KARAKTERISTIK FISIK TANAH DAN DISTRIBUSI KADAR AIR PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI LATOSOL DARMAGA FITRIA ADELINE DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Fisik Tanah dan Distibusi Kadar Air pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skipsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Fitria Adeline NIM A14090088 ABSTRAK FITRIA ADELINE. Karakteristik Fisik Tanah dan Distribusi Kadar Air pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga. Dibimbing oleh ENNI DWI WAHJUNIE dan DWI PUTRO TEJO BASKORO Pada sistem pertanian lahan kering, sumber utama air adalah hujan. Pada hari tanpa hujan, kebutuhan air tanaman dipenuhi oleh cadangan air tanah di zona perakaran. Oleh karena itu, kemampuan tanah menahan air (retensi air) dan pergerakan air di zona perakaran penting untuk diketahui. Retensi air dan pergerakan air di dalam tanah (zona perakaran) dipengaruhi oleh karakteristik fisik tanah yang bervariasi menurut penggunaan lahan. Suatu penelitian untuk melihat karakteristik fisik tanah, retensi, dan pergerakan air tanah pada berbagai penggunaan lahan, yaitu hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera dilakukan pada tanah Latosol Darmaga dengan kemiringan lereng yang sama (kelerengan 3-8%) di Cikabayan, Darmaga, Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah di bawah hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera memiliki kelas tekstur yang kurang lebih sama, yaitu klei. Tanah dibawah hutan sekunder memiliki kadar bahan organik pada lapisan atas (0-20 cm) paling tinggi (3.87%), diikuti oleh kebun campuran (3.46%), dan lahan bera (3.40%). Tanah di bawah hutan sekunder memiliki bobot isi yang lebih rendah dan porositas yang lebih tinggi dibandingkan tanah di kebun campuran dan lahan bera. Bobot isi dan porositas tanah pada masing-masing penggunaan lahan adalah 1.0 g/cm3 dan 58.4% untuk tanah di hutan sekunder, sebesar 1.0 g/cm3 dan 58.4% untuk tanah di lahan bera, dan sebesar 1.1 g/cm3 dan 56.5% untuk tanah di kebun campuran. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa selama empat hari tidak hujan, kadar air tanah di hutan sekunder masih cukup tinggi (46.3-59.4%-v/v), masih lebih tinggi dari titik layu permanen sehingga masih tersedia bagi tanaman. Sementara kadar air lapang di kebun campuran dan lahan bera pada hari keempat tanpa hujan, sudah dibawah titik layu permanen terutama terjadi pada lapisan atas (0-20 cm). Kadar air lapang masing-masing adalah 38.8-43%-v/v untuk kebun campuran dan 36.0-36.4%-v/v untuk lahan bera. Secara umum terlihat juga bahwa pada hari tanpa hujan (sampai hari keempat), pergerakan air tanah di hutan sekunder umumnya terjadi secara vertikal ke bawah karena pengaruh gravitasi, sedangkan di kebun campuran dan lahan bera, pergerakan air dominan ke atas karena tanah di lapisan atas lebih cepat kering. Laju kehilangan air tertinggi di hutan sekunder pada kedalaman 40-50 cm, yaitu sebesar 7.95 mm/hari, sedangkan di lahan bera dan kebun campuran pada kedalaman 30-40 cm, yaitu sebesar 4.98 mm/hari dan 2.87 mm/hari. Kata kunci : kadar air tanah, karakteristik fisik tanah, penggunaan lahan, pergerakan air tanah, retensi air tanah ABSTRACT FITRIA ADELINE. Soil Physical Characteristics and Soil Moisture Distribution in Various Landuse at Latosol Darmaga. Under guidance of ENNI DWI WAHJUNIE and DWI PUTRO TEJO BASKORO. Dryland Agriculture system is largely relied on rainfall. When there is no rain, plant water requirement is satisfied by water storage in the root zone. Soil water retention and redistribution in the root zone are therefore very important to be identified. Soil water-retention and redistribution are mainly influenced by soil physical characteristics that are variable depending on landuse. A study to identified soil physical characteristic under various landuse i.e. secondary forests, perennial mixed farm, and fallow land and their influence on soil water-retention and redistribution is carried out in Latosol Darmaga with similar topography (3-8% slope) at Cikabayan, Darmaga, Bogor. The results show that soils under secondary forest, perennial mixed farm, and fallow land have similar textural class (Clay). Soil under secondary forest has highest organic matter content (3.87%) in the top (0-20 cm layer), followed by soil under perennial mixed farm (3.46%), and soil under fallow land (3.40%). Soil under secondary forest shows lower bulk density and higher total porosity as compared to soils under perennial mixed farm and fallow land. Bulk density and total porosity of soils under secondary forest, perennial mixed farm, and fallow land are respectively 1.0 g/cc and 58.4%-v/v, 1.0 g/cc and 58.4%-v/v, and 1.1 g/cc and 56.5%-v/v. The results also show that after four days consecutive no rains, soil moisture content under secondary forest (46.3-59.4%-v/v) is still higher than permanent wilting point. Meanwhile soil moisture content under perennial mixed farm and fallow land (especially for the top 0-20 cm layer) is already lower than permanent wilting point; soil moisture content for those soils are 38.8-43%-v/v and 36.0-36.4%-v/v. In general, soil water redistribution under secondary forest takeplace mainly in downward movement due to gravitation, whereas those in perennial mixed farm and fallow land takeplace mainly in upward movement (capillary movement). Under secondary forest, the highest water loss is from 40-50 cm layer i.e. 7.95 mm/day, whereas under perennial mixed farm and fallow land the highest water loss is from 30-40 cm layer i.e. 2.87 mm/day and 4.98 mm/day respectively. Keywords : Land use, soil physical characteristics, soil water movement, soil water content, soil water retention KARAKTERISTIK FISIK TANAH DAN DISTRIBUSI KADAR AIR PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI LATOSOL DARMAGA FITRIA ADELINE Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi : Karakteristik Fisik Tanah dan Distribusi Kadar Air pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga Nama : Fitria Adeline NIM : A14090088 Disetujui oleh Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi Pembimbing I Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan, penelitian, dan penulisan skripsi. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan April 2013 hingga Maret 2014 adalah Karakteristik Fisik Tanah dan Distribusi Kadar Air pada Berbagai Penggunaan Lahan di Latosol Darmaga. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi selaku dosen pembimbing skripsi pertama yang senantiasa memberikan arahan, fasilitas, motivasi, serta bimbingan akademik dan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi. 2. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku dosen pembimbing skripsi kedua yang senantiasa memberikan saran, bimbingan dan pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 3. Ir Wahyu Purwakusuma, MSc selaku dosen penguji skripsi yang senantiasa memberikan masukan dan saran kepada penulis hingga akhir penyusunan skripsi. 4. Bapak Bambang SU, Ibu Dini N, Kakak Dita dan Dira serta adik Ega yang selalu memberikan dukungan, semangat, kasih sayang, dan do’a. 5. Seluruh staff laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan 6. Pengelola kebun Cikabayan, University Farm, IPB 7. Cokorda AW dan Hanna CP selaku teman satu bimbingan yang bersama berjuang dan selalu memberikan semangat dari mulai penelitian hingga akhir penyusunan skripsi. 