BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Salah satu permasalahan yang sangat penting yang menjadi fokus
perhatian utama dalam islam adalah permasalahan akhlak. Hal ini menjadi
begitu penting dikarenakan maju mundurnya sebuah peradaban manusia
itu tergantung dari seberapa jauh nilai-nilai akhlak terimplementasi dalam
kehidupan manusia sehari-hari.
Rasulullah saw diutus di tengah-tengah peradaban jahiliyah, di mana
kondisi sifat manusia itu sungguh telah jauh dari fitrahnya sebagai seorang
manusia. Permusuhan, pembunuhan, pelecehan martabat kaum wanita,
dengan mengubur setiap bayi perempuan yang lahir, ini adalah segelintir
gambaran bobroknya akhlak manusia pada saat itu. Oleh karena itu
pembinaan akhlak adalah tugas utama dari diutusnya Rasulullah
Muhammad saw sebagai mana yang tersebut dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “sungguh tiadalah aku diutus kecuali
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (Muhammad Zaairul Haq,
2010: 2)
Umat manusia saat ini menghadapi berbagai macam tantangan,
salah satunya adalah pengaruh globalisasi. Media cetak dan elektronik
sebagai alat globalisasi telah sampai ke pelosok desa sehingga tidak ada
lagi hijab antara barat dan timur, antara siang dan malam, sehingga
1
diperlukan pendidikan moral yang islami yang bisa membedakan mana
yang haq dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram.
Semakin hari kita melihat moral bangsa semakin amburadul alias rusak
disebabkan karena perilaku manusia yang rakus dengan harta dan darah
sehingga membunuh, memperkosa dan merampok adalah hal biasa.
(
Alpianto, J. Dalle, Ismail Sukardi dan Rosdiana, 2013: 21,22)
Indonesia sejak jaman dahulu sudah terkenal di mata turis manca
negara dengan keindahan akhlak masyarakatnya seperti sopan dan santun
dalam bergaul dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Budaya saling tegur sapa kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal
adalah salah satu bentuk kebudayaan yang sangat disukai dan menjadi
daya tarik sendiri bagi para pelancong atau turis manca-negara ketika
berkunjung ke Indonesia.
Keindahan akhlak yang dimiliki oleh penduduk Indonesia seperti
tersebut di atas nampaknya sekarang mengalami pemudaran dalam diri
anak-anak bangsa, budaya main hakim sendiri, tawuran antar pelajar,
tindakan kekerasan yang dilakukan pelajar senior kepada yuniornya,
pelecehan seksual yang dilakukan seorang pelajar telah menjadi
pemberitaan harian yang menghiasi media-media pertelevisian dan
dikonsumsi oleh khalayak penonton. ( Tohirin, 2007: 2).
2
Pengaruh globalisasi yang melanda segala lapisan masyarat
Indonesia sebagaimana di atas, juga melanda Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Hal ini terbukti dengan adanya perubahan
yang kurang baik dalam perkembangan akhlak dan karakter sebagian
santri.
Mayoritas siswa kelas satu Madrasah Tsanawiyah di awal tahun terlihat
sangat menjunjung tinggi rasa hormat kepada guru dan memiliki tingkat
kedisiplinan yang tinggi, terbukti pelanggaran terhadap aturan madrasah
sangat jarang sekali terjadi. (Wawancara Dengan Ustadz Andi Mujahid,
Selasa, 09-09-2014).
Menginjak tahun kedua para siswa terlihat masih memiliki rasa
hormat dan kedisiplinan yang tinggi namun oleh beberapa guru menilai di
tahun kedua ini mulai muncul adanya pelanggaran walaupun intensitasnya
cukup rendah.
Di tahun ketiga pelanggaran sudah mulai banyak bermunculan baik itu
terkait dengan kedisiplinan maupun aturan sekolah, namun
pelanggarannya belum sampai merepotkan. (Wawancara Dengan Ustadz
Andi Mujahid, Selasa, 09-09-2014).
Di tahun ke empat perubahan sikap para santri terkait dengan rasa
hormat kepada guru dan ketaatan kepada aturan sekolah terlihat begitu
mencolok, terbukti dengan banyaknya catatan pelanggaran yang dilakukan
oleh siswa-siswa kelas empat dan menurut beberapa guru BK, siswa-siswa
kelas empat biasanya mengalami masa puncak dari kenakalannya.
Kenakalannya mengalami penurunan ketika mereka mulai memasuki kelas
lima bahkan pada jenjang ini mereka mengalami tingkat kejayaan prestasi
baik itu dalam bidang sains, jiwa kepemimpinan maupun karakter.
(Wawancara Dengan Ustadz Andi Mujahid, Selasa, 09-09-2014).
3
Data tabel dibawah ini menguatkan pernyataan-pernyataan di atas:
Kelas I
2012/2013
Jumlah Santri: 190
Nilai B- : - Santri
Nilai C : - Santri
Kelas II
2012/2013
Jumlah Santri : 214
Nilai B- : 9 Santri
Nilai C : - Santri
Kelas III
2012/2013
Jumlah Santri : 208
Nilai B- : 15 Santri
Nilai C : - Santri
Kelas IV
2011/2012
Jumlah Santri: 2013
Nilai B- : 16 Santri
Nilai C : 01 Santri
Kelas V
2011/2012
Jumlah Santri : 149
Nilai B- : 20 Santri
Nilai C : Santri
Kelas VI
2011/2012
Jumlah Santri : 142
Nilai B- : 05 Santri
Nilai C : - Saantri
Tabel Nilai Rapor Kepribadian Santri Madrasah Mu’allimin Semester Satu
2012/2013
Adanya perubahan akhlak sebagian siswa dari tahun pertama
sampai tahun keempat yang mengarah pada penurunan akhlak atau
tindakan negatif kemudian menjadi lebih baik ditahun kelima dan keenam
adalah suatu hal yang menarik untuk diteliti karena ini terjadi dalam
sebuah lembaga pendidikan kader yang mengedepankan pendidikan
akhlak dengan kurikulum yang memuat materi agama yang begitu banyak
seperti akhlaq, tauhid, qur’an hadis,fikih dan lain-lain.
Pendidikan sebagai sebuah proses internalisasi nilai-nilai dan ilmu
pengetahuan dalam rangka penumbuhan akhlak mulia tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, di manapun dan kapanpun ia bisa terlaksana. Namun
walaupun demikian, pendidikan itu bisa berjalan dengan baik manakala ia
4
sudah terlembaga yaitu di bawah naungan lembaga pendidikan yang kita
kenal dengan sekolah atau madrasah. Karena sekolah atau madrasah telah
menjadi tempat yang dipercaya mampu mengemban amanah pendidikan
maka ia harus dimanage atau dikelola dengan baik dan terencana. (Jurnal
Tarbiyahiainb.ac.id, akses 20-10-2014).
Pendidikan yang terencana dengan pengelolaan yang baik akan
menghasilkan out put yang unggul dan berakhlak mulia. Seluruh elemen
yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut seperti kepala sekolah, guru
dan karyawan harus bekerja secara sistematis dengan memfungsikan
dirinya
sesuai dengan jobnya masing-masing dan semuanya harus
berperan dalam pembinaan akhlak. ( Suyanto dan Abbas, 2001: 68)
Tugas pembinaan akhlak bukanlah tanggung jawab yang hanya
dibebankan kepada guru agama semata, tetapi hal itu merupakan tugas
seluruh elemen yang ada, mulai dari kepala madrasah sampai dengan
karyawan biasa. Masing-masing harus mengambil bagian dalam
pembinaan ini, bentuk pembinaan yang paling mudah untuk dilaksanakan
adalah dengan teladan yang baik. ( Hidayat Syarif, 2002: 65)
Pola pembinaan akhlak oleh guru kepada peserta didiknya dewasa
ini belum mencerminkan apa yang telah dikonsep oleh ulama terdahulu
terkait dengan pembinaan. Guru saat ini, terlihat cendrung untuk lebih
banyak membekali anak didiknya dengan transfer pengetahuan ketimbang
nilai-nilai akhlak. pendidikan akhlak saat ini hanya sebatas teori tanpa
5
dibarengi dengan amal nyata. minimnya keteladanan guru adalah salah
satu bukti bahwa betapa akhlak hanya baru sebatas teori. Mendidik dengan
makian bahkan sampai kepada kekerasan yang dilakukan oleh seoarang
guru, bukanlah merupakan barang baru karena hal tersebut sudah menjadi
pemberitaan harian yang menghiasi media.
Dalam rangka pembinaan akhlak, Nasih Ulwan telah memberikan
beberapa alternatif pola pembinaan akhlak yang bisa diterapkan (
Abdullah Nasih Ulwan: 144-335),di antaranya adalah pertama dengan
keteladanan atau uswah hasanah, guru sebagai seorang pendidik yang
digugu dan ditiru oleh anak didiknya harus mampu memberikan
keteladanan yang baik kepada mereka. Keteladanan yang baik akan
membantu
peserta
didik
dalam
memahami
dan
mewujudkan
pemahamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pola yang kedua adalah dengan pembiasaan. Suatu perbuatan baik
akan menjadi ringan dan mudah untuk dilakukan apabila dilakukan secara
terus menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Ketika menjadi sebuah
kebiasaan, perbuatan baik tersebut akan terus dilakukan dan susah untuk
ditinggalkan.
Ketiga, pola pembinaan dengan nasihat atau mauiẓah hasanah
yang bijak. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Qur’an untuk
menyeru manusia dengan hikmah dan nasihat yang baik agar manusia mau
mendengar dan menerima apa yang terkandung dalam nasihat tersebut.
6
Keempat, pola pembinaan dengan perhatian dan pengawasan
(Muroqobah). Pelanggaran dan kerusakan akhlak yang dilakukan oleh
peserta didik. Bisa jadi bukan karena kesalahan mereka tetapi disebabkan
karena kurangnya perhatian orang tua terhadap mereka, oleh karena itu
sebagai seorang pendidik harus memberikan perhatian lebih terutama bagi
yang tersangkut permasalahn di atas.
