TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Jaringan ikat merupakan jaringan yang bertanggung jawab untuk menunjang dan memelihara integritas struktur tubuh (Junquieira dan Carneiro 2005). Jaringan ini terdiri dari tiga dimensi kerangka penunjang epithelium dan jaringan lain, serta memegang peranan penting dalam proses regulasi panas, mekanisme penyimpanan, pertahanan, perlindungan, dan penyembuhan (Eurell dan Sickle 1998, Samuelson 2007). Secara struktural, jaringan ikat terdiri atas tiga komponen yaitu sel jaringan ikat, serabut, dan bahan dasar (Junquieira dan Carneiro 2005). Menurut Eurell dan Sickle (1998) sel jaringan ikat meliputi sel fibroblas, makrofag, sel mast, leukosit, sel plasma, sel lemak, sel pigmen, dan sel mesenkim. Serabut jaringan ikat terdiri dari serabut kolagen, retikuler, dan elastik (Dixon 2007). Menurut Junquieira dan Carneiro (2005) serabut jaringan ikat didominasi oleh kolagen yang membentuk tendon, aponeurose, kapsula organ, dan meningen. Bahan dasar terdiri dari makromolekul anionik (glycosaminoglycans dan proteoglycans) dan multiadhesive glycoprotein (laminin, fibronectin, dll) (Junquieira dan Carneiro 2005). Sel jaringan ikat memiliki 2 tipe yaitu tipe tetap (resident type/fixed cells) dan tipe transient (wandering cells) (Eurell dan Sickle 1998). Menurut Trautmann dan Fiebiger (1957) sel fibroblas termasuk jaringan ikat tipe tetap karena sel fibroblas mempunyai peranan penting dalam pembentukan jaringan ikat yaitu membentuk serabut (kolagen, makromolekul retikuler, (glycosaminoglycan dan dan elastik) dan memproduksi proteoglycan) yang merupakan komponen bahan dasar dari jaringan ikat. Selain itu, sel fibroblas dikelompokkan ke dalam tipe tetap karena sel tersebut relatif stabil dan hanya sedikit sekali mengalami pergerakan (Ross et al. 1995). Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas Sel fibroblas memiliki dua bentuk yaitu bentuk aktif dan bentuk tidak aktif. Bentuk aktif disebut sel fibroblas, sedangkan bentuk tidak aktif disebut sel fibrosit (Junquieira dan Carneiro 2005) (Gambar 1). Menurut Eurell dan Sickle (1998) sel fibrosit merupakan sel yang paling umum ditemui pada jaringan ikat. Sel fibrosit umumnya berbentuk spindel dengan penjuluran yang saling bersentuhan dengan sel dan serabut yang berdekatan (Samuelson 2007). Inti sel fibrosit bersifat heterochromatic dan hanya dikelilingi oleh sedikit sitoplasma berwarna pucat. Pengamatan sel fibrosit dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan jumlah retikulum endoplasma kasar (rER) yang sedikit dengan kompleks golgi yang kecil (Eurell dan Sickle 1998). Sel fibroblas memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan sel fibrosit dengan inti yang bersifat euchromatic (Eurell dan Sickle 1998). Sitoplasmanya berbentuk irregular dengan beberapa penjuluran (Junquieira dan Carneiro 2005). Pada pengamatan dengan mikroskop elektron akan terlihat rER dalam jumlah banyak serta kompleks golgi yang besar pada sitoplasma. Struktur ini mengindikasikan produksi matriks jaringan ikat yang lebih banyak dibandingkan sel fibrosit. Sel fibroblas dapat berkembang langsung dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi atau dapat juga berasal dari sel fibrosit tergantung pada pengaruh faktor lingkungan (Eurell dan Sickle 1998). Gambar 1. Sel fibroblas dan fibrosit secara skematis Sumber : Junquieira dan Corneiro 2005 Sel fibroblas mampu mensintesis protein seperti kolagen dan elastin yang akan membentuk serabut kolagen, retikuler, dan elastik serta glycosaminoglycans, proteoglycans, dan glycoprotein dari matriks ekstraseluler (Junquieira dan Carneiro 2005). Kultur Sel Fibroblas Kultur jaringan merupakan bagian dari biologi yang berkaitan