TUMPENG: SEBUAH KAJIAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ANTROPOLOGI Mohammad Rondhi * Abstrak Tumpeng sebagai ekspresi budaya mengandung banyak makna. Melalui pendekatan psikologi antropologi kita dapat mengungkap makna-makna tersebut. Tentu saja pendekatan ini bukan yang terbaik tetapi paling tidak dapat memberi wawasan baru tentang perilaku manusia dan masyarakat lingkungannya. Dalam tulisan ini tidak begitu banyak mengupas hal tersebut kecuali untuk mengurangi redundansi juga agar tulisan ini lebih terfokus pada hal-hal yang belum banyak dibicarakan oleh para pakar. Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem sosial itu sendiri. Makna ritual tumpengan berbeda bagi tiap orang meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda. Makna ritual tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata yang berlaku. Bagi orang Jawa membuat tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan bagi orang Jawa dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Dengan kata lain, tumpeng adalah simbol kejantanan. Kerucut atau gunungan sering diabstraksikan menjadi bentuk segitiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik dalam segitiga dapat diartikan dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segitiga tersebut merupakan simbolisasi dari struktur keluarga Jawa. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan bahkan setelah mati dikuburkan. Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak masa kecil. Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni atau melalui kegiatan lainnya. Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak. Membuat tumpeng, memotong dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dan juga katarsis bagi orang Jawa. Kata kunci: Tumpeng, gunungan, skemata, psikoanalisis, katarsis. Pendahuluan Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan atau adat-istiadat yang khas yang senantiasa dilakukan, dikerjakan, dan dipelihara secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan yang berarti. Adat-istiadat tersebut dipelihara oleh masyarakat pemiliknya karena dianggap memiliki nilai atau makna yang luhur atau paling tidak memiliki nilai fungsional bagi masyarakat tersebut. Salah satu adat-istiadat atau kebiasaan tersebut adalah tradisi pembuatan nasi tumpeng bagi masyarakat Jawa. Tumpeng merupakan bentuk atau tepatnya adalah cara penyajian makanan khas masyarakat Jawa yang berupa nasi dan lauk-pauknya yang ditata atau dibentuk kerucut seperti gunung. Biasanya tumpeng dibuat atau disajikan dalam rangka memperingati hari besar tertentu, sebagai pelengkap upacara keagamaan tertentu, atau sebagai tanda rasa syukur dan juga sekaligus untuk memohon keselamatan dan berkah dari Tuhan. Makanan yang berupa tumpeng dibuat * Penulis adalah dosen Seni Rupa FBS UNNES, seorang magister bidang antropologi oleh orang atau sebuah institusi yang punya hajat dan kemudian disajikan kepada para tamu undangan atau peserta upacara untuk dimakan bersama-sama setelah selesai acara pembacaan doa. Jumlah dan ukuran nasi tumpeng dimaksud bervariasi tergantung kebutuhan dan jumlah tamu atau peserta upacara. Satu buah tumpeng dapat dimakan bersama-sama antara delapan hingga enambelas orang. Kebiasaan membuat nasi tumpeng sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang atau masyarakat Jawa saja. Di tempat lain misalnya di Jawa Barat juga ada orang yang biasa membuat nasi tumpeng dengan bentuk dan maksud yang tidak jauh berbeda. Yang menarik untuk dibicarakan di sini adalah mengapa tumpeng tersebut berbentuk kerucut. Apakah bentuk tumpeng tersebut merupakan representasi dari bentuk gunung? Apa makna di balik bentuk tumpeng tersebut? Mengapa nasi tumpeng pada umumnya berwarna kuning? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu saja dapat dilakukan dengan mengkajinya dari berbagai sudut pandang. Kita dapat mengkajinya dari aspek historis, semiotika, ekologis, estetika, ekonomi, dan lain sebagainya. Kajian dari sudut pandang semiotika dan estetika sudah banyak dilakukan oleh para pakar, demikian juga kajian dari sisi sejarah, maupun ekonomi. Kajian dari sudut pandang psikologi dan antropologi belum banyak dilakukan dan oleh karena itu pula maka penulis mencoba menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan dua disiplin tersebut. Sebagai budaya rupa, tumpeng mengandung makna yang sangat kaya dan perlu dilihat dengan menggunakan berbagai kacamata dan sudut pandang. Psikologi Antropologi Psikologi dan antropologi adalah dua disiplin yang berbeda, baik dalam fokus kajian maupun metode yang digunakan. Psikologi lebih terfokus pada kajian terhadap perilaku manusia secara individual dengan metode eksperimen dan analisis kuantitatif sedangkan antropologi lebih terfokus pada manusia sebagai anggota masyarakat dengan menggunakan metode empiris dan analisis kualitatif. Kedua disiplin tersebut sama-sama mempelajari perilaku manusia namun asumsinya terhadap manusia keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Psikologi menganggap manusia sebagai makhluk individual dan otonom, sedangkan antropologi menganggap manusia sebagai makhluk sosial dan kultural (Kaplan 1961). Pandangan tersebut di atas tentu saja tidak sepenuhnya benar karena