BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Caring Perawat 1. Definisi Prilaku caring merupakan manifestasi perhatian kepada orang lain, berpusat pada orang, menghormati harga diri dan kemanusiaan. Caring mempunyai komitmen untuk mencegah terjadinya sesuatu yang buruk, memberi perhatian dan konsen, menghormati orang lain dan kehidupan manusia. Caring juga merupakan ungkapan cinta dan ikatan, otoritas dan keberadaan, selalu bersama, empati, dapat memotivasi perawat untuk dapat lebih care pada pasien dan mampu melakukan tindakan sesuai kebutuhan pasien (Dwidiyanti, 2007). Milton Mayerof (1972) dikutip dari Morrison & Burnard (2009) menganalisis tentang makna caring dalam pengaruh manusia, menggambarkan caring sebagai suatu proses yang memberikan kesempatan pada seseorang (baik pemberi asuhan (carer) maupun penerima asuhan) untuk pertumbuhan pribadi. Aspek utama caring dalam analisis, meliputi: pengetahuan, penggantian irama (belajar dari pengalaman), kesabaran, kejujuran, rasa percaya, kerendahan hati, harapan dan keberanian. Caring menurut Watson (2006) dikutip dari Potter & Perry (2009) merupakan sentral praktek keperawatan. Caring juga merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap pasien. Aspek utama caring dalam analisis meliputi : pengetahuan, penggantian irama (belajar dari pengalaman), kesabaran, kejujuran, rasa percaya, kerendahan hati harapan dan keberaniannya. memberi perhatian dan konsen, menghormati orang lain dan kehidupan manusia. 5 6 Menurut Sitorus, (2011) prilaku caring ini juga mempunyai tiga hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu perhatian, tanggung jawab, dan dilakukan dengan iklas. Sikap caring juga akan meningkatkan kepercayaan klien terhadap perawat dan mengurangi kecemasan klien. Kedua hal tersebut dapat memperkuat mekanisme koping klien sehingga memaksimalkan proses penyembuhaan. Kunci dari kualitas pelayanan asuhan keperawatan adalah perhatian, empati dan kepedulian perawat. 2. Aktifitas yang Menunjukkan Caring Perawat Menurut Worlf, (1994) dikutip dari Suprianti (2008) terdapat sepuluh yang menunjukkan prilaku caring perawat. Kesepuluh prilaku caring perawat antara lain : (1) Mendengarkan keluhan dengan penuh perhatian (2) Memberikan rasa nyaman (3) Berkata jujur (4) Memiliki kesabaran (5) Bertanggung jawab (6) Memberikan informasi sehingga klien dapat mengambil keputusan (7) Memberikan sentuhan (8) Memberikan sensitifitas (9) Menunjukkan rasa hormat kepada klien (10) Memanggil klien dengan namanya 3. Faktor Pembentukan Caring Menurut Watson (1979), fokus utama dari keperawatan adalah faktor-faktor carative yang bersumber dari prespektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah. Watson kemudian mengembangkan kesepuluh faktor carative tersebut untuk membantu memenuhi kebutuhan tertentu dari klien dengan tujuan terwujudnya integritas fungsional secara utuh dengan terpenuhinya kebutuhan biofisik, psikososial dan kebutuhan interpersonal (Potter and Perry, 2009). Kesepuluh faktor carative tersebut adalah: a. Pendekatan humanistik (kemanusiaan) dan altruistik (lebih mementingkan orang lain dari pada diri sendiri. Melalui sistem nilai humanistik dan altruistik ini perawat menumbuhkan rasa puas karena mampu memberikan sesuatu pada klien. Selain itu, perawat juga memperlihatkan kemampuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan 7 kepada klien. Pembentukan sistem nilai humanistik dan altruistik mulai berkembang diusia dini dengan nilai-nilai yang berasal dari orang tuanya. Sistem nilai ini pengalaman hidup buat seseorang dan mengantarkan kearah kemanusiaan. Perawat yang berdasarkan nilai-nilai humanistik dan altruistik dapat dilambangkan melalui penilaian terhadap pandangan diri seseorang, kepercayaan, interaksi dengan berbagai kebudayaan dan pengalaman pribadi (Potter & Perry, 2009). b. Menanamkan sikap kepercayaan dan harapan. Perawat memberikan kepercayaan dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik. Dalam hubungan perawatklien yang efektif, perawat