Aksesibilitas Kota untuk Anak dengan Disabilitas

advertisement
Aksesibilitas Kota untuk Warga Kota dengan Disabilitas
Oleh: Adzkar Ahsinin
A. Situasi Umum
Diperkirakan terdapat 500-600 juta penduduk di seluruh dunia hidup dengan disabilitas
(penyandang cacat). Kemudian mengacu pada estimasi WHO, diperkirakan 10% dari jumlah
tersebut atau sekitar 200 juta anak-anak dan remaja hidup dengan disabilitas baik alat panca
inderanya, intelektualnya maupun fisiknya. Dari jumlah tersebut sekitar 80% hidup di negara
berkembang. Lebih jauh, perhitungan Bank Dunia menyatakan dari 5 orang penduduk paling
miskin 1 diantaranya adalah orang dengan disabilitas. Dengan kata lain, 20% orang yang paling
miskin di dunia adalah orang dengan kondisi disabilitas (Unicef Innocenti , 2007).
Lebih jauh
fakta menunjukkan tingkat melek huruf (literacy rate) orang dengan disabilitas sangat rendah
sekitar 3%, dan pada beberapa negara menunjukkan tingkat melek huruf perempuan dengan
disabilitas di bawah 1%. Selanjutnya, data menunjukkan bahwa terdapat 98% anak dengan
disabilitas hidup di negara berkembang tidak dapat masuk sekolah dan 30% anak-anak jalanan
di dunia hidup dengan disabilitas (Andrew Byrnes, et.al, 2007).
Dalam konteks Indonesia, berdasarkan random survei yang dilakukan oleh Departemen Sosial,
populasi penyandang cacat adalah 3,11 % dari total penduduk Indonesia. Jika sekarang ini jumlah
penduduk Indonesia tercatat 220 juta maka jumlah penyandang cacat mencapai 7,8 juta.
Sementara itu, data WHO pada tahun 2004 menunjukkan bahwa populasi penyandang cacat
di Indonesia mencapai 10 % dari total penduduk Indonesia atau 22 juta orang (Suara
Pembaharuan, 2008).
Sedangkan jumlah anak dengan disabilitas di seluruh Indonesia
diperkirakan mencapai l.460.333 orang (Fawzia Aswin Hadis, 2005). Di DKI Jakarta sendiri,
jumlah anak dengan disabilitas tidak terdata dengan baik, namun data BPS tahun 2003-2004
menunjukkan jumlah penduduk dengan disabilitas sebesar 426.550 jiwa atau sekitar 5% dari
total jumlah penduduk DKI Jakarta.
Pada setiap wilayah di mana pun, orang dengan disabilitas mengalami marjinalisasi dan
diskriminasi, pengeyampingan/pengecualian, dan dehumanisasi dalam kehidupannya. Lebih jauh
karena kondisinya tersebut harapannya untuk dapat bersekolah, mendapatkan pekerjaan,
memiliki rumah, berkeluarga dan membesarkan anak, menikmati dan berpartisipasi dalam
kehidupan sosial semakin terkendala. Selain itu, mayoritas orang dengan disabilitas mengalami
kesulitan menjalani kehidupan kesehariannya karena fasilitas publik, transportasi, dan informasi
tidak dirancang sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya orang dengan disabilitas hidup
terpinggirkan dan tercerabut hak-hak dasar sebagai manusia.
Apabila ditelisik lebih jauh, kemiskinan merupakan faktor yang signifikan yang menyebabkan
orang berpotensi mengalami disabilitas. Bahkan kemiskinan yang menjadi ruang hidup orang
dengan disabilitas akan berpotensi meneruskan generasi dengan disabilitas dan melanggengkan
kemiskinan (visious cycle). Hal ini dikarenakan kesenjangan keteraksesan dan ketersediaan fasilitas
publik dan layanan dasar yang menjadi haknya seperti institusi pendidikan, air bersih, nutrisi,
dan imunisasi.
1|Hal
Seperti halnya orang dengan disabilitas, kelompok anak dengan disabilitas juga mengalami
diskriminasi, malahan dengan derajat kerentanan yang lebih ketimbang orang dewasa. Situasi ini
menempatkan anak dengan disabilitas menjadi tidak terlindungi dan rentan menjadi korban.
