EKSTRAK GLIKOGEN TEMILOK (Bactronophorus thoracites) SEBAGAI KO-PRESIPITAN ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT DENNY SYAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Ekstrak Glikogen Temilok (Bactronophorus thoracites) sebagai Ko-presipitan Asam Deoksiribonukleat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2012 Denny Syaputra NIM. C351090061 ABSTRACT DENNY SYAPUTRA. Temilok (Bactronophorus thoracites) Glycogen Extract as Co-precipitant of Deoxyribonucleic Acid. Under direction of BUSTAMI IBRAHIM and SRI PURWANINGSIH Temilok (Bactronophorus thoracites) is one of Teredinidae or family of wood-borer shellfish in fact it has a fairly high polysaccharide content, particularly interesting source of glycogen. The objectives of this experiment are to determine KOH concentration, percentation of cationic resin Amberlite IR-120 Na and its stirring time to extract the glycogen from temilok flesh based on Nicoletti and Baiocchi glycogen polysaccharide extraction patent method, and the ability of the extracted glycogen as co-precipitant in the precipitation of deoxyribonucleic acid (DNA) of human femur. Nitrogen content of extracted glycogen was measured by kjeldahl method. Nucleic acid content of extracted glycogen were spectrophotometrically measured at 260 nm, 280 nm and 320 nm. Extracted glycogen samples was characterized by determining the glucose content quantitatively using phenol-sulphate (phesul) method which measured spectrophotometrically at 490 nm . The treatment of 100g temilok flesh with 40% potassium hydroxide and heated to 100 oC decreased the nitrogen content of extracted glycogen to 250 ppm. Treated the solution with 12% resin cationic Amberlite IR-120 and stirring for 16 hours at room temperature yielded 10,19±2,23% glycogen characterized by the lowest nucleic acids content which is 0,07 mg/mL. In order to asses the ability of the glycogen extract as co-precipitant of low copy number DNA, 2% solution of glycogen extract were added until 20 µL per 800 µL solution of femur DNA and 40 µL sodium acetate. Results revealed that by adding the extracted glycogen solutions into the first step of DNA precipitation procedure, the yield of DNA were not significantly affected at the level of 0,05 though the yield of DNA decreased against blanko about 0,006 ng/µL of 0,0401 ng/µL. Keywords : temilok, glycogen, co-precipitant, nitrogen content, DNA of femur RINGKASAN DENNY SYAPUTRA. Ekstrak Glikogen Temilok (Bactronophorus thoracites) sebagai Ko-presipitan Asam Deoksiribonukleat. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan SRI PURWANINGSIH Temilok (Bactronophorus thoracites) adalah spesies kerang pengebor kayu dari famili Teredinidae. Kerang ini mengandung karbohidrat yang relatif tinggi yaitu sekitar 18%, sehingga merupakan sumber bahan baku potensial untuk glikogen. Glikogen dengan residu nitrogen dan asam nukleat yang sangat rendah dapat membantu presipitasi asam deoksiribonukleat (DNA) untuk keperluan forensik. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan konsentrasi potasium hidroksida (KOH), lama pengadukan dan persentase resin kationik Amberlite IR120 Na terbaik dalam menghasilkan ekstrak glikogen dengan residu nitrogen dan asam nukleat paling rendah, lalu menguji kemampuan glikogen temilok terekstrak sebagai ko-presipitan dalam presipitasi DNA tulang paha (femur) manusia. Metode ekstraksi yang digunakan berdasarkan metode paten ekstraksi glikogen dari Nicoletti dan Baiocchi. Prosedur utamanya terdiri dari perebusan daging temilok dengan larutan potasium hidroksida (KOH) hingga suhu 100 oC, dan pengadukan dengan penambahan resin kationik Amberlite IR-120 pada suhu kamar. Rancangan percobaan untuk perlakuan konsentrasi KOH (20%, 30%, dan 40%) adalah Rancangan Acak Lengkap, sedangkan untuk perlakuan interaksi persentase resin (9% dan 12%), dan lama pengadukan (8 jam, 16 jam, dan 24 jam) adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Uji lanjut dengan uji Tukey. Residu nitrogen di dalam glikogen terekstrak diukur dengan metode kjeldahl. Residu asam nukleat di dalam glikogen terekstrak diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm, 280 nm dan 320 nm. Sampel glikogen terekstrak dikarakterisasi berdasarkan kadar glukosanya yang dengan metode fenol-sulfat. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan perebusan 100 g temilok utuh dengan KOH 40% hingga suhu 100oC menghasilkan glikogen terekstrak dengan residu nitrogen paling rendah yaitu 250 ppm. Pengadukan dengan penambahan 12 g resin kationik Amberlite IR-120 selama 16 jam pada suhu kamar adalah perlakuan terbaik yang menghasilkan ekstrak glikogen dengan rendemen 10,19±2,23%, dan asam nukleat paling rendah yaitu 0,07 mg/mL. Larutan glikogen dengan konsentrasi 2% sebanyak 20 µL hanya mampu mempresipitasi sekitar 0,0340±0,0056 ng DNA femur dari 800 µL larutan ekstrak DNA yang diekstraksi dengan metode organik. Analisis statistik menggunakan Rancangan Perbandingan Berganda menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap perolehan DNA pada taraf 0,05 antara blanko dan perlakuan penambahan glikogen. Penambahan glikogen pada tahap presipitasi menghasilkan DNA femur sekitar 0,0340 ng/µL, sedangkan blanko (tanpa glikogen) sekitar 0,0401 ng/µL. Modifikasi prosedur ekstraksi glikogen temilok dengan metode alkali panas ini belum mampu menghasilkan glikogen yang aplikatif sebagai ko-presipitan asam deoksiribonukleat tulang paha manusia. Kata kunci : temilok, glikogen, ko-presipitan, residu nitrogen, DNA femur © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. EKSTRAK GLIKOGEN TEMILOK (Bactronophorus thoracites) SEBAGAI KO-PRESIPITAN ASAM DEOKSIRIBONUKLEAT DENNY SYAPUTRA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Pipih Suptijah, MBA Judul Tesis : Ekstrak Glikogen Temilok (Bactronophorus thoracites) sebagai Ko-presipitan Asam Deoksiribonukleat Nama Mahasiswa : Denny Syaputra NIM : C351090061 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc Ketua Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan Dr.Tati Nurhayati, S.Pi M.Si Tanggal Ujian : 22 Oktober 2012 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr Tanggal Lulus : Fa inna ma’al ‘usri yusran. Inna ma’al ‘usri yusran. Fa idza faraghta fanshab. Wa ilaa Rabbika farghab.(Q.S Al-Insyirah : 5-8) Artinya : “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap.” PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah swt atas pertolongan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis melakukan penelitian dengan judul Ekstrak Glikogen Temilok (Bactronophorus thoracites) sebagai Kopresipitan Asam Deoksiribonukleat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan saran yang telah diberikan selama ini. 2. Dr. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji luar komisi atas segala saran dan masukannya. 3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan atas saran dan masukannya. 4. Bapak Komisaris Besar Polisi Putut Tjahyo Widodo selaku Kepala Laboratorium Forensik DNA Pusdokkes Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, beserta seluruh staf yaitu A.A.G Raka Ardian, S.Si., Lathifah Ismiyati, S.Si., Muh. Fuad Riyadi, S.Si, Dewi Monasari, S.Si, Restu Priyono, S.Si, Novi Wulandasari, S.Si, Riris Savitri, S.Si, Retno Dwi Wahyuningsih, S.Si, dan Ibu Neneng) atas segala bantuan dan kerjasamanya. 5. Ibu Ema dan Dini di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia I THP-IPB, serta Ibu Anna selaku Kepala Laboratorium Proling beserta seluruh staf laboran atas segala bantuannya, dan Saudara Tyas atas segala masukannya. 6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) selama penulis menempuh studi Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orangtuaku tercinta Yellie Indrian Teny dan Syabilal Rasyad di Pangkalpinang, istriku Tika Fitriana dan anak-anakku tercinta Umayr Ahmad Alfayyaadl, Hadya Taqiya Zulhajj, Halia Layla Syafithree, Hania Layli Syafithree, serta mertuaku Asmita dan Kornain, atas segala kesabaran, dukungan dan doa selama ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya kecil ini bermanfaat besar bagi pengembangan ilmu, pengetahuan dan aplikasinya di masyarakat. Amiin. Bogor, Oktober 2012 Denny Syaputra RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangkalpinang pada tanggal 6 Desember 1979 sebagai sulung dari dua bersaudara dari Bapak Syabilal Rasyad dan Ibu Yellie Indrian Teny. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Melong 1, Bandung pada tahun 1992, lalu melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 9 Bandung, kemudian lulus dari SMP Negeri 3 Pangkalpinang pada tahun 1995. Pada Tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Pangkalpinang. Penulis menempuh pendidikan strata 1 di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1999 pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Pada tahun 2004, penulis menjadi staf pengajar luar biasa di Jurusan Perikanan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Bangka, kemudian pada tahun 2006 diangkat sebagai staf pengajar di Program Studi D III Perikanan, Universitas Bangka Belitung. Pada tahun 2007, penulis memuat dua karya ilmiah tentang temilok (Bactronophorus thoracites) yang berjudul “Produk fermentasi ikan dari cacing kapal Bactronophorus sp. segar” dan “Upaya peningkatan hasil tangkapan cacing kapal Bactronophorus sp. dari ekosistem bakau” di Jurnal Akuatik Volume 1 dan 2 yang diterbitkan oleh Universitas Bangka Belitung Press. Pada tahun 2009, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan strata 2 dengan pembiayaan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Dikti di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Bogor, Oktober 2012 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ..xv 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 1.5 Hipotesis .................................................................................................. 5 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7 2.1 Temilok .................................................................................................. 7 2.2 Glikogen .................................................................................................. 9 2.2.1 Glikogen alami ............................................................................ 9 2.2.2 Ekstraksi glikogen ....................................................................... 11 2.2.3 Sifat resin kationik (Davis 2010) ................................................. 13 2.3 Konsep Spektrofotometri Asam Nukleat ................................................ 15 2.3.1 Konsep pengukuran RNA-DNA.................................................. 15 2.3.2 Penghitungan kadar asam nukleat ............................................... 16 2.4 Glikogen sebagai Ko-presipitan Low Copy Number DNA ..................... 16 3 METODE PENELITIAN................................................................................ 19 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 19 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 19 3.3 Prosedur Penelitian .................................................................................. 20 3.3.1 Karakteristik proksimat temilok (Metode SNI.01-2891-1992) ....................................................... 21 3.3.2 Optimasi ekstraksi glikogen temilok (modifikasi Metode Nicoletti dan Baiocchi 1994).......................................... 21 3.3.3 Karakterisasi ekstrak glikogen (Bennett et al. 2007) .................. 22 3.3.4 Aplikasi glikogen sebagai ko-presipitan DNA (Lennard et al. 2007) ................................................................... 24 3.4 Metode Analisis ....................................................................................... 25 3.4.1 Analisis proksimat (Metode SNI.01-2891-1992) ........................ 25 3.4.2 Analisis rendemen glikogen terekstrak (AOAC 1995) ............... 27 3.4.3 Analisis residu nitrogen (Winarno 2002) .................................... 27 3.4.4 Analisis kadar glukosa di dalam glikogen (Bennett et al. 2007) .28 3.4.5 Analisis residu asam nukleat (Adams et al. 1986) .......................28 3.4.6 Analisis DNA terpresipitasi (Lennard et al. 2007) ......................29 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................................30 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................33 4.1 Karakteristik Proksimat Temilok (Bactronophorus thoracites) ..............33 4.2 Optimasi Ekstraksi Glikogen ............................................................36 4.2.1 Pengaruh konsentrasi potasium hidroksida (KOH) ........................36 4.2.2 Karakterisasi glikogen terekstrak ....................................................38 4.2.3 Interaksi perlakuan lama pengadukan dan persentase resin ............39 4.2.3.1 Rendemen ekstrak glikogen temilok .................................40 4.2.3.2 Residu asam nukleat ekstrak glikogen temilok .................41 4.3 Kapasitas Ko-presipitasi DNA Femur Ekstrak Glikogen Temilok ..........43 5 SIMPULAN DAN SARAN.............................................................................47 5.2 Simpulan ..................................................................................................47 5.3 Saran ...................................................................................................47 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................49 LAMPIRAN ...................................................................................................55 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai faktor keterpisahan (separation factor) [αi] beberapa kation .................. 14 2 Karakteristik resin kationik Amberlite IR-120 Na ........................................... 15 3 Proksimat temilok utuh .................................................................................... 33 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Roadmap penelitian ........................................................................................ 3 2 Bentuk fisik Bactronophorus thoracites (Leiwakabessy 2011) ...................... 7 3 Skema proses glikogenolisis dan glikogenesis (Poedjiadi & Supriyanti 2006) ......................................................................... 10 4 a. Model molekuler glikogen tiram (Matsui et al. 1996) ................................. 11 b. Monemer glukosa dan struktur dasar glikogen (McCormick 2006) ............ 