KONFLIK DAN INTEGRASI: Analisis Terhadap Pemahaman Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) (Studi kasus masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh: Muhammad Ayub NIM. 106032201113 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 KONFLIK dan INTEGRASI: Analisis Terhadap Pemahaman Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) (Studi kasus masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh: MUHAMMAD AYUB NIM: 106032201113 Pembimbing Skripsi: Saifuddin Asrori, M.Si NIP: 19770119200912 1 001 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 ABSTRAK Muhammad Ayub Konflik dan Integrasi: Analisis Terhadap Pemahaman Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) (Studi Kasus Masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok, Jawa Barat). Skripsi dengan judul “Konflik dan Integrasi: Analisis Terhadap Pemahaman Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU) (Studi Kasus Masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat)” ini dilatarbelakangi oleh hubungan yang kurang harmonis antara kedua kelompok tersebut dalam masyarakat. Hubungan kurang harmonis antara kedua kelompok menimbulkan konflik-konflik sosial. Berangkat dari permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui apa yang menjadi sumber-sumber konflik antara kedua kelompok, kasus-kasus konflik yang terjadi, serta proses mediasi dan integrasi yang terjadi antara kedua kelompok. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek (ritual keagamaan) dan berupaya melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut (observasi partisipan). Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor konflik antara kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) pada masyarakat Mekarsari yang dominan adalah yang bersumber pada pemaknaan dan memahami suatu ajaran agama yang mengarah pada perbedaan dalam ritual pelaksanaan ibadah. Akan tetapi ada faktor lain yang juga memberikan sumbangsih terhadap meruncingnya konflik antara kedua kelompok, yaitu status ekonomi. Konflik yang terjadi pada masyarakat Mekarsari memberikan sumbangsih terhadap penguatan masing-masing kelompok, konflik tidak lagi bersifat negatif seperti pada awal kelompok Persatuan Islam (Persis) masuk didaerah tersebut. Pada saat ini konflik mengarah pada persaingan kedua kelompok ke arah yang lebih positif, Konflik mengarah pada kompetisi atau persaiangan kedua kelompok untuk menunjukan eksistensi masing-masing kelompok. Kompetisi atau persaingan kedua kelompok tersebut terealisasi dalam bentuk pembangunan, seperti pembangunan sarana ibadah, lembaga pendidikan umum dan agama, lembaga sosial (BAZIS, koprasi, dll) yang berimbas langsung pada masyarakat Mekarsari pada umumnya. Walaupun kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) pada masyarakat Mekarsari berkonflik mereka terintegrasi karena beberapa hal seperti, peran struktur kepemimpinan yang ada pada masyarakat Mekarsari baik yang formal dan informal, ikatan primordial, ikatan kekeluargaan, atau terikat pada struktur yang lebih luas yaitu, struktur masyarakat Mekarsari yang memungkinkan mengendapkan, menahan, mengalihkan konflik untuk tidak langsung melawan objeknya secara langsung. i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya, serta tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, serta sahabat yang senatiasa mengikuti ajaran-ajarannya. Skripsi ini tidak dapat rampung tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Dra. Jaoharatul Jamilah, M.Si selaku sekretaris jurusan program studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Saefuddin Asrori, M,Si selaku dosen pembimbing atas waktu kesabaran, kritik dan saran-saran yang diberikan penulis selama penyusunan skripsi ini. 3. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Sosiologi atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi. 4. Keluarga tercinta, tiada yang lebih indah dan menyenangkan apabila berada di rumah sendiri. Penulis sangat berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahannda Sanan dan ibunda Asni atas segala kepercayaan, pendidikan, semangat, kesabaran, pengorbanan dan segala doa yang senantiasa mereka panjatkan untuk penulis, agar penulis sukses dalam penulisan skripsi ini dengan harapan nilai yang maksimal. Terima kasih juga untuk kakakku Yanti dan Ismail Bin Sanan, serta untuk keponakan tercinta Neng Nufa, Abang Sahl, dan Aa Syauki yang memberikan spirit bagi penulis lewat senyum dan tawanya. ii 5. Sahabat-sahabatku Irvan Matondang, Andri Prakarsa, Ghundar Muhammad Al- Hassan yang terus memberikan aura positif kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta teman diskusiku Aprilnaldi, M. al-Aufar, M. Tri Panca, Nana, Luthfian, serta Yandhi Deslatama yang dengan ikhlas memberikan tumpangan kosan dan komputernya untuk digunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini, Serta teman-teman sosiologi 2006 Fina, Azharina, Rahmi, Kiki, Dijah, Febri, Erfan, Sofa, Budiman, Budi Santoso, Hazuri. 6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis sadar tidak ada sesuatu yang sempurna kecuali Allah Swt. Begitu pula dengan skripsi ini, skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat penulis sampaikan, Karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan sebagai bahan perbaikan di masa mendatang bagi penulis. Depok, 15 September 2011 Muhammad Ayub iii DAFTAR ISI ABSTRAK ………………………………………………………………….. i KATA PENGANTAR ……………………………………………………... ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………....... 1 B. Tinjauan Pustaka ………………………………………………….. 8 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………….. 10 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………. 11 E. Metodologi Penelitian ……………………………………………... 12 1. Jenis Penelitian ……………………………………………….... 12 2. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….….. 12 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………… 16 BAB II LANDASAN TEORI A. Hubungan Antarkelompok ……………………………………….... 17 B. Konflik dan Integrasi ……………………………………………..... 21 C. Pemahaman Keagamaan ………………………………………........ 24 1. Modernis ……………………………………………………........ 24 2. Tradisonalis………………………………………………………. 27 D. Organisasi Keagamaan ……………………………………………... 29 1. Persatuan Islam (Persis) ………………………………………..... 30 2. Nahdlatul Ulama (NU)…………………………………………… 35 iv BAB III DESKRIPSI TEMPAT PENELITIAN A. Demografis dan Kependudukan. ...………………………………….. 40 B. Pendidikan………………………………………………………….... 42 C. Ekonomi……………………………………………………………… 44 D. Keagamaan……………………………………………………………. 46 E. Struktur Kepemimpinan Masyarakat ………………………………… 48 F. Profil Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)… 50 BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN A. Konflik yang Bersumber pada Pemahaman Keagamaan …………….. 55 B. Kasus-kasus konflik………………………………………………… 65 B. Bentuk Mediasi dan Integrasi …………………………………......... 67 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………………… 72 B. Saran-saran ………...………………………………………….………. 73 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN v 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama dalam tinjauan sosiologis seperti halnya dua sisi mata uang, Agama terkadang muncul sebagai kekuatan integratif bagi masyarakat, akan tetapi tak jarang pula agama tampil sebagai pemicu konflik di masyarakat. Hal ini terjadi tak lepas dari keragamaan pada masyarakat dalam memaknai dan memahami suatu ajaran agama itu sendiri. Penelitian yang menunjukkan agama sebagai kekuatan integratif di masyarakat di antaranya penelitian yang berjudul “Konflik dan Integrasi: Potret Keragamaan Masyarakat Sawangan” yang ditulis oleh Ulfah Fajarini. Penelitian ini berkesimpulan bahwa konflik dapat menjadi pendorong bagi terciptanya integrasi pada kehidupan masyarakat. Kelompok-kelompok yang berkonflik sesungguhnya saling berkaitan erat satu dengan yang lain secara komplementer dan secara bersama-sama berada dalam struktur sosial yang lebih luas, yakni struktur sosial masyarakat yang terikat oleh kebudayaan yang menjadi pegangangan umum. Terjadinya konflik dan integrasi tergantung pada unsur-unsur 2 struktur sosial yang ada, yaitu identitas sosial, peranan-peranan sosial pengelompokan sosial, situasi dan arena sosial.1 Sementara agama yang menjadi alasan sebagai sumber pemicu konflik di masyarakat seperti pada penelitian yang berjudul “Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Islam, Studi kasus pada masyarakat Alabio Kalimantan Selatan”, kesimpulan dalam penelitian ini menggambarkan perbedaan interpretasi mengenai perangkat-perangkat ajaran agama Islam dan penggunaannya oleh para pelakunya untuk memahami dan menghadapi lingkungannya telah menimbulkan konflikkonflik diantara sesama pemeluk agama Islam.2 Pengorganisasian dari masing-masing kelompok yang bertentangan mempunyai implikasi terhadap adanya segmentasi atau perpecahan dalam masyarakat disatu pihak akan tetapi di pihak lain juga menjadi tenaga pendorong bagi terciptanya integrasi dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Konflik tersebut terwujud dan berpusat sebagai kompetisi kepemimpinan dalam organisasiorganisasi yang ada pemimpin dan pendukung organisasi tersebut menghadapi, menginterpretasi dan mengadaptasi satu sama lain dan menggunakan bagianbagian dari ajaran agama Islam yang diketahuinya dalam membenarkan tindakan dan dalam menghadapi lingkungannya.3 1 Ulfah Fajarini, “Konflik dan Integrasi: Potret Keragaman Masyarakat Sawangan,” Al-Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, V 11, no 3, (September 2005): h. 289. 2 Achmad Fedyani Saefudin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h. 99 3 Ibid., h. 99. 3 Guna meminimalisir segala bentuk gesekan yang akan terjadi pada masyarakat, dalam hal ini Negara Republik Indonesia mengaturnya yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 29 yang menegaskan bahwa; 1. Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Konflik disebabkan oleh perbedaan interpretasi teks kitab suci, sehingga melahirkan berbagai aliran-aliran dalam Islam, dengan demikian akan menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam berbagai hal, seperti; pandangan politik, akidah, maupun fiqh. Perbedaan-perbedaan ini secara potensial menimbulkan konflik-konflik sosial terjadi di masyarakat. Perbedaan pandangan yang paling mencolok adalah dalam hal khilafiyah fiqhiyah mengenai interpretasi terhadap teks-teks kitab suci sehingga mengakibatkan muncul dan timbulnya kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda diantara penganut agama yang sama tersebut.4 Kemajemukan, multi etnis, ras, budaya, dan agama atau pandangan berbeda dalam agama yang sama dalam bingkai ke Indonesiaan merupakan sebuah realitas sosial yang tidak bisa dihindarkan dan hal ini seharusnya dipikirkan atau dirumuskan sebagai modal menciptakan integrasi pada masyarakat Indonesia. 4 Muhaimin AG, ed., Dalam Damai di Dunia Damai Untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama, (Jakarta: Puslitbang dan Diklat Keagamaan RI, 2004), h. 3. 4 Keragaman interpretasi mengenai teks-teks kitab suci berpotensi menimbulkan, melahirkan, bahkan kembali membangkitkan konflik di masyarakat. Dalam konteks ke Indonesiaan ditemukan beberapa faham atau aliran yang dua diantaranya adalah pertama; Mereka yang menamakan dirinya sebagai kelompok ahlu sunnah waljamaah yang berarti pengikut Rasulullah s.a.w serta mengikuti segala keputusan (ijma) para sahabat sepeninggal nabi Muhammad s.a.w pada kepemimpinan masa khulafaurrasyidin, dan di identikan dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Akan tetapi ahlu sunnah yang berkembang di Indonesia ini bukanlah ahlu sunnah seperti halnya yang berkembang di Mekkah atau Mesir, ahlu sunnah Indonesia yang di identikan dengan Nahdlatul Ulama (NU) ini dapat dikatakan sebagai organisasi Islam yang paling akomodatif, seperti apa yang diutarakan Nurcholis Madjid bahwasannya Sunni atau ahlu sunnah versi NU adalah khas indonesia yang telah mendapat pengaruh dari tradisi pemikiran keagamaan lokal atau domestik.5 Sedangkan yang kedua; Adapula organisasi keagamaan yang cenderung tidak tolerir tehadap pencampuran-pencampuaran (singkretik) dengan tradisi lokal, dengan sebuah asumsi segala bentuk ajaran yang tidak bersumberkan pada AlQuran dan Hadits adalah sesuatu yang bid’ah dan ini merupakan representasi dari pada yang diajarkan oleh ulama-ulama Persatuan Islam (Persis). Secara garis besar gerakan pembaharuan yang dibawa oleh ulama-ulama Persis merupakan pengaruh 5 Haris Firdaus, NU, PERSIS atau MUHAMADIYAH: yang Ahli Bid’ah, (Bandung: Mujahid Press, 2004), h. 80. 5 besar dari sebuah gerakan pembaharuan yang berkembang di Saudi Arabia yaitu gerakan wahabiah6, yang juga berupaya membersihkan Islam dari hal-hal yang tidak bersumberkan pada qur’an dan hadits Melihat sebuah kenyataan di atas ada sebuah kesan bahwa istilah ahlu sunnah waljama’ah ini milik satu oraganisasi keagamaan tertentu, yang menganggap bahwa argumennyalah yang paling benar walaupun dalam perkembangannya mereka mendeklarasikan semuanya sebagai organisasi yang berazaskan pada ahlu sunnah waljama’ah. Perbedaan pandangan atas azas dasar organisasi ini secara langsung menimbulkan berbagai konflik di masyarakat. Akan tetapi, ada sisi menarik dari sebuah konflik di masyarakat. Apabila ditelusuri lebih jauh konflik-konflik yang terjadi di masyarakat justru tidak sepenuhnya bermotifkan agama, seperti bersumberkan pada prilaku politik yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya menggunakan kekuasaan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber ekonomi dengan mengunakan agama sebagai instrument pembenarannya. Hal ini sesuai dengan yang disebut oleh Peter L Berger bahwa secara historis agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif.7 Dengan demikian kemajemukan dalam bidang agama selain memberikan corak tersendiri pada masyarakat muslim di Indonesia juga memberikan sumbangsih terhadap tumbuh dan munculnya 6 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1980), h. 99. 