PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang Mengingat : : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu diatur mengenai pengelolaan pertambangan mineral di Kabupaten Belitung Timur; b. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Timur Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengusahaan Pertambangan Umum sudah tidak sesuai lagi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral; 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4033); 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4268); 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); 11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3003); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4314); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172); 20. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL); 21. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara; 22. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR dan BUPATI BELITUNG TIMUR MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Daerah adalah Kabupaten Belitung Timur. Pemerintah Kabupaten Belitung Timur, yang selanjutnya disingkat Pemerintah Kabupaten adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Bupati adalah Bupati Belitung Timur. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Belitung Timur. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Belitung Timur. Dinas adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat WIUP adalah Wilayah atau bagian dari WUP yang merupakan area usaha pertambangan yang akan diterbitkan izin usaha pertambangan (IUP) atau yang sudah mendapatkan izin sebelum Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berlaku. WIUP Eksplorasi adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP Eksplorasi. WIUP Operasi Produksi adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Usaha Jasa Pertambangan adalah usaha jasa yang kegiatannya berkaitan dengan tahapan dan/ atau bagian kegiatan usaha pertambangan. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Pasca tambang adalah kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulilhkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 25. Afiliasi dari suatu badan adalah setiap badan lain yang langsung maupun tidak langsung, melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian bersama. ‘Pengendalian’ berarti pemilikan secara langsung atau tidak langsung, kemampuan untuk mengarahkan manajemen kebijakan dan kebijakan suatu badan. 26. Peningkatan Nilai Tambah adalah kegiatan pengolahan mineral untuk mempertinggi harga mineral yang bersangkutan sehingga dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi bagi daerah dan meningkatkan kegiatan perekonomian. 27. Harga Mineral adalah harga mineral yang disepakati antara penjual dan pembeli mineral pada suatu saat tertentu. 28. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 29. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 30. Penanam modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 31. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 32. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum. 33. Masyarakat adalah masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten yang sama dengan WIUP dan/atau yang berada disekitar WIUP. 34. Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 35. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. 36. keadaan kahar antara lain adalah perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan lain-lain bencana alam di luar kemampuan manusia. 37. keadaan yang menghalangi antara lain; blokade, pemogokan-pemogokan, perselisihan perburuan di luar kesalahan pemegang IUP atau IPR dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan (kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, dan penambangan tanpa izin). 38. kondisi daya dukung lingkungan adalah apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tesebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral yang dilakukan di wilayahnya. Pasal 2 (1) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral ditujukan untuk melaksanakan kebijakan dalam mengutamakan penggunaan mineral untuk kepentingan dalam negeri. (2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan komoditas tambang, yaitu; a. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timball, seng, timah, nikel, mangan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, calsium, lanthanum, nioblum, neodymium, hafnium, scandium, alumunium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenum, telluride, stronium, germanium, dan zenotin; b. mineral bukan logam meliputi intan, korondum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, flsfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay dan batu gamping untuk semen; dan c. batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatonic, tanah serap (fullers earth), siate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, lousit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, karu terkersikan, garnet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, orik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 3 Pertambangan mineral dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; dan d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal 4 Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum pertambangan mineral. dalam penyelenggaraan kegiatan usaha BAB III KEWENANGAN Pasal 5 (1) Kewenangan Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan pertambangan mineral antara lain, adalah: a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah Kabupaten dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah Kabupaten dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral; e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral serta informasi pertambangan pada wilayah Kabupaten; f. penyusunan neraca sumber daya mineral pada wilayah Kabupaten; g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur; k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan l. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Kabupaten dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Kewenangan Pemerintah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV WILAYAH PERTAMBANGAN (WP) Pasal 6 (1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional yang merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. (2) WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah yang berada di wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. BAB V WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN (WUP) Pasal 7 (1) WUP ditetapkan oleh Pemerintah. (2) WUP terdiri dari 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/ kota dan/ atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota. Pasal 8 (1) WIUP mineral logam ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Gubernur dan Bupati setempat. (2) Dalam hal WIUP mineral bukan logam dan/ atau batuan pada kabupaten dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai pada WUP ditetapkan oleh Bupati. (3) Bupati sesuai dengan kewenanganya dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral bukan logam dan/ atau batuan dalam suatu WUP berdasarkan kriteria yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Bupati. BAB VI WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT (WPR) Pasal 9 (1) Setiap kegiatan Pertambangan Rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR. (2) WPR ditetapkan oleh Bupati setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Propinsi dan berkonsultasi dengan DPRD. (3) Ketentuan penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 10 Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut: a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/ atau diantara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektar; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/ atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnnya 15 (lima belas) tahun; g. tidak tumpang tindih dengan WIUP dan WPN; dan h. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 11 Berdasarkan pertimbangan tertentu Bupati dapat menutup sebagian dan/atau seluruh wilayah pertambangan rakyat yang sedang diusahakan setelah berkonsultasi dengan DPRD. BAB VII WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Pemberian WIUP Pasal 12 (1) Pemberian WIUP terdiri atas : a. WIUP mineral logam; b. WIUP mineral bukan logam; dan/atau c. WIUP batuan (2) WIUP mineral logam diperoleh dengan cara lelang. (3) WIUP mineral bukan logam dan batuan diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah. Bagian Kedua Tata Cara Pemberian WIUP Logam Pasal 13 (1) Sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Bupati sesuai kewenangannya mengumumkan secara terbuka WIUP yang akan dilelang kepada badan usaha, koperasi atau perorangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan lelang. (2) Dalam pelaksanaan pelelangan WIUP mineral logam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk panitia lelang oleh Bupati. (3) Panitia lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati beranggotakan gasal dan paling sedikit 5 (lima) orang yang memiliki kompetensi di bidang pertambangan mineral. (4) Tata cara pelelangan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan Pasal 14 (1) Untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam atau batuan badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) kepada Bupati. (2) Permohonan WIUP mineral bukan logam dan/ atau batuan yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografis yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP. (3) Bupati sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan dinyatakan lengkap berdasarkan ketentuan yang berlaku, wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas pemohonan WIUP sebagaimaan dimaksud pada ayat (2). (4) Keputusan menerima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. (5) Keputusan menolak sebagaimana dimaksud, pada ayat (3) harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan. BAB VIII IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) Bagian Kesatu Umum Pasal 15 (1) Setiap badan usaha, koperasi dan/ atau perseorangan yang akan melakukan usaha pertambangan wajib mendapat izin dari Bupati. