KONFLIK DAN INTEGRASI - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
KONFLIK DAN INTEGRASI: Analisis Terhadap Pemahaman
Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan
Nahdlatul Ulama (NU)
(Studi kasus masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Muhammad Ayub
NIM. 106032201113
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KONFLIK dan INTEGRASI: Analisis Terhadap
Pemahaman Keagamaan Kelompok Persatuan Islam
(Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)
(Studi kasus masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok.
Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
MUHAMMAD AYUB
NIM: 106032201113
Pembimbing Skripsi:
Saifuddin Asrori, M.Si
NIP: 19770119200912 1 001
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
ABSTRAK
Muhammad Ayub
Konflik dan Integrasi: Analisis Terhadap Pemahaman Keagamaan Kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) (Studi Kasus Masyarakat
Kelurahan Mekarsari, Depok, Jawa Barat).
Skripsi dengan judul “Konflik dan Integrasi: Analisis Terhadap Pemahaman
Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU) (Studi Kasus
Masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat)” ini dilatarbelakangi oleh
hubungan yang kurang harmonis antara kedua kelompok tersebut dalam masyarakat.
Hubungan kurang harmonis antara kedua kelompok menimbulkan konflik-konflik sosial.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui apa
yang menjadi sumber-sumber konflik antara kedua kelompok, kasus-kasus konflik yang
terjadi, serta proses mediasi dan integrasi yang terjadi antara kedua kelompok.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneliti melakukan
pengamatan secara langsung terhadap objek (ritual keagamaan) dan berupaya melibatkan
diri pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut (observasi
partisipan).
Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor konflik antara kelompok Persatuan
Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) pada masyarakat Mekarsari yang dominan
adalah yang bersumber pada pemaknaan dan memahami suatu ajaran agama yang
mengarah pada perbedaan dalam ritual pelaksanaan ibadah. Akan tetapi ada faktor lain
yang juga memberikan sumbangsih terhadap meruncingnya konflik antara kedua
kelompok, yaitu status ekonomi.
Konflik yang terjadi pada masyarakat Mekarsari memberikan sumbangsih
terhadap penguatan masing-masing kelompok, konflik tidak lagi bersifat negatif seperti
pada awal kelompok Persatuan Islam (Persis) masuk didaerah tersebut. Pada saat ini
konflik mengarah pada persaingan kedua kelompok ke arah yang lebih positif, Konflik
mengarah pada kompetisi atau persaiangan kedua kelompok untuk menunjukan eksistensi
masing-masing kelompok.
Kompetisi atau persaingan kedua kelompok tersebut terealisasi dalam bentuk
pembangunan, seperti pembangunan sarana ibadah, lembaga pendidikan umum dan
agama, lembaga sosial (BAZIS, koprasi, dll) yang berimbas langsung pada masyarakat
Mekarsari pada umumnya.
Walaupun kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) pada
masyarakat Mekarsari berkonflik mereka terintegrasi karena beberapa hal seperti, peran
struktur kepemimpinan yang ada pada masyarakat Mekarsari baik yang formal dan
informal, ikatan primordial, ikatan kekeluargaan, atau terikat pada struktur yang lebih
luas yaitu, struktur masyarakat Mekarsari yang memungkinkan mengendapkan, menahan,
mengalihkan konflik untuk tidak langsung melawan objeknya secara langsung.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya, serta tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw dan keluarganya, serta sahabat yang senatiasa mengikuti ajaran-ajarannya.
Skripsi ini tidak dapat rampung tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan
kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Dra. Jaoharatul Jamilah, M.Si selaku sekretaris jurusan program studi Sosiologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Saefuddin Asrori, M,Si selaku dosen pembimbing atas waktu kesabaran, kritik
dan saran-saran yang diberikan penulis selama penyusunan skripsi ini.
3. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Sosiologi atas segala motivasi,
ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang mendorong penulis
selama menempuh studi.
4. Keluarga tercinta, tiada yang lebih indah dan menyenangkan apabila berada di rumah
sendiri. Penulis sangat berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahannda
Sanan dan ibunda Asni atas segala kepercayaan, pendidikan, semangat, kesabaran,
pengorbanan dan segala doa yang senantiasa mereka panjatkan untuk penulis, agar
penulis sukses dalam penulisan skripsi ini dengan harapan nilai yang maksimal.
Terima kasih juga untuk kakakku Yanti dan Ismail Bin Sanan, serta untuk keponakan
tercinta Neng Nufa, Abang Sahl, dan Aa Syauki yang memberikan spirit bagi penulis
lewat senyum dan tawanya.
ii
5. Sahabat-sahabatku
Irvan Matondang, Andri Prakarsa, Ghundar Muhammad Al-
Hassan yang terus memberikan aura positif kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, serta teman diskusiku Aprilnaldi, M. al-Aufar, M. Tri Panca, Nana,
Luthfian, serta Yandhi Deslatama yang dengan ikhlas memberikan tumpangan kosan
dan komputernya untuk digunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini, Serta
teman-teman sosiologi 2006 Fina, Azharina, Rahmi, Kiki, Dijah, Febri, Erfan, Sofa,
Budiman, Budi Santoso, Hazuri.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis sadar tidak ada sesuatu yang sempurna kecuali Allah Swt. Begitu pula dengan
skripsi ini, skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat penulis sampaikan, Karena itu
kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan sebagai bahan perbaikan di masa mendatang
bagi penulis.
Depok, 15 September 2011
Muhammad Ayub
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………..
i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………...
ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….......
1
B. Tinjauan Pustaka …………………………………………………..
8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………..
10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….
11
E. Metodologi Penelitian ……………………………………………...
12
1. Jenis Penelitian ………………………………………………....
12
2. Teknik Pengumpulan Data ………………………………….…..
12
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………
16
BAB II LANDASAN TEORI
A. Hubungan Antarkelompok ………………………………………....
17
B. Konflik dan Integrasi …………………………………………….....
21
C. Pemahaman Keagamaan ………………………………………........
24
1. Modernis ……………………………………………………........
24
2. Tradisonalis……………………………………………………….
27
D. Organisasi Keagamaan ……………………………………………... 29
1. Persatuan Islam (Persis) ……………………………………….....
30
2. Nahdlatul Ulama (NU)……………………………………………
35
iv
BAB III DESKRIPSI TEMPAT PENELITIAN
A. Demografis dan Kependudukan. ...…………………………………..
40
B. Pendidikan…………………………………………………………....
42
C. Ekonomi………………………………………………………………
44
D. Keagamaan…………………………………………………………….
46
E. Struktur Kepemimpinan Masyarakat …………………………………
48
F. Profil Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)… 50
BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN
A. Konflik yang Bersumber pada Pemahaman Keagamaan …………….. 55
B. Kasus-kasus konflik…………………………………………………
65
B. Bentuk Mediasi dan Integrasi ………………………………….........
67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 72
B. Saran-saran ………...………………………………………….………. 73
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama dalam tinjauan sosiologis seperti halnya dua sisi mata uang, Agama
terkadang muncul sebagai kekuatan integratif bagi masyarakat, akan tetapi tak
jarang pula agama tampil sebagai pemicu konflik di masyarakat. Hal ini terjadi tak
lepas dari keragamaan pada masyarakat dalam memaknai dan memahami suatu
ajaran agama itu sendiri.
Penelitian yang menunjukkan agama sebagai kekuatan integratif di
masyarakat di antaranya penelitian yang berjudul “Konflik dan Integrasi: Potret
Keragamaan Masyarakat Sawangan” yang ditulis oleh Ulfah Fajarini. Penelitian
ini berkesimpulan bahwa konflik dapat menjadi pendorong bagi terciptanya
integrasi pada kehidupan masyarakat. Kelompok-kelompok yang berkonflik
sesungguhnya saling berkaitan erat satu dengan yang lain secara komplementer
dan secara bersama-sama berada dalam struktur sosial yang lebih luas, yakni
struktur sosial masyarakat yang terikat oleh kebudayaan yang menjadi
pegangangan umum. Terjadinya konflik dan integrasi tergantung pada unsur-unsur
2
struktur sosial yang ada, yaitu identitas sosial, peranan-peranan sosial
pengelompokan sosial, situasi dan arena sosial.1
Sementara agama yang menjadi alasan sebagai sumber pemicu konflik di
masyarakat seperti pada penelitian yang berjudul “Konflik dan Integrasi Perbedaan
Faham dalam Islam, Studi kasus pada masyarakat Alabio Kalimantan Selatan”,
kesimpulan dalam penelitian ini menggambarkan perbedaan interpretasi mengenai
perangkat-perangkat ajaran agama Islam dan penggunaannya oleh para pelakunya
untuk memahami dan menghadapi lingkungannya telah menimbulkan konflikkonflik diantara sesama pemeluk agama Islam.2
Pengorganisasian dari masing-masing kelompok yang bertentangan
mempunyai implikasi terhadap adanya segmentasi atau perpecahan dalam
masyarakat disatu pihak akan tetapi di pihak lain juga menjadi tenaga pendorong
bagi terciptanya integrasi dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Konflik
tersebut terwujud dan berpusat sebagai kompetisi kepemimpinan dalam organisasiorganisasi yang ada pemimpin dan pendukung organisasi tersebut menghadapi,
menginterpretasi dan mengadaptasi satu sama lain dan menggunakan bagianbagian dari ajaran agama Islam yang diketahuinya dalam membenarkan tindakan
dan dalam menghadapi lingkungannya.3
1
Ulfah Fajarini, “Konflik dan Integrasi: Potret Keragaman Masyarakat Sawangan,” Al-Turas, Mimbar
Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, V 11, no 3, (September 2005): h. 289.
2
Achmad Fedyani Saefudin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, (Jakarta:
CV Rajawali, 1986), h. 99
3
Ibid., h. 99.
3
Guna meminimalisir segala bentuk gesekan yang akan terjadi pada
masyarakat, dalam hal ini Negara Republik Indonesia mengaturnya yang tertuang
dalam UUD 1945 Pasal 29 yang menegaskan bahwa; 1. Negara berdasarkan atas
ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya.
Konflik disebabkan oleh perbedaan interpretasi teks kitab suci, sehingga
melahirkan berbagai
aliran-aliran
dalam Islam,
dengan
demikian
akan
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam berbagai hal, seperti;
pandangan politik, akidah, maupun fiqh. Perbedaan-perbedaan ini secara potensial
menimbulkan konflik-konflik sosial terjadi di masyarakat. Perbedaan pandangan
yang paling mencolok adalah dalam hal khilafiyah fiqhiyah mengenai interpretasi
terhadap teks-teks kitab suci sehingga mengakibatkan muncul dan timbulnya
kelompok-kelompok sosial keagamaan yang berbeda diantara penganut agama
yang sama tersebut.4 Kemajemukan, multi etnis, ras, budaya, dan agama atau
pandangan berbeda dalam agama yang sama dalam bingkai ke Indonesiaan
merupakan sebuah realitas sosial yang tidak bisa dihindarkan dan hal ini
seharusnya dipikirkan atau dirumuskan sebagai modal menciptakan integrasi pada
masyarakat Indonesia.
4
Muhaimin AG, ed., Dalam Damai di Dunia Damai Untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama,
(Jakarta: Puslitbang dan Diklat Keagamaan RI, 2004), h. 3.
4
Keragaman
interpretasi mengenai teks-teks
kitab
suci berpotensi
menimbulkan, melahirkan, bahkan kembali membangkitkan konflik di masyarakat.
Dalam konteks ke Indonesiaan ditemukan beberapa faham atau aliran yang dua
diantaranya adalah pertama; Mereka yang menamakan dirinya sebagai kelompok
ahlu sunnah waljamaah yang berarti pengikut Rasulullah s.a.w serta mengikuti
segala keputusan (ijma) para sahabat sepeninggal nabi Muhammad s.a.w pada
kepemimpinan masa khulafaurrasyidin, dan di identikan dengan organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Akan tetapi ahlu sunnah yang berkembang di Indonesia
ini bukanlah ahlu sunnah seperti halnya yang berkembang di Mekkah atau Mesir,
ahlu sunnah Indonesia yang di identikan dengan Nahdlatul Ulama (NU) ini dapat
dikatakan sebagai organisasi Islam yang paling akomodatif, seperti apa yang
diutarakan Nurcholis Madjid bahwasannya Sunni atau ahlu sunnah versi NU
adalah khas indonesia yang telah mendapat pengaruh dari tradisi pemikiran
keagamaan lokal atau domestik.5
Sedangkan yang kedua; Adapula organisasi keagamaan yang cenderung
tidak tolerir tehadap pencampuran-pencampuaran (singkretik) dengan tradisi lokal,
dengan sebuah asumsi segala bentuk ajaran yang tidak bersumberkan pada AlQuran dan Hadits adalah sesuatu yang bid’ah dan ini merupakan representasi dari
pada yang diajarkan oleh ulama-ulama Persatuan Islam (Persis). Secara garis besar
gerakan pembaharuan yang dibawa oleh ulama-ulama Persis merupakan pengaruh
5
Haris Firdaus, NU, PERSIS atau MUHAMADIYAH: yang Ahli Bid’ah, (Bandung: Mujahid Press,
2004), h. 80.
5
besar dari sebuah gerakan pembaharuan yang berkembang di Saudi Arabia yaitu
gerakan wahabiah6, yang juga berupaya membersihkan Islam dari hal-hal yang
tidak bersumberkan pada qur’an dan hadits
Melihat sebuah kenyataan di atas ada sebuah kesan bahwa istilah ahlu
sunnah waljama’ah ini milik satu oraganisasi keagamaan tertentu, yang
menganggap bahwa argumennyalah yang paling benar walaupun dalam
perkembangannya mereka mendeklarasikan semuanya sebagai organisasi yang
berazaskan pada ahlu sunnah waljama’ah.
Perbedaan pandangan atas azas dasar organisasi ini secara langsung
menimbulkan berbagai konflik di masyarakat. Akan tetapi, ada sisi menarik dari
sebuah konflik di masyarakat. Apabila ditelusuri lebih jauh konflik-konflik yang
terjadi di masyarakat justru tidak sepenuhnya bermotifkan agama, seperti
bersumberkan pada prilaku politik yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya
menggunakan kekuasaan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber ekonomi
dengan mengunakan agama sebagai instrument pembenarannya. Hal ini sesuai
dengan yang disebut oleh Peter L Berger bahwa secara historis agama merupakan
salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif.7 Dengan demikian kemajemukan
dalam bidang agama selain memberikan corak tersendiri pada masyarakat muslim
di Indonesia juga memberikan sumbangsih terhadap tumbuh dan munculnya
6
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
1980), h. 99.
7
Peter L Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi Dalam Masyarakat Modern. Penerjemah
J.B Sudarmanto. (Jakarta: LP3ES. 1991), h. xvi.
6
benih-benih konflik atas dasar legitimasi agama baik menyangkut doktrin, maupun
berebut jumlah penganut, dan sumber daya sebagai alat menunjukan eksistensi
kelompok atau organisasinya.
Sebagaimana telah disebut di atas konflik yang dimaksud dalam fenomena
ini adalah yang bemakna sosial, dan bukan yang bersifat individual, maksudnya
pertentangan antara kelompok sosial-kelompok sosial yang masing-masing
memantapkan identitas kelompoknya untuk menghadapi kelompok lainnya.
Dampak dari konflik sosial dikatakan sangat penting apabila mengancam stabilitas
sistem sosial yang ada. Akan tetapi, tidak selamanya konflik sosial itu
menyebabkan rusaknya sistem sosial yang ada, akan tetapi adakalanya justru
dengan konflik sosial membantu terwujudnya sebuah integrasi sosial, seperti yang
dipaparakan Lewis Coser bahwasannya konflik merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial.8
Dengan demikian, Konflik memberikan sumbangsih pula terhadap penguatan
identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur dalam kelompokkelompok lainnya.