7 Peter L Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi Dalam Masyarakat Modern. Penerjemah J.B Sudarmanto. (Jakarta: LP3ES. 1991), h. xvi. 6 benih-benih konflik atas dasar legitimasi agama baik menyangkut doktrin, maupun berebut jumlah penganut, dan sumber daya sebagai alat menunjukan eksistensi kelompok atau organisasinya. Sebagaimana telah disebut di atas konflik yang dimaksud dalam fenomena ini adalah yang bemakna sosial, dan bukan yang bersifat individual, maksudnya pertentangan antara kelompok sosial-kelompok sosial yang masing-masing memantapkan identitas kelompoknya untuk menghadapi kelompok lainnya. Dampak dari konflik sosial dikatakan sangat penting apabila mengancam stabilitas sistem sosial yang ada. Akan tetapi, tidak selamanya konflik sosial itu menyebabkan rusaknya sistem sosial yang ada, akan tetapi adakalanya justru dengan konflik sosial membantu terwujudnya sebuah integrasi sosial, seperti yang dipaparakan Lewis Coser bahwasannya konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial.8 Dengan demikian, Konflik memberikan sumbangsih pula terhadap penguatan identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur dalam kelompokkelompok lainnya. Sedangkan dalam pendekatan struktural fungsional setiap komponen masyarakat (kelompok sosial) berperan secara fungsional dalam suatu struktur sosial, sehingga membentuk kesatuan yang terintegrasi. Struktur sosial sendiri terdiri atas sejumlah komponen atau unit-unit yang saling berinteraksi sehingga 8 Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, Penerjemah oleh tim Yasogama. ( Jakarta: Yayasan Solidaritas Gadjah Mada, 1984), h. 108. 7 membentuk jalinan yang harmonis dan terpadu, setiap komponen atau unit dalam masyarakat tersebut saling terkait dan saling menguatkan antara komponen atau unit yang satu dengan komponen atau unit yang lain.9 Dalam menganalisa fenomena sosial ini, agama ditinjau dari interpretasi sosiologis sebagai sebuah sistem kepercayaan yang merupakan salah satu dari unsur kebudayaan. Dengan demikian dapat diperoleh sebuah kesimpulan bahwa kebudayaan merupakan sebuah kumpulan pedoman atau pegangan bagi manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan-lingkungannya, sehingga mereka tetap mampu melangsungkan kehidupannya, demikian pula dengan fungsi agama ditinjau melalui pendekatan kebudayaan. Variasi yang terwujud dalam agama atau adanya keanekaragamaan dalam interpretasi ajaran agama disebabkan oleh banyaknya hal tergantung pada sejarah kebudayaannya.10 Dengan sedikit memaparkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk meniliti mengenai fenomena ini, dan memberikan judul pada tulisan atau skripsi ini yaitu: “Konflik dan Integrasi: Analisis Terhadap Pemahaman Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)“. (Studi Kasus Masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat). 9 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penerjemah Alimandan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1985), h. 21. 10 Achmad Fedyani Saefudin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, h. 5-6. 8 B.Tinjauan Pustaka Adapun ada beberapa tinjaun kepustakaan yang penulis dapatkan, Berupa skripsi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini di antaranya adalah; Pertama: Skripsi yang berjudul Peranan Jam’iyyah Persatuan Islam (Persis) Dalam Transformasi Budaya (Studi Kasus di Desa Panjalin Kidul Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majalengka, Jawa Barat), skripsi ini ditulis oleh Muhammad Syarifuddin, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2006. Berkesimpulan pada penelitian ini bahwasannya organisasi Persatuan Islam menawarkan cita-cita keagamaan yang menetapkan ibadah dan kewajiban-kewajiban lainnya dalam hukum agama sebagai fokus kehidupan, serta menekan kaum muslimin untuk melenyapkan seluruh kepercayaan dan praktek yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran islam seperti: syirik, bid’ah, churafat, takhayul, dan lain-lain. Mengangap kuatnya kepercayaan agama lokal sebagai faktor penghambat dan adanya kelompok dominasi (nahdliyin). Dalam penelitian ini penulis menganalisis bahwa melihat agama sebagai sesuatu yang mutlak, sesuatu yang datang dari tuhan sehingga pada kesimpulan terakhir mengarahkan pada benar dan salah dan berupaya menghapuskan salah satu nilai keyakianan yang lainnya. Bukan tidak mungkin hasil akhir dari pada konflik yang terjadi adalah kemenangan salah satu kelompok. Kedua: Penelitian yang berjudul Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan. Penelitian ini ditulis oleh Ulfah Fajarini yang dimuat 9 dalam jurnal al-Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, V 11, No 3, September, 2005. Dari penelitiannya dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik dapat menjadi pendorong bagi terciptanya integrasi pada kehidupan masyarakat. Kelompok-kelompok yang berkonflik sesungguhnya saling berkaitan erat satu dengan yang lain secara komplementer dan secara bersama-sama berada dalam struktur sosial yang lebih luas, yakni struktur sosial masyarakat yang terikat oleh kebudayaan yang menjadi pegangangan umum. Terjadinya konflik dan integrasi tergantung pada unsur-unsur struktur sosial yang ada, yaitu identitas sosial, peranan-peranan sosial pengelompokan sosial, situasi dan arena sosial. Ketiga, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Islam, Studi kasus pada masyarakat Alabio Kalimantan Selatan, Penelitian ini ditulis oleh Drs. Achmad Fedyani Saefuddin. Dengan kesimpulan dalam penelitiannya menggambarkan perbedaan interpretasi mengenai perangkat-perangkat ajaran agama Islam dan penggunaannya oleh para pelakunya untuk memahami dan menghadapi lingkungannya telah menimbulkan konflik-konflik diantara sesama pemeluk agama Islam. Pengorganisasian dari masing-masing kelompok yang bertentangan tersebut mempunyai implikasi terhadap adanya segmentasi atau perpecahan dalam masyarakat disatu pihak tapi di pihak lain juga menjadi tenaga pendorong bagi terciptanya integrasi dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Konflik tersebut terwujud dan berpusat sebagai kompetensi kepemimpinan dalam organisasi-organisasi yang ada pemimpin dan pendukung organisasi tersebut menghadapi, menginterpretasi dan mengadaptasi satu sama lain dan menggunakan 10 bagian-bagian dari ajaran agama Islam yang diketahuinya dalam membenarkan tindakan dan dalam menghadapi lingkungannya. Penelitian yang ditulis oleh Ulfah Fajarini dan Drs. Achmad Fedyani Saefuddin mengenai Konflik dan Integrasi, menganalisis pemaham keagamaan dalam Islam merupakan inspirasi utama dalam melakukan penelitian serupa pada masyarakat kelurahana Mekarsari, hanya saja berbeda pada objek penelitian yaitu pada pemahaman keagamaan kelompok keagamaan Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU), yang dengan jelas menampilakan dua pemahaman yang berbeda dalam menginterpretasikan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, dalam aplikasinya kerap menimbulkan konflik dan gesekan akan tetapi mereka terikat pada satu kebudayaan yang lebih luas. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Perbedaan pendapat mengenai pemahaman ajaran agama merupakan suatu realitas sosial yang tidak bisa dihindarkan, ini merupakan sebuah konsekuensi dari masyarakat yang majemuk atau multikultur. Permasalahannya adalah apabila perbedaan pendapat ini menjadi sesuatu yang akan merusak sistem sosial yang ada dalam masyarakat, karena melibatkan agama sebagai instrumen perjuangan merupakan sesuatu yang sensitif dimasyarakat kita, dengan demikian dalam penelitian ini agama dibatasi pada salah satu bagian dari kebudayaan yang paling mendalam. Pembatasan ini digunakan agar mempermudah penganalisaan atas fenomena ini sehingga dapat terlihat dinamikanya dalam mewujudkan keteraturan 11 atau ketidak teraturan dalam masyarakat. Sedangkan dalam penelitian ini dirumuskan beberapa perumusan guna mempermudah penulisan diantaranya adalah: 1. Apakah yang menjadi faktor-faktor konflik terjadi di antara kedua kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU), 2. Apa saja kasus-kasus konflik yang terjadi? 3. Bagaimakah proses mediasi dan integrasi yang terjadi antar kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)? D. Tujuan dan Manfaat Penilitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut; a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyulut konflik yang terjadi antara kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU). b. Untuk mengetahui kasus-kasus konflik yang terjadi pada kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU). c. Untuk mengetahui proses integrasi yang terjadi pada kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU). Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah; a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan akademis dalam melihat atau menganalisis fenomena pemahaman keagamaan berkaitan dengan Konflik dan Integrasi. 12 b. Dalam konteks praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik dalam masyarakat yang majemuk baik dalam bidang etnik, bahasa, adat, dan terlebih khusus agama. E. Metodologi Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, Pendekatan kualitataif dalam penelitian sosial terhadap agama disandarkan pada keagamaan dengan studi komunitas-komunitas, menggunakan atau jama’ah metode seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam (in-depth interview).11 Dengan metode kualitatif penelitian diarahkan untuk memberikan penjelasan mengenai gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat. 2. Teknik Pengumpulan Data. Untuk memperoleh data di lapangan, maka penelitian ini menggunakan metode sabagai berikut: 11 Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama. Penerjemah Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 290. 13 a. Observasi Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis.12 Pengamatan dan pencatatan ini dilakukan terhadap prilaku atau ritual keagamaan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) di Kelurahan Mekarsari. Metode observasi sebagai alat pengumpul data, dapat dikatakan berfungsi ganda, sederhana, dan dapat dilakukan tanpa menghabiskan biaya. Namun demikian, dalam melakukan observasi peneliti dituntut memiliki keahlian dan penguasaan kompetensi tertentu.13 Penelitian ini menggunakan observasi langsung yang bersifat partisipatif ataupun non partisipatif yaitu pengamatan yang melibatkan peneliti dalam kegiatan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) mengenai ritual keagamaan kedua kelompok tersebut. b. Wawancara Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang dibutuhkan. Dalam kegiatan wawancara terjadi 12 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 101. 13 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan:Teori dan Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h. 173. 14 hubungan antara dua orang atau lebih, dimana keduanya berprilaku sesuai dengan status dan peranan mereka masingmasing. Wawancara ialah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Ciri dari wawancara adalah adanya kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi (interviewer) dan sumber informaasi (interviewe).14 Dalam melakukan penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan informan dari kelompok Persatuan Islam (Persis) sebanyak 3 orang yang merupakan penasehat dan ustadz dari kelompok tersebut, sedangkan dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) peneliti melakukan wawancara kepada 5 orang yang juga merupakan tokoh dan ustadz dari kelompok tersebut, serta jama’ah dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) di Kelurahan Mekarsari. Sehingga secara keseluruhan peneliti melakukan wawancara sebanyak 8 orang dari kedua kelompok tersebut. c. Studi Kepustakaan. Selain dengan menggunakan tekhnik observasi dan wawancara untuk menambah informasi dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kepustakaan, yaitu mencari sumber-sumber 14 Ibid., h. 179. 15 lain seperti buku-buku, jurnal ilmiah dan lain-lain yang berkaitan dengan tema penelitian ini. d. Instrumen Pengumpulan Data Instrument pengumpulan data dalam penelitian ini adalah mengacu pada pedoman wawancara, telepon gengam, buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar wawancara menjadi terarah dan tepat. Sedangkan telepon gengam untuk merekam pembicaraan agar tidak terlupa pada subjek penelitian. Sementara buku catatan digunakan untuk mencatat berbagai hal yang penting dalam penelitian ini. e. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini dikatagorikan ke dalam dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan informasi dan observasi yang dilakukan peneliti di tempat penelitian. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku, jurnal ilmiah yang berkaitan dengan tema penelitian ini. f. Waktu dan Tempat penelitian Waktu penelitian dimulai pada bulan April sampai pada bulan Juli 2011. Adapun tempat penelitian pada masyarakat di Kelurahan Mekarsari. 16 F. Sistematika Penulisan. Adapun sistematika pada penulisan ini adalah; Bab I, Pendahuluan. Pada bab ini membahas latar belakang masalah, tinjauan pustaka, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teori. Pada bab ini membahas tentang hubungan antarkelompok, konflik dan integrasi, Pemahaman keagamaan kelompok modernis dan kelompok tradisionalis, dan organisasi keagamaan Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU). Bab III, Deskripsi Tempat Penelitian. Pada bab ini membahas keadaan demografis dan kependudukan, pendidikan, ekonomi, keagamaan, struktur kepemimpinan masyarakat, dan profil kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU). Bab IV, Hasil Temuan Lapangan. Pada bab ini menjabarkan sumber-sumber konflik yang bersumber pada pemahaman keagamaan, Kasus-kasus konflik yang terajdi, proses Mediasi dan integrasi Bab V, Penutup. Bab ini adalah akhir dari penulisan sebagai penutup yang berisikan kesimpulan dan saran yang diajukan peneliti terhadap permasalahan penelitian. 