dan Humaniora - AIFIS

advertisement
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Ultima Humaniora merupakan gabungan dua konsep kunci yaitu Ultima yang berarti “dalam, berbobot, bernilai”, dan Humaniora (Latin) yang berarti “ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan
membuat manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya.” Secara umum, yang tergolong dalam rumpun
ilmu humaniora adalah: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian
bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi.
Jurnal Ultima Humaniora merupakan jurnal ilmiah interdisipliner yang menghimpun gagasan, dan riset
terkini di bidang Pancasila, kewarganegaraan, religiositas (agama), bahasa Indonesia, bahasa Inggris
sebagai bahasa asing (EFL), pengembangan metode belajar serta mengajar yang efektif di Perguruan
Tinggi, kepemimpinan dan kewirausahaan. Jurnal ini diterbitkan Universitas Multimedia Nusantara, di
bawah kordinasi Departemen Mata Kuliah Umum (MKU), secara semi-annual atau dua kali dalam setahun, yaitu pada Maret dan September.
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, dan siapapun yang berminat untuk menyumbangkan tulisan mengenai topik umum rumpun ilmu humaniora maupun topik khusus Jurnal Ultima
Humaniora. Artikel yang dimuat dalam Jurnal Ultima Humaniora tidak selalu mencerminkan pandang­
an/pendapat redaksi.
Pelindung :
Penanggungjawab
:
Pemimpin Umum
:
Mitra Bestari
:
Ketua Dewan Redaksi : Dewan Redaksi
:
Tata Usaha
:
Sirkulasi dan Distribusi : Keuangan
:
SUSUNAN REDAKSI
Dr. Ninok Leksono
Hira Meidia, Ph. D.
Dr. Ir. P. M. Winarno, M. Kom.
Dr. Max Lane (College of Arts, Victoria University, Australia)
Dominggus Elcid Li, Ph. D. (Founding Executive Director of Institute of
Resources Governance & Social Change)
Samsul Maarif Mujiharto (Ph. D. Candidate, Charles Sturt University,
Australia)
Dr. Otto Gusti Madung (STFK Ledalero, Maumere, Flores)
Hendar Putranto, M. Hum.
Niknik Kuntarto, M. Hum., Johannes Langgar Billy, M. M.,
M. V. Santi Hendrawati, M. Hum., Qusthan Firdaus, M. A.
Canggih G. Farunik, M. Fil., Alexander Aur, M. Hum.
Sularmin
I Made Gede Suteja, S. E., Regina Fika , S. E.
Alamat Redaksi Jurnal Ultima Humaniora:
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN)
Gedung Rektorat Lantai 3
Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng,
Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333
Telp + 6221 5422 0808 ext. 3622; Faks: (021) 5422 0800
00-daftarisi.indd 1
4/24/2014 7:12:46 AM
ii
VOL II, 2014
Daftar Isi
DAFTAR ISI
Volume II, Nomor 1
Pengantar Redaksi ............................................................................................................
iii
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam
Demokrasi
ADITYA PERMANA..................................................................................................
1
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral:
Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos
YOGIE PRANOWO...................................................................................................
14
A Platonian Democracy
QUSTHAN FIRDAUS................................................................................................
30
Pemilu 2014:
Kartelisasi Elite Versus Representasi Publik
WASISTO RAHARJO JATI........................................................................................
45
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua:
Orang Papua dalam Pandangan Negara
JOHANES SUPRIYONO...........................................................................................
59
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama:
Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di Indonesia dengan Perspektif
Filsafat Politik Jürgen Habermas
ALEXANDER AUR....................................................................................................
79
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia:
Sebuah Kritik terhadap Artikel “Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0”
CANGGIH GUMANKY FARUNIK........................................................................
98
Pancasila sebagai Etika Politik di Indonesia
SURAJIYO ..................................................................................................................
111
Kekerasan Media:
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR............................................................................
124
[Resensi Buku]
Bukan Sekedar Biografi: Menyelami Sisi Humanis Driyarkara
JUMAR SLAMET........................................................................................................
132
00-daftarisi.indd 2
4/24/2014 7:12:46 AM
iii
Pengantar Redaksi
KATA PENGANTAR
Salam kemanusiaan!
Sidang pembaca yang budiman, mari kita cermati daftar kegiatan politisi berikut ini1:
1. Blusukan ke pasar tradisional,
2. Kandidat presiden, CDE, makan di angkringan Tanah Abang,
3. HIJ menuju kampus sebuah universitas di Depok dengan menumpang kereta rel listrik Commuter Line,
4. Seorang Ketua Umum Partai, MNO, mengunjungi korban banjir di Kalibata, JakSel,
guna menyerahkan bantuan untuk para korban banjir serta berdialog dengan warga,
5. Seorang anggota legislatif, XYZ, memilih bermalam di rumah warga miskin milik
ABC, buruh tani berusia 69 tahun, ketimbang di hotel yang nyaman.
6. Dengan menumpang ojek untuk sampai ke lokasi panen raya, seorang calon presiden
dari partai GHI, bernama RST, disambut antusias ribuan petani dan warga sekitar
yang ingin bersalaman dan menyapanya.
Daftar tersebut di atas masih bisa ditambahi sampai mata kita berair membacanya.
Pertanyaannya, inikah wajah “sejati” politik di Indonesia sebagaimana dilakoni para elitnya? Apa pesan yang bisa kita tangkap di sana? Bahwa tindakan politis bukanlah sekedar umbar gagasan, dan tarung wacana namun juga pandai beraksi di depan kamera
guna merebut simpati rakyat, dan menaikkan citra serta elektabilitas?
“Politik kita adalah politik pencitraan. Kita punya tugas, bagaimana wacana tidak
sekadar wacana kamera. (Bagaimana) Dia punya isi. Saya kira substansinya ada di situ.
Bagaimana nasionalisme dalam arus politik kamera bisa dilakukan dengan konkret,”
demikian ditegaskan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw,
dalam diskusi bertajuk “Nasionalisme di Tengah Krisis Kepemimpinan”, di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (18 Agustus 2013) seperti dilaporkan oleh beritasatu.com (http://
www.beritasatu.com/pemilu-2014/132392-pemilih-harus-bisa-ambil-bagian-di-tengahpolitik-pencitraan.html)
1 Dikutip dengan sedikit modifikasi dan penyederhanaan dari http://politik.kompasiana.com/2012/05/13/kamus-politik-pencitra­
an-indonesia-456901.html. Demi alasan kesantunan dan menjaga nama baik, politikus yang dijadikan contoh dalam pemerian
singkat ini sengaja disamarkan.
00-daftarisi.indd3
4/24/2014 7:12:46 AM
iv
Pengantar Redaksi
VOL II, 2014
Dalam bukunya Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas (2005), Yasraf
Amir Piliang meratapi hilangnya gaung perdebatan ideologi yang berkelas yang menjadi ciri khas ranah politik (political realm) di awal abad ke-20. Alih-alih bertarung secara
ideologis dengan argumentasi-argumentasi yang ketat dan jernih, dipayungi visi agung
masyarakat serta negara yang mau dibangun, para politisi kita justru menguatkan soal
citra dan pencitraan dalam ranah politik kontemporer Indonesia pasca reformasi. Ketika
pragmatisme politik sudah mendaulat diri dengan “jatah” kursi dan jatah “menteri” yang
diperebutkan, dan diskursus politik tidak lebih dari sekedar perhelatan transaksio­nal
seperti dagang sapi, tidaklah mengherankan jika pola-pola komunikasi elit politik pun
mengalami pergeseran yang cukup signifikan, untuk tidak mengatakan “dekadensi”.
Hadi Saputra (dalam http://www.hadi-saputra.com/2011/10/gizi-buruk-politik-citra.
html) dengan cerdas merangkum fenomena politik pencitraan itu sebagai berikut, “Komunikasi politik elite lebih menggunakan strategi komunikasi politik berorientasi massa
(mass political communication), yang bersifat emosional ketimbang menggunakan strategi
komunikasi politik yang berorientasi warga (civil political communication) yang lebih rasional. Karena itulah politik di era mediasi menggunakan trik, manajemen, dan bahkan
manipulasi citra untuk membentuk persepsi publik atas suatu isu. Iklan politik lebih
berorientasi citra (image-oriented), daripada berorientasi persoalan (issue oriented). Citra
lebih penting dari substansi. Citra telah menggantikan pengalaman dan wacana sebagai
cara untuk memahami dunia sosial. Kini kita hidup dalam dunia citra yang spektakuler
dan menakjubkan.”
Dalam rangka menyambut, dan mempersiapkan perhelatan demokrasi terbesar yaitu
Pemilu Legislatif pada 9 April 2014 dan Pemilu untuk memilih calon Presiden dan Wakil
Presiden pada 9 Juli 2014, Jurnal Ultima Humaniora edisi ketiga (Vol. II, No. 1, Maret
2014), mengangkat tema besar “Politik Pencitraan dan PEMILU: Multiplisitas Perspektif”
dengan menyajikan sepuluh naskah berbobot berikut ini. Enam naskah pertama merupakan makalah yang mengupas tema utama jurnal. Tiga naskah berikutnya merupakan
makalah non-tematis. Tulisan yang dijadikan penutup jurnal kali ini merupakan resensi
buku.
Pemilu sebagai “pencitraan demokrasi” dan metode serta siasat menghadapinya ...
Tulisan pertama berjudul “Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Wa­
tak Totaliter dalam Demokrasi” disumbangkan oleh Aditya Permana. Dalam tulisan ini,
Aditya menguraikan pandangan bahwa di dalam masyarakat demokrasi, pencitraan tokoh politik diwujudkan dalam politik praktis yang menonjolkan aspek figural, dan cen­
derung abai pada prestasi yang jelas. Pencitraan melalui simulasi tanda (model Baudrillard) dilakukan karena bentuk-bentuk kebijakan represif dan totaliter à la Machiavelli
sudah tidak mungkin lagi diterapkan dalam masyarakat “demokrasi” kontemporer. De­
ngan menggunakan alur pemikiran Claude Lefort, Aditya berargumen bahwa ba­ngunan
demokrasi yang bertumpu pada aspek pencitraan ketokohan tak lain merupakan perubahan bentuk (mutasi) dari totalitarianisme yang menjadi watak zaman monarkis, dan
hal ini tidak patut dipertahankan.
00-daftarisi.indd 4
4/24/2014 7:12:46 AM
Pengantar Redaksi
v
Tulisan kedua yang disajikan Yogie Pranowo, “Peran Argumentum ad Hominem dalam
Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos”, secara cerdik mengangkat
kembali pemikiran filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, lewat genealogi moralnya yang
berlandaskan pada argumentum ad hominem. Yogie secara imajinatif meminjam pemikiran
Nietzsche untuk “menasehati” kita para calon pencoblos di Pemilu 2014 agar mampu
menilai kualitas para calon pemimpin Indonesia dengan tepat lewat metode ad hominem
yang memiliki peran sentral dalam genealogi moral Nietzsche, yakni sebagai metode untuk mendiagnosis pandangan manusia terhadap realitas secara lebih mendalam. Lewat
metode ad hominem Nietzsche, kita diingatkan bahwa tak selamanya seorang calon pemimpin yang terlihat mengumbar janji, atau yang terlihat baik, pada dasarnya sungguh
orang baik, sebab seringkali apa yang tertangkap indera adalah tipuan, dan karena itu,
perlu dilampaui.
“Pesta demokrasi”: dalam tegangan antara yang ideal dan yang faktual...
“A Platonian Democracy” yang ditulis Qusthan Abqary merupakan tulisan ketiga yang
mengajak sidang pembaca untuk kembali menengok ke belakang guna menemukan
harta kekayaan intelektual dari khazanah Yunani klasik. Qusthan mengusulkan revisi
terhadap praktik demokrasi di Indonesia, dengan menggunakan kritik Plato terhadap
demokrasi dan rekomendasinya terhadap filosof-pemimpin, sebagai landasan teoritis
bagi upaya untuk merevisi praktik demokrasi, khususnya untuk memilih calon pre­siden
di Indonesia. Jika kritik Plato terhadap demokrasi, dan mekanisme perekrutan 12 calon
pemimpin nasional dapat dijustifikasi, maka sebuah demokrasi model Plato barangkali
dapat diterima serta dipraktikkan secara realistis. Dengan kata lain, kritik Plato justru
dapat digunakan secara konstruktif untuk membangun serta mengembangkan demokrasi di Indonesia.
Wasisto Raharjo Jati dalam makalahnya “Pemilu 2014: Kartelisasi Elite versus Representasi Publik” mendaratkan kita, para pembaca, pada konteks, dan kekinian Pemilu
di Indonesia yang historis – komparatif. Dengan menggunakan data dan analisis Pemilu
2004 dan 2009 yang disampaikan dalam bentuk tabel, Wasisto mencelikkan mata kita
bahwa Pemilu 2014 kali ini bisa jadi merupakan kontinuitas dari pola oligarkis yang sudah melembaga, dan mengurat-akar, namun bisa juga menjadi momentum publik untuk
memperbaiki demokrasi. Pemilu di Indonesia, dalam sejarahnya, terutama sejak dimulainya era Reformasi, sudah senantiasa meletak sebagai pesta demokrasi yang dilematis
antara pertarungan kuasa representasi dengan elite. Menurutnya, Pemilu 2014 menjadi
determinan utama untuk mengukur tingkat kecerdasan publik maupun juga mengukur
memudarnya elitisme dalam ranah publik sebagai demos.
Yang terserak dan termarjinalkan dari “Pesta Demokrasi” ...
Dua tulisan utama berikutnya, Supriyono dengan “Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara” dan Alex Aur dengan
“Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama: Memotret Deliberasi Politik Berbasis
Agama di Indonesia dengan Perspektif Filsafat Politik Jürgen Habermas” membawa kita
pada tegangan yang tidak mudah dengan dua klaim sejarah pembentukan nasib sekali­
00-daftarisi.indd5
4/24/2014 7:12:46 AM
vi
Pengantar Redaksi
VOL II, 2014
gus identitas negara-bangsa Indonesia yang sarat akan manipulasi, dan konflik ideologis
maupun pertempuran berdarah.
Tulisan Supriyono mempersoalkan klaim “pembangunan di Papua” oleh pemerintah Indonesia yang nyatanya malah membuat orang-orang Papua mengalami praktik
peminggiran, dan diskriminasi secara sistematis lewat tangan militer, dan muslihat meja
perundingan. Bagi orang Papua, pembangunan didapati sebagai sebuah paradoks. Alihalih mendudukkan mereka di pusat proses, orang Papua justru berada di pinggir arena. Cita-cita mulia “pembangunan sebagai pemberadaban” justru dialami orang Papua
menjadi “perusakan sebagai dalih pe-liyan-an identitas, dan perampasan hak untuk menentukan nasib sendiri.”
Sementara itu, tulisan Alex Aur mengupas secara jernih gejala eskalasi konflik antara
agama dengan negara hukum demokratis yang urat-akarnya (ternyata!) sudah terpancang sejak deliberasi awal dari para bapak pendiri bangsa, utamanya menjelang pengesahan UUD 1945, yang, atas prakarsa Muhammad Hatta, menghapuskan frasa “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dari sila pertama Pancasila dan
juga selama rezim Orde Baru yang menerapkan depolitisasi, dan deideologisasi agama
sebagai rekayasa politik untuk melemahkan peran politik agama. Alex Aur menyaran­
kan agar pengandaian-pengandaian metafisik agama harus diuji dengan rasio sekuler,
supaya agama tidak menjadi horor sekaligus teror bagi negara hukum demokratis.
Membandingkan “Pesta Demokrasi”: Persona Pemimpin dan Pancasila sebagai Etika
Politik...
Canggih G. Farunik dalam makalahnya “Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Artikel ‘Chilean Socialism 1: Indonesian
Facism 0’” mencoba membandingkan Soeharto dan Pinochet sebagai tokoh pemimpin
kharismatis Indonesia dan Chili dari masa lalu, dengan segala kelebihan dan kekurang­
annya. Dengan bertolak dari kritik terhadap artikel yang ditulis Andre Vltchek, yang
menyebutkan bahwa rakyat Indonesia semata-mata bodoh, dan tidak peduli terhadap
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Soeharto, hal mana tidak sepenuhnya benar,
Canggih membangun analisisnya. Menurutnya, kemampuan Soeharto dalam menampilkan persona yang berbeda dari pandangan seorang fasis serta kuatnya pencitraan yang
dilakukan olehnya dan tim suksesnya, berhasil menggiring pandangan umum bahwa
sistem Soeharto masih tetap bertahan, meskipun ia sudah tidak lagi menjabat sebagai
presiden Indonesia. Hasil pencitraan Soeharto sebagai seorang pahlawan bangsa yang
tegas namun tetap merakyat membuatnya dianggap lebih layak oleh rakyat Indonesia
ketika itu, daripada seorang pemimpin yang demokratis, untuk memimpin bangsa Indonesia menuju tahap kemajuan, dan kesejahteraan yang sulit diulangi oleh penerusnya.
Meskipun tidak bisa dikatakan membahas Pemilu 2014 atau politik pencitraan secara
langsung, makalah Surajiyo “Pancasila sebagai Etika Politik di Indonesia” dapat dilihat
sebagai penjangkaran politik di Indonesia dalam dasar filosofis dan ideologi resmi NKRI,
yaitu Pancasila. Tentu Pancasila di sini tidak melulu dilihat secara normatif ideal, namun
lebih sebagai etika politik yang lebih praktis, yang menuntut agar kekuasaan dalam ne­
00-daftarisi.indd 6
4/24/2014 7:12:46 AM
Pengantar Redaksi
vii
gara dijalankan sesuai dengan: asas legalitas, disahkan, dan dijalankan secara demokratis, serta dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral.
Yang tersirat dari “Pesta Demokrasi”: Kekerasan Media dan Penyelamatan Republik
Tercinta...
Eka Nada Shofa Alkhajar dalam tulisannya yang berjudul “Kekerasan Media: Kapitalis­
me, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan” mewanti-wanti akan bahaya pendangkalan kemanusiaan yang terpapar lewat tayangan bermuatan kekerasan di media cetak,
terlebih elektronik. Eka menyarankan agar para pelaku media harus mahir berikhtiar
untuk berhenti menampilkan kekerasan baik di tayangan televisi maupun film meng­
ingat keburukan-keburukannya terhadap pembentukan karakter bangsa, khususnya
anak-anak dan generasi muda.
Jumar Slamet dengan resensi buku “Driyarkara Si Jenthu: Napak Tilas Filsuf Pendidik (1913-1967)” mengingatkan kita akan pentingnya role model dalam hal berpikir, berpolitik dan bernegara. Krisis panutan tokoh dan kepemimpinan yang dialami Indonesia
pasca-lengsernya rezim Soeharto dan Orde Baru bisa saja diselamatkan jika kita mau
mengamini bersama Romo Driyarkara bahwa meskipun “Republik Indonesia dapat dilenyapkan, dikuasai, atau dijadikan apapun, akan tetapi Republik sebagai semangat masihlah tetap, dan akan terus melahirkan diri lagi demi negara yang merdeka.”
Akhirul kata membalut frasa, selamat membaca, merenung, dan berpesta demokrasi!
Medio April 2014,
Hendar Putranto, M. Hum.
Ketua Dewan Redaksi
00-daftarisi.indd 7
4/24/2014 7:12:46 AM
00-daftarisi.indd 8
4/24/2014 7:12:46 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 1-13
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai
Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
ADITYA PERMANA
Dosen Tidak Tetap di Universitas Bina Nusantara dan Surya University
Surel: [email protected]
Diterima: 27 Februari 2014
Disetujui: 27 Maret 2014
ABSTRACT
Claude Lefort (1924-2010) stated that the relation among the “ruler” and the “ruled”, be it totalitarianism
or democratic society, originated from an institutionalized conflict. This ontological conflict, or “the political”, is exactly the condition of possibility or the ontological ground for the being of society and the politics
itself. Through Lacanian insight, Lefort stated that democracy is a mutation or change of form of society
that happened in symbolic level. But this mutation tends to be merely a shift in singularity of power from
the monarch to the people. Consequently, democracy still inherits totalitarian characters. These characters
reserve a big risk. In the context of political imaging implemented by current politicians, mutation of symbolic level in mechanism of exercise of power in democracy is instead reserving the risk of society’s disintegration. The reason behind this is that democracy exercises the logic of otherization which tends to divide
and categorize one as either on the inside or outside a certain identity displayed as quasi-representation of
people.
Keywords: democracy, totalitarian, (political) imaging, “the political”, mutation, symbolic level
“For if politics was identified with evil and tyranny and understood
in opposition to philosophy’s concern with the good and moral reasoning,
then reason itself would have no actuality within human co-existence,
it would be enclosed ‘within nihilistic moralism’.”
(Paul Ricoeur, “The Political Paradox”, 1965: 249)
Pendahuluan
Istilah “pencitraan” dalam dunia politik
merujuk pada adanya kesenjangan antara
apa yang ditampakkan oleh seorang politikus, dan apa yang sebenarnya dia lakukan (atau tidak dia lakukan). Pencitraan
diri dibutuhkan untuk memberikan kesan
yang mendorong orang-orang untuk mempercayai apa yang ditampilkan. Dalam
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 1
pemikiran seorang realis politik abad-16,
Niccolò Machiavelli merekomendasikan
bahwa seorang pangeran (il Principe) atau
pe­nguasa perlu menggunakan virtù-nya
untuk memperoleh kekuasaan, dan me­
ngetahui bagaimana cara paling efektif
dalam mempertahankannya – meskipun
itu ber­arti harus memelintir agama, moralitas, atau bahkan menggunakan cara-
4/24/2014 7:48:25 AM
2
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
cara represif sebagai instrumennya. Bagi
Machiavelli, yang terpenting bukanlah
kualitas pribadi sang penguasa – meski
jika memiliki kuali­tas-kualitas kardinal
lebih diutamakan – melainkan bagaimana
cara pe­nguasa “menampakkan dirinya” (Machiavelli, 1961: 101). Pada masa kontemporer, Jean Baudrillard mempertajam kritik
tentang pencitraan dengan mengajukan
konsep simulacrum, yakni citraan-citraan
(images) yang dianggap sebagai realitas,
meski tidak memiliki acuan pada realitas itu sendiri. Dalam simulacrum, yang
dipenting­kan dalam pencitra­an adalah
citraan itu sendiri, kemasan, kulit, bungkus, atau medium pesannya, sedangkan
isi pesan dikaburkan, digelapkan, dibelokkan, ditutupi secara luar biasa atau bahkan
diabaikan (Baudrillard, 1983: 32). Dengan
demikian, makna kata “pencitraan” seolah
menjadi identik dengan “rekayasa” (mani­
pulation) atau “pengaburan” (obscurity).
Rakyat Indonesia tentu tidak hidup
dalam zaman monarki seperti masa hidup Machiavelli. Namun mentalitas “demokrasi” yang diterapkan di Indonesia
tampaknya masih sukar diceraikan dengan ketergantungan pada kepemimpinan
kharismatik – atau bahkan mitos Ratu
Adil warisan zaman kerajaan monarkistik;
serta ditambah dengan belum berjalannya
exercise of power secara efisien, tertib, dan
rasional. Tulisan sederhana ini akan membahas aspek pencitraan tokoh-tokoh politik tersebut dalam kaitannya dengan relasi
antara penguasa dan yang dikuasai dalam
masyarakat demokratis. Dalam masyarakat demokrasi, pencitraan itu sendiri diwujudkan atau ditubuhkan (embodied) dalam
politik praktis yang menonjolkan aspek
figural, dan cenderung abai pada prestasi
yang jelas. Pencitraan melalui simulasi tanda – dalam pengertian model Baudrillard –
dilakukan karena bentuk-bentuk kebijakan
represif dan totaliter seperti dibayangkan
dan di­sarankan Machiavelli sudah tidak
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 2
VOL II, 2014
mungkin lagi diterapkan dalam masyarakat “demokrasi” dewasa ini. Namun penulis akan berargumentasi bahwa demokrasi
yang bertumpu pada aspek pencitraan ketokohan tak lain merupakan perubahan
bentuk (mutasi) dari totalitarianisme yang
menjadi watak zaman monarkis. Penulis
akan menyoroti permasalahan ini dengan
menggunakan pemikiran Claude Lefort
(1924-2010), seorang pemikir politik dan
sosiolog Prancis kontemporer.
1. Kelupaan akan “Yang Politis” (The
Political [le politique])
Pemikiran Lefort mengenai demokrasi tidak dapat dipisahkan dari gagasannya tentang pembedaan antara “politik” (politics
[la politique]) dan “yang politis” (the political
[le politique]). Pembedaan antara “politik”
dan “yang politis” pertama kali muncul tahun 1956 melalui tulisan Paul Ricoeur, “The
Political Paradox”.
“If politics refers to the use of power (the struggle
to found and preserve a political association and
make decisions on behalf of all), for Ricoeur the political refers to the self-representation of the polity
as a rational association of free and equal members.
Since the political only emerges through politics,
conversely, this gives rise to a paradox: ‘the greatest
evil adheres to the greatest rationality’” (Ricoeur
dalam Schaap, 2013: 2).
Paradoks ini menjadi locus pembedaan
antara dua “ranah” tersebut. Pemikiran
Lefort mengenai “yang politis” juga berada dalam tegangan paradoks ini. Apa
itu “yang politis” bagi Lefort? Untuk mudahnya kita simak penafsiran SteinmetzJenkins berikut,
“The political (le politique) became the popular
term to describe the notion of a symbolic form that
institutes society but is yet not equivalent with society itself…[…] The political for Lefort is the form
and means of societal institution. Put differently,
the political is the flesh of the world that simultaneously appears and is occulted” (Steinmetz-Jenkins, 2009: 102-105).
4/24/2014 7:48:25 AM
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
Bagaimana memahami maksud Steinmetz-Jenkins bahwa Lefort mengatakan
“yang politis” merupakan bentuk simbolis
yang menyusun masyarakat namun tidak
ekuivalen dengan masyarakat itu sendiri?
Untuk memahami maksud Lefort tentang
“yang politis”, kita dapat mengingat kembali ide pemisahan antara sains politik (ilmu-ilmu partikular yang mengkaji tentang
politik) dan filsafat politik. Menurutnya,
untuk menafsirkan apa itu “yang politis”
kita mesti memisahkan diri dengan sudut
pandang umum sekaligus memisahkan
diri dari sains politik dan sosiologi politik
(Lefort, 1988: 11). Sains politik tidak dapat
melihat perbedaan antara politik dan
“yang politis” oleh karena “hasrat objekti­
vitasnya” (Lefort, 1988: 12).
Lefort mendaku bahwa hasrat akan
objektivitas membuat seorang ilmuwan
politik melakukan pemisahan (separation)
antara “subjek yang mengkaji” dan “objek yang dikaji” agar netral, serta menghindari penilaian (judgment) dan sekedar
pendapat (mere opinion). Namun risikonya
si ilmuwan terpisah (detached) atau berjarak
dari kehidupan sosial yang nyata. Sesuai
tafsiran Marchart, bagi Lefort “ideologi”
saintifik mustahil menjaga netralitas karena objek itu sendiri sudah dilekati makna
(Marchart, 2007: 87). Lefort mengatakan
bahwa dengan bersikap objektif dan netral,
ideologi sains secara sistematis
“…deprives the subject of the means to grasp an
experience generated and ordered by an implicit
conception of the relations between human beings
and of their relations with the world. It prevents
the subject from grasping the one thing that has
been grasped in every human society, the one thing
that gives it its status as human society: namely
the difference between legitimacy and illegitimacy,
between truth and lies, between authenticity and
imposture, between the pursuit of power or of private interests and the pursuit of the common good.”
(Lefort, 1988: 12).
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 3
ADITYA PERMANA
3
Di lain pihak, filsafat memang berpendapat bahwa subjek tidak dapat melarikan diri dari dunia dan mesti menerima
risiko untuk membuat penilaian. Namun
filsafat dinilai tidak cukup untuk mengenali perbedaan antara politik dan “yang
politis”. Lefort memandang bahwa filsafat
tidak lain adalah upaya untuk mengambil
keputusan dalam dunia yang darinya kita
tak dapat melarikan diri. ������������������
Namun filsafat dihantui oleh “momok pikiran murni” (phantom of pure thought), yakni ����������������
kesatuan konsistensi internal dalam pikiran yang terpisah
dari pengaruh sejarah, independen dari
“dunia luar”, tak tersentuh oleh peristiwaperistiwa historis, pemikiran yang murni
metafisis (Lefort, 2000: xi).
Lefort mendaku bahwa filsafat politik
diinspirasi oleh pertanyaan yang disingkirkan oleh sains politik, yaitu pertanyaan
“apa yang menjadi sifat dasar perbedaan
antara bentuk-bentuk masyarakat”? Pe­
nyingkiran atas pertanyaan ini dinilai Lefort sebagai “kelupaan akan perbedaan
antara politik dan ”yang politis”. Padahal baginya pertanyaan-pertanyaan sains politik
hanya mungkin diutarakan jika telah diberi makna (mise en sens) dan dipanggungkan
atau ditampilkan (mise en scène) dengan
jalan memberinya bentuk (mise en forme)
(Lefort, 1988: 13). Segi mise en sens adalah
ketika ranah sosial terbuka sebagai ranah
inteligibilitas yang diartikulasikan melalui modus khusus yang memampukannya
membedakan antara yang nyata dan imajiner, benar dan salah, adil dan tidak adil,
yang boleh dan yang jangan, yang normal
dan patologis. Sedangkan segi mise en scène adalah ketika politik dipanggungkan
dalam kuasi-representasi dirinya sebagai
aristokrasi, monarki, despotis, demokratis,
atau totaliter (Lefort, 1988: 13).
Untuk ������������������������������
memikirkan dasar ontologis masyarakat tanpa melalui metafisika/filsafat,
Lefort menawarkan model pembacaan
yang ia sebut berpikir secara non-metafisis,
4/24/2014 7:48:25 AM
4
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
yakni ‘an unlocalizable and indeterminable
question that accompanies all experience of the
world’ (Marchart, 2007: 88). Berpikir
��������������
metafisis/filosofis memerlukan fondasi positif –
dapat didefinisikan, tetap (fixed) dan hakiki
(essential). Namun ”berpikir” non-metafisis
atau berpikir sebagai bentuk interogasi tanpa batas (infinite form of interrogation) justru
mengindikasikan bahwa tidak ada jawaban final dan pasti yang dapat dipegang.
Fondasi yang stabil hanya dimungkinkan
di atas “jawaban” yang final. Akan tetapi
karena tidak ada jawaban yang berhenti
sebagai sekedar jawaban tanpa menimbulkan pertanyaan lain, sejak suatu jawaban
tak lain adalah pertanyaan baru sehingga
mempersulit adanya fondasi yang stabil
– kalau bukan mustahil (Lefort, 1978: 20).
Lefort tidak berniat mencari fondasi atau
landasan metafisis masyarakat, melainkan
menggunakan cara pikir non-fondasional
tersebut sebagai cakrawala (horizon) untuk memahami asal-muasal bentuk-bentuk
masyarakat, seperti totalitarianisme maupun demokrasi.
Lefort mengatakan bahwa “konsep”
tentang “yang politis” adalah pembangun­
an “lapangan interogasi” dari pemikiran
filsafat (������������������������������������
Lefort, 1978: 20)�������������������
. Sains politik dinilainya tidak mampu (atau menghindarkan diri) untuk mencari prinsip dasar yang
memungkinkan (atau memustahilkan) per­­
bedaan-perbedaan antara ranah-ranah dan
sistem-sistem sosial karena sains politik
2
VOL II, 2014
berusaha memisahkan politik sebagai superstruktur (dalam pengertian Marxian)
dan lapangan-lapangan lain seperti fakta
ekonomi, fakta yuridis, ataupun fakta estetis ���������������������������������������
(Lefort, 1988: 12)���������������������
. Bagi Lefort, perbedaan-perbedaan (difference) dan pembedaan-pembedaan (differentiation) itu justru
merupakan hal yang mendasar dan menjadi locus dalam setiap fakta ontis dalam
masyarakat dan politik. Sederhananya,
sains politik menemukan kelemahan dalam merespon, katakanlah, “partikularitas
dan kontingensi” yang terjadi dalam konteks penyelenggaraan politik. “Partikularitas dan kontingensi” itulah yang disebut
“yang politis”, yang justru menjadi syarat
yang memungkinkan (atau memustahilkan) politik dan masyarakat.
“Partikularitas dan kontingensi” tampil
sebagai ”peristiwa” (event [evenement]).2 Dalam pengertian Derridean, suatu peristiwa
dapat terjadi pada saat dan tempat ketika
”kebarangkalian” (perhaps [peut-etre]) melepas semua pengandaian menyangkut apa
yang akan terjadi dan membiarkan masa
depan datang sebagai masa depan, sebagai
kedatangan dari suatu ketidakmung­kinan
(Kearney, 2001: 94). Dalam pengertian tersebut, ”peristiwa” bukan lapangan sains politik. Menurut Lefort, “yang politis” sebagai
”peristiwa” mesti didekati lewat bentuk
pemikiran non-metafisis. Politik bagi Lefort adalah sub-sistem dari pelbagai mode
tindakan dan merupakan medan kompetisi
Menurut Merriam Webster Dictionary, sesuai konteks tulisan ini, “event” dapat diartikan sebagai “a noteworthy happening”. Dalam Thefreedictionary.com, “event” diartikan sebagai (a) “something that take place; an occurrence”; (b) “a
significant occurrence o r happening”. Secara khusus dalam pengertian filosofisnya, “event” diartikan sebagai “an occurrence regarded in isolation from, or contrasted with, human agency.” Dalam pengertian tersebut, “event” (peristiwa)
memiliki ciri “momentum”, yakni (a) “an exact point in time when something important, special, or unusual happens”, (b)
“particular timen when something happens”, (c) “a very short period of time”. Artinya, “peristiwa” memiliki ciri temporal,
partikular, dan kontingen. Temporalitas dan kontingensi acap menjadi argumen untuk melawan kecenderungan
filsafat yang menekankan kepada “esensi” yang dianggap bersifat tetap, tak berubah, pasti, mutlak, tak tersentuh
waktu (timeless). Ciri yang dimiliki filsafat ini juga dimiliki oleh ilmu-ilmu positif dengan tendensi mencapai universalitas dan generalitas yang mengandaikan ketetapan, “kemutlakan”, dan ke-nirwaktu-an (timelessness). Temporalitas, partikularitas, dan kontingensi jika dijadikan horizon pendekatan terhadap suatu fenomena akan membawa kita
kepada kemungkinan (possibility) atau kebarangkalian (perhaps), tidak pernah membawa kepada kepastian, universalitas, generalitas, esensi, dan seterusnya.
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 4
4/24/2014 7:48:25 AM
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
ADITYA PERMANA
5
antara protagonis yang di dalamnya mode
tindakan dan program-programnya secara
eksplisit mendesain mereka sebagai klaim
dasar dalam otoritas publik. Sedangkan
“yang politis” merupakan mode dan bentuk paling mendasar dari masyarakat yang
memiliki peran sebagai dimensi pendasar
(grounding dimension) sekaligus sebagai dimensi pemberi-bentuk (form-giving dimension) bagi masyarakat.
Dengan lain kalimat, pembicaraan tentang ”yang politis” adalah penyelidikan
tentang apa yang tersurat dari pertanyaan
“what is the nature of the difference between
forms of society” ataupun “apa yang asal
mula perbedaan antara bentuk lapangan
sosial satu dengan yang lain”? Pertanyaan
tentang “asal mula” (origin) inilah yang
membedakan pemikiran “yang politis”
(“ontologis”) dengan sains politik yang semata-mata “ontis” sejak sains politik (yang
objektif-netral) memiliki keterbatasan dalam merespon peristiwa sebagai peristiwa,
peristiwa dalam kekhususan, keunikan,
dan singularitasnya (Marchart, 2007: 89).
ngan ranah sosial lain. Sebagai fondasi masyarakat, konflik merupakan dasar ontologis
yang tidak dapat direduksi maupun diderivasi dari sesuatu yang lain: ia bukan fakta
empiris. Konflik mendahului (precede) segala
macam fondasi yang mungkin. Dalam konteks ini, dibedakan dua jenis konflik, yaitu
konflik sebagai dasar masyarakat (ontologis) atau, katakanlah, “Ada-nya masyarakat” (the Being of the society), dan konflik
sebagai fakta ”ontis” yang muncul sebagai
efek dari pembentukan masyarakat (konflik kepentingan, konflik kelas). Konflik sebagai “Ada” mendasari pembentukan identitas sosial masyarakat yang bersangkutan.
Identitas sosial dimulai dengan pembagian
mendasar (basic division) antara masyarakat
(society) dan ”liyan” (other) (Marchart, 2007:
92).
Bagi Lefort, “yang politis” memiliki
dua poros. Poros pertama (“inside”) adalah
poros identitas-diri yang tercipta dari basic division dengan cara alienasi-diri atau
eksternalisasi-diri terhadap liyan. Poros
kedua (“outside”) adalah pembagian-pembagian (divisions) di dalam masyarakat itu
2. Relasi antara Politik, ”Yang Politis”, sendiri. Inilah yang menjadi liyan bagi idendan Kekuasaan
titas sosial masyarakat. Tegangan antara
Tegangan antara politik dan “yang politis” dua poros ini – yang disebut Lefort sebagai
bagi Lefort adalah permainan penghadiran “antagonisme” – merupakan keniscayaan
(“presencing”) dan penghilang­an (“absenc- yang tak terelakkan dari dimensi totalitas
ing”), yang terjadi ketika yang satu mun- masya­rakat. Artinya, apabila kedua pocul, yang lain menghilang – bukan dalam ros ini diceraikan, maka masyarakat tidak
arti benar-benar lenyap (disappear) melain- mungkin ada.
kan “tersembunyi” (hidden). “Yang poliAntagonisme ini menubuh dalam pe­
tis” muncul sebagai syarat pemberi makna nguatan akan identitas-diri dengan jalan,
(form-giving) masyarakat. Lalu apa esensi katakanlah, “penciptaan musuh bersama”
“yang politis” itu sendiri? Esensi dari “yang – yakni afirmasi diri melalui negasi atas lipolitis” ini ditemukan Lefort dalam “kon­ yan. Sebagai gambaran, dalam masyarakat
flik” atau ”antagonisme”. Atau lebih jauh totalitarianisme yang berbasis proletariat,
lagi, dasar atau fondasi dari masyarakat “borjuis” menjadi “musuh bersama”, yang
demokrasi modern adalah “konflik yang dengan itu segala hal yang terkait dengandilembagakan” (institutionalized conflict).
nya diletakkan di seberang identitas-diri
Konflik bagi Lefort memiliki makna sebagai proletar sebagai identitas yang disebagai bentuk dan syarat bagi posibilitas representasikan oleh rezim totaliter. “Boryang membedakan ranah sosial satu de­ juis” menjadi liyan bagi proletar. Penegas­
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 5
4/24/2014 7:48:25 AM
6
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
an simbolis ini memunculkan perasaan
bahwa individu merupakan anggota dari
masyarakat yang sama (Marchart, 2007: 97).
Namun di lain pihak, pada saat yang sama,
alteritas-alteritas tidak benar-benar lenyap.
Dalam arti, banyak bentuk “divisi-divisi”
lain yang tidak dapat direduksi dalam
identitas yang dikonstruksi rezim totaliter
tersebut. Dalam divisi-divisi ini tak jarang
muncul konflik partikular.
Liyan tidak ditemukan di luar (eksternal) dari masyarakat itu sendiri. Liyan
me­rupakan bentuk ekternalisasi-diri (selfexternalization) dari identitas sosial masya­
rakat. Tidak ada identitas tanpa adanya
pengenalan atau penjarakan (distancing)
dengan liyan (����������������������������
Marchart, 2007: 92)���������
. Identitas (inside) mengeksternalisasi liyan (outside) dalam kelindan enigmatik, tatkala liyan (outside) bukan merupakan kehidupan
yang independen pada dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang dihadirkan (present)
bagi inside. Dengan demikian, outside adalah kondisi posibilitas bagi inside. Dalam
skema hubungan antara kekuasaan dan
identitas sosial, hal ini lebih jelas. Kekuasaan di­arahkan menuju kepada outside. Identitas adalah apa yang disignifikansi oleh
kekuasa­an. De­ngan signifikansi ini, orang
dapat mengaitkan (identitas) diri pada ruang tempat mereka hidup dalam scope
kekuasa­an tersebut. Yang tidak dapat dikaitkan dengan ruang tempat mereka hidup
dalam scope kekuasaan tersebut disignifikansi sebagai outside (Marchart, 2007: 93).
Menurut Steinmetz-Jenkins relasi an­
tara politik dan “yang politis” dapat dikatakan sebagai,
“What appears as politics is an extraction and therefore quasi-representation of the political. In Lefort’s
thought there is a moment of alterity apparent here,
3
VOL II, 2014
whereby a fundamental difference between figure
and ground takes place. Notice that, though, politics
is inseparable from the political, the two are, nevertheless, ever so slightly estranged” (SteinmetzJenkins 2009: 106).
Politik merupakan kuasi-representasi
dari ”yang politis”. Relasi memiliki makna bahwa kekuasaan bekerja dalam tata­
nan simbolis. Wujud simbolisasi tersebut
ditemukan dalam pemanggungan (staging)
kekuasaan, atau apa yang disebut Lefort
sebagai mise-en-scène (Marchart, 2007: 93).
Pemanggungan kekuasaan tersebut adalah peristiwa simbolis (symbolic event) yang
memberikan makna (sens) sekaligus bentuk
(forme) pada yang sosial dengan merepresentasikannya pada dirinya sendiri. Lefort
mengatakan,
“When we speak of symbolic organization, symbolic
constitution, we seek to disclose beyond practices
beyond relations, beyond institutions which arise
from factual givens, either natural or historical, an
ensemble of articulations which are not deducible
from nature or from history, but which order the
apprehension of that which presents itself as real”
(Lefort dalam Flynn, 2005: 118).
Dengan kata lain, pemanggungan kekuasaan harus digiring ke ranah tempat ia
menemukan bentuknya: kekuasaan perlu
panggung tempat ia direpresentasikan. Tidak
ada masyarakat tanpa kekuasaan, namun
tidak ada kekuasaan tanpa representasi,
“Lefort suggests that power can only operate as represented; therefore political power and its representation are inseparable” (Steinmetz-Jenkins, 2009:
109).
Dengan kalimat lain, tidak ada masyarakat tanpa ”kuasi-representasi” (Marchart,
2007: 93).3 Segi mise-en-forme inilah yang
���������������������������������������������������������������������������������������������������������������
Secara kasar, kuasi-representasi merupakan penyebutan atas referen (rujukan) yang menjadi representasi dari kekuasaan sesungguhnya tidak berdiri di atas landasan yang stabil, padat, dan tetap, melainkan ketidakpastian dan
kontingensi.
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 6
4/24/2014 7:48:25 AM
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
ADITYA PERMANA
7
membedakan bentuk-bentuk pemerintah­
an, apakah totalitarianisme atau demokrasi, sekaligus menjadi pembeda dalam
pendivisian asali masyarakat. Macey me­
ngatakan,
songan” yang digambarkan di sini bukan
di­mengerti sebagai tiadanya kekuasaan.
Momen ”pengosongan kekuasaan” terjadi ketika level simbolis pada kekuasaan
”lama” – sebelum mengalami momen yang
politis – dimutasi atau mengalami perubah­
an bentuk. Ini adalah momen mise-en-scène
“The comparison between democracy and totalitarianism shows that these societies do not differ
yang secara langsung akan mempengaruhi
only by the form of their government, but also by
bagaimana masyarakat yang baru dibentheir mise en forme of human coexistence. In other
tuk (mise-en-forme) dan mendapat makna
words, the way in which they are organized and the
(mise-en-sens).
relationships between people tied, is specific to each
”Pengosongan kekuasaan” harus dione of them” (Macey, 1988: 15).
lihat sebagai ”peristiwa” dalam singulaApabila boleh disederhanakan, rang­kai­ ritas dan keunikannya – kontingensinya.
an di atas dapat digambarkan sebagai ling- Pe­ngosongan kekuasaan bukan berarti
karan semiosis, yang di dalamnya kekuasa­ kondisi yang terus menerus berada tanpa
kekuasa­an. Hal ini mesti dilihat dalam
an berfungsi sebagai petanda (signified) dari
kaitannya dengan pendivisian asali maidentitas sosial sebagai penanda (signifier)
syarakat itu sendiri. Dalam kasus revoluyang memiliki acuan “panggung peristiwa
si4 mahasiswa Mei 1998, kekuasaan lama
simbolis” yang merepresentasikan jalinan
mendapat gangguan dari divisi lain yang
signifikansi tersebut. Karena ini berada
antagonis terhadapnya. Kekuasaan lama
dalam level simbolis, maka tidak ada fondiindikasi sebagai rezim totaliter dengan
dasi yang benar-benar kukuh, melainkan
Soeharto sebagai simbol kuasi-transendensebaliknya, representasi yang menjadi re­fe­ tal ”Bapak Negara”, dua peran dalam satu
ren dari pemanggungan kekuasaan justru tubuh: Bapak Pembangunan Bangsa (simdijamin oleh tatanan simbolis itu sendiri.
bolis) sekaligus diktator bertangan besi.
Peristiwa Mei 1998 merupakan momen
3. ”Pengosongan Kekuasaan” dan Ab- yang politis, suatu peristiwa ketika rezim
sennya Fondasi Masyarakat sebagai lama di­tumbangkan, yang segera memSyarat Adanya Masyarakat
beri bentuk dan makna bagi masyarakat
Pemotongan atau pemenggalan panggung yang terbentuk pasca-revolusi: masyarakat
simbolis akan memiliki konsekuensi ke- reformasi. Namun momen tersebut juga
pada terpotongnya panggung kekuasaan merupakan momen kekosongan kekuasa(stage of power). Pada momen ini, represen- an. Kekuasaan tidak kosong dalam arti titasinya pun menjadi kosong. Momentum dak ada kekuasaan, melainkan bertransfortatkala panggung kekuasaan ini kosong – masi menjadi bentuk baru yang diisi oleh
atau “pengosongan kekuasaan” (empty of divisi lain dalam masyarakat yang berbeda
power) – inilah yang disebut Lefort sebagai dengan rezim lama.
Dalam level simbolis, antagonisme meng­­
“momen yang politis” (moment of the political) (Marchart, 2007: 94). Namun ”keko- andaikan konflik antara penguasa dan yang
4
Lefort tidak menggunakan term ”revolusi” dalam makna kuat. Pemanggungan revolusi – revolusi sebagai peristiwa
– adalah disposisi simbolis, ketika fiksi rakyat menempati tempat kekuasaan yang kosong. Namun ini justru membuka celah antara rakyat ”ideal” dan rakyat ”empiris” dalam penentuan relasi kawan-lawan yang dideterminasi
oleh ”kediktatoran”. Kediktatoran revolusioner ini bagi Lefort bersifat non-permanen (Lefort, 1988: 107-108)
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 7
4/24/2014 7:48:25 AM
8
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
dikuasai (”masyarakat”). Antagonisme ini
dapat dipandang sebagai kelindan antara
konflik dalam tataran ontologis dan konflik dalam tataran ontis seperti diuraikan
sebelumnya. Namun sebaliknya, masyarakat yang berbasis konflik murni juga tidak
mungkin karena justru akan self-destructive. Oleh karena itu, konflik ontologis sebagai “Ada”-nya masyarakat memerlukan
penya­luran simbolis (symbolic outlet), sebab
menurut Lefort, tanpa adanya penyaluran
simbolis, kumpulan manusia hanya akan
menjadi “state of nature”.
Dengan demikian, kelindan antara
konflik ontologis-ontis ini bukan sematamata perbedaan atau oposisi, melainkan
relasi bolak-balik. Antara politik dan “yang
politis” dihubungkan oleh relasi permainan penghadiran dan penghapusan (presencing and absencing) secara sinambung.
Bagi Lefort, syarat posibilitas bagi hadirnya (presence) politik adalah justru penghapusan/peng­hilangan (absencing) elemen
ontologisnya. Sebaliknya, “yang politis”
hadir (presence) ketika terjadi penghilangan
”pengada ontis” (ontic being) dari faktafakta partikular politik. Akan tetapi ini
dimainkan dalam level simbolis. Dick Howard menafsirkan “yang politis” sebagai
kehadiran simbolis ketika ”eksistensi sebagai ketidakhadiran yang nyata (the real absence) membuat perubahan politik menjadi
mungkin” (Howard dalam Marchart, 2007:
91).
Dalam masya­rakat demokratis, antagonisme semacam ini memustahilkan adanya
sebuah partai tunggal (sebagai salah satu
bentuk penya­luran simbolis) yang secara
penuh mendominasi partai-partai lain.
Juga tidak ada seorang aktor sosial yang
dapat memegang peran sebagai pembentuk makna sosial sebagai keseluruhan, karena permainan divisi-divisi sosial akan
selalu mencegah aktor tunggal yang memonopoli makna sosial (“figure of absence”).
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 8
VOL II, 2014
Penguasa dan masyarakat bersifat relasional, tanpa saling meniadakan. Yang satu
menjadi syarat posibilitas bagi identitas
yang lain. Fondasi masyarakat dibentuk
melalui relasi konfrontasi mutual sebagai
syarat posibilitasnya. Masyarakat hanya
dapat terbentuk melalui proses self-division.
Namun sekali lagi, ini terjadi dalam level
simbolis, sebab kemutlakan itu tidak mungkin terjadi. Artinya, masyarakat sesungguhnya dibangun di atas fondasi yang
hampa (void). Setiap bentuk masya­rakat
harus selalu melalui pengalaman akan
yang hampa ini. Implikasinya, identitas
masyarakat juga berdiri di atas basis yang
hampa tersebut. Dalam insight Lacanian,
kekosongan ini kemudian diisi oleh Yang
Simbolis (The Symbolic), sebagaimana diterangkan sebelumnya. Namun yang simbolis ini selalu diganggu oleh konti­ngensi
radikal yang niscaya, yaitu absennya fondasi
itu sendiri. Absennya fondasi inilah Yang
Nyata (The Real), yakni keniscayaan yang
tidak dapat sepenuhnya dikontrol, diringkus, dan ditotalisasi oleh sistem apapun.
Oleh karena itu, keniscayaan ini membutuhkan proses yang bersifat imajiner, dengan
tujuan untuk menutupi atau menyembunyikan absennya fondasi yang berpangkal
pada konflik pendivisian asali (original division) tersebut. Penyembunyian ini dalam
wawasan Lacanian disebut fase “Imajiner”
(The Imaginary), dalam pelbagai bentuknya.
Mengapa absennya fondasi masyarakat mesti disembunyikan dalam Yang Imajiner? Lefort beralasan, mana mungkin kita
dapat menerima fakta bahwa fondasi masyarakat kita hanyalah sebuah jurang tanpa dasar yang secara paradoksikal justru
menjadi syarat posibilitas berdirinya masyarakat? Namun kendati demikan usaha
penutupan dan penyembunyian imajiner
ini “ditakdirkan” untuk selalu gagal akibat
gangguan dari keniscayaan The Real tersebut.
4/24/2014 7:48:26 AM
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
4. Demokrasi dalam Pandangan Lefort
Lefort menafsirkan demokrasi yang dimengerti oleh Tocqueville sebagai mutasi
level simbolis. Tocqueville berusaha me­
nempatkan prinsip fundamental demokrasi, yakni kesetaraan (equality), dengan
mengeksplorasi perubahan-perubahan yang
terjadi pada semua arah, dalam ikatan-ikatan lembaga sosial dan politik, individu,
mekanisme opini publik, agama, hukum,
bahasa, sastra, sejarah, dan seterusnya. Me­
nurut pembacaan Lefort, eksplorasi tersebut membawa Tocqueville pada kesimpulan bahwa revolusi dari totalitarianisme ke
demokrasi mengandung ambiguitas dalam
segala domain.
Demokrasi di satu sisi membawa tanda
baru tentang kebebasan (new signs of freedom), namun di sisi lain demokrasi juga
membawa tanda baru tentang perbudakan
(new signs of servitude) (Lefort, 1988: 14). Sebagai gambaran, pada level individual, dependensi individu pada pemerintahan totaliter terhapus dan individu memperoleh
kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak seturut norma yang ia anut. Namun
di sisi lain ia juga terisolasi, termiskinkan,
dan terjebak dalam citraan (image) rekanrekannya di dalam tempat ia dikelompokkan (agglutinated) sebagai akibat dari
pendivisian asali.
Kemudian pada level opini publik,
Tocqueville menandaskan bahwa dukungan kepada hak dan kebebasan berbicara
dan berekspresi secara bersamaan justru
menjadi lepas (detached) dari subjek dan
menjadi kuasa anonim (anonymous power)
yang berpikir dan berbicara untuk dirinya
sendiri (Lefort, 1988: 15). Namun bagi Lefort, Tocqueville luput melihat perubahanperubahan, penga­ruh dan kontra-pengaruh, penyerbuan (irrup­ti­on) makna-makna
baru, munculnya cara-cara ekspresi baru
yang mengalahkan kuasa anonimitas, meningkatnya he­terogenitas kehidupan sosial
yang ko-eksis bersama kehidupan sosial
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 9
ADITYA PERMANA
9
dan bernegara yang meng­atasi individu,
dan seterusnya (Lefort, 1988: 15).
Bagi Lefort, Tocqueville melihat realisasi demokrasi sebagai suatu bentuk masyarakat (form of society) yang lahir dari
perlawanan akan rezim yang mendahului­
nya, yaitu masyarakat aristokratik (Lefort,
1988: 13). Dalam konteks ini, demokrasi
juga merupakan suatu mutasi level simbolis yang berkaitan dengan pemosisian
kekuasa­an secara baru. Namun bagi Lefort
demokrasi sebagai kekuasaan di tangan
rakyat bukan sejenis bentuk kekuasaan
yang jauh berbeda dengan totalitarianisme.
Alasan Lefort, demokrasi hanya memin­
dahkan bentuk singularitas kekuasaan dari
tangan monarki ke tangan “rakyat” (people).
Pada pemerintahan monarkis, terutama yang dibentuk oleh matriks teologikopolitik, pangeran (the prince) mendaku
kekuasa­annya berasal dari Tuhan dan
membuatnya menjadi sebagai agen sekuler
sekaligus wakil Tuhan. Kekuasaan diwujudkan atau ditubuhkan (embodied) dalam
pangeran. Ini kemudian memberi masyarakat suatu bentuk. Lefort menyebutnya sebagai “tubuh masyarakat” (body of
society). Namun dalam demokrasi, posisi
pangeran lenyap. Hal ini membawa tubuh
masyarakat kepada hal yang tidak pernah
terjadi sebelumnya, yakni kekosong­an locus kekuasaan yang semula diisi oleh pa­
ngeran (Lefort, 1988: 15-16).
Kekosongan kekuasaan ini lantas diisi oleh pemerintahan baru yang diawasi,
dan dikontrol secara ketat dengan aturanaturan yang permanen agar kekuasa­an
tersebut tidak diapropriasi sendiri oleh pe­
merintah baru. Konsekuensinya, mekanis­
me peng­awasan ini menjadi konfliktual.
Konflik ini sendiri dilembagakan. Ironisnya, mekanisme exercise of power ini meng­
akibatkan adanya pendivisian antara inside
dan outside dan kompetisi siapa yang merasa layak untuk memangku kekuasa­an (Lefort, 1988: 17). Dalam konteks ini, kekuasa­
4/24/2014 7:48:26 AM
10
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
an mesti diisi namun sekaligus juga dijaga
agar tetap kosong agar masyarakat tidak
jatuh dalam totalitarianisme kembali. Demokrasi, de­ngan demikian, menghidupi
suatu asas yang kontradiktif. Lefort me­
ngatakan,
“The legitimacy of power is based on the people; but
the image of popular sovereignty is linked to the image of an empty place, impossible to occupy, such
that those who exercise public authority can never
claim to appropriate it. Democracy combines these
two apparently contradictory principles: on the one
hand, power emanates from the people; on the other,
it is the power of nobody. And democracy thrives
on this contradiction. Whenever the latter risks being resolved or is resolved, democracy is either close
to destruction or already destroyed. If the place of
power appears, no longer as symbolically, but as really empty, then those who exercise it are perceived
as mere ordinary individuals, as forming a faction
at the service of private interests and, by the same
token, legitimacy collapses throughout society”
(Lefort, 1986: 279).
Masyarakat yang tercipta dari pendivisian yang konfliktual ini dikawal oleh
ranah hukum dan pengetahuan yang independen dari pemangku kekuasaan
tunggal. Namun sebagai konsekuensinya
masyarakat demokrasi tidak pernah mencapai totalitas sebagaimana terjadi dalam
masyarakat monarkis atau totaliter. De­
ngan kata lain, masyarakat demokrasi
adalah masyarakat tanpa tubuh (society
without a body). Setidaknya ada dua alasan
yang dapat dikemukakan untuk pernyataan tersebut. Pertama, tanpa adanya figur
tunggal yang memegang kekuasaan secara
mutlak, masyarakat demokrasi berdiri di
atas fondasi kompetisi dan konflik yang
dilembagakan sebagaimana dijelaskan di
atas. Kedua, masyarakat demokrasi tidak
memiliki ke­utuhan organis sejak masyarakat demokrasi menghindari pemerintahan
monarkis (atau totaliter, aristokratik, dan
5
VOL II, 2014
sejenisnya) yang determinasi kekuasaannya terletak di tangan pangeran sebagai
wakil Tuhan yang absolut (Lefort, 1988:
18). Menurut Lefort, secara paradoksikal,
masyarakat demokrasi yang direpresentasikan oleh partai-partai cenderung masih
mewarisi watak totalitarianisme. Sebab ketika kuasi-representasi yang dibawa oleh
partai tertentu diidentikkan dengan citra
masyarakat, pada titik ini justru akan terjadi pereduksian divisi-divisi asali dalam
masyarakat; atau lebih parah lagi, tidak
ada “civil society”. Ia mengatakan,
“…there is no longer a civil society. But if the image of the people is actualized, if a party claims to
identify with it and to appropriate power under the
cover of this identification, then it is the very principle of the distinction between the state and society,
the principle of the difference between the norms
that govern the various types of relations between
individuals, ways of life, beliefs and opinions, which
is denied; and, at a deeper level, it is the very principle of a distinction between what belongs to the
order of power, to the order of law and to the order
of knowledge which is negated. The economic, legal
and cultural dimensions are, as it were, interwoven
into the political. This phenomenon is characteristic
of totalitarianism” (Lefort, 1986: 279-280).5
Keutuhan atau kesatuan organis masyarakat demokrasi dijamin dan dideterminasi oleh masyarakat sosial dan bangsa
atau negara sebagai entitas universal, yang
di dalamnya setiap kelompok memiliki status dan hak yang sama. Kehendak rakyat
menjadi kehendak negara. Dengan kata
lain, singularitas kekuasaan berpindah
ke tangan orang banyak (the people) – ketika orang banyak ini dibicarakan sebagai
statistik – yang tidak selalu terikat oleh
ke­samaan kepentingan, melainkan justru
terikat oleh perdebatan ideologis. Bagi Lefort, hal ini berbahaya karena
“The danger of numbers is greater than the danger of an intervention by the masses on the politi-
Cetak tebal dari penulis.
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 10
4/24/2014 7:48:26 AM
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
cal scene; the idea of number as such is opposed to
the idea of the substance of society. Number breaks
down unity” (Lefort dalam Näsström, 2009:
348).
5. Pencitraan dalam Demokrasi dan
Kaitannya dengan Tubuh Masyarakat
Dalam konteks demokrasi representatif Indonesia, kekosongan kekuasaan diisi oleh
partai-partai dan organisasi-organisasi
lain yang dianggap merepresentasikan
kelompok-kelompok yang ada. Di satu
sisi, mekanisme exercise of power demokrasi
Indonesia yang multi-partai tampaknya
memustahilkan okupasi dan hegemoni
seorang figur untuk menjadi pemangku kekuasaan. Namun di sisi lain sistem
multi-partai di Indonesia masih bertumpu
pada aspek ketokohan alih-alih program
kerja yang efektif.
Dalam kasus pemilihan gubernur di Jakarta tahun 2012, kendati masing-masing
calon memiliki program kerja yang jelas,
namun aspek ketokohan masih demikian
ditonjolkan sehingga baik para pendukung
maupun para penentang sama-sama terjebak argumentum ad hominem yang membela
ataupun menyerang pribadi tokoh, latar
belakang etnis, agama, dan seterusnya,
namun justru abai untuk mengkritisi program-program yang ditawarkan para calon.
Konsekuensi sistem multi-partai, dengan
demikian, justru adanya pengkotak-kotakan yang menegaskan ciri asli masyarakat demokratis, yakni penyembunyian
konflik dalam divisi-divisi institusi-institusi sosial. Masyarakat demokratis secara ironis justru mempertaruhkan keutuhan dan
kohesi sosial dengan sistem yang dianggap
mewakili karakter heterogen, independen,
bebas, dan setara masyarakat.
Di sisi lain, jika figur politikus dianggap sebagai seseorang yang akan membawa keutuhan dan menciptakan tubuh
masyarakat, secara ironis ini akan mem-
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 11
ADITYA PERMANA
11
pertahankan watak monarkis-totaliter ma­
sya­rakat yang dianggap telah dilampaui.
Bangsa Indonesia telah melewati perjalanan sejarah zaman kerajaan-kerajaan hingga
masuknya demokrasi Barat yang dijalan­
kan oleh Soekarno hingga SBY. Peristiwa
Mei ’98 yang menjadi tonggak lepasnya
Indonesia dari kuasa represif Soeharto dipandang membawa arah baru demokrasi
Indonesia. Akan tetapi era reformasi hanya
merupakan mutasi level simbolis pemerintahan represif sebelumnya yang berbasis
pada kharisma dan ketokohan Soeharto.
Represi yang beroperasi sejak era
Soekar­no mengangkat diri menjadi pre­
siden se­umur hidup hingga era militeristik Soeharto hingga modus pencitraan
yang mendadak populer di era SBY tak
lain merupakan mutasi level simbolis yang
menyembunyikan watak dan identitas asli
masyarakat Indonesia yang berdiri di atas
ruang hampa (void) sepeninggalan kejaya­
an masa keraja­an-kerajaan dan harapan
akan datangnya “Ratu Adil”. Pencitraan
figur justru memperlihatkan aspek ketokohan yang lemah karena proses ini berbasis
pada manipulasi, pengaburan, maupun
pengindah-indahan. Para politikus citraan
ini jelas-jelas tidak memperjuangkan ideologi politik, program, ataupun manifesto
politik yang kuat, melainkan sibuk bersolek dan memperindah apa yang nampak
atau ingin di­tampakkan belaka.
Masyarakat demokrasi Indonesia yang
masih mempertahankan nilai-nilai monarkis warisan zaman Kerajaan, sesuai tafsiran
penulis atas pemikiran Lefort, merupakan
masyarakat tanpa tubuh, tanpa kesatuan
dan kohesi yang utuh, sekaligus tanpa
arah. Sistem demokrasi yang melandaskan
diri pada aspek ketokohan membuat figur
politikus harus terlihat mencolok (conspicuous). Ini dapat ditempuh dengan beragam
cara, baik dengan prestasi maupun dengan
sensasi.