11 5 Skema tahapan penelitian ................................................................................. 20 6 Prosedur optimasi ekstraksi glikogen temilok ................................................. 23 7 Residu nitrogen (ppm) ekstrak glikogen temilok dengan perlakuan konsentrasi KOH 20%, 30% dan 40% ............................................................. 37 8 Rendemen ekstrak glikogen temilok (% b/b) hasil perebusan temilok dalam larutan KOH 40% dari kombinasi perlakuan persentase resin (9% dan 12%) dan lama pengadukan (jam) ..................................................... 41 9 Pengaruh persentase resin kationik (9% dan 12%) dan lama pengadukan (jam) terhadap kadar asam nukleat larutan glikogen temilok (mg/mL) ........... 42 10 Konsentrasi DNA femur (ng/µL) setelah penambahan glikogen temilok dan sebelum penambahan glikogen temilok ....................................... 44 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Persiapan sebelum tahapan kuantitasi DNA dengan RT-PCR ....................... 55 a. Penempatan larutan di dalam well sebelum DNA dikuantitasi dengan RT-PCR .......................................................................................... 55 b. Pembuatan larutan standar DNA manusia untuk membuat kurva standar konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi ................................... 55 2 Nilai rataan asam amino temilok .................................................................... 56 3 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam residu nitrogen ekstrak glikogen (ppm) karena perlakuan konsentrasi KOH (resin kationik 6%) .......................................................................................... 57 4 Nilai absorbansi glukosa standar dan glikogen terekstrak dengan konsentrasi tertentu pada panjang gelombang 490 nm ...................................................... 58 5 Ekstrak glikogen temilok yang menempel pada dasar tabung gelas dan warna larutan ekstrak glikogen temilok .......................................... 59 6 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam rendemen ekstrak glikogen (%) karena perlakuan konsentrasi KOH (resin kationik 6%) .......... 60 7 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam rendemen ekstrak glikogen (%) dengan perlakuan bobot resin kationik dan lama pengadukan ..................................................................................................... 61 8 Pengamatan bobot ekstrak glikogen selama pengeringan di dalam desikator vakum gel silika .............................................................................. 62 9 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam residu asam nukleat larutan glikogen temilok 2% (mg/mL) dengan perlakuan bobot resin kationik dan lama pengadukan ............................................................... 63 10 Data pengukuran absorbansi sampel larutan glikogen temilok 2%................ 64 11 Contoh perhitungan uji perbandingan berganda terhadap data konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi ....................................................................... 65 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan salah satu jenis asam nukleat yang membawa ribuan gen yang menentukan sifat tertentu dari satu generasi ke generasi turunannya, termasuk informasi untuk diferensiasi sel sehingga terbentuk tumbuhan, hewan, manusia dan organisme lainnya. Karakteristik DNA tersebut sangat membantu dalam mengungkap identitas individu makhluk hidup berdasarkan hubungan kekerabatannya, termasuk manusia (Toha 2001). Teknologi di bidang biologi molekuler mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan teknologi tersebut adalah ditemukannya teknik amplifikasi in vitro fragmen gen tertentu yang terletak di antara pasangan oligonukleotida primer spesifik yang disebut polymerase chain reaction (PCR), dan teknik pelacak DNA (DNA probe) berdasarkan prinsip hibridisasi DNA. Kedua teknologi tersebut kini semakin memudahkan banyak bidang kehidupan manusia antara lain kesehatan, intensifikasi pertanian, konservasi, dan forensik. Bidang forensik kini mengalami perkembangan sedemikian rupa. Teknik yang digunakan dalam bidang forensik sebelumnya adalah odontologi (susunan gigi geligi) dan fingerprint (sidik jari), namun teknik tersebut belum mampu untuk menyingkap identitas seseorang (baik korban maupun pelaku) dalam kasus-kasus kriminalitas, atau pun korban musibah dan bencana alam. Kesulitan yang sering dihadapi adalah proses identifikasi korban berdasarkan tulang belulang yang tersisa karena organ tubuh lainnya telah rusak akibat pembusukan atau pun terbakar. Asam deoksiribonukleat atau DNA yang berasal dari gigi dan tulang adalah pilihan terakhir yang tersisa bagi upaya di bidang forensik saat sumber lain dari tubuh manusia seperti daging, darah, sperma atau rambut tidak lagi dapat ditemukan atau digunakan karena sudah rusak. Tulang paha (femur) yang ukurannya paling besar daripada tulang lainnya paling sering digunakan untuk mendapatkan kuantitas DNA yang memadai. Kuantitas DNA hasil ekstraksi dan presipitasi sampel tulang seringkali tidak cukup untuk dapat digunakan dalam 2 tahap sequencing karena umumnya mengandung DNA yang sangat sedikit (picogram atau nanogram) atau low copy number sehingga proses ekstraksi dan presipitasi DNA tulang harus dilakukan berulang kali. Hal ini tentu membutuhkan waktu lebih lama, tenaga lebih besar, konsentrasi dan biaya yang lebih tinggi (Widodo, komunikasi pribadi 2012). Presipitasi DNA tulang yang memiliki kadar DNA sangat rendah membutuhkan bahan pembantu yang dapat meningkatkan efektivitas etanol atau isopropanol dalam mempresipitasi DNA. Menurut Bartram et al. (2009), bahan yang ditambahkan untuk meningkatkan efektivitas presipitasi DNA lebih dikenal dengan istilah carrier atau ko-presipitan. Linear polyacrylamide (LPA), yeastderived tRNA, dan glikogen adalah contoh bahan yang tergolong ko-presipitan dalam presipitasi DNA. Sumber bahan baku glikogen komersial dengan grade biologi molekular atau kemurnian yang tinggi umumnya berasal dari kerang-kerangan. Temilok adalah salah satu jenis kerang-kerangan yang masih mudah dijumpai di hutan bakau di beberapa pulau di Indonesia, termasuk di Pulau Bangka. Harga temilok segar di Pulau Bangka berkisar antara Rp 30.000,00–Rp 45.000,00/ kg. Preparasi temilok juga relatif lebih mudah daripada tiram karena bagian mantel temilok tidak ditutupi oleh cangkang, dan tekstur sebagian besar mantel temilok yang lebih lunak. Kadar karbohidrat pada daging hewan menjadi indikasi awal kandungan glikogen. Menurut Syaputra et al. (2007), kadar karbohidrat temilok juga relatif tinggi yaitu sekitar 17%, sedangkan kadar proteinnya relatif rendah, yaitu sekitar 4,29%. Temilok tidak populer sebagai bahan pangan seperti halnya remis dan tiram, sehingga sangat potensial sebagai bahan baku ekstraksi glikogen. Menurut Nicoletti dan Baiocchi (1994), ekstraksi polisakarida glikogen dapat dilakukan dengan metode alkali panas. Pengadukan larutan glikogen dengan penambahan sejumlah resin kationik dapat menurunkan residu nitrogen ekstrak glikogen. Penelitian ini mencoba menerapkan prinsip ekstraksi glikogen metode Nicoletti dan Baiocchi untuk mendapatkan ekstrak glikogen dari temilok (Bactronophorus thoracites) lalu diuji kemampuannya sebagai ko-presipitan dalam presipitasi DNA femur. 3 Ekstraksi glikogen dengan metode alkali panas untuk pertama kalinya dilakukan oleh Claude Bernard pada tahun 1857. Pada tahun 1942, Warburg dan Christian meletakkan prinsip pengukuran protein dan asam nukleat menggunakan spektrofotometer. Prinsip ini sangat membantu di dalam pengukuran residu pengotor glikogen terekstrak. Pada tahun 1994, Nicoletti dan Baiocchi mempatenkan metode ekstraksi glikogen dengan prosedur penurunan residu nitrogen menggunakan resin kationik. Bennett et al. (2007) menegaskan bahwa pengukuran kadar glukosa di dalam glikogen dengan fenol-sulfat (fesul) adalah metode terbaik. Syaputra et al. (2007) melaporkan bahwa temilok (Bactronophorus sp.) merupakan spesies kerang pengebor kayu dengan kadar karbohidrat sekitar 17%. Bartram et al. (2009) melaporkan bahwa pemanfaatan glikogen sebagai bahan pembantu dalam presipitasi DNA harus memperhitungkan residu asam nukleatnya. Roadmap penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Ekstraksi glikogen dari liver anjing dengan metode alkali panas ( Bernard 1857) Rendemen daging dan analisis proksimat Bactronophorus sp. (Syaputra et al. 2007) Metode presipitasi asam nukleat dengan visible carrier (McCormick 2009) Prinsip pengukuran protein dan asam nukleat dengan spektrofotometer (Warburg & Christian 1942) Pemurnian ekstrak glikogen Mytilus gallus Provincialis dengan resin kationik (Nicoletti & Baiocchi 1994) Kadar glukosa di dalam glikogen (Bennett et al. 2007) Analisis asam lemak dan asam amino Bactronophorus thoracites (Leiwakabessy 2011) Residu nukleat di dalam glikogen biology molecular grade sebagai carrier presipitasi DNA (Bartram 2009) Gambar 1 Roadmap penelitian. Optimasi ekstraksi glikogen dari Bactronophorus thoracites dengan metode Nicoletti dan Baiocchi 4 1.2 Perumusan Masalah Glikogen merupakan salah satu bahan ko-presipitan DNA yang dapat meningkatkan laju presipitasi low copy number DNA. Glikogen yang beredar di pasaran sebagian besar adalah produk impor dan masih menggunakan kerang sumber protein seperti remis dan tiram sebagai bahan baku sehingga harganya masih relatif mahal yaitu sekitar US$ 179 per mL. Temilok adalah salah satu jenis kerang air payau dengan kadar karbohidrat yang relatif tinggi sehingga sangat potensial sebagai bahan baku penghasil glikogen. Komposisi kimia bahan baku yang berbeda sangat mempengaruhi karakteristik glikogen hasil ekstraksi, sehingga uji proksimat terhadap temilok perlu dilakukan. Ekstraksi glikogen dengan alkali panas dapat menurunkan kadar pengotor glikogen yaitu residu nitrogen, namun juga dapat mendegradasi glikogen sehingga dapat menurunkan rendemen glikogen terekstrak. Residu nitrogen dari glikogen terekstrak dapat dikurangi dengan penambahan sejumlah resin kationik. Efektivitas resin kationik dalam menurunkan residu asam nukleat dari larutan ekstrak glikogen temilok selama pengadukan belum pernah dilaporkan. Residu nitrogen di dalam glikogen terekstrak, baik dalam bentuk protein maupun asam nukleat, dapat menurunkan kapasitas glikogen sebagai ko-presipitan DNA. Kapasitas dan kinerja glikogen temilok dengan residu nitrogen tertentu sebagai ko-presipitan DNA berukuran nanogram atau picogram yang diekstrak dari tulang manusia belum pernah dilaporkan sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menentukan : 1) Konsentrasi KOH (%) yang optimal untuk menghasilkan ekstrak glikogen temilok dengan residu nitrogen yang rendah. 2) Lama pengadukan (jam) dan persentase resin kationik Amberlite IR-120 Na (g resin per 100 g temilok) yang optimal untuk menghasilkan ekstrak glikogen temilok dengan residu asam nukleat paling rendah. 3) Konsentrasi DNA femur (ng/µL) yang terpresipitasi setelah larutan ekstrak glikogen ditambahkan sebagai ko-presipitan dalam media etanol. 5 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar bagi optimalisasi ekstraksi glikogen temilok dengan metode alkali panas. Pemanfaatan temilok sebagai bahan baku alternatif sumber glikogen dapat menggantikan penggunaan remis dan tiram yang lebih populer sebagai bahan pangan. Glikogen yang dihasilkan diharapkan mengandung residu pengotor yang sangat rendah, sehingga dapat diaplikasikan sebagai ko-presipitan DNA yang pada saat ini harganya masih relatif mahal, yaitu sekitar US$ 179 per mL. 1.5 Hipotesis 1) Konsentrasi KOH mempengaruhi residu nitrogen ekstrak glikogen. 2) Lama pengadukan dan persentase resin kationik mempengaruhi rendemen glikogen terekstrak dan residu asam nukleatnya. 3) Penambahan glikogen temilok sebagai ko-presipitan mempengaruhi jumlah DNA femur yang terpresipitasi. 6 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Temilok Temilok merupakan kerang pengebor kayu dari genus Bactronophorus yang memanfaatkan fragmen kayu sebagai sumber makanan pokoknya (Allan 1962). Sebagian besar jenis kerang ini hidup di dalam kayu mati (Olsson 1961). Identifikasi kerang famili Teredinidae berdasarkan bentuk cangkang ekor yang disebut pallet. Pallet adalah sepasang tulang pipih yang tersusun dari kapur dan khitin dan senantiasa melindungi bagian siphon, serta digunakan untuk menutup terowongan kayu yang dibuatnya (Olsson 1961). Klasifikasi temilok menurut Allan (1962) adalah sebagai berikut: phylum : Molluska class : Bivalvia ordo : Myoida family : Teredinidae genus : Bactronophorus species : Bactronophorus thoracites Gould. Anggota famili teredinidae yang termasuk genus Bactronophorus apabila memiliki pallet berbentuk engrang atau jangkungan (stilt), siphon yang pendek, panjang cangkang kepala kurang lebih 1,85 cm, dan panjang total pallet dapat mencapai kurang lebih 5 cm (Allan 1962). Bentuk fisik temilok dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Bentuk fisik Bactronophorus thoracites (Leiwakabessy 2011). Bagian mantel kerang ini mensekresikan sejenis kapur yang berguna untuk melapisi dinding bagian dalam terowongan kayu buatannya (Olsson 1961). 8 Lapisan kapur tersebut tetap menempel pada dinding kayu meskipun kerang ini ditarik keluar. Kerang ini dapat berputar dan melakukan kontraksi di dalam terowongan buatannya serta dapat menutup mulut terowongan buatannya menggunakan kedua palletnya dengan terlebih dulu menarik kedua siphonnya ke dalam sehingga dapat bertahan hidup di dalam dinding kapal kayu selama berminggu-minggu di dalam air tawar (Kaestner 1967). Terowongan kayu akan bertambah panjang seiring dengan pertumbuhan kerang yang hidup di dalamnya. Kerang ini mampu menggali terowongan sepanjang 18 cm hingga 2 m (Morton 1978). Usia harapan hidupnya antara satu hingga beberapa tahun bergantung pada jenisnya (Waterbury et al. 1983). Kerang-kerangan dari famili teredinidae merupakan kerang spesialis pelobang kayu. Palvast dan Velde (2011) melaporkan bahwa dalam tahun pertama kehidupannya di dermaga yang rentang salinitas perairannya cukup lebar, kerang pengebor kayu (teredinidae) mengkonsumsi 12,4% panel kayu. Rata-rata pertambahan panjang per hari kerang ini dapat mencapai 1,5 mm. Cragg et al. (2009) melaporkan bahwa kerang ini menjadikan kayu sebagai makanan sekaligus terowongan tempat tinggal dengan mengebor. Apabila perairan hanya menyediakan sedikit plankton maka siphon kerang ini akan membuka lebih lebar. Larva kerang ini juga memperoleh makanan lewat mekanisme matrotrophy dimana induk menyediakan partikel kayu yang sudah dihancurkan sebagai bahan makanan bagi larva. Kerang-kerangan umumnya menyimpan hasil pencernaannya dalam bentuk glikogen dan lemak. Kerang-kerangan famili teredinidae mencerna kayu di dalam lambung dengan suatu kelenjar pencernaan. Enzim pencernaannya atau enzim dari simbion bakteri dapat menghancurkan 80% selulosa dan 15-56% hemiselulosa menjadi gula, serta hanya sekitar 21% selulosa dan 55% lignin yang dapat diperoleh kembali dari kotorannya. Asam-asam amino hampir tidak ditemukan di dalam kayu, oleh karena itu keluarga kerang ini memanfaatkan plankton sebagai sumber protein (Purchon 1968). Syaputra (2007) melaporkan bahwa temilok hidup dalam kayu di hutan bakau di sebelah utara Kabupaten Bangka yang ditumbuhi oleh Rhizophora apiculata. 