Review Buku Tourism and Sustainability: Development and New Tourism in the Third World Disusun untuk memenuhi tugas Kelas Pariwisata dalam Hubungan Internasional Dosen Pengampu: Drs. Usmar Salam, M. Int. Stu. Oleh: Andi Dinda Rahayu Mulya Ir Auzan Ramadhan Azza Bimantara Catur Dewi Praptiningsih Fifi Fitriana Indah Kumalasari (14/364358/SP/26092) (14/367543/SP/26422) (13/349376/SP/25800) (13/345259/SP/25529) (13/353955/SP/26022) (13/345297/SP/25552) DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016 1 Rangkuman ‘Sustainability’ merupakan istilah yang ideologis. Hal tersebut dapat digunakandan digunakan oleh banyak kalangan mulai dari pebisnis, seluruh partai politik mainstream,danmereka yang berada di luar mainstream tersebut, untuk menggambarkan dan mendeskripsikan suatu kebijakan, Implikasidimana dapat ditampilkan dalam bentuk apapun yang sustainabledalam berbagai cara. Sustainabilityditerima dan dijelaskan sebagai bagian penting dari ideology New World Orderdan segala kecenderungan dikaitkan dengan ideology tersebut. Kecenderungan tersebut,termasuk kedalamannya‘new’ consumerism, diman berkaitan dengansustainability. Dalam ranah Pariwisata, istilah ‘sustainability’ dapat dan telahdisalah artikan olehberbagai kalangan utnuk memberikan moral kebaikan serta mandate ‘green’ untuk kegiaatan pariwisata. Dan hal tersebut sama sekali bukan hanyaOperator wisata dan perusahanaan pencari keuntungan lainnyayang berdiri untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas pariwisata tersebut yang menggunakan istilah tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Golongan Konservatif, pegawai pemerintahan, Politisi, organisasi komunitas lokal dan wisatawan itu sendiri semuanya memanipulasi istilah Sustainabilitytersebut sesuai dengan definisi mereka masing-masing. Praktik dari pariwisata sendiri juga memodifikasi dirinya sendiri untuk dapat memperhitungkan bentuk baru dari pariwisata;dan kesempatan untuk memuaskan diri dengan ‘sustainable tourism’telah muncul di seluruh penjuru dunia. Namun, untuk dapat memahami ‘sustainable tourism,’ kita harus mengerti terlebih dahulu bagaimana perkembangan pariwisata bisa sampai pada kondisi seperti sekarang. Oleh karena itu, pemahaman terhadap perkembangan pariwisata perlu ditelaah dari perkembangan pariwisata modern. Kebangkitan pariwisata dan kebangkitannya dalam bagian penting dari kehidupan manusia dalam berlibur secara kolektif telah di dokumentasikan kedalam berbagai catatan dengan sangat baik.. Rangsangan terhadap industri liburan oleh perkembangan teknologi di dalam ranah transportasi secara jelas terlihat mulai dari sejarah perkeretaapian (Inggris Raya pada abad ke 19), kendaraan bermesin (yang menyebar secara luas di dalam negara dunia pertama setelah tahun 1950an) serta pesawat terbang berbadan besar (setelah tahun 1960-an. Penjelasan berikut akan terbagi menjadi tiga bagian, yakni pemaparan perkembangan model pembangunan pariwisata, etika atau ideologi yang memengaruhi model, dan pertumbuhan dari industri pariwisata itu sendiri. Pertama, model penjelasan secara luas dapat di kelompokan kedalam bagian yang dimana menjelaskan motivasi dari wisatawan, yang menjelaskan tentang peran dari industri 2 pariwisata, dan yang menjelaskan pengembangan dari komunitas yang berada pada lokasi tujuan pariwisata.Namun, kategorisasi seperti itu dinilai terlalu sederhana. Beberapa model, sebagai contoh, Butler’s Product Life Cycle Modelberusaha untuk menjelaskan perilaku baik perilaku dari industri pariwisata tersebut maupun komunisat nyang berada di destinasi pariwisata. Lebih lanjutnya, kategori tersebut dan model-model lain yang mengikutinya gagal untuk menjelaskan hubungan antara elemen-elemen yang berbeda di dalam industry pariwisata (wisatawan, penyedia jasa, dan penduduk lokal dengan cara sesederhana mungkin). Krippendorf (1987) juga menyebutkan semangat pentingnya waktu luang dalam kehidupan masyarakat barat di era modern: ‘Most people in the industrialised countries have been seized by a feverish desire to move. Every opportunity is used to get away from the workday routine as often as possible’.1 Model kehidupan yang ia gunakan untuk mengambarkan masyarakat indusri (Kerja–Rumah– Waktu Luang–Berwisata) merefleksikan sejarah dari perubahan keseimbangan antara bekerja dan bersantai di dalam kehidupan industry serta kehidupan masyarakat perkotaan. Sekali lagi, sejarah mendasari bentuk dari sebuah model ketimbang yang dilakukan melalui perspektif politik. Kedua, etika atau ideologi pembangunan pariwisata secara pokok berkaitan dengan cara pandang bagaimana pariwisata seharusnya dibangun dan dalam konteks maupun tujuan tertentu. Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana industri pariwisata menggunakan cara pandang tertentu untuk menangkap motivasi atau tujuan masyarakat dalam berwisata. Memudarnya kekuatan dari etika kerja (Work Ethic) sebagai variable yang menjelaskan bagaimana perkembangan dari perlikau tren kapitalisme barat telah dibayang-bayangi oleh kehadiran dari gagasan etika waktu luang (Leisure Ethic). Etika waktu luang berkembang sebagai sesuatu yang penting ketika etika kerjan semakin menurun pada saat dimana pencarian akan hedonisme menggantikan pencarian dari moral ketulusan dan keberlangsungan ekonomi yang terasosiasi dengan etika kerja. Hal tersebut juga penting,namun, untuk menunjukkan bahwa etika waktu luang muncul dengan 2 wujud yang secara jelas berbeda pada era sekarang – wujud dari masyarakat barat bekerja di perkotaan dengan wujud dari penduduk lokal yang harus melayani etika waktu luang tersebut.Sejak awal 1980an, etika waktu luang sebagai penjelasan dari perilaku wisatawan yang berasal dari negara dunia pertama telah menyatu dengan gagasan tentang etika konservatif yang telah 1 Krippendorf, J. (1987) The Holidaymakers: Understanding the Impact of Leisure and Travel, London: Heinemann 3 mulai masuk kedalam lingkaran pola dari perjalanan pariwisata, terutama di negara dunia ketiga. Kedua etika tersebut, terasosiasi secara dekat. Ketiga, dilihat dari aspek pertumbuhan, tidak dapat dipungkiri bahwa fasilitas-fasilitas pariwisata telah semakin bertebaran, terutama sejak tahun 1960an. Penghubungan antara paket liburan dengan bertambahnya kesempatan masyarakat dalam jumlah yang besar untuk melakukan perjalanan lintas negara telah memiliki efek yang sangat dalam di dalam berbagai kawasan di dunia yang sekarang bekerja sebagai penerima wisatawan. The WTTC (World Travel and Tourism Council) mengklaim bahwa perjalanan pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia, menghasilkan 10% dari GDP dunia dan lebih dari 10% lapangan kerja dunia dan diperkirakan akan menciptakan 130 juta lapangan kerja baru antara tahun 1996 sampai 2006.Perkembangan ini