BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu permasalahan yang sangat penting yang menjadi fokus perhatian utama dalam islam adalah permasalahan akhlak. Hal ini menjadi begitu penting dikarenakan maju mundurnya sebuah peradaban manusia itu tergantung dari seberapa jauh nilai-nilai akhlak terimplementasi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rasulullah saw diutus di tengah-tengah peradaban jahiliyah, di mana kondisi sifat manusia itu sungguh telah jauh dari fitrahnya sebagai seorang manusia. Permusuhan, pembunuhan, pelecehan martabat kaum wanita, dengan mengubur setiap bayi perempuan yang lahir, ini adalah segelintir gambaran bobroknya akhlak manusia pada saat itu. Oleh karena itu pembinaan akhlak adalah tugas utama dari diutusnya Rasulullah Muhammad saw sebagai mana yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “sungguh tiadalah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (Muhammad Zaairul Haq, 2010: 2) Umat manusia saat ini menghadapi berbagai macam tantangan, salah satunya adalah pengaruh globalisasi. Media cetak dan elektronik sebagai alat globalisasi telah sampai ke pelosok desa sehingga tidak ada lagi hijab antara barat dan timur, antara siang dan malam, sehingga 1 diperlukan pendidikan moral yang islami yang bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram. Semakin hari kita melihat moral bangsa semakin amburadul alias rusak disebabkan karena perilaku manusia yang rakus dengan harta dan darah sehingga membunuh, memperkosa dan merampok adalah hal biasa. ( Alpianto, J. Dalle, Ismail Sukardi dan Rosdiana, 2013: 21,22) Indonesia sejak jaman dahulu sudah terkenal di mata turis manca negara dengan keindahan akhlak masyarakatnya seperti sopan dan santun dalam bergaul dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Budaya saling tegur sapa kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal adalah salah satu bentuk kebudayaan yang sangat disukai dan menjadi daya tarik sendiri bagi para pelancong atau turis manca-negara ketika berkunjung ke Indonesia. Keindahan akhlak yang dimiliki oleh penduduk Indonesia seperti tersebut di atas nampaknya sekarang mengalami pemudaran dalam diri anak-anak bangsa, budaya main hakim sendiri, tawuran antar pelajar, tindakan kekerasan yang dilakukan pelajar senior kepada yuniornya, pelecehan seksual yang dilakukan seorang pelajar telah menjadi pemberitaan harian yang menghiasi media-media pertelevisian dan dikonsumsi oleh khalayak penonton. ( Tohirin, 2007: 2). 2 Pengaruh globalisasi yang melanda segala lapisan masyarat Indonesia sebagaimana di atas, juga melanda Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Hal ini terbukti dengan adanya perubahan yang kurang baik dalam perkembangan akhlak dan karakter sebagian santri. Mayoritas siswa kelas satu Madrasah Tsanawiyah di awal tahun terlihat sangat menjunjung tinggi rasa hormat kepada guru dan memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, terbukti pelanggaran terhadap aturan madrasah sangat jarang sekali terjadi. (Wawancara Dengan Ustadz Andi Mujahid, Selasa, 09-09-2014). Menginjak tahun kedua para siswa terlihat masih memiliki rasa hormat dan kedisiplinan yang tinggi namun oleh beberapa guru menilai di tahun kedua ini mulai muncul adanya pelanggaran walaupun intensitasnya cukup rendah. Di tahun ketiga pelanggaran sudah mulai banyak bermunculan baik itu terkait dengan kedisiplinan maupun aturan sekolah, namun pelanggarannya belum sampai merepotkan. (Wawancara Dengan Ustadz Andi Mujahid, Selasa, 09-09-2014). Di tahun ke empat perubahan sikap para santri terkait dengan rasa hormat kepada guru dan ketaatan kepada aturan sekolah terlihat begitu mencolok, terbukti dengan banyaknya catatan pelanggaran yang dilakukan oleh siswa-siswa kelas empat dan menurut beberapa guru BK, siswa-siswa kelas empat biasanya mengalami masa puncak dari kenakalannya. Kenakalannya mengalami penurunan ketika mereka mulai memasuki kelas lima bahkan pada jenjang ini mereka mengalami tingkat kejayaan prestasi baik itu dalam bidang sains, jiwa kepemimpinan maupun karakter. (Wawancara Dengan Ustadz Andi Mujahid, Selasa, 09-09-2014). 3 Data tabel dibawah ini menguatkan pernyataan-pernyataan di atas: Kelas I 2012/2013 Jumlah Santri: 190 Nilai B- : - Santri Nilai C : - Santri Kelas II 2012/2013 Jumlah Santri : 214 Nilai B- : 9 Santri Nilai C : - Santri Kelas III 2012/2013 Jumlah Santri : 208 Nilai B- : 15 Santri Nilai C : - Santri Kelas IV 2011/2012 Jumlah Santri: 2013 Nilai B- : 16 Santri Nilai C : 01 Santri Kelas V 2011/2012 Jumlah Santri : 149 Nilai B- : 20 Santri Nilai C : Santri Kelas VI 2011/2012 Jumlah Santri : 142 Nilai B- : 05 Santri Nilai C : - Saantri Tabel Nilai Rapor Kepribadian Santri Madrasah Mu’allimin Semester Satu 2012/2013 Adanya perubahan akhlak sebagian siswa dari tahun pertama sampai tahun keempat yang mengarah pada penurunan akhlak atau tindakan negatif kemudian menjadi lebih baik ditahun kelima dan keenam adalah suatu hal yang menarik untuk diteliti karena ini terjadi dalam sebuah lembaga pendidikan kader yang mengedepankan pendidikan akhlak dengan kurikulum yang memuat materi agama yang begitu banyak seperti akhlaq, tauhid, qur’an hadis,fikih dan lain-lain. Pendidikan sebagai sebuah proses internalisasi nilai-nilai dan ilmu pengetahuan dalam rangka penumbuhan akhlak mulia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, di manapun dan kapanpun ia bisa terlaksana. Namun walaupun demikian, pendidikan itu bisa berjalan dengan baik manakala ia 4 sudah terlembaga yaitu di bawah naungan lembaga pendidikan yang kita kenal dengan sekolah atau madrasah. Karena sekolah atau madrasah telah menjadi tempat yang dipercaya mampu mengemban amanah pendidikan maka ia harus dimanage atau dikelola dengan baik dan terencana. (Jurnal Tarbiyahiainb.ac.id, akses 20-10-2014). Pendidikan yang terencana dengan pengelolaan yang baik akan menghasilkan out put yang unggul dan berakhlak mulia. Seluruh elemen yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut seperti kepala sekolah, guru dan karyawan harus bekerja secara sistematis dengan memfungsikan dirinya sesuai dengan jobnya masing-masing dan semuanya harus berperan dalam pembinaan akhlak. ( Suyanto dan Abbas, 2001: 68) Tugas pembinaan akhlak bukanlah tanggung jawab yang hanya dibebankan kepada guru agama semata, tetapi hal itu merupakan tugas seluruh elemen yang ada, mulai dari kepala madrasah sampai dengan karyawan biasa. Masing-masing harus mengambil bagian dalam pembinaan ini, bentuk pembinaan yang paling mudah untuk dilaksanakan adalah dengan teladan yang baik. ( Hidayat Syarif, 2002: 65) Pola pembinaan akhlak oleh guru kepada peserta didiknya dewasa ini belum mencerminkan apa yang telah dikonsep oleh ulama terdahulu terkait dengan pembinaan. Guru saat ini, terlihat cendrung untuk lebih banyak membekali anak didiknya dengan transfer pengetahuan ketimbang nilai-nilai akhlak. pendidikan akhlak saat ini hanya sebatas teori tanpa 5 dibarengi dengan amal nyata. minimnya keteladanan guru adalah salah satu bukti bahwa betapa akhlak hanya baru sebatas teori. Mendidik dengan makian bahkan sampai kepada kekerasan yang dilakukan oleh seoarang guru, bukanlah merupakan barang baru karena hal tersebut sudah menjadi pemberitaan harian yang menghiasi media. Dalam rangka pembinaan akhlak, Nasih Ulwan telah memberikan beberapa alternatif pola pembinaan akhlak yang bisa diterapkan ( Abdullah Nasih Ulwan: 144-335),di antaranya adalah pertama dengan keteladanan atau uswah hasanah, guru sebagai seorang pendidik yang digugu dan ditiru oleh anak didiknya harus mampu memberikan keteladanan yang baik kepada mereka. Keteladanan yang baik akan membantu peserta didik dalam memahami dan mewujudkan pemahamannya dalam kehidupan sehari-hari. Pola yang kedua adalah dengan pembiasaan. Suatu perbuatan baik akan menjadi ringan dan mudah untuk dilakukan apabila dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Ketika menjadi sebuah kebiasaan, perbuatan baik tersebut akan terus dilakukan dan susah untuk ditinggalkan. Ketiga, pola pembinaan dengan nasihat atau mauiẓah hasanah yang bijak. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Qur’an untuk menyeru manusia dengan hikmah dan nasihat yang baik agar manusia mau mendengar dan menerima apa yang terkandung dalam nasihat tersebut. 6 Keempat, pola pembinaan dengan perhatian dan pengawasan (Muroqobah). Pelanggaran dan kerusakan akhlak yang dilakukan oleh peserta didik. Bisa jadi bukan karena kesalahan mereka tetapi disebabkan karena kurangnya perhatian orang tua terhadap mereka, oleh karena itu sebagai seorang pendidik harus memberikan perhatian lebih terutama bagi yang tersangkut permasalahn di atas. Bila pembinaan dengan keteladanan, pembiasaan, dan nasihat belum menunjukkan pengaruh maka diperlukan sebuah pola pembinaan dengan hukuman atau al-‘iqob untuk menimbulkan efek jera kepada setiap peserta didik yang melanggar. hukuman yang diberikan bertujuan sekedar memberikan efek jera agar pelanggaran tidak terulang kembali. Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, dalam usianya yang hampir mencapai satu abad ini tidak menyurutkan langkahnya untuk berperan serta atau mengambil bagian dalam usaha pembinaan akhlak dan keperibadian anak-anak bangsa sebagai persiapan lahirnya kader-kader pemimpin ideal masa depan yang berakhlak mulia. Penelitian ini menarik untuk diperdalam karena pertama, Madrasah Mu’allimin adalah sekolah kader pertama yang mampu bertahan hampir satu abad. Kedua, Madrasah Mu’allimin adalah sekolah kader satu-satunya yang berada dibawah pengelolaan Pimpinan Pusat langsung. Ketiga, tantangan yang dihadapi Madrasah Mu’allimin dalam rangka pembinaan akhlak para santri semakin besar karena berhadapan langsung dengan 7 pengaruh lingkungan perkotaan yang semakin bebas nilai. Keempat, Madrasah Mu’allimin belum mempunyai sekolah terpadu, antara asrama dan madrasah masih terpisah lokasinya, bahkan antara asrama satu dengan asrama yang lain juga terpisah jauh, kondisi ini merupakan tantangan yang harus dihadapi Mu’allimin bagaimana memadukan antara pembinaan di asrama dan di madrasah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana dinamika perkembangan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta? 2. Bagaimana pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta ? 3. Bagaimana hasil dari pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Yogyakarta? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. 3. Untuk mengetahui dan menganalisa hasil dari pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. 8 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan yaitu : kegunaan secara teoritis dan kegunaan praktis. 1. Kegunaan secara teoritis yaitu: a. Menjadi bahan acuan bagi penelitian yang sejenis pada masa yang akan datang, terutama penelitian yang berhubungan dengan pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dengan pembinaan akhlak. 2. Kegunaan secara praktis a. Dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang pembinaan akhlak terutama yang berkenaan dengan proses pembentukannya. b. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pembinaan akhlak. D. Kajian Pustaka Untuk mencapai suatu hasil penelitian yang ilmiah, maka penulis meneliti beberapa karya ilmiah di beberapa perpustakaan terkait dengan judul proposal Tesis yang penulis ajukan. Setelah penulis melakukan penelitian, memang telah ada beberapa karya ilmiah yang meneliti permasalahan terkait judul tesis penulis. karya ilmiah tersebut yaitu : 9 1. Tesis oleh Juminta dengan judul Pola Pendidikan Akhlak pada Sekolah Dasar Segugus II UPTD PAUD DIKNAS Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan perbedaan isi pendidikan akhlak yang terdapat pada sekolah dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah se gugus II berdasarkan standar kompetensi maupun kompetensi dasar yang ada di standar isisnya masing-masing. Penelitian ini juga mendeskripsikan pola pendidikan akhlak yang diterapkan di gugus II UPTD PAUD DIKNAS Kecamatan Lendah . penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa pertama, pada prinsipnya standar isi yang meliputi standar kompetensi dasar yang dipakai masing-masing sekolah maupun madrasah adalah sama. Kedua, pola pendidikan akhlak yang diterapkan di gugus II ini cukup bervariatif dari mulai sifatnya penyampaian secara lisan atau teoritis (dakwah bil lisan), sampai pada praktek (dakwah bil hal) dan syiar show of power. 2. Tesis dari Achmad Tasmi, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul: Peran Guru dalam Membentuk Keperibadian yang islami, penelitian ini isinya membahas tentang deskripsi empirik mengenai apa dan bagaimana peran guru dalam pembentukan keperibadian siswa yang islami di sekolah Dasar Islam terpadu ( SDIT Insan Utama Yogyakarta, selain itu berisi tentang faktorfaktor pendukung dan penghambat dalam pembentukan keperibadian Islami. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Hasil 10 penelitian menunjukkan: guru berperan dalam pembentukan keperibadian yang Islami di SDIT Insan Utama Yogyakarta. Peran pertama, penyucian jiwa dari penyakit hati, penyucian jiwa dari dosa, dan peran kedua pengajaran. Faktor guru dalam membentuk keperibadian siswa yang Islami di SDIT Insan Utama Yogyakarta adalah dukungan kepala sekolah, wali kelas, semua guru dan orang tua siswa. Sedangkan faktor penghambatnya adalah: pertama, pengaruh media yang negatif, yang meliputi televisi, internet, dan handphone, lingkungan sosial yang negatif. 3. Tesis oleh Shohibul Kahfi mahasiswa pascasarjana MSI UMY dengan judul Peran Guru Agama Islam dan Orang Tua dalam Pembinaan akhlak Siswa MIN Yogyakarta 11 tahun 2012. Dalam tesis ini isinya, peneliti berusaha menggambarkan bagaimana proses pembinaan yang dilakukan oleh guru di dalam dan di luar kelas, bagaimana peran dari orang tua dalam pembinaan akhlak siswa, serta faktor apa saja yang mendukung pembentukan akhlak siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa : 1. Peran guru agama Islam dalam pembinaan akhlak siswa MIN Yogyakarta dilakukan dalam proses belajar mengajar di kelas maupun diluar kelas, dengan pendekatan kalbu, rasional dan keteladanan, melalui metode ceramah, penugasan, diskusi, sosiodrama, cerita, praktek dan pembiasaan. Materi pembinaan akhlak siswa adalah materi yang ditetapkan melalui pelajaran aqidah akhlak dan pembiasaan sehari-hari di lingkungan madrasah, seperti mengucapkan salam, berpakaian muslim, berjabat tangan, tidak terlambat datang, masuk kelas tepat waktu, berdo’a, tertib 11 mengikuti pelajaran, menjaga kebersihan, bercakap dengan bahasa yang santun, melaksanakan shalat secara berjama’ah, kegiatn kasidah, seni baca al-Qur’an, kaligrafi, pesantreen kilat ramadhan, peringatan hari besar Islam, wisata dakwah dan tadabbur alam, terhadap pembinaan akhlak siswa tersebut, dilakukan penilaian dengan hasil yang menggembirakan. 2. Peran orang tua siswa dalam pembinaan akhlak siswa MIN Yogyakarta dilakukan dengan metode keteladanan, pembiasaan, partisipatif, kedisiplinan, teguran dan hukuman, serta komunikasi antara orang tua dan anak maupun orang tua dan guru. Materi pembinaan akhlak oleh orang tua antara lain: ketaatan pada Allah swt dan Rasulullah saw dengan menjalankan kewajiban beribadah secara rutin, kepatuhan terhadap orang tua, berprilaku baik dengan menanamkan sikap jujur, rendah hati, pemaaf, sabar dan dermawan serta halus budi terhadap teman-teman dan ornag lain. 3. Faktor pendukung pembinaan akhlak siswa adalah dukungan penuh dari orang tua dan lingkungan keluarga yang kondusif, yang mampu menciptakan hubungan antara anggota keluarga secara harmonis, menciptakan suasana penuh keakraban dan selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah swt, menghidupkan sunnah-sunnah Rasulillah saw. Faktor penghambatnya adalah pengaruh media baik cetak ( novel, cerpen, komik, majalah) maupun elektronik ( handfone, televisi, playstation, dan game online) pergaulan anak-anak dengan teman yang tidak sebaya dan minimnya waktu luang yang tersedia bagi orang tua dalam membina anak- 12 anak karena disibukkan oleh rutinitas pekerjaan dan mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga. Beda penelitian ini dengan tiga penelitian di atas adalah pertama, penelitian yang dilakukan oleh Jumita lebih kepada penelaah terhadap kurikulum yang diterapkan oleh sekolah-sekolah yang tergabung dalam gugus UPTD PAUD DIKNAS dalam upaya melakukan pendidikan akhlak sedang dalam penelitian penulis akan lebih fokus terhadap pola pembinaan akhlak yang diterapkan oleh seluruh element yang ada di Madrasah Mu’allimin. . Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Achmad Tasmi mengungkap peran guru dalam membentuk kepribadian Islami. Dalam penelitian ini terlihat pembahasannya hanya fokus kepada peran guru agama saja sedang penulis dalam penelitian ini akan membahas bagaimana pola pembinaan yang diterapkan oleh seluruh element sekolah terutama yang langsung bertanggung jawab dalam pembinaan seperti musyrif, wali kelas dan guru BK. Ketiga, Tesis oleh Shohibul Kahfi membahas tentang peran guru agama Islam dan orang tua dalam pembinaan siswa madrasah Ibtidaiyah. Di penelitian ini dibahas bagaimana kerja sama antara kedua belah pihak dalam pembinaan akhlak siswa dan pola apa yang mereka terapkan dalam pembinaan akhlak usia anak-anak. 13 Bedanya dengan penelitian yang penulis akan lakukan adalah terletak pada subjek penelitian yang tidak terfokus hanya pada dua element guru agama islam dan orang tua tapi seluruh element madrasah terutama yang telah mendapat amanat langsung dalam pembinaan oleh sekolah. pola pembinaan dalam penelitian penulis akan lebih kepada pola pembinaan akhlak terhadap siswa usia remaja bukan anak-anak sebagaimana tesis di atas. Itulah beberapa perbedaan penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian yang ada, penulis juga tertarik untuk melakukan penelitian karena belum ada sebuah penelitian yang mengungkap tentang peran musyrif, pamong, dan guru bimbingan konseling dalam pembinaan akhlak di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. E. Landasan Teori 1. Pola Pembinaan Menurut Kamus Besar Bahasa indonesia pola bisa diartikan dengan makna yaitu :Gambar yang digunakan sebagai contoh. Potonganpotongan kertas yang dijadikan contoh. Sistem atau cara kerja. Bentuk struktur yang tepat. ( KBBI, 2010:885). 