5 - Repository Unja

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut konstitusi, Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum
(Rechstaat), tidak bersifat absolutisme/kekuasaan yang tidak terbatas (machtsstaat).
Penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal
yaitu: (1) teori Rechstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia,
adanya trias politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya
peradilan administratif;dan (2) teori rule of law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang
bersumber pada hak-hak asasi manusia,adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang
dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya1.
Menurut Jimly Asshidiqie,” The International Comission Of Jurist” prinsip-prinsip
negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
(independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang masih dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut “the international
cominission of jurist” itu adalah (1) negara harus tunduk pada hukum. (2) pemerintah
menghormati hak-hak individu . (3) peradilan bebas tidak memihak.
Mempertegas penjelasan diatas bahwa Indonesia adalah negara hukum teruang dalam
pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang mempunyai makna bahwa seluruh aspek, kegiatan maupun
tingkah laku manusia diatur oleh hukum yang berlaku bagi setiap warga negara Republik
Indonesia. Hukum memberikan tolok ukur mengenai baik dan buruk segala sesuatu yang
hendak dilakukan oleh subjek hukum yakni mereka yang memangku hak dan kewajiban
tersebut.
Dalam berbagai tafsiran “negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan
tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”. Prinsip ini telah berlangsung
sejak tahun 1945 dimana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai
1
Budiman Sinaga,Putusan MK:Putusan Hukum Diantara Putusan Politik, Jurnal Konstitusi,Vol.III,No.1,
Juni 2010
1
pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri republik (Founding Futher) pernyataan
tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam penjelasan Undang-undang dasar 1945, telah
dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai
macam peraturan perundang –undangan yang berkaitan dengan hukum2.
Ketika kita sudah mengikrarkan diri menjadi sebuah negara yang diikat oleh tatanan
aturan hukum sudah seyogyanya segala perbuatan berorientasi pada tujuan hukum yakni
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun cita-cita luhur tersebut tidaklah
sesuai dengan harapan apabila masih banyak kita temukan di lapangan adanya kesenjangan
antara hukum yang dicita-citakan dengan kenyataan. Hukum yang ada belum mampu
memberikan keadilan bagi segelintir orang yang merupakan bagian dari warga negara hukum
itu sendiri yakni Indonesia.
Hukum yang dibuat oleh penguasa negara harus mampu mengatur seluruh aspek
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam aspek politik. Kekuasaan identik
dengan politik atau setidaknya karena politik selalu bertujuan untuk mencapai kekuasaan.
Pasang surut hubungan hukum dan kekuasaan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
telah menunjukan betapa menguatnya salah satu aspek dan melemahnya aspek yang lain
sangat dipengaruhi oleh Political Will pemerintah dari periode ke periode. Itulah sebabnya,
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia senantiasa terjadi perubahan hukum termasuk
perubahan Undang-Undang Dasar, seiring dengan perubahan politik atau kekuasaan3.
Sebagaimana hubungan-hubungan lain yang terjadi di masyarakat, dalam suatu
hubungan kekuasaan (Power Relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak
lain. Dalam hubungan kekuasaan selalu ada hubungan tidak seimbang atau asimetris.
Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency). Jika lebih
timpang hubungan ini akan lebih besar pula sifat ketergantungannya. Hubungan yang tidak
seimbang ini tidak hanya dapat terjadi diantara beberapa pemegang kekuasaan melainkan
antara kekuasaan dengan bukan kekuasaan seperti hukum4.
2
Musri Nauli, Negara Hukum Dan Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Menurut UUD 1945, Jurnal
Konstitusi,Vol.I,No.1, November 2012
3
Dahlan Thaib,”Menegakkan Prinsip-Prinsip Supremasi Hukum. Analisis Dan Tinjauan Aspek
Ketatanegaraan”. Dalam Dahlan Thaib Dan Mila Karmila Adi , Hukum dan Kekuasaan , (Yogyakarta,1998) Hal.
