur adalah cara yang tepat.
Beberapa keuntungan dari pengapuran adalah : 1) fosfat menjadi lebih
tersedia, 2) kalium menjadi lebih efisien dalam unsur hara tanaman, 3)
struktur tanahnya menjadi baik dan kehidupan organisme dalam tanah
lebih giat, 4) menambah Ca dan Mg bila yang digunakan adalah dolomin,
dan 5) kelarutan zat-zat yang sifatnya meracun tanaman menjadi menurun
dan unsur lain tidak banyak terbuang.
Selain tanah-tanah yang bereaksi masam, terdapat pula tanah
yang, bereaksi alkalis (basa) dengan derajat pH lebih dari 8.0. Tanah-tanah
demikian perlu diturunkan pH nya sampai mendekati netral agar
permanfaatannya untuk berusaha tani lebih baik. Usaha untuk menurunkan
pH pada tanah yang reaksinya alkalis dapat dilakukan dengan memberikan
beberapa bahan, yaitu tepung belerang (S).
Cara pengapuran dengan bahan pengapur untuk menaikkan pH
tanah yang paling umum pada tanah-tanah pertanian yang menghendaki
perbaikan derajat keasamannya adalah dengan cara disebar dan
disemprotkan.
Pada cara disebar, sebulan sebelum penanaman dilaksanakan,
kapur bakar atau kapur mati diberikan dengan jalan disebar merata di
permukaan tanah. Pada pengolahan tanah terakhir (menghaluskan dan
meratakan), kapur diaduk dengan tanah agar butir-butir kapur masuk ke
dalam lapisan tanah. Bila yang digunakan tepung batu kapur (kapur
pertanian) hendaknya diberikan jauh lebih awal daripada kapur bakar
maupun kapur mati. Cara pemberian dengan disebar biasa dilaksanakan
pada penanaman kedelai, dengan menggunakan dosis 2 - 4 ton kapur mati
per hektar.
Pengapuran dengan cara disemprotkan biasa dilakukan pada
tanaman kacang tanah. Pada tanaman ini pengapuran merupakan suatu
pekerjaan yang baik untuk menyediakan unsur Ca bagi tanarnan kacang
tanah. Hal ini disebabkan karena kebutuhan Ca pada kacang tanah adalah
besar terutama untuk pembentukan polong.
Cara pemberian tepung belerang adalah pada saat pengolahan
tanah tepung belerang ditaburkan di atas permukaan tanah. Pada
pengolahan selanjutnya tepung belerang akan diaduk atau teraduk ke
dalam lapisan tanah. Sedangkan cara pernberian gypsum adalah tepung
gypsum halus ditebarkan pada permukaan tanah kemudian diaduk dengan
9
tanah. Jumlah gypsum yang dibutuhkan untuk menurunkan pH dari derajat
basa sampai mendekati netral adalah 6 ton per hektar, tergantung, pada
alkalinitas asal dan jenis tanahnya. Setelah pemberian tepung gypsum
dilaksanakan, lahan harus dialiri dengan air tawar.
Bila ada kelebihan pemberian kapur, yaitu penambahan kapur
melebihi pH tanah yang diperlukan oleh pertumbuhan optimum tanaman,
biasanya tanaman akan memberikan tanggapan terhadap pengapuran
akan sangat menderita, terutama pada tahun pertama pemberian kapur.
Pemberian kapur dalam jumlah sedang pada tanah berat tidak akan
memberikan pengaruh buruk. Tetapi, pada tanah berpasir atau berdebu
dan bahan organik rendah jumlah pemberian kapur yang sama
menyebabkan banyak tanaman menderita. Pengaruh buruk yang dapat
terjadi adalah :
1 ) Kekurangan besi, mangan, tembaga dan seng,
2) Ketersediaan fosfor mungkin menurun karena pembentukan
senyawa kompleks dan tidak larut,
3) Serapan fostor dan penggunaannya dalarn metabolisme
tanaman dapat terganggu,
4) serapan boron dan penggunaannya dapat terganggu dan
5) perubahan pH yang meningkat cepat dapat berpengaruh buruk.
Dengan begitu kerusakan akibat kelebihan kapur sukar
diterangkan secara memuaskan, karena adanya hubungan
biokoloidal yang kompleks dalam tanah.
Untuk menentukan banyaknya kapur yang diperlukan untuk tiap-tiap
hektar tanah diperlukan beberapa cara antara kain, yaitu :
1) Metode SMP (Schoemaker, McLean, dan Pratt). Metode ini
dilanjutkan dengan mengukur jumlah H+ dan Al3+ yang dapat
dipertukarkan dan larut dengan menggunakan larutan SMP
buffer. Prosedurnya yaitu terlebih dahulu mengocok tanah
dengan air destilat kemudian diukur pH-nya. Dengan kertas
lakmus atau pH meter. Bila tanah tersebut tergolong masam,
maka pengukuran dilanjutkan dengan menambah larutan SMP
buffer lalu dikocok. Kemudian diukur lagi pH-nya. Berdasarkan
metode ini maka kebutuhan kapur dapat diketahui melalui tabl
kebutuhan kapur.
2) Metode berdasarkan kadar Al-dd tanah permukaan, yaitu kadar
Al-dd yang diekstrak dengan larutan KCl 1 N.
Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan
dinyatakan sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau
kepekatan ion hidrogen yang beredar di dalam tanah tersebut. Bila
kepekatan ion hidrogen (H+ ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut
asam Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali
disebut basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari H+.
Reaksi tanah dibedakan menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif
dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen
yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah
banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks
koloid tanah maupun yang terdapat dalarn larutan.
10
Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion
AL3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat
menghasilkan H+. Di daerah rawa-rawa atau tanah gambut, tanah masam
umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi.
Pengapuran merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang
bereaksi asam atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan
pH tanah sehingga karenanya unsur-unsur hara menjadi lebih tersedia,
memperbaiki struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam
tanah lebih giat, dan menurunkan kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni
tanaman dan unsur lain tidak banyak terbuang.
Ketersediaan Hara dalam Tanah
Tanah merupakan sumber kehidupan dari mahluk hidup di muka
bumi, terutama manusia. Tanah sebagai media tumbuh alami menyediakan
sejumlah besar unsur makanan (unsur hara) bagi kehidupan tumbuhan.
Kesuburan tanah di luar pulau jawa ternyata sangat rendah yang ditandai
oleh rendahnya hasil pertanian. Hal ini di sebabkan oleh tingkat
kemasaman tanah di luar pulau jawa yang sangat tinggi. untuk
menanggulangi hal ini hanya dapat di lakukan dengan pengapuran tanah
secara terpadu.
11
Unsur hara mikro adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah banyak (> 500 ppm). Kekurangan unsur hara makro dapat
menimbulkan gejala defisiensi pada tanaman, tidak bisa digantikan oleh
unsur hara makro lain. Unsur hara makro diperlukan tanaman > 10 mmol
per berat kering tanaman, sedangkan unsur hara mikro kurang dari 10
mmol per berat kering tanaman. Macam-macam unsur hara makro
diantaranya:
1. Hidrogen
Unsur hara ini diserap tanaman melalui air dalam bentuk senyawa
CO2yang berfungsi sebagai penyusun senyawa organik diantaranya pada
protein, asam lemak ( jenuk atau tidak jenuh), DNA dan RNA. Mengel dan
Kirkby (1987) menganggap bahwa air merupakan hara tanaman seperti
CO2, NH4. air yang digunakan dalam proses foto sintesis sekitar 0,01%
dari seluruh keperluan air yang digunakan oleh tanaman. Air selain terlibat
dalam proses foto sintesis juga berefungsi sebagai pelarut senyawa
organik, anorganik, gula, pengangkut hara tanaman, reaksi biokimia, dan
hidrasi sel.
2. Karbon
Karbon juga berfungsi dalam penyusunan senyawa organik, diserap
tanaman melaui daun dalam bentuk ion H+ dan H2O. Tanaman mengmabil
hara karbon dari udara bebas. Kegiatan ini dilakukan oleh tanaman yang
punya klorofil, klorofil mampu menyerap cahaya menjadi energi kimia
yangkemudia diubah menjadi CO2 dan karbohirat.
3. Oksigen
Sebagai penyusun senyawa organik diserap tanaman dalam bentuk
ion O2 melalui daun tanaman
4. Nitrogen
Merupakan penyusun asam amino, protein , enzim, klorofil, auxsin,
fitohormon dan alkoloid yang terdapat pada DNA, RNA dan asam nukleat.
Diserap tanaman dalam bentuk ion NH4+ dan NO3- . nitrogen merupakan
hara penting untuk pertumbuhan tanaman. Kadar rata-rata dalam tanaman
2-4% berat kering tanaman. Dalam tanah akandungan nitrogen sangat
berfariasi tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut.
Tanah lahan kering umumnya menyerap ion nitrat nitrogen lebih besar
dibanding dengan ion NH4+. Sedangkan pada pH netral relatif sama.
Pemupukan nirogen akan meningkatkan produksi tanaman, kadar protein,
selulosa, tetapi menurunkan kadar sukrosa dan pati. Penggunaan pupuk
yang mengandung nitrogen berlebihan akan memanjangkan fase vegetatif
tanaman, tetapi hal ini dapat dikurangi dengan Cholo Choline Chloride
(CCC = cycocel). Pemupukan nitrogen dibawah optimal dapat
menyebabkan naiknya asimilasi amonia dan kadar protein dalam daun,
namun dapat menghambat pertumbuhan akar. Dan tanamn mudah rebah
karena luas permukaan akar menjadi lebih sempit. Pemupukan nitrogen
terlalu tinggi menyebabkan penurunan kualitas tanaman karena
menurunkan kadar karbohidrat tanaman tersebut. Pupuk nitrogen juga
berpengaruh pada kandungan kimia tanaman, kenaikan kadarnitrogen
12
akan menurunkan karbohidrat tanaman. Untuk menetahui status hara
tanaman dapat dilakukan analisa tanaman berupa jaringan daun dan
tangkai.
Pengelolaan Nitrogen (N)
Peran N dalam Tanaman
Nitrogen adalah hara utama tanaman, merupakan komponen dari
asam amino, asam nukleid, nudeotides, klorofil, enzim, dan hormon. N
mendorong per tumbuhan tanaman yang cepat dan memperbaiki tingkat
hasil dan kualitas gabah melalui peningkatan jumlah anakan,
pengembangan luas daun, pembentukan gabah, pengisian gabah, dan
sintesis protein. N sangat mobil di dalam tanaman dan tanah.
Aplikasi Pupuk N pada Padi
N merupakan elemen pembatas pada hampir semua jenis tanah.
Oleh karenanya, pemberian pupuk N yang tepat sangat penting untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya dalam system
pertanian intensif. Kekurangan/atau pengelolaan N yang tidak sesuai akan
berakibat buruk pada tanaman dan lingkungan. Strategi pengelolaan N
yang optimal ditujukan pada keserasian pemberian pupuk N dengan
kebutuhan aktual tanaman, sehingga serapan tanaman terhadap N
maksimal dan mengurangi kehilangan N ke udara.
Pengelolaan N
Gejala defisiensi N. Tanaman tumbuh kerdil, daun menguning dan
jumlah anakan sedikit; hasil rendah karena jumlah malai per unit area dan
jumlah gabah per malai lebih sedikit.
Terjadinya defisiensi N. Hampir semua jenis tanah kekurangan N;
tanah masam dengan tekstur kasar (coarse) dan kandungan bahan organik
rendah (kurang dari 0,5 % organik C); tanah masam, salin, drainase buruk,
dan tanah kahat P dengan kapasitas mineralisasi N dan fiksasi biologis N
rendah; kalkareous dan tanah salin dengan kadar bahan organik rendah
serta berpotensi tinggi untuk terjadinya penguapan amonia.
Dosis aplikasi N. Pupuk anorganik merupakan sumber yang biasa
digunakan mensuplai N, dan lebih menguntungkan petani dibandingkan
menggunakan pupuk N organik. Sumber pupuk organik N tersedia di lahan
pertanian seperti pupuk kandang dan kompos bisa efektif dan menarik
secara finansial guna memenuhi kebutuhan padi.akan N. Berikan pupuk N
anorganik 40-50 kg/ha untuk setiap kenaikan satu ton hasil dari tanpa
pemberian N. Pada level hara optimum, tanaman padi (jerami + biji)
menyerap sekitar 16 kg N per ton hasil gabah ( 10 kg N dalam gabah + 6
kg N dalam jerami).
Waktu aplikasi pupuk N.
Warna daun dan penampilan tanaman menunjukkan status N dan
membantu menentukan kebutuhan akan pemupukan N. Lihat; i)
13
Pengelolaan N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD=leaf color
chart=LCC), dan ii) Split aplikasi N berdasarkan fase pertumbuhan dan
BWD.
Sumber Pupuk N
Amonium sulfat (21 % N, 24 % S)
Urea (46 % N)
Diamonium fosfat atau DAP (18 % N; 44-46 % P2O5).
Aplikasi pupuk secara Terpisah (split aqpplication)
Efisiensi pemupukan N dapat ditingkatkan dengan memonitor
warna daun pada selang waktu 7-10 hari dengan BWD dan N diberikan
sesuai kebutuhan tanaman (lihat BWD). Alternatif aplikasi pemupukan N
dengan pendekatan waktu pemberian disajikan berikut ini untuk kasus di
mana petani tidak mungkin melakukan monitoring sawahnya dalam interval
7-10 hari.
Pola Pendekatan Aplikasi N Terpisah
Pola pendekatan terpisah memberikan anjuran total kebutuhan
pupuk N (kg/ha) dan rencana pemecahan dan waktu aplikasi sesuai
dengan tahapan pertumbuhan tanaman, varietas yang digunakan dan
metode penumbuhan tanaman. Bagan Warna Daun (BWD) digunakan
untuk pemupukan susulan tersendiri. Perkirakan kebutuhan total pupuk N
dan buat pola pemecahan aplikasinya. Gunakan BWD pada tahap
pertumbuhan tanaman kritis untuk menyesuaikan dosis N yang ditentukan
sebelumnya.
Memperkirakan Kebutuhan Total Pupuk N
Buat plot pemupukan (F) di lahan petani (lihat Petakan plot omisi).
Bandingkan hasil dari plot -F yang mewakili hasil dengan pembatas N
dengan target hasil di lokasi tersebut, berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki untuk hasil yang dapat dicapai dengan antisipasi pengelolaan
tanaman dan pemupukan. Beda antara hasil target dan hasil –N
menunjukkan antisipasi tanggap tanaman padi terhadap pemupukan N.