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Hubungan Antarkelompok Sebelum menjelaskan pengertian hubungan antarkelompok terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelompok itu sendiri Manusia adalah makhluk sosial, yang bermakna manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Sudah menjadi kebutuhan setiap individu dapat mempertahankan hidup dengan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bersosialisasi dengan manusia lainnya, baik menjalin hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok. Dalam bingkai ke-Indonesiaan dengan keragamannya (ras, budaya, suku, agama) hubungan yang dibangun antarkelompok adakalanya tidak berjalan dengan mulus, terkadang terjadi perbedaan pendapat antarkelompok yang berimbas pada terjadinya konflik. Dirasa penting menjabarkan konsep hubungan antarkelompok dalam penelitian ini. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, manusia menggunakan fikiran, perasaan dan kehendaknnya. Seperti pada proses pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh manusia, Setiap manusia membutuhkan makan dan minum itu dapat dihasilkan dengan bantuan akal, apabila manusia tinggal didaerah laut maka pemenuhan kebutuhan manusia tersebut dilakukan denga cara mencari ikan di laut, dan apabila apabila manusia 18 tinggal didaerah hutan maka manusia tersebut dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya dengan cara berburu, dan begitu seterusnya. Keadaan seperti ini dengan tujuan pemenuhan kebutuhan yang sama menimbulkan terbentuknya kelompok-kelompok sosial atau social group di dalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan atau himpunan atau kesatuankesatuan manusia yang hidup secara bersama. Hal tersebut menyagkut hubungan timbal-balik, saling mempengaruhi dan kesadaran untuk saling tolong-menolong. Ada beberapa syarat setiap kumpulan manusia dikatakan sebagai kelompok di antaranya: 1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan. 2. Ada hubungan timbal- balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya. 3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan mereka bertambah erat. Seperti faktor nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama dan itu dapat menjadi faktor pengikat atau pemersatu. 4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku. 19 5. Bersistem dan berproses.1 Selian itu dalam pembahasan kelompok ada beberapa tipologi yang dirumuskan oleh Robert Bierstedt,2 diantaranya yaitu statistical group, societal group, social group, dan associational group. Sedangkan mengenai hubungan antar kelompok (intergroup relations) diartikan sebagai hubungan antara dua kelompok atau lebih yang mempunyai ciri yang khusus3. Beberapa konsep hubungan antarkelompok seperti yang diklasifikasikan oleh Kinloch (1979),4 diantaranya: Pertama berdasarkan ciri fisiologis, pada kriteria ini ditemukan pengelompokan yang didasarkan pada jenis kelamin (laki-laki dan perumpuan), berdasarkan usia (tua-muda) dan ras (hitamputih). Kedua ialah berdasarkan kebudayaan, pada kriteria ini ditemukan pengelompkan yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik (Aceh, Minagkabau, Ambon, Batak, Sunda, Dayak dan lain-lainya) walaupun agama tidak disebutkan namun agama termasuk dalam kriteria atau katagori ini. Ketiga berdasarkan ekonomi, pada kriteria ini ditemui pengelompokan pada mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan mereka yang tidak mempunyai. Dan kriteria yang keempat ialah prilaku, pada kriteria ini ditemukan pengelompokan berdasarkan cacad fisik, cacad mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat. 1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Grapindo Persada, 1993), h. 125-126. Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 145. 3 Ibid., h. 145. 4 Ibid., h. 145-146. 2 20 Pembahasan mengenai hubungan antarkelompok cenderung dipusatkan pada deskripsi dan penjelasan hubungan sosial antarkelompok dan statusnya yang berbeda, terutama yang menyangkut status yang diperoleh sejak lahir seperti status sebagai anggota suatu kelompok ras, etnik, atau agama. Kaitannya dengan konflik yang bersumberkan pada pemahaman agama dapat di analisis dengan menggunakan pendekatan hubungan antarkelompok dengan melihat status agama atau organisasi keagamaan. Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian antar kelompok adalah hubungan mayoritas dan minoritas. Beberapa dimensi hubungan antarkelompok sebagaimana telah disebutkan oleh Kinloch,5 diantaranya adalah pertama dimensi sejarah diarahkan masalah tumbuh dan berkembangnya hubungan antar kelompok, seperti hubungan pertama antar ras kulit hitam dan putih yang berlanjut pada perbudakan. Kedua dimensi sikap, dimensi sikap ini mengamati sikap suatu anggota kelompok terhadap anggota kelompok lainnya. Ketiga adalah dimensi institusi, dimana dimensi sikap suatu kelompok terhadap kelompk lain terkadang ditunjang dan diperkuat oleh institusi dalm masyarakat seperti institusi ekonomi dan politik. Keempat dimensi gerakan sosial, dimensi ini merupakan dimensi lain dalam hubungan antarkelompok. Kajian atau dimensi ini melihat berbagai gerakan sosial yang sering di lancarkan suatu kelompok untuk membebaskan diri dari dominasi kelompok lain. Selain dimensi yang telah disebut diatas ada dimensi lain yang dianggap sangat penting yaitu dimensi perilaku dan dimensi perilaku kolektif, yang 5 Ibid., h. 146-147. 21 termasuk dimensi prilaku adalah perilaku suatu kelompok terhadap anggota kelompok lain. Hubungan antarkelompok sering diwarnai oleh peristiwa perilaku kolektif seperti demonstrasi, huru-hara, perusakan, pembunuhan, bentrokan fisik dan lain-lain. B. Konflik dan Integrasi Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan, dan konflik merupakan salah satu sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi di masyarakat. Pertentangan-pertentangan atau konflik mungkin terjadi antara individu dengan kelompok ataupun antara kelompok dengan kelompok. Konflik dan integrasi merupakan dua konsep yang dalam tradisi sosiologi biasanya digunakan secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan karena yang satu merupakan kebalikan dari yang lainnya. Seperti yang di jelaskan oleh Achmad Fedyani Saefudin dalam bukunya: “Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu-individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok untuk mencapai tujuan yang sama, Sedangkan integrasi didefinisikan sebagai penyatuan kelompok-kelompok yang tadinya terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaaanperbedaan sosial dan kebudayaan yang ada sebelumnya, Selain itu integrasi juga diartikan sebagai diterimanya seorang individu oleh anggota-anggota lain dari suatu kelompok”.6 6 Achmad Fedyani Saefuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h.7. 22 Melihat sisi fungsi konflik, Lewis Coser berpendapat bahwa konflik merupakan suatu gejala yang wajar terjadi didalam masyarakat yang mengalami perubahan sosial dan kebudayaan, dan konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial, Konflik dapat memperkuat identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya.7 Tingginya frekuensi konflik antara kelompok memungkinkan untuk menekan konflik terjadi dalam lingkungan kelompok itu sendiri. Sedangkan kelompok yang tidak terlibat konflik cenderung bersikap toleran terhadap konflikkonflik yang terjadi antara warganya sendiri, sehingga sikap ini menimbulkan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Dengan demikian konflik yang terjadi dalam masyarakat terbuka (struktur sosial), berfungsi sebagai jalan untuk memecahkan dan mengurangi ketegangan-ketegangan, sehingga memberikan dampak pada peningkatan stabilitas dan intergrasi di masyarakat. Karena dengan sikap toleran terhadap perbedaan dan pertentangan dapat membuka jalan untuk mengetahui sumber-sumber konflik atau ketidak puasan di dalam masyarakat. Konflik dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, karena timbulnya pertentangan merupakan indikasi telah berjalanya proses akomodasi, maka dengan proses akomadasi tersebut memungkinkan melakukan perubahan-perubahan dalam kaitannya 7 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Penerjemah oleh tim Yasogama (Jakarta: Yayasan Solidaritas Gajah Mada), h. 108. 23 dengan hubungan antara kelompok-kelompok tersebut, dengan demikian diharapkan kembali dapat mencitakan kembali keseimbangan dan menciptakan kerja sama di masyarakat. Pertentangan-pertentangan atau konflik yang terjadi menyebabkan setiap kelompok untuk melakukan introspeksi dan dilanjutkan dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam kelompok tersebut, dan untuk menutupi kelemahan tersebut dimungkinkan masing-masing kelompok untuk melakukan kerja sama saling melengkapi kekuarangannya dengan demikian kelemahan-kelemahan dari masing-masing kelompok tersebut dapat tertutupi, selain itu pertentangan atau konflik ini memberikan batas-batas yang jelas terhadap peran dan tanggung jawab kelompok akan fungsi dan kedudukannya di masyarakat. Dalam masyarakat biasanya kita menemukan saluran-saluran konflik untuk meminimalisir kemungkinan konflik yang merusak sistem sosial , dalam sosiologi alat ini disebut sebagai safety-valve (katup penyelamat) yang memiliki makna suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.8 Katup penyelamat memberikan sarana-sarana tertentu yang dapat mengalihkan kelompok-kelompok yang bertikai untuk menyalurkan luapan permusuhan kearah lain tanpa menghancurkan seluruh struktur. Dengan kata lain katup penyalamat berfungsi sebagai jalan keluar untuk meredakan permusuhan yang bertujuan untuk menetralisir ketegangan-ketegangan yang timbul dari situasi pertentangan tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan Lewis Coser lewat savty-valve (katup penyelamat) itu permusuhan dihambat agar 8 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, penerjemah oleh tim Yasogama, h. 109. 24 tidak berpaling pada melawan objek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif. C. Pemahaman Keagamaan. Berkaitan dengan konflik mengenai hubungan antar kelompok keagamaan di Indonesia sudah terjadi pada masa awal Negara ini terbentuk. Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan modernis mewaarnai hubungan antar kelompok keagamaan di Indonesia mengenai interpretasi/ekspresi dari pada keyakinan. Maka akan sedikit diulas mengenai pemahaman keagamaan kelompok modernis dan tradisonalis. 1. Modernis. Gerakan modernis Islam di Indonesia masuk pada awal abad ke duapuluh, di ilhami dari gerakan intelektual yang terjadi di Timur Tengah dipelopori oleh tokoh-tokohnya seperti, Jamal ad-Din al-Afghani (1883-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridla (1865-1935).9 Pemikiran modernis ini dibawa oleh para guru yang tinggal di Mekkah dan mengajarkan siswa-siswa 9 Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi dan Mulni Adelina. (LKiS: Yogyakarta, 2007), h.26. 25 disana, mereka memberikan penekanan khusus pada pentingnya prinsif-prinsif fiqh dalam mempelajari al-quran dan sunnah. Inti dari pada modernisme Islam itu sendiri adalah berkeyakinan bahwa saat itu (awal gerakan ini terbentuk) peradaban Islam sedang mengalami kemerosotan yang serius. Kejayaan intelektual dan ilmiah yang dialami Islam beberapa abad dahulu telah punah dan sebagian besar masyarakat Islam sedang mengalami kemunduran ekonomi, ini disebabkan banyak dunia Islam (pada saat itu) dalam keadaan terjajah oleh bangsa Eropa yang identik dengan umat Kristen. Kemerosotan itu dirasa tidak selaras dengan keyakinan mereka bahwa Islam adalah kepercayaan yang benar, didasarkan atas firman Allah yang paling lengkap dan final. Menurut para modernis kemunduran Islam disebabkan sikap taklid kepada pemikiran mazhab abad pertengahan serta tercemarnya praktek Islam oleh amalan dan kepercayaan yang tidak bersumber pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Menurut kaum modernis, Islam dapat kembali jaya dengan cara membebaskan diri dari cengkraman tradisi dan mengikis penyimpangan, serta kontaminasi nilai-nilai non-Islam, dengan kata lain kelompok modernis ini berusaha untuk melakukan pemurnian kembali pada ajaran agama dari pengaruhpengaruh diluar tadisi Islam itu sendiri. Prinsif dari gerakan modernsime ini adalah kembali pada al-qura’an dan sunnah Nabi.10 Dengan misi begitu kelompok modernis menyerang aspek-aspek mistis yang kerap dilakukan oleh kaum tradisionalis, yang mereka anggap sebagai sesuatu yang tidak Islami, juga kaum modernis menyerang praktek-praktek dalam 10 Ibid., h. 27. 26 ibadah yang mereka yakini sebagai sesuatu yang bid’ah. Sudah barang tentu aktivitas kaum modernis ini mendapatkan tentangan yang keras dari ulama-ulama kelompok tradisionalis. Salah satu metode yang kerap dilakukan oleh kelompok modernis adalah melakukan ijtihad, ini dimaksudkan untuk mereformasi Islam yang dianggap tidak lagi murni. Sebuah tradisi yang mungkin tabu dilakukan oleh kelompok tradisionalis, karena mereka beranggapan ijtihad dalam hal hukum Islam dirasa tidak perlu dan tidak mungkin dilakukan. Menurut kelompok modernis dengan cara ijtihad inilah dapat menetapkan mana yang otentik dan mana yang dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah atau amalan baru yang tidak bersumber dari Islam. Atas pertimbangan itulah (meninjau kembali hukum-hukum Islam) kelompok modernis dengan tegas menolak dan mengkritik praktek-praktek keagamaan kelompok tradisionalis seperti, talkin (membisikan syahadat pada jenazah sebelum dikuburkan), membaca Do’a qunut pada shalat shubuh, mengucap niat sebelum shalat, palaksanaan shalat tarawih sebanyak duapuluh tiga raka’at, serta ziarah kubur, tawassul (menyebut nama mereka sebelum berdo’a) dan lain sebagainya menurut kelompok modernis praktek-praktek semacam ini dianggap bid’ah dan syirik atau menyekutukan Allah. Secara singkat kelompok modernis berupaya menghapus/menghilangkan praktek-praktek agama yang dianggap tidak sesuai seperti telah disebut diatas, tujuan utama kelompok modernis ini mengembalikan agama Islam kepada dua 27 sumber utamanya yang murni yaitu sunnah Rasulullah s.a.w, sekaligus membuka pintu ijtihad dan menutup pintu taklid, meninggalkan segala bentuk praktek agama yang tidak bersumberkan pada ajaran agama (bid’ah) serta churafat. 