8. Rofi TA serta teman-teman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan angkatan 46 atas kebersamaan dan dukungannya 9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis saat penelitian dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. Bogor, September 2014 Fitria Adeline DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 TINJAUAN PUSTAKA 2 Kadar Air Tanah 2 Curah Hujan 2 Porositas 3 Pergerakan Air Tanah 3 METODE 4 Waktu dan Tempat Penelitian 4 Bahan dan Alat 4 Pelaksanaan Penelitian 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Kondisi Umum Penggunaan Lahan 7 Karakteristik Fisik Tanah 9 Pergerakan Air Tanah 11 Hubungan Kadar Air dengan Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen 14 Laju Kehilangan Air 16 SIMPULAN DAN SARAN 18 Simpulan 18 Saran 18 DAFTAR PUSTAKA 19 LAMPIRAN 20 RIWAYAT HIDUP 23 DAFTAR TABEL 1. Metode analisis karakteristik fisik dan kimia Tanah 2. Karakteristik fisik tanah latosol pada penggunaan lahan hutan sekunder, Kebun campuran, dan lahan bera 3. Potensial total air tanah pada penggunaan lahan hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera selama empat hari tidak hujan 4. Kadar air hingga empat hari setelah hari hujan, kadar air kapasitas lapang dan kadar air titik layu permanen 5 9 13 15 DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. Hutan sekunder di Fakultas Kehutanan, IPB Kebun campuran di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Lahan bera di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Kadar air menurut kedalaman tanah pada hari pertama tidak hujan (H+1) hingga hari keempat (H+4) tidak hujan dengan curah hujan 86.77 mm pada masing-masing penggunaan lahan (a) hutan sekunder, (b) kebun campuran, dan (c) lahan bera 5. Rata-rata laju kehilangan air hingga empat hari setelah hujan di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera pada berbagai kedalaman tanah. 7 8 8 12 17 DAFTAR LAMPIRAN 1. Kadar air berbagai pF di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera pada berbagai kedalaman 2. Persamaan potensial matriks dengan goal and seek di Microsoft office excel di penggunaan lahan hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera 3. Karakteristik fisik dan distribusi pori tanah pada berbagai penggunaan lahan 4. Data curah hujan harian di Darmaga, Bogor 20 20 21 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Air dalam tanah berasal dari air hujan atau air irigasi yang ditahan oleh tanah. Dalam suatu daur hidrologi, air tanah merupakan salah satu komponen yang dapat terbarukan walaupun memerlukan waktu yang lama. Air tanah adalah salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman karena ketersediaannya sangat penting untuk metabolisme tanaman agar dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi. Air dalam tanah diikat oleh tanah dalam berbagai kondisi tegangan atau tekanan. Tegangan atau tekanan terhadap kandungan air dalam tanah digambarkan dengan kurva karakteristik air tanah (kurva pF). Kondisi air di dalam tanah dapat diklasifikasikan sebagai air dalam keadaan jenuh, kapasitas lapang, dan titik layu permanen. Air tanah sangat ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Tekstur dan struktur tanah menentukan jumlah, pola, komposisi dan distribusi pori dalam tanah. Menurut Ginting (2007) kadar air tanah akan meningkat seiring meningkatnya ruang pori total dan pori mikro tanah. Pergerakan air di dalam tanah dapat diestimasi dari perbedaan potensial air tanah yang dilihat dari kandungan air tanah. Di dalam tanah pergerakan air ke atas dapat terjadi pada hari-hari tanpa hujan (Hanks and Ashcroft 1986). Pergerakan air dalam tanah disebabkan oleh energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik dapat diabaikan karena pergerakan air akibat energi kinetik dalam tanah sangat rendah atau cukup pelan. Energi potensial merupakan jumlah dari berbagai potensial yang bekerja, yaitu potensial gravitasi, potensial tekanan, potensial matriks, dan potensial osmotik. Air bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah menuju kesetimbangan. Menurut Hillel (1980) faktor yang mempengaruhi pergerakan air dalam tanah adalah interaksi antar ruang pori dan cairannya, mikroorganisme tanah, kualitas air, dan pertukaran kation. Faktor karakteristik fisik tanah seperti tekstur, struktur, stabilitas agregat, dan porositas tanah juga mempengaruhi pergerakan air (Asdak 2004). Praktek pengelolaan tanah yang berbeda di berbagai penggunaan lahan dapat mengakibatkan perubahan karakteristik tanah sehingga mempengaruhi pergerakan dan ketersediaan air serta kemampuan tanah dalam meretensi air. Penelitian ini difokuskan pada hubungan karakteristik fisik tanah dengan kadar air dan dinamika pergerakan air di dalam tanah pada berbagai penggunaan lahan sehingga ketersediaan dan kebutuhan air pada suatu lahan dapat diprediksi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji karakteristik fisik tanah, dinamika kadar air tanah, pergerakan air tanah, dan laju kehilangan air yang terjadi di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm dan 40-50 cm. 2 TINJAUAN PUSTAKA Kadar Air Tanah Air tanah merupakan fase cair tanah yang mengisi sebagian atau seluruh ruang pori tanah. Air tanah berperan penting dalam proses pedogenesis. Kandungan dan energi air dalam tanah adalah faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Menurut Sitorus et al. (1980) hancuran iklim, pertukaran kation, dekomposisi bahan organik, pelarutan unsur hara, suplai evapotranspirasi, dan kegiatan mikroorganisme hanya dapat berlangsung dengan baik bila tersedia air dan udara yang cukup. Kegiatan konservasi air tanah, teknik penyimpanan air, dan efisiensi penggunaan air tanah dapat membantu dalam mengendalikan kecukupan air di dalam tanah (Troeh 2004). Kadar air tanah dapat dibedakan menjadi kadar air jenuh, kadar air kapasitas lapang, dan kadar air titik layu permanen. Dalam keadaan jenuh, seluruh pori tanah terisi oleh air. Kadar air kapasitas lapang adalah batas maksimum air yang tersedia bagi tanaman sedangkan kadar air titik layu permanen adalah kandungan air tanah dimana tanaman tidak mampu menyerap air yang cukup untuk mempertahankan turgor, sehingga tanaman mengalami cekaman air. Penetapan kadar air tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu gravimetrik, tensiometrik, tahanan listrik, dan pembauran neutron (Neutron scattering). Gravimetrik adalah metode yang dipakai dalam penelitian ini dan merupakan cara yang lebih umum. Dengan cara ini sejumlah tanah basah dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C hingga 110°C selama waktu tertentu. Air yang hilang karena pemanasan merupakan air yang terdapat dalam tanah basah. Kadar air di dalam tanah, terutama di sekitar daerah perakaran harus cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman atau berada pada kondisi kapasitas lapang agar tanaman dapat tumbuh optimal. Data kadar air tanah sangat diperlukan untuk menilai apakah kondisi tersebut sudah memenuhi kebutuhan air tanaman atau belum, selain itu juga untuk menghitung kebutuhan air irigasi yang perlu untuk ditambahkan. Curah Hujan Hujan merupakan salah satu siklus hidrologi yang mempengaruhi ketersediaan air di dalam tanah. Hujan merupakan salah satu sumber air di dalam tanah. Air hujan yang jatuh akan mengalami beberapa kejadian selain masuk ke dalam tanah, yaitu evaporasi, transpirasi, dan limpasan permukaan. Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan umumnya dibatasi dengan jumlah hari dengan curah hujan ≥ 0,5 mm (Handoko 1995). Di daerah tropika basah, siklus hidrologi terjadi secara aktif dan hujan yang diterima menjadi lebih besar dari evaporasi. Pada saat hujan besar, sebagian air dapat hilang melalui aliran permukaan, sedangkan bila tidak ada hujan, tanaman dapat kekurangan air. Oleh karena itu, curah hujan di suatu daerah mempengaruhi ketersediaan air di dalam tanah. 