77.
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) Hlm. 63.
2
Antara hukum dan kekuasaan jika terjadi hubungan ketergantungan akan melahirkan
sebuah lingkaran yang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Hukum dikesampingkan oleh
pemangku kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadi maupun kelompok tertentu. Hukum
tidak lagi menjadi pengawal dan tolok ukur bagaimana cara mendapatkan kekuasaan,
memangku kekuasaan sebaik-baiknya demi terciptanya keadilan. Lingkaran ini akan
menciptakan kekacauan dalam negara hukum.
Dari sudut pandang hukum harus diakui bahwa hukum membutuhkan kekuasaan
tetapi hukum tidak bisa membiarkan kekuasaan menunggangi hukum. Dengan pengutaraan
seperti itu dapat dilihat dengan jelas persoalan yang dihadapi sekarang, yaitu hubungan antara
hukum dan kekuasaan5. Paling tidak ada tiga kemungkinan hubungan kausalitas antara
hukum dan politik,yaitu:
1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh
dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum;
2. Politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan;
3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinnasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum
merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan
politik harus tunduk pada hukum6.
Hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berubah seiring dengan
perubahan politik atau kekuasaan, dalam hal inidapat diartikan perubahan pemegang
kekuasaan atau penguasa di suatu negara. Sepanjang sejarah ketatanegaraan suatu negara
ketiga kemungkinan hubungan kausalitas antara hukum dan politik itu dapat berganti-ganti.
Sebagaimana sudah disampaikan bahwa dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah
dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Akan tetapi pencantuman ketentuan tidak
serta merta menjadikan sebuah negara betul-betul menerapkannya. Negara hukum masih
menjadi ide belaka belum menjadi kenyataan.
Ide adalah tujuan yang hendak dicapai untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang
ada (kenyataan). Sedangkan kenyataan adalah hasil usaha manusia untuk mencapai ide itu.
5
6
Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, (Bandung:Alumni,1982),Hlm.160.
Moh.Mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta:LP3ES,2001),Hlm.8.
3
Hukum bukan merupakan tujuan melainkan hanya merupakan jembatan menuju ide yang
dicita-citakan7.
Meskipun hukum bukan merupakan tujuan menempati peran yang sangat penting.
Hukum yang tepat akan mengantarkan ke tujuan. Sebaliknya hukum yang keliru akan
menghambat bahkan menggagalkan pencapaian tujuan.
Dengan berbagai penjelasan mengenai konsep negara hukum diatas serta
hubungannya dengan politik yang telah di paparkan oleh penulis diatas. Maka penulis tertarik
lebih mendalam dengan mengangkat permasalahan ini dengan “Mempertegas Relasi Politik
dan Karakter Produk Hukum”
A. Manfaat dan Tujuan
Adapun Tujuan dan Manfaat dari Pembutan Makalah ini diantaranya:
1. Untuk menambah pengetahuan dan wasasan tentang
hukum dan bungannya
dengan politik
2. Memberkan solusi dan sumbangsi pikiran dalam permasalah ketatanegaraan yang
sedang terjadi.
3. Sebagai bahan refensi dan informasi pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
Mempertegas Relasi Politik dan Karakter Produk Hukum
7
Sunarjati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu?, (Bandung: Alumni,1982),hlm 3.
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Sejarah Timbulnya Politik Hukum
Bila kita berbicara tentang sejarah timbunya politik hukum, mau tidak mau, kita akan
berbicara tentang latar belakang,kapan dan siapa yang menggagas disiplin ilmu ini pertama
kali. Untuk menjawab pertanyaan itu tidaklah mudah karena literatur-literatur yang
mendukung amat minim kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Sepanjang pengetahuan
penulis, latar belakang ilmiah yang menjadi alasan kehadiran disiplin politik hukum adalah
rasa ketidakpuasan para teoretisi hukum terhadap model pendekatan selama ini. seperti
diketahui dari aspek kesejarahan, studi hukum telah berusia sangat lama sejak zaman yunani
kuno hingga era postmodern. Selama kurun waktu tersebut hukum menjadi pasang surut,
perkembangan dan oergeseran study hukum yang disebabkan oleh karena terjadinya struktur
sosial akibat modernisasi dan industrialisasi, politik dan ilmu pengetahuan.