sekarang banyak para ahli yang mengembangkan teorinya dengan pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Kita mengenal kecuali psikologi individual juga ada yang disebut psikologi sosial atau psikologi lintas budaya. Dalam bidang antropologi kecuali kita mengenal istilah antropologi budaya juga ada yang disebut antropologi kognitif yang fokus kajiannya lebih terarah pada sistem kognisi individu sebagai unsur masyarakat dengan pendekatan individualisme. Salah satu pendekatan yang bersifat interdisiplin dalam antropologi yaitu psikologi antropologi atau pendekatan gabungan antara psikologi dan antropologi. Pendekatan psikologi antropologi digunakan dalam upaya mencari solusi yang terbaik serta untuk mengatasi kesenjangan antara dua disiplin tersebut. Psikologi antropologi adalah ilmu yang menjembatani antara kebudayaan dan kepribadian yaitu bidang yang menjadi fokus kajian dua disiplin yang berbeda tersebut. Kebudayaan dan kepribadian adalah dua hal yang berbeda tetapi berkaitan (lihat Danandjaja 1988:3; Singer 1961:65). Kita tahu bahwa manusia kecuali dipandang sebagai makhluk individual dengan berbagai kepentingan, motif dan minat yang personal juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa berusaha hidup dan berperilaku sesuai dengan lingkungannya. Manusia adalah pribadi yang bertindak sesuai dengan sistem simbol atau aturan main yang dimilikinya. Tindakan manusia kecuali ditentukan oleh faktor biologis juga oleh faktor psikologis dan faktor kultural (Parsons 1964). Faktor biologis merupakan faktor bawaan dari suatu organisme misalnya rasa lapar dan haus yang mendorong orang untuk mencari makan dan minum. Faktor psikologis adalah faktor yang mendorong orang melakukan tindakan yang bersifat personal, yang berbeda antara orang satu dengan lainnya. Faktor kultural menyebabkan seseorang bertindak sesuai dengan norma masyarakat. Sebagai contoh misalnya ketika terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas dan dalam kejadian itu ada korban yang terluka atau meninggal. Perilaku orang yang melihat kejadian itu pasti berbedabeda, ada yang ingin segera menolong korban atau membawanya ke rumah sakit, namun ada pula yang malah menghindari kejadian itu karena takut atau bahkan ada yang memanfaatkan peristiwa itu untuk mencuri dompet atau barang yang berharga milik korban. Setiap orang mempunyai motif personal yang berbeda dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga bertindak sesuai dengan pola budaya yang dianutnya atau sesuai dengan sistem simbol yang dimilikinya. Kebiasaan menolong orang yang terkena musibah meskipun tidak diberi imbalan merupakan tindakan yang didasari oleh sistem budaya yang berlaku atau sistem simbol yang dimiliki oleh orang tersebut. Kaitan antara personalitas dengan sistem sosial atau kebudayaan, jelas sangat erat karena personalitas dapat mempengaruhi sistem sosial atau sebaliknya. Meskipun demikian keduanya bukanlah suatu entitas yang sama. Keduanya memiliki kesamaan (homologies) namun tidak inklusif seperti konsep mikrokosmos dan makrokosmos dalam ajaran mistik Jawa itu. Meskipun kedua entitas tersebut hampir sama namun keduanya jelas tidak bisa dipertukarkan atau saling menggantikan. Juga tidak seperti konsep manunggaling kawula lan Gusti yang dalam ajaran mistik Jawa berarti bersatunya antara makhluk (manusia) dengan Sang Pencipta (Tuhan). Konsep manunggaling kawula lan gusti bisa juga berarti bersatunya antara raja (gusti) dan rakyat (kawula). Rakyat (kawula) dan raja (gusti) adalah dua entitas yang berbeda namun satu tujuan. Rakyat (kawula) tentu tidak bisa menggantikan posisi rajanya (gusti). Jadi, konsep tentang personalitas atau kepribadian tidak sama persis dengan kebudayaan meski pun tujuan dan fungsinya hampir sama. Proses terbentuknya kepribadian dan kebudayaan tidak jauh berbeda, yakni melalui proses pembelajaran sepanjang hidup. Kepridadian dan kebudayaan seseorang senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan proses pembelajaran yang dialami oleh orang tersebut selama hidup. Kepribadian seseorang tidak dibawa sejak lahir meski pun setiap orang memiliki pembawaan yang berbeda-beda. Ada manusia yang lahir dengan kecerdasan intelektual tinggi dan ada juga manusia yang lahir dengan kecerdasan emosionalnya yang lebih tinggi. Namun semuanya itu, menurut pandangan kaum behavioris dapat berubah melalui proses pembelajaran dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan menurut faham behaviorisme dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Pandangan tersebut tentu saja tidak selalu benar sebab bagi kaum humanis atau faham konstruktivisme justru individulah yang dapat mengubah dirinya sendiri bukan lingkungannya. Manusia adalah makhluk yang mampu mengubah dan juga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kebudayaan bagi individu merupakan payung yang dapat berfungsi sebagai ‘pelindung’ namun juga menjadi ‘penghambat’ perjalanan orang tersebut. Dikatakan ‘menghambat’ karena norma masyarakat sering kali membelenggu atau membatasi ruang gerak individu. Karena itu pula maka seringkali ada orang yang sengaja membongkar batas norma tersebut meskipun tidak selalu berhasil. Sebutan ‘abnormal’ atau ‘devian’ seringkali diberikan kepada