2. Tradisionalis. Islam adalah agama yang memiliki misi “Rahmatan lil al-‘alamin” bukan hanya pada umat Islam saja melainkan pada seluruh alam. Islam dianggap sebagai agama yang paling akomodatif dan apresiasif pada tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran Islam itu sendiri. Hal ini dianggap logis mengingat penyebaran dakwah Islam menyentuh masyarakat dunia. Islam di haruskan dapat mengikuti perkembangan segala bentuk kemajuan dan dinamika peradabannya, termasuk bentuk tradisi dimana Islam berkembang pada suatu daerah.11 Salah satu alasan kemudian Islam dapat diterima di masyarakat Indonesia adalah melakukan pendekatan yang bersifat kultural (identik dengan lapisan bawah dan tradisonalis), akomodatifnya Islam terhadap tradsi-tradisi dan budaya lokal suatu daerah, dan mengisinya dengan ruh, semangat dan nilai-nilai keIslaman secara damai, tidak dengan cara-cara kasar, terlebih melakukan penggusuran terhadap tradsi dan budaya lokal yang dianggap sebagian atau sekelompk orang (kelompok modernis) sebagai sesuatu yang salah dan harus di hapuskan. 11 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 216. 28 Bila melihat sejarah dapat dikatakan cara atau corak dalam ekpresi yang dilakukan Islam tradisonalis merupakan inspirasi dari apa yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan Islam dahulu. Pada masanya Wali Songo melakukan dakwah dengan cara-cara damai perlahan tapi pasti masuk dalam tradisi-tradisi dan budaya masyarakat saat itu, yang di masukan pula nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti membuat kidung dan tembang, sholawat dan kasidah, dari karawitan sampai rebana dari sesajen sampai selametan dan sedekahan, walimahan dan lain-lain, ini merupakan proses dakwah yang dilakukan dengan cara mengubah nilai-nilai pra Islam menjadi nilai baru yang Islami, dan tradisi lama ke tradsi baru yang lebih Islami. Penyerapan nilai-nilai lokal non-Islam oleh Islam tradisional tumbuh dari kepercayaan bahwa suatu amalan dapat secara sah diambil dan diterapkan sejauh tidak bertentangan dengan sya’riat,12 atas dasar keyakinan tersebut menjadi landasan penyerapan berbagai ritual budaya lokal non Islam (Hindu dan Budha) kedalam amalan orang-orang Muslim. Sebagai contoh seperti selametan, ziarah kubur, serta berbagai ritual mistis dan magis yang berasal dari tradisi setempat dan penyerapan dari agama Hindu. Mereka menganggap ini sebagai pengkayaan keimanan dan sebagai cara untuk memudahkan penyebaran Islam. Bagi kelompok Islam tradisonalis bahwa Islam mempunyai “core values” (nilai-nilai utama/nilai inti) yang universal (berlaku kapan saja dan dimana saja), tetapi Islam juga memiliki kelenturan dalam mensikapi tradisi-tradisi dan budaya lokal yang 12 Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi dan Mulni Adelina. h. 26. 29 tidak jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsipnya sebagai wujud kerahmatan bagi umat manusia.13 Hingga saat ini kita masih dapat merasakan bahkan mempraktekan segala ritual yang dilakukan kaum tradisonalis itu dikarenakan sifatnya Islam yang akomaodatif, walaupun dalam kenyataannya jelas-jelas ada fihak yang dengan tegas menolak bahkan berupaya menghapuskan segala bentuk dan ritual yang kerap dilakukan kelompok ini, yaitu dari kalangan modernis. Sebagai contoh banyak dari masyarakat kita yang mempraktekan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan prinsif Islam, seperti sinkretisme (pencampur adukan keyakinan), pemberian sesajen di tempat keramat, minta kekuatan dan kekebalan, minta rizki pada kuburan dan lain-lain itu karenakan proses dakwah yang belum selesai. D. Organisasi Keagamaan. Khilafiyat dalam urusan ajaran agama antara kelompok-kelompok agama nampaknya tak dapat di elakan perdebatan antara kelompok modernis dan kelompok tradsionalis berlanjut pada pembentukan organisasi-organisasi keagamaan, seperti organisasi Muhammadiyyah, Al-Irsyad, Jam’iat Al-choirat, dan Persatuan Islam (Persis) yang dikatagorikan sebagai organisasi berhaluan modernis dengan prinsif-prinsif kemodernisan yang telah disebut diatas, ada pula organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang tetap berupaya melestarikan tradisi-tradisi yang telah ditetapkan oleh ulama klasik serta mempertahankan adat-istiadat yang 13 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU, h. 217. 30 bercampur dengan ajaran islam itu sendiri yang merepresentasikan sebagai kelompok tradisonalis. 1. Persatuan Islam (Persis). Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada tanggal 23 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang melihat pembaharuan-pembaharuan dalam agama Islam yeng telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Ide dan gagasan pembentukan organisasi keagamaan ini bermula dari pertemuan yang bersifat informal (kenduri) yang diadakan di rumah salah seorang kelompok tersebut yang merupakan para perantau yang berasal daerah sumatra, walaupun demikian mereka merasa sebagai penduduk pribumi, pendudk asli Bandung karena telah lama tinggal dan menetap di Bandung dengan urusan berdagang. Pada pertemuan kenduri yang besifat informal ini mereka kerap membincang dan berdiskusi mengenai wacana ke-Islaman. Dalam pembicaraan dan diskusi mengenai ajaran agama ini ada dua tokoh yang dianggap sebagai guru yaitu Haji Zam-zam dan Haji Muhammad Yunus karena pemahaman yang luas mengenai ajaran agama Islam. Haji Zamzam memperoleh pengetahuannya dari belajar di Timur Tengah, beliau menghabiskan waktunya selama tiga tahun di Mekkah dan belajar di lembaga Daar al-Ulum dan sekembalinya dari Mekkah beliau menjadi guru dan mengajar di Daarul Muta’allimin, sebuah sekolah agama 31 di Bandung (sekitar tahun 1910),14 sedangkan Muhammad Junus adalah seorang pedagang yang menguasai bahasa Arab kepandaiannya dalam agama diperoleh dari pendidikan agama secara tradisional dan beliau tidak mengajar. Beliau tergolong sebagai orang kaya pada saat itu, dengan kekayaannya membantu dalam menunjang kehausannya dalam mempelajari ajaran Islam dengan membeli kitabkitab yang dia perlukan. Diskusi yang dilakukan oleh Haji Zamzam, Muhammad Junus dan yang lainnya merupakan cikal bakal pembentukan dari pada organisasi Persatuan Islam. Isi dari diskusinya selain membincang masalah ajaran agama mereka juga membicarakan tentang gerakan pembaharuan Islam yang telah lebih dulu dilakukan didaerah lain seperti di Sumatra, juga mereka membincang tentang konflik antar gagasan-gagasan baru itu dan sistem keagamaan yang telah mapan, selain itu mereka juga mengkaji isi majalah Al-Manar (sebuah majalah yang dterbitkan muslim modernis di Kairo), dan Al-Munir (majalah serupa yang diterbitkan di Padang oleh para ulama Indonesia yang pernah belajar di Mekkah)15 dan masalah komunis yang telah meresahkan umat Islam di Bandung dan juga telah memecah Sarekat Islam, sarekat Islam lokal Bandung dengan resmi mendukung komunisme pada kongres nasional partai tersebut. Dalam perkembangannya Persatuan Islam kurang memberikan perhatian dan tekanan terhadap kegiatan organisasinya, Persis tidak berminat untuk 14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 96. Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Penerjemah Ruslani dan Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2004), h. 112. 15 32 menambah anggotanya sebanyak mungkin dan pembentukan cabang-cabang dari organisasi ini. Pembentukan cabang di berbagai daerah di luar Bandung merupakan inisiatif sendiri dari anggotanya tanpa ada instruksi dari pimpinan pusat organisasi tersebut. Akan tetapi pengaruh dari organisasi ini jauh melebihi banyak anggota dan jumlah cabangnya, terbukti pada awalnya mereka melakukan sholat jum’at secara berjama’ah tidak kurang dari selusin orang dari kelompoknya saja baru kemudian pada tahun 1942an saat jepang melakukan invasinya ke Indonesia tidak kurang dari 500 orang selalu mengikuti sholat berjamah yang diselenggaraka oleh kelompk ini. Memang yang menjadi inti perhatian dari organisasi Persatuan Islam (Persis) adalah bagaimana menyebarkan cita-cita, gagasan dan pemikirannya. Untuk merealisasikan gagasan dan pemikirannya organisasi ini melakukan pertemuan umum, tabligh-tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, meyebarkan atau menerbitkan pamplet-pamplet, majalah-majalah dan kitab-kitab.16 Beruntung dengan gagasan seperti ini Persatuan Islam mendapatkan dukungan dari orang-orang penting pada saat itu seperti Ahmad Hassan yang dianggap sebagai guru Persis dan Muhammad Natsir sebagai anak muda golongan terpelajar yang bertindak sebagai juru bicara dari organisasi Persatuan Islam ini. Ahmad Hasan adalah terkenal sebagai ulama beraliran Reform, radikal dalam memutuskan hukum-hukum Islam. Sebagaimana telah disebut diatas Ia berjuang dalam Persatuan Islam yang didirikannya atas prakarsa K.H Zamzam 16 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 97. 33 yang berasal dari Palembang pada tanggal 23 September 1923, dengan tujuan memperjuangkan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam yang berdasarkan qur’an dan sunnah dalam masyarakat. Ia berusaha menghidupkan jiwa jihad dan ijtihad pada kaum muslimin, membasmi bid’ah, kurafat, tahayul, taqlid, dan syirik, memperluas tabligh dan dakwah Islam kepada masyarakat, mendirikan pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader umat Islam. Persatuan Islam mempunyai majlis ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukumhukum Islam berdasarkan quran dan sunnah, dan mewajibkan kepada seluruh jama’ahnya untuk meyiarkannya. Selain itu Ahmad Hassan adalah salah seorang tokoh Persatuan Islam (Persis) yang paling produktif dalam hal menulis buku dan karya tulis, banyak karya-karya ilmiahnya yang dipublikasikanmasyarakat umum, tulisan yang dianggap paling fenomenal bagi karya Ahmad Hassan adalah dua karya utamanya berisikan tentang kepercayaan-kepercayaan Islam yang diekspresikan Ahmad Hassan kedalam karyanya mengenai soal jawab, yang pertama berisikan tentang Tauhid (mengenai sifat Tuhan dan hubungan manusia dengannya) dan kedua adalah An-Nubuwwah, (berisikan hubungan karakteristik serta perjuangan para nabi, terutama nabi Muhammad) Buku ini merupakan rujukan bagi para anggota persatuan Islam. Al-Quran dan sunnah memberikan tempat yang sangat penting bagi seorang Ahmad Hassan dan Persatuan Islam karena seharusnya umat muslim menjadikan Islam dengan al-quran dan hadits ini sebagai Manhaj (pandangan hidup). Karena dengan al-quran dan sunnah ini lah seorang muslim dapat merepresentasikan Islam sebagai ajaran yang murni dan dengan al-quran dan 34 hadits lah Islam dapat diterima karena sifatnya yang sesuai terhadap kondisi dan perkembangan zaman dalam konsep modern.17 Persatuan Islam dapat dikatakan organsisasi yang berbeda dengan organsisai manapun yang ada di Indonesia dalam hal penekanan terhadap penggunaan al-quran dan hadits dalam memberikan bukti-bukti mengenai argumentasinya tentang masalah-masalah keagamaan, soisal ekonomi, dan politik. Al-quran merupakan sesuatu yang unik, Sesuatu yang berbeda dari tulisan manapun baik mengenai gaya bahasa maupun dari kandungan isi dan maknanya. Tak ada satupun manusia di muka bumi yang dapat membuat tulisan yang seperti atau sama dengan al-quran. Salah satu buktinya adalah bagaimana keindahan alQuran dibaca dengan penuh kegembiraan dan penuh penghormatan oleh pembacanya. Al-quran juga memiliki daya tarik yang memuat berbagai informasiinformasi yang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah seperti ayat-ayat yang bercerita mengenai seluruh kehidupan manusia berasal dari air, perputaran bumi dan benda-benda langit yang sesuai dengan teori ilmu pengetahuan astronomi dan masih banyak lagi ayat-ayat al-quran yang sejalan dan menjadi sumber rujukan dari pada ilmu pengetahuan modern. Sementara hadits atau sunnah, Orang-orang Pesatuan Islam (Persis) menggambarkan sebagai “ucapan Nabi, prilaku Nabi, dan prilaku sahabat yang 17 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Penerjemah Ruslani dan Kurniawan Abdullah. h. 172-173. 35 hidup pada masanya yang disepakati oleh Nabi. Dalam urusan yang berkaitan dengan permasalahan keagamaan seperti ibadah (shalat, shaum, haji dan sebagainya), atau ucapan dan tindakan Nabi yang menjadi landasan prilaku dalam menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan. Serta diluar masalah ritual ibadah di atas seperti prilaku personal Nabi dalam urusan-urusan keduniawian.18 2. Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama adalah suatu jam’iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. berakidahkan faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu empat mazhab besar, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Kegiatannya ditujuakan pada pengembangan agama Islam dengan memperbanyak tabligh, pendidikan, agar umat Islam sadar kembali akan kewajibannya terhadap agama, bangsa, dan tanah air sehingga mereka dapat beramal sebagaimana mestinya. Ada beberapa faktor secara langsung maupun tidak langsung melatar belakangi lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama ini diantaranya: gerakan pembaharuan yang terjadi di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang di pelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani untuk mempersatuakan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khilafah usmaniyyah.19 18 Ibid., h. 174. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS,2004), h. 15. 19 36 Organisasi Nahdlatul Ulama dibangun dengan dua maksud, yang pertama untuk mengimbangi komite khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan para pembaharu. Kedua untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud penguasa baru tanah Arab, Agar kebiasaan agama secara tradisi dapat diteruskan.20 Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaharuan Islam terjadi karena kasadaran umat Islam sendiri atas ketertinggalan mereka dari dunia barat dari berbagai aspek kehidupan dan di arab gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh wahabi terjadi karena kesadaran internal umat Islam atas perusakan tauhid dikarenakan mereka menganggap sistem hukumnya telah di hinggapi oleh unsurunsur churafat dan kemusyrikan, sedangkan di Indonesia hal serupa terjadi guna memajukan umat seperti berdirinya organisasi kebangsaan dan keagamaan Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyyah. Beberapa alasan diatas memberikan motifasi pada para pemuda Islam Indonesia untuk mendirikan suatu organisasi keagamaan yang bebasis pada pengembangan umat secara khusus dalam bidang pendidikan dan dakwah, seperti mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang didirikan oleh Mas Mansur yang baru pulang dari Mesir dan begitu pun Wahab Hasbullah mendirikan Taswirul Afkar (potret pemikiran) sekembalinya dari luar negri. Pada wadah ini terjadi diskusi-diskusi hangat antara Mas Mansur dengan Wahab Hasbullah mengenai berbagai permasalahan. Wahab Hasbullah selain aktif dalam gerakan pemuda, Ia juga aktif dalam Islam Studie Club yang didirikan oleh 20 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 242. 