BioSMART Volume 4, Nomor 1 Halaman: 29-34 ISSN: 1411-321X April 2002 Toksisitas Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) pada Anakan Siput Murbei (Pomacea canaliculata L.) Toxicity of mimba’s leaf extract (Azadirachta indica A. Juss) to young murbei snail (Pomacea canaliculata L.). ARDIANSYAH, WIRYANTO, EDWI MAHAJOENO Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126 Diterima: 10 Nopember 2001. Disetujui: 31 Januari 2001 ABSTRACT The aims of this research were to know the ability, the effective concentration and the value of LC50 for 24 hours treatment of mimba’s leaf extract (Azadirachta indica A. Juss.) to young murbei snail (Pomacea canaliculata). The outline of this research was that mimba’s leaf contains active compounds, i.e azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin and nimbidin which were toxically to young murbei snail therefore it could be use as botanical molucicidal. Mimba’s leaf blended and diluted in aquadest and filtered until suitable concentration treatment is achieved i.e 0% (w/v), 17,5%, 20%, 22,5%, 25%, and 27,5%, then each of these concentration was put onto medium culture which contained with young murbei snail and examined carefully for 24 hours. The parameter that measured was mortality of young murbei snail after 24 hours treatment. The conclucions of this research were mimba’s leaf extract was toxic to young murbei snail with its degree of mortalities 98,35% on 27,5% concentration and its mortality increased along with the increased of mimba’s leaf extract concentration and the value of LC50-24 hours mimba’s leaf extract was 25, 64873%. Key words: toxicity, Azadirachta indica, Pomacea canaliculata, lethal concentration PENDAHULUAN Penggunaaan pestisida di bidang pertanian telah dimulai sejak beberapa abad yang lalu. Mula-mula orang memakai zat-zat organik yang berasal dari tumbuhan seperti pyrethrum dan nikotin, kemudian unsur belerang dan tembaga disusul dengan penggunaan arsenat timbal. Penggunaan pestisida sintetik dimulai menjelang akhir perang dunia kedua dengan ditemukannya DDT (Oka dan Sukardi, 1982). Penggunaan pestisida terutama pestisida sintetis telah berhasil menyelamatkan hasil pertanian yang dihancurkan oleh jasad pengganggu, namun menimbulkan dampak negatif terhadap alam, lingkungan maupun manusia (Sastroutomo, 1982). Pengaruh samping penggunaan pestisida dapat berupa fitotoksik terhadap tanaman, resistensi hama, ledakan hama sekunder dan pengaruh terhadap organisme bukan sasaran (Adisoemarto dkk, 1977; Sudarmo, 1992). Senyawa produk alami merupakan salah satu alternatif bahan pengendali hama (Rice, 1984). Senyawa ini mudah terurai di alam (biodegradable), sehingga tidak mencemari lingkungan, aman bagi manusia dan ternak. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 235 famili mengandung bahan pestisida (Kardinan, 2000). Klasifikasi mimba Klasifikasi mimba sebagai berikut (Steenis, 1978; Heyne, 1987; Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1965): Divisio : Spermatophyta Class : Dikotiledonae Sub class : Angiospermae Ordo : Rutales Famili : Meliaceae Genus : Azadirachta Species : Azadirachta indica A.Juss Terdapat tiga spesies mimba yaitu A. indica, A. siamensis, dan A. excelsa. Spesies pertama tumbuh di Asia Selatan, termasuk Indonesia. Dua spesies lainnya tumbuh di Thailand (Soeseno, 1993). © 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 30 BioSMART Vol. 4, No. 1, April 2002, hal. 29-34 Bahan aktif mimba Mimba mengandung bahan aktif azadirachtin (C35H44O16), meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin dan bahan lainnya (Utami, 1999). Azadirachtin mengandung sekitar 17 komponen dan terdapat di semua bagian tanaman, terutama biji (Kardinan, 2000). Senyawa azadirachtin berfungsi sebagai reppelent (penolak), zat anti feedant, racun sistemik, racun kontak, zat anti fertilitas dan penghambat pertumbuhan (Nurtiati, dkk, 2001; Utami, 1999). Dari beberapa pengujian di laboratorium diketahui bahwa ekstrak tanaman mimba bersifat toksik terhadap siput air Biomphalaria glabarata, siput ini merupakan inang cacing parasit penyebab schistosomiasis (bilharzia). Ekstrak buah mimba mampu mematikan hingga 100% siput Melania scabra, siput ini banyak ditemukan di Asia Timur, merupakan vektor penyakit cacing hati (Neems Foundation, 2000; Gopalsamy et al., 1990). Klasifikasi siput murbei Klasifikasi siput murbei sebagai berikut (Sutanto, 1995; van Damme, 1984): Phylum : Mollusca Sub phylum : Avertebrata Class : Gastropoda Sub class : Prosobranchia (Streptoneura) Ordo : Mesogastropoda Super famili : Vivivaroidea (Cyclophoracea) Famili : Ampullaridae (Pilidae) Genus : Pomacea Species : Pomacea canaliculata L. Siput murbei merupakan siput air tawar dari Amerika Selatan (Sutanto, 1995). Siput ini terdiri dari tiga jenis yaitu P. canaliculata, P. urenus, dan P. paludosa. Ketiganya menyebabkan kerusakan pada tanaman padi, tetapi yang berkembang biak di Indonesia adalah P. canaliculata. Siput ini dikenal dengan nama siput murbei karena telurnya seperti buah murbei berwarna merah muda atau keong emas karena cangkangnya berwarna kuning keemasan (Sutanto, 1995). Hama siput murbei Siput murbei diintroduksi dari Amerika Selatan ke Filipina pada tahun 1982-1984, dan pada tahun 1987 telah menyerang tanaman padi seluas 138.946 hektar. Di Indonesia keong mas mulai diintroduksi sekitar tahun 1984 (Sutanto, 1995; Kardinan dan Iskandar, 1997). Pada tahun 1988-1992 jumlah areal persawahan yang terserang siput murbei sebesar 436,75 hektar (Sutanto, 1995). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: (1) kemampuan ekstrak daun mimba sebagai bahan yang bersifat toksik pada anakan siput murbei, (2) konsentrasi ekstrak daun mimba yang paling efektif sebagai bahan yang bersifat toksik pada anakan siput murbei, dan (3) besarnya nilai LC50 24 jam dari ekstrak daun mimba pada anakan siput murbei. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2001 di Laboratorium MIPA Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah telur dan anakan siput murbei P. canaliculata yang diperoleh dari kolam UNS Surakarta, daun mimba A. indica dari BPTO Tawangmangu dan daun sawi sebagai pakan siput. Bahan lainnya berupa air ledeng untuk pemeliharaan anakan dan akuades untuk ekstraksi. Alat yang digunakan adalah kain kasa, karet gelang, gelas ukur, mortar (lumpang porselin), pipet, corong, kertas label, kertas saring, pinset, sendok kecil, stoples plastik dengan diameter 8 centimeter, gelas beker, cabang tanaman, botol selai dengan diameter 6 centimeter, blender. Cara kerja Ekstraksi daun mimba. Daun mimba yang masih segar dicuci bersih, lalu dikeringanginkan selama satu hari. Setelah itu dihaluskan dengan blender dan ditambahkan akuades sebagai pelarut yang dinyatakan dalam% (berat/volume atau b/v, yaitu gr/mL air). Daun yang telah dihaluskan diendapkan selama satu malam, kemudian disaring dengan kertas saring dan disimpan dalam botol kering, steril dan ditutup rapat. Selanjutnya ekstrak ini diencerkan dengan akuades untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan kelompok perlakuan (Kardinan