dekomposisi lamun 11

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIV, Nomor 4, 1999 : 11 - 20
ISSN 0216- 1877
DEKOMPOSISI LAMUN
oleh
Muhammad Husni Azkab 1)
ABSTRACT
DECOMPOSITION OF SEAGRASSES. The significance of detritus as an
important factor determining many features of aquatic ecosystem is generally
recognized. The detritus of seagrasses are capable of producing enormous amounts
of organic matter which are utilized in three tropic pathways; directly in
herbivory, indirectly in detritivory, and direct uptake of soluble organic matter by
microorganisms. The dead leaves and roots of seagrasses undergo two types of
breakdown; a mechanical one and a biochemical one. This paper will discuss
decomposition under aerobic and anaerobic conditions and decomposition rate in
nature.
PENDAHULUAN
(penyu, duyung, manatee dan beberapa jenis
ikan) dilaporkan juga memakan lamun.
(BERTRAM & BERTRAM 1968;
KINGDON 1971; RANDALL 1965;
RANWELL & DOWNING 1959; WOOD et
al. 1969). Walaupun biota-biota tersebut tidak
ada yang termasuk golongan "grazer", tetapi
secara kuantitatif sangat penting karena dalam
jumlah besar produksi lamun dapat masuk ke
rantai makanan melalui dekomposer.
Di awal abed ke-20 ahli botani laut
menaru perhatian pada struktur trofik,
komunitas bentik dan daya dukung dari
suatu area untuk produksi ikan, dimana
detritus Zostera merupakan komponen yang
mendasar dari rantai makanan di laut
(FENCHEL 1977). Pada dua dekade terakhir,
perhatian dari ahli ekologi laut lebih
meningkat lagi untuk mempelajari produktivitas makrofita, serasah, dekomposer rantai
Padang lamun diketahui merupakan
salah satu sistem biologi yang paling produktif
yaitu antara 500 sampai 1000 g C/m2 per
tahun. Lamun tersebar luas di dasar perairan
dan pantai pesisir, bahkan beberapa daerah
lamun merupakana organisme yang dominan
di dasar perairan dan memberikan sumbangan
yang sangat besar dalam produksi primer
(BURKHOLDER & DOHENY 1968; MANN
1972; McROY 1970; WOOD et al. 1969).
Walaupun hanya beberapa biota laut yang
menggunakan/memakan secara langsung
lamun tersebut. Beberapa jenis teripang (sea
urchin) dapat memakan daun lamun, tetapi
ada kecendrungan selektif terhadap
makanannya dan mencernakannya sangat
efisien. Di daerah tropik beberapa hewan
invertebrate (gastropoda) dan vertebrate
1)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.
11
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
makanan dan siklus mineral dari sedimen.
Hal ini menunjukkan bahwa detritus
merupakan suatu hal yang penting sebagai
faktor yang menentukan dalam ekosistem
perairan laut. Hanya saja pada kenyataannya
peranan detritus akan menjadi lebih kompleks
dari yang digambarkan oleh ahli biologi
pada saat permulaan abad ke-20.
Tulisan ini mengetengahkan beberapa
aspek dari bahan organik di lingkungan
perairan, khsusunya bagian detritus dari
lamun, termasuk dekomposisi pada keadaan
aerob dan anaerob dari detritus tersebut.
Respon Organisme Terhadap Dekomposisi
Primer Detritus
Fakta menunjukkan bahwa biota laut
hanya sebuah tingkatan yang sangat kecil
sehingga kemampuan mempergunakan detritus yang diperoleh dari material tanaman
mati merupakan hal yang secara umum
penting sebagai dasar dari dekomposisi.
