Toksisitas Ekstrak Daun Mimba

advertisement
BioSMART
Volume 4, Nomor 1
Halaman: 29-34
ISSN: 1411-321X
April 2002
Toksisitas Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) pada Anakan
Siput Murbei (Pomacea canaliculata L.)
Toxicity of mimba’s leaf extract (Azadirachta indica A. Juss) to young murbei snail
(Pomacea canaliculata L.).
ARDIANSYAH, WIRYANTO, EDWI MAHAJOENO
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126
Diterima: 10 Nopember 2001. Disetujui: 31 Januari 2001
ABSTRACT
The aims of this research were to know the ability, the effective concentration and the value of LC50 for 24 hours
treatment of mimba’s leaf extract (Azadirachta indica A. Juss.) to young murbei snail (Pomacea canaliculata). The
outline of this research was that mimba’s leaf contains active compounds, i.e azadirachtin, meliantriol, salanin,
nimbin and nimbidin which were toxically to young murbei snail therefore it could be use as botanical molucicidal.
Mimba’s leaf blended and diluted in aquadest and filtered until suitable concentration treatment is achieved i.e 0%
(w/v), 17,5%, 20%, 22,5%, 25%, and 27,5%, then each of these concentration was put onto medium culture which
contained with young murbei snail and examined carefully for 24 hours. The parameter that measured was mortality
of young murbei snail after 24 hours treatment. The conclucions of this research were mimba’s leaf extract was toxic
to young murbei snail with its degree of mortalities 98,35% on 27,5% concentration and its mortality increased along
with the increased of mimba’s leaf extract concentration and the value of LC50-24 hours mimba’s leaf extract was
25, 64873%.
Key words: toxicity, Azadirachta indica, Pomacea canaliculata, lethal concentration
PENDAHULUAN
Penggunaaan pestisida di bidang pertanian telah
dimulai sejak beberapa abad yang lalu. Mula-mula
orang memakai zat-zat organik yang berasal dari
tumbuhan seperti pyrethrum dan nikotin, kemudian
unsur belerang dan tembaga disusul dengan
penggunaan arsenat timbal. Penggunaan pestisida
sintetik dimulai menjelang akhir perang dunia
kedua dengan ditemukannya DDT (Oka dan
Sukardi, 1982).
Penggunaan pestisida terutama pestisida sintetis
telah berhasil menyelamatkan hasil pertanian yang
dihancurkan oleh jasad pengganggu, namun
menimbulkan dampak negatif terhadap alam,
lingkungan maupun manusia (Sastroutomo, 1982).
Pengaruh samping penggunaan pestisida dapat
berupa fitotoksik terhadap tanaman, resistensi
hama, ledakan hama sekunder dan pengaruh
terhadap organisme bukan sasaran (Adisoemarto
dkk, 1977; Sudarmo, 1992). Senyawa produk alami
merupakan salah satu alternatif bahan pengendali
hama (Rice, 1984). Senyawa ini mudah terurai di
alam (biodegradable), sehingga tidak mencemari
lingkungan, aman bagi manusia dan ternak. Lebih
dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk dalam
235 famili mengandung bahan pestisida (Kardinan,
2000).
Klasifikasi mimba
Klasifikasi mimba sebagai berikut (Steenis,
1978; Heyne, 1987; Backer dan Bakhuizen van den
Brink, 1965):
Divisio
: Spermatophyta
Class
: Dikotiledonae
Sub class : Angiospermae
Ordo
: Rutales
Famili
: Meliaceae
Genus
: Azadirachta
Species
: Azadirachta indica A.Juss
Terdapat tiga spesies mimba yaitu A. indica, A.
siamensis, dan A. excelsa. Spesies pertama tumbuh
di Asia Selatan, termasuk Indonesia. Dua spesies
lainnya tumbuh di Thailand (Soeseno, 1993).
© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
30
BioSMART Vol. 4, No. 1, April 2002, hal. 29-34
Bahan aktif mimba
Mimba mengandung bahan aktif azadirachtin
(C35H44O16), meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin
dan bahan lainnya (Utami, 1999). Azadirachtin
mengandung sekitar 17 komponen dan terdapat di
semua bagian tanaman, terutama biji (Kardinan,
2000). Senyawa azadirachtin berfungsi sebagai
reppelent (penolak), zat anti feedant, racun
sistemik, racun kontak, zat anti fertilitas dan
penghambat pertumbuhan (Nurtiati, dkk, 2001;
Utami, 1999).
