KOMUNIKASI DALAM NEGOSIASI BISNIS MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Negosiasi Bisnis Pembina Dr. Zainul Arifin, MS ANGGOTA KELOMPOK 6: EDY CAHYONO 155030200111010 MUHAMMAD DZAKY MAKARIM 155030207111009 REGIO DANI PANGESTU 155030201111007 UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI ILMU ADMINISTRASI BISNIS Oktober 2016 BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan tujuan tercapai kesepahaman bersama, sedangkan negosiasi adalah suatu kegiatan yang terencana apa yang harus dicapai, Komunikasi merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan kegiatan negosiasi. Dengan komunikasi yang baik, maka kegiatan negosiasi dapat berjalan lancar. Segala hal yang telah direncanakan saat bernegosiasi nantinya, bila kita tidak mampu mengomunikasikannya dengan baik, maka negosiasi dapat terhambat bahkan gagal. Peranan komunikasi dalam memenangkan peperangan terlihat sangat penting. Bila ingin menjadi negosiator yang handal, tentunya memerlukan pemahaman mendalam mengenai komunikasi. Komunikasi tidak hanya “cuap-cuap” saja, tetapi juga terdapat teknik khusus dalam menyampaikan pesan kepada pihak lain. Komunikasi tidak terbatas pada verbal saja, namun nonverbal perlu diperhatikan, karena hal itu sangat diperhatikan oleh pihak lain, yang dapat membaca “sisi lain” dari negosiator tersebut, yang berdampak pada citra perusahaan yang kita wakili. RUMUSAN MASALAH Untuk membatasi penguraian komunikasi dalam negosiasi bisnis, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah berupa pertanyaan yaitu: a. Apa yang harus dikomunikasikan dalam negosiasi? b. Bagaimana seseorang berkomunikasi dalam negosiasi? c. Bagaimana mengembangkan komunikasi dalam negosiasi? d. Bagaimana pertimbangan komunikasi khusus pada penutupan negosiasi? TUJUAN Setelah membaca makalah ini pembaca diharapkan: a. Memahami apa yang harus dikomunikasikan dalam negosiasi. b. Mengetahui bagaimana seseorang berkomunikasi dalam negosiasi. c. Memahami cara-cara yang dapat meningkatkan komunikasi dalam negosiasi. d. Mengetahui bagaimana pertimbangan komunikasi khusus pada penutupan. negosiasi. BAB II PEMBAHASAN MODEL DASAR KOMUNIKASI Dikurangi dari esensi sebenarnya, negosiasi adalah bentuk komunikasi interpersonal. Proses-proses komunikasi, baik verbal dan nonverbal, merupakan hal penting untuk mencapai tujuan negosiasi dan untuk menyelesaikan konflik. Pada topik ini, kita membahas proses di mana negosiator mengomunikasikan kepentingan, posisi dan tujuan mereka–dan pada gilirannya dapat membuat pihak-pihak dan negosiasi dapat dipahami secara keseluruhan. Jelas, komunikasi hadir dalam proses negosiasi; sehingga penelitian terhadap komunikasi terwujud dalam negosiasi, baik sebagai proses interaksi maupun sebagai konteks seluk-beluk komunikasi yang dapat memengaruhi proses dan hasil (Chatman, Putnam, dan Sondak, 1991). Model awal dan yang berpengaruh yang dikembangkan Shannon dan Weaver (1948) mengonsep komunikasi sebagai kegiatan yang muncul antara dua orang: pengirim dan penerima. Pengirim memiliki pemikiran atau maksud dalam pikirannya. Pengirim mengodekan maksud ini ke dalam pesan yang akan ditransmisikan ke penerima. Pesan tersebut dapat dikodekan dalam bahasa verbal, ekspresi nonverbal, atau keduanya. Setelah dikodekan, pesan tersebut kemudian ditransmisikan melalui saluran (channel) atau medium (misalnya, interaksi tatap muka, telepon, e-mail, pesan teks, surat) kepada penerima. Orang yang diberi pesan tersebut menerima transmisi secara langsung, kemudian memecahkannya dan menginterpretasikannya, memberi makna serta pemahaman kepada penerima. Dalam pertukaran dua pihak seperti pada gambar di atas, seorang komunikan bukanlah penerima pesan pasif; orang yang menerima pesan berperan aktif dalam beberapa cara. Pertama, penerima menerima pesan dan kemudian mencoba memberi makna atas pesan tersebut dengan menginterpretasikan isi informasi pesan tersebut dan motif pihak lain untuk mentransmisikannya. Penerima kemudian menjadi pengirim, mengodekan respons verbal dan/atau nonverbal yang mungkin mencoba untuk mengerjakan beberapa hal: menyampaikan informasi kepada pihak lain mengenai cara bagaimana pesan asli diterima–mungkin anggukan persetujuan, atau kesan kebingungan, atau mungkin ringisan kecemasan; merespons