mereka yang berperilaku menyimpang dalam arti melewati batas norma sosial yang berlaku. Tumpeng sebagai Ekspresi Budaya Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem sosial itu sendiri. Sistem sosial itu sendiri tidak lain adalah abstraksi dari sistem kepribadian tiap anggota komunitas tersebut. Sistem sosial merupakan kumpulan orang-orang yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Setiap komunitas memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Karakter kelompok tersebut secara struktural tentu saja ditentukan oleh karakteristik tiap-tiap anggotanya. Dari sifat-sifat anggota masyarakatnya itu dapat dibedakan antara masyarakat primitif, tradisional, dan modern. Masyarakat primitif tentu saja anggota masyarakatnya masih banyak yang menggunakan pola pikir mistik. Masyarakat tradisional anggota masyarakatnya masih menggunakan pola pikir tradisional, sedangkan pada masyarakat modern tentu saja anggota masyarakatnya banyak yang menggunakan pola pikir modern. Dengan kata lain motif sebuah organisasi sosial dapat diketahui lewat pemahaman terhadap motif atau pola pikir pribadi setiap anggota kelompok tersebut. Pembagian masyarakat atau pengklasifikasian seperti tersebut di atas sebenarnya hanya ada dalam tataran konsep sebab sekarang ini kenyataan seperti itu tidak ada atau sulit ditemukan. Masyarakat kita dewasa ini khususnya masyarakat di perkotaan meskipun sudah tergolong maju masih saja bertindak secara tradisional atau bahkan masih mempercayai hal-hal yang berbau mistik. Demikian juga masyarakat kita yang tinggal di pedesaan, meskipun masih kental dengan hal-hal yang bersifat tradisional ternyata ada juga yang berpola pikir sangat modern. Oleh karena itu maka pemahaman terhadap kepribadian setiap anggota masyarakat dengan pendekatan individual dalam rangka mengkaji perilaku masyarakat tersebut tentu saja sangat tepat dan dibenarkan. Setiap orang meskipun sama dalam tindakan belum tentu sama dalam tujuan, demikian pula sebaliknya. Makna ritual tumpengan bagi orang satu bisa saja berbeda bagi orang lain meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda. Itulah yang dalam antropologi disebut ‘variasi intrakultural’ (intracultural variety). Perbedaan atau variasi tersebut dalam kajian budaya tidak perlu dipandang sebagai sebuah kekacauan tetapi justru sebagai sebuah kekayaan. Makna ritual tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata yang berlaku bagi masyarakat itu. Sebagian orang berpendapat bahwa makna tumpeng adalah tanda berserah diri dari manusia kepada Tuhan-nya. Bentuk kerucut dari sebuah nasi tumpeng merupakan sombolisasi perjalan suci manusia dari dasar menuju puncak tempat Tuhan bertahta. Bentuk tumpeng secara spiritual merupakan simbolisasi hubungan antara manusia (mikrokosmos) dan Tuhan (makrokosmos). Pendapat tersebut tentu saja tidak keliru namun kita harus tahu bahwa tumpeng dibuat untuk berbagai kepentingan bukan hanya untuk kepentingan ritual tetapi juga untuk keperluan yang lain. Pertanyaan tentang mengapa orang membikin tumpeng, tentu saja jawabnya terserah pada orang yang membuatnya, sebab tidak semua orang membuat tumpeng untuk kepentingan ritual keagamaan. Bisa saja orang membuat nasi tumpeng dengan maksud agar nasi tersebut tidak cepat basi sebab nasi yang dipadatkan terbukti lebih awet. Juga ada anggapan bahwa benda atau makanan yang ditempatkan dalam ruang yang berbentuk piramidal akan lebih awet atau tidak cepat busuk. Jika anggapan tersebut teruji, tentu cukup alasan mengapa bangsa Mesir kuno mengubur jasat rajanya dalam bangunan piramid. Tumpeng yang dibuat berbentuk kerucut atau gunungan hampir sama dengan bentuk piramid bisa juga berfungsi seperti itu yaitu agar nasi tidak cepat basi sebelum dimakan. Bisa saja orang membuat tumpeng dengan bentuk seperti itu hanya untuk kepentingan estetis atau praktis dan ekonomis. Secara visual bentuk kerucut atau piramidal tersebut mengekspresikan kesatuan, keseimbangan, dan harmoni. Pola simetris dari sebuah piramid atau kerucut menunjukkan adanya stabilitas dan juga kesederhanaan yang merupakan ciri-ciri bentuk yang estetis. Dengan kata lain, pembuatan nasi tumpeng dengan pola bentuk kerucut agar tampak indah, kuat atau kokoh, dan menyenangkan. Komposisi ‘piramidal’ memang menghasilkan kesan bentuk yang stabil, utuh namun tetap dinamis. Dinamika visual tersebut terdapat pada dua garis diagonal yang mengarah pada satu titik pusat yaitu puncak piramid atau kerucut. Kecuali itu, bentuk piramid atau kerucut juga menghasilkan dinamika arah yaitu gerakan dari bawah ke atas. ‘Modulasi’ bentuk kerucut, yaitu bagian bawah atau dasar lebih besar dan secara teratur berubah mengecil pada bagian atas menghasilkan kesan gerak dari bawah ke atas. Kesan gerak dari bentuk yang besar ke arah bentuk yang kecil tersebut terjadi karena kebiasaan kita di dalam mengamati segala sesuatu. Teori persepsi menjelaskan bahwa proses pengamatan biasanya bergerak dari bagian yang besar (global) ke arah bagian yang kecil (detail). Kebiasaan melakukan pengamatan seperti itu tampak universal atau hampir terjadi di mana pun dan oleh siapa pun. Kebiasaan berpikir menurut kukum sebab akibat juga merupakan pola pikir yang universal dan juga natural. Hukum