Jilbab Dalam Al Quran dan Jilbab Zaman Sekarang

advertisement
Kisah Nyata : Inilah Alasanku Berhenti Menjadi Wanita Karir
Akhwatmuslimah.com – Sore itu sembari menunggu kedatangan teman yang akan
menjemputku di masjid ini seusai ashar. Kulihat seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan
tertutup sedang duduk disamping masjid. Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga. Aku
mencoba menegurnya dan duduk disampingnya, mengucapkan salam, sembari berkenalan.
Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada pertanyaan itu. “Anti sudah menikah?”.
“Belum ”, jawabku datar.
Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi “kenapa?”
Pertanyaan yang hanya bisa ku jawab dengan senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak
melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“Menunggu suami” jawabnya pendek.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa
kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir.
Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “Mbak kerja di mana?”
Entah keyakinan apa yang membuatku demikian yakin jika mbak ini memang seorang wanita
pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu
rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya dengan wajah yang aneh
menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa
membuat kita lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat
kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh
saja.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7
juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan es cendol di siang hari.
Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena
merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ?
Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore
jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya istirahat yang terlintas dibenak kami
wanita karir. Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhty. Dan kebetulan saat itu suami juga
bilang jika dia masuk angin dan kepalanya pusing. Celakanya rasa pusing itu juga menyerang
saya. Berbeda dengan saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya
malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah !!”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat
sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya
tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya
kalo bukan suami saya (kami memang berkomitmen untuk tidak memiliki khodimah)? Terlihat
lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah
abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali
pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat perkataan
terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya.
Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan
kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.
“Kamu tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700
rb/bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam itu saya benar-benar merasa sangat
durhaka pada suami saya.
Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun
suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap
kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata “Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah. Di
ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”,
begitulah katanya. Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini
membuat saya sombong dan durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin
hampir tidak ada wanita karir yang selamat dari fitnah ini”
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan
jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu
susah jika tanpa harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya” Lanjutnya lagi, tak
memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini.
Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya justru tidak ada yang mendukung niat
saya untuk berhenti berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan yang lain.”
Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia?
Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, bukankah kita harus memikirkan masa depan ? Kita kerja juga kan untuk anak-anak kita
kak. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak
malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami
kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama
dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih
milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami
kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami
kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin
membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali
mengalir, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anti tau, saya hanya bisa menangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan
adik saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah
DIPANDANG RENDAH olehnya.
Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan
keringat itu, Allah memandangnya mulia ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud
dimalam hari ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan
hati saya ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar
saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ?
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya
hanya karena sebuah pekerjaaan ?
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji
saya dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya. Mudah-mudahan
saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan pekerjaan suami saya ukhty,
sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya
keberanian dengan pekerjaan seperti itu.
Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang
seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah
yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.
Suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk
menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi
masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami
kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas
laptopnya, bergegas ingin meninggalkanku.
Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke
arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil
mengucapkan salam, wanita itu meninggalkanku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri
yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam
hidupku. Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam
benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laa ilaaha illallah…Allahu Akbar
Semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima
pinangan dari laki-laki yang baik agamanya..
Air Mata Istri Sholehah yang Mengubah Suami
Akhwatmuslimah.com – Mereka dulunya adalah aktifis dakwah, saat masih menjadi
mahasiswa. Di jalan dakwah pula mereka kemudian menikah.
Kehidupan pernikahan mereka indah pada awalnya. Namun bulan-bulan yang terus berlalu
hingga hitungan tahun berganti, membuat keduanya mulai berhadapan dengan problem ekonomi.
Sang suami, sambil meneruskan kuliah pasca sarjana, berusaha bekerja apa saja. “Yang penting
halal,” prinsipnya. Dari menjadi tukang ojek, jualan kripik, hingga jualan berbagai makanan
ringan.
Beban hidup suami istri itu semakin besar saat buah hati mereka lahir. Yang menyedihkan, koskosan mereka jauh dari kata layak untuk hidup berkeluarga. Atapnya jebol, kamar mandinya
bocor.
Setelah lulus S2, sang suami mendapatkan pekerjaan baru sebagai makelar tanah. Ia sendiri
merasa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan tetap dan menjadi sebuah ironi bagi dirinya yang
lulusan terbaik saat kuliah S1 dan kini menjadi Magister Fisika. Namun setidaknya,
penghasilannya kini lebih besar dari sebelumnya.
Menjadi makelar, membuatnya sangat sibuk. Siang malam ia mencari pembeli. Sebelum
matahari terbit ia sudah memacu motornya, dan saat larut malam baru pulang. Praktis, si kecil
pun jarang bertemu dengannya.
Menjalani pekerjaan barunya, meski penghasilan lebih besar, pelan-pelan banyak kebahagiaan
yang hilang. Tak bisa bercanda dengan buah hati yang sedang lucu-lucunya, juga tak banyak
waktu membersamai istrinya. Yang tak kalah berat baginya, ia yang dulunya aktifis dakwah kini
tak sempat berjamaah di masjid kecuali menjadi makmum masbuk. Ia tak lagi hadir di majelismajelis tarbiyah. Bahkan tak ada lagi tahajud… Ia merasa badai futur sudah sedemikian dahsyat
menghempas.
“Inikah cita-cita pernikahan itu? Ke mana bunga-bunga mimpi hidup dalam keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah?” tanyanya kepada hati kecilnya.
Hingga suatu ketika di larut malam setelah ia seharian mencari pembeli. Istri terkasih
mendekapnya sangat erat. Akhwat yang dicintainya itu menangis terisak-isak. Seakan-akan ia
akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
“Mas… aku tidak pernah meminta uang banyak. Saya juga tidak memintamu untuk bekerja
sekaras ini. Sederhana sekali pintaku, engkau kembali menjadi orang yang shaleh, dan aktif
dalam dakwah” ucapnya sambil terisak tanpa melepaskan dekapannya.
Sang suami hanya bisa terdiam. Kata-kata membuatnya tak sanggup menahan air mata.
“Mas… aku ingin seperti dulu, biar susah tapi kita bisa berjalan bersama ke tempat ta’lim. Sahur
senin-kamis bareng. Saling membangunkan dan mengingatkan shalat malam. Mungkin Mas
tidak tahu, kenapa aku memilih Mas jadi suami? Karena tidak ada yang lebih membahagiakan
daripada melihat suami yang berjalan meninggalkan rumah menuju masjid untuk shalat
berjama’ah”
Malam itu menjadi malam paling bersejarah dalam kehidupan pernikahan mereka. Untaian
kalimat yang diiringi air mata itu bukan hanya melelehkan air mata yang sama. Tetapi juga
menjadi jalan pertaubatan bagi sang suami. Menjadi pintu kembalinya seorang ikhwan ke medan
dakwah dan medan juang.
Atas izin Allah, air mata cinta telah mengubah segalanya. Mengembalikan jiwa yang futur
kepada Rabbnya. Menarik kembali hati yang menjauh ke jalur orbitnya. Menghadirkan lagi
ketenangan dan kedamaian yang sempat hilang sekian lama.
Cinta yang syar’i kepada suami membuat sang istri kehilangan saat sang suami jauh dari
Tuhannya. Cinta mengubah rasa kehilangan menjadi kesedihan yang memuarakan air mata. Lalu
air mata itu tumpah dalam keheningan malam bersama sujud-sujud yang panjang. Air mata itu
juga hadir bersama kata-kata cinta yang meminta suami kembali bersamanya; dalam
mendekatkan diri kepada Ilahi.
Maka untuk setiap istri, apa pun masalah suamimu dan apapun masalahmu dengan suamimu.
Hadirkan cinta sebelum engkau menghadirkan perasaan lainnya. Cinta yang membuatmu berdoa
mengetuk perkenanNya. Sebab Dialah yang memegang hati dan jiwa seluruh hambaNya.
Dengan cinta pula, ungkapkan perasaanmu kepada belahan jiwa. Jika batu saja bisa pecah
lantaran tetes-tetes air, hati suami mana yang tak tersentuh dengan air mata cinta. [Muchlisin]
*Kisah di atas berdasarkan kisah nyata Abu Fakir, salah seorang peserta KMPD
BersamaDakwah asal Bandung
Kisah Mengharukan : Rahasia dibalik Jilbab Adikku
Akhwatmuslimah.com – Ini cerita tentang adikku Nur Annisa , gadis yang baru beranjak
dewasa namun rada Bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun,
perkembangan dari tingkah lakunya rada mengkhawatirkan ibuku, banyak teman cowoknya yang
datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji.
Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya
hingga timbul pertengkaran pertengkaran kecil diantara mereka.
Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang rada keras: “Mama coba lihat deh, tetangga
sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya ngga beda beda ama kita kita, malah teman
teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om om, sering jalan jalan, masih mending Ani, …
walaupun begini-gini ani nggak pernah ma kaya gituan”.
Bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku
menangis , lirih terdengar doanya: “Ya Allah, kenalkan Ani dengan hukum Engkau ya Allah “.
Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana
mempunyai enam anak yang masih kecil kecil. Suaminya bernama Abu Khoiri, (bukan Effendy
Khoiri lhoo) (entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.
Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas desus mengenai istri dari Abu Khoiri yang
tidak pernah keluar rumah, hingga dijuluki si buta, bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh
Adikku, dan dia bertanya sama aku: “Kak, memang yang baru pindah itu istrinya buta, bisu dan
tuli ? “..hus aku jawab sambil lalu” kalau kamu mau tau datangin aja langsung kerumahnya”.
Eehhh tuuh, anak benar benar datang kerumah tetangga baru. Sekembalinya dari rumah
tetanggaku , kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak
pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi….entah apa yang terjadi.?
Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk dibuatkan Jilbab
.. yang panjang, lagi .. rok panjang, lengan panjang … aku sendiri jadi bingung …. aku tambah
bingung campur syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena kulihat perubahan yang ajaib
.. yah kubilang ajaib karena dia berubah total .. tidak banyak lagi anak cowok yang datang
kerumah atau teman teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan …
Kulihat dia banyak merenung, banyak baca baca majalah islam yang biasanya dia suka beli
majalah anak muda kaya gadis atau femina ganti jadi majalah majalah islam, dan kulihat
ibadahnya pun melebihi aku … tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur’annya, sholat sunat nya …
dan yang lebih menakjubkan lagi …. bila teman ku datang dia menundukkan pandangan …
Segala puji bagi Engkau ya Allah Subhanahu wa ta’ala jerit hatiku ..
Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan asing
(PMA). Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku
memanggil ku untuk pulang ke rumah (rumahku di Madiun).
Di pesawat tak henti hentinya aku berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar Adikku di beri
kesembuhan, namun aku hanya berusaha, ketika aku tiba di rumah, didepan pintu sudah banyak
orang, tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah, kulihat ibuku menangis, aku langsung
menghampiri dan memeluk ibuku, sambil tersendat sendat ibuku bilang sama aku: “Dhi,adikkmu
bisa ucapkan dua kalimat Syahadah diakhir hidupnya “.. Tak dapat kutahan air mata ini …
Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary
diatas mejanya .. diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum
tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup, kemudian kubuka selembar demi
selembar …
… hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul di
hatiku..perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu Khoiri … disitu
kulihat tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku, isinya seperti ini :
Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas tetesan airmata ):
Annisa : Aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari), ibu, wajah ibu
sangat muda dan cantik.
Istri tetanggaku : Alhamdulillah, sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.
Annisa : Tapi ibu kan udah punya anak enam, tapi masih kelihatan cantik.
Istri tetanggaku : Subhanallah, sesungguhnya keindahan itu milik Allah Subhanahu wa ta’ala dan
bila Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak, siapakah yang bisa menolaknya.
Annisa : Ibu, selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku, namun aku selalu
menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam macam
dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak
memakai jilbab, hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab, menurut ibu bagaimana?
Istri tetanggaku : Duhai Annisa, sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan seluruh
tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki, segala sesuatu dari tubuh kita
yang terlihat oleh bukan mahrom kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
Subhanahu wa ta’ala diakhirat nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita.
Annisa : Tapi yang kulihat banyak wanita yang memakai jilbab yang kelakuannya nggak enak,
nggak karuan.
Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus
kita pahami.
Annisa : Apa itu hakekat jilbab ?
Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin. Hijab mata kamu dari memandang
lelaki yang bukan mahram kamu. Hijab lidah kamu dari berghibah (ghosib) dan kesia siaan,
usahakan selalu berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu
maupun masyarakat. Hijab hidungmu dari mencium cium segala yang berbau busuk. Hijab
tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh. Hijab kaki kamu dari melangkah menuju
maksiat.
Hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu.
Hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah Subhanahu wa ta’ala, bila kamu sudah bisa maka jilbab
yang kamu pakai akan menyinari hati kamu, itulah hakekat jilbab.
Annisa : Ibu aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab, mudah mudahan aku bisa pakai jilbab,
namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya.
Istri tetanggaku : Duhai Anisa bila kamu memakai jilbab itulah karunia dan rahmat yang datang
dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang Maha Pemberi Rahmat, yang Maha Penyayang, bila kamu
mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan amalan jilbab
hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Duhai Anisa, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya.
Ketika ditiup terompet yang kedua kali, pada saat roh roh manusia seperti anai anai yang
bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang
panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan.
Ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita. Ketika seluruh
Nabi ketakutan. Ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya,
sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu
kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada di alam ini.
Ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya memperdulikan
nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga
menenggelamkan dirinya, dan rupa rupa bentuk manusia bermacam macam tergantung dari
amalannya, …
.. ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang berbentuk seperti
hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis, menangis karena hari itu Allah
Subhanahu wa ta’ala murka, belum pernah Allah Subhanahu wa ta’ala murka sebelum dan
sesudah hari itu, hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah Subhanahu wa ta’ala dipadang
mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Yaumul Hisab.
Duhai Annisa, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita
menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat,
Yang Maha Agung, Allah Subhanhu wa ta’ala. Di Yaumul Hisab nanti! Di Hari Perhitungan
nanti!!
Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat, berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh
dari pelupuk matanya, Subhanallah, kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan, kemudian
kulihat tulisan kecil di bawahnya: buta, tuli dan bisu, wanita yang tidak pernah melihat lelaki
selain mahromnya, ..
.. wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah
Subhanahu wa ta’ala, wanita yang tidak pernah berbicara ghibah, ghosib dan segala sesuatu yang
mengundang dosa dan sia sia tak tahan airmata ini pun jatuh membasahi diary.
Itulah yang dapat saya baca dari diarynya, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menerima Adikku
disisinya, Aamiin, Subhanallah…
Saudara Ipar adalah Kematian
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu,
disebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hindarkanlah diri
kalian untuk menemui wanita!” Lalu ada seorang lelaki dari kaum Anshar bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa pendapatmu tentang saudara ipar?” Beliau bersabda, “Saudara ipar adalah
(pembawa) kematian.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan At-Tirmidzi).
Al-Hamwu al-mautu, saudara ipar adalah (pembawa) kematian. Apa maksudnya??
Ibnu Hajar, dalam kitab fenomenalnya, Fathul Bârî (15/42), menyebutkan pendapat para ulama
terkait makna hadits ini, “Al-Hamwu al-mautu, saudara ipar adalah kematian.”
Imam Ath-Thabari menjelaskan, “Artinya, bahwa berkhalwatnya seorang lelaki dengan istri
saudaranya atau isri keponakannya seperti kedudukan kematian. Orang-orang Arab biasa
menyebutkan sesuatu yang dibenci dengan kematian.”
Ibnul A’rabi, “Ini adalah kalimat yang diungkapkan oleh orang-orang Arab sebagai permisalan.
Sebagaimana engkau mengatakan, “Singa adalah kematian.” Maksudnya adalah bertemu dengan
singa berarti bertemu kematian. Jadi artinya adalah jauhilah ia (saudara ipar) sebagaimana kalian
mewaspadai kematian.”
Imam Al-Qurthubi juga menjelaskan di dalam Al-Mufhim, “Maknanya adalah bertemunya
kerabat suami dengan istri suami diserupakan dengan kematian dalam mengungkapkan
keburukan dan kerusakan. Betul-betul haram. Hanyasanya beliau mewanti-wanti dengan sangat
untuk menjauhinya (ipar), dan mempermisalkannya dengan kematian adalah karena sikap
toleransi manusia terhadap keluarga dari pihak suami dan istri karena keakraban mereka. Hingga
seolah-olah bukan orang asing bagi si wanita. Orang-orang biasa mengungkapkan, “Al-Asadu almautu, wal harbu al-mautu, singa adalah kematian dan peperangan adalah kematian.”
Maksudnya, bertemu dengan singa atau peperangan bisa menyebabkan kematian. Begitupula
dengan bertemunya ipar dengan wanita (istri saudaranya) bisa menyebabkan kepada matinya
agama, atau kematian wanita tersebut karena ditalak oleh suaminya ketika ia tersulut
kecemburuan, atau kepada rajam jika terjadi perbuatan keji (zina).”
Jadi, sekarang kita tahu kenapa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegus dengan keras
tentang masalah ini.
Hal ini tidak lain karena sebab kemungkinan terjadi zina antara kakak dan adik ipar itu memang
sangat besar. Apalagi bila mereka tinggal serumah. Padahal kemungkinan terjadi zina antara
seorang dengan wanita lain yang bukan mahram, kesempatannnya jauh lebih kecil dibandingkan
zina dengan ipar sendiri. Bahkan bila dengan wanita lain, untuk sekedar bertemu sekalipun,
harus ada mahram yang mendampingi.
Akan tetapi pintu syetan terbuka lebar buat hubungan antara kakak dan adik ipar. Sebab sudah
menjadi hal yang lazim ipar itu tinggal di dalam satu rumah. Anda bisa bayangkan, di dalam satu
rumah ada wanita lain mahram.
Tentu ini sebuah keadaan yang tidak sehat. Di mana kemungkinan terbuka aurat menjadi sangat
besar. Bahkan berikhtilath menjadi sangat mudah. Termasuk kesempatan untuk berduaan
menjadi semakin sering.
Masyarakat bahkan keluarga akan menganggap hal itu biasa saja. Padahal kalau pasangannya
tinggal di kampung lain dan ada laki-laki ketahuan pacaran sampai malam di rumah seorang
gadis, masyarakat bisa heboh. Bahkan seringkali menjurus kepada pemaksaan untuk menikah di
tempat. Apalagi bila istri sedang keluar, sedangkan suami di rumah bersama adik ipar
perempuannya.
Akan tetapi bila hal itu terjadi antara kakak dan adik ipar di dalam sebuah rumah yang satu, tidak
akan ada lagi filter dari masyarakat. Bahkan mereka cenderung menganggap hal itu biasa, karena
statusnya memang masih keluarga sendiri.
Jadi, saudara ipar adalah kematian, atau penyebab kematian. Kisah ini adalah salah satu bukti
kebenaran sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di atas, “Al-hamwu al-mautu, saudara ipar
adalah kematian.” bahkan, lebih menyakitkan. silahkan pembaca menyimak kisah yang sarat
pelajaran ini:
Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan kegalauan. Shaleh,
kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan
mendekati Khalid, lalu berkata padanya:
“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku
perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu
galau dan bersedih…”
Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:
“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang
dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari
jalan keluarnya…”
Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh.
Kemudian ia berkata lagi:
“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan
istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd,
yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas
di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku
memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia
harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret
mengikuti kawan-kawannya!
Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber
seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati
masa remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar
dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa
hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…
Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang Syekh
terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu
saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau
mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ipar itu adalah maut.”
Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang
suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam
rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat
terjadi di sini.
Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di
rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti
tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”
Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan
kembali ucapannya:
“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang
aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah kepadaku,
mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan
menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya
sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia melanjutkan
pendidikan tingginya…”
“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku
dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga, karena
bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan:
‘Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah padamu hingga
kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan berlepas diri darimu di
dunia sebelum di akhirat…”
Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:
“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin menyenangkan
hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku.
Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”
Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:
“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan?
Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-benar
seorang peragu dan bimbang. Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah
ini terjadi bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung
pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka
berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan
urusan rumah. Dan ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga
rumahmu selama engkau pergi.
Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang
diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:
“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri?
Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan padaku:
bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”
Khalid segera memotongnya:
“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”
“Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,” potong Shaleh.
“Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu,
baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena
ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri, wahai
Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk mengganggu
istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan
berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan
ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd,
tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan
rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya
pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian
meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti
itulah yang terjadi selanjutnya…
Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu…
Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara
Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan
kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang
layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia
menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.
Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai
mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat
seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan
seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua itu terus
berteriak meminta tolong:
“Tolong!! Toloooong kami!”
Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk
mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.
Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru
sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu adalah
anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu
mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang
luar biasa itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke
rumah sakit.
Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata:
“Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita
terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa
kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa
mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya
meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya
mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan
administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi
cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu
tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan
bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa
ia akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika
operasi itu selesai dan proses melahirkan itu berhasil dengan selamat. Khalid kemudian
menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia
menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.
Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok,
dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu
berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan
yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara
dokter jaga dan dua petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriakteriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”
Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera
mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan
bertanya: “Anda Khalid?”
“Iya, benar,” jawabnya.
“Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar petugas itu.
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu
tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat
keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya
nasibmu, wahai putriku!”
Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di
sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:
“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah
memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi,
engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak
bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk
membawanya ke panti sosial!”
Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak
lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya.
Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas keamanan
bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan
pertanyaan untuknya:
“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya
engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah
pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”
Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:
“Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu
dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga
orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”
Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu
secara lengkap.
Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:
“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya
harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam
masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa
pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”
“Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat?
Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa
ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah
ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa
yang sebenarnya telah terjadi!
Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh
mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam
masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya.
Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah menunjukkan
ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang
mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor
polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis
yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari
tuduhan keji itu. Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan
berterima kasih. Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:
“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit…”
Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda
mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda
berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya
bisa memastikannya dengan yakin…”
Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir
Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap
mengorbankan apa saja untuk mereka…”
Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:
“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan
hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini
untuk pemeriksaan.”
Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu.
Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah
sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba telefon
genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang menelponnya
beberapa menit.
Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang
mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak
membongkar pintu apartemen itu?”
“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan
kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup
itu,” jawab Khalid.
“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.
“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun
terakhirnya di universitas.”
“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan
apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.
“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.
Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan
akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta
Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang
dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia
juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya
dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang
demikianlah dunia itu!
Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:
“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk
menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa
yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”
Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus
diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan
mengubah keadaan.
Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:
“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak…, Ketiga anak itu
bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”
Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya
memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.
Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia
sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.
Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang
menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang
tersisa.
Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan
pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.
Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum
yang sesuai dengan kejahatannya.
Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya hidup bersama
anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar
itu adalah maut.”
‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”
Fitnah Ketampanan Pria bagi Wanita
“Suatu malam,” tutur Ibnu Sirin sebagaimana dinukil Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin,
“Umar bin Khathab meronda. Lalu terdengar seorang wanita yang bersenandung rindu.”
adakah caraku untuk minum khamr
ataukah jalan yang kan menghantar
diriku kepada putera Hajjaj, si Nashr?
Mendengar itu, Umar berkata pada dirinya sendiri, “Tidak akan terjadi selagi Umar masih
hidup.” Maka, pada pagi harinya Umar mengirim seorang utusan untuk memanggil seseorang
yang bernama Nashr bin Hajjaj. Nashr adalah lelaki yang sangat tampan, bahkan mungkin paling
tampan di kota Madinah kala itu. Selain itu, ia juga shalih dan bersifat kalem. Ketampanannya
menjadi fitnah bagi gadisgadis Madinah, kata Umar. Lantas, Umar pun menggunduli Nashr
dengan maksud untuk menghilangkan atau mengurangi ketampanannya. Namun, ternyata Nashr
makin tampak tampah, gagah, dan jantan.
“Pergilah dan jangan menetap di Madinah,” kata Umar. Ia pun mengirim si lelaki tampan itu ke
Basrah di Irak.
Di Basrah, Nashr menginap di rumah Mujasyi’ bin Mas’ud. Rumah itu adalah rumah yang
bahagia. Isteri Mujasyi’ merupakan wanita yang cantik. Celakanya, Nashr jatuh hati pada isteri
Mujasyi’ yang cantik itu, dan lebih anehnya cinta Nashr pun berbalas dari isteri Mujasyi’. Jika
Nashr dan Mujasyi’ berbincang bincang, maka sang isteri pun turut bersama keduanya.
Suatu hari, mereka berbincang bertiga. Nashr menulis di atas tanah sebuah pernyataan.
Kemudian isteri Mujasyi’ pun menulis jawaban yang sama. Mujasyi’ yang setengah buta huruf
pun merasa curiga dengan tulisan sang isteri, “Begitu pula saya.”
Mujasyi’ tidak tertarik untuk turut menulis karena ia setengah buta huruf. Diundangnya seorang
penulis dan menyuruhnya membaca tulisan di tanah itu. “Sesungguhnya,” kata si penulis itu
membacakan tulisan Nashr, “Aku masih mencintaimu, yang andaikan cinta ini ada di atasmu,
maka dia akan memayungimu. Dan jika cinta ini ada di bawahmu, maka ia akan menyanggamu.”
Sebuah syair sajak yang romantis.
Nashr mengetahui apa yang dilakukan Mujasyi’. Maka ia pun merasa sangat malu. Dia
meninggalkan rumah Mujasyi’ dan tinggal sendirian. Lama-lama badannya lemah dan kurus
seperti anak burung kelaparan. Mujasyi’ dan isterinya mengetahui hal ini. Maka, atas dasar rasa
kasihan Mujasyi’ menyuruh isterinya datang mengobati Nashr.
“Pergilah,” kata Mujasyi pada isterinya, “Sandarkan Nashr padamu dan berilah dia makanan
dengan tanganmu sendiri.” Sang isteri menolak melakukan itu. Namun, Mujasyi’ tetap meminta
isterinya melakukan hal itu. Betapa gembira Nashr melihat kedatangan perempuan yang
dicintainya. Maka, segeralah sesudah diobati ia beranjak sembuh. Dengan kepedihan karena tak
bisa menyemikan rasa cintanya Nashr bin Hajjaj pergi meninggalkan Basrah. Kota dimana ia
mencintai seseorang yang tidak berada dalam satu ruang pernikahan yang sama.”
Kisah ini juga ditulis Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyah-nya.
Di dalam Al Quran, surat Yusuf, disebutkan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam yang terkenal
paling tampan:
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan
dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf
berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan
baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (QS Yusuf 23)
Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan
dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam.
Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” Maka tatkala wanita itu
(Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya
bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk
memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu)
kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah
manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (QS Yusuf 30-31). [ ]
Aku Mencintaimu Suamiku (Sebuah Kisah Mengharukan)
Selama tiga tahun, Fatimah memperdalam ilmu agama dan belajar mengaji pada seorang ulama
besar.
Setelah ia keluar dari pondok pesantren, Fatimah tumbuh sebagai gadis cantik yang sholihah.
Ia pun kembali memasuki kehidupan diluar. Orang-orang memandangnya tak ubahnya seperti
bunga MAWAR putih yang tumbuh diantara rumput ilalang.
Semua lelaki memujanya, percampuran darah indonesia dan Tionghoa yang ada di dalam
tubuhnya, membuat ia seperti sebuah lukisan klasik yang nyata dan hidup. Ia seperti bidadari.
Ulama ulama dari seberang pulau, seringkali datang melamar Fatimah. Bahkan tak jarang
sahabat ayahnya mencoba melamar Fatimah untuk anaknya.
Tetapi ayah Fatimah yang memiliki hati yang teduh itu, menyerahkan sepenuhnya keputusan
kepada anaknya. Tetapi Fatimah sebagai anak yang sholihah, Fatimah justru menyerahkan hal itu
pada ayahnya, menurutnya ayahnya tahu yang terbaik baginya.
Fatimah sangat mengagumi ayahnya karena dia adalah lelaki pertama yang dikenal dalam
hidupnya. Seorang lelaki yang bertanggung jawab, selalu tersenyum meski dalam keadaan marah
sekali pun, ia adalah lelaki yang selalu mengutamakan ibadah kepada Allah. Bahkan
Fatimah seringkali berucap” Jika Allah mendatangkan seseorang yang menemani hidup ku,
biarlah ia seperti ayahku…”
Tanpa sepengetahuan Fatimah, ternyata sang ayah diam-diam telah menjodohkannya dengan
anak seorang ulama terkenal yang merupakan sahabat baiknya.
Fatimah tak percaya saat ayahnya menyampaikan maksud perjodohan itu, karena ia tahu betul
bagaimana akhlaknya pemuda itu, sang pemuda terkenal gemar sekali melakukan kemaksiatan,
seperti : JUDI, MABUK-MABUKAN, begadang, bahkan sholatpun tak pernah ia lakukan …
bahkan dikampungnya sang pemuda mendapat julukan THE GOD OF GAMBLER …
naudzubillah.
Hari-hari ia lalui dengan bersujud pada ALLAH, ia memohon petunjuk pada Allah agar
diberikan yang terbaik, ia yakin bahwa ALLAH akan membantunya, karena ia tak berani
menolak tawaran dari ayahnya, meskipun pada saat itu seringkali di hantui mimpi-mimpi buruk,
dan itu yang membuatnya resah dan gelisah yang mebuat ia semakin bingung, karena ia punya
prinsip “Tujuan hidup ku adalah membahagiakan ayahku apapun keputusannya bagaimana aku
menolaknya???”
Akhirnya, ia memutuskan untuk menerimanya, dan hari yang dikhawatirkannya itu tiba juga.
Dan ia sempat pingsan saat hari pernikahan itu, ia tidak percaya bahwa akad itu telah terjadi.
Namun keresahan itu juga terjadi pada Ikhsan (nama sang pemuda tersebut) saat akad nikah,
dadanya bergetar hebat. Ia tak kuasa memandang pesona yang dimilki Fatimah “ Benarkah aku
layak menjadi suaminya?? Fatimah terlalu baik untuk ku !! Sedangkan aku ?? tak ada satupun yg
bisa aku banggakan dariku !! aku peminum !! aku penjudi !! apakah ini NYATA ????
Ditengah malam, tanpa sepengetahuan Fatimah dia melakukan sesuatu yang tak pernah ia
lakukan, yaitu SHOLAT !! dalam sholatnya ia bersujud panjang dan bersyukur tak habisnya atas
karunia yg telah diberikan Allah meski maksiat kerap kali dilakukannya, dalam sujud
panjangnya dia selalu berdoa “Ya Allah, kasihanilah aku, ampunilah aku, bantulah aku… Ya
Allah apakah betul Zamrud biru nan indah itu (fatimah) untukku??”
Waktu berlalu dengan DO’A dan KESUNGGUHANnya, sehingga hari- hari berganti dengan
sebuah perubahan yang dahsyat, kini Ikhsan telah berubah ia telah meninggalkan kebiasaan
buruknya itu. Gadis nan indah itu telah merubah pandangannya tentang hidup hingga ia mampu
meninggalkannya.
Hingga pada suatu malam Fatimah menyaksikan peristiwa yang menggetarkan jiwanya .. . Saat
itu Fatimah bangun malam hendak melaksanakan sholat Tahajjud, namun saat ia memakai
mukena ia mendengar suara orang yang mengendap-endap di ruangan tamu, saat ia intip dari
kamarnya ternyata sang suaminya hendak meninggalkan rumah, Fatimah tak berani
mencegahnya ia hanya mampu mengintip, namun pikirannya mulai berpikir yang tak baik
tentang suaminya, ia khawatir suaminya kembali ke kebiasaannya yang buruk dulu hingga ia
berani keluar malam lagi.
Ketika suaminya sudah mulai menjauh akhirnya ia mengikutinya dari belakang, ternyata sang
suami masuk ke sebuah masjid.
“Ya Allah aku bersyukur pada MU telah engkau karuniakan seorang perempuan yang cantik,
baik dan shalihah … setiap hari ia berbakti kepada ku, menyiapkan segalanya untuku,
mencucikan bajuku, memasak untuku, menimba air untukku, membacakan kalam Mu untuk
menyadarkanku dari khilafku pada MU …
Tetapi hamba belum menyentuhnya, ya ALLAH, hamba tak pantas melakukan itu semua. Dan
aku tau itu membuatnya terluka …
Hidupku terlalu pekat oleh dosa-dosa padaMU dimasa lalu. Tetapi engkau memberikan hadiah
yang sangat besar untuk hidup ku … Kehadiran Fatimah disampingku adalah karunia terbesar
dari MU untukku …
.. Maka dari itu ya ALLAH, agar Fatimah tetap bersemi INDAH, bercahaya setiap waktu, damai
dalam munajatnya kepadaMU setiap waktu .. Aku mohon ya Allah, siapkan seorang suami yang
setara dengannya. Dan Engkau pasti tak mau melukai hambaMU Fatimah dengan membuatnya
tersiksa bersuamikan hamba … Kabulkanlah ya ALLAH..”
Mendengar itu, Fatimah bergetar hebat ia menangis dan bersujud di depan pintu masjid. ‘Akulah
yang berdosa, akulah yang berdosa, aku telah menyimpan pikiran buruk bagi hambaMU yang
mulia, yang telah KAU tunjuk menjadi suamiku .. Ampunilah hamba ya Allah .., Bisikan
kedalam hati lelaki itu, bahwa aku mohon maaf, dan betapa aku mengagumi dan mencintainya.
Ya Allah izinkanlah ia menjadi suami ku selama-lamanya ..
Isak tangis yang ditahannya sejak tadi kini meledaknya. Memecah keheningan, sambil menangis
ia merangkak menghampiri suaminya.
Ikhsan terperangah “apakah Fatimah mendengar doaku??” pikirnya, dan kini ia semakin tak
dapat menggerakkan seluruh sendinya, karena Fatimah telah berada dihadapannya, dan memeluk
erat tubuhnya. Ia tak percaya, sungguh tak percaya!!
Tangannya bergetar, saat pertama kalinya membelai kepala istrinya, hati dan matanya-pun kini
semakin basah.
“Kakak, jangan tinggalkan Fatimah !! mengapa kakak berniat seperti itu?? Aku adalah istrimu
kak, selamanya tetap menjadi istrimu !! jangan berpikir seperti itu, tersendat suaranya menahan
isakan tangis.
“kumohon jadilah suami !! Kumohon maafkanlah aku selama ini, telah berfikir buruk padamu.
Aku mencintaimu kak”
Perlahan-lahan Ikhsan memeluk dengan lembut istrinya dengan segenap cinta, dan dengan lirih
ia berucap, ”Ya Allah, Engkau datangkan lagi karunia yang BESAR untuk hambaMu
ini,..alhamdulillah”
(di kutip dari buku “Bunda, aku kembali” karya “Lalu Mohammad Zaenuddin” hal 59,)
Kisah Jilbab Hati
Ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah. Ia kadang menjalankan ibadah sunnah. Hanya
satu kekurangannya. Ia tak mau berjilbab. Menutup auratnya. Setiap kali ditanya ia hanya
tersenyum dan menjawab, “Insyaallah. Yang penting hati dulu yang berjilbab.” Sudah banyak
orang yang menanyakannya maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.
Hingga di suatu malam…
Ia bermimpi sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai
macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan segarnya udara dan wanginya bunga.
Sebuah sungai yang sangat jernih hingga dasarnya kelihatan, melintas di pinngir taman. Semilir
angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya. Ia tidak sendiri. Ada beberapa wanita disitu yang
terlihat jjuga menikmati keindahan taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. Wajahnya
sangat bersih, seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut.
“Assalamualaikum, saudariku..”
“Wa alaikumsalam.. Selamat datang, saudariku.”
“Terima kasih. Apakah ini surga?”
Wanita itu tersenyum.
“Tentu saja bukan, saudariku. ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga.”
“Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja
sudah seindah ini.”
Wanita itu tersenyum lagi.
“Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, saudariku?”
“Aku selalu menjaga waktu sholat dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah.”
“Alhamdulillah..”
Tiba-tiba jauh di ujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka. Dan
ia melihat beberapa wanita yang berada di taman mulai memasukinya satu persatu.
“Ayo, kita ikuti mereka.” kata wanita itu sambil setengah berlari.
“Apa di balik pintu itu?” katanya sambil mengikuti wanita itu.
“Tentu saja surga, saudariku” larinya semakin cepat.
“Tunggu…tunggu aku..” ia berlari namun tetap tertinggal.
Wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenyum padanya. Ia tetap tak mampu mengejarnya
meski ia sudah berlari. Ia lalu berteriak, ” Amalan apa yang telah kau lakukan hingga kau begitu
ringan?”
“Sama denganmu, saudariku.” jawab wanita itu sambil tersenyum.
Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah melewati pintu. Sebelum wanita itu
melewati pintu sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu, “Amalan apalagi yang kau lakukan
yang tidak kulakukan?”
Wanita itu menatapnya dan tersenyum. Lalu berkata, “Apakah kau tak memperhatikan dirimu
apa yang membedakan dengan diriku?”
Ia sudah kehabisan napas, tak mampu lagi menjawab.
“Apakah kau mengira Rabbmu akan mengijinkanmu masuk ke surgaNya tanpa jilbab menutup
auratmu?”
Tubuh wanita itu telah melewati pintu, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar,
memandangnya dan berkata, “Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu
mengikutiku memasuki surga ini. Maka kau tak akan pernah mendapatkan surga ini untuk
dirimu. Cukuplah surga hanya sampai di hatimu karena niatmu adalah menghijabi hati.”
Ia tertegun..lalu terbangun..beristighfar lalu mengambil air wudhu. Ia tunaikan sholat malam.
Menangis dan menyesali perkataannya dulu..berjanji pada Allah sejak saat itu ia akan menutup
auratnya.
Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami
Akhwatmuslimah.com – Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami
istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum
punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik,
akhirnya menjadi berisik.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi,
dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita
yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang
istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.
Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu
menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali
tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan
yang terpisah dari kaum laki-laki.
Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan,
akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya,
sementara dia tidak ada masalah apa-apa.
Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa
sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah
tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.
Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya
kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter
membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “…
Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada
harapan bagimu untuk sembuh.
Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan
terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah
SWT.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah
berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.
Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya
datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya:
“Wahai fulan, saya telah bersabar selama
Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama
ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia
mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak
akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi,
saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan
mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan
mengasuhnya.
Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah
SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri,
suaminya malah berceramah di hadapannya.
Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu
tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah
SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang
istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan
mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama
ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak
segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang
bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.
Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan
saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan
pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.
Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka
disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.
Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu,
istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.
Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada
wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.
Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya,
suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri,
tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah …
Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah
suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.
Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya
di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di
Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat
Hafs, dari ‘Ashim.
Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari
atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri
mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.
Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia
menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadijadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat
membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah
suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan
untuk memandangnya sama sekali.
(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis
dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)
[sumber: www.seorangayah.wordpress.com]
Tubuhku Adalah Milikku
Ada sebagian wanita yang berpendirian, karena tubuhnya adalah miliknya maka ia bebas
memperlakukan tubuhnya itu, bebas menampilkan tubuhnya melalui dandanan yang sesuai
dengan keinginannya di depan publik.