dan Iskandar, 1997). Pemeliharaan siput murbei. Dalam penelitian ini induk siput murbei dikumpulkan dari kolam yang berada di kampus UNS Surakarta. Siput yang telah dikumpulkan dipelihara secara khusus di dalam sebuah kotak kaca dengan ukuran 40 x 30x 30 cm3, dan diberi pakan berupa sawi muda. Air pemeliharaan dan pakan diganti setiap 2 hari sekali (Kardinan dan Iskandar, 1997). Penetasan telur dan pemeliharaan anakan. Sebelum ditetaskan, setiap kelompok telur yang dihasilkan dalam waktu yang sama dilepaskan dari tempat perlekatannya kemudian dipindahkan ke dalam stoples plastik berdiameter 8 cm yang telah diisi air. Telur-telur yang telah menetas dipindahkan ke dalam botol berisi air sesuai dengan ARDIYANSYAH dkk. – Toksisitas A. indica pada P. canaliculata kelompok perlakuan. Umur anakan yang digunakan adalah 1 hari setelah penetasan. Perlakuan. Penelitian diawali dengan uji pendahuluan untuk mengetahui kisaran konsentrasi LC50 ekstrak daun mimba. Uji pendahuluan menggunakan 6 variasi konsentrasi dengan 1 kali ulangan, yaitu konsentrasi 0% (kontrol), 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Perlakuan dilakukan dengan mencampur ekstrak daun mimba dengan medium biakkan (sesuai dengan kelompok perlakuan). Setiap perlakuan terdiri dari 20 anakan siput. Tolok ukur utama adalah banyaknya kematian anakan setelah 24 jam perlakuan. Penelitian dilanjutkan dengan uji sesungguhnya. Dalam uji ini ditentukan kembali 6 variasi konsentrasi perlakuan dengan kisaran semakin sempit, yaitu 0% (kontrol), 17,5%, 20%, 22,5%, 25%, dan 27,5%. Setiap perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan, masing-masing dengan 20 anakan. Tolok ukur yang digunakan adalah kematian anakan setelah 24 jam perlakuan. Persentase kematian anakan dihitung dengan rumus (Anonim, 1999): Po = R x100% n Dimana: Po = Persentase kematian teramati R = Kematian anakan pada setiap perlakuan n = Total anakan perlakuan Pada kontrol dihitung persentase kematian koreksi dengan menggunakan rumus “Abbott” (Heinrichs et al.,1981), yaitu: Pt = Po − Pc x100% 100 − Pc Dimana: Pt = Persentase kematian terkoreksi Po = Persentase kematian teramati Pc = Persentase kematian kontrol Bila kematian kontrol 0% maka Pt = Po 31 Analisis Data Data berupa kematian anakan setelah 24 jam perlakuan dihitung besarnya Lethal Concentrate 50 (LC50) 24 jam dengan analisis probit (POLO-PC; LeOra Software 1987). Berdasarkan nilai LC50 dan nilai slope akan dapat ditentukan kecenderungan kematian anakan siput murbei setelah pemberian ekstrak daun mimba (Wibowo, 1997). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Uji pendahuluan pemberian ekstrak daun mimba pada anakan siput murbei setelah 24 jam perlakuan ternyata menyebabkan kematian hewan uji (Tabel 1.). Tabel 1. Persentase kematian anakan siput murbei setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan. Konsentrasi (%) Jumlah anakan perlakuan 20 20 20 20 20 20 25 20 15 10 5 0 (kontrol) Jumlah kematian 10 10 8 8 0 0 Persentase kematian (%) 50 50 40 40 0 0 Berdasarkan hasil uji pendahuluan (Tabel 1), pengujian ekstrak daun mimba pada anakan siput murbei diteruskan pada uji sesungguhnya dan dihitung besarnya LC50-24 jam (Tabel 2.). Dari tabel di atas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mimba semakin besar jumlah anakan yang mati. Hubungan antara konsentrasi dan kematian anakan uji disajikan pada Gambar 1. Tabel 2. Persentase kematian anakan siput murbei setelah 24 jam perlakuan pada uji sesungguhnya. Konsentrasi (%) Jumlah anakan 0.