CBT - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wisata berbasis masyarakat atau sering disebut dengan Community Based
Tourism (CBT) tengah menjadi tren dalam industri pariwisata. Berakar pada
perspektif wisata masyarakat (community tourism perspective), konsep
pembangunan wisata yang sifatnya bottom up tersebut menjadi salah satu
antitesis dari model wisata top down (sentralistik) yang cenderung
berorientasi pada maksimalisasi income dan menguntungkan kalangan
tertentu. CBT merupakan model alternatif pembangunan dan pengelolaan
wisata yang mampu memberikan output maupun outcome positif karena
berbasis pada kesadaran akan kebutuhan wisata responsif dan demokratis
(Moscardo, 2008: 60). Artinya CBT berakar pada kesadaran kebutuhan dan
partisipasi masyarakat lokal, yang kemudian dikelola dengan menggunakan
asas demokrasi (dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat).
Model pariwisata berbasis masyarakat juga didukung dengan
adanya UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata dan program Kementrian
Perdagangan dan Ekonomi Kreatif yang berupaya menjadikan sektor
pariwisata sebagai basis program ekonomi kreatif dengan menekankan pada
kreativitas produk lokal dan keadilan. Salah satu contoh yang paling kentara
dan beberapa tahun ini adalah Desa Wisata. Desa Wisata adalah Objek dan
Daya Tarik Wisata (ODTW) yang menampilkan produk kearifan lokal
masyarakat seperti tradisi, tempat bersejarah, legenda, hingga produk
kerajinan (Kompas, 18 September 2014).
1
Wisata berbasis masyarakat ternyata tidak hanya identik dengan
Desa Wisata yang selama ini menjadi contoh umum, melainkan juga telah
menjadi acuan dalam pengelolaan wisata pascabencana yang ditujukan
sebagai sarana keluar dari krisis. Salah satu fenomena yang menarik adalah
tentang Wisata Erupsi Merapi yang muncul pascabencana erupsi tahun 2010
lalu, khususnya di Umbulharjo. Kendati bencana telah memporakporandakan berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, sosial, budaya,
bahkan politik; ternyata bencana justru menjadi magnet bagi kalangan
masyarakat luar Cangkringan. Pemandangan sisa-sisa bencana seperti puingpuing rumah atau perkakas rumah tangga, bangkai kendaraan, bangkai hewan
ternak, dan material erupsi yang terbawa aliran lahar menjadi objek serta
daya tarik bagi banyak orang.1
Kuantitas pengunjung yang datang untuk melihat objek sisa
bencana ditaksir mencapai ribuan setiap harinya. Sementara pada situasi
demikian sebagian besar warga masih berada di tempat pengungsian dan
hidup dalam ketidakpastian. Banyaknya pengunjung yang datang untuk
pemandangan pascaerupsi ternyata menjadi setitik asa bagi masyarakat lokal
untuk membangun kembali kehidupan pascaerupsi, di mana mereka
kehilangan harta benda untuk melanjutkan hidup. Upaya yang ditempuh
adalah dengan memanfaatkannya melalui kegiatan wisata bencana dengan
1
Oleh Heddy Shri Ahimsa disebut sebagai wisata bencana (Etnowisata Bencana: Kajian Wisata
Lereng Merapi (lihat Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta Vol IV No. 5 Tahun 2012), sedangkan Lenon dan Foley menyebutnya dengan dark
tourism yaitu wisata yang menyajikan atraksi kematian, kekejaman, dan bencana yang sering
dianggap tidak lumrah (John Lenon dan Malcolm Fooley,”Dark Tourism: The Attraction of
Death and Disaster.” (International Journal of Tourism Research Vol.4 No.6 Tahun 2002).
2
melibatkan segenap masyarakat sekitar yang notabene menjadi korban dari
bencana erupsi.2
Pada fenomena Wisata Erupsi Merapi, partisipasi masyarakat lokal
cukup signifikan dalam aktivitas pariwisata yang ditujukan untuk
kepentingan bersama. Oleh karena itu Wisata Erupsi Merapi di Umbulharjo
kemudian dikenal dengan Community Based Tourism atau pariwisata
berbasis masyarakat.3 Wisata tersebut dikelola masyarakat sekaligus
ditujukan sebagai sarana bagi pemulihan ekonomi masyarakat yang lumpuh
akibat bencana. Realitas tersebut seperti yang disampaikan oleh Wilkinson,
Oliver Smith, dan Bankof (dalam Calgaro dan Lloyd, 2008: 288) bahwa
wisata sebenarnya mampu
menjadi sumber penghidupan alternatif atau
harapan baru dalam situasi fragmentasi ekonomi, sumber alam yang terbatas,
ketidakseimbangan pasar, dan keterbatasan opsi penghidupan lainnya.
Bahkan pariwisata juga memiliki kapasitas untuk menstimulasi pembangunan
yang dapat memberikan efek positif seperti pengentasan kemiskinan dan
peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian Wisata Erupsi Merapi di
Umbulharjo juga dapat dipandang sebagai sumber alternatif penghidupan
dalam situasi krisis pascabencana, yang mana sumber kehidupan masyarakat
seperti peternakan dan pertanian vakum akibat erupsi. Dengan kata lain,
wisata
2
3
erupsi
menjadi
harapan
bagi
kehidupan
masyarakat
lokal
I Made Asdhiana. “Wisata Erupsi, Geliat Baru Merapi.” Kompas,Rabu 5 Januari 2011. Diakses
melalui http://travel.kompas.com/read/2011/01/05/08412332/Wisata.Erupsi..Geliat.Baru.Merapi
pada tanggal 14 Agustus 2014 Pukul 6.25 WIB.
Berdasarkan hasil penelitian Retnaningtyas Susanti tentang Pengembangan Atraksi Wisata
Jelajah Kinahrejo Berbasis Komunitas. Masyarakat lokal berupaya mengembangkan atraksi
wisata pasca bencana tersebut agar menjadi destinasi berkelanjutan.
3
pascabencana, sehingga mereka berupaya memanfaatkan kesempatan tersebut
dengan membangun dan mengelolanya sebagai wisata berbasis masyarakat.
Hal yang perlu diperhatikan adalah Wisata Erupsi Merapi di
Umbulharjo tidak muncul dan tumbuh dalam ruang yang vakum dan normal.
Maksudnya wisata tersebut muncul dan berkembang pada situasi krisis
pascaerupsi, yang mana tatanan sosial termasuk pemerintahan mengalami
gangguan, masyarakat kehilangan sumber daya ekonominya, bahkan
sebagian masyarakat masih berstatus sebagai pengungsi. Secara umum
masyarakat yang terdampak bencana besar seperti kasus Bencana Erupsi
Merapi tahun 2010 pasti mengalami situasi krisis secara ekonomi maupun
psikologis. Krisis secara ekonomi dapat dari kerugian materiil yang dialami,
sehingga tidak memiliki sumber daya atau modal untuk melanjutkan hidup.
Menurut Koentjoro dan Budi (dalam Jurnal Unisia No. 63/XXX/I/2007) pada
kondisi demikian maka mereka dapat dikatakan menderita kemiskinan karena
kehilangan sumber penghidupan dan ketiadaan modal. Sedangkan secara
psikologis mereka masih diliputi kesedihan, rasa takut, dan ketidakberdayaan
karena kehilangan anggota keluarga dan harta benda.
Masyarakat lokal secara mayoritas juga belum atau tidak memiliki
kemampuan manajerial wisata, walaupun wilayah Umbulharjo sebelumnya
telah menjadi destinasi wisata. Hal itu disebabkan jenis wisata sebelumnya
berbeda dengan wisata yang muncul pascabencana tahun 2010 karena
pengelolaannya secara dominan berada pada wewenang lembaga milik
pemerintah yaitu Dinas Pariwisata. Kondisi demikian juga dihadapkan pada
4
ketiadaan dukungan materiil memadai dari pemerintah terkait terhadap
pembangunan Wisata Erupsi Merapi 2010, dengan alasan bahwa lahan wisata
tersebut berada pada daerah rawan bencana.
Namun, sesuatu yang kontras justru terjadi. Dalam waktu yang
relatif singkat Wisata Erupsi Merapi di Umbulharjo muncul, tumbuh, dan
menjadi sarana pembangkit ekonomi masyarakat setempat. Bahkan hanya
dalam hitungan tidak lebih dari 2 bulan setelah bencana pertumbuhannya
cukup terasa. Geliat aktivitas wisata tersebut bukan hanya dari jumlah
pengunjung yang signifikan melainkan juga adanya pengelolaan secara
terorganisir mulai dari pengelolaan tiket masuk, tarif parkir, pemanduan bagi
wisatawan, dan pengelolaan usaha niaga yang dikoordinir oleh institusi lokal
yang bergerak di bidang pelayanan wisata. Di samping itu terdapat fasilitasfasilitas yang mendukung aktivitas pengunjung seperti pos informasi, tempat
sampah di beberapa titik, papan-papan petunjuk, dan sarana ibadah.
Oleh karena itu, pada proses kemunculan Wisata Erupsi Merapi
sebagai salah satu solusi untuk keluar dari krisis pascaerupsi tahun 2010 di
Umbulharjo tidak terlepas dari faktor pendorong lain, disamping faktor
kuantitas pengunjung. Apalagi, wisata erupsi tersebut dipandang sebagai
sarana mengentaskan masyarakat dari kondisi krisis pascaerupsi (recovery).