3 Porositas Ruang pori tanah merupakan bagian tanah yang ditempati oleh air dan udara (Soepardi 1983). Menurut Hanafiah (2005) porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara. Ruang pori tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu pori makro dan pori mikro. Pori makro merupakan petunjuk yang baik untuk perkolasi air, sedangkan pori mikro merupakan petunjuk yang baik untuk penyerapan air. Menurut Hardjowigeno (2010) porositas tanah tinggi apabila bahan organik tinggi. Menurut Foth (1988) jumlah porositas lebih kecil pada tanah dengan tekstur pasir dibandingkan dengan tanah bertekstur klei. Tanah dengan tekstur pasir, lebih sedikit memiliki volume yang ditempati oleh ruang pori akan tetapi mempunyai proporsi besar yang disusun oleh pori makro yang efisien dalam pergerakan air dan udara. Persentase volume pori mikro yang rendah menyebabkan kapasitas menahan air rendah. Pengelolaan tanah memberikan pengaruh nyata terhadap ruang pori tanah. Tanah yang telah diolah cenderung menurunkan total ruang pori tanah dibandingkan dengan tanah yang belum diolah. Penurunan ruang pori tanah berhubungan dengan penurunan kadar bahan organik dan kerusakan agregat tanah. Pada lapisan tanah yang lebih dalam, pengelolaan tanah juga menurunkan total ruang pori meskipun penurunanya lebih rendah dibandingkan dengan lapisan permukaan tanah. Hubungan keterkaitan antara distribusi pori tanah terhadap pergerakan air tanah yang dicerminkan oleh kadar air, menunjukkan bahwa ruang pori total dan pori mikro berkorelasi positif terhadap jumlah air tersedia dalam tanah (Murtilaksono dan Wahjunie 2004). Pergerakan Air Tanah Air di dalam tanah mempunyai energi dalam bentuk dan jumlah yang berbeda-beda. Air dapat bertahan di dalam ruang pori tanah karena ada berbagai gaya yang bekerja pada air tersebut, antara lain berasal dari absorbsi molekul air oleh padatan tanah, gaya tarik menarik antar molekul air, adanya larutan garam, dan gaya kapiler. Air di dalam tanah memiliki 2 macam energi, yaitu energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik merupakan energi yang dihasilkan karena gerak dan besarnya menurut fungsi dari massa dan kecepatan. Kecepatan pergerakan air dalam tanah sangat lambat maka energi kinetik air tanah dapat diabaikan. Energi potensial merupakan energi yang dihasilkan sebagai perbedaan tempat kedudukannya dengan air dan gaya tarik gravitasi. Menurut Hillel (1980) air tanah dipengaruhi oleh sejumlah gaya di lapangan yang menyebabkan potensial air tanah berbeda dengan air bebas yang murni. Gaya di lapangan dihasilkan dari tarikan matriks padatan terhadap air serta terdapatnya zat terlarut dan aksi tekanan gas luar serta gravitasi. Potensial total air tanah merupakan jumlah dari beberapa kontribusi faktor yang berbeda, yaitu potensial gravitasi, potensial matriks, potensial tekanan, dan potensial osmotik. Potensial gravitasi air tanah ditentukan oleh ketinggian relatif terhadap tinggi acuan yang dipilih secara bebas. Menurut Islami dan Hadi (1995) potensial matriks adalah jumlah kerja yang diperlukan untuk memindahkan satu satuan massa air dari tempat baku ke suatu tempat di dalam tanah. Potensial osmotik 4 merupakan jumlah kerja yang diperlukan untuk memindahkan air dari tempat baku air murni ke tempat air yang mengandung garam pada elevasi dan suhu yang sama. Semua faktor potensial ini yang akan mempengaruhi pergerakan air dalam tanah. Perbedaan energi potensial tanah merupakan penyebab pergerakan air sehingga air mengalir dari potensial tinggi ke potensial yang lebih rendah. Menurut Rachman (1992) air yang ditahan oleh tanah serta pergerakannya dalam tanah adalah akibat dari energi potensial air tanah. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2013 hingga Maret 2014 di kebun percobaan Cikabayan, University Farm, IPB dan Fakultas Kehutanan, IPB. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah dan Air dan Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah Latosol dari tiga penggunaan lahan, yaitu hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, dan 40-50 cm. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain H₂O₂, natrium pirofosfat, dan HCl untuk penetapan tekstur. Kalium dikromat, ferroin, dan FeSO4·7H₂O untuk penetapan C-organik Peralatan yang digunakan yaitu cangkul, balok kayu, palu, golok, dan ring sampler untuk pengambilan contoh tanah. Bor tanah diameter 2 cm, aluminium foil, oven, dan timbangan digunakan untuk penetapan kadar air tanah. Galon, gelas ukur, dan corong untuk penetapan curah hujan harian. Parafin cair, benang, timbangan, dan gelas piala 1 L digunakan untuk penetapan bobot isi. Labu ukur 50 ml dan penangas untuk penetapan bobot jenis partikel. Penetapan stabilitas agregat menggunakan ayakan kering dan basah, timbangan, dan oven. Gelas ukur dan mistar untuk penetapan permeabilitas. Plate apparatus membrane, timbangan, dan oven untuk penetapan kurva pF. Buret, erlenmeyer, pipet volumetrik, dan gelas piala untuk penetapan C-Organik. Gelas piala, gelas sedimentasi, pipet volumetrik, cawan porselin, saringan 2 mm, dan pengaduk untuk penetapan tekstur. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu penetapan lokasi, pengambilan contoh tanah, analisis karakteristik fisik dan kimia tanah, pengukuran kadar air tanah, perhitungan potensial air tanah, perhitungan laju kehilangan air tanah dan pengolahan data. 5 Penetapan Lokasi Penetapan lokasi dilakukan di tiga penggunaan lahan yang berbeda pada tanah Latosol Darmaga dengan topografi datar (3-8%). Penggunaan lahan tersebut yaitu kebun campuran dan lahan bera yang berada di kebun percobaan Cikabayan, University Farm, IPB serta hutan sekunder yang berada di Fakultas Kehutanan, IPB. Pengambilan Contoh Tanah Penentuan titik contoh tanah dilakukan secara acak. Pengambilan contoh tanah terdiri atas contoh tanah utuh, contoh tanah agregat utuh, dan contoh tanah terganggu di kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, dan 40-50 cm dengan tiga ulangan dari masing-masing contoh tanah. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara langsung di lapang selama empat hari tidak hujan menggunakan bor tanah dan dibungkus menggunakan alumunium foil. Analisis Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Analisis karakteristik fisik tanah berupa tekstur, bobot jenis pertikel, bobot isi, stabilitas agregat, permeabilitas, karakteristik kadar air tanah (kurva pF), dan kadar air selama empat hari tidak hujan. Analisis karakteristik kimia tanah berupa C-organik. Metode analisis karakteristik fisik dan kimia tanah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Metode analisis karakteristik fisik dan kimia Tanah Jenis Analisis Tanah Tekstur Bobot Isi Bobot Jenis Partikel Permeabilitas Stabilitas Agregat Kurva pF Kadar Air C-Organik Contoh Tanah Terganggu Agregat Terganggu Utuh Agregat Agregat Terganggu Terganggu Metode Pipet Clod Piknometer Permeameter Lab Ayakan Kering dan Basah Pressure plate Gravimetrik Walkley and Black Pengukuran Kadar Air Tanah Pengukuran kadar air tanah menggunakan metode gravimetrik selama empat hari tidak hujan, ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : ( Keterangan : ) ( ) BKU = Bobot kering udara (g) BKM = Bobot kering mutlak (g) BI = Bobot isi (g/cm³) Perhitungan Potensial Air Tanah Kadar air tanah pada berbagai potensial matriks (pF) diolah dengan software goal and seek pada Microsoft Office Excel sehingga diperoleh model kurva karakteristik air tanah pada setiap kedalaman tanah di ketiga penggunaan lahan. 