Dari beberapa pengujian di laboratorium
diketahui bahwa ekstrak tanaman mimba bersifat
toksik terhadap siput air Biomphalaria glabarata,
siput ini merupakan inang cacing parasit penyebab
schistosomiasis (bilharzia). Ekstrak buah mimba
mampu mematikan hingga 100% siput Melania
scabra, siput ini banyak ditemukan di Asia Timur,
merupakan vektor penyakit cacing hati (Neems
Foundation, 2000; Gopalsamy et al., 1990).
Klasifikasi siput murbei
Klasifikasi siput murbei sebagai berikut
(Sutanto, 1995; van Damme, 1984):
Phylum
: Mollusca
Sub phylum : Avertebrata
Class
: Gastropoda
Sub class
: Prosobranchia (Streptoneura)
Ordo
: Mesogastropoda
Super famili : Vivivaroidea (Cyclophoracea)
Famili
: Ampullaridae (Pilidae)
Genus
: Pomacea
Species
: Pomacea canaliculata L.
Siput murbei merupakan siput air tawar dari
Amerika Selatan (Sutanto, 1995). Siput ini terdiri
dari tiga jenis yaitu P. canaliculata, P. urenus, dan
P. paludosa. Ketiganya menyebabkan kerusakan
pada tanaman padi, tetapi yang berkembang biak di
Indonesia adalah P. canaliculata. Siput ini dikenal
dengan nama siput murbei karena telurnya seperti
buah murbei berwarna merah muda atau keong
emas karena cangkangnya berwarna kuning
keemasan (Sutanto, 1995).
Hama siput murbei
Siput murbei diintroduksi dari Amerika Selatan
ke Filipina pada tahun 1982-1984, dan pada tahun
1987 telah menyerang tanaman padi seluas 138.946
hektar. Di Indonesia keong mas mulai diintroduksi
sekitar tahun 1984 (Sutanto, 1995; Kardinan dan
Iskandar, 1997). Pada tahun 1988-1992 jumlah
areal persawahan yang terserang siput murbei
sebesar 436,75 hektar (Sutanto, 1995).
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: (1)
kemampuan ekstrak daun mimba sebagai bahan
yang bersifat toksik pada anakan siput murbei, (2)
konsentrasi ekstrak daun mimba yang paling efektif
sebagai bahan yang bersifat toksik pada anakan
siput murbei, dan (3) besarnya nilai LC50 24 jam
dari ekstrak daun mimba pada anakan siput murbei.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2001 di
Laboratorium MIPA Pusat Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah telur dan anakan
siput murbei P. canaliculata yang diperoleh dari
kolam UNS Surakarta, daun mimba A. indica dari
BPTO Tawangmangu dan daun sawi sebagai pakan
siput. Bahan lainnya berupa air ledeng untuk
pemeliharaan anakan dan akuades untuk ekstraksi.
Alat yang digunakan adalah kain kasa, karet
gelang, gelas ukur, mortar (lumpang porselin),
pipet, corong, kertas label, kertas saring, pinset,
sendok kecil, stoples plastik dengan diameter 8
centimeter, gelas beker, cabang tanaman, botol
selai dengan diameter 6 centimeter, blender.
Cara kerja
Ekstraksi daun mimba. Daun mimba yang
masih segar dicuci bersih, lalu dikeringanginkan
selama satu hari. Setelah itu dihaluskan dengan
blender dan ditambahkan akuades sebagai pelarut
yang dinyatakan dalam% (berat/volume atau b/v,
yaitu gr/mL air). Daun yang telah dihaluskan
diendapkan selama satu malam, kemudian disaring
dengan kertas saring dan disimpan dalam botol
kering, steril dan ditutup rapat. Selanjutnya ekstrak
ini diencerkan dengan akuades untuk mendapatkan
konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan kelompok
perlakuan (Kardinan dan Iskandar, 1997).
Pemeliharaan siput murbei. Dalam penelitian
ini induk siput murbei dikumpulkan dari kolam
yang berada di kampus UNS Surakarta. Siput yang
telah dikumpulkan dipelihara secara khusus di
dalam sebuah kotak kaca dengan ukuran 40 x 30x
30 cm3, dan diberi pakan berupa sawi muda. Air
pemeliharaan dan pakan diganti setiap 2 hari sekali
(Kardinan dan Iskandar, 1997).
