BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Teori Kedaulatan Rakyat
a. Istilah dan Pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga Kamus Hukum yang
ditulis Sudarsono mengartikan kedaulatan (souvereignty) sebagai
kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah dan sebagainya.
Sedangkan Jimly Asshiddiqiemendefinisikan kedaulatan sebagai
konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara (state)
(Jimly Asshiddiqie, 2011: 95).
Terang bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam
negara dan menjadi atribut bagi negara sebagai organisasi masyarakat
paling besar. Apabila dikaitkan dengan kata “rakyat”, berarti rakyatlah yang merupakan tempat yang melahirkan kekuasaan tertinggi.
Dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat didefinisikan sebagai
kekuasaan tertinggi dalam negara yang dipegang atau terletak di
tangan rakyat. Pada tataran praktis, kedaulatan rakyat merupakan
gabungan keseluruhan dari kemauan masing-masing pribadi, yang
jumlahnya dalam masyarakat tersebut ditentukan oleh suara terbanyak
(Khairul Fahmi, 2011: 19).
Kedaulatan rakyat juga biasa disebut dengan istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua suku kata, yaitu
demos, yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti pemerintah
(Subandi Al Marsudi, 2001: 81). Di samping itu, kedaulatan rakyat
dalam suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa
demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the
people) (Stevanus Evan Setio, 2013: 16).
15
16
Yang dimaksudkan dengan sistem pemerintahan “dari rakyat”
(government of the people) adalah bahwa suatu sistem pemerintahan di
mana kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan
yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum
(Stevanus Evan Setio, 2013: 16).
Dengan demikian adanya pemerintahan yang dipilih oleh dan dari
rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi terhadap kekuasaan
pemerintahan yang bersangkutan. Konstitusi Indonesia yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah
mengatur mengenai kedaulatan rakyat di Indonesia sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga yaitu bahwa
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”.
b. Prinsip-prinsip Kedaulatan Rakyat Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945
Hatta berpendapat bahwa prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang mesti dijadikan
pegangan menegakkan demokrasi adalah sebagai berikut:
1) Politik; kekuasaan negara ada pada rakyat dengan melalui
pemilihan umum;
2) Ekonomi; gotong royong membangun masyarakat adil
makmur di mana alat-alat produksi vital dikuasai oleh
negara;
3) Sosial; sama rasa sama rata, di mana tidak berlaku
penindasan dan penghisapan “atas sesama manusia”;
4) Kebudayaan: kebebasan menganut agama, kebebasan
menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu;
5) Perikemanusiaan; hubungan persaudaraan antara bangsabangsa di seluruh dunia atas dasar persamaan status, serta
menentang penjajahan dalam bentuk apa pun atas sesuatu
bangsa oleh bangsa lain (Khairul Fahmi, 2011: 140).
17
Berdasarkan uraian di atas, prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat atau demokrasi setidaknya ada empat, yaitu: kebebasan,
kesamaan/kesetaraan, suara mayoritas, dan pertanggung
jawaban (Khairul Fahmi, 2011: 37). Masing-masing prinsip
tersebut akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini:
1) Prinsip Kebebasan
Kebebasan
dalam
kerangka
batasan-batasan
konstitusional dan hukum dapat ditemukan dalam
ketentuan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945. Pasal 28, Pasal 28E, Pasal 28G
ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) merupakan sebagian
ketentuan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menjamin setiap warga negara
untuk menikmati kebebasan sebagai manusia. Dalam hal
ini Khairul Fahmi menuturkan bahwa :
Bukan hanya bebas “dari” ancaman atau tindakan yang
dapat merugikan kehidupannya, tetapi juga bebas
“untuk” berbuat segala sesuatu yang menjadi
haknya.Dengan diatur dan dijaminnya kebebasan dalam
konstitusi negara, maka rakyat sebagai pemegang
kedaulatan bebas berbuat apa saja untuk kebaikan
hidupnya dalam bingkai konstitusi dan hukum. Dengan
demikian secara normatif dan konseptual, UUD 1945
menganut prinsip kebebasan sebagai salah satu prinsip
esensial kedaulatan rakyat yang dianutnya (Khairul
Fahmi, 2011: 141).