37 Dr. Sutomo. Diskusi-diskusi hangat tadi dicemari dengan perdebatan-perdebatan prihal masalah-masalah khilafiyah dalam Islam, mengenai bidang tauhid dan fiqh. Fase selanjutnya adalah masa-masa terjadinya perbedaan dan perdebatan antara kaum tradisionalis (Wahab Hasbullah dan kawan-kawan) dengan kaum reformis (Ahmad Soorkati pendiri al-Irsyad dan Ahmad Dahlan dari Muhammadiyyah). Pengaruh diskusi-diskusi itu dapat dirasakan ketika umat islam harus menghadapi kongres khilafat yang menggemparkan dunia Islam dan sempat menyedot perhatian dari penjajah Belanda, Dikarenakan yang hadir pada kongres tersebut adalah orang-orang yang memilik pengaruh besar pada umat Islam itu sendiri seperti, Wahab Hasbullah, Tjokroaminoto, H.Agus Salim, Ahmad Dahlan, Sangaji, Mas Mansur dan tokoh-tokoh penting lainnya. Hal ini ditakutkan Belanda dikarenakan perhatian yang besar dari ulama-ulama Indonesia atas jatuhnya kekholifahan Turki setelah perang dunia pertama dan berkuasanya Raja Ibnu Sa’ud di kota Mekkah. Semakin panas dan puncaknya pada kongres al-Islam yang terjadi di Bandung, begitupun golongan pembaharu Islam, guna mempersiapkan undangan yang dilayangkan pada umat Islam Indonesia oleh raja Sa’ud untuk menghadri kongres di Mekkah. Terbukti pada kongres terakhir yang terjadi di Bandung memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarikat Islam dan Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk menghadiri kongres. Sementara itu Abdul Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasan-kebiasan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khirat, ajaran madzhab, dihormati oleh kepala negera Arab yang baru dalam negaranya, 38 termasuk di Mekkah dan Madinah,21 namun hasil keputusan kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usulan-usulan yang diberikan, sehingga Abdul Wahab dan tiga orang pendukungnya keluar dari komite khilfat, dan selanjutnya Abdul Wahab berinisiatif untuk mengumpulkan ulama dari golongan tua untuk melakukan rapat dan bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite Hijaz inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal terbentuknya Nahdlatul Ulama pada suatu rapat yang dilakukan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 yang dihadiri oleh K.H, Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kiai Bisri dari Jombang, Riduan dari semarang, Nawai dari Pasuruan, Asnawi dari kudus, Nachrowi dari Malang, kholil dari Bangkalan dan lain-lain.22 Dari sinilah diambil dua keputusan penting yang pertama: mengirim utusan ulama Indonesia untuk menghadri kongres dunia Islam di Mekkah, untuk memperjuagkan hukum-hukum ibadah dalam empat mazhab. Kedua: membentuk suatu organisasi atau Jam’iyyah yang akan mengirim utusan itu yang kemudian atas usulan dari K.H Alwi Abdul Aziz diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri di Surabaya pada tanggal 16 rajab 1344 H. hari itu juga dibentuk pengurus yang terdiri dari dua badan, badan Suriah dan Tanfhidziah.23 Pengurus Suriah diketuai oleh Hasyim Asy’ari dengan gelar raisul akbar, wakil ketua K.H Dahlan dan K.H Wahab Hasbullah sebagai katib atau sekretasis. Sedangkan pengurus tanfhidziah terdiri dari ketua H. Hasan Dipo dan M Sidik 21 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 243. L. Stoddard, Dunia baru Islam, h.325. 23 Ibid., h. 326.. 22 39 sebagai penulis. Sebagai utusan ke Mekkah dikirim K.H Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ganaim al-Amir al-Misri, yang kemudian membawa keputusankeputusan mengenai ibadah dan pengajian, serta tindakan untuk mencegah pemerintah Saudi Arabia untuk meneruskan pengrusakan terhadap kuburan dari keluarga Nabi Muhammad saw. Sebagai buktinya pemerintah Saudi Arabia menjamin untuk menjalankan ibadah menurut mazhabnya masing-masing. Itu tertuang dalam surat yang dilayangkan pemerintah Saudi Arabia pada Pengurus Besar Nahlatul Ulama dalam suratnya no 2082 tanggal 13 Juni 1928.24 Dalam kesadaran nasional Nahdaltul Ulama (NU) tidak ketinggalan dengan organisasi-organisasi lainnya akan kemerdekaan tanah airnya. Perbaikan dalam penggunaan bahasa Indonesia sedikit demi sedikit di perbaiki dalam setiap kongres yang dilaksanakan oleh kelompok ini, juga mendorong Indonesia agar segera mempunyai parlemen. Selain itu dalam kongres organisasi ini juga kerap membahas segala hal yang menyangkut hukum-hukum syar’i, tata- kemasyarakatan, ketata-nagaraan. Karena itu maka terhadap ‘Guru Ordonansi’ NU juga menuntut pencabutannya karena itu tudak sesuai dengan perkembangan bangsa Indonesia sendiri yang lebih banyak menuntut kebebasan dan kemajuan zaman, menuntut pembebasan pajak yang berdasakan pada pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan agama dan menutut penyediaan tempat-tempat sembahyang di lokasi umum.25 24 Ibid., h. 326. Ibid., h. 327. 25 40 BAB III DESKRIPSI TEMPAT PENELITIAN A. Demografi dan Kependudukan Kelurahan Mekarsari merupakan salah satu kelurahan yang berada pada wilayah Kecamatan Cimanggis Kota Depok: 1. Luas wilayah Kelurahan Mekarsari adalah ± 374 Ha 2. Batas wilayah Kelurahan Mekarsari meliputi: - Sebelah Utara : Kelurahan Pekayon Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur (DKI Jakarta), - Sebelah Timur : Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas Jakarta Timur (DKI Jakarta), - Sebelah Selatan : Kelurahan Cisalak Pasar Kecamatan Cimanggis Kota Depok, - Sebelah Barat : Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Kota Depok.1 Jumlah penduduk di Kelurahan Mekarsari sampai akhir bulan Desember 2010 tercatat 43.399 Jiwa, terdiri dari 11.275 kepala keluarga, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 22.109 jiwa dan perempuanm 21.290 jiwa. 1 Sumber Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. 41 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia : Kelompok Antara 0-5 No Usia 1 Penduduk Persentase Laki – Laki Perempuan Jumlah 0 – 05 2.924 2.826 5.750 14% 2 06 – 16 3.546 3.410 6.956 16% 3 17 – 25 7.032 6.607 13.639 32% 4 26 – 55 8.304 7.978 16.282 38% 5 56 – Keatas 303 469 772 1% 22.109 21.290 43.399 100% Jumlah Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. Pada dasarnya penduduk pribumi Mekarsari merupakan suku bangsa Betawi. Dari data diatas , jika komposisi penduduk dilihat berdasarkan umur 0-05 tahun sebanyak 5.750 atau sekitar 14%, penduduk dengan usia 06-16 sebanyak 6.956 orang atau sekitar 16%, penduduk dengan usia 17-25 sebanyak 13.639 orang atau sekitar 32%, penduduk dengan usia 26-55 cukup besar sekitar 38% karena pada tingkat umur tersebut dapat dikatakan tingkat usia produktif, dan penduduk pada tingkat usia 56-keatas hanya 772 orang atau hanya sekitar 1% saja. Sementara pada tahun 2010 mobilitas penduduk pada masyarakat Keluruhan Mekarsari tercatat angka kelahiran pada 2010 sebanyak 287 orang atau sekitar 13%, sedangkan yang datang sebagai penghuni baru pada kelurahan ini sekitar 859 orang atau sekitar 42%, sedangkan yang keluar dan pindah dari kelurahan Mekarsari 736 atau sekitar 36%, sementara angka kematian pada tahun 2010 ada 187 orang atau sekitar 9%. Persentase angka penduduk yang datang lebih besar disbanding yang lain, hal ini dimungkinkan karena secara geografis 42 kelurahan Mekarsari berbatasan langsung dengan wilayah Jakarta sebagai daerah satelit yang menunjang secara lansung perekonomian ibu kota. Mobilitas Penduduk Tahun 2010 : No. Mobilitas Penduduk Tahun 2010 Persentase 1 Lahir 258 Orang 13% 2 Datang 859 Orang 42% 3 Meninggal 187 Orang 9% 4 Pindah 736 Orang 36% Jumlah 2040 Orang 100% Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. B. Pendidikan Usia Sekolah : No. Usia Orang Persentase 1 06-12 Tahun 7.635 42% 2 13-16 Tahun 6.104 33% 3 17-20 Tahun 4.670 25% Jumlah 18409 100% Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. Pada usia 6-12 tahun jimlah penduduk yang digolongkan dalam usia sekolah sebanyak 7.363 orang atau sekitar 42% pada usia ini penduduk mengenyam pendidikan pada tingkat sekolah dasar, sedangkan pengolongan usia dari kelompok usia 13-16 tahun sebanyak 6.104 orang atau sekitar 33% pada usia ini penduduk mengenyam pendidikan pada tingkat SLTP dan SLTA, dan pada usia 17-20 tahun usia sekolah masyarakat di kelurahan Mekarsari sebanyak 4.670 43 orang atau sekitar 25% dan pada usia ini penduduk mengenyam pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Secara garis besar penduduk dikeruhan Mekarsari ini merupakan salah satu kelurahan yang memiliki kesadaran yang akan pentingnya pendidikan terbukti dari data dibawah penduduk yang tidak tamat sekolah hanya 9% saja, penduduk yang tamat SD sebanyak 12%, tamat pendidikan tingkat SMP atau Tsanawiyyah 12%, sementara penduduk yang tamat sekolah pada tingkat SLTA sebanyak 37% yang merupakan angka yang signifikan apabila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lainnya, dan penduduk yang mengenyam pendidikan tingkat strata 1 sebanyak 10% dan strata 2 hanya 2% saja. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan : No Pendidikan Tahun 2010 Peresentase 1 Belum Sekolah 4958 Orang 11% 2 Tidak Tamat Sekolah 3918 Orang 9% 3 Tamat SD/MI 5128 Orang 12% 4 Tamat SLTP (SMP/Tsanawiyah) 5448 Orang 12% 5 Tamat SLTA (SMA/SLTA Kejuruan) 15885 Orang 37% 6 D1/D2/D3/D4 2893 Orang 7% 7 Sarjana Strata 1 4142 Orang 10% 8 Sarjana Strata 2 1027 Orang 2% Jumlah 43399 Orang 100% Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. Pada masyarakat kelurahan Mekarsari terdapat sarana pendidikan dengan rincian, sekolah dasar negri sebanyak 7 buah, sekolah dasar swasta 3 buah, sekolah menengah pertama negeri 2 buah, sekolah menengah pertama swasta 3 44 buah, sekolah menengah atas swasta 1 buah, perguruan tinggi 1 buah, TPA 14 bauh, dan tempat kursus 14 buah. Sarana Pendidikan No Sarana Pendidikan Jumlah 1 SD Negeri 7 Buah 2 SD Swasta 3 Buah 3 SMP Negeri 2 Buah 4 SMP Swasta 3 Buah 5 SMA Negeri - 6 SMA Swasta 1 Buah 7 Perguruan Tinggi 1 Buah 8 TPA 14 Buah 9 Tempat Kursus 4 Buah Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. C. Ekonomi Usia Kerja : No. Usia Orang Persentase 1 19-25 Tahun 7.549 22% 2 26-45 Tahun 19.274 57% 3 46-59 Tahun 7.066 21% Jumlah 33.889 100% Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. Pengolongan usia kerja pada usia 19-25 tahun sebanyak 7.547 orang atau sekitar 22%, sedangkan pada usia 26-45 tahun sebanyak 19.274 orang atau sekitar 57%, jumlah yang cukup besar apabila dibandingkan dengan pengelompokan usia 45 yang lainnya. Hal ini ini disebabkan pada usia 26-45 tahun merupakan usia produktif pada masyarakat dalam bekerja. Sementara pada usia 46-59 tahun yang bekerja sebanyak 7.066 orang atau sekitar 21%. Pekerjaan Penduduk : No Pekerjaan Tahun 2010 Peresentase 1 Pegawai Negeri Sipil 594 Orang 1% 2 TNI/POLRI 161 Orang 0% 3 Pensiunan 189 Orang 0% 4 Purnawirawan 52 Orang 0% 5 Pegawai Swasta 11319 Orang 26% 6 Dagang 265 Orang 1% 7 Tani 6 Orang 0% 8 Wiraswasta 726 Orang 2% 9 Pengrajin/Industri Kecil 11 Orang 0% 10 Jasa 5142 Orang 12% 11 Lainnya 24944 Orang 58% Jumlah 43409 Orang 100% Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. Ada beberpa sektor yang dominan pada pekerjaan penduduk di Kelurahan Mekarsari. Penduduk yang bekerja sebagai pegawai swasta merupakan sektor yang dominan dalam masyarakat kelurahan Mekarsari sekitar 26%, ini bukan hal yang mustahil mengingat kelurahan Mekarsari merupakan salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan ibu kota. Kelurahan Mekarsari daerah satelit terdekat dengan Jakarta. Yang memungkinkan warganya mencari kerja didaerah Jakarta dan menjadikan kota Depok dan kelurahan Mekarsari sebagai tempat tinggalnya, serta beberapa perusahaan yang berada dikelurahan Mekarsari. Penduduk yang 46 bekerja pada sektor jasa sekitar 12%, wiraswasta 2%, pedagang 1% dan penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil hanya sekitar 1% saja. Sementara penduduk yang bekerja pada sektor lain dikelurahan Mekarsari sebanyak 58%. D. Keagamaan Agama dan Kepercayaan Penduduk : No Agama dan Kepercayaan Tahun 2010 Peresentase 1 Islam 38799 Orang 89% 2 Protestan 2864 Orang 7% 3 Katholik 1396 Orang 3% 4 Hindu 66 Orang 0% 5 Budha 252 Orang 1% 6 Konghuchu 22 Orang 0% 43399 Orang 100% Jumlah Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010. Umat Islam merupakan warga mayoritas di kelurahan Mekarsari bila dibanding dengan agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, dari data diatas merupakan ada perbedaan yang signifikan terhadap warga yang memeluk agama Islam dengan agama yang lainnya. Serta hal ini diperkuat dengan fasilitas-fasilitas agama-agama tersebut, perbedaan jumlah fasilitas agama Islam sangat signifikan dengan fasilitas agama yang lainnya. Pelayanan Kerukunan Beragama No Sarana Ibadah Jumlah 1 Masjid 20 Buah 2 Musholla 22 Buah 47 3 Gereja Katholik/Protestan - 4 Wihara - 5 Kelenteng - 6 Rekomendasi Pendirian tempat Ibadah - 7 Pesantren 2 Buah 8 Majelis Ta’lim 17 Buah Sumber: Kantor Kelurahan Mekar Sari, 2010. Mayoritas penduduk yang beragama Islam di kelurahan Mekarsari sejalan dengan fasilitas keagamaan yang dimiliki. Jumlah sarana ibada umat Islam di kelurahan Mekarsari seperti masjid sebanyak 20 buah, mushola 22 buah, majlis taklim 17 buah, lembaga pendidikan Islam atau pesantren sebanyak 2 buah. Sementara sarana ibadah agama lain di kelurahan Mekarsari tidak ada. E. Struktur Kepemimpinan Masyarakat. Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya). Sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.2 Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal Leadership) yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Suatu perbedaan mencolok antara kepemimpinan resmi dengan 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990), h.318. 