PENDEKATAN KULTURAL TERHADAP ORIENTASI KEAGAMAAN ORANG BANJAR Oleh: Hj. Nurjannah Rianie Abstrak Masyarakat Kalimantan Selatan yang sering dikatakan sebagai “Orang Banjar”, Islam telah menjadi identitas masyarakat Banjar. Pengamat luar sering mengatakan bahwa orang Banjar adalah penganut Islam yang taat, fanatik. Memang Agama Islam pernah diterapakan secara resmi oleh Sultan Adam bagi masyarakat Banjar. Akibatnya norma Islam telah melebur ke dalam budaya Banjar. Akan tetapi sebelum Islam, kepercayaan animisme dan dinamisme, begitu juga periode berikutnya telah berkembang agama Hindu dan Buddha pada awal kerajaan Banjar. Berbagai keanekaragaman agama yang berkembang di Kalimantan Selatan, terjadilah akulturasi kebudayaan, baik kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu dan Buddha tidak hilang dengan sendirinya. Sehingga para penganut Islam yang ada sekarang masih nampak adanya kepercayaan lama tersebut, disamping agama Islam yang mereka peluk. Dalam tingkah laku yang berbagai adat yang mereka lestarikan masih banyak, pencampur adukan antara yang berasal dari agama Islam dan kepercayaan unsur leluhur, sehingga menjadikan kebudayaan bagi masyarakat Banjar. Kata Kunci : Kultural, Masyarakat Banjar, Budaya, Islam. Penulis adalah Dosen Tetap pada Jurusan D3 Perpustakaan dan Informasi Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. 167 168 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 I. Pendahuluan Keanekaragaman (pluralitas) agama yang hidup di Nusantara termasuk yang ada di dalam tubuh intern ummat beragama adalah merupakan kenyataan historis. Proses munculnya pluralisme agama di Indonesia dapat diamati secara emperis historis. Secara kronologis dapat disebutkan bahwa dalam wilayah kepulauan Nusantara, hanya agama Hindu dan Buddha yang dahulu dipeluk oleh masyarakat, terutama di pulau Jawa. Candi Prambanan dan Candi Borobudur adalah saksi sejarah yang paling otentik. Secara kenyataan, tidak menepikan tumbuh berkembangnya budaya animisme dan dinamisme, baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa, termasuk di Kalimantan Selatan. Ketika penyebaran agama Islam lewat jalur perdagangan sampai di kepulawan Nusantara, maka proses perubahan pemelukan (conversi) agama secara bertahap berlangsung. Proses penyebaran dan pemelukan agama Islam di kepulauan Nusantara yang berlangsung secara Marshall Hodgson sebagai prestasi sejarah dan budaya yang amat sangat mengagumkan.1 Selanjutnya bila ditelusuri lebih jauh tentang eksistensi tentang kebenaran sejarah dan pluralisme kultural tentang kewajaran sejarah. Maka Islam menjadi kian universal ketika budaya Bugis-Makasar mempunyai keterikatan dengan Minangkabau, Gorontalo-Limbotto dengan Ternate, Maluku dangan Giri, Banjarmasin dengan Demak. Berdasarkan dari dinamika sosial-kultural dan pluralisme budaya di mana melakukan riset, bila ditelusur lebih jauh, nyaris semua para pengkaji Islam menyadari bahwa proses paling menentukan dalam pembentukan tradisi Islam pada tahap lokal ini ialah situasi setelah konversi yang formal terjadi. Ketika inilah perbenturan kebudayaan yang sesungguhnya terjadi. Di saat ini, perbendaharaan dan nilai serta makna kultural lama yang pra 1 M Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, p. 5. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 169 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar Islam, serta sistem kekuasaan yang mendukungnya, menurut haknya yang otentik. 2 Oleh sebab untuk bisa memahami tentang Pendekatan Kultural Orientasi Keagamaan Orang Banjar setidaknya bisa memahami dalam pluralisme budaya, setidaknya dibutuhkan tiga hal sebagai pegangan : Pertama, jaringan historis-kultural dalam hubungan etnis yang disampaikan Islam di Kalimantan Selatan (masyarakat orang Banjar). Kedua, paralelisme sejarah dari proses konvensi dan pembentukan tradisi lokal yang dialami oleh berbagai kesatuan etnis, politik dan kultural. Ketiga, kesamaan landasan ideologi dan pertanggung jawaban kultural yang diberikan bagi terjadinya proses konversi dan tradisi Islam. Sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia, Islam mula-mula masuk di Kalimantan Selatan bersamaan dengan masuknya paham tasawuf dan tarikat-tarikat. Para pedagang yang terpencar di berbagai penjuru tanah air kita pada saat itu sebahagian besar adalah pengikut dari perkumpulan pedagang para sufi.3 Pengajar-pengajar tasawuf, atau para sufi, mengajarkan tosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini puteri-puteri bangsawan setempat. Dengan tasawuf “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang 2 A Puriyono, Rindang : Untuk Dakwah,Persatuan,Kesatuan & Pembangunan No. 12 Thn XXVIII Juli., Semarang: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Wilayah Depertemen Agama Propinsi Jateng, 2003. P. 47. 3 Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang: 1974. p. 123. 170 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri dari Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke20.4 . Islam masuk ke Kalimantan Selatan dari Jawa pada abad ke-16 ketika Sultan Demak membantu Pangeran Banjar, Pangeran Samudera, untuk menghadapi Pangeran Tumenggung dalam peperangan merebut tahta kerajaan. Sebagai imbalannya Pangeran Samudera bersedia untuk memeluk Islam. Dia menjadi sultan pertama Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah.5 Menurut beberapa pendapat sebagaimana yang ditegaskan oleh Scott, pengislaman telah berjalan di Kalimantan sejak 1495. Meskipun demikian penguasa Banjar baru masuk Islam pada abad ke-16. Sesudah Sultan memeluk agama Islam, Islam ditetapkan sebagai agama negara. Sungguhpun demikian seperti tempat lainnya di Kalimantan perkembangan Islam sangat lamban. Islam merupakan kelompok minoritas dan terbatas kalangan Melayu. Akan tetapi setelah kembalinya Arsyad Al-Banjari dari Mekkah ke Banjarmasin, pada tahun 1870 intensifikasi keislaman dilancarkan oleh Al Banjari, ia melancarkan gerakan pembaharuan dengan memperkenalkan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru untuk menguatkan Islamisasi. Tujuannya tiada lain untuk meningkatkan pemahaman, pengamalan umat Islam tentang ajaran-ajaran Al Qur’an. Pada masa kesultanan Banjar ini menjadikan doktrindoktrin hukum Islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, juga mendirikan pengadilan agama yang khusus mengurusi masalah-masalah kewarisan dan perkara-perkara yang menyangkut hukum keluarga, juga memperkenalkan mufti yang 4 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarrta: Raja Grafindo Persada, 2002. p. 203. 5 Helius Syamsuddin, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada abad ke 19 dan awal Abad 20, Banjarmasin: PSPB, 2002. p. 1. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 171 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar tugasnya mengeluarkan masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan usaha-usaha tersebut Muhammad Arsyad ingin menerapkan hukum Islam pada kesultanan Banjar.6 Dengan tersebarnya Islam di masyarakat Banjar sangat membentuk kebudayaan orang Banjar baik dari segi aktivitas kehidupan beragama orang Banjar. Makalah ini penulis maksudkan untuk menguraikan tentang Pendekatan Kultural Terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar. A. Sekilas Tentang Sejarah dan Masyarakat Banjar Masyarakat Banjar merupakan komunitas asli yang mendiami pulau Kalimantan bagian Selatan. Etnis ini termasuk kelompok Melayu Muda (campuran dari etnis Melayu, Bukit Ngaju dan Maanyan) yang pada umumnya tinggal disekitar pantai telah menganut agama Islam. Komunitas etnis Banjar ini terbentuk menyusul kemenangan Sultan Suriansyah (Raden Samudra) dalam perang melawan Pangeran Tumanggung yang mengingkari amanah. Etnik Banjar terdiri dari tiga golongan, kelompok etnik Banjar Muara, kelompok ini didominasi suku Ngaju, kelompok Batang Banyu yang didominasi suku Manyan dan kelompok Banjar Hulu yang didominasi oleh orang Bukit.7 Ketiga kelompok tersebut mengalami proses akulturasi, dan asimilasi budaya sesuai dengan perundang-undangan dan perkembangan saat itu. Proses pewarisan budaya banjar tidak hanya dengan turun temurun, namun ada pengaruh lain berupa kesatuan wilayah (sebagai bekas kerajaan Banjar), dan kesatuan agama (Islam). Bahkan adanya pembaharuan yang unik antara 6 Ensiklopedia Mini: Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarata: Logos Wacana Ilmu, 1998. p. 225. 