Bila pembinaan dengan keteladanan, pembiasaan, dan nasihat
belum menunjukkan pengaruh maka diperlukan sebuah pola pembinaan
dengan hukuman atau al-‘iqob untuk menimbulkan efek jera kepada setiap
peserta didik yang melanggar. hukuman yang diberikan bertujuan sekedar
memberikan efek jera agar pelanggaran tidak terulang kembali.
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, dalam usianya
yang hampir mencapai satu abad ini tidak menyurutkan langkahnya untuk
berperan serta atau mengambil bagian dalam usaha pembinaan akhlak dan
keperibadian anak-anak bangsa sebagai persiapan lahirnya kader-kader
pemimpin ideal masa depan yang berakhlak mulia.
Penelitian ini menarik untuk diperdalam karena pertama, Madrasah
Mu’allimin adalah sekolah kader pertama yang mampu bertahan hampir
satu abad. Kedua, Madrasah Mu’allimin adalah sekolah kader satu-satunya
yang berada dibawah pengelolaan Pimpinan Pusat langsung. Ketiga,
tantangan yang dihadapi Madrasah Mu’allimin dalam rangka pembinaan
akhlak para santri semakin besar karena berhadapan langsung dengan
7
pengaruh lingkungan perkotaan yang semakin bebas nilai. Keempat,
Madrasah Mu’allimin belum mempunyai sekolah terpadu, antara asrama
dan madrasah masih terpisah lokasinya, bahkan antara asrama satu dengan
asrama yang lain juga terpisah jauh, kondisi ini merupakan tantangan yang
harus dihadapi Mu’allimin bagaimana memadukan antara pembinaan di
asrama dan di madrasah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dinamika perkembangan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta?
2. Bagaimana pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta ?
3. Bagaimana hasil dari pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin
Yogyakarta?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa akhlak siswa Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana pola pembinaan akhlak
siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui dan menganalisa hasil dari pola pembinaan akhlak
siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
8
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan yaitu :
kegunaan secara teoritis dan kegunaan praktis.
1. Kegunaan secara teoritis yaitu:
a. Menjadi bahan acuan bagi penelitian yang sejenis pada masa yang akan
datang, terutama penelitian yang berhubungan dengan pola pembinaan
akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
b. Memperkaya
khazanah
ilmu
pengetahuan,
terutama
untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dengan
pembinaan akhlak.
2. Kegunaan secara praktis
a. Dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang pembinaan akhlak
terutama yang berkenaan dengan proses pembentukannya.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pembinaan
akhlak.
D. Kajian Pustaka
Untuk mencapai suatu hasil penelitian yang ilmiah, maka penulis
meneliti beberapa karya ilmiah di beberapa perpustakaan terkait dengan
judul proposal Tesis yang penulis ajukan. Setelah penulis melakukan
penelitian, memang telah ada beberapa karya ilmiah yang meneliti
permasalahan terkait judul tesis penulis. karya ilmiah tersebut yaitu :
9
1. Tesis oleh Juminta dengan judul Pola Pendidikan Akhlak pada Sekolah
Dasar Segugus II UPTD PAUD DIKNAS Kecamatan Lendah Kabupaten
Kulon Progo. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan perbedaan isi
pendidikan akhlak yang terdapat pada sekolah dasar maupun Madrasah
Ibtidaiyah se gugus II
berdasarkan standar kompetensi maupun
kompetensi dasar yang ada di standar isisnya masing-masing. Penelitian
ini juga mendeskripsikan pola pendidikan akhlak yang diterapkan di gugus
II UPTD PAUD DIKNAS Kecamatan Lendah . penelitian ini merupakan
penelitian lapangan. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa
pertama, pada prinsipnya standar isi yang meliputi standar kompetensi
dasar yang dipakai masing-masing sekolah maupun madrasah adalah
sama. Kedua, pola pendidikan akhlak yang diterapkan di gugus II ini
cukup bervariatif dari mulai sifatnya penyampaian secara lisan atau teoritis
(dakwah bil lisan), sampai pada praktek (dakwah bil hal) dan syiar show
of power.
2. Tesis dari Achmad Tasmi, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul: Peran Guru dalam Membentuk
Keperibadian yang islami, penelitian ini isinya membahas tentang
deskripsi empirik mengenai apa dan bagaimana peran guru dalam
pembentukan keperibadian siswa yang islami di sekolah Dasar Islam
terpadu ( SDIT Insan Utama Yogyakarta, selain itu berisi tentang faktorfaktor pendukung dan penghambat dalam pembentukan keperibadian
Islami. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Hasil
10
penelitian menunjukkan: guru berperan dalam pembentukan keperibadian
yang Islami di SDIT Insan Utama Yogyakarta. Peran pertama, penyucian
jiwa dari penyakit hati, penyucian jiwa dari dosa, dan peran kedua
pengajaran. Faktor guru dalam membentuk keperibadian siswa yang
Islami di SDIT Insan Utama Yogyakarta adalah dukungan kepala sekolah,
wali kelas, semua guru dan orang tua siswa.
Sedangkan faktor
penghambatnya adalah: pertama, pengaruh media yang negatif, yang
meliputi televisi, internet, dan handphone, lingkungan sosial yang negatif.
3. Tesis oleh Shohibul Kahfi mahasiswa pascasarjana MSI UMY dengan
judul Peran Guru Agama Islam dan Orang Tua dalam Pembinaan akhlak
Siswa MIN Yogyakarta 11 tahun 2012. Dalam tesis ini isinya, peneliti
berusaha menggambarkan bagaimana proses pembinaan yang dilakukan
oleh guru di dalam dan di luar kelas, bagaimana peran dari orang tua
dalam pembinaan akhlak siswa, serta faktor apa saja yang mendukung
pembentukan akhlak siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa : 1.
Peran guru agama Islam dalam pembinaan akhlak siswa MIN Yogyakarta
dilakukan dalam proses belajar mengajar di kelas maupun diluar kelas,
dengan pendekatan kalbu, rasional dan keteladanan, melalui metode
ceramah, penugasan, diskusi, sosiodrama, cerita, praktek dan pembiasaan.
Materi pembinaan akhlak siswa adalah materi yang ditetapkan melalui
pelajaran aqidah akhlak dan pembiasaan sehari-hari di lingkungan
madrasah, seperti mengucapkan salam, berpakaian muslim, berjabat
tangan, tidak terlambat datang, masuk kelas tepat waktu, berdo’a, tertib
11
mengikuti pelajaran, menjaga kebersihan, bercakap dengan bahasa yang
santun, melaksanakan shalat secara berjama’ah, kegiatn kasidah, seni baca
al-Qur’an, kaligrafi, pesantreen kilat ramadhan, peringatan hari besar
Islam, wisata dakwah dan tadabbur alam, terhadap pembinaan akhlak
siswa tersebut, dilakukan penilaian dengan hasil yang menggembirakan. 2.
Peran orang tua siswa dalam pembinaan akhlak siswa MIN Yogyakarta
dilakukan
dengan
metode
keteladanan,
pembiasaan,
partisipatif,
kedisiplinan, teguran dan hukuman, serta komunikasi antara orang tua dan
anak maupun orang tua dan guru. Materi pembinaan akhlak oleh orang tua
antara lain: ketaatan pada Allah swt dan Rasulullah saw dengan
menjalankan kewajiban beribadah secara rutin, kepatuhan terhadap orang
tua, berprilaku baik dengan menanamkan sikap jujur, rendah hati, pemaaf,
sabar dan dermawan serta halus budi terhadap teman-teman dan ornag
lain. 3. Faktor pendukung pembinaan akhlak siswa adalah dukungan
penuh dari orang tua dan lingkungan keluarga yang kondusif, yang mampu
menciptakan hubungan antara anggota keluarga secara harmonis,
menciptakan suasana penuh keakraban dan selalu melaksanakan ketaatan
kepada Allah swt, menghidupkan sunnah-sunnah Rasulillah saw. Faktor
penghambatnya adalah pengaruh media baik cetak ( novel, cerpen, komik,
majalah) maupun elektronik ( handfone, televisi, playstation, dan game
online) pergaulan anak-anak dengan teman yang tidak sebaya dan
minimnya waktu luang yang tersedia bagi orang tua dalam membina anak-
12
anak karena disibukkan oleh rutinitas pekerjaan dan mencari nafkah guna
mencukupi kebutuhan keluarga.
Beda penelitian ini dengan tiga penelitian di atas adalah pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Jumita lebih kepada penelaah terhadap
kurikulum yang diterapkan oleh sekolah-sekolah yang tergabung dalam
gugus UPTD PAUD DIKNAS dalam upaya melakukan
pendidikan
akhlak sedang dalam penelitian penulis akan lebih fokus terhadap pola
pembinaan akhlak yang diterapkan oleh seluruh element yang ada di
Madrasah Mu’allimin. .
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh
Achmad Tasmi
mengungkap peran guru dalam membentuk kepribadian Islami. Dalam
penelitian ini terlihat pembahasannya hanya fokus kepada peran guru
agama saja sedang penulis dalam penelitian ini akan membahas bagaimana
pola pembinaan yang diterapkan oleh seluruh element sekolah terutama
yang langsung bertanggung jawab dalam pembinaan seperti musyrif, wali
kelas dan guru BK.
Ketiga, Tesis oleh Shohibul Kahfi membahas tentang peran guru
agama Islam dan orang tua dalam pembinaan siswa madrasah Ibtidaiyah.
Di penelitian ini dibahas bagaimana kerja sama antara kedua belah pihak
dalam pembinaan akhlak siswa dan pola apa yang mereka terapkan dalam
pembinaan akhlak usia anak-anak.
