BAB II

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Monomboli (Hutang)
Dalam kamus bahasa Mongondow Boli yang berarti utang sedangkan Monomboli adalah
menghutang. Hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak-pihak lain
yang belum terpenuhi, dimana hutang ini merupakan sumber dana atau modal suatu perusahaan.
Hutang terdiri atas hutang lancar (hutang jangka pendek) dan hutang tidak lancar (hutang jangka
panjang). Hutang dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1
Hutang lancar (hutang jangka pendek)
Hutang lancar yaitu kewajiban keuangan perusahaan yang pelunasannya atau
pembayarannya akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca)
dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki oleh perusahaan.
2
Hutang tidak lancar (hutang jangka panjang)
Hutang tidak lancar yaitu kewajiban keuangan yang jangka waktu pembayarannya (jatuh
temponya) masih jangka panjang (lebih dari satu tahun sejak tanggal neraca).1
Dalam islam menegaskan “setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya
riba”. Hal ini terjadi jika sala satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata
lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam
bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si
1
http://abufawas.wordpress.com/2012/03/02/adab-islami-dalam-hutang-piutang/
peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan
menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.
2.2 Budaya
Kebudayaan pada dasarnya merupakan segala macam bentuk gejala kemanusiaan, baik
yang mengacu pada sikap, konsepsi, ideology, perilaku, kebiasaan, karya kreatif dan sebagainya.
Secara konkret kebudayaan bisa mengacu pada adat istiadat, bentuk-bentuk tradisi lisan, karya
seni, bahasa, dan pola interaksi. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan fakta kompleks yang
selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal.
Menurut Soerjono Soekanto, Konsep Budaya itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta,
kata buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akaloleh karena itu,
budaya dapat diartikan sebagai, hal-hal ang bersangkutan dengan budi dan akal. Dalam
kehidupan sehari- hari, kita juga biasa menggunakan kata kultur untuk kata budaya itu. Kata
kultur sebenarnya berasal dari kata culture dalam bahasa inggris, yang aslinya dari bahasa latin
kata colere yang artinya segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam.2 Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya menurut beberapa pakar ilmu social. Menurut C.A. Ellwood budaya itu sangat
luas konotasinya. Maknanya tidak hanya terbatas pada unsur-unsur yang berkaitan dengan
perilaku manusia dengan segala kebiasaan dan tradisinya, melainkan meliputi juga unsur-unsur
2
Nursid sumaatmadja. (2000). Manusia dalam konteks social, budaya, dan lingkungan hidup. Bandung: alfabeta.
Hal 46
material yang dihasilkan oleh pemikiran dan karya manusia serta berbagai peralatan yang
digunakannya. Bahkan menurut konotasi ilmiah, pengertiaan kebudayaan itu juga meliputi
sistem ilmu pengetahuaan yang dipelajari manusia melalui antarkomunikasi, bahasa,
kelembagaan, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan. Menurut C.P. Kottak Budaya itu merupakan
milik umum dari jenis manusia, kemampuan yang hanya dimiliki manusia. Kebudayaan ini
merupakan hasil belajar yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan manusia yang
unik dalam memanfaatkan simbol, tanda-tanda, atau isyarat
yang tidak ada paksaan atau
hubungan alamiah dengan hal-hal yang mereka pertahankan.3 Jadi menurut konsep-konsep diatas
kebudayaan merupakan hak paten manusia, bagaimanapun sederhananaya kelompok manusia
atau masyarakat itu pasti memiliki kebudayaan.
Pada masyarakat sederhana bagaimanapun, interaksi sosial, tuntutan kebutuhan,
tantangan alam, dan tantangan kehidupan pada umumnya selalu melekat pada diri masyarakat
yang bersangkutan. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan karya, cipta, rasa, dan
karsa selalu terjadi. Dengan kata lain, pada masyarakat tersebut berkembang kebudayaan yang
menjadi ciri dan jati dirinya. Seperti telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu, manusia,
dalam hal ini masyarakat manusia, tidak terikat oleh keterbatasan dirinya, terikat oleh naluri
belaka, melainkan ia mampu menembus tantangan hidup dengan memanfaatkan akal dalam
ungkapan kemampuan budaya atau produknya kita sebut kebudayaan. Dengan demikian,
kebudayaan itu melekat pada diri manusia sebagai suatu kelompok yang kita sebut masyarakat.
