BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Teori Kedaulatan Rakyat a. Istilah dan Pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga Kamus Hukum yang ditulis Sudarsono mengartikan kedaulatan (souvereignty) sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah dan sebagainya. Sedangkan Jimly Asshiddiqiemendefinisikan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara (state) (Jimly Asshiddiqie, 2011: 95). Terang bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara dan menjadi atribut bagi negara sebagai organisasi masyarakat paling besar. Apabila dikaitkan dengan kata “rakyat”, berarti rakyatlah yang merupakan tempat yang melahirkan kekuasaan tertinggi. Dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat didefinisikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara yang dipegang atau terletak di tangan rakyat. Pada tataran praktis, kedaulatan rakyat merupakan gabungan keseluruhan dari kemauan masing-masing pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat tersebut ditentukan oleh suara terbanyak (Khairul Fahmi, 2011: 19). Kedaulatan rakyat juga biasa disebut dengan istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua suku kata, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti pemerintah (Subandi Al Marsudi, 2001: 81). Di samping itu, kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) (Stevanus Evan Setio, 2013: 16). 15 16 Yang dimaksudkan dengan sistem pemerintahan “dari rakyat” (government of the people) adalah bahwa suatu sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum (Stevanus Evan Setio, 2013: 16). Dengan demikian adanya pemerintahan yang dipilih oleh dan dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan yang bersangkutan. Konstitusi Indonesia yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah mengatur mengenai kedaulatan rakyat di Indonesia sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga yaitu bahwa “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. b. Prinsip-prinsip Kedaulatan Rakyat Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 Hatta berpendapat bahwa prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang mesti dijadikan pegangan menegakkan demokrasi adalah sebagai berikut: 1) Politik; kekuasaan negara ada pada rakyat dengan melalui pemilihan umum; 2) Ekonomi; gotong royong membangun masyarakat adil makmur di mana alat-alat produksi vital dikuasai oleh negara; 3) Sosial; sama rasa sama rata, di mana tidak berlaku penindasan dan penghisapan “atas sesama manusia”; 4) Kebudayaan: kebebasan menganut agama, kebebasan menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu; 5) Perikemanusiaan; hubungan persaudaraan antara bangsabangsa di seluruh dunia atas dasar persamaan status, serta menentang penjajahan dalam bentuk apa pun atas sesuatu bangsa oleh bangsa lain (Khairul Fahmi, 2011: 140). 17 Berdasarkan uraian di atas, prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi setidaknya ada empat, yaitu: kebebasan, kesamaan/kesetaraan, suara mayoritas, dan pertanggung jawaban (Khairul Fahmi, 2011: 37). Masing-masing prinsip tersebut akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini: 1) Prinsip Kebebasan Kebebasan dalam kerangka batasan-batasan konstitusional dan hukum dapat ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28, Pasal 28E, Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) merupakan sebagian ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin setiap warga negara untuk menikmati kebebasan sebagai manusia. Dalam hal ini Khairul Fahmi menuturkan bahwa : Bukan hanya bebas “dari” ancaman atau tindakan yang dapat merugikan kehidupannya, tetapi juga bebas “untuk” berbuat segala sesuatu yang menjadi haknya.Dengan diatur dan dijaminnya kebebasan dalam konstitusi negara, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan bebas berbuat apa saja untuk kebaikan hidupnya dalam bingkai konstitusi dan hukum. Dengan demikian secara normatif dan konseptual, UUD 1945 menganut prinsip kebebasan sebagai salah satu prinsip esensial kedaulatan rakyat yang dianutnya (Khairul Fahmi, 2011: 141). 2) Prinsip Persamaan atau Kesetaraan Prinsip persamaan juga telah diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) merupakan beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap rakyat mesti mendapatkan perlakuan sama, tanpa diskriminasi (Khairul Fahmi, 2011: 142). Jaminan terhadap kebebasan 18 dan persamaan tidak hanya sampai di sana. UUD 1945 pasal 28 I ayat (4) juga memberikan jaminan bahwa kekuasaan negara harus dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak melanggar hak asasi manusia. Bahkan UUD 1945 membebankan kepada negara, terutama pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi setiap warga negara. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa prinsip kebebasan dan persamaan juga prinsip kedaulatan rakyat yang dianut UUD 1945. Dianutnya prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 diiringi dengan pengaturan tentang hak asasi manusia yang memberi jaminan terhadap kebebasan dan kesamaan yang menjadi prinsip esensial kedaulatan rakyat itu sendiri. 3) Prinsip Suara Mayoritas Kalau UUD 1945 sudah menganut dua prinsip esensial demokrasi, maka secara linear, UUD 1945 juga menganut prinsip suara terbanyak sebagai cara mewujudkan dua prinsip itu (Khairul Fahmi, 2011: 143). Banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan rujukan untuk mengklaim bahwa UUD 1945 menerapkan prinsip suara terbanyak dalam pengambilan keputusan. Pasal 2 ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan (4), Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7), Pasal 37 ayat (4) adalah beberapa pasal yang dapat disebutkan sebagai penerapan prinsip suara terbanyak. Terkait mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan rakyat secara luas dan langsung, UUD 1945 setelah perubahan memuat ketentuan tentang pemilihan 19 umum secara khusus (Khairul Fahmi, 2011: 144). Dalam hal ini Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa: Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan rumusan kedaulatan rakyat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dengan adanya perubahan rumusan tentang kedaulatan, aliran mandate kedaulatan yang dimiliki rakyat dapat mengalir langsung secara periodik kepada lembaga-lembaga perwakilanrakyat dan kepala pemerintahan (Presiden) melalui proses pemilihan umum yang langsung, bebas, dan rahasia, jujur dan adil (dalam Khairul Fahmi, 2011: 145). 4) Prinsip Pertanggungjawaban Dalam konsep kedaulatan rakyat, rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada pihak-pihak yang dipercaya untuk menyelenggarakan negara, baik itu legislatif maupun eksekutif. Oleh karena kekuasaan diberikan oleh rakyat, maka pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat. Berdasarkan itulah Miriam Budiardjo dan juga S. W.Couwenberg berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan salah satu prinsip demokrasi. Sehingga setiap penyelenggara (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga atau komisi independen), secara konstitusional diamanatkan untuk mempertanggung- jawabkan mandat yang dipikulnya. Pertanggungjawaban atau akuntabilitas secara sederhana dapat dipahami sebagai pertanggungjawaban pejabat publik terhadap rakyat yang telah memberinya mandat untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka. Setiap penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga komisi independen), secara konstitusional diamanatkan untuk mempertanggung- jawabkan mandat yang dipikulnya (Khairul Fahmi, 2011: 20 146). Baik pertanggungjawaban secara vertikal kepada rakyat, maupun secara horizontal antar sesama penyelenggara kedaulatan rakyat. Begitu juga dengan anggota DPR. Dalam Pasal 22B UUD 1945, anggota DPR juga harus mempertanggungjawabkan mandat rakyat yang diberikan kepadanya pada saat pemilihan umum. Salah satu bentuk pertanggungjawaban dimaksud adalah seorang anggota DPR dapat diberhentikan apabila dia tidak lagi sanggup melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Yang terpenting dalam hal ini, UUD 1945 mengatur bahwa setiap anggota DPR harus bertanggung jawab atas jabatan yang diembannya. Sehingga dapat difahami bahwa mandat rakyat yang diberikan lewat pemilihan umum bukanlah mandat lepas yang berjalan begitu saja, tetapi mandat yang punya konsekuensi terhadap sebuah pertanggungjawaban (Khairul Fahmi, 2011: 147). 2. Tinjauan tentang Partai Politik a. Pengertian Partai Politik Berikut disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik. Carl J. Friedrich mengatakan: “A political party isa group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages” (Carl J. Friedrich, 1967:419). Sedangkan menurut R.H. Soltau partai politik adalah, A group of citizens more or less organized, who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general policies (Roger H. Soltau, 1961: 199). Sigmund 21 Neumann dalam karangannya Modern Political Parties mengemukakan definisi partai sebagai berikut: A political party is the articulate organization of society's active political agents, those who are concerned with the control of governmental power and who compete for popular support with another group or groups holding divergent views (Sigmund Neumann, 1963: 352). Sedangkan dari sisi etimologis, menurut Laica Marzuki, kata partai berasaldari bahasa latin part, yang berarti bagian. Karena hanya suatu bagian,membawa konsekuensi pengertian adanya bagian-bagian lain. Oleh karenaitu, jika hanya terdapat satu partai dalam suatu negara berarti tidak sesuaidengan makna etimologis dari partai itu sendiri (dalam Muchamad Ali Safa’at, 2011: 30). Pengertian dari sisi etimologis juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa: Partai berasal dari akar kata “part” yang berarti bagian atau