6 BAB II LANDASAN TEORI II. 1 Waria (Transeksual)

advertisement
6 BAB II
LANDASAN TEORI
II. 1 Waria (Transeksual)
II.1. 1 Sejarah Waria
Tidak pernah terdapat suatu catatan pasti mengenai kapan tepatnya
penyimpangan identitas jender ini terjadi. Penyimpangan identitas jender dan
hubungan sesama jenis sudah sering dibahas di dalam kitab suci dan cerita
sejarah. Dalam kitab suci Al-Quran, pernah disinggung tentang suatu kaum
homoseksual tepatnya pada zaman nabi Luth a.s. Sejatinya Allah S.W.T
hanya menciptakan lelaki dan perempuan sebagai pasangan. Ini dibuktikan
dengan adanya ayat – ayat yang terdapat di dalam Al-Quran (Zuhdi, M.
1996).
Al Quran An Najm: 45
“Dan Dia (Allah) menciptakan dua pasang dari dua jenis laki-laki dan
perempuan”. (Qs An Najm: 45).
Al Quran Alhujarat: 13
“Wahai manusia Kami menciptakan kamu yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan”. (Qs Al Hujurat: 13).
Al Quran An Naml: 55
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu),
bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak
mengetahui (akibat perbuatanmu)”. (QS. 27:55).
7 Al Quran Al A’raaf: 81
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas”. (QS. 7:81).
Al Quran Al ‘Ankabuut: Ayat 28
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya
kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu”. (QS.
29:28).
Tidak hanya agama Islam yang melarang adanya hubungan sesama
jenis, namun dalam agama lain seperti Kristen, terdapat juga larangan
mengenai hubungan sesama jenis. Hal ini diperkuat dengan adanya
beberapa ayat di dalam Alkitab yang menyebutkan bahwa homoseksualitas
adalah dosa dan kekejian di mata Allah (Pandangan Alkitab Tentang
Homoseksual, Gay, dan Lesbian, 2010).
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka
akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka…
kepada
hawa
nafsu
yang
memalukan,
sebab
isteri-isteri
mereka
menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian
juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri
mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang
lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki
…”. (Roma 1:24-27).
8 “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh
dengan perempuan, karena itu suatu kekejian”. (Imamat 18:22)
“Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh
dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian …” (Imamat
20:13).
“… sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang
dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasankepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai
peringatan kepada semua orang. Namun demikian orang-orang yang
bermimpi-mimpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina
kekuasaan Allah serta menghujat semua yang mulia di sorga”. (Yudas 1:7-8).
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak
akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang
cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri,
orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian
dalam Kerajaan Allah”. (1 Korintus 6:9-10).
Di dalam pandangan agama Buddha tidak terdapat larangan
mengenai adanya hubungan sesama jenis, walaupun dianggap sebagai
salah satu bentuk penyimpangan seksual. Hubungan sesama jenis dalam
agama Buddha sering terjadi antara guru dan murid, baik terang-terangan
maupun sembunyi-sembunyi (Parrinder, 2004). Dalam organisasi agama
Buddha (DhammaCitta) dijelaskan bahwa Buddha-Dhamma tidak pernah
menganjurkan untuk mengucilkan apalagi melenyapkan keberadaan kaum
homoseksual dalam kehidupan bermasyarakat. Agama Buddha memandang
homoseksual sebagai salah satu bentuk kehausan terhadap kenikmatan
9 (kama-tanha) semata, karena mereka tidak menyalahi atau berdosa kepada
siapapun juga, mereka hanya berhubungan dengan pribadi dan karmanya
sendiri. Agama Buddha mengenal istilah pandaka untuk menunjuk waria dan
kaum homoseks lainnya, yaitu seorang pria yang tidak berperilaku maskulin
dan seorang wanita yang tidak berperilaku feminin. Menurut BuddhaDhamma, menjadi pandaka adalah karma akibat perzinahan atau perbuatan
seks yang tidak baik atau benar di kehidupan yang lampau (Thig. 436-7).
Di dalam Hindu, waria atau homoseksual masih menjadi perdebatan
sampai saat ini. Beberapa kalangan Hindu menganggap bahwa homoseksual
merupakan perbuatan yang tidak menyalahi aturan agama. Hal ini
didasarkan pada tidak pernah ditemukannya satu ayat pun dalam teks-teks
suci Hindu yang melarang adanya homoseksual. Kontras, beberapa
kalangan Hindu lainnya menganggap bahwa cinta yang sesungguhnya
hanyalah antara pria dan wanita, sedangkan cinta antara sesama jenis
hanyalah sebatas pemuasan nafsu belaka sehingga dianggap salah (Vanita
& Kidwai, 2000).
