sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXIV, Nomor 4, 1999 : 11 - 20 ISSN 0216- 1877 DEKOMPOSISI LAMUN oleh Muhammad Husni Azkab 1) ABSTRACT DECOMPOSITION OF SEAGRASSES. The significance of detritus as an important factor determining many features of aquatic ecosystem is generally recognized. The detritus of seagrasses are capable of producing enormous amounts of organic matter which are utilized in three tropic pathways; directly in herbivory, indirectly in detritivory, and direct uptake of soluble organic matter by microorganisms. The dead leaves and roots of seagrasses undergo two types of breakdown; a mechanical one and a biochemical one. This paper will discuss decomposition under aerobic and anaerobic conditions and decomposition rate in nature. PENDAHULUAN (penyu, duyung, manatee dan beberapa jenis ikan) dilaporkan juga memakan lamun. (BERTRAM & BERTRAM 1968; KINGDON 1971; RANDALL 1965; RANWELL & DOWNING 1959; WOOD et al. 1969). Walaupun biota-biota tersebut tidak ada yang termasuk golongan "grazer", tetapi secara kuantitatif sangat penting karena dalam jumlah besar produksi lamun dapat masuk ke rantai makanan melalui dekomposer. Di awal abed ke-20 ahli botani laut menaru perhatian pada struktur trofik, komunitas bentik dan daya dukung dari suatu area untuk produksi ikan, dimana detritus Zostera merupakan komponen yang mendasar dari rantai makanan di laut (FENCHEL 1977). Pada dua dekade terakhir, perhatian dari ahli ekologi laut lebih meningkat lagi untuk mempelajari produktivitas makrofita, serasah, dekomposer rantai Padang lamun diketahui merupakan salah satu sistem biologi yang paling produktif yaitu antara 500 sampai 1000 g C/m2 per tahun. Lamun tersebar luas di dasar perairan dan pantai pesisir, bahkan beberapa daerah lamun merupakana organisme yang dominan di dasar perairan dan memberikan sumbangan yang sangat besar dalam produksi primer (BURKHOLDER & DOHENY 1968; MANN 1972; McROY 1970; WOOD et al. 1969). Walaupun hanya beberapa biota laut yang menggunakan/memakan secara langsung lamun tersebut. Beberapa jenis teripang (sea urchin) dapat memakan daun lamun, tetapi ada kecendrungan selektif terhadap makanannya dan mencernakannya sangat efisien. Di daerah tropik beberapa hewan invertebrate (gastropoda) dan vertebrate 1) Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. 11 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id makanan dan siklus mineral dari sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa detritus merupakan suatu hal yang penting sebagai faktor yang menentukan dalam ekosistem perairan laut. Hanya saja pada kenyataannya peranan detritus akan menjadi lebih kompleks dari yang digambarkan oleh ahli biologi pada saat permulaan abad ke-20. Tulisan ini mengetengahkan beberapa aspek dari bahan organik di lingkungan perairan, khsusunya bagian detritus dari lamun, termasuk dekomposisi pada keadaan aerob dan anaerob dari detritus tersebut. Respon Organisme Terhadap Dekomposisi Primer Detritus Fakta menunjukkan bahwa biota laut hanya sebuah tingkatan yang sangat kecil sehingga kemampuan mempergunakan detritus yang diperoleh dari material tanaman mati merupakan hal yang secara umum penting sebagai dasar dari dekomposisi. Assosiasi protozoa yang memakan detritus seperti bakteri atau protis lain menunjukkan hal yang baik untuk mempelajari grup mikrometazoa (FENCEL 1972). NEWELL (1965) mempelihatkan bahwa ada dua moluska yang memakan detritus yaitu Hydrobia dan Macoma. Kedua kelompok moluska ini hanya mengasimilasi (mencerna) bagian kecil dari karbon organik untuk makanan mereka dan bagian makanan ini indentik dengan kandungan nitrogen. Jika kotoran hewan ini tersimpan di laut beberapa lama, maka karbon organik tersebut akan berkurang, tetapi zat organik nitrogen