Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder et Causa Katarak

advertisement
Monica dan Adityo | Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder Et Causa Katarak Senilis Hipermatur
Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder et Causa Katarak Senilis
Hipermatur
Monica Lauretta, Adityo Wibowo
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2002, penyebab kebutaan paling utama di dunia adalah katarak
(47,8%), glaukoma (12,3%), uveitis (10,2%), degenerasi makular terkait usia (8,7%), trakhoma (3,6%), leukoma (5,1%), dan
retinopati diabetes (4,8%). Sekitar 40% dari penderita glaukoma di Indonesia mengalami kebutaan. Penyakit ini menjadi
penyebab ketiga terjadinya kebutaan di Indonesia dan penyebab kebutaan nomor dua di seluruh dunia dengan jumlah
penderita diperkirakan mencapai 50 juta orang. Pasien seorang wanita usia 65 tahun datang ke poliklinik mata Rumah Sakit
Abdoel Moeloek (RSAM) dengan keluhan mata sebelah kiri terasa nyeri, rasa nyeri terasa seperti menusuk dan menjalar
sampai ke kepala sebelah kiri sejak 2 minggu setelah masuk rumah sakit. Rasa nyeri disertai dengan mata kiri merah,
berair dan terasa silau jika melihat ke arah yang terang. Pasien juga mengeluh kedua matanya kabur sejak 6 bulan yang lalu,
namun sejak 4 bulan ini mata kirinya hanya bisa membedakan gelap dan terang. Dari pemeriksaan status oftalmologis
didapatkan pada okuli sinistra: visus OS 0; pada konjungtiva bulbi didapatkan injeksi konjungtiva; edemaa kornea (+); pupil
bulat, sentral, midriasis (+), reflex cahaya (-); lensa keruh; tekanan intraokuli meningkat per palpasi, sehingga pasien
didiagnosis glaukoma sekunder e.c katarak senilis. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini berupa timolol 0.5% tetes
mata, 2 kali sehari OS; glaukon 250 mg tab, 3 kali sehari; aspar K tab 1 kali sehari; dan dipertimbangkan operasi jika tekanan
intraokular sudah menurun.
Kata kunci: glaukoma, penatalaksanaan, katarak senilis
A 65 Years Old Woman with Secondary Glaucoma et Causa Hypermature
Senile Cataract
Abstract
According to the WHO in 2002, the most important cause of blindness in the world are cataracts (47.8%), glaucoma (12.3%),
uveitis (10.2%), age-related macular degeneration (AMD) (8.7% ), trachoma (3.6%), corneal opacity (5.1%), and diabetic
retinopathy (4.8%). Approximately 40% of patients with glaucoma become blind in Indonesia. Glaucoma is the third cause
of blindness in Indonesia and the number two cause of blindness worldwide by the number of sufferers is estimated at 50
million people. A woman aged 65 years old came to Abdoel Moeloek Hospital complained with left eye pain, felt like a
stabbing pain and spread to the head left from ± 2 weeks after came in to hospital. The pain is accompanied by the left eye
red, watery and glare when looking towards the light. Patients also complained eyes blurred since 6 months ago, but since 4
months left eye can only distinguish between dark and light. From examination ophthalmological status is obtained on the
left oculi: visual acuity OS 0; the conjunctiva bulbi obtained mix injection; corneal edemaa (+); pupil round, central,
mydriasis (+), light reflex (-); cloudy lens; ocular tension increased with palpation, so patients diagnosed secondary
glaucoma ec senile cataract. Management of this patient is given in the form of 0.5% timolol eye drops, 2 times a day OS;
glaukon tab 250 mg, 3 times a day; aspar K tab 1 a day; and considered surgery if intraocular pressure has decreased.