Sedangkan dalam pendekatan struktural fungsional setiap komponen
masyarakat (kelompok sosial) berperan secara fungsional dalam suatu struktur
sosial, sehingga membentuk kesatuan yang terintegrasi. Struktur sosial sendiri
terdiri atas sejumlah komponen atau unit-unit yang saling berinteraksi sehingga
8
Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer, Penerjemah oleh tim Yasogama. ( Jakarta: Yayasan
Solidaritas Gadjah Mada, 1984), h. 108.
7
membentuk jalinan yang harmonis dan terpadu, setiap komponen atau unit dalam
masyarakat tersebut saling terkait dan saling menguatkan antara komponen atau
unit yang satu dengan komponen atau unit yang lain.9
Dalam menganalisa fenomena sosial ini, agama ditinjau dari interpretasi
sosiologis sebagai sebuah sistem kepercayaan yang merupakan salah satu dari
unsur kebudayaan. Dengan demikian dapat diperoleh sebuah kesimpulan bahwa
kebudayaan merupakan sebuah kumpulan pedoman atau pegangan bagi manusia
dalam beradaptasi dengan lingkungan-lingkungannya, sehingga mereka tetap
mampu melangsungkan kehidupannya, demikian pula dengan fungsi agama
ditinjau melalui pendekatan kebudayaan. Variasi yang terwujud dalam agama atau
adanya keanekaragamaan dalam interpretasi ajaran agama disebabkan oleh
banyaknya hal tergantung pada sejarah kebudayaannya.10
Dengan sedikit memaparkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik
untuk meniliti mengenai fenomena ini, dan memberikan judul pada tulisan atau
skripsi ini yaitu: “Konflik dan Integrasi: Analisis Terhadap Pemahaman
Keagamaan Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)“.
(Studi Kasus Masyarakat Kelurahan Mekarsari, Depok. Jawa Barat).
9
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penerjemah Alimandan. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1985), h. 21.
10
Achmad Fedyani Saefudin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, h. 5-6.
8
B.Tinjauan Pustaka
Adapun ada beberapa tinjaun kepustakaan yang penulis dapatkan, Berupa
skripsi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini di antaranya
adalah;
Pertama: Skripsi yang berjudul Peranan Jam’iyyah Persatuan Islam
(Persis) Dalam Transformasi Budaya (Studi Kasus di Desa Panjalin Kidul
Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majalengka, Jawa Barat), skripsi ini ditulis
oleh Muhammad Syarifuddin, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, 2006. Berkesimpulan pada penelitian ini bahwasannya
organisasi Persatuan Islam menawarkan cita-cita keagamaan yang menetapkan
ibadah dan kewajiban-kewajiban lainnya dalam hukum agama sebagai fokus
kehidupan, serta menekan kaum muslimin untuk melenyapkan
seluruh
kepercayaan dan praktek yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran islam
seperti: syirik, bid’ah, churafat, takhayul, dan lain-lain. Mengangap kuatnya
kepercayaan agama lokal sebagai faktor penghambat dan adanya kelompok
dominasi (nahdliyin). Dalam penelitian ini penulis menganalisis bahwa melihat
agama sebagai sesuatu yang mutlak, sesuatu yang datang dari tuhan sehingga pada
kesimpulan terakhir mengarahkan pada benar dan salah dan berupaya
menghapuskan salah satu nilai keyakianan yang lainnya. Bukan tidak mungkin
hasil akhir dari pada konflik yang terjadi adalah kemenangan salah satu kelompok.
Kedua: Penelitian yang berjudul Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan
Masyarakat Sawangan. Penelitian ini ditulis oleh Ulfah Fajarini yang dimuat
9
dalam jurnal al-Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, V 11, No 3,
September, 2005. Dari penelitiannya dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik dapat
menjadi pendorong bagi terciptanya integrasi pada kehidupan masyarakat.
Kelompok-kelompok yang berkonflik sesungguhnya saling berkaitan erat satu
dengan yang lain secara komplementer dan secara bersama-sama berada dalam
struktur sosial yang lebih luas, yakni struktur sosial masyarakat yang terikat oleh
kebudayaan yang menjadi pegangangan umum. Terjadinya konflik dan integrasi
tergantung pada unsur-unsur struktur sosial yang ada, yaitu identitas sosial,
peranan-peranan sosial pengelompokan sosial, situasi dan arena sosial.
Ketiga, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Islam, Studi kasus
pada masyarakat Alabio Kalimantan Selatan, Penelitian ini ditulis oleh Drs.
Achmad
Fedyani
Saefuddin.
Dengan
kesimpulan
dalam
penelitiannya
menggambarkan perbedaan interpretasi mengenai perangkat-perangkat ajaran
agama Islam dan penggunaannya oleh para pelakunya untuk memahami dan
menghadapi lingkungannya telah menimbulkan konflik-konflik diantara sesama
pemeluk agama Islam. Pengorganisasian dari masing-masing kelompok yang
bertentangan tersebut mempunyai implikasi terhadap adanya segmentasi atau
perpecahan dalam masyarakat disatu pihak tapi di pihak lain juga menjadi tenaga
pendorong bagi terciptanya integrasi dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut.
Konflik tersebut terwujud dan berpusat sebagai kompetensi kepemimpinan dalam
organisasi-organisasi yang ada pemimpin dan pendukung organisasi tersebut
menghadapi, menginterpretasi dan mengadaptasi satu sama lain dan menggunakan
10
bagian-bagian dari ajaran agama Islam yang diketahuinya dalam membenarkan
tindakan dan dalam menghadapi lingkungannya.
Penelitian yang ditulis oleh Ulfah Fajarini dan Drs. Achmad Fedyani
Saefuddin mengenai Konflik dan Integrasi, menganalisis pemaham keagamaan
dalam Islam merupakan inspirasi utama dalam melakukan penelitian serupa pada
masyarakat kelurahana Mekarsari, hanya saja berbeda pada objek penelitian yaitu
pada pemahaman keagamaan kelompok keagamaan Persatuan Islam (Persis) dan
Nahdlatul Ulama (NU), yang dengan jelas menampilakan dua pemahaman yang
berbeda dalam menginterpretasikan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam,
dalam aplikasinya kerap menimbulkan konflik dan gesekan akan tetapi mereka
terikat pada satu kebudayaan yang lebih luas.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Perbedaan pendapat mengenai pemahaman ajaran agama merupakan suatu
realitas sosial yang tidak bisa dihindarkan, ini merupakan sebuah konsekuensi dari
masyarakat yang majemuk atau multikultur. Permasalahannya adalah apabila
perbedaan pendapat ini menjadi sesuatu yang akan merusak sistem sosial yang ada
dalam masyarakat, karena melibatkan agama sebagai instrumen perjuangan
merupakan sesuatu yang sensitif dimasyarakat kita, dengan demikian dalam
penelitian ini agama dibatasi pada salah satu bagian dari kebudayaan yang paling
mendalam. Pembatasan ini digunakan agar mempermudah penganalisaan atas
fenomena ini sehingga dapat terlihat dinamikanya dalam mewujudkan keteraturan
11
atau ketidak teraturan dalam masyarakat. Sedangkan dalam penelitian ini
dirumuskan beberapa perumusan guna mempermudah penulisan diantaranya
adalah:
1. Apakah yang menjadi faktor-faktor konflik terjadi di antara kedua
kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU),
2. Apa saja kasus-kasus konflik yang terjadi?
3. Bagaimakah proses mediasi dan integrasi yang terjadi antar kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU)?
D. Tujuan dan Manfaat Penilitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;
a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyulut konflik yang terjadi antara
kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU).
b. Untuk mengetahui kasus-kasus konflik yang terjadi pada kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU).
c. Untuk mengetahui proses integrasi yang terjadi pada kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU).
Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah;
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan akademis dalam melihat atau menganalisis fenomena
pemahaman keagamaan berkaitan dengan Konflik dan Integrasi.
12
b. Dalam konteks praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah untuk menyelesaikan
kasus-kasus konflik dalam masyarakat yang majemuk baik dalam
bidang etnik, bahasa, adat, dan terlebih khusus agama.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis penelitian.
Penelitian
ini
menggunakan
jenis
penelitian
kualitatif,
Pendekatan kualitataif dalam penelitian sosial terhadap agama
disandarkan
pada
keagamaan dengan
studi
komunitas-komunitas,
menggunakan
atau
jama’ah
metode seperti pengamatan
partisipan atau wawancara mendalam (in-depth interview).11 Dengan
metode kualitatif penelitian diarahkan untuk memberikan penjelasan
mengenai gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara
sistematis dan akurat.
2. Teknik Pengumpulan Data.
Untuk memperoleh data di lapangan, maka penelitian ini
menggunakan metode sabagai berikut:
11
Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama. Penerjemah Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS,
2002), h. 290.
13
a. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan
fenomena yang dilakukan secara sistematis.12 Pengamatan dan
pencatatan ini dilakukan terhadap prilaku atau ritual keagamaan
kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) di
Kelurahan Mekarsari. Metode observasi sebagai alat pengumpul
data, dapat dikatakan berfungsi ganda, sederhana, dan dapat
dilakukan tanpa menghabiskan biaya. Namun demikian, dalam
melakukan observasi peneliti dituntut memiliki keahlian dan
penguasaan kompetensi tertentu.13 Penelitian ini menggunakan
observasi langsung yang bersifat partisipatif ataupun non
partisipatif yaitu pengamatan yang melibatkan peneliti dalam
kegiatan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama
(NU) mengenai ritual keagamaan kedua kelompok tersebut.
b. Wawancara
Wawancara
merupakan
suatu
proses
interaksi dan
komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
penting yang dibutuhkan. Dalam kegiatan wawancara terjadi
12
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta:
Erlangga, 2009), h. 101.
13
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan:Teori dan Aplikasi, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2006), h. 173.
14
hubungan antara dua orang atau lebih, dimana keduanya
berprilaku sesuai dengan status dan peranan mereka masingmasing. Wawancara ialah alat pengumpul informasi dengan cara
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab
secara lisan pula. Ciri dari wawancara adalah adanya kontak
langsung
dengan
tatap
muka
antara
pencari
informasi
(interviewer) dan sumber informaasi (interviewe).14 Dalam
melakukan penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan
informan dari kelompok Persatuan Islam (Persis) sebanyak 3
orang yang merupakan penasehat dan ustadz dari kelompok
tersebut, sedangkan dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) peneliti
melakukan wawancara
kepada 5 orang yang juga merupakan
tokoh dan ustadz dari kelompok tersebut, serta jama’ah dari
kelompok Nahdlatul Ulama (NU) di Kelurahan Mekarsari.
Sehingga secara keseluruhan peneliti melakukan wawancara
sebanyak 8 orang dari kedua kelompok tersebut.
c. Studi Kepustakaan.
Selain dengan menggunakan tekhnik observasi dan wawancara
untuk menambah informasi dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan studi kepustakaan, yaitu mencari sumber-sumber
14
Ibid., h. 179.
15
lain seperti buku-buku, jurnal ilmiah dan lain-lain yang berkaitan
dengan tema penelitian ini.
d. Instrumen Pengumpulan Data
Instrument pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
mengacu pada pedoman wawancara, telepon gengam, buku
catatan. Pedoman wawancara digunakan agar wawancara menjadi
terarah dan tepat. Sedangkan telepon gengam untuk merekam
pembicaraan agar tidak terlupa pada subjek penelitian. Sementara
buku catatan digunakan untuk mencatat berbagai hal yang penting
dalam penelitian ini.
e. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dikatagorikan ke dalam dua
jenis, yaitu data primer dan sekunder. Data primer dalam
penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui hasil wawancara
dengan informasi dan observasi yang dilakukan peneliti di tempat
penelitian. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari buku-buku, jurnal ilmiah yang berkaitan dengan
tema penelitian ini.
f. Waktu dan Tempat penelitian
Waktu penelitian dimulai pada bulan April sampai pada bulan
Juli 2011. Adapun tempat penelitian pada masyarakat di
Kelurahan Mekarsari.
16
F. Sistematika Penulisan.
Adapun sistematika pada penulisan ini adalah;
Bab I, Pendahuluan. Pada bab ini membahas latar belakang
masalah, tinjauan pustaka, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan.
Bab II, Landasan Teori. Pada bab ini membahas tentang hubungan
antarkelompok, konflik dan integrasi, Pemahaman keagamaan kelompok
modernis dan kelompok tradisionalis, dan organisasi keagamaan Persatuan
Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU).
Bab III, Deskripsi Tempat Penelitian. Pada bab ini membahas
keadaan
demografis
dan
kependudukan,
pendidikan,
ekonomi,
keagamaan, struktur kepemimpinan masyarakat, dan profil kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul Ulama (NU).
Bab IV, Hasil Temuan Lapangan. Pada bab ini menjabarkan
sumber-sumber konflik yang bersumber pada pemahaman keagamaan,
Kasus-kasus konflik yang terajdi, proses Mediasi dan integrasi
Bab V, Penutup. Bab ini adalah akhir dari penulisan sebagai
penutup yang berisikan kesimpulan dan saran yang diajukan peneliti
terhadap permasalahan penelitian.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hubungan Antarkelompok
Sebelum menjelaskan pengertian hubungan antarkelompok terlebih dahulu
menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelompok itu sendiri Manusia adalah
makhluk sosial, yang bermakna manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan
dari orang lain. Sudah menjadi kebutuhan setiap individu dapat mempertahankan
hidup dengan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bersosialisasi
dengan manusia lainnya, baik menjalin hubungan antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok.
Dalam bingkai ke-Indonesiaan dengan keragamannya (ras, budaya, suku, agama)
hubungan yang dibangun antarkelompok adakalanya tidak berjalan dengan mulus,
terkadang terjadi perbedaan pendapat antarkelompok yang berimbas pada
terjadinya konflik. Dirasa penting menjabarkan konsep hubungan antarkelompok
dalam penelitian ini.
Untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, manusia
menggunakan fikiran, perasaan dan kehendaknnya. Seperti pada proses
pemenuhan
kebutuhan
yang
dilakukan
oleh
manusia,
Setiap
manusia
membutuhkan makan dan minum itu dapat dihasilkan dengan bantuan akal,
apabila manusia tinggal didaerah laut maka pemenuhan kebutuhan manusia
tersebut dilakukan denga cara mencari ikan di laut, dan apabila apabila manusia
18
tinggal didaerah hutan maka manusia tersebut dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-harinya dengan cara berburu, dan begitu seterusnya. Keadaan seperti ini
dengan tujuan pemenuhan kebutuhan yang sama menimbulkan terbentuknya
kelompok-kelompok sosial atau social group di dalam kehidupan manusia.
Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan atau himpunan atau kesatuankesatuan manusia yang hidup secara bersama. Hal tersebut menyagkut hubungan
timbal-balik, saling mempengaruhi dan kesadaran untuk saling tolong-menolong.
Ada beberapa syarat setiap kumpulan manusia dikatakan sebagai
kelompok di antaranya:
1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian
dari kelompok yang bersangkutan.
2. Ada hubungan timbal- balik antara anggota yang satu dengan anggota
yang lainnya.
3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan mereka
bertambah erat. Seperti faktor nasib yang sama, kepentingan yang
sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain.
Tentunya faktor mempunyai musuh bersama dan itu dapat menjadi
faktor pengikat atau pemersatu.
4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku.
19
5. Bersistem dan berproses.1
Selian itu dalam pembahasan kelompok ada beberapa tipologi yang
dirumuskan oleh Robert Bierstedt,2 diantaranya yaitu statistical group, societal
group, social group, dan associational group.
Sedangkan mengenai hubungan antar kelompok (intergroup relations)
diartikan sebagai hubungan antara dua kelompok atau lebih yang mempunyai ciri
yang khusus3. Beberapa konsep hubungan antarkelompok seperti yang
diklasifikasikan oleh Kinloch (1979),4 diantaranya: Pertama berdasarkan ciri
fisiologis, pada kriteria ini ditemukan pengelompokan yang didasarkan pada jenis
kelamin (laki-laki dan perumpuan), berdasarkan usia (tua-muda) dan ras (hitamputih). Kedua ialah berdasarkan kebudayaan, pada kriteria ini ditemukan
pengelompkan yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik
(Aceh, Minagkabau, Ambon, Batak, Sunda, Dayak dan lain-lainya) walaupun
agama tidak disebutkan namun agama termasuk dalam kriteria atau katagori ini.