Assosiasi protozoa yang memakan detritus
seperti bakteri atau protis lain menunjukkan
hal yang baik untuk mempelajari grup
mikrometazoa (FENCEL 1972). NEWELL
(1965) mempelihatkan bahwa ada dua
moluska yang memakan detritus yaitu
Hydrobia dan Macoma. Kedua kelompok
moluska ini hanya mengasimilasi (mencerna)
bagian kecil dari karbon organik untuk
makanan mereka dan bagian makanan ini
indentik dengan kandungan nitrogen. Jika
kotoran hewan ini tersimpan di laut beberapa
lama, maka karbon organik tersebut akan
berkurang, tetapi zat organik nitrogen akan
bertambah. Jadi kotoran hewan tersebut akan
merupakan makanan yang baik untuk hewan
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara
nyata hewan pemakan detritus hanya
memakan assosiasi mikroflora dalam detritus
tersebut. Mikroflora akan mensintesis protein berdasarkan energi dari kandungan
karbohidrat detritus dan melarutkan nitrogen
anoraganik dari air. HARGRAVE (1970)
menunjukan bahwa amphipoda air tawar,
Wyalella mengassimilasi hanya 6 sampai
15% dari mated organik sebagai makanannva.
Hasil yang sama telah dilakukan oleh
FENCHEL (1970, 1972) untuk gastropoda,
Hydrohia ventrosa, kerang Macoma balthica
dan amphipoda Parhyalella whelpleyi dan
Corophium volutator, dimana detritus organik
dalam bagian yang besar dikomposisi dari
lamun. Semua hewan ini mempunyai
assimilasi yang efisien yang melebih dari
90 % dibandingkan dengan bakteri dan pro-
DEKOMPOSISI PADA KEADAAN
AEROB
Pada prinsipnya daun dan akar dari
tumbuhan berpembuluh yang mati akan
mengalami due tipe kerusakan (pematahan)
yaitu : a. secara mekanik, dan b. secara
biokimia. Unsur-unsur larutan utama dari
material tanaman keluar pada waktu yang
pendek dan menjadi salah satu bagian dari
organik terlarut pada suatu sistem. Daundaun muda dan tua dari zostera marina
mengandung sekitar 20 dan 12 % larutan
organik (MANN 1972), dimana hal ini merupakan bagian penting dari produksi. Produksi
ini akan ditransfer dalam bentuk material
organik pada aktivitas bakteri (OLAH 1972;
RILEY 1970). Pada sistem laut dangkal
sebagian besar material yang dilepaskan
dalam bentuk partikel dan material ini akan
digunakan oleh bakteri di sedimen. Pada
percobaan sistem tertutup, dimana konsentarsi
material yang dilepaskan agak tinggi, akan
mengakibatkan penurunan bakteri yang cepat.
Daun-daun yang lepas akan dipecah langsung
oleh gelombang dan kemudian penguraiannya
oleh aktivitas invertebrata dengan memakan
tunas-tunas atau partikel-partikel detritus yang
mengakibatkan ukuran rata-rata detritus akan
menurun dari waktu ke waktu.
12
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tozoa, serta lebih 50-80 % dari mikroalgae.
Lebih lanjut KRISTENSEN (1972)
mengatakan bahwa secara kuantitatif dalam
aktivitas pencernaan karbohidrat dari biota
invertebrata di laut dangkal, mayoritas dari
mereka adalah pemakan detritus. Dengan
pengecualian pada penguraian khitin dan
alginan yang keduanya tidak begitu berarti
untuk tanaman berpembuluh. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa hewan-hewan tersebut
dapat menggunakan hanya sedikit dari
partikel, bagian detritus makrofita dan energi
dari bahan tersebut langsung digunakan oleh
bakteri sebelum digunakan oleh hewan
invertebrata tersebut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bakteri dan jamur
memegang peranan sebagai dekomposisi
primer dari lamun.
