Hubungan Ketiadaan Orang Tua Terhadap Pilihan Anak Hidup Di

advertisement
Hubungan Ketiadaan Orang Tua Terhadap Pilihan Anak Hidup Di Jalanan
(Studi Deskriptif Anak Jalanan di Kelurahan Padang Bulan,
Medan.)
Khalil Gibran Daulay
060901068
Departemen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
2013
ABSTRACT
Generally, street children in Medan City are come from a lower economic family. This
economic condition is the main reason why these childrens go to work in a street in order to
help their family.
This study had been conducted at Simpang Pos which is a well known location where
street children doing their activities. Type of this study is descriptive qualitative, with 8 (eight)
interviewees. Data had been collected by study of literature, internet data sources as well as
field study: observation, semi-open questionnaires, in-depth interviews and documentation.
Study result indicate that street childrens in Medan come from poor families, in order
to support needs of their families they have to work on the street. Type of work they do is a
work in informal sector such as street singing, cleaning cars etc.
Key Word: Street Children, Absence Of Parents.
PENDAHULUAN
Anak jalanan adalah istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. UNICEF
memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who have
abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen
years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anakanak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan
1
lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di
jalan raya (H.A Soedijar, 1988:16).
Statusnya sebagai anak jalanan, menyebabkan anak-anak itu harus rela dengan
berbagai hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan image-image buruk
masyarakat. Itu artinya ketika permasalahan sosial menimpa keluarga dan dirinya,
dengan sendirinya ia mengalami penghapusan hak sebagai manusia dan hak sebagai
anak oleh masyarakat. Anak jalanan merupakan anak-anak yang terpaksa atau dipaksa
mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain dengan bekerja dijalanan, seperti:
berjualan koran, menyemir sepatu, pemulung, membersihkan mobil, pedagang asongan,
pengemis dan berbagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lainnya. Perampasan
terhadap hak-hak anak ini tanpa disadari telah terjadi secara besar-besaran, dimana
anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal pun; mulai
terancam dan bahkan tidak sedikit yang droup out. Kesempatan untuk bermain dan
tumbuh kembang sudah mulai hilang. Kondisi seperti itu, merupakan akibat dari
ketidakberdayaan orang tua untuk melindungi anaknya, sehingga anak-anak dijadikan
tumpuan untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga.
Data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Sumatera Utara tahun 2003 terlihat
bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di Kota Medan menduduki jumlah yang
tertinggi yaitu, mencapai 2.526 jiwa (50.26%) dari seluruh anak jalanan yang berada di
Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena Kota Medan
merupakan ibu kota propinsi yang memiliki daya tarik yang lebih besar jika
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Alasan lain menunjukkan bahwa Kota
Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat jika dibandingkan dengan
Kabupaten/Kota lain yang berada di Propinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan data yang diperoleh Yayasan Pusaka Indonesia, menaksir jumlah
anak jalanan di Sumatera Utara mencapai 5.000 anak dan 2.000 anak diantaranya
berada di Kota Medan. Perserikatan Perlindungan Anak (PPAI) Sumatera Utara
menghimpun angka yang lebih banyak, yaitu 6.000 anak jalanan berada di Seluruh
Sumatera Utara dan 4.000 dari jumlah tersebut tiggal di Kota Medan. Sedangkan,
menurut KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak), memperkirakan ada
2
sekitar 5.000 anak jalanan di seluruh Sumatera Utara pada tahun 2007 (Jurnal
Perempuan 55, September: 2007). Namun, berdasarkan data terbaru dari Dinas Sosial
Kota Medan, pada tahun 2008 jumlah anak jalanan di Kota Medan sekitar 675 jiwa
(Dinas Sosial, 2008).
Untuk membatasi masalah yang akan diteliti dalam tulisan ini adalah “Apakah
ketiadaan orang tua merupakan salah satu penyebab seorang anak memilih hidup
dijalanan?”