Ketiga berdasarkan ekonomi, pada kriteria ini ditemui pengelompokan pada
mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan mereka yang tidak mempunyai.
Dan kriteria yang keempat ialah prilaku, pada kriteria ini ditemukan
pengelompokan berdasarkan cacad fisik, cacad mental, dan penyimpangan
terhadap aturan masyarakat.
1
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Grapindo Persada, 1993), h. 125-126.
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004),
h. 145.
3
Ibid., h. 145.
4
Ibid., h. 145-146.
2
20
Pembahasan mengenai hubungan antarkelompok cenderung dipusatkan
pada deskripsi dan penjelasan hubungan sosial antarkelompok dan statusnya yang
berbeda, terutama yang menyangkut status yang diperoleh sejak lahir seperti
status sebagai anggota suatu kelompok ras, etnik, atau agama. Kaitannya dengan
konflik yang bersumberkan pada pemahaman agama dapat di analisis dengan
menggunakan pendekatan hubungan antarkelompok dengan melihat status agama
atau organisasi keagamaan.
Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian antar kelompok
adalah hubungan mayoritas dan minoritas. Beberapa dimensi hubungan
antarkelompok sebagaimana telah disebutkan oleh Kinloch,5 diantaranya adalah
pertama dimensi sejarah diarahkan masalah tumbuh dan berkembangnya
hubungan antar kelompok, seperti hubungan pertama antar ras kulit hitam dan
putih yang berlanjut pada perbudakan. Kedua dimensi sikap, dimensi sikap ini
mengamati sikap suatu anggota kelompok terhadap anggota kelompok lainnya.
Ketiga adalah dimensi institusi, dimana dimensi sikap suatu kelompok terhadap
kelompk lain terkadang ditunjang dan diperkuat oleh institusi dalm masyarakat
seperti institusi ekonomi dan politik. Keempat dimensi gerakan sosial, dimensi ini
merupakan dimensi lain dalam hubungan antarkelompok. Kajian atau dimensi ini
melihat berbagai gerakan sosial yang sering di lancarkan suatu kelompok untuk
membebaskan diri dari dominasi kelompok lain.
Selain dimensi yang telah disebut diatas ada dimensi lain yang dianggap
sangat penting yaitu dimensi perilaku dan dimensi perilaku kolektif, yang
5
Ibid., h. 146-147.
21
termasuk dimensi prilaku adalah perilaku suatu kelompok terhadap anggota
kelompok lain. Hubungan antarkelompok sering diwarnai oleh peristiwa perilaku
kolektif seperti demonstrasi, huru-hara, perusakan, pembunuhan, bentrokan fisik
dan lain-lain.
B. Konflik dan Integrasi
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan, dan konflik merupakan
salah satu sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi di
masyarakat. Pertentangan-pertentangan atau konflik mungkin terjadi antara
individu dengan kelompok ataupun antara kelompok dengan kelompok.
Konflik dan integrasi merupakan dua konsep yang dalam tradisi sosiologi
biasanya digunakan secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan karena yang
satu merupakan kebalikan dari yang lainnya. Seperti yang di jelaskan oleh
Achmad Fedyani Saefudin dalam bukunya:
“Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan
disadari antara individu-individu, individu dengan kelompok atau
kelompok dengan kelompok untuk mencapai tujuan yang sama,
Sedangkan integrasi didefinisikan sebagai penyatuan kelompok-kelompok
yang tadinya terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaaanperbedaan sosial dan kebudayaan yang ada sebelumnya, Selain itu
integrasi juga diartikan sebagai diterimanya seorang individu oleh
anggota-anggota lain dari suatu kelompok”.6
6
Achmad Fedyani Saefuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam,
(Jakarta: CV Rajawali, 1986), h.7.
22
Melihat sisi fungsi konflik, Lewis Coser berpendapat bahwa konflik
merupakan suatu gejala yang wajar terjadi didalam masyarakat yang mengalami
perubahan sosial dan kebudayaan, dan konflik merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial,
Konflik dapat memperkuat identitas kelompok dan melindunginya agar tidak
lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya.7
Tingginya frekuensi konflik antara kelompok memungkinkan untuk
menekan konflik terjadi dalam lingkungan kelompok itu sendiri. Sedangkan
kelompok yang tidak terlibat konflik cenderung bersikap toleran terhadap konflikkonflik yang terjadi antara warganya sendiri, sehingga sikap ini menimbulkan
keseimbangan antara kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Dengan demikian
konflik yang terjadi dalam masyarakat terbuka (struktur sosial), berfungsi sebagai
jalan untuk memecahkan dan mengurangi ketegangan-ketegangan, sehingga
memberikan dampak pada peningkatan stabilitas dan intergrasi di masyarakat.
Karena dengan sikap toleran terhadap perbedaan dan pertentangan dapat
membuka jalan untuk mengetahui sumber-sumber konflik atau ketidak puasan di
dalam masyarakat.
Konflik dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, karena timbulnya pertentangan merupakan
indikasi telah berjalanya proses akomodasi, maka dengan proses akomadasi
tersebut memungkinkan melakukan perubahan-perubahan dalam kaitannya
7
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Penerjemah oleh tim Yasogama (Jakarta: Yayasan
Solidaritas Gajah Mada), h. 108.
23
dengan hubungan antara kelompok-kelompok tersebut, dengan demikian
diharapkan kembali dapat mencitakan kembali keseimbangan dan menciptakan
kerja sama di masyarakat. Pertentangan-pertentangan atau konflik yang terjadi
menyebabkan setiap
kelompok untuk melakukan introspeksi dan dilanjutkan
dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam kelompok tersebut,
dan untuk menutupi kelemahan tersebut dimungkinkan masing-masing kelompok
untuk melakukan kerja sama saling melengkapi kekuarangannya dengan demikian
kelemahan-kelemahan dari masing-masing kelompok tersebut dapat tertutupi,
selain itu pertentangan atau konflik ini memberikan batas-batas yang jelas
terhadap peran dan tanggung jawab kelompok akan fungsi dan kedudukannya di
masyarakat.
Dalam masyarakat biasanya kita menemukan saluran-saluran konflik
untuk meminimalisir kemungkinan konflik yang merusak sistem sosial , dalam
sosiologi alat ini disebut sebagai safety-valve (katup penyelamat) yang memiliki
makna suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok
dari kemungkinan konflik sosial.8 Katup penyelamat memberikan sarana-sarana
tertentu yang dapat mengalihkan kelompok-kelompok yang bertikai untuk
menyalurkan luapan permusuhan kearah lain tanpa menghancurkan seluruh
struktur. Dengan kata lain katup penyalamat berfungsi sebagai jalan keluar untuk
meredakan permusuhan yang bertujuan untuk menetralisir ketegangan-ketegangan
yang timbul dari situasi pertentangan tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan
Lewis Coser lewat savty-valve (katup penyelamat) itu permusuhan dihambat agar
8
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, penerjemah oleh tim Yasogama, h. 109.
24
tidak berpaling pada melawan objek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian
mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi
tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang
sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu,
menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
C. Pemahaman Keagamaan.
Berkaitan dengan konflik mengenai hubungan antar kelompok keagamaan
di Indonesia sudah terjadi pada masa awal Negara ini terbentuk. Perdebatan antara
kaum tradisionalis dengan modernis mewaarnai hubungan antar kelompok
keagamaan di Indonesia mengenai interpretasi/ekspresi dari pada keyakinan.
Maka akan sedikit diulas mengenai pemahaman keagamaan kelompok modernis
dan tradisonalis.
1. Modernis.
Gerakan modernis Islam di Indonesia masuk pada awal abad ke duapuluh,
di ilhami dari gerakan intelektual yang terjadi di Timur Tengah dipelopori oleh
tokoh-tokohnya seperti, Jamal ad-Din al-Afghani (1883-1897), Muhammad
Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridla (1865-1935).9 Pemikiran modernis ini
dibawa oleh para guru yang tinggal di Mekkah dan mengajarkan siswa-siswa
9
Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi dan Mulni
Adelina. (LKiS: Yogyakarta, 2007), h.26.
25
disana, mereka memberikan penekanan khusus pada pentingnya prinsif-prinsif
fiqh dalam mempelajari al-quran dan sunnah.
Inti dari pada modernisme Islam itu sendiri adalah berkeyakinan bahwa
saat itu (awal gerakan ini terbentuk) peradaban Islam sedang mengalami
kemerosotan yang serius. Kejayaan intelektual dan ilmiah yang dialami Islam
beberapa abad dahulu telah punah dan sebagian besar masyarakat Islam sedang
mengalami kemunduran ekonomi, ini disebabkan banyak dunia Islam (pada saat
itu) dalam keadaan terjajah oleh bangsa Eropa yang identik dengan umat Kristen.
Kemerosotan itu dirasa tidak selaras dengan keyakinan mereka bahwa Islam
adalah kepercayaan yang benar, didasarkan atas firman Allah yang paling lengkap
dan final. Menurut para modernis kemunduran Islam disebabkan sikap taklid
kepada pemikiran mazhab abad pertengahan serta tercemarnya praktek Islam oleh
amalan dan kepercayaan yang tidak bersumber pada al-Quran dan Sunnah Nabi
saw. Menurut kaum modernis, Islam dapat kembali jaya dengan cara
membebaskan diri dari cengkraman tradisi dan mengikis penyimpangan, serta
kontaminasi nilai-nilai non-Islam, dengan kata lain kelompok modernis ini
berusaha untuk melakukan pemurnian kembali pada ajaran agama dari pengaruhpengaruh diluar tadisi Islam itu sendiri. Prinsif dari gerakan modernsime ini
adalah kembali pada al-qura’an dan sunnah Nabi.10
Dengan misi begitu kelompok modernis menyerang aspek-aspek mistis
yang kerap dilakukan oleh kaum tradisionalis, yang mereka anggap sebagai
sesuatu yang tidak Islami, juga kaum modernis menyerang praktek-praktek dalam
10
Ibid., h. 27.
26
ibadah yang mereka yakini sebagai sesuatu yang bid’ah. Sudah barang tentu
aktivitas kaum modernis ini mendapatkan tentangan yang keras dari ulama-ulama
kelompok tradisionalis.
Salah satu metode yang kerap dilakukan oleh kelompok modernis adalah
melakukan ijtihad, ini dimaksudkan untuk mereformasi Islam yang dianggap tidak
lagi murni. Sebuah tradisi yang mungkin tabu dilakukan oleh kelompok
tradisionalis, karena mereka beranggapan ijtihad dalam hal hukum Islam dirasa
tidak perlu dan tidak mungkin dilakukan.
Menurut kelompok modernis dengan cara ijtihad inilah dapat menetapkan
mana yang otentik dan mana yang dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah atau
amalan baru yang tidak bersumber dari Islam. Atas pertimbangan itulah (meninjau
kembali hukum-hukum Islam) kelompok modernis dengan tegas menolak dan
mengkritik praktek-praktek keagamaan kelompok tradisionalis seperti, talkin
(membisikan syahadat pada jenazah sebelum dikuburkan), membaca Do’a qunut
pada shalat shubuh, mengucap niat sebelum shalat, palaksanaan shalat tarawih
sebanyak duapuluh tiga raka’at, serta ziarah kubur, tawassul (menyebut nama
mereka sebelum berdo’a) dan lain sebagainya menurut kelompok modernis
praktek-praktek semacam ini dianggap bid’ah dan syirik atau menyekutukan
Allah.
Secara singkat kelompok modernis berupaya menghapus/menghilangkan
praktek-praktek agama yang dianggap tidak sesuai seperti telah disebut diatas,
tujuan utama kelompok modernis ini mengembalikan agama Islam kepada dua
27
sumber utamanya yang murni yaitu sunnah Rasulullah s.a.w, sekaligus membuka
pintu ijtihad dan menutup pintu taklid, meninggalkan segala bentuk praktek
agama yang tidak bersumberkan pada ajaran agama (bid’ah) serta churafat.
2. Tradisionalis.
Islam adalah agama yang memiliki misi “Rahmatan lil al-‘alamin” bukan
hanya pada umat Islam saja melainkan pada seluruh alam. Islam dianggap sebagai
agama yang paling akomodatif dan apresiasif pada tradisi masyarakat, selama
tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran Islam itu sendiri.
Hal ini dianggap logis mengingat penyebaran dakwah Islam menyentuh
masyarakat dunia. Islam di haruskan dapat mengikuti perkembangan segala
bentuk kemajuan dan dinamika peradabannya, termasuk bentuk tradisi dimana
Islam berkembang pada suatu daerah.11
Salah satu alasan kemudian Islam dapat diterima di masyarakat Indonesia
adalah melakukan pendekatan yang bersifat kultural (identik dengan lapisan
bawah dan tradisonalis), akomodatifnya Islam terhadap tradsi-tradisi dan budaya
lokal suatu daerah, dan mengisinya dengan ruh, semangat dan nilai-nilai keIslaman secara damai, tidak dengan cara-cara kasar, terlebih melakukan
penggusuran terhadap tradsi dan budaya lokal yang dianggap sebagian atau
sekelompk orang (kelompok modernis) sebagai sesuatu yang salah dan harus di
hapuskan.
11
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU,
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 216.
28
Bila melihat sejarah dapat dikatakan cara atau corak dalam ekpresi yang
dilakukan Islam tradisonalis merupakan inspirasi dari apa yang dilakukan oleh
Wali Songo dalam menyebarkan Islam dahulu. Pada masanya Wali Songo
melakukan dakwah dengan cara-cara damai perlahan tapi pasti masuk dalam
tradisi-tradisi dan budaya masyarakat saat itu, yang di masukan pula nilai-nilai
dan ajaran Islam, seperti membuat kidung dan tembang, sholawat dan kasidah,
dari karawitan sampai rebana dari sesajen sampai selametan dan sedekahan,
walimahan dan lain-lain, ini merupakan proses dakwah yang dilakukan dengan
cara mengubah nilai-nilai pra Islam menjadi nilai baru yang Islami, dan tradisi
lama ke tradsi baru yang lebih Islami.
Penyerapan nilai-nilai lokal non-Islam oleh Islam tradisional tumbuh dari
kepercayaan bahwa suatu amalan dapat secara sah diambil dan diterapkan sejauh
tidak bertentangan dengan sya’riat,12 atas dasar keyakinan tersebut menjadi
landasan penyerapan berbagai ritual budaya lokal non Islam (Hindu dan Budha)
kedalam amalan orang-orang Muslim. Sebagai contoh seperti selametan, ziarah
kubur, serta berbagai ritual mistis dan magis yang berasal dari tradisi setempat dan
penyerapan dari agama Hindu. Mereka menganggap ini sebagai pengkayaan
keimanan dan sebagai cara untuk memudahkan
penyebaran Islam. Bagi
kelompok Islam tradisonalis bahwa Islam mempunyai “core values” (nilai-nilai
utama/nilai inti) yang universal (berlaku kapan saja dan dimana saja), tetapi Islam
juga memiliki kelenturan dalam mensikapi tradisi-tradisi dan budaya lokal yang
12
Greag Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi dan Mulni
Adelina. h. 26.