6 Dari model kurva karakteristik air tanah dihasilkan nilai potensial matriks pada setiap kondisi kadar air selama empat hari tidak hujan di berbagai kedalaman tanah dan penggunaan lahan. Persamaan potensial matriks tersebut ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : ( Keterangan : β dan P θ ( ) ) = Potensial matriks (cm H₂O) = Konstanta = Kadar air tanah = Kadar air dalam kondisi jenuh Nilai β dan P ditentukan sembarang. Data potensial matriks yang didapatkan kemudian dijumlahkan dengan potensial gravitasi sehingga didapatkan nilai potensial total air tanah pada tiap kedalaman dan waktu yang ditetapkan. Potensial osmotik pada penelitian ini tidak dianalisis dan potensial tekanan adalah nol karena tanah dalam kondisi tidak jenuh. Pergerakan air di dalam tanah dilihat dari perbedaan potensial total air tanah (potensial matriks dan potensial gravitasi) di setiap kedalaman tanah pada masing-masing penggunaan lahan. Pergerakan air di dalam tanah yaitu dari potensial air tinggi menuju potensial air yang lebih rendah. Perhitungan Laju Kehilangan Air Laju kehilangan air tanah ditetapkan secara tidak langsung, yaitu dengan menghitung perubahan kadar air tanah tiap kedalaman di tiga penggunaan lahan selama empat hari tidak hujan. Laju kehilangan air tanah ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : ( ) ( Keterangan : θ D H H ) ( ) ( ( ) ) = Kadar air tanah (%-volume) = Kedalaman tanah (cm) = Hari pertama setelah hujan = Hari keempat setelah hujan Pengolahan Data Data dari hasil pengamatan di lapang maupun analisis di laboratorium diolah menggunakan software Microsoft Office Excel 2010. Hasil karakteristik tanah, pergerakan air tanah dan laju kehilangan air dibandingkan tiap kedalaman pada masing-masing penggunaan lahan dan dianalisis secara deskriptif dan kualitatif. 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penggunaan Lahan Penggunaan lahan adalah wujud kegiatan atau usaha memanfaatkan lahan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi atau campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materil maupun spiritual. Pada penelitian ini digunakan tiga penggunaan lahan yang berbeda, yaitu hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera. Penggunaan lahan yang berbeda memiliki katrakteristik tanah yang berbeda akibat pengelolaan tanah. Hutan sekunder Hutan sekunder pada penelitian ini berada di Fakultas Kehutanan, IPB yang didominasi oleh tanaman karet (Gambar 1). Hutan sekunder merupakan hutan yang tumbuh dan berkembang secara alami sesudah terjadi kerusakan/perubahan pada hutan primer. Ciri-ciri utama dari hutan sekunder adalah terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang berkelanjutan, ketergantungan dari luar untuk pembentukan hutan kembali, dan ciri-ciri dapat dikenali pada struktur atau komposisi vegetasi hutan. Hutan sekunder memiliki struktur tanah yang baik serta bahan organik yang tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Lahan hutan umumnya memiliki nilai bobot isi yang rendah serta nilai porositas total, air tersedia, permeabilitas, dan kemampuan menahan air yang lebih tinggi. Tanah di hutan sekunder dilindungi oleh vegetasi yang lebat dan didominasi oleh tanaman tahunan sehingga kehilangan air melalui proses evaporasi sangat rendah namun kehilangan air melalui proses transpirasi sangat tinggi. Menurut Lee (1980) vegetasi yang lebih banyak dan rapat pada lahan hutan meningkatkan peluang menyimpan air. Selain itu, menurut Kartasapoetra (1989) hutan berpengaruh terhadap pembentukan tanah. Kotoran dan bangkai binatang serta ranting, batang, dan akar yang membusuk merupakan bahan organik yang menyuburkan tanah. Gambar 1 Hutan sekunder di Fakultas Kehutanan, IPB Kebun campuran Kebun campuran yang digunakan sebagai tempat penelitian berada di kebun percobaan Cikabayan, IPB (Gambar 2). Tanaman yang berada di kebun campuran ini antara lain tanaman kopi, kelapa, dan kelapa sawit. Tanaman memiliki jarak 8 tanam yang teratur dan jarang sehingga kanopi penutup tanah sedikit. Pengelolaan tanaman intensif di kebun campuran meliputi pemupukan di sekitar piringan tanaman dan pembasmian gulma secara berkala. Menurut Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri, kebun campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman, jenis tanaman keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang tidak jelas mana yang lebih dominan. Kebun campuran merupakan sumber pendapatan yang kontinu sepanjang tahun karena beragamnya jenis tanaman. Kebun campuran memberikan berbagai jasa lingkungan seperti pengendali erosi, mitigasi banjir, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan menambat karbon dari atmosfer. Gambar 2 Kebun campuran di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Lahan bera Lahan bera yang digunakan sebagai tempat penelitian berada di kebun percobaan Cikabayan, IPB (Gambar 3). Lahan bera tertutup oleh rerumputan dan tidak ada tanaman lain. Lahan bera merupakan lahan pertanian yang sudah tidak digunakan selama lebih dari dua tahun. Lahan bera umumnya adalah sebuah bagian dari sistem perladangan berpindah di mana petani membuka hutan, menanamnya selama beberapa musim tanam, dan meninggalkannya untuk membuka lahan baru. Lahan bera seringkali berupa lahan yang kritis dan miskin nutrisi sehingga sulit untuk ditanami tanaman penghasil pangan maupun tanaman pertanian lain yang cepat menghasilkan kecuali terdapat penambahan pupuk. Gambar 3 Lahan bera di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB 9 Karakteristik Fisik Tanah Karakteristik fisik dan kimia tanah (tekstur, porositas, stabilitas agregat tanah, dan bahan organik) pada berbagai penggunaan lahan mempengaruhi kadar air, retensi, dan pergerakan air. Hasil pengamatan karakteristik tanah di ketiga penggunaan lahan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik fisik tanah latosol pada penggunaan lahan hutan sekunder, Kebun campuran, dan lahan bera Tekstur BO ISA BI RPT RPD Penggunaan Kedalaman Pasir Debu Klei Lahan (cm) ..........%......... (g/cm3) . . . . % v/v . . . . 0-10 3.94 18.13 77.93 4.56 104.53 0.98 61.52 10.85 10-20 3.69 17.90 78.41 3.18 95.17 1.05 59.10 11.09 20-30 4.10 15.16 80.73 2.73 76.05 0.98 56.52 9.15 Hutan Sekunder 30-40 4.17 13.74 82.09 2.35 76.47 1.02 54.93 4.08 40-50 4.07 17.03 78.90 1.79 76.51 0.96 59.80 9.49 Rata-rata 4.00 16.39 79.61 2.92 85.75 1.00 58.37 8.93 Kebun Campuran 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 Rata-rata 5.39 5.24 5.27 5.50 4.66 5.21 13.43 15.74 11.79 14.66 16.39 14.40 81.18 79.02 82.94 79.84 78.95 80.39 4.80 115.99 2.12 101.82 2.02 93.41 1.76 90.92 1.46 95.43 2.43 99.51 1.07 1.13 1.10 1.10 1.11 1.10 56.71 55.18 55.97 57.68 57.38 56.58 5.40 9.12 10.73 14.76 15.30 11.06 Lahan Bera 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 Rata-rata 6.29 5.87 5.59 5.52 5.22 5.70 11.71 12.23 16.94 16.03 13.49 14.08 82.00 81.90 77.46 78.45 81.29 80.22 3.65 113.30 3.15 92.25 2.81 95.39 2.54 81.22 2.84 78.46 3.00 92.12 1.09 1.07 1.08 1.06 1.01 1.06 57.19 59.15 57.21 59.02 59.81 58.48 12.07 15.85 13.61 13.30 10.88 13.14 Keterangan : BO = Bahan Organik; ISA = Indeks Stabilitas Agregat; BI = Bobot Isi; RPT = Ruang Pori Total; RPD = Ruang Pori Drainase Tekstur Pada Tabel 2 ditunjukkan rata-rata persentase pasir tertinggi hingga terendah, yaitu lahan bera sebesar 5.70%, kebun campuran sebesar 5.21%, dan hutan sekunder sebesar 4.00%. Rata-rata persentase debu tertinggi hingga terendah adalah hutan sekunder sebesar 16.39%, kebun campuran sebesar 14.40%, dan lahan bera sebesar 14.08%. Rata-rata persentase klei tertinggi hingga terendah yaitu pada kebun campuran sebesar 80.39% diikuti oleh lahan bera sebesar 80.22%, dan hutan sekunder sebesar 79.61%. Ketiga penggunaan lahan tersebut memiliki kelas tekstur yang sama, yaitu klei. Klei dan debu yang tinggi memiliki kapasitas yang lebih tinggi dalam menahan air dibandingkan dengan pasir. Hillel (1998) menyatakan bahwa tekstur sangat berpengaruh terhadap kadar air tanah. 