golongan. Kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan. Pengelompokan itu bentuknya adalah organisasi secara umum, yang dapat dibedakan menurut wilayah aktivitasnya, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik (dalam Muchamad Ali Safa’at, 2011: 30). Partai politik merupakan sebuah organisasi untuk memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan struktur kekuasaan dan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaannya di dalam pemilihan umum (Sigit Pamungkas, 2011: 5). Menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik 22 anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945. b. Fungsi Partai Politik Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: a. komunikasi politik, b. sosialisasi politik (political socialization), c. rekruitmen politik (political recruitment), dan d. pengatur konflik (conflict management) (Miriam Budiarjo, 2005: 163). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi a. mobilisasi dan integrasi, b. sarana pembentukan pengaruh perilaku memilih (voting patterns), c. sarana rekruitmen politik, dan d. sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan (dalam Jimly Asshiddiqie, 2005: 59). Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik berfungsi sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. Partsipasi politik warga negara Indonesia; dan e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. 23 c. AD/ART Partai Politik Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik memberikan beberapa syarat dalam proses pembentukan partai politik, antara lain seperti yang dijelaskan dalm ayat (3) bahwa, “Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART kepengurusan Partai Politik tingkat pusat”. Dalam ayat selanjutnya dijelaskan, “AD sebagaiaman dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. Asas dan ciri Partai Politik; b. Visi dan misi Partai Politik; c. Nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. Tujuan dan fungsi Partai Politik; e. Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. Kepengurusan Partai Politik; g. Mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik; h. Sistem kaderisasi; i. Mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. Peraturan dan keputusan Partai Politik; k. Pendidikan politik; l. Keuangan Partai Politik; m. Mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik. AD dan ART Partai Politik dapat dilakukan perubahan sesuai dengan aturan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menegaskan: (1) AD dan ART Partai Politik dapat diubah sesuai dengan dinamika Partai Politik. (2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. 24 (3) Perubahan AD dan ART sebagaiman dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. (4) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART. 3. Tinjauan Tentang Hak Recall a. Istilah dan Pengertian Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari kata“re” yang artinya kembali, dan “call” yang artinya panggil atau memanggil.Jika kata ini disatukan maka kata recall ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali (Ni’matul Huda, 2011: 461). Haris munandar mengatakan: Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik yang digunakan untuk menerangkan suatu peristiwa penarikan seorang atau beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan (melalui proses pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu hak yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya (dalam Ni’matul Huda, 2011: 461). Hak recall didefinisikan oleh sejumlah ahli, antara lain Mh. Isnaeni mengatakan: Hak recall pada umumnya merupakan suatu “pedang Damocles” bagi tiap-tiap anggota DPR. Dengan adanya hak recall maka anggota DPR akan lebih banyak menunggu petunjuk dan pedoman pimpinan fraksinya daripada ber-oto-aktivitas. Melakukan otoaktivitas yang tinggi tanpa restu pimpinan fraksi kemungkinan besar melakukan kesalahan fatal yang dapat berakibat recalling. Karena itu untuk keamanan keanggotaannya lebih baik menunggu apa yang diinstruksikan oleh pimpinan fraksinya (Mh. Isnaeni, 1982: 57-58) Moh. Hatta juga pernah mengatakan: Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau 25 demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak recallini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat totaliter (dalam Deliar Noer, 1989: 305-306). Menurut BN. Marbun, recall adalah suatu hak untuk mengganti anggota DPR oleh induk organisasinya (BN.Marbun, 1996: 43). Bintan R. Saragih, mengartikan recall adalah hak suatu organisasi politik yang mempunyai wakil di MPR, DPR, dan DPRD untuk mengganti wakil-wakilnya di lembaga perwakilan sebelum yang bersangkutan habis keanggotaannya, dengan terlebih dahulu bermusyawarah dengan pimpinan lembaga perwakilan tersebut. Adapun Moh. Mahfud MD., mengartikan recall adalah hak untuk mengganti anggota lembaga permusyawaratan/perwakilan dari kedudukannya sehingga tidak lagi memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut (dalam Ni’matul Huda, 2011: 462). b. Sejarah dan Perkembangan Hak Recall di Indonesia Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10 Tahun 1966 yang mengatur tentang Kedudukan MPRS dan DPRGR. UU ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama (Ni’matul Huda, 2011: 462). Bintan R. Saragih dalam pendapatnya menyatakan: Pencantuman hak recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan Soekarno. Itulah mengapa hak recall ini diatur dalam suatu UU bukan dalam Peraturan Tata Tertib DPRGR, didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Terib hanya mengikat secara intern sedangkan UU akan megikat juga ekstern Parpol atau Organisasi Politik yang mempunyai kursi di DPR-GR (dalam Ni’matul Huda, 2011: 462). Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut: 26 a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan; b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya; c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 telah mengalami perubahan tiga kali dan yang terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985. Di dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1985 ditentukan sebagai berikut, “Hak mengganti wakil organisasi peserta pemilu atau golongan karya ABRI ada pada organisasi peserta pemilu yang bersangkutan atau pada Panglima Angkatan Bersenjata, dan pelaksanaannya terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan Pimpinan DPR”. Selanjutnya dalam ayat (6) dinyatakan bahwa tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, sejumlah partai politik yang pernah melakukan recalling terhadap anggota partainya di parlemen antara lain: Pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di bawah kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan recall untuk Syarifudin Harahap, Tamim Achda. Murtadho Makmur, Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, dan Ruhani Abdul Hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun, usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984 hingga Maret 1985 ditanggapi dingin oleh Pimpinan DPR waktu itu (Amir Machmud) dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh pimpinan DPR kepada Presiden.Kemudian pada tahun 1995 Sri Bintang Pamungkas di-recall oleh Fraksi 27 Persatuan Pembangunan (DPR Periode 1992-1998) denganalasan melakukan “dosa politik” (melanggar tata terib partai). Usulan FPP disetujui oleh Ketua DPR Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. Kedua, Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di bawah kepemimpinan Seonawar Soekawati mengusulkan recalling untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw, Soelomo, Santoso Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng (semuanya anggota DPR periode 1977-1982). Kemudian ketika PDI dipimpin Soerjadi pernah diusulkan recalling untuk: Marsoesi, Dudy Singadila, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi, Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 1982-1987). Ketiga, Golongan Karya (Golkar). Recalling di tubuh Golkar pertama menimpa Rahman Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena dianggap terlibat kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada Bambang Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang dipandang melakukan “dosa politik” (melanggar tata tertib partai). Keempat, Fraksi ABRI. Pernah merecall anggotanya di MPR yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritis pembelian kapal perang bekas milik pemerintah Jerman (Ni’matul Huda, 2011: 463-464). Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan “lawan politik” di tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan, Anggota MPR berhenti antar waktu sebagai angggota karena: a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR; c. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Berhenti sebagai Anggota DPR; e. Tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib; 28 f. Dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat dengan keputusan MPR; g. Terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (1). Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di dalam Pasal 85 ayat (1) ditegaskan Anggota DPR berhenti antar waktu karena: a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c. Diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu yang diatur dalam ayat (2) karena: a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR; b. Tidak lagi memeneuhi syarat-syarat calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu; c. Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR; d. Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara. 4. Tinjauan tentang Dewan Perwakilan Rakyat 29 a. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pengaturan tentang Dewan Perwakilan Rakyat telah diatur dalam BAB VII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdiri dari 7 (tujuh) pasal dimulai dari Pasal 19 s.d. Pasal 22B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang, DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dilihat dari susunan dan kedudukannya, DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Secara kedudukan, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dari sisi keanggotaan, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat merupakan hasil dari pemilihan umum sebagaimana yang telah tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum”. Kemudian mengenai susunan DPR juga telah diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 19 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang menyatakan bahwa “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang”. Jika dilihat dari fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dilihat dari fungsinya, DPR mempunyai: 1) fungsi legislasi, 2) anggaran, dan 3) pengawasan. Sebagaimana yang telah diatur dalam 30 Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa: (1) DPR mempunyai fungsi: a. Legislasi; b. Anggaran; dan c. Pengawasan. Adapun penjelasan dari masing-masing fungsi DPR diatur dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yaitu: (1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. (3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan undangundang dan APBN. b. Hak dan Kewajiban Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain memiliki fungsi, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai beberapa hak antara lain hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas sebagaimana yang telah tercantum dalam ketentuan Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang menyatakan bahwa “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain 31 Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunia hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas”. Adapun penjelasan secara rinci mengenai hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. Hak DPR juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 79 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang menyatakan bahwa: (1) DPR mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. Adapun mengenai penjelasan dari masing-masing hak DPR sebagai berikut: 1) Hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yeng penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; 2) Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD). 3) Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: 32 a) Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; b) Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; c) Dugaan bahwa Presiden dan.atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (dalam Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD). Selanjutnya mengenai hak anggota DPR sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 80 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa: Anggota DPR mempunyai hak: a. mengajukan usul rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; h. keuangan dan administratif; i. pengawasan; j. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan; dan k. melakukan sosialisasi undang-undang. Selain memiliki hak, anggota DPR juga mempunyai kewajibankewajiban sebagai wakil rakyat di parlemen. Adapun kewajiban 33 anggota DPR telah diatur dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa: Anggota DPR mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja denga lembaga lain; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politik kepada konstituen di daerah pemilihannya. A. Kerangka Pemikiran 34 Keterangan: Dalam penulisan hukum ini, penulis membatasi tujuan dari penelitian yakni penguatan kelembagaan partai politik dan perlindungan hak konstitusional anggota parlemen. Karena dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi) menjamin hakhak konstitusional warga negara, yang juga didalamnya menjamin nilainilai serta prinsip kedaulatan rakyat yang tertuang dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dengan bunyi sebagai berikut “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah,Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang 35 Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur tentang hak recall yang diberikan kewenangannya kepada partai politik anggota parlemen atas pelanggaran terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan arah kebijakan partai politik. Inilah yang kemudian penulis jadikan rumusan masalah yang pertama, yakni tentang ketentuan hak recall oleh partai politik dalam kedua undang-undang tersebut. Dalam rumusan masalah yang kedua, penulis akan membuktikan apakah pelaksanaan recall yang dilaksanakan oleh partai politik terhadap anggota parlemen yang melanggar AD/ART dan kebijakan partai politik ini telah sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dan penjaminan hak konstitusional warga negara yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.