48 yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan yang resmi dalam pelaksanaannya harus berada diatas landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi. Sementara kepemimpinan tidak resmi mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi. 3 Pada masyarakat Mekarsari ada dua tipe kepemimpinan, pertama kepemimpinan yang bersifat formal yakni pemimpin yang mengelola pemerintahan di daerah tersebut. Pemimpin tertingi adalah dipimpin oleh seorang lurah yang berkantor di kelurahan yang terletak di daerah komplek graha hijau dan lurah di bantu bebarapa stap diantaranya wakil lurah, sekretaris, serta di bantu beberapa stap diantaranya Kasi Pemerintahan dan Trantib, Kasi Pembangunan dan Ekonomi, Kasi Kemasyarakatan. Sementata itu untuk membantu dan memperlancar tugasnya di daerah perkampungan lurah mengangkat seorang rukun warga (RW) yang membawahi beberapa Rukun Tetangga (RT). Sedangkan tipar Mekar sari merupakan salah satu daerah yang terbilang luas secara geografisnya dibandingkan desa lain yang ada dikelurahan Mekarsari. Sementara tipe kepeimpinan kedua adalah kepemimpinan informal yang ada pada masyarakat tipar mekar Sari adalah tokoh-tokoh masyarakat, seperti ustadz dan lain-lain, Sesoarang dapat dikatakan sebagi tokoh masyarakat ada beberapa persyaratan yang tidak tertulis, seperti seorang yang memiliki karisma, kesholehan, keilmuan (terlebih khusus pada ilmu-ilmu agama). 3 Ibid., h. 319. 49 Seorang ustadz pada masyarakat Mekar Sari memberikan peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan dilingkungan masyarakat. Pada tahun 2000 hingga 2010 ustadz yang berasal dari kalangan Nahdliyin (ustadz junaidi Alm) Tipar Mekar Sari memberikan sedikit sumbangsih terhadap kestabilan dalam meredam segala perbedaan yang mengarah pada perpecahan pada kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dari aspek kepemimpinan ini terdapat dua tipe kepemimpinan yang formal dan informal. Dua kepemimpinan ini saling melengkapi antara satu dan lainnya, kepemimpinan formal terbentuk karena pengakatan secara struktural sedangkan kepeminpinan informal terbentuk karena sebuah penghargaan, atau konsesus bersama tentang seseorang yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan warga masyarakat lain. F. Profil kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU). 1. Persatuan Islam (Persis). 4 Perkembangan kelompok atau organisasi Persatuan Islam di Kelurahan Mekarsari berawal sekitar tahun 1980 dari sebuah perkumpulan yang bersifat obrolan-obrolan ringan para perantau yang berasal dari sunda (Ciamis dan Tasikmalaya), yang kemudian berlanjut pada taklim atau pengajian membahas kitab Bulughul Marom dan lain-lain. Taklim atau pengajian yang bersifat terbatas ini dilaksanakan di langgar/mushola Darul 4 Wawancara pribadi dengan HM, Depok, 5 juni 2011. 50 Mukminin (yang sekarang menjadi Masjid Jami’ Darul Mukminin) yang saat itu bangunan hanya sebatas pondasi dan berdindingkan bilik bambu saja. Haji Sholihin (Alm) seorang pensiunan Purnawirawan adalah merupakan salah satu pembawa gagasan faham keagamaan Persatuan Islam di Kelurahan mekar Sari yang berasal dari Ciamis, dengan inisiatifnya lah taklim/pengajian yang membahas tantang kejamiyahan Persis di mulai. Mengingat trek record dari beliau sebagai seorang pensiunan membantu memudahkan “dakwah” Persis yang menarik perhatian seorang hartawan dari Jakarta yang merupakan relasi dari beliau. Setiap pengajian dan kegiatan yang diselenggarakan Persis saat itu di hadiri beliau. Kehadiran beliau bukan tanpa arti, setiap keadatangan beliau menarik perhatian warga lain karena pasti beliau memberikan sumbangan terhadap masyarakat seperti memberikan kitab-kitab agama, bahkan beliau memberikan santunan terhadap ustadz-ustadz diluar Persis. Berlanjut sekitar tahun 1986 kegiatan Persis mulai sedikit berani dan berkembang, taklim yang lebih besarpun diadakan dengan mengundang ustadz-ustadz besar dari golongan Persis sendiri yang berasal dari pimpinan Pusat di bandung seperti Ustadz Aceng Zakaria, Ustadz Entang Muchtar dan lain-lain. Dalam beberpa hal sosialisasi jam’iyyah persis ini bukan tanpa halangan. 51 Dengan semangat kejamiyyahan H.Sholihin berinisiatif untuk mendirikan pimpinan cabang Persatuan Islam Cimanggis yang terletak di Kelurahan Mekar Sari. Bermodalkan anggota saat itu sebanyak 20 orang saja. Sementara peraturan jam’iyyah pusat menyebutkan baru dapat membentuk pimpinan cabang minimal memiliki anggota sebanyak 25 orang5 seperti mendapatkan rukhsoh dari pimpinan pusat di Bandung akhirnya terbentuklah cabang Persatuan Islam Cimanggis yang di lantik pada tahun 2000 oleh pimpinan persatuan Islam Daerah Bogor di Citereup. Pada periode awal setelah terbentuknya pimpinan cabang Persatuan Islam, terpilih lah Haji Ma’mun sebagai ketua hingga tiga periode (masa jabat pimpinan cabang Persis selama 3 tahun, pimpinan daerah Persis 4 tahun, dan pimpinan pusat Persis 5 tahun)6. Pada masa kepemimpinan Haji Ma’mun ini mengumpulkan kader-kader yang berserakan di Cimanggis dan di Mekar Sari pada khususnya. Serta membangun infrasrtuktur yang menunjang kegiatan jam’iyyah. Pada periode kepemimpinan beliau pembuatan sekretariat serta majlis yang berstatus milik jam’iyyah Persatuan Islam dapat terealisasi. Pada periode terakhir masa jihad 2009 hingga 2011 dipimpin oleh Haji Uba. Pimpinan cabang Persatuan Islam Cimanggis membawahi beberapa organisasi, seperti pemuda dan pemudi Persatuan Islam, Badan otonom Persatuan Islam Persistri (Persatuan Islam Istri) Cabang Cimanggis. 5 6 Qanun Asasi Qanun Dakhili Persatuan Islam. Qanun Asasi Qanun Dakhili Persatuan Islam. 52 Program kerja pimpinan cabang Persatuan Islam (Persis) Cimanggis. 1. Penasehat : Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Program di Cabang. 2. Ketua 3. Wakil Ketua: Melaksanaan Tugas dan Penanggung Jawab menegemen jam’iyyah di pimpinan Cabang, mengkoordinasikan dan memotivasi semua Ka. Bidgar unit merealisasikan program kerja. 4. Sekretaris: Mengelola, melengkapi dan menata administrasi kesekretariatan, menjalin Komunikasi antar stap pimpinan. 5. Bendahara; menyusun RAPB cabang membuat buku IZIT (iuran, Zakat, Infaq, dan Tabungan), memotivasi pemasukan dana, menyediakan fasilitas,Membuat laporan keuangan. 6. Bidgar SDM dan Organisasi: Mengoptimalisasikan pembinaan anggota, meningkatkan kualitas SDM, mendata anggota setiap tahun, mewujudkan adanya pemuda/i Persis cabang Cimanggis. 7. Bidgar Pendidikan: Mengembangkan Diniyah Ula, Tarbiyatus Sholhin, Meningkatkan Kualitas SDM, Mengembangkan SDIT Bina Auladi, Meningkatkan kualitas SDM. 8. Bidgar Dakwah: Pembinaan calon Mubaligh, Pelaksanaan Dakwah secara optimal, Pembinaan Pemuda/i Persis. 53 9. Bidgar Haji: Mendata yang akan dan telah Ibadah Haji dan Umroh, Menyebarkan Informasi tantang Haji da Umroh melalui KBIH Persis, Meningkatkan kualitas alumni Haji. 10. Bidgar Perwakafan: Mendata Wakaf, Mengelola Wakaf, Mengurus Administrasi Wakaf, Memotivasi Gerakan Wakaf. 11. Bidgar Perzakatan. Sosialisasi ZIS, Mengupdate daftar Muzaki dan Mustahik. 12. Bidgar Sosial dan Ekonomi: Bakti Sosial Anggota, Mengembangkan Ekonomi, Tabungan Hewan Kurban, lain-lain. 2. Nahdlatul Ulama (NU).7 Warga Nahdlatul Ulama di Mekar Sari tidak memiliki struktur seperti halnya kelompok Persatuan Islam (Persis), akan tetapi dalam kenyataan dilapangan mayoritas warga di Mekarsari memegang teguh prinsif-prinsif Nahdlatul Ulama dan beribadah bermadzhabkan syafi’i. Gagasan dengan prilaku Nahdlatul Ulama (NU) ini di bawa dan diajarkan oleh ustadz, guru atau anggota masyarakat yang pernah mengeyam pendidikan di pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama seperti Tebu Ireng, Asyhafi’iyah dan lain-lain. Pada dasarnya pimpinan cabang Nahdlatul Ulama (NU) berada dikelurahan cisalak yang bebatasan langsung dengan kelurahan Mekarsari, 7 Wawancara pribadi dengan HZ, Depok, 5 Juni 2011. 54 hal ini berimbas langsung pada masyaraakat di kelurahan Mekarsari. Beberapa pengurus Nahdlatul Ulama (NU) tersebut tinggal di kelurahan Mekarsari dan mengajar dan memiliki jadwal tetap dalam mengisi pengajian pada masjid atau majlis taklim dimasyarakat sehingga dimungkinkan masyarakat mengikuti prinsif-prinsif beragama dengan dasar kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Para ustadz, guru, atau anggota masyarakat yang pernah mengeyam pendidikan pesantren ini memberikan sumbangsih terhadap pemantapan prilaku ke Nahdliyian, terlebih salah seorang dari anggota masyarakat berposisi sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan menjabat di Majlis Ulama Indonesia (MUI) Depok. Gagasan dengan prilaku Nahdlatul Ulama (NU) dominan dibawa dan disebarkan oleh keluarga ustadz Junaidi (Alm) yang pernah mengenyam pendidikan pesantren didaera Bogor serta adik-adik beliau yang juga merupakn guru atau ustadz bagi warga nahdliyin yang di Mekarsari yang juga memiliki dasar pendidikan di pesantren dan juga pernah mengeyam pendidikan sekolah tinggi di IAIN Jakarta. Setelah meninggalnya ustadz Junaidi dakwah dan pengajian atau majlis taklim yang memperkuat keyakinan beragama dengan prinsif-prinsif Nahdlatul Ulama (NU) dilanjuntkan oleh H. Zahrudin yang merupakan adik dari beliau, serta oleh K.H Makmur yang merupakan teman seperjuangan dari ustad Junaidi (Alm). 55 BAB IV HASIL TEMUAN LAPANGAN A. Sumber-Sumber Konflik Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU) Beberapa faktor yang menyebabkan konflik terjadi di masyarakat Mekarsari adalah bersumber pada interpretasi dan perbedaan masyarakat tentang pemahaman keagamaan, terutama setelah kelompok Persatuan Islam masuk dan mulai berkembang di lingkungan tersebut karena warga nahdliyin dapat dikatakan lebih dulu ada dan berkembang di lingkungan masyarakat Mekarsari. Beberapa sumber konflik yang menjadi perdebatan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan warga nahdliyin yang bersumberkan pada pemahaman keagamaan diantaranya adalah: 1. Pengurusan Jenazah. Bagi orang-orang nahdliyin pengurusan jenazah selain memandikan dan mensholati mayit, mereka juga mengenal adab memuliakan jenazah dengan mendoakan mayit dengan cara mengajikan (membacakan al-quran) di hadapan mayit, mengadzani mayit saat di liang lahad sebelum dikuburkan, tidak demikian dengan keyakinan dengan orang-orang Persatuan Islam (Persis), mereka tidak menjalankan selain dari pada memandikan, menyolatkan, dan mengantarkan mayit hingga sampai makam. Bagi orang-orang Persatuan Islam diluar pada pelaksanaan yang di yakininya dalam 56 urusan pengurusan jenazah ini dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah. Seperti dituturkan oleh seorang informan (47 tahun) warga nahdliyin: “Satu contoh misalnya seperti pada saat ustadz junaidi (Alm) meninggal mereka hanya mensholati, mengantarkan, dan selebihnya tidak melakukan apa-apa, sementara kita melakukan doa bersama untuk almarhum”.1 2. Selametan atau tahlilan (mendo’a kan mayit setelah dimakamkan) Bila seseorang meninggal, maka anggota keluarga terdekatnya mengadakan sebuah ritual yang disebut dengan selametan. Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari, ritual selametan atau tahlilan ini dilakukan hingga tujuh hari kedepan, empat puluh hari, seratus hari, dan haul kematian memperingati kematian mayit yang sudah setahun meninggalkan keluarga. Biasanya pada ritual selametan ini disugukan makanan cemilan, rokok, dan lain-lain, dan setelah acara tahlilan selesai para peserta selametan atau tahlilan ini mendapatkan bingkisan yang mereka sebut sebagai “besek”. Konflik kembali terjadi bagi orang-orang Persatuan Islam ini tidak dapat dibenarkan karena tidak bersumberkan pada hadits, karena semasa hidupnya Nabi tidak melaksanakan ritual selametan ini. Terlebih memberikan makan kepada peserta tahlilan yang dianggap terbalik dengan keyakinan orang Persatuan Islam (Persis) yang seharusnya ikut berduka dan membantu secara materi justru berbalik dengan mengeluarkan uang untuk kepentingan selametan atau tahlilan 1 Wawancara Pribadi dengan AH, Depok, 6 Juni 2011. 57 tersebut. Seperti yang di jelaskan seorang informan (43 tahun) yang merupakan salah seorang ustadz dari warga nahdliyin: “Orang-orang Persis itu tidak tahu, sebenarnya dibalik itu semua keluarga mayit sangat senang apabila di kirimi doa, berupa tahlil. Argument mereka tidak berdasar dan mengakar, mereka tidak akan pernah datang saat diundang pada acara tahlilan, dikirimi makanannya pun menolak. Mereka tidak pernah tahu bahwa makanan yang paling nikmat adalah makanan yang telah di doakan, bagi keluarga yang ditinggal tidak ada sejarahnya sampai menjual rumah atau tanahnya untuk keperluan tahlilan ini, seperti anggapan yang sering di lontarkan orang-orang Persis”.2 Hal serupa juga terjadi pada salah satu keluarga warga nahdliyin seperti yang di tuturkan oleh seorang informan (24 tahun) yang kebetulan salah seorang dari kakaknya menjadi anggota jam’ah Persatuan Islam dikarenakan menikah dengan salah seorang anggota jama’ah tersebut “Dulu saat orang tua kami meninggal abang gak datang waktu diadakan acara tahlilan, keesokan harinya baru datang dan dia berkata dari pada buat masak dan dikasihin ke orang-orang itu mubazir, lebih baik kumpulin duit dan dikasihin ke anak-anak yatim piatu, jelas-jelas lebih bermanfaat”.3 3. Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Bagi orang-orang nahdliyin masyarakat Mekarsari perayaan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W adalah sesuatu yang sakral dan pasti dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada tanggal 12 Dzulhijah, atau tanggal lain pada bulan tersebut. Seperti di tuturkan informan (47 tahun) 2 3 Wawancara Pribadi dengan UZ, Depok, 7 Juni 2011. Wawancara Pribadi dengan SRF, Depok, 8 Juni 2011. 