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui
sejauh mana faktor ketiadaan orang tua menyebabkan
anak memilih hidup
dijalanan serta untuk mengetahui apa yang diperoleh anak jalanan dengan hidup
dijalan, sehubungan dengan ketiadaan orang tuanya.
Hasil penelitian ini diharapkan: dapat menjadi bahan bagi pengembangan
Ilmu Sosial secara nyata dalam mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan sosial,
baik dalam lembaga-lembaga tertentu maupun dalam masyarakat luas, dan dapat
menjadi bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Yayasan dan bagi
instansi terkait, pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum dalam hal
menangani permasalahan yang dihadapi anak jalanan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Karakteristik Anak Jalanan
Sebenarnya istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika selatan,
tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anakanak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S.
Bambang, 1993: 9). Pengertian anak jalanan telah banyak dikemukakan oleh banyak
ahli. Secara khusus, anak
jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktifitas lain.
sedangkan putranto dalam agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan
anak jalanan sebagai anak berusia enam (6) sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi
3
dan tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh
penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum.
Dalam buku “intervensi psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah
anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Secara garis besar anak jalanan di bedakan dalam tiga kelompok (Surbakti
dkk. eds : 1997):
Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi
sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Kedua, children of the street,
yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalanan, baik secara sosial maupun
ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang
tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka tidak menentu. (Irwanto, 1995).
Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan.
Tjuk Kasturi Sukiadi (1999:10) diungkapkan, bahwa proses terjadinya anak
jalanan dibagi dalam beberapa pentahapan:
1. Pengetahuan Sampai Adanya Ketertarikan.
2. Ketertarikan Sampai Keinginan.
3. Pelaksanaan.
4. Mulai memasuki kehidupan Anak Jalanan.
Teori Peran (Role Theory)
Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi yang menganggap
sebagian besar aktivitas diperankan oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara
sosial. Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma, dan
perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Peran yang harus dikerjakan oleh
4
seseorang merupakan akibat dari status yang melekat pada diri orang tersebut, atau
seseorang menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang
merupakan statusnya. Konsepsi peran mengandaikan seperangkat harapan, kita
diharapkan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu dan juga mengahrapkan orang
lain untuk bertindak dengan cara-cara tertentu
Peran merupakan aspek dinamis dari status atau kedudukan, keduanya tidak
dapat
dipisakan,
karena
merupakan
satu
kesatuan
yang
utuh
dan
saling
berketergantungan. Tidak ada peranan tanpa status dan begitu juga sebaliknya, tidak
ada status tanpa peranan. Menurut Roucek dan Warren, status merupakan tempat atau
posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sementara setatus sosial adalah tempat
seseorang secara umum dalam masyarakatnya berhubungan dengan orang-orang lain,
dalam arti lingkungannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajibannya (Suekanto,
1982: 210,212).
Menurut Ralph Linthon (dalam Suekanto, 1998), setiap individu memiliki
beberapa status dan peran didalam masyarakat, hal tersebut dikarenakan setiap individu
biasanya terlibat dalam berbagai pola kehidupan. Hal ini hampir sama seperti yang
dikemukakan oleh Robert K. Merton, bahwa status tidak hanya melibatkan satu peran,
akan tetapi juga melibatkan sejumlah peran terkait (Sunarto, 2004:55).
Setiap orang yang bertindak sebagai pelaku peran memiliki kesadaran akan
posisinya dalam masyarakat. Hal menduduki posisi atau kedudukan, secara tidak
langsung
membawa konsekuensi berupa tekanan-tekanan yang datang dari sistem
sosial dan belum tentu dapat dipenuhi, maka akan muncul dua kemungkinan. Pertama
pelaku akan memenuhinya secara lugas, dan kedua memenuhinya secara artificial(tidak
semestinya), (suhardono, 1994:62).
Kembali menyikapi status, menurut Suekanto (1982) bentuk-bentuk status dapat
dibagi diantaranya yaitu :
1.
Ascribed Status, yaitu status seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan
perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh
5
karena kelahiran, misalnya status anak seorang bangsawan, secara otomatis juga
bangsawan.
2.