B. Komersialisasi Ruang Publik Kota
Melihat permasalahan di atas maka sangat penting melihat kota sebagai salah satu lingkungan
ekologis (ecological framework) kehidupan anak. Kota merupakan titik konsentrasi maksimal
sebuah kekuasaan dan budaya dari suatu komunitas (Lewis Mumford, 2008). Dengan demikian,
kota yang menjadi ruang hidup anak bagaikan 2 (dua) sisi mata uang, di satu sisi berpotensi
memarjinalisasi dan mendiskriminasi, di sisi yang lain berpotensi dapat melindungi dan ramah
terhadap anak termasuk bagi anak dengan disabilitas. Karena kota dapat dikatakan sebagai
mikrokosmosnya dunia, di mana memiliki beragam isu dan soal kemanusiaan yang berat yang
menimbulkan kegelisahan dan duka. Oleh karena membutuhkan pemecahan masalah yang
berkelanjutan melalui perubahan yang positif dan berarti. (Shulamith Koenig , 2008).
Idealnya kota mencerminkan ruang hidup yang memerdekakan warganya tanpa membedakan
perbedaan kelompok yang ada. Dengan demikian kota merupakan ruang yang memberikan
kenyamanan dan kesenangan bagi warganya asalkan dapat mendukung keberagaman aktivitas
(diversity of activities) warga kota (Young, 1999). Selanjutnya menurut seorang planolog Leonie
Sandercock menyatakan bahwa kota berbasis diversitas merupakan dasar dari kota yang adil (just
city) (Susan S. Fainstein, 2005).
Kota Jakarta sebagai barometer model pembangunan kota di Indonesia dapat menjadi indikator
sampai sejauhmana kota di Indonesia melindungi dan ramah terhadap anak khususnya anak
dengan disabilitas. Namun apabila melihat ketersediaan fasilitas public, kota Jakarta sangat tidak
melindungi dan ramah terhadap anak khususnya anak dengan disabilitas. Kebijakan yang ada
justru justru memfasilitasi kepentingan pemodal dalam mengeksplotasi ruang wilayah publik
untuk kepentingan komersial
sehingga pemilik
pemodal yang menjadi pemenang
pertempuran ekonomi (economic battleground) di ruang wilayah administrasi Propinsi DKI
Jakarta (Eko Budiarjo, 2007). Salah satu indikasinya, Jakarta dipadati mal, megamal, supermal,
department stores, pusat-pusat perbelanjaan (shopping centres), apartemen, yang serba gigantik,
tanpa tersedia ruang terbuka hijau yang memadai (Eko Budiarjo, 2007). Bahkan pada masa
Gubernur Sutiyoso, mal dan pusat perbelanjaan tumbuh 20 kali lipat dibandingkan dengan era
gubernur sebelumnya (Tjipta Lesmana, 2007).
Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya penyalalahgunaan wewenang dan pelegalan peralihan
fungsi ruang wilayah resapan air dan ruang wilayah lindung (ruang terbuka hijau) menjadi
ruang-ruang komersial yang berakibat pada kerusakan ekologis yang semakin masif. Lebih jauh,
kondisi ini membenarkan fenomena "bunuh diri ekologis" (ecological suicide) dan "bunuh diri
perkotaan" (urbicide atau urban suicide)
akibat pembangunan ruang wilayah komersial
diperkotaan. Fenomena ini terjadi karena tokoh-tokoh yang notabene dipercaya rakyat untuk
mengelola kota justru yang "melukai" dan "membunuh" kotanya dengan aneka kebijakan yang
merusak keseimbangan alam-manusia-lingkungan binaan (Eko Budiarjo, 2007).
2|Hal
C. Jakarta Kota yang Diskriminatif terhadap Warga Kota dengan Disabilitas
Aksesibilitas yang menjadi hak anak-anak dengan disabilitas menjadi tolok ukur bagaimana Kota
Jakarta memperlakukan warganya. Aksesibilitas menurut UU No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat
adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Realita menunjukkan Jakarta merupakan kota yang tidak ramah terhadap orang dengan
disabilitas. Hal ini ditunjukkan melalui
survei pada 2001 yang dilakukan oleh Himpunan
Wanita Penyandang Cacat Indonesia, Yayasan Bina Paraplegia Indonesia, Ikatan Arsitek Indonesia
DKI Jakarta, dan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti kerja. Survey
dilakukan terhadap 35 bangunan dan fasilitas umum di Jakarta. Kemudian pada 2003 dilakukan
kembali survei terhadap 50 gedung dan bangunan umum Kedua periode survey tersebut
menghasilkan kesimpulan yang sama bahwa sebagian besar bangunan umum di Jakarta masih
tidak ramah bagi orang dengan disabilitas. Bahkan sebagian besar jembatan penyeberangan di
Jakarta dibangun dengan sudut yang sangat terjal. Kondisi ini tidak hanya menyulitkan orang
dengan disabilitas dan kaum lanjut usia (korantempo, 11 April 2005).
