analisis hubungan anemia pada kehamilan dengan kejadian

advertisement
ANALISIS HUBUNGAN ANEMIA PADA KEHAMILAN DENGAN
KEJADIAN ABORTUS DI RSUD DEMANG SEPULAU RAYA
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
Fahrul Irayani
Akademi Kebidanan Wahana Husada Lampung Tengah
Email: [email protected]
Abstract: Analysis of Relationship Anemia in Pregnancy with Abortion in Demang Sepulau Raya
Regional Public Health Hospital Central Lampung. According to the World Health Organization
about 800 women die every day due to complications in pregnancy and childbirth. In 2010, the maternal
mortality rate due to complications of pregnancy and childbirth in the world reached 287,000. The
maternal mortality ratio in developing countries is 240/100,000 live births. Maternal mortality in 2012
359/100,000 live births. In Lampung Province in 2011 was 146 cases. Cause of maternal death in
Indonesia is bleeding (28%). Bleeding causes of maternal mortality are mostly found today is abortion.
Based on the results of the survey in hospitals Demang Sepulau Raya in 2011 amounted to 59.12% in
2012 increased to 61.93%. The general objective of this study was to determine the relationship between
anemia in pregnancy with abortion in hospitals Demang Sepulau Raya in 2013. Quantitative research
with observational analytic design or design of case-control studies. The population in the study were all
women giving birth in the period of 2013. Sampling is the case and control groups with systematic
random sampling with a ratio of 86 cases and 86 controls. Bivariate analysis using chi-square test,
multivariate analysis with multiple logistic regression. Variables associated with abortion is anemia with
p-value: 0.000, OR: (3.317), age with p-value: 0,048 OR: (2.781), parity with p-value: 0,040 OR:
(3.048), history of abortion with p-value: 0,036 OR: (5.526). Multivariate analysis found the possibility
of anemia risk 2,881 times more likely to experience miscarriage than pregnant women who are not
anemic after the controlled variables of age and a history of abortion. Suggestions needed antenatal
implementation in accordance with service standards ANC.
Key Words: Abortion, Anemia, Pregnancy
Abstrak: Analisis Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Kejadian Abortus di RSUD
Demang Sepulau Raya Kabupaten Lampung Tengah. Menurut World Health Organozation sekitar
800 wanita setiap hari meninggal dunia akibat komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Pada tahun
2010, Angka Kematian Ibu akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di dunia mencapai 287.000.
Rasio kematian ibu di negara berkembang adalah 240/100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu
tahun 2012 359/100.000 kelahiran hidup. Di Provinsi Lampung tahun 2011 adalah 146 kasus. Penyebab
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (28%). Perdarahan yang menyebabkan kematian ibu yang
saat ini yang banyak ditemui adalah abortus. Berdasarkan hasil pra survey di RSUD Demang Sepulau
Raya pada tahun 2011 sebesar 59,12% pada tahun 2012 meningkat menjadi 61,93%. Tujuan umum
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara anemia pada kehamilan dengan kejadian
abortus di RSUD Demang Sepulau Raya Tahun 2013. Jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan
analitik observasional dengan pendekatan atau desain studi kasus kontrol. Populasi dalam penelitian
adalah seluruh ibu bersalin dalam kurun waktu tahun 2013. Penarikan sampel kelompok kasus dan
kontrol adalah dengan systematic random sampling dengan perbandingan 86 kasus dan 86 kontrol.
Analisa bivariat menggunakan uji chi-square, analisa multivariat dengan regresilogistik ganda. Variabel
yang berhubungan dengan kejadian abortus adalah anemia dengan p-value: 0,000 OR: (3,317), usia
dengan p-value: 0,048 OR: (2,781), paritas dengan p-value: 0,040 OR: (3,048), riwayat abortus dengan
p-value: 0,036 OR: (5,526). Analisa multivariate didapatkan anemia kemungkinan berisiko 2,881 kali
lebih besar untuk mengalami abortus dibandingkan ibu hamil yang tidak anemia setelah dikontrol
variabel usia dan riwayat abortus. Saran diperlukan pelaksanaan antenatal yang sesuai dengan standar
pelayanan ANC.
Kata Kunci: Abortus, Anemia, Kehamilan
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah
satu indikator untuk melihat derajat kesehatan
perempuan. Menurut WHO, sekitar 800 wanita
setiap hari meninggal dunia akibat komplikasi pada
kehamilan dan persalinan. Pada tahun 2010, angka
kematian ibu akibat komplikasi kehamilan dan
190
Irayani, Analisis Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Kejadian Abortus 191
persalinan di dunia mencapai 287.000. Rasio
kematian ibu di negara berkembang adalah
240/100.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara
maju 16/100.000 kelahiran hidup (WHO, 2012).
Angka kematian ibu di Indonesia saat ini juga
cukup tinggi. Pada Hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia tahun 2012 menunjukkan
bahwa Angka Kematian Ibu meningkat tajam
dibanding survei yang dilakukan tahun 2007. Pada
hasil survei tahun 2007 terdapat 228/100.000
kelahiran hidup sedangkan pada survei tahun 2012
AKI meningkat menjadi 359/100.000 kelahiran
hidup. Target Millenium Development Goals 2015,
Angka Kematian Ibu ditargetkan berada di angka
102 per 100 ribu kelahiran hidup, hal tersebut
menunjukkan bahwa sampai saat ini AKI masih jauh
dari target yang diharapkan (Menkokesra, 2013).
Penyebab kematian ibu di Indonesia adalah
perdarahan (28%), infeksi (11%), eklamsi (24%),
abortus (5%), partus lama (5%), emboli obstetri
(3%), komplikasi masa nifas (8%), dan penyebab
lainnya (11%). Perdarahan yang menyebabkan
kematian ibu yang saat ini yang banyak ditemui
adalah abortus (Depkes RI, 2007). Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50%
kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi
abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat
menyebabkan kematian. Itulah sebabnya mengapa
kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak
muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan
sebagai perdarahan atau sepsis. Diperkirakan 4,2
juta abortus terjadi setiap tahun di Asia Tenggara,
dengan perincian 1,3 juta di Vietnam dan Singapura,
antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, 155.000
sampai 750.000 di Filipina dan 300.000 sampai
900.000 di Thailand (Azhari, 2012).