9 Kerang-kerangan anggota famili teredinidae adalah contoh yang paling umum dari hewan hermaprodit protandri. Kondisi saat perkembangan testis dipercepat dan perkembangan ovarium melambat atau menjadi terbelakang merupakan ciri hewan hermaprodit yang bersifat protandri. Fase muda dari organisme menjalankan fungsi sebagai organisme jantan, dan ketika menuju tahap akhir kedewasaan menjadi betina. Pada kondisi seperti ini, semua individu yang selamat hingga dewasa pertama kali harus melalui fase sebagai individu jantan dan kemudian harus memasuki fase sebagai individu betina (Purchon 1968). 2.2 Glikogen Sintesis glikogen pada hewan sebenarnya terjadi pada semua jaringan, terutama pada otot hati dan kerangka. Tahap awal sintesis glikogen dari glukosa bebas adalah reaksi heksokinase, yang melakukan fosforilasi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Reaksi kunci di dalam biosintesis glikogen yaitu pembentukan uridin difosfat glukosa (UDP-glukosa) oleh kerja glukosa 1-fosfat uridiltransferase. Reaksi ini dialihkan menuju ke kanan oleh kerja pirofosfatase, yang menghidrolisis pirofosfat inorganik (PPi) menjadi ortofosfat inorganik (Pi). Uridin difosfat glukosa adalah senyawa antara di dalam pengubahan D-galaktosa menjadi D-glukosa. Uridin difosfat glukosa merupakan donor langsung residu glukosa di dalam pembentukan glikogen enzimatik oleh kerja glikogen sintetase, yang menggiatkan pemindahan residu glukosil dari UDP-glukosa ke ujung nonreduksi molekul glikogen bercabang. Pada reaksi ini, pautan baru α-1,4 dibentuk di antara atom karbon 1 molekul glukosa yang datang dan atom karbon 4 residu glukosa ujung pada cabang glikogen. Keseimbangan keseluruhan rangkaian reaksi ini sangat mendorong sintesis glikogen. Glikogen sintetase memerlukan suatu rantai atau cabang α-1,4 poliglukosa primer dengan sedikitnya 4 residu glukosa yang menambahkan gugus glukosil secara berurutan pada ujung nonreduksi molekul primer (Lehninger 1982). 2.2.1 Glikogen alami Karbohidrat di dalam tubuh hewan dan manusia yang merupakan sumber energi adalah glikogen (Pedjiadi dan Supriyanti 2006). Glikogen merupakan sumber polisakarida utama pada sel hewan, sedangkan pati adalah sumber 10 polisakarida pada sel tanaman. Glikogen merupakan polisakarida bercabang dari D-glukosa dalam ikatan α-1,4 seperti amilopektin, tetapi pada glikogen terdapat lebih banyak percabangan dan strukturnya lebih kompak. Ikatan pada percabangannya adalah α-1,6. Glikogen banyak terdapat di dalam hati (mencapai 7% berat basah), di samping itu juga terdapat pada otot kerangka. Glikogen ditemukan sebagai granula besar-besar di dalam sel hati, yang merupakan kumpulan dari granula yang lebih kecil, bercabang rapat dengan berat molekul rata-rata beberapa juta. Granula glikogen tersebut juga mengandung enzim-enzim yang terikat kuat yang menjalankan sintesis dan degradasi glikogen (Lehninger 1982). Pembentukan glikogen (glikogenesis) dan perombakan glikogen (glikogenolisis) di dalam tubuh hewan dan manusia ditunjukkan pada Gambar 3. Pi ATP glukosa heksokinase fosfatase glukosa-6-P ADP fosfoglukomutase glukosa-1-P Glikogenolisis Glikogenesis UTP PPi UDPG ADP fosforilase sintetase ATP Pi glikogen + UDP Gambar 3 Skema proses glikogenolisis dan glikogenesis. (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Yamaguchi et al. (1974) melaporkan bahwa glikogen yang diekstrak dari yeast yaitu Candida albicans memiliki diameter antara 40–150 nm. Smith et al. (1977) melaporkan pula bahwa ekstrak glikogen dari Saccharomyces memiliki diameter 20–70 mµ. Rantai atau percabangan glukosa dalam molekul glikogen seperti ditunjukkan pada Gambar 4. 11 (a) (b) Gambar 4 (a) Model molekuler glikogen tiram (Matsui et al. 1996). (b) Monomer glukosa dan struktur dasar glikogen (McCormick 2006). Nicoletti dan Baiocchi (1994) melaporkan bahwa kandungan glikogen di dalam jaringan tubuh yang berbeda pada individu yang sama juga berbeda, bahkan di dalam jaringan tubuh yang sama pada spesies yang sama karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti status gizi dan musim. Beberapa glikogen yang berasal dari jenis-jenis hewan berbeda, sejauh ini menunjukkan perbedaan pada derajat percabangan polisakaridanya. Percabangan polisakarida pada glikogen yang diekstrak dari mammalia berbeda nyata dengan invertebrata. Alonso et al. (1995) melaporkan bahwa jumlah glikogenin sebagai protein yang mengawali sintesis glikogen mempengaruhi banyaknya glikogen yang dapat disimpan oleh suatu sel, atau sebagai pembatas tingkat pembentukan glikogen dan merupakan bagian di dalam molekul glikogen. Meezan et al. (1995) melaporkan bahwa glikogenin merupakan proteoglikan, suatu ikatan dengan rantai tepi asam amino serina, bertindak sebagai primer bagi pembentukan polisakarida dimana gula ditambahkan oleh kinerja enzim glikosil transferase. Proteoglikan yang mampu melakukan glukosilasi secara mandiri dan mengkatalis permulaan biosintesis glikogen. Proteoglikan ini juga tahan terhadap perlakuan alkali. 2.2.2 Ekstraksi glikogen Ekstraksi adalah proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan memisahkan satu atau lebih komponen dari bahan sumber komponennya (Khopkar 2003). adalah maserasi. Cara ekstraksi yang paling sering digunakan Prinsip dasar ekstraksi dengan maserasi adalah menarik 12 komponen terlarut pada bahan padat menggunakan suatu pelarut yang disebut solid-liquid extraction (Handa 2008). Bueding dan Orrell (1964) telah membandingkan hasil ekstraksi glikogen dengan alkali panas dan air dingin. Bobot molekul glikogen Ascaris lumbricoides hasil isolasi air dingin 50 kali lebih tinggi daripada dengan alkali panas, residu protein ikutan pada ekstraksi alkali panas 5-10 kali lebih tinggi daripada ekstraksi air dingin. Sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dan waktu yang lama dapat meningkatkan hasil atau perolehan glikogen karena komponen-komponen glikogen berbobot molekul rendah terambil atau terpisah dari supernatannya, sedangkan sentrifugasi yang lambat dan lama akan menyebabkan kehilangan komponen berbobot molekul lebih tinggi. Kerly (1930) melaporkan bahwa ekstraksi glikogen dengan metode alkali panas dapat menurunkan kadar pengotor glikogen yaitu residu nitrogen, namun menurut laporan Orrel dan Buedding (1964) dan Yamaguchi et al. (1974) juga dapat mendegradasi glikogen sehingga dapat menurunkan rendemen ekstrak. Kerly (1930) melaporkan bahwa ekstrak glikogen remis yang diperoleh dari perlakuan tanpa perebusan dalam larutan alkali dengan kadar nitrogen 0,5% dapat melarut sempurna di dalam air pada suhu 20 oC setelah 3-4 hari hingga konsentrasi glikogen sekitar 16%. Sahyun dan Alsberg (1930) melaporkan bahwa glikogen memiliki sifat adesif yang sangat kuat bahkan terhadap permukaan yang licin seperti kaca, serta memiliki warna sedikit coklat (opalescence) dalam bentuk larutan. Pengukuran residu nitrogen di dalam glikogen terekstrak dapat dilakukan dengan metode Kjeldahl. Nicoletti dan Baiocchi (1994) melaporkan karakteristik ekstrak glikogen yang dihasilkan dari Mytilus gallus Provincialis memiliki residu nitrogen 0% diukur dengan metode Kjeldahl (dengan sensitivitas hingga 60 ppm) dan kandungan atom karbon sebesar 44.44 %. Vies (1954) melaporkan bahwa kemurnian glikogen ditentukan setelah dikonversi menjadi glukosa dengan kadar sekitar 90-95%. Bennet et al. (2007) melaporkan bahwa fenol-sulfat sangat efektif dalam menghidrolisis glikogen menjadi glukosa tanpa dipengaruhi oleh ukuran molekul, percabangan, dan 13 sumber bahan baku glikogen sehingga fenol-sulfat digunakan untuk pengujian kadar glukosa di dalam glikogen secara kuantitatif. 2.2.3 Sifat resin kationik (Davis 2010). Pertukaran ion merupakan reaksi yang dapat berbalik (reversible reaction) dimana ion bermuatan dari suatu larutan ditukar oleh ion lain yang sama muatannya yang menempel pada suatu partikel padat yang tidak bergerak (immobile solid particle). 1) Kapasitas pertukaran Kapasitas pertukaran adalah banyaknya ion-ion pembalas (counter ions) yang dapat ditukar pada resin, dinyatakan sebagai miliequivalen per gram (meq/g) resin kering (3,6-5,5 meq/g) atau resin basah (1,8-2,0 meq CaCO3/mL). 2) Selektivitas Resin penukar ion memiliki afinitas atau variabel kecenderungan terhadap ion-ion tertentu di dalam larutan. Kecenderungan ini disebut juga selektivitas yang dinyatakan secara kuantitatif dengan koefisien selektivitas bagi kation atau konstanta keseimbangan nyata. Jika nilai koefisien selektivitas (K) semakin besar maka semakin besar pula kecenderungan ion tersebut dengan resin. Faktor keterpisahan (separation factor) atau αi lebih sering digunakan daripada koefisien selektivitas di dalam evaluasi rancangan proses, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Matriks resin adalah polistirena divinilbenzena (DVB) dengan gugus fungsional yaitu sulfonat diaplikasikan di dalam 0,005-0,010 N larutan CaCO3 dengan nilai total dissolved solid (TDS) sebesar 250-500 mg/L. 3) Ukuran partikel Ukuran partikel memiliki 2 pengaruh dalam proses tukar ion. Tingkat atau laju tukar ion akan menurun dengan meningkatnya ukuran partikel. Kebalikannya, penurunan ukuran resin meningkatkan hilangnya resin di dasar wadah karena tekanan yang merusak struktur bangun (fisik) resin, sehingga besarnya tekanan hidrolik yang dikenakan di dalam proses yang melibatkan resin sangat menentukan pilihan ukuran partikel resin. Diameter resin yang umumnya berbentuk bulat berkisar antara 0,04 hingga 1,00 mm. 14 Tabel 1 Nilai faktor keterpisahan (separation factor) [αi ] beberapa kation Resin kation asam kuat Kation, i Ra2+ Ba2+ Pb2+ Sr2+ Cu2+ Ca2+ Zn2+ Fe2+ Mg2+ K+ Mn2+ NH4+ Na+ H+ αi/Na+ 13,0 5,8 5,0 4,8 2,6 1,9 1,8 1,7 1,67 1,67 1,6 1,3 1,0 0,67 4) Stabilitas struktural dan umur kerja Aliran larutan bertekanan tinggi dapat menyebabkan himpitan bahkan kerusakan pada bangun resin sehingga menurunkan umur kerjanya. Penurunan integritas struktural dan unjuk kerja resin dapat pula disebabkan oleh pembengkakan, pecah karena tertusuk, atau abrasi karena pencucian yang berlebihan. Klorinasi terhadap resin DVB tersulfonasi asam kuat menyebabkan resin teroksidasi yang dapat menurunkan umur kerjanya. Konsentrasi besi dan mangan yang berlebihan di dalam air, jika teroksidasi, akan membentuk presipitat yang dapat membuat resin saling menempel dan melekat satu sama lain sehingga kadar besi, mangan, atau kombinasi keduanya tidak boleh lebih dari 0,3 mg/L air. Turbiditas air yang digunakan bagi resin kationik sebaiknya tidak lebih dari 5 NTU (nephelometric turbidity unit). Turbiditas menyatakan banyaknya partikelpartikel bahan tersuspensi seperti tanah, plankton, dan bahan organik. Turbiditas lebih dari 5 NTU dapat dengan mudah diamati dalam segelas air yang biasanya digunakan sebagai alasan estetika. Resin penukar kation asam kuat bukan mengarah kepada kekuatan fisiknya namun lebih kepada pengertian yang berlandaskan kepada teori Arrhenius tentang kekuatan elektrolit, yaitu gugus fungsional dari resin terdisosiasi secara sempurna dalam bentuk ionnya pada semua kondisi pH. Gugus 15 fungsional pada resin penukar ion umumnya terdiri dari 4 kategori yaitu strongly acidic (contohnya –SO3- atau sulfonat), weakly acidic (contohnya –COO- atau karboksilat), strongly basic (contohnya –N+(CH3)3), dan weakly basic (contohnya –N(CH3)2). Karakteristik resin kationik Amberlite IR-120 Na disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik resin kationik Amberlite IR-120 Na Parameter Bentuk fisik Matriks Gugus fungsional Bentuk ion Kapasitas pertukaran ion total Kapasitas penahan kelembaban Massa jenis Diameter partikel Suhu operasi maksimum Kisaran pH operasi Keterangan Butiran berbentuk bulat kecil Polistirena divinilbenzena Sulfonat Na+ >2,00 eq/L 45-50% 840 g/L 0,6-0,8 mm 135 oC 0-14 Sumber : Product Data Sheet www.amberlite.com 2.3 Konsep Spektrophotometri Asam Nukleat Sifat dan perilaku basa purin dan pirimidin dari suatu asam nukleat yang terdenaturasi digunakan sebagai dasar dalam pelacakan asam nukleat. Protein juga menyerap sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 260 nm meskipun pada tingkat yang rendah tergantung pada kandungan asam amino aromatik fenilalanina (Phe), triptofan (Trp) dan tirosina (Tyr). Trp dan Tyr mampu menyerap sinar 280 nm secara maksimum (Adams et al. 1986). 2.3.1 Konsep pengukuran RNA-DNA Perlakuan suhu atau pH ekstrim terhadap suatu molekul DNA beruntai ganda akan memutus ikatan-ikatan hidrogen di dalam struktur double helix-nya sehingga menjadi suatu kumparan-kumparan yang acak. Suhu ekstrim yang menyebabkan pemutusan ikatan-ikatan hidrogen di dalam molekul DNA disebut suhu transisi atau melting temperature. dimana komponen basa dari Hyperchromic effect adalah keadaan polinukleotida hasil denaturasi asam deoksiribonukleat menyerap sinar secara maksimum pada panjang gelombang 260 nm. Denaturasi asam deoksiribonukleat umumnya mulai terjadi saat pemanasan mencapai suhu 95 oC, yang umumnya memiliki nilai absorbansi lebih 16 dari 1,2 terhadap sinar ultraviolet pada panjang gelombang 260 nm (Adams et al. 1986). Bartram et al. (2009) melaporkan bahwa penyinaran larutan glikogen dengan ultraviolet selama 30 menit sebelum digunakan bertujuan menghancurkan kontaminan berupa asam nukleat. Warburg dan Christian (1942) menyajikan tiga prinsip dasar untuk pengukuran RNA-DNA, yaitu : 1) Asam nukleat kuat menyerap sinar pada 260 nm, 2) Protein menyerap sinar pada 280 nm, dan 3) Asam nukleat atau protein menyerap sinar pada 320 nm Rasio spesifik dari nilai absorbansi yang ditentukan dari tiga prinsip di atas dapat digunakan untuk menentukan kemurnian dan jenis asam nukleat dalam sampel. Rumusan yang digunakan untuk mengukur asam nukleat ialah asam nukleat atau pun protein menyerap sinar pada 320 nm, oleh karena itu panjang gelombang ini digunakan untuk memperbaiki pembacaan yang didapat pada 260 nm dan 280 nm. Nilai absorbansi sampel pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm masingmasing dikoreksi dengan nilai absorbansi pada panjang gelombang 320 nm. 2.3.2 Penghitungan kadar asam nukleat Persamaan yang digunakan untuk menghitung kadar asam nukleat adalah sebagai berikut (Adams et al. 1986) : Kadar asam nukleat (mg/mL) = (0,064 x A260 nm) - (0,031 x A280 nm) Warburg dan Christian (1942) melaporkan bahwa nilai absorbansi 1,0 pada 260 nm dengan koreksi latar pada 320 nm, setara dengan 50 µg/mL DNA, 40 µg/mL RNA atau DNA beruntai tunggal, atau 33 µg/mL oligonukleotida sintetik. Jika suatu sampel DNA memiliki absorbansi 0,345 pada 260 nm, maka konsentrasi DNA adalah 17,25 µg/mL, perhitungannya : 0,345 x 50 = 17,25. 