Faktor pendorong tersebut bisa jadi merupakan intangible capital, yang
kemudian sering diasosiasikan dengan modal sosial. Namun juga bisa
mengarah pada hal lain seperti adanya inisiator yang memobilisasi
masyarakat korban bencana di Umbulharjo dalam aktivitas wisata atau
5
semacamnya. Asumsi tersebut merujuk dari kurun waktu munculnya Wisata
Erupsi dan kondisi masyarakat yang masih berada dalam situasi krisis,
sehingga apabila tidak ada faktor apa pun seperti modal sosial atau inisiator
sosial tentu hal demikian sulit untuk dilakukan. Bahkan pariwisata berbasis
masyarakat yang menekankan pada partisipasi dan kerja sama juga sulit
dimanifestasikan di wilayah Umbulharjo.
Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini berusaha menelusuri
mekanisme-mekanisme yang dilakukan dalam memanfaatkan peluang wisata
bencana di Umbulharjo Cangkringan, yang mana wisata merupakan sarana
keluar dari krisis pascaerupsi. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan
mampu melihat faktor pendorong atau pemicu progresifnya Wisata Erupsi di
Umbulharjo, baik itu adanya inisiator yang mendorong pertumbuhan wisata
maupun intangible capital (modal sosial).
1.2 Rumusan Masalah
Pariwisata berbasis masyarakat atau CBT tengah menjadi tren dalam industri
pariwisata di Indonesia. CBT merupakan model alternatif dari pembangunan
wisata top down. Belakangan ini muncul berbagai destinasi wisata yang
tumbuh dari kekuatan lokal, dan salah satu contoh populer adalah desa wisata.
Namun, CBT ternyata tidak hanya menggeliat pada jenis objek desa wisata
melainkan juga wisata yang muncul pascabencana. Wisata pascabencana
seperti Wisata Erupsi Merapi merupakan fenomena baru dan unik dalam isu
kepariwisataan karena menampilkan atraksi jejak erupsi sebagai daya tarik.
6
Wisata Erupsi Merapi muncul pada situasi krisis. Oleh karena itu,
menjadi suatu sumber yang dikelola oleh masyarakat lokal guna membangun
kembali kehidupan sosial ekonominya atau keluar dari krisis. Merunut pada
permasalahan itu maka penelitian ini berusaha untuk menjawab rumusan
masalah terkait bagaimana upaya masyarakat Umbulharjo untuk keluar krisis
pascaerupsi Merapi 2010 dengan memanfaatkan wisata bencana?
1.3 Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1.3.1 Mengidentifikasi eksistensi inisiator dalam menginsiasi pemanfaatan
wisata bencana di Umbulharjo sebagai jalan untuk keluar dari krisis
1.3.2 Mengetahui partisipasi kolektif masyarakat korban bencana di
Umbulharjo dalam pemanfaatan wisata bencana
1.3.3 Mengidentifikasi modal sosial dalam proses pemanfataan wisata
bencana.
1.4 Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan berharga jika memberikan manfaat tidak hanya bagi
peneliti tetapi juga pihak lain. Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain:
1.4.1 Manfaat Akademik
Secara akademik penelitian ini memberikan manfaat pengetahuan
tentang insiasi tokoh lokal yang mendorong masyarakat korban bencana
untuk berupaya keluar dari krisis melalui pemanfaatan wisata bencana
secara bersama-sama, yang mana proses itu juga didukung oleh adanya
modal sosial (intangible asset).
7
1.4.2 Manfaat praktis
Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat atau lembaga
pemerintahan terkait konsep pengelolaan wisata pascabencana dalam
prinsip social entrepreneurship sebagai salah satu solusi keluar dari
krisis. Termasuk pemanfaatan intangible asset (modal sosial).
1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang sebelumnya mencoba mengkaji tentang Wisata
Erupsi Merapi. Pertama mengenai Pengembangan Atraksi Wisata Jelajah
Kinahrejo Berbasis Komunitas yang dilakukan oleh Retnaningtyas Susanti
pada tahun 2011. Penelitian ini menjelaskan upaya yang dilakukan oleh
komunitas Kinahrejo dalam mengembangkan atraksi wisata Jelajah Kinahrejo,
mekanisme partisipasi dan pengelolaan wisata, dan keberlanjutan wisata di
Kinahrejo dalam segi ekonomi, lingkungan, dan sosial politik.
Kedua, Strategi Pemulihan Penghidupan Masyarakat (Livelihood)
melalui Usaha Ekowisata Volcano Tour Pascabencana Erupsi Merapi oleh
Narulita Ayu Sri Kharismawanti tahun 2014.
Penelitian ini menjelaskan
perubahan aset hidup masyarakat pascaerupsi. Kemudian Ekowisata Volcano
Tour telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk membuka usaha
(berdagang, jasa ojek, trail, dan sebagainya) sehingga memberikan perubahan
terhadap aktivitas atau perkerjaan masyarakat, baik dalam jangka pendek
maupun panjang. Sekian tahun berjalan, wisata justru semakin menurun
sehingga
memerlukan
perubahan
strategi
dalam
mempertahankan
penghidupan. Perubahan strategi lebih mengarah pada upaya mengatasi
8
berkurangnya pendapatan karena menurunnya pengunjung yaitu dengan
promosi dan pengembangan fasilitas.
Ketiga, Pariwisata Pascabencana (Kajian Etnosains Pariwisata di
Kampung Kinahrejo Umbulharjo Sleman) oleh Mona Erythrea N. Islami tahun
2014. Penelitian ini mendeskripsikan pandangan warga Kinahrejo, pengelola
wisata Volcano Tour, dan Dinas Pariwisata Sleman terkait kawasan Kinahrejo
pascabencana. Bagi warga dan pengelola Volcano Tour, daerah Kinahrejo
merupakan lahan penghidupan baru yang harus dijaga demi keberlangsungan
ekonomi, sedangkan Dinas Pariwisata Sleman berpandangan bahwa Kinahrejo
adalah daerah rawan sehingga tidak diperkenankan untuk membuat bangunan
permanen dan akitivitas massal. Penelitian ini juga mendekripsikan upaya
pengembangan atraksi dan fasilitas wisata yang dilakukan masyarakat
setempat, serta pengembangan SDM oleh Dinas Pariwisata.
Ketiga penelitian di atas melihat secara deskriptif tentang wisata
bencana yaitu terkait livehood, argumentasi terkait adanya wisata, dan
pengembangan wisata. Ketiganya menjadi landasan untuk melakukan
penelusuran lebih lanjut mengenai konteks kebencanaan dan wisata erupsi di
Umbulharjo. Dalam hal ini peneliti berupaya untuk mengeksplorasi inisiasi
keluar dari kondisi krisis dengan memanfaatkan atraksi pascaerupsi menjadi
wisata. Pemanfaatan tersebut berupa pengelolaan wisata seperti tiket dan
parkir, maupun bisnis niaga di kawasan wisata yang dikelola secara kolektif
melalui institusi lokal dan dibentuk pascaerupsi seperti Tim Volcano Tour dan
Paguyuban Kinahrejo.
9
Pada masalah ini perlu ditekankan kembali bahwa ketika itu
masyarakat lokal masih berada pada situasi krisis akibat bencana, baik itu
kerugian materiil maupun kehilangan sanak saudara. Di sisi lain, sebagian
besar masyarakat lokal tidak memiliki kemampuan yang mumpuni tentang
manajemen wisata (human capital) atau usaha bisnis wisata. Oleh karena itu,
peneliti mencoba untuk mengekplorasi bagaimana praktik pengelolaan dan
usaha wisata dapat berjalan dalam kondisi demikian. Peneliti kemudian
berusaha menelusuri peranan intangible asset dalam proses pembentukan
institusi pengelolaan maupun usaha wisata tersebut. Intangible asset sering
diasosiasikan dengan modal sosial yang sejatinya tersedia dalam kehidupan
masyarakat, tetapi sering tidak disadari keberadaannya sebagai modal. Modal
sosial menjadi perhatian karena upaya keluar dari krisis melalui pemanfaatan
wisata bencana tidak bisa muncul begitu saja jika hanya mengandalkan modal
fisik. Di samping itu, peneliti juga mencoba melihat indikasi inisiator yang
berperan dalam menggerakkan ide pengelolaan wisata atau usaha wisata.
Inisiator dalam hal ini tidak hanya memiliki kejelian menangkap peluang dan
merancang pengelolaan wisata, melainkan juga memanfaatkan kapasitas
modal sosial sebagai kekuatan untuk menggerakkan aktivitas pariwisata.
1.6 Landasan Teori
Teori merupakan instrumen atau piranti untuk menganalisis temuan lapangan.
Penelitian menggunakan beberapa teori yang dapat membantu dalam
menganalisis data yang diperoleh. Beberapa teori tersebut antara lain kajian
tentang pariwisata, social entrepeneurship (kewirausahaan sosial), dan modal
10
sosial. Kajian tentang pariwisata menjadi introduksi untuk menjelaskan
tentang fenomena wisata, sedangkan social entrepeneurship dan modal sosial
menjadi instrumen untuk menganalisis tentang upaya masyarakat untuk keluar
dari krisis melalui pengelolaan wisata.
1.6.1 Tinjauan tentang Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu program pembangunan ekonomi yang
telah memberikan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat secara
ekonomi maupun sosial. Sebelum sampai pada penjelasan lanjut, perlu
mengulas esensi mengenai pariwisata. Ada banyak definisi tentang
pariwisata, namun secara khusus Murphy (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:
45) mendefinisikan pariwisata sebagai:
keseluruhan dari elemen-elemen (terkait wisatawan, daerah tujuan
wisata, perjalanan, industri, dan sebagainya) yang merupakan akibat dari
perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata; sepanjang perjalanan wisata
tersebut tidak permanen.