7 Ahmadi Hasan, Hukum yang Hidup Pada Masyarakat Banjar dan Kontribusinya Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Syariah : jurnal Hukum dan Pemikiran No 1, tahun 2 Januari – Juni, Banjarmasin: Fakultas Syariah IAIN Antasari, 2002. p. 57. 172 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 penduduk asli Dayak, Melayu dan Jawa (Demak). Dalam perundang-undangan sejarah berikutnya kebudayaan Banjar saling berinteraksi antara : 1. Kebudayaan Melayu, Bukit dan Maayan yang kemudian membentuk Kerajaan Tanjung Pura dengan Agama Buddha. 2. Interaksi antara budaya setempat dengan budaya Jawa yaitu : dipusi antara Maayan, Bukit Melayu, Jawa yang membentuk kerajaan Negara Dipa yang beragama Hindu. 3. Perpaduan kebudayaan Ngaju, Mayan , Bukit dengan budaya Jawa (Demak) yang membentuk kerajaan Banjar Islam. Perpaduan budaya inilah yang bertahan sampai sekarang.8 Budaya Banjar sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam, bahkan Islam menjadi dasar budaya Banjar. Meskipun tidak berarti budaya Banjar sama dan sebangun dengan budaya daerah dan negara lain yang berkebudayaan Islam. Disebabkan oleh perbedaan ruang dan waktu serta perbedaan intensitas – kwalitas interaksi Islam dengan budaya lokal. Ditambah lagi dengan adanya akulturasi dengan budaya Dayak dan pernah bersentuhan dengan budaya Jawa, ketika kebudayaan Banjar menjadi patner dengan kerajaan Demak. Juga secara kultural pernah bersentuhan dengan budaya Sumatera terutama dengan Aceh, ketika tokoh-tokoh agamanya seperti : Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al Raniry menjadi tokoh intelektual dan spiritual masarakat Banjar melalui ajaran tasawuf Wahdatul Wujud dan kitab Siratal Mustaqim. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada yang pada dasarnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika berada di daerah asalnya di Sumatera, dengan banyak sekali kosa kata yang berasal Dayak dan asal Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1980, adalah warga Kesultanan Banjarmasin disingkat Banjar, sesuai dengan ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukotanya dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura nama tersebut tampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi. 8 Lihat Ahmadi Hasan, Ibid. p. 58. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 173 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar B. Daerah Pemukiman dan Penyebarannya Daerah pemukiman para imigran Melayu, inti nenek moyang orang Banjar, pada mulanya di lembah-lembah sungai seperti sungai Martapura, sungai Negara dan lainya. Pemusatan penduduk yang besar terletak di tebing-tebing sungai yang relatif lebih tinggi hingga ke lereng pegunungan. Dalam perkembangannya menyebar ke seluruh Kalimantan. C. Perkembangan Agama dalam Masyarakat Banjar Bentuk-bentuk kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan yang dianut oleh nenek moyang orang Banjar adalah pemujaan nenek moyang dan adanya makhluk-makhluk halus di sekitar manusia (anismisme). Sedangkan yang oleh raja-raja cikal bakal sultan-sultan Banjar, Hikayat Banjar tentang Empu Jatmika pada waktu mendirikan keraton Negaradipa konon menyuruh pula membangun sebuah candi, yang dinamakan “Candi Agung”. Sebuah candi lainnya “Candi Laras”. 9 Dapat diperkirakan bahwa agama yang dianut di Negaradipa ialah salah satu bentuk agama Syiwa”. Akan tetapi sejak Pangeran Samudra masuk Islam kirakira 400 tahun yang lalu, Islam telah menjadi agama resmi kerajaan menggantikan agama Hindu. Sejak masa Pangeran Suriansyah proses Islamisasi dan sekembalinya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Mekkah Islamisasi berjalan dengan cepat, sehingga dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, yaitu sekitar pertengahan abad ke-18 atau bahkan sebelumnya, Islam sudah menjadi identitas orang Banjar. 10 Agaknya perubahan agama istana dari Hindu menjadi Islam dipandang oleh rakyat awam sebagai hal yang biasa-biasa saja. Akan tetapi kita bisa memahami apabila berbagai bentuk 9 Alfani Daud, Islam Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. p. 48. 10 Helius Syamsuddin, Op.Cit. p .1. 174 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 kepercayaan lama dan kelakuan-kelakuan yang berdasarkan ajaran-ajaran terdahulu masih bertahan di kalangan kelompokkelompok tertentu. Dengan demikian corak ke-Islaman orang Banjar mencakup pula konsepsi-konsepsi yang berasal dari imigran-imigran Melayu, yang menjadi nenek moyang orang Banjar sisa-sisa kepercayaan Hindu, dan sisa-sisa kepercayaan Dayak yang ikut membentuk kebudayaan orang Banjar. Sedangkan agama Kristen mulai diperkenalkan sekitar tahun 1688 oleh seorang pastor Portugis, akan tetapi penyebaran agama Kristen secara intensif dilakukan di kalangan orang Dayak, sasaran Zending khususnya ialah bertempat tinggal di Kalimantan Tengah. Sedangkan orangorang Bukit baru terjamah oleh kegiatan pengkristenan pada permulaan abad ini (abad 21). D. Sistem Budaya dan Keagamaan dalam Masyarakat Berdasarkan sejarah, kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan sehingga coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Orang Banjar yang menganut berbagai corak religi yang mempengaruhi kebudayaannya dalam segala aspek kehidupannya. Kultur itu diperoleh bukan saja melalui warisan yang bersifat turun menurun, akan tetapi juga diperoleh melalui kedudukan mereka sebagai mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan dinamis. Menurut Nurcholish Madjid hubungan agama dan budaya. Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu kewaktu dan dari tempat ke tempat. Sebahagian besar budaya didasarkan pada agama, tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu agama primer, dan budaya sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 175 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar dan tidak pernah sebaliknya.11 Semua agama mengenal ritual, tak terkecuali religi masyarakat orang Banjar, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Disamping itu ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatar belakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisikan perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedangkan perilaku profan dilakukan secara bebas. 12 Ritual ditinjau dari dua segi tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang bertujuannya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan. Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasikan diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Adapula ritual yang dilakkan secara kolektif (umum), seperti khotbah, shalat berjamaah, menunaikan ibadah haji.13 11 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban : Membangun Makna dan Relevansi Dokrin Islam dalam sejarah, Jakarta : Paramadina., 1995. P. 73. 12 Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosadakarya, 2000. P. 125-126. 13 Lihat Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarak, Ibid., p. 126. 176 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplist dalam al-Qur’an dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual kedua adalah marhaban, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Muhammad saw, dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu keluarganya menunaikan ibadah haji. Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier. Kebudayaan Banjar dapat dilihat dari sistem kepercayaan dan sistem upacara yang ada dalam masyarakat, antara lain : Sistem kepercayaan. Pada sebahagian masyarakat memiliki sejumlah jenis benda yang dianggap memiliki kekuatan sakti yang bisa memberi manfaat atau kemudharatan bagi pemakai, seperti kekuatan yang ada pada besi sebagai senjata,yang bisa disebut tuah besi. Sistem upacara. Adat upacara tradisional dalam masyarakat Banjar bermacam-macam, diantaranya : saat kelahiran dan beberapa waktu sesudahnya, upacara mandi (badudus) bagi calon pengantin, upacara menamatkan al-Qur’an (batamat qur`an), upacara perkawinan dengan berbagai kegiatan, peringatan kematian dalam masyarakat ada yang melakukan peringatan kematian yang dimulai dari 1 hari, 3 hari, 7 hari, 25 hari, 40 hari, 100 hari dari kematiannya, hingga tiap satu tahun), kegiatan harihari besar Islam, seperti peringatan maulid Nabi, Isra Mi`raj Nabi, dan melakukan kegiatan-kegiatan kolektif atau perseorangan berkenaan dengan hari asura, dalam bulan safar, khususnya pada hari Rabu terakhir bulan tersebut, selain bulan malapetaka, bulan safar juga dikonsepsikan sebagai bulan yang panas, sehingga sengketa kecil saja dapat berkembang menjadi besar dan berbuahkan pertumpahan darah. Orang Banjar tidak mau melaksanakan acara perkawinan pada bulan safar sudah merupakan mitos kepercayaan bahwa bulan safar bulan yang membawa petaka dan musibah. Semua acara dan upacara adat tersebut dalam prakteknya berpadu dengan ajaran dan simbol-simbol agama Islam. Bagi sebagian orang Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 177 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar masih ada hal-hal yang bersifat budaya bercampur aduk dengan agama, sehingga ada unsur-unsur yang tidak dapat dicari referensinya dari ajaran Islam melainkan hanya dari kebudayaan lokal. Semua tindakan tersebut dilegitimisir oleh masyarakat orang Banjar sebagai tindakan yang dibenarkan oleh Islam. Dalam kegiatan tersebut ada pencampur adukan antara kegiatan-kegiatan yang benar-benar bersumber dari ajaran Islam dan yang lainnya misalnya adanya pembacaan do’a di samping acara-acara adat. II. Dinamika Orientasi Keagamaan Masyarakat Banjar A. Ciri-ciri Nilai Budaya Orang Banjar Berdasarkan hasil orientasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis IAIN Antasari “Strategi pembinaan umat : Sebuah Alternatif Bagi Masyarakat Banjar “ ( 1982 ). Indikasi tentang ciri -ciri budaya yang dianut oleh komunitas yang lebih besar, sehingga memberikan gambaran kasar tentang etos budaya masyarakat banjar dengan berbagai parameter yang menggambarkan etos kerja. Orientasi budaya banjar di golongkan individualistik karena bahwa pandangan hidup ini untuk menjawab tantangan lebih dominan dibandingkan dengan hidup untuk mengabdi, dan berkenaan dengan karakteristik ideal yang diidam-idamkan ialah memelihara hubungan baik dengan orang lain sebagai karakteristik tidak nampak. Pada masyarakat banjar yang diidamkan adalah menjadi masyarakat yang bertanggung jawab. Orientasi budaya Banjar digolongkan kompetitif, karena orientasi yang menjadi ciri kooperatif, seperti pentingnya kepuasaan pribadi sebagai salah satu fungsi kerja dan pentingnya bantuan orang lain sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha sama sekali tidak nampak. Ciri lain dari orientasi sosial budaya masyarakat banjar ialah bersifat simples yaitu pernyataan-pernyataan yang diberikan umumnya simpel atau sederhana; hanya berkenaan makna hidup 178 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 dan kemampanan ideal mereka membuat pernyataan kompleks, adapun yang berkenaan dengan makna hidup, orang banjar menyatakan hidup ialah untuk menjawab tantangan dan untuk memberikan pengabdian. Tentang fungsi kerja, mereka beranggapan bahwa bekerja untuk kesejahteraan hidup. Para orang tua mendambakan anak-anak mereka dan para remaja bercita-cita agar memiliki kependidikan yang baik dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat. Tentang keberhasilan usaha mereka sangat yakin atas kemampuan sendiri. Bila ada rezeki berlebih mereka menggunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat investasi. Orang-orang Banjar beranggapan bahwa hidup berarti menghadapi tantangan dan bekerja adalah demi untuk menggapai kesejahteraan, berarti orang banjar meyakini bahwa ia harus berjuang agar tetap hidup dan bekerja. Tujuan yang dihadapi dengan berjuang dan bekerja adalah gambaran masa depan mereka yang sangat diwarnai oleh paham keagamaan yang mereka anut. Itulah sebabnya ada di antara warga masyarakat yang menegaskan bahwa hidup adalah untuk beramal ibadat. Berbagai kasus dalam masyarakat memperlihatkan adanya indikasi sikap yang saling bertolak belakang, yaitu pada satu sisi sikap santai dan pada sisi lain sikap pekerja keras, kita menemukan seorang petani yang cukup mapan bersungguhsungguh dalam memanfaatkan lahan pertaniannya dan juga berusaha menambah penghasilannya dengan berdagang hasil produksi kampungnya dari pasar ke pasar, dan buah hasil usahanya digunakan untuk menambah luas sawah dan lahan pertanian yang di milikinya. B. Faham Tentang Keselamatan Manusia Semua agama mengenal ritual tak terkecuali juga Masyarakat orang Banjar, karena setiap agama memiliki ajaran tentang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dangan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 179 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatar belakangi oleh kepercayaan. Islam, seperti agama lainnya, berbicara tentang kehidupan sesudah mati, kehidupan di dunia, dan mengungkapkan apa yang harus diupayakan manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Faham tentang keselamatan manusia dikalangan orang Banjar menyangkut gagasan tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya hidup di dunia ini, bagaimana seharusnya yang dilakukan. Untuk ini keselamatan ini, orang harus memelihara hubungan baik dengan tetangganya, termasuk juga dengan tetangga yang gaib. Bagi kelompok kerabat tertentu hubungan baik juga harus dipelihara dengan nenek moyang yang gaib atau yang telah menjelma menjadi naga, dengan makhluk gaib yang menjadi sahabat nenek moyang. Bagi orang Banjar ketidak serasian hubungan dengan tetangga atau masyarakat atau seretnya rezeki dan terlambatnya memperoleh jodoh, mungkin juga ada kaitannya dengan perilaku ulah orang gaib, yang tidak senang akan tingkah lakunya. Agar selamat hidup di akhirat, orang harus menjalankan kewajiban agamanya dengan tekun dan teratur, dan memelihara hubungan baik dengan tetangga, tidak pernah mencuri atau menipu, seperti melaksanakan ritual, seperti bahilah, sembahyang fil, puasa fil, dan sembahyang hadiah untuk menyantuni kerabat dekat yang baru-baru meninggal dunia. Kesempurnaan ibadah skar diperoleh, karena itu ibadah wajib harus disertai dengan ibadah-ibadah sunat dan berbagai-bagai amalan bacaan. Meskipun demikian kegiatan ibadah sunat sebenarnya tidak banyak dilakukan kecuali pada waktu-waktu tertentu. Selain itu di lapangan nampak ada berbagai usaha untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, baik di dunia ini maupun di akhirat.14 Ada sebahagian orang Banjar yang memakai wafak agar disenangi orang, atau mudah berurusan mudah dengan para 14 Alfani Daud, Op.Cit. p. 13. 