2.4 Glikogen sebagai Ko-presipitan Low Copy Number DNA Presipitasi DNA umumnya dilakukan setelah larutan ekstrak DNA ditambah dengan garam monovalen kationik yaitu sodium asetat, amonium asetat, sodium klorida atau lithium klorida diikuti dengan penambahan sejumlah tertentu etanol atau isopropanol lalu diinkubasi pada suhu rendah hingga asam nukleat terpresipitasi. Menurut McCormick (2009), untuk meningkatkan efisiensi 17 presipitasi DNA dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 1 µg maka perlu ditambahkan suatu molekul ko-presipitan, karena selain dapat meningkatkan laju presipitasi, ko-presipitan yang ditambahkan dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan asam nukleat dari larutannya. Glikogen dan transfer ribonucleic acid (tRNA) adalah contoh ko-presipitan yang paling sering digunakan. Glikogen sebagai ko-presipitan dalam presipitasi DNA yang baik karena memiliki sifat kelarutan dan presipitasi yang mirip dengan DNA. Hal ini karena kerangka utama penyusun asam nukleat adalah ribosa atau deoksiribosa yang dihubungkan oleh ikatan phosphodiester sehingga asam nukleat maupun glikogen larut di dalam air dan terpresipitasi ketika konstanta dielektrik diturunkan dengan penambahan alkohol. Glikogen sangat baik sebagai ko-presipitan karena bermuatan netral dan tidak menghambat reaksi enzimatis pada asam nukleat, sedangkan tRNA dapat mempengaruhi beberapa reaksi enzimatis seperti dengan kinase. Gill (2001) melaporkan bahwa pembuatan profil low copy number DNA adalah suatu teknik yang cukup sensitif untuk menganalisis sel yang sangat sedikit. Analisis low copy number DNA dari sampel tulang tidak dilakukan tanpa terlebih dulu membuang lapisan paling luarnya dengan metode fisikawi untuk memperkecil kemungkinan kontaminasi pada DNA dari sumber lain. Sampel helai rambut harus dicuci dengan larutan detergen untuk membuang DNA yang tidak diinginkan. Ekstraksi DNA dan Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan di laboratorium khusus, yaitu ruang amplifikasi PCR terpisah dari ruangan lainnya di laboratorium untuk memperkecil kemungkinan kontaminasi. Kontaminasi juga dapat diupayakan dengan memastikan setiap personil laboratorium menggunakan jas laboratorium, dan masker serta sarung tangan sekali pakai. Meja kerja dan peralatan juga harus sering dibersihkan dengan alkohol 70% (bleach alcohol) dan disinari sinar ultraviolet. Kontrol negatif digunakan pada setiap uji untuk memastikan tidak ada kontaminasi. 18 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2011 hingga Januari 2012. Temilok diperoleh dari hutan mangrove Dusun Tanjung Batu, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Uji proksimat dilakukan di laboratorium Analisis dan Kalibrasi Balai Besar Industri Agro, Bogor. Proses ekstraksi glikogen dilakukan di laboratorium Biokimia I, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Karakterisasi glikogen terekstrak dilakukan di laboratorium Proling Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB. Proses ekstraksi, presipitasi, dan kuantitasi DNA dilakukan di laboratorium DNA, Pusat Kedokteran dan Kesehatan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta Timur. 3.2 Alat dan Bahan Alat- alat yang digunakan dalam peneltian ini meliputi alat-alat dalam uji proksimat, alat-alat untuk ekstraksi glikogen metode alkali panas dan karakterisasi glikogen metode fenol-sulfat yang meliputi gelas kimia, gelas ukur, pipet volumetrik, labu ukur, tabung erlenmeyer, timbangan digital Sartorius TE 502S, thermometer, magnetic stirrer Yamato Mag Mixer MD-41, desikator vakum gel silika, spektrofotometer Shimadzu UV-1800 ENG 240V, serta alat-alat untuk ekstraksi, presipitasi dan kuantitasi DNA seperti laminary flow cabinet, biological safety cabinet 1.2 Top Safe, freezer U725 Innova-New Brunswick Scientific, tabung microlit, sentrifugasi 200-R, vortex Model VM-100 Digisystem, shaker waterbath Memmert, Real-Time Polymerase Chain Reaction (PCR) Applied Biosystems 7500. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi temilok yang diambil pada bulan Maret 2011, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk uji proksimat, akuades (dH2O), akuabides (ddH2O), KOH padat, etanol 96%, asam asetat glasial, resin kationik Amberlite IR-120 dengan gugus aktif Na+, fenol 5%, asam sulfat pekat 95-97%, glukosa standar, serbuk tulang paha manusia (serbuk femur), proteinase-K 20 mg/ml, sodium asetat 3 M, phenol chloroform isoamyl alcohol (PCIA) pH 6,6, DL dithiothreitol (DTT), bufer TENS (yang 20 terdiri dari campuran Tris-HCl 2 M pH 8, EDTA 0,5 M, NaCl, Sodium Dodecyl Sulphates[SDS], ddH2O), bufer TE pH 8, etanol absolut, Quantifiler Human DNA Standard, Human Primer Mix, PCR Reaction Mix. 3.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi karakterisasi bahan baku dengan metode analisis proksimat, optimasi ekstraksi dan karakterisasi glikogen hasil ekstraksi. Penelitian utama meliputi proses ekstraksi, presipitasi dan kuantitasi DNA femur hasil presipitasi dengan penambahan larutan ekstrak glikogen temilok. Tahapan penelitian tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 5. Tahapan penelitian 1. Karakterisasi bahan baku 2. Optimasi ekstraksi dan karakterisasi glikogen terekstrak Keluaran Hasil proksimat meliputi kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat temilok (%) 1. Konsentrasi KOH, konsentrasi resin kationik, dan lama pengadukan 2. Kadar glukosa di dalam glikogen terekstrak (%) 3. Rendemen glikogen terekstrak (%) 4. Residu nitrogen di dalam glikogen terekstrak (ppm) 5. Residu asam nukleat di dalam glikogen terekstrak (mg/mL) 3. Ekstraksi DNA femur Larutan DNA 4. Presipitasi DNA dengan/tanpa penambahan glikogen Pellet DNA femur 5. Kuantitasi DNA Konsentrasi DNA yang terpresipitasi (ng/µL) dengan penambahan larutan glikogen terekstrak dan tanpa penambahan larutan glikogen Gambar 5 Skema tahapan penelitian. 21 3.3.1 Karakteristik proksimat temilok (Metode SNI.01-2891-1992) Kadar proksimat yang diuji meliputi air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat (by difference). Glikogen adalah salah satu jenis karbohidrat, yaitu polisakarida yang terdiri dari unit terkecil (monosakarida) yaitu glukosa, oleh karena itu kadar karbohidrat yang dihitung dari hasil uji proksimat suatu bahan dapat dijadikan sebagai petunjuk awal kandungan glikogen di dalam bahan tersebut. 3.3.2 Optimasi ekstraksi glikogen temilok (modifikasi Metode Nicoletti dan Baiocchi 1994) Ekstraksi glikogen temilok dilakukan dengan melakukan modifikasi proses ekstraksi glikogen metode Nicoletti dan Baiocchi. Optimasi proses yang dilakukan meliputi penentuan konsentrasi KOH (%), persentase resin kationik (%) yang digunakan, dan lama pengadukan (jam). Optimasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan glikogen terekstrak dengan residu nitrogen dan asam nukleat yang terendah. Modifikasi proses yang dilakukan adalah konsentrasi etanol untuk mempresipitasi glikogen, suhu dan lama pengeringan presipitat glikogen kasar, serta volume pelarut (akuades) yang ditambahkan setelah pengeringan awal. Prosedur ekstraksi glikogen yang telah dimodifikasi dari metode Nicoletti dan Baiocchi yaitu 100 g temilok tanpa cangkang dan pallet direbus hingga suhu 100 oC dengan larutan KOH. Konsentrasi KOH optimal ditentukan dengan perlakuan konsentrasi KOH 20%, 30%, dan 40%, setelah suhu 100 oC tercapai perebusan dihentikan dan larutan dibiarkan hingga suhu 32 oC kemudian ke dalam larutan tersebut ditambahkan 150 mL etanol 96%. Presipitat yang terbentuk kemudian disaring dengan kertas saring lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 oC selama 21 jam. Presipitat hasil pengeringan kemudian dilarutkan dengan penambahan 150 mL akuades lalu pH larutan tersebut dinetralkan dengan penambahan beberapa mL asam asetat glasial. Larutan disaring dengan kertas saring lalu ditambah dengan 6% resin kationik (persen bobot resin kationik terhadap 100 g bahan baku), diaduk dengan magnetic stirrer selama 24 jam pada suhu ruang. Larutan hasil penyaringan ditambah dengan etanol 96% dengan perbandingan volume 1:1 hingga terbentuk presipitat. Presipitat diambil dengan penyaringan menggunakan kertas saring. Presipitat yang diperoleh kemudian 22 dikeringkan di dalam desikator vakum gel silika hingga diperoleh bobot tetap. Presipitat yang diperoleh kemudian ditimbang. Perbandingan antara bobot presipitat setelah pengeringan dan bobot awal bahan baku dihitung sebagai rendemen ekstrak glikogen temilok. Interaksi persentase resin kationik dan lama pengadukan yang optimal ditentukan setelah konsentrasi KOH optimal diperoleh, yaitu dengan percobaan konsentrasi resin kationik 9% dan 12% dengan lama pengadukan 8, 16, dan 24 jam. Resin kationik dipisahkan dari larutan dengan penyaringan menggunakan kertas saring. Prosedur optimasi ekstrasi glikogen temilok secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 6. 3.3.3 Karakterisasi ekstrak glikogen (Bennett et al. 2007) Karakterisasi ekstrak glikogen dilakukan untuk memastikan produk hasil ekstraksi adalah glikogen. Karakterisasi suatu bahan dapat dilakukan secara fisika, atau kimia, baik kualitatif maupun kuantitatif. Bennet et al. (2007) melaporkan bahwa sampel glikogen dikarakterisasi secara kimia dengan pereaksi fenol-sulfat (fesul), lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm untuk mengetahui konsentrasi glukosa di dalam glikogen. Penghitungan konsentrasi glukosa di dalam glikogen dilakukan dengan terlebih dahulu membuat persamaan kurva standar dengan cara mereaksikan glukosa standar pada beberapa tingkat konsentrasi yang ditentukan dengan pereaksi fesul, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan regresi dari hubungan antara konsentrasi glukosa standar dan nilai absorbansinya setelah direaksikan dengan pereaksi fesul dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi glukosa di dalam glikogen. Asam sulfat dapat menghidrolisis glikogen secara sempurna meskipun sumber bahan baku tidak sama, sehingga glikogen yang terhidrolisis juga sangat stabil hingga jam ke-24. Metode ini memiliki limit of detection (LOD) hingga konsentrasi glikogen sebesar 4,29 ppm, dan limit of quantification (LOQ) hingga konsentrasi glikogen sebesar 7,16 ppm. 23 100 g Temilok Perebusan dengan larutan KOH dengan rasio 1:1 (b/v) hingga mencapai suhu 100 oC KOH 30% selama 1 jam biarkan pada suhu kamar hingga dingin Penurunan suhu larutan hingga suhu 32 oC KOH 20%, 30%, dan 40%, Penambahan 150 ml etanol 96% pada suhu ruang Penyaringan Pengeringan residu dalam oven pada suhu 50 oC selama 21 jam Penambahan 150 mL akuades Penetralan pH larutan dengan asam asetat glasial Penyaringan Pengadukan dengan penambahan resin kationik Amberlite IR-120 pada suhu ruang Resin kationik 9% dan 12% dengan lama pengadukan 8, 16, dan 24 jam Penyaringan Penambahan etanol 96% 1:1 (v/v) pada suhu ruang Penyaringan Pengeringan residu dengan desikator vakum Glikogen Gambar 6 Prosedur optimasi ekstraksi glikogen temilok. 24 3.3.4 Aplikasi glikogen sebagai ko-presipitan DNA (Lennard et al. 2007) Proses ekstraksi DNA femur dilakukan dengan menyiapkan bufer ekstraksi (campuran 50 µL Proteinase K 20 mg/mL, 1 mL bufer TENS, dan 6 mg DTT solid) lalu dikocok perlahan dengan inversi selama 5 detik. Sampel serbuk femur sebanyak 0,2 g ditimbang di dalam safe lock tube steril berukuran 2 mL, kemudian 1.000 µL larutan buffer ekstraksi ditambahkan ke dalam tiap tube yang berisi sampel serbuk femur, dan satu tube tanpa serbuk femur (sebagai blanko ekstraksi). Campuran yang dihasilkan kemudian divortex selama 10 detik dan sampel diinkubasi pada suhu 56 oC selama 20 jam dalam shaking water bath. Sampel disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 5 menit hingga serbuk femur mengendap, lalu supernatan dipindahkan ke dalam safe lock tube steril berukuran 2 mL yang baru. Larutan PCIA sebanyak 800 µL ditambahkan ke dalam supernatan lalu dikocok dengan inversi selama 10 menit, dan disentrifugasi pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan (bagian bening paling atas) diambil dari dalam tube dengan pipet volumetrik 200 µL. Langkah dari penambahan larutan PCIA hingga pengambilan supernatan hasil sentrifugasi diulang sebanyak 2 kali. Presipitasi DNA femur hasil ekstraksi dilakukan dengan menambahkan 40 µL sodium asetat 3 M (pH 5,2) dan 20 µL larutan glikogen (20 µg glikogen dalam ddH2O hingga 1 µL) ke dalam 800 µL larutan DNA femur. Analisis dilakukan 3 kali ulangan untuk sampel glikogen dan larutan blanko (tanpa glikogen). Larutan glikogen disinari dengan ultraviolet selama 30 menit sebelum dicampur dengan larutan sodium asetat dan larutan DNA. Hal ini dilakukan untuk menghancurkan kontaminan berupa asam nukleat. Larutan campuran di atas lalu ditambah dengan 1100 µL etanol absolut dingin, dikocok dengan inversi selama 5 menit. Larutan diinkubasi di dalam freezer pada suhu -80 oC selama 40 menit, kemudian disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 oC. Supernatan yang terbentuk dipisahkan sedangkan bagian pelet diambil lalu dikeringkan di dalam laminar flow cabinet pada suhu ruangan selama 20 menit. Bufer TE sebanyak 50 µL ditambahkan sambil diaduk dengan pipet, kemudian sampel divortex selama 3 detik. Sampel hasil ekstraksi disimpan pada suhu 4 oC sebagai stok untuk tahap kuantitasi dengan RT-PCR. 25 3.4 Metode Analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi proksimat bahan baku, rendemen glikogen terekstrak, residu nitrogen di dalam glikogen terekstrak, residu asam nukleat di dalam glikogen terekstrak, dan kapasitas glikogen terekstrak sebagai ko-presipitan DNA dengan menghitung kuantitas DNA yang terpresipitasi menggunakan RT-PCR. Pengujian proksimat dilakukan secara duplo, sedangkan pengujian rendemen, residu nitrogen, residu asam nukleat dan kuantitas DNA hasil presipitasi dilakukan dengan 3 kali ulangan. 