PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012). SKRIPSI OLEH: ARIF MULYANA KURNIAWAN E1A010112 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012). SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : ARIF MULYANA KURNIAWAN E1A010112 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 ii ABSTRAK PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012). Oleh: ARIF MULYANA KURNIAWAN Hukum acara pidana sebagai hukum formil dari adanya hukum pidana mempunyai tujuan yakni bagaimana melaksanakan aturan-aturan yang telah diatur dalam hukum pidana. Ketentuan dalam hukum acara pidana lebih bersifat teknis yang artinya bahwa hukum acara pidana lebih mengatur tentang bagaimana seorang yang telah terbukti melanggar pasal-pasal yang telah ditentukan dalam hukum pidana seharusnya untuk dilakukan penanganan. Penanganan yang dimaksud adalah apabila seorang setelah diperiksa dalam sidang pengadilan yang kemudian dijatuhkan pidana namun belum mengerti akan tujuan dia dijatuhi pidana oleh hakim, karena itu hukum acara pidana sebagai alat-alat negara bermaksud untuk memberikan arahan tentang pelaksanaan hukuman yang telah dijatuhkan tersebut. Salah satu isi dalam hukum acara pidana adalah mengenai putusan pemidanaan. Pemidanaan yang dimaksud adalah apabila pengadilan yakin bahwa soerang telah melakukan tindak pidana dan terhadapnya dijatuhkan pidana (pasal 193 ayat (1) KUHAP). Salah satu putusan pemidanaan adalah putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 dimana dalam amarnya hanya berisikan menolak permohonan dan pembayaran biaya perkara. Ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP tentang perintah penahanan menjadi hal yang penting adanya, karena jika tidak dimuat maka menyebabkan suatu putusan batal demi hukum. Namun dengan adanya perkembangan setiap bunyi undang-undang tidak selamanya harus diikuti karena apabila terbukti bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 maka ketentuan undang-undang tersebut dapat dibatalkan yakni adanya putusan Mahkamah Kontitusi No. 69/PUU-X/2012 tentang pengujian pasal perintah penahanan yang pada pokoknya menyatakan ketentuan perintah penahanan tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak dimuatnya perintah tersebut maka tidak menyebabkan putusan batal demi hukum. Oleh karena itu dengan ditolaknya permohonan kasasi yang diajukan oleh seorang terdakwa karena tidak terbukti kesalahan judex factie dalam memeriksa perkara a quo hakim pada tingkat kasasi sama saja dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Kata kunci: Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP, Putusan Mahkamah Agung, v ABSTARCT Criminal procedure law as a formal law of the existence of the criminal law has a goal of how to implement the rules that have been set in the criminal law. Provisions in the law of criminal procedure more technical nature, which means that more criminal procedural law governs how people who have been found to have violated the articles that have been defined in the criminal law is supposed to do the handling. Handling question is if a court hearing after being checked in later dropped criminal but do not understand the purpose by judge sentenced him, because it is the law of criminal procedure as a means of state intends to provide guidance on the implementation of the sentence that has been imposed. One of the content of the criminal procedure law is about punishment verdict. Punishment is meant is that if the court is satisfied that who have committed a crime and punishment meted out to them ( Article 193 paragraph ( 1 ) Criminal Procedure Code). One of the sentencing decision is the decision of Supreme Court. 899/K/Pid.Sus/2012 where the amarnya contains only refuse the request and payment of court fees. The provisions of Article 197 paragraph ( 1 ) of the Criminal Procedure Code letter K restraining order becomes important presence, because if not loaded then lead to a decision null and void. But with the development of any sound laws are not always followed because if it is proved to be contrary to the Act of 1945, the provisions of the law can be canceled namely the Constitution Court decision No.69/PUU-X/2012 article about testing a restraining order that essentially state the terms of the restraining order no longer has binding legal force, so that the orders do not publishing it does not cause the decision null and void. Therefore, the rejection of an appeal filed by a defendant because it is not proven factie judex error in examining judge a quo case on appeal is tantamount to convict the defendant found guilty of a crime. Keywords : Article 197 paragraph (1) letter K Criminal Procedure Code, Supreme Court Decision. vi PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: PENERAPAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF K KITAB UNDANGUNDANG HUKUM ACARA PIDANA (Studi Putusan Perkara Korupsi Susno Duadji No: 899/K/Pid.Sus/2012). Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Oleh karena itu, semua kritik dan saran akan diterima dengan ketulusan dan keikhlasan hati. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin dan bimbingannya terhadap penelitian ini. 2. Handri. W.S., S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Pranoto, S.H.,M.H.., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan dan bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis. vii DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i HALAMAN JUDUL ............................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................ iv ABSTRAK ............................................................................................... v ABSTRACT .............................................................................................. vi PRAKATA ............................................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN ....................................................... ............ 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitian ........................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 7 A. Pembuktian ......................................................................... 7 1. Arti Pembuktian............................................................ 7 2. Sistem Pembuktian ....................................................... 11 3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian .......................... 16 B. Putusan Pemidanaan ........................................................... 32 1. Arti Putusan Pemidanaan ............................................. 32 2. Hal yang harus dimuat dalam Putusan Pemidanaan ..... 35 ix 3. Status Terdakwa dalam Putusan Akhir......................... 41 4. Putusan Batal Demi Hukum ......................................... 44 C. Upaya Hukum Kasasi ......................................................... 45 1. Pengertian Upaya Hukum Kasasi ................................. 45 2. Pemeriksaan dalam Upaya Hukum Kasasi ................... 50 D. Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 54 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................... 54 2. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi ............. 57 BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 59 1. Metode Pendekatan............................................................. 59 2. Spesifikasi Penelitian.......................................................... 59 3. Sumber Data ....................................................................... 59 4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ................................. 60 5. Metode Penyajian Bahan Hukum ....................................... 61 6. Metode Analisis Bahan Hukum.......................................... 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 62 A. Hasil Penelitian ................................................................... 62 B. Pembahasan ........................................................................ 91 BAB V PENUTUP ............................................................................... 131 A. Simpulan ............................................................................. 131 B. Saran ................................................................................... 132 DAFTAR PUSTAKA x 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian putusan pengadilan terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa: “Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.1 Terlepas dari pengertian putusan diatas maka ada kemungkinan bahwa bentuk putusan yakni: 1. Putusan yang membebaskan terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP); 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP); 3. Putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan pemidanaan yang dimaksud dalam KUHAP dalam Pasal 193 ayat 1 adalah “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Dicantumkan juga dalam surat putusan pemidanaan berdasarkan Pasal 197 ayat (1) KUHAP harus memuat beberapa unsur yang apabila tidak dicantumkan maka putusan tersebut adalah batal demi hukum. Beberapa unsur yang mempengaruhi yaitu dengan adanya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf K 1 M. Karjadi dan R.1997. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bogor: Politea. hal 4. xi 2 KUHAP yang menyatakan bahwa “Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, apabila unsur tersebut tidak ada maka putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum berdasarkan ayat selanjutnya yakni 197 ayat (2) KUHAP. Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa diantaranya adalah Putusan Mahkamah Agung No: 899/K/Pid.Sus/2012 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 1260/Pid.B/2010 PN.Jkt.Sel dan Pengadilan Tinggi Jakarta No: 35/PID/TPK/2011/PT.DKI, menjerat mantan Kabareskim Polri yakni Komjen Pol. Susno Duadji yang tersangkut perkara korupsi dimana dalam dakwaan Penuntut Umum mendakwa dengan alternatif kumulatif. Kemudian putusan yang dijatuhkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Majelis Hakim mendasarkan pada dakwaan alternatif pertama ke-5 yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 KUHP tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua ke-2 yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999. Dimana terdakwa diduga telah melakukan tindakan korupsi dengan menerima sejumlah uang dari Sjahril Djohan yang notabene teman dari Penasihat Hukum Ho Kian Huat untuk mempercepat proses penanganan perkara penggelapan yang dilakukan oleh Anwar Salmah, serta dakwaan kedua yang kedua yakni melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang yang sama, dimana terdakwa juga diduga telah melakukan pemotongan anggaran dana pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2008 yang berasal dari dana hibah pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Namun karena xii 3 tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri tersebut Susno Duadji melalui Penasihat Hukumnya mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun setelah perkara diperiksa dan mulai dipesidangkan sampai dijatuhkannya lagi putusan oleh Pengdilan Tinggi hasilnya sama yakni menguatkan putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Pertama. Tidak menyerah begitu saja Susno tetap mengajukan upaya hukum lagi yakni Kasasi ke Mahkamah Agung, namun oleh Mahkamah Agung pun pengajuan uapaya hukum tersebut menyatakan menolak pengajuan kasasi Susno Duadji dan tetap setuju dengan putusan pengadilan sebelumnya. Dengan alasan dari pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahakamah Agung bahwa pada intinya Judex Factie telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang perkara a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan alternatif kumulatif terhadap terdakwa, karena itu baik dakwaan pertama atau dakwaan kedua harus dibuktikan dan dipertimbangkan dengan seksama oleh Judex Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa dari dakwaan pertama terbukti alternatif pertama yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Kemudian yang menjadi persoalan adalah pada saat Tim Kejaksaan akan melakukan eksekusi putusan atas diri Susno Duadji mengalami beberapa hadangan oleh sekelompok anggota polisi karena menurut pihak Susno Duadji melalui Penasihat Hukumnya menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung xiii 4 Nomor: 899/K/Pid.Sus/2012 adalah batal demi hukum karena tidak memuat salah satu syarat yang harus ada dalam setiap putusan yakni tidak adanya amar yang menyatakan “Perintah Penahanan atas diri Susno Duadji”. Pihak Susno Duadji menyangkal seharusnya bahwa dalam amar putusan harus memuat susunan amar sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP. Oleh karena itu pihak Susno Duadji menolak pelaksanaan putusan yang dilakukan oleh Kejaksaan atas dasar putusan yang tidak lengkap dan batal demi hukum. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus yang pengaturannya berada diluar KUHP memiliki beberapa pasal yang sangat menjerat pelakunya yakni sejak adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merumuskan bahwa secara umum unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat dibuktikan yaitu: 1. Melawan hukum; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: PENERAPAN PASAL 197 AYAT 1 HURUF K KUHAP DALAM AMAR PUTUSAN PEMIDANAAN PERKARA KORUPSI KOMJEN POL. SUSNO DUADJI (Tinjauan Yuridis Putusan MA No: 899/K/Pid.Sus/2012) xiv 5 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah: 1. Bagaimana penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP dalam amar putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi Susno Duadji pada Putusan MA No: 899/K/Pid.Sus/2012? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap Susno Duadji pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 899/K/Pid.Sus/2012? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan Pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP dalam amar putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi pada Putusan No: 889/K/Pid.Sus/2012. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi pada Putusan No. 899/K/Pid.Sus/2012. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis, kalangan akademisi dan aparat penegak hukum mengenai hukum acara pidana khususnya dalam hal putusan pemidanaan. 2. Kegunaan Praktis xv 6 Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara praktis dalam upaya memberikan masukan terhadap aparat penegak hukum, yaitu salah satunya hakim dalam hal menyusun putusannya, agar memperhatikan dengan saksama perihal komponen yang harus termuat dalam setiap putusan pemidanaan yang akan dijatuhakan kepada diri terdakwa. xvi 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian, Sistem Pembuktian, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”.2 Masalah pembuktian menjadi hal yang paling menentukan bagi proses untuk menilai apakah perbuatan yang didakwakan kepada seorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan diajukan alat-alat bukti oleh Jaksa/Penuntut Umum sudah dapat dikatakan bahwa seorang tersebut bersalah melakukan tindak pidana. Dengan digunakannya proses tersebut maka selain untuk mempermudah dalam melakukan pemeriksaan hal itu juga dapat memberi jaminan hak asasi manusia kepada setiap orang yang didakwa telah melakukan tindak pidana apakah 2 M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan PK). Jakarta: Sinar Grafika hal 273. xvii 8 terbukti bersalah atau apakah sebaliknya tidak terbukti kesalahannya sama sekali. Sesuai dengan adanya tujuan hukum acara pidana sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah3 yang menyatakan bahwa ”Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Makna pembuktian sendiri memiliki pengertian sebagai ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dimana dalam pembuktian meliputi ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.4 Setiap memberikan pertimbangan hukumnya Hakim dalam membuat putusan akhir harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Rumusan ketentuan pasal tersebut memiliki unsur sebagai berikut: 1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”, 3 4 Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal 7-8. M. Yahya Harahap. Loc. Cit. xviii 9 2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.5 Pembuktian yang ada dalam proses peradilan pidana sering hanya diartikan sebagai pembuktian yang dilakukan selama proses persidangan namun sebenarnya pembuktian atau kegiatan pembuktian sudah dilakukan mulai dari tahap penyelidikan sampai nantinya dilakukan pemeriksaan persidangan. Dimana sebagai contoh pembuktian dalam tahap penyelidikan adalah sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP yang secara garis besar menyatakan kegiatan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga suatu tindak pidana untuk dijadikan sebagai dasar penyidikan. Yang selanjutnya sebagai contoh dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP yang secara garis besar menyatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk mencari bukti yang dapat membuat terang dan untuk menentukan siapa tersangkanya. Pembuktian yang oleh beberapa kalangan dirasa mempunyai peran penting ialah pembuktian dalam proses persidangan. Dimana setelah diketahui dari proses penyelidikan sampai pencarian bukti pada tingkat penyidikan bahwa suatu perbuatan yang diduga telah melanggar ketentuan dalam undang-undang maka menjadi tugas selanjutnya ialah menilai alat-alat butki yang telah diajukan untuk 5 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 280. xix 10 dapat dinilai oleh hakim apakah perbuatan yang sudah didakwakan telah terbukti sebagai perbuatan pidana atau tidak. Hal tersebut sesuai dengan arti pembuktian dalam sidang pengadilan yang pada intinya membedakan kegiatan pembuktian menjadi 2 bagian yakni: 1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta Bagian pembuktian yang pertama ini, adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemerkisaan perkara selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP) dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain selesai pemeriksaan untuk mengungkap atau mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang. 2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum Bagian pembuktian kedua ini maksudnya ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing oleh Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Majelis Hakim. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Sedangkan bagi Penasihat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota xx 11 pembelaan (pledooi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.6 Dari adanya pengertian diatas maka oleh beberapa pakar hukum dikatakan sebagai kegiatan hukum pembuktian. Dimana hukum pembuktian adalah memuat dan mengatur berbagai unsur pembuktian yang tersusun dan teratur saling berkaitan dan berhubungan sehingga membentuk suatu kebulatan perihal pembuktian, yang jika dilihat dari segi keteraturan dan keterkaitannya dalam suatu kebulatan itu dapat juga disebut dengan sistem pembuktian.7 2. Sistem Pembuktian Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat. Dengan adanya rumusan Pasal 183 KUHAP diatas maka dikenalah apa yang dinamakan dengan Prinsip Minimun Pembuktian yang merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa yaitu: 1. Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup). 2. Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan “sepat”, dengan satu alat bukti sah saja cukup mendukung keyakinan hakim.8 6 Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni. hal 21-22. 7 Ibid. hal 24. 