6 BAB II LANDASAN TEORI II. 1 Waria (Transeksual) II.1. 1 Sejarah Waria Tidak pernah terdapat suatu catatan pasti mengenai kapan tepatnya penyimpangan identitas jender ini terjadi. Penyimpangan identitas jender dan hubungan sesama jenis sudah sering dibahas di dalam kitab suci dan cerita sejarah. Dalam kitab suci Al-Quran, pernah disinggung tentang suatu kaum homoseksual tepatnya pada zaman nabi Luth a.s. Sejatinya Allah S.W.T hanya menciptakan lelaki dan perempuan sebagai pasangan. Ini dibuktikan dengan adanya ayat – ayat yang terdapat di dalam Al-Quran (Zuhdi, M. 1996). Al Quran An Najm: 45 “Dan Dia (Allah) menciptakan dua pasang dari dua jenis laki-laki dan perempuan”. (Qs An Najm: 45). Al Quran Alhujarat: 13 “Wahai manusia Kami menciptakan kamu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan”. (Qs Al Hujurat: 13). Al Quran An Naml: 55 “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. (QS. 27:55). 7 Al Quran Al A’raaf: 81 “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. (QS. 7:81). Al Quran Al ‘Ankabuut: Ayat 28 “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu”. (QS. 29:28). Tidak hanya agama Islam yang melarang adanya hubungan sesama jenis, namun dalam agama lain seperti Kristen, terdapat juga larangan mengenai hubungan sesama jenis. Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa ayat di dalam Alkitab yang menyebutkan bahwa homoseksualitas adalah dosa dan kekejian di mata Allah (Pandangan Alkitab Tentang Homoseksual, Gay, dan Lesbian, 2010). “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka… kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki …”. (Roma 1:24-27). 8 “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian”. (Imamat 18:22) “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian …” (Imamat 20:13). “… sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasankepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang. Namun demikian orang-orang yang bermimpi-mimpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina kekuasaan Allah serta menghujat semua yang mulia di sorga”. (Yudas 1:7-8). “Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah”. (1 Korintus 6:9-10). Di dalam pandangan agama Buddha tidak terdapat larangan mengenai adanya hubungan sesama jenis, walaupun dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan seksual. Hubungan sesama jenis dalam agama Buddha sering terjadi antara guru dan murid, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (Parrinder, 2004). Dalam organisasi agama Buddha (DhammaCitta) dijelaskan bahwa Buddha-Dhamma tidak pernah menganjurkan untuk mengucilkan apalagi melenyapkan keberadaan kaum homoseksual dalam kehidupan bermasyarakat. Agama Buddha memandang homoseksual sebagai salah satu bentuk kehausan terhadap kenikmatan 9 (kama-tanha) semata, karena mereka tidak menyalahi atau berdosa kepada siapapun juga, mereka hanya berhubungan dengan pribadi dan karmanya sendiri. Agama Buddha mengenal istilah pandaka untuk menunjuk waria dan kaum homoseks lainnya, yaitu seorang pria yang tidak berperilaku maskulin dan seorang wanita yang tidak berperilaku feminin. Menurut BuddhaDhamma, menjadi pandaka adalah karma akibat perzinahan atau perbuatan seks yang tidak baik atau benar di kehidupan yang lampau (Thig. 436-7). Di dalam Hindu, waria atau homoseksual masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Beberapa kalangan Hindu menganggap bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang tidak menyalahi aturan agama. Hal ini didasarkan pada tidak pernah ditemukannya satu ayat pun dalam teks-teks suci Hindu yang melarang adanya homoseksual. Kontras, beberapa kalangan Hindu lainnya menganggap bahwa cinta yang sesungguhnya hanyalah antara pria dan wanita, sedangkan cinta antara sesama jenis hanyalah sebatas pemuasan nafsu belaka sehingga dianggap salah (Vanita & Kidwai, 2000). Istilah homo atau homoseksual diciptakan pertama kali oleh Dr K.M Kertbeny pada tahun 1869. Kata homo berasal dari kata Yunani yang berarti sama, dan kata seks yang memiliki arti jenis kelamin. Istilah ini merujuk kepada ketertarikan seseorang terhadap sesama jenisnya. Pada tahun 1920 muncul komunitas homo seksual di kota besar Hindia-Belanda (Juliana, 2008). Pada tahun 1969, berlangsung pertikaian antara waria dan gay dengan polisi yang dikenal dengan istilah huru-hara Stonewall, yang terjadi di New York, Amerika. Kejadian tersebut menjadi langkah awal bagi waria dan 10 gay dalam mempublikasikan keberadaan mereka. Pada tahun yang sama, mulai muncul organisasi waria yang bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Organisasi tersebut merupakan organisasi waria pertama di Indonesia yang terletak di Jakarta. Organisasi difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta Raya. Yayasan atau organisasai waria semakin banyak di Indonesia dari tahun ke tahun. Di Jakarta sendiri, terdapat Forum Komunikasi Waria (FKW) dan Yayasan Srikandi Sejati (YSS), di Malang, terdapat Ikatan Waria Kota Malang (IWAMA), dan di Semarang, Yayasan Tiara Bangsa, Persatuan Hidup Baru Dalam Kasih (PHBK), dan Persatuan Waria Kota Semarang (PERWARIS) (Juliana, 2008). II. 1. 