461 PEMELIHARAAN INDUK IKAN CAPUNGAN BANGGAI

advertisement
461
Pemeliharaan induk ikan capungan banggai... (Gunawan)
PEMELIHARAAN INDUK IKAN CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni)
DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA
Gunawan, Jhon Harianto Hutapea, dan Ketut Maha Setiawati
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut
Jl. Br. Gondol, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Kotak Pos 140, Singaraja, Bali 811016
Email: [email protected]
ABSTRAK
Ikan capungan banggai merupakan ikan endemik yang secara alami banyak ditemukan di perairan Kepulauan
Banggai, Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepadatan induk terhadap
keberhasilan pemijahan (produksi benih) pada ikan capungan banggai. Hewan uji yang digunakan berukuran
panjang total 5,9 ± 0,3 cm dan bobot 2,87 ± 0,50 g. Perlakuan yang diuji adalah kepadatan induk yang
berbeda dengan rasio jenis kelamin 1:1 sebagai berikut: T1. 20 ekor/bak, T2. 40 ekor/bak. T3. 60 ekor/bak.
Wadah yang digunakan berupa tiga bak Fiberglass Reinforce Plastic (FRP) berbentuk bulat berdiameter 250 cm
dengan tinggi 100 cm dan diisi air hingga ketinggian 60 cm. Selama penelitian, induk diberi pakan berupa
naupli artemia/artemia pra dewasa, udang jembret (mysid), dan larva nyamuk. Variabel yang diamati meliputi,
frekuensi pemijahan atau frekuensi produksi yuwana, dan total produksi yuwana. Hasil penelitian
menunjukkan, rata-rata yuwana yang dihasilkan dan frekuensi produksi yuwana pada perlakuan T1 lebih
tinggi dibandingkan perlakuan T2 dan T3. Produksi yuwana cenderung menurun seiring dengan
peningkatan jumlah induk dalam satu bak.
KATA KUNCI:
ikan capungan banggai, kepadatan, produksi yuwana
PENDAHULUAN
Ikan capungan banggai, sering juga disebut capungan layar atau capungan Ambon (Pterapogon
kauderni) termasuk ikan hias laut dari famili Apogonidae yang merupakan jenis ikan endemik kepulauan
Banggai, Sulawesi Tengah (Hopkins et al., 2005). Di perdagangan ikan hias internasional, ikan ini
selain dikenal dengan nama umum “Banggai cardinal” juga dikenal dengan nama “kaudem’s cardinal
atau longfin cardinal” (Sugama, 2008). Ukuran panjang total ikan maksimum yang pernah diperoleh
adalah 8 cm. Ikan ini bersimbiosis dengan bulu babi (Diadema sp.), terutama ketika terancam dan
menghindari pemangsaan, cenderung berdiam di antara duri-durinya. Ikan ini juga teramati di kolonikoloni karang bercabang (branching coral), karang jamur Heliofungia spp.; Anemone laut terutama
Heteractis spp., Stichodactyla spp., dan Actinodendrum spp., dan karang lunak Nepthea spp. (Vagelli &
Erdmann, 2002; Ndobe & Moore 2005). Ikan ini umumnya terdapat di sekitar dasar berpasir lembut
dengan sea grass (Enhalus acoroides). Memakan bentik kecil, plankton, dan krustase pada malam hari.
Berdasarkan penghitungan panjang relatif antara panjang usus dan panjang total ikan ini, dapat
dikatakan bahwa ikan ini tergolong ikan karnivora di mana panjang usus lebih pendek dari panjang
badan dengan rasio 0,62±0,06.