8 Manullang, Dunia Hukum Online. http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/09/asasasas-hukum-pidana.html. diakses pada tanggal 17 Oktober 2013. xxi 12 Dengan kata lain apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan, terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan berupa tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberikan keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.9 Sistem atau teori pembuktian yang banyak digunakan dalam banyak referensi adalah sebagai berikut: a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan UndangUndang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie) Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan pada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak 9 M. Yahya Harahap. Op. Cit.. hal 354. xxii 13 mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undangundang. 10 b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Convictim in Time) Menurut Andi Hamah11 yang menyatakan bahwa sistem tersebut memiliki arti yakni “Alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri tidak selalu membuktikan kebenaran. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Berakar pada pemikiran itulah, maka sistem yang didasarkan pada keyakinan hakim melulu yang didasarkan pada keyakinan hati nuraninyasendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan.” Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam menentukan keyakinannya itu.12 c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonner atau Convictim-Raisonee) Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim keyakinannya bebas (vrije untuk menyebut bewijstheorie). 10 Sistem alasan-alasan atau teori Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia. Jakarta : Raih Aksa Sukses. hal. 25. 11 Andi Hamzah. 2008. Perbandingan KUHP, HIR, dan Komentar. Jakarta: Ghalia. hal.260. 12 Adami Chazawi. Op. Cit. hal 25. xxiii 14 pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama tersebut diatas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative (negatief wettelijk bewijstheorie).13 Dalam sistem ini, walaupun undang-undang menyebut dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tetrsebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.14 d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Bewijs Theorie) adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalian menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. 13 14 Andi Hamzah. Op. Cit. hal. 253 Adami Chazawi. Op. Cit. hal 26. xxiv 15 Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undangundang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian ganda (doubelen grondslag). Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR telah diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dalam sistem undang-undang secara negative sebagai intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana; b. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.15 3. Alat Bukti Pasal 184 KUHAP menyatakan secara terbatas atau limitatif adanya jumlah alat bukti yang telah diatur guna dipakai untuk menjadi dasar dari pencairan bukti-bukti yang dapat memberikan informasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menjerat seorang yang 15 Ibid. hal 30. xxv 16 diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Alat bukti yang berada diluar KUHAP tidak dapat digunakan untuk mencari kebenaran materiil dalam perkara pidana, karena dengan adanya pemberian secara limitatif tersebut secara langsung berakibat bahwa alat bukti yang harus digunakan mesti berpedoman pada alat-alat bukti tersebut. Alat bukti sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa. Dengan pengecualian dari ketentuan pasal tersebut diatas adalah untuk pemeriksaan cepat hanya dibutuhkan satu alat bukti saja sudah cukup yang menyatakan bahwa dalam Penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.” Alat bukti sebagai bagian dari adanya pembuktian dalam persidangan menjadi hal yang sangat menentukan dalam membuktikan apakah seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dapat dikatakan bersalah melaui alat bukti yang diajukan selama proses di persidangan. Untuk itu hakim dalam menilai suatu alat bukti yang telah diajukan harus benar-benar diperhatikan dan dapat dijadikan bagi hakim untuk memberikan kesimpulan untuk menjatuhkan putusan ata dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang. A. Alat Bukti Keterangan Saksi xxvi 17 Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sebagai salah satu bentuk alat bukti maka untuk menjadi seorang saksi maka harus memenuhi syarat yang telah ditentukan yakni: Menurut ketetentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP sebelum saksi memberikan keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Dengan sumpah atau janji yang harus dilakukan: a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tida lain daripada yang sebenarnya. Saksi yaitu keterangan seorang saksi yang menjadi korban kejahatan atau orang yang melihat, mendengar dengan mata kepala sendiri dengan menguraikan secara rinci atas kejadian yang ia ketahui. Saksi tidak diperkenankan memberikan pendapat atau konklusi. Persangkaan ataupun perkiraan yang istimewa yang terjadi karena kata akal, bukan merupakan kesaksian.16 Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti artinya bahwa tidak semua keterangan saksi dapat dijadikan sebagai bukti yang dapat memberikan informasi bagi hakim dalam melakukan 16 Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktik. Bandung: Mandar Maju. hal 285. xxvii 18 pemeriksaan terhadapnya. Ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi ialah keterangan yang: a. b. c. d. ia lihat sendiri, saksi dengar sendiri, saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi diberikan disidang pengadilan yang memilki makna bahwa keterangan seseorang yang diberikan diluar persidangan tidak dapat dijadikan sebagai bukti. Karena setiap orang yang menjadi saksi ialah orang yang dipanggil dalam persidangan dan memberikan keterangannya dibawah sumpah. Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP bahwa untuk dapat dijadikan sebagai bukti maka setiap keterangan orang yang dijadikan saksi harus disampaikan dalam sidang pengadilan, disamping itu dengan adanya kewajiban untuk menyampaikan dalam sidang pengadilan ialah guna mengahindari adanya pengaruh orang yang mengaku mengetahui kejadian suatu tindak pidana menyampaikannya kepada hakim diluar sidang maupun kepada penuntut umum atau penasihat hukum untuk disampaikan di sidang pengadilan. B. Alat Bukti Keterangan Saksi Ahli Saksi ahli merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian acara pidana. Ahli sendiri mempunyai pengertian sebagai seorang yang megetahui segala bidang yang telah menjadi profesinya, dimana dengan profesi yang dimilikinya xxviii 19 tersebut dapat membuat terang terhadap perkara yang sedang diperiksa selain tetap memperhatikan adanya keterangan saksi sebagai alat bukti sebelumnya. Saksi ahli menurtu Moch. Faisal Salam17 menyatakan bahwa “Saksi ahli adalah saksi yang ahli dalam suatu bidang, misal ahli tanda tangan atau tulisan, ahli senjata api, dokter kehakiman, ahli farmasi. Maka keterangan para saksi baik saksi biasa maupun saksi ahli, merupakan alat bukti yang sah.” Pada awalnya sebelum dikenal adanya KUHAP sistem peradilan di Indonesia masih menggunakan HIR yang berlakunya baik untuk perkara perdata maupun untuk perkara pidana. Kedudukan ahli dalam HIR pun tidak dijadikan sebagai alat bukti yang sah namun hanya dijadikan sebagai keterangan diluar alat bukti yang ada dalam HIR yang berguna untuk menambah keyekinan bagi hakim dalam memeriksa suatu perbuatan yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan perundangan tertetntu. Keterangan ahli mulai dapat digunakan pada saat pemeriksaan ditingkat penyidikan yakni dengan adanya ketentuan Pasal 133 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.” 17 Ibid. hal 285. xxix 20 Dari rumusan ketentuan pasal tersebut dapat kita pahami bahwa sejak ditingkat penyidikan pun keterangan ahli dapat digunkan untuk memberikan keterangan mengenai hal yang berada diluar bidang hukum namun hasilnya dapat membuat terang perkara pidana yang diduga telah dilakukan oleh seseorang. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa “Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan disidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.” Dari ketentuan yang tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa 1. Alat bukti keterangan ahli dapat berbentuk “laporan” atau “visum et repertum”, - pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “laporan atau visum et repertum”, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. - pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti “surat”. xxx 21 2. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “keterangan langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang dituangkan dalam catatan berita acara persidangan.18 Adanya keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah setelah adanya KUHAP dapat menjadi landasan hakim dalam mengambil pertimbangan hukumnya di putusan akhir apakah suatu tindak pidana yang diduga telah dilakukan oleh seseorang terbutki atau tidak terbukti. C. Alat Bukti Surat Keberadaan alat bukti surat dalam KUHAP hanya disampaikan pada Pasal 184 KUHAP dan Pasal 187 KUHAP. Dimana Pasal 187 KUHAP menyatakan bahwa “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 18 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 303. xxxi 22 Pengertian surat sendiri dalam KUHAP tidak diatur secara tegas akan tetapi sebelum adanya KUHAP pengaturan tentang surat telah ada dalam HIR namun juga terbatas yakni cuma ada terdapat dalam 3 pasal (Pasal 304, Pasal 305, dan Pasal 306 HIR). Ketentuan dalam HIR tersebut pada waktu itu juga masih memberikan kesempatan yang artinya dalam praktik bahwa alat bukti surat dapat digunakan untuk pembuktian dalam acara perdata maupun pidana. Namun setelah berlakunya KUHAP maka ketentuan tersebut mejadi tidak berlaku karena dalam sistem acara pidana dengan berlakunya KUHAP surat menjadi alat bukti yang sah dan merupakan alat bukti yang bebas bagi hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa dengan tetap memperhatikan keberadaan alat bukti yang lainnya. Dengan diaturnya surat sebagi alat bukti yang sah berdasarkan adanya Pasal 184 KUHAP maka tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menggunakannya sebagai dasar untuk membuat pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan akhir. D. Alat Bukti Petunjuk Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan definisi tentang petunjuk yakni “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Apabila hakim akan menggunakan alat butki ini perlu dipahami secara saksama mengenai pasal yang mengaturnya karena ketentuan xxxii 23 dalam Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mempunyai unsur yakni sebagai berikut: a. Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian keadaan yang bersesuaian; b. Unsur kedua, ada 2 persesuaian, ialah: 1. Bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu dengan yang lain, maupun 2. Bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan; c. Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) atau menunjukan adanya 2 (dua) hal in casu kejadian ialah: 1. Pertama, menunjukan bahwa benar telah terjadi sautu tindak pidana, dan 2. Kedua, menunjukan siapa pembuatnya. d. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.19 Hakim hanya dapat menggunakan alat bukti ini dengan mendasarkan pada alat bukti yang lainnya yakni saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dengan kata lain hakim tidak bisa secara langsung menggunakan alat bukti ini tanpa didasari oleh alat bukti 19 Adami Chazawi. Op. Cit. hal 74. xxxiii 24 lain dalam hal untuk memberi keyakinan bagi hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya. E. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Pengertian tentang alat bukti keterangan terdakwa disampaikan pada ketentuan Pasal 189 KUHAP ayat (1) menyatakan bahwa: “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undangundang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menetukan. 4. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Setiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang artinya tiap alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan mempunyai nilai masing-masing yang berguna untuk menambah keyakinan hakim mengenai perbuatan seseorang yang diduga telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. 1. Keterangan saksi menjadi alat bukti pastinya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang dapat digunakan bagi hakim dalam memberikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa. Keterangan saksi memiliki nilai kekuatan pembuktian sebagai berikut: xxxiv 25 - Mempunyai kekuatan pembuktian bebas yang artinya bahwa setiap keterangan saksi yang diberikan dalam proses persidangan bersifat tidak memiliki kekuatan yang sempurna atau mengikat dan menentukan bagi hakim dalam memberikan pertimbangannya. Setiap keterangan saksi yang diberikan bersifat bebas yakni apakah keterangan dari saksi tersebut akan dipakai atau tidak itu kembali kepada hakim yang akan memutusnya. Atau dengan kata lain bahwa alat butki saksi sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan dan tidak mengikat. - Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim yang artinya bahwa alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah tapi tidak sempurna dan tidak menentukan itu sifatnya tidak bisa mengikat bagi hakim. Hakim dalam menilai keterangan saksi bebas untuk memakai atau tidak setiap keterangan saksi yang diperoleh selama proses pemeriksaan persidangan. Penilaian hakimlah yang menentukan apakah keterangan saksi tersebut dianggap memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna atau tidak. Dan biasanya sebelum saksi dimintai keterangannya maka terhadap dirinya akan diambil sumpah terlebbih dahulu xxxv 26 untuk memastikan bahwa pernyataan yang akan dia berikan tidak palsu atau saksi berbohong. Oleh karena itu hakim dalam memeriksa setiap keterangan saksi harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP yakni sebagai berikut: 1. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lainnya; 2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; 3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu; 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi. Jadi keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah memiliki nilai kekuatan pembuktian yang bebas dalam arti hakimlah yang akan menentukan apakah keterangan setiap saksi yang diberikan dalam pemeriksaan persidangan itu bersifat sempurna dan menentukan tergantung penilaian hakim terhadap keterangan saksi tersebut. Karena pada dasarnya keterangan saksi tidak mengikat hakim sebagai alat bukti yang sempurna dan menentukan tanpa didukung dengan alat bukti yang lainnya. 2. Keterangan ahli sebelum berlakunya KUHAP dalam HIR hanya sebagai bahan penambah yang dapat digunakan oleh hakim untuk membuat terang peristiwa yang sedang diperiksa. Namun setelah berlakunya KUHAP keterangan ahli dalam persidangan menjadi alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti xxxvi 27 yang sah maka secara otomatis keterangan ahli mempunyai nilai kekuatan pembuktian yakni a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas yang artinya bahwa didalam keterangan ahli tidak mempunyai sifat yang sempurna dan mengikat bagi hakim untuk menggunakannya. Karena pada dasarnya hakim diberikan kebebasan untuk menilai keterangan ahli apakah berguna atau tidak untuk dijadikan pertimbangan hakim dalam putusannya. Selain itu kembali kepada moral dari hakim yang memandang keterangan ahli apakah keterangan tersebut sempurna atau tidak untuk membuktikan kesalahan yang telah didakwakan kepada terdakwa. b. Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP maka setiap keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai alat bukti yang sah tanpa didukung oleh alat butki yang lain. Dalam arti bahwa keterangan seorang ahli tidak dapat menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa tanpa disertai dengan adanya alat bukti yang lainnya. Selain itu pada dasarnya keterangan ahli dapat dibedakan menjadi dua yakni sebagai berikut: 1. Ahli yang memberikan keterangan berdasarkan pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya dengan xxxvii 28 pertama kali melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya ahli kedokteran forensik melakukan otopsi terhadap korban pembunuhan yang diduga telah dibunuh oleh terdakwa dengan cara ditusuk, maka tugas dari dokter tersebut untuk memeriksa apakah korban meninggal karena tusukan atau karena sebab yang lain. Berdasarkan pemeriksaan oleh ahli tersebut biasanya dituangkan dalam bukti tertulis mengenai hasil pemeriksaan yang telah dilakukan yang selanjutnya dapat dijadikan bukti bagi ahli tersebut dalam memberikan serta memperkuat keterangannya di persidangan. 2. Ahli yang memberikan keterangan berdasarkan ilmu dan pengetahuannya tanpa melakukan proses pemeriksaan tertentu terlebih dahulu. Sebagai contoh adalah keterangan ahli perakit bom yang memberikan cara kerja dan pembuatan perakitan bom. Dia tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu karena hal tersebut dapat mengancam keselamatan jiwanya dan orang lain yang sedang melakukan proses pemeriksaan di persidangan. Jadi pada dasarnya keterangan ahli yang bersifat bebas tersebut tidak harus dengan memiliki bukti formal seperti xxxviii 29 ijazah atau sertifikat, karena bisa saja orang yang karena kebiasaannya mengetahui dalam bidang tertentu dapat dimintai keterangan dengan tujuan untuk membuat terang perkara yang sedang dihadapi. 3. Alat bukti surat mempunyai nilai kekuatan pembuktian dapat dilihat dari dua segi yakni sebagai berikut: 1. Ditinjau dari segi formal artinya bahwa alat bukti surat yang tertuang dalam ketentuan Pasal 187 huruf a dan b mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna menurut formal, karena alat bukti surat tersebut secara formal telah dibuat oleh pejabat yang berwenang dan pejabat itu sendiri sebelumnya telah disumpah sesuai dengan profesinya. Maka dari itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna formal dalm hal apabila alat bukti surat tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang dan telah disumpah sebelumnya. 2. Ditinjau dari segi materiil, alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas seperti alat bukti saksi dan alat bukti ahli. Karena mendasarkan pada hal yang sama bahwa penilaian hakimlah yang menentukan apakah bukti tersebut mengikat dirinya dan bersifat sempurna tergantung dari penilaian hakim itu sendiri. Pada dasarnya alat bukti surat memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna secara formil apabila dibuat oleh xxxix 30 pejabat yang berwenang dan sebelumnya telah disumpah berdasarkan profesinya. Namun bersifat bebas dalam arti materiil karena apabila mendasarkan pada alat bukti surat saja tanpa menggunakan alat bukti yang lain tidak dapat menentukan kesalahan yang telah didakwakan kepada terdakwa. 4. Alat bukti petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas karena didasarkan pada hal-hal berikut ini: 1. Hakim tidak atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian, 2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain Pada dasarnya petunjuk sebagai alat bukti hanya dipakai oleh hakim sebagai kesimpulan mengenai kesesuaian antara alat bukti yang lainnya dan untuk nantinya dijadikan sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Sedangkan untuk jaksa petunjuk digunakan sebagai kesimpulan untuk membuat xl 31 tuntutannya (requisitoir) atas proses pemeriksaan alat bukti yang telah dilakukan sebelumnya. 