2 Pengertian Waria (Transeksual) Koeswinarno (2005) mengatakan bahwa transeksual ialah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Sue (1986) mengatakan bahwa transeksual ialah seseorang yang merasa memiliki kelamin yang berlawanan dimana terdapat pertentangan antara identitas jenis kelamin dan jenis kelamin biologisnya. Transeksual dapat terlihat pada usia muda. Biasanya hal ini ditunjukkan dengan adanya perselisihan dalam peran jenis kelamin. Laki-laki yang menunjukkan dan lebih tertarik untuk bergaya feminism seperti lawan jenisnya. Mereka lebih sering bermain dengan perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Supratiknya, 1995). Bastaman, Amir, Idris, dan Wiguna (2004) mengatakan transeksual merupakan keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak sesuai 11 dengan jenis kelamin anatomisnya, dan menginginkan untuk membedah jenis kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan mungkin dengan jenis kelamin. Menurut Kartono (2005) transeksual ialah gejala merasa memiliki seksualitas berlawanan dengan struktur fisiknya. Puspitosari (2005) mendefinisikan transeksual sebagai seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara psikis cenderung wanita. Waria merupakan kependekan dari wanita pria, atau yang lebih lazim dikenal banci alias bencong. Waria adalah pria yang jiwa dan tingkah lakunya seperti wanita Dari definisi - definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wanita pria waria (transeksual) adalah suatu Gangguan pada diri seseorang di mana seseorang tersebut merasa tidak nyaman atau tidak puas dengan keadaan jenis kelaminnya, sehingga untuk mencapai suatu kepuasan, penderita melakukan perubahan sesuai dengan yang dia inginkan (pria-wanita) baik dalam bentuk perilaku maupun secara fisik. II. 1. 3 Jenis Waria Menurut Atmojo (dalam Nadia, 2005), membagi jenis-jenis waria sebagai berikut 1. Transeksual aseksual, adalah seorang transekual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat. 2. Transeksual homoseksual, adalah seorang transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ketahap transeksual murni 12 3. Transeksual heterogen, adalah seseorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heterogen sebelumnnya, misalnya pernikahan. II. 1. 4 Ciri-ciri Waria Dalam DSM-IV-TR, waria dianggap memiliki gangguan identitas jender (Gender Identity Disorder), transeksual, memiliki karakteristik sebagai berikut 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis. 2. Pada anak-anak, terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu a. Berulang kali menyatakan keinginan atau memaksakan diri untuk menjadi lawan jenis. b. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis. c. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau berfantasi menjadi lawan jenis terus-menerus. d. Lebih suka melakukan permainan lawan jenis. e. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis. 3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis. 4. Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasin dari peran jender jenis kelamin tersebut. 13 a. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal diantaranya, pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu, tidak menyukai permainan sterotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk, yakin bahwa penis akan tumbuh, merasa tidak suka dengan payudara yang besar dan mestruasi, merasa benci dan tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional. b. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal diataranya, keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon atau operasi, yakin bahwa dia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah. 5. Tidak sama dengan kondisi fisik antar jenis kelamin. 6. Menyebabkan distress dalam fungsi sosial dan pekerjaan (Davidson, Neale, & Kring, 2010). Menurut Maslim (2002) seseorang dapat dikatakan sebagai seorang waria jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut 1. Identitas transeksual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom. 14 2. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya. 3. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis, menurut Tjahjono (1995), yaitu 1. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara berkelanjutan. 2. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya. 3. Minat-minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya. 4. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya. 5. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ia ditolak di lingkungannya. 6. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya. 15 II. 1. 5 Faktor-faktor pembentukan diri waria II.1.5.1 Faktor Biologis Puspitosari dan Pujileksono (2005) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya transeksual adalah disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik seseorang. Hermaya (dalam Nadia, 2005) berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologi dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu a). Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, ada yang berfenotip pria dan ada pula yang berfenotip wanita. Pada pria dapat kelebihan kromosom X. bisa XXY, atau bahkan XXYY atau XXXYY. Diduga penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom seks pada saat meiosis (pembelahan sel) yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh terhadap proses reproduksi. Artinya, bahwa semakin tua seorang ibu, maka akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan sebagai akibatnya, semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks pada anaknya. b). Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Moertiko (dalam Nadia, 2005) mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan ibu. Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis, yaitu a). Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak 16 dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang. b). Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar. Tubuhnya mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad (alat yang mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami haid. c). Female-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi pria. d). Male-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung wanita. II.1.5.2 Faktor Psikologis dan Sosiologis Nadia (2005) menyatakan bahwa secara umum faktor-faktor pembentuk waria adalah 1. Susunan kepribadian seseorang dan perkembangan kepribadiannya, dipengaruhi oleh faktor genetik sejak ia berada dalam kandungan. 2. Menetapnya kebiasaan perilaku yang dianggap menyimpang. 3. Sikap, pandangan dan persepsi seseorang terhadap gejala penyimpangan perilaku. 4. Seberapa kuat perilaku menyimpang itu berada dalam dirinya dan dipertahankan. 17 5. Kehadiran perilaku menyimpang lainnya yang biasanya ada secara paralel. Ibis (dalam Nadia, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor terjadinya abnormalitas seksual dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu 1. Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh dorongan seksual yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan dengan cara-cara abnormal dalam pemuasaan dorongan seksual. 2. Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan oleh adanya pasangan seks yang abnormal. Kartono (1989) mengatakan bahwa sebab utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal yaitu adanya rasa tidak puas dalam relasi heteroseksual. Sue (1986) menjabarkan ada enam faktor yang mendukung terjadinya transeksual 1. Orang tua selalu mendorong anak bertingkah laku seperti wanita. 2. Perhatian dan perlindungan yang berlebihan dari seorang ibu. 3. Tidak adanya kakak laki-laki sebagai contoh. 4. Tidak adanya figur ayah. 5. Kurang mendapatkan teman bermain laki-laki. 6. Dukungan pemakaian pakaian yang menyimpang. Tjahjono (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transeksual yaitu 1. Anak laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode waktu yang panjang menunjukkan minat-minat, sikap-sikap dan perilaku feminin. 18 2. Hubungan yang terlalu dekat antara anak dengan orangtua yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Anak dan orangtua cenderung memiliki kontak yang sangat intim baik secara fisik maupun secara psikis. Sehingga anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengidentifikasi orangtua yang sama dengan jenis kelaminnya dan kurang mengembangkan perilaku-perilaku sesuai dengan peran jenisnya. 3. Keinginan orangtua terhadap anak dengan jenis kelamin yang lain, sehingga berusaha menjadikan anak perempuan bersikap seperti laki-laki yang tidak pernah dimilikinya atau sebaliknya. 4. Seorang ibu yang membenci dan iri terhadap kejantanan bisa membentuk perilaku yang kurang jantan pada anak laki-lakinya. Ibu mungkin mengasosiasikan maskulinitas dengan kekerasan fisik dan agresivitas, penyalahgunaan seksual dan kekasaran. Ia lebih suka anak laki-lakinya lembut. 5. Pengaruh-pengaruh genetik atau hormonal. Dari perspektif medis, pada waria ini terdapat kemungkinan disebabkan oleh presdisposisi hormonal, hormon faktor-faktor endokrin (kelenjar) konstitusi pembawaan, dan beberapa diantaranya basis biologis pada masa prenatal atau masa di dalam kandungan. 19 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni a. Faktor biologis Kelainan pada diri individu yang disebabkan adanya pengaruh hormon maupun genetik. b. Faktor psikologis Motivasi yang muncul dari dalam individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu. c. Faktor sosiologis Pengaruh lingkungan yang membawa dampak pada perubahan tingkah laku. Green dan Blanchard (1995) (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2010) menyatakan bahwa ciri-ciri pada seorang waria memang sudah dapat dilihat sejak usia dua sampai empat tahun. Semua perilaku yang ditunjukkan individu, memang merupakan hasil dari dorongan dalam diri mereka tanpa ada paksaan yang benar-benar mengubah mereka secara utuh. Perilaku dan gaya yang ditunjukan bersifat menetap dan tidak berubah-ubah. 20 II. 2 Motivasi Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Wlodkowski (dalam Santoso, 2010) menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut. Motivasi menjadi salah satu kekuatan seseorang untuk memperoleh kesuksesan. Motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek motivasi. Ketiga hal tersebut adalah keadaan yang mendorong tingkah laku, tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut, dan tujuan tingkah laku tersebut (Morgan dalam Santoso, 2010)Gerungan (dalam Santoso, 2010) menyatakan motif merupakan suatu pengertian yang meliputi semua penggerak, alasan-alasan dan dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Menurut Cofer (dalam Santoso, 2010) ada tiga aspek di dalam motivasi, yaitu 1. Arah tingkah laku. Setiap tingkah laku memiliki tujuan yang ingin dicapai. 