Ketidaktersediaan fasilitas khusus bagi anak-anak dengan disabilitas semakin mengurangi peluang
bagi anak sebagai bagian integral warga kota, mendapat pelayanan fasilitas publik seperti fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas olah raga, fasilitas rekreasi dan bermain. Artinya alih-alih
kota memfasilitasi kebutuhan spesifik mereka, malah kota berkontribusi merampas hak-hak anak
sebagai warga kota.
D.
Kota Berbasis HAM adalah Kota yang Ramah terhadap Anak
Dalam perspektif HAM, ketersediaan fasilitas publik kota seharusnya beragam dengan
menyesuaikan kebutuhan dan karakteristik khas dari setiap warga kota. Pada titik ini, anak
termasuk anak dengan disabilitas sebagai bagian dari warga kota (children as citizens) juga harus
diakomodasi kebutuhan yang bersifat khusus. Dengan demikian kota
ketersediaan fasilitas
public kota yang khusus ditujukan bagi anak dengan disabilitas menjadi konsekuensi logis
keberadaan sebuah kota. Sebaliknya kota yang tidak menyediakan fasilitas khusus bagi anakanak dengan disabilitas dapat dikualifikasikan sebagai kota yang tidak ramah terhadap anak
(cities not child friendly).
Kota dapat disebut sebagai kota yang ramah anak (child friendly cities)
menjamin setiap anak-anak sebagai warga kota untuk:
apabila
dapat
1. Mempengaruhi kebijakan yang terkait dengan kota
2. Mengekspresikan pendapat kota yang diinginkan oleh anak sebagai warga kota
3. Berpartisipasi di lingkungan keluarga, komunitas, dan kehidupan sosial yang melingkupi
kehidupan anak dikota
4. Menerima layanan air bersih dan memilik akses atas sanitasi yang layak
5. Terlindungi dari eksploitasi, kekerasan, dan penelantaran
6. Memiliki sarana sebagai tempat untuk berjumpa dengan teman-temannya dan tempat
bermain
3|Hal
7. Memiliki ruang hijau bagi manusia, tanaman dan binatang yang menjadi satu kesatuan
ekosistem kota
8. Terlindungi dari lingkungan yang tercemar polusi
9. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya
10. Berhak atas akses yang adil terhadap setiap layanan sebagai warga kota tanpa
diskriminasi atas dasar, etnis, asal usul, agama, pendapatan, gender, atau disabilitas
(Unicef Innocenti , 2004).
Untuk mewujudkan kota yang ramah anak tidak bisa dipisahkan dengan konsep kota yang
berbasis HAM (human rights cities). Kota berbasis HAM pada dasarnya dibangun berdasarkan
partisipasi warga kota secara setara dalam proses pembuatan kebijakan yang mempengaruhi
kehidupan warga kota. Kota berbasis HAM juga mengedepankan inisatif berbasis komunitas,
direncanakan oleh kelompok local yang menggabungkan partisipasi dan perubahan sosial dengan
solidaritas internasional yang berdasarkan prinsip pendidikan HAM dan pembangunan
berkelanjutan. Di samping itu, kota berbasis HAM juga menawarkan sebuah struktur untuk
identifikasi, evaluasi, dan analisa terhadap apa yang dibutuhkan untuk mencegah kekerasan dan
memajukan terwujudnya HAM. (Stephen P. Marks & Kathleen Modrowski, 2008).