dalam suatu cara terhadap isi pesan pengirim asli; menghindari respons substansif dan mengubah pokok bahasan; atau tujuan yang memungkinkan lainnya. Dengan demikian, dalam negosiasi umpan balik (feedback) yang diberikan penerima pesan kepada pengirimnya dapat dalam berbagai bentuk isyarat nonverbal, emosi yang diungkapkan, pertanyaan untuk klarifikasi, respons terhadap informasi yang disajikan, usaha untuk membangun pesan pertama, atau bantahan terhadap argument, dan masih banyak lainnya, atau beberapa kombinasi hal-hal tersebut. DISTORSI DALAM KOMUNIKASI Komunikasi “bekerja” sampai pada tahapan di mana berbagai jenis informasi dibagi dengan lengkap dan menyeluruh, dan secara akurat diterima dan dipecahkan, mengarah ke pemahaman bersama. Seperti yang kita ketahui, sistem komunikasi manusia jarang bekerja optimal. Justru, elemen-elemen model yang telah dijelaskan dan hubungan antara mereka tunduk pada faktor eksternal yang mendistorsi pesan dan maknanya yang membatasi pemahaman dan pengertian bersama. Selanjutnya, kita membahas bagaimana distorsi muncul dalam komunikasi dengan melihat beberapa elemen individual yang termasuk dalam proses komunikasi yang dibahas sebelumnya. 1. Komunikator individu memiliki tujuan dan sasaran, hal-hal yang ingin mereka capai. Semakin beragam tujuan kedua belah pihak, atau semakin antagonis hubungan mereka, semakin besar kemungkinan munculnya distorsi dan kesalahan (de Dreu, Nauta, dan Van de Vliert, 1995). Demikian pula, kedua komunikator berbeda dalam karakteristik individualnya. 2. Pesan merupakan bentuk simbolis di mana informasi dikomunikasikan. Manusia memiliki keunikan dalam kemampuan mereka menggunakan simbol-simbol untuk mentransmisi informasi. Beberapa pesan merupakan ungkapan langsung dari makna, sementara pesan yang lainnya merupakan representasi simbolis. Semakin rentan kita menggunakan komunikasi simbolis, semakin besar kecenderungan bahwa simbolsimbol yang kita pilih mungkin tidak mengomunikasikan tujuan kita yang sebenarnya dengan akurat. 3. Pengodean adalah proses di mana pesan dimasukkan ke dalam bentuk simbolis. Proses pengodean dipengaruhi oleh berbagai tingkatan keterampilan dalam pengodean. Proses ini juga akan dipengaruhi oleh komunikasi sebelumnya, termasuk apa yang ingin dikomunikasikan kedua belah pihak dan cara mereka bereaksi terhadap komunikasi sebelumnya. Distorsi cenderung muncul saat pengirim mengodekan pesan dengan cara yang menghalangi pemahaman atau interpretasi akurat oleh penerima. 4. Saluran dan media adalah alat di mana informasi dikirim dan diterima melaluinya. Terdapat beberapa pilihan bagi komunikator dalam menyampaikan pesan. Ucapan dapat ditransmisikan melalui tatap muka, telepon, atau online. Untuk yang tertulis bisa melalui kertas, e-mail, dan sms, dengan variasi keformalan yang luas tersedia bagi penulis. Terdapat banyak kesempatan untuk distorsi komunikasi berdasarkan saluran yang digunakan. Pesan yang kompleks mungkin perlu ditulis daripada diucapkan, sehingga penerima dapat menggunakannya dengan kecepatannya sendiri dan meninjau ulang jika diperlukan. Interaksi tatap muka dapat menjadi tidak bijak jika dilakukan di lingkungan bising yang dapat meningkatkan distorsi. Komunikator yang ingin menyampaikan daya tarik emosional mungkin berisiko mendistorsi pesan bila menggunakan pesan tertulis. Selain itu, distorsi makna akan terjadi saat adanya ketidaksesuaian antara beragam saluran yang digunakan pada saat yang bersamaan. 5. Penerimaan merupakan proses pemahaman: menerima pesan dalam bentuk verbal, nonverbal, atau simbolis mereka dan memecahkannya ke dalam bentuk pesan yang dimengerti oleh penerimanya. Jika kedua pihak berbicara bahasa atau menggunakan gestur nonverbal yang sama dalam mengomunikasikan pesan, prosesnya mungkin cukup sederhana. Namun, saat orang-orang berbicara bahasa yang berbeda, pemecahan kode (pesan) melibatkan tingkat kesalahan yang lebih tinggi. Meskipun penerjemah dapat membantu pemecahan pesan pihak lain, namun penerjemah tidak mungkin menangkap secara penuh pesan pihak lain. 6. Interpretasi merupakan proses memastikan arti dan pentingnya pesan yang dipecahkan untuk situasi yang sedang berlangsung. Misalnya, jika seseorang berkata pada orang lainnya, “Tolong berikan pensil tersebut