14 Ada beberapa pengertian atau definisi tentang pembinaan. Menurut Soetofo yang dimaksud dengan pembinaan adalah suatu kegiatan mempertahankan dan menyempurnakan kegiatan yang telah ada. Pendapat Soetopo tentang definisi pembinaan belumlah sempurna sebab, dalam melaksanakan pembinaan tidaklah cukup dengan mempertahankan kegiatan yang sudah ada kemudian menyempurnakannya tapi harus ada pengembangan berupa kegiatan baru yang bersifat dinamis sehingga tidak membosankan bagi peserta didik yang dibina. Menurut kamus besar bahasa indonesia pembinaan adalah suatu usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut definisi KBBI, sebuah usaha, tindakan atau kegiatan dalam rangka pembinaan tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau asal-asalan tapi ia harus memiliki energi perubahan dari buruk menjadi baik, kemudian dari baik menjadi lebih baik, pembinaan yang berhasil guna seperti inilah yang diharapkan terjadi. Menurut Hidayat pembinaan adalah usaha yang dilakukan dengan sadar berencana teratur dan terarah untuk meningkatkan sikap dan ketrampilan anak didik dengan tindakan-tindakan, pengarahan, bimbingan,pengembangan, stimulasi dan pengawasan untuk mencapai suatu tujuan. . Untuk mencapai tujuan dari diadakannya sebuah pembinaan tentu harus dilakukan dengan perencanaan yang matang 15 kemudian dilaksanakan dengan sebaik mungkin dengan mengadakan kegiatan pembinaan seperti pengarahan , pengembangan, stimulasi dan kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tersebut. Dalam Artikelkata.com dijelaskan bahwa pembinaan mengandung tiga makna atau arti antara lain: 1. proses, cara, perbuatan membina. 2. Pembaharuan, penyempurnaan. 3. Usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. (artikelkata.com, 23-09-2014) Dari definisi-definisi pembinaan di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya pembinaan itu adalah bermuara pada adanya perubahan yang lebih baik dari sebelumnya menuju yang lebih sempurna, untuk mencapai tujuan tersebut maka harus ada kegiatan yang dilakukan secara sadar dan terencana berupa pengarahan, bimbingan, pengembangan, stimulasi dan pengawasan dengan efektif dan efisien atau berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan yang lebih baik dan sempurna. Dari beberapa definisi yang disebutkan di atas pola pembinaan yang dimaksud disini adalah tata cara pembinaan dan bentuknya berupa pengarahan, bimbingan, stimulasi, pengawasan dan upaya pembinaan lainnya secara berdaya guna dan berhasil guna atau efektif dan efisien untuk mencapai terbentuknya akhlak yang mulia atau lebih baik dari sebelumnya. 16 2. Definisi Akhlak a. Pengertian akhlak Secara etimologis (lugotan) akhlak (bahasa arab) adalah bentuk jamak dari khuluk yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Berakar dari kata khalaqo yang berarti menciptakan. Seakar kata dengan kholiq (pencipta) makhluk (yang diciptakan) dan khuluk (pencipta). Sedang menurut Imam Ghazali akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. ( Yunahar Ilyas, 2005: 1-2). Dari definisi akhlak menurut bahasa tersebut dapat difahami bahwa sesungguhnya akhlak berupa, pekerti atau tingkah laku yang baik yang ada pada diri setiap manusia yang beriman adalah percikan dari sifat-sifat Allah sebagai sang pencipta alam semesta dan seisinya. Oleh karena itu beruntunglah orang-orang yang baik akhlaknya. Adapun definisi akhlak yang disebutkan oleh Imam Ghazali bisa difahami bahwa yang namanya akhlak baik dan buruk itu sudah tertanam dalam diri manusia sebagai mana yang disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa manusia itu telah diilhami mempunyai kecendrungan melakukan kebaikan dan keburukan. Bila manusia mengikuti bisikan keburukan saja dan dilakukan terus menerus maka niscaya perbuatannya tersebut akan dilakukannya tanpa pertimbangan sehingga jadilah ia manusia yang berakhlak buruk. Sebaliknya apabila bisikan kebaikan saja yang dituruti maka dia akan melakukannya tanpa pertimbangan dan jadilah ia manusia yang berakhlak baik. 17 Menurut Muhammad Abdullah Darraz akhlak adalah sesuatu kekuatan dalam diri yang berkombinasi pada kecendrungan pada sisi yang baik (akhlaqul karimah) dan sisi yang buruk (akhlakul madzmumah). (Ulil Amri Syafi’i 2012: 73). Makna akhlak yang disebutkan Darraz mendukung definisi yang disebutkan oleh Imam Ghazali bahwa perbuatan yang dilakukan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan akan menghasilkan kekuatan dalam diri untuk melakukan satu di antara dua bisikan yaitu kebaikan dan keburukan. Ulil Amri Syafi’i menulis bahwa yang dimaksud dengan akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dapat melahirkan perbuatan baik dan buruk secara spontan tanpa memerlukan pikiran dan dorongan dari luar. (Ulil Amri Syafi’i 2012: 73). Apa yang disebutkan Ulil Amri menambah pemahaman tentang akhlak bahwa akhlak itu nilai yang spontan dilakukan tanpa ada pengaruh dari dalam berupa pemikiran dan pertimbangan dan tanpa ada pengaruh dari luar berupa dorongan atau perintah orang lain kepadanya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak ialah suatu nilai atau sifat yang telah ditanam atau diinstal oleh Allah dalam jiwa setiap manusia berupa ilham kebaikan dan keburukan yang apabila ia memiliki kecondongan kepada salah satu dari dua ilham tersebut dan kemudian dilakukannya secara terus menerus maka akan melahirkan sebuah perbuatan gampang dan spontan tanpa pengaruh dari dalam berupa 18 pemikiran atau pertimbangan dan dari pengaruh luar berupa dorongan atau perintah orang lain. Akhlak baik atau mulya adalah sifat yang harus mulai ditanamkan pada diri seorang anak dari usia dini. Mustafa Kamal Pasha menyatakan bahwa cara menanamkan akhlak adalah dengan pembiasaan, sebab perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu, hakikatnya merupakan tindakan yang tertanam karena suatu kebiasaan. ( Musthafa Kamal Pasha, 2002: 10-11). Cara pembinaan akhlak dengan pembiasaan sebagai mana disebutkan di atas memang harus dilakukan sebab cara termudah untuk merubah kebiasaan adalah dengan merubah kebiasaan sebelumnya dengan kebiasaan yang baru yang lebih baik. Akhlak juga bisa dibentuk dengan pengkondisian lingkungan. Apabila sebuah lingkungan bisa dimanage dengan baik dimana didalamnya diterapkan nilai-nilai islam oleh semua element yang ada di dalamnya maka hal ini hal ini akan memberikan pengaruh kepada siapa saja yang tinggal di dalamnya. Hal ini bersesuaian dengan sabda Nabi yang disebutkan oleh Mustafa Kamal yang menyatakan bahwa gambaran orang yang bergaul dengan manusia yang berperangai buruk dan yang bergaul dengan manusia yang berperangai bagus adalah semisal ia duduk dengan pandai besi dan penjual minyak wangi. Mereka yang bergaul dengan pandai besi 19 akan terkena percikan api atau asap yang menyebabkan pakaiannya bisa terbakar atau bau. Sedangkan yang bergaul dengan penjual minyak wangi akan kebagian wanginya. ( Musthafa Kamal Pasha, 2002: 10-11). Sabda Nabi di atas secara eksplisit menyuruh setiap pendidik baik itu guru maupun orang tua agar berhati-hati jangan sampai anak didiknya terpengaruh lingkungan atau pergaulan yang rusak karena akan berakibatnya rusaknya masa depan mereka. Dalam tafsir tematik yang disusun oleh Kementrian Agama halaman 4-5 disebutkan bahwa suatu perbuatan bisa diketegorikan perbuatan akhlak, manakala terdapat ciri-ciri, antara lain: Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tertanam secara terus menerus di dalam jiwa seseorang sehingga kuat dan mengakar. Jika sesorang dikatakan berakhlak dermawan, maka kedermawananya tersebut telah mendarah daging kapan dan dimanapun dia hidup, sehingga menjadi kepribadianya yang membedakan dirinya dan orang lain. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dengan mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Hal ini tidak berarti bahwa ketika melakukan perbuatan tersebut seseorang melakukan dengan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Perbuatan akhlak tersebut mengalir dengan mudah seperti air terjun yang jatuh ke sebuah lembah tanpa mengalami hambatan sekecil apapun. 