Analisis menarik berkaitan dengan hak itu dijelaskan oleh Satjipto Raharjo8. Ia
menjelaskan, pada aad ke-19 di eropa dan amerika, individu merupakan pusat pengaturan
hukum, sedang bidang hukum yang sedang berkembang adalah hukum perdata (hak-hak
kebendaan, kontrak, perbuatan melawan hukum. Keahlian hukum diakaitkan pada soal
keterampilan teknis. Orangpun merasa dengan cara memperlakukab hukum seperti diatas,
dengan menganggap hukum sebagai suatu lembaga atau kekuatan independen dalam
masayarakat. Hukum, disiplin hukum,metode analisis hukum, semuanya tidka membutuhkan
bantuan dan kerjasama dengan disiplin ilmu yang lain.
Analisis normatif dan dogmatis merupakan satu-satunya cara yang dianggap paling
memadai, dan tidak diperlukan metode dan ancangan (approach) yang lain untuk membantu
melakukan pengkajian umum. metode normatif dan dogmatis demikian, dipandang
mencukupi kebutuhan (Self Sufficient), sedang hukum makin menjadi bidang yang eksotrik9.
Keadaan dan perkembangan yang demikian, tentunya berhubungan dengan peranan yang
semakin besar dari hukum dalam mendukung dan menamankan kemajuan masyarakat
sebagaimana disebutkan diatas, serta kepercayaan yang semakin besar kepada hukum.
8
9
Satjipto Raharjo. Teaching Older Finding Disorder, (Semarang-Diponegoro University,2000)Hlm;6.
Ibid.; Satipto Raharjo, Teaching Older Finding Disorder, (Semarang; Diponegoro University,2000)
Hlm.6.
5
Namun, suasananya segera menjdi berbeda, tatkala cara-cara memandang dan
menggarap hukum yang demikian itu berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masayarakat akibat keberhasilan dan modernisasi dan industrialisas. Kedudukan
individu sekarang mulai disaingi oleh tampilnya subjek-subjek lain seperti komunity dan
negara. Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang otonom dan independen,
melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan
interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat10.
Analisis yang dikemukakan oleh Rahardjo tidak jauh berbeda dengan apa yang
dikemukakan Donald H. Gjerdingen. Dengan menjadikan sejarah hukum Amerika pasca
perang saudara hingga tahun 1935 sebagai latar belakang pemikirannya, Gjerdingen
mengemukakan terjadinya pergeseran pemahaman teoritis terhadap relasi antara hokum
entitas bukan hukum. Senada dengan Rahardjo, Gjerdingen menjelaskan bahwa pendapat
beberapa aliran hokum konvensional yang menganggap hukum otonom dari entitas bukan
hukum sudah ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya.. pendapat
yang menafikan relasi hokum dengan entitas bukan hokum menyebabkan hokum cenderung
membatasi diri pada hal-hal yang sangat teknis, sehingga permasalahan yang muncul akibat
dari dari interaksi antara hokum dan politik misalnya, tidak bias dijelaskan. Dengan
menggunakan kerangka inilah kehadiran disiplin politik hokum dapat kita pahami.
Dengan kata lain politik muncul sebagai salah satu disiplin hukum alternatif di tengah
kebutuhan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hokum dan entitas
bukan hokum, terutama dalam kaitan studi ini adalah politik11.