kepada saya,” dan orang tersebut mengatakan, “tidak,” tidak yang dikodekan kemungkinan memacu berbagai reaksi dalam pencarian makna sebenarnya oleh orang pertama. Suatu cara yang penting untuk menghindari beberapa masalah dalam komunikasi adalah dengan memberikan umpan balik kepada pihak lain. Tidak adanya umpan balik dapat menyebabkan distorsi. Dalam negosiasi, umpan balik dapat mendistorsi komunikasi dengan cara memengaruhi penawaran yang dibuat negosiator (misalnya, Kristensen dan Garling, 1997) atau dengan mengarahkan mereka untuk mengubah evaluasi mereka atas hasil yang memungkinkan (Larrick dan Boles 1995; Thompson, Valley, dan Kramer, 1995). Meskipun umpan balik sering kali benar-benar dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman, negosiator perlu mengingat bahwa umpan balik dapat digunakan secara strategis untuk mendorong konsesi, perubahan strategi, atau mengubah penilaian proses dan hasil. APA SAJA YANG DIKOMUNIKASIKAN SELAMA NEGOSIASI? 1. Tawaran, Tawaran Balik, dan Motif Menurut Tutzauer (1992, hlm. 67), “Mungkin komunikasi yang paling penting dalam sesi tawar-menawar adalah komunikasi yang menyampaikan tawaran dan tawaran balik pihak yang saling terlibat.” Tutzauer menyatakan bahwa penawar memiliki preferensi (pilihan) tertentu dan menunjukkan perilaku rasional dengan bertindak sesuai dengan preferensi mereka, dan bahwa preferensi tersebut dapat dinyatakan menurut beberapa skala numerik, yaitu bahwa mereka memiliki derajat utilitas atau nilai yang berbeda (lihat juga Luce dan Raifa, 1957). Preferensi negosiator tercermin dalam ukuran yang baik terhadap motivasi yang mendasarinya, yang juga dikomunikasikan selama negosiasi, dan mereka dapat memiliki pengaruh yang kuat terhadap tindakan pihak lain dan hasil negosiasi. Sebuah kerangka komunikatif untuk negosiasi didasarkan pada asumsi bahwa (1) komunikasi penawaran merupakan proses yang dinamis, (2) proses penawaran merupakan proses yang interaktif, dan (3) berbagai faktor internal dan eksternal mengendalikan interaksi dan “memotivasi penawar untuk mengubah tawarannya” (Tutzauer, 1992, hlm. 73). Dengan kata lain, proses penawaran-penawaran balik merupakan hal yang dinamis dan interaktif, dan mengikuti kendala situasi serta lingkungan. Proses ini secara terus-menerus merevisi parameter negosiasi, dan akhirnya menyempitkan rentang tawar-menawar serta mengarahkan diskusi menuju poin penyelesaian. 2. Informasi mengenai Alternatif Komunikasi dalam negosiasi tidak terbatas pada pertukaran penawaran dan penawaran balik. Aspek penting lainnya yang telah dipelajari adalah bagaimana kegiatan berbagi informasi dengan pihak lain memengaruhi proses negosiasi. Dalam hal ini, pemberian informasi mengenai alternatif perjanjian, dan apakah alternatif tersebut perlu dikomunikasikan, yang diteliti oleh Pinkley dan koleganya (Pinkley, 1995; Pinkley, Neale, dan Bennet, 1994). Hasil dari penelitian tersebut mennyatakan bahwa negosiator dengan alternatif terbaik terhadap perjanjian yang dinegosiasikan yang menarik harus memberi tahu pihak lain mengenai hal tersebut jika mereka mengharapkan keuntungan penuh. Mereka juga menekankan bahwa gaya dan nada digunakan untuk menyampaikan informasi tentang alternatif tersebut yang menarik merupakan hal penting. Bila negosiator memperlihatkan alternatif terbaik dengan cara pemaksaan atau merendahkan dapat ditafsirkan sebagai tindakan agresif atau mengancam. 3. Informasi mengenai Hasil Sebuah studi simulasi negosiasi dilakukan oleh Thompson, Valley, dan Kramer (1995) serta Novemsky dan Schweitzer (2004). Studi tersebut menyimpulkan bahwa bila dua orang negosiator melakukan negosiasi dengan pihak yang sama dan mereka tidak mengetahui hasil negosiasi satu sama lain, mereka cenderung puas terhadap hasilnya sendiri. Namun, bila mereka saling mengetahui hasilnya, mereka cenderung tidak puas. Oleh karena itu, negosiator harus berhati-hati mengenai pembagian hasil mereka atau bahkan reaksi positif mereka terhadap hasil dengan pihak lain, terutama jika mereka akan bernegosiasi lagi dengan pihak tersebut di masa mendatang. Sebagai tambahan, penelitian ini menyarankan bahwa negosiator harus mengevaluasi keberhasilan mereka sendiri sebelum mempelajari evaluasi pihak lain terhadap hasil. 