dunia islam B10 JAMES AKEN/REUTERS REPUBLIKA ● AHAD, 30 OKTOBER 2011 ISLAM DI UGANDA PANORAMIO.COM Bangkit dari Keterbelakangan MUSLIM DI UGANDA MEMILIKI DUA TANTANGAN BESAR YANG HARUS SEGERA DISELESAIKAN. JAMES AKEN/REUTERS enjelang akhir 2006, bukit Old Kampala, Uganda, menyajikan pemandangan baru. Sebuah masjid besar berdiri di antara sejumlah bangunan tinggi. Sejak dibuka pada Oktober tahun itu, masjid tersebut seolah merepresentasikan harapan baru di kalangan Muslim di negeri Afrika Timur itu. Hanya saja, di balik itu, fakta lain justru menggambarkan keadaan yang berlawanan dengan harapan itu sendiri. Pada 1989, Islam diperkirakan dipeluk oleh 2,6 juta penduduk Uganda, atau sekitar 15 persen dari total populasi. Sedangkan data Sensus Nasional Uganda tahun 2002 menyebutkan, populasi Muslim negara tersebut hanya sebesar 12 persen. Terakhir, situs resmi pariwisata Uganda (visituganda.com) memunculkan angka baru. Jumlah populasi Muslim menyusut, menyisakan lima persen atau hanya 1,64 juta jiwa dari total 32,71 juta jiwa populasi Uganda (data Bank Dunia tahun 2009). Setelah Islam memasuki daratan Uganda sekitar 167 tahun lalu, perkembangan agama minoritas tersebut lebih mengarah pada kemunduran . Padahal, ia masuk jauh sebelum kedatangan misionaris Kristen. Sejumlah analis melakukan penelitian dan menyumbangkan banyak pemikiran yang menjelaskan penyebabnya. Menurut sebuah data yang dikutip umm.ac.id dalam artikel ‘Umat Muslim Uganda Menghadapi Tantangan’, Islam masuk ke Uganda pada 1844. Sedangkan menurut Wikipedia, mengutip data Background Note: Uganda (Departemen Negara AS), Islam dibawa masuk para pedagang Arab melalui Pantai Samudera Hindia Afrika Timur pada 1930-an. Kedatangan mereka disusul masuknya penjelajah Inggris yang mencari sumber aliran Sungai Nil pada 1860. Hampir dua dukade setelahnya, tahun 1877, tibalah misionaris Protestan di negara Afrika Timur itu, disusul misionaris Katolik pada 1879. Lalu pada 1888, Kerajaan Inggris menempatkan wilayah Uganda di bawah perjanjian Persekutuan InggrisAfrika Timur dan menguasainya sebagai daerah perwalian (protektorat) sejak 1894. Islam sampai di Uganda dari utara dan melalui jaringan pedalaman perdagangan jalur pantai Afrika Timur pada pertengahan abad ke-19. Sejumlah M UMWOMENVISION.ORG Muslim Baganda (etnik yang mendiami Buganda, sebuah wilayah kerajaan subnasional di Uganda) mengikuti jejak keislaman keluarga mereka pada masa saat kabaka (sebutan untuk raja Uganda) Mutesa I memeluk Islam pada abad ke-19. Hanya saja, menurut sejarah yang dikutip umm.ac.id, masyarakat Uganda kurang terbuka menerima ajaran Islam. Sikap itu bahkan ditunjukkan oleh sang raja, Mutesa I, yang bersedia menjadikan singgasananya menjadi kerajaan Islam dengan memberikan persyaratan pada para pedagang Arab. Syarat yang diajukannya adalah agar dia diperkenankan untuk tidak melakukan khitan, sesuai hukum adat Kerajaan Buganda yang berlaku saat itu. Syarat itu tentu saja ditolak para pedagang tersebut. Menurut penganut versi ini, kemunduran Islam di Uganda pertama-tama dipengaruhi oleh faktor internal masyarakat. Sikap mereka saat menerima Islam menjadi peluang bagi penyebaran agama Kristen. Para misionaris datang dengan persiapan dan misi yang lebih matang, bukan dengan tujuan berdagang seperti yang dilakukan para pembawa Islam. Ketika kemudian agama Kristen berkembang, dominasi dan pengaruh mereka secara bertahap menghambat perkembangan Islam di Uganda. Didukung sistem pendidikan yang tidak terbatas pada hal-hal konservatif keagamaan, populasi Kristen mampu berperan langsung dengan melibatkan diri pada posisi-posisi penting. Ketika Idi Amin, seorang Muslim Uganda, menjadi presiden pada 1971, kepresidenannya menjadi sebuah kemenangan bagi komunitas Muslim Uganda. Namun, Pada 1972, pengusiran yang dilakukan Amin terhadap orang-orang Asia di negaranya berdampak secara signifikan terhadap pengurangan jumlah Muslim kala itu. Inilah versi lain penyebab mundurnya umat Islam di Uganda, seperti dikutip