5. Alat bukti keterangan terdakwa mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti yang lainnya yakni bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya. Hakim apabila ingin menjadikan alat bukti keterangan terdakwa ini sebagai alat bukti yang sempurna harus mendasarkan pada alat bukti yang lainnya. Hakim bebas untuk menilai keterangan terdakwa asalkan memenuhi prosedur yang telah ditentukan bahwa selain mendasarkan pada batas prinsip minimum pembuktian maka disamping itu juga harus berdasarkan pada asas keyakinan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang bersifat pembuktian secara negatif. Selain mendasarkan pada alat bukti yang dihadirkan ditambah keyakinan hakim bahwa terdakwalah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan jaksa. B. Putusan Pemidanaan 1. Pengertian Putusan Pemidanaan Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut putusan akhir. Menurut KUHAP ada beberapa macam bentuk putusan xli 32 diantaranya adalah putusan pemidanaan yang bermakna dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukannya.20 Putusan Pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan procedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.21 Putusan pemidanaan seringkali oleh beberapa pakar dairtikan dengan putusan pidana atau penghukuman. Dimana rumusan Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Putusan pemidanaan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan.22 20 Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hal 117. 21 Lilik Mulyadi. 2010. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritis Dan Praktik Peradilan. Bandung: CV. Mandar Maju. hal 93. 22 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 354. xlii 33 Menurut Mr. M. H. Tirtaadmidjaja sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung23 menyatakan bahwa “Sebagai Hakim, ia harus berusaha untuk menerapkan suatu hukuman, yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh si terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Dimana untuk mewujudkan hal tersebut harus memperhatikan: a. Sifat pelanggaran pidana itu (apakah itu suatu pelanggaran pidana yang berat atau ringan); b. Ancaman hukuman terhadap terhadap pelanggaran pidana itu; c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang memberatkan dan meringankan); d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat tulen atau seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum (recidivist) atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja; atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun seorang yang telah berusia tinggi; e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu; f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu (apakah ia menyesal tentang kesalahannya ataukah dengan keras menyangkal meskipun telah ada bukti yang cukup akan kesalahannya); g. Kepentingan umum. Dengan adanya pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa maka secara otomatis proses pemeriksaan persidangan telah selesai. Namun yang menjadi persoalan adalah fungsi menjatuhkan pemidanaan apakah hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tersebut mengetahui maksud adanya fungsi pemidanaan atau hanya sekedar menjalankan perintah undang-undang, karena perlu untuk diketahui bahwa fungsi pemidanaan adalah sebagai berikut: 1. Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, criteria atau 23 Leden Marpaung. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi). Jakarta: Sinar Garfika. hal 139. xliii 34 paradigm terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung didalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan, dan diaplikasikan. 2. Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori-teori pemidanaan.24 Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim apabila ia telah yakin bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang telah diajukan dengan ditambah dari keyakinan hakim sendiri bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagimana yang didakwakan oleh jaksa maka kepadanya dijatuhkan pidana sesuai ancaman dari jaksa tersebut. Sehingga dengan adanya putusan pemidanaan yang telah dijatuhkan maka menjadi proses terakhir tapi menjadi proses terpenting dalam menjamin tegaknya hukum serta disamping tidak mengurangi hak terdakwa untuk segera mendapatkan perlakuan atas perbuatan yang dilakukannya. 2. Hal-Hal Yang Harus Dimuat Dalam Putusan Pemidanaan 24 Lilik Mulyadi. Op. Cit. hal 113-114. xliv 35 Putusan pemidanaan berdasarkan Pasal 197 ayat 1 KUHAP harus memuat beberapa ketentuan yakni sebagai berikut: a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta daan keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh, surat pernyataan palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Unsur-unsur yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan diatas memiliki bebarapa penjelasan yakni sebagai berikut Ad.a. Maksud “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Maksud eksplisit dicantumkannya irah-irah tersebut dimaksudkan bahwa pengadilan dilaksanakan dengan sendi-sendi religius (Pasal 29 UUD 1945 dan Sila I Pancasila) dan manifestasinya hakim dalam memutus perkara harus mencari dan mewujudkan kebenaran materiil xlv 36 (materieele waarheid) dan keadilan sehingga secara moral bertanggung jawab kepada diri sendiri, hak asasi, kepada masyarakat dan negara, ilmu hukum sendiri dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ad.b. Penjelasan mengenai identitas terdakwa Pemeriksaan identitas terdakwa di persidangan diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengadili seseorang (error in persona). Sehingga dengan diperiksanya identitas terdakwa secara jelas dan cermat, diharapkan bahwa orang yang diadili hakim di depan persidangan itulah merupakan terdakwa sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan. Ad.c. Penjelasan mengenai dalam putusan harus memuat dakwaan Esensi dakwaaan adalah dalam sidang pengadilan penting adanya, oleh karena ruang lingkup pemeriksaan terdakwa di depan persidangan berorientasi pada surat dakwaan. Berdasarkan dakwaan, pembuktian, dan keyakinannya, maka majelis hakim menentukan apakah terdakwa bersalah ataukah tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan. Ad.d. Maksud dari keterangan yang diperoleh selama persidangan Menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP maka yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan” disini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi ahli, terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban. Ad.e. Maksud putusan pemidanaan harus memuat tuntutan xlvi 37 Hal ini khusus terhadap putusan pemidanaan. Apabila terhadap putusan bukan pemidanaan berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (1) KUHAP tidak perlu dicantumkan mengenai tuntutan pidananya. Ad.f. Maksud putusan pemidanaan harus mencantumkan pasal peraturan perundangan serta keadaaan yang memberatkan dan meringankan Putusan disini diuraikan dan dipertimbangkan mengenai unsurunsur (bestandellen) pasal yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Unsur-unsur pasal tersebut harus seluruhnya terbukti dan apabila salah satu unsur tidak terbukti, maka terdakwa akan dijatuhkan putusan bebas. Dalam pertimbangan unsur-unsur tersebut maka hakim selain berdasarkan ketentuan alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP, juga berdasarkan pendapat para doktrin dan yurisprudensi. Selain itu untuk menentukan lamanya pidana (sentencing atau straftoemetting) hakim juga menguraikan keadaan yang memberatkan maupun yang meringankan. Ad.g. Maksud adanya musyawarah majelis hakim Mengenai hari dan tanggal musyawarah majelis hakim dalam putusan terdapat dibawah amar putusan. Kalau bertitik tolak pada ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g KUHAP ini maka hari dan tanggal musyawarah mejelis hakim berbeda dengan hari dan tanggal putusan sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP. Ad.h. Maksud dari pernyataan terbuktinya kesalahan terdakwa xlvii 38 Ketentuan pasal ini bersifat limitatif yang terdapat dalam diktum/amar putusan berisikan kualifikasi tindak pidana yang terbukti didepan persidangan dan lamanya pidana dijatuhkan oleh majelis hakim. Ad.i. Maksud dari pembebanan biaya perkara Selain berdasarkan ketentuan pasal tersebut disebutkan pula dalam Pasal 222 ayat (1) KUHAP yang memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan permohonan apabila dia dirasa tidak mampu untuk membayar uang perkara. Namun apabila terdakwa tidak mampu ataupun tidak mau membayar, Jaksa pada prinsipnya dapat menyita sebagian barang-barang milik terpidana untuk dijual lelang yang kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk melunasi biaya perkara tersebut. Kemudian khusus barang bukti maka pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang bahwa barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Ad.j. Maksud dari surat dibawah tangan harus dikesampingkan Terhadap hal ini, terutama ditujukan kepada surat autentik saja oleh karena menurut hukum perdata, surat autentik merupakan bukti sempurna (Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, dan Pasal 1970 KUH Perdata) sedangkan mengenai surat dibawah tangan atau surat-surat laninnya tidak xlviii 39 perlu/diharuskan diterangkan kepalsuannya pada pemeriksaan hakim pidana. Ad.k. Maksud dari perintah penahanan kepada terdakwa Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP menentukan, bahwa: a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup untuk itu; b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusan-putusannya, dapat menetapkan tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang cukup untuk itu. Ad.l. Maksud dari hari, tanggal, serta identitas para pihak di pengadilan Aspek ini dimaksudkan agar setiap orang mengetahui kapan waktunya putusan diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum serta nama Penuntut Umum, nama Majelis Hakim yang mengadili perkara serta nama Panitera guna transparannya pemeriksaan serta susunan pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap perkara itu.25 Disampaikan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP bahwa “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, k, dan l 25 Ibid. hal 99-105. xlix 40 pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan adanya pernyataan dari ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP terebut menandakan bahwa syarat yang telah ditentukan dalam ayat (1) harus dipenuhi secara keseluruhan. Ini sejalan dengan pendapat dari Komisi III DPR Republik Indonesia dan beberapa pakar hukum yang menyatakan bahwa “Apabila suatu putusan pemidanaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, maka putusan itu akan berakibat batal demi hukum. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP.”26 Syarat yang telah ada dalam ayat (1) tersebut telah membuktikan sifatnya yang sempurna bahwa apabila salah satu tidak terpenuhi maka dapat mengakibatkan suatu putusan adalah batal demi hukum. Sebagai contoh penerapannya adalah pendapat yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra27 yang mengatakan bahwa Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam 26 Anonim. 2010. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbc5042998ac/putusantanpa-perintah-penahanan-bisa-dieksekusi, diakses pada tanggal 4 November 2013. 27 Yusril Ihza Mahendra. 2012. http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapathukum-terhadap-putusan-batal-demi-hukum/, diakses pada tanggal 4 November 2013. l 41 tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung); Selain itu ketentuan yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat tekstual dengan artian wajib dicantumkan didalam putusan, sesuai dengan Pasal 3 KUHAP itu sendiri, dimana dinyatakan bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Bahwa diketahui ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut diatas memuat 12 poin, dimulai dar huruf a hingga l, yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan. Apabila salah satu poin keculai huruf g, tidak termuat dalam putusan pemidanaan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.28 3. Status Terdakwa Dalam Putusan Pemidanaan Dengan adanya putusan pemidanaan yang telah dijatuhkan maka secara langsung memiliki akibat yang berkaitan dengan status terdakwa dalam tahanan. Status dalam tahanan memiliki peranan yang sangat penting dimana sifatnya untuk menjamin kedudukan terdakwa apakah tetap ditahan atau dibebaskan. Pencantuman status terdakwa dapat dilakukan bersamaan dengan putusan diucapkan seperti dinyatakan oleh M. Yahya Harahap29 yang menyatakan bahwa: 28 http://www.poskotanews.com/2013/03/06/kisruh-pasal-197-kuhap-penegak-hukumdapat-dihukum-berat/, diakses pada tanggal 5 November 2013. 29 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 355-356. li 42 Status terdakwa yang dapat diperintahkan pengadilan berbarengan dengan saat putusan diucapkan, berpedoman kepada Pasal 193 ayat 2. Dari ketentuan ayat 2 ini, ada berbagai status yang dapat diperintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana: a. Jika terdakwa tidak ditahan maka alternatifnya: - Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam status “tidak ditahan”. Tidak semua putusan pemidanaan dibarengi dengan perintah supaya terdakwa ditahan. Sekalipun terdakwa berada dalam status tidak ditahan, kemudian putusan yang dijatuhkan berupa pemidanaan, pengadilan dapat memerintahkan dalam putusan supaya terdakwa “tidak ditahan”. Tindakan atau kebijaksanaan pengadilan yang tidak memerintahkan terdakwa supaya ditahan dalam suatu putusan pemidanan, tentu ada baikdan buruknya. Segi buruknya seolah-olah putusan pemidanaan itu dianggap masyarakat kurang sungguh-sungguh. Segi baiknya menurut pengadilan buat apa terburu-buru biasanya akan dilakukan upaya hukum atas suatu putusan pemidanaan tersebut. - Pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Jika terdakwa tidak ditahan pada saat putusan dijatuhkan, pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Berarti pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa, sekaligus memerintahkan supaya terdakwa ditahan. b. Jika terdakwa berada dalam status tahanan menurut Pasal 193 ayat 2 huruf b KUHAP, pengadilan dapat memilih salah satu alternatif dibawah ini: - Memerintahkan terdakwa “tetap berada dalam tahanan”. Jadi, kalau pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa yang kebetulan sedang ditahan, pada saat putusan dijatuhkan atau diucapkan, sekaligus dibarengi dengan perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. - Memerintahkan “pembebasan terdakwa dari tahanan”. Artinya bahwa meskipun terdakwa dijatuhi pidana namun disini undang-undang memberikan batasan yakni apabila terdakwa ternyata divonis selama masa tahanan yang telah dijalaninya maka terhadap dirinya dapat dilakukan dalam penjatuhan putusan dengan perintah pembebasan dari tahanan. Selain masa tahanan yang sama dengan vonis yang dijatuhkan, penahanan yang melampaui batas perlu juga untuk diperintahkan untuk pembebasan terhadap terdakwa. Namun dalam hal tertentu seperti keadaan sakit maka terdakwa juga dapat diperintahkan dibebaskan dari tahanan. lii 43 Menurut Akil Mochtar30 yang berpendapat bahwa “Perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sangat penting untuk dimuat dalam putusan. Hal ini demi kepastian hukum terhadap status penahanan dari terdakwa. Bila majelis hakim tidak memuatnya dalam surat putusan, status penahanan terdakwa menjadi tidak jelas. Ini mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara yang sedang ditahan. Terlebih, penahanan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Bila hakim atau majelis hakim tidak segera memutuskan status penahanan terdakwa dalam surat putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan (justice delayed, justice denied).” Apakah terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, tergantung penilaian pengadilan, tetapi mutlak dimuat dalam amar putusan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Mengenai ditahan atau tidaknya terdakwa, Pasal 21 KUHAP tetap merupakan dasar bagi penahanan. Jadi, jika perbuatan yang didakwakan diluar Pasal 21 KUHAP maka amar putusan: terdakwa tidak ditahan tetapi jika termasuk Pasal 21 KUHAP maka tetap tergantung pada penilaian pengadilan, harus dimuat pada amar putusan. Kelalaian memuatnya mengakibatkan putusan batal demi hukum.31 4. Putusan Batal Demi Hukum Sebelum memeriksa apakah suatu putusan itu batal demi hukum maka perlu untuk diketahui terlebih dahulu bahwa dalam pembuatan putusan tidak mudah seperti yang dibacakan namun harus dibuat dengan ketentuan atau syarat-syarat tertentu yang harus selalu diperhatikan 30 Anonim. 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50aea9e793963/mk-putusan-tanpa-perintah-penahanan-tetap-sah, diakses pada tanggal 5 November 2013. 31 Leden Marpaung. Op. Cit. hal 151. liii 44 sehingga suatu putusan itu tidak dikatakan batal demi hukum. Pasal 195 KUHAP menyataka bahwa “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Dengan demikian untuk sahnya putusan pengadilan harus memenuhi syarat-syarat: a. Memuat hal-hal yang diwajibkan (apabila putusan pemidanaan maka melihat ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP); b. Diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Kata batal demi hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan dicantumkan artinya antara lain: 1. Tidak berlaku, tidak sah, sia-sia; 2. Tidak jadi dilangsungkan, ditunda;32 Kata batal demi hukum sinonim dengan nulliteit yang batal dengan sendirinya. Nulliteit atau batal demi hukum, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak keliru jika tidak dilaksanakan (dieksekusi). Putusan batal demi hukum tidak mempunyai alternatif lain selain harus diperbaiki, harus disempurnakan. Perlu untuk diketahui bahwa perbaikan/penyempurnaan putusan batal demi hukum hanya sah jika dilakukan berdasarkan petunjuk Mahkamah Agung. Hal yang demikian 32 Leden Marpaung. Op. Cit. hal 146. liv 45 sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sedang membangun agar jika terjadi kelalaian atau kekeliruan maka hal yang demikian tidak teruang lagi. Dengan demikian, penerbitan suatu putusan memang telah selayaknya dilakukan dengan cermat, teliti dan dengan koreksi yang sesempurna mungkin agar dengan demikian, kewibawaan serta rasa menjunjung dan rasa hormat selalu terpelihara atas badan-badan peradilan. Kecerobohan, kekurangcermatan yang bagaimanapun jenisnya bukanlah perbuatan terpuji karenanya dapat mempengaruhi citra peradilan.33 C. Upaya Hukum Kasasi 1. Pengertian Upaya Hukum Kasasi Pada buku Perisitlahan Hukum dalam Praktek terbitan Kejaksaan Agung tahun 1985 menyatakan sebagai berikut: “Kasasi: pembatalan putusan/perbaikan keputusan pengadilan bawahan oleh Mahkamah Agung karena pengadilan bawahan itu telah: a. Melampui batas kewenangannya; b. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh sesuatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan; 33 Ibid. hal 146. lv 46 c. Salah menerapkan atau melanggar sesuatu peraturan hukum yang berlaku .34 Kasasi menurut Tirtaamidjaja35 merumuskan penegrtiannya sebagai berikut: “Kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi yaitu keputusan-keputusan yang tak dapat dilawan atau tak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan hukum ini tidak diperbolehkan oleh undang-undang, maupun oleh karena ia telah dipergunakan.” Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa kasasi merupakan upaya pada tingkat Mahkamah Agung yang dapat diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas penjatuhan suatu putusan untuk bertujuan sebagai: 1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan, yang artinya bahwa untuk memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. 2. Menciptakan dan membentuk hukum baru, yang artinya bahwa berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut 34 Leden Marpaung. 2004. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hal 4. 35 Ibid. hal 4 lvi 47 “hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan “elastisitas” pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. 3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum, yang maksdunya adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.36 Dimana dalam mengajukan upaya hukum kasasi harus melalui tata cara agar dalam mengajukan upaya hukum tersebut dapat terpenuhi secara formil yakni yang meliputi: 1. Permohonan diajukan kepada Panitera. Dimana dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa 36 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 539-542. lvii 48 “Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.” 