4/24/2014 7:48:26 AM
12
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
VOL II, 2014
Meskipun demikian, kemajuan teknologi informasi saat ini membuat masyarakat
berada dalam dunia dromology, yakni dunia
yang dideterminasi oleh logika kecepatan
(logic of speed), dalam konteks ini kecepatan
informasi dan pengetahuan, serta rotasi
kekuasaan yang cepat temponya, membuat
para politikus mencari cara tercepat untuk
menarik perhatian masyarakat alih-alih
mengerjakan program yang hasilnya atau
buktinya tidak dapat dipetik secara instan
(Bratton dalam Virilio, 2006: 13). Pencitraan
para politikus menjadi bagian dari modus
para politikus untuk meraih kekuasaan,
sekaligus untuk melembagakan watak totaliter ini. Dengan demikian pencitraan,
dilihat dari sudut pandang semiotis, merupakan mutasi di atas mutasi. Mutasi pertama
terjadi di level ontologis, yakni bertahannya
watak totaliter yang coba disembunyikan
dengan demokrasi sebagai panggungnya.
Mutasi kedua terjadi di level ontis, yakni
disembunyikannya ketergantungan pada
figur kharismatik yang bertindak sebagai
kuasi-representasi kehendak rakyat – yang
nota bene terdivisi secara “alamiah”. Sekali
lagi, divisi-divisi yang dikuasi-representasikan oleh caleg, cabup, cagub, capres, dan
seterus­nya ini justru menyimpan risiko
disintegrasi masyarakat.
yang tidak dapat sepenuhnya dikontrol
dan ditotalisasi. Dalam dikotomi tersebut,
penguasa menjadi “yang asing” bagi yang
dikuasai, demikian pula sebaliknya.
Dari sudut pandang penguasa, rakyat
adalah sekumpulan orang asing yang tidak
dapat diketahui secara pasti apa maunya,
yang tidak dapat diantisipasi kehendak­
nya, yang tidak dapat sepenuhnya dikontrol dan ditotalisasi, sehingga dalam logika
demikian, represi dan hegemoni menjadi
senjata ampuh untuk menundukkan dan
mendominasi stranger (rakyat). Namun ketika cara-cara represif sudah tidak dapat
dipertahankan, cara-cara lain bermunculan
– salah satunya adalah dengan pencitraan.
Di lain pihak, dari sudut pandang rakyat,
penguasa adalah stranger yang tidak memahami kehendak rakyat, abai terhadap
kebutuhan nyata rakyat, melecehkan kedaulatan rakyat. Terma “rakyat” hanya ada
sejauh penguasa “membutuhkan” rakyat,
sedangkan terma “penguasa” muncul ketika hak rakyat terampas. Dengan kalimat
lain, pada masa kini ketika kita membicarakan politik (para penguasa), rakyat nihil
di situ. Ketika kita membicarakan rakyat,
politik hanya menjadi satu berita di antara
berita lain yang biasa-biasa saja tanpa efek
signifikan bagi rakyat.
Permainan “saling menghilangkan” ini
6. Penutup: Risiko Disintegrasi dalam suka atau tidak suka harus diakui adanya.
Demokrasi
Kedua sisi ini saling mengandaikan, namun
Dalam pemikiran Lefort, baik dalam ma­ begitu salah satu sisi disorot, sisi yang lain
sya­rakat totaliter maupun demokratis, “menghilang”. Permainan “saling mengpem­bicaraan mengenai politik (politics) hilangkan” ini, menurut Lefort, merupa­
menggambarkan dikotomi antara “pe­ kan dimensi ontologis dari masyarakat dan
nguasa” dan “yang dikuasai” sebagai politik itu sendiri. Politik membutuhkan
syarat yang memungkinkan (condition of sejumlah syarat. Yang paling utama tentu
possibility) politik itu sendiri. Dalam makna adanya masyarakat dan segala relasinya,
ini, yang satu menjadi “liyan” (other) bagi seperti solidaritas kelas, kerjasama religiyang lain. Liyan dalam makna ini dapat di- us, dan seterusnya. Di sini politik muncul
artikan sebagai “yang asing” (the strangers), dengan segala karakter totaliternya – sekayang berjarak satu sama lain, yang tidak lipun dalam demokrasi.
dapat diketahui secara pasti maunya, yang
Demokrasi menggantikan relasi-relasi
tidak dapat diantisipasi kehendaknya, sosial yang telah ada sebelumnya de­ngan
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 12
4/24/2014 7:48:26 AM
Pencitraan dalam Dunia Politik sebagai Contoh Mutasi Watak Totaliter dalam Demokrasi
satu dimensi tunggal yang mengatur hie­
rarki siapa yang mengatur (those who order) dan siapa yang mesti patuh (those
who obey). Ini yang disebut Lefort sebagai
“pagar ganda” (double “fence”). Di sini terjadi asosiasi hirarkis antara negara dan
partai-partai yang selalu dekat sehingga
partai selalu dianggap menjadi kekuat­
an demokrasi yang efektif. Watak totaliter politik dan demokrasi muncul karena
pada titik ini sekaligus terjadi pengkotakkotakan masyarakat. Sebagai konsekuensi­
nya, terjadi “penghancuran” ruang publik
(Lefort, 1986: 293). Artinya dalam politik,
masyarakat tidak pernah betul-betul merupakan suatu “kenyataan”, melainkan suatu
“peristiwa” yang kontingen dan partikular,
yang ada sejauh diadakan oleh mekanisme
exercise of power. Secara ironis, exercise of
power ini justru memiliki konsekuensi
mendivisi masyarakat dan menimbulkan
disintegrasi. Dengan kata lain, politik justru “menghilangkan” (annihilate) masyarakat yang justru menjadi syarat adanya politik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrilard, Jean. (1983). Simulations. New
York: Semiotext(e).
_____ (1994). Simulacra and Simulations.
Diterjemahkan oleh Sheila Faria Glaser. Ann Harbor, Michigan: University
of Michigan Press.
Bratton, Benjamin H. “Introduction”
dalam Virilio, Paul. (2006). Speed and
Politics: Essay on Dromology. New York:
Semiotext(e).
Flynn, Bernard. (2005). The Philosophy of
Claude Lefort: Interpreting the Political. Illinois, Evanston: Northwestern University Press.
Kearney, Richard. (2001). God Who May Be:
A Hermeneutics of Religion. Bloomington, Indiana: Indiana University Press.
001-[Aditya Permana] Pencitraan dalam Dunia Politik.indd 13
ADITYA PERMANA
13
Lefort, Claude. (1978). Les Formes de
l’historie. Paris: Galimard.
_____ (1986). The Political Forms of Modern
Society: Bureaucracy, Democracy, Totalitarianism. Disunting dan diberikan pe­
ngantar oleh John B. Thompson. Cambridge – Massachusets: MIT Press.
_____ (1988). Democracy and Political Theory. Diterjemahkan oleh Richard Macey.
Cambridge: Polity Press
_____ (2000). Writing: The Political Test.
Diterjemahkan oleh David Ames Curtis. Durham, North Carolina: Duke
University Press.
Macey, David. “Introduction”dalam Lefort,
Claude. (1988). Democracy and Political
Theory. Polity Press.
Machiavelli, Niccolò. (1961). The Prince.
Diterjemahkan dan diberikan pengantar oleh George Bull. Penguin Books.
Marchart, Oliver. (2007). Post-Foundational
Political Thought: Political Difference in
Nancy, Lefort, Badiou and Laclau. Edinburgh, UK: Edinburgh University
Press.
Näsström, Sofia. (2009). Democracy Counts:
Problems of Equality in Transnational Democracy. Makalah yang disampaikan
dalam Konferensi APSA di Toronto,
Kanada, 2009, dan dalam Transdemos
Workshop di Stockholm, Swedia, 2009.
Ricoeur, Paul. (1965). “The Political Paradox” dalam History and Truth. Diterjemahkan oleh Charles A Kelby. Evanston, Ill: Northwestern University
Press, hlm. 247-270
Schaap, Andrew. (2013). “Human Rights
and the Political Paradox” dalam Australian Humanities Review 55 (2013): 1-22.
Steinmetz-Jenkins, Daniel. (2009) “Claude
Lefort and the Illegitimacy of Modernity” dalam Journal for the Cultural and
Religious Theory, vol JCRT 10.1 Winter
2009
4/24/2014 7:48:26 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 14-29
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral:
Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos1
YOGIE PRANOWO2
Dosen Nasionalisme di KALBIS Institute
Pulomas Selatan Kav 22, Jakarta Timur 13210.
Surel: [email protected]
Diterima: 17 Januari 2014
Disetujui: 20 Maret 2014
ABSTRACT
Nowadays, our eyes are “forced” to feast upon the gleaming campaign advertisements of presidential candidates. Not only in screens, their personages have even packed road markings with flashy banners that bedazzle
the eyes. They are putting out a wholesale of promises and vows! But are their words merely absolute dimensions with objective values? Or are they only clichés to actualize their ambitions on the upcoming 2014 General Elections? On that, the writer wants to try once again to raise Friedrich Nietzsche’s reasoning. Because
through his thoughts, (it is as if) he wants to advise us – the soon-to-be electors in 2014 General Elections
to come – to be able to assess a person properly through the ad hominem method. If the phrase ad hominem
is commonly perceived as a type of ambiguous thinking, Nietzsche will say otherwise, that argumentum ad
hominem in all conscience has a central role in its moral genealogy, that is as a method to diagnose our outlook
of reality in a more profound way. By following Nietzsche’s advice, hopefully in the end we are able to evaluate
and decide: who will be the person worthy of the title “Indonesia’s Number One”.
Keywords: ad hominem method, moral genealogy, will, “slave” and “master” morality, perspectivism.
Pada tahun 1987 seorang pelukis-seniman,
Paul Gauguin mempublikasikan lukisannya
tentang asal-usul manusia yang mengajak kita
untuk berfikir dan mencari jawaban atas eksistensi diri kita.3 Karya ini menggambarkan
siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian—
asal-usul, identitas, dan takdir tiap-tiap individu—dan persoalan personal.
“Das Kriterium der Wahrheit lieght in der Steigerung
des Machtgefuls”
(Nietzsche, Nietzsches Werke XXVI, 45)
Saya berterima kasih kepada Dr. A. Setyo Wibowo, dosen pengajar mata kuliah Gaya Filsafat Nietzsche pada Program Pasca Sarjana STF Driyarkara, yang telah memberi banyak masukan (dalam seri kuliahnya) bagi pengembangan tulisan ini.
2
Saat ini masih menyelesaikan studi master di bidang filsafat di STF Driyarkara Jakarta.
3
D’ou venons-nous? Qui sommes-nous? Ou allons-nous? Dari mana kita? siapa kita? dan akan kemana kita? Adalah pertanyaan yang menjadi cikal bakal lukisannya. Lihat berita selengkapnya di http://www.gauguin.org/where-do-wecome-from-what-are-we.jsp.
1
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 14
4/24/2014 8:39:44 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
YOGIE PRANOWO
15
Sama seperti Nietzsche yang menganjurkan
kita untuk mengenal diri kita lebih dalam4, Gauguin seakan juga ingin mengajak kita berefleksi
untuk mengenal diri kita, dan meneguhkan
“iman” kita, agar kita tahu apa tujuan hidup
kita dan tahu kemana kita akan melangkahkan
kaki ini agar tidak terjerumus pada hidup yang
dekaden dan terserak.
Atut, hingga kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Sitok Srengenge5 terhadap
mahasiswi jurusan Sastra Jerman Universitas Indonesia menjadi bukti kemerosotan
moral bangsa ini.
Persoalan demi persoalan yang terjadi
membuat rakyat gelisah. Rakyat merasa
tak nyaman hidup di Indonesia. Perlahan
namun pasti, banyak pihak baik individu
Akhir-akhir ini, marak dijumpai per- maupun kelompok yang mulai mempersoalan pluralisme di Indonesia, mulai dari tanyakan eksistensi bangsa ini dari ber­
perselisihan antar agama hingga perang bagai tempat, dan dengan kepentingan
suku. Bhinneka Tunggal Ika yang diyakini yang berbeda-beda pula. Sebenarnya ada
menjadi “kekuatan” nasionalpun harus apa dengan Indonesia? Siapa yang harus
bungkam, ia telah menutup mulutnya. Ia bertanggungjawab atas situasi kaos ini?
tidak lagi mau bersaksi ataupun menjelas- Apakah Presiden beserta jajarannya atau
kan apa maksud dari kebinekaannya itu. masyarakat yang harus bertanggungjawab?
Dapat dikatakan bahwa Pancasila kita Kegelisahan dan ketaknyamanan ini memtinggal wacana kebangsaan yang abu abu, buat rakyat bingung untuk percaya ketak jelas juntrungannya. Alih-alih sebagai pada siapa (lagi), rakyat menjadi bingung
alat pemersatu bangsa, ideologi semacam untuk memilih, sebab tak ada yang dapat
itu malah menjadi doktrin untuk sema- menjamin secara pasti bahwa kehidupan
kin menyengsarakan rakyat. Pemerintah rakyat Indonesia di masa mendatang akan
seakan tak lagi peduli dengan nasib bang- jauh lebih baik dari sekarang. Apalagi kasanya. Hal itu dapat kita lihat dari minim- lau kita melihat sikap, dan tindak-tanduk
nya usaha pemerintah dalam mengatasi para calon presiden dan wakilnya (entah
persoalan kemanusiaan di negeri ini. Per- dari partai politik manapun), seperti tak
lahan namun pasti, negeri ini terjangkit ada perbedaan. Parpol di Indonesia tamkrisis moral akut: di sana-sini, orang si- paknya tak punya sikap tegas, dan cen­
buk dengan Blackberry, I-phone, I-pad, dan derung kekanak-kanakan. Semua tampak
Apple-nya, namun mereka juga semakin sama saja, baik partai X, partai Y, maupun
cuek dengan realita kehidup­an, tak peduli partai Z, seperti tidak ada bedanya. Mereka
lagi dengan apa yang telah terjadi dengan semua sepakat mengatasnamakan rakyat,
keadaan sekitar. Setidaknya dalam lima ta- membela rakyat, pro rakyat, dan intinya
hun belakangan ini, peristiwa demi peris- embel-embel rakyat adalah harga mati untuk
tiwa “tak bermoral” pun marak terjadi, sebuah propaganda parpol (yang sebenar­
mulai dari teror bom buku, “pe­rampokan” nya hanya sebuah kamuflase belaka). Iniuang nasabah Citybank, kasus korupsi Ratu lah yang tampak dalam peta perpolitikan
“Kita bisa mengikuti langkah-langkah nietzschean justru ketika kita menjadi diri kita sendiri. Personalitas pengalaman nietzschean tidak bisa dipahami dari luar –seolah-olah menjadi pengamat yang membedah korpus nietzschean.
Ia justru bisa dipahami manakala kita sendiri memahami pengalaman personal kita.” Setidaknya dalam kata pengantar buku Gaya Filsafat Nietzsche yang diuraikan oleh Sindhunata digunakan istilah Gnosi se auton yang bermakna: kenali dirimu sendiri! Lihat Wibowo, 2004 : xi.
5
Sitok Srengenge adalah seorang kurator seni di komunitas Salihara Jakarta.
4
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 15
4/24/2014 8:39:44 AM
16
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
bangsa kita dewasa ini. Tidak seperti di
negara-negara maju, dengan dua atau tiga
partai besar dimana posisi masing-masing
partainya berbeda. Kebijakan dan sikap
yang ditawarkanpun oleh partai tersebut
juga jelas alias tidak hanya samar-samar
berlindung di balik kata rakyat belaka. De­
ngan begitu, rakyat macam apa yang me­
reka perjuangkan pun menjadi jelas pula.
Masyarakat tidak begitu dibingungkan.
Mereka dapat melihat dengan jelas posisi
partai mana yang lebih sesuai dengan aspirasi mereka, itulah partai yang mereka
pilih. Berbeda jauh dengan di Indonesia,
dengan banyaknya partai, bukan semakin
jelas posisi dan sikap mereka, malah sebaliknya, semakin tidak dapat dibedakan, semakin tidak jelas.6
Sejak awal Februari 2014, kita sudah
dapat menemukan pelbagai atribut partai
yang menghiasi jalan-jalan kota besar di Indonesia. Mata kita “dipaksa” untuk melihat gemerlapnya iklan-iklan para kandidat
calon presiden tersebut. Mereka mengobral
janji! Namun apakah janji mereka dapat dipertanggungjawabkan nantinya dan bernilai objektif? Atau itu semua hanya klise
untuk mewujudkan ambisi mereka pada
Pemilu 2014 mendatang? Mengenai hal itu,
saya ingin mencoba mengangkat kembali
pemikiran seorang filsuf Jerman, Friedrich
Nietzsche lewat genealogi moralnya yang
berlandaskan argumentum ad hominem. Sebab lewat pemikirannya, (seakan) ia ingin
menasehati kita para calon penyoblos di
Pemilu 2014 mendatang agar mampu menilai seseorang dengan tepat lewat metode
yang ia usulkan. Jika istilah ad hominem
biasanya kita dengar sebagai salah satu jenis dari kerancuan berfikir, Nietzsche akan
6
VOL II, 2014
berkata lain, bahwa argumentum ad hominem
sesungghnya memiliki peran sentral dalam
genealogi moralnya, yakni sebagai metode
untuk mendiagnosis pandangan kita ter­
hadap realitas secara lebih mendalam.
Nietzsche menggunakan argumen ad
hominem untuk menelanjangi apa yang
diterima orang begitu saja sebagai kebenar­
an dan moralitas. Caranya menelanjangi
ber­bagai konsep kebenaran dan moralitas
suatu pemikir adalah dengan mencari relasi esensial antara pikiran atau ide dengan
pemikir bersangkutan. Cara menelanjangi
berbagai konsep moralitas seperti inilah
yang membenarkan argumen ad hominem
(Solomon, 1996: 193). Baginya, kualitas
atau nilai dari suatu pemikiran misalnya
paham moralitas tergantung pada manusia bersangkutan dan konteks dimana nilai
atau kualitas itu terbentuk. Kontekstualitas
argumen ad hominem ini bisa kita temukan
setidak-tidaknya pada dua ranah kehidup­
an praktis, yakni ranah profesional dan ranah kehidupan sehari-hari.
Pada ranah profesional, kita biasanya
mengakui dan menerima begitu saja kapasitas profesi yang dimiliki seseorang lewat
gelar yang ia sandang, atau lewat sertifikat
yang ia punya. Keahlian, sertifikasi, peng­
akuan internasional, merupakan beberapa
contoh pengandaian yang berlaku di ranah
profesional, dan yang pada akhirnya mendudukkan orang yang memegang keahlian
tersebut pada suatu posisi atau profesi tertentu. Argumen ad hominem persis melakukan investigasi terhadap pengandaian
tersebut, yakni dengan menilik objektivitas, atau semacam prinsip bebas nilai yang
diterapkan dengan sumpah atau janji, serta
diawasi oleh pranata kode etik posisi atau
profesi itu. Argumen ad hominem menilik
Bdk. dengan sebuah ulasan menarik mengenai sikap para parpol di Indonesia yang ditulis di salah satu blog alumnus STF Driyarkara, yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di Roma, Italy. http://nikolaskristiyantosj.wordpress.com/2012/08/19/parpol-butuh-sikap.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 16
4/24/2014 8:39:44 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
dasar pengandaian tersebut bukan pada
sumber pengetahuannya, melainkan pada
kaitan antara keahlian dengan pegangan
ideologinya.
Argumentum Ad hominem dan Genealogi
Argumen ad hominem7 merupakan metode
yang sering digunakan dalam kehidupan
bersama terlebih dalam berbagai dialog
ataupun debat. Bukan hal yang baru ketika
masyarakat melihat (setidaknya di televisi)
bagaimana antara satu calon pemimpin/
politisi dengan yang lainnya saling menye­
rang dengan menggunakan argumen ad
hominem. Banyak hal yang bisa dikaitkan
sebagai senjata, misalnya saja, membawa-bawa ras, agama, cara kerja masa lalu
musuh-politik bersangkutan hingga kredibilitas partai tempat sang lawan tersebut
bernaung.8 Sementara berbagai ide atau
visi yang dilemparkan terkait kesejahtera­
an rakyat tidaklah diperhitungkan bahkan tidak ditanggapi oleh pihak lawan.
Adapun tujuan penggunaan argumen ad
hominem yang dipakai tersebut adalah untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa
sang lawan bukanlah pribadi yang benarbenar sempurna dan layak memangku jabatan pemimpin.
Lalu, sebenarnya apakah layak argumen ad hominem ini digunakan dalam
YOGIE PRANOWO
17
perdebat­an? Kita bisa saja dengan cepat
langsung mengatakan bahwa argumen
ad hominem tidak tepat karena ketika seseorang menjadi seorang pemimpin, sudah seharusnyalah ia memiliki ide atau
visi yang berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat, dan tidak hanya berdasarkan
latar belakang ras ataupun agamanya saja.
Namun, argumen ad hominem tidak sertamerta secara universal dapat dikatakan
keliru. Argumen ad hominem sah saja digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Mi­
salnya, pada kasus persidangan yang di
dalamnya saksi yang memberi kesaksian
kemudian “diserang” dengan pertanyaanpertanyaan yang tidak ada kaitannya de­
ngan kasus melainkan lebih mengarah kepada kehidupan saksi tersebut. Hal itu bisa
saja dilakukan mengingat bahwa saksi bisa
jadi dibayar untuk tidak mengatakan yang
sebenarnya sehingga objektifitas dari ke­
saksiannya dipertanyakan. Jadi penekanan
argumen ad hominem adalah membongkar
hingga ke kedalaman sehingga apa yang
dianggap kebenaran benar-benar ditelanjangi, dan dianalisis kemurnian atau objektivitasnya.
Dengan strategi ad hominem, sebenarnya Nietzsche menampilkan diri sebagai seorang pemikir yang menaruh curiga
pada setiap pernyataan dogmatis, yaitu
pernyataan yang menetapkan konsep dan
Istilah ad hominem setidaknya oleh sebagian besar orang dikenal pertama kali dalam kelas-kelas logika. Memang
benar bahwa ad hominem masuk dalam ranah logika, terutama dalam “kelompok” kerancuan berfikir. Dalam buku
Pengantar Logika yang ditulis Arief Sidharta, dikemukakan bahwa argumentum ad hominem adalah bagian dari kerancuan relevansi. Lebih lanjut, Sidharta, yang mengutip Irving Copi, menjelaskan bahwa dalam kerancuan relevansi
terdapat sepuluh jenis kerancuan, salah satunya adalah argumentum ad hominem. “Kerancuan ini (argumentum ad hominem) terjadi jika suatu argumen diarahkan untuk menyerang pribadi orangnya, khususnya dengan menunjukkan
kelemahan atau kejelekan orang yang bersangkutan, dan tidak berusaha secara rasional membuktikan bahwa apa
yang dikemukakan orang yang diserang itu salah”. Lihat. Sidharta, 2010: 60.
8
Sebagai contoh, dalam majalah Indonesia 2014 no. 6, volume 1, tahun 2013, tertulis: “Dua tahun lalu, Gubernur Jawa
Tengah Bibit Waluyo dengan enteng menghinanya sebagai walikota (ndeso) yang bodoh karena menolak pembangunan mal di Solo […] Politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul pun menghinanya dengan sindiran ‘mana bisa tukang
mebel jadi capres’”. Dari ungkapan tersebut, Jokowi terlihat diserang dengan menggunakan ad hominem, karena
serangannya diarahkan kepada orang yang bersangkutan, bukan kepada argumentasinya.
7
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 17
4/24/2014 8:39:44 AM
18
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
teori tertentu untuk berlaku secara pasti dan
universal. Selain itu, ia juga mengarahkan
perhatiannya pada kecenderungan moral
seseorang yang terwujud dalam kebajikan
serta kecacatan moralnya. Kecurigaan Nietzsche tersebut dapat dipahami sebagai
semacam diagnosis. Maksudnya, Nietzsche
mendiagnosis berbagai bentuk acuan nilai
dan mengungkapkan apa yang sesungguhnya menjadi pendorong orang untuk mematuhi atau melaksanakan nilai tersebut.
Diagnosis Nietzsche ini bersifat spekulatif,
dan cara kerjanya adalah melalui penerap­
an argumen ad hominem (Solomon, 2003:
99).
Argumen ad hominem itu sendiri merupakan dasar dari genealogi moral. Artinya
dengan menggunakan metode ad hominem
sebenarnya Nietzsche ingin membongkar
apa yang di fixed-kan begitu saja, baik oleh
tradisi, maupun oleh ajaran agama. De­
ngan demikian ia ingin mencari sesuatu
nilai yang lebih mendalam dari suatu realitas. Genealogi itu sendiri bagi Nietzsche
adalah pertanyaan tentang apa yang kumaui sesungguhnya saat aku menghendaki
se­suatu. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh kehendak, itulah yang dilacak
dan dicari. Isi pemikiran filosofis, isi doktrin, dan metode saintifik digunakan hanya
sebagai symptom. Persoalan yang diajukan
oleh genealogi bukanlah kebenaran atau
kesalahan doktrin ideal, melainkan persoalan tersebut hanya diperlakukan sebagai
symptom untuk diselidiki oleh sang fisiopsikolog (Setyo Wibowo, 2004: 171). Lebih
lanjut lagi, Nietzsche mengatakan bahwa
terhadap apapun yang di fixed kan, hal
tersebut akan didiagnosis ke kebertubuhan
pemikir, ke soal bagaimana mekanisme
penghendakan si pemikir bekerja. Metode
ini mengarahkan bukan pada argumentasi
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 18
VOL II, 2014
rasional, tetapi mencari mengapa pemikir­
an seperti itu dikehendaki, dimaui, dan dipercayai (Setyo Wibowo, 2004: 172).
Genealogi juga merupakan sebuah
proyek untuk mencari asal-usul dari nilainilai. Hal ini diangkat oleh Nietzsche berdasarkan ketidaksetujuannya terhadap
pandangan tradisional yang menganggap bahwa nilai-nilai memiliki kebenaran
pada dirinya sendiri terlepas dari campur
tangan manusia. Penelusuran historis terhadapnya mau menghalau asumsi-asumsi
metafisis, sambil berpaling kepada situasi
real terbentuknya nilai-nilai tersebut. Studi
sejarah moralitas pada zaman Nietzsche
sebenarnya sudah dimulai oleh Paul Ree.
Akan tetapi, Nietzsche tidak setuju de­ngan
pandangannya karena masih memuat
asumsi-asumsi kebenaran final. Sejarah
yang dimaksudkan Ree masih bercampur
dengan teori evolusi Darwin yang mau
menunjukkan alur maju sejarah perkembangan manusia. Hal ini ingin ditolak oleh
Nietzsche.
Ree memang menyusun sebuah “sejarah moralitas” namun sejarah yang dimaksud masih berkutat dengan spekulasi
metafisis bahwa ada perkembangan linear
menuju suatu tujuan tertentu seperti dalam teori evolusi. Apa yang ditawarkan
oleh genealogi adalah sejarah yang berwarna ‘abu-abu’—tanpa cerita-cerita romantik per­kembangan manusia, yang berkutat dengan “teks hieroglif panjang, yang
sulit dipecahkan, dari masa lalu moralitas
manusia”—inilah yang tidak dimiliki oleh
Ree. Artinya, jika kita mau jujur mempelajari sejarah—dokumen-dokumen masa
lalu, kita akan menemukan kompleksitas
dan keterpecahan situasi-situasi dan kejadian-kejadian yang membentuk moralitas,
yang tidak akan bisa kita kerangkakan ke
4/24/2014 8:39:44 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
dalam sebuah alur yang rapi seperti teori
evolusi. Inilah yang ingin ditunjukkan oleh
genealogi: sejarah digunakan oleh genealog justru untuk mengungkap bahwa moralitas tidak punya “asal-muasal” (origin)
yang utuh.9
Genealogi memang sebuah usaha untuk membongkar asumsi-asumsi mengenai nilai dalam pandangan tradisional serta memberi alternatif tafsiran yang baru.
Namun, untuk mencapai hal itu orang
tidak hanya berspekulasi saja, mengkritik sana-sini tanpa rujukan yang jelas. Sebaliknya, untuk mencapai kritik semacam
itu seorang genealog harus terlebih dahulu
mencemplungkan diri di antara tumpukan
dokumen/ arsip-arsip sejarah; mengumpulkan berbagai macam sumber dari mana
saja, mempelajarinya dengan teliti untuk
kemudian menjadikannya alat membongkar asumsi-asumsi tradisional.
Genealogi, seperti dikatakan Nietzsche
dalam “Genealogy of Morals” pada bagian
pengantar paragraf dua, adalah sebuah
usaha untuk mencari asal-usul dari nilai-nilai (Nietzsche, 1956: 150). Namun, asal-usul
seperti apa yang dimaksud? Ber­hadapan
dengan dokumen-dokumen sejarah yang
menunjukkan kompleksitas ke­jadiankejadian, penyimpangan-penyim­pangan,
dan kesalahan-kesalahan, seorang genealog
tidak akan berpretensi untuk mem­perbaiki
susunan tak beraturan ini dan menyusunnya dalam sebuah skema rapi. Sebaliknya
9
YOGIE PRANOWO
19
dengan dokumen-dokumen tersebut, ia
akan menunjukkan bahwa apa yang ada di
balik nilai-nilai yang kita pegang selama ini
ternyata lahir dari segala macam kompleksitas kejadian-kejadian seperti itu, dan de­
ngan begitu punya asal-usul timpang yang
dengannya tidak dapat lagi orang berkata
bahwa nilai itu punya keluhuran yang intrinsik di dalamnya. Di sinilah letak peran
dari argumentum ad hominem yang diguna­
kan Nietzsche. Argumentum ad hominem digunakan bukan dalam rangka menjelaskan
kerancuan relevansi atau ke­salahan berfikir, namun dalam rangka ingin menunjukkan sesuatu yang sungguh real, sesuatu
yang melampaui, dan sesuatu yang bagi
para genealog penting, yakni melihat/mendiagnosis gejala yang nampak dari tindakan agar akhir­nya manusia atau kita dapat
mengetahui realitas seada-adanya.
Nietzsche menolak realitas yang
sering­kali ditujukan berada di balik dunia
senyatanya, yang menurut Plato adalah
ide, menurut Descartes adalah kesadaran,
atau bagi Kant adalah das ding an sich. Bagi
Nietzsche, realitas yang ada itu adalah realitas seada-adanya. Dalam hal ini, terlihat bahwa Nietzsche tidak ingin melihat
terlalu jauh. Baginya, justru dengan melihat ke kejauhan ke dunia di sebrang sana,
manusia seringkali lupa akan apa yang ada
di sampingnya. Nietzsche ingin menunjukkan bahwa manusia seringkali ingin mem-
Pandangan mengenai genealogi Nietzsche ini pada akhirnya dikritik dan dilampaui oleh Foucault. Apa yang dipahami Foucault sebagai genealogi dalam banyak hal masih sejalan dengan Nietzsche, yaitu dalam hal konsep dasar
dari genealogi sebagai sebuah usaha, dengan memakai sejarah, mengungkap asal-usul nilai-nilai yang akan membongkar asumsi finalitas. Namun, persis di sini juga terlihat perbedaan, bahwa Foucault menyerukan kematian
subjek sementara Nietzsche tidak sampai se-ekstrem itu. Titik perbedaan lainnya adalah bahwa genealogi Foucault
dipraktekkan di dalam sebuah disiplin studi yang ketat, bergumul dengan dokumen-dokumen sejarah, dan menuliskan fakta-fakta yang detail, sementara pada Nietzsche tidak. Dapat terlihat bahwa Foucault mengekstrimkan
Nietzsche.“Genealogy does not oppose itself to history as the lofty and profound gaze of the philosopher might compare to the
molelike perspective of the scholar; on the contrary, it rejects the metahistorical deployment of ideal significations and indefinite
teleologies. It opposes itself to the search for ‘origins’.” Bdk. Foucault, 1998: 370.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 19
4/24/2014 8:39:44 AM
20
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
buat fiksi tentang dunia yang lebih nyata
dari kenyataan. Bagi Nietzsche, cogito, das
ding an sich, dan roh absolut hanyalah kha­
yalan belaka (Wibowo, 2004: 112).
Realitas seada-adanya itu bagi Nietzsche memiliki sifat kontradiktif, ambigu, kaos, juga benar dan salah10. Namun
ia tidak berhenti disitu saja. Ia tentu saja
berusaha untuk memahami realitas seadaadanya itu melalui kata. Dan pada saat
bersamaaan, ia sadar mengenai keterbatasan kata itu sendiri. Walaupun demikian,
ia tetap menggunakan kata, namun tidak
berujung pada fiksasi sebuah idea atau
konsep. Baginya, lewat kata yang ada, pemikiran dapat membuat kita paham atas
apa yang lebih luas lagi (Wibowo, 2004:
236).
Nietzsche beranggapan bahwa realitas
bersifat kaotik dan konsep-konsep tentangnya selalu merupakan merupakan pengkata-an terlambat dalam usaha meng-kosmos-kan kaos tersebut. Realita yang kaotik
ini membuat orang terserak-serak: terlempar dari satu situasi ke situasi lain, merasakan denyut-denyut hasrat yang tidak beraturan di dalam dirinya dan sebagainya.
Manusia tidak akan tahan hidup di dalam
realita yang membuatnya terserak seperti
ini. Maka, dari dalam dirinya selalu ada
kompleksitas kehendak yang bekerja untuk
mengomando dirinya sendiri, keluar dari
situasi keterpecahan menuju keutuhan.
Namun, kehendak selalu dapat dibedakan
antara yang kuat dan yang loyo. Genealogi
adalah suatu usaha untuk mengungkap kehendak di balik setiap moralitas; apa yang
terungkap bukan masalah benar-salahnya
moralitas tersebut, melainkan kualitas ke­
hendak yang menghendakinya. Morali­
tas yang di-fixed-kan, diberi sifat ilahi,
10
VOL II, 2014
dan diluhurkan hanya menunjukkan sifat
loyo dari kehendak seseorang. Genealogi
akan memperlihatkan bahwa berhadapan
dengan realitas yang kaotik, orang tersebut tidak mampu mengukuhkan dirinya
sendiri sehingga memilih untuk mencari
pegangan di luar dirinya yang dengannya
ia merasa utuh. Hasilnya adalah moralitasbudak, yaitu moralitas yang di dalamnya
orang memberikan diri tunduk kepada
otoritas konsep-konsep atau nilai di luar
dirinya. Apa yang akhirnya tampak melalui genealogi adalah bahwa di balik nilainilai yang dianggap luhur, punya esensi,
tetap, dan sebagainya ternyata merupakan produk dari apa yang terpecah-pecah.
Moralitas bermula dari respon orang terhadap realita yang kacau. Kalau ada asalmula, asal-mula tersebut bersifat kaotik
dan penuh kesalahan. Patut diperhatikan
disini bahwa konsep ‘realita sebagai yang
kaotik’ dalam pemikiran Nietzsche harus
dimengerti sebagai peng-kata-an terlambat dari realita. Nietzsche tidak bermaksud mengungkap realita pada dirinya atau
mengakomodasi keseluruhan realita di dalam kata ‘kaotik’. ‘Realita kaotik’ hanyalah
perkataan sementara yang tidak berpretensi menemukan sebuah kebenaran akhir.
Perkataan ini tidak dimaksudkan untuk
menangkap realita yang tidak terkatakan,
yang sudah mendahului kata ‘realita kaotik’ itu sendiri.
Peran Tubuh bagi Pemikiran
Nietzsche sering mengklaim dirinya sebagai
seorang psikolog (Solomon, 1996: 180), yang
seringkali tidak ditanggapi secara serius
oleh para filsuf. Apabila filsuf menyatakan
dengan tegas tentang kebenaran dari suatu
Bdk. Wibowo, 2004: 111, 114.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 20
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
hal yang dipercayai, maka para psikolog
lebih tertarik kenapa seseorang memercayai
sesuatu. Seorang psikolog lebih cenderung
memeriksa mengapa seseorang berpegang
atau percaya pada ‘kebenaran-khusus’ sedangkan seorang filsuf memeriksa apa ‘kebenaran’ itu. Nietzsche sendiri mengatakan
bahwa psikologi-lah jalan menuju problem
yang fundamental. Namun psikologi yang
dimaksudkan Nietzsche bukanlah seperti
pemahaman psikologi modern (yang pada
umumnya). Psikologi bagi Nietzsche bukan berhubungan dengan kisah atau cerita
tentang ‘pikiran. Psikologi bagi Nietzsche
berhubungan dengan tubuh, tentang pembentukan diri melalui praktek (dinamika)
sosial beserta pengarahnya.
Apabila doktrin filosofis menyajikan
ke­universalan dan keniscayaan, maka ana­­
lisis psikologis pastilah tetap akan terikat
pada kontingensi partikular dari kerpibadi­
an atau diri seseorang. Hal tersebut bisa
terlihat pada serangan Nietzsche ter­
hadap Sokrates dimana ia malah mengejek
Sokrates sebagai si miskin yang buruk rupa
atau menyebut Kant sebagai dekadensi Jerman. Nietzsche memandang dirinya sendiri sebagai pakar diagnostik, dan filsafatnya
sendiri terdiri dari begitu banyak diagnosis
spekulatif, mengenai kebijaksana­an mau
pun sifat buruk dari mereka yang bukunya
dia baca. Argumentum ad hominem yang digunakan oleh Nietzsche tidaklah sebegitu
telak membuktikan kesalahan dengan terkadang bertitik tolak dari emosi pathetic.
Nietzsche melakukan refleksi, dan spekulasi tentang motif dan emosi tersembunyi
yang menggerakkan orang-orang tentang
“mo­ral” dan secara dogmatis membela
berbagai kepercayaan. Dia ingin memahami apa yang disebutnya sebagai “kehendak
akan kebenaran” dan dia ingin merambah
ke sifat asli dari sentimen pra­sangka tersebut sebagai belas kasih, kesaleh­an, dan terutama sekali apa yang terjadi dengan “cin-
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 21
YOGIE PRANOWO
21
ta”. Di atas itu semua, dia ingin melacak
perubah­an dari serangkaian kemunafik­
an yang khas serta tersembunyi namun
membahayakan dari emosi-emosi yang
memungkinkan munculnya sesuatu yang
kemudian kita sebut sebagai “moralitas”,
khususnya “ressentiment” beserta prinsip,
dan prasangka moralnya yang berjangkauan jauh.
Nietzsche juga merupakan seorang
pemikir yang berusaha membawa kembali peran penting tubuh bagi pemikiran.
Ia tidak setuju dengan pandangan bahwa
pemikiran adalah sesuatu yang dapat lepas
sama sekali dari tubuh. Pemikiran tidak
hanya keluar dari roh atau jiwa manusia,
melainkan dari seluruh kebertubuhan manusia itu sendiri, dari darah dan dagingnya. Nietzsche melawan setiap pemikiran
dualistik tentang manusia yang memperlawankan tubuh dan jiwa. Baginya, tubuh
adalah pemikiran dan tidak ada pemikiran
yang tidak bertubuh (Wibowo, 2004: 43-44).
Doktrin bahwa ada pemikiran yang
terlepas dari kebertubuhan hanyalah merupakan pelarian seorang pemikir dari realita
kebertubuhan yang penuh dengan impulsimpuls, keresahan-keresahan, hasrat, dan
instabilitas yang sulit dikendalikan. Hal
ini hanya akan menunjukkan keloyoan
kehendak sang pemikir yang tidak berani
berhadapan dengan realitas yang kaotik.
Dengan buah pemikiran yang mereka anggap terlepas dari tubuh: esensi, sifat tetap,
keluhuran, dan sebagainya. Mereka dapat
merasa lebih nyaman, sebab realita mereka
percayai sebagai suatu keteraturan. Apa
yang ditunjukkan dari hal itu adalah bahwa pemikiran yang mencari esensi tetap
hanya­lah ilusi akibat kesalahpahaman me­
reka atas tubuh; “jangan-jangan semua filsafat sampai saat itu hanyalah sebuah eksegesis terhadap tubuh dan kesalahpaham­an
terhadap tubuh.” Menurut Nietzsche selu-
4/24/2014 8:39:45 AM
22
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
VOL II, 2014
ruh filsafat, etika, sains, atau pandang­an yang sama di balik layar. Perjanjian damai
apapun yang berpretensi menemukan ke- selalu saja terancam oleh kekuatan baru
yang ingin meruntuhkannya. Nietzsche,
benaran akhir.
masih mengandaikan adanya pemberian
“[…] apakah bukan penyakit yang mengilhastyle atau gaya pada realitas yang menganmi si filsuf. Kebutuhan fisik yang disamarkan
daikan secara niscaya sebuah diri-seniman
dengan topeng objektivitas, ide, intelek murni,
atau subjek yang utuh (Wibowo, 2004: 253).
bisa mengambil bentuk yang mengerikan—
Di dalam pemikiran Nietzsche kita tidak
dan setelah saya menghitung ini semua, saya
hanya mengenal manusia dekaden, yang
sendiri sering bertanya pada diri saya sendiri,
terjerat di dalam permainan kekuasaan
jangan-jangan semua filsafat sampai saat itu
hanyalah sebuah eksegesis terhadap tubuh
otoritas di luar dirinya. Kita juga mengenal
dan kesalahpahaman terhadap tubuh.” (Nietzmanusia menaik, yang dengan kreativische, 2003)
tas mengolah kaos di dalam diri­nya menjadi kosmos tanpa terjebak di dalam ide
Kutipan di atas ada dalam konteks fix. Hal ini mengandaikan adanya subjek
membahas hubungan sakit dengan pe- “hidup”—yang lahir dari kompleksitas
mikiran bahwa penyakit yang tidak diha- penguasaan dorongan kaos—yang tidak
dapi secara waspada dapat membuat orang tunduk atau bergantung kepada kekuatan
mengambil reaksi yang naif, yaitu lari ke- di luar dirinya, sebaliknya mampu meme­
pada pemikiran-pemikiran final. Dengan rintah dan mengukuhkan dirinya sendiri.
ini genealogi menolak analisis pemikiran
Nietzsche tidak memaksudkan kata
yang melulu hanya berkutat pada soal dan konsep ‘kehendak’ dapat mengakobagaimana satu pemikiran kontras dengan modasi keseluruhan kedalaman realita.
pemikiran lain atau bagaimana rasionali- ‘Kehendak Kuasa’ hanyalah peng-kata-an
tas dari suatu sistem nilai. Genealogi akan terlambat dari realita yang tidak bisa bemengungkap relasi pemikiran seseorang gitu saja di­singkap sepenuhnya. Di dalam
dengan tubuhnya; pemikiran adalah ha- Nietzsche dibedakan realitas sebagai kesil dari bagaimana orang menanggapi ke- dalam-an dan realitas pada permukaan.
adaan tubuhnya yang penuh instabilitas Peng-kata-an atau konsep-konsep kita
dan keterserakan. Teori tradi­sional berang- mengenai realita hanyalah menyentuh
gapan bahwa sebuah ide dapat ditegakkan permukaan realita, tetapi tidak pernah
oleh suatu oknum karena memang sejak merengkuh ke-dalam-annya. Maka, pada
awal oknum tersebut hendak memper- pemikiran Nietzsche selalu masih diberijuangkan sebuah tujuan. Penjara, misalnya, kan ruang bagi ke-dalam-an realita yang
dibuat agar mendatangkan efek jera. Gene- tidak dapat di­singkap begitu saja. Realitas
alogi akan curiga dengan pemahaman se­ adalah kedua-duanya: ke-dalam-an dan
perti ini. Genealogi akan menyingkapkan permukaan.
bahwa apa yang mendo­rong munculnya
ide-ide bukanlah suatu tujuan rasional meMoralitas dalam Perspektif Nietzschean
lainkan permainan dominasi/ kekuasaan.
Apa yang genalogi tunjukkan malah Lewat penggunaan argumen ad hominem,
bahwa perjanjian damai itu sendiri adalah Nietzsche ingin kita melihat melampaui
wujud dari dominasi yang sedang menang. permukaan moralitas tradisional untuk
Dominasi lain tidak akan berhenti dan te­ masuk ke dalam perkembangan historus membayangi dan mengulangi adegan ris dan manusia aktual dibalik moralitas
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 22
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
tersebut (Solomon, 1996: 187). Apa yang
dianggap benar secara moral tergantung
pada konteks seperti bagaimana pandang­
an seseorang, budaya, dan pengalaman
baik dalam keluarga, teman, kelas dalam
masyarakat serta posisi finansial seseorang
(Solomon, 1996: 195). Pandangan moralitas
Nietzsche yang seperti ini sangat terkait
dengan pandangan perspektivisme yakni,
bahwa seseorang selalu mengetahui atau
berpikir tentang sesuatu dari perspektif
tertentu saja (Solomon, 1996: 195). Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana bangunan
moralitas Nietzsche juga terkait dengan
perspektivisme. Lantas pertanyaan yang
muncul kemudian adalah bagaimana menjelaskan posisi kebenaran seturut kerangka
perspektivisme dalam pandangan moralitas Nietzsche?
Pandangan moralitas Nietzsche yang
lekat dengan perspektivisme melahirkan
pertanyaan mengenai apakah ada kebenaran dalam dirinya sendiri? Perspektivisme jika tidak dibawa hati-hati dapat
melahirkan kesalahan interpretasi sehingga
jatuh pada relativisme. Ada dua kesalah­
an yang mungkin muncul yakni; pertama,
anggapan bahwa interpretasi tidak memiliki dasar dan perspektif yang satu dengan
lainnya tidak bisa dibandingkan. Kedua,
perspektivisme tidak memiliki dasar darimana suatu perspektif tidak bisa di evalua­
si kebenarannya (Solomon, 1996: 196).
Dengan kata lain, setiap pemikiran tidak
bisa dievaluasi kebenarannya karena tidak
memiliki dasar dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Anggapan ini tentulah
tidak tepat karena suatu perspektif selalu
merupakan perspektif akan sesuatu. Sa­
ngat mustahil jika kita berbicara mengenai
perspektif dari sesuatu tanpa melibatkan
perbandingan perspektif dalam kaitannya dengan “sesuatu” tersebut. (Solomon,
1996: 196). Lalu bagaimana dengan kebenaran atau fakta itu sendiri? Jawabannya
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 23
YOGIE PRANOWO
23
bisa ditemukan dalam karyanya “Beyond
Good and Evil” di mana ia mengklaim bahwa tidak ada fakta-fakta, yang ada adalah
interpretasi. (Solomon, 1996: 196).
Kebenaran terkait perspektivisme dalam filsafat Nietzsche ini harus dilihat dalam konteks moralitas yang dibangunnya.
Nietzsche membedakan dua jenis moralitas
yakni; moralitas tuan dan moralitas budak
yang diperkenalkannya lewat genealogi
moral yang tak lain adalah penyingkapan
kedok nafsu-nafsu, berbagai kebutuhan,
ketakutan, dan harapan yang terungkap dalam sebuah pandangan moralitas
(Hardiman, 2011: 232). Baik kebenaran
maupun moralitas yang berkembang dalam masyarakat adalah hasil bentukan dari
kepribadian sang pemikir dan konteks kehidupannya.
Dalam moralitas tuan, moral merupakan ungkapan hormat dan penghargaan
terhadap diri mereka sendiri. Mereka sa­
ngat yakin bahwa apa yang dikerjakan adalah baik dalam arti “ningrat” namun tidak
mengatakan bahwa moralitasnya berlaku
universal (Hardiman, 2011: 232). Bagi para
tuan, yang menjadi persoalan bukanlah
baik atau jahat melainkan apa­kah tindakan
tersebut merupakan tindakan “ningrat”
atau rendah. Berbeda dengan moralitas
kaum tuan, kaum budak sangat terobsesi
dengan persoalan yang melibatkan ka­
tegori jahat dan keutamaannya (Solomon,
1996: 206). Dengan kata lain, suatu tindak­
an dilihat mereka dalam kerangka baik
atau jahat. Salah satu contoh menarik yang
diberikan Nietzsche terhadap jenis moralitas ini adalah perumpamaannya me­
ngenai domba dan elang. Dalam perumpamaan tersebut, para domba merasa sangat
marah kepada elang yang selalu menukik
dan berusaha untuk mengambil salah satu
domba. Kemarahan para domba tidak bi­
sa dilampiaskan kepada elang ka­rena
mereka tidak mempunyai kemampuan
4/24/2014 8:39:45 AM
24
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
untuk melawan elang. Para domba yang
membenci elang kemudian membentuk
suatu pemikiran yakni elang merupakan
makhluk yang jahat dan domba sebagai
korban adalah yang baik. Berbeda dengan
domba, sang elang justru sangat menyukai
domba. Elang mencintai daging domba sehingga tidak ada alasan untuk membenci
domba-domba itu.11 Cerita tersebut menggambarkan bagaimana Nietszche melihat
moralitas di zamannya seperti layaknya
para domba. Domba-domba tersebut tidak
bisa menguasai elang dan dalam kemarahannya yang tak disertai kemampuan untuk membalas, para domba kemudian ber­
usaha menguasai elang dalam dunia nilai
dimana elang dikategorikan sebagai “yang
jahat”. Moralitas domba inilah yang disebut Nietszche sebagai moralitas kaum budak. Moralitas ini menuntut adanya suatu
universalitas moral yang menguntungkan
para kaum tertindas.
Dengan membentuk dalam pikirannya
bahwa kaum tuan adalah “jahat” maka setiap kualitas dan tindakan dari kaum tuan
pun dijungkirbalikan. Segala kualitas baik
yang dimiliki kaum tuan yakni, kedaulatan
diri, kekuasaan, dan keningratan dibenci
dan diganti oleh kualitas seperti, simpati, kelemahlembutan, kerendahan hati.
(Hardiman, 2011: 233). Moralitas budak inilah yang dipertahankan oleh kebudayaan
barat. Dengan demikian, moralitas budak
dibentuk bukan oleh kumpulan persoalan sosial melainkan oleh kondisi pathetic
dari pikiran, yang merupakan kumpulan
emosi-emosi reaktif. (Solomon, 2006: 207).
Emosi reaktif menunjukkan bahwa kaum
budak tidaklah bertindak dari diri sendiri
melainkan menunggu atau tergantung
pada aksi dari luar. Apa yang mendorong
11
VOL II, 2014
moralitas kaum budak ini? Bagi Nietzsche,
dorongan kuat terciptanya moralitas kaum
muda adalah rasa benci yang tidak bisa
disalurkan lewat tindakan (ressentiment).
Menurut Nietzsche, rasa benci ini me­
rupakan emosi yang buruk dimana bagi
kaum tuan, emosi seperti ini tidak ada dan
tidak dapat dirasakan oleh mereka (Solomon, 2006: 210). Emosi kebencian yang
dipendam oleh kaum budak ini suatu saat
meledak menjadi kekuatan yang besar
untuk mengalahkan kaum tuan. Namun
usaha mengalahkan ini bukanlah terjadi di
dalam dunia nyata seperti politik ataupun
hukum melainkan terjadi pada dunia imajiner dimana tatanan nilai dijungkirbalikkan. Dengan kata lain, ressentiment menjadi
daya kreatif untuk menciptakan nilai-nilai
(Hardiman, 2011: 233). Nilai-nilai dari manusia unggul atau kaum muda diturunkan
derajatnya sebagai “nilai yang jahat” sementara nilai kaum budak dinaikkan menjadi “nilai yang baik”. Moralitas kaum budak inilah yang dikenal sebagai moralitas
kristiani dimana segala apa yang rendah,
lemah, celaka, jelek, dan menderita malah
disebut “baik” (Hardiman, 2011: 234).
Dari penjabaran mengenai moralitas
tersebut, kita bisa melihat bagaimana Nietzsche menggunakan argumen ad hominem untuk menjelaskan apa sebenarnya
yang ada dibalik moralitas masyarakat. Ia
mempertanyakan moralitas kristiani yang
berkembang pada masanya dan mencoba
menganalisa bukan pada seberapa benar
argumen atau pemikiran terkait suatu mo­
ral melainkan mencoba menggali intensiintensi yang ada dibalik moral tersebut.
Tujuan dari analisis Nietzsche ini bukanlah pertama-tama untuk mengagungkan
moralitas kaum tuan di atas kaum budak,
Nietzsche mengilustrasikan cerita tersebut dalam teks ‘Genealogi Moral’ I, paragraf 13. Kutipan teks tersebut bisa
dilihat juga dalam: Robert C. Solomon, 2006, hlm. 204-205.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 24
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
melainkan semata-mata sebagai tanggapan
kita kepada realitas yang kaos. Ia menunjukkan bahwa kita patut merasa curiga
akan berbagai hal dibalik setiap klaim kebenaran dan moralitas. Jika kita kembali
melihat pandangannya mengenai moralitas maka bisa kita katakan bahwa moralitas merupakan hasil bentukkan dari manusia bersangkutan dan konteks kehidupan
dimana manusia itu berdiam. Namun, ia
tidak hanya bermaksud menunjukkan bahwa moralitas merupakan hasil bentukkan
dari manusia bersangkutan dan konteks
kehidupan melainkan lebih dalam dari itu
yakni, memeriksa manusia atau subjek bersangkutan apakah masuk dalam tipe manusia lemah/dekaden atau tipe kuat/ascenden (Wibowo, 2004: 171).
Kedua tipe manusia di atas memiliki
perbedaan dalam menerima realitas. Bagi
tipe manusia lemah diperlukan kebutuh­an
untuk percaya. Dalam masyarakat Eropa
saat itu, kepercayaan pada moralitas dan
ajaran kristiani masih sangat diperlukan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat
Eropa menurut Nietzsche adalah masyarakat yang dekaden atau kelompok manusia
lemah. Sementara manusia yang bertipe
kuat adalah manusia yang mampu meng­
ambil jarak dari kebutuhan untuk percaya
ini (Wibowo, 2004: 172). Dengan demikian,
moralitas kristiani tidak hanya menjungkirbalikan nilai tetapi juga menunjukkan
bahwa masyarakat Eropa saat itu masihlah
merupakan kumpulan manusia-manusia
lemah. Manusia yang lemah tergambar
jelas pada perumpamaan mengenai domba
dan elang dimana domba adalah gambaran manusia lemah. Dalam kelemahannya,
para domba menciptakan konsep “elang
sebagai yang jahat” dan mempertahankan
hal tersebut sebagai suatu kepercayaan.
Terkait dengan kebutuhan akan percaya
yang melanda Eropa Nietszche menulis:
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 25
YOGIE PRANOWO
25
“Menurutku Di Eropa saat ini kristianis­me masih dibutuhkan oleh kebanyakan orang. nya
mengapa kristianisme masih dipercaya. Karena manusia memang terbentuk seperti itu. Jika
ia membutuhkan sebuah ajaran iman, pun jika
ajaran itu dibantah dengan seribu satu macam
cara, dia tidak akan berhenti untuk memegangnya sebagai “benar”- sesuai dengan apa
yang sangat terkenal dalam kitab suci: “bukti
yang tak terbantahkan”......” (Wibowo, 2004:
175-176)
Melalui kutipan di atas kita bisa me­
ngetahui bagaimana pandangan Nietzsche
terhadap situasi masyarakat Eropa zaman
itu. Dari pandangannya mengenai kebutuh­
an akan percaya dan persoalan moralitas
yang melanda Eropa ini, kita bisa melihat
bagaimana Nietzsche berusaha sekaligus
untuk mengambil jarak terhadap realitas
dimana ia hidup. Dengan mengambil jarak
ini, ia mampu menelaah secara lebih mendalam apa yang ada dibalik moralitas masyarakat zaman itu dengan menggunakan
argumen ad hominem. Argumen ad hominem oleh Nietzsche justru dipergunakan
bukan untuk menyerang setiap pemikir­
an yang berkembang, melainkan untuk
menunjukkan bahwa setiap pemikiran termasuk di dalamnya moralitas perlu dikaji
lebih mendalam sehingga kita me­nemukan
pemaham­an yang lebih menyeluruh.
Filsafat Nietzsche tidak bisa hanya dinilai sebagai suatu pengakuan, dengan kata
lain, isi dari filsafat Nietzsche bukan hanya
terdiri dari persoalan psikologis semata.
Namun tidak berarti bahwa argumen ad
hominem tidak perlu diterapkan. Argumen
ad hominem sendiri bukanlah semata-mata
“penyerangan” atas seorang pemikir tapi
lebih daripada itu, mencoba melihat latar
belakang dan berbagai unsur yang mendorong terciptanya suatu pemikiran. Hal
di atas sesuai dengan pandangan Nietzsche mengenai suatu pemikiran atau filsafat. Filsafat bagi Nietzsche pertama-tama
bukan hanya merupakan argumen atau
4/24/2014 8:39:45 AM
26
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
penolakan sebuah argumen, tetapi filsafat
adalah sebuah keterikatan (Solomon, 2006:
217). Filsafat memperlihatkan pandangan
dari seorang filsuf dan mengartikan ke­
terikatannya dengan dunia serta relasinya
dengan manusia lain (Solomon, 2006: 216).
Dengan demikian, kita tidak hanya perlu
bertolak dari isi pandangan seorang filsuf
tetapi juga harus jeli memperhatikan apa
yang ada dibalik pemikiran tersebut.
Sebagai contoh, seseorang yang kelihat­
annya baik, belum tentu secara hakiki ia
baik. Ada motif/dorongan tertentu yang
harus diselidiki secara mendalam. Apakah
seseorang yang berkelimpahan harta yang
menyumbangkan sebagian hartanya untuk
pembangunan sebuah rumah ibadah, pada
dasarnya adalah seorang yang sungguhsungguh baik? Atau itu hanya klise, agar ia
dianggap baik? Sama halnya dengan apa­
kah para kandidat calon presiden beserta
jajarannya yang (misalkan saja) membagikan uang, sembako, dan sebagainya sungguh orang baik yang tulus membagikannya demi alasan kemanusiaan? Atau hal
itu dilakukan semata-mata hanya untuk
menarik simpati masyarakat agar memilihnya pada PEMILU mendatang? Bagi Nietzsche, konsep baik dapat ditinjau dari
dualitas makna antinominya, yaitu buruk
dan jahat. Sepanjang sejarah bagi Nietsche,
telah terjadi penjungkir-balikan nilai oleh
kaum budak.12 Budak mengatakan tidak
pada segala sesuatu yang ada diluar diri­
nya, sementara tuan mengatakan ya. Bagi
tuan, kekeliruan yang melahirkan tragedi
bagi manusia adalah sebuah keberadaan
di ranah yang keliru saja tetapi tidak jahat.
Budak digambarkan sebagai orang yang
terpecah dalam personalitasnya. Dalam
“Genealogy of Morals” bagian satu para12
VOL II, 2014
graf 15 (Nietzsche, 1956: 182-185) dikatakan
bahwa menurut Nietzsche, yang memperbudak manusia tak lain adalah adanya determinasi Allah yang ironisnya diciptakan
dalam konsep manusia yang serba terbatas. Outletnya adalah kecemburuan hebat
atau ressentiment terhadap yang berbau
moralitas tuan. Ia mengekang diri demi
pembalasan yang tidak mampu diusahakan kepada sang pemberani. Inilah yang
harus dikerjakan: Nietzsche’s ja-saagen, a reevaluation of all values, a new determination, a
new comportment toward existence. Evaluasi
nilai baik dan buruk harus dilakukan agar
manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Re-evaluasi nilai berarti melampaui apa
yang bagi moralitas popular merupakan
baik dan buruk.
Penggunaan ad hominem
Pada bulan April tahun ini, bangsa Indonesia akan merayakan tahun politiknya,
dengan agenda pencoblosan untuk memilih wakil rakyat untuk periode lima tahun
kedepan. Namun, menjelang pesta politik
tersebut, rakyat kebingungan untuk menentukan pilihannya. Rakyat bingung untuk memilih serta bingung untuk percaya
kepada siapa, sebab seperti tak ada perbedaan antara sikap parpol yang satu dengan
lainnya. Apalagi mendekati waktu pencoblosan, begitu banyak iklan-iklan yang bukan hanya ada di layar kaca televisi, tetapi
juga di jalan-jalan ibukota yang kerap menyilaukan mata karena janji-janji mereka
yang bernada sama, yakni demi kepenting­
an rakyat. Tidak jelas demi kepentingan
rakyat yang mana dan seperti apa.
Hal ini menimbulkan persoalan. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi jika
pihak yang terlibat secara khusus, pihak
“ […] that the slaves revolt in morality begins with the Jews: a revolt which has two thousand years of history behind it and
which has only been lost sight of because-it was victorious […]” Bdk. Nietzsche, 1956: 173-176.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 26
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
yang ada dalam parpol mau merefleksikan
hidupnya dengan lebih serius lagi, dengan
lebih dalam lagi. Hal itu dapat ditempuh
salah satu caranya dengan mendengarkan
dan menjalankan laku-tapa dari pemikiran
Nietzsche.
Bagi Nietzsche kedalaman ha­nya bisa
dialami sendirian lewat refleksi. Pengkataan akan kedalaman tak akan pernah me­
ngatakan kedalaman itu sendiri. Alih-alih
mengungkapkan secara persis apa yang
mau dikatakan, kata ternyata hanya topeng
atas apa yang mau dikatakan. Kesadaran
tajam akan keterbatasan kata sebagai topeng itulah yang membuat Nietzsche memasukkan dirinya pada permainan topeng.
Topeng adalah penyamaran, dan sejauh itu
pula, bagi Nietzsche, topeng adalah strategi
untuk menyampaikan kedalaman. Dalam
“The Gay Science” paragraf 381, Nietzsche
mengatakan bahwa kita tidak ha­nya ingin
dimengerti saat kita menulis se­suatu, tetapi juga supaya tidak dimengerti oleh sembarang orang.13 Dia tidak mau dipahami
secara gampangan dan meng­ajak setiap
pembacanya untuk menjadi diri­nya sen­
diri. Pengalaman kedalaman mesti dimiliki
justru supaya orang bisa menari di permukaan dengan topeng tanpa tergoda untuk
mengeraminya.
Topeng bagi Nietzsche, selain menyamarkan sesuatu di balik topeng juga ber­arti
menyuarakan dan mengkomunikasikan
secara lebih keras kedalaman yang ingin
disuarakan. Nietzsche bermain dengan topeng, bertahan di level permukaan, bukan
karena dia tidak tahu soal kedalaman tetapi justru karena dia tahu diri di depan apa
yang mendalam. Lagipula sudah kodrat-
13 YOGIE PRANOWO
27
nya kedalaman untuk selalu menyelubu­
ngi dirinya dengan penyamaran.
Mungkin salah satu sosok yang bermain dengan topeng adalah Jokowi. Kita
lihat saja, bagaimana reaksi masyarakat
ketika PDI-P mengumumkan bahwa kandidat presiden dari partai itu adalah Joko
Widodo, seorang figur yang selama ini
menjadi buah bibir dimana-mana. Begitu
banyak reaksi yang muncul, ada yang me­
ngatakan bahwa Jokowi tak harus banyak
berkampanye, karena kemenangan adalah
keniscayaan buatnya, ada pula yang mengatakan bahwa pencalonannya sebagai presiden adalah kesalahan prosedural, lantaran
masa jabatannya sebagai Gubernur DKI
belumlah seumur jagung. Dengan adanya
reaksi-reaksi tersebut Jokowi hanya bersikap tenang. Sikap Jokowi yang tenang ini
memunculkan beberapa interpretasi. Pertama, sikap tenang Jokowi ini dinilai sebagai
bukti kalau sebenarnya ia masih menyusun
sebuah strategi besar dalam “peperangan”
politik. Kedua, sikap tenang Jokowi ini
menggambarkan sosok pemimpin yang
arif bijaksana. Ketiga, sikap tenang Jokowi
ini, tak berarti apa-apa alias karena ia memang tak tahu harus bersikap apa.
