i PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANG

advertisement
PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012).
SKRIPSI
OLEH:
ARIF MULYANA KURNIAWAN
E1A010112
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012).
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
ARIF MULYANA KURNIAWAN
E1A010112
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
ABSTRAK
PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012).
Oleh:
ARIF MULYANA KURNIAWAN
Hukum acara pidana sebagai hukum formil dari adanya hukum pidana
mempunyai tujuan yakni bagaimana melaksanakan aturan-aturan yang telah diatur
dalam hukum pidana. Ketentuan dalam hukum acara pidana lebih bersifat teknis
yang artinya bahwa hukum acara pidana lebih mengatur tentang bagaimana
seorang yang telah terbukti melanggar pasal-pasal yang telah ditentukan dalam
hukum pidana seharusnya untuk dilakukan penanganan. Penanganan yang
dimaksud adalah apabila seorang setelah diperiksa dalam sidang pengadilan yang
kemudian dijatuhkan pidana namun belum mengerti akan tujuan dia dijatuhi
pidana oleh hakim, karena itu hukum acara pidana sebagai alat-alat negara
bermaksud untuk memberikan arahan tentang pelaksanaan hukuman yang telah
dijatuhkan tersebut.
Salah satu isi dalam hukum acara pidana adalah mengenai putusan
pemidanaan. Pemidanaan yang dimaksud adalah apabila pengadilan yakin bahwa
soerang telah melakukan tindak pidana dan terhadapnya dijatuhkan pidana (pasal
193 ayat (1) KUHAP). Salah satu putusan pemidanaan adalah putusan Mahkamah
Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 dimana dalam amarnya hanya berisikan menolak
permohonan dan pembayaran biaya perkara. Ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf K
KUHAP tentang perintah penahanan menjadi hal yang penting adanya, karena
jika tidak dimuat maka menyebabkan suatu putusan batal demi hukum.
Namun dengan adanya perkembangan setiap bunyi undang-undang tidak
selamanya harus diikuti karena apabila terbukti bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 maka ketentuan undang-undang tersebut dapat dibatalkan
yakni adanya putusan Mahkamah Kontitusi No. 69/PUU-X/2012 tentang
pengujian pasal perintah penahanan yang pada pokoknya menyatakan ketentuan
perintah penahanan tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga tidak dimuatnya perintah tersebut maka tidak menyebabkan putusan
batal demi hukum. Oleh karena itu dengan ditolaknya permohonan kasasi yang
diajukan oleh seorang terdakwa karena tidak terbukti kesalahan judex factie dalam
memeriksa perkara a quo hakim pada tingkat kasasi sama saja dengan
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti bersalah melakukan suatu
tindak pidana.
Kata kunci: Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP, Putusan Mahkamah Agung,
v
ABSTARCT
Criminal procedure law as a formal law of the existence of the criminal
law has a goal of how to implement the rules that have been set in the criminal
law. Provisions in the law of criminal procedure more technical nature, which
means that more criminal procedural law governs how people who have been
found to have violated the articles that have been defined in the criminal law is
supposed to do the handling. Handling question is if a court hearing after being
checked in later dropped criminal but do not understand the purpose by judge
sentenced him, because it is the law of criminal procedure as a means of state
intends to provide guidance on the implementation of the sentence that has been
imposed.
One of the content of the criminal procedure law is about punishment
verdict. Punishment is meant is that if the court is satisfied that who have
committed a crime and punishment meted out to them ( Article 193 paragraph ( 1
) Criminal Procedure Code). One of the sentencing decision is the decision of
Supreme Court. 899/K/Pid.Sus/2012 where the amarnya contains only refuse the
request and payment of court fees. The provisions of Article 197 paragraph ( 1 )
of the Criminal Procedure Code letter K restraining order becomes important
presence, because if not loaded then lead to a decision null and void.
But with the development of any sound laws are not always followed
because if it is proved to be contrary to the Act of 1945, the provisions of the law
can be canceled namely the Constitution Court decision No.69/PUU-X/2012
article about testing a restraining order that essentially state the terms of the
restraining order no longer has binding legal force, so that the orders do not
publishing it does not cause the decision null and void. Therefore, the rejection of
an appeal filed by a defendant because it is not proven factie judex error in
examining judge a quo case on appeal is tantamount to convict the defendant
found guilty of a crime.
Keywords : Article 197 paragraph (1) letter K Criminal Procedure Code,
Supreme Court Decision.
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Studi Putusan Perkara Korupsi
Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012). Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa
penulisan skripsi masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan,
waktu dan terbatasnya literatur. Oleh karena itu, semua kritik dan saran akan
diterima dengan ketulusan dan keikhlasan hati.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain
dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin dan bimbingannya
terhadap penelitian ini.
2. Handri. W.S., S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Pranoto, S.H.,M.H.., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang
memberi masukan dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................
i
HALAMAN JUDUL ...............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................
iv
ABSTRAK ...............................................................................................
v
ABSTRACT ..............................................................................................
vi
PRAKATA ...............................................................................................
vii
DAFTAR ISI ............................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... ............
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
5
C. Tujuan Penelitian ................................................................
5
D. Kegunaan Penelitian ...........................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
7
A. Pembuktian .........................................................................
7
1. Arti Pembuktian............................................................
7
2. Sistem Pembuktian .......................................................
11
3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian ..........................
16
B. Putusan Pemidanaan ...........................................................
32
1. Arti Putusan Pemidanaan .............................................
32
2. Hal yang harus dimuat dalam Putusan Pemidanaan .....
35
ix
3. Status Terdakwa dalam Putusan Akhir.........................
41
4. Putusan Batal Demi Hukum .........................................
44
C. Upaya Hukum Kasasi .........................................................
45
1. Pengertian Upaya Hukum Kasasi .................................
45
2. Pemeriksaan dalam Upaya Hukum Kasasi ...................
50
D. Tindak Pidana Korupsi .......................................................
54
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ...............................
54
2. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi .............
57
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................
59
1. Metode Pendekatan.............................................................
59
2. Spesifikasi Penelitian..........................................................
59
3. Sumber Data .......................................................................
59
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .................................
60
5. Metode Penyajian Bahan Hukum .......................................
61
6. Metode Analisis Bahan Hukum..........................................
61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .....................
62
A. Hasil Penelitian ...................................................................
62
B. Pembahasan ........................................................................
91
BAB V PENUTUP ...............................................................................
131
A. Simpulan .............................................................................
131
B. Saran ...................................................................................
132
DAFTAR PUSTAKA
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengertian putusan pengadilan terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11
KUHAP menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.1
Terlepas dari pengertian putusan diatas maka ada kemungkinan bahwa
bentuk putusan yakni:
1. Putusan yang membebaskan terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP);
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP);
3. Putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
Putusan pemidanaan yang dimaksud dalam KUHAP dalam Pasal 193
ayat 1 adalah
“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.”
Dicantumkan juga dalam surat putusan pemidanaan berdasarkan Pasal
197 ayat (1) KUHAP harus memuat beberapa unsur yang apabila tidak
dicantumkan maka putusan tersebut adalah batal demi hukum. Beberapa unsur
yang mempengaruhi yaitu dengan adanya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf K
1
M. Karjadi dan R.1997. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bogor:
Politea. hal 4.
xi
2
KUHAP yang menyatakan bahwa “Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan”, apabila unsur tersebut tidak ada maka putusan
tersebut dinyatakan batal demi hukum berdasarkan ayat selanjutnya yakni 197
ayat (2) KUHAP.
Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
diantaranya adalah Putusan Mahkamah Agung No: 899/K/Pid.Sus/2012 yang
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 1260/Pid.B/2010
PN.Jkt.Sel dan Pengadilan Tinggi Jakarta No: 35/PID/TPK/2011/PT.DKI,
menjerat mantan Kabareskim Polri yakni Komjen Pol. Susno Duadji yang
tersangkut perkara korupsi dimana dalam dakwaan Penuntut Umum mendakwa
dengan alternatif kumulatif. Kemudian putusan yang dijatuhkan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Majelis Hakim mendasarkan pada dakwaan alternatif
pertama ke-5 yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Pasal 55 KUHP tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kedua
terbukti dakwaan alternatif kedua ke-2 yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999. Dimana terdakwa diduga telah melakukan
tindakan korupsi dengan menerima sejumlah uang dari Sjahril Djohan yang
notabene teman dari Penasihat Hukum Ho Kian Huat untuk mempercepat
proses penanganan perkara penggelapan yang dilakukan oleh Anwar Salmah,
serta dakwaan kedua yang kedua yakni melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang yang sama, dimana terdakwa juga diduga telah melakukan
pemotongan anggaran dana pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2008 yang
berasal dari dana hibah pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Namun karena
xii
3
tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri tersebut
Susno Duadji melalui Penasihat Hukumnya mengajukan upaya hukum banding
ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun setelah perkara diperiksa dan mulai
dipesidangkan sampai dijatuhkannya lagi putusan oleh Pengdilan Tinggi
hasilnya sama yakni menguatkan putusan yang telah dijatuhkan oleh
Pengadilan Tingkat Pertama. Tidak menyerah begitu saja Susno tetap
mengajukan upaya hukum lagi yakni Kasasi ke Mahkamah Agung, namun oleh
Mahkamah Agung pun pengajuan uapaya hukum tersebut menyatakan menolak
pengajuan kasasi Susno Duadji dan tetap setuju dengan putusan pengadilan
sebelumnya. Dengan alasan dari pertimbangan hukum Majelis Hakim
Mahakamah Agung bahwa pada intinya Judex Factie telah mempertimbangkan
dengan tepat dan benar tentang perkara a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah
melancarkan dakwaan alternatif kumulatif terhadap terdakwa, karena itu baik
dakwaan pertama atau dakwaan kedua harus dibuktikan dan dipertimbangkan
dengan seksama oleh Judex Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie telah
mempertimbangkan bahwa dari dakwaan pertama terbukti alternatif pertama
yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55
KUHP dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 3 jo Pasal 18
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Kemudian yang menjadi persoalan adalah pada saat Tim Kejaksaan akan
melakukan eksekusi putusan atas diri Susno Duadji mengalami beberapa
hadangan oleh sekelompok anggota polisi karena menurut pihak Susno Duadji
melalui Penasihat Hukumnya menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung
xiii
4
Nomor: 899/K/Pid.Sus/2012 adalah batal demi hukum karena tidak memuat
salah satu syarat yang harus ada dalam setiap putusan yakni tidak adanya amar
yang menyatakan “Perintah Penahanan atas diri Susno Duadji”. Pihak Susno
Duadji menyangkal seharusnya bahwa dalam amar putusan harus memuat
susunan amar sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 197 ayat 1
KUHAP. Oleh karena itu pihak Susno Duadji menolak pelaksanaan putusan
yang dilakukan oleh Kejaksaan atas dasar putusan yang tidak lengkap dan batal
demi hukum.
Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus yang pengaturannya
berada diluar KUHP memiliki beberapa pasal yang sangat menjerat pelakunya
yakni sejak adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merumuskan bahwa
secara umum unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat dibuktikan yaitu:
1. Melawan hukum;
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul:
PENERAPAN PASAL 197 AYAT 1 HURUF K KUHAP DALAM AMAR
PUTUSAN PEMIDANAAN PERKARA KORUPSI KOMJEN POL.
SUSNO DUADJI (Tinjauan Yuridis Putusan MA No: 899/K/Pid.Sus/2012)
xiv
5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka
rumusan masalah yang dapat diambil adalah:
1. Bagaimana penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP dalam amar
putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi Susno Duadji pada
Putusan MA No: 899/K/Pid.Sus/2012?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan terhadap Susno Duadji pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 899/K/Pid.Sus/2012?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP dalam
amar putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi pada Putusan No:
889/K/Pid.Sus/2012.
2.
Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi pada Putusan No.
899/K/Pid.Sus/2012.
D. Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis,
kalangan akademisi dan aparat penegak hukum mengenai hukum acara
pidana khususnya dalam hal putusan pemidanaan.
2.
Kegunaan Praktis
xv
6
Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara praktis dalam upaya
memberikan masukan terhadap aparat penegak hukum, yaitu salah satunya
hakim dalam hal menyusun putusannya, agar memperhatikan dengan
saksama perihal komponen yang harus termuat dalam setiap putusan
pemidanaan yang akan dijatuhakan kepada diri terdakwa.
xvi
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pembuktian, Sistem Pembuktian, Alat Bukti dan Kekuatan
Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian
ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan”
dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa
dinyatakan “bersalah”.2
Masalah pembuktian menjadi hal yang paling menentukan bagi
proses untuk menilai apakah perbuatan yang didakwakan kepada seorang
yang diduga melakukan tindak pidana dengan diajukan alat-alat bukti
oleh Jaksa/Penuntut Umum sudah dapat dikatakan bahwa seorang
tersebut bersalah melakukan tindak pidana. Dengan digunakannya proses
tersebut
maka
selain
untuk
mempermudah
dalam
melakukan
pemeriksaan hal itu juga dapat memberi jaminan hak asasi manusia
kepada setiap orang yang didakwa telah melakukan tindak pidana apakah
2
M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan PK). Jakarta: Sinar Grafika hal 273.
xvii
8
terbukti bersalah atau apakah sebaliknya tidak terbukti kesalahannya
sama sekali. Sesuai dengan adanya tujuan hukum acara pidana
sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah3 yang menyatakan bahwa
”Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan.”
Makna pembuktian sendiri memiliki pengertian sebagai ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Dimana dalam pembuktian meliputi ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.4
Setiap memberikan pertimbangan hukumnya Hakim dalam
membuat putusan akhir harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 183
KUHAP yang menyatakan bahwa
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Rumusan ketentuan pasal tersebut memiliki unsur sebagai berikut:
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat
bukti yang sah”,
3
4
Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal 7-8.
M. Yahya Harahap. Loc. Cit.
xviii
9
2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.5
Pembuktian yang ada dalam proses peradilan pidana sering hanya
diartikan sebagai pembuktian yang dilakukan selama proses persidangan
namun sebenarnya pembuktian atau kegiatan pembuktian sudah
dilakukan mulai dari tahap penyelidikan sampai nantinya dilakukan
pemeriksaan persidangan. Dimana sebagai contoh pembuktian dalam
tahap penyelidikan adalah sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka
5 KUHAP yang secara garis besar menyatakan kegiatan untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga suatu tindak pidana untuk
dijadikan sebagai dasar penyidikan. Yang selanjutnya sebagai contoh
dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP yang secara garis
besar menyatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk mencari
bukti yang dapat membuat terang dan untuk menentukan siapa
tersangkanya. Pembuktian yang oleh beberapa kalangan dirasa
mempunyai peran penting ialah pembuktian dalam proses persidangan.
Dimana setelah diketahui dari proses penyelidikan sampai
pencarian bukti pada tingkat penyidikan bahwa suatu perbuatan yang
diduga telah melanggar ketentuan dalam undang-undang maka menjadi
tugas selanjutnya ialah menilai alat-alat butki yang telah diajukan untuk
5
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 280.
xix
10
dapat dinilai oleh hakim apakah perbuatan yang sudah didakwakan telah
terbukti sebagai perbuatan pidana atau tidak. Hal tersebut sesuai dengan
arti pembuktian dalam sidang pengadilan yang pada intinya membedakan
kegiatan pembuktian menjadi 2 bagian yakni:
1.
Bagian kegiatan pengungkapan fakta
Bagian pembuktian yang pertama ini, adalah kegiatan pemeriksaan
alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh Jaksa
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum atau atas kebijakan majelis
hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada
saat ketua majelis menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam
sidang bahwa pemerkisaan perkara selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf
a KUHAP) dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain selesai
pemeriksaan untuk mengungkap atau mendapatkan fakta-fakta dari
alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang.
2.
Bagian
pekerjaan
penganalisisan
fakta
yang
sekaligus
penganalisisan hukum
Bagian pembuktian kedua ini maksudnya ialah bagian pembuktian
yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam
persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing oleh Jaksa
Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Majelis Hakim. Oleh
Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini
dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Sedangkan
bagi Penasihat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota
xx
11
pembelaan (pledooi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam
putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.6
Dari adanya pengertian diatas maka oleh beberapa pakar hukum
dikatakan sebagai kegiatan hukum pembuktian. Dimana hukum
pembuktian adalah memuat dan mengatur berbagai unsur pembuktian
yang tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungan sehingga
membentuk suatu kebulatan perihal pembuktian, yang jika dilihat dari
segi keteraturan dan keterkaitannya dalam suatu kebulatan itu dapat juga
disebut dengan sistem pembuktian.7
2. Sistem Pembuktian
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa
ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat. Dengan adanya rumusan Pasal 183 KUHAP diatas maka
dikenalah apa yang dinamakan dengan Prinsip Minimun Pembuktian yang
merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk
membuktikan kesalahan terdakwa yaitu:
1. Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya
satu alat bukti belum cukup).
2. Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan
“sepat”, dengan satu alat bukti sah saja cukup mendukung
keyakinan hakim.8
6
Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni.
hal 21-22.
7
Ibid. hal 24.
8
Manullang, Dunia Hukum Online. http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/09/asasasas-hukum-pidana.html. diakses pada tanggal 17 Oktober 2013.
xxi
12
Dengan kata lain apabila menurut pendapat dan penilaian
pengadilan, terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan kesalahan berupa tindak pidana yang didakwakan kepadanya
sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian
yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah
cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang
memberikan keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak
pidananya.9
Sistem atau teori pembuktian yang banyak digunakan dalam
banyak referensi adalah sebagai berikut:
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan UndangUndang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
Pembuktian
yang
didasarkan
melulu
kepada
alat-alat
pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau
teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif karena
hanya didasarkan pada undang-undang melulu. Artinya, jika
telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang
disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak
diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian
formal (formele bewijstheorie). Teori pembuktian ini sekarang
tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak
9
M. Yahya Harahap. Op. Cit.. hal 354.
xxii
13
mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undangundang. 10
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan
Hakim Melulu (Convictim in Time)
Menurut Andi Hamah11 yang menyatakan bahwa sistem
tersebut memiliki arti yakni
“Alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri tidak selalu
membuktikan kebenaran. Oleh karena itu, diperlukan
bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Berakar pada
pemikiran itulah, maka sistem yang didasarkan pada
keyakinan hakim melulu yang didasarkan pada keyakinan
hati nuraninyasendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah
melakukan perbuatan yang didakwakan.”
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagimana
manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah
dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti
tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara
hakim dalam menentukan keyakinannya itu.12
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim
atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonner atau
Convictim-Raisonee)
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena
hakim
keyakinannya
bebas
(vrije
untuk
menyebut
bewijstheorie).
10
Sistem
alasan-alasan
atau
teori
Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di
Indonesia. Jakarta : Raih Aksa Sukses. hal. 25.
11
Andi Hamzah. 2008. Perbandingan KUHP, HIR, dan Komentar. Jakarta: Ghalia. hal.260.
12
Adami Chazawi. Op. Cit. hal 25.
xxiii
14
pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim
sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama
tersebut diatas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas
alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua ialah
teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative
(negatief wettelijk bewijstheorie).13
Dalam sistem ini, walaupun undang-undang menyebut dan
menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya
dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah pada
pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya
tetrsebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam
pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang digunakannya
dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya
dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.14
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Negatif (Negatief Wettelijk)
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijk Bewijs Theorie) adalah pembuktian yang selain
menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam
undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalian
menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim
terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang.
13
14
Andi Hamzah. Op. Cit. hal. 253
Adami Chazawi. Op. Cit. hal 26.
xxiv
15
Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undangundang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering
juga disebut pembuktian ganda (doubelen grondslag).
Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR telah diadopsi
dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang
rumusannya menyatakan bahwa
“Hakim tidak boleh menjatuhkan kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Dalam sistem undang-undang secara negative sebagai intinya,
yang
dirumuskan
dalam
Pasal
183
KUHAP,
dapatlah
disimpulkan pokok-pokoknya, ialah
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara
pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat
menjatuhkan pidana;
b. Standar/syarat
tentang
hasil
pembuktian
untuk
menjatuhkan pidana.15
3. Alat Bukti
Pasal 184 KUHAP menyatakan secara terbatas atau limitatif
adanya jumlah alat bukti yang telah diatur guna dipakai untuk menjadi
dasar dari pencairan bukti-bukti yang dapat memberikan informasi yang
jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menjerat seorang yang
15
Ibid. hal 30.
xxv
16
diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Alat bukti yang berada
diluar KUHAP tidak dapat digunakan untuk mencari kebenaran materiil
dalam perkara pidana, karena dengan adanya pemberian secara limitatif
tersebut secara langsung berakibat bahwa alat bukti yang harus digunakan
mesti berpedoman pada alat-alat bukti tersebut. Alat bukti sebagaimana
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Keterangan Saksi;
Keterangan Ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan Terdakwa.
Dengan pengecualian dari ketentuan pasal tersebut diatas adalah
untuk pemeriksaan cepat hanya dibutuhkan satu alat bukti saja sudah
cukup yang menyatakan bahwa dalam Penjelasan Pasal 184 KUHAP
sebagai berikut:
“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup
didukung satu alat bukti yang sah.”
Alat bukti sebagai bagian dari adanya pembuktian dalam
persidangan menjadi hal yang sangat menentukan dalam membuktikan
apakah seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dapat
dikatakan bersalah melaui alat bukti yang diajukan selama proses di
persidangan. Untuk itu hakim dalam menilai suatu alat bukti yang telah
diajukan harus benar-benar diperhatikan dan dapat dijadikan bagi hakim
untuk memberikan kesimpulan untuk menjatuhkan putusan ata dugaan
tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang.
A. Alat Bukti Keterangan Saksi
xxvi
17
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu
bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sebagai salah satu
bentuk alat bukti maka untuk menjadi seorang saksi maka harus
memenuhi syarat yang telah ditentukan yakni:
Menurut ketetentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP sebelum saksi
memberikan keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau janji.
Dengan sumpah atau janji yang harus dilakukan:
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tida lain daripada
yang sebenarnya.
Saksi yaitu keterangan seorang saksi yang menjadi korban
kejahatan atau orang yang melihat, mendengar dengan mata kepala
sendiri dengan menguraikan secara rinci atas kejadian yang ia
ketahui. Saksi tidak diperkenankan memberikan pendapat atau
konklusi. Persangkaan ataupun perkiraan yang istimewa yang terjadi
karena kata akal, bukan merupakan kesaksian.16
Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti artinya bahwa
tidak semua keterangan saksi dapat dijadikan sebagai bukti yang
dapat memberikan informasi bagi hakim dalam melakukan
16
Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktik. Bandung:
Mandar Maju. hal 285.
xxvii
18
pemeriksaan terhadapnya. Ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP
menyatakan bahwa keterangan saksi ialah keterangan yang:
a.
b.
c.
d.
ia lihat sendiri,
saksi dengar sendiri,
saksi alami sendiri,
serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi diberikan disidang pengadilan yang memilki
makna
bahwa
keterangan
seseorang
yang
diberikan
diluar
persidangan tidak dapat dijadikan sebagai bukti. Karena setiap orang
yang menjadi saksi ialah orang yang dipanggil dalam persidangan
dan memberikan keterangannya dibawah sumpah. Ketentuan Pasal
185 ayat (1) KUHAP bahwa untuk dapat dijadikan sebagai bukti
maka setiap keterangan orang yang dijadikan saksi harus
disampaikan dalam sidang pengadilan, disamping itu dengan adanya
kewajiban untuk menyampaikan dalam sidang pengadilan ialah guna
mengahindari adanya pengaruh orang yang mengaku mengetahui
kejadian suatu tindak pidana menyampaikannya kepada hakim diluar
sidang maupun kepada penuntut umum atau penasihat hukum untuk
disampaikan di sidang pengadilan.
B. Alat Bukti Keterangan Saksi Ahli
Saksi ahli merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam
ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang dapat
digunakan dalam pembuktian acara pidana. Ahli sendiri mempunyai
pengertian sebagai seorang yang megetahui segala bidang yang telah
menjadi profesinya, dimana dengan profesi yang dimilikinya
xxviii
19
tersebut dapat membuat terang terhadap perkara yang sedang
diperiksa selain tetap memperhatikan adanya keterangan saksi
sebagai alat bukti sebelumnya.
Saksi ahli menurtu Moch. Faisal Salam17 menyatakan bahwa
“Saksi ahli adalah saksi yang ahli dalam suatu bidang, misal ahli
tanda tangan atau tulisan, ahli senjata api, dokter kehakiman,
ahli farmasi. Maka keterangan para saksi baik saksi biasa
maupun saksi ahli, merupakan alat bukti yang sah.”
Pada awalnya sebelum dikenal adanya KUHAP sistem peradilan
di Indonesia masih menggunakan HIR yang berlakunya baik untuk
perkara perdata maupun untuk perkara pidana. Kedudukan ahli
dalam HIR pun tidak dijadikan sebagai alat bukti yang sah namun
hanya dijadikan sebagai keterangan diluar alat bukti yang ada dalam
HIR yang berguna untuk menambah keyekinan bagi hakim dalam
memeriksa
suatu
perbuatan
yang
diduga
telah
melakukan
pelanggaran terhadap suatu peraturan perundangan tertetntu.
Keterangan ahli mulai dapat digunakan pada saat pemeriksaan
ditingkat penyidikan yakni dengan adanya ketentuan Pasal 133 ayat
(1) KUHAP menyatakan bahwa
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
17
Ibid. hal 285.
xxix
20
Dari rumusan ketentuan pasal tersebut dapat kita pahami bahwa
sejak ditingkat penyidikan pun keterangan ahli dapat digunkan untuk
memberikan keterangan mengenai hal yang berada diluar bidang
hukum namun hasilnya dapat membuat terang perkara pidana yang
diduga telah dilakukan oleh seseorang. Dalam penjelasan Pasal 186
KUHAP menyatakan bahwa
“Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan disidang,
diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita
acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia
mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.”
Dari ketentuan yang tersebut diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa
1. Alat bukti keterangan ahli dapat berbentuk “laporan” atau
“visum et repertum”,
- pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk
“laporan atau visum et repertum”, tetap dapat dinilai
sebagai alat bukti keterangan ahli.
- pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk
laporan, juga menyentuh alat bukti “surat”.
xxx
21
2.
Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “keterangan
langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang dituangkan
dalam catatan berita acara persidangan.18
Adanya keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah setelah
adanya KUHAP dapat menjadi landasan hakim dalam mengambil
pertimbangan hukumnya di putusan akhir apakah suatu tindak
pidana yang diduga telah dilakukan oleh seseorang terbutki atau
tidak terbukti.
C. Alat Bukti Surat
Keberadaan alat bukti surat dalam KUHAP hanya disampaikan
pada Pasal 184 KUHAP dan Pasal 187 KUHAP. Dimana Pasal 187
KUHAP menyatakan bahwa
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah:
a. Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
18
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 303.
xxxi
22
Pengertian surat sendiri dalam KUHAP tidak diatur secara tegas
akan tetapi sebelum adanya KUHAP pengaturan tentang surat telah
ada dalam HIR namun juga terbatas yakni cuma ada terdapat dalam
3 pasal (Pasal 304, Pasal 305, dan Pasal 306 HIR). Ketentuan dalam
HIR tersebut pada waktu itu juga masih memberikan kesempatan
yang artinya dalam praktik bahwa alat bukti surat dapat digunakan
untuk pembuktian dalam acara perdata maupun pidana. Namun
setelah berlakunya KUHAP maka ketentuan tersebut mejadi tidak
berlaku karena dalam sistem acara pidana dengan berlakunya
KUHAP surat menjadi alat bukti yang sah dan merupakan alat bukti
yang bebas bagi hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa
dengan tetap memperhatikan keberadaan alat bukti yang lainnya.
Dengan diaturnya surat sebagi alat bukti yang sah berdasarkan
adanya Pasal 184 KUHAP maka tidak ada alasan bagi hakim untuk
tidak menggunakannya sebagai dasar untuk membuat pertimbangan
hukum dalam menjatuhkan putusan akhir.
D. Alat Bukti Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan definisi tentang
petunjuk yakni
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
Apabila hakim akan menggunakan alat butki ini perlu dipahami
secara saksama mengenai pasal yang mengaturnya karena ketentuan
xxxii
23
dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mempunyai unsur
yakni sebagai berikut:
a. Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian keadaan yang
bersesuaian;
b. Unsur kedua, ada 2 persesuaian, ialah:
1. Bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian,
dan keadaan satu dengan yang lain, maupun
2. Bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan keadaan
dengan tindak pidana yang didakwakan;
c. Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu
menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukan adanya
2 (dua) hal in casu kejadian ialah:
1. Pertama, menunjukan bahwa benar telah terjadi sautu
tindak pidana, dan
2. Kedua, menunjukan siapa pembuatnya.
d. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat
bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa.19
Hakim hanya dapat menggunakan alat bukti ini dengan
mendasarkan pada alat bukti yang lainnya yakni saksi, surat dan
keterangan terdakwa. Dengan kata lain hakim tidak bisa secara
langsung menggunakan alat bukti ini tanpa didasari oleh alat bukti
19
Adami Chazawi. Op. Cit. hal 74.
xxxiii
24
lain dalam hal untuk memberi keyakinan bagi hakim dalam
memberikan pertimbangan hukumnya.
E. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Pengertian tentang alat bukti keterangan terdakwa disampaikan
pada ketentuan Pasal 189 KUHAP ayat (1) menyatakan bahwa:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri”.
Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undangundang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti
yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan
menetukan.
4. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti
Setiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang artinya
tiap alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan mempunyai nilai
masing-masing yang berguna untuk menambah keyakinan hakim
mengenai perbuatan seseorang yang diduga telah melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
1. Keterangan saksi menjadi alat bukti pastinya memiliki nilai
kekuatan pembuktian yang dapat digunakan bagi hakim dalam
memberikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
kepada terdakwa. Keterangan saksi memiliki nilai kekuatan
pembuktian sebagai berikut:
xxxiv
25
- Mempunyai kekuatan pembuktian bebas yang artinya bahwa
setiap keterangan saksi yang diberikan dalam proses
persidangan bersifat tidak memiliki kekuatan yang sempurna
atau
mengikat
dan
menentukan
bagi
hakim
dalam
memberikan pertimbangannya. Setiap keterangan saksi yang
diberikan bersifat bebas yakni apakah keterangan dari saksi
tersebut akan dipakai atau tidak itu kembali kepada hakim
yang akan memutusnya. Atau dengan kata lain bahwa alat
butki saksi sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas
dan tidak sempurna dan tidak menentukan dan tidak
mengikat.
- Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim yang artinya bahwa alat bukti keterangan saksi sebagai
alat bukti yang sah tapi tidak sempurna dan tidak menentukan
itu sifatnya tidak bisa mengikat bagi hakim. Hakim dalam
menilai keterangan saksi bebas untuk memakai atau tidak
setiap keterangan saksi yang diperoleh selama proses
pemeriksaan
persidangan.
Penilaian
hakimlah
yang
menentukan apakah keterangan saksi tersebut dianggap
memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna atau
tidak. Dan biasanya sebelum saksi dimintai keterangannya
maka terhadap dirinya akan diambil sumpah terlebbih dahulu
xxxv
26
untuk memastikan bahwa pernyataan yang akan dia berikan
tidak palsu atau saksi berbohong.
Oleh karena itu hakim dalam memeriksa setiap keterangan
saksi harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 185 ayat (6)
KUHAP yakni sebagai berikut:
1. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan
saksi yang lainnya;
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti yang
lain;
3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.
Jadi keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah memiliki
nilai kekuatan pembuktian yang bebas dalam arti hakimlah
yang akan menentukan apakah keterangan setiap saksi yang
diberikan dalam pemeriksaan persidangan itu bersifat sempurna
dan
menentukan
tergantung
penilaian
hakim
terhadap
keterangan saksi tersebut. Karena pada dasarnya keterangan
saksi tidak mengikat hakim sebagai alat bukti yang sempurna
dan menentukan tanpa didukung dengan alat bukti yang
lainnya.
2. Keterangan ahli sebelum berlakunya KUHAP dalam HIR
hanya sebagai bahan penambah yang dapat digunakan oleh
hakim untuk membuat terang peristiwa yang sedang diperiksa.
Namun setelah berlakunya KUHAP keterangan ahli dalam
persidangan menjadi alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti
xxxvi
27
yang sah maka secara otomatis keterangan ahli mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yakni
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas yang artinya
bahwa didalam keterangan ahli tidak mempunyai sifat yang
sempurna
dan
mengikat
bagi
hakim
untuk
menggunakannya. Karena pada dasarnya hakim diberikan
kebebasan untuk menilai keterangan ahli apakah berguna
atau tidak untuk dijadikan pertimbangan hakim dalam
putusannya. Selain itu kembali kepada moral dari hakim
yang memandang keterangan ahli apakah keterangan
tersebut sempurna atau tidak untuk membuktikan kesalahan
yang telah didakwakan kepada terdakwa.
b. Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP maka
setiap keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk
dijadikan sebagai alat bukti yang sah tanpa didukung oleh
alat butki yang lain. Dalam arti bahwa keterangan seorang
ahli
tidak
dapat
menentukan
terbuktinya
kesalahan
terdakwa tanpa disertai dengan adanya alat bukti yang
lainnya.
Selain itu pada dasarnya keterangan ahli dapat dibedakan
menjadi dua yakni sebagai berikut:
1. Ahli
yang
memberikan
keterangan
berdasarkan
pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya dengan
xxxvii
28
pertama kali melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
Misalnya ahli kedokteran forensik melakukan otopsi
terhadap korban pembunuhan yang diduga telah
dibunuh oleh terdakwa dengan cara ditusuk, maka
tugas dari dokter tersebut untuk memeriksa apakah
korban meninggal karena tusukan atau karena sebab
yang lain. Berdasarkan pemeriksaan oleh ahli tersebut
biasanya dituangkan dalam bukti tertulis mengenai
hasil
pemeriksaan
yang
telah
dilakukan
yang
selanjutnya dapat dijadikan bukti bagi ahli tersebut
dalam memberikan serta memperkuat keterangannya
di persidangan.
2. Ahli yang memberikan keterangan berdasarkan ilmu
dan
pengetahuannya
tanpa
melakukan
proses
pemeriksaan tertentu terlebih dahulu. Sebagai contoh
adalah keterangan ahli perakit bom yang memberikan
cara kerja dan pembuatan perakitan bom. Dia tidak
melakukan pemeriksaan terlebih dahulu karena hal
tersebut dapat mengancam keselamatan jiwanya dan
orang lain yang sedang melakukan proses pemeriksaan
di persidangan.
Jadi pada dasarnya keterangan ahli yang bersifat bebas
tersebut tidak harus dengan memiliki bukti formal seperti
xxxviii
29
ijazah atau sertifikat, karena bisa saja orang yang karena
kebiasaannya mengetahui dalam bidang tertentu dapat dimintai
keterangan dengan tujuan untuk membuat terang perkara yang
sedang dihadapi.
3. Alat bukti surat mempunyai nilai kekuatan pembuktian dapat
dilihat dari dua segi yakni sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi formal artinya bahwa alat bukti surat
yang tertuang dalam ketentuan Pasal 187 huruf a dan b
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna menurut
formal, karena alat bukti surat tersebut secara formal telah
dibuat oleh pejabat yang berwenang dan pejabat itu sendiri
sebelumnya telah disumpah sesuai dengan profesinya.
Maka dari itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna
formal dalm hal apabila alat bukti surat tersebut dibuat oleh
pejabat yang berwenang dan telah disumpah sebelumnya.
2. Ditinjau dari segi materiil, alat bukti surat mempunyai
kekuatan pembuktian yang bebas seperti alat bukti saksi
dan alat bukti ahli. Karena mendasarkan pada hal yang
sama bahwa penilaian hakimlah yang menentukan apakah
bukti tersebut mengikat dirinya dan bersifat sempurna
tergantung dari penilaian hakim itu sendiri.
Pada dasarnya alat bukti surat memiliki nilai kekuatan
pembuktian yang sempurna secara formil apabila dibuat oleh
xxxix
30
pejabat yang berwenang dan sebelumnya telah disumpah
berdasarkan profesinya. Namun bersifat bebas dalam arti
materiil karena apabila mendasarkan pada alat bukti surat saja
tanpa menggunakan alat bukti yang lain tidak dapat
menentukan
kesalahan
yang
telah
didakwakan
kepada
terdakwa.
4. Alat bukti petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian
bebas karena didasarkan pada hal-hal berikut ini:
1. Hakim tidak atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan
oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan
mempergunakannya sebagai upaya pembuktian,
2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat pada
prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar
petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu
alat bukti yang lain
Pada dasarnya petunjuk sebagai alat bukti hanya dipakai
oleh hakim sebagai kesimpulan mengenai kesesuaian antara
alat bukti yang lainnya dan untuk nantinya dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Sedangkan untuk
jaksa petunjuk digunakan sebagai kesimpulan untuk membuat
xl
31
tuntutannya (requisitoir) atas proses pemeriksaan alat bukti
yang telah dilakukan sebelumnya.
5. Alat bukti keterangan terdakwa mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang sama dengan alat bukti yang lainnya yakni
bersifat
bebas
dan
tidak
mengikat
hakim
untuk
menggunakannya. Hakim apabila ingin menjadikan alat bukti
keterangan terdakwa ini sebagai alat bukti yang sempurna
harus mendasarkan pada alat bukti yang lainnya. Hakim bebas
untuk menilai keterangan terdakwa asalkan memenuhi prosedur
yang telah ditentukan bahwa selain mendasarkan pada batas
prinsip minimum pembuktian maka disamping itu juga harus
berdasarkan pada asas keyakinan hakim berdasarkan ketentuan
Pasal 183 KUHAP yang bersifat pembuktian secara negatif.
Selain mendasarkan pada alat bukti yang dihadirkan ditambah
keyakinan hakim
bahwa terdakwalah terbukti
bersalah
melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan jaksa.
B. Putusan Pemidanaan
1. Pengertian Putusan Pemidanaan
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka
sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan
memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara
dan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut putusan
akhir. Menurut KUHAP ada beberapa macam bentuk putusan
xli
32
diantaranya adalah putusan pemidanaan yang bermakna dalam hal
terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum,
maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan
tindak pidana yang telah dilakukannya.20
Putusan Pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim
karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum setelah melakukan proses dan procedural hukum acara pidana
pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan
dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan
penyelesaian perkaranya.21
Putusan pemidanaan seringkali oleh beberapa pakar dairtikan
dengan putusan pidana atau penghukuman. Dimana rumusan Pasal 193
ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.”
Putusan pemidanaan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan
kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah
untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut
dalam pasal pidana yang didakwakan.22
20
Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika. hal 117.
21
Lilik Mulyadi. 2010. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritis Dan Praktik
Peradilan. Bandung: CV. Mandar Maju. hal 93.
22
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 354.
xlii
33
Menurut Mr. M. H. Tirtaadmidjaja sebagaimana dikutip oleh
Leden Marpaung23 menyatakan bahwa
“Sebagai Hakim, ia harus berusaha untuk menerapkan suatu
hukuman, yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh si terdakwa
sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Dimana untuk
mewujudkan hal tersebut harus memperhatikan:
a. Sifat pelanggaran pidana itu (apakah itu suatu pelanggaran
pidana yang berat atau ringan);
b. Ancaman hukuman terhadap terhadap pelanggaran pidana
itu;
c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana
itu (yang memberatkan dan meringankan);
d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat tulen atau
seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum
(recidivist) atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja;
atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun seorang
yang telah berusia tinggi;
e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu;
f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu (apakah ia
menyesal tentang kesalahannya ataukah dengan keras
menyangkal meskipun telah ada bukti yang cukup akan
kesalahannya);
g. Kepentingan umum.