akan bertambah. Jadi kotoran hewan tersebut akan merupakan makanan yang baik untuk hewan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara nyata hewan pemakan detritus hanya memakan assosiasi mikroflora dalam detritus tersebut. Mikroflora akan mensintesis protein berdasarkan energi dari kandungan karbohidrat detritus dan melarutkan nitrogen anoraganik dari air. HARGRAVE (1970) menunjukan bahwa amphipoda air tawar, Wyalella mengassimilasi hanya 6 sampai 15% dari mated organik sebagai makanannva. Hasil yang sama telah dilakukan oleh FENCHEL (1970, 1972) untuk gastropoda, Hydrohia ventrosa, kerang Macoma balthica dan amphipoda Parhyalella whelpleyi dan Corophium volutator, dimana detritus organik dalam bagian yang besar dikomposisi dari lamun. Semua hewan ini mempunyai assimilasi yang efisien yang melebih dari 90 % dibandingkan dengan bakteri dan pro- DEKOMPOSISI PADA KEADAAN AEROB Pada prinsipnya daun dan akar dari tumbuhan berpembuluh yang mati akan mengalami due tipe kerusakan (pematahan) yaitu : a. secara mekanik, dan b. secara biokimia. Unsur-unsur larutan utama dari material tanaman keluar pada waktu yang pendek dan menjadi salah satu bagian dari organik terlarut pada suatu sistem. Daundaun muda dan tua dari zostera marina mengandung sekitar 20 dan 12 % larutan organik (MANN 1972), dimana hal ini merupakan bagian penting dari produksi. Produksi ini akan ditransfer dalam bentuk material organik pada aktivitas bakteri (OLAH 1972; RILEY 1970). Pada sistem laut dangkal sebagian besar material yang dilepaskan dalam bentuk partikel dan material ini akan digunakan oleh bakteri di sedimen. Pada percobaan sistem tertutup, dimana konsentarsi material yang dilepaskan agak tinggi, akan mengakibatkan penurunan bakteri yang cepat. Daun-daun yang lepas akan dipecah langsung oleh gelombang dan kemudian penguraiannya oleh aktivitas invertebrata dengan memakan tunas-tunas atau partikel-partikel detritus yang mengakibatkan ukuran rata-rata detritus akan menurun dari waktu ke waktu. 12 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id tozoa, serta lebih 50-80 % dari mikroalgae. Lebih lanjut KRISTENSEN (1972) mengatakan bahwa secara kuantitatif dalam aktivitas pencernaan karbohidrat dari biota invertebrata di laut dangkal, mayoritas dari mereka adalah pemakan detritus. Dengan pengecualian pada penguraian khitin dan alginan yang keduanya tidak begitu berarti untuk tanaman berpembuluh. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hewan-hewan tersebut dapat menggunakan hanya sedikit dari partikel, bagian detritus makrofita dan energi dari bahan tersebut langsung digunakan oleh bakteri sebelum digunakan oleh hewan invertebrata tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri dan jamur memegang peranan sebagai dekomposisi primer dari lamun. menunjukkan bahwa hanya pada lapisan luar sel yang dihuni oleh bakteri, dimana pada bagian tengah dari partikel sangat jarang dihuni oleh bakteri. Hal ini mungkin karena terbatasnya oksigen. Keberadaan oksigen sering didemonstrasikan sebagai faktor pembatas dalam aktivitas bakteri. Pada percobaan laboratorium menunjukkan bahwa detritus dan air yang diaduk akan mnunjukkan kenaikan yang berarti dalam penggunakan oksigen oleh bakteri. (FENCHEL 1972; HARGRAVE 1972). Fakta menunjukkan bahwa pada sedimen di perairan dangkal dengan sedikit padang lamun, akan terjadi penurunan proses kimiawi beberapa millimeter, dan memperlihatkan tingkat konsentrasi oksigen, dan kesediaan oksigen tersebut merupakan faktor pembatas yang penting dalam dekomposisi aerob di alam. Satu hal perlu diingat bahwa detritus yang berasal dari tanaman tingkat tinggi sangat miskin dengan nutrien yang esensial, sedangkan bakteri mengandung kandungan P dan N yang tinggi. Rasio C/N pada daun segar