Kisah nyata berikut ini terjadi di sebuah apotek di bilangan Jakarta Barat. Seorang wanita muda
masuk ke dalam apotek dan langsung menuju petugas penerima resep. Ia berpenampilan seksi,
dengan rok pendek dan kaus ketat membalut sebagian tubuhnya sehingga masih nampak bagian
perut (pusar).
Setelah menyerahkan resep dokter, ia mengambil tempat duduk persis di sebelah laki-laki muda
yang sejak awal mengikuti kedatangan wanita muda ini dengan tatapan matanya.
Dengan suara perlahan namun dapat didengar orang di sekitarnya, lelaki muda itu membuka
percakapan, “mbak tarifnya berapa?”
Si perempuan muda nampak terkejut. Ia menatap dengan marah kepada lelaki tadi. Kemudian
dengan nada ketus menjawab, “saya bukan pelacur, bukan wanita murahan…”!!
Si lelaki muda tak kurang marahnya. “Siapa yang bilang mbak pelacur atau wanita murahan.
Saya cuma menanyakan tarif, karena cara mbak berdandan seperti sedang menjajakan sesuatu.”
Terjadi ‘perang mulut’ yang membuat pengunjung apotek ikut menyaksikan. Dengan nada tinggi
si wanita muda berkata ketus, “tubuh saya milik saya, saya bebas mau ngapain aja dengan tubuh
ini, dasar pikiranmu saja yang kotor…”
Si lelaki muda tak mau kalah. “Saya bebas menggunakan mata saya. Saya juga bebas
menggunakan mulut saya termasuk untuk menanyakan berapa tarif kamu. Saya juga bebas
menggunakan pikiran saya…”
Si wanita muda tak kehabisan argumen. “Saya bisa melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan
telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.”
“Silakan,” kata si lelaki. “Saya juga bisa menuntut kamu dengan tuduhan melakukan perbuatan
tidak menyenangkan, antara lain karena kamu telah mengganggu ketenangan ‘adik’ saya. Kamu
ke apotek mau menebus obat atau mau membangunkan ‘adik’ saya?”
Mungkin karena malu, si wanita muda itu sekonyong-konyong meninggalkan apotek, padahal
urusannya sama sekali belum selesai. Sedangkan si lelaki, setelah selesai dengan urusannya ia
pergi ngeloyor dengan wajah bersungut-sungut.
Yang Khianat dan Yang Setia
Seorang pemuda Mesir yang telah mengembara sejak tahun 1948, telah berhasil mempersunting
seorang gadis di negeri Swedia. Ini terjadi pada tahun 1974 sesudah sekian lama dia bekerja
kesana kemari. Berbagai negeri telah dikunjunginya dan beragam kerja kasar telah dikerjakannya
karena hanya bermodal tenaga. Dengan mempersunting gadis Swedia itu dia berhasil
mendapatkan status kewarganegaraan Swedia. Dia bekerja di sebuah perusahaan listrik sebagai
tukang las. Nama pemuda itu ialah Ibrahim Sourio. Dua tahun bersuami isteri keduanya
mendapatkan seorang puteri, diberi nama Ana Cameliya.
Pada suatu hari Ibrahim Sourio pergi ke pekerjannya seperti biasa. Tapi pada hari itu, dia
terpaksa pulang ke rumahnya dua jam lebih cepat dari biasanya karena badannya kurang sehat.
Setibanya di rumah, begitu membuka kamar, alangkah terperanjatnya ! Isterinya sedang dalam
pelukan seorang lelaki tetangganya dan bergumul di atas tempat tidur tanpa pakaian sehelaipun.
Diambilnya pisau, keduanya mau ditikam. Tapi tak sampai hati karena teringat anak puterinya
yang masih kecil. Diapun segera mengangkat telepon untuk memanggil polisi. Isterinya dan lakilaki itu diancam agar tidak bergerak dari tempat tidur. Ketika polisi datang, dipaparkanlah duduk
perkaranya. Saksi nyata peristiwa itu masih dalam adegannya… Tapi apa jawab polisi? “Kalau
anda tidak senang dengan keadaan dan perilaku isteri anda lebih baik anda ceraikan saja agar
tidak menganggu kesenangannya”, kata sang polisi.
Begitulah kiranya adat istiadat di belahan bumi sana. Antara suami isteri tidak boleh ganggumenganggu. Masing-masing bebas mencari pasangan untuk kencan, meskipun masih terikat
dalam perkawinan.
Suami pergi bekerja membanting tulang mencari nafkah, sedang isteri berbuat semaunya dan
kesenangannya tidak boleh diganggu. Tak terbicara masalah kesetiaan, amanah pemeliharaan
harta dan rumah tangga, malah sesuatu yang paling mullia pada diri dia cemarkan, yaitu
kehormatan.
***
Sudah tiga tahun “S” hidup berumah tangga dengan pemuda M, sudah mendapat putera dua
orang. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di suatu desa di pedalaman Kalimantan.
Ekonomi rakyat di daerah itu agak sulit dan mata pencaharian serba tidak cocok sehingga banyak
yang merantau ke daerah lain.
Pada suatu hari suami (M) berkata kepada isterinya : “Dinda, izinkanlah kakak merantau ke
Jambi mencari pekerjaan yang dapat memperbaiki nasib kita dan anak-anak kita ini. Bila
keadaan mengizinkan kakak akan menjemputmu nanti… “
Dengan pasrah dan penuh doa, S melepas suaminya berangkat ke Jambi. Meskipun berat
rasanya, namun demi perbaikan nasib hidup, dengan rela S melepaskan suaminya.
Seminggu, sebulan dan setahun, masih ada surat-surat yang memberitakan bahwa pekerjaan yang
tetap belum ada, masih menanyakan bagaimana keadaan dua orang anak yang ditinggalkan. Tapi
setelah terbilang hampir sembilan tahun surat-surat tak pernah datang. Berita terakhir yang
diterima dari sumber yang bisa dipercaya, dari orang-orang yang pulang merantau dari daerah
otu, suami (M) telah beristeri muda, sudah kaya berkecukupan dan malah sudah punya anak
pula!
Yang menjadi perhatian kita ialah kesabaran si isteri (S) menunggu suaminya itu. Untuk
kehidupan sehari-hari S menjual pisang goreng. Kedua anaknya sudah masuk ke sekolah dasar.
Sekali-sekali S pergi ke surau. Di sana dia mendengarkan pengajian agama. Setelah terdengar
kepastian bahwa suaminya telah kawin, keluarga dekatnya penasaran dan menyuruh S
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama minta cerai. S tidak menjawab dan berdiam diri.
Ada juga orang yang meminang dan membujuknya, maklum masih muda dan masih nampak
kecantikannya. Lamaran dan bujukan itu dijawabnya dengan manis. Orang-orang sekampungnya
mengatakan bahwa S adalah perempuan bodoh karena tidak mengadukan halnya ke Pengadilan
Agama untuk minta cerai. Suami tidak memberi nafkah dan malah kawin lagi, bukankah hal ini
sudah keterlaluan. Semua tuduhan itu dijawabnya dengan manis, “Mudah-mudahan Allah masih
membekaliku kesabaran. Aku masih yakin bahwa suamiku akan kembali kepadaku, kalaupun
bukan karena aku tapi karena anak-anaknya. Sekarang amanah yang paling berharga yaitu dua
orang anaknya yang terus kupelihara dan aku didik sebaik-baiknya semampuku. Biarlah aku
tidak bersuami dengan yang lain demi amanah ini, amanah yang ditinggalkan melebihi dari
amanah harta benda atau materi. Adapun dia beristeri lagi, itu adalah haknya dan aku yakin dia
beristeri bukanlah terburu nafsu, tapi untuk menjaga diri jangan sampai terjerumus ke dalam
jurang kemaksiatan. Bila dia telah kaya dan lupa kepada anak-anaknya sehingga anak-anaknya
terlantar, maka dia sendiri nantinya yang akan menanggung dosanya di hari kiamat. Aku yakin
hidup sekarang hanyalah hidup sementara dan hidup di akhirat adalah hidup yang kekal dan
abadi.”
Demikianlah kisah singkat S. Yang menarik perhatian kita, bukan saja kesabarnnya menunggu,
tapi keikhlasannya dalam memelihara amanah suaminya sehingga dia tidak menuntut cerai untuk
bersuami dengan pria lain. Semua ini demi kedua anaknya. Bukankah kalau bersuami dengan
pria lain, entah bagaimana nasib si anak dengan ayah tirinya dan kasih sayang ibupun tentunya
akan terbagi pula. Alangkah dalam pandangan hidupnya bahwa suaminya beristeri bukanlah
lantaran terburu nafsu tapi demi menjaga diri dari godaan setan yang setiap saat menganggu
manusia untuk menjerumuskannya ke jurang kemaksiatan.
Demikian dua peristiwa dalam kehidupan berumah tangga. Kedua peristiwa ini berbeda sejauh
langit dan bumi. Peristiwa pertama tentang khianatnya seorang isteri yang menghancurkan
rumah tangga. Sedang peristiwa kedua tentang kesetiaan isteri dengan amanah yang ditinggalkan
suami.
Yang pertama, isteri yang khianat terjadi karena isteri tidak mendapatkan bimbingan agama.
Sedang yang kedua, isteri yang setia karena telah mendapatkan bimbingan wahyu yang benar.
Rasulullah SAW memberikan pernghargaan yang tinggi sekali kepada wanita yang setia kepada
suaminya. Beliau pernah ditanya tentang perempuan manakah yang paling baik. Beliau
menjawab : “Ialah yang menyenangkan bila dilihat suaminya, diikutinya suruhan suaminya dan
tidak diselewengkan diri dan harta suaminya ke jalan yang tidak disukainya.” [ANW]
Sumber : “Buku Bunga Rampai dari Timur Tengah”
Sekilas Tentang Proses Ta’aruf
Saya pernah ditanya tentang bagaimana cara mengidentifikasi akhawat yang “asli” di zaman
sekarang? Karena kini banyak akhawat berjilbab panjang namun kok masih titik-titik. Padahal
ikhwah aktivis da’wah yang haraki inginkan pendamping yang haraki pula.
Nah, disinilah manfaat ta’aruf, agar kita tidak terjebak pada ghurur. Ta’aruf bukan sekedar
formalitas saja namun benar-benar dilaksanakan untuk saling mengenal, mencari informasi
akhlak, kondisi keluarga, saling menimbang, dsb. Permasalahan sesungguhnya bukanlah pada
akhawat “yang asli” atau “tidak asli” namun terkait kepada pemahaman kita bahwa hanya Allah
sajalah yang mengetahui kadar keimanan seseorang, terlepas dari penampilannya. Walau
pemakaian jilbab adalah juga cermin keimanan.
Pemahaman
“Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan lakilaki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….”(QS. An Nuur
[24]: 26)
Ayat di atas adalah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya. Berdasarkan ayat tersebut, Allah swt
telah menetapkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya. Jadi
kita tak perlu khawatir akan mendapatkan pendamping yang tak sekufu agamanya karena
sesungguhnya semuanya bermula dari diri kita sendiri. Sudahkah kita beragama dengan baik?
Bagaimana kadar keimanan kita?
Identifikasi
1. Akhlak
Akhawat berjilbab panjang dan lebar belum tentu lebih baik dari yang berjilbab biasa-biasa saja.
(maksudnya, “biasa-biasa “ tapi tetap mencukupi kriteria syar’i jilbab). Menilai baik tidaknya
agama seseorang tidak bisa dilihat dari panjangnya jilbab, tidak bisa dilihat dari banyaknya
shalat, rajinnya puasa, gelar hajjah, dan sebagainya. Karena banyak orang yang rajin shalat tapi
suka ghibah, berpuasa tapi durhaka pada orang tua, bergelar hajjah tapi tidak amanah.
Agama bukan pula diidentifikasikan dari luasnya pengetahuan agama (tsaqofah). Karena banyak
missionaris yang pengetahuan agamanya lebih luas dibandingkan umat Islam sendiri. Agama
bukan pula dilihat dari banyaknya hafalan Al Qur’an karena Snouck Hongruje
pun, hafal Qur’an.
Ukuran agama adalah akhlak. Iman itu adanya di dalam hati. Dan tentu saja tak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah namun iman yang benar-benar menyala di dalam hati, cahayanya
pasti akan memancar keluar, yaitu dalam bentuk akhlak. Pancaran cahaya keimanan inilah yang
harus kita cari. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba yang berakhlak baik
akan mencapai derajat dan kedudukan yg tinggi di akhirat, walaupun ibadahnya sedikit“.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda mengenai wanita ahli ibadah yang masuk neraka
karena menyiksa seekor kucing hingga mati. Dan di hadits lainnya, ada wanita pelacur yang
masuk surga karena memberi minum seekor anjing yg kehausan. Ini menandakan bahwa tak ada
yang mengetahui kebaikan hakiki seseorang karena taqwa itu adanya di sini (di hati). Umat Nabi
Muhammad itu seperti air hujan yang tak dapat diketahui mana yang lebih baik, awalnya atau
akhirnya.
Ingatlah kisah Nabi Daud ketika sedang bersama murid-muridnya dalam sebuah halaqah dan
kemudian datang seorang laki-laki yang baik pakaiannya, terlihat sangat sholeh hingga membuat
murid-murid Nabi Daud bersimpati dan kagum. Namun ternyata ia adalah seorang munafiq dan
Nabi Daud mengetahui hal itu dari akhlaknya saat orang tersebut memasuki masjid dengan kaki
kiri, tangisannya di depan umum, dan ucapan salamnya kepada halaqah yang sudah dimulai.
2. Hati yg Lembut.
Salah satu ciri jundullah adalah, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yg
murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang
mu’min, bersikap keras terhadap orang-orang kafir…”
Kepada saudaranya yang mu’min ia akan berkasih sayang, saling menasehati dan tidak akan
merendahkan saudaranya seiman. Hati yang lembut dapat terlihat dari keridhoannya menerima
kebenaran (Al Haq). Ia akan mudah untuk menerima nasehat dan segera memperbaiki
kesalahannya. Hati yang keras tidak akan rela untuk menerima nasehat dan terus berkubang
dalam kesalahan. Hati yang lembut dapat mencegah mulut dan tangannya dari menzalimi orang
lain.
Syarat Seorang Informan
Untuk mengetahui akhlak akhawat/ikhwan, tentu kita harus menanyakannya kepada orang lain.
Ini dikarenakan kita tidak mengenal baik akhawat/ikhwan tersebut. Lalu kepada siapakah kita
bertanya? Tanyakanlah kepada orang-orang terdekatnya. Namun orang yang terdekat ini
bukanlah sembarang orang. Di bawah ini adalah tips dari Umar bin Khattab untuk mengetahui
apakah orang tersebut benar-benar mengenal akhwat/ikhwan yang dimaksud. Yaitu :
1. Ia sudah melakukan mabit atau safar dengan akhwat tersebut sehingga mengetahui persis
akhlaknya.
2. Ia sudah melakukan hubungan finance (muamalah) dengan akhwat tersebut sehingga dapat
terlihat apakah ia amanah.
3. Ia sudah menyaksikan akhwat tersebut menahan amarah karena ketika orang marah akhlak
aslinya akan terlihat, baik ataukah buruk.
Niat Mempengaruhi Keberkahan
Wanita dinikahi karena empat perkara : Kecantikan, nasab, harta, agama. Namun pilihlah karena
agamanya agar berkah kedua tanganmu. Tidaklah salah bila para ikhwan menentukan standar
atau kriteria calonnya. Namun hendaknya kriteria tersebut proporsional, tidak muluk dan jangan
mempersulit diri sendiri. Mengharapkan sosok yang sempurna dan super ideal sangatlah jarang
bahkan mungkin tidak ada. Dan bila sampai kesempurnaan yg dicari tidak ditemukan pada sosok
sang kekasih, maka akan menimbulkan kekecewaan. Sesungguhnya ketidaksempurnaan adalah
wujud kesempurnaan. Syukurilah karunia-Nya, jangan terlalu banyak menuntut. Jadikan diri kita
bermanfaat bagi orang lain. Bukankah pernikahan itu seperti pakaian yang saling melindungi dan
menutupi kekurangan. Saling menerima kelebihan dan kekurangan. “Sesungguhnya amal dinilai
berdasarkan niatnya.“
Asy Syahid Imad Aqil, mujahid Palestina pernah berkata : “ Riya lebih aku takuti dari tentaratentara Israel.“ Dan pepatah mengatakan “ Tentara terdepanmu adalah keikhlasan. “
Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena ingin menutupi
farjinya dan mempererat silaturahmi maka Allah akan memberikan barakah-Nya kepada
keduanya (suami isteri )“
Istikharah
Jangan lupa istikharah untuk mendapatkan kemantapan. Seperti sebuah bait puisi, “Bariskan
harapan pada istikharah sepenuh hati ikhlas. Relakan Allah pilihkan untukmu. Pilihan Allah tak
selalu seindah inginmu, tapi itu pilihan-Nya. Tak ada yang lebih baik dari pilihan Allah.
Mungkin kebaikan itu bukan pada orang yang terpilih itu, melainkan pada jalan yang kaupilih.
Atau mungkin kebaikan itu terletak pada keikhlasanmu menerima keputusan Sang Kekasih
Tertinggi. Kekasih tempat orang-orang beriman memberi semua cinta dan menerima cinta.”
[ANW]
Wanita Berhias di Salon Kecantikan
Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya di tempat-tempat tertentu,
misalnya pada saat ini, yang dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa kini bagi
wanita sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan dan cara-cara berhias seperti itu yang
bersifat moderen? Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau tutup kepala yang
dibuat khusus untuk itu?
JAWAB
Agama Islam menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan dan menyiksa diri, sebagaimana
yang telah dipraktekkan oleh sebagian dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama Islam
pun menganjurkan bagi ummatnya untuk selalu tampak
indah dengan cara sederhana dan layak, yang tidak berlebih-lebihan. Bahkan Islam
menganjurkan di saat hendak mengerjakan ibadat, supaya berhias diri disamping
menjaga kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.
Allah swt. berfirman:
“… pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid …” (Q.s.Al-A’raaf: 31)
Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang indah, baik bagi laki-laki maupun wanita, maka
terhadap wanita, Islam lebih memberi perhatian dan kelonggaran, karena fitrahnya, sebagaimana
dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum
laki-laki.
Adapun hal-hal yang dianggap oleh manusia baik, tetapi membawa kerusakan dan perubahan
pada tubuhnya, dari yang telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu tidak layak bagi
fitrah manusia, tentu hal itu pengaruh dari perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh
karena itu, perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:
“Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan jarum ke kulit dengan warna yang berupa
tulisan, gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya; mempertajam gigi, memendekkan atau
menyambung rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat palsu, menipu dan sebagainya).”
(Hadis shahih).
Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat Nabi saw. ketika Muawiyah
berada di Madinah setelah beliau berpidato, tiba-tiba mengeluarkan segenggam rambut
dan mengatakan, “Inilah rambut yang dinamakan Nabi saw. azzur yang artinya atwashilah
(penyambung), yang dipakai oleh wanita untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang
dilarang oleh Rasulullah saw. dan tentu hal itu adalah perbuatan orang-orang Yahudi. Bagaimana
dengan Anda, wahai para ulama, apakah kalian tidak melarang hal itu? Padahal aku
telah mendengar sabda Nabi saw. yang artinya, ‘Sesungguhnya
terbinasanya orang-orang Israel itu karena para wanitanya memakai itu (rambut palsu) terusmenerus’.” (H.r. Bukhari).
Nabi saw. menamakan perbuatan itu sebagai suatu bentukkepalsuan, supaya tampak hikmah
sebab dilarangnya hal itu bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian dari
tipu muslihat.
Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon kecantikan, sedang yang
menanganinya (karyawannya) adalah
kaum laki-laki. Hal itu jelas dilarang, karena bukan saja bertemu dengan laki-laki yang bukan
muhrimnya, tetapi lebih dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah sendiri.
Bagi wanita Muslimat yang tujuannya taat kepada agama dan Tuhannya, sebaiknya berhias diri
di rumahnya sendiri untuk suaminya, bukan di luar rumah atau di tengah jalan untuk orang lain.
Yang demikian itu adalah tingkah laku kaum Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan
sebagainya.
Sumber : Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Jilbab Dalam Al Quran dan Jilbab Zaman Sekarang
Ketika masyarakat kita mengenal kata ‘jilbab’ (dalam bahasa indonesia) maka yang
dimaksud adalah penutup kepala dan leher bagi wanita muslimah yang dipakai secara khusus dan
dalam bentuk yang khusus pula. Lalu bagaimanakah kata ‘jilbab’ muncul dan digunakan dalam
masyarakat arab khususnya pada masa turunya Al Quran kepada Nabi Muhammad Saw dalam
surat Al Ahzaab ayat 56 (?). Apa yang dimaksudkan Al Quran dengan kata ‘jalabiib’ bentuk
jamak (plural) dari kata jilbab pada saat ayat kata itu digunakan dalam Al Quran pertama kali(?)
Sudah samakah arti dan hukum memakai jilbab dalam Al Quran dan jilbab yang dikenal
masyarakat Indonesia sekarang(?).
Selain kata jalabiib (jamak dari ‘jilbab’), Al Quran juga memakai kata-kata lain yang maknanya
hampir sama dengan kata ‘jilbab’ dalam bahasa Indonesia, seperti kata khumur (penutup kepala)
dan hijab (penutup secara umum), lalu bagaimana kata-kata serupa dalam ayat-ayat Al Quran
tersebut diterjemahkaan dipahami dalam bahasa syara` (agama) oleh para shahabat Nabi dan
ulama` selanjutnya.
Oleh karena itu kita tidak akan tahu pandangan syara` terhadap hukum suatu permasalahan
kecuali setelah tahu maksud dan bentuk kongkrit serta jelas dari permasalahan itu, maka untuk
mengetahui hukum memakai jilbabterlebih dahulu harus memahami yang di maksud dengan
jilbab itu sendiri secara benar dan sesuai yang dikehendaki Al Quran ketika diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw dan bangsa arab saat itu.
Salah satu dimensi i`jaz (kemukjizatan) Al Quran adalah kata-kata yang dipakai Al Quran sering
menggunakan arti kiyasan atau dalam sastra arab disebut majaz (penggunaan satu kata untuk arti
lain yang bukan aslinya karena keduanya saling terkait), hal ini menimbilkan benih perbedaan,
begitu pula kata-kata dalam nash-nash (teks-teks) Hadist dan bahasa arab keseharian, oleh karena
itu tidak jarang bila perselisian antara ulama-ulama Islam dalam satu masalah terjadi disebabkan
oleh hal di atas, dan yang demikian itu sebenarnya bukanlah hal yang aneh dan bisa mengurangi
kesucian atau keautentikan teks-teks Al Quran, tapi sebaliknya.
Mungkin kita juga pernah mendengar wacana kalau berjilbab maka harus menutup dada, lalu
bagaimana kalau jilbabnya berukuran kecil dan tidak panjang ke dada dan lengan, apakah
muslimah yang memakainya belum terhitung melaksanakan seruan perintah agama dalam Al
Quran itu sebab tidak ada bedanya antara dia dan wanita yang belum memakai jilbab sama
sekali, apakah sama dengan wanita yang membuka auratnya (bagian badan yang wajib di tutup
dan haram di lihat selain mahram). Benarkah presepsi atau pemahaman yang demikian(?). Apa
seperti itu Al Qur an memerintahkan(?)
B. Jilbab
Arti kata jilbab ketika Al Quran diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah,
tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian
wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya
Ruuhul Ma`ani.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang lebih besar ukurannya dari
khimar (kerudung), sedang yang benar menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua
badan.
Dari atas tampaklah jelas kalau jilbab yang dikenal oleh masyarakat indonesia dengan arti atau
bentuk yang sudah berubah dari arti asli jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini
adalah bisa dipengaruhi oleh berbagai factor, salah satunya adalah sebab perjalanan waktu dari
masa Nabi Muhammad Saw sampai sekarang atau disebabkan jarak antar tempat dan komunitas
masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai peradaban atau kebudayaan berpakaian
yangberbeda.
Namun yang lebih penting ketika kita ingin memahami hukum memakai jilbab adalah kita harus
memahami kata jilbab yang di maksudkan syara`(agama), Shalat lima kali bisa dikatakan wajib
hukumnya kalau diartikan shalat menurut istilah syara`, lain halnya bila shalat diartikan atau
dimaksudkan dengan berdoa atau mengayunkan badan seperti arti shalat dari sisi etemologinya.
Allah Swt dalam Al Quran berfirman:
‫ل مؤم ن ين ي دن ين ع ل يهن من ج الب ي بهن ذل ك أدن ي أن ي عرف ن ي ااي هاال ن بى ق ل ألزواج ك وب نات ك ون ساءا‬
(95 ‫ف ال ي ؤذي ن وك ان هللا غ فورارح يما )األح زاب‬
Artinya:Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal karena itu mereka tidak di ganggu.Dan
Allah adalah maha pengampun dan penyayang.(Al Ahzab.59).
Ayat di atas turun ketika wanita merdeka (seperti wanita-wanita sekarang) dan para budak
wanita (wanita yang boleh dimiliki dan diperjual belikan) keluar bersama-sama tanpa ada suatu
yang membedakan antara keduanya, sementara madinah pada masa itu masih banyak orangorang fasiq (suka berbuat dosa) yang suka mengganggu wanita-wanita dan ketika diperingatkan
mereka (orang fasiq) itu menjawab kami mengira mereka (wanita-wanita yang keluar) adalah
para budak wanita sehingga turunlah ayat di atas bertujuan memberi identitas yang lebih kepada
wanita-wanita merdeka itu melalui pakaian jilbab.
Hal ini bukan berarti Islam membolehkan untuk mengganggu budak pada masa itu, Islam
memandang wanita merdeka lebih berhak untuk diberi penghormatan yang lebih dari para budak
dan sekaligus memerintahkan untuk lebih menutup badan dari penglihatan dan gangguan orangorang fasiq sementara budak yang masih sering disibukkan dengan kerja dan membantu
majikannya lebih diberi kebebasan dalam berpakaian.
Ketika wanita anshar (wanita muslimah asli Makkah yang berhijrah ke Madinah) mendengar
ayat ini turun maka dengan cepat dan serempak mereka kelihatan berjalan tenang seakan burung
gagak yang hitam sedang di atas kepala mereka, yakni tenang -tidak melenggang- dan dari atas
kelihatan hitam dengan jilbab hitam yang dipakainya di atas kepala mereka.
Ayat ini terletak dalam Al Quran setelah larangan menyakiti orang-orang mukmin yang berarti
sangat selaras dengan ayat sesudahnya (ayat jilbab), sebab berjilbab paling tidak, bisa
meminimalisir pandangan laki-laki kepada wanita yang diharamkan oleh agama, dan sudah
menjadi fitrah manusia, dipandang dengan baik oleh orang lain adalah lebih menyenangkan hati
dan tidak berorentasi pada keburukan, lain halnya apabila pandangan itu tidak baik maka tentu
akan berdampak tidak baik pula bagi yang dipandang juga yang melihat, nah, kalau sekarang kita
melihat kesebalikannya yaitu ketika para wanita lebih senang untuk dipandang orang lain
ketimbang suaminya sendiri maka itu adalah kesalahan pada jiwa wanita yang perlu dibenarkan
sedini mungkin dan dibuang jauh jauh terlebih dahulu sebelum seorang wanita berbicara
kewajiban berjilbab.
C. Cara memakai jilbab
1. Cara memaki jilbab dengan arti aslinya yaitu sebelum diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi bahasa yang baku, adalah aturan yang mana para shahabat dan
ulama` berbeda pendapat ketika menafsirkan ayat Al Quran di atas. Perbedaan cara
memakai jilbab antara shahabat dan juga antara ulama itu disebab bagaimana idnaa`ul
jilbab (melabuhkan jilbab atau melepasnya) yang ada dalam ayat itu. Ibnu Mas`ud dalam
salah satu riwayat dari Ibnu Abbas menjelaskan cara yang diterangkan Al Quran dengan
kata idnaa` yaitu dengan menutup semua wajah kecuali satu mata untuk melihat,
sedangkan shahabat Qotadah dan riwayat Ibnu Abbas yang lain mengatakan bahwa cara
memakainya yaitu dengan menutup dahi atau kening, hidung, dengan kedua mata tetap
terbuka. Adapun Al Hasan berpendapat bahwa memaki jilbab yang disebut dalam Al
Quran adalah dengan menutup separuh muka, beliau tidak menjelaskan bagian separuh
yang mana yang ditutup dan yang dibuka ataukah tidak menutup muka sama sekali.Dari
perbedaan pemahaman shahabat seputar ayat di atas itu muncul pendapat ulama yang
mewajibkan memaki niqob atau burqo` (cadar) karena semua badan wanita adalah
aurat (bagian badan yang wajib ditutup) seperti Abdul Aziz bin Baz Mufti Arab Saudi,
Abu Al a`la Al maududi di Pakistan dan tidak sedikit Ulama`-ulama` Turky, India dan
Mesir yang mewajibkan bagi wanita muslimah untuk memakai cadar yang menutup
muka, Hal di atas sebagaimana yang ditulis oleh Dr.Yusuf Qardlawi dalam Fatawa
Muashirah, namun beliau sendiri juga mempunyai pendapat bahwa wajah dan telapak
tangan wanita adalah tidak aurat yang harus ditutup di depan laki-laki lain yang bukan
mahram (laki-laki yang boleh menikahinya), beliau juga menegaskan bahwa pendapat
itu bukan pendapatnya sendiri melainkan ada beberapa Ulama` yang berpendapat
sama, seperti Nashiruddin Al Albani dan mayoritas Ulama`-ulama` Al Azhar, Qardlawi
juga berpendapat memakai niqob atau burqo`(cadar) adalah kesadaran beragama yang
tinggi yang man bila dipaksakan kepada orang lain, maka pemaksaan itu dinilainya
kurang baik, sebab wanita yang tidak menutup wajahnya dengan cadar juga mengikuti
ijtihad Ulama` yang kredibelitas dalam berijtihadnya dipertanggung jawabkan.
Sedangkan empat Madzhab, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabila berpendapat
bahwa wajah wanita tidaklah aurat yang wajib ditutupi di depan laki-laki lain bila sekira
tidak ditakutkan terjadi fitnah jinsiyah (godaan seksual), menggugah nafsu seks laki-laki
yang melihat. Sedangkan Syafi`iyah juga ada yang berpendapat bahwa wajah dan telapak
tangan wanita adalah aurat (bagian yang wajib ditutup) seperti yang ada dalam kitab
Madzahibul Arba`ah, diperbolehkannya membuka telapak tangan dan wajah bagi wanita
menurut mereka disebabkan wanita tidak bisa tidak tertuntut untuk berinteraksi dengan
masyarak sekitarnya baik dengan jual beli, syahadah (persaksian sebuah kasus),
berdakwah kepada masyarakatnya dan lain sebagainya, yang semuanya itu tidak akan
sempurnah terlaksana apabila tidak terbuka dan kelihatan.
Ringkasnya, para ulama Islam salafy (klasik)sampai yang muashir (moderen)masih
berselisih dalam hal tersebut di atas. Bagi muslimah boleh memilih pendapat yang
menurut dia adalah yang paling benar dan autentik juga dengan mempertimbangkan hal
lain yang lebih bermanfaat dan penting dibanding hanya menutup wajah yang hanya
bertujuan menghindari fitnah jinsiyah yang masih belum bisa dipastikan bahwa hal itu
memang disebabkan membuka wajah dan telapak tangan saja.
II. Imam Zamahsyari dalam Al Kasysyaf menyebutkan cara lain memakai jilbab menurut
para ulama`yaitu dengan menutup bagian atas mulai dari alis mata dan memutarkan kain
itu untuk menutup hidung, jadi yang kelihatan adalah kedua mata dan sekitarnya. Cara
lain yaitu menutup salah satu mata dan kening dan menampakkan sebelah mata saja, cara
ini lebih rapat dan lebihbisa menutupi dari pada cara yang tadi. Cara selanjutnya yang
disebutkan oleh Imam Zamahsyari adalah dengan menutup wajah, dada dan
memanjangkan kain jilbab itu ke bawah, dalam hal ini jilbab haruslah panjang dan tidak
cukup kalau hanya menutup kepala dan leher saja tapi harus juga dada dan badan, Caracara di atas adalah pendapat Ulama` dalam menginterpretasikan ayat Al Qur an atau lebih
tepatnya ketika menafsirkan kata idnaa`(melabuhkan jilbab atau melepasnya kebawah).
Nah,mungkin dari sinilah muncul pendapat bahwa berjilbab atau menutup kepala harus
dengan kain yang panjang dan bisa menutup dada lengan dan badan selain ada baju yang
sudah menutupinya, karena jilbab menurut Ibnu Abbas adalah kain panjang yang
menutup semua badan, maka bila seorang wanita muslimah hanya memaki tutup kepala
yang relatif kecil ukurannya yang hanya menutup kepala saja maka dia masih belum
dikatakan berjilbab dan masih berdosa karena belum sempurnah dalam berjilbab seperti
yang diperintahkan agama.
Namun sekali lagi menutup kepala seperti itu di atas adalah kesadaran tinggi dalam
memenuhi seruan agama sebab banyak ulama` yang tidak mengharuskan cara yang
demikian. Kita tidak diharuskan mengikuti pendapat salah satu Ulama` dan menyalahkan
yang lain karena masalah ini adalah masalah ijtihadiyah (yang mungkin salah dan
mungkin benar menurut Allah Swt) yang benar menurut Allah swt akan mendapat dua
pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran dalam ijtihad itu, dan bagi yang salah dalam
berijtihad mendapat satu pahala yaitu pahala ijtihad itu saja, ini apabila yang berijtihad
sudah memenuhi syarat-syaratnya. Adalah sebuah kesalah yaitu apabila kita memaksakan
pendapat yang kita ikuti dan kita yakini benar kepada orang lain, apalagi sampai
menyalahkan pendapat lain yang bertentangan tanpa tendensi pada argumen dalil yang
kuat dalam Al Quran dan Hadist atau Ijma`.
Para Ulama` sepakat bahwa menutup aurat cukup dengan kain yang tidak transparan
sehingga warna kulit tidak tampak dari luar dan juga tidak ketat yang membentuk lekuk
tubuh, sebab pakaian yang ketat atau yang transparan demikian tidak bisa mencegah
terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual)bagi laki-laki yang memandang secara sengaja
atau tidak sengaja bahkan justru sebaliknya lebih merangsang terjadinya hal tersebut, atas
dasar itulah para ulama` sepakat berpendapat bahwa kain atau model pakaian yang
demikian itu belum bisa digunakan menutup aurat, seperti yang dikehendaki Syariat dan
Maqasidnya (tujuan penetapan suatu hukum agama) yaitu menghindari fitnah jinsiyah
(godaan seksual) yang di sebabkan perempuan.
Selanjutnya kalau kita mengkaji sebab diturunkannya ayat di atas yaitu ketika orangorang fasiq mengganggu wanita-wanita merdeka dengan berdalih tidak bisa membedakan
wanita-wanita merdeka itu dari wanita-wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan
diperjual belikan), maka kalau sebab yang demikian sudah tidak ada lagi pada masa
sekarang, karena memang sedah tidak ada budak, maka itu berarti menutup dengan cara
idnaa` melabuhkan ke dada dan sekitarnya agar supaya bisa dibedakan antara mereka
juga sudah tidak diwajibkan lagi, adapun kalau di sana masih ada yang melakukan cara
demikian dengan alasan untuk lebih berhati-hati dan berjaga-jaga dalam mencegah
terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual) maka adalah itu masuk dalam katagori sunnat
dan tidak sampai kepada kewajiban yang harus dilaksanakan.
Namun bisa jadi ketika jilbab sudah memasyarakat sehingga banyak wanita berjilbab
terlihat di mall, pasar, kantor, kampus dan lain sebagainya, namun cara mereka sudah
tidak sesuai lagi dengan yang diajarkan agama, misalnya tidak sempurna bisa menutup
rambut atau dengan membuka sebagian leher. Atau ada sebab lain, misalnya berjilbab
hanya mengikuti trend atau untuk memikat laki-laki yang haram baginya atau disebabkan
para muslimah yang berjilbab masih sering melanggar ajaran agama di tempat-tempat
umum yang demikian itu bisa mengurangi dan bahkan menghancurkan wacana keluhuran
dan kesucian Islam, sehingga dibutuhkan sudah saatnya dibutuhkan kelmbali adanya pilar
pembeda antara yang berjilbab dengan rasa kesadaran penuh atas perintah Allah Swt
dalam Al Quran dari para wanita muslimah yang hanya memakai jilbab karena hal-hal di
atas tanpa memahami nilai berjilbab itu sendiri.
Mungkin di saat seperti itulah memakai jilbab dengan cara melabuhkan ke dada dan
sekitarnya diwajibkan untuk mejadi pilar pembeda antara jilbab yang ngetrend dan tidak
islami dari yang berjilbab yang islami dan ngetrend serta mengedepankan nilai jilbab dan
tujuan disyariatkannya jilbab itu.
Asy Syaih Athiyah Shoqor (Ulama` ternama Mesir) ketika ditanya hukum seorang wanita
yang cuma mengenakan penutup kepala yang bisa menutup rambut dan leher saja tanpa
memanjangkan kain penutup itu ke dada dan sekitarnya, beliau menjawab dengan
membagi permasalahan menutup aurat (kepala) itu menjadi tiga :
1. Khimar (kerudung) yaitu segala bentuk penutup kepala wanita baik itu yang
panjang menutup kepala dada dan badan wanita atau yang hanya rambut dan
leher saja.
2. Niqob atau burqo`(cadar) yaitu kain penutup wajah wanita dan ini sudah ada dan
dikenal dari zaman sebelum Islam datang seperti yang tertulis di surat kejadian
dalam kitab Injil. Namun kata beliau ini juga kadang disebut Khimar
3. Hijab (tutup) yaitu semua yang dimaksudkan untuk mengurangi dan mencegah
terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual) baik dengan menahan pandangan,
tidak mengubah intonasi suara bicara wanita supaya terdengan lebih menarik
dan menggugah, menutup aurat dan lain sebagainya, semuanya ini dinamankan
hijab bagi wanita
Nah untuk jilbab atau penutup kepala yang hanya menutup rambut dan leher serta tidak
ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit wanita, maka itu adalah batas minimal
dalam menutup aurat wanita.adapun apabila melabuhkan kain penutup kepala ke bawah
bagian dada dan sekitarnya maka itu termasuk hukum sunat yang tidak harus dilakukan
dan dilarang untuk dipaksakan pada orang lain.
Beliau juga menambahkan apabila fitnah jinsiyah itu lebih dimungkinkan dengan
terbukanya wajah seorang wanita sebab terlalu cantik dan banyak mata yang memandang
maka menutup wajah itu adalah wajib baginya, untuk menghindari hal yang tidak
diinginkan selanjutnya, dan bila kecantikan wajah wanita itu dalam stara rata-rata atau
menengah ke bawah maka menutupnya adalah sunat.
Mungkin yang difatwakan oleh beliau inilah jalan keluar terbaik untuk mencapai
kebenaran dan jalan tengah menempuh kesepakatan dalam masalah manutup wajah
wanita dan berjilbab yang dari dulu sampai sekarang masih di persengketakan ulama`
tentang cara, wajib dan tidak wajibnya.
