PELAKSANAAN KEGIATAN PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013 LAPORAN MAGANG Oleh: Wiwid Handayani 1110101000079 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Magang, April 2014 Wiwid Handayani, NIM: 1110101000079 PELAKSANAAN KEGIATAN PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013 xv + 117 halaman, 4 tabel, 2 bagan, 13 grafik, 4 lampiran ABSTRAK Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang hingga saat ini. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, diketahui insidensi kasus TB tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 129 per 100.000 penduuduk. Namun penurunan tersebut tidak diimbangi dengan tercapainya beberapa indikator program pengendalian TB di Kota Tangerang Selatan. Padahal secara umum, seluruh Unit Pelayanan Kesehatan di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sudah menjalani strategi DOTS. Kegiatan magang ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan Program Pengendalian TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Kegiatan magang ini dilaksanakan dengan melakukan observasi secara langsung, diskusi dengan Wasor TB dan Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit, dan studi literatur terkait program pengendalian TB. Kegiatan magang ini dilakukan setiap hari mengikuti jam kerja di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan selama 26 hari. i Kegiatan Program Pengendalian TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mengacu pada Pedoman Nasional Pengendalian TB dari Kemenkes RI tahun 2011. Secara umum, seluruh kegiatan sudah terlaksana, yaitu perencanaan, surveilans, monitoring dan evaluasi, pelatihan, supervisi, dan manajemen uji silang sediaan laboratorium. Namun setiap kegiatan tersebut tidak memiliki indikator untuk melihat tingkat keberhasilannya. Selain itu, ada beberapa kendala mengenai pengumpulan data TB di beberapa Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta yang belum terlaporkan, penyimpanan logistik TB yang tidak sesuai dengan standar penyimpanan logistik dari Kemenkes RI, masih banyak tenaga kesehatan program TB yang belum melakukan pelatihan program TB terutama tenaga dokter dan tenaga laboratorium dan rendahnya pencapaian jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan uji silang sediaan laboratorium serta masih rendahnya pencapaian indikator pogram TB di di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Oleh sebab itu, disarankan untuk menambah tenaga program TB di Dinas Kesehatan maupun di Unit Pelayanan Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Selain itu, perlu disosialiasikannya kebijakan terkait hubungan Dinas Kesehatan dengan Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta, dan perlu dilakukannya koordinasi mengenai tugas dan wewenang dalam penyimpanan logistik, serta perlu dibuatnya indikator di setiap pelaksanaan kegiatan agar dapat dianalisis dampak pelaksanaan kegiatan dengan pencapaian indikator di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Daftar bacaan : 29 (1996 – 2014) ii PERNYATAAN PERSETUJUAN Judul Magang PELAKSANAAN PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA TANGERANG SELATAN JANUARI 2013 - MARET 2014 Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Magang Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 22 Maret 2014 Mengetahui Pembimbing Fakultas Pembimbing Lapangan Minsarnawati Tahangnacca, S.KM, M.Kes iii PANITIA SIDANG UJIAN MAGANG PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jakarta, April 2014 Penguji I, c Hoirunnisa, Ph.D Penguji II, Minsarnawati Tahangnaca, SKM., M.Kes iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PRIBADI Nama : Wiwid Handayani Jenis Kelamin : Perempuan Tempat, Tanggal Lahir : Status : Belum Menikah Agama : Islam Alamat : Jl. Kemajuan No. 75 RT 06/05 Jakarta, 02 September 1991 Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan 12270 Nomor Telepon/HP : 0857-1585-7742 PENDIDIKAN FORMAL 1996 – 1997 : TK Aisyiyah Ciputat 1997 – 2003 : SDN 03 Pagi Jakarta 2003 – 2006 : SLTPN 110 Jakarta 2006 – 2009 : SMAN 90 Jakarta 2010 – Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta v KATA PENGANTAR Alhamdulillah wasyukurillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dna hidayah-Nya serta nikmat yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan magang yang bejudul ” Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2013”. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah saw, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Amiin. Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. (HC) dr. MK Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Febrianti, MSi, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat. 3. Ibu Minsarnawati Tahangnaca, S.KM, M.Kes, selaku penanggung jawab peminatan Epidemiologi. 4. Bapak/Ibu dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dan semoga dapat diaplikasikan dalam kehidupan panulis. vi 5. Bapak Dr. M. Rusmin, selaku Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit Dinas Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin melakukan kegiatan magang. 6. Bapak Hidayatul Mustafid, SKM, selaku pembimbing lapangan yang telah memberikan berbagai masukan dan koreksi dalam pembuatan laporan magang ini. 7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan magang ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga laporan magang ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amiin. Ciputat, 15 April 2014 Penulis vii DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................................... i PERNYATAAN PERSETUJUAN ............................................................................. iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xi DAFTAR BAGAN .................................................................................................... xii DAFTAR GRAFIK ................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiv DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2. Tujuan ............................................................................................................ 4 1.2.1. Tujuan Umum ........................................................................................ 4 1.2.2. Tujuan Khusus ....................................................................................... 4 1.3. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5 1.3.1. Bagi Mahasiswa ..................................................................................... 5 1.3.2. Bagi Institusi Tempat Magang ............................................................... 5 1.3.3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta ............ 6 1.4. Ruang Lingkup .............................................................................................. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 8 2.1. Tuberkulosis .................................................................................................. 8 2.1.1 Etiologi Penyakit Tuberkulosis .............................................................. 8 2.1.2 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis.......................................................... 9 viii 2.1.3 Gejala Penyakit Tuberkulosis .............................................................. 12 2.1.4 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis ......................................................... 13 2.1.5 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis ................................................ 15 2.1.6 Masa Inkubasi Penyakit Tuberkulosis ................................................. 15 2.1.7 Masa Penularan Penyakit Tuberkulosis ............................................... 16 2.1.8 Risiko Penularan Penyakit Tuberkulosis ............................................. 16 2.1.9 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis ...................................................... 17 2.2 Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis ............................................ 18 2.2.1 Gambaran Umum Kebijakan Program ................................................. 18 2.2.2 Sejarah Program ................................................................................... 20 2.2.3 Tujuan Program .................................................................................... 21 2.2.4 Sasaran Program................................................................................... 22 2.2.5 Strategi Program................................................................................... 23 2.2.6 Organisasi Pelaksana Program ............................................................. 24 2.2.7 Pokok Kegiatan Program ..................................................................... 25 2.2.8 Indikator Program ................................................................................ 40 BAB III ALUR DAN JADWAL KEGIATAN MAGANG ....................................... 45 3.1. Alur Kegiatan .............................................................................................. 45 3.2. Jadwal Kegiatan Magang ............................................................................ 46 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 51 4.1. Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ..................... 51 4.1.1. Visi ....................................................................................................... 51 4.1.2. Misi ...................................................................................................... 52 4.1.3. Keadaan Umum Kota Tangerang Selatan ............................................ 52 4.1.4. Wilayah Kerja ...................................................................................... 53 4.1.5. Kependudukan...................................................................................... 55 ix 4.1.6. Sumber Daya Kesehatan ...................................................................... 56 4.1.7. Pembiayaan Kesehatan......................................................................... 59 4.2. Gambaran Morbiditas dan Mortalitas Penyakit Tuberkulosis di Kota Tangerang Selatan .................................................................................................. 60 4.2.1. Distribusi Penyakit Berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu ............. 62 4.2.2. Distribusi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Klasifikasi Riwayat Pengobatan .......................................................................................................... 67 4.3. Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan .................................................................................................. 69 4.3.1. Struktur Organisasi .............................................................................. 69 4.3.2. Tujuan Program .................................................................................... 71 4.3.3. Sasaran Program................................................................................... 77 4.3.4. Strategi Program................................................................................... 78 4.3.5. Pelaksanaan Kegiatan Program ............................................................ 78 4.3.6. Pencapaian Indikator Program ............................................................. 88 BAB V PENUTUP .................................................................................................. 101 5.1 Simpulan .................................................................................................... 101 5.2 Saran .......................................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 104 x DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Magang di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 ……………………………………………..………….…... 46 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Kota Tangerang Selatan tahun 2013………….... 55 Tabel 4.2 Sarana dan Prasarana Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013……………………………………..………….…... 58 Tabel 4.3 Sumber Pembiayaan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013……………………………………………..……………...….…... 60 Tabel 4.4 Identifikasi Tujuan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013……...….…....... 75 xi DAFTAR BAGAN Bagan 3.1 Alur Kegiatan Magang.……...….……………....................................... 45 Bagan 4.1 Peta Kota Tangerang Selatan tahun 2013………….……...……........... 54 Bagan 4.2 Distribusi Penyakit Tuberkulosis menurut Jenis Kelamin dan Umur di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013…....................... 63 xii DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Jumlah Kasus dan Kematian Akibat Penyakit TB di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013……..…....................... 63 Grafik 4.2 Distribusi Penyakit Tuberkulosis berdasarkan Unit Pelayanan Kesehatan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013…………………..…...............................……..…....................... 64 Grafik 4.3 Pola Penemuan Kasus (Case Notification Rate) Penyakit Tuberkulosis berdasarkan Puskesmas di Kota Tangerang Selatan tahun 2013…........ 66 Grafik 4.4 Distribusi Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013................................................................ 68 Grafik 4.5 Angka Penjaringan Suspek di Kota Tangerang Selatan tahun 2013....... 89 Grafik 4.6 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di antara Suspek di Kota Tangerang Selatan tahun 2013………………………………................ 90 Grafik 4.7 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di antara Semua Pasien TB di Kota Tangerang Selatan tahun 2013……………………………………….... 91 Grafik 4.8 Proporsi Pasien TB Anak di Kota Tangerang Selatan tahun 2013…..... 92 Grafik 4.9 Angka Notifikasi Kasus TB di Kota Tangerang Selatan tahun 2013…. 93 Grafik 4.10 Angka Konversi di Kota Tangerang Selatan tahun 2013……………... 94 Grafik 4.11 Angka Kesembuhan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013………... 96 Grafik 4.12 Angka Keberhasilan Pengobatan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013……………………………………………………………………. 97 Grafik 4.13 Angka Error Rate di Kota Tangerang Selatan tahun 2013……………. 98 xiii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 Lampiran 1.2 Gambar Sosialisasi dan Bimbingan Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu Tahun 2014 Lampiran 1.3 Daftar Tilik Supervisi Program Penanggulangan TB Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Ke Sarana Pelayanan Kesehatan Lampiran 1.4 Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan tahun 2013 xiv DAFTAR SINGKATAN BCG = Bacillus Calmette et Guerin CDR = Case Detection Rate CNR = Case Notification Rate DOTS = Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy Fasyankes = Fasilitas Pelayanan Kesehatan FEFO = First Expired First Out Gerdunas – TB = Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis IUATLD = International Union Against TB and Lung Diseases Kemenkes RI = Kementerian Kesehatan RI LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat MDR / XDR = Multi Drugs Resistance / extensively Drugs Resistance OAT = Obat Anti Tuberkulosis PME = Pemantapan Mutu Eksternal PMI = Pemantapan Mutu Internal PMO = Pengawasan Minum Obat PP = Peraturan Perundangan PPM = Puskesmas Pelaksana Mandiri PPM = Public Private Mix Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat OAT = Obat Anti Tuberkulosis SDM = Sumber Daya Manusia SPS = Sewaktu-Pagi-Sewaktu TB = Tuberkulosis UPK = Unit Pelayanan Kesehatan UPTD = Unit Pelaksana Teknis Daerah WHO = World Health Organization xv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang hingga saat ini. Menurut Kemenkes RI (2012), meskipun obat anti tuberkulosis (OAT) sudah ditemukan dan vaksin Bacillud CalmetteGuerin (BCG) telah dilaksanakan, TB tetap belum bisa diberantas habis. Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya insindensi penyakit TB menjadi penyakit re-emerging. Menyikapi masalah tersebut, pada tahun 1995 WHO (World Health Organization) dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis dan Lungs Disease) mendeklarasikan TB sebagai suatu kedaruratan dunia (global emergency). Berdasarkan data dari WHO diketahui bahwa insidensi kasus TB secara global pada tahun 2012, yaitu sebesar 122 kasus per 100.000 penduduk (WHO, 2013). Dari setiap 6 kasus TB tersebut, satu di antaranya masih berakhir dengan kematian (Kemenkes RI, 2013). Meskipun obat anti tuberkulosis (OAT) sudah ditemukan dan vaksin Bacillud CalmetteGuerin (BCG) telah dilaksanakan, TB tetap belum bisa diberantas habis terutama di negara berkembang (Kemenkes RI, 2012). Sebagai salah satu negara berkembang, saat ini Indonesia berada di peringkat kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Beban TB tersebut masih terbilang tinggi karena setiap tahunnya terdapat 450.000 kasus baru TB (Kemenkes RI, 2011). Hal ini didukung oleh hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang menunjukkan bahwa 1 penyakit TB di Indonesia merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Depkes RI, 2008). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, diketahui bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru tahun 2013 adalah 0,4%. Angka tersebut ternyata tidak ada bedanya dengan angka di tahun 2007 (Kemenkes RI, 2013). Hal ini bisa menjadi suatu indikasi bahwa prevalensi kasus TB belum mengalami perubahan yang signifikan. Menurut Kemenkes RI (2013), keadaan seperti ini bisa memicu epidemi TB dan nantinya akan menjadi maslah kesehatan masyarakat yang utama. Dengan semakin memburuk situasi TB di dunia, terutama di Indonesia, baik dari peningkatan jumlah kasus TB maupun dari banyaknya ketidakberhasilan penyembuhkan, sebenarnya pada tahun 1993, WHO sudah mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) (Kemenkes RI, 2012). Bentuk konkret dari pencanangan TB tersebut adalah adanya rekomendasi dari WHO untuk menggunakan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB di seluruh dunia. (Kemenkes RI, 2011). Menurut Depkes RI (2009), penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi yaitu kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Menurut Murti,dkk. (2006), salah satu organisasi pelaksana pengendalian TB adalah Dinas Kesehatan pada tingkat Kabupaten/kota. Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota merupakan suatu unsur pelaksana kesehatan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014, diketahui terjadi peningkatan insindensi kasus TB dari tahun 2011 sebesar 106 per 100.000 penduduk menjadi 131 per 100.000 2 penduduk di tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2013, insindensi kasus TB mengalami penurunan menjadi 129 per 100.000 penduuduk. Namun penurunan tersebut tidak diimbangi dengan tercapainya beberapa indikator pengendalian TB di Kota Tangerang Selatan. Menurut Kemenkes RI (2011), indikator pengendalian TB digunakan untuk menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB. Dari data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014, diketahui bahwa ada beberapa indikator pengendalian TB yang belum tercapai, yaitu angka CDR sebesar 56% (target nasional minimal 70%), angka keberhasilan pengobatan sebesar 82% (target nasional minimal 85%), angka konversi sebesar 75% (target nasional minimal 80%), angka kesembuhan sebesar 76% (target nasional minimal 85%), dan angka kesalahan laboratorium dari triwulan pertama sampai triwulan ketiga pada tahun 2013 sebesar 6% (target nasional maksimal 5 %). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014, diketahui bahwa seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang berada di wilayah kerja Kota Tangerang Selatan telah melaksanakan program pengendalian TB DOTS. Dari seluruh UPK tersebut, diketahui bahwa jumlah kasus TB terbanyak terdapat di RSUD Kota Tangerang Selatan sebesar 305 kasus (17%) dan puskesmas Ciputat sebesar 156 kasus (8%). Sedangkan di beberapa rumah sakit swasta seperti RS Eka Hospital, RS Sari Asih Ciputat, dan RS OMNI, tidak ditemukan data mengenai kasus TB. Kemudian berdasarkan klasisfikasi penyakit TB, diketahui bahwa kasus kambuh di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 2 kali lipat dibanding pada tahun 2011 (Dinkes Kota Tangsel, 2014). Dari penjabaran tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui “Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit 3 Tuberkulosis di Wilayah Kerja Dinas Kota Tangerang Selatan tahun 2013”. 1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Diketahuinya Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 1.2.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari kegiatan magang ini adalah sebagai berikut. 1) Diketahuinya morbiditas dan mortalitas Penyakit Tuberkulosis di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 2) Diketahuinya Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 3) Diketahuinya tujuan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 4) Diketahuinya sasaran Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 5) Diketahuinya strategi Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 6) Diketahuinya pelaksanaan kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 4 7) Diketahuinya pencapaian indikator Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 1.3. Manfaat Penelitian 1.3.1. Bagi Mahasiswa Manfaat dari kegiatan magang ini bagi mahasiwa adalah sebagai berikut. 1. Meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan pemahaman terkait pelaksanaan program pengendalian penyakit tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2. Terlibat langsung dengan kondisi yang sebenarnya dan mendapatkan pengalaman dalam melakukan program pengendalian penyakit tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 3. Mendapatkan program keterampilan pengendalian praktis penyakit tentang tuberkulosis pelaksanaan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 1.3.2. Bagi Institusi Tempat Magang Manfaat dari kegiatan magang ini bagi institusi tempat magang adalah sebagai berikut. 1. Mendapatkan masukan baru dari pengembangan keilmuan di perguruan tinggi. 2. Memahami peran Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam bidang epidemiologi khususnya dalam program pengendalian penyakit menular. 5 3. Menciptakan kerjasama yang saling menguntungkan dan bermanfaat antara institusi magang dengan Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1.3.3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta Manfaat dari kegiatan magang ini bagi program studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Jakarta adalah sebagai berikut. 1. Laporan magang dapat menjadi salah satu evaluasi internal kualitas pembelajaran. 2. Mendapatkan masukan yang berguna untuk menyempurnakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. 3. Terbinanya jaringan kerjasama dengan institusi tempat magang dalam upaya meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan antara subtansi akademik dengan pengetahuan dan keterampilan SDM yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan masyarakat. 1.4. Ruang Lingkup Kegiatan magang ini dilaksanakan oleh mahasiswi peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Februari – 21 Maret 2014. Kegiatan magang ini bertujuan untuk mengetahui Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 dan menilai implementasi kegiatan program penyakit menular terutama tuberkulosis berdasarkan teori yang telah diperoleh dalam proses perkuliahan. 6 Kegiatan magang ini dilaksanakan dengan melakukan observasi, diskusi, dan studi literatur. Observasi dilakukan dengan mengamati langsung pelaksanaan program pengendalian penyakit tuberkulosis dan turut serta dalam proses kerja di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan serta mencatat hal-hal yang dianggap penting di institusi tersebut. Diskusi dilakukan dengan pembimbing akademik, kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit, pemegang Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis (selaku pembimbing lapangan), dan pegawai lainnya yang ada di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Studi kepustakaan dilakukan untuk menggali informasi melalui penelusuran buku dan literatur guna memperoleh konsep teoritis yang terkait dengan program tuberkulosis. 7 pengendalian penyakit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ atau bagian tubuh lainnya seperti tulang, kelenjar, kulit, dan sebagainya (Kemenkes RI, 2011). Namun secara umum, sumber penularan penyakit TB lebih banyak terjadi pada pasien TB Paru dengan BTA (Basil Tahan Asam) positif (Depkes RI, 2007). 2.1.1 Etiologi Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis. Karakteristik bakteri ini, yaitu mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini juga dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob (Widoyono, 2008). Bakteri tuberkulosis dapat mati pada pemanasan 100ºC selama 5–10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 8 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap, serta bisa berbulan-bulan berada pada kondisi tersebut. Namun bakteri ini tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008). 2.1.2 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Menurut Laban (2008), untuk menentukan klasifikasi penyakit TB, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru. 2) Hasil pemeriksaan dahak Basil Tahan Asam (BTA) : positif atau negatif. 3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat. Berdasarkan Kemenkes RI (2011), penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: 1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena a. Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. b. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. 9 2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis a. Tuberkulosis paru BTA positif, apabila: a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. b. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. 3) Klasifikasi bersadarkan tingkat keparahan penyakit a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas 10 (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. b. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. 4) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya a. Kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). b. Kasus kambuh (Relaps), yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Kasus setelah putus berobat (Default), yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. d. Kasus setelah gagal (Failure), yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. e. Kasus Pindahan (Transfer In), yaitu pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 11 f. Kasus lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 2.1.3 Gejala Penyakit Tuberkulosis Gejala penyakit tuberkulosis dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Menurut Werdhani (2002), gejala penyakit tuberkulosis terbagi menjadi dua, antara lain sebagai berikut. 1. Gejala sistemik/umum, yaitu: a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadangkadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. c. Penurunan nafsu makan dan berat badan. d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah. 2. Gejala khusus, yaitu: a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paruparu) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. b. Kalau ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. 12 c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, penyakit TB dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah (Werdhani, 2002). 2.1.4 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis (Werdhani, 2002) adalah: 1. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. 2. Pemeriksaan fisik. 3. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). 4. Pemeriksaan patologi anatomi (PA). 5. Rontgen dada (thorax photo). 6. Uji tuberkulin. 13 Menurut Kemenkes RI (2011), diagnosis tuberkulosis terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Diagnosis TB Paru, terdiri dari: a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. 2) Diagnosis TB ekstra paru, terdiri dari: a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena. 3) Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut: 14 a. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. b. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif. c. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena. 2.1.5 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes RI, 2011). 2.1.6 Masa Inkubasi Penyakit Tuberkulosis Menurut Chin (2012), masa inkubasi penyakit TB berawal dari mulai masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau rekasi tes tuberkulosis positif kira-kira memakan waktu 15 2–10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB ekstra paru biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi lanten dapat berlangsung seumur hidup. 2.1.7 Masa Penularan Penyakit Tuberkulosis Secara teoritis, seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB di dalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna, dahaknya akan mengdndung basil TB selama bertahun-tahun. Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut (Chin, 2011). 1. Jumlah basil TB yang dikeluarkan. 2. Virulensi dari basil TB. 3. Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet. 4. Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi. 5. Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada waktu melakukan bronkoskopi. 2.1.8 Risiko Penularan Penyakit Tuberkulosis Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Kemenkes RI, 2011). 16 2.1.9 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Menurut Kemenkes RI (2011), Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OATKDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu : 1) Tahap awal (intensif) a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2) Tahap Lanjutan a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. 17 b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. 2.2 Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis 2.2.1 Gambaran Umum Kebijakan Program Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharno, 2010). Menurut Kemenkes RI (2009), kebijakan program pengendalian penyakit tuberkulosis tercantum pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 (Kemenkes RI, 2009), yaitu: 1. Penanggulangan desentralisasi TB yaitu dilaksanakan kabupaten/kota sesuai sebagai dengan azas titik berat manajemen program yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana. 2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS. 3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB. 4. Pengembangan strategi DOTS untuk peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses, penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB-MDR. 5. Penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh sarana pelayanan kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru 18 (BP4), dan Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktik Swasta (DPS). 6. Pengembangan pelaksanaan program penanggulangan TB di tempat kerja (TB in workplaces), Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan (TB in prison), TNI dan POLRI. 7. Program penanggulangan TB dengan pendekatan program DOTS Plus (MDR), Kolaborasi TB-HIV, PAL (Practical Approach to Lung Health), dan HDL (Hospital DOTS Linkages). 8. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama/kemitraan dengan lintas program dan sektor terkait, pemerintah dan swasta dalam wadah Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB). 9. Peningkatan kemampuan laboratorium TB di berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring. 10. Menjamin ketersediaan Obat Anti TB (OAT) untuk penanggulangan TB dan diberikan kepada pasien secara cumacuma. 11. Menjamin ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. 12. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB. 13. Menghilangkan stigma masyarakat terhadap Pasien TB agar tidak dikucilkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 14. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs. 19 2.2.2 Sejarah Program Berdasarkan sejarahnya, program pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969, pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino Salisilat (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan (Kemenkes RI, 2011). Pada awal tahun 1990-an, WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Dircetly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS ini terdiri dari 5 komponen kunci (Kemenkes RI, 2103), yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. 20 Menurut merekomendasikan Kemenkes RI (2011), WHO telah strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Kemudian sejak tahun 2000, strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Fokus utama strategi DOTS ini adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. 2.2.3 Tujuan Program Suatu program dikatakan baik apabila memiliki tujuan yang jelas dan operasional. Manfaat rumusan tujuan operasional program adalah sebagai berikut (Muninjaya, 2004). 1. Pimpinan akan lebih mudah mengetahui apakah staf telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan agenda keguatan. Keberhasilan proses manajemen dapat diukur dengan menghitung tingkat efektivitas kegiatan staf dan efisiensi penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan program. 2. Jika terjadi kesenjangan antara tujuan/target yang telah ditetapkan sebagai standar unjuk kerja (standard performance) dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai (cakupan program), pimpinan harus melakukan analisis lebih lanjut. Bandingkan standar dengan hasil yang telah dicapai, analisis faktor penyebab atau kendala di lapangan terutama yang bersumber pada kelemahan staf dan manajemen pelaksanaan program. Demikian pula dengan kendala yang bersumber dari partisipasi masyarakat. 