Hubungan Ketiadaan Orang Tua Terhadap Pilihan Anak Hidup Di Jalanan (Studi Deskriptif Anak Jalanan di Kelurahan Padang Bulan, Medan.) Khalil Gibran Daulay 060901068 Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan 2013 ABSTRACT Generally, street children in Medan City are come from a lower economic family. This economic condition is the main reason why these childrens go to work in a street in order to help their family. This study had been conducted at Simpang Pos which is a well known location where street children doing their activities. Type of this study is descriptive qualitative, with 8 (eight) interviewees. Data had been collected by study of literature, internet data sources as well as field study: observation, semi-open questionnaires, in-depth interviews and documentation. Study result indicate that street childrens in Medan come from poor families, in order to support needs of their families they have to work on the street. Type of work they do is a work in informal sector such as street singing, cleaning cars etc. Key Word: Street Children, Absence Of Parents. PENDAHULUAN Anak jalanan adalah istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anakanak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan 1 lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988:16). Statusnya sebagai anak jalanan, menyebabkan anak-anak itu harus rela dengan berbagai hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan image-image buruk masyarakat. Itu artinya ketika permasalahan sosial menimpa keluarga dan dirinya, dengan sendirinya ia mengalami penghapusan hak sebagai manusia dan hak sebagai anak oleh masyarakat. Anak jalanan merupakan anak-anak yang terpaksa atau dipaksa mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain dengan bekerja dijalanan, seperti: berjualan koran, menyemir sepatu, pemulung, membersihkan mobil, pedagang asongan, pengemis dan berbagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lainnya. Perampasan terhadap hak-hak anak ini tanpa disadari telah terjadi secara besar-besaran, dimana anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal pun; mulai terancam dan bahkan tidak sedikit yang droup out. Kesempatan untuk bermain dan tumbuh kembang sudah mulai hilang. Kondisi seperti itu, merupakan akibat dari ketidakberdayaan orang tua untuk melindungi anaknya, sehingga anak-anak dijadikan tumpuan untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Sumatera Utara tahun 2003 terlihat bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di Kota Medan menduduki jumlah yang tertinggi yaitu, mencapai 2.526 jiwa (50.26%) dari seluruh anak jalanan yang berada di Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena Kota Medan merupakan ibu kota propinsi yang memiliki daya tarik yang lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Alasan lain menunjukkan bahwa Kota Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain yang berada di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh Yayasan Pusaka Indonesia, menaksir jumlah anak jalanan di Sumatera Utara mencapai 5.000 anak dan 2.000 anak diantaranya berada di Kota Medan. Perserikatan Perlindungan Anak (PPAI) Sumatera Utara menghimpun angka yang lebih banyak, yaitu 6.000 anak jalanan berada di Seluruh Sumatera Utara dan 4.000 dari jumlah tersebut tiggal di Kota Medan. Sedangkan, menurut KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak), memperkirakan ada 2 sekitar 5.000 anak jalanan di seluruh Sumatera Utara pada tahun 2007 (Jurnal Perempuan 55, September: 2007). Namun, berdasarkan data terbaru dari Dinas Sosial Kota Medan, pada tahun 2008 jumlah anak jalanan di Kota Medan sekitar 675 jiwa (Dinas Sosial, 2008). Untuk membatasi masalah yang akan diteliti dalam tulisan ini adalah “Apakah ketiadaan orang tua merupakan salah satu penyebab seorang anak memilih hidup dijalanan?” Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui sejauh mana faktor ketiadaan orang tua menyebabkan anak memilih hidup dijalanan serta untuk mengetahui apa yang diperoleh anak jalanan dengan hidup dijalan, sehubungan dengan ketiadaan orang tuanya. Hasil penelitian ini diharapkan: dapat menjadi bahan bagi pengembangan Ilmu Sosial secara nyata dalam mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan sosial, baik dalam lembaga-lembaga tertentu maupun dalam masyarakat luas, dan dapat menjadi bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Yayasan dan bagi instansi terkait, pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum dalam hal menangani permasalahan yang dihadapi anak jalanan. