Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Penentuan Perubahan Ketinggian Air Laut Berdasarkan Analisis Foraminifera Bentonik Surya EldoVirma Roza, Abdurrokhim Program StudiTeknik Geologi, FakultasTeknik Geologi, Universitas Padjadjaran Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perubahan ketinggian air laut yang terjadi saat poses pengendapan pada 4 formasi batuan dari yang tertua yaitu, formasi jatiluhur, formasi klapa nunggal, formasi subang, dan formasi serpong. Penentuan kedalaman air laut ini menggunakan identifikasi foraminifera bentonik kecil pada 10 sampel batu lempung dan foram besar pada 3 sampel batu gamping di daerah lulut dengan luas wilayah penelitian yaitu 100 km2. Kedua jenis foraminifera ini dijadikan indikator penetuan lingkungan karena dari cara hidup organisme ini yang merayap di dasar laut menjadikan biota – biota ini sangat sensitive dengan perubahan lingkungannya. Dengan melihat kumpulan foraminifera bentonik ini ,maka dapat ditentukan kedalaman air laut yang tepat untuk habitatnya. Hasil identifikasi dari foraminifera bentonik kecil mennjukkan penurunan kedalaman air laut yang konsisten mulai saat pengendapan formasi jatiluhur hingga formasi subang, lalu terjadi kenaikan ketinggian air laut pada saat pengendapan formasi serpong pada kala pliosen Tengah. Namun ketinggian air laut kembali turun sampai daerah penelitian menjadi lingkungan darat pada zaman Kuarter. Kata kunci: Batimertri, foram besar, foraminifera bentonik kecil, lingkungan pengendapan, regresi, Sungai Cileungsi, transgresi. 1. PENDAHULUAN Penelitian ini dilakukan untuk menunjang hasil interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan karakteristik batuan yang ditemukan pada daerah pemetaan geologi. Pemetaan geologi ini berlokasi di daerah cibinong dan sekitarnya, meliputi empat formasi batuan sedimen berumur tersier. Adapun formasi– formasi tersebut adalah Formasi Jatiluhur, Formasi Klapanunggal, Formasi Subang, dan Formasi Serpong (Effendi dkk,1998). Dengan melakukan analisis fosil foraminifera bentonik kecil dan bentonik besar maka dapat diketahui ketinggi air laut pada saat terjadi pengendapan dari suatu unit atau satuan batuan. Selain itu, dengan mengetahui keadaan ketinggian air laut maka juga dapat menjelaskan mekanisme pengendapan batuan yang terjadi di lingkungan laut serta perubahan – perubahan yang terjadi baik dari tekstur maupun struktur batuan tersebut. 2. GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian terdiri dari empat formasi yaitu Formasi Jatiluhur, terdiri dari batu lempung serpih dengan sisipan batu pasir kuarsa, di beberapa tempat ditemukan menyisip batu gamping klastik (packestone). Formasi ini berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dalam hingga laut dangkal. Selanjutnya Formasi Klapanunggal terutama batu gamping terumbu kaya akan koral alga dan fosil foraminifera besar, di beberapa tempat ditemukan batugamping klastik banyak mengandung fosil foraminifera besar. Umur satuan ini adalah Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Formasi Subang terdiri dari batu lempung menyerpih dengan warna kehitaman, pada umumnya massif namun dibeberapa tempat masih ditemukan sisipan tipis batu pasir. 78 Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Formasi ini berumur Miosen akhir dengan lingkungan laut transisi. Formasi termuda pada daerah penelitian ini adalah Formasi serpong, berumur Pliosen Akhir dengan lingkungan pengendapan zona transisi (rawa), terdiri dari perselingan batu lempung, batu lanau, dan batu pasir semakin ke utara berubah menjadi konglomeratan. Formasi ini terendapkan tidakselaras diatas satuan di bawahnya. 3. METODE Penelitian dilakukan di daerah Cibinong, Bogor dengan mengambil 10 sampel batu lepung dan 3 sampel batugamping yang dianggap representatif pada setiap formasi. Analisis foraminifera bentonik ini berguna sebagai indikator penentu lingkungan, dikarenakan organisme ini hidup dengan cara merayap (benthon) di dasar laut, selain itu organisme ini sangat sensitif terhadap perubahan dari lingkungannya. Dengan melihat kumpulan dari spesies – spesies yang terdapat dari satu strata batuan maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari keadaan lingkungan yang paling cocok dengan kemampuan adaptasi dari organisme – organisme tersebut, dalam hal ini dinyatakan dalam indikator batimetri (ketinggian permukaan air laut terhadap dasarnya). Selain melihat kumpulan spesies dari foraminifera bentoniknya komposisi dinding cangkangnya juga dapat mengindikasikan suatu lingkungan yang spesifik, sebagai suatu bentuk adaptasi organisme tersebut dengan keadaan lingkungannya. Setelah melakukan analisis pada setiap sampel pada strata batuan diurut dari strata yang relatif lebih tua hingga yang paling muda, dan dianggap representatif terhadap luas daerah pemetaan yaitu 100 km2. Kumpulan foraminifera bentonik ini dapat merepresentasikan ketinggian air laut / batimetrinya, baik menunjukkan kestabilan, perubahan, maupun fluktuasi dari ketinggian permukaaan air laut saat berlangsungnya proses sedimentasi. 