20 Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan, dan keputusan yang bersangkutan. Manusia diberikan kesempurnaan berupa akal dan nurani. Dengan akal manusia diharapkan berfikir. Dengan nurani manusia diharapkan meresapkan dan memberikan makna. Dengan memadukan antara nurani dan akal manusia diharapkan memiliki kearifan sehingga perbuatanya mencermikan kebebasan, pilihan dan tanggung jawabnya sebagai manusia yang bermartabat. Keempat, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesungguhan, bukan main-main atau karena bersandiwara. Perbuatan akhlak adalah perbuatan nyata dalam kehidupan sosial. Untuk membedakan apakah perbuatan seseorang itu dilakukan secara sungguhsungguh atau sedang bersandiwara dengan topeng-topeng kehidupan, maka perlu dilakukan pengamatan yang seksama dan terus menerus berkaitan dengan prilaku seseorang atau sekelompok orang. Kelima, perbuatan akhlak, khususnya akhlak terpuji, adalah perbuatan yang dilakukan dengan atas dasar keimanan dan ibadah atau pengabdian kepada Allah dengan penuh keikhlasan semata-mata mengharap keridhoan atau kerelaan Allah di dunia maupun di akherat. 21 Dari paparan di atas dapat dirangkum dua hal penting. Pertama, akhlak bersumber dari jiwa. Jika jiwa seseorang itu bersih, jernih dan bening, maka akhlak orang itu akan baik dan mulia. Sebaliknya jika seseorang itu kotor dan penuh noda, maka dari jiwa yang demikian itu tidak akan pernah memancarkan akhlak yang baik dan mulia, karena kualitas akhlak seseorang ditentukan oleh keadaan jiwanya. Sungguh pun demikian, kata akhlak sering mengacu kepada makna positif yang menggambarkan sifat-sifat manusia yang beradab, sehingga orang yang berakhlak buruk sering dikatakan sebagai orang yang tidak berakhlak. Kedua, perbuatan seseorang dinyatakan sebagai gambaran dari akhlaknya apabila perbuatan itu tertanam dalam dirinya dengan kuat dan mengakar, dilakukan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, muncul dalam diri sendiri, dilakukan dengan kesadaran, dan dengan keikhlasan atas dasar keimanan kepada Allah. b. Pola Pembinaan akhlak Pembinaan akhlak merupakan salah satu tumpuan perhatian Islam. hal ini dapat dilihat dari salah satu misi diutusnya Rasulullah saw ke muka bumi ini, yaitu sebagai penyempurna akhlak yang mulia. Perhatian Islam yang demikian terhadap pembinaan akhlak ini dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang mendahului pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan 22 yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagian pada seluruh umat manusia, lahir dan batin. Pembinaan akhlak merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa melalui ilmu pengetahuan, keterampilan dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai islam. tujuan ini dapat diperoleh melalui proses pendidikan Islam sebagai cerminan karakter seorang muslim. (Ulil Amri Syafi’i, 2012 : 69-70). Integrasi antara ilmu dan akhlak sebagai mana dipaparkan Ulil Amri dewasa ini kurang begitu mendapat perhatian yang baik. guru lebih cenderung mangajari siswanya dengan transfer ilmu bukan transfer nilai atau akhlak. sehingga dewasa ini para siswa banyak yang mengalami degradasi moral atau akhlak, untuk mengatasi permasalahan tersebut pendidikan tidak boleh memisahkan keduanya da pembinaan akhlak harus digencarkan. Keberadaan pembinaan akhlak ini ditujukan untuk mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia agar selaras dengan fitrahnya. Selain itu, juga meminimalkan aspek-aspek buruknya (Ulil Amri Syafi’i, 2012:69-70). 23 Mendapatkan pembinaan potensi tersebut adalah hak anak didik yang diserahkan kepada para pendidik. Imam Zaenal Abidin mengatakan “ salah satu hak anak anda adalah menganggapnya sebagai miliki anda, dan harus diketahui bahwa setiap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan di dunia ini, termasuk kebajikan dan kebatilan terkait dengan anda” ( Ibnu Hasan Najafi dan Mohammed A. Khalfan, 2006: 60-61) Usaha untuk membina dan membentuk akhlak mulia peserta didik, tidaklah semudah membalikkan tangan, sebab ia membutuhkan perjuangan ekstra, hal ini juga dirasakan oleh Rasulullah Muhammad saw ketika membina dan mengkader kaum muslimin pada saat itu, beliau menghadapi semua itu dengan sabar dan penuh perencanaan yang matang dan terpola, sehingga akhirnya mendapatkan kesuksesan. Pembinaan akhlak yang mulia seharusnya mengacu pada pola-pola pembinaan akhlak yang dilakukan oleh Rasulullah sehingga berhasil membentuk akhlak dan karakter unggul pada diri sahabat-sahabatnya. Rasulullah sebagai seorang pendidik memiliki gambaran utuh tentang objek dakwah yang dihadapinya. Mereka adalah kumpulan berbagai karakter manusia yang harus mendapatkan sentuhan yang berbeda dan tepat. Proses tersebut tidak mungkin kecuali lewat pendidikan yang intensif, terus menerus, dan dilakukan dengan penuh kecermatan dan kasih sayang. 24 Dalam masa penggemblengan para sahabat sebagai kader-kader utama, mereka tidak pernah lepas dari pantauan Rasulullah. Misalnya sebagai manusia biasa, para sahabat tentunya tidak terlepas dari kesalahan manusiawi. Bila itu terjadi, Rasulullah meluruskannya dengan berbagai metode pendidikan, antara lain: Pertama, melalui teguran langsung, misalnya sebagai mana yang terdapat pada hadis Nabi saw: Umar bin Salamah r.a. berkata,” dahulu aku menjadi pembantu di rumah Rasulullah, ketika makan biasanya aku mengulurkan tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, hai gulam bacalah bismillah dan makanlah apa yang ada di dekatmu.( Muhammad Zairul Haq, 2010: 144). Hadis di atas menggambarkan bahwa Umar bin Salamah memiliki kebiasaan yang mana kalau tidak ditegur oleh Rasulullah ia tidak sadar bahwa ternyata ia memiliki kebiasaan yang tidak baik. Teguran secara langsung dengan cara yang baik akan lebih memberikan kesan yang mendalam di hati, sehingga akan teringat terus kapanpun dan di manapun. Teguran Nabi saw dalam hadis di atas berbentuk larangan agar tidak makan hidangan yang jauh dulu atau tidak terjangkau tangan tapi terlebih dahulu makan dengan hidangan yang terdekat. Pembinaan dengan teguran berupa larangan sesuai dengan fitrah manusia karena manusia memiliki dua unsur dalam dirinya yaitu keburukan dan kebaikan. 25 Maka disaat manusia mendapat larangan untuk dibatasi dalam melakukan sesuatu, potensi kebaikannya secara tidak langsung mampu mempengaruhi dan menekan potensi buruk agar tidak muncul. Sebagai contoh ketika sebuah teks Al-Qur’an melarang merusak amalan infaknya dengan perbuatan penghinaan, riya dan mencela fakir miskin (albaqoroh:264) maka potensi kebaikan dalam dirinya mampu mencegah dan menahan diri agar tidak merusak amalan tersebut dengan riya, mencela dan menyakiiti fakir miskin disaat seseorang memberi infak kepada mereka. (Ulil Amri syafi’i, 2012 :108) Dalam hal pembinaan akhlak santri dengan teguran ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan di antaranya adalah ketika akan menegur perlu memperhatikan situasi dan kondisi, apabila dalam situasi ramai di mana disekitarnya ada teman atau saudara-saudaranya atau dalam kondisi sedang ada masalah ada baiknya untuk diurungkan sebab hal ini bisa membuat malu dan penolakan dari santri tersebut. Kedua, melalui sindiran. Menurut Najib Kholid al-Amir, mengatasi kesalahan anak didik dengan sindiran dapat membawa wibawa anak dimata teman-temannya, sehingga dia tidak rendah diri. Hal itu mengisyaratkan bahwa upaya meluruskan kesalahan anak didik jangan dilakukan dengan menjatuhkan mental karena itu dapat menimbulkan kelaianan mental. ( Muhammad Zaarul Haq, 2010: 145). 26 Untuk memperbaiki kesalahan dengan sindiran, pendidik harus memperhatikan tiga hal, di antaranya: senantiasa menjaga kasih sayang, menjaga kepercayaan diri sang murid, jangan sampai membuatnya merasa bersalah dan pada akhirnya tidak termotivasi untuk belajar. Ketiga, melalui pemukulan. Menurut Najib Khalid, menghukum dengan pukulan adalah alternatif terakhir yang dapat dilakukan ketika seluruh sarana peringatan tidak mempan lagi. Sedangkan ahli pendidikan mengatakan, menghukum dengan pukulan bukanlah suatu hal yang mendidik. Namun ketika seluruh sarana tidak dapat digunakan lagi, maka hukuman ini dapat dilakukan walaupun sebenarnya tidak ada nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. ( Muhammad Zaarul Haq, 2010: 147) Karena itu sebagian ahli pendidikan menyarankan untuk mengganti hukuman pukulan dengan memegang anggota peserta didik, misalkan tangan, bahu dan pundaknya. Tujuannya agar peserta didik menyadari bahwa gurunya sedang menegurnya. Namun kemudian ia menyadari bahwa gurunya berbuat demikian karena sayang kepadanya. Sehingga diharapkan dengan adanya kontak langsung ( antara tangan sang guru dengan salah satu anggota badan peserta didik) ini, akan terjalin ikatan batin yang kuat dan harmonis, dan tentunya jauh dari nuansa kekerasan dan kezaliman. 