Achieved Status, yaitu status yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha
yang disengaja. Berbeda dengan Ascribed Satus, status ini tidak diperoleh atas
dasar kelahiran. Akan tetapi besifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari
kemampuan masing-masing individu dalam mencapai tujuannya.
3.
Assigned Status, merupakan status yang diberikan masyarakat kepada
seseorang. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan status sosial
yang tinggi kepada seseorang yang berjasa, atau telah memperjuangkan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Status ini sering
mempunyai hubungan dengan achieved status.
Peran menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat, serta kesempatan-
kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan karena
peran dapat mengatur prilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batasbatas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Orang yang
bersangkutan akan dapat menyesuaikan prilaku sendiri dengan perilaku orang-orang
dilingkungannya (Suekanto, 1982: 213).
Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam
pergaulan kemasyarakat, hal ini didasari bahwa kelakuan seseorang bergantung pada
konteksnya, berdasarkan status sosial atau kedudukan di masyarakat. Posisi seseorang
pada masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada
organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri,
dan sebagai suatu proses. Dengan kata lain, seseorang menduduki suatu posisi dalam
masyarakat, secara otomatis juga menjalankan suatu peranan (Suekanto, 1982:211).
Menurut Levinson (dalam, Suekanto, 1982:213), peranan mencakup tiga hal,
yaitu :
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
6
peraturan-peraturan
yang
membimbing
seseorang
dalam
kehidupan
masyarakatnya.
2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif. Penelitian sosial adalah penelitian empiris yang berarti
penelitian tentang dunia nyata yang sebenarnya. Di mana kita merupakan bagian
daripadanya. Sudah tentu bahwa manusia hanya mengetahui dunia empiris
melalui pengalaman dan melihat realitas yang sebenarnya. Ia muncul bagi kita
hanya karena kita melihat dan mengalaminya. Tetapi pemahaman kita tentang
realitas tersebut bukanlah realitas itu sendiri. (Ismail, 2009:34)
Penelitian sosial yang bersifat deskriptif bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas
sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya
menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda
atau gambaran-gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu
(Bugin, 2008:68).
Adapun kriteria yang penulis gunakan untuk membatasi ruang lingkup
penelitian yaitu, Anak jalanan yang berstatus anak yatim, piatu dan yatim-piatu,
dan berumur 7 – 17 tahun, serta telah menetap di kota medan sekurang-kurangna
dua tahun.
Lebih lanjut untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar
akurat maka data tersebut kemudian dievaluasi lalu diabstraksi dan diinterpretasi,
7
sehingga diperoleh satuan informasi yang dapat ditafsirkan menjadi suatu
kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persoalan anak jalanan adalah tidak terpenuhinya fungsi keluarga khususnya
ekonomi dan adanya eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang
dekat dengan mereka, seperti orang tuanya terhadap anaknya sendiri, anak diharapkan
dapat membantu urusan mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sehingga hal inilah yang menyebabkan anak dalam kondisi terpaksa harus mengenal
dunia jalanan, yang didukung dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman dijalanan
dan jarak lokasi rumah tinggal tidak jauh dari jalanan.
Dari hasil wawancara dengan informan, peneliti tidak menemukan adanya
informan atau anak jalanan yang menyatakan memutuskan untuk menjadi anak jalanan
yang dipengaruhi oleh faktor ketiadaan orang tuanya, hal ini dapat dilihat dari
pernyataan informan saat ditanya Tentang Alasan Melakukan Aktivitas Di jalanan,
dimana alasan utama anak turun kejalan adalah sepenuhnya untuk mencari uang dan
bermain, kemudian pada penuturan informan Tentang Yang Menyuruh/ Mengajak
Berada Dan Bekerja Di Jalanan dimana sebanyak enam informan menjawab diajak
teman dan dua anak menjawab tidak ada yang menyuruh. Saat anak ditanya tentang hal
– hal apa yang dibutuhkan tidak lain adalah “uang”. Dan harapannya adalah “bisa kerja
enak”.