21 Menurut Kemenkes RI (2011), tujuan yang akan dicapai ditetapkan berdasar kurun waktu dan kemampuan tertentu. Tujuan ini dibedakan menjadi : 1. Tujuan Umum, biasanya cukup satu dan tidak terlalu spesifik. 2. Tujuan khusus, penjabaran dari tujuan umum yang dipecah menjadi beberapa tujuan khusus yang lebih spesifik dan terukur. Di dalam buku pedoman pengendalian penyakit tuberkulosis, diketahui bahwa tujuan dari program pengendalian penyakit tuberkulosis adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). 2.2.4 Sasaran Program Sasaran adalah kelompok masyarakat tertentu yang akan digarap oleh program yang ingin direncanakan. Menurut Notoatmodjo (2004), sasaran program kesehatan biasanya terbagi menjadi dua, yakni: 1) Sasaran langsung, yaitu kelompok yang langsung dikenal oleh program. 2) Sasaran tidak langsung, yaitu kelompok yang menjadi sasaran antara program tersebut, namun berpengaruh sekali terhadap sasaran langsung. Menurut Kemenkes RI (2011), sasaran strategi nasional pengendalian TB mengacu pada rencana strategis kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan 22 prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan prosentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%; (2) meningkatkan prosentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan prosentase provinsi dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan prosentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%. 2.2.5 Strategi Program Menurut Mintzberg, strategi adalah pola (strategy is patern) yang selanjutnya disebut sebagai “ intended strategy” karena belum terlaksana dan berorientasi ke masa depan. Selain itu, strategi program bisa disebut juga sebagai “realized strategy” karena telah dilakukan oleh organisasi. Berikut ini adalah beberapa kegiatan dalam pembuatan strategi (Suryana, 2010). 1. Pengembangan visi, misi, dan tujuan jangka panjang 2. Mengidentifikasi peluang dan ancaman dari luar serta kekuatan dan kelemahan dari dalam organisasi 3. Mengembangkan alternatif strategi 4. Penentuan strategi yang paling sesuai untuk diadopsi Menurut Kemenkes RI (2011), strategi nasional program pengendalian TB di Indonesia terdiri dari 7 strategi, yaitu: 1) Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu 23 2) Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya 3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care 4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB 5) Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB 6) Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB 7) Mendorong penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan informasi strategis. 2.2.6 Organisasi Pelaksana Program Organisasi adalah sarana untuk melakukan kerja sama antara orang-orang dalam rangka mencapai tujuan bersama dengan mendayagunakan sumber daya yang dimiliki (Satrianegara, 2009). Menurut Kemenkes RI (2011), organisasi pelaksana program pengendalian penyakit tuberkulosis terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1. Aspek manajemen program a. Tingkat Pusat Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (GerdunasTB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian 24 Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis. b. Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi. c. Tingkat Kabupaten/Kota Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. 2. Aspek Tatalaksana pasien TB Aspek tatalaksana pasien TB dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter Praktek Swasta. 2.2.7 Pokok Kegiatan Program Pokok – pokok kegiatan program TB dengan strategi DOTS menurut Kemenkes RI (2011) dan Depkes RI (2009) adalah sebagai berikut. 1. Tatalaksana Pasien TB, yaitu terdiri dari: a. Penemuan Tersangka TB Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. 25 Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. b. Diagnosis Penegakan diagnosis TB terbagi menjadi dua yaitu, diagnosis TB Paru dan diagnosis TB Ekstra Paru. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain. c. Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. 2. Manajemen Program, yang terdiri dari: A. Perencanaan Menurut Kemenkes RI (2011), perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang akan muncul di masa mendatang berdasarkan fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat 26 berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti di sini saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program. Perencanaan merupakan suatu siklus yang meliputi: A) Pengumpulan data, yang meliputi: (a) Data Umum, yaitu data geografi dan demografi (penduduk, pendidikan, sosial budaya, ekonomi) serta data lainnya (jumlah fasilitas kesehatan, organisasi masyarakat). Data ini diperlukan untuk menetapkan target, sasaran dan strategi operasional lainnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. (b) Data Program, yang meliputi data tentang beban TB, pencapaian program (penemuan pasien, keberhasilan diagnosis, keberhasilan pengobatan), resistensi obat serta data tentang kinerja institusi lainnya. Data ini diperlukan untuk dapat menilai apa yang sedang terjadi, sampai di mana kemajuan program, masalah apa yang dihadapi dan rencana apa yang akan dilakukan. (c) Data Sumber Daya, yang meliputi data tentang tenaga (man), dana (money), logistik (material), dan metodologi yang digunakan (method). Data ini diperlukan untuk mengidentifikasikan sumbersumber yang dapat dimobilisasi sehingga dapat menyusun program secara rasional, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap daerah. Di samping untuk 27 perencanaan, data tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal seperti advokasi, diseminasi informasi serta umpan balik. B) Analisa situasi Analisis situasi dapat meliputi analisis terhadap lingkungan internal program (kekuatan dan kelemahan) dan analisis lingkungan eksternal program (peluang dan ancaman). Dari analisis ini kita dapat menyusun isu-isu strategis, termasuk di dalamnya identifikasi masalah. Identifikasi masalah dimulai dengan melihat adanya kesenjangan antara pencapaian dengan target/tujuan yang ditetapkan. Dari kesenjangan yang ditemukan, dicari masalah dan penyebabnya. Untuk memudahkan, masalah tersebut dikelompokkan dalam input dan proses, agar tidak ada yang tertinggal dan mempermudah penetapan prioritas masalah dengan berbagai metode yang ada seperti metode “tulang ikan” (fish bone analysis), pohon masalah dan log frame. Komponen yang dianalisis terdiri dari 5M (man, money, material, method, dan market). C) Menetapkan masalah prioritas dan pemecahannya Pemilihan masalah harus dilakukan secara prioritas dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, karena dengan menentukan masalah yang akan menjadi prioritas maka seluruh sumber daya akan dialokasikan untuk pemecahan masalah tersebut. Halhal utama yang perlu dipertimbangkan dalam memilih prioritas, antara lain : 28 a) Daya ungkitnya tinggi, artinya bila masalah itu dapat diatasi maka masalah lain akan teratasi juga. b) Kemungkinan untuk dilaksanakan (feasibility), artinya upaya ini mungkin untuk dilakukan. Dengan memperhatikan masalah prioritas dan tujuan yang ingin dicapai, dapat diidentifikasi beberapa alternatif pemecahan masalah. Dalam menetapkan pemecahan masalah, perlu ditetapkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang akan menjadi pertimbangan pimpinan untuk ditetapkan sebagai pemecahan masalah yang paling baik. Pemilihan pemecahan masalah harus mempertimbangkan pemecahan masalah tersebut memiliki daya ungkit terbesar, sesuai dengan sumber daya yang ada dan dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. D) Menetapkan tujuan, sasaran, indikator Tujuan yang akan dicapai ditetapkan berdasar kurun waktu dan kemampuan tertentu. Tujuan dapat dibedakan antara tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum biasanya cukup satu dan tidak terlalu spesifik. Tujuan umum dapat dipecah menjadi beberapa tujuan khusus yang lebih spesifik dan terukur. Beberapa syarat yang diperlukan menetapkan tujuan antara lain (SMART): a) Terkait dengan masalah (Spesific) b) Terukur (Measurable) c) Dapat dicapai (Achievable) d) Relevan, rasional (Realistic) e) Memiliki target waktu (Timebound). 29 dalam E) Menyusun rencana kegiatan penganggaran Tujuan jangka menengah dan jangka panjang tidak dapat dicapai sekaligus sebab banyak masalah yang harus dipecahkan sedang sumber daya terbatas. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan prioritas pengembangan program dengan memperhatikan mutu strategi DOTS. Untuk itu, implementasi pengembangan program dilakukan secara bertahap, dengan prinsip efektifitas dan efisiensi, yaitu : a) Mempertahankan Mutu, mencakup segala aspek mulai dari penemuan, diagnosis pasien, pengobatan dan penanganan pasien (case holding), sampai pada pencatatan pelaporan. Masing-masing aspek tersebut, perlu dinilai semua unsurnya, apakah sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. b) Pengembangan Wilayah, didasarkan pada: 1) Besarnya masalah : Perkiraan jumlah pasien TB BTA Positif 2) Daya ungkit : Jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan tingkat sosial-ekonomi masyarakat. 3) Kesiapan : Tenaga, sarana dan kemitraan. F) Menyusun rencana pemantauan dan evaluasi Dalam perencanaan perlu disusun rencana pemantauan dan evaluasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun rencana pemantauan dan evaluasi meliputi: a) Jenis-jenis kegiatan dan indikator, b) Cara pemantauan, 30 c) Pelaksana (siapa yang memantau), d) Waktu dan frekuensi pemantauan (bulanan / triwulan / tahunan). e) Rencana tindak lanjut hasil pemantauan dan evaluasi. B. Surveilans Salah satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan survailans harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program TB dapat diperoleh dari pencatatan di semua sarana pelayanan kesehatan dengan satu sistem baku. Formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di: 1) Sarana Pelayanan Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam melaksanakan pencatatan menggunakan formulir: a) Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06). b) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05). c) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01). d) Kartu identitas pasien TB (TB.02). e) Register TB sarana pelayanan kesehatan (TB.03 sarana pelayanan kesehatan) 31 f) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09) g) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10). h) Register Laboratorium TB (TB.04). Khusus penggunaan disesuaikan untuk dokter formulir selama praktek pencatatan informasi swasta, TB survailans dapat yang dibutuhkan tersedia. 2) Di Kabupaten/Kota Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai berikut: a) Register TB Kabupaten (TB.03) b) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07) c) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08) d) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11) e) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji Silang dan Analisis Hasil Uji silang Kabupaten (TB.12) f) Laporan OAT (TB.13) g) Data Situasi Ketenagaan Program TB h) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB 3) Di Provinsi Provinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai berikut: a) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota. 32 b) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota. c) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota. d) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang provinsi per kabupaten/kota. e) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota. f) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB. g) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB C. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) dalam program TB bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Pengembangan SDM ini, meliputi: 1) Standar Ketenagaan Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk terselenggaranya kegiatan program TB, yaitu: a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan, terdiri dari: (1) Puskesmas a) Puskesmas Rujukan Mikroskopis Puskesmas Pelaksana Mandiri : 33 dan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. b) Puskesmas satelit : minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB. c) Puskesmas Pembantu : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB. (2) Rumah Sakit Umum Pemerintah a) RS kelas A : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. b) RS kelas B : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. c) RS kelas C : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. d) RS kelas D, RSTP dan B/BKPM : kebutuhan terlatih minimal terdiri perawat/petugas dari TB, tenaga 2 dan pelaksana dokter, 1 tenaga laboratorium. (3) RS swasta : menyesuaikan. (4) Dokter Praktek Swasta, minimal telah dilatih 34 2 b. Tingkat Kabupaten/Kota (1) Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah puskesmas, RS dan Fasyankes lain diwilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang supervisor membawahi 10 - 20 Fasyankes. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 Fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor. (2) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lainlainnya, jumlah tergantung kebutuhan. c. Tingkat Provinsi (1) Supervisor/Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah Kab/Kota diwilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang supervisor membawahi wilayah 10-20 yang kabupaten/kota. memiliki lebih dari Bagi 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang supervisor. (2) Koordinator DOTS RS yang bertugas mengkoordinir dan membantu tugas supervisi program pada RS dapat ditunjuk sesuai dengan kebutuhan. (3) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lainlainnya, jumlah tergantung kebutuhan. (4) Tim Pelatihan: 1 koordinator pelatihan, 5 fasilitator pelatihan. 35 2) Pelatihan Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas. Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari: (a) Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training), program yaitu dengan penanggulangan DOTS`dalam memasukkan materi tuberkulosis strategi pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lain-lain). (b) Pelatihan dalam tugas (in service training), yang terdiri dari pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation), pelatihan penuh, pelatihan ulangan (retraining), pelatihan penyegaran, dan On the job training (pelatihan di tempat tugas/refresher) serta pelatihan lanjutan (continued training/advanced training. 3) Supervisi Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan kinerja petugas dengan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan secara langsung. Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah observasi, diskusi, bantuan teknis, bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan, mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran perbaikan. 36 D. Manajemen Laboratorium Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi. Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu: 1. Pemantapan Mutu Internal (PMI), yaitu 2. Pemantapan Mutu Eksternal (PME) 3. Peningkatan Mutu (Quality Improvement), terintegrasi dalam PMI dan PME E. Manajemen Logistik Pengelolaan logistik meliputi fungsi perencanaan, pengadaan, penyimpanan distribusi dan penggunaan. Siklus ini akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh suatu dukungan manajemen yang meliputi organisasi,pendanaan, sistem informasi, sumber daya manusia, dan jaga mutu. Jenis logistik program terdiri dari: 1) Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 2) Logistik Non Obat Anti Tuberkulosis (OAT) F. Monitoring dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program (Notoatmodjo, 2007). Pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan 37 perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarakwaktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan sampai dengan 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan dan pengembangan program(Kemenkes RI, 2011). Masing-masing (fasyankes, tingkat Kabupaten/Kota, pelaksana Propinsi, dan program Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan melaksanakan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran (Kemenkes RI, 2011). G. Kegiatan Penunjang, terdiri dari: 1. Promosi Promosi yang dilakukan oleh program pengendalian penyakit TB terdiri dari: a) Advokasi, diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung upaya pengendalian TB. Kebijakan yang dimaksud disini dapat mencakup peraturan perundangundangan di tingkat nasional maupun kebijakan daerah seperti Peraturan Daerah (PERDA), Surat Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa,dan lain sebagainya. 