Selanjutnya, siapa dan kapan sebenarnya yang menggagas dan mempopulerkan politik
hukum sebagai disiplin hokum pertam kali? Van Apeldoorn dalam buku klasiknya Inleiding
Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, tidak pernah menyebutkan secara eksplisit isltilah
politik hokum merupakan salah satu disiplin ilmu huku. Namun, tidak disebutkannya politik
hukum sebagai bagian dari disiplin ilmu hokum dalam buku Apeldoorn itu menurut bambang
Poernomo, bukan berarti pada saat itu akar-akar
akademikdisiplin plitik hukum belum
10
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Dan PengalamanPengalaman Di Indonesia, (Bandung:Alumni, 1983), Hlm. 16
11
Imam Syaukani Dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta), Hal.15
6
muncul atau Apeldoorn mengabaikannya. Bias jadi ini hanya karena struktur keilmuan
disiplin politik hokum belum secara mapan terbetuk12.
Menurut Poernomo, secara tersirat keberadaan politik hukum dapat dilihat dari bagian
kedua klasifikasi, Apeldoorn yakni pada bagian seni dan keterampilan ketika kegiatan praktik
untuk menemukan serta merumuskan kaedah hukum13. Bila mengikuti penjelasan diatas,
setidaknya untuk di Indonesia, wacana tentang disiplin politik hokum secara implicit telah
ditemukan akar sejarahnya pada buku Apeldoorn tersebut, dari penjelasan poernomo itu, kita
dapat melihat bahwa para pakar masih mengalami kesulitan untuk menjelaskan kapan politik
hokum muncul pertama kali dan dijadikan sebagai sebuah istilah akademis dalam bidang
hukum.
Dari pemaparan diatas bahwa istilah dan kajian tentang politik hukum baik dari sisi
teoritis maupun praktis sebenarnya telah dikenal Indonesia cukup lama. Namun bahwa
kemudian studi terhadap bidang ini tampaknya sangat lambat ini barangkali permasalahan
yang harus kita ungkap bersama. Ini tentu tidak mudah,namun dari penjabaran diatas sedikit
memberikan gambaran kapada kita tentang sejarah politik hukum di Indonesia.
B. Ruang Lingkup Dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum adalah meliputi
aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan factor (internal
dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu Negara. Tiga
permasalahan itu baru sebatas membahas proses pembentukan politik hokum, belum
berbicara pada tataran aplikasi lam bentuk pelaksanaan produl hukum yang meruakan
konsekuensi politis dari sebuah politik hukum.
Politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untukmemungkinkan peraturan hokum positif dirumuskan secara lebih baik
dan utuk member pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan14.
Permasalahannya sekarang, ketika kita berbicara tentang wilayah kajian (domain)
sebuah disiplin ilmu yang akan dipergunakan dalam perspektif akademis tidak hanya
12
13
14
Bambang Poernomo. Pola Dasar Teori dan Asas Hokum Pidana, (Yogayakarta: Liberty, 1988), Hlm 15.
R. Soepomo, Soal-Soal Politik Hoekoem Dalam Pembangunan Negara Indonesia, hoekoem, (1947)
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: rajagrafindo persada, 1997), hlm. 13
7
berbicara sebatas pengertian di atas an sich tetapi mengkritisi juga produk-produk hukum
yang telah dibentuk. Dengan demikian politik hokum menganut prinsip Double Movement,
yaitu selain sebagai keranga berpikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (lagal
policy) oleh lembaga-lembaga Negara yang berwenang, ia juga dipaaki untuk mengkritisi
produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas. Berikut
ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum:
1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam amsyarakat
oleh penyelenggara Negara yang berwenang merumuskan politik hukum;
2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk
sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara Negara
yang berwenang merumuskan politik hukum;
3. Penyelenggara Negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik
hukum;
4. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hokum;
5. Factor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik
yang akan, dan telah ditetapkan;
6. Pelaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi
dari politik hukum suatu Negara
Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari politik
hukum. Dalam hal ini, politik hokum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana
proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal
policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.