Penetasan telur dan pemeliharaan anakan.
Sebelum ditetaskan, setiap kelompok telur yang
dihasilkan dalam waktu yang sama dilepaskan dari
tempat perlekatannya kemudian dipindahkan ke
dalam stoples plastik berdiameter 8 cm yang telah
diisi air. Telur-telur yang telah menetas
dipindahkan ke dalam botol berisi air sesuai dengan
ARDIYANSYAH dkk. – Toksisitas A. indica pada P. canaliculata
kelompok perlakuan. Umur anakan yang digunakan
adalah 1 hari setelah penetasan.
Perlakuan. Penelitian diawali dengan uji
pendahuluan untuk mengetahui kisaran konsentrasi
LC50 ekstrak daun mimba. Uji pendahuluan
menggunakan 6 variasi konsentrasi dengan 1 kali
ulangan, yaitu konsentrasi 0% (kontrol), 5%, 10%,
15%, 20%, dan 25%. Perlakuan dilakukan dengan
mencampur ekstrak daun mimba dengan medium
biakkan (sesuai dengan kelompok perlakuan).
Setiap perlakuan terdiri dari 20 anakan siput. Tolok
ukur utama adalah banyaknya kematian anakan
setelah 24 jam perlakuan. Penelitian dilanjutkan
dengan uji sesungguhnya. Dalam uji ini ditentukan
kembali 6 variasi konsentrasi perlakuan dengan
kisaran semakin sempit, yaitu 0% (kontrol), 17,5%,
20%, 22,5%, 25%, dan 27,5%. Setiap perlakuan
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan, masing-masing
dengan 20 anakan. Tolok ukur yang digunakan
adalah kematian anakan setelah 24 jam perlakuan.
Persentase kematian anakan dihitung dengan
rumus (Anonim, 1999):
Po =
R
x100%
n
Dimana:
Po = Persentase kematian teramati
R = Kematian anakan pada setiap perlakuan
n = Total anakan perlakuan
Pada kontrol dihitung persentase kematian
koreksi dengan menggunakan rumus “Abbott”
(Heinrichs et al.,1981), yaitu:
Pt =
Po − Pc
x100%
100 − Pc
Dimana:
Pt = Persentase kematian terkoreksi
Po = Persentase kematian teramati
Pc = Persentase kematian kontrol
Bila kematian kontrol 0% maka Pt = Po
31
Analisis Data
Data berupa kematian anakan setelah 24 jam
perlakuan dihitung besarnya Lethal Concentrate 50
(LC50) 24 jam dengan analisis probit (POLO-PC;
LeOra Software 1987). Berdasarkan nilai LC50 dan
nilai slope akan dapat ditentukan kecenderungan
kematian anakan siput murbei setelah pemberian
ekstrak daun mimba (Wibowo, 1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Uji pendahuluan pemberian ekstrak daun
mimba pada anakan siput murbei setelah 24 jam
perlakuan ternyata menyebabkan kematian hewan
uji (Tabel 1.).
Tabel 1. Persentase kematian anakan siput murbei
setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan.
Konsentrasi
(%)
Jumlah
anakan
perlakuan
20
20
20
20
20
20
25
20
15
10
5
0 (kontrol)
Jumlah
kematian
10
10
8
8
0
0
Persentase
kematian
(%)
50
50
40
40
0
0
Berdasarkan hasil uji pendahuluan (Tabel 1),
pengujian ekstrak daun mimba pada anakan siput
murbei diteruskan pada uji sesungguhnya dan
dihitung besarnya LC50-24 jam (Tabel 2.).
Dari tabel di atas terlihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak daun mimba semakin besar
jumlah anakan yang mati. Hubungan antara
konsentrasi dan kematian anakan uji disajikan pada
Gambar 1.
Tabel 2. Persentase kematian anakan siput murbei setelah 24 jam perlakuan pada uji sesungguhnya.