4. Akun Sosial Tipe lain dari komunikasi yang terjadi selama negosiasi terdiri atas “akun sosial” yang digunakan negosiator untuk menjelaskan sesuatu kepada pihak lain, terutama ketika negosiator perlu untuk mejustifikasi berita buruk. Dalam literatur Sitkin dan Bies (1993) disimpulkan bahwa negosiator yang menggunakan beberapa penjelasan cenderung mendapatkan hasil yang lebih baik dan bahwa efek negatif dari hasil yang buruk dapat diatasi dengan mengomunikasikan penjelasan bagi mereka. 5. Komunikasi mengenai Proses Terakhir, beberapa komunikasi adalah mengenai proses negosiasi itu sendiri–seberapa baik negosiasi tersebut berjalan atau prosedur apa saja yang mungkin diadopsi untuk memperbaiki situasi. Beberapa komunikasi ini mengambil bentuk yang tampaknya “basa-basi” sepele yang mencairkan suasana atau membangun hubungan antara negosiator. Pengaruhnya tidak harus “kecil,” meskipun demikian, terdapat bukti bahwa interaksi yang meningkatkan aktivitas berbagi kognisi dan berbagi identitas di antara negosiator sebelum mereka membenamkan diri dalam tugas mereka mengarah pada hasil integratif yang lebih baik. Negosiator, seperti manusia sibuk lainnya, bisa tergoda untuk maju dengan tawaran dan tawaran balik dalam mengejar hasil daripada berhenti dan “membuang” waktu untuk mendiskusikan sebuah proses yang berlangsung kurang baik. Terkadang, jeda dalam percakapan substantif dan perhatian terhadap proses justru merupakan hal yang diperlukan. Kita menutup bagian ini dengan pembahasan tentang apa itu komunikasi dalam negosiasi dengan tiga pertanyaan kunci. 1. Apakah negosiator bersifat konsisten atau adaptif? Mungkin kita berpikir bahwa negosiator yang efektif mampu menyesuaikan strategi mereka dan mengacu ke situasi penawaran tertentu. Namun, penelitian menunjukkan bahwa ketika kita tiba pada pola komunikasi, negosiator lebih cenderung untuk konsisten terhadap strategi mereka dibandingkan dengan memvariasikan pendekatan mereka. Taylor dan Donald (2003) menyimpulkan bahwa “negosiator telah mengatur respons terhadap urutan perilaku yang berbeda yang mereka terapkan secara konsisten terlepas dari konteks dan peran negosiasi mereka” (hlm. 228). Tampaknya bahwa ketika tiba saatnya untuk membuat pilihan mengenai komunikasi, banyak negosiator memilih untuk tetap menerapkan pilihan yang sudah biasa dibandingkan mencoba berimprovisasi. 2. Apakah hal-hal yang disebutkan di awal negosiasi berguna? Simulasi eksperimen negosiasi menemukan bahwa bagi beberapa negosiator (dengan peran berstatus tinggi), waktu berbicara selama lima menit pertama memprediksikan seberapa baik yang mereka lakukan dalam negosiasi. Lalu, nada percakapan selama lima menit pertama merupakan hal penting. Dengan kata lain, mengontrol “lantai” di awal negosiasi memang membantu, tetapi tidak dengan mendominasinya dengan komunikasi yang emosional dan hiperbolis. Mengontrol percakapan di awal dapat membantu negosiator individual bekerja lebih baik, tetapi apakah membantu mereka dalam mencapai hasil yang integratif? Ternyata, penelitian Curham dan Pentland menemukan bahwa komunikasi selama lima menit pertama tidak berpengaruh terhadap kemampuan para pihak untuk mencapai keuntungan bersama. Namun, terdapat bukti dari penelitian lain bahwa keuntungan bersama dipengaruhi oleh apa yang terjadi sebelumnya. Penelitian Adair dan Brett (2005) menemukan keuntungan bersama yang lebih baik ketika negosiator berubah dari sekadar bersikap menjadi bertukar informasi mengenai masalah dan prioritas sebelum negosiasi terlalu jauh. Mereka menyimpulkan, “Apa yang dilakukan negosiator di tengah awal pertama memiliki dampak signifikan terhadap kemampuan mereka menghasilkan solusi integratif dan dengan pencapaian bersama yang lebih baik” (hlm.47). 