BAB 1 LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Beberapa dekade lalu pengetahuan dan pemahaman masyarakat Indonesia mengenai keberadaan AIDS dan virus HIV belum terlalu berkembang. Namun, seiring dengan terjadinya pandemi HIV global, saat ini hampir semua orang pernah mendengar kata ‘HIV/AIDS’ meski masih dengan pengetahuan yang terbatas sehingga tidak jarang kontak dengan segala hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS disertai dengan rasa takut. Stigma yang melekat pada penyakit AIDS dan penderitanya atau disebut juga sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menjadi penyebab munculnya perilaku diskriminatif sehingga menimbulkan berbagai penolakkan dan pembatasan terhadap hak-hak ODHA sebagai anggota dari masyarakat. Saat ini jutaan orang di dunia telah terinfeksi HIV/AIDS. Sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam dunia yang saling terhubung, pandangan dan sikap masyarakat sekitar akan mempengaruhi kehidupan ODHA, pada berbagai aspek kehidupanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya melalui pemberian stigma berkaitan dengan status HIV mereka. Istilah HIV dan AIDS sering digunakan secara bergantian baik dalam literatur, artikel, maupun dalam percakapan sehari-hari namun keduanya tidaklah sama. HIV atau Human Immunodeficiency Virus, merupakan virus yang menyerang dua jenis sel darah putih (sel T dan CD4) yang keberadaannya penting bagi kesehatan sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika kedua sel tersebut 1 2 terinfeksi HIV maka sistem kekebalan tubuh manusia akan melemah dan tidak lagi mampu melawan beragam infeksi penyakit (Stolley & Glass, 2009). Jika dibiarkan tanpa medikasi maupun terapi, HIV akan berkembang lebih lanjut menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS. AIDS merupakan kondisi lanjutan dari HIV dimana sistem kekebalan tubuh tidak dapat lagi berfungsi dengan baik atau tidak dapat berfungsi sama sekali sehingga tubuh tidak mampu lagi melawan infeksi-infeksi yang kemudian menimbulkan penyakit yang dapat menyebabkan kematian ("What is HIV?", 2008). Infeksi lanjutan yang muncul akibat kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh disebut sebagi Opportunistic Infection, yang menjadi penyebab 90% kematian yang berhubungan dengan AIDS (Watstein & Stratton, 2003). Tabel 1.1 Estimasi Jumlah Orang dengan HIV/AIDS Secara Global Kelompok Estimasi Rentang Dewasa 30.7 juta 28.2 – 32.8 juta Wanita 16.7 juta 15.4 – 17.6 juta Anak ( < 15 tahun) 3.3 juta 3.1 – 3.8 juta Total 34 juta 31.4 – 35.9 juta Dewasa 1.5 juta 1.3 – 1.7 juta Anak ( < 15 tahun) 230.000 200.000 – 270.000 Total 1.7 juta 1.5.19 juta Orang dengan HIV/AIDS Kematian akibat AIDS 2011 Catatan. Diadaptasi dari “Global summary of the AIDS epidemic 2011” hak cipta 2011 oleh WHO, UNAIDS, & Unicef. Tingkat prevalensi HIV/AIDS saat ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil survei UNAIDS, WHO, dan UNICEF yang diterbitkan 3 pada bulan November 2011 jumlah ODHA di seluruh dunia pada akhir tahun 2010 mencapai 34 juta jiwa dimana 50% dari jumlah tersebut merupakan wanita dan 3,4 juta diantaranya adalah anak-anak (“Worldwide HIV & AIDS statistics”, 2011). Dalam survei yang sama disebutkan bahwa angka kematian akibat wabah HIV/AIDS berjumlah 1,8 juta jiwa dan diyakini hingga pertengahan tahun 2012 jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS dan jumlah kematian akibat wabah tersebut terus bertambah. Di Indonesia kasus HIV ditemukan pertama kali pada tahun 1987 dan hingga saat ini jumlah penderitanya terus meningkat. Berdasarkan hasil survei Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit (Ditjen PP) dan Kementerian Kesehatan jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS di Indonesia hingga Maret 2013 berjumlah 147.106 jiwa (“Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dilapor s/d Maret 2013”, 2013). Data IndexMundi saat ini menunjukan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-19 dari 100 negara dengan populasi ODHA terbesar di dunia dan menduduki peringkat ke-2 di Asia Tenggara di bawah Thailand (“HIV/AIDS – People Living with HIV/AIDS : Country Comparison”, 2012). Kurangnya kesadaran