Untuk mewujudkan kota berbasis HAM dibutuhkan adanya hubungan-hubungan dalam
masyarakat secara vertikal dan horizontal yang termanifestasikan dalam produk hukum,
kebijakan, dan sumber daya berdasarkan penghargaan dan kepercayaan. Dengan demikian, kota
berbasis HAM merupakan sebuah upaya untuk membangun sebuah visi baru dunia yang
menempatkan kapasitas warga kota dalam rangka menciptakan ruang public. Lebih jauh upaya
menumbuhkan ruang-ruang publik merupakan prasyarat mendasar mewujudkan pemerintahan
yang demokratis. (Stephen P. Marks & Kathleen Modrowski, 2008). Ruang public di sini
dipahami sebagai ruang yang membuka dan memberikan setiap warga kota (termasuk anak)
untuk mengekspresikan pendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
Ruang publik dalam konteks
kegiatan ini berupa pameran
untuk membangun dan
mengarahkan opini publik dan dengar pendapat (hearing) untuk
mendorong komitmen
pembuat kebijakan (policy maker) menyediakan fasilitas publik di Kota Jakarta bagi anak dengan
disabilitas. UUD 1945 sebagai konstitusi negara, telah menjamin konstitusionalitas kesamaan hak
dalam hidup berkota. Pasal 28 menyatakan bahwa penyediaan sarana dan prasarana kota harus
sesuai dengan kaidah desain universal yang terakses bagi semua warga kota.
Kebutuhan atas ruang publik didasarkan rasionalitas bahwa anak khususnya anak dengan
disabilitas tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan tata ruang kota Jakarta khususnya
dalam konteks penyediaan fasilitas publik yang ramah bagi anak. Selama ini perencanaan fasilitas
publik lebih mengakomodasi perspektif dari orang dewasa dan awam (tidak dalam kondisi
disabilitas).
Ruang publik harus dimanfaatkan sebagai media untuk mendorong perubahan kota Jakarta
menjadi lebih ramah bagi anak, termasuk anak dengan disabilitas. Prosentase penduduk dengan
disabilitas dijakarta sebesar 5% sudah seharusnya menuntut ketersediaan prasarana dan sarana
bagi publik tanpa membedakan kemampuan yang dimiliki warga kota. Untuk meraih
terwujudnya kota Jakarta yang ramah bagi anak maka diperlukan sebuah upaya untuk
4|Hal
mengkapasitasi dan mendorong kelompok anak untuk mengekspresikan pendapat dan gagasan
yang berkaitan dengan lingkungan yang ramah bagi anak.
Melihat situasi di atas, maka pendekatan berbasis HAM menjadi signifikan dipergunakan sebagai
metode intervensi kepada anak-anak dengan disabilitas. Pendekatan berbasis HAM bagi anak
dengan disabilitas berfokus pada upaya menuju terjadinya perubahan yakni meningkatkan
kapasitas anak dengan disabilitas dan menumbuhkan potensi
kota dalam memberikan
perlindungan dan akses layanan sosial yang mendasar bagi anak dengan disabilitas sehingga
anak dengan disabilitas dapat menikmati hak-haknya. Oleh karenanya, penerapan prinsip
kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi sebagai spirit utama instrumen HAM seharusnya dapat
terefleksikan pada kehidupan di perkotaan.
E. Kota dan Partisipasi Anak
Konvensi Hak Anak/KHA (Convention on the Rights of the Child) Pasal 2 secara tegas
menyatakan bahwa anak tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan disabilitas.
Dalam konteks kehidupan perkotaan lebih jauh, KHA dalam Pasal 23 menegaskan bahwa anak
dengan disabilitas dilekati hak untuk menikmati kehidupannya secara utuh dan layak, keadaankeadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri, dan memberikan fasilitas
partisipasi aktif anak dalam kehidupan bermasyarakat. Partisipasi didefinisikan oleh Roger A. Hart
sebagai suatu proses pembagian keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan
kehidupan komunitas di mana individu tersebut menjalani kehidupannya (Roger A. Hart, 1994)
Sedangkan partisipasi anak didefinisikan sebagai upaya memberikan pengaruh atas isu yang
berdampak pada kehidupan anak-anak melalui konsultasi atau tindakan
kemitraan dengan
orang dewasa Paul Stephenson, 2004). Kemudian Save The Children mengartikan partisipasi
anak sebagai suatu situasi di mana anak berpikir tentang kehidupannya, mengekspresikan
pandangan mereka secara efektif, dan berinterkasi dengan cara yang positif dengan masyarakat.
Partisipasi pada titik ini diartikan sebagi keterlibatan anak dalam suatu keputusan yang
berdampak pada kehidupan mereka dan komunitas di mana mereka berada (Afua Twum-Danso,
2004).