38 b) Komunikasi, strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan. c) Mobilisasi Sosial, merupakan strategi membangkitkan keinginan masyarakat, secara aktif meneguhkan konsensus dan komitmen sosial di antara pengambil kebijakan untuk menanggulangi TB. 2. Kemitraan Kemitraan program penanggulangan TB merupakan upaya untuk melibatkan berbagai sektor, baik dari pemerintah, legislatif, swasta, perguruan tinggi/kelompok akademisi, kelompok organisasi masyarakat (organisasi pengusaha dan organisasi pekerja, kelompok media massa, organisasi profesi, LSM, organisasi keagamaan, organisasi internasional) dalam upaya percepatan penanggulangan TB secara efektif, efisien dan berkesinambungan. Kemitraan TB dilaksanakan dengan prinsip kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan. 3. Penelitian Penelitian di bidang TB diperlukan untuk menyusun perencanaan dan pelaksanaan kegiatankegiatan untuk mencapai tujuan penanggulangan TB. Penelitian di bidang TB dapat meliputi penelitian operasional dan penelitian Penelitian operasional ilmiah (scientific). TB didefinisikan sebagai penilaian atau telaah terhadap unsur-unsur yang 39 terlibat dalam pelaksanaan program atau kegiatankegiatan yang berada dalam kendali manajemen program TB. Hal-hal yang dapat ditelaah dalam penelitian operasional TB antara lain meliputi sumber daya, akses pelayanan kesehatan, pengendalian mutu pelayanan, keluaran dan dampak yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja program penanggulangan nasional TB. Sedangkan penelitian operasional dapat dibagi atas dua jenis yaitu penelitian observasional dimana tidak ada manipulasi variabel bebas dan penelitian eksperimental yang diikuti dengan tindakan/intervensi terhadap variabel bebas. Penelitian observasional bertujuan menentukan status atau tingkat masalah, tindakan atau intervensi pemecahan masalah serta membuat hipotesis peningkatan kinerja program. Penelitian eksperimental melakukan intervensi terhadap input dan proses guna meningkatkan kinerja program. Banyak berbagai pihak, penelitian namun telah dilaksanakan kegunaanya jauh dari kepentingan program dan sulit diterapkan. Hal ini terjadi karena aspek yang diteliti tidak searah dengan permasalahan yang dihadapi oleh program. 2.2.8 Indikator Program Menurut Green (1992), indikator adalah variabel – variabel yang mengindikasikan atau memberikan petunjuk tentang suatu keadaan tertentu sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan (Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara 40 RI, 2008). Ada beberapa indikator yang digunakan dalam rangka pengendalian penyakit TB (Kemenkes RI, 2011), yaitu: a) Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut. Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%. b) Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR) Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. c) Angka Penjaringan Suspek Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). Fasyankes yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, 41 misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung. d) Proporsi Pasien TB Paru BTA positif di antara suspek yang diperiksa dahaknya Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka ini sekitar 5 – 15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan penjaringan suspek terlalu longgar, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Sedangkan bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). e) Proporsi Pasien TB Paru BTA positif di antara seluruh pasien TB paru Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati. Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif). f) Proporsi pasien TB anak di antara seluruh pasien Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Angka ini sebagai salah satu 42 indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. g) Angka Notifikasi Kasus (CNR) Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. h) Angka Konversi Adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%. i) Angka Kesembuhan Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, di antara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan tujuan: (a) Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat. 43 (b) Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris kedua (second-line drugs). (c) Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi pada pasien dengan HIV. j) Angka Kesalahan Laboratorium (Error rate) Adalah angka kesalahan laboratorium yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain. Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 5%. Apabila error rate = 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya < 5% berarti mutu pemeriksaan baik. Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung pada masingmasing laboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa yang ada diwilayahnya melaksanakan cross check, disamping menganalisa error rate per PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak secara mikroskopis langsung. 44 BAB III ALUR DAN JADWAL KEGIATAN MAGANG 3.1. Alur Kegiatan Bagan 3.1 Alur Kegiatan Magang • Pembuatan Proposal Magang • Pengajuan permohonan magang ke pihak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan • Konfirmasi ulang ke pihak institusi magang Tahap Persiapan • Penentuan pembimbing lapangan oleh pihak institusi magang Tahap Pelaksanaan Tahap Evaluasi dan Presentasi Laporan • Melaksanakan kegiatan magang mulai tanggal 11 Februari - 21 Maret 2014 • Mengikuti alur kerja institusi magang • Melakukan pengumpulan data yang diperlukan untuk laporan meliputi: • Gambaran umum Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 • Laporan tahunan program pengendalian tuberkulosis tahun 2013 • Gambaran proses pelaksanaan program pengendalian tuberkulosis tahun 2013 • Gambaran output program pengendalian tuberkulosis tahun 2013 • Melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing akademik dan pembimbing lapangan • Melakukan penyusunan laporan magang dibimbing oleh pembimbing akademik dan pembimbing lapangan • Presentasi laporan magang yang dihadiri oleh tim penguji yang terdiri atas pembimbing akademik, pembimbing lapangan, dan seorang penguji lain yang ditunjuk oleh panitia magang. 45 Berdasarkan bagan 3.1 diketahui bahwa kegiatan magang dilaksanakan dalam 3 tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi dan prensentasi laporan. Melalui kegiatan magang ini, diharapkan dapat diperoleh gambaran pelaksanan program pengendalian penyakit tuberkulosis di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan Seksi Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis. 3.2. Jadwal Kegiatan Magang Berikut ini adalah jadwal kegaiatan magang yang telah dilaksanakan oleh penulis selama magang di Seksi Program Pengendalian Penyakit Bidang Program Pengendalian Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014. Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Magang di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 No. Hari dan Tanggal Kegiatan Tempat 1. Selasa Memperkenalkan diri ke Dinkes 11 Februari 2014 Kepala seksi P2P Dinkes Tangsel Tangsel 2. Rabu Memperkenalkan diri ke staf Dinkes 12 Februari 2014 P2P dan Surimun Dinkes Tangsel Tangsel 3. 4. 5. Kamis Mengumpulkan data terkait Dinkes 13 Februari 2014 tuberkulosis Tangsel Jumat Melakukan diskusi terkait TB Dinkes 14 Februari 2014 Paru dan mengumpulkan data Tangsel Senin Melakukan diskusi terkait Dinkes 17 Februari 2014 indikator TB Paru dan Tangsel menyusun laporan 6. Selasa Melakukan diskusi terkait 46 Dinkes 7. 8. 18 Februari 2014 indikator TB Paru Tangsel Rabu Melakukan diskusi terkait Dinkes 19 Februari 2014 pemeriksaan laboratorium TB Tangsel Kamis Melakukan kunjungan dalam LSM 20 Februari 2014 rangka monitoring dan Aisyiyah evaluasi kader Community TB care. 9. Jumat Melakukan diskusi terkait Dinkes 21 Februari 2014 analisis penemuan kasus TB Tangsel di Banten dan Tangsel 10. Senin Melakukan diskusi terkait Dinkes 24 Februari 2014 faktor-faktor yang Tangsel mempengaruhi penemuan kasus TB BTA positif 11. Selasa Melakukan izin pengambilan Dinkes 25 Februari 2014 data surveilans ke kepala Tangsel seksi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Tangsel 12. Rabu Melakukan kunjungan LSM 26 Februari 2014 pelatihan kader PMO Aisyiyah Community TB Care 13. Kamis Melakukan kunjungan LSM 27 Februari 2014 pelatihan kader PMO Aisyiyah Community TB Care 14. Jumat Menyusun laporan, Dinkes 28 Februari 2014 mengumpulkan data, dan Tangsel menganalisis indikator pencapaian program 15. Senin Mengikuti kegiatan PKM. 3 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Pamulang 47 koreksi laporan data TB 01 dan TB 06 16. Selasa Mengikuti kegiatan PKM. 4 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Pondok koreksi laporan data TB 01 Betung dan dan TB 06 PKM. Jurangmang u 17. Rabu Mengikuti kegiatan PKM. 5 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Pondok koreksi laporan data TB 01 Aren dan dan TB 06 Pondok Pucung 18. Kamis Mengikuti kegiatan PKM. 6 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Pondok koreksi laporan data TB 01 Kacang dan TB 06 Timur dan PKM. Parigi 19. Jumat Mengikuti kegiatan PKM. Rawa 7 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Buntu, koreksi laporan data TB 01 Klinik dan TB 06 Rahma Medika, dan Klinik PT. Pratama 20. Senin Mengikuti kegiatan PKM. 10 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Benda Baru koreksi laporan data TB 01 dan RSUD dan TB 06 Tangsel 48 21. Selasa Mengikuti kegiatan PKM. 11 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Pondok koreksi laporan data TB 01 Ranji dan dan TB 06 PKM. Rengas 22. 23. 24. Rabu Mengikuti kegiatan dan PKM. 12 Maret 2014 menjadi fasilitator bimbingan Pondok software SITT dan koreksi Jagung dan laporan data TB 01 dan TB PKM. Paku 06 Alam Kamis Mengikuti kegiatan dan PKM. 13 Maret 2014 menjadi fasilitator bimbingan Ciputat software SITT dan koreksi Timur dan laporan data TB 01 dan TB PKM. 06 Pisangan Jumat Mengikuti kegiatan dan PKM. 14 Maret 2014 menjadi fasilitator bimbingan Ciputat dan SITT dan koreksi laporan PKM. data TB 01 dan TB 06 Kampung Sawah 25. 26. Senin Mengikuti kegiatan dan PKM. Situ 17 Maret 2014 menjadi fasilitator bimbingan Gintung dan SITT dan koreksi laporan PKM. data TB 01 dan TB 06 Jombang Selasa Mengikuti kegiatan dan PKM. 18 Maret 2014 menjadi fasilitator bimbingan Serpong I software SITT dan koreksi dan PKM. laporan data TB 01 dan TB Serpong II 06 27. Rabu Mengikuti kegiatan 49 PKM. 19 Maret 2014 28. bimbingan software SITT dan Kranggan koreksi laporan data TB 01 dan PKM. dan TB 06 Setu Kamis Mengikuti kegiatan PKM. 20 Maret 2014 bimbingan software SITT dan Bhakti Jaya koreksi laporan data TB 01 dan PKM. dan TB 06 Pondok Benda 29. Jumat Mengikuti kegiatan supervisi PKM. 21 Maret 2014 dari Dinkes Provinsi Banten Ciputat dan Kemenkes RI Dari tabel 3.1 diketahui bahwa kegiatan magang paling sering dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 adalah kegiatan bimbingan software SITT dan koreksi laporan data TB 01 dan TB 06 di 29 fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan sesuai dengan lampiran 1.2. 50 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Berdasarkan PP No. 8 tahun 2003 pasal 9, Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana kesehatan Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah (Murti,dkk., 2006). Dalam pelaksanaannya, Dinas Kesehatan ini memiliki kewenangan desentralisasi di bidang kesehatan dengan fungsi perumusan kebijakan teknis kesehatan, pemberian perizinan dan pelaksanaan kesehatan, serta pembinaan terhadap UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) kesehatan (Depkes RI, 2004). Secara umum, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah suatu unsur pelaksana keseahatan yang berada di bawah pemerintahan Kota Tangerang Selatan. Sebenarnya Kota Tangerang Selatan sendiri merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang kesehatan (Dinkes Tangsel, 2012). 4.1.1. Visi Menurut Aditya (2010), visi adalah suatu pandangan jauh tentang organisasi perusahaan, tujuan – tujuan organisasi atau perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut pada masa yang akan datang. Beberapa persyaratan yang hendaknya dipenuhi oleh suatu pernyataan visi: 51 1. Berorientasi ke depan. 2. Tidak dibuat berdasarkan kondisi saat ini. 3. Mengekspresikan kreatifitas. 4. Berdasar pada prinsip nilai yang mengandung penghargaan bagi masyarakat. Visi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah ”Rakyat Tangerang Selatan Mandiri dalam Hidup Sehat”. 4.1.2. Misi Misi adalah perrnyataan tentang apa yang harus dikerjakan oleh lembaga atau organisasi dalam usahanya mewujudkan visi (Aditya, 2010). Dalam upaya mencapai Visi Pembangunan Kesehatan di Kota Tangerang Selatan, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menetapkan beberapa misi Selatan yaitu : 1) Meningkatkan kemampuan pengetahuan masyarakat dan tenaga kesehatan. 2) Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan. 3) Meningkatkan kemampuan perlindungan, deteksi dini, dan penanggulangan penyakit menular dan tidak menular. 4) Meningkatkan jejaring kemitraan di bidang kesehatan. 4.1.3. Keadaan Umum Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106’ 38’ – 106’ 47’ Bujur Timur dan 06’ 13’ 30 – 06’ 22’ 30’ Lintang Selatan. Secara administratif, Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah 147,19 km2 atau 14.719 Ha. 52 Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. 4.1.4. Wilayah Kerja Pada awal pembentukan tahun 2009, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan memiliki cakupan wilayah kerja yang tersebar di 11 fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan. Kemudian pada beberapa tahun berikutnya, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan terus mengalami pemekaran hingga sekarang memiliki cakupan wilayah kerja menjadi 29 fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari 25 puskesmas, 1 Rumah Sakit Umum Daerah dan 3 klinik swasta (workplaces). Berikut ini adalah gambaran wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan berdasarkan persebaran puskesmas tahun 2013. 53 Bagan 4.1 Peta Kota Tangerang Selatan tahun 2013 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2013 Berdasarkan bagan 4.1 dapat diketahui bahwa Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan memiliki 25 Puskesmas terdiri dari 18 Puskesmas Perawatan dan 7 Puskesmas Non Perawatan dan 1 Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan. Puskesmas tersebut tersebar di beberapa kecamatan, yaitu: a) Kecamatan Ciputat Timur terdapat 4 puskesmas. b) Kecamatan Pamulang terdapat 3 puskesmas. c) Kecamatan Ciputat 4 terdapat puskesmas. d) Kecamatan Pondok Aren terdapat 6 puskesmas. e) Kecamatan Serpong Utara terdapat 2 puskesmas. f) Kecamatan Setu terdapat 3 puskesmas. g) Kecamatan Serpong terdapat 3 puskesmas. 54 4.1.5. Kependudukan Berdasarkan data laporan tahunan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013, diketahui bahwa jumlah penduduk di Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 No Nama Puskesmas Jumlah Penduduk 1 Setu 21.676 2 Kranggan 24.907 3 Bhakti Jaya 25.875 4 Serpong I 31.008 5 Serpong II 38.665 6 Rawa Buntu 80.454 7 Pamulang 8 Pondok Benda 9 Benda Baru 10 Ciputat 58.739 11 Kampung Sawah 66.496 12 Jombang 52.214 13 Situ Gintung 32.846 14 Ciputat Timur 68.844 15 Pisangan 68.725 16 Pondok Ranji 31.745 161.386 55 39.625 112.201 17 Rengas 26.334 18 Pondok Aren 43.376 19 Jurang Mangu 88.956 20 Parigi 28.558 21 Pondok Betung 81.748 22 Pondok Pucung 29.893 23 PondokKacang Timur 59.089 24 Pondok Jagung 61.336 25 Paku Alam 77.069 Kota Tangerang Selatan 1.411.765 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di Kota Tangerang Selatan adalah 1.367.185. Adapun jumlah penduduk tertinggi berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Sedangkan jumlah penduduk terendah berada di wilayah kerja Puskesmas Bhakti Jaya. 4.1.6. Sumber Daya Kesehatan Keberhasilan suatu institusi atau organisasi ditentukan oleh dua faktor yaitu sumber daya manusia dan sarana prasarana. Dari kedua faktor tersebut, faktor sumber daya manusia lebih penting daripada sarana prasana pendukung karena secanggih apapun fasilitas pendukung yang dimiliki suatu organisasi atau institusi, tanpa ada sumber daya manusia yang memadai baik kuantitas maupun kualitas, niscaya organisasi tersebut tidak dapat berhasil mewujudkan visi dan misi organisasi (Notoatmodjo, 2007). Berikut 56 ini adalah tenaga kesehatan, sarana dan prasarana yang terdapat di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 1. Tenaga Kesehatan Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan merupakan subyek sekaligus obyek pembangunan kesehatan. Kinerja puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya tenaga kesehatan (Dinkes Tangsel, 2012). Berdasarkan laporan tahunan 2013, diketahui bahwa tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan berjumlah 710 orang yang tersebar di setiap Puskesmas. Tenaga kesehatan tersebut terdiri dari: 1) Bidan sebanyak 247 orang. 2) Dokter umum sebanyak 66 orang. 3) Dokter gigi sebanyak 43 orang. 4) Perawat sebanyak 108 orang. 5) Perawat gigi sebanyak 15 orang. 