Data yang bersumber dari Dinas Kesehatan
Provinsi Lampung menyebutkan bahwa prevalensi
abortus di Lampung tahun 2009 sebesar 11,58%
yaitu 19.711 kejadian abortus dari 170.192 jumlah
kelahiran bayi. Berdasarkan hasil pra survey yang
dilakukan di RSUD Demang Sepulau Raya
diketahui bahwa pada tahun 2010 angka kejadian
abortus mencapai 69 kasus (16,58%) dari 416 ibu
hamil, tahun 2011 terdapat 137 kasus (22,79%) dari
601 ibu hamil, tahun 2012 meningkat menjadi 155
kasus (29,72%) dari 518 ibu hamil dan tahun 2013
meningkat kembali menjadi 189 kasus (29,95%)
dari 631 ibu hamil. Sedangkan untuk kejadian
anemia pada ibu hamil yang mengalami abortus
tahun 2010 terdapat 55,07% atau 38 kasus anemia
dari 69 kasus abortus, pada tahun 2011 menjadi
59,12% atau 81 kasus anemia dari 137 kasus
abortus, tahun 2012 meningkat menjadi 61,93%
atau 96 kasus anemia dari 155 kasus abortus, tahun
2013 meningkat menjadi 71,95% atau 136 kasus
anemia dari 189 kasus abortus (RSUD Demang
Sepulau Raya, 2013).
METODELOGI
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan
adalah case kontrol. Penelitian ini dilaksanakan di
RSUD Demang Sepulau Raya. Penelitian ini
dilaksanakan bulan Februari 2015. Populasi dalam
penelitian ini adalah wanita usia subur yang
teregister hamil pada periode 1 Januari 2013 sampai
dengan 31 Desember 2013 di RSUD Demang
Sepulau Raya yang tercatat sejumlah 981 orang.
Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 86
orang. Cara pengambilan sampel dilakukan secara
acak sistematik yaitu systematic random sampling.
Data yang digunakan penelitian ini adalah data
sekunder. Metode pengumpulan data penelitian ini
pada data kuantitatif dengan menggunakan
pengamatan (observasi rekam medis). Analisa data
menggunakan analisis univariat, bivariat dengan uji
chi-square dan multivariate dengan uji regresi
logistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Analisa Univariat
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
Kejadian Anemia, Usia, Paritas,
Jarak Kehamilan, Pekerjaan, dan
Riwayat Abortus di RSUD Demang
Sepulau Sepulau Raya
No
1
2
3
4
5
6
7
Variabel
Anemia
a. Anemia
b. Tidak Anemia
Usia
a.
Berisiko (<20 atau >35 thn)
b.
TdkBerisiko (20-35 thn)
Paritas
a.
Berisiko (>4)
b.
Tidak Berisiko (<4)
Jarak Persalinan
a.
< 2 tahun
b.
> 2 tahun
Pekerjaan
a.
Bekerja
b.
Tidak bekerja
Riwayat Abortus
a.
Ada riwayat abortus
b.
Tidak ada riwayat abortus
Abortus
a.
Abortus
b.
Tidak Abortus
f
%
83
89
48,26
51,74
24
148
13,95
86,05
22
150
12,79
87,21
7
155
9,88
90,12
33
139
19,19
80,81
12
160
6,98
93,02
86
86
50
50
192 Jurnal Kesehatan, Volume VI, Nomor 2, Oktober 2015, hlm 190-200
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui
bahwa kejadian anemia terjadi pada 83 ibu hamil
(48,26%). Usia ibu yang berisiko terdapat 24 ibu
(13,95%). Paritas berisiko terdapat 22 ibu (12,79%).
Jarak persalinan berisiko (<2 tahun) terdapat 17 ibu
(9,88%). Ibu yang bekerja sebanyak 33 ibu
(19,19%). Ibu dengan riwayat abortus sebanyak 12
ibu (6,98%) dan untuk kejadian abortus terdiri atas
86 ibu dengan abortus (kasus) dan 86 ibu yang tidak
mengalami abortus (kontrol).
Analisis Bivariat
Tabel 2. Analisis Hubungan Anemia dengan
Kejadian Abortus Di RSUD Demang
Sepulau Raya
Kasus
n
Anemi
a
Tidak
Anemi
a
Jumlah
Kontrol
%
N
Total
%
Jml
%
54
62,8
29
33,7
83
48,3
32
37,2
57
66,3
89
51,7
86
100
86
100
172
100
pvalue
0,000
OR
(95%CI)
Tabel 3. Analisis Hubungan Usia Ibu dengan
Kejadian Abortus Di RSUD Demang
Sepulau Raya
Berisiko
Tidak
berisiko
Jumlah
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
17
19,8
7
69
80,2
79
86
100
86
Total
Jml
%
8,1
24
14
91,9
148
86
100
172
100
p value
0,048
Kasus
OR
(95%CI)
2,781
1,089-7,101
Hasil uji chi-square diperoleh nilai p-value:
0,048 yang menunjukkan terdapat hubungan secara
statistik antara usia ibu dengan kejadian
abortusdengan OR: 2,781 artinya ibu dengan usia
berisiko (<20 tahun atau >35 tahun) memiliki risiko
2,781 kali lebih tinggi untuk mengalami abortus
dibandingkan ibu dengan usia yang tidak berisiko
(20-35 tahun).
Kontrol
Paritas
Ibu
n
%
n
Berisiko
16
18,6
6
70
81,4
86
100
Tidak
berisiko
Jumlah
Total
%
Jml
%
7
22
12,8
80
93
150
87,2
86
100
172
100
pvalue
OR
(95%CI)
3,048
1,131-8,215
0,040
Hasil uji chi-square diperoleh nilai p-value:
0,040 yang menunjukkan terdapat hubungan secara
statistik antara paritas ibu dengan kejadian abortus
dengan OR: 3,048 artinya ibu dengan paritas
berisiko (>4) memiliki risiko 3,048 kali lebih tinggi
untuk mengalami abortus dibandingkan ibu dengan
paritas yang tidak berisiko (<4 anak).
Tabel 5.
3,317
1,775-6,199
Hasil uji chi-square diperoleh nilai p-value:
0,000 yang menunjukkan ada hubungan secara
statistik antara anemia pada kehamilan ibu dengan
kejadian abortus dengan OR: 3,317 artinya ibu
dengan anemia selama kehamilan memiliki risiko
3,317 kali lebih tinggi untuk mengalami abortus
dibandingkan ibu yang tidak mengalami anemia
selama kehamilan.
Usia Ibu
Tabel 4. Analisis Hubungan Paritas Ibu dengan
Kejadian Abortus Di RSUD Demang
Sepulau Raya
Analisis Hubungan Jarak Persalinan
Ibu dengan Kejadian Abortus Di
RSUD Demang Sepulau Raya
Jarak kehamilan
Kasus
n
Kontrol
%
N
Total
%
Jml
%
Berisiko
12
14
5
5,8
17
9,9
Tidak berisiko
74
86,0
81
94,2
155
90,1
86
100
86
100
172
100
Jumlah
p-value
0,125
Hasil uji chi-square diperoleh nilai p-value:
0,125 yang menunjukkan tidak terdapat hubungan
secara statistik antara jarak persalinan ibu dengan
kejadian abortus, namun persentase jarak persalinan
berisiko lebih besar pada kelompok abortus
dibandingkan dengan kelompok tidak abortus.