Satu kelompok terdiri antara 2-60 individu. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk ikan
capungan banggai betina dalam sekali spawning 15"70 butir dengan rata-rata diameter telur 2,5 mm,
ikan jantan mengerami telur di dalam rongga mulut sampai menetas. Uji coba pemeliharaan ikan
capungan banggai telah dicoba sejak akhir tahun 2008 dengan menggunakan bak volume 1 m3 dan
0,5 m3, kepadatan induk 38-42 ekor/bak. Pada pemeliharaan tersebut tidak berhasil memproduksi
yuwana karena ikan mungkin terlalu padat. Oleh sebab itu, penelitian ini dicoba dengan menggunakan
wadah yang lebih luas, dan kepadatan ikan yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh kepadatan induk terhadap keberhasilan pemijahan (produksi yuwana dan
frekuensinya).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di BBRPBL, Gondol. Induk yang digunakan adalah ikan capungan banggai
hasil tangkapan dari alam, diangkut dengan transportasi laut dan diaklimatisasi dalam bak. Selama
3 bulan sebelum digunakan untuk penelitian. Ukuran induk yang digunakan mempunyai panjang
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
462
total 5,9±0,3 cm, dan bobot badan 2,87±0,50 g. Penelitian ini dilakukan dalam 3 bak Fiberglass
Reinforce Plastic (FRP) berbentuk bulat yang berdiameter 250 cm dengan tinggi 100 cm dan diisi air
laut yang telah disaring dengan saringan pasir hingga ketinggian 60 cm (volume air 3,0 m3) seperti
terlihat dalam Gambar 1. Mengingat dalam penelitian ini, rasio jenis kelamin induk yang diinginkan
adalah satu berbanding satu (1:1), maka sebelum penelitian dimulai, pengamatan dan seleksi jenis
kelamin harus dilakukan. Di dalam tiap bak dimasukkan induk ikan capungan banggai dengan
perbandingan jenis kelamin (1:1) dan kepadatan induk yang berbeda sebagai perlakuan, yaitu: T1.
20 ekor/bak; T2. 40 ekor/bak, dan T3. 60 ekor/bak. Setiap bak diberi karang mati dan rumbai-rumbai
yang terbuat dari tali rapia untuk tempat persembunyian induk ikan dan sebagai tempat
persembunyian benih yang baru dikeluarkan dari induk ikan jantan. Pakan diberikan 2 kali sehari
yang terdiri atas naupli Artemia/Artemia pra dewasa, udang jembret (mysid), dan jentik nyamuk.
Selama penelitian, sistem pergantian air dilakukan dengan sistem air mengalir dengan tingkat
pergantian berkisar antara 200%-300% per hari.
Gambar 1. Bak pemeliharaan induk ikan capungan banggai, Pterapogon kauderni
Dalam penelitian ini peubah yang diamati meliputi tingkat pemijahan/frekuensi produksi benih
dan jumlah produksi benih baik per penetasan maupun total. Sebagai data dukung, dilakukan
pengukuran kualitas air yang meliputi suhu, pH, dan kandungan oksigen terlarut.
HASIL DAN BAHASAN
Jenis kelamin ikan capungan banggai tidak dapat dibedakan hanya dengan mengamati
morfologinya saja, maka perlu dilakukan suatu pengamatan yang seksama untuk memperoleh
identifikasi yang benar. Menurut Marini (1999) dalam Sugama (2008), disebutkan bahwa jenis kelamin
ikan capungan banggai dapat dibedakan dari panjang sirip punggung kedua di mana ikan jantan
umumnya mempunyai sirip punggung kedua lebih panjang dari yang betina Tetapi berdasarkan
pengukuran dan pengamatan gonad ternyata hal ini tidak selalu benar. Dalam penelitian ini, dilakukan
pendekatan lain dalam identifikasi jenis kelamin yaitu dengan membandingkan ukuran lubang genital dengan cara menekan bagian samping perut secara perlahan. Berdasarkan pengamatan, ternyata
lubang genital induk betina terlihat lebih bulat dan besar dan bagian perut juga lebih bulat
dibandingkan dengan induk jantan yang mempunyai lubang genital yang jauh lebih kecil dan bagian
perut yang lebih lancip seperti terlihat pada Gambar 2.
Berdasarkan pengukuran panjang relatif, ada kecenderungan bahwa kepala ikan jantan relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan ikan betina. Induk jantan dan betina juga dapat dibedakan dari
ukuran relatif antara panjang kepala dan tinggi badan dengan nilai 0,83±0,05 (n=17) lebih tinggi
463
Pemeliharaan induk ikan capungan banggai... (Gunawan)
♂
♀
Gambar 2. Identifikasi jenis kelamin induk ikan
capungan banggai (Pterapogon kauderni)
dibandingkan dengan induk betina dengan nilai 0,79±0,05 (n=19). Berdasarkan penghitungan
panjang relatif ini, juga diperoleh informasi tambahan bahwa ikan ini tergolong ikan karnivora di
mana panjang usus lebih pendek dari panjang tubuh dengan rasio (0,62±0,06).