akan bahaya HIV di masyarakat, tingginya mobilitas populasi, dan praktek seksual membahayakan pada grup beresiko tinggi terjangkit seperti pekerja seks komersial, homoseksual, dan pengguna narkotika suntik merupakan beberapa faktor yang berkontribusi dalam penyebaran HIV/AIDS di Indonesia (Ibrahim, Songwathana, Boonyasopun, & Francis, 2010). HIV/AIDS menjadi isu global tidak hanya karena angka prevalensi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi juga karena tindak diskriminasi yang 4 muncul akibat stigmatisasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap ODHA. Stigma telah diidentifikasi secara internasional oleh UNAIDS sebagai penghalang terbesar atas usaha mengontrol dan mencegah HIV (UNAIDS dalam Cao, Sullivan, Xu, & Wu, 2006). Tidak berhenti sebagai penghalang tindak pencegahan dan usaha mengontrol penyebaran HIV, stigma juga dapat mempengaruhi kestabilan sosio-ekonomi dan kesejahteraan psikologis ODHA, yang lebih jauh mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka sebagai anggota masyarakat yang memerlukan pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan, pembelaan hukum, serta membangun hubungan interpersonal dengan individu lainnya. Goffman (dalam Aggleton, Wood, Malcolm, & Parker, 2005) mendefinisikan stigma sebagai dinamika proses devaluasi yang secara signifikan mencela atau membuat seorang individu terlihat bersalah di mata individu lainnya. Stigma diasosiasikan dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan mematikan, dengan rute transmisi yang diasosiasikan dengan perilaku individual, khususnya perilaku yang melanggar norma sosial (Crandall & Moriarty dalam Genberg et al., 2007). Karakteristik yang dianggap pantas distigmatisasi terbentuk secara sosial dan bagaimana seorang individu mengalami stigma bervariasi dalam bergam konteks (Goffman dalam Rao, Pryor, Gaddist, & Myer, 2008). Stolley et al. (2009) menyatakan untuk memahami isu stigma yang meliputi HIV/AIDS terlebih dahulu kita harus memahami bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang terkonstruksi secara sosial. Konstruksi sosial merujuk pada 5 kenyataan bahwa individu dan kelompok menciptakan realita mereka sendiri, yang pengetahuan di dalamnya merupakan produk dari dinamika sosial. Konstruksi sosial memberi kontribusi signifikan pada pemahaman masyarakat tentang dimensi sosial dari suatu penyakit (Conrad dan Kristin, 2010). Meski keberadaannya sudah diketahui secara luas namun pengetahuan masyarakat atas cara transmisi HIV/AIDS masih belum jelas, karena ketidaktahuan ini sering kali banyak orang yang takut untuk sekedar bersentuhan dengan ODHA. Survei Centers for Disease Control and Prevention (dalam Vanable, Carey, Blaur & Littlewood, 2006) menemukan bahwa misinformasi tentang resiko penularan HIV/AIDS membentuk perspektif di masyarakat bahwa ODHA mendapatkan apa yang sepantasnya mereka dapatkan melalui perbuatan mereka yang dianggap melanggar moral. Di Bali, sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten Gianyar, I Dewa Oka Sedana menyatakan bahwa jika diketahui warga sekitar ada yang meninggal akibat HIV/AIDS maka tidak ada yang mau memandikan jenazahnya. Jenazah langsung dimasukan ke dalam peti yang sangat rapat kemudian langsung dimakamkan tanpa dibuka kembali. Keluarganya kemudian dijauhi oleh warga sekitar dan anak-anak mereka dilarang bersekolah (“Bali Diskriminatif terhadap Penderita HIV AIDS”, 2012). Kasus lain yang mendapat banyak perhatian di akhir tahun 2011 adalah anak seorang ODHA yang status HIV-nya negatif namun ditolak oleh pihak SD tempatnya mendaftar. Pihak sekolah meminta kepada orang tua anak tersebut untuk menyerahkan hasil tes yang menyatakan bahwa putri mereka tidak mengidap HIV. Alasannya adalah 6 desakan orang tua siswa lainnya yang tidak menginginkan anak mereka beresiko tertular HIV (“Ayah Kena HIV, Anak Ditolak Sekolah di Don Bosco”, 2011). Tidak hanya terjadi di ranah pendidikan, diskriminasi terhadap ODHA juga terjadi di tempat kerja. Di Aceh, sebuah perusahaan dituding melakukan tindak diskriminasi karena mengambil sikap yang tidak berpedoman pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2004 nomor: Kep.68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, dengan meminta beberapa pelamar kerja untuk menyertakan hasil tes HIV bersama surat lamarannya (“YPAP Mengecam Keras PT. CIPTA KRIDATAMA dan DPRK Komisi D”, 2013). Harga diri adalah penilaian menyeluruh seseorang tentang nilai dirinya sebagai seorang individu (Weiten, Hammer, & Dunn, 2012). Maslow (dalam Huitt, 2007) dalam teori hirarki kebutuhannya menyatakan bahwa harga diri merupakan motivasi dasar yang dimiliki oleh manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Sedangkan Branden (dalam Cherry, n.d) menyatakan bahwa harga diri merupakan komponen yang penting bagi manusia untuk bertahan hidup dan memiliki perkembangan yang normal dan sehat. Harga diri juga terhubung dengan pemikiran, perilaku, perasaan, dan tindakan seseorang. Harga diri yang rendah dapat menyebabkan depresi, membuat seorang individu gagal mewujudkan potensinya, serta membiarkan diri terjebak dalam situasi atau hubungan yang abusif (“what is self-esteem?”, n.d). Berdasarkan penelitian mengenai apakah stigma dapat diinternalisasi 7 yang dilakukan kepada 448 mahasiswa menghasilkan temuan bahwa, persepsi menstigmatisasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada orang-orang dengan penyakit mental yang mencari pertolongan medis dapat mengembangkan internalisasi stigma (Vogel, Bitman, Hammer, & Wade, 2013). Sedangkan dalam penelitian kualitatif yang secara spesifik meneliti stigma berkaitan dengan HIV/AIDS di Vietnam menemukan bahwa stigma dan diskriminasi memiliki efek negatif langsung pada ODHA. Jika stigma ditemukan pekat menyebar pada suatu komunitas, maka ODHA di komunitas tersebut dapat menginternalisasi sikap dan kepercayaan negatif mengenai infeksi HIV sehingga menyebabkan tindak menstigmatisasi diri, tingkat harga diri yang rendah, depresi, rasa khawatir, serta keputus asaan (Thi et al., 2008; Rao, Pryor, Gaddist, & Mayer, 2008). Melihat dapat diinternalisasinya stigma serta pentingnya peran harga diri dalam kehidupan seorang individu, penelitian ini bermaksud untuk meneliti tingkat harga diri pada ODHA dalam kaitannya dengan stigma internal yang mungkin mereka alami sebagai efek dari menyandang status HIV-positif. 1.2 Rumusan Masalah Stigma berhubungan erat dengan HIV/AIDS dan ODHA. Konstruksi sosial negatif terhadap HIV/AIDS menjadi akar stigmatisasi yang kemudian menimbulkan perilaku diskriminatif masyrakat terhadap ODHA. Dari paparan fenomena yang diungkap pada latar belakang dapat dilihat beberapa contoh perilaku diskriminatif terhadap ODHA sebagai dampak dari stigma yang dapat 8 mengganggu kesejahteraan psikologis ODHA. Stigma internal dapat muncul sebagai dampak dari stigmatisasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap ODHA dan penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan antara stigma internal dan salah satu aspek kesejahteraan psikologis seorang individu yaitu, tingkat harga diri. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan satu pertanyaan penelitian, yaitu Apakah ada hubungan antara stigma internal dan tingkat harga diri pada ODHA? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stigma internal dengan tingkat harga diri Orang dengan HIV/AIDS 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis a) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan menjadi sumber literatur tentang HIV/AIDS baik bagi pihak-pihak akademisi dan non-akademisi. b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang Psikologi, yaitu memberi kontribusi berupa penjelasan mengenai peran stigma internal terhadap tingkat harga diri Orang dengan HIV/AIDS. 9 1.4.2 Manfaat Praktis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi organisasi-organisasi HIV/AIDS agar lebih memperhatikan peran stigma internal pada Orang dengan HIV/AIDS berkaitan dengan tingkat harga diri mereka agar dapat dilakukan tindakan atau pendekatan preventif terhadap tingkat harga diri yang tidak sehat. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan para Psikolog dan relawan di LSM dan Komunitas HIV/AIDS dalam memberikan pendampingan kepada Orang dengan HIV/AIDS berkaitan dengan internalisasi stigma dan perannya terhadap tingkat harga diri mereka.