3. Apakah lebih banyak informasi selalu lebih baik? Studi eksperimen oleh O’Connor (1997) menunjukkan bahwa memiliki informasi lebih banyak tidak secara otomatis menghasilkan hasil yang lebih baik. Pengaruh pertukaran informasi dalam hasil negosiasi tidak bersifat langsung seperti yang diharapkan orang-orang – yaitu, hanya dengan bertukar informasi tidak otomatis menorah ke pengertian yang lebih baik mengenai keinginan pihak lain atau ke arah hasil yang lebih baik. Justru, pengaruh pertukaran informasi selama negosi tergantung pada jenis masalah yang didiskusikan dan motivasi negosiasi untuk menggunakan informasi tersebut. Meskipun demikian, beberapa penelitian menyatakan bahwa menerima terlalu banyak informasi selama negosiasi dapat saja merugikan negosiator. BAGAIMANA ORANG-ORANG BERKOMUNIKASI DALAM NEGOSIASI Bagaimana negosiator berkomunikasi sama pentingnya dengan apa yang perlu mereka katakana. Sehingga, terdapat tiga aspek yang berhubungan dengan “bagaimana” komunikasi: karakteristik bahasa yang digunakan oleh orang yang berkomunikasi, penggunaan komunikasi nonverbal dalam negosiasi, dan pemilihan saluran komunikasi untuk mengirim dan menerima pesan. 1. Karakteristik Bahasa Dalam negosiasi, bahasa beroperasi dalam dua level: level logikal (untuk proposal atau penawaran) dan level pragmatis (semantik, sintaksis, dan gaya). Makna yang disampaikan oleh proposisi atau pernyataan merupakan kombinasi antara sebuah pesan logikal yang ada di permukaan dan beberapa pesan pragmatis (misalnya, diisyaratkan atau disimpulkan). Dengan kata lain, bukan hanya yang diucapkan dan bagaimana mengucapkannya yang menjadi hal penting, tapi juga informasi tambahan, tersirat, atau tersembunyi yang dimaksud, disampaikan, atau ditangkap dalam penerimaan. Sebagai tambahan, penggunaan idiom dan perkataan sehari-hari oleh negosiator sering kali problematik, terutama dalam negosiasi lintas budaya. Makna yang disampaikan mungkin jelas bagi pembicara, namun membingungkan pendengar. Akhirnya, pemilihan kata-kata yang dilakukan negosiator tidak hanya mengisyaratkan sebuah posisi, namun juga membentuk dan memprediksikan percakapan yang dikembangkan. 2. Penggunaan Komunikasi Nonverbal Kebanyakan apa yang dikomunikasikan orang satu sama lain ditransmisikan oleh komunikasi nonverbal. Beberapa tindakan nonverbal, yang disebut dengan attending behaviors, merupakan hal yang sangat penting dalam berhubungan dengan orang lain dalam interaksi yang terkoordinasi seperti negosiasi; mereka menunjukkan pada Anda bahwa mereka mendengarkan dan menyiapkan orang tersebut untuk menerima pesan Anda. Di bawah ini akan dibahas tiga attending behaviors penting: kontak mata, posisi tubuh, dan dorongan. a. Membuat Kontak Mata Pada umumnya, kontak mata merupakan salah satu cara untuk menunjukan bahwa Anda memperhatikan dan mendengarkan dan bahwa Anda menganggap mereka itu penting. Jika ada orang yang tidak melihat Anda saat Anda berbicara, Anda mungkin bertanya-bertanya apakah mereka mendengarkan atau tidak. Tentu saja sangat mungkin untuk mendengarkan dengan baik tanpa melihat orang yang berbicara; kenyataannya, mungkin lebih mudah untuk melihat ke arah lain karena Anda akan fokus pada kata-kata yang diucapkan dan tidak teralihkan oleh informasi visual. Namun, permasalahnnya adalah dengan tidak membuat kontak mata, Anda tidak memberikan isyarat bahwa Anda terlibat dan mendengarkan orang lain. Meskipun demikian, kita tidak boleh mempertahankan kontak mata secara terusmenerus pada orang lain. Sebaiknya, kita kadang-kadang tidak melihat orang tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa di beberapa masyarakat Asia, misalnya, menundukan pandangan saat orang lain berbicara merupakan tanda hormat (Ivey dan Simek-Downing, 1980). b. Menyesuaikan Posisi Tubuh Untuk memastikan bahwa Anda memperhatikan lawan bicara Anda, tegakkan tubuh Anda, bersandar sedikit ke depan, dan hadapi lawan bicara Anda secara langsung (Ivey dan Simek-Downing, 1980). Jika Anda menerima dan menyetujui pesan lawan bicara, perlu diperhatikan untuk tidak menunjukan sikap tidak hormat melalui sikap tubuh dengan bungkuk, berbalik, atau mengangkat kaki ke atas meja (Stacks dan Burgoon, 1981). Sebaliknya, menyilangkan tangan, menganggukan kepala, mengerutkan dahi, dan mengerutkan alis semuanya dapat menandakan penolakan atau ketidaksetujuan yang sangat kuat (Nierenberg dan Calero, 1971). c. Mendukung atau Menolak Apa yang Dibicarakan Orang Lain secara Nonverbal Seseorang dapat mengindikasikan perhatian dan minat terhadap apa yang dibicarakan orang lain melalui berbagai perilaku sederhana. Anggukan kepala, isyarat tangan yang sederhana untuk memberi tahu lawan bicara untuk melanjutkan, bahwa Anda mendengarkan. Kontak mata singkat atau senyuman dan anggukan kepala akan menunujukkan isyarat yang membesarkan hati. Sama halnya, kerutan dahi, pandangan marah, gelengan kepala, atau berpura-pura sakit akan mengisyaratkan penolakan terhadap pesan lawan bicara. Drolet dan Morris (2000) menyatakan bahwa interaksi tatap muka menstimulasi hubungan melalui komunikasi nonverbal, yang pada gilirannya meningkatkan koordinasi dan mengarah ke keuntungan bersama yang lebih tinggi. Tentu saja, keuntungankeuntungan ini mungkin akan muncul hanya jika pihak-pihak yang terlibat mampu menginterpretasikan komunikasi nonverbal secara akurat. 