Konsentrasi
(%)
Jumlah
anakan
0.0
17.5
20.0
22.5
25.0
27.5
20
20
20
20
20
20
I
Mati
%
2
7
8
9
10
20
10
35
40
45
50
100
Ulangan
II
Mati
%
2
6
8
8
9
20
10
30
40
40
45
100
III
Mati
%
3
7
9
9
10
19
15
35
45
45
50
95
Rata-rata
Jumlah
%
Kematian
Kematian
2.33
6.67
8.33
8.67
9.67
19.67
11.67
33.35
41.65
43.33
48.33
98.35
BioSMART Vol. 4, No. 1, April 2002, hal. 29-34
Persentase kematian (%)
32
120
100
80
60
40
20
0
0
17,5
20
22,5
25
27,5
Konsentrasi (%)
Gambar 1. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mimba terhadap persentase kematian anakan siput murbei
setelah 24 jam perlakuan pada uji sesungguhnya.
Toksisitas ekstrak daun mimba terhadap anakan
siput murbei
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak
daun mimba bersifat toksik terhadap anakan siput
murbei, dimana nilai LC50 24 jam dengan program
POLO sebesar 25.64873%. Connel dan Miller
(1995) menyebutkan, LC50 merupakan konsentrasi
yang ditentukan dari garis-garis kecocokan terbaik
pada nilai mortalitas 50%. Djojosumarto (2000)
menjelaskan bahwa semakin kecil LC50 maka akan
semakin toksik suatu zat atau bahan.
Berdasarkan data-data kematian anakan siput
murbei yang ada dapat dikatakan bahwa ekstrak
daun mimba dapat dimanfaatkan untuk menekan
keberadaan siput murbei. Dari data pada Tabel 2,
dapat dilihat bahwa pemberian ekstrak daun mimba
pada konsentrasi yang berbeda memberikan hasil
kematian yang berbeda-beda. Dari tabel 1 dan
Gambar 1 terlihat kecenderungan bahwa persentase
kematian anakan meningkat sejalan dengan
meningkatnya konsentrasi ekstrak daun mimba.
Menurut Nurtiati dkk (2001) ekstrak daun mimba
lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak biji,
kulit, ranting, ataupun kayu.
Suatu bahan pestisida akan menjadi sangat
berbahaya bila diformulasikan dalam bentuk cair
dan mengandung pelarut, sehingga racun yang
terkandung dalam ekstrak daun mimba dapat
dengan cepat terserap melalui permukaan kulit,
melumpuhkan urat syaraf dan menyebabkan
kematian dengan segera (Djojosumarto, 2000).
Selain itu racun yang terkandung pada daun mimba
akan berpengaruh dalam proses pencernaan
makanan, menghambat kontraksi usus, sehingga
proses pencernaan makanan tidak dapat
berlangsung (Nurtiati dkk, 2001).
Pemberian ekstrak daun mimba secara umum
mengganggu proses perkembangan anakan, karena
racun yang terkandung dalam daun mimba akan
menyebabkan terganggunya aktivitas makan dan
perilaku anakan. Terganggunya aktivitas makan
anakan sudah terlihat beberapa saat setelah
pemberian ekstrak daun mimba, hal ini dapat
dilihat dari makanan yang diberikan berupa daun
sawi muda tidak dimakan seperti halnya pada
perlakuan kontrol. Menurunnya aktivitas makan
secara
perlahan-lahan
akan
menyebabkan
kematian. Ciri khas pola makan anakan siput
murbei adalah apabila diberi makanan yang disukai
maka anakan akan menggerombol di sekeliling
makanan tersebut dan aktivitas makan yang baik
ditunjukkan dengan adanya bekas-bekas sayatan
atau lubang-lubang kecil pada makanan.
Ekstrak daun mimba yang tercampur dalam
makanan akan ikut diserap melalui alat pencernaan
anakan. Lu (1995) menjelaskan bahwa sebagian
besar racun tidak menimbulkan efek toksik kecuali
jika zat tersebut diserap. Penyerapan dapat terjadi
diseluruh saluran pencernaan.
Kematian anakan yang terjadi sangat tergantung
pada umur dan jenis kelamin anakan yang diujikan.
Pada penelitian ini umur anakan yang digunakan
adalah 1 hari setelah penetasan, hal ini dilakukan
agar pada umur tersebut anakan sudah dapat
melakukan aktivitasnya dengan baik, sedangkan
jenis kelamin anakan pada saat perlakuan belum
dapat ditentukan.
