i TELAAH IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP EKSISTENSI DAN NILAI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Aditya Prabowo NIM. E0008101 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 i ii ii iii PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) TELAAH IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP EKSISTENSI DAN NILAI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Aditya Prabowo NIM. E0008101 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Selasa Tanggal : 24 Juli 2012 DEWAN PENGUJI 1. Edy Herdyanto, S.H, M.H : (.............................................................) Ketua 2.Muhammad Rustamaji, S.H, M.H : (..............................................................) Sekretaris 3. Kristiyadi, S.H, M.Hum : (..............................................................) Anggota Mengetahui Dekan, Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP. 19570203 198503 2 00 iii iv PERNYATAAN Nama : Aditya Prabowo NIM : E0008101 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: TELAAH IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP EKSISTENSI DAN NILAI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini. Surakarta, 20 Juli 2012 Yang membuat pernyataan, Aditya Prabowo NIM. E0008101 iv v ABSTRAK ADITYA PRABOWO, E0008101, TELAAH IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP EKSISTENSI DAN NILAI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi yuridis yang ditimbulkan pasca berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap eksistensi alat bukti elektronik, serta guna mengetahui nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana pasca diberlakukannya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk bagi hukum pembuktian untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat di era teknologi ini. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selaku payung hukum pembuktian pidana di Indonesia ternyata tidak bisa lagi mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lahir dengan memberi pengakuan bagi alat bukti elektronik yang sebagai alat bukti yang sah di muka pengadilan. Kehadiran UU ITE tersebut diharapkan mampu menutup kelemahan KUHAP yang selama ini belum memberikan pengakuan terhadap alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, sehingga terdapat kemungkinan bagi penegak hukum untuk kesulitan dalam menegakan keadilan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), dikarenakan penulis menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat 3 (tiga) implikasi yuridis yang timbul akibat berlakunya UU ITE terhadap eksistensi alat bukti elektronik, yaitu diakuinya alat bukti elektronik secara hukum sebagai alat bukti yang sah di muka sidang, terjadinya perluasan pendefinisian alat bukti dalam perkara pidana, dan diakomodirnya anasir teknologi dalam pembuktian perkara pidana. Sedangkan nilai pembuktian dari alat bukti elektronik dalam perkara pidana ialah sama dengan alat bukti pidana yang tercantum dalam KUHAP yaitu bebas dan tidak mengikat hakim. Kata Kunci : alat bukti elektronik, nilai pembuktian, pidana. v vi ABSTRACT ADITYA PRABOWO, E0008101, REVIEWING THE JURIDICAL IMPLICATION APPLYING THE LAW NUMBER 11 OF 2008 ABOUT THE INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTION TO THE EXISTENCE AND THE VALUE OF ELECTRONIC EVIDENCE IN THE PROCESS OF EVIDENCE OF CRIMINAL CASE, FACULTY OF LAW SEBELAS MARET UNIVERSITY. The study aims to know the arisen juridical implication after applying law number 11 of 2008 about information and electronic transaction to existence of electronic evidence, and also to know the value of evidence of electronic evidence in the process of evidence criminal case after applying law number 11 of 2008 in the case of information and electronic transaction. Along with th increase of society and technology, longer and stronger insistence to the law, including to the evidence law to face the real increasing society in the technology era. The book of “Undang-undang Hukum Pidana” (KUHAP) as the umbrella of law of criminal evidence in Indonesia evidently can not follow the increase anymore. The law number 11 of 2008 about information and electronic transaction (UU ITE) was born by giving a statement to the electronic evidence as legal evidence in the court. By the release of UU ITE is expected to be able to cover the weaknesses of KUHAP which has not given recognition to electronic evidence as the legal evidence so that may make the law enforcement faces difficulties in straightening justice. The kind of study used in this research is normative research that is the research based law materials focused in reading and understanding primary and secondary law materials. In the other hand the approach which is used in this research is statue approach because the writer uses legislation as the initial basic of analysis. The results obtained in this research are three juridical implications which arise because of the applying of UU ITE to the existence of electronic evidence, that are the recognition electronic evidence by law as legal evidence in court, the expansion of the definition of evidence in criminal case, and accomodation the elements of technology in criminal case verification. In the other hand the value of verification of electronic evidence in criminal case is the same with criminal evidence listed in KUHAP that is free and not binding the judges. Keywords: Electronic evidence, value of evidence, criminal vi vii MOTO ”Ora et Labora” Berdoalah dan Bekerja (Anonim) “Veni, Vidi, Vici” Saya Datang, Saya Lihat, dan Saya Menang (Julius Caesar) “Et Ipsa Scientia Potestas Est” Pengetahuan adalah Kekuatan (Francis Bacon) vii viii PERSEMBAHAN Dengan segenap kerendahan hati, Penulis mempersembahkan karya ini kepada : Kedua Orangtua, (alm) Syahdar Ilham K. dan Maryuni, yang tak pernah lelah mengajarkanku arti kerja keras, pengorbanan serta tanggung jawab. Adik, Anindya Dwi Syahputra. Pakde Agus Hartanto beserta keluarga, atas segenap dukungannya dalam menjalani masa kuliah ini. Keluarga besar RM. Soedarsono Purwonegoro dan Kilowiharjo, atas segala semangat serta dukungannya selama ini. Vina Septi Arfiani, atas kebersamaannya hari demi hari. Sahabat-sahabatku FH UNS 2008 : Irfan, Bayu, Aditya Dani, Pandu, . Angga, Yusuf, Bowo, Ratih, Luvi, Mei, Rosi, Tyara, Putri. My Bro “AFC” : Rio, Ryan, Rey, John, Ilham, Badi, Ika, Wiro. viii ix KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb, Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang tak pernah berhenti melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “TELAAH IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP EKSISTENSI DAN NILAI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA” Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan hukum ini tidak mungkin tercapai apabila tanpa bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, secara materiil maupun immateriil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih sedalam-dalamnya kepada: 1. Allah Swt, atas segala berkah, rahmat serta hidayah-Nya. 2. Nabi Muhammad Saw, atas segala suri tauladan yang diberikan sehingga membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari. 3. Bp. Prof. Dr. Ravik Karsidi M.S, selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Ibu Prof. Dr. Hartiniwingsih S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin serta kesempatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. 5. Bp. Mohammad Adnan, S.H, M.Hum selaku Pembimbing Akademik. 6. Bp. Kristiyadi S.H, M.Hum, selaku pembimbing I dan Bp. Rustamaji, S.H, M.H, selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu guna memberi pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Bp. Edy Herdyanto S.H, M.H, selaku Ketua Bagian hukum Acara. 8. Bp. Bambang Santoso S.H, M.H, selaku Pengampu Mata Kuliah Hukum Pembuktian Pidana. 9. Adhiputro Pangarso SH, atas bantuan pemikiran dalam skripsi ini. ix x 10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret atas ilmu serta pengalaman yang dibagi selama masa perkuliahan. 11. Staff beserta karyawan Universitas Negeri Sebelas Maret yang telah memberikan pelayanan serta fasilitas selama masa perkuliahan. 12. Almamater Universitas Negeri Sebelas Maret khususnya Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret. 13. Pihak-pihak lain yang mendukung terselenggaranya karya ini. Penulisan Hukum (skripsi) ini tentulah masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi diri pribadi penulis maupun para pembaca. Wassalamu’alaikum. Wr.Wb. Surakarta, 20 Juli 2012 Penulis Aditya Prabowo NIM. E0008101 x xi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v ABSTRACT ................................................................................................. vi MOTTO ………………………………………………………………….. vii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. viii KATA PENGANTAR ................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................ 4 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian .................................................................. 5 E. Metode Penelitian ................................................................... 6 F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................ 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. A. Kerangka Teori ....................................................................... 11 11 1. Tinjauan umum tentang Pembuktian dan Nilai Pembuktian 11 2. Tinjauan umum tentang Alat Bukti dalam Peradilan Pidana 19 3. Tinjauan umum tentang Alat Bukti Elektronik ................ 25 4. Tinjauan umum tentang Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ......................................................................... 28 B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 33 xi xii BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................... 35 A. Implikasi yuridis yang ditimbulkan pasca berlakunya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap eksistensi alat bukti elektronik …. .......................................................................... 35 B. Nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana pasca diberlakukannya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ........................................................ 53 BAB IV PENUTUP .................................................................................... 61 A. Simpulan ................................................................................. 61 B. Saran ....................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 63 xii xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skematik kerangka pemikiran ………………………………… 33 Gambar 2. Skematik kajian alat bukti elektronik sebelum berlakunya UU ITE…………………………………………………………. 36 xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antar sesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk bagi hukum pembuktian untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu. Sebagai contoh, untuk mengatur sejauh mana kekuatan pembuktian dari suatu tanda tangan digital/ elektronik, yang dewasa ini sangat banyak digunakan dalam praktek sehari-hari. Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian seperti biasa akan berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromistis. Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengikuti perkembangan jaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak kecenderungan terjadinya manipulasi penggunaan alat bukti elektronik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti elektronik tersebut. Bahkan mengikuti teori klasik dalam hukum pembuktian yang disebut dengan best evidence rule atau “hukum alat bukti terbaik”, suatu alat bukti elektronik sulit diterima dalam pembuktian (Munir Fuady, 2006: 151) The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen/ photograph atau rekaman harus dilakukan dengan membawa ke pengadilan, dokumen/ photograph atau rekaman asli tersebut. Kecuali jika dokumen tersebut/ photograph atau rekaman tersebut memang tidak ada, dan keberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari pihak yang harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best evidence ini, fotokopi (bukan asli) dari suatu surat tidak memiliki kekuatan pembuktian di pengadilan. Demikian juga dengan alat bukti elektronik, seperti e- 1 2 mail, surat dengan mesin faksimile, tanda tangan elektronik, tidak aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin dibawa aslinya ke pengadilan sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang serius di dalam bidang hukum pembuktian (Munir Fuady, 2006 : 152). Hal tersebut tentulah dilematis bagi eksistensi hukum pembuktian di Indonesia, mengingat pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh M.Yahya Harahap : Melalui pembuktian-lah ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti tersebut maka terdakwa dinyatakan “bersalah” dan akan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai di mana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2000: 273). Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Sebagai salah satu perangkat hukum yang menjadi dasar bagi aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal, tentu tidak akan terlepas dari aspek sosial yang menyangkut perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka kehadiran media baru (media penyimpanan magnetik/ elektrik, virtualcommunicatioin, based on computerize system) telah menyebabkan kewenangan aparatur penegak hukum dan sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP dirasakan sebagai kendala utama bagi penyelesaian kasus-kasus kejahatan inkonvensional yang terjadi. KUHAP yang tidak mencantumkan alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah menurut hukum, telah menciptakan lubang-lubang kevakuman ketentuan yang sering menimbulkan persoalan-persoalan dalam penerapannya. (Al.Wisnusubroto, G.Widiartana, 2005: 4). Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), maka telah lahir rezim hukum baru 3 yang dikenal sebagai hukum cyber atau hukum telematika. Pranata hukum yang dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi pada tataran internasional telah menggunakan terminologi baku yang kemudian dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Terminologi tersebut digunakan mengingat bahwa kegiatan yang dilakukan melalui jaringan komputer dan sistem komunikasi baik dalam tingkat lokal maupun global melalui internet dengan memanfaatkan teknologi yang berbasis pada komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless), sehingga kerjasama antar negara menjadi sangat penting, karena pemanfaatan teknologi informasi selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan kemajuan dari peradaban manusia, pada sisi lain juga telah menjadi sarana yang memberikan fasilitas yang sangat penting dan efektif bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan hukum. Urgensi dibentuknya UU ITE sangat penting dalam kaitannya dengan semakin meluasnya penggunaan teknologi informasi di berbagai aktifitas seperti transaksi electronic banking, electronic goverment, electronic procurement dan lain sebagainya. Berlakunya UU ITE ini juga memberi warna yang lain bagi perkembangan hukum pembuktian di Indonesia. Jika dahulu, perbuatan-perbuatan yang berkaitan yang menggunakan alat bukti elektronik sulit untuk dibuktikan, dikarenakan belum diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP. Maka dengan berlakunya UU ITE ini, permasalahan tersebut dapat terbantu. Pasal 5 UU ITE jelas memberi pengakuan bagi alat bukti elektronik yang berwujud informasi elektronik, dokumen elektronik dan hasil cetakannya dari keduanya, sebagai alat bukti yang sah di muka pengadilan. Hal tersebut tentulah menimbulkan dampak yang positif bagi hukum pembuktian di Indonesia, mengingat KUHAP belum mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, dimana hal tersebut berpotensi untuk menciptakan kekosongan hukum (legal vacuum), namun dengan adanya UU ITE ini diharapkan mampu menutup kekosongan tersebut dan mampu memberi keadilan di dalam hukum. Dengan 4 demikian jelas bahwa kehadiran UU ITE telah memerikan implikasi kepada sistem hukum acara pidana Indonesia khusunya dalam hal pembuktian. Atas dasar uraian di atas, maka penulis bermaksud mengkaji lebih dalam mengenai eksistensi alat bukti elektronik setelah belakunya UU ITE dalam proses pembuktian perkara pidana dalam sebuah penelitian hukum yang berjudul : TELAAH IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP EKSISTENSI DAN NILAI PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. B. Rumusan Masalah Agar permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu disusun perumusan masalah yang didasarkan pada uraian latar belakang di muka. Adapun perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah : 1. Apakah implikasi yuridis yang ditimbulkan pasca berlakunya Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap eksistensi alat bukti elektronik? 2. Bagaimanakah nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana pasca diberlakukannya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyajikan data-data hukum yang memiliki kemampuan untuk menjawab permasalahan, sehingga mendatangkan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis mengkategorikan tujuan penelitian ke dalam kelompok tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut : 5 1. Tujuan Obyektif. a. Untuk mengetahui implikasi yuridis yang ditimbulkan pasca berlakunya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap eksistensi alat bukti elektronik; dan b. Untuk mengetahui nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana pasca diberlakukannya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Tujuan Subjektif. a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan kemampuan Penulis di bidang Hukum Acara Pidana khususnya tentang telaah implikasi yuridis berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informatika terhadap eksistensi dan nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana. b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan memberikan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini, yaitu bagi Penulis maupun pembaca dan pihak-pihak lain. Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis. a. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khusunya. b. Memberikan referensi dan literatur kepustakaan Hukum Acara Pidana tentang telaah implikasi yuridis berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informatika terhadap 6 eksistensi dan nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana. c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenisnya pada tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis. a. Menjadi wahana bagi Penulis untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh. b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan penelitian ini. E. Metode Penelitian Hukum dalam artinya yang luas dan keterkaitannya dengan kehidupan masyarakat, pada dasarnya dibangun berdasarkan kerangka ilmu pengetahuan ilmiah. Secara sederhana, hukum dikatakan sebagai ilmu pengetahuan bisa dilihat bahwa hukum mempunyai kandungan filsafat, menghasilkan teori-teori dan bisa digunakan secara praktis menyelesaikan suatu permasalahan. (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2009: 24-25). Guna mencapai suatu posisi hukum yang dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tersebut, maka diperlukan adanya penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturanaturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). Adapun metode yang digunakan Penulis dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Menurut Johnny Ibrahim, penelitian hukum adalah suatu prosedur 7 ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006:57). b. Sifat Penelitian Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22). Penelitian ini bersifat preskriptif karena dimaksudkan untuk menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35) c. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Adapun macam pendekatan dalam penelitian hukum adalah sebagai berikut (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93) : 1) Pendekatan Perundang-undangan (statue approach); 2) Pendekatan Kasus (case approach); 3) Pendekatan Historis (historical approach); 4) Pendekatan Perbandingan (comparative approach); dan 5) Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundangundangan (statue approach). Hal ini dikarenakan Penulis menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai sifat hukum yang mempunyai ciri comprehensive, all inclusive dan systematic (Johnny Ibrahim, 2006: 303). 8 d. Sumber Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat auturitatif, yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-undang 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; d) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme e) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai penunjang data dalam penelitian ini yaitu buku-buku, referensi, jurnal-jurnal hukum yang terkait, majalah, internet, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan topik yang dibahas. e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang 9 dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan content analisys (Peter Mahmud Marzuki, 2005 21). Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. f. Teknik Analisa Bahan Hukum Teknik analisa bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah dengan teknik kualitatif. Mengkualitatifkan bahan hukum merupakan fokus dari penelitian hukum ini, dimana penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau menghubungkan bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian kepustakaan. Dengan demikian diharapkan penulis mampu memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar permasalahan implikasi yuridis berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap eksistensi dan nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana, dan pada akhirnya mampu memberikan simpulan yang solutif untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dengan memberikan rekomendasi seperlunya. Metode penalaran yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deduktif. Metode deduktif adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47). Dalam penelitian ini penulis mengkritisi teori-teori ilmu hukum yang bersifat umum untuk kemudian menarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang dianalisa, yaitu mengenai telaah implikasi yuridis berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informatika terhadap eksistensi dan nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana. F. Sistematika Penulisan Hukum 10 Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam subsub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi). BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini Penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang Penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang Penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan umum tentang pembuktian dan nilai pembuktian, tinjauan umum tentang alat bukti, tinjauan umum tentang alat bukti elektronik, dan tinjauan umum tentang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka dalam bab ini juga disertai kerangka pemikiran. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini Penulis menguraikan dan menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu: implikasi yuridis yang ditimbulkan pasca berlakunya Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap eksistensi alat bukti elektronik dan nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana pasca berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 11 BAB IV : PENUTUP Bab ini menguraikan permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN kesimpulan dan saran terkait dengan 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Nilai Pembuktian. a. Definisi Menurut Para Ahli : 1) Menurut Subekti : Pembuktian adalah upaya meyakinkan hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam perkara, dalam hal ini antara bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan (Subekti, 1983: 7). 2) Menurut M. Yahya Harahap : Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman mengenai cara-cara yang dibenarkan undang- undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2000 : 273). 3) Menurut Alfitra : Hukum Pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat- alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakantindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dengan pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Alfitra, 2011 : 21). 4) Menurut Ian Dennis : Evidence is information that provides grounds for belief that particular fact or set of fact is true. Proof is a term with with variable meaning. In legal discourses it may refer to the outcome of the process of evaluating evidence and drawing inferences from it, or it may be used more widely to refer to the process itself and/or to the evidence which is being evalueated. (Ian Dennis, 2007: 3). 12 13 b. Sistem- Sistem Pembuktian : 1) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction intime). Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam persidangan ataupun bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinanya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalkan: keterangan dukun. 2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Raisonee). Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction intime peran keyakinan hakim sangatlah leluasa tanpa batas maka pada sistem ini keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atau kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan yang dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang tak masuk akal. 14 3) Sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie). Sistem ini hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, sedangkan keyakinan hakim tidak ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Menurut D. Simons, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras (Andi Hamzah, 2008: 251). 4) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk). Sistem ini adalah hasil penggabungan secara terpadu antara sistem pembuktian pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undangundang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem tersebut, terwujudlah rumusan sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif yang berbunyi ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) merupakan penganut sistem pembuktian ini, hal tersebut terlihat dalaam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila denga sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam 15 Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2008; 254). c. Asas-asas Pembuktian Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal adanya asas-asas yang digunakan sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian, yaitu: 1) Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, karena disini yang dicari adalah kebenaran materiil, maka penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat (4) KUHAP); 2) Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan/ notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP); 3) Menjadi saksi adalah suatu kewajiban (Pasal 159 ayat (2) KUHAP); 4) Satu saksi bukan saksi/ unus testis nullus testis (Pasal 185 ayat (2) KUHAP ); 5) Keterangan terdakwa hanya mengikat bagi dirinya, sehingga tidak diperbolehkan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainnya (Pasal 189 ayat (3) KUHAP). d. Prinsip Minimum Pembuktian Prinsip minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa (M. Yahya Harahap, 2000: 283). Dalam menentukan minimum pembuktian tersebut tetap harus berpegang pada Pasal 183 KUHAP. Prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP: 16 1) Sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. 2) Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukukp membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 KUHAP tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. e. Nilai Pembuktian 1) Keterangan saksi Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijsracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijsracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bebas”. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak memiliki kekuatan pembuktian yang “sempurna”dan tidak “menentukan” atau “tidak mengikat”. b) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan 17 bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau “menyingkirkannya” (M. Yahya Harahap, 2000: 295). 2) Keterangan ahli Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan ahli sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud. Akan tetapi seperti apa yang telah diutarakan, hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. b) Di samping itu sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun, berlaku untuk alat bukti keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain. (M. Yahya Harahap, 2000: 304-305). 3) Surat 18 Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada surat sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a) Ditinjau dari segi formal Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebutkan dalam Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna. Karena bentuk surat-surat yang disebutkan di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenangdan pembuatan serta keterangan terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal, alat bukti seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang bernilai ”sempurna”. b) Ditinjau dari segi materiil Dari segi materiil semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP, ”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi, dan alat bukti keterangan ahli sama-sama memiliki nilai pembuktian yang bersifat bebas. (M. Yahya Harahap, 2000: 310). 4) Petunjuk Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada petunjuk sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu : a) Hakim tidak terikat terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya pembuktian. dan mempergunakannya sebagai upaya 19 b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu agar petunjuk memiliki nilai pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. (M. Yahya Harahap, 2000: 317). 5) Keterangan Terdakwa Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkanya sebagai sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasanalasannya. Jangan hendaknya penolakan akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alasan yang didukung oleh argumentasi yang tidak proporsional dan akomodatif. Demikian juga sebaliknya, seandainya hakim hendak menjadikan alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentatifdengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain. b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian: Hakim harus memperhatikan ketentuan Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menentukan: ”keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Dari ketentuan tersebut dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya 20 satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP ini sejalan dengan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. c) Harus memenuhi asas keyakinan hakim Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP adalah “pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Artinya di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (M. Yahya Harahap, 2000: 333). 2. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti dalam Peradilan Pidana. a. Alat-alat Bukti menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Alat bukti dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. (Hari Sasangka, 2003: 11). Adapun macam alat- alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut : 1) Keterangan Saksi. Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti 21 yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi sebagai alat bukti yaitu apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP maka yang harus diterangkan dalam persidangan adalah apa yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri. Keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian apabila : a) Saksi tersebut mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing sebelum memberikan kesaksiannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 160 ayat (3) KUHAP. b) Keterangan yang diberikan adalah apa yang dilihatnya sendiri, dialaminya sendiri, serta dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 27 KUHAP. c) Keterangan seorang saksi yang diberikan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. d) Harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti yang lain karena keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup (unus testis nullus testis). Sesuai dengan asal 185 ayat (2) KUHAP. e) Keterangan yang diberikan oleh para saksi harus saling berhubungan dan saling menguatkan. Sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. 