Dengan adanya pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa
maka secara otomatis proses pemeriksaan persidangan telah selesai.
Namun yang menjadi persoalan adalah fungsi menjatuhkan pemidanaan
apakah hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tersebut
mengetahui maksud adanya fungsi pemidanaan atau hanya sekedar
menjalankan perintah undang-undang, karena perlu untuk diketahui
bahwa fungsi pemidanaan adalah sebagai berikut:
1. Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas
normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, criteria atau
23
Leden Marpaung. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan &
Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi). Jakarta: Sinar Garfika. hal 139.
xliii
34
paradigm terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini
secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung
didalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas
yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang
diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan,
dikembangkan, dan diaplikasikan.
2. Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta teori.
Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang
mendasari
dan
melatarbelakangi
setiap
teori-teori
pemidanaan.24
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim apabila ia telah yakin
bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang telah diajukan dengan ditambah
dari keyakinan hakim sendiri bahwa terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana sebagimana yang didakwakan oleh jaksa maka
kepadanya dijatuhkan pidana sesuai ancaman dari jaksa tersebut.
Sehingga dengan adanya putusan pemidanaan yang telah dijatuhkan
maka menjadi proses terakhir tapi menjadi proses terpenting dalam
menjamin tegaknya hukum serta disamping tidak mengurangi hak
terdakwa untuk segera mendapatkan perlakuan atas perbuatan yang
dilakukannya.
2. Hal-Hal Yang Harus Dimuat Dalam Putusan Pemidanaan
24
Lilik Mulyadi. Op. Cit. hal 113-114.
xliv
35
Putusan pemidanaan berdasarkan Pasal 197 ayat 1 KUHAP harus
memuat beberapa ketentuan yakni sebagai berikut:
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta daan
keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh, surat pernyataan palsu atau keterangan
dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
Unsur-unsur yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan diatas
memiliki bebarapa penjelasan yakni sebagai berikut
Ad.a. Maksud “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Maksud eksplisit dicantumkannya irah-irah tersebut dimaksudkan
bahwa pengadilan dilaksanakan dengan sendi-sendi religius (Pasal 29
UUD 1945 dan Sila I Pancasila) dan manifestasinya hakim dalam
memutus perkara harus mencari dan mewujudkan kebenaran materiil
xlv
36
(materieele waarheid) dan keadilan sehingga secara moral bertanggung
jawab kepada diri sendiri, hak asasi, kepada masyarakat dan negara, ilmu
hukum sendiri dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Ad.b. Penjelasan mengenai identitas terdakwa
Pemeriksaan identitas terdakwa di persidangan diperlukan agar
tidak terjadi kesalahan dalam mengadili seseorang (error in persona).
Sehingga dengan diperiksanya identitas terdakwa secara jelas dan cermat,
diharapkan bahwa orang yang diadili hakim di depan persidangan itulah
merupakan terdakwa sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan.
Ad.c. Penjelasan mengenai dalam putusan harus memuat dakwaan
Esensi dakwaaan adalah dalam sidang pengadilan penting adanya,
oleh karena ruang lingkup pemeriksaan terdakwa di depan persidangan
berorientasi pada surat dakwaan. Berdasarkan dakwaan, pembuktian, dan
keyakinannya, maka majelis hakim menentukan apakah terdakwa
bersalah ataukah tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Ad.d. Maksud dari keterangan yang diperoleh selama persidangan
Menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP
maka yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan” disini ialah segala apa
yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses,
antara lain penuntut umum, saksi ahli, terdakwa, penasihat hukum dan
saksi korban.
Ad.e. Maksud putusan pemidanaan harus memuat tuntutan
xlvi
37
Hal ini khusus terhadap putusan pemidanaan. Apabila terhadap
putusan bukan pemidanaan berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (1)
KUHAP tidak perlu dicantumkan mengenai tuntutan pidananya.
Ad.f. Maksud putusan pemidanaan harus mencantumkan pasal peraturan
perundangan serta keadaaan yang memberatkan dan meringankan
Putusan disini diuraikan dan dipertimbangkan mengenai unsurunsur (bestandellen) pasal yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum
dalam surat dakwaannya. Unsur-unsur pasal tersebut harus seluruhnya
terbukti dan apabila salah satu unsur tidak terbukti, maka terdakwa akan
dijatuhkan putusan bebas. Dalam pertimbangan unsur-unsur tersebut
maka hakim selain berdasarkan ketentuan alat bukti sebagaimana
ketentuan Pasal 184 KUHAP, juga berdasarkan pendapat para doktrin
dan yurisprudensi. Selain itu untuk menentukan lamanya pidana
(sentencing atau straftoemetting) hakim juga menguraikan keadaan yang
memberatkan maupun yang meringankan.
Ad.g. Maksud adanya musyawarah majelis hakim
Mengenai hari dan tanggal musyawarah majelis hakim dalam
putusan terdapat dibawah amar putusan. Kalau bertitik tolak pada
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g KUHAP ini maka hari dan tanggal
musyawarah mejelis hakim berbeda dengan hari dan tanggal putusan
sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP.
Ad.h. Maksud dari pernyataan terbuktinya kesalahan terdakwa
xlvii
38
Ketentuan pasal ini bersifat limitatif yang terdapat dalam
diktum/amar putusan berisikan kualifikasi tindak pidana yang terbukti
didepan persidangan dan lamanya pidana dijatuhkan oleh majelis hakim.
Ad.i. Maksud dari pembebanan biaya perkara
Selain berdasarkan ketentuan pasal tersebut disebutkan pula dalam
Pasal 222 ayat (1) KUHAP yang memberikan kesempatan kepada
terdakwa untuk mengajukan permohonan apabila dia dirasa tidak mampu
untuk membayar uang perkara. Namun apabila terdakwa tidak mampu
ataupun tidak mau membayar, Jaksa pada prinsipnya dapat menyita
sebagian barang-barang milik terpidana untuk dijual lelang yang
kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk melunasi biaya perkara
tersebut. Kemudian khusus barang bukti maka pengadilan menetapkan
supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling
berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan
tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang bahwa barang
bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan
atau dirusakkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Ad.j. Maksud dari surat dibawah tangan harus dikesampingkan
Terhadap hal ini, terutama ditujukan kepada surat autentik saja
oleh karena menurut hukum perdata, surat autentik merupakan bukti
sempurna (Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, dan Pasal 1970 KUH Perdata)
sedangkan mengenai surat dibawah tangan atau surat-surat laninnya tidak
xlviii
39
perlu/diharuskan diterangkan kepalsuannya pada pemeriksaan hakim
pidana.
Ad.k. Maksud dari perintah penahanan kepada terdakwa
Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP
menentukan, bahwa:
a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan jika terdakwa tidak
ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan,
apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan
yang cukup untuk itu;
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan
putusan-putusannya, dapat menetapkan tetap ada dalam tahanan
atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang cukup untuk
itu.
Ad.l. Maksud dari hari, tanggal, serta identitas para pihak di pengadilan
Aspek ini dimaksudkan agar setiap orang mengetahui kapan
waktunya putusan diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum
serta nama Penuntut Umum, nama Majelis Hakim yang mengadili
perkara serta nama Panitera guna transparannya pemeriksaan serta
susunan pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap
perkara itu.25
Disampaikan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP bahwa “Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, k, dan l
25
Ibid. hal 99-105.
xlix
40
pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan adanya
pernyataan dari ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP terebut
menandakan bahwa syarat yang telah ditentukan dalam ayat (1) harus
dipenuhi secara keseluruhan. Ini sejalan dengan pendapat dari Komisi III
DPR Republik Indonesia dan beberapa pakar hukum yang menyatakan
bahwa
“Apabila suatu putusan pemidanaan tidak memenuhi ketentuan
Pasal 197 ayat (1) KUHAP, maka putusan itu akan berakibat batal
demi hukum. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 197 ayat (2)
KUHAP.”26
Syarat yang telah ada dalam ayat (1) tersebut telah membuktikan
sifatnya yang sempurna bahwa apabila salah satu tidak terpenuhi maka
dapat mengakibatkan suatu putusan adalah batal demi hukum. Sebagai
contoh penerapannya adalah pendapat yang disampaikan oleh Yusril
Ihza Mahendra27 yang mengatakan bahwa
Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal
197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi
hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum”
(venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya
putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never
existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak
mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum,
sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya
tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai
eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan
batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka
mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam
26
Anonim. 2010. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbc5042998ac/putusantanpa-perintah-penahanan-bisa-dieksekusi, diakses pada tanggal 4 November 2013.
27
Yusril Ihza Mahendra. 2012. http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapathukum-terhadap-putusan-batal-demi-hukum/, diakses pada tanggal 4 November 2013.
l
41
tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197
ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa
(mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh
diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada
setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung);
Selain itu ketentuan yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP
merupakan ketentuan yang bersifat tekstual dengan artian wajib
dicantumkan didalam putusan, sesuai dengan Pasal 3 KUHAP itu sendiri,
dimana dinyatakan bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Bahwa diketahui ketentuan Pasal 197 ayat (1)
KUHAP tersebut diatas memuat 12 poin, dimulai dar huruf a hingga l,
yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan. Apabila salah satu poin
keculai huruf g, tidak termuat dalam putusan pemidanaan tersebut
mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal
197 ayat (2) KUHAP.28
3. Status Terdakwa Dalam Putusan Pemidanaan
Dengan adanya putusan pemidanaan yang telah dijatuhkan maka
secara langsung memiliki akibat yang berkaitan dengan status terdakwa
dalam tahanan. Status dalam tahanan memiliki peranan yang sangat
penting dimana sifatnya untuk menjamin kedudukan terdakwa apakah
tetap ditahan atau dibebaskan. Pencantuman status terdakwa dapat
dilakukan bersamaan dengan putusan diucapkan seperti dinyatakan oleh
M. Yahya Harahap29 yang menyatakan bahwa:
28
http://www.poskotanews.com/2013/03/06/kisruh-pasal-197-kuhap-penegak-hukumdapat-dihukum-berat/, diakses pada tanggal 5 November 2013.
29
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 355-356.
li
42
Status terdakwa yang dapat diperintahkan pengadilan berbarengan
dengan saat putusan diucapkan, berpedoman kepada Pasal 193 ayat
2. Dari ketentuan ayat 2 ini, ada berbagai status yang dapat
diperintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi
dengan putusan pidana:
a. Jika terdakwa tidak ditahan maka alternatifnya:
- Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam status “tidak
ditahan”. Tidak semua putusan pemidanaan dibarengi dengan
perintah supaya terdakwa ditahan. Sekalipun terdakwa berada
dalam status tidak ditahan, kemudian putusan yang
dijatuhkan
berupa
pemidanaan,
pengadilan
dapat
memerintahkan dalam putusan supaya terdakwa “tidak
ditahan”. Tindakan atau kebijaksanaan pengadilan yang tidak
memerintahkan terdakwa supaya ditahan dalam suatu putusan
pemidanan, tentu ada baikdan buruknya. Segi buruknya
seolah-olah putusan pemidanaan itu dianggap masyarakat
kurang sungguh-sungguh. Segi baiknya menurut pengadilan
buat apa terburu-buru biasanya akan dilakukan upaya hukum
atas suatu putusan pemidanaan tersebut.
- Pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan.
Jika terdakwa tidak ditahan pada saat putusan dijatuhkan,
pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan.
Berarti pada saat pengadilan menjatuhkan putusan
pemidanaan terhadap terdakwa, sekaligus memerintahkan
supaya terdakwa ditahan.
b. Jika terdakwa berada dalam status tahanan menurut Pasal 193
ayat 2 huruf b KUHAP, pengadilan dapat memilih salah satu
alternatif dibawah ini:
- Memerintahkan terdakwa “tetap berada dalam tahanan”. Jadi,
kalau pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan
terhadap terdakwa yang kebetulan sedang ditahan, pada saat
putusan dijatuhkan atau diucapkan, sekaligus dibarengi
dengan perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan.
- Memerintahkan “pembebasan terdakwa dari tahanan”.
Artinya bahwa meskipun terdakwa dijatuhi pidana namun
disini undang-undang memberikan batasan yakni apabila
terdakwa ternyata divonis selama masa tahanan yang telah
dijalaninya maka terhadap dirinya dapat dilakukan dalam
penjatuhan putusan dengan perintah pembebasan dari
tahanan. Selain masa tahanan yang sama dengan vonis yang
dijatuhkan, penahanan yang melampaui batas perlu juga
untuk diperintahkan untuk pembebasan terhadap terdakwa.
Namun dalam hal tertentu seperti keadaan sakit maka
terdakwa juga dapat diperintahkan dibebaskan dari tahanan.
lii
43
Menurut Akil Mochtar30 yang berpendapat bahwa
“Perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam
Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sangat penting untuk dimuat
dalam putusan. Hal ini demi kepastian hukum terhadap status
penahanan dari terdakwa. Bila majelis hakim tidak memuatnya
dalam surat putusan, status penahanan terdakwa menjadi tidak
jelas. Ini mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi
warga negara yang sedang ditahan. Terlebih, penahanan merupakan
bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Bila hakim atau
majelis hakim tidak segera memutuskan status penahanan terdakwa
dalam surat putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa
keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan
ketidakadilan (justice delayed, justice denied).”
Apakah terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan, tergantung penilaian pengadilan, tetapi mutlak dimuat dalam
amar putusan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Mengenai
ditahan atau tidaknya terdakwa, Pasal 21 KUHAP tetap merupakan dasar
bagi penahanan. Jadi, jika perbuatan yang didakwakan diluar Pasal 21
KUHAP maka amar putusan: terdakwa tidak ditahan tetapi jika termasuk
Pasal 21 KUHAP maka tetap tergantung pada penilaian pengadilan,
harus dimuat pada amar putusan. Kelalaian memuatnya mengakibatkan
putusan batal demi hukum.31
4. Putusan Batal Demi Hukum
Sebelum memeriksa apakah suatu putusan itu batal demi hukum
maka perlu untuk diketahui terlebih dahulu bahwa dalam pembuatan
putusan tidak mudah seperti yang dibacakan namun harus dibuat dengan
ketentuan atau syarat-syarat tertentu yang harus selalu diperhatikan
30
Anonim. 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50aea9e793963/mk-putusan-tanpa-perintah-penahanan-tetap-sah, diakses pada tanggal 5 November 2013.
31
Leden Marpaung. Op. Cit. hal 151.
liii
44
sehingga suatu putusan itu tidak dikatakan batal demi hukum. Pasal 195
KUHAP menyataka bahwa
“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.
Dengan demikian untuk sahnya putusan pengadilan harus
memenuhi syarat-syarat:
a. Memuat hal-hal yang diwajibkan (apabila putusan pemidanaan
maka melihat ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP);
b. Diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Kata batal demi hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
dikeluarkan oleh Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan dicantumkan
artinya antara lain:
1. Tidak berlaku, tidak sah, sia-sia;
2. Tidak jadi dilangsungkan, ditunda;32
Kata batal demi hukum sinonim dengan nulliteit yang batal dengan
sendirinya. Nulliteit atau batal demi hukum, dengan sendirinya tidak
mempunyai kekuatan hukum, tidak memiliki kekuatan hukum sehingga
tidak keliru jika tidak dilaksanakan (dieksekusi).
Putusan batal demi hukum tidak mempunyai alternatif lain selain
harus diperbaiki, harus disempurnakan. Perlu untuk diketahui bahwa
perbaikan/penyempurnaan putusan batal demi hukum hanya sah jika
dilakukan berdasarkan petunjuk Mahkamah Agung. Hal yang demikian
32
Leden Marpaung. Op. Cit. hal 146.
liv
45
sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sedang membangun agar jika
terjadi kelalaian atau kekeliruan maka hal yang demikian tidak teruang
lagi. Dengan demikian, penerbitan suatu putusan memang telah
selayaknya dilakukan dengan cermat, teliti dan dengan koreksi yang
sesempurna mungkin agar dengan demikian, kewibawaan serta rasa
menjunjung dan rasa hormat selalu terpelihara atas badan-badan
peradilan. Kecerobohan, kekurangcermatan yang bagaimanapun jenisnya
bukanlah perbuatan terpuji karenanya dapat mempengaruhi citra
peradilan.33
C. Upaya Hukum Kasasi
1. Pengertian Upaya Hukum Kasasi
Pada buku Perisitlahan Hukum dalam Praktek terbitan Kejaksaan
Agung tahun 1985 menyatakan sebagai berikut:
“Kasasi: pembatalan putusan/perbaikan keputusan pengadilan
bawahan oleh Mahkamah Agung karena pengadilan bawahan itu
telah:
a. Melampui batas kewenangannya;
b. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh sesuatu
ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan;
33
Ibid. hal 146.
lv
46
c. Salah menerapkan atau melanggar sesuatu peraturan hukum
yang berlaku .34
Kasasi menurut Tirtaamidjaja35 merumuskan penegrtiannya
sebagai berikut:
“Kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk
melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat
tertinggi yaitu keputusan-keputusan yang tak dapat dilawan
atau tak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan
hukum ini tidak diperbolehkan oleh undang-undang, maupun
oleh karena ia telah dipergunakan.”
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa kasasi
merupakan upaya pada tingkat Mahkamah Agung yang dapat
diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas penjatuhan suatu
putusan untuk bertujuan sebagai:
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan,
yang artinya bahwa untuk memperbaiki dan meluruskan
kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar
diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara
mengadili
perkara
benar-benar
dilakukan
menurut
ketentuan undang-undang.
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru, yang artinya
bahwa berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada
padanya dalam bentuk judge making law, sering
Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut
34
Leden Marpaung. 2004. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hal 4.
35
Ibid. hal 4
lvi
47
“hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan
hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan
jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan “elastisitas”
pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan
kesadaran masyarakat.
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum,
yang
maksdunya
adalah
mewujudkan
kesadaran
“keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame
work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan
kasasi
yang
menciptakan
yurisprudensi,
akan
mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak
penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum
kasasi,
dapat
terhindari
kesewenangan
dan
penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda
dalam
memanfaatkan
kebebasan
kedudukan
yang
dimilikinya.36
Dimana dalam mengajukan upaya hukum kasasi harus
melalui tata cara agar dalam mengajukan upaya hukum tersebut
dapat terpenuhi secara formil yakni yang meliputi:
1. Permohonan diajukan kepada Panitera. Dimana dalam
Pasal 245 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa
36
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 539-542.
lvii
48
“Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada
panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam
tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan
kepada terdakwa.”
2. Yang berhak mengajukan permohonan kasasi berdasarkan
Pasal 244 KUHAP meliputi:
a. Terdakwa, dan
b. Atau Penuntut Umum.
3. Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi, yakni
14 hari terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan
dengan melihat ketentuan Pasal 245 ayat (1) KUHAP.
4. Dibuatnya akta permohonan kasasi dari Penitera yang
isinya
berupa
“Surat
Keterangan”
sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 245 ayat (2) KUHAP artinya
bahwa permintaan kasasi oleh panitera Pengadilan Negeri
ditulis dalam sebuah surat keterangan yang disebut akta
permohonan kasasi atau akta kasasi, ditandatangani oleh
Penitera dan Pemohon, dilampirkan dalam berkas
perkara.