dengan pembiakan jaringan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol. Tujuan dari usaha tersebut adalah untuk mempelajari berbagai sifat jaringan tubuh dalam kondisi yang lebih sederhana dan terkontrol di luar tubuh (Malole 1990). Terdapat tiga tipe kultur jaringan berdasarkan komposisi sel yang ditumbuhkan yaitu kultur organ, kultur eksplant primer, dan kultur sel (Freshney 2005). Kultur organ adalah kultur dari sebagian organ atau seluruh organ embrio secara in vitro dengan sifat-sifat kultur jaringan dan fungsi organ tersebut masih dapat dipertahankan seperti keadaan in vivo. Kultur eksplant primer pada dasarnya sama dengan kultur organ, perbedaannya hanya pada bagian organ yang dikultur lebih kecil dari kultur organ yaitu antara 1 – 2 mm3. Teknik ini biasanya digunakan apabila bagian organ yang tersedia hanya sedikit, misalnya biopsi tumor dan jaringan. Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis atau enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung, atau cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990). Teknik kultur jaringan tentu saja memiliki kelebihan dan keterbatasan. Beberapa kelebihan teknik kultur jaringan antara lain adalah lingkungan tempat sel atau jaringan ditumbuhkan dapat dikontrol melalui pengaturan pH, temperatur, osmolaritas, dan konsentrasi gas (O2 dan CO2). Selain itu, kultur jaringan yang telah mapan melalui beberapa pasase akan terdiri dari sel-sel homogen, dengan demikian variasi yang timbul akibat pengulangan perlakuan dalam penelitian dapat ditekan semaksimal mungkin. Penelitian dengan kultur jaringan juga lebih ekonomis dibandingkan dengan percobaan menggunakan hewan percobaan biasa, karena hanya memerlukan sedikit reagen yang akan diuji, sedangkan jika menggunakan hewan percobaan sebagian besar reagen tersebut akan hilang melalui ekskresi tubuh hewan (Freshney 2005). Keterbatasan teknik kultur jaringan antara lain dalam pembuatan kultur jaringan memerlukan keahlian dan keterampilan khusus yang menjamin bahwa seluruh mata rantai prosedur pembuatannya terkontrol secara aseptis (Freshney 2005). Menurut Yadav dan Tyagi (2005) media yang digunakan untuk menumbuhkan kultur jaringan sangat cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan ragi yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat dari sel kultur jaringan itu sendiri sehingga sangat rentan terhadap kontaminasi. Selain itu, biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kultur jaringan relatif lebih mahal dibandingkan mengambil sel dari jaringan hewan hidup karena mahalnya media untuk pertumbuhan dan peralatan yang digunakan (Freshney 2005). Kultur sel fibroblas merupakan kultur sel yang banyak dilakukan di laboratorium. Sel ini berbentuk bulat setelah mengalami proses disosiasi dengan tripsin, tetapi akan segera berubah memanjang membentuk spindel setelah melekat pada permukaan yang keras. Sel fibroblas memiliki kemampuan tumbuh yang sangat baik dengan doubling time berkisar antara 18–24 jam, sehingga menjadi sel favorit untuk kultur sel. Selain itu, sel fibroblas dari embrio ayam telah terbukti dapat dipasase hingga 30 kali (Butler 2004). Sumber-Sumber Sel Fibroblas Sumber sel untuk kultur dapat berasal langsung dari jaringan hewan atau berasal dari koleksi kultur (cell banks). Pemilihan sumber sel ini didasarkan pada tujuan dan metode penelitian. Penumbuhan sel yang berasal isolasi langsung dari jaringan memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan sel yang berasal dari koleksi kultur. Selain itu, sel lestari (cell line) yang berasal dari koleksi kultur memiliki karakteristik yang baik dalam hal pertumbuhan, asal, dan genetik (Butler 2004). Contoh cell line fibroblas antara lain NIH 3T3 (gambar 2), BHK21, L, MRC-5, WI-38, dan Vero (McSharry 2001, Butler 2004). Gambar 2. Kultur NIH 3T3 salah satu contoh cell line fibroblas dari embrio mencit Sumber : www.flickr.com 2007 Kultur sel fibroblas umumnya menggunakan sel yang berasal dari isolasi langsung dari jaringan. Sel fibroblas berasal dari sel mesenkim yang berkembang dari lapis mesodermal embrio (Eurell dan Sickle 1998). Sel fibroblas biasa ditemukan di jaringan ikat longgar terutama yang dekat dengan serabut kolagen. Selain itu, juga banyak ditemukan pada jaringan yang sedang dalam tahap persembuhan (repairing) dan pada jaringan yang sedang dalam tahap pertumbuhan (Aughey dan Fyre 2001). Lokasi fibroblas antara lain langsung di bawah sel-sel epitel usus, di sekitar epitel kelenjar, dan di bawah epidermis (Butler 2004). Rat embryonic fibroblast (REF) berasal dari kultur otot embrio tikus dengan umur kebuntingan 15 hari (Yamada et al. 1982). Mouse embryonic fibroblast (MEF) berasal dari kultur otot embrio mencit pada umur kebuntingan 12,5 hari (Xiong et al. 2007). Sistem Kultur Sel Fibroblas Kultur sel secara in vitro merupakan model fungsi fisiologis keadaan in vivo sehingga semua komponen kultur harus diperhatikan dengan baik. Terkadang sel tidak bisa mengekspresikan fenotip yang sama dengan keadaan in vivo karena perubahan-perubahan kecil dalam lingkungan pertumbuhannya. Pengaruh lingkungan terhadap kultur sel antara lain terlihat pada jenis substrat atau tempat sel tumbuh, bisa permukaan yang keras seperti plastik atau matriks kaku, bahan semisolid seperti gel (kolagen atau agar), dan bahan cair; derajat kontak sel dengan sel lainnya; kondisi psikokimia dan fisiologis dari medium; kadar gas; dan temperatur inkubator (Freshney 2005). Substrat merupakan tempat melekat sel agar dapat tumbuh, terutama sel yang hanya dapat tumbuh jika melekat pada suatu substrat (anchorage-dependent cell). Jenis substrat yang digunakan tergantung pada tipe sel dan tujuan studi yang dilakukan. Substrat yang umum digunakan saat ini adalah plastik polystyrene yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga menjadi lembab dan bermuatan negatif. Pada sel tertentu, seperti sel saraf, sel otot, dan beberapa jenis epitel; plastik tersebut sebelumnya perlu dilapisi dengan gelatin, kolagen, atau polylysine untuk memberikan muatan positif (Malole 1990). Faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan kultur adalah kondisi psikokimia dan fisiologis dari medium penumbuh sel. Pemilihan medium kultur harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan studi yang menggunakan sel tersebut. Medium penumbuh sel harus menyediakan semua kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan alami sel dalam lingkungan in vivo, agar sel tersebut dapat bertahan hidup, berkembang, dan berdiferensiasi (Malole 1990). Medium penumbuh sel harus bisa menyediakan semua kebutuhan nutrisi esensial bagi sel, dalam hal ini termasuk kebutuhan raw materials yang dibutuhkan untuk sintesis sel baru, substrat untuk metabolisme energi, vitamin dan trace mineral (Ham dan McKeehan 1979). Medium yang umum digunakan dalam kultur sel mamalia adalah Dulbecco’s modified Eagle’s medium (DMEM). Medium ini merupakan medium kultur berupa buffer bikarbonat yang didesain untuk pH 7,2–7,4 pada keadaan 5% CO2 dan 95% udara (Hogan et al. 1994). Nutrisi yang terkandung di dalam DMEM adalah garam-garam anorganik (kalsium klorida, ferri nitrat, kalium klorida, magnesium sulfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium phosphat), D’glukosa, phenol red, dan asam amino (L-Arginin Hidroklor, LCystein.2HCl, L-Glutamin, Glycine, L-Histidin.HCl.H2O, L-Isoleusin, L-Lysine Hidroksiklorida, L-Methionin, L-Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L-Triptofan, L-Tyrosin.2Na.2H2O