3.4.1 Analisis proksimat (Metode SNI.01-2891-1992) a) Kadar air Sampel sebanyak 1–2 g ditimbang dengan seksama pada sebuah botol timbang bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Botol yang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kuarsa/ kertas saring berlipat ditimbang untuk sampel berupa cairan. Sampel dikeringkan pada oven suhu 105 oC selama 3 jam, didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang. Pekerjaan ini diulangi hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan : Kadar air = x 100% Keterangan : W adalah bobot sampel sebelum dikeringkan, dalam gram. W1 adalah kehilangan bobot setelah dikeringkan, dalam gram. b) Kadar abu Sampel sebanyak 2-3 g ditimbang dengan seksama dalam sebuah cawan porselen (atau platina) yang telah diketahui bobotnya, untuk sampel cairan diuapkan di atas penangas air sampai kering lalu diarangkan di atas nyala pembakar. Pengabuan dilakukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 oC sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka sedikit, agar oksigen bisa masuk), selanjutnya didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang sampai bobot tetap. Perhitungan : Kadar abu = x 100% 26 Keterangan : W adalah bobot sampel sebelum diabukan, dalam gram. W1 adalah bobot sampel + cawan sesudah diabukan, dalam gram. W2 adalah bobot cawan kosong, dalam gram. c) Kadar protein Sampel sebanyak 0,51 g ditimbang seksama dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL, lalu ditambah dengan 2 g campuran selen (campuran 2,5 g serbuk SeO2, 100 g K2SO4 dan 30 g CuSO4.5H2O) dan 25 mL H2SO4 pekat. Larutan dipanaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam). Larutan tersebut dibiarkan dingin, kemudian diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, lalu ditepatkan sampai tanda garis. Larutan tersebut dipipet sebanyak 5 mL kemudian dimasukkan ke dalam alat penyuling tambahkan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP untuk kemudian disulingkan selama lebih kurang 10 menit. Sebanyak 10 mL larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator digunakan sebagai penampung. Ujung pendingin dibilas dengan air suling. Penitaran dilakukan dengan larutan HCl 0,01 N, lalu penetapan blanko dikerjakan. Perhitungan : Kadar protein = Keterangan : W adalah bobot sampel. V1 adalah volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran sampel. V2 adalah volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko. N adalah normalitas HCl. fk adalah protein dari makanan secara umum 6,25. fp adalah faktor pengenceran. d) Kadar lemak Sampel sebanyak 1–2 g ditimbang dengan seksama dalam gelas piala. Tiga puluh mL HCl 25% dan 20 mL air serta beberapa butir batu didih lalu ditambahkan. Gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dididihkan selama 15 menit, lalu disaring dalam keadaan panas dan dicuci dengan air panas sehingga 27 tidak bereaksi dengan asam lagi. Kertas saring berikut isinya dikeringkan pada suhu 100–105 oC lalu dimasukkan ke dalam kertas saring pembungkus (paper thimble) dan diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya 2-3 jam pada suhu lebih kurang 80 oC. Larutan heksana atau pelarut lemak lainnya disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan pada suhu 100–105 oC lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan ini diulangi hingga tercapai bobot tetap. Perhitungan : Kadar lemak = x 100% Keterangan : W adalah bobot sampel, dalam gram. W1 adalah bobot labu lemak sesudah ekstraksi, dalam gram. W2 adalah bobot labu lemak sebelum ekstraksi, dalam gram. e) Kadar karbohidrat Kadar karbohidrat dihitung by difference berdasarkan hasil pengurangan 100% dengan total persentase kadar air, abu, protein, dan lemak. 3.4.2 Analisis rendemen glikogen terekstrak (AOAC 1995) Sampel glikogen terekstrak yang telah dikeringkan di dalam desikator vakum gel silika ditimbang hingga dicapai bobot tetap. Bobot sampel tersebut dibandingkan dengan bobot bahan baku awal, keduanya dengan satuan gram. Perhitungan : Rendemen = 3.4.3 x 100% Analisis residu nitrogen (Winarno 2002) Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL, lalu tambahkan 10 mL H2SO4 pekat. Sampel kemudian didestruksi selama 60 menit sampai cairan berwarna hijau jernih lalu dibiarkan hingga dingin. Larutan tersebut kemudian ditambah dengan 35 mL air suling dan 10 mL NaOH pekat sampai warna coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0,1013 N (A). Larutan blanko dianalisis seperti sampel (B). Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus : 28 %N= x 100% 3.4.4 Analisis kadar glukosa di dalam glikogen (Bennett et al. 2007) Sampel ekstrak glikogen ditimbang sebanyak 8 mg lalu dilarutkan ke dalam akuades hingga volume larutan menjadi 10 ml. Konsentrasi larutan glikogen yang terbentuk adalah 800 ppm. Sebanyak 0,5 ml dari larutan tersebut ditambahkan 1 ml larutan fenol dengan konsentrasi 5% lalu divortex selama 10 detik, kemudian ditambah dengan 5 ml larutan H2SO4 pekat dan divortex lagi selama 15 detik. Larutan tersebut diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Absorbansi larutan diukur dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Kurva standar untuk menghitung kadar glukosa di dalam glikogen terekstrak dibuat dengan melarutkan glukosa menjadi 5 konsentrasi berbeda yaitu 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm. Sebanyak 0,5 ml dari setiap konsentrasi tersebut ditambah 1 ml larutan fenol dengan konsentrasi 5% lalu divortex selama 10 detik, kemudian ditambah dengan 5 ml larutan H2SO4 pekat dan divortex lagi selama 15 detik. Larutan tersebut diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Absorbansi larutan diukur dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Hubungan antara konsentrasi (x) dan absorbansi (y) disajikan dalam bentuk persamaan regresi linear. 3.4.5 Analisis residu asam nukleat (Adams et al. 1986) Ekstrak glikogen yang telah dikeringkan di dalam desikator vakum gel silika kemudian ditimbang untuk mengukur rendemennya. Ekstrak glikogen tersebut lalu dilarutkan di dalam ddH2O (akuabides) menjadi larutan 2% untuk mengukur kadar asam nukleatnya (mg/mL) dengan spektrofotometer. Pengukuran kadar asam nukleat ekstrak glikogen dilakukan dengan melarutkan 0,4 g ekstrak glikogen di dalam akuabides hingga 20 mL. Larutan disimpan di dalam botol kaca pada suhu 4 oC selama 24 jam hingga melarut sempurna. Larutan dibiarkan pada suhu ruang hingga tidak ada lagi embun pada dinding botol. Larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm, 280 nm, dan 320 nm. 29 Kadar asam nukleat di dalam larutan glikogen 2% (mg/mL) ditentukan dengan persamaan: [Asam nukleat] = [(0,064x[A260 -ABlanko]-[A320-ABlanko]-(0,031x[A280-ABlanko]-[A320-ABlanko])] 3.4.6 Analisis DNA terpresipitasi (Lennard et al. 2007) Kapasitas glikogen temilok hasil ekstraksi sebagai ko-presipitan diukur berdasarkan konsentrasi DNA femur hasil presipitasi menggunakan RT-PCR dengan satuan ng/µL. Kuantitas DNA hasil presipitasi tanpa penambahan larutan ekstrak glikogen (blanko) dibandingkan dengan kuantitas DNA yang diperoleh dari penambahan larutan ekstrak glikogen. Konsentrasi stok glikogen standar yang secara komersial digunakan sebagai ko-presipitan DNA adalah 2% di dalam akuabides bebas nuklease. Rasio antara bobot glikogen dengan volume campuran dari larutan glikogen, larutan DNA, dan sodium asetat umumnya berkisar antara 0,05 µg/µL hingga 1,00 µg/µL (Fermentas 2011). Rasio tersebut di dalam percobaan ini adalah 0,465 µg/µL sehingga larutan glikogen 2% yang ditambahkan (di dalam campuran sebelum presipitasi etanol) sebanyak 20 µL untuk setiap 800 µL larutan DNA, dan 40 µL sodium asetat (sebagai monovalen kationik). Campuran tersebut kemudian ditambah dengan 1100 µL etanol absolut. Kuantitasi DNA hasil presipitasi yang dilakukan dengan mencampur 241,5 µL larutan Human Primer Mix dan 287,5 µL PCR Reaction Mix menjadi Quantifiler Master Mix , lalu dimasukkan ke dalam 23 well sebanyak 23 µL/ well sesuai dengan posisi yang telah ditentukan (Lampiran 1a) menggunakan micropipet volumetrik. Larutan standar DNA manusia dibuat dengan 8 konsentrasi berbeda (Lampiran 1b) untuk membuat kurva standar. Larutan standar DNA manusia sebanyak 2 µL ditambahkan ke dalam 16 well yang masing-masing berisi 23 µL Quantifiler Master Mix. Sampel larutan DNA sebanyak 2 µL ditambahkan ke dalam 6 well yang berisi masing-masing 23 µL Quantifiler Master Mix. Larutan blanko ekstraksi sebanyak 2 µL ditambahkan ke dalam satu well extraction control (EC) yang berisi 23 µL Quantifiler Master Mix. Dua well yang tersisa adalah Non Template Control (hanya berisi bufer TE). Well ditutup dengan sealer transparan khusus, disentrifugasi selama 1 menit pada 30 3000 rpm, lalu dimasukkan ke dalam RT-PCR selama kurang lebih 1 jam, dengan thermal profile sebagai berikut : a) Tahap ke-1 (denaturation), suhu 95 oC selama 10 menit sebanyak satu siklus. b) Tahap ke-2 (annealing), suhu 95 oC selama 15 detik dan suhu 60 oC selama 1 menit sebanyak 40 siklus. 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri dari : 1) Rancangan Acak Lengkap dengan faktor konsentrasi KOH pada taraf 20%, 30%, dan 40%. Resin kationik yang digunakan sebanyak 6% (3 kali ulangan) per 100 gram daging temilok dengan pengadukan selama 24 jam. Data yang diamati dari 3 satuan percobaan ini adalah rataan residu nitrogen ekstrak glikogen. Percobaan ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi KOH pada percobaan selanjutnya. Model observasi untuk perlakuan konsentrasi KOH (Steel 1989) : Yij = µ+ τi + εij i = 1, 2 dan j = 1,2,3 Keterangan : Yij = residu nitrogen glikogen terekstrak pada konsentrasi KOH ke-i, ulangan ke-j. µ = rataan umum residu nitrogen glikogen terekstrak karena konsentrasi KOH. τi = pengaruh perlakuan konsentrasi KOH ke-i. εij = pengaruh selain perlakuan yang acak dan menyebar normal. Hipotesis uji meliputi : H0 : µ1 = µ2, atau taraf konsentrasi KOH tidak mempengaruhi rendemen glikogen atau residu nitrogen ekstrak glikogen temilok. H1 : µ1 ≠ µ2, atau taraf konsentrasi KOH mempengaruhi rendemen glikogen atau residu nitrogen ekstrak glikogen temilok. 2) Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dimana faktor pertama yaitu persentase resin kationik dengan dua taraf (9% dan 12%), dan faktor kedua adalah lama pengadukan (8, 16, dan 24 jam). Data yang diamati dari 6 satuan percobaan ini adalah rataan rendemen glikogen terekstrak dan residu asam nukleat. Percobaan ini dilakukan untuk memperoleh ekstrak glikogen dengan karakteristik mutu terbaik yang akan digunakan dalam pengujian kapasitas ko- 31 presipitan DNA femur. Model observasi untuk perlakuan persentase resin kationik dan lama pengadukan (Montgomery 2001) : Yijk = µ + τi + βj + (τβ)ij +εijk Keterangan : Yijk = rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen karena pengaruh lama pengadukan taraf ke-i, persentase resin kationik Amberlite IR-120 taraf ke-j, satuan percobaan ke-k. µ = rataan umum rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen hasil ekstraksi. τi = rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen karena pengaruh lama pengadukan taraf ke-i βj = rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen karena pengaruh persentase resin kationik Amberlite IR-120 taraf ke-j. (τβ)ij = Rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen karena pengaruh interaksi lama pengadukan dan persentase resin kationik Amberlite IR-120 taraf ke-ij. εijk = pengaruh selain perlakuan yang acak dan menyebar normal. Hipotesis uji meliputi : H0: (αβ)11=( αβ)12=…=( αβ)ij= 0, atau interaksi perlakuan lama pengadukan dan persentase resin kationik Amberlite IR-120 tidak mempengaruhi rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen. H1: (αβ)ij≠0, atau sedikitnya ada satu pasang interaksi perlakuan lama pengadukan dan persentase resin kationik Amberlite IR-120 yang mempengaruhi rendemen glikogen atau residu asam nukleat glikogen. Jika hasil analisis ragam menunjukkan nilai F hitung > F tabel atau H0 ditolak maka analisis dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur dengan model uji (Steel 1989): W = qα (p,dbg) Sy Keterangan : Sy = galat baku nilai tengah dari akar kuadrat dari KTG/r dbg = derajat bebas galat p = jumlah perlakuan qα = nilai pada tabel Tukey pada taraf nyata α. Dari uji lanjut di atas diperoleh perlakuan lama pengadukan dan persentase resin kationik Amberlite IR-120 yang menghasilkan ekstrak glikogen temilok terbaik. 3) Rancangan Perbandingan Berganda (paired comparison design) dengan membandingkan konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi dengan 32 penambahan larutan ekstrak glikogen temilok yang terbaik sebanyak 2% dan tanpa penambahan larutan ekstrak glikogen (blanko) masing-masing sebanyak 3 kali ulangan. Model observasi untuk menguji kapasitas ko-presipitan glikogen terhadap DNA femur dilakukan uji perbandingan berganda (Montgomery 2001) : Yij = µi + βj + εij i = 1, 2 dan j = 1,2,3 Keterangan : Yij = konsentrasi DNA femur pada larutan glikogen ke-i, ulangan ke-j. µi = rataan umum konsentrasi DNA femur karena larutan glikogen ke-i. βj = pengaruh ulangan ke-j. εij = pengaruh selain perlakuan yang acak dan menyebar normal. Hipotesis uji meliputi : H0 : µ1 = µ2, atau penambahan glikogen tidak mempengaruhi presipitasi DNA femur H1 : µ1 ≠ µ2 , atau penambahan glikogen mempengaruhi presipitasi DNA femur. 33 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Proksimat Temilok (Bactronophorus thoracites) Hasil uji proksimat temilok memberikan informasi awal tentang karakteristik temilok sebagai bahan baku ekstraksi glikogen. Analisis terhadap karakteristik bahan baku dibutuhkan dalam modifikasi proses ekstraksi dengan alkali panas. Modifikasi proses ekstraksi dilakukan untuk menghasilkan glikogen pada tingkat yang paling ekonomis, khususnya glikogen untuk aplikasi di bidang biologi molekuler. Informasi mengenai kandungan karbohidrat sebagai indikasi awal kandungan glikogen yang terkandung di dalam temilok disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Proksimat temilok utuh Proksimat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat TOTAL Temilok 74,20 2,48 4,11 0,82 18,39 100,00 Konsentrasi (%) Tambeloa 82,72 2,07 7,21 0,28 7,72 100,00 Temilokb 73,60 1,04 4,29 4,05 17,02 100,00 Sumber : a Leiwakabessy (2011) b Syaputra et al. (2007) Kadar air bahan untuk ekstraksi disyaratkan sekitar 11% agar proses ekstraksi berjalan lancar (Setyowati 2009). Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa kadar air temilok sekitar 74%. Syaputra et al. (2007) melaporkan bahwa temilok segar dengan rataan rendemen daging tanpa cangkang sebesar 94,87% dan nilai Total Volatile Base (TVB) sebesar 10,6 mg N/ 100 g daging memiliki kadar air sebesar 73,60%. Kadar air yang tinggi pada temilok yaitu sekitar 74% dapat membantu melarutkan glikogen yang terekstrak dengan metode alkali panas, yaitu perebusan bahan dengan larutan KOH pada konsentrasi tertentu. Temilok segar dengan kadar air bahan yang tinggi juga sangat membantu proses denaturasi protein selama perebusan dalam proses ekstraksi glikogen dengan 34 metode alkali panas. Protein yang terdenaturasi memudahkan glikogen terekstrak lebih banyak dari jaringan daging temilok. Kadar protein temilok dari hasil penelitian ini yaitu 4,11%. Syaputra et al. (2007) melaporkan bahwa temilok segar mengandung protein sebesar 4,29%. Kadar protein temilok dari dua penelitian tersebut memiliki nilai yang hampir sama karena sampel bahan baku diambil pada musim dan lokasi yang sama, yaitu pada musim penghujan di kawasan hutan mangrove Dusun Tanjung Batu, Kabupaten Bangka. Pengujian proksimat temilok di dalam penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu membuang isi saluran pencernaan temilok, lalu mencucinya sehingga sebagian besar plankton dan bakteri dihilangkan. Hal ini dilakukan agar protein yang berasal dari bakteri pada insang atau plankton dalam saluran pencernaan temilok tidak terhitung sebagai kadar protein temilok. Distel et al. (2002) melaporkan bahwa kerang pengebor kayu memperoleh sumber nitrogen dari fiksasi dinitrogen (N2) yang dilakukan oleh bakteri endosimbion yang hidup di dekat kelenjar deshayes insang. Leiwakabessy (2011) melaporkan bahwa kadar protein tambelo segar (Bactronophorus thoracites) adalah 7,31%. Komposisi asam amino penyusun protein temilok disajikan pada Lampiran 2. Kadar lemak temilok yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 0,82%. Kadar lemak temilok yang rendah mempersingkat prosedur ektraksi karena tidak membutuhkan perlakuan khusus untuk memisahkan atau mengurangi residu lemak dari glikogen terekstrak. Kadar lemak temilok yang relatif rendah ini sangat menguntungkan dalam ekstraksi glikogen dengan alkali panas karena gliserol dan sabun yang larut ke dalam air menjadi sedikit. Leiwakabessy (2011) melaporkan bahwa kadar lemak temilok sekitar 0,3%. Kondisi basa menyebabkan lemak terhidrolisis menjadi gliserol dan garam asam lemak atau sabun, sehingga sabun dan gliserol dapat larut di dalam air (Poedjiadi & Suryanti 2006). Kadar gliserol dan sabun yang rendah di dalam air dapat memaksimalkan kapasitas air sebagai pelarut glikogen sehingga rendemen glikogen terekstrak menjadi tinggi. Kadar lemak yang rendah memudahkan glikogen yang terekstrak untuk larut secara sempurna ke dalam air selama ekstraksi berlangsung. Leiwakabessy (2011) juga melaporkan bahwa kadar lemak tambelo sekitar 0,3%. 35 Lemak dapat larut di dalam alkohol panas (Poedjiadi & Suryanti 2006), oleh karena itu di dalam proses presipitasi glikogen, etanol yang digunakan harus dingin, dan dengan konsentrasi tinggi yaitu 96% untuk menghindari terjadinya pelarutan gliserol dan sabun di dalam glikogen terekstrak. Residu lemak pada glikogen terekstrak juga dapat memicu reaksi oksidasi sehingga menurunkan mutu glikogen. Kayu bakau biasanya mengandung selulosa sebesar 46,5% dan lignin sebesar 28,8% (Marthawijata et al. 1989). Kadar karbohidrat temilok sekitar 18% berasal dari kandungan glikogen yang disimpan sebagai cadangan energi. Menurut Syaputra et al. (2007), kadar karbohidrat temilok sekitar 17%. Leiwakabessy (2011) melaporkan bahwa kadar karbohidrat tambelo segar sekitar 7,7%. Distel et al. (2002) juga melaporkan bahwa sejumlah bakteri endosimbion gram negatif dengan satu flagela, yaitu Teredinibacter turnerae yang hidup di dalam insang kerang-kerangan famili teredinidae mensekresi enzim pendegradasi xilan, pektin, dan selulosa. Bakteri simbion ini juga berperan sebagai penyedia sumber nitrogen dalam metabolisme dan biosintesis protein karena kemampuannya dalam memfiksasi dinitrogen (N2) dari atmosfer. Bahan baku ekstraksi glikogen dari hasil perairan umumnya masih menggunakan spesies kerang sumber protein bernilai ekonomis relatif tinggi seperti tiram dan remis. Pemanfaatan temilok sebagai alternatif bahan baku ekstraksi glikogen adalah solusi bagi permasalahan ini karena kadar proteinnya relatif rendah. Leiwakabessy (2011) melaporkan bahwa skor asam amino esensial Bactronophorus thoracites sebesar 19,87% yaitu pada asam amino isoleusina sebagai asam amino pembatas, yang berarti bahwa protein temilok yang dapat dimanfaatkan tubuh manusia hanya sebesar 19,87%, di samping itu kandungan asam lemak jenuhnya lebih tinggi daripada asam lemak tak jenuhnya. 36 4.2 Optimasi Ekstraksi Glikogen Hasil analisis data proksimat temilok menjadi informasi dasar bagi tahapan penelitian selanjutnya yaitu optimasi ekstraksi glikogen. ekstraksi glikogen diukur berdasarkan rendemen glikogen Optimasi dan residu pengotornya. 4.2.1 Pengaruh konsentrasi potasium hidroksida (KOH) Protein yang terikat dengan gugus non protein disebut protein gabungan atau terkonjugasi. Apabila gugus non protein (gugus prostetik) suatu protein gabungan terdiri dari karbohidrat, maka molekul ini dinamakan glikoprotein (untuk kadar heksoamina kurang dari 4%), dan mukoprotein (untuk kadar heksoamina lebih dari 4%). Mukoprotein ini tidak mudah terdenaturasi oleh panas atau diendapkan oleh zat-zat yang biasanya dapat mengendapkan protein (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Ekstraksi glikogen dari jaringan tubuh hewan perlu mempertimbangkan pengaruh struktur gabungan tersebut sehingga residu protein merupakan salah satu indikator mutu dalam optimasi ekstraksi glikogen temilok. Protein sensitif terhadap basa dengan konsentrasi tinggi. Gugus NH3+ pada asam amino yang mengandung H+ diikat oleh ion OH- yang konsentrasinya tinggi (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Konsentrasi KOH yang digunakan dalam proses ekstraksi glikogen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi residu nitrogen glikogen hasil ekstraksi. Residu nitrogen yang rendah di dalam ekstrak glikogen merupakan salah satu indikator mutu glikogen sehingga penentuan konsentrasi KOH pada tahap awal ekstraksi penting dilakukan untuk menghasilkan ekstrak glikogen dengan residu nitrogen yang paling rendah. Pengaruh perlakuan konsentrasi KOH 20%, 30% dan 40% terhadap residu nitrogen (ppm) ekstrak glikogen temilok disajikan pada Gambar 7. Perebusan temilok dengan KOH 40% menghasilkan ekstrak glikogen dengan residu nitrogen paling rendah yaitu sekitar 250 ppm (0,025%) atau mengandung protein sebesar 0,16%. Glikogen dengan kadar protein di bawah 0,2% tidak mengganggu absorbansi sinar ultraviolet pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm dalam pengukuran kadar asam nukleat. Ekstrak glikogen temilok dengan kadar nitrogen sebesar 0,025% (kadar protein sekitar 0,16%) 37 tergolong glikogen murni. Matsui et al. (1996) melaporkan bahwa glikogen murni dalam kondisi alaminya mengandung protein kurang dari 1,1%. Hastings dan Kirby (1966) melaporkan bahwa larutan yang mengandung campuran DNA, glikogen, dan protein dengan kadar protein 0,2% memiliki nilai absorbansi rasio 260 nm dan 280 nm sebesar 1,92. Nedel et al. (2009) melaporkan bahwa larutan DNA dengan rasio nilai absorbansi pada 260 nm dan Residu nitrogen (ppm) 280 nm sebesar 1,7-2,0 digolongkan sebagai DNA yang bersih (clean DNA). 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2731,98 387,41 a 2136,87 694,73 a 250,81 131,49 b 20% 30% 40% Konsentrasi KOH Gambar 7 Residu nitrogen (ppm) ekstrak glikogen temilok dengan perlakuan konsentrasi KOH 20% , 30% , 40% . Perlakuan perebusan dengan KOH 20% menghasilkan ekstrak glikogen dengan residu nitrogen sekitar 2.700 ppm (0,27%) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan KOH 30% dengan residu nitrogen sekitar 0,21% pada taraf 0,05 (Lampiran 3). Residu nitrogen yang masih tinggi pada perlakuan KOH 20% dan 30% berasal dari pecahan membran sel temilok. Wanson dan Tielemans (1971) menemukan pecahan membran sel di antara partikel glikogen yang telah dimurnikan yang diekstrak dari sel darah putih kelinci. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nicoletti dan Baiocchi (1994) melaporkan bahwa perebusan 1.000 gram daging remis di dalam 1 liter larutan KOH 30% tanpa disertai penambahan resin kationik dan pengadukan menghasilkan ekstrak glikogen dengan residu nitrogen hingga 0,18%, sedangkan dengan penambahan 1:1 (b/b) resin kationik terhadap ekstrak glikogen disertai pengadukan menghasilkan glikogen tanpa residu nitrogen (dengan sensivitas metode pengukuran 60 ppm). Perebusan temilok dengan konsentrasi KOH 40% efektif menurunkan residu nitrogen ekstrak glikogen temilok. Bernie et al. (2009) 38 melaporkan bahwa untuk mengekstrak glikogen dari larva serangga Ceratitis capitata, konsentrasi KOH yang digunakan yaitu 33%. Apabila pH suatu larutan lebih dari 7 maka ion H+ yang terdapat pada gugus –NH3+ akan diikat oleh ion OH- yang konsentrasinya tinggi (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Glikogen merupakan gula otot yang tersimpan di dalam tubuh dan terletak di antara jaringan otot. Protein gabungan yang terdenaturasi pada suhu tinggi menyebabkan kerusakan ikatan penghubung dengan gugus prostetik sehingga glikogen dapat dibebaskan dan larut ke dalam air, sedangkan gugus –NH3+ pada asam amino yang mengandung ion H+ diikat oleh ion OH- yang berasal dari KOH pada konsentrasi tinggi. Reaksi antara ion OH- dan gugus –NH3+ inilah yang menyebabkan semakin tinggi konsentrasi KOH (ion OH-) maka semakin banyak residu nitrogen larut dalam larutan alkali dan dapat dipisahkan dari glikogen terekstrak saat etanol ditambahkan disertai penyaringan. Protein yang terdenaturasi pada pH di luar titik isoelektriknya masih dapat larut dalam air, dimana sebagian besar protein di alam memiliki pH isoelektrik dibawah 6,5 atau cenderung pada kondisi asam. Protein mudah terdenaturasi pada suhu 40 oC (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Kelarutan protein meningkat hingga suhu 40 oC tercapai, setelah itu denaturasi protein meningkat hingga suhu 100 oC tercapai yang menyebabkan kelarutan protein menurun di dalam larutan KOH. Kondisi ini mengoptimalkan kinerja air dalam melarutkan glikogen setelah air ditambahkan, sehingga lebih banyak glikogen dapat dipresipitasi saat penambahan etanol karena kapasitas air untuk melarutkan glikogen lebih optimal. 4.2.2 Karakterisasi glikogen terekstrak Glikogen terekstrak yang dikarakterisasi kadar glukosanya dengan metode fenol-sulfat (fesul) adalah glikogen yang diperoleh dari perlakuan terbaik yaitu perebusan dengan KOH 40%. Nilai absorbansi tiap konsentrasi glukosa standar dan sampel glikogen tiap ulangan yang diukur dengan spektrofotometer, serta perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4a dan 4b. Kadar glukosa di dalam glikogen terekstrak setelah direaksikan dengan pereaksi fesul dihitung berdasarkan persamaan regresi dari hubungan antara konsentrasi glukosa standar (x), dan nilai absorbansinya (y) pada panjang gelombang 490 nm. Rataan kadar 39 glukosa di dalam glikogen terekstrak sebesar 732,41±58,16 ppm di dalam setiap 800 ppm larutan glikogen terekstrak atau 91,55±0,07% mengindikasikan bahwa produk hasil ekstraksi adalah glikogen. Bennett et al. (2007) melaporkan bahwa persamaan regresi dari hubungan antara konsentrasi glukosa standar dan nilai absorbansinya setelah direaksikan dengan pereaksi fesul pada panjang gelombang 490 nm dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi glukosa di dalam glikogen. Vies (1954) melaporkan bahwa kemurnian glikogen ditentukan setelah dikonversi dari glikogen menjadi glukosa dengan kadar sekitar 90-95%. Ekstrak glikogen setelah pengeringan menempel kuat di dasar dan dinding gelas. Pelarutan ekstrak dengan air menghasilkan larutan berwarna putih sedikit coklat (Lampiran 5). Ekstrak yang dihasilkan juga larut dengan sempurna pada jam ke-4 dalam lemari pendingin dengan suhu 4 oC setelah 0,4 g sampel hasil ekstraksi dilarutkan ke dalam akuades hingga 20 mL (2%, b/v). Sahyun dan Alsberg (1930) melaporkan bahwa glikogen memiliki sifat adesif yang sangat kuat bahkan terhadap permukaan yang licin seperti kaca, sedangkan larutannya berwarna putih sedikit coklat (opalescence). Bennet et al. (2007) melaporkan bahwa glikogen dapat melarut sempurna di dalam air dingin dengan membentuk warna opalescence. 4.2.3 Interaksi perlakuan lama pengadukan dan persentase resin Resin atau polimer sintetik yang mempunyai gugus fungsi yang bersifat asam yang dapat melepaskan ion positif disebut resin penukar ion positif. Ion tersebut dapat dilepaskan apabila ada ion lain yang dapat menggantikannya. Sebagai contoh, suatu resin dengan gugus –SO3H atau –COOH dapat melepaskan ion H+ apabila ada larutan yang mengandung ion Na+ atau NH4+, dimana ion Na+ atau NH4+ akan menggantikan ion H+ sehingga tercapai keseimbangan (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Dalam penelitian ini resin kationik Amberlite IR-120 yang digunakan mengandung ion aktif Na+ pada gugus sulfonatnya. Resin kationik ini diaduk bersama larutan ekstrak glikogen kasar yang telah dinetralkan pH-nya dengan asam asetat glasial. Asam asetat glasial yang ditambahkan ke dalam larutan glikogen kasar sebelum penyaringan dan penambahan resin dapat menetralkan pH larutan sehingga interaksi pertukaran 40 kation dan gerakan mekanik dapat meningkatkan laju denaturasi residu protein di dalam larutan. Basa kuat dan asam lemah di dalam larutan akan membentuk garam yang dapat mengalami hidrolisis total, jika kedua jenis ion pembentuknya bereaksi dengan pelarut air yang mengakibatkan pH larutan garam diperkirakan lebih dari 7 (Mulyono 2009). Dalam penelitian ini, sejumlah tertentu garam CH3COOK telah terbentuk di dalam larutan. Ion Na+ resin kationik ditukar dengan ion K+ dari garam CH3COOK sehingga resin kationik mengikat kation potasium dan melepas kation sodium ke dalam larutan yang mendorong pengendapan residu protein. Bishov dan Mitchell (1956) melaporkan bahwa konsentrasi Na+ yang tinggi di dalam larutan yang mengandung protein dapat mendorong terjadinya pengendapan protein di dalam larutan tersebut. 