2) Prinsip Persamaan atau Kesetaraan
Prinsip persamaan juga telah diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
antara lain dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H
ayat (2), Pasal 28I ayat (2) merupakan beberapa ketentuan
dalam UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap rakyat
mesti mendapatkan perlakuan sama, tanpa diskriminasi
(Khairul Fahmi, 2011: 142). Jaminan terhadap kebebasan
18
dan persamaan tidak hanya sampai di sana. UUD 1945
pasal 28 I ayat (4) juga memberikan jaminan bahwa
kekuasaan negara harus dilaksanakan dengan cara-cara
yang tidak melanggar hak asasi manusia. Bahkan UUD
1945 membebankan kepada negara, terutama pemerintah
untuk
melindungi,
memajukan,
menegakkan,
dan
memenuhi hak asasi setiap warga negara.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa
prinsip kebebasan dan persamaan juga prinsip kedaulatan
rakyat yang dianut UUD 1945. Dianutnya prinsip
kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945 diiringi dengan pengaturan tentang hak
asasi manusia yang memberi jaminan terhadap kebebasan
dan kesamaan yang menjadi prinsip esensial kedaulatan
rakyat itu sendiri.
3) Prinsip Suara Mayoritas
Kalau UUD 1945 sudah menganut dua prinsip
esensial demokrasi, maka secara linear, UUD 1945 juga
menganut
prinsip
suara
terbanyak
sebagai
cara
mewujudkan dua prinsip itu (Khairul Fahmi, 2011: 143).
Banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan
rujukan untuk mengklaim bahwa UUD 1945 menerapkan
prinsip suara terbanyak dalam pengambilan keputusan.
Pasal 2 ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan (4), Pasal 7B ayat
(3) dan ayat (7), Pasal 37 ayat (4) adalah beberapa pasal
yang dapat disebutkan sebagai penerapan prinsip suara
terbanyak.
Terkait mekanisme pengambilan keputusan yang
melibatkan rakyat secara luas dan langsung, UUD 1945
setelah perubahan memuat ketentuan tentang pemilihan
19
umum secara khusus (Khairul Fahmi, 2011: 144). Dalam
hal ini Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa:
Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan
rumusan kedaulatan rakyat dalam ketentuan Pasal 1
ayat (2) UUD 1945. Dengan adanya perubahan
rumusan tentang kedaulatan, aliran mandate kedaulatan
yang dimiliki rakyat dapat mengalir langsung secara
periodik kepada lembaga-lembaga perwakilanrakyat
dan kepala pemerintahan (Presiden) melalui proses
pemilihan umum yang langsung, bebas, dan rahasia,
jujur dan adil (dalam Khairul Fahmi, 2011: 145).
4) Prinsip Pertanggungjawaban
Dalam konsep kedaulatan rakyat, rakyatlah yang
memberikan
kekuasaan
kepada
pihak-pihak
yang
dipercaya untuk menyelenggarakan negara, baik itu
legislatif maupun eksekutif. Oleh karena kekuasaan
diberikan oleh rakyat, maka pemerintah harus bertanggung
jawab
kepada
rakyat.
Berdasarkan
itulah
Miriam
Budiardjo dan juga S. W.Couwenberg berpendapat bahwa
akuntabilitas merupakan salah satu prinsip demokrasi.
Sehingga setiap penyelenggara (eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan lembaga atau komisi independen), secara
konstitusional
diamanatkan
untuk
mempertanggung-
jawabkan mandat yang dipikulnya.
Pertanggungjawaban
atau
akuntabilitas
secara
sederhana dapat dipahami sebagai pertanggungjawaban
pejabat publik terhadap rakyat yang telah memberinya
mandat untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan
mereka.