dalam konteks pentingnya pariwisata, tidak dirasakan oleh negara-negara dunia ketiga.Pariwisata massal telah benarbenar berkembang dalam beberapa tahun terakhir dan meskipun adanya resesi, penurunan m serta serangan teroris, sebagian besar memproyeksikan keberlanjutan tari tren tersebut. Kemampuan untuk berlibur kemanapun di dunia telah menjadi bagian penting dalam kehidupan profesional modern di dalam dunia yang kaya. Fenomena dan pertumbuhan dari pariwisata massal telah mendorong kepada terjadinya berbagai macam persoalan, dimana telah semakin bertambah dalam beberapa tahun terakhir. Permasalahan tersebut menyangkut masalah lingkungan, sosial dam degradasi budaya, distribusi keuntungan finansial yang tidak setara, mempromosikan sikap paternalistik , dan bahkan penyebaran penyakit.Beberapa masalahan tersebut telah menjadi perhatian dunia, di dalam beberapa kasus, sebagai contoh, pada negara-negara yang terletak di laut Mediterania, deforestasi dan erosi tanah di beragam wilayah di pegunungan Himalaya, tumpukan sampah di jalur pendakian gunung di Nepal, dan gangguan kepada hewan liar yang dilakukan oleh tur safari di Kenya.Hal tersebut secara umum dikaitkan dengan pariwisata massal. Hal tersebut juga sering diklaim bahwaperkembangan dari bentuk alternatif dari pariwisata merupakan hasil dari keinginan untuk membahas permasalahan tersebut. Fernandes mengatakan : ‘much of what are now seen as new forms of tourism have arisen because ‘the mainstream tourism industry has in fact merely tried to invent a new legitimation for itself – the “sustainable” and “rational” use of the environment, including the preservation of nature as an amenity for the already advantaged’.2 2 Fernandes, D. (1994) ‘The shaky ground of sustainable tourism’, TEI Quarterly Environment Journal 2, 4: 4–35. 4 Di dalam industri pariwisata, aktivitas pariwisata ke wilayah yang di lindungi dan alam liar yang benar-benar murni, adalah salah satu yang berkembangnya paling cepat. Bagi Kosta Rika sebagai contoh, negara tersebut terkenal oleh karena taman nasionalnya dan promosi dari ecotourism. Survei pengunjung tahunan yang dilakukan oleh institut pariwisata Kosta Rika menemukan bahwa secara tetap, 70% wisatawan yang datang (baik dari nasional maupun internasional) mengunjungi area-area yang dilindungi. Kosta Rika mungkin memang bukan merupakan representasi dari negara-negara dunia ketiga didalam konteks ini, namun kadang dijadikan sebagai model bagi negara-negara lain untuk dicontoh. Implikasi dari perkembangan pariwisata dunia hingga sekarang menunjukkan bahwa upaya para akademisi untuk mengembangkan konsep baru tentang “Pariwisata Baru” masih cukup sulit karena konteks sustainability masih terlalu luas dan tergolong sangat kontemporer dalam studi pariwisata. Kurangnya konsensus adalah hal yang paling mencolok antara mereka yang mempelajari bentuk-bentuk baru dari pariwisata dan mereka yang mengoperasikan tur. Perbedaan pendapat juga terlihat antara lain di lapangan, konservasionis, pejabat pemerintah, dan penyedia layanan. Tampaknya, daftar Pariwisata Baru tidak berujung, karena adanya pertempuran definisi dari berbagai bentuk pariwisata, pendukung pariwisata, dan protagonis dalam mendefinisikan cara yang paling etis untuk mengambil liburan. Berikut tinjauan secara singkat pelari depan yang berusaha untuk mendefinisikan diri mereka dalam hubungan dengan pengembangan dan keberlanjutan. Ecotourism (Ekowisata); pariwisata yang dikembangkan untuk tujuan kelestarian lingkungan dengan dampak terhadap masyarakat lokal Sustainable Tourism (Pariwisata berkelanjutan); pariwisata yang tidak hanya peduli terhadap isu lingkungan tetapi juga isu pengurangan kemiskinan Community-based Tourism (Pariwisata berbasis Komunitas); pariwisata yang menekankan pada orientasi dan partisipasi masyarakat lokal Fair trade and ethical tourism (Perdagangan yang adil dan Pariwisata etis); pariwisata yang berrtujuan untuk memberikan keuntungan sosial ekonomi pada masyarakat lokal serta mengubah pola konsumsi pariwisata masyarakat negara Dunia Perta,a Pro-poor tourism (Pariwisata Pro-miskin); pariwisata yang memberdayakan masyarakat miskin Mengingat bahwa tidak ada definisi yang dikutip di bagian sebelumnya adalah komprehensif dan mencakup semua, pendekatan lebih sering dilakukan adalah untuk memeriksa dan menilai kegiatan wisata menurut apakah mereka memenuhi sejumlah kriteria “Sustainable.” 5 Setidaknya terdapat empat kriteria yang kadang digunakan untuk menjabarkan konsep sustainability dalam pariwisata, yakni aspek ekologis, sosial, kultural, dan ekonomis. Kondisi keberlanjutan ekologis perlu dirasakan oleh publik. Kebutuhan untuk menghindari atau meminimalkan dampak lingkungan dari kegiatan wisata telah selesai. Maldonado (1992) menunjukkan bahwa perhitungan daya dukung merupakan metode penting untuk menilai dampak lingkungan dan keberlanjutan. Daya dukung yang rendah kemungkinan akan dipublikasikan dan organisasi konservasi yang terlibat dalam promosi bentuk-bentuk baru dari pariwisata lebih mungkin daripada kebanyakan lainnya untuk mendorong kapasitas maksimum imajiner dalam mengejar konservasi dan keuntungan ekonomi. Keberlanjutan sosial dan kultural mengacu pada kemampuan dari masyarakat, baik lokal maupun nasional, untuk menyerap masukan, seperti orang-orang tambahan, untuk jangka pendek atau waktu dalam waktu yang lama, dan untuk melanjutkan fungsi baik itu tanpa penciptaan disharmoni sosial sebagai hasil dari masukan ini atau dengan mengadaptasikan fungsi dan hubungan sehingga ketidakharmonisan dibuat dapat diringankan atau dikurangi. Beberapa efek negatif dari pariwisata di masa lalu telah menunjukkan tidak ada perpecahan sosial. Selain itu, masyarakat mungkin dapat terus berfungsi dalam harmoni sosial meskipun ada efek perubahan yang dibawa oleh input baru seperti wisatawan. Tapi hubungan dalam yang masyarakat, adat istiadat interaksi, gaya hidup, kebiasaan dan semua tradisi untuk mengubah melalui pengenalan pengunjung dengan kebiasaan yang berbeda, gaya subjek, adat dan alat tukar. Bahkan jika masyarakat bertahan, budaya mungkin ireversibel untuk diubah. Budaya tentu saja adalah fitur dinamis kehidupan manusia sebagai masyarakat atau ekonomi; sehingga proses adaptasi budaya dan perubahan tidak dianggap di semua kasus menjadi efek negatif. Tapi keberlanjutan budaya mengacu pada kemampuan orang untuk mempertahankan atau menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan mereka yang membedakan mereka dari orang lain. Pengaruh budaya dari bahkan masuknya wisatawan kecil yang tak terelakkan dan mungkin berbahaya; tapi kontrol dari efek yang paling berbahaya, penekanan pada perilaku yang bertanggung jawab dari pengunjung, dan pencegahan distorsi budaya lokal dapat diasumsikan