13
Bedanya dengan penelitian yang penulis akan lakukan adalah
terletak pada subjek penelitian yang tidak terfokus hanya pada dua element
guru agama islam dan orang tua tapi seluruh element madrasah terutama
yang telah mendapat amanat langsung dalam pembinaan oleh sekolah.
pola pembinaan dalam penelitian penulis akan lebih kepada pola
pembinaan akhlak terhadap siswa usia remaja bukan anak-anak
sebagaimana tesis di atas.
Itulah beberapa perbedaan penelitian yang akan penulis lakukan
dengan penelitian yang ada, penulis juga tertarik untuk melakukan
penelitian karena belum ada sebuah penelitian yang mengungkap tentang
peran musyrif, pamong, dan guru bimbingan konseling dalam pembinaan
akhlak di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
E. Landasan Teori
1. Pola Pembinaan
Menurut Kamus Besar Bahasa indonesia
pola bisa diartikan
dengan makna yaitu :Gambar yang digunakan sebagai contoh. Potonganpotongan kertas yang dijadikan contoh. Sistem atau cara kerja. Bentuk
struktur yang tepat. ( KBBI, 2010:885).
14
Ada beberapa pengertian atau definisi tentang pembinaan. Menurut
Soetofo yang dimaksud dengan pembinaan adalah suatu kegiatan
mempertahankan dan menyempurnakan kegiatan yang telah ada.
Pendapat Soetopo tentang definisi pembinaan belumlah sempurna
sebab,
dalam
melaksanakan
pembinaan
tidaklah
cukup
dengan
mempertahankan kegiatan yang sudah ada kemudian menyempurnakannya
tapi harus ada pengembangan berupa kegiatan baru yang bersifat dinamis
sehingga tidak membosankan bagi peserta didik yang dibina.
Menurut kamus besar bahasa indonesia pembinaan adalah suatu
usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan
berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut definisi
KBBI, sebuah usaha, tindakan atau kegiatan dalam rangka pembinaan
tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau asal-asalan tapi ia harus
memiliki energi perubahan dari buruk menjadi baik, kemudian dari baik
menjadi lebih baik, pembinaan yang berhasil guna seperti inilah yang
diharapkan terjadi.
Menurut Hidayat pembinaan adalah usaha yang dilakukan dengan
sadar berencana teratur dan terarah untuk meningkatkan sikap dan
ketrampilan
anak
didik
dengan
tindakan-tindakan,
pengarahan,
bimbingan,pengembangan, stimulasi dan pengawasan untuk mencapai
suatu tujuan. .
Untuk mencapai tujuan dari diadakannya sebuah
pembinaan tentu harus dilakukan dengan perencanaan yang matang
15
kemudian dilaksanakan dengan sebaik mungkin dengan mengadakan
kegiatan pembinaan seperti pengarahan , pengembangan, stimulasi dan
kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tersebut.
Dalam Artikelkata.com dijelaskan bahwa pembinaan mengandung
tiga makna atau arti antara lain: 1. proses, cara, perbuatan membina. 2.
Pembaharuan, penyempurnaan. 3. Usaha, tindakan, dan kegiatan yang
dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. (artikelkata.com, 23-09-2014)
Dari definisi-definisi pembinaan di atas dapat dipahami bahwa
sesungguhnya pembinaan itu adalah bermuara pada adanya perubahan
yang lebih baik dari sebelumnya menuju yang lebih sempurna, untuk
mencapai tujuan tersebut maka harus ada kegiatan yang dilakukan secara
sadar dan terencana berupa pengarahan, bimbingan, pengembangan,
stimulasi dan pengawasan dengan efektif dan efisien atau berdaya guna
dan berhasil guna untuk mencapai tujuan yang lebih baik dan sempurna.
Dari beberapa definisi yang disebutkan di atas pola pembinaan
yang dimaksud disini adalah tata cara pembinaan dan bentuknya berupa
pengarahan, bimbingan, stimulasi, pengawasan dan upaya pembinaan
lainnya secara berdaya guna dan berhasil guna atau efektif dan efisien
untuk mencapai terbentuknya akhlak yang mulia atau lebih baik dari
sebelumnya.
16
2. Definisi Akhlak
a. Pengertian akhlak
Secara etimologis (lugotan) akhlak (bahasa arab) adalah bentuk
jamak dari khuluk yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabi’at. Berakar dari kata khalaqo yang berarti menciptakan. Seakar kata
dengan kholiq (pencipta) makhluk (yang diciptakan) dan khuluk
(pencipta). Sedang menurut Imam Ghazali akhlak itu adalah suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. ( Yunahar Ilyas, 2005: 1-2).
Dari definisi akhlak menurut bahasa tersebut dapat difahami bahwa
sesungguhnya akhlak berupa, pekerti atau tingkah laku yang baik yang ada
pada diri setiap manusia yang beriman adalah percikan dari sifat-sifat
Allah sebagai sang pencipta alam semesta dan seisinya. Oleh karena itu
beruntunglah orang-orang yang baik akhlaknya.
Adapun definisi akhlak yang disebutkan oleh Imam Ghazali bisa
difahami bahwa yang namanya akhlak baik dan buruk itu sudah tertanam
dalam diri manusia sebagai mana yang disebutkan dalam Al-Qur’an
bahwa manusia itu telah diilhami mempunyai kecendrungan melakukan
kebaikan dan keburukan. Bila manusia mengikuti bisikan keburukan saja
dan dilakukan terus menerus maka niscaya perbuatannya tersebut akan
dilakukannya tanpa pertimbangan sehingga jadilah ia manusia yang
berakhlak buruk. Sebaliknya apabila bisikan kebaikan saja yang dituruti
maka dia akan melakukannya tanpa pertimbangan dan jadilah ia manusia
yang berakhlak baik.
17
Menurut Muhammad Abdullah Darraz akhlak adalah sesuatu
kekuatan dalam diri yang berkombinasi pada kecendrungan pada sisi yang
baik (akhlaqul karimah) dan sisi yang buruk (akhlakul madzmumah). (Ulil
Amri Syafi’i 2012: 73). Makna akhlak yang disebutkan Darraz
mendukung definisi yang disebutkan oleh Imam Ghazali bahwa perbuatan
yang dilakukan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan
pertimbangan akan menghasilkan kekuatan dalam diri untuk melakukan
satu di antara dua bisikan yaitu kebaikan dan keburukan.
Ulil Amri Syafi’i menulis bahwa yang dimaksud dengan akhlak
itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dapat melahirkan
perbuatan baik dan buruk secara spontan tanpa memerlukan pikiran dan
dorongan dari luar. (Ulil Amri Syafi’i 2012: 73). Apa yang disebutkan
Ulil Amri menambah pemahaman tentang akhlak bahwa akhlak itu nilai
yang spontan dilakukan tanpa ada pengaruh dari dalam berupa pemikiran
dan pertimbangan dan tanpa ada pengaruh dari luar berupa dorongan atau
perintah orang lain kepadanya.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak
ialah suatu nilai atau sifat yang telah ditanam atau diinstal oleh Allah
dalam jiwa setiap manusia berupa ilham kebaikan dan keburukan yang
apabila ia memiliki kecondongan kepada salah satu dari dua ilham tersebut
dan kemudian dilakukannya secara terus menerus maka akan melahirkan
sebuah perbuatan gampang dan spontan tanpa pengaruh dari dalam berupa
18
pemikiran atau pertimbangan dan dari pengaruh luar berupa dorongan atau
perintah orang lain.
Akhlak baik atau mulya adalah sifat yang harus mulai ditanamkan
pada diri seorang anak dari usia dini. Mustafa Kamal Pasha menyatakan
bahwa cara menanamkan akhlak adalah dengan pembiasaan, sebab
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran
terlebih dahulu, hakikatnya merupakan tindakan yang tertanam karena
suatu kebiasaan. ( Musthafa Kamal Pasha, 2002: 10-11).
Cara pembinaan akhlak dengan pembiasaan sebagai mana
disebutkan di atas memang harus dilakukan sebab cara termudah untuk
merubah kebiasaan adalah dengan merubah kebiasaan sebelumnya dengan
kebiasaan yang baru yang lebih baik.
Akhlak juga bisa dibentuk dengan pengkondisian lingkungan.
Apabila sebuah lingkungan bisa dimanage dengan baik dimana
didalamnya diterapkan nilai-nilai islam oleh semua element yang ada di
dalamnya maka hal ini hal ini akan memberikan pengaruh kepada siapa
saja yang tinggal di dalamnya.
Hal ini bersesuaian dengan sabda Nabi yang disebutkan oleh
Mustafa Kamal yang menyatakan bahwa gambaran orang yang bergaul
dengan manusia yang berperangai buruk dan yang bergaul dengan
manusia yang berperangai bagus adalah semisal ia duduk dengan pandai
besi dan penjual minyak wangi. Mereka yang bergaul dengan pandai besi
19
akan terkena percikan api atau asap yang menyebabkan pakaiannya bisa
terbakar atau bau. Sedangkan yang bergaul dengan penjual minyak wangi
akan kebagian wanginya. ( Musthafa Kamal Pasha, 2002: 10-11).
Sabda Nabi di atas secara eksplisit menyuruh setiap pendidik baik
itu guru maupun orang tua agar berhati-hati jangan sampai anak didiknya
terpengaruh lingkungan atau pergaulan yang rusak karena akan
berakibatnya rusaknya masa depan mereka.
Dalam tafsir tematik yang disusun oleh Kementrian Agama
halaman 4-5 disebutkan bahwa suatu perbuatan bisa diketegorikan
perbuatan akhlak, manakala terdapat ciri-ciri, antara lain:
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tertanam secara
terus menerus di dalam jiwa seseorang sehingga kuat dan mengakar. Jika
sesorang dikatakan berakhlak dermawan, maka kedermawananya tersebut
telah mendarah daging kapan dan dimanapun dia hidup, sehingga menjadi
kepribadianya yang membedakan dirinya dan orang lain.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
seseorang dengan mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran
dan pertimbangan. Hal ini tidak berarti bahwa ketika melakukan perbuatan
tersebut seseorang melakukan dengan tidak sadar, hilang ingatan, tidur
atau gila. Perbuatan akhlak tersebut mengalir dengan mudah seperti air
terjun yang jatuh ke sebuah lembah tanpa mengalami hambatan sekecil
apapun.