dan daun mati pada Zostera marina sekitar 8 dan 15 dan rasio C/P sekitar 200 (MANN 1972). Bakteri mempunyai rasio C/ N sekitar 5,7 dan C/P sekitar 27 (SPECTOR 1956). Jadi bakteri yang mengdekomposisi detritus tanaman harus mengassimilasi nutrien anorganik dari air dan menambah detritus dengan nitrogen dan fosfor. Hal ini berarti tersediannya bagian yang penting tersebut akan membatasi kecepatan dekomposisu dan detritus tentunya akan digunakan oleh tingkat trofik yang lebih tinggi.Dalam sistem detritus, nutrien mineral akan dapat memperpanjang siklus antara bakteri dengan hewan lainnya. Menurut JOHANNES (1968) dan POMEROY (1960) bahwa bakteri peranannya kecil dalam mengekskresi fosfat dan ada kecendrungan menyimpannya. Padahal untuk tanaman nutrien ini penting dalam proses ekskresi nutrien lainnya. Faktor Pengontrol Dari Bakteri Dan Kegiatannya Di Detritus Dengan menggunakan tehnik epifluorescence kita dapat menghitung bakteri dari partikel detritus Zostera, Thalassia dan tanaman berpembuluh lainnya pada contoh sedimen di alam dan percobaan laboratorium. Ditemukan 2-10 sel bakteri pada 100 mm detritus dan antara 109 dan 1010 bakteri per gram beret kering detritus. Hal ini tergantung dari ukuran partikel dari detritus. Jadi sekitar 2-10 % dari permukaan detritus secara nyata mengandung bakteri, sehingga hal ini dapat dimengerti bahwa permukaan dan ukuran partikel dari detritus akan berpengaruh pada kecepatan dekomposisi. Jumlah total bakteri yang sama dengan kebutuhan oksigen dari materi detritus akan berkaitan dengan ukuran partikel dari detritus (FENCHEL 1970). Pengaruh dari ukuran partikel detritus juga telah didemonstrasikan oleh ODUM & LaCRUZ (1976) pada detritus Spartina, dimana aktivitas bakteri tidak begitu tampak pada area permukaan detritus. Melalui obseravasi secara mikroskopis pada detritus 13 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah total bakteri dan protozoa yang memakan detritus Zostera di laut cukup meningkat jika N dan P anorganik bertambah di perairan tersebut (FENCHEL 1972). Pada beberapa percobaan di labortorium menunjukkan bahwa penambahan nutrien mineral akan membuat dekomposisi berjalan lambat karena adanya kolonisasi dari mikroorganisme. Setelah priode tertentu (50100 jam) detritus akan terurai dengan kecepatan yang tetap sampai 80-90%. Lebih lanjut diketahui bahwa karakteristik dari detritus tanaman adalah proses dekomposisinya rendah dan secara nyata terlihat bahwa karbohidrat tanaman didekomposisi lebih lambat dari karbohidrat molekuler seperti glukosa. Bakteri yang mengdekomposisi material harus memproduksi enzym-enzym yang berbeda atau beberapa jenis bakteri yang berbeda harus ikut mengambil bagian dalam proses dekomposisi. Jadi dekomposisi akan berjalan lambat dibandingkan dengan detritus yang hanya mengandung satu molekul. Telah diketahui bahwa pada partikel yang kering dan partikel sellulosa kecepatan dekomposisinya 18-22, dan 30% per jam. Pada beberapa sampel detritus biasanya terdiri antara 5 x 107 dan 5 x 108 zooflagellata kecil (genus Monas, Bodo, Rhynchomonas) dan antara 104 dan 105 cilia per gram beret leering, tergantung dari distribusi ukuran detritus (FENCHEL 1970, 1972). Zooflagellata kelihatannya memakan bakteri, dan pada temperatur 22 °C hewan ini memakan 4-5 bakteri per jam. Hal ini berarti untuk flagellata sendiri memerlukan kecepatan pemulihan bakteri sekitar 20 jam. Ciliata mempunyai variasi makanan, yaitu beberapa jenis memakan bakteri, lainnya memakan zooflagellata atau ciliata lainnya, dan beberapa memakan mikroalgae. Rotifera mungkin pemakan bakteri atau karnivor, dimana turbilaria umumnya sebagai predator. Nematoda mungkin mempunyai keragaman cara makan, hanya belum diketahui secara terperinci. Krustacea kecil memakan bakceri atau