menunjukkan bahwa hanya pada lapisan luar
sel yang dihuni oleh bakteri, dimana pada
bagian tengah dari partikel sangat jarang
dihuni oleh bakteri. Hal ini mungkin karena
terbatasnya oksigen. Keberadaan oksigen
sering didemonstrasikan sebagai faktor
pembatas dalam aktivitas bakteri. Pada
percobaan laboratorium menunjukkan bahwa
detritus dan air yang diaduk akan mnunjukkan
kenaikan yang berarti dalam penggunakan
oksigen oleh bakteri. (FENCHEL 1972;
HARGRAVE 1972). Fakta menunjukkan
bahwa pada sedimen di perairan dangkal
dengan sedikit padang lamun, akan terjadi
penurunan proses kimiawi beberapa millimeter, dan memperlihatkan tingkat konsentrasi
oksigen, dan kesediaan oksigen tersebut
merupakan faktor pembatas yang penting
dalam dekomposisi aerob di alam.
Satu hal perlu diingat bahwa detritus
yang berasal dari tanaman tingkat tinggi
sangat miskin dengan nutrien yang esensial,
sedangkan bakteri mengandung kandungan P
dan N yang tinggi. Rasio C/N pada daun
segar dan daun mati pada Zostera marina
sekitar 8 dan 15 dan rasio C/P sekitar 200
(MANN 1972). Bakteri mempunyai rasio C/
N sekitar 5,7 dan C/P sekitar 27 (SPECTOR
1956). Jadi bakteri yang mengdekomposisi
detritus tanaman harus mengassimilasi nutrien
anorganik dari air dan menambah detritus
dengan nitrogen dan fosfor. Hal ini berarti
tersediannya bagian yang penting tersebut
akan membatasi kecepatan dekomposisu dan
detritus tentunya akan digunakan oleh tingkat
trofik yang lebih tinggi.Dalam sistem
detritus, nutrien mineral akan dapat
memperpanjang siklus antara bakteri dengan
hewan lainnya. Menurut JOHANNES (1968)
dan POMEROY (1960) bahwa bakteri
peranannya kecil dalam mengekskresi fosfat
dan ada kecendrungan menyimpannya.
Padahal untuk tanaman nutrien ini penting
dalam proses ekskresi nutrien lainnya.
Faktor Pengontrol Dari Bakteri Dan
Kegiatannya Di Detritus
Dengan
menggunakan
tehnik
epifluorescence kita dapat menghitung bakteri
dari partikel detritus Zostera, Thalassia dan
tanaman berpembuluh lainnya pada contoh
sedimen di alam dan percobaan laboratorium.
Ditemukan 2-10 sel bakteri pada 100 mm
detritus dan antara 109 dan 1010 bakteri per
gram beret kering detritus. Hal ini tergantung
dari ukuran partikel dari detritus. Jadi sekitar
2-10 % dari permukaan detritus secara nyata
mengandung bakteri, sehingga hal ini dapat
dimengerti bahwa permukaan dan ukuran
partikel dari detritus akan berpengaruh pada
kecepatan dekomposisi. Jumlah total bakteri
yang sama dengan kebutuhan oksigen dari
materi detritus akan berkaitan dengan ukuran
partikel dari detritus (FENCHEL 1970).
Pengaruh dari ukuran partikel detritus juga
telah didemonstrasikan oleh ODUM &
LaCRUZ (1976) pada detritus Spartina,
dimana aktivitas bakteri tidak begitu tampak
pada area permukaan detritus. Melalui
obseravasi secara mikroskopis pada detritus
13
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada beberapa penelitian menunjukkan
bahwa jumlah total bakteri dan protozoa
yang memakan detritus Zostera di laut cukup
meningkat jika N dan P anorganik bertambah
di perairan tersebut (FENCHEL 1972). Pada
beberapa percobaan di labortorium
menunjukkan bahwa penambahan nutrien
mineral akan membuat dekomposisi berjalan
lambat karena adanya kolonisasi dari
mikroorganisme. Setelah priode tertentu (50100 jam) detritus akan terurai dengan
kecepatan yang tetap sampai 80-90%. Lebih
lanjut diketahui bahwa karakteristik dari
detritus
tanaman
adalah
proses
dekomposisinya rendah dan secara nyata
terlihat bahwa karbohidrat tanaman
didekomposisi lebih lambat dari karbohidrat
molekuler seperti glukosa.