Dari penuturan informan dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan
faktor utama anak turun kejalan, namun ketiadaan orang tua menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi ekonomi keluarga, seperti hasil wawancara peneliti dengan salah
satu informan yang ayahnya meninggalkan mereka untuk menikah dengan perempuan
lain, “ Peneliti : dulu waktu masih ada ayah adik nyari uang juga di jalan kek sekarang?
informan: nggak bang, sudah di Medannya aku baru nyari uang untuk bantu mamak”.
Bila kita kaitkan dengan teori peran Menurut Levinson (dalam, Suekanto,
1982:213), peranan mencakup tiga hal, yaitu :
8
4.
Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan
yang
membimbing
seseorang
dalam
kehidupan
masyarakatnya.
5.
Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
6.
Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.
hilangnya orang tua dalam sebuah keluarga akan memengaruhi atau
menghilangkan fungsi keluarga dan menciptakan ketidak seimbangan hidup kepada
anak-anaknya, dimana fungsi-fungsi tersebut merupakan kebutuhan dasar anak,
mengutip dari Fungsi keluarga menurut Friedman (1992) fungsi keluarga adalah:
1. Fungsi Afektif dan Koping
Keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu anggota dalam
membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi stress.
2. Fungsi Sosialisasi
Keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan mekanisme
koping, memberikan feedback, dan memberikan petunjuk dalam pemecahan
masalah.
3. Fungsi Reproduksi
Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan
keturunan.
4. Fungsi Ekonomi
Keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarganya dan kepentingan di
masyarakat.
5. Fungsi Fisik
9
Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk penyembuhan dari
sakit.
Persoalan anak jalanan adalah tidak terpenuhinya fungsi keluarga khususnya
ekonomi dan adanya eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang yang
dekat dengan mereka, seperti orang tuanya terhadap anaknya sendiri, anak diharapkan
dapat membantu urusan mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sehingga hal inilah yang menyebabkan anak dalam kondisi terpaksa harus mengenal
dunia jalanan, yang didukung dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman dijalanan
dan jarak lokasi rumah tinggal tidak jauh dari jalanan.
Dari hasil wawancara dengan informan, peneliti tidak menemukan adanya
informan atau anak jalanan yang menyatakan memutuskan untuk menjadi anak jalanan
yang dipengaruhi oleh faktor ketiadaan orang tuanya, hal ini dapat dilihat dari
pernyataan informan saat ditanya Tentang Alasan Melakukan Aktivitas Di jalanan,
berikut penuturan informan, Pinki, Usia 11 tahun:
“ … Nyari duit tuk bantu mamak sekalian main-main, kerjanya aku dah pulang
sekolah bang, siang lah sampe sore, uangnya aku kasih ke mamak semua bang, uang
nya dipake mamak untuk beli susu adik”.
Dari hasil wawan cara dapat diketahui, alasan utama anak turun kejalan adalah
sepenuhnya untuk mencari uang dan bermain, kemudian pada penuturan informan
Tentang Yang Menyuruh/ Mengajak Berada Dan Bekerja Di Jalanan dimana sebanyak
enam informan menjawab diajak teman dan dua anak menjawab tidak ada yang
mengajak maupun menyuruh, berikut penuturan salah satu informan, Pinki, Usia 11
tahun.
“…Mamak gak ada nyuruh bang, ikut-ikut ja sama kawan bang ngelap-ngelap
mobil, karna dapat duit jadi tiap hari aku ikut bang, sekalian nyari duit tuk bantu
mamak, dan saat anak ditanya tentang hal – hal apa yang dibutuhkan tidak lain adalah
“uang”. dan harapannya adalah “bisa kerja enak lah bang kek orang di kantor”.
10
Dari penuturan informan dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan
faktor utama anak turun kejalan, namun ketiadaan orang tua menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi ekonomi keluarga, seperti hasil wawancara peneliti dengan salah
satu informan saat ditanya waktu masih ada ayah adik nyari uang juga di jalan kek
sekarang? Sari Hutabarat, Usia 12 tahun.
