I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin banyak pula dilangsungkannya kesepakatan antar negara-negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional. Kesepakatan antar negara atau pun antara negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan dinamika Hukum Tata Negara, hal tersebut nampak pada fakta bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber Hukum Tata Negara. Menurut Jimly Asiddiqie : 1 Traktat atau perjanjian adalah salah satu sumber hukum formil dari Hukum Tata Negara, sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi Hukum Ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya, sekali pun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Di samping sebagai salah satu sumber Hukum Tata Negara, perjanjian internasional disebut memiliki kaitan erat dengan Hukum Tata Negara karena dalam pembuatannya diperlukan adanya mekanisme ketatanegaraan. Berkenaan dengan mekanisme ketatanegaraan yang terdapat pada pembuatan perjanjian internasional diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi : (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. 1 Jimly Asiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid I, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006, hal. 230 (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyebutkan kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dipegang oleh Presiden dan menekankan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk perjanjian internasional yang akan dibuat oleh Presiden. Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengatur tentang perjanjian dengan negara lain dan diperlukannya persetujuan DPR, selanjutnya Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan terdapat jenis perjanjian internasional lainnya yang harus memperoleh persetujuan DPR yaitu perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Untuk mengetahui makna frasa perjanjian internasional lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 maka diperlukan pengaturan lebih lanjut oleh suatu undang-undang. Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian internasional adalah UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 1 Huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional sendiri mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. UU Nomor 24 Tahun 2000 dengan demikian membatasi pengaturan hanya pada perjanjian internasional yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik saja. Lebih lanjut hubungan Presiden dan DPR dalam pembuatan suatu perjanjian internasional sebagai penerapan makna persetujuan DPR Pasal 11 UUD 1945 diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Nomor 24 Tahun 2000, menurut pasal tersebut perjanjian internasional hanya akan disahkan melalui undang-undang atau keputusan presiden apabila perjanjian internasional tersebut mempersyaratkan pengesahan. Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 karena itu memberi batasan kriteria bahwa hanya pada perjanjian internasional yang mensyaratkan adanya pengesahan saja persetujuan DPR diharuskan. Pengesahan melalui Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2000 harus terlebih dahulu memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 dengan ketentuan kriteria materi perjanjian internasional sebagai berikut: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Diaturnya kriteria perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang bermakna tidak seluruh perjanjian dengan negara lain harus memdapatkan persetujuan DPR demikian pula perjanjian internasional lainnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 karena terlebih dahulu mempertimbangkan apakah perjanjian internasional tersebut berkaitan dengan beban keuangan negara yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat atau tidak. Batasan untuk perjanjian internasional yang memperoleh persetujuan DPR dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah perjanjian yang diatur dalam Hukum Internasional serta berdampak pada timbulnya hak dan kewajiban pada bidang hukum publik, perjanjian internasional yang mensyaratkan pengesahan dan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000. UUD Tahun 1945 di sisi lain hanya memberi pertimbangan konstitusional pada aspek materi perjanjian saja, persoalan akan muncul ketika meski terdapat pembuatan perjanjian dengan materi yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 serta melibatkan unsur asing namun perjanjian yang dibuat tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan tidak mensyaratkan pengesahan maka perjanjian tersebut dengan demikian tidak memerlukan persetujuan DPR. Berikut merupakan contohcontoh dari pertentangan yang pernah terjadi dalam praktek pembuatan perjanjian internasional di Indonesia. Pada tahun 2010 DPR melakukan penolakan terhadap permohonan pemerintah kepada DPR tahun 2010 untuk mengesahkan Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and Government of the Russian Federation on Militarry-Technical Cooperation 20032 yaitu dengan sikap menolak usulan Rancangan Undang-Undang Kerjasama Teknik Militer Rusia dan Indonesia. Perbedaan pandangan mengenai usulan Rancangan Undang-undang tersebut bermula dari sikap pemerintah yang menilai bahwa perjanjian tersebut masuk pada kategori Pasal 10 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 karena berkaitan dengan masalah pertahanan. DPR dalam hal ini Komisi I justeru menilai meskipun menyangkut pertahanan , perjanjian ini bersifat teknis karena memuat 2 Dikutip dari : Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional ( Kajian Teori dan Praktik di Indonesia) Rafika Aditama , Bandung, 2010, hal. 87 prihal kegiatan produksi, pembelian dan pemeliharaan alat-alat militer. Perbedaan pandangan antara Presiden dan DPR berujung pada kesepakatan bahwa pengesahan Perjanjian tentang Kerja Sama Teknik Militer Rusia dan Indonesia cukup dengan menggunakan Keputusan Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 11 UU Nomor 24 Tahun 2000 Contoh berikutnya dapat diamati pada pengajuan permohonan uji Materiil UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi oleh 8 anggota DPR RI, dan berujung pada dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 20/PUU-V/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-undang Dasar 1945. Permasalahan yang menjadi pokok perkara dalam kasus ini adalah keberatan 8 anggota DPR terhadap Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001. Ketentuan tersebut berbunyi, Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang mengisyaratkan bahwa, pemerintah tidak perlu meminta pertimbangan atau persetujuan kepada DPR jika mengadakan Kontrak Kerja Sama (KKS) sektor Migas dengan kontraktor asing. DPR hanya akan menerima sebatas salinan kesepakatan setelah pemerintah dan kontraktor menandatangani KKS. Menurut pendapat pemerintah sesuai dengan Pasal 1 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2000 maka Kontrak Kerja Sama (KKS) sektor Migas antara BP Migas dengan kontraktor asing bukan merupakan perjanjian internasional. Berbeda dengan pendapat pemerintah, para pemohon uji materi berpandangan bahwa ketentuan pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945.3 Pada uraian dan contoh yang telah dikemukakan di atas meski telah jelas diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, masih terjadi perbedaan pendapat dan kerancuan mengenai jenis-jenis perjanjian internasional yang dibuat Presiden dengan keharusan memperoleh persetujuan DPR. Karenanya penulis tertarik untuk melakukan kajian terkait “KEDUDUKAN PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL”. I.2 PERMASALAHAN Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah kedudukan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembuatan perjanjian internasional? I.3 RUANG LINGKUP Ruang lingkup penilitian ini dikhususkan pada bidang Ilmu Hukum Kenegaraan karena mengkaji mengenai kedudukan Presiden dan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional. I.4 TUJUAN DAN MANFAAT I.4.1 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud ditujukan untuk : 3 Laporan Putusan MK terkait uji materi UU Migas (putusan ringkasan),www. Djpp depkumham.go.id, diunduh pada 31 Desember 2011, hal. 2 Untuk mengetahui dan menganilisis mengenai kedudukan Presiden dan DPR dalam pembuatan perjanjian internasional I.4.2 Manfaat Penelitian Berkaitan dengan tujuan yang hendak diperoleh dari penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat ke depannya. 1.4.2.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan memperkaya khasanah keilmuan dan pengetahuan dalam lingkup ilmu Hukum Tata Negara I.4.2.2 Manfaat praktis Diharapkan penelitian ini nantinya dapat menjadi bagian dari evaluasi terhadap perangkat aturan mengenai kedudukan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membuat perjanjian internasional. Manfaat berikutnya yang tidak kalah penting penulis harapkan dapat terwujud adalah penelitian ini dapat memberi sumbangsih kepada Fakultas Hukum Universitas Lampung, tempat penulis mencari ilmu pengetahuan serta untuk melengkapi salah satu syarat akademik dalam rangka ujian akhir guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.