4.2.3.1 Rendemen ekstrak glikogen temilok Perebusan temilok dengan konsentrasi KOH 20%, 30% dan 40% hingga suhu 100 oC tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen glikogen terekstrak (Lampiran 6). Perebusan daging temilok utuh pada tahap ini dilakukan dengan larutan KOH 40% hingga suhu larutan mencapai 100 o C. Penelitian ini membuktikan bahwa interaksi perlakuan bobot resin dan lama pengadukan yang dicobakan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak glikogen pada taraf 0,05 (Lampiran 7). Rasio bobot glikogen terekstrak sebelum dan setelah pengeringan sekitar 5 : 3 disajikan pada Lampiran 8. Rataan rendemen glikogen hasil ekstraksi sekitar 11% yang diperoleh dari potensi karbohidrat daging temilok sekitar 18% (berat basah) atau 71,28% (berat kering). Lebih dari separuh karbohidrat yang terkandung di dalam temilok dapat diekstrak dalam bentuk glikogen, yaitu sekitar 60%. Sebagian kecil molekul glikogen yang dibebaskan dari jaringan selama proses ekstraksi diduga telah terdegradasi dan tidak terpresipitasi atau tersaring sehingga menurunkan rendemen glikogen. Menurut Vies (1954) penghancuran jaringan liver tikus dengan perebusan dalam larutan alkali pada suhu 100 oC dapat membebaskan glikogen yang tidak terekstrak dengan larutan Trichloroacetic atau TCA. Penambahan resin kationik ke dalam larutan glikogen kasar yang dinetralkan dengan penambahan asam asetat glasial dapat mengikat ion K+ dari 41 garam CH3COOK. Resin kationik di dalam larutan juga tidak mempengaruhi kestabilan pH larutan selama pengadukan tetap pada pH 7, sehingga perubahan yang tidak diinginkan pada bobot maupun ukuran molekul glikogen dapat diperkecil. Menurut Nicoletti dan Baiocchi (1994), perlakuan asam selama satu malam adalah kondisi yang dapat menghidrolisis glikogen. Orrel dan Buedding (1964) juga melaporkan bahwa kontaminasi dari jaringan lain yang masih ada pada glikogen dapat mempengaruhi glikogen pada kondisi pH rendah. Rendemen glikogen terekstrak diukur setelah dihitung kadar glukosanya (Lampiran 4c). Rendemen ekstrak glikogen dengan rataan sekitar 11% masih relatif tinggi, meskipun sebagian kecil glikogen yang terpresipitasi oleh etanol masih menempel pada saringan dan dinding wadah gelas. Pengaruh interaksi lama pengadukan dan persentase resin kationik terhadap rendemen glikogen terekstrak disajikan pada Gambar 8. Nicoletti dan Baiocchi (1994) melaporkan rendemen glikogen sebesar 6,1% dengan bahan baku daging remis (Mytilus Rendemen ekstrak glikogen (%) gallus Provincialis). 18 16 14 12 12,12 0,32 a 10,3 1,96 a 11,11 3,53 a 10,19 2,15 a 11,96 3,1 a 11,77 2,34 a 10 8 6 4 2 0 8 Jam 16 Jam 24 Jam Lama pengadukan Gambar 8 Rendemen ekstrak glikogen temilok (% b/b) hasil perebusan temilok dalam larutan KOH 40% dari kombinasi perlakuan persentase resin ( 9% dan 12%) dan lama pengadukan (jam). 4.2.3.2 Residu asam nukleat ekstrak glikogen temilok Pengaruh interaksi perlakuan lama pengadukan larutan dan penambahan resin kationik dengan konsentrasi tertentu terhadap konsentrasi residu asam nukleat larutan ekstrak glikogen disajikan pada Gambar 9. Konsentrasi residu 42 asam nukleat yang dihasilkan dari interaksi perlakuan persentase resin kationik dan lama pengadukan berbeda nyata pada taraf 0,05 (Lampiran 9). Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut dalam air serta etanol. Senyawa gabungan antara asam nukleat dengan protein ini disebut nukleoprotein. Asam nukleat larut dalam basa tetapi tidak larut di dalam asam (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Interaksi perlakuan 16 jam pengadukan dengan 12% resin kationik menghasilkan larutan dengan nilai absorbansi pada 260 nm dan 280 nm paling rendah (Lampiran 10). Nilai ini mengindikasikan adanya pengendapan protein yang diduga berasal dari protein histon yang berikatan Kadar asam nukleat (mg/mL) dengan asam nukleat. 0.1 0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 0.09 b 0.09 b 0.09 b 0.08 ab 0.08ab 0.07a 8 Jam 16 Jam 24 Jam Lama pengadukan Gambar 9 Pengaruh persentase resin kationik ( 9% dan 12%) dan lama pengadukan (jam) terhadap residu asam nukeat larutan glikogen temilok (mg/mL). Gerakan mekanik menyebabkan protein terdenaturasi. Pengendapan protein dengan ion logam (ion positif) terjadi pada pH larutan di atas titik isolistrik, dimana titik isolistrik protein umumnya di bawah 6,5 (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Denaturasi protein yang terjadi karena gerakan mekanik berinteraksi dengan kinerja resin kationik. Penetralan larutan dari kondisi basa (KOH) dengan penambahan asam asetat glasial (CH3COOH) menghasilkan garam CH3COOK. Ion K+ dari garam yang terlarut tersebut bertukar dengan Na+ dari resin selama pengadukan sampai terjadi keseimbangan antar kation karena nilai faktor keterpisahan (αi) ion potasium lebih besar daripada ion sodium, kemudian Na+ yang dilepas ke dalam larutan mendorong 43 pembentukan sodium nukleoproteinat. Gerakan mekanik selama pengadukan mendorong denaturasi sodium nukleoproteinat lebih lanjut hingga terjadi pengendapan protein pada suhu ruang dan pH larutan mendekati netral. Bishov dan Mitchell (1956) melaporkan bahwa konsentrasi Na+ yang tinggi di dalam larutan yang mengandung protein dapat mendorong terjadinya pengendapan protein di dalam larutan tersebut. Asam nukleat dapat diisolasi dari inti sel yang terikat pada sejumlah protein histon dengan terlebih dulu memecah protein tersebut (Poedjiadi & Supriyanti 2006). Pemanasan dengan alkali memecah protein histon sehingga sejumlah asam nukleat dibebaskan ke dalam larutan glikogen. Asam nukleat yang larut diikat oleh ion sodium yang berasal dari resin kationik membentuk sodium nukleinat. Raspaud et al. (1981) melaporkan bahwa ion positif dari sodium berikatan dengan muatan positif grup fosfat dari asam nukleat sehingga kelarutan asam nukleat menjadi lebih rendah Interaksi perlakuan terbaik dalam percobaan ini adalah perlakuan 12% resin kationik dengan pengadukan larutan selama 16 jam pada suhu kamar. Perlakuan tersebut menghasilkan ekstrak glikogen dengan rataan residu asam nukleat paling rendah yaitu sekitar 0,07 mg/mL, dan rataan rendemen 10,19±2,15%. Menurut Bartram et al. (2009) asam nukleat adalah pengotor yang dapat menurunkan mutu glikogen grade biologi molekuler. Beberapa produk glikogen grade biologi molekuler komersial mengandung asam nukleat dengan kadar 0,002–0,004 mg/mL. Mutu glikogen terekstrak dari penelitian ini masih belum dikategorikan sebagai grade biologi molekuler karena masih mengandung asam nukleat yang relatif tinggi, atau lebih dari 15 kali kadar asam nukleat glikogen komersial. 4. 3 Kapasitas Ko-presipitan DNA Femur Ekstrak Glikogen Temilok Kapasitas ko-presipitan diukur dari banyaknya DNA yang terperangkap oleh larutan glikogen pada volume tertentu setelah terpresipitasi dengan penambahan alkohol, baik etanol ataupun isopropanol. Sampel larutan glikogen yang dibuat dari hasil ekstraksi perlakuan terbaik kemudian digunakan dalam prosedur presipitasi DNA tulang paha (femur) manusia. 44 Hasil uji perbandingan berganda terhadap data rataan konsentrasi DNA yang terpresipitasi pada Gambar 10 menunjukkan bahwa penambahan ekstrak glikogen tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan konsentrasi DNA yang terpresipitasi. Rataan konsentrasi DNA yang terpresipitasi bahkan mengalami penurunan sekitar 0,006 ng/µL atau 6 pg. Contoh perhitungan uji perbandingan berganda konsentrasi DNA hasil presipitasi dapat dilihat pada Lampiran 11. Konsentrasi DNA yang terpresipitasi disajikan pada Gambar 10. Perlakuan ekstraksi terbaik dengan KOH 40%, resin kationik 12% dan lama pengadukan 16 jam belum mampu menghasilkan glikogen grade biologi molekuler karena masih mengandung residu asam nukleat yang tinggi. 0.06 0.0527 Konsentrasi DNA femur (ng/µL) 0.05 0.0415 0.0427 0.0391 0.04 0.03 0.025 0.0214 0.02 0.01 0 1 2 3 Ulangan ke- Gambar 10 Konsentrasi DNA femur (ng/µL) setelah penambahan glikogen temilok ( ) dan sebelum penambahan glikogen temilok ( ). Kadar pengotor yang masih tinggi, baik protein maupun asam nukleat di dalam glikogen hasil ekstraksi menurunkan kapasitasnya di dalam larutan etanol sebagai ko-presipitan DNA . Ekstrak glikogen hasil ekstraksi masih mengandung residu asam nukleat sekitar 0,07 mg/mL, atau 15 kali lebih tinggi dari produk komersial. Menurut laporan Bartram et al. (2009), produk glikogen molekuler komersial mengandung residu asam nukleat paling tinggi sekitar 0,0040 mg/mL. Residu asam nukleat yang tinggi di dalam larutan glikogen dapat menurunkan kelarutan DNA femur sebelum dipresipitasi dengan etanol, dan menurunkan kapasitas glikogen sebagai perangkap low copy number DNA saat terpresipitasi dengan etanol. Penurunan kelarutan DNA femur disebabkan 45 menurunnya efektivitas sodium asetat sebagai kovalen monokationik yang ditambahkan di dalam prosedur ekstraksi untuk menetralkan muatan negatif DNA femur pada gugus fosfatnya akibat masih tingginya residu asam nukleat di dalam glikogen. Keadaan ini membuat DNA femur semakin sedikit yang terpresipitasi. Raspaud et al. (1981) melaporkan bahwa sodium asetat sebagai kovalen monokationik ditambahkan untuk menetralkan muatan DNA yang negatif, yaitu ion positif dari sodium berikatan dengan grup fosfat dari DNA yang bermuatan negatif. Keadaan ini menyebabkan DNA bersifat kurang hidrofilik sehingga kelarutannya di dalam air sedikit menurun. 46 47 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Temilok adalah kerang yang memiliki kadar karbohidrat yang relatif tinggi yaitu sekitar 18% dari berat segarnya atau 71% dari berat keringnya. Glikogen bisa diperoleh dari temilok melalui proses ekstraksi dengan alkali panas. Salah satu senyawa alkali yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi glikogen adalah potasium hidroksida (KOH). Konsentrasi KOH yang terbaik untuk mendapatkan glikogen terekstrak dari temilok dalam penelitian ini adalah 40%, yaitu dengan residu nitrogen sebesar 250 ppm. Interaksi perlakuan penambahan resin kationik Amberlite IR-120 dan lama pengadukan yang dicobakan berpengaruh nyata terhadap kadar asam nukleat larutan glikogen pada taraf 0,05, namun tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak glikogen temilok. Penambahan 12% resin kationik dan pengadukan selama 16 jam adalah kombinasi perlakuan terbaik dengan rataan rendemen glikogen sekitar 10% dari bobot temilok segar, dan residu asam nukleat di dalam glikogen terekstrak sekitar 0,07 mg/mL. Konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi dengan penambahan ekstrak glikogen dari perlakuan terbaik tidak berbeda nyata dengan blanko pada taraf 0,05, yaitu sebesar 0,0340 ng/µL. Ekstrak glikogen (dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 2%) yang diperoleh dari penelitian ini belum memberikan kinerja yang optimal sebagai ko-presipitan DNA femur karena residu pengotor masih relatif tinggi sehingga rataan konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi masih relatif lebih rendah daripada blanko. 5.2 Saran Optimasi proses ekstraksi untuk menghasilkan glikogen terekstrak sebagai bahan ko-presipitan DNA lebih baik menggunakan etanol dingin (di bawah 0 oC) sebagai presipiter glikogen. Pemurnian glikogen terekstrak dapat dilakukan dengan mengalirkan larutan glikogen ke dalam kolom resin kationik dengan cross-linkage lebih kuat (misalnya : IR-200, C-150, CFP-100) yang memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap oksidasi dan tekanan osmosis, serta dengan 48 sentrifugasi larutan pada kecepatan tertentu. Pengotor lain yang mungkin ada dalam bentuk ion di dalam larutan glikogen terekstrak dapat dihilangkan dengan cara dialisis. 49 DAFTAR PUSTAKA Abbot, R.T. 1974. American Seashells. New York : Van Nostrand Reinhold Company. Adams RLP, Knowler JT, Leader DP. 1986. The Biochemistry of Nucleic Acids. 10th Ed. New York : Chapman and Hall. Allan J. 1962. Australian Shells. Melbourne : Georgian House. Alonso MD, Lomako J, Lomako WM, Whelan WJ. 1995. A new look at the biogenesis of glycogen. Faseb Journal 9(12):1126-1137. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Washington. Barnes RD. 1987. Invertebrate Zoology. 5th Edition., Philadelphia : Saunders College Pub. Bartram AK, Poon C, Neufeld JD. 2009. Nucleic acid contamination of glycogen used in nucleic acid precipitation and assesment of linear polyacrylamide as an alternative co-precipitant. Short Technical Reports, Biotechniques 47:1019-1022. Bennet LW, RW Keirs, ED Peebles, PD Gerard. 2007. Methodologies of Tissue Preservation and Analysis of the Glycogen Content of the Broiler Chick Liver. Poultry Science 86:2653-2665. Berni J, A Rabossi, LM Pujol-Lereis, DS Tolmasky, LA Quesada-Allue. 2009. Phloxine B affects glycogen metabolism in larval stages of Ceratitis capitata (Diptera: Tephritidae). Pesticide Biochemistry and Physiology 95(1):12-17. Bishov SJ dan Mitchell Jr JH. 1956. Sedimentation of milk proteins as a function of certain ions. Food Technology 10(7):312-315. Bueding E, Orrell SA. 1964. A mild procedure for the isolation of polydisperse glycogen from animal tissue. Journal of Biological Chemistry 239 (12):4018-4020. Burgos NMG de, C Burgos, CE Coronel, AB de Camusso, T Pigini and A Blanco. 1979. Correlation of lactate dehydrogenase isoenzyme C4 activity with the count and motility of human spermatozoa. Journal of Reproduction and Fertility 55(1):107-111. 50 Cragg SM, Jumel MC, Al-Horani FA, Hendy IW. 2009. The life hystory characteristic of the wood-boring bivalve Teredo bartchi are suited to the elevated salinity, oligotrophic circulation in the Gulf of Aqaba, Red Sea. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 375(1-2):99-105. Davis ML. 2010. Water and Wastewater Engineering, Design Principles and Practice. McGraw-Hill : New York. Distel DL, Morrill W, MacLaren TN, Franks D, and Waterbury J. 2002. Teredinibacter turnerae gen. nov., sp. Nov., a dinitrogen-fixing, cellulotic, endosymbioticγ-proteobacterium isolated from the gills of wood-boring molluscs (Bivalvia : Teredinidae). International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology 52(6):2261-2269. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Ekborg NA, Morril W, Burgoyne AM, Li L and Distel DL. 2007. CelAB, a multifunctional cellulase encoded by Teredinibacter turnerae T7902, a Culturable Symbiont isolated from wood-boring marine bivalve Lyrodus pedicellatus. Applied and Environmmental Microbiology 73(23):77857788. Fermentas.2011.