D. Khimar (kerudung)
Al Quran juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala
sebagaimana yang termaktub dalam
An Nuur .31
‫بدي ن زي ن تهن االم اظهرم نهاول ي ضرب ن‬
(13.‫)ال نور‬.…‫ب خمرهن ع لى ج يون هن‬
‫وق ل ل لمؤم نات ي ي غ ض ضن من أب صارهن وي ح فظن ف روجهن والي‬
Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:Hendaklah mereka menahan
pandangannya,dan memelihara kemaluannya,dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali
yang biasa nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya..(An
Nuur. 31)
Kata Khumur dalam penggalan ayat di atas bentuk jama`(plural) dari kata Khimar yang biasa
diartikan dalam bahasa indonesia sebagai kerudung yang tidak lebar dan tidak panjang, sedang
kalau kita melihat arti sebenarnya ketika Al Quran itu datang kepada Nabi Muhammad Saw
maka Mufassirin (ulama ahli tafsir Al Quran) berbeda pendapat dan kita akan melihat sedikit
reduksi atau penyempitan arti dari arti pada waktu itu. Imam Qurthubi menterjemahkan khumur
secara lebih luas, yaitu semua yang menutupi kepala wanita baik itu panjang atau tidak, begitu
juga dengan Imam Al Alusiy beliau menterjemahkannya dengan kata miqna`ah yang berarti
tutup kepala juga, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau lebarnya secara kongkrit.
Ayat Al Quran di atas memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup itu ke bagian dada
yang di ambil dari kata juyuub (saku-saku baju) sehingga kalau wanita hanya memakai penutup
kepala tanpa memanjangkannya ke bagian dada maka dia masih belum melaksanakan perintah
ayat di atas, dengan kata lain penutup kepala menurut ayat di atas haruslah panjang menutupi
dada dan sekitarnya, disamping juga ada baju muslimah yang menutupinya. Namun kalau kita
teliti kata juyuub lebih lanjut dan apabila kita juga melihat sebab ayat itu diturunkan maka kita
akan menemukan beberapa arti ayat (pendapat) yang dikemukakan oleh mufassir yang berbeda
dengan pemahaman di atas.
Kata juyuub dalam ayat di atas juga dibaca jiyuub dalam tujuh bacaan Al Quran yang mendapat
legalitas dari umat Islam dan para Ulama` dulu dan sekarang (qira`ah sab`ah), kata juyuub adalah
bentuk jama`(plural) dari jaib yang berarti lubang bagian atas dari baju yang menampakkan leher
dan pangkal leher. Imam Alusi menjelaskan kata jaib yang diartikan dengan lubangan untuk
menaruh uang atau sejenisnya (saku baju) adalah bukan arti yang berlaku dalam pembicaraan
orang arab saat Al Quran turun, sebagaimana Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama, Imam
Alusi juga menambahkan lagi dan berkata ¡°tetapi kalaupun diartikan dengan saku juga
tidaklah salah¡± dari pembenaran dia bahwa arti jaib adalah saku tadi, Imam Alusiy artinya
setuju kalau penutup kepala jilbab, kerudung atau yang lain adalah harus sampai menutup dada,
meskipun beliau tidak mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan tegas tapi secara
implisit beliau tidak menyalahkan pendapat itu.
Imam Bukhari dalam kitab hadist shohihnya manaruh satu bab yang berjudul
(‫)هريغوردصلادنع نم صيمقلا بيج باب‬
Beliau setuju bila kata jaib diartikan dengan lubangan baju untuk menyimpan uang atau
semisalnya (saku baju) tetapi sebaliknya Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhariy (buku atau
komentar kepada suatu karya tulis seorang pengarang kitab dengan berupa kesetujuan penjelasan
atau ketidak setujuan atau menjelaskan maksud pengarang kitab aslinya) yang berjudul Fath Al
bari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa jaib adalah potongan dari baju sebagai tempat keluarnya
kepala, tangan atau yang lain.dan banyak ulama` lain yang sependapat dengan Ibnu Hajar,
sedangkan Al Ismaili mengartikan jaib itu dengan lingkaran kera baju.
Pembahasan arti kata jaib ini terasa penting karena letak saku baju tentu lebih di bawah dari pada
kera atau lubangan leher baju, selanjutnya apakah penutup kepala yang hanya menutupi leher
dan pangkal leher namun belum menutup sampai ke saku baju (yakni bagian dada) apakah sudah
memenuhi perintah Allah Swt dalam ayat Al Quran di atas.
Dari arti jaib yang masih dipertentangkan maka arti kata Juyuub di ayat tersebut di atas juga
masih belum bisa di temukan titik temunya, saku baju atau lubang kepala.sehingga bila diartikan
saku maka menutup kepala dengan jilbab atau kain kerudung tidak cukup dengan yang pendek
dan atau kecil tetapi harus panjang dan lebar sehingga bisa menutup tempat saku baju,Dan kalau
juyuub dalam ayat di atas di artikan lubang baju untuk leher maka menutup kepala cukup
memakai yang bisa menutup keseluruan aurat dengan sempurnah tanpa ada cela yang bisa
menampakkan kulit serta tidak harus di panjangkan ke dada.
Namun apabila kita kembali kepada sebab diturunkannya ayat tersebut, seperti yang disebutkan
dalam Lubabun Nuqul karya Imam Suyuti yaitu ketika Asma` binti Martsad sedang berada di
kebun kormanya, pada saat itu datanglah wanita-wanita masuk tanpa mengenakan penutup (yang
sempurna) sehingga tampaklah kaki, dada, dan ujung rambut panjang mereka, lalu berkatalah
Asma` sungguh buruk sekali pemandangan ini maka turunlah ayat di atas.
Lebih terang Imam Qurtubi menjelaskan sebab ayat ini diturunkan yaitu karena wanita-wanita
pada masa itu ketika metutup kepala maka mereka melepaskan dan membiarkan kain penutup
kepala itu ke belakang punggungnya sehingga tidak menutup kepala lagi dan tampaklah leher
dan dua telinga tanpa penutup di atasnya, oleh sebab itulah kemudian Allah Swt memerintahkan
untuk melabuhkan kain jilbab ke dada sehingga leher dan telinga serta rambut mereka tertutupi,
akan tetapi tetapi lebih lanjut Imam Qurtubi menjelaskan cara memakai tutup kepala, yaitu
dengan menutupkan kain ke jaib (saku atau lubang leher) sehingga dada mereka juga ikut
tertutupi.
Dari kedua sebab turunnya ayat di atas maka tampaknya bisa diambil kesamaan bahwa ayat di
atas turun karena aurat (dalam hal ini leher, telinga dan rambut) masih belum tertutup dengan
kain kerudung, sehingga turunlah ayat di atas memerintahkan untuk menutupnya, dengan kata
lain, memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke jaib (saku atau lubang leher) itu adalah cara
untuk menutup aurat yang diterangkan oleh Al Quran sesuai dengan keadaan wanita-wanita masa
itu, artinya bila aurat sudah tertutup tanpa harus memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke
dada maka perintah memanjangkan itu sudah tidak wajib lagi sebab memanjangkan adalah cara
untuk bertujuan memuntup aurat sedang apabila tujuan yang berupa menutup aurat itu sudah
tercapai tanpa memanjangkan kain itu ke dada kerana keadaan yang berbeda dan adapt yang
tidak sama maka boleh-boleh saja.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai dengan sabab turunnya ayat
di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat
Al Quran di atas, karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang
menampakkan kulit autar wanita. Wallahu `a`lam bish shawab.
E. Aurat Wanita
Dari ayat di atas pula para ulama` juga berbeda pendapat tentang kaki sampai mata kaki, tangan
sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup
atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan
perhiasan yang khalqiyah (keidahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita,
bagi kelompok ini termasuk Imam Al Qaffal kata ‫( اهنمرهظامالا‬kecuali yang tampak darinya)
diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti
wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dlorurat (keterpaksaan) yang bila
diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi
pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah
dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi`i masih ada yang berbeda pendapat
dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka
adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah
jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk
dibuka atau dilihat).
Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan yang biasa di pakai
wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju, pakaian bawah yang lain yang digunakan
menutup badan waniti sampai perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku,
pewarna telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain, maka mereka
(mufassir) itu mengartikan kata ‫ اهنمرهظامالا‬dengan perhiasan-perhiasan yang biasa tampak seperti
cincin, celak mata, pewarna tangan dan yang tidak mungkin untuk ditutup seperti baju, pakaian
bawah bagian luar dan jilbab atau kerudung.
Dan adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena keterpaksaan untuk
membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih shahih (benar) menurut Imam Ar Rozi
dalam tafsirnya hukum menampakkan cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dst adalah seperti
hukum membuka kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan yang memaksa
untuk boleh membukanya menurut agama. Semua hal di atas adalah di luar waktu melaksanakan
shalat dan selain wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan) yaitu wanita
muslimah zaman sekarang.
Adapun waktu melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau semua badan wanita
adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut yang memanjang di samping telinga
kecuali telapak tangan dan bagian atas dari telapak kaki. Madzhab Syafi`i berpendapat yang
sama yaitu semua anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup kecuali
wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih). Madzhab Hambali
mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat termasuk telapak tangan dan kaki.
Sedangkan ulama-ulama madzhab Maliki menjelaskan bahwa dalam shalat aurat laki-laki,
wanita merdeka dan budak, terbagi menjadi dua:
1. Aurat mugalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini adalah dua kemaluan depan
dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka aurat ini adalah semua badan
kecuali tangan, kaki, kepala dada dan sekitarnya (bagian belakangnya)
1. Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk laki-laki adalah selain mugalladhah yang
berada diantara pusar dan lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki,
kepala, dada dan bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut
sampai akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau dalam)
tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah atau yang
mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana laki-laki namun di
tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan bagian yang ditumbuhi rambut
kemaluan itu.
Ulama-ulama madzhab Maliki juga menjelaskan bahwa apabila seorang melakukan shalat
dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya sedikit dan dia mampu menutupnya
baik membeli kain penutup atau meminjam (tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup
aurat itu diberikan dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya
adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup aurat itu maka wajib
baginya untuk mengulang shalatnya ketiak dia telah siap melaksakan shalat dengan menutup
aurat mugalladhah itu.
Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau sebagiannya maka shalatnya
tetap sah, tetapi di haramkan atau di makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan
sempurnah dan apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan untuk
mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya (lihat madzhibul arba`ah).
F. Hijab
Al Quran juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup
secara umum, Allah Swt dalam surat Al Ahzab ayat 58 memerintah kepada para shahabat Nabi
Saw pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi Saw untuk memintanya
dari balik hijab (tutup).
…‫بازحألا(…نهبولقو مكبولقلرهطا مكلذ باجحءارو نم نهولأسافاعاتم نهومتلأساذاو‬.58)
Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka (istri-istri Nabi saw) maka
mintalah dari belakang tabir,cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka¡Â(Al Ahzab. 58)
Seperti yang di terangkan di atas, hijab lebih luas artinya dari kata jilbab atau khimar meskipuan
ayat di atas adalah turun untuk para istri-istri Nabi Saw tapi para ulama` sepakat dalam hal ini
bahwa semua wanita muslimah juga termasuk dalam ayat di atas, sehingga yang di ambil adalah
umumnya arti suatu lafad atau kalimat ayat Al Quran, bukan sebab yang khusus untuk istri-istri
Nabi saja.
Ayat di atas memerintahkan pada wanita muslimah untuk mengenakan penutup yang demikian
itu adalah lebih baik untuk dirinya dan laki-laki lain yang sedang berkepentingan dengannya,
adapun cara berhijab di atas adalah dengan berbagai cara yang bisa menutup aurat dan tidak
bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya pakaian penutup bagi wanita, sehingga kalau
memakai pakaian yang sebaliknya bisa merangsang terjadinya keburukan maka itu bukan dan
belum di namakan berhijab atau bertutup.
G. Penutup
Ringkasnya menutup aurat adalah kewajiban seorang wanita muslimah tepat ketika dia berikrar
menjadi seorang muslimah, tidak ada menunda-nunda dalam memakainya dan tanpa
pertimbangan apapun dengan cara yang minimal atau maksimal. Dengan tegas saya tekankan
membuka kepala dan aurat selainya adalah haram yang tidak bisa ditawar lagi kerena ke wajiban
itu adalah sudah ditetapkan dari pemahaman ayat-ayat Al Quran. Dan sudah jelas bahwa Al
Quran sebagai satu-satunya yang di tinggalkan Nabi Saw kepada umatnya yang telah dijelaskan
dan di dukung dengan Hadist Nabi Saw.
Wallahu a`lam bissawab
Kairo 13 agustus 2002
Oleh: Nur Faizin Muhith*
* Mahasiswa Al Azhar Kairo Mesir Tafsir dan Ilmu-ilmu Al Quran
Sumber : kafemuslimah.com
Menutup Rambut Bagi Wanita
Telah menjadi suatu ijma’ bagi kaum muslimin di semua negara
dan di setiap masa pada semuagolongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadis dan ahli
tasawuf, bahwa rambut wanita itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di
hadapan orang yang bukan muhrimnya. Adapun sanad dan dalil dari ijma’ tersebut ialah ayat AlQur’an: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,
…” (Q.s. An-Nuur: 31).
Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang
bagi wanita Mukminat untukmemperlihatkan perhiasannya. Kecuali yang lahir (biasa tampak).
Di antara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa
rambut wanita itu termasuk hal-halyang lahir; bahkan ulama-ulama
yang berpandangan luas, hal itu digolongkan perhiasan yang tidak tampak.
Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengatakan, “Allah swt. telah melarang kepada
kaum wanita, agardia tidak menampakkan perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orangorang tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Perhiasan yang lahir (biasa tampak)
ialah pakaian.” Ditambahkan oleh IbnuJubair, “Wajah” Ditambah pula oleh Sa’id Ibnu Jubair
dan Al-Auzai, “Wajah, kedua tangan dan pakaian.”
Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata, “Perhiasan (keindahan) yang
lahir itu ialah celak, perhiasan dan cincin termasuk dibolehkan (mubah).”
Ibnu Atiyah berkata, “Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai dengan arti ayat tersebut, bahwa
wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah dan
supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada bagian-bagian yang kiranya berat untuk
menutupinya, karena darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan.”
Berkata Al-Qurthubi, “Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik sekali, karena biasanya wajah dan
kedua tangan itu tampak di waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya salat, ibadat
haji dan sebagainya.”
Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a.
bahwa ketika Asma’ binti Abu Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma’
sedangmengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah saw. memalingkan muka seraya bersabda:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya, jika seorang wanita sudah sampai masa haid, maka tidak layak
lagi bagi dirinya menampakkannya, kecuali ini …” (beliau mengisyaratkan pada muka dan
tangannya).
Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa
rambut wanita tidak termasukperhiasan yang boleh ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
Allah swt. telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin, dalam ayat di atas, untuk
menutup tempat-tempat yang biasanyaterbuka di bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah “kain
untuk menutup kepala,” sebagaimana surbanbagi laki-laki, sebagaimana keterangan para
ulama dan ahli tafsir. Hal ini (hadis yangmenganjurkan menutup kepala) tidak terdapat pada
hadis manapun.
Al-Qurthubi berkata, “Sebab turunnya ayat tersebut ialah bahwa pada masa itu kaum wanita jika
menutup kepala dengan akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang, sehingga
dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka, Allah swt. memerintahkan untuk menutup
bagian mukanya, yaitu dada dan lainnya.”
Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata, “Mudah-mudahan wanita yang
berhijrah itu dirahmati Allah.” Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya
untuk menutupi apa yang terbuka.
Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak dari saudaranya yang bernama
Abdurrahman r.a. dengan memakai kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah
r.a.lalu berkata, “Ini amat tipis, tidak dapat menutupinya.”
Sumber : Fatawa Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Jilbab atau Khimar
: ‫ت حري ر ال قول ف ي مع نى ال ج ل باب‬
‫ذك ره ال نووي ف ي شرح م س لم )ث مان ية أق وال ( ف ي مع نى ال ج ل باب وأخذها م نه ال حاف ظ م نه ف ي )ال ف تح ( و‬
‫زاد ب ع ضهم ك ما س يأت ي إن شاء هللا‬
Akhwatmuslimah.com – Dalam Syarh Muslim an Nawawi menyebutkan delapan pendapat
mengenai makna jilbab. Penjelasan an Nawawi ini lantas dikutip oleh al Hafizh Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari.
‫ن سل مقَا َل النوضَر بَن ر‬
1-‫صر َوأَع ََرل ْم َن َال ْخ َمار وهو اختيار الزمنخري قال في )كنافه( ثوب واسل أو‬
َ ‫ش َم َي قل ه َرو ث َ َوب أ َ َق‬
‫ال خمار ودون ال رداء ت لوي ه ال مرأة ع لى رأ سها وت ب قى م نه ما ت ر س له ع لى صدرها‬
Pendapat Pertama, An Nadhr bin Syumail menyebutkan bahwa jilbab adalah kain yang lebih
pendek dan lebih lebar dari pada khimar (kerudung). Inilah pendapat yang dipilih oleh
Zamakhsyari. Dalam al Kasysyaf Zamakhsyari mengatakan bahwa jilbab adalah kain longgar
yang lebih besar dari pada khimar namun lebih kecil jika dibandingkan dengan rida’ (rida’
adalah kain atasan yang pakai oleh laki-laki yang sedang dalam kondisi ihram, pent) yang
dililitkan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepalanya lalu sisanya dijulurkan untuk
menutupi dada.
‫ْي َال ْم َقنَعَة ترغ ْ ا‬
2- ‫ وهو اختيار سعيد بن جبير‬: ‫ي بْ ْه َال َم َرأَة َرأَس َها‬:َ
َ ‫َوه‬
Pendapat kedua, jilbab adalah miqna’ah atau tutup kepala yang digunakan seorang perempuan
untuk menutupi kepalanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Said bin Jubair.
‫الردَاء ترغ ْ ا‬
َ ‫صدَرهَا ُ َو‬
3-‫ظ َهرهَا‬
‫ ه َرو ث َ َوب َوا ْسل د رون ْ ا‬: ‫َو ْقي َل‬
َ ‫ي ْب ْه‬:َ
‫ )ث َ َوب ترغ ْ ا‬: ‫ظ َهرهَا ْإذَا خ ََر َج َ ( واختيار وهو اختيار السندي في حاشيته على ابن ماجة‬
َ ‫صدَرهَا َو‬
‫ي ْب ْه َال َم َر‬:َ
َ ‫أَة َرأَس َها َو‬
( ‫ي ب ه ال مرأة رأ سها و صدرها‬:‫ال ع ي ني ف ي ) شرح ال بخاري ( )ج ل باب وهو خمار وا س ل ك ال م لح فة ت غ‬
Pendapat ketiga, jilbab adalah kain longgar yang lebih kecil jika dibandingkan dengan rida
yang digunakan untuk menutupi dada dan punggung. Inilah pendapat yang dipilih oleh as Sindi
dalam Hasyiyah Ibnu Majah. As Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh
seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada dan punggung ketika keluar rumah”. Pendapat
ini dipilih oleh al Aini dalam Syarah al Bukhari. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah khimar atau
kerudung longgar seperti milhafah yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi kepala dan
dada”.