Partisipasi anak dimaknai sebagai keterlibatan anak dalam proses pengambilan keputusan serta
dalam menikmati manfaat dari perubahan yang berkaitan dengan hidup mereka –baik secara
langsung atau pun tidak langsung- yang dilaksanakan dengan persetujuan dan kemauan anak
berdasar kesadaran dan pemahaman yang dimiliki oleh anak tersebut. Sesuai dengan Konvensi
Hak Anak, partisipasi anak harus mempertimbangkan usia dan tingkat kematangan mental.
Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Claire O’Kane (2004) menyatakan bahwa anak lakilaki dan perempuan usia antara 6-12 tahun dapat mengekspresikan pandangannya dan belajar
secara aktif tentang kehidupan melalui eksplorasi, pertanyaan dan akses atas informasi. Anak
mampu untuk memainkan peran yang aktif dalam melakukan identifikasi, analisa dan
penyelesaian masalah yang mempengaruhi kehidupan anak; serta dapat memainkan peran kunci
sebagai warga negara yang aktif dalam menyelesaikan segala bentuk dari diskriminasi dan dan
perlakuan salah. Sedangkan anak laki-laki dan perempuan usia antara 13-18 tahun dapat menjadi
aktor sosial dan warga negara yang aktif dalam peningkatan kualitas komunitas lokal dan
nasional. Remaja dapat dengan aktif menanggulangi segala bentuk diskrimnasi, perlakuan yang
5|Hal
salah dan eksploitasi. Remaja dapat berperan untuk mendorong inisiatif anak/remaja yang lebih
muda dan mendukung bentuk kemitraan dengan orang dewasa.
Dalam konteks partisipasi anak, maka orang dewasa dapat mendorong anak perempuan dan lakilaki dari usia dan kemampuan yang beragam dalam mengekspresikan pandangan mereka dan
berpartisipasi pada keputusan yang berdampak pada anak; serta mendorong anak dari usia dini
agar belajar secara aktif untuk mempertanyakan dan membagi pandangan dan gagasan mereka;
agar teraih bentuk kemitraan antara anak dan dewasa dalam mendorong pemenuhan atas hakhak anak.
Skema di bawah ini memperlihatkan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menciptakan
lingkungan yang melindungi anak (R. Nimi’s, 2002).
Dalam skema diatas sekolah memiliki peran untuk menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak
melalui 2 (dua) tanggung jawab yaitu sekolah sebagai bagian dari institusi Negara (primary duty
bearers) yang menyelenggarakan pendidikan dan sekolah sebagai bagian dari lingkungan
kehidupan anak (tersiery duty bearers). Sekolah sebagai institusi Negara dalam pendekatan
berbasis hak bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang bermuatan keberagaman,
hak asasi manusia dan hak anak (KHA Pasal 29). Sekolah sebagai bagian lingkungan kehidupan
anak bertanggung jawab untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak dengan disabilitas.
Di samping itu, sekolah juga semestinya menjadi sarana bagi anak-anak dengan disabilitas untuk
mengekspresikan suaranya (hak atas partisipasi). Lebih jauh, hak anak untuk berpartisipasi
dimaknai sebagai perolehan pengakuan yang melegitimasi 2 (dua) hal, yaitu refleksi kemampuan
anak untuk menyuarakan kehidupannya mereka sendiri dan sekaligus merupakan komponen
yang esensial untuk mempersiapkan anak-anal untuk bertanggung jawab dalam masyarakat
yang demokratis (ECPAT International & International Young People's Action Against Sexual
Exploitation of Children, 1999).
6|Hal
Pasal 12 KHA merupakan ketentuan inti yang mendasari anak untuk berpartisipasi. Pesan lain
yang terbaca dari pasal ini adalah partisipasi anak merupakan hak yang substantif (substantive
right) di mana anak bertindak sebagai aktor dalam kehidupannya serta berpartisipasi dalam
mengambil keputusan terhadap hal-hal yang berdampak pada kehidupannya. Di sisi yang lain,
pasal ini juga menegaskan hak partisipasi sebagai hak prosedural (procedural right) yang mana
anak dilekati hak untuk menolak penyalahgunaan kekuasaan, pembiaran, dan mengupayakan
pemajuan dan perlindungan hak-haknya (Gerison Lansdown, 2001). Pasal 12 harus disandingkan
dengan Pasal 13 KHA karena untuk berpartisipasi anak-anak membutuhkan arus informasi
sehingga mereka dapat memutuskan apa yang terbaik bagi kehidupannya. Dalam lingkup yang
lebih luas hak atas partisipasi terkait secara langsung dengan ketentuan KHA uang meliputi Pasal
14 (kebebasan berpikir, berhati nurani, dan berkeyakinan); Pasal 15 (kebebasan untuk
berorganisasi, Pasal 17 (akses atas informasi yang layak), Pasal 23 (fasilitas partisipasi bagi anak
dengan disabilitas), dan Pasal 31 (hak partisipasi dalam kehidupan budaya).