58 “Kami tidak peduli apa yang sering dikatakan mereka (jam’ah Persatuan Islam) yang menganggap pelaksanaan maulid Nabi sesuatu yang bid’ah, mereka tidak tahu apa inti dari perayaan ini, mereka tidak memahami kenapa kami melaksanaan maulid nabi ini. Bagi kami perayaan Maulid ini mengandung makna perenungan atas pengorbanan dan jasa seorang Nabi yang berjuang memperjuangkan agama Allah, dan didalam perayaan ini terkandung makna syi’ar Islam yang luas, yang tidak hanya menjakau anggota organisasinya saja melainkan seluruh umat Islam pada umumnya”.4 4. Mengirimkan surah al-Fatihah bagi sodara-sodara muslim yang lebih dulu meninggalkan mereka. Penafsiran berbeda tentang hadits “idza maata ibnu adama inkothoa amaluhu illa min tsalasin, shodaqotin jariyatin au ilmin yuntafaubihi au waladin sholihin”. Perdebatan tentang orang lain yang menigrimkan surah al- Fatihah bagi orang-orang Persatuan Islam sesuatu yang tidak akan pernah sampai karena amalan yang akan diterima hanya sebatas pada doa anak yang sholeh. Sedangkan pemahaman bagi orang-orang nahdliyin siapa saja yang dengan ikhlas mendoakan orang-orang terdahulu yang terlebih dulu meninggalkan mereka adalah sesuatu yang baik dan mustahil bagi Allah tidak mengabulkan do’a orang-orang yang mendoa’akan bagi almarhum, seperti yang dituturkan oleh informan (58 tahun) yang merupakan salah seorang ustadz dari warga nahdliyin: “Makna pada hadits waladun sholihun di tunjukan bukan hanya berasal dari keluarga senasab atau anak kandung saja, Karena bila ditunjukan bagi anak kandung dalam kaidah bahasa Arab 4 Wawancara Pribadi dengan AH, Depok, 6 Juni 2011. 59 semestinya penggunaan bahasanya dalam hadits tersebut ibnun sholehun atau bintun sholehatun’’.5 5. Adzan dua kali saat pelaksanaan sholat Jum’at. Bagi orang nahdliyin adzan dua kali sesuatu yang di contohkan oleh Nabi Muhammad saw dahulu. Sementara pendapat orang Persis adzan dua kali yang di contohkan Rasulullah dahulu karena ada beberapa hal, ketika adzan pertama dilakukan di dalam masjid sementara orang-orang masih diluar melaksanakan kegiatannya masingmasing dan di dalam masjid jama’ah masih terlihat sedikit dengan keadaan demikian Rasul memerintahkan sahabat untuk melakukan adzan yang kedua tetapi dilakukan di luar masjid dengan maksud untuk mengingatkan para jama’ah sholat jum’at yang masih melakukan kegiatannya. Argumentasinya pada zaman sekarang fasilitas pengeras suara sudah tersedia yang memungkinkan apabila adzan dengan menggunakan pengeras suara akan menjamah seluruh daerah yang ada disekitar masjid, jadi tidak mesti pada saat ini adzan dilakukan dua kali sebelum khotib mayampaiakan khutbah jum’atnya. 6. Pelaksanaan doa qunut setiap sholat subuh. Bagi warga Persatuan Islam mendoakan para pejuang Allah dibelahan bumi lain yang sedang berjihad tidak mesti dilakukan pada sholat subuh saja, serta redaksi do’a qunut yang selalu dan biasa di bacakan warga nahdliyin pada sholat subuh pada umumnya berbeda. 5 Wawancara Pribadi dengan KHM, Depok, 8 Juni 2011. 60 Sementara orang-orang Persatuan Islam pernah melaksanakan qunut dilakukan pada sholat berjama’ah maghrib dan isya, saat jama’ah banyak dan dengan redaksi do’a qunut yang berbeda pada umumnya 7. Mengangkat tangan saat berdo’a. Jama’ah Persatuan Islam menganggap kedudukan Hadits rof’ul yadain fi du’a tidak sampai pada derajat shohih, sehingga pada pelaksanaannya jama’ah Persatuan Islam (Persis) tidak mengangkat tangan mereka saat berdo’a, terkecuali pengkhususan pada sholat meminta hujan (istisqho). Sementara tidak demikian dengan Warga nahdliyin mengangkat tangan selalu dilakukan apabila sedang melakukan do’a. seperti dituturkan oleh informan (51 tahun) “Sebetulnya logikanya sangat sederhana, bagaimana kita lihat seorang anak ketika meminta uang kepada orang tuanya, anak itu pasti “nadangin” tangannya. Begitupun kita bila kita meminta apalagi pada yang Menciptakan kita”.6 8. Mengeraskan suara saat berdoa’a setelah shalat berjama’ah. Hal yang biasa dan kerap ditemui di masjid-masjid atau mushala di Indonesia termasuk hasil pengamatan peneliti yang melakukan sholat di masjid di tempat penelitian dilakukan, mengeraskan do’a setelah sholat berjama’ah sesuatu yang biasa dilakukan, hal ini yang kemudian menjadi salah satu bahan kritikan bagi warga nahdliyin yang dilayangkan oleh jama’ah Persatuan Islam (Persis) menurutnya cara demikan tidak pernah di contohkan oleh rasulullah saw dan sahabatnya. 6 Wawancara Pribadi dengan MRF, Depok, 5 Juni 2011. 61 Rasulullah mencontohkan berdo’a dengan rincian membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu akbar 33 kali dan digenapkan dengan membaca Laa ilaaha illallah. Suara keras saat berdo’a di takutkan orang-orang persatuan Islam (Persis) menggangu orang lain yang shalatnya terlambat atau masbuq. Dengan dalil alQuran (QS. Al-‘Araf: 2005) yang intinya adalah berwirid dan berzikir itu hendaknya penuh kekhusyu’an dan dengan suara yang pelan dan penuh rasa takut dan pelan. 9. Melaksanakan wiridan dengan menggunakan tasbih. Melakukan wiridin dengan menggunakan tasbih sesuatu yang biasa dilakukan oleh warga nahdliyin akan tetapi hal ini tidak demikian dengan warga jama’ah Persatuan Islam. Bagi warga Persatuan Islam rasulullah tidak menggunakan media apapun dalam melakukan wirid kecuali dengan hanya denga jari-jemari tangan kanannya saja. Seperti di tuturkan oleh seorang informan 51 Tahun: “Pada zaman Rasulullah saw ada yang menggunakan seperti tasbih akan tetapi jumlahnya tidak 33 seperti tasbih yang ada seperti sekarang ini melainkan 1000 buah, kalau memang mau konsisten seharusnya mereka (warga Nahdliyin) menggunakan media yang sama dan dengan jumlah yang sama”.7 10. Jumlah raka’at dalam sholat tarawih pada malam bulan ramadhan. Perebedaan yang mencolok mengenai jumlah raka’at ini menyebabkan tidak mungkin kedua kelompok ini melakukan sholat 7 Wawancara Pribadi dengan AS, Depok, 15 Juni 2011. 62 terawih secara berjama’ah, bagi orang-orang nahdliyin mereka melakukan sholat tarawih dengan jumlah 23 raka’at dengan 2 raka’at sampai sepuluh kali salam dan di lanjutkan dengan 3 raka’at witir, sementara jama’ah Persatuan Islam melaksanakan sholat tarawih dengan 11 raka’at dengan dengan 4 raka’at hingga 2 kali salam dan dilanjutkan dengan 3 raka’at sholat witir. 11. Memberikan kebebasan pada orang yang baru belajar untuk menjadi imam sholat pada orang-orang Persis. Sementara pada prinsipnya warga nahdliyin hanya mau diimami oleh orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas, dan kapabilitas dalam urusan agama. Seperti yang kembali di utarakan informan (43 tahun): “Pernah satu ketika saya diimami oleh salah seorang anggota jama’ah Persatuan Islam, saya tahu kapasitas dari orang tersebut dalam urusan agama. Walaupun saya berdiri sebagai makmum dalam sholat tersebut akan tetapi saya meniatkan sholat saya sendiri, karena saya hanya mau diimami oleh orang-orang yang fasih dalam bacaannya, faham dalam urusan agama, kasarnya paling tidak saya mengagap harus keilmuannya diatas saya”.8 Sehingga bukan tidak mungkin dalam pelaksanaan sholat berjama’ah selalu di imami oleh orang yang sama, seperti pengamatan yang di lakukan oleh peniliti yang ikut sholat berjama’ah di masjid milik warga Nahdlatul Ulama dalam sholat maghrib dan isya selalu di imami oleh imam yang sama. 8 Wawancara Pribadi dengan UZ, Depok, 6 Juni 2011. 63 12. Pelaksanaan sholat Gerhana. Sholat gerhana bagi orang-orang nahdliyin bukan sesuatu yang masyhur untuk di laksanakan, akan tetapi tidak demikian dengan warga Persatuan Islam (Persis) setiap gerhana terjadi para warga Persatuan Islam melaksanakan sholat gerhana dengan sunnah-sunnahnya seperti melaksanakan sholat gerhana, bertakbir, mendengarkan khotbah, dan bershodaqoh. Biasanya pelaksanaan sholat gerhana ini dilakukan secara berjama’ah di lakukan di masjid dan dengan menggunakan pengeras suara. Ini salah satu yang menjadi sumber besar konflik yang terjadi pada masyarakat sebagaimana telah disebut pula di atas. 13. Penggunaan sayyidina untuk menyebutkan Nabi Muhammad saw dalam sholawat, Bagi warga nahdliyin tidak ada salahnya memuliakan Rasulullah dengan mambahkan sayyidina, karena itu merupakan salah satu cara memuliakan, menteladani, pribadi yang dicintainya. Namun bagi jama’ah Persatuan Islam dalam haditsnya Rasulullah tidak menggunakan redaksi sayyidina, dan menganggap penambahan kata sayyidina dalam sholawat sesuatu yang ditambah-tambahkan. Selain faktor diatas ada beberapa faktor lain yang kerap menjadi konflik antara jama’ah Persatuan Islam dengan warga nahdliyin diantaranya adalah perdebatan mengengenai konsep ahlu sunnah wal jama’ah. Pada dasarnya kedua organsisai ini merupakan kelompok yang mendeklarasikan sebagai ahlu sunnah 64 wal jama’ah hanya saja dalam mengaplikasikan ajaran agama ada perbedaaan dalam mengartikulasikan sebuah dalil dengan argumentasinya masing-masing. Seperti yang di tuturkan seorang informan (54 tahun). “Semestinya pemahaman agama itu berasal dari atas baru kebawah (harus mencari sumber yang utama yaitu al-Quran dan dari sunnah Nabi Muhammad baru di perkuat dengan perkataan sahabat dan berlanjut pada ulama-ulama setelahnya) itu kiranya yang menjadi dasar penafsirann bagi kami. Yang saya liat pada umumnya warga nahdliyin mengembangkan pemahaman keagamaan berasal dari bawah baru keatas (mencari dalil dari ulama-ulama klasik) dan belum tentu mencari dalil sunnah nabi. Sehinga dalam kenyataannya bagi kami melihat itu tidak sesuai dengan sunnah nabi Muhammad karena nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan dan tidak ada hadits yang memperkuatnya”.9 Faktor lain yang meyebabkan konflik walaupun tidak dominan adalah motif status ekonomi, Status ekonomi warga Persatuan Islam berada diatas atau lebih apabila dibandingakan dengan warga nahdliyin yang ada Mekarsari. Warga jama’ah Persatuan Islam dapat dikatakan berekonomi menengah keatas dan sebaliknya bagi warga nahdliyin menengah kebawah. Kesuksesan dakwah jama’ah Persatuan Islam ditunjang dengan ekonomi yang baik pula di daerah tersebut. Sebagai indikasinya berbagai fasilitas dibangun oleh warga jama’ah Persatuan Islam melalui sumbangan bersama para jama’ahnya, Pembangunan fasilitas tersebut termasuk mushola dan majlis berdekatan dengan masjid bukan tanpa alasan karena dalam beberapa kegiatan pelarangan warga nahdliyin kepada jama’ah Persatuan Islam untuk menggunakan fasilitas-fasilitas yang sudah ada yang nota bene merupakan aset warga nahdliyin. Seperti dituturkan oleh informan (43 tahun). 9 Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 Juni 2011. 65 “Orang-orang Persis isrof dalam membangun fasilitasnya, lihat saja membangun majlis dan mushola dengan bahan-bahan bangunan dan bentuk bangunannya menelan biaya yang tidak sedikit. Hanya karena salah seorang dari jama’ah mereka seorang kontraktor. Seharusnya dana yang besar tersebut dapat digunakan pada hal-hal yang lebih penting di banding sekedar membangun. Kami bukan berarti tidak bisa membangun seperti itu, kami mempertimbangkan azas manfaat pengguanaannya saja jangan sampai mubazir dan saya melihatnya cenderung jatuh pada Isrof”.10 B. Kasus-Kasus Konflik Pada tahun 2000 hingga 2010 kasus konflik Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) relatif tidak sekeras tahun delapan puluhan saat pertama kali orang Persatuan Islam (Persis) masuk dan melakukan taklim dan pengajiannya. Seperti dituturkan seorang informan (54 tahun). “Saya ingat saat pertama kali melakukan taklim dan pengajian di mushola darul mukminin bersama sekitar 4 orang tiba-tiba lampu mushola mati mendadak, dan kami tahu siapa yang mematikan lampu saat kami taklim, mereka orang-orang nahdlyin yang tidak senang dengan taklim dan pengajian yang kita laksanakan”. 11 Dari mulai kejadian tersebut mulai memberikan batas-batas yang jelas antara kelompok Nahdlatul Ulama dengan Persatuan Islam, terlebih saat-saat mulai berkembangnya jumlah orang dalam taklim dan pengajian tersebut serta menarik beberapa penduduk pribumi untuk ikut serta dalam taklim dan pengajian yang dilakukan oleh orang-orang Persatuan Islam. Melihat kenyataan demikian pergerakan orang-orang Persatuan Islam (Persis) terbilang cukup berani seperi dituturkan seorang informan (54 tahun). 10 11 Wawancara Pribadi dengan UZ, Depok, 7 juni 2011. Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011. 66 “Kami pernah meminta izin pada pengurus mushola darul mu’minin untuk melaksanakan sholat gerhana untuk yang pertama kalinya di daerah sini, kami mendapatkan izin tersebut dan pada malam harinya sekitar jam 2 kita mulai melaksanakan sholat gerhana bersama dengan sunnah-sunnahnya. Keesokan harinya mereka membicarakan kami, kami di anggap sebagai “agama baru” karena takbiran malam-malam, sedangkan yang mereka fahami takbiran dilakukan hanya pada malam idul adha dan idul fitri saja”.12 Pada tahun dua ribuan kasus-kasus konflik relatif mereda mengingat kebersamaan mereka dalam membangun mushola menjadi masjid Jami’ Daarul Mu‘minin serta seorang tokoh, ustadz, serta ketua DKM bernama Junaidi (Alm) yang berusaha memberikan pengarahan, pendidikan pada warga nahdliyin bahwa Persatuan Islam merupakan saudara mereka. Konflik dan sikap keras kembali terjadi pada jama’ah Persatuan Islam setelah meninggalnya Ustadz Junaidi pada awal tahun 2011. Kepengurusan masjid Jami’ Daarul Mu’minin dipimpin warga nahdliyin yang lain. Seperti dituturkan oleh informan (54 tahun). “Pada pelaksanaan sholat gerhana terakhir, belum lama ini ada sedikit sikap dari ketua DKM masjid Jami‘ Daarul Mu’minin yand sedikit keras terhadap kami. Saat kami sedangkan melakukan takbir beliau mebunyikan musik keras-keras pada tengah malam berbarengan dengan kami melaksanakan sholat gerhana, sementara posisi rumah beliau dengan masjid hanya beberapa meter saja. Pasti kami merasa tergangu, kami di bantu salah seorang warga nahdlyin yang sedikit menerima kami berinisiatif melaporkan Ke RT dan berlanjut dari RT melaporkan kepada salah seorang anggota kepolisian yang sedang berjaga di daerah tersebut. Pada akhirnya permasalahan pada malam hari itupun selesai, walaupun dengan cara yang kaga wajar dan kayanya ketua DKM merasa tidak puas dan seperti dikecilkan”.13 12 13 Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011. Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011. 