Bakteri yang mengdekomposisi material harus memproduksi enzym-enzym yang
berbeda atau beberapa jenis bakteri yang
berbeda harus ikut mengambil bagian dalam
proses dekomposisi. Jadi dekomposisi akan
berjalan lambat dibandingkan dengan detritus yang hanya mengandung satu molekul.
Telah diketahui bahwa pada partikel yang
kering dan partikel sellulosa kecepatan
dekomposisinya 18-22, dan 30% per jam.
Pada beberapa sampel detritus
biasanya terdiri antara 5 x 107 dan 5 x 108
zooflagellata kecil (genus Monas, Bodo,
Rhynchomonas) dan antara 104 dan 105 cilia
per gram beret leering, tergantung dari
distribusi ukuran detritus (FENCHEL 1970,
1972). Zooflagellata kelihatannya memakan
bakteri, dan pada temperatur 22 °C hewan
ini memakan 4-5 bakteri per jam. Hal ini
berarti untuk flagellata sendiri memerlukan
kecepatan pemulihan bakteri sekitar 20 jam.
Ciliata mempunyai variasi makanan, yaitu
beberapa jenis memakan bakteri, lainnya
memakan zooflagellata atau ciliata lainnya,
dan beberapa memakan mikroalgae. Rotifera
mungkin pemakan bakteri atau karnivor,
dimana turbilaria umumnya sebagai predator.
Nematoda mungkin mempunyai keragaman
cara makan, hanya belum diketahui secara
terperinci. Krustacea kecil memakan bakceri
atau mikroalgae.
Kegiatan hewan-hewan di detritus
mempunyai beberapa pengaruh dari faktorfaktor yang menentukan terhadap aktivitas
bakteri seperti; ukuran partikel detritus,
jumlah oksigen yang tersedia dan regenerasi
dari nutrien mineral. Timbal balik positif
terlihat pada penelitian FENCHEL (1972)
terhadap gastropoda Hydrohia yang memakan
dan mencerna detritus Zostera dengan
meningkatnya oksigen di detritus. Pengaruh
ini densitasnya dua kali lipat dibandingkan
di alam, dan di alam pengaruh kenaikan ini
terhadap respirasi lebih besar dibandingkan
dengan konstribusinya sendiri. FENCHEL
(1970) menunjukkan bahwa amphipoda,
Parhyalella memakan partikel detritus dari
Thalassia di wadah percobaan, dimana rasio
antara detritus dengan hewan sama dengan
yang ada di lapangan, yaitu penurunan ukuran
rata-rata detritus, dan penyerapan oksigen
oleh mikroba naik sampai 100 % dalam 92
jam. Bagan dekomposis dari detritus dan
dekomposer pada rantai makanan disajikan
pada Gambar 1.
Bakteri Konsumer Dan Pengaruh
Timbal Balik Dari Aktivitasnya
Hewan-hewan dekomposer yang
berassosiasi dengan detritus dapat dibagi
yaitu hewan-hewan yang selektif pada partikel
makananya seperti mikrofauna (protozoa,
rotifera, turbelaria, ostrakoda, nematode dan
harpaktikoid) dan hewan-hewan yang lebih
besar atau yang tidak memilih makanan
(pemakan detritus, amphipoda, gastropoda,
kerang, polikhaeta). Hewan-hewan yang lebih
besar ini menggunakan bakteri dan
mikrofaunan lainnya yang berlimpah di
detritus.
14
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Bagan mekanisme dekomposisi aerobik dari detritut (FENCHEL 1977)
mengakibatkan terjadi endapan (deposit)
lumpur hams (silt) sehingga akan menurunkan
ketersediaan oksigen di sedimen. Sebagian
besar detritus lamun dimineralisasi dalam
keadaan anaerob. Daun mati (serasah) akan
mengendap ke dalam sedimen, dan pada
sedimen di padang lamun ditemukan beberapa
lapis material dekomposisi. Lapisan ini dapat
mencapai kedalaman 20-30 cm.