2. Yang berhak mengajukan permohonan kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP meliputi: a. Terdakwa, dan b. Atau Penuntut Umum. 3. Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi, yakni 14 hari terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan dengan melihat ketentuan Pasal 245 ayat (1) KUHAP. 4. Dibuatnya akta permohonan kasasi dari Penitera yang isinya berupa “Surat Keterangan” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 245 ayat (2) KUHAP artinya bahwa permintaan kasasi oleh panitera Pengadilan Negeri ditulis dalam sebuah surat keterangan yang disebut akta permohonan kasasi atau akta kasasi, ditandatangani oleh Penitera dan Pemohon, dilampirkan dalam berkas perkara. 5. Permintaan kasasi wajib diberitahukan dengan dasar hukumnya Pasal 245 ayat (3) KUHAP. Panitera wajib memberitahukan permintaan kasasi yang dterimanya kepda pihak yang lain. Seperti yang yang diketahui, dalam perkara pidana berhadapan dua pihak yang lviii 49 berkepentingan yakni terdakwa pada satu pihak dan penuntut umum pada pihak lain. 6. Pemohon wajib mengajukan memori kasasi. Dengan tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diajukan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 248 ayat (1) KUHAP. 7. Adanya tanda terima penyerahan memori kasasi yang diatur pula dalam penegasan kalimat terakhir Pasal 248 ayat (1) KUHAP, dengan kewajiban Panitera memberi bantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 248 ayat (2), dan disertai adanya kontra memori kasasi yang diatur dalam pasal 248 ayat (6) KUHAP serta tambahan memori dan kontra memori sebagaimana diatur dalam ketetnuan Pasal 249 KUHAP. 2. Pemeriksaan dalam Upaya Hukum Kasasi Sebelum adanya pemeriksaan pada tingkat kasasi maka pemohon dalam mengajukan permohonan tersebut mempunyai beberapa alasan yang digunakannya untuk mengajukan permohonan tersebut yakni: 1. Alasan kasasi yang dibenarkan menurut undang-udang, yakni apa yang termuat dalam ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa lix 50 a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. 2. Selain alasan yang telah ditentukan menurut ketentuan undangundang ada juga alasan yang tidak dibenarkan oleh undangundang yang meliputi: a. Keberatan kasasi putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri; b. Keberatan atas penilaian pembuktian; c. Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta; d. Alasan kasasi yang tidak menyangkut persoalan perkara; e. Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda; f. Keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti; g. Keberatan kasasi mengenai novum. 37 Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi: a. Semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan, 37 Ibid. hal 565. lx 51 b. Kecuali terhadap putusan 1. Mahkamah Agung, dan 2. putusan bebas. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP kini menyatakan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.” Ditingkat kasasi, hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya terhadap penilaian terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa harus mendasarkan pada penerapan hukum yang dipakai oleh tingkat sebelumnya. Sejalan dengan pendapat dari Soedirjo38 yang menyatakan bahwa “Dalam kasasi, Mahkamah Agung hanya menyelidiki apakah telah dipergunakan alat-alat bukti yang sah atau apakah sudah dipenuhi ketentuan tentang minimum bukti atau apakah pernyataan tidak terbukti tidak dapat diperoleh dari bahan-bahan bukti yang dikumpulkan oleh hakim. Ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau dterapkan tidak sebagaimana mestinya; 38 Soedirjo. 1984. Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi). Jakarta: Akademika Pressindo. hal 73. lxi 52 b. Apakah benar cara mangadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampui batas wewenangnya.” Dimana menurut M. Yahya Harahap39 manyatakan bahwa “Keberatan kasasi dapat dibenarkan Mahkamah Agung atas alasan Judex Factie telah melanggar sistem dan batas minimal pembuktian, karena pengadilan telah menjatuhkan pemidanaan tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup”. Dimana dalam pemeriksaan kasasi dilakukan dengan cara yang dinyatakan oleh M. Yahya Harahap40 yang menyatakan bahwa pemeriksaan kasasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim. Jika dianggap perlu, terutama untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang dianggap memerlukan pemikiran dan pendapat yang matang, dapat dibentuk mejelis yang terdiri dari 5 atau 7 orang hakim. 2. Pemeriksaan berdasar berkas perkara. Berkas perkara yang dimaksud adalah berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan, semua surat-surat yang timbul di persidangan yang ada hubungannya dengan perkara, putusan pengadilan tingkat pertama, putusan tingkat banding. 3. Pemeriksaan tambahan yang memiliki tahap yakni pemeriksaan tambahan didasarkan atas putusan sela, Mahkamah Agung sendiri dapat melaksanakan pemeriksaan tambahan. Dan dilakukan dengan tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya berada dalam tahanan yakni 14 hari sejak Mahkamah Agung mengeluarkan perintah penahanan kepada terdakwa. Dimana setelah dilakukan pemeriksaan maka hal yang terakhir dilakukan adalah penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim yang dapat berbentuk: 39 40 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 569. Ibid. hal 573. lxii 53 1. Menyatakan kasasi tidak dapat diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP yang dapat terjadi karena hal sebagai berikut: a. Permohonan kasasi terlambat diajukan; b. Tidak mengajukan memori kasasi; c. Memori kasasi terlambat disampaikan. 2. Putusan menolak permohonan kasasi dimana dikatakan dalam Pasal 253 ayat (1). Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi; 3. Mengabulkan permohonan kasasi dengan kualifikasi bahwa putusan pengadilan bawahan: a. Peraturan hukum tidak diterapkan sebagimana mestinya; b. Cara mengadili tidak dilakukan menurut ketentuan undangundang; c. Pembatalan putusan atas alasan tidak berwenang mengadili.41 D. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Sebagai tindak pidana yang bersifat khusus yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka ketentuan mengenai pengaturan tindak pidana korupsi telah termuat dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 41 Ibid. hal 583. lxiii 54 Pasal dalam undang-undang tersebut yang dikenakan untuk menjerat terdakwa sifatnya lebih menitikberatkan kepada tindakan yang mengarah pada perbuatan pribadi dengan tujuan untuk kepentingan diri sendiri sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak memberikan definisi mengenai maksud dari tindak pidana korupsi namun beberapa ahli mencoba memberikan beberapa definisi diantaranya menurut Evi Hartanti42 yang menyatakan bahwa “Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, dilakukan dalam jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.” Dimana unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi secara umum yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang meliputi diantaranya: 42 Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. hal 9 lxiv 55 1. Setiap orang, termasuk korporasi, yang 2. Melakukan perbuatan melawan hukum, 3. Memperkaya diri sendiri, dan 4. Dapat merugikan keuangan negara.43 Untuk mengetahui sifat melawan hukum dalam tindak pidana tidaklah mudah dapat diketahui dari perkataan undang-undangnya. Beberapa pakar memberikan pendapatnya yang menyatakan bahwa semua rumusan tindak pidana korupsi mengandung sifat melawan hukum diantaranya: 1. dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada padanya karena jabatan atau kedudukan; 2. dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; 3. dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan….; juga memberi atau menjanjikan sesuatu kepada…. Advokat… untuk mempengaruhi nasihat…. 4. dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: melakukan perbuatan curang, membiarkan perbuatan curang; 43 Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. hal 144. lxv 56 5. dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: dengan sengaja menggelapkan; 6. dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: dengan sengaja memalsu; 7. dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: menggelapkan, mengahncurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat bukti; juga membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat bukti, serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat bukti; 8. dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekusaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan; 9. dalam Pasal 12 (selain huruf e) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: yang bertentangan dengan kewajibannya; untuk memperngaruhi putusan; untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat; meminta, menerima, atau memotong pembayaran seolah-olah mempunyai utang atau merupakan utang; telah merugikan yang berhak dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pemborongan yang ditugaskan untuk mengurusi atau mengawasi; lxvi 57 10. dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.44 2. Subjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi Subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan korupsi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 sub 2 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan sebagai berikut: “Pegawai Negeri adalah meliputi: a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Pengertian penjelasannya pegawai merujuk negeri pada sebagaimana ketentuan tersebut Undang-Undang diatas tentang Kepegawaian dan dari ketentuan Pasal 92 KUHP. Pasal 1 sub 3 UndangUndang Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa yang dimaksud orang adalah perorangan atau termasuk korporasi. Korupsi merupakan salah satu kajahatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan kemampuan berpikir aparat pemeriksa dan 44 Tjandra Sridjaja Pradjonggo. 2010. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Indonesia Lawyer Club. hal 167-168. lxvii 58 penegak hukum disertai pola perbuatan sedimikian rapi. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan hukum merupakan salah satu untuk mengantisipasi korupsi tersebut.45 45 Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. hal 11. lxviii 59 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah diputus oleh hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia.46 2. Spesifikasi Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian prespektif analitis. Karena pada dasarnya dengan adanya penelitian ini adalah untuk mencari kebenaran akan permasalahan yang telah menjadi konsumsi publik. Ini sesuai dengan pernyataan dari Soerjono Soekanto47 yang menyatakan bahwa apabila suatu penelitian ditujukan untuk mrndapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalahmasalah tertentu, maka penelitian tersebut dinamakan penelitian preskiriptif. 3. Sumber Data Data sekunder yang meliputi: 46 Joni Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu media Publishin. hal. 295 – 321. 47 Soerjono Soekanto. 1988. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. hal 10. lxix 60 a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Untuk penggunaan dalam penelitian ini menggunakan yaitu: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 4. Undang-Uandang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Bahan Hukum Skunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder, contoh adalah kamus, enslikopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.48 4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penulis melakukan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan studi dokumen. Studi pustaka ini akan menggali berbagai kemungkinan 48 Ibid. hal 52. lxx 61 jawaban permasalahan dalam penelitian ini. Studi dokumen suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah berupa surat keputusan, internet, arsip-arsip Ilmiah, serta putusan pengadilan dan sebagainya.49 5. Metode Penyajian Bahan Hukum Penulis setelah memperoleh bahan hukum (primer, sekunder, tersier) akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut. Nantinya data yang diperoleh akan disususn secara sistematis dan logis. Antara bahan hukum yang satu dengan yang lain memilki hubungan yang dapat menjawab permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini.50 6. Metode Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah diperoleh dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab peramsalahan yang telah dirumuskan. Bahwa analisis tehadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui pertimbangan dan penerapan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dengan memperhatikan susunan amar 49 50 Jhony Ibrahim. Op. Cit.. hal 296. Ibid. hal 296. lxxi 62 putusan yang telah dijatuhkan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.51 51 Ibid. hal. 393. lxxii 63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. DUDUK PERKARA: Identitas Terdakwa: Nama : Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc.; Tempat lahir : Pagar Alam; Umur/tanggal lahir : 56 Tahun/ 1 Juli 1954; Jenis Kelamin : Laki-Laki; Kebangsaan : Indonesia; Tempat tinggal : Jalan Cibodas I A3 No.7 Puri Cinere Depok, Jawa Barat; Agama : Islam; Pekerjaan/Jabatan : Anggota Polri/ Mantan Kabareskim; 1. Dalam Perkara PT. SAL: - Terdakwa Susno Duadji selaku Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara RI No. Skep/424/X/2008 tanggal 10 Oktober 2008, pada tanggal 4 Desember 2008 atau setidak-tidaknya dalam bulan Desember tahun 2008 betempat di Jl. Abuserin No. 2B Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan atau ditempat lain dalam daerah hukum Pengdilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan perbuatan sebagai Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima lxxiii 64 hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, perbuatan Terdakwa dilakukan dengan cara-cara: - Pada tahun 2008 Haposan Hutagalung selaku Penasehat Hukum dari Mr. Ho Kian Huat melaporkan Anuar Salmah alias Amo ke Bareskrim Mabes Polri dalam kasus dugaan penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal indukan ikan arwana dengan Laporan Polisi No. 116/III/2008/Siaga/II tanggal 10 Maret 2008 namun dalam proses penanganan atas laporan perkara penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal indukan ikan arwana tersebut berjalan lambat, sehingga Haposan Hutagalung mencari jalan dengan maksud untuk mempercepat proses penanganan laporan tersebut dengan cara mendekati Kabareskrim yang saat itu dijabat oleh Terdakwa; - Bahwa Haposan Hutagalung tidak kenal baik dengan Terdakwa tetapi dirinya mempunyai hubungan baik dengan Sjahril Djohan yang mengenal baik Terdakwa. Bahwa selanjtunya Haposan Hutagalung menyampaikan keinginannya kepada Sjahril Djohan untuk meminta Terdakwa mempercepat proses penanganan kasus penggelapan modal ikan arwana tersebut. Dan Sjahril Djohan menyetujuinya dengan langsung disampaikan kepada Terdakwa lxxiv 65 dan bertanya dengan kata-kata “Mengapa kasus arwana tidak selesai-selesai dan dijawab Terdakwa “dilihat dulu”. Bahwa selang beberapa hari kemudian Sjahril Djohan mengajak Haposan Hutagalung untuk menemui Terdakwa diruang kerjanya dan disana Haposan Hutagalung menjelaskan niatnya dengan respon yang diberikan oleh Terdakwa “udah nanti saya perintahkan tangkap dan saya atensi kasus ini”. Bahwa selang beberapa hari kemudian Sjahril Djohan mendatangi lagi keruangan Terdakwa dengan bertanya kepada Terdakwa “sus bagaimana nih masalah arwana” dan dijawab oleh Terdakwa “ini kasus besar masak kosong-kosong bae” dan dijawab lagi oleh Sjharil Djohan dengan kata-kata “Kagek ku omongken ke Haposan”. - Bahwa setelah percakapan tersebut Sjahril Djohan mendatangi Haposan Hutagalung dengan menyatakan bahwa “san, ini Kaba minta diperhatikan nih” dan dijawab oleh Haposan “ya, memang ada nanti aku siapkan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan juga akan memberikan success fee sebesar 15 % dan oleh Sjahril Djohan langsung disampaikan ke Terdakwa. Dengan kesepakatan bahwa perbandingan success fee sebesar 30:70 yaitu 30% untuk group pengacara dan 70% untuk pelapor, setelah mendengar penjelasan tersebut maka pelapor menyanggupi perbandingan success fee menjadi 50:50 yakni 50% untuk group pengacara dan 50% untuk pelapor, atas kesepakatan tersebut oleh lxxv 66 Ho Kian Huat disanggupi dan pengambilan uangnya melalui saksi Vincent Apriono yang telah mengirim uang sebesar Rp. 1.200.000.000,00 (satu milyar dua ratus juta rupiah) ke rekening BCA atas nama Haposan Hutagalung antara tanggal 26 November 2008 sampai dengan tanggal 2 Desember 2008. Atas janji Haposan Hutagalung yang akan memberikan uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada tanggal 4 Desember 2008 mengambil uang tunai di Bank BCA Bidakara Pancoran dan sebelum berangkat untuk bertemu dengan Sjahril Djohan Haposan Hutagalung memasukkan uang tersebut ke tas kerta (paper bag), setelah itu Haposan Hutagalung pergi ke Kudus Bar Hotel Sultan dimana Sjahril Djohan menanyakan ke Haposan Hutagalung “Lung mana uangnya” dan dijawab oleh Haposan Hutagalung “ada nih, abang lama kali. - Pada malam harinya Sjahril Djohan dan M. Dadang Apriyanto pergi kerumah Terdakwa di Jl. Abuserin No. 2b Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan untuk menyerahkan paper bag yang berisi uang yang telah diberikan oleh Haposan Hutagalung. Oleh Sjahril Djohan ditanya “loh lu ngapain” dan dijawab oleh Syamsurizal Makoagow “mau minta tanda tangan untuk berangkat dinas ke Belanda, nah Uda ngapain” dan dijawab oleh Sjharil Djohan “Nih” sambil mengangkat bungkusan yang didalamnya berisi uang. lxxvi 67 - Setelah Syamsurizal Makoagow pergi, Sjahril Djohan berkata kepada Terdakwa “Sus , nih uang arwana dari Haposan – sambil menyerahka paper bag warna cokelat polos yang berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan dijawab oleh Terdakwa “Ya makasih bang”. Bahwa pada tanggal 5 Desember 2008 atau suatu hari setelah Terdakwa menerima uang tersebut, Terdakwa membuat memo yang ditujukan kepada Direktur I/Kamtranas yang isinya “sesuai arahan harapan pimpinan yang baru memanggil saya agar perkara arwana dilengkapi berkasnya untuk menentukan langkah selanjutnya” yang diserahkan kepada saksi Yuliar, Dedi Sofiyandi, Trimo, dan Suprana selaku penyidik percaya perintah melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut yang sebenarnya isi memo dimaksud tidak pernah ada. Atas tindakan tersebut penyidik yang diperintahkan untuk “sudah, tangkap, tahan, sita, dan police line aja” dan atas hal tersebut Saksi Yuliar memberikan saran bahwa dalam kasus ini masih memerlukan pendalaman dan pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan bukti-bukti karena posisi kasus masih1/3 namun direspon oleh Terdakwa dengan kata-kata “Udah kau kerjakan saja”. Bahwa untuk menyakinkan Sjahril Djohan maka Terdakwa mengirim SMS yakni sebagai berikut: - Pada tanggal 10 Desember 2008, jam 20:12:17 mengirim SMS yang berisi “Saya masih mendampingi tbl rdp dengan komisi 3 lxxvii 68 DPR, mau tanya apakah penyidik yang saya perintahkan sudah berangkat ke Pekanbaru, Riau. Pada tanggal yang sama jam 23:44:53 mengirim SMS lagi yang isinya berupa “Yuliar/dedy apakah sdh di Pekanbaru, Riau melaksanakan perintah say aunt kumpulkan bahan penyidikan kss arwana? Bagaimana perkembangannya setelah ke lokasi tambak? Besok laporkan saya hasilnya”. Pada tanggal 12 Desember 2008 jam 08:43:40 mengirim SMS ke Sjahril Djohan yang isinya berupa “Ok, silahkan lngs berangkat. Kalau penyidik yakin, saya beri kewenangan unt; sita semua kolam dan arwana yang diduga asalnya dari uang pelapor, tangkap tsk dan tahan. 