27 Apabila terpaksa dilakukan, ada beberapa etika yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam melakukan hukum pukul ini. di antaranya: pendidik dilarang memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan tidak mampu lagi untuk memperbaiki tingkah laku peserta didik, tidak boleh dalam keadaan marah, pemukulan tidak boleh dilakukan pada tempat yang berbahaya, misalnya muka, disarankan pemukulan tidak keras dan tidak menyakitkan. Menurut Zairul Haq masih terdapat satu lagi metode pendidikan yang dilakukan Rasulullah, yaitu dengan “menakut-bakuti”. Tentu saja yang dimaksud dengan menakut-nakuti dalam konteks ini berbeda dengan menakut-nakuti dalam hal lainnya yang sudah menjadi anggapan umum dalam masyarakat luas. (Muhammad Zaairul Haq, 2010: 149). Menakut-nakuti di sini adalah memperingatkan para sahabat akan suatu hal yang yang dilarang dengan mengabarkan akibat atau sesuatu yang akan terjadi bila mereka berani melakukan suatu hal yang dilarang tersebut. dengan mengetahui akibat dari perbuatan, seorang santri akan lebih berhati-hati sehingga selamat dari hal yang tidak diinginkan atau ditakuti terjadi. Pola pembinaan dengan menakut-nakuti disebut dengan tarhib. Model tarhib adalah upaya menakut-nakuti manusia agar menjauhi dan meninggalkan suatu perbuatan. Terhib mempunyai landasan dasar berupa ancaman, hukuman, sangsi. Tarhib adalah penjelasan sangsi dari 28 konsekuensi meninggalkan printah atau mengerjakan larangan dari ajaran agama. (Ulil Amri syafi’i, 2012 : 118-‘120). Dalam dunia pendidikan model tarhib memberikan efek rasa takut untuk melakukan suatu amal. Pendidikan yang menggunakan model tarhib adalah pendidikan yang melihat manusia bukan saja aspek akal dan jasmani tapi juga melihat aspek jiwa dan hati manusia. Model ini memanfaatkan sifat takut yang ada pada manusia. Rasa takut yang ada pada diri manusia dididik menjadi takut yang bermakna tidak berani melakukan kesalahan atau pelanggaran, karena ada sangsi dan hukumannya. (Ulil Amri syafi’i, 2012 : 118-‘120) Nasih Ulwan pakar pendidikan Islam, menawarkan beberapa pola dalam proses pendidikan atau pembinaan akhlak, di antaranya adalah dengan pembiasaan, keteladanan, nasehat, pengawasan, penghargaan dan hukuman. . Keteladanan adalah pendidikan yang tidak secara langsung tapi telah terbukti keberhasilannya dalam pembentukan aspek moral dan spiritual. Ambil saja contoh keteladan Rasulullah yang telah merubah prilaku jahilyah masyarakat pada zamannya menuju kecemerlangan peradaban. Dalam praktek pendidikan anak didik cendrung meneladani pendidiknya dan ini diakui oleh hampir semua ahli pendidikan. dasarnya adalah secara psikologis anak suka meniru, tidak hanya yang baik yang 29 jelekpun ditirunya, dan secara psikologis pula manusia membutuhkan sosok teladan dalam hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindakan keagamaan yang dilakukan oleh anak (khususnya pra sekolah) pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan shalat misalnya, mereka lakukan dari hasil melihat perbuatan yang dilakukan dilingkungan baik di keluarga maupun masyarakat. (paradigma pendidikan Islam, (lift Anis Ma’sumah, 2001:227) Keteladanan yang baik dari orang di sekitar, memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan akhlak. Seorang santri yang setiap hari melihat gurunya selalu hadir di kelas tepat waktu dengan pakaian yang rapi, bertutur kata yang baik dan sopan, cepat atau lambat akan berpengaruh dan menginspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama bahkan lebih baik dari yang dilakukan oleh gurunya Menurut Jalaluddin, dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung . sifat meniru ini merupakan sifat modal positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. Walaupun anak mendapat pelajaran agama yang tidak semata-mata berdasarkan yang mereka proleh sejak kecil, namun pendidikan keagamaan (religius paedagogis) sangat mempengauhi tingkah laku/prilaku keagamaan (religius behaviour) melalui sifat menerima itu. Oleh karena itu, menjadi tugas seorang guru (pendidik) untuk sedapat mungkin menjadikan dirinya sebagai top figur bagi anak didiknya. (lift Anis Ma’sumah, 2001:227) Ulil Amri Syafi’i menambahkan bahwa keteladaan adalah salah satu aspek terpenting dalam mewujudkan integrasi iman,ilmu, dan akhlak ia akan terwujud dengan adanya figur utama yang menunjang hal tersebut. Dialah sang pendidik yang menjadi sentral pendidikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa qudwah merupakan aspek terpenting dari proses 30 pendidikan . para pendidik dituntut memiliki kepribadian dan intelektualitas yang baik dan sesuai dengan islam sehingga konsep pendidikan dapat langsung diterapkan melalui diri para pendidik. Para pendidik adalah qudwah dalam setap aspek kehidupannya. (Ulil Amri syafi’i, 2012 : 140). Seorang pendidik harus memahami dan menyadari betul bahwa dalam diri setiap anak itu terdapat sebuah modal positif berupa sifat ingin meniru apa saja yang mereka lihat dilingkungannya. Oleh karena itu, seorang pendidik harus berhati-hati dalam bertutur kata, berprilaku dan bersikap dihadapan peserta didik. Dengan modal yang dimiliki oleh peserta didik ini, pendidik dan bisa memanfaatkannya untuk melakukan pembinaan yang lebih intensif. Pendidik dan seluruh element yang ada harus ikut berpartisifasi dalam memberikan keteladanan yang baik bagi mereka. Sebab dengan hal ini akan memberikan kekuatan yang besar untuk mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Menurut Nasih Ulwan pembinaan akhlak bisa juga dilakukan dengan pemberiaan nasihat bijak. Hal ini bisa membuka kesadaran berfikir dan berbuat peserta didik menuju keutamaan akhlak. dalam rangka memperkuat nasihat dibutuhkan pengawasan dan perhatian penuh dari pendidik. 31 Dr. Harvey Greenberg, seorang profrsor psikiatri untuk remaja di sekolah tinggi kesehatan Einstein, berkata bahwa anak muda zaman sekarang sedang berhadapat dengan budaya yang sia-sia dengan tidak adanya nilai-nilai kehidupan yang memagari mereka , sehingga mereka bertindak semau mereka. Mereka membutuhkan seoarang mentor atau penasehat. Biasanya guru yang menasehati mereka, tetapi para guru tersebut sudah jarang melakukan sekarang karena mereka lebih sering marah atau hanya membuat mereka lelah. ( Thomas Lickona, 2013: 129) Kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan santri atau peserta didik biasanya bukan karena kenakalan melainkan karena faktor ketidak tahuan atau keluguan mereka. Oleh karena itu jangan pernah menyalahkan langsung tanpa bertanya mengapa mereka melakukan hal tersebut. Apabila setelah ditanya dengan cara yang baik dan ternyata mereka melakukan tindakan atau perbuatan melanggar tersebut karena ketidak tahuan atau mungkin karena kenakalan, maka proses pembinaan dengan nasihat harus dilakukan tentunya dengan hikmah atau kebijaksanaan sebagai mana apa yang disebutkan Nasih Ulwan. 32 Sedangkan menurut Muhammad Abu Sulaikh ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan menyampaikan sebuah nasihat kepada siapapun. Di antaranya: pertama, nasehat harus didasari oleh niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Kedua, nasehat hendaknya disampaikan secara rahasia, sebab mereka yang membutuhkan nasehat itu menginginkan untuk ditutupi keburukannya dan dan diperbaiki kesalahannya. Ketiga, disampaikan secara lemah lembut. Keempat, nasihat tidak boleh bersifat memaksa. Kelima, memilih waktu yang tepat untuk memberikan nasehat, sebagai mana Ibnu Mas’ud rodhiyallohu’anhu berkata: “Hati itu memiliki rasa suka dan keterbukaan. Hati juga memiliki kemalasan dan penolakan. Maka raihlah ketika ia suka dan menerima. Dan tinggalkanlah ia ketika ia malas dan menolak.” (Al –Adab AsySyar’iyyah, karya Ibnu Muflih) Pembinaan boleh juga dilakukan dengan memberikan hukuman sebagai efek jera kepada yang melanggar sehingga tidak melanggar lagi. Hukuman yang diberikan tidak mesti dengan fisik tetapi bisa juga dengan hukuman yang mendidik seperti menulis beberapa ayat al-Qur’an atau membersihkan kamar atau halaman asrama. Bila hukuman fisik terpaksa dilakukan maka hendaknya tidak sampai melukai, karena hal ini bisa menimbulkan dendam yang berkepanjangan. 