Selain dapat mengganggu aktivitas makan racun
yang terkandung dalam ekstrak daun mimba juga
dapat terserap melalui dinding tubuh, dalam hal ini
ekstrak daun mimba berfungsi sebagai racun
kontak. Menurut Lu (1995), kulit umumnya
ARDIYANSYAH dkk. – Toksisitas A. indica pada P. canaliculata
impermeabel dan merupakan batas yang
memisahkan organisme dari lingkungannya. Zatzat kimia yang terserap melalui kulit biasanya
dalam jumlah besar sehingga akan menimbulkan
efek sistemik.
Organisme berukuran kecil umumnya memiliki
nisbah antara permukaan badan dengan berat badan
relatif besar, sehingga apabila terjadi kontak antara
permukaan badan dengan suatu zat, maka senyawa
aktifnya dapat dengan mudah terserap. Organisme
yang berukuran lebih besar, pada umur yang relatif
sama, seringkali lebih tahan terhadap senyawa
bioaktif dari pada organisme yang lebih kecil.
Perbedaan kepekaan ini berkaitan dengan
perbedaan luas permukaan jaringan sasaran, karena
kerja suatu racun seringkali melibatkan permukaan
jaringan. Pada organisme kecil, senyawa aktif
dapat lebih cepat mencapai bagian sasaran dalam
konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan
keracunan dibandingkan organisme yang lebih
besar. Organisme muda umumnya lebih peka
terhadap aktivitas toksik zat kimia. Dalam banyak
hal, ini berhubungan dengan organ atau fungsinya
yang belum sempurna untuk proses fisiologi
tertentu sehingga metabolisme zat berada dalam
tingkat yang tinggi (Koeman, 1987).
Pada Gambar 1 terlihat bahwa kenaikan
konsentrasi ekstrak memberikan pengaruh yang
perlahan-lahan dalam meningkatkan angka
mortalitas anakan. Hal ini dapat disebabkan karena
kondisi masing-masing anakan kurang seragam
dalam merespon efek toksik esktrak, sehingga
penyerapan yang terjadi secara perlahan-lahan akan
menyebabkan detoksifikasi. Kematian yang terjadi,
baik pada perlakuan yang diberi ekstrak daun
mimba maupun kontrol (0%) dapat juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
seperti suhu, kelembaban, makanan, kepadatan
populasi dan pencahayaan (Anonim, 1999).
Tingkat kematian anakan siput yang mencapai
98,35% pada konsentrasi 27,5% menunjukkan
bahwa ekstrak daun mimba bersifat toksik terhadap
anakan siput murbei dan efektif digunakan sebagai
moluskisida nabati, tetapi hasil ini masih dibawah
ekstrak tumbuhan patah tulang (Euphorbia
tirucalli), dimana kematian dapat mencapai 93%
pada konsentrasi ekstrak 10% (Kardinan dan
Iskandar, 1997). Meskipun demikian, apabila
tanggapan hewan uji yang diamati adalah kematian,
maka ekstrak daun mimba tetap dapat dikatakan
efektif sebagai pestisida karena perlakuan dengan
ekstrak tersebut dapat mengakibatkan tingkat
kematian lebih dari 90% (Anonim, 1999). Efek
racun ini disebabkan karena daun mimba
33
mengandung senyawa azadirachtin (Nurtiati, dkk
2001; Utami, 1999).
Pada umumnya tanaman mimba dan tanaman
patah tulang serta tanaman lain yang biasa dipakai
sebagai bahan moluskisida nabati seperti daun
sembung (Blumea balsamifera) dan tefrosia
(Tefrosia vogelii), memiliki besaran nilai LC50-24
jam ekstrak tanaman di bawah nilai LC50-24 jam
moluskisida sintetis dengan bahan aktif metaldehid
pada konsentrasi 0,1% yaitu sebesar 11,78 ppm.
Oleh karena itu, penggunaan moluskisida nabati
terutama dari daun mimba umumnya tidak
dimaksudkan untuk menggeser atau mengganti
keberadaan moluskisida sintetis namun sebagai
alternatif, disamping itu juga untuk meminimalkan
residu pestisida sintetis di lingkungan.
KESIMPULAN
Ekstrak daun mimba bersifat toksik pada anakan
siput murbei dengan tingkat kematian anakan
mencapai 98,35% pada konsentrasi 27,5%.