Menurut Fishelson (2009), ikan capungan banggai termasuk kelompok ikan yang siklus
pematangan gonadnya unsynchronized. Namun menurut penulis, pemijahan ikan ini lebih cenderung
dikelompokkan sebagai sinkronis periodik. Hal ini sesuai dengan pengamatan, di mana masa pemijahan
yang periodik dan memijah secara sinkronis sebanyak 2 kali dan kemudian istirahat. Hal ini diperkuat
dengan ditemukannya sejumlah induk berukuran besar, pada saat dilakukan pembedahan hampir
tidak terlihat adanya kantong gonadnya. Dibandingkan dengan induk ikan tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) yang pemijahannya unsynchronized, bahwa ukuran gonad induk tidak banyak berubah pada
musim pemijahan dibandingkan dengan di luar musim pemijahan (Hutapea et al., 2006).
Pada umumnya di dalam gonad induk betina yang sedang berkembang terdapat dua kelompok
ukuran oosit yang jauh berbeda. Keadaan ini memunculkan dugaan bahwa induk ikan capungan
banggai dapat memijah lebih dari satu kali dalam jarak waktu yang relatif singkat. Jika ini benar,
maka teori Vagelli (1999), yang mengatakan bahwa induk betina dapat memijah untuk kedua kalinya
dengan induk jantan yang berbeda adalah benar. Kemungkinan lain adalah bahwa oosit yang
berkembang dan siap ovulasi saja yang dipijahkan sementara oosit yang kecil akan diserap kembali.
Dugaan ini muncul karena pada induk yang mati setelah memijah sering tidak ditemukan oosit
bahkan sulit untuk menemukan kantong gonad (Hutapea, 2009).
Ikan capungan banggai mengalami kematangan gonad pertama pada ukuran panjang standar
lebih dari 30 mm bukan berarti bahwa setiap ikan yang telah mencapai ukuran tersebut, gonadnya
dapat terdeteksi. Terdapat banyak ikan yang mempunyai bobot gonad mendekati nol walaupun
ukurannya sudah besar (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa induk yang memijah atau mengalami
0.8
B.Gonad (g).
0.6
0.4
0.2
0
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
Panjang Standar (cm)
Gambar 3. Hubungan panjang standar (cm) terhadap bobot gonad
(g) induk ikan capungan banggai, Pterapogon kauderni
464
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
absorbsi, gonadnya akan kosong dalam beberapa waktu dan kemudian mengalami perkembangan
gonad kembali. Berarti, setelah memijah pada periode waktu tertentu, induk betina akan istirahat
dan pada periode berikutnya akan memulai perkembangan gonad dari awal kembali. Ini memperkuat
dugaan penulis bahwa pola pemijahan ikan ini lebih cenderung dikelompokkan sebagai sinkronis
periodik.
Produksi yuwana yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Jumlah produksi yuwana tertinggi diperoleh dari perlakuan T1 kemudian perlakuan T2 dan perlakuan
T3 produksi yuwananya paling rendah.
Tabel 1. Data jumlah pemijahan dan jumlah produksi benih
dari masing-masing perlakuan perbedaan jumlah
induk ikan capungan banggai selama penelitian
Variabel
Total spawning (kali)
Total yuwana ( ind.)
Maksimum (ind.)
Minimum (ind.)
Rataan yuwana (ind.)