33 Dari ulasan di atas dapat ditangkap makna bahwa dalam proses pembinaan menuju terbentuknya akhlak yang baik, tidaklah semudah membalikkan tangan butuh perjuangan, ketekunan dan kesabaran dari pendidik atau guru untuk pencapaian tersebut. Dalam proses pembinaan hendaknya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa, ia butuh tahapan-tahapan yang runut dan tidak boleh lompatlompat. proses pembinaan yang dilakukan dimulai dari tahapan analisis prilaku agar diketahui sebab pelanggaran, melakukan pendekatan secara kekeluargaan, menyampaikan nasihat bijak, agar kata dan tindakan selaras harus diikuti dengan keteladanan, setelah itu proses pembiasaan, teguran diiringi dengan menakut-nakuti secara proforsional, terakhir dengan hukuman edukatif atau bisa juga hukuman fisik. Dengan pola seperti ini insya Allah akan terbentuk santri atau peserta didik yang berakhlak mulia. ( Arief, 2002: 131) Dalam memberikan hukuman hendaknya memperhatikan beberapa hal, Arief memaparkan bahwa dalam memberikan hukuman harus memenuhi beberapa unsur antara lain: hukuman diberikan karena cinta dan kasih sayang, didasarkan pada keharusan, menimbulkan kesan dan penyesalan pada anak, diikuti dengan pemberian maaf, harapan dan kepercayaan. ( Arief, 2002: 131). Beberapa unsur yang diungkap oleh Arief dalam memberikan hukuman kepada anak didik merupakan sebuah pedoman yang harus 34 diperhatikan sebab terkadang sebagai seorang pendidik guru memberikan hukuman didasari oleh perasaan benci sehingga terkadang lepas kontrol dan memberikan hukuman secara membabi-buta, dan bila ini terjadi maka hubungan antara pendidikan dan anak didiknya menjadi renggang bahkan sampai menimbulkan dendam berkepanjangan. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk akhlak. Abuddin Nata dalam bukunya akhlak tasawuf, dalam menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak menyebutkan beberapa aliran yaitu natifisme, empirisme, dan aliran konvergensi (Abuddin Nata, 2002: 165-168). Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, akal dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecendrungan yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan itu baik maka baiklah anak itu. Demikian pula sebaliknya. Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus 35 atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecendrungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode. Dari ketiga aliran tersebut, menurut Abuddin Nata aliran konvergensilah yang tampak lebih sesuai dengan Islam, karena sesuai dengan hadis Nabi yang menjelaskan bahwa setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi. Dari aliran konvergensi yang tampak lebih sesuai dengan Islam ini, bisa dipetakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, antara lain: faktor siswa, guru, lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Faktor siswa adalah faktor internal sedang yang lain adalah faktor eksternal. 1. Faktor siswa Siswa adalah mereka yang melakukan aktivitas belajar dan menerima bimbingan atau pengarahan dari seorang guru. Guru dan siswa adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri, dimana siswa menerima pelajaran sedangkan guru memberi pelajaran. Keduanya harus aktif, bukan hanya guru saja tapi murid juga dituntut untuk lebih aktif dengan memberikan perhatian dan minat yang besar untuk meraih ilmu yang diajarkan. Oleh karena ini maka siswa 36 harus mndapatkan perhatian yang ekstra dalam kegiatan pendidikan sebab anak didik adalah inti dari pendidikan. (Oemar Hamalik, 2010:27). 2. Faktor guru Seorang guru memiliki peran sebagai mediator atau perantara agar anak didik bisa mencapai tujuannya yang sudah ditetapkan atau dirumuskan. Tanpa adanya seorang pendidik maka tujuan pendidikan atau hal yang telah dirumuskan tidak akan tercapai. Oleh sebab itu diperlukan guru yang profesional karena guru yang profesional tentu akan lebih mampu dan lebih menguasai teori pelajaran yang akan disampaikan dan tentu akan berhasil pula dalam pembinaan dan pengembangan kemampuan siswa. Jadi guru bukan orang biasa, tetapi harus memiliki kemampuan serta keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. 3. Faktor sekolah Lingkungan yang kondusif merupakan komponen yang sangat penting dalam proses belajar. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam dan lingkungan psikologis dalam proses belajar mengajar berlangsung. Semua komponen harus dikelola sedemikian rupa, sehingga beelajar anak dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula. ( Agus Maemun dan Agus Zaenul, 2010: 138) 37 Situasi sekolah atau madrasah sangat perlu disesuaikan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan, maka pembinaan akhlak pada anak akan mudah dan cepat untuk terbentuk ( Nuzul Zuriah, 2008:23). Jika pihak sekolah ingin menanamkan nilai kejujuran dan nilai juang maka seluruh elemen sekolah harus berusaha memberikan contoh kepada siswa, mengadakan kegiatan yang mendukung, dan menghindari kegiatan kegiatan negatif yang menjadi kendala dalam penanaman nilai tersebut. misalnya guru membiasakan untuk menumbuhkan dalam dirinya tentang kejujuran ilmiah, mengawasi anak dalam kegiatan ujian jangan sampai menyontek. Ada tujuh permasalahan pokok yang menjadi akar krisis mental dan moral dalam pendidikan nasional: a. Arah pendidikan telah kehilangan objektifitasnya. b. Proses pendewasaan diri tidak berlangsung dilingkungan sekolah. c. Proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik bahkan guru. d. Beban kurikulum yang demikian berat. e. Pelajaran agama dan moral yang hanya diajarkan dalam bentuk verbalisme. f. Pertentangan nilai yang dihadapi oleh siswa di sekolah. g. Krisis keteladanan di sekolah. ( Nuzul Zuriah, 2008:112) 38 4. Faktor keluarga Tugas dan tanggung jawab guru tidak terlaksana dengan baik tanpa bantuan orang tua, dan masyarakat, karena guru sebagai pendidik mempunyai keterbatasan sebagai mana orang tua mempunyai keterbatasan (Ramayulis, 2008:65). Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sangat penting dalam membentuk pola keperibadian anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma. Lingkungan keluarga sering disebut lingkungan pertama dalam pendidikan. ia merupakan pondasi dasar yang mana akan dibangun di atasnya bangunan yang lain, bila dasarnya kokoh maka bangunan yang di atasnya akan menjadi kokoh pula, begitu pula sebaliknya. Pengaruh keluarga dalam kepribadian anak itu begitu besar, meskipun dalam ukuran relatif tidak sama. Di dalam masyarat anak akan tumbuh dengan sifat orang tuanya, baik dalam arti positif maupun negatif. Hal ini berlaku dalam kepribadian umum. Dari orang tua yang alim umumnya dapat diharapkan anak-anak yang alim dan sebaliknya dari orang tua yang jahat akan susah diharapkan anak-anak yang shalih. Dari beberapa ulasan di atas dapat diketahui bahwa keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, memiliki arti penting dan strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan anggotanya dalam mencari kehidupan. Dari keluarga, anak 39 mempelajari sifat-sifat mulia, kesetiaan, kasih sayang dan sebagainya. Dari kehidupan seorang ibu dan ayah terpupuk keuletan, keberanian, sekaligus tempat berlindung, bertanya dan mengarahkan bagi anggotanya. Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan siswa yang berasal dari keluarga yang mendidik kejujuran dengan keluarga yang mendidik penuh dengan pelanggaran. Keluarga yang penuh dengan pelanggaran menampilkan sosok siswa yang senang melakukan pelanggaean karena orang tua yang berpenampilan memberi contoh buruk, sering bertengkar, disiplin yang sangat rendah, sikap yang tidak mengindahkan norma masyarakat. Bagi siswa yang berasal dari keluarga dengan kejujuran menampakkan hal yang sebaliknya ( Nuzul Zariah, 2008:3). 5. Faktor masyarakat Peran masyarakat dalam pembinaan akhlak juga tidak kalah penting. Kehidupan sekolah tidak lepas dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Anak dalam kehidupan di masyarakat biasanya saling meniru di antara sesamanya, proses saling meniru itu sangat kuat dan cepat. Pengaruh kawan sangat besar terhadap akal dan akhlak anak. Dengan demikian dapat dipastikan masa depan anak tergantung dengan keadaan masyarakat di mana anak itu melakukan pergaulan. Anak yang hidup di antara tetangga yang baik akan terbentuk menjadi anak yang baik, begitu juga sebaliknya, anak yang 40 hidup di antara orang-orang yang tidak baik akhlaknya, ia akan menjadi buruk akhlaknya. ( Sam’un Bakry, 2005:112). Prilaku menyimpang di kalangan remaja, pemuda dan masyarakat adalah merupakan akibat dari para generasi muda yang kehilangan contoh teladan dalam meniru perilaku yang etis. Mereka kehilangan model orang dewasa yang dapat digugu dan ditiru. Masyarakat sering menjadi kendala besar bagi pembinaan akhlak. banyak yang tidak bersikap sopan, bertingkah seenaknya karena pengaruh kehidupan masyarakat. Misalnya di sekolah telah diajarkan nilai kerukunan dan persaudaraan, tetapi di masyarakat siswa melihat adanya komplik dan permusuhan. Akibatnya siswa menjadi mudah bingung dan akhirnya meniru apa yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks masyarakat perlu di garis bawahi pengaruh media massa TV, internet, dan lain-lain. Alat komunikasi ini setiap hari mengenalkan nilai tertentu yang terkadang berlainan dengan nilai akhlak yang ditanamkan di sekolah. Begitu besar pengaruh media massa sehingga sering kali membuat pengaruh sekolah tidak kuat dan bahkan kalah. Misalnya, di sekolah ditanamkan nilai juang dan mengalahkan budaya seenaknya, malas-malasan dan budaya instan. Akan tetapi karena setiap hari menawarkan budaya instan dan orang dapat sukses tanpa harus 41 berjuang, maka daya juang sering kali kandas. Pengaruh kenakalan ramaja, pengaruh seksualitas yang tidak benar dan narkoba banyak didapat dari media massa. Dalam tataran implementasi dan realisasi pendidikan akhlak perlu diwujudkan dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah secara terpadu. Dengan sendirinya pelaksanaan pembinaan akhlak di sekolah sangat perlu didukung dengan pembinaan di keluarga dan masyarakat. Untuk mendukung pembinaan akhlak di madarasah perlu adanya sinergisitas dan kerjasama yang kuat erat antara orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah ( Nuzul Zuriah, 2008:171). 