mikroalgae. Kegiatan hewan-hewan di detritus mempunyai beberapa pengaruh dari faktorfaktor yang menentukan terhadap aktivitas bakteri seperti; ukuran partikel detritus, jumlah oksigen yang tersedia dan regenerasi dari nutrien mineral. Timbal balik positif terlihat pada penelitian FENCHEL (1972) terhadap gastropoda Hydrohia yang memakan dan mencerna detritus Zostera dengan meningkatnya oksigen di detritus. Pengaruh ini densitasnya dua kali lipat dibandingkan di alam, dan di alam pengaruh kenaikan ini terhadap respirasi lebih besar dibandingkan dengan konstribusinya sendiri. FENCHEL (1970) menunjukkan bahwa amphipoda, Parhyalella memakan partikel detritus dari Thalassia di wadah percobaan, dimana rasio antara detritus dengan hewan sama dengan yang ada di lapangan, yaitu penurunan ukuran rata-rata detritus, dan penyerapan oksigen oleh mikroba naik sampai 100 % dalam 92 jam. Bagan dekomposis dari detritus dan dekomposer pada rantai makanan disajikan pada Gambar 1. Bakteri Konsumer Dan Pengaruh Timbal Balik Dari Aktivitasnya Hewan-hewan dekomposer yang berassosiasi dengan detritus dapat dibagi yaitu hewan-hewan yang selektif pada partikel makananya seperti mikrofauna (protozoa, rotifera, turbelaria, ostrakoda, nematode dan harpaktikoid) dan hewan-hewan yang lebih besar atau yang tidak memilih makanan (pemakan detritus, amphipoda, gastropoda, kerang, polikhaeta). Hewan-hewan yang lebih besar ini menggunakan bakteri dan mikrofaunan lainnya yang berlimpah di detritus. 14 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 1. Bagan mekanisme dekomposisi aerobik dari detritut (FENCHEL 1977) mengakibatkan terjadi endapan (deposit) lumpur hams (silt) sehingga akan menurunkan ketersediaan oksigen di sedimen. Sebagian besar detritus lamun dimineralisasi dalam keadaan anaerob. Daun mati (serasah) akan mengendap ke dalam sedimen, dan pada sedimen di padang lamun ditemukan beberapa lapis material dekomposisi. Lapisan ini dapat mencapai kedalaman 20-30 cm. Jika perairan bersih, pasir yang basah dan patahan lamun akan bercampur, sehingga terjadi pengendapan yang cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa dekomposisi anaerob dapat terjadi selama 24 jam (JORGENSEN & FENCHEL 1974). Di samping itu secara nyata bahwa pemasukan oksigen melalui diffusi tidak dapat memenuhi akan kebutuhan DEKOMPOSISI PADA KEADAAN ANAEROB Dengan pengecualian pada laut terbuka dengan gelombang yang kuat, maka semua sedimen di laut adalah anaerob dan secara kimiawi adanya penurunan pada setiap lapisan dengan adanya proses oksidasi (FENCHEL & RIEDL 1971). Padang lamun praktis selalu berasosiasi dengan baik pada setiap lapisan. Ada dua alasan tersebut yaitu, tingkat produktivitas yang tinggi dari lamun berakibat meningkatnya organik ke dalam sedimen dan tentunya meningkatkan permintaan hidrogen. Di samping itu, adanya perlindungan oleh tanaman terhadap sedimen dari pengeruhan air yang kuat akan 15 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id dari bakteri dekomposisi dari detritus untuk penerima hidrogen. Awal dari proses anaerob adalah fermentasi yang akan mereduksi organik-organik molekuler seperti laktat dan acetat. Setelah terjadi diffusi pada daerah aerobik, maka senyawa ini akan dioksidasi penuh oleh bakteri aerob khemoheterotrofik atau senyawa tersebut dapat digunakan sebagai donor hidrogen oleh bakteri fotoautotrofik pada daerah fotik dari sedimen. Alternatif lain adalah mineralisasi secara sempurna akan terjadi pada daerah anaerob melalui aktivitas bakteri yang menggunakan penerima hidrogen anorganik, misalnya CO2, NO3 dan SO42- dimana hasil akhir dari proses oksidasi anerobik ini adalah CH4, N2, dan H2S. Hal yang terpenting dalam proses anaerobik adalah reduksi sulfat, karena adanya kelimpahan SO di laut yang