BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di seluruh dunia, kanker merupakan penyakit mematikan pada urutan kedua setelah penyakit kardiovaskular. Pada tahun 2012, penelitian yang dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) menyatakan 8,2 juta jiwa meninggal akibat kanker (Ferlay, 2012). Penemuan lainnya menyatakan bahwa prosentase kematian terbesar akibat kanker terjadi di negara miskin atau negara berkembang, yaitu sebesar 70% (Ullrich, 2005). Kanker pada dasarnya merupakan pertumbuhan jaringan tubuh yang secara abnormal dalam waktu singkat dan kondisi tidak terkontrol. Pertumbuhan kanker dapat berada dimana saja, salah satunya di otak. Kanker yang berada pada otak disebut sebagai glioma dan salah satu jenisnya ialah glioblastoma multiforme. Penyakit ini paling sering diderita oleh pria maupun wanita dewasa pada rentang umur 55-74 tahun dengan gejala yang ditimbulkan ialah sakit kepala, hilang ingatan, bahkan hingga perubahan sikap dari penderita glioblastoma (Asher, 2004). Untuk dapat mengobati penyakit ini diperlukan metode penyembuhan yang tepat agar sel kanker glioblastoma dapat mati. Teknik pengobatan kanker yang digunakan sampai saat ini diantaranya ialah pengangkatan jaringan kanker dengan cara pembedahan atau operasi, kemoterapi, terapi radiasi baik secara eksternal (teletherapy) maupun radiasi internal (brachytherapy). Pengobatan kanker secara operasi dapat dilakukan apabila tumor masih bersifat jinak, namun kelemahan dari teknik ini adalah tidak mampu menghilangkan sel kanker secara optimal apabila perkembangan tumor berubah menjadi tumor ganas (Asher, 2004). Teknik kemoterapi dilakukan dengan cara menyuntikkan obat-obatan tertentu ke dalam tubuh manusia. Pengobatan ini memiliki kelemahan yaitu dapat memberikan dampak negatif pada sistemik tubuh, salah satunya menyebabkan leukopenia (leukocytopenia) (Ariyoshi et al., 2007). Leukopenia merupakan 1 2 penurunan sel darah putih atau leukosit pada tubuh, sehingga leukosit kurang dari batas normal 1000/µL (Pitten et al., 2003). Maka dari itu, metode kemoterapi sulit dilakukan pada pasien yang memiliki kondisi tubuh yang lemah (Ariyoshi et al., 2007). Metode pengobatan selanjutnya adalah terapi menggunakan radiasi sinar ɣ. Terapi ini memiliki kelebihan yaitu mampu merusak jaringan kanker melalui radiasi pengion dari sinar ɣ. Teleterapi merupakan terapi radiasi dengan cara penyinaran radiasi ɣ secara eksternal menuju target kanker. Terapi ini memanfaatkan kemampuan radiasi pengion salah satunya dari sumber radioaktif 60 Co yang dapat membunuh kanker, namun efek negatif dari metode ini ialah dapat merusak sel sehat di sekitar sel kanker (Aisyah, 2010). Berikutnya ialah brakiterapi. Metode ini memanfaatkan sumber radioaktif yang ditanamkan ke dalam sel kanker maupun area sekitar sel kanker (Suparman, 2012). Adapun sumber radioaktif yang sering dipakai diantaranya 60Co, 137Cs, 192Ir, 125I dan 103Pd (Hidayati et al., 2013). Namun, metode ini juga memiliki kelemahan diantaranya harus dilakukannya penanaman sumber radioaktif ke dalam sel kanker melalui kateter atau aplikator jarum, dan ditambah pula pemberian sumber radioaktif ke dalam sel kanker yang akan memberikan pengaruh pada sel sehat area sekitar sel kanker. Beberapa terapi radiasi yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan terapi radiasi yang memanfaatkan sinar ɣ. Namun perlu diketahui bahwa terapi radiasi untuk kanker tidak hanya menggunakan