F. Jaminan Hak terhadap Anak dengan Disabilitas
Instrumen Hukum HAM Internasional telah menjamin hak-hak spesifik anak dengan disabilitas.
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen utama yang memberikan penyediaan,
perlindungan, dan partisipasi secara spesifik terhadap anak. Seluruh hak yang dijamin dalam
KHA berdiri di atas 4 prinsip dasar yakni:
1.
2.
3.
4.
non-diskriminasi;
kepentingan terbaik bagi anak;
kelangsungan hidup dan pengembangan;
menghormati pandangan anak.
Prinsip non-diskriminasi tercermin dalam pasal 2 KHA
yang secara tegas melarang
diskriminasi atas dasar kondisi disabilitas. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini untuk setiap
anak tanpa diskriminasi apapun, tanpa menghiraukan … disabilitas dari anak .
Lebih jauh, anak-anak dengan disabilitas membutuhkan perlakuan khusus dan dukungan yang
berbeda agar mereka dapat menikmati hak-hak mereka secara penuh.
Selanjutnya Pasal 23 KHA mengatur perlindungan secara khusus terhadap anak dengan disabilitas.
Pasal ini menyatakan bahwa:
1)
Negara mengakui setiap anak yang cacat mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan yang
utuh dan layak, menjamin martabat, meningkatkan percaya diri, dan memberikan fasilitas
partisipasi aktif anak dalam masyarakat.
2) Negara mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus sesuai dengan keadaan anak
3) Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang anak cacat, maka bantuan yang diberikan,
harus diadakan dengan cuma-cuma, setiap waktu mungkin dan harus dirancang untuk menjamin
bahwa anak cacat tersebut mempunyai akses yang efektif menerima pendidikan, pelatihan,
7|Hal
pelayanan perawatan kesehatan, pelayanan rehabilitasi, persiapan bekerja dan kesempatan rekreasi
dalam suatu cara yang menghasilkan pencapaian integrasi sosial yang paling sepenuh mungkin, dan
pengembangan perseorangan anak termasuk pengembangan budaya dan jiwanya.
4) Negara harus meningkatkan, dalam semangat kerja sama internasional, pertukaran informasi yang
tepat, di bidang perawatan kesehatan yang preventif dan perlakuan medis, psikologis dan
fungsional dari anak cacat, termasuk penyebarluasan dan akses ke informasi mengenai metodemetode rehabilitasi, pendidikan dan pelayanan kejuruan,
Kewajiban penghargaan terhadap eksistensi anak dengan disabilitas dan pengakuan untuk
berpartisipasi kembali dipertegas dalam Konvensi Hak Orang dengan Disabilitas (Convention
on the Rights of Persons with Disabilities). Pasal 3 konvensi ini menetapkan hak orang dengan
disabilitas sebagai berikut:
1. Penghargaan sebagai manusia yang bermartabat termasuk otonomi, kebebasan, dan
kemerdekaan
2. Non diskriminasi
3. Partisipasi yang efektif dalam kehidupan bermasyarakat
4. Kesetaraan
5. Akesibilitas
6. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
7. Penghargaan terhadap kapasitas anak dengan disabilitas
Pasal 7 Konvensi kemudian mengatur lebih lanjut hak-hak anak dengan disabilitas sebagai berikut:
1)
Negara harus melakukan semua langkah yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak asasi
manusia dan kebebasan mendasar anak-anak penyandang cacat secara penuh atas dasar kesetaraan
dengan anak-anak lain.
2) Dalam segala tindakan berkaitan dengan anak-anak penyandang cacat, kepentingan terbaik bagi
anak harus menjadi bahan pertimbangan utama.