termodinamika (laws of thermodynamics) mengatakan bahwa energi bergerak dari positif ke arah negatif. Udara yang ada di ruang dengan tekanan yang tinggi akan bergerak menuju ruang yang tekanannya rendah. Pergerakan tersebut menghasilkan apa yang disebut ‘entropi’ (entropy) yaitu keadaan seimbang atau ‘homeostatis’ dalam arti tanpa tekanan atau tanpa energi. Air yang berada di daerah yang tinggi akan bergerak ke bawah dan ketika air tersebut berada di daerah yang paling rendah maka air tersebut akan tenang dan tidak akan bergerak lagi. Dalam keadaan seperti itulah ‘entropi maksimum’ terjadi. Untuk menggerakkan air yang dalam keadaan entropi tersebut perlu energi baru misalnya energi panas atau energi mekanik. Dengan panas matahari maka air di laut atau air di daerah rendah akan diubah menjadi uap dan turun sebagai air hujan. Dengan bantuan tenaga mekanik, misalnya kincir angin, juga dapat menaikkan air ke tempat yang lebih tinggi sehingga terjadi proses ‘entropi negatif’. Ada berbagai jenis energi namun yang paling menonjol dalam pengamatan ada dua, yaitu: energi panas dan energi gravitasi. Energi panas berasal dari matahari yang berupa cahaya dan dari bumi yang berupa panas bumi atau magma. Penelitian yang telah dilakukan para ahli menunjukkan adanya penurunan energi matahari atau ada peningkatan ‘entropi’. Jika matahari tidak lagi memancarkan panasnya, atau ketika matahari tidak lagi memancarkan energinya, maka pada saat itulah terjadi ‘entropi maksimum’ yaitu keadaan seluruh dunia dengan temperatur yang sama. Keadaan seperti itu tentu akan menyebabkan berhentinya dinamika kehidupan di dunia ini sebab tidak adanya energi berarti tidak ada kehidupan (Bell 1964:8). Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa kebiasaan kita melihat dari yang besar ke yang kecil merupakan perilaku alami dan perilaku itu sesuai dengan hukum alam yaitu hukum termodinamika. Seandainya ada orang yang melakukan tindakan yang berbeda atau kebalikan dari apa yang disebutkan di atas tentu saja tidak keliru. Tindakan seseorang bisa saja menyimpang atau tidak sesuai dengan hukum alam tersebut karena sebagai manusia ia adalah makhluk yang tidak hanya mampu beradaptasi dengan lingkungan tetapi juga mampu berkreasi atau mencipta lingkungannya. Manusia mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dan juga mampu mengubah lingkungannya sesuai dengan daya kreativitasnya. Berbeda dengan binatang yang struktur kognisinya tampak sudah terpola, seragam, dan tidak berubah, manusia memiliki struktur kognisi yang tidak seragam dan berkembang sesuai dengan proses sosialisasi dan enkulturasi yang dialaminya. Manusia bertindak atau berperan dalam masyarakat sesuai dengan pengetahuan budayanya (cultural knowledge). Bagaimana orang membuat dan juga memaknai sebuah nasi tumpeng juga tergantung pada pengetahuan budaya tersebut. Struktur pengetahuan (knowledge structures) atau ‘skemata’ (schemata) tiap orang tidak sama persis karena tergantung pada proses pembelajarannya. Manusia belajar dan mendapat pengetahuan melalui proses sosialisasi (socialization) dan proses enkulturasi (enculturation). Melalui proses sosialisasi seseorang mempelajari peran dan tugas-tugas yang rutin dalam bermasyarakat. Dari proses belajar tersebut seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang berkaitan dengan situasi. Pengetahuan tentang situasi inilah yang membuat orang dapat atau berperilaku sesuai dengan situasi atau peran rutin yang harus dimainkannya. Melalui proses sosialisasi seseorang belajar tentang ‘pengetahuan situasi’ (situation knowledge). Selanjutnya pengetahuan tentang situasi tersebut oleh individu diinternalisasikan dalam diri pribadinya lewat proses yang disebut enkulturasi (enculturation). Lewat proses enkulturasi ini seseorang mempelajari pengetahuan dan tindakan dalam konteks yang lebih luas (Holland 1985:401). Dari proses enkulturasi inilah seseorang mendapatkan apa yang disebut ‘pengetahuan personal’ (personal knowledge). Dua jenis pengetahuan tersebut, yaitu pengetahuan situasi dan pengetahuan personal akan menghasilkan struktur pengetahuan atau ‘skemata’ pada diri seseorang. Pemahaman terhadap struktur pengetahuan atau ‘skemata’ pada diri seseorang biasanya dilakukan melalui ‘penelitian atribusi’ (attribution research). Asumsi yang dikembangkan dalam ‘penelitian atribusi’ adalah yang menyatakan bahwa tindakan seseorang dapat dipahami dari aspek situasi dan aspek personalnya. Bagi orang Jawa, pembuatan tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng bisa berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena tujuannya berbeda, maka secara visual bentuk tumpeng tersebut juga bervariasi. Secara fisik, tumpeng adalah sebuah artifak (artifact) yaitu karya ciptaan manusia. Sebuah artifak biasanya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan tujuan pembuatnya. Tujuan orang membuat nasi tumpeng bermacam-macam antara lain: sebagai sajen (sesaji), sadaqah (sedekah) dan punjung (bulubekti). Sajen (sesaji) merupakan pemberian manusia kepada yang maha kuasa. Sadaqah (sedekah) merupakan pemberian (gift) dari orang yang kaya kepada orang miskin atau orang dari strata atas ke strata bawah, dari atasan kepada bawahan. Pemberian tersebut bisa diartikan