Dengan pencalonannnya sebagai pre­
siden, dan jika kita mengacu pada argumentum ad hominem, maka sebenarnya kita
tak boleh begitu saja menerima superioritas
Jokowi, melainkan kita harus mendiagnosisnya seperti apa yang diusulkan oleh Nietzsche lewat genealogi moralnya. Dalam
majalah Indonesia 2014 no 6, vol. 1, tahun
2013, dikatakan bahwa Jokowi hadir dalam
momentum yang tepat. Ia hadir di tengah
masyarakat Jakarta yang merindukan figur
yang menarik seperti Jokowi. Daya tarik
“One does not only wish to be understood when one writes; one wishes just as surely not to be understood […] he didn’t want
to be understood by just anybody […]” Bdk. Nietzsche, 2003: 245.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 27
4/24/2014 8:39:45 AM
28
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
Jokowi terletak pada kebiasaannya blusukan dan gaya komunikasinya. Ia dianggap
sebagai figur yang otentik, dan itu disukai
oleh warga Indonesia, khususnya Jakarta.
Lepas dari suka atau tidak suka terhadap
sikap Jokowi, kita masih harus mempertanyakan kinerjanya di kursi pemerintahan. Selama masa Pemerintahannya di Solo,
memang harus diakui bahwa Jokowi berhasil memberikan dampak positif, namun
Solo berbeda dari Jakarta dan Indonesia.
Menangani Jakarta, Jokowi juga terlihat
begitu fasih manakala berhadapan de­
ngan rakyat kecil, ia pun berhasil merapikan pasar Tanah Abang, sehingga sekarang
pasar itu tidak lagi terlihat kumuh.
Namun kepemimpinannya dalam
menangani Jakarta masih seumur jagung,
dan kini ia telah dicalonkan oleh PDI-P
sebagai calon presiden. Seandainya ia berhasil keluar sebagai pemenang dalam PEMILU mendatang, apakah seorang Jokowi
mampu memegang tampuk pemerintahan
Republik Indonesia?
Kalau kita berpijak pada gagasan Nietzsche menyangkut strategi penerapan
argumen ad hominem, dan pandangan genealogis terhadap moralitas, pertanyaan
tersebut harus dijawab dengan menggunakan suatu diagnosis psikologis dan investigasi historis dengan terus bertanya
dan mempertanyakan kehidupan sehariharinya berkenaan dengan kebijakan atau
visi misi yang (akan) ia lontarkan kepada
publik.
VOL II, 2014
minem yang menyasar karakter personal,
dan motif pribadi seseorang sepatutnya
tidak dibuang begitu saja sebagai sebuah
kesesatan, melainkan dihargai berkat berbagai keutamaan yang telah ditunjukkan
oleh diagnosis filosofis Nietzsche. Lewat
pemikiran Nietzsche, kita diingatkan bahwa tak selamanya seseorang yang terlihat
mengumbar janji, atau yang terlihat baik
pada dasarnya sungguh orang baik. Kita
harus mampu mendiagnosisnya melampaui apa yang terlihat, sebab seringkali
apa yang tertangkap indera adalah tipuan.
Lewat pemikirannya, kita diajak berefleksi untuk setidaknya mengetahui apa
itu kedalaman, dan apa pentingnya bagi
kehidup­an sehari-hari. Dengan mengikuti
nasehat Nietzsche, harapan saya adalah
semoga pada akhirnya kita mampu menilai dan memutuskan untuk memilih siapa
orang yang cukup pantas menjadi orang
nomor satu di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Copleston, Frederick. (1963). A History
of Philosophy Vol VII. London: Search
Press.
_______. (1975). Friedrich Nietzsche: Philosopher of Culture. New York: Barnes dan
Nobles Books.
Foucault, Michel. (1998). “Nietzsche, Genealogy, History” dalam Essential Works of
Foucault 1954-1984, hlm. 369-391. New
York: New Press.
_______. (1988). Philosophy, Politics, Culture.
Penutup
Interview and Other Writings 1977-1984.
Dengan gaya argumentasi filsafatnya, yakLondon: Routledge.
ni dengan memakai analisis genealogi yang Hardiman, Budi F. (2011). Pemikiran-Pemengejawantahkan teori perspektivis­me
mikiran yang Membentuk Dunia Modern.
dan argumentasi ad hominem, Nietzsche
Jakarta: Erlangga.
menyerang ketetapan logika sebagai Hollingdale, R.J. (1985). Nietzsche: The Man
metode berpikir yang tunggal dan univerand His Philosophy. London: Ark Papersal. Dengan demikian, argumentasi ad hobacks.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 28
4/24/2014 8:39:45 AM
Peran Argumentum ad Hominem dalam Genealogi Moral: Nasehat Nietzsche bagi Calon Penyoblos
Magnis-Suseno, Franz. (1998). “F. Nietzsche: Dekonstruksi Kemunafikan”
dalam 13 Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Nietzsche, Friedrich. (2003). The Gay Science. Cambridge: Cambridge University Press.
_______. (1956). The Birth of Tragedy and The
Genealogy of Morals. NewYork: Doubleday dan Company, Inc.
Sunardi, St. (1996). Nietzsche. Yogyakarta:
LKiS.
Sedgwick, Peter R. (2009). Nietzsche: The Key
Concepts. Oxon: Routledge.
Sidharta, Arief. (2010). Pengantar Logika.
Bandung: PT Refika Aditama.
002-[Yogie Pranowo] Nasehat Nietzsche bagi Calon Pencoblos.indd 29
YOGIE PRANOWO
29
Solomon, Robert C. (1996). “Nietzsche ‘Ad
Hominem’: Perspectivism, Personali­
ty and Ressentiment’” dalam Bernd
Magnus dan Kathleen M. Higgins (Tim
Editor), The Cambridge Companion to Nietzsche. Cambridge: Cambridge University Press.
_______. (2003). “Friedrich Nietzsche”.
dalam The Blackwell Guide to Continental Philosophy. Robert C. Solomon dan
David Sherman (Tim Editor). Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Spinks, Lee. (2003). Friedrich Nietzsche. London: Routledge.
Wibowo, A. Setyo. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.
4/24/2014 8:39:46 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 30-44
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
A PLATONIAN DEMOCRACY
QUSTHAN FIRDAUS
A lecturer at the Universitas Multimedia Nusantara
Surel: [email protected]
Diterima: 28 Maret 2014
Disetujui: 4 April 2014
ABSTRAK
Artikel ini mengusulkan revisi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Revisi dimungkinkan ka­rena sejarah menunjukkan bahwa demokrasi mengalami perubahan dari masa ke masa. Belakangan, partai politik
dan elit politik menjadi dua faktor terpenting bagi arah perkembangan demokrasi di Indonesia. Oleh karena
itu, kritik Plato terhadap demokrasi, dan rekomendasinya terhadap filosof-pemimpin akan digunakan se­
bagai landasan teoritis bagi upaya untuk merevisi praktik demokrasi, khususnya untuk memilih calon
presiden di Indonesia. Akibatnya, artikel ini merekomendasikan agar dibuat serangkaian tes yang wajib
diikuti oleh seluruh warga negara untuk menghasilkan 12 kandidat pemimpin nasional di mana enam di
antaranya mewakili enam umat beragama di Indonesia, dan enam pulau besar maupun gugus kepulauan
di Indonesia. Hal ini penting guna memberikan kesempatan yang setara kepada seluruh warga negara
yang memiliki latar belakang kedaerahan serta keyakinan relijius yang berbeda. Jika kritik Plato terhadap
demokrasi, dan mekanisme perekrutan 12 calon pemimpin nasional dapat dijustifikasi, maka sebuah demokrasi model Plato barangkali dapat diterima serta dipraktikkan secara realistis. Dengan kata lain, kritik
Plato justru dapat digunakan secara konstruktif untuk membangun serta mengembangkan demokrasi di
Indonesia.
Keywords: democracy, Plato, criticism, presidential candidates, Indonesia.
1. Introduction
There is no verse in the Indonesian’s constitution (Undang-Undang Dasar) which compels that a president and a vice president of
Indonesia ought to be Muslims and Javanese individuals. However, minorities -- in
the sense of non-Muslims and non-Javanese
-- almost have no chance to be a president
and a vice president due to their numbers
and the nature of democracy which compels that majority rules.
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 30
Such nature of democracy is well reflected by this following example. Jusuf Kalla is
asked by a Christian priest whether he be
okay or not had Kalla led by a non-Muslim
president. Kalla brilliantly answered that:
“Discussing about the non-Muslim president,
we should follow the UUD 45 (constitution),
it does not require any specific religion (to be
held by a candidate). But what happen is people’s choices, which is generally based on the
4/24/2014 8:41:35 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
religious similarity. Yet, it happens not only in
Indonesia. The US, which is the Mecca of democracy, needs 171 years for a Catholic person
to be elected as a president. John F Kennedy
was the first Catholic president in the US. And
then the US needs 220 years for a black person
to be elected as the US president” (NN, 2013).
Kalla’s answer compares a socio-political reality between Indonesia and the US
where, in fact, most voters prefer a candidate who has the similar religious affiliations with voters. This comparison could
explain why the minority in Indonesia
would not be able to be a president if the
system of presidential election does not be
radically changed.
There are some available options for
minorities to be either the first or second
most important persons in this country.
Firstly, making more children and then be
the majority of this country. This option is
done by the Javanese during the Dutch colonization in between the end of eighteenth
century where the population was merely
three millions; up to the end of nineteenth
century where the population was already
28 millions. The Javanese elites establish
a myth of ‘banyak anak, banyak rezeki’ (‘the
more children, the more income’ because
children would assist their parents in farming or other works). One might reckon that
such cultural strategy is done in order to
prepare more soldiers to fight against the
Dutch. Although the Javanese do not have
adequate military weapons, but they have
more soldiers compared to the Dutch at the
time. Yet, this option seems to be unrealistic nowadays because more Indonesian
families (including the minority) just want
to have two children. They wish to spend
for education, health, and other basic needs
instead of making more children.
Secondly, minorities should be involved
in politics and they convince the public that
they are clean politicians. This scenario is
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 31
QUSTHAN FIRDAUS
31
done by Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),
a media tycoon Hary Tanoesoedibjo and
probably a district-head (Lurah) Susan.
They severely develop a political image
that minorities could be some good leaders
because there are some corrupters which
also be minorities such as Eddy Tansil, Ng
Tjuen Wie (David Nusa Wijaya), Anggodo
Widjojo, Robert Tantular, Sie Ping Tjhing
(Slamet Riadi) and others.
Thirdly, minorities should propose another way to do an election. Even though
such proposal might not be possible in the
near future, at least, we already have a political discourse and a justification for it.
Those discourse and justification would be
essential in the future. Regarding the versatile Indonesian society, we could admit
that election would not be the best way for
minority to grab some political positions
because, however, majority would not easily allow minority to win the election, and
minority are reluctant to do either the first
way or they are doubtful to do the second
way. Therefore, selecting a president and a
vice president should not be done through
election. Rather than elections, some tests
might be the best way for minority. Yet, the
ordinary democracy has no philosophical
framework to do it.
Therefore, a philosophical compounding between Plato’s ideal of philosopherleaders and democracy might be a suitable
way to do it, though we do not need to buy
Plato’s ‘king.’ Therefore, this paper will try
to answer a question: is a Platonian democracy possible as a revision for Indonesian
democracy? To answer that question, this
paper will proceed as follow. Section 2 will
discuss the Indonesian constitution and the
requirements of being a president and a vice
president in this country. Moreover, section
3 will explore roles of political parties and
elites because they have the legal right to
decide the presidential candidates. Besides,
4/24/2014 8:41:35 AM
32
A PLATONIAN DEMOCRACY
if democracy is so attractive because it allows the voting systems, then we will investigate some flaws of the voting systems
in section 4 while the concept of democracy
will be challenged in section 5. Moreover,
section 6 will inquire some theoretical possibilities of combining democracy and the
philosopher-rulers. Plato’s ideal is chosen
here because it provides a philosophical
framework to oblige the best candidate to
run the state. In contrast, democracy cannot
oblige the best candidate to run the country
if he or she does not want it. Moreover, his
philosopher-ruler is not a mere dream but
it has a historical example as we will discuss below. Section 7 will establish some
justifications for the six religious representatives while section 8 will justify six island
representatives. Consequently, we need to
discuss some appropriate tests in section 9.
Have we discussed those aforementioned
sections, this paper would hopefully be
able to establish a view which holds that an
intersection between Plato’s ideal conception of state and a democracy is not impossible. Indeed, it might be an innovation in
the contemporary practice of democracy.
2. Indonesian Constitution
Some, if not most of them, voters reckon
that the president and vice president of Indonesia should be Muslims and Javanese.
However, they do not read the constitution
carefully, and hold arbitrarily such view
based on the factual reality where Muslims
and Javanese are majority. Now, we will
explore the constitution in order to reject
such fallacious presumption. In fact, Muslims and Javanese do not actually dominate
the economic and educational process in
Indonesia. For instance, most richest persons in Indonesia are Chinese-Indonesians
(Tionghoa) while some best private schools
and higher educational institutions are
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 32
VOL II, 2014
managed by the non-Muslims and nonJavanese individuals. In other words, minorities dominate the economic and educational activities while majority commands
the Indonesian politics. But Ahok inspires
other Tionghoa persons to take roles in the
practical politics. Let us say this as the Ahok
effect. Ahok effect shows us that the minority already cross, let us say, the red line. In
other words, the Indonesian minorities are
no longer playing some minor roles in Indonesia. There might be a moral problem
here, viz., Ahok’s previous administration
in Belitung Timur indicated that democracy
cannot be merely comprehended as ‘majority rules.’ In short, democracy evolves
practically. If that is sound, then it might be
justified to redesign its concept due to its
practices which has changed. Nevertheless,
there is no legal problem with that as we
will discuss here.
The Indonesian constitution compels
some requirements such as the physical and
mental capabilities to deliver duties and obligations as president and vice president, no
treason against the state, never holds other
passport or citizenships, and should be the
Indonesian citizen since he or she was born
(article 6, verse 1). Furthermore, the president and vice-president candidates should
be elected as one package by the people (article 6A verse 1), and they have the rights to
be elected as presidents and vice-presidents
through the internal mechanism of political
parties (article 6A verse 2). Here, a moral
problem arises because political parties intercepts the citizen’s right to be elected either as president and vice-president or as a
member of parliament (in the sense of DPR)
because the participants of general election
for electing members of DPR are not citizens but political parties (article 22E verse
3). Those articles are in contradiction with
article 28C verse 2 which compels “Every
person shall have the right to improve him/
4/24/2014 8:41:36 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
herself through collective struggle for his/
her rights to develop his/her society, nation
and state.”1
Running for a presidential position is
part of one’s personal improvement in order to develop his or her nation though it
is not the one and only best way to do it.
Therefore, minority should propose a judicial review to the MK (Constitutional
Court) that there is such contradiction
in our constitution. Without this review,
minority has only one chance to grab the
presidential seat through the current presidential election. Hoping merely on the
Ahok effect is useless because, sooner or
later, majority would prepare more good
politicians to take back the seat. They do
not like to be led by a just non-Muslim and
non Javanese. For having a corrupt leader
sounds better to them insofar as he or she is
a Javanese Muslim person. Besides, minority should bear in mind that Ahok effect is
not stronger compared to the Jokowi effect.
Indeed, they have similar backgrounds and
ages. They both develop their political careers from their hometown, then jumping
to build Jakarta, and then attracting the national media coverage. If Jokowi and Ahok
run for the presidential seat separately and
the political situation proceeds in ceteris
paribus,2 then Jokowi would beat Ahok. In
other words, minority should seek another
institution to widen their opportunities to
take the presidential seat.
Furthermore article 6A verse 2 of the
constitution urges: “Each ticket of candidates for President and Vice-President shall
be proposed prior to the holding of general
elections by political parties or coalitions
1
2
QUSTHAN FIRDAUS
33
of political parties which are participants
in the general elections.” Article 6A verse
3 of the constitution states: “Any ticket of
candidates for President and Vice-President which polls a vote of more than fifty
percent of the total number of votes during
the general election and in addition polls
at least twenty percent of the votes in more
than half of the total number of provinces
in Indonesia shall be declared elected as
the President and Vice-President.” Article
6A verse 4 of the constitution tells: “In the
event that there is no ticket of candidates
for President and Vice-President elected,
the two tickets which have received the
first and second highest total of votes in the
general election shall be submitted directly to election by the people, and the ticket
which receives the highest total of votes
shall be sworn in as the President and VicePresident.” Thereby, paying more attention
to the roles of political parties and its political elites are essential whenever one wishes
to criticize democracy as we will explore in
the following section.
3. Roles of political parties and elites
Have we discussed the Indonesian Constitution, we need to examine the roles of
political parties and its political elites in
this section. This section will discuss Bottomore’s, Batstone’s, and Anderson’s views
about the political elites and the political
parties.
Bottomore doubts that the competition
between political elites and political parties would foster democracy because, as he
believes, that the theory of democratic gov-
I use the translation from this links [http://www.embassyofindonesia.org/about/pdf/IndonesianConstitution.pdf].
A Latin expression means the current condition would be the same with the future condition, given that every component works similarly with the current trend. In other words, there is no radical change in between the present and
the future.
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 33
4/24/2014 8:41:36 AM
34
A PLATONIAN DEMOCRACY
ernment is not compatible with the theory
of social democracy. The social democratic
theory contains some divisions in society
which is based on education and wealth,
with which unmistakably determine the
practice of democracy. Consequently, he
believes that democracy should provide
opportunities for the largest majority to
take decisions in society instead of some
political elites and political parties (Bottomore, 1968: 119-26).
Regarding the rapid changes in our
time, Batstone conceives the network society is a term which refers to the aggregate
conditions of a new political process and
the economic development in our rapid
time. Under the network society, the notion
of ‘community’ is replaced by ‘net’ because
our existence as citizens evolves. Community means associations which are based on
gender, religion, ethnicity or labour organization in the industrial era meanwhile it
means duties and the struggle for survival
in the agrarian era. Clear roles and obligations, and stability between personal relationships are the consequences of community. Net means our existence is completely
decided by our membership because the
most important thing here is the forms of
intelligence of our connection, its costs,
and its practices. Even though many technological developments can enhance our
performance in lives, we should not sacrifice our human potential such as goodness,
compassion, peace, joy and love (Batstone,
2001: 338-44). Batstone’s accounts mean
political elites and political parties should
pay more attention to the transition from
the notion of ‘community’ to the notion
of ‘net.’ Indeed, they may adjust political
campaigns but they should not disregard
the human potential.
Moreover, Anderson believes that elites
or leaders always play significant roles in
the contemporary South-East Asian politics
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 34
VOL II, 2014
as is shown by Philippines, Thailand, and
Indonesia. He furthermore argues that we
could borrow Tacitus’ account of history
which is determined by two factors. Firstly,
the bad morality of leaders. Secondly, the
chance which is completely unpredictable.
Besides, Anderson explores the term ‘democratic fatalism’ which consists of three
factors. First of all, the Western democracy
could not be transcended in the sense that
other forms of politics would work no better.
Secondly, all countries would only need to
calmly wait because there is no alternatives
to the Western democracy either sooner or
later. Thirdly, no need to be excited because
the Western democracy would appear itself, and cannot be transcended. Anderson
calls this as ‘the half-logical conclusion.’
The Western democracy needs the notion
of nationalism to deflect the expansion and
splintering of democracy. Nationalism here
means solidarity and the collective imagination. Indeed, someone might reckon that
what happen in Indonesia, Philippine, and
Thailand is the lack of nationalism instead
of democracy (Anderson, 2001: 41-5). In
other words, either political parties or its
political elites exaggeratedly command democracy in some negative ways. Roles of
political parties and political elites should
be put proportionally. The tickets for presidential candidacy should not be given by
the political parties because it creates oligarchy in the party, and we do not want
that our democracy transforms into ochlocracy. This cannot be continued even though
the voting system seems to be so attractive
in democracy. Therefore, we need to check
whether or not the voting system has less
problems in the next section.
4. Voting systems
Here, we will discuss an implication of democracy, to wit, the voting system. Walzer
4/24/2014 8:41:36 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
reckons the bloc voting (a new voting behavior in the US) as a very useful political
mechanism for maintaining the political
equality; and transferring political resources among different states (Walzer, 2004: 42,
58). Bloc voting itself is trading a certain
political votes with another political preferences across different states in the US for
the sake of greater political aims and some
vested interests. Such might be bad because,
firstly, manipulating deliberately the voters’
decisions, and secondly, violating the principle of secrecy in deciding their political
decisions, given that such principle is taken
for granted in an election.
Moreover, Hartvigsen explains further
about such political behavior in the American Electoral College System. Bloc voting
could be categorized as a part of strategic
voting, viz., for increasing the probability
of preferred political outcome, some voters choose another political candidates.
This behavior is made possible by the vote
trading which bartering some votes in between two different states at least. Thus, we
should identify the lost states and the swing
states and then registering each voter who
wish to exchange with another voter in
other states (Hartvigsen, 2008: 13-6). Therefore, each voter exchanges his or her votes
equally. Hartvigsen gives an example:
“The first step in vote trading was to identify
the swing states, where Gore and Bush were
neck and neck (like Florida) and the ‘‘lost’’
states, where Bush had a big lead (like Texas).
Nader supporters (whose second choice was
Gore) in swing states and Gore supporters in
lost states would be asked to sign up at an Internet site. When one of each type had signed
up, the site would put the pair in contact with
each other and ask them to trade votes. That is,
the Nader supporter would vote for Gore and
the Gore supporter would vote for Nader. Thus
Gore would have a better chance of winning
the swing state (hence the election) and Nader
would receive the same number of votes nationally. In particular, Nader’s chances of get-
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 35
QUSTHAN FIRDAUS
35
ting 5% of the popular vote (and hence receiving federal funding in the next election) would
not be hurt and Nader supporters would at
least be voting for their second choice...” (Hartvigsen, 2008: 16).
Hartvigsen conceives the vote trading
is fair because the barter process is done
sincerely and it uses no money. Indeed, the
notion of sincere is so important in Hartvigsen’s account whether or not a voting
behavior could be taken as cheating. In a
nutshell, Hartvigsen considers the vote
trading as merely a political persuasion and
a fair game in an electoral system (Hartvigsen, 2008: 16-20). Consequently, the idea
of strategic voting and vote trading might
handicap democracy in a certain limited way because the swing and lost states
could have more determination compared
to other states, and individuals do not vote
secretly.
The issue of secrecy deals not only with
the voters’ decisions but also causing, according to Cassati, a moral dilemma. On
the one hand, accuracy in counting the
votes could be improved but it does not
mean that secrecy could be guaranteed by
the practice of counting as well. Indeed, the
voters’ knowledge of the counting system
is decisive for the issue of secrecy: whether
or not voters be aware with the process of
counting the ballots. For instance, when
ballots are mixed and be opened in an urn,
this is the limit of secrecy in an election. On
other hand, the issue of accuracy is delegated by the issue of secrecy in election. Thus,
an election requires not only accuracy and
secrecy but also transparency in the sense
of all voters could access and understand
the mechanism of election comprehensively (Cassati, 2010: 20-2).
In short, the voting system contains
some flaws which certainly reduce the
quality of democracy. Yet, democracy has
no alternative. Unfortunately, democracy
4/24/2014 8:41:36 AM
36
A PLATONIAN DEMOCRACY
VOL II, 2014
has other problems which deal with its
democracy could only extenuate some
owned concept as we will discuss in the
conflicts (Schmidt, 2008: 235).
next section.
5) The idea of democracy is messy in the
sense that it be the place for contesting
different claims and never be complete
5. Incoherency of democracy
(Schmidt, 2008: 237).
The coherency of the concept of democracy 6) Democracy initially appeared as a
peaceful process of succession in the
is put at stake because its concept evolves
political power, and democracy is justiacross history. When an idea changes its
fied in order to avoid violence in such
practices, then it might affect its owned
transition (Schmidt, 2008: 239).
concept. Therefore, this section will discuss
the evolving meanings of democracy since 7) Democracy always deals with the
change of power, the liberation of hisits beginning in Athens, and some meantory, and the future. Indeed, our future
ingful criticism against democracy.
contains two determinants, to wit, techFirstly, I will expose Dennis Schmidt’s
nologization and globalization. Indeed,
criticism against democracy. He reckons:
the ancient question of democracy
1) Demographics and democracy links
(‘who counts’) tallies with globalizaeach other because the early use of the
tion where individuals matter and they
word ‘democracy’ deals with the mamust count (Schmidt, 2008: 242).
jority of the people as is founded in
Aeschylus’ The Suppliant Maidens (463
Premise number five is tempting beBCE). Additionally, Pericles argues
cause
the notion of ‘never be complete’
that the Athenian people are a form
of democracy because the participa- might mean democracy would not decide
tion in governing is taken by the many which claim is true or which claim would
be used in the system. Therefore, democ(Schmidt, 2008: 228-9; 230-1).
2) Democracy implies a line to the people racy merely accumulates various claims
who be inside of it and they who be without solving it or, on the other hand, it
outside of democracy. Such refers to only extenuates conflicts as is reflected on
the question of who counts in democ- premise number four. In short, democracy
racy. For example, only 30,000 out of is fulfilled with either sound or unsound
250,000 persons who be considered as arguments.
Secondly, Raphael interestingly argues
citizens in Athens in the fifth century
that there are some inconsistencies in deBCE (Schmidt, 2008: 228; 231).
3) The inside of democracy contains two mocracy which deal with Lincoln’s actypes of questions. Firstly, the question count, a gap between the representative
about the process of democracy. Sec- government and the representative bodies,
ondly, the question about the majority. Burke’s distinction between the notion of
Additionally, democracy is naturally representatives and delegations, and Monsimilar with chameleon which is able to tesquieu’s separation of power in democraadjust but it is still be itself (Schmidt, cy. Raphael’s argument proceeds as follow.
Democracy deals with equality and liberty.
2008: 232; 234).
4) Democracy has two obligations. Firstly, Indeed, it strives to balance a tension beto the equality of people. Secondly, to tween the notion of liberty and equality. In
the liberty of individual. Consequently, some democratic countries, one outweighs
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 36
4/24/2014 8:41:36 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
another such as in New Zealand after the
Second World War where the equalitarian sentiments outweighs liberty (Raphael,
1970: 143-4; 164).3 Lincoln’s compelling description of democracy as ‘(a) government
of the people (b) by the people (c) for the
people’ is a bit vague because (a) actually
functions in all types of government while
(c) works within the regime of despotism
because it would serve all -- or at least the
majority’s -- interests though there is no
consensus among all citizens -- including
the minority -- for doing so. Indeed, Raphael believes that the necessary meaning
of democracy is only (b) with which reflects
the principle of equality in the sense of participation in electing a government, though
Raphael admits that (b), by itself, is impossible (Raphael, 1970: 146-7; 155).4 Even
though democracy implies a representative government, the decision-making process is done by the representative bodies
because the ordinary individuals involve
to the extent of casting votes in elections.
Practically speaking, people choose which
persons to take seats in an oligarchy (Raphael, 1970: 147). Indeed, Burke’s distinction of a delegate and a representative is
essential to democracy. A delegate means
that a politician works only as a mirror for
his or her constituents while a representative implies a certain degree of freedom to
judge some political issues based on his or
her conscience. Yet, the system of political
party interrupts the work of representatives (Raphael, 1970: 149). He furthermore
reckons that Montesquieu’s separation of
power does not work in all democratic government. It works in the US with its check
QUSTHAN FIRDAUS
37
and balance system but does not function
in the UK where some top executives be
the members of legislature. He believes
that Montesquieu put emphasize on the judiciary’s independence from the executive
(Raphael, 1970: 154-5). In short, Raphael’s
critiques strike the concept of democracy.
Consequently, one might say that the concept of democracy is not coherent.
If democracy evolves in history, then its
coherency might be put at stake. Plato attacks democracy because it cannot oblige
some potential candidates to lead the country as well as democracy allows everyone
to run for office, no matter they are competent or not. Such might not violate the
coherency of democracy but it contributes
to the weakness of democracy instead. In
other words, Plato’s criticism against democracy is actually fruitful in the sense it
could be used by us to revise the practices
of democracy at least in Indonesia.
6. Democracy and the Philosopher-Rulers
Democracy might learn from capitalism
about the latter’s way to survive in history.
An important keyword for capitalism is its
ability to do self-reflection which means
capitalism has no doubt to radically adopt
any criticism against capitalism for the sake
of its survival. Similarly, democracy might
adopt any criticism against itself in order
to survive here and now. Therefore, this
section will deal with an ancient critique
against democracy viz., Plato’s criticism
over democracy in The Republic that proceeds as follow:
Interestingly, Raphael mentions Tocqueville’s account that the American democracy show the notion of equality preponderate liberty. However, one might easily rebut such opinion nowadays where American democracy puts more
emphasize on liberty compared to equality as clearly be shown by the US’ foreign policy to invade other countries
after 9/11. In other words, the US undermines the notion of equality among states.
4
I myself give the alphabets a, b, and c in those brackets.
3
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 37
4/24/2014 8:41:36 AM
38
A PLATONIAN DEMOCRACY
1) Democracy comes out from oligarchy
especially when rulers in the oligarchic system wish to accumulate the
wealth that they currently possess.
Since the disciplinary citizens cannot
coexist with the love of money, then
one should be neglected for the sake
of another. Here, oligarchic rulers tend
to sacrifice the disciplinary citizens for
the sake of earning more money. Consequently, they violate the law, barring
youths to accumulate their money, and
pushing people to spend their money
prodigally (1983: 373).
2) Have ordinary citizens become poorer,
they would be easily provoked by someone to do rebellions. Here, democracy
appears when civil rights are equally
distributed to all citizens, and the poor
win the fight against the rich. Consequently, freedom and liberty arises for
all individuals as well as it contains versatility though lacks of principles (1983:
375; 377).
3) Nevertheless, democracy is merely a
place for reshaping the constitution
because the freedom that is preserved
by democracy. In addition, democracy
cannot force some talented individuals
to lead the country as well as cannot
compel them to go to war -- though we
know that some democratic countries
implement conscription in a few centuries after Plato (1983: 375-6).
4) Democracy shamefully provides opportunities for all people -- including they
who are not well trained in leadership,
education, military services and other
necessary skills to run a country -- to
seat in government. Consequently, government is fulfilled with persons who
always show the unsound arguments,
5
VOL II, 2014
and there is no restrictions in their lives
with which would benefit people (1983:
376-81).
Moreover, Plato proposes the philosopher-king as an ideal national leader. It
might mean two things. Firstly, his agreement to monarchy where the top leader is
a king. Secondly, his rejection to democracy
which contains no king. Additionally, a philosopher could not compete against politicians in democracy because they would
prefer to criticize the democratic regime instead of governing it. However, we will use
the notion of philosopher-rulers instead of
philosopher-king because the previous has
a wider scope compared to the latter. Plato’s
argument on the important of philosopherrulers proceeds as follow:
1) Philosophy and power should be handled by the same person in order to
solve problems in a country. Therefore,
a philosopher should be a king or otherwise a king should be a philosopher
though he reckons such is a paradox
(1983: 263).
2) Furthermore, he defines a distinguish
feature of philosopher as loving all disciplines which could assist to disclose
the unchanged reality, and loving truth
as well as hating an untruth (1983:
277-8).
3) Some necessary knowledge should be
mastered by the philosopher such as
arithmetic, geometry (either the plane
one or the solid one), astronomy, and
harmonics (1983: 332-41).5
4) Those philosopher-ruler candidates
should be trained from they were 15
years old. Therefore, the state ought to
take them out from their family for the
sake of creating the ideal society quickly.
Furthermore, those candidates would
Plato records Socrates’ interesting explanation for it viz., “I think we may say that, just as our eyes are made for astronomy, so our ears are made for the movements of harmony...” (Plato, 1983: 340).
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 38
4/24/2014 8:41:36 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
QUSTHAN FIRDAUS
39
do three things in cycle for the rest of
their lives. Firstly, doing philosophy.
Secondly, doing politics. Thirdly, ruling
the state (1983: 354-5). It is important to
be noted that Plato does not refer such
society to the Spartan because he partially rejects the latter and indicate it as
what he calls as Timarchy.6
majority could not be simply taught reasonably, and this conviction underlays his
rejection to democracy (Beauchamp, 2007:
284-6).
Beyond democracy, there are two other
institutions which command the practices
of democracy. These institutions determine
whether or not democracy would prevail
viz., the rule of law and constitutionalism.
Additionally, Silverman proposes two Mandelbaum conceives constitutionalism,
theses about the philosopher-rulers. First- rule of law, and democracy as below:
ly, every rational individual is able to be
“If democracy is an invention of the Greeks of
a philosopher, and secondly, there is no
antiquity and constitutionalism an innovation
ideal form of state for such philosopherof Great Britain in the age of absolutism, the
rulers. If philosophers could not create an
rule of law has its origins in ancient Rome. The
ideal state for the philosopher-rulers, then
practice was lost for centuries, then revived in
philosophers should educate all persons
medieval Europe and in particular in the British Isles” (Mandelbaum, 2003: 270).
to be philosophers. Yet, they would face a
significant problem viz., the rational euTherefore, the pre-ancient Rome-dedaimonism where happiness -- in the sense
of psychic harmony -- is the ultimate aims mocracy has nothing to do with rule of law
of all persons. Therefore, minimizing the as well as the pre-Great Britain-democracy
bodily needs is the key to purifying the has nothing to do with constitutionalism.
state though cannot clean it at all from the In other words, democracy develops itself
rational eudaimonism (Silverman, 2007: 42- from time to time. Next, one cannot say
that a Platonian democracy is not possible
69).
Furthermore, Beauchamp gives a chal- at all because Plato’s philosopher-rulers
lenging interpretation of The Republic. First- has an historical example. Some historical
ly, justice is the harmony between workers, examples of philosopher-rulers are:
auxiliaries, and rulers who play their own a) Ibnu Sina (Avicenna) as the vizier (Wazir azim) or a chief minister in the adroles well. These three divisions of labour
ministration of Sultan Shams al-Dawlah
are consistent with a just man who compris(1015-1022) of the Buwyhid dynasty in
es appetite, will, and reason. Nevertheless,
Ray (Iran) (cf., Bakker, 1978: 44; Watt,
we cannot change the intrinsic nature of a
1987: 116-7).
man because the psychological conditions
have a certain limits as well as silver cannot b) Nizam al-Mulk (1018-1092) as the vizier
of the Seljuk sultans. His writing is The
be changed into gold. Thereby, obliging laySiyasat-nama or Siyar al-muluk which
men to follow what the philosopher-rulers
is failing to be accomplished. Furtherorder is taken for granted because laymen
more, he also appointed Al Ghazali as
could not decide by themselves rights and
the head of the Nizamiyyah College
wrongs. Interestingly, Plato conceives the
6
Timarchy or Timocracy is an ambitious society with the competitive spirit where they just prioritize their love for
money as the oligarchy does (Plato, 1983: 363).
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 39
4/24/2014 8:41:36 AM
40
A PLATONIAN DEMOCRACY
at Baghdad in AH 484/AD 1091 (cf.,
Kojiro, 2008; NN, 1999).
Beside Plato, Aristotle also rejected democracy for some reasons. Biondi thinks
Aristotle ranked some systems from the
worst to the best as follow: tyranny (the
one), oligarchy (the few), democracy (the
multitude), polity (the many), aristocracy
(the few), and kingship (the one) (Biondi,
2007: 179). Nevertheless, this might be her
weakest point because between the worst
and the best systems have no much differences. Both are about one person who rules
justly or unjustly. Even though kingship is
the best constitution for Aristotle, Biondi rebuts it because, as Aristotle does agree with
this, a king tends to be distracted by his passions, and he has limitations in his knowledge. Therefore, a king cannot be regarded
as a divine leader (Biondi, 2007: 180). Aristocracy outnumbers polity because not all
individuals could be considered as citizens.
Indeed, Aristotle defines citizens as they
who have the capabilities to take part in judicial and deliberative office (Biondi, 2007:
181). Yet, Aristotle himself suggests that we
should learn what is attainable, easier, possible, instead of pursuing merely the best
one because not all people could achieve
the best one (Biondi, 2007: 185). Similarly,
Grayling interestingly notes:
“With Plato and after him Aristotle against it,
democracy had small chance with later thinkers. Renaissance thinkers assumed that democracy promised nothing but unlimited turmoil.
Enlightenment thinkers saw it as a threat to
virtue. The founding fathers of the United
States believed it would lead to a dangerous
equalization of property. And as the much
grudged change towards today’s simulacrum
of democracy began in Britain in 1832, its opponents lamented that they were being sold to
the mob, because for them democracy meant
only the terrors of ochlocracy as experienced in
the French revolution...Most of the major West-
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 40
VOL II, 2014
ern democracies are very imperfect, and rely
on the population’s general acceptance of their
imperfections in return for more or less satisfactory performance otherwise. The imperfections in question include always producing
governments elected by an absolute minority
of voters...” (Grayling, 2010: 141-2).
Such implies we need no worries to
criticize democracy because democracy
is usually attacked by many philosophers
across history because they do realize the
imperfections of democracy. Yet, if we do
nothing about those imperfections, then
our democracy would not develop well.
7. Six religious representatives
This section will deal with the geographical and religious complexities of Indonesia.
Should we regard those complexities, we
need to adjust Plato’s philosopher-rulers
to the Indonesian socio-cultural settings
where it contains five big islands and approximately 17,000 islands across the archipelago. Indeed, there are six religions and
faiths which are recognized by the state.
Therefore, the state cannot arbitrarily pick
all teenagers from the age of ten, as Socrates suggested, because we should consider those plurality.
Islam, Catholic, Christian, Hindu, Buddhism, and Confucianism are acknowledged by the Indonesian government. This
paper suggests that the election commission organizes six tests, which will be discussed in section 8, in each religious community in order to find out six persons to
represent their religious communities. This
test is done in order to provide an equal
opportunity for all candidates to compete
within their owned religious communities.
Moreover, religious organizations should
not monopolize either the candidates or the
selection criterion due to denominations or
its single religious authority.
4/24/2014 8:41:36 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
Selection for these six candidates ignores ethnicity and probably gender. They
would be combined with another candidate
who is selected based on ethnicity in order
to determine who would be a presidential
candidate and also a vice-presidential candidate. Consequently, if there is a combination which shares either a similar religious
and ethnic backgrounds, then they cannot
be considered as a cheating but is merely a
result of a set of fair tests. They who are lost
in competition have only another chance to
take the future tests.
I myself have a conjecture that Muslim
candidates might face some difficulties as
well as some advantages. Firstly, Muslim
candidates will compete with approximately 80% Indonesian Muslim citizens (assuming that all Indonesian Muslims would take
the tests) while other religious candidates
will compete with less than 20% citizens
in their owned religious communities. In
other words, Muslim candidates would
struggle harder compared to other religious
candidates. It seems unfair but it does fair
for Muslim candidates because it provides
some opportunities for some brilliant Muslim candidates to win the tests. Money will
have no determination in this mechanism,
given that the tests would proceed fairly.
Additionally, Indonesian Muslims could
realise that themselves are left behind in
education compared to other religious
communities in Indonesia. Consequently,
Muslims would prepare themselves with
good education in the long run.
Secondly, Muslim candidates might
lose whenever they are challenged by other
religious candidates in tests. I myself have
nothing to say about this but preparing
Muslim candidates with the best education
which they could access either in Indonesia or overseas. Had they failed to access
it, then they would be looser for some selections. However, I believe that there are
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 41
QUSTHAN FIRDAUS
41
some Muslim tycoons who would pay the
costs. In a nutshell, Muslims do not need
to worry that they would be led by a nonMuslim president.
8. Six island representatives
This section contains a short discussion
about representations of big islands in the
archipelago. There are six big islands in Indonesia, viz., Java, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Papua, and a set of islands between Bali and Nusa Tenggara Timur. Each
island contains various ethnicities which
could not be represented well. Moreover,
some ethnics live across those main islands.
Thereby, using six islands as a category
might be the best way to represent the cultural diversity in Indonesian politics. Each
island should organize some tests in order
to search for a single person who would
represent the island. This presidential candidate might be a Muslim, a Christian, a
Catholic, a Hindunese, a Buddhist or a Confucian believer but he cannot be considered
as a representation of those religious communities. Indeed, he should be considered
as a representation of his island.
Some islands between Sulawesi and
Papua could choose whether they would
be included into the previous or the latter.
Otherwise, their affiliation might be decided by their province. For instance, people
in Tual should be tested in the region of
Sulawesi instead of Papua because they are
part of the province of Maluku though they
are closer to Papua geographically. Such
account might be implemented in other islands across the Indonesian archipelago.
These divisions are necessary because
of two important things. First of all, there
is no Indonesian president with a cultural background from outside Java unless
Habibie. Secondly, there were some historical events, such as rebellions, through time
4/24/2014 8:41:36 AM
42
A PLATONIAN DEMOCRACY
in Indonesia -- such as PRRI, Permesta, NII,
GAM, RMS, OPM and others -- which deals
with injustices.
By implementing the idea of taking one
presidential candidate from each big island
in Indonesia, the issue of unjust Javanese
political domination would be solved once
and for all. Nevertheless, some Javanese
might reckon that this is unfair but they actually enjoy a vast growing number of Javanese educated people compared to people
in Papua, Tulang Bawang, Nusa Tenggara
Timur, and other regions. Indeed, those
Javanese educated individuals outnumber
the Minangkabaunese educated people
who painstakingly built this nation on the
last century (Tan Malaka, Hatta, Sjahrir,
Agus Salim, Natsir, and others). In other
words, they need no worries to be beaten
by other ethnics in the tests.
9. Tests
There are many kinds of leadership tests
but we need at least two general tests, viz.,
the IQ and EQ tests. Other tests might be
conducted but those tests should share the
same criterion which will be discussed in
this section. Firstly, I suggest that the tests
are compulsory for all citizens, and we seek
for the highest result as well as a balance
result among those tests. A balance higher
result is better than a mere higher result because leading a nation requires a balance
between the intellectual abilities and the
emotional abilities.
Moreover, tests ought to be done fairly,
openly, and interactively. An organization
such as KPU (the general election commission) supposes to be established in order to
organize the tests. Members and officials of
KPU have no rights and duties to compete
in the tests as well as military officers do
not have the similar rights. Results of tests
have to appear right after the test are con-
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 42
VOL II, 2014
ducted. This is crucial because the longer
the results appear, the bigger chance for
cheating.
Elections induce the accumulation of
wealth to be spent on the candidacy, but
tests provide the same opportunity for all
citizens to be a national leader as well as
compelling all citizens to prepare themselves academically. They who do not wish
to be a national leader might pretend to be
stupid in the tests but their track records
might be checked as well to make a comparison. A legal punishment might be necessary had there were some individuals
who pretend to be stupid.
Some necessary subjects to be tested are
civic education, mathematics, Bahasa Indonesia (not necessarily English), geopolitics,
and others. Civic education is indispensable here because a national leader should
not deliver some racist comments as well as
should not govern unjustly. His willingness
to represent Indonesia might be reflected in
his tendency to use Bahasa Indonesia either
in the country or overseas. Thereby, testing
all presidential candidates in a Bahasa Indonesia test is essential. Moreover, their
knowledge in geopolitics determines the
existence of a country because it deals with
the power of a state itself and its economic
geography.
Arithmetic, geometry, astronomy, harmonics, and dialectic might also be necessary to be tested as Plato suggested. Additionally, some other tests might also be
essential such as the leadership test, the
psychological test, the SQ (Spiritual Quotient) test, the health test, the lying test, and
other necessary tests. The winners are decided by a combination between the highest
result and they who achieve a balance result among those tests. Have we got twelve
candidates, then they should be tested as a
couple. Now, a fair mechanism to pair off
them is by casting lots. On the contrary, po-
4/24/2014 8:41:37 AM
A PLATONIAN DEMOCRACY
litical lobbying should be avoided here because it would destruct the importance of
ethnic and religious representations.
Those tests are hopefully able to provide some equal opportunities as well as
obliging some potential individuals to lead
the country. In contrast, current democracy
cannot oblige some potential candidates to
do the same because it lacks reasons of why
they should run for office instead of, for instance, keep doing business.
10. Conclusion
The concept of democracy extends across
history since its appearance and practices
in the five century BCE Athens. Therefore,
we might develop the concept of democracy as we have discussed above. One might
think that a combination of Plato’s concept
of philosophers-rulers and democracy is
not compatible. Yet, democracy itself is not
a static concept which means that we have
an opportunity to develop it locally. Moreover, an equal opportunity for all citizens
are provided by these tests because all citizens should follow it. Tests do not mean
that this proposal violate the principal of
democracy which imply elections. Elections are only able to produce some representatives who are rich enough to pay
the costs of campaign as well as those representatives might be dominated by some
majorities in the sense of religious and ethnic communities. In contrast, selections are
paid by the state, and all citizens are compelled to follow it. Additionally, this proposal strives to establish an equal symbolic
representation for all religious and ethnic
groups in Indonesia. Indeed, a Platonian
democracy proposal could be justified insofar as it does not violate the Indonesian
constitution (Undang-Undang Dasar), and
providing an equal opportunity for all citizens. The philosopher-rulers are not mere-
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 43
QUSTHAN FIRDAUS
43
ly Plato’s imagination but it reaches its
manifestation about fifteen centuries after
Plato’s lifetime. Thereby, re-implementing
his idea is not impossible at all nowadays.
Bibliography
Anderson, Benedict. (2001). Democratic Fatalism in South-East Asia. In NN. The
Alfred Deakin Lectures: Ideas for the future of a civil society (pp. 40-58). Sydney:
ABC Books.
Bakker, JWM. (1978). Sejarah Filsafat dalam
Islam. Yogyakarta: Kanisius.
Batstone, David. (2001). Virtually Democratic. In NN. The Alfred Deakin Lectures:
Ideas for the future of a civil society (pp.
338-44). Sydney: ABC Books.
Beauchamp, Gorman. (2007). Imperfect
Men in Perfect Societies: Human nature
in utopia. Philosophy and Literature 31,
280-93.
Biondi, Carrie-Ann. (2007). Aristotle on the
Mixed Constitution and Its Relevance
for American Political Thought. Social
Philosophy and Policy, 24 (02) 176-198.
Bottomore, T. B. (1968). Elites and Society.
Middlesex: Penguin Books.
Casati, Roberto. (2010). Trust, secrecy and
accuracy in voting systems: the case for
transparency. Mind Soc 9, 19–23.
Grayling, A. C. (2010). Democracy. In A. C.
Grayling. Ideas that Matter: A personal
guide for the 21st century (pp. 139-43).
London: Phoenix.
Hartvigsen, David. (2008). The Manipulation of Voting Systems. Journal of Business Ethics 80, 13–21.
Inston, Kevin. (2010). Representing the
unrepresentable: Rousseau’s legislator
and the impossible object of the people.
Contemporary Political Theory 9 (4), 393–
413.
Mandelbaum, Michael. (2003). The Ideas
that Conquered the World: Peace, democ-
4/24/2014 8:41:37 AM
44
A PLATONIAN DEMOCRACY
racy, and free markets in the twenty-first
century. New York: PublicAffairs.
Nakamura, Kojiro. (2008). AL-GHAZALI,
ABU HAMID (1058-1111). Ghazali.Org,
January, 25th, 2008. Could be accessed
at [http://www.ghazali.org/articles/gz1.
htm]; last accessed January, 16th, 2014.
NN. (n.d). The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia: As amended by the
First Amendment of 1999, the Second
Amendment of 2000, the Third Amendment of 2001 and the Fourth Amendment of 2002 (unofficial translation).
EmbassyOfIndonesia.Org. Could be accessed at [http://www.embassyofindonesia.org/about/pdf/IndonesianConstitution.pdf]; last accessed December
24th, 2013.
NN. (1999). NIZAM al-MULK. MuslimPhilosophy.Com, 1999. Could be accessed at
[http://www.muslimphilosophy.com/
ei2/nizam.htm]; last accessed January
16th, 2014.
NN. (2013). Bagaimana Jika Presiden dari
Non-Islam? Ini Jawaban Jusuf Kalla. JusufKalla.Info, June 2013. Could
003-[Qusthan] A Platonian Democracy.indd 44
VOL II, 2014
be accessed at [http://jusufkalla.info/
archives/2013/06/18/bagaimana-jikapresiden-dari-non-islam-ini-jawabanjusuf-kalla/]; last accessed December
24th, 2013.
Plato. (1983). The Republic. Middlesex: Penguin Books.
Raphael, D. D. (1970). Problems of Political Philosophy. Macmillan and Co Ltd.:
London and Basingstoke.
Schmidt, Dennis J. (2008). Who Counts?
On democracy, power, and the incalculable. Research in Phenomenology 38 (2),
228-43.
Shields, Christopher. (2007). Forcing Goodness in Plato’s Republic. Social Philosophy & Policy 24 (2), 21-39.
Silverman, Allan. (2007). Ascent and Descent: The philosopher’s regret,” Social
Philosophy & Policy 24 (2), 40-69.
Walzer, Michael. (2004). Politics and Passion:
Toward a more egalitarian liberalism. New
Heaven: Yale University Press.
Watt, W. Montgomery. (1987). Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M.
4/24/2014 8:41:37 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 45-58
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
PEMILU 2014:
KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
WASISTO RAHARJO JATI
Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P), LIPI
Sasana Widya Graha, Lantai 11, Jalan Jend. Gatot Subroto, No.10, Jakarta 12710
Surel: [email protected]
Diterima: 24 Februari 2014
Disetujui: 10 April 2014
ABSTRACT
This article aims to analyze the 2014 general election as a major determinant in electoral democracy in
Indonesia. The election process held post-1998 was considered as a political base in succession after the
New Order government. The elections held in 1999 and 2004 were claimed as consolidated elections after a
transition period. The results of both elections are strengthening elite from political parties in control of the
government. Consequently, it was then creating a type of government cartel based on transactional logic
and principles of oligarchy. The said government was running in permissive logic that further generated
many setbacks and scandals. Those conditions led to the needs of strengthening public representation and
advocacy. The 2014 election will be decisive in predicting whether the cartel would still continue exist or
public as demos would strengthen its role as watchdog of government.
Keywords: Election; Political Cartel; Representation; Electoral Democracy
nyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu)
kemudian menjadi hal teknis transformasi
Pasca-lengsernya rezim otoriter Orde Baru
kepemimpinan yang di dalamnya proses
pada 21 Mei 1998, Indonesia kemudian
mufakat melalui sistem suara digunakan
mengalami masa Reformasi. Reformasi di
untuk menyelesaikan, dan memutuskan
sini berarti segenap usaha untuk mengem- suatu permasalahan. Bersamaan dengan
balikan tatanan kelembagaan maupun hal tersebut, euforia pemilu juga ditunjukproduk legislasi pemerintah ke jalur yang kan dengan tumbuhnya sistem multipartai
lebih demokratis. Reformasi sendiri juga dalam sistem politik Indonesia. Munculnya
mengamanatkan agar demokrasi diberi banyak partai mengindikasikan idealisme
jalan sebagai sistem suksesi kekuasaan politik dari masyarakat begitu besar untuk
eksekutif maupun legislatif yang langsung diwujudkan dan direalisasikan dalam sedipilih, diketahui, dan diawasi publik. Pe- buah kebijakan. Idealisme demokrasi yang
Pendahuluan
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 45
4/24/2014 8:52:18 AM
46
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
mencuat pada periode awal reformasi sa­
ngat jelas terpancar tatkala partisipasi publik begitu kuat pada pemilu tahun 1999.
Pada pemilu tahun 1999 tercatat persentase
pemilih sebesar 92,7 persen memilih partai
maupun kandidat calon legislatif.
Namun demikian, di tengah iklim de­
mo­krasi yang menggelora tersebut, de­
ngan menjadikan publik sebagai pemegang mandat tertinggi kedaulatan negara,
ternyata masih tersimpan beberapa kendala. Hal penting yang mesti dicatat juga dalam proses transisi rezim otoriter menuju
rezim demokrasi adalah reorganisasi elite
lama untuk bisa beradaptasi dalam nuansa
demokrasi baru tersebut. Reorganisasi itu
sangatlah erat dengan praktik survivalitas
maupun sustainabilitas elite orde sebelumnya untuk bisa eksis memegang jabatan
publik (Hadiz, 2013). Adanya kedua proses
tersebut mengindikasikan adanya praktik politik predator dalam lingkup politik nasional maupun politik regional atau
kedaerahan. Munculnya praktik predator
tersebut sangatlah kontras dengan keingin­
an demokrasi yang dicita-citakan yaitu
menjadikan demos sebagai penguasa republik dan bukan para kleptokrat elite. Ada­
nya proses dilematis dalam eksperimentasi
demokrasi di Indonesia memberikan gambaran mengenai kontestasi kekuasaan, baik
yang dilakukan dalam politik formal maupun politik informal.
Adapun kajian-kajian politik nasional
maupun lokal yang menitikberatkan pada
proses pemilu sebagai lokus penelitian menegarai bahwa oligarki sebagai suatu ancaman terhadap eksistensi demokrasi semakin lama semakin jelas terlihat. Berbagai
perspektif politik yang melihat historisitas
pemilu cenderung melihat politik patrimonial masih berkuasa dalam proses demokrasi yang belum sempurna seperti halnya bos
lokal, orang kuat, negara bayang­an, tribalisme, politik etnis, pemburu rente, oligarki,
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 46
VOL II, 2014
politik kartel, politik dinasti, dan lain sebagainya. Gejala menguatnya elite dalam
demokrasi kontemporer ditunjukkan de­
ngan hadirnya beragam perspektif tersebut. Tentunya kita perlu mempertanyakan
mengenai konteks pemilu yang telah di­
langsungkan selama kurun waktu 15 tahun
terakhir ini (1999 – 2014). Dalam kurun 15
tahun terakhir tercatat adanya penurunan
suara partisipasi politik sebanyak 21 persen
dengan rincian tingkat partisipasi pemilih
pada Pemilu 1999 sebesar 93,3 persen, pada
Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen, kemudian pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99 persen.
Adapun pada pemilu tahun 2009 silam, tingkat golongan putih saja menjadi
63 persen. Hal itu tentu akan menjadikan
pemilu di Indonesia tak terlegitimasi lagi
dalam kerangka suksesi kepemimpinan
nasional. Maka jangan sampai kemudian
demokrasi elektoral yang kita bangun ini
menjadi demokrasi yang membeku (frozen
democracy) yakni hak politik publik menjadi
tereduksi dan kekuasaan elite menjadi kian
maksimal (Sorensen, 2007). Oleh karena itu­
lah, pelacakan terhadap akar permasalah­
an tersebut yakni menurunnya partisipasi
maupun menguatnya elite perlu untuk
ditelisik lebih lanjut. Pemilu 2014 bisa jadi
merupakan kontinuitas dari pola oligarkis
tersebut, namun bisa juga menjadi momentum publik untuk memperbaiki demokrasi. Tulisan berikut akan membahas secara
lebih lanjut mengenai pemilu Indonesia sebagai sesuatu yang dilematis antara perta­
rungan kuasa representasi dengan elite.
Namun demikian, kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai definisi
representasi dan elite yang menjadi lokus
tulisan ini. Kedua hal tersebut menjadi
urgen dan signifikan dalam mendedah
proses demokrasi elektoral di Indonesia.
Representasi berarti upaya mendudukkan
publik sebagai demos yang memiliki kekua-
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
saan negara tertinggi. Sedangkan elite adalah sekumpulan orang yang menjalankan
kekuasaan negara secara oligarkis melalui
mekanisme pemilihan suara. Sesuatu yang
perlu dicatat perihal kontestasi elite dan
publik dalam kekuasaan negara sangatlah terkait dengan pemaknaan demokrasi
itu sendiri. Secara konseptual, demokrasi
memang mengamanatkan suara publik
sebagai determinan utama dalam pemilihan jabatan publik. Elite sendiri merupakan manifestasi dari pejabat publik yang
terpilih yang kurang peduli dengan pelayanan masyarakat. Tentunya pemaham­
an demokrasi elektoral menjadi penting
dalam konteks ini. Elite melihat bahwa
demokrasi elektoral menjadi penting sebagai upaya survivalitas politik di arena jabatan publik sehingga sangatlah pragmatis
dalam mendekati publik. Sementara itu,
publik condong melihat demokrasi elektoral sebagai ajang kontinuitas kekuasaan
para pejabat korup untuk terus mengeruk
kekayaan dan kekuasaan. Hal itulah yang
membuat partisipasi publik semakin turun
dari tahun ke tahun. Adanya depolitisasi
partisipasi publik tersebut dalam demokrasi elektoral tentu akan mereduksi makna
penyelenggaraan pemilu. Pemilu sendiri
bertujuan untuk menghadirkan demokrasi
yang menyejahterakan namun kenyataannya justru malah menyengsarakan publik.
Tulisan ini bermaksud untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai konteks pemilu
2014 sejauh dihubungkan dengan posisi
dilematis antara kartelisasi dengan representasi tersebut.
Adapun argumen utama yang ingin disajikan dalam penulisan makalah ini adalah
untuk memetakan sisi-sisi ambiguitas yang
tercipta selama implementasi demokrasi
elektoral di Indonesia. Ambiguitas yang
dimaksud adalah kehadiran distorsi utama
yaitu munculnya oposisi biner dalam implementasi demokrasi langsung di Indone-
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 47
WASISTO RAHARJO JATI
47
sia. Munculnya politik kartel yang terjadi
paska pemilu 2004 mengindikasikan ada­
nya kontradiksi-kontradiksi dalam aktor,
sistem, maupun struktur politik elektoral
di Indonesia. Kontradiksi dalam sisi aktor dapat dilihat dari segi kecenderungan
konvergensi politik yang dilakukan aktor
guna mengamankan kekuasaan. Suksesi
kekuasa­an tersebut pada akhirnya hanya
berlangsung pada ‘lingkaran dalam’ tertentu saja yang sejatinya lebih mengarah pada
arisan kekuasaan. Secara sistem, kartel tercipta dari sistem demokrasi yang belum
sempurna. Perumpamaan demokrasi sebagai manifestasi one man, one vote, one value
masih dipahami secara literal dan tekstual,
tanpa pernah ada usaha untuk memahami
muatan aspirasi yang ingin diperjuangkan. Hal inilah yang menjadikan demokrasi, secara sistem, lebih dipahami sebagai
cara mencari kuasa dengan menggunakan
popularitas dan materialitas saja. Secara
struktur, kartel juga mengubah demokrasi
menjadi ajang patronase kekuasaan. Secara
institusional sendiri, munculnya partai patron (patronage party) dalam sistem multipartai mengindikasikan adanya barter politik antara partai-partai terkait. Hal itulah
yang menjadikan dimensi egalitarianisme
dalam demokrasi justru menghi­lang ka­
rena adanya politik patronase partai tersebut.
Representasi yang menjadi aksioma
po­litik dalam makalah ini sebenarnya me­
rupakan sebentuk anti tesis terhadap pro­
ses kontradiksi demokrasi yang menghasilkan politik kartel tersebut. Adapun politik
representasi yang menjadi perhatian dan
kepedulian dalam pesta demokrasi sekarang ini adalah sebentuk resistensi populis
yang dihadirkan pubik sebagai tanggap­
an atas proses demokrasi elektoral yang
dijalankan oleh berbagai macam partai
po­litik itu sendiri. Hadirnya semangat
representasi sebenarnya mengindikasikan
4/24/2014 8:52:18 AM
48
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
VOL II, 2014
ada­nya upaya reaktivasi makna demokrasi
substantif yang diinginkan publik sendiri
untuk mereduksi adanya praktik pembajakan demokrasi yang selama ini dilakukan partai politik. Maka isu penting dalam
penulisan makalah ini adalah mengetahui
seberapa jauh proses tarik menarik kekuasaan antara kekuatan politik formal yang
diwakili institusi partai dengan kekuatan
politik informal yang dilaksanakan oleh
kekuatan politik ekstra parlementer publik dengan tujuan mengembalikan kembali esensi demokrasi substantif dalam pemilu. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih
lanjut mengenai kontestasi kedua kutub
politis tersebut yakni bagaimana kekuat­
an politik kartel ingin menegaskan dominasi politiknya, namun di saat bersamaan
muncul juga rasionalisme pemilih yang
me­ngusung adanya representasi populis
secara lebih meluas di ranah politik formal.
tokrat yang dilakukan oleh para pemangku
jabatan publik. Dalam hal ini, perilaku kleptokrat sendiri ditunjukkan dengan adanya
perilaku korupsi yang dilakukan oleh para
elite dalam menjarah anggaran publik. Adanya politik predatoris tersebut mengindikasikan adanya kejengahan publik terhadap aksi pejabat publik. Demokrasi yang
diharapkan membawa kesejahteraan dan
kemakmuran bagi semua kalangan justru tergantikan dengan pemerintahan plutokrat yang hanya memperkaya diri sendiri
maupun kelompok. Hal itu tentu sudah
me­nyalahi arti demokrasi sendiri dengan
menjadikan demokrasi sebagai ajang unjuk
kekuasaan pribadi dan kelompok.
Publik tidak lagi dilihat esensinya sebagai demos yang memiliki kekuasaan
atas pemerintahan dan negara. Kondisi
tersebut yang mendorong munculnya
kedaulatan publik untuk kembali berkuasa dengan menggantikan para pemangku
jabatan yang tidak peduli dengan nasib
Representasi dan Politik Kartel dalam masyarakat. Maka kata ‘chain of popular sovDemokrasi Elektoral
ereignty’ menjadi artikulasi menarik dalam
Membincangkan masalah representasi da­ mewujudkan representasi publik tersebut.
lam demokrasi elektoral sangatlah ter­ Hal itu merupakan respons dari adanya
kait dengan krisis kepercayaan dalam de- hubungan negara dan masyarakat yang
mokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat serba terbelakang (underdeveloped) yang
tiga penyebab alasan mengapa proses de- di dalamnya peran masyarakat semakin
mokrasi menjadi macet. Pertama, saluran termarjinalkan dalam negara. Kondisi itu
aspirasi publik tidak diperhatikan oleh pula yang memicu urgensi ditegakkannya
para pemangku pejabat publik ketika men- popular control dari dalam masyarakat yang
jalankan roda pemerintahan. Para pejabat meliputi tiga pilar berikut, yakni: (1) demos
publik berkembang menjadi elite oligarkis (2) public affairs, (3) intermediary (Tonrquist,
yang lebih mementingkan kepen­tingan 2009:10).
Representasi dalam hal ini bisa juga
pribadi maupun kelompok di atas kepen­
mengarah
pada proses depolitisasi di­
tingan publik. Kedua, tidak adanya agen
penghubung (intermediary) yang menjem- karena­kan ketiga fungsi tersebut di atas
batani antara kepentingan publik dengan tidak dijalankan oleh intermediary sebagai
pemerintah. Adapun media, organisasi non penghubung antara masyarakat dengan
pemerintah, maupun partai politik yang se- negara. Yang terjadi justru model pembalama ini menjembatani, kurang begitu me- jakan demokrasi yang di dalamnya elite semiliki peranan signifikan dalam konstelasi makin memperkuat dirinya dalam bentuk
aspirasi. Ketiga, munculnya perilaku klep- kartel oligarkis sedangkan publik justru
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 48
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
kian teralienasi dengan menguatnya kartel
tersebut. Jika sudah demikian, maka makna
pemilu sebagai sarana suksesi kekuasaan
justu semakin terkaburkan.
Adapun pemahaman elite sendiri sebenarnya terletak pada kemampuan mereka
dalam memberikan peran dan pengaruh
lebih besar pada masyarakat berkat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Secara sederhana, elite sendiri dapat dikate­
gorisasikan sebagai pemuncak dalam
hirarki masyarakat berkat keistimewaan
yang mereka miliki. Oleh karena itulah,
sejatinya kelompok bernama elite ini me­
rupakan minoritas dalam masyarakat, namun yang kemudian memiliki kekuasaan
besar. Melalui kemampuannya tersebut,
mereka bisa memaksa orang lain untuk
mengakui pengaruh politisnya. Pengerti­
an elite bukanlah pengertian yang tunggal saja, melainkan memiliki tingkatan
atau jenjang seperti elite sebagai penguasa
(governing elite), elite yang tak memerintah
(non governing elite), dan terakhir adalah
masyarakat (Haryanto, 2007).