3) Negara harus menjamin bahwa anak-anak penyandang cacat mempunyai hak untuk menyatakan
pendapat mereka secara bebas mengenai berbagai hal yang mempengaruhi kehidupan mereka atas
dasar kesetaraan dengan anak-anak lain, di mana pandangan mereka tersebut dipertimbangkan
sesuai dengan usia dan kematangan mereka, dan menjamin bahwa anak-anak penyandang cacat
disediakan bantuan yang selayaknya sesuai dengan kecacatan dan usia mereka demi perwujudan
hak tersebut.
Langkah penting lebih lanjut adalah mengimplementasikan norma-norma instrumen Hukum
HAM Internasional ke dalam hukum nasional. Menurut UNICEF Innocenti Research Centre
(2007) upaya implementasi yang terbaca dalam KHA, Konvensi Hak Orang dengan Disabilitas,
dan pertimbangan-pertimbangan Komite Hak Anak dapat identifikasi sebagai berikut:
1. Melakukan kajian komprehensif terhadap semua undang-undang untuk memastikan
pertimbangan
masuknya perlindungan
anak-anak dengan
disabilitas. Larangan
diskriminasi berdasarkan kondisi disabilitas (kecacatan) harus masuk dalam semua
undang-undang;
2. Menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif dalam kasus-kasus pelanggaran
terhadap hak-hak anak-anak dengan disabilitas dan memastikan mekanisme ini dapat
diakses oleh semua anak, keluarga, dan pengasuh;
8|Hal
3. Mengembangkan rencana aksi nasional yang dikerangkai dengan ketentuan KHA dan
Konvensi Hak Orang Dengan Disabilitas, dan aturan standar universal lainnya. Rencana
aksi harus menentukan sasaran yang terukur, indikator evaluasi, terjadwal, dan terpantau.
4. Membuat titik fokus pelayanan yang relevan dengan disabilitas yang disandang anak dan
terdapat komite koordinasi multi-sektoral tingkat tinggi yang beranggotakan semua
departemen yang berwenang, dan organisasi para penyandang disabilitas. Komite ini
harus diberdayakan sehingga dapat bersikap proaktif mengembangkan proposal dan
kebijakan .
5. Mengembangkan mekanisme pemantauan yang bersifat independen, seperti ombudsman
atau pengawas anak-anak, dan memastikan bahwa anak-anak dan keluarga sepenuhnya
mendapatkan dukungan untuk mendapatkan akses ke mekanisme tersebut.
6. Membuat anggaran yang dialokasikan
untuk memastikan bahwa anggaran tersebut
ditujukan pada sasaran yang paling membutuhkan,
7. Meningkatkan kesadaran melalui kampanye pendidikan yang ditujukan bagi masyarakat
luas serta khususnya bagi kelompok profesional.
8. Memiliki perhatian khusus tambahan pada kerentanan anak perempuan dan perempuan
yang terdiskriminasi
Kemudian, instrumen hukum nasional yang mengatur orang dengan disabilitas, termasuk anakanak untuk menikmati perlakuan khusus antara lain dapat diketemukan pada peraturan
perundang-undangan sebagai berikut.
Peraturan PerundangUndangan
UUD 1945
UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi
Manusia
Ketentuan yang Mengatur
 Pasal 28B ayat (2)
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
 Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
 Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
 Pasal 3 ayat (3)
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi.
 Pasal 5 ayat (3)
Setiap orang yang termasuk kelompk masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
 Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai
dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bemegara.
9|Hal
 Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan. dan bantuan khusus atas biaya negara.
untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bemegara.
UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan
Anak
 Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
 Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
 Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada… anak yang
menyandang cacat …
 Pasal 70
1) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya :
a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
anak;
b. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan
individu.
2) Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan
pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan
penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang
cacat.
UU No. 4 Tahun 1997
tentang Penyandang
Cacat
 Pasal 5
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
 Pasal 6
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :
1. pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
2. pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;
3. perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya;
4. aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
10 | H a l
5. rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial; dan
6. hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an,
dan kehidupan sosialnya, terutam bagi penyandang cacat anak
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
 Pasal 9
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan.
 Pasal 10
1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penye-diaan
aksesibilitas.
2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan
lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat
sepenuhnya hidup bermasyarakat.
3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan
dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
 Pasal 11
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
UU No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan
Gedung
 Pasal 27 ayat (2)
Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung ..
meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan
nyaman termasuk bagi penyandang cacat …
 Pasal 31 ayat (1)
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat
…
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah
tinggal.