Tetapkan kebutuhan total pupuk N berdasarkan keperluan 40-50 kg N/ha
yang merupakan antisipasi tanggap tanaman terhadap N. Prinsip umum
respon 40 kg N/ton N sudah memadai pada musim dengan hasil tinggi dan
50 kg N/ton respon memadai pada musim dengan hasil rendah. Kebutuhan
N tinggi 60 kg N/ton dijumpai pada kondisi pengelolaan N sub-optimal atau
bila target hasil mendekati potensi hasil pada tanggap N rendah (<2 t/ha).
Penggunaan BWD
Gunakan nilai BWD kritis untuk menyesuaikan dosis N terpisah
berdasarkan kebutuhan dan status N tanaman. Sebagai contoh, bila 30±10
kg N/ha dianjurkan untuk fase pertumbuhan tertentu,
Berikan 40 kg N/ha, bila warna daun di bawah nilai kritis
Berikan dosis standar 30 kg N/ha bila warna daun sesuai nilai kritis
Tangguhkan pemberian pupuk dan berikan dosis kurang dari 20 kg
N/ha bila warna daun di atas nilai kritis.
14
5.
Kalium (K)
Perannya dalam tanaman untuk mengatur keluar masuknya zat,
mengatur enzim respirasi, foto sintesis protein dan pati, glikolisis dan
osmose sel tanaman. Diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Kalium
termasuk unsur yang mobil dalam sel atau jaringan tanaman, xylem dan
phloem. Kalium banyak terdapat pada sitoplasma, kloroplasm. Umumnya
kalupenyerapan kalium terlalu tinggi maka penyerapan Ca, Na, Mg turun.
Bila tanaman kekurangan kalium maka akan terjadi akumulasi karbohidrat,
menurunkan kadar pai, dan akumulasi senyawa nitrogen dalam tanaman.
Fungsi kalium adalah :
a. Pengembangan sel dan pengatur tekanan osmose sel
b. Membentuk dan mengangkut karbohidat
c. Sebagai katalisator alam pembentukan protein
d. Menetralkan reaksi dalam sel
e. Mengatur pergerakan stomata
f. Biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat
g. Meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar gula, dan
warna lebih menarik
h. Lebih tahan terhadap hama penyait
i. Perkembangan akar tanaman.
Peran K dalam Tanaman
Kalium adalah hara tanaman utama yang dibutuhkan untuk
meningkatkan perkembangan akar dan vigor tanaman, ketahanan
terhadap kerebahan dan hama/penyakit. K mobil dalam tanaman dan
sangat mobil di dalam tanah.
Aplikasi pupuk K pada Padi
Kalium seringkali merupakan unsur pembatas untuk memperoleh hasil
padi yang tinggi setelah nitrogen (N). Pupuk K perlu diberikan dalam
jumlah mencukupi pada hampir semua lahan sawah irigasi. Hara
lainnya perlu diberikan dalam jumlah seimbang untuk menjamin respon
yang baik dari tanaman terhadap aplikasi K dan pencapaian
pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif.
Gejala defisiensi K. Tanaman hijau gelap dan kerdil dengan margin
daun cokelat kekuningan dan/ atau dengan margin dan ujung daun tua
nekrotik, gejala kahat K pada daun dapat menyerupai gejala penyakit
tungro, namun tungro biasanya terjadi pada spot-spot yang tersebar
(tidak menyeluruh) dan lebih nyata warna daun kuning dan oranye dan
tanaman kerdil; gejala pada daun nampak pada fase pertumbuhan
lanjut; akar tidak sehat dan menghitam; kerebahan dan kehampaan
gabah tinggi; bobot gabah lebih ringan.
Terjadinya defisiensi K. Kahat K terjadi di daerah pertanaman yang
intensif yang mendapat pemupukan N dan P tinggi. K seringkali kurang
pada tanah berpasir atau bertekstur kasar; tanah kering masam; lahan
sawah terdegradasi; tanah sulfat masam; dan tanah organik. Catatan:
15
penambahan unsur K dari air irigasi cukup nyata pada daerah tertentu (
contoh: di Vietnam).
Dosis aplikasi pupuk K.
Pada hara tanaman optimum, tanaman padi (jerami+gabah)
mengambil sekitar 19 kg K2O (16 K) untuk setiap ton hasil gabah (2,2 kg
K2O pada gabah dan 16,8 kg K2O pada jerami). Rekomendasi pemupukan
K berdasarkan target hasil dan status K tanah, seperti ditetapkan oleh hasil
gabah dari K-petak omisi.
Waktu aplikasi K.
Kalau dosisnya rendah, pupuk K dapat dibenamkan dan diaduk ke
dalam tanah pada saat pelumpuran terakhir sebelum tanam/pindah bibit
padi, atau seluruh pupuk K disebar pada 10-15 hari setelah benih disebar
langsung. Pada dosis > 30 K2O/ha, pupuk dapat diberikan 50% sebagai
pupuk dasar dan 50% pada awal pembentukan malai. Pemisahan
pemberian pupuk K paling tidak dua kali pada tanah berpasir dengan
derajat pencucian tinggi. Pemberian K pada fase pembungaan
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan kerebahan
dengan kanopi rapat dan target hasil tinggi, namun belum tentu
meningkatkan hasil.
Sumber pupuk Kalium
Pupuk kalium yang sudah banyak dikenal adalah kalium klorida
(MOP-muriate of potash) yang mengandung 50% K atau 60% K2O dalam
bentuk KCl (30 kg K2O setara dengan 50 kg MOP atau KCl). Jerami kaya
akan K (14,0 kg K atau 16,8 kg K2O/ton jerami). Catatan: 1 kg K2O = 0,83
kg K dan 1 kg K = 12 kg K2O.
Rekomendasi pemupukan K berdasarkan target hasil dan pembatas
hasil K pada K-petak omisi (tanpa K) pada level pengembalian jerami
medium (2-3 t/ha).
Target hasil
dalam t/ha
Status
K
tanah
Rendah
Medium
Tinggi
4
5
6
7
8
3
4
5
Rekomendasi
pemupukan
K2O dalam
kg/ha
30
0
-
60
35
20*
90
65
50*
95
80*
110*
6
-
-
35*
65*
95*
7
8
-
-
-
50*
-
80*
65*
Hasil
tanpa
(t/ha)
plot
K
[ indikasi kemungkinan target hasil tidak realistik
* Dosis K2O rendah sekitar 20-25 kg K2O/ha, bila 4-5 t/ha jerami dikembalikan ke
tanah setelah panen, input dari endapan K tinggi, atau percobaan jangka panjang
menunjukkan suplai K tanah tinggi. Tingkatkan dosis K dengan jumlah sama dengan
yang diambil jerami (bila jerami tidak dikembalikan ke tanah) setelah panen.
16
6. Kalsium (Ca)
Kalsium diserap akar tanaman dalam bentuk Ca++, peranannya
adalah penyusun lamela tangah, penghubung antar sel, aktifator enzim
pada selaput sel. Kalsium paling banyak terdapat pada dinding sel,, lamela
tangah. Pada tanaman dikotil yang mempunyai KTK tinggi dan terutama
pada kadar Ca++ rendah. Pada saat pertumbuhan daun mengkonsumsi
kalsium dalam kadar tinggi atau saat intensitas cahaya matahari tinggi dan
umumnya menjadi kalsium pekat. Kalsium berpengaruh pada kualitas
buah, kekurangan kasium pada buah akan terjadi nekrotik bila berkembang
lanjut akan terjadi alur kecil (bitter pit). Pada buah tomat khusunya akan
terjadi benjolan tidak rata, untuk menghilangkan gejala tersebut maka pada
saat berbunga kebutuhan kalsium supaya terpenuhi.
7. Magnesium (Mg)
Unsur hara ini dapat diserap tanaman dalam bentuk ion Mg++,
berfungsi sebgai penyusun klorofil, aktivator enzim pada ribosom, kloroplas
dan fotosintesis. Magnesium termasuk unsur mobil. Kadar magnesium
dalam tanaman sekitar 0,5%, relatif rendah jika dibandingkan dengan kadar
kalium dan kalsium. Makin tinggi penyerapan kalium, maka penyerapan
magnesium semakin rendah. Pada tanaman peranan magnesium sangat
vital di antaranya mengaktifkan enzim yang berkaitan dengan metabolisme
karbohidrat, enzim pernafasan, dan sebagai katalisator, kofaktor dan
menyusun protein. Tanaman yang kekurangan magnesium akan terhenti
penyusunan RNA, terhambatnya penyusunan protein dan molekul klorofil.
Gejala defisiensi pada tanaman menunjukkan klorosis diantara tulang daun
tua, jika berjalan terus maka tanaman akan kering dan mati.
8. Phorporus (P)
Fosfor diserap tanaman dalam bentuk anion H2PO4- dan HPO4=.
Perananya sebagai penyusun ATP, ADP, NADP, asam nukleat, pospolipid
pada membran sel membentuk gula pospat. Pospor dalam tanah
dibedakan menjadi fosfor organik dan anorganik. Fosfor organik berasal
dari bahan organik yang mengalami dekomposisidan melepaskan fosfor
kedalam larutan tanah. Sedangkan yang anorganik terdapat dengan
beberapa ikatan seperti Al, Fe, Ca, dan Mn. Peranan unsur fosfor dapat
mempercepat masaknya buah, mendorong pertumbuhan akar. Kekurangan
unsur fosfor dapat menyebabkan volume jaringan tanaman kecil dan warna
lebih gelap.
Peran P dalam Tanaman
P adalah hara utama tanaman yang penting untuk perkembangan
akar, anakan, berbunga awal, dan pematangan. P mobil dalam tanaman,
tetapi tidak mobil dalam tanah.
Pengelolaan P
Gejala defisiensi P.
17
Tanaman hijau gelap dan kerdil dengan daun tegak dan anakan
kurang; batang kurus dan kecil; matang lambat (tidak terjadi pembungaan
pada kahat P yang parah); gabah hampa tinggi.
Terjadinya defisiensi P.
P seringkali kurang pada tanah berpasir dengan kandungan bahan
organik rendah; tanah kalkareous/ salin/alkalin; degradasi tanah sawah;
tanah abu vulkan atau tanah kering masam dengan kapasitas fiksasi P
tinggi; tanah gambut; dan tanah sulfat masam dengan kandungan besi dan
aluminium tinggi.
Waktu aplikasi pupuk P.
Semua pupuk P dapat dibenamkan dan diaduk semua pupuk P ke
dalam tanah sebelum pelumpuran terakhir dan tanam pindah atau
sebar seluruh P pada 10-15 hari setelah benih disebar langsung.
9. Belerang = Sulfur (S)
Belerang diserap akar tanaman dalam bentuk ion SO4=,
peranannya dalam tanaman adalah penyusun asam amino (sistin
dan sistein), protein, penyususan vitamin (tiamin dan biotin),
penyusun koenzim. Mineral sulfur dalam tanah misalnya; NaSO4,
MgSO4, FeS, ZnS dan H2S. Pemupukan sulfur terus-menerus
menyebabkan reaksi dalam tanah menjadi lebih asam (pH rendah),
sehingga menyebabkan Mn dan Al meningkat. Sulfur berperan
dalam penyusunan CoA, vitamin, biotin, dan tiamin. Kekurangan
sulfur pada tanaman menyebabkan tertimbunya asam amino pada
jaringan tanaman, daun mengalami klorosis, pada tanaman legum
kekurangan sulfur menyebabkan bintil akar berkurang, menghambat penyusunan protein, kadar asam amino berkurang, ujung
tanaman menebal (crimping).
Peran S dalam Tanaman
Belerang atau Sulfur (S) adalah hara utama penting yang
diperlukan untuk produksi khlorofil. S diperlukan untuk memproduksi asam
amino (cystein, methionin, dan cystin) dalam tanaman yang berkaitan
dengan nutrisi manusia. S sangat mobil dalam tanaman (walaupun lebih
kurang mobil dibandingkan dengan N), namun hanya sebagian mobil
dalam tanah.
Aplikasi S pada tanaman padi
Gejala defisiensi S.
Tanaman hijau pucat; daun muda menguning pucat (kontras
dengan daun tua yang menguning cepat dan mati pada tanaman kahat N).
Analisis tanah dan/tanaman diperlukan untuk mengkonfirmasikan gejala
kahat S.
Terjadinya defisiensi S. Kahat S sesunggunhnya jarang dijumpai.
S mungkin diperlukan pada tanah berpasir yang mudah tercuci; tanah
18
dengan kandungan bahan organik rendah; dan tanah dengan pelapukan
tinggi kaya akan besi oksida.
Dosis aplikasi S. Berikan 10 kg S/ha pada kahat S yang parah.
Tanaman memerlukan sekitar 2 kg S/ha (jerami+gabah) untuk
setiap ton hasil gabah.
Waktu pemberian S. Bila dibutuhkan, berikan semua jenis pupuk S
sesaat sebelum pelumpuran bersama dengan pupuk P dan K.
Pengaruh pemberian S bertahan sampai 2 musim tanam.
Sumber Pupuk S
Sumber pupuk S yang biasa digunakan adalah amonium sulfat
(24% S), single superfosfat (12% S), dan gypsum (17% S).
10.
Zinc (Zn)
Peran Zn dalam Tanaman
Seng atau Zinc (Zn) adalah hara utama penting yang dibutuhkan
tanaman untuk beberapa proses biokimia dalam tanaman padi, termasuk
produksi klorofil dan integritas membran. Oleh karenanya kahat Zn
mempengaruhi warna dan turgor tanaman. Zn hanya sedikit mobil dalam
tanaman dan sangat mobil di dalam tanah.
Aplikasi pupuk Zn pada tanaman Padi
Zn membatasi pertumbuhan tanaman, suplai Zn tanah rendah atau
kondisi tanah buruk (misalnya, selalu kebanjiran) menghalangi serapan Zn
oleh tanaman. Pada kasus tertentu, Zn perlu diberikan sesuai kebutuhan.
Hara lainnya perlu diberikan dalam jumlah seimbang untuk menjamin
respon tanaman yang baik terhadap pupuk Zn dan pencapaian
pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif.
Pengelolaan Zn
Gejala kahat Zn. Tanaman kerdil dan bercak coklat berdebu pada
bagian atas daun; spot-spot tanaman yang tumbuh jelek; gejala terlihat 2-4
minggu setelah tanam pindah; kehampaan gabah tinggi; pematangan
terlambat dan hasil rendah; gejala kahat Zn menyerupai kahat S dan Fe
pada tanah alkalin dan keracunan Fe tanah organik berdrainase buruk.