10 Pengaruh tekstur terkait terhadap proporsi bahan koloidal, ruang pori, dan luas permukaan adsorptif. Klei memiliki luas permukaan spesifik yang lebih besar dibandingkan pasir dan debu. Apabila dimisalkan partikel tanah berbentuk kubus maka klei (0.002 mm) memiliki luas permukaan spesifik 1012 kali lebih besar dibandingkan pasir (2 mm). Oleh karena itu, semakin tinggi kandungan debu dan klei, kadar air tanah juga meningkat pada tingkat tegangan pengikatan tertentu. Bahan Organik Bahan organik tanah dilihat dari kedalaman 0-20 cm. Hal ni disebabkan bahan organik terbesar pada umumnya berada di lapisan permukaan karena penambahan seperti serasah maupun pupuk organik. Hasil rata-rata kadar bahan organik di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera berturut-turut yaitu sebesar 3.87%, 3.46%, dan 3.40%. Rata-rata kadar bahan organik di hutan sekunder lebih tinggi dibandingkan dengan kebun campuran dan lahan bera meskipun tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh akumulasi dari sisa tanaman seperti daun dan akar yang membusuk dari vegetasi serta dekomposisi bahan organik yang cenderung lambat. Tanah yang tidak diolah seperti hutan, proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan tanah yang diolah secara intensif (Giller et al. 1997 dalam Handayanto dan Hairiah 2007). Pada ketiga penggunaan lahan tersebut, semakin dalam tanah maka bahan organik tanah menurun kecuali kedalaman 40-50 cm di lahan bera. Hal ini disebabkan di lahan bera merupakan bekas lahan pertanian intensif dan terjadi pengolahan tanah dengan cara membolak-balikan tanah sehingga kadar bahan organik di lahan bera menyebar di setiap kedalaman dan kembali naik di kedalaman 40-50 cm. Kadar bahan organik pada kebun campuran menurun terhadap peningkatan kedalaman secara signifikan dibandingkan dengan hutan sekunder dan lahan bera. Hal ini disebabkan di kebun campuran mendapat penambahan bahan organik dari pemupukan di sekitar piringan tanaman. Stabilitas Agregat Pada tabel 2 ditunjukkan bahwa nilai rata-rata indeks stabilitas agregat tanah tertinggi adalah kebun campuran sebesar 99.51 diikuti lahan bera sebesar 92.12, dan hutan sekunder sebesar 85.75. Klasifikasi indeks stabilitas agregat (ISA) pada ketiga penggunaan lahan tersebut adalah sangat stabil (80-200). Secara umum nilai ISA menurun dengan semakin dalamnya tanah. Stabilitas agregat tanah berkorelasi positif dengan bahan organik (Ginting 2007) karena peran bahan organik adalah sebagai bahan penyemen dalam proses agregasi untuk membentuk struktur tanah. Menurut Haridjaja et al. (1990) agregat yang stabil mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam memelihara dan mempertahankan pori-pori sebagai jalan masuknya air. Menurut Ginting (2007) kestabilan agregat berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah, jika ISA semakin kecil maka kadar air tanah semakin tinggi. Hal ini terjadi karena pada ISA yang rendah, agregat akan mudah hancur menjadi butiran tunggal yang akan menyumbat pori tanah dan berakibat pada pengurangan pori makro dan kontinuitas pori yang cepat melalukan air. Apabila pori makro dan kontinuitas pori tertutup partikel tanah maka air akan terjebak dalam tubuh tanah sehingga kadar air meningkat. Menurut Rachman et al. (2013) 11 agregat yang stabil diperlukan untuk penyediaan pori makro dan mikro yang seimbang, sehingga pergerakan air dan udara lancar di dalam tanah. Bobot Isi dan Ruang Pori Tanah Nilai rata-rata bobot isi tertinggi berada di kebun campuran yaitu sebesar 1.10 g/cm3 diikuti lahan bera sebesar 1.06 g/cm3, dan hutan sekunder sebesar 1.00 g/cm3. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa ruang pori total tanah di hutan sekunder, yaitu sebesar 58.37% dengan ruang pori drainase sebesar 8.93%. Ruang pori total di kebun campuran sebesar 56.58% dan ruang pori drainase sebesar 11.06% sedangkan di lahan bera ruang pori total sebesar 58.48% dan ruang pori drainase sebesar 13.14%. Rata-rata ruang pori total tanah tertinggi terdapat di lahan bera diikuti hutan sekunder dan kebun campuran. Namun porositas di lahan bera lebih banyak pori drainase di bandingkan hutan sekunder dan kebun campuran sehingga air yang masuk ke dalam tanah di lahan bera lebih cepat terdrainase dan air tersedia lebih sedikit meskipun ruang pori mikro di lahan bera tinggi (Lampiran 3). Ruang pori mikro di lahan bera tinggi disebabkan persentase klei serta kadar bahan organik tanah yang tinggi dan menyebar di setiap kedalaman. Pada hutan sekunder, ruang pori drainase lebih rendah dibandingkan dengan kebun campuran dan lahan bera. Air yang masuk ke dalam tanah di hutan sekunder lebih banyak diretensi di dalam ruang pori dan yang terdrainase menjadi lebih sedikit. Kebun campuran memiliki bobot isi lebih tinggi dan porositas lebih rendah dibandingkan hutan sekunder dan lahan bera. Hal ini disebabkan pengolahan pada permukaan tanah dan pemadatan akibat orang yang sering melewati kebun campuran. Menurut Raja (2009) pengelolaan tanah dapat meningkatkan pemadatan tanah sehingga pori makro berkurang. Ruang pori mikro di kebun campuran yang lebih tinggi dibandingkan hutan sekunder dan lahan bera (Lampiran 3) disebabkan akumulasi kadar bahan organik yang tinggi di lapisan permukaan tanah (Tabel 2). Pergerakan Air Tanah Pada hari-hari setelah hujan, air di dalam tanah mengalami pergerakan atau distribusi air kembali (redistribusi). Pergerakan air tanah pada penelitian ini dievaluasi berdasarkan perubahan energi potensial air tanah terhadap jarak tertentu. Energi potensial air tanah sangat bervariasi dan berbeda setiap saat meskipun kandungan airnya sama. Perbedaan energi potensial air antara suatu titik dengan titik lain yang membuat timbulnya kecenderungan air untuk bergerak di dalam tanah. Pergerakan air masuk ke dalam tanah pertama kali mengisi ruang pori makro menggantikan udara dan kemudian mengisi ruang pori mikro. Potensial total air tanah berupa penjumlahan beberapa komponen potensial seperti potensial gravitasi dan potensial matriks. Potensial matriks tanah diestimasi dari kurva karakteristik air tanah, yaitu hubungan antara potensial matriks dengan kadar air tanah. Kadar air menurut kedalaman selama empat hari tidak hujan di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera disajikan pada Gambar 4. 12 Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa selang perubahan kadar air di hutan sekunder lebih kecil dibandingkan dengan lahan bera dan kebun campuran serta memiliki pola homogen di setiap kedalaman tanah. Perubahan kadar air di kebun campuran pada kedalaman 0-20 cm lebih besar dibandingkan dengan kedalaman 20-50 cm dan pola perubahan kadar air bervariasi. Pada lahan bera, pola perubahan kadar air homogen namun selang perubahan kadar airnya besar di setiap kedalaman. (a) 40 (b) 55 35 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Kedalaman (cm) Kedalaman (cm) 35 KA (%) 45 50 Kedalaman (cm) (c) 35 40 40 KA (%) 45 50 55 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 KA (%) 45 50 55 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 H+1 H+2 H+3 H+4 Gambar 4 Kadar air menurut kedalaman tanah pada hari pertama tidak hujan (H+1) hingga hari keempat (H+4) tidak hujan dengan curah hujan 86.77 mm pada masing-masing penggunaan lahan (a) hutan sekunder, (b) kebun campuran, dan (c) lahan bera Perbedaan pola dan selang perubahan kadar air di berbagai penggunaan lahan diantaranya disebabkan oleh adanya perbedaan kadar bahan organik. Kadar bahan organik yang tinggi pada permukaan tanah di hutan sekunder berperan mengurangi fluktuasi suhu sehingga kehilangan air lebih rendah dan mempertahankan kadar air pada tanah yang lebih dalam. Menurut Rachman et al. (2013) semakin ke arah permukaan tanah, fluktuasi suhu tanahnya semakin besar dan semakin jauh ke dalam tanah fluktuasinya semakin kecil. Faktor lain disebabkan oleh kontinuitas pori yang rendah sehingga mempengaruhi pergerakan air di dalam tanah. Kontinuitas pori tanah yang berbeda dapat disebabkan ketidakseragaman geometrik pori tanah (efek leher botol) sehingga dihasilkan efek histeresis, yaitu pada kondisi potensial matriks yang sama akan memiliki 13 kadar air yang berbeda. Kadar air yang tercapai setelah pembasahan (sorpsi) akan berbeda dengan kadar air setelah pengeringan (desorpsi), walaupun terjadi