menjadi elemen penting dari pariwisata berkelanjutan. Kondisi keberlanjutan ekonomi tidak kalah penting daripada yang lain di setiap pengembangan wisata. Keberlanjutan dalam hal ini mengacu pada tingkat keuntungan ekonomi dari aktivitas yang cukup baik untuk menutupi biaya langkah-langkah khusus yang diambil untuk memenuhi turis dan untuk mengurangi dampak dari kehadiran turis atau untuk 6 menawarkan sesuai pendapatan untuk ketidaknyamanan yang disebabkan untuk masyarakat setempat yang dikunjungu - tanpa melanggar salah satu kondisi lain - atau keduanya. Dengan demikian, mungkin muncul sebagai jika aspek atau kondisi keberlanjutan lainnya sedang 'dibeli'. Dengan kata lain, terlepas dari berapa banyak kerusakan dapat dilakukan secara budaya, sosial dan lingkungan, itu bisa diterima jika profitabilitas ekonomi dalam skema ini cukup besar untuk menutupi kerusakan, mengurangi ketidakpuasan atau menekan protes. Selain keempat aspek di atas, unsur pendidikan, partisipasi lokal, dan unsur konservasi tidak lepas dari pengembangan Pariwisata. Perbedaan penting antara bentukbentuk baru dari pariwisata dan pariwisata konvensional ditemukan dalam unsur pendidikan dalam aktivitas tersebut. Ini tidak berarti bahwa perlu untuk mencapai tingkat akademik yang tinggi untuk menjadi sustainable tourist; namun pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana lingkungan alam dan manusia tidak selalu selaras. Partisipasi masyarakat lokal pun penting dalam sustainable tourism. Pada asumsi bahwa penggunaan teknik pengukuran dan deskripsi akan membantu bergerak menuju yang arah yang lebih jelas, analisis yang bisa diterapkan dan bermakna sustainable, kesadaran akan keterbatasan dan ketidakmatangan teknik juga diperlukan. Ini berarti bahwa mereka rentan terhadap manipulasi untuk tujuan partisan. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kebutuhan untuk mempolitisasi industri pariwisata dalam rangka untuk mempromosikan gerakan ke arah sustainability dan jauh dari kecenderungan untuk mendominasi, korupsi, dan merusak alam, budaya dan masyarakat. Politisasi industri pariwisata akan membutuhkan klarifikasi dan penekanan dari asosiasi antara struktur kekuasaan yang berlaku dan kontrol perkembangan pariwisata, dan menghubungkan dengan jelas tujuan mengurangi dan pembangunan yang tidak merata dengan kebijakan yang ditempuh oleh industri pariwisata dan pemerintah dan lembagalembaga internasional yang mempromosikannya. Tanpa politisasi ini, sustainability akan terus dibajak oleh model pembangunan, kapitalisme, dan akan semakin jatuh ke dalam pelayanan pengendali modal, dewan direksi perusahaan transnasional besar dan organisasi yang mengelola industri lainnya. Singkatnya, rangkuman di atas ingin mengatakan bahwa kemunculan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) merupakan kritik terhadap perkembangan pariwisata modern yang mainstream. Pariwisata modern yang hanya berangkat dari work ethic dan leisure ethic hanya mementingkan pariwisata sebagai motor pertumbuhan dan pembangunan ekonomi serta hanya mementingkan aspek pemenuhan kebutuhan hasrat akan kenikmatan jasmani maupun rohani individu dalam berwisata. Dampaknya mulai bermunculan persoalan terhadap lingkungan, pemerataan pembangunan, dan keberadaan masyarakat lokal yang 7 termarjinalkan. Berangkat dari hal tersebut, conservative ethic menjadi unsur komplementer baru terhadap model pembangunan “pariwisata baru” yang berkelanjutan. Pariwisata tersebut tidak hanya mampu memberikan perasaan bahagia dan kenikmatan bagi para wisatawan tetapi juga turut mengajak mereka untuk berkontribusi terhadap keberlangsungan lingkungan, sosial kultural, dan ekonomi dari masyarakat lokal. Namun, tulisan ini ingin melihat perkembangan konsep keberlanjtuandalam pariwisata lebih dalam lagi. Tulisan ini ingin melihat bagaimana konsekuensi dari pariwisata berkelanjutan terhadap berbagai aspek sosial politik, khususnya dalam studi ilmu Hubungan Internasional, baik kelebihan maupun kekurangannya. Selain itu juga, argumen-argumen kritis dalam tulisan ini juga akan berusaha untuk mengaitkan isu pariwisata berkelanjutan ini dengan berbagai konsep dan teori dalam ilmu Hubungan Internasional. Dengan demikian konseptualisasi pariwisata berkelanjutan di satu sisitidak hanya terbatas pada kelimuan pariwisata saja tetapi juga dapat dikaitkan dengan disiplin ilmu lain sehingga studi pariwisata (khususnya dalam ilmu Hubungan Internasional) tetap berkembang. Perkembangan studi Hubungan Internasional di sisi lain juga turut berkembang. Isu Gender dalam Sustainable Tourism Dalam buku karya Martin Mowforth dan Ian Munt, dinyatakan bahwa pariwisata hendaknya bersifat berkelanjutan secara kultural. Akan tetapi, berangkat dari pernyataan tersebut, muncul dilema mengenai sisi gender dalam pariwisata yang berkelanjutan. Tak dapat dipungkiri, merekomendasikan pariwisata agar berjalan secara berkelanjutan secara kultural adalah hal yang positif. Namun, jarang disadari bahwa dalam kultur yang dijalankan justru secara tidak langsung mempromosikan ketimpangan gender, misalnya saja wisata prostitusi, atau penempatan wanita pada profesi pendukung dan penghibur. Hal ini menjadi salah satu koreksi pada buku ini dimana sudah selayaknya dalam pengembangan ilmu pariwisata dalam hubugan internasional disisipkan perspektif gender. Jarang terlintas dalam pemikiran jika sebenarnya pariwisata dan gender memiliki relasi yang erat. Karena itu, tak banyak yang memperhatikan aspek gender dalam pariwisata. Dalam tujuan untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan, sudah sepantasnya kita lebih peka untuk melihat dan memperbaiki bagaimana kesenjangan gender yang selama ini sudah membudaya dan tak banyak mendapat kritisi. Padahal, pariwisata yang berkelanjutan tidak seharusnya mempromosikan ketimpangan gender dalam kultur meskipun sebenarnya 8 fenomena ini banyak yang tidak disengaja. Cynthia Enloe melalui bukunya Bananas, Beaches, and Bases menyatakan bahwa “Tourism as a concept is gendered. Tourists as people are gendered. Tourism-promoting policies are gendered. Profit-seeking tourism companies and the ever-increasing numbers of people who work for them are gendered. And all five are political. All five involve the workings of power. That is, the industry, the people in it, and the people it is supposed to serve shape—and are shaped by—ideas about and practices of diverse masculinities and femininities.”3 Pernyataan tersebut sangat mendeskripsikan bagaimana konsep pariwisata dan seluruh aspek di dalamnya sangat berbasis pada gender. Menurut Enloe, pariwisata dipraktikkan sesuai ragam maskulinitas dan feminisme. Hingga kini, terdapat pemisahan yang cenderung memarginalisasikan peran wanita dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Padahal, keterlibatan