sebagai tanda kasih sayang atasan kepada bawahannya. Punjung (bulubekti) merupakan pemberian orang dari strata rendah ke strata yang lebih tinggi misalnya pemberian anak kepada orang tuanya sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian. Makna pemberian tersebut tentu saja lebih bersifat spiritual dari pada material. Pendapat ini tentu saja hanya berdasarkan satu sudut pandang dan tentu tidak harus demikian. Tumpeng, kecuali mempunyai makna spiritual juga mempunyai makna material. Kajian berdasarkan pertimbangan untung rugi (costs and benefits) seperti yang dilakukan para penganut pandangan ‘materialisme budaya’ (cultural materialism) menunjukkan bahwa di balik kegiatan saling memberi, misalnya kegiatan tukar-menukar cindera mata, atau benda lainnya, mengandung aspek ekonomi atau kegiatan yang dapat memberi keuntungan material (Miller 1987: 120). Tumpeng adalah artifak atau hasil pekerjaan manusia yang termasuk dalam kategori ‘budaya rupa’ (visual culture). Semua karya visual mengandung pesan sesuai dengan bentuk dan konteksnya. Sebagai media komunikasi, tumpeng mengandung berbagai pesan atau informasi baik mengenai subjek penyampai pesan maupun subjek sasaran. Dari tumpeng yang mereka buat dapat diketahui siapa mereka dan siapa pula sasarannya. Tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata bawah akan berbeda dengan tumpeng yang dibuat oleh orang dari strata atas. Tumpeng sebagai sajen, berbeda dengan tumpeng sebagai sadaqah maupun punjung. Secara umum bentuk tumpeng tampak seragam dengan sedikit variasi sesuai dengan selera dan tujuan pembuatnya. Keseragaman bentuk tersebut kecuali terikat oleh norma tradisi juga mengandung aspek komunikasi. Sebuah komunikasi akan berhasil jika menggunakan prinsip pengulangan (redundansi). Redundansi atau pengulangan adalah hal yang dapat diramalkan (predictable) atau konvensional dalam suatu pesan. Lawan dari redundansi tersebut adalah entropi (Fiske, 1990). Prinsip pengulangan tersebut dilakukan untuk mengurangi tingkat entropi dalam komunikasi. Tujuan komunikasi adalah untuk mengurangi tingkat entropi dari positif ke arah negatif atau ‘negentropi’ (negentropy). Komunikasi yang ‘negentropi’ adalah komunikasi yang efektif dan efisien yang ‘prediktabel’ (Fiske 1990; Bell 1964). Pesan yang disampaikan dalam bentuk yang kacau (disorder) akan menghasilkan tingkat entropi tinggi yaitu tidak dipahaminya pesan yang disampaikan. Media penyampai pesan yang bentuknya kacau tentu membutuhkan banyak energi untuk memahaminya. Hal ini tentu berbeda dengan media komunikasi yang terorganisasi atau terancang dengan baik. Penggunaan bentuk-bentuk yang konvensional memudahkan dalam komunikasi. Karya seni yang menggunakan bentuk-bentuk yang tidak konvensional akan sulit dipahami misalnya karya seni modern. Sebaliknya karya seni klasik atau tradisional, karena bentuknya konvensional maka mudah dipahami. Dengan demikian sebagai media komunikasi, bentuk tumpeng yang konvensional akan mengurangi tingkat entropi dan meningkatkan ‘redundansi’ meskipun komunikasi yang demikian sesungguhnya tidak mempunyai nilai berita (news). Meskipun nilai beritanya rendah, tumpeng sebagai sarana komunikasi budaya sangat efektif dan penting sebagaimana penggunaan seni tradisional untuk menyebarkan informasi pembangunan. Tumpeng dan Psikoanalisis Menurut pandangan psikoanalisis, perilaku manusia dipengaruhi oleh aspek atau naluri bawah sadar. Dengan kata lain, orang seringkali tidak menyadari motif tindakan yang dia lakukan sendiri. Orang tidak menyadari mengapa ia membentuk nasi tumpeng seperti kerucut atau gunungan. Menurut Freud (lihat Danandjaja 1988:29) manusia memiliki dua macam dorongan yaitu dorongan untuk melindungi diri dan dorongan untuk berkembang biak. Dorongan untuk berkembang biak itu disebut libido atau tenaga seks (sexual energy). Libido mempunyai cakupan luas yaitu kecuali nafsu birahi, juga rasa kasih sayang ibu terhadap anak, rasa sayang terhadap teman yang dikasihinya. Bahkan rasa birahi tidak saja ditujukan pada lawan jenis tetapi juga pada sesama jenis bahkan pada diri sendiri. Dalam keadaan yang menyimpang bahkan ditujukan pada binatang atau benda-benda mati. Perilaku seksual juga tidak selalu berupa hubungan antar kelamin tetapi juga bubungan dengan alat tubuh lainnya misalnya kelamin dengan mulut (oral), kelamin dengan dubur (anal) dan sebagainya. Perilaku seksual yang tidak lazim tersebut sebenarnya sudah terjadi ketika anak masih kecil misalnya ketika anak memain-mainkan alat kelaminnya saat kencing, atau memainkan duburnya ketika buang air besar. Juga menurut Freud, libido berpusat pada tiga daerah erotik (erotic zones) yaitu: mulut, dubur, dan genital. Kenikmatan seksual pertama kali diperoleh anak dari mulut, kemudian dubur dan selanjutnya genital (Danandjaja 1988). Kenikmatan erotis pertama yang diperoleh anak yaitu ketika anak menjusu ibunya. Itulah sebabnya segala sesuatu yang dipegang anak akan selalu dimasukkan ke mulutnya tidak peduli benda itu enak dimakan atau tidak. Tahapan berikutnya, anak merasakan kenikmatan ketika buang air besar atau sesuatu yang keluar dari duburnya termasuk kentut. Bahkan kesukaan anak terhadap musik menurut Freud dimulai ketika anak tertarik dan menikmati