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 20 20 20 20 20 20 I Mati % 2 7 8 9 10 20 10 35 40 45 50 100 Ulangan II Mati % 2 6 8 8 9 20 10 30 40 40 45 100 III Mati % 3 7 9 9 10 19 15 35 45 45 50 95 Rata-rata Jumlah % Kematian Kematian 2.33 6.67 8.33 8.67 9.67 19.67 11.67 33.35 41.65 43.33 48.33 98.35 BioSMART Vol. 4, No. 1, April 2002, hal. 29-34 Persentase kematian (%) 32 120 100 80 60 40 20 0 0 17,5 20 22,5 25 27,5 Konsentrasi (%) Gambar 1. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mimba terhadap persentase kematian anakan siput murbei setelah 24 jam perlakuan pada uji sesungguhnya. Toksisitas ekstrak daun mimba terhadap anakan siput murbei Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba bersifat toksik terhadap anakan siput murbei, dimana nilai LC50 24 jam dengan program POLO sebesar 25.64873%. Connel dan Miller (1995) menyebutkan, LC50 merupakan konsentrasi yang ditentukan dari garis-garis kecocokan terbaik pada nilai mortalitas 50%. Djojosumarto (2000) menjelaskan bahwa semakin kecil LC50 maka akan semakin toksik suatu zat atau bahan. Berdasarkan data-data kematian anakan siput murbei yang ada dapat dikatakan bahwa ekstrak daun mimba dapat dimanfaatkan untuk menekan keberadaan siput murbei. Dari data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa pemberian ekstrak daun mimba pada konsentrasi yang berbeda memberikan hasil kematian yang berbeda-beda. Dari tabel 1 dan Gambar 1 terlihat kecenderungan bahwa persentase kematian anakan meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak daun mimba. Menurut Nurtiati dkk (2001) ekstrak daun mimba lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak biji, kulit, ranting, ataupun kayu. Suatu bahan pestisida akan menjadi sangat berbahaya bila diformulasikan dalam bentuk cair dan mengandung pelarut, sehingga racun yang terkandung dalam ekstrak daun mimba dapat dengan cepat terserap melalui permukaan kulit, melumpuhkan urat syaraf dan menyebabkan kematian dengan segera (Djojosumarto, 2000). Selain itu racun yang terkandung pada daun mimba akan berpengaruh dalam proses pencernaan makanan, menghambat kontraksi usus, sehingga proses pencernaan makanan tidak dapat berlangsung (Nurtiati dkk, 2001). Pemberian ekstrak daun mimba secara umum mengganggu proses perkembangan anakan, karena racun yang terkandung dalam daun mimba akan menyebabkan terganggunya aktivitas makan dan perilaku anakan. Terganggunya aktivitas makan anakan sudah terlihat beberapa saat setelah pemberian ekstrak daun mimba, hal ini dapat dilihat dari makanan yang diberikan berupa daun sawi muda tidak dimakan seperti halnya pada perlakuan kontrol. Menurunnya aktivitas makan secara perlahan-lahan akan menyebabkan kematian. Ciri khas pola makan anakan siput murbei adalah apabila diberi makanan yang disukai maka anakan akan menggerombol di sekeliling makanan tersebut dan aktivitas makan yang baik ditunjukkan dengan adanya bekas-bekas sayatan atau lubang-lubang kecil pada makanan. Ekstrak daun mimba yang tercampur dalam makanan akan ikut diserap melalui alat pencernaan anakan. Lu (1995) menjelaskan bahwa sebagian besar racun tidak menimbulkan efek toksik kecuali jika zat tersebut diserap. Penyerapan dapat terjadi diseluruh saluran pencernaan. Kematian anakan yang terjadi sangat tergantung pada umur dan jenis kelamin anakan yang diujikan. Pada penelitian ini umur anakan yang digunakan adalah 1 hari setelah penetasan, hal ini dilakukan agar pada umur tersebut anakan sudah dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, sedangkan jenis kelamin anakan pada saat perlakuan