wanita dalam pariwisata dapat mengurangi ketimpangan gender dalam pembangunan. Adapun beberapa fakta umum tentang perempuan dalam pariwisata diuraikan oleh UNWTO 20114, sebagai berikut: a) Wanita memenuhi sebagian besar proporsi tenaga kerja pariwisata yang formal. b) Perempuan terwakili dalam pekerjaan pelayanan dan tingkat administrasi, tetapi kurang terwakili pada tingkat profesional. c) Perempuan di bidang pariwisata biasanya mendapatkan 10% sampai 15% lebih sedikit dari pada tenaga kerja lakilaki. d) Sektor pariwisata menjadikan perempuan sebagai pemilik usaha/majikan yaitu hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan sektor lainnya. e) Satu dari lima menteri pariwisata di seluruh dunia adalah perempuan. f) Perempuan yang bekerja di sektor pariwisata menjadi pekerja sendiri/mandiri dengan proporsi yang jauh lebih tinggi dari pada sektor lain. Dari beberapa fakta umum tersebut, dapat dipahami bahwa ketimpangan yang dirasakan kaum wanita cukup ekstrim. Maka, berdasarkan data di atas, dapat diasumsikan bahwa sebenarnya pariwisata berbasis komunitas belum dapat diaplikasikan secara merata.5 Martin dan Ian Munt dalam buku Tourism and Sustainability mampu mengidentifikasi beragam persoalan yang muncul seiring dengan pertumbuhan pariwisata masal. Melalui tulisannya, Martin dan Ian Munt mengidentifikasi bahwa masalah yang muncul seiring 3 C. Enloe, Bananas, Beaches, Bases; Making Feminist Sense of International Politics, 2nd Edition, University of California Press, London, 2014, p.X 4 UNWTO, Global Report on Women in Tourism 2010, UNWTO, Madrid dan New York, 2010. 5 Unknown, ‘Peran Perempuan Merupakan Kunci Sukses dalam Memajukan Industri Pariwisata,’ Nurposma (daring), <http://www.nurposma.com/2015/09/nuriaty-damanik-peran-perempuan-merupakan-kuncisukses-dalam-memajukan-industri-pariwasata.html>, 10 September 2015, diakses pada 09 Maret 2016. 9 dengan pertumbuhan pariwisata masal hanya berada dalam cakupan aspek lingkungan, sosialbudaya, ekonomi dan kesehatan. Dalam hal ini penulis pun luput untuk menyertakan penjelasan secara detail terutama mengenai aspek budaya. Padahal, budaya dalam pariwisata dewasa ini semakin menunjukkan ketimpangan gender yang ekstrim. Serta, wanita dalam hal ini selalu menjadi pihak yang menerima dampaknya baik itu dampak positif maupun negatif. Menelisik pada sejarah pariwisata terdahulu, wanita bahkan tidak diizinkan untuk pergi melakukan perjalanan keluar rumah karena dianggap tidak terhormat. Negara-negara di Eropa menjadi negara di dunia pertama yang memperbolehkan wanita melakukan perjalanan namun dengan tujuan untuk melayani para prajurit di pangkalan militer atau menjadi guru yang bertugas di misi penjajahan.6 Hal ini sengaja dilakukan agar tetap dapat menjaga sisi maskulinitas prajurit sekalipun mereka sedang berada di medang tempur. Kebanyakan, wanita hanya dijadikan sebagai budakWalaupun kini wanita sudah lebih bebas untuk melakukan perjalanan, namun hal tersebut tidak menunjukan bahwa ketimpangan gender dalam pariwisata telah usai. Sebaliknya, ketimpangan tersebut justru semakin mengkristalisasi menjadi sebuah budaya yang umum bagi kebanyakan masyarakat. Salah satu perkembangan pariwisata yang semakin menampakkan adanya ketimpangan gender dapat dilihat dari fenomena pertumbuhan objek wisata prostitusi. Adapun wisata prostitusi ini baru mulai berkembang pada awal abad kedua puluh satu. Merujuk pada fenomena ini, keberadaan wisata prostitusi sebenarnya bukanlah sebuah anomali. Wisata prostitusi adalah sebuah contoh fenomena pertumbuhan pariwisata yang sangat berbasis pada gender. Enloe menyatakan bahwa “Sex tourism is the process of encouraging overwhelmingly male tourists—from North America, western Europe, the Middle East, Russia, and East and Southeast Asia—to travel from one country to another to gain access to women’s sexual services.7” Dari pengertian tersebut, tentu wisata prostitusi dimaksudkan untuk mendulang rupiah lebih pada negara sebagai alternatif sumber pendapatan di saat sektor lain sedang anjlok. Wisata prostitusi merupakan sebuah umpan untuk menarik wisatawan khususnya laki-laki datang dan menabungkan rupiahnya pada negara yang ia kunjungi. Selain wisata prostitusi, contoh lain yang menggambarkan fenomena marjinalisasi gender dalam pariwisata dapat diamati dari kebiasan-kebiasaan dimana wanita ditempatkan sebagai pramugari, pelayan hotel untuk membersihkan kamar, pembantu, serta budak seks. Tak jarang wanita sulit mendapatkan kebebasan dan kenyamanan saat berwisata. Karena itu, 6 C. Enloe, Bananas, Beaches, Bases; Making Feminist Sense of International Politics, p.40. C. Enloe, Bananas, Beaches, Bases; Making Feminist Sense of International Politics, p.74. 7 10 di lain sisi, wanita kerap mendapatkan spesialisasi atas kodratnya. Misalnya saja, dalam fasilitas hotel sengaja dibuat pemisahan kamar dan kamar mandi untuk wanita dan laki-laki dengan melabeli “women only” atau “men only”. Hal tersebut dilaksanakan semata-mata untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Tidak hanya itu, dalam berwisata misalnya seorang laki-laki cenderung untuk lebih memperhatikan fluktuasi mata uang asing. Sedangkan wanita lebih memperhatikan dan menyesuaikan pakaian dan gaya rambut dengan cuaca setempat selama berwisata. Maka, kedua informasi tersebut jelas perlu dicantumkan secara berbeda dalam website para penyedia jasa wisata.8 Dari contoh-contoh itulah, dapat disimpulkan bahwa pariwisata dan gender memiliki keterkaitan satu sama lain. Tanpa ide-ide maskulinitas dan feminitas yang terus ditegakkan, maka akan susah untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Karena itu, struktur pariwisata internasional jelas membutuhkan patriarki untuk terus bertahan dan berkembang.9 Peran Aktor Non-Negara dalam Pengembangan Sustainable Tourism Pengembangan pariwisata selama ini lebih didominasi oleh aktor negara. Pemerintah memiliki wewenang dalam pembuatan kebijakan pengembangan pariwisata. Namun, caracara yang biasa digunakan pemerintah untuk mengejar kepentingan ekonomi sehubungan dengan pengembangan pariwisata seringkali melalui eksploitasi lingkungan. Padahal, mungkin pemeliharaan lingkungan justru lebih murah daripada merusak lingkungan baru kemudian memperbaikinya. Aktor negara dalam pengembangan pariwisata kurang melibatkan aktor-aktor non-negara yang tentunya mempunyai peranan penting dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di era kontemporer menjadi salah satu penyebab perubahan pemikiran terkait pariwisata. Adanya krisis global tahun 2008, perubahan iklim, konflik atas sumber daya, penyebaran penyakit pandemik ikut berdampak pada dunia pariwisata, Terdapat pemikiran bahwa manusia mempunyai pengaruh pada perubahan iklim yang selanjutnya berimbas terhadap industri pariwisata. Perubahan ikim misalnya bisa berdampak kepada pilihan masyarakat dalam berlibur, permintaan pariwisata berdasarkan pola geografis, kompetisi dan keberlangsungan destinasi wisata serta implikasi pariwisata pada pembangunan internasional. Tujuan untuk membentuk Sustainable Tourism-Eliminating Poverty (ST-EP) telah disepakati dalam UNWTO tahun 2000. Selain itu, terjadi pula perubahan pendekatan dalam kebijakan pariwisata yang dibicarakan pada Johannesburg 8 C. Enloe, Bananas, Beaches, Bases; Making Feminist Sense of International Politics, p.55. C. Enloe, Bananas, Beaches, Bases; Making Feminist Sense of International Politics, p.82. 