Setiap penyelenggara negara (eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan lembaga komisi independen), secara
konstitusional
diamanatkan
untuk
mempertanggung-
jawabkan mandat yang dipikulnya (Khairul Fahmi, 2011:
20
146). Baik pertanggungjawaban secara vertikal kepada
rakyat,
maupun
secara
horizontal
antar
sesama
penyelenggara kedaulatan rakyat. Begitu juga dengan
anggota DPR. Dalam Pasal 22B UUD 1945, anggota DPR
juga harus mempertanggungjawabkan mandat rakyat yang
diberikan kepadanya pada saat pemilihan umum. Salah
satu bentuk pertanggungjawaban dimaksud adalah seorang
anggota DPR dapat diberhentikan apabila dia tidak lagi
sanggup melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat di
lembaga legislatif.
Yang terpenting dalam hal ini, UUD 1945 mengatur
bahwa setiap anggota DPR harus bertanggung jawab atas
jabatan yang diembannya. Sehingga dapat difahami bahwa
mandat rakyat yang diberikan lewat pemilihan umum
bukanlah mandat lepas yang berjalan begitu saja, tetapi
mandat
yang
punya
konsekuensi
terhadap
sebuah
pertanggungjawaban (Khairul Fahmi, 2011: 147).
2. Tinjauan tentang Partai Politik
a. Pengertian Partai Politik
Berikut disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik.
Carl J. Friedrich mengatakan:
“A political party isa group of human beings, stably organized with
the objective of securing or maintaining for its leaders the control
of a government, with the further objective of giving to members of
the party, through such control ideal and material benefits and
advantages” (Carl J. Friedrich, 1967:419).
Sedangkan menurut R.H. Soltau partai politik adalah, A group of
citizens more or less organized, who act as a political unit and who, by
the use of their voting power, aim to control the government and carry
out their general policies (Roger H. Soltau, 1961: 199). Sigmund
21
Neumann
dalam
karangannya
Modern
Political
Parties
mengemukakan definisi partai sebagai berikut:
A political party is the articulate organization of society's active
political agents, those who are concerned with the control of
governmental power and who compete for popular support with
another group or groups holding divergent views (Sigmund
Neumann, 1963: 352).
Sedangkan dari sisi etimologis, menurut Laica Marzuki, kata partai
berasaldari bahasa latin part, yang berarti bagian. Karena hanya suatu
bagian,membawa konsekuensi pengertian adanya bagian-bagian lain.
Oleh karenaitu, jika hanya terdapat satu partai dalam suatu negara
berarti tidak sesuaidengan makna etimologis dari partai itu sendiri
(dalam Muchamad Ali Safa’at, 2011: 30).
Pengertian dari sisi etimologis juga dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie yang menyatakan bahwa:
Partai berasal dari akar kata “part” yang berarti bagian atau
golongan. Kata partai menunjuk pada golongan sebagai
pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti
tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan. Pengelompokan itu
bentuknya adalah organisasi secara umum, yang dapat dibedakan
menurut wilayah aktivitasnya, seperti organisasi kemasyarakatan,
organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam
perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk
organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di
bidang politik (dalam Muchamad Ali Safa’at, 2011: 30).
Partai politik merupakan sebuah organisasi untuk memperjuangkan
nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan struktur kekuasaan dan
kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaannya di dalam pemilihan
umum (Sigit Pamungkas, 2011: 5). Menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Partai Politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
22
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945.
b. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan
adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik
itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: a. komunikasi politik,
b. sosialisasi politik (political socialization), c.
rekruitmen politik
(political recruitment), dan d. pengatur konflik (conflict management)
(Miriam Budiarjo, 2005: 163).
Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik
itu mencakup fungsi a. mobilisasi dan integrasi, b. sarana pembentukan
pengaruh perilaku memilih (voting patterns), c. sarana rekruitmen
politik, dan d. sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan (dalam Jimly
Asshiddiqie, 2005: 59).
Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik berfungsi sebagai
sarana:
a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan
negara;
d. Partsipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender.
23
c. AD/ART Partai Politik
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik memberikan beberapa syarat dalam proses pembentukan partai
politik, antara lain seperti yang dijelaskan dalm ayat (3) bahwa, “Akta
notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan
ART kepengurusan Partai Politik tingkat pusat”.