Tabel 6. Analisis Hubungan Pekerjaan Ibu
dengan Kejadian Abortus Di RSUD
Demang Sepulau Raya
Pekerjaan Ibu
Kasus
n
%
Kontrol
n
%
Total
Jml
%
Bekerja
17
19,8
16
18,6
33
19,2
Tidak bekerja
Jumlah
69
86
80,2
100
70
86
81,4
100
139
172
80,8
100
p-value
1,000
Hasil uji chi-square diperoleh nilai p-value:
1,000 yang menunjukkan tidak terdapat hubungan
secara statistik antara pekerjaan ibu dengan kejadian
abortus, namun persentase ibu yang berkerja besar
pada kelompok abortus sedikit lebih besar
dibandingkan dengan kelompok tidak abortus.
Irayani, Analisis Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Kejadian Abortus 193
Tabel
7. Analisis Hubungan Riwayat Abortus
dengan Kejadian Abortus Di RSUD
Demang Sepulau Raya
Riwayat
Abortus
Ada
riwayat
Tidak
ada
Kasus
N
%
Kontrol
n
%
Total
Jml
%
10
11,6
2
2,3
12
7
76
88,4
84
97,7
160
93
Jumlah
86
100
86
100
172
100
p
value
0,036
OR
5,526
1,173-26,026
Hasil uji chi-square diperoleh nilai p-value:
0,036 yang menunjukkan ada hubungan secara
statistik antara riwayat abortus dengan kejadian
abortus dengan OR: 5,526 artinya ibu dengan
riwayat abortus memiliki risiko 35,526 kali lebih
tinggi untuk mengalami abortus dibandingkan ibu
yang tidak memiliki riwayat abortus sebelumnya.
Tahapan
Eliminasi
Counfounding
variabel
Kandidat
Tabel 10. Eliminasi Variabel Jarak Kehamilan
Variabel
Anemia
Usia ibu
Paritas
Riwayat
Abortus
S.E
0,335
0,609
0,638
0,830
Nilai p
0,002
0,475
0,581
0,154
OR
2,761
1,545
1,422
3,266
95% CI
1,432–5,325
0,468–5,098
0,407–4,971
0,642 – 16,607
Analisis Multivariat
Pada tabel 10 terlihat eliminasi pertama
dilakukan pada variabel yang mempunyai p-value
terbesar, yaitu variabel jarak kehamilan, kemudian
hasil perhitungan selisih OR: 0,04% (<10%), maka
jarak kehamilan bukan merupakan counfounder.
Pada tabel di atas terlihat p-value terbesar adalah
pada variabel paritas (0,581), sehingga tahap
berikutnya adalah mengeluarkan variabel paritas.
Pemilihan Variabel Kandidat Counfounding
Tabel 11. Eliminasi Variabel Paritas
Tabel
8.
Variabel
Variabel Potensial Multivariat
Hubungan
Anemia
dengan
Kejadian
Abortus
di
RSUD
Demang Sepulau Raya
Nilai p
OR
95% CI
Anemia
Usia Ibu
Paritas
Jarak kehamilan
Pekerjaan
0,000
0,033
0,028
0,082
0,846
3,317
2,784
3,048
2,627
1,078
1,775 - 6,199
1,089 - 7,101
1,131 - 8,215
0,883 –7,812
0,504 –2,303
Riwayat
Abortus
0,031
5,526
1,173 -26,026
Keterang
an
Kandidat
Kandidat
Kandidat
Kandidat
Bukan
Kandidat
Kandidat
Hasil uji statistik bivariate terdapat satu
variabel yang memiliki p>0,25 yaitu variabel
pekerjaan tidak dapat masuk ke dalam model,
sedangkan variabel yang memenuhi persyaratan
(nilai p<0,25) dimasukkan ke permodelan awal.
Tabel 9. Model Awal Analisis Multivariat
Hubungan Anemia dengan Kejadian
Abortus di RSUD Demang Sepulau
Raya
Variabel
Anemia
Usia ibu
Paritas
Jarak kehamilan
Riwayat Abortus
S.E
0,339
0,631
0,664
0,692
0,830
Nilai p
0,003
0,475
0,578
0,925
0,153
OR
2,774
1,569
1,447
0,937
3,278
95% CI
1,428 – 5,385
0,456 - 5,400
0,394 - 5,317
0,241 – 3,640
0,644 – 16,688
Variabel
Anemia
Usia ibu
Riwayat Abortus
S.E
0,327
0,514
0,827
Nilai p
0,001
0,231
0,161
OR
2,881
1,851
3,184
95% CI
1,518 – 5,468
0,676 – 5,065
0,630 – 16,093
Pada tabel 11 terlihat eliminasi kedua
dilakukan pada variabel paritas mempunyai p-value
terbesar 0,581, kemudian hasil perhitungan selisih
OR: 0,43% (<10%), maka paritas bukan merupakan
counfounder. Pada tabel di atas terlihat p-value
terbesar adalah pada variabel usia (0,231), sehingga
tahap berikutnya adalah mengeluarkan variabel usia.
Tabel 12. Eliminasi Variabel Usia Ibu
Variabel
Anemia
Riwayat
Abortus
S.E
0,324
0,810
Nilai p
0,001
0,094
OR
3,018
3,882
95% CI
1,599 – 5,695
0,794 – 18,982
Pada tabel 12 terlihat eliminasi ketiga
dilakukan pada variabel usia ibu mempunyai p-value
terbesar 0,231, kemudian hasil perhitungan terdapat
selisih OR:>10%, kemudian dilanjutkan dengan
memeriksa perhitungan selisih OR sebagai berikut:
Tabel 13. Selisih Nilai OR
Variabel
Anemia
Riwayat
Abortus
Nilai P- Nilai pawal
akhir
0,001
0,001
0,231
0,161
OR
Awal
2,881
3,184
OR
Akhir
3,018
3,882
Selisih
OR
0.137
0.698
%
4,76%
21,92%
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa
setelah dilakukan eliminasi pada variabel usia
terdapat selisih OR>10%, yaitu pada variabel
194 Jurnal Kesehatan, Volume VI, Nomor 2, Oktober 2015, hlm 190-200
riwayat abortus sebesar 21,92%, sehingga variabel
usia harus dimasukkan kembali atau usia merupakan
variabel counfounder.
Tabel 14. Variabel Usia masuk ke dalam model
Variabel
Anemia
Usia ibu
Riwayat Abortus
S.E
0,327
0,514
0,827
Nilai p
0,001
0,231
0,161
OR
2,881
1,851
3,184
95% CI
1,518 – 5,468
0,676 – 5,065
0,630 – 16,093
Tabel 15. Eliminasi Variabel Riwayat Abortus
Variabel
Anemia
Usia ibu
S.E
0,324
0,497
Nilai p
0,001
0,114
OR
3,070
2,192
95% CI
1,628 – 5,787
0,828 – 5,803
Pada tabel 15 terlihat eliminasi keempat
dilakukan pada variabel riwayat abortus karena
mempunyai p-value terbesar 0,161, kemudian
dilanjutkan dengan memeriksa perhitungan selisih
OR sebagai berikut:
Tabel 16. Selisih Nilai OR
Variabel
Anemia
Usia ibu
Nilai P
awal
0,001
0,231
Nilai P
akhir
0,001
0,114
OR
Awal
2,881
1,851
OR
Akhir
3,070
2,192
Selisih
OR
0.189
0.341
%
6.56%
18.42%
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa
setelah mengeliminasi variabel riwayat abortus
terdapat selisih OR>10%, yaitu pada variabel usia
sebesar 18,42%, sehingga variabel riwayat abortus
harus dimasukkan kembali atau riwayat abortus
merupakan variabel counfounder.