9 11 Summit yang membahas mengenai Type II Partnership. Pendekatan yang dipakai untuk membuat kebijakan pariwisata lebih mengarah pada multi-stakeholder approach tidak lagi top-down approach. Dalam praktiknya, kebijakan pariwisata cukup sering meninggalkan prinsip-prinsip yang ada. Lingkungan dan sustainability (keberlanjutan) hanya mendapatkan sedikit perhatian. Untuk itu, perumusan kebijakan pariwisata dan usaha membentuk sustainable tourism membutuhkan dan perlu melibatkan aksi kerjasama antara pemerintah dan aktor-aktor lainnya di luar negara.10 Perubahan pendekatan ini sepertinya berusaha untuk menyesuaikan dengan perkembangan isu-isu yang semakin kompleks seperti permasalahan lingkungan, kemiskinan, kesehatan yang tentu akan sulit ditangani menggunakan pendekatan top-down. Konsep yang menekan pada kerjasama antara pemerintah dan aktor non-negara dalam pembangunan berkelanjutan termasuk pariwisata di dalamnya yaitu Multi-Stakeholder Partnerships (MSP). Aliansi strategis antara kelompok bisnis/perusahaan, pemerintah, masyarakat sipil menjadi ciri menonjol pada negara maju maupun negara berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Kerjasama yang terjalin merupakan sesuatu yang penting karena tidak ada 1 sektor di masyarakat yang mampu menangani kompleksitas pembangunan berkelanjutan secara mandiri. MSP memiliki karakter dan substansi yang unik karena strategi kerjasama yang ada umumnya secara langsung ditujukan untuk mengatasi tantangan dan masalah yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan seperti manajemen dan perlindungan lingkungan, infusi sosial. Hal yang lebih diutamakan dalam MSP adalah sharing bukan shifting risk, bagaimana menemukan cara-cara inovatif untuk mengarahkan sumber daya yang ada sesuai kekuatan masing-masing pihak, menjaga kerjasama yang dapat membawa keuntungan bersama bagi semua pihak yang terlibat. MSP juga mengejar visi bersama, sistem penyelesaian masalah yang melibatkan berbagai pihak dan mendukung tercapainya mutual benefit. Ada 3 perspektif yang digunakan untuk melihat MSP tersebut yaitu dari sisi pebisnis/perusahaan, sektor publik dan masyarakat sipil, Pebisnis atau perusahaan juga membutuhkan reputasi baik, dimana reputasi tersebut diukur dari kemampuan perusahaan dalam mengatasi resiko/masalah non-komersial, bagaimana perusahaan dapat mempertemukan persyaratan internal dan eksternal untuk Corporate Social Responsibility (CSR) misalnya. Sektor publik pun mempunyai perspektif lain yaitu berusaha menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat, bagian seperti sektor publik biasanya dipegang oleh pemerintah pusat dan daerah. Sementara itu, sektor masyarakat sipil 10 D. J. Telfer, ‘The Evolution of Development Theory and Tourism’, dalam R. Sharpley & D. J. Telfer (eds.), Tourism and Development: Concept and Issues, Channel View Publication, Bristol, 2015, pp. 70-73 12 lebih beragam yang terdiri dari non-governmental organization (NGO), kelompok agama, yayasan pendanaan, akademisi/peneliti, kelompok kepentingan. Peran dan perkembangan NGO dewasa ini semakin vokal dalam memperjuangkan tujuan-tujuannya. Kontribusi yang dapat dilakukan oleh NGO dan aktor negara lainnya misalnya melakukan kampanye, menjadi bagian dari solusi, menyampaikan gagasan/pengetahuan, membuat inovasi-inovasi di bidang pariwisata berkelanjutan. Selain itu, NGO seperti sedang menjadi kekuatan politik baru yang lebih mendapatkan kepercayaan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sektor publik dinilai kurang cepat dan responsif dalam menangani isu lingkungan, perusahaan dianggap menekankan efisiensi tinggi dan mengejar kepentingan komersil. Sektor masyarakat sipil dalam hal ini berperan untuk mentransformasi kemampuan perusahaan dan sektor publik sehubungan dengan permbangunan pariwisata berkelanjutan.11 NGO sebagai bagian dari sektor masyarakat sipil mulai diperhitungkan pengaruhnya dalam dunia pariwisata. Peran NGO dalam dunia modern dapat ditemui di hampir semua lini/bidang kehidupan salah satunya pariwisata. Organisasi non-pemerintah merupakan organisasi sukarela yang didanai oleh negara, yayasan, perusahaan maupun individu. NGO berperan sebagai watch-dog dalam kehidupan masyarakat, organisasi ini juga menjadi agen yang menyampaikan kritik dan meningkatkan kesadaran pemerintah, organisasi lain dan masyarakat luas. Aktivitas yang dilakukan NGO pun ada yang dimulai dari tingkat lokal, nasional dan internasional. Peran konstruktif yang dapat dimainkan oleh NGO yaitu sebagai fasilitator ataupun mediator untuk memastikan adanya partisipasi berbagai pihak dalam proses pengembangan pariwisata berkelanjutan. Kebijakan pariwisata yang dibuat pemerintah cenderung bersifat unilateral, tidak diketahui oleh masyarakat serta merusak objek/destinasi wisata. Dalam hal tersebut NGO memiliki peranan krusial, tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk dari kebijakan pariwisata, namun juga mengambil tindakan legal yang dibutuhkan. Dapat dikatakan NGO mempunyai peranan vital dalam tourism awareness. Ada 3 peranan berbeda yang dijalankan oleh NGO dalam menyadarkan masyarakat terkait pariwisata. Pertama, NGO memberikan kritik terkait kebijakan pariwisata yang membahayakan lingkungan. Kedua, NGO bekerja di di tempattempat wisata dan ikut membantu permasalahan yang ada disana. Ketiga, NGO terlibat dalam proses perumusan kebijakan pariwisata dengan pemerintah atau otoritas lain. Tujuan utama dari NGO adalah membuat masyarakat menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki power untuk mengintervensi pembuatan kebijakan pariwisata yang biasanya dilakukan pemerintah. 