6) Petugas gizi sebanyak 8 orang. 7) Kesehatan masyarakat sebanyak 6 orang. 8) Kesehatan lingkungan sebanyak 5 orang. 9) Asisten apoteker sebanyak 8 orang. 10) Apoteker sebanyak 3 orang. 11) Analis sebanyak 20 orang. 12) Pshycoterapis sebanyak 4 orang. 13) Non kesehatan sebanyak 177 orang. Dari penjabaran tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan yang paling banyak adalah tenaga bidan 57 sedangkan jumlah tenaga kesehatan yang paling sedikit adalah tenaga apoteker. 2. Sarana dan Prasarana Kesehatan Berikut ini adalah sarana dan prasarana kesehatan yang terdapat di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Tabel 4.2 Sarana dan Prasarana Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah Rumah Sakit 22 Puskesmas 25 Puskesmas dengan tempat perawatan 7 Puskesmas pembantu 13 Tempat tidur puskesmas perawatan 99 Balai pengobatan swasta 287 Praktek dokter umum swasta 287 Praktek dokter gigi swasta 125 Praktek dokter spesialis 107 Praktek bidan swasta 63 Laboratorium Klinik Swasta 30 Optik 42 Apotik 75 Toko Obat berizin 47 Industri kecil obat tradisional 3 Rumah bersalin swasta 33 Pengobatan tradisional 31 Puskesmas keliling 25 58 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Dari tabel 4.2 diketahui bahwa jenis sarana dan prasarana yang terbanyak di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah balai pengobatan swasta dan praktek dokter swasta. Sedangkan jenis sarana dan prasarana yang paling sedikit adalah industri kecil obat tradisional. Berdasarkan hasil wawancara dengan Wasor TB, diketahui bahwa seluruh puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan memiliki kelengkapan dalam segi pemeriksaan mikroskopis laboratorium. Oleh karena itu, seluruh puskesmas dikatogerikan sebagai Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Menurut Kemenkes RI (2011), PPM adalah puskesmas yang memiliki laboratorium mikroskopis TB yang berguna untuk melakukan pelayanan mikroskopis TB. 4.1.7. Pembiayaan Kesehatan Menurut Muninjaya (2011), ada empat sumber utama untuk membiayai pelayanan kesehatan, yaitu: 1. Pemerintah yang berasal dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kanupaten/kota. 2. Swasta, yang berasal dari investasi langsung oleh pihak swasta. 3. Masyarakat melalui pembayaran langsung atau yang terhimpun oleh perusahaan asuransi. 4. Hibah atau pinjaman luar negeri. Berdasarkan laporan tahun 2013, pembiayaan kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan bersumber dari APBD Kota Tangerang Selatan dan APBN, serta dana hibah dari Global 59 Fund. Berikut adalah sumber pembiayaan kesehatan Kota Tangerang Selatan. Tabel 4.3 Sumber Pembiayaan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 No. Sumber Pembiayaan Alokasi Anggaran Kesehatan Anggaran bersumber dari: 1. APBD Kab/Kota 250.305.182.485 a. Belanja Langsung 224.422.191.950 b. Belanja Tidak Langsung 25.882.990.535 2. APBD Provinsi 3. APBN : 8.192.337.400 Total Anggaran Kesehatan 508.802.702.370 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 4.2. Gambaran Morbiditas dan Mortalitas Penyakit Tuberkulosis di Kota Tangerang Selatan Angka kematian dan kesakitan merupakan indeks kesehatan yang penting untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat (Budiarto, 2002). Menurut (Timmreck, 2004) morbiditas (kesakitan) adalah derajat sakit, cedera, atau gangguan pada suatu populasi. Sedangkan mortalitas adalah istilah yang berarti “kematian”, atau menjelaskan kematian dan isu-isu yang terkait. Berdasarkan Depkes RI (2006), untuk mengetahui prediksi jumlah kasus dalam tahun berjalan, dapat digunakan analisis trend tahunan, yaitu dengan mempelajari periode peak seasional kasus. Berikut ini adalah grafik jumlah kasus dan kematian akibat penyakit tuberkulosis di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota tahun 2009 – 2013. 60 Grafik 4.1 Jumlah Kasus dan Kematian Akibat Penyakit Tuberkulosis di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013 Jumlah Kasus dan Kematian Akibat Penyakit Tuberkulosis di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013 2000 1852 1825 1500 1183 1000 1228 1094 Jumlah Kasus Jumlah Kematian 500 0 18 2009 16 2010 9 2011 44 2012 13 2013 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Dari grafik 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah kasus penyakit TB mengalami kenaikan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012. Namun pada tahun 2013, jumlah kasus penyakit TB mengalami penurunan walaupun tidak terlalu drastis. Hal ini juga sama pada jumlah kematian akibat penyakit TB di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Jumlah kematian ini mengalami kenaikan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012. Namun mengalami penurunan di tahun 2013. Menurut Kemenkes RI (2011), ada beberapa penyebab utama meningkatnya beban masalah TB, antara lain sebagai berikut. 1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat. 2. Kegagalan program TB selama ini yang diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya 61 organisasi pelayanan TB, tidak memadaianya tatalaksana kasus, dan lain-lain. 3. Perubahan demografi karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. 4. Adanya dampak pandemi dari penyakit HIV. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2014), dari tahun 2009 jumlah penduduk di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mengalami peningkatan dan mencapai klimaksnya pada tahun 2012. Oleh karena itu, faktor perubahan demografi penduduk dapat menjadi suatu indikasi meningkatnya jumlah kasus dan jumlah kematian akibat TB di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Hal tersebut didukung oleh data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2014) yang menunjukkan bahwa setiap tahunnya, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mengalami pemekaran wilayah kerja. Wilayah tersebut teridentifikasi dari cakupan wilayah kerja UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) di Kota Tangerang Selatan. Awal berdiri (tahun 2009), wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan hanya mencakup 11 UPK. Tahun berikutnya meningkat menjadi 13 UPK dan pada tahun 2011 menjadi 27 UPK. Kemudian pada tahun 2012 menjadi 28 UPK dan pada tahun 2013 jumlah UPK di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sebanyak 33 UPK. 4.2.1. Distribusi Penyakit Berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu Frekuensi dan distribusi masalah kesehatan (khususnya penyakit) pada umumnya bervariasi menurut karakteristik orang (person), tempat (place), dan waktu (time) (Bustan, 2006). Berikut adalah distribusi penyakit tuberkulosis berdasarkan karakteristik orang, tempat dan waktu 62 a. Orang (Person) Person adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi keterpaparan yang mereka dapatkan dan suskeptibilitasnya terhadap penyakit. Karakteristik dari person bisa berupa faktor genetik, umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaaan, dan status sosial-ekonomi (Bustan, 2006). Berdasarkan karakteristik orang, mayoritas penduduk yang mengalami penyakit tuberkulosis (TB) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2009 2013 adalah laki – laki yaitu sebesar 57%. Kemudian berdasarkan kategori umur, penyakit ini mayoritas menyerang orang dewasa yaitu sebesar 25% pada kisaran umur 25 – 34 tahun. Berikut adalah adalah bagan distribusi penyakit TB berdasarkan kategori jenis kelamin dan umur di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2009 - 2013. Bagan 4.2 Distribusi Penyakit Tuberkulosis menurut Jenis Kelamin dan Umur di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2009-2013 Distribusi Penyakit Tuberkulosis menurut Jenis Kelamin di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2009 - 2013 Distribusi Penyakit Tuberkulosis menurut Umur di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2009 - 2013 4% Laki - Laki Perempuan 5% 0 - 5 tahun 5% 5 - 14 tahun 10% 20% 13% 43% 15 - 24 tahun 25 - 34 tahun 18% 57% 25% 35 - 44 tahun 45 - 54 tahun 55 - 65 tahun > 66 tahun Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 63 b. Tempat (Place) Perbedaan distribusi penyakit menurut tempat memberikan petunjuk pola perbedaan penyakit yang dapat menjadi pegangan dalam mencari faktor-faktor lain yang belum diketahui (Bustan, 2006). Berikut ini adalah distribusi kasus TB berdasarkan Unit Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4.2 Distribusi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Unit Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 400 361 350 250 200 150 100 50 10094 96 63 82 88 74 53 51 65 31 56 36 35 26 0 0 36 27 50 17 80 68 28 42 45 55 29 29 8 0 0 0 0 0 Serpong I Pondok Jagung Ciputat Kampung Sawah Jombang Pondok Aren Pamulang Ciputat Timur Jurang Manggu Setu LKC Kranggan Parigi PT. Indah Kiat PT. Pratama Pondok Benda Benda Baru Situ Gintung Pondok Ranji Pisangan Rengas Pakualam Pondok Pucung Pondok Betung Pondok Kacang… Serpong II Rawa Buntu Bhakti Jaya RSUD Kota Tangsel RS Eka Hospital Premiere Bintaro RS Sari Asih Ciputat RS OMNI RS Medika Klinik Rahma Medika Jumlah Kasus 300 Unit Pelayanan Kesehatan Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 64 Berdasarkan grafik 4.2 diketahui bahwa jumlah kasus TB terbanyak di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 terdapat di RSUD Kota Tangerang Selatan yaitu sebesar 361 kasus. Sedangkan di beberapa Rumah Sakit atau Klinik Swasta seperti RS Eka Hospital, RS Sari Asih Ciputat, RS OMNI, RS Medika dan Klinik Rahma Medika, tidak ditemukan kasus TB. Menurut hasil wawancara dengan wasor TB Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa ada kendala dari pencatatan dan pelaporan kasus TB di Rumah Sakit dan Klinik Swasta tersebut sehingga data kasus TB tidak terlaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. c. Waktu Waktu kejadian penyakit dapat dinyatakan dalam jam, hari, bulan, atau tahun. Informasi waktu bisa menjadi pedoman tentang kejadian yang timbul dalam masyarakat. Mempelajari panjangnya waktu berguna untuk mengkaitkan dengan terjadinya perubahan angka kesakitan (Bustan, 2006). Penemuan kasus merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan indikator pengendalian TB, diketahui bahawa indikator Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate) merupakan angka berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan 65 pasien pada wilayah tertentu karena apabila dikumpulkan secara serial, angka ini akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tertentu (Kemenkes RI, 2011). Dari penjabaran tersebut, berikut ini adalah grafik mengenai Pola Penemuan Kasus (Case Notification Rate) Penyakit Tuberkulosis di Kota Tangerang Selatan tahun 2009 – 2013. Grafik 4.3 Pola Penemuan Kasus (Case Notification Rate) Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Puskesmas di Kota Tangerang Selatan tahun 2009 - 2013 (per 100.000 penduduk) 900 800 123 700 600 500 400 300 200 100 32 117 129 127 144 59 59 34 112 88 81 45 20 72 68 14 40 22 33 24 36 34 Serpong I Pondok Jagung Ciputat Kampung Sawah Jombang Pondok Aren Pamulang Ciputat Timur Jurang Manggu Setu Kranggan Parigi Pondok Benda Benda Baru Situ Gintung Pondok Ranji Pisangan Rengas Pakualam Pondok Pucung Pondok Betung Pondok Kacang Timur Serpong II Rawa Buntu Bhakti Jaya 0 19 57 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.3 diketahui bahwa pada tahun 2013 terjadi peningkatan penemuan kasus TB pada setiap Puskesmas di Kota Tangerang Selatan jika dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya. Menurut Kemenkes RI (2011), penemuan 66 2013 2012 2011 2010 2009 kasus TB merupakan strategi yang efektif dan efisien untuk mencegah penularan penyakit TB di masyarakat. 4.2.2. Distribusi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Klasifikasi Riwayat Pengobatan Berdasarkan Kemenkes RI (2011), klasifikasi penyakit TB berdasrkan riwayat pengobatan ,yaitu: 1) Kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps), yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default), yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure), yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In), yaitu pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Berikut ini adalah grafik distribusi klasifikasi penyakit tuberkulosis tahun 2013 yang diperoleh dari data 67 laporan Program Pengendalian Penyakit TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Grafik 4.4 Distribusi Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 900 800 700 Jumlah Kasus 600 500 400 300 200 100 0 Kasus Kambuh TB Default Pindah Baru Ekstra Paru Gagal Lain-lain Klasifikasi Kasus Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.4 diketahui bahwa klasifikasi kasus TB tertinggi di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah kasus baru yaitu sebesar 847 kasus. Sedangkan klasifikasi kasus yang terendah adalah kasus gagal. Jika dilihat dari jumlah kasus baru dan dibandingkan dengan klasifikasi kasus yang lainnya, dapat disimpulkan bahwa kegiatan penemuan kasus baru 68 penyakit TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sudah berjalan di Kota Tangerang Selatan. Namun berdasarkan hasil wawancara oleh wasor TB Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa salah satu kendala dalam kegiatan penemuan kasus di lapangan (fasilitas pelayanan kesehatan) adalah dalam menindaklanjuti kasus pindahan (transfer in). Menurut beliau, kendala tersebut dapat menyebabkan hasil pengobatan, kesembuhan, dan angka konversi menjadi bermasalah. Maka perlu dilakukannya pencatatan yang lebih terperinci mengenai klasifikasi penyakit TB terutama pada kasus pindahan yang terdapat di setiap fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan. 4.3. Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan 4.3.1. Struktur Organisasi Untuk dapat bekerja secara efektif dalam organisasi, seseorang harus memiliki pemahaman tentang struktur organisasi, Struktur organisasi adalah pola formal kegiatan dan hubungan di antara berbagai subunit dalam organisasi. Dengan memandang bagan organisasi, seseorang hanya melihat suatu susunan posisi, tugas-tugas pekerjaan dan garis wewenang dari bagian-bagian dari oganisasi (Gibson, 1996). Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah salah satu organisasi pelaksana program pengendalian penyakit tuberkulosis di wilayah kota Tangerang Selatan. Berdasarkan struktur organisasi yang terdapat di lampiran 1.1, diketahui bahwa Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan membawahi beberapa bidang. Salah satu bidang yang berhubungan dengan 69 program pengendalian penyakit tuberkulosis adalah Kepala bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Bidang tersebut membawahi 3 (tiga) Kepala seksi yaitu seksi Pengendalian Penyakit, seksi, Surveilans dan Imunisasi, dan seksi Kesehatan Lingkungan. Seksi Program Pengendalian Penyakit melaksanakan 8 (delapan) prioritas program pengendalian penyakit, yaitu filariasis, DBD, HIV/AIDS, kusta, ISPA, diare, tuberkulosis, dan penyakit tidak menular. Berikut ini adalah bagan struktur organisasi dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan hasil wawancara oleh wasor TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa pemegang program pengendalian penyakit TB berjumlah 1 (satu) orang yang juga merangkap sebagai wasor TB di Kota Tangerang Selatan. Pada pelaksanaannya, beliau membawahi 29 UPK. Padahal menurut Kemenkes RI (2012), setiap pemegang program TTB membawahi 10-20 UPK. Kemudian menurut Kemenkes RI (2011), setiap organisasi pelaksana tingkat kabupaten/kota memiliki tim DOTS. Berdasarkan hasil wawancara oleh wasor TB, diketahui bahwa tim DOTS TB berada di setiap fasilitas pelayanan kesehatan Kota Tangerang Selatan. Tim DOTS tersebut terdiri dari 29 orang dokter, 28 orang pengelola TB, dan 29 orang petugas laboratorium. Dari 29 dokter, diketahui ada 1 dokter yang merangkap sebagai pengelola program, yaitu di Puskesmas Pondok Betung. Selain itu, berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa ada beberapa pengelola program TB yang juga mengelola program lain. 70 Berdasarkan penjabaran tersebut dapat diindikasikan bahwa masih kurangnya tenaga kesehatan di Kota Tangerang Selatan terutama dalam program pengendalian TB. 4.3.2. Tujuan Program Suatu program dikatakan baik apabila memiliki tujuan yang jelas dan operasional. Tujuan program adalah hasil akhir sebuah kegiatan. Tujuan program ini dipakai untuk mengukur keberhasilan kegiatan program (Muninjaya, 2004). Menurut Kemenkes RI (2011), tujuan yang akan dicapai ditetapkan berdasar kurun waktu dan kemampuan tertentu. Tujuan ini dibedakan menjadi : 1. Tujuan Umum, biasanya cukup satu dan tidak terlalu spesifik. 