Tabel 17. Variabel Riwayat Abortus masuk ke
dalam model
Variabel
Anemia
Usia ibu
Riwayat Abortus
S.E
0,327
0,514
0,827
Nilai p
0,001
0,231
0,161
OR
2,881
1,851
3,184
95% CI
1,518 – 5,468
0,676 – 5,065
0,630 – 16,093
Penentuan Model Akhir
Tabel 18. Model Akhir Hubungan Anemia
dengan Kejadian Abortus di RSUD
Demang Sepulau Raya
Variabel
Anemia
Usia ibu
Riwayat Abortus
S.E
0,327
0,514
0,827
Nilai p
0,001
0,231
0,161
OR
2,881
1,851
3,184
95% CI
1,518 – 5,468
0,676 – 5,065
0,630 – 16,093
Dari model akhir tersebut didapatkan nilai
OR: 2,881 (95% CI: 1,518–5,468), artinya bahwa
ibu dengan anemia dalam kehamilan berisiko 2,881
kali lebih besar untuk melahirkan bayi abortus
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami
anemia setelah dikontrol variabel usia dan riwayat
abortus. Hasil analisa data diperoleh persamaan
Y=-2,177+1,058(anemia)+0,615(usia)+1,158
(riwayat abortus) yang dapat dinterpretasikan jika
kejadian anemia, risiko usia ibu dan riwayat abortus
bernilai nol maka risiko kejadian abortus akan
menurun sebesar 2,177.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa
responden yang mengalami anemia dalam kehamilan
pada kelompok abortus sebesar 62,8% ibu, dan pada
kelompok tidak abortus 33,7% ibu, dapat dilihat
bahwa persentase ibu dengan anemia lebih besar
pada kelompok abortus dibandingkan pada
kelompok tidak abortus. Menurut Huliana (2007)
bahwa jika seorang wanita hamil mengidap anemia,
pengaruhnya dapat terjadi pada awal kehamilan
yaitu terhadap pembuahan (janin, plasenta, darah).
Hasil pembuahan membutuhkan butir-butir darah
merah dalam pertumbuhan embrio. Pada bulan ke 56 janin membutuhkan zat besi yang semakin besar
jika kandungan zat besi ibu kurang maka sel darah
merah tidak dapat mengantarkan oksigen secara
maksimal ke janin sehingga dapat terjadi abortus,
kematian janin dalam kandungan atau waktu lahir.
Pada hasil uji bivariat hubungan anemia
dalam kehamilan dengan kejadian abortus secara
statistik terbukti signifikan (p-value:0,000) dengan
OR=3,317 (95% CI:1,775–6,199), artinya bahwa
kemungkinan risiko mengalami abortus pada
responden dengan anemia adalah 3,317 kali lebih
besar dibandingkan pada responden yang tidak
mengalami anemia. Menurut Prawirohardjo (2007),
Anemia pada ibu dapat mengakibatkan perdarahan,
infeksi, abortus, persalinan prematur, syok, yang
dapat berakhir dengan kematian. Pada janin, anemia
dapat menyebabkan BBLR, IUFD, cacat bawaan,
prematur, dan infeksi pada janin. Ibu hamil yang
mengalami anemia akan mengalami hipoksemia atau
kemampuan membawa oksigen ke janin serta nutrisi
ke janin yang mempengaruhi fungsi plasenta. Fungsi
plasenta yang menurun dapat mengakibatkan
gangguan tumbuh kembang janin, sehingga
kebutuhan janin tidak terpenuhi. Keadaan tersebut
mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat dan
abortus (FKMUI, 2008).
1. Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Abortus
Hasil penelitian responden dengan usia
berisiko pada kelompok abortus terdapat 19,8%,
lebih banyak dibandingkan pada kelompok tidak
abortus yaitu 8,1%, dari hasil tersebut diketahui
Irayani, Analisis Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Kejadian Abortus 195
bahwa persentase responden dengan usia berisiko
lebih besar pada kasus dibandingkan pada kontrol.
Menurut Manuaba (2010) yang menyebutkan bahwa
beberapa risiko yang bisa terjadi pada kehamilan di
usia kurang dari 20 tahun adalah kecenderungan
naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin
terhambat dan pada wanita yang berusia 35 tahun
atau lebih juga lebih rentan terhadap tekanan darah
tinggi, diabetes atau fibroid di dalam rahim serta
lebih rentan terhadap gangguan persalinan. Penyulit
pada kehamilan usia terlalu muda ataupun tua salah
satunya preeklampsia, serta belum matangnya alat
reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan
kesehatan ibu maupun perkembangan dan
pertumbuhan janin.
Hasil uji statistik usia ibu dengan kejadian
abortus menunjukkan hasil secara statistik adanya
hubungan signifikan antara usia dengan kejadian
abortus (nilai p-value: 0,048<0,05), serta dapat
dilihat bahwa persentase responden dengan usia
berisiko lebih besar pada kasus (19,8%)
dibandingkan pada kontrol (8,1%) dengan
OR=2,781 (95% CI:1,089–7,101), artinya bahwa
kemungkinan risiko mengalami abortus pada
responden dengan usia berisiko adalah 2,781 kali
lebih besar dibandingkan pada responden dengan
usia tidak berisiko. Usia ibu merupakan salah satu
faktor risiko yang berhubungan dengan kualitas
kehamilan. Usia yang paling aman atau bisa
dikatakan waktu reproduksi sehat adalah antara
umur 20 tahun sampai umur 30 tahun. Penyulit pada
kehamilan remaja salah satunya preeklampsia lebih
tinggi dibandingkan waktu reproduksi sehat.
Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat
reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan
kesehatan ibu maupun perkembangan dan
pertumbuhan janin (Manuaba, 2010).
2. Hubungan Paritas dengan Kejadian Abortus
Hasil analisa distribusi frekuensi ibu yang
mengalami abortus pada ibu dengan paritas berisiko
yaitu 18,6%, sedangkan ibu yang tidak abortus pada
ibu dengan paritas berisiko yaitu 7%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa persentase responden dengan
paritas berisiko lebih besar pada kasus dibandingkan
pada kontrol. Menurut Manuaba (2010) yang
menyebutkan bahwa kehamilan yang rawan terjadi
pada kehamilan pertama dan risiko akan berkurang
pada kehamilan kedua dan ketiga. Bahaya akan
kembali meningkat saat kehamilan keempat dan
berikutnya. Hasil SKRT menunjukkan bahwa wanita
dengan paritas lebih dari tiga mempunyai
kecenderungan mengalami komplikasi dalam
kehamilannya. Hal ini berkaitan dengan gangguan
pada plasenta dan sirkulasi nutrisi ke janin yang
terganggu.