11 Overseas Development Institute & Foundation for Development Cooperation, Multi-Stakeholder Partnerships, Global Knowledge Partnership, Kuala Lumpur, 2003, pp. 7-9 13 NGO yang berada di level lokal umumnya menangani day to day issues yang ada di lokasi wisata.12Terlihat bagaimana NGO memainkan banyak peranan dalam mendukung pariwisata yang berkelanjutan. Aktor lain di luar negara yang juga ikut berkontribusi pada pariwisata yang berkelanjutan yaitu pebisnis di bidang pariwisata. Pebisnis selama ini berada lingkungan penuh kompetisi yang berfokus pada bagaimana bisnis pariwisata yang mereka jalankan tetap menguntungkan mereka. Selain itu, pebisnis juga menghadapi tekanan yang semakin meningkat untuk memenihi kepuasan konsumen. Perkembangan bisnis pariwisata mempengaruhi tren permintaan konsumen, kemajuan teknologi, kompetisi, perubahan sosial dan ekonomi serta lingkungan. Pariwisata merupakan suatu sektor yang kompleks dan cukup mudah terkena resiko, sehingga pihak yang mengoperasikan pariwisata seperti pebisnis harus secara proaktif memastikan keberlangsungan bisnisnya dalam jangka panjang. Namun, tidak hanya keuntungan ekonomi jangka panjang yang dicari tetapi perlu juga keberlangsungan lingkungan dan sosial. Praktik-praktik yang dapat dilakukan oleh pebisnis pariwisata di bidang lokal dan nasional (small and medium tourism enterprises) untuk mendukung sustainable tourism misalnya membuat perencanaan strategis yang memuat tujuan jelas dan pengawasan kinerja, manajemen keuangan yang meliputi penyimpanan data dan penilaian hasil/pendapatan, aktivitas dan pengetahuan pemasaran termasuk di dalamnya riset dan analisis pasar. Pengusaha di bidang pariwisata juga dapat melakukan manajemen sumber daya manusia melalui pelatihan, dan membuat jaringan dengan pihak lain dalam hal bantuan eksternal, kerjasama antara asosiasi pebisnis pariwisata dan pemerintah. 13 Intinya yaitu setiap komponen/pihak yang memiliki kepentingan terhadap dunia pariwisata perlu dilibatkan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. Aktor negara dan aktor non-negara samasama memiliki tanggung jawab yang sudah seharusnya saling berkooperasi untuk membangun sustainable tourism. Penjelasan di atas masih merupakan penjabaran bagaimana hubungan antar aktor dalam mengelola pariwisata yang berkelanjutan pada tingkat analisa nasional maupun lokal. Pada tingkat analisa (sistem) internasional, pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan memiliki cakupan aktor dan proses pembuatan kebijakan yang lebih luas lagi. Ini berawal dari adanya pengaruh dari globalisasi. Globalisasi sebagai proses perluasan, pendalaman, dan perlajuan 12 M. A. Khan, ‘Role of NGO’s in Tourism’, Indian Journal of Applied Research, vol. 5, no. 3, 2015, pp. 530-531 Sustainable Tourism Online, Sustainable Tourism – Business Operations, Sustainable Tourism Cooperative Research Centre, pp. 25-28 13 14 keterhubungan yang mendunia dalam semua aspek kehidupan sosial yang kontemporer14 membuat ruang dan aktivitas politik tidak lagi terbatas pada ruang lingkup dan cara pandang politik domestik. Penciptaan apa yang disebut sebagai dengan “ruang politik” tersebut kemudian menumbuhkan dua poin penting, yakni tata kelola global dan isu-isu global. Inti dari kedua poin tersebut adalah bahwa proses pembuatan keputusan di level global harus mampu mengatasi berbagai isu yang mengglobal dengan kondisi sistem internasional yang anarkis (ketiadaan pusat otoritas). Terdapat setidaknya dua implikasi penting dari proses yang disebut sebagai globalization of politics barusan.Pertama, “ruang politik” internasional menjadi lebih inklusif terhadap berbagai aktor. Negara tidak lagi memonopoli proses pengambilan keputusan terhadap isu-isu global. Keberadaan aktor-aktor non-negara seperti organisasi internasional, multinational corporation (MNC), dan international non-governmental organization (INGO) juga turut memengaruhi hasil dari kontestasi politik internasional. Ini juga berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat jangkauan kerja dan cakupan bidang mereka bersifat transnasional sehingga membuka peluang bagi mereka untuk dapat memengaruhi proses politik global.15 Kedua, inklusifitas tersebut berpengaruh terhadap pembentukan rezim yang berdasarkan kerja sama internasional. Ketiadaan otoritas pusat sebagai konsekuensi dari sistem internasional yang bersifat anarkis membuat proses penyelesaian isu-isu yang mengglobal bergantung pada proses diplomasi dan negosiasi dari berbagai aktor yang terlibat. Kesepakatan yang dicapai dari proses yang seringkali “tarik ulur” tersebut menghasilkan seperangkat norma dan aturan yang spesifik terhadap isu-isu tertentu. Inilah yang dinamakan sebagai rezim internasional. Kerangka berpikir tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari cara pandang liberalisme dalam Hubungan Internasional. Salah satu dampak dari globalization of politics ini adalah kemunculan dari isu pariwisata, khususnya pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism), sebagai isu global. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, isu ini merupakan perpaduan dari berbagai isu kontemporer seperti kesehatan, lingkungan, dan konflik sosial yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan pariwisata dunia.16 Permasalahan yang muncul kemudian berubah menjadi lebih kompleks sehingga negara seringkali kesulitan dalam menangani kompleksitas 14 D. Held, A. McGrew, D. Goldblatt, dan J. Perraton, Global Transformations: Politics, Economics, and Culture, Stanford University Press, Palo Alto, 1999, p. 34 15 P. Willetts, “Transnational Actors and International Organization,” dalam J. Baylis dan S. Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, Oxford University Press, Oxford, 2001, p. 373-375 16 M. Mowforth dan I. Munt, Tourism and Sustainability: Development and New Tourism in the Third World, Routledge, New York, 1998, p. 90 15 tersebut. Kelemahan inilah yang kemudian diisi oleh aktor-aktor non-negara yang jauh lebih “kompeten” dalam menangani isu tersebut. Akibatnya, hubungan antara aktor negara yang membawa kepentingan publik dengan aktor non-negara yang memawa perspektif masyarakat dan bisnis terbentuk dalam kondisi yang saling bergantung satu sama lain. Interdependensi tersebut membuat tata kelola pariwisata yang berkelanjutan yang melibatkan ketiga perspektif tersebut sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, konsep MSP dalam tata kelola pariwisata yang berkelanjutan juga perlu diangkat ke tingkat internasional. Ketika aktualisasi MSP diletakkan pada tingkat internasional, ia tidak berbeda jauh dengan penerapannya di tingkat nasional maupun lokal. Perbedaannya terletak pada dua hal. Pertama, yakni adanya peran organisasi internasional (intergovernmental) dalam proses negosiasi untuk membuat kebijakan terkait pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Salah satu contoh organisasi intergovernmental tersebut adalah United Nations World Tourism Organization, sebuah lembaga agensi di bawah PBB, yang bertujuan untuk mempromosikan sustainable tourism yang tak hanya berdampak pada pembangunan ekonomi tetapi juga kehidupan sosial dan kelestarian lingkungan.17 Adanya aktor