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: a. Izin Usaha Pertambangan (IUP); b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR). (3) Untuk mendapatkan IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu harus mendapatkan WIUP atau WPR. (4) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimuat ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang izin. Pasal 16 (1) IUP terdiri atas dua tahap: a. IUP Eksplorasi yang meliputi kegitan Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan; dan b. IUP Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan. (2) IUP diberikan Bupati berdasarkan permohonan yang diajukan oleh : a. badan usaha; b. koperasi; atau c. perseorangan. (3) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan WIUP. (4) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian dan/atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 (1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral. (2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. (5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (6) IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 18 Tata cara persyaratan dan prosedur pemberian IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua IUP Eksplorasi Pasal 19 (1) Pemenang lelang WIUP mineral logam harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Apabila pemenang lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang jaminan kesungguhan lelang menjadi milik Pemerintah Daerah. (4) Dalam hal pemenang lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap mengundurkan diri, WIUP ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang dengan syarat nilai harga kompensasi data informasi sama dengan harga yang ditawarkan oleh pemenang pertama. (5) Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan lelang ulang WIUP apabila peserta lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak ada yang berminat. Pasal 20 (1) Badan usaha, koperasi atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/ atau batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan wajib memenuhi persyaratan administrasi, teknis, lingkungan dan finansial. (3) Apabila badan usaha, koperasi atau perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah Daerah. (4) Dalam hal badan usaha, koperasi atau perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap mengundurkan diri maka WIUP menjadi wilayah terbuka. Pasal 21 Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada bupati sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambanganya. Pasal 22 (1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. (2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 23 (1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektar dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar. (2) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar. (3) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektar dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar. Pasal 24 (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral yang tergali wajib melaporkan kepada Bupati. (2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. (3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Bupati sesuai kewenangannya. (4) Mineral yang tergali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai iuran produksi. (5) Tata cara pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 25 (1) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam, mineral bukan logam dan batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (2) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Bagian Ketiga IUP Operasi Produksi Pasal 26 (1) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b diberikan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. (2) Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi. (3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila memenuhi persyaratan administrasi, teknis, lingkungan dan finansial. Pasal 27 (1) Bupati memberikan IUP Operasi Produksi pada lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. (2) Dalam hal lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan berada di dalam wilayah yang berbeda serta kepemilikannya juga berbeda maka IUP Operasi Produksi masing-masing diberikan oleh bupati sesuai dengan kewenanganya. Pasal 28 Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/ atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/ atau pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki : a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan c. IUP Operasi Produksi. Pasal 29 (1) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a diberikan oleh Bupati apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam 1 (satu) kabupaten. (2) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b diberikan oleh Bupati, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) kabupaten dan/ atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada 1 (satu) kabupaten. Pasal 30 Badan usaha yang melakukan kegiatan jual beli mineral logam harus memiliki Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan dari Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31 Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Operasi Produksi khusus diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 33 (1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. (3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing- masing 5 (lima) tahun. Pasal 34 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar. (3) Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektar. Bagian Keempat Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Pasal 35 (1) Bupati memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik orang perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/ atau koperasi. (2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh Bupati. (3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR. (4) Pengelolaan IPR dalam WPR dapat diterapkan dengan pola kemitraan. (5) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati Pasal 36 (1) Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dikelompokkan sebagai berikut; a. pertambangan mineral logam; b. pertambangan mineral bukan logam; dan c. pertambangan batuan. (2) Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut : a. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter; b. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR; dan c. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak. (3) IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila memenuhi persyaratan administrasi, teknis, lingkungan dan finansial. Pasal 37 (1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada : a. Perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar; b. Kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar; dan/ atau c. Koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar. (2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 2 (dua) kali masing-masing jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian IPR diatur dengan Peraturan Bupati. BAB IX HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 39 Setiap pemegang IUP berhak : a. melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi; b. memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif; d. mendapat pembinaan, pengawasan, dibidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknik pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah Daerah; dan e. tidak boleh memindahkan IUP-nya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan dan persetujuan Bupati. Pasal 40 Setiap pemegang IPR berhak; a. mendapat pembinaan, pengawasan, dibidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknik pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah Daerah; dan b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Bagian Kedua Kewajiban Pasal 41 Pemegang IUP wajib: a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah izin diterbitkan dan/atau kapasitas produksi terpasang sudah mencapai 70% dari yang direncanakan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup; d. menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. memenuhi segala sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan (pajak, retribusi, iuran) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. menyampaikan laporan secara tertulis kepada Dinas, yaitu: 1. laporan produksi setiap bulan; 2. laporan kegiatan setiap 3 (tiga) bulan; 3. laporan kemajuan tambang setiap 6 (enam) bulan; dan 4. laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan setiap 1 (satu) tahun. g. mentaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan; h. mengangkat Kepala Teknik Tambang; i. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; j. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian serta pemanfaatan mineral; k. menyusun program dan melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik daerah dan mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan; m. menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang; n. melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; o. mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; p. mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; q. memiliki kantor pusat dan/ atau perwakilan yang berada di Daerah; r. menyediakan data dan informasi sewaktu-waktu apabila dikehendaki oleh dinas; s. menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi; t. memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUP, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi; u. melaporkan data dan pelaksanaan penggunaan usaha jasa penunjang; dan v. mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 Pemegang IPR wajib; a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup bersama Pemerintah Daerah; d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; e. menyampaikan laporan produksi setiap bulan; f. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR; g. memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada IPR, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diperolehnya IPR; dan h. memasang papan identitas pemegang IPR. Pasal 43 (1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan. (2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. (3) Mineral yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi; (4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral yang tergali kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 44 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan: a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral; dan e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. BAB X PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 45 (1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP atau IPR apabila terjadi : a. keadaan kahar; b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; dan c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral yang dilakukan di wilayahnya. (2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IPR. (3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bupati. (4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Bupati. (5) Bupati sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut. Pasal 46 (1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/ atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 1 diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. (2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP atau IPR sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (3) Bupati sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 47 (1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP atau IPR terhadap Pemerintah Daerah tidak berlaku. (2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi keadaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b, kewajiban pemegang IUP atau IPR terhadap Pemerintah Daerah tetap berlaku. (3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP atau IPR terhadap pemerintah daerah tetap berlaku. BAB XI BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT Pasal 48 IUP dan IPR berakhir karena : a. dikembalikan; b. dicabut; dan c. habis masa berlakunya. Pasal 49 (1) Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP atau IPR dengan pernyataan tertulis kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas; (2) Pengembalian IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya. Pasal 50 IUP atau IPR dapat dicabut oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya apabila : a. Pemegang IUP atau IPR tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IPR serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Pemegang IUP atau IPR melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. Pemegang IUP atau IPR dinyatakan pailit. Pasal 51 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP atau IPR telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP atau IPR tersebut berakhir. Pasal 52 (1) Pemegang IUP atau IPR berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Kewajiban pemegang IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 53 (1) IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikembalikan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) WIUP yang IUP-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. (3) WPR yang IPR-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan permohonan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau koperasi melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. BAB XII PERPANJANGAN IUP OPERASI PRODUKSI DAN IPR Bagian Kesatu Perpanjangan IUP Operasi Produksi Pasal 54 (1) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Bupati paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP. (2) Apabila Pemegang Izin tidak mengajukan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan perpanjangan, maka izin tersebut berakhir karena hukum. (3) Bupati dapat menolak permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan evaluasi, pemegang IUP Operasi Produksi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik. (4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi paling lambat sebelum berakhirnya IUP Operasi Produksi. (5) Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan sebanyak 2 (dua) kali. (6) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi Produksi 2 (dua) kali, wajib mengembalikan WIUP kepada Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 55 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (6) dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUP berakhir, wajib menyampaikan kepada Bupati mengenai keberadaan potensi dan cadangan mineral logam pada WIUP-nya. (2) WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang masih berpotensi untuk diusahakan, Bupati dapat menetapkan kembali WIUP untuk ditawarkan kembali dengan cara prioritas atau lelang. (3) Dalam pelaksanaan lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUP sebelumnya mendapat hak menyamai. Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perpanjangan IUP Operasi Produksi diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Perpanjangan IPR Pasal 57 (1) Permohonan perpanjangan IPR diajukan kepada Bupati paling lambat jangka waktu 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IPR. (2) Apabila Pemegang Izin tidak mengajukan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan perpanjangan, maka izin tersebut berakhir karena hukum. (3) Bupati dapat menolak permohonan perpanjangan IPR apabila pemegang IPR berdasarkan evaluasi, pemegang IPR tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik. (4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IPR paling lambat sebelum berakhirnya IPR. (5) Pemegang IPR hanya dapat diberikan perpanjangan sebanyak 2 (dua) kali. Pasal 58 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perpanjangan IPR diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XIII PEMASANGAN TANDA BATAS Pasal 59 (1) Dalam jangka waktu 6 (enam) sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUP. (2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi. (3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP. BAB XIV PENINGKATAN NILAI TAMBAH, PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL Pasal 60 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan atau pemegang IUP lainnya. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mendapatkan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian. (3) IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 61 (1) Komoditas tambang yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya terdiri dari pertambangan; a. mineral logam b. mineral bukan logam; dan c. batuan. (2) Peningkatan nilai tambah mineral logam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui kegiatan; a. pengolahan logam; atau b. pemurnian logam. (3) Peningkatan nilai tambah mineral bukan logam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan mineral bukan logam (4) Peningkatan nilai tambah batuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan batuan. BAB XV PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 62 (1) Hak atas WIUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (2) Hak atas IUP atau IPR bukan merupakan pemilik hak atas tanah. Pasal 63 (1) Pemegang IUP Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IPR sebelum melakukan kegiatannya wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IPR. Pasal 64 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IPR diwajibkan mengganti kerugian kepada yang berhak, atas kerusakan sesuatu yang berada di atas tanah, di dalam atau di luar wilayah kegiatan usaha pertambangannya akibat dari usahanya, baik perbuatan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IPR selain diwajibkan mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan mengganti rugi lahan yang digunakan dalam kegiatannya. (3) Besarnya biaya ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas didasarkan atas musyawarah dan mufakat. (4) Kerugian yang disebabkan oleh kegiatan usaha dari dua pemegang izin atau lebih dibebankan kepada mereka bersama. Pasal 65 (1) Apabila sudah diperoleh IUP Operasi Produksi atau IPR atas suatu wilayah, maka pemegang hak atas tanah wajib mengizinkan kegiatan usaha pertambangan pada tanah yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut : a. sebelum kegiatan dimulai pemegang izin memperlihatkan surat izin atau salinannya yang sah dan memberitahukan tentang maksud dan tempat kegiatan yang akan dilaksanakan; dan b. pemegang izin wajib memberikan ganti rugi terlebih dahulu sebelum dimulainya pekerjaan. (2) Segala biaya yang berhubungan dengan proses ganti rugi dibebankan kepada pemegang izin yang bersangkutan. Pasal 66 (1) Apabila para pihak yang bersangkutan tidak mencapai kata sepakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65, maka penentuannya diserahkan kepada Bupati. (2) Apabila para pihak-pihak yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (10), maka penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri setempat. Pasal 67 Apabila telah diberikan IUP Operasi Produksi atau IPR pada sebidang tanah yang di atasnya tidak terdapat hak atas tanah, maka pada tanah tersebut tidak dapat diberikan hak atas tanah lain kecuali dengan persetujuan Bupati. BAB XVI USAHA JASA PERTAMBANGAN Pasal 68 (1) Pemegang IUP wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/ atau nasional. (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia. Pasal 69 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XVII REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Pasal 70 (1) Pemegang IUP Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pasca tambang. (3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi. (4) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan operasi produksi sistem dan metode. a. penambangan terbuka; dan b. penambangan bawah tanah. Pasal 71 (1) Pemegang IUP Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (2) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. Pasal 72 (1) Pemegang IUP Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang kepada bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi. Bagian Kesatu Rencana Reklamasi dan Rencana Pascatambang Pasal 73 (1) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (2) Dalam rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat rencana reklamasi untuk masing-masing tahun. (3) Dalam hal umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang. Pasal 74 Pemegang IUP Eksplorasi dalam menyusun rencana pascatambang harus berkonsultasi dengan instansi pemerintah daerah yang membidangi pertambangan mineral, instansi terkait dan masyarakat. Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana reklamasi dan kriteria keberhasilan pascatambang diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Persetujuan Rencana Reklamasi dan Rencana Pascatambang Pasal 76 (1) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas rencana reklamasi yang telah memenuhi ketentuan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi diterbitkan. (2) Dalam hal rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan, Bupati sesuai denan kewenangannya mengembalikan rencana reklamasi kepada pemegang IUP Operasi Produksi. (3) Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 77 (1) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas rencana pascatambang yang telah memenuhi ketentuan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi diterbitkan. (2) Dalam hal rencana pascatambang belum memenuhi ketentuan, Bupati sesuai dengan kewenangannya mengembalikan rencana pascatambang kepada pemegang IUP Operasi Produksi. (3) Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana pasca tambang sebagaimana dimaksdu pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Ketiga Pelaporan dan Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pasal 79 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi setiap 1 (satu) tahun kepada Bupati sesuai kewenangannya. (2) Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan. (3) Berdasarkan hasil evalulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tingkat keberhasilan reklamasi secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi. Pasal 80 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanaan pascatambang setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. (2) Dalam hal seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam rencana pascatambang, pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan pascatambang. (3) Pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. (4) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pascatambang setiap 3 (tiga) bulan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (5) Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan. (6) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Bupati sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tingkat keberhasilan pasca tambang secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi. Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan evaluasi reklamasi serta pascatambang diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XVIII JAMINAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Bagian Kesatu Umum Pasal 82 (1) Pemegang IUP wajib menyediakan; a. jaminan reklamasi; dan b. jaminan pascatambang (2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. jaminan reklamasi tahap eksplorasi; dan b. jaminan reklamasi tahap operasi produksi Bagian Kedua Jaminan Reklamasi Pasal 83 (1) Jaminan reklamasi tahap eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (2) huruf a ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi yang disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup dan dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. (2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada bank yang ditunjuk dalam bentuk deposito berjangka. (3) Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana kerja dan anggaran biaya tahap eksplorasi disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 84 (1) Jaminan reklamasi tahap operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf b ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi; (2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. rekening bersama pada bank yang ditunjuk; b. deposito berjangka pada bank yang ditunjuk; dan c. bank garansi pada bank yang ditunjuk. (3) Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana reklamasi disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Bagian Ketiga Jaminan Pascatambang Pasal 85 (1) Jaminan pascatambang ditetapkan sesuai dengan rencana pascatambang. (2) Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan setiap tahun dalam bentuk deposito berjangka pada bank yang ditunjuk. (3) Penempatan jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana pascatambang disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 86 Penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP untuk melaksanakan reklamasi dan pascatambang. Pasal 87 Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi dan pelaksanaan pascatambang menunjukkan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan reklamasi atau jaminan pascatambang. Pasal 88 (1) Dalam hal jaminan reklamasi tidak menutupi untuk menyelesaikan reklamasi dan pascatambang, kekurangan biaya untuk penyelesain reklamasi menjadi dan pascatambang tanggung jawab pemegang IUP. (2) Dalam hal terdapat kelebihan jaminan dari biaya yang diperlukan untuk penyelesaian reklamasi, kelebihan biaya dapat dicairkan oleh pemegang IUP setelah mendapat persetujuan dari Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 89 Pemegang IUP dapat mengajukan permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi dan pascatambang kepada Bupati sesuai dengan kewenanganya berdasarkan tingkat keberhasilan reklamasi dan pasca tambang. Pasal 90 Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XIX REKLAMASI DAN PASCATAMBANG BAGI PEMEGANG IPR Pasal 91 (1) Pemeritah Kabupaten sebelum menerbitkan IPR pada wilayah pertambangan rakyat, wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang untuk setiap wilayah pertambangan rakyat. (2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 92 (1) Bupati menetapkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 untuk pemegang IPR; (2) Pemegang IPR bersama dengan Bupati wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XX PENYERAHAN LAHAN REKLAMASI DAN LAHAN PASCATAMBANG Pasal 93 (1) Pemegang IUP dan IPR wajib menyerahkan lahan yang telah direklamasi kepada pihak yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan melaluli Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP dan IPR dapat mengajukan permohonan penundaan penyerahan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik sebagian atau seluruhnya kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya apabila lahan yang telah direklamasi masih diperlukan pertambangan. Pasal 94 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan lahan yang telah selesai direklamasi dan lahan yang telah selesai dilakukan pascatambang diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXI JAMINAN KESUNGGUHAN Pasal 95 (1) Untuk membuktikan kesanggupan dan kemampuan pemohon IUP diwajibkan menyetorkan Jaminan Kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi atau dari total biaya pengganti investasi untuk lelang WIUP yang telah berakhir pada bank yang ditunjuk. (2) Pernyataan bersedia membayar nilai lelang WIUP dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja, setelah pengumuman pemenang lelang. (3) Jaminan Kesungguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dalam bentuk Bank Garansi. Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan kesungguhan diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXII PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Pembinaan dan Pengawasan Pasal 97 Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IPR. Pasal 98 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 97, antara lain berupa; a. teknik pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data mineral; e. konservasi sumber daya mineral; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan; m. kegiatan-kegiatan lain dibidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; n. pengelolaan IUP; dan o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h dan huruf l dilakukan oleh Inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XXIII INSPEKTUR TAMBANG Pasal 99 (1) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 98 ayat (1) pemerintah kabupaten wajib mengangkat pejabat fungsional Inspektur Tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kepala inspektur tambang adalah kepala Dinas. (3) Inspektur tambang adalah unsur Dinas yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 100 (1) Pengawasan oleh inspektur tambang dilakukan melalui; a. evaluasi terhadap laporan berkala dan/ atau sewaktu-waktu; b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu; dan c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan. (2) Dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), inspektur tambang melakukan kegiatan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian. (3) Dalam melakukan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), inspektur tambang berwenang: a. memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat; b. menghentikan sementara waktu sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan mineral apabila kegiatan pertambangan dinilai dapat membahayakan keselamatan pekerja atau buruh tambang, keselamatan umum, atau menimbulkan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan; dan c. mengusulkan penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf b menjadi penghentian secara tetap kegiatan pertambangan mineral kepada Kepala Inspektur Tambang. Pasal 101 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan pemegang IUP dan IPR diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Perlindungan Masyarakat Pasal 102 (1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak; a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan, kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XXIV KEMITRAAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 103 Pemerintah Daerah dapat mengupayakan terciptanya kemitraan berdasarkan prinsip saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan antara pemegang IUP atau IPR dengan masyarakat setempat. Pasal 104 Pelaksanaan ketentuan kemitraan sebagaimana dimaksud pada Pasal 103 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. BAB XXV SANKSI ADMINISTRASI Pasal 105 (1) Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi kepada pemegang IUP dan/ atau IPR yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa; a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara atau seluruh kegiatan usaha pertambangan eksplorasi atau Operasi Produksi atau pertambangan rakyat; dan c. pencabutan IUP atau IPR. (3) Ketentuan dan tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXVI KETENTUAN PIDANA Pasal 106 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan izin pengelolaan pertambangan mineral sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau paling banyak Rp. 50.000.000,(lilma puluh juta rupiah), kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan ke Kas Daerah. BAB XXVII PENYIDIKAN Pasal 107 (1) Selain pejabat penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana, penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. BAB XXVIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 108 Semua IUP yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin yang bersangkutan. Pasal 109 Rencana reklamasi dan/ atau rencana pascatambang yang disampaikan oleh pemegang IUP yang telah memperoleh persetujuan dari Bupati sesuai dengan kewenangannya sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku dan wajib menyesuaikan rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Pasal 110 (1) Pemegang IUP Eksplorasi yang belum menempatkan jaminan reklamasi sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, wajib menempatkan jaminan reklamasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Daerah ini; (2) Pemegang IUP Operasi Produksi yang belum menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, wajib menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakuknya Peraturan Daerah ini. BAB XXIX KETENTUAN TAMBAHAN Pasal 111 Dalam hal pengangkutan dan penjualan batubara serta pelabuhannya oleh badan usaha, koperasi dan perseorangan dimana lokasinya berada di dalam satu wilayah kabupaten wajib memiliki izin IUP Operasi Produksi khusus pengangkutan dan penjualan. BAB XXX KETENTUAN PENUTUP Pasal 112 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Bupati sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 113 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Timur Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengusahaan Pertambangan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Belitung Timur Tahun 2006 Nomor 30) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 114 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Belitung Timur. Ditetapkan di Manggar pada tanggal Maret 2011 BUPATI BELITUNG TIMUR, BASURI TJAHAJA PURNAMA Diundangkan di Manggar pada tanggal Maret 2011 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR, ERWANDI A. RANI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2011 NOMOR ....... ` PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa pengaturan air tanah dimaksudkan untuk memelihara kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup akibat pengambilan air tanah yang bertujuan agar keberadaan air tanah sebagai sumber daya air tetap mendukung dan mengantisipasi tuntutan perkembangan pembangunan yang berkelanjutan serta berpihak kepada kepentingan rakyat; b. bahwa hak atas air tanah adalah hak guna air yang pengelolaannya didasarkan atas asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4268); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Tambahan Lembaran Negara Indonesia Tahun Republik 2004 Indonesia Nomor 125, Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran tentang Perlindungan dan Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 10.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4156); 13. Peraturan Pemerintah Nomor Kualitas Air dan 82 Pengendalian Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 17. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; 18. Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Timur Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Timur Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pola Organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Belitung Timur Tahun 2010 Nomor 108); 19. Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Timur Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Timur Nomor 17 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Belitung Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Belitung Timur Tahun 2010 Nomor 110); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR dan BUPATI BELITUNG TIMUR MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Belitung Timur. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Belitung Timur. 3. Kabupaten adalah Kabupaten Belitung Timur. 4. Bupati adalah Bupati Belitung Timur. 5. Dinas adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur. 6. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur adalah instansi yang membidangi air tanah. 7. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Belitung Timur. 8. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 9. Akuifer atau lapisan lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air tanah dalam jumlah cukup dan ekonomis. 10. Mata air adalah air tanah yang muncul ke permukaan tanah. 11. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. 12. Hidrogeologi adalah ilmu yang membahas mengenai air tanah yang bertalian dengan cara terdapat, penyebaran, pengaliran, potensi dan sifat kimia serta fisika air tanah. 13. Daerah imbuhan air tanah (recharge area) adalah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada Cekungan Air Tanah. 14. Daerah lepasan air tanah (discharge area) adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara alamiah pada Cekungan Air Tanah. 15. Pengelolaan memantau, air tanah adalah mengendalikan, upaya merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan inventarisasi, konservasi, dan pendayagunaan. 16. Pengambilan air tanah adalah setiap kegiatan untuk memperoleh air tanah dengan cara penggalian, pengeboran, penurapan atau dengan cara lainnya. 17. Hak guna air dari pemanfaatan air tanah adalah hak guna air untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan 18. Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan memakai air tanah. 19. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air tanah. 20. Hak guna air tanah adalah hak untuk memperoleh, memakai dan mengusahakan air tanah untuk berbagai keperluan tertentu. 21. Konservasi air tanah adalah upaya melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi, dan lingkungan air tanah guna mempertahankan kelestarian dan/atau kesinambungan fungsi, ketersediaan dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik waktu sekarang maupun yang akan datang. 22. Pelestarian air tanah adalah upaya mempertahankan kelestarian kondisi dan lingkungan air tanah agar tidak mengalami perubahan. 23. Perlindungan air tanah adalah upaya menjaga keberadaan serta mencegah terjadinya kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah. 24. Pemeliharaan air tanah adalah upaya memelihara keberadaan air tanah sesuai fungsinya. 25. Pengawetan air tanah adalah upaya memelihara kondisi dan lingkungan air tanah agar selalu tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. 26. Pengendalian kerusakan air tanah adalah upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan air tanah serta memulihkan kondisinya agar fungsinya kembali seperti semula. 27. Pengendalian kerusakan menanggulangi air tanah adalah upaya untuk mencegah, kerusakan air tanah serta memulihkan kondisinya agar fungsi kembali seperti semula. 28. Pengendalian pencemaran air tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air tanah serta memulihkan air tanah untuk menjamin kualitas air tanah agar sesuai dengan baku mutu air. 29. Pemulihan air tanah adalah upaya untuk memperbaiki atau merehabilitasi kondisi dan lingkungan air tanah agar lebih baik atau kembali seperti semula. 30. Rehabilitasi air tanah adalah usaha untuk memperbaiki kondisi dan lingkungan air tanah yang telah mengalami penurunan kuantitas dan/ atau kualitas agar lebih baik atau kembali seperti semula. 31. Inventarisasi air tanah adalah kegiatan untuk mengetahui cekungan dan potensi air tanah dengan cara pemetaan, penyelidikan, penelitian dan eksplorasi air tanah. 32. Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. 33. Penatagunaan air tanah adalah upaya untuk menentukan zona pengambilan dan penggunaan air tanah 34. Penyediaan air tanah adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan air dan daya air untuk memenuhi berbagai keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai. 35. Penggunaan air tanah adalah pengambilan dan pemanfaatan air tanah. 36. Pengembangan air tanah adalah upaya peningkatan kemanfaatan air tanah untuk tujuan komersial. 37. Pembinaan adalah kegiatan yang mencakup pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan untuk meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan pengelolaan air tanah. 38. Pengendalian pengambilan air tanah adalah segala usaha yang mencakup kegiatan pengaturan, penelitian dan pemantauan pengambilan air tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan kuantitas dan kualitasnya. 39. Ketentuan teknis adalah acuan teknis di bidang air tanah berupa, pedoman, norma, persyaratan, prosedur, kriteria, dan standar. 40. Persyaratan teknis adalah ketentuan teknis yang wajib dipenuhi untuk melakukan kegiatan di bidang air tanah termasuk mata air. 41. Rekomendasi teknis adalah persyaratan teknis yang bersifat mengikat dalam pemberian izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah. 42. Pengawasan air tanah adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tercapainya pelaksanaan teknis dan administrasi pengelolaan air tanah. 43. Pemantauan air tanah adalah pengamatan dan pencatatan secara menerus atas perubahan kuantitas, kualitas dan lingkungan air tanah yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan dan atau pengambilan air tanah. 44. Sumur pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau kedudukan muka dan/ atau kualiatas air tanah pada akuifer tertentu. 45. Jaringan sumur pantau adalah kumpulan sumur pantau yang tertata berdasarkan kebutuhan pemantauan terhadap air tanah pada suatu cekungan air tanah. 46. Sumur bor adalah sumur yang pembuatannya dilakukan baik secara mekanis maupun manual. 47. Izin pemakaian air tanah adalah izin penggunaan air untuk memperoleh hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah. 48. Izin pengusahaan air tanah adalah izin penggunaan air untuk memperoleh hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah. BAB II FUNGSI DAN DASAR PENGELOLAAN Pasal 2 Air tanah mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diwujudkan secara selaras. Pasal 3 Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah BAB III TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 4 (1) Pengelolaan air tanah diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air tanah yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. (2) Ruang lingkup peraturan daerah ini mencakup wewenang dan tanggung jawab, kegiatan pengelolaan, perizinan, pengawasan dan pengendalian, pengelolaan data air tanah, retribusi pengambilan dan pemanfaatan air tanah, pelanggaran, ketentuan pidana, dan penyidikan serta ketentuan penutup. BAB IV WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 5 (1) Wewenang dan tanggungjawab Bupati dalam pengelolaan air tanah meliputi : a. menetapkan kebijakan kerangka dasar pengelolaan air tanah di wilayahnya berdasarkan kebijakan air tanah nasional dan propinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten sekitarnya; b. menetapkan pola pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah yang berada utuh di wilayahnya berdasarkan pada prinsip keterpaduan antara air tanah dengan air permukaan; c. menetapkan rencana pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah dalam satu kabupaten; d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung air tanah pada cekungan air tanah dalam satu kabupaten; e. menyelenggarakan inventarisasi, konservasi dan pendayagunaan air tanah dalam rangka pengelolaan air tanah sesuai kebijakan, pedoman, prosedur, standar, persyaratan, dan kriteria di bidang air tanah yang ditetapkan oleh Pemerintah; f. merumuskan dan menetapkan zona konservasi air tanah dalam cekungan yang berada utuh diwilayahnya; g. menyiapkan peralatan, kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan serta pembiayaan yang mendukung pengelolaan air tanah; h. melakukan pemantauan, pengendalian, dan pengawasan air tanah dalam rangka pengelolaan air tanah; i. mengatur peruntukan pemanfaatan air tanah pada cekungan air tanah yang berada utuh dalam wilayahnya; j. mengatur dan memberikan izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah; k. mengatur dan memberikan izin usaha jasa konstruksi pengeboran air tanah; l. menetapkan dan mengatur jaringan sumur pantau air tanah pada cekungan air tanah yang berada utuh di wilayahnya; m. mengelola data dan informasi air tanah; n. mendorong peran masyarakat dalam kegiatan konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka pengelolaan air tanah; o. melaksanakan kewenangan di bidang pengelolaan air tanah yang diperbantukan oleh Pemerintah; dan p. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah dalam kabupaten. (2) Wewenang dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Kepala Dinas. (3) Dalam melaksanakan dimaksud pada ayat wewenang (2), dan Kepala tanggungjawab Dinas Dinas/Instansi terkait dan Pemerintah Propinsi. sebagaimana berkoordinasi dengan BAB V KEGIATAN PENGELOLAAN Bagian Kesatu Inventarisasi Air Tanah Pasal 6 (1) Inventarisasi air tanah meliputi kegiatan pemetaan, penyelidikan, dan penelitian, eksplorasi, serta evaluasi data air tanah untuk menentukan : a. sebaran cekungan air tanah; b.daerah imbuhan dan lepasan air tanah; c. geometri dan karakteristik akuifer; d.neraca dan potensi air tanah; e. perencanaan pengelolaan air tanah; f. pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan g.upaya konservasi air tanah. (2) Kegiatan inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilaksanakan untuk penyusunan rencana atau pola induk pengembangan terpadu air tanah disajikan pada peta skala lebih besar dari 1:100.000. (3) Hasil inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan sebagai dasar perencanaan konservasi dan pendayagunaan air tanah. (4) Hasil inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikelola oleh Dinas. (5) Informasi tentang hasil inventarisasi air tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri yang membidangi air tanah. Bagian Kedua Konservasi Pasal 7 (1) Konservasi air tanah dilakukan untuk menjaga kelestarian, kesinambungan, ketersediaan, daya dukung lingkungan, fungsi air tanah, dan mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan air tanah. (2) Konservasi air tanah bertumpu pada asas kelestarian, kesinambungan ketersediaan, dan kemanfaatan air tanah serta lingkungan keberadaannya. (3) Pelaksanaan konservasi air tanah didasarkan pada: a. hasil inventarisasi, identifikasi dan evaluasi cekungan air tanah; b. hasil kajian daerah imbuhan dan lepasan air tanah; c. rencana pengelolaan air tanah pada cekungan air tanah; dan d. hasil pemantauan perubahan kondisi dan lingkungan air tanah. Pasal 8 (1) Konservasi dilakukan sekurang-kurangnya melalui : a. penentuan zona konservasi air tanah; b. perlindungan dan pelestarian air tanah; c. pengawetan air tanah; d. pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah; e. pengendalian daya rusak air pada Cekungan Air Tanah. (2) Zona konservasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam bentuk peta yang diklasifikasikan menjadi zona aman, zona rawan, zona kritas dan zona rusak. (3) Pelaksanaan perlindungan dan pelestarian air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui kegiatan: a. penjagaan fungsi daerah imbuhan air tanah; b. pemulihan kondisi dan lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak; dan/ atau c. perlindungan akuifer (4) pengawetan air tanah sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan; a. penghematan penggunaan air tanah; b. peningkatan kapasitas resapan air; dan/ atau c. pengendalian penggunaan air tanah. (5) Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah dilaksanakan dengan cara; a. pencegahan pencemaran air tanah; b. penanggulangan pencemaran air tanah; dan/ atau c. pemulihan kualitas air tanah yang telah tercemar. (6) Pengendalian daya rusak air pada Cekungan Air Tanah dilakukan melalui pengendalian penurunan muka air tanah yang diakibatkan oleh penggunaan air tanah yang melampaui daya dukung air tanah. (7) Pengedalian penurunan muka air tanah sebagaimana dimaksud ayat (6) dilakukan melalui kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kondisi air tanah akibat intrusi air laut serta pencegahan, penanggulangan, dan pengurangan laju amblesan tanah. (8) Konservasi air tanah harus menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pendayagunaan air tanah dan perencanaan tata ruang wilayah. Pasal 9 (1) Untuk menjamin keberhasilan konservasi, dilakukan kegiatan pemantauan air tanah. (2) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk mengetahui perubahan kualitas, kuantitas, dan dampak lingkungan akibat pemakaian dan pengusahaan air tanah dan atau perubahan lingkungan. (3) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada sumur pantau atau sumur produksi, meliputi : a. pemantauan perubahan kedudukan air muka air tanah; b. pemantauan perubahan kualitas air tanah; c. pemantauan jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah. d. pemantauan pencemaran air tanah; e. pemantauan perubahan debit dan kualitas mata air; dan f. pemantauan perubahan lingkungan air tanah seperti amblesan tanah. (4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan dengan cara : a. membuat sumur pantau; b. mengukur dan mencatat kedudukan muka air tanah pada sumur pantau dan/atau sumur produksi terpilih; c. mengukur dan mencatat debit mata air; d. memeriksa sifat fisika, komposisi kimia, dan kandungan biologi atau radioaktif air tanah pada sumur pantau, sumur produksi dan mata air; e. memetakan perubahan kualitas dan/atau kuantitas air tanah; f. mencatat jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah; dan g. mengamati dan mengukur perubahan lingkungan fisik akibat pengambilan air tanah. (5) Pemantauan air tanah dapat dilakukan pada mata air dengan cara : a. mengukur dan merekam debit mata air; b. memeriksa sifat fisika, kandungan unsur kimia, biologi atau radioaktif dalam air; dan c. mencatat jumlah volume mata air tanah yang dipakai dan/atau diusahakan. (6) Pemantauan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan secara berkala sesuai dengan jenis kegiatan pemantauan. Pasal 10 (1) Bupati, serta semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan pendayagunaan air tanah melaksanakan konservasi air tanah. (2) Setiap pemegang izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah wajib melaksanakan konservasi air tanah. (3) Kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan berpotensi mengubah atau merusak kondisi dan lingkungan air tanah wajib disertai dengan upaya konservasi air tanah. (4) Bupati melakukan penentuan dan perlindungan daerah imbuhan pada cekungan air tanah yang berada utuh dalam kabupaten. Bagian Ketiga Perencanaan Pendayagunaan Air tanah Pasal 11 (1) Perencanaan pendayagunaan air tanah dilaksanakan sebagai dasar pendayagunaan air tanah pada cekungan air tanah. (2) Kegiatan perencanaan pendayagunaan air tanah dilakukan dalam rangka pengaturan pengambilan dan pemanfaatan serta pengendalian air tanah. (3) Perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada hasil inventarisasi dengan memperhatikan konservasi air tanah. (4) Dalam melaksanakan perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib melibatkan peran serta masyarakat. (5) Hasil perencanaan pendayagunaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan salah satu dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Bagian Keempat Pendayagunaan Air Tanah Pasal 12 (1) Kegiatan pendayagunaana air tanah meliputi: a. penatagunaan; b. penyediaan; c. penggunaan; d. pengembangan; dan e. pengusahaan. (2) Penatagunaan air tanah ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan air tanah dan peruntukan air tanah Cekungan Air Tanah yang disusun berdasarkan zona konservasi air tanah. (3) Penyediaan air tanah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dari pemanfaatan air tanah untuk berbagai keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas, dan dilaksanakan antara lain untuk memenuhi; a. kebutuhan pokok sehari-hari b. pertanian rakyat; c. sanitasi lingkungan; d. industry; e. pertambangan; dan f. pariwisata. (4) Penggunaan air tanah dilakukan melalui pengeboran atau penggalian air tanah. (5) Pengembangan air tanah pada cekungan air tanah ditujukan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi air tanah guna memenuhi penyediaan air tanah. (6) Pengusahaan air tanah merupakan kegiatan penggunaan air tanah untuk memenuhi kegiatan usaha meliputi; a. bahan baku produksi; b. pemanfaatan potensi; c. media usaha; dan d. bahan pembantu atau proses produksi. BAB VI PERIZINAN Pasal 13 (1) setiap pemakaian dan pengusahaan air tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin dari Bupati. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari: a. izin pemakaian air tanah; b. izin pengusahaan air tanah; dan (3) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati. (4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya dapat di berikan setelah memperoleh rekomendasi teknis yang bersifat mengikat dari Dinas. (5) Dinas selambat-lambatnya dalam 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan izin yang sudah lengkap persyaratannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberikan rekomendasi teknis atau menolak permohonan tersebut disertai dengan alasannya. (6) Bupati selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah mendapatkan rekomendasi teknis dari Dinas mengeluarkan izin, atau sejak diterimanya penjelasan bahwa rekomendasi teknis tidak diberikan, menolak permohonan izin disertai dengan alasannya. (7) Tata cara permohonan dan persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Pasal 14 (1) Pengambilan air tanah untuk keperluan air minum dan air rumah tangga sampai batas-batas tertentu tidak diperlukan izin. (2) Pengambilan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. pengambilan dengan menggunakan sumur gali; dan b. pengambilan air tanah menggunakan sumur pasak dengan ukuran pipa sampai dengan 2 (dua) inchi; c. pengambilan air tanah untuk kebutuhan pokok dengan jumlah paling banyak 100 m3 (seratus meter kubik) /bulan tanpa didistribusikan Pasal 15 (1) Jangka waktu izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah diberikan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diajukan secara tertulis kepada Bupati selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu izin berakhir. (3) Tata cara perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan bupati. Pasal 16 (1) Setiap pemegang izin pemakaian air tanah atau pengusahaan air tanah wajib: a. melaporakan hasil kegiatan pelakanaan pengeboran, eksplorasi dan eksploitasi air tanah, dan penurapan mata air, secara tertulis kepada Bupati. b. menghentikan kegiatannya dan mengusahakan panggulangan serta segera melaporkan kepada Bupati, apabila dalam pelaksanaan pengeboran eksplorasi dan eksploitasi air tanah ditemukan kelainan yang dapat membahayakan