29
tidak
jelas-jelas
bertentangan
dengan
prinsip-prinsipnya
sebagai
wujud
kerahmatan bagi umat manusia.13
Hingga saat ini kita masih dapat merasakan bahkan mempraktekan segala
ritual yang dilakukan kaum tradisonalis itu dikarenakan sifatnya Islam yang
akomaodatif, walaupun dalam kenyataannya jelas-jelas ada fihak yang dengan
tegas menolak bahkan berupaya menghapuskan segala bentuk dan ritual yang
kerap dilakukan kelompok ini, yaitu dari kalangan modernis. Sebagai contoh
banyak dari masyarakat kita yang mempraktekan hal-hal yang dianggap tidak
sesuai dengan prinsif Islam, seperti sinkretisme (pencampur adukan keyakinan),
pemberian sesajen di tempat keramat, minta kekuatan dan kekebalan, minta rizki
pada kuburan dan lain-lain itu karenakan proses dakwah yang belum selesai.
D. Organisasi Keagamaan.
Khilafiyat dalam urusan ajaran agama antara kelompok-kelompok agama
nampaknya tak dapat di elakan perdebatan antara kelompok modernis dan
kelompok
tradsionalis
berlanjut
pada
pembentukan
organisasi-organisasi
keagamaan, seperti organisasi Muhammadiyyah, Al-Irsyad, Jam’iat Al-choirat,
dan Persatuan Islam (Persis) yang dikatagorikan sebagai organisasi berhaluan
modernis dengan prinsif-prinsif kemodernisan yang telah disebut diatas, ada pula
organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang tetap berupaya melestarikan tradisi-tradisi
yang telah ditetapkan oleh ulama klasik serta mempertahankan adat-istiadat yang
13
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi NU, h. 217.
30
bercampur dengan ajaran islam itu sendiri yang merepresentasikan sebagai
kelompok tradisonalis.
1. Persatuan Islam (Persis).
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada tanggal 23 September
1923 oleh sekelompok Muslim yang melihat pembaharuan-pembaharuan dalam
agama Islam yeng telah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Ide dan
gagasan pembentukan organisasi keagamaan ini bermula dari pertemuan yang
bersifat informal (kenduri) yang diadakan di rumah salah seorang kelompok
tersebut yang merupakan para perantau yang berasal daerah sumatra, walaupun
demikian mereka merasa sebagai penduduk pribumi, pendudk asli Bandung
karena telah lama tinggal dan menetap di Bandung dengan urusan berdagang.
Pada pertemuan kenduri yang besifat informal ini mereka kerap
membincang dan berdiskusi mengenai wacana ke-Islaman. Dalam pembicaraan
dan diskusi mengenai ajaran agama ini ada dua tokoh yang dianggap sebagai guru
yaitu Haji Zam-zam dan Haji Muhammad Yunus karena pemahaman yang luas
mengenai ajaran agama Islam. Haji Zamzam memperoleh pengetahuannya dari
belajar di Timur Tengah, beliau menghabiskan waktunya selama tiga tahun di
Mekkah dan belajar di lembaga Daar al-Ulum dan sekembalinya dari Mekkah
beliau menjadi guru dan mengajar di Daarul Muta’allimin, sebuah sekolah agama
31
di Bandung (sekitar tahun 1910),14 sedangkan Muhammad Junus adalah seorang
pedagang yang menguasai bahasa Arab kepandaiannya dalam agama diperoleh
dari pendidikan agama secara tradisional dan beliau tidak mengajar. Beliau
tergolong sebagai orang kaya pada saat itu, dengan kekayaannya membantu dalam
menunjang kehausannya dalam mempelajari ajaran Islam dengan membeli kitabkitab yang dia perlukan.
Diskusi yang dilakukan oleh Haji Zamzam, Muhammad Junus dan yang
lainnya merupakan cikal bakal pembentukan dari pada organisasi Persatuan Islam.
Isi dari diskusinya selain membincang masalah ajaran agama mereka juga
membicarakan tentang gerakan pembaharuan Islam yang telah lebih dulu
dilakukan didaerah lain seperti di Sumatra, juga mereka membincang tentang
konflik antar gagasan-gagasan baru itu dan sistem keagamaan yang telah mapan,
selain itu mereka juga mengkaji isi majalah Al-Manar (sebuah majalah yang
dterbitkan muslim modernis di Kairo), dan Al-Munir (majalah serupa yang
diterbitkan di Padang oleh para ulama Indonesia yang pernah belajar di Mekkah)15
dan masalah komunis yang telah meresahkan umat Islam di Bandung dan juga
telah memecah Sarekat Islam, sarekat Islam lokal Bandung dengan resmi
mendukung komunisme pada kongres nasional partai tersebut.
Dalam perkembangannya Persatuan Islam kurang memberikan perhatian
dan tekanan terhadap kegiatan organisasinya, Persis tidak berminat untuk
14
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 96.
Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era
Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Penerjemah Ruslani dan Kurniawan Abdullah
(Jakarta: Serambi, 2004), h. 112.
15
32
menambah anggotanya sebanyak mungkin dan pembentukan cabang-cabang dari
organisasi ini. Pembentukan cabang di berbagai daerah di luar Bandung
merupakan inisiatif sendiri dari anggotanya tanpa ada instruksi dari pimpinan
pusat organisasi tersebut. Akan tetapi pengaruh dari organisasi ini jauh melebihi
banyak anggota dan jumlah cabangnya, terbukti pada awalnya mereka melakukan
sholat jum’at secara berjama’ah tidak kurang dari selusin orang dari kelompoknya
saja baru kemudian pada tahun 1942an saat jepang melakukan invasinya ke
Indonesia tidak kurang dari 500 orang selalu mengikuti sholat berjamah yang
diselenggaraka oleh kelompk ini.
Memang yang menjadi inti perhatian dari organisasi Persatuan Islam
(Persis) adalah bagaimana menyebarkan cita-cita, gagasan dan pemikirannya.
Untuk merealisasikan gagasan dan pemikirannya organisasi ini melakukan
pertemuan umum, tabligh-tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi,
mendirikan sekolah-sekolah, meyebarkan atau menerbitkan pamplet-pamplet,
majalah-majalah dan kitab-kitab.16 Beruntung dengan gagasan seperti ini
Persatuan Islam mendapatkan dukungan dari orang-orang penting pada saat itu
seperti Ahmad Hassan yang dianggap sebagai guru Persis dan Muhammad Natsir
sebagai anak muda golongan terpelajar yang bertindak sebagai juru bicara dari
organisasi Persatuan Islam ini.
Ahmad Hasan adalah terkenal sebagai ulama beraliran Reform, radikal
dalam memutuskan hukum-hukum Islam. Sebagaimana telah disebut diatas Ia
berjuang dalam Persatuan Islam yang didirikannya atas prakarsa K.H Zamzam
16
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 97.
33
yang berasal dari Palembang pada tanggal 23 September 1923, dengan tujuan
memperjuangkan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam yang berdasarkan
qur’an dan sunnah dalam masyarakat. Ia berusaha menghidupkan jiwa jihad dan
ijtihad pada kaum muslimin, membasmi bid’ah, kurafat, tahayul, taqlid, dan
syirik, memperluas tabligh dan dakwah Islam kepada masyarakat, mendirikan
pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader umat Islam. Persatuan Islam
mempunyai majlis ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukumhukum Islam berdasarkan quran dan sunnah, dan mewajibkan kepada seluruh
jama’ahnya untuk meyiarkannya. Selain itu Ahmad Hassan adalah salah seorang
tokoh Persatuan Islam (Persis) yang paling produktif dalam hal menulis buku dan
karya tulis, banyak karya-karya ilmiahnya yang dipublikasikanmasyarakat umum,
tulisan yang dianggap paling fenomenal bagi karya Ahmad Hassan adalah dua
karya utamanya berisikan tentang kepercayaan-kepercayaan Islam
yang
diekspresikan Ahmad Hassan kedalam karyanya mengenai soal jawab, yang
pertama berisikan tentang Tauhid (mengenai sifat Tuhan dan hubungan manusia
dengannya) dan kedua adalah An-Nubuwwah, (berisikan hubungan karakteristik
serta perjuangan para nabi, terutama nabi Muhammad) Buku ini merupakan
rujukan bagi para anggota persatuan Islam.
Al-Quran dan sunnah memberikan tempat yang sangat penting bagi
seorang Ahmad Hassan dan Persatuan Islam karena seharusnya umat muslim
menjadikan Islam dengan al-quran dan hadits ini sebagai Manhaj (pandangan
hidup). Karena dengan al-quran dan sunnah ini lah seorang muslim dapat
merepresentasikan Islam sebagai ajaran yang murni dan dengan al-quran dan
34
hadits lah Islam dapat diterima karena sifatnya yang sesuai terhadap kondisi dan
perkembangan zaman dalam konsep modern.17
Persatuan Islam dapat dikatakan organsisasi yang berbeda dengan
organsisai manapun yang ada di Indonesia dalam hal penekanan terhadap
penggunaan al-quran dan hadits dalam memberikan bukti-bukti mengenai
argumentasinya tentang masalah-masalah keagamaan, soisal ekonomi, dan politik.
Al-quran merupakan sesuatu yang unik, Sesuatu yang berbeda dari tulisan
manapun baik mengenai gaya bahasa maupun dari kandungan isi dan maknanya.
Tak ada satupun manusia di muka bumi yang dapat membuat tulisan yang seperti
atau sama dengan al-quran. Salah satu buktinya adalah bagaimana keindahan alQuran dibaca dengan penuh kegembiraan dan penuh penghormatan oleh
pembacanya.
Al-quran juga memiliki daya tarik yang memuat berbagai informasiinformasi yang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah seperti ayat-ayat yang
bercerita mengenai seluruh kehidupan manusia berasal dari air, perputaran bumi
dan benda-benda langit yang sesuai dengan teori ilmu pengetahuan astronomi dan
masih banyak lagi ayat-ayat al-quran yang sejalan dan menjadi sumber rujukan
dari pada ilmu pengetahuan modern.
Sementara hadits atau sunnah, Orang-orang Pesatuan Islam (Persis)
menggambarkan sebagai “ucapan Nabi, prilaku Nabi, dan prilaku sahabat yang
17
Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era
Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Penerjemah Ruslani dan Kurniawan Abdullah. h.
172-173.
35
hidup pada masanya yang disepakati oleh Nabi. Dalam urusan yang berkaitan
dengan permasalahan keagamaan seperti ibadah (shalat, shaum, haji dan
sebagainya), atau ucapan dan tindakan Nabi yang menjadi landasan prilaku dalam
menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan. Serta diluar masalah ritual ibadah
di atas seperti prilaku personal Nabi dalam urusan-urusan keduniawian.18
2. Nahdlatul Ulama (NU).
Nahdlatul Ulama adalah suatu jam’iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi
keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H atau
bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. berakidahkan faham Ahlusunnah wal
Jama’ah dan menganut salah satu empat mazhab besar, Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hanbali. Kegiatannya ditujuakan pada pengembangan agama Islam dengan
memperbanyak tabligh, pendidikan, agar umat Islam sadar kembali akan
kewajibannya terhadap agama, bangsa, dan tanah air sehingga mereka dapat
beramal sebagaimana mestinya.
Ada beberapa faktor secara langsung maupun tidak langsung melatar
belakangi lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama ini diantaranya: gerakan
pembaharuan yang terjadi di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan
munculnya gagasan Pan-Islamisme yang di pelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani
untuk mempersatuakan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit gerakan
nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khilafah usmaniyyah.19
18
Ibid., h. 174.
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS,2004), h. 15.
19
36
Organisasi Nahdlatul Ulama dibangun dengan dua maksud, yang pertama
untuk mengimbangi komite khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan
para pembaharu. Kedua untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud penguasa baru tanah
Arab, Agar kebiasaan agama secara tradisi dapat diteruskan.20
Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaharuan Islam terjadi karena
kasadaran umat Islam sendiri atas ketertinggalan mereka dari dunia barat dari
berbagai aspek kehidupan dan di arab gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh
wahabi
terjadi karena kesadaran internal umat Islam atas perusakan tauhid
dikarenakan mereka menganggap sistem hukumnya telah di hinggapi oleh unsurunsur churafat dan kemusyrikan, sedangkan di Indonesia hal serupa terjadi guna
memajukan umat seperti berdirinya organisasi kebangsaan dan keagamaan Budi
Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyyah.
Beberapa alasan diatas memberikan motifasi pada para pemuda Islam
Indonesia untuk mendirikan suatu organisasi keagamaan yang bebasis pada
pengembangan umat secara khusus dalam bidang pendidikan dan dakwah, seperti
mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang didirikan oleh Mas
Mansur yang baru pulang dari Mesir dan begitu pun Wahab Hasbullah mendirikan
Taswirul Afkar (potret pemikiran) sekembalinya dari luar negri.
Pada wadah ini terjadi diskusi-diskusi hangat antara Mas Mansur dengan
Wahab Hasbullah mengenai berbagai permasalahan. Wahab Hasbullah selain aktif
dalam gerakan pemuda, Ia juga aktif dalam Islam Studie Club yang didirikan oleh
20
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 242.
37
Dr. Sutomo. Diskusi-diskusi hangat tadi dicemari dengan perdebatan-perdebatan
prihal masalah-masalah khilafiyah dalam Islam, mengenai bidang tauhid dan fiqh.
Fase selanjutnya adalah masa-masa terjadinya perbedaan dan perdebatan antara
kaum tradisionalis (Wahab Hasbullah dan kawan-kawan) dengan kaum reformis
(Ahmad Soorkati pendiri al-Irsyad dan Ahmad Dahlan dari Muhammadiyyah).
Pengaruh diskusi-diskusi itu dapat dirasakan ketika umat islam harus
menghadapi kongres khilafat yang menggemparkan dunia Islam dan sempat
menyedot perhatian dari penjajah Belanda, Dikarenakan yang hadir pada kongres
tersebut adalah orang-orang yang memilik pengaruh besar pada umat Islam itu
sendiri seperti, Wahab Hasbullah, Tjokroaminoto, H.Agus Salim, Ahmad Dahlan,
Sangaji, Mas Mansur dan tokoh-tokoh penting lainnya. Hal ini ditakutkan Belanda
dikarenakan perhatian yang besar dari ulama-ulama Indonesia atas jatuhnya
kekholifahan Turki setelah perang dunia pertama dan berkuasanya Raja Ibnu
Sa’ud di kota Mekkah.
Semakin panas dan puncaknya pada kongres al-Islam yang terjadi di
Bandung, begitupun golongan pembaharu Islam, guna mempersiapkan undangan
yang dilayangkan pada umat Islam Indonesia oleh raja Sa’ud untuk menghadri
kongres di Mekkah. Terbukti pada kongres terakhir yang terjadi di Bandung
memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarikat Islam dan Mas Mansur
dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk menghadiri kongres. Sementara itu Abdul
Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasan-kebiasan
agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khirat, ajaran
madzhab, dihormati oleh kepala negera Arab yang baru dalam negaranya,
38
termasuk di Mekkah dan Madinah,21 namun hasil keputusan kongres di Bandung
itu tidak menyambut baik usulan-usulan yang diberikan, sehingga Abdul Wahab
dan tiga orang pendukungnya keluar dari komite khilfat, dan selanjutnya Abdul
Wahab berinisiatif untuk mengumpulkan ulama dari golongan tua untuk
melakukan rapat dan bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut
Komite Merembuk Hijaz.
Komite Hijaz inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal terbentuknya
Nahdlatul Ulama pada suatu rapat yang dilakukan di Surabaya pada tanggal 31
Januari 1926 yang dihadiri oleh K.H, Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kiai Bisri
dari Jombang, Riduan dari semarang, Nawai dari Pasuruan, Asnawi dari kudus,
Nachrowi dari Malang, kholil dari Bangkalan dan lain-lain.22 Dari sinilah diambil
dua keputusan penting yang pertama: mengirim utusan ulama Indonesia untuk
menghadri kongres dunia Islam di Mekkah, untuk memperjuagkan hukum-hukum
ibadah dalam empat mazhab. Kedua: membentuk suatu organisasi atau Jam’iyyah
yang akan mengirim utusan itu yang kemudian atas usulan dari K.H Alwi Abdul
Aziz diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri di Surabaya pada
tanggal 16 rajab 1344 H. hari itu juga dibentuk pengurus yang terdiri dari dua
badan, badan Suriah dan Tanfhidziah.23
Pengurus Suriah diketuai oleh Hasyim Asy’ari dengan gelar raisul akbar,
wakil ketua K.H Dahlan dan K.H Wahab Hasbullah sebagai katib atau sekretasis.