non-negara yang bertanggung jawab terhadap proses pembuatan keputusan di tingkat global juga akan memengaruhi struktur hubungan tata kelola pariwisata yang berkelanjutan. Jika pada tingkat nasional sebelumnya hubungan yang bersifat kerekanan terjadi hanya pada negara (pemerintah), kelompok bisnis, dan masyarakat sipil, maka pada tingkat kali ini ada peran organisasi internasional (intergovernmental) di mana negara-negara anggota di dalamnya saling bernegosiasi untuk menghasilkan bentuk konkret dari kesepakatan. Penambahan tersebut disebabkan karena adanya efek rezim internasional di mana hasil kesepakatan antar negara anggota dalam organisasi akan memengaruhi tindakan negara (pemerintah) dalam menentukan kebijakan nasional terkait pariwisata berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana proses penerimaan hasil kesepakatan/perjanjian internasional ke dalam kebijakan nasional lewat proses ratifikasi di lembaga legislatif nasional. Kedua, aktivitas-aktivitas para aktor non-negara, baik dari perspektif bisnis maupun perspektif masyarakat sipil, yang telah dijelaskan sebelumnya dapat bersifat transnasional. Karena peran globalisasi membuat “ruang politik” menjadi inklusif, para aktor non-negara dapat membentuk jaringan kerjanya secara luas dan mampu menembus batas negara. Mereka dapat menggunakan berbagai jalur diplomasi maupun negosiasi untuk dapat memberikan pengaruh politik mereka terhadap proses pembuatan keputusan baik di tingkat nasional 17 UNWTO, “Definition,” Sustainable Development of Tourism (daring), <http://sdt.unwto.org/content/aboutus-5>, diakses 10 Maret 2016 16 maupun global. Dalam konteks isu pariwisata yang berkelanjutan, gerakan aktor transnasional biasanya ditekankan pada isu-isu yang membentuk esensi sustainability seperti isu lingkungan dan kemiskinan dan pembangunan. Salah satu NGO yang bergerak di bidang ini Green Africa Direct di Etiopia. Tekanan politik tersebut semakin terasa ketika jaringan transnasional ini dapat berperan sebagai watch-dog terhadap kinerja pemerintah dalam membuat kebijakan terkait pariwisata yang berkelanjutan. Lebih lanjut, jika sebuah NGO atau MNC tidak mampu memengaruhi proses pembuatan keputusan, ia dapat memanfaatkan jaringan transnasional yang dimilikinya untuk dapat memberikan tekanan politik kepada pemerintah negara bersangkutan. The Boomerang Pattern tersebut bisa dijadikan senjata oleh berbagai gerakan transnasional untuk membentuk activism beyond border yang efektif.18 Kesimpulan dari pembahasan pada bagian ini adalah bahwa isu sustainable tourism merupakan isu kontemporer hasil dari kompleksitas isu pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pariwisata. Kompleksitas yang penyelesaiannya tidak bisa lagi diserahkan secara penuh terhadap negara (pemerintah) membuka peluang bagi para aktor non- negara untuk dapat muncul dan memberi pengaruhnya. Tidak hanya isu-isunya saja yang saling bergantung satu sama lain, hubungan antar aktor, baik negara maupun non-negara, juga menunjukkan interdependensi yang demikian. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat lokal dan nasional tetapi juga pada tingkat global. Oleh karena itu, tulisan ini juga beranggapan bahwa tata kelola pariwisata berkelanjutan global harus bersifat inklusif terhadap segala aktor dan proses. Setidaknya itulah esensi dari MSP pada tataran tata kelola global. “Environment vs People” Pariwisata telah terbukti dapat mendorong pertumbuhan perekonomian melalui peluang investasi, peluang kerja, peluang berusaha dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peluang berusaha bukan hanya dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tetapi juga peluang dalam bidang kerajinan kecil seperti handycrafts. Namun akhir-akhir ini terjadi paradigma baru dalam bidang kepariwisataan yang kita agung-agungkan karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peluang kerja di semua lini ternyata terbukti dapat menyebabkan malapetaka terhadap kehidupan sosial, budaya dan lingkungan. Kesejahteraan yang kita nikmati secara ekonomi ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kehidupan sosial, budaya, dan pelestarian lingkungan. 18 M. E. Keck dan K. Sikkink, Activists Beyond Borders: Advocacy Network in International Politics, Cornell University Press, Ithaca, 1998, p. 78 17 Masalah-masalah sosial banyak kita temui di masyarakat setelah kita mengembangkan kepariwisataan. Demikian juga mengenai masalah budaya dan lingkungan. Tragedi budaya dan lingkungan sering kita lihat melalui berita-berita di Koran-koran dan televisi lokal.Pembangunan sektor pariwisata diberbagai belahan dunia ini telah berdampak pada berbagai dimensi kehidupan manusia, tidak hanya berdampak pada dimensi sosial ekonomi semata, tetapi juga menyetuh dimensi sosial budaya bahkan lingkungan fisik. Dampak terhadap berbagai dimensi tersebut bukan hanya bersifat positif tetapi juga berdampak negatif.19 Perlu juga mendapat perhatian bahwa dalam upaya pengembangan pariwisata di samping dampak positif bagi masyarakat sekitar objek juga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Sehubungan dengan hal tersebut dalam upaya pengembangan objek wisataperlu diperhitungkan dampak negatif yang ditimbulkan demi kelestarian objek wisata tersebut maupun kelestarian fungsi lingkungan sekitar kawasan wisata. Pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat ternyata mempunyai dampak terhadap lingkungan sekitar baik langsung maupun tidak langsung, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal yang sama juga terjadi dalam pengembangan pariwisata, dimana disamping pengembangan pariwisata itu sendiri menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar objek wisata, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan objek wisata itu sangat mempengaruhi kelestarian fungsi lingkungan dan objek wisata itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut permasalahan yang utama yang perlu mendapatkan jawaban tuntas adalah bagaimana pengembangan pariwisata dan pelestarian fungsi lingkungan sekitar kawasan wisata ini dapat dilaksanakan dengan baik dalam arti berorientasi pada upaya pelestarian objek wisata dan pelestarian fungsilingkungan sekitar. Industri pariwisata memiliki hubungan erat dan kuat dengan lingkungan fisik. Lingkungan alam merupakan aset pariwisata dan mendapatkan dampak karena sifat lingkungan fisik tersebut yang rapuh (fragile), dan tak terpisahkan (Inseparability). Bersifat rapuh karena lingkungan alam merupakan ciptaan Tuhan yang jika dirusak belum tentu akan tumbuh atau kembali seperti sediakala. Bersifat tidak terpisahkan karena manusia harus mendatangi lingkungan alam untuk dapat menikmatinya.Lingkungan fisik adalah daya tarik utama kegiatan wisata. Lingkungan fisik meliputi lingkungan alam (flora dan fauna, bentangan alam, dan gejala alam) dan lingkungan buatan (situs kebudayaan, wilayah 19 A. Pizam dan A. Milman,The Social Impacts of Tourism, Industry and Environment, 1984, p. 187 18 perkotaan, wilayah pedesaan, dan peninggalan sejarah). Secara teori, hubungan lingkungan alam dengan pariwisata harus mutual dan bermanfaat. Wisatawan menikmati keindahan alam dan pendapatan yang dibayarkan wisatawan digunakan untuk melindungi dan memelihara alam guna keberlangsungan pariwisata. Hubungan lingkungan dan pariwisata tidak selamanya simbiosa yang mendukung dan menguntungkan sehingga upaya konservasi, apresiasi, dan pendidikan dilakukan agar hubungan keduanya berkelanjutan, tetapi kenyataan yang ada hubungan keduanya justru memunculkan konflik. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekagaraman hayati yang sangat tinggi yang berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di daratan, udara maupun di perairan. Semua potensi tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan kepariwisataan, khususnya wisata alam. Sasaran tersebut di atas dapat tercapai melalui pengelolaan dan pengusahaan yang benar dan terkoordinasi, baik lintas sektoral maupun swasta yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan pariwisata berkelanjutan, misalnya kepariwisataan, pemerintah daerah, lingkungan hidup, dan lembaga swadaya masyarakat. Dalam pengembangan kegiatan pariwisata berkelanjutan terdapat dampak positif dan dampak negatif, baik dalam masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan alami. Oleh karena itu dalam pembangunan sektor kepariwisataan harus memperhatian kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan hidup mengingat salah satu unsur wisata adalah sumber daya alam yang merupakan bagian dari lingkungan hidup. Pengembangan sektor pariwisata yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup dapat berdampak negatif pada perkembangan pariwisata itu sendiri pada masa yang akan datang. Dalam dampak mengenai keruskan lingkungan yang diakibatkan dari banyaknya pembangunan pariwisata diperkotaan, banyak dari pemerintah membangun lahan hijau di perkotaan sebagai penyeimbang agar tidak terjadi ketimpangan yang sangat berlebih. Namun dalam hal tersebut memiliki dampak yang lebih besar lagi. Dampak yang ada yaitu pada masyarakat. Atau yang biasa kita sebut dengan “environment vs people”. Seperti roda yang berputar lingkungan dan manusia sangatlah berpengaruh, seperti dalam konteks pariwisata ini. Pembangunan yang ada berdampak pada lingkungan, lingkungan yang rusak dapat mengancam kehidupan manusia, perbaikan lingkunganpun juga memiliki dampak bagi manusia. Manusia harus mencari tempat tinggal lain hal tersebut dapat di contohkan dalam permasalahan relokasi di kali Jodo. Relokasi ini didasari karena Kalijodo berdiri diatas lahan negara yang akan dialih fungsikan menjadi ruang terbuka hijau. Disamping itu, perelokasian ini juga untuk memberantas budaya prostitusi dan memperbaiki pergaulan masyarakat khususnya anak19 anak. Rusun Marunda menjadi tujuan relokasi warga Kalijodo. Sebanyak 300 KK akan terkena dampak relokasi ini dan sudah 175 KK yang mendaftar untuk ditempatkan di Rusun Marunda. Pada relokasi yang satu ini tidak ada perlawanan yang berarti dari warga Kalijodo. Relokasi ini berjalan mulus dan damai tidak seperti proses relokasi yang sudah-sudah. Banyaknya industri yang ada di Jakarta serta lingkungan yang kotor maka sering sekali terjadi banjir. Dari bencana alam akibat kerusakan lingkungan tersebut. Pemerintah provinsi DKI Jakarta merelkoasi warga kalijodo untuk dijadikan sebagai lahan hijau. Warga akan dirolokasikan di rumah susun yang telah disediakan oleh pemerintah di kawasan Jatinegara. Akan tetapi hal yang paling miris dari klesediaan fasilitas yang ada masyarakat setelah tiga bulan sekali harus membayar sewa. Solusi yang diberikan oleh pemerintah justru menambah permasalahan baru terkait hak dari masyarakat yang seharusnya dapat tinggal dengan nyaman dan dami. Lalu, bagaimana para warga tersebut bertahan hidup setelah pindah hunian? Dengan cara apa mereka membayar sewa hunian? Adanya contoh permasalahan yang ada dapat membuktikan bahwa pariwisata yang berkembang pesat dalam era globalisasi ini memberikan dampak yang sangat luas dan dampak tersebut dapat diselesaikan satu persatu. Akan tetapi dalam penyelesaiaannya menemukan dampak negatif yang baru sehingga dampak yang ada berkepanjangan. Dalam hal ini memiliki dilema tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola pariwisata yang dimiliki oleh negaranya masing-masing. 20 Referensi Enloe, Catheryn. 2014. Banana, Beaches, and Bases: Making Feminist Sense of International Politics. 2nd. London: University of California Press. Fernandes, D. 1994. “The Shaky of Sustainable Tourism.” TEI Quarterly Environment Journal, 4-35. Held, David, Anthony McGrew, David Goldblatt, dan J. Perraton. 1999. Global Transformations: Politics, Economics, and Culture. Palo Alto: Stanford University Press. Keck, M. E., dan K. Sikkink. 1998. Activists Beyond Borders: Advocacy Network in International Politics. Itacha: Cornell University Press. Khan, M. A. 2015. “Role of NGO's in Tourism.” Indian Journal of Apllied Science 530-531. Krippendorf, J. 1987. The Holidaymakers: Understanding the Impact of Leisure and Travel. London: Heinemann. Mowforth, Martin, dan Ian Munt. 1998. Tourism and Sustainability: Development and New Tourism in the Third World. New York: Routledge. Nurposma. 2015. Peran Perempuan Merupakan Kunci Sukses dalam Memajukan Industri Pariwisata. 10 September. Diakses Maret 9, 2016. http://www.nurposma.com/2015/09/nuriaty-damanik-peran-perempuan-merupakankunci-sukses-dalam-memajukan-industri-pariwasata.html. Overseas Development Institute & Foundation for Development Cooperation. 2003. Multistake Holder Partnerships. Research Report, Kuala Lumpur: Global Knowledge Partnership. Sustaniable Tourism Cooperative Research Centre. t.thn. Sustainable Tourism-Business Opreations. Research Report, Sustaniable Tourism Cooperative Research Centre, 2528. Telfer, D. J. 2015. “The Evolution of Development Theory and Tourism.” Dalam Tourism and Development: Concept and Issues, oleh R. Sharpley dan D. J. Telfer, 70-73. Bristol: Channel View Publication. UNWTO. t.thn. Definition. Diakses Maret 10, 2016. http://sdt.unwto.org/content/about-us-5. UNWTO. 2010. Global Reporton Women in Tourism. Annual Report, Madrid: UNWTO. Willetts, Peter. 2001. “P. Willetts, “Transnational Actors and International Organization,” dalam J. Baylis dan S. Smith, , Oxford University Press, Oxford, 2001.” Dalam The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, oleh John Baylis dan Steve Smith, 373-375. Oxford: Oxford University Press. 21