20
Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dalam diri
orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan,
pilihan,
dan
keputusan
yang
bersangkutan.
Manusia
diberikan
kesempurnaan berupa akal dan nurani.
Dengan akal manusia diharapkan berfikir. Dengan nurani manusia
diharapkan meresapkan dan memberikan makna. Dengan memadukan
antara nurani dan akal manusia diharapkan memiliki kearifan sehingga
perbuatanya mencermikan kebebasan, pilihan dan tanggung jawabnya
sebagai manusia yang bermartabat.
Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan kesungguhan, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan nyata dalam kehidupan sosial. Untuk
membedakan apakah perbuatan seseorang itu dilakukan secara sungguhsungguh atau sedang bersandiwara dengan topeng-topeng kehidupan,
maka perlu dilakukan pengamatan yang seksama dan terus menerus
berkaitan dengan prilaku seseorang atau sekelompok orang.
Kelima, perbuatan akhlak, khususnya akhlak terpuji, adalah
perbuatan yang dilakukan dengan atas dasar keimanan dan ibadah atau
pengabdian kepada Allah dengan penuh keikhlasan semata-mata
mengharap keridhoan atau kerelaan Allah di dunia maupun di akherat.
21
Dari paparan di atas dapat dirangkum dua hal penting. Pertama,
akhlak bersumber dari jiwa. Jika jiwa seseorang itu bersih, jernih dan
bening, maka akhlak orang itu akan baik dan mulia. Sebaliknya jika
seseorang itu kotor dan penuh noda, maka dari jiwa yang demikian itu
tidak akan pernah memancarkan akhlak yang baik dan mulia, karena
kualitas akhlak seseorang ditentukan oleh keadaan jiwanya.
Sungguh pun demikian, kata akhlak sering mengacu kepada makna
positif yang menggambarkan sifat-sifat manusia yang beradab, sehingga
orang yang berakhlak buruk sering dikatakan sebagai orang yang tidak
berakhlak.
Kedua, perbuatan seseorang dinyatakan sebagai gambaran dari
akhlaknya apabila perbuatan itu tertanam dalam dirinya dengan kuat dan
mengakar, dilakukan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan, muncul dalam diri sendiri, dilakukan dengan kesadaran,
dan dengan keikhlasan atas dasar keimanan kepada Allah.
b. Pola Pembinaan akhlak
Pembinaan akhlak merupakan salah satu tumpuan perhatian Islam.
hal ini dapat dilihat dari salah satu misi diutusnya Rasulullah saw ke muka
bumi ini, yaitu sebagai penyempurna akhlak yang mulia. Perhatian Islam
yang demikian terhadap pembinaan akhlak ini dapat pula dilihat dari
perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang mendahului pembinaan
fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan
22
yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan
kebaikan dan kebahagian pada seluruh umat manusia, lahir dan batin.
Pembinaan
akhlak
merupakan
bagian
integral
dan
tidak
terpisahkan dalam dunia pendidikan. karena tujuan pendidikan dalam
Islam adalah menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa melalui
ilmu pengetahuan, keterampilan dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai
islam. tujuan ini dapat diperoleh melalui proses pendidikan Islam sebagai
cerminan karakter seorang muslim. (Ulil Amri Syafi’i, 2012 : 69-70).
Integrasi antara ilmu dan akhlak sebagai mana dipaparkan Ulil
Amri dewasa ini kurang begitu mendapat perhatian yang baik. guru lebih
cenderung mangajari siswanya dengan transfer ilmu bukan transfer nilai
atau akhlak. sehingga dewasa ini para siswa banyak yang mengalami
degradasi moral atau akhlak, untuk mengatasi permasalahan tersebut
pendidikan tidak boleh memisahkan keduanya da pembinaan akhlak harus
digencarkan.
Keberadaan pembinaan akhlak ini ditujukan untuk mengarahkan
potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia agar selaras dengan
fitrahnya. Selain itu, juga meminimalkan aspek-aspek buruknya (Ulil Amri
Syafi’i, 2012:69-70).
23
Mendapatkan pembinaan potensi tersebut adalah hak anak didik
yang diserahkan kepada para pendidik. Imam Zaenal Abidin mengatakan “
salah satu hak anak anda adalah menganggapnya sebagai miliki anda, dan
harus diketahui bahwa setiap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan di
dunia ini, termasuk kebajikan dan kebatilan terkait dengan anda” ( Ibnu
Hasan Najafi dan Mohammed A. Khalfan, 2006: 60-61)
Usaha untuk membina dan membentuk akhlak mulia peserta didik,
tidaklah semudah membalikkan tangan, sebab ia membutuhkan perjuangan
ekstra, hal ini juga dirasakan oleh Rasulullah Muhammad saw ketika
membina dan mengkader kaum muslimin pada saat itu, beliau menghadapi
semua itu dengan sabar dan penuh perencanaan yang matang dan terpola,
sehingga akhirnya mendapatkan kesuksesan.
Pembinaan akhlak yang mulia seharusnya mengacu pada pola-pola
pembinaan akhlak yang dilakukan oleh Rasulullah sehingga berhasil
membentuk akhlak dan karakter unggul pada diri sahabat-sahabatnya.
Rasulullah sebagai seorang pendidik memiliki gambaran utuh tentang
objek dakwah yang dihadapinya.
Mereka adalah kumpulan berbagai karakter manusia yang harus
mendapatkan sentuhan yang berbeda dan tepat. Proses tersebut tidak
mungkin kecuali lewat pendidikan yang intensif, terus menerus, dan
dilakukan dengan penuh kecermatan dan kasih sayang.
24
Dalam masa penggemblengan para sahabat sebagai kader-kader
utama, mereka tidak pernah lepas dari pantauan Rasulullah. Misalnya
sebagai manusia biasa, para sahabat tentunya tidak terlepas dari kesalahan
manusiawi. Bila itu terjadi, Rasulullah meluruskannya dengan berbagai
metode pendidikan, antara lain:
Pertama, melalui teguran langsung, misalnya sebagai mana yang
terdapat pada hadis Nabi saw:
Umar bin Salamah r.a. berkata,” dahulu aku menjadi pembantu di rumah
Rasulullah, ketika makan biasanya aku mengulurkan tanganku ke
berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, hai gulam bacalah bismillah
dan makanlah apa yang ada di dekatmu.( Muhammad Zairul Haq, 2010:
144).
Hadis di atas menggambarkan bahwa Umar bin Salamah memiliki
kebiasaan yang mana kalau tidak ditegur oleh Rasulullah ia tidak sadar
bahwa ternyata ia memiliki kebiasaan yang tidak baik. Teguran secara
langsung dengan cara yang baik akan lebih memberikan kesan yang
mendalam di hati, sehingga akan teringat terus kapanpun dan di manapun.
Teguran Nabi saw dalam hadis di atas berbentuk larangan agar
tidak makan hidangan yang jauh dulu atau tidak terjangkau tangan tapi
terlebih dahulu makan dengan hidangan yang terdekat. Pembinaan dengan
teguran berupa larangan sesuai dengan fitrah manusia karena manusia
memiliki dua unsur dalam dirinya yaitu keburukan dan kebaikan.
25
Maka disaat manusia mendapat larangan untuk dibatasi dalam
melakukan sesuatu, potensi kebaikannya secara tidak langsung mampu
mempengaruhi dan menekan potensi buruk agar tidak muncul. Sebagai
contoh ketika sebuah teks Al-Qur’an melarang merusak amalan infaknya
dengan perbuatan penghinaan, riya dan mencela fakir miskin (albaqoroh:264) maka potensi kebaikan dalam dirinya mampu mencegah dan
menahan diri agar tidak merusak amalan tersebut dengan riya, mencela
dan menyakiiti fakir miskin disaat seseorang memberi infak kepada
mereka. (Ulil Amri syafi’i, 2012 :108)
Dalam hal pembinaan akhlak santri dengan teguran ini ada
beberapa hal yang harus diperhatikan di antaranya adalah ketika akan
menegur perlu memperhatikan situasi dan kondisi, apabila dalam situasi
ramai di mana disekitarnya ada teman atau saudara-saudaranya atau dalam
kondisi sedang ada masalah ada baiknya untuk diurungkan sebab hal ini
bisa membuat malu dan penolakan dari santri tersebut.
Kedua, melalui sindiran. Menurut Najib Kholid al-Amir, mengatasi
kesalahan anak didik dengan sindiran dapat membawa wibawa anak
dimata teman-temannya, sehingga dia tidak rendah diri. Hal itu
mengisyaratkan bahwa upaya meluruskan kesalahan anak didik jangan
dilakukan dengan menjatuhkan mental karena itu dapat menimbulkan
kelaianan mental. ( Muhammad Zaarul Haq, 2010: 145).
26
Untuk memperbaiki kesalahan dengan sindiran, pendidik harus
memperhatikan tiga hal, di antaranya: senantiasa menjaga kasih sayang,
menjaga kepercayaan diri sang murid, jangan sampai membuatnya merasa
bersalah dan pada akhirnya tidak termotivasi untuk belajar.
Ketiga, melalui pemukulan. Menurut Najib Khalid, menghukum
dengan pukulan adalah alternatif terakhir yang dapat dilakukan ketika
seluruh sarana peringatan tidak mempan lagi. Sedangkan ahli pendidikan
mengatakan, menghukum dengan pukulan bukanlah suatu hal yang
mendidik. Namun ketika seluruh sarana tidak dapat digunakan lagi, maka
hukuman ini dapat dilakukan walaupun sebenarnya tidak ada nilai
pendidikan yang terkandung di dalamnya. ( Muhammad Zaarul Haq, 2010:
147)
Karena itu sebagian ahli pendidikan menyarankan untuk mengganti
hukuman pukulan dengan memegang anggota peserta didik, misalkan
tangan, bahu dan pundaknya. Tujuannya agar peserta didik menyadari
bahwa gurunya sedang menegurnya. Namun kemudian ia menyadari
bahwa gurunya berbuat demikian karena sayang kepadanya.