3. Istilah-istilah Lain Selain istilah akhlak ada beberapa istilah yang sering dipakai dalam membahas masalah prilaku manusia, di antaranya adalah etika dan moral. a. Etika Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan upaya menentukan tingkah laku manusia. 42 Sedangkan menurut istilah, para ahli mendefinisikannya dengan ungkapan yang berbeda-beda Ahmad Amin misalnya mendefinisikan etika adalah ilmu yang menjelaskan tentang arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan apa yang seharusnya diperbuat. Selanjutnya Soegarda Poebakawaja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai yang juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Abudin Nata, 2002:88) Pengertian etika lebih lanjut dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurutnya etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup semua manusia, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. (Abudin Nata, 2002:88) Dari beberapa pengertian etika di atas dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal, sebagai berikut: pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil dari 43 pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut, dan tidak pula universal. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan itu dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah prilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. b. Moral Abudin Nata mengungkapkan bahwa moral menurut bahasa adalah berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia bahwa moral adalah penentuan baik dan buruk terhadap kelakuan dan perbuatan. Selanjutnya moral dari segi istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. (Abudin Nata, 2002:90). Dalam perkembangan selanjutnya istilah moral sering pula sering pula di dahului oleh kata kesadaran, sehingga menjadi istilah kesadaran moral. Ahamad Charris Zubair mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan 44 tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral itu di dasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Orang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur walaupun tidak ada orang yang melihatnya, tindakan orang yang bermoral tidak akan menyimpang, dan selalu berpegang pada nilainilai tersebut. hal ini terjadi karena tindakan orang yang bermoral itu berdasarkan atas kesadaran, bukan berdasarkan pada sesuatu kekuatan apapun dan juga bukan karena paksaan, tetapi berdasarkan kesadaran moral yang timbul dari diri orang yang bersangkutan. (Abudi Nata, 2002:92). Hamzah Ya’kub dalam bukunya yang berjudul Etika Islam mendifinisikan: Etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Sedang yang dimaksud dengan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. ( Hamzah Ya’kub, 1988:13-14) Setelah menjelaskan definisi kedua istilah di atas, Hamzah Ya’kub mengungkapkan perbedaan keduanya. Etika lebih bersifat teori sedang moral lebih bersifat praktis. Etika memandang laku perbuatan manusia secara universal (umum) sedang moral secara lokal. 45 Etika dan moral bila disandingkan dengan istilah akhlak akan terlihat persamaan sekaligus perbedaannya. Persamaannya sama-sama membahas prilaku manusia dalam sudut pandang baik dan buruk. Perbedaannya etika dan moral bersumber dari akal pikiran manusia sedang akhlak sumbernya al-Qur’an dan al-Hadis. ( Hamzah Ya’kub, 1988:15) Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian seharihari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Dalam istilah selanjutnya istilah moral sering juga didahului oleh kata kesadaran, sehingga menjadi istilah kesadaran moral.. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya yang berjudul kuliah etika sebagai mana dikutip oleh Abudin Nata, mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan faktor penting.untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berprilaku susila dan perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang berlaku. ( Abudin Nata, 2002: 92) 4. Siswa Madrasah Mu’allimin Siswa Madrasah Mu’allimin adalah siswa yang sengaja dibina dan dibentuk untuk menjadi kader-kader penggerak Muhammadiyah di daerah. Dalam rangka pembentukan jiwa kader mereka akan melalui proses pendidikan dan pembinaan selama enam tahun yaitu dimulai dari 46 madrasah tsanawaiyah sampai madrasah ‘aliyah. Pendidikan dan pembinaan di Mu’allimin diharapkan mampu memenuhi kriteria standar yang menjadi kompetensi siswa Mu’allimin, antara lain: a. Kompetensi dasar kepribadian yaitu keadaan tertentu yang melekat secara kuat pada kepribadian setiap lulusan yang sekaligus menjadi tolak ukur jati-diri mereka setelah menyelesaikan pendidikan di Mu'allimin. Adapun yang bersifat pokok dari kompetensi ini antara lain ketakwaan, keimanan, keikhlasan, kesalehan, kesungguhan, kemandirian, dan keteladanan yang semua itu melandasi sosok kepribadian yang memiliki komitmen tinggi terhadap amar ma'ruf nahi mungkar. b. Kompetensi dasar kecakapan yaitu sejumlah kecakapan dasar yang diperlukan bagi terbentuknya kualifikasi sosok lulusan yang diinginkan. Kompetensi dasar kecakapan meliputi keterampilanketerampilan pokok yang dalam batas minimal dibutuhkan sebagai penunjang utama bagi terbentuknya kemampuan sebagai pemimpin, ulama, mubaligh, dan guru. c. Kompetensi dasar sosial kemanusiaan yaitu sejumlah kemampuan dasar lulusan Pesantren Mu‘allimin Muhammadiyah untuk dapat mengaktualisasikan diri di bidang sosial kemanusiaan. Dengan kompetensi ini abiturien pesantren memiliki kepekaan dan kepedulian sosial, mampu merasakan denyut nadi kehidupan masyarakat dan melakukan pendidikan sosial dan aksi amal dalam konteks dakwah bil-hâl sehingga mampu hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. d. Kompetensi dasar gerakan yaitu kemampuan dasar lulusan Pesantren Mu‘allimin Muhammadiyah dalam memerankan diri secara khusus sebagai pelaku gerakan Muhammadiyah, sehingga siswa (santri) 47 Pesantren berintegrasi Mu‘allimin langsung Muhammadiyah menjadi setelah penggerak misi lulus mampu dan kegiatan Muhammadiyah di mana pun mereka berada Dalam landasan filosofis kurikulum Madrasah Mu’allimin disebutkan profil lulusan, di antaranya: 1. Memegang teguh Islam berdasar al Qur'an da As shunah 2. Berkeilmuan dan berwawasan luas berdasar nilai-nilai Islam. 3. Menjadikan Al Quran dan As sunah sebagai inspirasi dalam kehidupannya. 4. Sanggup beramal sholeh dalam rangka meneruskan gerakan amal Muhammadiyah. 5. Mampu menggerakkan Islam moderat dan berkemajuan untuk membangun peradaban. 6. Sanggup meneruskan misi kenabian dalam rangka mewujudkan Islam rohmatan Lil 'alamin. 7. Jujur, adil, humanis, disiplin, mandiri, dan kreatif. 8. Berhati nurani dan berorientasi keummatan. 9. Menguasai Ilmu pengetahuan, teknologi dan bahasa Internasional 10. Menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna perjuangan amal usaha Muhammadiyah Siswa madrasah mu’allimin dari segi usia masuk kategori remaja. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik cepat. Pertumbuhan fisik yang terjadi pada usia remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, prilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. (perkembangan peserta didik, Endang Poerwanti, UMM, 2002: 106) 48 Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menanamkan tahap-tahap peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki dewasa. Remaja merasa perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya serta diberikan sebuah tanggung jawab terhadap dirinya agar mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian. Dalam pandangan Islam seorang manusia bila telah akil baligh, maka, mereka telah bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik akan mendapatkan pahala dan apabila melakukan perbuatan tidak baik maka mendapatkan dosa. Masa remaja merupakan masa dimana timbulnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik dan daya fikir yang lebih matang. Namun masa remaja penuh dengan berbagai perasaan yang tidak menentu, cemas dan bimbang, dimana berkecamuk harapan dan tantangan, kesenangan dan kesengsaraan, semuanya harus dilalui dengan perjuangan yang berat menuju hari depan yang dan dewasa yang matang. Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentan usia , yaitu usia antara 12 sampai 15 tahun dan usia 15 sampai dengan 18 tahun. .(http://khildaamaliyah.wordpress.com, sabtu, 30-03-14) Ciri-ciri emosional usia 12-15 tahun: 49 1. Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka 2. Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri 3. Kemarahan biasa terjadi 4. Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan ingin selalu menang sendiri 5. Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun 1. “Pemberontakan” remaja merupakan ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak menuju dewasa 2. Banyak remaja mengalami konflik dengan orang tua mereka 3. Sering kali melamun, memikirkan masa depan mereka Perkembangan emosi pada remaja ditandai dengan emosi yang tidak stabil dan penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan emosi ini erat kaitannya dengan kemasakan hormon yang terjadi pada remaja. Stres emosional yang timbul berasal dari perubahan 50 fisik yang cepat dan luas yang terjadi sewaktu pubertas. ( Suhartono, Agung hartono, 2002: 154) Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Adapun karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama dari pada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh kerena itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbedabeda. Dan perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Jika dilihat sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak yang kurang pandai bereaksi. Tetapi sebaliknya mereka lebih dapat mampu mengendalikan emosi. Masa remaja dibagi menajadi dua yaitu masa pra pubertas dan masa pubertas. Masa pra pubertas dimulai 12-14 sedang pubertas dari mulai 14-18. Pada masa puberta muncul prasaan-prasaan negatif pada diri anak, sehingga masa ini ada yang menyebutkan masa negatif. Anak mulai timbul keiinginan untuk melepaskan diri dari kekuasaan orang tua, ia tidak 51 mau tunduk lagi kepada segala printah, atau kebijakan orang tua. Semua terasa ingin ditolak, ini bukan berarti anak mau bebas sepenuhnya, tetapi anak bebas dari anggapan bahwa ia sebagai anak-anak ingin menyamakan statusnya dengan orang dewasa ( Sunarto, Agung Hartono, 2002: 155-156) Masa pubertas, pada masa ini seoarang anak tidak lagi bersifat reaktif, tetapi juga anak mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka menemukan dirinya (akunya), serta mencari pedoman hidup untuk bekal kehidupannya mendatang. Kegiatan semangat menyala-nyala tetapi tersebut dilakukannya penuh ia sendiri tidak mengetahui atau memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya. (Abu Ahmadi, Munawar Shaleh, 1991: 85-88). F. Metode penelitian 1. Jenis Penelitian Penulisan Tesis ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif agar penelitian itu betul-betul berkualitas, sumber dan data yang dikumpulkan harus lengkap, yaitu data primer dan data sekunder. Data perimer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau prilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitinnya informer yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Data sekunder adalah data yang diambil dari dokument- 52 dokument grafis ( tabel, catatan, notulen rapat, sms, dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer. ( Suharsimi Arikunto, 2010: 21-22 ). 2. Subjek Penelitian Metode Penentuan sample dalam penelitian ini menggunakan Purposive sample yaitu menentukan kriteria terlebih dahulu baru kemudian diambil sample sesuai dengan kreteria. Subjek penelitian dalam penelitian ini diambil dari beberapa musyrif yang mewakili tiap jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah berjumlah sepuluh pengambilan musyrif sebagai subjek karena mereka adalah orang yang paling langsung terlibat dalam pembinaan santri di asrama. Subjek yang kedua adalah bapak pamong sebagai kepala asrama yang mengarahkan dan mengawasi kinerja musyrif di asrama, pamong yang diambil berjumlah lima dari jenjang Tsanawiyah dan Aliyah. Semu Guru BK dari tiap jenjang kelas. dan Mudir Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. 3. Batasan Masalah Pembahasan akhlak sangatlah luas oleh karena itu dalam penelitian ini hanya akan meneliti beberapa aspek akhlak seperti kedisiplinan, kebersihan, tanggung jawab, sopan-santun, Jiwa sosial, dan kejujuran. (lihat lampiran) 53 4. Metode Pengumpulan Data a. Observasi (Pengamatan). Observasi dalam penelitian ini berguna untuk mencari data atau gambaran penuh tentang prilaku dan pristiwa yang terjadi terkait dengan pola pembinaan akhlak yang selama ini berjalan di Madrasah Mu’allimin. b. Interview (Wawancara) Wawancara dalam penelitian ini berguna untuk memperoleh informasi secara langsung kepada informan mengenai kondisi atau keadaan sekolah dan segala-sesuatu yang terkait dengan akhlak serta pola pembinaannya. Dalam hal ini informan akan mewawancarai Musyrif, Pamong, Guru BK dan Kepala Sekolah.. c. Dokumentasi (Pengumpulan data). Pengumpulan data ini digunakan untuk melengkapi yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara, yaitu dengan cara memanfaatkan sumber-sumber tertulis yang ada, baik berupa laporan, diktat maupun dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan penelitian, dengan maksud untuk memperkuat data yang ada. 54 5. Teknik analisis Data Dalam metode ini digunakan teknik analisis data, deskriptif analitic kualitatif. yang dimaksud dengan analisis deskriptif analitic kualitatif yaitu data digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan disertai dengan analisis (Suharsimi Arikunto, 1998: 245). Dalam penelitian ini terkait dengan data, penulis akan menggunakan analisis data sebagai mana yang dirumuskan oleh Moleong. Moleong dalam bukunya metodologi penelitian kualitatif ia menjelaskan: proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia, dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Data tersebut banyak sekali, sekitar segudang. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan melakukan abstraksi. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. (Lexy J Moleong 2004: 247). Triangulasi data merupakan suatu teknik pngumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Jika melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sesungguhnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas 55 data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai smber data. (Andi Prastowo, 2010: 289). Dengan menggabungkan banyak metode maka akan lebih kuat data yang diperoleh. Lebih banyak lagi metode saling membandingkan antara satu dengan yang lain, keyakinan peneliti akan semakin besar. Sebagai contoh jika hasil survey dengan angket cocok dengan hasil penelitian pengamatan suatu kejadian yang sama, penliti akan lebih yakin dengan temuannya. ( Andi Prastowo, 2010: 291) Sedang dalam pengambilan kesimpulan, menggunakan metode induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulangulang dengan teknik triangulasi, bila ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori. G. Sistematika Penulisan Pada Bab I, peneliti akan membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bagian di antaranya adalah Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka teori, Metode Penelitian dan terakhir Sistematika Penelitian. Pada Bab II, peneliti akan membahas tentang gambaran umum tentang Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang terdiri dari beberapa sub, antara lain adalah Letak Geografis Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Sejarah Berdirinya, Visi dan 56 Misi, Struktur Organisasi, Keadaan Pendidik dan Karyawan, terakhir Fasilitas dan Prasarana. Pada Bab III, Peneliti akan membahas inti dari penelitian ini yaitu mengenai gambaran dinamika perkembangan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, permasalahan umum yang terjadi, bagaimana pola pembinaan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan bagaimana hasil dari pola pembinaan akhlak yang diterapkan. Pada bab IV menjelaskan tentang kesimpulan dari penelitian dan saran-saran membangun terkait dengan perkembangan akhlak siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. 57 58