Artikel ilmiah Tema “ Politik dan Agama Buddha” MENUJU KEPEMIMPINAN YANG DEMOKRATIS MENURUT AJARAN BUDDHA OLEH: SACCA HANDIKA MENUJU KEPEMIMPINAN YANG DEMOKRATIS MENURUT AJARAN BUDDHA SACCA HANDIKA ABSTRAK Kepemimpinan yang demokratis di Indonesia sudah terlihat namun kesejahteran masyarakat Indonesia masih rendah. Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan yang ada belum mampu mengemban dan melaksanakan prinsip demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berdasarkan data kesejahteraan masyarakat Indonesia menunjukan masih rendah Pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai US$4.900, kesejahteraan masyarakat kita masih rendah karena baru menempati ranking ke126 di dunia. kepemimpinan yang ada seharusnya selalu mengedepankan aspirasi-aspirasi dari seluruh komponen masyarakat. Dengan mengedepankan aspirasi masyarakat, maka sebenarnya wujud kepemimpinan yang demokratis berujung pada kesejahteraan masyarakatnya. Sebagaimana yang telah dilakukan Buddha dalam memimpin para anggota sangha (kelompok) maupun umatnya. Buddha selalu memahami hal-hal yang dibutuhkan para siswanya kemudian beliau juga memberikan solusi pada para siswanya. Buddha menganjurkan para siswanya untuk menjalankan solusi atas permasalahan mereka hingga mereka berhasil mencapai kebahagiaan sementara itu Buddha terus mengawasi mereka hingga berhasil. Buddha memimpin tanpa adanya diskriminasi, peduli, selalu melindungi, mengindari kekerasan, menginginkan kedamaian serta dapat menjadi penengah ketika terjadi permasalahan didalam masyarakatnya dengan selalu mencegah maupun mengatasi hal-hal yang menimbulkan kekerasan dan penderitaan. Sebaiknya pemimpin saat ini juga menerapkan hal-hal yang telah diterapkan Buddha karena telah terbukti membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Kata Kunci: Menuju Kepemimpinan Yang Demokratis Menurut Ajaran Buddha PENDAHULUAN Penerapan sistem demokrasi di negara Indonesia menunjukan partisipasi politik yang sangat tinggi dari warga masyarakat. Sebagian besar warga negara telah berpartisipasi dalam proses politik, misalnya dalam proses pemilihan wakil-wakil rakyat (DPR) beberapa bulan yang lalu (9 April 2014). Masyarakat memiliki antusiasme tinggi dalam mendukung suksesnya pemilu yang digelar oleh komisi pemilihan umum. Masyarakat memberikan hak pilihnya dengan memilih para wakil rakyat. Partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014 pun lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya. Pengalaman-pengalaman proses demokrasi yang semacam ini telah membawa manfaat bagi masyarakat. Manfaatnya yaitu semakin membawa kecerdasan bagi masyarakat untuk berdemokrasi. Masyarakat dapat belajar banyak mengenai demokrasi. Selain itu masyarakat dapat memberikan aspirasinya kepada para pemimpin. Bagi pemimpin, mereka mengetahui kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya yang belum terpenuhi. Dengan 1 mengetahui kebutuhan masyarakatnya maka para pemimpin mengetahui tanggungjawabnya. Inilah nilai penting demokrasi. Demokrasi menjadi ajang komunikasi dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Perkembangan demokrasi di Indonesia semakin terlihat dengan adanya dua wacana cara berdemokrasi. Wacana yang pertama pemilihan pemerintah daerah melalui DPRD dan wacana yang kedua tetap dilaksanakan secara langsung tetapi serentak. Wacana-wacana ini menunjukan adanya perbaikan-perbaikan cara berdemokrasi di Indonesia agar menjadi semakin baik lagi (Budi Susilo Soepandji, Jum’at: 12 September 2014). Meskipun demokrasi sedang berkembang baik namun kesejahteran masyarakat Indonesia masih rendah. Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan yang ada belum mampu mengemban dan melaksanakan prinsip demokrasi yakni dari, oleh, dan untuk rakyat. Berdasarkan data kesejahteraan masyarakat Indonesia menunjukan masih rendah. Pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai US$4.900, kesejahteraan masyarakat kita masih rendah karena baru menempati ranking ke-126 di dunia, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang ada di peringkat 69, Thailand 92 dan Tiongkok di peringkat 93. Bahkan negara Indonesia masih di bawah Sri Lanka yang menempati ranking 116 (Irman Gusman, 2013. Berita satu.com). Pelaksanaan kepemimpinan yang demokratis di Indonesia belum optimal karena belum terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai wujud keberhasilan kepemimpinan yang demokratis. Oleh karena itu Penulis ingin mengkaji kepemimpinan yang demokratis menurut ajaran Buddha dari berbagai literatur dan menentukan judul artikel berjudul kepemimpinan yang demokratis menurut ajaran Buddha. Bagian inti Kepemimpinan Yang Demokratis Kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi anggota untuk mencapai tujuan organisasi secara sukarela. Kepemimpinan menekankan pada kemampuan pemimpin yang tidak memaksa dalam menggerakkan anggota organisasi agar melakukan pekerjaan atau kegiatan yang terarah (Robert Kreither dan Angelo Kinicki dalam Abdul Azis Wahab, 2011: 82). Kepemimpinan di negara Indonesia menerapkan sistem kepemimpinan demokrasi. Demokrasi adalah pemerintahan rakyat atau sistem pemerintahan dalam negara kekuasaannya berada ditangan rakyat. Rakyatlah yang memegang peranan untuk menentukan seluruh proses penyelenggaraan negara. Abraham Lincoln dalam Albert, et.al. 2 (2007: 34) merumuskan sistem pemerintahan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan kata lain, demokrasi adalah pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang diberi wewenang. Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang tidak menggunakan unsur paksaan atau tidak bersifat otoriter dalam memimpin suatau organisasi. Namun berpegang teguh pada prinsip mendengarkan dan menjalankan aspirasi masyarakat, karena kepemimpinan yang demokratis selalu mengedepankan aspirasi-aspirasi dari seluruh komponen masyarakat. Dengan mengedepankan aspirasi masyarakat, maka sebenarnya wujud kepemimpinan yang demokratis berujung pada kesejahteraan masyarakatnya. Menuju Kepemimpinan Yang demokratis menurut ajaran Buddha Kepemimpinan yang demokratis dalam ajaran Buddha memiliki kesesuaian dengan pengertian secara umum. Kepemimpinan yang demokratis menurut ajaran Buddha terlihat dari cara Buddha memimpin para anggota sangha (kelompok) maupun umatnya. Buddha dalam memimpin para anggota sangha (kelompok) maupun umatnya berlandasan pada cinta kasih, dengan tujuan kebahagiaan semua mahluk hidup. Buddha dalam memimpin menggunakan prinsip-prinsip berikut ini: prinsip murah hati, prinsip moralitas, prinsip rela berkorban, prinsip tulus hati dan bersih, perinsip ramah dan sopan santun, prinsip kesederhanaan, prinsip bebas dari kebencian, keinginan jahat, dan tidak pemarah, prinsip tanpa kekerasan dan kekejaman, prinsip kesabaran, serta tidak menimbulkan atau mencari pertentangan (Nandiya Sutta, dalam Cowel 2005: 173-174). Prinsip kepemimpinan otoriter juga tidak digunakan oleh Buddha. Hal ini dapat kita pahami dengan keterbukaan beliau seperti pada saat Buddha menganjurkan agar para siswa tidak hanya mendengarkan perintah-perintah atau ajaran-ajaran Buddha saja, namun Buddha juga menganjurkan mereka untuk mengkritisi segala perintah tersebut. Mereka dianjurkan untuk membuktikan kebenaran-kebenaranya terlebih dahulu (Kalama Sutta, dalam Soma Thera, et.al. 2010:14). Sebaiknya pemimpin saat ini juga harus memiliki prinsip memimpin sebagaimana dimiliki oleh Buddha. Tanpa menjalankan prinsip-prinsip tersebut mustahil kepemimpinan dapat menjadi demokratis karena hal ini merupakan karakter yang harus dimiliki pemimpin yang demokratis sebagaimana diungkapkan juga oleh Albert, et.al (2007: 34) bahwa pemimpin harus memiliki karakter-karakter yang baik. Buddha bukan hanya memiliki pribadi yang baik namun juga menjalankan kepemimpinannya dengan menyesuaikan kebutuhan para anggotanya. Buddha selalu 3 memahami hal-hal yang dibutuhkan para siswanya kemudian beliau juga memberikan solusi pada para siswanya. Buddha menganjurkan para siswanya untuk menjalankan solusi atas permasalahan mereka hingga mereka berhasil mencapai kebahagiaan sementara itu Buddha terus mengawasi mereka hingga berhasil (Davids Rhys, 2002: 