Selain itu, World Tourism Organization (dalam Muljadi, 2010: 9)
mendefinisikan, tourism comprises the activity of person travelling to and
staying in places outside their usual environment for not more than one
consecutive year for leisure, business, and other purpose. Penjelasan
definisi tersebut mirip dengan yang diungkapkan oleh Murphy pada
pemaparan sebelumya.
Mills (dalam Bra Baskoro, 2010: 26-27) memaparkan bahwa ada 4
dimensi pariwisata yang menyebabkan orang menjadi tertarik untuk
melakukan perjalanan wisata. Dimensi-dimensi itulah yang kemudian
11
menjadi perhatian dalam pembangunan dan pengelolaan wisata,
yaitu
atraksi, fasilitas, transportasi, dan keramahtamahan (sapta pesona).
1.6.2 Wisata Bencana
Istilah wisata bencana memang dianggap tidak etis karena berlawan dengan
kata wisata yang selalu diidentikkan dengan aktivitas hiburan dan
bersenang-senang. Namun, istilah tersebut muncul seiring fenomena
banyaknya kunjungan pada lokasi terdampak erupsi pascaerupsi tahun 2010
(Ahimsa, 2012: 140).
Fenomena wisata bencana oleh Lenon dan Foley disebut dengan
dark tourism. Dark tourism adalah wisata yang menyajikan suasana
mencekam. Salah satunya bencana yang memberikan dampak
seperti
kematian dan kerusakan fasilitas hidup masyarakat4. Hal itu seperti yang
terlihat pascaerupsi Merapi tahun 2010, yang mana pemandangan
kerusakan pascaerupsi menjadi daya tarik.
Dark Tourism menurut Lenon dan Foley menjadi begitu terkenal
karena adanya media atau pemberitaan (dalam International Journal of
Tourism Research Vol.4 No.6 Tahun 2002). Geliat wisata erupsi juga
muncul karena seiring dengan merebaknya pemberitaan dan siaran visual
mengenai dampak erupsi Merapi. Oleh karena itu, bencana yang
sebenarnya menjadi fenomena biasa di Indonesia justru menjadi terkenal
dan menarik rasa penasaran masyarakat untuk melihat langsung. Uniknya
4
International Journal of Tourism Research Vol.4 No.6 Tahun 2002, hlm: 485.
12
lagi wisata bencana tersebut justru menjadi peluang atau solusi bagi
masyarakat untuk keluar dari krisis pascaerupsi, khususnya di Umbulharjo.
1.6.3 Wisata Berbasis Masyarakat
Semangat wisata berbasis masyarakat secara eksplisit termuat dalam UU
No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata pasal 2 bahwa kepariwisataan
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan,
kemandirian,
kelestarian,
partisipatif,
berkelanjutan,
demokratis, kesetaraan serta kesatuan. Di samping itu pemerintah juga
menggencarkan wisata berbasis lokal menjadi ikon pembangunan dalam
program ekonomi kreatif berbasis pariwisata. 5
Merujuk pada proses kemunculan dan pengelolaan Wisata Erupsi
Merapi, hal yang menjadi perhatian adalah keterlibatan masyarakat lokal.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Wisata Erupsi Merapi di
Umbulharjo Cangkringan merupakan salah satu sarana bagi masyarakat
memperoleh income guna membantu pemulihan kehidupan pascabencana
(Kharismawanti, 2014). Dengan demikian, wisata tersebut tumbuh berbasis
pada masyarakat yang notabene menjadi korban bencana, dan dimanfaatkan
untuk memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar.
Pimrawe Rocharungsat (dalam Moscardo, 2008: 67) menguraikan
bahwa pariwisata berbasis masyarakat secara umum berfondasi pada
kesadaran responsif terhadap wisata dan menekankan asas partisipasi
5
Program ekonomi kreatif berbasis pariwisata merupakan upaya pemerintah memacu masyarakat
dengan memanfaatkan segala macam sumber potensial lokal menjadi produk wisata berdasarkan
kearifan lokal. Namun, keberlanjutan wisata tersebut perlu didukung oleh etika keadilan yaitu
berbasis pada masyarakat lokal (Kompas, 18 September 2014).
13
demokratis dalam penentuan kebijakan wisata oleh masyarakat lokal.
Artinya masyarakat lokal merupakan aktor utama yang terlibat aktif dalam
perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi guna mencapai kesejahteraan bersama. Dengan demikain,
masyarakat menjadi host/tuan rumah6 dari proyek pariwisata.
Dengan penjabaran yang lebih sederhana Argyo Dermatoto
(Dermatoto dkk, 2009: 22) menjelaskan bahwa pariwisata berbasis
masyarakat (CBT) merupakan wisata yang dibangun dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat. Proses-proses yang dilalui dalam sistem
wisata berbasis masyarakat akar rumput tersebut meliputi perencanaan
investasi, pengelaksaan, pengelolaan, dan evaluasi. Kendati demikian,
peran pemerintah atau swasta juga diperlukan, bukan untuk mendominasi
melainkan sekedar memberikan dukungan.
1.6.4 Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship)
Istilah social entrepreneurship/kewirausahaan sosial belum begitu populer
di Indonesia. Namun, kewirausahaan sosial merupakan fenomena menarik
karena melihat sisi sosial dari suatu kewirausahaan yang selama ini
diidentikkan dengan paradigma ekonomis dan cenderung berorientasi pada
profit. Konsep kewirausahaan sosial hadir dengan memberikan paradigma
baru bahwa kewirausahaan sebagai sarana atau cara untuk mengatasi
6
Istilah host/tuan rumah ditekankan Murphy dalam CBT. Sebagai host, masyarakat adalah pihak
yang paling tahu tentang potensi wilayahnya. Mereka punya keinginan, wewenang/hak, dan
usaha untuk membangun dan mengembangkannya tanpa mengabaikan kondisi kearifan lokal dan
kelestarian alam, sebab segala bentuk konsekuensi secara langsung akan menjadi tanggungan
masyarakat. Pada istilah ini masyarakat memiliki rasa ikut memiliki (sense of belonging).
Dengan arti bukan memiliki mutlak secara de jure, melainkan rasa memiliki dengan kesadaran
untuk menjaga keberlanjutannya (dalam Sunaryo. 2013: 140).
14
masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar seperti kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan akses, dan sebagainya (Perrini dan Vurro
dalam Mair dkk, 2006).
Salah
satu
contoh
fenomenal
yang
menjadi
kajian
dari
kewirausahaan sosial adalah Grameen Bank yang didirikan oleh
Muhammad Yunus di Bangladesh. Grameen Bank merupakan suatu upaya
untuk mengatasi masalah keterbatasan akses wanita untuk memperoleh
kredit mikro dengan bunga lunak. Kewirausahaan sosial dengan pendekatan
komunitas diuraikan oleh David Bornstein dengan mengkaji beberapa
program kewirausahaan sosial berbagai negara. Salah satunya adalah
program penyediaan listrik bagi masyarakat distrik Palmares di Negara
bagian Rio Grande do Soul Brasil yang diinisiasi oleh Rosa (Bornstein,
2006). Listrik murah
menjadi
keperluan penting bagi para petani di
Palmares guna mengalirkan air tanah ke lahan pertanian. Berdasarkan hal
itu, Rosa mencoba membuat terobosan teknologi Amaral dan melibatkan
masyarakat petani dalam proses pembangunan dan pengelolaannya,
termasuk kredit bagi petani yang memerlukan dana untuk mengolah sawah.
Terilhami dari teori Bornstein maka kewirausahaan sosial menjadi
rujukan penelitian ini untuk melihat fenomena wisata bencana berbasis
masyarakat yang muncul pascaerupsi tahun 2010 di Umbulharjo. Hal itu
dikarenakan wisata bencana merupakan sarana bagi masyarakat setempat
dalam mengatasi krisis seperti
hilangnya
berpengaruh
dan
pada
aktivitas
15
sumber penghidupan yang
penghasilan
masyarakat,
serta
ketidakjelasan mengenai nasib mereka selanjutnya. Alasan lainnya merujuk
pada kondisi masyarakat lokal yang sebagian besar memiliki kemampuan
dalam hal pengelolaan wisata tetapi mampu bekerja sama untuk melakukan
pengelolaan. Oleh karena itu, social capital bukanlah modal tunggal yang
cukup untuk merintis wisata pascabencana melainkan juga adanya inisiator
yang memiliki kemampuan dalam menangkap peluang dan menggerakkan
warga korban erupsi.
a. Sejarah Social Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial).
Sebelum mengulas konsep, perlu melihat historisitas kewirausahaan
sosial. Istilah kewirausahaan sosial pertama kali muncul tahun 1771 di
Inggris ketika Robert Owen mendirikan koperasi dan usaha tekstil untuk
mengatasi masalah ekploitasi tenaga kerja anak-anak di pabrik tekstil. Ia
membeli sebuah pabrik tekstil dan memperkerjakan anak-anak usia
sekolah tetapi mengubah sistem kerjanya. Anak-anak bekerja ke pabrik
seusai sekolah, sehingga mereka hanya bekerja paruh waktu. Hasil dari
usahanya dari memperkerjaan orang-orang sekitar dan tenaga paruh
waktu anak-anak, dialokasikan untuk membangun fasilitas sosial seperti
fasilitas pendidikan dan kesehatan (dalam Dewanto dkk, 2013: 3).