suara kentutnya (lihat Ehrenzweig 1971). Ada juga yang berpendapat bahwa rasa musikal anak dimulai ketika ia sedang menyusu dan pada saat itulah dia mendengar irama detak jantung sang ibu. Mana yang lebih dulu membentuk cita rasa musikal, suara kentut atau denyut jantung sang ibu, tampaknya perlu penelitian lebih lanjut. Bagi anak akan tampak bahwa segala sesuatu yang indah berawal dari sebuah kenikmatan, yaitu kepuasan akibat terlampiaskannya dorongan seksual atau libido meskipun hal itu tidak disadarinya. Dorongan seksual anak tentu saja tidak pernah disadari karena bersifat laten dan pelampiasannya tidak mengenal norma. Memain-mainkan alat kelamin sendiri bagi anak bukan sesuatu perbuatan yang menyimpang, lain halnya jika itu dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Bagi orang dewasa pelampiasan nafsu seksual seringkali sangat terselubung dan bahkan simbolis. Perilaku tersebut berjalan seiring dengan makin berkembangnya factor ego dan superego seseorang. Id atau dorongan bawah sadar tidak pernah reda meskipun ego dan superego seseorang berkembang pesat. Ego adalah sistem kognisi seseorang, sedangkan superego adalah sistem norma yang diperoleh atau dipelajari seseorang sepanjang hidupnya. Orang yang egonya sangat kuat bisa menjadi manusia egois yang tidak peduli pada orang lain. Demikian juga orang yang memiliki superego yang sangat kuat akan menjadi altruis yang tidak lagi mementingkan kepentingan diri sendiri. Pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan bagi orang Jawa dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Dengan kata lain, tumpeng adalah simbol kejantanan. Perlu diketahui bahwa kemaskulinan bagi orang Jawa merupakan hal penting karena lakilaki dipandang sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai kanca wingking. Sikap tersebut tentu saja tidak berarti mendudukkan kaum perempuan dalam posisi marginal. Justru perempuan atau ibu rumah tangga dalam hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari struktur keanggotaan keluarga seutuhnya. Jika yang di belakang adalah istri maka yang di depan adalah suami dan yang di tengah tentu saja anak. Bagi orang Jawa, suatu keluarga menjadi lengkap jika ketiga unsur tersebut ada. Anak menjadi bagian penting dari struktur keluarga sehingga dalam pembicaraan sehari-hari atau jika kita bertemu dengan teman lama, yang ditanyakan biasanya adalah jumlah anak kita, jadi bukan penghasilan kita. Kerucut atau gunungan sering diabstraksikan menjadi bentuk segitiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik tersebut bisa berarti dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segitiga tersebut merupakan simbolisasi dari struktur keluarga Jawa yang terdiri atas: ayah, ibu, dan anak. Tumpeng tentu saja tidak selalu menjadi simbolisasi dari kemaskulinan orang Jawa karena bentuk tumpeng di Jawa ternyata cukup bervariasi. Nasi tumpeng ternyata tidak selalu berbentuk kerucut tetapi ada yang berbentuk setengah bola atau seperti bentuk kubah masjid. Tumpeng yang bentuknya setengah bola tentu saja tidak tepat jika dianggap sebagai simbol kejantanan. Bentuk tumpeng yang setengah bola tersebut akan lebih tepat jika dianggap sebagai simbol kefemininan. Gunung memang tidak harus dilukiskan dengan bentuk kerucut tetapi bisa dengan bentuk parabola. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan bahkan setelah mati dikuburkan. Dalam kesenian wayang kulit, dikenal istilah gunungan lanang dan gunungan wadon. Bentuk gunungan tersebut sebenarnya hampir sama, bedanya pada gunungan lanang terdapat gambar atau pahatan rumah joglo, sedangkan pada gunungan wadon gambar rumah joglo tersebut diganti dengan gambar kolam atau blumbang. Gunung dapat disamakan dengan perut ibu atau kandungan (womb) tempat kita disemaikan dan dari sana pulalah kita dilahirkan (Ehrenzweig1971:130). Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Bagi anak kecil kadang muncul dorongan untuk kembali ke rahim ibunya dan itu tentu saja tidak disadari. Dorongan tersebut hampir sama ketika ada orang yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah tinggal lama di perantauan bahkan jika meninggal dunia ada yang ingin dikubur di tempat kelahirannya. Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak masa kecil. Kehangatan pelukan ibu, detak jantung, nikmatnya air susu ibu dan lain sebagainya tentu saja akan melekat dan tersimpan dalam alam bawah sadar kita dan hal itu sering kali mendorong kita untuk mencari jalan keluarnya. Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan norma. Dengan membuat tumpeng dan menyantapnya maka dorongan bawah sadar atau id tersebut dapat tersalurkan. Mengapa nasi tumpeng kecuali putih seringkali berwarna kuning? Persoalan warna kecuali mengandung nilai estetis juga simbolis. Secara visual tumpeng yang berwarna putih dengan variasi warna lauk-pauknya tentu akan tampak lebih indah dibanding dengan warna kuning. Dengan demikian penggunaan warna kuning pada tumpeng tentu mempunyai tujuan tertentu. Kita tahu bahwa kuning dalam kategori warna menurut budaya Jawa adalah sama dengan warna emas, yaitu sesuatu benda yang berharga. Benda yang terbuat dari emas merupakan benda berharga yang biasanya dimiliki oleh para raja, bangsawan, orang kaya, dan para dewa. Dengan demikian tumpeng dengan warna kuning merupakan simbol sesaji atau penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Kuning juga identik dengan warna kulit seorang gadis yang dipandang cantik Gadis Jawa yang dipandang cantik dan juga seksi biasanya dibayangkan atau dilukiskan sebagai perempuan yang berkulit kuning atau kuning langsat. Penari wanita Jawa biasanya sebelum menari harus berdandan dan memakai lulur supaya kulitnya tampak kuning. Warna yang sama juga digunakan pada wayang kulit terutama untuk tokoh perempuan, kesatria, dan para raja dengan menggunakan prada (emas). Warna kuning secara psikologis juga menunjukkan sesuatu yang telah masak atau telah cukup umur misalnya warna buah-buahan atau dedaunan. Padi yang telah siap dipanen adalah padi yang warnanya telah berubah dari hijau menjadi kuning. Demikian juga warna buah yang siap dipetik atau telah matang biasanya berwarna kuning. Ikan yang telah dimasak baik digoreng maupun dipanggang akan berwarna kuning. Demikian juga telor mata sapi yang paling enak adalah bagian yang berwarna kuning. Jadi warna kuning pada makanan merupakan tanda bahwa makanan tersebut enak untuk dimakan. Warna-warna yang digunakan pada tumpeng adalah warna-warna yang dipersepsi sebagai warna makanan yaitu: putih, hijau, kuning, sedikit merah dan hitam. Warna biru tidak dikenal sebagai warna makanan, maka tidak ada dalam sajian nasi tumpeng maupun dalam masakan lainnya. Menurut psikoanalisis dorongan untuk mendapatkan makanan adalah sama dengan dorongan seksual yang berada dalam wilayah bawah sadar. Dorongan tersebut dapat muncul sebagai ekspresi seni misalnya pada lukisan buah-buahan atau lukisan yang menggambarkan situasi meja makan. Orang yang haus sayuran akan menyukai lukisan pemandangan, demikian juga orang yang haus daging akan menyukai lukisan tentang binatang dan lain sebagainya. Bagi anak kecil, antara bentuk gunung dengan bentuk payudara sulit dibedakannya. Anak kecil tidak bisa membedakan antara ujung jempol tangannya dengan puting susu ibunya. Mengisap jempol tangannya sendiri bagi anak kecil sama nikmatnya dengan mengisap puting susu ibunya. Ia juga tidak bisa membedakan antara buah semangka dan pecahan gelas, sehingga semuanya akan dimasukkan ke dalam mulutnya meskipun itu bisa berbahaya. Sikap atau pandangan tidak membedakan (undifferentiated vision) tersebut juga terdapat pada orang dewasa ketika mereka tidak membedakan antara gunung dengan rahim perempuan atau ketika hendak membedakan antara bentuk tumpeng yang berwarna kuning dengan bentuk payudara. Tumpeng sebagai simbol keperempuanan tampaknya juga tidak dibedakan dengan tumpeng sebagai simbol kejantanan. Inilah yang disebut multiplicity of symbolism. Sikap tidak membedakan tersebut kecuali ditentukan oleh aturan main (rule of the game) atau konvensi, juga oleh faktor bawah sadar yang terbentuk pada masa kanak-kanak. Charles Darwin (dalam Arnheim 1966:56) juga mengatakan bahwa ekspresi seseorang mencakup keduanya, baik instingtif dari alam bawah sadar maupun konvensi dari hasil belajar. Mengapa sebelum dimakan, tumpeng harus dipotong pada bagian ujungnya? Jika tumpeng dipandang sebagai simbol kelamin laki-laki maka tidak jauh beda dengan acara khitanan. Khitan dapat dipandang sebagai simbol bahwa seorang anak laki-laki telah menginjak dewasa atau dengan kata lain telah siap melakukan hubungan seksual. Kegiatan memotong tumpeng setelah selesai melakukan upacara juga berarti merusak bentuk tumpeng tersebut dan sekaligus memakannya. Anak kecil kadang melakukan kegiatan destruktif dengan menggigit puting susu ibunya dengan maksud untuk melampiaskan rasa kekesalan atau rasa greget terhadap sesuatu yang ada dimulutnya itu. Rasa kesal, penasaran terhadap sesuatu juga dirasakan oleh orang dewasa dan itu juga dilakukan terhadap tumpeng. Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak terhadap sesuatu dalam upaya memuaskan libidonya. Membuat tumpeng, memotong, dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dari masa kanak-kanak dan juga ruang katarsis bagi orang dewasa Jawa. Simpulan Tumpeng sebagai ekspresi budaya mengandung banyak makna. Melalui pendekatan psikologi antropologi kita dapat mengungkap makna-makna tersebut. Tentu saja pendekatan ini bukan yang terbaik tetapi paling tidak dapat memberi wawasan baru tentang perilaku manusia dan masyarakat lingkungannya. Kajian terhadap tumpeng dari kacamata religi, mitos, maupun semiotika juga sudah sering dilakukan. Tulisan ini tidak begitu banyak mengupas hal tersebut kecuali untuk menghindari redundansi juga agar tulisan ini lebih terfokus pada hal-hal yang belum banyak dibicarakan oleh para pakar. Manusia adalah pribadi yang bertindak sesuai dengan sistem simbol atau aturan main yang dimilikinya. Tindakan manusia kecuali ditentukan oleh faktor biologis juga oleh faktor psikologis dan faktor kultural. Kaitan antara personalitas dengan sistem sosial sangat erat karena personalitas dapat mempengaruhi sistem sosial atau sebaliknya. Meskipun demikian keduanya bukanlah suatu entitas yang sama. Keduanya memiliki kesamaan (homologies) namun tidak inklusif. Ritual tumpengan merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi sosial tertentu