220). Buddha memimpin tanpa adanya diskriminasi. Beliau tidak membeda-bedakan satu sama lain. Prinsip Beliau adalah masyarakatnya berbahagia dan kebahagiaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh semua orang yang perlu diwujudkan, sehingga Beliau memantau secara serius kebutuhan mereka dan menganjurkan mereka untuk menjalankan beberapa anjuran sebagai solusi atas permasalahan yang dimiliki ( Jotidhammo & Rudi Ananda limiadi, 2000: 43). Buddha juga pemimpin yang peduli, selalu melindungi, mengindari kekerasan, menginginkan kedamaian serta dapat menjadi penengah ketika terjadi permasalahan didalam masyarakatnya, sehingga Beliau selalu mencegah maupun mengatasi hal-hal yang menimbulkan kekerasan dan penderitaan. Hal ini terbukti dengan Buddha mengagalkan peperangan antara Suku Sakya dan Suku Koliya ketika memperebutkan air Sungai Rohini. Buddha menganjurkan mereka untuk mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan kepada kedua suku tersebut, sehingga perang pun tidak terjadi (Sumedha Vidyadharma, 1980: 134). Karakter kepemimpinan yang diterapkan oleh Buddha merupakan kepemimpinan demokratis yang berhasil. Hal ini dapat dibuktikan adanya kesejahteraan para bhikkhu maupun umat awam pada masa itu. Buddha mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan batin para siswanya dengan menyesuaikan kemampuan masing-masing sehingga mereka mencapai tingkat kesucian (kebahagiaan). Contohnya Buddha mampu memberi dan menunjukan cara pada culapantaka yang bodoh sehingga mencapai tingkat kesucian arahat (kebahagian). Pemimpin saat ini seharusnya juga dapat memahami kebutuhan masyarakat, tetapi bukan hanya sampai pada memahami saja, namun juga memberikan kebutuhan-kebutuhan tersebut agar masyarakat sejahtera (bahagia). Selain itu pemimpin juga harus menghindari diskriminasi sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan. Pemimpin juga harus peduli, selalu melindungi, mengindari kekerasan, menginginkan kedamaian serta dapat menjadi penengah ketika terjadi permasalahan didalam masyarakatnya dengan selalu mencegah maupun mengatasi hal-hal yang menimbulkan kekerasan dan penderitaan. Pemimpin harus ada manakala dibutuhkan oleh rakyatnya, artinya pemimpin juga harus bisa berdiri 4 ditengah sebagai penengah, berdiri didepan sebagai tauladan yang baik, dan dibelakang sebagai pendorong masyarakatnya lebih baik lagi. Kesimpulan Kepemimpinan yang demokratis menurut ajaran Buddha merupakan kepemimpinan yang menggunakan prinsip-prinsip memimpin baik, pemimpin yang mampu berdiri didepan untuk memberi contoh perilaku baik, mampu berdiri ditengah sebagai penengah masalah, mampu berdiri dibelakang sebagai pendorong masyarakatnya menuju kesejahteraan. Sehingga pemimpin yang demokratis harus memberikan kesempatan serta kebebasan bagi rakyatnya untuk menyuarakan kepentingan, menyampaikan pendapat, ide, gagasan yang mereka miliki dengan cara musyawarah dan mufakat. Bukan hanya sebatas itu, namun aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk solusi-solusi yang membawa pada penyelesaian permasalahan maupun kebutuhan. Menuju kepemimpinan yang demokratis maka menuju pada penggunaan model kepemimpinan Buddha sebagaimana telah terbukti membawa pada kesejahteraan. Daftar Pustaka Albert Ag. Wuarmanuk. 2007. Pendidikan kewarganegaraan. Bekasi: Galaxy Puspa Mega. Abdul Azis Wahab. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung : Alvabeta Budi Susilo Soepandji. Kompas, 12 September 2014. Diakses pada 30 Oktober 2014. Cowel. 2005. The Jataka or Storis of The Buddha’s Former Birth IV & V (cerita Jataka IV & V). Oxford: The Pali text Society. Davids Rhys. 2002. Sacred Books of The Buddhist. Oxford: The Pali Text Society. Irman Gusman. 2014. Kesejahteraan indonesia masih rendah. www.beritasatu.com. Diakses pada 30 Oktober 2014. Jotidhammo & Rudi Ananda Limiadi. 2000. Panduan Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa. Soma Thera. 2011. Kalama Sutta. Yogyakarta: Vidyasena Production Vihara Vdyaloka.. Sumedha Vidyadharma. 1980. Dhamma Sari. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda. 5