180 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 pejabat, untuk kemurahan rezeki, penglaris dalam berusaha, untuk mudah mendapatkan jodoh. Amalan bacaan atau wirit tertentu, antara lain ayat atau surah al-Qur’an, yang mempunyai fungsi khasiat tertentu. Berbagai minyak sakti yang diminum atau dioleskan pada bagian-bagian tubuh tertentu, agar kebal atau kuat perkasa, disukai orang. Kegiatan balampah, untuk mencari keselamatan kehidupan dunia dan ukhrawi yang lebih baik. Belum lagi dalam bentuk ritual yang lain, amalan bacaan 70.000 .0000 (tujuh laksa) zikir, yang dilakukan oleh orang-orang tertentu setelah memperoleh otoritas (ijazah) untuk itu dari seorang alim. Mereka meyakini akan membebaskan siksa api neraka di hari kiamat bagi orang yang telah meninggal dunia, dan ahli warisnya yang melaksanakannya. Keluarga yang tinggal dapat mengusahakan keselamatan, khususnya kerabatnya yang baru meninggal dunia. Beberapa acara untuk keselamatan, seorang yang baru meninggal dunia, dibacakan al-Qur’an selama tiga hari, tiga malam, dibacakan surah al-Qadar pada gumpalan tanah yang digunakan sebagai pengganjal mayat agar tidak berubah posisinya di dalam kubur, konon malaikat tidak dapat mendekat untuk menyiksa si mati. Sembahyang hadiah kepada orang alim, akan memberikan penerangan di dalam kuburnya, doa anak yang shaleh untuk meringankan dari siksa api neraka bagi almarhum/almarhumah, yang tujuannya semuanya untuk keselamatan dunia dan ukhrawi.15 C. Pewarisan Nilai Keagamaan dalam Masyarkat Banjar Pewarisan Religius orang Banjar, meliputi berbagai bentuk kegiatan, yang bersifat pengajaran, pengajian seperti : pengajian fikih, pengajian tauhid, dan pengajian tasawuf, serta ceramah rutin di rumah-rumah ibadah dengan guru yang sengaja didatangkan dari luar kampung, pengajian tetap, sering dikatagorikan disebut majelis ta’lim, yang diberikan seorang ulama yang populer sehingga menarik pengunjung yang datang. 15 Lihat Alfani Daud. P. 14. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 181 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar Dalam pengembangan agama dan ajaran-ajaran Islam di masyarakat Banjar, pengaruh ulama besar yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dengan karangan kitabnya Sabilal Muhtadin sudah terkenal dimana-mana, bahkan dipelajari oleh kaum muslimin di luar Kalimantaan Selatan, khususnya para ulama di Martapura. Dengan sistem pengajaran non klasikal yang berpusat di Kampung Dalam Pagar yang dilaksanakan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tersebut, lahirlah para ulama dan tuan-tuan guru dimana untuk selanjutnya meneruskan pengajaran agama ke berbagai tempat dan pelosok, sehingga pada akhirnya melahirkan pondok pesantren baru sebagai wahana pelestarian pendidikan dan pengajaran agama Islam. Untuk Pewarisan Keagamaan dan pembudayaan dalam masyarakat Banjar ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai-nilai Islami adalah : 1. Pesantren Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam, di Kalimantan Selatan dengan proses Islamisasi di masyarakat Banjar. Secara sosiologis, pendidikan disuatu daerah berkembangnya beriringan dengan masuknya Islam di masyarakat Banjar, Di awal perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sudah tentu pendidikan informal mendominasi cara pendalaman Agama Islam, dengan demikian pendidikan dalam rumah tangga menempati sentral dalam mendidik seseorang sehingga menjadi Muslim. Pada awal abad XX model pengajian tetap merupakan sebagai media utama untuk penyampaiaan ajaran Islam kepada kaum Muslimin. Baru kemudian, memasuki dekade kedua abad XX, bermunculan lembaga model pesantren, yang dalam tahap awal perkembangannya kebanyakan dimulai dengan pengajian sistem halaqah (ngaji duduk) yang dipimpin oleh seorang ulama (kyai, tuan guru). Pada tahun 1914, berdirilah Madrasah Darussalam sebagai cikal bekal pesantren Darussalam yang dikenal sekarang ini. Pada tahun 1922, di Amuntai oleh KH. 182 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 Abdurrasyid dibangun pengajian keagamaan yang kemudian menjadi “Arabisch School” yang kelak, kemudian menjadi pesantren Rasyidiyah Khalidiyah. Di tahun 1958 dibangun pesantren Ibnul Amin, dan tahun 1975, di km 23 daerah Kabupaten Banjar didirikan pesantren Al-Falah, tahun 1980, dibangun pesantren Raudhatul Yatama, sebuah pesantren yang didirikan untuk menampung anak yatim. Sesudah itu bermunculan pesantren-pesantren di seluruh pelosok di Kalimantan, khususnya Kaimantan Selatan. 16 Pengaruh pesantren ini sangat membentuk nilai pendidikan dan budaya Islam ialah : a. Adanya hubungan yang akrab antara murid (santri) dengan Kyai. Sebaliknya seorang Kyai memperhatikan sekali kepada santrinya, hal ini karena ikatan batin yang kuat, karena mereka tinggal dalam satu pondok. b. Tunduknya santri kepada Kyai, para santri menganggap bahwa menentang Kyai selain dianggap kurang beradab, juga bertentangan dengan ajaran Islam. Keberhasilan seorang santri mendapatkan ilmu bukan hanya semata-mata melalui belajar, tetapi juga lewat “pengikroman” santri terhadap Kyai (tuan guru). c. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan pesantren. Hidup mewah tidak terdapat dalam pesantren, bahkan tidak sedikit para santri itu hidupnya terlalu sederhana dan terlalu hemat sehingga mengabaikan kesehatannya. Orang mengetahui bahwa hidup hemat dan sederhana itu syarat mutlak bagi suksesnya pembangunan manusia seutuhnya. d. Semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di kalangan santri. Hal ini disebabkan karena para santri itu mencuci pakaiannya sendiri, membersihkan kamar tidurnya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang memasak makanannya sendiri. 16 Muhrin Baderi, Profil Pesantren Di Kalimantan Selatan, Laporan Seminar Profil Pendidikan Di Kalimantan Selatan Tanggal 1112 Nopember Banjarmasin: IAIN Antasari, 1986. P. 14. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 183 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar e. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai dan menghiasi pergaulan di pesantren. Hal ini dikarenakan kehidupan yang merata di kalangan para santri, dan juga para santri harus mengerjakan pekerjaan yang bersifat agama, shalat berjamaah sampai aksi kebersihan tempat ibadah atau belajar bersama-sama. f. Pendidikan disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren, pagi-pagi benar, dari jam 04.30 sang Kyai telah membangunkan santri-santri untuk sholat shubuh berjamaah. Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan semacam ini sangat berpengaruh dan berkesan pada pembentuk diri religius keagamaan. g. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu pendidikan yang diperoleh santri dalam pesantren. Hal ini dilakukan oleh para santri dengan kebiasaan “tirakat” baik dengan puasa sunat setiap hari Senin dan Kamis, sholat tahajjud, I’tikaf maupun mengerjakan amal-amal lainnya.17 Dari ciri-ciri di atas, jelaslah bahwa pendidikan di Pesantren bukanlah hanya sekedar sebuah transformasi keilmuaan, akan tetapi juga sebuah transformasi nilai (nilai kepribadian), yang hanya hal ini diharapkan akan mampu menjadi masyarakat agamis bagi orang Banjar, mempunyai peran yang strategis dan signifikan dalam rangka upaya penerapan nilai budaya ke Islaman dalam masyarakat Banjar. Yang diharapkan akan mampu mengubah masyarakat yang agamis, tercermin dari perilaku keseharian warganya. Tanpa mengecilkan pendidikan formal lainnya, maka pendidikan di pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, mempunyai peran yang strategis dan signifikan dalam rangka upaya penerapan nilai-nilai agamis dalam 17 Syaugi Mubarak Seff, Pesantren : Pilar Utama Menuju Serambi Mekah ( Serambi Mekah) Matapura Darussalam : Pemerintah Kabupaten Banjar & Banjarmasin Post Group, 2000. p. 52-53. 