Seminar Nasional Peternakan dun Veteriner 1998 PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM DIM BuDI WIIONO Instalasi Penelitian dart Pengkajian Teknologi Pertanian Grati Jalan Pahlawan, Grati Pasur7ran 67184 ABSTRAK Progesteron sebagai hormon reproduksi yang berperan dalam pemelillaraan kebuntingan dan dihasilkan oleh corpus luteum . Penelitian dilakukan untuk mendapatkan peran progesteron guna deteksi estrus dan evaluasi aktivitas ovarium . Digunakan 4 ekor sapi Madura induk produktif, untuk analisa hormon progesteron dilakukan pengambilan sampel darah setiap 10 hari sekali selama 4 bulan . Pengamatan kejadian estrus dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Hasil pengamatan menunjukkan terjadinya fluktuasi kadar progesteron secara teratur di setiap siklus estrus dengan kisaran 0 - 6,8 ng/ml . Kadar progesteron 10 hari menjelang estrus adalah 4,26 t 0,85 ng/ml dan pada saat terjadinya estrus masih didapatkan sebagian kecil progesteron yaitu 0,20 t 0,49 ng/ml pada kisaran keadaan estrus 3 hari sebelum dan setelah estrus . Kejadian estrus tampak jelas secara klinis sebesar 76,92%. Selanjutnya terjadi ovulasi ditandai oleh kenaikan kadar progesteron dalam darah yang diamati pada hari ke-10 setelah estrus sebesar 3,20 t 1,73 ng/ml. Siklus estrus yang dihasilkan secara teratur 22,2 f 2,6 hari . Dengan demikian kadar progesteron mampu memberikan petunjuk saat terjadinya estrus dan aktivitas ovarium untuk lebih meningkatkan fertilitas . Kata kunci : Sapi madura, progesteron, siklus estrus PENDAHULUAN Aktivitas reproduksi menipakan manifestasi tampilan status faali ternak benupa perubahan keseimbangan hormonal yang mempengaruhi aktivitas organ reproduksi . Horunon menupakan faktor intrinsik atau faktor dalam yang mempenganihi aktivitas organ . Manifestasi aktivitas ovarium ternak betina berupa siklus estrus yang dipenganulu oleh keseimbangan hormon kelamin yaitu progesteron dan estrogen. Tingkat produktivitas ternak betina antara lain sangat tergantung kepada aktivitas ovarium, dan ovarium berperan di dalain pembentukan sel kelamin betina (ovum) . Proses pendewasaan/penubentukau sel telur akan diawali oleh perkembangan folikel, perkembangan folikel selaras dengan pembentukan ovtun dan pada akhir perkembangan folikel terbentuk hormon estrogen yang merupikan hormon pnggertak terjadinya estrus . Hasil sel sisa folikel setelah mengalami ovulasi sel telur pada ovarium akan terbentuk organ yang memproduksi hormon progesteron yaitu corpus luteum. Peran hormon progesteron antara lain adalah mempertahankan kebuntingan dan menggertak pembentukan kelenjar susu, yang kerjanya kontradiksi dengan hormon estrogen yang secara nornial memiliki keseimbangan dalanu darah . Perubahan kadar progesteron dapat sebagai salah satu petunjuk yang menunjukkan keaktifan dari ovarium, yaitu pembentukan corpus luteum dan secara tidak langsung dapat digunakan untuk pendugaan terhadap pembentukan folikel pada ovarium yang nuanifestasinya tanipak dengan bentu k tanda-tanda estrus . 267 Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner 1998 MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan selama 4 bular dengan materi 3 ekor sapi madura induk produktif dan telah pernali beranak . Pengamatan dilakukan terhadap status reproduksi yaitu siklus estrus dan hormon progesteron . Kejadian estrus ditentukan berdasarkan tampakan tanda-tanda estrus yang pengamatannya dilakukan pada saat pagi dan sore hari. Kadar progesteron yang dideteksi berasal dari plasma darah dan pengambilannya dilakukan setiap 10 hari sekali, untuk ditentukan kadar progesteronnya. Analisa kadar hormon progesteron dalam plasma darah digunakan kit 1251-P4 . Data disajikan secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Fluktuasi progesteron Perubahan kadar progesteron yang dihasilkan selama pengamatan, memberikan gambaran fluktuasi yang bervariasi dalam keteraturannya selaras dengan perkembangan proses aktivitas ovarium dalam bentuuk siklus estrus . Pembentukan maupun regresi corpus luteum diinterpretasikan dengan turun naiknya kadar progesteron di dalam plasma darah, dan perubahan kadar progesteron tidak selalu diikuti oleh tampakan tanda-tanda estrus