Kendati model kewirausahaan sosial telah muncul pada abad 18
di Inggris, namun istilah tersebut baru mencuat dan menjadi kajian ilmu
sosial setelah diperkenalkan oleh Bill Drayton melalui karyanya tahun
1980 yaitu Ashoka Foundation. Asoka Foundation didirikan dengan
tujuan memberikan bantuan dana pendidikan kepada masyarakat miskin.
16
Karena usaha sosial tersebut, Bill Drayton mendapat penghargaan Mac
Arthur Award. Istilah kewirausahaan sosial semakin mencuat ketika
Muhammad Yunus mendirikan Grameen Bank, bank rakyat yang
memberikan kredit mikro dengan bunga lunak kepada para wanita
miskin di Bangladesh untuk membangun usaha mikro (dalam Dewanto
dkk, 2013: 43-44).
b. Ruang Lingkup Social Entrepreneurship
1) Definisi Social Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial).
Kewirausahaan sosial berbeda dengan bisnis kewirausahaan pada
umumnya yang cenderung berorientasi pada maksimalisasi profit.
Karena tidak bertendensi pada profit, banyak yang menganggap
bahwa social entrepreneurship merupakan lembaga nirlaba. Padahal
tidak sepenuhnya demikian. Perrini dan Vurro (dalam Mair dkk,
2006: 64) menegaskan bahwa kewirausahaan sosial berbeda dengan
lembaga nirlaba kebanyakan yang cenderung bersifat charity seperti
menghimpun dana dari para filantropi dan sebatas memberikan dana
bantuan secara pragmatis tanpa melibatkan peran dari orang-orang
yang dibantu sehingga justru sering menimbulkan sikap pasif dan
ketergantungan. Dengan demikian, kewirausahaan sosial bukan
lembaga/organisasi yang semata-mata mencari untung atau pun
lembaga donor, melainkan merupakan sintesa dari keduanya dengan
memberdayakan orang-orang yang dibantu ke dalam proses
perintisan maupun pengelolaan usaha sosial.
17
Mc Leod dan beberapa ahli lainnya (dalam Mair dkk, 2006:
62) mendefinisikan social entrepreneurship sebagai inovasi masa
kini melalui pemfungsian usaha sosial dan memuat subtansi
kompetensi manajerial, serta tindakan berbasis pasar dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional. Kewirausahaan
sosial dilihat sebagai paket strategis dalam merespon berbagai
macam guncangan lingkungan dan tantangan situasional yang
terwujud dalam organisasi non-profit masa kini.7 Oleh sebab itu,
kewirausahaan sosial dipandang sebagai manifestasi usaha sosial
masa kini yang berupaya merespon masalah sosial dengan
menggunakan
prinsip
kewirausahaan.
Profit
dalam
social
entepreneurship bukan sebagai tujuan akhir, namun sebagai pencapai
misi sosial (Perrini dan Vurro dalam Mair dkk, 2006: 60).
Saifan
memberikan
2
batasan
untuk
mendefinisikan
kewirausahaan sosial sebagai berikut (Saifan, 2012).
a) Non-Profit with Earned Income Strategies
Usaha
sosial
dilakukan
dengan
mencangkokkan
aktivitas
kewirausahaan secara sosial maupun komersial untuk mencapai
kecukupan.
Dalam
skema
ini,
wirausahawan
sosial
mengoperasikan organisasi secara sosial dan komersial, yang
7
Organisasi non profit masa kini meninggalkan label charity yang kental dengan fungsi
penghimpun dan penyalur dana dari filantropi dan mengubah mekanisme tradisonal dengan
langkah transformatif seperti inovasi sosial dan pemberdayaan komunitas lokal dalam perintisan
serta pengelolaan usaha sosial.
18
mana hasil dan keuntungan digunakan untuk memajukan
penyebaran nilai sosial dan mereduksi masalah sosial.8
b) For Profit with Mission-Driven Strategies
Bisnis sosial dan komersial dilakukan secara bersamaan untuk
mencapai keberlanjutan. Organisasi mandiri secara finansial dan
memperoleh keuntungan secara berlanjut karena adanya tujuan
sosial dalam jangka panjang. Pada skema ini, penggagas atau
investor turut memperoleh keuntungan.
Uraian Saifan senada dengan David Bornstein, bahwa
kewirausahaan sosial berfondasi pada etika (dorongan moral), dan
uang adalah sarana untuk mencapai misi sosial. Hal demikian yang
membedakan kewirausahaan sosial dengan kewirausahaan bisnis
pada umumnya. Pernyataan tersebut merupakan ulasan teoritik
Bornstein yang didapatkan melalui perbincangan dengan Fabio Rosa,
seorang wirausahawan sosial Brasil yang berupaya memberikan
perubahan sosial progresif pada kehidupan masyarakat desa terpencil
melalui pengadaan listrik.
“Tentang uang-saya perlu uang. Uang sangat penting untuk
menyelesaikan proyek-proyek saya. Tetapi uang hanya berarti
jika membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam
masyarakat dan menciptakan dunia baru, yaitu dunia yang
harmonis tanpa kesengsaraan dan orang-orang menjadi kuat
karena persahabatan dan kerja sama.” (dalam Bornstein, 2006:
279-280)
2) Inovasi Sosial dalam Social Entrepreneurship
8
Masalah sosial meliputi rendahnya kesejahteraan, masalah kosehivitas, keterbatasan akses
terhadap pengetahuan dan informasi, dan pembangunan masyarakat (Perrini dan Vurro dalam
Mair dkk, 2013: 59).
19
Seperti yang dijelaskan pada bagian awal bahwa kewirausahaan
sosial merupakan wujud dari usaha inovatif masa kini yang berupaya
merespon masalah sosial. Oleh karena itu, inovasi menjadi bahan
penting untuk menggerakan usaha. Hal tersebut digarisbawahi oleh
Bruyat dan Julien (dalam Mair dkk, 2006: 63) bahwa inovasi secara
intrinsik bertalian dengan kewirausahaan. Oleh karena itu ia
menguraikan bahwa kemampuan inisiator (penggerak
social
entrepreneurship) dalam menciptakan sebuah produk baru melalui
proses keahlian yang bersifat nirlaba merupakan inovasi. Inovasi
pada konteks ini adalah untuk kemaslahatan sosial, sehingga disebut
dengan inovasi sosial. Inovasi sosial tersebut dapat berupa proses,
produk, maupun prinsip, ide, kebijakan, intervensi, gerakan sosial
atau beberapa kombinasi dari semuanya (Phill dalam Dewanto dkk.
2013: 8). Sementara itu, Standford Graduate School Business (dalam
Dewanto dkk, 2013: 11-12) menjabarkan bahwa inovasi sosial
merupakan proses menemukan dan mengimplementasikan solusi
baru atas permasalahan sosial, serta menjamin kesesuaian solusi
tersebut dengan kebutuhan masyarakat.
c. Wirausahawan Sosial dalam Social Entrepreneurship
Berbicara mengenai gagasan kewirausahaan sosial tentu juga membahas
mengenai sosok penggerak atau inisiator. Hal demikian ditegaskan oleh
David Bornstein (Bornstein, 2006: 107) bahwa gagasan seperti layaknya
sebuah pertunjukan drama yang keberhasilannya membutuhkan seorang
20
produser dan promotor yang baik. Jika tidak, drama tidak akan bergerak
dari arus pinggiran ke arus utama atau bahkan tidak dapat
dipertunjukkan sama sekali, sehingga gagasan harus dipasarkan dengan
mahir sebelum benar-benar mengubah pemahaman dan perilaku orang.
Oleh karena itu penggerak dalam gagasan kewirausahaan menjadi titik
sentral yang disebut dengan wirausahawan sosial (social entrepreneur).
Wirausahawan sosial merupakan pelopor inovasi (inisiator)
yang dilihat dari kualitas dalam merancang ide kewirausahaan,
kecerdasan
membangun
kapasitas,
dan
kemampuannya
dalam
mendemonstrasikan secara konkret kualitas ide dan prakiraan dampak
sosial atas upaya kewirausahaan yang dilakukan (Perrini dan Vurro
dalam Mair dkk, 2006: 69). Ide yang hadir dalam pemikiran
wirausahawan sosial bukan sebatas pada realitas kelangkaan yang terjadi
dalam masyarakat, melainkan juga mampu melihat ruang sempit atau hal
kecil yang sering dianggap tidak mungkin atau useless menjadi peluang.
Pada konteks ini, wirausahawan sosial sekaligus berperan dalam
membentuk mindset baru kepada masyarakat yang dimobilisasi bahwa
pada dasarnya manusia memiliki kapasitas atau kompetensi kendati dari
kacamata mainstream dipandang tidak kompenten atau berdaya
(Bornstein, 2010: 76).
Inovasi dari wirausahawan sosial juga didorong oleh hasrat
untuk
menciptakan
perubahan
sosial
progresif
melalui
proyek
kewirausahaan. Artinya inovasi sosial yang muncul dari gagasan
21
insiator, salah satunya karena didorong oleh keinginan untuk
mengentaskan masyarakat dari permasalahan sosial. Tindak lanjut dari
inovasi dan hasrat sosial tersebut adalah penuangan gagasan (visi dan
misi) dan skema konkret yang hendak dilakukan (lihat gambar 1.1).
Gambar 1.1
Skema Inovasi dalam Social Entrepreneurship
Repon dengan membuat
portofolio (penuangan
gagasan dan rancangan
usaha) untuk mengatasi
problem sosial (misi sosial)
Stimulan berupa problem
sosial dan hasrat untuk
mengatasi dan mencapai
perubahan sosial
d. Proses Kewirausahaan Sosial
Kendati
bukan
merupakan
lembaga
komersial
murni,
prinsip
entrepreneurship turut dipakai dalam kewirausahaan sosial. Pertama
yang dilakukan adalah menentukan secara jelas misi sosial dan
identifikasi peluang. Misi merupakan hasil dari kolaborasi inovasi,
kecakapan diri, dan ekspektasi terhadap outcome (luaran atau efek).