4-ُ ‫ ه َرو ك ََال َم َال َء ْة‬: ‫َو ْقي َل‬
‫ )) ال ج ل باب‬: ‫ ))وهو اخ ت يار اب ن رجب ق ال‬: : ‫ية للبدن كله ُ تلبل فوق ال ياب ُ وتسميها العامة‬:‫هي المالءة المغ‬
‫ –عز وجل –اهللازار ُ ومنه قول هللا‬: ‫ي يردَنْينَ َعلَ َي ْه ون ْم َن َجال ْبي ْب ْه ون ِ وهو اختيار البغوي في تفسيره واأللباني‬
Pendapat keempat, jilbab adalah mala-ah [semisal jas hujan yang menutupi dari kepala sampai
kaki, pent]. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Rajab. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah
mala-ah yang menutupi seluruh badan yang dipakai setelah memakai pakaian rumahkan. Orang
awam [di zaman beliau, ent] menyebutnya izar. Itulah makna jilbab yang Allah maksudkan
dalam firman-Nya, “Mereka menjulurkan jilbab mereka”. Pendapat ini juga dipilih oleh al
Baghawi dalam tafsirnya dan al Albani.
5- ‫ وهو اختيار الجوهري ن‬: ‫نهو َال ْم َل َحفَة‬
َ ‫ير ع‬
‫ق له اب ن ك‬
Pendapat kelima, jilbab adalah milhafah. Inilah pendapat yang dipilih oleh al Jauhari
sebagaimana nukilan Ibnu Katsir.
6- ‫اهللازَ ار ُ وهو اختيار ابن األعرابي كما في حاشية العدوي المالَي‬
ْ َ ‫ ه َرو‬: ‫َو ْقي َل‬
Pendapat keenam, jilbab adalah izar [lihat pendapat keempat]. Inilah pendapat yang dipilih oleh
Ibnul Arabi sebagaimana yang disebutkan dalam hasyiyah al ‘Adawi al Maliki.
7- ‫ ذكره النووي وابن حجر وغيرهما‬: ‫ َال ْخ َمار‬: ‫َوقْي َل‬
Pendapat ketujuh, jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung. Adanya pendapat semacam
ini disebutkan oleh an Nawawi, Ibnu Hajar dll.
8- ُ‫ ق ال ه اب ن م س عودُ وع ب يدةُ وق تادةُ وال ح سن ال ب صريُ و س ع يد ب ن ج ب ير‬.‫ ال رداء ف وق ال خمار‬:‫وق يل‬
( ‫ )اب ن ك ير ف ي ت ف س يره‬..‫اء ال خرا سان يُ وغ ير واحد‬:‫وإب راه يم ال نخ عيُ وع‬
Pendapat kedelapan, jilbab adalah rida’ yang dikenakan setelah mengenakan khimar atau
kerudung. Demikian pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, al Hasan al Bashri, Said bin
Jubair, Ibrahim an Nakhai, Atha al Khurasani dll. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya.
9- ‫ ك ل ث وب ت ل ب سه ال مرأة ف وق ث ياب ها ُوق‬: ‫ ال ج ل باب‬: ( ‫ال أب و ح يان ف ي )ال بحر‬
Pendapat kesembilan, jilbab adalah segala kain yang dikenakan oleh seorang perempuan
setelah mengenakan pakaian rumahan. Demikian perkataan Abu Hayyan dalam al Bahr.
10- ‫ ك ل ما ت س ت‬: ‫ر ب ه من ك ساء أو غ يرهوق يل‬
‫ذك ره أب و ح يان ف ي ت ف س يره ون قل ال ب قاعي أن ه اخ ت يار ال خ ل يل ب ن أحمد ق ال ال ب قاعي ف ي ت ف س يره‬
: ‫ ينامركلا ةزمح لاقو‬: ‫ ليلخلا لاق‬: ‫بابلج وهف ءاسكو راعشو راثد نم هب رتتست ام لك‬
Pendapat kesepuluh, jilbab adalah kain atau yang lainnya yang dipakai oleh seorang perempuan
untuk menutupi tubuhnya. Al Baqa’i dalam tafsirnya menukil perkataan Hamzah al Karmani
yang menukil perkataan al Khalil. Al Khalik mengatakan, “Semua pakaian yang digunakan oleh
perempuan untuk menutupi badannya baik pakaian dalam, pakaian luar ataupun pakaian
tambahan adalah jilbab”.
11- ‫ ذك ره ال م ال ع لي ال قاري ف ي ) شرح ال م ن َاة ( عن األب هري وذك ره ال ب قاعي ف ي‬: ‫وق يل ال قم يص‬
‫ت ف س يره‬
( ‫ )وال َل ي صح إرادت ه ه نا‬: ‫وق ال ال ب قاعي عن جم يل ال م عان ي ال م ت قدمة ف ي ت ف س يره‬
Pendapat kesebelas, jilbab adalah qamis [long dress, pent]. Pendapat ini menurut al Mula ‘Ali
al Qari dalam Syarh al Misykah adalah pendapat al Abari. Pendapat ini juga disebutkan oleh al
Baqa’i dalam tafsirnya.
‫ث مرة ال خ الف‬
Konsekuensi dari adanya perbedaan pendapat mengenai pengertian jilbab
: ‫ب ين ال ب قاعي ث مرة ال خ الف ف ي معان ي ال ج ل باب ف قال‬
( ‫ُ اهيلجرو اهيدي يطغي ىتح هغابسإ هؤاندإف صيمقلا دارملا ناك نإف‬
‫ي ال رأس ف ادن اؤه س تر وجهها وع ن قها‬:‫وإن ك ان ما ي غ‬
Al Baqa’I menyebutkan konsekuensi dari berbagai pendapat di atas dengan mengatakan, “Jika
yang dimaksud dengan jilbab adalah qamis [long dress, pent] perintah Allah untuk idna’ jilbab
maknanya adalah memakai long dress hingga menutupi kedua tangan dan kedua kaki.
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala maka makna idna’ jilbab adalah
menutupi wajah dan leher dengan kain penutup kepala tersebut.
ُ ‫ غي ام دارم ال ناك نإو‬:‫ُ اه ب اي و اه ندب ع يمج رت سي ث يحب ه ع ي س وتو ه ل يوط ه ؤانداف ب اي ال ي‬
( ‫وإن ك ان ال مراد ما دون ال م لح فة ف ال مراد س تر ال وجه وال يدي ن‬
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah kain yang menutupi pakaian rumahan maka makna
idna’ jilbab adalah memanjangkan dan melonggarkan kain tersebut sehingga menutupi seluruh
badan plus kain rumahan yang telah dikenakan terlebih dahulu.
. ‫وك ما ق ال ال م ال ع لي ال قاري أن ب عض هذه ال م عان ي م ت قارب ة‬
al Mula ‘Ali al Qari mengatakan bahwa sebagian pendapat dalam masalah ini mirip-mirip
dengan pendapat yang lain.
‫ ب ه ال مرأة رأ سها ون حرها وظهرها هو ال ج ل باب ُ ألن آي ة )إدن اء‬:‫ أن ك ل ما غ‬: ‫وع ندي أن ال راجح وهللا أع لم‬
‫ال ج ل باب ( ن زل ل تم ي يز ال حرائ ر عن اهللاماء ع ند ال م ف سري ن ُ و‬. ‫اهللام اء ي َ ن فن ش عورهن ون حورهن‬
Pendapat yang lebih kuat, semua kain yang dipergunakan oleh perempuan untuk menutupi
kepala, leher dan punggung (sehingga panjangnya adalah sampai pantat, pent) adalah jilbab
karena dua pertimbangan:
‫ رأ سها وق ع ن ته ُ ول ذل ك ك ان عمر ي ضرب اهللام اء‬:‫ب ال درة إذا غ‬
Pertama, Umar memukuli budak-budak perempuan yang memakai penutup kepala.
‫وألن هللا عز وجل قال )ي يردَنْينَ َعلَ َي ْه ون ْمن جالبيبهن ِ فمن هنا للتبعيض قاله الزمخنري و أبو حيان‬
Kedua, karena Allah berfirman (yang artinya), “Mereka menjulurkan sebagian jilbab mereka”.
Min dalam ayat di atas bermakna sebagian.
: ‫وذك ر ال زمخ نري أن ال ت ب ع يض ي ح تمل أمري ن‬
‫ أن أن يتجلببن ببعض ما ا‬: ‫ة ] األول‬
‫لهن من الجالليب ُ والمراد أن ال تَون الحرة متبذلة في درع وخمار ُ كاألمة والماهن‬
‫ا‬
‫ بان فصاعدا في بيتهاال خادمه [ ول ها ج ل با‬.
( ‫ أن ت رخي ال مرأة ب عض ج ل باب ها وف ض له ع لى وجهها ت ت ق نل ح تى ت تم يز من األمة‬: ‫وال ان ي‬
az Zamakhsyari menyebutkan bahwa ‘sebagian’ di sini mengandung dua kemungkinan makna.
Pertama, perempuan berjilbab dengan sebagian jilbab mereka dengan pengertian wanita
merdeka tidaklah hanya mengenakan long dress dan kerudung sebagaimana budak perempuan
yang melakukan berbagai pekerjaan rumah. Wanita merdeka hendaknya memakai dua jilbab.
Kedua, perempuan menjulurkan sebagian dan sisa kain jilbabnya pada wajah sehingga wajah
tertutup kain. Dengan ini wanita merdeka nampak berbeda dengan budak perempuan.
. ‫ وال راجح هو االح تمال األول ُ ألن ال وجه ل يل ب عورة ع لى ال صح يح وهللا أع لم‬: ‫ق ل‬
Jika kita berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat maka kemungkinan makna yang
paling mendekati untuk pengertian ‘sebagian’ di sini adalah kemungkinan makna yang pertama.
. ‫ ف لها أن ت ظهر أ ساف ل ث ياب ها‬. ‫وأما من ق ال أن ال وجه عورة‬
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat maka seorang wanita ketika
keluar rumah boleh menampakkan bagian atau ujung bawah dari pakaian rumahan yang dia
kenakan.
‫الم َقنعة التي ت ر َج ْلا‬
ْ ‫ على ما كان يتعاناه نساء العربُ من‬:‫ يعني‬.‫ كالرداء وال ياب‬:‫ قال ابن مسعود‬: ‫ل ثيابهاُ وما يبدو قال ابن ك ير‬
‫من أ ساف ل ال ياب ف ال حرج ع ل يها ف يه؛ ألن هذا ال ي مك‬.‫ن إخ فاؤه‬
Ibnu Katsir mengatakan bahwa menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud dengan ’kecuali yang
nampak’ rida’ [baca: kain penutup kepala yang lebar] dan pakaian rumahan. Maksudnya
sebagaimana kebiasaan wanita arab masa silam yang memakai kain penutup kepala yang lebar
menutupi pakaian rumahan yang telah terlebih dahulu dikenakan. Dalam kondisi demikian,
terlihatnya ujung bawah pakaian rumahan tidaklah mengapa karena hal tersebut tidak mungkin
disembunyikan.
[‫ [ نكمي ال امو ُاهرازإ نم رهظي ام ءاسنلا يز يف هريظنو‬.‫إخ فاؤه‬
Semisal dengan ujung bawah pakaian rumahan adalah izar [kain yang menutupi tubuh bagian
bawah] dan pakaian perempuan yang lain yang tidak mungkin disembunyikan. [ustadzaris.com]
Ahlalhdeeth.com
Buka Jilbab Dan Keluarnya Wanita
admin | 26/06/2011 | 1 Komentar
Akhwatmuslimah.com – Assalamu’alaikum.
Saya punya tiga pertanyaan : 1. Bagaimana hukumnya membuka jilbab di depan suami kakak
(kakak ipar) 2. Seberapakah batasan panjangnya jilbab? 3. Bagaiman tentang hadits jika wanita
keluar harus disertai mahramnya, jika dihubungkan dengan akhwat yang harus kos karena
merantau untuk kuliah. Dan juga jika ada acara misalkan raker LDK yang disana ikhwan dan
akwat bermalam di satu tempat walaupun berlainan ruangan. Maaf kalau pertanyaannya
membingungkan.
Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb. 1. Suami kakak atau sering disebut sebagai kakak ipar bukanlah
termasuk mahram. Sehingga seorang wanita tidak diperkenankan untuk memperlihatkan
sebagian auratnya di hadapan suami kakaknya itu. Memang adat budaya kita sering sedikit agak
rancu, seolah-olah antara ipar itu sudah menjadi seperti saudara kandung sendiri. Lalu pada
prakteknya antar ipar dibolehkan berduaan, berboncengan atau berjalan bersama. Karena sudah
dianggap kakak sendiri. Sedangkan dalam syariat Islam tidak ada istilah ‘dianggap’, karena biar
bagaimana pun kakak ipar adalah laki-laki ajnabi (asing), yang pada kondisi telah bercerai
dengan kakak sendiri, bolehlah dia menikahi mantan adik iparnya itu. Jadi antara kakak dan adik
ipar bukanlah mahram dan tidak diperkenankan melihat sebagian auratnya.
2. Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan seorang wanita. Jadi panjangnya adalah
sepanjang tubuh wanita itu. Adapun model jilbab, bisa saja merupakan satu potong pakaian atau
terdiri dari atasan, bawahan dan penutup kepala (kerudung). Istilah jilbab sering diartikan dengan
kerudung, padahal pengertiannya jauh berbeda. Dalam terminologi bahasa arab dan juga AlQuran, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang lebar yang menutupi seluruh tubuh
wanita.
3. Wanita yang sudah akil baligh memang tidak diperkenankan untuk keluar rumah lebih dari
tiga hari kecuali ditemani oleh mahram atau suaminya. Larangan ini bersifat umum dan jelas
berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga
hari kecuali bersama mahramnya”. Para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk
pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang
berkembang:
I. Pendapat Pertama mengharuskan ada mahram secara mutlak. Seorang wanita yang sudah
akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram
bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam
sabda beliau. Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali bila ada mahramnya. Dan
janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. Ada seorang yang berdiri
dan bertanya,”Ya Rasulullah SAW, istriku bermaksud pergi haji padahal aku tercatat untuk ikut
pergi dalam peperangan tertentu. Rasulullah SAW bersabda,”Pergilah bersama istrimu untuk
haji bersama istrimu”. Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim
An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan
ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab
bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji. Kewajiban harus adanya mahram di
atas adalah sebuah pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanafi dan para pendukungnya. Juga
pendapat An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.
II. Pendapat Kedua tidak mengharuskan secara mutlak Seroang wanita boleh bepergian untuk
haji asal ada mahram atau suami atau ada sejumlah wanita lain yang tsiqah (dipercaya). Ini
adalah pendapat yang didukung oleh Imam Asy-Syafi`i ra. Bahkan dalam satu pendapat beliau
tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Bahkan
dalam riwayat yang lain seorang wanita boleh pergi haji sendirian tanpa mahram asal kondisinya
aman. Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan
yang sunnah tidak berlaku hal tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang
menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Mekkah
dalam keadaan aman. Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai Adi, bila umurmu panjang wanita di
dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah
tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja.” (HR. Bukhari) Selain itu pendapat yang
membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para istri nabi pun
pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin
Affan dan Abdurrahman bin Auf. (HR. Bukhari). Ibnu Taymiyah sebagaimana yang tertulis
dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah.
Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah. Karena itu bila
memang tidak terlalu penting dan lengkap persyaratannya, sebaiknya para akhwat tidak
diprogram dengan acara yang menginap, apalagi di luar kota. Kecuali dengan pertimbangan yang
betul-betul matang sekali dan dengan alasan yang sangat kuat pada kasus tertentu.
10 Nasehat Untuk Kaum Wanita
Nasehat adalah sebuah kejernihan yang sewajarnya hadir dalam kehidupan masyarakat
Islam. Terkhusus bagi wanita muslimah yang hidup dijaman ini. Sapaan nasehat adalah penyejuk
yang menyegarkan langkah dalam menuju ridha Yang Maha rahmah, Allah tabaraka ta’ala.
1. Wanita muslimah meyakini bahwa Allah adalah Tuhannya, Muhammad adalah nabinya dan
Islam adalah agamanya, dan menampakkan jejak keimanan dalam perkataan, amalan dan
keyakinan. Maka ia selalu menjauhi murka Allah, takut akan pedihnya azab Allah dan balasan
akibat menyelisihi perintah-Nya.
2. Wanita muslimah selalu menjaga sholat-sholat wajibnya, berwudlu, menjaga kekhusyukan dan
ketepatan waktu melaksanakan sholat. Janganlah menyibukkan diri dengan aktivitas yang lain
ketika datang waktu sholat. Meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat yang memalingkan dari
ibadah kepada Allah. Ia pun menampakkan atsar (bekas) sholatnya dalam peri kehidupan, karena
sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, sholat adalah penjaga
terbesar dari kemaksiatan.
3. Wanita muslimah selalu menjaga hijabnya (mengenakan jilbab) merasa mulia dengan hal
tersebut dan dia tidak keluar dari rumah kecuali dalam kondisi berjilbab, dengan jilbab tersebut
bertujuan agar Allah menjaganya. Ia pun bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan,
menjaga dan mengehendaki terjaganya kesuciannya dengan jilbab. “Wahai Nabi katakanlah
kepada isteri-isterimu anak-anakmu dan wanita beriman agar mereka mengenakan jilbab-jilbab
mereka.” (Al Ahzaab : 59).
4. Wanita muslimah selalu mentaati suaminya, bersikap lembut, cinta, mengajaknya kepada
kebaikan, menasehati dan menghibur suaminya. Ia tidak mengeraskan suara dan kasar dalam
berbicara kepada suaminya. Rasulullah bersabda, ‘Apabila seorang wanita menjaga shalat lima
waktunya, berpuasa di bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, dan mentaati suaminya
niscaya ia akan masuk surga. (Hadits Shahih jami’).
5. Wanita muslimah senantiasa mendidik putranya untuk taat kepada Allah, mengajarinya
dengan aqidah yang benar, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi
maksiat dan akhlaq yang buruk, firman Allah, ‘wahai orang-orang yang beriman jagalah diri
kalian dan keluarga kalian dari api neraka’. (At Tahrim : 6).
6. Wanita muslimah tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Sabda
Rasulullah, ‘barangsiapa wanita yang berdua-duaan dengan laki-laki, maka syetan yang ke-3
nya’. Dan wanita muslimah tidak bepergian jauh kecuali untuk keperluan yang tidak bisa
ditinggalkan dan disertai mahram dengan berjilbab.
7. Wanita muslimah tidak berpenampilan atau berdandan seperti kaum laki-laki. Sabda
Rasulullah, ‘Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lakilaki.’ (Hadits Shahih). Wanita muslimah juga tidak meniru orang-orang kafir dalam kekhususan
dan kebiasaan mereka, “barang siapa yang bertasyabuh (menyerupai) suatu kaum, maka ia
termasuk golongan kaum tersebut.” (Hadits Shahih).
8. Wanita muslimah adalah da’iyah (orang yang berdakwah) dibarisan kaum wanita dengan
menggunakan perkataan yang baik melalui jalan menziarahi tetangganya, menyambung
persaudaraan, melalui telpon, memberikan buku-buku dan kaset-kaset Islam. Ia pun beramal
dengan apa yang ia ucapkan dan bersemangat dalam menghindarkan diri dari adzab Allah, ‘kalau
Allah menghidayahi seseorang melalui perantara kamu maka hal tersebut lebih baik bagimu
dari pada binatang ternak yang merah (harta dunia yang banyak). (HR. Bukhari dan Muslim).
9. Wanita muslimah menjaga hatinya dari kerancuan dan hawa nafsu, menjaga pandangannya
dari pandangan-pandangan yang haram, menjaga telinganya dari hal-hal yang melalaikan dari
dzikrullah, ini semua yang dinamakan dengan taqwa, ‘malulah terhadap Allah dengan sebenarbenarnya, barang siapa yang malu dengan sebenar-benarnya maka jagalah kepalanya dan apa
yang ada didalamnya, dan jagalah perutnya serta yang ada didalamnya, ingatlah kematian dan
musibah, barang siapa yang menghendaki akhirat hendaknya ia meninggalkan (tidak cinta)
perhiasan-perhiasan dunia, barang siapa berbuat demikian niscaya sikap malunya kepada Allah
benar. (Hadits Shahih Jami’).