memfasilitasi perasaan optimis, harapan dan kepercayaan. Disamping itu, perawat meningkatkan prilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan. Kepercayaan dan penghibur sangat penting bagi proses karatif maupun kuratif. Dengan menggunakan faktor karatif ini akan tercipta perasaan lebih baik melalui kepercayaan dan atau keyakinan yang sangat berarti bagi seseorang secara individu (Potter & Perry,2009). c. Kepekaan terhadap diri sendiri Perawat belajar menghargai kepekaan atau kesensitifan dan perasaan klien sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni dan bersikap wajar kepada orang lain. Pengembangan kepekaan dengan diri dan orang lain, meng eksplorasi kebutuhan perawat untuk mulai merasakan suatu emosi yang muncul dengan sendirinya. Hal itu hanya dapat berkembang melalui perasaan diri seseorang yang pekadalam berintraksi dengan orang lain. Jika perawat berusaha untuk meningkatkan kepekaan dirinya, maka ia akan lebih autentik (tampil apa adanya). Autentik akan menambah pertumbuhan diri dan aktualisasi diri baik bagi perawat sendiri maupun bagi orang-orang yang berinteraksi dengan perawat itu (Potter & Perry, 2009) 8 d. Hubungan saling percaya dan saling membantu. Pengembangan hubungan saling percaya antara perawat dan klien adalah sangat kursial bagi transpersonal caring. Hubungan saling percaya akan meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif. Pengembangan hubungan saling percaya menerapkan bentuk komunikasi untuk menjalin hubungan dalam keperawatan. Karakteristik faktor ini adalah kongruen, empati dan ramah. Kongruen berarti perawat menanyakan apa adanya dalam berinteraksi dan tidak menyembunyikan kesalahan. Perawat bertindak dengan cara yang lebih terbuka dan jujur. Empati berarti perawat memahami apa yang dirasakan klien. Ramah berarti penerimaan positif terhadap orang lain yang sering diekspresikan dengan bahasa tubuh, ucapan tekanan orang lain yang sering diekspresikan dengan bahasa tubuh, ucapan tekanan suara, sikap terbuka, ekspresi wajah dan lain-lain (Potter & Perry, 2009). e. Menerima dan meningkatkan ekspresi perasaan positifdan negatif. Perawat menyediakan waktu untuk mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien. Berbagai perasaan merupakan pengalaman yang cukup beresiko baik bagi perawat maupun klien. Perawat harus menggunakan pemahaman intelektual maupun emosional pada keadaan yang berbeda (Potter & Perry, 2009). f. Menggunakan pemecahan masalah dalam mengambil keputusan. Perawat menggunakan metode proses keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada klien, sehingga akan mengubah gambaran tradisional perawat sebagai “pembantu” dokter. Proses keperawatan adalah proses yang sistematis dan berstruktur, seperti halnya proses penelitian (Potter & Perry, 2009). 9 g. Peningkatan belajar mengajar interpersonal. Faktor ini adalah konsep yang penting dalam keperawatan, membedakan antara caring dan curing. Perawat memberikan informasi kepada klien. Perawat bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kesehatan klien. Perawat memfasilitasi proses belajar mengajar yang didesain untuk memampukan klien memenuhi kebutuhan pribadinya, memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal dan memberikan kesempatan untuk kebutuhan personal klien (Potter & Perry, 2009). h. Menciptakanlingkungan fisik, mental, sosiokutural dan spiritual yang mendukung. Perawat perlu mengenal pengaruh lingkungan internal dan eksternal klien terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. Konsep yang relevan terhadap lingkungan internal yaitu mencakup kesejahteraan mental dan spiritual dan kepercayaan sosiokultural dari seorang individu. Sedangkan lingkungan eksternal mencakup variabel epidemologi, kenyamanan, privasi, keselamatan, kebersihan dan lingkungan. Karena klien bisa saja mengalami perubahan baik dari lingkungan internal maupun eksternal, maka perawat harus mengkaji dan memfasilitasi kemampuan klien untuk beradaptasi dengan perubahan fisik, mental dan emosional (Potter & Perry, 2009) i. Memberikan bantuan dalam pemenuhan kebutuhan manusia Perawat perlu mengenali kebutuhan komprehensif yaitu kebutuhan biofisik, psikososial, psikolofisikal dan interpersonal klien. Pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar perlu dicapai sebelum beralih ketingkat selanjutnya. Nutrisi, eliminasi dan ventilasi adalah contoh dari kebutuhan biofisik yang paling rendah, sementara aktivitas dan seksualitas adalah kebutuhan psikofisik yang paling rendah. Pencapaian dan hubungan merupakan kebutuhan psikososial yang tinggi dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan interpersonal yang paling tinggi (Potter & Perry, 2009). 10 j. Terbukapada eksistensial, fenomenologikal dan distensi spiritual penyembuhan. Faktor ini bertujuan agar pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Terkadang klien perlu dihadapkan pada pangalaman/pemikiran yang bersifat proaktif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. Diakuinya faktor karatif ini dalam ilmu keperawatan membantu perawat untuk memahami jalan hidup seseorang dalam menemukan arti kesulitan hidup. Karena adanya irrasional tentang kehidupan, penyakit dan kematian, perawat menggunakan faktor karatif ini untuk membantu memperoleh kekuatan daya uantuk menghadapi kehidupan atau kematian (Potter & Perry, 2009). 4. Tahap-Tahap Dalam Caring Murray dan Belvis (1982) dalam Suprianti (2008) membagi tahap perkembangan dalam hubungan yang progresif dan serial yaitu : a. Tahap Attachman (pertalian), terjadi empat tugas yang menandai pertalian yaitu : recognisi (menyadari kehadiran orang lain dan menerima orang lain dapat memberi arti), membuka diri (membagi informasi yang beresiko rendah untuk tidak mengancam), validasi (memberikan persetujuan pada informasi yang dibagikan atau perilaku yang diperhatikan), potensi (kehendak dan kekuatan untuk memajukan hubungan). b. Tahap Assiduity (sikap selalu penuh perhatian); selama tahap ini yang diteliti pada kerja menjalin hubungan kepedulian. Prilaku atau tugas dari assiduty ini yaitu: respek, melibatkan, mengakui dan menerima keinginan, kebutuhan, kesukaan, perbedaan dan permintaan orang lain. Kejujuran, diperlukan agar hubungan menjadi terbuka, kejujuran dapat berupa mengatakan kebenaran atau keinginan. Saling terbuka, tahap dua lebih dalam pengertiannya dari tahap satu. Tanggung jawab, diperlukan untuk hubungan memperlihatkan yang meliputi rasa tanggung jawab diri sendiri dan tanggung jawab untuk menerima orang lain. Kepercayaan, terbangunnya percaya diri mengakui kemampuan setiap orang untuk meminta bantuan dan pertolongan dan yang 11 terakhir pada tahap ini adalah keberanian, keberanian mendorong hubungan memperhatiakan siap untuk maju ketahap berikutnya. c. Tahap Intimasi : tugas dalam tahap ini memerlukan ketulusan (integritas, kepercayaan), membuka diri (mempunyai arti menempatkan seseorang dalam posisi yang terbuka), wawasan (memiliki pandangan yang tepat terhadap orang lain) dan pelibatan (orang lain dapat dilibatkan dalam hubungan tanpa terancam). d. Tahap Konfirmasi : meliputi validasi personal yang dihasilkan perasaan positif tentang kesadaran dan pertumbuhan diri. Augmentasi memugkinkan untuk memperbesar, memperkuat dan mempermudah hubungan memperhatikan. Daya tahan karena kemampuan untuk peduli dengan dasar yang luas maka hasilnya adalah keluasan. 5. Tahap-Tahap Yang Mempengaruhi Prilaku Caring Caring merupakan aplikasi dari proses keperawatan sebagai bentuk kinerja yang ditampilkan oleh seorang perawat. Ada tiga faktor yang mempengaruhi terhadap kinerja individu (Gipson & Jhon, 2000). a. Faktor individu Individu dikelompokkan pada kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku individu. Sedangkan pada demografi mempunyai efek tidak langsung pada prilaku dan kinerja individu. Karakteristik demografis meliputi : usia, latar belakang, pendidikan, masa kerja, status perkawinan dan status kepegawaian (Gipson & Jhon, 2000). b. Faktor psikologis Psikologis merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur. Faktor psikologis ini terdiri dari sikap kepribadian, belajar dan motivasi. Faktor ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman dan karakteristik demografis (Gipson & Jhon, 2000). 