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Jalanan Sebenarnya istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anakanak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993: 9). Pengertian anak jalanan telah banyak dikemukakan oleh banyak ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktifitas lain. sedangkan putranto dalam agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan anak jalanan sebagai anak berusia enam (6) sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi 3 dan tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum. Dalam buku “intervensi psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Secara garis besar anak jalanan di bedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk. eds : 1997): Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka tidak menentu. (Irwanto, 1995). Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Tjuk Kasturi Sukiadi (1999:10) diungkapkan, bahwa proses terjadinya anak jalanan dibagi dalam beberapa pentahapan: 1. Pengetahuan Sampai Adanya Ketertarikan. 2. Ketertarikan Sampai Keinginan. 3. Pelaksanaan. 4. Mulai memasuki kehidupan Anak Jalanan. Teori Peran (Role Theory) Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi yang menganggap sebagian besar aktivitas diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial. Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Peran yang harus dikerjakan oleh 4 seseorang merupakan akibat dari status yang melekat pada diri orang tersebut, atau seseorang menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Konsepsi peran mengandaikan seperangkat harapan, kita diharapkan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu dan juga mengahrapkan orang lain untuk bertindak dengan cara-cara tertentu Peran merupakan aspek dinamis dari status atau kedudukan, keduanya tidak dapat dipisakan, karena merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling berketergantungan. Tidak ada peranan tanpa status dan begitu juga sebaliknya, tidak ada status tanpa peranan. Menurut Roucek dan Warren, status merupakan tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sementara setatus sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya berhubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajibannya (Suekanto, 1982: 210,212). Menurut Ralph Linthon (dalam Suekanto, 1998), setiap individu memiliki beberapa status dan peran didalam masyarakat, hal tersebut dikarenakan setiap individu biasanya terlibat dalam berbagai pola kehidupan. Hal ini hampir sama seperti yang dikemukakan oleh Robert K. Merton, bahwa status tidak hanya melibatkan satu peran, akan tetapi juga melibatkan sejumlah peran terkait (Sunarto, 2004:55). Setiap orang yang bertindak sebagai pelaku peran memiliki kesadaran akan posisinya dalam masyarakat. Hal menduduki posisi atau kedudukan, secara tidak langsung membawa konsekuensi berupa tekanan-tekanan yang datang dari sistem sosial dan belum tentu dapat dipenuhi, maka akan muncul dua kemungkinan. Pertama pelaku akan memenuhinya secara lugas, dan kedua memenuhinya secara artificial(tidak semestinya), (suhardono, 1994:62). Kembali menyikapi status, menurut Suekanto (1982) bentuk-bentuk status dapat dibagi diantaranya yaitu : 1. Ascribed Status, yaitu status seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh 5 karena kelahiran, misalnya status anak seorang bangsawan, secara otomatis juga bangsawan. 2. Achieved Status, yaitu status yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Berbeda dengan Ascribed Satus, status ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran. Akan tetapi besifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing individu dalam mencapai tujuannya. 3. Assigned Status, merupakan status yang diberikan masyarakat kepada seseorang. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan status sosial yang tinggi kepada seseorang yang berjasa, atau telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Status ini sering mempunyai hubungan dengan achieved status. Peran menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat, serta kesempatan- kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan karena peran dapat mengatur prilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batasbatas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan prilaku sendiri dengan perilaku orang-orang dilingkungannya (Suekanto, 1982: 213). Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakat, hal ini didasari bahwa kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan status sosial atau kedudukan di masyarakat. Posisi seseorang pada masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Dengan kata lain, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat, secara otomatis juga menjalankan suatu peranan (Suekanto, 1982:211). Menurut Levinson (dalam, Suekanto, 1982:213), peranan mencakup tiga hal, yaitu : 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian 6 peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakatnya. 2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian sosial adalah penelitian empiris yang berarti penelitian tentang dunia nyata yang sebenarnya. Di mana kita merupakan bagian daripadanya. Sudah tentu bahwa manusia hanya mengetahui dunia empiris melalui pengalaman dan melihat realitas yang sebenarnya. Ia muncul bagi kita hanya karena kita melihat dan mengalaminya. Tetapi pemahaman kita tentang realitas tersebut bukanlah realitas itu sendiri. (Ismail, 2009:34) Penelitian sosial yang bersifat deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran-gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bugin, 2008:68). Adapun kriteria yang penulis gunakan untuk membatasi ruang lingkup penelitian yaitu, Anak jalanan yang berstatus anak yatim, piatu dan yatim-piatu, dan berumur 7 – 17 tahun, serta telah menetap di kota medan sekurang-kurangna dua tahun. Lebih lanjut untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar akurat maka data tersebut kemudian dievaluasi lalu diabstraksi dan diinterpretasi, 7 sehingga diperoleh satuan informasi yang dapat ditafsirkan menjadi suatu kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Persoalan anak jalanan adalah tidak terpenuhinya fungsi keluarga khususnya ekonomi dan adanya eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti orang tuanya terhadap anaknya sendiri, anak diharapkan dapat membantu urusan mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga hal inilah yang menyebabkan anak dalam kondisi terpaksa harus mengenal dunia jalanan, yang didukung dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman dijalanan dan jarak lokasi rumah tinggal tidak jauh dari jalanan. Dari hasil wawancara dengan informan, peneliti tidak menemukan adanya informan atau anak jalanan yang menyatakan memutuskan untuk menjadi anak jalanan yang dipengaruhi oleh faktor ketiadaan orang tuanya, hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan saat ditanya Tentang Alasan Melakukan Aktivitas Di jalanan, dimana alasan utama anak turun kejalan adalah sepenuhnya untuk mencari uang dan bermain, kemudian pada penuturan informan Tentang Yang Menyuruh/ Mengajak Berada Dan Bekerja Di Jalanan dimana sebanyak enam informan menjawab diajak teman dan dua anak menjawab tidak ada yang menyuruh. Saat anak ditanya tentang hal – hal apa yang dibutuhkan tidak lain adalah “uang”. Dan harapannya adalah “bisa kerja enak”. Dari penuturan informan dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama anak turun kejalan, namun ketiadaan orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi ekonomi keluarga, seperti hasil wawancara peneliti dengan salah satu informan yang ayahnya meninggalkan mereka untuk menikah dengan perempuan lain, “ Peneliti : dulu waktu masih ada ayah adik nyari uang juga di jalan kek sekarang? informan: nggak bang, sudah di Medannya aku baru nyari uang untuk bantu mamak”. Bila kita kaitkan dengan teori peran Menurut Levinson (dalam, Suekanto, 1982:213), peranan mencakup tiga hal, yaitu : 8 4. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakatnya. 5. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 6. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. hilangnya orang tua dalam sebuah keluarga akan memengaruhi atau menghilangkan fungsi keluarga dan menciptakan ketidak seimbangan hidup kepada anak-anaknya, dimana fungsi-fungsi tersebut merupakan kebutuhan dasar anak, mengutip dari Fungsi keluarga menurut Friedman (1992) fungsi keluarga adalah: 1. Fungsi Afektif dan Koping Keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu anggota dalam membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi stress. 2. Fungsi Sosialisasi Keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan mekanisme koping, memberikan feedback, dan memberikan petunjuk dalam pemecahan masalah. 3. Fungsi Reproduksi Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan keturunan. 4. Fungsi Ekonomi Keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarganya dan kepentingan di masyarakat. 5. Fungsi Fisik 9 Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk penyembuhan dari sakit. Persoalan anak jalanan adalah tidak terpenuhinya fungsi keluarga khususnya ekonomi dan adanya eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti orang tuanya terhadap anaknya sendiri, anak diharapkan dapat membantu urusan mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga hal inilah yang menyebabkan anak dalam kondisi terpaksa harus mengenal dunia jalanan, yang didukung dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman dijalanan dan jarak lokasi rumah tinggal tidak jauh dari jalanan. Dari hasil wawancara dengan informan, peneliti tidak menemukan adanya informan atau anak jalanan yang menyatakan memutuskan untuk menjadi anak jalanan yang dipengaruhi oleh faktor ketiadaan orang tuanya, hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan saat ditanya Tentang Alasan Melakukan Aktivitas Di jalanan, berikut penuturan informan, Pinki, Usia 11 tahun: “ … Nyari duit tuk bantu mamak sekalian main-main, kerjanya aku dah pulang sekolah bang, siang lah sampe sore, uangnya aku kasih ke mamak semua bang, uang nya dipake mamak untuk beli susu adik”. Dari hasil wawan cara dapat diketahui, alasan utama anak turun kejalan adalah sepenuhnya untuk mencari uang dan bermain, kemudian pada penuturan informan Tentang Yang Menyuruh/ Mengajak Berada Dan Bekerja Di Jalanan dimana sebanyak enam informan menjawab diajak teman dan dua anak menjawab tidak ada yang mengajak maupun menyuruh, berikut penuturan salah satu informan, Pinki, Usia 11 tahun. “…Mamak gak ada nyuruh bang, ikut-ikut ja sama kawan bang ngelap-ngelap mobil, karna dapat duit jadi tiap hari aku ikut bang, sekalian nyari duit tuk bantu mamak, dan saat anak ditanya tentang hal – hal apa yang dibutuhkan tidak lain adalah “uang”. dan harapannya adalah “bisa kerja enak lah bang kek orang di kantor”. 10 Dari penuturan informan dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama anak turun kejalan, namun ketiadaan orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi ekonomi keluarga, seperti hasil wawancara peneliti dengan salah satu informan saat ditanya waktu masih ada ayah adik nyari uang juga di jalan kek sekarang? Sari Hutabarat, Usia 12 tahun. “…Nggak bang, sudah di Medannya aku baru nyari uang untuk bantu mamak, kami dulu tinggalnya di Jakarta bang, bapak pigi ninggalin kami sama perempuan lain bang, dah bapak pigi baru kami pindah kemedan bang, karna kan mamak asalnya dari medan dah tu saudara dari mamak tinggalnya dimedan ni bang di Jakarta gak da family bang”. Dalam melakukan penelitian lapangan peneliti juga melakukan wawancara dengan salah satu mantan anak jalanan yang tidak memiliki ayah, yang sekarang bekerja di sebuah bengkel vespa, berikut wawancara peneliti dengan Hendri yang sekarang berumur 24 tahun “ Peneliti (P) : umur berapa bang jadi anak jalanan? Informan Hendri (I) : sekiar umur 12 bang tamat SD, soalnya gak lanjut lagi ke SMP, nggak ada lagi biaya. (P) : tu ayah abang dah ninggal? (I) : udah lah, ayah ninggalnya aku masi kelas 2 SD bang. (P) : abang jadi anak jalanan memang untuk nyari duit ja bang, ada gak orang yang abang anggap ayah waktu abang di jalan? (i) : nyari duit la bang, bantuin bos (ibu) bang soalnya adik aku masi kecil-kecil kasian juga bos kalo nyari duit sendiri, kalo yang dianggap ayah gak ada bang, paling abang lah”. Selanjutnya saat peneliti menceritakan seputar masalah penelitian dengan Hendri, berikut penuturannya. “… Kalo aku rasa bang gara-gara uang lah makanya anak-anak nyari duit, kalo kaya orang tuanya untuk apa dia kerja ngamen dijalanan, aku aja kalo kaya bos ku gak mau aku kerja di bengkel kek gini bang, apa lagi ngamen, kalo pun ada satu-satu lah tu bang, sekedar main-main bukan nyari uang”. 