secara klinis, karena estrus ditentukan oleh tingginya kadar estrogen di dalam darah . Keduanya inengatur kejadian siklus estrus di dalam keseimbangannya . Estrus merupakan tahapan suatu proses biologis ternak betina yang telah mengalami dewasa kelamin atau telah siap dikawililcan. Siklus estrus secara fisiologis nienipakan tallapan sampai terjadi proses pembentukan folikel de graff dan pada tahap akhir akan mengalami perubahan bentuk menjadi corpus luteum, yaitu sisa sel-sel folikel yang berubah fiingsi setelah mengalami ovulasi . Folikel de graff berisi sel telur dan nieinproduksi hormon estrogen yang berperan di dalain kejadian estrus dengan tanda-tanda estrus yang jelas secara klinis . Menunit HAFEZ (1980) bahwa pada sapi yang mengalami estrus akin menunjukkan gejala fisiologis yang nyata berupa perubahan vulva menjadi merah, bengkak, hangat, mengeluarkan lendir, gelisali, nafsu makan inenunm dan menaiki ternak lain. Pada Ganibar 1, disajikan fluktuasi kadar progesteron dari tiga induk produktif yang diamati, menunjukkan puncak kadar progesteron tertinggi sebesar 6,8 ng/nil dan kadar progesteron terendah sauna dengan 0 ng/ml . Hal ini menunjukkan aktivitas ovarium dari materi yang diamati berjalan normal di dalam satu satuan waktu periode/siklus estrus . Kadar progesteron tertinggi dapat terjadi pada fase bunting dengan perkembangan corpus luteum yang maksimal, dan progesteron di sainping berperan sebagai peniclihara kebuntingan juga penggertak perkembangan kelenjar susu. Pada saat tidak terjadi kebuntingan atau kandungan tidak terimplantasi embrio, akan diikuti penunman kadar progesteron secara bertallap yang diakibatkan oleh terjadinya regresi corpus luteum . Ttr.itj dan MANALu (1995) mendapatkan bahwa di dalani plasma darall tikus didapatkan kadar progesteron dan estradiol semakin meningkat terus dengan bertainbalmya umur kebuntingan s/d 12 hari dan melonjak drastis sampai hari ke-16 dan akan diimbangi dengan perkembngan kelenjar susu . 268 Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1998 ng/ml 0 10 20 30 40 60 60 70 80 90 100 110 120 hari - induk 1 +- induk 2 ~ induk 3 Gambar 1. Fluktuasi honnon progesteron dari 3 pengamatan Ovarium di dalam keadaan aktif akan mengalami proses pendcwasaan sel telur dengan pembentukan folikel dan regresi corpus luteum atau pada saat terjadi kebuntingan, perkembangan corpus luteum terus berlanjut dan terjadi stagnasi di dalam pembentukan folikel . VANDEPLASSCHE (1982) mengungkapkan bahwa progesteron sebagai hormon reproduksi ternak betina yang berhubungan erat dengan umur kebuntingan . Kandungan kadar progesteron yang terkandung di dalam plasma darah lebih besar dari 3 ng/nil menunjukkan bahwa ternak dalam keadaan bunting-, atau lebih besar dari 6 ng/ml kadar progesteron yang didapatkan dalam ail susu pada kebuntingan hari ke-24. Kandungan kadar progesteron kurang dari 1 ng/ml di dalartl plasma darah atau lebih kecil dari 2 ng/ml di dalam air susu, menunjukkan tidak akan ditemukan corpus luteum atau telah mengalami regresi di dalam ovaritunnya atau tidak menunjukkan tandatanda kebuntingan secara klinis . Kegagalan kebuntingan salah satunya ditunjukkan oleh tinibulnya estrus pada siklus berikutnya. Estrus Pengamatan yang dilakukan terhadap kejadian estrus selama 4 bulan, didapatkan kejadian estrus sebanyak 10 kali, yang pengamatannya didasarkan kepada tanda estrus secara Minis (76,92%), dengan rataan panjang siklus estrus 22,2 t 2,6 hari . Pengamatan terhadap kejadian estrus yang pengamatannya didasarkan kepada basil analisa hormon progesteron yang terkandung dalam plasma darah, menunjukkan bahwa kejadian estrus muncul sebanyak 13 kah . Pendugaan siklus estrus berdasarkan kadar hormonal yaitu siklus estrus normal sekitar 21 hari; kadar progesteron yang dihasilkan kurang dari 1 ng/nil pada saat diduga mengalami estrus, yang terjadi dalam sate siklus estrus . Berdasarkan penibahan kadar progesteron di dalam plasma darah kejadian estrus yang mampu ditunjukkan dalam bentuuk estrus sub Minis sebesar 22,18% . 