berdasarkan pranata yang berlaku. Ritual tersebut kecuali merupakan realisasi dari sebuah sistem sosial juga merupakan sarana untuk mencapai tujuan dari sistem sosial itu sendiri. Makna ritual tumpengan bagi orang satu bisa saja berbeda bagi orang lain meskipun keduanya berada dalam komunitas yang sama. Hal tersebut terjadi karena tiap orang mempunyai latar belakang sejarah dan kepribadian yang berbeda. Makna ritual tumpengan tidak bisa ditafsirkan secara seragam hanya dengan mengacu pada satu sistem simbol atau pranata yang berlaku. Bisa saja orang membuat tumpeng dengan bentuk seperti itu hanya untuk kepentingan estetis atau praktis dan ekonomis semata. Secara visual bentuk kerucut atau piramidal mengekspresikan kesatuan, keseimbangan, dan harmoni. Dengan kata lain, pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut agar tampak indah, kuat, atau kokoh dan menyenangkan. Bagi orang Jawa membuat tumpeng adalah kebiasaan atau tindakan berdasarkan tradisi. Meskipun demikian tujuan orang membuat tumpeng bisa berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Tujuan orang membuat nasi tumpeng bermacam-macam antara lain: sebagai sajen (sesaji), sadaqah (sedekah) dan punjung (bulubekti). Sajen (sesaji) merupakan pemberian manusia kepada Yang Maha Kuasa. Sadaqah (sedekah) merupakan pemberian (gift) dari orang yang kaya kepada orang miskin atau orang dari strata atas ke strata bawah, dari atasan kepada bawahan. Pemberian tersebut bisa diartikan sebagai tanda kasih sayang. Punjung (bulubekti) merupakan pemberian orang dari strata rendah ke strata yang lebih tinggi sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian. Pembuatan nasi tumpeng dengan bentuk kerucut atau gunungan bagi orang Jawa dapat dipahami sebagai simbolisasi dari kelamin laki-laki (phallus). Perlu diketahui bahwa kemaskulinan bagi orang Jawa merupakan hal penting karena laki-laki dipandang sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai kanca wingking. Kerucut atau gunungan sering diabstraksikan menjadi bentuk segitiga dengan satu ujung di atas sebagai puncak. Ketiga titik tersebut bisa berarti dua titik pada garis horizontal sebagai posisi ibu dan ayah sedangkan yang di puncak diduduki oleh anak. Jadi gunungan yang berbentuk segitiga tersebut merupakan simbolisasi dari struktur keluarga Jawa yang terdiri atas: ayah, ibu, dan anak. Gunung memang tidak harus dilukiskan dengan bentuk kerucut tetapi bisa dengan bentuk parabola. Gunung juga bisa berarti bumi atau ibu pertiwi, yaitu tempat kita dilahirkan, dibesarkan, dan bahkan setelah mati dikuburkan. Dengan demikian bentuk nasi tumpeng yang parabolik itu merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Bagi anak kecil kadang muncul dorongan untuk kembali ke rahim ibunya dan itu tentu saja tidak disadari. Dorongan untuk kembali ke pelukan seorang ibu adalah dorongan bawah sadar yang diperoleh anak sejak masa kecil. Penyaluran terhadap hasrat bawah sadar tersebut bermacam-macam, bisa lewat mimpi, lewat karya seni atau melalui kegiatan lainnya. Warna yang digunakan pada tumpeng adalah warna-warna yang dipersepsi sebagai warna makanan yaitu: putih, hijau, kuning, sedikit merah, dan hitam. Menurut psikoanalisis dorongan untuk mendapatkan makanan sama dengan dorongan seksual yang berada dalam wilayah bawah sadar. Dengan kata lain perilaku orang dewasa terhadap tumpeng tidak jauh berbeda dengan perilaku anakanak. Membuat tumpeng, memotong dan kemudian memakannya merupakan ekspresi bawah sadar dan juga katarsis bagi orang Jawa. Daftar Pustaka Arnheim, R.1966. Toward A Psychology of Art: Collected Essays. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Bell, B.D. 1962. Intelligent Machines: An Introduction to Cybernetics. New York: Blaisdell Publishing Company. Danandjaja, J. 1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers Dougherty, Y. W. D. 1985. Directions in Cognitive Antropology. Chicago: University of Illinois Press Dundes, A. 1980. Interpreting Folklore. Bloomington: Indiana University Press. Ehrenzweig, A. 1971. The Hidden Order of Art: A Study in the Psychology of Artistic Imagination. Berkley and Los Angeles: University of California Press. Fiske, J. 1990. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yosaf Iriantoro (penerjemah). Bandung: Jalasutra. Holland, D.C. 1985. “From Situation to Impression: How Americans Get to Know Themselves and One Another”. In Dougherty, Y. W. D. 1985. Directions in Cognitive Antropology. Chicago: University of Illinois Press Kaplan, B. (ed). 1961. Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher. Kaplan, B. 1961. “Personality Study and Culture”. In Kaplan, B. 1961. Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher. Miller, D. 1987. Material Culture and Mass Consumption. Cambridge: Basil Blackwell . Mirzoeff, N. 1998. Visual Culture Reader. London: Routledge. Parsons, T. 1964. The Social System. New York: The Free Press Singer, M. 1961. “A Survey of Culture and Personality Theory and Research”. In Kaplan, B. 1961. Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher. Spiro, M. E. 1961. “Social Systems, Personality, and Functional Analysis”. In Kaplan, B. 1961. Studying Personality Cross Culturally. NewYork: Harper & Row, Publisher.