Ruang lingkup pertama merupakan tahap awal dar kajian politik hukum. Apda tahap
ini kita ingin mengetahui apakah nilai-nilai (values) dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat telah diakomodasi oleh penyelenggara Negara yang merumuskan politik hukum
atau bahkan mungkin sebaliknya. Kajian terhadap bidang ini penting untuk dilakukan secara
substantial, hukum tidak pernah lepas dari struktur rohaniyah masyarakat yang bersangkutan
atau masyarakat yang mendukung hukum tersebut15.
Itu artinya bila hukum itu dibangun diatas landasan yang tidak sesuai dengan struktur
rohaniyah masyarakat, bias dipastikan resistensi masyarakat terhadap hukum itu akan sangat
15
Artidjo Alkostar, “Menelusuri Akar Dan Merancang Hukum Nasional (Yogyakarta : Fakultas Hukum
UII,1997) HLM. IX.
8
kuat. Bila dikaitkan denga teori keberlakuan yang bai harus memenuhi syarat sosiologis,
filosofis dan yuridis.
Agar resistensi masyarakat itu tidak terjadi dan syarat keberlakuan hukum terpenuhi,
para penyelenggara Negara yang
berwenang menarik dan emrumuskan nilai-nilai dan
aspirasi itu dalam bentuk tertulis harus peka terhadap kedua hal tersebut. Namun disinilah
letak permasalahannya, lembaga kenegaraan yang berwenang menentukan politk hukum. Di
dalam lembaga-lembaga Negara itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang
terkadap lebih mementingkan aspirasi kelompoknya daripada aspirasi masyarakat umum.
Pada tahap inilah disiplin politk hukum menagajak kita untuk mengetahui bahwa
hukum sarat dengan warna politik atau lebih tepatnya, bahwa hukum
harus dipandang
sebagai hasil dari suatu proses politik (law is a product of political process). Ditambah lagi,
subsistem politik dianggap lebih powerful dibandingkan subsistem hukum. Artinya,
subsistem politik memiliki konsentrasi energy yang lebih besar daripada subsistem hokum.
Hal ini mengakibatkan apabila hokum berhadapan dengan politk, maka ia berada pada
kedudukan yang lebih lemah. Subsistem politik mempunyai tingkat determinasi yang lebih
tinggi daripada subsistem hokum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berintegrasi dan saling bersaingan.
Pada wilayah keenam yang sebenarnya berkaitan erat dengan wilayah kajian kelima,
disiplin politik hukum mengajak praktisi hukum untuk mengkrititisi proses pelaksanaan dari
peraturan perundnag-undangan yang telah diterapkan.
9
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hubungan Kausalitas Antara Hukum dan Politik
Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yang sama
dengan definisi yang telah penulis kemukakan diatas yakni bahwa politik hukum itu
merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan untuk mencapai tujuan
Negara. Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara16. Dasar
pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa Negara
kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan
dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penidakberlakuan
hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan
Negara kita.
Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang
bersifat periodic. Yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial,
ekonomi kerakyatan, keeimbangan antara kepastian hokum, keadilan dan kemanfaatan,
penggantian hukum-hukum peninggalan hokum colonial belanda. Disini terlihat bahwa
beberapa prinsip yang dimuat dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hokum17.
Jika didengar secara sekilas pernyataan “hukum sebagai produk politik” dalam
pandangan awam bias dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memosisikan hukum sebagai
subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tatanan idea tau cita
hukum, lebih-lebih di Negara yang menganut supremasi hukum, politiklah yang harus
diposisikan sebagai variable yang terpengaruh (dependent variable) oleh hukum.
Secara metodologis-ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut,
semuanya benar, tergantung pada asumsi dan konsep yang dipergunakan. Ini pula yang
melahirkan dalil-dalil kebenaran ilmiah itu bersifat relatif. Artinya, secara ilmiah, hokum
dapat determinan atas politik, tetapi sebaliknya dapat pula politik feterminan atas hokum .
16
17
Moh. Mahfud md. Politik Hukum Di Indonesia,( Jakarta, 2014), hlm, 2.
Ibid. hlm, 3.