“…Nggak bang, sudah di Medannya aku baru nyari uang untuk bantu mamak,
kami dulu tinggalnya di Jakarta bang, bapak pigi ninggalin kami sama perempuan lain
bang, dah bapak pigi baru kami pindah kemedan bang, karna kan mamak asalnya dari
medan dah tu saudara dari mamak tinggalnya dimedan ni bang di Jakarta gak da family
bang”.
Dalam melakukan penelitian lapangan peneliti juga melakukan wawancara
dengan salah satu mantan anak jalanan yang tidak memiliki ayah, yang sekarang
bekerja di sebuah bengkel vespa, berikut wawancara peneliti dengan Hendri yang
sekarang berumur 24 tahun
“ Peneliti (P) : umur berapa bang jadi anak jalanan? Informan Hendri (I) : sekiar
umur 12 bang tamat SD, soalnya gak lanjut lagi ke SMP, nggak ada lagi biaya. (P) : tu
ayah abang dah ninggal? (I) : udah lah, ayah ninggalnya aku masi kelas 2 SD bang. (P)
: abang jadi anak jalanan memang untuk nyari duit ja bang, ada gak orang yang abang
anggap ayah waktu abang di jalan? (i) : nyari duit la bang, bantuin bos (ibu) bang
soalnya adik aku masi kecil-kecil kasian juga bos kalo nyari duit sendiri, kalo yang
dianggap ayah gak ada bang, paling abang lah”.
Selanjutnya saat peneliti menceritakan seputar masalah penelitian dengan
Hendri, berikut penuturannya.
“… Kalo aku rasa bang gara-gara uang lah makanya anak-anak nyari duit, kalo
kaya orang tuanya untuk apa dia kerja ngamen dijalanan, aku aja kalo kaya bos ku gak
mau aku kerja di bengkel kek gini bang, apa lagi ngamen, kalo pun ada satu-satu lah tu
bang, sekedar main-main bukan nyari uang”.
11
Dari delapan informan peneliti menemukan adanya, perlakuan kasar atau
kekerasan yang diperoleh anak dari orang dewasa setelah mereka menjadi anak jalanan
seperti pemalakan, persepsi buruk terhadap anak jalanan merupakan salah satu fakor
pendorong terjadinya kekerasan, dimana kita ketahui bahwa persepsi dapat
mempengaruhi tindakan maupun prilaku individu,hal seperi ini akan berdampak buruk
bagi perkembangan anak apalagi anak juga tidak mendapat perhatian dan kasih sayang
yang cukup seperti dulu ketika orang tuanya masih ada.
Pandangan negatif dan kurangnya perhatian dari pemerintah maupun
masyarakat menjadi penyebab anak jalanan semakin terpojok dan sulit untuk
berkembang, masyarakat pada umumnya lebih menaruh perhatian terhadap anak-anak
yatim, piatu, maupun yatim piatu yang tinggal dipanti-panti asuhan karena
menganggap merekalah yang perlu diperhatikan, sehingga melupakan aaupun tidak
menyadari sebagian anak yang bekerja dijalanan merupakan anak yatim, piatu maupun
yatim piatu, sehingga sulit mendapatkan donatur yang mau menyumbang dan
mendanai program-program untuk pemberdayaan anak jalanan, selain itu kebiasaan
buruk dan stigma negatif yang melekat pada anak jalanan juga menjadi penyebab
ketidak pedulian dari masyarakat terhadap mereka.
Faktor lamanya berada di jalan adalah adanya berbagai macam pengaruh buruk
yang diterimanya. Diantaranya berbagai prilaku buruk yaitu perkataan jorok, prilaku
mengkonsumsi rokok, minuman keras, ngelem, narkoba dan sejenisnya. Hal ini
diperburuk lagi karena hilangnya salah satu figur yang seharusnya menjadi
pembimbing bagi anak ataupun menjadi kontrol yang memberikan perhatian terhadap
perilaku anak, Berikut ungkapan salah satu informan, Anto Pandiangan, Usia 16 tahun.