Terjadinya kahat Zn. Kahat Zn tidak sering dijumpai, namun dapat
terjadi pada tanah kalkareous dan netral; pertanaman intensif; tanah sawah
yang selalu kebanjiran atau berdrainase buruk; tanah salin dan sodik;
tanah gambut, tanah dengan P dan silikat ( Si) tersedia tinggi; tanah
berpasir; tanah dengan pelapukan tinggi, asam, dan bertekstur kasar;
tanah yang terbentuk dari serpentin dan laterik; dan tercuci, tanah sulfat
masam tua dengan konsentarsi K, Mg, dan Ca rendah.
Aplikasi pupuk Zn.
Apabila gejala defisiensi
diberikan 10-25 kg ZnSO4.H2O
permukaan tanah, atau celupkan
sebelum transplanting (20-40 g
Zn nampak di lapangan, maka dapat
atau 20-40 ZnSO4.7H2O per ha pada
akar bibit padi dalam 2-4% larutan ZnO
ZnO/lt air). Tanaman dapat pulih dari
19
defisiensi ringan Zn apabila sawah didrainase – kondisi kering
meningkatkan ketersediaan Zn. Tanaman hanya memerlukan sekitar 0,05
kg Zn/ha (jerami+gabah) per ton hasil gabah, namun lebih banyak pupuk
Zn harus diberikan karena begitu diberikan Zn tidak selalu tersedia bagi
tanaman.
Waktu aplikasi pupuk Zn.
Aplikasi pupuk Zn dapat dilakukan pada permukaan tanah setelah
pelumpuran terakhir dan perataan lahan atau berikan Zn pada bedengan
persemaian 7-8 hari sebelum bibit dicabut. Pengaruh pemberian Zn berlaku
sampai 2-5 musim tanam pada semua jenis tanah kecuali tanah alkalin.
Pada tanah alkalin, Zn perlu diberikan pada setiap musim tanam.
Catatan: Aerasi tanah – membiarkan mengering – dapat mengurangi
defisiensi Zn.
Sumber Zn
Sumber Zn yang biasa digunakan adalah zinc-sulfate terlarut (2336% Zn), zinc klorida terlarut (48-50% Zn), dan zinc oksida tidak larut (6080% Zn).
11.
Besi (Fe)
Peran Fe dalam Tanaman
Fe adalah hara esensial yang dibutuhkan tanaman untuk
mendukung transportasi elektron dalam proses fotosintesis. Fe merupakan
akseptor elektron penting dalam reaksi redoks dan aktivator untuk
beberapa enzim. Kekurangan Fe akan menghambat absorpsi K. Fe tidak
mobil, baik dalam tanaman maupun tanah.
Aplikasi Fe pada Tanaman Padi
Setelah kahat unsur utama N, P, K, S, dan Zn, kahat Fe merupakan
urutan penting berikutnya yang membatasi hasil tanaman padi. Aplikasinya
harus berimbang agar terjamin pertumbuhan tanaman yang sehat dan
produktif.
Pengelolaan Fe
Gejala kahat Fe. Antartulang daun menguning, daun yang muncul
mengalami klorosis. Seluruh daun dan bagian tanaman menguning
(khlorotik). Produksi bahan kering dan hasil menurun.
Terjadinya defisiensi Fe.
Defisiensi Fe tidak dijumpai pada sawah tergenang yang sedikit
asam, namun banyak dijumpai pada sawah dengan tekstur tanah berpasir,
kalkareous dan bereaksi alkalin. Defisiensi Fe sering dijumpai pada lahan
kering dengan tanah bereaksi netral, kalkareous dan alkalin (basa).
Dosis aplikasi.
Defisiensi Fe sangat sulit diatasi dan mahal untuk dikoreksi.
Pemberian pada tanah memerlukan 100-300 kg/ha fero sulfat (sulfat besi).
20
Pemberian melalui daun, 2-3 % larutan fero sulfat atau 100 l/ha Fe chelate
2-3 dalam selang waktu 2 minggu dimulai pada fase anakan. Tanaman
memerlukan sekitar 0,5 kg/ha Fe (jerami dan biji/gabah) untuk setiap ton
hasil gabah, namun setelah aplikasi Fe tidak tersedia bebas bagi tanaman.
Waktu aplikasi.
Pupuk berupa padatan ferosulfat (FeSO4) diaplikasikan di sebelah
barisan tanaman padi dengan dosis 100 kg/ha. Dua sampai tiga aplikasi 23 % larutan FeSO4 melalui daun atau chelate besi pada selang waktu 2
minggu pada fase anakan.
Sumber Fe
Pupuk Fe yang biasa digunakan adalah larutan fero sulfat (20-30 %
Fe), fero amonium sulfat (14 % Fe), dan chelate besi (5-14 %).
21
Mekanisme penyerapan hara oleh akar
Kebanyakan unsur diserap akar tanaman dalam bentuk an organik.
Setelah mencapai akar, ion hara diangkut sampai ke bagian daun melalui
serangkaian tahapan, yaitu penyerapan pasif (passive root uptake),
penyerapan aktif (active root uptake), alih tempat (translocation).
Struktur akar
Ion harus bergerak melewati atau mengelilingi sejumlah lapisan
jaringan akar.
 epidermis = lapisan terluar dari sel
 korteks = sel besar ukuran tidak beraturan dengan ruang antara
sel diantara mereka
 endodermis = lapisan sel dengan suberin band, casparian strip,
menjadi penghalang gerakan ion masuk ke stele.
 stele = mengandung pembuluh xylem yang mengangkut air dan
ion menuju batang.
Pengangkutan secara pasif
 Difusi dan pertukaran ion
 epidermis –> menembus kortek –> ke endodermis
 Apoplast (apparent free space)
 ruang di antara sel (extracellular within and between cell walls)
 KPK akar ada pada dinding sel
Pengangkutan secara aktif
 Harus menembus membran sel
 Symplast: Intracellular interconnected cytoplasmic pathway
between cells
 pengangkutan aktif melewati membran
 pengambilan unsur hara secara selektif
Penyerapan ion secara aktif
 diperlukan energi untuk melewati membran sel
 konsentrasi di dalam sel lebih besar dibanding di luar sel
 gerakan untuk mengatasi gradien elektrokimia
 energi berasal dari metabolisme sel
Pengangkut ion (Ion carriers)
 pengangkutan melewati membran dijembatani oleh karier
 karier berada di dalam membran
 mengikat ion di bagian luar dari batas –> bergerak melewati
membran –> melepas ion ke dalam sitoplasma
 karier bersifat selektif, masing-masing ion punya karier tersendiri
Pengangkutan aktif (active transport)
Memungkinkan tanaman memilih hara yang masuk ke akar,
menjaga netralitas muatan di dalam sel akar, akar melepas H+ and OH- .
Pengambilan kation: melepas H+, pengambilan anion: melepas OH- .
22
Pengambilan kation umumnya >> dibanding pengambilan anion sehingga
pH risosfer turun.
Transpor aktif ini memungkinkan tanaman menimbun hara esensial,
tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam menimbun hara pada
tanah yang memilik kadar hara yang rendah. Sifat genetik mempengaruhi
pengambilan hara, alih tempat, pertumbuhan akar, metabolisme akar,
lingkungan risosofer.
Active transport is the movement of a substance against its
concentration gradient (from low to high concentration). In all cells, this
is usually concerned with accumulating high concentrations of
molecules that the cell needs, such as ions, glucose, and amino acids. If
the process uses chemical energy, such as from adenosine triphosphate
(ATP), it is termed primary active transport. Secondary active transport
involves the use of an electrochemical gradient. Active transport uses
energy, unlike passive transport, which does not use any type of energy.
Active transport is a good example of a process for which cells require
energy. Examples of active transport include the uptake of glucose in
the intestines in humans and the uptake of mineral ions into root hair
cells of plants.
The action of the sodium-potassium pump is an example of primary active
transport. (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Active_transport; diunduh
10/6/2011)
Osmotic theory of active water absorption : It was proposed by Atkins (1916) and
Priestly (1922). According to them the water is absorbed due to difference in water
potential of cells without the expenditure of energy. The root hairs are always in
contact with soil water (capillary water). The first step in the absorption of water is its
imbibition by the cell wall. Since the cell wall is permeable, it allows both solute and
solvent (water) through that. The water then comes in contact with the selectively
permeable plasma membrane. The vacuole of root hair is filled with cell sap, is now
separated from soil water by the selectively permeable membrane.
The osmotic potential (or osmotic pressure) of the soil water plays a very important
role in the absorption of water. It has been demonstrated that osmotic potential of
soil water remains less than one bar. The osmotic potential of cell sap is usualy 2-8
bars. Thus there exists a difference in osmotic potential on two sides of the
semipermeable'membrane. In other words, there exists water potential gradient
between the soil water and cell sap. The soil water has more of water and has greater
23
water potential. On the other hand the cell sap has more of solute and has more
negative water potential. Under these gradients of water potential, soil water enters
into the root hairs by osmosis. Water continues to enter the root hair and to a lesser
extent into other epidermal cells as long as water potential of the root cell sap is more
negative than that of the soil water. When water enters into the cell sap the root hairs
become turgid. It results in stretching the cell wall until the elasticity of stretched cell
wall is sufficient to balance the osmotic potential (solute potential) of solute.
Sumber: http://www.tutornext.com/active-passive-absorptionwater/7494; diunduh 10/6/2011)
24
Rhizosphere (rhizo = akar)
Wilayah tanah yang bersinggungan langsung dengan akar, jaraknya
1-4 mm. Tempat kegiatan mikrobia: eksudat organik dari akar merupakan
cadangan makanan. Suasana pH risosfer dan aktivitas mikrobia
mempengaruhi ketersediaan hara melalui proses pelarutan dan khelasi, pH
lebih rendah dan adanya asam organik meningkatkan kelarutan. Akar dan
mikrobia di risosfer dapat menghasilkan khelat, akar dan aktivitas mikrobia
juga mampu menurunkan redoks potensial sehingga meningkatkan
ketersediaan hara.
Akar tanaman tidak terlihat karena tersembunyi dalam tanah dan
sukar untuk diteliti, sehingga sering diabaikan. Sifatnya tidaklah pasif, tetapi
aktif mengangkut hara dan mengambil secara selektif dengan mengubah
suasana tanah di sekitarnya sehingga meningkatkan ketersediaan hara
tersebut.
Components that relate to Nutrient Availability in the Soil- Rhizosphere
System.
Fertility Management of the Soil-Rhizosphere System for Efficient Fertilizer Use in
Vegetable Production. Chin-hua Ma and Manuel C. Palada. Asian Vegetable
Research and Development Center (AVRDC) — the World Vegetable Center. P.O.
Box 42, Shanhua, Tainan, Taiwan 74199, 2008-01-16
25
Practices for Managing Soil Fertility in the Soil-Rhizosphere System
(Fertility Management of the Soil-Rhizosphere System for Efficient Fertilizer Use in
Vegetable Production. Chin-hua Ma and Manuel C. Palada. Asian Vegetable
Research and Development Center (AVRDC) — the World Vegetable Center. P.O.
Box 42, Shanhua, Tainan, Taiwan 74199, 2008-01-16).
--------------The rhizosphere is the narrow region of soil that is directly influenced by
root secretions and associated soil microorganisms. Soil which is not part of
the rhizosphere is known as bulk soil. The rhizosphere contains many
bacteria that feed on sloughed-off plant cells, termed rhizodeposition, and the
proteins and sugars released by roots. Protozoa and nematodes that graze on
bacteria are also more abundant in the rhizosphere. Thus, much of the
nutrient cycling and disease suppression needed by plants occurs immediately
adjacent to roots.
An illustration of the rhizosphere A=Amoeba consuming bacteria BL=Energy
limited bacteria BU=Non-energy limited bacteria RC=Root derived carbon
26
SR=Sloughed root hair cells F=Fungal hyphae N=Nematode worm (Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Rhizosphere ; diunduh 10/6/2011).
Distribution of micro-organisms in the rhizosphere
(Sumber: http://heartspring.net/compost_tea_disease_control.html;
diunduh 10/6/2011)
Rizosfir tanaman padi
(Sumber: http://biology.kenyon.edu/fennessy/SrexMarx/finwate.htm; diunduh 10/6/2011)
Some of the oxygen transported through the aerenchyma to plant root tips leaks
out of pores in the root (pores result from aerenchyma formation) and into the
surrounding soil. This can result in a small zone of oxygenated soil around
individual roots, called the oxidized rhizosphere. Oxygen-depleted soils can
27
reach almost original oxygen concentrations around plant roots. This oxidized
rhizosphere allows normal root metabolism to occur, even in flooded soils.
The absorption of toxic manganese and sulfur compounds which build up in
anaerobic sediments is partially blocked by the oxidized rhizosphere, which
provides a zone around roots in which toxic compounds can be oxidized into
less harmful forms. The oxidized rhizosphere also has a major effect on the two
nutrients that most often limit hydrophyte growth, phosphorus (P) and nitrogen
(N).
Sumber: Soil ecology, Dr J Floor Anthoni (2000)
www.seafriends.org.nz/enviro/soil/ecology.htm; diunduh 10/6/2011.
Where masses of young roots are found, activity is high in the porosphere of
the soil. Pores are necessary to hold water and to transport oxygen and carbon
dioxide. Aggregates of soil are pierced by hair roots (yellow) and covered in
hyphae of fungi (purple). By the transport channels from worms and other
organisms, water, nitrates, phosphorus and dissolved organic carbon
compounds leach from the top down.
In the aggregatusphere, sand and clay particles form enclosed workshops for
bacteria. Many chemical processes happen here, producing nitrates (NO3-),
ammonia (NH4+), carbon dioxide (CO2), nitric oxides and more. Many
compounds are transported by the fine hyphae to other places.
The rhizosphere is the area directly around hair roots. This is a special place
because hair roots bring food and oxygen, enabling the micro organisms to
work faster than anywhere else. A continuous flow of water is caused, as water
is absorbed by these roots, drawing with it dissolved substances. As these hair
roots grow, they intrude into other aggregatuspheres, find nutrients, get eaten,
and other fine roots take their place. The soil is in a continuous state of
decomposition, provided moisture and oxygen are available.
28
29
PENILAIAN KESUBURAN TANAH
Penilaian kesuburan tanah merupakan proses yg mendiagnosis
permasalahan unsure hara dan menerapkan anjuran dlm hal pemupukan.
Proses mendiagnosis msl unsur hara tnm dan menetapkan anjuran pupuk
di wilayah tropika didasarkan pada pendekatan yg berbeda pada tahap
kecanggihan yg berlainan. Program penilaian kesuburan tanah dpt
dipilahkan menjadi: uji-tanah, analisis tanaman, omission element di rumah
kaca, uji coba pupuk sederhana.
