BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut konstitusi, Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (Rechstaat), tidak bersifat absolutisme/kekuasaan yang tidak terbatas (machtsstaat). Penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal yaitu: (1) teori Rechstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya trias politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif;dan (2) teori rule of law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia,adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya1. Menurut Jimly Asshidiqie,” The International Comission Of Jurist” prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang masih dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut “the international cominission of jurist” itu adalah (1) negara harus tunduk pada hukum. (2) pemerintah menghormati hak-hak individu . (3) peradilan bebas tidak memihak. Mempertegas penjelasan diatas bahwa Indonesia adalah negara hukum teruang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang mempunyai makna bahwa seluruh aspek, kegiatan maupun tingkah laku manusia diatur oleh hukum yang berlaku bagi setiap warga negara Republik Indonesia. Hukum memberikan tolok ukur mengenai baik dan buruk segala sesuatu yang hendak dilakukan oleh subjek hukum yakni mereka yang memangku hak dan kewajiban tersebut. Dalam berbagai tafsiran “negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”. Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 dimana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai 1 Budiman Sinaga,Putusan MK:Putusan Hukum Diantara Putusan Politik, Jurnal Konstitusi,Vol.III,No.1, Juni 2010 1 pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri republik (Founding Futher) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam penjelasan Undang-undang dasar 1945, telah dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang –undangan yang berkaitan dengan hukum2. Ketika kita sudah mengikrarkan diri menjadi sebuah negara yang diikat oleh tatanan aturan hukum sudah seyogyanya segala perbuatan berorientasi pada tujuan hukum yakni menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun cita-cita luhur tersebut tidaklah sesuai dengan harapan apabila masih banyak kita temukan di lapangan adanya kesenjangan antara hukum yang dicita-citakan dengan kenyataan. Hukum yang ada belum mampu memberikan keadilan bagi segelintir orang yang merupakan bagian dari warga negara hukum itu sendiri yakni Indonesia. Hukum yang dibuat oleh penguasa negara harus mampu mengatur seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam aspek politik. Kekuasaan identik dengan politik atau setidaknya karena politik selalu bertujuan untuk mencapai kekuasaan. Pasang surut hubungan hukum dan kekuasaan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah menunjukan betapa menguatnya salah satu aspek dan melemahnya aspek yang lain sangat dipengaruhi oleh Political Will pemerintah dari periode ke periode. Itulah sebabnya, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia senantiasa terjadi perubahan hukum termasuk perubahan Undang-Undang Dasar, seiring dengan perubahan politik atau kekuasaan3. Sebagaimana hubungan-hubungan lain yang terjadi di masyarakat, dalam suatu hubungan kekuasaan (Power Relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Dalam hubungan kekuasaan selalu ada hubungan tidak seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency). Jika lebih timpang hubungan ini akan lebih besar pula sifat ketergantungannya. Hubungan yang tidak seimbang ini tidak hanya dapat terjadi diantara beberapa pemegang kekuasaan melainkan antara kekuasaan dengan bukan kekuasaan seperti hukum4. 2 Musri Nauli, Negara Hukum Dan Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Menurut UUD 1945, Jurnal Konstitusi,Vol.I,No.1, November 2012 3 Dahlan Thaib,”Menegakkan Prinsip-Prinsip Supremasi Hukum. Analisis Dan Tinjauan Aspek Ketatanegaraan”. Dalam Dahlan Thaib Dan Mila Karmila Adi , Hukum dan Kekuasaan , (Yogyakarta,1998) Hal. 77. 4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) Hlm. 63. 