Sementara identifikasi atau penangkapan peluang dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor krisis dan visi. Seperti yang digambarkan sebelumnya
(gambar 1.1) bahwa respon wirausahawan sosial atas peluang didorong
oleh adanya problem sosial (krisis) dan hasrat terhadap perubahan sosial
(visi).
Misi
dan
peluang
untuk
memenuhi
kebutuhan
sosial
diformulasikan ke dalam sebuah inovasi konkret yang biasanya dilihat
dari 4 dimensi yaitu produk/jasa, relasi, metode-metode, dan faktorfaktor. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kewirausahaan sosial
22
menekankan
pada
pemberdayaan
masyarakat.
Oleh
karena
itu
masyarakat lokal yang notabene merupakan sasaran kewirausahaan
sosial didayakan untuk menjalankan usaha sosial. Hal demikian
ditekankan oleh Bornstein bahwa perlu mendayagunakan komunitas
lokal karena sesungguhnya masyarakat yang mengalami krisis atau
masalah memiliki daya atau kreatifitas. Oleh karena itu, mereka tidak
seharusnya dipandang sebagai objek melainkan subyek aktif untuk
merealisasikan dan mengelola kewirausahaan sosial.9
Inovasi tidak akan efektif tanpa adanya model usaha atau
bisnis. Model usaha dalam hal ini biasanya berorientasi pada pasar dan
kebutuhan stakeholder. Hal itu dicapai melalui orientasi jaringan yang
kuat, fleksibilitas organisasi, kebijakan yang melihat dimensi global dan
lokal, dan manajemen partisipatoris. Model usaha tersebut secara
eksplisit adalah untuk mencapai social outcome dan sebuah transformasi
sosial dalam jangka panjang. Transformasi sosial dalam hal ini
mencakup penciptaan pekerjaan, akses terhadap informasi maupun
pengetahuan sosial, kohesi sosial, serta pengembangan ekonomi dan
komunitas. Secara garis besar, proses kewirausahaan sosial tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.2
9
Ulasan lebih jauh mengenai pemberdayaan ini dipaparkan David Bornstein dalam analisisnya
mengenai sekolah komputer yang dilakukan Rodrigo Baggio (Bornstein, 2006: 181-182).
23
Kerangka Proses Kewirausahaan Sosial
Proses kewirausahaan sosial olehPerrini dan Vurro (dalam Johanna Mair,dkk,
2006: 78-79)
1.6.5 Modal Sosial (Social Capital)
Christenson dan Robinson (dalam Philips dan Pittman, 2009) memaparkan
bahwa pembangunan masyarakat adalah social capital atau social capacity,
karena menjabarkan tentang kemampuan masyarakat untuk mengatur
sumber daya dan memobilisasi sumber daya guna mencapai tujuan
bersama.
Sumber daya pada konteks pariwisata adalah atraksi wisata
sendiri yang perlu dikelola dengan kapasitas lokal (termasuk modal sosial)
guna mencapai tujuan bersama.
24
Urgensi modal sosial dalam mobilisasi aktivitas pariwisata yang
muncul pascabencana diuraikan oleh Idah Rosida dalam penelitiannya
mengenai Desa Wisata Candran pascagempa Bantul tahun 2006. Ketika
masyarakat mengalami krisis akibat bencana, modal sosial menjadi
kekuatan (entry point) dalam membangun wisata pascagempa. Wisata
tersebut kemudian menjadi sarana memulihkan kehidupan sekaligus
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal yang sempat krisis pascagempa
tahun 2006 (Rosidah, 2014).
Pemanfataan modal sosial terindikasi pula pada perintisan dan
pengembangan Wisata Erupsi Merapi di Umbulharjo Cangkringan. Asumsi
tersebut merujuk pada kondisi masyarakat yang didera krisis dan modal
material sulit diperoleh. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
landasan teori modal sosial sebagai instrumen untuk menganalisis proses
mobilisasi warga dalam rangka mewujudkan wisata sebagai sarana bangkit
dari krisis.
a. Definisi Modal Sosial
Modal sosial berbeda dengan modal fisik dan modal lainnya (human
capital) yang nampak dan terukur. Modal sosial bersifat less tangible
dan sulit diukur, seperti kepercayaan, relasi, dan semacamnya. Namun
modal sosial ada dan tumbuh di masyakarakat dalam tempo yang relatif
lama, sehingga kadang tidak disadari (Nurhadi dalam Agnes
Sunartiningsih 2004: 73). Pengertian demikian juga disampaikan Putnam
(dalam Dasgupta dan Serageldin, 2000: 18-19) bahwa modal sosial
25
berkaitan dengan adanya relasi atau hubungan yang secara tidak
otomatis dilakukan setiap manusia sebagai makhluk sosial dan hal itu
tidak disadari sebagai modal.
Dalam konsep yang sangat luas, modal sosial merujuk pada
relasi sosial antaranggota kelompok yang dapat memberikan dukungan
pada kegiatan yang produktif yaitu dengan menekankan pada
kepercayaan, sumber daya norma-norma, dan jaringan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah (dalam Maarif, 2011: 9).
Sedangkan Coleman (dalam Nan Lin, 2003: 27-28) secara khusus
mendefinisikan modal sosial dengan melihat fungsinya.
Social capital is defined by its function and that, it is not a single
entity, but a variety of different entities having two characteristics:
they all consist of some aspect of social sctucture and they facilitate
certain action of individuals who are within the structure.
Pemaparan Coleman tersebut menunjukkan bahwa modal sosial bukan
entitas yang tunggal, melainkan meliputi beberapa wujud. Entitas-entitas
tersebut kemudian menjadi sarana bagi aktor maupun masyarakat dalam
melakukan kegiatan yang sifatnya produktif.
b. Bentuk-bentuk Modal Sosial
Seperti yang dijelaskan Coleman bahwa modal sosial bukanlah entitas
tuggal tetapi terdiri dari beberapa entitas yang mampu menjadi sarana
bagi tindakan produktif baik secara individual maupun kelompok.
Coleman (dalam Field, 2010: 32) mengungkapkan bahwa modal sosial
merupakan sumber daya melibatkan beberapa
bentuk seperti
kepercayaan (trust), resiprokal, jaringan-jaringan (network), serta norma
26
dan nilai (norms and value). Stephen Knack pun memiliki pandangan
yang hampir sama bahwa modal sosial masyarakat meliputi nilai
(common
value),
norma,
jaringan
informal,
dan
keanggotaan
asosiasional, yang mana dimensi-dimensi tersebut memberikan pengaruh
terhadap kemampuan tiap-tiap individu dalam kelompok untuk berkerja
sama demi mencapai tujuan (dalam Grootaert dan Bastelaer, 2002: 42).
Kendati demikian, modal sosial bersifat kontekstual. Artinya bentuk
modal sosial di masing-masing tempat dapat berbeda-beda (Grootaert
dan Bastelaer, 2002). Dari pemaparan tersebut setidaknya ada beberapa
entitas umum yang merepresentasikan suatu modal sosial, antara lain
sebagai berikut.
1) Kepercayaan
Fukuyama menguraikan kepercayaan sebagai pengharapan yang
muncul dalam sebuah komunitas dengan berperilaku normal, jujur,
dan kooperatif berdasarkan norma-norma bersama demi mencapai
kepentingan anggota yang lain dari komunitas tersebut. Kepercayaan
tidak muncul begitu saja tetapi tumbuh melalui proses kultural.
Artinya kepercayaan memang modal yang sebenarnya telah tumbuh
melekat dalam kehidupan sosial. Gidden memaparkan bahwa
kepercayaan tumbuh dalam berbagai lingkungan. Pada masyarakat
pramodern, kepercayaan tumbuh dalam hubungan kekerabatan,
komunitas lokal, kosmologi religious, dan tradisi. Sedangkan pada
masyarakat modern, kepercayaan tumbuh dalam sistem abstrak, relasi
27
personal, dan orientasi masa depan (dalam Damsar dan Indrayani,
2013).
Kepercayaan menjadi fondasi untuk mencapai tujuan sosial,
sebab seperti pelumas yang dapat memuluskan kerja sistem sosial dan
menciptakan sebuah efisiensi, serta menghadapi berbagai kendala
yang mendistorsi (Fukuyama, 2002: 36-37). Demikian pula, Rafael La
Porta dkk (dalam Dasgupta dan Serageldin, 2000: 311) menyatakan
bahwa kepercayaan adalah entitas yang urgen dan esensial dalam
suatu kerja sama. Kepercayaan yang tinggi akan memanifestasikan
kerja sama yang tinggi pula.
2) Nilai dan Norma
Nilai dan norma, sebab keduanya merupakan pranata sosial yang
memiliki legitimasi sebagai sebuah acuan dalam bertindak. Norma
sangat dipengaruhi oleh adanya nilai atau pandangan tentang baik dan
buruk seperti yang disampaikan Coleman “specifiy what actions are
regarded by a set of person as proper or correct, or improper or
incorrect.” Berdasarkan itu, norma kemudian diekspresikan dalam
bahasa formal atau informal sebagai sebuah kebijakan atau
kesepakatan, sehingga semua orang yang terikat dengan norma sadar
sekaligus melaksanakan tatanan norma (dalam Lubis).