1. Berdasarkan pada uji-tanah
- Salah satu pendekatan yg terpopuler
- Dikembangkan oleh International Soil Fertility Evaluation and
Improvement Program, ISFEIP.
- Kesuburan tanah terutama bersangkut dg unsure hara tnm
dan keadaan tanah
- Penilaian menyangkut tingkat ketersediaan & kesetimbangan
hara di dalam tanah, termasuk cara yg tepat untuk menaksir
seluruh faktor tsb (uji- tanah, analisis tanaman, survey tanah,
kead iklim)
- Perbaikan meliputi penambahan pupuk buatan, gamping, pupuk
alam, dan tambahan lain pada tanah dalam jumlah, waktu dan
cara tertentu, sehingga dapat memberi lingkungan hara yang
optimum utuk memperoleh hasil panen
- Program penilaian dan perbaikan tanah adalah khas-tempat &
khas keadaan.
- Penggunaan informasi yg bijaksana mencakup pertimb thd
beberapa faktor yang mempengaruhi produksi, tenaga kerja,
ekonomi & ekologi
- Hanya uji- tanah saja tidak dianggap sebagai cara pendekatan
yang memuaskan
- Nilai yang diperoleh dalam analisis tanah adalah angka empiris
yang hanya berarti bila dikorelasikan dengan tanggapan hasil
- Menurut Fitts (1974) melibatkan :
a. Pengambilan contoh (tanah dan tanaman), CT hrs benar2
mewakili tapak, krn hanya diuji sepermilyarnya
b. Analisis laboratorium (tanah dan tanaman), perlu metode yg
sesuai dan benar
c. Hubungan antara analisis dan tanggapan hasil, di rumah
kaca & uji coba lapangan
d. Penafsiran dan anjuran, berdasarkan hasil
e. Memanfaatkan informasi
f. Penelitian.
2. Berdasarkan analisis tanaman
- Berkembang di daerah tanpa system uji-tanah efektif
- Untuk tanaman tahunan dan jangka panjang
- Keuntungannya: merangkumkan pengaruh peubah
tanaman, iklim dan pengelolaan
tanah,
30
- merupakan ukuran terakhir ketersediaan unsur hara
- Kerugiannya: terlambat untuk memperbaiki kondisi hara tanpa
menderita kerugian hasil
- Tujuan:
a. Untuk mengenali masalah keharaan dan menetapkan
jumlah perbaikannya melalui penentuan tingkat gawat
b. Menghitung nilai penyerapan unsur hara sebagai kunci
untuk penggunaan pupuk
c. Memantau unsur hara tanaman tahunan.
3. Berdasarkan pemantauan unsur hara yang hilang
- Termasuk menanam tnm penunjuk di rumah kaca atau di
lapangan pada tanah yang diberi pupuk secara omission element
(Plus one-test atau Minus one-test)
- Menurut Chaminade (1972), informasi yg diperoleh:
a. unsur hara yang kahat
b. kepentingan nisbi kekahatan itu
c. tingkat yang tunjukkan oleh terkurasnya kesuburan akibat
pemotongan / penebangan.
4. Uji coba pupuk secara sederhana di lahan petani
- dikembangakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO)
- bertujuan untuk memperkenalkan pupuk sebagai sarana untuk
menaikkan hasil panen tanaman
- mengesampingkan keaneka ragaman tanah setempat
- tidak dapat dibuat anjuran khas-tempat
5. Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah
- Anjuran penggunaan pupuk adalah khas-tempat
- Perbedaan sifat tanah merupakan salah satu penyebab utama
untuk kekhasan menurut tempat
- Program penilaian kesuburan tanah harus berhubungan erat
dengan program penyigian dan penggolongan tanah.
31
Pengelolaan Kesuburan Tanah
Tujuan pengelolaan kesuburan tanah adalah menciptakan kondisi
kimiawi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman dan suplai
hara esensial dalam jumlah dan waktu yang tepat bagi tanaman.
Liming materials and plant nutrients may be added to the soil in
many forms and can be done so in a way that maximizes the economic
benefits of nutrients while minimizing any environmental impact. The ways
in which crops respond to these applications often are different because
some soils have inherent physical limitations to plant growth. Soil testing is
the best guide to soil fertility. Plant tissue analysis also may be helpful
when used in conjunction with soil testing. Some highlights of soil fertility
management are presented in the following sections.
Problematik Pertanian
Problematik tanah-tanah pertanian mempunyai makna yang sangat
beragam. Setiap tipe tanah merupakan formasi spesifik yang terbentuk
oleh interaksi bahan induk tanah, iklim, organisme, topografi dan waktu.
Sifat-sifat tanah yang dihasilkannya mempunyai konsekwensi bagi
penggunaannya oleh manusia.
The possible types of agricultural use of a given soil may vary
considerably. Pasture, agroforestry and arable land use have different
demands of favourable soil properties. Moreover, different crops may
demand very differing soil characteristics for optimal production. This
implies that the same soil may be considered for one production system as
problematic and for another not. Therefore the term “problem soil” always
has to be seen together with the envisaged or practised land use system
and the classification of different problem soils will always depend on the
envisaged or given land use. Thus, a “problem soil” is always related to a
specific land use situation. However, there are soil types with specific
common characteristics that dominate frequently agricultural land use.
Pertanian Berkelanjutan
“Sustainable agriculture” merupakan istilah yang multi-tafsir. Dalam
situasi kehidupan dunia yang berubah dengan cepat, dapatkah sesuatu
bersifat “sustainable”? Apa yang dimaksudkan dnegan “sustain”?
Bagaimana kita mengimplementasikan sasaran tersebut? Apakah tidak
terlambat?
With the contradictions and questions have come a hard look at our
present food production system and thoughtful evaluations of its future. If
nothing else, the term “sustainable agriculture” has provided “talking
points,” a sense of direction, and an urgency, that has sparked much
excitement and innovative thinking in the agricultural world.
Kata “sustain,” dari bahasa “sustinere” (sus-, “dari bawah” dan
“tenere” berarti “to hold”), berarti memelihara eksistensi atau permanen.
Dalam konteks pertanian, “sustainable” mencerminkan system usaha
pertanian yang mampu memelihara produktivitasnya dan manfaatnya bagi
masyarakat secara indefinite. Sistem pertanian seperti ini berarti harus
32
mengkonservasi sumberdaya, diterima secara sosial, berdaya saing
komersial, dan ramah lingkungan.”
Pupuk dan Pemupukan
Pemupukan menurut pengertian khusus ialah pemberian bahan
yang dimaksudkan untuk menyediakan hara bagi tanaman. Umumnya
pupuk diberikan dalam bentuk padat atau cair melalui tanah dan diserap
oleh akar tanaman. Namun pupuk dapat juga diberikan lewat permukaan
tanaman, terutama daun. Pemberian bahan yang dimaksudkan untuk
memperbaiki suasana tanah, baik fisik, kimia atau biologis disebut
pembenahan tanah (amandement) yang berarti perbaikan (reparation) atau
penggantian (restitution). Bahan-bahan tersebut termasuk mulsa
(pengawet lengas tanah, penyangga temperatur), pembenah tanah (soil
conditioner, untuk memperbaiki struktur tanah), kapur pertanian (untuk
menaikkan pH tanah yang terlalu rendah, atau untuk mengatasi keracunan
Al dan Fe), tepung belerang (untuk menurunkan pH tanah yang semula
tinggi) dan gipsum (untuk menurunkan kegaraman tanah). Rabuk kandang
dan hijauan legum diberikan ke dalam tanah dengan maksud sebagai
pupuk maupun pembenah tanah.
Pemupukan merupakan salah satu usaha pengelolaan kesuburan
tanah. Dengan mengandalkan sediaan hara dari tanah asli saja, tanpa
penambahan hara, produk pertanian akan semakin merosot. Hal ini
disebabkan ketimpangan antara pasokan hara dan kebutuhan tanaman.
Hara dalam tanah secara berangsur-angsur akan berkurang karena
terangkut bersama hasil panen, pelindian, air limpasan permukaan, erosi
atau penguapan. Pengelolaan hara terpadu antara pemberian pupuk dan
pembenah akan meningkatkan efektivitas penyediaan hara, serta menjaga
mutu tanah agar tetap berfungsi secara lestari.
Tujuan utama pemupukan adalah menjamin ketersediaan hara
secara optimum untuk mendukung pertumbuhan tanaman sehingga
diperoleh peningkatan hasil panen. Penggunaan pupuk yang efisien pada
dasarnya adalah memberikan pupuk bentuk dan jumlah yang sesuai
dengan kebutuhan tanaman, dengan cara yang tepat dan pada saat yang
tepat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pertumbuhan tanaman
tersebut. Tanaman dapat menggunakan pupuk hanya pada perakaran aktif,
tetapi sukar menyerap hara dari lapisan tanah yang kering atau mampat.
Efisiensi pemupukan dapat ditaksir berdasarkan kenaikan bobot kering
atau serapan hara terhadap satuan hara yang ditambahkan dalam pupuk
tersebut.
Faktor yang berpengaruh terhadap pemupukan:
1. Tanah: kondisi fisik (kelerengan, jeluk mempan perakaran,
retensi lengas dan aerasi), kondisi kimiawi (retensi hara
tersedia, reaksi tanah, bahan organik tanah, sematan hara,
status dan imbangan hara), kondisi biologis (pathogen, gulma).
2. Tanaman: jenis, umur dan hasil panen yang diharapkan.
3. Pupuk: sifat, mutu, ketersediaan dan harga.
4. Iklim: temperatur, curah hujan, panjang penyinaran dan angin.
33
Pemupukan lewat tanah (akar tanaman)
1. Penyebaran (broadcasting)
Dengan cara ini pupuk ditebarkan pada permukaan tanah, misalnya
pada lahan sawah. Pemupukan dilakukan sebelum tanam (waktu
pembajakan/ penggaruan/ pengolahan tanah) sebagai pupuk dasar, atau
sesudah tanam sebagai pupuk susulan, kemudian diinjak-injak agar pupuk
terbenam ke dalam tanah.
Pemupukan dengan cara ini dapat dibedakan:
1. Top dressing: pupuk ditebarkan merata ke seluruh permukaan
tanah atau menurut alur yang tersedia. Untuk lahan yang sudah
ditanami, jika permukaan tanaman basah atau lembab cara ini
harus ditunda, karena dapat menyebabkan plasmolisis daun.
Kerusakan akan meningkat pada dosis yang lebih besar,
terutama pupuk N dan K.
2. Side dressing: pupuk ditebarkan di samping alur benih atau
tanaman.
Metoda broadcasting cocok dilakukan untuk lahan sawah atau
tanaman dengan jarak tanam yang rapat, perakaran merata pada tanah
bagian atas (top soil) dan pupuk diberikan dalam jumlah yang besar. cara
ini mudah dilakukan, hemat beaya dan tenaga, pemberian pupuk agak
berlebih tidak berdampak buruk bagi tanaman. Namun kerugian yang harus
ditanggung adalah kontak pupuk dengan tanah besar, sehingga
penyematan hara khususnya P oleh tanah akan lebih besar, pada tanah
alkalis dan kering sebagian N akan hilang menguap dalam bentuk
ammonia (NH3), juga pertumbuhan gulma akan ikut terpacu.
2. Penempatan pupuk (placement)
Dengan cara ini pupuk ditempatkan secara khusus ke dalam lubang
atau alur yang sudah dipersiapkan lebih dahulu. Pupuk dapat diberikan
pada saat penyiapan atau saat penanaman, terutama untuk tanaman
semusim. Pupuk diberikan dengan cara plow sole placement (bersamaan
dengan pengolahan tanah, pupuk dijatuhkan melalui lubang di belakang
mata bajak), row placement (pupuk dibenamkan ke dalam tanah menurut
alur bekas bajakan kemudian akan tertutup oleh pembalikan tanah pada
alur berikutnya) atau combine drilling (pupuk dibenamkan bersama benih
ke dalam alur yang sudah dibuat sebelumnya, posisi pupuk dapat di bawah
benih disamping, atau keduanya).
Untuk lahan yang sudah ditanami dipergunakan cara side band
placement (pupuk ditempatkan pada alur disamping barisan tanaman),
spot/ point placement (pupuk ditempatkan pada suatu titik atau lubang di
kanan atau kiri tanaman), atau circular band / ring placement (pupuk
dibenamkan ke dalam alir melingkar di sekeliing tanaman sejauh tajuk
daun terluar).
Untuk tanaman tahunan pupuk dapat diberikan ke dasar lubang
tanam, dapat pula dicampur terlebih dahulu dengan tanah bagian atas
yang akan digunakan untuk menimbun lubang.
Metode placement cocok digunakan untuk tanah yang kurang
subur, lahan kering, jarak tanam renggang, perakaran sedikit, tanaman
34
tahunan, jumlah pupuk sedikit, pupuk tablet, dan terutama pupuk P dan K.
Keuntungan yang diperoleh dengan metode ini adalah kontak pupuk
dengan tanah dapat dikurangi, sehingga penyematan hara dapat ditekan,
pengambilan hara oleh tanaman lebih mudah, terutama bagi tanaman yang
perakarannya terbatas, residual effect dari pupuk lebih besar, serta
kehilangan hara dapat dikurangi.
3. Fertigation (fertilizing-irrigation)
Dengan cara ini kita melakukan pengairan sekaligus memupuk
tanaman. Pengairan dapat secara sederhana yakni air saluran yang
dimasukkan ke lahan, atau irigasi modern menggunakan tangki
bertekanan. Pupuk yang digunakan dapat berupa cairan atau pupuk padat
yang dilarutkan dalam air. pupuk yang sering digunakan adalah ammonia,
asam fosfat dan KCl. Cara ini biasanya diterapkan untuk usaha yang
komersial terutama di wilayah padang pasir atau perbukitan.
4. Injection
Pupuk ammonia (gas) bertekanan disuntikkan pada jeluk 10-20
dibawah permukaan tanah, pupuk tanpa tekanan disuntikkan dekat dengan
permukan tanah. Umumnya diterapkan pada skala usaha yang besar dan
hamparan yang luas.
Serapan Hara
Serapan hara adalah jumlah hara yang masuk ke dalam jaringan
tanaman. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman.
SERAPAN = kadar hara (%) x bobot kering (g)
Misalnya padi sawah memiliki kandungan K dalam jerami 1% dari
bobot kering panen sejumlah: 2 ton/ha. Maka besarnya pengangkutan K
dalam jerami = 0,01 x 2.000 kg/ha = 20 kg K/ha.