184 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 keseharian. Kabupaten Banjar bekas ibukota Martapura bekas kerajaan Islam yang dijuluki Serambi Mekkah, dengan jumlah lembaga pendidikan pesantren 17 buah (termasuk di Kotamadya Banjarbaru). Secara kuantitatif dapat memposisikan dirinya sebagai kiblat dalam rangka aktualisasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan santri ratusan ribu ditambah ribuan alummnus yang menyebar diberbagai pelosok, sudah cukup kita bisa mengukur potensi yang terkandung didalamnya. Adapun secara kualitatif, maka peran pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam rangka terciptanya nilai-nilai kebudayaan Islam dalam kehidupan masyarakat orang Banjar dapat dilihat dari dua sisi yaitu secara historis dan sisi partisipasi masyarakat. Pertama: dari sisi historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan penyiaran agama Islam, karena pendidikan dan pengajaran agama Islam lahir dan mulai berkembang sejak proses masuknya Islam di Indonesia. Mengungkap dari sisi historis background pesantren Martapura, tidak bisa dilepaskan dengan kiprah dan peranan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai pembawa dan penyebar Islam dalam masyarakat orang Banjar (Kalimantan Selatan). Kampung Dalam Pagar adalah nama suatu tempat dimana beliau mulai mengembangkan ilmunya dan mengajarkannya kepada murid-murid lain. Dari cikal bakal pengajian tersebut, berkembanglah model-model pengajian dengan sistem halaqah yang dikembangkan oleh santri-santri Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sistem pengajian ini sampai sekarang masih bertahan. Disamping pengajian secara halaqah, para ulama/tuan guru juga mendirikan pesantren. Pada tanggal 14 Juli 1914 berdirilah Madrasah Darussalam, yang pada asalnya dimaksudkan untuk pendidikan anak-anak. Madrasah yang didirikan oleh Haji Jamaluddin, seorang tokoh pelopor Syariat Islam (SI) di Martapura, mempunyai nama lengkap Madrasah al-Imad Fita’lim al-Audad Darussalam yang sampai sekarang dikenal dengan Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 185 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar pondok Pesantren Darussalam. Mobilitas yang ditujukan oleh Pesantren ini sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam sangat tinggi sekali, khususnya dalam kontek pemberdayaan alumninya ketika kembali ke tempat asalnya. Model pengajian halaqah yang diterapkan oleh alumni santri pondok pesantren, setidaknya mempunyai andil yang besar dalam rangka menciptakan tempat masyarakat (kampung) yang agamis dimana nilai-nilai ajaran Islam dielaborasi, dibudayakan sedemikian rupa lewat pengajian yang berdampak pada akulturasi nilai-nilai tersebut dalam keseharian hidup penduduk setiap anggota, yang pada akhirnya membentuk masyarakat Islami.18 2. Sistem Pengajian Dapat dibayangkan setiap pelosok kampung terdapat pengajian agama “baduduk” (model di serambi Mekkah al Mukkarram), sungguh suatu pemandangan kurrota a’yun (menyejukan mata) dan model pengajian ini sebagai bagian dari pendidikan Islam, sangat strategis perananya dalam mencipratkan harmonisasi dinamika nilai-nilai kehidupan Islami dan warganya yang merupakan indikator dari kehidupan kota serambi Mekkah. Kita menyaksikan nilai-nilai pengajian yang sangat menyejukan hati pada saat ini pengajian baduduk, di Sakumpul yang dilaksanakan oleh Tuan Guru yang terkenal oleh masyarakat Banjar adalah Syekh H. Zaini Gani, tokoh kharismatik yang sangat pupuler di seluruh penjuru, berdatangan masyarakat untuk menuntut pengajian agama Islam, ribuan pendengar yang datang dari berbagai pelosok, mulai pejabat, presiden, wakil presiden, artis, tokoh masyarakat, hartawan dan dermawan. Mereka datang dari seluruh daerah Kalimantan, Indonesia dan bahkan dari luar negeri, untuk bertemu ataukah untuk mendengarkan pengajian agama Islam. 18 Lihat Syaugi Mubarak Seff, Ibid. p. 54. 186 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 Sejarah membuktikan indentifikasi Martapura sebagai kota serambi Mekkah tidak bisa dilepaskan dari peran pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam dengan didukung oleh model pengajian halaqah di kampung-kampung sebagai ekstra kurikuler santri dalam memberdayakan agama Islam sebagai kebudayaan masyarakat Banjar. Yang kedua : dari sisi partisipasi warga, dengan peran pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam rangka terciptanya nilai-nilai religius masyarakat dari sisi partisipasi warga didukung secara tidak langsung dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagian dari tempat (kampung) dimana pengajian itu mengambil tempat meskipun tidak melibatkan diri di dalam halaqah itu, tetapi memiliki “sense of belonging” (rasa memiliki) dan ta’zhim terhadap komponen yang ada dalam pengajian itu khususnya terhadap Kyai yang mengajar. Akibat dari dua sikap yang dimilki oleh warga tersebut, yaitu rasa memiliki dan ta’zhim, maka prilaku yang menyimpang dari norma agama Islam dapat dielaminir. Sikap ini secara tidak langsung membantu terwujudnya, kebudayaan Islam yang kondusif di tempat tersebut dengan prilaku, budaya Islami yang ditonjolkan warganya dalam keseharian, minimal untuk ditempat itu. Meskipun tidak bisa dipungkiri, akhir-akhir ini dua sikap di atas sudah mengalami pergeseran meskipun tidak semuanya. Di beberapa tempat kolerasi positif tidak terwujud antara adanya pengajian sistem halaqah dengan prilaku warganya. Artinya ada saja warga yang berprilaku menyimpang dari nilai agama, meskipun disana ada pengajian. Tetapi secara umum, adanya pengajian di suatu tempat selalu berkolerasi positif terhadap prilaku warga di sekitarnya. Untuk kelompok anak-anak berdirinya taman-taman pendidikan al-Qur’an (TPA), khusus untuk pendidikan dan pengajaran membaca al-Quran bagi anak-anak, telah menggantikan kegiatan pelajaran mengaji bentuk lama. Metode pengajaran pada TPA-TPA ini jauh lebih modern dari metode tradisional pada kegiatan belajar mengaji anak-anak di kampung, sehingga dalam waktu relatif singkat si anak didik sudah terampil Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 187 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar membaca al-Qur’an. Disamping adanya pengajian berupa pelajaran, pemahaman terhadap hadits-hadits yang diambil dari Kitab Bukhari (mengaji kitab Bukhari), yang ditemukan di Hulu Sungai Tengah. Ketiga bentuk mengaji, yaitu mengaji fikih, tauhid, dan tasawuf, akan dipaparkan secara khusus dalam uraian ini, karena ada dugaan tentang dampaknya terhadap perilaku masyarakat. Tulisan berkenaan dengan pewarisan nilai-nilai Islam ini akan dilengkapi dengan uraian berkenaan dengan aspirasi pendidikan masyarakat Banjar sebagai berikut : a. Pengajian Fikih Materi fikih yang diberikan dalam pengajian terutama berkenaan dengan aspek ibadah, termasuk juga penyelenggaraan jenazah. Para warga masyarakat tertarik mengikuti pengajian fikih ini, karena ingin meningkatkan kualitas ibadahnya atau memperoleh keterampilan menyelenggarakan jenazah, namun apa yang diajarkan sering sangat menekankan formalitasformalitas tertentu sehingga pada penyelenggaraan jenazah umpamanya, hanya bagian yang kecil dari pengikut pengajian yang akhirnya menjadi terampil. Keahlian memandikan jenazah dan menyelenggarakan jenazah seperti dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Motivasi lain mengikuti pengajian, terutama mengaji tauhid dan tasawuf, tetapi juga mengaji fikih, sering diistilahkan sebagai untuk mendapatkan sangu tuha atau sagu akhirat. Mereka biasanya menerima amalan-amalan dan bacaan-bacaan yang hanya bisa diperoleh dengan cara meminta kewenangan (ijazah) kepada guru, yang berguna untuk keselamatan di akhirat. Meskipun dinyatakan bahwa masyarakat Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan, adalah pengikut mazhab fikih yang empat mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, namun diketahui di kawasan ini hampir keseluruhan kitab fikih yang digunakan dalam pengajian bercorak Syafi’iyah, baik kitab yang dimiliki para ulama, yang diajarkan di sekolah/madrasah dan majelis ta’lim, maupun yang dijadikan rujukan dalam berbagai 188 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 perkara dan jawaban permasalahan yang timbul dimasyarakat, terdapat 19 judul kitab fikih yang digunakan oleh ulama pengajar di pengajian agama di Kalimantan Selatan.19 Kecuali kalangan Muhammadiyah yang sedikit berbeda, karena rujukan yang mereka gunakan adalah kitab khusus, yaitu hasil tarjih yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah Pusat. Adanya perbedaan pegangan dan faham ini sering menimbulkan ketegangan di antara pengikutnya. Sampai sekarang masih terkesan adanya kelompok Kaum Tua yang diidentikkan dengan pengikut NU, walaupun tidak mutlak, dan Kaum Muda yang diidentikkan pengikut faham Muhammadiyah. Ketegangan sering terjadi terutama pada tingkat masyarakat awam. Sedangkan pemahaman ajaran tidak sampai pada ketegangan dan perpecahan. b. Pengajian Tauhid Pengajian tauhid di Kalimantan Selatan pada umumnya berkisar tentang rukun iman, dan lebih khusus lagi tentang Sifatsifat Tuhan. Pembahasan dilakukan dengan pendekatan dalil naqal (tektual al-Qur’an Hadis), dan dalil akal (rasional). Sistematika pembahasan dibagi tiga macam, yaitu yang wajib ada, yang mustahil, dan yang boleh ada dan boleh tidak ada (ja’iz), secara keseluruhan lima puluh aka’id, yang harus diketahui dan diimani oleh sesorang yang mengaku beriman. Kelima puluh jenis akaid itu adalah meyakini adanya sifat 20 sifat Allah yang wajib, 20 yang mustahil bagi Allah, dan yang satu yang jaiz. Selain itu, seseorang juga wajib meyakini empat sifat yang wajib ada pada diri Rasul, empat sifat mustahil, dan satu sifat yang jaiz (bisa ada bisa tidak). Memperhatikan kitab-kitab yang digunakan dalam pengajian yang tersebar di Kalimantan Selatan, dapat dikatakan bahwa aliran teologi yang dipegangi adalah aliran Asy’ariyah dengan corak Sanusiyah, walaupun kitab karangan Imam alSanusi sendiri tidak dijadikan rujukan secara langsung. Demikian pula kitab-kitab yang ditulis oleh al-Asy’ari, sebagai tokoh pendiri aliran teologi tersebut, tidak diajarkan dalam pengajian. 