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan, “AD sebagaiaman dimaksud
pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a. Asas dan ciri Partai Politik;
b. Visi dan misi Partai Politik;
c. Nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d. Tujuan dan fungsi Partai Politik;
e. Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. Kepengurusan Partai Politik;
g. Mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik;
h. Sistem kaderisasi;
i. Mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik;
j. Peraturan dan keputusan Partai Politik;
k. Pendidikan politik;
l. Keuangan Partai Politik;
m. Mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.
AD dan ART Partai Politik dapat dilakukan perubahan sesuai
dengan aturan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik yang menegaskan:
(1) AD dan ART Partai Politik dapat diubah sesuai dengan
dinamika Partai Politik.
(2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan
keputusan Partai Politik.
24
(3) Perubahan AD dan ART sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
harus didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh)
terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut.
(4) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART.
3. Tinjauan Tentang Hak Recall
a. Istilah dan Pengertian
Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari
kata“re” yang artinya kembali, dan “call” yang artinya panggil atau
memanggil.Jika kata ini disatukan maka kata recall ini akan berarti
dipanggil atau memanggil kembali (Ni’matul Huda, 2011: 461). Haris
munandar mengatakan:
Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam
kamus ilmu politik yang digunakan untuk menerangkan suatu
peristiwa penarikan seorang atau beberapa orang wakil yang duduk
dalam lembaga perwakilan (melalui proses pemilu), oleh rakyat
pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu hak
yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya (dalam
Ni’matul Huda, 2011: 461).
Hak recall didefinisikan oleh sejumlah ahli, antara lain Mh. Isnaeni
mengatakan:
Hak recall pada umumnya merupakan suatu “pedang Damocles”
bagi tiap-tiap anggota DPR. Dengan adanya hak recall maka
anggota DPR akan lebih banyak menunggu petunjuk dan pedoman
pimpinan fraksinya daripada ber-oto-aktivitas. Melakukan
otoaktivitas yang tinggi tanpa restu pimpinan fraksi kemungkinan
besar melakukan kesalahan fatal yang dapat berakibat recalling.
Karena itu untuk keamanan keanggotaannya lebih baik menunggu
apa yang diinstruksikan oleh pimpinan fraksinya (Mh. Isnaeni,
1982: 57-58)
Moh. Hatta juga pernah mengatakan:
Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi
Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya
sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan
partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau
25
demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja.
Pada dasarnya hak recallini hanya ada pada negara komunis dan
fasis yang bersifat totaliter (dalam Deliar Noer, 1989: 305-306).
Menurut BN. Marbun, recall adalah suatu hak untuk mengganti
anggota DPR oleh induk organisasinya (BN.Marbun, 1996: 43).
Bintan R. Saragih, mengartikan recall adalah hak suatu organisasi
politik yang mempunyai wakil di MPR, DPR, dan DPRD untuk
mengganti wakil-wakilnya di lembaga perwakilan sebelum yang
bersangkutan
habis
keanggotaannya,
dengan
terlebih
dahulu
bermusyawarah dengan pimpinan lembaga perwakilan tersebut.
Adapun Moh. Mahfud MD., mengartikan recall adalah hak untuk
mengganti
anggota
lembaga
permusyawaratan/perwakilan
dari
kedudukannya sehingga tidak lagi memiliki status keanggotaan di
lembaga tersebut (dalam Ni’matul Huda, 2011: 462).
b. Sejarah dan Perkembangan Hak Recall di Indonesia
Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak
Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU
No. 10 Tahun 1966 yang mengatur tentang Kedudukan MPRS dan
DPRGR. UU ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas
politik menggantikan Orde Lama (Ni’matul Huda, 2011: 462). Bintan
R. Saragih dalam pendapatnya menyatakan:
Pencantuman hak recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam
rangka pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal
pada Orde Lama pimpinan Soekarno. Itulah mengapa hak recall ini
diatur dalam suatu UU bukan dalam Peraturan Tata Tertib DPRGR,
didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Terib hanya
mengikat secara intern sedangkan UU akan megikat juga ekstern
Parpol atau Organisasi Politik yang mempunyai kursi di DPR-GR
(dalam Ni’matul Huda, 2011: 462).
Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15
UU No. 10 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa anggota
MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut:
26
a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan
partai yang bersangkutan;
b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi
dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya
yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya;
c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi
dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan
organisasi atau instansi yang bersangkutan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 telah mengalami
perubahan tiga kali dan yang terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985.
Di dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1985 ditentukan sebagai
berikut, “Hak mengganti wakil organisasi peserta pemilu atau
golongan karya ABRI ada pada organisasi peserta pemilu yang
bersangkutan atau pada Panglima Angkatan Bersenjata, dan
pelaksanaannya terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan
Pimpinan DPR”.
Selanjutnya dalam ayat (6) dinyatakan bahwa tata cara penggantian
keanggotaan
Badan
Permusyawaratan/Perwakilan
Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selama
berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, sejumlah partai politik yang
pernah melakukan recalling terhadap anggota partainya di parlemen
antara lain:
Pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di bawah
kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan recall untuk
Syarifudin Harahap, Tamim Achda. Murtadho Makmur, Rusli
Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, dan Ruhani
Abdul Hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987).
Namun, usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak
Desember 1984 hingga Maret 1985 ditanggapi dingin oleh
Pimpinan DPR waktu itu (Amir Machmud) dan ternyata usul recall
itu tidak diteruskan oleh pimpinan DPR kepada Presiden.Kemudian
pada tahun 1995 Sri Bintang Pamungkas di-recall oleh Fraksi
27
Persatuan Pembangunan (DPR Periode 1992-1998) denganalasan
melakukan “dosa politik” (melanggar tata terib partai). Usulan FPP
disetujui oleh Ketua DPR Wahono dan diajukan kepada Presiden
pemecatannya. Kedua, Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di
bawah kepemimpinan Seonawar Soekawati mengusulkan recalling
untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw,
Soelomo, Santoso Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah
Eteng (semuanya anggota DPR periode 1977-1982). Kemudian
ketika PDI dipimpin Soerjadi pernah diusulkan recalling untuk:
Marsoesi, Dudy Singadila, Nurhasan, Polensuka, Kemas
Fachrudin, Edi Junaedi, Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua
anggota DPR periode 1982-1987). Ketiga, Golongan Karya
(Golkar). Recalling di tubuh Golkar pertama menimpa Rahman
Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena dianggap terlibat
kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada
Bambang Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang
dipandang melakukan “dosa politik” (melanggar tata tertib partai).
Keempat, Fraksi ABRI. Pernah merecall anggotanya di MPR
yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen Samsudin dan Brigjen J.
Sembiring, karena mengkritis pembelian kapal perang bekas milik
pemerintah Jerman (Ni’matul Huda, 2011: 463-464).
Setelah Orde
Baru tumbang digantikan
Orde Reformasi,
mekanisme recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif
digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan “lawan politik” di
tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di dalam Pasal 5
ayat (1) ditegaskan, Anggota MPR berhenti antar waktu sebagai
angggota karena:
a. Meninggal dunia;
b. Permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR;
c. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. Berhenti sebagai Anggota DPR;
e. Tidak
lagi
memenuhi
syarat-syarat
sebagaimana
yang
dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang
berwajib;
28
f. Dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil
rakyat dengan keputusan MPR;
g. Terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang
dimaksud Pasal 41 ayat (1).
Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Di dalam Pasal 85 ayat (1) ditegaskan Anggota DPR berhenti antar
waktu karena:
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri
secara tertulis; dan
c. Diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu yang
diatur dalam ayat (2) karena:
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai Anggota DPR;
b. Tidak lagi memeneuhi syarat-syarat calon Anggota DPR
sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu;
c. Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan
hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR;
d. Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar
tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya
lima tahun penjara.
4. Tinjauan tentang Dewan Perwakilan Rakyat
29
a. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pengaturan tentang Dewan Perwakilan Rakyat telah diatur dalam
BAB VII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang terdiri dari 7 (tujuh) pasal dimulai dari Pasal 19 s.d. Pasal
22B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang, DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan
Rakyat,
Dewan
Perwakilan
Daerah,
dan
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dilihat dari susunan dan
kedudukannya, DPR terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Secara
kedudukan, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.