pada potensial matriks yang sama. Menurut Hillel (1980) histeresis dapat terjadi akibat jari-jari dan diameter pori tanah berbeda sehingga menyebabkan air tidak terdistribusi secara merata dan kontinu. Efek histeresis penting apabila proses pembasahan dan pengeringan terjadi secara serentak dan bergantian pada berbagai kedalaman tanah (proses redistribusi). Efek histeresis selain disebabkan oleh ketidakseragaman geometri pori, juga dipengaruhi perbedaan sudut kontak air dengan dinding pori, udara yang terperangkap, dan fenomena pengembangan dan pengerutan tanah. Air hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak searah gaya gravitasi apabila kadar air di dalam tanah lebih besar dari kapasitas lapang. Gaya yang bekerja terhadap air dipengaruhi oleh komponen potensial air seperti potensial matriks dan potensial gravitasi. Air bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah. Potensial total air tanah yang bekerja dapat digunakan untuk melihat pergerakan air di dalam tanah. Pergerakan air tersebut bisa ke bawah, ke atas, maupun ke samping. Potensial air selama 4 hari tidak hujan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Potensial total air tanah pada penggunaan lahan hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera selama empat hari tidak hujan Penggunaan Hari lahan ke- Potensial Total Air Tanah (cm H₂O) 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm -48.69 -45.39 -83.16 -73.16 -46.49 -214.23 -211.09 -106.10 -773.02 -245.53 -83.40 -488.20 Hutan Sekunder 1 2 3 4 0-10 cm -5.60 -8.80 -17.34 -6.73 40-50 cm -59.62 -97.96 -144.82 -192.24 Kebun campuran 1 2 3 4 -2053.89 -1383.15 -22887.39 -82738.46 -2072.80 -39.56 -170682.44 -50133.28 -1495.53 -7585.85 -2412.17 -12501.57 -67.91 -612.33 -230.38 -270.10 -52.26 -60.94 -49.48 -64.60 Lahan bera 1 2 3 4 -1409.19 -716.39 -20693.73 -74649.84 -1115.28 -657.25 -3360.62 -24837.09 -185.24 -47.04 -370.92 -1868.33 -43.51 -52.85 -314.22 -177.59 -102.94 -59.41 -324.60 -321.45 Berdasarkan Tabel 3, potensial air tanah dapat digunakan untuk mengestimasi pergerakan air. Pergerakan air di hutan sekunder pada hari pertama hingga ketiga tidak hujan, dari kedalaman 20-30 cm menuju kedalaman 10-20 cm dan kedalaman 30-40 cm. Pergerakan lebih cepat menuju kedalaman 30-40 cm dibandingkan menuju kedalaman 10-20 cm. Pergerakan air juga terjadi dari kedalaman 0-10 cm menuju kedalaman 10-20 cm dan dari kedalaman 40-50 cm menuju kedalaman 30-40 cm. Pada hari keempat tidak hujan, dimungkinkan terjadi pergerakan air ke atas dari kedalaman 20-30 cm menuju permukaan tanah karena pada kedalaman 0-10 cm, potensial air tanah kembali tinggi. Peningkatan potensial air pada permukaan tanah disebabkan penambahan air dari lapisan bawahnya akibat evaporasi. Namun adanya bahan organik yang tinggi pada 14 permukaan tanah di hutan sekunder dapat mencegah terjadinya kehilangan air yang berlebih sehingga kadar air tanah masih dalam kondisi tersedia bagi tanaman. Pergerakan air di kebun campuran pada hari pertama tidak hujan adalah menuju ke atas dan ke bawah. Pergerakan air ke atas dari kedalaman 40-50 cm menuju kedalaman 10-20 cm dan pergerakan ke bawah dari permukaan tanah menuju kedalaman 10-20 cm. Dua hari tidak hujan, di kedalaman 0-10 cm dan kedalaman 10-20 cm potensial air tanah menjadi tinggi kembali akibat evaporasi dan penambahan air dari lapisan bawahnya sehingga air bergerak ke atas dari kedalaman 40-50 cm menuju kedalaman 0-10 cm. Hari ketiga tidak hujan, pergerakan ke atas terjadi dari kedalaman 40-50 cm menuju kedalaman 10-20 cm dan pergerakan ke bawah dari kedalaman 0-10 cm menuju 10-20 cm. Hari keempat tidak hujan, pergerakan air ke atas dari kedalaman 40-50 cm menuju permukaan tanah dengan kehilangan air yang cukup besar, yang terlihat dari potensial air tanah yang rendah di kedalaman 0-10 cm (Tabel 3). Hari pertama tidak hujan di lahan bera, pergerakan air ke atas dari kedalaman 30-40 cm menuju permukaan tanah dan pergerakan ke bawah dari kedalaman 30-40 cm menuju kedalaman 40-50 cm. Pergerakan ke atas lebih cepat dibandingkan dengan pergerakan ke bawah. Hari kedua tidak hujan, pergerakan air dari kedalaman 20-30 cm menuju ke permukaan tanah dan juga menuju kedalaman 40-50 cm, namun pergerakan air ke atas lebih cepat dibandingkan dengan pergerakan air ke bawah. Pada hari ketiga dan keempat tidak terjadi hujan, air dari kedalaman 30-40 cm terdistribusi ke permukaan tanah. Air juga bergerak dari kedalaman 30-40 cm menuju kedalaman 40-50 cm. Pergerakan air ke atas secara kapiler lebih cepat dan melawan gaya gravitasi serta kehilangan air cukup tinggi di kedalaman 0-10 cm yang ditunjukkan pada Tabel 3. Menurut Hillel (1980) air bergerak dari energi potensial tinggi menuju energi potensial yang lebih rendah. Proses pergerakan air sangat penting diketahui untuk menentukaan jumlah air yang tertahan dan ketersediaanya pada berbagai waktu di kedalaman yang berbeda pada profil tanah. Di hutan sekunder, pergerakan air cenderung menuju kedalaman 30-40 cm selama 4 hari tidak hujan dan lapisan 30-40 cm tersebut meretensi air lebih tinggi dibandingkan dengan kebun campuran dan lahan bera yang terlihat dari kadar air tanah dalam kondisi tersedia bagi tanaman dan selang perubahan kadar air yang kecil dari hari ke hari (Tabel 4). Tutupan tajuk dan kerapatan vegetasi yang banyak membuat iklim mikro di hutan sekunder lebih baik, sehingga suhu di dalam tanah terjaga dan kehilangan air melalui evaporasi lebih rendah dibandingkan kebun campuran dan lahan bera yang memiliki tutupan tajuk lebih sedikit. Perbedaan jenis dan kerapatan vegetasi serta teknik pengelolaan tanah yang berbeda pada hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera membuat ketersediaan dan daya retensi air dalam tanah juga berbeda. Hubungan Kadar Air dengan Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen Kapasitas lapang adalah batas maksimum air yang tersedia bagi tanaman, sedangkan kadar air titik layu permanen adalah kandungan air tanah dimana tanaman tidak mampu menyerap air yang cukup untuk mempertahankan turgor, sehingga tanaman mengalami cekaman air. Selisih diantara keduanya merupakan kondisi air tersedia bagi tanaman. Kadar air pada hari pertama hingga keempat 15 setelah hujan dan kadar air kapasitas lapang, serta titik layu permanen di ketiga penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kadar air hingga empat hari setelah hari hujan, kadar air kapasitas lapang dan kadar air titik layu permanen Penggunaan Lahan Kedalaman H+1 H+2 H+3 H+4 KL TLP ... %v/v … (cm) Hutan Sekunder 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 60.59 52.23 48.54 51.85 56.13 58.05 51.00 48.43 48.99 52.51 55.41 48.18 45.60 46.34 50.40 59.42 47.80 46.30 46.63 49.06 50.67 49.83 47.37 50.85 50.30 36.18 37.95 34.35 37.14 32.07 Kebun Campuran 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 45.98 43.36 43.73 45.26 44.68 46.75 48.89 41.79 40.48 43.55 41.33 37.84 43.15 42.29 45.37 38.85 39.37 41.19 41.98 43.25 51.30 46.06 45.23 42.92 42.08 42.14 40.88 40.97 35.04 33.72 Lahan Bera 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 42.57 43.07 47.06 54.30 51.08 43.69 44.22 50.87 52.86 53.96 38.13 40.69 45.56 47.21 47.74 36.01 36.41 42.29 48.61 47.76 45.12 43.30 43.60 45.73 48.94 38.66 37.50 38.20 38.86 39.22 Keterangan : H+1 = Hari pertama setelah hujan, H+1 = Hari kedua setelah hujan, …., H+4, KL = Kapasitas lapang, TLP = Titik layu permanen Tabel 4 menunjukkan pada hari pertama setelah hujan, kondisi kadar air di hutan sekunder kedalaman 0-50 cm masih dalam kondisi kadar air diatas kapasitas lapang mendekati kadar air jenuh. Pada kebun campuran dan lahan bera di kedalaman 0-50 cm, kadar air dalam kondisi tersedia bagi tanaman. Hari kedua setelah hujan, air tersedia bagi tanaman pada kedalaman 0-50 cm di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera. Di