3. Pemilihan Saluran Komunikasi Komunikasi dialami secara berbeda ketika komunikasi tersebut muncul saluran yang berbeda. Kita mungkin berpikir bahwa negosiasi biasanya terjadi secara tatap muka. Namun, kenyataannya adalah bahwa orang-orang bernegosiasi melalui berbagai jenis media komunikasi: telepon, tulisan, e-mail, telekonferensi, pesan instan, dan bahkan SMS. Penggunaan teknologi informasi jaringan dalam negosiasi kadang-kadang disebut negosiasi virtual (atau juga “e-negotiation”). Penggunaan saluran tertentu membentuk pandangan tugas komunikasi secara praktis dan norma berdasarkan perilaku yang sesuai. Lalu, negosiasi melalui e-mail dan teknologi jaringan lainnya menciptakan kesempatan sekaligus tantangan krusial yang akan dipahami dengan baik oleh negosiator sebelum memilih media tertentu untuk peristiwa penting. Di bab sebelumnya telah dibahas berbagai bias kognitif yang mengganggu negosiator mengambil keputusan yang rasional. Analoginya, kita dapat memperkirakan beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh negosiasi virtual sebagai “bias” yang berisiko terhadap kelancaran, kesopanan, dan efektivitas negosiasi. Thompson dan Nadler (2002) mengidentifikasikan empat bias spesifik yang dapat menghambat keberhasilan negosiasi online: a. Temporal synchrony bias merupakan kecenderungan negosiator untuk bertingkah seolah-olah mereka berada dalam situasi yang sinkron padahal sebetul tidak. Namun, selama negosiasi melalui e-mail pihak-pihak yang terlibat tidak harus bekerja dalam kerangka waktu tertentu dan kurangnya sinkronisasi dapat mengganggu salah satu atau kedua pihak, sehingga berpengaruh negative terhadap hubungan negosiasi dan hasilnya. b. Burned bridge bias adalah kecenderungan individu untuk menerapkan perilaku yang berisiko selama negosiasi e-mail yang tidak akan mereka gunakan selama pertemuan tatap muka. Lingkungan sosial yang diimprovisasi dari e-mail menciptakan jarak sosial dan ilusi anonimitas yang dapat memfasilitasi perilaku yang tidak dapat diterima dalam pertemuan tatap muka. Misalnya, negosiator mungkin lebih berani menantang pihak lain, memberikan ultimatum, atau bereaksi negatif terhadap penawaran saat tidak bertemu langsung. c. Squeaky wheel bias adalah kecenderungan yang dilakukan negosiator melalui email untuk menggunakan gaya emosional negatif untuk mencapai tujuan. Jika tidak ada atau kurang terdapat norma sosial yang mendorong kesopanan, makan negosiator cenderung menggunakan intimidasi, perilaku kasar, dan etika yang tidak baik untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di sisi lain, jika negosiator yang menggunakan e-mail merupakan bagian dari kelompok sosial yang kohesif, normal sosial konstruktif akan terdorong, yang dapat melunakkan kecenderungan terhadap ketidaksopanan. d. Sinister attribution bias muncul saat seseorang keliru mengasumsikan perilaku orang lain disebabkan cacat kepribadian saat menghadapi faktor situasional. Thompson dan Nadler (2002) berpendapat bahwa kurangnya rasa percaya, perbedaan antara pihak-pihak terkait, dan kurangnya hubungan yang mungkin muncul melalui e-mail memicu individu untuk melakukan hal-hal jahat dan licik kepada pihak lain. Menciptakan hubungan yang positif dengan partner negosiasi, baik secara tatap muka atau melalui telepon, dapat membantu menghilangkan bias-bias tersebut. Sayangnya, merupakan hal yang tidak mungkin untuk memperpanjang hubungan negosiasi melampaui interaksi online. Pada kasus-kasus tersebut, merupakan hal yang penting untuk menemukan cara untuk menciptakan konteks akuntabilitas untuk tindakan-tindakan yang dilakukan. BAGAIMANA CARA MENINGKATKAN KOMUNIKASI DALAM NEGOSIASI Terdapat tiga teknik utama untuk meningkatkan komunikasi dalam negosiasi: penggunaan pertanyaan, mendengarkan, dan pembalikkan peran. 