Dari sisi keanggotaan, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
merupakan hasil dari pemilihan umum sebagaimana yang telah
tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang
menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan rakyat dipilih
melalui Pemilihan Umum”. Kemudian mengenai susunan DPR juga
telah diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 19 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan
Kedua yang menyatakan bahwa “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat
diatur dengan undang-undang”.
Jika dilihat dari fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 20A
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Perubahan Kedua “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.
Dilihat dari fungsinya, DPR mempunyai: 1) fungsi legislasi, 2)
anggaran, dan 3) pengawasan. Sebagaimana yang telah diatur dalam
30
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa:
(1) DPR mempunyai fungsi:
a. Legislasi;
b. Anggaran; dan
c. Pengawasan.
Adapun penjelasan dari masing-masing fungsi DPR diatur dalam
ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yaitu:
(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku
pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh
Presiden.
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan undangundang dan APBN.
b. Hak dan Kewajiban Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dalam Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, selain memiliki fungsi, Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai beberapa hak antara lain hak interplasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, Dewan Perwakilan
Rakyat juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat, serta hak imunitas sebagaimana yang telah
tercantum dalam ketentuan Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang
menyatakan bahwa “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
31
Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
mempunia hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat, serta hak imunitas”. Adapun penjelasan secara rinci
mengenai hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Hak DPR juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 79 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang
menyatakan bahwa:
(1) DPR mempunyai hak:
a.
interpelasi;
b.
angket; dan
c.
menyatakan pendapat.
Adapun mengenai penjelasan dari masing-masing hak DPR
sebagai berikut:
1) Hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan
kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yeng
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana telah
diatur dalam ketentuan Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang No.
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
2) Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD).
3) Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan
pendapat atas:
32
a) Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa
yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b) Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket;
c) Dugaan
bahwa
Presiden
dan.atau
Wakil
Presiden
melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (dalam Pasal 79
ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD).
Selanjutnya mengenai hak anggota DPR sebagaimana telah diatur
dalam ketentuan Pasal 80 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa:
Anggota DPR mempunyai hak:
a. mengajukan usul rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d.
memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f.
imunitas;
g.
protokoler;
h.
keuangan dan administratif;
i.
pengawasan;
j. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan
daerah pemilihan; dan
k. melakukan sosialisasi undang-undang.
Selain memiliki hak, anggota DPR juga mempunyai kewajibankewajiban sebagai wakil rakyat di parlemen. Adapun kewajiban
33
anggota DPR telah diatur dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang
No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
menyatakan bahwa:
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan
Undang-Undang
dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati
prinsip
demokrasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan negara;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja denga
lembaga lain;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politik
kepada konstituen di daerah pemilihannya.
A. Kerangka Pemikiran
34
Keterangan:
Dalam penulisan hukum ini, penulis membatasi tujuan dari
penelitian yakni penguatan kelembagaan partai politik dan perlindungan
hak konstitusional anggota parlemen. Karena dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi) menjamin hakhak konstitusional warga negara, yang juga didalamnya menjamin nilainilai serta prinsip kedaulatan rakyat yang tertuang dalam Pasal 22E ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
telah diamandemen dengan bunyi sebagai berikut “Pemilihan umum
diselenggarakan
untuk
memilih
anggota
Dewan
Perwakilan
Daerah,Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Undang-Undang Nomor
17
Tahun
2014
tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
35
Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur tentang hak recall
yang diberikan kewenangannya kepada partai politik anggota parlemen
atas pelanggaran terhadap Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) dan arah kebijakan partai politik. Inilah yang kemudian penulis
jadikan rumusan masalah yang pertama, yakni tentang ketentuan hak recall
oleh partai politik dalam kedua undang-undang tersebut.
Dalam rumusan masalah yang kedua, penulis akan membuktikan
apakah pelaksanaan recall yang dilaksanakan oleh partai politik terhadap
anggota parlemen yang melanggar AD/ART dan kebijakan partai politik
ini telah sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dan penjaminan hak
konstitusional warga negara yang telah dijamin dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Download