Istilah homo atau homoseksual diciptakan pertama kali oleh Dr K.M
Kertbeny pada tahun 1869. Kata homo berasal dari kata Yunani yang berarti
sama, dan kata seks yang memiliki arti jenis kelamin. Istilah ini merujuk
kepada ketertarikan seseorang terhadap sesama jenisnya. Pada tahun 1920
muncul komunitas homo seksual di kota besar Hindia-Belanda (Juliana,
2008).
Pada tahun 1969, berlangsung pertikaian antara waria dan gay
dengan polisi yang dikenal dengan istilah huru-hara Stonewall, yang terjadi di
New York, Amerika. Kejadian tersebut menjadi langkah awal bagi waria dan
10 gay dalam mempublikasikan keberadaan mereka. Pada tahun yang sama,
mulai muncul organisasi waria yang bernama Himpunan Wadam Djakarta
(HIWAD). Organisasi tersebut merupakan organisasi waria pertama di
Indonesia yang terletak di Jakarta. Organisasi difasilitasi oleh Ali Sadikin,
Gubernur DKI Jakarta Raya. Yayasan atau organisasai waria semakin
banyak di Indonesia dari tahun ke tahun. Di Jakarta sendiri, terdapat Forum
Komunikasi Waria (FKW) dan Yayasan Srikandi Sejati (YSS), di Malang,
terdapat Ikatan Waria Kota Malang (IWAMA), dan di Semarang, Yayasan
Tiara Bangsa, Persatuan Hidup Baru Dalam Kasih (PHBK), dan Persatuan
Waria Kota Semarang (PERWARIS) (Juliana, 2008).
II. 1. 2 Pengertian Waria (Transeksual)
Koeswinarno (2005) mengatakan bahwa transeksual ialah gejala
merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Sue
(1986) mengatakan bahwa transeksual ialah seseorang yang merasa
memiliki kelamin yang berlawanan dimana terdapat pertentangan antara
identitas jenis kelamin dan jenis kelamin biologisnya.
Transeksual dapat terlihat pada usia muda. Biasanya hal ini
ditunjukkan dengan adanya perselisihan dalam peran jenis kelamin. Laki-laki
yang menunjukkan dan lebih tertarik untuk bergaya feminism seperti lawan
jenisnya. Mereka lebih sering bermain dengan perempuan dibandingkan
dengan laki-laki (Supratiknya, 1995).
Bastaman, Amir, Idris, dan Wiguna (2004) mengatakan transeksual
merupakan keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok
lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak sesuai
11 dengan jenis kelamin anatomisnya, dan menginginkan untuk membedah
jenis kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan
mungkin dengan jenis kelamin.
Menurut Kartono (2005) transeksual ialah gejala merasa memiliki
seksualitas
berlawanan
dengan
struktur
fisiknya.
Puspitosari
(2005)
mendefinisikan transeksual sebagai seseorang yang secara jasmaniah jenis
kelaminnya laki-laki namun secara psikis cenderung wanita.
Waria merupakan kependekan dari wanita pria, atau yang lebih lazim
dikenal banci alias bencong. Waria adalah pria yang jiwa dan tingkah lakunya
seperti wanita Dari definisi - definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wanita
pria waria (transeksual) adalah suatu Gangguan pada diri seseorang di mana
seseorang tersebut merasa tidak nyaman atau tidak puas dengan keadaan
jenis kelaminnya, sehingga untuk mencapai suatu kepuasan, penderita
melakukan perubahan sesuai dengan yang dia inginkan (pria-wanita) baik
dalam bentuk perilaku maupun secara fisik.
II. 1. 3 Jenis Waria
Menurut Atmojo (dalam Nadia, 2005), membagi jenis-jenis waria
sebagai berikut
1. Transeksual aseksual, adalah seorang transekual yang tidak
berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
2. Transeksual homoseksual, adalah seorang transeksual yang
memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama
sebelum ia sampai ketahap transeksual murni
12 3. Transeksual heterogen, adalah seseorang transeksual yang
pernah menjalani kehidupan heterogen sebelumnnya, misalnya
pernikahan.
II. 1. 4 Ciri-ciri Waria
Dalam DSM-IV-TR, waria dianggap memiliki gangguan identitas
jender (Gender Identity Disorder), transeksual, memiliki karakteristik sebagai
berikut
1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis.