dan merusak kondisi dan lingkungan air tanah; c. mematuhi rekomendasi teknis dari Dinas; d. segera menanggulangi dan melaporkan kepada Bupati apabila terjadi gangguan pengeboran lingkungan eksplorasi hidup dan yang disebabkan eksploitasi, oleh pengambilan kegiatan air tanah, penurapan dan pengambilan air mata air; e. melaporkan pelaksanaan Surat Keterangan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (SKPPL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) f. menyampaikan laporan debit pemakaian atau pengusahaan air tanah setiap bulan kepada Bupati melalui Dinas; g. memasang meter air yang telah diuji kelayakannya oleh Badan/ lembaga terakreditasi pada setiap sumur produksi untuk pemakaian atau pengusahaan air tanah; h. memastikan meteran air yang dipasang telah disegel oleh Dinas sebelum menggunakan air tanah; i. menguji kelaikan operasi meter air setiap tahunnya sesuai periode/ jangka waktu tera di Badan/Lembaga yang terakreditasi; j. membangun sumur resapan atau sumur injeksi; k. berperan serta dalam penyediaan sumur pantau air tanah; l. setiap pemegang izin pengusahaan air tanah wajib memberikan air paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari batasan debit pemakaian atau pengusahaan air tanah yang ditetapkan dalam izin bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat setempat. (2) Pemegang izin dilarang: a. melakukan aktifitas pengeboran/penggalian, pemasangan konstruksi dan uji pemompaan tanpa diawasi oleh Dinas; b. memindahtangankan izin yang dimiliki kecuali dengan persetujuan Bupati; c. membuka atau merusak segel pada meter air; dan d. menggunakan izin tidak sesuai peruntukkannya. Pasal 17 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dinyatakan tidak berlaku dan dicabut apabila: a. tidak melakukan kegiatan selama jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut sejak izin dikeluarkan; b. pemegang izin melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin; c. bertentangan dengan kepentingan umum; d. kegiatan pengeboran menimbulkan kerusakan lingkungan hidup; e. air tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang telah; ditetapkan dalam izin; f. masa berlaku izin habis; g. atas permintaan sendiri. (2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan secara tertulis kepada pemegang izin dengan menyebutkan alasanalasannya. (3) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didahului dengan peringatan secukupnya kepada pemegang izin. (4) Dalam hal izin dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya pemberitahuan pencabutan, pemegang izin wajib menghentikan semua kegiatannya. (5) Pencabutan izin dilakukan dengan penutupan dan penyegelan. (6) Berakhirnya izin sebagaimana pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air dimaksud pada ayat (1), tidak membebaskan kewajiban pemegang izin untuk memenuhi kewajiban yang belum terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 (1) Pengeboran eksplorasi dan eksploitasi air tanah hanya dapat dilaksanakan oleh; a. Instansi Pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi dibidang air tanah; dan b. perusahaan pengeboran air tanah yang telah memiliki izin. (2) Perusahaan pengeboran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus merupakan badan usaha yang telah memperoleh surat izin usaha jasa konstruksi pengeboran air tanah dan sertifikasi badan usaha pengeboran air tanah. Pasal 19 (1) Pelaksanaan pengeboran eksplorasi dan eksploitasi air tanah harus sudah dapat diselesaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak izin pemakaian dan izin pengusahaan air tanah dikeluarkan. (2) Apabila dalam jangka waktu dimaksud pada ayat (1), belum dapat diselesaikan, pemegang izin harus memberikan laporan kepada Bupati dengan disertai alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. BAB VII PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 20 (1) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pendayagunaan dan konservasi air tanah dilaksanakan oleh Dinas dengan melibatkan peran masyarakat. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi; a. lokasi titik pengambilan air tanah; b. teknis konstruksi sumur bor dan uji pemompaan; c. pembatasan debit pengambilan air tanah; d. penataan teknis dan pemasangan alat ukur debit pemompaan; e. pendataan volume pengambilan air tanah; f. kajian hidrogeologi; g. pelaksanaan SKPPL, atau UKL dan UPL atau AMDAL. (3) Masyarakat dapat melaporkan kepada Dinas atau Instansi, apabila menemukan pelanggaran pengambilan dan pemanfaatan air tanah serta merasakan dampak negatif sebagai akibat pengambilan air tanah. Pasal 21 (1) Setiap titik atau lokasi pengambilan air tanah yang telah mendapat izin harus dilengkapi dengan meter air atau alat pengukur debit air yang sudah ditera atau dikalibrasi oleh Instansi Teknis yang berwenang. (2) Pengawasan dan pengendalian pemasangan meter air atau alat pengukur debit air dilakukan oleh Dinas. (3) Pemegang izin wajib memelihara dan bertanggung jawab atas kerusakan meter air. Pasal 22 (1) Untuk rencana pengambilan air tanah dengan debit kurang dari 50 (lima puluh) liter/detik pada satu sumur produksi wajib dilengkapi dokumen SKPPL, atau UKL dan UPL. (2) Untuk rencana pengambilan air tanah dengan debit 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih, dari beberapa sumur produksi pada 1 (satu) sistem akuifer dalam areal pengambilan air tanah kurang dari 10 (sepuluh) hektar wajib dilengkapi dokumen AMDAL. (3) Untuk rencana pengambilan air tanah dengan debit 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih, dari satu sumur produksi, wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL. (4) Hasil pelaksanaan SKPPL, atau UKL dan UPL atau AMDAL wajib dilaporkan kepada Bupati dengan tembusan Gubernur. BAB VIII PENGELOLAAN DATA AIR TANAH Pasal 23 (1) Semua data dan informasi air tanah yang ada pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta yang belum pernah disampaikan wajib dilaporkan kepada Bupati dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral dan Gubernur. (2) Semua data dan informasi hasil kegiatan inventarisasi, konservasi dan pendayagunaan air tanah wajib disampaikan kepada Bupati. (3) Bupati mengirim data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Gubernur. (4) Semua data dan informasi air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan (2) dikelola oleh Bupati sebagai dasar pengelolaan air tanah di wilayahnya. BAB IX SANKSI ADMINISTRASI Pasal 24 (1) Dalam hal pemegang izin melanggar ketentuan dalam pasal 16 dikenakan Sanksi Administrasi berupa pencabutan izin. (2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu masing-masing 15 (lima belas) hari. (3) Dalam hal wajib retriusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua perseratus) setiap bulan dari nominal retribusi yang terutang atau kurang bayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. BAB X PELANGGARAN Pasal 25 Setiap pemegang izin dinyatakan melakukan pelanggaran apabila: a. merusak, melepas, menghilangkan dan memindahkan meter air atau alat ukur debit air dan atau merusak segel tera pada meter air atau alat ukur debit air; b. mengambil air tanah dari pipa sebelum meter air atau alat ukur debit air; c. mengambil air tanah melebihi debit yang ditentukan dalam izin; d. menyembunyikan titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah; e. memindahkan letak titik pengambilan atau lokasi pengambilan air tanah; f. memindahkan rencana letak titik pengeboran dan/atau letak titik penurapan atau lokasi pengambilan air tanah; g. mengubah konstruksi sumur bor atau penurapan mata air; h. tidak membayar pajak pemakaian dan pengusahaan air tanah; i. tidak menyampaikan laporan pengambilan air tanah atau melaporkan tidak sesuai dengan kenyataan; j. tidak melaporkan hasil rekaman sumur pantau; k. tidak melaporkan pelaksanaan UKL-UPL atau AMDAL; dan l. tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 26 (1) Barang siapa melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 25, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (2) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana kejahatan berupa pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dan atau yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan atau kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah diancam pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 27 (1) Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana, penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (2) Dalam melakukan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda dan atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian peyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan; dan j. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik berada dibawah koordinasi Penyidik POLRI. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 29 Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Belitung Timur. Ditetapkan di Manggar pada tanggal 15 Maret 2011 BUPATI BELITUNG TIMUR, BASURI TJAHAJA PURNAMA Diundangkan di Manggar pada tanggal 15 Maret 2011 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR, ERWANDI A. RANI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2011 NOMOR 11