11 Dari delapan informan peneliti menemukan adanya, perlakuan kasar atau kekerasan yang diperoleh anak dari orang dewasa setelah mereka menjadi anak jalanan seperti pemalakan, persepsi buruk terhadap anak jalanan merupakan salah satu fakor pendorong terjadinya kekerasan, dimana kita ketahui bahwa persepsi dapat mempengaruhi tindakan maupun prilaku individu,hal seperi ini akan berdampak buruk bagi perkembangan anak apalagi anak juga tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup seperti dulu ketika orang tuanya masih ada. Pandangan negatif dan kurangnya perhatian dari pemerintah maupun masyarakat menjadi penyebab anak jalanan semakin terpojok dan sulit untuk berkembang, masyarakat pada umumnya lebih menaruh perhatian terhadap anak-anak yatim, piatu, maupun yatim piatu yang tinggal dipanti-panti asuhan karena menganggap merekalah yang perlu diperhatikan, sehingga melupakan aaupun tidak menyadari sebagian anak yang bekerja dijalanan merupakan anak yatim, piatu maupun yatim piatu, sehingga sulit mendapatkan donatur yang mau menyumbang dan mendanai program-program untuk pemberdayaan anak jalanan, selain itu kebiasaan buruk dan stigma negatif yang melekat pada anak jalanan juga menjadi penyebab ketidak pedulian dari masyarakat terhadap mereka. Faktor lamanya berada di jalan adalah adanya berbagai macam pengaruh buruk yang diterimanya. Diantaranya berbagai prilaku buruk yaitu perkataan jorok, prilaku mengkonsumsi rokok, minuman keras, ngelem, narkoba dan sejenisnya. Hal ini diperburuk lagi karena hilangnya salah satu figur yang seharusnya menjadi pembimbing bagi anak ataupun menjadi kontrol yang memberikan perhatian terhadap perilaku anak, Berikut ungkapan salah satu informan, Anto Pandiangan, Usia 16 tahun. “…Hampir semua anak jalanan apa lagi anak laki-laki pasti mengkonsumsi rokok, minum, ngelem, ngepil, semua lah bang, kayak aku ja bang dah semua kurasai, kadang dah gak maunya aku bang cuma diajak terus sama kawan, ntar kalo gak diminum sakit hati orang itu bang, segan juga awak rasa, lagian tau lah abang kan, yang namanya gratis mana ada yang gak enak, hehehe ”. Persoalan inipun perlu dicermati dalam upaya mencari solusi penanganan pembinaan anak jalanan. Karakteristik anak jalanan juga diwarnai oleh beberapa 12 budaya yang secara tidak disadari telah diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Kebiasaan - kebiasaan ini juga patut dicermati sebagai tambahan pertimbangan dalam menentukan segala macam solusi dalam upaya pembinaan terhadap masalah anak jalanan. Diantara budaya tersebut adalah jika mempunyai uang hari ini sedikit ataupun besar jumlahnya tetap akan dihabiskan dalam sesaat / hari ini pula. Untuk keesokan hari keyakinan orang tua dan anak jalanan : “ pasti ada uang ditangan” selanjutnya dihabiskan pula dalam tempo sesaat, dan begitu pula seterusnya. Tanpa ada istilah “ menabung “, apalagi memikirkan tentang “ esok masih ada hari yang perlu difikirkan untuk melangkah kedepan “.Lebih parah lagi ada budaya yang membiasakan anak jalanan untuk hidup ketergantungan pada orang lain yakni kebiasan “hutang“, pikiran mereka jika tidak hutang, seolah- olah hidup ini tidak ada gairah untuk kerja Ada pula budaya lain yang biasa dilakukan oleh anak jalanan diantaranya : “Sok duluan”, siapa yang datang duluan dalam suatu lokasi dialah yang berkuasa, ditambah lagi jika postur tubuh lebih besar dan kuat maka sifat yang muncul adalah “sok jagoan” / “sok menang sendiri”, siapa yang lebih besar dan kuat dialah yang menang. “sok pamer”, ikut-ikutan dan saling olok. Budaya ini muncul saat ada salah satu anak jalanan yang mempunyai suatu barang bahkan pacar baru maka akan dipamerkan kepada teman-temannya, walau barang tersebut kategori barang yang belum lunas alias kredit. Hal ini membuat teman temannya iri dan mungkin minder bagi temannya yang kurang mampu atau yang tidak dapat mengakses vasilitas pengkreditan yang ada karena sistem yang dipakai menggunakan sistem rentenir yakni membayar dengan pengembalian yang berlipat. Sehingga anak jalanan yang minder tersebut akan berjuang semaksimal mungkin apapun caranya hingga ia dapat menyamai bahkan menyaingi temannya yang pamer tersebut, walau dia akan dihadapkan pada kehidupan