2 Antara hukum dan kekuasaan jika terjadi hubungan ketergantungan akan melahirkan sebuah lingkaran yang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Hukum dikesampingkan oleh pemangku kekuasaan untuk mencapai tujuan pribadi maupun kelompok tertentu. Hukum tidak lagi menjadi pengawal dan tolok ukur bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, memangku kekuasaan sebaik-baiknya demi terciptanya keadilan. Lingkaran ini akan menciptakan kekacauan dalam negara hukum. Dari sudut pandang hukum harus diakui bahwa hukum membutuhkan kekuasaan tetapi hukum tidak bisa membiarkan kekuasaan menunggangi hukum. Dengan pengutaraan seperti itu dapat dilihat dengan jelas persoalan yang dihadapi sekarang, yaitu hubungan antara hukum dan kekuasaan5. Paling tidak ada tiga kemungkinan hubungan kausalitas antara hukum dan politik,yaitu: 1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum; 2. Politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan; 3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinnasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum6. Hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berubah seiring dengan perubahan politik atau kekuasaan, dalam hal inidapat diartikan perubahan pemegang kekuasaan atau penguasa di suatu negara. Sepanjang sejarah ketatanegaraan suatu negara ketiga kemungkinan hubungan kausalitas antara hukum dan politik itu dapat berganti-ganti. Sebagaimana sudah disampaikan bahwa dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Akan tetapi pencantuman ketentuan tidak serta merta menjadikan sebuah negara betul-betul menerapkannya. Negara hukum masih menjadi ide belaka belum menjadi kenyataan. Ide adalah tujuan yang hendak dicapai untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang ada (kenyataan). Sedangkan kenyataan adalah hasil usaha manusia untuk mencapai ide itu. 5 6 Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, (Bandung:Alumni,1982),Hlm.160. Moh.Mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta:LP3ES,2001),Hlm.8. 3 Hukum bukan merupakan tujuan melainkan hanya merupakan jembatan menuju ide yang dicita-citakan7. Meskipun hukum bukan merupakan tujuan menempati peran yang sangat penting. Hukum yang tepat akan mengantarkan ke tujuan. Sebaliknya hukum yang keliru akan menghambat bahkan menggagalkan pencapaian tujuan. Dengan berbagai penjelasan mengenai konsep negara hukum diatas serta hubungannya dengan politik yang telah di paparkan oleh penulis diatas. Maka penulis tertarik lebih mendalam dengan mengangkat permasalahan ini dengan “Mempertegas Relasi Politik dan Karakter Produk Hukum” A. Manfaat dan Tujuan Adapun Tujuan dan Manfaat dari Pembutan Makalah ini diantaranya: 1. Untuk menambah pengetahuan dan wasasan tentang hukum dan bungannya dengan politik 2. Memberkan solusi dan sumbangsi pikiran dalam permasalah ketatanegaraan yang sedang terjadi. 3. Sebagai bahan refensi dan informasi pembelajaran. B. Rumusan Masalah Mempertegas Relasi Politik dan Karakter Produk Hukum 7 Sunarjati Hartono, Apakah The Rule Of Law Itu?, (Bandung: Alumni,1982),hlm 3. 4 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Sejarah Timbulnya Politik Hukum Bila kita berbicara tentang sejarah timbunya politik hukum, mau tidak mau, kita akan berbicara tentang latar belakang,kapan dan siapa yang menggagas disiplin ilmu ini pertama kali. Untuk menjawab pertanyaan itu tidaklah mudah karena literatur-literatur yang mendukung amat minim kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Sepanjang pengetahuan penulis, latar belakang ilmiah yang menjadi alasan kehadiran disiplin politik hukum adalah rasa ketidakpuasan para teoretisi hukum terhadap model pendekatan selama ini. seperti diketahui dari aspek kesejarahan, studi hukum telah berusia sangat lama sejak zaman yunani kuno hingga era postmodern. Selama kurun waktu tersebut hukum menjadi pasang surut, perkembangan dan oergeseran study hukum yang disebabkan oleh karena terjadinya struktur sosial akibat modernisasi dan industrialisasi, politik dan ilmu pengetahuan. Analisis menarik berkaitan dengan hak itu dijelaskan oleh Satjipto Raharjo8. Ia menjelaskan, pada aad ke-19 di eropa dan amerika, individu merupakan pusat pengaturan hukum, sedang bidang hukum yang sedang berkembang adalah hukum perdata (hak-hak kebendaan, kontrak, perbuatan melawan hukum. Keahlian hukum diakaitkan pada soal keterampilan teknis. Orangpun merasa dengan cara memperlakukab hukum seperti diatas, dengan menganggap hukum sebagai suatu lembaga atau kekuatan independen dalam masayarakat. Hukum, disiplin hukum,metode analisis hukum, semuanya tidka membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan disiplin ilmu yang lain. Analisis normatif dan dogmatis merupakan satu-satunya cara yang dianggap paling memadai, dan tidak diperlukan metode dan ancangan (approach) yang lain untuk membantu melakukan pengkajian umum. metode normatif dan dogmatis demikian, dipandang mencukupi kebutuhan (Self Sufficient), sedang hukum makin menjadi bidang yang eksotrik9. Keadaan dan perkembangan yang demikian, tentunya berhubungan dengan peranan yang semakin besar dari hukum dalam mendukung dan menamankan kemajuan masyarakat sebagaimana disebutkan diatas, serta kepercayaan yang semakin besar kepada hukum. 