Hasil uji statistik paritas ibu dengan kejadian
abortus menunjukkan hasil adanya hubungan
signifikan antara paritas dengan kejadian abortus
(nilai p-value: 0,040<0,05), serta dapat dilihat bahwa
persentase responden dengan paritas berisiko lebih
besar pada kasus dibandingkan pada kontrol dengan
OR=3,048 (95% CI:1,131–8,215), artinya bahwa
kemungkinan risiko mengalami abortus pada
responden dengan paritas berisiko adalah 3,048 kali
lebih besar dibandingkan pada responden dengan
paritas tidak berisiko. Paritas merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya abortus. Kehamilan yang
rawan terjadi pada kehamilan pertama dan risiko
akan berkurang pada kehamilan kedua dan ketiga.
Bahaya akan kembali meningkat saat kehamilan
keempat dan berikutnya (BKKBN, 2007). Hasil
SKRT menunjukkan bahwa wanita dengan paritas
lebih dari tiga mempunyai kecenderungan
mengalami komplikasi dalam kehamilannya. Hal ini
berkaitan dengan gangguan pada plasenta dan
sirkulasi nutrisi dari ibu ke janin yang terganggu.
Setiap wanita akan dapat menghadapi risiko
komplikasi dan harus dapat mengakses/memperoleh
asuhan kesehatan ibu yang bermutu tinggi.
Pada ibu dengan paritas berisiko namun tidak
mengalami abortus dapat berkaitan dengan kondisi
yang tidak mengalami komplikasi dalam
kehamilannya sehingga sirkulasi nutrisi ibu ke janin
tetap berjalan dengan baik serta ibu yang rutin
memeriksakan kehamilannya dan risiko untuk
mengalai abortus dapat dihindari, sedangkan pada
ibu dengan paritas tidak berisiko namun mengalami
abortus dapat dimungkinkan berkaitan dengan faktor
lain penyebab dari abortus. Jika ibu dengan paritas
tidak berisiko namun ia tidak menjaga kehamilannya
maka kemungkinan untuk mengalami abortus tetap
ada serta dapat dimungkinkan adanya faktor
penyebab lain dari kejadian abortus seperti adanya
kelainan genital, jarak kehamilan yang pendek, usia
yang berisiko serta adanya riwayat abortus dan
komplikasi kehamilan lain sebelumnya mengingat
paritas bukan merupakan satu-satunya penyebab dari
kejadian abortus.
3. Hubungan
Jarak
Kejadian Abortus
Kehamilan
dengan
Hasil analisis distribusi frekuensi ibu yang
mengalami abortus pada ibu dengan jarak persalinan
berisiko yaitu 14%, sedangkan ibu yang tidak
abortus pada ibu dengan jarak persalinan berisiko
yaitu 5,8%. Hasil ini juga menunjukkan bahwa
persentase responden dengan jarak persalinan
196 Jurnal Kesehatan, Volume VI, Nomor 2, Oktober 2015, hlm 190-200
berisiko lebih besar pada kasus dibandingkan pada
kontrol. Menurut Praputanto (2005), jarak kehamilan
kurang dari 2 tahun dapat mengakibatkan terjadinya
penyulit dalam kehamilan seperti anemia karena
kondisi ibu yang belum sepenuhnya kembali normal
akibat dari persalinan sebelumnya dan risiko yang
dapat terjadi salah satunya adalah abortus (BKKBN,
2007).
Hasil uji statistik jarak kehamilan ibu dengan
kejadian abortus menunjukkan hasil tidak adanya
hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian
abortus (nilai p-value: 0,125>0,05), namun dapat
dilihat bahwa persentase responden dengan jarak
kehamilan berisiko lebih besar pada kasus
dibandingkan pada kontrol. Hasil ini menunjukkan
tidak ada perbedaan risiko kejadian abortus antara
responden dengan jarak persalinan berisiko
dibandingkan responden dengan jarak persalinan
tidak berisiko atau secara statistik jarak persalinan
dengan abortus tidak ada hubungan. Jika dilihat dari
persentase ibu dengan jarak persalinan <2 tahun
yang lebih banyak mengalami abortus (14%)
dibandingkan yang tidak mengalami abortus (5,8),
sehingga masih terdapat kesesuaian dengan konsep
yang menyebutkan bahwa jarak kehamilan kurang
dari 2 tahun dapat mengakibatkan terjadinya
penyulit dalam kehamilan seperti abortus (BKKBN,
2007).
Dalam penelitian ini ditemukan hasil dari uji
bivariat bahwa jarak kehamilan ibu tidak
berhubungan dengan kejadian abortus dimana hasil
tersebut dikarenakan jumlah ibu bersalin dengan
jarak kehamilan <2 tahun yang relatif kecil
persentasenya (9,9%) sehingga tidak cukup untuk
menjadi faktor penyebab terjadinya abortus
meskipun persentase yang mengalami abortus pada
jarak <2 tahun lebih besar dibandingkan dengan
persentase yang tidak abortus. Hasil tersebut
dimungkinkan karena pada ibu sudah memiliki
kesadaran akan pentingnya menjaga jarak kehamilan
yang sering diberikan dalam program keluarga
berencana akan bahaya dari kehamilan yang terlalu
dekat serta berkaitan dengan karakteristik responden
yang sebagian besar berlokasi di daerah perkotaan
dimana budaya banyak anak banyak rejeki sudah
mulai ditinggalkan.
Salah satu faktor penyebab abortus adalah
ketidaksuburan lapisan dalam rahim (endomterium)
yang disebabkan oleh kekurangan gizi, kehamilan
dengan jarak pendek, terdapat penyakit dalam rahim
(Manuaba, 2006). Perhitungan tak kurang dari 9
bulan ini atas dasar pertimbangan kembalinya organorgan reproduksi ke keadaan semula. Makanya ada
istilah masa nifas, yaitu masa organ-organ
reproduksi kembali ke masa sebelum hamil. Namun
masa nifas berlangsung hanya 40 hari, sementara
organ-organ reproduksi baru kembali ke keadaan
semula minimal 3 bulan. Bila jarak kehamilan
terlalu pendek atau kurang dari 9 bulan akan sangat
berbahaya, karena organ-organ reproduksi belum
kembali ke kondisi semula. Selain, kondisi energi si
ibu juga belum memungkinkan untuk menerima
kehamilan berikutnya (Praputranto, 2005).