Manfaat dari angka serapan hara antara lain :
1.
Mengetahui efisiensi pemupukan
2.
Mengetahui agihan hara dalam tubuh tanaman
3.
Mengetahui pengangkutan hara dalam tanaman
4.
Mengetahui neraca hara di suatu lahan.
5.
Pertimbangan dalam membuat rekomendasi pemupukan.
Efisiensi Pemupukan
Efisiensi merupakan nisbah antara hara yang dapat diserap
tanaman dengan hara yang diberikan. Makin banyak hara yang dapat
diserap dari pupuk yang diberikan tersebut, maka nilai efisiensi penyerapan
semakin tinggi.
Eh = (Sp-Sk).100/Hp
35
Eh = efisiensi serapan hara
Sp = serapan hara pada tanaman yang dipupuk
Sk = serapan hara pada tanaman yang tidak dipupuk
Hp = kadar hara dalam pupuk yang diberikan
Nilai efisiensi serapan hara secara umum adalah untuk N = 40-60%
, P = 15-20% dan K = 40-60%. Hara yang tidak dapat diserap oleh
tanaman dapat disebabkan hilang karena terlindi, menguap, terbawa air
limpasan dan erosi, tersemat, diambil oleh mikrobia, atau mengendap di
dalam tanah.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi
penyerapan antara lain: pupuk diberikan secara tepat (dosis, bentuk,
waktu, cara). Penggunaan pupuk anorganik bersama-sama dengan pupuk
organik dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi serapan hara. Pupuk
yang dibuat lepas terkendali (controlled released fertilizer) atau lepas
lambat (slow released fertilizer) dimaksudkan untuk melepas hara sesuai
dengan kebutuhan tanaman.
Hara Berimbang
Ketidak-berimbangan hara (nutrient imbalances) dapat muncul
sebagai akibat dari pola tanam monokultur dan pemupukan yang tidak
berimbang secara terus-menerus. Sebagian besar lahan padi sawah hanya
diberi Urea dan TSP (sekarang yang tersedia SP36, atau SP27). Ada
sebagian yang memberikan N dalam bentuk Urea dan ZA ([NH4]2SO4).
Kondisi demikian telah menyebabkan pengambilan hara selain N, P, Ca
dan S (karena ada dalam bahan pupuk yang diberikan petani) menjadi
jauh lebih besar dibandingkan yang dapat disediakan oleh tanah. Ini
dikenal dengan istilah penambangan hara (nutrient mining) di lahan sawah.
Berdasarkan hukum Liebig, hara yang terbatas jumlahnya akan menjadi
faktor pembatas pertumbuhan dan hasil panen yang akan diperoleh. Hal ini
ditunjukkan oleh produktivitas padi sawah (hasil dalam ton per hektar) yang
terus menurun terutama di Jawa pada dekade terakhir ini.
Pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk berimbang dengan
meningkatan produksi pupuk NPK. Jadi petani tidak hanya memberikan
hara N dan P, tetapi juga sekaligus K. Di masa depan yang diperlukan
adalah pupuk spesifik atau tematik. Artinya pupuk yang lengkap kandungan
haranya (hara makro dan hara mikro) yang telah disesuaikan dengan jenis
tanaman dan lokasi usaha taninya. Untuk membuat pupuk yang tematik
sifatnya, diperlukan database yang cukup tentang kadar dan serapan hara
oleh setiap jenis tanaman yang diusahakan, sifat tanah dan lingkungan
yang mempengaruhi cadangan dan efisiensi penyerapan hara.
Penggunaan pupuk organik, bentuk padat atau cair, telah
dilaporkan mampu meningkatkan hasil panen per hektar. Hal ini
disebabkan di dalam pupuk organik tersebut terkandung hara yang selama
ini menjadi faktor pembatas dalam lahan tersebut. Pupuk organik telah
menjadi kebutuhan mutlak bagi pengusaha hortikultura. Sejumlah
pengusaha yang menyewa lahan untuk tanaman mereka akan diuntungkan
36
jika mendapatkan lahan yang masih cukup tinggi kandungan bahan
organiknya.
Kebutuhan pupuk
Berikut ini diberikan beberapa contoh perhitungan untuk
menentukan kebutuhan pupuk.
Suatu lahan padi sawah membutuhkan 35 kg P2O5 / hektar,
sedangkan dari uji tanah didapatkan kadar P tersedia 20 P2O5 /hektar. Jika
efisiensi serapan fosfat dari pupuk TSP (45% P2O5) yang diberikan sebesar
25%, maka jumlah pupuk yang diperlukan adalah:
Kebutuhan P2O5 = (25-20).100/25 = 60 kg P2O5 kg/ha
Kebutuhan TSP = 100.60/45 = 133 kg TSP/ha
Jika dosis pupuk Urea sebesar 250 kg/ha untuk tanaman jagung
dalam satu musim dengan jarak antar baris 70 cm dan dalam barisan 20
cm. Hitung berapa berat Urea yang harus diberikan untuk setiap tanaman
?
Perhitungan berdasarkan populasi tanaman
Untuk luas 1 hektar, dosis pupuk = 250 kg = 250.000 g
Untuk luas 1 m2, dosis pupuk = 250.000 g / 10.000 m2 = 25 g/m2
Luas 1 tanaman = 0,7 x 0,2 m2 = 0,14 m2 –> Populasi = 1/ 0,14
tanaman/m2
Dosis untuk 1 tanaman = 25 g / (1 /0,14 tanaman/m2) = 3,5 g/
tanaman.
Suatu percobaan di rumah kaca menggunakan 10 L tanah untuk
setiap pot. Dosis pupuk KCl untuk jagung adalah 100 kg KCl/ha
dalam satu musim tanam. hitung berapa berat pupuk yang harus
ditimbang untuk setiap pot ?
Perhitungan berdasarkan volume tanah:
Untuk 1 hektar, dosis = 100 kg = 100.000 g
Volume 1 hektar = 10.000 m2 x 0,2 m = 2.000 m3
Volume 1 pot = 10 L = 0,01 m3
Dosis per pot = (0,01 m3 /2.000 m3 ) x 100.000 g = 0,5 g / pot
Rekomendasi Pemupukan
Langkah yang ditempuh dalam menetapkan rekomendasi
pemupukan adalah:
1.
Menghitung kebutuhan hara untuk suatu target hasil panen,
2.
Menghitung penyediaan hara dari tanah,
3.
Menghitung efisiensi serapan hara,
4.
Menghitung takaran hara,
37
5.
Menentukan waktu aplikasi.
Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan, umumnya dibuat
paket pemupukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Contoh
pembuatan rekomendasi untuk tanah sawah:
Tingkat kesuburan tanah sawah
Karakter
Tekstur
Kategori kesuburan
tidak subur
subur
Berpasir,
Lempung
pasir
berliat, liat
berlempung,
lempung
berpasir
<1
1-1,5
< 10
10-20
<5
5-10
<0.15
0.15–0.30
<6.5
6,5-7
ya
nihil
C-organik (% C)
KTK (cmolc kg-1)
P-Olsen (ppm)
K tertukar (cmolc kg-1)
pH setelah tergenang
Kekahatan/keracunan
hara mikro
Hasil (GY0) (t ha-1)
2.5
INS (sediaan asli N) (kg N 30
ha-1)
IPS (sediaan asli P) (kg P 10
ha-1)
IKS (sediaan asli K) (kg K 50
ha-1)
sangat subur
Lempung
berliat, Liat
1,5 – 2,5
> 20
> 10
> 0,3
6,5 – 7
nihil
4,0
50
5,0
70
15
20
75
100
Rekomendasi pemupukan untuk sawah dengan irigasi
Tanah /
Musim Kemarau
Musim Hujan
Target hasil
(Ymax ~ 10 t ha-1)
(Ymax ~ 7.5 t ha-1)
N
P
K
N
P
(t ha-1)
(kg ha-1)
(kg ha-1)
Tanah
tidak
subur
4
60–80 8–12
20–40
60–80 8–12
5
90–110 15–25 50–60
90–120 15–25
6
120–150 25–40 80–100 7
150–200 35–60 110–140 Tanah subur
4
0
8–12
10–40
0
8–12
5
50–70 10–15 15–50
50–70 10–15
6
90–110 12–18 30–60
100–120 12–18
7
120–150 15–30 60–80
8
160–200 35–50 110–130 Tanah
sangat
K
20–25
50–60
10–40
15–50
40–60
-
38
subur
4
0
8–12
10–40
0
5
0
10–15 15–50
20–30
6
50–60 12–18 20–60
60–80
7
80–100 14–21 20–70
8
120–150 15–25 60–80
Sumber: Dobermann & Fairhurst (2000).
Peranan Bahan Organik Tanah (BOT)
8–12
10–15
12–18
-
10–40
15–50
20–60
-
Kesuburan tanah dapat dideskripsikan sebagai kapabilitas suatu
tanah untuk mensuplai unsur hara kepada tanaman dalam jumlah dan
proporsi yang dibutuhkan tanaman. Konsep ini merupakan kesuburan
tanah secara kimiawi. Dalam makna yang lebih luas, kesuburan tanah juga
mencakup kesuburan tanah secara fisika, yang merupakan kapabilitas
suatu tanah untuk mensuplai air kepada tanaman, mensuplai udara
kepada akar tanaman dan menyediakan tempat untuk “pegangan” akar
tanaman. Kadangkala kesuburan kimia dan fisika tanah dikombinasikan
menjadi konsep “produktivitas tanah”.
Peranan BOT dalam kesuburan kimiawi tanah adalah sebagai
penyangga penyediaan N, P dan S, serta sebagai penjerap Ca, Mg, K dan
Na.
Sedangkan peranan BOT dalam kesuburan fisika adalah
meningkatkan kemampuan tanah menahan air (WHC) dan memperbaiki
stabilitas struktur tanah.
Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah.
Bahan organik di samping berpengaruh terhadap suplai hara juga
tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya.
Syarat tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia
yang baik. Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin
pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas
tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Peran
bahan organik yang paling besar terhadap sifat fisik tanah meliputi :
struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan yang tidak kalah
penting adalah peningkatan ketahanan terhadap erosi.
Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Fisik Tanah
Bahan organic tanah merupakan salah satu bahan pembentuk
agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar
partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan
organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian
bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur
tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi
perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih
halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga
lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan
asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung
dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982).
39
Pada tanah berpasir bahan organik dapat diharapkan merubah struktur
tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan
derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari
halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan
organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat
membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang
sedang hingga kuat.
Mekanisme pembentukan egregat tanah oleh adanya peran bahan
organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk:
(1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui
pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan
actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa
adanya fraksi lempung;
(2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan
antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan
gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai
panjang (polimer);
(3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan
antara bagian – bagian negative dalam lempung dengan
gugusan negatif (karboksil) senyawa organik berantai panjang
dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen;
(4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan
antara bagian-bagian negative dalam lempung dengan gugus
positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organic
berantai panjang (polimer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan
agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya
kemantapan agregat tanah.
Kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat
memperbaiki kondisi tanah agar tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan
dalam pengolahan tanah. Berkaitan dengan pengolahan tanah,
penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuannya untuk
diolah pada lengas yang rendah. Di samping itu, penambahan bahan
organik akan memperluas kisaran kadar lengas untuk dapat diolah dengan
alat-alat dengan baik, tanpa
banyak mengeluarkan energi akibat
perubahan kelekatan tanah terhadap alat. Pada tanah yang bertekstur
halus (lempungan), pada saat basah mempunyai kelekatan dan keliatan
yang tinggi, sehingga sukar diolah (tanah berat), dengan tambahan bahan
organik dapat meringankan pengolahan tanah. Pada tanah ini sering terjadi
retak-retak yang berbahaya bagi perkembangan akar, maka dengan
tambahan bahan organik kemudahan retak akan berkurang.
Pada tanah berpasir yang semula tidak lekat, tidak liat, pada saat
basah, dan gembur pada saat lembab dan kering, dengan tambahan bahan
organik dapat menjadi agak lekat dan liat serta sedikit teguh, sehingga
mudah diolah.
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah
terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang
menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi
oleh udara dan air. Pori pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori
40
meso dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori kapiler,
pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro merupakan
pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori makro sulit
menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung pori mikro
drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air dan udara
dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata air yang
baik. Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir), akan
meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro.
Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan menahan air
(Stevenson, 1982). Hasil penelitian menunjukkan, penambahan bahan
humat 1 persen pada latosol mampu meningkatkan 35,75 % pori air
tersedia dari 6,07 % menjadi 8,24 % volume (Herudjito, 1999). Pada tanah
halus lempungan, pemberian bahan organik akan meningkatkan pori meso
dan menurunkan pori mikro. Dengan demikian akan meningkatkan pori
yang dapat terisi udara dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan
terjadi perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat. Terbukti penambahan
bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah dan
akan menurunkan berat volume tanah (Wiskandar, 2002). Aerasi tanah
sering terkait dengan pernafasan mikroorganisme dalam tanah dan akar
tanaman, karena aerasi terkait dengan O2 dalam tanah. Dengan demikian
aerasi tanah akan mempengaruhi populasi mikrobia dalam tanah.
Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di
samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status
kadar air dalam tanah. Penambahan bahan organic akan meningkatkan
kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah
untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi
tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang .
Penambahan bahan organik di tanah berpasir akan meningkatkan kadar air
pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran
menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan
air meningkat, dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk
pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994). Terbukti penambahan pupuk
kandang di Andisol mampu meningkatkan pori memegang air sebesar
4,73% (dari 69,8% menjadi 73,1%) (Tejasuwarna, 1999). Pada tanah
berlempung dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan
infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori-meso tanah dan menurunnya
pori mikro.
Peran bahan organik yang lain, yang mempunyai arti praktis penting
terutama pada lahan kering berlereng, adalah dampaknya terhadap
penurunan laju erosi tanah. Hal ini dapat terjadi karena akibat dari
perbaikan struktur tanah yaitu dengan semakin mantapnya agregat tanah,
sehingga menyebabkan ketahanan tanah terhadap pukulan air hujan
meningkat. Di samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air
akan berdampak pada aliran permukaan dapat diperkecil. sehingga erosi
dapat berkurang (Stevenson, 1982).
Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Kimia Tanah
41
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara
lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH
tanah, daya sangga (buffer) tanah dan terhadap ketersediaan hara tanah.
Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negative
sehingga akan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Bahan organic
memberikan konstribusi yang nyata terhadap KTK tanah. Sekitar 20 – 70 %
kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus
(contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan
KTK tanah (Stevenson, 1982).
Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan tanah
untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut
termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk
kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi
bahan organik merupakan sumber muatan negative tanah, sehingga
humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun
humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik, mudah
dihancurkan dan dibentuk.
Sumber utama muatan negatif humus sebagian besar berasal dari
gugus karboksil (COOH-) dan fenolik (-OH) nya (Brady, 1990). Dilaporkan
bahwa penambahan jerami 10 t ha–1 pada Ultisol mampu meningkatkan
15,18 % KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol (+) kg–1 (Cahyani,
1996).
Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH
larutan tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan
terikat kuat pada gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah
menjadi bermuatan positip (-COOH2+ dan –OH2+), sehingga koloid koloid
yang bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya
dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH-, akibatnya
terjadi pelepasan H+ dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan
negative (-COO-, dan –O-), sehingga KPK meningkat (Parfit, 1980).
Dilaporkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan
pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam
(Ultisol) dibanding dengan pengapuran (Sufardi et al., 1999).
Bahan organik tanah dapat menurunkan kandungan pestisida
secara non-biologis, yaitu dengan cara menjerap molekul pestisida yang
ada dalam tanah. Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organic tanah
dapat melalui: pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander
Waal’s dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga
faktor yang menentukan reaksi penjerapan pestisida dengan bahan organik
:
(1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus),
(2) sifat pestisidanya, dan
(3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan organik,
kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya,
lengas, dan temperatur tanahnya (Stevenson, 1982).
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat
meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan
bahan organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan
bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik
yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan
42
penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan
asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun
apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar
tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam
organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek
(khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penamhan
bahan organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol dan andisol
mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al-tukar tanah
(Suntoro, 2001. Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan
organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena
bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya,
berupa kation-kation basa.
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak
terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari
proses perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan
dilepas mineral-mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg
dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Hara N,
P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat
digunakan tanaman. Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertamatama akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal
dengan proses aminisasi, yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia
heterotrofik mengurai menjadi amonium yang dikenal sebagai proses
amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap
keadaan, sehingga amonium dapat merupakan bentuk nitrogen anorganik
(mineral) yang utama dalam tanah. Nasib dari amonium ini antara lain
dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk
pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera dioksidasi
menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah
proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri
Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses
oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter
yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi
yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya.
Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke
atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas)
(Killham, 1994).
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara
langsung melalui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan
membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan
ketersediaan P di dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan
bahan organik melalui 5 aksi seperti tersebut di bawah ini:
(1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P
mineral (PO43-);
(2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang
lain hasil dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al
dan Fe yang tidak larut menjadi bentuk terlarut:
Al (Fe)(H2O)3 (OH)2 H2PO4 + Khelat ===> PO42- (larut) +
Kompleks AL-Fe- Khelat (Stevenson, 1982).
43
(3). Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam
humat dan asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan
memblokir situs pertukaran; (4). Penambahan bahan organik mampu
mengaktifkan proses penguraian bahan organik asli tanah; (5). Membentuk
kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih
tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan organik
secara lemah.
Untuk tanah berkapur (agak alkalin) yang banyak mengandung Ca
dan Mg fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari
pelepasan CO2 dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan
kelarutan P menjadi lebih meningkat, dengan reaksi sebagai berikut :
CO2 + H2O ====== > H2CO3
H2CO3 + Ca3(PO4)2 ====== > CaCO3 + H2PO4–
Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan organik juga
dapat berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat
terlepas dan tersedia bagi tanaman. Hasil proses penguraian dan
mineralisasi bahan organik, di samping akan melepaskan fosfor anorganik
(PO4≡) juga akan melepaskan senyawa-senyawa P-organik seperti fitine
dan asam nucleic, dan diduga senyawa P-organik ini, tanaman dapat
memanfaatkannya. Proses mineralisasi bahan organik akan berlangsung
jika kandungan P bahan organik tinggi, yang sering dinyatakan dalam
nisbah C/P. Jika kandungan P bahan tinggi, atau nisbah C/P rendah
kurang dari 200, akan terjadi mineralisasi atau pelepasan P ke dalam
tanah, namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari 300 justru akan terjadi
imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson, 1982).
Bahan organik di samping berperan terhadap ketersediaan N dan
P, juga berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida,
S-protein, merupakan cadangan S terbesar untuk keperluan tanaman.
Mineralisasi bahan organik akan menghasilkan sulfida yang berasal dari
senyawa protein tanaman. Di dalam tanaman, senyawa sestein dan
metionin merupakan asam amino penting yang mengandung sulfur
penyusun protein (Mengel dan Kirkby, 1987). Protein tanaman mudah
sekali dirombak oleh jasad mikro.
Belerang (S) hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N,
sebagian S diubah menjadi mantap selama pembentukan humus. Di dalam
bentuk mantap ini, S akan dapat terlindung dari pembebasan cepat (Brady,
1990). Seperti halnya pada N dan P, proses mineralisasi atau imobilisasi S
ditentukan oleh nisbah C/S bahan organiknya. Jika nisbah C/S bahan
tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka akan terjadi mineralisasi atau
pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah C/S bahan tinggi yaitu
lebih dari 400, maka justru akan terjadi imobilisasi atau kehilangan S
(Stevenson, 1982).
44
Peranan Bahan Organik Terhadap Biologi Tanah
Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikrofauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan
aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan
organic adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Di samping
mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam dekomposi bahan
organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda, Collembola,
dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan
mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan struktur tanah (Tian, G. 1997). Mikro flora dan fauna tanah ini
saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik, kerena
bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik
memberikan karbon sebagai sumber energi.
Pengaruh positip yang lain dari penambahan bahan organik adalah
pengaruhnya pada pertumbuhan tanaman. Terdapat senyawa yang
mempunyai pengaruh terhadap aktivitas biologis yang ditemukan di dalam
tanah adalah senyawa perangsang tumbuh (auxin), dan vitamin
(Stevenson, 1982). Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari
eksudat tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal
dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan
asam organik dengan berat molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti
suksinat, ciannamat, fumarat) hasil dekomposisi bahan organik, dalam
konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat seperti senyawa perangsang
tumbuh, sehingga berpengaruh positip terhadap pertumbuhan tanaman.
45
Karakterisasi BOT dan Mineralisasi
Bahan organik tanah hampir seluruhnya berasal dari residu
tanaman. Dengan demikian diharapkan BOT ini mengandung unsur-unsur
hara yang sama dengan yang ada dalam tanaman, dan proporsinya relatif
sama dengan yang ada dalam tubuh tanaman. Namun pada kenyataannya
komposisi BOT berbeda dengan komposisi tubuh tanaman. Segera setelah
material tanaman yang mati jatuh ke tanah, ia segera mengalami
perubahan. Komponen-komponen yang mudah larut segera tercuci ke
luar.
Sebagai sumber cadangan unsur hara, BOT sangat penting ,
utamanya dalam hal unsur hara N, P, dan S yang terikat secara organik.
Unsur-unsur ini dapat menjadi tersedia bagi tanaman melalui proses
mineralisasi, yaitu konversi senyawa organik menjadi an-organik dengan
melibatkan mikro-organisme tanah.
Seringkali dilakukan pembedaan antara bahan organik yang stabil
dan yang tidak stabil. Bahan organik yang tidak stabil juga disebut
“nutritive, labil, aktif, atau humus-muda”, merupakan bahan organik yang
masih baru terbentuk dari biomasa tanaman yang masuk ke tanah (yaitu
selama 10-20 tahun terakhir). Bahan organik yang stabil, pasif atau humus
tua, merupakan bahan organik yang telah berada dalam tanah selama
waktu yang panjang. Perbedaan di antara keduanya tidak tajam, karena
humus-labil secara bertahap berubah menjadi humus-stabil.
Bahan organik stabil mempunyaim komposisi yang kompleks.
Komponen yang sangat penting ialah humin, asam humat, dan asam fulvat;
ada juga hasil polimerisasi dari senyawa fenolik dan senyawa yang
mengandung nitrogen. Sebagian besar BOT tanah secara intensif
berhubungan dengan mineral liat dan ini menjadi salah satu alasan
mengapa dekomposisi humus berlangsung sangat lambat. Senyawa
seperti polisakarida, protein, asam amino, yang mudah terdekomposisi,
akan “lenyap “ selama proses konversi bahan organik labil.
Unsur C, N, P dan S dalam bahan organik stabil lazimnya adalah
100:10:1:1, tetapi seringkali terjadi penyimpangan dari proporsi ini. Sifat
vegetasi, ilkim, landuse, umur bahan organik dan faktor lainnya sangat
berpengaruh. Demikian juga dalam sel-sel mikro-organisme, unsur C, N,
P, dan S mempunyai proporsi 100:10:1:1.
Banyak organisme tanah bersifat C-heterotrofik, mereka tidak
mampu mengasimilasi CO2 dari udara. Mereka menggunakan senyawa
karbon yang ada dalam bahan organik tanah. Demikian juga untuk
respirasinya mereka menggunakan senyawa karbon dalam bahan organik
tanah. Secara rata-rata fungi menggunakan 2/3 bagian bahan organik
untuk mendapatkan energi dan 1/3 bagian untuk membangun jaringan
tubuhnya. Dengan kata lain, bahan organik digunakan oleh fungi secara
disimilasi (2/3 bagian) dan secara asimilasi (1/3 bagian).
6 0 0 bahan organik
3 0 0
C
46
3 0
3
3
N
P
S
Dissimilasi
1/3 asimilasi
1
0
1
1
S
0
0
1
Respirasi
C
N
P
2
0
0
Mineralisasi
C
2
0
2
2
N
P
S
Gambar 1. Bagan distribusi C, N, P dan S untuk asimilasi dan disimilasi,
dalam konversi 600 unit masa bahan organik.
CO2 dan H20 terbentuk melalui proses respirasi, misalnya:
C6H12O6 + 6O2 -------- 6 CO2 + 6 H2O + energi
Senyawa organik N, P dan S berubah menjadi bentuk anorganik
NH4+, NO3-, H2PO4- dan SO4=, yang tersedia bagi tanaman. Proses
perubahan seperti ini disebut mineralisasi. Laju mineralisasi tergantung
pada faktor-faktor seperti suhu, pH, aerasi tanah, kelengasan tanah,
kesuburan tanah dan sifat vegetasi serta sistem pertanian yang berlaku.
Suatu indikasi laju mineralisasi dapat diperoleh dengan jalan mengukur
jumlah CO2 atau nitrogen anorganik yang dihasilkan per unit tanah per unit
waktu.
Kemungkinan lainnya ialah dengan jalan mengukur kandungan
bahan organik atau nitrogen organik, fosfor dan belerang organik dari
waktu ke waktu. Periode waktu ini harus cukup panjang (beberapa tahun),
karena laju mineralisasi relatif tidak tinggi, sekitar 2% setahun di daerah
temperate dan sekitar 8% di daerah dataran rendah tropis.
Hasil penelitian Jenkinson dan Aynabe (1977) , Ladd dan Amato
(1985) membuktikan pentingnya pengaruh suhu terhadap laju mineralisasi
bahan organik tanah. Laju mineralisasi relatif meningkat dua kali setiap
kenaikkan suhu 9oC, yaitu 2% pada 9oC, 4% pada 18oC, dan 8% pada
27oC. Di atas 30oC dan di bawah 6oC ketentuan ini tidak berlaku.
Kalau C/N rasio bahan organik sama dengan 10; maka konversi
300 unit masa karbon, atau disimilasi 200 unit masa karbon , melibatkan
konversi 30 unit masa N. Dari jumlah ini 10 unit diikat dalam sel
mikroorganisme dan 20 unit dilepaskan ke dalam larutan tanah. Dalam
kaitan ini kita mengukur mengukur lenyapnya C atau disimilasi. Per 10 kg
C yang telah lenyap dibarengi dengan 1 kg N yang mengalami mineralisasi.
Dengan demikian di daerah yang laju dekomposisi relatif BOT 2% setahun
47
, pelepasan N per % bahan organik per tahun per 20 cm topsoil (1 ha, 20
cm = 2.5 x 106 kg) sama dengan:
1/10
x
N=1/10 C
50/100 x 10-2 x
C/BOT
2.5x106 x
2x10-2
=
25 kg N
1% BOT masa tnh laju dec. reltf
Dengan anggapan bahwa fraksi massa P dan S adalah 1/10 dari
massa N, maka jumlah P dan S yang dilepaskan adalah: 2.5 kg per tahun
per ha per 20 cm topsoil per % bahan organik.
Pada umumnya tanaman tidak dapat menggunakan jumlah hara ini
secara keseluruhan. Sebagian n dan S tercuci dalam bentuk NO3- dan
SO4=, atau menguap sebagai NH3, N2, H2S; sedangkan fosfat diikat oleh
partikel tanah dalam bentuk H2OP4- atau PO4=.
Kalau C/N rasio lebih tinggi dari 10, maka lebih sedikit nitrogen
yang dilepaskan ke dalam larutan tanah. Kalau C/N rasio lebih dari 30,
biasanya tidak cukup N untuk proses asimilasi oleh mikroba. Nitrogen
diambil dari larutan tanah dan tidak tersedia lagi bagi tanaman, proses
seperti ini disebut imobilisasi nitrogen. Seringkali immobilisasi hanya
bersifat sementara, karena kemudian bangkai sel-sel mikroba mengalami
proses mineralisasi.
Kapasitas menahan kation
BOT dapat menahan kation karena ia mengandung gugusan
karboksilat dan fenolat yang dapat mengalami disosiasi sbb:
R – COOH ======= RCOO- + H+
R – OH ======
RO- + H+
(hanya pada pH > 7)
Muatan negatif pada gugusan karboksilat dan fenolat ini dapat
mengikat kation. Proses disosiasi tersebut tergantung pH, sehingga
kemampuan BOT mengikat kation juga tergantung pH.
Kation juga dapat diikat oleh bahan organik ke dalam struktur cincin
membentuk “khelate” dengan ligand organik. Stabilitas bentuk kompleks ini
tergantung pada tipe kation (Tabel 1).
Tabel 1.
Kapasitas retensi kation dari beberapa bahan organik tanah,
dengan larutan pencucian yang berbeda
Sumber bahan organik
Kation yang ditahan dengan larutan
pencucian
(me per 100 g)
BaCuBaK-asetat
hidrokasetat
asetat
pH 5
sida
pH 5
pH 5
48
Tanah hutan pinus
533
410
Lempung debu Honeoye
295
306
Lempung debu Ontario
309
278
Lempung debu Yates
301
278
Lempung liat berdebu 275
270
Dunkirk
Tanah hutan Sequoia
286
181
Sumber: Broadbent, 1955, dalam Allison, 1973.