Sedangkan pengurus tanfhidziah terdiri dari ketua H. Hasan Dipo dan M Sidik
21
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 243.
L. Stoddard, Dunia baru Islam, h.325.
23
Ibid., h. 326..
22
39
sebagai penulis. Sebagai utusan ke Mekkah dikirim K.H Wahab Hasbullah dan
Syekh Ahmad Ganaim al-Amir al-Misri, yang kemudian membawa keputusankeputusan mengenai ibadah dan pengajian, serta tindakan untuk mencegah
pemerintah Saudi Arabia untuk meneruskan pengrusakan terhadap kuburan dari
keluarga Nabi Muhammad saw. Sebagai buktinya pemerintah Saudi Arabia
menjamin untuk menjalankan ibadah menurut mazhabnya masing-masing. Itu
tertuang dalam surat yang dilayangkan pemerintah Saudi Arabia pada Pengurus
Besar Nahlatul Ulama dalam suratnya no 2082 tanggal 13 Juni 1928.24
Dalam kesadaran nasional Nahdaltul Ulama (NU) tidak ketinggalan
dengan organisasi-organisasi lainnya akan kemerdekaan tanah airnya. Perbaikan
dalam penggunaan bahasa Indonesia sedikit demi sedikit di perbaiki dalam setiap
kongres yang dilaksanakan oleh kelompok ini, juga mendorong Indonesia agar
segera mempunyai parlemen. Selain itu dalam kongres organisasi ini juga kerap
membahas
segala
hal
yang
menyangkut
hukum-hukum
syar’i,
tata-
kemasyarakatan, ketata-nagaraan. Karena itu maka terhadap ‘Guru Ordonansi’
NU juga menuntut pencabutannya karena itu tudak sesuai dengan perkembangan
bangsa Indonesia sendiri yang lebih banyak menuntut kebebasan dan kemajuan
zaman, menuntut pembebasan pajak yang berdasakan pada pekerjaan-pekerjaan
yang berhubungan dengan agama dan menutut penyediaan tempat-tempat
sembahyang di lokasi umum.25
24
Ibid., h. 326.
Ibid., h. 327.
25
40
BAB III
DESKRIPSI TEMPAT PENELITIAN
A. Demografi dan Kependudukan
Kelurahan Mekarsari merupakan salah satu kelurahan yang berada pada
wilayah Kecamatan Cimanggis Kota Depok:
1. Luas wilayah Kelurahan Mekarsari adalah ± 374 Ha
2. Batas wilayah Kelurahan Mekarsari meliputi:
-
Sebelah Utara
: Kelurahan Pekayon Kecamatan Pasar Rebo Jakarta
Timur (DKI Jakarta),
-
Sebelah Timur
: Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas Jakarta
Timur (DKI Jakarta),
-
Sebelah Selatan : Kelurahan Cisalak Pasar Kecamatan Cimanggis
Kota Depok,
-
Sebelah Barat
: Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Kota
Depok.1
Jumlah penduduk di Kelurahan Mekarsari sampai akhir bulan Desember 2010
tercatat 43.399 Jiwa, terdiri dari 11.275 kepala keluarga, jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 22.109 jiwa dan perempuanm 21.290 jiwa.
1
Sumber Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
41
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia :
Kelompok Antara 0-5
No
Usia
1
Penduduk
Persentase
Laki – Laki
Perempuan
Jumlah
0 – 05
2.924
2.826
5.750
14%
2
06 – 16
3.546
3.410
6.956
16%
3
17 – 25
7.032
6.607
13.639
32%
4
26 – 55
8.304
7.978
16.282
38%
5
56 – Keatas
303
469
772
1%
22.109
21.290
43.399
100%
Jumlah
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
Pada dasarnya penduduk pribumi Mekarsari merupakan suku bangsa
Betawi. Dari data diatas , jika komposisi penduduk dilihat berdasarkan umur 0-05
tahun sebanyak 5.750 atau sekitar 14%, penduduk dengan usia 06-16 sebanyak
6.956 orang atau sekitar 16%, penduduk dengan usia 17-25 sebanyak 13.639
orang atau sekitar 32%, penduduk dengan usia 26-55 cukup besar sekitar 38%
karena pada tingkat umur tersebut dapat dikatakan tingkat usia produktif, dan
penduduk pada tingkat usia 56-keatas hanya 772 orang atau hanya sekitar 1% saja.
Sementara pada tahun 2010 mobilitas penduduk pada masyarakat
Keluruhan Mekarsari tercatat angka kelahiran pada 2010 sebanyak 287 orang atau
sekitar 13%, sedangkan yang datang sebagai penghuni baru pada kelurahan ini
sekitar 859 orang atau sekitar 42%, sedangkan yang keluar dan pindah dari
kelurahan Mekarsari 736 atau sekitar 36%, sementara angka kematian pada tahun
2010 ada 187 orang atau sekitar 9%. Persentase angka penduduk yang datang
lebih besar disbanding yang lain, hal ini dimungkinkan karena secara geografis
42
kelurahan Mekarsari berbatasan langsung dengan wilayah Jakarta sebagai daerah
satelit yang menunjang secara lansung perekonomian ibu kota.
Mobilitas Penduduk Tahun 2010 :
No.
Mobilitas Penduduk
Tahun 2010
Persentase
1
Lahir
258 Orang
13%
2
Datang
859 Orang
42%
3
Meninggal
187 Orang
9%
4
Pindah
736 Orang
36%
Jumlah
2040 Orang
100%
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
B. Pendidikan
Usia Sekolah :
No.
Usia
Orang
Persentase
1
06-12 Tahun
7.635
42%
2
13-16 Tahun
6.104
33%
3
17-20 Tahun
4.670
25%
Jumlah
18409
100%
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
Pada usia 6-12 tahun jimlah penduduk yang digolongkan dalam usia
sekolah sebanyak 7.363 orang atau sekitar 42% pada usia ini penduduk
mengenyam pendidikan pada tingkat sekolah dasar, sedangkan pengolongan usia
dari kelompok usia 13-16 tahun sebanyak 6.104 orang atau sekitar 33% pada usia
ini penduduk mengenyam pendidikan pada tingkat SLTP dan SLTA, dan pada
usia 17-20 tahun usia sekolah masyarakat di kelurahan Mekarsari sebanyak 4.670
43
orang atau sekitar 25% dan pada usia ini penduduk mengenyam pendidikan pada
tingkat perguruan tinggi.
Secara garis besar penduduk dikeruhan Mekarsari ini merupakan salah
satu kelurahan yang memiliki kesadaran yang akan pentingnya pendidikan
terbukti dari data dibawah penduduk yang tidak tamat sekolah hanya 9% saja,
penduduk yang tamat SD sebanyak 12%, tamat pendidikan tingkat SMP atau
Tsanawiyyah 12%, sementara penduduk yang tamat sekolah pada tingkat SLTA
sebanyak 37% yang merupakan angka yang signifikan apabila dibandingkan
dengan tingkat pendidikan yang lainnya, dan penduduk yang mengenyam
pendidikan tingkat strata 1 sebanyak 10% dan strata 2 hanya 2% saja.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan :
No
Pendidikan
Tahun 2010
Peresentase
1
Belum Sekolah
4958 Orang
11%
2
Tidak Tamat Sekolah
3918 Orang
9%
3
Tamat SD/MI
5128 Orang
12%
4
Tamat SLTP (SMP/Tsanawiyah)
5448 Orang
12%
5
Tamat SLTA (SMA/SLTA Kejuruan)
15885 Orang
37%
6
D1/D2/D3/D4
2893 Orang
7%
7
Sarjana Strata 1
4142 Orang
10%
8
Sarjana Strata 2
1027 Orang
2%
Jumlah
43399 Orang
100%
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
Pada masyarakat kelurahan Mekarsari terdapat sarana pendidikan dengan
rincian, sekolah dasar negri sebanyak 7 buah, sekolah dasar swasta 3 buah,
sekolah menengah pertama negeri 2 buah, sekolah menengah pertama swasta 3
44
buah, sekolah menengah atas swasta 1 buah, perguruan tinggi 1 buah, TPA 14
bauh, dan tempat kursus 14 buah.
Sarana Pendidikan
No
Sarana Pendidikan
Jumlah
1
SD Negeri
7 Buah
2
SD Swasta
3 Buah
3
SMP Negeri
2 Buah
4
SMP Swasta
3 Buah
5
SMA Negeri
-
6
SMA Swasta
1 Buah
7
Perguruan Tinggi
1 Buah
8
TPA
14 Buah
9
Tempat Kursus
4 Buah
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
C. Ekonomi
Usia Kerja :
No.
Usia
Orang
Persentase
1
19-25 Tahun
7.549
22%
2
26-45 Tahun
19.274
57%
3
46-59 Tahun
7.066
21%
Jumlah
33.889
100%
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
Pengolongan usia kerja pada usia 19-25 tahun sebanyak 7.547 orang atau
sekitar 22%, sedangkan pada usia 26-45 tahun sebanyak 19.274 orang atau sekitar
57%, jumlah yang cukup besar apabila dibandingkan dengan pengelompokan usia
45
yang lainnya. Hal ini ini disebabkan pada usia 26-45 tahun merupakan usia
produktif pada masyarakat dalam bekerja. Sementara pada usia 46-59 tahun yang
bekerja sebanyak 7.066 orang atau sekitar 21%.
Pekerjaan Penduduk :
No
Pekerjaan
Tahun 2010
Peresentase
1
Pegawai Negeri Sipil
594 Orang
1%
2
TNI/POLRI
161 Orang
0%
3
Pensiunan
189 Orang
0%
4
Purnawirawan
52 Orang
0%
5
Pegawai Swasta
11319 Orang
26%
6
Dagang
265 Orang
1%
7
Tani
6 Orang
0%
8
Wiraswasta
726 Orang
2%
9
Pengrajin/Industri Kecil
11 Orang
0%
10
Jasa
5142 Orang
12%
11
Lainnya
24944 Orang
58%
Jumlah
43409 Orang
100%
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
Ada beberpa sektor yang dominan pada pekerjaan penduduk di Kelurahan
Mekarsari. Penduduk yang bekerja sebagai pegawai swasta merupakan sektor
yang dominan dalam masyarakat kelurahan Mekarsari sekitar 26%, ini bukan hal
yang mustahil mengingat kelurahan Mekarsari merupakan salah satu daerah yang
berbatasan langsung dengan ibu kota. Kelurahan Mekarsari daerah satelit terdekat
dengan Jakarta. Yang memungkinkan warganya mencari kerja didaerah Jakarta
dan menjadikan kota Depok dan kelurahan Mekarsari sebagai tempat tinggalnya,
serta beberapa perusahaan yang berada dikelurahan Mekarsari. Penduduk yang
46
bekerja pada sektor jasa sekitar 12%, wiraswasta 2%, pedagang 1% dan penduduk
yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil hanya sekitar 1% saja. Sementara
penduduk yang bekerja pada sektor lain dikelurahan Mekarsari sebanyak 58%.
D. Keagamaan
Agama dan Kepercayaan Penduduk :
No
Agama dan Kepercayaan
Tahun 2010
Peresentase
1
Islam
38799 Orang
89%
2
Protestan
2864 Orang
7%
3
Katholik
1396 Orang
3%
4
Hindu
66 Orang
0%
5
Budha
252 Orang
1%
6
Konghuchu
22 Orang
0%
43399 Orang
100%
Jumlah
Sumber: Kantor Kelurahan Mekarsari, 2010.
Umat Islam merupakan warga mayoritas di kelurahan Mekarsari bila dibanding
dengan agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, dari
data diatas merupakan ada perbedaan yang signifikan terhadap warga yang memeluk
agama Islam dengan agama yang lainnya. Serta hal ini diperkuat dengan fasilitas-fasilitas
agama-agama tersebut, perbedaan jumlah fasilitas agama Islam sangat signifikan dengan
fasilitas agama yang lainnya.
Pelayanan Kerukunan Beragama
No
Sarana Ibadah
Jumlah
1
Masjid
20 Buah
2
Musholla
22 Buah
47
3
Gereja Katholik/Protestan
-
4
Wihara
-
5
Kelenteng
-
6
Rekomendasi Pendirian tempat Ibadah
-
7
Pesantren
2 Buah
8
Majelis Ta’lim
17 Buah
Sumber: Kantor Kelurahan Mekar Sari, 2010.
Mayoritas penduduk yang beragama Islam di kelurahan Mekarsari sejalan dengan
fasilitas keagamaan yang dimiliki. Jumlah sarana ibada umat Islam di kelurahan
Mekarsari seperti masjid sebanyak 20 buah, mushola 22 buah, majlis taklim 17 buah,
lembaga pendidikan Islam atau pesantren sebanyak 2 buah. Sementara sarana ibadah
agama lain di kelurahan Mekarsari tidak ada.
E. Struktur Kepemimpinan Masyarakat.
Kepemimpinan (Leadership)
adalah kemampuan seseorang (yaitu
pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau
pengikut-pengikutnya). Sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana
dikehendaki oleh pemimpin tersebut.2
Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal Leadership) yaitu
kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Ada pula kepemimpinan
karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan
kepemimpinan. Suatu perbedaan mencolok antara kepemimpinan resmi dengan
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990), h.318.
48
yang tidak resmi (informal leadership) adalah kepemimpinan yang resmi dalam
pelaksanaannya harus berada diatas landasan-landasan atau peraturan-peraturan
resmi. Sementara kepemimpinan tidak resmi mempunyai ruang lingkup tanpa
batas-batas resmi. 3
Pada masyarakat Mekarsari ada dua tipe kepemimpinan, pertama
kepemimpinan
yang
bersifat
formal
yakni
pemimpin
yang
mengelola
pemerintahan di daerah tersebut. Pemimpin tertingi adalah dipimpin oleh seorang
lurah yang berkantor di kelurahan yang terletak di daerah komplek graha hijau
dan lurah di bantu bebarapa stap diantaranya wakil lurah, sekretaris, serta di bantu
beberapa stap diantaranya Kasi Pemerintahan dan Trantib, Kasi Pembangunan dan
Ekonomi,
Kasi
Kemasyarakatan.
Sementata
itu
untuk
membantu
dan
memperlancar tugasnya di daerah perkampungan lurah mengangkat seorang rukun
warga (RW) yang membawahi beberapa Rukun Tetangga (RT). Sedangkan tipar
Mekar sari merupakan salah satu daerah yang terbilang luas secara geografisnya
dibandingkan desa lain yang ada dikelurahan Mekarsari.
Sementara tipe kepeimpinan kedua adalah kepemimpinan informal yang
ada pada masyarakat tipar mekar Sari adalah tokoh-tokoh masyarakat, seperti
ustadz dan lain-lain, Sesoarang dapat dikatakan sebagi tokoh masyarakat ada
beberapa persyaratan yang tidak tertulis, seperti seorang yang memiliki karisma,
kesholehan, keilmuan (terlebih khusus pada ilmu-ilmu agama).
3
Ibid., h. 319.
49
Seorang ustadz pada masyarakat Mekar Sari memberikan peranan yang
penting dalam menjaga keseimbangan dilingkungan masyarakat. Pada tahun 2000
hingga 2010 ustadz yang berasal dari kalangan Nahdliyin (ustadz junaidi Alm)
Tipar Mekar Sari memberikan sedikit sumbangsih terhadap kestabilan dalam
meredam segala perbedaan yang mengarah pada perpecahan pada kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan demikian dari aspek kepemimpinan ini terdapat dua tipe
kepemimpinan yang formal dan informal. Dua kepemimpinan ini saling
melengkapi antara satu dan lainnya, kepemimpinan formal terbentuk karena
pengakatan secara struktural sedangkan kepeminpinan informal terbentuk karena
sebuah penghargaan, atau konsesus bersama tentang seseorang yang memiliki
nilai lebih dibandingkan dengan warga masyarakat lain.