Keywords: glaucoma, management, senile cataract
Korespondensi: Monica Lauretta Sembiring, S.Ked., alamat Pondok Arbenta Jl. Soemantri Brojonegoro LK 001 Rajabasa,
Bandar Lampung, HP 085361601577, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Glaukoma berasal dari kata Yunani
glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil
penderita glaukoma. Kelainan mata glaukoma
ditandai dengan meningkatnya tekanan bola
mata, atrofi saraf optikus, dan menciutnya
lapang pandang. Glaukoma adalah suatu
penyakit dimana tekanan di dalam bola mata
meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada
saraf optikus dan menyebabkan penurunan
fungsi penglihatan.1
Menurut WHO pada tahun 2002,
penyebab kebutaan paling utama di dunia
adalah katarak (47,8%), glaukoma (12,3%),
uveitis (10,2%), degenerasi makular terkait
usia (8,7%), trakhoma (3,6%), leukoma (5,1%),
dan retinopati diabetes (4,8%).
Sekitar 40% dari penderita glaukoma di
Indonesia mengalami kebutaan. Penyakit ini
menjadi penyebab ketiga terjadinya kebutaan
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 118
Monica dan Adityo | Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder Et Causa Katarak Senilis Hipermatur
di Indonesia dan penyebab kebutaan nomor
dua di seluruh dunia dengan jumlah penderita
diperkirakan mencapai 50 juta orang.1
Glaukoma adalah suatu keadaaan di
mana tekanan mata seseorang demikian tinggi
atau tidak normal sehingga mengakibatkan
kerusakan saraf optik dan mengakibatkan
gangguan pada sebagian atau seluruh lapang
pandang atau buta. Glaukoma akan terjadi bila
cairan mata di dalam bola mata pengalirannya
terganggu. Pada mata yang sehat dan normal,
cairan mata ini akan masuk ke dalam bilik
mata dan keluar melalui celah halus atau
trabekulum di daerah apa yang disebut
sebagai sudut bilik mata, yang terletak antara
selaput pelangi dan selaput bening.3-5
Glaukoma dibedakan menjadi glaukoma
primer dan glaukoma sekunder. Glaukoma
primer ialah peningkatan tekanan intraokular
yang tidak disertai adanya suatu kelainan pada
mata. Terdiri dari glaukoma sudut terbuka
(open angle), glaukoma sudut tertutup (angle
closure)
dan
glaukoma
kongenital
(developmental). Glaukoma sekunder ialah
peningkatan tekanan intraokular yang
disebabkan oleh kelainan mata atau kelainan
diluar mata yang menghambat aquos out
flow.6,7
Terdapat beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan glaukoma sekunder, seperti
uveitis, pasca bedah katarak intra atau
ekstrakapsular, pasca tukak perforasi atau
trauma kornea perforasi, hifema, dan
glaukoma yang disebabkan oleh kelainan
lensa. Glaukoma sekunder yang terjadi akibat
katarak senilis adalah salah satu bentuk
glaukoma sekunder yang disebabkan oleh
kelainan lensa. Glaukoma dan katarak yang
ditemukan pada orang berusia lanjut yaitu
sekitar 40 tahun ke atas. Proses kekaburan
lensa mata biasanya dimulai pada mata yang
satu kemudian diikuti mata sebelahnya.
Terjadinya keadaan ini karena suatu
perubahan degenerasi dari pada lensa yang
menyebabkan berkurangnya transparansi
substansi lensa.8
Kasus
Pasien seorang wanita usia 65 tahun
datang ke poliklinik mata RSAM dengan
keluhan mata sebelah kiri terasa nyeri, rasa
nyeri terasa seperti menusuk dan menjalar
sampai ke kepala sebelah kiri sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit (smrs). Rasa nyeri
disertai dengan mata kiri merah, berair dan
terasa silau jika melihat ke arah yang terang.
Tidak ada keluhan mata gatal maupun keluar
kotoran mata yang banyak dan mata tidak
pernah mengalami benturan sebelumnya.
Pasien juga mengeluh kedua matanya kabur
sejak 6 bulan yang lalu, namun sejak 4 bulan
ini mata kirinya hanya bisa membedakan
gelap dan terang. Riwayat pengobatan dan
penggunaan kacamata (-).
Selain pandangan sebelah kiri menjadi
kabur dan nyeri sebelumnya pasien tidak
pernah mengalami keluhan ataupun sakit
mata lainnya. Riwayat hipertensi dan diabetes
mellitus disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan
keadaaan umum: tampak sakit sedang; suhu
36oC; tekanan darah 130/90 mmHg; frekuensi
nadi 90 x/menit; frekuensi nafas 20 x/menit.