Kartel yang dipaparkan dalam tulisan
ini sebenarnya merupakan sekelompok
elite yang telah menjadi satu organ de­
ngan memiliki monopoli kekuasaan. Istilah kartel merupakan istilah baru dalam
lanskap sosial dan politik di Indonesia
karena kartel berasal dari bahasa ekonomi
yang mengindikasikan adanya politisasi
kekuasaan ekonomi dalam satu kelompok
berikut dengan regulatornya. Istilah kartel
sendiri dipopulerkan oleh Dodi Ambardi
(2009) yang menyebutkan adanya sekelompok oligarkis yang berkuasa atas supremasi kekuasaan negara dengan basis aliansi
beberapa partai politik. Istilah kartel dalam
politik Indonesia sendiri pertama kali digunakan oleh Slater (2004) yang menyebutkan
kartel sebagai usaha untuk membangun
aliansi kekuasaan antara partai pemenang
dengan partai yang kalah dalam pemilu
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 49
WASISTO RAHARJO JATI
49
demi harmonisasi kekuasaan. Partai pemenang membutuhkan suara partai yang
kalah untuk menjaga stabilitas kekuasaan
dan meminimalkan suara kritis dari pihak
yang kalah terhadap jalannya pemerintahannya.
Yang terjadi kemudian adalah proses
pragmatisme yang terjalin dalam dinamika kekuasaan yakni pengejaran terhadap
rente ekonomi, survivalitas, dan sustainibilitas kekuasaan. Adapun karakteristik
mendasar daripada kelompok kartel sen­
diri kemudian meniadakan adanya batasan
antara pemenang dan oposisi. Konteks
ideologi dan progam menjadi tidak pen­
ting untuk dibicarakan dan konsekuensi
untuk masuk pemerintahan terbuka bagi
semua partai asal masuk menjadi anggota
koalisi. Maka keberadaan dan posisi kartel
tersebut justru berbanding terbalik dengan
representasi publik dalam arti nyata yang
diinginkan oleh demos secara murni dan
seluas-luasnya. Bagi publik, pemilu merupakan sebentuk instrumen representasi
suara mayoritas yang perlu diperjuangkan
dan direalisasikan. Namun justru dalam
proses tersebut terjadi proses pembajakan
yang dilakukan oleh para elite. Dalam hal
ini, esensi demokrasi substantif yang ingin direalisasikan oleh demos dalam sistem
demokrasi perwalian justru tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Posisi
kartel yang sedemikian kuat sendiri sudah
membuat posisi publik kian terjepit dalam
memperjuangkan aspirasi dalam pemilu.
Kartel sendiri merupakan bentuk daripada embrio reorganisasi elite yang ingin
mempertahankan cara-cara politik pre­
dato­risme. Mereka memanfaatkan celah
keluguan publik dalam melihat demokrasi
sebagai alat perjuangan. Mayoritas penduduk Indonesia masih melihat bahwa
demokrasi masih dipahami secara terbatas.
Bagi masyarakat Indonesia, terutama yang
berada di kalangan akar rumput, proses
4/24/2014 8:52:18 AM
50
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
VOL II, 2014
demokrasi lebih dimaknai pada pemenuh­
an kebutuhan sehari-hari dan mereka belum mengerti adanya proses advokasi
terhadap kepentingan mereka ke dalam
ranah publik. Celah itulah yang kemudian dimanfaatkan dalam kerangka pragmatisme politik yang dilakukan oleh elite,
terutama oleh para kandidat, untuk menjalankan mekanisme politik jual beli suara
di ranah masyarakat. Dari proses tersebut,
lahirlah yang disebut sebagai patronase
politik yang berjalan secara turun temurun
dalam setiap peristiwa pemilu. Adanya
pelbagai proses advokasi terbarukan yang
muncul pada era sekarang ini cenderung
melihat adanya suatu kejengahan luar bisa
dari publik yang sudah semakin skeptis
ter­hadap proses politik selama ini. Representasi simbolis melalui keterpilihan pejabat publik tidak membuahkan hasil, malah
justru kian menumbuhkan pemerintahan
yang plutokrat. Kondisi itulah yang menjadikan representasi menjadi kata kunci
menarik untuk melawan gejala kartelisasi.
ide-idenya dalam bentuk progam-program
kebijakan. Sedangkan Demokrat tidak bisa
mengesahkan produk kebijakan maupun
progamnya tanpa lewat pengesahan suara
mayoritas dari legislatif maupun partai minoritas yang memiliki kursi di DPR.
Kondisi itulah yang kemudian menciptakan adanya pragmatisme politik di
antara beberapa partai politik yang akhir­
nya mengerucut pada pembentukan koalisi
permanen dan menimbulkan pola oligarki
kekuasaan dalam bentuk kartel. Kartel tercipta lantaran masih kentalnya penguat­
an faktor suka atau tidak suka pada sosok figur yang mencitrakan etnis tertentu
dalam pembentukan preferensi memilih
pada pemilu 2004 hingga 2009 (Aspinall,
2010:85). Gejala tersebut merupakan ekses
reduksi dari makna demokratisasi selama
era transisi politik yang lebih mengarahkan
pada proses representasi formal institusional di ranah pemerintahan nasional maupun
lokal. Dikarenakan terjadi proses penguat­
an pada ranah representasi formal, maka
proses penyerapan aspirasi dari bawah
kemudian cenderung terpolitisasi sesuai
Lahirnya Kartelisasi Politik Paska Pemilu dengan selera partai maupun elite. Model
2004
pelembagaan yang terjadi paska 2004 keLahirnya kartelisasi dalam ranah demokrasi mudian menghasilkan party based governdi Indonesia terjadi paska pemilu 2004. Hal ment atau party based democracy electoralism,
tersebut didasari pada perimbangan kekua- serta voting centric. Party based government
saan yang berlainan antar partai pemenang adalah konsepsi yang memberikan justipemilu presiden dan pemilu legislatif. Da- fikasi pada peran partai di pemerintahan.
lam pemilu 2004, partai Golkar muncul se- Adanya model pelembagaan itulah yang
bagai pemenang pemilu legislatif dengan menyebabkan posisi partai politik menjadi
24.480.757 suara atau dengan persentase menggurita baik sebagai pengawas, pelak21,58 persen; sedangkan partai Demokrat sana, maupun pengontrol kebijakan negasendiri-- sebagai pemenang pemilu Pre­ ra. Dalam kondisi demikian, publik sebasiden---hanya memenangi 8.455.225 suara gai demos hanya menjadi partisipan pasif
atau setara dengan 7,45 persen. Adanya dalam proses demokrasi tersebut.
Sejalan dengan itu, proses pembangun­
perimbangan kekuasaan yang berbeda
dalam dua ranah tersebut yang kemudian an demokratisasi dalam ranah informal
menimbulkan adanya kompromi politik. dan masyarakat sendiri kurang diperhaGolkar sebagai penguasa mayoritas legis- tikan. Fenomena itulah yang kemudian
latif sendiri tentu tidak bisa mewujudkan menimbulkan adanya pembusukan dalam
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 50
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
demokrasi. Pemahaman demokrasi yang
melulu dipahami secara formal inilah yang
mengebiri hak dan kewajiban masyarakat.
Pemilu kemudian hanya dipahami secara
formal sebagai manifestasi demokrasi oleh
publik. Pemilu 2004 sendiri menjadi ajang
politik pengharusan bagi para kandidat
legislator untuk mendekati publik. Publik
merasa diperlakukan sebagai tuan dalam
proses seremonial tersebut. Dalam proses
itu, para kandidat mendekati publik de­
ngan segenap janji dan impian manis. Ada
berjuta harapan dan janji yang disampaikan para kandidat dalam proses kampanye
tersebut. Namun setelah pemilihan selesai
dilangsungkan, para pemilih kemudian
ditinggalkan, utamanya ketika para kandidat sudah merengkuh kekuasaan dalam
genggaman tangannya.
Adanya model pemilihan langsung
yang mulai dijalankan pada tahun 2004
merupakan hal baru dalam eksperimentasi demokrasi Indonesia. Dalam konteks
tersebut, demokrasi masih dianggap awam
dalam pendidikan politik Indonesia secara keseluruhan. Hal itu dikarenakan
masyarakat Indonesia tengah memasuki
periode rekonsiliasi dan konsolidasi paska
konflik sekaligus transisi demokrasi. Maka
konteks pemilu langsung kemudian masih
dianggap sebagai suatu selebrasi politik semata yang dilakukan oleh elite dan
masyarakat.
Dikarenakan sifatnya yang masih eksperimentatif, maka proses demokrasi elektoral pada akhirnya mulai mengenalkan
istilah-istilah baru guna meningkatkan
kualitas pemilu seperti threshold (bilangan
pembagi pemilih), baik itu electoral thresh-
WASISTO RAHARJO JATI
51
old maupun parliamentary threshold. Implementasi kebijakan elektoral tersebut dirasa
urgen dan signifikan mengingat konteks
multipartai di Indonesia mempunyai indikasi patologis yakni hanya mengejar
rente kekuasaan dan berebut materi anggaran. Asumsi tersebut sebenarnya tidaklah
salah mengingat esensi pendirian partai
adalah mewujudkan aspirasi publik dalam
ranah kebijakan dan pemerintahan.
Namun rupanya, ada pelbagai upaya
distorsi yang dilakukan oleh para elite baik
dari pejabat maupun partai politik dalam
rangka mengukuhkan hegemoninya. Salah
satunya adalah dengan penerapan nominal
persen dalam threshold. Alibi yang dikemukakan selama ini adalah untuk penguatan
elektoral, namun hal tersebut sebenarnya
merupakan dalih saja untuk memperkuat
sistem kartel yang dibangun paska 2004.
Ada perubahan yang cukup drastis dalam
eskalasi nominal threshold tersebut mulai
dari 2,5 persen, 3,5 persen, hingga ada yang
mewacanakan dinaikkan menjadi 5 persen.
Adanya kebijakan sporadis semacam ini
tentu hanya akan meningkatkan popularitas partai besar saja yang memiliki sumber daya lebih tinggi daripada partai kecil
dalam setiap peristiwa pemilu. Implikasi
yang ditimbulkan ialah membesarnya
fungsi dan pengaruh kartel partai dalam
setiap pembuatan kebijakan. Maka jika dilacak dari segi historisitasnya, komparasi
pemilu 2004 dengan pemilu 2009 dapat
dilihat sebagai manifestasi penguatan
kartel ter­utama dalam pembuatan sistem
demokrasi elektoral, yang secara lengkap
dapat dilihat dalam tabulasi berikut ini.
Komparasi Pemilu 2004 dan Pemilu 2009
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 51
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
52
VOL II, 2014
Tabel 1: Rule of Electoral Reform / Pemilu 2004 ke Pemilu 2009
No
Faktor Pembeda
Pemilu 2004
Pemilu 2009
1
Sistem Pemilihan
Umum
A. Pemilu DPR /
DPRD dan DPRD
Kabupaten / Kota
A. Pada Pemilu 2004, sistem yang
digunakan adalah sistem proporsional
dengan daftar terbuka yang
merupakan persilangan hibrida antara
sistem distrik dan proporsional (Joko
Prihatmoko, 2008)
B. Adapun setiap daerah pemilihan
(district magnitude), kursi yang
diperebutkan baik DPR dan DPRD
adalah 3-12 kursi. (M. Nadjib, 2005 : 4)
A. Masih sama dengan sistem
pemilu sebelumnya yakni sistem
proporsional dengan daftar
terbuka
B. Berbeda dengan pemilu 2004,
kursi DPR yang diperebutkan di
setiap daerah pemilihan yakni
berkisar antara 3 – 10 kursi
sedangkan kursi DPRD yang
diperebutkan berkisar antara
3 – 12 kursi (Sigit Pamungkas,
2009 : 143)
2
B. Pemilu DPD
A. Pemilu DPD menggunakan sistem
distrik berwakil banyak dengan
setiap distrik pemilihan / provinsi
memperebutkan 4 kursi (M. Nadjib,
2005 : 3 ; Sigit Pamungkas, 2009 : 149)
B. Sama dengan sistem pemilu
sebelumnya.
3
C. Pemilu Presiden /
Wakil Presiden
A. Pemilu Presiden dan Wapres
menggunakan sistem dua putaran
pemilu / Run - Off Election
B. Sama dengan sistem pemilu
sebelumnya
Tabel 2: Elements of Electoral System (Unsur – unsur sistem Pemilu)
No
Unsur – unsur
Sistem Pemilu
1
Balloting (Penyuaraan)
Pemilu 2004
Pemilu 2009
A. Mengacu pada UU No. 12 tahun 2003
yang menyatakan bahwa “surat suara
dinyatakan sah apabila tanda coblos pada
tanda gambar partai politik dan calon
anggota DPR, DPRD Propinsi dan
DPRD Kabupaten / Kota berada pada
kolom yang disediakan. Atau tanda coblos
pada tanda gambar partai politik berada
pada kolom yang disediakan
B. Suara dinyatakan tidak sah apabila
pemilih hanya mencoblos nama
calon saja dan tidak disertai dengan
mencoblos tanda gambar partai nama
calon yang dicoblosnya.
C. Implikasi lain adalah persilangan
antara open list system yakni pemilih
memiliki kebebasan untuk memilih
calonnya tanpa intervensi partai
politik nama calon yang dicoblosnya
dan closed list system yakni pemilih
hanya memilih partai saja, untuk
A. Mekanisme penyuaraan /
balotting dengan menandai
(mencontreng) salah satu di
antara gambar partai, nomor
urut calon, atau nama calon.
Suara tidak sah apabila memberi
tanda lebih dari satu kali pada
kertas suara.
B. Tipe penyuaraan bertipe
kategorikal yakni memilih partai
atau calon saja
C. Oleh karena itu kemudian,
Pemilu 2004 menggunakan
mekanisme menandai
/ pencontrengan dalam
penyuaraannya.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 52
4/24/2014 8:52:18 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
WASISTO RAHARJO JATI
53
kemudian partai itu mendistribusikan
suara tersebut kepada daftar para
calon kader partai politik tersebut.
Oleh karena itu kemudian, Pemilu
2004 menggunakan mekanisme
pencoblosan dalam penyuaraannya.
2
Jumlah Kursi
Legislatif
A. Jumlah kursi bagi DPR sebesar 550
kursi.
B. Implikasi yang muncul adalah
fenomena The New State Paradox
yakni kenaikan kursi tidak
memperhitungkan daerah propinsi
pemekaran baru.
A. Jumlah kursi bagi DPR sebesar
560 kursi.
B. Rasionalitas penambahan kursi
antara lain seperti :
1) Mengikuti alur penambahan
daerah pemekaran
2) Mengatasi
disproporsionalitas pemilih
jawa dan luar jawa
3) Standarisasi proporsi jumlah
pemilih dengan jumlah kursi
di parlemen.
3.
Threshold (Ambang
Batas)
A. Pemilu 2004 masih menggunakan
mekanisme electoral threshold yakni 3%
dari jumlah kursi DPR atau sekurang –
kurangnya 4% kursi dari jumlah kursi
DPRD.
B. Implikasi yang muncul adalah The
Threshold Paradox yakni ambang batas
melebihi 4% dari yang semestinya 3%.
A. Pemilu 2009 menggunakan dua
threshold yakni electoral threshold
sebesar 3 % dan parliamentary
threshold sebesar 2,5 %.
4.
Election Formula
(Rumusan Pemilu)
A. Dalam Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama – sama memakai
sistem pemilu hibrida yakni campuran antara sistem distrik dan sistem
proporsional. Penggabungan tersebut justru menimbulkan berbagai
problematika antara lain sebagai berikut ini :
1) Sistem pemilihan ini dirasa sangat rumit karena penentuan daftar pemilih
ini dirasa sangat dilematis. Posisi dilematis terletak pada penduduk
pada daerah pemilihan tersebut yakni jika menggunakan sistem
proporsionalitas akan lebih efisien karena hanya menggunakan daerah
pemilihan yang besar dan tunggal dan tak perlu membuat batas – batas
daerah pemilihan lainnya sehingga efisien dan murah akan tetapi tidak
memperhatikan aspek sosio kultural, ekonomi, maupun aspek geografis
warganya dan terkesan “kurang demokratis” karena daerah pemilihan
yang tunggal dan tidak jamak sehingga kurang mampu menjaring aspirasi
masyarakat secara luas. Sedangkan kalau menggunakan sistem distrik,
justru yang terjadi adalah kerepotan karena mengurusi dan mengawasi
banyaknya daerah pemilihan sehingga sering kali muncul permasalahan
seperti data kependudukan maupun administrasi kependudukan
tumpang tindih dikarenakan arus mobilisasi penduduk yang begitu
dinamis.
2) Permasalahan kemudian yang muncul adalah fenomena The Population
Paradox yakni kuota kursi di setiap pemilihan sering kali berubah – ubah
mengikuti alur dinamisasi penduduk tersebut seperti alur peningkatan
dan penyusutan penduduk yang selalu terjadi terutama di bekas daerah
konflik. Maka permasalahan yang jamak terjadi kasus pemilih ganda yang
memilki hak pilih ganda, kasus munculnya pemilih di bawah umur, kasus
orang yang sudah meninggal punya hak pilih, anggota TNI / Polri yang
punya hak pilih padahal dalam undang – undang dikatakan tidak boleh
berpolitik praktis, kasus pemilih yang tak mempunyai hak pilih karena
tidak terdaftar dalam data kependudukan.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 53
4/24/2014 8:52:19 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
54
B.
C.
D.
E.
VOL II, 2014
3) Selain itu permasalahan lain yang mucul adalah The Alabama Paradox
yang muncul akibat kuota kursi yang tidak tetap (tentatif) menimbulkan
kerugian bagi calon maupun partai politik yakni seorang calon yang
sudah dipastikan mendapat kursi di daerah pemilihan tersebut sewaktu
-waktu bisa hilang serta partai yang mendapatkan “bonus” ekstra karena
mendapat limpahan kursi baru yang seharusnya mendapat satu kursi
bisa mendapat lebih. Hal ini dikarenakan pergeseran kuota jumlah kursi
tersebut yakni bertambah kursinya atau berkurang kursinya.
Pengingkaran terhadap sistem distrik telah menimbulkan banyak
kekhawatiran yakni kurangnya derajat demokrasi karena partai – partai
politik yang kecil justru kalah bersaing dengan partai – partai besar yang
sudah mapan sehingga “demokrasi” hanya berlaku bagi partai besar bukan
bagi partai kecil.
Setiap daerah pemilihan yang dibentuk didasarkan pada data dan
administrasi kependudukan dan partai yang telah lolos verifikasi untuk
menjadi partai peserta pemilu. Hal ini tentu saja rawan diskriminasi, sebagai
contoh partai A lolos verifikasi tingkat daerah akan tetapi tak lolos verifikasi
nasional sehingga partai A tersebut tidak bisa menjadi peserta pemilu.
Munculnya oligarki elite dalam proses pencalonan di tingkat kader artinya
calon yang akan bertarung dalam arti calon yang diusung ternyata calon
yang dekat dengan elite serta yang punya banyak uang sehingga kader yang
kompeten digusur demi kader “instan” tersebut.
Sistem ini belum menjamin hadirnya aktor independen untuk bertarung
dalam proses pemilihan umum karena saling tumpang tindih peraturan KPU
dan MK yang masing – masing sangat paradoksal. Dalam hal ini MK dalam
amar keputusannya memperbolehkan calon independen untuk bertarung
dalam pemilu. Akan tetapi KPU “setengah hati” untuk melaksanakannya
(Joko Prihatmoko, 2008 : 303).
Tumpang tindih sistem, artinya dalam regulasi jelas dikatakan bahwa menganut
sistem daftar terbuka yang memberikan keleluasaan dalam memilih calon dan
partai. Akan tetapi sering juga ditemui praktek daftar tertutup yakni praktek
nomor urut calon yang potensial meraih suara banyak dan memenangkan partai tersebut akan ditempatkan pada nomor urut yang lebih kecil.
Adapun kebaikan dari sistem campuran ini adalah bisa meminimalisasi konflik
dan menghapuskan pembilahan (cleavage) yang terjadi antara calon yang dipilih
berdasar nomor urut (sistem proporsionalitas) dan lolos dari Bilangan Pembagi
Pemilih.
5
District Magnitude
Permasalahan yang kerap muncul dalam setiap penentuan district magnitude
antara lain:
A. DM sering kali ditetapkan pada border yang kurang tepat sehingga saling
tumpang tindih satu sama lainnya.
B. DM tidak selalu memperhatikan aspek sosial kultural, budaya, maupun
geopolitik masyarakatnya sehingga sering kali merugikan partai politik yang
kehilangan konstituen mereka.
C. DM sering kali ditempatkan pada kontur geografi yang berlainan seperti
kasus pemilih di salah satu distrik di beberapa kabupaten yang terletak di
daerah pegunungan Jayawijaya (Papua) yang harus berjalan kaki beberapa
kilometer untuk mencapai TPS.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 54
4/24/2014 8:52:19 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
WASISTO RAHARJO JATI
55
Tabel 3: Controlling of Vote / Structure of the Ballot
BPP (Sistem Distrik)
Daftar Nomor Urut (Proporsional)
No
Pemilu
1
Pemilu 2004
Walaupun dalam pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar
terbuka. Akan tetapi masih ditemui beberapa kendala seperti
Penyuaraan dengan mencoblos tanda gambar partai sah
A. Calon yang terpilih memperoleh suara sama / lebih dari BPP setara dengan calon
yang dipilih berdasar nomor urut pada daftar calon partai.
B. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam mekanisme kontrol suara
dalam pemilu 2004. Di satu sisi calon dapat terpilih dengan berjuang mati –
matian memperebutkan dukungan suara sebanyak – banyaknya dari masyarakat
sehingga merasa “berhutang budi kepada rakyat” dan saluran akuntabilitas dan
kredibilitasnya dapat dikontrol masyarakat. Sementara di sisi lainnya, calon dapat
terpilih tanpa “berkeringat” yakni dengan distribusi suara partai kepada daftar
calon partainya. Tentu saja dalam hal ini calon yang berada di nomor urut kecil
mempunyai harapan besar untuk terpilih dibandingkan mereka yang bernomor
urut besar sehingga calon yang terpilih cenderung memperjuangkan aspirasi partai
daripada rakyat
2
Pemilu 2009
Dalam Pemilu 2009, struktur penyuaraan maupun mekanisme penyuaraan teregulasi
pada mekanisme perolehan dukungan suara minimal 30 % BPP (Bilangan Pembagi
Pemilih). Oleh karena itu kemudian :
1) Calon yang terpilih harus memperoleh dukungan lebih besar atau kurang dari 30 %
BPP.
2) Calon yang terpilih memiliki dukungan suara yang persentasenya sama atau
sekurang – kurangnya 30 % BPP dengan syarat jumlah suara sama / kurang dari
jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu
Oleh karena itu kemudian, intervensi partai politik dalam pemenangan calonnya
dijamin tidak akan terjadi sehingga dalam hal ini baik calon yang bernomot urut kecil
dan banyak harus berjuang mendapat 30 % suara BPP untuk terpilih (Sigit Pamungkas,
2009 : 148-149).
Dari hasil komparasi dua hasil Pemilu
di atas, beberapa temuan yang menarik
sebenarnya lebih merujuk pada penguatan
politik kartel. Berbagai indikasi maupun
parameter bisa dilihat dari tabulasi di atas.
Yang pertama, tentu saja eksperimentasi
sistem pemilu yang selalu fluktuatif. Dalam setiap peristiwa pemilu di Indonesia
sangat terlihat bahwa penguatan kekuasaan semakin lama semakin mengerucut
pada penguatan politik kartel. Penegasannya adalah pencampuran sistem pemilu
kadang kala membingungkan dan lebih
mengutamakan pada pengistimewaan
kandidat dan partai politik. Yang kedua,
menguatnya nominal dalam ambang batas
yang sejatinya memarjinalkan representasi
suara pemilih yang tidak memilih pada
sosok figur yang populer maupun partai
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 55
besar. Hal itulah yang menjadikan konteks
pelaksanaan pemilu di Indonesia semakin
tidak terlegitimasi dari penyelenggaraan
pemilu dari ke tahun ke tahun. Indikasinya
bisa tercermin dari semakin menurunnya
tingkat partisipasi pemilih yang semula
mencapai 92,7 persen pada pemilu 1999
kini hanya menyisakan 70,2 persen pada
pemilu 2009. Menurunnya tingkat partisipasi pemilih sebanyak 20 persen tentu
menjadi tanda waspada kuning terhadap
penyelenggaran pemilu selama ini. Yang
ketiga adalah semakin bertambahnya jumlah kasus korupsi paska pemerintahan
otoriter, baik yang dilakukan oleh partai
maupun kandidatnya selama mereka memegang kekuasaan. Implikasinya adalah
menguatnya rasa distrust maupun distract
yang ditunjukkan oleh publik selama pe-
4/24/2014 8:52:19 AM
56
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
merintahan yang dihasilkan kurang begitu
maksimal dalam memberikan pelayanan
publik. Adanya fait accompli yang dihasilkan dalam proses pemilu dikorelasikan
dengan gejala deprivasi politik yang dialamatkan publik kepada para elite yang
berkuasa di tampuk kekuasaan baik level
legislatif maupun eksekutif.
Secara makro, temuan-temuan baru
(kernel points) yang bisa diuraikan dalam
perbincangan representasi publik dengan
politik kartel adalah 1) menguatnya pro­ses
advokasi publik yang dilakukan melalui
jaringan-jaringan masyarakat sipil dari
berbagai macam latar belakang isu gencar
dalam membuat framing isu kepada kartel
elite demi menurunkan kredibilitasnya. 2)
politik kartel di Indonesia hanya bersifat
temporer dan berbasis nir ideologi yang
mengikat bersama, akibatnya konsolidasi
dan kohesivitas politik kartel sendiri dalam
menanggapi isu kritikan dari publik tidak­
lah seia sekata. 3) Representasi po­pulis
yang hendak ditujukan oleh publik dalam
demokrasi elektoral di Indonesia sebenar­
nya juga setali tiga uang dengan pemba­
ngunan basis politik kartel yakni hanya
berbasis by issue yang didesain secara artifisial saja. Representasi menguat hanya
ketika isu korupsi mencuat selama peme­
rintahan, sedangkan kartel menguat berkat
adanya figur yang kuat.
Maka yang perlu dielaborasi lebih
lanjut dari temuan makalah ini sebenar­
nya adalah menemukan institusionalisasi
yang tepat dalam menampung aspirasi
demokratis baik yang berada di tataran intraparlementer maupun tataran ekstraparlementer. Adapun di tataran intra sendiri,
sebenarnya lebih pada penguatan moral
dan etika untuk melihat kekuasaan sebagai
wakaf politik yang dimandatkan oleh publik. Sedangkan di level ekstra, institusionalisasi bisa mengarah pada pembentukan
jaringan epistemik baik itu di dalam or-
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 56
VOL II, 2014
ganisasi maupun yang berbasis komunitas,
namun tetap saja kedua-duanya memiliki
kepedulian dan resistensi kritis yang kuat
untuk mengawal pemerintahan.
Pemilu 2014 Sebagai Pertaruhan Politik
Membaca konstelasi yang berkembang
selama peristiwa pemilu saat ini sejatinya
merupakan pertaruhan politik antara melemahnya politik kartel dengan menguatnya
representasi publik. Dalam beberapa tahun
terakhir disebutkan tingkat ketertarik­an
publik terhadap masalah-masalah politik
sendiri kini berkisar 23 persen. Secara lebih
lengkap menurut rilis Pusat Penelitian Politik (P2P LIPI) pada 2012-2013 menyebutkan
bahwa hanya 12,8% responden yang merasa bisa mempengaruhi pemerintah dalam
pengambilan kebijakan. Selain itu, hanya
30% responden yang merasa keluhannya
diperhatikan pemerintah.
Menguatnya dimensi apolitis yang ditunjukkan oleh publik khususnya menjelang
perhelatan pemilu legislatif ini menunjukkan bahwa geliat tingkat informasi publik
sendiri sudah semakin menguat dari tahun
ke tahun. Adanya gejala penguatan apolitisasi tersebut tentunya dapat dilacak melalui semakin terbukanya sumber informasi
yang sudah semakin plural untuk disimak
oleh masyarakat. Setidaknya preferensi budaya politik yang berkembang saat ini lebih
banyak didominasi sekitar 48,5% pemberitaan media. Paradigma pemberitaan yang
dibangun media yakni bad news is good news
rupanya memberikan andil besar dalam
mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Praktik jurnalisme yang menghasilkan
pemberitaan negatif tentu memberikan
pengaruh signifikan terhadap elektabilitas partai politik maupun kandidat yang
terkena efek media tersebut. Adapun bahasa politik pencitraan yang selama ini digunakan tidak bisa digunakan kembali un-
4/24/2014 8:52:19 AM
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
tuk menutupi berbagai kebopengan politik
yang dimiliki oleh partai politik maupun
kandidat. Hal tersebut justru menimbulkan efek paradoksal terhadap proses elektabilitas politik karena akan berimplikasi
pada munculnya efek politik hipokrit yang
disematkan pada elite.
Pemilu 2014 baik dari segi aturan regulasi threshold maupun sistem pemilu memang menawarkan aturan yang tidak jauh
berbeda dengan pemilu 2009 dengan batas 3,5 persen bagi suara legislasi nasional
maupun 25 persen bagi gabungan partai
untuk mengajukan calon presiden pada
pemilihan presiden 9 Juli 2014 mendatang.
Adanya persyaratan tersebut tentu saja
akan lebih menguntungkan eksistensi partai kartel yang telah berada dalam lingkar
kuasa selama 10 tahun ini. Namun hal itu
bisa saja menjadi blunder politik bagi kartel
di tengah lesunya keinginan memilih yang
ditunjukkan partai politik. Tingkat kematangan dan kecerdasan publik tentu sudah
semakin tinggi pada Pemilu 2014 ini. Hal
inilah yang justru menjadi titik balik antara
tenggelamnya politik kartel maupun me­
nguatnya proses representasi publik dalam
demokrasi elektoral.
Selain menjadi titik balik, hal penting
lainnya adalah pemilu ini merupakan momentum adanya transisi politik pada era
kekuasaan presidensialisme. Selama dua
periode ini terlihat bahwa pola reorganisasi yang berlangsung selama ini justru telah menghasilkan pembajakan demokrasi
yang dilakukan para elite. Para elite yang
kembali memerintah pada era ini justru
mengarah pada kembalinya kekuasaan
neo-otoriter yang dikemas secara komoditas demokrasi semu (pseudo democracy). Hal
itulah yang membuat proses pemerintahan
hasil elektoral selama ini lebih mengarah
pada proses transaksional maupun patronase politik yang justru mengarahkan
kekuasaan terbentuk dan terkonsolidasi di
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 57
WASISTO RAHARJO JATI
57
puncak menara gading. Hal tersebut pada
gilirannya malah dapat memicu munculnya gejala depolitisasi pada ranah lokal
maupun nasional yakni gelombang apa­
tisme yang semakin membuncah dan semakin menguat.
Gerontokrasi yang berada dalam lingkar kekuasaan, yakni munculnya para
politisi uzur yang sudah lama eksis dalam lingkar kekuasaan istana maupun gedung kura-kura, sudah waktunya diakhiri.
Pemilu 2014 mendatang ini dinilai tepat
untuk memberikan tongkat estafet kepada
ge­nerasi muda yang lebih akuntabel dan
kredibel dalam mengelola pemerintahan agar sesuai dengan jalur treknya yang
benar. Konsekuensinya, hasil pemilihan
umum tahun ini menarik untuk dicermati.
Apakah melanjutkan adanya kartelisasi
edisi ketiga ataukah menjadi era baru dalam pemerintahan yang di dalamnya hak
publik sebagai demos sangatlah dihargai
dalam pemerintahan lima tahun mendatang (2014 – 2019)?
Penutup
Menguatnya proses demokratisasi yang
kini telah mengalami proses pematangan
(matured) perlu diapresiasi sebagai bentuk
pendewasaan politik kontemporer. Hal
inilah yang membuat pemilu menjadi sarana penting dalam hal transfer kekuasaan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berkaca pada pengalaman Indonesia, bentuk pemilu selalu bernuansa temporer dari
satu fase ke fase berikutnya. Pemilu 1999
dan 2004 sendiri masih dianggap sebagai
pemilu konsolidasi sekaligus pemilu rekonsiliasi antara hubungan negara dengan masyarakat. Masyarakat masih mengalami
pengobatan atas trauma konflik yang menjadikan konteks pemilu sendiri lebih pada
usaha pencapaian stabilitas politik. Namun
4/24/2014 8:52:19 AM
58
PEMILU 2014: KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK
demikian, tak dinyana, proses demokratisasi tersebut justru menghasilkan adanya
reorganisasi elite yang semakin membesar.
Pemilu tahun 2004 mengindikasikan
adanya perubahan signifikan terhadap
sistem politik. Sistem politik yang dulunya
serba otoriter menuju akumulasi kekuasaan yang bernama kartel. Kartel dibangun
atas logika kompromistis dan transaksional demi mengejar kursi publik. Adapun
kondisi dalam publik sendiri masih belum
memahami benar mengenai konteks pemilu. Hal itulah yang kemudian menjadikan
pemahaman demokrasi menjadi formal
institusional. Proses representasi publik
cukup diwakilkan oleh partai politik yang
berimplikasi pada menguatnya organisasional di tingkat elite. Maka tidaklah mengherankan apabila luaran hasil pemilu tahun 2004 hingga pemilu tahun 2009 hanya
menghasilkan pemerintahan eksekutif dan
legislatif nasional yang tidak efektif dan
efisien dalam mengeksaminasi kebijakan.
Kondisi tersebut jelas saja menimbulkan
kegeraman publik terhadap proses peme­
rintahan yang tidak stabil dengan skandal
negatif yang memicu menguatnya proses
advokasi dan representasi publik. Pemilu 2014 adalah determinan utama dalam
mengukur tingkat kecerdasan publik maupun juga mengukur memudarnya elitisme
dalam ranah masyarakat. Maka patut disimak pula dinamika rivalitas, dan kontestasi yang akan berlangsung di dalamnya.
Baik elite maupun publik mau tidak mau
harus siap dengan dinamika yang berkembang selama maupun sesudah pemilihan
legislatif dilangsungkan pada April ini.
004-[Wasisto] PEMILU 2014 KARTELISASI ELITE VERSUS REPRESENTASI PUBLIK.indd 58
VOL II, 2014
Sedang­kan publik dalam arti sebagai demos
perlu menguatkan posisinya sebagai suatu
forum yang kuat dalam mengawal, dan
meng­awasi jalannya pemerintahan, siapapun yang memegang kekuasaan formal di
kursi legislatif maupun eksekutif, ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ambardi, Kuskridho. (2009). Mengungkap
Politik Kartel. Jakarta: Gramedia.
Aspinall, Edward. (2010). Problems of
Democratisation in Indonesia: Elections,
Institutions and Society. Singapura:
ISEAS Publishing.
Hadiz, Vedi. (2013). Political Economy of
Oligarchy and the Reorganization of
Power in Indonesia. Indonesia 96 (2), 3557.
Haryanto. (2007). Kekuasaan Elite. Yogyakarta: PolGov UGM.
Nadjib, Muhammad. (2005). Pemilu 2004
dan Eksperimentasi Demokrasi. Yogyakarta: KPU DIY.
Pamungkas, Sigit. (2009). Perihal Pemilu.
Yogyakarta: PolGov UGM.
Prihatmoko, Joko. (2008). Mendemokratiskan
Pemilu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Slater, Dan. (2004). Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential
Power after Democratic Transition. Indonesia 78 (2), 61-92.
Sorensen, Georg. (2007). Demokrasi dan
Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tornquist, Olle. (2009). Rethinking Popular
Representation. London: Palgrave Macmillan.
4/24/2014 8:52:19 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 59-78
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua:
Orang Papua dalam Pandangan Negara
JOHANES SUPRIYONO
Peneliti dan Pemerhati Papua
Surel: [email protected]
Diterima: 28 Februari 2014
Disetujui: 24 Maret 2014
ABSTRACT
This article aims to trace how Papuan is represented or even defined by the state in order to legitimize development qua civilizing process. It appears that the discourse of development---with progress as the main
reason behind it--- entangled with colonial discourse, i.e. how Papuan has been represented for years, has
opened the door to variety of practices where knowledge and power of the State has appropriated Papua as
‘the desiring object of the State’s Will.’ In this article, I will argue thoroughly how Papua has been constructed by the State as the other. Ever since Papua had been re-integrated formally into Indonesia postPepera in 1969, the development process had had just begun. Several documentations which contain the
progress of development process portray Papuan as a tribe who desperately needs development for various
reasons. For that matter, the State (qua government) owes its development project based on the image of
Papuan already represented, that is an expanding discourse rooted in Dutch expeditions exercised in Papua.
Keywords: Colonial discourse, Papua, development, state (Indonesia).
berikut, “Masyarakat pedalaman Irian Jaya
Menyimak dokumen-dokumen pembangun­ pada umumnya masih dalam taraf kegiatan
an tentang Irian Barat yang dikeluarkan oleh mencari/memenuhi kebutuhan makanan
Bappenas sejak Repelita I, saya menemukan sendiri/keluarga sendiri.” Dokumen yang
penggambaran tentang Papua yang mirip sama menuliskan, “Tingkat sosial budaya
dan berulang-ulang. Pemerintah meng- dan pendidikannya sangat sederhana.”
Pada Repelita I Pemerintah pusat segambarkan manusia Papua, penduduk di
wilayah yang baru saja diintegrasikan itu, bagai agen pembangunan yang paling
sebagai masyarakat yang masih sangat ber­kuasa pada masa-masa awal berfokus
sederhana sedangkan wilayahnya masih lebih pada infrastruktur transportasi laut,
belum memiliki fondasi pembangunan udara, dan darat serta upaya untuk “me­
ekonomi. Gambaran lengkapnya sebagai ningkatkan kesadaran masyarakat menuPendahuluan
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 59
4/24/2014 9:49:07 AM
60
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
ju persatuan dan kesatuan Nasional.” Repelita-repelita berikutnya memang mulai
berfokus pada bidang yang lain, seperti
eksplorasi sumber-sumber daya alam. Inti
pemba­ngunan di Papua adalah mendorong
Papua untuk berkembang sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi yang baru. Amat
jelas, arah pembangunan masa itu adalah
pencapaian angka pertumbuhan ekonomi
yang tinggi.
Sepanjang riwayat pembangunan oleh
pemerintah pusat, sekurang-kurangnya
yang tertera dalam dokumen, orang-orang
Papua tampaknya tidak menjadi bagian
yang penting. Dalam Repelita III, peme­
rintah mengejar target di bidang hasil
pertanian sehingga membutuhkan tenaga
kerja yang besar. Akibatnya, pemerintah
menggenjot angka peserta transmigrasi.
Keputusan Presiden No.7/1978 tentang
transmigrasi memberikan kerangka dan
landasan hukum yang kuat. Maka, wilayahwilayah dataran rendah seperti Nabire, Klamono, Genyem, dan Jayapura dibanjiri para
migran dari Jawa yang dimulai sejak 1982.
Orang-orang ini menggarap sawah-sawah
yang baru saja dicetak. Semua ke­perluan
ditanggung oleh pemerintah. Wajarlah kalau pemerintah menargetkan 140-200 ribu
KK untuk bertransmigrasi ke Papua.1
Pada Mei 1984, Presiden Soeharto me­
ngumumkan bahwa pada Repelita IV,
transmigrasi memiliki peran yang krusial.
“Para transmigran itu membawa dampak
VOL II, 2014
besar bagi kemajuan pembangunan masa
depan Indonesia dan terutama untuk upa­
ya meletakkan fondasi masyarakat Panca­
silais yang sangat diharap-harapkan oleh
bangsa ini” (Otten, 1986: 3).2 Transmigrasi
telah menjadi penyumbang perubahan demografis yang serius di Papua sehingga di
wilayah-wilayah perkotaan jumlah populasi non-Papua mengungguli orang Papua,
dan secara ekonomi, yang pertama me­
nguasai yang terakhir (Upton, 2009: 4).3
Ketika menyimak dokumen-dokumen
pembangunan itu, saya menyimpan pertanyaan yang cukup serius untuk saya pi­
kirkan jawabannya. Sementara para transmigran itu diberi peran untuk mengolah
sawah dan mengupayakan pusat-pusat
perkebunan baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi; lantas apa peran yang
dipercayakan kepada orang-orang Papua?
Apabila orang-orang dari Jawa itu dilihat
sebagai tenaga kerja yang bisa memenuhi
tuntutan kebutuhan, apakah begitu juga
dengan orang Papua? Pada ujungnya, pertanyaan saya adalah siapakah orang Papua
itu menurut negara? Pertanyaan lain yang
mungkin menyusul seketika adalah me­
ngapa wacana semacam itu yang dikonstruksi oleh pemerintah?
Gugus pertanyaan di atas muncul dalam benak saya ketika saya menyimak sejarah pembangunan dan transmigrasi di
Pa­pua setelah integrasi. Dalam perkembangan berikutnya, orang-orang Papua di
Sejarah pemindahan penduduk ke Papua sudah terjadi sejak pemerintah Belanda berkuasa di Papua. Ketika pemerintah Belanda membuka pos pemerintahan di Merauke pada awal dekade 1900-an, mereka memindahkan penduduk dari Jawa untuk menopang pos itu. Pada masa Republik Indonesia, pemindahan penduduk sudah dimulai
dari skala kecil pada tahun 1963 ketika Soekarno menghimpun relawan untuk Papua, dan atas prakarsa pemerintah
masih berlanjut hingga menjelang akhir abad yang lalu. Di Nabire, tempat penelitian ini dilakukan, program itu
masih berjalan pada tahun 1998 ketika Departemen Transmigrasi dikepalai oleh A.M. Hendropriyono.
2
Kutipan ini merupakan terjemahan saya atas kata-kata Soeharto yang dimuat di harian The Jakarta Post pada 28 Mei
1984 dalam Marriel Otten. (1986). Transmigrasi: Indonesia Resettlement Policy 1965-1985 IWGIA Document 57, hlm. 3.
Dalam bahasa Inggris tertulis demikian, “They will have a strong bearing on the progress of development in Indonesia for
the future, especially to the endeavors to lay down the foundation of the Pancasilaist Society, long cherished by the nation.”
3
Tentang perubahan demografis dan dampaknya yang menyingkirkan orang asli Papua dari ranah ekonomi lihat
disertasi Stuart Upton. (2009). The Impact of Migration on the People of Papua, Indonesia. A historical demographic analysis.
University of New South Wales.
1
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 60
4/24/2014 9:49:07 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
kawasan urban menjadi termarjinalisasi.
Selain minoritas dalam soal jumlah populasi, mereka juga sekunder dalam soal keterampilan dan kemampuan ketenagakerjaan.
Tidak sedikit dari mereka kemudian hidup
lontang-lantung tanpa masa depan yang
jelas. Seperti disimpulkan oleh penelitian
LIPI (2009), orang-orang Papua sungguhsungguh terpinggirkan dan tertinggal jauh
dari penduduk imigran. Akan tetapi, sejauh
ini usaha negara dalam hal ini pemerintah
untuk memberdayakan penduduk lokal
Papua tidak tampak serius.
Dalam menguraikan jawaban atas gu­­gus
pertanyaan di atas itu, saya berusaha menempatkan jawaban saya dalam kerangka
sejarah Papua-Indonesia yang menjadi latar
belakang historis bagi konsep Peme­rintah
Indonesia dalam memandang orang Pa­
pua. Dalam lintasan sejarah pembangun­an
dan mengacu pada penelitian di lapang­an,
saya melihat orang-orang Papua ditampilkan oleh pemerintah sebagai kelompok
yang membutuhkan pembangunan sementara
pemerintah dan para transmigran adalah
kelompok yang melakukan pembangunan. Pemerintah, yang dalam hal ini juga berperan
sebagai agen pembangunan, dalam dokumen-dokumen pembangunan mengategorikan masyarakat Papua sebagai kelompok
yang kurang berkembang. Maka, pemerintah memprogramkan serangkaian proses
pembangunan untuk masyarakat Papua.
JOHANES SUPRIYONO
61
1. Konteks Historis Relasi Indonesia-Papua
Papua sekarang adalah salah satu provinsi
di Indonesia yang diatur secara khusus.
Sejak diberlakukan Undang-undang No.
21 tahun 2001 tentang otonomi khusus,
pemerintah Papua mendapatkan sejumlah kewenangan yang lebih luas untuk
meng­atur daerahnya dibanding provinsiprovinsi yang lain.4 Undang-undang ini
dipandang sebagai jalan tengah antara
kehendak pemerintah pusat yang menginginkan Pa­pua tetap berada di NKRI de­
ngan aspirasi orang Papua untuk merdeka.
Lewat Undang-undang itu, orang Papua
dianggap bisa merdeka tapi masih di
dalam NKRI.
Papua, dahulu Irian Barat, masuk ke
Indonesia melalui referendum yang dinilai bermasalah oleh penduduk Papua dan
oleh pihak-pihak luar, terutama yang menjadi saksi mata ketika pemungutan suara dilaksanakan pada Juli-Agustus 1969
(Drooglever, 2009).5 Pokok yang masih
terus dipermasalahkan tentang plebisit itu
adalah bahwa Indonesia tidak melakukannya sesuai dengan yang ditentukan oleh
Pasal 18 dan 20 New York Agreement. Bukannya menyelenggarakan dengan prinsip
satu orang, satu suara (one man, one vote),
refe­rendum justru dilaksanakan dengan
prinsip perwalian. Pemerintah Indonesia
menetapkan 1.025 orang Papua untuk memutuskan bergabung atau tidak bergabung
dengan Indonesia.
Pasal 4 ayat 1 UU No. 21 tahun 2001 berbunyi, “Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal,
agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
5
Tentang referendum yang menentukan Papua atau Irian Barat masa itu masuk ke Indonesia silahkan lihat P. J.
Drooglever. (2010). TINDAKAN PILIHAN BEBAS!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Yogyakarta: Kanisius.
Selain dari buku itu, cerita tentang bagaimana referendum dilaksanakan di bawah tekanan atau ancaman masih bisa
dituturkan oleh orang-orang Papua sendiri yang pada masa itu turut memberikan suara. Ketika Orde Baru berkuasa, cerita seperti itu hanya bisa dituturkan di belantara hutan. Sekarang, para pelaku dengan berani menuturkannya
sembari diberi tekanan emosional yang menonjol. Lihat juga International Center for Transitional Justice (2012). The Past
That Has Not Passed: Human Rights Violations in Papua Before and After Reformasi. ICTJ dan ELSHAM-Papua.
4
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 61
4/24/2014 9:49:07 AM
62
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
Lebih lagi, dalam perjanjian internasional itu, orang Papua tidak memiliki
wakilnya sama sekali. Tiga pihak yang berunding adalah Pemerintah Indonesia, Pemerintah Belanda, dan Pemerintah Amerika Serikat. Orang Papua sendiri tidak turut
menentukan nasibnya dalam perjanjian
itu. Sebaliknya, masa depan mereka ditentukan oleh orang-orang lain. Artinya,
Papua menjadi bagian dari NKRI melalui
proses politik internasional yang manipulatif. Bagi orang Papua, yang kala itu sudah
membayangkan akan berdiri tegak sebagai
sebuah negara merdeka setelah disiapkan
oleh Belanda pasca-Indonesia merdeka,
proses politik itu telah menumpas harapan
mereka untuk menjadi negara merdeka.6
Proses referendum di bawah pengawasan
PBB pun tidak menjadi proses bagi orang
Papua untuk secara bebas menentukan nasibnya sendiri.
Sejarah Papua sejak berada di bawah
penguasaan Indonesia telah diwarnai oleh
perlawanan panjang yang sporadis oleh
berbagai kelompok masyarakat. Kelompok
terpelajar Papua membuat reaksi dengan
menggelar pertemuan komite nasional. Pe-
VOL II, 2014
mimpin Partai Nasionalis (Parna), Herman
Wayoi, dan seorang anggota Dewan Nugini, Nicolaas Tanggahma, mengorganisasi
pertemuan yang diikuti oleh sekitar 90 pemimpin Papua. Robin Osborne mengata­
kan bahwa mereka terpaksa setuju untuk
menerima pemindahan kekuasaan dari Belanda ke United Nations Temporary Executive
Administration (UNTEA) dan mereka juga
akan bekerja sama dengan UNTEA serta
Pemerintah Indonesia. Mereka meminta
UNTEA untuk tetap menghormati bendera
dan lagu kebangsaan mereka. Satu hal lagi,
mereka meminta referendum yang dijanjikan diselenggarakan pada tahun 1963 (Osborne, 2001: 68). Pada akhirnya, tidak satupun dari permintaan mereka itu dipenuhi.
Periode UNTEA secara de facto adalah kontrol Indonesia terhadap Papua (Pigay, 2001:
242).7
UNTEA menyerahkan pemerintahan
atas Irian kepada Pemerintah Indonesia
pada 1 Mei 1963. Akan tetapi, kehadiran
orang Indonesia di sana telah dimulai sejak sebelumnya. Operasi militer yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan Irian
Barat ke Indonesia sudah diawali pada ta-
Ketika perundingan-perundingan antara Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia berlangsung, rakyat di Papua
sudah memiliki angan-angan untuk berdiri sebagai negara sendiri. Pada 1 Desember 1961, orang-orang sudah menyebarkan bendera negara, yaitu Bintang Kejora, begitu pula alat-alat kelengkapan yang lain bagi sebuah negara.
Angan-angan untuk merdeka tersapu oleh fakta bahwa Indonesia yang memenangkan perundingan setelah di­
sokong diplomasi Amerika Serikat yang mencegah Indonesia berkiblat ke Blok Timur, dan bantuan peralatan militer
dari Uni Soviet agar Indonesia tetap bersahabat dengan Blok Timur.
7
Pada 31 Juli 1962 diadakan persetujuan sementara antara Indonesia dengan Belanda yang isinya memberatkan Belanda sekaligus menegaskan kontrol Indonesia atas Papua sejak pemerintahan masih di tangan badan sementara
PBB. Isi perjanjian sementara itu: Pertama, setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dengan Belanda maka
selambat-lambatnya tanggal 1 Oktober 1962 penguasa dari Badan Pemerintah sementara PBB (UNTEA) akan tiba
di Irian untuk melakukan serah terima dari pemerintah Belanda. Saat itu juga bendera Belanda diturunkan. Kedua,
Pemerintah Sementara PBB (UNTEA) akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun alat-alat keamanan
Indonesia bersama-sama dengan putra-putri Irian sendiri, dan sisa-sisa pegawai Belanda yang masih diperlukan.
Ketiga, Pasukan-pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian yang berstatus di bawah kekuasaan sementara PBB. Keempat, Angkatan Perang Belanda mulai saat itu secara berangsur-angsur dikembalikan. Yang belum berangkat
akan ditempatkan di bawah pengawasan PBB, dan tidak boleh dipergunakan untuk operasi-operasi militer. Kelima,
antara Irian dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas. Keenam, tanggal 31 Desember 1962 bendera
Indonesia mulai berkibar di samping bendera PBB. Ketujuh, pemulangan anggota sipil dan militer Belanda harus
sudah selesai sebelum tanggal 1 Mei 1963 dan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Mei 1963 Pemerintah Indonesia
secara resmi menerima Irian dari Pemerintah Sementara PBB (Pigay, 2001: 242).
6
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 62
4/24/2014 9:49:07 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
hun 1961 (Rahab, 2010: 42).8 Sejak Soekarno
menyerukan Trikora di Yogyakarta, peme­
rintah sudah mengirimkan para penyusup ke Irian. Kemudian, pada tahun 1964,
pemerintah mengirim para sukarelawan
yang dinamai Tim Pelopor Pembangunan
Serba Guna atau Pelopor Pembangunan
Irian Barat (TPPSG/PPIB). Tim ini dibentuk
oleh Presiden Soekarno. Mereka umumnya
dari Jawa dan ditempatkan di Manokwari,
Jaya­pura, dan Merauke. Ada pula yang
ditempatkan di pedalaman seperti di Enarotali. Banyak dari mereka adalah guru
dan juga tentara yang rela diberi peran sebagai pasukan pendahuluan untuk bekerja
membuka jalan dan sarana umum lainnya.9 Dengan lekas, Pemerintah Indonesia
meng­ambil peran sebagai pemerintah yang
sah atas Irian. Pos-pos yang sebelumnya ditempati oleh orang Belanda beralih tangan.
Setelah penyerahan administrasi oleh
UNTEA, pemerintah mengambil kebijakan
yang bersifat politis (Pigay, 2001: 259).
Jabat­an gubernur diberikan kepada E.J.
Bonay, seorang putra daerah Irian, tetapi
dalam pelaksanaan tugasnya dikontrol
JOHANES SUPRIYONO
63
oleh militer, dan dikoordinasikan dengan
Wakil Perdana Menteri Pertama Koordinator Irian Barat. Tampak bahwa yang
memimpin Irian adalah putera daerahnya
sendiri. Akan tetapi, menurut Pigay, ia tidak berdaya untuk mengambil kebijakan.
Inpres 1963 No.2-Rahasia Bab III pasal 2
ayat 7 mengatur bahwa gubernur dibantu
oleh Dewan Pembantu dan Penasihat yang
terdiri atas Komando Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara di
Irian Barat, Kepala Kepolisian Komisariat
Irian Barat, Kepala Kejaksaan Tinggi dan
Kepala-kepala Dinas. Aparatur pemerintahan di Irian Barat disebut sebagai Panca
Tunggal.10
Sistem pemerintahan di Irian Barat di­
kendalikan oleh militer dan militer sa­ngat
dominan, termasuk dalam mengontrol
aparat pemerintah dan warga sipil. Siapa
pun yang akan menduduki jabatan publik harus disetujui oleh presiden setelah
ia mendengar masukan dari bawahannya.
Militer juga diberi peran yang besar dalam
pemerintahan sipil. Militer di tingkat distrik dan desa mengordinasi aktivitas-ak-
Rahab memberikan informasi pembabakan infiltrasi yang berharga bahwa “fase pertama ditujukan untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini, sekitar 10 kompi prajurit ABRI dimasukkan ke Papua. Fase kedua adalah melakukan serangan
terbuka di beberapa daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi
pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.”
9
Seluruh pasukan infiltran ini tunduk pada perjanjian New York, dan diatur ke dalam Kontingen Indonesia (Kotindo)
sebagai pasukan keamanan UNTEA. Pasukan Indonesia ini kemudian diperbantukan di United Nation Security Force
(UNSF) yang adalah aparat keamanan UNTEA. Namun, komando mereka tetap di tangan Panglima Mandala. Maka,
ABRI di Papua memiliki misi formal sebagai alat kelengkapan UNTEA dan di sisi yang lain, atau misi informal, adalah kelanjutan dari Komando Trikora. ABRI bisa saja lebih mengawasi UNTEA agar tidak merugikan Indonesia, dan
agar bisa menekan kekuatan sosial politik orang Papua yang anti-Indonesia (Rahab, 2010: 42-43).
10
Informasi yang cukup penting untuk membangkitkan gambaran pemerintah di Irian Barat masa itu tentang Panca
Tunggal saya kutip dari Pigay sebagai berikut, “Pantja Tunggal dibentuk berdasarkan keputusan Presiden 1964/71
guna memperingati ketahanan dan kesiap-siagaan revolusi Indonesia, mewujudkan swadaya dan swasembada
dalam rangka pengerahan segala dana dan daya masyarakat serta guna memberantas segala pikiran dan pelaksanaan yang masih bersifat rutin konvensional yang ada pada masyarakat seperti pemberantasan kelompok-kelompok
yang menginginkan kemerdekaan Papua Barat. Selanjutnya berdasarkan Instruksi Wakil Perdana Menteri I No.6/B/
instr/tahun 1965 tentang pedoman pokok pelaksanaan musjawarah Pantja Tunggal Irian Barat. Berdasarkan per­
aturan tersebut, Pantja Tunggal bagi Propinsi Irian Barat terdiri dari: Gubernur Irian Barat, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Tjenderawasih, Panglima Komando Daerah Maritim VII, Panglima Regional Udara IV, Panglima
Komando Daerah Angkatan Kepolisian XXI, Kepala Kedjaksaan Tinggi di Sukarnopura, Ketua Pengadilan Tinggi
Sukarnopura, Ketua Front Nasional Daerah Propinsi Irian Barat, dan Rektor Universitas Cenderawasih. Kemudian
Pantja Tunggal berlaku juga bagi setiap kabupaten yang ada di Irian Barat” (Pigay, 2001: 259-260).
8
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 63
4/24/2014 9:49:07 AM
64
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
tivitas penyuluhan dan pengembangan
masyarakat ketika mekanisme sipil tidak
berjalan. Militer juga dikerahkan untuk
task forces seperti membuka jalan-jalan raya
(Pigay, 2001: 262).
Sejak Irian Barat masih disengketakan
serta dibawa ke serangkaian perundingan,
Kodam XVII/Cenderawasih sudah disiapkan dua hari sebelum perjanjian New York
ditandatangani. Kodam XVII dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menpangad No.
KPTS-1058/8/1962 tanggal 8 Agustus 1962.
Kodam ini baru dapat diwujudkan setelah
Irian Barat diserahkan kepada Pemerintah
Indonesia. Cukup banyak diketahui bahwa
militer juga hadir dalam berbagai ope­
rasi militer seperti Operasi Sadar, Operasi
Bratajudha, Operasi Wibawa, dan Operasi
Pamungkas.11 Tidaklah salah untuk memiliki kesan bahwa wajah Indonesia tampak
militeristik di hadapan orang-orang Papua
kala itu. Tentara hadir di mana-mana, dan
untuk tugas apa saja.
Kehadiran Indonesia di Papua mendapat
reaksi keras dari sekelompok orang. Pemberontakan bersenjata pertama kali pecah
pada 26 Juli 1965 di Kebar, Manokwari.
Johannes Djambuani memimpin 400-an
orang dari suku Karun dan Ayamaru. Kemudian, pada 28 Juli 1965 perlawanan serupa muncul yang dipimpin oleh Permanas
Ferry Awom dengan 400-an pengikutnya
dari suku Biak, Ayamaru, Serui, dan Numfor. Mereka menyerang asrama Yonif 641/
Tjenderawasih I. Tiga prajurit ABRI tewas.
Perlawanan juga digalang oleh Lodewijk
Mandatjan dari suku Arfak, Manokwari.
Ia mengajak pengikutnya untuk lari masuk
ke dalam hutan (Rahab, 2010: 47).
11
12
VOL II, 2014
Setelah penyerangan itu, ABRI melancarkan operasi militer untuk menumpas
gerakan-gerakan perlawanan OPM. Me­
reka bergerak untuk menghabisi basis-basis perlawanan masyarakat di sekitar Manokwari sejak 10 Agustus 1965. Targetnya
adalah menangkap hidup ataupun mati
para pemimpin pergerakan. Terbukti perlawanan orang Papua terhadap tentara ber­
umur panjang. Konflik-konflik bersenjata
antara orang Papua, yang oleh Pemerintah
Indonesia dikategorikan sebagai kelompok
separatis, dengan tentara Indonesia meng­
akibatkan sejarah Papua mengalir dengan
darah dan menelan korban nyawa.
Masih ada kewajiban yang harus dituntaskan menurut Perjanjian New York,
yaitu menyelenggarakan Referendum atau
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum tahun 1969 berakhir. Perjanjian itu
menjamin orang Papua untuk secara bebas
memilih nasib mereka: bergabung ke Indonesia atau berdiri sendiri sebagai negara
merdeka. Tentang penyelenggaraan Refe­
rendum ini, Pigay menulis bahwa Indonesia mengajukan protes ke PBB agar tidak
perlu menyelenggarakan referendum. Selain menyampaikan langsung, Pemerintah
Indonesia menggunakan putera Irian yang
pro-Indonesia untuk membuat pernyataan-pernyataan yang mendukung integrasi
ke Indonesia (Pigay, 2001: 276).12
Perubahan situasi politik pasca-penye­
rahan pemerintahan dari UNTEA kepada
Pemerintah Indonesia menguntungkan
Indonesia dalam rangka memenangkan
referendum yang digelar pada Juli hingga
Agustus 1969. Dengan segala cara, Peme­
Tentang operasi militer di Papua secara sekilas dapat dilihat di Rahab, 2010: 39-67.
Pada bagian ini, Pigay memberikan keterangan yang lebih detil. Pernyataan itu dimulai di Manokwari pada tahun
1962 dan terus berlangsung ke tempat-tempat lain sampai tahun 1968, sebelum Pepera dilaksanakan. Jumlahnya
bervariasi. Pada 1962 ada 21 pernyataan, pada 1963 ada 25 pernyataan, pada 1964 ada 7 pernyataan, pada 1965 ada
4 pernyataan, dan pada 1968 ada 35 pernyataan.
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 64
4/24/2014 9:49:07 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
rintah Indonesia membuat agar referendum menghasilkan Irian Barat berinteg­
rasi ke Indonesia. Penolakan masyarakat
di Paniai terhadap Pepera diatasi dengan
operasi bersenjata. Sementara itu, para pemimpin lokal yang berpotensi menyusahkan dibungkam lebih dulu.
Sejarah relasi antara Papua dengan Indonesia sejak masa integrasi hingga sekarang masih berkisar pada tegangan antara
mempertahankan Papua sebagai wilayah
NKRI dengan melepaskan Papua untuk
merdeka sebagai negara sendiri. Di masa
lalu, upaya Pemerintah Indonesia untuk
mempertahankan Papua bercorak mili­
teristik.
Sementara, meskipun ada gerakan-ge­
rakan bersenjata, perlawanan sipil di antara
orang Papua terus berkembang. Arnold Ap,
Kepala Museum Antropologi Universitas
Cenderawasih, membungkus gerakan yang
membangkitkan nasionalisme orang Pa­
pua pada 1970-an hingga awal 1980-an de­
ngan merayakan kultur lokal melalui grup
musik Mambesak. Kemudian, Dr. Thomas
Wanggai, seorang doktor administrasi ne­
gara, pada tahun 1988 mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura. Ia kemudian
ditangkap, dan dipenjara selama 20 tahun
dengan tuduhan makar. Ia meninggal di
penjara pada tahun 1996. Pada tahun 1998,
Filep Karma, seorang pegawai negeri sipil
di Biak, memimpin pengibaran bendera
Bintang Kejora di menara air di kota Biak.
Setelah berkibar selama beberapa hari, dan
JOHANES SUPRIYONO
65
orang-orang digiring untuk berkumpul di
bawah menara air itu, terjadilah insiden
pada awal Juli 1998 yang dikenang sebagai Biak Berdarah. Kemudian, pada tahun
2000 masyarakat Papua juga menggelar
Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Papua
di Jayapura yang diikuti penangkapan dan
pemenjaraan pemimpinnya, antara lain
Forkorus Yaboisembut, dengan tuduhan
makar.