F. Profil kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU).
1. Persatuan Islam (Persis). 4
Perkembangan kelompok atau organisasi Persatuan Islam di
Kelurahan Mekarsari berawal sekitar tahun 1980 dari sebuah perkumpulan
yang bersifat obrolan-obrolan ringan para perantau yang berasal dari sunda
(Ciamis dan Tasikmalaya), yang kemudian berlanjut pada taklim atau
pengajian membahas kitab Bulughul Marom dan lain-lain. Taklim atau
pengajian yang bersifat terbatas ini dilaksanakan di langgar/mushola Darul
4
Wawancara pribadi dengan HM, Depok, 5 juni 2011.
50
Mukminin (yang sekarang menjadi Masjid Jami’ Darul Mukminin) yang
saat itu bangunan hanya sebatas pondasi dan berdindingkan bilik bambu
saja.
Haji Sholihin (Alm) seorang pensiunan Purnawirawan adalah
merupakan salah satu pembawa gagasan faham keagamaan Persatuan Islam
di Kelurahan mekar Sari yang berasal dari Ciamis, dengan inisiatifnya lah
taklim/pengajian yang membahas tantang kejamiyahan Persis di mulai.
Mengingat trek record dari beliau sebagai seorang pensiunan membantu
memudahkan “dakwah” Persis yang menarik perhatian seorang hartawan
dari Jakarta yang merupakan relasi dari beliau. Setiap pengajian dan
kegiatan yang diselenggarakan Persis saat itu di hadiri beliau. Kehadiran
beliau bukan tanpa arti, setiap keadatangan beliau menarik perhatian warga
lain karena pasti beliau memberikan sumbangan terhadap masyarakat seperti
memberikan kitab-kitab agama, bahkan beliau memberikan santunan
terhadap ustadz-ustadz diluar Persis.
Berlanjut sekitar tahun 1986 kegiatan Persis mulai sedikit berani dan
berkembang, taklim yang lebih besarpun diadakan dengan mengundang
ustadz-ustadz besar dari golongan Persis sendiri yang berasal dari pimpinan
Pusat di bandung seperti Ustadz Aceng Zakaria, Ustadz Entang Muchtar dan
lain-lain. Dalam beberpa hal sosialisasi jam’iyyah persis ini bukan tanpa
halangan.
51
Dengan semangat kejamiyyahan H.Sholihin berinisiatif untuk
mendirikan pimpinan cabang Persatuan Islam Cimanggis yang terletak di
Kelurahan Mekar Sari. Bermodalkan anggota saat itu sebanyak 20 orang
saja. Sementara peraturan jam’iyyah pusat menyebutkan baru dapat
membentuk pimpinan cabang minimal memiliki anggota sebanyak 25
orang5 seperti mendapatkan rukhsoh dari pimpinan pusat di Bandung
akhirnya terbentuklah cabang Persatuan Islam Cimanggis yang di lantik
pada tahun 2000 oleh pimpinan persatuan Islam Daerah Bogor di Citereup.
Pada periode awal setelah terbentuknya pimpinan cabang Persatuan
Islam, terpilih lah Haji Ma’mun sebagai ketua hingga tiga periode (masa
jabat pimpinan cabang Persis selama 3 tahun, pimpinan daerah Persis 4
tahun, dan pimpinan pusat Persis 5 tahun)6. Pada masa kepemimpinan Haji
Ma’mun ini mengumpulkan kader-kader yang berserakan di Cimanggis dan
di Mekar Sari pada khususnya. Serta membangun infrasrtuktur yang
menunjang kegiatan jam’iyyah. Pada periode kepemimpinan beliau
pembuatan sekretariat serta majlis yang berstatus milik jam’iyyah Persatuan
Islam dapat terealisasi. Pada periode terakhir masa jihad 2009 hingga 2011
dipimpin oleh Haji Uba. Pimpinan cabang Persatuan Islam Cimanggis
membawahi beberapa organisasi, seperti pemuda dan pemudi Persatuan
Islam, Badan otonom Persatuan Islam Persistri (Persatuan Islam Istri)
Cabang Cimanggis.
5
6
Qanun Asasi Qanun Dakhili Persatuan Islam.
Qanun Asasi Qanun Dakhili Persatuan Islam.
52
Program kerja pimpinan cabang Persatuan Islam (Persis) Cimanggis.
1. Penasehat : Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Program di Cabang.
2. Ketua
3. Wakil Ketua:
Melaksanaan Tugas dan Penanggung Jawab menegemen
jam’iyyah di pimpinan Cabang, mengkoordinasikan dan memotivasi semua
Ka. Bidgar unit merealisasikan program kerja.
4. Sekretaris: Mengelola, melengkapi dan menata administrasi kesekretariatan,
menjalin Komunikasi antar stap pimpinan.
5. Bendahara; menyusun RAPB cabang membuat buku IZIT (iuran, Zakat,
Infaq, dan Tabungan), memotivasi pemasukan dana, menyediakan
fasilitas,Membuat laporan keuangan.
6. Bidgar SDM dan Organisasi: Mengoptimalisasikan pembinaan anggota,
meningkatkan kualitas SDM, mendata anggota setiap tahun, mewujudkan
adanya pemuda/i Persis cabang Cimanggis.
7. Bidgar Pendidikan: Mengembangkan Diniyah Ula, Tarbiyatus Sholhin,
Meningkatkan Kualitas SDM, Mengembangkan SDIT Bina Auladi,
Meningkatkan kualitas SDM.
8. Bidgar Dakwah: Pembinaan calon Mubaligh, Pelaksanaan Dakwah secara
optimal, Pembinaan Pemuda/i Persis.
53
9. Bidgar Haji: Mendata yang akan dan telah Ibadah Haji dan Umroh,
Menyebarkan Informasi tantang Haji da Umroh melalui KBIH Persis,
Meningkatkan kualitas alumni Haji.
10. Bidgar Perwakafan: Mendata Wakaf, Mengelola Wakaf, Mengurus
Administrasi Wakaf, Memotivasi Gerakan Wakaf.
11. Bidgar Perzakatan. Sosialisasi ZIS, Mengupdate daftar Muzaki dan
Mustahik.
12. Bidgar Sosial dan Ekonomi: Bakti Sosial Anggota, Mengembangkan
Ekonomi, Tabungan Hewan Kurban, lain-lain.
2. Nahdlatul Ulama (NU).7
Warga Nahdlatul Ulama di Mekar Sari tidak memiliki struktur
seperti halnya kelompok Persatuan Islam (Persis), akan tetapi dalam
kenyataan dilapangan mayoritas warga di Mekarsari memegang teguh
prinsif-prinsif Nahdlatul Ulama dan beribadah bermadzhabkan syafi’i.
Gagasan dengan prilaku Nahdlatul Ulama (NU) ini di bawa dan
diajarkan oleh ustadz, guru atau anggota masyarakat yang pernah
mengeyam pendidikan di pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan
Nahdlatul Ulama seperti Tebu Ireng, Asyhafi’iyah dan lain-lain.
Pada dasarnya pimpinan cabang Nahdlatul Ulama (NU) berada
dikelurahan cisalak yang bebatasan langsung dengan kelurahan Mekarsari,
7
Wawancara pribadi dengan HZ, Depok, 5 Juni 2011.
54
hal ini berimbas langsung pada masyaraakat di kelurahan Mekarsari.
Beberapa pengurus Nahdlatul Ulama (NU) tersebut tinggal di kelurahan
Mekarsari dan mengajar dan memiliki jadwal tetap dalam mengisi pengajian
pada masjid atau majlis taklim dimasyarakat sehingga dimungkinkan
masyarakat mengikuti prinsif-prinsif beragama dengan dasar kelompok
Nahdlatul Ulama (NU).
Para ustadz, guru, atau anggota masyarakat yang pernah
mengeyam pendidikan pesantren ini memberikan sumbangsih terhadap
pemantapan prilaku ke Nahdliyian, terlebih salah seorang dari anggota
masyarakat berposisi sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan menjabat di Majlis
Ulama Indonesia (MUI) Depok.
Gagasan dengan prilaku Nahdlatul Ulama (NU) dominan dibawa
dan disebarkan oleh keluarga ustadz Junaidi (Alm) yang pernah mengenyam
pendidikan pesantren didaera Bogor serta adik-adik beliau yang juga
merupakn guru atau ustadz bagi warga nahdliyin yang di Mekarsari yang
juga memiliki dasar pendidikan di pesantren dan juga pernah mengeyam
pendidikan sekolah tinggi di IAIN Jakarta.
Setelah meninggalnya ustadz Junaidi dakwah dan pengajian atau
majlis taklim yang memperkuat keyakinan beragama dengan prinsif-prinsif
Nahdlatul Ulama (NU) dilanjuntkan oleh H. Zahrudin yang merupakan adik
dari beliau, serta oleh K.H Makmur yang merupakan teman seperjuangan
dari ustad Junaidi (Alm).
55
BAB IV
HASIL TEMUAN LAPANGAN
A. Sumber-Sumber Konflik Kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdaltul
Ulama (NU)
Beberapa faktor yang menyebabkan konflik terjadi di masyarakat
Mekarsari adalah bersumber pada interpretasi dan perbedaan masyarakat tentang
pemahaman keagamaan, terutama setelah kelompok Persatuan Islam masuk dan
mulai berkembang di lingkungan tersebut karena warga nahdliyin dapat dikatakan
lebih dulu ada dan berkembang di lingkungan masyarakat Mekarsari. Beberapa
sumber konflik yang menjadi perdebatan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan
warga nahdliyin yang bersumberkan pada pemahaman keagamaan diantaranya
adalah:
1. Pengurusan Jenazah.
Bagi
orang-orang
nahdliyin
pengurusan
jenazah
selain
memandikan dan mensholati mayit, mereka juga mengenal adab
memuliakan jenazah dengan mendoakan mayit dengan cara mengajikan
(membacakan al-quran) di hadapan mayit, mengadzani mayit saat di
liang lahad sebelum dikuburkan, tidak demikian dengan keyakinan
dengan
orang-orang
Persatuan
Islam
(Persis),
mereka
tidak
menjalankan selain dari pada memandikan, menyolatkan, dan
mengantarkan mayit hingga sampai makam. Bagi orang-orang
Persatuan Islam diluar pada pelaksanaan yang di yakininya dalam
56
urusan pengurusan jenazah ini dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah.
Seperti dituturkan oleh seorang informan (47 tahun) warga nahdliyin:
“Satu contoh misalnya seperti pada saat ustadz junaidi (Alm)
meninggal mereka hanya mensholati, mengantarkan, dan
selebihnya tidak melakukan apa-apa, sementara kita melakukan
doa bersama untuk almarhum”.1
2. Selametan atau tahlilan (mendo’a kan mayit setelah dimakamkan)
Bila seseorang meninggal, maka anggota keluarga terdekatnya
mengadakan sebuah ritual yang disebut dengan selametan. Ritual ini
biasanya dilakukan pada malam hari, ritual selametan atau tahlilan ini
dilakukan hingga tujuh hari kedepan, empat puluh hari, seratus hari, dan
haul kematian memperingati kematian mayit yang sudah setahun
meninggalkan keluarga. Biasanya pada ritual selametan ini disugukan
makanan cemilan, rokok, dan lain-lain, dan setelah acara tahlilan selesai
para peserta selametan atau tahlilan ini mendapatkan bingkisan yang
mereka sebut sebagai “besek”.
Konflik kembali terjadi bagi orang-orang Persatuan Islam ini
tidak dapat dibenarkan karena tidak bersumberkan pada hadits, karena
semasa hidupnya Nabi tidak melaksanakan ritual selametan ini.
Terlebih memberikan makan kepada peserta tahlilan yang dianggap
terbalik dengan keyakinan orang Persatuan Islam (Persis) yang
seharusnya ikut berduka dan membantu secara materi justru berbalik
dengan mengeluarkan uang untuk kepentingan selametan atau tahlilan
1
Wawancara Pribadi dengan AH, Depok, 6 Juni 2011.
57
tersebut. Seperti yang di jelaskan seorang informan (43 tahun) yang
merupakan salah seorang ustadz dari warga nahdliyin:
“Orang-orang Persis itu tidak tahu, sebenarnya dibalik itu semua
keluarga mayit sangat senang apabila di kirimi doa, berupa tahlil.
Argument mereka tidak berdasar dan mengakar, mereka tidak akan
pernah datang saat diundang pada acara tahlilan, dikirimi
makanannya pun menolak. Mereka tidak pernah tahu bahwa
makanan yang paling nikmat adalah makanan yang telah di
doakan, bagi keluarga yang ditinggal tidak ada sejarahnya sampai
menjual rumah atau tanahnya untuk keperluan tahlilan ini, seperti
anggapan yang sering di lontarkan orang-orang Persis”.2
Hal serupa juga terjadi pada salah satu keluarga warga nahdliyin
seperti yang di tuturkan oleh seorang informan (24 tahun) yang
kebetulan salah seorang dari kakaknya menjadi anggota jam’ah
Persatuan Islam dikarenakan menikah dengan salah seorang anggota
jama’ah tersebut
“Dulu saat orang tua kami meninggal abang gak datang waktu
diadakan acara tahlilan, keesokan harinya baru datang dan dia
berkata dari pada buat masak dan dikasihin ke orang-orang itu
mubazir, lebih baik kumpulin duit dan dikasihin ke anak-anak
yatim piatu, jelas-jelas lebih bermanfaat”.3
3. Maulid Nabi Muhammad S.A.W.
Bagi orang-orang nahdliyin masyarakat Mekarsari perayaan
kelahiran Nabi Muhammad S.A.W adalah sesuatu yang sakral dan pasti
dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada tanggal 12 Dzulhijah, atau
tanggal lain pada bulan tersebut. Seperti di tuturkan informan (47
tahun)
2
3
Wawancara Pribadi dengan UZ, Depok, 7 Juni 2011.
Wawancara Pribadi dengan SRF, Depok, 8 Juni 2011.
58
“Kami tidak peduli apa yang sering dikatakan mereka (jam’ah
Persatuan Islam) yang menganggap pelaksanaan maulid Nabi
sesuatu yang bid’ah, mereka tidak tahu apa inti dari perayaan ini,
mereka tidak memahami kenapa kami melaksanaan maulid nabi
ini. Bagi kami perayaan Maulid ini mengandung makna
perenungan atas pengorbanan dan jasa seorang Nabi yang berjuang
memperjuangkan agama Allah, dan didalam perayaan ini
terkandung makna syi’ar Islam yang luas, yang tidak hanya
menjakau anggota organisasinya saja melainkan seluruh umat
Islam pada umumnya”.4
4. Mengirimkan surah al-Fatihah bagi sodara-sodara muslim yang lebih
dulu meninggalkan mereka.
Penafsiran berbeda tentang hadits “idza maata ibnu adama
inkothoa amaluhu illa min tsalasin, shodaqotin jariyatin au ilmin
yuntafaubihi au waladin sholihin”. Perdebatan tentang orang lain yang
menigrimkan
surah al- Fatihah bagi orang-orang Persatuan Islam
sesuatu yang tidak akan pernah sampai karena amalan yang akan
diterima hanya sebatas pada doa anak yang sholeh. Sedangkan
pemahaman bagi orang-orang nahdliyin siapa saja yang dengan ikhlas
mendoakan orang-orang terdahulu yang terlebih dulu meninggalkan
mereka adalah sesuatu yang baik dan mustahil bagi Allah tidak
mengabulkan do’a orang-orang yang mendoa’akan bagi almarhum,
seperti yang dituturkan oleh informan (58 tahun) yang merupakan salah
seorang ustadz dari warga nahdliyin:
“Makna pada hadits waladun sholihun di tunjukan bukan hanya
berasal dari keluarga senasab atau anak kandung saja, Karena bila
ditunjukan bagi anak kandung dalam kaidah bahasa Arab
4
Wawancara Pribadi dengan AH, Depok, 6 Juni 2011.