1. Penggunaan Pertanyaan Salah satu teknik yang paling umum untuk mengklarifikasi komunikasi dan menghilangkan gangguan dan distorsi adalah penggunaan pertanyaan. Nierenberg (1976) menekankan bahwa pertanyaan merupakan elemen penting dalam negoiasi untuk memperoleh informasi; menanyakan pertanyaan yang bagus memungkinkan negosiator untuk mendapaatkan sejumlah besar informasi mengenai posisi pihak lain, alasan-alasan yang mendukung, dan kebutuhannya. Nierenberg menyatakan bahwa pertanyaan dapat dibagi ke dalam dua kategori dasar: pertanyaan yang dikelola dan pertanyaan yang tidak dikelola serta menimbulkan kesulitan. Pertanyaan yang dikelola menyebabkan perhatian atau menyiapkan pemikiran pihak lain untuk pertanyaan selanjutnya, mendapatkan informasi, dan menghasilkan pemikiran. Pertanyaan yang tidak dikelola menyebabkan kesulitan memberikan informasi, dan membawa diskusi tersebut ke dalam kesimpulan yang salah. Sebagai tambahan, Ury (1991) menyarankan bahwa menggunakan pertanyaan “mengapa tidak” alih-alih “mengapa” merupakan cara yang baik untuk membuka kembali negosiasi yang macet. 2. Mendengarkan Terdapat tiga bentuk utama mendengarkan: a. Mendengarkan pasif melibatkan menerima pesan saat tidak ada umpan balik bagi pengirim pesan mengenai keakuratan atau kelengkapan penerimaan. Terkadang, mendengarkan pasif hanya cukup bagi komunikan untuk mengirimkan pesan. Beberapa orang senang berbicara dan tidak nyaman dengan keheningan yang panjang. Seorang negosiator yang lawan bicaranya senang berbicara mungkin menemukan bahwa strategi yang paling baik adalah dengan duduk diam dan mendengarkan, sementara pihak lainnya mengupayakan posisinya sendiri. b. Pengakuan merupakan bentuk kedua dari mendengarkan, sedikit lebih aktif dibandingkan mendengarkan pasif. Saat mengakui, penerima seskali menganggukan kepalanya, mempertahankan kontak mata, atau menyisipkan respons, seperti “Saya mengerti,” “mm-hmm,” “menarik,” “benarkah?” “tentu,” dan sebagainya. Respons-respons tersebut cukup untuk membuat komunikan terus mengirimkan pesan, namun pengirim pesan mungkin salah mengartikan respons tersebut sebagai persetujuan penerima pesan terhadap posisi mereka, bukannya sebagai pengakuan penerima telah menerima pesan yang disampaikan. c. Mendengarkan aktif merupakan bentuk ketiga. Ketika penerima pesan secara aktif mendengarkan, mereka menyatakan kembali atau memparafrasakan pesan pengirim dalam bahasa mereka sendiri. Dalam negosiasi, pada awalnya mendengarkan aktif dirasa tidak cocok karena penerima biasanya memiliki serangkaian posisi dan berkeyakinan kuat terhadap masalah tersebut. Dengan merekomendasikan mendengarkan aktif, kami (Roy J. Lewicki, Bruce Barry, David M. Saunders) tidak menyarankan bahwa penerima secara otomatis setuju dengan posisi pihak lain dan mengabaikan posisi mereka. Justru, kami memandang mendengarkan aktif sebagai keterampilan yang mendorong pihak lain untuk lebih terbuka mengutarakan perasaan, prioritas, kerangka acuan, dan posisi yang mereka ambil. Ketika pihak lain melakukannya, negosiator akan lebih memahami posisi pihak lain; faktor- faktor dan informasi yang mendukungnya; dan cara-cara bagaimana posisi tersebut bisa dikompromikan, diselesaikan, atau dinegosiasikan sesuai dengan pilihan atau prioritas mereka. 3. Pembalikkan Peran Komunikasi juga dapat ditingkatkan melalui pembalikan peran. Rapoport (1964) mengemukakan bahwa terus-menerus berargumen pada satu posisi tertentu dalam debat mengarah pada “kebutaan keterlibatan,” atau siklus memperkuat-diri dari argument yang membatasi negosiator dalam menyadari kesesuaian yang mungkin terjadi antara posisi merka dengan posisi pihak lain. Teknik pembalikan peran memungkinkan negosiator untuk memahami lebih lengkap posisi pihak lain dengan secara aktif mempertahankan posisi tersebut sampai pihak lain yakin bahwa ia dimengerti. Pembalikan peran dapat merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan komunikasi dan pemahaman yang tepat dan apresiasi terhadap posisi pihak lain dalam negosiasi. Hal ini dapat menjadi sangat berguna selama tahap persiapan negosiasi atau selama terjadi desakan saat proses tidak berjalan lancar. Meskipun demikian, meningkatkan pemahaman tidak selamanya mengarah pada resolusi konflik, terutama