Di luar negeri, para tokoh Papua terus
menggalang dukungan internasional. Isu
Hak Azasi Manusia (HAM) menjadi basis pergerakan nir-kekerasan mereka. Di
bawah kekuasaan Indonesia, Papua me­
ngalami serangkaian pelanggaran HAM
berat.13 Mereka mendapat tambahan ke­
kuat­an dari para intelektual, termasuk dari
berbagai negara di Asia, Eropa, dan Amerika yang simpatik dengan Papua.14
Sementara itu aspirasi merdeka di Pa­
pua yang sifatnya diam-diam (clandestine)
sampai saat ini masih belum cukup terdokumentasikan dengan baik. Meski begitu,
dalam berbagai kesempatan, mereka meng­
artikulasikan aspirasi ini dalam percakap­
an sehari-hari. Saya cenderung berpendapat bahwa hingga saat ini relasi Indonesia
de­ngan Papua masih terus diwarnai dinamika antara mempertahankan Papua, yang
diwakili slogan “NKRI harga mati”, de­
ngan aspirasi memerdekakan Papua.
Setelah Orde Baru jatuh pada tahun
1998, sejarah relasi Indonesia-Papua ditandai dengan upaya-upaya serius dari para
Asian Human Rights Commission yang berbasis di Hongkong bersama dengan Human Rights and Peace for Papua menerbitkan laporan dwibahasa Indonesia-Inggris berjudul The Neglected Genocide (Genosida yang Diabaikan): Human
rights abuses against Papuan in Central Highlands 1977-1978. Sementara laporan tahunan tentang HAM di Papua sejak
pertengahan dekade 1990-an secara rutin diterbitkan oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskup­an
Jayapura dengan serial Memoria Passionis.
14
Pada pokok ini, menurut hemat saya, agak terlalu tendensius dan kurang beralasan untuk menautkan begitu saja
kiprah para intelektual dengan kepentingan modal. Saya memilih untuk tidak menjangkau pembahasan ke arah ini.
Saya pikir keprihatinan dan kepedulian mereka yang menonjol terlihat dan konsisten soal Papua adalah menyangkut HAM. Klaim ini saya buat antara lain didasarkan pada kritik-kritik mereka terhadap Freeport yang terlibat dalam
pelanggaran HAM di Papua.
13
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 65
4/24/2014 9:49:07 AM
66
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
intelektual, baik di Jakarta maupun di
Papua, yang menggagas dialog JakartaPapua sebagai upaya damai menyelesaikan masalah Papua. Muridan S. Widjojo
dari LIPI dan Neles Tebay, seorang imam
Katolik dari Keuskupan Jayapura, melalui
Jaringan Damai Papua (JDP), terus menyebarluaskan gagasan dialog Papua-Jakarta
kepada banyak pihak: kepada para elit di
Papua dan Jakarta, kepada orang-orang
asli Papua, dan kepada para pemangku kepentingan yang lain di Jakarta serta Papua.
Sumbangan yang cukup serius diberikan
oleh tim kajian LIPI---Muridan ada di dalamnya--- berupa buku Papua Road Map:
Negotiating the Past, Improving the Present,
and Securing the Future (2009) yang memetakan jalan keluar untuk permasalahan
yang membelit Papua. Meskipun prakarsa
dialog ini mendapatkan banyak dukungan,
termasuk dari orang asli Papua, baik dari
Papua maupun Papua Barat, yang berkumpul di Hotel Sahid, Entrop, Papua pada
Juli 2013 bersama Majelis Rakyat Papua
(MRP),15 sampai tulisan ini selesai, masih
belum ditanggapi secara tuntas dan memuaskan oleh pemerintahan SBY.
Jatuhnya rezim otoriter Orde Baru
membuka katup perlawanan orang Papua.
Inilah masa yang disebut sebagai “Papuan
Spring” atau musim semi Papua meng­ingat
gerakan-gerakan sipil dan politik yang
lama berderap di bawah tanah, kini tampil
di permukaan dan semakin menguat guna
menyerukan aspirasi untuk merdeka (van
den Broek dan Szalay 2001; Chauvel 2002;
VOL II, 2014
Chauvel 2005:10). Sebagai jalan tengah
antara kehendak Papua untuk merdeka
dengan Pemerintah Indonesia yang tidak
ingin Papua lepas, Pemerintah Indonesia
pada masa Megawati memberikan otonomi khusus (UU No.21/2001) kepada
Provinsi Papua. Melalui undang-undang
ini, Pemerintah Provinsi Papua memiliki
kewenangan yang cukup luas untuk meng­
atur sendiri Papua.
Tidak seperti diharapkan oleh Peme­
rintah Indonesia, kebijakan otonomi khu­
sus rupanya tidak menjadi obat yang cukup ampuh untuk meredam keinginan
orang Papua untuk merdeka dan lepas
dari NKRI. Apalagi, kebijakan otonomi
khusus tidak berhasil mengubah kehidup­
an mereka secara signifikan. Laporan eks­
pedisi jurnalistik Kompas pada Agustus
2007 tentang pendidikan, yang menurut
UU Otonomi Khusus mendapatkan porsi
anggaran cukup besar di samping kesehatan dan infrastruktur, melukiskan dengan
sangat gamblang keadaan yang parah itu.
Oleh karena itu, orang-orang Papua membutuhkan bukti nyata kehadiran otonomi
khusus.16 Lama sebelumnya, rakyat Papua
sudah merasakan bahwa Otonomi Khusus
tidak berdampak pada mereka. Pada tahun
2005, Dewan Adat Papua bersama massa
rakyat Papua dalam jumlah ribuan berdemonstrasi menggotong keranda mayat
berkerudung hitam. Pada keranda itu,
mereka menuliskan Otsus. Secara simbolik,
mereka menilai bahwa otonomi khusus
sudah mati atau tidak bermanfaat untuk
Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 24-27 Juli 2013 menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan orang asli Papua yang
mewakili seluruh kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat—mereka berasal dari tujuh wilayah adat di Pulau
Papua—di Hotel Sahid Papua, Entrop, Jayapura. Dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus, perwakilan orang asli Papua menilai Otonomi Khusus telah gagal. Sebagai tindak lanjut menyelesaikan masalah PapuaJakarta mereka merekomendasikan dua hal. Pertama, mengadakan dengan segera dialog Papua-Jakarta di tempat
yang netral dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral juga. Kedua, perubahan atas Undang-Undang Otonomi
Khusus 2001 hanya akan dilakukan setelah didahului oleh dialog Jakarta dan Papua
16
“Papua Butuh Bukti Nyata Otonomi Khusus” dimuat di harian KOMPAS, 18 November 2009. Laporan jurnalistik
yang senada adalah tulisan Pattisina, Edna C. dan Ichwan Susanto, “Otonomi Khusus Belum Berasa” yang dimuat di
harian KOMPAS, 24 Februari 2010.
15
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 66
4/24/2014 9:49:07 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
orang-orang Papua.17 Ungkapan-ungkapan
serupa yang menilai otonomi khusus tidak
banyak artinya untuk orang-orang Papua,
tapi memiliki arti bagi elite lokal Papua, jamak terdengar dalam Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Jayapura.18 Se­
telah Otonomi Khusus berjalan lebih dari
satu dekade, ketegangan yang menandai
sejarah Papua di dalam NKRI masih terus
ada, termasuk upaya-upaya kreatif dari
badan-badan non-negara atau individuindividu berpengaruh untuk menata ulang
hubungan itu, dan memulai sejarah Papua
yang baru.
2. Pembangunan: Menumpas Nasionalis­
me Papua dan Mengonstruksi Identitas
Setelah memenangkan referendum tahun
1969 yang disahkan dalam sidang di Majelis Umum PBB, Indonesia bisa mengklaim
secara legal bahwa Papua merupakan
bagian sah dari NKRI. Akan tetapi, sejak
beberapa tahun sebelumnya dan sampai
sekarang ini, organisasi-organisasi lokal,
regional, maupun internasional masih terus
mempertanyakan posisi Indonesia. Kampanye luas yang mendesak penyelidik­an
dan pengakuan bahwa terjadi pelanggar­
an HAM berat di Papua masih terus berlangsung, dan cenderung semakin meluas.
Iklim demokratisasi yang berkembang di
Indonesia lebih memungkinkan gerakan
sipil se­perti itu menyebar. Orang-orang
Papua lebih berani mengartikulasikan pe­
JOHANES SUPRIYONO
67
ngalaman kekerasan oleh negara.19 Undang-undang Otonomi Khusus menetapkan juga pembentukan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) yang hingga sekarang belum ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Sejarah pembangunan Papua oleh Pemerintah Indonesia sulit untuk dilepaskan
dari upaya-upaya meredam perlawan­
an orang Papua atau untuk memangkas
potensi-potensi perlawanan. Dengan kata
lain, Indonesia memiliki kepentingan yang
cukup besar untuk mempertahankan ke­
utuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa
orang-orang Irian Barat tidak sepenuhnya menyambut kehadirannya. Kekuatankekuatan politik yang berjuang untuk Pa­
pua merdeka dari masa sebelum integrasi
tidak lenyap. Perlawanan lokal bersenjata
tradisional telah terjadi sebelum integrasi.20
Di samping itu, kenyataan yang sulit untuk
disangkal adalah berkembangnya nasionalisme Papua yang semarak menjelang integrasi.
Nasionalisme Papua yang telah bersemi sebelumnya disikapi sebagai sebuah
kenyataan yang memerlukan pembanding.
Agenda Indonesianisasi atau usaha-usaha
untuk mengakulturasi nasionalisme Indonesia di Papua termasuk dalam prioritas
pembangunan. Gietzelt melihat proses Indonesianisasi itu adalah upaya sistematis
untuk mengindoktrinasi orang-orang Pa­
pua menjadi Indonesia. Proses itu ditem-
Muridan S. Widjojo berpendapat bahwa kegagalan kebijakan otonomi khusus sudah dimulai sejak perencanaan
karena tidak melibatkan seluruh pihak baik yang pro- maupun yang anti-Jakarta di Papua. Ia mengatakan, “Pihakpihak yang berkonflik, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta faksi lain yang pro-kemerdekaan maupun
pihak Jakarta yang pro-NKRI, tidak pernah duduk bicara dan menyusun jalan keluar. Ini yang membuat pelaksanaan otsus tidak terasa karena tidak ada legitimasi dari pihak yang berkonflik” (lih. KOMPAS, 18 November 2009).
18
Lihat catatan kaki no. 17 di atas.
19
Sebagai contoh Decki Zonggonau dan Ruben Edowai atas inisiatif sendiri membuat laporan historis dengan judul
Kronologis Sejarah Pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai (Pegunungan Tengah) Propinsi Irian Jaya pada tahun 1999. Tragedi kekerasan di Paniai kurang disorot dibandingkan yang terjadi di perbatasan dengan PNG (Papua New Guinea)
atau yang terjadi di wilayah pesisir Papua.
20
Contoh perlawanan lokal di antara orang Mee di Paniai dapat dilihat di Pigay, 2001.
17
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 67
4/24/2014 9:49:07 AM
68
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
puh dengan penanaman pandangan-dunia
(Pancasila), pembangunan, dan transmigrasi (Gietzelt, 1989). Boleh jadi Gietzelt
bisa memberikan gambaran yang umum
bahwa proses Indonesianisasi melibatkan
pula proses dominasi terhadap orang asli
Papua. Catatan yang penting terhadap penelitian Gietzelt adalah bahwa ia terbatas
melihat proses Indonesianisasi seolah-olah
bergerak hanya dari satu sisi, yaitu Indonesia. Gietzelt luput menggambarkan adanya
proses sebaliknya, yaitu orang-orang Pa­
pua, tentu dalam jumlah yang lebih sedikit,
yang terbuka terhadap proses asimilasi
yang antara lain tampak dalam perkawin­
an campuran.21
Bila membuka kembali dokumen pembangunan Repelita I (1969) yang dikeluarkan pemerintah, kita akan mendapati jejak
bahwa membangun nasionalisme Indonesia di antara orang Papua adalah salah satu
agenda yang penting. Supriyono (2012)
menulis tentang pembangunan di Papua
sebagai berikut,
“Legitimasi yang lain untuk pemba­
ngunan di Papua adalah nasionalisme.
Bukan lagi rahasia bahwa pemikiran tentang pembangunan juga mencakup agenda pem­bentukan nasionalisme Indonesia
di kalangan orang Papua (Gietzelt, 1989;
Rutherford, 2001). Rumusan dalam dokumen pembangunan berbunyi, “meningkatkan kesadaran masyarakat menuju persatuan dan kesatuan Nasional.” Repelita I
memprioritaskan juga semua usaha untuk
membangun kesadaran orang Papua sebagai bagian dari Indonesia. Dalam kata
VOL II, 2014
lain, ada kesadaran di antara orang Papua
bukan sebagai bagian dari Indonesia, melainkan sebagai bangsa yang berdiri sen­
diri.” (Supriyono, 2012: 74)
Nasionalisme Papua, yang telah ber­
kembang sejak masa pendudukan Jepang
(Chauvel, 2005), dipandang sebagai kondisi
potensial yang membahayakan kehadiran
Indonesia. Lebih lagi, di dataran tinggi pegunungan tengah, orang-orang suku Mee
telah memiliki pengalaman historis berperang melawan tentara Indonesia dalam
rangka menolak penyelenggaraan Pepera
pada tahun 1969. Bahkan, sejak sebelum
Pepera hingga tahun-tahun ini, semangat
perlawanan yang dulu dikomandani oleh
Thadius Yogi berhasil diwariskan kepada
anak-anak dan pengikutnya yang berbasis
di hutan-hutan di dataran tinggi Pegunung­
an Tengah. Kendati belum banyak ditelisik,
wilayah pegunungan tengah sekitar Paniai
pernah menjadi wilayah operasi militer
seperti kawasan lain di provinsi ini.22 Perlawanan-perlawanan yang mengekspresikan nasionalisme Papua juga telah menjadi
sejarah panjang di antara orang Biak dan
Numfor di sebelah utara Pulau Papua.
Persoalan nasionalisme Papua adalah
isu yang serius bagi Pemerintah Indonesia,
bukan hanya ketika awal-awal integrasi
tetapi hingga sekarang ini. Dari percakap­
an-percakapan saya dengan beragam informan di Papua—antara lain yang mengalami masa-masa persis setelah Pepera tahun
1969, dan yang mengalami masa-masa
sesudahnya— muncul kesan bahwa nasionalisme Indonesia ibarat suatu barang
asing yang dicangkokkan secara koersif.23
Dalam penelitian lapangan saya di Nabire pada 2011, dua puluh tahun lebih setelah tulisan Gietzelt terbit, saya
bertemu dengan orang-orang Papua yang tertarik untuk belajar keterampilan praktis dari orang-orang transmigran.
Saya juga menyaksikan orang-orang Mee yang belajar pertanian pada orang-orang Jawa.
22
Percakapan penulis dengan Ruben Edowai di Nabire, pada 14 Maret 2012. Lihat juga catatan Decki Zonggonau dan
Ruben Edowai seperti saya sebut di catatan kaki no. 19
23
Tentang sejarah bagaimana nasionalisme Indonesia ditumbuhkan di antara orang Papua bisa dilihat disertasi Bernarda Meteray (2012) yang kemudian diterbitkan menjadi Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
21
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 68
4/24/2014 9:49:08 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
Secara metaforis, Pak Edowai mengatakan
“Kami ini dipaksa menikah dengan pemuda yang tidak kami cintai.”24 Dengan kata
lain, proyek besar Pemerintah Indonesia
di Papua adalah menghancurkan nasionalisme Papua, dan menggantikannya dengan
nasionalisme Indonesia.
Agenda lain yang cukup penting bagi
rezim Orde Baru bersangkutan langsung
dengan paradigma pembangunan. Arah
pembangunan masa itu adalah proses
mengejar pertumbuhan ekonomi. Pulau
Papua yang sangat kaya dengan sumber
daya alam memenuhi kriteria untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru
di wilayah timur Indonesia. Pemerintah
segera mengidentifikasi kota-kota seperti
Sorong, Manokwari, Nabire, Jayapura, Timika dan beberapa kota lain sebagai pusat
kegiatan ekonomi eksploitatif. Sejak tahun
1967, sebelum Pepera dilakukan, rezim
Orde Baru sudah memberikan izin kepada PT. Freeport untuk berinvestasi di bidang pertambangan di Timika. Pemerintah
mendirikan perusahaan pengalengan ikan
di Sorong. Kemudian, pemerintah juga
membuka perusahaan kayu di Holtekamp,
Jayapura. Untuk mencapai tujuan pembukaan pusat-pusat perekonomian yang baru
itu, pemerintah membangun infrastruktur
perhubungan laut, darat, dan udara. Prasarana perhubungan ini berguna sekaligus
untuk efektivitas pemerintahan, menyambungkan Papua dengan pusat demi menstabilkan situasi politik di Papua.
Pada tahapan perencanaan pembangunan selanjutnya, sekitar dekade 1980an yang bertujuan mencapai swasembada
beras, pemerintah mencetak ribuan hektar
sawah di pesisir-pesisir Papua. Program ini
dibarengi dengan mendatangkan para imigran dari Jawa. Orang-orang dari seberang
JOHANES SUPRIYONO
69
itulah yang kemudian dipercaya untuk
menggarap sawah, dan diberi peran oleh
negara untuk terlibat dalam pembangunan
negara, yakni swasembada pangan.
Orang-orang Papua tidak memiliki pe­­
ngalaman menggarap sawah. Seperti orangorang Dayak di Kalimantan, mereka adalah
peladang berpindah. Padi adalah jenis
tanaman pangan yang relatif baru mereka
kenal. Artinya, kecakapan praktik bertani
orang Papua tidak cocok dengan kebutuh­
an pembangunan. Untuk merespon model
pembangunan seperti itu, saya menulis:
“Pemerintah mendekati Papua dalam kerangka pikir yang cenderung Jawa-sentris sejak
permulaan yang diperlihatkan dengan penjajakan penanaman padi di Merauke, di daerah
Kumba, serta di Dosasi Jayapura. Dosasi dianggap lebih berprospek dan untuk menanga­
ni proyek itu pemerintah mendatangkan transmigran dari Jawa.” (Supriyono, 2012: 77)
Pembangunan di tangan pemerintah
pusat berfungsi sebagai kategori demografis yang mendudukkan orang Papua
sebagai masyarakat yang tidak sesuai de­
ngan kebutuhan pembangunan, dan orang
dari luar Papua (migran) sebagai kelompok
yang sebaliknya. Orang-orang Papua tidak
memiliki kemampuan untuk mengambil
peran dalam pembangunan. Mereka tidak
mampu mengolah sawah dan menghasilkan beras. Dihadapkan kepada para pendatang dari Jawa, orang-orang Papua ini
terlihat sebagai ‘masyarakat terbelakang’
yang masih membutuhkan pembangunan.
Tidak jarang dalam ungkapan keseharian, orang Papua disebut sebagai primitif.
Orang-orang Papua terlihat lebih inferior
dibandingkan dengan kelompok yang lain.
Orang-orang Papua menjadi warga kelas
dua.
Percakapan penulis dengan pak Edowai yang terjadi di Nabire pada 14 Maret 2012.
24
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 69
4/24/2014 9:49:08 AM
70
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
Pandangan pendatang yang merendahkan orang Papua kadangkala masih terungkap. Perasaan sebagai kelompok yang
superior juga hidup di antara para pendatang. Pada suatu hari Minggu di bulan
Oktober 2007, bertempat di Kapel di Wanggarsari, saya bertemu dengan seorang imigran di kampung yang mayoritas penduduknya imigran. Ketika dibuka, satuan
pemukiman ini didesain sebagai wilayah
campuran antara imigran dari Jawa dengan
orang-orang Papua. Bapak itu mengatakan
bahwa ia, dan para imigran lain, dikirim
ke Papua untuk memajukan orang Irian.
Meskipun percakapan berlangsung pada
tahun 2007, ia masih menggunakan nama
“Irian”.25 Kehadiran para pendatang, yang
jumlah populasi di wilayah urban sudah
mengungguli orang asli Papua, secara objektif sudah mendominasi sektor ekonomi
dan terus membuat orang asli Papua merasa terancam.26
Pembangunan dialami oleh orang Pa­
pua sebagai suatu sejarah yang paradoksal.
Proses pembangunan berhasil mengonstruksi episteme yang mengeksklusi orang
Papua atau menjebak mereka pada kerangka pengetahuan bahwa orang Pa­pua adalah warga kelas dua yang tidak punya cukup kemampuan dibandingkan ke­lompok
etnis yang lain. Selanjutnya, konsep ‘orang
tidak mampu’ bermanfaat untuk merong­
rong, melemahkan, atau membuat orang
meragukan bahwa orang Papua bisa
merdeka dan cakap mengurusi negaranya.
Pihak-pihak luar yang sekadar menyaksikan lewat selembar foto atau secuil berita
VOL II, 2014
tentang orang Papua ‘yang terbelakang’
diarahkan tanpa sadar untuk melegitimasi pembangunan yang dilakukan negara.
Mereka dibujuk untuk menyetujui gagasan
bahwa orang Papua adalah masyarakat terbelakang yang perlu dibangun.
3. Jejak Kolonialistik Pembangunan
Pada bagian sebelumnya, tulisan ini
menyajikan analisis bahwa nasionalisme
Indonesia menjadi agenda penting untuk
menggantikan nasionalisme Papua yang
telah bertumbuh-kembang sejak sebelum
integrasi dan menjadi semakin subur berkat integrasi. Kemudian, saya terkenang
pada percakapan di tengah malam 14
Maret 2012 dengan Pak Edowai di teras
rumahnya. “Dari mana Indonesia mendapatkan wewenang untuk mengindonesiakan orang Papua?” Lalu pertanyaan itu ia
jawab sendiri, “Indonesia memberi kuasa
pada dirinya sendiri.”27
Percakapan sampai dini hari itu berisi
gugatan terhadap kehadiran Indonesia di
Papua. Berkali-kali Pak Edowai mengatakan tidak pernah orang Papua meminta Indonesia melepaskan Papua dari penjajahan
Belanda. Malah, ia sendiri menganggap Belanda tidak menjajah Papua. Dengan nada
geram dan suara gemetar, sebaliknya ia
mengatakan, “Indonesialah yang menjajah
Papua!”
“Pernahkah Papua mengundang Indonesia untuk datang dan membangun di
sini? Tidak pernah.” Pertanyaan yang juga
bisa disodorkan: “Apa yang membuat pe-
Presiden Abdurahman Wahid mengembalikan nama Papua pada 1 Januari 2000. Bagi orang Papua, pengembalian
nama ini bermakna pengakuan terhadap identitas mereka sebagai orang Papua, nama mereka sendiri. Sedangkan,
nama Irian adalah nama yang diberikan oleh orang lain (baca: pemerintah) terhadap mereka. Freddy, informan penelitian saya, mengatakan bulu-bulu di tangannya berdiri ketika disebut sebagai orang Irian. Ungkapan ‘bulu yang
berdiri’ menandakan ketidaksukaan yang sampai pada tingkat tersinggung dan marah karena merasa tidak diakui.
26
Pandangan seperti ini terungkap dengan sangat jelas dalam Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua di Jayapura 24-27 Juli 2013. Di antara mereka, banyak yang mendesak diberlakukannya pembatasan migrasi masuk dari
luar Papua.
27
Percakapan dengan Bapak Edowai di Nabire, 14 Maret 2012
25
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 70
4/24/2014 9:49:08 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
merintah merasa punya kuasa untuk menempatkan keluarga-keluarga suku Mee
tinggal diapit dua rumah penduduk imigran dari Jawa yang bahasanya tidak mereka mengerti?” Satu pihak merasa lebih berhak atau berkuasa atas pihak yang lain. Dia
merumuskan bahwa Anda membutuhkan
ini, dan ini tetapi bukan itu.28 Sangat jelas,
orang-orang Papua tidak pernah mengundang dan meminta pertolongan kepada
bangsa asing untuk mengubah keadaan
hidup mereka.
Dalam sejarah Papua, yang pada masa
Belanda disebut West New Guinea, praktikpraktik pemerintah yang dimaksudkan
untuk kepentingan memasukkan populasi pulau itu ke dalam administrasi demi
kepentingan pembangunan telah jamak.
Sangat jelas bahwa Belanda memiliki kepentingan kolonialistik di Papua. Kendati
Belanda mendirikan pos-pos di wilayah
pesisir Papua pada tahun 1898, jangkauan
administrasi mereka bisa dikatakan hampir tidak menyentuh penduduk pulau itu.
Pekerjaan administrasi dipraktikkan pula
oleh para misionaris Protestan di pesisir
utara dan Katolik di pesisir selatan untuk
penanganan penyakit epidemik serta pembukaan sekolah yang disubsidi oleh Gereja
(Wolf dan Jaarsma, 1992: 110).29
Untuk keperluan pemerintahan itu
pula, Pemerintah Belanda membuka Kantoor voor Bevolkingszaken (Kantor Urusan
JOHANES SUPRIYONO
71
Penduduk Setempat) yang bertugas untuk
mengumpulkan segala informasi, bukan
hanya tentang sumber daya alam, tapi juga
tentang orang Papua (Wolf dan Jaarsma,
1992). Salah satu tugas dari para staf kantor
ini adalah memimpin, menginisiasi, dan
mengevaluasi riset sosial ekonomi. Masih
menurut penelitian Wolf dan Jaarsma, baik
riset dari kantor pemerintah maupun dari
para misionaris memiliki tujuan luas yang
sama, yakni pasifikasi dan akulturasi.30 Patokan pemerintah untuk tujuan umum ini
sederhana saja, yakni terjaganya tatanan,
dan pencegahan terhadap kerusuhan sosial, dan implementasi yang tepat untuk
tujuan pembangunan ekonomi, sosial dan
politik (Wolf dan Jaarsma, 1992). Pemerintah Belanda merekrut tenaga-tenaga dari
kawasan Indonesia bagian timur untuk
mencapai beberapa tujuan tersebut (Chauvel, 2005).
Tiga golongan penduduk yang menghuni Papua pada masa pendudukan Belanda adalah orang asli Papua, orang-orang
dari kawasan Indonesia timur (Manado,
Ambon, Kei, dan lain-lain) yang sudah terdidik, dan para orang Belanda (misionaris,
zending, dan pegawai pemerintah). Orangorang dari Eropa berada di posisi yang
paling tinggi, orang dari Indonesia timur
berada di kelas menengah, dan orang asli
Papua berada di dasar piramida. Dalam
dinamika sehari-hari, orang-orang Papua
Literatur yang mendalami pertanyaan ini adalah Li, Tania. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development,
and The Practice of Politics. Durham dan London: Duke University Press.
29
Wolf, J.J. de dan Jaarsma, S. R. (1992). “Colonial Ethnography: West New Guinea (1950-1962). Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Deel 148, 1ste Afl., hlm 110. Di
Kokonao, Distrik Mimika Barat, peninggalan aksi-aksi pembangunan dari para misionaris yang mulai bekerja pada
tahun 1927 masih bertahan hingga sekarang. Di sana, para misionaris Katolik membuka kampung di pesisir dan
berhasil membangun sekolah berasrama, gereja, rumah sakit, dan kursus untuk para perempuan. Pada tahun 1949,
Pemerintah Belanda memindahkan penduduk dari Kiyura Gunung ke sebuah kampung yang dinamai sama tapi di
di wilayah pesisir. Untuk menjalankan karya-karya itu, para misionaris mendatangkan para guru dari wilayah Kei.
30
Pemaknaan yang berbeda di antara pemerintah dan gereja tentang pasifikasi dan akulturasi diterangkan sebagai
berikut. Bagi misionaris, makna keduanya tidak terlepas dari tugas yang mereka emban: Kristenisasi dan pelayanan
pendidikan. Pasifikasi berarti menyingkirkan hambatan untuk membangun hidup Kristiani yang sejati. Sekolahsekolah yang dikelola oleh para misionaris tampak lebih ekstensif dalam hal akulturasi. Kebanyakan sekolah ini
disubsidi oleh pemerintah dan memiliki kurikulum seperti yang disyaratkan oleh pemerintah.
28
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 71
4/24/2014 9:49:08 AM
72
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
kadang diperlakukan kasar atau menjadi
objek kekerasan para pegawai Belanda
yang menilai diri mereka lebih tinggi.31 Ungkapan-ungkapan bernada merendahkan,
dalam kesaksian para pamong praja, menjadi peristiwa yang berulang-ulang mereka
temukan.
Di antar orang-orang Mee, di mana
saya mengadakan penelitian, gambaran
orang yang berhasil adalah menjadi ogai,
yaitu menjadi seperti orang kulit putih dari
Eropa. Orang-orang tua, ketika mengirimkan anaknya bersekolah, mengharapkan
anaknya menjadi ogai. Saya masih belum
mendapatkan keterangan bagaimana proses menjadi orang ogai atau menjadi orang
kulit putih Eropa. Di Epouto, orang-orang
tua mengatakan bahwa di masa mereka,
anak-anak SD sudah fasih berbicara dalam
bahasa Belanda, suatu kelebihan yang tidak
dimiliki oleh anak-anak pada masa sekarang. Sebagian orang tua menilai bahwa
pendidikan masa Belanda berhasil meng­
antarkan mereka menjadi ogai.32
Saya tidak mendapatkan keterangan
yang memadai mengapa orang-orang Mee
melihat orang Eropa sebagai model dan
mereka ingin menyerupainya. Saya menduga kuat pengalaman yang baik orang
VOL II, 2014
Papua terhadap Pemerintah Belanda pasca-perang pasifik, yaitu ketika Belanda
mendidik calon elite lokal Papua yang
dipersiapkan untuk menjalankan peme­
rintahan sendiri, berkontribusi pada proses
formasi tipologi manusia ideal.33 Di bawah
kepemimpinan van Eechoud, orang-orang
Papua merasakan dinamika ditarik dari
golongan perifer ke kaum yang berada di
sentral dan mulai mengimajinasikan diri
sebagai aktor-aktor sentral di Papua.34
Langkah ini pun terbaca sangat jelas
sebagai upaya mempertahankan kepentingan kolonialistik Belanda atas Papua. Setelah Indonesia merdeka, Papua diharapkan
menjadi “tropical Holland” di mana orangorang Belanda yang terusir dari Indonesia
akan tinggal dan tidak perlu kembali ke
Eropa. Secara geopolitik, jika masih punya
tempat berpijak di Papua, maka Belanda
masih berpeluang untuk kembali ke Indonesia. Harapan Belanda dipupus oleh re­
ferendum yang diduga ditekan oleh pihak
Indonesia demi integrasi.
Setelah orang-orang Belanda pergi, kepentingan Pemerintah Indonesia adalah
mengidentifikasi, memastikan, dan mematikan anasir-anasir yang bukan Indonesia.
Anasir yang non-Indonesia digolongkan
Pengalaman-pengalaman itu sebagian masih terekan dan ditulis oleh Leontine Visser dan Amapon Jos Marey. (2008).
Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Buku ini memuat kisah-kisah para orang Papua yang mengenyam pendidikan dan disiapkan oleh Belanda untuk menduduki
posisi dan jabatan di pemerintahan. Mereka menempuh pendidikan yang sekarang layaknya IPDN.
32
Percakapan dengan Ausilius You di Jakarta, pada Agustus 2012. Orangtua Ausilius adalah generasi pertama dari
wilayah Epouto yang mendapatkan pendidikan masa Belanda. Keterangan juga diberikan oleh Yakobus Dumupa,
anak seorang guru agama di wilayah yang sekarang Kab. Dogiyai dalam percakapan di Jakarta, pada November
2011.
33
Untuk menjawab sanggahan yang sering diajukan pembaca awam terkait dengan hipotesis ini: “Mengapa Belanda
tidak melakukan hal serupa terhadap Indonesia?”, saya dapat menjawab demikian. Konteks politiknya berbeda. Belanda berharap mereka bisa mempertahankan kekuasaan di Papua dan memenangkan hati orang Papua. Geopolitik
setelah perang dunia II berubah. Belanda terancam kehilangan Papua.
34
Lihat Visser dan Marey (2008) dan juga Meteray, Bernarda. (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. Disertasi Meteray yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini meneliti soal penyemaian nasionalisme orang Papua, antara lain tercapai melalui pendidikan dan pengaderan mereka untuk menempati jabatan-jabatan publik dan untuk menjadi pemimpin lokal. Ketika New Guinea Raad dibentuk, orang-orang Papua dari generasi
inilah yang berada di dalamnya. Tokoh-tokoh perlawanan Papua seperti Nic Jouwe, dkk., juga berasal dari model
pendidikan Belanda ini.
31
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 72
4/24/2014 9:49:08 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
sebagai separatis dan mengandung unsur
kriminal. Hal ini adalah langkah sepihak
dan berada dalam kewenangan penuh
Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, sebenarnya tidak pernah sepenuhnya jelas apa
yang digolongkan sebagai anti- atau nonIndonesia itu. Jejak kolonialistik yang tebal
dan mencolok amat tampak di sini.
Pertemuan saya dengan Tebay, seorang
muda belia yang kala itu baru akan menyelesaikan jenjang SLTA, di pertengahan
tahun 2012, membuka cakrawala saya bagaimana kategori itu tidak cukup jelas,
bahkan untuk pejabat atau aparat Peme­
rintah Indonesia sendiri. Setiap menjelang
hari Kemerdekaan RI, warga di kampungnya dipanggil berkumpul dan diwajibkan
mengikuti upacara bendera pada tanggal
17 Agustus. Masing-masing keluarga juga
harus mengibarkan bendera merah putih
di rumahnya. Pada hari H, aparat militer
sudah bersiap dan sebagian lagi berpatroli untuk menyuruh semua warga meng­
ikuti upacara. Orang-orang berkumpul di
lapang­an dengan rasa kurang gembira. Jika
boleh jujur dan tetap dijamin keamanannya, kata Tebay, maka orang-orang di kampung itu tidak mau mengikuti upacara.
Ketika ia masih SMP, ia dan teman-temannya menghindari paksaan dengan dalih sakit malaria atau yang lain. Juga ada
yang berpura-pura pingsan ketika upacara
baru dimulai lima menit. Ada juga yang
berpura-pura hormat bendera, tetapi se­
sungguhnya orang itu sedang menggarukgaruk kepala atau memilin rambut.
Yang agak membingungkan saya adalah ketika pelajaran muatan lokal tidak
JOHANES SUPRIYONO
73
boleh digunakan untuk mengajarkan seni
budaya masyarakat setempat. Sejatinya,
tidak ada dasar hukum yang diacu. Pejabat setempat berdalih bahwa bahasa lokal
Papua lebih dari 250 bahasa. Jika hanya
memelajari satu saja, maka kelompok
pengguna bahasa yang lain akan cemburu.
Ketika bertemu empat mata, orang yang
sama mengatakan bahwa membuka muat­
an lokal untuk memelajari seni dan budaya
lokal malah akan membuat orang Papua
merasa semakin Papua, tidak menjadi semakin Indonesia. Ia mengacu pada kiprah
grup musik Mambesak yang dimotori oleh
Arnold Ap, seorang antropolog Universitas Cenderawasih.35
Menempatkan kepapuaan sebagai an­
cam­an bagi proses pembangunan—termasuk dalam bidang pendidikan yang akan
ikut membentuk karakter orang-orang
Papua di masa depan—sama saja dengan
kurang memberi ruang bagi berkembang­
an nilai-nilai lokal. Boleh jadi yang ditulis dalam dokumen Repelita I dengan
“Meningkatkan kesadaran masyarakat
menuju persatuan dan kesatuan Nasional”
sama maksudnya dengan menekan semua
anasir kepapuaan, dan membuka ruang
seluas-luasnya untuk mereka yang bukan
etnis Papua. Logika pembangunan masa itu
bertendensi untuk melemahkan atau bahkan melenyapkan anasir-anasir Papua, dan
menggantinya dengan anasir Indonesia.
Jejak kolonialistik yang pernah ditoreh­
kan dalam proses pembangunan: orangorang Papua dilarang untuk mencapai apa
yang mereka ingin capai, tetapi sebaliknya
ditekan untuk meraih yang ditetapkan oleh
orang lain (baca: pemerintah).
Grup musik Mambesak menghimpun lagu-lagu tradisional suku-suku di Papua, dan menyanyikannya dalam aneka
pentas. Selain itu, kelompok seni ini juga menampilkan tarian-tarian lokal Papua. Secara berkala, grup ini meng­
adakan pertunjukkan di halaman Museum Antropologi Unversitas Cenderawasih, dan mendapatkan perhatian
yang besar dari orang-orang Papua. Diakui bahwa prakarsa Arnold Ap dkk., ini berhasil membangun harga diri
orang Papua, dan turut merawat nasionalisme Papua sehingga dinilai membahayakan. Arnold Ap dibunuh oleh
Kopasanda di sebuah pantai di Jayapura pada tahun 1984.
35
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 73
4/24/2014 9:49:08 AM
74
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
VOL II, 2014
4. Pembangunan atau Kolonisasi: Dis- merdeka sebagai bangsa yang berdaulat.36
Ketika Habibie menjadi presiden, Tim 100
kursus “Bangsa Terjajah”
yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat
“Keinginan untuk merdeka adalah suatu yang
Papua menghadap ke B.J. Habibie untuk
bersifat intrinsik di dalam diri setiap orang
menyampaikan aspirasi orang-orang Pa­
Pa­pua. Sebagai akibat sejarah penjajah yang
berbeda dengan bagian lain di Indonesia.
pua. Mereka ingin merdeka dan berdiri
Sekarang dan ke depan hanya ada dua pilihan
sebagai negara sendiri yang berdaulat atau
bagi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Remenying­kapi keinginan merdeka orang Papua,
publik Indonesia. Menanggapi permintaan
yaitu membangun Papua dengan sungguhitu, Habibie menyuruh tim ini pulang unsungguh sehingga orang Papua merasa merdetuk merenungkan kembali permintaan
ka di dalam NKRI atau mengulangi kembali
kesalahan di zaman Orde Baru yang sarat pemereka.
langgaran HAM untuk selanjutnya menodai
Di luar negeri, orang-orang Papua yang
amanat pembukaan UUD 1945 yang melarang
mengasingkan diri setelah integrasi Papua,
bangsa ini untuk melakukan pelanggar­an
secara konsisten memperjuangkan keHAM secara terus-menerus terhadap seke­
merdekaan Papua. Mereka tersebar di Auslompok manusia dan bangsa Indonesia yang
tralia, Inggris, Swedia, Amerika Serikat,
disebut orang Papua sehingga pada saatnya
Belanda, dan negara-negara Pasifik. Me­
mendatangkan bencana dan malapetaka bagi
bangsa ini.”
reka terus membina kontak dengan orang“Bila kita tidak mampu melaksanakan amanat
orang di Papua untuk terus update dan
UUD 1945 itu dengan sungguh-sungguh dan
menyampaikan temuan-temuan mereka di
dengan baik di dalam menying­kapi keingin­
ba­nyak negeri. Di sana, mereka berkolaban merdeka orang Papua maka jalan terbaik
orasi dengan beberapa cendekiawan asing
adalah membangun suatu percakapan yang
yang simpatik dengan persoalan Papua unetis antara orang Papua dengan bangsa dan
negara ini untuk memberikan kesempatan
tuk menggalang dukungan bagi perjuang­
yang seluas-luasnya dan seadil-adilnya dan
an mereka. Pusaran diskursus mereka besedemokratisnya bagi orang Papua untuk merada di ranah hak asasi manusia (HAM)
nentukan sendiri posisi terbaik mereka untuk
yang telah menjadi bahasa lintas bangsa.
meraih masa depan yang lebih baik untuk
Dengan mengandalkan temuan-temuan
hidup sejahtera dan dalam suasana damai depelanggaran HAM di lapangan, seperti
nagn bangsa yang ada di dunia ini.” (Wospakpenembakan oleh aparat militer dan kerik dalam Raweyai, 2002: vi-vii)
polisian, mereka menampilkan betapa neRepresentasi diri orang Papua sebagai stapanya orang Papua di bawah kekuasaan
bangsa terjajah dan sedang menjelang ke- Indonesia.37
Di Papua sendiri, pasca-Orde Baru, dan
binasaan sudah cukup jamak serta dilakukan tanpa sembunyi-sembunyi. Begitu dalam semangat reformasi, ketika iklim
juga dengan tuntutan mereka untuk berdiri demokrasi sedang berkembang di Indo Sejumlah publikasi tentang itu misalnya Sendius Wonda, Tenggelamnya Rumpun Ras Melanesia (2008), Yorrys Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002). Buku yang pertama mengangkat pula wacana genosida yang sedang berlangsung secara sistematis dan tersembunyi di Papua. Selain telah menjadi pembicaraan yang sehari-hari di antara
orang-orang kritis Papua, di antaranya para mahasiswa, tokoh-tokoh adat, dan juga Gereja, genosida di Papua menjadi pokok laporan Allard K. Lowenstein International Human Rights Clinics Yale Law School dengan judul Indonesian
Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control (2004).
37
Pada September 2013, Asian Human Rights Commission yang berbasis di Hongkong bersama dengan Human Rights
and Peace for Papua menerbitkan laporan dwibahasa Indonesia-Inggris berjudul The Neglected Genocide: Human rights
abuses against Papuan in Central Highlands 1977-1978.
36
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 74
4/24/2014 9:49:08 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
nesia, wacana Papua merdeka dilakukan
secara terbuka. Tumbangnya rezim Orde
Baru yang berlanjut dengan dilangsungkannya referendum Timor Leste, membangkitkan harapan di kalangan orangorang Papua untuk menyusul keluar dari
Indonesia. Periode ini dikenal sebagai Papuan Spring atau musim semi Papua yang di
dalamnya nasionalisme Papua menyeruak
serta dieks­presikan secara semarak setelah
periode panjang represi oleh rezim Orde
Baru.
Sementara itu, di awal periode reformasi, kita menyaksikan orang-orang Pa­pua
mengibarkan bendera Bintang Kejora di
Biak, Nabire, Wamena, dan sejumlah tempat lain diiringi lagu Hai Tanahku Papua—
suatu tindakan yang cukup mendatangkan
hukuman berat di bawah rezim Orde Baru—secara amat santai dan terbuka, bahkan sudah menjadi tindakan sehari-hari,
untuk mengartikulasi keterjajahan mereka.
Percakapan tentang orang Papua yang terjajah, yang dirampok kekayaan alamnya,
dan diinjak-injak hak asasinya dengan
gampang terdengar di sudut-sudut pasar,
di lapangan sepak bola, atau di ruangruang terbuka, terutama setiap tanggal 1
Desember.
Kalangan nasionalis Indonesia tidak
setuju untuk menyebut Papua sebagai
kaum terjajah. Seperti ditulis sebagai sejarah resmi negara, Indonesia justru membebaskan Papua dari penjajahan Belanda dan
dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi.
Wacana itu terus direproduksi, termasuk
yang bisa kita saksikan pada plakat-plakat
di pos-pos militer di Papua, misalnya
“NKRI harga mati”: sebuah wacana yang
mencipta imaji teritorial Indonesia dari Sabang sampai Merauke sebagai keutuhan
yang harus dipertahankan. Persoalan sejarah integrasi Papua ke Indonesia sudah final dan tidak untuk ditilik kembali. Upayaupaya demokratis sejumlah kelompok sipil
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 75
JOHANES SUPRIYONO
75
di Papua untuk meninjau kembali sejarah
integrasi justru menabrak tembok dingin
yang nyaris mustahil untuk ditembus.
Individu-individu dan kelompok-ke­
lompok sipil maupun bersenjata yang kritis dan vokal menggugat praktik-praktik
kekuasaan negara justru diringkus serta
dikategorikan secara generik sebagai gerak­
an separatis-makar-ancaman bagi keutuhan
NKRI. Nasib yang sama menjumpai figurfigur kritis yang mengobarkan semangat
anti-Indonesia meski de­ngan strategi resistensi yang sangat kultural. Ketika iklim
demokrasi kita belum seperti yang sekarang ini, orang-orang atau kelompok-ke­
lompok semacam itu seketika ditangkap
lantas ditetapkan sebagai tahanan politik
selama bertahun-tahun. Bahkan, ada juga
yang tanpa proses semacam itu tapi langsung dibunuh. Untuk menyebut satu nama
dari sekian yang ada adalah Arnold Ap
yang dibunuh pada tahun 1984.
Sementara langkah-langkah meredam
perlawanan orang Papua tetap berjalan,
pemerintah merepresentasikan kehadiran
dalam program-program pembangunan
yang telah dimulai tidak lama setelah per­
alihan administrasi dari UNTEA pada Mei
1963. Orang-orang Papua yang saya temui
selama penelitian di lapangan menilai
pembangunan berdasarkan pengalaman
mereka secara berbeda-beda.
Wospakrik, seperti saya kutip di atas,
melihat harapan bahwa pembangunan
yang sungguh-sungguh bisa menyelesaikan persoalan Papua. “Pembangunan yang
sungguh-sungguh” bisa menjelmakan
NKRI yang adil, yang menghormati Hak
Asasi Manusia, melepaskan orang Papua
dari perasaan terintimidasi, memberikan
pendidikan berkualitas serta bisa diakses,
memberikan layanan kesehatan yang baik,
dan menghadirkan pemerintahan beserta
aparat negara yang melayani (Widjojo, ed.,
2009). Harapan semacam itu cukup masuk
4/24/2014 9:49:08 AM
76
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
VOL II, 2014
akal mengingat praktik pembangunan di
Papua masih dibelenggu wacana-wacana
kolonialistik yang bukan saja menjauhkan orang-orang Papua dari pengalaman
pembangunan yang adil dan menghargai
HAM, tetapi juga tampak dibutuhkan oleh
pemerintah pusat demi melegitimasi praktik-praktik kekerasan dan untuk melemahkan perjuangan politik orang Papua.
Permintaan orang-orang Papua untuk
merdeka ekuivalen dengan perasaan atau
anggapan bahwa mereka belum merdeka.
Di Papua, tuntutan untuk merdeka serta
berdaulat sebagai bangsa sendiri sudah
menjadi pemandangan yang jamak dan
menjadi kesadaran kolektif yang diartikulasikan ke dalam berbagai ekspresi, mulai
dari graffiti di jembatan, pamflet, hingga
nyanyian-nyanyian malam sebelum tidur.
ekonomi baru di Papua yang konsekuensinya menimbulkan gelombang imigrasi
dari luar Papua dalam kurun waktu yang
panjang, telah berdampak pada rasio penduduk asli dan pendatang yang saling berimbang, serta pada kekalahan penduduk
asli dalam persaingan di bidang-bidang
ekonomi, utamanya di perkotaan.
Pembangunan juga telah berperan sebagai alat kategorisasi tenaga kerja. Orangorang Papua dipandang bukan sebagai
tenaga kerja yang cocok untuk, misalnya,
mencapai target swasembada beras. Sebaliknya, orang-orang dari Jawa lebih cocok.
Dalam hal ketenagakerjaan, orang-orang
Papua dieksklusikan.38
Bagi orang Papua, pembangunan didapati sebagai sebuah paradoks. Alih-alih
mendudukkan mereka di pusat proses, me­
reka justru berada di pinggir arena. Tidak
jarang mereka malah menjadi korban yang
Penutup
tidak bisa menuntut. Pada awal dekade
Dalam sejarah pembangunan di Papua, 1980-an, ketika pemerintah menggencarkan
orang Papua tidak menempati bagian yang transmigrasi, antara lain ke Papua; ribuan
cukup penting. Posisinya lebih dominan hektar hutan diubah menjadi permukiman
sebagai ‘yang didefinisikan’ atau ‘yang dan persawahan. Kepemilikan orang Papua
dibangun’ tetapi tidak cukup memiliki atas area itu disangkal. Hutan diklaim miruang untuk terlibat membangun dirinya lik negara. Mereka tidak bisa protes. Mungsendiri. Pada akhir pendudukan Belanda, kin mereka takut dengan tentara. Apalagi,
gagasan untuk melahirkan elite lokal Pa­ Papua ditetapkan sebagai Daerah Operasi
pua sepertinya sudah akan mengarahkan Militer (DOM). Protes-protes mereka, jika
sejarah orang Papua ke titik cerah. Akan sampai membesar, maka akan dicap sebatetapi, Pemerintahan Indonesia yang se- gai gerakan anti-pembangunan. Padahal,
jatinya kekurangan legitimasi dari orang pemerintah sedang mengejar pembukaan
Papua justru membelokkan sejarah ke arah pusat-pusat perekonomian baru.
Yang terjadi di Papua atau lebih persis
yang lain. Di bawah Indonesia, orang-orang
Papua mengalami praktik pembangunan bagi orang Papua, adalah kegagalan pemyang meminggirkan dan mendiskriminasi bangunan (Widjojo, ed., 2009). Indikator
mereka. Rancangan pembangunan yang yang dengan gampang disepakati adalah
berfokus pada tumbuhnya pusat-pusat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
38
Gobay, seorang informan penelitian saya di Nabire, menilai proyek-proyek fisik selama proses pembangunan menjadi ruang yang cukup kentara betapa orang asli Papua minoritas. Tidak banyak yang memiliki keterampilan di
situ. Di perusahaan tambang, kehadiran orang asli Papua pun terhitung minoritas. Sepertinya orang-orang Papua
ditakdirkan untuk menjadi penonton. Begitu katanya pada percakapan di Nabire, November 2011.
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 76
4/24/2014 9:49:08 AM
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
tetap tergolong terbawah di Indonesia. Sudah semestinya arah pembangunan di Papua tidak lagi dibebani dengan membasmi
nasionalisme Papua atau dikendalikan oleh
ketakutan akan bertumbuh-kembangnya
nasionalisme Papua. Konsekuensi­nya sudah jelas. Orang-orang Papua tidak merasakan manfaat pembangunan. Kegagalan
pembangunan hanya menyuburkan ketidakpercayaan orang-orang Papua terhadap pemerintah Indonesia yang selama ini
sudah mereka ekspresikan dengan beragam penolakan, dan sikap apatis ter­hadap
program-program pemerintah.
Apabila sejarah panjang Papua didominasi oleh wajah kekerasan militeristik demi
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pemerintah kini boleh berpikir untuk mengubah haluan dan
menjawab harapan orang-orang Papua. Se­
perti disarankan oleh Wospakrik, satu jalan
yang masih bisa ditempuh saat ini adalah
melakukan pembangunan yang sungguhsungguh, yang adil, dan menghargai Hak
Asasi Manusia, memberikan pendidikan
yang baik dan layanan kesehatan yang
gampang diakses. Belenggu ketakutan seharusnya sudah dipatahkan.
Praktik-praktik kekerasan yang membawa pesan di baliknya penegasan akan
kewibawaan negara hampir tidak ada gunanya. Tindakan-tindakan semacam itu, di
samping terus menjaga kesan kolonialistik,
tidak membuka kesempatan bagi berkembangnya iklim pembangunan yang menjunjung Hak Asasi Manusia. Secara umum,
jika pemerintah hendak meninggalkan
para­digma pembangunan kolonialistik,
maka saya mendesak pemerintah untuk
melampaui pola yang sudah ajek dipraktikkan bertahun-tahun ini dan menempuh
suatu jalan baru. Widjojo cs., sudah memberikan bantuan pemetaan yang amat cukup de­ngan Papua Roadmap mereka untuk
menuju Papua tanah damai.
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 77
JOHANES SUPRIYONO
77
DAFTAR PUSTAKA
Asian Human Rights Commission dan Human
Rights and Peace for Papua. (2013). The
Neglected Genocide - Human rights abuses
against Papuans in the Central Highlands,
1977 - 1978. Kwun Tong dan Wuppertal: Asian Human Rights Commission dan
Human Rights and Peace for Papua (International Coalition for Papua).
Brundige, Elizabeth cs. (2004). Indonesian
Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control diakses dari
http://www.law.yale.edu/documents/
pdf/intellectual_life/west_papua_final_
report.pdf pada 12 September 2011.
Chauvel, Richard. (2005). Constructing Papuan Nationalism: Historicity, Ethnicity,
and Adaptation. New York: East West
Center.
Drooglever, P. J. (2010). TINDAKAN PILIHAN BEBAS!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Yogyakarta: Kanisius.
Gietzelt, Dale. (1989). “The Indonesianization of West Papua” dalam Oceania 56
(3): 201-221.
Li, Tania. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham dan London:
Duke University Press
Meteray, Bernarda. (2012). Nasionalisme
Ganda Orang Papua. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Osborne, Robin. (2001). Kibaran Sampari,
Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang
Rahasia di Papua Barat, (terj.). Jakarta:
Elsam.
Otten, Mariel. (1986). “Transmigrasi: Myths
and Realities - Indonesian Resettlement Policy, 1965 -1985,” IWGIA Document No. 57. Copenhagen: International
Work Group for International Affairs.
Pattisina, Edna C. dan Ichwan Susanto.
(2010). “Otonomi Khusus Belum Berasa,” KOMPAS, 24 Februari 2010.
4/24/2014 9:49:08 AM
78
Diskursus Kolonialistik dalam Pembangunan di Papua: Orang Papua dalam Pandangan Negara
Pigay, Decki Natalis. (2001). Evolusi nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua:
sebelum, saat, dan sesudah integrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Rahab, Amiruddin Al. (2010). Heboh Papua:
Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme.
Depok: Komunitas Bambu.
Supriyono, Johanes. (2012). Menarik Batas:
Reproduksi Modernitas dan Resistensi
Orang Mee terhadap Pendatang dan Negara. Tesis. Universitas Indonesia.
Upton, Stuart. (2009). The Impact of Migration on the People of Papua, Indonesia. A
historical demographic analysis. University of New South Wales.
Visser, Leontine dan Amapon Jos Marey.
(2008). Bakti Pamong Praja Papua di Era
Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Widjojo, Muridan S. (ed). (2009). Papua Road
Map: Negotiating the Past, Improving the
Present, and Securing the Future. Jakarta:
LIPI, Yayasan Tifa, Yayasan Obor Indonesia.
Wolf, J.J. de dan S.R. Jaarsma, S. R. (1992).
“Colonial Ethnography: West New
Guinea (1950-1962). Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast
Asia, Deel 148, 1ste Afl., hlm. 103-124.
Diterbitkan oleh KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and
Caribbean Studies.
Wospakrik, Frans A. (2002). “Kearifan Mencari Solusi Persoalan Papua” dalam Yor-
005-[Supriyono] untuk Jurnal Humaniora UMN 1.6.indd 78
VOL II, 2014
rys Th. Raweyai. Mengapa Papua Ingin
Merdeka. Jayapura: Presidium Dewan
Papua, hlm. vi-vii
Zonggonau, Decki dan Drs. Ruben Edowai
atas inisiatif sendiri membuat laporan
historis dengan judul Kronologis Sejarah
Pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai
(Pegunungan Tengah) Propinsi Irian Jaya
pada tahun 1999.
N. N. (2009). “Papua Butuh Bukti Nyata
Otonomi Khusus,” KOMPAS, 18 November 2009.
Sumber data dari laman Bappenas:
http://www.bappenas.go.id/node/42/1702/
repelita-ii-tahun-197475---197879/ (diakses pada 7 September 2012.)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1701/
repelita-i-tahun-196970---197374/ (diakses pada 6 September 2012)
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/
node/7166/ (diakses pada 6 September
2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1703/
repelita-iii-tahun-197980---198384/ (diakses pada 7 September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1703/
repelita-iii-tahun-197980---198384/ (diakses pada 7 September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1704/
repelita-iv-tahun-198485---198889/ (diakses pada 7 September 2012)
http://www.bappenas.go.id/node/42/1704/
repelita-iv-tahun-198485---198889/ (diakses pada 7 September 2012)
4/24/2014 9:49:09 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 79-97
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama:
Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di Indonesia dengan
Perspektif Filsafat Politik Jürgen Habermas
ALEXANDER AUR
Dosen Religiositas dan Etika
Universitas Multimedia Nusantara dan KALBIS Institute
Surel: [email protected]
Diterima: 13 Februari 2014
Disetujui: 4 April 2014
ABSTRACT
Enlightenment (Aufklärung) is not entirely successful confining religion to be a problem for private realm.
Religion still exists in the public sphere. Today, religion is pushed into the democratic constitutional state.
Jürgen Habermas argues that a dialogue between democratic state and religion is important today. Democratic state has rationality when religion has a place in the deliberation process. Thus, religion gives the
normative principles for the democratic state. Yet religion can not be the basis for a democratic state. Therefore, it is beneficial for democracy if religion should translate its metaphysical language into the language
espoused by the secular democratic state. Religious metaphysical assumptions must be tested by the secular
reason and the institutional translation proviso. By meeting the terms of the secular reason, democratic
state and religion can learn from each other and do dialogue.
Keywords: negara hukum demokratis, tindakan komunikatif, rasio prosedural, agama rasional,
situasi epistemik pluralitas.
dirinya, dan sekarang merangsek ke ruang
publik dalam berbagai bentuk. Terorisme
Dalam sejarah politik dunia, khususnya di
berwajah agama, partai-partai politik berbenua Eropa, setelah kelahiran Pencerahan
basis agama, gerakan-gerakan kemanusia­
(Aufklärung) yang mengusung rasio sekuan berbasis spiritualitas lembaga-lembaga
lar, agama didomestifikasi menjadi urusan
agama, gerakan pembaharuan politik berprivat, dan dilenyapkan dari ruang publik. nuansa agama merupakan beberapa contoh
Meski demikian, setelah sekian lama dido- konkrit agama yang eksis di ruang publik.
mestifikasi, Pencerahan tidak sepenuhnya
Fenomena domestifikasi agama dan
berhasil mengurung agama dalam ruang merangseknya agama ke dalam ruang puprivat. Alih-alih “mematikan” agama de­ blik merupakan fenomena yang berlang­
ngan mendomestifikasikannya, yang terjadi sung dalam bingkai hubungan agama dan
malah sebaliknya: agama memetamorfosis negara. Parakitri T. Simbolon memetakan
Pendahuluan
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 79
4/24/2014 10:01:20 AM
80
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
tiga pola hubungan agama dan negara (Parakitri T. Simbolon dalam JB. Kristanto dan
Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 2002: 430),
yakni integral simetris, integral asimetris,
dan sipil. Dalam pola integral simetris hubungan agama dengan negara tidak dipisahkan, keduanya bersatu. Pola ini sering
disebut theocracy. Dalam pola integral asimetris, hubungan antara agama dengan
negara bisa berbentuk “agama dalam negara” atau “negara dalam agama.” Pada bentuk “agama dalam negara”, agama tetap
harus tunduk pada kekuasaan negara meskipun agama mempunyai pengaruh yang
besar. Pada bentuk “negara dalam agama”,
negara tunduk pada kekuasaan agama meskipun negara mempunyai pengaruh yang
besar. Sedangkan dalam pola sipil, berdasarkan format formal negara dan agama
dipisahkan tetapi pada format praktik satu
agama atau lebih yang dominan.1
Negara hukum demokratis dan agama masing-masing mempunyai tujuan.
Dengan bertumpu pada kedaulatan rakyat,
nujuan negara hukum demokratis adalah
membentuk tatanan sosial demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan hidup para
warga negara di dunia ini. Dengan kata
lain, alasan adanya sebuah negara terletak
pada usaha manusia untuk membentuk
sebuah tatanan sosial, dan tatanan itu diatur dengan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia untuk mencapai tujuan
hidup manusia di dunia saja. Sedangkan
tujuan agama adalah mengarahkan para
pemeluknya (umat beriman) untuk memperoleh kesalehan hidup di dunia ini, dan
1
VOL II, 2014
kesalehan itu sebagai antisipasi bagi kehidupan setelah kematian (hidup di akhirat). Meskipun agama mempunyai tujuan
yang berbeda, tetapi bukan berarti agama
berada di luar negara hukum demokratis.
Agama merupakan salah satu unsur dalam negara hukum demokratis. Itu artinya,
agama turut berperan secara aktif dalam
menguatkan negara hukum demokratis.
Tetapi problem yang sering kali terjadi
adalah konflik antara agama dengan negara hukum demokratis. Tidak jarang, konflik yang terjadi bersifat saling menaklukkan satu sama lain. Hal yang terjadi pada
akhirnya adalah agama takluk di hadap­
an negara atau negara takluk di hadapan
agama. Atau sekurang-kurangnya dari sisi
negara, aparatus negara ragu-ragu dalam
menyikapi secara tegas relasi konfliktual
tersebut. Relasi konfliktual yang meng­
arah pada penaklukkan ini tidak sehat bagi
demokrasi itu sendiri. Demokrasi sebagai
bentuk dan cara berpolitik, yang di dalamnya semua unsur dimungkinkan berpartisipasi-aktif membangun hidup bersama,
maka upaya-upaya penaklukkan terhadap
demokrasi mesti diantisipasi dan diatasi
oleh semua unsur.
Agama dengan klaim metafisiknya mem­
punyai kecenderungan untuk menakluk­
kan demokrasi. Supaya tidak menjadi
“duri dalam daging” demokrasi serta tidak
melumpuhkan demokrasi dengan klaimklaim metafisiknya, agama mesti mampu
berkomunikasi dengan negara hukum
de­mokratis. Komunikasi dapat berlang­
sung bila, bahasa agama ditranslasikan ke
Parakitri T. Simbolon memberikan contoh negara yang menganut tiga pola hubungan negara dan agama tersebut. Negara-negara yang menganut integral simetris antara lain Vatikan, Tibet sebelum dikuasai Tiongkok, Iran
di bawah Khomeini, dan mungkin Arab Saudi. Negara-negara yang menganut pola integral asimetris antara lain
mulai dari sangat lunak sampai keras seperti Inggris dan Pakistan. Negara-negara yang menganut pola sipil dengan
variasinya masing-masing, antara lain Malaysia, Brunei, Filipina, dan Indonesia. Malaysia dan Brunei menetapkan
adanya agama negara tetapi tetap menjamin hak-hak agama lain. Filipina dan Indonesia mengakui pluralitas agama
dengan satu agama yang dominan.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 80
4/24/2014 10:01:20 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
dalam bahasa negara hukum demokrasi.
Mengapa agama harus mentranslasikan
bahasanya ke dalam bahasa negara hukum
demokratis? Uraian ini akan menjawab
pertanyaan tersebut. Uraian didasarkan
pada pemikiran Jurgen Habermas tentang
agama dalam negara hukum demokratis.
Pembahasan berikut berpijak pada tesis
ini: agama dan negara hukum demokratis
dapat saling berdialog hanya jika agama
mengubah dirinya dari agama mitis menjadi agama rasional dan negara hukum
memberi ruang (kesempatan) bagi agama
untuk berdeliberasi.
Tulisan ini terbagi dalam beberapa bagian. Pertama akan diuraikan upaya Habermas melampaui positifikasi rasio sekular
oleh Pencerahan (Aufklärung).2 Upaya Habermas ini juga mendasari optimismenya
bahwa rasio sekular merupakan proyek
modernitas yang belum tuntas. Kedua, akan
diuraikan teori Habermas tentang tindak­
an komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Ketiga, akan disajikan
pemikiran Habermas tentang agama di
dalam negara hukum demokratis. Keempat,
akan disampaikan potret deliberasi politik
berbasis agama di Indonesia.
Dalam pemikirannya tentang posisi
agama dalam negara hukum demokratis,
Habermas menempatkan pokok itu dalam
bingkai teorinya tentang tindakan komunikatif (communicative action), etika diskursus
(discourse ethics), dan demokrasi deliberatif.
Oleh karena itu, artikel tentang pemikiran
Habermas mengenai agama ini ditempat-
ALEXANDER AUR
81
kan dalam bingkai teori Habermas tentang
tindakan komunikatif, etika diskursus, dan
demokrasi deliberatif. Ada dua alasan perihal penempatan itu: pertama, supaya kita
dapat memahami pemikiran Habermas tentang status sosiologis-politik agama secara
tepat, utuh, dan tidak keluar dari arena pemikirannya secara keseluruhan. Kedua, supaya kita bisa menimba inspirasi dari Habermas terutama tentang keberadaan dan
peran agama atau politik berbasis agama
dalam konteks perpolitikan di Indonesia.
1. Rasio Komunikatif: Upaya Habermas
Melampaui Rasio Instrumenal
Sebelum memaparkan pemikiran Haber­
mas tentang rasio komunikatif, terlebih
da­hulu digambarkan secara singkat kemunculan ilmu pengetahuan modern.