Status generalis: Telinga dan hidung dalam
batas normal. Tenggorokan: faring tidak
hiperemis, tonsil T1-T1, tidak terdapat
pembesaran pada kelenjar getah bening di
leher. Regio thoraks : pulmo dan cor dalam
batas normal, Abdomen dalam batas normal.
Ekstermitas superior dalam batas normal.
Status neurologis : Reflek fisiologis normal,
reflek patologis (-).
Dari pemeriksaan status oftalmologis
didapatkan pada okuli sinistra (OS), visus OS
no light perception (NLP); pada konjungtiva
didapatkan injeksi siliar; edemaa kornea (+);
kamera okuli anterior dalam; pupil midriasis,
refleks cahaya (-); lensa keruh; tekanan intra
okuli Schiotz 31,8 mmHg. Pada okuli dekstra
didapatkan: visus okuli dekstra (OD) 6/6; pada
konjungtiva injeksi konjungtiva (-), injeksi silier
(-); edemaa kornea (-); kamera okuli anterior
dangkal; pupil refleks cahaya (+); lensa jernih,
shadow test (-); tekanan intra okuli Schiotz
10,2 mmHg.
Diagnosis pasien adalah glaukoma akut
sekunder e.c fakolitik OS. Dengan diagnosis
banding antara lain glaukoma akut primer OS,
glaukoma akut sekunder e.c fakomorfik,
glaukoma akut sekunder e.c fakoantigenik.
Terapi pada pasien yaitu berupa bed rest dan
terapi medikamentosa yang diberikan antara
lain obat golongan antagonis adrenergic (βblocker) yaitu Timolol 0.5% tetes mata, 2 kali
sehari OS; obat golongan carbonic anydrase
yaitu Tablet glaukon 3x250 mg; serta
penambah kalium yaitu aspar K tab 1 kali
sehari. Pada pasien ini dengan penggunaan
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 119
Monica dan Adityo | Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder Et Causa Katarak Senilis Hipermatur
obat-obatan saja dapat menurunkan tekanan
intraokular, namun mengingat bahwa
penyebab glaukomanya karena adanya
katarak maka operasi katarak perlu
dipertimbangkan.
Pembahasan
Berdasarkan anamnesis didapatkan
keluhan pasien berupa mata kiri merah
disertai rasa nyeri di sekitar mata dan nyeri
kepala.
Gejala yang biasa terjadi pada glaukoma
akut meliputi nyeri, yang merupakan tanda
khas pada serangan akut yang terjadi secara
mendadak dan sangat nyeri pada mata di
sekitar daerah inervasi cabang nervus kranialis
V. Mual, muntah dan lemas, hal ini sering
berhubungan dengan nyeri dan disertai
penurunan visus secara cepat dan progresif,
hiperemesi, fotofobia yang terjadi pada semua
kasus. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan
hiperemis siliar karena injeksi limbal dan
pembuluh konjungtiva, edemaa kornea
dengan vesikel epithelial dan penebalan
struma, bilik mata depan dangkal dengan
kontak iridokorneal perifer, flare dan sel akuos
dapat dilihat setelah edemaa kornea dapat
dikurangi, pupil oval vertikal, tetap pada posisi
semidilatasi dan tidak ada reaksi terhadap
cahaya dan akomodasi, dilatasi pembuluh iris
serta
tekanan
intraokular
sangat
meningkat.9,10,11
Pada pemeriksaan visus didapatkan
2/60 pada mata kanan dan 1/~ pada mata kiri.
Kamera okuli anterior OS tampak dalam
dengan pseudoiris shadow (+), pupil tampak
ireguler, tidak ada reflek pupil terhadap
cahaya. Dari tonometri didapatkan tekanan
intraokuler OD 10,2 mmHg dan OS 31,8
mmHg. Tekanan normal intraokular rata-rata
berkisar 15,5 mmHg (±2,6 mmHg) dan secara
statistik batas atas normal tekanan intraokular
adalah 21 mmHg. Pada pasien ini telah terjadi
kenaikan tekanan intraokular pada OS. Hasil
tersebut mengarahkan diagnosis glaukoma
akut sedangkan lensa berwarna abu-abu
kekuningan menunjukkan adanya kekeruhan
lensa dan riwayat penglihatan yang kabur,
melihat bayangan berkabut serta silau,
merupakan gejala pada katarak.