Nilai dan norma hadir melalui proses sosial maupun kultural.
nilai dan norma juga memiliki peran sebagai pedoman dalam
berperilaku, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Oleh
28
karena itu nilai dan norma sosial sesungguhnya merupakan aset sosial
yang
penting bagi masyarakat, tanpa terkecuali bagi keberadaan
Wisata Erupsi Merapi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa
nilai dan norma menjadi patokan dalam bersikap di kehidupan seharihari, sehingga praktik nilai dan norma juga dapat mempengaruhi
praktik
dalam
pengelolaan
wisata
pascabencana
di
Umbulharjo.Tinggal kemudian melihat nilai dan norma yang seperti
apa yang berperan dalam mendukung pengelolaan Wisata Erupsi
Merapi di Umbulharjo.
3) Jaringan
Jaringan dilihat sebagai hubungan antar individu atau kelompok yang
memiliki makna subyektif serta berhubungan dengan simpul dan
ikatan. Simpul dilihat melalui aktor dalam jaringan, sedangkan ikatan
adalah hubungan antaraktor (dalam Damsar dan Indriyani, 2013:
158). Pola jaringan sosial dapat berbentuk pertemanan, bisnis, atau
perkawinan (Newman, 2003: 174). Menurut Hasbullah (Hasbullah,
2006: 10), jaringan yang terbentuk melalui hubungan relasional
memiliki kapasitas atau dampak positif bagi kemajuan serta
pembangunan masyarakat. Manfaat positifnya bukan hanya sebagai
perekat sosial antar aktor yang terikat di dalamnya melainkan menurut
Powel dan Smith juga mampu memberikan kemudahan akses modal
maupun informasi (Damsar dan Indrayani, 2013: 173). Oleh karena
itu, jaringan menjadi salah satu aset atau investasi yang dapat
29
dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Merujuk pada pemanfaatan
dan pengelolaan wisata bencana di Umbulharjo memungkinkan
adanya jalinan antarindividu maupun kelompok lain secara produktif.
c. Tipe Modal Sosial
Penentuan tipe modal sosial bergantung pada konteks masyarakat yang
menjadi kajian. Secara umum Putnam (dalam Field, 2010: 52) membagi
modal sosial menjadi dua tipe yaitu modal sosial yang mengikat
(bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging
social capital). Tipe bonding berada pada ranah yang sifatnya eksklusif
seperti rukun warga dan teman akrab, sehingga homogenitas begitu
kentara. Karena cenderung eksklusif maka pola hubungannya lebih
berorientasi ke dalam (inward looking), sehingga perluasan jaringan
yang produktif sulit tercipta (dalam Hasbullah, 2006:28). Namun, modal
sosial bonding mampu menopang resiprositas spesifik, mobilisasi
solidaritas, dan menjadi perekat sosial.
Bridging social capital adalah tipe modal sosial yang
menyatukan orang dari ranah sosial yang beragam. Modal sosial ini
terbentuk dalam kelompok yang memiliki pandangan terbuka (outward
looking) dan mandiri. Kemandirian juga tumbuh dari relasi atau jaringan
sebagai hasil dari interaksi dengan banyak pihak di luar kelompok
(Hasbullah, 2006:30). Oleh karena itu jaringan produktif yang terbentuk
dapat semakin meluas. Bridging social capital mampu menghubungkan
30
aset eksternal, persebaran informasi, membangun identitas, dan
hubungan timbal balik yang lebih luas (Field, 2010: 52).
1.7 Kerangka Pikir
Erupsi Merapi tahun 2010 telah meluluh lantahkan sebagian wilayah
Cangkringan, terutama Umbulharjo. Bencana erupsi berdampak pada
rusaknya sendi-sendi sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian, erupsi
telah menimbulkan krisis bagi masyarakat Umbulharjo terutama warga yang
mengalami dampak langsung seperti kehilangan sanak saudara, rumah dan
harta benda lainnya, serta sumber penghidupan. Masyarakat korban erupsi
terpaksa menganggur, tidak memiliki sumber kehidupan, terancam miskin,
serta tidak ada kejelasan mengenai nasib atau kehidupan mereka selanjutnya.
Tidak hanya menimbulkan krisis sosial ekonomi, bencana erupsi juga
menimbulkan dampak yang ambivalen. Bencana erupsi justru menarik animo
masyarakat luar untuk datang melihat kondisi pascaerupsi di Umbulharjo
sehingga mendatangkan potensi secara finansial. Namun, banyaknya animo
kunjungan justru memberikan dampak laten. Respon pragmatis dari
sekelompok warga lokal dengan menarik uang sukarela telah memunculkan
kontravensi/ketegangan internal, sebab hanya sebagian orang yang menikmati
hasilnya. Selain itu, animo masyarakat juga menarik pedagang dari luar
Umbulharjo untuk membuka usaha di kawasan destinasi kunjungan.
Banyaknya pedagang luar memunculkan kekhawatiran karena dapat
merampas peluang warga lokal untuk memperoleh pendapatan.
31
Atraksi bencana yang menarik animo kunjungan (faktor eksternal) dan
krisis pascaerupsi (faktor internal) kemudian direspon oleh tokoh lokal.
Tokoh lokal sebagai inisiator berperan dalam menginisiasi pemanfaatan
peluang atraksi wisata dan animo pengunjung sehingga hal itu menjadi cara
atau strategi untuk keluar dari krisis pascaerupsi. Secara konkrit, upaya itu
dilihat dari pembentukan lembaga kewirausahaan sosial komunitas yang
menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan upaya-upaya keluar dari
krisis. Upaya-upaya itu terutama dalam proses perintisan dan pengelolaan
usaha komunitas maupun intensifikasi pengembangannya dengan melibatkan
kapasitas masyarakat lokal selaku korban bencana erupsi. Aktivitas tersebut
menjadi jalan bagi masyarakat untuk keluar dari krisis.
Di samping hal di atas, perlu diingat kembali bahwa pemanfaatan
wisata erupsi melibatkan masyarakat lokal yang menjadi korban bencana
sehingga relasi-relasi produktif diperlukan. Relasi produktif tersebut terutama
dilihat pada proses pembentukan lembaga kewirausahaan sosial, aktualisasi
pemanfaatan wisata melalui perintisan usaha kolektif, dan intensifikasi
pengembangannya juga pelu dilihat. Relasi produktif sering diasosiasikan
dengan modal sosial. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa modal sosial
dapat berpengaruh pada peningkatan produktivitas secara terarah (Grootaert
dan Bastelaer. 2002: 5). Merujuk pada konteks pascaerupsi maka peran modal
sosial adalah poin yang juga perlu diperhitungkan. Apalagi masyarakat
Umbulharjo merupakan merupakan kelompok sosial gemeinschaft yang
terikat dalam nilai kolektivitas.
32
Respon insiator terhadap krisis sosial ekonomi yang terjadi pascaerupsi
melibatkan masyarakat secara kolektif dalam mekanisme kewirausahaan
sosial dan didukung dengan modal sosial bertujuan untuk memberikan efek
pada pengentasan masyarakat korban bencana dari krisis. Untuk memperjelas
kerangka konseptual di atas maka dibuatlah gambar sebagai berikut.
Gambar 1.3
Kerangka Pikir
Bencana Erupsi 2010
Krisis sosial
ekonomi
Atraksi Wisata
Erupsi
Animo
kunjungan
masyarakat luar
Cangkringan
 ketegangan antarwarga karena
penarikan sumbangan kepada
pengunjung
 merebaknya pedangang dari luar
Respon Insiator
(Social entrepreneur)



Pembentukan lembaga
kewirausahaan sosial
Perintisan Usaha Secara
Kolektif
Intensifikasi Kewirausahaan
Keluar dari krisis
pascaerupsi
Sumber: pemikiran peneliti, 2015.
33
Modal Sosial
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Lokasi Penelitian
Lokus penelitian adalah Wisata Erupsi Merapi (Merapi Volcano Tour) di
Umbulharjo. Wisata Erupsi Merapi muncul secara darurat yang
menawarkan atraksi dan panorama pascaerupsi Merapi tahun 2010. Wisata
Erupsi Merapi melibatkan peran serta masyarakat lokal yang notabene
korban dari bencana erupsi dan menjadi sarana untuk mengentaskan
masyarakat dari krisis.
1.8.2 Waktu Penelitian
Proses penyusunan laporan penelitian dilakukan selama beberapa bulan
mulai awal sampai dengan akhir. Pada bulan Agustus penulis mulai
menyusun proposal. Kendati demikian, pada proses tersebut penulis juga
mulai melakukan observasi awal di lokasi penelitian. Penelitian atau
pengumpulan data secara intens dilaksanakan pada bulan November
sampai Desember 2014.
1.8.3 Metode
Berkaitan dengan topik yang diangkat maka bentuk penelitian yang
digunakan adalah metode etnografi. Penelitian etnografi berusaha untuk
mendapatkan data secara holistik terkait dengan sejarah, budaya (di
dalamnya
memuat
nilai-nilai
lokal),
program
pada
suatu
komunitas/kelompok masyarakat (Fetterman, 2010: 11). Etnografi berakar
dari semangat eksplorasi terhadap suatu setting penelitian dan lekat dengan
metode observasi partisipatoris (Atkinson, 2007: 5). Dengan demikian,
34
metode etnografi digunakan untuk menggali secara holistik mengenai
inisiasi terhadap masyarakat Umbulharjo Cangkringan dalam upaya keluar
dari krisis melalui pemanfaatan wisata erupsi, yang komudian fokus pada
proses pemanfaatan wisata.