2) Keterangan Ahli. Pasal 1 angka 28 KUHAP mendefinisikan keterangan saksi sebagai berikut : ”Keterangan yang diberikan oleh seorang yang 22 memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Keahlian yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan (wetenshap) diperluas pengertiannya oleh HR yang meliputi kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan tenyang sidik jari dam sebagainya masuk ke dalam ilmu pengetahuan (wetenshap). Oleh karena itu, sebagai ahli seseorang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus (Andi Hamzah,2008: 273). Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit dibedakan pula secara tegas. Terkadang seorang ahli merangkap sebagai seorang saksi. Namun isi dari keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa yang dialami oleh saksi itu sendiri, sedangkan keterangan ahli adalah mengenai suatu penilaian hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2008: 269). Perlu diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di pengadilan sebagai alat bukti ”keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di luar persidangan sebagai alat bukti surat. 3) Surat. Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Pasal tersebut menerangkan bahwa surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah (M.Yahya Harahap, 2000: 306). Pasal tersebut juga merinci 23 bentuk-bentuk surat yang dapat dianggap memiliki nilai sebagai alat bukti, yaitu: a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu hal atau suatu keadaan. c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara daripadanya. d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (Andi Hamzah, 2008 : 275). 4) Petunjuk. Pasal 188 ayat (1) memberi definisi petunjuk sebagai berikut : ’’Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Kemudian menurut Pasal 188 ayat (2) menerangkan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Alat bukti petunjuk pada umumnya baru diperlukan apabila alat bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang digariskan oleh Pasal 183 KUHAP. Berkenaan dengan nilai kekuatan pembuktiannya, alat bukti petunjuk memiliki sifat kekuatan yang serupa dengan alat bukti 24 yang lain, yaitu hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu tergantung oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti. 5) Keterangan Terdakwa. KUHAP mendefinisikan alat bukti keterangan terdakwa melalui Pasal 189 ayat (1) KUHAP, ”Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidanganlah yang merupakan suatu alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan tentang apa yang ia perbuat, ia lakukan dan ia alami. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar persidangan dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dalam persidangan, asal keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri, dengan demikian, keterangan terdakwa tersebut tidak dapat digunakan untuk memberatkan sesama terdakwa. Oleh karena itu di dalam pemeriksaan yang terdakwanya lebih dari seorang, jika ingin mendapat suatu keterangan yang objektif, sebaiknya diperiksa satu per satu. Hal ini untuk mencegah terdakwa untuk saling mempengaruhi atau menyesuaikan diri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat (4) KUHAP). Oleh karena itu, pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian. Jadi meskipun seorang terdakwa mengaku telah berbuat tindak pidana, tetap harus 25 dibuktikan dengan alat bukti lain karena yang dituju dari hukum pidana adalah memperoleh kebenaran materiil. b. Alat-alat Bukti menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 5 UU ITE diterangkan tentang adanya alat bukti yang sah di persidangan perkara pidana, yaitu: 1) Informasi elektronik : Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, fotocopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi, yang telah diolah, yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 2) Dokumen elektronik : Setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 3) Hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik. c. Doktrin-doktrin Pengelompokan Alat Bukti : 1) Oral Evidence. a) Dalam hukum perdata berupa : keterangan saksi, pengakuan dan sumpah. b) Dalam hukum pidana berupa : keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. 26 2) Documentary Evidence. a) Dalam hukum perdata berupa : surat dan persangkaan. b) Dalam hukum pidana berupa : surat dan petunjuk. 3) Material Evidence. a) Dalam hukum perdata tidak dikenal. b) Dalam hukum pidana berupa : barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dan informasi dalam arti khusus. 4) Electronic Evidence. a) Konsep pengelompokan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik, tidak dikenal di Indonesia. b) Konsep tersebut terutama berkembang di negara-negara common law. c) Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan alat bukti yang masuk ke dalam kategori documentary evidence (Dikdik M.A. Mansur, Elisatris Gultom, 2005: 100101). 3. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Elektronik. a. Pengertian Alat Bukti Elektronik. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang berupa informasi elektronik, dokumen elektronik ataupun hasil cetakannya. Pasal 1 Bab I UU ITE, pada angka 1, bahwa yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic 27 mail), telegram, teleks, fotocopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi, yang telah diolah, yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. b. Klasifikasi Alat Bukti Elektronik. Mohammed Chawki dari Computer Crime Research Center mengklasifikasikan alat bukti elektronik menjadi tiga kategori sebagai berikut : 1) Real Evidence. Real evidence atau physical evidence ialah bukti yang terdiri dari objek-objek nyata/ berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Real evidence juga merupakan bukti langsung berupa rekaman otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat (device) yang lain. Contohnya : computer log files. 2) Testamentary Evidence. Testamentary Evidence juga dikenal dengan istilah Hearsay Evidence, dimana keterangan saksi maupun expert witness yaitu keterangan dari seorang ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau menjelaskan bukti elektronik sangat penting 28 dalam memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara yang menggunakan alat bukti elektronik. 3) Circumstantial Evidence. Circumstantial Evidence merupakan bukti terperinci yang diperoleh berdasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian yang sebenarnya yang mendorong untuk mendukung untuk suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya. Circumstantial Evidence ini merupakan kombinasi dari Real Evidence dan TestamentaryEvidence(http://crimeresearch.org/articles/chawki1. Diakses pada 19.32 WIB tanggal 16 maret 2012 di Surakarta). Sedangkan menurut Michael Chissick dan Alistair Kelman, alat bukti elektronik dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu : 1) Real Evidence. Real evidence atau bukti nyata ini meliputi kalkulasikalkulasi atau analisa-analisa yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui pengaplikasian software dan penerima informasi dari device lain seperti jam yang built-in langsung dengan komputer atau remote sender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Jika sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai pembayaran pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan digunakan sebagai sebuah bukti nyata. 2) Hearsay Evidence. Termasuk pada hearsay evidence adalah dokumendokumen data yang diproduksi oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan (dimasukan) oleh manusia kepada komputer. Cek yang ditulis dan slip pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk hearsay evidence. 3) Derived Evidence. 29 Yang dimaksud dengan derived evidence adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata (real evidence) dengan informasi yang diberikan oleh manusia ke komputer dengan tujuan untuk membentuk data yang tergabung. Contoh dari derived evidence adalah tabel dalam kolom-kolom harian sebuah statement bank, karena tabel ini adalah diperoleh dari real evidence (yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearsay evidence (check individu dan entry pembayaran slippaying in) (Arsyad Sanusi, 2001: 97-98). 4. Tinjauan Umum tentang Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. a. Terminologi. Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah wujud dari tanggung jawab yang harus diemban oleh negara, untuk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktifitas pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dalam negeri agar terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Dalam konsideran UU ITE, dinyatakan bahwa pembangunan nasional yang telah dilaksanakan Pemerintah Indonesia dimulai dari era orde baru hingga orde saat ini, merupakan proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat itu, akibat pengaruh globalisasi informasi, telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, yang merupakan salah satu penyebab perubahan kegiatan 30 kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Dimana permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah ketika terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. b. Ruang lingkup. Ruang lingkup keberlakuan Undang-undang ini , diatur dalam Pasal 2 UU ITE yang mana Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE tersebut, dinyatakan bahwa Undang-undang ini memiliki jangkauan yuridiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yuridiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan teknologi informasi untuk informasi elektronik dan transaksi elektronik dapat bersifat teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan merugikan kepentingan Negara Indonesia adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia. c. Asas Hukum. 31 Asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang memberi arah sebagai dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana dipositifkan dalam undang-undang dan jurisprudensi. Asas hukum sebagai endapan metodologis, atau yang melatarbelakangi pikiran-pikiran hukum (idea of rule) yang terjelma dalam peraturan perundangundangan atau dalam putusan pengadilan, sehingga memberikan akibat pada kenyataan yang ada dalam masyarakat (faktor riil) dan asas hukum ini, diambil sebagai nilai-nilai untuk menjadi pedoman hidup dalam masyarakat (faktor idiil). Asas-asas hukum dalam UU ITE ini diatur dalam Pasal 3, yang meliputi asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan. Dalam penjelasan Pasal 3 tersebut, bahwa asas kepastian hukum berarti landasan hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraanya yang mendapat pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Asas manfaat menurut undang-undang ini, berarti asas bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun asas kehati-hatian mengandung maksud memberikan landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain, dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Asas itikad baik menurut undang-undang ini, berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan transaksi elektronik, tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain, tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut. Adapun asas kebebasan berarti kebebasan untuk memilih teknologi atau netral teknologi, dengan tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu, sehingga dapat 32 mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang (Siswanto Sunarso, 2009: 46-47). d. Tujuan. Tujuan pemanfaatan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat pada Pasal 4, yaitu : 1) Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. 2) Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Meningkatkan efektifitas dan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. 4) Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab. 5) Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Berdasarkan tujuan di atas, jelaslah bahwa UU ITE ingin membangun masyarakat informasi untuk kepentingan pergaulan dalam tata kehidupan bangsa Indonesia agar kukuh sebagai satu kesatuan yang dirakit melalui pengembangan sistem informasi elektronik dengan diciptakan melalui kondisi elektronik, yang pada akhirnya bangsa Indonesia menjadi cerdas dan menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan informasi dan transaksi elektronik telah menjadi unggulan dalam pengembangan perdagangan dan perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun demikian, dalam nyatanya menimbulkan kendala penyalahgunaanya sehingga berpotensi terjadinya pelanggaran tindak pidana (Siswanto Sunarso, 2009: 48). 33 B. Kerangka Pemikiran Pembuktian Alat Bukti UU ITE No. 11/2008 KUHAP Pasal 184 : 1. Ket. Saksi 2. Ket. Ahli 3. Surat-surat 4. Petunjuk 5. Ket. Terdakwa Pasal 5 : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronikdan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (alat bukti elektronik ) (alat bukti elektronik?) Implikasi yuridis dan nilai pembuktian alat bukti elektronik dalam hukum pembuktian Indonesia Gambar 1. Skematik kerangka pemikiran 34 Keterangan : Pembuktian merupakan agenda yang paling utama dalam hukum acara pidana dimana dalam agenda pembuktian akan dibuktikan dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa oleh Penuntut Umum. Dalam hal pembuktian tidak akan terlepas dari alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. KUHAP sebagai sumber hukum acara pidana telah mengatur tentang alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP antara lain adalah keterangan saksi, keterangan ahli, suratsurat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Perkembangan dari teknologi informasi yang begitu pesat telah memberikan dampak pada kehidupan manusia sebagai contoh adalah dalam melakukan perbuatan-perbuatan termasuk perbuatan hukum termasuk juga dalam hal pembuktian dimana dapat dimungkingkan terdapat alat bukti elektronik alam perkara-perkara tertentu sehingga menimbulkan suatu permasalahan mengenai keabsahan alat bukti tersebut apabila ditinjau dari segi KUHAP. Menanggapi perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat maka disusunlah sebuah undang-undang yang mengatur mengenai transaksi elektronik dan informasi yang kemudian disahkan dengan nama Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didalamnya mengatur tentang alat bukti elektronik sekaligus memberikan implikasi yuridis dan nilai pembuktian dalam hukum pembuktian di Indonesia. 35 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implikasi Yuridis yang Ditimbulkan Pasca Berlakunya Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Eksistensi Alat Bukti Elektronik. Dengan perkembangan dunia teknologi informasi yang semakin pesat, tentunya akan berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan dalam masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali dalam dunia hukum, khususnya dalam hukum pembuktian. Salah satu permasalahan yang sering muncul ialah mengenai pengakuan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan, mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) selaku payung hukum pembuktian di Indonesia belum mengakui eksistensi alat bukti elektronik. Pasal 184 ayat (1) KUHAP hanya mengakui 5 (lima) alat bukti yang sah di muka sidang, yaitu : Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa. Tidak diakuinya alat bukti elektronik tersebut oleh KUHAP, tentunya dapat menghambat proses penyelesaian kejahatan yang semakin hari semakin bertambah rumit saja, yang juga disertai dengan penggunaan sarana kejahatan yang berbasis elektronik. Berlakunya Undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jelas memberikan dampak positif bagi perkembangan hukum pembuktian di Indonesia. UU ITE secara nyata memberikan penjelasan mengenai kedudukan alat bukti elektronik di muka sidang. Hal ini tentulah akan membantu penyelesaian tindak pidana yang menggunakan alat bukti elektronik, dimana sebelum berlakunya UU ITE ini sulit untuk diselesaikan. Dengan berlakunya UU ITE ini tentunya juga dapat memberikan implikasi yuridis bagi eksistensi alat bukti elektronik. Hal inilah yang hendak penulis jawab pada sub-bab ini. Sebelum penulis menjelaskan mengenai apa sajakah implikasi yuridis yang dapat timbul akibat berlakunya UU ITE terhadap eksistensi 35 36 alat bukti elektronik, penting untuk kita lihat bagaimana kajian alat bukti elektronik jika dilihat sebelum berlakunya UU ITE. Dalam hal ini kajian alat bukti elektronik akan ditilik dari Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya berikut adalah skematik pembahasan lebih lanjut. Pasal 184 KUHAP 1 2 3 4 5 Ket. Saksi Ket. Ahli Surat-surat Petunjuk Ket. Terdakwa TIDAK DIAKUI Pasal 5 UU ITE Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronikdan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. DIAKUI Alat Bukti Elektronik Implikasi Yuridis ? Gambar 2 : Skematik kajian alat bukti elektronik sebelum berlakunya UU ITE 37 Berdasarkan skematik di atas maka dapat diketahui bahwa terdapat implikasi yuridis yang timbul akibat berlakunya UU ITE terhadap eksistensi alat bukti elektronik. Adapun implikasi yuridis yang timbul ialah : 1. Diakuinya Alat Bukti Elektronik Secara Hukum Sebagai Alat Bukti yang Sah di Muka Persidangan. Dalam Bab III UU ITE tentang informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, pada Pasal 5 tentang informasi elektronik dan dokumen elektronik, berbunyi: (1) (2) (3) (4) Pasal 5 Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia; Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini; Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dan juga dalam Pasal 44 UU ITE berbunyi : Pasal 44 Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan ; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). 38 Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE di atas dapat jelas diketahui bahwa adanya pengakuan mengenai informasi elektronik, dokumen elektronik maupun hasil cetak dari keduanya merupakan alat bukti yang sah di muka persidangan. Hal tersebut juga dipertegas dalam Pasal 44 UU ITE dimana pasal tersebut menjelaskan mengenai adanya upaya dari UU ITE itu sendiri untuk menghadirkan informasi elektronik, dokumen elektronik maupun hasil cetakan dari keduanya sebagai kategorisasi alat bukti yang sah dan dikenal oleh persidangan sebagai perluasan Pasal 184 KUHAP. Informasi elektronik sendiri diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto elektronik data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, fotocopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi, yang telah diolah, yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sementara Dokumen elektronik ialah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Informasi elektronik , dokumen elektronik, termasuk hasil cetak dari keduanya dikatakan secara sah sebagai alat hukum bilamana menggunakan sistem elektronik, seperti dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE di bawah ini : Pasal 5 (1) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; 39 (2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia; (3) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini; (4) Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Yang dimaksud sistem elektronik disini ialah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem elektronik diartikan dalam arti luas, tidak hanya mencakup perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak komputer (software), tetapi jaringan telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak merupakan sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut. Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan sistem informasi yang merupakan penerapan dari teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisa, menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem elektronik secara tekhnis dan manajemen sebenarnya merupakan perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke 40 dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya. Sistem elektronik secara tekhnis adalah keterpaduan antara keterpaduan sistem antara pikiran manusia dengan mesin yang mencakup : a. Keberadaan komponen dalam sistem yakni : perangkat keras dan perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia dan substansi informasi; b. Keberadaan fungsi-fungsi teknologi di dalamnya yaitu input, process, output, storage, dan communication. Prakteknya kedua variabel tersebut di dalam cyberspace terdapat 4 (empat) komponen yaitu : 1) Content yaitu isi ataupun substansi dari data dan ataupun informasi yang merupakan input ataupun output dari penyelenggaraan sistem informasi yang disampaikan kepada publik mencakup semua bentuk data/informasi baik yang tersimpan dalam bentuk cetak maupun elektronik maupun yang tersimpan pada basis data (data base) maupun yang dikomunikasikan dalam bentuk pesan (messages); 2) Computing yaitu keberadaan sistem pengolah data informasi yang berbasis pada sistem komputer (computer based information system) yang merupakan jaringan sistem informasi (computer network) organisasional yang efisien, efektif dan legal, sistem informasi merupakan perwujudan informasi ke penerapan perkembangan dalam bentuk suatu teknologi organisasional, organisasi perusahaan (bisnis); 3) Communication yakni keberadaan sistem pengolah komunikasi yang juga merupakan perwujudan dari sistem keterhubungan (interconnection) dan sistem 41 pengoperasian global antar sistem jaringan informasi/ jaringan komputer, maupun penyelenggara jasa dan/atau jaringan telekomunikasi; dan 4) Community yaitu keberadaan masyarakat berikut sistem kemasyarakatannya yang merupakan pelaku intelektual baik dalam kedudukannya sebagai pelaku usaha maupun profesional penunjang lainnya maupun sebagai user sistem itu (Djoko Sarwoko, 2009: 14). Dalam penyelenggaraan sistem elektronik oleh orang, badan usaha dan/atau masyarakat, hanya sistem elektronik yang memenuhi syarat minimum yang dapat digunakan untuk mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Adapun syarat minimum tersebut diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu: a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan perundang-undangan. b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur dan petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. d. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. 2. Terjadinya Perluasan Pendefinisian Alat Bukti dalam Perkara Pidana. 42 Dalam Bab III UU ITE tentang informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, pada Pasal 5 tentang informasi elektronik dan dokumen elektronik, berbunyi: (1) (2) (3) (4) Pasal 5 Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia; Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan system elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini; Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal 5 ayat (2) UU ITE menerangkan bahwa akibat dari diakuinya secara hukum informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya, sebagai alat bukti yang sah ialah diperluasnya pendefinisian alat bukti. Alat bukti yang dimaksudkan disini ialah yang diatur oleh Pasal 184 KUHAP. Dapat kita cermati, dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE tidak dijelaskan alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP yang mana yang diperluas oleh UU ITE. Bila kita merujuk pada pendapat Adami Chazawi dan Ardi Ferdian : Perluasan dalam UU ITE ini harus diartikan sebagai perluasan alat bukti surat, karena pengertian informasi elektronik dan dokumen elekronik sebagaimana yang didefinisikan oleh Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE,mempunyai sifat yang sama dengan alat bukti surat. Sifat yang sama tersebut terletak pada tulisan dan/atau gambar yang dapat dilihat dan dibaca serta mengandung makna tertentu. ( Adami Chazawi, Ardi Ferdian, 2011: 226). Maka dapat dijelaskan bahwa makna perluasan pada Pasal 5 ayat (2) UU ITE diterjemahkan sebagai perluasan alat bukti surat. Disebutkan 43 di atas bahwa dokumen elektronik dan informasi elektronik merupakan perluasan dari alat bukti surat dikarenakan memiliki sifat yang sama ataupun ciri fisik yang sama dengan surat pada umumnya, yaitu adanya tulisan dan/atau gambar yang dapat dibaca serta mengandung makna tertentu. Namun yang perlu diketahui disini, alat bukti elektronik yang bisa diterjemahkan sebagai alat bukti surat bukanlah dokumen elektronik maupun informasi elektronik yang masih berbentuk digital, melainkan yang berbentuk cetak atau dengan kata lain hasil cetak dari informasi elektronik maupun dokumen elektronik. Sebagaimana juga pendapat dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI, Arief Indra Kusuma : Informasi elektronik/ dokumen elektronik dapat menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik/ dokumen elektronik itu diubah dalam bentuk cetak, sebagaimana telah diakui oleh UU ITE dalam Pasal pada 5 ayat (1), dimana dirumuskan: “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah (http:// hukumonline.com/ uu-ite-jadipayung-hukum-iprint-outi-sebagai-alat-bukti. Diakses pada 16.02 WIB tanggal 1 juli 2012 di Surakarta ). Namun Pasal 5 ayat (3) UU ITE memberi batasan mengenai informasi elektronik/ dokumen elektronik yang sah dapat dijadikan alat bukti, termasuk apabila informasi elektronik/ dokumen elektronik hendak dicetak untuk kemudian ditempatkan sebagai perluasan alat bukti surat. Informasi elektronik/ dokumen elektronik haruslah diselenggarakan berdasarkan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bila Informasi elektronik/ dokumen elektronik tidak diselenggarakan berdasarkan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum tersebut, maka tentulah Informasi elektronik/ dokumen elektronik ataupun hasil cetak dari keduanya dianggap tidak sah digunakan sebagai alat bukti di muka sidang. 44 Selain itu, aspek terpenting lainnya yang harus dimiliki bukti elektronik guna dapat ditempatkan sebagaimana alat bukti surat ialah mengenai aspek keorisinalitas, keteraksesan, serta keutuhan bukti elektronik tersebut, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 6 UU ITE: Pasal 6 Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Guna menjaga keorisinalitas, keteraksesan, serta keutuhan bukti elektronik, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) memiliki Standar Operasional dan Prosedur (SOP) dalam hal penanganan bukti digital, yang mengacu pada International Organization of Computer Evidence (IOCE). Adapun prinsip SOP terkait dengan penanganan bukti digital ialah: 1. Dalam hal kejahatan lintas negara, bukti digital yang orisinil harus secepatnya mendapatkan perlindungan dari negara terdekat dimana bukti tersebut ditemukan. 2. Apabila berdasarkan bentuk dan sifatnya dimungkinkan untuk mengambil salinan atau copy, terhadap citra bukti digital yang orisinil agar dalam pemeriksaan lebih lanjut yang digunakan adalah hasil salinan tersebut dan bukti digital yang orisinil tetap terjaga integritasnya. 3. Salinan dari data yang digunakan untuk pemeriksaan harus steril. Artinya media back-up tersebut tidak pernah digunakan sebelumnya dan media tersebut juga harus bebas dari kemungkinan virus dan bad sector. 4. Segala tindakan terkait dengan dengan bukti digital harus selalu terdokumentasi secara detail dan terdapat kejelasan rantai pemeriksaannya pada tiap-tiap acara pemeriksaan. Artinya setiap akan dilakukan maupun telah dilakukannya pemeriksaan pada 45 bukti elektronik haruslah terdokumentasi atau dibuat hukum acaranya (http:// ahmadzakaria.net/. Diakses pada 16.15 tanggal 2 Juli 2012 di Surakarta). Selain itu, penggunaan ilmu forensik informasi dan teknologi (IT) dalam proses penyidikan dianggap perlu guna mengungkap keaslian bukti elektronik. Penyidik ataupun penyidik dibantu dengan ahli forensik IT wajib menemukan informasi-informasi yang termuat dalam bukti elektronik tersebut. Selain mengungkap mengenai keaslian bukti elektronik tersebut, informasi-informasi tersebut dianggap penting guna membuat terang tindak pidananya dan siapa pelakunya. Salah satu informasi yang penting untuk ditemukan guna menentukan asli/ tidaknya bukti elektronik tersebut adalah mengenai penemuan metadata, metadata merupakan bagian dari data komputer yang berisi : 1. The name of the author of the document and the company the document belongs to. 2. The owner of the computer 3. The date and time the document was created. 4. The last time the document was saved and by whom it was saved. 5. Any revision made the document. 6. The date and time the document was last modified and accesed. 7. The last time and date the document was printed (Marie- Helen Maras, 2011: 170). Selanjutnya, terdapat 4 (empat) langkah pokok Forensik IT yang wajib untuk dilakukan ialah: 1. Identifikasi dalam bukti digital (Identification digital evidence). Merupakan tahapan paling awal dalam forensik teknologi informasi. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi dimana bukti itu berada, dimana bukti itu disimpan, dan bagaimana penyimpanannya untuk mempermudah penyidikan. 46 2. Penyimpanan bukti digital (Preserving digital evidence). Bentuk, isi, makna bukti digital hendaknya disimpan dalam tempat yang steril. Untuk benar-benar memastikan tidak ada perubahan-perubahan, hal ini vital untuk diperhatikan. Karena sedikit perubahan saja dalam bukti digital, akan merubah juga hasil penyelidikan. Bukti digital secara alami bersifat sementara (volatile), sehingga keberadaannya jika tidak teliti akan sangat mudah sekali rusak, hilang, berubah, mengalami kecelakaan. 3. Analisa bukti digital (analizing digital evidence). Bukti elektronik setelah disimpan, perlu diproses ulang sebelum dihadirkan ke persidangan. Bukti elektronik yang telah didapatkan perlu diexplore lagi beberapa poin yang berhubungan dengan tindak pengusutan, antara lain: “siapa yang telah melakukan”, “apa yang telah dilakukan”, “hasil yang telah dilakukan”, dan “waktu melakukannya”. 4. Presentasi bukti digital (Presentation of digital evidence). Kesimpulan akan didapatkan ketika semua tahapan tadi telah dilalui, terlepas dari ukuran objektifitas yang telah didapatkan, atau estándar kebenaran yang diperoleh, minimal bahan-bahan inilah yang nantinya akan dijadikan modal ke pengadilan. Proses digital dimana bukti elektronik akan disidangkan, diuji otentifikasi dan dikorelasikan dengan kasus yang ada. Pada tahapan ini menjadi penting, karena disinilah proses-proses yang telah dilakukan sebelumnya akan diurai kebenarannya serta dibuktikan kepada hakim untuk mengungkap data dan informasi kejadian (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/it-forensik-4/. Diakses pada 15.05 tanggal 06 Juli 2012 di Surakarta). Ketentuan mengenai bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti surat ini, tidak berlaku bagi surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang 47 menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE. Selanjutnya Adami Chazawi dan Ardi Ferdian menerangkan: Dalam hubungannya dengan alat bukti petunjuk, alat bukti informasi dan dokumen elekronik sebagai perluasan alat bukti surat, atau sama kedudukan dan fungsinya sebagai alat bukti surat, maka juga berkedudukan dan berfungsi yang sama dengan alat bukti surat dalam hal digunakan sebagai bahan membentuk alat bukti petunjuk (Adami Chazawi, Ardi Ferdian, 2011: 226). Dari pendapat diatas maka dapat dijelaskan bahwa perluasan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE ini tidak terbatas hanya pada perluasan alat bukti surat saja, melainkan terbuka kemungkinan juga untuk memaknai perluasan ini sebagai perluasan terhadap alat bukti petunjuk. Informasi elektronik/ dokumen elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik/ dokumen elektronik tersebut memiliki keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas Penggunaan alat bukti elektronik sendiri sebagai perluasan alat bukti petunjuk bukanlah yang pertama ini dilakukan. Jauh sebelum lahirnya UU ITE kita telah mengetahui mengenai adanya penggunaan alat bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, diawali dalam Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-undang 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang di dalam praktek penegakan hukum telah memberikan nuansa yang berbeda dengan pemanfaatan teknologi informasi seperti melakukan penyadapan, melakukan kloning terhadap telepon selular, 48 sms, faksimile, rekaman suara, CD room, dan alat rekam lainnya dapat diterima oleh pengadilan sebagai alat bukti perkara tipikor, khususnya dalam menemukan alat bukti petunjuk. a. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti elektronik untuk pertama kali di introdusir di dalam Pasal 26 huruf A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur sebagai berikut : Alat bukti lain yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana khusus untuk tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari : 1) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda angka atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa khusus dalam perkara korupsi, bukti elektronik yang jenisnya seperti disebutkan di muka dapat dipergunakan untuk perluasan alat bukti khususnya berupa bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. 