Jika perairan bersih, pasir yang basah
dan patahan lamun akan bercampur, sehingga
terjadi pengendapan yang cepat. Hal ini
mengindikasikan bahwa dekomposisi anaerob
dapat terjadi selama 24 jam (JORGENSEN
& FENCHEL 1974). Di samping itu secara
nyata bahwa pemasukan oksigen melalui
diffusi tidak dapat memenuhi akan kebutuhan
DEKOMPOSISI PADA KEADAAN
ANAEROB
Dengan pengecualian pada laut
terbuka dengan gelombang yang kuat, maka
semua sedimen di laut adalah anaerob dan
secara kimiawi adanya penurunan pada setiap
lapisan dengan adanya proses oksidasi
(FENCHEL & RIEDL 1971). Padang lamun
praktis selalu berasosiasi dengan baik pada
setiap lapisan. Ada dua alasan tersebut yaitu,
tingkat produktivitas yang tinggi dari lamun
berakibat meningkatnya organik ke dalam
sedimen dan tentunya meningkatkan
permintaan hidrogen. Di samping itu, adanya
perlindungan oleh tanaman terhadap sedimen
dari pengeruhan air yang kuat akan
15
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dari bakteri dekomposisi dari detritus untuk
penerima hidrogen. Awal dari proses anaerob
adalah fermentasi yang akan mereduksi
organik-organik molekuler seperti laktat dan
acetat. Setelah terjadi diffusi pada daerah
aerobik, maka senyawa ini akan dioksidasi
penuh oleh bakteri aerob khemoheterotrofik
atau senyawa tersebut dapat digunakan sebagai donor hidrogen oleh bakteri fotoautotrofik
pada daerah fotik dari sedimen. Alternatif
lain adalah mineralisasi secara sempurna
akan terjadi pada daerah anaerob melalui
aktivitas bakteri yang menggunakan penerima
hidrogen anorganik, misalnya CO2, NO3 dan
SO42- dimana hasil akhir dari proses oksidasi
anerobik ini adalah CH4, N2, dan H2S.
Hal yang terpenting dalam proses
anaerobik adalah reduksi sulfat, karena adanya
kelimpahan SO di laut yang secara kuantitatif
cukup doiminan. Kehadiran H2S akan
menjadikan tenggelamnya logam berat
terutama besi, dan akan terbentuk senyawa
ferro sulfida. Dalam kondisi aerobik, fosfat
ceridrung menjadi ferri atau kalsium fosfat
(WOOD 1965).
Reduksi senyawa anorganik adalah
hasil dari dekomposisi anaerobik dari detritus
yang nantinya akan merupakan energi kifnia
yang potensial dari materi organik mad
yang terpendam, dimana senyawa tersebut
tidak dapat digunakan jika tidak ada oksigen
atau sinar. Jika senyawa ini ke atas akan
dioksidasi bakteri khemoautotropfik yang
ada oksigennya. Energi hasil proses oksidasi
ini akan digunakan untuk mengasimilasi
CO2 dan mengsintesis material organik dalam
bentuk biomassa bakteri. Hal ini akan
ditemukan pada tingkat yang lebih tinggi
pada rantai makanan.
Pada kasus sulfida, oksidasi dapat
dapat terjadi pada tiga cara yaitu: 1.
khemoautotrofik yaitu bakteri sulfur putih
akan mengoksidasi H2S menjadi S°, dan S
ini akan dioksidasi menjadi SO42-, 2. spontan
yaitu oksidasi abiotis H2S yang terjadi dengan
adanya oksigen, dan hal ini tidak menggangu
sedimen sehingga bukan peranan yang
penting, dan 3. fotosintesa, jika cahaya
banyak, daerah anaerobik hijau dan ungu,
dimana bakteri sulfur akan mengoksidasi
H2S dan di gunakan sebagai donor hidrogen
dalam proses fotosintesa .