yang lebih mencekik karena harus membayar pengembalian hutang yang berlipat. Budaya ikut-ikutan ini tidak hanya sekedar pada kasus pembelian baju saja atau merokok akan tetapi sampai pada masalah minumminuman keras, narkoba dengan segala macam jenisnya serta pada masalah berpacaran. Misalnya pada kasus minum saat seorang anak datang untuk bertamu maka jamuannya adalah minuman keras, jika tidak mau minum maka dikatakan 13 sombong, menghina, tidak gaul, banci dan tidak jantan serta dianggap tidak mau berteman dan masih banyak olok-olokan yang lainnya yang lebih keras. Sehingga lawan bicaranya pun akan berbuat sesuatu dan menunjukkan bahwa dia tidak seperti apa yang disebut oleh temannya. KESIMPULAN 1. Ketiadaan orang tua menyebabkan hilangnya fungsi keluarga, seperti : Fungsi sosialisasi, Fungsi ekonomi, Fungsi fisik, fungsi cinta kasih dan lain-lain. hilangnya fungsi-fungsi keluarga tersebut memberikan pengaruh yang buruk terhadap proses perkembangan anak. 2. Yang menjadi pendorong anak memilih untuk menjadi anak jalanan adalah faktor kebutuhan ekonomi, dimana orang tua tidak sanggup memenuhi kebutuhan ekonomi seluruh anggota keluarga, kondisi mereka sebagai orang tua tunggal memperburuk kondisi ini, anak biasa memilih mencari uang dengan menjadi anak jalanan dikarenakan ajakan teman, dan keinginan mereka sendiri. 3. Yang menjadi permasalahan dasar melingkupi kehidupan anak jalanan adalah karena kebutuhan dasar dari mereka selama ini memang tidak terpenuhi dengan baik, bahkan bisa dikatakan terampas haknya sebagai seorang anak. 4. Alasan mereka bekerja dijalan adalah selain dapat mencari uang untuk membantu keluarga mereka dapat bermain dengan teman-temannya dijalan, menjadi anak jalanan adalah satu-satunya pilihan yang dapa menghasilkan uang karena mereka tidak memiliki keahlian lain apalagi usia mereka yang seharusnya bulum bekerja. 5. Kehidupan sebagai anak jalanan membuat anak rentan terhadap kekerasan dan perlakuan kasar, dimana anak jalanan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Kekerasan yang dialami oleh anak jalanan diperparah dengan ketidak pedulian masyarakat sekitar, bagi anak jalanan juga tidak memiliki salah satu figur orang tua hal ini diperparah akibat tiadanya pelindung atau tempat untuk mengadu. 6. Kehidupan sebagai anak jalanan memberikan banyak pengaruh buruk terhadap mereka, hal ini diperparah pula oleh pandangan negatif yang sudah melekat dalam status mereka sebagai anak jalanan, dan hilangnya salah satu figur orang tua mengakibatkan kurangnya perhatian dan bimbingan yang mereka dapatkan. 14 SARAN 1. Dalam masalah penanganan anak jalanan hendaknya pemberdayaan tidak hanya dilakukan kepada anak, tetapi juga pemberdayaan terhadap keluarga khususnya orang tua. 2. Hendaknya pemahaman mengenai anak jalanan juga diberikan kepada masyarakat sekitar sebagai faktor pendukung yang melingkupi kehidupan dimana anak jalanan berada. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur penelitian:suatu pendekatan peraktek. Jakarta : Rineka cipta. Bugin, Burhan. 2008. Penelitian kualitatif : komuniasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 15 Ismail, Rizabuana, 2009. Metode penelitian kualitatif: Dasar-dasar pemikiran melakukan penelitian sosial dengan pendekatan grounded research. Medan: Usu press. Tata Sudrajat, 2003. Isu Prioritas Dan Program Intervensi Untuk Menangani Anak Jalanan, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 2003. Aninomous, Perlindungan Anak, tanggung Jawab Siapa?. http://niasonline.net/kpa/?p=3. Jakarta. ( Diakses tanggal 24/ February/ 2012/ Pukul 15: 05 WIB) Arini Indah Nihayaty, 2002. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan di Surabaya, Tesis Pascasarjana UNAIR Surabaya. (http://www.damandiri.or.id/file/dwiastutiunairringkasan.pdf.) Faisal, Sanapiah. 2007. Format-format penelitian sosial. Jakarta : Raja Grafindo,Persada (www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125122...Restitusi%20PPN...) Karnaji, 2003. Anak Jalanan Dan Upaya Penanganannya Di Kota Surabaya, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 2003. (i- lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=3835) Sutari, Sri. 2001. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah, Skripsi,FISIP,UNAIR,Surabaya. (www.damandiri.or.id/file/dwiastutiunairdafpus.pdf) 16