 Pasal 31 ayat (2):
Fasilitas bagi penyandang cacat .. termasuk penyediaan fasilitas
aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan
lingkungannya.
Meskipun peraturan perundang-undangan di atas sudah mengatur perlindungan terhadap orang
dengan disabilitas, termasuk anak-anak, namun demikian terdapat peraturan perundangundangan yang terkait dengan pengaturan kota, termasuk sarana dan prasarana belum secara
spesifik mengatur jaminan terhadap hak para penyandang disabilitas. Peraturan perundangundangan tersebut antara lain:
1. UU No. 16 tahun 1985 Tentang Rumah Susun
2. UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman
3. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Situasi ini menunjukkan kepentingan dan kebutuhan orang dengan disabilitas, termasuk anakanak yang membutuhkan perlindungan secara spesifik, belum menjadi agenda bersama dalam
melaksanakan pembangunan. Artinya orang dengan disabilitas, termasuk anak-anak berpotensi
11 | H a l
terdiskriminasi secara struktural. Hal ini juga dapat dilihat dari alokasi APBN bagi para
penyandang disabilitas. Pada tahun 2008, jaminan sosial bagi penyandang cacat berat berjumlah
10 ribu penyandang cacat dengan besaran Rp 300 ribu/orang/bulan (www.madina-sk.com).
Jaminan tersebut tentu tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka yang membutuhkan
kelengkapan dan fasilitas spesifik sesuai dengan disabilitasnya. Bandingkan dengan gaji Gayus
Tambunan pegawai Direktorat Pajak sebesar 12 juta/bulan setelah ada program reformasi
birokrasi yang mendapatkan dukungan finansial dari Bank Dunia. Reformasi birokrasi menurut
catatan Rizal Ramli merupakan pinjaman dari Bank Dunia dengan jumlah triliunan rupiah dan
harus dibayar oleh rakyat (www.inilah.com). Sementara, fasilitas pendidikan yang tersedia bagi
anak-anak dengan disabilitas juga belum mencukupi. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua
Forum Komunikasi Keluarga dengan Anak Cacat (FK-KDAC) Jawa Barat Yusuf Sofyan.
Menurutnya dari sekitar 51.000 anak cacat di Jawa Barat, baru 18.000 anak yang mengenyam
pendidikan sektor formal di SLB atau sekolah umum. Artinya, masih ada 33.000 anak
penyandang cacat yang belum menikmati fasilitas pendidikan. Persoalan bertambah manakala
fasilitas pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat di Jawa Barat masih terbatas. Jumlah SLB
hanya sekitar 305 unit, sedangkan sekolah umum belum semua menyelenggarakan program
inklusif (Pikiran Rakyat, Sabtu, 24/04/2010). Andaikata biaya reformasi birokrasi untuk
membangun sarana pendidikan, rekreasi, kesehatan, dan layanan publik lainnya bagi para
penyandang disabilitas tentu mereka dapat hidup lebih bermartabat.
Alokasi anggaran yang khusus ditujukan bagi para penyandang disabilitas, termasuk anak-anak
menjadi kewajiban negara sebagaimana dimandatkan dalam KHA dan Konvensi Orang dengan
Disabilitas. Pasal 4 KHA menegaskan bahwa:
Negara akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat
untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan tindakan-tindakan tersebut
sampai pada jangkuan semaksimum mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia.
Kewajiban serupa juga terbaca pada Pasal 7 Konvensi Orang Dengan Disabilitas yang
menyatakan:
Pasal 7
Negara-negara Pihak harus melakukan semua langkah yang diperlukan untuk menjamin
penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar anak-anak penyandang cacat secara
penuh atas dasar kesetaraan dengan anak-anak lain.
Selanjutnya dalam Pasal 4 Konvensi Orang Dengan Disabilitas tercantum kewajiban umum negara
untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan orang dengan disabilitas.
Kewajiban tersebut antara lain meliputi:
1. Mengadopsi semua langkah legislatif, administratif, dan lainnya untuk pelaksanaan semua
hak yang diakui dalam Konvensi ini;
2. Mengambil semua langkah yang layak, termasuk peraturan, untuk memperbaiki atau
menghapuskan hukum, kebiasaan, dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap orangorang penyandang cacat;
12 | H a l
3. Untuk mempertimbangkan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia orang-orang
penyandang cacat dalam semua kebijakan dan program;
13 | H a l
Download