Semakin besar konsentrasi ekstrak daun mimba
menyebabkan kematian anakan siput murbei
semakin besar. Besarnya nilai LC50-24 jam ekstrak
daun mimba terhadap anakan siput murbei adalah
25,64873%.
DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S., M. Amir, A. Rahayu, W.
Anggraitoningsih, dan Y. Rahayuningsih. 1977.
Pengaruh Samping Pestisida Terhadap Hewan
Invertebrata Bukan Sasaran. Aspek Pestisida di
Indonesia. Edisi 3.
Anonim. 1999. Bahan Pelatihan Pengembangan dan
Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian
Pengendalian Hama Terpadu. Bogor.
Backer, C,A., and R.C. Bakhuizen van den Brink. 1965.
Flora of Java (Spermatophyte only). Vol. II.
Groningen-Netherlands: Noordhoff.
Connell, D. M., and G. J. Miller. 1995. Kimia dan
Toksikologi Pencemaran (diterjemahkan oleh Y.
Kostoer). Jakarta: UI Press.
Djojosumarto, P. 2000. Tehnik Aplikasi Pestisida
Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Gopalsamy, N., J. Gueho, H.R. Jullien, A.W. Owadally,
and K. Hostettmann. 1990. Moluscicidal Saponins of
Polyscias dichroostachya. Phytochemistry. 29 (3).
Heinrichs, E. A., S. Chelliah., S. L. Valencia., M.B.
Arceo., L. T. Fabellar., G. B. Aquino., and S. Pickin.
1981. Manual for Testing Insecticides on Rice. Los
Banos-Philippines: International Rice Research
Institute.
34
BioSMART Vol. 4, No. 1, April 2002, hal. 29-34
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (De
Nutingge Planten van Indonesie). Jakarta: Balitbang
Kehutanan Dephut RI.
Oka, I.A. dan M. Sukardi. 1982. Dampak lingkungan
penggunaan pestisida. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 1 (2).
Kardinan, A. 2000. Pestisida Nabati, Ramuan dan
Aplikasi. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.
Kardinan, A. dan M. Iskandar. 1997. Pengaruh berbagai
jenis ekstrak tanaman sebagai moluskisida nabati
terhadap keong mas (Pomacea canaliculata). Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia. 3 (2).
Koeman, J. H. 1987. Pengantar Umum Toksikologi
(diterjemahkan oleh R. H. Yudono). Yogyakarta:
UGM Press.
Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar, Azas, organ sasaran,
Dan Penilaian Resiko. Edisi kedua (diterjemahkan
oleh Edi Nogroho). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Neems Foundation. 2000. Azadirachta indica (The tree
and effects on other Organism). http//www. Neems
Foundation. Org.
Nurtiati, Hamidah, dan T. Widya. 2001. Pemanfaatan
bioinsektisida ekstrak daun Azadirachta indica A.
Juss. sebagai pengendali hayati ulat daun kubis
Plutella xyclostella. J. MIPA. 6 (1).
Rice, E. L. 1984. Allelopaty. 2nd Edition. New York:
Academic Press.
Sastroutomo, S.S. 1982. Pestisida, Dasar-dasar Dan
Dampak Penggunaannya. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Soeseno, S. 1993. Mimba tanaman obat yang bersifat
toksik. Trubus. 279 (XXIV).
Steenis, C. G. G. J. Van. 1978. Flora Untuk Sekolah di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita.
Sudarmo, S. 1992. Pestisida Untuk Tanaman.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sutanto. 1995. Siput Murbei (pengendalian dan
pemanfaatannya). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Utami, K. P. 1999. Pestisida nabati perangi hama
penyakit. Trubus. 358 (XXX).
Utami, K. P. 1999. Pestisida nabati. Trubus. 358 (XXX).
Van Damme, D. 1984. The Freshwater Mollusca of
Nothern Africa (Distribution, Biogeography and
Palaeocology). Boston: DRW Publishers.
Wibowo, S.A. 1997. Suseptibilitas Heliothis armigera
(Lepidoptera: Noctuidae) hasil koleksi dari daerah
Lembang, Pangalengan, dan Jatinangor terhadap
permetrin dan ekstrak mimba (Azadirachta indica
A. Juss). Skripsi. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Download