1.8.4 Penentuan Unit Penelitian
Penentuan unit penelitian menggunakan teknik snowball yaitu teknik
pengambilan informan yang awalnya bersumber pada satu orang dan lamalama jumlahnya menjadi besar dan luas. Hal itu dilakukan untuk
mendapatkan data yang lebih banyak dan akurat (dalam Sugiyono, 2009:
219). Awalnya peneliti menentukan informan awal yang akan menjadi
narasumber kunci yaitu perintis wisata Volcano Tour bernama Nartukiyo.
Informan awal merupakan orang yang memang benar-benar memiliki
informasi lengkap terkait wisata dan usaha pengembangannya. Informan
pertama menjadi acuan untuk memperoleh informan selanjutnya yang
layak untuk diwawancarai dan seterusnya.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
3
teknik
dalam
mengumpulkan data, antara lain sebagai berikut.
a. Observasi Partisipan
Observasi dilakukan secara partisipan yaitu dengan ikut dalam aktivitas
yang dilakukan oleh komunitas atau subyek penelitian. Observasi
partisipan bukan berarti melakukan apa yang dilakukan oleh subyek
penelitian, melainkan hanya berinteraksi sementara subyek melakukan
35
kegiatan (Delamont dalam Seale, dkk, 2010: 206). Oleh karena itu,
observasi partisipan merupakan sarana membangun hubungan dengan
subyek yang diteliti, sehingga gambaran sosial kultural dan praktik
sosial bisa diperoleh (Salim, 2001: 158-159). Oleh karena itu, peneliti
melakukan pengamatan partisipastif terhadap subyek penelitian dalam
aktivitas pengelolaan Wisata Erupsi Merapi dan kehidupan sehari-hari.
Pada tahap awal peneliti melakukan observasi dengan menjadi
wisatawan selama beberapa kali untuk melihat kondisi wisata dan
aktivitas wisata yang dilakukan masyarakat Umbulharjo Cangkringan.
Pada pengamatan ini, peneliti melihat berbagai banyak komunitas
tumbuh di kawasan Wisata Erupsi Merapi. Dari pengamatan tersebut
peneliti terdorong untuk mengkaji pihak yang sesungguhnya memiliki
otoritas sebagai pengelola wisata erupsi Merapi, serta bagaimana
komunitas-komunitas usaha wisata begitu menjamur di kawasan wisata
tersebut.
Peneliti pun terlibat dalam kegiatan pemungutan retribusi baik
di pintu 1 maupun 2 kawasan wisata Volcano Tour yang dilakukan Tim
Lapangan Kelompok 3. Namun, dalam proses ini peneliti hanya
berusaha mengamati dan mewawancari. Pada awalnya, peneliti
menemui kendala ketika melakukan pendekatan. Ketua kelompok (Mas
Mesiam) cenderung menghindar ketika diajak berbincang dan menjaga
jarak. Oleh karena itu peneliti mencoba membangun interaksi secara
lebih bersahabat dengan membicarakan topik yang lebih ringan.
36
Akhirnya kemudian, peneliti diterima hangat oleh kelompok 3 dan
diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan wisata (menjaga
pos tiket dan parkir).
Peneliti mengamati bagaimana tim lapangan menghitung hasil
uang yang diperoleh pada hari itu dengan mencocokkan jumlah
lembaran tiket yang terjual, kemudian menyetorkannya kepada ketua
kelompok (Mas Mesiam). Pada proses itu peneliti mengamati sembari
berbincang banyak hal dengan anggota kelompok. Dari observasi ini,
peneliti kemudian mengetahui bagaimana mekanisme kerja tim
lapangan, alur uang hasil penjualan tiket dan parkir, dan mekanisme
pelibatan mereka dalam tim lapangan. Bahkan peneliti sering
mendengarkan keluh kesah dan derita mereka sebagai korban bencana.
Selain itu peneliti juga sempat tinggal beberapa hari di Hunian
Tetap Karangkendal Umbulharjo yaitu hunian relokasi yang ditempati
warga padukuhan Pelemsari pascabencana. Peneliti tinggal di rumah
Simbah Sudi, yang kebetulan rumahnya tidak ditempati karena beliau
memilih tinggal di rumah aslinya yaitu di kawasan dusun Pelemsari
(kawasan obyek wisata erupsi Merapi). Pada awalnya peneliti agak
canggung berinteraksi dengan warga Huntap, tetapi ternyata mereka
begitu ramah dan sopan. Peneliti berkunjung ke beberapa rumah
tetangga untuk membangun hubungan yang lebih dekat. Pada interaksi
tersebut
peneliti
memperoleh
gambaran
mengenai
kehidupan
masyarakat Pelemsari pascaerupsi tahun 2010. Bahkan peneliti banyak
37
mendengarkan mengenai proses masyarakat padukuhan Pelemsari
ketika mengungsi secara berpindah-pindah karena situasi diselimuti
dengan kepanikan saat itu. Peneliti pun memperoleh penjelasan
mengenai aktivitas warga saat di pengungsian, sampai pada usaha
keluar dari kondisi krisis sosial ekonomi melalui pembentukan
Paguyuban Kinahrejo, serta upaya relokasi mandiri ke Huntap
Karangkendal. Melalui perbincangan dengan warga tersebut peneliti
memperoleh gambaran mengenai ikatan kuat (bonding) yang terjalin di
antara warga Pelemsari, terutama juga karena dipengaruhi oleh rasa
senasib sebagai korban erupsi Merapi.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan secara terbuka dan mendalam. Pada proses
wawancara, juga diperlukan upaya mengembangkan hubungan yang
lebih dekat dengan informan (Heyl dalam Atkinson, 2007: 370). Oleh
karena itu, peneliti mencoba untuk mendengarkan secara antusias serta
membangun relasi secara lebih cair dengan informan. Wawancara
mengarah pada kondisi kehidupan masyarakat pascaerupsi tahun 2010,
kronologis munculnya banyak pengunjung ke kawasan Umbulharjo,
respon awal yang dilakukan masyarakat sekitar terhadap banyaknya
pengunjung, serta inisiasi pemanfaatan peluang atraksi bencana sebagai
sarana untuk keluar dari krisis pascaerupsi melalui agenda wisata.
Pertama peneliti mewawancarai Bapak Nartukiyo yang ternyata
merupakan salah
satu informan kunci yang mampu membuka
38
informasi terkait wisata pascaerupsi tahun 2010 di Umbulharjo
Cangkringan. Pertemuan peneliti dengan Bapak Nartukiyo terjadi
secara tidak sengaja di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Sleman. Pada proses itu peneliti mencoba mencari sekilas info terkait
Wisata Erupsi di Umbulharjo Cangkringan. Akhirnya peneliti
dianjurkan untuk bertemu dengan Bapak Nartukiyo, yang ternyata
inisiator dari wisata erupsi tersebut. Informan pertama membuka jalan
untuk bertemu dengan informan-informan selanjutnya. Ada 8 orang
yang menjadi subyek inti wawancara yaitu Nartukiyo, Subagio Hadi,
Bejo Mulyo, Sriyono, Ramijo, Margo Utomo, Mesiam, Eko Susilo, dan
Badiman dengan profil sebagai berikut.
1) Nartukiyo
Salah satu pendiri Wisata Erupsi Merapi 2006 (Lava Tour) dan 2010
(Volcano Tour), yang bertempat tinggal di Dusun Karanggeneng
Umbulharjo. Ia juga merupakan tokoh masyarakat Umbulharjo
karena keterlibatannya pada organisasi dan lembaga tingkat Desa
maupun Kecamatan antara lain: Ketua Karang Taruna Merapi
Umbulharjo (2005-2013), Ketua Badan Permusyawaran Desa (BPD)
Umbulharjo, Sekretaris
Tim Volcano Tour (2010-sekarang),
Pendamping Difable Kecamatan Cangkringan, dan Penggerak
Sanggar Anak Mutiara Abadi Dusun Karanggeneng. Ia tercatat
sebagai PNS Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman pada tahun 2007.
Peneliti memilihnya sebagai informan karena perannya dalam
39
pendirian wisata Lava Tour dan Volcano Tour yang masih memiliki
benang merah, sehingga dapat menjelaskan seluk beluk dan proses
munculnya wisata Volcano Tour. Bahkan ia juga banyak
memberikan data sekunder terkait pengelolaan wisata.
2) Subagio Hadi
Subagio Hadi merupakan Kepala Dukuh Pangukrejo yang juga
menjadi Ketua Tim Koordinator Volcano Tour sejak tahun 2012. Ia
juga merupakan salah satu tokoh masyarakat yang turut rembug
(musyawarah) dalam rencana penataan wisata pascaerupsi tahun
2010. Peneliti memilihnya sebagai informan karena keterlibatannya
dalam kepengurusan Volcano Tour dan perannya sebagai tokoh
masyarakat sehingga mampu memberikan informasi terkait dengan
konteks sosial masyarakat pascaerupsi, seluk beluk, maupun proses
dan mekanisme pengelolaan yang dilakukan Tim Volcano Tour.
3) Mesiam
Ia merupakan salah satu korban dari bencana erupsi Merapi tahun
2010 lalu, yang kehilangan harta benda dan 5 orang kerabatnya.
Pascabencana ia kemudian bergabung dalam Tim Lapangan Volcano
Tour. Pada saat itu statusnya masih sebatas anggota biasa. Namun
pada tahun 2011, ditunjuk sebagai ketua kelompok karena adanya
pemekaran kelompok dari 5 kelompok tim lapangan menjadi 10
kelompok. Keterlibatannya sebagai tim lapangan Volcano Tour dapat
40
memberikan informasi tentang kondisi pascabencana, mekanisme
pembentukan tim lapangan, dan aktivitas tim lapangan.