49 b. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undangundang 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketentuan serupa terdapat dalam Pasal 38 jo. Pasal 1 butir 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Pasal 1 butir 9 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002, yang mengatur sebagai berikut: Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa : 1) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; 2) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 3) dokumen sebagaimaan dimaksud dalam pasal 1 angka 7, yang substansinya sama dengan Pasal 1 butir 9 Undangundang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang, secara lengkap sebagai berikut : Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di dalam kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) tulisan, suara, atau gambar; b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan c) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. c. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketentuan tentang perluasan alat bukti petunjuk yang menggunakan alat bukti elektronik juga terdapat pada Undang- 50 undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1) alat bukti sebagaimana dimakdsud dalam hukum acara pidana; 2) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 3) data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada : a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto dan sejenisnya; dan c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca dan memahaminya. Bukti petunjuk sendiri dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP menggariskan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari tiga komponen yaitu : a. keterangan saksi; b. surat; dan c. keterangan terdakwa. Sementara Pasal 188 ayat (3) KUHAP menerangkan, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan 51 tertentu dilakukan hakim dengan arief dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya. Perlu dijelaskan disini bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa bukti petunjuk akan ditemukan dari kandungan alat bukti lain yaitu keterangan saksi, bukti surat, keterangan terdakwa. Oleh karena itu bukti petunjuk memiliki sifat interdependensi dengan substansi alat bukti lainnya karena hal-hal sebagai berikut : a. selama tergantung dan bersumber pada substansi dari alat bukti lain; b. bukti petunjuk baru akan diperlukan dalam pembuktian, apabila alat bukti lain belum cukup oleh hakim, untuk membuktikan kesalahan terdakwa; c. bukti petunjuk baru dianggap sangat perlu apabila upaya pembuktian dengan alat bukti lain, belum mencapai batas minimum pembuktian; d. hakim harus terlebih dulu berupaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti yang lain, sebelum berpaling untuk mempergunakan alat bukti petunjuk; e. dengan kata lain maka upaya menggali dan mencari alat bukti petunjuk baru dilakukan pada tingkatan keadaan tertentu yakni, pencarian alat bukti lain sudah tidak diketemukan lagi dan dalam keadaan demikian itulah maka hakim berpaling untuk mengupayakan penemuan/ penggalian alat bukti petunjuk (Djoko Sarwoko, 2009: 11). Bukti petunjuk memiliki nilai pembuktian bebas lagi pula tidak dapat berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa, ia tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian, oleh karena itu maka agar petunjuk memiliki nilai pembuktian yang cukup harus didukung oleh sekurang-kurangnya satu alat bukti lain. 52 3. Diakomodirnya Anasir Teknologi dalam Pembuktian Perkara Pidana. Penggunaan perangkat teknologi informasi dari waktu ke waktu terus penggunaan berkembang teknologi dalam komputer masyarakat, sebagai di perbankan bidang contoh dan perdagangan, telah menimbulkan modus-modus tindak kejahatan yang bervariasi, dan proses penegakan hukum seringkali menjadi tidak efektif ketika berhadapan dengan produk-produk teknologi informasi yang diajukan sebagai alat pembuktian karena sistem dan pengaturan alat bukti belum dapat menampung unsur teknologi di dalamnya, sementara pelaku kejahatan telah mempergunakan teknologi informasi, terutama tindak kejahatan yang masuk kategori “extraordinary crime” seperti terorisme, pencucian uang, tindak pidana perbankan dan tindak pidana lainnya. Menyadari adanya kondisi ketertinggalan perangkat perundang-undangan yang mencakup unsur teknologi di dalamnya sebagai sebuah alat bukti, lahirlah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang lebih dikenal sebagai UU ITE. Dalam Pasal 5 UU ITE jelas diterangkan bahwa informasi elektronik, dokumen elektronik maupun hasil cetak dari keduanya merupakan alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari ketentuan hukum acara yang selama ini berlaku (KUHAP). Bila kita cermati lebih jauh lagi, informasi elektronik, dokumen elektronik maupun hasil cetak dari keduanya merupakan bagian dari suatu teknologi. Teknologi merupakan suatu piranti yang didesain dari suatu bentuk pengetahuan guna memecahkan suatu masalah secara praktis. Contoh dari suatu teknologi ialah komputer, komputer diciptakan guna mempermudah pekerjaan manusia seharihari secara praktis seperti mengetik sebuah dokumen, mengitung sebuah kalkulasi dll. Komputer juga dapat digunakan sebagai sarana berkomunikasi antar manusia. 53 Salah satu produk yang dihasilkan komputer adalah informasi elektronik atau dalam bahasa komputer lazim disebut sebagai (file(s)). Dalam UU ITE sendiri, informasi elektronik diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah, yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sementara (file(s)) yang diteruskan/ dikirimkan kepada satu user sistem elektronik ke user yang lain seperti e-mail, sms, dsb diterjemahkan dalam UU ITE ini sebagai dokumen elektronik. Komputer sendiri dalam UU ITE termasuk sebagai suatu bagian dari sistem elektronik, yaitu serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi menganalisis, mempersiapkan, menyimpan, mengumpulkan, menampilkan, mengolah, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi eletronik.. Dari penjelasan tersebut maka dapat kita ketahui mengenai adanya peran dari UU ITE itu sendiri dalam mengakomodir unsur teknologi ke dalam hukum pembuktian, khususnya dalam pembuktian perkara pidana, pengakomodiran tersebut terlihat jelas dengan dengan contoh di atas dengan pemasukan informasi elektronik yang termasuk sebagai unsur teknologi yang dibentuk dari suatu sistem elektronik, sebagai salah satu alat bukti yang sah sesuai hukum. B . Nilai Pembuktian Alat Bukti Elektronik dalam Proses Pembuktian Perkara Pidana Pasca Diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pembuktian merupakan bagian yang sangat esensial untuk menentukan nasib terdakwa dalam ranah hukum pidana. Bersalah atau tidaknya terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan ditentukan dalam proses pembuktiannya. Atau dengan kata lain, pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang disampaikan oleh para jaksa penuntut umum yang kegunaannya untuk memperoleh kebenaran materiil terhadap : 54 1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan. 2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatanperbuatan yang didakwakan kepadanya. 3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan perbuatan itu. 4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah (Dikdik M. Arief Mansur, Elistaris Gultom, 2005: 107). Sedangkan menurut Hetty Hasanah dalam jurnal nasional: Pembuktian dalam proses persidangan merupakan suatu usaha bagi hakim guna mencapai keyakinan melalui alat-alat bukti yang ada. Sementara bagi terdakwa sendiri merupakan usaha guna meyakinkan hakim melalui alat-alat bukti yang ada agar terdakwa tersebut dapat dibebaskan dari hukuman atau dilepaskan dari segala tuntutan atau setidak-tidaknya dapat memperoleh keringanan apabila terbukti terbukti bersalah dan dijatuhi putusan (Hetty Hasanah 2011: 237). Berbicara mengenai nilai pembuktian alat bukti, tentulah tidak dapat dilepaskan dari sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP. Pasal 183 KUHAP menyatakan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seseorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus : - kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah” ; dan - atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (M. Yahya Harahap, 2000: 280). Atas dasar pemahaman di atas maka jelas bahwa sistem pembuktian yang digunakan KUHAP ialah sistem pembuktian menurut 55 undang-undang secara negatif. Sistem ini mengajarkan bahwa untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata atau hanya semata-mata didasarkan atau keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu ditambah dengan keyakinan hakim. Dengan adanya unsur keyakinan hakim sebagai syarat hakim guna memutus perkara, maka hal tersebut tentulah berpengaruh terhadap nilai pembuktian alat bukti itu sendiri di muka sidang. Dengan adanya unsur keyakinan hakim tersebut, membuat nilai pembuktian bagi tiap-tiap alat bukti dalam perkara ialah sama, yaitu bebas dan tidak mengikat hakim. Kedudukan suatu alat bukti tidak lebih kuat jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain, atau bisa dikatakan tidak ada alat bukti yang bersifat menentukan. Hal tersebut berbeda dengan pembuktian perkara perdata, di dalam hukum perdata terdapat alat bukti yang bernilai lebih kuat dan menentukan dibanding alat bukti lain, sebagai contoh adalah pengakuan dari salah satu pihak yang bersengketa yang diucapkan di persidangan ialah memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap dan menentukan. Artinya hakim sudah dapat memutus perkara dengan alat bukti pengakuan tersebut. Ketentuan tersebut tentulah tidak berlaku di dalam pembuktian perkara pidana, karena semua alat bukti bernilai sama, bebas dan tidak mengikat hakim. Dari pemahaman tersebut maka dapat disimpulkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya, yang berdasarkan Pasal 5 UU ITE disebutkan sebagai alat bukti yang sah di muka sidang, nilai pembuktiannya juga tidak jauh berbeda dengan alat bukti lainnya yang tercantum dalam KUHAP. Alat bukti elektronik memiliki nilai pembuktian yang bebas dan tidak mengikat 56 hakim. Hakim bebas menilai apakah alat bukti elektronik termasuk alat bukti yang menentukan atau tidak, sekali lagi hal tersebut diakibatkan dari ketentuan pada Pasal 183 KUHAP yang mencantumkan unsur “keyakinan hakim” di dalamnya, Walau sekuat apapun alat bukti tersebut di muka sidang, apabila hakim tidak mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah, maka hakim dapat membebaskan terdakwa. Padahal kita tahu bahwa “keyakinan hakim” tersebut tentulah bersifat subjektif atau dengan kata lain tiap-tiap hakim memiliki ukuran yang berbeda-beda dalam mendapatkan suatu “keyakinan”. Kita ingat di atas bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, dimana sistem ini memadukan unsur objektif yaitu pembuktian berdasarkan alat bukti yang sah, dengan unsur subjektif yaitu