2. Pada anak-anak, terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu
a. Berulang kali menyatakan keinginan atau memaksakan diri
untuk menjadi lawan jenis.
b. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis.
c. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau
berfantasi menjadi lawan jenis terus-menerus.
d. Lebih suka melakukan permainan lawan jenis.
e. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis.
3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan
untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis,
ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa
emosinya adalah tipikal lawan jenis.
4. Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin
biologisnya atau rasa terasin dari peran jender jenis kelamin
tersebut.
13 a. Pada
anak-anak,
terwujud
dalam
salah
satu
hal
diantaranya, pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya
dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya
waktu, tidak menyukai permainan sterotip anak laki-laki.
Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil
dengan cara duduk, yakin bahwa penis akan tumbuh,
merasa tidak suka dengan payudara yang besar dan
mestruasi, merasa benci dan tidak suka terhadap pakaian
perempuan yang konvensional.
b. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah
satu hal diataranya, keinginan kuat untuk menghilangkan
karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian
hormon atau operasi, yakin bahwa dia dilahirkan dengan
jenis kelamin yang salah.
5. Tidak sama dengan kondisi fisik antar jenis kelamin.
6. Menyebabkan distress dalam fungsi sosial dan pekerjaan
(Davidson, Neale, & Kring, 2010).
Menurut Maslim (2002) seseorang dapat dikatakan sebagai seorang
waria jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut
1.
Identitas transeksual harus sudah menetap selama minimal dua
tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain
seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik
atau kromosom.
14 2.
Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari
kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak
serasi dengan anatomi seksualnya.
3.
Adanya
keinginan
untuk
mendapatkan
terapi
hormonal
dan
pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis
kelamin yang diinginkan.
Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran
jenis, menurut Tjahjono (1995), yaitu
1. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara berkelanjutan.
2. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan
jenisnya.
3. Minat-minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya.
4. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya.
5.
Perilaku
individu
yang
terganggu
peran
jenisnya
seringkali
menyebabkan ia ditolak di lingkungannya.
6. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya.
15 II. 1. 5 Faktor-faktor pembentukan diri waria
II.1.5.1 Faktor Biologis
Puspitosari dan Pujileksono (2005) mengatakan bahwa faktor-faktor
terjadinya transeksual adalah disebabkan oleh faktor biologis yang
dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik seseorang. Hermaya (dalam
Nadia, 2005) berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologi
dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu
a). Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, ada yang
berfenotip pria dan ada pula yang berfenotip wanita. Pada pria dapat
kelebihan kromosom X. bisa XXY, atau bahkan XXYY atau XXXYY.
Diduga penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom
seks pada saat meiosis (pembelahan sel) yang pertama dan kedua.
Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh terhadap
proses reproduksi. Artinya, bahwa semakin tua seorang ibu, maka
akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan sebagai
akibatnya, semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks
pada anaknya.
b). Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Moertiko (dalam
Nadia, 2005) mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis
besar kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam
kandungan ibu. Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis, yaitu
a). Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai
sel
wanita
tetapi
secara
fisik
ia
adalah
pria.
Testisnya
mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak
16 dewasa,
payudaranya
membesar
sedangkan
kumis
dan
jenggotnya berkurang.
b). Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar.
Tubuhnya mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad
(alat yang mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang
dimiliki adalah wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan
payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami haid.
c).
Female-pseudohermaprodite.
Penderita
ini
pada
dasarnya
memiliki kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan
fisiknya cenderung menjadi pria.
d). Male-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki
kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung
wanita.
II.1.5.2 Faktor Psikologis dan Sosiologis
Nadia
(2005)
menyatakan
bahwa
secara
umum
faktor-faktor
pembentuk waria adalah
1. Susunan kepribadian seseorang dan perkembangan kepribadiannya,
dipengaruhi oleh faktor genetik sejak ia berada dalam kandungan.
2. Menetapnya kebiasaan perilaku yang dianggap menyimpang.
3. Sikap,
pandangan
dan
persepsi
seseorang
terhadap
gejala
penyimpangan perilaku.
4. Seberapa kuat perilaku menyimpang itu berada dalam dirinya dan
dipertahankan.
17 5. Kehadiran perilaku menyimpang lainnya yang biasanya ada secara
paralel.
Ibis (dalam Nadia, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor terjadinya
abnormalitas seksual dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu
1. Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh dorongan
seksual yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan
dengan cara-cara abnormal dalam pemuasaan dorongan seksual.
2. Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan oleh
adanya pasangan seks yang abnormal. Kartono (1989) mengatakan
bahwa sebab utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal
yaitu adanya rasa tidak puas dalam relasi heteroseksual.