countrystudies.us. Presiden Amin mendeportasi sekitar 70 ribu orang Asia. Hanya sedikit yang kembali ke negara tersebut pada 1980-an untuk menuntut kompensasi pengambilalihan lahan, bangunan, pabrik, dan perumahan. Pada 1989, populasi Asia di Uganda diperkirakan hanya berjumlah 10 ribu jiwa, sepertujuh dari jumlahnya pada 17 tahun sebelumnya, sebelum deportasi massal dilakukan. Ketika pemerintahan Amin memburuk dan memunculkan kebrutalan serta kegagalan rezim, Muslim Uganda mulai menjauhkan diri dari mereka yang berhubungan dengan kekuasaan. Setelah penurunan Amin pada 1979, Muslim menjadi korban sikap balasan komunitas non-Muslim. Sikap itu terutama ditujukan kepada kelompok etnik Kakwa dan Nubian yang pernah menjadi pendukung Amin. Para misionaris setelah itu secara terang-terangan menghadapi Muslim Uganda dengan rasa permusuhan. Mereka memandang Islam sebagai sebuah agama rival dan mereka takut Islam akan menjadi agama dominan di Afrika Timur. Sikap itu sudah ditunjukkan jauh sebelumnya. Pada 1900, Uskup Anglikan menulis surat ke gubernur di Uganda, berisi permintaan untuk melindungi Distrik Busoga dari Islam. Tahun 1904, Pendeta Wilis yang kemudian menjadi Uskup Anglikan di Uganda mengisyaratkan ketakutan mereka bahwa beberapa tahun mereka akan menjadi “Mohammedan” (umat Muhammad SAW). Tahun 1907, Pendeta Grabtree menekankan untuk melakukan lebih banyak lagi kerja misionaris di provinsi timur Uganda demi melawan penyebaran Islam. Pendeta Rowling dari Namirembe bahkan menentang pengajaran bahasa Kiswahili di negara tersebut, karena dikhawatirkan akan meningkatkan pengaruh Islam di negara itu. Dari sejumlah pengamatan yang pernah dilakukan, pandangan yang mencuat dengan banyak bukti adalah bahwa kemunduran Islam di sana dikarenakan dakwah Islam yang tidak profesional. Posisi komunitas Muslim di sana dikenal terbelakang sehingga mudah teralihkan pada persoalan-persoalan yang kurang penting dan mengabaikan yang utama. Kasus yang terjadi pada 2007 adalah salah satu contohnya. Komunitas Muslim di Distrik Iganga, daerah dengan persentase Muslim terbanyak, menyerang komunitas Muslim lainnya karena perbedaan penentuan Hari Raya Idul Fitri. Peristiwa itu diawali respons salah satu kubu yang meminta perayaan Idul Fitri dihentikan karena dinilai salah. ●●● Terlepas dari stigma yang melekat pada negara dengan lebih dari 80 persen penduduk Kristen (Katolik Roma dan Anglikan) itu, masyarakat Muslim di sana mulai menunjukkan upaya pengembangan. Selain Masjid Nasional Old Kampala yang oleh manajer proyeknya, Majdi M, diklaim sebagai masjid terbesar di Afrika, upaya pengembangan Islam juga dilakukan di bidang pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Universitas Islam kedua, direncanakan bernama Islamic Call University College (ICUC), dibangun mulai Oktober tahun ini, berlokasi di Masjid Nasional di Old Kampala. Juru bicara Dewan Tertinggi Muslim Uganda, Syeikh Nsereko Mutumba, mengatakan, program yang akan dibuka di sana adalah Teknologi Informasi. “Universitas juga akan menawarkan pendidikan gratis bagi siswa Muslim, katanya, seperti dikutip situs Dompet Dhuafa Hong Kong, ddhongkong.org. Sebelum ICUC terealisasi, Islamic University in Uganda (IUIU) yang terletak di Kota Mbale menjadi satu-satunya universitas Islam di sana. Universitas yang terdiri atas empat kampus di empat lokasi berbeda itu didirikan pada 1988 dengan jumlah mahasiswa pertama sebanyak 80 orang. Tujuan utama dari universitas ini adalah untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi komunitas Muslim yang berbicara bahasa Inggris di selatan dan timur Afrika. Upaya penguatan Islam juga dilakukan Muslim Uganda di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Agustus 2009, terjadi aksi bersama guru Muslim. Mereka menolak penempatan kepala sekolah nonMuslim di sekolah-sekolah Islam. Asosiasi Guru Muslim Uganda mengatakan, penempatan kepala sekolah non-Muslim di sekolah Islam sama saja dengan pemberangusan Islam secara langsung. ■ c15 ed: subroto