2. Dalam perkara Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008: - Terdakwa berdasarkan selaku Surat Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Kep/11/2008 tanggal 14 Januari 2008 bersama-sama dengan Maman Abdulrahman Pasya, Yultje Apriyanti, Iwan Gustiawan, pada bulan Maret 2008 s/d Juni 2008 atau pada suatu waktu di dalam tahun 2008 bertempat di Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Jawa Barat di Jalan Soekarno-Hatta No.748 Bandung dimana terdakwa pada saat itu masih menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat yang diberikan tugas sebagai penanggungjawab terhadap seluruh daerah/ wilayah kerjanya, telah lxxviii 69 melakukan perbuatan secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara yaitu Terdakwa Susno Duadji, telah melakukan pemotongan anggaran dana pengamanan pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 yang berasal dari dana hibah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp. 8.169.847.657,00 (delapan milyar seratus enam puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah) perbuatan mana Terdakwa dilakukan dengan caracara sebagai berikut: - Terdakwa yang diangkat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni No. Kep/11/2008 tanggal 14 Januari 2008. Dengan adanya jadwal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 tersebut, maka Polda Jabar mengirimkan surat Nomor Pol. R/1728/X/2007/Ro.Ops tanggal 9 Oktober 2007 perihal Rencana Kebutuhan Anggaran Pengamanan Pemilihan Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 dimana Polda Jabar mengajukan rencana kebutuhan yang mencapai anggaran yakni sebesar Rp. 27.732.147.244,00 (dua puluh tujuh milyar tujuh ratus tiga puluh dua juta seratus empat puluh tujuh ribu dua ratus empat puluh empat rupiah). Kemudian oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat lxxix 70 permintaan diterima dengan jumlah dana yang diinginkan. Setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dibuatlah Perjanjian No. 121/134/Keu. No.Pol. B/3087/111/2008/Bidku tanggal 4 Maret 2008 tentang Perjanjian Hibah Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang ditandatangani oleh Deni Setiawan dan Terdakwa sendiri. - Kemudian Tedakwa selaku kuasa pengguna dana tersebut tidak memasukkan dana yang telah diterimanya ke rekening Polda Jawa Barat tetapi justru memerintahkan Maman Abdulrahman Pasya selaku Kepala Bidang Keuangan Polda Jawa Barat untuk membuat rekening sendiri di Bank Jabar dengan membuka rekening No. 000.38.782.5101 atas nama Maman Abdulrahman Pasya qq. Bendahara PAM Pilkada Jabar yang dilanjutkan oleh terdakwa dengan mengirimkan surat No. Pol. R/2180/11/Ro tanggal 20 Februari 2008 tentang Permohonan Pencairan Dana Hibah Pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat untuk disetorkan ke rekening Polda Jabar atas nama Maman Abdulrahman Pasya di Bank Jabar. Setelah itu Tedakwa menandatangani kwitansi No. 937/7/BH/LS/Keu tanggal 4 Maret 2008 yang berisi penerimaan dana pengamanan tersebut bersama dengan saksi Lex Laksamana Zaenal Lan DipL H.E yang bertindak selaku kuasa pengguna anggaran yang kemudian dilanjutkan dengan penerbitan Surat lxxx 71 Perintah Pencairan dana No. 937/7/BH/LS/Keu tanggal 4 Maret 2008. - Selanjtunya pada tanggal 4 Maret 2008 saksi Maman Abdulrahman Pasya mendapatkan pemberitahuan dari Bank Jabar Cabang Gede Bage bahwa telah ada setoran dana hibah tersebut yang oleh saksi Maman Abdulrahman Pasya dilanjutkan dengan membuat surat No. Pol. B/ND/37/111/2008/Bidku yang ditujukan kepada Terdakwa tentang pemberitahuan bantuan biaya pengamanan Pemilukada tersebut. - Kemudian dana tersebut akan digunakan untuk didistribusikan ke wilayah hukum Polda Jabar dan diserahkan kepada Satuan Kerja Kewilayahan (Kepolisian Resort, Kepolisian Resort Kota, Kepolisian Wilayah) dan Satuan Kerja di lingkungan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Jawa Barat. Dimana untuk Satuan Kerja Kewilayahan akan dilakukan distribusi dalam 4 (empat) tahapan, dimana 3 (tiga) tahapan dilaksanakan pada waktu menjelang pelaksanaan pemilihan, sedangkan tahap IV dilakukan setelah pelaksanaan pemilihan atau pada masa perhitungan suara. - Kemudian pada bulan April 2008 menjelang realisasi tahap IV Terdakwa memerintahkan kepada Maman Abdulrahman Pasya untuk melakukan pemotongan dana pengamanan tahap IV dengan cara Terdakwa melakukan perubahan alokasi distribusi dana hibah tersebut dan membuat daftar perincian pemotongan dana tersebut lxxxi 72 dan menyerahkannya ke Maman Abdulrahman Pasya yang oleh Maman diberikan kepada saksi Iwan Gustiawan dan Yultje Apriyanti untuk melaksanakan distribusi tahap IV tersebut. Selain itu Terdakwa juga melakukan pemotongan dana untuk Satuan Kerja Intelkam Polda Jabar yang seharusnya diterima oleh Satuan Kerja tersebut sebesar Rp. 1.122.995.475,00 (satu milyar seratus dua puluh dua juta sembilan ratus sembilan puluh lima empat ratus tujuh puluh lima rupiah) akan tetapi yang diterima hanya sebesar Rp. 550.000.000,00 (lima ratus lima puluh juta rupiah) sehingga terjadi selisih sebesar Rp. 572.995.475,00 (lima ratus tujuh puluh dua juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu empat ratus tujuh puluh lima rupiah). Sehingga total pemotongan yang dilakukan oleh Terdakwa sebesar Rp. 7.896.726.440,00 (tujuh milyar delapan ratus sembilan puluh enam juta tujuh ratus dua puluh enam ribu empat ratus empat puluh rupiah) yang berarti dana yang digunakan untuk pengaman Pemilukada tersebut hanya sebesar Rp. 19.324.925.129,00 (sembilan belas milyar tiga ratus dua puluh empat juta sembilan ratus dua puluh lima ribu seratus dua puluh sembilan rupiah). - Akan tetapi Terdakwa dalam Pertanggungjawabannya yang tertuang dalam Surat No. Pol/116/VI/2008/Bidku menyatakan bahwa pada pokoknya dana yang digunakan adalah sebesar Rp. 27.730.112.215,00 (dua puluh milyar tujuh ratus tiga puluh juta lxxxii 73 seratus dua belas ribu dua ratus lima belas rupiah) dan hanya bersisa sebesar Rp. 2.035.029,00 (dua juta tiga puluh lima ribu dua puluh sembilan rupiah). Kemudian Terdakwa memerintahkan kepada Maman Abdulrahman Pasya untuk mengosongkan rekening di Bank Jabar yang telah memiliki bunga penyimpanan sebesar Rp. 42.970.542,00 (empat puluh dua juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus empat puluh dua rupiah) supaya membuka rekening baru di Bank Mandiri. Sehingga dana yang dimasukkan ke rekening baru tersebut atas hasil pemotongan berjumlah Rp. 7.192.248.316,00 (tujuh milyar seratus sembilan puluh dua juta dua ratus empat puluh delapan ribu tiga ratus enam belas rupiah) dengan nomor rekening 130-0005000-8 dan sisanya sebesar Rp. 805.100.000,00 (delapan ratus lima juta seratus ribu rupiah) dikelola secara tunai oleh Maman Abdulrahman Pasya. Dimana selama berada dalam rekening baru tersebut Terdakwa menggunakan dana tersebut sebesar Rp. 4.208.898.749,00 (empat milyar dua ratus delapan juta delapan ratus sembilan puluh delapan ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah) dengan perincian digunakan untuk: 1. Sebesar Rp 1.000.000.000,00 dalam bentuk Travelers Cheque Bank Mandiri sebanyak 40 lembar @Rp. 25.000.000,00 yang dibeli oleh Maman Abdulrahman Pasya di Bank Mandiri Cabang; lxxxiii 74 2. Sebesar Rp. 1.000.000.000,00 dalam bentuk valuta asing sebesar USD. 108,225 yang dibeli oleh Maman Abdulrahman Pasya dari Golden Money Changer sebesar USD 100.000; 3. Uang tunai sebesar Rp. 250.000.000,00; 4. Sebesar Rp. 493.960.000,00 ditukar dalam bentuk mata uang US Dollar. - Akibat perbuatan Terdakwa negara mengalami kerugian sebesar Rp. 8.169.847.657,00 sebagaimana Laporan Kerugian Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan No. 49/HP/XIV/08/2010 tanggal 9 Agustus 2010. 2. TERDAKWA DIDAKWA DENGAN DAKWAAN CAMPURAN YAKNI: - PERTAMA Kesatu: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Atau Kedua: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan lxxxiv 75 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Atau Ketiga: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12B jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Atau Keempat: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Atau Kelima: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; DAN - KEDUA lxxxv 76 Kesatu: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP; Atau Kedua: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP; Atau Ketiga: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 f jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP; Atau Keempat: Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 8 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP; lxxxvi 77 3. TUNTUTAN JAKSA/PENUNTUT UMUM: 1. Menyatakan Terdakwa Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc., bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 sebagaimana dalam dakwaan pertama kelima dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 sebagaimana dalam dakwaan kedua yang kedua; 2. Menjatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan di RUTAN; 3. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan; 4. Membayar uang pengganti sebesar Rp. 8.669.847.657,00 (delapan milyar enam ratus enam puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah) yang dikurangkan dengan uang yang telah disita sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah) sehingga menjadi Rp. 8.544.847.657,00 (delapan milyar lima ratus empat puluh empat juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah), jika uang pengganti tersebut tidak dibayar dala waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, lxxxvii 78 maka harta benda milik terpidana akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, jika terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dan apabila Terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari kewajiban uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti; 5. Menyatakan barang bukti: a. Dalam perkara PT. SAL: 1) Barang bukti Nomor urut 1, 3, dan 4 dirampas untuk dimusnahkan; 2) Barang bukti No. 2 dijadikan barang bukti dalam perkara lain atas nama Terdakwa Haposan Hutagalung, S.H.,; 3) Barang bukti No. urut 5 s/d 26 dinyatakan tetap terlampir dalam berkas perkara; 4) Barang bukti No. urut 27 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Bareskrim Mabes Polri; 5) Barang bukti No. urut 28 s/d 33 dinyatakan tetap terlampir dalam berkas perkara; b. Dalam perkara Polda Jabar: lxxxviii 79 1) Barang bukti No. urut 1 s/d 5 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat; 2) Barang bukti No. urut 6 s/d 9 dikembalikan kepada Sdri. Yultje Apriyanti; 3) Barang bukti No. urut 10 s/d 88 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat; 4) Barang bukti No. 89 dirampas untuk negara; 5) Barang bukti No. urut 90 s/d 245 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat; 6) Barang bukti No. urut 246 s/d 249 dikembalikan kepada Bank Mandiri Cabang Bandung Alun-Alun; 7) Barang bukti No. urut 250 s/d 256 tetap terlampir dalam berkas perkara; 8) Barang bukti No. urut 257 s/d 297 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat; 6. Menghukum Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,00; 4. PUTUSAN PENGADILAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI: Amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1260/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 14 Februari 2011 sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa Drs. Susno Duadji S.H., M.H., M.Sc., telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana lxxxix 80 Korupsi sebagaimana dakwaan pertama kelima dan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua yang kedua; 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selam 6 (enam) bulan; 3. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) jika uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik terpidana akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, jika terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan apabila Terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari kewajiban uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti; 4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 5. Menyatakan barang bukti: xc 81 a. Dalam perkara PT. SAL: 1. Bukti satu unit handphone merk Nokia tipe 8600, satu unit handphone merk Nokia tipe 6300, satu unit handphone merk Nokia tipe 6700, satu unit Simcard Simpati dirampas untuk dimusnahkan; 2. Tiga lembar kartu nama Haposan Hutagalung, fotocopy Surat Perintah Jaksa Agung tentang Pengangkatan Drs. Sjahril Djohan sebagai pembantu Khusus Jaksa Agung RI, fotocopy Surat Keputusan No. Pol. Skep/147/2008/Dit. Narkoba tentang Pengangkatan Sjahril Djohan sebagai Penasehat Ahli Fungsional Direktorat IV/TP Narkoba dan KT Bareskrim Polri, fotocopy kegiatan Sjahril Djohan, satu lembar kartu nama Susno Duadji, dua lembar fotocopy pembayaran an. Chandra Hamah, dua lembar slip penarikan uang BCA KCU Menara Bidakara, satu lembara asli Disposisi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol. Susno Duadji kepada Dir I/Kamtransnas, satu lembar fotocopy Surat Direktur I/Kam & Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse Kriminal Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No. Pol. B/05A/II/2009/Dit.I perihal permintaan ijin penggeledahan dan penyitaan barang bukti, satu lembar fotocopy Surat Direktur I/Kam & Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse Kriminal Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No. Pol. B/05A/I/2009/Dit.I perihal permintaan ijin penggeledahan dan penyitaan barang bukti, xci 82 satu lembar fotocopy Surat Perintah Penyitaan No. Pol. SP. SPSITA/186/XII/2008/DIT.I, satu lembar fotocopy penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Pekanbaru No. 07/Pen. Pid/2009/PN.PBR, satu lembar fotocopy penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Pekanbaru No. 18/Pen. Pid/2009/PN.PBR, dua halaman printout asli laporan transaksi mulai tanggal 1 s/d 31 Desember 2008 pada tabungan Bank BCA atas nama Haposan Hutagalung, satu lembar fotocopy STNK dan Surat Ketetapan Pajak daerah PKB/BBN dan SWDKLJ dengan No. Pol. B-2946-BP atas nama Nurfina Sjahril Djohan, satu lembar STNK dengan No. Pol. B-8822-BI atas nama Liana Krista L.R., dua halaman printout asli Rekening Koran periode tanggal 31 Oktober 2008 sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan Bank BCA Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening 0291360555 atas nama PT. Mitra Sarana Aquatama, satu halaman printout asli Rekening Koran periode tanggal 31 Oktober 2008 sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan Bank BCA Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening 0291348555 atas nama Vincent Apriono, satu halaman printout transaksi parkir harian, satu buku daftar tamu Kabareskim dikembalikan kepada kepolisian RI cq Bareskrim Mabes Polri, fotocopy legalisir Surat Kuasa Mr. Ho Kian Huat, dua belas lembar asli BAP saksi Susno Duadji tanggal 10 Mei 2010, tujuh lembar asli BAP saksi Susno xcii 83 Duadji tanggal 17 Mei 2010, sembilan lembar asli BAP saksi Susno Duadji tanggal 18 Mei 2010, empat puluh tiga lembar asli printout Call Data Record, sembilan belas lembar fotocopy legalisir Laporan Pelaksanaan Gelar Perkara tanggal 14 Oktober 2008 dinyatakan terlampir dalam berkas perkara. b. Dalam perkara Polda Jabar: 1. Buku catatan warna merah tulisan Campus Milenia warna putih berisi tentang catatan pemotongan dana hibah untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008 yang berisi catatan yang telah disobek 3 lembar dan sobekan tersebut telah dibakar dan catatan yang masih tertinggal ditengah-tengah buku berisi tarikan Bank Jabar, serta bukti kwitansi nomor 2 sampai dengan 88 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat, uang tunai sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah) dirampas untuk negara, serta bukti yang diberi nomor bukti 90 sampai dengan 297 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat. 6. Menyatakan barang bukti berupa surat-surat yang diajukan oleh terdakwa berupa bukti yang diberi nomor bukti mulai dari 1 (satu) sampai dengan 22 (dua puluh dua) tetap terlampir dalam berkas perkara; 7. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah); PUTUSAN PENGADILAN TINGGI: xciii 84 Amar putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta No. 35/Pid/TPK/2011/PT.DKI tanggal 9 Novwmber 2011 sebagai berikut: 1. Menerima permintaan banding dari Pembanding/Terdakwa/Penasihat Hukum Terdakwa dan Pembanding/Penuntut Umum; 2. Mengubah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1288/Pid.B/2010/PN. Jkt. Sel, tanggal 21 Februari 2011 yang dimintakan banding tersebut, sehingga putusan selengkapnya sebagai berikut; 3. Menyatakan Terdakwa Susno Duadji S.H., M.H., M.Sc, telah terbutki secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana dakwaaan pertama ke-5 dan tindak pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua ke-2; 4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan; 5. Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 4.208.898.749,00 (empat milyar dua ratus delapan juta delapan ratus sembilan puluh delapan ribu tujuh ratus empat puluh sembilan rupiah) dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda milik terpidana akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, jika terpidana tidak xciv 85 mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. 6. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 7. Menyatakan barang bukti: a. Dalam perkara PT. SAL: 1. Bukti satu unit handphone merk Nokia tipe 8600, satu unit handphone merk Nokia tipe 6300, satu unit handphone merk Nokia tipe 6700, satu unit Simcard Simpati dirampas untuk dimusnahkan; 2. Tiga lembar kartu nama Haposan Hutagalung, fotocopy Surat Perintah Jaksa Agung tentang Pengangkatan Drs. Sjahril Djohan sebagai pembantu Khusus Jaksa Agung RI, fotocopy Surat Keputusan No. Pol. Skep/147/2008/Dit. Narkoba tentang Pengangkatan Sjahril Djohan sebagai Penasehat Ahli Fungsional Direktorat IV/TP Narkoba dan KT Bareskrim Polri, fotocopy kegiatan Sjahril Djohan, satu lembar kartu nama Susno Duadji, dua lembar fotocopy pembayaran an. Chandra Hamah, dua lembar slip penarikan uang BCA KCU Menara Bidakara, satu lembara asli Disposisi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol. Susno Duadji kepada Dir I/Kamtransnas, satu lembar fotocopy Surat Direktur I/Kam & Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse Kriminal Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No. xcv 86 Pol. B/05A/II/2009/Dit.I perihal permintaan ijin penggeledahan dan penyitaan barang bukti, satu lembar fotocopy Surat Direktur I/Kam & Transnas Kanit V/Jatanwil Badan Reserse Kriminal Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru No. Pol. B/05A/I/2009/Dit.I perihal permintaan ijin penggeledahan dan penyitaan barang bukti, satu lembar fotocopy Surat Perintah Penyitaan No. Pol. SP. SPSITA/186/XII/2008/DIT.I, satu lembar fotocopy penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Pekanbaru No. 07/Pen. Pid/2009/PN.PBR, satu lembar fotocopy penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Pekanbaru No. 18/Pen. Pid/2009/PN.PBR, dua halaman printout asli laporan transaksi mulai tanggal 1 s/d 31 Desember 2008 pada tabungan Bank BCA atas nama Haposan Hutagalung, satu lembar fotocopy STNK dan Surat Ketetapan Pajak daerah PKB/BBN dan SWDKLJ dengan No. Pol. B-2946-BP atas nama Nurfina Sjahril Djohan, satu lembar STNK dengan No. Pol. B-8822-BI atas nama Liana Krista L.R., dua halaman printout asli Rekening Koran periode tanggal 31 Oktober 2008 sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan Bank BCA Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening 0291360555 atas nama PT. Mitra Sarana Aquatama, satu halaman printout asli Rekening Koran periode tanggal 31 Oktober 2008 sampai dengan 30 November 2008 pada tabungan Bank BCA Cabang KPU Pontianak dengan nomor rekening 0291348555 atas xcvi 87 nama Vincent Apriono, satu halaman printout transaksi parkir harian, satu buku daftar tamu Kabareskim dikembalikan kepada kepolisian RI cq Bareskrim Mabes Polri, fotocopy legalisir Surat Kuasa Mr. Ho Kian Huat, dua belas lembar asli BAP saksi Susno Duadji tanggal 10 Mei 2010, tujuh lembar asli BAP saksi Susno Duadji tanggal 17 Mei 2010, sembilan lembar asli BAP saksi Susno Duadji tanggal 18 Mei 2010, empat puluh tiga lembar asli printout Call Data Record, sembilan belas lembar fotocopy legalisir Laporan Pelaksanaan Gelar Perkara tanggal 14 Oktober 2008 dinyatakan terlampir dalam berkas perkara. b. Dalam perkara Polda Jabar: 1. Buku catatan warna merah tulisan Campus Milenia warna putih berisi tentang catatan pemotongan dana hibah untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2008 yang berisi catatan yang telah disobek 3 lembar dan sobekan tersebut telah dibakar dan catatan yang masih tertinggal ditengah-tengah buku berisi tarikan Bank Jabar, serta bukti kwitansi nomor 2 sampai dengan 88 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat, uang tunai sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah) dirampas untuk negara, serta bukti yang diberi nomor bukti 90 sampai dengan 297 dikembalikan kepada Kepolisian RI cq Polda Jawa Barat. xcvii 88 8. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah); Pertimbangan hakim tingkat kasasi adalah sebagai berikut: Alasan-alasan baik dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Kasasi I) maupun Terdakwa (Pemohon Kasasi II) tidak dapat dibenarkan. Jude Factie telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang perkara a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan alternatif kumulatif terhadap Terdakwa, karena itu baik dakwaan pertama maupun dakwaan kedua harus harus dibuktikan dan dipertimbangkan dengan saksama oleh Judex Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa dari dakwaan pertama terbukti alternatif pertama kelima yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP; Benar Terdakwa telah menerima paper bag/tas kertas berwarna cokelat berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) berasal dari Haposan Hutagalung yang diserahkan oleh Sjahril Djohan kepada Terdakwa berdasarkan keterangan Sjahril Djohan, Haposan Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap. Dalam pada itu, Terdakwa mengetahui dan patut menduga bahwa uang tersebut diterimanya adalah karena kekuasaa/kewenangannya selaku Kabreskrim Mabes Polri atas permohonan xcviii 89 pertolongan dari Sjahril Djohan dan Haposan Hutagalung agar memberi atensi khusus mempercepatt penanganan perakra atas pengaduan Mr. Ho Kian Hiat dan Penasehat Hukumnya Haposan Hutagalung terhadap Anwar Salamah alias Amo atas penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal indukan ikan, yang saat itu dirasa terkesan sengaja diperlambat. Terdakwa memperlihatkan terutama kepada Sjahril Djohan bahwa ia mempercepat proses, antara lain memanggil Penyidik untuk melakukan, tangkap, tahan, sita, dan police line, dan memerintahkan Direktur II/ Kamtranas bahwa sesuai arahan piminan yang baru memenggil Terdakwa agar perkara arwana dilengkapi pemeriksaannya untuk menentukan langkah selanjutnya sehingga Tim Penyidik akhirnya pergi ke Pekanbaru Riau melakukan pendalaman perkara dengan pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, dimana posisi berkas saat itu masih 1/3. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti menerima hadiah/janji, padahal patut diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan/kewenangannya yang berhubungan dengan jabatan atau menurut pikiran pemberi hadiah/janji tersebut ada hubungan dengan jabatan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pertama kelima yakni Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi; Dakwaan terhadap Terdakwa bersifat kumulatif, maka harus dipertimbangkan pula dakwaan kedua, menurut Judex Factie telah terbukti dakwaan kedua alternatif kedua Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 xcix 90 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP; Ternyata benar bahwa Terdakwa selaku Kuasa Pengguna Anggaran Dana Hibah untuk digunakan pada acara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barar yang dilaksanakan Tahun 2008, Terdakwa dengan surat No. Pol/116/VI/2008/Bidkeu tentang pertanggungjawaban keuangan belanja hibah tahun 2008 tanggal 2 Juni 2008 menyatakan tersisa 2.035.038,00 (dua juta tiga puluh lima ribu tiga puluh delapan rupiah), padahal nyatanya yang didistribusikan ke Satker di Intelkam Polda, Polwil, Polres, Polresta se Polda Jawa Barat dan Satker di Intelkam di Polda seluruhnya hanya Rp. 19.230.790.100,00 (sembilan belas milyar dua ratus tiga puluh juta tujuh ratus sembilan puluh ribu seratus rupiah), sedangkan sebesar Rp. 8.469.721.915,00 (delapan milyar empat ratus enam puluh sembilan juta tujuh ratus dua puluh satu ribu sembilan belas rupiah) tidak didistribusikan dan tidak diperuntukkan pengamanan pemilhan Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi dipergunakan oleh Terdakwa untuk pembelian 40 lembar travel cheque @ Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); untuk membeli valuta asing, membayar harga mobil camry serta digunakan untuk pemberian atensi kepada para pejabat Polda Jawa Barat yang kesemuanya tidak ada hubungan dengan peruntukan dana hibah tersebut; Pada mulanya Terdakwa memerintahkan Bendaharawan PAM Pemilukada Jawa Barat Tahun 2008 Maman Abdulrahman Pasya untuk melakukan c 91 pemotongan Dana Hibah PAM tersebut pada tahap ke-IV dan hasil pemotongan mana dibenarkan para Bendaharawan Satker Polres se Jawa Barat, hasil pemotongan itu bukan untuk pengamanan Pemilukada tetapi untuk kepentingan pribadi; Atas pertimbangan diatas, perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto terbukti memenuhi criteria bersama-sama melakukan perbuatan tercantum dalam dakwaan kedua alternatif kedua dakwaan Jaksa/Penuntut Umum; Terhadap perbuatan yang telah terbukti tersebut oleh Judex Factie telah pula dipertimbangkan perihal memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa sebagaimana tersebut dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, karena itu pernyataan keberatan terdakwa dalam memori kasasi Terdakwa tidak dapat dipertimbangkan karena Judex Factie telah tepat dan benar; Judex Factie/Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri apabila Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan tersebut telah tepat dan benar; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak; Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; ci 92 Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan; MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc. tersebut; Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah); B. PEMBAHASAN 1. Penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP dalam amar putusan pemidanaan Mahkamah Agung No. 899/Pid.Sus/2012. Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Adanya ketentuan tersebut maka secara tidak langsung seseorang yang didakwa terbukti melakukan kesalahan yang ada padanya maka dia harus menerima hukuman yakni pemidanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Lilik Mulyadi52 yang menyatakan bahwa apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta 52 Lilik Mulyadi. Op. Cit. hal 112. cii 93 fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP berada dalam ketentuan Pasal 184 yang meliputi sebagai berikut: 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Alat Bukti Tertulis; 4. Pengakuan; 5. Keterangan Terdakwa. Ketentuan mengenai alat-alat bukti diatas menunjukan bahwa sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam merumuskan pembuatan putusan pemidanaan yang akan dijatuhkan maka hakim dalam setiap tingkat peradilan selalu memperhatikan hal-hal yang harus dimuat dalam putusan yang akan dijatuhkan tersebut. Dikatakan dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa sebagai berikut: m. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; n. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa; o. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; p. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta daan keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; q. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; r. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; s. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; ciii 94 t. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; u. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; v. Keterangan bahwa seluruh, surat pernyataan palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; w. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; x. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.53 Yang apabila menurut ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP unsur-unsur yang harus dimuat dalam putusan tersebut tidak terpenuhi maka putusan tersebut adalah batal demi hukum. Makna batal demi hukum sendiri dapat diartikan sebagai suatu putusan tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sejak awal adanya putusan tersebut. Ini sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Komisi III DPR RI yang menyatakan bahwa sebagai berikut: “Apabila suatu putusan pemidanaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, maka putusan itu akan berakibat batal demi hukum. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP.”54 Selain itu ketentuan yang ada dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat tekstual dengan artian wajib dicantumkan didalam putusan, sesuai dengan Pasal 3 KUHAP itu sendiri, dimana dinyatakan bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Bahwa diketahui ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut diatas memuat 12 poin, dimulai dar huruf a hingga l, yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan. Apabila salah satu poin keculai huruf g, tidak termuat dalam 53 M. Karjadi dan R.1997. Op. Cit. hal 174-175. Anonim. 2010. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbc5042998ac/putusantanpa-perintah-penahanan-bisa-dieksekusi, Loc. Cit. 54 civ 95 putusan pemidanaan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.55 1. Unsur pertama mengenai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, makna dicantumkannya irah-irah tersebut dimaksudkan bahwa pengadilan dilaksanakan dengan sendi-sendi religius (Pasal 29 UUD 1945 dan Sila I Pancasila) dan manifestasinya hakim dalam memutus perkara harus mencari dan mewujudkan kebenaran materiil (materieele waarheid) dan keadilan sehingga secara moral bertanggung jawab kepada diri sendiri, hak asasi, kepada masyarakat dan negara, ilmu hukum sendiri dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.56 Berdasarkan SEMA No. 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan Yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Yang Tidak Memuat Kata-Kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menyatakan apabila tidak terdapat unsur tersebut maka mekanisme pihak yang berkebaratan mengajukan permohonan dan diucapkan lagi oleh pengadilan dimana permohonan tersebut diajukan.57 Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 menurut penulis unsur tersebut telah terpenuhi dalam putusan yang tertulis “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka putusan tersebut sesuai dengan unsur yang harus dipenuhi, namun tetap harus memperhatikan unsur yang lainnya. 55 http://www.poskotanews.com/2013/03/06/kisruh-pasal-197-kuhap-penegak-hukumdapat-dihukum-berat/, Loc. Cit. 56 Lilik Mulyadi. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Op. Cit. hal 99. 57 www.Mahkamah Agung.go.id, diakses pada tanggal 19 Desmber 2013. cv 96 2. Unsur kedua mengenai identitas Terdakwa, Pemeriksaan identitas terdakwa di persidangan diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengadili seseorang (error in persona). Sehingga dengan diperiksanya identitas terdakwa secara jelas dan cermat, diharapkan bahwa orang yang diadili hakim di depan persidangan itulah merupakan terdakwa sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan.58 Dalam putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 telah sesuai yakni didalam putusan telah mencantumkan identitas Terdakwa yang meliputi: Nama Tempat lahir Umur/tanggal lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Tempat tinggal : Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc.; : Pagar Alam; : 56 Tahun/ 1 Juli 1954; : Laki-Laki; : Indonesia; : Jalan Cibodas I A3 No.7 Puri Cinere Depok, Jawa Barat; Agama : Islam; Pekerjaan : Anggota Polri/ Mantan Kabareskim; Sehingga dengan adanya identitas yang termuat dalam putusan tersebut maka menurut penulis unsur tersebut telah terpenuhi dan tetap harus memperhatikan unsur yang lainnya. 3. Selanjutnya mengenai putusan harus memuat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, Menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP maka esensi dakwaaan adalah dalam sidang pengadilan penting adanya, oleh karena ruang lingkup pemeriksaan terdakwa di depan persidangan berorientasi pada surat dakwaan.59 Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalamnya telah memuat dakwaan yang 58 59 Ibid. hal 100. Ibid. hal 101. cvi 97 diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 55 KUHP sebagaimana dimaksud yang ada dalam Hasil Penelitian mengenai duduk perkaranya. 4. Unsur selanjutnya mengenai keterangan yang diperoleh selama persidangan, maksudnya bahwa menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP maka yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan” disini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi ahli, terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban.60 Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 memang tidak mencantumkan mengenai fakta yang terungkap dalam persidangan karena pada dasarnya menurut Soedirjo61 yang menyatakan bahwa “Kasasi merupakan lembaga hukum untuk menguji benar-tidaknya penerapan hukum. Sehubungan dengan fungsi peradilan, kasasi diletakkan atas 2 dasar, yaitu kesalahan dalam menerapkan hukum dan kelalaian memenuhi acara.” Sehingga menurut penulis sesuai dengan asasnya bahwa Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi yang memiliki kedudukan sebagai Judex Juris yang pada intinya mempunyai tugas untuk memeriksa penerapan hukum baik itu mengenai cara, penerapan, dan formalitas procedural yang harus dipenuhi oleh peradilan sebelumnya maka dalam putusannya yang akan dijatuhkan tidak harus seperti ketentuan Judex Factie lagi dengan mempertimbangkan fakta yang ditemukan selama persidangan. 60 61 Ibid. hal 101. Soedirjo. 1984. Op. Cit. hal 44. cvii 98 5. Unsur selanjutnya yakni tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, hal ini khusus terhadap putusan pemidanaan. Apabila terhadap putusan bukan pemidanaan berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (1) KUHAP tidak perlu dicantumkan mengenai tuntutan pidananya. 62 Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalam putusannya telah mencantumkan mengenai tuntutan pidana dimana Terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan, membayar uang pengganti sebesar Rp. 8.669.847.657,00 (delapan milyar enam ratus enam puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah). Sehingga secara tidak langsung unsur ini telah ada dalam putusan tersebut akan tetapi tetap harus memperhatikan unsur yang lainnya. 6. Unsur mencantumkan pasal peraturan perundangan serta keadaaan yang memberatkan dan meringankan, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 memang tidak mencantumkan mengenai hal tersebut karena sekali lagi Mahkamah Agung (Judex Juris) sebagai peradilan tertinggi dari semua tingkat perdilan maka sifatnya hanya memeriksa untuk mengetahui bagaimana penerapan segal aspek hukum yang dilakukan oleh Judex Factie. Dimana menurut Martiman Prodjohamidjojo yang dikutip oleh R. Soesilo63 menyatakan bahwa 62 63 Ibid. hal 101. M Karjadi dan R. Soesilo. Op. Cit. hal 209. cviii 99 “Pemeriksaan tingkat kasasi itu buka pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilanpengadilan lain dalam perkara-perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan peraturan-peraturan dan undang-undang.” Kasasi bukan merupakan pengadilan tingkat terakhir dalam lingkungan peradilan yang memeriksa kembali secara fakta namun hanya berupa memeriksa penerapan, cara mengadili, dan memeriksa batas wewenang suatu pengadilan. 7. Unsur mengenai musyawarah majelis hakim kecuali dalam perkara yang hakimnya tunggal, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalamnya telah termuat mengenai tanggal musyawarah majelis hakim yang memeriksa permohonan kasasi dari para pihak yang musyawarah dilakukan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr. H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.; M.S. Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakimhakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota. Sehingga menurut penulis unsur tersebut telah terpenuhi dan lebih dari itu tetap juga harus memperhatikan unsur yang lainnya. 8. Unsur pernyataan terbuktinya kesalahan terdakwa, yang maksudnya bahwa ketentuan pasal ini bersifat limitatif yang terdapat dalam diktum/amar putusan berisikan kualifikasi tindak pidana yang terbukti didepan persidangan dan lamanya pidana dijatuhkan oleh majelis hakim.64 Dalam Putusan 64 Lilik Mulyadi. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Peradilan. Op. Cit. hal . 103. cix Teoritis dan Praktik 100 Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 terbukti kesalahan yang didakwakan kepada diri terdakwa telah dimuat dalam Putusan Tingkat Pertamanya yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaaan Penuntut Umum yakni Terdakwa melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP. Sehingga uraian unsur tersebut telah terpenuhi dan selain itu juga harus tetap memperhatikan unsur yang lainnya. 9. Unsur mengenai pembebanan biaya perkara, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 didalam putusannya telah termuat mengenai unsur tersebut yakni terdapat dalam pertimbangan yang menyatakan bahwa “Oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini”, selain itu terdapat dalam amar putusan yang menyatakan bahwa “Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2500,00 (dua ribu lima ratus rupiah)”. Sehingga mengenai unsur ini telah terpenuhi dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. 10. Unsur surat dibawah tangan harus dikesampingkan, unsur ini mempunyai maksud bahwa selain akta otentik maka pemeriksaannya dapat cx 101 dikesampingkan oleh hakim pidana. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 tidak secara jelas mencantumkan apa yang dimaksud dalam pengertian surat tersebut. Sehingga walaupun tidak termuat maka apabila ternyata surat-surat yang ada dalam putusan ini dan putusan sebelumnya merupakan akta dibawah tangan maka tidak ada kewajiban bagi hakim untuk memeriksanya. 11. Unsur selanjutnya mengenai perintah penahanan, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 Terdakwa mengalami penahanan terakhir kali dilakukan oleh Perpanjangan II dari Ketua Pengadilan Tinggi sejak 19 Januari 2011 sampai dengan tanggal 17 Februari 2011. Namun dalam amar putusan tersebut, Mahkamah Agung tidak memberikan perintah pehananan kepada diri terdakwa yang saat itu terdakwa sedang tidak ditahan. Oleh karena itu putusan mahkamah agung tersebut kurang memenuhi unsur yang harus dipenuhi sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra65 yang menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus 65 Yusril Ihza Mahendra. Loc. Cit. cxi 102 perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung); Selain itu selaras apa yang dikatakan oleh Akil Mochtar66 yang menyatakan bahwa sebagai berikut: “Perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sangat penting untuk dimuat dalam putusan. Hal ini demi kepastian hukum terhadap status penahanan dari terdakwa. Bila majelis hakim tidak memuatnya dalam surat putusan, status penahanan terdakwa menjadi tidak jelas. Ini mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara yang sedang ditahan. Terlebih, penahanan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Bila hakim atau majelis hakim tidak segera memutuskan status penahanan terdakwa dalam surat putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan (justice delayed, justice denied).” Adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 1985 Tentang Perintah Agar Terdakwa Ditahan Sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP67 yang isinya menyatakan bahwa Meskipun dalam pasal 197 ayat (1) huruf KUHAP ada ketentuan yang menyebutkan bahwa surat putusan pemindahan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan, namun karena penahanan itu menurut pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan “menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini “ maka apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak dapat memerintahkan “agar terdakwa ditahan” di dalam putusannya. Menandakan bahwa sebenarnya apabila masa penahanan terdakwa telah habis maka terhadap dirinya dapat untuk tidak ditahan. 