4. Hubungan
Abortus
Pekerjaan
dengan
Kejadian
Hasil analisis distribusi frekuensi ibu yang
mengalami abortus pada ibu bekerja yaitu 19,8%,
sedangkan ibu yang tidak abortus pada ibu bekerja
yaitu 18,6%, dapat dilihat bahwa persentase
responden dengan status bekerja sedikit lebih besar
pada kelompok abortus dibandingkan pada
kelompok tidak abortus. Pekerjaan ibu dapat
meningkatkan risiko terjadinya abortus karena ibu
yang berkerja terlalu berat dapat menurunkan
kondisi fisik ibu yang dapat menyebabkan
pengurangan aliran darah ke plasenta. Hal ini dapat
berimbas pada pembatasan jumlah nutrisi dan
oksigen yang mengalir ke janin sehingga
menyebabkan kejadian abortus. Para ahli juga
menyebutkan bahwa hal ini berkaitan dengan stress
dan beratnya pekerjaan ibu selama kehamilan dapat
mempengaruhi janin yang sedang dikandungnya
(Nor-Light, 2007).
Hasil uji bivariat hubungan pekerjaan ibu
dengan kejadian abortus tidak menunjukkan hasil
yang tidak signifikan secara statistik (nilai p=1,000),
tetapi masih dapat dilihat bahwa persentase
responden dengan pekerjaan sedikit lebih mengalami
abortus dibandingkan yang tidak abortus. Jika dilihat
dari persentase 33 ibu yang bekerja lebih banyak
yang mengalami abortus (51,51%), sehingga masih
dapat dikatakan memiliki kesesuaian dengan
pernyataan yang menyebutkan bahwa pekerjaan ibu
dapat meningkatkan risiko terjadinya abortus karena
ibu yang berkerja terlalu berat dapat menurunkan
kondisi fisik ibu yang dapat menyebabkan
pengurangan aliran darah ke plasenta. Hal ini dapat
berimbas pada pembatasan jumlah nutrisi dan
oksigen yang mengalir ke janin sehingga
menyebabkan kejadian abortus. Para ahli juga
menyebutkan bahwa hal ini berkaitan dengan stres
yang dimiliki oleh ibu akibat dari pekerjaan yang
menumpuk. Beratnya pekerjaan ibu selama
kehamilan
dapat
menimbulkan
terjadinya
prematuritas karena ibu kurang istirahat dan hal
tersebut dapat mempengaruhi janin yang sedang
dikandungnya (Nor-Light, 2007). Pada saat hamil,
banyak fungsi organ dan otot berubah dikarenakan
Irayani, Analisis Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Kejadian Abortus 197
perkembangan fetus.Selain itu pada awal kehamilan
kondisi psikologi dapat mempengaruhi wanita
bekerja seperti mual-mual karena bau tertentu.
Tubuh wanita juga akan mengalami kenaikan dalam
suhu tubuh karena kecepatan metabolisme dalam
tubuh yang tinggi biasanya serta tulang belakang dan
otot-ototnya menjadi lebih tegang (Anonim, 2010,
emd 166 slide tenaga kerja wanita dan anak).
Hasil tidak berhubungan antara pekerjaan
dengan kejadian abortus tersebut ditunjukkan dari
hasil jumlah ibu bersalin yang bekerja relatif kecil
perbedaan persentasenya (19,8% berbanding 18,6%)
yang mengalami abortus dibandingkan ibu yang
berprofesi sebagai ibu rumah tangga sehingga tidak
cukup menjadi faktor penyebab terjadinya abortus
meskipun persentase yang mengalami abortus pada
ibu yang bekerja sedikit lebih besar dibandingkan
dengan persentase yang tidak abortus. Dimana hal
tersebut dapat disebabkan karena pada ibu rumah
tangga justru memiliki beban kerja yang lebih berat
dibandingkan dengan ibu yang bekerja di luar
rumah. Pekerjaan ibu rumah tangga memerlukan
kekuatan fisik yang lebih dibandingkan pekerjaan di
luar rumah seperti di perkantoran yang kurang
beraktivitas dibandingkan dengan ibu rumah tangga,
sehingga pada ibu rumah tangga juga berisiko untuk
terjadinya abortus apalagi waktu istirahat yang tidak
cukup mengingat pekerjaan ibu rumah tangga yang
lebih dari 8 jam dalam sehari bahkan sampai dengan
tengah malam baru dapat beristirahat ditimbah lagi
apabila keluarga ibu memiliki jumlah anak yang
banyak.
5. Hubungan
Riwayat
Kejadian Abortus
Abortus
dengan
Hasil analisis distribusi frekuensi ibu dengan
riwayat abortus 11,6% mengalami abortus, dan 2,3%
ibu tidak abortus. Hasil tersebut menunjukkan
perbedaan persentase. Kejadian keguguran pada
kehamilan
trimester
kedua
meningkatkan
kemungkinan
abortus,
persalinan
prematur,
gangguan pertumbuhan janin dan kematian janin
dalam rahim pada kehamilan berikutnya. Pada ibu
dengan riwayat abortus sebelumnya menunjukkan
bahwa pada ibu memiliki cacatan mengenai
gangguan pada alat reproduksinya sehingga pada
kehamilan berikutnya hal itu dapat saja timbul
kembali yang dapat memperberat risiko abortus
kembali (Kusmiyati, 2009).
Hasil uji bivariat hubungan riwayat abortus
dengan kejadian abortus menunjukkan hasil yang
signifikan (nilai p=0.036), yang dapat dilihat dari
persentase responden dengan riwayat abortus lebih
besar pada kelompok abortus dibandingkan pada
kelompok tidak abortus, terdapat 11,6%, lebih
banyak dibandingkan pada kelompok tidak abortus
yaitu 2,3% dengan OR:5,526 yang berarti ibu
dengan riwayat abortus memiliki risiko 5,526 kali
lebih tinggi untuk mengalami abortus dibandingkan
dengan ibu yang tidak ada riwayat abortus
sebelumnya. Jika dilihat dari 12 orang ibu yang ada
riwayat abortus maka terlihat 10 orang (76,92%)
mengalami abortus sehingga memiliki kesesuaian
dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa
kejadian keguguran pada kehamilan sebelumnya
meningkatkan kemungkinan abortus, persalinan
prematur, gangguan pertumbuhan janin dan
kematian janin dalam rahim pada kehamilan
berikutnya (Kusmiyati, 2009).