2. Tujuan khusus, penjabaran dari tujuan umum yang dipecah menjadi beberapa tujuan khusus yang lebih spesifik dan terukur. Secara umum, tujuan program pengendalian tuberkulosis adalah sebagai berikut. A. Tujuan Umum Tujuan umum adalah suatu tujuan yang masih bersifat umum dan masih dapat dijabarkan ke dalam tujuantujuan khusus dan pada umum masih bersifat abstrak (Notoatmodjo, 2007). Terkait kendala telaah dokumen mengenai tujuan program, maka dilakukan wawancara ke dua orang informan yang berhubungan dengan program pengendalian penyakit, yaitu Kepala Seksi Program Pengendalian dan wasor program TB. Berdasarkan hasil wawacara oleh Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit, dapat diketahui bahwa tujuan umum dari program pengendalian TB adalah 71 menurunkan angka prevalensi kasus TB di masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari hasil transkrip wawancara oleh Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit. “Tujuan umumnya menurunkan angka prevalensi TB yang ada di masyarakat.” (M.R. Kepala Seksi P2P) Sebenarnya menurut Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit, tujuan umum ini ada di setiap laporan tahunan namun tujuan tersebut merupakan gabungan dengan program yang lainnya. Pada saat hal ini diklarifikasikan ke wasor program TB, pihak wasor program TB membenarkan mengenai penggabungan tersebut. “iya, tujuan umum program pengendalian TB gabung dengan tujuan bidang P2PL namun secara garis besar, tujuan program pengendalian TB mengikuti tujuan nasional yaitu memutuskan mata rantai penularan dan menyembuhkan pasien tuberkulosis.” (H.M. Wasor TB) B. Tujuan Khusus Tujuan khusus adalah tujuan-tujuan yang dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan khusus merupakan jembatan untuk tujuan umum, artinya tujuan umum yang ditetapkan akan tercapai apabila tujuan-tujuan khususnya tercapai (Notoatmodjo, 2007). Sama halnya dengan tujuan umum, data terkait tujuan khusus ini juga tidak dapat diperoleh. Namun berdasarkan hasil wawancara oleh Kepala Seksi Program 72 Pengendalian Penyakit, diketahui bahwa tujuan khusus dari program pengendalian penyakit TB antara lain. 1. Meningkatkan penemuan kasus baru. 2. Meningkatkan angka kesembuhan. 3. Menurunkan angka kekebalan kuman terhadap antibiotik sehingga mencegah terjadinya MDR TB. 4. Menekan angka kekambuhan. Berikut ini adalah hasil transkrip wawancara oleh Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit. “Pertama, menigkatkan penemuan kasu baru. Yang kedua meningkatkan angka kesembuhan. Menurunkan angka kekebalan kuman terhadap antibiotik supaya tidak terjadi MDR, tau?! Kemudian menekan angka kekambuhan. Sudah.” (M.R. Kepala Seksi P2P) Menurut Kemenkes RI (2011) dan Muninjaya (2004), ada beberapa kirteria yang diperlukan dalam menetapkan tujuan antara lain : a) Terkait dengan masalah (Specific), yaitu jelas sasarannya dan mudah dipahami oleh staf pelaksana. b) Terukur (Measurable), yaitu dapat diukur kemajuannya. c) Dapat dicapai (Achievable), yaitu sesuai dengan strategi nasional, tujuan program, dan visi/misi institusi dan sebagainya. d) Relevan (Realistic), yaitu dapat dilaksanakan sesuai dengan fasilitas dan kapasitas organisasi yang tersedia. e) Memiliki Target waktu (Timebound), yaitu sumber daya dapat dialokasikan dan kegiatan dapat direncanakan untuk mencapai tujuan program sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan. 73 Tabel 4.5 Identifikasi Tujuan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 berdasarkan Kriteria SMART (Kemenkes RI, 2011) Tujuan Umum Tujuan Khusus Kriteria SMART Kesesuaian berdasarkan Kemenkes RI (2011) Menurunkan angka Meningkatkan penemuan kasus TB Terkait dengan masalah (Spesific) Sesuai prevalensi kasus TB di baru. Terukur (measurable) Sesuai masyarakat Dapat dicapai (appropriate) Sesuai Relevan atau rasional (realistic) Sesuai Meningkatkan angka kesembuhan. Menurunkan angka kekebalan kuman 74 Memiliki target waktu (timebound) Belum Sesuai Terkait dengan masalah (Spesific) Sesuai Terukur (measurable) Sesuai Dapat dicapai (appropriate) Sesuai Relevan atau rasional (realistic) Sesuai Memiliki target waktu (timebound) Belum Sesuai Terkait dengan masalah (Spesific) Sesuai terhadap antibiotik sehingga mencegah Terukur (measurable) terjadinya MDR TB. Dapat dicapai (appropriate) Menekan angka kekambuhan. Sesuai Relevan atau rasional (realistic) Belum Sesuai Memiliki target waktu (timebound) Belum Sesuai Terkait dengan masalah (Spesific) Sesuai Terukur (measurable) Dapat dicapai (appropriate) 75 Belum sesuai Belum Sesuai Sesuai Relevan atau rasional (realistic) Belum Sesuai Memiliki target waktu (timebound) Belum Sesuai Berdasarkan tabel 4.5 mengenai tujuan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 dengan kriteria SMART, diketahui bahwa terdapat beberapa tujuan yang belum sesuai, yaitu: 1. Pada tujuan kusus meningkatkan penemuan kasus TB baru dan Meningkatkan angka kesembuhan Pada dua tujuan khusus ini, ketidaksesuaian tersebut terletak pada batasan waktu tujuan tersebut akan terlaksana. Hal ini diketahui dari hasil wawancara oleh wasor TB yang tidak mengetahui mengenai batasan waktu tersebut. 2. Pada tujuan kusus menurunkan angka kekebalan kuman terhadap antibiotik (MDR) Berdasarkan Pedoman Pengendalian TB (Kemenkes RI, 2011), masalah pengendalian TB MDR sudah menjadi strategi nasional di Indonesia tahun 2010 – 2014. Dari hasil diskusi oleh Bapak Solah Imari, diketahui bahwa pengukuran penurunan angka kekebalan kuman dilakukan secara langsung oleh program pengendalian TB di tingkat nasional. Jadi, pihak Dinas Kesehatan melakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan menjamin pengobatan pasien secara tuntas sampai sembuh. Oleh karena itu, berdasarkan hasil observasi dan telaah dokumen kegiatan program pengendalian TB, tidak ditemukan kegiatan yang menjurus ke dalam kegiatan untuk menurunkan angka MDR serta tidak ditemukan batasan waktu pelaksanaannya. 3. Pada tujuan khusus menekan angka kekambuhan Sama halnya dengan penjabaran sebelumnya, angka kekambuhan tidak dapat diukur karena tidak ada indikator terkait hal tersebut. Selain itu, dalam segi relevansi, tujuan khusus ini belum sesuai dalam pelaksanaannya karena berdasarkan hasil observasi, kapasitas tenaga kesehatan di 76 wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan masih terbilang sedikit. Dalam segi batasan waktu, tujuan khusus ini belum menjabarkan batasan waktu pelaksanaan tujuan tersebut. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali beberapa tujuan khusus agar dalam setiap pelaksanaan dapat terukur, ada batasan waktu, dan sesuai dengan kapasitas tenaga kesehatan di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 4.3.3. Sasaran Program Sasaran adalah kelompok masyarakat tertentu yang akan digarap oleh program yang direncanakan tersebut (Notoatmodjo, 2004). Menurut Kemenkes RI (2011), penetapan sasaran dan target program pengendalian TB terbagi menjadi: a) Sasaran wilayah, ditetapkan dengan memperhatikan besaran masalah, daya ungkit, dan kesiapan daerah. b) Sasaran penduduk, yaitu seluruh penduduk di wilayah tersebut. c) Penetapan target, yaitu dengan memperkirakan jumlah pasien TB baru yang ada di suatu wilayah yang ditetapkan secara nasional. Menurut Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit, sasaran program pengendalian penyakit tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, yaitu: 1. Sasaran wilayah adalah Kota Tangerang Selatan. 2. Sasaran penduduk adalah seluruh masyarakat. 3. Penetapan target adalah 70% penemuan kasus baru (CDR) dan 85% kesembuhan (SR). 77 4.3.4. Strategi Program Menurut Mintzberg, strategi adalah pola (strategy is patern) yang selanjutnya disebut sebagai “ intended strategy” karena belum terlaksana dan berorientasi ke masa depan. Selain itu, strategi program bisa disebut juga sebagai “realized strategy” karena telah dilakukan oleh organisasi (Suryana, 2010). Menurut Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit, strategi Program Pengendalian Penyakit TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mengikuti strategi pelayanan DOTS yang diarahkan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan RI. Hal tersebut sesuai dengan salah satu isi dari Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009, yaitu penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS (Depkes RI, 2009). 4.3.5. Pelaksanaan Kegiatan Program Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah salah satu organisasi pelaksana yang dikelompokkan dalam tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, kegiatan yang dilakukan oleh Program Pengendalian Penyakit TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disesuaikan dengan aspek manajemen program TB yang terdapat dalam Pedoman Pengendalian Nasional Penyakit TB (Kemenkes RI, 2011), yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengembangan sumber daya pencatatan manusia, dan pelaporan, pemantapan mutu laboratorium, pengelolaan logistik, monitoring dan evaluasi, serta kegiatan penunjang seperti promosi, kemitraan, dan penelitian. Setelah menyusun rencana, langkah selanjutnya adalah meelaksanakan rencana yang sudah disusun (Azwar, 2010). 78 Berdasarkan hasil wawacara oleh wasor TB, didapatkan bahwa pelaksanaan program pengendalian penyakit TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut. 1. Perencanaan program Tuberkulosis Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun recana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang akan muncul di masa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh wasor TB, Setiap tahun di triwulan 4, perencanaan program TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dibuat dengan melihat jumlah kasus penyakit TB pada tahun sebelumnya. Perencanaan tersebut berupa Dokumen Penggunaan Anggaran (DPA) yang berisi jadwal kegiatan dalam satu tahun tersebut, biaya operasional di setiap kegiatan, dan lain – lain. Berikut ini adalah hasil traskrip wawancara yang dilakukan dengan Wasor TB. “Perencanaan program TB setiap tahun berubah sesuai jumlah kasus TB. Perencanaan program itu berupa Dokumen Penggunaan Anggaran yang mbak liat dulu.” (H.M. Wasor TB) Menurut Kemenkes RI (2011), penyusunan perencanaan dan penganggaran meliputi tahapan sebagai berikut. 1. Pengumpulan data 79 2. Analisis situasi 3. Menetapkan masalah prioritas dan pemecahannya 4. Menetapkan tujuan, sasaran, dan indikator 5. Menyusun rencana kegiatan penganggaran 6. Menyusun rencana pemantauandan evaluasi Menurut Wasor TB, pelaksanaan kegiatan penyusunan perencanaan dan penganggaran di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disesuaikan dengan tahapan dari Kemenkes RI tahun 2011 tersebut. 2. Surveilans Program Tuberkulosis Surveilans adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit secara sistematik, lalu dilakukan analisis dan interpretasi data, kemudian hasil analisis didesiminasi untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian serta untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ada 3 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans berdasarkan data rutin, survei periodik / survei khusus, dan survei sentinel (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan Wasor TB, diketahui bahwa metode surveilans yang digunakan adalah surveilans rutin yang terbagi menjadi laporan per bulan dan laporan per 3 bulan. Jenis data TB yang dikumpulkan oleh Wasor TB sesuai dengan arahan dari Kemenkes RI yaitu terdiri dari register TB Kabupaten (TB.03), laporan triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07), laporan triwulan Hasil Pengobatan (TB.08), laporan triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11), formulir 80 Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang Kabupaten (TB.12), laporan OAT (TB.13), data Situasi Ketenagaan Program TB, dan Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB. Dalam proses pengumpulan data, diketahui bahwa proses pengumpulan data bukan berasal dari bagian Sumber Daya Kesehatan namun meminta data tersebut langsung ke setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal berdasarkan tingkatnya di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, proses pengumpulan dimulai dari bidang Sumber Daya Kesehatan lalu dikategorikan berdasarkan jenis program oleh pihak surveilans. Setelah itu, data tersebut baru diberikan ke setiap program untuk dianalisis. Menurut Wasor TB, terdapat kesulitan dalam menganalisis data yang berasal dari pihak surveilans karena karena pengumpulan data yang dilakukan tidak spesifik dengan klasifikasi penyakit tuberkulosis. Oleh karena itu, pengumpulan data dilakukan langsung oleh Wasor TB ke setiap fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dalam proses pengumpulan data, menurut Wasor TB, terdapat beberapa kendala dalam kelengkapan dan ketepatan laporan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan terutama di Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta, yaitu tidak ditemukannya kasus TB di beberapa Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta. Menurut Wasor TB, seluruh Rumah Sakit Swasta di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tidak melaporkan kasus TB karena tidak ada tenaga 81 kesehatan yang mencatat setiap kasusTB yang ada di instansi tersebut. 3. Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis Monitoring dan evaluasi merupakan bagian yang penting dari proses manajemen karena dengan evaluasi akan diperoleh umpan balik terhadap program atau pelaksanaan kegiatan (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan Wasor TB, diketahui bahwa monitoring dan evaluasi diselenggarakan sebanyak 4 kali dalam setahun. Kegiatan monev ini didanai oleh Global Fund dan APBD. Untuk monev yang didanai oleh Global Fund, biasanya dilaksanakan pada triwulan 1 dan triwulan 3. Sedangkan untuk monev yang didanai oleh APBD, biasanya dilaksanakan pada triwulan 2 dan triwulan 4. Berikut ini adalah hasil traskrip wawancara dengan Wasor TB. “Monev setiap tahunnya dilakukan 4 kali. Triwulan 1 dan 3 didanai oleh Global Fund, triwulan 2 dan 4 didanai oleh APBD.” (H.M. Wasor TB) Tujuan dari monitoring dan evaluasi Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah untuk mengetahui apakah kegiatan program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana kerja, serta mengetahui hambatan dan masalah dalam pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Program Pengendalian Penyakit 82 Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan meliputi: a. Penjabaran mengenai program pengendalian TB dan pencapaian indikator secara umum di Kota Tangerang Selatan dan per fasilitas pelayanan kesehatan. b. Penjabaran mengenai hasil supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. c. Melakukan umpan balik terkait surveilans program TB, kinerja pengelola Program TB, dan hasil dari uji silang sediaan laboratorium di setiap fasilitas pelayanan kesehatan d. Melakukan tindak lanjut terkait masalah yang ada di setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Kemenkes RI (2011), seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Selain itu, program dievaluasi dengan menilai sejauh mana tujuan dan target tercapai melalui indikator TB. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sudah sesuai dengan arahan dari Kemenkes RI. 4. Penyimpanan dan Pendistribusian Logistik Program Tuberkulosis Menurut Kemenkes RI (2011), penyimpanan dan pendistribusian logistik adalah salah satu bagian dari pengelolaan logistik. Berdasarkan wawancara dengan Wasor TB, diketahui bahwa penyimpanan logistik dilakukan di dua 83 tempat yaitu di Instalasi farmasi dan Gudang yang berada di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Menurut Kemenkes RI (2011), penyimpanan harus memenuhi standar yang ditetapkan, yaitu: 1) Tersedia ruangan yang cukup untuk penyimpanan, tesedia cukup ventilasi, sirkulasi udara, pengaturan suhu, penerangan, aan dari pencurian, kebakaran atau bencana lainnya. 2) Keadaan tempat penyimpanan bersih, rak tidak berdebu, lantai disapu dan tembok dalam keadaaan bersih. 3) Setiap penerimaan dan pengeluaran barang harus tercatat. 4) Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expired First Out), artinya obat yang kadaluarsanya lebih awal diletakkan di depan agar dapat didistribusikan lebih awal. Menurut Wasor TB dan Kepala Seksi Pengendalian Penyakit, salah satu kendala dalam Program Pengendalian TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, yaitu dalam penyimpanan logistik TB. Menurut Wasor TB, banyak logistik yang disimpan di gudang Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Padahal gudang tersebut tidak sesuai dengan standar penyimpanan logistik dari Kemenkes RI. Untuk pelaksanaan kegiatan pendistribusian logistik, proses pendistribusian logistik yang dilakukan oleh Program Pengendalian Penyakit TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sudah sesuai dengan arahan dari Kemenkes RI (2011), yaitu: 1) Distribusi logistik khususnya obat mengacu pada prinsip FEFO. 84 2) Sistem distribusi dapat dilakukan secara tarik dan dorong (push and pull distribution) yaitu pusat ke gudang kab/kota/propinsi melakukan pengiriman sesuai dengan perencanaan tahunan (push) dan khusus buffer stock dilakukan dengan permintaan (pull). 