Seorang pasien dengan katarak senilis
biasanya datang dengan riwayat kemunduran
secara progesif dan gangguan
dari
penglihatan.
Penyimpangan
penglihatan
bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak
ketika pasien datang. Penurunan visus,
merupakan keluhan yang paling sering
dikeluhkan pasien dengan katarak senilis.
Silau, keluhan ini termasuk seluruh spektrum
dari penurunan sensitivitas kontras terhadap
cahaya terang lingkungan atau silau pada
siang hari hingga silau ketika mendekat ke
lampu pada malam hari.
Perubahan miopik, progesifitas katarak
sering meningkatkan kekuatan dioptrik lensa
yang menimbulkan myopia derajat sedang
hingga berat. Sebagai akibatnya, pasien
presbiop melaporkan peningkatan penglihatan
dekat mereka dan kurang membutuhkan kaca
mata baca, keadaan ini disebut dengan second
sight.
Secara khas, perubahan miopik dan
second sight tidak terlihat pada katarak
subkortikal posterior atau anterior. Diplopia
monokular,
kadang-kadang,
perubahan
nuklear yang terkonsentrasi pada bagian
dalam lapisan lensa, menghasilkan area
refraktil pada bagian tengah dari lensa, yang
sering memberikan gambaran terbaik pada
reflek merah dengan retinoskopi atau
ophthalmoskopi langsung. Fenomena seperti
ini menimbulkan diplopia monokular yang
tidak dapat dikoreksi dengan kacamata,
prisma, atau lensa kontak. Noda, berkabut
pada lapangan pandang. Serta ukuran kaca
mata sering berubah.7,12-14
Katarak senilis adalah jenis katarak yang
paling banyak ditemukan (±90%) dibandingkan
dengan katarak-katarak lain. Secara klinik
dikenal empat stadium katarak senilis, yaitu
Insipien, Imatur, Matur, dan Hipermatur.
Glaukoma sekunder yang terjadi akibat
katarak senilis ini terjadi bersama-sama
dengan kelainan lensa pada stadium imatur
/intumesen dimana lensa yang degeneratif
mulai menyerap cairan mata ke dalam lensa
sehingga lensa menjadi cembung. Kemudian
terjadi pembengkakan lensa yang disebut
sebagai katarak intumesen. Akibat lensa yang
bengkak, iris terdorong ke depan, bilik mata
dangkal, dan sudut bilik mata akan sempit
atau tertutup, sehingga timbul glaukoma
sekunder
yang
dinamakan
glaukoma
fakomorfik.
Pada stadium hipermatur terjadi proses
degenerasi lanjut lensa dan korteks lensa
(katarak morgagni). Terjadi juga degenerasi
kapsul lensa sehingga bahan lensa ataupun
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 120
Monica dan Adityo | Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder Et Causa Katarak Senilis Hipermatur
korteks lensa yang cair akan keluar dan masuk
kedalam bilik mata depan. Akibat bahan lensa
yang keluar dari kapsul, maka akan timbul
reaksi peradangan pada jaringan uvea berupa
uveitis, yang dapat menimbulkan glaukoma
fokotoksik. Bahan lensa ini juga dapat
menutup jalan keluar cairan bilik mata
sehingga timbul glaukoma fakolitik. Banyak
penderita katarak senilis yang dengan alasan
takut ataupun kurang biaya tidak mau
dioperasi.
Hal ini akhirnya dapat menyebabkan
penderita katarak senilis tersebut menderita
glaukoma sekunder, dan bila dibiarkan terus
perlangsungannya
maka
akan
terjadi
3, 8
kebutaan.
Pada pasien ini didiagnosis OS glaukoma
sekunder et causa katarak hipermatur.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang.