19 Lihat Alfani Daud, Op. Cit. p. 15. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 189 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar Dengan pengajian tauhid ini yang berfokos pada pengenalan sifat-sifat Tuhan, dan sifat-sifat Rasul adalah pengajian yang hanya menanamkan aspek kognitif. Karena itu, penerapannya dalam kehidupan keseharian masyarakat muslim masih terlihat berbeda dari misi yang dikehendaki oleh ajaran tauhid secara tekstual. Masyarakat secara spontan bisa mengemukakan dalil-dalil, baik dalil akli (rasio) maupun dalil naqli (teks) tentang keesaan dan ke Maha Kuasaan Tuhan. Namun hal ini tidak membuat mereka tekun beribadah, rajin beramal saleh dan berusaha menjadi manusia terbaik sesuai dengan iman yang dimilikinya. Ilmu tauhid sebenarnya menginginkan terbentuknya pribadi secara utuh rohani, pkiran, dan perasaannya beriman kepada Allah. Ini berarti, pengajian dengan terbentuknya seperti ini belum bisa menjamin atau belum mampu membentuk pribadi yang mempunyai daya yang ampuh menolak perbuatan buruk dan keyakinan menyimpang dalam kehidupan keseharian. Dalam pengajian tauhid tampaknya perlu diberikan materi yang lengkap dan terpadu dari semua unsur rukun iman yang enam, tidak hanya menekankan pada aspek sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw saja. Keluasan berfaham agama akan tumbuh melalui pengajian yang menyajikan secara lengkap tentang rasul-rasul keyakinan tentang takdir dan hukum-hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan alam dan manusianya. c. Pengajian Tasawuf Sebagaimana pengajian tauhid, pengajian tasawuf di Kalimantan Selatan juga cukup berkembang. Dalam pengajian yang paling umum diajarkan adalah tentang sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela. Selain itu, pada pengajian tertentu diajarkan juga tentang metode-metode pendekatan diri kepada Allah. Dengan demikian, pengajian tasawuf di Kalimantan Selatan terbagi pada dua jenis materi, yaitu materi tentang tasawuf akhlaki dan taswuf falsafi. Tasawuf akhlaki diberikan dengan maksud agar peserta didik mengerti cara-cara pembersihan diri, lahir batin, dalam rangka beribadat kepada Allah. Sedangkan tasawuf 190 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 falasafi dimaksudkan untuk menanamkan pemahaman kepada para pesrta sehingga dapat menghayati dan merasakan bertaqarub dengan Allah. Pada umumnya tasawuf falasafi diberikan hanya sampai pada tingkat mahabbah (cinta kepada Allah), dan ma’rifat (kenal dengan Allah). Hal ini sesuai dengan bahan pegangan yang diperpegangi, yakni berupa kitab yang memang membahas hanya sampai ke tingkat itu. Sebahagian bahkan hampir seluruh kitab yang digunakan dalam pengajian- pengajian itu tampaknya masih menggunakan kitab-kitab yang sudah populer dan diakui kebenarannya. Sebahagian besar kitab yang digunakan adalah kitab karangan ulama Indonesia masa lalu, dan ulama lokal (Kalimantan Selatan). Kitab karangan ulama ini umumnya berbahasa Melayu aksara Arab, seperti kitab Risalah Amal Ma’rifah karya H.Abdurrahman Siddiq, kitab Tuhfat al-Raghibin karangan H. Muhammad Sarni bin Jarmani al-Alabi, kitab Al-Durr al-Nafis karangan Muhammad Nafis al-Banjari, kitab Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin karangan Abdussamad al-Palimbani. Sebagian lainya mengunakan kitab tasawuf berbahasa Arab hasil karya ulama Timur Tengah, seperti Ihya “Ulum al-Din dan Minhaj alAbidin yang ditulis pada abad ke-12 H, oleh Imam al-Ghazali. Namun demikian, pada waktu-waktu tertentu muncul ajaran-ajaran tasawuf yang dinilai menyimpang dari aliran yang lazim diakui sebagai mu’tabar (benar dan akurat). Dalam pengajian yang memunculkan aliran sempalan ini biasanya diajarkan sekitar Wahdat al-Wujud seperti konsep tasawuf Ibnu Arabi dan al-Hallaj. Pengajian ini pun biasanya dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Kemunculan aliran semacam ini sering menimbulkan ketegangan dan adakalanya berbuntut tindak kekerasan di kalangan masyarakat Banjar. Pada pengajian tasawuf terlihat adanya dampak positif bagi keberhasilan hidup masyarakat, disamping adanya dampak negatif yang kurang menguntungkan bagi dinamisasi kehidupan mereka. Dari materi ajaran tasawuf yang disajikan dalam pengajian, jika dapat dipahami dan dihayati oleh pesertanya, maka pengajian tersebut merupakan usaha strategis yang Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 191 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar mempurifikasikan spritual dalam dimensi moral. Selain itu, ajaran tasawuf yang diterima dapat menciptakan suatu dunia cita yang segar dan seimbang dalam diri penganutnya. Dengan memahami tasawuf akhlaki yang sebagian besar diajarkan di pengajianpengajian itu, para peserta memahami segala sifat-sifat tercela dan terpuji dan perbuatan perbuatan utama yang seharusnya dikerjakan. Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan, ada pula ditemukan pengajian yang tidak mengkaitkan dengan pemahaman tentang landasan hidup dalam dimensi sosial. Sehingga terdapat antara lain : Pertama, munculnya perilaku yang memisahkan diri dari kehidupan nyata, seperti dalam bentuk kurang tanggung jawab, baik terhadap keluarga, maupun dalam hidup bermasyarakat. Kedua, hapusnya jiwa kompetitif dan menghargai prestasi. Ketiga hilangnya keyakinan terhadap kemampuan diri. Beberapa ajaran yang sebenarnya dipandang sebagai perbuatan utama namun berdampak negatif dapat disebutkan antara lain, ajaran tentang faqir dan sikap zuhud. Faqir, yang arti semula adalah sikap kehati-hatian terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh kehidupan materi, kemudian ditafsirkan dalam pengajian tasawuf sebagai sikap tidak menuntut lebih dari apa yang sudah dimiliki. Sifat zuhud yang semula berarti suatu sikap pandang yang seimbang atau asas keharmonisan antara kehidupan dunia dan akhirat, kemudian di lapangan berubah penafsiran menjadi mengurangi keinginan terhadap kehidupan dunia. Segala kehidupan yang bersifat materi dinilai sebagai sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan dosa. 20 20 Lihat, Alfani Daud, p. 16-17. 