sinar ɣ saja. Terapi radiasi lainnya adalah memanfaatkan radiasi neutron (neutron capture therapy). Nuklida yang sering dipakai pada terapi radiasi neutron adalah 157 157 Gd kurang begitu dikembangkan karena Gd dan 10 B. Penggunaan nuklida 157 Gd bersifat toksik untuk tubuh manusia. Oleh sebab itu, pengembangan radiasi neutron beralih ke 10 B yang dikenal sebagai Boron Neutron Capture Therapy (BNCT) (Sauerwein et al., 2012). BNCT merupakan metode pengobatan tumor dan kanker dengan keunggulan yaitu mampu mengendalikan pertumbuhan sel kanker bahkan dapat membunuh sel kanker itu sendiri dengan tingkat kerusakan jaringan sel sehat yang 3 lebih minim (Monshizadeh et al., 2015 dan Ariyoshi et al., 2007). Kebolehjadian reaksi terbesar antara B dengan neutron termal menghasilkan partikel α, 7Li 10 beserta pemancaran sinar ɣ. Berdasarkan hasil reaksi tersebut, perlu diperhatikan kembali akan bahayanya sinar ɣ yang memiliki daya tembus besar dengan kemampuan mengionisasi materi yang dilaluinya. Partikel α dan inti 7Li memiliki Linear Energy Transfer yang tinggi (Ariyoshi et al., 2007 dan Barth et al., 2005) yaitu sebesar 150 keVµm-1 untuk partikel α dan 175 keVµm-1 untuk 7Li. Jangkauan dari partikel α dan 7Li antara (4,5-10)µm (Sauerwein et al., 2012). Jangkauan yang dimiliki setara dengan diameter sel tunggal yaitu sebesar 10 µm, sehingga dapat disimpulkan metode terapi BNCT merupakan terapi yang memiliki sifat selective cell targeting (Stella, 2011 dan Mukawa et al., 2011) dengan efek kerusakan pada jaringan sehat yang lebih minim. Metode yang dilakukan dalam BNCT yaitu menyuntikkan senyawa yang mengandung 10 B melalui pembuluh darah. Senyawa tersebut terdiri dari Sodium Borocaptate (BSH) dan Boronophenylalanine (BPA) (Barth et al., 2012). Kedua senyawa ini digunakan sebagai pembawa 10 B yang pada akhirnya 10 B hanya terkonsentrasi di dalam sel kanker. Selanjutnya target sel kanker diiradiasi dengan berkas neutron yang berasal dari luar pasien. Konsentrasi 10 B optimal yang diberikan ke pasien yaitu antara (20-35)µg/g kanker (Sauerwein et al., 2012). Besaran tampang lintang menunjukkan kebolehjadian terjadinya reaksi. Tampang lintang serapan/tangkapan neutron termal yang dimiliki 10 B sebesar 3,835×103 barn, sedangkan atom penyusun jaringan tubuh yang terdiri atas 16 O, 12 C, 1H, 14N memiliki tampang lintang tangkapan neutron termal secara berturut- turut sebesar 1,90×10-4; 3,70×10-3; 3,32×10-1; dan 7,50×10-2 barn (Barth et al., 2013, Sauerwein et al., 2012 dan Smith, 2000). Saat neutron termal memasuki jaringan tubuh, peluang terbesar neutron untuk diabsorbsi yaitu oleh 10 B yang menghasilkan reaksi 10B(n,α)7Li. Dalam bidang pengobatan kanker menggunakan metode BNCT, Kyoto University Research Reactor Institute (KURRI) memiliki reaktor riset sebagai sumber neutron bernama Kyoto University Research Reactor (KURR) dan telah berhasil digunakan untuk pengobatan kanker otak (Tanaka et al., 2009). Karena 4 fluks neutron yang dihasilkan oleh KURR kurang mencukupi, maka pada tahun 2006 KURRI menjalin kerja sama dengan Sumitomo Heavy Industries (SHI) mengembangkan sumber neutron berbasis akeselerator. Akselerator yang telah dibuat oleh SHI diberi nama siklotron tipe HM-30 yang mampu menghasilkan berkas proton dengan arus operasional 1 mA dan energi maksimum 30 MeV (Tanaka et al., 2009). Pembuatan siklotron ini memilliki tujuan agar mendapatkan fluks neutron epitermal yang lebih tinggi, dengan