5. Permintaan kasasi wajib diberitahukan dengan dasar
hukumnya Pasal 245 ayat (3) KUHAP. Panitera wajib
memberitahukan permintaan kasasi yang dterimanya
kepda pihak yang lain. Seperti yang yang diketahui,
dalam perkara pidana berhadapan dua pihak yang
lviii
49
berkepentingan yakni terdakwa pada satu pihak dan
penuntut umum pada pihak lain.
6. Pemohon wajib mengajukan memori kasasi. Dengan
tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi
diajukan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 248
ayat (1) KUHAP.
7. Adanya tanda terima penyerahan memori kasasi yang
diatur pula dalam penegasan kalimat terakhir Pasal 248
ayat (1) KUHAP, dengan kewajiban Panitera memberi
bantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 248 ayat (2), dan
disertai adanya kontra memori kasasi yang diatur dalam
pasal 248 ayat (6) KUHAP serta tambahan memori dan
kontra memori sebagaimana diatur dalam ketetnuan Pasal
249 KUHAP.
2. Pemeriksaan dalam Upaya Hukum Kasasi
Sebelum adanya pemeriksaan pada tingkat kasasi maka pemohon
dalam mengajukan permohonan tersebut mempunyai beberapa alasan
yang digunakannya untuk mengajukan permohonan tersebut yakni:
1. Alasan kasasi yang dibenarkan menurut undang-udang, yakni
apa yang termuat dalam ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan bahwa
lix
50
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c. Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
wewenangnya.
2. Selain alasan yang telah ditentukan menurut ketentuan undangundang ada juga alasan yang tidak dibenarkan oleh undangundang yang meliputi:
a. Keberatan kasasi putusan pengadilan tinggi menguatkan
putusan pengadilan negeri;
b. Keberatan atas penilaian pembuktian;
c. Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta;
d. Alasan kasasi yang tidak menyangkut persoalan perkara;
e. Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah
denda;
f. Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti;
g. Keberatan kasasi mengenai novum. 37
Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara pidana yang
dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi:
a. Semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir
oleh pengadilan,
37
Ibid. hal 565.
lx
51
b. Kecuali terhadap putusan
1. Mahkamah Agung, dan
2. putusan bebas.
Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
114/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “kecuali
terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan
konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP kini menyatakan bahwa
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.”
Ditingkat kasasi, hakim dalam memberikan pertimbangan
hukumnya terhadap penilaian terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa
harus mendasarkan pada penerapan hukum yang dipakai oleh tingkat
sebelumnya. Sejalan dengan pendapat dari Soedirjo38 yang menyatakan
bahwa
“Dalam kasasi, Mahkamah Agung hanya menyelidiki apakah telah
dipergunakan alat-alat bukti yang sah atau apakah sudah dipenuhi
ketentuan tentang minimum bukti atau apakah pernyataan tidak
terbukti tidak dapat diperoleh dari bahan-bahan bukti yang
dikumpulkan oleh hakim.
Ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 244 KUHAP dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
dterapkan tidak sebagaimana mestinya;
38
Soedirjo. 1984. Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi). Jakarta: Akademika
Pressindo. hal 73.
lxi
52
b. Apakah benar cara mangadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c. Apakah benar pengadilan telah melampui batas wewenangnya.”
Dimana menurut M. Yahya Harahap39 manyatakan bahwa
“Keberatan kasasi dapat dibenarkan Mahkamah Agung atas alasan
Judex Factie telah melanggar sistem dan batas minimal
pembuktian, karena pengadilan telah menjatuhkan pemidanaan
tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup”.
Dimana dalam pemeriksaan kasasi dilakukan dengan cara yang
dinyatakan oleh M. Yahya Harahap40 yang menyatakan bahwa
pemeriksaan kasasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 orang
hakim. Jika dianggap perlu, terutama untuk memeriksa dan
memutus perkara tertentu yang dianggap memerlukan
pemikiran dan pendapat yang matang, dapat dibentuk mejelis
yang terdiri dari 5 atau 7 orang hakim.
2. Pemeriksaan berdasar berkas perkara. Berkas perkara yang
dimaksud adalah berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita
acara pemeriksaan di sidang pengadilan, semua surat-surat yang
timbul di persidangan yang ada hubungannya dengan perkara,
putusan pengadilan tingkat pertama, putusan tingkat banding.
3. Pemeriksaan tambahan yang memiliki tahap yakni pemeriksaan
tambahan didasarkan atas putusan sela, Mahkamah Agung
sendiri dapat melaksanakan pemeriksaan tambahan. Dan
dilakukan dengan tenggang waktu pemeriksaan perkara yang
terdakwanya berada dalam tahanan yakni 14 hari sejak
Mahkamah Agung mengeluarkan perintah penahanan kepada
terdakwa.
Dimana setelah dilakukan pemeriksaan maka hal yang terakhir
dilakukan adalah penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim yang dapat
berbentuk:
39
40
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 569.
Ibid. hal 573.
lxii
53
1. Menyatakan kasasi tidak dapat diterima sebagaimana diatur
dalam Pasal 244, Pasal 245, dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP
yang dapat terjadi karena hal sebagai berikut:
a. Permohonan kasasi terlambat diajukan;
b. Tidak mengajukan memori kasasi;
c. Memori kasasi terlambat disampaikan.
2. Putusan menolak permohonan kasasi dimana dikatakan dalam
Pasal 253 ayat (1). Putusan kasasi yang menolak permohonan
kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi;
3. Mengabulkan permohonan kasasi dengan kualifikasi bahwa
putusan pengadilan bawahan:
a. Peraturan hukum tidak diterapkan sebagimana mestinya;
b. Cara mengadili tidak dilakukan menurut ketentuan undangundang;
c. Pembatalan
putusan
atas
alasan
tidak
berwenang
mengadili.41
D. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Sebagai tindak pidana yang bersifat khusus yang tidak diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka ketentuan mengenai
pengaturan tindak pidana korupsi telah termuat dalam Undang-Undang
No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
41
Ibid. hal 583.
lxiii
54
Pasal dalam undang-undang tersebut yang dikenakan untuk
menjerat terdakwa sifatnya lebih menitikberatkan kepada tindakan yang
mengarah pada perbuatan pribadi dengan tujuan untuk kepentingan diri
sendiri sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tersebut tidak memberikan definisi mengenai maksud
dari tindak pidana korupsi namun beberapa ahli mencoba memberikan
beberapa definisi diantaranya menurut Evi Hartanti42 yang menyatakan
bahwa
“Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang
busuk, dilakukan dalam jabatan instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.”
Dimana unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi secara umum
yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang meliputi diantaranya:
42
Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. hal 9
lxiv
55
1. Setiap orang, termasuk korporasi, yang
2. Melakukan perbuatan melawan hukum,
3. Memperkaya diri sendiri, dan
4. Dapat merugikan keuangan negara.43
Untuk mengetahui sifat melawan hukum dalam tindak pidana
tidaklah mudah dapat diketahui dari perkataan undang-undangnya.
Beberapa pakar memberikan pendapatnya yang menyatakan bahwa
semua rumusan tindak pidana korupsi mengandung sifat melawan hukum
diantaranya:
1. dalam
Pasal
3
Undang-Undang
No.
31
Tahun
1999:
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
pada padanya karena jabatan atau kedudukan;
2. dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
3. dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan….; juga memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada…. Advokat… untuk mempengaruhi nasihat….
4. dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: melakukan
perbuatan curang, membiarkan perbuatan curang;
43
Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. hal 144.
lxv
56
5. dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: dengan
sengaja menggelapkan;
6. dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: dengan
sengaja memalsu;
7. dalam
Pasal
10
Undang-Undang
No.
31
Tahun
1999:
menggelapkan, mengahncurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat
dipakai
alat
bukti;
juga
membiarkan
orang
lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat
dipakai
alat
bukti,
serta
membantu
orang
lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai alat bukti;
8. dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: menerima
hadiah atau janji yang diberikan karena kekusaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatan;
9. dalam Pasal 12 (selain huruf e) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999:
yang
bertentangan
dengan
kewajibannya;
untuk
memperngaruhi putusan; untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat; meminta, menerima, atau memotong pembayaran
seolah-olah mempunyai utang atau merupakan utang; telah
merugikan yang berhak dan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; turut serta dalam pemborongan yang
ditugaskan untuk mengurusi atau mengawasi;
lxvi
57
10. dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: berlawanan
dengan kewajibannya atau tugasnya.44
2. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan korupsi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 sub 2 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantsan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan sebagai berikut:
“Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi lain
yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
Pengertian
penjelasannya
pegawai
merujuk
negeri
pada
sebagaimana
ketentuan
tersebut
Undang-Undang
diatas
tentang
Kepegawaian dan dari ketentuan Pasal 92 KUHP. Pasal 1 sub 3 UndangUndang Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa yang dimaksud orang
adalah perorangan atau termasuk korporasi.
Korupsi merupakan salah satu kajahatan yang semakin sulit
dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka
majemuk yang memerlukan kemampuan berpikir aparat pemeriksa dan
44
Tjandra Sridjaja Pradjonggo. 2010. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Indonesia Lawyer Club. hal 167-168.
lxvii
58
penegak hukum disertai pola perbuatan sedimikian rapi. Oleh karena itu,
perubahan dan perkembangan hukum merupakan salah satu untuk
mengantisipasi korupsi tersebut.45
45
Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
hal 11.
lxviii
59
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan
(Statute Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah aturan
hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pendekatan kasus (Case
Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah
diputus oleh hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia.46
2. Spesifikasi Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian prespektif
analitis. Karena pada dasarnya dengan adanya penelitian ini adalah untuk
mencari kebenaran akan permasalahan yang telah menjadi konsumsi
publik. Ini sesuai dengan pernyataan dari Soerjono Soekanto47
yang
menyatakan bahwa apabila suatu penelitian ditujukan untuk mrndapatkan
saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahmasalah tertentu, maka penelitian tersebut
dinamakan penelitian
preskiriptif.
3. Sumber Data
Data sekunder yang meliputi:
46
Joni Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu
media Publishin. hal. 295 – 321.
47
Soerjono Soekanto. 1988. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. hal 10.
lxix
60
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan,
yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang
hingga kini masih berlaku. Untuk penggunaan dalam penelitian ini
menggunakan yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
4. Undang-Uandang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
b. Bahan Hukum Skunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder, contoh adalah
kamus, enslikopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.48
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penulis melakukan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan
studi dokumen. Studi pustaka ini akan menggali berbagai kemungkinan
48
Ibid. hal 52.
lxx
61
jawaban permasalahan dalam penelitian ini. Studi dokumen suatu cara
pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen
pemerintah maupun non pemerintah berupa surat keputusan, internet,
arsip-arsip Ilmiah, serta putusan pengadilan dan sebagainya.49
5. Metode Penyajian Bahan Hukum
Penulis setelah memperoleh bahan hukum (primer, sekunder, tersier) akan
dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut.
Nantinya data yang diperoleh akan disususn secara sistematis dan logis.
Antara bahan hukum yang satu dengan yang lain memilki hubungan yang
dapat menjawab permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini.50
6. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh dari studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan
sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis
guna menjawab peramsalahan yang telah dirumuskan. Bahwa analisis
tehadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Bahan hukum yang ada dianalisis
untuk mengetahui pertimbangan dan penerapan hukum hakim dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan dengan memperhatikan susunan amar
49
50
Jhony Ibrahim. Op. Cit.. hal 296.
Ibid. hal 296.
lxxi
62
putusan yang telah dijatuhkan sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku.51
51
Ibid. hal. 393.
lxxii
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. DUDUK PERKARA:
Identitas Terdakwa:
Nama
: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc.;
Tempat lahir
: Pagar Alam;
Umur/tanggal lahir
: 56 Tahun/ 1 Juli 1954;
Jenis Kelamin
: Laki-Laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
: Jalan Cibodas I A3 No.7 Puri Cinere Depok, Jawa
Barat;
Agama
: Islam;
Pekerjaan/Jabatan
: Anggota Polri/ Mantan Kabareskim;
1. Dalam Perkara PT. SAL:
-
Terdakwa Susno Duadji selaku Kepala Badan Reserse Kriminal
(Kabareskrim) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian
Negara RI No. Skep/424/X/2008 tanggal 10 Oktober 2008, pada
tanggal 4 Desember 2008 atau setidak-tidaknya dalam bulan
Desember tahun 2008 betempat di Jl. Abuserin No. 2B Kecamatan
Cilandak Jakarta Selatan atau ditempat lain dalam daerah hukum
Pengdilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan perbuatan
sebagai Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima
lxxiii
64
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya, perbuatan Terdakwa dilakukan
dengan cara-cara:
-
Pada tahun 2008 Haposan Hutagalung selaku Penasehat Hukum
dari Mr. Ho Kian Huat melaporkan Anuar Salmah alias Amo ke
Bareskrim Mabes Polri dalam kasus dugaan penggelapan modal
usaha penangkaran ikan arwana dan modal indukan ikan arwana
dengan Laporan Polisi No. 116/III/2008/Siaga/II tanggal 10 Maret
2008 namun dalam proses penanganan atas laporan perkara
penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal
indukan ikan arwana tersebut berjalan lambat, sehingga Haposan
Hutagalung mencari jalan dengan maksud untuk mempercepat
proses penanganan laporan tersebut dengan cara mendekati
Kabareskrim yang saat itu dijabat oleh Terdakwa;
-
Bahwa Haposan Hutagalung tidak kenal baik dengan Terdakwa
tetapi dirinya mempunyai hubungan baik dengan Sjahril Djohan
yang mengenal baik Terdakwa. Bahwa selanjtunya Haposan
Hutagalung menyampaikan keinginannya kepada Sjahril Djohan
untuk meminta Terdakwa mempercepat proses penanganan kasus
penggelapan modal ikan arwana tersebut. Dan Sjahril Djohan
menyetujuinya dengan langsung disampaikan kepada Terdakwa
lxxiv
65
dan bertanya dengan kata-kata “Mengapa kasus arwana tidak
selesai-selesai dan dijawab Terdakwa “dilihat dulu”. Bahwa selang
beberapa hari kemudian Sjahril Djohan mengajak Haposan
Hutagalung untuk menemui Terdakwa diruang kerjanya dan disana
Haposan Hutagalung menjelaskan niatnya dengan respon yang
diberikan oleh Terdakwa “udah nanti saya perintahkan tangkap dan
saya atensi kasus ini”. Bahwa selang beberapa hari kemudian
Sjahril Djohan mendatangi lagi keruangan Terdakwa dengan
bertanya kepada Terdakwa “sus bagaimana nih masalah arwana”
dan dijawab oleh Terdakwa “ini kasus besar masak kosong-kosong
bae” dan dijawab lagi oleh Sjharil Djohan dengan kata-kata
“Kagek ku omongken ke Haposan”.
-
Bahwa setelah percakapan tersebut Sjahril Djohan mendatangi
Haposan Hutagalung dengan menyatakan bahwa “san, ini Kaba
minta diperhatikan nih” dan dijawab oleh Haposan “ya, memang
ada nanti aku siapkan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan juga akan memberikan success fee sebesar 15 % dan oleh
Sjahril Djohan langsung disampaikan ke Terdakwa. Dengan
kesepakatan bahwa perbandingan success fee sebesar 30:70 yaitu
30% untuk group pengacara dan 70% untuk pelapor, setelah
mendengar penjelasan tersebut maka pelapor menyanggupi
perbandingan success fee menjadi 50:50 yakni 50% untuk group
pengacara dan 50% untuk pelapor, atas kesepakatan tersebut oleh
lxxv
66
Ho Kian Huat disanggupi dan pengambilan uangnya melalui saksi
Vincent Apriono yang telah mengirim uang sebesar Rp.
1.200.000.000,00 (satu milyar dua ratus juta rupiah) ke rekening
BCA atas nama Haposan Hutagalung antara tanggal 26 November
2008 sampai dengan tanggal 2 Desember 2008. Atas janji Haposan
Hutagalung
yang
akan
memberikan
uang
sebesar
Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada tanggal 4 Desember
2008 mengambil uang tunai di Bank BCA Bidakara Pancoran dan
sebelum berangkat untuk bertemu dengan Sjahril Djohan Haposan
Hutagalung memasukkan uang tersebut ke tas kerta (paper bag),
setelah itu Haposan Hutagalung pergi ke Kudus Bar Hotel Sultan
dimana Sjahril Djohan menanyakan ke Haposan Hutagalung “Lung
mana uangnya” dan dijawab oleh Haposan Hutagalung “ada nih,
abang lama kali.
-
Pada malam harinya Sjahril Djohan dan M. Dadang Apriyanto
pergi kerumah Terdakwa di Jl. Abuserin No. 2b Kecamatan
Cilandak Jakarta Selatan untuk menyerahkan paper bag yang berisi
uang yang telah diberikan oleh Haposan Hutagalung. Oleh Sjahril
Djohan ditanya “loh lu ngapain” dan dijawab oleh Syamsurizal
Makoagow “mau minta tanda tangan untuk berangkat dinas ke
Belanda, nah Uda ngapain” dan dijawab oleh Sjharil Djohan “Nih”
sambil mengangkat bungkusan yang didalamnya berisi uang.
lxxvi
67
-
Setelah Syamsurizal Makoagow pergi, Sjahril Djohan berkata
kepada Terdakwa “Sus , nih uang arwana dari Haposan – sambil
menyerahka paper bag warna cokelat polos yang berisi uang
sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan dijawab
oleh Terdakwa “Ya makasih bang”. Bahwa pada tanggal 5
Desember 2008 atau suatu hari setelah Terdakwa menerima uang
tersebut, Terdakwa membuat memo yang ditujukan kepada
Direktur I/Kamtranas yang isinya “sesuai arahan harapan pimpinan
yang baru memanggil saya agar perkara arwana dilengkapi
berkasnya
untuk
menentukan
langkah
selanjutnya”
yang
diserahkan kepada saksi Yuliar, Dedi Sofiyandi, Trimo, dan
Suprana
selaku
penyidik
percaya
perintah
melanjutkan
pemeriksaan perkara tersebut yang sebenarnya isi memo dimaksud
tidak pernah ada. Atas tindakan tersebut penyidik yang
diperintahkan untuk “sudah, tangkap, tahan, sita, dan police line
aja” dan atas hal tersebut Saksi Yuliar memberikan saran bahwa
dalam kasus ini masih memerlukan pendalaman dan pemeriksaan
saksi-saksi dan pengumpulan bukti-bukti karena posisi kasus
masih1/3 namun direspon oleh Terdakwa dengan kata-kata “Udah
kau kerjakan saja”. Bahwa untuk menyakinkan Sjahril Djohan
maka Terdakwa mengirim SMS yakni sebagai berikut:
-
Pada tanggal 10 Desember 2008, jam 20:12:17 mengirim SMS
yang berisi “Saya masih mendampingi tbl rdp dengan komisi 3
lxxvii
68
DPR, mau tanya apakah penyidik yang saya perintahkan sudah
berangkat ke Pekanbaru, Riau. Pada tanggal yang sama jam
23:44:53 mengirim SMS lagi yang isinya berupa “Yuliar/dedy
apakah sdh di Pekanbaru, Riau melaksanakan perintah say aunt
kumpulkan
bahan
penyidikan
kss
arwana?
Bagaimana
perkembangannya setelah ke lokasi tambak? Besok laporkan saya
hasilnya”. Pada tanggal 12 Desember 2008 jam 08:43:40 mengirim
SMS ke Sjahril Djohan yang isinya berupa “Ok, silahkan lngs
berangkat. Kalau penyidik yakin, saya beri kewenangan unt; sita
semua kolam dan arwana yang diduga asalnya dari uang pelapor,
tangkap tsk dan tahan.