192 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 D. Sikap Berkenaan Pemurniaan Agama Tujuan pokok dalam usaha memurnikan ajaran agama Islam ialah mengusahakan agar kepercayaan Islam dan tuntunan ibadah Islam menjadi satu-satunya kepercayaan religius orang Banjar. Hal ini dilakukan secara konsekwen sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunah jangan dicampur adukan dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan lokal. Kepercayaan atau keyakinan adanya makhluk gaib, sama sekali tidak ada kepercayaan akidah Islam, sebab agama Islam dalam rukun iman memberikan ajaran kepada kita untuk mempercayai Allah, juga percaya kepada malaikat. Malaikat adalah makhluk Allah yang gaib. Oleh karena itu, setelah mengimani Allah, manusia diperintahkan untuk mengimani adanya malaikat. Faedah beriman kepada malaikat adalah agar akidah menjadi bersih dari noda-noda syirik, karena orang-orang kafir menganggap malaikat itu anak-anak Allah.21 Selanjutnya dalam rukun iman, kita diharuskan percaya kepada hari akhir, hari akhir ini mencakup segala kejadian di hari akhirat, yaitu: Bahwa pada hari Allah akan menghapus alam semesta dan sekalian makhluknya yang berada di dalamnya dikenal dengan hari kiamat. Setelah kiamat Allah Allah akan menghidupkan kembali manusia dan mengumpulkannya di padang mahsyar, kemudian segala sesuatu yang diperbuat manusia selama hidup di dunia akan dipertanggung jawabkan di pengadilan Allah. Masyarakat Muslim Banjar percaya adanya hari kiamat, siksa, neraka dan sorga, tetapi mereka masih percaya adanya yang gaib-gaib. Untuk itu masyarakat Banjar berusaha untuk lebih memahani dan mempelajari apakah dalam kegiatan pengajian/pelatihan dan memperdalam tentang tauhid (sifat dua puluh), mengkaji fiqh dan tasawuf, apabila faham monoteisme telah berurat dan berakar di dalam sanubari masyarakat orang Banjar, kepercayaan-kepercayan terhadap makhluk halus yang sakti akan melemah, dan dewa dan (ruh) nenek moyang yang 21 Muslim Nurdin, et.al, Moral dan Kognisi Islam, Bandung: Alfabeta, 1993. p. 91. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 193 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar terdahulu sangat ditakuti akan turun derajatnya menjadi makhluk Allah yang lemah, bahkan lemah dari manusia. Dengan demikian kegiatan-kegiatan religi, antara lain berupa upacara bersaji, yang terkait erat dengannya, akan menghilang berangsur-angsur. Tujuan pokok dalam usaha memurnikan ajaran tersebut sebenarnya, mengusahakan agar kepercayaan Islam dan perilaku ibadah Islam menjadi satu-satunya kepercayaan yang hakiki dan religius dalam masyarakat. Hal ini dilakukan secara positif, yaitu yang telah dirumuskan secara singkat dalam rukun iman dan rukun Islam. Rukun iman merupakan aspek kepercayaan yang pokok dari ajaran Islam, biasanya tidak diajarkan secara sistematis. Namun biasanya biasanya dihapalkan berbagai sifat Tuhan yang berjumlah 99 (Asmaul Husna), nama Kitab yang diturunkan kepada Rasul, nama-nama Nabi yang terkenal. Bagaimana supaya sabar dan berserah diri kepada Allah, percaya kepada Rukun Iman : 1. Percaya kepada Allah Orang Banjar sangat percaya dan yakin tentang keberadaan Allah yang Maha Kuasa, dan percaya tentang peristiwa-peristiwa yang telah lalu, maupun yang akan datang. Ia ada sejak semula (azali) dan selalu akan tetap ada. Ia telah menciptakan alam ini dari yang tidak ada menjadi ada, dan sanggup pula menjadikan dari ada menjadi tidak ada pada hari kiamat nanti. 22 2. Percaya kepada Malaikat Malaikat dalam pandangan masyarakat Banjar diiyakini sebagai makhluk Allah yang taat dan jujur yang diciptakan Allah dari cahaya. Malaikat berjumlah sepuluh orang dan memiliki tugas khusus. Bagi orang Banjar malaikat mempunyai tugas diantaranya menyampaikan wahyu kepada para Rasul dan Nabi, menyabut nyawa ketika seseorang akan meninggal dunia, 22 Alfani Daud, Op.Cit. h 550- 551. 194 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 mencatat segala perbuatan yang baik dan buruk seseorang, menanyai ruh seseorang yang baru meninggal dunia tentang agamanya dan bila jawabannya tidak memuaskan maka ia akan menyiksanya, memelihara al-Qur’an dari kemungkinan berubah karena ulah manusia, menjadi penunggu surga dan neraka, menyebarkan rahmat Allah sesuai perintah-Nya. 3. Percaya pada para Nabi dan Rasul Orang Banjar sangat percaya kepada para Nabi dan Rasul, para Nabi menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban menyampaikan wahyu kepada ummat manusia. Rasul adalah utusan Allah yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada ummat manusia. Orang Banjar sangat mempercayai sekali tentang dua puluh lima orang Nabi, diantaranya berfungsi sebagai Rasul (Daud, Musa, Isa dan Muhammmad) yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada manusia dan menunjukkan cara-cara pelaksanaannya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Nabi Khaidir dan Nabi Sulaman berfungsi khusus di dalam kepercayaan masyarakat Banjar. Bagi sebahagian orang Banjar, Nabi Khaidir sebagai penguasa bawah air, meskipun tidak diketahui tokoh ini dipuja dalam fungsi tersebut, tetapi yang jelas termasuk tokoh ghaib yang diundang atau secara khusus ketika upacara bersesaji dengan demikian tokoh Nabi Khaidir dikelompokkkan ke dalam golongan makhluk halus dari pada ke dalam golongan Nabi (Rasul) di dalam kepercayaan masyarakat Banjar. Sedangkan Nabi Sulaiman dianggap, setidak-tidaknya oleh kalangan tertentu segala perbendaharaan yang terkandung didalam bumi telah diwariskan oleh Nabi Sulaiman kepada seorang anaknya yang konon tidak mempunyai tangan atau kaki sehingga berbentuk “ bulat seperti semangka”.23 23 Ibid, p. 562. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 195 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar 4. Percaya kepada kitab-kitab-Nya Keyakinan kepada kitab-kitab suci merupakan rukun iman yang keempat. Kitab-kitab suci ini memuat wahyu Allah. Dalam pengertian yang umum wahyu adalah firman Allah yang disampaikan Malaikat Jibril kepada para Rasul-Nya. Dengan demikian dalam perkataan wahyu terkandung pengertian penyampaian firman Allah kepada orang yang dipilih-Nya untuk diteruskan kepada ummat manusia guna dijadikan pegangan hidup. Orang Banjar sangat percaya kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya untuk disampaikan kepada ummat manusia, semua terekam dengan baik di dalam Al-Qur’an. Orang Banjar sangat menekankan kepada anak-anaknya untuk belajar mengaji hurufhuruf Al-Qur’an kepada seorang guru yang dianggap ahlinya. Ketika menekankan pentingnya belajar mengaji kepada anak-anak ditanamkan bahwa kitab Al-Qur’an harus diperhatikan hati-hati, karena ia akan menjadi kapal tempat menumpang pada hari kiamat kelak. Kitab-kitab lain selain Al-Qur’an (Zabur, Taurat dan Injil) tidak banyak diketahui sehingga banyak tidak mengenalnya. Namun kepercayaan akan kitab suci bagi orang Banjar adalah suatu yang wajib. 5.Percaya kepada Hari Kiamat Rukun Iman yang kelima adalah keyakinan pada hari kiamat. Keyakinan ini sangat penting dalam rangka kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari kiamat sama dengan tidak mempercayai agama Islam. Pada hari itu manusia bertanggung jawab segala perbuatannya kepada Allah. Pada waktu itu kelak manusia sudah mati akan dibangkitkan, dihidupkan Tuhan kembali dan dipanggil untuk memberikan pertanggung jawabannya yang lengkap mengenai segala perbuatanya apakah sesuai atau tidak sesuai dengan larangan atau perintah Allah. 196 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 Dalam kepercayaan masyarakat Banjar pada hari kiamat nanti, manusia dibangkitkan dari kuburnya dan semuanya dihalau ke padang mahsyar untuk diadili, ditimbang amal baik dan amal jahat yang pernah dilakukan di dunia. Setelah penimbangan semua amal orang akan berjalan disebuah titian shiratal mustaqim, sebuah titian yang lebih haluh dari rambut yang dibelah tujuh dan lebih tajam dari sembilu menyeberangi lautan api neraka, dan menuju surga. Dalam hal ini berbagai macam orang-orang yang melewatinya ada yang seperti kilat, ada yang berkendaraan ada yang berjalan cepat, jalan biasa, tertatah titih bahkan ada yang jatuh ke dalam api neraka, semuanya tergantung kepada amal perbuatannya selama di dunia, orang Banjar sangat meyakini dan mengimani tentang hari kiamat. 6.Percaya kepada Takdir Rukun Iman yang keenam adalah percaya kepada takdir (Qada dan Qadar) yang disebut dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 36 dan surat Al-Qamar ayat 49. Yang dimaksud qada adalah ketentuan mengenai sesuatu atau ketetapan tentang sesuatu, sedang qadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu. Dapat pula dikatakan qada adalah ketentuan atau ketetapan, sedang qadar adalah ukuran. Dengan demikian qada dan qadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan Allah menurut ukuran atu norma tertentu. Di antara yang terpenting hubungan takdir dengan kehendak bebas manusia tersebut di atas untuk itu perlu dikemukakan pertanyaan berikut : Dalam meyakini takdir ilahi apakah manusia masih mempunyai kehendak bebas dalam mengatur perbuatannya ? Dalam menjawab pertanyaan ini ada dua teori yang berbeda . Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai kekuasaan Tuhan yang mutlak dan keadilan Tuhan mengenai perbuatan manusia. Yang menganggap kekuasaan Tuhan itu mutlak berpendapat bahwa Allah dapat berbuat apa saja, baik yang kelihatan adil maupun yang tidak adil oleh manusia (teori pertama). Menurut pandangan ini manusia adalah alat Tuhan yang Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 197 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar tidak mempunyai kebebasan dalam mengatur nasibnya. Teori ini, terkenal sebagai Fatalisme (ajaran atau faham bahwa nanusia dikuasai oleh nasib), telah menyebabkan Islam dilecehkan sebagai Agama Fatalistis (ajaran pemeluknya percaya atau menyerahkan saja pada nasib). Pendapat ini adalah salah, karena Islam mengakui peranan manusia dalam mengatur perbuatanperbuatannya. Menurut Muhammad Saltut sejalan dengan pendapat orang yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.24 Dengan akal yang ada padanya manusia dapat menentukan pilihannya. Dengan kehendak bebas (free will) yang ada padanya, manusia menentukan nasibnya sendiri. Dalam kepercayaan orang Banjar mengenai takdir tidak terlepas dari usaha dan do’a kepada Allah semata penyerahan kepadanya kepada Allah dan menerima segala yang diberikanNya dengan ikhlas bahkan terkadang, pada sebagian orang dikatakan, bahwa setiap kata yang diucapkan memang sudah ditakdirkan Tuhan. Dalam hal ini penulis yakin dan percaya apabila rukun Islam dan rukun Iman benar-benar dipercayai dan diyakini serta diaktualisasikan dalam kehidupan maka nilai-nilai keislaman akan benar-benar menjadi Islam yang totalitas bagi masyarakat Banjar. Sehingga segala segala kepercayaan-kepercayan dan perilaku yang berdasarkan kebudayaan lokal akan luntur karena tertanamnya akidah yang kuat. Sikap dalam menghadapi religi masyarakat Banjar, yang masih merasakan nenek moyangnya tetap memperhatikan kesejahtraan mereka dan menuntut mereka melaksanakan adat bubuhannya dan sangsi-sangsi tertentu bila dilalaikan. Dalam hal ini faham monoteisme harus berurat dan berakar di dalam sanubari masyarakat Banjar, kepercayaankepercayaan kepada mahluk halus yang sakti akan melemah dan dewa (roh) nenek moyang yang dahulunya ditakuti akan turun 24 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. P. 231. 198 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 menjadi makhluk Allah yang lemah, bahkan lebih lemah dari manusia dengan demikian kegiatan-kegiatan religi berupa upacara bersaji yang terkait erat dengannya akan hilang secara pelan-pelan tetapi pasti masyarakat kita akan bertambah cerdas. Sejalan dengan hukum alam, yang secara religi disebut sebagai sunnatullah. Dengan keyakinan adanya hukum alam yang mengatur alam ini insyaallah tidak ada lagi kepercayaankepercayaan lokal yang tidak bersumber dari ajaran Islam. Semoga orang Banjar dengan corak kebudayan sangat beragam berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki diri dengan konsekwen melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan Tuntunan Qur’an dan Hadist, walaupun dalam keseharian masih banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang berasal dari kepercayaan lokal, asalkan tidak menyerikatkan Allah Swt. E. Kesimpulan dan Penutup Islam masuk ke Kalimantan Selatan dari Jawa pada abad 16 ketika sultan Demak membantu Pangeran Banjar (Pangeran Samudera), untuk merebut Pangeran Tumenggung dalam peperangan merebut tahta kerajaan. Sebagai imbalannya, Pangeran Samudra bersedia memeluk Islam. Dia menjadi Sultan Pertama kesultanan Banjarmasin dengan gelar Sultan Suriansyah. 2. Sesudah Sultan memeluk agama Islam, maka Islam ditetapkan sebagai agama negara. Sungguhpun demikian perkembangan Islam sangat lambat, Islam merupakan kelompok minoritas di kalangan melayu. 3. Setelah kembalinya Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Makkah pada tahun 1970 intensifikasi keislaman dilancarkan oleh Al-Banjari, yang melakukan gerakan pembaharuan dengan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru untuk menguatkan Islamisasi. 4. Berdasarkan sejarah, kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan sehingga coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Orang Banjar yang menganut berbagai 1. Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 199 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar 5. 6. 7. 8. corak religi yang mempengaruhi kebudayaannya dalam segala aspek kehidupannya. Kultur itu diperoleh bukan saja diperoleh dari warisan yang bersifat turun temurun, akan tetapi juga diperoleh melalui kedudukan mereka sebagai mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan dinamis. Sikap dan prilaku kemasyarakatan dan keagamaan orang Banjar yang lahir dari kondisi lingkungan dan tuntutan alami, dipengaruhi oleh kepercayaan dan ajaran itu, terus berkembang melewati kurun waktu yang panjang dan pada gilirannya menjadi budaya masyarakat. Islam yang kini menjadi panutan masyarakat orang Banjar, ternyata belum sepenuhnya mampu mengubah budaya itu ke dalam budaya Islam yang murni. Masyarakat Banjar dengan corak kebudayaan yang sangat beragam berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki diri dengan konsekwen melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits, walaupun dalam keseharian masih banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang bersal dari kepercayaan lokal asalkan tidak mensyarikatkan Allah Swt. 200 Ta’lim Muta’allim, Vol. I Nomor 2 Tahun 2011 DAFTAR PUSTAKA Abdubdullah, Amin M. 1996. Studi Agama : Normativitas atau Historis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Abdul Hakim, Atang , Mubarak, Jaih. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Karya. Abdullah, Taufik. 1974. Islam di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang. Ali, Muhammad Daud . 2002. Pendidikan Agama Islam . Jakarta : Raja Grafindo Persada. Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban : Jejak Arkeologis dan Historis Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Baderi, Muhrin, Profil Pesantren di- Kalimantan Selatan. 1986. Laporan Seminar Profil Pendidikan Di- Kalimantan Selatan Tanggal 11-12 Nopember Banjarmasin, IAIN Antasari. Daud, Alfani. 1997. Islam & Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Daud, Alfani. 2000. Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat Banjar, Banjarmasin : IAIN Antasari Banjarmasin. Ensiklopedia Mini : Sejarah & Kebudayaan Islam. 1998 Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Hasan, Ahmadi . 2002 .Hukum yang Hidup Pada Masyaraka Banjar dan Kontribusi Pembinaan Nasional, Syariah : Hj. Nurjannah Rianie, Pendekatan Kultural 201 terhadap Orientasi Keagamaan Orang Banjar Jurnal Hukum dan Pemikiran No 1 Tahun 2 Januari – Juni, Banjarmasin : Fakultas Syariah IAIN Antasari. Madjid, Nurcklis. 1995. Islam Agama Peradaban : Membangun makna dan Relevasi Doktrin Islam dan Sejarah. Jakarta : Paramadina. Nurdin Muslim et.al . l993. Moral dan Koneksi Islam. Bandung : Alfabeta. Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta : Balai Pustaka, 1993. Puriyono, A. 2003. Jurnal Rindang : Untuk Dakwah Persatuan Kesatuan & Pembangunan No 12 Thn. xxviii Juli Semarang : Yayasan Kesejahteraan Karyawan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jateng. Syamsuddin, Helius, Islam Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Tengah Pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Banjarmasin: PSPB, 2002. Yatim, Badri. 2002. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II .Jakarta : Raja Grafindo Persada.