Jika terjadi cara ketiga, maka bakteri
fotosintesis juga akan mengoksidasi S menjadi
SO4, Pada kasus ini kecepatan oksidasi H2S ke
S akan lebih tinggi dari kecepatan oksidasi
dari S° ke SO42-, dan akibatnya ada
kecendrungan sedimen berkurang dan sulfur
akan berkumpul di daerah permukaan. SO42dapat kembali berdiffusi ke bawah masuk ke
sedimen dan turut mengambil bagian pada
mineralisasi material organik. Di samping
SO42- bersama NO32- dan CO2- dapat menjadi
agen transportasi energi dari anaerobik ke
daerah aerobik dalam sedimen (FENCHEL
1969; FENCHEL & RIEDL 1971).
Pada daerah padang lamun Zostera di
Demmark, sedimen didominir oleh siklus
sulfur. Selama pada musim dingin dengan
angin topan, detritus dalam jumlah besar
terkumpul di sedimen dan ini menandakan
bahwa dengan segera akan terjadi
penumpukan H2S. Pada musim semi, jika
dalam keadan tenang, permukaan sedimen
akan ditutupi oleh bakteri sulfur putih seperti
Beggiatoa dan Thiovolum yang berbentuk
selaput putih di atas sedimen. Setelah itu,
jika intensitas cahaya bertambah, bakteri
ungu mendominasi lapisan permukaan.
Selama musim panas, sulfur dalam bentuk
senyawa sulfida. Mikroflora dan mikromakrofauna akan banyak di daerah tersebut.
Hal ini tentunya merupakan produksi
sekunder yang besar, dan bakteri sulfur akan
menggunakan lagi H 2 S semula dari
dekomposisi anaerobik makrofita (FENCHEL
1969). Beberapa alir zat dan energi pada
sedimen di laut akan ditunjukkan pada
Gambar 2.
16
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 2. Bagan alir energi dan zat dari proses dekomposisi di sedimen (FENCHEL 1977)
KECEPATAN DEKOMPOSISI
DI ALAM
pematahan (penguraian) dan proses
biokimianya, maka studi ini akan memberikan
informasi dalam kecepatan pulih detritus
pada keadaan yang berbeda di alam.
Data kecepatan dekomposisi detritus
lamun di lapangan sangat sedikit di literatur.
Dalam percobaan kantong serasah telah
diukur hilangnya berat daun Thalassia pada
keadaan aerob yang dilakukan di daerah
estuari di Florida (ZIEMANN 1968).
Kehilangan berat sekitar 10 % per minggu.
Hal ini mengindikasikan bahwa banyak material detritus yang mengendap di dasar
perairan setiap tahuhnya. Data ini
menunjukkan bahwa kecepatan dekomposisi
lamun lebih tinggi bila dibandingkan dengan
tanaman
berpembuluh
lainnya.
BURKHOLDER & DOHENY (1968) dalam
penelitiannya mendapatkan hilangnya berat
daun kering Zostera sekitar 50 % setelah
periode dari 25 hari ke 40 hari yang
disesuaikan dengan ukuran net dari kantong
yang digunakan. Walaupun dengan percobaan
kantong serasah hanya memberikan gambaran
proses dekomposisi dan hasil yang didapatkan
belum diketahui bagaimana mekanisme
DAFTAR PUSTAKA
BERTRAM, G.C.L. and C.K. R. BERTRAM
1968. Bionomic of dugongs and manatees. Nature 218: 423-426.
BURKHOLDER, RR. and T.E. DOHENY
1968. The biology of eel grass. Dept.
of Coserv. of Waterways, Town of
Hempstead, Long Is. New York, 120p.
FENCHEL, T. 1969. The ecology of marine
microbenthos. IV. Structure and function of the benthic ecosystem, its
chemical and physical structure and
microfauna community with special
reference to the ciliated protozoa.
Ophelia 6 : 1-182.