10. Wanita muslimah tidak menyia-nyiakan waktu siang maupun malamnya untuk perbuatan
yang tidak ada gunanya, atau melewatkan masa mudanya hilang dengan percuma, ‘tinggalkanlah
mereka yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan kesia-siaan‘. (Al An’am : 70). Allah
berfirman tentang orang yang menyia-nyiakan umurnya, ‘alangkah meruginya diri kami dari apa
yang telah kami tinggalkan’. (Al An’am : 31).
Wahai muslimah laksanakanlah nasehat-nasehat ini niscaya engkau akan jaya di dunia dan di
akhirat.
12 Nasehat Kepada Akhwat Muslimah
Ukhti Muslimah ……………..
1. Jauhilah olehmu banyak bicara (yang tidak bermanfaat) dan jagalah lisanmu dari cerewet.
Sesungguhnya Allah berfirman:
“Tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia.” (An-Nisa':114)
Ketahuilah bahwa di sana ada orang yang menghisab pembicaraanmu dan menghitungnya
atasmu.
Ringkaslah pembicaranmu, dan bicaralah sebatas maksud dan tujuanmu!
2. Bacalah Al-Qur’an Al-Kariem, dan berusahalah agar ia menjadi wirid harianmu, juga
berusahalah untuk menghafalkannya Sesuai dengan kemampuanmu, agar engkau memperoleh
pahala yang besar kelak di hari kiamat.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallahu ‘Alaihi wa
Sallam beliau bersabda:
“Kelak (di hari kiamat) akan dikatakan kepada pembaca al-qur’an, bacalah, pelan-pelanlah dan
tartilah (dalam membacanya) sebagaimana kamu mentartilkannya ketika di dunia, sesungguhnya
tempat dan kedudukanmu ada pada akhir ayat yang kamu baca.” (Hadits Shahih, Tirmidzi, 1329)
3. Tidak baik jika kamu membicarakan semua pembicaraan yang telah kamu dengar, sebab yang
demikian itu memberi peluang kepadamu untuk jatuh dalam lubang kebohongan.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meiwayatkan, sesungguhnya Nabi Shallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:”Cukuplah seorang dianggap sebagai pembohong, jika dia membicarakan
semua apa yang telah didengarnya.” (Muslim dalam Mukaddimahnya, hadits No:5)
4. Jauhila sifat sombong dan bangga diri dengan sesuatu yang bukan milikmu karena untuk
pamer dan menyombongkan diri di depan manusia.
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa ada seorang perempuan yang berkata:
wahai Rasulullah, aku katakan bahwa suamiku telah memberiku sesuatu yang tidak pernah
diberikan kepadaku. Kemudian Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya sebagaimana
orang yang memakai pakaian kepalsuan.” (Muttafaq Alaih)
5. Sesungguhnya dzikir kepada Allah memiliki pengaruh yang agung bagi kehidupan ruh, jiwa,
badan, dan sosial seorang muslim.
Oleh karena itu wahai ukhti muslimah berusahalah berdzikir kepada Allah dalam setiap saat dan
keadaan, sesungguhnya Allah telah memuji hamba-hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya, firmanNya:
“Yaitu orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam
keadaan berbaring.” (Ali Imran:191)
6. Jika engkau hendak berbicara janganlah engkau agung-agungkan, jangan engkau fasihfasihkan, dan jangan pula engkau buat-buat, sebab yang demikian itu adalah sifat yang dibenci
oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam
Beliau bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya kelak di hari
kiamat ialah mereka yang suka bicara (yang tidak berfaedah), dan yang suka mengada-adakan
pembicaraannya, dan para Mutafaihiqun (orang yang mengagung-agungkan pembicaraan
bohong)”. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi, 1642)
7. Hendaklah engkau berteladan kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam , yang senantiasa
lebih banyak diam dan berfikir, tidak memperbanyak tertawa apalagi berlebih-lebihan di
dalamnya.
Jika kamu berbicara, maka batasilah pembicaraanmu hanya yang baik-baik saja, jika kamu tidak
bisa maka diam itu lebih baik bagimu. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia mengatakan yang baik atau
lebih baik diam.” (Bukhari)
8. Janganlah sekali-kali memutus pembicaraan orang lain atau membantahnya atau
menampakkan pelecehan terhadapnya, tetapi jadilah pendengar yang baik yang mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan sopan (sebagai tanda budi baikmu), dan jika engkau terpaksa
membantah ucapan mereka bantahlah dengan cara yang lebih baik (untuk menampakkan
kepribadianmu).
9. Waspadalah sepenuhnya dengan sikap mengejek dan merendahkan dialek pembicaraan orang
lain, seperti terhadap orang yang kurang lancar bicaranya atau terhadap mereka yang berbicara
dengan tersendat-sendat.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena)
boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang
diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (mengolok-olok).” (Al-Hujurat:11)
10. Jika engkau mendengar bacaan Al-Qur’an al-Karim, maka hentikan pembicaraanmu apapun
masalah yang sedang engkau bicarakan, karena menghormati terhadap kalamullah,
dan untuk mengindah perintah-Nya yang mana Dia telah berfirman:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
baik (tenang) agar kamu mendapat rahmat.” (Al-‘Araf:204)
11. Senantiasa menimbang kata-kata (ucapanmu) sebelum diucapkan oleh lisanmu, dan
berusahlah agar kalimat yang terucap oleh lisanmu adalah kalimat yang baik dan menyejukkan
tetap dalam kerangka jalan kebaikan, jauh dari keburukan dan sesutau yang menghantarkan
kepada murka Allah. Sesungguhnya kata-kata itu memiliki tanggung jawab yang besar, sudah
berapa banyak kata-kata yang memasukkan pengucapnya ke dalam surga, sebaliknya sudah
berapa banyak kata-kata yang menenggelamkan pengucapnya ke lembah Jahannam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam
beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan sebuah pembicaraan yang
mengandung ridla Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah akan
mengangkatnya dengannya beberapa derajat, dan seorang hamba berbicara dengan
suatu yang dimurkai Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah
menceburkannya karenanya ke dalam lembah Jahannam.” (HR. Bukhari,6478)
12. Pergunakanlah lisanmu untuk beramar ma’ruf dan nahyu munkar serta untuk berdakwah
kepada kebaikan, karena lisan adalah nikmat Allah yang agung yang telah dikaruniakan
kepadamu.
Allah berfirman:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian diantara manusia.” (An-Nisa':114)
“Nasehat kepada para Muslimah” (Bagian Satu), ‘Abdul ‘Aziz al-Muqbil.
Saatnya Menjadi Muslimah Berprestasi
Jujur saja setiap orang pasti ingin menjadi yang terbaik. Atau paling tidak memiliki halhal yang baik dalam hidupnya. Tempat bekerja yang baik, penghasilan yang lumayan besar,
rumah dan lingkungannya yang sehat, suami dan anak-anak yang baik-baik saja. Dan masih
banyak lagi standar-standar kebaikan yang kita idam-idamkan. Namun kalau kita mau survey,
sedikit dari 10 keluarga muslim, paling banyak 3 diantaranya yang menganggap aktifitas dalam
bermasyarakat untuk berkarya dan berguna sebagai salah satu ukuran hidup yang baik.
Hal ini seiring dengan semakin majunya teknologi, derasnya informasi yang datang dari luar
(baca : Barat) memaksa setiap keluarga tercemar dengan budaya individual, budaya egois yang
lebih mengutamakan dirinya dan keluarganya sendiri. Yang penting keluarganya selamat, yang
penting anaknya tidak ikut narkoba, yang pentingÂ… yang pentingÂ…
Keinginan untuk berbuat dalam masyarakat, kemauan untuk berkarya, berprestasi semakin
rendah. Terlebih lagi bagi kalangan ibu-ibu, seperti kita-kita ini. Langka sekali menemukan
seorang muslimah yang berpredikat ibu rumah tangga yang punya seabrek gawean rumah
tangganya namun masih meluangkan waktu dan pikiran dengan aktifitas dalam masyarakat yang
tidak kalah hebohnya.
Muslimah Harus Berprestasi
Makna prestasi bagi kalangan muslimah terlebih yang telah berpredikat ibu rumah tangga adalah
bukan dia harus jadi juara dalam sebuah perlombaan. Lebih tepatnya ia harus bisa menjadi
pelopor dalam perbaikan bagi lingkungannya. Seorang muslimah tidak harus selalu bekerja di
luar rumah untuk meraih prestasi tetapi juga tidak hanya di dalam rumah saja. Wanita-wanita
Islami yang potensial seyogyanya pandai memanfaatkan dan mengembangkan ilmu yang
diperolehnya. Bila ia seorang “tukang insinyur” ataupun lulusan tehnik akan lebih bermanfaat
dan berprestasi kalau saja ilmu-ilmu yang dimilikinya tadi mampu menghantarkannya membuka
sebuah home industri, misalnya. Sehingga dengan ilmu apa saja, seorang muslimah mampu
berkarya, mampu mengamalkan ilmu yang dipelajarinya bertahun-tahun di bangku sekolah atau
perguruan tinggi sebagai bekal dakwah di masyarakat. Tidak seperti sekarang yang rata-rata
muslimah kita beramai-ramai menjadi pengajar TPA, padahal Sarjana Kehutanan. Atau merasa
cukup puas hanya berpredikat ibu dari 4 anak-anaknya.
Selain itu pula hendaknya prestasi muslimah akan lebih terarah bila terspesialisasi. Ibu-ibu akan
lebih optimal dalam perannya bila punya keahlian khusus. Ibu A pandai memasak, ibu B pandai
merias pengantin, ibu C menulis, ibu D berkebun, dstnya. Sehingga dengan keahlian khusus ini
ladang dakwah lebih tergarap maksimal.
Bagaimana Menjadi Agen Perubah yang Handal
Menjadi perintis, pelopor atau istilah kerennya “Agen Perubah” dalam masyarakat dituntut
memiliki beberapa hal antara lain :
1. Selalu berpikir positif dan pede (percaya diri)
Selalu berpikir positif kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Yakinlah bahwa Allah memberi
kita semua nikmat dan kemudahan sekaligus kesulitan adalah dalam kerangka sejauhmana kita
telah pandai mensyukuri nikmat-Nya dengan memanfaatkannya, tidak saja untuk diri sendiri tapi
juga untuk masyarakat luas. Allah menciptakan kita dengan kepribadian, kualitas bakat dan
intelektual adalah dengan maksud. Semua itu modal dasar bagi kita untuk berbuat. Termasuk
cara pandang kita terhadap orang lain. Pandanglah orang lain dari sisi positifnya dan menerima
sisi negatif sebagai pelajaran bagi kita. Dengan selalu ber-“positif thinking”seperti ini Insya
Allah Pede (percaya diri) akan timbul. Ibu A yang anaknya 5 aja masih bisa aktif di lembaga
dakwah, koq kita yang baru punya 1 anak repotnya ngalah-ngalahin ibu A. Malu, ah..
2. Berkepribadian pantang menyerah
Sebagai pelopor dan penggerak, pasti akan menghadapi tantangan, baik dari kalangan keluarga,
tetangga, tokoh masyarakat, dllnya. Dengan berbagai hambatan tadi kita dituntut selalu
bersemangat, tidak loyo, tidak mudah patah semangat. Semakin mantap kita bersikap saat
kesulitan menerpa kita menunjukkan sikap hidup yang matang. Keyakinan akan janji dan
jaminan Allah akan datangnya kemudahan setelah kesulitan mampu melahirkan kepribadian
pantang menyerah (lihat QS. An Nasyrah : 5-6).
3. Memulai dari diri sendiri
Menyeru kepada orang akan lebih didengar dan diikuti pabila kitanya telah mengamalkan-nya.
Selain masyarakat lebih tergerak karena tauladan kita, Allah pun memerintahkan demikian (lihat
QS. Ash Shaff : 4).
4. Memelihara motivasi awal
Segala kesibukan kita menjadi muslimah berguna dan berkarya di masyarakat hendaknya
dilandasi dengan niat yang lurus dan bersih. Semata-mata untuk mencari ridho Allah. Bukan
untuk mencari penghargaan, sanjungan atau apa saja yang sifatnya duniawi. Akan lebih indah
dan bermakna bila niatnya untuk ibadah sehingga kelelahan, kepenatan karena aktifitas itu tidak
melahirkan kejenuhan yang berarti yang bahkan bisa-bisa membuat kita menarik diri dari medan
dakwah tadi. Dengan motivasi/niat yang teguh segala tantangan apa pun bentuk dan rupanya
tidak menyurutkan langkah bahkan semakin memberikan energi bagi “si penggerak”.
Merekalah Muslimah Berprestasi
Sekelumit profil berikut ini kiranya bisa dijadikan teladan bagi sekalian ibu-ibu, betapa
seharusnya muslimah berbuat.
* Sumarti M. Thohir, ibu rumah tangga dengan aktifitas dalam masyarakat sebagai Redaktur
Pelaksana Majalah “Aku Anak Shaleh.”
Mempunyai pandangan bahwa sebagai hamba Allah dengan usia yang tidak begitu panjang tanpa
prestasi dihadapan Allah adalah sangat menyedihkan. Prestasi yang dimaksud, seorang muslimah
selain sebagai ibu rumah tangga hendaknya memaksimalkan potensi ilmu, pikiran, tenaga dan
waktu yang ada. Hendaknya tidak cukup puas dengan prestasi sebagai ibu rumah tangga.
Muslimah haruslah juga menghasilkan “sesuatu” yang berguna bagi masyarakatnya (Dikutip dari
Ummi, Edisi Feb-Mar 2002).
* Asma Nadia, ibu rumah tangga dengan 2 anak. Penulis novel dan cerpen Islami, Ketua III
Forum Lingkar Pena Nasional.
Menurutnya, muslimah dalam hidupnya hendaknya mengibaratkan dirinya sebagai sebuah
kristal. Artinya, muslimah sebaiknya mampu berbuat dengan sebaik-baiknya dalam berbagai sisi
dengan masing-masing sisi bernilai baik. Sebagai istri pelayanannya kepada suami memuaskan.
Sebagai ibu bagi anak-anaknya, dia perhatian. Dan sebagai pekerja, prestasi kerjanya bagus dan
sebagai apa saja muslimah itu menekuninya dengan kesungguhan yang luar biasa. Sebagaimana
kristal yang dalam setiap sisinya memantulkan cahaya sama indahnya (Hasil wawancara
Humaira saat GBSM 2 di Samarinda).
* Anaway Irianti Mansur, istri ust. M. Anis Matta, ibu rumah tangga dengan 6 anak. Aktif dalam
sebuah partai Islam bidang Pemberdayaan Peran Publik Perempuan dan di Yayasan Ibu Bahagia.
Menganggap aktifitasnya ini sebagai bahan untuk pengembangan diri, sebagai bukti bahwa “kita
orang baik” karena interaksi kita dengan segala lapisan masyarakat dan medan dakwah untuk
mengajak orang lain melakukan kebaikan. Dengan beraktifitas menuntutnya harus pandai
mensiasati waktu dan kegiatan di dalam dan di luar rumah. Sehingga dinamika di luar rumah
tidak berakibat terlupanya anak-anak dan keluarga (Dikutip dari Tabloid MQ edisi Januari 2002).
* Nena Herlina, ibu rumah tangga dengan 7 anak, aktif sebagai pembina di berbagai kelompok
pengajian (dari kalangan ibu-ibu, remaja hingga pembantu rumah tangga), Kepala TK Islam
Terpadu Uswatun Hasanah.
Menuturkan bahwa sejak menikah, telah sepakat untuk menjadikan dakwah sebagai prioritas.
Dengan 7 anak tanpa pembantu di rumah membuat suaminya tidak segan-segan ambil bagian
pula dengan urusan rumah tangga. Kegigihannya dalam aktifitas dakwah membina jamaÂ’ah
pengajiannya di tengah-tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga sampai-sampai harus
melahirkan akannya yang ke-7 saat pengajian mampu membuat orang terkagum-kagum dan
menghantarkannya sebagai peraih Ummi Award tahun 2002 ini (Dikutip dari Ummi Edisi 2002).
Dari beberapa profil di atas tergambarkan betapa cantiknya seorang muslimah yang hidupnya
berguna bagi orang banyak. Selain untuk anak, suami dan keluarga ia masih mampu dan mau
mencurahkan dengan maksimal apa-apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Anugerah sehat,
kuat dan kelapangan waktu.
Seandainya suami ibu-ibu mempunyai pandangan seperti halnya Ust. Anis Matta yang sangat
mendukung segala aktivitas istrinya, apakah ibu-ibu akan meraih kesempatan ini? Atau
seandainya suami ibu-ibu punya pandangan lain dari apa yanag kita bahas saat ini, apa yang akan
ibu lakukan? Jawabannya hanya ibu yang tau.
Sumber: kafemuslimah.com
Kewajiban Muslimah Terhadap Dirinya
Ukhti semua pantas bersyukur karena Allah SWT telah menganugrahi kesempurnaan fisik, akal
pikiran nikmat berpikir dan hati yang beriman. Segenap nikmat ini tentunya diberikan Allah
SWT pada kita semata hanya untuk digunakan beribadah kepada Allah SWT.
Agar mendapat ridho Allah, maka segenap nikmat yang dimiliki tidak boleh ditelantarkan.
Sebaliknya harus dijaga, dipelihara, dikembangkan demi pengbdian kita kepada Allah SWT.
Karenanya, seorang muslimah harus paham apa kewajiban terhadap nikmat-nikmat diri yang
dimiliki. Kewajiban yan emsti dipahami tersebut terbagi atas :
1. Kewajiban muslimah terhadap tubuhnya.
Banyak muslimah yang tampaknya kurang peduli dengan keadaan fisiknya, karena menganggap
bahwa itu tidak penting., karena yang lebih penting adalah penunaian amanah-amanah dengan
sukses. Kurang peduli terhadap fisik bisa berupa tidak menjaga asupan makanan yang sehat dan
bergizi, sehingga seringkali tubuh mudah sakit-sakitan, kemudian tidak pula diobati dengan
tuntas sampai menjadi penyakit yang parah. Kekurang pedulian yang lain adalah kebersihan
tubuh. Kebersihan disini bisa pakaian, rumah/kamar pribadi, kebiasaan sehari-hari, dll. Termasuk
kurang peduli pula pada penampilan, misalnya memakai pakaian yang berwarna mencolok atau
tidak serasi, memakai pakaian tidak sesuai event, jilbab tidak rapih,dl.
Namun banyak pula muslimah yang memperlakukan tubuhnya secara berlebihan, hingga
cenderung boros, baik untuk pakaian, perawatan tubuh, aksesoris, dsb. Sehingga pakaian
muslimah yang digunakan tidak seusai lagi syar’i (penutup auratnya dgn tidak
tipis/menerawang/ketat).
Seorang muslimah yang mensyukuri nikmat tubuhnya, tentunya akan senantiasa bersikap
proporsional dalam menjaga fisiknya. Menjaga makanan dan minuman dengan memilih yang
halal, bersih, bergizi. Berolah raga teratur. Tidur yang cukup dan berkualitas (bukan kuantitas).
Menjaga kebersihan diri (kebersihan kulit/wajah/rambut, bau aroma tubuh) dan lingkungan
(kamar tidur, toilet misalnya). Kesehatan wanita sejak dini/muda akan sangat berpengaruh bagi
kehidupannya kelak, sesuai kodratinya. Misalnya untuk kesehatan reproduksinya, kesehatan
organ seksualnya, kekuatan tubuhnya untuk hamil, menyusui, mengurus rumah tangga, dan aktif
di masyarakat. Dalam berpakaian pun senantiasa sesuai dgn syari’at, rapih, bersih, sehingga
menciptakan image yang baik di masyarakat, bagaimana seharusnya sosok wanita muslim.