Paparan tentang hal itu didasarkan pada
analisis yang dibuat Francisco Budi Hardiman (1990, 22-26). Dalam analisisnya, Budi
Hardiman mengatakan ilmu pengetahuan yang mendasarkan posisinya pada
ke­sanggupan rasio manusia lahir untuk
memeroleh pengetahuan. Dari tujuan itu,
ilmu pengetahuan melakukan positivikasi
rasio sehingga menjadi rasio instrumental.
Positivikasi dilakukan oleh para filsuf dan
ilmuwan yang beraliran positivisme.3
Pencerahan (Aufklärung) menjadi titik
awal bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu pengetahuan
modern, rasio manusia menjadi acuan utama untuk memeroleh pengetahuan. Dalam
filsafat modern itu sendiri, terdapat dua
P��������������������������������������������������������������������������������������������������������
ara eksponen Mazhab Frankfürt generasi pertama, seperti Adorno dan Horkheimer mencemaskan bahwa Pencerahan telah menggiring rasio menjadi sangat instrumental.
3
Francisco Budi Hardiman mencatat bahwa meskipun positivisme yakin bahwa pengetahuan yang sahih adalah
pengetahuan yang berdasarkan fakta objektif. Dengan menyingkirkan pengetahuan yang melampaui fakta, positivisme mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika, karena ontologi menelaah apa yang melampaui fakta indrawi.
Meski demikian, positivisme terutama ilmu-ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, menerima warisan ontologi
atau metafisika dalam dua hal. Pertama, ilmu-ilmu positif mewarisi sikap teoritis murni sebagai metodologi. Kedua,
ilmu-ilmu positif masih menyimpan pengandaian dasar ontologi bahwa struktur dunia dan struktur masyarakat
tidak tergantung dari subjek yang mengetahuinya.
2
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 81
4/24/2014 10:01:20 AM
82
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
blok besar yakni rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme menekankan bahwa
pengetahuan murni dapat diperoleh melalui kemampuan rasio manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, pengetahuan bersifat a
priori. Sedangkan empirisisme menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris.
Oleh karenanya, pengetahuan bersifat a
posteriori.
Dalam perkembangan selanjutnya, pe­
ngetahuan empiris-analitis menjadi ilmu
alam yang direfleksikan secara filosfis sebagai pengetahuan yang benar mengenai realitas. Pada titik ini ilmu alam dikembangkan sebagai teori murni dengan bantuan
rasionalisme serta empirisisme. Para ilmuwan alam pun memahami alam sebagai
sebuah kosmos dengan seluruh hukumnya
yang teratur, tertib, dan tetap.
Dari rahim filsafat empirisme, kemudian lahir positivisme yang dirintis oleh
Auguste Comté. Bagi positivisme, fakta objektif merupakan pengetahuan yang benar.
Positivisme tidak percaya pada ontologi
atau pengetahuan yang melampaui fakta.
Dari positivisme inilah lahir pula sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sosial. Positivisme dalam ilmu sosial mengandung
tiga pengandaian yang saling bertautan.
Pertama, prosedur metodologis ilmu alam
dapat diterapkan secara langsung pada
ilmu sosial. Artinya, subjektivitas seperti
kepentingan serta kehendak manusia sama
sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku
manusia yang menjadi objek yang diamati.
Dengan demikian, perilaku manusia sebagai objek ilmu pengetahuan setara dengan
dunia alamiah. Kedua, hasil penelitian dirumuskan ke dalam ‘hukum’ sama layaknya
dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial tidakbisa-tidak bersifat teknis yang murni instrumental.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 82
VOL II, 2014
Positivisme logis mendapat kritik keras dari Mazhab Frankfürt yang dikenal
dengan sebutan Teori Kritis. Para eksponen Teori Kritis generasi pertama antara
lain T.W. Adorno dan Horkheimer. Mereka
berpendapat bahwa positivisme logis me­
rupakan saintisme. Pencerahan telah membuat manusia menghadapi alam dengan
kalkulasi. Pencerahan melahirkan konsep
rasionalitas yang positivistik. Rasionalitas pencerahan adalah rasio instrumental
(Zweckrastionalität). Pencerahan membuat
rasio kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Di tangan positivisme, rasio menjadi instrumental, tukang atau alat untuk
kalkulasi, verifikasi, dan pelayan klasifikasi. Bagi Adorno dan Horkheimer, pendakuan Pencerahan akan netralitas rasio
instrumental, justru menunjukkan bahwa
karena netralitasnya itulah, rasio instrumental tunduk pada berbagai tujuan dan
dapat dipakai oleh siapa saja. Ciri instrumental dalam cara berpikir manusia tampak dalam perhatian yang ketat terhadap
prinsip-prinsip kerja rasio sehingga dapat
diterapkan untuk tujuan apa saja yang dikehendakinya. Dalam situasi yang demikian, rasio instrumental dapat menjadi alat
untuk memanipulasi.
Bagi Mazhab Frankfürt, rasionalitas sebagaimana diperjuangkan pencerahan itu
tidak memeroleh kemajuan apapun, dan
menampakkan kembali mitos yang sebelumnya disingkirkan. Rasio pencerahan
justru menciptakan kembali mitos dengan
berorientasi pada hal di luar dirinya yakni
ekonomi dan politik. Rasio lalu tunduk terhadap ekonomi dan politik. Pola kerja rasio
pencerahan itu sama dengan/atau merupakan peniruan (mimesis) pola masyarakat
tradisional yang tunduk terhadap sesuatu
yang metafisik di luar dirinya. Alih-alih
netral dan tak memikirkan tujuan pada
dirinya sendiri, rasio pencerahan justru
4/24/2014 10:01:20 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
merupakan pengulangan atas mitos lama
(Hardiman, 1990: 30, 64-65).4
2. Tindakan Komunikatif
Sebagai generasi baru Teori Kritis, Habermas optimis bahwa rasionalitas merupakan proyek modernitas yang belum tuntas.
Ia bermaksud mengatasi positivikasi rasio
oleh positivisme logis dengan teorinya tentang rasio komunikatif (Hardiman, 1990:
86).5 Dalam teori tindakan komunikatif,
Habermas membedakan antara tindakan
strategis dengan tindakan komunikatif.
Secara fundamental, teori tindakan komunikatif terletak dalam pembedaan dua
konsep rasionalitas yang menuntun pengetahuan kepada tindakan. Dua konsep rasionalitas yang dimaksud adalah rasionalitas
instrumental dan rasionalitas komunikatif.
Kedua konsep itu merupakan bagian dari
tindakan. Rasionalitas instrumental adalah
rasionalitas yang mengarahkan tindakan
untuk mencapai berbagai tujuan yang telah ditetapkan secara pribadi. Rasionalitas
ini akan bersifat instrumental bila diarahkan kepada alam, misalnya dalam bentuk
kerja. Rasionalitas ini juga bersifat strategis
apabila diarahkan untuk memengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat oleh
pihak lain, seperti dalam bentuk hubung­
an dominasi. Tindakan manusia di bawah
kendali rasionalitas instrumental bersifat
mengobjekkan.
ALEXANDER AUR
83
Sedangkan rasionalitas komunikatif
adalah rasionalitas yang mendasari tindak­
an untuk saling pengertian di antara dua
orang subjek atau lebih yang sedang bertukar pikiran untuk mencapai tafsir yang
harmonis perihal dunia. Jika tindakan strategis adalah pemanfaatan orang lain demi
kepentingan subjek tertentu, maka sebaliknya tindakan komunikatif didasarkan atas
perbincangan argumentatif yang bebas,
tanpa dominasi, yang bermuara pada kesepakatan bersama. Perbedaan mendasar
keduanya adalah tindakan strategis bersifat monologis, sedangkan tindakan komunikatif bersifat dialogis (Habermas, 1996:
2-3).
Konstruksi konseptual Habermas me­
ngenai tindakan komunikatif tersebut tidak
terlepas dari konsepnya tentang rasionalisasi dalam bidang komunikasi (interaksi).
Baginya, suatu tindakan komunikatif bersifat rasional apabila dalam dan melalui
tindakan itu, manusia mampu mengura­
ngi berbagai penindasan dan mengura­ngi
kekerasan pada tingkat pribadi-pribadi
yang menjadi partisipan dalam komunikasi, sehingga pribadi-pribadi bisa mengembangkan diri. Dengan kata lain, melalui
tindakan komunikatif rasional, setiap pribadi terbebaskan dari berbagai penindasan
dan kekerasan. Rasionalisasi yang sesungguhnya bagi Habermas adalah rasionalisasi humanis, dan hal itu seharusnya ditem-
Teori Kritis lahir di tengah ketegangan dialektis di antara ilmu pengetahuan khususnya sosiologi dan filsafat. Teori
Kritis tidak berhenti pada fakta objektif yang sebagaimana yang diagung-agungkan oleh positivisme logis. Realitas
sosial bagi Teori Kritis merupakan fakta sosiologis yang di dalamnya terdapat aspek-aspek transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian, Teori Kritis dapat melakukan dua macam kritik yaitu kritik transendental
dan kritik imanen. Kritik transendental berupaya menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Kritik imanen merupakan upaya menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu
yang berpengaruh terhadap pengetahuan manusia. Dalam bingkai dua kritik itu, Teori Kritis merupakan Kritik
Ideologi.
5
Generasi pertama Teori Kritis memahami praksis (praxis) sebagai kerja (Arbeit). Konsep praksis merupakan sebuah
kategori dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang bermaksud menunjukkan hubungan antara teori dan praktik. Praktik merupakan perwujudan konkrit dari teori. Filsafat ilmu pengetahuan bermaksud menunjukkan hubungan antara rasionalitas dalam teori dan rasionalitas dalam praktik. Berbeda dengan generasi pertama Teori Kritis, Habermas
membedakan antara kerja dengan interaksi atau komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua dimensi dari
praksis.
4
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 83
4/24/2014 10:01:20 AM
84
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
puh melalui rasio komunikatif (Hardiman,
1990: 98). Humanisasi dicapai bukan melalui positivikasi rasio manusia seperti yang
dilakukan positivisme melainkan melalui
tindakan komunikatif (Deflem, 1996: 2-3).6
Bagi Habermas, rasio modern tetap
mempunyai dimensi emansipatif serta dapat dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, ia mengajukan konsep mengenai rasio prosedural. Rasio ini tidak terpisah dari
rasio komunikatif. Melalui rasio prosedural, berbagai keputusan atau kesepakatan
yang merupakan buah dari proses-proses
rasional mendapat kesahihannya. Dalam
rasio prosedural, prosedur diakui secara bersama-sama oleh semua orang yang
terlibat aktif dalam proses-proses rasional
(intersubjektif).7 Rasio prosedural inilah
yang kelak menjadi “jiwa” dari demokrasi
deliberatif.
Relasi antarmanusia menurut Habermas bersifat rasional karena semua orang
yang terlibat dalam relasi itu bermaksud
agar terjadi kesalingpahaman certa bermuara pada kesepakatan bersama. Artinya,
setiap tindakan yang bertujuan mencapai
kesepakatan bersama merupakan tindakan
komunikatif. Dengan demikian, tindakan
komunikatif mengandung rasio komunikatif. Kesalingpahaman dan kesepakatan
sebagai tujuan dari tindakan komunikatif
merupakan daya kerja dari rasio komunikatif. Tujuan tindakan komunikatif bisa
tercapai jika rasio komunikatif bekerja dalam tindakan komunikatif.
Habermas menekankan bahwa tindak­
an komunikatif yang rasional harus bebas dari tekanan, paksaan, dan dominasi
VOL II, 2014
sehingga semua orang yang terlibat aktif
di dalam komunikasi menerima kesepakatan yang dihasilkannya. Dengan demikian, kesepakatan itu memiliki legitimasi kebenaran, kejujuran, dan ketepatan.
Komunikasi yang demikian terjadi dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt). Dalam
dunia-kehidupan, hal-hal yang dianggap
benar diterima begitu saja tanpa dipersoalkan. Selain itu, dalam dunia-kehidupan,
anggota-anggota masyarakat sama-sama
membangun dan mengedepankan solidaritas. Apakah hubungan antara dunia-kehidupan dan tindakan komunikatif? Bagi
Habermas, mengikuti analisis Budi Hardiman, dunia-kehidupan memungkinkan
terjadinya tindakan komunikatif. Duniakehidupan menjadi basis bersama bagi
para pelaku tindakan komunikatif. Oleh
karenanya, dunia-kehidupan membantu
pencapaian sebuah kesepakatan (konsensus). Dalam perkembangan lebih lanjut,
masyarakat berkembang menjadi modern.
Masyarakat modern adalah masyarakat
yang tersistematisasi. Masyarakat yang tersistematisasi itu tampak dalam sistem-sistem yang ada dalam masyarakat modern,
yakni sistem pasar (uang) dan sistem kekuasaan negara. Habermas mengeksplisitkan
perbedaan dunia-kehidupan dan sistem
dengan istilah “solidaritas” untuk duniakehidupan (Lebenswelt) dan “sistem” untuk
“uang” dan “kuasa”. Solidaritas, uang, dan
kuasa adalah tiga komponen penyangga
integritas masyarakat modern. Yang ideal
bagi Habermas adalah keseimbangan antara sistem dan dunia-kehidupan. Hubungan
antara dunia kehidupan, pasar, dan negara
Habermas juga mencatat bahwa untuk menghindari salah paham (misunderstanding) dalam tindakan komunikatif,
dan untuk memperoleh pemahaman bersama, maka para partisipan komunikasi tidak bisa hanya mengandalkan
tindakan berbicara (speech-act) melainkan juga harus memerhatikan bentuk-bentuk tindakan lain yang tidak linguistik seperti tanda-tanda dan simbol-simbol.
7
Penjelasan tentang pengertian rasio prosedural sangat menarik disampaikan oleh F. Budi Hardiman dengan contoh
di bidang peradilan yang dipaparkan dalam Hardiman, 2009: 32-33.
6
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 84
4/24/2014 10:01:20 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
ALEXANDER AUR
85
berlangsung secara seimbang (Hardiman,
2009: 38-41).
tuan prinsip D mengenai klaim kesahihan
universalisasi norma.
2.1. Etika diskursus
Dalam bingkai opitimismenya pada pro­
yek modernitas yang segera dituntaskan,
Habermas berusaha membangun sebuah
masyarakat yang komunikatif (masyarakat
kosmopolit). Masyarakat yang demikian
adalah tujuan universal masyarakat. Oleh
karena itu, Habermas tidak melepaskan
konsepnya dari fakta pluralisme dalam
masyarakat modern. Untuk memperkuat
masyarakat komunikatif, Habermas meng­
ajukan proposal berupa etika diskursus untuk menata kembali norma-norma hidup
bersama (Stephen, 1995: 12).8
Etika diskursus (Regh, 1994; 161-166),
menuntut dua prinsip pokok yang harus
diberlakukan agar norma sungguh-sungguh bersifat moral. Pertama, norma harus
dapat diterima oleh semua orang atau berlaku umum. Prinsip ini disebut prinsip universalisasi (prinsip U). “Semua pihak yang
(mungkin akan) terkena dampak kepatuhan hukum atas norma dapat menerima
konsekuensi dan efek sampingnya, yang
diharapkan dapat memenuhi kepentingan
setiap orang,” demikian ketentuan prinsip
U mengenai kesahihan sebuah norma. Kedua, kepastian akan universalisasi norma
itu ditempuh melalui diskursus (prinsip
D). “Norma-norma hanya dapat diklaim
sebagai sahih kalau mendapat persetujuan dari semua peserta yang kemungkinan
terkena dampak dari norma itu dalam sebuah diskursus praktis,” demikian keten-
2.2. Negara Hukum Demokratis
Habermas melihat bahwa ciri dasar kehidup­
an bersama manusia adalah komunikasi.
Oleh karena itu, demokrasi harus menjadi
medium bagi perwujudan berbagai struktur komunikasi dalam negara hukum modern. Dengan demikian, negara hukum
dapat mendekati asas-asas normatif dari
dalam dirinya sendiri.9 Model demokrasi
yang tepat untuk itu adalah demokrasi
deliberatif. Model demokrasi ini sesuai
dengan prinsip rasio prosedural dan etika
diskursus yang telah dikemukakan di atas.
Fokus utama demokrasi deliberatif
adalah prosedur-prosedur yang ditetapkan
untuk menghasilkan sebuah kesepakatan.
Keputusan-keputusan politis atau kesepakatan-kesepakatan politis yang dicapai
harus melalui prosedur-prosedur yang rasional. Dalam prosedur yang rasional, para
warga negara atau kelompok-kelompok
kecil yang mempunyai kepentingan dalam
negara dapat memperjuangkan kepenting­
an-kepentingannya. Berbagai kepentingan
warga negara dideliberasi berdasarkan
prosedur-prosedur rasional. Melalui pro­
ses deliberasi itulah, sebagian kecil warga
negara yang tidak sepakat dengan suara
mayoritas, bisa menerima dan mematuhi
pendapat-pendapat yang disepakati oleh
sebagian besar warga negara sebagai suara
mayoritas. Dalam proses deliberasi, semua
orang yang terlibat mempunyai kesetaraan
sebagai warga negara.
Etika diskursus yang diajukan Habermas juga merupakan upayanya untuk mengatasi imperatif kategoris dalam
Etika Kant yang lebih menekankan prosedur individual atau etika yang dilakukan secara individual. Habermas
meragukan tesis Kant bahwa sebuah norma dapat berlaku secara universal apabila dipastikan oleh suara hati setiap
pribadi. Tesis Kant ini sulit diterapkan dalam masyarakat yang pluralistik.
9
Tentang asas-asas normatif itu, dikemudian hari saat berdiskusi dengan Ratzinger, hal itu diungkapkan kembali
ketika Habermas menggali akar-akar religius rasio sekular.
8
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 85
4/24/2014 10:01:21 AM
86
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
3. Agama dalam Negara Hukum
Demokratis
Di atas, kita sudah melihat alur berpikir
Habermas ditinjau dari rasio komunikatif,
etika diskursus, sampai demokrasi deliberatif. Pada bagian ini, dipaparkan pemikiran
Habermas tentang agama dalam negara
hukum demokratis. Ia memulainya de­
ngan pertanyaan: Apakah negara hukum
demokratis memiliki akar-akar religius?
Bagian ini penting untuk diperhatikan
karena terkait dengan posisi agama dalam negara hukum demokratis. Habermas
memang mengakui bahwa negara hukum
demokratis atau rasio sekuler mempunyai
akar religius. Meski demikian, basis negara
hukum demokratis tidak kembali bertumpu pada agama. Mengapa?
Dalam sebuah diskusi dengan Kardinal Ratzinger, Habermas menggali dan
menanggapi secara kritis akar-akar religius
rasio sekuler.10 Dalam bingkai teks berjudul
”Prepolitical Foundations of the Constitutional
State?” (Habermas, 2008: 101-113; Kleden
dan Sunarko, 2010: 1-28), ���������������
Habermas mengemukakan beberapa pokok pemikirannya.
Pertama, negara sekuler tidak mendasarkan diri pada berbagai pengandaian kosmologis tertentu sebagaimana diandaikan
hukum kodrat. Konsekuensinya, negara
sekuler tidak memihak kelompok agama
tertentu dengan seluruh sistem nilainya,
dan setiap warga negara mempu­nyai kesetaraan dalam memainkan perannya dalam
negara hukum demokratis. Dengan mengacu pada pertanyaan kritis yang diajukan
Bökenförde tentang seberapa jauh warga
masyarakat dapat menyatukan diri dalam
negara dengan jaminan kebebasan individu saja tanpa ada ikatan; Habermas me­
ngatakan bahwa proses demokrasilah yang
menjadi ikatan yang menyatukan para
10
VOL II, 2014
warga negara. Proses demokrasi menjadi
syarat kemungkinan bagi para warga negara untuk memperjuangkan kepentingankepentingannya.
Tentunya, demokrasi yang dimaksudkan Habermas pada poin pertama di atas
adalah demokrasi deliberatif yang mengacu pada rasio prosedural dan digerakkan
oleh rasio komunikatif. Rasio komunikatif
yang ada dalam diri warga negara menggerakkan mereka untuk menyatukan diri dalam negara secara bebas dan tanpa tekan­
an, melalui demokrasi deliberatif.
Kedua, berdasarkan perspektif kognitif
dan motivasi, negara hukum demokratis
bisa mencukupi dirinya secara internal.
Tetapi, ada faktor eksternal yang merusak
jaringan solidaritas para warga negara dan
proses demokrasi, yakni pasar (Habermas,
2008: 107-108; Kleden dan Sunarko, 2010:
13-17). Rasio pasar mempunyai cara kerja
yang berbeda dengan rasio negara. Pasar
mempunyai metode pengelolaan yang berbeda dengan administrasi negara. Rasio
pasar menggiring warga ke dalam individu-individu yang menggunakan kebebasan individualnya secara ketat. Bersamaan
dengan itu, bidang-bidang yang menjadi
wewenang negara hukum demokratis
untuk mengaturnya semakin berkurang.
Privatisme warga negara kian menguat, sementara proses demokratisasi para warga
negara kian melemah. Habermas menyebut
fenomena itu sebagai penyimpangan modernisasi. Dalam kondisi seperti ini, negara
hukum demokratis mesti melegitimasi dirinya dengan perangkat hukum yang dibuat
oleh para warga negara.
Gagasan pokok dalam poin kedua
tersebut dikemukakan Habermas ketika
ia mengulas masalah dunia-kehidupan
(Lebenswelt) serta sistem. Jika dalam urai-
Diskusi dengan Ratzinger itu berlangsung di Katholiche Akademie München, Jerman tanggal 19 Januari 2004.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 86
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
annya tentang dunia-kehidupan dan sistem, Habermas mengatakan bahwa sistem – yak­ni pasar dan negara – mengoloni
dunia-kehidupan, maka dewasa ini rasio
pasar justru mengoloni dunia-kehidupan
serta negara secara sekaligus. Dalam situa­
si kolonisasi rasio pasar – yang merupakan bentuk penyimpangan dari modernitas – Habermas mengatakan bahwa para
warga negara harus mengatasinya dengan
memaksimalkan rasio komunikatif melalui
mekanisme rasio prosedural.11 Setiap usaha
para warga negara untuk mencapai kesepakatan dalam bidang tertentu untuk stabilitas kehidupan bersama, para warga harus mematuhi prosedur-prosedur tertentu
yang digunakan untuk mencapai kesepakatan tertentu yang dimaksud. Prosedurprosedur yang berlaku merupakan produk
dari rasio. Prosedur-prosedur rasional yang
tersedia menjadi medium bagi para warga
untuk berdeliberasi. Proses deliberasi me­
lalui rasio prosedural inilah yang disebut
Habermas sebagai tindakan komunikatif.
Hal itu berarti, rasionalitas dari sebuah
kesepakatan merupakan pencapaian bersama dari para warga yang terlibat dalam
proses deliberasi.
Ketiga, menjawab keraguan yang diajukan oleh Bökenförde bahwa apakah negara
hukum bisa mencukupi dirinya dengan
asas-asas normatif dalam dirinya, Habermas mengatakan bahwa dari perspektif
kognitif hukum yang telah mengalami positivisasi tetap membutuhkan pandangan
religius dan metafisik untuk memastikan
secara kognitif prinsip-prinsip etis hukum
dalam negara hukum demokratis. Sedang-
ALEXANDER AUR
87
kan dari perspektif motivasi, Habermas
mengharapkan bahwa para warga negara
menggunakan hak-haknya secara aktif dalam proses pembuatan hukum untuk kepentingan komunal sekaligus kepentingan
bersama (Habermas, 2008: 104-105; Kleden
dan Sunarko, 2010: 7, 9).
Pada poin ini, Habermas mengakui
bahwa negara hukum demokratis tetap
membutuhkan agama atau ”kekuatan pemandu” (sustaining power) sebagai pemasti
kognitif asas-asas normatif dalam negara
hukum demokratis (negara sekuler). Keberadaan agama atau ”kekuatan pemandu”
bukan berarti negara mengganti asas-asas
normatif dari dirinya dengan asas-asas normatif dari agama atau ”kekuatan pemandu” lain. Sebaliknya, Habermas hendak
mengatakan bahwa agama – dengan asasasas normatif metafisik – sebagai bagian
dari dunia-kehidupan juga mempunyai
kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam negara hukum demokratis. Partisipasi
agama merupakan bentuk kongkret dari
perspektif motivasi.
Tentunya, model partisipasi tetap dalam bingkai demokrasi deliberatif yang
mengacu pada rasio prosedural. Partisipasi agama dalam bingkai rasio prosedural
itulah sekaligus merupakan pemasti kognitif rasio prosedural. Dengan kata lain,
jika agama tidak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam negara hukum demokratis, maka demokrasi deliberatif kurang
(tidak) memiliki rasionalitas. Jika agama
didomestifikasikan dan tidak punya kesempatan untuk berdeliberasi di ruang
publik, maka rasio prosedural mengalami
F. Budi Hardiman menjelaskan gagasan Habermas tentang rasio prosedural dengan mengambil contoh di bidang
hukum yakni peradilan. Proses pengadilan hanya mungkin dan dapat terlaksana bila ada ide tentang keadilan. Ide
keadilan adalah unsur konstitutif dari pengadilan. Ide itu juga bersifat regulatif karena berlaku sebagai prosedur
untuk memeriksa apakah proses pengadilan berlangsung adil atau tidak. Hal yang penting dalam rasio prosedural
adalah prosedur yang diakui secara intersubjektif. Lewat prosedur itulah produk-produk dari setiap proses rasional
memperoleh kesahihannya. Dari situ tampak bahwa sifat rasional merupakan hasil pencapaian bersama. Sifat rasional dari klaim rasio tertentu dicapai secara komunikatif, melalui pemahaman timbal-balik antar subjek.
11
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 87
4/24/2014 10:01:21 AM
88
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
VOL II, 2014
defisit rasionalitas. Demokrasi deliberatif
memiliki kepastian rasional apabila agama
dilibatkan dalam debat-debat di ruang publik politis.
Keempat, Habermas memberi catatan
kritis tentang masalah hermeneutika teksteks agama seperti tentang kesalahan dan
keselamatan. Hal-hal itu ditafsirkan dan
dihayati secara hermeneutik selama bertahun-tahun. Selama teks-teks agama itu tidak mengalami distorsi dalam penafsiran
dan tidak jatuh dalam dogmatisme dan
pemaksaan suara hati, maka rasio sekuler
bisa belajar juga dari agama, atau masyarakat sekuler dan masyarakat religius bisa
saling belajar (Habermas, 2008: 108-113;
Kleden dan Sunarko, 2010: 20-28).
rena dihuni oleh masyarakat modern yang
pluralistik dengan segala kepentingannya.
Dalam kondisi masyarakat modern dan ruang publik yang demikian, agama meng­
hadapi tantangan yang serius. Habermas
dengan tegas mengatakan bahwa ruang publik politis atau negara hukum demokratis
tidak bisa menjadi ”religius” atau ”ditradisikan” berdasarkan doktrin lengkap agama
apapun (���������������������������������
Adam, 2006: 2)�������������������
. Tampak jelas pendirian Habermas bahwa agama dan negara
harus dipisahkan. Agama mempunyai domain kerja yang sangat berbeda dengan negara. Meski demikian, agama tidak boleh
didomestifikasikan karena bertentangan
dengan hakikat demokrasi.
Mengacu pada gambaran idealnya tentang keseimbangan antara dunia-kehidup­
3.1.Dari Agama Mitis ke Agama Rasional an, negara, dan pasar, Habermas menanHabermas mengakui bahwa setiap aga- tang – agama yang olehnya dikategorikan
ma pada hakikatnya adalah ”pandangan sebagai bagian dari dunia-kehidupan –
hidup” atau ”comprehensive doctrine” (dok- untuk menunjukkan eksistensinya dalam
trin yang lengkap) (Habermas, 2008: 111; ruang publik politis atau negara hukum
Kleden dan Sunarko, 2010: 24). Dengan demokratis. Hal itu serius bagi agama kapendasaran-pendasaran mitis dan metafi- rena di satu sisi ajaran-ajaran agama bersik, agama juga memberikan elan vital ke- sifat mitis dan metafisik, di sisi lain, ruang
pada para penganutnya (orang beriman) publik bersifat rasional dan post-metafisik.
yang hidup di tengah-tengah masyarakat Habermas secara tegas berargumen bahwa
modern. Bahkan, etika substansial yang di- hanya sebuah forum sekulerlah yang dapat
anut banyak orang pun berakar pada tradi- secara memadai menjadi pemandu atau
si agama-agama. Masyarakat modern yang penata bagi perbedaan antara ruang metapluralistik itu sendiri terdiri atas orang- fisik dengan ruang post-metafisik.
orang beriman serta orang-orang tidak beForum sekuler yang dimaksud adalah
riman (Adam, 2006: 1). Masyarakat modern negara hukum demokratis atau ruang puberada dalam dua area besar yakni dunia- blik politis. Negara hukum demokratis
kehidupan dan sistem yang di dalamnya menjadi forum yang di dalamnya semua
ada pasar dan negara. Ada masyarakat (in- partisipan berdeliberasi sekaligus berargudividu atau kelompok) yang menjadi ba- mentasi sesuai dengan rasio prosedural ungian integral dari dunia-kehidupan, pasar, tuk mencapai kesepakatan bersama yang
dan negara secara serentak. Ada masyara- adalah tujuan tindakan komunikatif. Dalam
kat (individu atau kelompok) yang menjadi proses deliberasi, pengandaian-pengandaibagian dari negara dan pasar saja.
an metafisik agama diuji secara rasional
Masyarakat modern hidup dalam sebu- atau dengan cara berpikir post-metafisik.
ah ruang publik (public sphere) yang sama. Artinya, agama harus mentransformasi diri
Ruang publik itu sendiri bersifat politis ka- dari agama mitis (religious-metaphysical) ke
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 88
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
agama rasional (religious-post-metaphysical)
(Adam, 2006: 125-126). Melalui pengujian
dalam proses deliberasi, dan dalam koridor etika diskursus, agama mitis bisa menjadi agama rasional. Jika berhasil menjadi
agama rasional, maka etika substansial
agama-agama bisa memberi warna dalam
etika universal.
Meski demikian, Habermas tetap tidak
mengizinkan agama campur-tangan secara langsung dalam negara. Agama bisa
masuk ke dalam negara setelah melewati
institutional translation proviso. Institusi ini
semacam dewan yang bertugas menterjemahkan bahasa (ajaran-ajaran) agama yang
bersifat mitis-religius dan partikular ke dalam bahasa universal yang bersifat sekuler.
Melalui hal itu, pengandaian-pengandaian
metafisik agama diuji oleh rasio post-metafisik dan bahasa agama diterjemahkan ke
dalam bahasa rasio sekuler. Dalam konteks
ini, warga negara yang tidak beriman bisa
membantu dalam proses alih bahasa kitab suci. Jika mekanisme itu dicapai, maka
agama bisa bermanfaat bagi demokrasi,
dan negara hukum demokratis (Habermas,
2008: 131-132).
Dengan demikian, antara warga ber­
agama dengan warga sekuler dalam masyarakat post-sekuler dapat saling belajar satu
sama lain. Apalagi, warga negara beriman
didorong untuk mengenakan cara berpikir (episteme) post-metafisik di tengah pluralitas agama. Warga negara beriman juga
harus tunduk certa mengakui rasio sekuler
yang menjadi basis legitimasi untuk negara
hukum demokratis (Habermas, 2008: 138139).
ALEXANDER AUR
89
4. Hubungan Negara dengan Agama di
Indonesia: Melacak Deliberasi Politik
Berbasis Agama
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, hu­
bungan antara negara dengan agama me­
ngalami pasang-surut (Parakitri T. Simbolon dalam Kristanto dan Arsuka (ed.),
2002: 430).12 Hubungan yang demikian
mengindikasikan bahwa deliberasi politik
antara negara dengan agama pun mengalami pasang-surut. Situasi pasang-surut
deli­berasi politik berbasis agama dengan
negara itu bisa kita telusuri dari beberapa
peristiwa historis berikut ini.
4.1 Penolakan Piagam Jakarta: Islam menemukan “Situasi Epistemik” Pluralitas
Persoalan hubungan negara dan agama
sungguh disadari oleh para pendiri bangsa
sebagai hal yang krusial. Oleh karena itu,
dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuklah Panitia Sembilan yang di­
pimpin oleh Soekarno untuk membahas
hal itu. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan13 berhasil merumuskan pembukaan
UUD. Oleh Muhammad Yamin, pembukaan UUD 1945 itu disebut Piagam Jakarta
karena dalam sila pertama Pancasila berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.”
Menjelang pengesahan UUD 1945, atas
prakarsa Muhammad Hatta, frasa “De­
ngan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dari sila pertama
Untuk kepentingan tulisan ini, kurun waktu yang dijadikan sebagai acuan adalah setelah Indonesia menjadi sebuah merdeka sampai sekarang. Meski demikian, sejarah hubungan agama dan negara bisa ditelusuri sejak zaman
kerajaan-kerajaan, zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sejarah mengenai hal itu dapat dibaca dalam Parakitri T.
Simbolon, “Pasang-surut Hubungan Agama dan Negara di Indonesia” dalam Kristanto dan Arsuka, 2002: 429-442.
13
Panitia Sembilan terdiri dari Soekarno, Achmad Soebardjo, Abdul Kahar Muzakkir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Hatta, Abdul Wahid Hasyim, Agus Salim, Muhammad Yamin.
12
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 89
4/24/2014 10:01:21 AM
90
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
Pancasila dihapus. Penghapusan itu di­
setujui oleh empat tokoh Islam, yakni Ki
Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Hasan. Hatta
memprakarsa penghapusan frasa tersebut
setelah utusan Angkatan Laut Jepang (Kaigun) menemui Hatta untuk menyampaikan keberatan dari wakil Protestan serta
Katolik dari Indonesia Timur dengan frasa
tersebut. Bila frasa itu tetap dipertahankan
menjadi bagian dari sila pertama Pancasila,
maka UUD 1945 mengandung diskriminasi. Konsekuensi lebih lanjut adalah Indonesia Timur akan keluar dari Republik
Indonesia (Soeprapto, 2013: 8).
Hatta berargumen bahwa UUD adalah
pokok daripada pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia de­
ngan tanpa kecuali. Jalan pikiran Hatta itu
disetujui oleh keempat tokoh Islam dengan
argumentasi bahwa dengan penghapusan
frasa tersebut, sama sekali tidak melenyapkan “semangat Piagam Jakarta” (Parakitri
T. Simbolon dalam Kristanto dan Arsuka
(ed.), 2002: 436). Dari argumen keempat
tokoh Islam yang setuju dengan argumen
Hatta, menunjukkan bahwa unsur diskriminatif tidak terletak pada makna atau isi
dari frasa “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Unsur diskriminatif terletak pada bahasa
formal. Bila bahasa formal yang terwujud
melalui frasa itu dimasukkan menjadi bahasa formal UUD, maka tampak jelas unsur diskriminatifnya. Karena UUD merupakan hukum umum, maka bahasa formal
dalam hukum umum harus mencerminkan
keumumannya. Sedangkan bahasa formal
yang tampak jelas dalam frasa tersebut
14
VOL II, 2014
menunjukkan kekhususan. Atas dasar itu,
keumuman bahasa formal yang diutamakan dalam UUD, yang tampak dalam
rumusan formal sila pertama Pancasila,
“Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam ruang partikular Islam, syariat
Islam merupakan unsur konstitutif agama
Islam. Islam dihayati sebagai sebuah
agama oleh pemeluk-pemeluknya karena
salah satu unsur konstitutifnya itu. Kewajiban menjalankan syariat merupakan
sebuah imperatif etis untuk berbuat baik
dalam konstelasi hidup beriman orang Islam. Mengenai hal itu, Nurcholish Madjid
mengatakan bahwa saat diturunkannya
al-Qur’ân kepada Rasullulah SAW, Tuhan
berpesan bahwa dalam setiap kelompok
dalam Komunitas Madina, Allah telah menetapkan sistem hukum (syir’ah, syarî’ah)
dan cara hidup (minhâj) agar setiap orang
dalam komunitas keagamaannya masingmasing berusaha terus-menerus berbuat
baik (Madjid, 1992: 312-324).14
Ada dua hal yang muncul dari kete­
rang­an Nurcholish Madjid tersebut. Pertama, cakupan hukum agama adalah partikular. Dari sisi formal, hukum agama
– dari setiap agama – hanya berlaku dalam
agama tertentu dan bagi penganut agama
tertentu itu. Dalam konteks Piagam Jakarta, penghapusan frasa “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, menunjukkan bahwa hukum syariat bersifat partikular dan hanya
berlaku bagi penganut Islam. Penghapusan
frasa itu, menunjukkan juga bahwa partikularitas hukum agama, tidak bisa begitu
saja diuniversalkan melalui rumusan formal produk hukum (undang-undang) yang
Nurcholish Madjid menempatkan penjelasannya tentang konsep “hukum” dalam al-Qur’ân pada konteks historis
yakni Madînah. Pada zaman Rasullulah s.a.w., masyarakat Madînah bukan masyarakat homogen melainkan heterogen. Selain ada komunitas Islam, juga ada komunitas Yahudi, komunitas Nasrani, dan komunitas pagan. Terhadap
komunitas Yahudi dan Nasrani, Rasullulah SAW mengatakan bahwa Allah pun menurunkan hukum bagi komunitas-komunitas itu, dan setiap anggota komunitas harus menjalankan hukum yang diturunkanNya itu.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 90
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
berlaku umum. Tentu, Tentu, ketidakbisaan
itu sama sekali tidak membatasi dampak
etis dari partikularitas hukum agama.
Kedua, dampak etis hukum agama.
Bagi orang Islam, hukum (syir’ah, syarî’ah)
merupakan sarana untuk berbuat baik dan
menghasilkan kebaikan bagi hidup bersama. Hukum syariah yang bersifat partikular itu, dalam pengahayatan konkritnya,
mendatangkan dampak etis berupa kebaikan. Dampak etis itu bukan saja bagi hidup
orang Islam tetapi juga bagi orang lain di
luar Islam. Rumusan yang jelas mengenai
hal itu adalah “Islam sebagai rahmatan lil
âlamin. Rumusan itu menunjukkan bahwa
meskipun hukum Islam bersifat partikular, tetapi dampak etis dari penghayatan
(pelaksanaan) hukum Islam itu bersifat
universal (publik). Dan dampak etis inilah
yang disoroti oleh keempat tokoh Islam
yang sepakat dengan argumen Hatta yang
menekankan dimensi universal dari UUD
1945.
Dalam perspektif deliberasi Habermas,
argumen Hatta dan keempat tokoh Islam
mengenai penghapusan frasa yang bersifat
partikular tersebut, menunjukkan bahwa
agama Islam berhasil menemukan dan menetapkan “situasi epistemik” di hadapan
agama lain yang dianut oleh para warga
negara Indonesia bagian timur. Hatta dan
keempat tokoh Islam berhasil merelati­
visasikan posisi hukum (syariah) Islam dalam ruang publik (negara Indonesia) tanpa
harus merelativisasikan syariat sebagai inti
dogmatis Islam. Bahkan, bila dipandang
dari perspektif institusional translation proviso, Hatta dan keempat tokoh Islam berhasil
mentransformasikan Islam yang mitis dan
partikular menjadi Islam yang rasional dan
universal. Islam yang mitis dan partikular
tercermin dalam inti dogmatisnya, yakni
menjalankan hukum syariah. Sedang­kan
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 91
ALEXANDER AUR
91
Islam yang rasional dan universal tercermin dalam rahmatan lil âlamin.
Keberhasilan Islam menemukan dan
menetapkan “situasi epistemik” tersebut
tidak semata-mata bersifat politis seperti
yang dinilai oleh Paraktri T. Simbolon. Ia
menilai bahwa penghapusan frasa tersebut
menunjukkan bahwa kesatuan dan persatuan nasional menjadi dasar pola hubung­
an antara agama dengan negara RI. Pola
itu bersifat politis sekaligus negatif karena
penghapusan itu menampakkan penolakan
terhadap hubungan resmi antara agama Islam dengan kekuasaan negara. Penolakan
akan bersifat positif bila dilanjutkan de­
ngan menetapkan pola lain sebagai penggantinya (Parakitri T. Simbolon dalam
Kristanto dan Arsuka (ed.), 2002: 436).
Keberhasilan Islam tersebut bersifat
politis sekaligus filosofis. Dalam konteks
menetapkan sebuah hukum dasar – UUD
1945 – bagi negara RI yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, sifat politis memang tak terhindarkan. Keputusan
Hatta dan keempat tokoh Islam, dan selanjutkan diafirmasi oleh para anggota sidang
BPUPKI, memang merupakan keputusan
dan kesepakatan politis. Keputusan dan
kesepakatan itu juga mempunyai dasar
filosofis yang terletak pada dimensi universal (dimensi publik) yang merupakan
aspek konstitutif dari UUD 1945. Dimensi
universal inilah yang menjadi dasar pemikiran Hatta untuk memprakarsa penghapusan frasa tentang syariah Islam dari
sila pertama Pancasila.
Keputusan dan kesepakatan itu juga
bukan merupakan penolakan terhadap
hubungan resmi antara agama – secara
khusus Islam – dengan kekuasaan negara.
Agama-agama tetap dimungkinkan untuk
mempunyai hubungan yang resmi dengan
kekuasaan negara, melalui pembentukan
4/24/2014 10:01:21 AM
92
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
partai politik-partai politik, dan berbagai
organisasi massa berbasis agama.15 Melalui
partai politik serta organisasi massa berbasis agama, agama-agama mempunyai
kemungkinan terlibat aktif dalam kekuasaan negara. Keterlibatan aktif tidak berarti
memindahkan begitu saja hukum agama
menjadi hukum positif negara, melainkan
harus melalui proses pengujian atas hukum
agama-agama yang akan diintegrasikan ke
dalam hukum positif negara. Pengujian itu
berdasarkan nalar sekuler yang terepresentasi melalui UUD 1945.
Fakta mengenai berbagai partai politik
berideologi agama serta organisasi massa
berasaskan agama menunjukkan bahwa
politik berbasis agama memang dimungkinkan di Indonesia. Di atas ideologi
Pancasila, setiap warga negara dari latar
belakang agama apapun dimungkinkan
untuk beraktivitas politik dengan semangat agama. Kemungkinan itu semakin luas
bila kita melihat pada imperatif-imperatif
agama yang berkaitan dengan urusanurusan publik. Agama-agama mempunyai
imperatif moral yang menjadi landasan etis
untuk menyikapi atau merespon persoalanpersoalan publik.
Warga masyarakat di dalam negara
hukum demokratis yang dapat berpartisipasi dalam ruang publik tidak hanya
15
VOL II, 2014
dari satu agama, melainkan dari berbagai
agama yang berbeda dan ada pula yang
tidak beragama. Itulah fakta pluralitas
dalam negara hukum demokratis. Itulah
“situasi epistemik” masyarakat modern
yang plural. Mengingat bahwa pluralitas
merupa­kan keniscayaan demokrasi dan
modernitas, maka agama yang berpolitik
dan bertindak politis harus menetapkan
“situasi epistemik”, yakni harus merelativisasikan posisinya di hadapan pluralitas warga dan agama-agama. Tentu saja
relativisasi posisi tidak dengan sendirinya
mengakibatkan relativisasi inti dogmatisnya (Borradori, 2005: 105). Dalam merelativisasi posisi, agama tidak mengabaikan
situasi epistemik masyarakat plural, dan
tidak menuntut penerapan ortodoksinya
secara ketat dalam masyarakat plural.
Dalam konteks Indonesia, meskipun
ideologi Pancasila memungkinkan agama
berpolitik dan bertindak politis, tetapi tidak
berarti bahwa agama mengabaikan situasi
epistemik masyarakat plural. Sebaliknya,
agama seharusnya menetapkan “situasi
epistemik” supaya sinkron dengan situasi
epistemik masyarakat plural. Agama yang
mengabaikan situasi epistemik masyarakat
plural dan bernafsu mengatur masyarakat
plural dengan inti dogmatisnya (hukum
agama), maka agama itu akan menjadi
Pada era Orde Lama, partai politik-partai politik berideologi agama Islam antara lain, Partai Nahdatul Ulama (NU),
Partai Masyumi Indonesia (MI), Partai Syariah Islam Indonesia (PSII), dan Perti. Sedangkan partai politik yang
berideologi Katolik dan Protestan adalah Partai Katolik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia. Pada masa Orde
Baru, partai politik berbasis agama hanya 1: Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada masa reformasi, beberapa
partai politik baru berbasis agama tampil sebagai peserta pemilu, antara lain PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa), Partai Keadilan Sejahtera, PBB (Partai Bulan Bintang), dan PDS (Partai Damai Sejahtera). Agama juga tampil
dalam bentuk organisasi-organisasi massa, baik yang berbasis massa agama secara umum maupun berbasis massa
kampus. Organisasi massa kampus, antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Persatuan Mahasiswa
Muslim Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Organisasi-organisasi massa
agama umum antara lain, PK (Pemuda Katolik), ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbuth Tahrir Indonesia) dsb.. Berbagai organisasi massa
berbasis agama tersebut tampil ke publik, dan merespon masalah-masalah publik. Berbasis semangat keagamaannya masing-masing, setiap organisasi massa itu terdorong untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam hidup berbangsa dan bernegara. Meski demikian, dorongan itu mesti tetap sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku
di Indonesia.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 92
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
horor sekaligus teror bagi demokrasi, kemanusiaan maupun pluralitas.
4.2 Gerakan Anti Pancasila: Ketiadaan
Deliberasi Politik Agama
Pada masa-masa awal kekuasaan Orde
Baru, roda pemerintahan yang dikendalikan oleh Soeharto mempersempit ruang
politik bagi agama untuk berdeliberasi dalam kancah perpolitikan Indonesia. Salah
satu strategi yang dilakukan Orde Baru
adalah memfusikan beberapa partai politik
berbasis agama. Partai politik-partai politik
berbasis agama Islam seperti NU, PSII, dan
Perti difusikan menjadi PPP. Partai politik
yang berbasis agama di luar agama Islam,
seperti Partai Katolik dan Partindo difusikan ke dalam partai nasionalis PDI. Orde
Baru menerapkan depolitisasi dan deideologisasi agama sebagai rekayasa politik
untuk melemahkan peran politik agama.
Kelompok agama yang paling merasakan dampak dari penghilangan delibe­
rasi politik berbasis agama adalah Islam.
Selama kurang lebih 25 tahun peran politik agama Islam dipangkas. Akses Islam
ke lingkaran kekuasaan politik negara ditutup. Strategi itu dipertajam dengan kebijakan politik berbunyi Pancasila sebagai
asas tunggal dalam berpolitik dan aktivitas
organisasi. Kebijakan itu tertuang dalam
UU No. 3/1985 yang merupakan perubahan atas UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya serta UU No.
8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas). Melalui kebijakan itu, Orde Baru
sekaligus menyatakan bahwa Islam tidak
boleh menjadi asas organisasi sosial-politik. Bahkan, Islam politik menjadi sasaran
teropong kecurigaan ideologis Orde Baru.
Aktivis Islam politik dicurigai sebagai anti
terhadap Pancasila (Hasani dan Naipospos
(ed.), 2012: 28-29; Magnis-Suseno dalam
Kristiyanto (ed.), 2010: 304).
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 93
ALEXANDER AUR
93
Kebijakan politik orde baru tersebut
mendatangkan tanggapan serius dari Islam
politik. Pada mulanya, hampir semua partai politik dan organisasi-organisasi Islam
menentang kebijakan itu. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi-organisasi
Islam seperti NU dan Muhammadiyah
menerima kebijakan tersebut. Seiring de­
ngan itu, gerakan radikal untuk menentang
Pancasila sebagai asas tunggal pun terus
berlangsung. Dua tokoh Islam yang menolak tegas Pancasila sebagai asas tunggal
adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Baasyir. Organisasi yang menolak Pancasila sebagai asas organisasi adalah PII (Pelajar Islam Indonesia). PII dibubarkan Orde
Baru pada tahun 1988. Selain itu, banyak
pula cabang Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) juga dibubarkan Orde Baru. Pembubaran cabang-cabang HMI ini, belakang­
an terkenal dengan istilah HMI (MPO).
Dalam konstelasi filsafat politik Habermas, gerakan menentang Pancasila sebagai
asas tunggal dari beberapa tokoh dan organisasi Islam lebih merupakan cerminan
dari dua problem. Pertama, ketiadaan deliberasi politik bagi agama dalam negara.
Dengan mengharuskan Pancasila sebagai
ideologi bagi partai politik dan ormas yang
berasaskan agama, negara (pemerintah
Orde Baru) telah menutup pintu masuk
sekaligus tidak menyediakan akses bagi
agama untuk berdeliberasi secara politik.
Pemerintah Orde Baru tidak menyediakan
prosedur-prosedur rasional – yang merupakan cermin dari negara hukum demokratis – bagi agama untuk memperjuangkan
kepentingannya. Problem kedua ini merupakan akibat dari problem pertama. De­
ngan tidak disediakan prosedur-prosedur
rasional oleh negara, maka tidak ada pula
kemungkinan bagi agama untuk melakukan translasi bahasa agama berdasarkan
prosedur-prosedur rasional yang dianut
4/24/2014 10:01:21 AM
94
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
VOL II, 2014
oleh negara hukum demokratis. Tiadanya
kemungkinan bagi agama untuk mentranslasikan bahasa agama itu membuat agama
juga tidak dapat menyumbangkan nalar
metafisiknya dalam menguatkan negara
hukum demokratis.
Sebuah negara disebut negara hukum
demokratis apabila negara itu (baca: peme­
rintah) membuka kemungkinan bagi agama
untuk melakukan translasi doktrin-doktrin
metafisiknya ke dalam bahasa universal
dan sekuler. Doktrin-doktrin metafisik
agama harus diuji melalui proses deliberasi yang sesuai dengan prosedur-prosedur
rasional dalam negara hukum demokratis.
Jika berhasil melewati proses deliberasi
itu, maka doktrin-doktrin metafisik agama
menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip
etis negara hukum demokratis. Dengan
demikian, gerakan anti Pancasila dari seke­
lompok orang Islam merupakan cermin
kegagalan pemerintah Orde Baru dalam
menyediakan kemungkinan bagi agama
untuk berdeliberasi politik dan mentranslasikan bahasa agama.
relasi dan transformasi organisasi radikal
di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terdapat lampiran tentang 10 (sepuluh) dosa
demokrasi menurut kelompok radikal dan
teroris agama (Hasani dan Naipospos (ed.),
2012: 317-320). Bagi kelompok radikal dan
teroris, demokrasi memiliki beberapa cacat antara lain, demokrasi menyebabkan
terkikisnya nilai-nilai akidah, demokrasi
tidak membedakan antara orang beriman
dengan orang tak beriman, dan dalam
demokrasi, partai politik memanfaatkan
sarana dan tindakan religius untuk kepen­
tingan partai politik.
Bagi kelompok radikal dan teroris
agama, sistem demokrasi harus dianulir
dan diganti dengan sistem khilafah Islam.
Inilah yang oleh Habermas disebut sebagai
“ortodoksi yang mengarah kepada fundamentalisme.” Ortodoksi semacam itu memang secara sengaja (sadar) mengabaikan
situasi epistemik masyarakat plural, yang
menjadi ciri khas demokrasi. Bahkan, de­
ngan cara kekerasan kelompok radikal dan
teroris mewajibkan penerimaan ortodoksi
itu secara politis.
4.3 Radikalisme dan Terorisme Agama:
Berhadapan dengan fenomena itu,
Respon Ekstrim Agama terhadap negara hukum demokratis ditantang unDemokrasi
tuk meredefinisi demokrasi dan mereforPasca keruntuhan rezim pemerintahan mulasi prosedur-prosedur rasional, supaya
Orde Baru, gerakan radikal agama (Islam) negara hukum demokratis tidak terjebak
dan terorisme berwajah agama yang di- dalam praktik-praktik yang mengatasnalakukan oleh sekelompok orang Islam se- makan demokrasi, tetapi sesungguhnya
makin marak. Front Pembela Islam (FPI) merupakan penyimpangan dari demokradan Jamaah Islamiyah (JI) merupakan dua si. Penyimpangan demokrasi yang paling
contoh dari sekian banyak kelompok yang vulgar dan kentara adalah kolonisasi rasio
berkarakter radikal dan teroristik (Hasani pasar atas negara hukum demokratis dan
dan Naipospos (ed.), 2012: 37). Sebuah dunia-kehidupan. Rasio pasar yang bergerakan disebut radikalistik dan teroristik watak instrumental menjadi warna domikarena berciri menggunakan kekerasan, nan dalam praktik-praktik politik dan
bom, organisasinya bersifat tertutup, dan agama. Demokrasi transaksional tampil
menyerang simbol-simbol negara (Hasani secara kongkret dalam ucapan para politidan Naipospos (ed.), 2012: 42).
kus yang fasih menggunakan istilah-istilah
Pada bagian akhir hasil penelitian yang seperti “suara terbanyak”, “aset politik”,
dilakukan oleh SETARA Institute terhadap “ongkos politik”, dan sebagainya. Istilah-
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 94
4/24/2014 10:01:22 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
istilah yang diucapkan para politisi merupakan proyeksi dari praktik yang sesungguhnya. Hal itu menunjukkan bahwa rasio
pasar tengah mengoloni praktik politik dalam negara hukum demokratis.
4.4 Agama yang Berpolitik: Agama yang
Membela dan Merawat Kemanusiaan
dan Demokrasi
Sejak keruntuhan rezim politik Orde Baru,
kesempatan agama untuk berpolitik terbuka. Banyak partai politik berbasis ideologi
agama muncul dan terlibat dalam perpolitikan riil. Partai politik berbasis ideologi
agama Islam yang paling eksis sejak Pemilu
1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Partai
politik-partai politik yang dimaksud adalah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP
(Partai Persatuan Pembangunan), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan
Bintang (PBB). Partai politik-partai politik
tersebut akan menjadi peserta pemilu 2014.
Dengan berbasis ideologi Islam, partai
politik-partai politik itu merupakan representasi agama (Islam) yang berpolitik secara riil dalam negara hukum demokratis
Indonesia.
Agama yang berpolitik bukan monopoli agama Islam. Agama-agama lain pun berpolitik melalui organisasi massa berhaluan
agama. Melalui ormas-ormasnya, agamaagama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu juga terlibat secara
aktif dalam merespon isu-isu publik seperti
kerusakan lingkungan hidup, korupsi, terorisme, ketidakadilan ekonomi, pelanggaran hak-hak asasi, dan sebagainya. Agamaagama yang merespon isu-isu publik juga
merupakan modus politik agama dalam
negara hukum demokratis Indonesia.
Dalam perspektif filsafat politik Ha­
bermas di atas, tantangan yang paling serius bagi agama-agama yang berpolitik,
baik melalui partai politik maupun organisasi massa, adalah mentranslasikan
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 95
ALEXANDER AUR
95
doktrin-doktrin metafisiknya ke dalam bahasa negara hukum demokratis. Apabila
agama gagal melakukan itu, maka agama
menjadi “duri dalam daging” demokrasi.
Tanpa melakukan translasi doktrin-doktrin
metafisiknya, maka agama yang berpolitik justru menjadi horor bagi kemanusiaan
dan demokrasi. Doktrin-doktrin metafisik
agama dapat menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip etis negara hukum demokratis
apabila agama memastikan suatu “situasi
epistemik” di dalam modernitas atau di
dalam negara hukum demokratis. Agama
yang demikian adalah agama yang merelativisasikan posisinya berhadapan dengan
agama-agama lain tanpa merelativisasikan
inti dogmatismenya sendiri (Borradori,
2005: 105). Dengan demikian, agama yang
berpolitik adalah agama yang membelamerawat kemanusiaan dan demokrasi.
Penutup
Habermas berpikir tentang status sosiologis dan politis agama dalam negara hukum demokratis. Bukan karena ia sangat
berbakat dalam hal agama, melainkan ka­
rena ia memandang bahwa agama merupakan salah satu elemen dalam negara
hukum demokratis. Dalam bingkai teori
tindakan komunikatif, etika diskursus, dan
demokrasi deliberatif, Habermas meng­
ingatkan agama bahwa jika agama bermanfaat bagi demokrasi, maka agama ha­rus
menerjemahkan bahasa agama ke dalam
bahasa sekuler. Pengandaian-pengandaian
metafisik agama harus diuji dengan rasio
sekuler, supaya agama tidak menjadi horor
sekaligus teror bagi negara hukum demokratis.
Dalam sejarah politik di Indonesia, partisipasi agama dalam politik mengalami
pasang surut. Pada masa-masa persiap­
an kemerdekaan Indonesia dan penetap­
an UUD 1945, para pendiri bangsa yang
4/24/2014 10:01:22 AM
96
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
berasal dari organisasi-organisasi agama
berdeliberasi perihal rumusan Pancasila
yang menjadi dasar negara. Doktrin agama
(Islam) yang hendak dimasukkan dalam
rumusan dasar negara didiskusikan dan
diperdebatkan. Hasil dari itu adalah rumus­
an Pancasila yang sekarang menjadi dasar
bagi negara hukum demokratis Indonesia.
Pada masa Orde Baru, agama dibekukan dari aktivitas politik riil. Doktrin-doktrin agama dilarang untuk diintegrasikan
ke dalam politik negara. Partai politik-partai politik baik yang berdasarkan agama
maupun nasionalis diwajibkan menjadikan
Pancasila sebagai basis ideologi. Demikian
pula, organisasi massa-organisasi massa
berhaluan agama pun harus menjadikan
Pancasila sebagai basis ideologinya. Kebijakan Orde Baru ini menimbulkan perlawanan, khususnya dari agama Islam.
Keruntuhan Orde Baru menjadi angin
segar bagi agama untuk berpolitik secara
riil. Partai politik-partai politik berbasis
agama lahir, dan menjadi peserta pemilu.
Beberapa partai politik berbasis ideologi
agama (Islam) berhasil eksis serta me­
nempatkan politisinya di DPR, dan masuk
menjadi bagian dari pemerintahan. Dalam
periode ini, agama mendapat kesempatan
luas untuk berpolitik baik melalui politik
riil maupun melalui keterlibatannya dalam
isu-isu dan persoalan-persoalan publik.
Dalam perkembangan demokrasi yang
kian matang di Indonesia, agama memang
harus dipisahkan dari negara hukum
demokratis. Pemisahan ini tidak berarti
agama tidak mempunyai ruang politik untuk ekspresi politik. Agama tetap mempunyai ruang politik untuk ekspresi politik.
Dalam ekspresi politiknya, agama harus
merelativisasikan posisinya di dalam negara hukum demokratis tanpa harus merelativisasikan doktrin-doktrin metafisiknya.
Artinya, agama tidak bisa menjadi dasar
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 96
VOL II, 2014
bagi negara hukum demokratis. Hal lain
yang harus dilakukan agama adalah me­
nerjemahkan doktrin-doktrin metafisiknya
ke dalam bahasa universal supaya bisa
diterima oleh warga negara hukum yang
lain, baik yang beragama maupun tidak
beragama. Pada titik ini, doktrin-doktrin
metafisik agama bisa menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip etis negara hukum
demokratis. Jika agama gagal menerjemahkan doktrin-doktrin metafisiknya, maka
agama yang berpolitik hanya menjadi teror
sekaligus horor yang mengancam kemanusiaan, demokrasi, dan mencoreng agama
itu sendiri. Kegagalan ini yang mesti diantisipasi oleh agama bila agama bermaksud memberi makna pada negara hukum
demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Nicholas. (2006). Habermas and Theology. Cambridge: Cambridge University Press.
Budi-Kleden, Paul dan Adrianus Sunarko
(ed.). (2010). Dialektika Sekularisasi, Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan.
Maumere-Yogyakarta: Penerbit Ledalero-Lamalera.
Borradori, Giovanna. (2005). Filsafat dalam
Masa Teror: Dialog dengan Jürgen Habermas dan Jacques Derrida. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Deflem, Mathieu (ed). (1996). Habermas,
Modernity and Law. London: SAGE Publication.
Habermas, Jürgen. (2008). Between Naturalism and Religion: Philosophical Essays.
Malden, MA: Polity Press.
_______. (1996). ”Postscript to Between Facts
and Norms” dalam Mathieu Deflem
(ed.). Habermas, Modernity and Law.
London: SAGE Publication.
_______. (1984). The Theory of Communicative
Action, vol. 1. Boston: Beacon Press.
4/24/2014 10:01:22 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
Hardiman, F. Budi. (1990). Kritik IdeologiPertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Yogyakarta: Kanisius.
_______. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta:Kanisius.
_______. (2009). Demokrasi Deliberatif – Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang
Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos
(ed.). (2012). Dari Radikalisme menujuTerorisme – Studi Relasi dan Transformasi
Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah
dan D.I. Yogyakarta. Jakarta: SETARA
Institute.
Kieser, Bernard. (2004). “Agama Bubar jika
Tidak Bercampur Nalar: Being religiosus
a la Habermas” dalam Majalah BASIS,
nomor 11-12, tahun ke-53, NovemberDesember.
Kristanto, JB dan Nirwan Ahmad Arsuka
(ed.). (2002). Bentara Esei-esei 2002, Ja-
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 97
ALEXANDER AUR
97
karta: Penerbit Buku Kompas.
Madjid, Nurcholish. (1992). Islam Doktrin
dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan,
dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Magnis-Suseno, Franz. (2010). “Perkembangan Hubungan Kristiani-Muslim di Indonesia” dalam A. Eddy Kristiyanto (ed.), Spiritualitas Dialog: Narasi
Teologis tentang Kearifan Religius. Yogyakarta: Kanisius.
Regh, William. (1994). Insight and Solidarity:
A Study in the Discourse Ethics of Jurgen
Habermas. California: University of California Press.
Soeprapto. (2013). Pancasila: Makna dan Perumusannya. Jakarta: LPPKB.
Stephen, K. White (ed.). (1995). The Cambridge Companion to Habermas. New
York: Cambridge University Press.
4/24/2014 10:01:22 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 98-110
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia:
Sebuah Kritik terhadap Artikel “Chilean Socialism 1: Indonesian
Facism 0”
CANGGIH GUMANKY FARUNIK
Dosen Tidak Tetap Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
di Surya University dan Universitas Multimedia Nusantara
Surel: [email protected]
Diterima: 27 Februari 2014
Disetujui: 7 April 2014
ABSTRACT
Based on an article, “Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0” by Andre Vltchek in www.counterpunch.
org, Indonesia was studied as a bad and uncivilized country during the new order era under Soeharto
regime. The people still considered Soeharto as a national hero, contrary with Andre’s perspective where
Soeharto was perceived as a dictator. The first thing that comes to mind after reading the article is that Soeharto has had some well-built personage thanks to the media coverage, which was fully controlled by him.
Rendering theory from Karl Popper to frame the article in question, one can’t overlook the rich contribution
of Popper’s Three World. In his system, every results of human’s mind are contained, i.e. theories, testimonies, arguments, buildings, cultures, technologies, even media. The character of world 3 is autonomous,
which means human being couldn’t erase the testimonies that had already been spoken, but it could be developed and completed by the others. That’s the reason why the well-built theories or testimonies couldn’t
be erased or replaced so easily, in this case, Soeharto’s personage.The main purpose of this research is to find
the correlation between media’s power and its problems upon leadership’s personage, by using Popper’s
Three World perspective.
Keywords: media, personage, testimonies, Three World.