269 SeminarMasional Peternakan dan Veteriner 1998 Estrus sub klinis atau silent heat dapat terjadi pada induk-induk produktif dari hasil-hasil penelitian terdahulu sering diakibatkan oleh perubahan kondisi badan ternak. MAHAPUTRA (1994) dari hasil pengamatannya menunjukkan bahwa penurunan kondisi badan ternak yang perubahannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor pakan, dan tingkat produksi susu, mampu menimbulkan gangguan ketja hormon gonadotropin. Menurut WIJONO et al. (1992), dan GARNswoRTHY dan JONES (1987) bahwa kondisi badan yang jelek (kurus) mangakibatkan terhentinya aktivitas ovarium dan tidak tampak tanda-tanda estrus atau siklus estrus terhenti, yang memungkinkan terjadinya kegagalan perkembangan folikel dengan indikasi penurunan konsentasi estradiol dalam plasma darah (HENDRICKS et al., 1976). Tabel 1 . Rataan kadar hormon progesteron pada saat estrus, 10 hari sebeltun dan setelah estrus Uraian Sebelum estrus (ng/ml) Saat estrus (ng/ml) Setelah estrus (Ng/ml) Siklus estrus (hari) Minimum Rataan Maksimlun 3,41 0,00 1,47 19 4,26 f 0,85 0,20 t 0,49 3,21 f 1,73 22,2 f 2,6 5,11 0,70 4,94 27 Pada Tabel 1, disajikan variasi rataan kadar progesteron yang dianalisa pada saat terjadinya estrus dalam variasi 3 hari, dan pengambilan plasma darah atau deteksi progesteron sebelum maupun setelah estrus sebesar 0,20 f 0,49 ng/nl, dan secara klinis menunjukkan tanda-tanda estrus yang cukup jelas. Hasil analisa progesteron yang dilakukan setelah maupun menjelang kejadian estrus dalam kisaran 10 hari mampu memberikan petunjuk hasil kadar progesteron rataan di atas 3 ng/nl ; dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan terjadinya estrus pada hari ke-10 atau hari ke-20 . Hal ini dapat sebagai petunjuk bahwa keadan pada saat deteksi kadar progesteron yang didapatkan lebih tinggi dari 3 ng/nl menunjukkan keaktifan dari ovarium ; dan kemungkinan siklus estrus telah terlewatkan atau masih memasuki tahapan menjelang estrus . Siklus estrus yang terjadi selama di dalam masa pengamatan adalah 22,2 f 2,6 hari, masih memberikan infonnasi siklus estrus normal secara fisiologis ; kurang lebih siklus estrus sebesar 21 hari (TOELIHERE, 1981) . KESIMPULAN Hormon progesteron selama periode siklus estrus menunjukkan fluktuasi yang teratur, merupakan manifestasi adanya aktivitas ovariutu . Kadar progesteron mempunyai variasi tingkatan kandungan, pada saat kurang dari 1 ng/nl dapat digunakan untuk pendugaan terjadinya estrus, dan kadar progesteron lebih dari 3 ng/nl mengarah terjadinya kebuntingan atau pembentukan corpus luteum. DAFTAR PUSTAKA ESSLEMONT, R.J., J.H. BAILI, dan M.J. COOPER . 1985 . FertilityManagement in Dairy Cattle . Collins. London. GARNSwoRTHY, P.C. dan G.P. JoNEs. 1987. The influence of body condition at protein supply on voluntary feed and perfor mance in dairy cows. J. Anim. Sci. 350-353 . HAFEz, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th ed. Lea and Febiger. Philadelphia . 270 Seminar NasionalPeternakan dan Veteriner 1998 HENDRicKS, D.M ., J.D . RONET, C.L . FERRELL, and S.E. ECKrERNKAMP. 1976 . A rate on the effect on ovulation and ovarian follicular population in the individual post partus beef heifer . J. Brit. Soc. Anim . Prod. Duran. vol: 43 . Part . 3.p : 557-558. MAHAPuTRA, L. 1994 . Upaya perbaikan kinerja reproduksi sapi perah untuk meningkatkan produktivitas usaba peternakan rakyat . Proc . Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balitnak- Grati. hal . 18-26 . Me DONALD, P., R.A . EDWARDA, dan J .F .D . GREENBAGS. 1988 . Animal Nutrition. Longman. Essex. TOELmERE, M.R . 1981 . Fisiologi Reproduksi pada Ternak . Angkasa. Bandung . Tuju, E. A. dan WASIv1EN MANALU . 1995 . Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing tikus selama periode kebuntingan dikaitkan dengan jumlah foetus yang dikandung dan konsentrasi Progesteron dan Estradiol dalam serum induk. Pros. Sem. Nas. Sains dan Tek-nologi Peternakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Bogor. VANDEPLASSCHE, M. 1982 . Reproductive Efficiency in Cattle : A Guideline for Project in Developing Countries. FAO. Rome . WIJONo, D.B ., L. AFFANDHY dan E. TELEN1 . 1992 . The relationship between liveweight/body condition and ovarian avtivity in Indonesia cattle . Proc . 6th AAAP Animal Science Congress Vol III. The Animal Husbandry Association of Thailand . '