kebun campuran pada kedalaman 0-10 cm kadar air meningkat dari 45.98% menjadi 46.75%, hal ini dikarenakan pergerakan air tanah mulai terjadi ke arah atas. Hari ketiga setelah hujan, air tersedia bagi tanaman di hutan sekunder di kedalaman 0-50 cm. Pada kebun campuran, air tersedia bagi tanaman pada kedalaman 20-50 cm. Namun pada kedalaman 0-20 cm kondisi air sudah di bawah titik layu permanen. Adapun pada lahan bera, air tersedia bagi tanaman berada pada kedalaman 10-50 cm dan kedalaman 0-10 cm kondisi kadar air sudah di bawah titik layu permanen. Hari keempat setelah hujan, kondisi kadar air pada kedalaman 0-50 cm di hutan sekunder tersedia bagi tanaman. Pada kebun campuran, air tersedia bagi tanaman di kedalaman 20-50 cm dan kadar air di bawah titik layu permanen pada kedalaman 0-20 cm, begitu juga halnya dengan lahan bera. Tabel 4 menunjukkan bahwa kapasitas lapang tertinggi secara umum berada di hutan sekunder. Hal ini dikarenakan karakteristik tanah dan kerapatan vegetasi 16 di hutan sekunder cenderung baik dalam hal meretensi air dibandingkan dengan kebun campuran dan lahan bera. Kadar bahan organik (Tabel 2) dan pori air tersedia yang tinggi (Lampiran 3) serta pori drainase yang rendah (Tabel 2) di hutan sekunder membuat kapasitas menahan air di dalam tanah juga tinggi. Selain itu vegetasi dengan tutupan kanopi yang besar membuat kehilangan air akibat evaporasi pada hutan sekunder menjadi kecil, sehingga tanah di hutan sekunder mampu mempertahankan ketersediaan air di dalam tanah selama empat hari tidak hujan. Namun pada kebun campuran dan lahan bera, di kedalaman 0-20 cm sudah dalam kondisi kadar air di bawah titik layu permanen. Kondisi kadar air di bawah titik layu permanen akan mempengaruhi tanaman diatasnya, tanaman akan kekurangan air sehingga tanaman akan layu (tidak layu permanen). Kondisi tanah dengan kadar air dibawah titik layu permanen lebih kering, begitu juga tanaman diatasnya seperti rumput di lahan bera dan kebun campuran mengalami cekaman air. Hal ini dapat disebabkan karena minimnya kanopi yang menutupi tanah tersebut, sehingga kekurangan air akibat evaporasi tidak terhindarkan dan dapat menyebabkan tanaman yang berada di atasnya kekurangan air dan menjadi layu. Pengelolaan tanah secara konservasi untuk mempertahankan dan memperbaiki sifat fisik tanah perlu dilakukan, seperti mempertahankan vegetasi penutup tanah atau kanopi untuk mengurangi laju evaporasi, pengendalian aliran permukaan, maupun penambahan bahan organik. Laju Kehilangan Air Laju kehilangan air dapat dilihat secara tidak langsung dari perubahan kadar air (tinggi air tanah) di setiap kedalaman tanah pada berbagai penggunaan lahan selama empat hari tidak hujan. Kehilangan air di dalam tanah penting diketahui sebagai parameter untuk melihat ketersediaan air di dalam tanah dan untuk mengetahui laju kehilangan air di setiap kedalaman tanah pada berbagai penggunaan lahan apabila tidak terjadi hujan selama beberapa hari. Gambar 5 menunjukkan bahwa laju kehilangan air tertinggi di hutan sekunder terjadi pada kedalaman 40-50 cm sebesar 7.95 mm/hari. Laju kehilangan air tertinggi di kebun campuran dan lahan bera berada pada kedalaman 30-40 cm yaitu sebesar 2.87 mm/hari dan 4.98 mm/hari. 17 Laju kehilangan air (mm/hari) Semakin tinggi kedalaman tanah, maka laju kehilangan air juga semakin tinggi, kecuali pada kedalaman 40-50 cm di kebun campuran dan lahan bera, yang menurun kembali dibandingkan dengan lapisan atasnya. Laju kehilangan air pada hutan sekunder meningkat secara signifikan menurut kedalaman tanah. Proses kehilangan air dapat berupa proses evaporasi, transpirasi, aliran permukaan, drainase, dan lain sebagainya. Di hutan sekunder, proses kehilangan air di lapisan bawah yang diasumsikan melalui proses transpirasi lebih dominan. Hal ini karena terdapat banyak tanaman tingkat tinggi dengan perakaran lebih dalam yang menyerap air lebih banyak. Kehilangan air pada permukaan tanah di hutan sekunder kecil karena kondisi kanopi sebagai penutup tanah sangat banyak. Pada kebun campuran dan lahan bera, laju kehilangan air permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder, hal ini disebabkan kanopi penutup tanah yang sedikit dan vegetasi yang tidak rapat sehingga terjadi proses evaporasi yang tinggi. Menurut Tanner (1981) kehilangan air melalui evaporasi mempunyai akibat terhadap fisiologi tanaman secara tidak langsung, seperti mempercepat penurunan kadar air pada lapisan atas. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 7.95 4.98 4.56 3.73 0.89 0.15 0-10 1.66 1.50 2.98 2.50 1.40 1.58 2.87 1.60 0.82 20-30 Hutan Sekunder 20-30 30-40 40-50 Kedalaman (cm) Kebun Campuran Lahan Bera Gambar 5 Rata-rata laju kehilangan air hingga empat hari setelah hujan di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera pada berbagai kedalaman tanah. Pada kedalaman 30-40 cm di kebun campuran dan lahan bera merupakan tempat akar paling banyak mengambil air dan unsur hara di dalam tanah, sehingga kehilangan air di kedalaman 30-40 cm lebih besar dibandingkan di kedalaman lain. Ada tiga faktor yang mempengaruhi laju kehilangan air melalui evapotranspirasi, yaitu faktor fisika atmosfer, faktor karakteristik tanah, dan faktor tumbuhan. Faktor fisika atmosfer dapat berupa iklim; faktor karakteristik tanah dapat berupa distribusi dan kontinuitas ruang pori, stabilitas agregat, dan kadar bahan organik tanah; serta faktor tanaman dapat berupa jenis tanaman yang memiliki perbedaan luas stomata dan kedalaman akar efektif. Laju kehilangan air yang tinggi menyebabkan ketersediaan air berkurang. Untuk memperkecil laju kehilangan air di suatu lahan dibutuhkan vegetasi sebagai kanopi penutup tanah, penambahan bahan organik tanah yang dapat meretensi air lebih tinggi. 18 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik tanah mempengaruhi retensi dan distribusi air di dalam tanah. Hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera memiliki tekstur klei, kelas stabilitas agregat tanah yang sangat stabil serta porositas dan bahan organik yang tinggi. Pengaruh perbedaan retensi dan distribusi air tanah di ketiga penggunaan lahan yang berbeda lebih dipengaruhi oleh distribusi ruang pori tanah dan kerapatan tajuk, jenis, dan jumlah vegetasi. Kadar air di hutan sekunder selama empat hari tidak hujan masih dalam kondisi kadar air tersedia bagi tanaman sedangkan pada kebun campuran dan lahan bera, kedalaman 0-20 cm sudah dalam kondisi dibawah titik layu permanen. Perubahan kadar air setiap kedalaman selama empat hari tidak hujan di hutan sekunder lebih kecil dibandingkan dengan kebun campuran dan lahan bera serta memiliki pola yang homogen. Kebun campuran memiliki pola perubahan kadar air yang bervariasi dan perubahan kadar air yang besar di lapisan atas dan kecil pada lapisan yang lebih dalam. Lahan bera memiliki pola perubahan kadar air yang homogen dan perbedaan kadar air yang besar selama empat hari tidak hujan. Pergerakan air setelah hari hujan di hutan sekunder secara umum ke bawah searah gaya gravitasi, sedangkan di kebun campuran dan lahan bera dominan ke atas menuju permukaan tanah karena dipengaruhi oleh kapilaritas atau potensial matriks akibat evaporasi. Laju kehilangan air tertinggi di hutan sekunder terjadi pada kedalaman 40-50 cm sebesar 7.95 mm/hari. Laju kehilangan air tertinggi di kebun campuran dan lahan bera berada pada kedalaman 30-40 cm yaitu sebesar 2.87 mm/hari dan 4.98 mm/hari. Laju kehilangan air pada tanah lapisan bawah lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan tanah. Kehilangan air di lapisan bawah lebih banyak dipengaruhi oleh proses transpirasi, sedangkan di lapisan atas oleh proses evaporasi terutama di lahan bera. Saran Pada kebun campuran dan lahan bera perlu penambahan vegetasi yang berfungsi sebagai penutup permukaan tanah untuk mengurangi kehilangan air dan menjaga suhu tanah. Pengamatan yang lebih baik disarankan, seperti pengaruh berbagai jumlah hujan, lama hari tidak hujan, jenis tanah, dan berbagai teknik konservasi tanah dan air terhadap pergerakan dan ketersediaan air dalam tanah. 