59
semestinya penggunaan bahasanya dalam hadits tersebut ibnun
sholehun atau bintun sholehatun’’.5
5. Adzan dua kali saat pelaksanaan sholat Jum’at.
Bagi orang nahdliyin adzan dua kali sesuatu yang di contohkan
oleh Nabi Muhammad saw dahulu. Sementara pendapat orang Persis
adzan dua kali yang di contohkan Rasulullah dahulu karena ada
beberapa hal, ketika adzan pertama dilakukan di dalam masjid
sementara orang-orang masih diluar melaksanakan kegiatannya masingmasing dan di dalam masjid jama’ah masih terlihat sedikit dengan
keadaan demikian Rasul memerintahkan sahabat untuk melakukan
adzan yang kedua tetapi dilakukan di luar masjid dengan maksud untuk
mengingatkan para jama’ah sholat jum’at yang masih melakukan
kegiatannya. Argumentasinya pada zaman sekarang fasilitas pengeras
suara sudah tersedia yang memungkinkan apabila adzan dengan
menggunakan pengeras suara akan menjamah seluruh daerah yang ada
disekitar masjid, jadi tidak mesti pada saat ini adzan dilakukan dua kali
sebelum khotib mayampaiakan khutbah jum’atnya.
6. Pelaksanaan doa qunut setiap sholat subuh.
Bagi warga Persatuan Islam mendoakan para pejuang Allah
dibelahan bumi lain yang sedang berjihad tidak mesti dilakukan pada
sholat subuh saja, serta redaksi do’a qunut yang selalu dan biasa di
bacakan warga nahdliyin pada sholat subuh pada umumnya berbeda.
5
Wawancara Pribadi dengan KHM, Depok, 8 Juni 2011.
60
Sementara orang-orang Persatuan Islam pernah melaksanakan qunut
dilakukan pada sholat berjama’ah maghrib dan isya, saat jama’ah
banyak dan dengan redaksi do’a qunut yang berbeda pada umumnya
7. Mengangkat tangan saat berdo’a.
Jama’ah Persatuan Islam menganggap kedudukan Hadits rof’ul
yadain fi du’a tidak sampai pada derajat shohih, sehingga pada
pelaksanaannya jama’ah Persatuan Islam (Persis) tidak mengangkat
tangan mereka saat berdo’a, terkecuali pengkhususan pada sholat
meminta hujan (istisqho). Sementara tidak demikian dengan Warga
nahdliyin mengangkat tangan selalu dilakukan apabila sedang
melakukan do’a. seperti dituturkan oleh informan (51 tahun)
“Sebetulnya logikanya sangat sederhana, bagaimana kita lihat
seorang anak ketika meminta uang kepada orang tuanya, anak itu
pasti “nadangin” tangannya. Begitupun kita bila kita meminta
apalagi pada yang Menciptakan kita”.6
8. Mengeraskan suara saat berdoa’a setelah shalat berjama’ah.
Hal yang biasa dan kerap ditemui di masjid-masjid atau mushala
di Indonesia termasuk hasil pengamatan peneliti yang melakukan sholat
di masjid di tempat penelitian dilakukan, mengeraskan do’a setelah
sholat berjama’ah sesuatu yang biasa dilakukan, hal ini yang kemudian
menjadi salah satu bahan kritikan bagi warga nahdliyin yang
dilayangkan oleh jama’ah Persatuan Islam (Persis) menurutnya cara
demikan tidak pernah di contohkan oleh rasulullah saw dan sahabatnya.
6
Wawancara Pribadi dengan MRF, Depok, 5 Juni 2011.
61
Rasulullah
mencontohkan
berdo’a
dengan
rincian
membaca
Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu akbar 33 kali
dan digenapkan dengan membaca Laa ilaaha illallah. Suara keras saat
berdo’a di takutkan orang-orang persatuan Islam (Persis) menggangu
orang lain yang shalatnya terlambat atau masbuq. Dengan dalil alQuran (QS. Al-‘Araf: 2005) yang intinya adalah berwirid dan berzikir
itu hendaknya penuh kekhusyu’an dan dengan suara yang pelan dan
penuh rasa takut dan pelan.
9. Melaksanakan wiridan dengan menggunakan tasbih.
Melakukan wiridin dengan menggunakan tasbih sesuatu yang
biasa dilakukan oleh warga nahdliyin akan tetapi hal ini tidak demikian
dengan warga jama’ah Persatuan Islam. Bagi warga Persatuan Islam
rasulullah tidak menggunakan media apapun dalam melakukan wirid
kecuali dengan hanya denga jari-jemari tangan kanannya saja. Seperti di
tuturkan oleh seorang informan 51 Tahun:
“Pada zaman Rasulullah saw ada yang menggunakan seperti tasbih
akan tetapi jumlahnya tidak 33 seperti tasbih yang ada seperti
sekarang ini melainkan 1000 buah, kalau memang mau konsisten
seharusnya mereka (warga Nahdliyin) menggunakan media yang
sama dan dengan jumlah yang sama”.7
10. Jumlah raka’at dalam sholat tarawih pada malam bulan ramadhan.
Perebedaan yang mencolok mengenai jumlah raka’at ini
menyebabkan tidak mungkin kedua kelompok ini melakukan sholat
7
Wawancara Pribadi dengan AS, Depok, 15 Juni 2011.
62
terawih secara berjama’ah, bagi orang-orang nahdliyin mereka
melakukan sholat tarawih dengan jumlah 23 raka’at dengan 2 raka’at
sampai sepuluh kali salam dan di lanjutkan dengan 3 raka’at witir,
sementara jama’ah Persatuan Islam melaksanakan sholat tarawih
dengan 11 raka’at dengan dengan 4 raka’at hingga 2 kali salam dan
dilanjutkan dengan 3 raka’at sholat witir.
11. Memberikan kebebasan pada orang yang baru belajar untuk menjadi
imam sholat pada orang-orang Persis.
Sementara pada prinsipnya warga nahdliyin hanya mau diimami
oleh orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas, dan kapabilitas
dalam urusan agama. Seperti yang kembali di utarakan informan (43
tahun):
“Pernah satu ketika saya diimami oleh salah seorang anggota
jama’ah Persatuan Islam, saya tahu kapasitas dari orang tersebut
dalam urusan agama. Walaupun saya berdiri sebagai makmum
dalam sholat tersebut akan tetapi saya meniatkan sholat saya
sendiri, karena saya hanya mau diimami oleh orang-orang yang
fasih dalam bacaannya, faham dalam urusan agama, kasarnya
paling tidak saya mengagap harus keilmuannya diatas saya”.8
Sehingga bukan tidak mungkin dalam pelaksanaan sholat
berjama’ah selalu di imami oleh orang yang sama, seperti pengamatan
yang di lakukan oleh peniliti yang ikut sholat berjama’ah di masjid
milik warga Nahdlatul Ulama dalam sholat maghrib dan isya selalu di
imami oleh imam yang sama.
8
Wawancara Pribadi dengan UZ, Depok, 6 Juni 2011.
63
12. Pelaksanaan sholat Gerhana.
Sholat gerhana bagi orang-orang nahdliyin bukan sesuatu yang
masyhur untuk di laksanakan, akan tetapi tidak demikian dengan warga
Persatuan Islam (Persis) setiap gerhana terjadi para warga Persatuan
Islam melaksanakan sholat gerhana dengan sunnah-sunnahnya seperti
melaksanakan sholat gerhana, bertakbir, mendengarkan khotbah, dan
bershodaqoh. Biasanya pelaksanaan sholat gerhana ini dilakukan secara
berjama’ah di lakukan di masjid dan dengan menggunakan pengeras
suara. Ini salah satu yang menjadi sumber besar konflik yang terjadi
pada masyarakat sebagaimana telah disebut pula di atas.
13. Penggunaan sayyidina untuk menyebutkan Nabi Muhammad saw
dalam sholawat,
Bagi warga nahdliyin tidak ada salahnya memuliakan Rasulullah
dengan mambahkan sayyidina, karena itu merupakan salah satu cara
memuliakan, menteladani, pribadi yang dicintainya. Namun bagi
jama’ah
Persatuan
Islam
dalam
haditsnya
Rasulullah
tidak
menggunakan redaksi sayyidina, dan menganggap penambahan kata
sayyidina dalam sholawat sesuatu yang ditambah-tambahkan.
Selain faktor diatas ada beberapa faktor lain yang kerap menjadi konflik
antara jama’ah Persatuan Islam dengan warga nahdliyin diantaranya adalah
perdebatan mengengenai konsep ahlu sunnah wal jama’ah. Pada dasarnya kedua
organsisai ini merupakan kelompok yang mendeklarasikan sebagai ahlu sunnah
64
wal jama’ah hanya saja dalam mengaplikasikan ajaran agama ada perbedaaan
dalam mengartikulasikan sebuah dalil dengan argumentasinya masing-masing.
Seperti yang di tuturkan seorang informan (54 tahun).
“Semestinya pemahaman agama itu berasal dari atas baru kebawah
(harus mencari sumber yang utama yaitu al-Quran dan dari sunnah Nabi
Muhammad baru di perkuat dengan perkataan sahabat dan berlanjut pada
ulama-ulama setelahnya) itu kiranya yang menjadi dasar penafsirann bagi
kami. Yang saya liat pada umumnya warga nahdliyin mengembangkan
pemahaman keagamaan berasal dari bawah baru keatas (mencari dalil
dari ulama-ulama klasik) dan belum tentu mencari dalil sunnah nabi.
Sehinga dalam kenyataannya bagi kami melihat itu tidak sesuai dengan
sunnah nabi Muhammad karena nabi Muhammad tidak pernah
mencontohkan dan tidak ada hadits yang memperkuatnya”.9
Faktor lain yang meyebabkan konflik walaupun tidak dominan adalah
motif status ekonomi, Status ekonomi warga Persatuan Islam berada diatas atau
lebih apabila dibandingakan dengan warga nahdliyin yang ada Mekarsari. Warga
jama’ah Persatuan Islam dapat dikatakan berekonomi menengah keatas dan
sebaliknya bagi warga nahdliyin menengah kebawah. Kesuksesan dakwah
jama’ah Persatuan Islam ditunjang dengan ekonomi yang baik pula di daerah
tersebut. Sebagai indikasinya berbagai fasilitas dibangun oleh warga jama’ah
Persatuan Islam melalui sumbangan bersama para jama’ahnya, Pembangunan
fasilitas tersebut termasuk mushola dan majlis berdekatan dengan masjid bukan
tanpa alasan karena dalam beberapa kegiatan pelarangan warga nahdliyin kepada
jama’ah Persatuan Islam untuk menggunakan fasilitas-fasilitas yang sudah ada
yang nota bene merupakan aset warga nahdliyin. Seperti dituturkan oleh informan
(43 tahun).
9
Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 Juni 2011.
65
“Orang-orang Persis isrof dalam membangun fasilitasnya, lihat saja
membangun majlis dan mushola dengan bahan-bahan bangunan dan
bentuk bangunannya menelan biaya yang tidak sedikit. Hanya karena
salah seorang dari jama’ah mereka seorang kontraktor. Seharusnya dana
yang besar tersebut dapat digunakan pada hal-hal yang lebih penting di
banding sekedar membangun. Kami bukan berarti tidak bisa membangun
seperti itu, kami mempertimbangkan azas manfaat pengguanaannya saja
jangan sampai mubazir dan saya melihatnya cenderung jatuh pada
Isrof”.10
B.
Kasus-Kasus Konflik
Pada tahun 2000 hingga 2010 kasus konflik Persatuan Islam (Persis) dan
Nahdlatul Ulama (NU) relatif tidak sekeras tahun delapan puluhan saat pertama
kali orang Persatuan Islam (Persis) masuk dan melakukan taklim dan
pengajiannya. Seperti dituturkan seorang informan (54 tahun).
“Saya ingat saat pertama kali melakukan taklim dan pengajian di mushola
darul mukminin bersama sekitar 4 orang tiba-tiba lampu mushola mati
mendadak, dan kami tahu siapa yang mematikan lampu saat kami taklim,
mereka orang-orang nahdlyin yang tidak senang dengan taklim dan
pengajian yang kita laksanakan”. 11
Dari mulai kejadian tersebut mulai memberikan batas-batas yang jelas
antara kelompok Nahdlatul Ulama dengan Persatuan Islam, terlebih saat-saat
mulai berkembangnya jumlah orang dalam taklim dan pengajian tersebut serta
menarik beberapa penduduk pribumi untuk ikut serta dalam taklim dan pengajian
yang dilakukan oleh orang-orang Persatuan Islam. Melihat kenyataan demikian
pergerakan orang-orang Persatuan Islam (Persis) terbilang cukup berani seperi
dituturkan seorang informan (54 tahun).
10
11
Wawancara Pribadi dengan UZ, Depok, 7 juni 2011.
Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011.
66
“Kami pernah meminta izin pada pengurus mushola darul mu’minin untuk
melaksanakan sholat gerhana untuk yang pertama kalinya di daerah sini,
kami mendapatkan izin tersebut dan pada malam harinya sekitar jam 2 kita
mulai melaksanakan sholat gerhana bersama dengan sunnah-sunnahnya.
Keesokan harinya mereka membicarakan kami, kami di anggap sebagai
“agama baru” karena takbiran malam-malam, sedangkan yang mereka
fahami takbiran dilakukan hanya pada malam idul adha dan idul fitri
saja”.12
Pada tahun dua ribuan kasus-kasus konflik relatif mereda mengingat
kebersamaan mereka dalam membangun mushola menjadi masjid Jami’ Daarul
Mu‘minin serta seorang tokoh, ustadz, serta ketua DKM bernama Junaidi (Alm)
yang berusaha memberikan pengarahan, pendidikan pada warga nahdliyin bahwa
Persatuan Islam merupakan saudara mereka.
Konflik dan sikap keras kembali terjadi pada jama’ah Persatuan Islam
setelah meninggalnya Ustadz Junaidi pada awal tahun 2011. Kepengurusan masjid
Jami’ Daarul Mu’minin dipimpin warga nahdliyin yang lain. Seperti dituturkan
oleh informan (54 tahun).
“Pada pelaksanaan sholat gerhana terakhir, belum lama ini ada sedikit
sikap dari ketua DKM masjid Jami‘ Daarul Mu’minin yand sedikit keras
terhadap kami. Saat kami sedangkan melakukan takbir beliau mebunyikan
musik keras-keras pada tengah malam berbarengan dengan kami
melaksanakan sholat gerhana, sementara posisi rumah beliau dengan
masjid hanya beberapa meter saja. Pasti kami merasa tergangu, kami di
bantu salah seorang warga nahdlyin yang sedikit menerima kami
berinisiatif melaporkan Ke RT dan berlanjut dari RT melaporkan kepada
salah seorang anggota kepolisian yang sedang berjaga di daerah tersebut.
Pada akhirnya permasalahan pada malam hari itupun selesai, walaupun
dengan cara yang kaga wajar dan kayanya ketua DKM merasa tidak puas
dan seperti dikecilkan”.13
12
13
Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011.
Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011.
67
Dari kejadian tersebut hubungan yang terbangun antara kelompok
nadhliyin dan Persatuan Islam kembali tidak baik hingga saat ini, kebencian
sebagian warga nahdlyin terhadap jama’ah Persatuan Islam yang dulu mulai
mengendap dan kembali keras, ini terbukti pelarangan keras bahkan sampai
“pengaharaman” ketua DKM masjid Jami‘ Daarul Mu’minin periode sekarang
kepada jama’ah Persatuan Islam untuk melasanakan kegiatan termasuk
melaksanakan sholat di masjid tersebut. Seperti dituturkan informan (54 tahun).