Pendahuluan
Artikel berjudul “Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0”yang ditulis dan dipublikasikan Andre Vltchek, seorang jurnalis
investigasi pada sebuah situs jurnal inves-
tigasi internasional, www.counterpunch.
org1, membincang perbandingan dinamika
antara pemimpin diktator dengan rakyat di
negara Indonesia dan Chili. Vltchek meng­
ambil perbandingan suasana politik di
1 Bisa diakses di http://www.counterpunch.org/2013/11/22/chilean-socialism-1-indonesian-fascism-0/
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 98
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
Indonesia, utamanya masyarakat Jakarta,
pada masa pemerintahan Soeharto, khususnya pada tahun 1965, dengan suasana
politik di Chili pada pemerintahan Pinochet. Vltchek menulis:
“Jakarta is not just the capital of the fourth most
populous country on earth; it is also the ‘least habitable major city in Asia Pacific’. Jakarta is also a
concept, an enormous experiment on human beings,
which was quickly turned into a blueprint that has
later been implemented by the West all over the developing world. The experiment was about trying
to figure out this: What happens to a poor country
that is hit by a brutal military coup, then thrown to
religious zealots, and forced to live under the heel
of extreme capitalism and fascism? And what happens if almost its entire culture gets destroyed, and
instead of education, some brainwashing mechanism perfected abroad, gets implemented? What if
you kill 2-3 million people, and then you ban entire
languages and cultures, theatres, art films, atheism,
everything that is to the left of center? And what
if you use thugs, paramilitaries, archaic family and
religious structures and a ridiculously toothless media, to maintain ‘the new order’?” (Vltchek, 2013)
Lebih lanjut, Vltchek menjawab perta­
nyaan-pertanyaan di atas sebagai berikut:
“The answer is this: You get your Indonesian model! Which means – almost no production, a ruined
environment, collapsed infrastructure, endemic
corruption, not even one sound intellectual of international caliber, and frankly speaking, a ‘functionally illiterate’ population, ignorant about the world,
about its own history, and about its own position in
the world” (Vltchek, 2013).
Kalaupun ada perbedaan pendapat
dari dalam lingkungan akademisi di Indonesia terkait hal-ihwal yang dikatakan
Vltchek tentang keadaan sebenarnya di Indonesia pada masa itu, maka kemungkin­
an yang terjadi adalah bahwa pandangan
Vltchek tersebut benar, dan yang selama
ini menjadi cara pandang bangsa Indone2
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 99
sia terhadap rezim Soeharto salah. Atau,
sebaliknya,yang dikatakan Vltchek merupakan kritik yang subjektif, dan kasar de­
ngan komparasi yang berat sebelah.
Kemungkinan pertama, masyarakat
Indonesia yang salah dalam memandang
Soeharto, dengan melakukan komparasi
dengan situasi yang terjadi di Chili. Rakyat
Chili melakukan perlawanan terhadap
junta militer, dengan Pinochet sebagai
pemimpinnya, melalui sebuah usaha kudeta pada 1973. Jika Soeharto dan Pinochet
digambarkan sebagai sosok fasis, dan rakyat
sebagai pendukung sosialis, maka yang
terjadi di Chili adalah perjuang­an rakyat
sosialis melawan fasisme. Hal tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi di
Indonesia di mana rakyat sosialis dibantai
oleh fasisme.Vltchek memandang bahwa
yang terjadi di Indonesia merupakan suatu
kemunduran dibandingkan dengan rakyat
Chili; bahwa rakyat Indonesia terlalu bodoh
untuk mendiamkan begitu saja pelanggar­
an HAM yang nyata terjadi didepan mata
mereka, dan usaha rakyat Chili melakukan
gerakan bawah tanah untuk menggulingkan kekuasaan junta militer dianggapnya
sebagai usaha yang heroik. Sederhananya,
rakyat Indonesia bodoh, sedangkan rakyat
Chili lebih kritis.
Kemungkinan kedua dapat juga dijadikan pertimbangan.Ternyata Vltchek membuat sebuah argumentasi subjektif tanpa
mengetahui sama sekali situasi politik
yang berkembang di Indonesia pada masa
peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pada masa peralihan tersebut, tercuat ungkapan yang terkenal di kalangan
mahasiswa Indonesia ketika itu, “Yang pa­
ling penting kita sudah menurunkan suatu
rezim; jika rezim yang baru tidak cocok,
kita tinggal turunkan lagi”2. Artinya, ada
Penulis mencatat ungkapan tersebut dari film ‘Gie’ (2005), sebuah film tentang pejuang muda Indonesia di era 1966, Soe Hok
Gie (1942 – 1969). Film yang disutradarai Riri Riza ini diangkat dari buku ‘Catatan Seorang Demonstran’, memoar yang ditulis
sendiri oleh Soe Hok Gie.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 99
4/24/2014 10:24:51 AM
100
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
komitmen dari kalangan mahasiswa untuk
terus berjuang melawan rezim yang tidak
berpihak kepada rakyat. Satu hal yang menarik dicatat mengenai perjuangan mahasiswa pada zaman Soeharto:ternyata butuh
waktu sekitar 31 tahun bagi mahasiswa
untuk mewujudkan ungkapan tersebut dalam realita! Mahasiswa kembali berperan
secara aktif dalam politik praktis dengan
cara mengawal era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden yang dijabatnya sejak tahun
1967. Kenyataan bahwa Soeharto berhasil
menjadikan Indonesia swasembada beras
pada tahun 1984, menekankan pada pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan, dan
seringnya melakukan peninjauan langsung
ke pasar-pasar tradisional, serta ikut serta
turun ke sawah saat panen raya, merupakan sebuah upaya penciptaan kesan baik
pada masyarakat Indonesia yang berhasil
diciptakan pribadi Soeharto selama masa
kepemimpinannya.
Di antaranya adalah membiarkan terjadi­
nya pembunuhan massal, pemerkosaan,
dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya.
Bahkan, secara tersirat, Vltchek me­
ngatakan bahwa Soeharto adalah panut­
an (role model) dari gerakan fasisme baru
pasca perang dunia kedua. Keberpihakan
Vltchek mulai terlihat ketika ia mengambil
sikap yang berbeda antara Indonesia dan
Chili. Kemenangan sosialisme di Chilioleh Vltchek dianggap sebagai kemajuan
dari proses pendewasaan masyarakat,
yang dimulai dari menyadari persoalan,
mengambil sikap, hingga konsisten terhadap sikap tersebut. Berbeda dengan
masyarakat Indonesia yang dalam persepsi
Vltchek dianggap menyerah pada fasisme
Soeharto, menutup mata, bahkan turut bertanggung jawab atas pembunuhan massal
para pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Vltchek, “kebodohan”
rakyat Indonesialah yang dituding menjadi penyebab terhambatnya kemajuan di
Indonesia, bahkan rakyat Indonesia juga
Analisis atas Persoalan-persoalan di dalam dianggap tidak mampu bereaksi terhadap
artikel Andre Vltchek
fasisme dan segala bentuk pelanggaran keHal yang paling mendasar dari pemaham­ manusiaan yang dibuat rezim fasis tersebut.
an Vltchek dalam artikel yang ditulisnya Berikut penulis akanmembahas mengenai
adalah bahwa ia berusaha membanding- kekeliruan cara pandang Vltchek dalam
kan kondisi sosialisme di Indonesia dan memahami persoalan Indonesia dan Chili.
Kekeliruan pertama adalah sikap
di Chili. Menurut hematnya, fasisme SoeVltchek
yang sangat sinis dalam memanharto menang melawan sosialisme/komunisme, sedangkan sosialisme di Chili justru dang Indonesia hanya melalui pemahaman
menang melawan fasisme. Masa perali- psikologi massa. Menurut situs Geographia.
han kedua negara yang diperbandingkan com3, Chili mendeklarasikan kemerdekaan
memang memiliki dua unsur pokok yang pada tahun 1817, tetapi justru bagian yang
sama, sehingga perbandingan antara In- paling penting dari sejarah Chiliterjadi pada
donesia dengan Chilidapat dijustifikasi. tahun 1973 ketika berlangsung peralihan
Vltchek juga mengulas karakter dua tokoh kekuasaan dari Dr. Salvador Allende,yang
pemimpin kedua negara tersebut (yaitu baru saja menduduki jabatan presiden seSoeharto dan Pinochet) yang hampir sama. lama tiga tahun sejak 3 November 1970
3
http://www.geographia.com/chile/chilehistory.htm (diakses penulis pada 26 Februari 2014, pukul 15.30 WIB)
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 100
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
dengan pemerintahan bercorak Sosialisme
- Marxisme, yang kemudian dikudeta oleh
Jenderal Augusto Pinochet Ugartedari golongan sayap kanan pemerintahan Chili.
Sedangkan Indonesia baru saja “dua puluh tahun merdeka” sebelum Soeharto dianggap bertanggung jawab atas peristiwa
1965. Berdasarkan artikel Vltchek, gerakan
sosialis di Chili diawali oleh Movimiento de
Izquierda Revolucionaria atau MIR, sebuah
gerakan revolusi kiri yang dibentuk para
mahasiswa pada tahun 1965 diinspirasikan gerakan revolusi Kuba. Menurut situs
latinamericanhistory.about.com4, Salvador
Allende memiliki hubungan dekat dengan
MIR. Keponakan Salvador Allende, yaituAndrés Pascal Allende, merupakan salah
satu pemimpin muda MIR. Secara tidak
langsung, bisa dikatakan bahwa pemerintahan Salvador Allende yang bercirikan Sosialisme - Marxisme mendapat dukungan
kuat dari MIR sebagai organisasi pemuda
yang mapan.
Perjuangan serupa juga sempat terjadi di Indonesia sebagai efek dari penolakan terhadap pemerintahan demokrasi
terpimpin à la Soekarno yang dimulai sejak 1955. Setelah 1955, pemikiran Marxberkembang pesatdi kalangan mahasiswa
Indonesia ketika itu dan Partai Komunis
juga menjadi partai yang sangat populer
di lapisan bawah masyarakat.Hal yang dilupakan Vltchek adalah kenyataan bahwa
gerakan mahasiswa juga memiliki peranan
yang penting bagi pergerakan sejarah di
Indonesia. Salah satu faktor krusial yang
membedakan gerakan mahasiswa di Indonesia dengan gerakan MIR di Chili adalah
asal-muasal perubahan pemerintahan pasca tergulingnya pemimpin pemerintahan.
Setelah Soekarno diturunkan dari jabatan Presiden, sebagian mahasiswa yang
4
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 101
tadinya terlibat dalam gerakan menjadi
anggota parlemen dan berpandangan bahwa perubahan dapat dilakukan dari dalam
wilayah kekuasaan.Hal ini berbeda de­ngan
MIR yang sebagian simpatisannya justru
masuk ke wilayah militer dan menjadi bagian dari pertahanan negara sebelum Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan Salvador Allende.Berkaitan dengan
gerakan mahasiswa di Indonesia, Vltchek
sama sekali tidak menyebutkan hal tersebut secara jelas di dalam artikelnya, padahal gerakan mahasiswa Indonesia adalah
bagian yang penting ketika membandingkan Indonesia dan Chili. Memang terdapat
perlawanan dari kalangan mahasiswa ketika Soeharto menjabat sebagai presiden, namun puncak perjuangan mahasiswa baru
terwujud pada tahun 1998, ketika Soeharto
akhirnya mundur sebagai presiden dan era
reformasi dimulai.
Kritik Vltchek terhadap “kebodohan”
masyarakat Indonesia diungkapkan sebagai berikut:
“Like those guys, who dutifully cut people to pieces,
raped 14-year old girls and terrorized those people
who were still willing to think and to speak, everything was shown in detail in the award winning
film by Joshua Oppenheimer: “The Act of Killing”.
And what did the Indonesian viewers and TV hosts
do when the thugs confessed to kill hundreds? They
laughed, and cheered, and applauded!”(Vltchek,
2013)
Pertanyaan mengenai “mengapa bisa
terjadi kondisi yang di dalamnya manusia
justru mendukung pembunuhan dan dapat bersikap berlawanan seperti yang seharusnya manusia lakukan ketika terjadi
pembunuhan?” sama sekali tidak pernah
dibahas oleh Vltchek, karena yang menjadi perhatiannya adalah kenyataan bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
http://latinamericanhistory.about.com/od/thehistoryofchile/a/09ChileMIR.htm (diakses penulis pada 26 Februari
2014, pukul 15.45 WIB)
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 101
4/24/2014 10:24:51 AM
102
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
bodoh secara mental, yang dianggap bersikap tidak manusiawi dengan cara me­
nertawakan dan justru berbangga dengan
pengakuan seorang pembunuh. Selain itu,
Vltchek juga mengatakan:
yang dilakukan oleh PKI terhadap peme­
rintahan Soekarno. Malcolm Caldwell dan
Ernest Utrecht dalam buku Sejarah Alternatif Indonesia, justru mengatakan bahwa
Aidit menerima informasi dari Jenderal
Polisi Sutarto bahwa dewan Jenderal akan
“In 1965, in Jakarta, there was no struggle. The
memecat Soekarno dan mengambil alih
victims allowed themselves to be slaughtered. They
kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965.
were begging for mercy as they were strangled,
Karenanya, ada dugaan dari pihak milistabbed, shot to death. They called their tormentors,
ter sendiri bahwa Aidit akan mendahului
their murderers, their rapists, ‘pak’ and ‘mas’ (rerencana jenderal dengan mengorganisasi
spectful form of addressing a man). They cried and
begged for mercy” (Vltchek, 2013).
suatu pemberontak­an bersenjata untuk
merebut kekuasaan (Caldwell dan Utrecht,
Dalam kutipan tersebut, Vltchek ingin 1979: 255).
menegaskan bahwa yang menjadi korban
Caldwell dan Utrecht juga mengatakan
justru pasrah dan masih menghormati bahwa anggota PKI selain kader di Jaorang yang menyiksa mereka dengan me- karta, tidak mengetahui apa-apa tentang
manggilnya “pak” atau “mas”. Vltchek rencana pemberontakan bersenjata tersemelihat fenomena tersebut sebagai sesuatu but (Caldwell dan Utrecht, 1979: 256).
yang otonom, sedangkan dirinya hanya Jika Caldwell dan Utrecht mengatakan
pengamat, dan dari hasil pengamatannya, demikian, lalu siapakah yang melakukan
komunisme di Indonesia tidak sehebat penculikan para Jenderal? Mereka menyesosialisme di Chili. Pertanyaan mengenai butkan bahwa yang melakukan pencu“mengapa bisa begitu?” sama sekali tidak likan para Jenderal TNI Angkatan Darat
muncul dalam artikel tersebut. Vltchek adalah Resimen Cakrabirawa (pasukan
melakukan generalisasi masyarakat Indo- pengawal presiden), sebagian dari angnesia menjadi sebuah kelompok masyarakat gota TNI Angkatan Udara, dan beberapa
yang bodoh, pesimis, dan pasrah.
milisi pemuda PKI yang kebetulan sedang
Pertanyaan “mengapa bisa begitu?” melakukan latihan di pangkalan udara
ha­nya bisa dijawab jika memahami ke­ Halim Perdana­kusuma. Mereka juga me­
bingungan situasi ekonomi dan politik negaskan bahwa para serdadu yang teryang terjadi di Indonesia menjelang tahun libat, bukan merupakan bagian dari PKI,
1965.Demokrasi terpimpin yang dilakukan dan belum ada bukti bahwa para jenderal
Soekarno menyebabkan kinerja pemerin- disiksa sebelum dibunuh oleh para serdatahan menjadi anti-klimaks.Masyarakat du tersebut (Caldwell dan Utrecht, 1979:
Indonesia menaruh kepercayaan penuh 257). Hal tersebut diperkuattestimoni yang
bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dimuat di situs jurnal3.com5 bahwa dokter
dapat membuat perubahan di Indonesia. ahli forensik yang meng­otopsi jasad para
Vltchek melewatkan bagian bahwa peris- jenderal, yaitu dr. Brigadir Jenderal Roebitiwa pembunuhan massal anggota, kader, ono Kertopati, seorang perwira kesehatan
dan simpatisan PKI ketika itu berhubung­ di RSP Angkatan Darat, dan empat dokter
an erat dengan dugaan pemberontakan lainnya, menyatakan bahwa “dari hasil vi5
http://www.jurnal3.com/hasil-otopsi-7-jenazah-pahlawan-revolusi-utuh-semua/ (diakses penulis pada 26 Februari
2014, pukul 17.05 WIB)
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 102
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
sum et repertum atas 7 jenazah, semuanya
dalam kondisi utuh, dan tidak ada bekasbekas peng­aniayaan dan siksaan, seperti
yang disaksikan dalam film.”
Berdasarkan pemahaman Caldwell
dan Utrecht tersebut, propaganda yang
mengatakan seluruh anggota dan simpatisan PKI bersalah atas terbunuhnya para
Jenderal, pada dasarnya dibangun dari
argumen yang tidak jelas, dan cenderung
digeneralisasi. Anggota PKI selain yang
di Jakarta, sama sekali tidak mengetahui
rencana penculikan para jenderal tersebut. Bahkan yang melakukan penculikan
pun bukanlah anggota PKI, karena para
serdadu TNI Angkatan Darat dan Resimen Cakrabirawa merasa berkepentingan
untuk mengamankan para jenderal sebagai reaksi dari dugaan kudeta yang akan
dilakukan para anggota Dewan Jenderal
terhadap pemerintahan Soekarno. Akibat
dari propaganda yang dilancarkan selepas
peristiwa pembunuhan para jenderal,
rakyat Indonesia seketika itu juga terbagi
menjadi dua pihak, pendukung dan penolak PKI.
Jika Vltchek menyebutkan film The Act
of Killing karya Joshua Oppenheimer5, tetapi tidak memahami bahwa kondisi Indonesia hampir seperti pembunuhan massal
kaum militer, dan sipil non-PKI terhadap
sipil PKI, maka Vltchek melakukan suatu
generalisasi, bahwa seluruh rakyat Indonesia adalah komunis, dan menganggap fasisme Soeharto melalui tangan militernya
saja yang melakukan pembunuhan massal terhadap mereka tanpa perlawanan.
Keterlibatan milisi dari rakyat sipil nonPKI untuk mencari, dan ikut serta dalam
5
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 103
pembunuhan simpatisan, dan anggota PKI
menunjukkan suatu bukti bahwa kondisi
yang terjadi di Indonesia berbeda dengan
yang terjadi di Chili.
Persoalan selanjutnya “mengapa para
milisi dari rakyat non-PKI ini dengan mudahnya membunuh, tanpa ada rasa kasih­
an? Apa yang menjadikan mereka sangat
membenci PKI dan menganggap bahwa
PKI layak untuk mati?” Salah satu faktor
adalah kuatnya “tuduhan”, dan propaganda dari media. Peristiwa 1965 adalah
suatu kebingungan massal yang berujung
pada usaha untuk keluar dari kebingung­
an tersebut dengan menentukan sikap.
Harus ada yang disalahkan atas krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada masa
itu, dan rakyat Indonesia menganggap
bahwa sumber dari segala krisis adalah
keberadaan PKI. Selain itu, kepercayaan
rakyat terhadap Soekarno semakin menurun, dan posisi ini dimanfaatkan secara
efektif oleh Soeharto untuk mengambil alih
kekuasaan.
Berbeda dengan Pinochet yang meng­
ambilalih kekuasaan dengan kudeta terbuka, Soeharto mengambil alih kekuasa­
an dengan persona seorang penyelamat
bangsa. Langkah yang diambil Soeharto
juga dianggap memberikan kemajuan bagi
bangsa Indonesia, meskipun wacana alternatif yang berkembang adalah kecurigaan
bahwa situasi yang terjadi di tahun 1965 sudah direncanakan oleh Soeharto. Soeharto
menjadikan tanggal 1 Oktober sebagai hari
kesaktian Pancasila, bahwa pembunuh­
an massal anggota PKI merupakan usaha
membela negara yang berlandaskan Pan-
Film tersebut merupakan suatu reka ulang para milisi di Medan, Sumatra ketika mereka membunuh banyak anggota dan simpatisan PKI. Di dalam film tersebut, rasa kemanusiaan mereka tertutupi oleh kebencian dan suatu keyakinan bahwa PKI adalah pihak
yang bersalah secara moral, sehingga mereka merasa bahwa PKI ‘layak’ untuk mati. Pada saat ini, kelompok milisi di Medan
tersebut berada di bawah naungan Pemuda Pancasila.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 103
4/24/2014 10:24:51 AM
104
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
problems they solve; and the problems they raise”
casila. Pancasila menjadi oposisi biner dari
(Popper, 1992: 14).
komunisme yang divonis sebagai paham
terlarang di Indonesia, sehingga siapapun
Meskipun Popper menganggap bahwa
yang terbukti mengembangkan paham kodirinya adalah seorang penganut rasiona­
munisme, dianggap anti Pancasila.
lisme kritis, tetapi dirinya tidak menolak
dianggap sebagai seorang realis. DasarMedia sebagai Dunia Ketiga dan Implikasi­
dasar realisme Popper inilah yang menjadi
nya
awal dari perkembangan pemikiran tiga
Pemikiran Three World atau tiga dunia, bu- dunia.
kan merupakan pemikiran Popper yang
Pemikiran tiga dunia merupakan teori
paling terkenal.Teori Popper yang paling alternatif dari pandangan monisme dan
dikenal adalah falsifiabilitas, suatu teori dualisme tentang alam semesta.Popper
perkembangan ilmiah (scientific progress) membagi sub-universes menjadi tiga bagian
yang berisikan ajaran bahwa suatu teori yang saling berinteraksi (Popper, 1978:
dapat dikatakan ilmiah apabila dapat di­ 3). Popper membagi realitas menjadi tiga
sangkal dan mampu bertahan dari segala macam ‘dunia’, yaitu:
penyangkalan yang menyerangnya. Impli­
Dunia fisik, yang realitasnya dapat dikasi langsung dari pemikiran ini adalah jangkau oleh indera manusia. Mengenai
dibangunnya pengetahuan yang bercorak hal ini, Popper tidak menjelaskan secara
problem solving, yang didalamnya berisi detail, apakah realitas ini sangat berganpandangan bahwa sebuah teori yang di­ tung pada persepsi manusia, seperti yang
sangkal, secara tidak langsung juga memi- dikatakan oleh kaum empirisisme, ataukah
liki cara untuk keluar dari penyangkalan memang realitas fisik ini otonom dan bebas
melalui penyelesaian persoalan. Sisi lain dari persepsi manusia. Meskipun begitu,
dari teori perkembangan ilmiah terse- cukuplah jika dikatakan bahwa realitas ini
but, Popper mengembangkan persoalan sangat commonsense, karena kebenaran dan
keilmiahan suatu teori menuju arah yang konsistensi dari realitas ini, pada dasarnya,
sangat metafisis, meskipun Popper tidak berlaku menyeluruh pada setiap persepsi
menyadari hal tersebut. Hal yang men- inderawi manusia. Artinya setiap orang
jadi persoalan utama Popper sejak dirinya akan mempersepsikan hal yang sama
masih sangat muda, bahwa teori yang di- dari suatu objek yang sama pula, sedandasarkan pada pemahaman bahasa yang gkan perbedaan atau relativitas persepsi
definitif tidak akan memberikan jawaban baru akan muncul ketika ada usaha untuk
yang memadai daripada didasarkan pada menjelaskan objek tersebut.
realitas sebenarnya. Membangun pemahaDunia pikiran manusia (mind). Di
man filosofis dari perenungan yang defini- dalam bahasa Indonesia, belum ditemukan
tif hanya akan menjadi pemahaman yang kata yang benar-benar tepat dalam mengsurreal dan lepas dari konteks asalnya, yai- gambarkan ‘mind’ secara analogis, tetapi
tu realitas. Popper mengatakan,
pada dasarnya hal ini cukup mudah untuk
dipahami bahwa realitas kedua ini berkai“Never let yourself be goaded into taking seriously
tan dengan apapun yang sedang dipikirproblems about words and their meanings. What
kan manusia. Dalam penelitian lebih lanmust be taken seriously are questions of fact, and
jut, amat dimungkinkan apabila realitas ini
assertion about facts: theories and hypotheses; the
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 104
4/24/2014 10:24:51 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 105
yang berbeda dengan objek natural. Manusia hanya bisa mengawasi dan mengadakan realitas fisik, sedangkan objek-objek
artifisial itu diproduksi dan dikembangkan
oleh pikiran manusia.
Persoalan lain terkait hubungan antara
‘pikiran manusia’ dengan ‘hasil pemikiran manusia’. Meskipun hasil pemikiran
manusia bersifat otonom, tetapi pengembangan dari hasil pemikiran ini sangat
bergantung pada subjektivitas pikiran manusia. Bebe­rapa orang yang mengembangkan suatu objek artifisial yang sama, dapat
menghasilkan sesuatu yang berbeda juga,
sehingga jika ada lima orang yang berpikir
untuk mengembangkan televisi, maka akan
ada lima jenis televisi yang berbeda. Media,
baik elektronik maupun cetak, memiliki
realitas yang berbeda dengan alam pikiran manusia, jika dilihat dari pemahaman
Karl Popper. Wacana hanya bisa dilengkapi
atau direvisi, sehingga amat dimungkin­
kan bahwa alur wacana dari suatu peristiwa dapat direkam dan setiap orang dapat
meng­arahkan pandangannya pada salah
satu titik dari wacana tersebut. Jika halnya
seperti itu, maka tidaklah mengherankan
apabila ada suatu teori dalam sains yang
sempat dianggap tidak lagi memadai untuk digunakan dalam normal science---se­
perti teori evolusi Darwin---namun toh
tetap saja ada beberapa peneliti yang masih
tertarik menggeluti teori tersebut.
Satu hal yang sering dilupakan adalah
bahwa keterangan berbentuk pernyataan,
Gambar 1 (http://www.knowledgejump.com/knowlteori, argumentasi, dan pengakuan harus
edge/popper.html)
memiliki hubungan dengan realitas duPemikiran tiga dunia ini sangat mem- nia pertama yang diuji dan diobservasi
bantu untuk menjelaskan satu bagian yang oleh dunia kedua. Artinya seseorang tidak
hilang, bahwa sebenarnya perlu untuk bisa begitu saja membuat keterangan yang
membedakan objek yang berasal dari ma- terlepas dari realitas fisiknya, sehingga ada
nusia dan realitas fisik yang natural, karena faktor yang koresponden dan koheren ancampur tangan manusia atas objek-objek tara keterangan seseorang dengan realitas
artifisial tersebut memiliki pola interaksi fisiknya. Hubungan yang koresponden
akan mencakup segala aktivitas kognitif
manusia.
Dunia hasil pemikiran manusia. Realitas ketiga ini merupakan hasil dari olah
pikir manusia. Pada awalnya, Popper ha­
nya mengatakan yang termasuk ke dalam
dunia ketiga ini adalah tulisan, pengakuan,
wacana, teori, dan bentuk lingustik lainnya, namun dalam perkembangannya,
Popper juga memasukkan karya manusia
yang lain, yang pada dasarnya dapat di­
sebut sebagai teknologi
Berdasarkan ilustrasi dari gambar 1
yang diambil dari knowledgejump.com,
ditunjukkan bahwa dunia ketiga adalah
pengetahuan virtual yang objektif. Selain
itu, hubungan yang sangat penting adalah
hubungan dunia ketiga dan dunia pertama.
Hubungan diantara keduanya hanya bisa
berinteraksi lewat bantuan dunia kedua
melalui pengujian dan observasi.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 105
4/24/2014 10:24:52 AM
106
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
VOL II, 2014
dan koheren inilah yang menjadi acuan
dari kebenaran suatu teori. Jadi, meskipun
subjektivitas dari pikiran manusia sebagai
dunia kedua dalam mengembangkan hasil pemikiran dalam dunia ketiga amatlah
kuat namun ini tidak boleh terlepas dari
realitas fisik sebagai dunia pertama. Hal
inilah yang menentukan kebenaran dari
suatu keterangan, baik berupa teori, argumentasi, pernyataan, atau pengakuan.
memiliki tujuan dan kepentingan yang terbalik dengan keterangan ilmiah yang faktual.Keterangan yang fiktif diciptakan untuk membuat suatu konstruksi yang surreal
atau melampaui realitas yang sebenarnya,
untuk memenuhi tujuan dan kepentingan
tertentu dari suatu pihak. Perilaku fiktif ini
sebenarnya sangat wajar untuk dilakukan
manusia, karena berkaitan dengan imajinasi sebagai bagian dari proses berpikir manusia. Hal inilah yang ditekankan Popper
terkait dengan pengertian garis demarkasi
Peran Media dalam Pembentukan Persona
antara hal ilmiah dan tidak ilmiah7, yaitu
Soeharto sebagai Pemimpin Indonesia
ketika suatu teori sesuai dengan realitasKonstelasi seperti diuraikan di ataslah nya, atau memiliki falsifiabilitas8 yang ting­
yang akan dijadikan acuan oleh penulis gi, maka teori tersebut dapat dikatakan seuntuk mengkritisi informasi yang beredar bagai ilmiah (Popper, 2002).
di dalam media. Sejak teknologi informaDalam perkembangan informasi di
si, seperti televisi, radio, dan media cetak dunia modern, terutama pada tahun 1965,
dikembangkan, manusia semakin lemah televisi belum begitu banyak digunakan di
dalam melakukan pengujian hubungan Indonesia, sehingga berita yang beredar
dari suatu informasi dengan realitas, ka­ dianggap benar tanpa perlu pembuktian,
rena arus informasi yang sangat cepat yang meskipun tingkat kebenarannya sebenaberbanding terbalik dengan kemampuan rnya masih belum jelas.Kondisi tersebut
manusia dalam melakukan pengujian in- memudahkan sekelompok orang yang meformasi. Misalkan ada suatu keterangan miliki kepentingan tertentu untuk memyang direkayasa sehingga tidak korespon- berikan suatu keterangan yang mungkin
den dengan realitasnya, atau yang biasa saja jauh dari fakta sebenarnya. Selain itu,
disebut ‘fiktif’, maka akan ada usaha untuk cara Soeharto menampilkan personanya
menutupi kebenaran dari keterangan terse- sebagai penyelamat bangsa, meyakinkan
but. Kecenderungan untuk melakukan rakyat Indonesia bahwa persona inilah yang
suatu keterangan yang fiktif pada dasarnya dapat dipercayai.
Popper menyebutnya sebagai pseudoscience. Artinya kondisi ketika suatu teori dilandaskan pada suatu pemahaman
yang bias dan bersifat ilusi atau khayalan belaka, tetapi dianggap sebagai sesuatu yang ilmiah. Salah satu contoh
yang diambil Popper adalah teori psikoanalisis Sigmund Freud yang tidak bisa diuji dan diobservasi, karena paradoks yang dihasilkan dari teori alam bawah sadar.Selain itu, Popper juga menganggap teori Karl Marx mengenai
persamaan kelas, juga dilandaskan pada sesuatu yang utopis dan doktriner, sehingga termasuk dalam pseudoscience.
8
Falsifiabilitas adalah sifat dari suatu teori yang terbuka pada suatu penyangkalan.Semakin banyak penyangkalan,
maka teori tersebut dianggap falsifiable.Semakin falsifiablesuatu teori dan mampu bertahan dari penyangkalan, maka
teori tersebut dianggap lebih mendekati kebenaran. Bagi Popper, perkembangan ilmiah suatu teori hanya dapat diuji
melalui penyangkalan yang kritis. Jika suatu teori mampu bertahan, maka teori tersebut dapat dianggap mendekati
kebenarannya; tetapi jika tidak mampu bertahan, maka teori yang lama akan digantikan dengan yang baru.
7
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 106
4/24/2014 10:24:52 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 107
tolak belakang dengan tujuan dan ideologi
negara yang cenderung sosialis.
Gambar ketiga yang diambil dari
store.tempo.com, juga menunjukkan propaganda anti PKI diperkuat dengan film
yang menunjukkan kekejaman PKI, yang
berisi pesan bahwa Resimen Cakrabirawa
dan TNI Angkatan Udara yang melakukan penculikan para Jenderal merupakan
bagian dari rencana PKI.Film ini selalu
diputar selama masa pemerintahan Soeharto setiap tanggal 30 Sptember sebagai
hari peri­ngatan G30S/PKI dan hari kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober.
Gambar 2 (http://ceritaindonesia.wordpress.com/tag/soeharto-ordebaru)
Gambar kedua diambil dari website
ceritaindonesia.wordpress.com, yang isi­
nya sebuah poster Soeharto sebagai bapak
pembangunan. Persona Soeharto sebagai
penyelamat bangsa dan seorang yang
berjasa bagi pembangunan Indonesia me­
negaskan bahwa dirinya bukan seorang
fasis, dan hal tersebut dipercayai secara
penuh oleh rakyat Indonesia. Sikap kritis
dihalangi dan diredam dengan berbagai
cara agar propaganda media menjadi kebenaran tunggal. Soeharto juga menggunakan Pancasila sebagai langkah untuk
mengantisipasi perlawanan dari simpatisan PKI, kalangan akademisi yang meneliti
pemikiran Marx, dan termasuk seniman
serta sastrawan yang bercorak Marxisme
yang masih tersisa. Siapapun yang menyebarkan ajaran Marxisme akan dianggap
sebagai musuh Pancasila dan negara Indonesia. Model dan strategi persona Soeharto
ini berbeda dengan persona Pinochet yang
berbentuk opresi terbuka, sehingga berita
yang beredar adalah berita yang menegaskan bahwa dirinya adalah seorang fasis
yang menghambat kebebasan rakyat Chili.
Opresi terbuka tersebut akan menimbulkan suatu perlawanan, dan dianggap ber-
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 107
Gambar 3 (http://store.tempo.co/foto/detail/
P0508201100189/poster-film-penumpasan-sisa-sisa-pki-di-blitar-selatan#.UxG9auOSxCA)
Melalui pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa bukan masyarakat Indonesia yang bodoh, tetapi kecerdikan dan kemampuan Soeharto dalam memanfaatkan
oposisi biner antara Pancasila dan PKI se­
bagai cara untuk menjatuhkan musuh politiknya. Jika kekuasaan Soeharto, diperkuat
oleh suatu paham kenegaraan se­perti Pancasila, sedangkan Pancasila adalah dasar
negara Indonesia yang tidak bisa digantikan, maka siapapun yang menyerang Soeharto berarti menyerang Pancasila, begitu
juga sebaliknya. Begitu juga apabila ada
seseorang atau sekelompokorang yang ber­
usaha menyebarkan paham komunisme,
4/24/2014 10:24:52 AM
108
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
maka akan dianggap sebagai musuh negara dan Pancasila. Kondisi inilah yang
menjadi justifikasi bagi Soeharto untuk
menekan lawan-lawan politiknya. Melalui
cara seperti itu juga, masyarakat Indonesia
merasa dibenarkan dengan pembunuhan
massal para anggota dan pendukung dari
PKI, sehingga tidak ada perasaan bersalah
atas pembunuhan tersebut.
Hal tersebut juga digambarkan dengan
baik dalam film The Art of Killing. Dalam
film ini dituturkan bahwa para pelaku
pembunuhan terhadap anggota PKI di
Medan sama sekali tidak merasa bersalah,
karena mereka menganggap PKI yang
salah dan yang mereka lakukan adalah hal
yang benar. Para pelaku ini juga dianggap sebagai pahlawan yang berjasa dalam
melawan pemberontakan dan menjaga
keutuhan negara Indonesia.Tentang hal ini
Vltchek mengatakan:
”A few streets away, the newly rich, sit in their
luxury SUV’s in epic traffic jams, watching television, going nowhere, but proud that they have
moved up the rungs on their class ladder.What a
success! What an absolute success of fascist, neocolonial demagogy and the ‘market economy’!This
‘success’ was, of course, studied and analyzed in
Washington, Canberra, London and elsewhere. It
has been implemented all over the world, in different forms and variations, but with the same essence:
strike and murder every thinking being, shock and
brainwash… then rob the poor and reward a few
criminals… from Chile to Argentina, Yeltsin’s Russia and Rwanda, now again in Egypt.It has worked
almost everywhere. “Jakarta was coming”, and it
has been spreading its filth, its ignorance, brutality
and compassionless way of ‘thinking’ all over the
planet” (Vltchek, 2013).
VOL II, 2014
dan ekonomi pasar. Hanya saja kesinisan
Vltchek tersebut justru menutupi pandang­
an yang objektif terhadap Indonesia. Indonesia seperti objek yang diteliti perilakunya dari dalam ruangan berkaca. Cara
Vltchek menghakimi bangsa Indonesia
dalam artikelnya menunjukkan sikap yang
sama dengan masyarakat yang membenci
PKI, yaitu sikap yang menganggap bahwa
golongan yang berlawanan memiliki cara
hidup yang salah, tidak bersifat konstruktif
yang progresif, dan tidak mencerminkan
orang yang layak untuk hidup sebagai manusia yang beradab. Suatu cara pandang
yang menyingkirkan data, dan informasi
yang berkaitan dengan kondisi sebenarnya,
dan hanya menggunakan informasi, dan
data yang mendukung artikelnya tersebut.
Dengan kata lain, Vltchek tidak melakukan
suatu analisis yang objektif di dalam artikelnya tersebut.
Kesimpulan
Artikel Vltchek yang menyebutkan bahwa
rakyat Indonesia semata-mata bodoh, dan
tidak peduli terhadap kejahatan kemanusiaan tidak sepenuhnya benar, karena
kompleksitas persoalan yang terjadi pada
masa itu, ditambah kemampuan Soeharto
dalam menampilkan persona yang berbeda
dari pandangan seorang fasis. Kuatnya
persona Soeharto itu juga yang menopang
pandang­an umum bahwa sistem Soeharto
masih tetap bertahan, meskipun Soeharto
sudah tidak lagi menjabat sebagai pre­
siden Indonesia, dan era reformasi sudah
menying­sing. Bagi rakyat Indonesia, jasa
Argumen tersebut memang menun- Soeharto bagi kemajuan bangsa Indonejukkan suatu kesuksesan yang bias, dan sia sangatlah besar. Jasa Soeharto tersebut
Vltchek menganggap bahwa istilah ‘Jakarta mampu menutupi kenyataan bahwa ba­
was coming’ menunjukkan contoh fasisme nyak rakyat Indonesia yang terbunuh seyang sukses. Sangat mudah dipahami bah- lama periode kekuasa­annya. Konteks Soewa sikap sinis Vltchek lebih tertuju pada harto sebagai seorang fasis juga tidak bisa
kemenangan fasisme, neo-kolonialisme, dipahami apabila Soeharto dianggap se­
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 108
4/24/2014 10:24:52 AM
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
bagai seorang pahlawan bangsa. Ketegasan
Soeharto dianggap lebih layak oleh rakyat
Indonesia ketika itu daripada seorang yang
demokratis dalam memimpin bangsa.
Hal inilah yang tidak dipahami Vltchek,
bahwa penjajahan panjang, dan umur ne­
gara Indonesia yang masih sangat muda
menyebabkan kondisi Indonesia yang belum stabil, bahkan jika dibandingkan de­
ngan Chili. Pendidikan yang belum merata
bagi setiap penduduk Indonesia, karena
ditinggalkan oleh golongan bangsawan terdidik yang membuka akses pengetahuan
secara kurang merata, menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia mencari pendidikan alternatif melalui ajaran agama.
Melalui ajaran agama juga, rakyat Indonesia mempelajari tentang oposisi biner
dari kerangka dan kaidah moralitas, antara baik dengan buruk, kebaikan dan kejahatan, sehingga sikap yang terbentuk
adalah dikotomis secara absolut yaitu upaya meyakinkan diri mereka sendiri bahwa
yang dilakukannya adalah benar dan perlu
secara moral, sekaligus bahwa yang me­
reka lawan adalah pihak yang salah. Sikap seperti ini sudah tidak digunakan lagi
di Eropa dan Ame­rika, karena kesadaran
HAM yang tinggi akibat perang yang terus terjadi di Eropa dan Amerika, sehingga
wacana HAM bukan hanya tentang definisi HAM itu sen­diri, tetapi juga diiringi
kesadaran untuk mencegah sekuat tenaga
pelbagai aktivitas yang dikategorikan se­
bagai pelanggaran HAM. Konteks kesadar­
an HAM memang belum begitu banyak diwacanakan di Indonesia, karena hal yang
penting bagi Indonesia pada saat itu adalah
stabilitas di segala bidang kehidupan, sehingga rakyat Indonesia akan membela
siapapun yang mampu membawa mereka
keluar dari krisis, dan membawa Indonesia
pada kondisi yang stabil.
Peran media sangat menentukan dalam
hal menampilkan citra atau persona dari
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 109
CANGGIH GUMANKY FARUNIK 109
seseorang ataupun kelompok. Berdasarkan teori tiga dunia Popper, keterangan
seseorang atau kelompok dapat dikatakan
sebagai keterangan yang ilmiah, jika kores­
ponden dengan realitas faktualnya. Namun, dalam perkembangannya, keterang­
an yang berbentuk informasi tidak selalu
sesuai dengan realitas sebenarnya, karena
ada usaha untuk menjaga kepentingan personal, baik untuk menutupi, memanipulasi, atau menciptakan sesuatu yang surreal.
Suatu fakta juga dapat digiring pada wacana yang diinginkan kelompok tertentu
untuk menghindari terwujudnya realitas
yang tidak diinginkan atau justru untuk
menciptakan suatu realitas tertentu. Butuh
penelitian yang lebih seksama mengenai
persepsi kebenaran dalam media, karena
kecenderungan persepsi masyarakat Indonesia adalah gampang menyerahkan
putusan tentang kebenaran pada media.
Bahkan, ketika terjadi dua informasi yang
berbeda, dan bertentangan terhadap suatu
fakta dan realitasnya, masyarakat cende­
rung percaya pada keduanya.
Keyakinan tersebut berkaitan juga de­
ngan pemahaman bahwa informasi yang
beredar di media tidak ada hubungannya dengan sikap moral dari realitas yang
ditampakkan oleh informasi tersebut; ke­
cuali informasi tersebut berhubungan de­
ngan idola masyarakat, karena masyarakat
akan cenderung membela idola mereka.
Idola seperti menjadi bagian dari diri para
penggemarnya, seolah-olah idola adalah
milik para penggemar, dan mereka akan
membelanya sepenuh hati.
Selain itu, peran dari informan yang
bertugas mencari kebenaran realitasnya,
memiliki kecenderungan yang bersifat induktif dengan penyimpulan yang sangat
general, dan mudah dipahami dirinya sen­
diri ataupun orang lain yang akan diinformasikan. Sebagai contoh, seseorang yang
4/24/2014 10:24:52 AM
110
Peran Media dalam Membangun Persona Pemimpin di Indonesia
berada di dalam bus, melihat pemuda de­
ngan pakaian kasual secara tidak sengaja
menyentuh celana seorang wanita, maka
kesimpulan dari orang tersebut akan
mengarah pada dugaan bahwa si pemuda berpakaian kasual ini akan melakukan
suatu kejahatan terhadap si wanita tersebut. Dugaan tersebut lebih dapat diterima
umum daripada sekedar ‘kejadian yang tidak sengaja’, mengingat bahwa setiap tindakan seseorang pasti memiliki maksud
dan tujuan, tidak mungkin hanya kebetulan. Maka dapat dibayangkan apabila si
orang tersebut akan memberitahukan apa
yang ia lihat kepada wanita tersebut se­
perti apa yang dirinya pikirkan bahwa si
pemuda berpakaian kasual akan melakukan suatu perbuatan jahat.
DAFTAR PUSTAKA
Caldwell, Malcolm dan Utrecht, Ernst.
(2011). Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baru.
Popper, Karl R. (2002). Unended Quest: An
Intellectual Autobiography. London dan
New York: Routledge.
_____. (1978). Three World. University of
Michigan: The Tanner Lecture of Human Value.
007-[Canggih G. Farunik] Perna Media dalam membangun persona pemimpin di Indo.indd 110
VOL II, 2014
Sumber Artikel dari Internet
Minster, C. (2014). Chile’s MIR (The Revolutionary Left Movement): Urban Guerrillas Declare War on the Pinochet Dictatorship. Artikel bisa diakses di http://
latinamericanhistory.about.com/od/
thehistoryofchile/a/09ChileMIR.htm
InterKnowledge Corp. (2010). Chile: History and Culture. Artikel bisa diakses di
http://www.geographia.com/chile/chilehistory.htm
Jurnal3. (2014). Hasil otopsi: 7 jenazah Pahlawan Revolusi utuh semua. Artikel bisa
diakses di http://www.jurnal3.com/
hasil-otopsi-7-jenazah-pahlawan-revolusi-utuh-semua/
Vltchek, A. (2013). Chilean Socialism 1: Indonesian Facism 0. Artikel bisa diakses
di
http://www.counterpunch.
org/2013/11/22/chilean-socialism-1-indonesian-fascism-0/
Sumber Gambar
Gambar 1 http://www.knowledgejump.
com/knowledge/popper.html
Gambar 2 http://ceritaindonesia.wordpress.
com/tag/soeharto-ordebaru
Gambar3 http://store.tempo.co/foto/detail/
P0508201100189/poster-film-penumpasan-sisa-sisa-pki-di-blitar-selatan#.
UxG9auOSxCA
4/24/2014 10:24:52 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 111-123
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
SURAJIYO1
Dosen Tetap pada Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta
Surel: [email protected]
Diterima: 5 Januari 2014
Disetujui: 28 Maret 2014
ABSTRACT
Essentially, Pancasila is the source of all moral and legal norms in Indonesia which are then applied nationally. Pancasila as political ethics is closely associated with the ethics of forms, objects, and political issues
of material objects that covers the legitimacy of the state, law, power, and critical assessment for the said
legitimacy. Based on MPR RI Decree Number: VI/MPR/2001, about national ethics, political ethics in the
life of the nation, a concept that derived its legitimacy from religious values, especially values which are
by nature universal, as well as cultural values originated from Indonesia, all those values are reflected in
Pancasila as the basic reference in thinking, behaving, and acting in the spirit of nationalism. Pancasila as
political ethics can be used as a tool to examine political behavior of a country, especially as a critical method
to decide the truth or falsity of government’s actions and policies, by examining the implied correspondence
between objective values with inter-subjective value. The results are then examined more thoroughly to
weigh the synergy between government’s policies and actions with each principle of Pancasila. In political realm, a country should be based on democratic values which is then developed and actualized on its
policies. In Indonesian context, these policies should be based on morality, divinity, humanity, and unity
which bind the nation within the framework of Pancasila. This paper aims to expand the discussion on how
Pancasila is applied as Indonesia’s most original and trustworthy political ethics.
Keywords: Nilai-nilai Pancasila, Etika, Moral, Etika Politik, Etika Kehidupan Berbangsa.
Pendahuluan
Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya merupakan sumber dari segala
norma, baik norma hukum, norma moral,
maupun norma kenegaraan lainnya. ����
Nor-
1
ma hukum adalah suatu sistem peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka
Pancasila berkedudukan sebagai sumber
dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Norma moral berkaitan dengan
Dosen tetap pada Universitas Indraprasta PGRI, dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Pengampu Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Alumnus Fakultas Filsafat
UGM Yogyakarta (S1) dan Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta.
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 111
4/24/2014 10:39:49 AM
112
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
tingkah laku manusia sebagai manusia untuk mengukur baik atau buruknya sebagai
manusia. Dalam kapasitas inilah nilai-nilai
Pancasila telah dijabarkan dalam normanorma moralitas atau norma-norma etika
sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Jadi, sila-sila Pancasila pada hakikatnya
bukanlah merupakan pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan sistem etika yang menjadi sumber
norma moral maupun norma hukum, yang
harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
Berdasarkan pandangan, keyakinan
dan kesepakatan bersama para bapak
pendiri bangsa bahwa Pancasila merupa­
kan dasar negara (Philosophische grondslag)
maka konsekuensinya Pancasila merupakan sumber norma hukum, norma moral,
dan norma kenegaraan lainnya. Dalam
konteks Pancasila sebagai sumber norma
moral inilah p�����������������������
ermasalahan muncul yakni sejauh mana Pancasila merupakan etika politik di Indonesia? Untuk menjawab
pertanyaan besar ini, permasalahan yang
terkait dengan etika politik yakni tentang
pengertian etika, nilai, moral, dan norma
akan dibahas lebih dahulu. Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan pengertian
etika politik, Pancasila sebagai nilai dasar
fundamental bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika, dan tulisan akan diakhiri
dengan pelaksanaan etika politik Pancasila.
Pengertian Etika, Nilai, Moral, dan Norma
1. Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan
atau adat. Secara terminologi etika adalah
cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 112
VOL II, 2014
hubungannya dengan baik-buruk. Yang
dapat dinilai baik atau buruk adalah sikap
manusia yang menyangkut perbuatan,
tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata
dan sebagainya. Sedangkan motif, watak,
suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan
atau tingkah laku yang dikerjakan dengan
kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tak sadar
tidak dapat dinilai baik atau buruk.
Menurut Sunoto (1982: 5), etika dapat
dibagi menjadi etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa
adanya, tidak memberikan penilaian, tidak
mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Sedangkan
etika normatif sudah memberikan penilai­
an yang baik dan yang buruk, yang harus
dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan
etika khusus. Etika umum membicarakan
prinsip-prinsip umum, seperti pengertian dan pemahaman tentang nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan se­
bagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan
prinsip-prinsip umum di atas, seperti etika
pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan se­
bagainya.
Pembagian etika yang lain adalah etika
individual dan etika sosial. Etika individual
membicarakan perbuatan atau tingkah
laku manusia sebagai individu. Misalnya
tujuan hidup manusia. Etika sosial membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan orang
lain. Misalnya; baik/buruk dalam kehidup­
an keluarga, masyarakat, negara. (Sunoto,
1982: 5-6)
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak
mem­berikan ajaran melainkan memeriksa
ke­­biasaan-kebiasaan, nilai-nilai, normanor­ma dan pandangan-pandangan moral
secara kritis. Etika menuntut pertanggung-
4/24/2014 10:39:49 AM
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
jawaban yakni karena banyak sekali ajaran moral dan pandangan moral seperti
dalam kitab-kitab suci, petuah, wejangan
dari para kyai, pendeta, orang tua dan
sebagainya, dan manusia harus memilih
dengan kritis dan meng­ikuti ajaran moral
tertentu sehingga bisa dipertanggungjawabkan atas pilihannya. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral tidak
dapat dipertanggungjawab­an. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan
moral. Misalnya seorang ibu yang mengandung dan difonis oleh dokter untuk memilih dua pilihan apakah bertahan tetap mengandung sampai melahirkan dengan resiko
jiwa ibu terancam karena kandungannya
lemah atau menggugurkan dengan resiko
tidak punya anak. Masalah-masalah seperti itu perlu tinjauan kritis untuk mengambil keputusan. Sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia.
Bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia bila dilihat dari segi kebaikannya.
Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan
tindakan manusia sebagai manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu dan
terbatas. Misalnya kalau seorang wartawan
ternyata tidak bisa membuat berita dan ketika mencari warta juga tidak bisa maka sebagai peran wartawan salah, tetapi sebagai
manusia bisa juga seorang itu baik karena
selalu berbuat jujur, adil, disiplin dan sebagainya (Magnis-Suseno, 1987: 18).
Objek etika menurut Franz MagnisSuseno (dalam Zubair, 1987: 18) adalah
pernyataan moral. Apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya
ada dua macam, yaitu: pernyataan tentang
tindakan manusia dan pernyataan tentang
manusia sendiri atau tentang unsur-unsur
kepribadian manusia seperti motif-motif,
maksud, dan watak. Ada himpunan pernyataan ketiga yang tidak bersifat mo­ral,
tetapi penting dalam rangka pernyataan
tentang tindakan.
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 113
SURAJIYO 113
Berdasarkan pendapat Franz MagnisSuseno tersebut Zubair (1987: 18) membuat
skema sebagai berikut :
Etika
Pandangan
Moral
Pernyataan
Moral
Persoalan
Moral
Pernyataan
tentang tindakan
manusia,
Pernyataan
tentang manusia
sendiri
Pernyataan bukan
moral.
Berdasarkan skema tersebut, Zubair
(1987: 19) merincinya sebagai berikut :
1. Dalam beberapa pernyataan kita me­
ngatakan bahwa suatu tindakan tertentu sesuai atau tidak sesuai dengan
norma-norma moral dan oleh karena
itu adalah betul, salah, dan atau wajib.
Contoh: “Engkau seharusnya mengembalikan uang itu”. “Mencuri itu salah”,
“Perintah jahat tidak boleh ditaati” Ketiganya disebut sebagai pernyataan kewajiban.
2. Orang, kelompok orang dan unsur-unsur kepribadian (motif, watak, maksud,
dan sebagainya) kita nilai sebagai baik,
buruk, jahat, mengagumkan, suci, memalukan, bertanggung jawab, pantas
ditegur, disebut sebagai pernyataan penilaian moral.
3. Himpunan pernyataan ketiga yang harus diperhatikan adalah penilaian bukan moral. Contoh: Mangga itu enak,
Anak itu sehat. Mobil itu baik, Kertas
ini jelek, dan sebagainya.
Perbedaan penting mengenai beberapa
pernyataan di atas :
1. Pernyataan kewajiban tidak mengenal
tingkatan. Wajib atau tidak wajib, betul
atau salah Tidak ada tengahnya.
4/24/2014 10:39:49 AM
114
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
2. Penilaian moral dan bukan moral me­
ngenal tingkatan. Rasa dari sebuah
mangga dapat agak enak atau enak
sekali. Watak bersifat amat jahat atau
agak jahat; dan lain sebagainya.
2. Nilai
Di dalam Dictionary of Sociology and Related
Science (dalam Kaelan, 2004: 87) dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan untuk
dapat dipercayai yang ada pada suatu benda sehingga ia dapat memuaskan manusia.
Sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok.
Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat
atau kualitas yang melekat pada suatu objek, dan bukan objek itu sendiri. Jika sebuah
objek mengandung nilai maka artinya ada
sifat atau kualitas yang melekat pada objek
itu.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung
cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Jika kita berbicara tentang nilai, maka sebenarnya kita berbicara
tentang hal yang ideal, tentang hal yang
merupakan cita-cita, harapan dambaan
dan keharusan. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das
Sein, kita masuk ke dunia ideal dan bukan
dunia riil. Meskipun demikian, di antara
keduanya, antara das Sollen dan das Sein,
antara dunia ideal dan dunia riil mereka
saling berhubungan atau saling berkait
secara erat. Artinya das Sollen seharusnya
menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real, dan hal yang bermakna
normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
(Kaelan, 2004; 87-88)
3. Moral
Moral berasal dari kata latin “mos” jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara
hidup. �������������������������������
Etika dan moral mengandung makna yang sama, tetapi dalam penilaian seha-
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 114
VOL II, 2014
ri-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan
moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai. Sedangkan etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Magnis-Suseno (1987: 14) membedakan
antara ajaran moral dengan etika. Ajaran
moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan lisan atau tertulis tentang bagaimana
manusia seharusnya hidup dan bertindak
agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber
langsung bagi ajaran moral adalah pelbagai
orang dalam kedudukan yang berwenang,
seperti orang tua dan guru, para pemuka
masyarakat dan agama, juga tulisan para
bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi
ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran
kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Etika adalah sebuah
ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika
dan ajaran moral tidak berada di tingkat
yang sama. Hal yang mengajarkan bagaimana kita seharusnya menjalani hidup bukanlah etika melainkan ajaran moral. Etika
mau mengerti ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita dapat mengambil sikap
yang bertanggung jawab dalam menghadapi pelbagai ajaran moral.
4. Norma
Pada mulanya norma berarti alat tukang
batu atau tukang kayu yang berupa segitiga. Dalam perkembangannya norma berarti ukuran, garis pengarah, atau aturan, dan
kaidah bagi pertimbangan serta penilaian.
Nilai yang menjadi milik bersama di dalam
satu masyarakat dan telah tertanam de­
ngan emosi yang mendalam akan menjadi
norma yang disepakati bersama.
Segala hal yang kita beri nilai baik,
cantik atau berguna akan kita usahakan
supaya diwujudkan kembali di dalam perbuatan kita. Sebagai hasil usaha itu maka
timbul ukuran perbuatan atau norma tindakan. Norma yang diterima oleh anggota
4/24/2014 10:39:49 AM
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
SURAJIYO 115
masyarakat selalu mengandung sanksi dan
gar norma hukum pasti dikenai sanksi.
pahala.
Tetapi norma hukum tidak sama de­
- Tidak dilakukan sesuai norma – hu­
ngan norma moral.
kum­an; celaan dan lain sebagainya.
3. Norma Moral
- Dilakukan sesuai dengan norma – pu- Norma moral adalah tolok ukur yang dijian; balas jasa dan sebagainya.
pakai masyarakat untuk mengukur ke­
baikan seseorang. Maka dengan nor­ma
Jadi skemanya sebagai berikut :
moral, kita benar-benar dinilai. Itulah
sebabnya penilaian moral selalu berNilai
Penilaian
bobot. Manusia tidak dilihat dari salah
satu segi melainkan sebagai manusia.
Apakah seseorang merupakan warga
Norma
negara yang selalu taat, atau seorang
munafik. Apakah kita ini baik atau buAda banyak macam norma. Ada norruk, maka hal itulah yang menjadi perma-norma khusus, yaitu norma yang
masalahan moral.
hanya berlaku dalam bidang dan situasi
yang khusus, misalnya bola tidak boleh
Ketiga macam norma kelakuan itu, mana­
disentuh oleh tangan, hanya berlaku kalau
kah yang mengalah apabila ada tabrak­an
dan sewaktu kita main sepak bola dan kita
di antara keduanya? Norma sopan santun
bukan kiper. Disamping norma khusus ada
mengalah baik terhadap norma-norma
juga norma umum. Norma umum menurut
hukum maupun norma-norma moral. BaMagnis-Suseno (1987: 19) ada tiga macam,
gaimana kalau norma hukum bertabrakan
yaitu :
dengan norma moral? Misalnya, seorang
1. Norma Sopan Santun
ayah yang sama sekali tidak mempunyai
Norma ini menyangkut sikap lahiriah
uang lagi, di satu pihak ia berwajib (moral)
manusia. Meskipun sikap lahiriah dapat
untuk memberi makan anak serta istri, di
mengungkapkan sikap hati dan karena
lain pihak satu-satunya jalan yaitu dengan
itu mempunyai kualitas moral, namun
mengambil uang orang lain secara diamsikap lahiriah sendiri tidak mempunyai
diam. Thomas Aquinas berpendapat bahkualitas moral. Orang yang melanggar
wa suatu hukum yang bertentangan dennorma kesopanan karena tidak mengegan hukum moral (hukum kodrat) akan
tahui tatakrama di daerah itu, atau dikehilangan kekuatannya. Norma-norma
tuntut oleh situasi, maka ia tidak dapat
moral muncul sebagai kekuatan yang amat
dianggap melanggar norma moral.
besar dalam hidup manusia, karena ����
ber2. Norma Hukum
dasarkan norma morallah manusia benar Norma hukum adalah norma yang dibenar dinilai.
tuntut dengan tegas oleh masyarakat
karena dianggap perlu demi keselama5���
. Hubungan
��������������������������������������
etika, nilai, moral, dan nor�
tan dan kesejahteraan umum. Norma
ma
hukum adalah norma yang tidak boleh
Agar nilai menjadi lebih berguna dalam
dilanggar. Hukum tidak dipakai untuk
menuntun sikap dan tingkah laku manumengukur baik buruknya seseorang sesia, maka ia perlu lebih dikonkretkan lagi
bagai manusia, melainkan untuk menserta diformulasikan menjadi lebih objekjamin tertib umum. Jadi yang melangtif se­hingga memudahkan manusia un-
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 115
4/24/2014 10:39:49 AM
116
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
VOL II, 2014
tuk menjabarkannya dalam tingkah laku.
Wujud yang lebih konkret dari nilai adalah norma. Terdapat berbagai macam norma. Dari berbagai macam norma tersebut
norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh
kekuatan eksternal seperti penguasa atau
penegak hukum.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa
berkaitan dengan moral dan etika. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian
seseorang amat ditentukan oleh moralitas
yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya.
Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun
sikap dan tingkah laku manusia (Kaelan,
2004: 92-93).
dari sudut pandang etika, yang dalam politik mencakup masalah legitimai negara,
hukum, kekuasaan serta penilaian kritis
terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.
Secara substansial pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek
sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh
karena itu etika politik berkait erat dengan
bidang pembahasan moral. Hal ini berda­
sarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia
sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajib­
an-kewajiban lainnya. Kewajiban moral
adalah kewajiban yang dilakukan manusia
sebagai manusia atas kesadarannya, sedangkan kalau melakukan kewajiban atas
dasar karena perintah di luar diri maka kewajiban itu bukan kewajiban moral. Misalnya jika seorang pelatih memberikan perintah kepada anak buahnya “besuk anda
wajib latihan”. Kemudian anak buah itu
Pengertian Etika Politik
besuk hadir latihan, namun karena anak
Dalam hubungan dengan etika politik buah itu menjalankan kewajiban atas dasar
pengertian politik harus dipahami da- perintah di luar diri maka tidak termasuk
lam pengertian yang lebih luas yaitu me- kewajiban moral. Tetapi kalau ada orang
nyangkut seluruh unsur yang membentuk dengan merasa wajib mengembalikan
suatu persekutuan hidup yang disebut uang yang bukan haknya dan kewajiban
masyarakat negara. Hukum dan kekuasaan ini dilkakukan atas dasar dari hati nurani
negara merupakan aspek yang berkaitan maka inilah kewajiban moral. Oleh karena
langsung dengan etika politik. Hukum itu aktualisasi etika politik harus senantiasebagai penataan masyarakat secara nor- sa mendasarkan kepada ukuran harkat dan
matif, serta kekuasaan negara sebagai martabat manusia sebagai manusia (Maglembaga penata masyarakat yang efektif nis-Suseno, 1987: 14-15).
Etika politik tidak langsung mencampada hakikatnya sesuai dengan struktur
sifat kodrat manusia sebagai individu dan puri urusan politik praktis. Tugas etika politik ialah membantu agar pembahasan mamakhluk sosial.
Setiap ilmu terkandung dua macam ob- salah-masalah ideologis dapat dijalankan
jek yakni objek forma dan objek material. secara objektif. Etika politik dapat memObjek forma adalah sudut pandang subyek berikan patokan orientasi dan pegangan
menelaah objek materialnya. Objek mate- normatif bagi mereka yang memang mau
rial adalah sasaran penyelidikan dari disi- menilai kualitas tatanan dan kehidupan
plin ilmu. Etika politik berkaitan de­ngan politik dengan tolok ukur martabat manuobyek forma etika, dan obyek material po- sia atau mempertanyakan legitimasi moral
litik. Jadi etika politik mempelajari politik sebagai keputusan politik. Suatu keputus-
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 116
4/24/2014 10:39:49 AM
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
an bersifat politis apabila diambil dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan.
Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu
negara adalah adanya cita-cita rule of law,
partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak-hak asasi manusia menurut paham
kemanusiaan dan struktur sosial budaya
masyarakat masing-masing serta keadilan
sosial (Syarbaini, 2003: 29).
Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental
bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
Dalam Dictionary of Sociology and Related
Science (dalam Kaelan, 2004: 87), nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan yang dipercayai ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat
dari suatu benda itu yang menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai pada
hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek, bukan objek itu
sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai yang
berarti ada sifat atau kualitas yang melekat
pada sesuatu itu.
Notonagoro (dalam Kaelan, 2004; 8990) membagi nilai menjadi tiga macam,
yaitu :
1. Nilai material, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi kehidupan jasmani
manusia, atau kebutuhan material dari
raga manusia.
2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan
menjadi empat macam :
- Nilai kebenaran, yang bersumber
pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 117
SURAJIYO 117
- Nilai keindahan, atau nilai estetis,
yang bersumber pada unsur perasa­
an (rasa) manusia.