secara kuantitatif cukup doiminan. Kehadiran H2S akan menjadikan tenggelamnya logam berat terutama besi, dan akan terbentuk senyawa ferro sulfida. Dalam kondisi aerobik, fosfat ceridrung menjadi ferri atau kalsium fosfat (WOOD 1965). Reduksi senyawa anorganik adalah hasil dari dekomposisi anaerobik dari detritus yang nantinya akan merupakan energi kifnia yang potensial dari materi organik mad yang terpendam, dimana senyawa tersebut tidak dapat digunakan jika tidak ada oksigen atau sinar. Jika senyawa ini ke atas akan dioksidasi bakteri khemoautotropfik yang ada oksigennya. Energi hasil proses oksidasi ini akan digunakan untuk mengasimilasi CO2 dan mengsintesis material organik dalam bentuk biomassa bakteri. Hal ini akan ditemukan pada tingkat yang lebih tinggi pada rantai makanan. Pada kasus sulfida, oksidasi dapat dapat terjadi pada tiga cara yaitu: 1. khemoautotrofik yaitu bakteri sulfur putih akan mengoksidasi H2S menjadi S°, dan S ini akan dioksidasi menjadi SO42-, 2. spontan yaitu oksidasi abiotis H2S yang terjadi dengan adanya oksigen, dan hal ini tidak menggangu sedimen sehingga bukan peranan yang penting, dan 3. fotosintesa, jika cahaya banyak, daerah anaerobik hijau dan ungu, dimana bakteri sulfur akan mengoksidasi H2S dan di gunakan sebagai donor hidrogen dalam proses fotosintesa . Jika terjadi cara ketiga, maka bakteri fotosintesis juga akan mengoksidasi S menjadi SO4, Pada kasus ini kecepatan oksidasi H2S ke S akan lebih tinggi dari kecepatan oksidasi dari S° ke SO42-, dan akibatnya ada kecendrungan sedimen berkurang dan sulfur akan berkumpul di daerah permukaan. SO42dapat kembali berdiffusi ke bawah masuk ke sedimen dan turut mengambil bagian pada mineralisasi material organik. Di samping SO42- bersama NO32- dan CO2- dapat menjadi agen transportasi energi dari anaerobik ke daerah aerobik dalam sedimen (FENCHEL 1969; FENCHEL & RIEDL 1971). Pada daerah padang lamun Zostera di Demmark, sedimen didominir oleh siklus sulfur. Selama pada musim dingin dengan angin topan, detritus dalam jumlah besar terkumpul di sedimen dan ini menandakan bahwa dengan segera akan terjadi penumpukan H2S. Pada musim semi, jika dalam keadan tenang, permukaan sedimen akan ditutupi oleh bakteri sulfur putih seperti Beggiatoa dan Thiovolum yang berbentuk selaput putih di atas sedimen. Setelah itu, jika intensitas cahaya bertambah, bakteri ungu mendominasi lapisan permukaan. Selama musim panas, sulfur dalam bentuk senyawa sulfida. Mikroflora dan mikromakrofauna akan banyak di daerah tersebut. Hal ini tentunya merupakan produksi sekunder yang besar, dan bakteri sulfur akan menggunakan lagi H 2 S semula dari dekomposisi anaerobik makrofita (FENCHEL 1969). Beberapa alir zat dan energi pada sedimen di laut akan ditunjukkan pada Gambar 2. 16 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 2. Bagan alir energi dan zat dari proses dekomposisi di sedimen (FENCHEL 1977) KECEPATAN DEKOMPOSISI DI ALAM pematahan (penguraian) dan proses biokimianya, maka studi ini akan memberikan informasi dalam kecepatan pulih detritus pada keadaan yang berbeda di alam. Data kecepatan dekomposisi detritus lamun di lapangan sangat sedikit di literatur. Dalam percobaan kantong serasah telah diukur hilangnya berat daun Thalassia pada keadaan aerob yang dilakukan di daerah estuari di Florida (ZIEMANN 1968). Kehilangan berat sekitar 10 % per minggu. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak material detritus yang mengendap di dasar perairan setiap tahuhnya. Data ini menunjukkan bahwa kecepatan dekomposisi lamun lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman berpembuluh lainnya. BURKHOLDER & DOHENY (1968) dalam penelitiannya mendapatkan hilangnya berat daun kering Zostera sekitar 50 % setelah periode dari 25 hari ke 40 hari yang disesuaikan dengan ukuran net dari kantong yang digunakan. Walaupun dengan percobaan kantong serasah hanya memberikan gambaran proses dekomposisi dan hasil yang didapatkan belum diketahui bagaimana mekanisme DAFTAR PUSTAKA BERTRAM, G.C.L. and C.K. R. BERTRAM 1968. Bionomic of dugongs and manatees. Nature 218: 423-426. BURKHOLDER, RR. and T.E. DOHENY 1968. The biology of eel grass. Dept. of Coserv. of Waterways, Town of Hempstead, Long Is. New York, 120p. FENCHEL, T. 1969. The ecology of marine microbenthos. IV. Structure and function of the benthic ecosystem, its chemical and physical structure and microfauna community with special reference to the ciliated protozoa. Ophelia 6 : 1-182. 17 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id FENCHEL, T. 1970. Studies on the decomposition of organic detritus derived from the turtle grass Thalassia testudinu..Limnol.Oceanogr. 15: 14 -20. waters. Mem. Ist.Ital.Idrobiol. 29 Suppl.:353-383. McROY, C.R 1970. Standing stocks and other feutures of eelgrass (Zostera marina) populations on the coast of Alaska. J.Fish.Res.Bd. Canada 27: 1811-1821. FENCHEL, T. 1972. Aspects of decomposer food chains in marine benthos. Verh.Deutch. 7ool Gesell. 65. Jahresaversaml. 14: 14-22. NEWELL, R. 1 965. The role of detritus in the nutrition of two marine deposit feeders, the prosobranch Hydrobia ulvas and the bivalve Macoma balthica. Proc.Zool.Soc.Lond 144: 25-45. FENCHEL, T. 1977. Aspects of the decomposition of seagrass. In: Seagrass ecosystems: scientific perspective (C.R McRoy and C. Helfferich, eds.). Marcl Dekler, Inc. Ne York p. 123-145. ODUM, E.P. and A.A. De LACRUS 1967. Particulate organic detritus in a Georgia salt marsh estuarine ecosystem. In: Estuaries (G.H. Lauff, ed.). Amer.Ass.Adv.Sci.Publ.83: 383-388. FENCHEL, T. and R. RIEDL 1971. The sulfide system. A new biotic community underneath the oxidized layer of marine sand-bottom. Mar.Biol. 7: 255268. OLAH, J. 1972. Leaching, colonization and stabilization during detritus formation. Mem.lst.Ital. Idrobiol. 29 Suppl.: 105-127. HARGRAVE,13.T. 1970. The effect of deposit feeding amphipod on the metabolism of benthic microflora. Limnol.Oceanogr. 15: 21-30. FOMERY, L.R. 1960. The strategy of mineral cycling. Ann.Rev.Ecol.System. 1: 171-190. JOHANNES, R.E. 1968. Nutrient regeneration in lakes and oceans. Adv.Microbiol.Sea 1: 203-213. RANDALL, J.E. 1965. Grazing effect on seagrasses by herbivorous reef fishes in the West Indies. Ecology 46: 255-260. JORGENSEN, B.B. and T. FENCHEL 1974. The sulfur cycle of a marine sediment model system. Mar. Biol. 24: 189-201. RANWELL, D.S. and B.M. DOWNING 1959. Brent goose winter feeding pattern and Zostera resources at Scott head Island, Norfolk. Anim.Behva. 7: 42-56. KINGDON, J. 1971. East African Mammals. Vol.l. Academic Press, London, 446p. KRISTENSEN, J.H. 1972. Carbohydrases of some marine invertebrates with notes on their food and on the natural occurrence of the carbohydrates studies. Mar.Biol 14: 130-142. RILEY, C.A. 1970. Particulate organic matter in seawater. Adv.Mar.Biol. 8: 1118. SPECTOR, W.S. (ed) 1956. Handbook of biological Data. W.A. Sounders, Philadelphia, 225p. MANN, K.H. 1972. Macrophyte production and detritus food chains in coastal 18 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id WOOD, EJ.F. 1965. Marine microbial ecology. Chapman and Hall, Ltd. London, 243p. un Simposia. Mem.Simp.Intern. Lagunas Costeras. UNAM-UNESCO, Mexico, p. 495-502. WOOND, EJ.R, W. E. ODUM and J.C. ZIEMAN 1969. Influence of seagrasses on the productivity of coastal lagoons. In: Lagunas Costeras, ZIEMAN, J.C. 1968. A study of the growth and decomposition of the seagrass Thalassia testudinum. M.S. thesis, Univ.Miami, Inst.Mar.Sci. 217p. 19 Oseana, Volume XXIV no. 4, 1999