10
Jadi dari sudut metodologi, semuanya benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsepnya
sendiri-sendiri18.
Kebenaran ilmiah terutama di dalam ilmu-ilmu social dan humaniora tidak ada yang
mutlak, yang ada hanyalah kebenaran relative. Artinya kebenaran ilmiah itu hanya benar
menurut asumsi dan konsep serta indicator yang dipergunakan untuk istilah atau variable
tertentu dalam sebuah karya ilmiah.
Sebuah pernyataan bias benar menurut asumsi dan konsep tertentu, tetapi menjadi
salah jika dipergunakan asumsi dan konsep lain untuk hal itu. Pernyataan bahwa” hukum
adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan
hokum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undangundang yang dibuat oleh lembaga legislative maka tak seorangpun dapat membantah hokum
adalah hasil dari produk politik sebab ia merupakan hasil dari kristalisasi, formalisasi atau
legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi
politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang tersebar.
Memang pernyataan bahwa” hukum adalah produk poiltik” seperti pengertian diatas
akan menajdi lain atau menajdi salah jika dasarnya adalah das sollen atau jika hukum tidak
diartikan sebagai undang-undang. Seperti diketahui bahwa hubungan antara hokum dan
politik bias didasarkan pada pandangan das sollen atau das sein. Begitu juga hukum bias
diartikan sebagai peraturan perundnag-undangan yang mencakup UU, bias juga diartikan
sebagai putusan pengadilan dan bias juga diberi arti lainyang jumlahnya bias puluhan.
Jika seseorang menggunakan das sole adanya hokum sebagai dasar mencari
kebenaran ilmiah dan member arti hukum diluar undang-undang maka pernyataan “hukum
merupakan produk politik:tentu tidak benar. Mungkin yang benar “ politik merupakan produk
hukum”. Bahkan bias saja keduanya tidak benar jika dipergunakan asumsi atau konsep yang
berdasarkan das solen dan das sein seperti asumsi interdeterminasi antara hukum dan politik.
Jika politik diartikan sebagai kekuasaan maka dari asumsi yang terakhir ini lahir pernyataan
seperti yang sering dikemukakan oleh Mochtar Kusumaadmaja, bahwa,” politik dan hukum
itu interdeterminan” sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu
lumpuh”19
18
19
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta;2014), hlm. 4.
Ibid, Hlm 5.
11
B. Karakter Produk Hukum di Indonesia
Karakter produk hukum yang dalam studi ini disamakan dengan sifat atau watak
produk huku , sebenarnya dapat dilihat dari berbagai sudut teoritis. Dalam studi tentang
banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti memaksa,
tidak berlaku surut dan umum. Dalam berbagai studi tentang hokum dikemukakan misalnya,
hokum mempunyai sifat umum makanya peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang
dan tidak akan kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret.
Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait
dengan kasus-kasus konkret. Selain itu ada yang mengidentifikasi sifat hukum ke dalam sifat
imperatif dan fakultatif.
Dengan sifat imperatif, peraturan hukum bersifat apriori harus ditaati mengikat dan
memaksa. Sedangkan sifat fakultatif, peraturan hokum tidak secara apriori mengikat,
melainkan sekedar melengkapi, subside dan dispositif.
1. Hukum Otonom dan Hokum Menindas
Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum tidak mungkin
ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum
mengefektifkan kekuasaan. Jika demikian, maka pihak yang berkuasa,
dengan baju otoritas mempunyai kewenangan yang sah menuntut warga
Negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta. Pengguanan kekuasaan
itu bia melahirkan karakter hokum yang menindas maupun karakter
hokum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik
masyarakat yang bersangkutan.