saat komunikasi yang tepat mengungkap ketidaksesuaian yang mendasar dalam posisi semua pihak. PERTIMBANGAN KOMUNIKASI KHUSUS PADA PENUTUPAN NEGOSIASI Karena negosiasi bergerak menuju perjanjian yang hampir dicapai, negosiator harus memenuhi dua aspek kunci komunikasi dan negosiasi secara berkesinambungan; penghindaran kesalahan fatal dan pencapaian penutupan/kesepakatan yang memuaskan dengan cara yang konstruktif. A. Menghindari Kesalahan-kesalahan Fatal Mencapai kesepakatan dalam negosiasi pada umumnya melibatkan pembuatan keputusan untuk menerima tawaran, mengompromikan prioritas, untuk bertukar masalah dengan pihak lain, atau untuk mengombinasikan tahapan-tahapan tersebut. Proses pengambilan keputusan tersebut dibagi ke dalam empat elemen kunci: pembingkaian, mengumpulkan intelegensi, membuat keputusan, dan belajar dari umpan balik (Russo dan Schoemaker, 1989). Untuk elemen keempat, yaitu belajar (atau gagal untuk belajar) dari umpan balik, sebagian besar merupakan masalah komunikasi. Masalah tersebut dapat berupa jebakan keputusan yang mungkin muncul sebagai akibat dari bias perseptual dan kognitif yang tidak terelakkan oleh negosiator. Hal ini tidak hanya muncul di tahapan awal negosiasi, tetapi juga dapat muncul di akhir negosiasi ketika kedua pihak buru-buru mengakhiri dan mempererat perjanjian. B. Mencapai Penutupan Gary Karrass (1985), menganjurkan negosiator untuk “mengetahui kapan untuk tutup mulut,” untuk menghindari penyerahan informasi penting yang tidak perlu dilakukan, dan agar tidak untuk mengucapkan “kata-kata konyol” yang dapat membuatnya menjauh dari kesepakatan yang hampir dibuat. Karrass juga mengingatkan para negosiator agar perlu memperhatikan masalah-masalah di menit terakhir, seperti nit-picking atau “tebakan kedua” oleh pihak yang tidak berpartisipasi dalam proses tawar-menawar, tetapi memiliki hak atau tanggung jawab untuk meninjaunya. Karrass menganjurkan negosiator untuk memperhatikan tantangan tersebut dan siap untuk menanganinya dengan percaya diri. Terakhir, Karrass mencatat pentingnya menurunkan perjanjian tersebut ke dalam bentuk tertulis, menyadari bahwa pihak yang menuliskan kontrak berada dalam posisi untuk mencapai kejelasan tujuan dan pelaksanaan perjanjian. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Demi mencapai kesuksesan pada saat negosiasi, teknik-teknik berkomunikasi dan prioritas informasi yang diberi perlu dipahami. Karena, dalam berkomunikasi, negosiator tidak hanya menyampaikan pesan verbal, tetapi juga nonverbal. Komunikasi nonverbal menjadi salah satu hal yang akan diperhatikan pihak lain saat bernegosiasi, yang merupakan salah satu kunci apakah negosiasi tersebut akan berakhir dengan sukses atau tidak. Lalu, informasi yang kita miliki tidak selalu wajib disampaikan seutuhnya ke pihak lain. Kemudian, lawan bicara kita saat bernegosiasi mungkin akan memiliki karakter yang berbeda, yang menyebabkan negosiasi akan terhambat. Kemudian, media yang digunakan saat negosiasi juga akan menjadi hambatan tersendiri, sehingga sebagai negosiator kita perlu memahami dua hal hambatan tersebut, dan hambatan lainnya yang mungkin akan terjadi. Sebagai negosiator, kita tidak hanya mengajak, mempromosikan, atau menginformasikan kerja sama dengan pihak lain, tetapi juga kita mewakili “nama baik” perusahaan. Terakhir, negosiasi bukan hanya pertukaran solusisolusi yang diinginkan, melainkan mencakup sejumlah topik yang luas di sebuah lingkungan di mana masing-masing pihak mencoba memengaruhi satu sama lain. SARAN Disarankan kepada pembaca saat menjadi seorang negosiator, segala hal yang dibahas dalam makalah ini perlu dipahami secara mendalam. Karena, seperti yang telah disebutkan, komunikasi (verbal dan nonverbal) menjadi salah satu kunci keberhasilan negosiasi. Terlebih, hambatan-hambatan yang (pasti) ada saat bernegosiasi, informasi perusahaan yang mungkin tidak perlu disampaikan secara utuh kepada pihak lain, dan antisipasi kesalahan-kesalahan fatal saat menutup negosiasi. DAFTAR PUSTAKA Lewicki, R.J., Bruce B., & David. M.S. 2012. Negosiasi. Jakarta: Salemba Humanika. Anom, E. 2011. “Komunikasi dalam Negosiasi Bisnis”. http://www.esaunggul.ac.id/article/komunikasi-dalam-negosiasi-bisnis/. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2016.