155
146
125
124
135
139
60
54
43
64
118
42
49
O
OH
O
C
OH
C
O
O
C – O-
+ Cu++
O
+
H+
OH
Cu
O
O
OH
O
C
O
Cu
C
O
C
O
C
+ Cu++
O
+ H+
O
Gambar 1. Pembentukan khelate antara Cu dan gugusan karboksil /
fenolat; dan antara Cu dengan dua gugusan karboksilat
(Schnitzer dan Kahn, 1972),
Aspek Fisika
BOT mampu menahan 3 g air per satu gram bahan organik, berarti
tambahan 1% bahan organik dalam topsoil 0-25 cm akan meningkatkan
WHC sebesar 3% volume.
Bahan organik tanah mampu memperbaiki stabilitas agregat tanah
melalui cara-cara berikut:
1. Partikel-partikel tanah diikat bersama-sama oleh hifa jamur dan
actinomycetes
2. Mikroba menghasilkan produk metabolik, terutama karbohidrat
yang menjadi perekat yang mengikat bersama partikel tanah
3. Di antara lempengan liat dengan asam humat dapat terbentuk
semacam “jembatan kimiawi”
4. Melalui stimulasi pertumbuhan akar tanaman, stabilitas struktur
tanah diperbaiki karena akar dapat berfungsi sebagai “tali” di
seputar partikel tanah, dan karena mikroba dalam rizosfer
menghasilkan material perekat
5. Bahan organik menjadi makanan cacing tanah dan cacing ini
mampu memperbaiki stabilitas agregat tanah dan porositas
tanah.
50
Kalau agregat tanah tidak stabil dan bercerai-berai, maka bagianbagian yang kecil akan mengisi pori tanah sehingga akan merusak
aerasi/porositas tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efek utama bahan
organik terhadap struktur tanah adalah melalui perbaikan aerasi tanah
untuk tanah-tanah berat dan perbaikan WHC untuk tanah-tanah berpasir.
BOT dan Hasil Tanaman
Pengaruh BOT terhadap hasil tanaman terutama melalui suplai
unsur hara kepada tanaman.
Dalam tanah-tanah berpasir juga
peningkatan WHC dapat meningkatkan hasil tanaman, terutama selama
musim kering.
Pada tanah liat berat, penggemburan tanah sangat penting,
terutama bagi akar dan umbi-umbian. Dalam banyak kasus untuk tanaman
seperti ini peningkatan hasil dapat mencapai 5% atau lebih.
Pengelolaan bahan organik dalam tanah
Sepanjang tahun, sebagian bahan organik dalam tanah mengalami
dekomposisi. Laju relatif proses dekomposisi ini biasanya diberi simbol k;
nilainya sekitar 2% di daerah iklim dengan rataan suhu tahunan 9oC dan
akan meningkat dua kali setiap kenaikan suhu 9oC; sebagai teladan nilai k
= 0.08 untuk tanah berpasir di Malang selatan.
Untuk mengimbangi kehilangan ini, harus ditambahklan bahan
organik baru. Bahan organik segar seperti jerami, dedaunan, pupuk
kandang mempunyai laju dekomposisi yang cukup tinggi daripada BOT.
Dalam waktu 3-4 bulan bahan organik segar ini sudah berubah menjadi
seperti BOT.
Rasio antara jumlah bahan organik yang tertinggal (masih ada)
setelah periode waktu tersebut dengan jumlah bahan organik pada saat
awal ditambahkan ke tanah disebut koefisien humifikasi. Bahan organik
yang masih tertinggal tersebut dinamakan “bahan organik efektif”.
Kalau penambahan bahan organik efektif sama dengan
dekomposisi bahan organik yang telah ada dalam tanah, maka kondisi
setimbang telah tercapai, dimana:
h.X = k.Y
h = koefisien humifikasi, X = jumlah bahan organik segar yang
ditambahkan, k = laju dekomposisi relatif, Y = jumlah bahan organik dalam
tanah.
Dengan demikian dapat dihitung jumlah bahan organik yang
diperlukan untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah pada
tingkat tertentu.
Tabel 2. Estimasi kandungan bahan organik tanah yang diperlukan dalam
% (A) dan dalam kg/ha (B), laju dekomposisi relatif (k) yang
dinyatakan dalam per tahun (C), Kolom D adalah jumlah bahan
organik yang terdekomposisi setiap tahun (kg/ha); E adalah pupuk
51
hijau yang diperlukan dengan h.c = 0.25 dalam ton/ha; dan F
adalah pupuk kandang yang diperlukan dengan h.c = 0.6.
Tekstur
tanah
Pasir
Lempung
Liat
Liat berat
A
B
C
D
E
F
1.5
2.5
3.5
>5.0
37500
62500
87500
>12500
0.08
0.07
0.06
0.05
3000
4370
5250
>6250
12
17.5
21
>25
5
7.3
8.75
10.4
Kualitas Pupuk Organik
Klasifikasi, sifat dan efek pupuk organik
Salah satu klasifikasi pupuk organik adalah:
a. Limbah manusia dan pupuk kandang
b. Sampah pemukiman, sudah atau belum dikomposkan
c. Material bumi, seperti lumpur gambut, lumpur selokan/parit, dll
d. Residu tumbuhan, bahan segar seperti pupuk hijau, limbah
sayuran, buah-buahan dan garden; bahan tua seperti kulit kakao, polong
kacangtanah, gambut dll. Bahan mulsa dapat berupa material tumbuhan
muda, tua, kering, tidak dibenamkan ke dalam tanah.
Pada umumnya penggunaan pupuk organik mempunyai dua tujuan
pokok, yaitu (1) suplai unsur hara, dan (2) meningkatkan kandungan BOT.
Pentingnya pupuk organik sebagai sumber hara ditentukan oleh
kandungan hara dan laju pelepasan hara tersebut. Laju pelepasan hara ini
tergantung pada resistensi bahan organik terhadap mikroba. Bahan
tumbuhan yang masih hijau banyak mengandung sakarida dan protein,
yang mudah didekomposisikan oleh mikroba. Bagian tanaman yang
berkayu banyak mengandung selulose, hemi-selulose dan lignin, yang
sukar didekomposisi. Faktor lain yang mempengaruhi laju mineralisasi
bahan organik adalah kandungan nitrogennya.
Peningkatan kandungan BOT juga tergantung pada daya
dekomposisi pupuk organik. Semakin mudah pupuk organik mengalami
dekomposisi, maka yang tertinggal dalam tanah semakin sedikit. Dengan
kata lain, dua macam tujuan utama penggunaan ppuk organik seperti
tersebut di atas tidak mungkin dapat dicapai pada waktu yang bersamaan.
Peningkatan kandungan BOT akan berpengaruh terhadap:
a. Peningkatan KTK, sehingga menurunkan laju pencucian kation
b. Perbaikan struktur tanah. Individu agregat tanah menjadi lebih
stabil dan kohesi di antara partikel fraksi tanah menjadi lebih
kuat. Sehingga kepekaan tanah terhadap erosi menjadi rendah,
aerasi tanah menjadi lebih baik, dan akhirnya akar tanaman
dapat menyerap ion lebih mudah.
c. Peningkatan WHC tanah. Ketersediaan air tanah menjadi lebih
bagus, mobilitas hara lebih tinggi dan kadangkala lebih sedikit
52
pencucian, karena tanah mampu menampung lebih banyak air
sebelum terjadi perkolasi ke dalam subsoil.
d. Perbaikan kondisi pertumbuhan bagi mikroba tanah.
e. Pengembangan cadangan hara, terutama N, P dan S.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa pupuk organik alami
juga mengandung “senyawa aktif fisiologis” yang mampu merangsang
pertumbuhan.
53
PENGELOALAN HARA TERPADU
INTEGRATED PLANT NUTRIENT MANAGEMENT SYSTEM
(IPNMS)
Pengertian
Integrated plant nutrient management system (IPNMS) pertains to
the combined use of organic and inorganic fertilizers in proper proportion
accompanied by sound cultural management practices in crop production.
Such cultural practices include the use of appropriate varieties, good water
management, pest control (including weeds) and crop rotation (Rice
Production Manual, 1991). According to Singh (1994), the basic concept of
IPNMS is to limit the unfavorable exploitation of soil fertility and plant
nutrients.
The maintenance and improvement of soil fertility and plant nutrition
at an optimum level to sustain the desired crop productivity through
optimization of the benefits from all possible sources of plant nutrients in an
integrated manner is the main concern of IPNMS. The combination of
organic and inorganic fertilizer seem to be more practical than the use of
organic fertilizer alone. The importance of IPNMS is recognized mainly
because of the growing consumption of inorganic fertilizers and the
unavailability of nutrients at low cost. Another reason is that, many
researches revealed that neither inorganic fertilizers nor organic sources
alone can achieve a sustainable productivity of soils as well as crops under
highly intensive cropping systems (Singh, et. al., 1994).
There are many factors that should be considered in the adoption of
IPNMS and should include the farmer’s socio-economic and cultural
conditions. There are varying approaches in the utilization of organic
materials in different localities. In Central Luzon, one common practice of
the farmer is the dumping and burning of rice hull in the field prior to
planting. This burned rice hull is the farmer’s way of controlling pest
especially weeds and diseases (Aganon, et. al, 1999).
IPNMS also considers the water resource in the area. In upland
farming where water is usually limiting, the application of organic matter is
encouraged to increase the soil water holding capacity and provide more
available water to the plants.
Sejarah
In the mid-1960s, when projections of global starvation were
common, no one questioned the role of mineral fertilizer in increasing food
production, particularly in the food-deficit countries. On the contrary,
fertilizer use was an integral part of the “Green Revolution” technological
package of improved varieties of rice and wheat, irrigation, and fertilizer
that helped many densely populated countries to achieve food selfsufficiency in the short span of 20 to 25 years.
In the early 1990s, however, fertilizer became the target of criticism,
mainly because of heavy use in the developed countries, where it was
suspected of having an adverse impact on the environment through nitrate
leaching, eutrophication, greenhouse gas emissions and heavy metal
uptakes by plants. Consequently, fertilizer use per se was mistakenly
identified as harmful to the environment. But, if for any reason fertilizer use
54
were discontinued today, world food output would drop by an estimated 40
per cent with all its disastrous consequences. While fertilizer misuse can
contribute to environmental contamination, it is often an indispensable
source of the nutrients required for plant growth and food production.
Unless all the soil nutrients removed with the harvested crops are
replaced in proper amounts from both organic and inorganic sources, crop
production cannot be sustained: soil fertility will decline. If in the past, the
emphasis was on increased use of fertilizer; the current approach should
focus on educating farmers to optimize use of organic, inorganic, and
biological fertilizer in an integrated way. Plant nutrition in future will require
the judicious and integrated management of all sources of nutrients for
sustainable agriculture.
Perlunya Perubahan
To promote this integrated approach in a more systematic and
scientific manner, FAO pioneered the development of new technologies
such as Integrated Pest Management (IPM) and IPNS. The basic concept
underlying IPNS is the maintenance and possible increase of soil fertility for
sustaining increased crop productivity through the optimization of all
possible sources, organic and inorganic, of plant nutrients required for crop
growth and quality in an integrated manner appropriate to each cropping
system and farming situation within the given ecological, social and
economic boundaries.
Integrated nutrient management differs from conventional nutrient
management in that it more explicitly considers nutrients from different
sources, notably organic materials, nutrients carried over from previous
cropping seasons, the dynamics and transformation of nutrients in soil,
interaction between nutrients, and the availability of nutrients in space (the
rooting zone) and time (the growing season), in relation to the nutrient
demand by the crop. In addition, it integrates the objectives of production
with ecology and environment, that is, optimum crop nutrition, optimum
functioning of the biosphere (soil health), and minimum nutrient losses or
other adverse effects on the environment.
Integrated Nutrient Management (INM) has to be considered an integral
part of any sustainable agricultural system. Attempts made in several
countries of South and South-East Asia to complement the use of mineral
with organic sources of plant nutrients have generated useful, though
limited, information on the complementary and synergistic effects of these
materials on the yield of crops. Because organic sources of nitrogen are
also improving soil structure and soil bioactivity which are not directly
improved by mineral sources of N, the productivity of the crop for each kg
of N may be better with organic sources of N than with only mineral sources
of N. If the objective of IPNS is the balanced and effective use of various
sources of plant nutrients than the strategy should be the mobilization of all
available, accessible and affordable plant nutrient sources in order to
optimize the environmentally benign productivity of the whole cropping
system and to increase the monetary return to the farmer.
Thus, there is need for more information on (i) integrated nutrient
recommendations for cropping systems as a whole taking into account the
complementary and the synergistic effects of combined use of both mineral
55
and organic/ biological sources for sustained crop production, (ii)
recommendations for different agro-ecological situations taking into account
available organic/ biological resources, (iii) and finally, transfer of this
technology for the benefit of small farmers through the national agricultural
extension services.
Komponen dan Teknologi IPNS
Sumber Tanah
Soils supply all the 16 essential plant nutrients. Nutrients are mostly
found in organic and/or fixed mineral form. Plants can meet much of their
nutritional requirement from this source, if managed properly, mainly
through mineralization of soil organic matter. But due to continuous and
intensive cultivation, the nutrient supplying capacity of soils has decreased
considerably.
Therefore, under any intensive agriculture system, special emphasis
should be given to raising Soil Organic Matter (SOM) to maintain soil
nutrient and to reduce soil degradation. To enhance soil nutrient supply it is
necessary to adopt appropriate soil management practices, such as
improvement of soil physical conditions and addition of appropriate
quantities of nutrients including micronutrients through mineral fertilizer,
organic and biological sources.
Pupuk Mineral
Various types and grades of fertilizer are available throughout Asia
supplying major nutrients such as N, P and K. The fertilizer use levels differ
widely between various countries and nutrient use is mostly imbalanced,
favouring lopsided use of nitrogen. Balanced fertilization is known to
improve fertilizer use efficiency (FUE) and at the same time profitability for
the farmer. Using ever higher rates of nitrogen (urea mostly) alone with
improved better varieties, the resulting higher yields also remove ever
larger amounts of soil nutrients if not replenished and the FUE declines
further resulting in stagnating and even declining yields. This leads to the
paradox situation where statistics report the continuing increase in fertilizer
use but the expected crop production increases are not taking place.
Apart from N, P and K, sulphur (S) and micronutrients such as zinc
(Zn), iron (Fe) manganese (Mn) and boron (B) have also gained in
importance in recent years. The secondary nutrient sulphur (S) has become
deficient over wide areas especially since the intensive use of high analysis
fertilizer, urea, instead of sulphate of ammonia and TSP or DAP instead of
single superphosphate or NPK compounds. The major effect of these and
several other factors is the gradual decline in crop yields and fertilizer use
efficiency.