dan L-Valine), vitamin (D-Kalsium Pentothenate, Koline klorida, asam folat, L-Inositol, Niacinamide, Pyridoxin HCl, Riboflavin dan Thiamine Hidroklorin) (Mather dan Roberts 1998). Menurut Yadav dan Tyagi (2005) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sel selama pertumbuhan dapat ditambahkan serum atau ekstrak embrio ke dalam medium. Penambahan serum atau ekstrak embrio ini memang sangat beresiko terhadap kontaminasi, oleh karena itu perlu juga dilakukan penambahan antibiotik seperti penisilin atau streptomisin ke dalam medium untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Temperatur optimal untuk kultur sel tergantung pada suhu tubuh hewan dari mana sel diisolasi, perbedaan letak anatomis (misalnya temperatur kulit dan testis akan lebih rendah dibandingkan temperatur tubuh), dan pengaturan faktor keamanan untuk menghindari kesalahan (error) pada inkubator seperti kejadian overheating (Freshney 2005). Temperatur berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel. Selain itu, juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 pada temperatur rendah (Malole 1990). Selain temperatur, pH merupakan komponen yang juga memegang peranan penting dalam kegiatan kultur. Sebagian besar cell line tumbuh dengan baik pada pH 7,4 (Malole 1990). Walau demikian, pH optimum untuk pertumbuhan sel relatif sedikit bervariasi berdasarkan jenis sel masing-masing (Freshney 2005). Cell line fibroblas menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik pada pH antara 7,4–7,7, sedangkan sel yang sama tapi telah mengalami transformasi tumbuh lebih baik pada pH antara 7,0–7,4 (Malole 1990, Freshney 2005). Perubahan tekanan osmotik umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar sel (Waymouth 1970 dalam Freshney 2005). Dalam praktek, tekanan osmotik yang dapat diterima oleh sel berkisar antara 260 mosmol/kg hingga 320 mosmol/kg (Freshney 2005). Khusus untuk mencit tekanan osmotik yang dibutuhkan kurang lebih 310 mosmol/kg. Tekanan osmotik biasanya diukur berdasarkan depresi titik beku atau peningkatan tekanan uap dengan menggunakan alat osmometer. Pengukuran osmolaritas merupakan bagian penting untuk mengontrol kualitas terutama untuk medium yang dibuat sendiri (Malole 1990, Freshney 2005). Sistem buffer yang biasa terdapat dalam medium adalah sistem karbondioksida – bikarbonat yang sama seperti kondisi darah. Saat sel tumbuh, sel menghasilkan CO2, tetapi CO2 tersebut tidak dapat keluar karena sudah banyak CO2 di atas medium. Akibatnya, terjadi penguraian NaHCO3 dari medium yang menghasilkan kelebihan ion H+ sehingga pH akan turun. Oleh karena itu, volume ruangan di atas medium perlu diperhatikan karena pada waktu kultur dimulai diperlukan 5% CO2 untuk mempertahankan pH dan mencegah keluarnya CO 2 dari medium (Malole 1990). Keterkaitan antara CO2, ion HCO3-, dan pH satu sama lain, menimbulkan kesulitan dalam menentukan pengaruh langsung dari CO 2 (Freshney 2005). Peningkatan produksi sel pada kultur sangat tergantung pada kecukupan penyediaan oksigen. Oksigen yang terlarut dalam media hanya sedikit yaitu 7,6 mikrogram/ml sedangkan tingkat penggunaannya oleh sel kurang lebih 6 mikrogram/10 juta sel setiap jam. Pemberian oksigen pada kultur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain pemberian udara pada permukaan medium, difusi membrane, perfusi medium, dan pemompaan oksigen langsung ke dalam media (Malole 1990). Pemanfaatan Kultur Sel Fibroblas Kultur sel fibroblas terutama cell line fibroblas banyak digunakan dalam pengembangan teknik kultur sel. Sel fibroblas embrio mencit (NIH 3T3) merupakan salah satu contohnya. Baby Hamster Kidney Fibroblast (BHK-21) banyak digunakan