belum dapat ditentukan. Selain dapat mengganggu aktivitas makan racun yang terkandung dalam ekstrak daun mimba juga dapat terserap melalui dinding tubuh, dalam hal ini ekstrak daun mimba berfungsi sebagai racun kontak. Menurut Lu (1995), kulit umumnya ARDIYANSYAH dkk. – Toksisitas A. indica pada P. canaliculata impermeabel dan merupakan batas yang memisahkan organisme dari lingkungannya. Zatzat kimia yang terserap melalui kulit biasanya dalam jumlah besar sehingga akan menimbulkan efek sistemik. Organisme berukuran kecil umumnya memiliki nisbah antara permukaan badan dengan berat badan relatif besar, sehingga apabila terjadi kontak antara permukaan badan dengan suatu zat, maka senyawa aktifnya dapat dengan mudah terserap. Organisme yang berukuran lebih besar, pada umur yang relatif sama, seringkali lebih tahan terhadap senyawa bioaktif dari pada organisme yang lebih kecil. Perbedaan kepekaan ini berkaitan dengan perbedaan luas permukaan jaringan sasaran, karena kerja suatu racun seringkali melibatkan permukaan jaringan. Pada organisme kecil, senyawa aktif dapat lebih cepat mencapai bagian sasaran dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan keracunan dibandingkan organisme yang lebih besar. Organisme muda umumnya lebih peka terhadap aktivitas toksik zat kimia. Dalam banyak hal, ini berhubungan dengan organ atau fungsinya yang belum sempurna untuk proses fisiologi tertentu sehingga metabolisme zat berada dalam tingkat yang tinggi (Koeman, 1987). Pada Gambar 1 terlihat bahwa kenaikan konsentrasi ekstrak memberikan pengaruh yang perlahan-lahan dalam meningkatkan angka mortalitas anakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi masing-masing anakan kurang seragam dalam merespon efek toksik esktrak, sehingga penyerapan yang terjadi secara perlahan-lahan akan menyebabkan detoksifikasi. Kematian yang terjadi, baik pada perlakuan yang diberi ekstrak daun mimba maupun kontrol (0%) dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, makanan, kepadatan populasi dan pencahayaan (Anonim, 1999). Tingkat kematian anakan siput yang mencapai 98,35% pada konsentrasi 27,5% menunjukkan bahwa ekstrak daun mimba bersifat toksik terhadap anakan siput murbei dan efektif digunakan sebagai moluskisida nabati, tetapi hasil ini masih dibawah ekstrak tumbuhan patah tulang (Euphorbia tirucalli), dimana kematian dapat mencapai 93% pada konsentrasi ekstrak 10% (Kardinan dan Iskandar, 1997). Meskipun demikian, apabila tanggapan hewan uji yang diamati adalah kematian, maka ekstrak daun mimba tetap dapat dikatakan efektif sebagai pestisida karena perlakuan dengan ekstrak tersebut dapat mengakibatkan tingkat kematian lebih dari 90% (Anonim, 1999). Efek racun ini disebabkan karena daun mimba 33 mengandung senyawa azadirachtin (Nurtiati, dkk 2001; Utami, 1999). Pada umumnya tanaman mimba dan tanaman patah tulang serta tanaman lain yang biasa dipakai sebagai bahan moluskisida nabati seperti daun sembung (Blumea balsamifera) dan tefrosia (Tefrosia vogelii), memiliki besaran nilai LC50-24 jam ekstrak tanaman di bawah nilai LC50-24 jam moluskisida sintetis dengan bahan aktif metaldehid pada konsentrasi 0,1% yaitu sebesar 11,78 ppm. Oleh karena itu, penggunaan moluskisida nabati terutama dari daun mimba umumnya tidak dimaksudkan untuk menggeser atau mengganti keberadaan moluskisida sintetis namun sebagai alternatif, disamping itu juga untuk meminimalkan residu pestisida sintetis di lingkungan. KESIMPULAN Ekstrak daun mimba bersifat toksik pada anakan siput murbei dengan tingkat kematian anakan mencapai 98,35% pada konsentrasi 27,5%. Semakin besar konsentrasi ekstrak daun mimba menyebabkan kematian anakan siput murbei semakin besar. Besarnya nilai LC50-24 jam ekstrak daun mimba terhadap anakan siput murbei adalah 25,64873%. DAFTAR PUSTAKA Adisoemarto, S., M. Amir, A. Rahayu, W. Anggraitoningsih, dan Y. Rahayuningsih. 