Sue (1986) menjabarkan ada enam faktor yang mendukung
terjadinya transeksual
1. Orang tua selalu mendorong anak bertingkah laku seperti wanita.
2. Perhatian dan perlindungan yang berlebihan dari seorang ibu.
3. Tidak adanya kakak laki-laki sebagai contoh.
4. Tidak adanya figur ayah.
5. Kurang mendapatkan teman bermain laki-laki.
6. Dukungan pemakaian pakaian yang menyimpang.
Tjahjono
(1995)
menyatakan
bahwa
faktor-faktor
yang
menyebabkan terjadinya transeksual yaitu
1. Anak laki-laki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode
waktu yang panjang menunjukkan minat-minat, sikap-sikap dan
perilaku feminin.
18 2. Hubungan yang terlalu dekat antara anak dengan orangtua yang
berlawanan dengan jenis kelaminnya. Anak dan orangtua cenderung
memiliki kontak yang sangat intim baik secara fisik maupun secara
psikis. Sehingga anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk
mengidentifikasi orangtua yang sama dengan jenis kelaminnya dan
kurang mengembangkan perilaku-perilaku sesuai dengan peran
jenisnya.
3. Keinginan orangtua terhadap anak dengan jenis kelamin yang lain,
sehingga berusaha menjadikan anak perempuan bersikap seperti
laki-laki yang tidak pernah dimilikinya atau sebaliknya.
4. Seorang ibu yang membenci dan iri terhadap kejantanan bisa
membentuk perilaku yang kurang jantan pada anak laki-lakinya. Ibu
mungkin mengasosiasikan maskulinitas dengan kekerasan fisik dan
agresivitas, penyalahgunaan seksual dan kekasaran. Ia lebih suka
anak laki-lakinya lembut.
5. Pengaruh-pengaruh genetik atau hormonal. Dari perspektif medis,
pada waria ini terdapat kemungkinan disebabkan oleh presdisposisi
hormonal,
hormon
faktor-faktor
endokrin
(kelenjar)
konstitusi
pembawaan, dan beberapa diantaranya basis biologis pada masa
prenatal atau masa di dalam kandungan.
19 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku individu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni
a. Faktor biologis
Kelainan pada diri individu yang disebabkan adanya pengaruh
hormon maupun genetik.
b. Faktor psikologis
Motivasi yang muncul dari dalam individu untuk melakukan suatu
perilaku tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu.
c. Faktor sosiologis
Pengaruh lingkungan yang membawa dampak pada perubahan
tingkah laku.
Green dan Blanchard (1995) (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2010)
menyatakan bahwa ciri-ciri pada seorang waria memang sudah dapat dilihat
sejak usia dua sampai empat tahun. Semua perilaku yang ditunjukkan
individu, memang merupakan hasil dari dorongan dalam diri mereka tanpa
ada paksaan yang benar-benar mengubah mereka secara utuh. Perilaku dan
gaya yang ditunjukan bersifat menetap dan tidak berubah-ubah.
20 II. 2 Motivasi
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk
melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai
rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan
hidup. Wlodkowski (dalam Santoso, 2010) menjelaskan motivasi sebagai suatu
kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi
arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut. Motivasi menjadi
salah satu kekuatan seseorang untuk memperoleh kesuksesan. Motivasi bertalian
dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek motivasi. Ketiga hal
tersebut adalah keadaan yang mendorong tingkah laku, tingkah laku yang didorong
oleh keadaan tersebut, dan tujuan tingkah laku tersebut (Morgan dalam Santoso,
2010)Gerungan (dalam Santoso, 2010) menyatakan motif merupakan suatu
pengertian yang meliputi semua penggerak, alasan-alasan dan dorongan-dorongan
dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Menurut Cofer (dalam
Santoso, 2010) ada tiga aspek di dalam motivasi, yaitu
1. Arah tingkah laku. Setiap tingkah laku memiliki tujuan yang ingin dicapai.
2. Keteguhan individu dalam menampilkan kegiatan yang berkaitan dengan
tujuan.
3. Tingkat keteguhan yang menjadi ciri langkah-langkah untuk mencapai
tujuan.
Dari beberapa pengertian ilmuan, dapat disimpulkan bahwa motivasi
adalah
semua
dorongan
yang
muncul
dalam
diri
manusia
yang
mempengaruhi segala tingkah laku dan berdasarkan pada pencapaian tujuan
dari setiap individu.
21 II. 2. 1 Teori Hirarki Kebutuhan
Maslow (dalam Santoso, 2010) mengemukakan bahwa kebutuhan
dan kepuasaan seseorang itu jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis
berupa material dan nonmaterial.