2. Keteguhan individu dalam menampilkan kegiatan yang berkaitan dengan tujuan. 3. Tingkat keteguhan yang menjadi ciri langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dari beberapa pengertian ilmuan, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah semua dorongan yang muncul dalam diri manusia yang mempengaruhi segala tingkah laku dan berdasarkan pada pencapaian tujuan dari setiap individu. 21 II. 2. 1 Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (dalam Santoso, 2010) mengemukakan bahwa kebutuhan dan kepuasaan seseorang itu jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa material dan nonmaterial. Menurut Maslow setiap manusia memiliki empat dasar prinsip yang membentuk kebutuhan. Empat dasar tersebut adalah 1. Manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan. Dalam diri setiap manusia selalu memiliki keinginan-keinginan yang harus dicapai. Keinginan pada setiap individu berbedabeda, secara tidak langsung keinginan-keinginan ini membentuk suatu dorongan dalam diri seseorang untuk berperilaku dalam rangka mencapai tujuan tersebut. 2. Kebutuhan manusia tampak tertata dalam kebutuhan yang bertingkat-tingkat. (Manusia selalu menginginkan lebih banyak. Keinginan ini terus menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya tiba). 3. Bila salah satu kebutuhan terpenuhi, kebutuhan lain akan muncul. (Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi pelakunya). 4. Kebutuhan yang telah terpenuhi tidak mempunyai pengaruh, dan kebutuhan lain yang lebih tinggi menjadi dominan. (Hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi). Menurut Maslow manusia memiliki lima macam kebutuhan yaitu 1. Kebutuhan Fisik 22 Kebutuhan fisik=biologis (Physiological Needs) yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan kondisi tubuh dan diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan, minum, seks, udara, perumahan dan lain-lainnya. 2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan (Safety and Security needs) adalah kebutuhan akan keamanan dari ancaman, kebutuhan ini lebih bersifat psikologis individu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat berbentuk perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban dari masyarkat dan jaminan keamanan. Setiap individu selalu berusaha untuk mendapatkan rasa aman dalam hidupnya khususnya rasa aman dalam lingkungan sosial. seseorang harus dapat memenuhi semua kebutuhan pada tahap ini selum menuju kepada tahapan pemenuhan kebutuhan akan rasa penerimaan diri. 3. Kebutuhan Afiliasi atau Penerimaan Kebutuhan Afiliasi atau Penerimaan (Affiliation or Acceptance Needs) adalah kebutuhan sosial, kebutuhan yang lebih cenderung bersifat psikologis dan berkaitan dengan kebutuhan lain. Rasa dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan di lingkungan menjadi kunci utama dalam tahapan ini. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial,mahluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Oleh sebab itu penerimaan diri dari masyarakat secara tidak langsung menjadi 23 kebutuhan utama yang harus dipenuhi dalam setiap kehidupan individu. 4. Kebutuhan Penghargaan Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) adalah kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestise dari masyarakat lingkungannya. Prestise dan status dimanifestasikan oleh banyak hal yang digunakan sebagai simbol status. Pengghargaan diberikan masyarakat sesuai dengan prilaku dan kedudukan dimana kita berada. Seseorang harus dapat memberikan penghargaan terhadap orang lain. Pengahargaan disini lebih bersifat pengakuan akan kehadiran diri dalam lingkungan masyarakat sosial. namun tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhan ini. untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dalam masyarakat individu hendaknya dapat memberikan dan menunjukan perilaku yang sesuai dengn norma dan aturan yang ada dalam masyarakat. 5. Aktualisasi Diri Aktualisasi Diri (Self Actualization) adalah kebutuhan paling akhir dari lima tahapan kebutuhan maslow, kebutuhan aktualisasi diri merupakan gabungan dari kecakapan, kemampuan, keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain. Kebijaksanaan menjadi tujuan akhir dalam menjalani kehidupan ini dan pada tahapan aktualisasi individu dituntut untuk dapat berpikir, menyeimbangkan dan menggunakan segala potensi 24 yang dimiliki untuk mendapatkan suatu makna hidup yang sebenarnya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tertinggi dari individu. Kebutuhan ini memiliki perbedan dengan kebutuhan lain dalam dua hal, yaitu a. Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipenuhi dari luar. Pemenuhannya hanya berdasarkan keinginan atas usaha individu itu sendiri. b. Aktualisasi diri berhubungan dengan pertumbuhan seorang individu. Kebutuhan ini berlangsung terusmenerus terutama sejalan dengan meningkatkan pengalaman seorang individu.