Sumber Pupuk Organik
The sustainability of highly intensive cropping systems and the
associated heavy mineral fertilizer use without organic manures is widely
questioned. This has brought the almost forgotten farmyard manures (FYM)
and composts back to the forefront. Regular applications of such organic
manures not only supply all the various secondary and micronutrients,
56
though in small quantities, but also improve the physical and biological
properties of the soil.
Furthermore, return to the farm is the best way to take care of the
large amounts of animal waste produced in the commercial dairy, pig and
poultry farms, instead of dumping and degrading the environment.
Pupuk Kandang-pekarangan (Farmyard manure, FYM)
Farmyard manure (FYM) traditionally does not receive the attention
it deserves, as most farmers store their most valuable asset, their cattle/
buffalo manure not in a systematic, but in a rather haphazard way. Storage
of FYM in rural households in the region is in heaps exposed to sun, wind
and rain, which accounts for substantial nutrient losses. FYM preparation
needs improvement, adhering to strict and prompt coverage for shading
and prevention of drying out by hot wind or washing out of nutrients with
heavy rains (pollution hazard). In the Indian subcontinent the widespread
practice of using dried cattle and buffalo dung for burning (cooking) as
firewood substitute should be discouraged and for the farmer affordable
alternatives provided to the farmers e.g. use of biogas.
Kompos
Unlike FYM, compost is not a by-product of common farm activities,
but has to be specially prepared for its own sake. The quality of the ripe
compost after undergoing a heating process reaching at least 60oC to
destroy harmful pathogens and weed seeds will depend on the raw material
used and the attention given to proper composting by the farmer. The C:N
ratio needs to be lowered to 20-15 and good quality compost should have
no more than 30 per cent moisture, as no farmer wants to carry excess
water to the field. Practically all 16 known plant nutrients are contained in
compost, but unfortunately, only in very small quantities. Composting is a
labour and time-consuming process, which takes 3-6 months. To speed up
the process in several countries, rapid composting technologies have been
developed. With the use of Trichoderma harzianium (Philippines), a fungal
activator, decomposition of rice straw and other organic material with high
C:N ratio, combined with animal manure is enhanced to 25 days.
In Thailand, the Department of Land Development of the Ministry of
Agriculture uses a mixture of bacterial and fungal microorganisms to
inoculate raw rice straw compost for rapid decomposition. More than
100,000 packages of compost activator or inoculants are prepared per year
for free distribution to farmers. Each package of 150 g is sufficient for rapid
composting of one ton straw or other organic material together with 200 kg
of animal manure plus 2 kg of urea. Commercially prepared composts
marketed as organic fertilizer are available in most countries in the region
and used mainly for high quality vegetable production and horticultural use.
Sisa-sisa Tanaman
Other freely available sources of organic matter that are available
on-farm in large quantities are wheat and rice straws, maize stalks, and
stovers of legumes and various pulses. Most of the crop residues are not
collected for composting and nutrient recycling, but are used as animal feed
(straws/stovers), burnt or left in the field for natural decomposition (fallen
57
leaves and stubble). Crop residues in the long run also increase the OM
content in the soil. Mulching with fresh straw or leaves is another good
agronomic practice for conserving moisture, reducing soil erosion and for
recycling of nutrients, if the partly decomposed mulching material is
ploughed under for the following crop. Direct seeding of maize or soybean
into mulch cover would be another good agronomic practice. Burning of
straw which is still widely practised by farmers as the fastest and least
labour requiring method of disposal should be discouraged or, if possible,
banned as in most developed countries, mainly because of its air polluting
effect.
Pupuk Hijau
Green manure crops such as Sesbania aculeata ploughed into the
soil after 45-60 days, as practiced by Indian, Nepali and Pakistani farmers
may contribute about 30-40 kg per hectare nitrogen for the following crop.
However, it seems to be increasingly difficult to find a niche in the
traditional farming calendar and cropping system to successfully grow a
green manure crop, which occupies the land for several months and needs
water and fertilizer, except N- just to plough it back into the soil.
Wherever possible and feasible the growing of grain legumes such
as groundnuts, soybeans, chickpeas, cowpeas or mungbean as cash
crops, which maintain soil fertility and provide farmers with extra income
and fodder from crop residues should be encouraged. Leguminous green
manures, when incorporated, certainly add the nutrients present in their
biomass including the bulk of nitrogen they have captured (fixed) from the
air, but other nutrients have to be absorbed from the soil.
Green manuring apart from making net nitrogen addition, basically
recycles other nutrients back in the soil. Furthermore, effective nitrogen
fixation requires an adequate phosphorus status in soils which is usually
lacking. It is a common misconception that using green manures to provide
nitrogen would be less damaging to the environment than using mineral
fertilizer, but far from it, the opposite is often the case. When the legume
plants die at the end of the growing season or after harvest and there is no
crop growth in the field to take up all the nitrate which is released from the
rapidly decaying rhizobium nodules and plant residue, there is a great
danger of nitrate leaching, especially under hot, humid and high rainfall
climatic condition in the tropics.
Lumpur Biogas
Biogas plants in rural areas produce digested slurry as an end
product, which could be applied directly in cultivated fields. Such slurry
contains about 1.5-2.0 per cent nitrogen, 1.0 per cent phosphorus and a
little over 1 per cent potassium. It is also a valuable source of
micronutrients. Moreover, due to the heated digestion processes, biogas
slurry is virtually free from weed seeds and pathogens.
Limbah Industri
Most industrial waste materials as are valuable resources and
should be properly managed and utilized. The large number of sugar cane
processing factories in the region produce substantial quantities of organic
58
by-products such as bagasse, pith and press-mud. Even though some of
the bagasse and cane residues are used for cardboard production, most of
them are burnt as fuel in the sugar industry. So far only a small portion is
mixed with press-mud, composted and recycled as organic fertilizer.
Agro-industries, such as fruit and vegetable processing, cotton
ginneries, oil mills, breweries and distilleries, also produce large quantities
of organic waste materials which need to be properly managed and utilized
for nutrient recycling instead of dumping and polluting the environment. An
excellent example for organic waste recycling is the practice of Malaysia’s
oil palm industry to effectively utilize the vast quantities of palm oil milling
effluent
Sampah Kota
Increasing population and even faster growth of urban population
will consequently lead to increasing amounts of urban waste, which would
create enormous disposal problems if not properly recycled as a source of
crop nutrients. Processed, composted solid organic wastes and sewage
sludge provide both organic matter and valuable plant nutrients to crops.
The transport from urban composting plants to the farming areas
constitutes a major part of the cost of processed organic wastes for
farmers.
Marketing studies and advertising campaigns, attractive
comparative prices together with a subsidy scheme to encourage the largescale acceptance by farmers of urban compost should be considered.
Subsidies, grants and credit should concentrate on transport and handling
cost of such bulky products, which could nevertheless result in
considerable savings in mineral fertilizer, for the farmers. As a rule of thumb
the price per kg of nutrient in composted city refuse for the farmer should
be at par or not considerably higher than the cost per kg nutrient in
commonly used mineral fertilizer. The other not so easily quantifiable
benefits of using organic fertilizer materials, such as increasing SOM, better
water holding capacity, and better soil health, are to be accounted for by
the cost of extra labour for spreading and incorporation in the field.
Kompos Sampah Kota yang diperkaya
City compost produced at mechanical composting plants throughout
the Asia and the Pacific region (India, Nepal, Pakistan, Philippines,
Indonesia, and Thailand) is generally low in plant nutrients and therefore its
acceptability by farmers has been limited. To improve the quality and
nutrient content of city compost, low-grade rock phosphate and phosphate
solubilising azotobacter spp. and the nitrogen fixing bacteria, such as
azotobactor spp. or pseudomonas spp., are being used as inoculants.
Microbial inoculation and application of 1 to 5 per cent rock
phosphate increased the nitrogen content of city compost by 24 to 30 per
cent and more favourable C:N ratios have been obtained. Available P2O5
content of compost was increased by 60 to 114 per cent where rock
phosphate was applied and inoculated with aspergillus awamori.
Preparation of compost from enriched city garbage or otherwise is
promising, provided that financial support from government is available.
59
However, heavy metals in sewage sludge when continuously
applied in excessive quantities to farmland as organic manure could lead to
problems. Monitoring for Cd, Zn, Pb, As, and Cu contents in compost is
recommended.
Pupuk Hayati
Biofertilizers have an important role to play in rainfed areas in
improving the nutrient content of crops. Although rhizobium is the most
researched and well known among the biofertilizers, there are a number of
microbial inoculants with potential practical application in IPNS. Such
inoculates could contribute to increasing crop productivity through
increased biological nitrogen fixation (BNF), increased availability or uptake
of nutrients through phosphate solubilization, or increased absorption,
stimulation of plant growth (hormones), or by rapid decomposition of
organic residues (rapid composting technology).
Inokulan Rhizobium
The nitrogen fixed by rhizobia benefits legume crop production in
two ways: (i) by meeting most of the legume crops nitrogen needs and (ii)
by enriching the soil for the benefit of subsequent crops. Rhizobium
inoculation should be considered in all legume green manure crops to gain
maximum benefit from nitrogen fixation in the shortest possible time.
Azospirillum, azotobacter and pseudomonas inoculations on upland grain
crops are still in their infancy and field trial results are inconclusive,
although good responses to azospirillum and azotobacter inoculation of
wheat, rice and sugar cane have been recorded. Further research is
needed to find agronomic practices that may help the inoculated bacteria to
multiply profusely in the rhizosphere.
Pupuk Hayati lahan sawah: Azolla dan BGA
Most important biofertilizers for wetland rice are the water fern
azolla and the blue green algae (BGA), also known as floating nitrogen
fertilizer factories. Both can grow alongside paddy. Azolla can also be used
for green manuring which could contribute from 20 to 60 kg per hectare N.
Phosphorus is a key element and its deficiency results in poor growth and
reduced N fixation (addition of 1 kg P results in fixation of 5 to 10 kg N).
Azolla is considered an efficient scavenger for potassium and serves as a
source of K for rice crops. Azolla biofertilizer technology is labour intensive.
Irrigation water, phosphate fertilizer and pest control measures are
necessary inputs. Nitrogen fixed by azolla or BGA becomes available to the
rice crop only after its decomposition. Numerous field experiments
indicated that only up to one third of the fixed N is absorbed by the
following rice crop, while two-thirds remained in the soil as residual N or is
lost to the atmosphere.
Mikroba Pelarut Fosfat
Sejumlah mikroba mampu A number of microorganisms known to
have the ability to solubilize and transform inorganic P from normally
insoluble sources through excretion of various organic acids have been
isolated. These are bacteria of the bacillus and pseudomonas spp and
60
fungi, such as aspergillus, penicillium and trichoderma spp. In addition to Psolubilization these microorganisms can also mineralize locked up organic
P into soluble, plant available forms. As these reactions take place in the
rhizosphere and the microorganisms bring more P into solution than they
can absorb for their own growth, the surplus is available for plants to
absorb. The effectiveness of these microorganisms depends on the
availability of sufficient energy source, carbon in the soil, P concentration,
particle size of rock phosphate as well as temperature and moisture.
Kendala Aplikasi Pupuk Hayati
Hingga saat ini masih sulit diramalkan keragaan pupuk hayati,
ternyata banyak factor yang berpengaruh, hanya beberapa factor saja yang
dapat dikelola dalam konteks pertanian. Pada hakekatnya, tingkat
perkembangan populasi strain introduksi harus diperbaiki. Ada beberapa
kendala dalam aplikasi pupuk hayati. Misalnya, transportasi inoculum dan
penyimpannya harus ideal. Biasanya akan terjadi penurunan jumlah bakteri
kultur kalau diangkut dan disimpan pada suhu 45oC atau lebih. Daya hidup
yang buruk juga berhubungan dengan suhu tinggi dalam tanah selama
musim panas.
Pertumbuhan dan kehidupan rhizobium dan bakteri fiksasi N lainnya
yang hidup bebas juga dipengaruhi oleh kompetisi dan antagonis dengan
organism lainnya, salinitas tanah, genangan air dan aplikasi pestisida.
Sejauh ini penggunaan pupuk hayati masih belum optimal, masih
diperlukan beragam upaya secara intensif untuk membangun kesadaran
petani terhadap pentingnya dan manfaatnya pupuk hayati.
61
DAFTAR PUSTAKA
Black, C.A. 1967. Soil Plant Relationship. John Wiley and Sons. vii + 618 h.
Cooke, C.W. 1975. Fertilizing for Maximum Yield. The English Language
Book Soc. And Crosby Lockwood Staples. London. xx + 297 h.
Cosico, W.C. 1985. Organic Fertilizers: Their Nature, Properties & Use.
College of Agriculture. University of Phillipines. Los Banos. 136 h.
Engelstad, O.P. (ed.). 1997. Teknologi dan Penggunaan Pupuk.
Terjemahan DH. Goenadi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
FAO. 2000. Fertilizer and Their Use. 70 h.
Foth, H.D. & B.G. Ellis. 1988. Soil Fertility. John Wiley & Sons. New York.
212 h.
IFDC. 1978. Fertilizer Manual. xix + 353 h.
IRRI. 1984. Organic Matter and Rice. Los Banos.
Jones, U.S. 1979. Fertilizer and Soil Fertility. Reston Pub. Co. Virginia. xii +
368 h.
Miller, R.W. & R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant
Growth. Prentice-Hall New Jersey. xiv + 768 h.
Radjagukguk, B. & Joetono (Eds.). 1983. Prosiding Seminar Alternatif
Pelaksanaan Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia.
Bulletin No. 18. Fakultas Pertanian UGM.
RAPA-FAO. 1991. Asian Experience in Integrated Plant Nutrition. Bangkok.
Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Terjemahan H.M.
Saleh. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Vii + 232 h.
Roesmarkam, A. & NW. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.
Yogyakarta. ISBN 979-21-0468-2. 224 hal.
Russel, E.W. 1978. Soil Condition & Plant Growth. McGraw Hill. New York.
60 h.
Sastrohoetomo, A. 1968. Pupuk Buatan dan Penggunaannya. Djambatan.
Jakarta. x + 60 h.
Thompson, L.M. & F.R. Troeh. 1978. Soils & Soil Fertility. McGraw-Hill Pub.
xi + 516 h.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson & J.D. Beaton. 1986. Soil Fertility and Fertilizers.
MacMillan Pub. New York. xiv + 754 h.
Download