Sehingga diharapkan dengan adanya kontak langsung ( antara
tangan sang guru dengan salah satu anggota badan peserta didik) ini, akan
terjalin ikatan batin yang kuat dan harmonis, dan tentunya jauh dari nuansa
kekerasan dan kezaliman.
27
Apabila terpaksa dilakukan, ada beberapa etika yang harus
diperhatikan oleh pendidik dalam melakukan hukum pukul ini. di
antaranya: pendidik dilarang memukul kecuali jika seluruh sarana
peringatan tidak mampu lagi untuk memperbaiki tingkah laku peserta
didik, tidak boleh dalam keadaan marah, pemukulan tidak boleh dilakukan
pada tempat yang berbahaya, misalnya muka, disarankan pemukulan tidak
keras dan tidak menyakitkan.
Menurut Zairul Haq masih terdapat satu lagi metode pendidikan
yang dilakukan Rasulullah, yaitu dengan “menakut-bakuti”. Tentu
saja yang dimaksud dengan menakut-nakuti dalam konteks ini
berbeda dengan menakut-nakuti dalam hal lainnya yang sudah
menjadi anggapan umum dalam masyarakat luas. (Muhammad
Zaairul Haq, 2010: 149).
Menakut-nakuti di sini adalah memperingatkan para sahabat akan
suatu hal yang yang dilarang dengan mengabarkan akibat atau sesuatu
yang akan terjadi bila mereka berani melakukan suatu hal yang dilarang
tersebut. dengan mengetahui akibat dari perbuatan, seorang santri akan
lebih berhati-hati sehingga selamat dari hal yang tidak diinginkan atau
ditakuti terjadi.
Pola pembinaan dengan menakut-nakuti disebut dengan tarhib.
Model tarhib adalah upaya menakut-nakuti manusia agar menjauhi dan
meninggalkan suatu perbuatan. Terhib mempunyai landasan dasar berupa
ancaman, hukuman, sangsi. Tarhib adalah penjelasan sangsi dari
28
konsekuensi meninggalkan printah atau mengerjakan larangan dari ajaran
agama. (Ulil Amri syafi’i, 2012 : 118-‘120).
Dalam dunia pendidikan model tarhib memberikan efek rasa takut
untuk melakukan suatu amal. Pendidikan yang menggunakan model tarhib
adalah pendidikan yang melihat manusia bukan saja aspek akal dan
jasmani tapi juga melihat aspek jiwa dan hati manusia. Model ini
memanfaatkan sifat takut yang ada pada manusia. Rasa takut yang ada
pada diri manusia dididik menjadi takut yang bermakna tidak berani
melakukan kesalahan atau pelanggaran, karena ada sangsi dan
hukumannya. (Ulil Amri syafi’i, 2012 : 118-‘120)
Nasih Ulwan pakar pendidikan Islam, menawarkan beberapa pola
dalam proses pendidikan atau pembinaan akhlak, di antaranya adalah
dengan pembiasaan, keteladanan, nasehat, pengawasan, penghargaan dan
hukuman.
. Keteladanan adalah pendidikan yang tidak secara langsung tapi
telah terbukti keberhasilannya dalam pembentukan aspek moral dan
spiritual. Ambil saja contoh keteladan Rasulullah yang telah merubah
prilaku jahilyah masyarakat pada zamannya menuju kecemerlangan
peradaban.
Dalam praktek pendidikan anak didik cendrung meneladani
pendidiknya dan ini diakui oleh hampir semua ahli pendidikan. dasarnya
adalah secara psikologis anak suka meniru, tidak hanya yang baik yang
29
jelekpun ditirunya, dan secara psikologis pula manusia membutuhkan
sosok teladan dalam hidupnya.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindakan
keagamaan yang dilakukan oleh anak (khususnya pra sekolah)
pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan shalat misalnya,
mereka lakukan dari hasil melihat perbuatan yang dilakukan
dilingkungan baik di keluarga maupun masyarakat. (paradigma
pendidikan Islam, (lift Anis Ma’sumah, 2001:227)
Keteladanan yang baik dari orang di sekitar, memiliki pengaruh
yang signifikan dalam pembentukan akhlak. Seorang santri yang setiap
hari melihat gurunya selalu hadir di kelas tepat waktu dengan pakaian
yang rapi, bertutur kata yang baik dan sopan, cepat atau lambat akan
berpengaruh dan menginspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama
bahkan lebih baik dari yang dilakukan oleh gurunya
Menurut Jalaluddin, dalam segala hal anak merupakan peniru
yang ulung . sifat meniru ini merupakan sifat modal positif dalam
pendidikan keagamaan pada anak. Walaupun anak mendapat
pelajaran agama yang tidak semata-mata berdasarkan yang
mereka proleh sejak kecil, namun pendidikan keagamaan (religius
paedagogis) sangat mempengauhi tingkah laku/prilaku keagamaan
(religius behaviour) melalui sifat menerima itu. Oleh karena itu,
menjadi tugas seorang guru (pendidik) untuk sedapat mungkin
menjadikan dirinya sebagai top figur bagi anak didiknya. (lift Anis
Ma’sumah, 2001:227)
Ulil Amri Syafi’i menambahkan bahwa keteladaan adalah salah
satu aspek terpenting dalam mewujudkan integrasi iman,ilmu, dan akhlak
ia akan terwujud dengan adanya figur utama yang menunjang hal tersebut.
Dialah sang pendidik yang menjadi sentral pendidikan. Sehingga bisa
dikatakan bahwa qudwah merupakan aspek terpenting dari proses
30
pendidikan
.
para
pendidik
dituntut
memiliki
kepribadian
dan
intelektualitas yang baik dan sesuai dengan islam sehingga konsep
pendidikan dapat langsung diterapkan melalui diri para pendidik. Para
pendidik adalah qudwah dalam setap aspek kehidupannya. (Ulil Amri
syafi’i, 2012 : 140).
Seorang pendidik harus memahami dan menyadari betul bahwa
dalam diri setiap anak itu terdapat sebuah modal positif berupa sifat ingin
meniru apa saja yang mereka lihat dilingkungannya. Oleh karena itu,
seorang pendidik harus berhati-hati dalam bertutur kata, berprilaku dan
bersikap dihadapan peserta didik.
Dengan modal yang dimiliki oleh peserta didik ini, pendidik dan
bisa memanfaatkannya untuk melakukan pembinaan yang lebih intensif.
Pendidik dan seluruh element yang ada harus ikut berpartisifasi dalam
memberikan keteladanan yang baik bagi mereka. Sebab dengan hal ini
akan memberikan kekuatan yang besar untuk mempengaruhi sikap dan
tingkah lakunya.
Menurut Nasih Ulwan pembinaan akhlak bisa juga dilakukan
dengan pemberiaan nasihat bijak. Hal ini bisa membuka kesadaran berfikir
dan berbuat peserta didik menuju keutamaan akhlak. dalam rangka
memperkuat nasihat dibutuhkan pengawasan dan perhatian penuh dari
pendidik.
31
Dr. Harvey Greenberg, seorang profrsor psikiatri untuk remaja di
sekolah tinggi kesehatan Einstein, berkata bahwa anak muda zaman
sekarang sedang berhadapat dengan budaya yang sia-sia dengan tidak
adanya nilai-nilai kehidupan yang memagari mereka , sehingga mereka
bertindak semau mereka. Mereka membutuhkan seoarang mentor atau
penasehat. Biasanya guru yang menasehati mereka, tetapi para guru
tersebut sudah jarang melakukan sekarang karena mereka lebih sering
marah atau hanya membuat mereka lelah. ( Thomas Lickona, 2013: 129)
Kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan santri atau peserta
didik biasanya bukan karena kenakalan melainkan karena faktor ketidak
tahuan atau keluguan mereka. Oleh karena itu jangan pernah menyalahkan
langsung tanpa bertanya mengapa mereka melakukan hal tersebut.
Apabila setelah ditanya dengan
cara yang baik dan ternyata
mereka melakukan tindakan atau perbuatan melanggar tersebut karena
ketidak tahuan atau mungkin karena kenakalan, maka proses pembinaan
dengan
nasihat
harus
dilakukan
tentunya
dengan
hikmah
atau
kebijaksanaan sebagai mana apa yang disebutkan Nasih Ulwan.
32
Sedangkan menurut Muhammad Abu Sulaikh ada beberapa hal
yang harus diperhatikan ketika akan menyampaikan sebuah nasihat kepada
siapapun.
Di antaranya: pertama, nasehat harus didasari oleh niat yang ikhlas
semata-mata karena Allah. Kedua, nasehat hendaknya disampaikan secara
rahasia, sebab mereka yang membutuhkan nasehat itu menginginkan untuk
ditutupi keburukannya dan dan diperbaiki kesalahannya.
Ketiga, disampaikan secara lemah lembut. Keempat, nasihat tidak
boleh bersifat memaksa. Kelima, memilih waktu yang tepat untuk
memberikan nasehat, sebagai mana Ibnu
Mas’ud rodhiyallohu’anhu berkata:
“Hati itu memiliki rasa suka dan keterbukaan. Hati juga memiliki
kemalasan dan penolakan. Maka raihlah ketika ia suka dan menerima.
Dan tinggalkanlah ia ketika ia malas dan menolak.” (Al –Adab AsySyar’iyyah, karya Ibnu Muflih)
Pembinaan boleh juga dilakukan dengan memberikan hukuman
sebagai efek jera kepada yang melanggar sehingga tidak melanggar lagi.