4) Margo Utomo
Ia merupakan kerabat Mesiam yang bertempat tinggal di Pelemsari.
Ia merupakan salah satu korban yang kehilangan rumah dan harta
benda lainnya seperti ternak serta lahan pertanian. Pascabencana ia
bergabung dalam Tim Lapangan Volcano Tour (satu tim dengan
Mesiam). Di samping itu dia merupakan ketua RT Pelemsari dan
menjadi salah satu pengurus Paguyuban Kinahrejo dengan jabatan
sebagai bendahara. Keterlibatannya dalam tim lapangan Volcano
Tour sejak awal mampu memberikan informasi tentang deskripsi
kerja dan mekanisme rekruitmen tim lapangan. Di samping itu ia
juga banyak memberikan informasi tentang kondisi dan aktivitas
masyarakat pascaerupsi. Bahkan ia juga memberikan informasi
tentang Paguyuban Kinahrejo sampai pada upaya relokasi mandiri
yang dilakukan warga Pelemsari dan Ngrangkah 2.
5) Bejo Mulyo
Ia merupakan Kepala Desa Umbulharjo, yang bertempat tinggal di
dusun Balong Umbulharjo. Ia juga menjadi ketua paguyuban pondok
wisata Kalikuning Kaliadem. Pada tahun 2011-2012 sempat
menjabat sebagai Ketua Tim Volcano Tour sampai akhirnya
digantikan oleh Bapak Subagio Hadi. Peneliti menjadikannya
sebagai informan karena perannya sebagai Kepala Desa dan Ketua
41
Tim Volcano Tour, sehingga peneliti merasa perlu untuk
mendapatkan informasi tentang konteks wisata sebelum maupun
pasca 2006 serta pembangunan wisata erupsi 2010 dari sudut
pandang pemerintah Desa yang waktu itu diberi wewenang langsung
oleh Pemda untuk membuat Surat Keputusan dan peraturan tentang
pengelolaan wisata di Umbulharjo Cangkringan.
6) Sriyono
Ia merupakan tokoh pemerintah Desa Umbulharjo dan menjabat
sebagai Kaur Pemerintahan sejak tahun 2006, yang bertempat tinggal
di dusun Balong Umbulharjo. Ia pernah bergabung dalam Karang
Taruna Merapi Umbulharjo, dan menjadi salah satu perintis wisata
Lava Tour bersama Bapak Nartukiyo. Ia juga menjadi salah satu
tokoh yang mempengaruhi terbentuknya Tim Wisata Volcano Tour,
dan menjabat sebagai bendahara. Peranannya dalam perencanaan dan
perintisan wisata Volcano Tour dan Lava Tour mampu memberikan
informasi terkait benang merah dua wisata tersebut sekaligus seluk
beluk dan proses penetapan wisata Volcano Tour. Kemudian upaya
pengelolaan wisata yang dilakukan oleh Tim Volcano Tour.
7) Badiman
Ia merupakan PNS dan salah satu tokoh Pelemsari yang berpengaruh
dalam pembentukan Paguyuban Kinahrejo. Ia menjabat sebagai
ketua dalam lembaga paguyuban sampai sekarang. Ia pun juga
merupakan salah satu korban erupsi Merapi yang menderita kerugian
42
materiil. Berdasar pada perannya dalam pembentukan Paguyuban
Kinahrejo maka peneliti memilihnya sebagai informan karena
mampu
memberikan
informasi
terkait
kondisi
masyarakat
pascabencana sekaligus seluk beluk dan proses pembentukan
Paguyuban Kinahrejo sebagai salah satu bentuk kewirausahaan sosial
pascaerupsi.
8) Eko Susilo
Ia merupakan salah satu tokoh masyarakat Pelemasari yang juga
berpengaruh pada pembentukan Paguyuban Kinahrejo dan menjabat
sebagai sekretaris sampai sekarang. Ia pun merupakan salah satu
korban erupsi Merapi yang menderita kerugian materiil. Sehari-hari
ia bekerja di kantor Kementrian Kehutanan divisi Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM). Berdasarkan itu peneliti memperoleh
informasi terkait kondisi masyarakat pascabencana sekaligus seluk
beluk dan proses pembentukan Paguyuban Kinahrejo sebagai suatu
bentuk solusi untuk keluar dari krisis. Selain itu mampu memberikan
dokumen sekunder terkait Paguyuban Kinahrejo.
9) Ramijo
Ia merupakan tokoh masyarakat Pelemsari yang menjabat sebagai
kepala dukuh. Selain itu, ia juga menjadi salah satu pengurus inti
Tim Volcano Tour sebagai Humas. Oleh karena itu ia dapat menjadi
informan dan mampu memberikan informasi terkait konteks sosial
43
masyarakat baik sebelum maupun pascabencana dan wisata di
Umbulharjo.
Wawancara dengan informan tidak hanya berlangsung sekali,
namun berlangsung sebanyak dua sampai empat kali tatap muka. Hal
itu terjadi karena pada wawancara pertama peneliti mengalami kesulitan
untuk membangun komunikasi dua arah secara luwes dengan informan.
Selain itu, waktu yang dimiliki informan untuk wawancara terbatas
sehingga informasi terkait dengan alur dan proses tumbuhnya wisata
pascaerupsi tahun 2010 masih minim. Oleh karena itu peneliti mencoba
menghubungi kembali beberapa informan untuk melakukan wawancara
lanjutan. Untungnya, para informan tersebut bersedia meluangkan
waktu untuk diwawancarai kembali.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu pengambilan data-data berupa dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat atau informan yang hendak
diteliti (dalam Usman dan Akbar, 2004: 73). Dokumen-dokumen
tersebut melengkapi data penelitian. Dokumen dapat berupa foto,
rekaman audio, atau pun catatan-catatan yang diperoleh saat peneliti
melakukan observasi maupun wawancara. Di samping itu, peneliti juga
memperoleh salinan dokumen tertulis (data sekunder) yang dimiliki
oleh informan yaitu Nartukiyo dan Eko Susilo terkait laporan kegiatan
maupun administrasi Tim Volcano Tour dan Paguyuban Kinahrejo.
44
1.8.6 Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan setelah data observasi atau catatan lapangan
dikumpulkan dan rekaman wawancara ditranskrip. Untuk menganalis data,
peneliti menggunakan metode analisis naratif. Narasi merupakan data yang
mengacu pada teks (lisan maupun tulisan) dan praktik dalam kehidupan
sosial (dalam Newman, 2013: 578). Pada dasarnya narasi menurut Labov
meliputi 6 bagian yaitu abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi,
dan koda10 yang secara keseluruhan terangkai secara koheren dan
terkoneksi. Narasi juga memiliki beberapa karakteristik yaitu mengisahkan
cerita/peristiwa, memiliki gerakan/proses, memiliki keterkaitan dalam
konteks yang kompleks, menyangkut
individu atau kelompok yang
terlibat dalam tindakan, koheren, dan memiliki urutan peristiwa secara
temporal (dalam Neuman, 2013: 579)
Analisis narasi fokus pada identifikasi atau pemetaan berbagai
peristiwa dan hubungan antara peristiwa tersebut. Oleh karena itu, narasi
atau data yang dikumpulkan dipetakan berdasarkan rangkain kejadian
secara kronologis. Rangkaian kejadian itu merupakan suatu gerakan atau
proses yang juga melibatkan subyek-subyek di dalamnya (orang atau
kelompok). Pada tahap ini peneliti menggunakan teknik path depencency
(lintasan ketergantungan) yaitu menyusun rangkaian peristiwa yang saling
terhubung atau
saling
mempengaruhi.
Artinya
peneliti
mencoba
mengindetifikasi bagian-bagian peristiwa penting pascaerupsi Merapi
10
Martin Cortazi “Narrative Analysis in Ethnography” dalam Paul Atkinson, dkk. 2007.
Handbook of Ethnography London: SAGE Publications. Hal 391.
45
tahun 2010 yang ditandai dengan masa krisis, fenomena kunjungan yang
menimbulkan krisis laten, insiatif bangkit secara kolektif, perintisan
kewirausahaan sosial sebagai wadah masyarakat lokal selaku korban
bencana, dan pemrakarsaan misi kewirausahaan sosial sebagai bentuk
strategi masyarakat keluar dari krisis.
Kedua, mencari linkage action yaitu mengindentifikasi cara subyek
terlibat dalam tindakan untuk mengubah suatu situasi atau kondisi menjadi
situasi atau kondisi lain. Artinya pada setiap peristiwa atau proses
melibatkan suatu cara bertindak dalam upaya mengubah situasi atau
kondisi. Proses ini dilakukan dengan menentukan dan menjelaskan
tindakan yang dilakukan oleh insiator yang memprakarsai upaya
pemanfaatan wisata sebagai sarana keluar dari krisis dan respon serta
keikutsertaan masyarakat lainnya dalam upaya tersebut.
Proses pemetaan narasi merupakan mode dari analisis data atau
penjelasan (dalam Newman, 2013: 580). Oleh karena itu pada saat
memetakan action linkage serta urutan peristiwa dalam konteks kehidupan
masyarakat Umbulharjo Cangkringan pascaerupsi tahun 2010 dan upaya
bangkit melalui pemanfaatan daya peneliti turut membedah atau
mengalisisnya dengan teori yaitu social entrepreneurship (kewirausahaan
sosial) dan modal sosial.
46
Download