Katarak hipermatur merupakan stadium
terakhir dari katarak senile. Pada katarak
hipermatur telah terjadi proses degenerasi
lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair
dan dapat keluar melalui kapsul lensa. Lensa
mengkerut dan berwarna kuning. Akibat
pengkeriputan lensa dan mencairnya korteks,
nukleus tenggelam ke arah bawah (katarak
Morgagni).
Lensa
yang
mengecil
menyebabkan bilik lensa menjadi dalam. Uji
bayangan iris pseudopositif. Akibat masa lensa
yang
keluar
melalui
kapsul
lensa
menyebabkan terjadinya reaksi peradangan di
bilik mata depan, anyaman trabekular menjadi
edemaa dan tersumbat oleh protein-protein
lensa sehingga menimbulkan penyulit berupa
glaukoma fakolitik dan uveitis fakotoksik.9
Terapi medikamentosa yang diberikan
pada pasien ini antara lain Timolol/Betaxolol
0.5% tetes mata, 2 kali sehari OS; tablet
glaukon yang mengandung acetazolamide
3x250 mg tab sehari; serta Aspar K tab 1 kali
sehari.
Tetes mata Timolol 0,5% merupakan
obat golongan antagonis adrenergic (βblocker) yang bekerja menurunkan produksi
humour aqueous pada badan silier sehingga
menurunkan tekanan intraokular. Sementara
itu, glaukon mengandung asetazolamid
merupakan golongan carbonic anhydrase yang
berkerja dengan cara mengurangi cara
mengurangi akumulasi bikarbonat sehingga
mengurangi influx natrium dan cairan.
Golongan carbonic anhydrase inhibitor
menurunkan tekanan intraokular sebesar 16 %
- 22 %.15,16,17
Pemberian tetes mata Timolol 0,5% (βblocker) dan glaukon (carbonic anhydrase
inhibitor) diharapkan mampu menurunkan
tekanan intraokular lebih besar dibandingkan
pemberian terapi tunggal. Karena menurut
studi di Amerika serikat membandingkan
Timolol maleat sebagai terapi tunggal dan
terapi kombinasi Timolol maleat 0,5 % dorzolamide (golongan carbonic anhydrase
inhibitor). Diperoleh hasil bahwa penurunan
tekanan intraokular 32,7 % vs 22,6 % dengan
kombinasi dosis 2 kali sehari dan Timolol 2 kali
sehari.18f
Glaukon merupakan diuretik yang
menyebabkan efek samping gangguan
elektrolit dan hipokalemia, sehingga perlu
diberikan elektrolit berupa Aspar K (yang
berisi kalium aspartat).18 Pada pasien ini
dengan penggunaan obat-obatan saja dapat
menurunkan tekanan intraokular, namun
mengingat bahwa penyebab glaukomanya
karena adanya katarak maka operasi katarak
perlu dipertimbangkan.
Terapi kausatif pada glaukoma fakolitik
adalah menurunkan TIO dengan cara
menghilangkan penyebabnya yaitu katarak.
Katarak dapat dihilangkan dengan tindakan
bedah
berupa
extracapsular
cataract
extraction (ECCE) serta dilakukan pemasangan
lensa tanam untuk mendapatkan visus yang
lebih baik. Bila glaukoma fakolitik terjadi
akibat dislokasi lensa ke dalam rongga
vitreous, maka tindakan bedah yang dilakukan
adalah pars plana vitrectomy dengan
pemindahan lensa dari dalam rongga vitreous.
19,20,21
Tindakan ekstraksi katarak untuk
glaukoma fakolitik, yaitu intra capsuler
cataract extraction, extracapsuler cataract
extraction,
small
incision
cataract
19,22
surgery/SICS, fakoemulsifikasi.