keyakinan hakim. Keduanya haruslah saling mendukung dan tidak ada yang bersifat secara dominan. Jika salah satu bersifat dominan maka tentu fungsi peradilan yaitu menciptakan kebenaran sejati tidak akan terwujud. Termasuk apabila hakim menempatkan unsur keyakinan hakim lebih dominan daripada unsur pembuktian berdasarkan alat bukti yang sah. Misalkan, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan alat bukti yang sah, pembuktian tersebut tetap dapat dianulir atau ditiadakan oleh keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim tidak yakin terhadap kesalahan terdakwa. Terbukti memang cukup terbukti secara sah. Namun sekalipun terbukti secara sah, hakim tidak yakin atas kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak kelemahan sistem ini, sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tetapi dalam praktek secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang 57 cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa. Perlu diketahui disini bahwa bukan berarti unsur keyakinan hakim tersebut dapat berjalan dominan tanpa terikat suatu standar patokan penerapan. Atau dengan kata lain dalam mencapai suatu keyakinan, hakim haruslah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu: 1. Berdasarkan Alat Bukti yang Sah yang Terungkap dalam Persidangan. Keyakinan yang didapatkan oleh hakim haruslah dengan dasar pertimbangan mengenai alat-alat bukti yang terungkap dalam persidangan. Pasal 184 KUHAP telah menentukan macam alat bukti yang sah digunakan dalam persidangan. Dalam konteks alat bukti elektronik dapat berlaku sah dalam persidangan,juga telah diatur oleh Pasal 5 UU ITE. Guna mencapai keyakinannya hakim haruslah mengkaji mengenai sah atau tidaknya alat bukti yang hadir di muka sidang. Alat bukti yang sah menurut hukum haruslah memenuhi syarat formal dan materiil. Penerapan kedua syarat tersebut bersifat kumulatif. Alat bukti yang tidak memenuhi syarat formil dan materiil secara kumulatif, membuktikan tidak kesalahan memiliki nilai pembuktian untuk terdakwa. Nilai pembuktian bukan tergantung pada kuantitas alat bukti yang hadir di muka sidang, tetapi tergantung pada kualitasnya. Oleh karena itu hakim wajib berpikir cermat guna menyusun alat bukti mana yang menentukan, untuk kemudian disusun sebagai bahan pencapaian keyakinannya. Dalam hal hakim menolak atas alat bukti yang terungkap dalam persidangan karena keyakinannya, pertimbangan mengapa hakim menolak alat bukti tersebut haruslah berdasarkan hukum dan etika. Pertimbangan tersebut harus mampu memberi alasan profesional judgement kenapa ia menolak kebenaran pembuktian, dan hakim 58 juga wajib memberi kesimpulan yang transparan mengenai kelemahan kebenaran pembuktian yang membuat hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2000: 342). 2. Alat Bukti yang Sah tersebut, Mencapai Batas Minimal Pembuktian. Hakim tentulah juga harus menimbang mengenai batas minimal pembuktian sebagai dasar pencapaian keyakinannya. Setelah mengetahui alat bukti itu sah, lalu hakim harus menilik apakah alat bukti tersebut telah memenuhi batas minimal pembuktian atau belum. Pasal 183 KUHAP menentukan batas minimal pembuktian sekurang-kurangnya ialah 2 (dua) alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, atau bagi alat bukti elektronik adalah sebagaimana yang termuat dalam Pasal 5 UU ITE. Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa “sekurangkurangnya” atau “paling sedikit” dibuktikan dengan dua alat bukti yan sah, dimana masing-masing alat bukti tersebut haruslah saling bersesuaian, saling menguatkan dan tidak bertentangan satu sama lain. Disebutkan disini bahwa batas minimalnya adalah dua alat bukti dikarenakan berkaitan dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti perkara pidana. Tidak ada satupun dari alat bukti tersebut yang bernilai sempurna, mengikat dan memaksa hakim, masing-masing hanya memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht). Oleh karena itu tidak satupun dari alat bukti tersebut yang mampu berdiri sendiri, harus dibantu, ditopang, alat bukti yang lain. Batas ini tidak boleh dikurangi, pemidanaan yang dijatuhkan dengan mengurangi batas minimal pembuktian adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan hakim. Tidak 59 terpenuhinya batas minimal pembuktian berarti nilai pembuktiannya tidak cukup guna membuktikan kesalahan terdakwa. 3. Tidak Boleh Berada dalam Bayangan Keraguan (Shadow of a Doubt). Tujuan pokok sistem peradilan pidana ialah mencari dan mewujudkan kebenaran sejati. Dimana penemuan kebenaran yang sejati tersebut bertujuan agar jangan sampai hakim menghukum orang yang tidak bersalah dan juga jangan sampai hakim membebaskan orang yang bersalah. Konsep imparsialitas menegaskan “it is better that ten guilty defendants go free than that one innocent be wrong condemand” atau bila diterjemahkan “lebih baik membebaskan sepuluh terdakwa yang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah”. Konsep tersebut haruslah sangat diperhatikan oleh hakim. Hakim haruslah mencapai keyakinan yang penuh bahwa terdakwa bersalah, dan tidak diperkenankan berada dalam keraguan dalam membuat putusan. Bila hakim berada dalam keraguan, dan tidak mencapai suatu keyakinannya, hakim wajib membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, sebagaimana apa yang disebutkan oleh asas in dubio pro reo. Asas tersebut menerangkan “jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan”. Ada 2 (dua) kategori bayangan keraguan yang mungkin dialami oleh hakim, yaitu: a. Keraguan membayangi hal atau keadaan serta elemen pokok yang relevan dengan kasus, dimana kesalahan terdakwa berada dalam keraguan yang beralasan (reasonable doubt), alasan tersebut masih menyangkut mengenai hal-hal dalam kasus tersebut. Misalkan alat bukti yang ada tidak memenuhi batas minimal pembuktian. Dan oleh karena diragukan dan tidak pasti kesalahannya maka kesalahan terdakwa tidak boleh diyakini. 60 b. Keraguan membayangi hal atau keadaan serta elemen yang tidak relevan dengan kasus, dari segi hukum dinyatakan sebagai keraguan yang terpencil dan dianggap sebagai kemungkinan keraguan yang tidak berarti (remote possibility) (M. Yahya Harahap, 2000: 340). 61 BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan yang telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya, maka simpulan yang dapat penulis ambil adalah sebagai berikut: 1. Implikasi yuridis yang timbul akibat berlakunya UU ITE terhadap eksistensi alat bukti elektronik ialah : a. Diakuinya alat bukti elektronik secara hukum sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan. b. Terjadinya perluasan pendefinisian alat bukti dalam perkara pidana. c. Diakomodirnya anasir teknologi dalam pembuktian perkara pidana. 2. Nilai pembuktian dari alat bukti elektronik yang sesuai dengan Pasal 5 UU ITE berupa informasi elektronik, dokumen elektronik, dan hasil cetakan dari keduanya adalah sama dengan alat bukti dalam perkara pidana lainnya yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu bebas dan tidak mengikat hakim. Hakim bebas menilai apakah alat bukti elektronik termasuk alat bukti yang menentukan atau tidak, hal tersebut diakibatkan dari ketentuan pada Pasal 183 KUHAP yang mencantumkan unsur “keyakinan hakim” sebagai syarat bagi hakim guna memutus perkara selain unsur “dua alat bukti yang sah”. Walau sekuat apapun alat bukti tersebut di muka sidang, apabila hakim tidak mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah, maka hakim dapat membebaskan terdakwa. Namun, dalam mencapai suatu keyakinan hakim, haruslah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu : a. Berdasarkan alat bukti yang sah yang terungkap dalam persidangan. 61 62 b. Alat bukti yang sah tersebut, mencapai batas minimal pembuktian. c. Tidak boleh berada dalam bayangan keraguan (shadow of a doubt). B. Saran Adapun saran-saran yang diusulkan penulis atas dasar pemikiran yang didapat selama melakukan penelitian ini adalah : 1. Dengan ditetapkannya regulasi yang mengatur mengenai keabsahan alat bukti elektronik di muka persidangan dalam UU ITE ini, maka sudah saatnya para penegak hukum harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal Informasi dan Teknologi (IT). Dimana pengetahuan mengenai Informasi dan Teknologi (IT) yang dimiliki para penegak hukum tersebut pada akhirnya akan mempermudah hakim dalam membentuk keyakinannya guna memutus perkara pidana yang menggunakan alat bukti elektronik. 2. Mengingat keabsahan suatu sistem elektronik juga akan menentukan kelayakan suatu alat bukti elektronik di muka persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE, maka tiap-tiap penyelenggara sistem elektronik haruslah menyelenggarakan sistem elektronik dengan persyaratan minimum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE. 63 Daftar Pustaka Buku: Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. 2011. Tindak Pidana informasi & Transaksi Elektronik. Malang: Bayumedia Publishing. Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian. Jakarta: Raih Asa Sukses. Aloysius Wisnubroto dan Gregorius Widiartana. 2005. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Arsyad Sanusi. 2001. E-Commerce: Hukum dan Solusinya. Bandung: PT. Mizan Grafika Sarana. Dikdik Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2005. Cyberlaw. Bandung: PT. Refika Aditama. Djoko Sarwoko. 2009. Pembuktian Pidana Setelah Berlakunya UU No.11 Tahun 2008 (Undang-undang ITE). Jakarta : Mahkamah Agung RI. Hari Sasangka. 2003. Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia Publishing M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munir Fuadi. 2006. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 64 Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Siswanto Sunarso. 2009. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Subekti. 1983. Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita. Jurnal Hetty Hasanah. 2011. “ Tindak Pidana Perjudian Melalui Internet Ditinjau dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Jurnal Ilmiah Unikom. Vol.8 No.2. Bandung: Unikom Center. Ian Dennis. 2007. “The Law Evidence”. Criminal Law Review. Vol.3, No.1. Maria-Hellen Maras. 2011. ” Computer Forensics : Cybercriminals, Laws, and Evidence”. Jones and Barlett Learning. Volume 1, No.7. Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-undang 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 65 Lain-lain: Ahmad Zakaria.Website Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. (http:// ahmadzakaria.net/. Diakses pada 16.15 tanggal 2 Juli 2012 di Surakarta). Anonim. IT Forensik. (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/it-forensik-4/. Diakses pada 15.05 tanggal 06 Juli 2012 di Surakarta). Diana Kusumasari. UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out Sebagai Alat Bukti. (http:// hukumonline.com/ uu-ite-jadi-payung-hukum-iprint-outi-sebagai-alatbukti. Diakses pada 16.02 WIB tanggal 1 juli 2012 di Surakarta ). Mohammed Chawki. (http://crime-research.org/articles/chawki1. Diakses pada 19.32 WIB tanggal 16 maret 2012 di Surakarta).