66 Anonim. 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50aea9e793963/mk--putusantanpa-perintah-penahanan-tetap-sah, Loc. Cit. 67 www. mahkamah agung.go.id, Op. Cit. cxii 103 Terhadap permasalahan dimana terdakwanya tidak ditahan, dalam praktik peradilan ada 2 (dua) pendapat dalam menyikapi permasalahan tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Pendapat pertama, menyatakan bahwa perintah terdakwa ditahan harus ada dalam amar putusan, karena sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, hal itu merupakan syarat syahnya suatu putusan hakim, dimana jika hal tersebut tidak dicantumkan dalam amar putusan, maka putusan batal demi hukum. 2. Pendapat kedua, menyatakan bahwa meskipun dalam amar putusan hakim tidak terdapat perintah agar terdakwa ditahan, hal tersebut tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, karena ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut tidak terlepas dari ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP, dimana dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan kata-kata “dapat” memerintahkan agar terdakwa ditahan, apabila dipenuhi syarat-syarat subyektif dan obyektif sebagaimana dalam Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa. Kata-kata “dapat” disini bersifat limitatif atau merupakan pilihan yang diambil oleh hakim.68 Dalam praktik peradilan pidana selama ini ketentuan mengenai perintah penahanan merupakan hal yang sangat penting keberadaannya. Karena disatu sisi adanya ketentuan tersebut dapat menjadi hal yang dapat menunjang tegaknya kepastian hukum sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 197 ayat (1) 68 Ahmad Rifai. Op. Cit. hal 120. cxiii 104 KUHAP, sedangkan pada sisi lain apabila ketentuan tersebut dilaksanakan dengan cara yang bertujuan untuk mengahalangi kebebasan terdakwa maka hal tersebut tidaklah dapat dibenarkan, karena pada dasarnya terdakwa mempunyai hak untuk menerima atau melakukan upaya hukum yang telah diberikan oleh undang-undang yakni mulai banding dan kasasi sebagai upaya hukum biasa, serta peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Oleh karena itu sebagian sarjana dalam menyikapi persoalan mengenai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP saling berbeda dalam memberikan pendapatnya bahwa pada satu sisi para sarjana tetap mempertahankan isi ketentuan tersebut naum sebagian sarjana yang lain dalam memberikan pendapatnya menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak wajib untuk diikuti oleh hakim dalam menjatuhkan putusan, karena sekali lagi ketentuan tersebut sifatnya limitatif. Sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum karena yang menjadi persoalan sekarang Terdakwa menyatakan bahwa dalam amar putusannya tidak dicantumkan mengenai perintah penahanan maka Terdakwa merasa dirinya tidak dapat dieksekusi dan Terdakwa menyangkal bahwa putusan yang dijatuhkan kepadanya adalah Batal Demi Hukum. 12. Unsur selanjutnya adalah mengenai hari, tanggal, serta identitas para pihak di pengadilan, seuai dengan adanya SEMA 08/BUA.6/HS/SP/XI/201169 yang memerintahkan bahwa setiap putusan tindak korupsi harus mencantumkan “….dan….Hakim-Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri masing-masing sebagai Anggota…..”. Dalam Putusan 69 www. mahkamah agung.go.id, Op. Cit. cxiv 105 Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 sebagaimana telah disebutkan dalam unsur sebelumnya yakni dalam musyawarah majelis hakim maka putusan tersebut telah dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr. H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.; M.S. Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakim-hakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota, dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan Hakim-Hakim Anggota Tersebut, dan dibantu oleh Dulhusin, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi; Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa. Sehingga putusan ini telah memenuhi unsur yang harus dicantumkan dalam setiap prosesnya. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 maka dapat dianalisis mengenai unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: - Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang ada dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 dari unsur huruf A sampai dengan huruf L secara keseluruhan sudah termuat dalam putusan tersebut. Dengan mana unsur huruf A telah terpenuhi yakni adanya frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka putusan Mahkamah Agung tersebut tidaklah batal demi hukum, - Ketentuan huruf B dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut telah terdapat yakni terdapatnya identitas terdakwa yakni : cxv 106 Nama Tempat lahir Umur/tanggal lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Tempat tinggal : Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc.; : Pagar Alam; : 56 Tahun/ 1 Juli 1954; : Laki-Laki; : Indonesia; : Jalan Cibodas I A3 No.7 Puri Cinere Depok, Jawa Barat; Agama : Islam; Pekerjaan : Anggota Polri/ Mantan Kabareskim; - Ketentuan huruf C dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut telah memuat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 55 KUHP. - Ketentuan huruf D dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut memang tidak mencantumkan mengenai fakta yang terungkap dalam persidangan karena pada dasarnya pemeriksaan pada tingkat Mahkamah Agung (Judex Juris) hanya memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan dibawahnya apakah sudah tepat atau perlu untuk diperbaiki. - Ketentuan huruf E dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut mengenai didalam putusannya telah mencantumkan mengenai tuntutan pidana dimana Terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan, membayar uang pengganti sebesar Rp. 8.669.847.657,00 (delapan milyar enam ratus enam puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh tujuh rupiah). Sehingga secara tidak langsung unsur ini telah ada dalam cxvi 107 putusan tersebut akan tetapi tetap harus memperhatikan unsur yang lainnya. - Ketentuan huruf F dalam Putusan Mahkamah Agung memang tidak mencantumkan mengenai hal tersebut karena sekali lagi Mahkamah Agung (Judex Juris) sebagai peradilan tertinggi dari semua tingkat perdilan maka sifatnya hanya memeriksa untuk mengetahui bagaimana penerapan segal aspek hukum yang dilakukan oleh Judex Factie. - Ketentuan huruf G dalam Putusan Mahkamah Agung telah termuat mengenai tanggal musyawarah majelis hakim yang memeriksa permohonan kasasi dari para pihak yang musyawarah dilakukan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr. H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.; M.S. Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakimhakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota. - Ketentuan huruf H dalam Putusan Mahkamah Agung terbukti kesalahan yang didakwakan kepada diri terdakwa telah dimuat dalam Putusan Tingkat Pertamanya yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaaan Penuntut Umum yakni Terdakwa melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana cxvii 108 telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP. - Ketentuan huruf I dalam Putusan Mahkamah Agung telah termuat mengenai unsur tersebut yakni terdapat dalam pertimbangan yang menyatakan bahwa “Oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini”, selain itu terdapat dalam amar putusan yang menyatakan bahwa “Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2500,00 (dua ribu lima ratus rupiah)”. - Ketentuan huruf J dalam Putusan Mahkamah Agung tidak secara jelas mencantumkan apa yang dimaksud dalam pengertian surat tersebut. Sehingga walaupun tidak termuat maka apabila ternyata surat-surat yang ada dalam putusan ini dan putusan sebelumnya merupakan akta dibawah tangan maka tidak ada kewajiban bagi hakim untuk memeriksanya. - Ketentuan huruf K dalam Putusan Mahkamah Agung dalam amar putusannya, Mahkamah Agung tidak memberikan perintah pehananan kepada diri terdakwa yang saat itu terdakwa sedang tidak ditahan. Oleh karena itu putusan mahkamah agung tersebut kurang memenuhi unsur yang harus dipenuhi. Dimana apabila ketentuan ini tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusan batal demi hukum. - Ketentuan huruf L dalam Putusan Mahkamah Agung putusan tersebut telah dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Dr. cxviii 109 H. M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.Hum.; Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.; M.S. Lumme, S.H.; dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakim-hakim Ad Hoc Tipikor dan hakim agung sebagai anggota, dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan Hakim-Hakim Anggota Tersebut, dan dibantu oleh Dulhusin, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi; Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa. Sehingga putusan ini telah memenuhi unsur yang harus dicantumkan dalam setiap prosesnya. Setelah melihat hasil penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa hal yang paling penting atau urgen ternyata tidak dicantumkan dalam putusan yang menjadi obyek penelitian yakni dengan tidak adanya perintah penahanan maka putusan tersebut adalah batal demi hukum. Sebagaimana dikatakan M. Yahya Harahap70 menyatakan bahwa putusan batal demi hukum berakibat putusan yang dijatuhkan : 1. Dianggap “tidak pernah ada” atau never existed sejak semula; 2. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum; 3. Dengan demikian putusan yang batal demi hukum, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya ekesekusi atau tidak dapat dilaksanakan. Tiap unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP dalam penerapannya harus dijalankan sesuai dengan sungguh-sungguh dan penuh kecermatan oleh hakim dalam mvenjatuhkan putusannya. Kelalaian dalam 70 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 385. cxix 110 mencantumkan setiap unsur dalam pasal tersebut walaupun sedikit saja dapat mempengaruhi putusan berakibat batal demi hukum. Ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang tidak dimuat dalam kasus diatas menandakan bahwa hakim dalam menerapkan amanat pasal tersebut tidak dilaksanakan dengan penuh kecermatan. Sehingga terdakwa berdalih bahwa putusan yang dijatuhkan kepadanya tidak dapat dilaksanakan karena putusannya adalah batal demi hukum. Namun putusan yang menjadi persoalan tersebut mengenai tidak diterapkannya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengenai perintah penahanan menurut para sarjana tidak mempunyai sifat yang harus dilaksanakan oleh hakim dalam menjatuhhkan putusannya. Karena ketentuan mengenai perintah penahanan hanya bersifat alternatif yang pada intinya hakim tidak salah apabila dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa lupa mencantumkan ketentuan pasal tersebut. Sehingga Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 yang menjadi masalah dengan tidak mencantumkan perintah penahanan adalah tidak batal demi hukum. Hal ini diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang diucapka dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 yang dalam amarnya menyatakan sebagai berikut: Mengadili, Menyatakan: 1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Mahkamah memaknai bahwa: cxx 111 2.1. Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum; 2.2. Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum; 2.3. Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”; Dimana pertimbangan salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pada intinya “Bahwa ketika dalam perkara pidana yang harus dibuktikan adalah kebenaran materiil, dan saat kebenaran materiil tersebut sudah terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana, namun karena ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata; Jikalau perkara yang dampaknya tidak meluas, misalnya penghinaan yang terbukti dilakukan oleh terdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya lalu dijatuhi pidana akan tetapi dalam putusan hakim tidak mencantumkan supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan, kemudian putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum, mungkin tidak terlalu cxxi 112 merugikan kepentingan umum karena hanya merugikan pihak korban yang dihina. Akan tetapi seandainya perkara tersebut memiliki dampak yang sangat luas seperti merugikan perekonomian negara, dan masyarakat bangsa secara masif, misalnya perkara korupsi, perkara narkotika, atau perkara terorisme, yang telah terbukti dilakukan terdakwa, lalu terdakwa dijatuhi pidana kemudian putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum hanya karena tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan maka putusan semacam itu akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat;” Walaupun dijatuhkan pada hari dan tanggal yang sama dengan Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012, kekuatan yang dimiliki oleh Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah mulai saat dibacakan pada sidang pleno pengucapan putusan yang terbuka untuk umum. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi71 yang menyatakan bahwa “Sidang pleno pengucapan putusan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal ini merupakan keharusan karena apabila putusan diucapkan dalam persidangan yang tertutup, akan berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat tetap dan mengikat setelah sidang pengucapan putusan selesai.” Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 yang dijatuhkan bersamaan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 adalah sah dan daya berlakunya mulai mengikat pada hari 71 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. hal 50. cxxii 113 dan tanggal diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum yakni Hari Kamis Tanggal 22 November 2012. Oleh karena itu dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang menguji ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga apabila hakim dalam menjatuhkan putusan lupa mencantumkan “Perintah Penahanan” maka putusan tersebut tidaklah batal demi hukum yang artinya bahwa putusan tersebut tetap sah dan dapat dilaksanakan. Maka Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga berlaku untuk Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 yang intinya Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak batal demi hukum. 2. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pemidanaan Terhadap Terdakwa Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya dapat menjatuhkan putusan dengan bentuk sebagai berikut: 1. Putusan Mahkamah Agung yang berisikan amar “Menyatakan Kasasi Tidak Dapat Diterima”. Menurut teroritik dan praktik suatu putusan Mahkamah Agung berisikan amar/diktum “menyatakan kasasi tidak dapat diterima” apabila ternyata permohonan kasasi tidak memenuhi kelengkapan formil sebagaimana ditentukan dalam undan-undang. 2. Putusan Mahkamah Agung yang berisikan amar “Menolak Permohonan Kasasi”. Putusan ini dijatuhkan karena permohonan kasasi telah memenuhi kelengkapan formil, pertimbangan judex factie telah benar cxxiii 114 mengadili perkara sesuai undang-undang dan telah menerapkan hukum sebagaimana mestinya, bahwa benar pengadilan mengadili perkara sesuai dengan batas kewenangannya. 3. Putusan Mahkamah Agung yang berisikan amar “Mengabulkan Permohonan Kasasi”. Hal ini merupakan bentuk putusan terakhir dari peradilan kasasi. Dalam praktiknya, isitilah lain apabila amar/diktum putusan Mahkamah Agung “mengabulkan” permohonan kasasi adalah “menerima” atau “membenarkan” pengajuan kasasi tersebut. Kalau permohonan “kasasi” itu dikabulkan, putusan judex factie “dibatalkan “ karena dianggap putusan tersebut melanggar Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan sekaligus Mahkamah Agung akan “mengadili” sendiri perkara itu.72 Dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu: 1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara (voerzzemium); 2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya; 3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.73 Selain itu dalam memeriksa setiap perkara kasasi yang ada dalam Mahkamah Agung pada pokoknya setiap hakim yang memeriksa harus diberi kebebasan dalam melihat permohonan yang diajukan. Terhadap dirinya tidak 72 Lilik Mulyadi. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, Dan Permasalahannya. Bandung: Alumni. hal 270-273. 73 Andi Hamzah. Op. Cit. hal 298. cxxiv 115 dapat digantungkan pada keberatan dari para pihak mengajukan kasasi namun juga bisa memeriksa dan akan menjatuhkan putusan sendiri yang berbeda dengan putusan sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Paulus E Lotulung yang menyatakan bahwa sebagai berikut: Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstjtusi Indonesia yaitu Undangundang Dasar 1945, yang selanjutnya di implementasikan dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 1999. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang- Undang. Demjkian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal judisiil didalam menjatuhkan putusan.74 Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat kasasi dengan amarnya adalah sebagai berikut: MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc. tersebut; Membebankan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah); Dengan ditolakya permohonan kasasi dari para pihak yakni dari Pemohon I/ Jaksa dan Pemohon II/Terdakwa maka mengakibatkan putusan Mahkamah Agung tersebut tetap menguatkan putusan sebelumnya sehingga secara tersirat 74 Paulus E. Lotulung. Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum. Makalah. hal 1. cxxv 116 Mahkamah Agung juga memberikan putusan pemidanaan atas diri terdakwa yang sebelumnya telah diperiksa dalam persidangan pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Dimana pengadilan tingkat banding menjatuhkan putusannya dengan memberikan amar sebagai berikut: 9. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan; Dalam menjatuhkan putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan alasannya dengan menggunakan dua hal: 1. Pertama, melakukan pemeriksaan dan penilaian bertitik tolak dari keberatan kasasi yang diajukan oleh pemohon. Inilah landasan pertama dan utama. Dari keberatan kasasi yang diajukan. Mahkamah Agung mulai melangkah menelusuri dan menilai benar atau tidak penerapan hukum dalam putusan yang dikasasi sesuai dengan apa yang digariskan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. 