5. Pelatihan Program Tuberkulosis Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil wawancara oleh Wasor TB, diketahui bahwa pada tahun 2013 telah dilaksanakan kegiatan pelatihan yang meliputi: 1) Pelatihan Program TB Pelatihan program TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan pengetahuan mengenai program TB agar langsung dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan. Kegiatan ini ditujukan untuk dokter, perawat, analis laboratorium, dan apoteker terutama pengelola program TB. Kegiatan ini tidak dilakukan langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, namun dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Banten yang bersumber dana dari hibah Global Fund. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013, diketahui bahwa masih banyak tenaga kesehatan program TB di fasilitas pelayanan kesehatan yang belum melakukan pelatihan program TB. 85 Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2013), diketahui bahwa sumber daya manusia program TB Paru di fasilitas pelayanan kesehatan berjumlah 90 orang yang terdiri dari dokter, perawat, dam tenaga laboratorium. Dari jumlah tersebut, terdapat 76,7% dokter penanggung jawab program TB dan 63,3% tenaga laboratorium yang belum melakukan pelatihan terkait program TB. Sedangkan perawat yang belum melakukan pelatihan hanya 3,45%. Padahal menurut Kemenkes RI (2011), peningkatan mutu dan kinerja petugas dapat ditingkatkan salah satunya dengan cara mengikuti pelatihan. 2) On The Job Training On The Job Training adalah kegiatan yang dialakukan setelah mengikuti pelatihan sebelumnya, tetapi masih ditemukan masalah dalam kinerjanya, dan cukup diatasi hanya dengan dilakukan supervisi (Kemenkes RI, 2011). Dalam pelaksanaanya, kegiatan On The Job Training di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Seltan melakukan presentasi tentang pelaksanaan operasional laboratorium yang meliputi pembuatan sediaan dahak yang berkualitas sampai dengan cara penggunaan dan perawatan mikroskop. Kegiatan ini terlaksana di seluruh fasilitas pelayanan kesehatn di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 6. Supervisi 86 Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan kinerja petugas dengan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan secara langsung. Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah observasi, diskusi, mendiskusikan bantuan permasalahan teknis, yang bersama-sama ditemukan, mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran perbaikan (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil wawancara oleh Wasor program TB, diketahui bahwa supervisi ini dilakukan 2 kali dalam setahun. Pelaksanaan kegiatan ini biasanya dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, bersama-sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan mendatangi salah satu fasilitas pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mewawancarai dan melakukan observasi kepada pihak pemegang program TB di fasilitas pelayanan kesehatan yang sesuai dengan Daftar Tilik Supervisi Program Penanggulangan TB Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Ke Sarana Pelayanan Kesehatan yang ada di lampiran 1.3. Kegiatan ini terlaksana di seluruh fasilitas pelayanan kesehatn di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 7. Manajemen Uji Silang Sediaan Laboratorium Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Kemenkes RI, 2011). 87 Berdasarkan hasil wawancara oleh Wasor program TB, diketahui bahwa seluruh puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan dikategorikan sebagai Puskesmas Pelaksana Mandiri sehingga proses pemeriksaan mikroskopis bisa langsung dilakukan di setiap puskesmas. Namun salah satu kendala di lapangan adalah kurangnya sumber daya tenaga laboratorium yang berasal dari analis laboratorium. Secara umum, kegiatan uji silang ini ditujukkan untuk seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini wajib dilakukan setiap bulannya oleh setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Namun pada pelaksanaannya, kegiatan uji silang sediaan ini tidak sesuai dengan target. Pada tahun 2013 di triwulan 4 diketahui bahwa dari 29 fasilitas pelayanan kesehatan Kota Tangerang Selatan, hanya 22 fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan uji silang sediaan laboratorium. Dari seluruh kegiatan yang terdapat di lampiran 1.4, diketahui bahwa secara pelaksanaan semua kegiatan tersebut sudah terlaksana di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Namun semua kegiatan tersebut tidak dianalisis lebih lanjut mengenai tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilihat dari pencapaian indikator di setiap kegiatan dan tidak dihubungkan dengan dengan pencapaian indikator Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 4.3.6. Pencapaian Indikator Program Menurut Kemenkes RI (2011), keberhasilan program pengendalian penyakit tuberkulosis ditentukan dari pencapaian 88 beberapa indikator. Berikut beberapa indikator yang digunakan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, terutama di bagaian Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis tahun 2013. mengetahui upaya Indikator tersebut antara lain: 1) Angka Penjaringan Kasus Angka ini digunakan untuk penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan) (Kemenkes RI, 2011). Berikut adalah grafik angka penjaringan suspek di Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4.5 Angka Penjaringan Suspek di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 2000 1859 1800 1743 1600 1462 1425 Jumlah Kasus 1400 1200 1000 800 600 1058 1103 1090 827 824 546 400 200 609 470 477408 234 227 170113 0 Puskesmas Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 89 619 583 208 344 234296 144 115 Berdasarkan grafik 4.5 diketahui bahwa angka penjaringan suspek TB di Kota Tangerang Selatan sebesar 619 suspek per 100.000 penduduk. Angka penjaringan tertinggi terdapat di puskesmas Setu yaitu sebesar 1859 suspek per 100.000 penduduk. Sedangkan angka penjaringan terendah terdapat di puskesmas Pondok Ranji yaitu sebesar 113 suspek per 100.000 penduduk. Padahal berdasarkan telaah dokumen, diketahui bahwa jumlah penduduk di puskesmas Pondok Ranji hampir sama dengan jumlah penduduk di Puskemas Serpong I yaitu 31.745 penduduk di Puskesmas Pondok Ranji dan 31.008 penduduk di Puskesmas Serpong I. Menurut hasil penelitian dari RYE, Saleh, Hadiwijoyo (2009), diketahui bahwa petugas yang melakukan penjaringan suspek TB memiliki peluang 8.92 kali mendapatkan cakupan penemuan kasus yang tinggi. 2) Proporsi Pasien TB BTA Positif di antara Suspek Menurut Kemenkes (2011), proporsi Pasien TB BTA Positif di antara Suspek adalah suatu indikator yang dapat menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Berikut tabel proporsi BTA positif di antara suspek di wilayah kerja Dinas Kesehatan Tangerang Selatan tahun 2013. Berikut adalah grafik proporsi BTA positif di antara suspek di Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 90 Grafik 4. 6 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di antara Suspek di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) 35 33 30 25 20 15 21 17 17 15 15 14 12 12 12 12 10 11 10 10 10 9 9 9 8 8 8 7 7 7 7 7 6 6 5 4 0 PISANGAN PONDOK BETUNG PONDOK JAGUNG PONDOK RANJI PAKU ALAM PAMULANG PONDOK PUCUNG JOMBANG PONDOK KACANG… PONDOK AREN PONDOK BENDA KRANGGAN BHAKTI JAYA JURANG MANGGU SITU GINTUNG RSU TANGSEL RAWA BUNTU SERPONG I LKC RENGAS KAMPUNG SAWAH CIPUTAT TIMUR PARIGI PT. PRATAMA SETU CIPUTAT BENDA BARU SERPONG II RS EKA HOSPITAL KLINIK RAHMA MEDIKA KOTA TANGSEL 0 10 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.6 dapat diketahui bahwa dari 29 fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerja Kota Tangerang Selatan, terdapat 6 fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki proporsi BTA Positif di antara suspek kurang atau bahkan melampaui kisaran angka 5-15%. Angka yang kurang atau terlalu kecil (<5%) yaitu RS Eka Hospital dan Klinik Rahma Medika. Sedangkan angka yang terlalu besar (>15%) yaitu Puskemas Pisangan, Pondok Betung, Pondok Jagung, dan Pondok Ranji. Menurut Kemenkes RI (2011), angka yang terlalu rendah dari 5% menjadi suatu indikasi bahwa terjadi masalah 91 pada kriteria suspek yang terlalu longgar dan ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Sedangkan angka yang melampaui 15%, menjadi suatu indikasi bahwa terjadi masalah kriteria suspek yang terlalu ketat dan ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). 3) Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di antara Semua Pasien TB Paru Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di antara Semua Pasien TB Paru adalah suatu indikator yang dapat menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular di antara seluruh pasien TB yang diobati. Berikut adalah pasien TB Paru BTA positif di antara semua pasien TB Paru yang tercatat/diobati di Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4. 7 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di antara semua Pasien TB di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) 97 100 100 84 75 74 64 40 45 48 44 21 78 38 48 66 60 64 60 35 39 57 61 44 24 38 22 42 37 SETU KRANGGAN BHAKTI JAYA SERPONG I SERPONG II PRAWA BUNTU PAMULANG PONDOK BENDA BENDA BARU CIPUTAT KAMPUNG SAWAH JOMBANG SITU GINTUNG CIPUTAT TIMUR PISANGAN PONDOK RANJI RENGAS PONDOK AREN JURANG MANGGU PARIGI PONDOK BETUNG PONDOK PUCUNG PONDOK KACANG… PONDOK JAGUNG PAKUALAM RSUD TANGSEL RS EKA HOSPITAL PT PRATAMA LKC 120 100 80 60 40 20 0 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 92 Berdasarkan grafik 4.7 diketahui bahwah hanya ada 8 fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang memiliki proporsi pasien TB Paru BTA positif di antara semua pasien TB lebih dari 65% yaitu Puskesmas Setu, Bhakti Jaya, Rawa Buntu, Pamulang, Kampung Sawah, Pisangan, Parigi, dan RS Eka Hospital. Sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan yang proporsi pasien TB Paru BTA positif di antara semua pasien TB terendah adalah Puskesmas Ciputat. Menurut Kemenkes RI (2011), angka proporsi pasien TB Paru BTA positif di antara semua pasien TB yang kurang dari 65% menjadi suatu indikasi bahwa mutu dari diagnosis fasilitas pelayanan kesehatan tersebut rendah dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA positif). 4) Proporsi Pasien TB Anak di antara seluruh Pasien TB Proporsi Pasien TB Anak di antara seluruh Pasien TB adalah suatu indikator yang berfungsi untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Berikut adalah grafik proporsi pasien TB anak di Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4. 8 Proporsi Pasien TB Anak di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) 93 16 14 14 13 12 11 10 10 8 6 4 2 0 Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan data yang didapatkan dari laporan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014, diketahui bahwa proporsi pasien TB anak dilaporkan berdasarkan triwulan dan gabungan dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan. Dari data tersebut diketahui bahwa setiap triwulan, prosentase angkanya berada di bawah 15%. Menurut Kemenkes RI (2011), angka yang terlalu besar dari 15% menjadi suatu indikasi terjadi overdiagnosis. Jadi dapat disimpulkan bahwa seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan sudah tepat dalam pendiagnosisan TB pada anak. 5) Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate) Angka notifikasi kasus adalah salah satu indikator yang berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah 94 tertentu. Berikut adalah grafik proporsi pasien TB anak di Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4. 9 Angka Notifikasi Kasus TB di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (per 100.000 penduduk) SETU KRANGGAN BHAKTI JAYA SERPONG I SERPONG II RAWA BUNTU PAMULANG PONDOK BENDA BENDA BARU CIPUTAT KAMPUNG… JOMBANG SITU GINTUNG CIPUTAT TIMUR PISANGAN PONDOK RANJI RENGAS PONDOK AREN JURANG… PARIGI PONDOK… PONDOK… PONDOK… PONDOK… PAKU ALAM 500 450 400 310 350 258 300 250 203 170 157 200 143145 141 141 123 141 103 112 150 99 93 82 77 73 75 100 57 55 54 46 32 36 50 0 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.9 diketahui bahwa ada hanya ada 9 puskesmas yang sudah melampai target penemuan kasus. Sedangkan puskemas yang memiliki angka CNR terendah adalah Puskesmas Benda baru. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Friskarini dan Manalu (2009) mengenai Peran dan Perilaku Tenaga Kesehatan terhadap Program TB Paru (Studi Kualitatif di Kabupaten Tangerang Banten Tahun 2009) menyatakan bahwa penampilan tenaga kesehatan sebagai media penyuluh terutama dalam program TB masih kurang dan jumlah tenaga kesehatan di daerah penelitian yang dapat membantu keberhasilan TB masih kurang. 6) Angka Konversi 95 CNR Target Menurut Kemenkes RI (2011), angka konversi adalah prosentase perubahan pasien baru TB Paru BTA Positif yang menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Berikut adalah grafik angka konversi di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4.10 Angka Konversi di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) 120 100 98 98 96 93 92 92 89 89 85 85 83 83 80 80 80 78 75 73 73 73 73 67 65 64 75 61 60 38 33 40 20 5 SERPONG I KAMPUNG… PONDOK… JOMBANG CIPUTAT TIMUR BHAKTI JAYA SERPONG II RAWA BUNTU PONDOK AREN RENGAS PONDOK… PAMULANG BENDA BARU PT. PRATAMA SETU PONDOK… PONDOK… KRANGGAN CIPUTAT JURANG… PONDOK BENDA PAKUALAM LKC PISANGAN PARIGI SITU GINTUNG PONDOK RANJI RSU TANGSEL RS EKA… KOTA TANGSEL 0 52 50 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.10 diketahui bahwa secara umum angka konversi di Kota Tangerang Selatan masih rendah yaitu 75% (target 80%). Hal ini dapat terlihat dari 29 fasilitas pelayanan kesehatan, terdapat 15 fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki angka konversi dan yang paling rendah terdapat di RS Eka Hospital. Menurut pemegang program TB, angka konversi ini juga dipengaruhi dari pelaporan dan kelengkapan data yang diberikan setiap triwulan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa rumah sakit yang bermitra dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, umumnya memiliki kendala dalam pencatatan dan pelaporan. 96 Konversi % Target % 7) Angka Kesembuhan Angka kesembuhan merupakan indikator penting dalam program pengendalian TB Paru karena dari angka ini, suatu fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengetahui hasil pengobatan. Di tingkat Kabupaten,angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Namun, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah. Berikut adalah tabel angka kesembuhan per puskemas di wilayah Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4.11 Angka Kesembuhan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) 97 120 100 10010010096 93 92 88 88 87 87 86 83 80 79 76 74 73 73 71 68 76 63 63 50 45 60 40 42 37 20 25 0 0 SETU BHAKTI JAYA CIPUTAT TIMUR SERPONG I PONDOK BETUNG PAMULANG KAMPUNG SAWAH PONDOK JAGUNG BENDA BARU PT. PRATAMA RAWA BUNTU PARIGI RENGAS LKC PONDOK KACANG… KRANGGAN PAKUALAM CIPUTAT PONDOK AREN PISANGAN JURANG MANGGU PONDOK BENDA SITU GINTUNG RSU TANGSEL JOMBANG PONDOK RANJI RS Eka Hospital SERPONG II PONDOK PUCUNG KOTA TANGSEL 0 33 Kesembuhan % Target % Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.11 dapat diketahui bahwa angka kesembuhan per puskemas di wilayah kerja Kota Tangerang Selatan tahun 2013 masih di bawah target nasional (85%) yaitu sebesar 76%. Menurut pemegang program TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, angka kesembuhan ini berhubungan dengan follow up pengobatan pasien yang melakukan pindahan ke luar fasilitas pelayanan kesehatan yang sebelumnya pasien tersebut jalani. 8) Angka Keberhasilan Pengobatan Menurut Kemenkes RI (2011), angka keberhasilan pengobatan adalah prosentase pasien baru TB Paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) di antara pasien baru TB Paru BTA positif yang tercatat. Berikut adalah grafik angka keberhasilan pengobatan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 98 Grafik 4.12 Angka Keberhasilan Pengobatan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) SETU BHAKTI JAYA SERPONG II CIPUTAT TIMUR SERPONG I KAMPUNG… PAMULANG PT. PRATAMA PONDOK BETUNG PONDOK JAGUNG PISANGAN BENDA BARU RAWA BUNTU RENGAS PONDOK RANJI PARIGI PONDOK… LKC KRANGGAN CIPUTAT PONDOK AREN PAKUALAM PONDOK BENDA JURANG… PONDOK… JOMBANG RSU TANGSEL RS Eka Hospital SITU GINTUNG KOTA TANGSEL 120 100100100100 96 96 94 93 93 88 88 87 86 85 83 83 81 100 82 80 80 76 74 73 69 69 80 64 60 56 50 60 45 40 20 0 Keberhasilan % Target % Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan grafik 4.12 diketahui bahwa secara umum angka keberhasilan pengobatan di Kota Tangerang Selatan masih di bawah target (85%) yaitu 82%. Faislitas pelayanan kesehatan yang paling rendah adalah puskemas Situ Gintung. Menurut pemegang program TB di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, angka keberhasilan ini juga dapat dipengaruhi oleh sejauh mana pasien melakukan pindahan di luar fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, dilakukan follow up perkembangan pengobatan pasien. 