Hukuman yang diberikan tidak mesti dengan fisik tetapi bisa juga dengan
hukuman yang mendidik seperti menulis beberapa ayat al-Qur’an atau
membersihkan kamar atau halaman asrama. Bila hukuman fisik terpaksa
dilakukan maka hendaknya tidak sampai melukai, karena hal ini bisa
menimbulkan dendam yang berkepanjangan.
33
Dari ulasan di atas dapat ditangkap makna bahwa dalam proses
pembinaan menuju terbentuknya akhlak yang baik, tidaklah semudah
membalikkan tangan butuh perjuangan, ketekunan dan kesabaran dari
pendidik atau guru untuk pencapaian tersebut.
Dalam proses pembinaan hendaknya tidak dilakukan dengan
tergesa-gesa, ia butuh tahapan-tahapan yang runut dan tidak boleh lompatlompat. proses pembinaan yang dilakukan dimulai dari tahapan analisis
prilaku agar diketahui sebab pelanggaran, melakukan pendekatan secara
kekeluargaan, menyampaikan nasihat bijak, agar kata dan tindakan selaras
harus diikuti dengan keteladanan, setelah itu proses pembiasaan, teguran
diiringi dengan menakut-nakuti secara proforsional, terakhir dengan
hukuman edukatif atau bisa juga hukuman fisik. Dengan pola seperti ini
insya Allah akan terbentuk santri atau peserta didik yang berakhlak mulia.
( Arief, 2002: 131)
Dalam memberikan hukuman hendaknya memperhatikan beberapa
hal, Arief memaparkan bahwa dalam memberikan hukuman harus
memenuhi beberapa unsur antara lain: hukuman diberikan karena cinta
dan kasih sayang, didasarkan pada keharusan, menimbulkan kesan dan
penyesalan pada anak, diikuti dengan pemberian maaf, harapan dan
kepercayaan. ( Arief, 2002: 131).
Beberapa unsur yang diungkap oleh Arief dalam memberikan
hukuman kepada anak didik merupakan sebuah pedoman yang harus
34
diperhatikan sebab terkadang sebagai seorang pendidik guru memberikan
hukuman didasari oleh perasaan benci sehingga terkadang lepas kontrol
dan memberikan hukuman secara membabi-buta, dan bila ini terjadi maka
hubungan antara pendidikan dan anak didiknya menjadi renggang bahkan
sampai menimbulkan dendam berkepanjangan.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk akhlak.
Abuddin Nata dalam bukunya akhlak tasawuf, dalam menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak menyebutkan
beberapa aliran yaitu natifisme, empirisme, dan aliran konvergensi
(Abuddin Nata, 2002: 165-168).
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam
yang bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, akal dan lain-lain. Jika
seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecendrungan yang baik maka
dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu
lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
Jika pembinaan dan pendidikan itu baik maka baiklah anak itu. Demikian
pula sebaliknya.
Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembentukan
akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak dan
faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus
35
atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecendrungan
ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif
melalui berbagai metode.
Dari ketiga aliran tersebut, menurut Abuddin Nata aliran
konvergensilah yang tampak lebih sesuai dengan Islam, karena sesuai
dengan hadis Nabi yang menjelaskan bahwa setiap anak itu dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi,
nasrani atau majusi.
Dari aliran konvergensi yang tampak lebih sesuai dengan Islam ini,
bisa dipetakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak,
antara lain: faktor siswa, guru, lingkungan sekolah, keluarga dan
masyarakat. Faktor siswa adalah faktor internal sedang yang lain adalah
faktor eksternal.
1. Faktor siswa
Siswa adalah mereka yang melakukan aktivitas belajar dan
menerima bimbingan atau pengarahan dari seorang guru. Guru dan
siswa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri
sendiri, dimana siswa menerima pelajaran sedangkan guru memberi
pelajaran.
Keduanya harus aktif, bukan hanya guru saja tapi murid juga
dituntut untuk lebih aktif dengan memberikan perhatian dan minat yang
besar untuk meraih ilmu yang diajarkan. Oleh karena ini maka siswa
36
harus mndapatkan perhatian yang ekstra dalam kegiatan pendidikan
sebab anak didik adalah inti dari pendidikan. (Oemar Hamalik,
2010:27).
2. Faktor guru
Seorang guru memiliki peran sebagai mediator atau perantara
agar anak didik bisa mencapai tujuannya yang sudah ditetapkan atau
dirumuskan. Tanpa adanya seorang pendidik maka tujuan pendidikan
atau hal yang telah dirumuskan tidak akan tercapai.
Oleh sebab itu diperlukan guru yang profesional karena guru
yang profesional tentu akan lebih mampu dan lebih menguasai teori
pelajaran yang akan disampaikan dan tentu akan berhasil pula dalam
pembinaan dan pengembangan kemampuan siswa. Jadi guru bukan
orang biasa, tetapi harus memiliki kemampuan serta keahlian khusus
yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.
3. Faktor sekolah
Lingkungan yang kondusif merupakan komponen yang sangat
penting dalam proses belajar. Lingkungan ini mencakup lingkungan
fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam dan lingkungan psikologis
dalam proses belajar mengajar berlangsung. Semua komponen harus
dikelola sedemikian rupa, sehingga beelajar anak dapat maksimal untuk
mencapai hasil yang maksimal pula. ( Agus Maemun dan Agus Zaenul,
2010: 138)
37
Situasi sekolah atau madrasah sangat perlu disesuaikan dengan
nilai-nilai yang ingin ditanamkan, maka pembinaan akhlak pada anak
akan mudah dan cepat untuk terbentuk ( Nuzul Zuriah, 2008:23).
Jika pihak sekolah ingin menanamkan nilai kejujuran dan nilai
juang maka seluruh elemen sekolah harus berusaha memberikan contoh
kepada siswa, mengadakan kegiatan yang mendukung, dan menghindari
kegiatan kegiatan negatif yang menjadi kendala dalam penanaman nilai
tersebut. misalnya guru membiasakan untuk menumbuhkan dalam
dirinya tentang kejujuran ilmiah, mengawasi anak dalam kegiatan ujian
jangan sampai menyontek.
Ada tujuh permasalahan pokok yang menjadi akar krisis mental
dan moral dalam pendidikan nasional:
a. Arah pendidikan telah kehilangan objektifitasnya.
b. Proses pendewasaan diri tidak berlangsung dilingkungan sekolah.
c. Proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik
bahkan guru.
d. Beban kurikulum yang demikian berat.
e. Pelajaran agama dan moral yang hanya diajarkan dalam bentuk
verbalisme.
f. Pertentangan nilai yang dihadapi oleh siswa di sekolah.
g. Krisis keteladanan di sekolah. ( Nuzul Zuriah, 2008:112)
38
4. Faktor keluarga
Tugas dan tanggung jawab guru tidak terlaksana dengan baik
tanpa bantuan orang tua, dan masyarakat, karena guru sebagai
pendidik
mempunyai
keterbatasan
sebagai
mana
orang
tua
mempunyai keterbatasan (Ramayulis, 2008:65).
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sangat
penting dalam membentuk pola keperibadian anak, karena di dalam
keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma.
Lingkungan keluarga sering disebut lingkungan pertama dalam
pendidikan. ia merupakan pondasi dasar yang mana akan dibangun di
atasnya bangunan yang lain, bila dasarnya kokoh maka bangunan
yang di atasnya akan menjadi kokoh pula, begitu pula sebaliknya.
Pengaruh keluarga dalam kepribadian anak itu begitu besar,
meskipun dalam ukuran relatif tidak sama. Di dalam masyarat anak
akan tumbuh dengan sifat orang tuanya, baik dalam arti positif
maupun negatif. Hal ini berlaku dalam kepribadian umum. Dari orang
tua yang alim umumnya dapat diharapkan anak-anak yang alim dan
sebaliknya dari orang tua yang jahat akan susah diharapkan anak-anak
yang shalih.
Dari beberapa ulasan di atas dapat diketahui bahwa keluarga
sebagai pranata sosial pertama dan utama, memiliki arti penting dan
strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang
dibutuhkan anggotanya dalam mencari kehidupan. Dari keluarga, anak
39
mempelajari sifat-sifat mulia, kesetiaan, kasih sayang dan sebagainya.
Dari kehidupan seorang ibu dan ayah terpupuk keuletan, keberanian,
sekaligus tempat berlindung, bertanya
dan mengarahkan bagi
anggotanya.
Berbagai hasil penelitian
menunjukan bahwa terdapat
perbedaan siswa yang berasal dari keluarga yang mendidik kejujuran
dengan keluarga yang mendidik penuh dengan pelanggaran. Keluarga
yang penuh dengan pelanggaran menampilkan sosok siswa yang
senang melakukan pelanggaean karena orang tua yang berpenampilan
memberi contoh buruk, sering bertengkar, disiplin yang sangat rendah,
sikap yang tidak mengindahkan norma masyarakat. Bagi siswa yang
berasal dari keluarga dengan kejujuran menampakkan hal yang
sebaliknya ( Nuzul Zariah, 2008:3).
5. Faktor masyarakat
Peran masyarakat dalam pembinaan akhlak juga tidak kalah
penting. Kehidupan sekolah tidak lepas dari kehidupan masyarakat di
sekitarnya. Anak dalam kehidupan di masyarakat biasanya saling
meniru di antara sesamanya, proses saling meniru itu sangat kuat dan
cepat. Pengaruh kawan sangat besar terhadap akal dan akhlak anak.
Dengan demikian dapat dipastikan masa depan anak
tergantung dengan keadaan masyarakat di mana anak itu melakukan
pergaulan. Anak yang hidup di antara tetangga yang baik akan
terbentuk menjadi anak yang baik, begitu juga sebaliknya, anak yang
40
hidup di antara orang-orang yang tidak baik akhlaknya, ia akan
menjadi buruk akhlaknya. ( Sam’un Bakry, 2005:112).