kontaminasi neutron cepat dan laju dosis foton yang lebih rendah jika dibandingkan dengan neutron yang bersumber dari reaktor (Mitsumoto et al., 2013 dan Tanaka et al., 2009). Selain itu, kendala yang dihadapi jika menggunakan reaktor sebagai sumber neutron ialah biaya pembangunan yang sangat besar dan operasional yang rumit (Hashimoto et al., 2015). Partikel proton setelah dipercepat dari siklotron HM-30 dilewatkan melalui pemandu berkas proton menuju material target. Kandidat material target yang dapat dipakai adalah lithium dan berilium. Namun lebih disarankan menggunakan target berilium karena memiliki keunggulan lebih jika dibanding dengan litium. Berilium memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibanding dengan litium yaitu sebesar 1287ºC untuk berilium, dan 181ºC untuk litium, sehingga material target berilium lebih tahan panas dan tidak mudah meleleh (Hashimoto et al., 2015). Hasil terbesar dari reaksi proton dengan 9Be ialah neutron cepat (Tanaka et al., 2009). Agar dapat digunakan untuk keperluan BNCT maka dibutuhkan suatu pemandu berkas neutron yang mampu menurunkan energinya menjadi neutron epitermal (1 eV-10 keV) dengan tetap mempertahankan fluks minimum neutron epitermal yang ditetapkan oleh IAEA. Selain itu, pembuatan pemandu berkas neutron diharapkan dapat meminimalisir laju dosis neutron cepat beserta foton. Langkah ini dapat ditempuh dengan menggunakan Beam Shaping Assembly (BSA) sebagai pembentuk kualitas berkas neutron yang optimal dan keluaran laju dosis neutron cepat dan foton yang minim beserta Collimator Assembly (CA) untuk mengarahkan berkas neutron agar terpusat menuju sel kanker (Tanaka et al., 2011). Siklotron HM-30, pemandu berkas proton, BSA dan CA telah diinstalasikan di laboratorium KURRI pada tahun 2008 (Mitsumoto et al., 2013). 5 Metode BNCT memiliki standar dalam penyediaan berkas neutron sebagai sumber iradiasinya. Dengan menggunakan standar yang dibuat oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) diharapkan berkas neutron yang berasal dari sistem BSA dan CA untuk terapi dapat optimal. Agar berkas neutron yang dihasilkan sesuai dengan rekomendasi dari standar IAEA, maka desain BSA yang digunakan harus tepat. Desain BSA yang baik terdiri atas moderator, reflektor, kolimator, filter gamma, dan filter neutron termal (Monshizadeh et al., 2015). Pada penelitian ini, perancangan desain BSA dan CA sebagai pemandu berkas neutron untuk keperluan BNCT dibuat berdasarkan hasil penelitian oleh Sato et al (2014) dan Hashimoto et al (2015). Pemandu berkas neutron yang dirancang oleh Sato et al (2014) dan Hashimoto et al (2015) merupakan BSA yang mampu menyediakan neutron epitermal sebagai sumber iradiasi. Pemilihan mode epitermal sebagai acuan penelitian dikarenakan sel kanker sebagai target iradiasi terletak di otak dengan kedalaman 4 cm dari permukaan kulit. Maka dari itu berkas neutron yang dibutuhkan dari sistem adalah berkas neutron epitermal supaya saat neutron berada pada sel kanker sudah termoderasi energinya secara alami menjadi neutron termal. Neutron epitermal berada pada rentang energi 1 eV hingga 104 eV, sehingga jangkauan neutron menembus tubuh manusia dapat lebih dalam jika dibanding dengan neutron termal yang hanya terhenti di permukaan kulit (Sentinuwo, 2014). Penggunaan neutron termal hanya untuk kanker yang berada pada permukaan kulit saja (IAEA, 2001). Kekurangan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sato