12 c. Faktor organisasi Organisasi adalah suatu sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungannya. Organisasi yang mempengaruhi kinerja karyawan meliputi sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan (Gipson & Jhon, 2000). 6. Indikator Prilaku Caring Perawat Menurut Watson (2004), terdapat enam indikator prilaku caring perawat sebagai berikut : a. Accessible, prilaku yang menunjukkan kesediaan dan kesiapan untuk selalu membantu klien dan keluarganya dalam mengatasi masalah kesehatan. b. Explain and Fasilatates, kemampuan perawat untuk memberikan penjelasaan berkaitan dengan perawatan anak, memberikan pendidikan kesehatan kepada anak dan keluarga, membantu keluarga dalam proses mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan terhadap anak, melindungi anak dari praktik yang merugikan anak dan keluarga. c. Comfort, kemampuan perawat untuk memenuhi kebutuhan dasar klien meliputi fisik dan emosional dengan penuh penghargaan. d. Ancitipates, kemampuan perawat untuk melakukan tindakan pencegahan komplikasi dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang tidak diinginkan dari kondisi anak, dengan demikian perawat dapat menyiapkan apa yang mungkin dibutuhkan bila hal yang tidak diinginkan terjadi. e. Trusting Relatonship, kemampuan perawat membina hubungan interpersonal dengan anak, menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap anak dan selalu memahami anak sesuai kondisinya. f. Monnitors and Folloows, kemampuan perawat dalam mengawasi dan menunjukkan kemampuan profesional dan menjamin keamanan tindakan keperawatan yang didelegasi kepada orang lain dengan bimbingan dan pengawasan. 13 7. Instrumen yang Dipakai Untuk Mengukur Prilaku Caring Instrumen yang dipakai dalam mengukur prilaku caring menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut : a. Daftar dimensi prilaku caring (Caring Dimention Inventory/CDI) Daftar dimensi yang didesain oleh Watson dan Lea dalam Watson (2004) merupakan instrumen yang dikemukakan untuk meneliti prilaku perawat (prilaku caring) yang terdiri atas 25 intem antara lain : (1) Membantu klien dalam (activy daily living) ADL (2) Membuat catatan keperawatan mengenai klien (3) Merasa bersalah atau menyesal kepada klien (4) Memberikan pengetahuan sebagai individu (5) Menjelaskan prosedur klinik (6) Berpakaian rapi ketika bekerja dengan klien (7) Duduk dengan klien (8) Mengidentifikasi gaya hidup klien (9) Melaporkan kondisi klien kepeda perawat senior (10) Bersama klien selama prosedur klinik (11) Bersikap manis kepada klien (12) Mengorganisasi pekerja dengan perawat lain untuk klien (13) Mendengarkan klien (14) Konsultasi dengan dokter mengenai klien (15) Menganjurkan klien mengenai aspek self care (16) Melakukan sharing mengenai masalah pribadi dengan klien (17) Memberikan informasi mengenai klien (18) Mengukur tanda vital klien (19) Menempatkan kebutuhan klien sebagai kebutuhan pribadi (20) Bersikap kompeten dalam prosedur klinik (21) Melibatkan klien dalam perawatan (22) Memberikan jaminan mengenai prosedur klinik (23) Memberikan privacy pada klien (24) Bersikap gembira dengan klien (25) Mengobservasi efek medikasi kepada klien. b. Care Q ( Caring Assesment Inventory) Larson (19984, Watson 2004) menjelaskan care Q merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk mempresepsikan prilaku caring perawat. Peneliti manggunakan pada 2 sampel perawat profesional (n = 57 dan n = 112). Perawat mengidentifikasi prilaku penting adalah mendengarkan, sentuhan, kesempatan, mengekpresikan perasaan, komunikasi dan melibatkan klien dalam perencanaan keperawatannya. Prilaku caring yang ditampilkan pada alat ukur inimeliputi 59 dimensi caring yang dibagi dalam 6 variabel 14 yaitu kesiapan dalam kesediaan penjelasan dan peralatan, rasa nyaman, antisipasi, hubungan