2. Dalam perkara Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat
Tahun 2008:
-
Terdakwa
berdasarkan
selaku
Surat
Kepala
Kepolisian
Daerah
Jawa
Barat
Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No. Kep/11/2008 tanggal 14 Januari 2008 bersama-sama
dengan Maman Abdulrahman Pasya, Yultje Apriyanti, Iwan
Gustiawan, pada bulan Maret 2008 s/d Juni 2008 atau pada suatu
waktu di dalam tahun 2008 bertempat di Markas Kepolisian
Daerah (Mapolda) Jawa Barat di Jalan Soekarno-Hatta No.748
Bandung dimana terdakwa pada saat itu masih menjabat sebagai
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat yang diberikan tugas sebagai
penanggungjawab terhadap seluruh daerah/ wilayah kerjanya, telah
lxxviii
69
melakukan perbuatan secara melawan hukum, memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara yaitu Terdakwa Susno Duadji,
telah
melakukan
pemotongan
anggaran
dana
pengamanan
pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 yang berasal dari dana
hibah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp.
8.169.847.657,00 (delapan milyar seratus enam puluh sembilan
juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh
tujuh rupiah) perbuatan mana Terdakwa dilakukan dengan caracara sebagai berikut:
-
Terdakwa yang diangkat sebagai Kepala Kepolisian Daerah
(Kapolda) Jawa Barat berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni No. Kep/11/2008
tanggal 14 Januari 2008. Dengan adanya jadwal pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 tersebut,
maka
Polda
Jabar
mengirimkan
surat
Nomor
Pol.
R/1728/X/2007/Ro.Ops tanggal 9 Oktober 2007 perihal Rencana
Kebutuhan Anggaran Pengamanan Pemilihan Gubernur Provinsi
Jawa Barat Tahun 2008 dimana Polda Jabar mengajukan rencana
kebutuhan
yang
mencapai
anggaran
yakni
sebesar
Rp.
27.732.147.244,00 (dua puluh tujuh milyar tujuh ratus tiga puluh
dua juta seratus empat puluh tujuh ribu dua ratus empat puluh
empat rupiah). Kemudian oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat
lxxix
70
permintaan diterima dengan jumlah dana yang diinginkan. Setelah
mendapat persetujuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat
dibuatlah
Perjanjian
No.
121/134/Keu.
No.Pol.
B/3087/111/2008/Bidku tanggal 4 Maret 2008 tentang Perjanjian
Hibah Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat
yang ditandatangani oleh Deni Setiawan dan Terdakwa sendiri.
-
Kemudian Tedakwa selaku kuasa pengguna dana tersebut tidak
memasukkan dana yang telah diterimanya ke rekening Polda Jawa
Barat tetapi justru memerintahkan Maman Abdulrahman Pasya
selaku Kepala Bidang Keuangan Polda Jawa Barat untuk membuat
rekening sendiri di Bank Jabar dengan membuka rekening No.
000.38.782.5101 atas nama Maman Abdulrahman Pasya qq.
Bendahara PAM Pilkada Jabar yang dilanjutkan oleh terdakwa
dengan mengirimkan surat No. Pol. R/2180/11/Ro tanggal 20
Februari 2008 tentang Permohonan Pencairan Dana Hibah
Pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 yang
ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat untuk disetorkan ke
rekening Polda Jabar atas nama Maman Abdulrahman Pasya di
Bank Jabar. Setelah itu Tedakwa menandatangani kwitansi No.
937/7/BH/LS/Keu tanggal 4 Maret 2008 yang berisi penerimaan
dana pengamanan tersebut bersama dengan saksi Lex Laksamana
Zaenal Lan DipL H.E yang bertindak selaku kuasa pengguna
anggaran yang kemudian dilanjutkan dengan penerbitan Surat
lxxx
71
Perintah Pencairan dana No. 937/7/BH/LS/Keu tanggal 4 Maret
2008.
-
Selanjtunya pada tanggal 4 Maret 2008 saksi Maman Abdulrahman
Pasya mendapatkan pemberitahuan dari Bank Jabar Cabang Gede
Bage bahwa telah ada setoran dana hibah tersebut yang oleh saksi
Maman Abdulrahman Pasya dilanjutkan dengan membuat surat
No. Pol.
B/ND/37/111/2008/Bidku
yang ditujukan kepada
Terdakwa tentang pemberitahuan bantuan biaya pengamanan
Pemilukada tersebut.
-
Kemudian dana tersebut akan digunakan untuk didistribusikan ke
wilayah hukum Polda Jabar dan diserahkan kepada Satuan Kerja
Kewilayahan
(Kepolisian
Resort,
Kepolisian
Resort
Kota,
Kepolisian Wilayah) dan Satuan Kerja di lingkungan Markas
Kepolisian Daerah (Mapolda) Jawa Barat. Dimana untuk Satuan
Kerja Kewilayahan akan dilakukan distribusi dalam 4 (empat)
tahapan, dimana 3 (tiga) tahapan dilaksanakan pada waktu
menjelang pelaksanaan pemilihan, sedangkan tahap IV dilakukan
setelah pelaksanaan pemilihan atau pada masa perhitungan suara.
-
Kemudian pada bulan April 2008 menjelang realisasi tahap IV
Terdakwa memerintahkan kepada Maman Abdulrahman Pasya
untuk melakukan pemotongan dana pengamanan tahap IV dengan
cara Terdakwa melakukan perubahan alokasi distribusi dana hibah
tersebut dan membuat daftar perincian pemotongan dana tersebut
lxxxi
72
dan menyerahkannya ke Maman Abdulrahman Pasya yang oleh
Maman diberikan kepada saksi Iwan Gustiawan dan Yultje
Apriyanti untuk melaksanakan distribusi tahap IV tersebut. Selain
itu Terdakwa juga melakukan pemotongan dana untuk Satuan
Kerja Intelkam Polda Jabar yang seharusnya diterima oleh Satuan
Kerja tersebut sebesar Rp. 1.122.995.475,00 (satu milyar seratus
dua puluh dua juta sembilan ratus sembilan puluh lima empat ratus
tujuh puluh lima rupiah) akan tetapi yang diterima hanya sebesar
Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) sehingga
terjadi selisih sebesar Rp. 572.995.475,00 (lima ratus tujuh puluh
dua juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu empat ratus tujuh
puluh lima rupiah). Sehingga total pemotongan yang dilakukan
oleh Terdakwa sebesar Rp. 7.896.726.440,00 (tujuh milyar delapan
ratus sembilan puluh enam juta tujuh ratus dua puluh enam ribu
empat ratus empat puluh rupiah) yang berarti dana yang digunakan
untuk
pengaman
Pemilukada
tersebut
hanya
sebesar
Rp.
19.324.925.129,00 (sembilan belas milyar tiga ratus dua puluh
empat juta sembilan ratus dua puluh lima ribu seratus dua puluh
sembilan rupiah).
-
Akan tetapi Terdakwa dalam Pertanggungjawabannya yang
tertuang dalam Surat No. Pol/116/VI/2008/Bidku menyatakan
bahwa pada pokoknya dana yang digunakan adalah sebesar Rp.
27.730.112.215,00 (dua puluh milyar tujuh ratus tiga puluh juta
lxxxii
73
seratus dua belas ribu dua ratus lima belas rupiah) dan hanya
bersisa sebesar Rp. 2.035.029,00 (dua juta tiga puluh lima ribu dua
puluh sembilan rupiah). Kemudian Terdakwa memerintahkan
kepada Maman Abdulrahman Pasya untuk mengosongkan rekening
di Bank Jabar yang telah memiliki bunga penyimpanan sebesar Rp.
42.970.542,00 (empat puluh dua juta sembilan ratus tujuh puluh
ribu lima ratus empat puluh dua rupiah) supaya membuka rekening
baru di Bank Mandiri. Sehingga dana yang dimasukkan ke
rekening baru tersebut atas hasil pemotongan berjumlah Rp.
7.192.248.316,00 (tujuh milyar seratus sembilan puluh dua juta dua
ratus empat puluh delapan ribu tiga ratus enam belas rupiah)
dengan nomor rekening 130-0005000-8 dan sisanya sebesar Rp.
805.100.000,00 (delapan ratus lima juta seratus ribu rupiah)
dikelola secara tunai oleh Maman Abdulrahman Pasya. Dimana
selama
berada
dalam
rekening
baru
tersebut
Terdakwa
menggunakan dana tersebut sebesar Rp. 4.208.898.749,00 (empat
milyar dua ratus delapan juta delapan ratus sembilan puluh delapan
ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah) dengan perincian
digunakan untuk:
1. Sebesar Rp 1.000.000.000,00 dalam bentuk Travelers Cheque
Bank Mandiri sebanyak 40 lembar @Rp. 25.000.000,00 yang
dibeli oleh Maman Abdulrahman Pasya di Bank Mandiri
Cabang;
lxxxiii
74
2. Sebesar Rp. 1.000.000.000,00 dalam bentuk valuta asing
sebesar USD. 108,225 yang dibeli oleh Maman Abdulrahman
Pasya dari Golden Money Changer sebesar USD 100.000;
3. Uang tunai sebesar Rp. 250.000.000,00;
4. Sebesar Rp. 493.960.000,00 ditukar dalam bentuk mata uang
US Dollar.
-
Akibat perbuatan Terdakwa negara mengalami kerugian sebesar
Rp. 8.169.847.657,00 sebagaimana Laporan Kerugian Keuangan
Negara Badan Pemeriksa Keuangan No. 49/HP/XIV/08/2010
tanggal 9 Agustus 2010.
2. TERDAKWA DIDAKWA DENGAN DAKWAAN CAMPURAN
YAKNI:
-
PERTAMA
Kesatu: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
Atau
Kedua: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
lxxxiv
75
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
Atau
Ketiga: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 12B jo Pasal 18 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Atau
Keempat: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Atau
Kelima: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
DAN
-
KEDUA
lxxxv
76
Kesatu: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP;
Atau
Kedua: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP;
Atau
Ketiga: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 12 f jo Pasal 18 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP;
Atau
Keempat: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 8 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP;
lxxxvi
77
3. TUNTUTAN JAKSA/PENUNTUT UMUM:
1. Menyatakan Terdakwa Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc., bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 sebagaimana dalam dakwaan pertama
kelima dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 sebagaimana dalam dakwaan kedua yang kedua;
2. Menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar Terdakwa tetap
ditahan di RUTAN;
3. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
4. Membayar uang pengganti sebesar Rp. 8.669.847.657,00 (delapan
milyar enam ratus enam puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh
tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah) yang dikurangkan
dengan uang yang telah disita sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua
puluh lima juta rupiah) sehingga menjadi Rp. 8.544.847.657,00
(delapan milyar lima ratus empat puluh empat juta delapan ratus empat
puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah), jika uang
pengganti tersebut tidak dibayar dala waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
lxxxvii
78
maka harta benda milik terpidana akan disita dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut, jika terpidana tidak mempunyai
harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka
diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dan apabila
Terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari
kewajiban uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang
dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana
tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban
membayar uang pengganti;
5. Menyatakan barang bukti:
a. Dalam perkara PT. SAL:
1) Barang bukti Nomor urut 1, 3, dan 4 dirampas untuk
dimusnahkan;
2) Barang bukti No. 2 dijadikan barang bukti dalam perkara lain
atas nama Terdakwa Haposan Hutagalung, S.H.,;
3) Barang bukti No. urut 5 s/d 26 dinyatakan tetap terlampir dalam
berkas perkara;
4) Barang bukti No. urut 27 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq
Bareskrim Mabes Polri;
5) Barang bukti No. urut 28 s/d 33 dinyatakan tetap terlampir
dalam berkas perkara;
b. Dalam perkara Polda Jabar:
lxxxviii
79
1) Barang bukti No. urut 1 s/d 5 dikembalikan kepada Kepolisian
RI cq Polda Jawa Barat;
2) Barang bukti No. urut 6 s/d 9 dikembalikan kepada Sdri. Yultje
Apriyanti;
3) Barang bukti No. urut 10 s/d 88 dikembalikan kepada
Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat;
4) Barang bukti No. 89 dirampas untuk negara;
5) Barang bukti No. urut 90 s/d 245 dikembalikan kepada
Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat;
6) Barang bukti No. urut 246 s/d 249 dikembalikan kepada Bank
Mandiri Cabang Bandung Alun-Alun;
7) Barang bukti No. urut 250 s/d 256 tetap terlampir dalam berkas
perkara;
8) Barang bukti No. urut 257 s/d 297 dikembalikan kepada
Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat;
6. Menghukum Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,00;
4. PUTUSAN PENGADILAN
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI:
Amar
putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.
1260/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 14 Februari 2011 sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Drs. Susno Duadji S.H., M.H., M.Sc., telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana
lxxxix
80
Korupsi sebagaimana dakwaan pertama kelima dan Tindak Pidana
Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan
kedua yang kedua;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selam 6 (enam)
bulan;
3. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) jika uang pengganti tersebut
tidak dibayar dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik
terpidana akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut, jika terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan apabila Terdakwa membayar uang pengganti
yang jumlahnya kurang dari kewajiban uang pengganti, maka jumlah
uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan
lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari
kewajiban membayar uang pengganti;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
5. Menyatakan barang bukti:
xc
81
a. Dalam perkara PT. SAL:
1. Bukti satu unit handphone merk Nokia tipe 8600, satu unit
handphone merk Nokia tipe 6300, satu unit handphone merk Nokia
tipe
6700,
satu
unit
Simcard
Simpati
dirampas
untuk
dimusnahkan;
2. Tiga lembar kartu nama Haposan Hutagalung, fotocopy Surat
Perintah Jaksa Agung tentang Pengangkatan Drs. Sjahril Djohan
sebagai pembantu Khusus Jaksa Agung RI, fotocopy Surat
Keputusan
No.
Pol.
Skep/147/2008/Dit.
Narkoba
tentang
Pengangkatan Sjahril Djohan sebagai Penasehat Ahli Fungsional
Direktorat IV/TP Narkoba dan KT Bareskrim Polri, fotocopy
kegiatan Sjahril Djohan, satu lembar kartu nama Susno Duadji, dua
lembar fotocopy pembayaran an. Chandra Hamah, dua lembar slip
penarikan uang BCA KCU Menara Bidakara, satu lembara asli
Disposisi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol. Susno
Duadji kepada Dir I/Kamtransnas, satu lembar fotocopy Surat
Direktur I/Kam & Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse
Kriminal Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No.
Pol. B/05A/II/2009/Dit.I perihal permintaan ijin penggeledahan dan
penyitaan barang bukti, satu lembar fotocopy Surat Direktur I/Kam
& Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse Kriminal Polri kepada
Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No. Pol. B/05A/I/2009/Dit.I
perihal permintaan ijin penggeledahan dan penyitaan barang bukti,
xci
82
satu lembar fotocopy Surat Perintah Penyitaan No. Pol. SP. SPSITA/186/XII/2008/DIT.I, satu lembar fotocopy penetapan dari
Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Pekanbaru No. 07/Pen.
Pid/2009/PN.PBR, satu lembar fotocopy penetapan dari Ketua
Pengadilan
Negeri
Kelas
IA
Pekanbaru
No.
18/Pen.
Pid/2009/PN.PBR, dua halaman printout asli laporan transaksi
mulai tanggal 1 s/d 31 Desember 2008 pada tabungan Bank BCA
atas nama Haposan Hutagalung, satu lembar fotocopy STNK dan
Surat Ketetapan Pajak daerah PKB/BBN dan SWDKLJ dengan No.
Pol. B-2946-BP atas nama Nurfina Sjahril Djohan, satu lembar
STNK dengan No. Pol. B-8822-BI atas nama Liana Krista L.R.,
dua halaman printout asli Rekening Koran periode tanggal 31
Oktober 2008 sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan
Bank BCA Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening
0291360555 atas nama PT. Mitra Sarana Aquatama, satu halaman
printout asli Rekening Koran periode tanggal 31 Oktober 2008
sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan Bank BCA
Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening 0291348555 atas
nama Vincent Apriono, satu halaman printout transaksi parkir
harian, satu buku daftar tamu Kabareskim dikembalikan kepada
kepolisian RI cq Bareskrim Mabes Polri, fotocopy legalisir Surat
Kuasa Mr. Ho Kian Huat, dua belas lembar asli BAP saksi Susno
Duadji tanggal 10 Mei 2010, tujuh lembar asli BAP saksi Susno
xcii
83
Duadji tanggal 17 Mei 2010, sembilan lembar asli BAP saksi
Susno Duadji tanggal 18 Mei 2010, empat puluh tiga lembar asli
printout Call Data Record, sembilan belas lembar fotocopy legalisir
Laporan Pelaksanaan Gelar Perkara tanggal 14 Oktober 2008
dinyatakan terlampir dalam berkas perkara.
b. Dalam perkara Polda Jabar:
1. Buku catatan warna merah tulisan Campus Milenia warna putih
berisi tentang catatan pemotongan dana hibah untuk pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008 yang berisi catatan
yang telah disobek 3 lembar dan sobekan tersebut telah dibakar dan
catatan yang masih tertinggal ditengah-tengah buku berisi tarikan
Bank Jabar, serta bukti kwitansi nomor 2 sampai dengan 88
dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat, uang
tunai sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta
rupiah) dirampas untuk negara, serta bukti yang diberi nomor
bukti 90 sampai dengan 297 dikembalikan kepada Kepolisian RI
cq Polda Jawa Barat.
6. Menyatakan barang bukti berupa surat-surat yang diajukan oleh terdakwa
berupa bukti yang diberi nomor bukti mulai dari 1 (satu) sampai dengan
22 (dua puluh dua) tetap terlampir dalam berkas perkara;
7. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,00 (lima ribu rupiah);
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI:
xciii
84
Amar putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 35/Pid/TPK/2011/PT.DKI tanggal 9
Novwmber 2011 sebagai berikut:
1. Menerima permintaan banding dari Pembanding/Terdakwa/Penasihat
Hukum Terdakwa dan Pembanding/Penuntut Umum;
2. Mengubah
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
1288/Pid.B/2010/PN. Jkt. Sel, tanggal 21 Februari 2011 yang dimintakan
banding tersebut, sehingga putusan selengkapnya sebagai berikut;
3. Menyatakan Terdakwa Susno Duadji S.H., M.H., M.Sc, telah terbutki
secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi
sebagaimana dakwaaan pertama ke-5 dan tindak pidana Korupsi yang
dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua ke-2;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;
5. Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.
4.208.898.749,00 (empat milyar dua ratus delapan juta delapan ratus
sembilan puluh delapan ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah)
dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik terpidana akan disita dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, jika terpidana tidak
xciv
85
mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti
tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
6. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
7. Menyatakan barang bukti:
a. Dalam perkara PT. SAL:
1. Bukti satu unit handphone merk Nokia tipe 8600, satu unit
handphone merk Nokia tipe 6300, satu unit handphone merk Nokia
tipe
6700,
satu
unit
Simcard
Simpati
dirampas
untuk
dimusnahkan;
2. Tiga lembar kartu nama Haposan Hutagalung, fotocopy Surat
Perintah Jaksa Agung tentang Pengangkatan Drs. Sjahril Djohan
sebagai pembantu Khusus Jaksa Agung RI, fotocopy Surat
Keputusan
No.
Pol.
Skep/147/2008/Dit.
Narkoba
tentang
Pengangkatan Sjahril Djohan sebagai Penasehat Ahli Fungsional
Direktorat IV/TP Narkoba dan KT Bareskrim Polri, fotocopy
kegiatan Sjahril Djohan, satu lembar kartu nama Susno Duadji, dua
lembar fotocopy pembayaran an. Chandra Hamah, dua lembar slip
penarikan uang BCA KCU Menara Bidakara, satu lembara asli
Disposisi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol. Susno
Duadji kepada Dir I/Kamtransnas, satu lembar fotocopy Surat
Direktur I/Kam & Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse
Kriminal Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No.
xcv
86
Pol. B/05A/II/2009/Dit.I perihal permintaan ijin penggeledahan dan
penyitaan barang bukti, satu lembar fotocopy Surat Direktur I/Kam
& Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse Kriminal Polri kepada
Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No. Pol. B/05A/I/2009/Dit.I
perihal permintaan ijin penggeledahan dan penyitaan barang bukti,
satu lembar fotocopy Surat Perintah Penyitaan No. Pol. SP. SPSITA/186/XII/2008/DIT.I, satu lembar fotocopy penetapan dari
Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Pekanbaru No. 07/Pen.