et al (2014) dan Hashimoto et al (2015) adalah tidak sampai pada tahap iradiasi neutron ke phantom, yang merupakan tiruan tubuh manusia. Penelitian skripsi ini merupakan pengembangan dari penelitian Sato et al (2014) dan Hashimoto et al (2014) dan diharapkan dapat memberikan informasi lebih yang dimulai dari perancangan desain pemandu berkas neutron hingga dosis foton yang diterima oleh kepala. Perancangan pemandu berkas neutron hingga untuk uji terapi kanker BNCT dapat disimulasikan menggunakan program komputer, salah satunya dengan program Monte Carlo N-Particle (MCNP). Program MCNP diproduksi oleh Los 6 Almos National Laboratory, di Los Alamos, Mexico. Program ini menggunakan metode Monte Carlo yang merupakan metode statistik. Prinsipnya adalah merunut jejak atau langkah partikel secara acak dari partikel itu hidup saat berasal dari sumbernya hingga partikel tersebut mati oleh karena terserap, terlepas, terhambur dan lain sebagainya. Program ini juga mampu menghitung distribusi dosis yang diterima oleh sel kanker (Bisceglie et al., 1999). 1.2. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah menggunakan berkas proton yang diasumsikan berasal dari siklotron tipe HM-30. Pemandu berkas neutron mengacu pada hasil penelitian oleh Sato et al (2014) dan Hashimoto et al (2015) dengan tidak melakukan optimasi material maupun ukuran pada sistem BSA dan CA. Berkas proton diasumsikan hanya berada di dalam pemandu berkas proton dimana proton hanya berinteraksi dengan target 9Be. Sumber proton disimulasikan dengan bentuk disc dengan sifat monodirectional. Parameter keluaran hasil reaksi akan dibandingkan dengan parameter yang ditetapkan oleh IAEA. Pada akhirnya, sistem BSA dan CA yang telah dirancang digunakan untuk mengiiradiasi phantom tubuh ORNL-MIRD dengan arah lateral terpusat menuju kepala. Boron-10 berada di dalam sel kanker glioblastoma multiforme yang terletak di dalam otak dengan tidak membahas mengenai cara injeksi 10 B ke sel kanker. Reaksi tangkapan neutron oleh 10B dalam BNCT menghasilkan partikel α, ɣ dan inti 7Li namun yang dibahas dalam penelitian hanyalah dosis ɣ (foton). Dosis foton yang diperhitungkan yaitu berada dalam sel kanker dan sel sehat sekitar kanker glioblastoma multiforme yaitu cranium, kerangka muka, otak sehat, kulit kepala, dan tiroid. Keseluruhan simulasi dilakukan dengan menggunakan software MCNPX. 1.3. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana simulasi desain pemandu berkas neutron yang bersumber dari reaksi proton dengan 9Be sebagai fasilitas terapi kanker BNCT? 7 2. Bagaimana kualitas berkas neutron sebagai hasil keluaran pemandu berkas neutron? 3. Berapa dosis foton yang diserap oleh sel sehat sekitar kanker ? 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, 1. Membuat simulasi desain pemandu berkas neutron yang bersumber dari reaksi proton dengan 9Be sebagai fasilitas terapi kanker BNCT . 2. Memperoleh informasi kualitas berkas neutron sebagai hasil keluaran dari pemandu berkas neutron. 3. Memperoleh dosis foton yang diserap oleh sel sehat sekitar kanker. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai pembuatan geometri pemandu berkas neutron untuk BNCT menggunakan simulasi software MCNPX. 2. Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang jauh lebih baik mengenai simulasi BNCT menggunakan software MCNPX. 3. Diharapkan dapat menjadi referensi terapi BNCT di Indonesia menggunakan sumber neutron berbasis siklotron.