saling percaya serta bimbingan dan pengawasan. c. Caring Behavior Inventory (CBI) Wolf (1986) dalam Indrastuti (2010) menggambarkan dimensi prilaku caring dalam study mengembangkan instrumennya. Caring Behavior Inventory (CBI) dengan menggunakan konsep dasar caring secara umum dan teori transpersonal caring Watson. Versi pertama alat ukur ini terdiri atas 75 item yang dengan proses psikometrik direduksi menjadi 43 kemudian mengecil kembali menjadi 42 intem dengan alternatif jawaban menggunakan skala likert 4 point yaitu 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju. CBI 43 intem pertanyaan diuji dengan menggunakan 541 subjek penelitian yang terdiri dari 278 perawat dan 263 pasien. Konsistensi reliabilitas internal dilaporkan sampai 0,96 pada tahun 1994.Wolf (1994) mengkategorikan faktor karatif dari teori Watson menjadi 5 dimensi prilaku caring seperti tergambar pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Lima Dimensi Prilaku Caring yang Berhubungan dengan Faktor Karatif Dari Teori Watson Dimensi Karatif Berhubungan dengan Faktor Karatif Watson I Mengakui keberadaan manusia (assurance of human presence) 1. Pembentukan sistem nilai humanistik dan altruistik 2. Memberikan kepercayaan harapan 3. Menumbuhkan sensitifitas terhadap diri sendiri dan orang lain II Menghadapi dengan rasa hormat (Respectful) 1. III Pengetahuan dan keterampilan profesional (profesional knowledge and skill) Mengembangkan hubungan saling percaya 2. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien 1. Menggunakan metode sistematis penyelesaian untuk pengambilan keputusan 2. Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal 15 IV Menciptakan hubungan positif ( Possitive connectedness) 1. V Perhatian terhadap yang dialami orang lain (Attentiveness to the other’s experience) 1. Pengukuran prilaku caring Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural dan spiritual yang mendukung Memberikan bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manusiawi 2. Mengijinkan terjadinya tekanan yang bersifat fenomenologis agar pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat tercapai perawat pada RSUD Sragen direncanakan menggunakan Caring Behavior Inventory dari Wolf dengan difokuskan pada dimensi mengakui keberadaan manusia, menanggapi dengan rasa hormat. Hal ini karena dimensi caring ini erat hubungannya dengan kompetensi perawat afektif yang dibutuhkan perawat agar termotivasi memberikan asuhan keperawatan dengan menerapkan prinsip etik (Indrastuti, 2010). Arquiza (1997 dalam Indrastuti, 2010) menyatakan bahwa perawatyang mempunyai rasa menghormati terhadap keberadaan manusia maka akan memandang klien sebagai individu yang unik dan menganggap bahwa klien berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia sehingga perawat melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan prinsip etik seperti menghormati pilihan klien, tidak membeda-bedakan klien, mengijinkan klien berpartisipasi dalam perawatannya. Prilaku caring perawat jika tidak dilakukan dengan baik akan berdampak pada klien dan juga perawat. Perawat yang tidak caring tidak termotivasi meningkatkan kinerja sesuai standart profesional termasuk kinerja dalam menerapkan prinsip etik karena sifat keras hati, tidak perhatian dengan klien dan bertindak tanpa perasaan seperti robot. B. Kecemasan Anak Akibat Hospitalisasi 1. Definisi DepKes RI (2010), mendefenisikan kecemasan sebagai ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak 16 menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam dirinya. Cemas adalah reaksi emosional terhadap individu yang subjek, dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui penyebabnya. Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas atau menyebar yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik, kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2011). Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realistis, kepribadian utuh, prilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas normal (Hawari, 2008). Hospitalisasi adalah suatu krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat dirumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor kecemasan bagi anak, orang tua dan keluarga (Wong, 2009). 2. Manifestasi Kecemasan Pada Anak Manifestasi kecemasan pada anak terdiri dari beberapa fase (Nursalam, 2008). a. Fase Protes (Phase Os Protest) Tahap ini dimanifestasikan dengan reaksi anak seperti menangis, kuat menjerit dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit, memukul, mencubit, dan memegang erat orang tua. Secara verbal anak akan menyerang dengan rasa marah, seperti mengatakan “pergi”, prilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Perilaku protes tersebut, seperti menangis akan terus berlanjut dan hanya akan berhenti jika anak merasa kelelahan. Pendekatan dengan orang asing yang yang tergesah-gesah akan meningkatkan protes. 17 b. Fase Putus Asa (Phase Of Denial) Pada tahap ini anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, tidak berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri tidak mau berkomunikasi, sedih, apatis dan regresi (misalnya : mengompol atau mengisap jari). Pada tahap ini kondisi anak mengkhawatirkan karena anak menolak untuk makan atau bergerak. c. Fase menolak (Phase of denial) Pada tahap ini secara samar-samar anak menerima perpisahan, mulai tertarik pada apa yang ada disekitarnya dan membina hubungan dangkal dengan orang lain. Pada tahap ini anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan yang lama dengan orang tua. 3. Respon Kecemasan Pada Anak Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon kecemasan menurut Suliswati (2009) antara lain : a. Respon fisiologis terhadap kecemasan Kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh sedangkan sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh reaksi tubuh terhadap kecemasan adalah “fliht” atau “flight” b. Respon psikologis terhadap kecemasan Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan memerlukan keterlibatan dengan orang lain. 18 c. Respon kognitif Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berfikir antaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapangan persepsi dan bingung. d. Respon afektif Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pada Anak Menurut Perry & Potter (2005), faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi antara lain: a. Jenis kelamin Anak pada umur 2-6 tahun, kecemasan lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini karena laki-laki lebih aktif dan eksploratif sedangkan perempuan lebih sensitive dan banyak menggunakan perasaan. Selain itu perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan daripada laki- laki, kurang sabar dan mudah mengggunakan air mata. b. Umur Semakin tua seseorang semakin baik seseorang dalam mengendalikan emosinya. c. Lama hari rawat Lama hari rawat dapat mempengaruhi seseorang yang sedang dirawat juga keluarga dari klien tersebut (Utama, 2003). Kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit akan sangat terlihat pada hari pertama sampai kedua bahkan sampai hari ketiga dan biasanya memasuki hari keempat atau kelima kecemasan yang dirasakan anak akan mulai berkurang. Kecemasan yang terjadi pada pasien dan orang tua juga bisa dipengaruhi oleh lamanya seseorang 19 dirawat. Kecemasan pada anak yang sedang dirawat bisa berkurang karena adanya dukungan orang tua yang selalu menemani anak selama dirawat, teman-teman anak yang datang berkunjung kerumah sakit atau anak sudah membina hubungan yang baik dengan petugas kesehatan (perawat, dokter) sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan anak. d. Lingkungan rumah sakit Lingkungan rumah sakit dapat mempengaruhi kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi. Lingkungan rumah sakit merupakan lingkungan yang baru bagi anak, sehingga anak sering merasa takut dan terancam tersakiti oleh tindakan yang akan dilakukan kepada dirinya. Lingkungan rumah sakit juga akan memberikan kesan tersendiri bagi anak, baik dari petugas kesehatan (perawat, dokter), alat kesehatan, dan teman seruangan dengan anak juga mempengaruhi kecemasan pada anak karena anak merasa berpisah dengan orang tuanya. Menurut Moersintowarti (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada anak yang sedang dirawat dirumah sakit antara lain : (1) Lingkungan rumah sakit (2) Bangunan rumah sakit (2) Bau khas rumah sakit (4) Obatobatan (5) Alat-alat medis (7) Petugas kesehatan. 