Pid/2009/PN.PBR, satu lembar fotocopy penetapan dari Ketua
Pengadilan
Negeri
Kelas
IA
Pekanbaru
No.
18/Pen.
Pid/2009/PN.PBR, dua halaman printout asli laporan transaksi
mulai tanggal 1 s/d 31 Desember 2008 pada tabungan Bank BCA
atas nama Haposan Hutagalung, satu lembar fotocopy STNK dan
Surat Ketetapan Pajak daerah PKB/BBN dan SWDKLJ dengan No.
Pol. B-2946-BP atas nama Nurfina Sjahril Djohan, satu lembar
STNK dengan No. Pol. B-8822-BI atas nama Liana Krista L.R.,
dua halaman printout asli Rekening Koran periode tanggal 31
Oktober 2008 sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan
Bank BCA Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening
0291360555 atas nama PT. Mitra Sarana Aquatama, satu halaman
printout asli Rekening Koran periode tanggal 31 Oktober 2008
sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan Bank BCA
Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening 0291348555 atas
xcvi
87
nama Vincent Apriono, satu halaman printout transaksi parkir
harian, satu buku daftar tamu Kabareskim dikembalikan kepada
kepolisian RI cq Bareskrim Mabes Polri, fotocopy legalisir Surat
Kuasa Mr. Ho Kian Huat, dua belas lembar asli BAP saksi Susno
Duadji tanggal 10 Mei 2010, tujuh lembar asli BAP saksi Susno
Duadji tanggal 17 Mei 2010, sembilan lembar asli BAP saksi
Susno Duadji tanggal 18 Mei 2010, empat puluh tiga lembar asli
printout Call Data Record, sembilan belas lembar fotocopy legalisir
Laporan Pelaksanaan Gelar Perkara tanggal 14 Oktober 2008
dinyatakan terlampir dalam berkas perkara.
b. Dalam perkara Polda Jabar:
1. Buku catatan warna merah tulisan Campus Milenia warna putih
berisi tentang catatan pemotongan dana hibah untuk pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008 yang berisi catatan
yang telah disobek 3 lembar dan sobekan tersebut telah dibakar dan
catatan yang masih tertinggal ditengah-tengah buku berisi tarikan
Bank Jabar, serta bukti kwitansi nomor 2 sampai dengan 88
dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat, uang
tunai sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta
rupiah) dirampas untuk negara, serta bukti yang diberi nomor
bukti 90 sampai dengan 297 dikembalikan kepada Kepolisian RI
cq Polda Jawa Barat.
xcvii
88
8. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,00 (lima ribu rupiah);
Pertimbangan hakim tingkat kasasi adalah sebagai berikut:
Alasan-alasan baik dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Kasasi I)
maupun Terdakwa (Pemohon Kasasi II) tidak dapat dibenarkan. Jude Factie
telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang perkara a quo.
Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan alternatif kumulatif
terhadap Terdakwa, karena itu baik dakwaan pertama maupun dakwaan kedua
harus harus dibuktikan dan dipertimbangkan dengan saksama oleh Judex
Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa dari
dakwaan pertama terbukti alternatif pertama kelima yaitu Pasal 11 jo Pasal 18
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua
yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat
(1) KUHP;
Benar Terdakwa telah menerima paper bag/tas kertas berwarna cokelat
berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) berasal dari
Haposan Hutagalung yang diserahkan oleh Sjahril Djohan kepada Terdakwa
berdasarkan keterangan Sjahril Djohan, Haposan Hutagalung, Upang supandi,
Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala
Sari, dan Bagindo Harahap. Dalam pada itu, Terdakwa mengetahui dan patut
menduga
bahwa
uang
tersebut
diterimanya
adalah
karena
kekuasaa/kewenangannya selaku Kabreskrim Mabes Polri atas permohonan
xcviii
89
pertolongan dari Sjahril Djohan dan Haposan Hutagalung agar memberi atensi
khusus mempercepatt penanganan perakra atas pengaduan Mr. Ho Kian Hiat
dan Penasehat Hukumnya Haposan Hutagalung terhadap Anwar Salamah alias
Amo atas penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal
indukan ikan, yang saat itu dirasa terkesan sengaja diperlambat. Terdakwa
memperlihatkan terutama kepada Sjahril Djohan bahwa ia mempercepat
proses, antara lain memanggil Penyidik untuk melakukan, tangkap, tahan, sita,
dan police line, dan memerintahkan Direktur II/ Kamtranas bahwa sesuai
arahan piminan yang baru memenggil Terdakwa agar perkara arwana
dilengkapi pemeriksaannya untuk menentukan langkah selanjutnya sehingga
Tim Penyidik akhirnya pergi ke Pekanbaru Riau melakukan pendalaman
perkara dengan pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, dimana posisi berkas
saat itu masih 1/3. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti menerima
hadiah/janji, padahal patut diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan
karena kekuasaan/kewenangannya yang berhubungan dengan jabatan atau
menurut pikiran pemberi hadiah/janji tersebut ada hubungan dengan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pertama kelima yakni Pasal 11 jo Pasal
18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi;
Dakwaan
terhadap
Terdakwa
bersifat
kumulatif,
maka
harus
dipertimbangkan pula dakwaan kedua, menurut Judex Factie telah terbukti
dakwaan kedua alternatif kedua Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
xcix
90
Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo
Pasal 55 ayat (1) KUHP;
Ternyata benar bahwa Terdakwa selaku Kuasa Pengguna Anggaran Dana
Hibah untuk digunakan pada acara Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barar yang dilaksanakan
Tahun 2008,
Terdakwa
dengan
surat
No.
Pol/116/VI/2008/Bidkeu
tentang
pertanggungjawaban keuangan belanja hibah tahun 2008 tanggal 2 Juni 2008
menyatakan tersisa 2.035.038,00 (dua juta tiga puluh lima ribu tiga puluh
delapan rupiah), padahal nyatanya yang didistribusikan ke Satker di Intelkam
Polda, Polwil, Polres, Polresta se Polda Jawa Barat dan Satker di Intelkam di
Polda seluruhnya hanya Rp. 19.230.790.100,00 (sembilan belas milyar dua
ratus tiga puluh juta tujuh ratus sembilan puluh ribu seratus rupiah), sedangkan
sebesar Rp. 8.469.721.915,00 (delapan milyar empat ratus enam puluh
sembilan juta tujuh ratus dua puluh satu ribu sembilan belas rupiah) tidak
didistribusikan dan tidak diperuntukkan pengamanan pemilhan Gubernur dan
Wakil Gubernur tetapi dipergunakan oleh Terdakwa untuk pembelian 40
lembar travel cheque @ Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); untuk
membeli valuta asing, membayar harga mobil camry serta digunakan untuk
pemberian atensi kepada para pejabat Polda Jawa Barat yang kesemuanya tidak
ada hubungan dengan peruntukan dana hibah tersebut;
Pada mulanya Terdakwa memerintahkan Bendaharawan PAM Pemilukada
Jawa Barat Tahun 2008 Maman Abdulrahman Pasya untuk melakukan
c
91
pemotongan Dana Hibah PAM tersebut pada tahap ke-IV dan hasil
pemotongan mana dibenarkan para Bendaharawan Satker Polres se Jawa Barat,
hasil pemotongan itu bukan untuk pengamanan Pemilukada tetapi untuk
kepentingan pribadi;
Atas pertimbangan diatas, perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan
Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto terbukti
memenuhi criteria bersama-sama melakukan perbuatan tercantum dalam
dakwaan kedua alternatif kedua dakwaan Jaksa/Penuntut Umum;
Terhadap perbuatan yang telah terbukti tersebut oleh Judex Factie telah
pula dipertimbangkan perihal memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa
sebagaimana tersebut dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, karena itu
pernyataan keberatan terdakwa dalam memori kasasi Terdakwa tidak dapat
dipertimbangkan karena Judex Factie telah tepat dan benar;
Judex Factie/Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengambil alih
pertimbangan Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi
sendiri apabila Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan tersebut
telah tepat dan benar;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata,
putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum
dan Terdakwa tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana,
maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
ci
92
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Permohonan Kasasi dari
Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc. tersebut;
Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah);
B. PEMBAHASAN
1. Penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP dalam amar putusan
pemidanaan Mahkamah Agung No. 899/Pid.Sus/2012.
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana”.
Adanya ketentuan tersebut maka secara tidak langsung seseorang yang
didakwa terbukti melakukan kesalahan yang ada padanya maka dia harus
menerima hukuman yakni pemidanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Lilik
Mulyadi52 yang menyatakan bahwa apabila hakim menjatuhkan putusan
pemidanaan, maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta
52
Lilik Mulyadi. Op. Cit. hal 112.
cii
93
fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana
dalam surat dakwaan.
Alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP berada dalam ketentuan Pasal
184 yang meliputi sebagai berikut:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Alat Bukti Tertulis;
4. Pengakuan;
5. Keterangan Terdakwa.
Ketentuan mengenai alat-alat bukti diatas menunjukan bahwa sesuai dengan
adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.
Dalam merumuskan pembuatan putusan pemidanaan yang akan dijatuhkan
maka hakim dalam setiap tingkat peradilan selalu memperhatikan hal-hal yang
harus dimuat dalam putusan yang akan dijatuhkan tersebut. Dikatakan dalam
ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa sebagai berikut:
m. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
n. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
o. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
p. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta daan
keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
q. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
r. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
s. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
ciii
94
t. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
u. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
v. Keterangan bahwa seluruh, surat pernyataan palsu atau keterangan
dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu;
w. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
x. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.53
Yang apabila menurut ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP unsur-unsur
yang harus dimuat dalam putusan tersebut tidak terpenuhi maka putusan
tersebut adalah batal demi hukum. Makna batal demi hukum sendiri dapat
diartikan sebagai suatu putusan tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi
sejak awal adanya putusan tersebut. Ini sesuai dengan keterangan yang
diberikan oleh Komisi III DPR RI yang menyatakan bahwa sebagai berikut:
“Apabila suatu putusan pemidanaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 197
ayat (1) KUHAP, maka putusan itu akan berakibat batal demi hukum.
Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP.”54
Selain itu ketentuan yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP merupakan
ketentuan yang bersifat tekstual dengan artian wajib dicantumkan didalam
putusan, sesuai dengan Pasal 3 KUHAP itu sendiri, dimana dinyatakan bahwa
peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Bahwa diketahui ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut diatas memuat
12 poin, dimulai dar huruf a hingga l, yang harus dimuat dalam putusan
pemidanaan. Apabila salah satu poin keculai huruf g, tidak termuat dalam
53
M. Karjadi dan R.1997. Op. Cit. hal 174-175.
Anonim. 2010. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbc5042998ac/putusantanpa-perintah-penahanan-bisa-dieksekusi, Loc. Cit.
54
civ
95
putusan pemidanaan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum
sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.55
1. Unsur pertama mengenai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, makna dicantumkannya irah-irah tersebut
dimaksudkan bahwa pengadilan dilaksanakan dengan sendi-sendi religius
(Pasal 29 UUD 1945 dan Sila I Pancasila) dan manifestasinya hakim dalam
memutus perkara harus mencari dan mewujudkan kebenaran materiil
(materieele waarheid) dan keadilan sehingga secara moral bertanggung jawab
kepada diri sendiri, hak asasi, kepada masyarakat dan negara, ilmu hukum
sendiri dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.56
Berdasarkan SEMA No. 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan Yang
Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Yang Tidak Memuat Kata-Kata
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menyatakan
apabila tidak terdapat unsur tersebut maka mekanisme pihak yang berkebaratan
mengajukan permohonan dan diucapkan lagi oleh pengadilan dimana
permohonan tersebut diajukan.57 Dalam Putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 menurut penulis unsur tersebut telah terpenuhi dalam
putusan yang tertulis “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” maka putusan tersebut sesuai dengan unsur yang harus dipenuhi, namun
tetap harus memperhatikan unsur yang lainnya.
55
http://www.poskotanews.com/2013/03/06/kisruh-pasal-197-kuhap-penegak-hukumdapat-dihukum-berat/, Loc. Cit.
56
Lilik Mulyadi. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis dan Praktik
Peradilan. Op. Cit. hal 99.
57
www.Mahkamah Agung.go.id, diakses pada tanggal 19 Desmber 2013.
cv
96
2. Unsur kedua mengenai identitas Terdakwa, Pemeriksaan identitas
terdakwa di persidangan diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam
mengadili seseorang (error in persona). Sehingga dengan diperiksanya
identitas terdakwa secara jelas dan cermat, diharapkan bahwa orang yang
diadili hakim di depan persidangan itulah merupakan terdakwa sebagaimana
disebutkan dalam surat dakwaan.58 Dalam putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 telah sesuai yakni didalam putusan telah mencantumkan
identitas Terdakwa yang meliputi:
Nama
Tempat lahir
Umur/tanggal lahir
Jenis Kelamin
Kebangsaan
Tempat tinggal
: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc.;
: Pagar Alam;
: 56 Tahun/ 1 Juli 1954;
: Laki-Laki;
: Indonesia;
: Jalan Cibodas I A3 No.7 Puri Cinere Depok, Jawa
Barat;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Anggota Polri/ Mantan Kabareskim;
Sehingga dengan adanya identitas yang termuat dalam putusan tersebut
maka menurut penulis unsur tersebut telah terpenuhi dan tetap harus
memperhatikan unsur yang lainnya.
3.
Selanjutnya
mengenai
putusan
harus
memuat
dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum, Menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat (1)
huruf c KUHAP maka esensi dakwaaan adalah dalam sidang pengadilan
penting adanya, oleh karena ruang lingkup pemeriksaan terdakwa di depan
persidangan berorientasi pada surat dakwaan.59 Dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalamnya telah memuat dakwaan yang
58
59
Ibid. hal 100.
Ibid. hal 101.
cvi
97
diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa telah
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 55 KUHP sebagaimana dimaksud yang
ada dalam Hasil Penelitian mengenai duduk perkaranya.
4. Unsur selanjutnya mengenai keterangan yang diperoleh selama
persidangan, maksudnya bahwa menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat
(1) huruf d KUHAP maka yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan” disini
ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak
dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi ahli, terdakwa, penasihat
hukum dan saksi korban.60 Dalam Putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 memang tidak mencantumkan mengenai fakta yang
terungkap dalam persidangan karena pada dasarnya menurut Soedirjo61 yang
menyatakan bahwa
“Kasasi merupakan lembaga hukum untuk menguji benar-tidaknya
penerapan hukum. Sehubungan dengan fungsi peradilan, kasasi diletakkan
atas 2 dasar, yaitu kesalahan dalam menerapkan hukum dan kelalaian
memenuhi acara.”
Sehingga menurut penulis sesuai dengan asasnya bahwa Mahkamah
Agung sebagai peradilan tertinggi yang memiliki kedudukan sebagai Judex
Juris yang pada intinya mempunyai tugas untuk memeriksa penerapan hukum
baik itu mengenai cara, penerapan, dan formalitas procedural yang harus
dipenuhi oleh peradilan sebelumnya maka dalam putusannya yang akan
dijatuhkan tidak harus seperti ketentuan Judex Factie lagi dengan
mempertimbangkan fakta yang ditemukan selama persidangan.
60
61
Ibid. hal 101.
Soedirjo. 1984. Op. Cit. hal 44.
cvii
98
5. Unsur selanjutnya yakni tuntutan pidana yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum, hal ini khusus terhadap putusan pemidanaan. Apabila
terhadap putusan bukan pemidanaan berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (1)
KUHAP tidak perlu dicantumkan mengenai tuntutan pidananya. 62 Dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalam putusannya telah
mencantumkan mengenai tuntutan pidana dimana Terdakwa dituntut dengan
pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, pidana denda sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan,
membayar uang pengganti sebesar Rp. 8.669.847.657,00 (delapan milyar enam
ratus enam puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam
ratus lima puluh tujuh rupiah). Sehingga secara tidak langsung unsur ini telah
ada dalam putusan tersebut akan tetapi tetap harus memperhatikan unsur yang
lainnya.
6. Unsur mencantumkan pasal peraturan perundangan serta keadaaan
yang memberatkan dan meringankan, dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 899/K/Pid.Sus/2012 memang tidak mencantumkan mengenai hal tersebut
karena sekali lagi Mahkamah Agung (Judex Juris) sebagai peradilan tertinggi
dari semua tingkat perdilan maka sifatnya hanya memeriksa untuk mengetahui
bagaimana penerapan segal aspek hukum yang dilakukan oleh Judex Factie.
Dimana menurut Martiman Prodjohamidjojo yang dikutip oleh R. Soesilo63
menyatakan bahwa
62
63
Ibid. hal 101.
M Karjadi dan R. Soesilo. Op. Cit. hal 209.
cviii
99
“Pemeriksaan tingkat kasasi itu buka pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi
adalah membatalkan atau memecah. Kasasi merupakan upaya hukum
terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilanpengadilan lain dalam perkara-perkara pidana maupun perdata, agar dicapai
kesatuan dalam menjalankan peraturan-peraturan dan undang-undang.”
Kasasi bukan merupakan pengadilan tingkat terakhir dalam lingkungan
peradilan yang memeriksa kembali secara fakta namun hanya berupa
memeriksa penerapan, cara mengadili, dan memeriksa batas wewenang suatu
pengadilan.
7. Unsur mengenai musyawarah majelis hakim kecuali dalam perkara
yang
hakimnya
tunggal,
dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
899/K/Pid.Sus/2012 didalamnya telah termuat mengenai tanggal musyawarah
majelis hakim yang memeriksa permohonan kasasi dari para pihak yang
musyawarah dilakukan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr.
H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. H.
Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.; M.S.
Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakimhakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota. Sehingga menurut
penulis unsur tersebut telah terpenuhi dan lebih dari itu tetap juga harus
memperhatikan unsur yang lainnya.
8. Unsur pernyataan terbuktinya kesalahan terdakwa, yang maksudnya
bahwa ketentuan pasal ini bersifat limitatif yang terdapat dalam diktum/amar
putusan berisikan kualifikasi tindak pidana yang terbukti didepan persidangan
dan lamanya pidana dijatuhkan oleh majelis hakim.64 Dalam Putusan
64
Lilik Mulyadi. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif
Peradilan. Op. Cit. hal . 103.
cix
Teoritis dan Praktik
100
Mahkamah
Agung
No.
899/K/Pid.Sus/2012
terbukti
kesalahan
yang
didakwakan kepada diri terdakwa telah dimuat dalam Putusan Tingkat
Pertamanya yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaaan Penuntut Umum yakni
Terdakwa melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHAP. Sehingga uraian unsur tersebut telah terpenuhi dan
selain itu juga harus tetap memperhatikan unsur yang lainnya.
9. Unsur mengenai pembebanan biaya perkara, dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalam putusannya telah termuat
mengenai unsur tersebut yakni terdapat dalam pertimbangan yang menyatakan
bahwa “Oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana, maka harus
dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini”, selain
itu terdapat dalam amar putusan yang menyatakan bahwa “Membebankan
Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah)”. Sehingga mengenai unsur ini telah terpenuhi dan tidak bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku.
10. Unsur surat dibawah tangan harus dikesampingkan, unsur ini
mempunyai maksud bahwa selain akta otentik maka pemeriksaannya dapat
cx
101
dikesampingkan oleh hakim pidana. Dalam Putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 tidak secara jelas mencantumkan apa yang dimaksud
dalam pengertian surat tersebut. Sehingga walaupun tidak termuat maka
apabila ternyata surat-surat yang ada dalam putusan ini dan putusan
sebelumnya merupakan akta dibawah tangan maka tidak ada kewajiban bagi
hakim untuk memeriksanya.