- Nilai kebaikan, atau nilai moral,
yang bersumber pada unsur kehendak (karsa) manusia.
- Nilai religius, yang merupakan nilai
korahian tertinggi dan mutlak. Nilai
religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Notonagoro berpendapat bahwa nilainilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang
mengakui adanya nilai material dan nilai
vital (Kaelan, 2004: 90).
Dalam kaitannya dengan derivasi atau
penjabarannya, nilai dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam:
a. Nilai Dasar
Nilai dasar bersifat universal karena
menyangkut hakikat kenyataan objektif
segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan,
manusia atau yang lainnya. Nilai dasar
dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan
atau direalisasikan ke dalam kehidup­
an yang bersifat praksis. Konsekuensinya aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat
bertentangan dengan nilai dasar yang
merupakan sumber penjabaran norma
serta realisasi praksis tersebut.
b. Nilai Instrumental
Untuk dapat direalisasikan dalam suatu
kehidupan praksis maka nilai dasar
harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang merupakan suatu
pedoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Nilai
��������������������������
instrumental merupakan suatu pengejawantahan dari nilai
dasar.
c. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
4/24/2014 10:39:49 AM
118
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
instrumental dalam kehidupan yang
nyata. Nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai instrumental.
Hubungan antara nilai dengan norma
ialah norma merupakan wujud konkrit dari
nilai. Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.
Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika
Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila
tidak hanya merupakan sumber bagi peraturan perundangan, melainkan juga sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum
serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara. Oleh karena
itu negara seharusnya sesuai dengan nilainilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara.
Asas kemanusiaan seharusnya merupakan
prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai
dengan 1) Asas legalitas, yaitu dijalankan
sesuai dengan hukum yang berlaku, 2) disahkan dan dijalankan secara demokratis,
serta 3) dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip moral (legitimasi moral) (Kaelan,
2004: 101).
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi normanorma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan negara
baik dari legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma
moral. Tujuannya agar kekuasaan dapat diarahkan pada kebijakan dan cara-cara yang
sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Selain itu, pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 118
VOL II, 2014
hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Ne­gara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena
itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam
sila V merupakan tujuan dalam kehidupan
negara. Terkait dengan itu, dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenang­an serta
pembagiannya harus senantiasa berdasarkan pada hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam
kehidupan kenegaraan akan menimbulkan
ketidakseimbangan dalam keberlang­sung­an
kehidupan negara.
Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara
Dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di­
nyatakan bahwa pengertian etika politik
dalam kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama,
khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar
dalam berpikir, bersikap, dan ber­tingkah
laku dalam kehidupan berbangsa.
Pola berpikir untuk membangun kehidupan berpolitik secara jernih mutlak
diperlukan. Pembangunan moral politik
yang berbudaya mengandung tujuan untuk melahirkan kultur politik yang berdasarkan kepada iman dan takwa terhadap
Tuhan yang Maha Kuasa, menggalang suasana kasih sayang sesama manusia Indonesia, yang berbudi kemanusiaan luhur, yang
mengindahkan kaidah-kaidah musyawarah
secara kekeluargaan, yang bersih dan jujur,
dan menjalin asas pemerataan keadilan di
dalam menikmati dan menggunakan kekayaan negara. Membangun etika politik
berdasarkan Pancasila akan diterima baik
oleh segenap golongan dalam masyarakat
(Syarbaini, 2010: 48).
4/24/2014 10:39:49 AM
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
Pembinaan etika politik dalam kehidup­
an berbangsa dan bernegara sangatlah
mendesak untuk dilaksanakan. Langkah
permulaan dimulai dengan membangun
konstruksi berpikir dalam rangka menata
kembali kultur politik bangsa Indonesia.
Kita sebagai warga negara telah memiliki
hak-hak politik, maka pelaksanaan hak-hak
politik dalam kehidupan bernegara akan
saling bersosialisasi, berkomunikasi, dan
berinteraksi dengan sesama warga negara
dalam berbagai wadah, yaitu dalam wadah
infrastruktur dan superstruktur (Syarbaini,
2003: 44).
Pada hakikatnya etika politik tidak
diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, tetapi melalui moralitas yang bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada
masyarakat, dan rasa takut kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Adanya kemauan dan
itikad baik dalam hidup bernegara dapat
diukur secara seimbang antara hak yang
telah dimiliki dengan kewajiban yang telah
ditunaikan, tidak mengandung ambisi yang
berlebihan dalam merebut jabatan, namun
membekali diri dengan kemampuan yang
kompetitif serta terbuka untuk menduduki
suatu jabatan, tidak melakukan cara-cara
yang terlarang seperti penipuan untuk memenangkan persaingan politik. Dengan
kata lain, tidak menghalalkan segala macam cara untuk mencapai suatu tujuan politik (Syarbaini, 2003: 46).
Pokok-pokok etika dalam kehidupan
berbangsa di antaranya mengedepankan
kejujuran, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga
bangsa.
Dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/
2001 diuraikan enam etika kehidupan berbangsa yakni etika sosial dan budaya, etika
politik dan pemerintahan, etika ekonomi
dan bisnis, etika penegakan hukum yang
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 119
SURAJIYO 119
berkeadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan. Berikut adalah uraian singkatnya:
1. Etika Sosial dan Budaya
Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa
kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai,
saling mencintai, dan saling menolong di
antara sesama manusia dan warga bangsa.
Sejalan dengan itu, kita perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni:
malu untuk berbuat kesalahan, semua yang
bertentangan dengan moral agama serta
nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu,
juga perlu menumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin formal maupun informal dalam setiap lapisan
masyarakat.
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi
dengan menggugah, menghargai, dan
mengembangkan budaya nasional agar
mampu melakukan adaptasi, interaksi
dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif
yang sejalan dengan tuntutan globalisasi.
Untuk itu, diperlukan penghayatan dan
pengamalan agama yang benar, kemampuan adaptasi, ketahanan, dan kreativitas
budaya dari masyarakat.
2. Etika Politik dan Pemerintahan
Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang
bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung
jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, mengharagai perbedaan, jujur dalam persaingan,
kesediaan untuk menerima pendapat yang
lebih benar, serta menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan keseimbangan antara
hak dengan kewajiban dalam kehidupan
berbangsa.
4/24/2014 10:39:49 AM
120
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
Etika pemerintahan mengamanatkan
agar penyelenggara negara memiliki rasa
kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah
dan sistem nilai ataupun dianggap tidak
mampu memenuhi amanah masyarakat,
bangsa dan negara. Masalah potensial yang
dapat menimbulkan permusuhan serta pertentangan diselesaikan secara musyawarah
dengan penuh kearifan sekaligus kebijaksanaan yang sesuai dengan nilai-nilai
agama, nilai-nilai luhur budaya, dengan
tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai
sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Etika politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana
harmonis antar-pelaku dan antar-kekuatan
sosial politik serta antar-kelompok kepen­
tingan lainnya untuk mencapai sebesarbesar kemajuan bangsa maupun negara
dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan
golongan.
Etika politik dan pemerintahan me­
ngandung misi kepada setiap pejabat dan
elit politik untuk bersikap jujur, amanah,
sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila
terbukti secara hukum melakukan kesalah­
an dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum serta rasa keadilan
masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk
sikap yang sesuai dengan tata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak
berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap
munafik serta tidak melakukan kebohong­
an publik, tidak manipulatif dan berbagai
tindakan yang tidak terpuji lainnya.
VOL II, 2014
bisnis, baik oleh perseorangan, institusi,
maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi
dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja daya tahan
ekonomi dan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi
yang berpihak kepada rakyat kecil melalui
kebijakan secara berkesinambungan. Etika
ini mencegah terjadinya praktik monopoli,
oligopoli, kebijakan ekonomi yang meng­
arah kepada perbuatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, diskriminasi yang berdampak
negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, keadilan, dan menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memeroleh keuntungan.
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkea�
dilan
Etika penegakan hukum yang berkeadilan
dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan
keteraturan dalam hidup bersama hanya
dapat diwujudkan dengan ketaatan ter­
hadap hukum dan seluruh peraturan yang
berpihak kepada keadilan. Keseluruhan
aturan hukum yang menjamin tegaknya
supremasi serta kepastian hukum yang
sejalan dengan upaya pemenuhan rasa
keadil­an yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat.
Etika ini meniscayakan penegakan
hukum secara adil, perlakuan yang sama,
tidak diskriminatif terhadap setiap warga
negara di hadapan hukum, menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk
manipulasi hukum lainnya.
5. Etika Keilmuan
3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika keilmuan dimaksudkan untuk menEtika ekonomi dan bisnis dimaksudkan junjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
agar prinsip dan perilaku ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi agar
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 120
4/24/2014 10:39:50 AM
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
warga bangsa mampu menjaga harkat dan
martabatnya, berpihak kepada kebenaran
untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan yang sesuai dengan nilai-nilai agama
maupun budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa,
cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, dan komunikatif,
dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti,
menulis, berkarya, serta menciptakan iklim
kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menepati
janji dan komitmen diri untuk mencapai
hasil yang terbaik. Di samping itu, etika
ini mendorong tumbuhnya kemampuan
dalam menghadapi hambatan, rintangan,
dan tantangan dalam kehidupan, mampu
mengubah tantangan menjadi peluang,
mampu menumbuhkan kreativitas untuk
penciptaan kesempatan baru, tahan uji serta pantang menyerah.
SURAJIYO 121
etika, dan rasa tanggung jawab yang besar.
Dalam pasal 6 Tata Tertib DPR mengenai
kode etik DPR, diungkapkan dalam ayat
(1) bahwa anggota DPR harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri
secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya. Ayat (2) menegaskan bahwa
ketidakhadiran anggota secara fisik seba­
nyak tiga kali berturut-turut dalam rapat
sejenis dan tanpa izin dari pimpinan fraksi
merupakan pelanggaran kode etik.
Pelaksanaan Etika Politik Pancasila
Menurut Aryaning Arya Kresna dkk.
(2012: 53-54) ada beberapa cara yang mudah untuk memahami politik Pancasila,
yang dapat dipakai untuk mengajukan
kritik terhadap praktik Pancasila. Pertama
mempertanyakan tingkatan dijalankannya
prinsip moral “menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia”. Apakah sebuah
tindakan yang dilakukan sebuah lembaga
pemerintahan telah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia? Kedua, mempertanyakan tingkatan kesesuaian antara
6. Etika Lingkungan
nilai obyektif dengan nilai intersubyektif.
Etika lingkungan menegaskan pentingnya Apakah sebuah tindakan yang dilakukan
kesadaran menghargai dan melestarikan lembaga pemerintahan yang berdasarkan
lingkungan hidup serta penataan tata ru- prinsip nilai intersubjektif “keadilan” se­
ang secara berkelanjutan dan bertanggung suai dengan nilai objektif “adil”?
jawab.
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
Dalam kehidupan politik Indone- perlu kiranya usaha untuk membuat sesia, tidak sedikit suara masyarakat yang buah rambu dan batasan dalam penilaian
menuntut agar dibentuk dewan kehorma- etika politik Pancasila, sehingga dari titik
tan dalam berbagai institusi kenegaraan tersebut dapat ditarik kesimpulan logis,
dan kemasyarakatan, dengan harapan yaitu hal-hal mana saja yang dapat dipakai
agar etika politik dapat terwujud dalam sebagai acuan penilaian yang lebih kon­
kehidup­an bermasyarakat, berbangsa, dan kret. Rambu dan batasan tersebut dimulai
bernegara. Dalam Ketetapan MPR RI No. dengan cara menentukan nilai objektif, niVI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas lai intersubjektif dan pemaknaannya dalam
Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh tiap-tiap sila:
Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK, dite- 1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ,
gaskan bahwa DPR perlu meningkatkan ki- Nilai objektif: Tuhan; Nilai intersubjeknerja anggotanya dengan landasan moral,
tif: Ketuhanan; mengandung makna:
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 121
4/24/2014 10:39:50 AM
122
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
keyakinan terhadap eksistensi Tuhan
Yang Maha Esa sebagai Causa Prima
2. ����������������������������������
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Nilai objektif: manusia; Nilai intersubjektif: Kemanusiaan; mengandung
makna: pengakuan terhadap adanya
harkat dan martabat manusia, pe­ng­
akuan terhadap asas kesamaan dan kebebasan manusia
3. Sila Persatuan Indonesia
Nilai objektif: satu; Nilai intersubjektif:
Persatuan; mengandung makna: pe­
ngakuan terhadap perbedaan sebagai
hakikat, dan pengakuan akan sifat koeksistensi manusia.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
Nilai objektif: rakyat; Nilai intersubjektif: Kerakyatan; mengandung makna:
pengakuan bahwa kedaulatan negara
di tangan rakyat, musyawarah untuk mufakat dalam permusyawaratan
wakil-wakil rakyat, penjaminan tidak
adanya tirani minoritas dan dominasi
mayoritas
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Nilai objektif: adil; Nilai intersubjektif:
Keadilan; mengandung makna: peng­
akuan akan kesamaan hak dan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia di
bidang agama, ekonomi, politik, sosialbudaya dan pertahanan-keamanan.
Memperhatikan analisis singkat atas sila-sila di atas, etika politik Pancasila da­pat
digunakan sebagai alat untuk menelaah
perilaku politik negara, terutama sebagai
metode kritis untuk memutuskan benar
salahnya sebuah kebijakan serta baik buruknya tindakan pemerintah dengan cara
meneliti kesesuaian antara nilai objektif
dengan nilai intersubjektifnya, kemudian
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 122
VOL II, 2014
dilanjutkan de­ngan menelaah kesesuaian
antara kebijakan, dan tindakan pemerintah
dengan makna dari sila-sila dalam Panca­
sila tersebut.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada
hakikatnya merupakan nilai sehingga ia
menjadi sumber dari segala penjabaran
norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaraan lainnya.
Etika politik berkaitan dengan objek
formal etika, dan obyek material politik
yang meliputi legitimasi negara, hukum,
kekuasaan serta penilaian kritis terhadap
legitimasi-legitimasi tersebut.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber
etika politik yakni :
Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila
tidak hanya merupakan sumber bagi per­
aturan perundangan, melainkan juga me­
rupakan sumber moralitas terutama dalam
hubungannya dengan legitimasi kekuasa­
an, hukum serta berbagai kebijakan dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Secara moralitas kehidupan negara
- terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara- harus sesuai dengan nilainilai yang berasal dari Tuhan.
Asas kemanusiaan seharusnya menjadi
prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai
dengan: asas legalitas, disahkan dan dijalankan secara demokratis, serta dilaksana­
kan berdasarkan prinsip-prinsip moral.
Sila-sila Pancasila tersusun atas uruturutan sistematis. Dalam politik negara
seharusnya didasarkan pada prinsip ke­
rakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan,
dan aktualisasi politik negara berdasarkan
pada moralitas berturut-turut moral Ketuhanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II),
4/24/2014 10:39:50 AM
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA
dan moral persatuan yaitu ikatan moralitas
sebagai suatu bangsa (Sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara
demi tercapainya keadilan dalam hidup
bersama (Sila V). Jadi, pengembang­an politik negara terutama dalam proses reformasi seharusnya mendasarkan diri, dan
aktualisasinya pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila sehingga, se­bagai konsekuensinya, praktek
politik yang menghalalkan segala cara de­
ngan memfitnah, memprovokasi, menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadudomba, seharusnya segera diakhiri.
DAFTAR PUSTAKA
Fudyartanto. (1974). Etika, Cetakan Keempat.
Yogyakarta: Warawidyani.
Hadiwijono, H. (1990). Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, Cetakan Keempat. Yogyakarta:
Kanisius.
Kaelan. (2004). Pendidikan Pancasila, Edisi
Reformasi. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 123
SURAJIYO 123
Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan MPR
2002. Jakarta: Sinar Grafika.
Kresna, Aryaning A., Agus Riyanto dan
Hendar Putranto. (2012). Pendidikan
Kewarganegaraan (Civics). Tangerang:
UMN Press.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika Dasar :
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
_____. (1988). Etika Politik: Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Sunoto. (1982). Bunga Rampai Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas
Filsafat UGM.
Syarbaini, S. (2003). Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syarbaini, S., Rusdiyanta, Fatkhuri. (2012).
Pendidikan Kewarganegaraan Implementasi Karakter Bangsa. Jakarta: Hartomo
Media Pustaka.
Zubair, Achmad C. (1987). Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers.
4/24/2014 10:39:50 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 124-131
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Kekerasan Media:
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
E K A N A D A S H O FA A L K H A J A R
Dosen dan Peneliti di Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan, Surakarta 57126
Surel: [email protected]
Diterima: 21 Januari 2014
Disetujui: 10 Maret 2014
ABSTRACT
There is no doubt that media violence poses a threat to public health. Violence is incompatible with humanity as well as the true enemy of it, and violence does not recognize a religion. Ironically, violence often
appears from the dialectic of human life. The tools for articulating violence are vary. One of them is media.
Media as a powerful tool in cultivating messages were often included and participated to bring violence to
audiences with economics logic and capital profit. This paper reveals an overview where violence is often
used as a presentation and commodities that are sold through media in society. Violence is not only a common matter of daily life but also an entertainment.
Keywords: Violence, Commodity, the Society of Spectacle, Media, Entertainment
mengajarkan solidaritas, cinta, dan kasih
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap sayang (Alkhajar, 2014: 65).
Namun, apa jadinya bila kekerasan
menemui apa yang dinamakan kekerasan.
Kekerasan itu sendiri mengandung pe­ malah sengaja diciptakan, bahkan diolah
ngertian yang buruk. Oleh karena itu, menjadi sebuah komoditas yang dapat dikekerasan adalah sesuatu yang harus di- jual dan laku di pasar? Sekali lagi orienhindari karena mengandung unsur yang tasi pasar sebagai alasan utama berperan
tidak sejalan dengan kemanusiaan. Jamil di sini. Tidak dapat dimungkiri bahwa
Salmi dalam bukunya Violence and Demo- media massa modern kerap menjadikan
cratic Society (1993) menilai kekerasan itu kekerasan sebagai barang dagangan. Keharus dihindari karena kekerasan memiliki kerasan itu dikonstruksi, dan didekonwajah yang menyeramkan dan mengerikan truksi untuk dapat diambil serta diangkat
(Salmi, 1993). Kekerasan itu sendiri sangat menjadi komoditas baik menjadi sebentuk
bertentangan dengan para pelaku, dan pe- bacaan ataupun tontonan.
mikir kemanusiaan semisal Mahatma GanHal ini dapat dikatakan sebagai proses
dhi atau Martin Luther King Jr., yang telah bersenyawanya kapitalisme dan media sePendahuluan
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 124
4/24/2014 10:45:13 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 125
hingga apapun dapat direduksi, dikemas
serta disajikan sebagai hiburan dan tontonan. Hal ini senada dengan pandangan
Gerald Sussman (1997: 34-35) yang menyatakan bahwa realitas yang terjadi saat ini
merupakan sebuah gambaran mengenai
industri yang di dalamnya segala sesuatu
dapat dikomodifikasikan. Dengan kata
lain, semua aspek kehidupan bisa menjadi
komoditas menjanjikan bagi pemilik modal. Maka tak salah apa yang dikatakan
Jackman (2002) bahwa kita kerap menemui
kekerasan, yang tentangnya kita tidak ha­
nya menyaksikan atau mengalami secara
langsung tetapi juga melalui media. Jadi,
dari gejala, hasil amatan dan pandang­
an para ahli ini, lalu muncullah istilah ke­
kerasan media atau media violence, yang
dapat dimaknai sebagai penggambaran
ataupun penampilan kekerasan dari suatu
sumber media, yang tentunya dapat membawa efek negatif terhadap masyarakat.
yang dapat dijual, dan disajikan ke pasar.
Kapitalisme merupakan ruh sementara
komodifikasi merupakan cara atau proses
yang dijalankan. Merujuk pada Webster’s
New World Encyclopedia (1992), komodifikasi memiliki akar kata ‘komoditas’ yakni
‘something produced to sale’. Pengertian ini
menggambarkan komoditas merupakan
suatu objek.
Merujuk pada Barker (2004), komodifikasi dapat dimaknai sebagai proses ketika objek, kualitas, dan penanda diubah
menjadi komoditas yang tujuan utamanya
adalah untuk dijual atau berorientasi pasar.
Sementara itu, Vincent Mosco mengatakan
bahwa komodifikasi merupakan suatu
cara kapitalisme untuk mengakumulasikan modal. Dengan kata lain, komodifikasi
adalah suatu transformasi atau perubahan
dari nilai fungsi atau nilai guna menjadi
nilai tukar (Mosco, 2009). Berpijak pada
Stuart Hall, media massa merupakan instrumen paling penting dari kapitalisme
Nalar Ekonomi Kapitalis, Komodifikasi dan (Lury, 1996). Media massa memiliki logika
tersendiri dalam menangkap “realitas”.
Konstruksi Sosial
Kekerasan melalui media massa ditangSalah satu kata kunci dari kapitalisme adakap untuk kemudian dihadirkan kembali
lah keuntungan. Ini adalah sebuah cara
sebagai bentuk komoditas. Hal ini senada
pandang sejati yang selalu dijadikan paradigma bagi para pemilik modal yakni men- dengan Inglis (1990), yang menuturkan
cari serta memeroleh keuntungan. Karl bahwa kapitalisme era modern mengadaMarx (dalam Sanderson, 1999) mengurai- kan suatu industrialisasi terhadap area kekan bahwa kapitalisme merupakan suatu hidupan yang tidak terbayangkan, namun
sistem ekonomi yang memungkinkan be- tentu saja dengan logika mencari dan peberapa individu menguasai sumber daya menuhan pasar-pasar baru, termasuk di
produksi vital yang mereka gunakan untuk antaranya industrialisasi kekerasan. Lebih
memeroleh keuntungan. Nalar ekonomi dari itu, Baudrillard dalam bukunya In the
kapitalis merujuk pada makna yang men- Shadow of the Silent Majorities (1983), mencakup pengertian bahwa produksi dalam jelaskan bahwa media memiliki logikanya
suatu pasar memiliki tujuan akhir yang sendiri terutama mengenai kemampuanmemungkinkan produsen memeroleh ke- nya memproduksi “realitas kedua”. Realitas ini tidak dapat lepas dari berbagai keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kapitalisme dan komodifikasi meru- pentingan yang ada termasuk di dalamnya
pakan jalinan yang erat. Jalinan ini akan adalah pertimbangan mengenai orientasi
senantiasa menghasilkan suatu komoditas keuntungan modal.
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 125
4/24/2014 10:45:13 AM
126
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Oleh karena itu, berbagai berita, teks,
atau diskursus media yang hadir di hadap­
an khalayak bukan merupakan suatu yang
netral dan otonom pada dirinya, melainkan realitas baru yang dihasilkan media melalui apapun itu bentuknya baik jurnalisme,
surat kabar, film, televisi dan sebagainya.
Berpedoman pada uraian di atas, maka
penulis dapat mengatakan bahwa kekeras­
an dalam media merupakan sebentuk konstruksi sosial dari berbagai pihak yang
terlibat di belakangnya. Konstruksi sosial
ini merujuk pada pandangan Berger dan
Luckmann (1966), yang erat kaitannya de­
ngan kesadaran manusia terhadap realitas
sosial itu. Dengan kalimat lain, kesadaran
merupakan bagian paling penting dalam
konstruksi sosial.
Bagi kapitalisme, imaji kekerasan menjadi suatu bahan yang potensial untuk dijual kepada khalayak tentu saja dengan
terlebih dahulu melakukan konstruksi sosial terhadap kekerasan tersebut. Semua
dibentuk sedemikian rupa agar dapat disajikan kepada pasar dalam bentuk-bentuk
baru yang seolah-olah hal tersebut memiliki alasan yang meyakinkan untuk disajikan. Dalam tataran ini, hal yang berbahaya
tentu ketika kapitalisme mampu membeli
dunia kesadaran sehingga menyebabkan
realitas kekerasan tadi seakan menjadi sesuatu yang biasa dan wajar adanya. Kita
pun asyik larut dalam menikmati serta
mengonsumsi kekerasan yang disajikan
oleh media.
Mengenai hal ini, Chomsky (1997)
pernah mengingatkan bahwa informasi
atau fakta – termasuk di sini mengenai kekerasan yang ditampilkan di media – hanyalah hasil olahan semata yang tentunya
sangat tergantung pada bagaimana orang
di balik media melakukan kerja-kerjanya.
Jika orang di balik media merupakan kalangan yang berorientasi kepada modal,
maka arah kerjanya adalah mendapatkan
keuntungan dari apa yang diolahnya.
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 126
VOL II, 2014
Industri Hiburan dan Masyarakat Tonton­
an
Berbagai materi dan aksi kekerasan dalam
media kerap kali kita temui. Kekerasan
menjelma ke dalam bentuk apapun yang
mungkin untuk dibuat. Muaranya tak lain
adalah untuk dapat dilempar ke pasar. Ketika dunia kesadaran berhasil dibeli oleh
kapitalisme, maka sejatinya “darah” kapitalisme telah mengalir ke segenap relung
kehidupan sehingga cepat atau lambat
akan menumpulkan daya kritis dari khalayaknya.
Dengan maraknya muatan kekerasan
yang diangkat oleh media khususnya televisi dan film dengan berbagai bentuk sajiannya, penulis menengarai gejala kekerasan
yang terasa semakin kental. Banyak sajian
yang kerap atau bahkan sengaja disajikan
tidak sebagai informasi yang konstruktif
melainkan lebih menyiratkan harapan akan
modal atau keuntungan yang tidak lain
adalah bisnis. Khususnya mengenai televisi, Fiske (1991: 55-56) pernah meng­ingatkan
bahwa televisi bukan sekadar memproduksi dan mereproduksi komoditas melainkan
yang lebih penting lagi adalah modal. Televisi tidak memproduksi realitas objektif
tetapi memproduksi modal. Begitu halnya
dengan film, Dominic Strinati (1995) mengkritik bahwa film merupakan produk budaya yang telah menjadi produk komersil
yang sudah tercerabut dari realitas sosialnya. Tidak dapat dimungkiri, kekerasan di
media telah menjelma menjadi sebuah budaya populer yang sarat mempertontonkan makna hiburan sehingga menggeser
makna sejati dari kekerasan yang berwajah
menye­ramkan. Hal ini dapat dirasionalisasi karena dalam dunia kapitalisme, hiburan dan budaya telah berubah menjadi
komoditas bagi dunia industri.
Kekerasan kini menjadi semacam industri hiburan yang dikemas, diproduksi
ulang, dikonstruksi dan disajikan. Melihat
4/24/2014 10:45:13 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
realitas ini, dapat diasumsikan bahwa ke­
kerasan mungkin merupakan suatu jalan
paling praktis untuk mendapatkan perhatian khalayak serta mencari keuntungan.
Namun, hal yang patut diwaspadai adalah efeknya ketika hal tersebut hanya akan
membuat suatu masyarakat menjadi rapuh
sekaligus rusak. Jika hal ini tetap berlangsung, maka benarlah asumsi awal tadi
yaitu bahwa kekerasan merupakan salah
satu formula yang ampuh dalam dunia
tontonan.
Apabila kekerasan sudah lazim menjadi objek konsumsi ataupun objek tontonan,
maka tak salah apabila akan muncul suatu
masyarakat tontonan. Debord (1994) menuturkan bahwa masyarakat tontonan adalah
suatu masyarakat yang di dalamnya setiap
sisi kehidupan menjadi komoditas, dan setiap komoditas tersebut menjadi tontonan.
Oleh karena itu, tak heran apabila di dalam
masyarakat tontonan, kekerasan menjadi
objek tontonan itu sendiri.
Industri hiburan dapat dikatakan memang sarat dengan “manipulasi” untuk
mendatangkan hal yang bersifat ekonomi
bahkan melalui hal yang dapat dikatakan
buruk sekalipun seperti kekerasan. Hal ini
selaras dengan apa yang dikatakan Hans
Magnus Enzensberger (Dyer, 1992: 25):
The electronic media do not owe their irresistible
power to any sleight-of-hand but to the elemental
power of deep social needs that come through even
in the present depraved form of these media.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya,
televisi dan film merupakan bagian dari
media yang memiliki pengaruh yang
demikian besar bagi masyarakatnya (McQuail, 1987). Sementara itu, Abdullah meng­
ungkapkan secara spesifik bahwa televisi
merupakan kekuatan terpenting dewasa
ini (2010: 59). Bahkan, televisi dapat berperan sebagai energi pembangun bangsa
(Alkhajar, 2011).
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 127
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 127
Televisi membuat kita mampu melihat
dan mengetahui berbagai informasi dari
berbagai belahan dunia dan menyuguhkannya kepada kita tanpa harus bersusah
payah. Selain itu, televisi memiliki salah
satu fungsi yang luar biasa yakni: alih budaya (transmission of the culture) atau alih
warisan sosial dari satu angkatan ke angkatan berikutnya (transmission of the social
heritage from one generation to the next) (Black
dan Whitney, 1988).
Namun, fungsi yang baik ini akan menjadi berbahaya apabila digunakan tidak secara semestinya, misalnya ketika televisi
malah kerap menayangkan muatan ke­
kerasan. Belum lagi ditambah dengan logika industri yang menempatkan kekerasan
sebagai komoditas. Melalui ideologi kapitalisme, kekerasan kerap disuntikkan ke
dalam berbagai program acara dalam televisi dengan tujuan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Akan tetapi, seperti itulah realitasnya
apabila kita ingin meniliknya dalam konteks Indonesia. Berbagai program acara
semisal sinetron baik dewasa dan remaja,
acara komedi, dan sebagainya kerap sekali
mengangkat kekerasan sebagai isi serta
menu dengan berbagai kemasan pesan
yang dihadirkan kepada khalayak. Alasannya dalam industri hiburan, apapun dapat
disajikan tak lain demi meraih keuntungan
(Alkhajar, 2014: 7-8).
Keith Tester pun mengkritik perihal
proses produksi yang senantiasa mempertimbangkan kepentingan material (modal)
dan hiburan semata. Ia geram dan menyin­
dir bahwa kondisi demikian layaknya komersialisasi “sampah” yang berbahaya karena memiliki dampak serius pada kualitas
hidup manusia (Tester, 1994). Apabila hal
tersebut dibiarkan terus berlangsung maka
sejatinya proses dehumanisasi tengah berlangsung secara masif di tengah khalayak
masyarakat. Hal ini tentu sangat disayang-
4/24/2014 10:45:13 AM
128
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
kan karena televisi telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan bagi sebagian besar
masyarakat. Mulai dari kota hingga pelosok desa, rumah hunian liar, pinggiran kota
bahkan masyarakat yang tinggal di bawah
jembatan layang (Wirodono, 2005).
Tidak berbeda dengan televisi, muatan
kekerasan juga kerap menjadi menu dalam
berbagai film di Indonesia. Kekerasan dalam kedua media tersebut kerap muncul
baik berupa kekerasan secara langsung,
tidak langsung, kekerasan visual maupun
kekerasan simbolik yang diperankan oleh
tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita
dari media tersebut. Sudah jamak diketahui
bahwa televisi dan film memiliki kelebihan
dibandingkan media lainnya dalam hal audio visual sehingga pesan-pesannya, termasuk yang bermuatan kekerasan, begitu
mudah ditangkap oleh khalayak pemirsa
atau penontonnya.
Khususnya mengenai film, Christian
Metz menyatakan bahwa kita mampu de­
ngan mudah memahami film karena media
ini telah menjelma menjadi bahasa kehidupan. Film mampu menyampaikan sebuah
cerita yang sangat menarik. Metz menegaskan demikian,
We understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put
another way its not because the cinema its language
that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories
(Metz, 1974: 47).
Akan tetapi, realitas yang memuat ke­
kerasan dan kerap dijadikan komoditas untuk dijual tidak hanya berlaku di Indonesia
melainkan berlaku di mancanegara. Sebagai contoh, eksplorasi berupa kengerian
serta kekerasan berupa pembunuhan para
pelacur London yang dilakukan oleh Jack
The Ripper. Sosok ini pun sejatinya masih
menjadi misteri namun nyatanya tetap di-
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 128
VOL II, 2014
lakukan upaya komodifikasi untuk membentuknya menjadi semacam komoditas
yang laku untuk dijual. Kisah ini diangkat
dalam film From Hell (2001) yang disutradarai Albert Hughes dan Allen Hughes
(Alkhajar, 2012: 46-47).
Hal ini setidaknya membuktikan bahwa logika kapitalisme telah menghegemoni
dan menyusup ke berbagai belahan dunia
serta sendi kehidupan melalui fenomena
globalisasi, yang beberapa kata kuncinya
termasuk ekonomi dan budaya. Ferguson
mendefinisikan globalisasi sebagai: “both a
journey and destination: it signifies an historical process of becoming, as well as an economic
and cultural result; that is arrival at the globalized state” (Ferguson, 2002: 239).
Efek Kekerasan Media
Hal yang dikhawatirkan dari berbagai sajian kekerasan di media adalah terbentuknya
suatu pemahaman bahwa kekerasan merupakan hal yang biasa karena semakin se­
ring kekerasan ditampilkan, maka akan
menimbulkan suatu persepsi bahwa kekerasan adalah lumrah, bahkan telah melekat dalam kehidupan masyarakat. Kamla
Bhasin (1994) pernah menuturkan bahwa
meningkatnya kekerasan dalam media
akan membunuh rasa kepékaan (sensibilitas) masyarakat, dan membuat kekerasan
itu sendiri menjadi jalan hidup masyarakat. Tak heran, apabila masyarakat kian tak
segan untuk memilih cara atau pendekatan
kekerasan guna menyelesaikan suatu permasalahan. Bhasin mewanti-wanti sebagai
berikut
Media have an element of propaganda and use
monologue. They are wiping out dialogue, discussion, people’s participation and weakening civil
society. People are becoming passive consumers of
news and views rather than active citizens. Increasing violence in media is killing people’s sensibilities
and making violence a way of life (Bhasin, 1994:
4-7).
4/24/2014 10:45:13 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Apa yang diungkapkan Bhasin di atas
terasa tepat dan aktual karena kita tahu
bahwa proses mengonsumsi media itu tentu bukan sekadar melihat, menonton atau
menyorotkan mata ke media an sich melainkan dalam proses tersebut terkan­dung
berbagai dimensi yang kaya rupa serta
warna. Oleh karena itu, penayangan beragam tindak kekerasan dengan ber­bagai
format dan intensitas yang sering tentunya malah dapat menciptakan realitas kekerasan dalam masyarakat.
Menurut pandangan teori pembelajaran sosial (social learning theory), seperti
model yang diajukan oleh Albert Bandura
dari Stanford University dengan eksperimen boneka Bobo pada 1961 (Bandura,
dkk. 1961), masyarakat dapat belajar dari
apa yang ditampilkan media semisal modus operandi kriminalitas hingga cara-cara
anarkis kekerasan dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Kita
melihat bagaimana masyarakat melakukan
aksi bakar hidup-hidup terhadap pelaku
kriminalitas atau memukulinya hingga
meninggal dunia.
Realitas tersebut sangat memprihatin­
kan. Namun, tampaknya ideologi keuntung­­
an kerap menjadi pembenaran sebab di
manapun media terus-menerus menayangkan serta menyajikan kekerasan melalui
isi dan kemasan yang memang menjadi
kekuatan utama media. Media lupa bahwa mereka termasuk institusi sosial yang
turut berkewajiban memberikan wahana
pendidikan terhadap masyarakatnya melalui informasi yang disajikan. Media telah
berubah menjadi pencipta kekerasan, bahkan dapat dikatakan sebagai penyebar ke­
kerasan kepada masyarakat yang menjadi
khalayaknya. Hal ini senada dengan apa
yang dituturkan Anderson and Bushman
(2002) bahwa tayangan kekerasan di media akan memberikan efek yang signifikan
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 129
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 129
bagi masyarakat, terutama berkaitan de­
ngan peningkatan agresi masyarakat.
Bahkan, merujuk kepada Wertham
(1968) media tak ubahnya telah menjadi
“school of violence”. Sekolah-sekolah ke­
kerasan ini menampilkan kekerasan secara
aktual dan visual dengan telanjang serta
vulgar, yang biasanya kerap dilakukan
oleh media elektronik. Media yang idealnya menjadi wajah saluran informasi kini
telah berubah menjadi saluran pendidik­
an kekerasan. Jika sudah demikian, maka
tidak dapat disangkal lagi bahwa berbagai
wajah kekerasan kini telah disosialisasikan
melalui dunia hiburan, film, iklan, lawakan
atau dagelan di televisi. Jika tidak segera
dilakukan pembenahan, maka dikhawatirkan akan tercipta suatu budaya yang menyeramkan, yakni culture of violence yang
di dalamnya kekerasan menjadi “bahasa”
sehari-hari. Sekali lagi, ketika bisnis dan
modal menjadi ideologi serta logika media
maka tak heran akan terjadi penumpulan
kepekaan terhadap kekerasan itu sendiri.
Kekerasan tidak lagi dianggap sebagai hal
yang luar biasa.
Storey (2009) pernah mengungkapkan
bahwa ideologi menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan serta penyem­
bunyian realitas tertentu. Ideologi akan
memengaruhi teks dan praktik yang dilakukan para pemilik modal untuk memanipulasi kesadaran demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Efek sajian kekerasan ini, di satu sisi,
memang menjanjikan keuntungan yang
luar biasa besar. Di sisi lain, efek terberatnya adalah menghasilkan masyarakat yang
rapuh serta rusak secara bangunan sosial.
Efek lanjutannya lambat laun adalah kehancuran sebuah bangsa. Oleh karena itu,
bukan saatnya lagi televisi dan film menyajikan tayangan dan tontonan yang kerap
hanya menawarkan mimpi, kekerasan serta seks (Alkhajar, 2009: 27).
4/24/2014 10:45:13 AM
130
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Merujuk pada Latif (2010), media pada
umumnya kini harus mulai memainkan
peranan konstruktif yakni mengarahkan,
membimbing serta memengaruhi seseorang ke dalam pemahaman dan proses belajar sosial yang baik, dengan menyediakan
acara-acara yang informatif, sehat, menginspirasi dan mencerahkan. Media seharusnya tidak memainkan peranan destruktif
dengan menampilkan muatan kekerasan
serta berbagai hal lain yang akan menciptakan keburukan di tengah masyarakat. Hal
ini dikarenakan media dengan segala daya
tarik, daya jangkau serta efektivitasnya
mempunyai kekuatan yang maha dahsyat
untuk memengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat.
VOL II, 2014
pelbagai regulasi mengenai isi, dan muatan yang boleh ditayangkan atau tidak,
yang sudah jelas dan legitimate. Sudah selayaknya media mematuhi rambu-rambu
serta peraturan yang ada demi kehidupan
masyarakat yang berkualitas. Media yang
berkualitas akan berdampak signifikan bagi
terciptanya masyarakat yang berkualitas.
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2010). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cet. 4. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Alkhajar, E.N.S. (2009). “Televisi, Hiperealitas Remaja dan Media Literacy,” dalam
Eka Nada Shofa Alkhajar, et.al. Anomi
Media Massa. Surakarta: Pascasarjana
Ilmu Komunikasi UNS.
Penutup
_____. (2011). “Televisi dan Energi PemMenampilkan kekerasan dalam media sebangun Bangsa,” Komunikasi Massa,
cara membabi-buta tanpa melakukan fil4(1): 107-118.
terisasi yang baik merupakan tindakan _____. (2012). Manusia-Manusia Paling Misyang harus dihindari, apalagi menjadikan
terius di Dunia. Solo: Bukukatta.
kekerasan sebagai bentuk komoditas un- _____. (2014). Media, Masyarakat dan Realitas
tuk dijual ke khalayak sebagai pasar unSosial. Surakarta: Sebelas Maret Univertuk dikonsumsi. Hal terakhir ini jelas-jelas
sity Press.
merupakan suatu bentuk pendangkalan Anderson, C.A. dan Bushman, B.J. (2002).
kemanusiaan. Tentunya, kita tidak meng“The Effects of Media Violence on Sociharapkan media ikut memproduksi, dan
ety,”
Science, 29 March: 2377-2379.
mengawetkan kekerasan di masyarakat
Artikel bisa diakses di < http://w w w.
melalui berbagai sajiannya. Terlebih, pendipsychology.iastate.edu/faculty/caa/
dikan literasi media belum memiliki gaung
abstracts/2000-2004/02AB2.pdf>.
keras di negeri ini. Agenda pendidikan Bandura, A., Dorothea Ross, dan Sheila A.
literasi sepertinya belum masif, dan maRoss. (1961). “Transmission of Aggressuk dalam ranah kebijakan yang ada. Oleh
sion through Imitation of Aggressive
karena itu, para pelaku media harus mahir
Models,” Journal of Abnormal and Social
berikhtiar untuk berhenti menampilkan
Psychology, 63, 575-582. Artikel bisa dikekerasan baik di tayangan televisi mauakses di http://psychclassics.yorku.ca/
pun film meng­ingat keburukan-keburuk­
Bandura/bobo.htm
annya seperti sudah diuraikan di atas. Para Barker, C. (2004). The SAGE Dictionary of
pelaku media tidak boleh malah terjebak
Cultural Studies. London: Sage Publicamemopulerkan kekerasan itu sendiri kepations.
da masyarakat. Hal semacam ini membu- Baudrillard, J. (1983). In the Shadow of Silent
tuhkan kemauan keras, ditopang dengan
Majorities. New York: Semiotext(e).
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 130
4/24/2014 10:45:14 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Berger, P. L. dan Luckmann, T. (1966). The
Social Construction of Reality: A Treatise
in the
Sociology of Knowledge. New York: Anchor
Books.
Bhasin, K. (1994). “Women & Communication Alternatives: Hope for the Next
Century”.
Media
Development,
41(2): 4-7.
Black, J. dan Whitney, F.C. (1988). Introduction to Mass Communication. Second Edition. Iowa: Wm. C. Brown Publisher.
Chomsky, N. (1997). Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda. New
York: Seven Stories Press.
Debord, G. (1994). The Society of the Spectacle. New York: Zone Books.
Dyer, R. (1992). Only Entertainment. London: Routledge.
Ferguson, M. (2002). “The Mythology
About Globalization” dalam McQuail,
D. (ed.) McQuail’s Reader in Mass
Communication Theory. London: Sage
Publication.
Fiske, J. (1991). “Postmodernism and Television,” dalam Curran, J. dan Gurevitch, M.
(eds).
Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Inglis, F. (1990). Media Theory: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.
Jackman, M.R. (2002). “Violence in Social
Life,” Annual Review of Sociology, 28(1):
387-414.
Latif, Y. (2010). “Peran Media dalam Pendidikan Karakter,” dalam As’ad Said
Ali, et.al. Nasionalisme dan Pembangu-
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 131
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 131
nan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PSP
Press.
Lury, C. (1996). Consumer Culture. New
Brunswick, N.J. : Rutgers University
Press.
McQuail, D. (1987). Mass CommunicationTheory: An Introduction. London: Sage
Publications.
Metz, C. (1974). Film Language. New York:
Oxford University Press.
Mosco, V. (2009). The Political Economy of
Communication. Second edition. London:
Sage.
Salmi, J. (1993). Violence and Democratic Society. London: Zed Books.
Sanderson, S.K. (1999). Macrosociology: An
Introduction to Human Societies. Fourth
Edition. New York: Harper & Row.
Storey, J. (2009). Cultural Theory and Popular
Culture: An Introduction. Fifth Edition.
London: Longman.
Strinati, D. (1995). An Introduction to Theories
of Popular Culture. London: Routledge.
Sussman, G. (1997). Communication, Technology, and Politics in the Information Age.
Thousand Oaks, California: Sage Publication.
Tester, K. (1994). Media, Culture and Morality. London: Routledge.
Webster’s New World Encyclopedia. (1992).
New York: Prentice Hall.
Wertham, F. (1968). “School of Violence,”
dalam Larsen, O.N. (ed.). Violence and
theMass Media. New York: Harper &
Row.
Wirodono, S. (2005). Matikan TV-Mu. Yogyakarta: Resist Book.
4/24/2014 10:45:14 AM
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 132-135
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
[Resensi Buku]
Bukan Sekedar Biografi: Menyelami Sisi Humanis Driyarkara
JUMAR SLAMET
Staf Perpustakaaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Surel: [email protected]
Diterima: 12 Februari 2014
Disetujui: 24 Maret 2014
Judul
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
ISBN
:
:
:
:
:
:
Driyarkara Si Jenthu: Napak Tilas Filsuf Pendidik (1913-1967)
Frieda Treurini
Penerbit Buku Kompas
2013
xxxvi + 252 halaman
978-979-709-755-4
(sumber gambar halaman sampul buku:
http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/11/13853733651391855807_300x400.jpg)
Buku dengan sampul warna hijau ini berisi
biografi dan perjalanan hidup Driyarkara,
seorang tokoh filsafat dan pendidikan di
Indonesia. Beliau merupakan seorang tokoh yang memberi sumbangan pemikiran
bagi Indonesia tentang Pancasila. Berbagai
kesaksian dan kesan banyak disampaikan
dalam buku ini. Pada awal tulisan yang
010-[Jumar Slamet] Bukan Sekedar Biografi_ Menyelami Sisi Humanis Driyarkara.indd 132
digarap oleh Frieda Treurini ini pembaca
diajak sekilas menengok tentang apa yang
dikatakan beberapa tokoh seperti Soedjatmoko, Fuad Hasan, Arif Budiman, dan
Franz Magnis-Suseno.
Jenthu--demikian nama Driyarkara kecil akrab dipanggil yang artinya ‘gemuk
namun kekar’--adalah putra bungsu dari
4/24/2014 10:47:39 AM
Bukan Sekedar Biografi: Menyelami Sisi Humanis Driyarkara
Atmasenjaya dan Sinem, seorang petani
yang mengandalkan hasil bumi dari tanah
pegunungan Kedunggubah yang kering
kerontang, sebuah desa terpencil di antara
pegunungan Menoreh di Purworejo. Gambar tapal batas desa bertuliskan Kedunggubah Gumregah yang disertai pengertian
dalam bahasa Jawa (hlm. 5) seakan sengaja
dihadirkan Frieda untuk menjelaskan sosok
Jenthu dengan jiwa yang gumregah (bangkit) dan bersemangat. Udara sejuk alam
pegunungan, sebuah kedung atau waduk
dengan air yang terlihat bening, dan kembang Suweg, sejenis bunga bangkai, kian
menggambarkan sulitnya kehidupan dan
mata pencaharian warga desa. Frieda menyuguhkan hasil penyelisikannya tentang
silsilah keluarga Driyarkara untuk melengkapi buku ini.
Dikisahkan secara runtut perjalanan
awal pendidikan si Jenthu dimulai semenjak menempuh pendidikan di HIS, Purworejo, dengan nama Suhirman, kemudian
berlanjut ke kota Malang, dan di sanalah
akhirnya ia banyak membuka cakrawala
dan pengetahuannya semakin luas pascapertemuannya dengan dua padri Yesuit
dari Austria, yaitu Pater Henri van Driessche dan Pater J.B. Prennthaler. Kedua sosok
rohaniwan ini menguatkan niat Suhirman
untuk menempuh pendidikan tinggi hingga mengabdikan dirinya sebagai rohaniwan. Proses Suhirman muda untuk me­
nemukan dan melipatgandakan talentanya
dimulai di Seminari Kecil di kawasan Kotabaru, sekitaran kali Code, Yogyakarta
(hlm. 40).
Kemudian, ia menempa pendidikan
askese (ulah tapa mati raga) di Girisonta,
Ungaran, Semarang, sebagai perwujudan
utuh atas pilihannya untuk bergabung sebagai seorang Yesuit. Serikat Yesus (SY)
menjadi wahana bagi pergulatan karyakaryanya. Di sini, Suhirman dikenal de­
ngan nama Nicolaus Driyarkara. Pendidik­
010-[Jumar Slamet] Bukan Sekedar Biografi_ Menyelami Sisi Humanis Driyarkara.indd 133
JUMAR SLAMET 133
an Yesuit yang ditempa, juga studi filsafat
di Yogyakarta, membuat sosok Driyarkara
menjadi semakin dewasa dan ia menunjukkan sikap menggembala sebagai wujud
hidup kerasulannya. Ia belajar tentang humaniora, kebudayaan, filsafat, teologi, dan
praktik-praktik kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa di masa kekuatan asing sedang berkuasa di Indonesia.
***
Usai Proklamasi Kemerdekaan RI, jiwa
kerasulannya memasuki babak baru. Di
Semarang, Driyarkara ditahbiskan menjadi
imam Yesuit pada awal tahun 1947 (hlm.
102). Kemudian, ia mulai banyak mempersembahkan misa di berbagai kota, selain tugas hariannya mengajar filsafat di
Seminari Tinggi St. Paulus dan di UGM,
keduanya terletak di Yogyakarta (hlm. 105).
Humanisme Driyarkara kembali terusik
tatkala Pemerintah Hindia Belanda ber­
usaha kembali menegakkan kekuatannya
di Indonesia, sementara pada saat yang
bersamaan ia ditugaskan pembesar Yesuit
untuk belajar teologi di negeri penjajah, Belanda. Hal ini sungguh memicu pergulatan
batin dalam diri Driyarkara.
Driyarkara adalah pribadi yang unggul
dan supel. Ia berusaha mengatasi kecemasan atas negerinya yang sedang meng­alami
situasi sulit. Di negeri Belanda, Driyarkara tetap mengikuti perkembang­an politik negeri kelahirannya. Setelah melewati
pergulatan batin, ia mengikuti pemilihan
umum (pemilu) parlemen Belanda dan memutuskan untuk mendukung Katholieke
Volkspartij (KVP) --- partai kontestan pemilu yang berpandangan Indonesia sepa­
tutnya menjadi negara yang berdiri sendiri
namun tetap ada keterikatan de­ngan ne­
geri Belanda. Driyarkara sangat terharu ketika partai yang didukungnya memenangi
pemilu. Driyarkara meyakinkan dirinya
4/24/2014 10:47:39 AM
134
Bukan Sekedar Biografi: Menyelami Sisi Humanis Driyarkara
bahwa kekuasaan Belanda atas Indonesia
akan sirna (hlm. 114).
Suatu ketika, ia dikagetkan oleh sebuah
berita mengenai Yogyakarta diserbu Belanda. Peristiwa ini sangat menyentuh hatinya,
namun ia berusaha tetap tenang. Peristiwa
tragis gugurnya serangkaian perunding­
an Indonesia-Belanda yang disebabkan
ulah Belanda ini mengusik kesadaran serta
mentalitas para pemeluk Katolik, baik yang
berkebangsaan Belanda maupun Indonesia. Driyarkara kemudian berpandangan
bahwa Republik Indonesia dapat dilenyapkan, dikuasai, atau dijadikan apapun, akan
tetapi Republik sebagai semangat masihlah
tetap dan akan terus melahirkan diri lagi
demi negara yang merdeka. Driyarkara
mencatat hasil perenungannya sebagai
berikut, “Janganlah kita putus asa. Ini me­
rupakan proses menuju kesadaran bangsa
manusia. Sadar akan kebenaran dan kebaikan, sadar akan hidup sejati” (hlm. 117).
Pengalaman perjalanan pendidikan
Driyarkara semakin sempurna tatkala ia
menyelesaikan pendidikan lanjut olah batin dan askese (masa Tersiat) di Drongen,
Belgia, dan doktor filsafat dari Universitas Gregoriana, Italia. Melalui disertasi
berjudul Participationis Cognitio In Existentia Dei Percipienda Secundum Malebranche
utrum Partem Habeat (yang berarti “Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian
tentang Tuhan menurut Malebranche”),
Driyarkara diangkat sebagai doktor dengan
hasil cum laude. Sekembalinya ke Yogyakarta, ia kembali disibukkan dengan tugas-tugas pelayanan umat. Selain itu, Driyarkara
kembali aktif mengajar dan meneruskan
hobinya untuk menulis di banyak media.
Pada 17 Desember 1955, Driyarkara
mempersembahkan sambutan pertamanya
sebagai pimpinan PTPG (Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru) Sanata Dharma di hadap­
an jajaran pemerintah dan pejabat berbagai lembaga, khususnya pejabat struktural
010-[Jumar Slamet] Bukan Sekedar Biografi_ Menyelami Sisi Humanis Driyarkara.indd 134
VOL II, 2014
gereja keuskupan. PTPG mengemban misi
untuk mendidik kaum muda guna memahami pentingnya pendidikan guru yang
memiliki kepribadian yang luhur, memiliki
semangat membangun, mengerti nilai-nilai
luhur Pancasila, dan berwawasan kebudayaan lintas bangsa.
Driyarkara banyak berkecimpung dalam
kegiatan sosial yang digerakkan oleh ba­
nyak organisasi yang berasaskan Pancasila.
Ia juga getol menyebarkan pemikiran-pemikiran filosofis ke khalayak melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Berkat kerja,
pemikiran, hingga pengembaraan pela­
yanannya ke berbagai negara, seorang Driyarkara dikenal luas oleh berbagai kalang­
an baik di dalam maupun di luar negeri.
Selain menjadi guru besar luar biasa dan
tamu, antara lain di UI, Universitas Hasanuddin (Makassar, Sulawesi Selatan), ALRI,
dan Saint Louis University (Missouri,
Amerika Serikat), Driyarkara juga sempat
mengajar di SESKOAL dan SESKOAD.
Driyarkara pun tercatat sebagai wakil rohaniwan di MPRS sejak tahun 1960. Peran
besar Driyarkara dalam memberikan landasan pemikiran dan membina pendidikan
di Indonesia diakui oleh Sarino Mangunpranoto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu (1956 – 1957). Wakil Ketua
MPRS (1966 – 1971), Melanchton Siregar,
juga menyatakan bahwa Driyarkara adalah
pejuang yang gigih mempertanggung­
jawabkan isi Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dan penghargaan hak asasi
(hlm. 189).
***
Sepertiga halaman terakhir dari buku
setebal 252 halaman ini mengisahkan
pengabdian Driyarkara sebagai anak bangsa. Banyak catatan, pesan-pesan tentang
keprihatinan, dan hasil pergulatan batin
Driyarkara pasca-peristiwa G30S. Sang
4/24/2014 10:47:39 AM
Bukan Sekedar Biografi: Menyelami Sisi Humanis Driyarkara
guru besar filsafat yang menguasai berbagai bahasa itu menyelesaikan ziarahnya di
dunia setelah beberapa waktu dirawat di
RS. St Carolus. Dalam beberapa halaman
akhir buku ini, Frieda menambahkan feature kawan-kawan dan kolega Driyarkara,
dan sekilas hikayat diarium (catatan kejadian) Driyarkara yang banyak mewarnai
buku ini.
Driyarkara telah banyak menelurkan
pemikiran-pemikiran sebagai cendekiawan
dan pendidik. Ia berwawasan jauh ke depan. Namanya tak hanya banyak dikenang,
tetapi pemikirannya telah memberikan
sumbangsih positif bagi warga bangsa. Semenjak buku antologi gagasan Driyarkara
diterbitkan, namanya kian menghiasi media dan diskusi-diskusi di berbagai kalang­
an. Pandangannya berhasil memengaruhi
banyak orang, terutama di dunia pendidikan. Frieda telah menghadirkan sebuah
inspirasi dengan menulis buku ini. Buku
yang berjudul lengkap Driyarkara Si Jenthu:
Napak Tilas Filsuf Pendidik tidak saja indah
karena fisiknya, namun kehadiran sosok
Jenthu pemuda asal Kedunggubah yang
tumbuh menjadi Driyarkara hingga usia 54
tahun; selama 19 tahun sang profesor berhasil mengemban misi dan membawa pemahaman yang lebih luas dan mendalam
010-[Jumar Slamet] Bukan Sekedar Biografi_ Menyelami Sisi Humanis Driyarkara.indd 135
JUMAR SLAMET 135
tentang nasionalisme, pendidikan dan humanisme.
Sebagai catatan atas buku bagus ini,
Diarium Driyarkara sangat kental mewarnai penulisan buku ini sehingga istilah
“napak tilas” sebagaimana digunakan se­
bagai judul belumlah sepenuhnya tercapai.
Harapan “menapaki petilasan” melalui
tulisan Frieda banyak tidak terjawab. Khalayak pembaca tentu berharap mendapati
lebih banyak pernyataan-pernyataan dan
atau visualisasi perbandingan terkini de­
ngan pengalaman Driyarkara dari lebih
banyak narasumber, semisal kegiatannya
di MPRS, sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (1965 – 1966), di kota
Malang, di Universitas Gregoriana, di Saint
Louis University, atau dari tempat-tempat
ia meng­ajar dan singgah. Namun demikian de­ngan kekuatan besar Romo Danu,
–seorang Yesuit yang menjadi murid kesayangan Sang Filsuf atau si Meteor dari
Menoreh ini, --yang memiliki segudang talenta, Frieda Treurini berhasil meramu perjalanan napak tilasnya dengan catatan harian “Diari­um” dan menyuguhkan secara
runut nan jeli tentang sosok Driyarkara,
pribadi gigih yang “bukan filsuf belaka.”
Inilah khazanah perjuangan bangsa.
4/24/2014 10:47:39 AM
PEDOMAN PENULISAN JURNAL ULTIMA HUMANIORA
1. Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka
atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang rumpun
ilmu humaniora, yaitu: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya &
Linguistik (Kajian bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi.
2. Jurnal Ultima Humaniora memberikan perhatian dan porsi yang lebih khusus pada
artikel, hasil penelitian, serta kajian konseptual seputar Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama dan Religiositas, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing, Metode Belajar dan Mengajar yang efektif di Perguruan Tinggi, Kepemimpinan
dan Kewirausahaan.
3. Jurnal Ultima Humaniora terbit secara berkala, dua kali dalam setahun (Maret dan
September).
4. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan bahasa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila
artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia
5. Panjang abstrak 150-200 kata, spasi 1, jenis huruf Times New Roman 10pt, ditulis de­
ngan huruf miring serta dilengkapi dengan tiga sampai lima kata kunci.
6. Untuk artikel hasil penelitian lapangan, abstrak harus memuat latar belakang dan
perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian
7. Panjang naskah antara 15-25 halaman, ukuran kertas Kwarto (A4), di luar bagan,
gambar/foto dan daftar rujukan atau daftar pustaka (referensi)
8. Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi 1.5, jenis huruf
Times News Roman, 12pt. Marjin kanan-kiri, atas bawah 2.5 cm.
9. Gambar dan Tabel
a) Gambar yang akan ditampilkan dalam jurnal adalah gambar hitam-putih.
b) Bila menginginkan, penulis dapat menyertakan gambar berwarna, namun penulis akan dikenai biaya tambahan untuk pencetakan gambar berwarna tersebut.
c) Gambar dan tabel diberi nomor sebagai berikut: Gambar 1, Gambar 2, dst. Tabel
1, Tabel 2, dst.
d) Gambar dan tabel yang substansinya sama, ditampilkan salah satu.
e) Tabel berbentuk pivot table.
10. Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan nama institusi/afiliasi/alumni, (3)
abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/
Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan
dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel)
11. Komposisi artikel konseptual: (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub
judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan
yang dirujuk dalam artikel).
011-pedoman.indd 136
4/24/2014 10:48:07 AM
12. Ucapan terima kasih: Penulis dapat menuliskan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga pemberi dana penelitian, dan sebagainya. Ucapan terima kasih dituliskan sebelum Daftar Pustaka.
13. Penulisan sitasi dibuat dengan catatan perut (in-text references, APA style) yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan.
Contoh:
Satu penulis : (Siapera,2010:49)
Dua penulis : (Kanpol dan McLaren, 1995:118)
Lebih dari dua penulis : (Lister,dkk,2009:239)
14. Penulisan dalam Daftar Pustaka dapat dilakukan sebagai berikut:
Sumber buku:
Kearney, R. (1999). Poetics of Modernity: Toward a Hermeneutic Imagination. New York:
Humanity Books.
Killen, M. dan Smetana, J. G. (Tim Editor). (2006). Handbook of Moral Development.
Mahwah, New Jersey (USA) dan London (UK): Lawrence Erlbaum Associates,
Inc.
Semi, G., Colombo, E., Camozzi, I. & Frisina, A. (2009). Practices of Difference:
Analysing Multiculturalism in Everyday Life. Dalam Amanda Wise dan Selvaraj
Velayutham. (Tim Editor). Everyday Multiculturalism (hlm. 66 – 84). Hampshire
RG21 6XS (UK) dan New York (USA): Palgrave Macmillan.
011-pedoman.indd 137
Sumber jurnal:
Mancini, S. (2009). Imaginaries of Cultural Diversity and the Permanence of the Religious. Diogenes 56 (4), 3 – 16.
Sumber prosiding seminar:
Akbar, A. 2012. Adam, Atlantis, dan Piramida di Indonesia: Antara Fakta Arkeologi
dan Gegar Jati Diri. Artikel dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kajian
Indonesia (ICSSIS) ke-4 yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia di Bali, 9 – 10 Februari. Dimuat dalam Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies (hlm. 96 – 107). ISSN 2087-0019.
Sumber internet:
Harrington, A. M. (2010). Problematizing the Hybrid Classroom for ESL/EFL Students. TESL-EJ, The Electronic Journal for English as a Second Language, Desember 2010,
Volume 14 (3). Bisa diakses di http://www.tesl-ej.org/wordpress/issues/volume14/
ej55/ej55a3/
Sumber disertasi/tesis:
Sayles-Hannon, S. (2008). In search of multiculturalism: Uprooting ‘whiteness’ in curriculum design and pedagogical strategies. Texas Woman’s University. ProQuest Dissertations dan Theses, n/a. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/304326219?a
ccountid=17242
4/24/2014 10:48:07 AM
15. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk hard copy atau soft copy, dengan format .rtf
atau .doc/.docx. Naskah dapat dikirimkan melalui pos surat biasa atau lewat surel
(e-mail).
16. Hard copy artikel (dalam format RTF/doc/docx) bisa dikirimkan paling lambat satu
bulan sebelum periode penerbitan kepada :
Redaksi Jurnal Ultima Humaniora
Gedung Rektorat Lantai 3
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN)
Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng,
Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333
Telp + 6221 5422 0808 ext. 3622
Atau format soft copy bisa dikirimkan lewat surel ke:
Ketua Dewan Redaksi Jurnal Ultima Humaniora, Hendar Putranto, dengan alamat
surel: [email protected]. Sertakan juga carbon copy ke alamat surel kantor, [email protected]
17. Redaksi berhak memperbaiki gramatika (mistyping, misspelling, inaccuracy) penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua pandangan, pendapat atau
pernyataan (klaim) yang terdapat dalam naskah merupakan tanggungjawab penulis.
Naskah yang tidak dimuat pada edisi Mei dapat dipertimbangkan untuk dimuat pada
edisi November tahun yang sama (atau yang tidak dimuat di edisi November dapat
dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi Mei tahun berikutnya), dengan catatan
bahwa penulis akan merevisi naskah tersebut sesuai saran dan rekomendasi Redaksi.
Naskah yang tidak memenuhi ketentuan dan kebijakan Redaksi akan dikembalikan
dengan catatan, lewat surel.
18. Penulis yang naskahnya diterima dan dipublikasikan dalam jurnal akan mendapatkan honorarium, setelah dipotong pajak 2.5% (dengan NPWP) atau 3% (tanpa
NPWP). Honorarium akan ditransfer ke rekening dengan nama penulis (tidak boleh
diwakilkan) paling lambat dua minggu setelah jurnal naik cetak dan siap didistribusikan.
011-pedoman.indd 138
4/24/2014 10:48:07 AM
Download