5. Tingkat Kecemasan Menurut Stuart (2011), kecemasan terbagi menjadi 4 tingkatan yaitu : a. Kecemasan ringan Kecemasan ringan ini berhubungan dengan keteganggan dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapangan persepsi. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menumbuhkan kreativitas seseorang. Pada cemas ringan biasanya yang muncul tanda dan gejala seperti jantung berdebar, gelisah, menangis, marah-marah, lebih banyak bicara dari biasanya dan tangannya gemetar. 20 b. Kecemasan sedang Kecemasan tingkat ini memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang, persepsi individu. Dengan demikian, individu tidak perhatian dan kurang selektifnamun dapat berfokus lebih banyak pada area lain jika diarahkan untuk melakukannya. Pada tahap ini disertai tanda dan gejala seperti mulut kering, badan gemetar, ekspresi wajah ketakutan, gelisah, tidak mampu bersifat rileks, sukar tidur, banyak bicara dan suara yang keras. c. Kecemasan berat Kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus pada suatu yang menyempit dan lebih memperhatikan halhal yang lebih spesifik serta tidak berfikir tentang hal lain. Prilakunya ditunjukkan untuk mencapai ketenangan dan membutuhkan banyak bimbingan untuk memperhatikan keadaan. Tanda gejala yang muncul biasanya seperti menendang memainkan atau meremes jari, kecewa, tidak berdaya dan merasa tidak berharga. d. Kecemasan tingkat panik Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan; jika berlangsung terus dalam jangka waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian. Tanda dan gejalanya perasaan jantung berdebar, penglihatan berkunang-kunang, sakit kepala, sulit bernafas, perasaan mau muntah, otot tubuh merasa tegang dan mengalami kelehasan. 21 6. Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasi Kecemasan Anak Menurut Wong (2009), menyatakan bahwa intervensi yang penting dilakukan perawat terhadap anak yang mengalami kecemasan akibat hospitalisasi pada dasarnya untuk meminimalkan kecemasan, memaksimalkan manfaat hospitalisasi memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit. Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara lain yaitu : a. Melibatkan orang tua anak Melibatkan orang tua, setiap tindakan yang akan dilakukan kepada anak merupakan upaya mengurangi kecemasan pada anak karena akan terasa terlindungi dengan adanya orang tua disamping mereka terutama pada anak berusia 1 sampai 3 tahun. b. Modifikasi lingkungan rumah sakit Upaya ini diharapkan agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Maksudnya disini dengan menghias ruangan rumah sakit dengan gambar katun, gambar buah-buahan, gambar hewan-hewan dan gambar bola-bola. c. Peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat dan sebagainya) Peran dari petugas kesehatan dirumah sakit (dokter, perawat dan sebagainya) khususnya perawat orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan dirumah sakit. Sekalipun anak menolak perawat namun perawat harus tetap memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak dengan anak menggunakan suara dengan tenang dan sentuhan secara empati. 