Perhatian-perhatian ini sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda ketika sahabat Abdullah bin Amr bin Ash berpuasa disiang dan
malam hari, “ Janganlah lakukan, karena sesungguhnya matamu memiliki hak yang harus engkau
tunaikan, badanmu memiliki hak yang harus kau tunaikan, keluargamu memiliki hak yang harus
kau tunaikan, maka puasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah..(HR.Muslim).
2. Kewajiban muslimah terhadap akalnya.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sempurna dalam proses penciptaannya.
Allah berfirman,”Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.” Q.S. At-Tiin,95:4)
Keistimewaan manusia adalah dengan dianugrahinya kemampuan akal dengan segala
kapasitasnya. Sejak kehamilan di minggu ke-3 otak manusia akan terus berkembang secara pesat
dan cepat dengan kemampuan yang menakjubkan. Kelebihan otak manusia yg diberikan Allah
SWT ini adalah dengan berfungsinya akal. Inilah yang membedakannya dgn binatang.
Muslimah potensi yang tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki. Akal yg dikaruniakan Allah
kepada manusia haruslah dijaga dengan baik dari hal-hal yang merusak akal baik dari segi fungsi
dan kesehatannya. Menjaga kesehatan akal adalah dengan memilih makanan dan minuman yg
menyehatkan bukan yang merusakan misalnya khamr/memabukkan. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas r.a Bahwa Nabi SAW bersabda,”Semua yang mengacaukan akal dan semua yang
memabukkan adalah haram.” (HR. Abu Daud)
Dari segi penjagaan fungsi akal, adalah dengan mengisi akal dengan informasi yang bermanfaat.
Ilmu dan informasi yang bermanfaat akan menjadikan makanan yang bergizi buat otak. Ilmu dan
informasi itu berupa, pengetahuan keislaman. Syaikh Said Hawa menyebutkan beberapa ilmu
islam yang harus diketahui setiap muslim meliputi 10 jenis yaitu :
– Ilmu tentang pengenalan Allah, rasul dan Islam itu sendiri.
– Ilmu tentang Al-qur’an baik kandungannya, sebab-sebabnya, cara membacanya.
– Ilmu tentang As-sunnah, baik kandungannya, sanadnya.
– Ilmu tentang Ushul Fiqh yaitu ilmu yang berbicara tetang kaidah2 dasar yang dipergunakan
untuk
memutuskan suatu dasar hokum dari dalil2 yg global.
– Ilmu tentang Aqidah, akhlak dan fiqih
– Ilmu tentang sirah nabawiyah dan tarikh umat islam (sejarah islam)
– Ilmu bahasa arab untuk mendalami materi Al-qur’an, hadits nabi, fiqih,dsb.
– Ilmu tentang system musuh dalam menghancurkan islam (deislamisasi). Terutama
yang berkaitan dengan ghozul fikr (perang pemikiran).
– Ilmu tentang islam kontemporer
– Ilmu ttg fiqh dakwah, yaitu aturan dan tata cara dalam menyampaikan islam/dakwah.
Dengan mengusai penuh salah satu ilmu diatas diharapkan akan lahir ulama-ulama muslimah
yang akan membantu memecahkan masalah keumatan terutama masalah-masalah tentang wanita.
Kemudian pengetahuan lain yang diperlukan adalah ilmu umum dan wawasan kontemporer. Dari
sekian banyak ilmu umum, ada fardhu kifayah bagi muslimah untuk menguasai salah satu dari
bidang-bidang tersebut, mendalaminya sehingga bisa professional. Dengan tersedianya ahli-ahli
muslimah di bidang umum, akan sangat membantu kesulitan umat. Terutama dalam mengatasi
masalah kewanitaan. Misalnya bidang kesehatan, bidang advokasi/hukum, bidang psikoligi,
teknik, tata busana, kecantikan, dll.
Dibidang kekinian pun muslimah dituntut untuk mengikuti perkembangan informasi dari
berbagai dunia, ttg politik, nilai mata uang, seni dan budaya, olah raga,dll. Dengan wawasan
yang luas akan sangat membantu muslimah dalam mengaktualisasikan dirinya di keluarga
(dalam mendidik anak atau ngobrol ama suami nyambung..) atau dalam masyarakat.
Pengetahuan yang lain adalah keterampilan teknis. Tanpa ada ahli dibidang-bidang teknis,
muslimah akan mengalami keuslitan teknis yang semestinya tidak perlu terjadi apabila ilmunya
dimiliki. Seperti computer, internet, dan sarana informasi lain.
3. Kewajiban muslimah terhadap hatinya
Segala sesuatu yang bersifat materi saja tidak akan menjamin ketenangan dalam hati. Untuk
itulah kewajiban inti ada pada pengisian hati agar semua proses kegiatan dapat berjalan baik.
Untuk mengasah fungsi hati ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:
a. Dzikrullah (mengingat Allah atau menyebut Allah),
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.” ( Ar-Raad, 28)
Dzikir selain menentramkan hati juga mencerahkan pikiran, kecemerlangan akal dan hati karena
senantiasa mengingat Allah SWT. Al-Hadits, “ Perumpaan orang yang berdzikir kepada
tuhannya dengan orang yang tidak berzikir ibarat yang hidup dengan yang mati.” (HR. Bukhari)
a. Membaca Al-qur’an
b. Menjauhi maksiat
c. Menjauhi ketergantungan pada makhluk
d. Memperbanyak ibadah.
Hubungan Muda-Mudi Sebelum Menikah (Pacaran) dalam
Tinjauan Syariat
Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di kehidupan kita.
Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak seseorang mulai mengenal lingkungan
hidupnya. Dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah
“tak kenal maka tak sayang” adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di
zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu
hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan saling menyayangi.
Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah “pacaran”.
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta
kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasihkasihan, yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa
Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan
hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah
pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran
seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai
dari sudut pandang syar’i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu
“hubungan” yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.
Apa yang terjadi dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim,
dan hubungan suami istri.
Perkenalan
Islam tidak melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan
mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena, kekuatan
Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenal.” (Al-Hujuraat: 13).
Hubungan Sahabat
Hubungan sahabat adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling
mengenal. Setelah saling mengenal, seseorang berhubungan dengan orang lain bisa meningkat
menjadi teman biasa atau teman dekat (sahabat). Hubungan sahabat dimulai dari saling
mengenal. Hubungan saling mengenal ini jika berlangsung lama akan menciptakan sebuah
hubungan yang tidak hanya saling mengenal, tetapi sudah ada rasa solidaritas yang lebih tinggi
untuk saling menghormati dan bahkan saling bekerja sama. Contoh yang mungkin dapat diambil
dalam hal ini adalah seperti hubungan antara Zainudin MZ dengan Lutfiah Sungkar, Neno
Warisman dengan Hari Mukti, dan lain-lain. Mereka adalah pasangan lawan-lawan jenis yang
saling mengenal, juga dalam diri mereka terjalin hubungan yang saling menghormati, bahkan
mungkin bisa bekerja sama. Dalam Islam, hubungan semacam ini tidaklah dilarang.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).
Jatuh Cinta
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada
batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat,
berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah
dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara
manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang
normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa
itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita
harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu
yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang
seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan
cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan
membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya,
hal seperti inilah yang tercela.”
Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang
indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan
besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang
disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti
harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang
muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki
berkata kepada Umar bin Khattab r.a., “Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang
gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya.” Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang
tidak dapat dikendalikan.” (HR Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb,
Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta adalah perasaan di
luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang.”
Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata
pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua.
Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang
untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah
kepada wanita yang beriman, “˜Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluan mereka “.An-Nuur: 30-31). Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak
dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya
kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak
sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.
Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang melihat
dengan mendadak. Maka jawab Nabi, “Palingkanlah pandanganmu itu”. ” (HR Muslim, Abu
Daud, Ahmad, dan Tirmizi).
Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang
satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun
berikutnya tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wa’ifdz, dia
berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan
berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada
wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, “Wahai Habib,
mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?” Dia menjawab, “Pernah pada
suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku
memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, “Wahai Habib?” Aku
menjawab, “Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah”. Allah berfirman, “Lewatlah Kamu di atas
neraka”. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, “Aduh (karena
sakitnya)”. Maka Dia memanggilku,” Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan.
Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).” Hal
tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan
tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.
Hubungan Intim
Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak
lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih
tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi ramburambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa
merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan
ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual
inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling
bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita,
bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah
hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah “pacaran”.
Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada
tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal: “apel”. Sang kekasih datang ke
rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut
pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka
bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.
Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada
seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin
berzina padanya.”
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan
dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki
hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan.” (HR Ahmad).
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari
bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang
bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya.
Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik
daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a.
keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk
menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan
mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang
memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua
matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat
tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang
dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke
dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan
ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita
yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi
dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga
mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”
Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana
layaknya yang dilakukan oleh suami istri.
Hubungan Suami-Istri
Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di
dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan
sek. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.
Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri.
Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukannya
terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya: hubungan badan),
asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.
Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih
belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana
layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil
tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan
aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari
hasil perbuatan zina.
Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan
suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan.
Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak
hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan
agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan
di masyarakat juga ikut hancur.
Di dalam kitab Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. bertutur bahwa dirinya termasuk
sepuluh orang sahabat Muhajirin yang duduk bersama rasulullah saw. Lalu, beliau mengarahkan
wajahnya kepada kami dan bersabda, “Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang membuat
aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak mendapatkannya. Pertama, tidaklah
perbuatan zina tampak pada suatu kaum sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan
mereka akan tertimpa bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orangorang sebelum mereka. Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan,
melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan kedurjanaan penguasa. Ketiga,
tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat, melainkan mereka akan mengalami kemarau
panjang. Sekiranya tidak karena binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Keempat,
tidaklah suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada mereka
musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. kelima, tidaklah para imam
(pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Alquran), melainkan akan Allah jadikan
permusuhan antarmereka.” (HR Ibnu Majah dan Hakim).
‘Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku
keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat
lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap
apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka
kembali ke dasar. Lantas aku berkata, “Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, “Mereka adalah
orang-orang yang telah melakukan zina”. (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).
Atha’ al-Khurasaniy berkata, ‘Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang
paling menakutkan, paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi
para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.” (Dzamm ulHawa, Ibnul Jauzi).
Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat besar ini, kita akan menyadari dan meyakini
bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu ternyata memang benar. Apabila seorang
pemuda sudah siap untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk
menghindari terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang
tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa nafsu.
“Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah
menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual,
tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan)
baginya.” (HR Bukhari). (Abu Annisa)
http://www.ppmr.org/arsip/ hubungan-muda-mudi-sebelum-menikah-pacaran-dalam-tinjauansyariat/
Kupinang Engkau Dengan Hamdalah
Oleh : M. Faudzil `Adhim
Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah diciptakannya pasangan-pasanganmu dari
jenismu sendiri, agar kamu cenderung padanya. Dan Allah menjadikan di antara kalian
perasaan tenteram dan kasih sayang. Pada yang demikian ada tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi kaum yang berfikir.
Ketika tiba masa usia aqil baligh, maka perasaan ingin memperhatikan dan diperhatikan lawan
jenis begitu bergejolak. Banyak perasaan aneh dan bayang-bayang suatu sosok berseliweran tak
karuan. Kadang bayang-bayang itu menjauh tapi kadang terasa amat dekat. Kadang seorang
pemuda bisa bersikap acuh pada bayang-bayang itu tapi kadang terjebak dan menjadi lumpuh.
Perasaan sepi tiba-tiba menyergap ke seluruh ruang hati. Hati terasa sedih dan hidup terasa
hampa. Seakan apa yang dilakukannya jadi sia-sia. Hidup tidak bergairah. Ada setitik harapan
tapi berjuta titik kekhawatiran justru mendominasi.
Perasaan semakin tak menentu ketika harapan itu mulai mengarah kepada lawan jenis. Semua
yang dilakukannya jadi serba salah. Sampai kapan hal ini berlangsung? Jawabnya ada pada
pemuda itu sendiri. Kapan ia akan menghentikan semua ini. Sekarang, hari ini, esok, atau tahuntahun besok. Semakin panjang upaya penyelesaian dilakukan yang jelas perasaan sakit dan
tertekan semakin tak terperikan. Sebaliknya semakin cepat / pendek waktu penyelesaian
diupayakan, kebahagiaan & kegairahan hidup segera dirasakan. Hidup menjadi lebih berarti &
segala usahanya terasa lebih bermakna.
Penyelesaian apa yang dimaksud? Menikah! Ya menikah adalah alat solusi untuk menghentikan
berbagai kehampaan yang terus mendera. Lantas kapan? Bilakah ia bisa dilaksanakan? Segera!
Segera di sini jelas berbeda dengan tergesa- gesa. Untuk membedakan antara segera dengan
tergesa- gesa, bisa dilihat dari dua cara :
Pertama, tanda-tanda hati. Orang yang mempunyai niat tulus, kata Imam Ja’far, adalah dia yang
hatinya tenang, sebab hati yang tenang terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang,
berasal dari upaya membuat niat murni untuk Allah dalam segala perkara. Kalau menyegerakan
menikah karena niat yang jernih, Insya Allah hati akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan
jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun
harapan & kekhawatiran meliputi dada. Lain lagi dengan tergesa-gesa. Ketergesaan ditandai oleh
perasaan tidak aman & hati yang diliputi kecemasan yang memburu.
Kedua, tanda-tanda perumpamaan. Ibarat orang bikin bubur kacang hijau, ada beberapa bahan
yang diperlukan. Bahan paling pokok adalah gula & kacang hijau. Jika gula & kacang hijau
dimasukkan air kemudian direbus, maka akan didapati kacang hijau tidak mengembang. Ini
namanya tergesa-gesa. Kalau gula baru dimasukkan setelah kacang hijaunya mekar ini namanya
menyegerakan. Tapi kalau lupa, tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar
cukup lama orang akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda : “Tiga orang yang selalu diberi pertolongan
Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis
yang selalu memberi penawar & seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR
Thabrani)
Banyak jalan yang dapat menghantarkan orang kepada peminangan & pernikahan. Banyak sebab
yang mendekatkan dua orang yang saling jauh menjadi suami istri yang penuh barakah &
diridhai Allah. Ketika niat sudah mantap & tekad sudah bulat, persiapkan hati untuk melangkah
ke peminangan. Dianjurkan, memulai lamaran dengan hamdalah & pujian lainnya kepada Allah
SWT. Serta Shalawat kepada Rasul-Nya. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah
SAW pernah bersabda : “Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan bacaan hamdalah, maka
hal itu sedikit barakahnya (terputus keberkahannya)” HR Abu Daud, Ibnu Majah & Imam
Ahmad.
Setelah peminangan disampaikan, biarlah pihak wanita & wanita yang bersangkutan untuk
mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban segera, sebelum kaki bergeser dari tempat
berpijaknya, sebab menikah mendekatkan kepada keselamatan akhirat, sedang calon yang datang
sudah diketahui akhlaqnya, sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi
kepastian apakah pinangan diterima atau ditolak, karena pernikahan bukan untuk sehari dua hari.
Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang lebih tahu
keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Anda harus husnudzan pada mereka. Bukankah ketika
meminang wanita berarti anda mempercayai wanita yang diharapkan oleh anda beserta
keluarganya.
Keputusan apapun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah yang lurus,
akan baik dan Insya Allah memberi akibat yang baik bagi anda. Tidak kecewa orang yang
istikharah & tidak merugi orang yang musyawarah. Maka apapun hasil musyawarah, sepanjang
dilakukan dengan baik, akan membuahkan kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk
atau negatif, jika memang didasarkan kepada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena
tidak memberi kesempatan kepada anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat anda
memang untuk silaturrahim, bukankah masih tersedia banyak peluang untuk menyambung?
Anda telah meminangnya dengan hamdalah, anda telah dimampukan datang oleh Allah Yang
Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semuanya kecil. Ada pelajaran yang sangat
berharga dari Bilal bin Rabbah tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap
kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan : “Jika pinangan kami anda terima, kami ucapkan
Alhamdulillah. Dan kalau anda menolak, maka kami ucapkan Allahu Akbar.” Maka, kalau
pinangan yang anda sampaikan ditolak, agungkan Allah, semoga anda tetap berbaik sangka
kepada Allah & juga kepada keluarganya. Sebab bisa jadi, penolakan merupakan jalan pensucian
jiwa dari kedzaliman diri sendiri, bisa jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai
kematangan, kemantapan & kejernihan niat. Sementara ada banyak hal yang dapat mengotori
niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat anda, kecuali anda justru malah merendahkan
diri sendiri. Tapi hati perlu diperiksa, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ujub.
Kekecewaan, mungkin saja timbul. Barangkali ada perasaan yang perih, barangkali juga ada
yang merasa kehilangan rasa percaya diri saat itu. Ini merupakan reaksi psikis yang wajar,
kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi ia harus diperlakukan dengan cara yang tepat
agar ia tidak menggelincirkan ke jurang kenistaan yang sangat gelap. Kecewa memang pahit.
Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa, mereka berusaha membuang jauh-jauh
sumber kekecewaan. Sekilas nampak tidak ada masalah, tetapi setiap saat berada dalam kondisi
rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian
tidak dikehendaki Islam. Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang perlahan-lahan secara
wajar. Sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan dengan tidak kehilangan
obyektivitas & kejernihan hati, kita menjadi lebih tegar, meskipun proses yang dibutuhkan untuk
menghapus kekecewaan lebih lama.
Kalau anda merasa kecewa, periksalah niat anda. Dibalik yang dianggap baik, mungkin ada niat
yang tidak lurus. Periksalah motif-motif yang melintas dalam batin. Selama peminangan hingga
saat menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati memproses secara wajar sampai menemukan
kembali ketenangan secara mantap.
Tetapi kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai harapan, berbahagialah
sejenak. Bersyukurlah. Insya Allah kesendirian yang dialami dengan menanggung rasa sepi
sebentar lagi akan menghapus kepenatan selama di luar rumah. Insya Allah sebentar lagi.
Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk melakukan apa saja yang
menjadi hak anda bersamanya. Akan tiba masanya anda merasakan kehangatan cintanya.
Kehangatan cinta wanita yang telah mempercayakan kesetiaannya kepada anda. Setelah tiba
masanya, halal bagi anda untuk menemukan pangkuannya ketika anda risau.
Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan Allah memberikan
banyak keindahan & kemuliaan. Wanita boleh menawarkan Islam memberikan penghormatan
yang suci kepada niat & ikhtiar untuk menikah. Nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan
sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan
kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini
kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah r.a atas
teladan bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.
Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlaq & kesungguhan untuk mensucikan diri.
Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah & untuk mendapatkan pahala-Nya, Allah pasti
mencatatnya sebagai kemuliaan & mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau
ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri
dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang
maslahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan
penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah & tidak memiliki kehormatan, kecuali
sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.
Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a ada seorang wanita yang datang
menawarkan diri kepada Rasulullah SAW dan berkata : “Ya Rasulullah! Apakah baginda
membutuhkan daku?” Putri Anas yang hadir & mendengarkan perkataan wanita itu mencela
sang wanita yang tidak punya harga diri & rasa malu, “Alangkah sedikitnya rasa malunya,
sungguh memalukan, sungguh memalukan.” Anas berkata kepada putrinya : “Dia lebih baik
darimu, Dia senang kepada Rasulullah SAW lalu dia menawarkan dirinya untuk
beliau!” (HR Bukhari)
Download