dalam produksi vaksin, L yaitu cell line fibroblas dari tumor jaringan ikat mencit banyak digunakan dalam pengembangan teknik kultur sel selama tahun 1950-an, MRC-5 dan WI-38 yaitu sel fibroblas dari paru-paru embrio manusia banyak dimanfaatkan dalam produksi vaksin untuk manusia, dan Vero yang berasal dari ginjal Kera Hijau Afrika (African green monkey), juga digunakan dalam produksi vaksin untuk manusia. (Malole 1990, McSharry 2001, Butler 2004). Selain itu, Mouse embryonic fibroblast (MEFs) sering digunakan sebagai feeder cells pada penelitian stem sel embrionik manusia (Rylova 2008). Protein yang Dihasilkan oleh Sel Fibroblas Menurut Prowse et al. (2007) conditioned medium fibroblas baik dari fetus manusia (Human Fetal Fibroblast/HFF), manusia yang baru lahir (Human Neonatal Fibroblast/HNF), maupun dari fetus mencit (Mouse Embryonic Fibroblast/MEF) mengandung protein yang berperan dalam pluripotensi, diferensiasi dan pertumbuhan (growth factor) sel. Beberapa protein yang dihasilkan oleh MEF antara lain Follistatin-Related Protein 1, Insulin-like Growth Factor 1, dan Pigment Epithelium-Derived Factor. Metode Analisis Protein Analisis protein dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain metode liquid phase isoelectric focusing, metode imunopresipitasi, metode twodimensional gel electrophoresis, dan reversed phase liquid chromatography (Hansson 2008). Dalam penelitian ini, metode analisis protein yang digunakan adalah metode SDS PAGE Electrophoresis). (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel SDS PAGE merupakan metode untuk menganalisis kemurnian protein dan untuk mengestimasi berat molekul protein. Lebih jauh lagi SDS PAGE dapat digunakan untuk memonitoring purifikasi protein, menverifikasi konsentrasi protein, mendeteksi proteolisis, mendeteksi modifikasi protein, dan mengidentifikasi adanya protein yang mengalami immunopresipitasi (Ahmed 2005). Komponen SDS PAGE adalah sodium dodecyl sulfate (SDS) dan gel poliakrilamid. Sodium dodecyl sulfate merupakan sejenis detergent (sabun) yang dapat mengganggu konformasi spesifik protein dengan cara melarutkan molekul hidrophobik yang ada di dalam struktur tersier polipeptida (Campbell 1996). SDS mengubah semua molekul protein kembali ke struktur primernya (struktur linear) dengan cara meregangkan gugus utama polipeptida (Purves dan Rybicki 1998). Selain itu, SDS juga menyelubungi setiap molekul protein dengan muatan negatif. Hal inilah yang menyebabkan protein bergerak kearah muatan positif di sisi lain gel. Poliakrilamid merupakan polimer dari monomer akrilamid (Campbell 1998). Saat poliakrilamid berbentuk gel, maka akan terbentuk pori-pori kecil yang membentuk labirin atau terowongan dan saluran yang memungkinkan molekul bergerak (migrasi). Poliakrilamid merupakan medium yang tepat untuk memisahkan protein berdasarkan ukuran karena ukuran pori-pori kecil yang memungkinkan untuk memperlambat gerakan molekul (Purves dan Rybicki 1998). Protein dengan berat molekul rendah akan bergerak lebih cepat melintasi gel dibandingkan dengan protein dengan berat molekul besar. SDS PAGE memisahkan protein berdasarkan berat molekul, sehingga berat molekul protein bisa diestimasi dengan cara me-running protein standar (marker) yang berat molekulnya telah diketahui (Ahmed 2005). Gambar 3. Mekanisme sederhana SDS PAGE Sumber : www.molecularstation.com 2008 Visualisasi protein dapat dilakukan dengan beberapa metode pewarnaan. Menurut McGuigan dan Sharman (2006) metode pewarnaan yang umum digunakan untuk SDS PAGE adalah coomasie blue. Metode pewarnaan lainnya antara lain silver nitrat, copper, dan zink. Pemilihan metode pewarnaan tergantung pada jenis protein, konsentrasi, dan tujuan yang diharapkan.