Apapun teknik operasi yang digunakan
saat melakukan ekstraksi katarak pada
penderita glaukoma fakolitik, hal penting yang
harus dilakukan adalah irigasi yang adekuat
untuk mengeluarkan semua material lensa
yang berada di bilik mata depan sehingga
peningkatan tekanan intraokular setelah
operasi dapat dihindari.19
Sebelum pembedahan, TIO dan
inflamasi harus dikurangi dengan terapi medis,
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 121
Monica dan Adityo | Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder Et Causa Katarak Senilis Hipermatur
termasuk agen hiperosmosis, agen adrenergik
topikal, carbonic anhidrase inhibitor, obat
sikloplegik, dan kortikosteroid topikal. Bila TIO
sudah turun 30 mmHg, dapat dilakukan
pembedahan ekstraksi katarak. Pemeriksaan
mikroskopik
lensa
yang
diekstraksi
menunjukkan karakteristik kristal kalsium
oksalat. 23,24
Kapsul lensa cukup rapuh, sehingga
iridektomi sektoral dan α-kimotripsin dapat
digunakan. Jika kapsul ruptur selama
pembedahan, ruang anterior harus diirigasi
untuk mengeluarkan protein sisa. Pada pasien
dengan kondisi ini, ahli bedah menggunakan
ekstraksi katarak
ekstrakapsular yang
memberikan hasil yang baik.23
Oleh karena kerapuhan zonula dan
kapsul heksis kapsul anterior dapat dilakukan
dengan vannas scissors atau beberapa
peralatan lainnya yang meminimalisasi stress
zonula dan kapsul. Pengeluaran lensa dan
aspirasi korteks lensa juga dilakukan dengan
teknik yang lebih rumit. Pada kasus-kasus yang
berhasil, penempatan lensa introkular ruang
posterior dapat dilakukan dan memberikan
hasil yang baik.23
Jika glaukoma fakolitik disebabkan
oleh dislokasi lensa, lensa sebaiknya
dikeluarkan dengan instrumen vitrektomi.
Kadang-kadang lensa yang terdislokasi dapat
terapung di ruang anterior dengan irigasi
cairan dan kemudian dikeluarkan melalui insisi
limbus. Pada situasi yang jarang di mana
glaukoma fakolitik disebabkan oleh katarak
imatur dan mata memiliki penglihatan yang
masih baik, terapi dilakukan dengan
mengontrol TIO dan inflamasi dengan obatobatan. Jika gagal, lensa harus dikeluarkan.24
Tindakan
operatif
dapat
dipertimbangkan jika tekanan intraokular
sudah menurun. Tindakan operatif yang dapat
dilakukan pada glaukoma antara lain bedah
laser dan bedah insisi (iridektomi dan
trabekulektomi). Iridektomi merupakan eksisi
bedah satu sektor iris untuk membuat
hubungan langsung antara bilik mata depan
dan belakang, biasanya dilakukan pada
blokade pada glaukoma sudut tertutup.
Trabekulektomi adalah prosedur yang paling
sering digunakan untuk memintas saluransaluran drainase normal sehingga terbentuk
akses langsung aqueous humor dari bilik mata
depan ke jaringan subkonjungtiva dan orbita.
Penanaman selang silikon untuk membentuk
saluran keluar permanen bagi aqueous humor
adalah tindakan alternatif untuk mata yang
tampaknya tidak berespons terhadap
trabekulektomi, atau yang dikenal juga
dengan Glaucoma Drainage Implant. 3,25,26
Simpulan
Dua penyebab utama kebutaan di dunia
adalah glaukoma dan katarak. Glaukoma
sekunder dapat disebabkan oleh katarak, yang
disebut juga glaukoma fakomorfik, fakolitik
dan fakotoksik. Penatalaksanaan terutama
untuk menurunkan tekanan intraokular
dengan zat hiperosmotik, karbonik anhidrase
inhibitor, penghambat adrenergik beta dan
miotik serta tindakan operatif.
Daftar Pustaka
1. Ilyas S. Glaukoma Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia; 2001. hlm. 33-9
2. World Health Organization. Global Data
on Visual Impairment in the year 2002.
(diakses 1 Mei 2014) Tersedia dari:
http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_019
9-3532637/Global-data-on-visualimpairment.html
3. Vaugan GD, Asbury T, Eva RP.
Oftalmologi Umum Edisi ke-14. Jakarta:
Widya Medika; 2000. hlm. 401-6.