“…Hampir semua anak jalanan apa lagi anak laki-laki pasti mengkonsumsi
rokok, minum, ngelem, ngepil, semua lah bang, kayak aku ja bang dah semua kurasai,
kadang dah gak maunya aku bang cuma diajak terus sama kawan, ntar kalo gak
diminum sakit hati orang itu bang, segan juga awak rasa, lagian tau lah abang kan,
yang namanya gratis mana ada yang gak enak, hehehe ”.
Persoalan inipun perlu dicermati dalam upaya mencari solusi penanganan
pembinaan anak jalanan. Karakteristik anak jalanan juga diwarnai oleh beberapa
12
budaya yang secara tidak disadari telah diterapkan dalam kehidupan sehari – hari.
Kebiasaan - kebiasaan ini juga patut dicermati sebagai tambahan pertimbangan
dalam menentukan segala macam solusi dalam upaya pembinaan terhadap masalah
anak jalanan. Diantara budaya tersebut adalah jika mempunyai uang hari ini
sedikit ataupun besar jumlahnya tetap akan dihabiskan dalam sesaat / hari ini
pula. Untuk keesokan hari keyakinan orang tua dan anak jalanan : “ pasti ada
uang ditangan” selanjutnya dihabiskan pula dalam tempo sesaat, dan begitu pula
seterusnya. Tanpa ada istilah “ menabung “, apalagi memikirkan tentang “ esok masih
ada hari yang perlu difikirkan untuk melangkah kedepan “.Lebih parah lagi ada budaya
yang membiasakan anak jalanan untuk hidup ketergantungan pada orang lain yakni
kebiasan “hutang“, pikiran mereka jika tidak hutang, seolah- olah hidup ini tidak ada
gairah untuk kerja
Ada pula budaya lain yang biasa dilakukan oleh anak jalanan diantaranya :
“Sok duluan”, siapa yang datang duluan dalam suatu lokasi dialah yang berkuasa,
ditambah lagi jika postur tubuh lebih besar dan kuat maka sifat yang muncul adalah
“sok jagoan” / “sok menang sendiri”, siapa yang lebih besar dan kuat dialah yang
menang. “sok pamer”, ikut-ikutan dan saling olok. Budaya ini muncul saat ada salah
satu anak jalanan yang mempunyai suatu barang bahkan pacar baru maka akan
dipamerkan kepada teman-temannya, walau barang tersebut kategori barang yang
belum lunas alias kredit. Hal ini membuat teman temannya iri dan mungkin minder
bagi temannya yang kurang mampu atau yang tidak dapat mengakses
vasilitas
pengkreditan yang ada karena sistem yang dipakai menggunakan sistem rentenir yakni
membayar dengan pengembalian yang berlipat. Sehingga anak jalanan yang minder
tersebut akan berjuang semaksimal mungkin apapun caranya hingga ia dapat
menyamai bahkan menyaingi temannya yang pamer tersebut, walau dia akan
dihadapkan pada kehidupan yang lebih mencekik karena harus membayar
pengembalian hutang yang berlipat. Budaya ikut-ikutan ini tidak hanya sekedar pada
kasus pembelian baju saja atau merokok akan tetapi sampai pada masalah minumminuman keras, narkoba dengan segala macam jenisnya serta pada masalah
berpacaran. Misalnya pada kasus minum saat seorang anak datang untuk bertamu
maka jamuannya adalah minuman keras, jika tidak mau minum maka dikatakan
13
sombong, menghina, tidak gaul, banci dan tidak jantan serta dianggap tidak mau
berteman dan masih banyak olok-olokan yang lainnya yang lebih keras. Sehingga
lawan bicaranya pun akan berbuat sesuatu dan menunjukkan bahwa dia tidak seperti
apa yang disebut oleh temannya.
KESIMPULAN
1. Ketiadaan orang tua menyebabkan hilangnya fungsi keluarga, seperti :
Fungsi
sosialisasi, Fungsi ekonomi, Fungsi fisik, fungsi cinta kasih dan lain-lain. hilangnya
fungsi-fungsi keluarga tersebut memberikan pengaruh yang buruk terhadap proses
perkembangan anak.