11. Unsur selanjutnya mengenai perintah penahanan, dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 Terdakwa mengalami penahanan
terakhir kali dilakukan oleh Perpanjangan II dari Ketua Pengadilan Tinggi
sejak 19 Januari 2011 sampai dengan tanggal 17 Februari 2011. Namun dalam
amar putusan tersebut, Mahkamah Agung tidak memberikan perintah
pehananan kepada diri terdakwa yang saat itu terdakwa sedang tidak ditahan.
Oleh karena itu putusan mahkamah agung tersebut kurang memenuhi unsur
yang harus dipenuhi sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra65
yang menyatakan bahwa
Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat
(1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan
pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab
initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap
tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan
demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat
hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya
tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor
putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum”
adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah
supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah
keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend
recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus
65
Yusril Ihza Mahendra. Loc. Cit.
cxi
102
perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung);
Selain itu selaras apa yang dikatakan oleh Akil Mochtar66 yang
menyatakan bahwa sebagai berikut:
“Perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 197
ayat (1) huruf k KUHAP sangat penting untuk dimuat dalam putusan. Hal
ini demi kepastian hukum terhadap status penahanan dari terdakwa. Bila
majelis hakim tidak memuatnya dalam surat putusan, status penahanan
terdakwa menjadi tidak jelas. Ini mencederai rasa keadilan dan kepastian
hukum bagi warga negara yang sedang ditahan. Terlebih, penahanan
merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Bila hakim atau
majelis hakim tidak segera memutuskan status penahanan terdakwa dalam
surat putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa keadilan yang
ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan (justice
delayed, justice denied).”
Adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 1985
Tentang Perintah Agar Terdakwa Ditahan Sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf k
KUHAP67 yang isinya menyatakan bahwa Meskipun dalam pasal 197 ayat (1)
huruf KUHAP ada ketentuan yang menyebutkan bahwa surat putusan
pemindahan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan,
namun karena penahanan itu menurut pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan
“menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini “ maka apabila
wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi
sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi
tidak dapat memerintahkan “agar terdakwa ditahan” di dalam putusannya.
Menandakan bahwa sebenarnya apabila masa penahanan terdakwa telah habis
maka terhadap dirinya dapat untuk tidak ditahan.
66
Anonim. 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50aea9e793963/mk--putusantanpa-perintah-penahanan-tetap-sah, Loc. Cit.
67
www. mahkamah agung.go.id, Op. Cit.
cxii
103
Terhadap permasalahan dimana terdakwanya tidak ditahan, dalam praktik
peradilan ada 2 (dua) pendapat dalam menyikapi permasalahan tersebut, yaitu
sebagai berikut:
1. Pendapat pertama, menyatakan bahwa perintah terdakwa ditahan harus
ada dalam amar putusan, karena sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) huruf
k KUHAP, hal itu merupakan syarat syahnya suatu putusan hakim,
dimana jika hal tersebut tidak dicantumkan dalam amar putusan, maka
putusan batal demi hukum.
2. Pendapat kedua, menyatakan bahwa meskipun dalam amar putusan
hakim tidak terdapat perintah agar terdakwa ditahan, hal tersebut tidak
mengakibatkan putusan batal demi hukum, karena ketentuan Pasal 197
ayat (1) huruf k KUHAP tersebut tidak terlepas dari ketentuan Pasal 193
ayat (2) huruf a KUHAP, dimana dalam ketentuan tersebut hanya
disebutkan kata-kata “dapat” memerintahkan agar terdakwa ditahan,
apabila dipenuhi syarat-syarat subyektif dan obyektif sebagaimana
dalam Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup untuk
melakukan penahanan terhadap terdakwa. Kata-kata “dapat” disini
bersifat limitatif atau merupakan pilihan yang diambil oleh hakim.68
Dalam praktik peradilan pidana selama ini ketentuan mengenai perintah
penahanan merupakan hal yang sangat penting keberadaannya. Karena disatu
sisi adanya ketentuan tersebut dapat menjadi hal yang dapat menunjang
tegaknya kepastian hukum sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 197 ayat (1)
68
Ahmad Rifai. Op. Cit. hal 120.
cxiii
104
KUHAP, sedangkan pada sisi lain apabila ketentuan tersebut dilaksanakan
dengan cara yang bertujuan untuk mengahalangi kebebasan terdakwa maka hal
tersebut tidaklah dapat dibenarkan, karena pada dasarnya terdakwa mempunyai
hak untuk menerima atau melakukan upaya hukum yang telah diberikan oleh
undang-undang yakni mulai banding dan kasasi sebagai upaya hukum biasa,
serta peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Oleh karena itu
sebagian sarjana dalam menyikapi persoalan mengenai ketentuan Pasal 197
ayat (1) huruf k KUHAP saling berbeda dalam memberikan pendapatnya
bahwa pada satu sisi para sarjana tetap mempertahankan isi ketentuan tersebut
naum sebagian sarjana yang lain dalam memberikan pendapatnya menyatakan
bahwa ketentuan tersebut tidak wajib untuk diikuti oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan, karena sekali lagi ketentuan tersebut sifatnya limitatif.
Sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum karena yang menjadi persoalan sekarang Terdakwa menyatakan bahwa
dalam amar putusannya tidak dicantumkan mengenai perintah penahanan maka
Terdakwa merasa dirinya tidak dapat dieksekusi dan Terdakwa menyangkal
bahwa putusan yang dijatuhkan kepadanya adalah Batal Demi Hukum.
12. Unsur selanjutnya adalah mengenai hari, tanggal, serta identitas
para
pihak
di
pengadilan,
seuai
dengan
adanya
SEMA
08/BUA.6/HS/SP/XI/201169 yang memerintahkan bahwa setiap putusan tindak
korupsi harus mencantumkan “….dan….Hakim-Hakim Ad Hoc Tipikor pada
Pengadilan Negeri masing-masing sebagai Anggota…..”. Dalam Putusan
69
www. mahkamah agung.go.id, Op. Cit.
cxiv
105
Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 sebagaimana telah disebutkan
dalam unsur sebelumnya yakni dalam musyawarah majelis hakim maka
putusan tersebut telah dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012
oleh Dr. H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof.
Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.;
M.S. Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai
hakim-hakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota, dan
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh
Ketua Majelis dengan Hakim-Hakim Anggota Tersebut, dan dibantu oleh
Dulhusin, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh
Pemohon Kasasi; Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa. Sehingga putusan ini
telah memenuhi unsur yang harus dicantumkan dalam setiap prosesnya.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 maka dapat dianalisis mengenai unsur yang terdapat
dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
- Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang ada dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 dari unsur huruf A sampai
dengan huruf L secara keseluruhan sudah termuat dalam putusan
tersebut. Dengan mana unsur huruf A telah terpenuhi yakni adanya frasa
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka putusan
Mahkamah Agung tersebut tidaklah batal demi hukum,
- Ketentuan huruf B dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut telah
terdapat yakni terdapatnya identitas terdakwa yakni :
cxv
106
Nama
Tempat lahir
Umur/tanggal lahir
Jenis Kelamin
Kebangsaan
Tempat tinggal
: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc.;
: Pagar Alam;
: 56 Tahun/ 1 Juli 1954;
: Laki-Laki;
: Indonesia;
: Jalan Cibodas I A3 No.7 Puri Cinere Depok, Jawa
Barat;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Anggota Polri/ Mantan Kabareskim;
- Ketentuan huruf C dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut telah
memuat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum yang
mendakwa Terdakwa telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 55
KUHP.
- Ketentuan huruf D dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut memang
tidak mencantumkan mengenai fakta yang terungkap dalam persidangan
karena pada dasarnya pemeriksaan pada tingkat Mahkamah Agung
(Judex Juris) hanya memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan dibawahnya apakah sudah tepat atau perlu untuk diperbaiki.
- Ketentuan huruf E dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut mengenai
didalam putusannya telah mencantumkan mengenai tuntutan pidana
dimana Terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun,
pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
subsidair 6 (enam) bulan kurungan, membayar uang pengganti sebesar
Rp. 8.669.847.657,00 (delapan milyar enam ratus enam puluh sembilan
juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh
rupiah). Sehingga secara tidak langsung unsur ini telah ada dalam
cxvi
107
putusan tersebut akan tetapi tetap harus memperhatikan unsur yang
lainnya.
- Ketentuan huruf F dalam Putusan Mahkamah Agung memang tidak
mencantumkan mengenai hal tersebut karena sekali lagi Mahkamah
Agung (Judex Juris) sebagai peradilan tertinggi dari semua tingkat
perdilan maka sifatnya hanya memeriksa untuk mengetahui bagaimana
penerapan segal aspek hukum yang dilakukan oleh Judex Factie.
- Ketentuan huruf G dalam Putusan Mahkamah Agung telah termuat
mengenai tanggal musyawarah majelis hakim
yang memeriksa
permohonan kasasi dari para pihak yang musyawarah dilakukan pada
hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr. H. M. Zaharuddin
Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. H. Abdul Latif,
S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.; M.S. Lumme,
S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakimhakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota.
- Ketentuan huruf H dalam Putusan Mahkamah Agung terbukti kesalahan
yang didakwakan kepada diri terdakwa telah dimuat dalam Putusan
Tingkat Pertamanya yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti
melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaaan Penuntut
Umum yakni Terdakwa melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
cxvii
108
telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
- Ketentuan huruf I dalam Putusan Mahkamah Agung telah termuat
mengenai unsur tersebut yakni terdapat dalam pertimbangan yang
menyatakan bahwa “Oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa
dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini”, selain itu terdapat dalam amar putusan yang
menyatakan bahwa “Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa
tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
sebesar Rp. 2500,00 (dua ribu lima ratus rupiah)”.
- Ketentuan huruf J dalam Putusan Mahkamah Agung tidak secara jelas
mencantumkan apa yang dimaksud dalam pengertian surat tersebut.
Sehingga walaupun tidak termuat maka apabila ternyata surat-surat yang
ada dalam putusan ini dan putusan sebelumnya merupakan akta dibawah
tangan maka tidak ada kewajiban bagi hakim untuk memeriksanya.
- Ketentuan huruf K dalam Putusan Mahkamah Agung dalam amar
putusannya, Mahkamah Agung tidak memberikan perintah pehananan
kepada diri terdakwa yang saat itu terdakwa sedang tidak ditahan. Oleh
karena itu putusan mahkamah agung tersebut kurang memenuhi unsur
yang harus dipenuhi. Dimana apabila ketentuan ini tidak terpenuhi maka
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
- Ketentuan huruf L dalam Putusan Mahkamah Agung putusan tersebut
telah dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr.
cxviii
109
H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr.
H. Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.;
M.S. Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing
sebagai hakim-hakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota,
dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu
juga oleh Ketua Majelis dengan Hakim-Hakim Anggota Tersebut, dan
dibantu oleh Dulhusin, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti dan tidak
dihadiri oleh Pemohon Kasasi; Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa.
Sehingga putusan ini telah memenuhi unsur yang harus dicantumkan
dalam setiap prosesnya.
Setelah melihat hasil penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa hal yang
paling penting atau urgen ternyata tidak dicantumkan dalam putusan yang
menjadi obyek penelitian yakni dengan tidak adanya perintah penahanan maka
putusan tersebut adalah batal demi hukum. Sebagaimana dikatakan M. Yahya
Harahap70 menyatakan bahwa putusan batal demi hukum berakibat putusan
yang dijatuhkan :
1. Dianggap “tidak pernah ada” atau never existed sejak semula;
2. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan
akibat hukum;
3. Dengan demikian putusan yang batal demi hukum, sejak semula
putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya ekesekusi
atau tidak dapat dilaksanakan.
Tiap unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP dalam
penerapannya harus dijalankan sesuai dengan sungguh-sungguh dan penuh
kecermatan oleh hakim dalam mvenjatuhkan putusannya. Kelalaian dalam
70
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 385.
cxix
110
mencantumkan setiap unsur dalam pasal tersebut walaupun sedikit saja dapat
mempengaruhi putusan berakibat batal demi hukum. Ketentuan dalam Pasal
197 ayat (1) huruf k KUHAP yang tidak dimuat dalam kasus diatas
menandakan bahwa hakim dalam menerapkan amanat pasal tersebut tidak
dilaksanakan dengan penuh kecermatan. Sehingga terdakwa berdalih bahwa
putusan yang dijatuhkan kepadanya tidak dapat dilaksanakan karena
putusannya adalah batal demi hukum.
Namun putusan yang menjadi persoalan tersebut mengenai tidak
diterapkannya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengenai perintah
penahanan menurut para sarjana tidak mempunyai sifat yang harus
dilaksanakan oleh hakim dalam menjatuhhkan putusannya. Karena ketentuan
mengenai perintah penahanan hanya bersifat alternatif yang pada intinya hakim
tidak salah apabila dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa lupa
mencantumkan ketentuan pasal tersebut. Sehingga Putusan Mahkamah Agung
No. 899/K/Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 22
November 2012 yang menjadi masalah dengan tidak mencantumkan perintah
penahanan adalah tidak batal demi hukum. Hal ini diperkuat dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Pasal
197 ayat (1) huruf k KUHAP yang diucapka dalam sidang yang terbuka untuk
umum pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 yang dalam amarnya
menyatakan sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan:
1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Mahkamah memaknai bahwa:
cxx
111
2.1. Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;
2.2. Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo
mengakibatkan putusan batal demi hukum;
2.3. Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam
ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan
putusan batal demi hukum”;
Dimana pertimbangan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan pada intinya “Bahwa ketika dalam perkara pidana yang harus
dibuktikan adalah kebenaran materiil, dan saat kebenaran materiil tersebut
sudah terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana, namun karena
ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh
merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih
mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata; Jikalau perkara
yang dampaknya tidak meluas, misalnya penghinaan yang terbukti dilakukan
oleh terdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya lalu
dijatuhi pidana akan tetapi dalam putusan hakim tidak mencantumkan supaya
terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan, kemudian
putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum, mungkin tidak terlalu
cxxi
112
merugikan kepentingan umum karena hanya merugikan pihak korban yang
dihina. Akan tetapi seandainya perkara tersebut memiliki dampak yang sangat
luas seperti merugikan perekonomian negara, dan masyarakat bangsa secara
masif, misalnya perkara korupsi, perkara narkotika, atau perkara terorisme,
yang telah terbukti dilakukan terdakwa, lalu terdakwa dijatuhi pidana
kemudian putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum hanya karena tidak
memuat perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau
dibebaskan maka putusan semacam itu akan sangat melukai rasa keadilan
masyarakat;”
Walaupun dijatuhkan pada hari dan tanggal yang sama dengan Putusan
Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012, kekuatan yang dimiliki oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah mulai saat dibacakan pada
sidang pleno pengucapan putusan yang terbuka untuk umum. Pernyataan ini
sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Tim Penyusun Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi71 yang menyatakan bahwa
“Sidang pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk
umum. Hal ini merupakan keharusan karena apabila putusan diucapkan
dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat putusan Mahkamah
Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan
Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat tetap dan
mengikat setelah sidang pengucapan putusan selesai.”
Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 yang
dijatuhkan
bersamaan
dengan
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
899/K/Pid.Sus/2012 adalah sah dan daya berlakunya mulai mengikat pada hari
71
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. hal 50.
cxxii
113
dan tanggal diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum yakni
Hari Kamis Tanggal 22 November 2012.
Oleh karena itu dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang
menguji ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga apabila hakim dalam
menjatuhkan putusan lupa mencantumkan “Perintah Penahanan” maka putusan
tersebut tidaklah batal demi hukum yang artinya bahwa putusan tersebut tetap
sah dan dapat dilaksanakan. Maka Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga
berlaku untuk Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 yang
intinya Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak batal demi hukum.
2. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pemidanaan
Terhadap
Terdakwa
Dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
899/K/Pid.Sus/2012.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya dapat menjatuhkan putusan
dengan bentuk sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Agung yang berisikan amar “Menyatakan Kasasi
Tidak Dapat Diterima”. Menurut teroritik dan praktik suatu putusan
Mahkamah Agung berisikan amar/diktum “menyatakan kasasi tidak
dapat diterima” apabila ternyata permohonan kasasi tidak memenuhi
kelengkapan formil sebagaimana ditentukan dalam undan-undang.
2. Putusan Mahkamah Agung yang berisikan amar “Menolak Permohonan
Kasasi”. Putusan ini dijatuhkan karena permohonan kasasi telah
memenuhi kelengkapan formil, pertimbangan judex factie telah benar
cxxiii
114
mengadili perkara sesuai undang-undang dan telah menerapkan hukum
sebagaimana mestinya, bahwa benar pengadilan mengadili perkara
sesuai dengan batas kewenangannya.
3. Putusan Mahkamah Agung yang berisikan amar “Mengabulkan
Permohonan Kasasi”. Hal ini merupakan bentuk putusan terakhir dari
peradilan kasasi. Dalam praktiknya, isitilah lain apabila amar/diktum
putusan Mahkamah Agung “mengabulkan” permohonan kasasi adalah
“menerima” atau “membenarkan” pengajuan kasasi tersebut. Kalau
permohonan “kasasi” itu dikabulkan, putusan judex factie “dibatalkan “
karena dianggap putusan tersebut melanggar Pasal 253 ayat (1) KUHAP
dan sekaligus Mahkamah Agung akan “mengadili” sendiri perkara itu.72
Dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi,
yaitu:
1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara (voerzzemium);
2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada
pelaksanaannya;
3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang
ditentukan undang-undang.73
Selain itu dalam memeriksa setiap perkara kasasi yang ada dalam
Mahkamah Agung pada pokoknya setiap hakim yang memeriksa harus diberi
kebebasan dalam melihat permohonan yang diajukan. Terhadap dirinya tidak
72
Lilik Mulyadi. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, Dan
Permasalahannya. Bandung: Alumni. hal 270-273.
73
Andi Hamzah. Op. Cit. hal 298.
cxxiv
115
dapat digantungkan pada keberatan dari para pihak mengajukan kasasi namun
juga bisa memeriksa dan akan menjatuhkan putusan sendiri yang berbeda
dengan putusan sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Paulus E
Lotulung yang menyatakan bahwa sebagai berikut:
Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstjtusi Indonesia yaitu Undangundang Dasar 1945, yang selanjutnya di implementasikan dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor : 35
Tahun 1999. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif
maupun segala Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan,
direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak extra judisiil,
kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang- Undang. Demjkian juga
meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal judisiil didalam
menjatuhkan putusan.74
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat kasasi dengan
amarnya adalah sebagai berikut:
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Permohonan Kasasi dari
Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc. tersebut;
Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah);
Dengan ditolakya permohonan kasasi dari para pihak yakni dari Pemohon I/
Jaksa dan Pemohon II/Terdakwa maka mengakibatkan putusan Mahkamah
Agung tersebut tetap menguatkan putusan sebelumnya sehingga secara tersirat
74
Paulus E. Lotulung. Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum. Makalah. hal 1.
cxxv
116
Mahkamah Agung juga memberikan putusan pemidanaan atas diri terdakwa
yang sebelumnya telah diperiksa dalam persidangan pada tingkat pertama dan
pada tingkat banding. Dimana pengadilan tingkat banding menjatuhkan
putusannya dengan memberikan amar sebagai berikut:
9. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;
Dalam menjatuhkan putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan
alasannya dengan menggunakan dua hal:
1. Pertama, melakukan pemeriksaan dan penilaian bertitik tolak dari
keberatan kasasi yang diajukan oleh pemohon. Inilah landasan pertama
dan utama. Dari keberatan kasasi yang diajukan. Mahkamah Agung
mulai melangkah menelusuri dan menilai benar atau tidak penerapan
hukum dalam putusan yang dikasasi sesuai dengan apa yang digariskan
dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
2. Kedua, atas alasan sendiri Mahkamah Agung dapat menilai putusan
pengadilan yang dikasasi.75
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 35
Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya Pasal 25
menyatakan sebagai berikut:
75
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 589.
cxxvi
117
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan putusan
itu, menurut pula pasal-pasal tertentu dari peraturan perundangan-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.”76
Alasan Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi adalah salah satunya
ialah mengenai:
1. Judex Factie telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum
yang tidak sebagimana mestinya dalam membuktikan dakwaan pertama
yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Judex Factie telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum
yang tidak sebagimana mestinya dalam membuktikan dakwaan pertama
yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No.