8 9 Satjipto Raharjo. Teaching Older Finding Disorder, (Semarang-Diponegoro University,2000)Hlm;6. Ibid.; Satipto Raharjo, Teaching Older Finding Disorder, (Semarang; Diponegoro University,2000) Hlm.6. 5 Namun, suasananya segera menjdi berbeda, tatkala cara-cara memandang dan menggarap hukum yang demikian itu berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masayarakat akibat keberhasilan dan modernisasi dan industrialisas. Kedudukan individu sekarang mulai disaingi oleh tampilnya subjek-subjek lain seperti komunity dan negara. Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat10. Analisis yang dikemukakan oleh Rahardjo tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Donald H. Gjerdingen. Dengan menjadikan sejarah hukum Amerika pasca perang saudara hingga tahun 1935 sebagai latar belakang pemikirannya, Gjerdingen mengemukakan terjadinya pergeseran pemahaman teoritis terhadap relasi antara hokum entitas bukan hukum. Senada dengan Rahardjo, Gjerdingen menjelaskan bahwa pendapat beberapa aliran hokum konvensional yang menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya.. pendapat yang menafikan relasi hokum dengan entitas bukan hokum menyebabkan hokum cenderung membatasi diri pada hal-hal yang sangat teknis, sehingga permasalahan yang muncul akibat dari dari interaksi antara hokum dan politik misalnya, tidak bias dijelaskan. Dengan menggunakan kerangka inilah kehadiran disiplin politik hokum dapat kita pahami. Dengan kata lain politik muncul sebagai salah satu disiplin hukum alternatif di tengah kebutuhan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hokum dan entitas bukan hokum, terutama dalam kaitan studi ini adalah politik11. Selanjutnya, siapa dan kapan sebenarnya yang menggagas dan mempopulerkan politik hukum sebagai disiplin hokum pertam kali? Van Apeldoorn dalam buku klasiknya Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, tidak pernah menyebutkan secara eksplisit isltilah politik hokum merupakan salah satu disiplin ilmu huku. Namun, tidak disebutkannya politik hukum sebagai bagian dari disiplin ilmu hokum dalam buku Apeldoorn itu menurut bambang Poernomo, bukan berarti pada saat itu akar-akar akademikdisiplin plitik hukum belum 10 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Dan PengalamanPengalaman Di Indonesia, (Bandung:Alumni, 1983), Hlm. 16 11 Imam Syaukani Dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta), Hal.15 6 muncul atau Apeldoorn mengabaikannya. Bias jadi ini hanya karena struktur keilmuan disiplin politik hokum belum secara mapan terbetuk12. Menurut Poernomo, secara tersirat keberadaan politik hukum dapat dilihat dari bagian kedua klasifikasi, Apeldoorn yakni pada bagian seni dan keterampilan ketika kegiatan praktik untuk menemukan serta merumuskan kaedah hukum13. Bila mengikuti penjelasan diatas, setidaknya untuk di Indonesia, wacana tentang disiplin politik hokum secara implicit telah ditemukan akar sejarahnya pada buku Apeldoorn tersebut, dari penjelasan poernomo itu, kita dapat melihat bahwa para pakar masih mengalami kesulitan untuk menjelaskan kapan politik hokum muncul pertama kali dan dijadikan sebagai sebuah istilah akademis dalam bidang hukum. Dari pemaparan diatas bahwa istilah dan kajian tentang politik hukum baik dari sisi teoritis maupun praktis sebenarnya telah dikenal Indonesia cukup lama. Namun bahwa kemudian studi terhadap bidang ini tampaknya sangat lambat ini barangkali permasalahan yang harus kita ungkap bersama. Ini tentu tidak mudah,namun dari penjabaran diatas sedikit memberikan gambaran kapada kita tentang sejarah politik hukum di Indonesia. B. Ruang Lingkup Dan Manfaat Ilmu Politik Hukum Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum adalah meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan factor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu Negara. Tiga permasalahan itu baru sebatas membahas proses pembentukan politik hokum, belum berbicara pada tataran aplikasi lam bentuk pelaksanaan produl hukum yang meruakan konsekuensi politis dari sebuah politik hukum. Politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untukmemungkinkan peraturan hokum positif dirumuskan secara lebih baik dan utuk member pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan14. Permasalahannya sekarang, ketika kita berbicara tentang wilayah kajian (domain) sebuah disiplin ilmu yang akan dipergunakan dalam perspektif akademis tidak hanya 12 13 14 Bambang Poernomo. Pola Dasar Teori dan Asas Hokum Pidana, (Yogayakarta: Liberty, 1988), Hlm 15. R. Soepomo, Soal-Soal Politik Hoekoem Dalam Pembangunan Negara Indonesia, hoekoem, (1947) M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: rajagrafindo persada, 1997), hlm. 13 7 berbicara sebatas pengertian di atas an sich tetapi mengkritisi juga produk-produk hukum yang telah dibentuk. Dengan demikian politik hokum menganut prinsip Double Movement, yaitu selain sebagai keranga berpikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (lagal policy) oleh lembaga-lembaga Negara yang berwenang, ia juga dipaaki untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas. Berikut ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum: 1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam amsyarakat oleh penyelenggara Negara yang berwenang merumuskan politik hukum; 2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara Negara yang berwenang merumuskan politik hukum; 3. Penyelenggara Negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum; 4. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hokum; 5. Factor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, dan telah ditetapkan; 6. Pelaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu Negara Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hokum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Ruang lingkup pertama merupakan tahap awal dar kajian politik hukum. Apda tahap ini kita ingin mengetahui apakah nilai-nilai (values) dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat telah diakomodasi oleh penyelenggara Negara yang merumuskan politik hukum atau bahkan mungkin sebaliknya. Kajian terhadap bidang ini penting untuk dilakukan secara substantial, hukum tidak pernah lepas dari struktur rohaniyah masyarakat yang bersangkutan atau masyarakat yang mendukung hukum tersebut15. Itu artinya bila hukum itu dibangun diatas landasan yang tidak sesuai dengan struktur rohaniyah masyarakat, bias dipastikan resistensi masyarakat terhadap hukum itu akan sangat 15 Artidjo Alkostar, “Menelusuri Akar Dan Merancang Hukum Nasional (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII,1997) HLM. IX. 8 kuat. Bila dikaitkan denga teori keberlakuan yang bai harus memenuhi syarat sosiologis, filosofis dan yuridis. Agar resistensi masyarakat itu tidak terjadi dan syarat keberlakuan hukum terpenuhi, para penyelenggara Negara yang berwenang menarik dan emrumuskan nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis harus peka terhadap kedua hal tersebut. Namun disinilah letak permasalahannya, lembaga kenegaraan yang berwenang menentukan politk hukum. Di dalam lembaga-lembaga Negara itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadap lebih mementingkan aspirasi kelompoknya daripada aspirasi masyarakat umum. Pada tahap inilah disiplin politk hukum menagajak kita untuk mengetahui bahwa hukum sarat dengan warna politik atau lebih tepatnya, bahwa hukum harus dipandang sebagai hasil dari suatu proses politik (law is a product of political process). Ditambah lagi, subsistem politik dianggap lebih powerful dibandingkan subsistem hukum. Artinya, subsistem politik memiliki konsentrasi energy yang lebih besar daripada subsistem hokum. Hal ini mengakibatkan apabila hokum berhadapan dengan politk, maka ia berada pada kedudukan yang lebih lemah. Subsistem politik mempunyai tingkat determinasi yang lebih tinggi daripada subsistem hokum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berintegrasi dan saling bersaingan. Pada wilayah keenam yang sebenarnya berkaitan erat dengan wilayah kajian kelima, disiplin politik hukum mengajak praktisi hukum untuk mengkrititisi proses pelaksanaan dari peraturan perundnag-undangan yang telah diterapkan. 