19 DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. [BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga Bogor. 2013. Data Curah Hujan Harian Tahun 2013. Bogor (ID): BMKG. Foth, HD. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Endang DP, Dewi RL, dan Rahyuning T, penerjemah; Sri A, editor. Yogyakarta (ID) : UGM Pr. Terjemahan dari; Fundamental Soil Science. Ed ke-7. Ginting BH. 2007. Dinamika air dalam tanah dan hubunganya dengan sifat-sifat struktur tanah pada Latosol Semplak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Handayanto, Hairiah K. 2007. Biologi Tanah. Jakarta (ID): Pustaka Adipura. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): Pustaka Jaya. Hanks RJ, Ashcroft GL. 1986. Applied Soil Physics. New York (US): SpringerVerlag. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pr. Haridjaja O, Murtilaksono K, Sudarmo, Rachman L. 1990. Hidrologi Pertanian. Bogor (ID): IPB Pr. Hillel D. 1980. Fundamental of Soil Physics. New York (US): Academic Pr. Hillel D. 1998. Environmental of Soil Physics. San Diego (US): Academic Pr. Islami T, Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang (ID): IKIP Semarang Pr. Kartasapoetra AG. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha untuk Merehabilitasinya. Jakarta (ID): Bina Aksara. Lee R. 1980. Hidrologi Hutan. Terjemahan Forest Hidrology. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Murtilaksono K, Wahjunie ED. 2004. Hubungan ketersediaan air tanah dan sifatsifat dasar fisik tanah. J Tanah Lingk. 6:46-50. Rachman LM. 1992. Air Tanah dan Proses Pergerakanya. Bogor (ID): IPB Pr. Rachman LM, Wahjunie ED, Brata KR, Purwakusuma W, Murtilaksono K. 2013. Fisika Tanah Dasar. Dept ITSL. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Raja CP. 2009. Hantaran hidrolik jenuh dan kaitannya dengan beberapa sifat fisika tanah pada tegalan dan hutan bambu [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sitorus SRP, Haridjaja O, Brata KR. 1980. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Dept ITSL. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): IPB Pr. Tanner CB. 1981. Transpiration efficiency of potato. J Agron. 73:59-64. Troeh FR, Arthur H, Roy LD. 2004. Soil and Water Conservation for Productivity and Environmtntal protection. New Jersey (US): Upper Saddle River. 20 LAMPIRAN Lampiran 1 Kadar air berbagai pF di hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera pada berbagai kedalaman Penggunaan Lahan Kedalaman (cm) pF 0 1 2 2.54 …..% Volume…. 50.91 50.67 48.92 48.01 48.25 47.37 53.87 50.85 51.72 50.30 4.2 Hutan Sekunder 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 61.52 59.10 56.52 54.93 59.80 59.23 53.92 50.77 54.14 53.95 Kebun Campuran 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 56.71 55.18 55.97 57.68 57.38 55.61 47.17 49.37 45.74 44.63 54.56 46.41 47.08 44.06 42.76 51.30 46.06 45.23 42.92 42.08 42.14 40.88 40.97 35.04 33.72 Lahan Bera 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 57.19 59.15 57.21 59.02 59.81 51.05 47.74 49.14 54.10 54.30 45.87 43.74 44.11 47.45 49.90 45.12 43.30 43.60 45.73 48.94 38.66 37.50 38.20 38.86 39.22 36.18 37.95 34.35 37.14 32.07 Lampiran 2 Persamaan potensial matriks dengan goal and seek di Microsoft office excel di penggunaan lahan hutan sekunder, kebun campuran, dan lahan bera Penggunaan Lahan Hutan Sekunder Kebun Campuran Lahan Bera Kedalaman (cm) R2 Potensial Matriks 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 ( ) ( ) ( ) 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 ( ) ( ) 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) 0.94 0.98 0.98 0.95 0.93 0.83 0.60 0.95 0.82 0.98 0.80 0.89 0.74 0.94 0.92 21 Lampiran 3 Karakteristik fisik dan distribusi pori tanah pada berbagai penggunaan lahan Penggunaan Lahan Hutan Sekunder Kebun Campuran Lahan Bera Kedalaman BI BJP Porositas KL TLP RPDSC RPDC RPDL RPD RPAT RP mikro 10.85 14.49 36.18 (cm) 0-10 (g/cm3) 0.98 2.55 61.52 50.67 36.18 . . . . % volume . . . . 1.41 8.33 0.24 10-20 1.05 2.56 59.10 49.83 37.95 4.73 4.99 0.92 11.09 11.87 37.95 20-30 0.98 2.27 56.52 47.37 34.35 5.83 2.52 0.88 9.15 13.02 34.35 30-40 1.02 2.27 54.93 50.85 37.14 0.75 0.26 3.03 4.08 13.71 37.14 40-50 0.96 2.38 59.80 50.30 32.07 5.90 2.23 1.41 9.49 18.23 32.07 0-10 1.07 2.48 56.71 51.30 42.14 1.17 1.05 3.26 5.40 9.16 42.14 10-20 1.13 2.53 55.18 46.06 40.88 8.04 0.75 0.35 9.12 5.19 40.88 20-30 1.10 2.51 55.97 45.23 40.97 6.67 2.29 1.84 10.73 4.26 40.97 30-40 1.10 2.59 57.68 42.92 35.04 11.93 1.68 1.14 14.76 7.89 35.04 40-50 1.11 2.60 57.38 42.08 33.72 12.75 1.87 0.68 15.30 8.37 33.72 0-10 1.09 2.55 57.19 45.12 38.66 6.13 5.19 0.75 12.07 6.46 38.66 10-20 1.07 2.61 59.15 43.30 37.50 11.39 4.00 0.43 15.85 5.81 37.50 20-30 1.08 2.53 57.21 43.60 38.20 8.07 5.03 0.51 13.61 5.40 38.20 30-40 1.06 2.59 59.02 45.73 38.86 4.85 6.65 1.73 13.30 6.86 38.86 40-50 1.01 2.52 59.81 48.94 39.22 5.50 4.40 0.96 10.88 9.72 39.22 Keterangan : BI=Bobot Isi; BJP=Bobot Jenis Partikel; KL=Kapasitas Lapang; TLP=Titik Layu Permanen; RPDSC=Ruang Pori Drainase Sangat Cepat; RPDC=Ruang Pori Drainase Cepat; RPDL=Ruang Pori Drainase Lambat; RPAT=Ruang Pori Air Tersedia; RPD=Ruang Pori Drainase; RP mikro=Ruang Pori Mikro 22 Lampiran 4 Data curah hujan harian di Darmaga, Bogor DATA CURAH HUJAN (mm) Periode Mei 2013 - Februari 2014 Lokasi : Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor Lintang : 6.56˚ LS Bujur : 106.75˚ BT Elevasi : 207 m Tgl Mei '13 Jun '13 Jul '13 Agt '13 Sep '13 Okt '13 Nov '13 Des '13 Jan '14 Feb '14 1 _ 0,0 18,3 3,9 _ _ 1,5 _ 10,0 4,5 2 85,9 _ 1,9 0,7 _ _ 5,2 2,3 0,3 5,6 3 _ _ 12,0 26,3 _ 6,2 _ 0,2 0,9 29,6 4 0,0 _ 26,1 _ _ 2,2 1,2 53,8 0,0 41,5 5 67,0 1,1 12,6 34,4 4,8 _ 0,2 26,4 3,2 8,4 6 _ 1,0 0,5 _ 3,8 43,4 0,0 25,5 3,3 22,3 7 _ 1,0 _ 2,3 0,0 48,1 4,7 14,1 _ 1,4 8 5,0 _ _ 36,8 136,8 _ 12,3 _ 1,8 0,1 9 6,6 2,7 1,8 _ 5,7 0,4 1,3 2,5 36,8 27,4 10 11,7 0,8 49,3 _ 0,0 5,2 _ 20,2 _ 15,6 11 95,6 11,5 _ _ _ _ 8,3 97,4 9,2 4,5 12 73,0 4,3 92,7 2,6 _ _ 9,5 8,1 84,6 _ 13 0,1 0,5 0,0 _ _ 0,6 35,5 8,1 102,2 _ 14 _ 0,3 10,0 _ 45,9 0,0 46,1 5,0 10,0 _ 15 _ _ 0,0 _ 101,9 14,2 20,2 20,0 11,2 1,2 16 0,0 _ 11,6 _ 35,6 _ 19,2 8,2 29,6 _ 17 0,4 0,0 5,5 0,0 11,4 _ 3,3 17,2 12,0 2,5 18 29,1 0,2 1,9 11,3 51,8 _ 15,3 _ 103,3 0,3 19 _ 0,0 21,2 51,4 0,7 12,5 _ 4,1 42,8 _ 20 7,2 0,0 _ _ 16,6 12,6 _ 9,5 13,4 _ 21 _ _ 3,0 _ 0,3 4,0 0,0 3,7 47,1 13,5 22 0,0 0,0 43,1 _ 64,6 20,3 _ 3,0 44,8 29,0 23 0,0 _ 16,4 _ _ 36,7 _ 55,2 19,5 41,0 24 4,5 _ _ _ _ 60,2 _ 3,2 6,5 19,1 25 3,6 _ _ _ _ 0,3 _ _ 16,8 29,1 26 0,3 _ 3,0 _ 1,1 _ 1,1 6,4 _ 35,2 27 7,0 36,5 0,6 _ 10,6 34,5 0,7 5,6 0,8 4,1 28 4,6 2,3 6,8 _ _ 48,5 0,0 1,0 22,6 1,5 29 0,0 _ _ _ _ 56,9 0,0 _ 26,0 30 41,2 0,1 8,0 1,9 9,9 _ _ _ 37,9 31 23,5 13,8 86,7 10,0 5,4 _ Keterangan: ( _ ) Tidak ada hujan, (TTU) Curah hujan tidak terukur (0.0) Sumber : BMKG Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor (2013-2014) 23 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 20 April 1991. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bambang Setyo Utomo dan Dini Nurdiani. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2003 di SDN 08 Makasar, kemudian pada tahun 2006 menyelesaikan pendidikan di sekolah Menengah Pertama Negeri 81 Jakarta Timur. Penulis melanjutkan studinya ke Sekolah Menengah Atas Negeri 48 Jakarta Timur, dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa studinya penulis terlibat dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah dan berbagai kepanitiaan. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum fisika tanah, biologi tanah, dan pengantar ilmu tanah.