9) Angka Kesalahan Laboratorium (Error Rate) Angka Error Rate adalah angka kesalahan baca laboratorium yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide/sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksaan pertama setelah di uji silang (cross check) oleh LBK atau laboratorium rujukan lainnya (Kemenkes RI, 2011). Berikut 99 adalah grafik angka Error Rate di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Grafik 4.13 Angka Error Rate di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 (%) 9 8 8 7 7 6 5 4 3 2 2 1 0 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 Berdasarkan hasil wawancara oleh pemegang program TB, diperoleh data mengenai angka Error Rate namun angka di triwulan IV belum dapat diketahui karena hasil tersebut didapatkan dari Labkesda (laboratorium Kesehatan Daerah) yang menjadi rujukan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dari data tersebut diketahui bahwa pada triwulan I dan II, angka Error Rate > 5%, yaitu sebesar 8% dan 7%. Sedangkan pada triwulan III angka Error Rate < 5%, yaitu sebesar 2%. Menurut Kemenkes RI (2011), angka Error Rate yang <5% dapat diartikan bahwa mutu pemeriksaan di suatu fasilitas pelayanan kesehatan sudah baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa 100 mutu pemeriksaan laboratorium mengalami perbaikan dari tiap triwulan dan pada triwualn III, mutu pemeriksaan tersebut sudah baik. BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Simpulan dari laporan magang di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut. 1. Jumlah morbiditas dan mortalitas Penyakit Tuberkulosis di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2012. 2. Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 dilaksanakan oleh pemegang program/wasor TB dan dibantu oleh Tim DOTS yang tersebar di setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Wasor TB tersebut membawahi 29 UPK dan bertanggung jawab terhadap Kepala Seksi Program Pengendalian Penyakit di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 3. Tujuan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 secara umum, yaitu menurunkan angka prevalensi kasus TB di masyarakat. Kemudian tujuan khususnya, yaitu: 1) Meningkatkan penemuan kasus TB baru 2) Meningkatkan angka kesembuhan 101 3) Menurunkan angka kekebalan kuman terhadap antibiotik sehingga mencegah terjadinya MDR TB. 4) Menekan angka kekambuhan. 4. Sasaran Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 antara lain sebagai berikut. a. Sasaran wilayah adalah Kota Tangerang Selatan. b. Sasaran penduduk adalah seluruh masyarakat. c. Penetapan target adalah 70% penemuan kasus baru dan 85% kesembuhan. 5. Strategi Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 disesuaikan dengan strategi dari pusat yaitu strategi pelayanan DOTS. 6. Pelaksanaan kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013, yaitu: 1) Perencanaan program Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan disesuaikan dengan tahapan dari Kemenkes RI tahun 2011. 2) Surveilans Program Tuberkulosis, terdapat beberapa kendala dalam kelengkapan dan ketepatan laporan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan terutama di Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta, yaitu tidak ditemukannya kasus TB di beberapa Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta 3) Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis sudah sesuai dengan arahan dari Kemenkes RI tahun 2011. 4) Penyimpanan logistik di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang disimpan tidak sesuai dengan standar penyimpanan logistik dari Kemenkes RI. Sedangkan pendistribusian logistik sudah sesuai dengan arahan dari Kemenkes RI. 5) Pelatihan Program Tuberkulosis, terdiri dari pelatihan program TB dan On The Job Training. Namun masih banyak tenaga kesehatan 102 program TB di fasilitas pelayanan kesehatan yang belum melakukan pelatihan program TB terutama tenaga dokter dan tenaga laboratorium. 6) Supervisi sudah terlaksana di seluruh fasilitas pelayanan kesehatn di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 7) Manajemen Uji Silang Sediaan Laboratorium umumnya terlaksana namun belum sesuai dengan target yaitu kegiatan ini dilakukan oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Tangerang Selatan. Selain itu, kendala lainnya adalah kurangnya sumber daya tenaga laboratorium yang berasal dari analis laboratorium. 8) Pencapaian indikator Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 masih rendah karena hanya 2 indikator yang sudah memenuhi target pencapaian indiaktor, yaitu Proporsi pasien TB anak dan Proporsi Pasien TB Paru BTA positif di antara suspek yang diperiksa dahaknya. 5.2 Saran Adapun saran bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan terutama Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis adalah sebagai berikut. 1. Perlu ditambahnya tenaga kesehatan di Kota Tangerang Selatan mengingat masih banyak tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan maupun di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan yang masih merangkap. 2. Perlu diperkuatnya jejaring kemitraan dengan rumah sakit swasta klinik swasta agar pencatatan dan pelaporan menjadi lengkap dan tercapainya beberapa indikator termasuk angka penemuan kasus dengan cara mensosialiasikan kebijakan terkait hubungan Dinas Kesehatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerja tersebut. 3. Perlunya ditinjau kembali mengenai tujuan umum dan tujuan khusus dari program pengendalian penyakit tuberkulosis agar lebih jelas, terukur, dan terarah untuk melihat pencapaian program selama setahun sepekan. 103 4. Perlunya koordinasi mengenai tugas dan wewenang dalam manajemen logistik terutama dalam hal penyimpanan logistik antara Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dengan Instalasi gudang/farmasi agar penyimpanan lebih tearah. 5. Perlunya dibuat indikator di setiap kegiatan agar dapat dianalisis dampak pelaksanaan kegiatan dengan pencapaian indikator di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 6. Perlunya dilakukan pemantauan mengenai jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan uji silang sediaan laboratorium. DAFTAR PUSTAKA Aditya, Tommy. 2010. Pengertian Visi dan Misi. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014 dari link: http://www.scribd.com/doc/202326860/Pengertian-VisiDan-Misi Azwar, Azrul. 2010. Pengantar Administarasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher. Budiarto, Eko dan Anggraeni, Dewi. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bustan, Muhammad, Nadjib. 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. _______. 2008. 505 Tanya-Jawab Epidemiologi. Makassar: Putra Asaad Print. Murti, dkk. 2010. Perencanaan dan Penganggaran untuk Investasi Kesehatan di Tingkat Kabupaten dan Kota. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 104 Chin, James. 2012. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17 Cetakan IV. Diterjemah oleh I Nyoman Kandun. Jakarta: Infomedika. Depkes RI. 2004. Desentralisasi Kabupaten/Kota. Jakarta: Depkes RI. _______. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2 Cetakan I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _______. 2008. Riset Kesehatan Dasar tahun 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. ________. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan TB . Jakarta: Kemenkes RI. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014 dari link: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364 %20ttg%20Pedoman%20Penanggulangan%20Tuberkolosis%20(TB).pdf Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Data Program Pengendalian Penyakit TB Tahun 2013. Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Eryando, dkk. 2013. Modul GIS Dasar. Depok : FKM UI. Gibson, Ivancevich. 1996. Organisasi : Perilaku, Struktur, dan Proses. Jakarta: Binarupa Aksara. Laban,Yohannes Y. 2008. TBC : Penyakit dan Cara Pencegahannya. Yogyakarta: Kanisius. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI Direktorat Pengendalian Lingkungan. 105 Penyakit dan Penyehatan ________. 2012. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. _______. 2012. Rencana Aksi Nasional Pengembangan SDM Pengendalian Tuberkulosis 2011 – 2014. Jakarta: Kemenkes RI. ________. 2013. Fakta Seputar Tuberkulosis Pengendalian Tuberkulosis Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Muninjaya, A.A. Gede. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. _______. 2011. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Prayitno, Subur. 2005. Dasar-Dasar Administrasi Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Airlangga University Press. RYE, A., Saleh, Y. D., & Hadiwijoyo, Y. 2009. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Penderita TB Paru di Kota Palu Sulawesi Tengah. Berita Kedokteran Masyarakat, vol. 25 no. 2. Timmreck, Thomas C. 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar Edisi 2. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. World Health Organization. 2013. Global Tuberculosis Report 2013. Geneva: WHO. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga. Werdhani, Retno, Asti. 2002. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okulasi, 106 dan Keluarga FK UI. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014 dari link: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf Suharno. 2010. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta :UNY Press. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014 dari link: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Karya%20B-Buku%20Dasardasar%20Kebijakan%20Publik.pdf Suryana. 2010. Manajemen Strategik Untuk Bisnis dan Organisasi Non Profit. Diakses pada tanggal 30 Maret 2014 dari link: https://docs.google.com/document/d/1P3a_2Yppm_EPH1OdhAyQNyNBW1uBE7UPyATCDvLcKY/edit?hl=en 107 Lampiran 1.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2013 Kepala Dinas Kelompok Jabatan Fungsional Sekretariat Sub. Bag. Perencanaan Sub. Bag. Umum dan Kepegawaian Sub. Bag. Keuangan Bidang Bina Kesehatan Masyarakat Seksi Kes. Reproduksi Ibu dan KB Seksi Peningkatan Gizi Masyarakat Seksi Kes. Anak, Remaja, dan Lansia Bidang Pelayanan Kesehatan Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Seksi Sertifikasi dan Sarana Kesehatan Seksi Kesehatan Khusus Seksi Pengendalian Penyakit Seksi Perbekalan Kesehatan Seksi Surveilans dan Imunisasi Seksi Peran Serta Masyarakat Seksi Penyehatan Lingkungan UPTD Puskesmas UPTD Gudang Farmasi UPTD Labkesda Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 108 Bidang Pengembangan Sumber Daya Seksi Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Lampiran 1.2 Gambar Sosialisasi dan Bimbingan Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu Tahun 2014 109 110 111 Lampiran 1.3 Daftar Tilik Supervisi Program Penanggulangan TB Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Ke Sarana Pelayanan Kesehatan Kabupaten/ Kota : ....................................................................................... Tanggal Kunjungan : ........................................................................................ Unit kesehatan yang dikunjungi : ......................................................................................... Nama Petugas yang disupervisi : ......................................................................................... Jabatan : ......................................................................................... 1. Sumber Daya Manusia Tim DOTS UPK Nama Dilatih(Tahun) Aktif/ Tidak Pimpinan UPK : ………………………… ……………… : ………………………… ……………… : ………………………… ……………… : ………………………… ……………… : ………………………… ……………… ………………… Dokter ………………… Petugas Program ………………… Petugas Lab …....…………… Lain-lain ………………… 2. Review Kegiatan Bersama Petugas a. Penemuan Penderita 1) Jumlah suspek di periksa dahaknya : a. Tw lalu b. Tw sedang berjalan a) Apakah semua suspek TB dicatat di TB 06? 112 Ya Tidak : ………………………………………… b) Apakah catatan di TB 06 dibuat secara lengkap dan benar? Ya Tidak : ………………………………………… c) Apakah semua suspek TB dibuatkan TB 05 untuk melakukan pemeriksaan mikroskopis? Ya Tidak : ………………………………………… d) Apak catatan di TB 04 dibuat dengan benar dan lengkap? Ya Tidak : ………………………………………… 2) Penderita TB BTA Positif : 3) Proporsi BTA (+) diantara suspek : .../….x 100% =…..% (Target 5-15%) 4) Angka Penemuan Kasus (CDR) :…/... x 100=…% (Target 70%) b. Pengobatan Penderita 1) Apakah semua penderita yang ditemukan sudah dapat pengobatan? Ya Tidak : ……………………………………… 2) Apakah semua penderita yang diobati (termasuk penderita BTA Neg/Ro Pos, EP dan TBC anak) mempunyai kartu penderita (TB.01) yang lengkap dan benar? Ya Tidak : ……………………………………… 3) Apakah jenis kategori obat yang diberikan sesuai dengan klasifikasi dan tipe penderita? Ya Tidak : ……………………………………… 4) Cara pemberian obat : Tahap intensif setiap hari dosis tunggal? Ya Tidak : ……………………………………… 113 Tahap lanjutan seminggu 3 kali dengan selang waktu (hari) 1-1-2? Ya Tidak ……………………………………….. 5) Apakah penderita menelan obat diunit pelayanan dengan pengawasan langsung petugas? Ya Tidak : ……………………………………. 6) Apakah untuk semua penderita sudah ditunjuk seorang PMO? Ya Tidak : …………………………………… 7) Apakah PMO telah diberi penyuluhan? Ya Tidak : ……………………………………. 8) Apakah pemeriksaan dahak ulang dilaksanakan sesuai protap (pada akhir tahap intensif, pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan)? Ya Tidak : …………………………………… 9) Apakah ada penderita yang mangkir yang belum dilacak? Ya Tidak : …………………………………… 10) Apakah semua penderita tercatat dalam buku register penderita (TB.03)? Ya Tidak : …………………………………… 11) Berapa jumlah penderita baru BTA Positif yang mulai Pengobatan dalam periode 3 bulan yang lalu? ………… 12) Berapa jumlah yang mengalami konversi? …….. 13) Angka persentasi konversi : .../….x 100% = ...% (Target 80%) 14) Berapa jumlah pasien yang sembuh? ……… 15) Angka persentasi pasien yang sembuh : …/...x 100% = ….% (Target 85%) 16) Periksa sisa obat dari penderita yang sementara dalam pengobatan, apakah sisanya sesuai dengan catatan pada kartu penderita (sampel)? Ya Tidak : …………………………………… 3. Persediaan Obat Dan Bahan-bahan perlengkapan a. Obat 1) Apakah jumlah stok OAT cukup? 114 2) Apakah ada obat yang sudah atau hampir kadaluarsa (Kat 1&3 : 6-7 bulan )? Ya Tidak : …………………………………….. b. Kelengkapan 1) Apakah pot dahak, kaca sediaan, kartu penderita dan formulir-formulir lainnya cukup? Ya Tidak : …………………………………… 4. Khusus untuk unit pelayanan yang melakukan pemeriksaan mikroskopis : a. Pewarnaan dan Pembacaan 1) Apakah buku register laboratorium (TB.04) diisi dengan lengkap dan benar? Ya Tidak : ……………………………………… 2) Apakah semua hasil pemeriksaan sediaan sudah dikirim ke unit yang memintanya? Ya Tidak : ……………………………………………. 3) Apakah persediaan reagens cukup? Ya Tidak : …………………………………………… 4) Apakah reagens tersebut belum kadaluarsa (6 bulan)? Ya Tidak : …………………………………………… b. Mikroskop 1) Apakah penggunaan mikroskop binokuler? Ya Tidak : ……………………………………………. 2) Apakah penyimpanan mikroskop sesuai petunjuk (bebas debu, bebas getaran, ditempat kering dan dipasangi lampu 5 watt)? Ya Tidak : ……………………………………………. 3) Apakah kondisi mikroskop dalam keadaan baik? Ya Tidak : ……………………………………………. c. Penyimpanan dan pengambilan sediaan untuk cross chek : 115 1) Apakah slide positif dan slide negatif disimpan dalam kotak tersendiri? Ya Tidak : ……………………………………………. 2) Ambil slide untuk cross chek sesuai petunjuk, yaitu seluruh slide positif 10 % (secara acak), slide negatif, dengan ketentuan 1 slide untuk tiap penderita. Isi formulir pengiriman sediaan untuk cross chek (TB.12) Ya Tidak : ……………………………………………. 5. Bagaimana cara pembuangan limbah Laboratorium? ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… 6. Ringkasan masalah-masalah yang ditemukan? ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… 7. Rencana tindak lanjut (siapa, kapan dan dimana pemecahan masalah tersebut akan dilaksanakan) ……………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… Kota Tangerang Selatan,…………......... Mengetahui, Kepala Puskesmas Supervisor ………………………. Hidayatul Mustafid, SKM NIP. NIP. 19861020 201001 1 004 116 Lampiran 1.4 Pelaksanaan Kegiatan Program Pengendalian Penyakit Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan tahun 2013 No. Kegiatan Waktu Sumber Dana APBD Donor tingkat (Global II Fund) 1. Perencanaan Triwulan 4 √ 2. Surveilans Setiap bulan dan per 3 √ bulan √ 3. Monitoring dan Evaluasi Triwulan 1 dan 3 4. Monitoring dan Evaluasi Triwulan 2 dan 4 √ 5. On The Job Training Februari dan Juni √ software SITT 6. Pelatihan Program TB 7. Supervisi √ Sekali setiap tahun Setahun 2 kali √ Maret dan Juli Sumber : Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014 117