Kepadatan induk (ekor/bak)
20
40
60
71
1225
66
1
17,3
58
576
52
1
9,9
34
208
27
1
6,1
Hal ini menunjukkan bahwa semakin padat jumlah induk dalam satu bak maka produksi yuwana
yang dihasilkan semakin rendah. Ikan ini memijah setelah memperoleh pasangannya dan
membutuhkan ruang yang memadai untuk memijah. Selama proses perkawinan, induk ikan capungan
ini membutuhkan ketenangan (tidak diganggu oleh induk yang lain). Jika terganggu, dapat saja
telurnya tidak dibuahi oleh ikan jantan atau telur yang sudah dierami oleh induk ikan jantan
dikeluarkan kembali. Atau juga gonad yang dihasilkan oleh induk ikan betina dapat diserap kembali
karena adanya gangguan dari ikan yang lain. Hal ini dapat diketahui dengan adanya telur yang
ditemukan dalam bak pemeliharaan, baik telur yang tidak dibuahi maupun telur yang dibuahi namun
dikeluarkan lagi dari mulut ikan jantan selama dalam penelitian seperti terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Frekuensi telur yang ditemukan dan rata-rata jumlah
telur di bak pemeliharaan induk ikan capungan
banggai, Pterapogon kauderni
Variabel
Frekuensi telur keluar
Jumlah (butir)
Kepadatan induk (ekor/bak)
20
40
60
2
7
9
18?62
22?45
16?59
Berdasarkan perhitungan pada perlakuan T1, satu pasang induk menempati volume air sebesar
0,3 m3 (300 L) atau luas dasar bak 0,5 m2. Sementara pada perlakuan T2, sebesar 0,15 m3 dan 0,25
m2 dan perlakuan T3 sebesar 0,1 m3 dan 0,17 m2.
Total produksi yuwana yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan mengikuti persamaan
garis linier dengan persamaan y = -508,5 X + 1686,7, dengan R 2 0,9752 seperti terlihat pada
Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin padat jumlah induk dalam satu bak maka produksi
yuwana yang dihasilkan juga semakin rendah.
Persamaan regresi linier yang dapat ditarik dari hubungan antara kepadatan induk dengan frekuensi
pemijahan (frekuensi produksi benih) adalah y = -18,5 x + 91,333, dengan R2 = 0,9714 (Gambar 5).
Produksi yuwana semakin menurun dengan semakin banyaknya jumlah induk/bak. Dengan kata lain,
465
Pemeliharaan induk ikan capungan banggai... (Gunawan)
Gambar 4. Total produksi yuwana yang dihasilkan dari masing-masing
perlakuan dan persamaan garis regresi linier antara jumlah
induk dan produksi benih selama penelitian
Gambar 5. Frekuensi produksi yuwana pada masing-masing
perlakuan
ikan capungan banggai ini memerlukan wilayah tertentu untuk menghasilkan benih yang optimum.
Dalam penelitian ini, yang terbaik diperoleh pada perlakuan T1 di mana satu pasang induk rata-rata
memperoleh wilayah seluas 0,5 m2 atau volume 0,3 m3 (300 L) atau luas dasar bak. Sementara pada
perlakuan T2, sebesar 0,15 m3 dan 0,25 m2 dan perlakuan T3 sebesar 0,1 m3 dan 0,17 m2.
Rata-rata produksi yuwana yang dihasilkan dari masing masing perlakuan pun juga menunjukkan
kecenderungan penurunan seiring dengan peningkatan jumlah induk dalam satu bak. Rata-rata
produksi yuwana yang dihasilkan pada setiap pelepasan yuwana oleh induk ikan jantan yaitu pada
perlakuan T1 = 17,3 yuwana; T2 = 9,9 yuwana; dan T3 = 6,1 yuwana.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa volume atau luasan bak yang diperlukan untuk
pemijahan induk ikan banggai harus lebih besar daripada untuk pembesaran calon induk. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pemeliharaan induk ikan capungan banggai diperlukan
bak dengan dasar dan volume yang lebih besar dari 1.000 L untuk memelihara induk sekitar 38-46
ekor (Setiawati & Hutapea, 2009). Sepasang ikan yang akan memijah memerlukan daerah/lokasi
yang khusus sehingga tidak diganggu oleh ikan capungan yang lain sehingga pemijahan dapat
berhasil sampai induk jantan dapat mengerami telur-telur dan dapat menghasilkan benih.
Habitat asli ikan capungan banggai yang terbatas pada perairan dangkal (0-5 m) termasuk wilayah
terumbu karang (rataan karang, tubir/puncak, dan landai bagian atas), padang lamun dan laguna,
bahkan tidak lebih dari kedalaman 8 m (Vagelli, 1999; Vagelli & Erdmann, 2002), mendapat cahaya
matahari yang sangat tinggi dan bahkan mengalami 2 kali perubahan suhu yang drastis setiap harinya.