4. Goldberg I. Definition of Terms: Primary
Open Angle Glaucoma (POAG). Sydney: In
Asia Pasific Glaucoma Guidelines South
East Asia Glaucoma Interest Group; 2003.
hlm. 89-90.
5. Langston DP. Glaucoma in Manual of
Ocular Diagnosis and Therapy, Fourth
Edition. Boston: 2003. hlm. 229-31.
6. Khurana AK. Glaucoma in Ophthamology.
Fourth Edition, Chapter 20. New Delhi:
New Age International Limited Publisher;
2007. hlm. 205-40.
7. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata.
Cetakan Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
hlm. 33-5
8. Dwi AT, Saerang, Laya MR. Profil
Glaukoma Sekunder Akibat Katarak
Senilis Pre Operasi di RSUP. Prof. DR. R.
D. Kandou Manado Periode Januari 2011Desember 2011. J e-Bomed. 2011;
1(1):59-63.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 122
Monica dan Adityo | Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder Et Causa Katarak Senilis Hipermatur
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Kansky JJ. Acute Angle Closure Glaucoma
in Clinical Ophthalmology A Systemic
Approach. Sixth Edition. ButterworthHeinemann Elsevier; 2005. hlm. 391-7.
American Academy Of Ophthalmology:
Surgery of Angle Closure Glaucoma in
Basic and Clinical Science Course. Section
10. 2005. hlm. 197-200.
Becker S. Angle-Closure Glaucoma With
Pupillary Block. Chapter 15 in Diagnosis
and Therapy of the Glaucomas, Seventh
Edition, Mosby. 1999. hlm. 217-41.
Zorab AR, Straus H, Dondrea LC, Arturo C,
Mordic R, Tanaka S, et all. Lens and
Cataract. Chapter 5 Pathology. Section
11. San Francisco: American Academy of
Oftalmology; 2005. hlm. 45-69.
Wijana, Nana SD. Ilmu Penyakit Mata.
Cetakan ke-6. Jakarta: Abadi Tegal; 1993.
hlm. 55-60
Lang, Gerhard K. Ophthalmology, A short
Textbook. New York: Thieme Stuttgart;
2000. hlm. 13-5.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-3.
Jakarta:
Balai
Penerbit
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
hlm. 44-50.
George A, Cioffi MD. 2011-2012 Basic
and Clinical Science Course, Section 10:
Glaucoma. Edisi Ke-1. USA: American
Academy of Ophthalmology; 2011.
Salmon JP. Glaukoma. Dalam: Eva PR,
Whitcher JP. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC; 2012.
hlm. 212-28.
Lang GK. Glaucoma. Dalam: Lang GK.
Ophthalmology. New York: Thieme
Stuttgart, 2000. hlm.167, 233-50.
Stamper RL. Becker-Shaffer’s Diagnosis
and Therapy of the Glaucomas. 8th ed.
China: St Louis Mosby Elsevier; 2008.
hlm. 103-9.
Jackson TL. Moorfields Manual of
Ophthalmology. China: Mosby Elsevier;
2008. hlm. 311-2
Netland P. Glaukoma Medical Therapy.
2nd Ed. Madison Avenue, New York:
Oxford University Press; 2008. hlm. 5563, 123-46.
Tingey D, Bernard LM, Grima DT, Miller B,
Lam A. Intraocular pressure control and
persistence on treatment in glaucoma
and ocular hypertension. Can J
Ophthalmol. 2005; 40(2):161-9.
23. Optometric Glaukoma Society. Review of
optometry: The Glaucoma Handbook.
Pfizer Ophthalmics; 2007. hlm. 1-16.
24. Japan Glaucoma society. Guidelines for
Glaucoma Edisi Ke-2. Tokyo: Japan
society; 2006.
25. Ruthanne BS, Duane`s, Primary AngleClosure Glaucoma, Chapter 13-21, in
Clinical Ophthalmology, Volume 3. Edisi
Revisi. 2004.
26. Lim A. Acute Primary Closed Angle
Glaucoma Mayor Global Blending
Problem in Acute Glaucoma. Singapore
University Press: University of Singapore;
2002.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 123
Download