Dalam penelitian ini juga diperoleh data
mengenai ibu dengan riwayat abortus namun tidak
mengalami abortus (2,3%) dan ibu yang tidak
memiliki riwayat abortus namun mengalami
kejadian abortus (88,4%) dimana hal tersebut dapat
berkaitan dengan faktor lain dari penyebab kejadian
abotus. Pada ibu dengan riwayat abortus namun
tidak mengalami abortus hal itu dapat saja terjadi
berkaitan dengan kesadaran ibu yang pernah
mengalami kejadian abortus sebelumnya untuk
memeriksakan kehamilannya agar kejadian abortus
tidak terulang kembali. Pada ibu yang tidak
memiliki riwayat kejadian abortus namun tidak
mengalami kejadian abortus hal tersebut dapat
dimungkinkan
karena
kejadian
abortusnya
disebabkan oleh faktor penyebab lain seperti
kejadian anemia usia, paritas dan jarak kehamilan
yang berisiko serta faktor penyebab lain dari
kejadian abortus sehingga meskipun ibu tidak
memiliki riwayat abortus sebelumnya ia tetap
berisiko untuk mengalami kejadian abortus.
Adanya hubungan antara riwayat abortus
dengan kejadian abortus serta ibu dengan riwayat
abortus tersebut menyebabkan perlunya konseling
pada ibu yang perah mengalami abortus untuk
mengontrol dengan baik kehamilanya dengan
memeriksakan kehamilannya untuk mengetahui
status kesehatannya secara berkala dan mengetahui
perkembangan janin dalam kandungan sebagai
deteksi dini ibu hamil.
5.1 Pembahasan Analisa Multivariat
Hasil penilaian counfounding terhadap
variabel kandidat yang terpilih dalam model, yaitu
variabel anemia dengan variabel kandidat
counfounder yaitu usia, paritas, jarak persalinan, dan
riwayat abortus. Penilaian dilakukan dengan cara
membandingkan nilai OR sebelum dan sesudah
variabel kandidat counfounder dikeluarkan. Dan
198 Jurnal Kesehatan, Volume VI, Nomor 2, Oktober 2015, hlm 190-200
hasil penilaian counfounding ternyata ditemukan
variabel usia dan riwayat abortus sebagai
counfounder dalam melihat hubungan anemia.
Karena pada variabel ORcrude (OR kasar) dengan
ORactiusted yaitu diatas 10%. Hasil ini menunjukkan
bahwa kejadian anemia memberikan risiko yang
cukup tinggi terhadap kejadian abortus jika usia dan
riwayat abortus dapat dikontrol. Hal tersebut
berkaitan dengan adanya risiko pada ibu dengan usia
<20 tahun dan >35 tahun yaitu belum berkembang
secara sempurnanya rahim dan panggul ibu pada ibu
usia <20 tahun karena masih dalam masa
pertumbuhan. Disamping itu pada ibu dengan usia
>25 tahun cenderung mengakibatkan timbulnya
masalah-masalah kesehatan seperti hipertensi, DM,
anemia, persalinan lama, perdarahan saat persalinan
serta risiko terjadinya abortus dan cacat bawaan
pada janin. Untuk ibu dengan riwayat abortus juga
dapat meningkatkan risiko kejadian abortus
berkaitan dengan ibu yang pernah mengalami
abortus atau terminasi berhubungan langsung
dengan kejadian abortus berikutnya dengan
peningkatan kejadian abortus sebesar 1,3 kali pada
ibu yang mengalami satu kali abortus dan 1,9 kali
pada ibu yang mengalami dua kali abortus. Kejadian
keguguran pada kehamilan trimester kedua
meningkatkan kemungkinan abortus, persalinan
prematur, gangguan pertumbuhan janin dan
kematian janin dalam rahim pada kehamilan
berikutnya (Cahyadi, 2009).
Hubungan anemia dan abortus ini berkaitan
dengan tubuh yang mengalami perubahan yang
signifikan saat hamil seperti jumlah darah dalam
tubuh meningkat sekitar 20-30%, sehingga
memerlukan peningkatan kebutuhan pasokan besi
dan vitamin untuk membuat haemoglobin. Ketika
hamil, tubuh membuat lebih banyak darah untuk
berbagi dengan bayinya. Tubuh mungkin
memerlukan darah hingga 30% lebih banyak
daripada ketika tidak hamil. Jika tubuh tidak
memiliki cukup zat besi, tubuh tidak dapat membuat
sel-sel darah merah yang dibutuhkan untuk membuat
darah ekstra. Haemoglobin adalah protein dalam sel
darah merah yang membawa oksigen ke sel-sel lain
dalam tubuh. Banyak wanita mengalami defisiensi
peningkatan volume darah merupakan anemia
ringan. Anemia yang lebih berat meningkatkan
risiko tinggi anemia pada bayi. Anemia pada ibu
hamil juga meningkatkan risiko kehilangan darah
selama persalinan dan membuatnya lebih sulit untuk
melawan infeksi (Proverawati, 2011).
Dari hasil tersebut maka kejadian anemia
berhubungan dengan kejadian abortus berkaitan
dengan berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen
dari ibu ke janin sehingga dapat menggangu
pertumbuhan janin atau menyebabkan kejadian
abortus. Kejadian anemia tersebut juga berkaitan
dengan asupan nutrisi dan dukungan keluarga dalam
upaya pencegahan kejadian anemia serta risiko
kejadian abortus sehingga diperlukan upaya untuk
menghindari anemia yang secara tidak langsung juga
bertujuan memperkecil risiko kejadian abortus
dengan upaya pemberian konseling kepada ibu
tentang pentingnya memeriksakan kehamilan secara
rutin sesuai dengan standar pelayanan ANC serta
memberikan dorongan kepada keluarga untuk turut
serta dalam menjaga kondisi ibu selama kehamilan
dengan memberikan asupan nutrisi khususnya yang
mengandung zat besi dan istirahat yang cukup.
Selain itu tenaga kesehatan juga diharapkan
dapat melakukan deteksi dini tidak hanya terhadap
anemia saja tetapi juga memperhatikan faktor risiko
lain termasuk didalamnya pendidikan kesehatan
mengenai nutrisi yang adekuat karena nutrisi makro
dan mikro termasuk zat besi dan zat-zat lainnya
menunjang pertumbuhan janin dalam kandungan.
Melakukan penanganan dan pencegahan anemia
sesuai standar pengelolaan anemia pada ibu hamil
dengan memberikan tablet Fe dan asam folat serta
memastikan bahwa ibu hamil benar-benar
mengkonsumsinya, serta menjelaskan beberapa
makanan yang dapat menghambat penyerapan zat
besi seperti minuman teh dan kopi dua jam sebelum
dan sesudah mengkonsumsi tablet Fe dan asam folat
serta pada saat ibu makan. Selain pencegahan
anemia juga perlu diperhatikan adanya pengawasan
pada ibu dengan usia berisiko dan adanya riwayat
abortus sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, 2012
Masalah Abortus Dan Kesehatan Reproduksi
Perempuan, Bagian Obstetri & Ginekologi
FK UNSRI/ RSMH Palembang, diakses dari
http://digilib.unsri.ac.id/download/.
Bobak; Lowdermilk; Jensen. 2005.
Buku Ajar Keperawatan MaternitasEdisi
4.EGC. Jakarta.
Cahyadi, 2009. Abortus Berulang. RefikaAditama,
Bandung.