(http//www.fermentas.com/en/products/all/reagents/r056glycogen. [25 Nov 2011]. Gill P. 2001. Application of Low Copy Number DBA Profiling. Croatian Medical Journal 42(3):229-232. Handa SS. 2008. An overview of extractiontechniques for medicinal and aromatic plants. Di dalam : Handa SS, Khanuja SPS, Longo G, Rakesh, editor. Extraction Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste : International Centre for Science and High Technology. Hastings JRB and Kirby KS. 1966. The nucleic acids of Drosophila melanogaster. Biochemical Journal 100(2):532-539. Kaestner, A. 1967. Invertebrate Zoology. Volume I. New York : John Wiley and Sons, Inc. Keenan CW, Kleinfelter DC, Wood JH. 1992. Ilmu Kimia untuk Universitas. Edisi ke-6, Jilid 2. Pudjaatmaka AH, Penerjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kerly M. 1930. The Solubility of Glycogen. Biochemical Journal 24(1):67-76 Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press 51 Lehninger, A.L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Thenawijaya M, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Leiwakabessy J. 2011. Komposisi kimia dan identifikasi antioksidan dari ekstrak tambelo (Bactronophorus thoracites) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lennard C, D McNevin, S Rogers, K Turnbull, S Walsh, J Ward. 2007. Training Manual “Biological Criminalistic”. National centre for forensic study, University of Canberra. Matsui M, Kakut M, Misaki A. 1996. Fine structural features of oyster glycogen: mode of multiple branching. Carbohydrate Polymers 31(4):227 – 235. Marthawijaya A, I. Karta Sujana, YI Mandang, SA Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. McCormick MR, penemu ; 23 June 2009. Method for Precipitating Nucleic Acid with Visible Carrier. US Patent 7,550,447 Meezan E, Manzell S, Roden L. 1995. Menage a trois : Glycogenin, proteoglycan core protein xylosyltransferase and UDP-xylose, Trends in Glycoscience and Glycotechnology 7(36):303-332. Montgomerry DC. 2001. Design and Analysis of Experiments. 5th Edition. John Wiley dan Sons, Inc. Morton B. 1978. Feeding and Digestion in Shipworm. Annual Review Oceanography and Marine Biology 16:107-144. Mulyono HAM. 2009. Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Jakarta : Bumi Aksara. Nedel F, MCM Conde, IO de Oliviera, SBC Tarquino, FF Demarco. 2009. Comparison between DNA obtained from buccal cells of the upper and lower gutter area. Brazilian Dental Journal 20(4):275-278. Nicoletti R and Baiocchi L, penemu; 17 February 1994. Glycogen Polysaccharide. US Patent 5,734,045. Olsson AA. 1961. Mollusks of Tropical Eastern Pacific. New York: Norton Printing Company. Orrel SA and Buedding E. 1964. A Comparison of products obtained by various procedures used for the extraction of glycogen. The Journal of Biological Chemistry 239(12):4021-4026. 52 Palvast P and Velde G van der. 2011. New Threats of an old enemy : The distribution of the shipworm Teredo navalis L. (Bivalvia: Teredinidae) related to climate change in the Port of Rotterdam area, the Nederlands. Marine Pollution Bulletin 62(8):1822-1829. Poedjiadi A dan Supriyanti FMT. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : UI-Press. Purchon RD. 1968. The Biology of The Mollusca. Hungary : Pergamon Press. Rohm and Haas. 2008. Amberlite IR-120 Na : Product data sheet. http://www.amberlite.com [15 September 2012]. Sahyun M and Alsberg CL. 1930. On rabbit liver glycogen and its preparation. The Journal of Biological Chemistry 89(1):33-39. Setyowati S. 2009. Unit Corn Mill. www.chem-si-try.org [7 Mei 2011]. Smith ZG, Patil NB, Smith EE. 1977. Two pools of glycogen in Saccharomyces. Journal of Bacteriology 130(2):818-825. Steel R G D. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta : Penerbit Gramedia. Syaputra D, B Ibrahim, D Poernomo. 2007. Produk fermentasi ikan dari cacing kapal (Bactronophorus sp) segar. Jurnal Akuatik 1(1):12-14. Syaputra D. 2007. Upaya peningkatan hasil tangkapan cacing kapal Bactronophorus sp. dari ekosistem bakau. Jurnal Akuatik 2(1):1-5. Takata H, Kajiura H, Furuyashiki T, Kakutani R, and Kuriki T. 2009. Fine structural properties of natural and synthetic glycogens [abstrak]. Carbohydrate Research 344(5):654. The Forensic Science Service. 2005. DNA Low Copy Number: Fact sheet (6). (www.forensic.gov.uk) [29 Apr 2012]. Toha AHA. 2001. Deoxyribonucleic Acid : Keanekaragaman, Ekspresi, Rekayasa dan Efek Pemanfaatannya. Bandung : Alfabeta. Vies J van der. 1954. Two Methods for the Determination of Glycogen in Liver. Biochemical Journal 57:410-416. Wanson JC and Tielemans L. 1971. Morphological and biochemical characteristic of glycogen particles isolated from rabbit polymorphonuclear leukocytes. Journal of Cell Biology 49(3):816-829. Warburg O, Christian W. 1942. Isolation and crystallization of enolase. Biochemische Zeitschrift 310:384-421 53 Waterbury JB, Calloway CB, and Turner RD. 1983. A Cellulolytic N-Fixing Bacterium cultured from the gland of Deshayes in shipworm. Science 221(4618):1401-1403. Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Yamaguchi H, Kanda Y, Iwata K. 1974. Macromolecular structure and morphology of native glycogen particles isolated from Candida albicans. Journal of Bacteriology 120(1):441-449. 54 55 Lampiran 1 Persiapan sebelum tahapan kuantitasi DNA dengan RT-PCR. a. Penempatan larutan di dalam well sebelum DNA dikuantitasi dengan RTPCR Std 1 Std 1 1A EC Std 2 Std 2 1B Std 3 Std 3 1C Std 4 Std 4 1D Std 5 Std 5 Std 6 Std 6 Std 7 Std 7 Std 8 Std 8 NTC 1 3D NTC 2 2D Keterangan : Std 1- 8 : Larutan standar dengan urutan konsentrasi tertentu. 1 A, 1B, 1C : Larutan DNA + larutan glikogen ulangan I, II dan III 1 D,2 D,3D : Larutan DNA (tanpa larutan glikogen) = blanko presipitasi DNA. EC : Extraction Control = blanko ekstraksi DNA. NTC : Non Template Control = larutan buffer TE. b. Pembuatan larutan standar DNA manusia untuk membuat kurva standar konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi Standar Konsentrasi (ng/µL) Std 1 Std 2 Std 3 Std 4 Std 5 Std 6 Std 7 Std 8 50,00 16,70 5,56 1,85 0,62 0,21 0,068 0,023 Campuran 5µL(200ng/µL stok)+15µL buffer TE 5µL(Std 1)+10µL buffer TE 5µL(Std 2)+10µL buffer TE 5µL(Std 3)+10µL buffer TE 5µL(Std 4)+10µL buffer TE 5µL(Std 5)+10µL buffer TE 5µL(Std 6)+10µL buffer TE 5µL(Std 7)+10µL buffer TE Dilution Factor 4x 3x 3x 3x 3x 3x 3x 3x 56 Lampiran 2 Nilai rataan asam amino temilok. Hasil (% berat protein) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jenis asam amino Treonina Valina Metionina Isoleusina Leusina Fenilalanina Lisina Histidina Arginina Asam aspartat Asam glutamat Serina Glisina Alanina Prolina Tirosina Sisteina Total Sumber : Leiwakabessy (2011). Rataan I 0,387 1,293 0,596 0,337 1,251 1,195 1,821 1,005 1,839 2,854 3,663 1,285 1,662 1,651 0,418 0,719 0,423 22,399 II 0,360 1,287 0,518 0,349 1,243 1,179 1,795 1,016 1,761 2,841 3,432 1,236 1,820 1,618 0,403 0,729 0,402 21,989 0,37 1,29 0,56 0,34 1,25 1,19 1,81 1,01 1,80 2,85 3,55 1,26 1,74 1,63 0,41 0,72 0,41 22,19 Standar deviasi 0,019 0,004 0,055 0,008 0,006 0,011 0,018 0,008 0,055 0,009 0,163 0,035 0,112 0,023 0,011 0,007 0,015 0,290 57 Lampiran 3 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam residu nitrogen ekstrak glikogen (ppm) karena perlakuan konsentrasi KOH (resin kationik 6%). Ulangan 20 I II III Rataan±SD Konsentrasi KOH (%) 30 40 2836,40 2846,40 120,33 3056,47 2106,24 383,30 2600,00 1457.97 248,81 2731,98±387,41 2136,87±694,73 250,81±131,49 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total db 2 6 8 JK 10067554 1300020 11367574 KT F 5033777 23,23* 216670 Ftabel α=0,05 5,14 Uji Beda Nyata Jujur (Tukey): W = q α(p;dbg). = q 0,05 (3;6). = 3,43 x 268,74 = 921,79 Residu nitrogen ekstrak glikogen karena perlakuan konsentrasi KOH yang dicobakan berbeda nyata pada taraf 0,05. Rataan residu nitrogen yang paling rendah adalah 250,81ppm atau 0,03%, yang dihasilkan dengan perlakuan KOH 40%. Rumus kadar nitrogen: %N= x 100% dengan faktor pengenceran = 2, N HCl = 0.1013, dan ppm N = %N x 10.000 58 Lampiran 4 Nilai absorbansi glukosa standar dan glikogen terekstrak dengan konsentrasi tertentu pada panjang gelombang 490 nm. Sampel ke1 2 3 4 5 6 Konsentrasi glukosa (ppm) 0 (blanko) 50 100 150 200 250 Absorbansi 0,009 0,240 0,433 0,665 0,819 1,072 Absorbansi sampel-blanko 0,231 0,424 0,656 0,810 1,063 a. Kurva standar glukosa Absorbansi pada 490 nm 1.2 y = 0.004x + 0.021 R² = 0.995 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 50 100 150 200 250 300 Konsentrasi glukosa (ppm) b. Karakterisasi glikogen terekstrak perlakuan konsentrasi KOH Sampel Absorbansi Konsentrasi Persentase glukosa glikogen pada 490 nm Glukosa di dalam glikogen (ppm) (%) 1 3,300 799,56 99,95 2 2,889 699,32 87,41 3 2,885 698,34 87,29 Rataan±SD 3,025±0,238 732,41±58,16 91,55±0,07 c. Karakterisasi glikogen terekstrak perlakuan resin dan lama pengadukan Sampel Absorbansi Konsentrasi Persentase glukosa glikogen pada 490 nm Glukosa di dalam glikogen (ppm) (%) 1 2,828 684,44 85,56 2 2,902 702,49 87,81 3 2,373 573,46 71,68 Rataan±SD 2,701±0,286 653,46±69,87 81,68±8,74 59 Lampiran 5 Ekstrak glikogen temilok yang menempel pada dasar tabung gelas dan larutan ekstrak glikogen temilok. 60 Lampiran 6 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam rendemen ekstrak glikogen (%) karena perlakuan konsentrasi KOH (resin kationik 6%). Konsentrasi KOH (%) 20 30 40 Ulangan I II III Rataan±SD Sumber keragaman Perlakuan Galat Total 9,68 14,10 11,72 6,91 12.,53 14,58 11,31±1,47 11,86±4,30 db 2 6 8 JK 18,74 43,26 61,99 KT 9,37 7,20 F 1,30 8,69 9,50 7,50 8,56±1,01 F tabel α = 0,05 5,14 Keterangan : Rendemen ekstrak glikogen karena perlakuan konsentrasi KOH yang dicobakan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05. 61 Lampiran 7 Ulangan Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam rendemen ekstrak glikogen temilok (%) dengan perlakuan persentase resin kationik dan lama pengadukan. Resin (%) Lama Pengadukan (jam) Rataan±SD 8 I II III Rataan±SD 9 12 9 12 9 12 9 12 Sumber Keragaman Lama pengadukan Persentase resin Interaksi Galat Total 16 11,78 8,46 12,40 12,36 12,19 10,08 12,12±0,32 10,30±1,96 Jumlah Kuadrat 4,6710 3,8786 1,8579 73,3849 83,7924 24 7,92 11,60 10,50 7,71 14,91 11,26 11,11±3,53 10,19±2,15 db 2 1 2 12 17 8,56 9,24 12,71 12,24 14,60 13,84 11,96±3,09 11,77±2,34 9,42±2,07 9,77±1,63 11,87±1,20 10,77±2,65 13,90±1,45 11,73±1,92 11,24±2,21 Kuadrat Tengah F hitung F tabel α= 0,05 2,3355 3,8786 0,9289 6,1154 0,38 0,63 0,15 3,88 4,75 3,88 62 Lampiran 8 Ulangan I Rataan SD II Rataan SD III Rataan SD Pengamatan bobot ekstrak glikogen selama pengeringan di dalam desikator vakum gel silika. Gram KOH Gram Temilok Kode 40,11 40,09 40,16 40,07 40,11 40,02 40,09 0,05 40,01 40,06 40,09 40 40 40,12 40,05 0,05 40,06 40,05 40,02 40,04 40,01 40,04 40,04 0,02 100,32 100,47 100,56 100,23 100,27 100,26 100,35 0,13 100,16 100,06 100,08 100,02 100,03 100,05 100,07 0,05 100,11 100,04 100,02 100,02 100,08 100,08 100,06 0,04 9-24 12-8 9-16 9-8 12-16 12-24 12-8 12-24 9-8 9-24 9-16 12-16 9-8 9-24 12-24 12-8 12-16 9-16 Bobot Bobot Bobot sebelum setelah setelah/sebelum pengeringan pengeringan (g) (g) 15,80 13,61 10,35 15,39 18,02 13,28 14,41 2,62 14,47 14,60 14,73 14,93 13,95 10,27 13,83 1,77 14,21 16,72 16,22 12,11 13,50 17,47 15,04 2,09 8,59 8,50 7,96 11,81 11,63 9,26 9,63 1,68 12,38 12,25 12,41 12,71 10,50 7,71 11,33 1,94 12,20 14,61 13,85 10,08 11,27 14,92 12,82 1,95 0,5437 0,6245 0,7691 0,7674 0,6454 0,6973 0,6746 0,0878 0,8556 0,8390 0,8425 0,8513 0,7527 0,7507 0,8153 0,05 0,8586 0,8738 0,8540 0,8324 0,8348 0,8539 0,8512 0,02 63 Lampiran 9 Rekapitulasi data pengukuran dan tabel sidik ragam residu asam nukleat larutan glikogen temilok 2% (mg/mL) dengan perlakuan persentase resin kationik dan lama pengadukan. Lama Pengadukan (jam) Ulangan I II III Rataan±SD Resin (%) 9 12 9 12 9 12 9 12 Rataan±SD 8 0,0658 0,0853 0,0770 0,0997 0,0836 0,0702 0,08±0,01ab 0,09±0,01b 16 0,0861 0,0633 0,0886 0,0862 0,0998 0,0702 0,09±0,01b 0,07±0,00a 24 0,0797 0,0780 0,0905 0,0903 0,0817 0,0915 0,08±0,01ab 0,09±0,01b 0,0772±0,0104 0,0755±0,0112 0,0854±0,0073 0,0921±0,0069 0,0884±0,0099 0,0790±0,0152 0,08±0,01 F tabel Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F hitung α=0,05 Lama pengadukan Persentase resin Interaksi Galat Total 0,00010 2 0,00001 1 0,00080 2 0,00099 12 0,00200 17 0,00005 0,00001 0,00040 0,00008 0,55 0,11 4,44* 3,88 4,75 3,88 Uji Beda Nyata Jujur (Tukey): W = q α(p;dbg). = q 0,05 (6;12). = 4,75 x 0,0052 = 0,02 Interaksi perlakuan lama pengadukan dan bobot resin berpengaruh nyata terhadap rataan kadar asam nukleat larutan glikogen temilok 2% pada taraf 0,05. Lama pengadukan 16 jam dan persentase resin 12% adalah interaksi perlakuan terbaik dengan rataan kadar asam nukleat yang paling rendah yaitu sekitar 0,07 mg/mL. 64 Lampiran 10 Data pengukuran absorbansi sampel larutan glikogen temilok 2% Gram Gram Resin Pengadukan Ulangan KOH Temilok (%) (jam) A260 A280 A320 I 40.11 100.32 9 24 3.397 2.687 1.673 40.09 100.47 12 8 3.324 2.546 1.495 40.16 100.56 9 16 3.484 2.712 1.625 40.07 100.23 9 8 2.553 1.946 1.154 40.11 100.27 12 16 2.671 2.096 1.316 40.02 100.26 12 24 3.137 2.435 1.457 Blanko 0.046 0.054 0.063 II 40.01 100.16 12 8 4 3.158 1.772 40.06 100.06 12 24 3.593 2.746 1.655 40.09 100.08 9 8 4 3.677 1.972 40 100.02 9 24 4 3.314 1.906 40 100.03 9 16 4 3.393 1.889 40.12 100.05 12 16 3.328 2.515 1.484 Blanko 0.004 0.005 0.006 III 40.06 100.11 9 8 3.358 2.592 1.566 40.05 100.04 9 24 3.29 2.544 1.535 40.02 100.02 12 24 3.591 2.664 1.557 40.04 100.02 12 8 4 3.871 2.016 40.01 100.08 12 16 2.888 2.26 1.372 40.04 100.08 9 16 3.74 2.787 1.633 . . . Blanko -0.0250 -0.0190 -0.0100 65 Lampiran 11 Contoh perhitungan uji perbandingan berganda terhadap data konsentrasi DNA femur yang terpresipitasi. Sampel Ulangan I Sampel 0.0415 Blanko 0,0527 Ulangan II 0.0391 0,0427 Ulangan III 0.0214 0,0250 Rataan 0,0340 0,0401 Simpangan Baku 0,0110 0,0140 H0 : µ1=µ2 atau rataan konsentrasi DNA femur tertinggi yang terpresipitasi dengan penambahan glikogen sama dengan yang terpresipitasi tanpa penambahan glikogen (blanko), atau dengan kata lain µ1-µ2= 0 Ulangan Blanko dj2 dj I 0,0415 0,0527 0,0415 - 0,0527 = -0,0117 0,000137 II 0,0391 0,0427 0,0391 - 0,0427 = -0,0036 0,000013 III 0,0214 0,0250 0,0214 - 0,0250 = -0,0036 0,000013 0,0189, ( to = = )2=0,000357 0,000163 dengan Sd2 = = -0,063 Sd 2= Sd = 0,0047, maka to = 0,000022 = -23,2643 dengan α =0,05 maka t tabel = tα/2, n-1 = t0,025; 2 = 4,303 karena to < t tabel , maka keputusan yang diambil adalah gagal tolak Ho, artinya tidak ada peningkatan yield DNA femur yang signifikan setelah presipitasi DNA femur dengan penambahan larutan glikogen dari formula ekstraksi terbaik.