2. Yang menjadi pendorong anak memilih untuk menjadi anak jalanan adalah
faktor kebutuhan ekonomi, dimana orang tua tidak sanggup memenuhi kebutuhan
ekonomi seluruh anggota keluarga, kondisi mereka sebagai orang tua tunggal
memperburuk kondisi ini, anak biasa memilih mencari uang dengan menjadi anak
jalanan dikarenakan ajakan teman, dan keinginan mereka sendiri.
3. Yang menjadi permasalahan dasar melingkupi kehidupan anak jalanan adalah
karena kebutuhan dasar dari mereka selama ini memang tidak terpenuhi dengan
baik, bahkan bisa dikatakan terampas haknya sebagai seorang anak.
4. Alasan mereka bekerja dijalan adalah selain dapat mencari uang untuk membantu
keluarga mereka dapat bermain dengan teman-temannya dijalan, menjadi anak
jalanan adalah satu-satunya pilihan yang dapa menghasilkan uang karena mereka
tidak memiliki keahlian lain apalagi usia mereka yang seharusnya bulum bekerja.
5. Kehidupan sebagai anak jalanan membuat anak rentan terhadap kekerasan dan
perlakuan kasar, dimana anak jalanan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.
Kekerasan yang dialami oleh anak jalanan diperparah dengan ketidak pedulian
masyarakat sekitar, bagi anak jalanan juga tidak memiliki salah satu figur orang tua
hal ini diperparah akibat tiadanya pelindung atau tempat untuk mengadu.
6. Kehidupan sebagai anak jalanan memberikan banyak pengaruh buruk terhadap
mereka, hal ini diperparah pula oleh pandangan negatif yang sudah melekat dalam
status mereka sebagai anak jalanan, dan hilangnya salah satu figur orang tua
mengakibatkan kurangnya perhatian dan bimbingan yang mereka dapatkan.
14
SARAN
1. Dalam masalah penanganan anak jalanan hendaknya pemberdayaan tidak hanya
dilakukan kepada anak, tetapi juga pemberdayaan terhadap keluarga khususnya
orang tua.
2. Hendaknya pemahaman mengenai anak jalanan juga diberikan kepada masyarakat
sekitar sebagai faktor pendukung yang melingkupi kehidupan
dimana anak
jalanan berada.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur penelitian:suatu pendekatan peraktek.
Jakarta : Rineka cipta.
Bugin, Burhan. 2008. Penelitian kualitatif : komuniasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
15
Ismail, Rizabuana, 2009. Metode penelitian kualitatif: Dasar-dasar pemikiran
melakukan penelitian sosial dengan pendekatan grounded research.
Medan: Usu press.
Tata Sudrajat, 2003. Isu Prioritas Dan Program Intervensi Untuk Menangani
Anak Jalanan, Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 2003.
Aninomous,
Perlindungan
Anak,
tanggung
Jawab
Siapa?.
http://niasonline.net/kpa/?p=3. Jakarta. ( Diakses tanggal 24/ February/ 2012/
Pukul 15: 05 WIB)
Arini
Indah Nihayaty,
2002.
Pengembangan Model
Pembinaan Anak
Jalanan di Surabaya, Tesis Pascasarjana UNAIR Surabaya.
(http://www.damandiri.or.id/file/dwiastutiunairringkasan.pdf.)
Faisal, Sanapiah. 2007. Format-format penelitian sosial. Jakarta : Raja
Grafindo,Persada
(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125122...Restitusi%20PPN...)
Karnaji, 2003. Anak Jalanan Dan Upaya Penanganannya Di Kota Surabaya,
Jurnal Hakiki Vol 1/No 2/Nov 2003.
(i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=3835)
Sutari, Sri. 2001. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah,
Skripsi,FISIP,UNAIR,Surabaya.
(www.damandiri.or.id/file/dwiastutiunairdafpus.pdf)
16
Download