899/K/Pid.Sus/2012 putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat kasasi dengan
pertimbangannya adalah sebagai berikut:
76
Andi Hamzah. Op. Cit. hal 298.
cxxvii
118
-
Alasan-alasan baik dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Kasasi I)
maupun Terdakwa (Pemohon Kasasi II) tidak dapat dibenarkan. Judex
Factie telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang perkara
a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan alternatif
kumulatif terhadap Terdakwa, karena itu baik dakwaan pertama
maupun dakwaan kedua harus harus dibuktikan dan dipertimbangkan
dengan saksama oleh Judex Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie
telah mempertimbangkan bahwa dari dakwaan pertama terbukti
alternatif pertama kelima yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua yaitu
Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55
ayat (1) KUHP;
-
Benar Terdakwa telah menerima paper bag/tas kertas berwarna cokelat
berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) berasal
dari Haposan Hutagalung yang diserahkan oleh Sjahril Djohan kepada
Terdakwa berdasarkan keterangan dari Sjahril Djohan, Haposan
Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus
Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap.
Dalam pada itu, Terdakwa mengetahui dan patut menduga bahwa uang
tersebut diterimanya adalah karena kekuasaa/kewenangannya selaku
Kabreskrim Mabes Polri atas permohonan pertolongan dari Sjahril
Djohan dan Haposan Hutagalung agar memberi atensi khusus
cxxviii
119
mempercepatt penanganan perakra atas pengaduan Mr. Ho Kian Hiat
dan Penasehat Hukumnya Haposan Hutagalung terhadap Anwar
Salamah alias Amo atas penggelapan modal usaha penangkaran ikan
arwana dan modal indukan ikan, yang saat itu terkesan diperlambat.
Terdakwa memperlihatkan terutama kepada Sjahril Djohan bahwa ia
mempercepat proses, antara lain memanggil Penyidik untuk melakukan,
tangkap, tahan, sita, dan police line, dan memerintahkan Direktur II/
Kamtranas bahwa sesuai arahan piminan yang baru memenggil
Terdakwa agar perkara arwana dilengkapi pemeriksaannya untuk
menentukan langkah selanjutnya sehingga Tim Penyidik akhirnya pergi
ke
Pekanbaru
Riau
melakukan
pendalaman
perkara
dengan
pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, dimana posisi berkas saat itu
masih 1/3. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti menerima
hadiah/janji, padahal patut diduganya bahwa hadiah atau janji itu
diberikan karena kekuasaan/kewenangannya yang berhubungan dengan
jabatan atau menurut pikiran pemberi hadiah/janji tersebut ada
hubungan dengan jabatan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan
pertama kelima yakni Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Korupsi;
-
Dakwaan
terhadap
Terdakwa
bersifat
kumulatif,
maka
harus
dipertimbangkan pula dakwaan kedua, menurut Judex Factie telah
terbukti dakwaan kedua alternatif kedua Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-
cxxix
120
Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP;
-
Ternyata benar Terdakwa selaku Kuasa Pengguna Anggaran Dana
Hibah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barar Tahun
2008, Terdakwa dengan surat No. Pol/116/VI/2008/Bidkeu tentang
pertanggungjawaban keuangan belanja hibah tahun 2008 tanggal 2 Juni
2008 menyatakan tersisa 2.035.038,00 (dua juta tiga puluh lima ribu
tiga puluh delapan rupiah), padahal nyatanya yang didistribusikan ke
Satker di Intelkam Polda, Polwil, Polres, Polresta se Polda Jawa Barat
dan
Satker
di
Intelkam
di
Polda
seluruhnya
hanya
Rp.
19.230.790.100,00 (sembilan belas milyar dua ratus tiga puluh juta
tujuh ratus sembilan puluh ribu seratus rupiah), sedangkan sebesar Rp.
8.469.721.915,00 (delapan milyar empat ratus enam puluh sembilan
juta tujuh ratus dua puluh satu ribu sembilan belas rupiah) tidak
didistribusikan dan tidak diperuntukkan pengamanan pemilhan
Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi dipergunakan oleh Terdakwa
untuk pembelian 40 lembar travel cheque @ Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah); untuk membeli valuta asing, membayar harga
mobil camry serta digunakan untuk pemberian atensi kepada para
pejabat Polda Jawa Barat yang kesemuanya tidak ada hubungan dengan
peruntukan dana hibah tersebut;
-
Pada
mulanya
Terdakwa
memerintahkan
Bendaharawan
PAM
Pemilukada Jawa Barat Tahun 2008 Maman Abdulrahman Pasya untuk
cxxx
121
melakukan pemotongan Dana Hibah PAM tersebut pada tahap ke-IV
dan hasil pemotongan mana dibenarkan para Bendaharawan Satker
Polres se Jawa Barat, hasil pemotongan itu bukan untuk pengamanan
Pemilukada tetapi untuk kepentingan pribadi;
-
Atas pertimbangan diatas, perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan
Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto
terbukti memenuhi kriteria bersama-sama melakukan perbuatan
tercantum
dalam
dakwaan
kedua
alternatif
kedua
dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum;
-
Bahwa terhadap perbuatan yang telah terbukti tersebut oleh Judex
Factie
telah
pula
dipertimbangkan
perihal
memberatkan
dan
meringankan bagi Terdakwa sebagaimana tersebut dalam Pasal 197
ayat (1) huruf f KUHAP, karena itu pernyataan keberatan terdakwa
dalam memori kasasi Terdakwa tidak dapat dipertimbangkan karena
Judex Factie telah tepat dan benar;
-
Judex Factie/Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengambil alih
pertimbangan Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan Pengadilan
Tinggi
sendiri
apabila
Pengadilan
Tinggi
berpendapat
bahwa
pertimbangan tersebut telah tepat dan benar;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula
ternyata, putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari
Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak;
cxxxi
122
-
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana,
maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini;
Dengan ditolaknya permohonan kasasi yang diajukan oleh para pihak yakni
Pemohon I Jaksa dan Pemohon II Terdakwa maka Mahkamah Agung dalam
memeriksa penerapan hukum yang digunakan oleh Judex Factie sudah tepat
atau perlu dibenarkan sesuai dengan amanat dalam ketentuan Pasal 253 ayat
(1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas
permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal
248 guna menentukan:
1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya;
2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang;
3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh
Mahkamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika:
1. Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244
KUHAP);
2. Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada
pantira pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu empat belas hari
sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP);
3. Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut,
Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP);
4. Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1)
KUHAP), atau tidak memberitahukan alasan kepada panitera, jika
cxxxii
123
pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau
pemohon terlambat mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari
sesudah mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan (4)
KUHAP);
5. Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253
ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.77
Berdasarkan
hasil
899/K/Pid.Sus/2012
penelitian
yang
pada
Putusan
intinya
Mahkamah
hakim
dalam
Agung
No.
memberikan
pertimbangannya menyatakan bahwa alasan baik dari Pemohon I maupun II
tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan sebagai berikut:
-
Bahwa alasan-alasan baik dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Kasasi
I) maupun Terdakwa (Pemohon Kasasi II) tidak dapat dibenarkan.
Judex Factie telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang
perkara a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan
alternatif kumulatif terhadap Terdakwa, karena itu baik dakwaan
pertama maupun dakwaan kedua harus harus dibuktikan dan
dipertimbangkan dengan saksama oleh Judex Factie. Dalam kasus
mana, Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa dari dakwaan
pertama terbukti alternatif pertama kelima yaitu Pasal 11 jo Pasal 18
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan
77
Ibid. hal 300
cxxxiii
124
alternatif kedua yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP;
-
Benar Terdakwa telah menerima paper bag/tas kertas berwarna cokelat
yang berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
berasal dari Haposan Hutagalung yang diserahkan oleh Sjahril Djohan
kepada Terdakwa berdasarkan keterangan Sjahril Djohan, Haposan
Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus
Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap.
Dalam pada itu, Terdakwa mengetahui dan patut menduga bahwa uang
tersebut diterimanya adalah karena kekuasaa/kewenangannya selaku
Kabreskrim Mabes Polri atas permohonan pertolongan dari Sjahril
Djohan dan Haposan Hutagalung agar memberi atensi khusus
mempercepatt penanganan perakra atas pengaduan Mr. Ho Kian Hiat
dan Penasehat Hukumnya Haposan Hutagalung terhadap Anwar
Salamah alias Amo atas penggelapan modal usaha penangkaran ikan
arwana dan modal indukan ikan, yang saat itu terkesan diperlambat.
Terdakwa memperlihatkan terutama kepada Sjahril Djohan bahwa ia
mempercepat proses, antara lain memanggil Penyidik untuk melakukan,
tangkap, tahan, sita, dan police line, dan memerintahkan Direktur II/
Kamtranas bahwa sesuai arahan piminan yang baru memenggil
Terdakwa agar perkara arwana dilengkapi pemeriksaannya untuk
menentukan langkah selanjutnya sehingga Tim Penyidik akhirnya pergi
ke
Pekanbaru
Riau
melakukan
cxxxiv
pendalaman
perkara
dengan
125
pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, dimana posisi berkas saat itu
masih 1/3. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti menerima
hadiah/janji, padahal patut diduganya bahwa hadiah atau janji itu
diberikan karena kekuasaan/kewenangannya yang berhubungan dengan
jabatan atau menurut pikiran pemberi hadiah/janji tersebut ada
hubungan dengan jabatan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan
pertama kelima yakni Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Korupsi;
-
Dakwaan
terhadap
Terdakwa
bersifat
kumulatif,
maka
harus
dipertimbangkan pula dakwaan kedua, menurut Judex Factie telah
terbukti dakwaan kedua alternatif kedua Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP;
-
Ternyata benar Terdakwa selaku Kuasa Pengguna Anggaran Dana
Hibah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barar Tahun
2008, Terdakwa dengan surat No. Pol/116/VI/2008/Bidkeu tentang
pertanggungjawaban keuangan belanja hibah tahun 2008 tanggal 2 Juni
2008 menyatakan tersisa 2.035.038,00 (dua juta tiga puluh lima ribu
tiga puluh delapan rupiah), padahal nyatanya yang didistribusikan ke
Satker di Intelkam Polda, Polwil, Polres, Polresta se Polda Jawa Barat
dan
Satker
di
Intelkam
di
Polda
seluruhnya
hanya
Rp.
19.230.790.100,00 (sembilan belas milyar dua ratus tiga puluh juta
cxxxv
126
tujuh ratus sembilan puluh ribu seratus rupiah), sedangkan sebesar Rp.
8.469.721.915,00 (delapan milyar empat ratus enam puluh sembilan
juta tujuh ratus dua puluh satu ribu sembilan belas rupiah) tidak
didistribusikan dan tidak diperuntukkan pengamanan pemilhan
Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi dipergunakan oleh Terdakwa
untuk pembelian 40 lembar travel cheque @ Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah); untuk membeli valuta asing, membayar harga
mobil camry serta digunakan untuk pemberian atensi kepada para
pejabat Polda Jawa Barat yang kesemuanya tidak ada hubungan dengan
peruntukan dana hibah tersebut;
-
Pada
mulanya
Terdakwa
memerintahkan
Bendaharawan
PAM
Pemilukada Jawa Barat Tahun 2008 Maman Abdulrahman Pasya untuk
melakukan pemotongan Dana Hibah PAM tersebut pada tahap ke-IV
dan hasil pemotongan mana dibenarkan para Bendaharawan Satker
Polres se Jawa Barat, hasil pemotongan itu bukan untuk pengamanan
Pemilukada tetapi untuk kepentingan pribadi;
-
Bahwa atas pertimbangan diatas, perbuatan Terdakwa bersama-sama
dengan Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje
Aprianto
terbukti
memenuhi
criteria
bersama-sama
melakukan
perbuatan tercantum dalam dakwaan kedua alternatif kedua dakwaan
Jaksa/Penuntut Umum;
cxxxvi
127
Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh KUHAP tersebut, juga perlu
ditinjau Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan
kasasi seperti:
1. Permohonan kasasi diajukan oleh seorang tanpa kuasa khusus (Putusan
Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958 No. 117K/Kr/1958);
2. Permohonan diajukan sebelum ada sebelum ada putusan akhir
pengadilan tinggi (Putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1958 No.
66 K/Kr/1958);
3. Permohonan kasasi terhadap putusan sela (Putusan Mahkamah Agung
tanggal 25 Februari 1958 No. 320 K/Kr/1957);
4. Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat
berwenang (Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 1961 No.
137 K/Kr/1961);78
Menurut hemat penulis Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara
tersebut tidak menemukan kesalahan yang dilakukan pengdilan sebelumnya
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 253 KUHAP tersebut diatas. Karena
didalamnya pertimbangannya hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti
secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Pertimbangan pengadilan sebelumnya
yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi,
oleh tingkat Mahkamah Agung sudah dianggap benar diperkuat dengan adanya
keterangan saksi untuk penanganan perkara PT. SAL yakni Sjahril Djohan,
78
Ibid. hal 300.
cxxxvii
128
Haposan Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus
Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap. Sedangkan
untuk perkara pengamanan Pilkada Jawa Barat Tahun 2008 dengan adanya
keterangan saksi yakni perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Maman
Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto
melakukan
pemotongan dana hibah pengamanan Pilkada Jawa Barat. Selain itu alasan lain
yang tidak sesuai dengan alasan pengajuan sebagaimana diatur dalam Pasal
253 tersebut diatas oleh hakim Mahkamah Agung tidak ada kewajiban untuk
dipertimbangkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Soedirjo79 yang menyatkan
bahwa
“Sebagaimana diketahui Mahkamah Agung dalam melakukan kasasi tidak
meniliti putusan seluruhnya. Putusan pada pokoknya berisi dua hal yaitu
pertimbangan tentang kenyataan (fakta-fakta) dan pertimbangan hukum.
Tugas Mahkamah Agung terbatas pada menyelidiki, apakah putusan yang
ditentang itu, bertentangan dengan hukum atau tidak.”
Oleh karena itu dengan ditolaknya permohonan pada amarnya yang
menyatakan bahwa
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Permohonan Kasasi dari
Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc. tersebut;
Menurut hemat penulis maka upaya kasasi yang ditempuh oleh para
pemohon patut dinyatakan ditolak karena segala pertimbangan yang pengadilan
yang digunakan oleh pengadilan sebelumnya tidak bertentangan dengan alasan
pengajuan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 KUHAP. Oleh karena
79
Soedirjo. Op. Cit. hal 24.
cxxxviii
129
itu dengan adanya pertimbangan hakim Mahkamah Agung yang pada intinya
menolak permohonan kasasi dari para pihak tersebut maka secara tersirat
dalam
putusan
Mahkamah
Agung
tersebut
memberikan
pemidanaan
sebagaimana telah dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya yakni Pengadilan
Tinggi yang menjatuhan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan kepada
Terdakwa. Sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut telah menguatkan atas
segala hal yang telah dipertimbangkan oleh pengadilan sebelumnya termasuk
dalam hal pengadilan sebelumnya telah menjatuhkan pemidanaan atas tindak
pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
cxxxix
130
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan
perkara Nomor 899/K/Pid.Sus/2012, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Tidak dimuatnya salah satu unsur dalam ketentuan Pasal 197
ayat 1 KUHAP yakni Perintah Penahanan pada perkara No.
899/K/Pid.Sus/2012 adalah tidak mengakibatkan putusan batal
demi
hukum
karena
dengan
dikeluarkannya
Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian
Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Yang pada intinya apabila
suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan perintah
penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 197 ayat 1 huruf k
KUHAP tidak mengakibatkan putusan tersebut batal demi
hukum, karena Mahkamah Konstitusi menyatakan terbukti
ketentuan pasal tersebut betentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan oleh
Jaksa sebagai bentuk pelaksanaan putusan.
2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan dalam
perkara No. 899/K/Pid.Sus/2012 adalah menolak permohonan
dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon I) dan Terdakwa
(Pemohon II) karena alasan yang dikemukakan salah satunya
cxl
131
dinyatakan oleh Pemohon II yang mengatakan bahwa judex
factie salah menerapkan hukum dalam membuktikan dakwaan
Jaksa yang mendakwa terdakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 11
jo. Pasal 18 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak tepat
karena Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan
judex facti telah benar dan tepat dalam membuktikan dakwaan
Jaksa tersebut. Selain itu putusan Mahkamah Agung pada
pokoknya hanya berisi tentang kenyataan dan pertimbangan
hukum, sehingga tidak perlu lagi mempertimbangkan upaya
pembuktian lagi sebagimana telah dilakukan oleh tingkat
pengadilan sebelumnya. Sehingga dengan ditolaknya, secara
tersirat
atau
tidak
langsung
Mahkamah
Agung
tetap
menjatuhkan pemidanaan yakni sesuai dengan putusan
pengadilan sebelumnya dengan menjatuhkan pidana penjara
selama 3 tahun 6 bulan.
B. SARAN
Untuk mencegah suatu putusan batal demi hukum maka hakim
dalam membuat putusan akhir harus memperhatikan dengan sungguhsungguh mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
formalitas suatu putusan. Walaupun pada hakikatnya peradilan pidana
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, namun perlu juga
diperhatikan mengenai ketentuan formalitas tersebut, yang telah
ditentukan dalam undang-undang.
cxli
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi
Di Indonesia. Jakarta : Raih Aksa Sukses.
Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung:
Alumni.
Ibrahim, Joni. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayu Media Publishin.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
___________. 2008. Perbandingan KUHP, HIR, dan Komentar. Jakarta: Ghalia.
Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan PK). Jakarta: Sinar
Grafika.
Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Bogor: Politea.
Marpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
_______________. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan &
Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi). Jakarta: Sinar Garfika.
Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritis Dan
Praktik Peradilan. Bandung: CV. Mandar Maju.
cxlii
__________. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, Dan
Permasalahannya. Bandung: Alumni.
Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. 2010. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Indonesia Lawyer Club.
Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Soedirjo. 1984. Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi). Jakarta:
Akademika Pressindo.
Soekanto, Soerjono. 1988. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktik.
Bandung: Mandar Maju.
Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Syamsuddin, Azis. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
________, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
cxliii
________, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman.
Bandung: Citra Umbara.
________, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
________, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Internet:
Manullang,
Dunia
Hukum
Online.
http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/09/asas-asas-hukum
pidana.html. diakses pada tanggal 17 Oktober 2013.
Anonim.
2010.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbc5042998ac/putusan-tanpaperintah-penahanan-bisa-dieksekusi, diakses pada tanggal 4 November
2013.
Yusril
Ihza
Mahendra.
2012.
http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapat-hukum-terhadapputusan-batal-demi-hukum/, diakses pada tanggal 4 November 2013.
Anonim.
http://www.poskotanews.com/2013/03/06/kisruh-pasal-197-kuhap-
penegak-hukum-dapat-dihukum-berat/, diakses pada tanggal 5 November
2013.
cxliv
Anonim. 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50aea9e793963/mk-putusan-tanpa-perintah-penahanan-tetap-sah,
diakses
pada
tanggal
5
November 2013.
www.Mahkamah Agung.go.id, diakses pada tanggal 19 Desmber 2013.
Makalah:
Paulus E. Lotulung. Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum.
Makalah.
cxlv
Download