12
Table 1: Karakteristik Hukum Menindas dan Hukum Otonom20
Tipe Menindas
Tipe Otonom
Tujuan hukum
-
Ketertiban
-
Kesahan
Legitimasi
-
Pertahanan social
-
Menegakkan
Peraturan
-
Kasar
yang
terperinci
tetapi
hanya
prosedur
-
mengikat
Sangat
terurai;mengikat
pembuat peraturan
pembuat maupun
secara lemah
mereka
diatur
Penalaran
-
Merata
Diskresi
-
Pembatasannya
-
yang
Dibatasi
lemah
peraturan-
Pemaksaan
-
Komunal
peraturan
Moralitas
-
Hukum
pendelegasian
ditundukkan
pada
oleh
sangat terbatas
kekuasaan politik
Kaitan politik
-
Tunduk dan patuh
dianggap tiak loyal
-
Dikontrol
oleh
pembatasan
hukum
2.
Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif
Ada tiga macam tradisi hukum yang kemudian dikaitkan dengan strategi
pembangunan hukum. Dalam dunia kontemporer terdapat tiga macam tradisi hukum yang
utama, yaitu: tradisi hukum continental (civil law), Hukum adat dan tradisi hukum sosialis
(socialist law). Yang dimaksudkan dengan tradisi hukum ialah:
“…seperangkat sikap mengenai sifat hokum, peranan hukum dalam masyarakat dan
pemerintahan, organisasi-organisasi dan operasionalisasi system huku, dan cara
20
Ibid .hlm 28
13
hokum itu dibuat, diterapkan, dipelajari, disempurnakan dan dipikirkan yang
semuanya berakar secara mendalam dan dikondisikan oleh sejarah masyarakat21.
Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus
berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum “ortodoks”
dan pembangunan hokum “responsif” pada strategi pembangunan hukum ortodoks,
peranan lembaga-lembaga Negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam
menentukan arah perkembangan hokum. Sebaliknya pada strategi pembangunan
hokum responsive, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai
partisipasi luas kelompok social atau individu-individu di dalam masyarakat. Kedua
strategi tersebut memberi implikasi berbeda pada produk hukumnya. Strategi
pembangunan hukum yang ortodoks bersifat positivis-instrumentalis, yaitu menjadi
alas yang ampuh bagi pelaksanaan ideology dan program Negara. Hukum merupakan
perwujudan nyata visi social pemegang kekuasaan Negara.sedangkan strategi
pembangunan hokum responsif, akan menghasilkan hokum yang bersifat responsif
terhadap
tuntutan-tuntutan
berbagai
kelompok
social
dan
individu
dalam
masyarakatnya.
Paralel dengan konfigurasi politik yang memilih dua ujung yang dikotomis
yakni demokrasi dan otoriter, maka studi ini mengambil dua konsep karakter produk
hukum
yang
juga
dikotomis
,
yaitu
responsif/populistik
dan
ortodoks/konservatif/elitis.
21
Abdul Hakim Canada Nusantara, Politik Hokum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBHI,1988),Hlm. 26-34
14
BAB III
KESIMPULAN
Hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berubah seiring dengan
perubahan politik atau kekuasaan, dalam hal ini dapat diartikan perubahan pemegang
kekuasaan atau penguasa di sautu Negara. Sepanjang sejarah ketatanegaraan suatu Negara
memungkinkan hubungan kausalitas antara hukum dan politik itu dapat berganti-ganti.
Paling tidak ada tiga kemungkinan hubungan kausalitas antara hukum dan politik,
yaitu:
Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik
diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hokum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi
dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.
Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang
derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum
merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik
harus tunduk pada aturan-aturan hukum22.
22
Moh. Mahfud MD,Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:LP3ES,2001), hlm.8.
15
Daftar Pustaka
Budiman Sinaga,Putusan Mk; Putusan Hukum Diantara Putusan Politik, Jakarta. Jurnal
Konstitusi, Vol.Iii,No.1, Juni 2010
Imam Syaukani,2005. Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada
Jimly Asshiddiqie,2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indoesia. Pasca Reformasi,
Jakarta: Buana Ilmu Popular.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Moh.Mahfud Md,2014. Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta;Rajawali Press
Yusril Ihza Mahendra,1996.Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta: Gema Insane Press
16
Download