Irayani, Analisis Hubungan Anemia pada Kehamilan dengan Kejadian Abortus 199
Challis, J. R., S. J. Lye, et al., 2001 "Understanding
preterm labor." Ann N Y AcadSci 943: 22534
diakses
dari
http://pakaiansemuamodel.blogspot.com/
2013_01_01_archive.html.
Cunningham, 2006. Obstetri Williams. Jakarta:
EGC.
Depdikbud, 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Depdikbud.
Fazriyati, 2010. Kendalikan Tekanan Pekerjan
Selama
Hamil,
[Online].
Tersedia(http://female.kompas.com/read/2010
/11/10/10054170/ [10 Februari 2015].
Fraser, Diane M; Cooper, Margaret A. 2009.
Myles Buku Ajar Bidan, Edisi 14.EGC.
Jakarta.
Gazali, Pernando, 2007. Atur Jarak Kehamilan
Yuk!,diakses
dari:
http://www.tanyadok.com/artikelkesehatan/atur-jarak-kehamilan-yuk,
[10
Februari 2015].
Handono,
dkk,
2009.
Abortus
Berulang.
RefikaAditama, Bandung.
Harhayati, 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya abortus pada ibu hamil di wilayah
kerja puskesmas AdijayaKotamadyaBrebes
tahun
2004,
diakseshttp://core.ac.uk/download/pdf/117228
13.pdf[10 Februari 2015].
Hernawati, 2009) di RSU Tidar Magelang
menunjukkan ada hubungan yang signifikan
antara kejadian anemia pada ibu hamil dengan
kejadian abortus. Hasil penelitian
Huliana, 2007. Panduan Menjaga Kehamilan Sehat,,
Puspa Swara,Jakarta.
Kusmiyatidkk, 2009. Perawatan Ibu Hamil,
Yogyakarta: Fitra Maya.
Lemeshow, S., Hosmer Jr. David W., Klar, J.,
Lwanga, Steven K. 1997.
Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan,
Jogjakarta: GadjahMada University Press.
Mansjoer, 2000. KapitaSelekta Kedokteran, Edisi 3,
Medica. Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Manuaba, Ida AyuChandranita; dkk. 2010.
Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan,
Edisi 2. EGC.Jakarta.
Manuaba, Ida AyuChandranita; dkk. 2012.
Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan,
Edisi 2. EGC.Jakarta.
Maryanti, dkk., 2011. Buku Ajar Neonatus, Bayi dan
Balita, Jakarta: Trans Info Media.
Melianti, 2008
Faktor-faktor risiko ibu hamil yang
berhubungan dengan kejadian Abortus di
RSUD
Soreang
Bandung,
ibrary.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN
/0810211023/Abstrak.pdf[10 Februari 2015].
Menkokesra, 2013,
Millennium
Development
Goals,
http://www.id.undp.org/content/dam/indonesi
a/docs/MDG/.
Mochtar,
1998.
SinopsisObstetri
Fisiologi,
ObstetriPatologi. Jakarta: EGC.
Muslikhah, 2006. Hubungan antara Anemia pada
Ibu Hamil dengan Kejadian Abortus di RSU
dr.
Moerwardi
Surakarta,
http://jurnal.fk.uns.ac.id/index.php/NexusKedokteran-Klinik/search/titles[10 Februari
2015].
Novialia, 2008. Faktor-faktor risiko ibu hamil yang
berhubungan dengan kejadian abortus Studi
Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal[10
Februari 2015].
Nor-light, 2007, Abortus, [Online]. Tersedia:
http://nor-light05.blog.friendster.com/[10
Februari 2015].
Nugroho & Taufan, 2010
Patologi Kebidanan.Yogyakarta, Medical
book.
Nurjaya,
dkk,
2005.
Faktor-Faktor
yang
Berhubungan dengan Kejadian Abortus
diRSIA Siti Fathimah Makasar Periode JuliDesember 2005, Makasar[10 Februari 2015].
Osma, Netrri, 2014, Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Abortus Pada Ibu
Hamil Di Badan Layanan Umum Daerah
Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh
Tahun
2014,
Thesis,
diakses
dari
http://180.241.122.205:32/index.php[10
Februari 2015].
Oxorn, Harry; Forte, William R. 2010.
Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi
Persalinan. Yayasan EssentiaMedica (YEM).
Yokyakarta.
Parra, B. E., L. M. Manjarres, et al. 2005.
“Assessment of nutritional education and iron
supplement impact on prevention of
pregnancy anemia.” Biomedica 25(2): 211-9.
diakses dari http://satriaplc.wordpress.com/
Prawirohardjo, 2006. Buku Acuan nasional:
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
YBP-SP. Jakarta
Prawirohardjo, 2007. Buku Acuan nasional:
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
YBP-SP. Jakarta.
200 Jurnal Kesehatan, Volume VI, Nomor 2, Oktober 2015, hlm 190-200
Praputranto, 2005. Jarak Kehamilan Yang Aman,
[Online]. Tersedia: (http:// andriesalima
multiply.com) diakses[22 Januari 2014].
Dinkes Lampung, 2011,
Profil Kesehatan Provinsi Lampung tahun
2010, Bandar lampung.
Proverawati, Atikah; 2011. Anemia dan Anemia
Kehamilan. Nuha Medika. Yogyakarta.
RSUD DemangSepulau Raya, 2013. Rekam Medik
RSUD DemangSepulau Raya, Bandar Jaya
Lampung Tengah.
Rukiyah, Ai Yeyeh; Yulianti, Lia. 2010. Asuhan
Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). TIM.
Jakarta.
Saifuddin, Abdul Bari.2009. Pelayanan Kesehatan
Material dan Neonatal.Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku Acuan Nasional
Pelayanan
Kesehatan
Maternal
dan
Neonatal.YBP-SP. Jakarta.
Saryono dan Anggraeni, 2013. Metodologi
Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Nuha
Medika. Yogyakarta.
Sugiyono, 2009. Statistik untuk Penelitian.Bandung:
CV Alfa Beta.
Suryani, 2009. Hubungan antara Usiaibu Dengan
Kejadian
Abortus
di
Rumah
Sakit
MulyaHusada
Kota
Manado.bhaktihusadamuliamadiun.ac.id/web/
Tarwoto dan Wasnidar, 2007. Buku Saku: Anemia
Pada
Ibu
Hamil:
Konsep
dan
Penatalaksanaanya. Tans Info Media. Jakarta.
Umar, dkk., 2005, Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Abortus di RSIA
SitiFatmiahMakasar Periode Juli-Desember
2005,
Skripsi,
[Online]
(http://www.scribd.com/doc/45732626/) [22
Januari 2014].
WHO, 2012. World Health Statistic 2011,
http://who.int.
Wendy Rose, 2006
Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan,
Jakarta: Dian Rakyat.
Widyastuti,
2007.
Kesehatan
Reproduksi,
Yogyakarta: Fitramaya,
Winkjosastro, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
Yayasan
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo.
Download