9 BAB III PEMBAHASAN A. Hubungan Kausalitas Antara Hukum dan Politik Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yang sama dengan definisi yang telah penulis kemukakan diatas yakni bahwa politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara. Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara16. Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa Negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penidakberlakuan hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan Negara kita. Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodic. Yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keeimbangan antara kepastian hokum, keadilan dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan hokum colonial belanda. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hokum17. Jika didengar secara sekilas pernyataan “hukum sebagai produk politik” dalam pandangan awam bias dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tatanan idea tau cita hukum, lebih-lebih di Negara yang menganut supremasi hukum, politiklah yang harus diposisikan sebagai variable yang terpengaruh (dependent variable) oleh hukum. Secara metodologis-ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, semuanya benar, tergantung pada asumsi dan konsep yang dipergunakan. Ini pula yang melahirkan dalil-dalil kebenaran ilmiah itu bersifat relatif. Artinya, secara ilmiah, hokum dapat determinan atas politik, tetapi sebaliknya dapat pula politik feterminan atas hokum . 16 17 Moh. Mahfud md. Politik Hukum Di Indonesia,( Jakarta, 2014), hlm, 2. Ibid. hlm, 3. 10 Jadi dari sudut metodologi, semuanya benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsepnya sendiri-sendiri18. Kebenaran ilmiah terutama di dalam ilmu-ilmu social dan humaniora tidak ada yang mutlak, yang ada hanyalah kebenaran relative. Artinya kebenaran ilmiah itu hanya benar menurut asumsi dan konsep serta indicator yang dipergunakan untuk istilah atau variable tertentu dalam sebuah karya ilmiah. Sebuah pernyataan bias benar menurut asumsi dan konsep tertentu, tetapi menjadi salah jika dipergunakan asumsi dan konsep lain untuk hal itu. Pernyataan bahwa” hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hokum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undangundang yang dibuat oleh lembaga legislative maka tak seorangpun dapat membantah hokum adalah hasil dari produk politik sebab ia merupakan hasil dari kristalisasi, formalisasi atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang tersebar. Memang pernyataan bahwa” hukum adalah produk poiltik” seperti pengertian diatas akan menajdi lain atau menajdi salah jika dasarnya adalah das sollen atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang. Seperti diketahui bahwa hubungan antara hokum dan politik bias didasarkan pada pandangan das sollen atau das sein. Begitu juga hukum bias diartikan sebagai peraturan perundnag-undangan yang mencakup UU, bias juga diartikan sebagai putusan pengadilan dan bias juga diberi arti lainyang jumlahnya bias puluhan. Jika seseorang menggunakan das sole adanya hokum sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan member arti hukum diluar undang-undang maka pernyataan “hukum merupakan produk politik:tentu tidak benar. Mungkin yang benar “ politik merupakan produk hukum”. Bahkan bias saja keduanya tidak benar jika dipergunakan asumsi atau konsep yang berdasarkan das solen dan das sein seperti asumsi interdeterminasi antara hukum dan politik. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan maka dari asumsi yang terakhir ini lahir pernyataan seperti yang sering dikemukakan oleh Mochtar Kusumaadmaja, bahwa,” politik dan hukum itu interdeterminan” sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”19 18 19 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta;2014), hlm. 4. Ibid, Hlm 5. 11 B. Karakter Produk Hukum di Indonesia Karakter produk hukum yang dalam studi ini disamakan dengan sifat atau watak produk huku , sebenarnya dapat dilihat dari berbagai sudut teoritis. Dalam studi tentang banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut dan umum. Dalam berbagai studi tentang hokum dikemukakan misalnya, hokum mempunyai sifat umum makanya peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akan kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu ada yang mengidentifikasi sifat hukum ke dalam sifat imperatif dan fakultatif. Dengan sifat imperatif, peraturan hukum bersifat apriori harus ditaati mengikat dan memaksa. Sedangkan sifat fakultatif, peraturan hokum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar melengkapi, subside dan dispositif. 