2. Kedua, atas alasan sendiri Mahkamah Agung dapat menilai putusan pengadilan yang dikasasi.75 Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya Pasal 25 menyatakan sebagai berikut: 75 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hal 589. cxxvi 117 “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan putusan itu, menurut pula pasal-pasal tertentu dari peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”76 Alasan Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi adalah salah satunya ialah mengenai: 1. Judex Factie telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum yang tidak sebagimana mestinya dalam membuktikan dakwaan pertama yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 2. Judex Factie telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum yang tidak sebagimana mestinya dalam membuktikan dakwaan pertama yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 899/K/Pid.Sus/2012 putusan yang dijatuhkan oleh hakim tingkat kasasi dengan pertimbangannya adalah sebagai berikut: 76 Andi Hamzah. Op. Cit. hal 298. cxxvii 118 - Alasan-alasan baik dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Kasasi I) maupun Terdakwa (Pemohon Kasasi II) tidak dapat dibenarkan. Judex Factie telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang perkara a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan alternatif kumulatif terhadap Terdakwa, karena itu baik dakwaan pertama maupun dakwaan kedua harus harus dibuktikan dan dipertimbangkan dengan saksama oleh Judex Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa dari dakwaan pertama terbukti alternatif pertama kelima yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP; - Benar Terdakwa telah menerima paper bag/tas kertas berwarna cokelat berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) berasal dari Haposan Hutagalung yang diserahkan oleh Sjahril Djohan kepada Terdakwa berdasarkan keterangan dari Sjahril Djohan, Haposan Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap. Dalam pada itu, Terdakwa mengetahui dan patut menduga bahwa uang tersebut diterimanya adalah karena kekuasaa/kewenangannya selaku Kabreskrim Mabes Polri atas permohonan pertolongan dari Sjahril Djohan dan Haposan Hutagalung agar memberi atensi khusus cxxviii 119 mempercepatt penanganan perakra atas pengaduan Mr. Ho Kian Hiat dan Penasehat Hukumnya Haposan Hutagalung terhadap Anwar Salamah alias Amo atas penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal indukan ikan, yang saat itu terkesan diperlambat. Terdakwa memperlihatkan terutama kepada Sjahril Djohan bahwa ia mempercepat proses, antara lain memanggil Penyidik untuk melakukan, tangkap, tahan, sita, dan police line, dan memerintahkan Direktur II/ Kamtranas bahwa sesuai arahan piminan yang baru memenggil Terdakwa agar perkara arwana dilengkapi pemeriksaannya untuk menentukan langkah selanjutnya sehingga Tim Penyidik akhirnya pergi ke Pekanbaru Riau melakukan pendalaman perkara dengan pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, dimana posisi berkas saat itu masih 1/3. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti menerima hadiah/janji, padahal patut diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan/kewenangannya yang berhubungan dengan jabatan atau menurut pikiran pemberi hadiah/janji tersebut ada hubungan dengan jabatan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pertama kelima yakni Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi; - Dakwaan terhadap Terdakwa bersifat kumulatif, maka harus dipertimbangkan pula dakwaan kedua, menurut Judex Factie telah terbukti dakwaan kedua alternatif kedua Pasal 3 jo Pasal 18 Undang- cxxix 120 Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP; - Ternyata benar Terdakwa selaku Kuasa Pengguna Anggaran Dana Hibah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barar Tahun 2008, Terdakwa dengan surat No. Pol/116/VI/2008/Bidkeu tentang pertanggungjawaban keuangan belanja hibah tahun 2008 tanggal 2 Juni 2008 menyatakan tersisa 2.035.038,00 (dua juta tiga puluh lima ribu tiga puluh delapan rupiah), padahal nyatanya yang didistribusikan ke Satker di Intelkam Polda, Polwil, Polres, Polresta se Polda Jawa Barat dan Satker di Intelkam di Polda seluruhnya hanya Rp. 19.230.790.100,00 (sembilan belas milyar dua ratus tiga puluh juta tujuh ratus sembilan puluh ribu seratus rupiah), sedangkan sebesar Rp. 8.469.721.915,00 (delapan milyar empat ratus enam puluh sembilan juta tujuh ratus dua puluh satu ribu sembilan belas rupiah) tidak didistribusikan dan tidak diperuntukkan pengamanan pemilhan Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi dipergunakan oleh Terdakwa untuk pembelian 40 lembar travel cheque @ Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); untuk membeli valuta asing, membayar harga mobil camry serta digunakan untuk pemberian atensi kepada para pejabat Polda Jawa Barat yang kesemuanya tidak ada hubungan dengan peruntukan dana hibah tersebut; - Pada mulanya Terdakwa memerintahkan Bendaharawan PAM Pemilukada Jawa Barat Tahun 2008 Maman Abdulrahman Pasya untuk cxxx 121 melakukan pemotongan Dana Hibah PAM tersebut pada tahap ke-IV dan hasil pemotongan mana dibenarkan para Bendaharawan Satker Polres se Jawa Barat, hasil pemotongan itu bukan untuk pengamanan Pemilukada tetapi untuk kepentingan pribadi; - Atas pertimbangan diatas, perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto terbukti memenuhi kriteria bersama-sama melakukan perbuatan tercantum dalam dakwaan kedua alternatif kedua dakwaan Jaksa/Penuntut Umum; - Bahwa terhadap perbuatan yang telah terbukti tersebut oleh Judex Factie telah pula dipertimbangkan perihal memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa sebagaimana tersebut dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, karena itu pernyataan keberatan terdakwa dalam memori kasasi Terdakwa tidak dapat dipertimbangkan karena Judex Factie telah tepat dan benar; - Judex Factie/Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri apabila Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan tersebut telah tepat dan benar; - Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak; cxxxi 122 - Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; Dengan ditolaknya permohonan kasasi yang diajukan oleh para pihak yakni Pemohon I Jaksa dan Pemohon II Terdakwa maka Mahkamah Agung dalam memeriksa penerapan hukum yang digunakan oleh Judex Factie sudah tepat atau perlu dibenarkan sesuai dengan amanat dalam ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248 guna menentukan: 1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; 3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika: 1. Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP); 2. Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada pantira pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu empat belas hari sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP); 3. Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut, Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP); 4. Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), atau tidak memberitahukan alasan kepada panitera, jika cxxxii 123 pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari sesudah mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan (4) KUHAP); 5. Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.77 Berdasarkan hasil 899/K/Pid.Sus/2012 penelitian yang pada Putusan intinya Mahkamah hakim dalam Agung No. memberikan pertimbangannya menyatakan bahwa alasan baik dari Pemohon I maupun II tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan sebagai berikut: - Bahwa alasan-alasan baik dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Kasasi I) maupun Terdakwa (Pemohon Kasasi II) tidak dapat dibenarkan. Judex Factie telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar tentang perkara a quo. Jaksa/Penuntut Umum telah melancarkan dakwaan alternatif kumulatif terhadap Terdakwa, karena itu baik dakwaan pertama maupun dakwaan kedua harus harus dibuktikan dan dipertimbangkan dengan saksama oleh Judex Factie. Dalam kasus mana, Judex Factie telah mempertimbangkan bahwa dari dakwaan pertama terbukti alternatif pertama kelima yaitu Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan kedua terbukti dakwaan 77 Ibid. hal 300 cxxxiii 124 alternatif kedua yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP; - Benar Terdakwa telah menerima paper bag/tas kertas berwarna cokelat yang berisi uang sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) berasal dari Haposan Hutagalung yang diserahkan oleh Sjahril Djohan kepada Terdakwa berdasarkan keterangan Sjahril Djohan, Haposan Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap. Dalam pada itu, Terdakwa mengetahui dan patut menduga bahwa uang tersebut diterimanya adalah karena kekuasaa/kewenangannya selaku Kabreskrim Mabes Polri atas permohonan pertolongan dari Sjahril Djohan dan Haposan Hutagalung agar memberi atensi khusus mempercepatt penanganan perakra atas pengaduan Mr. Ho Kian Hiat dan Penasehat Hukumnya Haposan Hutagalung terhadap Anwar Salamah alias Amo atas penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana dan modal indukan ikan, yang saat itu terkesan diperlambat. Terdakwa memperlihatkan terutama kepada Sjahril Djohan bahwa ia mempercepat proses, antara lain memanggil Penyidik untuk melakukan, tangkap, tahan, sita, dan police line, dan memerintahkan Direktur II/ Kamtranas bahwa sesuai arahan piminan yang baru memenggil Terdakwa agar perkara arwana dilengkapi pemeriksaannya untuk menentukan langkah selanjutnya sehingga Tim Penyidik akhirnya pergi ke Pekanbaru Riau melakukan cxxxiv pendalaman perkara dengan 125 pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti, dimana posisi berkas saat itu masih 1/3. Dengan demikian, Terdakwa telah terbukti menerima hadiah/janji, padahal patut diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan/kewenangannya yang berhubungan dengan jabatan atau menurut pikiran pemberi hadiah/janji tersebut ada hubungan dengan jabatan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pertama kelima yakni Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi; - Dakwaan terhadap Terdakwa bersifat kumulatif, maka harus dipertimbangkan pula dakwaan kedua, menurut Judex Factie telah terbukti dakwaan kedua alternatif kedua Pasal 3 jo Pasal 18 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP; - Ternyata benar Terdakwa selaku Kuasa Pengguna Anggaran Dana Hibah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barar Tahun 2008, Terdakwa dengan surat No. Pol/116/VI/2008/Bidkeu tentang pertanggungjawaban keuangan belanja hibah tahun 2008 tanggal 2 Juni 2008 menyatakan tersisa 2.035.038,00 (dua juta tiga puluh lima ribu tiga puluh delapan rupiah), padahal nyatanya yang didistribusikan ke Satker di Intelkam Polda, Polwil, Polres, Polresta se Polda Jawa Barat dan Satker di Intelkam di Polda seluruhnya hanya Rp. 19.230.790.100,00 (sembilan belas milyar dua ratus tiga puluh juta cxxxv 126 tujuh ratus sembilan puluh ribu seratus rupiah), sedangkan sebesar Rp. 8.469.721.915,00 (delapan milyar empat ratus enam puluh sembilan juta tujuh ratus dua puluh satu ribu sembilan belas rupiah) tidak didistribusikan dan tidak diperuntukkan pengamanan pemilhan Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi dipergunakan oleh Terdakwa untuk pembelian 40 lembar travel cheque @ Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); untuk membeli valuta asing, membayar harga mobil camry serta digunakan untuk pemberian atensi kepada para pejabat Polda Jawa Barat yang kesemuanya tidak ada hubungan dengan peruntukan dana hibah tersebut; - Pada mulanya Terdakwa memerintahkan Bendaharawan PAM Pemilukada Jawa Barat Tahun 2008 Maman Abdulrahman Pasya untuk melakukan pemotongan Dana Hibah PAM tersebut pada tahap ke-IV dan hasil pemotongan mana dibenarkan para Bendaharawan Satker Polres se Jawa Barat, hasil pemotongan itu bukan untuk pengamanan Pemilukada tetapi untuk kepentingan pribadi; - Bahwa atas pertimbangan diatas, perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto terbukti memenuhi criteria bersama-sama melakukan perbuatan tercantum dalam dakwaan kedua alternatif kedua dakwaan Jaksa/Penuntut Umum; cxxxvi 127 Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh KUHAP tersebut, juga perlu ditinjau Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan kasasi seperti: 1. Permohonan kasasi diajukan oleh seorang tanpa kuasa khusus (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958 No. 117K/Kr/1958); 2. Permohonan diajukan sebelum ada sebelum ada putusan akhir pengadilan tinggi (Putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1958 No. 66 K/Kr/1958); 3. Permohonan kasasi terhadap putusan sela (Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1958 No. 320 K/Kr/1957); 4. Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat berwenang (Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 1961 No. 137 K/Kr/1961);78 Menurut hemat penulis Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara tersebut tidak menemukan kesalahan yang dilakukan pengdilan sebelumnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 253 KUHAP tersebut diatas. Karena didalamnya pertimbangannya hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Pertimbangan pengadilan sebelumnya yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi, oleh tingkat Mahkamah Agung sudah dianggap benar diperkuat dengan adanya keterangan saksi untuk penanganan perkara PT. SAL yakni Sjahril Djohan, 78 Ibid. hal 300. cxxxvii 128 Haposan Hutagalung, Upang supandi, Syamsurizal Makoagow, Yuliar Kus Nugroho SIK, Dedi Supiandi, Nurmala Sari, dan Bagindo Harahap. Sedangkan untuk perkara pengamanan Pilkada Jawa Barat Tahun 2008 dengan adanya keterangan saksi yakni perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Maman Abdulrahman Pasya, Iwan Gustiawan, dan Yultje Aprianto melakukan pemotongan dana hibah pengamanan Pilkada Jawa Barat. Selain itu alasan lain yang tidak sesuai dengan alasan pengajuan sebagaimana diatur dalam Pasal 253 tersebut diatas oleh hakim Mahkamah Agung tidak ada kewajiban untuk dipertimbangkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Soedirjo79 yang menyatkan bahwa “Sebagaimana diketahui Mahkamah Agung dalam melakukan kasasi tidak meniliti putusan seluruhnya. Putusan pada pokoknya berisi dua hal yaitu pertimbangan tentang kenyataan (fakta-fakta) dan pertimbangan hukum. Tugas Mahkamah Agung terbatas pada menyelidiki, apakah putusan yang ditentang itu, bertentangan dengan hukum atau tidak.” Oleh karena itu dengan ditolaknya permohonan pada amarnya yang menyatakan bahwa MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Drs. Susno Duadji, S.H., M.H., M.Sc. tersebut; Menurut hemat penulis maka upaya kasasi yang ditempuh oleh para pemohon patut dinyatakan ditolak karena segala pertimbangan yang pengadilan yang digunakan oleh pengadilan sebelumnya tidak bertentangan dengan alasan pengajuan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 KUHAP. Oleh karena 79 Soedirjo. Op. Cit. hal 24. cxxxviii 129 itu dengan adanya pertimbangan hakim Mahkamah Agung yang pada intinya menolak permohonan kasasi dari para pihak tersebut maka secara tersirat dalam putusan Mahkamah Agung tersebut memberikan pemidanaan sebagaimana telah dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya yakni Pengadilan Tinggi yang menjatuhan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan kepada Terdakwa. Sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut telah menguatkan atas segala hal yang telah dipertimbangkan oleh pengadilan sebelumnya termasuk dalam hal pengadilan sebelumnya telah menjatuhkan pemidanaan atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. cxxxix 130 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan perkara Nomor 899/K/Pid.Sus/2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tidak dimuatnya salah satu unsur dalam ketentuan Pasal 197 ayat 1 KUHAP yakni Perintah Penahanan pada perkara No. 899/K/Pid.Sus/2012 adalah tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum karena dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012 tentang Pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Yang pada intinya apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP tidak mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum, karena Mahkamah Konstitusi menyatakan terbukti ketentuan pasal tersebut betentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan oleh Jaksa sebagai bentuk pelaksanaan putusan. 2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan dalam perkara No. 899/K/Pid.Sus/2012 adalah menolak permohonan dari Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon I) dan Terdakwa (Pemohon II) karena alasan yang dikemukakan salah satunya cxl 131 dinyatakan oleh Pemohon II yang mengatakan bahwa judex factie salah menerapkan hukum dalam membuktikan dakwaan Jaksa yang mendakwa terdakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak tepat karena Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan judex facti telah benar dan tepat dalam membuktikan dakwaan Jaksa tersebut. Selain itu putusan Mahkamah Agung pada pokoknya hanya berisi tentang kenyataan dan pertimbangan hukum, sehingga tidak perlu lagi mempertimbangkan upaya pembuktian lagi sebagimana telah dilakukan oleh tingkat pengadilan sebelumnya. Sehingga dengan ditolaknya, secara tersirat atau tidak langsung Mahkamah Agung tetap menjatuhkan pemidanaan yakni sesuai dengan putusan pengadilan sebelumnya dengan menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan. B. SARAN Untuk mencegah suatu putusan batal demi hukum maka hakim dalam membuat putusan akhir harus memperhatikan dengan sungguhsungguh mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang formalitas suatu putusan. Walaupun pada hakikatnya peradilan pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, namun perlu juga diperhatikan mengenai ketentuan formalitas tersebut, yang telah ditentukan dalam undang-undang. cxli DAFTAR PUSTAKA Literatur: Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia. Jakarta : Raih Aksa Sukses. Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni. Ibrahim, Joni. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishin. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ___________. 2008. Perbandingan KUHP, HIR, dan Komentar. Jakarta: Ghalia. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan PK). Jakarta: Sinar Grafika. Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bogor: Politea. Marpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. _______________. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi). Jakarta: Sinar Garfika. Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perpektif Teoritis Dan Praktik Peradilan. Bandung: CV. Mandar Maju. cxlii __________. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, Dan Permasalahannya. Bandung: Alumni. Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. 2010. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Indonesia Lawyer Club. Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Soedirjo. 1984. Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi). Jakarta: Akademika Pressindo. Soekanto, Soerjono. 1988. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktik. Bandung: Mandar Maju. Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Syamsuddin, Azis. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. ________, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. cxliii ________, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman. Bandung: Citra Umbara. ________, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ________, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Internet: Manullang, Dunia Hukum Online. http://duniahukumonline.blogspot.com/2012/09/asas-asas-hukum pidana.html. diakses pada tanggal 17 Oktober 2013. Anonim. 2010. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbc5042998ac/putusan-tanpaperintah-penahanan-bisa-dieksekusi, diakses pada tanggal 4 November 2013. Yusril Ihza Mahendra. 2012. http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapat-hukum-terhadapputusan-batal-demi-hukum/, diakses pada tanggal 4 November 2013. Anonim. http://www.poskotanews.com/2013/03/06/kisruh-pasal-197-kuhap- penegak-hukum-dapat-dihukum-berat/, diakses pada tanggal 5 November 2013. cxliv Anonim. 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50aea9e793963/mk-putusan-tanpa-perintah-penahanan-tetap-sah, diakses pada tanggal 5 November 2013. www.Mahkamah Agung.go.id, diakses pada tanggal 19 Desmber 2013. Makalah: Paulus E. Lotulung. Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum. Makalah. cxlv