67 Dari kejadian tersebut hubungan yang terbangun antara kelompok nadhliyin dan Persatuan Islam kembali tidak baik hingga saat ini, kebencian sebagian warga nahdlyin terhadap jama’ah Persatuan Islam yang dulu mulai mengendap dan kembali keras, ini terbukti pelarangan keras bahkan sampai “pengaharaman” ketua DKM masjid Jami‘ Daarul Mu’minin periode sekarang kepada jama’ah Persatuan Islam untuk melasanakan kegiatan termasuk melaksanakan sholat di masjid tersebut. Seperti dituturkan informan (54 tahun). “Pada dasarnya konflik kebencian pribadi beliau terhadap jama’ah Persis disini sudah ada sejak kepemimpinan ustadz Junaidi menjabat sebagai ketua DKM masjid tersebut, tapi siapapun menghargai seorang ustadz Junaidi karena ketinggian ilmu dan prilakunya. Nah kesempatan menyalurkan kebencian seperti mendapat jalan setelah meninggalnya ustadz Junaidi dan kemudian beliau menjabat sebagai ketua DKM masjid tersebut. Dan puncaknya saat pelaksanaan sholat gerhana tadi, dengan keras beliau “mengaharamkan” kepada kami untuk melakukan kegiatan dan sholat di masjid jami’ Darul Mu’minin”.14 C. Bentuk Mediasi dan Integrasi. Konflik yang tejadi pada tahun delapan puluhan sedikit mulai mereda setelah salah seorang ustadz nahdliyin bernama Junaidi (Alm) menjabat sebagai ketua DKM masjid Jami’ Daarul Mu’minin, kepemimpianan beliau seolah memberikan angin segar bagi jama’ah Persatuan Islam, beliau memberikan pengajaran, pemahaman kepada masyarakat bahwa Persatuan Islam bukan agama baru, mereka seperti halnya umat Islam pada umumnya hanya dalam beberapa hal berbeda dalam pelaksanaan ritual ajaran agama, dan perbedaan dalam pemahaman agama itu sesuatu yang wajar dan menjadi sesuatu yang seharusnya menjadi suatu 14 Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011. 68 keindahan dalam bermasyarakat. Di tangan beliaulah pembanguanan mushola menjadi masjid besar dilakukan yang bekerjasama dengan jama’ah Persatuan Islam (Persis). Persatuan Islam (Persis) mempunyai sumbangsih yang tidak sedikit dalam pembangunan masjid tersebut, mulai dari fase pembangunan dari mushola menjadi masjid serta beberapa kali renovasi yang telah dilakukan pada masa kepemimpinan beliau. Kerja sama tersebut berimbas pada beberapa pelaksanaan kegiatan jama’ah Persatuan Islam dapat dilakuakan di masjid Jami’ Darul Mu’minin. Dapat dikatakan ustadz Junaidi adalah seorang mediator untuk menjembatani persinggungan atau konflik yang terjadi antara kelompok Persatuan Islam dengan Nahdlatul Ulama, beliau dapat dikatakan sebagai golongan campuran. 15 Beliau memegang teguh prinsip dan doktrin Nahdlatul Ulama (NU) akan tetapi cara berfikirnya toleran, terbuka pada hal yang baru, mengedepankan prinsip-prinsip memajukan perkembangan umat Islam di daerah tersebut dengan memberikan pengajaran tentang prinsip Islam yang toleran. Faktor lain adalah ikatan kekeluargaan, walaupun mereka berkonflik tetapi pada dasarnya mereka bersatu pada ikatan ke-sukuan yakni suku betawi, bahkan ikatan kekeluargaan. Karena apabila ditelusuri pada dasarnya mereka memiliki keturunan yang sama, yaitu dari keluarga besar H. Ramin (Alm) dan H. Ajum (Alm) yang merupakan adik-kakak. Sehingga saat terjadi konflik memungkinkan mereka untuk mengendapkan atau menahan konflik kearah yang bersifat personal karena merasa satu suku dan satu keluarga. 15 Achmad Fedyani Saefudin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h.95. 69 Selain faktor seperti yang telah disebut diatas, ada beberapa faktor lain yang mempersatuakan atau mengintegrasikan kelompok Persatuan Islam dan Nahdlatul Ulama di antaranya adalah; 1. Acara-acara yang diselenggarakan oleh aparat desa (RT dan RW). Seperti pembentukan panitia bersama dalam menyelenggarakan acara 17 Agustusan, panitia bersama dalam pelaksanaan pemilihan umum. 2. Bakti Sosial, baik yang diselenggarakan oleh jama’ah Persatuan Islam maupun yang diselenggarakan oleh warga nahdliyin. Seperti panitia bersama dalam menyalurkan hewan qurban kepada warga yang diselenggarakan oleh jama’ah Persatuan Islam pada saat idul adha, acara sunatan massal yang dilaksanakan oleh jama’ah Persatuan Islam yang melibatkan warga nahdliyin bahkan peserta dari acara tersebut lebih banyak berasal dari warga nahdliyin. 3. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum warga. Seperti kerja sama dalam membangun dan merenovasi masjid Jami’ Daarul Mu’minin dalam pencarian dananya. 4. Gotong Royong membersihkan lingkungan. Seperti pada saat akan membangun SDIT Bina Auladi yang berafiliasi dengan Persatuan Islam, warga nahdliyin ikut berpartisipasi dalam pembukaan atau pembersihan lahan tersebut, dan mayoritas dari siswa yang sekolah di lembaga tersebut adalah warga nahdliyin. 5. Mereka memiliki musuh bersama yaitu setiap kenakalan yang dirasa masyarakat mulai berkembang di lingkungan mereka, seperti 70 maraknya motor-motor yang bersuara keras pada malam hari yang kerap hilir mudik di lingkungan mereka. Selain itu lembaga pendidikan yang ada dilingkungan masyarakat Mekarsari seperti Raudaltul Athfal Al-Fitroh (Taman Kanak-kanak), SDIT Bina Auladi walaupun kedua lembaga ini berafiliasi dengan kelompok Persatauan Islam akan tetapi para muridnya tidak hanya dari kelompok tersebut melainkan banyak juga dari orang tua orang-orang nahdliyin yang menyekolahkan anakanaknya di sekolah tersebut, Seperti di tuturkan seorang informan (47 tahun): “Walaupun secara pribadi saya tidak akur dalam urusan pemahaman agama, tetapi saya menyekolahkan anak saya di TK Al-Fitroh yang nota bene sekolah tersebut milik jama’ah persis, saya harus fair mengakui walaupun sedikit mahal tetapi kualitas pendidikannya lumayan bagus”. 16 Hal serupa juga di tuturkan oleh seorang informan (24 tahun) dari keluarga nahdliyin. “Adik saya sekolah di TK Al-Fitroh yang milik orang-orang Persatuan Islam (Persis), Alhamdulillah dia hafal do’a-do’a yang diajarkan di Persis, tapi dia juga hafal do’a yang diajarkan oleh kami, dan membanggakanya lagi dia selalu di bawa dalam lomba dan Alhamdulillah beberapa kali juara dalam acara-acara lomba antar TK di Kecamatan”.17 Lembaga-lembaga pendidikan, golongan campuran, struktur kepemimpinan yang tidak memihak ini dalam tradisi sosiologi, peneliti melihat sebagai savty valve (katup penyelamat), yang merupakan suatu mekanisme penyaluran konflik kearah yang lebih sehat dan positif, karena dengan katup penyelamat ini memungkinkan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul 16 17 Wawancara Pribadi dengan AH, Depok, 6 Juni 2011. Wawancara Pribadi dengan SRF, Depok, 8 Juni 2011. 71 Ulama (NU) berintegrasi dan memberikan batas-batas perbedaan yang jelas antara kedua kelompok tersebut, dan tidak akan melebur antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Dari hasil pengamatan peniliti kelompok tersebut solah-olah berlomba menunjukan mereka memiliki sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas dan itu merupakan salah satu cara menunjukan eksistensi golongan tersebut secara positif. Sementara pendekatan struktural fungsional melihat struktur kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (Persis) mempunyai peran dan fungsi terhadap terciptanya integritas sosial (keseimbangan) karena mereka terikat pada satu kebudayaan yang universal, yaitu kebudayaan nasional pada umumnya dan budaya betawi pada khususnya. 72 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Pada penelitian ini ditemukan peneyebab konflik yang terjadi antara kelompok Persaatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) pada masyarakat Mekarsari adalah disebabkan pada interpretasi dan pemahaman berbeda masing-masing kelompok dalam memaknai dan mengamalkan ajaran agama. Faktor-faktor yang menyebabkan konflik terjadi yang bersumber pada pemahaman keagamaan menyebabkan kedua kelompok ini berkonflik diantaranya adalah: pengurusan jenazah, selametan atau tahlilan, maulid nabi Muhammad saw, pengiriman surat al-Fatihah, adzan dua kali saat sholat jum’at, do’a qunut pada sholat shubuh, mengangkat tangan saat berdo’a, mengeraskan do’a setelah sholat berjama’ah, wiridan dengan menggunakan tasbih, konsep imam dalam sholat berjama’ah, jumlah rakaat dalam sholat tarawih, penggunaan kata sayyidina dalam sholawat pada sholat, sholat gerhana. Selain itu ditemukan juga faktor lain penyebab konflik diantaranya status sosial ekonomi, dan konsep ahlu sunnah wal jama’ah masing-masing kelompok. Sementara kasus konflik yang terjadi antara kelompok persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah pelarangan penggunaan masjid untuk kegiatan-kegiatan kelompok Persatuan Islam (Persis) oleh Kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Proses mediasi dan integrasi yang terjadi pada masyarakat karena beberapa hal diantaranya: Golongan campuran (warga nahdliyin) yang bersifat terbuka terhadap perbedaan, ikatan kesukuan (betawi), ikatan kekeluargaan keturunan H. Ramin dan H. Ajum, acara-acara yang 73 diselenggarakan aparat desa sekitar lingkungan, lembaga-lembaga pendidikan, kepentingan bersama dalam menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan. B. SARAN-SARAN Adapun beberapa saran yang ingin penulis sampaikan dari hasil penelitian ini adalah; Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah kelompok-kelompok yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia, hendaknya kedua kelompok tersebut bersatu seiring perkembangan zaman sebagaimana kedua kelompok ini terikat dalam ukhuwah islamiyyah 1. Hendaknya kedua kelompok mengembangkan faham ingklusifitas dalam beragama, sehingga memungkinkan melihat segala sesuatu yang berbeda dari kelompoknya sehingga tidak mudah menghakimi, dan memberikan label atau embel-embel terhadap ritual keyakinan kelompok lain. 2. Hendaknya kedua kelompok memikirkan Islam dalam ranah memajukan umat (kemashlahatan umat), bukan hanya mengkaji pada hal-hal bersifat fiqhiyah. 3. Hendaknya kedua kelompok bersikaf terbuka dan toleran dalam menerima perbedaan kelompok lain, serta menerima dan menampung pendapat dari kelompok lain. 4. Perbedaan sesuatu yang alami (sunnatullah) dan harus difikirkan sebagai modal bersama dalam menciptakan kekuatan, bukan menjadikan perbedaan sebagai alat yang akan merusak hubungan antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan tersebut. 74 DAFTAR PUSTAKA Berger, L Peter., Kabar Dari Langit: Makna Teologi Dalam Masyrakat Modern, Penerjemah J.B Sudarmanto. Jakarta: LP3ES, 1991. Fajarini, Ulfah. “Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan.” Al-Turas. Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama V 11, no. 3 (Sepetember 2005): 281. Federspiel, Howard M, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Penerjemah Ruslani dan Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi,2004. Fealy, Greag, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi dan Adelina Bachtiar. LKiS: Yogyakarta, 2007. Firdaus, Haris, NU, PERSIS, MUHAMMADIYYAH yang Bid’ah., Bandung: Mujahid, 2004. Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005. Husaini Usman Dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: OT. Bumi Aksara, 2006. Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif , Jakarta: Erlangga, 2009. Muhaimin AG, ed. Dalam Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama, Jakarta: Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama Departemen Agama, 2004. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980). Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah Alimandan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1985. Roland, Robertson, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Penerjemah Achmad Fedyani Saefuddin. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. 75 Saefuddin, Akhmad Fedyani, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham Dalam Agama Islam, Jakarta: Rajawali, 1986. Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Grapindo Persada, 1993. Stoddard, L, Dunia baru Islam. Peter Connolly., ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, Penerjemah Imam Khoiri. Yogyakarta: LKIS, 2002. Poloma, M Margaret, Sosiologi Kontemporer, Penerjemah oleh tim Yasogama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKiS,2004. Zuriah, Nurul, Metodologi penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori Aplikasi, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006. Pedoman wawancara untuk jama’ah Persatuan Islam (Persis) Nama: Usia: 1. Apa yang anda ketahui tentang kelompok Nahdlatul Ulama (NU)? 2. Bagaimana pendapat anda tentang keberadaan kelompok Nahdlatul Ulama (NU) di lingkungan anda? 3. Selain Nahdlatul Ulama (NU), apakah ada organisasi atau kelompok lain dilingkungan anda? Dan bagaimana sikap anda terhadap kelompok tersebut? 4. Dalam pemahaman keagamaan apa saja yang dianggap berbeda oleh kelompok anda? 5. Bagaimana anda menyikapi perbedaan tersebut? 6. Kasus-kasus apa yang pernah terjadi antara kelompok anda dengan kelompok Nahdliyin? 7. Bagaimana anda menyikapi kasus-kasus konflik yang terjadi antara kelompok anda dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU)? 8. Hal apa yang biasanya dapat mempersatukan kelompok anda dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU)? 9. Bagaimana pendapat anda melihat kebersamaan antara kelompok anda dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU)? Pedoman wawancara untuk warga Nahdlatul Ulama (NU) Nama: Usia: 1. Apa yang anda ketahui tentang kelompok Persatuan Islam (Persis)? 2. Bagaimana pendapat anda tentang keberadaan kelompok Persatuan Islam (Persis) di lingkungan anda? 3. Selain Persatuan Islam (Persis), apakah ada organisasi atau kelompok lain dilingkungan anda? Dan bagaimana sikap anda terhadap kelompok tersebut? 4. Dalam pemahaman keagamaan apa saja yang dianggap berbeda oleh kelompok anda? 5. Bagaimana anda menyikapi perbedaan tersebut? 6. Kasus-kasus apa yang pernah terjadi antara kelompok anda dengan kelompok Persatuan Islam (Persis)? 7. Bagaimana anda menyikapi kasus-kasus konflik yang terjadi antara kelompok anda dengan kelompokPersatuan Islam (Persis)? 8. Hal apa yang biasanya dapat mempersatukan kelompok anda dengan kelompokPersatuan Islam Persis (Persis)? 9. Bagaimana pendapat anda melihat kebersamaan antara kelompok anda dengan kelompok Persatua Islam (Persis)? DOKUMENTASI PENELITIAN Gambar 1. Papan nama Cabang PERSIS Cimanggis bersanding dengan Papan nama Majelis Ta’lim ASMAUL HUSNA (Nahdlatul Ulama) Gambar 2. Badan Otonom PERSISTRI Cimanggis Gambar 3. Majlis dan Mushola milik Jama’ah PERSIS Gambar 4. Papan nama Masjid Jami Daarul Mu’minin Gambar 5. Masjid Daarul Mu’minin Gambar 6. Masjid tampak dari belakang Gambar 7. Gambar 7 dan 8. Majelis Ta’lim dan Dzikir milik Nahdlatul Ulama Gambar 9. Papan nama TK. Al-Fithrah PERSIS SDIT. Bina Auladi (PERSIS)