1. Hukum Otonom dan Hokum Menindas Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. Jika demikian, maka pihak yang berkuasa, dengan baju otoritas mempunyai kewenangan yang sah menuntut warga Negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta. Pengguanan kekuasaan itu bia melahirkan karakter hokum yang menindas maupun karakter hokum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan. 12 Table 1: Karakteristik Hukum Menindas dan Hukum Otonom20 Tipe Menindas Tipe Otonom Tujuan hukum - Ketertiban - Kesahan Legitimasi - Pertahanan social - Menegakkan Peraturan - Kasar yang terperinci tetapi hanya prosedur - mengikat Sangat terurai;mengikat pembuat peraturan pembuat maupun secara lemah mereka diatur Penalaran - Merata Diskresi - Pembatasannya - yang Dibatasi lemah peraturan- Pemaksaan - Komunal peraturan Moralitas - Hukum pendelegasian ditundukkan pada oleh sangat terbatas kekuasaan politik Kaitan politik - Tunduk dan patuh dianggap tiak loyal - Dikontrol oleh pembatasan hukum 2. Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif Ada tiga macam tradisi hukum yang kemudian dikaitkan dengan strategi pembangunan hukum. Dalam dunia kontemporer terdapat tiga macam tradisi hukum yang utama, yaitu: tradisi hukum continental (civil law), Hukum adat dan tradisi hukum sosialis (socialist law). Yang dimaksudkan dengan tradisi hukum ialah: “…seperangkat sikap mengenai sifat hokum, peranan hukum dalam masyarakat dan pemerintahan, organisasi-organisasi dan operasionalisasi system huku, dan cara 20 Ibid .hlm 28 13 hokum itu dibuat, diterapkan, dipelajari, disempurnakan dan dipikirkan yang semuanya berakar secara mendalam dan dikondisikan oleh sejarah masyarakat21. Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hokum “responsif” pada strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga Negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hokum. Sebaliknya pada strategi pembangunan hokum responsive, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok social atau individu-individu di dalam masyarakat. Kedua strategi tersebut memberi implikasi berbeda pada produk hukumnya. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks bersifat positivis-instrumentalis, yaitu menjadi alas yang ampuh bagi pelaksanaan ideology dan program Negara. Hukum merupakan perwujudan nyata visi social pemegang kekuasaan Negara.sedangkan strategi pembangunan hokum responsif, akan menghasilkan hokum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok social dan individu dalam masyarakatnya. Paralel dengan konfigurasi politik yang memilih dua ujung yang dikotomis yakni demokrasi dan otoriter, maka studi ini mengambil dua konsep karakter produk hukum yang juga dikotomis , yaitu responsif/populistik dan ortodoks/konservatif/elitis. 21 Abdul Hakim Canada Nusantara, Politik Hokum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBHI,1988),Hlm. 26-34 14 BAB III KESIMPULAN Hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berubah seiring dengan perubahan politik atau kekuasaan, dalam hal ini dapat diartikan perubahan pemegang kekuasaan atau penguasa di sautu Negara. Sepanjang sejarah ketatanegaraan suatu Negara memungkinkan hubungan kausalitas antara hukum dan politik itu dapat berganti-ganti. Paling tidak ada tiga kemungkinan hubungan kausalitas antara hukum dan politik, yaitu: Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hokum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum22. 22 Moh. Mahfud MD,Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:LP3ES,2001), hlm.8. 15 Daftar Pustaka Budiman Sinaga,Putusan Mk; Putusan Hukum Diantara Putusan Politik, Jakarta. Jurnal Konstitusi, Vol.Iii,No.1, Juni 2010 Imam Syaukani,2005. Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada Jimly Asshiddiqie,2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indoesia. Pasca Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu Popular. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Moh.Mahfud Md,2014. Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta;Rajawali Press Yusril Ihza Mahendra,1996.Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta: Gema Insane Press 16