Karena manusia dalam hal ini masyarakat berkarakter dinamis, maka kebudayaannya juga
dinamis, tidak ada masyarakat dan kebudayaan yang statis.
3
Ibid. hal 47
2.3 Dampak Sosial Monomboli Terhadap Masyarakat Pedesaan Dipandang Dari
Sosiologi
Dalam sosilogi, terdapat beberapa perspektif dalam melihat perilaku induvidu dan atau
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perbedaan perspektif tersebut lahir disebabkan oleh
perbedaan asumsi-asumsi yang dipakai tentang hakikat dan posisi individu dalam masyarakat.
Menurut George Ritzer sosiologi sebagai ilmu yang berparadigma ganda. Tiga paradigma utama
dalam sosiologi adalah sebagai berikut:
1. Paradigma fakta sosial
Paradigma fakta sosial pada dasarnya menekankan bahwa inti pokok persoalan sosiologi
adalah fakta sosial ketika fakta sosial ini tidak dapat dipelajari melalui introspeksi, tetapi
harus diteliti dalam dunia nyata.
2. Paradigma definisi sosial
Inti pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tindakan sosial antara
hubungan sosial.
3. Paradigm perilaku sosial
Paradigma perilaku sosial dipengaruhi oleh psikologi, paradigma ini memusatkan
perhatiannya pada hubungan antara individu dan lingkungannya.4
Pada masyarakat pedesaan mungkin untuk pengkreditan dalam bentuk uang tidak begitu
diperhatikan karena mungkin syarat-syarat yang diajukan oleh lembaga-lembaga pengkreditan
(perbankan, leasing, BPR dan sebagaiya) begitu sulit untuk mereka penuhi sehingga mereka
tidak memperhatikannya. Tetapi untuk pengkreditan dalam bentuk barang mereka sangat
4
Alimandan. (2010). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
memperhatikannya karena barang-barang yang disajikan oleh perusahaan-perusahaan kredit
(colombus, Columbia, BAF, Mega finance dan sebagainya) adalah barang-barang baru dan juga
syarat untuk mendapatkan barang tersebut tidak begitu sulit. Mereka tidak memperhitungkan
kerugian yang mereka dapatkan dalam mengkredit barang-barang tersebut. Menurut Baudrillard
dalam masyarakat konsumsi, terdapat kecendrungan orang membeli barang bukan karena nilai
kemanfaatannya, melainkan karena gaya hidup (life style), demi sebuah citra yang diarahkan dan
dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi.5
Menurut beberapa ilmuwan sosial, lembaga finansial informal berkembang tidak hanya
sebagai akibat dari perkembangan pasar tetapi juga merupakan responden terhadap rigiditas
aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga kredit formal. Fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh
lembaga kredit informal sebagai besar dimanfaatkan oleh mereka tergolong miskin yang secara
umum mereka kurang memiliki pengetahuan kredit resmi dan terutama sekali kurang
pendidikan.6 Sejalan dengan perkembangan ekonomi lembaga kredit informal ini berkembang
kedalam berbagai propesi seperti pelepas uang atau rentenir, penyedia fasilitas gadai, perkreditan
barang-barang, dan perantara atau makelar kredit.
Masalah sosial yang kita bisa ambil adalah barang-barang tersebut tidak menghasilkan
keuntungan bahkan menambah kebutuhan keluarga karena setiap bulananya harus membayar
cicilan dari barang tersebut. Pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang lagi karena pengeluaran
lebih banyak daripada pendapatan, dengan demikian tidak ada lagi perencanaan kedepan
misalnya menabung untuk biaya sekolah anak, biaya apabila sakit dan biaya tak terduga. Dari
5
6
Sindung Haryanto. (2011). Sosiologi ekonomi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Heru Nugroho. (2001). Uang Rentenir Dan Hutang Piutang Di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 7
permasalahan inilah muncullah masalah sosial yang perlu dikaji oleh sosiologi, contohnya: anak
putus sekolah, bertambahnya orang sakit yang dibiayai pemerintah dan sebagainya.
Download