7. Skala Pengukuran Tingkat Kecemasan Rasa cemas pada penelitian diukur dengan skala kecemasan Taylor Manifest Ansxiety Scale (TMAS) yang di susun Taylor dalam Muafifah (2013), gejala kecemasan yaitu : berkeringat, nafsu makan berkurang, jantung berdebar-debar, 22 ujung jari terasa dingin, mudah menangis, ketakutan, merasa akan buang air kecil, lemas, otot leher kaku, kepala pusing, mual, mulas, sulit berkonsentrasi, bingung, was-was, tidak tenang, tertekan takut, mudah tersinggung, gelisah, cepat marah, tidak puas, khawatir akan ditimpah bahaya, tampak bodoh, sesak nafas dan sulit tidur. Dari masing-masing kelompok gejala diberikan penilaian (score) antara 1-3, yang artinya adalah : a. Nilai 1 : gejala ringan (hanya sebagian gejala yang muncul). b. Nilai 2 : gejala sedang (lebih dari sebagian gejala yang muncul). c. Nilai 3 : gejala berat (seluruh gejala muncul). Dari masing-masing nilai angka (score) dari ke 25 kelompok gejala tersebut dijumlah sehingga dari penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat cemas seseorang, yaitu : cemas ringan (25-33), cemas sedang (34-42) dan cemas berat (43-50). C. Hubungan Prilaku Caring Perawat Dengan Kecemasan Anak Berdasarkan hasil penelitian Seftiani Furi, (2008) “Hubungan antara prilaku caring perawat dengan kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak diruang perawatan anak di RS Sentral Medikal Cimanggis Kodya Depok” didapatkan hasil penelitian dari 29 responden yang menyatakan sikap caring perawat buruk, 7 responden (24,1%) memiliki tingkat kecemasan ringan dan 22 responden (75,9%) memiliki tingkat kecemasan berat. Dan dari 51 responden yang menyatakan bahwa sikap caring perawat baik 28 responden (54,9%) memiliki tingkat kecemasan ringan dan 23 responden (45,1%) memiliki tingkat kecemasan berat. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,010 berarti pvalue < 0,05, sehingga dapat disimpulakan terdapat hubungan signifikan yang bermakna hubungan antara prilaku caring perawat dengan kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak diruang perawatan anak di rumaah sakit sentral medikal cimanggis kodya depok. Berdasarkan hasil penelitian Babakal (2013) dengan judul Hubungan perilaku caring perawat dengan stres hospitalisasi pada anak usia todder di Irina E Blu RSUP Prof. R.D Kandou, hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,032 < a = 0,05 23 (H0 ditolak). Kesimpulan penelitian ini yaitu terdapat hubungan signifikan antara perilaku caring perawat dengan stres hospitalisasi pada anak usia todder di Irina E Blu RSUP Prof. R.D Kandou Manado. Perilaku caring perawat yang baik akan meminimalkan stres hospitalisasi pada anak. Berdasarkan hasil penelitian Saraswati (2013) dengan judul hubungan caring perawatdengan kecemasan pada anak usia prasekolah akibat hospitalisasi di ruang melati RSUD Kebumen. Caring perawat terhadap anak usia prasekolah yang menjalani perawatan di bangsal Melati RSUD Kebumen mayoritas dalam kategori cukup sebanyak 27 anak (84,4%), sebagian dalam kategori baik sebanyak 2 anak (6,3%) dan yang termasuk kategori buruk sebanyak 3 anak (9,4%). Kecemasan anak usia prasekolah selama menjalani perawatan di bangsal Melati RSUD Kebumen mayoritas dalam kategori kecemasan berat, yaitu sebanyak 25 anak (78,1%), selanjutnya dalam kategori kecemasan sedang sebanyak 4 anak (12,5%), kategori kecemasan ringan sebanyak 3 anak (9,4%), dan untuk kategori panik tidak ada (0%). Berdasarkan hasil uji statistik didapat nilai korelasi antara kecemasan anak usia prasekolah dan caring perawat diperoleh sebesar -0.465 dengan nilai probabilitas (signifikasi) sebesar 0.007 dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0.05. Berdasarkan hasil penelitian Abdul (2013) hubungan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien rawat inap RSUD Kota Baubau menunjukkan bahwa 81,3% responden mempunyai persepsi bahwa perawat mempunyai perilaku caring yang baik dan menunjukkan kepuasan terhadap pelayanan keperawatan. Hasil uji fisher menunjukkan p = 0,000, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien diruang rawat inap rumah umum daerah kota Baubau, namun masih terdapat 6,2% yang kurang puas dengan perilaku caring perawat. 24 D. Kerangka Konsep Penelitian Skema 2.1 Kerangka Konsep variabel independen Prilaku Caring Perawat variabel dependent Kecemasan Anak E. Hipotesis Penelitian Ha= Ada hubungan signifikan prilaku caring perawat dengan kecemasan anak akibat hospitalisasi di RSU Sari Mutiara Medan Tahun 2014.