1977. Pengaruh Samping Pestisida Terhadap Hewan Invertebrata Bukan Sasaran. Aspek Pestisida di Indonesia. Edisi 3. Anonim. 1999. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu. Bogor. Backer, C,A., and R.C. Bakhuizen van den Brink. 1965. Flora of Java (Spermatophyte only). Vol. II. Groningen-Netherlands: Noordhoff. Connell, D. M., and G. J. Miller. 1995. Kimia dan Toksikologi Pencemaran (diterjemahkan oleh Y. Kostoer). Jakarta: UI Press. Djojosumarto, P. 2000. Tehnik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Gopalsamy, N., J. Gueho, H.R. Jullien, A.W. Owadally, and K. Hostettmann. 1990. Moluscicidal Saponins of Polyscias dichroostachya. Phytochemistry. 29 (3). Heinrichs, E. A., S. Chelliah., S. L. Valencia., M.B. Arceo., L. T. Fabellar., G. B. Aquino., and S. Pickin. 1981. Manual for Testing Insecticides on Rice. Los Banos-Philippines: International Rice Research Institute. 34 BioSMART Vol. 4, No. 1, April 2002, hal. 29-34 Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (De Nutingge Planten van Indonesie). Jakarta: Balitbang Kehutanan Dephut RI. Oka, I.A. dan M. Sukardi. 1982. Dampak lingkungan penggunaan pestisida. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1 (2). Kardinan, A. 2000. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya. Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1997. Pengaruh berbagai jenis ekstrak tanaman sebagai moluskisida nabati terhadap keong mas (Pomacea canaliculata). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 3 (2). Koeman, J. H. 1987. Pengantar Umum Toksikologi (diterjemahkan oleh R. H. Yudono). Yogyakarta: UGM Press. Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar, Azas, organ sasaran, Dan Penilaian Resiko. Edisi kedua (diterjemahkan oleh Edi Nogroho). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Neems Foundation. 2000. Azadirachta indica (The tree and effects on other Organism). http//www. Neems Foundation. Org. Nurtiati, Hamidah, dan T. Widya. 2001. Pemanfaatan bioinsektisida ekstrak daun Azadirachta indica A. Juss. sebagai pengendali hayati ulat daun kubis Plutella xyclostella. J. MIPA. 6 (1). Rice, E. L. 1984. Allelopaty. 2nd Edition. New York: Academic Press. Sastroutomo, S.S. 1982. Pestisida, Dasar-dasar Dan Dampak Penggunaannya. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Soeseno, S. 1993. Mimba tanaman obat yang bersifat toksik. Trubus. 279 (XXIV). Steenis, C. G. G. J. Van. 1978. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita. Sudarmo, S. 1992. Pestisida Untuk Tanaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sutanto. 1995. Siput Murbei (pengendalian dan pemanfaatannya). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Utami, K. P. 1999. Pestisida nabati perangi hama penyakit. Trubus. 358 (XXX). Utami, K. P. 1999. Pestisida nabati. Trubus. 358 (XXX). Van Damme, D. 1984. The Freshwater Mollusca of Nothern Africa (Distribution, Biogeography and Palaeocology). Boston: DRW Publishers. Wibowo, S.A. 1997. Suseptibilitas Heliothis armigera (Lepidoptera: Noctuidae) hasil koleksi dari daerah Lembang, Pangalengan, dan Jatinangor terhadap permetrin dan ekstrak mimba (Azadirachta indica A. Juss). Skripsi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.