Menurut Maslow setiap manusia memiliki empat dasar prinsip yang
membentuk kebutuhan. Empat dasar tersebut adalah
1. Manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan.
Dalam diri setiap manusia selalu memiliki keinginan-keinginan
yang harus dicapai. Keinginan pada setiap individu berbedabeda, secara tidak langsung keinginan-keinginan ini membentuk
suatu dorongan dalam diri seseorang untuk berperilaku dalam
rangka mencapai tujuan tersebut.
2. Kebutuhan manusia tampak tertata dalam kebutuhan yang
bertingkat-tingkat. (Manusia selalu menginginkan lebih banyak.
Keinginan ini terus menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya
tiba).
3. Bila salah satu kebutuhan terpenuhi, kebutuhan lain akan
muncul. (Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi
alat motivasi bagi pelakunya).
4. Kebutuhan yang telah terpenuhi tidak mempunyai pengaruh, dan
kebutuhan lain yang lebih tinggi menjadi dominan. (Hanya
kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi).
Menurut Maslow manusia memiliki lima macam kebutuhan yaitu
1. Kebutuhan Fisik
22 Kebutuhan fisik=biologis (Physiological Needs) yaitu kebutuhan
yang berhubungan dengan kondisi tubuh dan diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup seseorang, seperti makan,
minum, seks, udara, perumahan dan lain-lainnya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan (Safety and Security
needs) adalah kebutuhan akan keamanan dari ancaman,
kebutuhan ini lebih bersifat psikologis individu dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dapat berbentuk perlakuan adil, pengakuan
hak dan kewajiban dari masyarkat dan jaminan keamanan. Setiap
individu selalu berusaha untuk mendapatkan rasa aman dalam
hidupnya khususnya rasa aman dalam lingkungan sosial.
seseorang harus dapat memenuhi semua kebutuhan pada tahap
ini selum menuju kepada tahapan pemenuhan kebutuhan akan
rasa penerimaan diri.
3. Kebutuhan Afiliasi atau Penerimaan
Kebutuhan Afiliasi atau Penerimaan (Affiliation or Acceptance
Needs) adalah kebutuhan sosial, kebutuhan yang lebih cenderung
bersifat psikologis dan berkaitan dengan kebutuhan lain. Rasa
dicintai dan mencintai serta diterima dalam pergaulan di
lingkungan menjadi kunci utama dalam tahapan ini. Pada
dasarnya manusia adalah makhluk sosial,mahluk yang selalu
membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Oleh sebab itu
penerimaan diri dari masyarakat secara tidak langsung menjadi
23 kebutuhan utama yang harus dipenuhi dalam setiap kehidupan
individu.
4. Kebutuhan Penghargaan
Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) adalah kebutuhan akan
penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestise dari
masyarakat lingkungannya. Prestise dan status dimanifestasikan
oleh banyak hal yang digunakan sebagai simbol status.
Pengghargaan diberikan masyarakat sesuai dengan prilaku dan
kedudukan
dimana
kita
berada.
Seseorang
harus
dapat
memberikan penghargaan terhadap orang lain. Pengahargaan
disini lebih bersifat pengakuan akan kehadiran diri dalam
lingkungan masyarakat sosial. namun tidak semua orang dapat
memenuhi kebutuhan ini. untuk mendapatkan pengakuan dan
penghargaan dalam masyarakat individu hendaknya dapat
memberikan dan menunjukan perilaku yang sesuai dengn norma
dan aturan yang ada dalam masyarakat.
5. Aktualisasi Diri
Aktualisasi Diri (Self Actualization) adalah kebutuhan paling akhir
dari lima tahapan kebutuhan maslow, kebutuhan aktualisasi diri
merupakan gabungan dari kecakapan, kemampuan, keterampilan,
dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat
memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain.
Kebijaksanaan menjadi tujuan akhir dalam menjalani kehidupan
ini dan pada tahapan aktualisasi individu dituntut untuk dapat
berpikir, menyeimbangkan dan menggunakan segala potensi
24 yang dimiliki untuk mendapatkan suatu makna hidup yang
sebenarnya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tertinggi dari
individu. Kebutuhan ini memiliki perbedan dengan kebutuhan lain
dalam dua hal, yaitu
a. Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipenuhi dari luar.
Pemenuhannya hanya berdasarkan keinginan atas usaha
individu itu sendiri.
b. Aktualisasi
diri
berhubungan
dengan
pertumbuhan
seorang individu. Kebutuhan ini berlangsung terusmenerus
terutama
sejalan
dengan
meningkatkan
pengalaman seorang individu.
Download