Prilaku menyimpang di kalangan remaja, pemuda dan
masyarakat adalah merupakan akibat dari para generasi muda yang
kehilangan contoh teladan dalam meniru perilaku yang etis. Mereka
kehilangan model orang dewasa yang dapat digugu dan ditiru.
Masyarakat sering menjadi kendala besar bagi pembinaan
akhlak. banyak yang tidak bersikap sopan, bertingkah seenaknya
karena pengaruh kehidupan masyarakat. Misalnya di sekolah telah
diajarkan nilai kerukunan dan persaudaraan, tetapi di masyarakat
siswa melihat adanya komplik dan permusuhan. Akibatnya siswa
menjadi mudah bingung dan akhirnya meniru apa yang terjadi di
masyarakat.
Dalam konteks masyarakat perlu di garis bawahi pengaruh
media massa TV, internet, dan lain-lain. Alat komunikasi ini setiap
hari mengenalkan nilai tertentu yang terkadang berlainan dengan nilai
akhlak yang ditanamkan di sekolah.
Begitu besar pengaruh media massa sehingga sering kali
membuat pengaruh sekolah tidak kuat dan bahkan kalah. Misalnya, di
sekolah ditanamkan nilai juang dan mengalahkan budaya seenaknya,
malas-malasan dan budaya instan. Akan tetapi karena setiap hari
menawarkan budaya instan dan orang dapat sukses tanpa harus
41
berjuang, maka daya juang sering kali kandas. Pengaruh kenakalan
ramaja, pengaruh seksualitas yang tidak benar dan narkoba banyak
didapat dari media massa.
Dalam tataran implementasi dan realisasi pendidikan akhlak
perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah
secara terpadu. Dengan sendirinya pelaksanaan pembinaan akhlak di
sekolah sangat perlu didukung dengan pembinaan di keluarga dan
masyarakat. Untuk mendukung pembinaan akhlak di madarasah perlu
adanya sinergisitas dan kerjasama yang kuat erat antara orang tua,
sekolah, masyarakat dan pemerintah ( Nuzul Zuriah, 2008:171).
3. Istilah-istilah Lain
Selain istilah akhlak ada beberapa istilah yang sering dipakai
dalam membahas masalah prilaku manusia, di antaranya adalah etika dan
moral.
a. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari
bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam
kamus bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat
bahwa etika berhubungan upaya menentukan tingkah laku manusia.
42
Sedangkan menurut istilah, para ahli mendefinisikannya
dengan ungkapan yang berbeda-beda Ahmad Amin misalnya
mendefinisikan etika adalah ilmu yang menjelaskan tentang arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan apa yang seharusnya diperbuat.
Selanjutnya Soegarda Poebakawaja mengartikan etika sebagai
filsafat nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk, serta berusaha
mempelajari nilai-nilai yang juga merupakan pengetahuan tentang
nilai-nilai itu sendiri. (Abudin Nata, 2002:88)
Pengertian etika lebih lanjut dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara. Menurutnya etika adalah ilmu yang mempelajari soal
kebaikan dan keburukan di dalam hidup semua manusia, teristimewa
mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat
merupakan perbuatan. (Abudin Nata, 2002:88)
Dari beberapa pengertian etika di atas dapat diketahui bahwa
etika berhubungan dengan empat hal, sebagai berikut: pertama, dilihat
dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan
yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya,
etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil dari
43
pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut, dan tidak pula
universal.
Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai
penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan
oleh manusia, yaitu apakah perbuatan itu dinilai baik, buruk, mulia,
terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan
sebagai konseptor terhadap sejumlah prilaku yang dilaksanakan oleh
manusia. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni
dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
b. Moral
Abudin Nata mengungkapkan bahwa moral menurut bahasa
adalah berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang
berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia bahwa
moral adalah penentuan baik dan buruk terhadap kelakuan dan
perbuatan.
Selanjutnya moral dari segi istilah adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik atau buruk. (Abudin Nata,
2002:90).
Dalam perkembangan selanjutnya istilah moral sering pula
sering pula di dahului oleh kata kesadaran, sehingga menjadi istilah
kesadaran moral. Ahamad Charris Zubair mengatakan bahwa
kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan
44
tindakan
manusia
selalu
bermoral,
berperilaku
susila,
dan
perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran
moral itu di dasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial,
fundamental.
Orang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur
walaupun tidak ada orang yang melihatnya, tindakan orang yang
bermoral tidak akan menyimpang, dan selalu berpegang pada nilainilai tersebut. hal ini terjadi karena tindakan orang yang bermoral itu
berdasarkan atas kesadaran, bukan berdasarkan pada sesuatu kekuatan
apapun dan juga bukan karena paksaan, tetapi berdasarkan kesadaran
moral yang timbul dari diri orang yang bersangkutan. (Abudi Nata,
2002:92).
Hamzah Ya’kub dalam bukunya yang berjudul Etika Islam
mendifinisikan:
Etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari mana
yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran manusia. Sedang yang dimaksud dengan moral adalah
sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia, mana yang baik dan wajar. ( Hamzah Ya’kub,
1988:13-14)
Setelah menjelaskan definisi kedua istilah di atas, Hamzah
Ya’kub mengungkapkan
perbedaan keduanya. Etika lebih bersifat
teori sedang moral lebih bersifat praktis. Etika memandang laku
perbuatan manusia secara universal (umum) sedang moral secara lokal.
45
Etika dan moral bila disandingkan dengan istilah akhlak akan terlihat
persamaan
sekaligus
perbedaannya.
Persamaannya
sama-sama
membahas prilaku manusia dalam sudut pandang baik dan buruk.
Perbedaannya etika dan moral bersumber dari akal pikiran manusia
sedang akhlak sumbernya al-Qur’an dan al-Hadis. ( Hamzah Ya’kub,
1988:15)
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian seharihari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai yang ada.
Dalam istilah selanjutnya istilah moral sering juga didahului
oleh kata kesadaran, sehingga menjadi istilah kesadaran moral..
Ahmad Charris Zubair dalam bukunya yang berjudul kuliah etika
sebagai mana dikutip oleh Abudin Nata, mengatakan bahwa kesadaran
moral merupakan faktor penting.untuk memungkinkan tindakan
manusia selalu bermoral, berprilaku susila dan perbuatannya selalu
sesuai dengan norma yang berlaku. ( Abudin Nata, 2002: 92)
4. Siswa Madrasah Mu’allimin
Siswa Madrasah Mu’allimin adalah siswa yang sengaja dibina dan
dibentuk untuk menjadi kader-kader penggerak Muhammadiyah di daerah.
Dalam rangka pembentukan jiwa kader mereka akan melalui proses
pendidikan dan pembinaan selama enam tahun yaitu dimulai dari
46
madrasah tsanawaiyah sampai madrasah ‘aliyah. Pendidikan dan
pembinaan di Mu’allimin diharapkan mampu memenuhi kriteria standar
yang menjadi kompetensi siswa Mu’allimin, antara lain:
a. Kompetensi dasar kepribadian yaitu keadaan tertentu yang melekat
secara kuat pada kepribadian setiap lulusan yang sekaligus menjadi
tolak ukur jati-diri mereka setelah menyelesaikan pendidikan di
Mu'allimin. Adapun yang bersifat pokok dari kompetensi ini antara
lain ketakwaan, keimanan, keikhlasan, kesalehan, kesungguhan,
kemandirian, dan keteladanan yang semua itu melandasi sosok
kepribadian yang memiliki komitmen tinggi terhadap amar ma'ruf
nahi mungkar.
b. Kompetensi dasar kecakapan yaitu sejumlah kecakapan dasar yang
diperlukan bagi terbentuknya kualifikasi sosok lulusan yang
diinginkan. Kompetensi dasar kecakapan meliputi keterampilanketerampilan pokok yang dalam batas minimal dibutuhkan sebagai
penunjang utama bagi terbentuknya kemampuan sebagai pemimpin,
ulama, mubaligh, dan guru.
c. Kompetensi dasar sosial kemanusiaan yaitu sejumlah kemampuan
dasar lulusan Pesantren Mu‘allimin Muhammadiyah untuk dapat
mengaktualisasikan diri di bidang sosial kemanusiaan. Dengan
kompetensi ini abiturien pesantren memiliki kepekaan dan kepedulian
sosial, mampu merasakan denyut nadi kehidupan masyarakat dan
melakukan pendidikan sosial dan aksi amal dalam konteks dakwah
bil-hâl sehingga mampu hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
d. Kompetensi dasar gerakan yaitu kemampuan dasar lulusan Pesantren
Mu‘allimin Muhammadiyah dalam memerankan diri secara khusus
sebagai pelaku gerakan Muhammadiyah, sehingga siswa (santri)
47
Pesantren
berintegrasi
Mu‘allimin
langsung
Muhammadiyah
menjadi
setelah
penggerak
misi
lulus
mampu
dan
kegiatan
Muhammadiyah di mana pun mereka berada
Dalam
landasan
filosofis
kurikulum
Madrasah
Mu’allimin
disebutkan profil lulusan, di antaranya:
1. Memegang teguh Islam berdasar al Qur'an da As shunah
2. Berkeilmuan dan berwawasan luas berdasar nilai-nilai Islam.
3. Menjadikan Al Quran dan As sunah sebagai inspirasi dalam
kehidupannya.
4. Sanggup beramal sholeh dalam rangka meneruskan gerakan amal
Muhammadiyah.
5. Mampu menggerakkan Islam moderat dan berkemajuan untuk
membangun peradaban.
6. Sanggup meneruskan misi kenabian dalam rangka mewujudkan Islam
rohmatan Lil 'alamin.
7. Jujur, adil, humanis, disiplin, mandiri, dan kreatif.
8. Berhati nurani dan berorientasi keummatan.
9. Menguasai Ilmu pengetahuan, teknologi dan bahasa Internasional
10. Menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna perjuangan amal
usaha Muhammadiyah
Siswa madrasah mu’allimin dari segi usia masuk kategori remaja.
Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak
berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik cepat. Pertumbuhan fisik yang
terjadi pada usia remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak
sedikit terhadap sikap, prilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja.
(perkembangan peserta didik, Endang Poerwanti, UMM, 2002: 106)
48
Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi
condong untuk menanamkan tahap-tahap peralihan tersebut dalam
kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari
kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki dewasa.
Remaja merasa perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya
serta diberikan sebuah tanggung jawab terhadap dirinya agar mempunyai
kemantapan emosi, sosial dan kepribadian. Dalam pandangan Islam
seorang manusia bila telah akil baligh, maka, mereka telah bertanggung
jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik akan mendapatkan
pahala dan apabila melakukan perbuatan tidak baik maka mendapatkan
dosa.
Masa remaja merupakan masa dimana timbulnya berbagai
kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik dan
daya fikir yang lebih matang. Namun masa remaja penuh dengan berbagai
perasaan yang tidak menentu, cemas dan bimbang, dimana berkecamuk
harapan dan tantangan, kesenangan dan kesengsaraan, semuanya harus
dilalui dengan perjuangan yang berat menuju hari depan yang dan dewasa
yang matang.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua
rentan usia , yaitu usia antara 12 sampai 15 tahun dan usia 15 sampai
dengan 18 tahun. .(http://khildaamaliyah.wordpress.com, sabtu, 30-03-14)
Ciri-ciri emosional usia 12-15 tahun:
49
1. Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka
2. Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa
percaya diri
3. Kemarahan biasa terjadi
4. Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan ingin selalu menang
sendiri
5. Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif
Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun
1. “Pemberontakan” remaja merupakan ekspresi dari perubahan yang
universal dari masa kanak-kanak menuju dewasa
2. Banyak remaja mengalami konflik dengan orang tua mereka
3. Sering kali melamun, memikirkan masa depan mereka
Perkembangan emosi pada remaja ditandai dengan emosi yang
tidak stabil dan penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa
berubah dengan sangat cepat. Remaja rata-rata memerlukan hanya 45
menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”,
sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.
Perubahan emosi ini erat kaitannya dengan kemasakan hormon yang
terjadi pada remaja. Stres emosional yang timbul berasal dari perubahan
50
fisik yang cepat dan luas yang terjadi sewaktu pubertas. ( Suhartono,
Agung hartono, 2002: 154)
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan
secara lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap
luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan
atau emosi yang menyenangkan lainnya. Adapun karena anak-anak
mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung
bertahan lebih lama dari pada jika emosi itu diekspresikan secara lebih
terbuka. Oleh kerena itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbedabeda.
Dan perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak
pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya. Anak yang sehat
cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang
sehat. Jika dilihat sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai
bereaksi
lebih
emosional
terhadap
berbagai
macam
rangsangan
dibandingkan dengan anak yang kurang pandai bereaksi. Tetapi sebaliknya
mereka lebih dapat mampu mengendalikan emosi.
Masa remaja dibagi menajadi dua yaitu masa pra pubertas dan
masa pubertas. Masa pra pubertas dimulai 12-14 sedang pubertas dari
mulai 14-18. Pada masa puberta muncul prasaan-prasaan negatif pada diri
anak, sehingga masa ini ada yang menyebutkan masa negatif. Anak mulai
timbul keiinginan untuk melepaskan diri dari kekuasaan orang tua, ia tidak
51
mau tunduk lagi kepada segala printah, atau kebijakan orang tua. Semua
terasa ingin ditolak, ini bukan berarti anak mau bebas sepenuhnya, tetapi
anak bebas dari anggapan bahwa ia sebagai anak-anak ingin menyamakan
statusnya dengan orang dewasa ( Sunarto, Agung Hartono, 2002: 155-156)
Masa pubertas, pada masa ini seoarang anak tidak lagi bersifat
reaktif, tetapi juga anak mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka
menemukan dirinya (akunya), serta mencari pedoman hidup untuk bekal
kehidupannya
mendatang.
Kegiatan
semangat menyala-nyala tetapi
tersebut
dilakukannya
penuh
ia sendiri tidak mengetahui atau
memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya.
(Abu Ahmadi,
Munawar Shaleh, 1991: 85-88).
F. Metode penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penulisan Tesis ini menggunakan jenis penelitian kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif agar penelitian itu betul-betul berkualitas,
sumber dan data yang dikumpulkan harus lengkap, yaitu data primer
dan data sekunder. Data perimer adalah data dalam bentuk verbal atau
kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau prilaku yang
dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah
subjek penelitinnya informer yang berkenaan dengan variabel yang
diteliti. Data sekunder adalah data yang diambil dari dokument-
52
dokument grafis ( tabel, catatan, notulen rapat, sms, dan lain-lain yang
dapat memperkaya data primer. ( Suharsimi Arikunto, 2010: 21-22 ).
2.
Subjek Penelitian
Metode Penentuan sample dalam penelitian ini menggunakan
Purposive sample yaitu menentukan kriteria terlebih dahulu baru
kemudian diambil sample sesuai dengan kreteria. Subjek penelitian
dalam penelitian ini diambil dari beberapa musyrif yang mewakili tiap
jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah berjumlah
sepuluh
pengambilan musyrif sebagai subjek karena mereka adalah orang yang
paling langsung terlibat dalam pembinaan santri di asrama. Subjek
yang kedua adalah bapak pamong sebagai kepala asrama yang
mengarahkan dan mengawasi kinerja musyrif di asrama, pamong yang
diambil berjumlah lima dari jenjang Tsanawiyah dan Aliyah. Semu
Guru BK dari tiap jenjang kelas. dan Mudir Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.
3.
Batasan Masalah
Pembahasan akhlak sangatlah luas oleh karena itu dalam
penelitian ini hanya akan meneliti beberapa aspek akhlak seperti
kedisiplinan, kebersihan, tanggung jawab, sopan-santun, Jiwa sosial,
dan kejujuran. (lihat lampiran)
53
4.
Metode Pengumpulan Data
a. Observasi (Pengamatan).
Observasi dalam penelitian ini berguna untuk mencari data
atau gambaran penuh tentang prilaku dan pristiwa yang terjadi
terkait dengan pola pembinaan akhlak yang selama ini berjalan di
Madrasah Mu’allimin.
b. Interview (Wawancara)
Wawancara dalam
penelitian ini
berguna
untuk
memperoleh informasi secara langsung kepada informan
mengenai kondisi atau keadaan sekolah dan segala-sesuatu
yang terkait dengan akhlak serta pola pembinaannya. Dalam hal
ini informan akan mewawancarai Musyrif, Pamong, Guru BK
dan Kepala Sekolah..
c.
Dokumentasi (Pengumpulan data).
Pengumpulan data ini digunakan untuk melengkapi
yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara, yaitu
dengan cara memanfaatkan sumber-sumber tertulis yang ada,
baik berupa laporan, diktat maupun dokumen-dokumen
lainnya yang relevan dengan penelitian, dengan maksud untuk
memperkuat data yang ada.
54
5. Teknik analisis Data
Dalam metode ini digunakan teknik analisis data, deskriptif
analitic kualitatif. yang dimaksud dengan analisis deskriptif analitic
kualitatif yaitu data digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang
dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan
disertai dengan analisis (Suharsimi Arikunto, 1998: 245).
Dalam penelitian ini terkait dengan data, penulis akan
menggunakan analisis data sebagai mana yang dirumuskan oleh
Moleong. Moleong dalam bukunya metodologi penelitian kualitatif ia
menjelaskan:
proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia, dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan
yang dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen
resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Data tersebut banyak sekali,
sekitar segudang. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah
berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan
melakukan abstraksi. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya
dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan
pada langkah berikutnya. Tahap akhir dari analisis data ini ialah
mengadakan pemeriksaan keabsahan data. (Lexy J Moleong 2004:
247).
Triangulasi data merupakan suatu teknik pngumpulan data
yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data
dan sumber data yang telah ada. Jika melakukan pengumpulan data
dengan triangulasi, maka sesungguhnya peneliti mengumpulkan data
yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas
55
data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai smber
data. (Andi Prastowo, 2010: 289).
Dengan menggabungkan banyak metode maka akan lebih kuat
data
yang
diperoleh.
Lebih
banyak
lagi
metode
saling
membandingkan antara satu dengan yang lain, keyakinan peneliti akan
semakin besar. Sebagai contoh jika hasil survey dengan angket cocok
dengan hasil penelitian pengamatan suatu kejadian yang sama, penliti
akan lebih yakin dengan temuannya. ( Andi Prastowo, 2010: 291)
Sedang dalam pengambilan kesimpulan,
menggunakan
metode induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh
selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis
yang dirumuskan, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulangulang dengan teknik triangulasi, bila ternyata hipotesis diterima, maka
hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.
G. Sistematika Penulisan
Pada Bab I, peneliti akan membahas tentang pendahuluan yang
terdiri dari beberapa sub bagian di antaranya adalah Latar Belakang,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Kerangka teori, Metode Penelitian dan terakhir Sistematika Penelitian.
Pada Bab II, peneliti akan membahas tentang gambaran umum
tentang Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang terdiri
dari beberapa sub, antara lain adalah Letak Geografis Madrasah
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Sejarah Berdirinya, Visi dan
56
Misi, Struktur Organisasi, Keadaan Pendidik dan Karyawan, terakhir
Fasilitas dan Prasarana.
Pada Bab III, Peneliti akan membahas inti dari penelitian ini yaitu
mengenai gambaran dinamika perkembangan akhlak siswa Madrasah
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, permasalahan umum yang
terjadi, bagaimana pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta dan bagaimana hasil dari pola pembinaan
akhlak yang diterapkan.
Pada bab IV menjelaskan tentang kesimpulan dari penelitian dan
saran-saran membangun terkait dengan perkembangan akhlak siswa
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
57
58
Download