“Pada dasarnya konflik kebencian pribadi beliau terhadap jama’ah Persis
disini sudah ada sejak kepemimpinan ustadz Junaidi menjabat sebagai
ketua DKM masjid tersebut, tapi siapapun menghargai seorang ustadz
Junaidi karena ketinggian ilmu dan prilakunya. Nah kesempatan
menyalurkan kebencian seperti mendapat jalan setelah meninggalnya
ustadz Junaidi dan kemudian beliau menjabat sebagai ketua DKM masjid
tersebut. Dan puncaknya saat pelaksanaan sholat gerhana tadi, dengan
keras beliau “mengaharamkan” kepada kami untuk melakukan kegiatan
dan sholat di masjid jami’ Darul Mu’minin”.14
C.
Bentuk Mediasi dan Integrasi.
Konflik yang tejadi pada tahun delapan puluhan sedikit mulai mereda
setelah salah seorang ustadz nahdliyin bernama Junaidi (Alm) menjabat sebagai
ketua DKM masjid Jami’ Daarul Mu’minin, kepemimpianan beliau seolah
memberikan angin segar bagi jama’ah Persatuan Islam, beliau memberikan
pengajaran, pemahaman kepada masyarakat bahwa Persatuan Islam bukan agama
baru, mereka seperti halnya umat Islam pada umumnya hanya dalam beberapa hal
berbeda dalam pelaksanaan ritual ajaran agama, dan perbedaan dalam pemahaman
agama itu sesuatu yang wajar dan menjadi sesuatu yang seharusnya menjadi suatu
14
Wawancara Pribadi dengan HU, Depok, 12 juni 2011.
68
keindahan dalam bermasyarakat. Di tangan beliaulah pembanguanan mushola
menjadi masjid besar dilakukan yang bekerjasama dengan jama’ah Persatuan
Islam (Persis). Persatuan Islam (Persis) mempunyai sumbangsih yang tidak sedikit
dalam pembangunan masjid tersebut, mulai dari fase pembangunan dari mushola
menjadi masjid serta beberapa kali renovasi yang telah dilakukan pada masa
kepemimpinan beliau. Kerja sama tersebut berimbas pada beberapa pelaksanaan
kegiatan jama’ah Persatuan Islam dapat dilakuakan di masjid Jami’ Darul
Mu’minin.
Dapat
dikatakan ustadz Junaidi adalah seorang mediator untuk
menjembatani persinggungan atau konflik yang terjadi antara kelompok Persatuan
Islam dengan Nahdlatul Ulama, beliau dapat dikatakan sebagai golongan
campuran. 15 Beliau memegang teguh prinsip dan doktrin Nahdlatul Ulama (NU)
akan tetapi cara berfikirnya toleran, terbuka pada hal yang baru, mengedepankan
prinsip-prinsip memajukan perkembangan umat Islam di daerah tersebut dengan
memberikan pengajaran tentang prinsip Islam yang toleran.
Faktor lain adalah ikatan kekeluargaan, walaupun mereka berkonflik tetapi
pada dasarnya mereka bersatu pada ikatan ke-sukuan yakni suku betawi, bahkan
ikatan kekeluargaan. Karena apabila ditelusuri pada dasarnya mereka memiliki
keturunan yang sama, yaitu dari keluarga besar H. Ramin (Alm) dan H. Ajum
(Alm) yang merupakan adik-kakak. Sehingga saat terjadi konflik memungkinkan
mereka untuk mengendapkan atau menahan konflik kearah yang bersifat personal
karena merasa satu suku dan satu keluarga.
15
Achmad Fedyani Saefudin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam,
(Jakarta: CV Rajawali, 1986), h.95.
69
Selain faktor seperti yang telah disebut diatas, ada beberapa faktor lain
yang mempersatuakan atau mengintegrasikan kelompok Persatuan Islam dan
Nahdlatul Ulama di antaranya adalah;
1.
Acara-acara yang diselenggarakan oleh aparat desa (RT dan RW).
Seperti pembentukan panitia bersama dalam menyelenggarakan acara
17 Agustusan, panitia bersama dalam pelaksanaan pemilihan umum.
2.
Bakti Sosial, baik yang diselenggarakan oleh jama’ah Persatuan Islam
maupun yang diselenggarakan oleh warga nahdliyin. Seperti panitia
bersama dalam menyalurkan hewan qurban kepada warga yang
diselenggarakan oleh jama’ah Persatuan Islam pada saat idul adha,
acara sunatan massal yang dilaksanakan oleh jama’ah Persatuan Islam
yang melibatkan warga nahdliyin bahkan peserta dari acara tersebut
lebih banyak berasal dari warga nahdliyin.
3.
Pembangunan fasilitas-fasilitas umum warga. Seperti kerja sama
dalam membangun dan merenovasi masjid Jami’ Daarul Mu’minin
dalam pencarian dananya.
4.
Gotong Royong membersihkan lingkungan. Seperti pada saat akan
membangun SDIT Bina Auladi yang berafiliasi dengan Persatuan
Islam, warga nahdliyin ikut berpartisipasi dalam pembukaan atau
pembersihan lahan tersebut, dan mayoritas dari siswa yang sekolah di
lembaga tersebut adalah warga nahdliyin.
5.
Mereka memiliki musuh bersama yaitu setiap kenakalan yang dirasa
masyarakat mulai berkembang di lingkungan mereka, seperti
70
maraknya motor-motor yang bersuara keras pada malam hari yang
kerap hilir mudik di lingkungan mereka.
Selain itu lembaga pendidikan yang ada dilingkungan masyarakat
Mekarsari seperti Raudaltul Athfal Al-Fitroh (Taman Kanak-kanak), SDIT Bina
Auladi walaupun kedua lembaga ini berafiliasi dengan kelompok Persatauan
Islam akan tetapi para muridnya tidak hanya dari kelompok tersebut melainkan
banyak juga dari orang tua orang-orang nahdliyin yang menyekolahkan anakanaknya di sekolah tersebut, Seperti di tuturkan seorang informan (47 tahun):
“Walaupun secara pribadi saya tidak akur dalam urusan pemahaman
agama, tetapi saya menyekolahkan anak saya di TK Al-Fitroh yang nota
bene sekolah tersebut milik jama’ah persis, saya harus fair mengakui
walaupun sedikit mahal tetapi kualitas pendidikannya lumayan bagus”. 16
Hal serupa juga di tuturkan oleh seorang informan (24 tahun) dari keluarga
nahdliyin.
“Adik saya sekolah di TK Al-Fitroh yang milik orang-orang Persatuan
Islam (Persis), Alhamdulillah dia hafal do’a-do’a yang diajarkan di Persis,
tapi dia juga hafal do’a yang diajarkan oleh kami, dan membanggakanya
lagi dia selalu di bawa dalam lomba dan Alhamdulillah beberapa kali juara
dalam acara-acara lomba antar TK di Kecamatan”.17
Lembaga-lembaga
pendidikan,
golongan
campuran,
struktur
kepemimpinan yang tidak memihak ini dalam tradisi sosiologi, peneliti melihat
sebagai savty valve (katup penyelamat), yang merupakan suatu mekanisme
penyaluran konflik kearah yang lebih sehat dan positif, karena dengan katup
penyelamat ini memungkinkan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul
16
17
Wawancara Pribadi dengan AH, Depok, 6 Juni 2011.
Wawancara Pribadi dengan SRF, Depok, 8 Juni 2011.
71
Ulama (NU) berintegrasi dan memberikan batas-batas perbedaan yang jelas
antara kedua kelompok tersebut, dan tidak akan melebur antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lainnya. Dari hasil pengamatan peniliti kelompok
tersebut solah-olah berlomba menunjukan mereka memiliki sebuah lembaga
pendidikan yang berkualitas dan itu merupakan salah satu cara menunjukan
eksistensi golongan tersebut secara positif.
Sementara pendekatan struktural fungsional melihat struktur kelompok
Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (Persis) mempunyai peran dan
fungsi terhadap terciptanya integritas sosial (keseimbangan) karena mereka
terikat pada satu kebudayaan yang universal, yaitu kebudayaan nasional pada
umumnya dan budaya betawi pada khususnya.
72
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada penelitian ini ditemukan peneyebab konflik yang terjadi antara kelompok
Persaatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) pada masyarakat Mekarsari adalah
disebabkan pada interpretasi dan pemahaman berbeda masing-masing kelompok dalam
memaknai dan mengamalkan ajaran agama. Faktor-faktor yang menyebabkan konflik terjadi
yang bersumber pada pemahaman keagamaan menyebabkan kedua kelompok ini berkonflik
diantaranya adalah: pengurusan jenazah, selametan atau tahlilan, maulid nabi Muhammad
saw, pengiriman surat al-Fatihah, adzan dua kali saat sholat jum’at, do’a qunut pada sholat
shubuh, mengangkat tangan saat berdo’a, mengeraskan do’a setelah sholat berjama’ah,
wiridan dengan menggunakan tasbih, konsep imam dalam sholat berjama’ah, jumlah rakaat
dalam sholat tarawih, penggunaan kata sayyidina dalam sholawat pada sholat, sholat gerhana.
Selain itu ditemukan juga faktor lain penyebab konflik diantaranya status sosial ekonomi, dan
konsep ahlu sunnah wal jama’ah masing-masing kelompok.
Sementara kasus konflik yang terjadi antara kelompok persatuan Islam (Persis) dan
Nahdlatul Ulama (NU) adalah pelarangan penggunaan masjid untuk kegiatan-kegiatan
kelompok Persatuan Islam (Persis) oleh Kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Proses mediasi
dan integrasi yang terjadi pada masyarakat karena beberapa hal diantaranya: Golongan
campuran (warga nahdliyin) yang bersifat terbuka terhadap perbedaan, ikatan kesukuan
(betawi), ikatan kekeluargaan keturunan H. Ramin dan H. Ajum, acara-acara yang
73
diselenggarakan aparat desa sekitar lingkungan, lembaga-lembaga pendidikan, kepentingan
bersama dalam menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan.
B. SARAN-SARAN
Adapun beberapa saran yang ingin penulis sampaikan dari hasil penelitian ini adalah;
Persatuan Islam (Persis) dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah kelompok-kelompok
yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia, hendaknya kedua kelompok tersebut bersatu
seiring perkembangan zaman sebagaimana kedua kelompok ini terikat dalam ukhuwah
islamiyyah
1. Hendaknya kedua kelompok mengembangkan faham ingklusifitas dalam
beragama, sehingga memungkinkan melihat segala sesuatu yang berbeda dari
kelompoknya sehingga tidak mudah menghakimi, dan memberikan label atau
embel-embel terhadap ritual keyakinan kelompok lain.
2. Hendaknya kedua kelompok memikirkan Islam dalam ranah memajukan umat
(kemashlahatan umat), bukan hanya mengkaji pada hal-hal bersifat fiqhiyah.
3. Hendaknya kedua kelompok bersikaf terbuka dan toleran dalam menerima
perbedaan kelompok lain, serta menerima dan menampung pendapat dari
kelompok lain.
4. Perbedaan sesuatu yang alami (sunnatullah) dan harus difikirkan sebagai modal
bersama dalam menciptakan kekuatan, bukan menjadikan perbedaan sebagai alat
yang akan merusak hubungan antara kelompok-kelompok yang memiliki
perbedaan tersebut.
74
DAFTAR PUSTAKA
Berger, L Peter., Kabar Dari Langit: Makna Teologi Dalam Masyrakat Modern,
Penerjemah J.B Sudarmanto. Jakarta: LP3ES, 1991.
Fajarini, Ulfah. “Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan.”
Al-Turas. Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama V 11, no. 3
(Sepetember 2005): 281.
Federspiel, Howard M, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan PERSIS
di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Penerjemah Ruslani dan
Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi,2004.
Fealy, Greag, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967. Penerjemah Farid Wajidi
dan Adelina Bachtiar. LKiS: Yogyakarta, 2007.
Firdaus, Haris, NU, PERSIS, MUHAMMADIYYAH yang Bid’ah., Bandung: Mujahid,
2004.
Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tadisi
NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Husaini Usman Dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:
OT. Bumi Aksara, 2006.
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif , Jakarta: Erlangga, 2009.
Muhaimin AG, ed. Dalam Damai di Dunia Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai
Agama, Jakarta: Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama Departemen Agama,
2004.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,
1980).
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah
Alimandan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1985.
Roland, Robertson, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Penerjemah
Achmad Fedyani Saefuddin. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
75
Saefuddin, Akhmad Fedyani, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham Dalam Agama
Islam, Jakarta: Rajawali, 1986.
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2004
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Grapindo Persada, 1993.
Stoddard, L, Dunia baru Islam.
Peter Connolly., ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, Penerjemah Imam Khoiri.
Yogyakarta: LKIS, 2002.
Poloma, M Margaret, Sosiologi Kontemporer, Penerjemah oleh tim Yasogama.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKiS,2004.
Zuriah, Nurul, Metodologi penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori Aplikasi, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2006.
Pedoman wawancara untuk jama’ah Persatuan Islam (Persis)
Nama:
Usia:
1. Apa yang anda ketahui tentang kelompok Nahdlatul Ulama (NU)?
2. Bagaimana pendapat anda tentang keberadaan kelompok Nahdlatul Ulama (NU) di
lingkungan anda?
3. Selain Nahdlatul Ulama (NU), apakah ada organisasi atau kelompok lain
dilingkungan anda? Dan bagaimana sikap anda terhadap kelompok tersebut?
4. Dalam pemahaman keagamaan apa saja yang dianggap berbeda oleh kelompok anda?
5. Bagaimana anda menyikapi perbedaan tersebut?
6. Kasus-kasus apa yang pernah terjadi antara kelompok anda dengan kelompok
Nahdliyin?
7. Bagaimana anda menyikapi kasus-kasus konflik yang terjadi antara kelompok anda
dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU)?
8. Hal apa yang biasanya dapat mempersatukan kelompok anda dengan kelompok
Nahdlatul Ulama (NU)?
9. Bagaimana pendapat anda melihat kebersamaan antara kelompok anda dengan
kelompok Nahdlatul Ulama (NU)?
Pedoman wawancara untuk warga Nahdlatul Ulama (NU)
Nama:
Usia:
1. Apa yang anda ketahui tentang kelompok Persatuan Islam (Persis)?
2. Bagaimana pendapat anda tentang keberadaan kelompok Persatuan Islam (Persis) di
lingkungan anda?
3. Selain Persatuan Islam (Persis), apakah ada organisasi atau kelompok lain
dilingkungan anda? Dan bagaimana sikap anda terhadap kelompok tersebut?
4. Dalam pemahaman keagamaan apa saja yang dianggap berbeda oleh kelompok anda?
5. Bagaimana anda menyikapi perbedaan tersebut?
6. Kasus-kasus apa yang pernah terjadi antara kelompok anda dengan kelompok
Persatuan Islam (Persis)?
7. Bagaimana anda menyikapi kasus-kasus konflik yang terjadi antara kelompok anda
dengan kelompokPersatuan Islam (Persis)?
8. Hal apa yang biasanya dapat mempersatukan kelompok anda dengan
kelompokPersatuan Islam Persis (Persis)?
9. Bagaimana pendapat anda melihat kebersamaan antara kelompok anda dengan
kelompok Persatua Islam (Persis)?
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Papan nama Cabang PERSIS Cimanggis bersanding dengan Papan
nama Majelis Ta’lim ASMAUL HUSNA (Nahdlatul Ulama)
Gambar 2. Badan Otonom PERSISTRI Cimanggis
Gambar 3. Majlis dan Mushola milik Jama’ah PERSIS
Gambar 4. Papan nama Masjid Jami Daarul Mu’minin
Gambar 5. Masjid Daarul Mu’minin
Gambar 6. Masjid tampak dari belakang
Gambar 7.
Gambar 7 dan 8. Majelis Ta’lim dan Dzikir milik Nahdlatul Ulama
Gambar 9. Papan nama TK. Al-Fithrah PERSIS
SDIT. Bina Auladi (PERSIS)
Download