466
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Hal ini dapat dipastikan akan menjadi salah satu pemicu pemijahan ikan capungan ini. Sebagian
besar ikan capungan banggai dewasa terlihat berenang di sekitar karang bercabang, sponge, atau di
antara daun lamun (Ndobe & Moore, 2007).
Tabel 3. Kualitas air rata-rata harian dalam bak induk ikan capungan banggai,
Pterapogon kauderni
Perlakuan
T1
T2
T3
Parameter air
Suhu (°C)
pH
DO (mg/L)
DO (% Sat)
28,18±0,50
27,97±0,42
28,16±0,46
8,31±0,02
8,32±0,01
8,34±0,02
6,0±0,25
6,02±0,29
6,04±0,34
94,4±3,64
95,1±4,16
95,8±4,75
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa parameter kualitas air yang diamati selama penelitian
menunjukkan nilai yang sangat baik yang dapat menunjang kondisi ikan dapat tumbuh dan
berkembang dengan optimal. Kualitas air yang baik ini berasal dari penggunaan air laut yang telah
disaring dengan saringan pasir dan sistem pergantian air dengan sistem air mengalir dan juga
pembersihan bak yang dilakukan rutin setiap 2 hari sekali.
KESIMPULAN
Total produksi yuwana, frekuensi produksi yuwana, dan rata-rata yuwana yang dihasilkan dalam
sekali produksi yuwana menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan jumlah
induk dalam satu bak.
Yuwana yang dihasilkan pada perlakuan T1 lebih banyak daripada perlakuan T2 dan T3. Yuwana
yang dihasilkan pada perlakuan T2 lebih banyak daripada perlakuan T3. Produksi yuwana pada T1.
1.225 ekor, T2. 576 ekor, dan T3. 208 ekor.
DAFTAR ACUAN
Fishelson, L. 2009. Comparative oogenesis in cardinal fishes (Apongonidae, perciformes).
Hopkins, S., Ako, H., & Tamaru, C.S. 2005. Manual for the production of the banggai cardinalfish, P.
kauderni, in Hawai’i, University of Hawai’i Sea Grant Vollege Program. Hawai’i, 28 pp.
Hutapea, J.H., Andamari, R., Giri,N.A., & Permana, G.N. 2006. Kajian bioreproduksi dan komposisi
proksimat daging ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dari beberapa Perairan di Indonesia. J.
Ris. Akuakultur, 1(3): 325-336.
Hutapea, J.H. et al. 2009. Hubungan panjang berat dan aspek reproduksi ikan capungan banggai
cardinal fish (Pterapogon kauderni). Prosiding Seminar Nasional 2009. Sekolah Tinggi Perikanan.
Jakarta.
Ndobe, S. & Moore, A. 2005. Potensi dan pentingnya pengembangan budidaya in situ Pterapogon
kauderni (Banggai cardinalfish). Info MAI, 4(2): 9-14.
Ndobe, S. & Moore, A. 2007. Pengembangan budidaya in-situ Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni)
di Sulawesi tengah. Prosiding Akuakultur Indonesia 2007, hlm. 253-264.
Setiawati, K.M. & Hutapea, J.H. 2009. Penanganan induk dan domestikasi ikan capungan layar,
capungan banggai (Pterapogon kauderni). Prosiding Seminar Hangtuah. Surabaya.
Sugama, K., 2008. Pemijahan dan pembesaran anak ikan Cardinal Banggai (Pterapogon kauderni). J.
Ris. Akuakultur, 3(1): 83-90.
Vagelli, A.A. 1999. The reproductive biology and early ontogeny of the mouthbreeding Banggai
Cardinalfish, Pterapogon kauderni (Perciformes, Apogonidae). Environmental Biology of Fishes, 56:
79-92.
Vagelli, A.A. & Erdmann, M.V. 2002. First comprehensive ecological survey of the Banggai Cardinalfish,
Pterapogon kauderni. Environmental Biology of Fishes, 63: 1-8.
Download