17
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
FENCHEL, T. 1970. Studies on the decomposition of organic detritus derived
from the turtle grass Thalassia testudinu..Limnol.Oceanogr. 15: 14 -20.
waters. Mem. Ist.Ital.Idrobiol. 29
Suppl.:353-383.
McROY, C.R 1970. Standing stocks and
other feutures of eelgrass (Zostera
marina) populations on the coast of
Alaska. J.Fish.Res.Bd. Canada 27:
1811-1821.
FENCHEL, T. 1972. Aspects of decomposer
food chains in marine benthos.
Verh.Deutch. 7ool Gesell. 65.
Jahresaversaml. 14: 14-22.
NEWELL, R. 1 965. The role of detritus in the
nutrition of two marine deposit feeders,
the prosobranch Hydrobia ulvas and
the bivalve Macoma balthica.
Proc.Zool.Soc.Lond 144: 25-45.
FENCHEL, T. 1977. Aspects of the decomposition of seagrass. In: Seagrass ecosystems: scientific perspective (C.R
McRoy and C. Helfferich, eds.). Marcl
Dekler, Inc. Ne York p. 123-145.
ODUM, E.P. and A.A. De LACRUS 1967.
Particulate organic detritus in a Georgia salt marsh estuarine ecosystem.
In: Estuaries (G.H. Lauff, ed.).
Amer.Ass.Adv.Sci.Publ.83: 383-388.
FENCHEL, T. and R. RIEDL 1971. The
sulfide system. A new biotic community underneath the oxidized layer of
marine sand-bottom. Mar.Biol. 7: 255268.
OLAH, J. 1972. Leaching, colonization and
stabilization during detritus formation.
Mem.lst.Ital. Idrobiol. 29 Suppl.:
105-127.
HARGRAVE,13.T. 1970. The effect of deposit feeding amphipod on the metabolism of benthic microflora.
Limnol.Oceanogr. 15: 21-30.
FOMERY, L.R. 1960. The strategy of mineral cycling. Ann.Rev.Ecol.System. 1:
171-190.
JOHANNES, R.E. 1968. Nutrient regeneration in lakes and oceans.
Adv.Microbiol.Sea 1: 203-213.
RANDALL, J.E. 1965. Grazing effect on
seagrasses by herbivorous reef fishes
in the West Indies. Ecology 46:
255-260.
JORGENSEN, B.B. and T. FENCHEL 1974.
The sulfur cycle of a marine sediment
model system. Mar. Biol. 24: 189-201.
RANWELL, D.S. and B.M. DOWNING
1959. Brent goose winter feeding
pattern and Zostera resources at Scott
head Island, Norfolk. Anim.Behva. 7:
42-56.
KINGDON, J. 1971. East African Mammals. Vol.l. Academic Press, London,
446p.
KRISTENSEN, J.H. 1972. Carbohydrases of
some marine invertebrates with notes
on their food and on the natural
occurrence of the carbohydrates studies. Mar.Biol 14: 130-142.
RILEY, C.A. 1970. Particulate organic matter in seawater. Adv.Mar.Biol. 8: 1118.
SPECTOR, W.S. (ed) 1956. Handbook of
biological Data. W.A. Sounders, Philadelphia, 225p.
MANN, K.H. 1972. Macrophyte production
and detritus food chains in coastal
18
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
WOOD, EJ.F. 1965. Marine microbial
ecology. Chapman and Hall, Ltd. London, 243p.
un Simposia. Mem.Simp.Intern. Lagunas Costeras. UNAM-UNESCO,
Mexico, p. 495-502.
WOOND, EJ.R, W. E. ODUM and J.C.
ZIEMAN 1969. Influence of
seagrasses on the productivity of
coastal lagoons. In: Lagunas Costeras,
ZIEMAN, J.C. 1968. A study of the growth
and decomposition of the seagrass
Thalassia testudinum. M.S. thesis,
Univ.Miami, Inst.Mar.Sci. 217p.
19
Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999
Download