4. HASIL Setelah menetukan posisi sampel bedasarkan urutan stratanya dan mengidentifikasi kumpulan foraminifera bentonik pada sampel batu lempung STE 51, STE 49, STE 47, STE 46, STE 38, STE 15, . Didapatkan hasil sebagai berikut: - STE 51 tidak ditemukan foraminifera - STE 49 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona batial atas (200-300m). - STE 47 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona batialatas (200-300m), dengan spesies dominan Textularia fistula Cushman. - STE 46 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona neritik luar – batial atas (150-300m), dengan spesies dominan Textularia subplanoides Zheng. - STE 38 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona neritik tengah – neritik luar (80180m),dengan spesies dominan Hopkinsinallaglabra Chusman. - STE 15 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona neritik tengah (60-80m),dengan spesies dominan Elphidium simplex Chusman. - STE 14 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona neritik dalam – neritik tengah (3060m), dengan spesies dominan Amphisteginaradiata Fitchell& Moll. - STE 10 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona litoral (20m), dengan spesies dominan Neocassidulinaabbreviata Heron – Allen &Earland. Selain itu banyak ditemukan cangkang gastropoda. 79 Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran - STE 9 tidak ditemukan foraminifera bentonik - STE 10 ditemukan kumpulan foraminifera bentonik pada zona neritik tengah (60-100m), dengan spesies dominan Heterlepa praecincta Karrer. Selain itu juga dilakukan identifikasi forambesar pada batu gamping menggunakan sayatan tipis batuan, hasilnya adalah sebagai berikut: - STE 64 banyak ditemukan Lepidocyclina,sp dan Cyclocypeus,sp yang menunjukkan lingkungan terumbu depan(fore reef) - STE 29 banyak ditemukan koral dan alga, sedikit foram besar seperti Amphistegina,sp dan Operculina,sp. Mengindikasikan lingkungan terumbu (reef wall). - STE 18 banyak ditemukan Miogypsina,sp yang menunjukkan lingkungan terumbu belakang (back reef). Gambar5. Korelasi hasil batimetri berdasarkan foraminifera bentonik dengan posisi strata sampel batuan. Setelah didapatkan zona batimetri dari masing – masing sampel maka dapat di korelasikan dengan hasil interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan karakteristik batuannya. Korelasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah: Gambar 6. Perbandingan facies pada lintasan terukur dengan hasil idenifikasi batimetri Gambar7. Stratigrafi daerah penelitian dan hasil interpretasi ketinggian permukaan air laut. 5. KESIMPULAN Dari hasil identifikasi foraminifera bentonik dan foram besar maka dapat disimpulkan bahwa pada kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir kondisi permukaan air laut cenderung menurun (regresi) secara konsisten. Fluktuasi mulai terjadi pada kala Pliosen Tengah dimana air laut cenderung naik (transgresi) dan turun kembali pada Pliosen Akhir. Penurunan air laut terus berlangsung hingga daerah penelitian menjadi lingkungan darat pada Zaman Kuarter, ditandai dengan adanya batuan hasil erupsi gunung api. DAFTAR PUSTAKA [1] Adisaputra, M. 1992. Penentuan Umur Berdasarkan Biometri dan Lingkungan Pengendapan Foraminifera Besar Tersier– Kuarter. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung. [2] Bolli, H. and Saunders, J. 1983. Plankton Stratigraphy. Editor: 80 Seminar Nasional ke-II Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran [3] [4] Cook, A. H. et, al. Cambridg Universiy Press. Loeblich, A. and Tapan, H. 1994. Foraminifera of the Sahul Shelt and Timor Sea. Cambridge, MA, USA (26 Oxford St. Harvard University, Cambridge (02138): Cushman Foundation For Foraminiferal Research, Dept. of invertebrate Paleontology, Museum of Comparative Zoology Martodjojo, S. 1984. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. ITB, Bandung. 81